BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Masyarakat Indonesia memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Suatu pengakuan bahwa masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk – terdiri atas banyak suku dan agama – tetap mengusahakan adanya kebersamaan dan persatuan. Namun pada kenyataan, pengakuan tersebut hanya menjadi slogan belaka, karena yang terjadi adalah munculnya konflik-konflik antar agama dan suku. Pada tahun 1996-1998 muncul gelombang konflik antar agama yang sangat besar.1 Banyak tempat ibadah yang dirusak dan dibakar. Bukan cuma konflik antar agama yang terjadi di Indonesia; tapi konflik antar etnis juga terjadi. Misalnya konflik antara etnis Tionghoa Indonesia dengan penduduk ’asli’2 Indonesia pada kerusuhan Mei 1998, yang mengakibatkan pemerkosaan atas perempuan-perempuan etnis Tionghoa;3 konflik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah, dan masih banyak konflik-konflik antar suku lainnya. Konflik-konflik antar agama dan suku yang terjadi di Indonesia kemungkinan disebabkan karena masing-masing agama dan suku hanya bergaul dengan komunitasnya saja dan menimbulkan rasa saling curiga antar kelompok. Sikap saling curiga antar kelompok dan tidak mau bergaul dengan kelompok lain membawa dampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena masing-masing kelompok menjadi masyarakat yang tertutup dan memiliki pemahaman eksklusif yang sempit. Hal ini bertentangan dengan pengakuan Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu!). 1 Band. E. G. Singgih, “Tema Kerukunan Umat Beragama di Dalam Diskusi Pakar Agama”, dalam Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf H. Schumann, Agama Dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. Dr. Olaf H. Schumann, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hlm. 33. 2 Menurut Shirley Lie tidak ada yang namanya penduduk “murni” asli Indonesia, karena penduduk asli Indonesia (para leluhur) sudah melakukan perkawinan campur dengan etnis Tionghoa atau etnis lainnya. Lih. Shirley Lie, “Dilema Etnis Tionghoa di Indonesia” dalam BASIS No. 05-06, tahun ke-55, Mei-Juni, 2006, hlm. 14-15. 3 Data statistik mengenai jumlah para perempuan etnis Tionghoa yang mengalami pemerkosaan tidaklah begitu jelas. Data yang diberikan oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TKR) menyebutkan 152 perempuan etnis Tionghoa diperkosa. Data yang diberikan Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) menyebutkan 159 perempuan etnis Tionghoa diperkosa. Lih. Antonius Sumarwan, “Menyingkap Gramatika Wacana Orde Baru”, dalam BASIS No. 05-06, tahun ke-55, Mei-Juni, 2006, hlm. 41. Sementara Yahya Wijaya menyebutkan 180 perempuan etnis Tionghoa diperkosa. Lih. Yahya Wijaya, “Membangun Teologi Etnisitas yang Inklusif”, dalam Gema Duta Wacana, vol. 31, No. 1, April 2007, hlm. 96. Walaupun terdapat perbedaan jumlah dalam data tentang perempuan etnis Tionghoa yang mengalami pemerkosaan ketika kerusuhan Mei 1998, namun dapat menguatkan bukti bahwa pemerkosaan atas perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998 adalah sungguh-sungguh terjadi. 1 Pasca kerusuhan Mei 1998, banyak pemuka-pemuka agama yang mulai mencoba membangun suatu pemahaman teologi yang inklusif, dengan tujuan mencegah terjadinya kerusuhankerusuhan dan konflik-konflik serupa di masa mendatang. Usaha membangun pemahaman teologi yang inklusif dilakukan juga oleh para teolog Kristen di Indonesia. Salah satu usaha yang dilakukan adalah menafsirkan teks-teks Alkitab yang melihat suatu sikap keterbukaan terhadap agama dan etnis lain, seperti yang terdapat dalam kitab Yun. Dan kitab Yun inilah yang akan menjadi bahasan dalam penulisan skripsi ini. Dalam Alkitab Ibrani, biasanya YHWH menyuruh nabi untuk menyampaikan pesan bagi masyarakat Israel, karena bangsa Israel adalah bangsa kepunyaan Tuhan. Namun tidak demikian yang terjadi dalam Kitab Yun. Kitab Yun justru bercerita tentang seorang nabi (Yunus) yang diutus oleh YHWH untuk menyampaikan pesan Tuhan bagi bangsa di luar Israel (Niniwe). Perintah dari YHWH untuk menyampaikan nubuat kepada bangsa di luar Israel, terasa begitu membingungkan bagi Yunus, bahkan membuat Yunus enggan untuk menjalankan perintah YHWH dan berusaha lari dari YHWH. Kebingungan lainnya muncul ketika YHWH mengambil tindakan untuk mengasihi Niniwe dan tidak jadi menghancurkan Niniwe (Band. Yun 3:10). Kitab Yun yang mengisahkan tentang sikap dan tindakan YHWH yang menyuruh Yunus untuk bernubuat bagi masyarakat Niniwe sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Apa maksud dari pengarang kitab Yun mengisahkan ketidak-hancuran Niniwe? Bukankah dalam Alkitab Ibrani kebanyakan dikisahkan tentang kehancuran bagi-bangsa di luar Israel, dan berkat bagi bangsa Israel? I.2 RUMUSAN MASALAH Keanehan yang ditunjukan oleh Kitab Yun, dimana mempertentangkan tindakan kasih YHWH atas masyarakat Niniwe, mendorong penulis untuk melihat lebih jauh mengenai makna tindakan kasih YHWH bagi masyarakat Niniwe. Menurut dugaan awal, tindakan kasih YHWH kepada masyarakat Niniwe terkait dengan relasi sosiologis masyarakat Yahudi dengan masyarakat non-Yahudi. Dalam mencari relasi sosiologis dari masyarakat Yahudi dibutuhkan informasi-informasi seputar situasi sosial masyarakat Yahudi pada waktu penulisan kitab Yun. Situasi sosial yang ada pada waktu penulisan kitab Yun sedikit banyak menjadi latar belakang pengisahan kitab Yun yang mengisahkan ketidak-hancuran Niniwe dalam kitab Yun. Padahal biasanya kisah-kisah dalam Alkitab Ibrani selalu mengisahkan tentang kehancuran bagi bangsa-bangsa non-Israel. Kejelasan dari situasi sosial yang melatar-belakangi munculnya 2 kitab Yun akan membantu memperjelas makna yang terdapat dalam kitab Yun. Sehingga dapat diperoleh makna dibalik keanehan yang dikisahkan dalam kitab Yun. I.3 BATASAN MASALAH Penulis membatasi penulisan skripsi ini: 1. Mencari tahu situasi sosial masyarakat Yahudi dan relasi sosiologis yang terjalin antara masyarakat Yahudi dengan masyarakat non-Yahudi, yang terjadi pada waktu penulisan kitab Yun. 2. Mencari makna teologis dibalik ketidak-hancuran Niniwe dalam kitab Yun. I.4 TUJUAN PENULISAN Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Mendapatkan situasi sosial masyarakat Yahudi dan relasi sosiologis masyarakat Yahudi dengan masyarakat non-Yahudi yang melatar-belakangi munculnya Kitab Yun. 2. Mendapatkan makna teologis yang terkandung dalam kitab Yun, yaitu tentang tidak jadinya Niniwe mengalami kehancuran. Serta membuat relevansinya dengan kehidupan masa kini. I.5 METODE PENELITIAN Kitab Yun yang digolongkan dalam Tere Asar (dua belas nabi kemudian) berbeda dengan kitab nabi-nabi lainnya; dan banyak ahli yang berpandangan bahwa kitab Yun sebenarnya tidak dapat digolongkan sebagai kitab nabi-nabi, karena kitab Yun tidak berisikan kumpulan nubuat melainkan menceritakan kehidupan seorang nabi bernama Yunus bin Amitai.4 Sehingga kitab Yun jatuh pada kategori sebuah kisah narasi dengan tujuan sebagai bentuk pengajaran (didactic narrative). Von Rad berpendapat bahwa, The story of Jonah thus falls within the literary category, which we have already met, of a story told about a prophet, with the difference that this has now actually become didactic narrative to a greater degree than the earlier stories were.5 Bentuk kitab Yun yang berbentuk narasi, membuat para ahli cenderung mengunakan pendekatan literer untuk mendekati kitab Yun, dimana kitab Yun dianggap sebagai sebuah 4 Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan kitab Yun dengan kitab nabi-nabi lainnya akan dibahas lebih lanjut pada Bab III. 5 Gerhard von Rad, Old Testament Theology Vol. II, New York & Evanston: Harper & Row Publisher, 1965, hlm.291. 3 karya sastra satiris. Agustinus Setiawidi yang mengutip pandangan dari John C. Holbert sebagai ahli yang untuk pertama kalinya membuat definisi akan istilah satir yang berkaitan dengan jenis sastra dari kitab Yun, memaparkan pengertian dari satir, yaitu: 1. 2. 3. 4. Humor berdasarkan sesuatu yang fantastis, aneh, dan absurd. Memiliki target tertentu yang cukup dikenal oleh pembaca sehingga “serangan” terhadap target tersebut mengena dan tetap diingat. Dicirikan oleh cara “menyerang” yang tidak langsung. Menentang sikap-sikap yang tidak terpuji; kemunafikan adalah contoh klasik yang cukup 6 dikenal. Setiawidi tidak hanya mengutip pandangan dari Holbert saja, tetapi ia juga menelusuri perkembangan pengertian satir yang digunakan dalam kitab Yun sampai pada tahun 1995, dimana Setiawidi mengutip pandangan dari David Marcus. Menurut Marcus sejumlah karakteristik dari karya satiris adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Peristiwa fantastis, yang secara rasional tidak mungkin terjadi atau sangat tidak realistis. Grotesqueries: hal-hal aneh, vulgar, dsb. Distorsi: hiperbola atau gaya bertutur yang membesar-besarkan. Ironi: pertentangan antara apa yang tampak dan realitas yang ada. Ridicule: penggambaran target yang diserang dengan tujuan mempermainkan. Parodi: meniru sesuatu atau seseorang dengan cara yang menyimpang atau membuat 7 distorsi. Melihat dari ciri-ciri karya satiris, kitab Yun sepertinya memang cocok untuk digolongkan sebagai karya satiris. Dimana pada bagian awal kitab Yun diceritakan tentang usaha Yunus melarikan diri dari hadapan YHWH dengan menggunakan kapal yang akan berangkat ke Tarsis (Band. 1:3). Akibat dari tindakan Yunus itu, YHWH menurunkan badai besar sehingga para awak kapal ketakutan, dan pada akhirnya mereka membuang Yunus ke laut, dan setelah Yunus dibuang ke laut, badai tiba-tiba menjadi reda (Band. 1:4-15). Yunus yang dibuang ke laut tidak mati ditengah laut, karena YHWH mengutus seekor ikan besar untuk menolong Yunus (Band. 1:17 [2:1]). Ikan besar yang menolong Yunus dengan cara menelannya sungguh tidak masuk akal. Kisah ini sungguh mendukung kitab Yun untuk masuk dalam jenis sastra satir, yang dengan begitu pendekatan yang sesuai untuk kitab Yun adalah pendekatan literer. Namun jika dilakukan pendekatan literer terhadap kitab Yun, maka situasi sosial dari pengarang kitab Yun tidak akan terlalu tergali.8 Padahal tidak mungkin sebuah kitab ditulis 6 Sebagaimana dikutip oleh Agustinus Setiawidi, “Mengucap Syukur di dalam Perut Ikan?: Membaca Doa Ucapan Syukur Yunus dari Perspektif Satiris”, dalam Forum Biblika No. 18, 2005, Bogor: LAI, hlm. 13. 7 Sebagaimana dikutip oleh Agustinus Setiawidi, “Mengucap Syukur di dalam Perut Ikan?”, hlm. 14. 4 tanpa ada latar belakang sosiologis yang mempengaruhinya, dan begitu juga yang terjadi dengan kitab Yun. Tidak mungkin kitab Yun ditulis tanpa ada penyebabnya, dan tidak mungkin kitab Yun ditulis tanpa tujuan tertentu. Apalagi kitab Yun dianggap sebagai kitab yang digunakan untuk pengajaran (didaktif) dan bentuknya sastra satiris. Tanpa tahu latar belakang sosiologis, sulit untuk mengetahui pelajaran apa yang hendak disampaikan oleh kitab Yun. Oleh karena latar belakang sosiologis dari kitab Yun merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dapat memahami pengajaran yang hendak disampaikan oleh kitab Yun; dan tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mendapatkan situasi sosial dan relasi sosiologis antara masyarakat Yahudi dengan masyarakat non-Yahudi, maka penulis lebih memilih menggunakan pendekatan sosial untuk mendekati kitab Yun. Pendekatan sosial adalah pendekatan yang berusaha merekonstruksi kembali dunia sosial pada waktu penulisan teks Alkitab (dalam hal ini dunia Israel Kuno). Pendekatan sosial akan mengikut-sertakan disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu sosiologi dan antropologi.9 Disiplin ilmu sosiologi dan antropologi diperlukan untuk dapat lebih memberikan gambaran secara kompleks dan menyeluruh dari keadaan masyarakat Israel pada waktu munculnya suatu teks. Konstruksi sosial merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Robert Setio dalam jurnal Gema Duta Wacana memberikan contoh tentang pemuda yang memakai celana jeans bolong akan menganggap aneh pemuda lain yang memakai sarung, dan demikian pula sebaliknya. Perasaan aneh yang ada dalam diri kedua pemuda tersebut sebenarnya disebabkan oleh karena konstruksi sosial yang melatar-belakanginya. Perbedaan konstruksi sosial dapat membuat orang akan mudah salah paham, curiga, dan memusuhi yang lain.10 Maka dari itu, sudah menjadi tugas dari ilmu sosial untuk meneliti kontruksi sosial dari suatu masyarakat, supaya muncul kesadaran dalam diri tiap orang untuk bersikap hati-hati terhadap sikap menghakimi orang lain yang berbeda dengan dirinya. Dan jika dihubungkan dengan penafsiran atas kitab Yun, maka para penafsir sekarang tidak begitu saja menyamakan 8 Band. Aristarchus Sukarto, “Misi Yunus Ke Niniweh”, dalam Gema Duta Wacana No. 43, 1992, hlm. 29. Sukarto berpendapat bahwa kehidupan sosial-ekonomi dari masyarakat Yahudi mempengaruhi proses munculnya kitab Yun. 9 N. Steinberg, “Social-Scientific Criticism”, hal 478-481, dalam John. H. Hayes (Gen. ed), Dictionary of Biblical Interpretation, Abingdon Press, 1999, hlm. 478. 10 Robert Setio, Kontribusi Ilmu-ilmu Sosial Terhadap Studi Alkitab, Gema Duta Wacana vol. 30, No. 1, April 2006, hlm. 3. 5 keadaan pada zaman penulisan kitab Yun dengan zaman sekarang ini. Pendekatan sosial akan membantu dalam merekonstruksi keadaan sosial pada zaman penulisan kitab Yun, supaya dapat mengetahui pengajaran yang hendak disampaikan oleh kitab Yun. Atas dasar itulah, maka penulis merasa pendekatan sosial cocok digunakan untuk mencari relasi sosiologis masyarakat Yahudi pada zaman penulisan kitab Yun. Dalam melakukan pendekatan sosial, Paula McNutt menyebutkan pertanyaan dasar yang perlu senantiasa diperhatikan dan ada dalam benak penafsir sosial, antara lain: Who might have written this text? When was it written? Where was it written? Why was it written? What was the audience to whom it was directed?11 Namun penulis juga tidak menutup kemungkinan penggunaan metode-metode pendekatan yang lain, yang akan dapat semakin melengkapi penafsiran dari penulis.12 Apalagi bentuk dari kitab Yun adalah narasi, sehingga mau tidak mau, penulis tidak hanya akan menggunakan pendekatan sosial saja untuk mendekati teks kitab Yun, tetapi juga akan mempertimbangkan pendekatan literer. I.6 RUMUSAN JUDUL Berdasarkan penjelasan diatas, maka judul dari penulisan skripsi adalah: KETIDAK-HANCURAN NINIWE DALAM KITAB YUNUS (Kritik Sosial Mengenai Kitab Yunus) Kalimat judul di atas dengan jelas menggambarkan pokok permasalahan yang akan penulis gali dalam skripsi ini. Begitu juga dengan metode penafsiran yang penulis akan pakai dalam menganalisa pokok permasalahan tersebut. Alasan itulah yang menjadi pertimbangan penulis untuk membuat rumusan judul di atas. 11 Paula M. McNutt, Reconstructing the Society of Ancient Israel, Louisville, WJK Press, 1999, hlm. 5. Pendekatan sosial dapat bekerjasama dengan pendekatan-pendekatan lain. Lih. E. G. Singgih, “Memetakan Dunia Sosial Alkitab: John Gager dan Robert Carroll”, dalam Gema Duta Wacana vol 30, No. 1, April 2006, hlm. 26-27; Norman K. Gottwald, “Sociological Method in the Study of Ancient Israel”, dalam Norman K. Gottwald (ed), The Bible and Liberation: Political and Social Hermeneutics, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1983, hlm. 26-37. 12 6 I.7 SISTEMATIKA PENULISAN Adapun sistematika penulisan dari skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan Bagian ini merupakan bagian pendahuluan dari penulisan skripsi ini. Pada bagian awal ini akan dibahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, rumusan judul, dan sistematika penulisan. Bab II : Kondisi Sosial Masyarakat Yahudi Pada Zaman Penulisan Kitab Yunus Bagian ini akan membahas mengenai waktu penulisan dari kitab Yun, situasi sosial, ekonomi, politik, dan keagamaan, dari masyarakat Yahudi pada zaman penulisan kitab Yun. Kemudian juga akan membahas mengenai makna perkawinan dalam konteks masa itu, dan pelarangan perkawinan campur yang dilakukan oleh Ezra dan Nehemia. Tujuan utama dari bagian ini adalah mencari tahu kelompok yang memproduksi kitab Yun. Bab III : Tafsiran Atas Kitab Yunus Pada bagian ini akan dibahas mengenai tafsiran atas kitab Yunus. Bab IV : Makna Teologis Kitab Yunus Setelah mengupas mengenai kondisi masyarakat Yahudi pada bab II dan melakukan penafsiran atas kitab Yunus pada bab III, maka pada bagian ini akan dibahas tentang makna teologis dari kitab Yun. Bab V : Penutup Bagian ini berisikan kesimpulan secara keseluruhan dari pembahasan skripsi ini. Dan juga akan diberikan relevansi dengan konteks Indonesia. 7