4. hasil dan pembahasan

advertisement
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Karakteristik Pantai dan Pesisir Pangandaran
4.1.1
Elevasi daratan (Topografi)
Hasil pemetaan topografi daratan menunjukan bawa kondisi topografi
pesisir Pangandaran terdiri dari dataran rendah yang luas di sepanjang pantai dan
pesisir. Dataran rendah nampak mulai dari Desa Sukaresik sampai Desa Babakan.
Hal ini ditandai dengan warna ketinggian rendah yang hampir homogen
disepanjang pesisir daerah tersebut. Dataran rendah pada umumnya membentang
dalam radius 1500 m dari garis pantai.
Daerah perbukitan berada di bagian selatan Desa Pangandaran dan
menghadap langsung dengan Samudera Hindia. Pada jarak 500 m dari garis pantai
wilayah ini didominasi oleh ketinggian 25 – 50 m, sedangkan pada jarak 1000 m
dari garis pantai kondisi topografi didominasi oleh ketinggian 50 – 100 m.
Perbukitan yang membentuk tanjung ini merupakan kawasan Cagar Alam.
Berdasarkan survei lapang, perbukitan ini merupakan daerah kars
(gamping/kapur). Di area ini banyak ditemukan cekungan-cekungan dan memiliki
ketinggian lebih dari 100 m, selain itu daerah ini merupakan pantai berbatu/tebing
batu.
Wilayah pantai dan pesisir Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan
Sidamulih memiliki topografi yang kompleks mulai dari dataran rendah sampai
dengan dataran tinggi. Wilayah bagian utara-timur Pangandaran merupakan
wilayah berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Klasifikasi topografi daratan di
wilayah penelitian disajikan pada Gambar 12.
48
49
Gambar 12.
Kelas elevasi daratan (topografi) wilayah pesisir Pangandaran
berdasarkan tingkat kerentanannya terhadap bencana tsunami
Berdasakan hasil pemetaan klasifikasi elevasi daratan menurut matriks
risiko tsunami, dapat diketahui bahwa daerah dengan ketinggian daratan kurang
dari 10 m memiliki jarak yang sangat dekat dengan laut. Luas area untuk kelas ini
memiliki luas 3.044,92 Ha. Wilayah dengan ketinggian 10 – 25 m memiliki luas
1.979,02 Ha, daerah dengan ketinggian tersebut masih dominan berada di bagian
utara Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih (Tabel 6). Daerah yang
memiliki topografi lebih tinggi berada pada jarak yang lebih jauh dari garis pantai.
Tabel 6. Luas daerah kelas elevasi daratan (topografi)
No
1
2
3
4
5
Tingkat kerentanan
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Total
Kelas elevasi
0 – 10 m
10 – 25 m
25 – 50 m
50 – 100 m
> 100 m
Luas (Ha)
3.044,92
1.979,02
657,34
305,15
244,35
6.230,78
50
Mengacu pada Tabel 6 di atas, dapat diketahui bahwa pada umumnya
topografi pangandaran memiliki ketinggian kurang dari 10 m. Luas area untuk
kelas ini lebih besar dari kelas-kelas yang lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
daerah pantai dan pesisir di Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih
memiliki tingkat kerentanan tsunami yang sangat tinggi apabila dilihat dari segi
elevasi daratannya.
Elevasi daratan yang relatif rendah merupakan wilayah dengan tingkat
kerentanan yang sangat tinggi. Hal ini menurut Oktariadi (2009b) akan lebih
berpotensi untuk terkena limpasan tsunami dalam skala luas di bandingkan daerah
yang memiliki topografi lebih tinggi. Rendahnya topografi daratan mempengaruhi
seberapa luas masuknya tsunami ke daratan.
4.1.2
Kemiringan daratan (Slope)
Kondisi kemiringan daratan pesisir Pangandaran terdiri dari dataran landai
yang luas di sepanjang pantai dan pesisir. Sebaran dataran yang landai tersebut
terlihat sama seperti sebaran topografi dimana dataran landai nampak mulai dari
Desa Sukaresik sampai Desa Babakan. Daerah dengan kondisi kemiringan daratan
yang landai pada umumnya membentang dalam radius 3000 m dari garis pantai.
Daerah yang memiliki kemiringan daratan di atas 2% cenderung dominan
di bagian utara mulai dari sebelah timur Desa Sukahurip sampai bagian barat Desa
Cikalong. Daratan di atas 2% juga ditemukan di bagian selatan Desa Pangandaran
(Tanjung Pangandaran). Daratan yang memiliki kemiringan di atas 2% berada
pada jarak lebih dari 3000 m dari garis pantai kecuali untuk bagian selatan Desa
51
Pangandaran, kemiringan daratan di atas 2% berada pada jarak 500 – 1000 m
(Gambar 13).
Kemiringan daratan di lokasi penelitian didominasi oleh kelas kurang dari
2 % dengan luas mencapai 4.155,45 Ha. Kelas kemiringan daratan paling rendah
berada pada kelas kemiringan daratan lebih besar 40 % dengan luas area hanya
293,78 Ha (Tabel 7). Berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa wilayah pantai
dan pesisir di Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih memiliki
tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap bencana tsunami apabila dilihat
dari segi kemiringan daratannya. Daerah yang memiliki kemiringan landai akan
berpotensi mengalami genangan gelombang tsunami lebih jauh ke arah darat.
Pada pantai yang terjal atau curam, tsunami tidak akan terlalu jauh mencapai
daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai (Oktariadi,
2009a).
Gambar 13.
Kelas kemiringan daratan (slope) wilayah pesisir Pangandaran
berdasarkan tingkat kerentanannya terhadap bencana tsunami
52
Tabel 7. Luas daerah kelas kemiringan daratan (slope)
No
1
2
3
4
5
4.1.3
Tingkat kerentanan
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Total
Kelas slope
0 – 2%
2 – 10%
10 – 15%
15 – 40%
> 40%
Luas (Ha)
4.155,45
912,50
520,65
348,50
293,68
6.230,78
Jarak dari garis pantai
Berdasarkan pengamatan di lapangan pada umumnya sarana-sarana
penting seperti permukiman di lokasi penelitian memiliki jarak yang relatif dekat
dengan garis pantai. Desa Pangandaran digolongkan sebagai daerah yang paling
rentan karena berada pada dataran sempit diantara dua sisi teluk yang saling
berhadapan (tanah genting). Desa Pangandaran merupakan lokasi wisata yang
terkenal di Kabupaten Ciamis, sehingga tidak heran karena potensi daerahnya
tersebut maka daerah ini menjadi kawasan padat penduduk. Masyarakat umumnya
menempati bangunan yang sangat dekat dengan garis pantai, yaitu dalam jarak
antara 100 m hingga 200 m dari garis pantai. Keadaan ini menjadikan
permukiman di Desa Pangandaran tergolong sangat rentan terkena gelombang
tsunami.
Areal permukiman di daerah pesisir Pangandaran semakin lama semakin
bertambah banyak dan semakin menjorok ke laut. Berdasarkan hal tersebut maka
sangat penting sekali menerapkan penataan ruang yang baik untuk mengurangi
risiko tsunami, khususnya di daerah pesisir. Jarak dari garis pantai menunjukan
informasi jauh dekatnya suatu wilayah terhadap laut. Daerah yang berada pada
jarak kurang dari 500 m dari garis pantai menunjukan daerah yang paling rentan
53
terhadap tsunami. Semakin dekat suatu wilayah terhadap laut maka semakin tinggi
tingkat kerentanan dan risiko wilayah tersebut terkena dampak tsunami (NTHMP,
2001). Kelas jarak dari garis pantai wilayah pesisir Pangandaran diperlihatkan
pada Gambar 14.
Gambar 14. Kelas jarak dari garis pantai wilayah pesisir Pangandaran
berdasarkan tingkat kerentanannya terhadap bencana tsunami
4.1.4
Jarak dari sungai
Wilayah Pangandaran yang mencakup Kecamatan Pangandaran dan
Kecamatan Sidamulih merupakan wilayah yang memiliki sungai-sungai besar
yang sangat dekat dengan muaranya. Berdasarkan survei lapang dan analisis dari
citra satelit Landsat TM diketahui setidaknya terdapat empat buah sungai besar
yang melintasi wilayah penelitian. Sungai tersebut adalah Sungai Cikidang bagian
barat, Sungai Cikidang bagian timur, Sungai Cikambulan dan Sungai
Ciambulungan.
54
Sungai Cikidang terletak di sebelah barat dan timur Desa Babakan
(Kecamatan Pangandaran) dan bermuara di muara Cikidang. Sungai Cikidang
melewati beberapa desa mulai dari Desa Sukahurip, Desa Babakan, bagian utara
Desa Wonoharjo, Desa Pananjung dan Desa Pangandaran. Sungai Cikambulan
berada di sebelah timur Desa Cikembulan dan Sungai Ciambulungan berada di
Desa Sukaresik, kedua sungai ini bermuara di muara Citonjong yang berada di
Desa Sukaresik.
Desa Sukaresik, Desa Cikembulan dan bagian timur Desa Pangandaran
serta Desa Babakan dapat diklasifikasikan sebagai daerah yang memiliki tingkat
kerentanan yang sangat tinggi karena di daerah-daerah tersebut terlihat adanya
sungai-sungai besar yang dekat dengan muaranya. Sungai-sungai tersebut saling
berhadapan antara satu dengan yang lainnya. Kondisi sungai yang demikian akan
menyebabkan daerah yang terletak di antara sungai tersebut akan mempunyai
tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap bencana tsunami.
Tsunami yang merambat melalui sungai dapat menimbulkan kerusakan
yang lebih hebat dari yang diperkirakan. Keadaan ini terjadi karena dengan
adanya sungai maka akan semakin mendorong tsunami untuk melintas lebih jauh
ke daratan. Pada daerah yang menyempit seperti sungai dan kanal pengendali
banjir akan terjadi peningkatan kecepatan dan ketinggian muka air. Hal ini
disebabkan debit massa air yang sama harus menjalar melalui celah yang sempit
(NTHMP, 2001). Berdasarkan hal tersebut maka penempatan daerah aman harus
berada jauh dari sungai yang dekat dengan muarannya. Klasifikasi jarak dari
sungai di wilayah penelitian diperlihatka pada Gambar 15.
55
Gambar 15.
4.1.5
Kelas jarak dari sungai wilayah pesisir Pangandaran berdasarkan
tingkat kerentanannya terhadap bencana tsunami
Penggunaan lahan (Landuse)
Wilayah pesisir termasuk dalam kerentanan yang tinggi terhadap bencana
tsunami. Konsep penggunaan lahan harus melihat jarak dari garis pantai agar
dapat melindungi daratan dari hantaman gelombang tsunami. Wilayah yang bisa
dikategorikan rentan tsunami yaitu berdasarkan penggunaan lahannya bagi
kepentingan masyarakat yang menempati wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil pemetaan dapat diketahui bahwa tipe penggunaan lahan
di wilayah penelitian didominasi oleh vegetasi darat/hutan dan area permukiman.
Penggunaan lahan berupa permukiman terlihat berada cukup padat di wilayah
pesisir Kecamatan Pangandaran, khususnya Desa Pangandaran dan Desa Babakan
(Gambar 16). Hasil survei lapang menunjukan bahwa jenis penutupan lahan untuk
wilayah pesisir Pangandaran tidak mengalami banyak perubahan bila
56
dibandingkan dengan kondisi yang tergambar pada peta penutupan lahan pesisir
Pangandaran dari Bappeda tahun 2004.
Jenis penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti
permukiman,perkebunan dan sawah memiliki luas area yang cukup luas. Hal ini
akan berdampak pada kerugian yang besar apabila gelombang tsunami melanda
daerah tersebut. Luas area permukiman mencapai 1.285,50 Ha, keadaan ini
menandakan bahwa wilayah pesisir Pangandaran tergolong daerah padat
penduduk. Permukiman penduduk menggambarkan tingkat kepadatan penduduk
dan sebaran tempat hunian yang akan mempengaruhi tingkat kerugian jiwa
maupun harta benda. Luasan dari masing-masing penggunaan lahan disajikan
pada Tabel 8.
Gambar 16. Kelas jenis penggunaan lahan wilayah pesisir Pangandaran
57
Tabel 8. Luasan jenis penggunaan lahan (landuse)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jenis penggunaan lahan
Danau
Empang/Tambak
Ladang/Teggalan
Lahan kosong
Perkebunan
Permukiman
Sawah
Semak belukar
Vegetasi darat/Hutan
Total
Luas (Ha)
14,71
135,64
90,55
325,20
785,65
1.285,50
480,50
521,55
2.584,45
6.230,78
Bencana tsunami dapat menyebabkan terjadinya perubahan lahan, oleh
karena itu perlu dilihat tingkat kerentanan penggunaan lahan terhadap tsunami.
Acuan klasifikasi tingkat penggunaan lahan terhadap tsunami pada penelitian ini
dibagi berdasarkan klasifikasi Oktariadi (2009a) serta Diposaptono dan Budiman
(2006). Selain itu pengklasifikasian parameter penggunaan lahan ini didasarkan
dari hasil konsultasi pakar dan penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan.
Hasil klasifikasi jenis penggunaan lahan berdasarkan matriks risiko
tsunami menunjukan daerah yang memiliki kerentanan sangat tinggi di
Kecamatan Pangandaran dominan berada di Desa Pangandaran dan Desa
Babakan. Sedangkan untuk Kecamatan Sidamulih daerah yang paling dominan
memiliki kerentanan yang sangat tinggi berada di Desa Cikembulan. Hal ini
disebabkan karena di daerah tersebut banyak dimanfaatkan sebagai area
permukiman dan lahan-lahan terbangun yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Peta
kerentanan penggunaan lahan di wilayah kajian selengkapnya disajikan pada
Gambar 17.
58
Gambar 17. Kelas kerentanan penggunaan lahan wilayah pesisir Pangandaran
berdasarkan tingkat kerentanannya terhadap bencana tsunami
Pada umumnya tingkat kerentanan penggunaan lahan terhadap bencana
tsunami paling luas berada pada kelas dengan kerentanan sangat rendah dan
sangat tinggi. Luas area dengan tingkat kerentanan penggunaan lahan sangat
rendah mencapai 2.580,45 Ha. Sedangkan luas area dengan tingkat kerentanan
penggunaan lahan sangat tinggi mencapai 1.773,03 Ha (Tabel 9). Kajian risiko
tsunami dalam hal ini mengedepankan area permukiman sebagai area paling
rentan. Sebagian besar daerah permukiman terletak di daerah pesisir dan dekat
dengan laut sehingga berpotensi besar terhadap bahaya tsunami. Penggunaan
lahan yang tidak banyak melibatkan manusia seperti lahan kosong, semak belukar
dan vegetasi darat/hutan berada pada daerah yang aman. Atas dasar tersebut maka
penggunaan lahan di wilayah pesisir harus memperlihatkan konsep penataan
ruang yang berbasis bencana alam.
59
Tabel 9. Luas daerah tingkat kerentanan penggunaan lahan
No
1
2
3
4
5
4.1.6
Tingkat
kerentanan
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Tipe Penggunaan lahan
Permukiman dan Sawah
Perkebunan, Empang/Tambak, Danau
Ladang/Teggalan
Semak belukar, Lahan kosong
Vegetasi darat/Hutan
Total
Luas (Ha)
1.773,03
936,00
90,55
846,75
2.580,45
6.230,78
Kondisi batimetri wilayah pantai dan lepas pantai
Kondisi batimetri wilayah lepas pantai (domain A) digambarkan dengan
menggunakan data batimetri ETOPO 1. Data batimetri ini dikeluarkan oleh
British Oceanographic Data Center. Data ETOPO 1 diperoleh dari hasil data
satelit altimetri TOPEX. Berdasarkan pengolahan tiga dimensi dengan
menggunakan perangkat lunak Global Mapper diketahui bahwa di dasar
Samudera Hindia sebelah selatan Pulau Jawa terdapat palung yang sangat curam
dengan kedalaman lereng lebih dari 7.500 meter.
Palung ini memanjang dari ujung Pulau Sumatera sampai bagian timur
Pulau Jawa. Keadaan tersebut menjadikan daerah di sepanjang palung memiliki
risiko yang tinggi sebagai sumber tsunami. Hal ini dikarenakan bila terjadi gempa
di daerah palung, maka ada kemungkinan hal itu mengganggu kestabilan lereng
dan bila sampai roboh akan menimbulkan tsunami besar. Bagian selatan palung
terlihat kondisi dasar laut yang hampir homogen membentuk basin dengan
kedalaman yang besar. Hal ini akan megakibatkan gelombang tsunami akan
mempunyai kecepatan tinggi apabila melitas di daerah tersebut. Kondisi batimetri
di wilayah lepas pantai Pangandaran diperlihatkan pada Gambar 18.
60
Gambar 18. Profil tiga dimensi batimetri wilayah lepas pantai Pangandaran
Profil batimetri untuk wilayah penelitian (Pangandaran) mengacu pada
peta batimetri Dishidros TNI-AL. Hasil pemetaan batimetri wilayah penelitian
menunjukan bahwa kedalaman dekat pantai umumnya dangkal dan semakin ke
tengah laut kedalaman perairan semakin bertambah (Gambar 19).
Gambar 19. Profil tiga dimensi batimetri wilayah pantai Pangandaran
61
Kondisi batimetri perairan Pangandaran memperlihatkan bahwa semakin
mendekati pantai maka kondisi batimetri semakin dangkal dan hampir homogen.
Kisaran kedalaman perairan di wilayah penelitian berkisar 0 – 40 m sehingga
kondisi batimetri tergolong dangkal. Kondisi batimetri di sebelah barat (Desa
Sukaresik dan Desa Cikembulan) relatif lebih dangkal. Keadaan ini terjadi karena
di daerah tersebut terdapat muara Citonjong sehingga banyak terendapkan
material sungai. Kondisi batimeti yang serupa berada di bagian timur Pangandaran
(Desa Sukaresik), dimana di wilayah tersebut terdapat muara Cikidang. Kondisi
batimetri yang dangkal menurut Yalciner et al. (2006) akan mempengaruhi
kecepatan transportasi energi di laut yang lebih dalam sehingga kecepatan tsunami
di laut yang lebih dalam akan lebih tinggi daripada kecepatan tsunami di laut yang
lebih dangkal.
Kondisi kemiringan dasar perairan di wilayah perairan Pangandaran
didominasi oleh kemiringan dasar yang landai. Keadaan ini diketahui berdasarkan
analisis profil batimetri dengan menggunakan menu 3D Path Profile/Line of Sight
Tool pada perangkat lunak Global Mapper. Profil kemiringan dasar laut untuk
setiap titik observasi disajikan pada Lampiran 4.
Hasil identifikasi tersebut menunjukan bahwa kemiringan dasar perairan
wilayah perairan Pangandaran berkisar antara 0,52o – 1,93o. Kemiringan dasar
perairan cenderung menurun mulai dari bagian barat perairan Desa Sukaresik
sampai wilayah barat perairan Desa Pangandaran. Keadaan berbeda diperlihatkan
pada wilayah perairan sebelah timur tepatnya di perairan Desa Sukaresik. Wilayah
perairan ini memiliki kemiringan yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah
62
perairan disekitarnya. Berikut ini disajikan kemiringan dasar perairan di wilayah
kajian untuk setiap titik observasi pada Tabel 10.
Tabel 10. Kemiringan dasar perairan Pangandaran untuk setiap titik observasi
Koordinat (o)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
From Pos
To Pos
108,567 E – 7,687 S
108,581 E – 7,685 S
108,593 E – 7,684 S
108,599 E – 7,683 S
108,606 E – 7,684 S
108,618 E – 7,685 S
108,626 E – 7,685 S
108,634 E – 7,687 S
108,638 E – 7,687 S
108,642 E – 7,688 S
108,649 E – 7,693 S
108,655 E – 7,702 S
108,659 E – 7,701 S
108,664 E – 7,692 S
108,672 E – 7,686 S
108,681 E – 7,681 S
108,696 E – 7,677 S
108,567 E – 7,692 S
108,581 E – 7,689 S
108,593 E – 7,689 S
108,599 E – 7,688 S
108,606 E – 7,689 S
108,618 E – 7,689 S
108,626 E – 7,689 S
108,634 E – 7,691 S
108,638 E – 7,692 S
108,642 E – 7,692 S
108,649 E – 7,696 S
108,651 E – 7,702 S
108,664 E – 7,701 S
108,667 E – 7,696 S
108,675 E – 7,689 S
108,683 E – 7,684 S
108,696 E – 7,681 S
Desa
Kemiringan
dasar
perairan (o)
Sukaresik
Sukaresik
Sukaresik
Cikembulan
Cikembulan
Cikembulan
Wonoharjo
Wonoharjo
Wonoharjo
Pananjung
Pananjung
Pangandaran
Pangandaran
Pangandaran
Babakan
Babakan
Babakan
1,14
0,89
0,83
0,77
0,70
0,78
0,76
0,74
0,66
0,59
0,55
0,52
0,66
0,83
1,29
1,93
1,02
Berdasarkan karakteristik batimetri dan kemiringan dasar perairan yang
telah diuraikan di atas, maka gelombang tsunami akan lebih dulu tiba di wilayah
pantai sebelah barat (Desa Sukaresik) dan disebelah timur (Desa babakan). Hal ini
dikarenakan kedalaman perairan dan kemiringan dasar perairan di kedua wilayah
tersebut cenderung lebih besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Keadaan
ini sesuai seperti yang dikemukan oleh Yudhicara (2008) dimana gelombang
tsunami akan memiliki kecepatan lebih besar dan lebih dulu tiba di lokasi yang
memiliki kontur batimetri yang lebih dalam. Menurut Mudhari (2009) kondisi
63
batimetri demikian akan mengakibatkan jarak daerah pecah gelombang dengan
pantai menjadi semakin kecil.
Pada penelitian ini kondisi batimetri dan kemiringan dasar perairan tidak
dibobotkan kedalam matriks risiko tsunami. Hal ini dikarenakan parameter
tersebut sudah terintegrasi di dalam hasil model. Pada dasarnya model tsunami
yang dibangun sudah memperhitungkan kondisi batimetri dan kemiringan dasar
perairan sehingga proses pembobotannya dilakukan terhadap hasil modelnya saja.
4.1.7
Morfometri pantai
Pada penelitian ini bentuk morfometri pantai tidak digunakan dalam
penentuan indeks kerentanan pantai. Hal ini dikarenakan bentuk morfometri
pantai cenderung homogen, mengingat daerah yang diidentifikasi masih dalam
skala kecil (skala kecamatan).
Wilayah pesisir Pangandaran memiliki bentuk morfometri yang unik dan
khas. Bentuk garis pantai Pangandaran membentuk air mata (teardrop) yang
masuk ke Samudera Hindia. Bentuk seperti ini mengakibatkan garis pantai
Pangandaran membentuk tanjung yang diapit dua sisi teluk yang hampir simetris.
Teluk ini adalah Teluk Parigi di sisi sebalah barat dan Teluk Pangandaran di sisi
sebelah timur Desa Pangandaran.
Pangandaran merupakan daerah berteluk, pada dasarnya bentuk pantai
berteluk akan memfokuskan gelombang tsunami yang sedang berjalan ke arahnya,
sehingga energi gelombang tersebut terakumulasi pada cekungan tersebut dan
mampu meningkatkan ketinggian gelombang tsunami yang sampai di pantai
(Diposaptono dan Budiman, 2005).
64
4.1.8
Ekosistem pantai dan pesisir
Pendugaan awal ekosistem pesisir dilakukan dengan penajaman citra.
Penajaman citra untuk terumbu karang adalah komposit RGB 421, sedangkan
untuk mangrove adalah komposit RGB 453. Berdasarkan penajaman dengan
komposit RGB 421, keberadaan ekosistem terumbu karang tidak terdeteksi dalam
citra Landsat TM tahun 2003, 2006 dan 2009. Hasil survei lapang memberikan
penjelasan lain, dimana diketahui bahwa di perairan Pangandaran terdapat
ekosistem terumbu karang.
Berdasarkan hasil penelitian Wulandari (2002), diketahui terumbu karang
dapat ditemukan pada kawasan Cagar Alam laut di pantai timur (Batu Nunggul
dan Batu Layar) dan pantai barat Desa Pangandaran (Batu Mandi dan Pasir Putih).
Tipe terumbu karang berupa karang tepi (fringing reef) yang mempunyai panjang
1,5 km dengan lebar hanya 50 m. Hasil penelitian Wulandari (2002) menunjukan
bahwa persentasi penutupan karang hidup di Pangandaran secara keseluruhan
termasuk dalam kategori buruk. Substrat dasar perairan sebagian besar ditutupi
oleh rubble.
Pengamatan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa sebagian besar terumbu
karang di Pangandaran dalam kondisi rusak (Wulandari, 2002). Survei lebih lanjut
pada tahun 2005 memperlihatkan kerusakan terjadi semakin parah. Pengamatan
terakhir pada tahun 2008 menunjukkan hasil tidak berbeda jauh. Tutupan karang
hidup di pantai barat hanya sekitar 11,48 % , sedangkan di pantai timur 18,21 %
sehingga dikategorikan rusak menurut kriteria baku Kementerian Lingkungan
Hidup (Wulandari, 2002).
65
Kerusakan ini disebabkan baik oleh aktifitas penangkapan ikan maupun
pariwisata seperti menginjak karang, mengambil karang, penangkapan ikan
berlebih atau dengan racun, sampah, tertabrak perahu atau putaran baling baling
mesin kapal yang mengaduk sedimen. Selain itu erosi di daerah sepanjang aliran
sungai sungai bermuara di perairan Pangandaran menyebabkan tingginya tingkat
sedimentasi dan dapat merusak kehidupan terumbu karang.
Berdasarkan hal tersebut dapat terlihat bahwa keberadaan ekosistem
terumbu karang tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk menurunkan
tingkat kerawanan bencana tsunami di Pangandaran. Hal ini disebabkan karena
sebaran terumbu karang bersifat lokal dan sempit.
Ekosistem mangrove ditemukan di kawasan penelitian dalam skala yang
sangat kecil. Berdasarkan data spasial Bappeda Kab. Ciamis (2009) kemungkinan
besar dahulu terdapat hutan mangrove di Pangandaran. Hal ini dapat dilihat
dengan terdapatnya muara muara sungai cukup lebar, tempat yang ideal bagi
tumbuhan mangrove. Namun kini hanya sedikit yang tersisa, tinggal berupa
deretan pohon nipah (Nypa fruticans) di sepanjang pinggiran sungai. Jenis jenis
tumbuhan mangrove lainnya boleh dibilang telah hilang.
Hal ini sangat disayangkan mengingat hutan ini memiliki manfaat sangat
besar bagi kehidupan diantaranya sebagai pelindung pantai dari pukulan ombak
dan menahan lumpur yang dibawa sungai atau abrasi akibat gelombang laut.
Keadaan ini menjadikan ekosistem mangrove di kawasan penelitian tidak
memberikan pengaruh yang signifikan untuk menurunkan risiko bencana tsunami.
66
4.2.
Kejadian Gempa Tektonik
Berdasarkan catatan sejarah yang terangkum dalam katalog NEIC-USGS selama
kurun waktu 1974 – Mei 2011 diketahui bahwa di wilayah lepas pantai Pangandaran
umumnya terjadi gempa bumi berkekuatan 5 – 6 SM, gempa dengan kekuatan lebih kecil
dari 5 SM lebih sering terjadi. Gempa terbesar yang pernah terjadi berkekuatan 7,7 SM.
Gempa tersebut menimbulkan bencana tsunami yang melanda kawasan Pangandaran dan
wilayah pesisir sekitarnya pada tahun 2006.
Jumlah kejadian gempa yang terekam di wilayah penelitian pada rentang tahun
1974 – Mei 2011 terjadi sebanyak 683 kejadian dengan rentang kekuatan 3 – 7,7 SM.
Pada rentang tahun ini gempa dengan kekuatan lebih kecil dari 5 SM terjadi sebanyak
585 kali, gempa berkekuatan 5,1 – 6 SM terjadi 94 kali, gempa berkekuatan 6,1 – 7 SM
terjadi sebanyak 3 kali dan gempa dengan kekuatan di atas 7 SM hanya terjadi sekali.
Bedasarkan hasil pemetaan pusat-pusat gempa (episentrum) yang terjadi di lepas
pantai Pangandaran diketahui tipe sebaran pusat gempa-gempa dangkal terlihat
rapat dan berkumpul di sekitar pusat gempa Pangandaran. Episentrum tersebut
berada hampir tegak lurus dengan kawasan pesisir Pangandaran. Wilayah sebelah
barat dari pusat gempa pangandaran memiliki frekuensi kegempaan yang lebih tinggi.
Wilayah lepas pantai sebelah timur Pangandaran terlihat intensitas kegempaanya
jauh lebih sedikit. Menurut Natawidjaja (2007) wilayah tersebut merupakan zona
seismic gap yang membentang sepanjang 400 km. Seismic gap merupakan
kawasan sepi gempa yang sangat berpotensi menjadi sumber gempa kuat/besar
dan tsunami dimasa yang akan datang. Peta seismisitas di wilayah kajian
diperlihatkan oleh Gambar 20.
67
Gambar 20.
Tingkat seismisitas di wilayah kajian selang waktu 1974 – Mei 2011
(NEIC-USGS, 2011)
Gempa-gempa yang terlihat pada peta seismisitas di atas merupakan
gempa-gempa dangkal (≤ 40 km) yang terjadi di wilayah lepas pantai
Pangandaran. Pusat gempa di perairan tersebut walaupun tergolong gempa-gempa
dangkal belum tentu menjadi sumber pembangkit tsunami. Menurut Shuto (1993)
tsunami akan terbentuk apabila terjadi gempa dangkal dengan kedalaman pusat
gempa kurang dari 33 km (versi USGS < 48 km), magnitude gempa harus lebih
besar dari 6 SR dan dan gempa menghasilkan deformasi vertikal yang besar di
dasar laut, sehingga patahan sumber gempa berupa patahan naik (thrust fault) atau
patahan turun (normal fault).
Gempa Pangandaran serta gempa-gempa yang sering terjadi di selatan
Jawa pada umumnya terjadi pada zona subduksi Jawa. Zona subduksi ini secara
68
kasat mata nampak sebagai palung Jawa yang memanjang dari barat ke timur.
Natawidjaja (2007) menjelaskan bahwa subduksi Jawa memiliki umur cukup tua
yakni lebih dari 150 juta tahun sehingga sempat dianggap bersifat aseismik atau
tidak menghasilkan gempa. Adanya peristiwa gempa Pancer (1994) dan
Pangandaran (2006) dimana keduanya sama-sama memiliki momen magnitude
lebih besar 7 SM, menunjukkan subduksi ini tetap harus diperhitungkan sebagai
sumber potensial gempa besar di masa yang akan datang. Proses subduksi ini akan
terus berlangsung dan terus menekan sehingga mengakibatkan terakumulasinya
energi tekanan di daerah ini. Apabila batuan sedimen yang tertekan di wilayah
tersebut sudah tidak kuat lagi menahan energi, maka energi tersebut akan
dilepaskan berupa kejadian gempa bumi.
Analisis parameter seismik pada penelitian ini merupakan salah satu usaha
untuk menentukan zona tsunamigenik (sumber tsunami). Selain itu parameter
seismik merupakan hal yang penting karena perubahan tingkat seimisitas suatu
wilayah berhubungan erat dengan perubahan stress dan tekanan di bawah
permukaan wilayah tersebut (Soehaimi, 2008).
Hubungan antara jumlah kejadian gempa dan magnitude gempa untuk
setiap wilayah kajian ditampilkan pada Gambar 21. Hasil analisis regresi linier
menunjukan bahwa frekuensi kejadian gempa menurun secara eksponensial
dengan meningkatnya kekuatan gempa. Berdasarkan hasil pengolahan regresi
linier maka diperoleh nilai-b yang akan menentukan angka dimensi fraktal. Angka
dimensi fraktal digunakan untuk melihat tingkat stress dan tekanan di bawah
permukaan yang terjadi disuatu wilayah (Galih dan Handayani, 2007).
69
107o 108o BT dan 8o 11o LS
(a)
1
y = -0,898x + 4,367
R² = 0,893
0,5
Log (N)
0
-0,5 0
2
4
6
8
6
8
-1
-1,5
-2
-2,5
(b)
Magnitude (SM)
108o 109o BT dan 8o 11o LS
1
0,5
y = -0,858x + 4,206
R² = 0,952
Log (N)
0
-0,5 0
2
4
-1
-1,5
-2
-2,5
Magnitude (SM)
109o 110o BT dan 8o 11o LS
(c)
1
0,5
y = -0,579x + 2,185
R² = 0,866
Log (N)
0
-0,5 0
2
4
6
8
-1
-1,5
-2
-2,5
Magnitude (SM)
Gambar 21. Hubungan jumlah kejadian gempa dan magnitude gempa: (a) 107o
– 108o BT dan 8o – 11o LS; (b) 108o – 109o BT dan 8o – 11o LS; (c)
109o – 110o BT dan 8o – 11o LS
70
Wilayah sebelah barat lepas pantai Pangandaran (107o – 108o BT dan 8o –
11o LS) memiliki angka dimensi fraktal sebesar 1,79. Nilai tersebut masih lebih
besar apabila dibandingkan dengan angka dimensi fraktal untuk wilayah di
bagian tengah (108o – 109o BT dan 8o – 11o LS) dan timur lepas pantai
Pangandaran (109o – 110o BT dan 8o – 11o LS ) dimana nilainya masing-masing
adalah 1,71 dan 1,15. Perairan sebelah barat lepas pantai Pangandaran memiliki
angka dimensi fraktal paling besar. Keadaan ini menjelaskan bahwa wilayah
tersebut merupakan wilayah paling aktif gempa dibandingkan wilayah kajian
lainnya. Hal ini sesuai dengan tingginya kejadian gempa di wilayah tersebut.
Intensitas kejadian gempa yang rendah berada di bagian timur lepas pantai
Pangandaran. Rohadi (2006) menyatakan bahwa bagian wilayah dengan intensitas
gempa yang rendah biasanya berkorelasi dengan tingkat stress yang tinggi. Hal ini
berarti bahwa wilayah tersebut berpotensi lebih besar terjadi gempa bumi
berkekuatan tinggi. Berdasarkan asumsi tersebut maka di sebelah timur lepas
pantai Pangandaran pada saat ini tengah mengakumulasi energi tegangan akibat
proses subduksi yang sewaktu-waktu akan dilepaskan berupa gempa bumi
berkekuatan besar.
4.3.
Hasil Pemodelan Tsunami
4.3.1
Skenario simulasi model
Skenario simulasi pada pemodelan ini dilakukan dengan membuat
sejumlah skenario yang dianggap paling sesuai dan paling mungkin terjadi. Pada
penelitian ini dibangun empat buah skenario yang menjadi dasar dalam
pemodelan tsunami.
71
Skenario pertama dibangkitkan oleh gempa bumi yang mengakibatkan
tsunami di Pangandaran. Menurut Harvard CMT gempa tersebut memiliki
kekuatan 7,7 SM atau 4,0 x 1027 dyne.cm. USGS menjelaskan posisi pusat gempa
berada pada koordinat 9,295o LS dan 107,347o BT dengan kedalaman pusat
gempa 6 km. Pusat gempa yang pernah terjadi pada tahun 2006 tersebut berada
pada jarak 230 km dari arah utara Pulau Christmas, 235 km dari arah barat
Tasikmalaya, 260 km dari arah selatan Bandung dan 355 km dari arah utara
Jakarta (NEIC-USGS, 2006a).
Skenario model ke-2 dibangun pada posisi episetrum gempa yang sama
seperti pada skenario pertama. Besar gempa yang diterapkan pada skenario ke-2
adalah 8,5 SM. Pemilihan skenario ini dipilih sebagai pembanding pengaruh
besarnya kekuatan gempa pada daerah/posisi pusat gempa yang sama.
Posisi sumber tsunami untuk skenario ke-3 dan skenario ke-4 ditentukan
berdasarkan analisis dari segi parameter seismik. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, diketahui bahwa wilayah sebelah timur dari pusat gempa
Pangandaran memiliki frekuensi kegempaan yang lebih sepi dibandingkan dengan
di wilayah sebelah baratnya. Berdasarkan hal tersebut, maka model sumber
tsunami untuk skenario ke-3 dan skenario ke-4 posisi episentrumnya berada pada
batas tersebut.
Daerah ini digunakan sebagai sumber tsunami walaupun kejadian gempa
relatif sepi. Menurut Natawidjaja (2007) daerah yang relatif sepi gempa bukan
berarti daerah tersebut aseismik (tidak aktif), justru hal ini mengindikasikan
bahwa wilayah tersebut sedang menimbun energi karena belum mengalami
72
pematahan. Pelepasan energi berupa gempa kuat disertai tsunami mendatang yang
akan menerpa pesisir selatan Jawa berpotensi bersumber dari sini.
Skenario ke-3 dibangkitkan oleh gempa bumi yang berada pada posisi
9,195o LS dan 108,500o BT. Pusat gempa tersebut memiliki jarak yang lebih dekat
dengan Pangandaran yaitu sekitar 165 km dari arah selatan Pangandaran. Posisi
episetrum pada skenario ke-4 posisinya lebih bergerak ke sebelah timur dari pusat
gempa Pangandaran, yakni pada koordinat 10,280o LS dan 109,800o BT. Skenario
ke-4 menggunakan parameter gempa Pancer. Hal ini untuk menyesuaikan arah
tujaman (strike) dengan keadaan sebenarnya. Menurut Handayani dan Harjono
(2008) semakin ke arah timur jalur konvergensi antara lempeng Indo-Australia
terhadap lempeng Eurasia, arah tujaman semakin menujam dengan arah normal.
Secara ringkas parameter-parameter yang menjadi dasar model pembangkit
tsunami disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Parameter masukan untuk masing-masing skenario yang dibangun
(NEIC-USGS, 2009b)
Parameter Gempa
o
Lintang ( )
o
Bujur( )
Hiposentrum (km)
o
Strike ( )
Dip (o)
o
Slip ( )
Momen Magnitude (Mw)
Momen Seismik (dyne.cm)
Skenario Gempa
1
2
3
4
-9,295
-9,295
-9,195
-10,280
107,347
107,347
108,500
109,800
6,0
6,0
6,0
6,0
289,0
289,0
289,0
276,0
10,0
10,0
10,0
89,0
95,0
95,0
95,0
79,0
7,7
8,5
8,5
8,9
27
28
28
2,4 x 1029
4 x 10
7 x 10
7 x 10
Panjang Patahan (km)
82,0
214,0
214,0
314,0
Lebar Patahan (km)
41,0
107,0
107,0
157,0
2,4
6,2
6,2
8,8
Dislokasi/Defomasi (m)
73
4.3.2 Simulasi gelombang tsunami awal
Besar gempa yang diterapkan pada skenario ke-1 adalah 7,7 SM.
Berdasarkan kekuatan gempa tersebut maka dengan formula empiris Emile A.
Okal diperoleh panjang patahan sejauh 82 km, lebar patahan 41 km dan dislokasi
atau pergeseran bidang patahan (deformasi) sebesar 2,4 m. Hal yang hampir
serupa disampaikan oleh NEIC-USGS (2006a), dalam laporannya menyatakan
bahwa lokasi patahan penyebab tsunami Pangandaran yang berjarak sekitar 50 km
dari palung Jawa memiliki luas patahan seluas 5.600 km2 (80 x 70 m) dan
pergeseran total (dislokasi) yang terjadi dalam patahan ini mencapai 1,97 meter.
Gempa sebesar 8,5 SM yang diterapkan pada skenario ke-2 menghasilkan
panjang patahan sepanjang 214 km dengan lebar patahan 107 km dan dislokasi 6,2
m. Skenario model ke-3 dan ke- 4 dibangun dengan kekuatan gempa sebesar 8,5
SM dan 8,9 SM. Bidang patahan yang terbentuk untuk kasus pada skenario ke-3
karakteristiknya sama seperti pada kasus skenario ke-2. Hal ini disebabkan besar
kekuatan gempa yang digunakan memiliki energi yang sama yaitu sebesar 8,5
SM. Bidang patahan untuk kasus skenario ke-4 memiliki magnitude paling besar
dan ekstrim. Pada skenario ke-4 diperoleh panjang patahan sepanjang 314 km
dengan lebar 157 km dan dislokasi sebesar 8,8 m.
Deformasi patahan di dasar laut merupakan efek dari kekuatan gempa. Hal
ini akan menjadikan medan gelombang tsunami awal atau disebut juga sebagai
gelombang tsunami awal. Hasil simulasi menunjukan adanya perubahan
ketinggian muka air positif dan negatif. Muka air yang bernilai negatif atau
lembah gelombang menghadap ke daerah pantai selatan Jawa Barat, tepatnya
tegak lurus terhadap pesisir Pangandaran. Gelombang negatif ini menurut
74
Slawson dan Savage (1979) mengindikasikan sebagai pemicu terjadinya surutnya
air laut di pantai sebelum gelombang tsunami tiba. Keadaan ini telah terbukti
ketika terjadi tsunami di Pangandaran pada tahun 2006. Berdasarkan kesaksian
saksi mata, air laut mengalami surut sekitar 50 sampai dengan 100 meter sampai
akhirnya tsunami datang di kawasan pantai. Hasil simulasi di daerah
pembangkitan gelombang tsunami diperlihatkan oleh Gambar 22.
(a) 7,7 SM
(b) 8,5 SM
(c) 8,5 SM
(d) 8,9 SM
Elevasi (m)
Gambar 22. Ketinggian muka air laut awal sesaat setelah terjadi gempa di dasar
laut : (a) Skenario ke-1; (b) Skenario ke-2; (c) Skenario ke-3; dan (d)
Skenario ke-4
Besarnya pergerakan yang terjadi dan luas atau panjangnya zona patahan
gempa sebanding dengan besar magnitude gempanya. Semakin besar kekuatan
gempa maka semakin besar pula pergerakan dan luas wilayah patahannya.
75
Keadaan ini seperti dikemukan Latief (2007) yang menyatakan bahwa parameter
kekuatan gempa akan menentukan bidang patahan seperti panjang patahan, lebar
patahan dan dislokasi. Semakin besar kekuatan gempa maka semakin luas bidang
patahan yang terbentuk, selain itu sumber tsunami juga semakin luas.
Hasil simulasi di daerah pembangkit gelombang tsunami menunjukan
perubahan ketinggian muka air positif dan negatif. Bila dilakukan pemotongan
melintang pada daerah sumber pembangkit tsunami sebagaimana garis A – A’,
dapat dilihat dengan jelas profil muka air laut di daerah pembangkit. Potongan
melintang perubahan elevasi muka air laut ditunjukan pada Gambar 23.
-7
-7,3
-7,6
-7,9
-8,1
-8,4
-8,7
-9
-9,3
-9,6
-9,9
-10,1
-10,4
-10,7
Elevasi (m)
A-A' (Skenario 2)
6
4
2
0
-2
-4
-6
-7
-7,3
-7,6
-7,9
-8,2
-8,5
-8,8
-9,2
-9,5
-9,8
-10,1
-10,4
-10,7
Koordinat (oLS)
Koordinat (oLS)
a) 7,7 SM
b) 8,5 SM
Elevasi (m)
-7
-7,3
-7,6
-7,9
-8,1
-8,4
-8,7
-9
-9,3
-9,6
-9,9
-10,1
-10,4
-10,7
Elevasi (m)
A-A' (Skenario 3)
6
4
2
0
-2
-4
-6
Koordinat (oLS)
c) 8,5 SM
6
4
2
0
-2
-4
-6
A-A' (Skenario 4)
-7
-7,3
-7,6
-7,9
-8,1
-8,4
-8,7
-9
-9,3
-9,6
-9,9
-10,1
-10,4
-10,7
Elevasi (m)
A-A' (Skenario 1)
6
4
2
0
-2
-4
-6
Koordinat (oLS)
d) 8,9 SM
Gambar 23. Potongan melintang elevasi muka air laut : (a) Skenario 1;
(b) Skenario 2; (c) Skenario 3; dan (d) Skenario 4
Perubahan ketinggian muka air positif dan negatif pada skenario ke-1
adalah kurang dari 1 m. Pada kasus skenario ke-2 dan skenario ke-3 perubahan
76
muka air laut sekitar 3 m, sedangkan untuk kasus terburuk yang diterapkan pada
skenario ke-4 perubahan muka air adalah sekitar 4 m. Keadaan ini menjelaskan
bahwa patahan naik dengan bidang patahan yang panjang akan menyebabkan
volume kosong yang lebih besar, kemudian akan segera diisi oleh massa air laut
secara sporadis sehingga gerakan balik dari massa air laut ini akan menyebabkan
tsunami.
4.3.3
Waktu tempuh penjalaran gelombang tsunami
Model penjalaran tsunami disimulasikan dengan hasil estimasi tinggi
gelombang tsunami awal yang dibangkitkan oleh deformasi dasar laut akibat
gempa tektonik. Simulasi ini dimulai dari sumber pembangkit hingga sampai
sepanjang garis pantai yang terkena tsunami. Hasil simulasi berupa data matrik
ketinggian muka air laut untuk setiap langkah waktu yang telah ditentukan
besarannya. Simulasi yang diterapkan pada skenario pertama merupakan model
penjalaran gelombang tsunami berdasarkan sejarah tsunami yang terjadi di
Pangandaran. Kekuatan gempa dan posisi patahan yang disimulasikan sudah
disesuaikan dengan kondisi pada waktu tsunami di Pangandaran.
Gelombang tsunami yang dibangkitkan oleh deformasi dasar laut akibat
gempa berkekuatan 7,7 SM menjalar dan sampai pertama kali di pesisir selatan
Pangandaran (Tanjung Pangandaran) pada waktu ke-2600 detik (43 menit).
Gelombang tsunami terus menjalar dan sampai di sisi sebelah barat (Teluk Parigi)
serta sisi sebelah timur (Teluk Pangandaran) pada waktu ke-3080 detik (51
menit). Gelombang tsunami kemudian terrefleksikan sehingga gelombang muncul
dari arah barat daya dan tenggara. Pada waktu ke-3360 detik (55 menit)
77
gelombang tsunami tiba di daratan pantai bagian barat Pangadaran (Desa
Sukaresik dan Desa Cikembulan) dan daratan pantai timur Pangandaran (Desa
Babakan). Hasil model penjalaran gelombang tsunami di wilayah pesisir
Pangandaran (domain D) untuk skenario ke-1 diperlihatkan pada Gambar 24.
2600 detik
3080 detik
3360 detik
3600 detik
Elevasi (m)
Gambar 24. Simulasi penjalaran gelombang tsunami di pesisir Pangandaran
(domain D) pada skenario ke-1
Berdasarkan catatan sejarah yang dilaporkan oleh IOC-ITIC (2006) dalam
Summary of Event Information Timeline : July 17, 2006 Java, Indonesia
Earthquake and Tsunami disampaikan bahwa pada menit ke-55 setelah terjadinya
gempa, tsunami datang pertama kali dari arah sebelah barat daya. Hal ini memiliki
kemiripan dengan model penjalaran tsunami yang telah dibangun.
78
Gelombang tsunami sudah tiba di sepanjang pantai Kecamatan
Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih pada waktu kurang dari satu jam.
Gelombang tsunami ini merendam sebagian kecil kawasan di sepanjang pantai.
Waktu yang dibutuhkan oleh gelombang tsunami tersebut menjalar dari pusat
gempa ke pantai secara keseluruhan membutuhkan waktu kurang dari satu jam
setelah terjadinya gempa.
Berdasarkan skenario yang dibangun dengan kekuatan gempa lebih besar
dan posisi episentrum yang sama, maka dapat dilihat pada skenario ke-2
gelombang tsunami membutuhkan waktu 2480 detik (41 menit) untuk tiba
pertama kali di bagian selatan Pangandaran. Gelombang tsunami kemudian datang
dari arah barat daya dan tiba di pantai sebelah barat Pangandaran tepatnya di Desa
Sukaresi pada detik ke-2840 (47 menit). Pada detik ke-3160 (52 menit)
gelombang tsunami tiba di pesisir Desa Cikembulan, Desa Wonoharjo dan Desa
Babakan serta terus merambat dari bagian barat daya Teluk Parigi sampai bagian
tenggara Teluk Pangandaran. Gelombang tsunami tiba di Desa Pananjung dan
Desa Pangandaran pada detik ke-3240 (54 menit). Pada waktu ke-3600 detik (60
menit) gelombang tsunami sudah menerjang seluruh pantai di Kecamatan
Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih dan meredam lebih luas ke daratan
disekitarnya.
Pada skenario ke-2 ini waktu tempuh gelombang tsunami 2 – 3 menit
lebih cepat dibandingkan gempa dengan kekuatan 7,7 SM. Keadaan ini
menjelaskan bahwa pada posisi pusat gempa yang sama dengan kekuatan gempa
yang berbeda, maka waktu tempuh gelombang tsunami mencapai ke pantai akan
berbeda. Hal ini telah membuktikan bahwa semakin besar kekuatan gempa maka
79
waktu tempuh penjalaran tsunami untuk tiba di pantai akan semakin cepat.
Semakin besar kekuatan gempa maka gelombang tsunami yang ditimbulkan akan
semakin besar. Penjalaran gelombang tsunami untuk kasus skenario ke-2
diperlihatkan pada Gambar 25.
2480 detik
2840 detik
3160 detik
3600 detik
Elevasi (m)
Gambar 25. Simulasi penjalaran gelombang tsunami di pesisir Pangandaran
(domain D) pada skenario ke-2
Model penjalaran gelombang tsunami untuk kasus pada skenario ke-3
menggunakan posisi sumber gempa yang berjarak lebih dekat terhadap pantai
selatan Pangandaran. Jarak sumber tsunami terhadap pantai sekitar 165 km. Hasil
model penjalaran tsunami yang dibangun memperlihatkan bahwa gelombang
tsunami tiba pertama kali di selatan Pangandaran pada detik ke-2320 (39 menit).
80
Pada detik ke-2720 (45 menit) gelombang tsunami tiba di bagian barat Desa
Sukaresik dan di bagian timur Desa Babakan. Gelombang tsunami kemudian
bergerak ke timur dan tiba di Desa Cikembulan, Desa Wonoharjo dan bagian barat
Desa Babakan pada detik ke-2960 (49 menit). Gelombang tsunami tiba di Desa
Pananjung dan Desa Pangandaran pada detik ke-3040 (50 menit). Pada detik ke3600 (60 menit) gelombang tsunami sudah menyebar keseluruh pantai di
sepanjang garis pantai sebelah barat sampai ke timur. Model penjalaran
gelombang tsunami untuk kasus skenario ke-3 ini dapat dilihat pada Gambar 26.
2320 detik
2720 detik
2960 detik
3600 detik
Elevasi (m)
Gambar 26. Simulasi penjalaran gelombang tsunami di pesisir Pangandaran
(domain D) pada skenario ke-3
Gelombang tsunami pada skenario ke-3 ini memiliki kecepatan 2 – 3
menit lebih cepat dibandingkan dengan gempa yang dibangkitkan pada skenario
81
ke-2. Keadaan ini disebabkan oleh posisi sumber gempa yang cenderung lebih
dekat. Hal ini menjelaskan bahwa semakin dekat sumber gempa terhadap pantai
maka waktu tempuh gelombang tsunami mencapai pantai akan semakin cepat.
Berdasarkan hal tersebut maka daerah pantai yang mempunyai jarak yang
semakin dekat dari sumber pembangkit tsunami akan menyebabkan daerah
tersebut mempunyai tingkat kerawanan bahaya tsunami yang tinggi, keadaan
sebaliknya terjadi apabila daerah pantai memiliki jarak yang jauh terhadap sumber
tsunami.
Penjalaran gelombang tsunami untuk kasus terburuk dibangun pada
skenario ke-4. Kasus terburuk yang dibangun pada model ini adalah kasus
tsunami yang diakibatkan gempa berkekuatan 8,9 SM. Kekuatan gempa 8,9 SM
merupakan kekuatan gempa yang pernah terjadi di Indonesia, gempa ini sekaligus
merupakan peristiwa paling dasyat dan mengerikan bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
Posisi pusat gempa pada skenario ke-4 berada di sebelah timur pusat
gempa Pangandaran dengan jarak kurang lebih 310 km dari bagian selatan pantai
Pangandaran. Skenario ini dibangun berdasarkan karakteristik gempa yang
menimbulkan tsunami di Pancer (Banyuwangi) pada tahun 1994. Parameter sesar
yang digunakan (dip, strike, slip) telah disesuaikan dengan keadaan sewaktu
kejadian tsunami di Pancer, akan tetapi besarnya kekuatan gempa dan geomertri
patahan dimodifikasi untuk mendapatkan keadaan yang lebih ekstrim.
Penjalaran gelombang tsunami pada skenario ke-4 mengakibatkan
gelombang tsunami menjalar dan mencapai bagian selatan Pangandaran pada
waktu 2600 detik (43 menit). Gelombang tsunami kemudian tiba di bagian barat
82
Desa Sukaresik dan Bagian timur Desa Babakan pada detik ke-3000 (50 menit).
Pada detik ke-3280 (55 menit) gelombang tsunami tiba di Desa Sukaresik,
Wonoharjo dan bagian barat Desa Babakan. Satu jam setelah terjadi gempa,
gelombang tsunami sudah menggenangi lebih jauh ke daratan. Model penjalaran
gelombang tsunami untuk kasus skenario ke-4 disajikan pada Gambar 27.
2600 detik
3000 detik
3280 detik
3600 detik
Elevasi (m)
Gambar 27. Simulasi penjalaran gelombang tsunami di pesisir Pangandaran
(domain D) pada skenario ke-4
Hasil model dari tiap skenario yang telah dibangun memperlihatkan bahwa
gelombang tsunami awal akibat gempa bumi akan menjalar keseluruh arah.
Perbedaan kontur kedalaman mengakibatkan gelombang tsunami mengalami
pembelokan arah dan tinggi gelombang (refraksi). Arah datangnya tsunami di
83
daerah studi pertama kali datang dari arah selatan. Gelombang tsunami kemudian
memasuki Teluk Pangandaran dari sisi barat daya dan Teluk Parigi dari sisi
tenggara. Ketika memasuki Teluk Pangandaran dan Teluk Parigi gelombang
tsunami menjadi terkurung karena memasuki wilayah berteluk, kemudian
gelombang tsunami terefleksikan. Hal ini menyebabkan arah gelombang tsunami
menyebar dan datang dari arah barat dan selatan serta timur perairan Pangandaran.
Pada umumnya daerah yang pertama kali terkena limpasan gelombang
tsunami adalah Tanjung Pangandaran yang letaknya di bagian selatan. Hal ini
disebabkan daerah tersebut merupakan daerah yang paling depan dan menjorok ke
laut lepas. Daerah yang selanjutnya paling awal terkena gelombang tsunami
adalah pesisir barat Pangandaran (Desa Sukaresik) serta pesisir timur Pangandaran
(Desa Babakan). Hal ini disebabkan perairan yang berbatasan dengan daerah
tersebut memiliki kedalaman yang lebih besar dengan kelerengan dasar yang lebih
curam jika dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Menurut Yudhicara (2008)
karakteristik kontur batimetri demikian mengakibatkan gelombang tsunami akan
memiliki kecepatan lebih besar dan lebih dulu tiba di lokasi tersebut.
4.3.4
Limpasan gelombang tsunami (run-up)
Limpasan gelombang tsunami yang dihasilkan dari pemodelan tsunami
untuk kasus skenario ke-1 pada umumnya masih dalam skala yang tidak terlalu
luas. Hasil analisis berdasarkan measure tool pada perangkat lunak ArcGIS
diketahui jarak limpasan gelombang tsunami yang masuk ke daratan Pangandaran
berkisar antara 100 – 200 m dari garis pantai. Jarak limpasan maksimum
gelombang tsunami ke daratan mencapai 200 m, dimana berada di Desa
84
Cikembulan. Hal ini berkolerasi dengan energi gelombang tsunami yang
dibangkitkan pada skenario ini lebih kecil (7,7 SM). Keadaan ini menyebabkan
penetrasi gelombang tsunami tidak cukup kuat untuk masuk lebih jauh ke daratan.
Peta area limpasan tsunami untuk kasus skenario ke-1 disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28. Limpasan gelombang tsunami di berbagai lokasi pesisir Pangandaran
pada skenario ke-1
Berdasarkan model yang dibangun pada skenario ke-1 total luas area yang
tergenang tsunami untuk Kecamatan Pangandaran mencapai 225,60 Ha sedangkan
untuk Kecamatan Sidamulih mencapai 105,68 Ha. Desa yang paling luas terkena
limpasan gelombang tsunami adalah Desa Pangandaran. Luas area limpasan di
Desa Pangandaran adalah 115,34 Ha. Limpasan tsunami yang menggenangi Desa
Pangandaran mencapai 16,78% dari luas total daratannya. Hal ini dikarenakan
kondisi daratan dan kemiringan daratannya sangat rendah sehingga dengan
demikian penetrasi gelombang tsunami lebih mudah masuk sampai ke daratan.
Desa Wonoharjo merupakan desa yang memperoleh limpasan paling rendah yaitu
85
hanya 5,43% dari keseluruhan daratannya. Luas area limpasan gelombang tsunami
untuk setiap desa di wilayah penelitian selengkapnya disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Luas area limpasan tsunami di setiap desa pada skenario ke-1
Luas
Luas
Persentase
daratan
limpasan
limpasan
No
Kecamatan
Desa
(Ha)
(Ha)
(%)
1 Pangandaran
Babakan
638,58
56,64
8,87
2 Pangandaran
Pananjung
360,47
21,08
5,85
3 Pangandaran
Pangandaran
687,22
115,34
16,78
4 Pangandaran
Wonoharjo
599,54
32,54
5,43
5 Sidamulih
Sukaresik
844,51
68,73
8,14
6 Sidamulih
Cikembulan
495,03
36,95
7,46
Pada kejadian tsunami Pangandaran 2006, wilayah yang paling luas
terkena limpasan tsunami adalah Desa Cikembulan dan Desa Pangandaran
(Kongko et al., 2006). Hasil model yang telah dibangun memperlihatkan hal yang
serupa dengan kejadian sebenarnya. Keadaan yang berbeda terlihat pada jarak
limpasan tsunami ke daratan. Menurut hasil pengukuran lapang diketaui bahwa
jarak limpasan tsunami ke daratan mencapai 300 – 500 m (Kongko et al., 2006).
Hasil model pada umumnya menghasilkan jarak limpasan yang lebih kecil dari
kejadian yang sebenarnya. Pebedaan tersebut disebabkan karena tsunami
Pangandaran termasuk kedalam jenis Tsunami Earthquake atau beberapa ilmuwan
menyebutnya Slow Earthquake. Gempa tersebut hampir tidak terasa getarannya,
tetapi tsunami yang dihasilkan jauh lebih besar seperti dibangkitkan oleh gempa
yang lebih besar dari kekuatan gempa yang terukur saat itu (Ginanjar, 2010).
Berdasarkan wawancara penulis dengan penduduk, mulai dari kawasan
Cikembulan sampai Pananjung banyak penduduk yang sama sekali tidak
merasakan getaran gempa sebelum terjadinya tsunami di Pangandaran tahun 2006
lalu, sehingga banyak yang tidak menyangka akan terjadi tsunami. Menurut
86
Ginanjar (2010), Tsunami Earthquake atau Slow Earthquake memiliki
karakteristik getaran gempa yang lambat (slow shaking) yang dapat menimbulkan
tsunami. Sifat slow shaking ini memberikan respon terhadap dinamika air yang
lebih besar daripada getaran yang cepat (fast shaking). Respon besar inilah yang
dapat membangkitkan gelombang tsunami. Getaran yang lambat ini salah satunya
dapat disebabkan oleh tebalnya sedimen di sekitar pusat gempa di laut yang
memberikan efek lubrikasi ketika gempa terjadi.
Selain hal yang disebutkan di atas, perbedaan jarak limpasan tsunami
diakibatkan pula oleh adanya arrival time yang dihasilkan model hanya
didasarkan atas waktu pacu model selama 3 jam. Hal ini disebabkan tidak adanya
data historis tsunami yang mencatat tsunami run-down (surutnya kembali
gelombang tsunami) ketika kejadian tsunami di Pangandaran.
Pada dasarnya model tsunami Tohoku University yang digunakan pada
penelitian ini memiliki akurasi yang baik. Hal ini telah dibuktikan dengan
pengukuran data tide gauge oleh peneliti BMG yang kemudian dibandingkan
dengan hasil model. Hasil penelitian tersebut menghasilkan akurasi yang
mencapai +1 (100%) (Gunawan, 2007). Salah satu kelemahan model tsunami ini
adalah belum mampu memperhitungkan model tsunami dengan tipe Tsunami
Earthquake.
Gempa berkekuatan lebih besar (8,5 SM) yang diterapkan pada skenario
ke-2 menghasilkan jarak limpasan tsunami yang lebih luas dibandingkan gempa
berkekuatan 7,7 SM pada posisi pusat gempa yang sama. Jarak limpasan
gelombang tsunami yang masuk ke daratan Pangandaran pada umumnya berkisar
antara 400 – 1000 m dari garis pantai. Jarak limpasan maksimum gelombang
87
tsunami mencapai daratan adalah 1550 m dari garis pantai, sedangkan jarak
limpasan minimum gelombang tsunami adalah 400 m (Gambar 29).
Daerah yang paling jauh terkena limpasan dan genangan gelombang
tsunami adalah Desa Sukaresik dan Desa Babakan. Penetrasi gelombang tsunami
terjauh di Desa Sukaresik mencapai 1000 m, sedangkan di Desa Babakan jarak
limpasan terjauh gelombang tsunami adalah 1550 m. Dampak tsunami pada
skenario ke-2 yang dibangkitkan oleh gempa berkekuatan 8,5 SM menghasilkan
area genangan yang lebih luas.
Gambar 29. Limpasan gelombang tsunami di berbagai lokasi pesisir Pangandaran
pada skenario ke-2
Total luas area yang tergenang gelombang tsunami di Kecamatan
Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih masing-masing adalah 907,34 Ha dan
452,45 Ha. Luas area genangan tsunami terbesar pada skenario ke-2 terletak di
Desa Babakan, Kecamatan Pangandaran. Gelombang tsunami di desa ini
menggenangi setengah dari total luas daratannya. Desa Babakan merupakan
daerah pesisir yang berada di bagian sebelah timur. Berdasarkan model yang
88
dibangun, ketinggian tsunami di bagian timur Pangandaran sangat tinggi,
sehingga penetrasi gelombang tsunami cukup kuat untuk masuk lebih jauh ke
daratan.
Desa Sukaresik dan Cikembulan yang berada di bagian barat Pangandaran
mengalami hal serupa. Ketinggian tsunami di lokasi ini maksimum sehingga luas
area genangan di kedua desa ini juga sangat besar. Daratan Desa Cikembulan
tergenang gelombang tsunami dengan persentase 34,84% dari total luas
daratannya. Keadaan ini menyebabkan Desa Cikembulan menjadi daerah yang
paling luas terkena limpasan gelombang tsunami untuk Kecamatan Sidamulih.
Informasi selengkapnya mengenai luas limpasan tsunami pada skenario ke-2
disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Luas area limpasan tsunami di setiap desa pada skenario ke-2
Luas
Luas
Persentase
No
Kecamatan
Desa
daratan
limpasan
limpasan
(Ha)
(Ha)
(%)
1 Pangandaran
Babakan
638,58
363,15
56,87
2 Pangandaran
Pananjung
360,47
108,20
30,02
3 Pangandaran
Pangandaran
687,22
323,75
47,11
4 Pangandaran
Wonoharjo
599,54
112,24
18,72
5 Sidamulih
Sukaresik
844,51
279,97
33,15
6 Sidamulih
Cikembulan
495,03
172,48
34,84
Penjalaran gelombang tsunami akibat gempa yang dibangun pada skenario
ke-3 menjalar ke daerah pesisir yang lebih luas jika dibandingkan dengan dua
skenario sebelumnya. Jarak limpasan gelombang tsunami yang masuk ke daratan
Pangandaran pada umumnya berkisar antara 450 – 1000 m dari garis pantai. Jarak
limpasan maksimum gelombang tsunami mencapai daratan adalah 1800 m dimana
terjadi di Desa Babakan.
89
Daratan di Desa Pangandaran hampir seluruhnya terkena genangan akibat
limpasan gelombang tsunami. Hal ini di sebebabkan karena topografi daratannya
yang datar dan landai. Selain itu juga disebakan oleh adanya hempasan
gelombang dari dua arah yang berbeda, yakni gelombang tsunami yang datang
dari bagian barat dan timur. Kawasan selatan Pangandaran yang berhadapan
langsung dengan Samudera Hindia mengalami limpasan yang tidak begitu luas
karena faktor topografi wilayah tersebut yang berbukit. Kondisi daratan berbukit
akan meminimalisir jangkauan tsunami ke daratan. Peta area limpasan tsunami
untuk kasus skenario ke-3 disajikan pada Gambar 30.
Gambar 30. Limpasan gelombang tsunami di berbagai lokasi pesisir Pangandaran
pada skenario ke-3
Daerah yang paling luas terlanda gelombang tsunami untuk kasus pada
skenario ke-3 masih sama seperti skenario-skenario sebelumnya yaitu Desa
Babakan. Pada kasus skenario ke-3 yang dibangun oleh pusat gempa yang paling
dekat dengan pantai mengakibatkan luas daerah genangan tsunami di Desa
Babakan bertambah sebesar 95,14 Ha sehingga total luas genangannya menjadi
90
458,9 Ha. Keadaan yang serupa terjadi di desa-desa yang lainnya, seluruhnya
mengalami peningkatan luas area genangan. Hal tersebut menggambarkan bahwa
faktor jarak sumber gempa terhadap daratan sangat mempengaruhi besarnya
tsunami yang dihasilkan. Informasi luasan limpasan gelombang tsunami untuk
skenario ke-3 dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Luas area limpasan tsunami di setiap desa pada skenario ke-3
Luas
Luas
Persentase
No
Kecamatan
Desa
daratan
limpasan
limpasan
(Ha)
(Ha)
(%)
1 Pangandaran
Babakan
638,58
458,29
71,77
2 Pangandaran
Pananjung
360,47
139,13
38,60
3 Pangandaran
Pangandaran
687,22
343,88
50,04
4 Pangandaran
Wonoharjo
599,54
158,56
26,45
5 Sidamulih
Sukaresik
844,51
327,65
38,80
6 Sidamulih
Cikembulan
495,03
215,65
43,56
Penjalaran gelombang tsunami akibat gempa berkekuatan 8,9 SM mampu
menggenangi kawasan pesisir Pangandaran sampai beratus-ratus meter jauhnya
dari garis pantai. Keadaan ini mengindikasikan bahwa gelombang tsunami yang
yang dibangkitkan oleh kekuatan lebih besar akan lebih jauh menjalar sampai
daratan pesisir yang lebih luas. Jarak limpasan gelombang tsunami terjauh pada
skenario ke-4 adalah 2550 m.
Daerah yang terlanda dengan jarak jangkauan tsunami tersebut adalah
Desa Cikembulan dan Desa Babakan. Pada umumnya jarak limpasan gelombang
tsunami ke daratan mencapai 1500 m di sepanjang wilayah yang dimodelkan.
Beberapa daerah seperti Desa Pangandaran, Pananjung dan Babakan merupakan
desa-desa yang hampir seluruh daratannya tergenang gelombang tsunami. Peta
area genangan tsunami untuk kasus skenario ke-4 disajikan pada Gambar 31.
91
Gambar 31. Limpasan gelombang tsunami di berbagai lokasi pesisir Pangandaran
pada skenario ke-4
Total luas area genangan tsunami untuk Kecamatan Pangandaran dan
Kecamatan Sidamulih pada skenario ini masing-masing seluas 1.690,04 Ha dan
883,48 Ha (Tabel 14). Jangkauan limpasan tsunami yang dibangkitkan gempa
berkekuatan 8,9 SM ini meluas hingga ke beberapa desa. Beberapa desa yang
sebelumnya tidak terkena limpasan tsunami seperti Desa Pejanten, Desa
Purbahayu dan Desa Sukahurip pada skenario ini daerah-daerah tersebut ikut
terkena dampak limpasan gelombang tsunami.
Desa Babakan dan Desa Pananjung merupakan daerah yang paling luas
terkena limpasan tsunami yaitu sekitar 94,56% dari total luas daratan Desa
Babakan dan 96,17% dari total luas daratan Desa Pananjung. Kedua Desa ini
hampir seluruh daratannya tergenang gelombang tsunami. Hal yang serupa
dialami pada Desa Pangandaran, daratan yang menghubungkan daratan pulau
jawa dengan tanjung Pangandaran (tanah genting) seluruhnya tergenang
gelombang tsunami.
92
Pada umumnya desa-desa yang langsung berbatasan dengan laut hampir
seluruhnya terkena limpasan gelombang tsunami yang paling tinggi. Desa-desa
yang tidak berbatasan secara langsung dengan laut seperti Desa Pejanten, Desa
Purbahayu dan Desa Sukahurip terkena limpasan dalam skala kecil. Informasi
selengkapanya disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Luas area limpasan tsunami di setiap desa pada skenario ke-4
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kecamatan
Pangandaran
Pangandaran
Pangandaran
Pangandaran
Pangandaran
Pangandaran
Sidamulih
Sidamulih
Sidamulih
Desa
Babakan
Pananjung
Pangandaran
Purbahayu
Sukahurip
Wonoharjo
Cikembulan
Pejanten
Sukaresik
Luas
daratan
(Ha)
638,58
360,47
687,22
1.012,32
1.433,05
599,54
495,03
606,73
1.433,05
Luas
Persentase
limpasan
limpasan
(Ha)
(%)
603,82
94,56
346,66
96,17
375,20
54,60
4,77
0,47
11,25
0,79
348,34
58,10
396,80
80,16
52,70
8,69
433,98
30,29
Setiap wilayah memiliki jarak jangkauan dan luas genangan gelombang
tsunami yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik
lingkungan di masing-masing wilayah tersebut serta besarnya kekuatan gempa
yang menjadi sumber tsunami. Jika kerentanan lingkunganya tinggi, maka akan
mudah untuk terpapar tsunami sehingga risikonya akan lebih besar. Desa-desa
yang berada di sepanjang pantai dan pesisir Kecamatan Pangandaran serta
Kecamatan Sidamulih pada umumnya didominasi oleh topografi dan kemiringan
daratan yang rendah dan landai, dengan keadaan morfologi seperti itu maka jelas
daerah-daerah tersebut terkena dampak yang paling parah dibandingkan daerahdaerah yang lainnya.
93
4.3.5
Ketinggian rendaman tsunami (Flowdepth)
Klasifikasi kelas ketinggian rendaman gelombang tsunami (flowdepth)
dibangun untuk melihat tingkat bahayanya. Pada kasus skenario ke-1 ketinggian
rendaman tsunami berkisar antara 0,5 – 2,7 m. Ketinggian rendaman tsunami
cenderung lebih besar di daerah yang berbatasan langsung dengan laut. Keadaan
ini dikarenakan daerah tersebut mengalami dampak gelombang tsunami secara
langsung. Berdasarkan hasil klasifikasi tingkat kerawanan terhadap ketinggian
rendaman tsunami diketahui bahwa ketinggian rendaman tsunami pada skenario
ke-1 menghasilkan tingkat kerawanan tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.
Peta kelas ketinggian rendaman gelombang tsunami yang dibangkitkan oleh
gempa berkekuatan 7,7 SM disajikan pada Gambar 32.
Gambar 32. Kelas ketinggian rendaman gelombang tsunami (flowdepth) di
berbagai lokasi pesisir Pangandaran pada skenario ke-1
Daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi berada di sepanjang pantai
Kecamatan Sidamuli dan Kecamatan Pangandaran. Pada umumnya sebagian besar
94
tinggi rendaman tsunami yang dibangkitkan oleh gempa berkekuatan 7,7 SM
tergolong sangat rendah, dimana ketinggian rendamanya rata-rata lebih kecil dari
0,5 m. Hal ini dapat diketahui dari luasan rendaman tsunami dengan kelas
ketinggian rendaman 0 – 0,5 m memiliki luas area yang paling besar (Tabel 16).
Keadaan ini menandakan bahwa tsunami yang diakibatkan gempa
berkekuatan 7,7 SM tidak begitu membahayakan, dengan kata lain tingkat
kerawanan pantai sangat rendah sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap
kerusakan di wilayah pesisir Pangandaran. Secara lengkap mengenai luasan kelas
ketinggian rendaman tsunami untuk setiap desa di Kecamatan Pangandaran dan
Kecamatan Sidamulih disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Luasan kelas ketinggian rendaman tsunami di setiap desa pada skenario
ke-1
Luas area kelas ketinggian rendaman tsunami (Ha)
Nama Desa
0 – 0,5 m 0,5 – 1,5 m 1,5 – 2,5 m 2,5 – 2,7 m
> 2,7 m
Babakan
38,62
18,02
0
0
0
Pananjung
14,97
6,11
0
0
0
Pangandaran
53,40
57,32
3,68
0,94
0
Wonoharjo
20,11
12,43
0
0
Sukaresik
41,10
27,63
0
0
0
Cikembulan
21,87
15,08
0
0
0
Total
190,07
136,59
3,68
0,94
0
Hasil model yang dibangun pada skenario ke-2 menghasilkan ketinggian
rendaman tsunami yang lebih besar dibandingkan skenario sebelumnya. Pada
kasus skenario ke-1 ketinggian rendaman tsunami berkisar antara 0,5 – 7 m.
Ketinggian rendaman tsunami cenderung maksimum pada jarak 100 m dari garis
pantai menuju daratan (Gambar 33). Ketinggian rendaman tsunami semakin
menurun seiring semakin jauh dari garis pantai menuju daratan. Keadaan ini
disebabkan keadaan topografi daratan yang semakin meningkat.
95
Pada umumnya sebagian besar tinggi rendaman tsunami untuk kasus
tsunami pada skenario ke-2 didominasi oleh kelas ketinggian redaman 2,5 – 5 m.
Luasan rendaman tsunami dengan kelas ketinggian rendaman 2,5 – 5 m mencapai
452,82 Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya ketinggian rendaman
tsunami tergolong tinggi. Keadaan ini mengakibatkan wilayah pesisir
Pangandaran memiliki tingkat kerawanan yang tinggi apabila terjadi tsunami yang
diakibatkan gempa berkekuatan 8,5 SM. Kelas kerawanan tinggi merupakan
daerah yang berisiko tinggi terhadap tsunami dan menjadi zona berbahaya untuk
dijadikan kawasan permukiman ataupun aktivitas kependudukan.
Gambar 33. Kelas ketinggian rendaman gelombang tsunami (flowdepth) di
berbagai lokasi pesisir Pangandaran pada skenario ke-2
Desa Pangandaran dan Desa Sukaresik merupakan daerah yang paling luas
digenangi tsunami dengan kelas ketinggian rendaman 2,5 – 5 m, sehingga kedua
desa ini tergolong memiliki tingkat kerawanan tinggi. Ketinggian limpasan
96
tsunami untuk daerah di Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih
dominan digenangi tsunami dengan ketinggian 2,5 – 5 m, sedangkan ketinggian
genangan tsunami > 5 m (tingkat kerawanan tsunami sangat tinggi) paling sedikit
menggenangi lokasi kajian (Tabel 17).
Tabel 17. Luasan kelas ketinggian rendaman tsunami di setiap desa pada skenario
ke-2
Luas area kelas ketinggian rendaman tsunami (Ha)
Nama Desa
0 – 0,5 m 0,5 – 1,5 m 1,5 – 2,5 m 2,5 – 5 m
>5m
Babakan
52,35
120,56
90,57
99,42
0,25
Pananjung
20,61
43,73
25,93
17,93
0
Pangandaran
13,85
51,09
69,76
138,28
50,77
Wonoharjo
19,70
27,59
34,56
30,39
0
Sukaresik
35,69
76,50
48,87
105,32
13,59
Cikembulan
25,53
40,75
44,10
61,48
0,62
Total
167,73
360,22
313,79
452,82
65,23
Hasil analisis dari model yang dibangun pada skenario ke-3
memperlihatkan ketinggian rendaman tsunami di setiap daerah mengalami
peningkatan. Pada umumnya desa-desa di Kecamatan Pangandaran dan
Kecamatan Sidamulih paling luas tergenangi gelombang tsunami dengan
ketinggian 2,5 – 5 m. Hal ini menjadikan wilayah tersebut terggolong kedalam
kelas yang memiliki kerawanan yang tinggi terhadap bencana tsunami. Pada
umumnya daerah yang digenangi tsunami dengan ketinggian paling tinggi berada
di sepanjang pantai Kecamatan Sidamulih dan Kecamatan Pangandaran. Semakin
jauh dari arah pantai ketinggian rendaman tsunami berangsur-angsur mengalami
penurunan. Kelas ketinggian rendaman gelombang tsunami untuk skenario ke-3
diperihatkan pada Gambar 34.
Desa Pangandaran merupakan daerah yang paling luas tergenang
gelombang tsunami dengan ketinggian 2,5 – 5 m. Luas area di daerah tersebut
yang digenangi dengan ketinggian 2,5 – 5 m mencapai 156,56 Ha. Selain itu Desa
97
Pangandaran digenangi tsunami dengan ketinggian lebih besar dari 5 m, dimana
luasnya mencapai 118,39 Ha. Keadaan ini menjadikan Desa Pangandaran
memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi mengingat daerah tersebut
memiliki populasi yang tinggi.
Gambar 34. Kelas ketinggian rendaman gelombang tsunami (flowdepth) di
berbagai lokasi pesisir Pangandaran pada skenario ke-3
Hasil analisis terhadap ketinggian genangan tsunami memperlihatkan kelas
yang memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi memiliki cakupan yang lebih luas.
Tempat kedua yang memiliki cakupan paling luas adalah tingkat kerawanan
sedang, disusul tingkat kerawanan rendah dan terakhir adalah tingkat kerawanan
sangat tinggi dan sangat rendah. Tsunami yang diakibat gempa berkekuatan 8,5
SM dan memiliki episentrum paling dekat dengan daratan mengakibatkan wilayah
di Kecamatan Sidamulih dan Kecamatan Pangandaran tergolong kedalam kelas
dengan tingkat kerawanan yang tinggi. Informasi mengenai luasan kelas
98
ketinggian rendaman tsunami untuk setiap desa di Kecamatan Pangandaran dan
Kecamatan Sidamulih secara lengkap disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Luasan kelas ketinggian rendaman tsunami di setiap desa pada skenario
ke-3
Luas area kelas ketinggian rendaman tsunami (Ha)
Nama Desa
0 – 0,5 m 0,5 – 1,5 m 1,5 – 2,5 m 2,5 – 5 m
>5m
Babakan
60,57
99,26
133,85
147,06
17,55
Pananjung
17,02
40,04
40,05
42,02
0
Pangandaran
8,79
21,67
38,47
156,56
118,39
Wonoharjo
23,02
47,05
31,08
55,92
1,49
Sukaresik
32,13
69,02
71,76
109,39
45,35
Cikembulan
25,92
53,46
44,33
81,77
10,17
Total
167,45
330,50
359,72
592,72
192,95
Prediksi tsunami yang dibangkitkkan oleh gempa yang berkekuatan 8,9
SM menunjukan tingkat kerawanan yang jauh lebih besar. Dapat dilihat bahwa
daerah berwarna merah yang menunjukan daerak dengan tingkat kerawanan
sangat tinggi meluas dari skenario-skenario sebelumnya. Semakin tinggi dan luas
rendaman tsunami di daratan, maka tingkat kerentanan terhadap bahaya tsunami
semakin besar. Semakin besar tingkat kerentanan, maka semakin besar risikonya
dan sebaliknya. Terjadinya bencana tsunami akibat gempa tersebut menjadikan
kawasan di Kecamatan Sidamulih dan Kecamatan Pangandaran memiliki tingkat
kerawanan yang sangat tinggi.
Luas limpasan tsunami tertinggi yang dibangun pada skenario ke-4 berada
pada kelas ketinggian rendaman tsunami lebih besar dari 5 m. Tempat kedua
berada pada kelas ketinggian rendaman tsunami 2,5 – 5 m, sedangkan luas
limpasan tsunami paling rendah berada pada kelas ketinggian redaman tsunami
kurang dari 0,5 m. Besarnya kekuatan gempa yang menjadi sumber tsunami
mempengaruhi ketinggian rendaman tsunami di daratan. Kelas ketinggian
rendaman tsunami di wilayah kajian untuk skenario ini disajikan pada Gambar 35.
99
Gambar 35. Kelas ketinggian rendaman gelombang tsunami (flowdepth) di
berbagai lokasi pesisir Pangandaran pada skenario ke-4
Mengacu pada Tabel 18 diketahui bahwa daerah di Kecamatan Sidamulih
dan Kecamatan Pangandaran secara umum memiliki tingkat kerawanan yang
sangat tinggi apabila terjadi tsunami yang diakibatkan gempa berkekuatan 8,9
SM. Desa yang tergolong memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi terbesar
berada di Desa Pangandaran, Desa Babakan, Desa Cikembulan dan Desa
Sukaresik. Pada umumnya daerah yang memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi
berada pada jarak 500 m dari arah pantai sedangkan daerah yang memiliki tingkat
kerawanan tinggi berada pada jarak 100 m dari arah pantai. Secara keseluruhan,
tsunami yang dibangkitkan oleh gempa berkekuatan 8,9 SM akan mengakibatkan
kerawanan yang sangat tinggi untuk daerah-daerah yang berada di sekitar pantai
dan pesisir Kecamatan Sidamulih dan Kecamatan Pangandaran. Luas kelas
ketinggian rendaman tsunami di setiap desa pada skenario ke-4 ini secara lengkap
disajikan pada Tabel 19.
100
Tabel 19. Luasan kelas ketinggian rendaman tsunami di setiap desa pada skenario
ke-4
Nama Desa
Babakan
Pananjung
Pangandaran
Purbahayu
Sukahurip
Wonoharjo
Cikembulan
Pejanten
Sukaresik
Total
4.4.
Luas area kelas ketinggian rendaman tsunami (Ha)
0 – 0,5 m 0,5 – 1,5 m 1,5 – 2,5 m 2,5 – 5 m
>5m
8,68
30,35
56,30
229,00
279,49
15,82
52,97
73,43
126,88
77,56
6,93
9,72
8,89
39,84
309,82
1,66
2,78
0,33
0
0
4,04
7,01
0,20
0
0
45,36
58,98
62,81
120,66
60,53
14,43
30,67
54,27
170,90
126,53
25,55
26,03
1,12
0
0
22,75
60,15
73,60
145,05
132,43
145,22
278,66
330,95
832,33
986,36
Integrasi (Overlay) Morfologi Pantai dengan Model Tsunami
Topografi yang relatif rendah merupakan wilayah dengan kelas kerentanan
yang sangat tinggi. Hal ini akan lebih berpotensi untuk digenangi tsunami dalam
skala luas di bandingkan daerah yang memiliki topografi lebih tinggi. Rendahnya
topografi daratan mempengaruhi seberapa luas masuknya tsunami ke daratan.
Keadaan ini telah terbukti, dimana berdasarkan hasil pemodelan diketahui
daerah limpasan tsunami paling luas berada di daerah yang bertopografi rendah.
Hasil overlay elevasi daratan (topografi) dengan model limpasan tsunami
menunjukan bahwa pengaruh topografi terhadap luasan limpasan tsunami dapat
dilihat pada Tabel 20.
Berdasarkan Tabel 20, diketahui model yang dibangun baik pada skenario
ke-1 sampai skenario ke-4 menunjukan kelas ketinggian daratan kurang dari 10 m
adalah kelas yang paling banyak terkena limpasan gelombang tsunami. Topografi
rendah memberikan limpasan tsunami dengan mudah sehingga mencapai ratusan
meter. Hal ini menunjukan bahwa daerah yang memiliki topografi yang relatif
rendah lebih berpotensi untuk digenangi tsunami lebih luas dibandingkan daerah
101
yang memiliki topografi lebih tinggi. Kelas elevasi daratan lebih besar dari 50 m
sama sekali tidak terkena limpasan gelombang tsunami. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa daerah yang memiliki elevasi daratan lebih besar dari 50
m merupakan kawasan yang aman dari terjangan gelombang tsunami.
Tabel 20. Luas area limpasan tsunami pada kelas elevasi daratan (topografi)
Luas area limpasan tsunami (Ha)
Kelas elevasi
(m)
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
< 10
331,28
1.329,64
1.580,00
2.488,83
10 – 25
0
30,15
61,66
82,57
25 – 50
0
0
1,50
2,12
50 – 100
0
0
0
0
> 100
0
0
0
0
Total
331,28
1.359,79
1.643,16
2.573,52
Hasil overlay antara kemiringan daratan dengan model limpasan tsunami
menghasilkan informasi bahwa limpasan tsunami terluas berada pada kelas
kemiringan daratan kurang dari 2%. Luas limpasan tsunami terluas kedua berada
pada kelas kemiringan daratan 2 – 10 % (Tabel 21). Hal tersebut membuktikan
bahwa limpasan gelombang tsunami akan lebih luas merendam daratan pada
daerah dengan kemiringan landai atau datar. Daerah tersebut akan berpotensi
mengalami genangan gelombang tsunami lebih jauh ke arah darat. Pada pantai
yang terjal atau curam, tsunami tidak akan terlalu jauh mencapai daratan karena
tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai (Oktariadi, 2009b).
Tabel 21. Luas area limpasan tsunami pada kelas kemiringan daratan (slope)
Luas area limpasan tsunami (Ha)
Kelas slope
(%)
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
<2
331,28
1.339,69
1603,16
2497,99
2 – 10
0
20,10
40,00
75,53
10 – 15
0
0
0
0
15 – 40
0
0
0
0
> 40
0
0
0
0
Total
331,28
1.359,79
1.643,16
2.573,52
102
Tabel 22 menyajikan luasan limpasan gelombang tsunami pada kelas jarak
dari pantai. Berdasarkan tabel tersebut diketahui daerah yang berada dalam jarak
500 meter merupakan daerah yang paling luas terkena limpasan gelombang
tsunami. Daerah yang semakin dekat dengan pantai merupakan daerah yang
paling rentan dan begitu pula sebaliknya. Daerah yang terdekat dengan pantai
akan mendapatkan dampak secara langsung dari gelombang tsunami. Hasil
pemodelan yang dibangun dengan skenario paling ekstrim menghasilkan jarak
limpasan tsunami di Pangandaran sejauh ± 3000 m. Hal ini mengindikasikan
bahwa daerah yang berda dalam jarak kurang dari 3000 m dari garis pantai
merupakan daerah yang masih mendapat pengaruh dari limpasan gelombang
tsunami. Daerah yang aman merupakan daerah yang terletak dalam jarak lebih
dari 3000 m dari garis pantai.
Tabel 22. Luas area limpasan tsunami pada kelas jarak dari garis pantai
Kelas jarak
Luas area limpasan tsunami (Ha)
dari pantai
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
(m)
500
390,24
1.044,34
1.018,55
1.520,09
500 – 1000
0
227,37
450,26
550,26
1000 – 1500
0
53,34
166,46
168,45
1500 – 3000
0
1,08
7,89
334,72
> 3000
0
0
0
0
Total
331,28
1.359,79
1.643,16
2.573,52
Dampak yang ditimbulkan oleh bencana tsunami terhadap masing-masih
penggunaan lahan tidak sama. Hal ini karena masing-masing jenis penggunaan
lahan memiliki tingkat reduksi tertentu saat terkena gelombang tsunami. Tabel 23
menunjukan hubungan kelas penggunaan lahan yang terkena limpasan tsunami
dengan kelas luasan genangan tsunami. Kelas permukiman menjadi kelas pertama
dalam penentuan area rawan tsunami. Hal ini disebabkan karena area permukiman
103
merupakan lahan yang paling penting dan akan menjadi rawan tsunami apabila
area tersebut terkena tsunami.
Tabel 23. Luas area limpasan tsunami pada kelas penggunaan lahan
Jenis penggunaan
lahan
Danau
Empang/Tambak
Ladang/Teggalan
Lahan kosong
Perkebunan
Permukiman
Sawah
Semak belukar
Vegetasi darat
Total
Luas area limpasan tsunami (Ha)
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
0
0
0
2,78
0
15,57
30,17
85,73
0
10,80
12,14
23,48
50,89
103,06
142,84
212,31
16,80
212,51
259,09
344,12
85,60
376,55
466,98
713,23
0
51,2
101,85
230,77
110,20
286,62
315,54
350,92
62,93
298,40
303,69
605,32
331,28
1.359,79
1.643,16
2.573,52
Kelas penggunaan lahan yang paling luas terkena gelombang tsunami
adalah kelas permukiman. Luas genangan tsunami terhadap permukiman untuk
kasus skenario ke-1 sampai skenario ke-4 berturut-turut luasnya adalah 85,60 Ha,
376,55 Ha, 466,98 Ha dan 713,23 Ha. Keadaan ini mengindikasikan bahwa
permukiman yang berada di wilayah Pangandaran sangat rawan dan rentan
terkena hempasan gelombang tsunami.
Jenis penggunaan lahan yang sangat vital terkena limpasan gelombang
tsunami selain permukiman adalah empang/tambak dan sawah. Hal ini mengingat
kedua jenis penggunaan lahan tersebut memiliki nilai ekonomis yang sangat
tinggi. Pada dasarnya empang/tambak dan sawah merupakan bagian dari aset dan
aktivitas penduduk di wilayah Pangandaran dalam menunjang kehidupan
penduduk sekitar sehingga apabila kedua jenis penggunaan lahan ini terkena
tsunami akan sangat merugikan. Kebun atau perkebunan di wilayah Pangandaran
juga tak lepas dari limpasan gelombang tsunami. Hal ini menunjukan bahwa
104
perkebunan di wilayah pangandaran berada di area yang memiliki topografi yang
rendah. Pada umumnya perkebunan di wilayah Pangandaran di dominasi oleh
perkebunan kelapa.
4.5.
Indeks Kerentanan Pantai Akibat Bencana Tsunami
Klasifikasi tingkat kerentanan pantai terhadap bencana tsunami membagi
daerah menjadi lima kelas berdasakan tingkat kerentanan pantainya. Klasifikasi
tersebut terdiri dari kelas kerentanan sangat rendah, kelas kerentanan rendah,
kelas kerentanan sedang, kelas kerentanan tinggi dan kelas kerentanan sangat
tinggi. Kelas kerentanan sangat rendah dan kelas kerentanan rendah dominan
berada di bagian utara Pangandaran. Kedua kelas ini juga ditemukan berada di
bagian selatan Pangandaran tepatnya di bagian Tanjung Pangandaran (Cagar
Alam). Kelas kerentanan sedang dominan berada di bagian tengah wilayah
penelitian. Zona ini berada pada jarak 3000 m dari garis pantai. Kelas kerentanan
tinggi dan kelas kerentanan sangat tinggi umumnya berada di wilayah selatan
Pangandaran. Zona ini berbatasan langsung dengan laut dimana jarak daratan
sangat dekat dengan laut. Hal tersebut berdampak pada pengaruh langsung
terhadap gelombang tsunami.
Gradasi warna merah menunjukan daerah-daerah yang memiliki tingkat
kerentanan tinggi dan sangat tinggi, sedangkan gradasi warna jingga menjelaskan
zona kerentanan sedang, rendah dan sangat rendah. Zona kerentanan sangat tinggi
merupakan daerah yang berpotensi paling besar dalam hal kerusakan atau
kehancuran aset yang ditimbulkan apabila terlanda tsunami serta memiliki
ancaman teradap risiko keselamatan penduduk yang lebih parah. Karakteristik
105
pantai dan pesisir di zona ini di tandai oleh dataran rendah yang landai dengan
jarak dari pantai yang sangat dekat, berbatasan dengan sungai-sungai besar yang
dekat dengan muaranya, selain itu ditambah dengan bentuk penggunaan lahan
berupa permukiman dengan penduduk yang cukup padat. Sebaran spasial
klasifikasi tingkat kerentanan wilayah Pangandaran diperlihatkan pada Gambar
36.
Gambar 36. Sebaran spasial tingkat kerentanan pantai terhadap bencana tsunami
di Pangandaran
Zona kerentanan tinggi dan sangat tinggi umumnya berbatasan langsung
dengan laut. Kedua kelas tersebut tergolong zona berbahaya terhadap limpasan
gelombang tsunami. Zona kerentanan tinggi dan sangat tinggi pada umumnya
berada pada jarak 1000 m dari garis pantai kecuali di bagian Tanjung
Pangandaran. Wilayah Tanjung Pangandaran berbatasan secara langsung dengan
laut dan berada dalam raidius 1000 m dari garis pantai, akan tetapi tingkat
kerentanan di wilayah tersebut di dominasi oleh kelas kerentanan sangat rendah
106
dan kelas kerentanan rendah. Keadaan ini disebabkan morfologi wilayahnya yang
betopogafi tinggi dengan slope yang besar dan tipe penggunaan lahan berupa
vegetasi darat (hutan).
Zona kerentanan sangat rendah merupakan daerah daerah paling aman atau
sangat tahan terhadap bencana tsunami. Zona kerentanan sangat rendah ditandai
oleh dataran tinggi atau berbukit dimana memiliki jarak yang paling jauh dari
garis pantai serta tipe penggunaan lahan tidak banyak melibatkan manusia seperti
lahan kosong, semak belukar dan vegetasi darat/hutan berada pada daerah yang
aman.
Desa Babakan, Desa Pangandaran dan Desa Cikembulan merupakan
wilayah yang di dominasi oleh kelas kerentanan sangat tinggi. Wilayah-wilayah
tersebut digolongkan sebagai wilayah yang paling berbahaya terhadap limpasan
gelombang tsunami. Bentuk morfologi daerah pantai dan pesisirnya memberikan
pengaruh yang tinggi terhadap risiko bencana sunami. Hal ini akan berdampak
pada tingkat kerusakan yang lebih tinggi di wilayah-wilayah tersebut (Zona
Bahaya Tsunami I). Desa Sukaresik dan Desa Pananjung di dominasi oleh tingkat
kerentanan tinggi. Desa-desa ini menjadi daerah dengan peringkat kedua yang
memiliki risiko kerusakan tertinggi (Zona Bahaya Tsunami II). Desa Wonoharjo
di dominasi oleh tingkat kerentanan sedang sehingga Desa Wonoharjo
digolongkan kedalam Zona Bahaya Tsunami III. Wilayah yang letaknya tidak
berbatasan langsung dengan laut cenderung memiliki kerentanan yang rendah dan
sangat rendah. Desa-desa yang tergolong dalam kelas tersebut antara lain Desa
Cikalong, Sidamulih, Pejanten, Sidomulyo, Purbahayu, Sukahurip. Daerah ini
berada dalam jangkauan lebih dari 3000 m dari garis pantai, sehingga penetrasi
107
gelombang tsunami tidak cukup kuat untuk masuk kedaratan sejauh itu (Gambar
36). Topografi di daerah tersebut juga memberikan pengaruh teradap penjalaran
gelombang tsunami, topografi di daerah ini cenderung lebih tinggi. Hal ini sesuai
dengan teori yang mengatakan bahwa terjal dan landainya morfologi pantai akan
mempengaruhi jangkauan tsunami yang menghempasnya. Luas masing-masing
kelas kerentanan di setiap wilayah disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Luas tingkat kerentanan pantai terhadap bencana tsunami di setiap desa
Luas area tingkat kerentanan (Ha)
Nama Desa
Sangat
Sangat
Tinggi
Sedang
Rendah
tinggi
rendah
Babakan
335,55
284,39
45,38
12,93
0
Cikalong
0
0
59,65
276,18
4,05
Cikembulan
227,22
135,67
104,34
155,59
0
Pananjung
106,13
203,36
50,92
10,61
0
Pangandaran
203,11
133,19
36,23
166,58
299,31
Pejanten
0
7,60
134,64
484,45
3,57
Purbahayu
0
0,33
60,10
296,03
200,76
Sidamulih
0
0
0
0,53
10,40
Sidomulyo
0
0
81,84
246,51
13,34
Sukahurip
0
2,60
14,25
190,22
201,70
Sukaresik
174,62
243,00
178,09
226,68
0
Wonoharjo
114,72
183,42
252,05
58,92
0
Total
1.161,35 1.193,56 1.017,49 2.125,23
733,15
Secara keluruhan, Desa Pangandaran yang terletak di bagian daratan yang
menghubungkan daratan pulau jawa dengan tanjung Pangandaran (tanah genting)
di tempatkan sebagai zona yang paling berbahaya karena merupakan daerah
dengan permukiman terpadat. Sebaran dan kepadatan permukiman menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi risiko bencana tsunami yang akan terjadi.
Permukiman penduduk menggambarkan tingkat kepadatan penduduk dan sebaran
tempat hunian yang akan mempengaruhi tingkat keugian jiwa maupun harta
benda.
Download