Khotbah Minggu (18 Agustus 2013) Ringkasan Khotbah GRII Kelapa Gading Pengkhotbah : Pdt. Billy Kristanto, Th.D Tema : …....….…..……………...…......... Nas Alkitab : ............................................................................................................. 688/727 Tahun ke-14 Hati-Hati terhadap Ragi Kemunafikan Pdt. Billy Kristanto, Th.D. Lukas 12:1-12 Dalam bagian yang sudah kita baca ini Yesus menekankan tentang ragi kemunafikan, istilah ragi dalam alkitab memang tidak selalu dipakai negatif, itu bisa dipakai negatif bisa juga positif. Kita membaca bagaimana Yesus juga memakai istilah ragi ini untuk menggambarkan realita Kerajaan Allah, ragi mengkhamirkan semuanya, tetapi di dalam bagian ini dipakai secara negatif. Coba kita perhatikan natur atau sifatnya itu sama, ini semacam imitasi dari dosa terhadap pekerjaan Roh Kudus dan firman. Ragi itu begitu masuk akan mengkhamirkan semuanya, baik itu benih yang kudus ataupun imitasinya yaitu dosa. Gambaran di sini, waktu kita melihat sesuatu yang buruk itu masuk, itu akan mempengaruhi semuanya, tidak bisa dilokalisasi, mungkin gambaran sederhana yang juga dijelaskan oleh Paulus sendiri, gambaran penjelasan secara biologis. Kita juga tidak bisa melokalisasi rasa sakit bukan, tidak bisa kan? Kalau kita sakit gigi, persoalannya bukan hanya pada gigi saja, seluruh tubuh akan menanggung rasa sakit itu kan? Karena ada kaitan organik satu dengan yang lain. Demikian waktu kita melihat ragi, ragi itu tidak bisa dilokalisasi, kalau ragi sudah mulai tercampur dalam adonan, kita tidak bisa membalikkan lagi, karena sudah tecampur kemana-mana. Demikian juga waktu kita melihat ragi kemunafikan, selain kemunafikannya sendiri juga bahaya, tetapi juga penyebarannya. Orang tidak sadar kalau itu sudah tersebar, seperti dalam perikop sebelumnya, diumpamakan seperti kubur yang tidak ada tandanya, orang yang berjalan diatasnya tidak mengetahui dan menajiskan dirinya tanpa dia tahu. Ragi setelah tersebar akan sulit untuk ditarik kembali, ini seperti satu bakteri yang berkembang biak begitu cepat di dalam kehidupan manusia, conciously, unconciously ini ditularkan oleh orang-orang yang dengan sengaja melakukan GRII KG 688/727 (hal 4) 18 Agustus 2013 kemunafikan, seperti yang dicatat dalam bagian ini adalah orang-oranf Farisi. Di dalam alkitab banyak sekali yang membicarakan aspek komunal, bukan hanya aspek individual, termasuk dalam bagian ini. Karena itu waktu kita membaca seperti di dalam Mazmur 1, penting sekali waktu dikatakan, jangan duduk bersama dengan orang fasik, bukan berarti orang kristen lalu diminta untuk tidak berurusan sama sekali dengan orang berdosa, tidak mungkin, karena kita sendiri juga orang berdosa. Tetapi apa yang dimaksudkan dalam Mazmur 1 yaitu bahwa ragi itu kalau sudah menyebar, kita tidak bisa lagi menahan, orang yang tidak berniat seperti itu pun akan tertular menjadi satu lifestyle, jadi satu system yang kita seperti tidak diberikan pilihan lagi. Saya percaya di Indonesia kita juga menghadapi model seperti ini bukan? System, betapa sulitnya orang hidup tidak mengikuti system yang sudah salah ini, kalau orang mau keluar dari system yang keliru itu, sangat tidak mudah, pengorbanannya besar dan bahayanya juga besar. Dalam bagian ini Yesus dengan berani menegur, ingin menyelamatkan kelompok yang besar ini, beribu-ribu orang dikatakan, supaya jangan terjangkiti atau tertular terhadap ragi kemunafikan orang Farisi (kemunafikan mereka sudah dibahas dalam pasal 11). Hari ini boleh ditambahkan satu poin yang esensial, substansial, apa sebetulnya kemunafikan itu? Yaitu satu keadaan yang tidak mencerminkan kesinambungan integritas antara yang di luar dan di dalam (luar dan dalam berbeda), itu namanya kemunafikan. Kemunafikan itu bukan berarti setiap orang harus sempurna lalu tidak pernah memiliki kelemahan lagi, karena kita tahu bahwa kita semua punya kelemahan. Kemunafikan itu bukan berarti oh… orang itu bagus di situ tapi dalam bagian lain di lemah sekali, ya mungkin kita sendiri juga seperti itu, tetapi itu tidak necessary menjadikan kita orang yang munafik. Munafik itu bukan orang yang baik disatu bagian lalu kurang di dalam bagian yang lain, bukan, saya GRII KG 688/727 (hal 1) Ekspositori Injil Lukas (16) Ekspositori Injil Lukas (16) percaya kita semua memiliki persoalan itu. Tetapi waktu kita di dalam satu keadaan tidak jujur dengan kelemahan kita sendiri, oleh karena itu kita harus jujur mengakui kelemahan kita dan bahwa kita juga bergumul dengan kelemahan itu. Kemunafikan mengajarkan yang berbeda, kita menutupi kelemahan, tidak sincere, tidak tulus di dalam hati, memainkan satu peran yang berbeda. Ada orang di dalam kehidupannya itu sangat ahli, expert, seperti di dalam pikirannya itu ada banyak channel, kalau bertemu dengan orang apa channel 3, bertemu dengan orang apa lagi channel 5 dst., dan itu cepat sekali bergantinya, sangat mahir. Ada orang yang mempunyai kemampuan untuk langsung bisa mengganti topeng, topengnya diganti dengan topeng yang lain, sangat profesional. Kita harus hati-hati dengan kecenderungan yang seperti ini, meskipun ini certain skill juga, tetapi seringkali tidak melibatkan apa yang di dalam hati, itu yang berbahaya. Kalau kita bandingkan dengan sejarah seni pada umumnya, ada perbedaan periode antara Barok dengan periode romantik, di dalam periode Barok (zaman rasionalis) waktu kita menyajikan seni musik selalu ada distance, jarak, jadi saya tidak boleh terlalu terlibat di dalamnya, saya sebagai subyek, yang saya mainkan itu obyek, saya dengan cepat bisa ganti-ganti channel, karena memang saya tidak pernah terjun ke dalam. Tetapi kalau kita perhatikan penghayatan daripada zaman romantik, orang malah tenggelam di dalamnya, tidak memakai topeng, tidak sedang memainkan peran, bukan berarti zaman romantik lebih biblikal, bukan, tetapi di dalam arti bahwa di dalam kehiduan kita bisa terjadi kemungkinan paradigma seperti itu juga. Waktu kita menjadikan segala sesuatu itu sekedar sebagai sesuatu yang saya kendalikan sebagai obyek yang di luar dan bukan sesuatu yang saya hayati. Firman Tuhan bisa dikhotbahkan secara profesional, bisa, waktu kita sharing kepada orang lain bisa secara profesional, bisa, maksudnya saya tidak harus terlibat. Bahkan keterlibatan yang diciptakan pun juga bisa, kalau mau, seperti ketika satu orang dalam acara duka, tadinya baru saja ketawaketawa, ketika diminta memberi sambutan, dalam waktu yang singkat bisa ganti channel, tiba-tiba dia langsung bisa sedih dan menangis. Luar biasa profesional…. Saya percaya walaupun kita berbakat atau kurang berbakat, kita tidak kebal dengan kecenderungan seperti itu, ini yang disebut dengan kemunafikan. Kemunafikan adalah orang yang tidak ada kaitan, disintegrasi antara yang di luar dengan yang di dalam, tidak sama, yang di luar tidak mencerminkan yang di dalam, ekspresi yang di luar itu berbeda dengan apa sebetulnya yang di dalam hati, tetapi hanya sekedar pengelolaan manusiawi belaka. Yang terjadi bukan satu ketersentuhan natural karena kita menerima sesuatu dari Tuhan, tergerak, tetapi sesuatu yang kita created sendiri, professionally, bukan suatu respon, tetapi sesuatu yang saya merupakan inisiatif sendiri, menciptakan dari diri saya sendiri lalu berusaha untuk mengesankan orang lain. Di dalam kemunafikan tidak ada satu pun transformasi yang betul-betul terjadi di dalam hati, kenapa? Karena kita tidak pernah membuka bagian dalam tersebut, kita maunya main dengan hal-hal yang eksternal, kerohaniankerohanian yang eksternal, ibadah menjadi ibadah yang eksternal, semuanya bisa jadi eksternal. Bahkan kehidupan keluarga pun eksternal juga, tidak melibatkan apa yang di dalam hati, akhirnya menjadi orang yang munafik. Orang-orang Farisi adalah orangorang yang digambarkan seperti itu, Yesus memperingatkan pertama kepada muridmuridNya, tetapi juga kemudian kepada ribuan orang yang ada di situ. Ayat 2 dan 3 mengatakan, mengapa tidak worthed, tidak mungkin juga menjalankan filosofi kemunafikan itu karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka, ini adalah satu panggilan untuk hidup transparan, hidup terbuka. Kalau boleh kita aplikasikan dalam hal sederhana khususnya mungkin dalam kultur orang Indonesia yang suka gosip. Kita seringkali mengatakan sesuatu yang kita tidak siap kalau hal itu terbuka lalu kemudian orang lain mengetahui. Kita cerita ke A, kita bilang, saya hanya kasih tahu kamu, jangan kasih tahu orang lain lagi, si A lalu kasih tahu lagi sama si B, saya hanya kasih tahu kamu ya, jangan kasih tahu orang lain lagi, lalu kasih tahu lagi ke C, akhirnya seribu orang tahu semua dan akhirnya orang yang diomongin tahu juga, setelah orang yang diomongin tahu lalu bagaimana? Lalu orang itu panik dan membuat satu penjelasan-penjelasan, rasionalisasi, lalu kita bilang bahwa kamu salah mengertilah dst., tetapi intinya adalah sebenarnya kita tidak siap bahwa perkataan yang kita katakan itu di dengar oleh banyak orang. Pertimbangannya bukan karena pertimbangan rohani seperti, oh… dia belum siap menerima atau mendengar kalimat itu, bukan, tetapi karena saya tidak siap bahwa kejelekan saya terbongkar, yang suka GRII KG 688/727 (hal 2) ngomongin orang lain, yang suka ngomongin kelemahan dan kejelakan orang lain, kan tidak enak sekali kalau ketahuan. Kemunafikan, ketidaksiapan untuk diperhadapkan secara publik. Ayat 2 dan 3 ini adalah satu panggilan, satu ajakan dari Tuhan Yesus untuk hidup transparan, kalau kita sudah mengatakan ya kita harus siap bahwa orang lain mengetahuinya, sebetulnya cara yang paling baik kalau kita kurang suka atau kita rasa ada kelemahan di dalam diri orang lain, cara yang paling dewasa adalah berbicara langsung dengan dia, mungkin sebelumnya perlu bicara sama Tuhan, minta kekuatan dari Tuhan untuk berbicara dengan orang itu. Setelah itu ya bicarakan langsung dengan orang itu, tidak usah bicara kepada orang lain, kalau bicara kepada orang lain tetapi tidak bicara kepada orang itu, ya jadinya adalah gosip. Bukan berarti tidak ada tempat sama sekali untuk uneg-uneg (misalnya kejelekan orang lain), tapi uneg-uneg itu bisa berubah jadi gosip kalau kita ceritakan kepada orang lain, lalu kita masih tetap katakan bahwa itu uneg-uneg, ya tidaklah, itu bukan lagi sharing uneg-uneg tetapi sudah menjadi satu gosip mania. Kalau kita membaca tulisan orang-orang puritan, orang-orang yang diberkati Tuhan, yang mencoba untuk membuat aplikasi sedetail mungkin di dalam kehidupan mereka, kadang-kadang kita mendapati tulisan mereka seperti legalism-nya seperti ini, tetapi kalau kita humble enough untuk betul-betul mendengarkan lalu belajar apa yang mereka maksudkan indeed mereka mengajarkan halhal yang begitu praktis, yang sangat berguna juga untuk pembentukan kerohanian kita. Misalnya membicarakan orang lain sampai di dalam batas apa? Sering kita mendengar bahwa orang-orang kristen itu tidak pernah gosip, mereka hanya share beban, saya bukan sedang membicarakan orang lain, saya mengencourage orang lain untuk mendoakan orang yang saya jelek-jelekkan tadi, supaya ada beban doa. Kan bagus ada doa syafaat, kalau tidak, apa yang mau didoakan? Tetapi itu hanya rasionalisasi di dalam kehidupan kita, di dalam spiritualitas yang kacau. Sekali lagi ayat 2 dan 3 satu ajakan dari Tuhan Yesus supaya kita hidup di dalam transparansi integritas, tidak banyak channel, waktu dikatakan tidak banyak channel bukan berarti kita tidak lincah, itu hal yang berbeda. Peka terhadap konteks dengan orang yang main channel secara profesional itu totally differenting, itu sama sekali tidak berhubungan. Kita tidak membicarakan orang yang lincah di dalam pimpinan Roh Kudus waktu bertemu seseorang bisa mengetahui kebutuhannya lalu berbicaranya berbeda karena di dalam kasih. Kasih kan membuat kita peka terhadap konteks, kalau kita mengasihi kita kan jadi mengenal, mengenal orang yang kita kasihi dan orang yang mengenal akan memperlakukan orang secara berbeda, oh… anak yang pertama ini harus saya perlakukan begini, kalau anak yang ke dua harus begini dst. kenapa? Karena kita mengenal kenapa kita mengenal, karena kita mengasihi, karena kita mengasihi maka kita mengenal. Tetapi yang dimaksud di sini adalah bukan itu, tidak ada hubungannya dengan kasih, orang yang ganti-ganti channel secara lincah di dalam pengertian tidak ada integritas atau munafik, professionally di dalam pergantian peran seperti itu adalah hal yang sama sekali berbeda dengan orang yang peka terhadap konteks secara positif. Ada satu komentator yang mengatakan ayat 3 ini interesting ditafsir secara positif waktu di sini dikatakan, “apa yang kamu katakan dalam gelap kedengaran dalam terang, apa yang kamu bisikkan ketelinga di dalam kamar”, kamar di dalam bahasa aslinya di dalam istilah yang sama seperti yang dibicarakan Yesus dalam khotbah di bukit, “kalau kamu berdoa, masuklah ke dalam kamar”. Kamar itu dalam zaman kita mirip seperti gudang, satu tempat untuk persediaan barang-barang, tidak ada jendela sama sekali dan gelap, makanya di sini dikatakan gelap, kamar yang tersembunyi itu. Masuk ke sana di dalam ketersembunyian, ya mungkin komentator itu menafsir ayat 3 berdasarkan khotbah di bukit, dia mencoba melihat secara spirit yang sama, secara positif. Intinya adalah berlaku dua-dua, baik hal yang baik atau hal yang buruk, yang kita katakan di dalam ketersembunyian akan dibongkar kedengaran di dalam terang. Ini satu prinsip, baik hal yang negatif, hal yang buruk akan dibongkar juga di dalam terang, tetapi hal yang positif Tuhan juga yang akan membongkar di dalam terang pada waktru Tuhan, kita tidak bisa menghindari prinsip ini. Pertanyaannya bukan apakah kita melakukan yang tersembunyi atau tidak, tetapi pertanyaannya adalah apa yang kita bicarakan di dalam tempat yang tersembunyi itu, kalau kita membicarakan yang buruk, maka yang buruk itu akan dibongkar dan diketahui oleh banyak orang, akan mempermalukan. Tetapi kalau yang kita tabur, yang kita bicarakan dalam tempat tersembunyi adalah hal-hal yang baik, juga akan terbongkar dan itu akan memberkati banyak orang. Dalam ayat 3 kita melihat ada GRII KG 688/727 (hal 3) satu prinsip yang universal, yang mendorong kita untuk memikirkan ketersembunyian kita itu lebih banyak diisi oleh apa? Apa yang kita lakukan? Ada penulis spiritual mengatakan, seseorang keadaanya bagaimana itu dinilai waktu dia sedang sendiri, justru karena ada bahaya kemunafikan, dihadapan banyak orang kita cenderung berperan, kalau bisa ya berperan baik dong, berparan holy, berperan menyenangkan, berperan orang saleh, tapi apa yang terjadi waktu kita berada di dalam satu tempat yang tersembunyi, yang sendiri, ya itulah keadaan saudara dan saya sesungguhnya. Waktu tidak ada orang lain yang melihat dan maksudnya di sini bukan hanya secara lokasi, tetapi juga di dalam pengertian sosial, oh… kalau saya melakukan ini tidak dapat bintang loh…. istilah fulgarnya pak Tong tidak tahu, tidak dapat pujian…, ya itulah tempat tersembunyi. Pikiran dunia adalah terus-menerus di dalam kesibukan untuk mengesankan seluruh dunia, alkitab bilang itu kemunafikan, istilah sederhana. Tetapi orang-orang yang membangun dirinya di dalam integritas mengetahui saatsaat tersembunyi, saat-saat di dalam kamar gelap, yang tertutup, yang kemudian akan diberitakan dari atas atap rumah. Rumahrumah di Timur Tengah itu tidak seperti di sini, atap rumahnya datar, jadi orang bisa berdiri di atasnya, waktu orang bicara di atas, orang yang berjalan di bawah bisa mendengar. Intinya adalah apa yang tersembunyi akan tersebar keluar, berbahagialah kalau kita mengisi saat-saat ketersembunyian kita dengan hal-hal yang mempermuliakan Tuhan, itu menjadi satu latihan integritas, latihan kejujuran, satu latihan yang menahan, mengurung dan menginjak-injak kemunafikan. Waktu kita menekankan bagian seperti ini, berperang secara public seperti Yesus Kristus terhadap bahaya kemunafikan, ada bahaya yang bisa dialami, maka di dalam ayat 4 Yesus sudah mengantisipasi. Waktu orang berperang terhadap kemunafikan, kita juga akan turut melukai orang-orang yang memang suka hidup dalam kemunafikan, ya kan? Waktu kita berperang terhadap ketidakjujuran, bersamaan dengan itu kita juga potentially sekaligus actually melukai orang-orang yang memang suka hidup di dalam kepura-puraan dan kebohongan tersebut, di situ ada bahaya. Kalau ada bahaya ya kita bisa takut, waktu takut bagaimana? Ya terbawa di dalam kemunafikan mereka, sudah terkhamir di dalam ragi tadi. Bahaya loh kalau bicara, jangan bicara dong, ini bahaya, nanti bisa runyam kalau kita bicara, lalu bagaimana? Ya lebih baik diam, waktu diam, ya ragi itu sudah masuk. Ragi itu kan sangat mudah menyebar, orang hidup di dalam kepura-puraan, itu menjadi satu system culture yang di celebrate di seluruh dunia, lalu waktu orang seperti Yesus berusaha untuk counter hal tersebut Dia barada dalam satu keadaan yang bahaya. Maka ayat 4 dikatakan, hai sahabatsahabatKu, jangan kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh, bisa dibunuh orang membongkar kemunafikan, bisa dibenci, bisa dikucilkan. Jangan takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh tetapi kemudian tidak bisa berbuat apa-apa lagi, di sini Yesus memberikan satu batas, yang bisa dilakukan manusia itu apa sih? Memang mereka masih diijinkan Tuhan untuk membunuh tubuh, tetapi setelah itu tidak bisa apa-apa lagi, tidak bisa masuk kebagian dalam, hanya bisa menyerang bagian eksternal. Karena mereka adalah orang-orang yang suka menghidupi yang eksternal, menyerangnya pun hanya bagian yang eksternal, karena kategori orang-orang eksternal. Mereka tidak bisa menyerang bagian yang di dalam, tidak bisa. Mereka tidak bisa menghancurkan iman kepercayaan kita, kejujuran kita, tidak mungkin bagian itu bisa dibunuh. Yesus kemudian mengatakan, Aku akan menunjukkan kepada kamu siapa yang harus kamu takuti yaitu Allah sendiri, yang setelah membunuh mempunyai kuasa untuk melemparkan orang ke dalam neraka, sesungguhnya Aku berkata, takutlah Dia. Di sini ada satu kontras, antara takut manusia yang sangat dekat dengan kemunafikan itu, orang yang takut akan Allah tidak akan takut pada manusia. John Owen pernah mengatakan, kita berdosa dan kita dijauhkan dari alkitab atau kita mengikuti alkitab, dosa yang akan dibunuh, hanya ada dua pilihan itu, dosa yang menguasai kita atau kita yang menguasai dosa. Kita takut kepada Tuhan dan karena itu kita akan menyingkirkan takut kepada manusia atau kita takut kepada manusia dan karena itu kita tidak punya hati yang takut kepada Tuhan. Dua-duanya itu tidak mungkin, satu akan menyingkirkan yang lainnya, kalau kita takut kepada Tuhan, tidak akan takut pada manusia, kalau kita terlalu takut kepada manusia, ya orang seperti itu tidak mungkin punya rasa takut banar dihadapan Tuhan, tidak mungkin. Maka di sini Yesus mengatakan, takutlah kepada Dia yang mempunyai kuasa untuk menentukan kehidupan orang setelah kematian, melemparkan orang ke dalam neraka. Manusia hanya bisa membunuh, setelah membunuh tidak bisa membawa orang lagi ke neraka kan? Manusia tidak ada kuasa GRII KG 688/727 (hal 4) menentukan after life itu, tetapi Yesus, Allah mempunyai kuasa melakukan itu. Gambaran ini paradoks, ayat 5 , 6 sangat menarik kalau kita melihat flow-nya, ayat 5 bicara tentang Allah yang mempunyai kuasa melemparkan orang ke dalam neraka, kalau kita memiliki hati yang takut kepada Allah yang seperti itu, tapi ayat 6 mendadak pindah ke bagian pemeliharaan Allah, burung pipit di jual 5 ekor dua duit, tapi seekor pun tidak ada yang dilupakan Allah. Ini berarti mau mengatakan, takut akan Tuhan di sini bukan di dalam pengertian takut kepada Allah yang sebagai hakim atau algojo yang sudah siap membunuh kapan saja, kan ada juga gambaran agama seperti ini? Kalau kita tidak hati-hati bisa masuk juga dalam gambaran agama seperti ini, gambaran Tuhan yang siap memberikan ganjaran kepada siapapun yang melakukan dosa, akhirnya kita takut berbuat dosa karena hukuman, bukan karena kita mengasihi Tuhan, takut yang seperti itu kurang dewasa. Memang betul, Allah adalah Allah yang sanggup melemparkan orang ke neraka, ini gambaran yang riil, tapi bersamaan dengan itu juga sekaligus juga adalah Allah yang bahkan memelihara burung pipit yang tidak ada artinya, yang dijual 5 ekor dua duit, itu murah sekali, seperti tidak ada harganya, itupun tidak dilupakan Allah. Allah yang kita takuti sekaligus adalah Allah yang memelihara dan bahkan rambut yang jatuh pun tidak diluar kehendak Tuhan, ini hal yang tidak penting, satu rambut jatuh dari sekian ratus rambut apa artinya? Tetapi di sini dikatakan, bahkan hal sekecil itu pun terhitung oleh Tuhan, ini adalah ajaran tentang penetapan, tentang providensia, kita jangan menarik spiritnya, kalau spiritnya yang ditarik, akan menjadi perdebatan yang tidak karu-karuan. Mungkin dikalangan reformed juga terjadi perdebatan, berapa detail sih penetapan Allah? Kalau saya begini ini, penetapan Allah atau bukan? Akhirnya masuk ke dalam teologi skolastik yang tidak ada kaitannya dengan spirit yang dibicarakan di sini. Jangan lupa, penetapan Allah yang sampai hal-hal kecil, spiritnya di sini bukan mau mengajarkan, jangan lupa ya Allah itu adalah Allah yang menetapkan semua sampai yang paling detail, jam bergerak sedikit ini pun di dalam penetapan Allah, salah, ini bukan di dalam spirit seperti itu. Tetapi di dalam spirit bahwa Tuhan itu memeliharakan semua milimeter di dalam kehidupan kita sampai yang terkecil, itu semuanya ada di dalam kontrol Tuhan. Intinya adalah kita tidak perlu takut, karena tidak ada hal yang sekecil apapun Tuhan luput mengontrol. Doktrin pemeliharaan, providensia, bukan tentang perdebatan berapa dalam Tuhan menetapkan atau hal-hal yang besar saja, yang kecil-kecil diserahkan kepada kita, dst., akhirnya masuk ke dalam satu diskusi teologi yang tidak fruitful, tidak berhasil karena kehilangan spiritnya. Intinya kita harus percaya kepada Tuhan yang mengetahui semua kehidupan kita dari yang paling besar sampai yang paling kecil dan Dia merajut semuanya di dalam rencanaNya yang sempurna. Dalam ayat selanjutnya doktrin providensia ternyata bukan dipakai setelah Tuhan memelihara, terus kita bersyukur, maka marilah kita menikmati pemeliharaan Allah yang sempurna itu. Ayat 8 mengatakan, justru karena Tuhan adalah Tuhan yang memelihara, maka beranilah bersaksi. Doktrin providensia menurut Lukas 12 itu strongly connected dengan keberanian bersaksi, mengaku Yesus di depan manusia. Masih ada kaitan dengan kemunafikan, kemunafikan itu tidak berani mengaku Tuhan, oh kalau lagi sendiri bisa mengaku Tuhan, tetapi begitu dihadapan publik, langsung mendadak jadi orang pluralis, bahkan mengaku agama lain, karena takut tidak dapat keuntungan kalau mengaku kristen, kalau seperti ini bagaimana? Lalu pura-pura tampil dari bagian mayoritas, sekali lagi tidak sincere, ini kemunafikan lagi kan? Tetapi di sini Yesus mengatakan, setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah. Mengakui bukan hanya secara private, tetapi mengakui juga dihadapan publik, dua-duanya. Tadi sudah dibahas, persoalannya bukan apakah kita tersembunyi atau tidak tersembunyi, tetapi apa yang kita lakukan di dalam ketersembunyian. Yang tersembunyi itu akan terlihat secara publik, tetapi di dalam bagian ini kita mendapat tekanan yang paradoksikal yang mengatakan, kita juga bisa melakukan sesuatu yang benar dihadapan publik, berarti bukan semuanya tersembunyi, bukan. Duaduanya harus dilakukan baik yang pribadi dan yang publik, itu yang disebut berintegritas, orang yang munafik, waktu tersembunyi melakukan yang jahat, yang buruk, di depan publik melakukan yang baik. Tetapi ada jenis kekacauan yang lain lagi, ada orang yang hanya berani di private, kalau di private, dia berdoa, berdoa sebut nama Tuhan, begitu dihadapan publik, langsung diam seribu bahasa, tidak berani bicara tentang Tuhan, takut. Bagian ini menutup semua kemungkinan kebocoran kalau kita melihat di depan publik mengaku Yesus, kenapa bisa mengaku Yesus dihadapan publik? Karena Tuhan memelihara. Doktrin providensia bukan satu doktrin yang sekedar GRII KG 688/727 (hal 1) Ekspositori Injil Lukas (16) Ekspositori Injil Lukas (16) menikmati pemeliharaan Tuhan, Tuhan mencukupkan saya, ya memang betul, kalimat itu tidak salah, tapi cara berpikir seperti itu tidak terlalu dewasa, sangat self centre, urusannya hanya kepada kepetingan pribadi. Tapi dalam bagian ini lebih jauh dari pada itu, kamu dipelihara Tuhan, karena itu beranilah bersaksi dihadapan publik, saksikanlah Kristus, karena kamu dipelihara oleh Tuhan, jangan takut. Siapa yang menyangkal Yesus dihadapan manusia, dia juga akan disangkal dihadapan malaikat-malaikat Allah, ini bukan berarti bahwa Tuhan tergantung kita, Tuhan jadi responsif terhadap kita bukan. Sebetulnya mau menyatakan iman yang sejati atau tidak, kenapa di sini Tuhan menyangkal dihadapan malaikat-malaikat Tuhan, karena orang ini memang tidak punya iman yang sejati. Apa iman sejati? Iman sejati adalah iman yang berani diakui secara publik. Kita harus hatihati dengan bentuk kekristenan yang private, kalau bisa orang lain tidak usah mengenal kekristenan saya, saya menunjukkan dari karakter saja, tidak perlu bicara kalau saya kristen. Percuma ngomong sebagai kristen kalau tingkah laku tidak karuan, nanti malah jadi batu sandungan, tidak mengaku karena takut jadi batu sandungan, berarti memang di dalamnya sudah jadi batu sandungan, makanya tidak mau mengaku karena sudah tahu akan jadi batu sandungan. Kalau orang tidak seperti itu di dalam kehidupannya, dia tidak perlu takut untuk mengakui Yesus, di dalam firman Tuhan lain dikatakan, terang bukan dibawah gantang, tetapi diletakkan disatu tempat yang bisa menyinari banyak orang, supaya orang melihat lalu memuliakan Allah Bapa yang di sorga. Kesaksian publik itu ada tempatnya, bukan hanya kesalehan dan integritas privately, tapi juga publicly, private itu tidak membawa kemana-mana, tapi publik yang berbeda dengan private juga disintegritas. Maka di sini dikatakan, mengakui Yesus di depan manusia tanda iman yang sejati. Ayat 10, 11 dan 12, bagian ini khususnya ditujukan kepada kelompok orang-orang yang terus melawan pemberitaan injil, menghujat Roh Kudus, menolak pekerjaan Tuhan sampai pada akhirnya, itu adalah orang yang menghujat Roh Kudus. Orang yang menolak Anak Manusia, mungkin dia memang belum dicelikkan, dicelikkan oleh siapa? Oleh Roh Kudus. Kalau Roh Kudus terus-menerus dipadamkan, ditolak, akhirnya orang itu ada di dalam satu kebahayaan, ia tidak akan diampuni, di dalam bentuk yang pasif, seperti dia sedang membuang dirinya sendiri karena dia terus menolak pekerjaan Tuhan. Orangorang yang terus menghalangi pekerjaan Tuhan, pekerjaan Roh Kudus berada dalam satu bahaya, menghujat Roh Kudus. Yesus sudah mengantisipasi bahwa satu saat murid-murid akan diperhadapkan kepada majelis-majelis, pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa karena iman mereka kepada Yesus. Sekali lagi di sini meneguhkan doktrin providensia, providensia bukan hanya di dalam pengertian Tuhan memberikan kepada saya makanan yang secukupnya dst., tetapi juga di dalam bagian yang mungkin jarang kita pikirkan yaitu penyertaan yang khusus, waktu seseorang menderita karena nama Tuhan. Waktu kita mengikut Tuhan, kita akan menderita karena dunia ini tidak bisa menerima Kristus, tetapi di situ ada penyertaan khusus, spontan, dalam bagian ini tidak perlu persiapan. Bukan berarti semuanya tidak perlu persiapan, bukan, tetapi ada saatsaat kita tidak bisa kontrol, tidak bisa antisipatif secara persiapan, Roh Kudus yang akan mengajar pada saat itu juga secara spontan apa yang harus kita katakan (seperti Paulus, Petrus, Stefanus bagaimana mereka mempertahankan iman). Penyertaan khusus seperti ini hanya bagi orang yang menderita karena nama Kristus, bukan untuk setiap orang, kalau kita kurang menderita karena nama Kristus, lalu kita tidak persiapan dan karena itu tidak bisa bicara apa-apa, persoalan bukan ada pada Roh Kudus, persoalan ada pada diri kita sendiri. Kaitannya dengan kemunafikan adalah bahwa kemunafikan tidak berani melakukan kesaksian tentang Kristus dalam kehidupannya sampai harus menderita. Kemunafikan tidak akan membiarkan Roh Kudus bekerja memimpin secara spontan, karena tidak ada tempat lagi. Roh Kudus sudah padam lebih dahulu, kenapa? Karena kita sudah takut kepada manusia, waktu dihadapkan kita takut, lalu kita berusaha untuk menyenangkan orang-orang yang ada disekitar kita. Kita memang tidak dipanggil untuk semakin banyak melukai orang semakin bagus, tidak, tetapi ada bahaya begitu besar dalam kehidupan manusia, menjilat sesamanya. Menjilat, berusaha ambil hati, dunia memang menjanjikan hal seperti ini, karena manusia itu memang lemah, yang dijilat pun bisa senang waktu dia dijilat, maka orang tahu bahwa ini adalah trik yang bagus, menjilat orang, menyenangkan orang, angkatangkat, karir jadi naik, dunia bermain dengan cara yang seperti ini dalam semua urusan. Menurut alkitab itu adalah kemunafikan, bagaimana kita bisa mengalami penyertaan GRII KG 688/727 (hal 2) Roh Kudus kalau kita hidup di dalam budaya seperti itu? Tidak ada kemungkinan, kecuali orang yang betul-betul takut kepada Dia yang sanggup melemparkan orang ke dalam neraka, tetapi juga sekaligus sanggup memelihara kehidupan kita. Yesus Kristus sendiri memberikan teladan yang sempurna kepada kita, Dia sendiri disalibkan, dipaku di atas kayu salib, karena Dia seumur hidupNya mengatakan tidak terhadap budaya kemunafikan. Kultur yang munafik, keagamaan yang munafik, bangsa yang munafik, mungkin juga bahkan gereja yang munafik tidak bisa menerima orang seperti Yesus Kristus, akhirnya Dia disalib dan dibunuh. Tetapi Dia bangkit, perspektif yang sempit, bangkit mengalahkan kuasa kemunafikan, kematian terhadap kemunafikan supaya kita bisa hidup dipenuhi dengan hati yang takut akan Tuhan, punya satu kebebasan di dalam mengekspresikan iman kita baik secara private ataupun secara publik. Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin. Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS) GRII KG 688/727 (hal 3)