2011 SOSIOLOGI POLITIK MEMO 1 Kelompok : Alma Karimah Annisa Meutia Ratri Muhammad Khairul Imam Raditia Wahyu Supriyanto Rahardhika Arista Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok - 2011 PERBANDINGAN PANDANGAN POLITIK MARXIAN DAN WEBERIAN DALAM SOSIOLOGI POLITIK The Marxist Tradition of Political Sociology Pemikiran Marx mengenai negara dan poltik bukan merupakan fokus utama dalam teorinya. Marx lebih menekankan pada ekonomi, dimana ekonomi lah yang menentukan kehidupan sosial dan politik suatu negara. Dalam beberapa karyanya, baik secara implisit maupun eksplisit, Marx tetap bersikukuh bahwa ekonomi yang menjadi dasar dalam kehidupan suatu masyarakat dan negara. Analisa Marx mengenai negara tidak terlepas dari konsep-konsep ekonomi, perjuangan kelas, kaum borjuis, dan sebagainya. Misalnya, dalam salah satu pemikirannya mengenai negara, Marx menganalisa bahwa economy power itu menjadi political power itu sendiri. Implikasinya adalah mereka yang memiliki kekuatan ekonomi, yaitu kaum borjuis, menguasai negara. Selanjutnya, economic power ini akan menentukan bagaimana kekuatan negara digunakan. Marx juga mengemukakan bagaimana negara sebagai suprasturktur ditentukan oleh perubahan ekonomi dalam masyarakat. Perangkat pemerintahan, mulai dari anggota pemerintah hingga kebijakannya, ditujukan untuk mengoptimalisasi kondisi akumulasi modal. Dengan kata lain, Marx mengatakan bahwa peran negara adalah melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Neo-Marxism Tradisi pemikiran Marxist dalam sosiologi politik diwarnai dengan determinisme ekonomi yang memang diwariskan dari penmikiran Karl Marx. Dalam konteks negara, karya-karya Marx berbicara bahwa kekuatan negara terletak pada kekuatan kelas masyarakat yang menguasai kekuatan ekonomi, dengan demikian negara dilihat sebagai otonomi relatif dari kepentingan kelas penguasa ekonomi, atau borjuis. Para Marxist selanjutnya melakukan simplifikasi bahwa suprastruktur politik dalam negara hanyalah dampak lanjutan dari dasar ekonomi saja. Pendapat inilah yang ditentang oleh para Neo Marxian yang membawa gagasan utama bahwa justru suprastruktur politik dan ideologi merupakan otonomi relatif dari dasar ekonomi. Dua tokoh sentral yang menyusun teorisasi mengenai politik dalam tradisi pemikiran Marx ialah Gramsci dan Althusser. Gramsci terkenal dengan konsepnya yakni hegemoni, bahwa kelas dominan memiliki usaha dan strategi untuk menciptakan aturan yang mengatur seluruh golongan masyarakat dan berjuang mempertahankan peraturan tersebut dalam formasi sosial yang stabil. Dengan demikian, negara merupakan bentukan dari keseimbangan usaha dan tekanan untuk hegemoni. Althusser memperkuat argumen ini dengan menekankan aspek ideologi, bahwa ideologi merupakan bentuk yang lebih praktikal dari kesadaran kelas maupun keyakinan dalam hal subjektifitas terkait dengan kontrol sosial. Kedua pemikir ini sejalan dalam melihat suprastruktur politik dan ideologi sebagai otonomi relatif yang muncul pada basis ekonomi. The Weberian Traditions of Political Sociology Demokrasi selalu dinilai sebagai sistem politik terbaik diantara terburuk dari pilihan sistem politik yang otoriter atau sosialis. Namun pada prakteknya, misalnya di Indonesia, ruang-ruang demokrasi tidak cukup signifikan membawa perubahan setelah lepas dari rezim Soeharto, ruang demokrasi yang membuka partisipasi public rentan terjadi praktek korupsi, demokrasi yang disimbolkan dalam pemilihan umum tidak berjalan dengan mudah menampung aspirasi rakyat, dengan isu maraknya golongan putih serta munculnya kelompok-kelompok baru dalam gerakan sosial yang berbeda-beda. Hal ini dilihat dalam pandangan Weber bahwa demokrasi tidak dapat dilaksanakan dalam skala yang besar dalam masyarakat yang kompleks. Tidak hanya kompleksitas, tradisi Weberian menawarkan penjelasan bagaimana ruang-ruang dalam demokrasi dipergunakan dan politik dilakukan tidak terlepas dari tindakan agen dalam suatu proses politik. Dari sini sebenarnya, spekulasi logis jika mengatakan bahwa keberhasilan dan kegagalan demokrasi tergantung bagaimana tindakan agen dalam proses itu, apakah agen sebagai pemimpin dengan otoritas kepemimpinan yang seperti apa, ataupun agen yang bagaimana yang berkontestasi dalam politik tersebut. Meskipun tindakan agen mempengaruhi proses politik, tapi ruang itu terbentuk dari social fact dalam proses politik. Karena terdapat kontestasi dalam tindakan agen satu dengan yang lainnya, kontestasi itu tidak netral dan seimbang karena power ambil peran dalam hal itu. Kepemilikan power penting dalam tindakan agen. Sebagai ilustrasi dalam pemilihan umum, mengapa dalam kesempatan yang sama hanya individu tertentu yang bersaing di arena politik? Karena tindakan dari agen selalu diwarnai dengan pertimbangan-pertimbangan khas agen dan faktor-faktor lain melatarbelakanginya. Kash menekankan bahwa Weber memandang berbagai sumber power tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi dalam demokrasi membawa posisi elite melalui persaingan dalam proses politik. Ilustrasi lainnya, mari ingat isu akan koalisi. Dalam sistem pemerintahan presidensial, koalisi jadi pilihan sulit.1 Bagaimana agen memutuskan tindakan untuk berkoalisi dipengaruhi oleh berbagai macam pertimbangan dan kontestasi power, kepentingan serta manfaat. Aksi atau tindakan agen membawa pengaruh signifikan dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh dalam berjalannya proses politik. Dalam analisis Negara Bangsa, Weber menjelaskan antara power dengan politik, dimana dia melihat Negara merupakan institusi dengan kekuatan paling powerfull dalam masyarakat modern. 1 http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/25/03374119/Koalisi..Bukan..Periuk.Nasi. Diakses 13 Februari 2011, pukul 23.05 WIB. Elite Theory : The State as an Aspect of Elite Rule Awal dari kemunculan pemikiran Elite Theory dimulai dari kekurangan yang terdapat pada pemikiran teori-teori sebelumnya yaitu pemikiran Marxis dan liberal dalam melihat pola hubungan yang terbentuk di antara negara dengan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi inilah yang dicoba dilihat oleh para pemikir dari aliran ini, seperti Mosca dan Pareto. Selain itu terdapat ketidakadilan yang tidak dapat terhindarkan antara elit dan massa dalam pembagian kekuasaan. Namun terdapat perbedaan mendasar dalam pemikiran Mosca dan Pareto. Mosca menolak superioritas intelektual dan moral karena dapat dimanipulasi oleh kaum elit, sebaliknya Pareto memandang nilai-nilai yang lebih personal dan psikologis sebagai nilai tambah kekuatan pemerintahan. Anggapan dasar yang mulai terbentuknya teori ini adalah anggapan bahwa sebenarnya negara hanya di jalankan oleh para rakyatrakyat minoritas yang tidak mempunyai kekuasaan secara mutlak. Para pemangku kebijakan hanya membuat sebuah peraturan yang untuk selanjutnya dijalankan oleh para masyarakat dan dipatuhi oleh masyarakat secara keseluruhan. Pada hakekatnya hal ini sepertinya sudah dirasakan oleh sebagian masyarakat dunia. Karena pada hakekatnya kondisi seperti tersebut tidak mampu untuk di pisahkan satu sama lainnya. Rakyat minoritas tentunya tidak akan mampu bertindak diluar peraturan, karena mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan hal tersebut. Kondisi seperti inilah yang coba di manfaatkan oleh para kaum elite untuk menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk mengatur para masyarakat kelas minoritas. Akan tetapi apabila dilihat secara keseluruhan teori ini tidak mampu memberikan sebuah solusi atas permasalahan yang terjadi. Para pemikir seperti Mosca dan Pareto sepertinya tidak mampu memberikan solusi alternatif dari tanggapan mereka yang menolak pandangan Marxis yang menitikberatkan pada revolusi kelas. Teori ini hanya menekankan mengenai hubungan negara dan masyarakat dalam konteks keterbatasan serta pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh para aktor-aktor di dalamnya. Kritik selanjutnya terhadap teori elit adalah teori ini justru memandang ketidakadilan dalam pembagian kekuasaan antara elit dan massa sebagai bukti dari kekuatan elit itu sendiri, bukan sebagai kelemahan dari sistem politik, karena ini bukan bukti dari ketidakadilan kekuasaan, melainkan ketidakadilan dalam struktur seperti kelas, ras, dan jender yang seringkali menjadi objek dan tereksklusi. Pluralism Hal paling mendasar dari teori pluralisme adalah asumsi yang melihat masyarakat sebagai bagian yang aktif dalam sebuah proses politik. Hal ini Berbeda dengan pendapat teori elit yang melihat peran elit yang kemudian “mengatur” sebuah proses politik. Meskipun pluralisme tidak kemudian menentang secara penuh adanya sebuah kelompok tertentu yang memainkan peran, namun ia melihatnya dalam kacamata dimana elit adalah entitas yang tidak bersifat “bersatu”, melainkan berisikan dari pertarungan dan kompromi antar kepentingan kelompok. Asumsi ini berakibat pada sudut pandang para pluralis yang melihat negara sebagai sebuah entitas yang kompetitif dan penuh konflik, bukan sebuah entitas yang padu dan integratif. Pluralis melihat politik sebagai sebuah kondisi kompetitif antara kelompok kepentingan, dimana slah satunya tidak dapat sepenuhnya mendominasi yang selainnya, karena adanya perbedaan dalam hal akses terhadap sumberdaya. Hal ini sangat senada dengan pendangan kaum post-strukturalis yang menolak adanya pemusatan akan kekuatan politik pada satu entitas yang berkuasa. Namun, kritik paling besar dalam kerangka berpikir pluralis adalah kenyataan akan ketidak mampuan mereka dalam menganalisa kekuatan politik yang bersifat asimetris yang kemudaian terjadi pasca 1960an. Dimana kekuatan ini lahir dari sebuah politisasi atas nama kelas, ras, dan gender. Kesimpulan Teori-teori klasik yang dijelaskan tersebut merupakan hubungan negara dan sipil yang merupakan dasar sosiologi politik kontemporer. Marxist tidak mampu memisahkan dirinya dari ekonomi sehingga tidak mengenal sumber-sumber kekuasaan lain yang ada dalam state. Teori elite juga tidak mampu menjelaskan hubungan antara state dan masyarakat sipil, sehingga tidak mampu menceritakan bagaimana dan mengapa hubungan tersebut berubah setiap waktu. Teori pluralis juga gagal menjawab bagaimana struktur kekuasaan yang tidak sama antara negara dan masyarakat sipil. Berbeda dengan tradisi Marxist, pemikiran Weberian justru dibangun sebagai kontra dari tesis yang diuraikan oleh para pemikir Marxist. Secara khusus aliran weberian mengkritik keberadaan politik dan ideologi sebagai otonomi relatif berbasis ekonomi. Menurut mereka, justru aneka ragam relasi administratif yang membentuk negara itulah sumber dari terbentuknya struktur politik. Pemikir Weberian memang mencoba untuk mendobrak determinisme ekonomi yang menjad tulang punggung pemikiran Marx.