TUGAS FARMAKOTERAPI II INFEKSI SISTEM SARAF DISUSUN OLEH : 1. Oei, Agustine Dewi 1041211127 2. Putri Cahyaningrum 1041211140 3. Rifani Damacena 1041211151 4. Setriratna Nuswantari 1041211164 5. Sukron Makmon 1041211177 6. Wahyu Widayanti 1041211189 7. Zena Lutvina Oviyanti 1041211201 SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI” SEMARANG 2015 BAB I PENDAHULUAN Sistem saraf merupakan salah satu sistem yang berfungsi untuk mengatur regulasi tubuh. Rangsangan berupa sinyal elektrokimia pada sistem saraf akan memberi informasi tentang lingkungan luar maupun lingkungan internal serta melakukan mekanisme – mekanisme yang bertujuan untuk mempertahankan homeostasis. Sistem saraf tersusun menjadi susunan saraf pusat (SSP) dan susunan saraf tepi (SST). Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis (sumsum tulang belakang). Susunan saraf tepi terdiri dari dari serat – serat saraf yang membawa informasi antara SSP dan bagian tubuh lain (perifer). SST terbagi menjadi divisi afferen dan efferen. Divisi afferen akan menerima rangsangan berupa rangsangan viseral dan rangsangan sensorik. Sedangkan divisi efferen akan mengirimkan “output” otak berupa perintah / tanggapan terkait dengan rangsangan yang diterima kepada sistem saraf somatik dan sistem saraf otonom. a. Sistem Saraf Pusat (SSP) Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Kedua organ ini merupakan organ lunak dengan fungsi yang sangat penting. Oleh sebab itu, kedua organ ini perlu mendapatkan suatu mekanisme perlindungan khusus. Terdapat 4 agen yang dapat melindungi sistem saraf pusat dari cedera : 1. Sistem saraf pusat dibungkus oleh struktur tulang yang keras yaitu kranium (tengkorak) yang membungkus otak, dan kolumna vertebralis yang mengelilingi medulla spinalis. 2. Antara tulang pelindung dan jaringan saraf terdapat 3 agen protektif dan nutritif yang disebut dengan meninges. Ketiga membran itu adalah dura mater, arakhnoid mater, pia mater. Dura mater adalah pembungkus elastik, kuat yang terdiri dari 2 lapisan. Lapisan – lapisan ini umumnya melekat erat tetapi di beberapa tempat, lapisan ini terpisah untuk membentuk rongga berisi darah, sinus dural (rongga yang lebih besar) dan sinus venosus. Arakhnoid mater adalah lapisan halus yang kaya akan pembuluh darah dengan penampakan seperti sarang laba – laba. Ruang yang terbentuk antara arakhnoid dan pia mater bagian bawah adalah ruang subarakhnoid yang terisi oleh cairan serebrospinal. Sedangkan jaringan arakhnoid mater yang menonjol ke arah dura mater disebut dengan vili arakhnoid, jaringan ini berfungsi untuk mereabsorbsi cairan serebrospinal untuk masuk ke sirkulasi darah di dalam sinus. Pia mater merupakan lapisan meninges yang paling dalam dan bersifat paling rapuh. Lapisan ini mempunyai banyak pembuluh darah dan melekat erat ke permukaan otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap tonjolan dan lekukan. Di daerah tertentu lapisan pia mater masuk jauh ke dalam otak untuk membawa pembuluh darah dan berkontak erat dengan sel – sel ependim yang melapisi ventrikel. 3. Otak dan medula spinalis mengapung pada suatu bantalan cairan khusus yang disebut dengan cairan serebrospinal (CSS). Fungsi utama CSS adalah sebagai cairan peredam kejut untuk mencegah otak menumbuk bagian interior tengkorak yang keras ketika kepala tiba – tiba mengalami benturan. OTAK Otak terdiri dari beberapa bagian dengan fungsi – fungsi yang saling terintegrasi. Bagian utama dari otak adalah medulla oblongata (sumsum lanjutan), otak tengah (mesensefalon), cerebellum (otak kecil), hipotalamus, thalamus dan cerebrum (otak besar) SUMSUM TULANG BELAKANG Pada penampang melintang sumsum tulang belakang Nampak bagian luar berwarna putih, sedangkan bagian dalam berbentuk kupu – kupu dan berwarna kelabu. Pada penampang melintang sumsum tulang belakang ada bagian seperti sayap yang terbagi atas sayap atas yang disebut tanduk dorsal dan sayap bawah yang disebut tanduk ventral. Impuls sensorik dari reseptor dihantarkan masuk ke sumsum tulang belakang melalui tanduk dorsal dan impuls motor keluar dari sumsum tulang belakang melalui tanduk ventral menuju efektor. Pada tanduk dorsal terdapat badan sel saraf penghubung {asosiasi konektor} yang akan menerima impuls dari sel saraf sensori dan akan menghantarkannya ke saraf motor. Pada bagian putih terdapat serabut saraf asosiasi. Kumpulan serabut saraf membentuk saraf atau urat saraf. Urat saraf yang membawa impuls ke otak merupakan saluran esenden dan membawa impuls berupa perintah dari otak merupakan saluran desenden. b. Sistem Saraf Tepi (SST) / Sistem Saraf Perifer Tiga kelas fungsional neuron adalah neuron afferen, neuron efferen dan antarneuron. Ketiga neuron ini membentuk sistem saraf tepi. Neuron afferen biasanya memiliki reseptor sensorik diujung perifernya yang menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap jenis rangsangan tertentu. Badan sel neuron afferen yang tidak mengandung dendrit dan input prasinaps terletak dekat dengan medulla spinalis. Akson perifer panjang (disebut serat afferen) berjalan dari reseptor ke badan sel, dan akson sentral yang pendek berjalan dari badan sel ke dalam medulla spinalis. Ujung akhir akson sentral menyebar dan bersinaps dengan neuron – neuron lain sehingga informasi tentang stimulus disebarkan. Hanya sebagian kecil dari ujung akson sentral yang berproyeksi kedalam medula spinalis untuk menyalurkan sinyal perifer. Divisi afferen membawa informasi ke sistem saraf pusat, memberitahu tentang lingkungan eksternal dan aktivitas internal yang sedang diatur oleh susunan saraf. Antarneuron (interneuron) utama berada di sistem saraf pusat. Neuron – neuron ini mempunyai 2 peran utama. Peran pertama adalah mengintegrasi respon perifer dengan informasi perifer karena interneuron ini berada diantara neuron afferen dan neuron efferen. Sedangkan peran keduanya adalah interkoneksi antara interneuron itu sendiri yang berperan dalam fenomena abstrak yang berkaitan dengan jiwa seperti pikiran, emosi, ingatan, kreatifitas, kecerdasan dan motivasi. Neuron efferen berada pada susunan saraf tepi, dengan badan selnya berada di susunan saraf pusat. Badan – badan sel ini menerima banyak masukan prasinaps yang terletak di sentral untuk mempengaruhi output ke organ ke effektor. Akson – akson efferen (serat efferen) meninggalkan susunan saraf pusat untuk berjalan ke otot atau kelenjar yang mereka sarafi, menyampaikan keluaran terpadunya ke organ effektor untuk menimbulkan efek. Instruksi dari SSP disalurkan melalui divisi efferen ke organ efektor hingga otot atau kelenjar yang melaksanakan perintah agar dihasilkan efek yang sesuai. Divisi saraf efferen memfasilitasi penyampaian efek ke sistem saraf somatik (terdiri dari serat – serat neuron motorik yang menyarafi otot rangka) juga ke sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom terdiri atas sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis serta tersusun oleh serat – serat yang menyarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar. BAB Ii INFEKSI SISTEM SARAF 1. Definisi Infeksi adalah keadaan masuk {invasi} dan berkembangnya {multiplikasi} suatu mikroorganisme ke dalam tubuh inang dan bersifat merugikan serta membahayakan inang. Mikrorganisme penginfeksi sering disebut pathogen,akan menggunakan tubuh inang sebagai sarana untuk mendapatkan nutrisi hingga proses perbanyakan diri. Organisme pathogen akan mengganggu fungsi normal inang hingga berakibat timbulnya luka kronik, gangrene, kehilangan fungsi tubuh hingga kematian. Terjadinya keadaan infeksi pada tubuh inang akan direspon/dilawan melalui mekanisme peradangan. Kategori organisme penginfeksi ini secara umum merupakan organisme mikroskopik, walau sebenarnya secara definisi luas meliputi jamur, bakteri, virus, parasit, prion (pembawa penyakit menular yang hanya terdiri dari protein) dan viroid (pathogen tumbuhan yang tersusun dari potongan pendek RNA yang komplementer, sirkuler dan berantai tunggal). Jaringan epithelium permukaan tubuh luar dan dalam akan menjadi halangan besar bagi mikroorganisme untuk menembus tubuh. Proses invasi akan menjadi lebih mudah jika terjadi perlukaan / kerusakan pada permukaan tubuh luar maupun dalam, atau apabila kuman yang terkandung di dalam antropoda dimasukkan di dalam tubuh melalui gigitan antropoda pada kulit. Setelah kuman berhasil menerobos permukaan tubuh luar dan dalam, selanjutnya mikroorganisme dapat tiba di susunan saraf pusat melalui jalur pembuluh darah serebral, pembuluh darah arakhnoid dari ujung saraf tepi atau mukosa atau bisa juga dari penjalaran per kontinutatum {misal dari mastosid} sehingga menyebabkan infeksi susunan saraf. Sebenarnya ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang datang {khususnya yang datang melalui jalur hematogen} yang dikenal sebagai Blood Brain Barrier. Pada keadaan toksemia dan septis mia, blood brain barrier terusak tidak lagi bertindak sebagai rintangan khusus. (Nahar Mardjono dan Priguna Sidharta. 1981 ; 307) Infeksi pada susunan saraf dapat mempengaruhi fungsi dari susunan saraf dengan bebagai mekanisme seperti perusakan pada otak (meningitis, subdural empyema), perusakan pada sumsum tulang belakang (penekanan pada sumsum tulang belakang), lubrosacral plexus, otot dan saraf. (John C.M Brust. 2007 ; 403) 2. Epidemiologi Infeksi sistem saraf pusat merupakan penyakit yang menjadi perhatian dunia dan merupakan penyakit infeksi yang amat berbahaya. Infeksi pada sistem saraf pusat di dalamnya termasuk meningitis, ensefalitis dan meningoensefalitis. Di mana organ penyebab penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau pun parasit. Di Negara berkembang maupun di Negara maju, pengobatanpenyakit infeksi sistem saraf pusat sangatlah penting, dikarenakan angka kematiannya yang cukup tinggi. Sekitar 600.000 kasus meningitis terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 180.000 kematian dan 75.000 gangguan pendengaran yang berat. Setidaknya 25.000 kasus baru meningitis bakterial muncul tiap tahunnya di Amerika Serikat, tetapi penyakit ini jauh lebih sering ditemukan di negara-negara sedang berkembang. Sekitar 75% kasus terjadi pada anakanak dibawah usia 5 tahun. Herdiana dan Soeseno B (1996-1999), pada penelitian di RS Dr. Hasan sadikin Bandung, menjumpai 11 kasus penderita meningitis dari 4160 kasus Otitis Media Suppurativa Kronik (OMSK) yang dating berobat (0.26%) dengan usia termuda 2 tahun dan usia tertua 45 tahun. Perbandingan laki-laki dan wanita 8: 3. Prevalensi meningitis otogenik dilaporkan antara 19 – 51% pada kasus meningitis bacterial akut. Sedangkan menurut Geyik et al (2002) rasio meningitis oleh karena akut sekunder dan otitis media kronik pada kasus meningitis bakterial akut sekitar 21%. Kangsanarak et al (1993) melaporkan kasus-kasus meningitis otogenik berasal dari komplikasi intracranial 0.24% dan ekstrakranial 0.45%. Facial Paralysis, subperiosteal abscess dan labirynthitis merupakan komplikasi dari group komplikasi ekstrakranial dan meningitis serta brain abscess paling sering dijumpai pada group komplikasi intrakranial. Centers for Diaseases Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa pada tahun 1998-2007 di Amerika Serikat dilaporkan 33 kasus Primary Amebic Meningoencephalitis (PAM) dan merupakan penyebab kematian pada 23 orang pada tahun 1995-2004 dan 6 orang di tahun 2007. Menurut WHO (1996) bahwa di klinik Bucharest, Rumania telah terjadi peningkatan kasus meningoensefalitis sejak bulan Agustus tahun 1996 dan terdapat 281 kasus virus meningitis yang terjadi dari 1 Agustus sampai 2 September, dengan usia rata-rata pasien adalah 47 tahun dan 53% dari pasien dengan usia di atas 50 tahun. 3. Patofisiologi Etiologi Terjadinya infeksi pada susunan saraf dapat disebabkan oleh berbagai agen mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit maupun jamur. Agen – agen mikroorganisme ini akan menyebabkan infeksi primer pada suatu bagian tertentu dan akan menyebar bersamaan dengan aliran darah dan cairan tubuh lainnya. Klasifikasi menurut organ yang terkena peradangan, tidak memberikan pegangan klinis yang berarti. Radang saraf tepi dinamakan neuritis, pada meanings disebut meningitis, pada jaringan medulla spinalis disebut mielitis dan pada otak dikenal sebagai ensefalitis. Sedangkan pembagian menurut jenis mikroorganisme mencakup sekaligus diagnose kausal. Berikut merupakan klasifikasi infeksi susunan saraf berdasarkan mikroorganismenya : A. Infeksi bakterial. Infeksi bakteri kebanyakan dapat disembuhkan dengan penggunaan antibiotika. Umumnya kegagalan pengobatan disebabkan oleh keterlambatan pertolongan terapeutik atau factor daya tahan tubuh yang menurun. Ketahanan tubuh melawan serangan infeksi terdiri dari mekanisme fagositosis dan adanya antibody pada system imun. Berbeda dengan jaringan lainnya, susunan saraf pusat tidak mempunyai sel – sel penghasil antibody melainkan adanya Blood Brain Barrier sebagai pelindung susunan saraf pusat. Apabila Blood Brain Barrier ini rusak karena infeksi, protein plasma dan leukosit dapat memasuki otak dan medulla spinalis. Dengan demikian proses radang dan reaksi imunologik dapat berkembang di susunan saraf pusat. Sedangkan proses fagositosis di susunan saraf dilakukan oleh 3 jenis sel yaiu sel lepto-meninges, sel microglia dan sel makrofag atau histosit yang berasal dari darah. Penyebaran infeksi karena bakteri pada sistem saraf pusat dapat terjadi dengan cepat sehingga meningitis dapat menyebar dengan luas. Bakteri masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui 3 jalan utama yaitu : Penyebaran langsung dari fokus infeksi di dekatnya, seperti sinus paranasal atau telinga bagian tengah, infeksi dapat pula ditimbulkan oleh penyebaran dari luar tubuh seperti pada kasus cedera kepala disertai fraktur tengkorak yang terbuka. Penyebaran melewati aliran darah yang dapat terjadi sebagai akibat septikemia atau sebagai emboli septik dari infeksi yang telah terbentuk di tempat lain seperti endokarditis bakterialis dan bronkiektasi. Infeksi iatrogenik, yang terjadi akibat masuknya kuman ke dalam sistem saraf pusat setelah dilakukan pungsi lumbal. Pada meningitis yang ringan dapat terjadi sampai 20% pada penderita dengan shoent ventrikulo-peritoneal, yang biasanya disebabkan oleh Staphyllococcus epidermidis yang merupakan kuman komensal pada kulit. Berikut ini adalah beberapa contoh agen bakteri yang sering menyebabkan infeksi pada sistem saraf antara lain : Staphyllococus aureus, α dan β hemolitik streptokokus dari sinus paranasal, bakteri gram negatif dari telinga tengah : akan menyebabkan timbulnya meningitis akibat penyebaran langsung infeksi dari tulang tengkorak. Escherichia coli, Streptococus agalactae, Listeria monositogenes, Salmonela sp, Haemofilus influenzae tipe B, Naiseria meningitidis, Streptococus pneumoniae tipe 3 : sering menimbulkan meningitis karena penyebaran melewati aliran darah. Mycrobaterium tuberculosa : menyebabkan terjadinya meningitis tuberkulosa. Infeksi tuberkulosis pada SSP biasanya terjadi sebagai infeksi sekunder yang berasal dari infeksi di organ lain, paling sering berasal dari paru. Infeksi akibat Mycrobacterium pada SSP dibagi dalam 2 bentuk utama yaitu meningitis tuberkulosa dan tuberkuloma. Meningitis tuberkulosa merupakan hasil dari penyebaran hematogen komplek primer dan sekunder dalam paru. Tuberkuloma sebagian besar terjadi dalam serebelum dan dipaparkan dengan tanda dan gejala dari tekanan intrakranial. Treponema pallidum : bakteri ini menyebabkan penyakit sifilis. Namun karena penyebaran hematogen yang mencapai SSP, bakteri ini dapat menginfeksi meninges menyebabkan meningitis. Penyakit infeksi neurologic bacterial yang sering dijumpai menurut frekuensinya ialah sebagai berikut : Meningitis Bakterialis Meningitis bacterial {MB} adalah inflamasi meningen, terutama pia - arakhnoid{leptomeningitis} dan durameter {pachymeningitis}, yang terjadii karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada meningitis bakterialis terjadi rekutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal {CSS}. Biasanya inflamasi tidak terbatas hanya pada meningen, tapi juga mengenai parenkim otak {meningoensefalitis}, ventrikel {ventrikulitis}, bahkan akan menyebar ke medulla spinallis. Meningitis bakterialis akut selalu bersifat purulenta. Ada banyak bakteri yang dapat menyebabkan meningitis akut. Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septicemia. Pada meningitis meningokokus, prodormanya ialah infeksi nasofaring oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Berikut merupakan gambaran meningitis. Terjadi perbedaan fisologis pada cairan serebrospinal {Nampak terjadi purulent} serta terjadinya jaringan di meningitis yang membengkak akibat terinfeksi bakteri. Factor resiko yang meningkatkan kejadian meningitis bakterialis adalah keadaan immunocompromised {seperti terinfeksi HIV, kanker, sedang dalam terapi obat imunodepresan dan splenektomi}, trauma tembus cranial, fraktur basis cranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi, adanya benda asing dalam system saraf pusat {ventriculoperitoneal shunt} dan penyakit kronik. Resiko terjangkit meningitis bakterialis tidak terbatas oleh umur pasien, mulai dari neonates hingga dewasa. Sedangkan tuberkulosisi pada susunan saraf pusat dapat terjadi sebagai meningitis tuberkulosa, tuberkuloma, granuloma epidural pada sumsum tulang belakang, penyebaran milier, atau merupakan kombinasinya. Meningitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycrobacterium tuberculosis disebut dengan meningitis tuberkulosa. Sarang infeksi tuberculosis umumnya pada paru – paru, namun karena adanya lintasan hematogen {menginfeksi cairan serebrospinal atau hematogen menyebar ke plexus choroideus}, bakteri ini mampu berada pada korteks serebri. Tetanus Kuman penyebab penyakit ini adalah basilus yang bernama Clostridium tetanus. Bakteri ini hidup di usus binatang dan manusia, dan hanya berbiak di lingkungan anaerobic. Pada masa pertumbuhannya eksotoksin diproduksi, yang diserap oleh aliran darah sistemik dan serabut saraf perifer. Melalui susunan saraf tepi, eksotoksin menuju ke motoneuron terutama interneuron Renshaw. Terganggunya sel – sel tersebut menghilangkan inhibisi terhadap alfa motoneuron. Dalam keadaan ini, alfa motoneuron selalu berada dalam keadaan hiper- eksitasi dan menimbulkan kejang tonik pada otot – otot skeletal dan wajah. Keadaan ini akan tercermin pada gaya jalan penderita yang memperlihatkan kekakuan sehingga jalannya seperti gerak jalan robot. Kejang tonik pada otot – otot wajah menghasilkan raut muka yang khas, yang dinamakan “risus sardonikus” atau senyum seorang yang menderita. Berikut ini merupakan pathways infeksi akibat Clostridium tetani. Manifestasi tetanus timbul kira – kira 7 hari atau lebih lama setelah kuman menginfeksi tubuh. Selama eksotoksin masih diproduksi, terapi untuk menghilangkan manifestasi tetanus tidak akan bermanfaat signifikan. Penanggulangannya adalah dengan mengeksisi tempat Clostridium tetanus masuk ke dalam tubuh, supaya kumannya ikut terbuang dan produksi eksotoksin tidak ada lagi. Abses serebri Yang dimaksud dengan abses serebri adalah abses intraserebral atau intra serebeler, biasanya disebabkan karena polimikrobial. Pathogen yang paling sering menjadi penyebab infeksi adalah Streptococcus anginosus dan bakteri anaerob. Patogen lainnya adalah Nocardia spp dan Toxoplasma gondii. Kebanyakan abses serebri berkembang sebagai penjalaran dari otitis, mastoiditis, sinusitis frontalis atau fraktur tengkorak. Kebanyakan abses terletak di bagian alba, karena pendarahan di area ini kurang intensif disbanding dengan area kelabu. Reaksi dini dari jaringan otak terhadap kuman yang bersarang di area ini adalah pembentukan edema dan kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan nanah. Fibroblast sekitar pembuluh darah bereaksi dengan proliferasi. Astroglia ikut berproliferasi juga dan membentuk kapsel. Bila kapsel pecah dan mencapai area vintrikel akan menimbulkan manifestasi abses serebri terdiri dari gejala lokalisatorik dan gejala proses desak ruang. Jika perkembangannya berlalu dengan cepat, akan dijumpai dengan gejala demam, menggigil dan muntah. Abses kronik biasanya tidak memperlihatkan gejala – gejala tersebut. Abses epidural spinal Durameter tulang belakang terpisah dari arkus vertebra oleh jaringan pengikat yang longgar. Jaringan tersebut seolah – olah nebyediakan ruang untuk kuman yang dapat membentuk abses. Karena itu, manifestasi abses epidural spinalis mencerminkan efek proses desak ruang dari sisi posterior. Faktor etiologi dan presipitasi yang penting bagi abses epidural spinalis yang akut ialah diabetes mellitus dan infeksi stafilokokus aureus yang berupa bisul di kulit atau osteomielitis pada korpus, lamina atau pedikel tulang belakang. Yang paling sering terkena adalah bagian torakal. Bagi jenis yang kronik, spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit primernya. Tergantung pada lokasi abses epidural, maka paraplegia dengan deficit sensorik akan berkembang secara berangsur – angsur. Kompresi medulla spinalis mulai dengan nyeri tulang belakang, kemudian nyeri radikuler dan paraplegia akan timbul sedikit demi sedikit dengan gangguan perasa getar, gerak dan posisi sebagai gejala dininya. Granuloma intraserebral atau epidural spinal Biasanya disertai dengan tuberkulis vertebra dan paling sering terdapat pada bagian thorax. Tanpa tindakan operatif, kelainan ini dapat membesar dan menyebabkan desakan pada medulla spinalis. Tromboflebitis cranial Tromboflebitis dapat merupakan kompliasi dari osteomielitis tulang tengkorang, mastoiditis, sinusitis, abses subdural ataupun infeksi pada daerah wajah yang menggunakan sistema venosa intrakranium untuk darah baliknya. Infeksi primernya adalah sinusitis frontalis atau sfenoidis ataupun etmoiditis, infeksi sinus tranversus atau vena jugularis dapat juga menjalar ke sinus kavernosus melalui sinus petrosus. Pada tahap penyebaran kuman didapati gejala – gejala berupa : demam, sakit kepala, mual, muntah. Obstruksi vena opthalmika yang menghantarkan darah ke sinus kavernosus mengakibatan timbulnya edema di ruang orbita seta kelopak mata. B. Infeksi virus Penyebaran infeksi virus ke dalam sistem saraf pusat terjadi secara hematogen atau retrograd transpor saraf. Meningitis akibat virus sering ditemukan dan penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya disertai dengan perubahan cairan serebrospinal yang khas. Ensefalitis lebih sedikit ditemukan, tetapi dapat menyebabkan kematian atau kecacatan berat. Pengaktifan kembali infeksi virus yang laten dapat merusak SSP seperti herpes zoster. Sistem saraf pusat sering terkena pada infeksi HIV dan sering disertai oleh infeksi virus lain, bakteri atau bahkan parasit. Infeksi virus yang lambat bertanggung jawab terjadinya ensefalopati spongiform subakut, suatu penyebab dementia yang jarang. Ensefalomielitis diseminata akut merupakan suatu perubahan demielinasi yang dapat berasal dari reaksi imun akibat virus. Infeksi SSP oleh virus dapat terjadi dengan mekanisme sebagai berikut : Penyebaran hematogen sebagai bagian dari infeksi sistemik dengan viremia dan biasanya menyebabkan meningitis atau ensefalitis. Penyebaran neuoral sepanjang saraf sensorik perifer oleh retrograd transpor akson. Virus – virus yang sering menginfeksi sistem saraf pusat : Echovirus (7, 11, 24, 33), Coxsackie (B 1-5, A9), Virus mumps, dan enterovirus lain : merupakan virus – virus yang sering menyebabkan meningitis. Herpes simplex tipe 1, infeksi rabies : dapat menyebabkan terjadinya ensefalitis virus yang menginfeksi otak. Varicella zoster : merupakan virus yang dapat menyebabkan herpes zoster yang dikarenakan hasil dari pengaktifan kembali virus laten didalam ganglia sensorik dalam SSP. JC papovirus : virus laten yang dapat menyebabkan leukoensefalopati multifokal progresif ketika menginfeksi SSP Sitomegalovirus dan virus rubela : merupakan virus antenatal yang menginfeksi SSP dalam kandungan dan dapat menyebabkan ensefalitis nekrotising. Virus measles : merupakan virus persisten yang menginfeksi SSP yang dapat menyebabkan panensefalitis sklerosing subakut. Infeksi rubela postnatal atau kongenital : dapat menyebabkan panensefallitis rubela progresif. HIV : virus yang menginfeksi SSP dimana virus tersebut dibawa menembus pertahanan otak ke dalam darah oleh monosit atau makrofag dan akan tinggal di dalam SSP terutama pada sel mikroglia dan sel berinti banyak dari jenis makrofag atau mikroglia. ODHA sering menunjukkan adanya kelainan neurologik sebagai hasil dari infeksi HIV serebral,infeksi oportunistik multiple, infeksi virus yang lain dan limfoma serebral primer. Berikut ini adalah contoh penyakit – penyakit yang timbul akibat invasi virus kedalam susunan saraf : Meningitis viral Infeksi oleh virus campak, enterovirus dan beberapa virus lainnya dapat menyebabkan penyakit ringan yang sembuh sendiri tanpa komplikasi berat meningitis bacterial akut. Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal dan jumlah sel hingga beberapa ribu sel per μl, biasanya limfosit dengan beberapa sel polimorfik, kecuali pada tahap awal infeksi. Konsentrasi protein sedikit meningkat dan kadar glukosa normal. Ensefalitis viral Invasi virus otak dapat menyebabkan reaksi inflamasi limfositik dengan nekrosis neuron dan sel glia. Virus herpes simpleks adalah penyebab tersering ensefalitis sporadic. Virus lain yaitu herpes zoster, sitomegalovirus dan virus Epstein Barr, adenovirus dan campak. Ensefalitis dapat menjadi epidemic, sebagai akibat infeksi arbovirus pada tempat di mana nyamuk berperan sebagai vector penyakit ini. Pasien akan mengalami nyeri kepala, demam, dan penurunan tingkat kesadaran dalam beberapa jam atau hari. Dapat terjadi kejang dan tanda neurologis fokal yang mungkin menunjukkan disfungsi hemisfer serebri atau batang otak. Tanda –tanda hemisferik meningkatkan kecurigaan ensefalitis herpes simpleks. Rabies Rabies disebabkan oleh virus yang ditularkan ke manusia melalui gigitan anjing atau binatang apapun yang terinfeksi virus rabies. Setelah virus rabies melakukan penetrasi ke host, virus ini akan menjalar melalui serabut saraf perifer ke susunan saraf pusat. Sel – sel neuron akan sangat peka rerhadap virus tersebut. Ketika neuron terkena infeksi virus ini, proses infeksi tidak dapat lagi dicegah. Neuron – neuron di seluruh susunan saraf pusat dari medulla spinalis hingga ke korteks tidak akan luput dari daya destruksi virus rabies. Masa inkubasi rabies adalah selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Jika selama masa inkubasi ini dapat dilakukan pencegahan supaya virus raies tidak tiba di neuron, maka kematian dapat dihindarkan. Gejala prodorma yang timbul adalah letih, lesu, anoreksa, demam, cepat marah dan timbul nyeri pada bagian tubuh yang digigit anjing. Adanya pengaruh suara berisik dan sinar terang akan sangat menggangu penderita. Pada 48 jam setelah gigitan dapat timbul gejala – geejala hipereksitasi. Penderita akan menjadi gelisah, mengacau, berhalusinasi, meronta – ronta, kejang epistotonus dan hidrofobia {otot pernafasan dan laring akan mengejang sehingga menjadi sianotik dan apnoe}. Air liur akan tertimbun di dalam mulut karena penderita tidak dapat menelan. Masa penyakit dari timbulnya prodorma hingga terjadi kematian adalah 3 hngga 4 hari saja. Poliomyelitis anterior akuta Poliomyelitis anterior akuta disebabkan oleh enterovirus. Jenis virus ini adalah salah satu dari kelompok virus yang berukuran halus sekali yang patogenik bagi manusia. Sekali virus ini berhasil menginfeksi di neuron susunan saraf pusat, pengobatan apapun tidak dapat mengatasi proses infeksi tersebut. Penetrasi virus ini melalui mulut atau faring dan dalam waktu 24 jam enterovirus ini sudah tiba di usus. Ketika virus ini berdiam diri di dalam faring maupun di usus, penetrasi melalui luka akan lebih cepat menimbulkan manifestasi. Kekebalan tubuh yang baik sangat diperlukan untuk mencegah terinfeksinya virus ini. Perjalanan penyakit bertahap. Tahap pertama sesuai dengan tahap multiplikasi virus di faring atau usus. Gejala – gejala yang timbul tidak khas. Sakit kepala, demam ringan, lesu dan badan merupakan gejala prodormal dini. Gejala ini akan berkembang menjadi faringitis atau gastroenteritis dan dapat sembuh tanpa adanya komplikasi. Dalam hal ini, infeksi virus poliomielitiss dinamakan abortif. Namun jika faringitis atau gastroenteritis disusul dengan gejala – gejala meningitis, kuduk dan tubuh bagian belakang nyeri {sehingga pasien tidak dapat duduk} hal ini merupakan poliomyelitis non paralitika atau tahap meningitis dari infeksi poliomyelitis anterior akuta. Bila infeksi ini menjalar hingga ke parenkim susunan saraf pusat, maka timbulah paralisis. Yang terkena ialah motoneuron, baik di medulla spinalis maupun di inti saraf otak motorik. C. Infeksi jamur Infeksi jamur adalah infeksi yag terjadi setelah terjadi inflantasi jamur {spora} pada tubuh manusia termasuk diantaranya adalah susunan saraf pusat dan menimbulkan reaksi secara local maupun sistemik. Jamur – jamur tertentu dapat menimbulkan infeksi. Kulit, kerongkongan dan paru merupakan bagian tubuh yang mudah mengidap infeksi fungus. Infeksi fungus pada kulit dikenal sebagai infeksi fungus luar, sedangkan infeksi fungus di organ dalam seperti paru – paru disebut infeksi fungus dalam. Infeksi fungus dalam dapat menimbulkan infeksi fungus sistemik ke berbagai bagian tubuh melalui penyebaran hematogenik. Diantara organ – organ tubuh yang mudah terkena penyebaran hematogen ialah otak dan selaput otak. Infeksi jamur pada sistem saraf dapat pula terjadi karena penyebaran langsung infeksi dari hidung dan sinus paranasal. Infeksi kriptokokus biasanya berupa meningitis subakut dimana reaksi radangnya sering terjadi sangat ringan. Infeksi jamur oportunistik dengan candida albicans dan aspergillus fumigatus biasanya disertai radang paru. Kedua organisme ini dapat menyebabkan meningitis yang disertai perdarahan akibat invasi vaskuler dan karakteristik menghasilkan abses serebral multiple. Jenis jamur yang menyebabkan infeksi sistemik yang berkomplikasi neurologic ialah Kriptokokus, Nokardia, Mukomikosis, Coccodiomikosis, Aktinomikosis, Histoplasmosis dan Aspergilus. Mukormikosis merupakan infeksi jamur yang jarang terutama mengenai diabetes yang tidak terkontrol, yang memproduksi massa granulomatosa didalam sinus paranasal yang meluas mengenai tulang tengkorak langsung dan lobus frontal. Mukormikosis juga dapat mengenai pembuluh darah yang menghasilkan infark serebral. Penyakit – penyakit yang biasanya timbul akibat infeksi jamur adalah : Actinomycosis Disebabkan oleh jamur anaerob Actinomyces bovis. Infeksi yang timbul pada otak biasanya merupakan infeksi sekunder. Proses primer dapat terjadi abses pada rahang, paru – paru, peritoneum sekitar appendix atau daerah paravertebral. Pada penampakan makroskopik, akan tampak sebahai “sulfur granules” yang khas. Nocardiosis Penyebabnya adalah Nocardia asteroids yang merupakan jenis jamur yang aerob dan terdiri dari hifa – hifa halus bercabang. Biasanya sekunder dari abses paru – paru atau pneumonia dan akan mencapai otak secara hematogen. Kelainan biasanya berupa abses, sering disertai dengan meningitis purulenta. Meningitis tanpa abses jarang terjadi, abses sering terjadi multiple. Cryptococcosis Cryptococcus neoformans merupakan penyebab utamanya. Bentuk dari jamur ini adalah bulat, bersimpai {mukopolisakarida} tebal. Proses peradangan pada susunan saraf biasanya dimulai dari peradangan pada paru – paru. Gambaran otak dan medulla spinallis bermacam – macam. Biasanya ditemukan eksudat fibrinopurulen pada leptomeninx yang banyak terletak di bagian basal, sehingga menyerupai meningitis tuberkulosa. Kelainan yang disebabkan oleh jamur ini meliputi ruang subarachnoid dan jaringan otal / medulla spinalis yang berdekatan. Dapat terjadi phlebitis dan arteritis akibat invasi eksudat granulomatosa pada dinding pembuluh darah. Ciri khas ialah adanya kista kecil pada lapisan atas kortex pada dasar sulkus yang mengandung jamur, sedangkan sekitar kista hanya terdapat sedikit reaksi atau tidak terdapat reaksi sama sekali, sehingga di duga kista ini akibat perubahan post mortem.Gambaran klinik menyerupai meningitis tuberkulosa dan infeksi jamur ini bersama tuberculosis dapat terjadi. Gambaran airan serebrospinal serupa dengan tuberculosis dan jamurnya dapat dibiakkan dengan mudah. Coccidiodomycosis Penyebabnya ialah Coccidioides immitis yang ditemukan dalam tanah di daerah barat daya Amerika Serikat. Jamurnya berbentuk bulat yang membentuk endospora sebanyak 100 – 200 buah. Biasanya radang terbatas pada paru – paru saja, tetapi kadang – kadang dapat menyebar dan membentuk granuloma pada otak.Gambaran makroskopik yang timbul adalah terjadinya kelainan pada otak berupa meningitis basilaris debfab atau tanpa abses otak. Mikroskopis menyerupai tuberculosis dan diferensiasinya ialah dengan menemukan jamurnya. Jarang terjadi perkejuan. Histoplasmosis Sifat penyakitnya hampir sama dengan Coccidioidomycosis, tetapi jarang mengenai susunan saraf pusat. Penyebabnya ialah Histoplasma capsulatum, yang menyebabkan susunan retikuloendotel secara merata, sangat menular. Jamurnya bulat atau lonjong yang terdapat dalam fagosit dan sel endotel. Gambaran mikroskopik menyerupau tuberculosis dengan perkejuan dan diagnosis diferensiasi ialah dengan menemukan jamurnya. Blastomycosis Agen penyebabnya adalah Blastomyces dermatidis atau Blastomyces brasiliensis. Keduanya jarang menyerang susunan saraf pusat. Kelainan yang paling sering ditimbulkan adalah meningitis basilaris, tetapi granuloma atau abses dapat terjadi dalam otak atau ruang epidural sekunder dari osteomyelitis tengkorak atau vertebra. Dapat menyerupai tuberkuloma dengan perkejuan atau terjadi supurasi pada bagian tengah. Candidiosis Terjadi sebagai komplikasi terapi antibiotika, penyakit tua dan penggunaan kemoterapika. Akan menyebabkan meningitis basilaris dengan granuloma kecil – kecil pada korteks. Penyebabnya ialah Candida albicans yang terdiri atas pseudohypha dan “budding” yang berbentuk bulat atau lonjong. Mucormycosis Sering berhubungan denan penyakit diabetes mellitus. Kelainan yang dapat ditemukan adalah meningitis basilaris fokal dan menahun, infark dan invasi jamur dalam dinding pembuluh darah disertai destruksi dan thrombosis. Penyebabnya adalah Mucor yang terdiri dari hypha tidak bersekat – sekat, bercabang lebar – lebar dan berukuran besar dengan sifat virulensinya yang rendah. D. Infeksi parasit Infeksi parasit {cacing} adalah infeksi yang disebabkan oleh karena invasi telur atau larva cacing ke dalam tubuh manusia termasuk diantaranya adalah susunan saraf pusat. Infeksi parasit pada SSP jarang terjadi terkecuali di negara yang parasitnya merupakan penyakit endemic. Organisme yang sebagian ditemukan adalah : Toksoplasma gondii yang mungkin kongenital. Plasmodium fallsiparum merupakan salah satu penyebab malaria. Trypanosoma rhodesience yang merupakan penyebab meningoensefalitis kronis. Entamoeba histolitica merupakan penyebab abses amoeba yang soliter Taenaia solium yang merupakan penyebab sistiserkosis serebral. Echinococcus spp penyebab kista hidatid soliter. Toksokara kanis merupakan penyebab meningitis eusinofilik dengan granuloma sekitar larva. E. Infeksi pada penderita imunosupresi. Infeksi SSP sering kali ditemukan pada penderita imunosupresi. Infeksi ini sebagian besar bersifat fatal dan diagnosis sering sulit ditetapkan sebelum pasien meninggal. Jenis mikroorganisme yang sering menginfeksi : Mikrobakteria atipik. Sitomegalovirus. Papovavirus. Kandida albicans. Aspergillus fumigatus. Kriptokokus neofarmans. Toksoplasma gondii. Entamoeba histolitica. (Underwood, J. C.E. 1999 : 872 – 879) Secara keseluruhan, berikut merupakan bentuk infeksi susunan saraf karena bakteri, viral, fungi, parasit dan agen penginfeksi lain : PATHOGENESIS Infeksi yang menyerang system saraf pusat {otak dan medulla spinalis} pada manusia. Bagi mikroorganisme halangan terbesar untuk penetrasi dibentuk oleh epithelium permukaan tubuh luar dan dalam seperti kulit, konjungtiva dan mukosa. {Neuorologi Klinis Dasar. Prof. dr. Mahar Mardjono, Dian Rakyat. 2010} Mekanisme infeksi system saraf pusat adalah penetrasi pada permukaan tubuh yang terluka / rusak / melalui gigitan anthropoda, lalu kemudian mikroba masuk ke dalam tubuh, tubuh akan bereaksi dengan melibatkan system imun. Mikroorganisme akan menghasilkan runtuhan dan unsure – unsure mikroorganisme berupa toksin yang dilepaskan bagi tubuh pejamu yang kemudian akan diserap oleh aliran darah {toksemia}, meimbulkan gejala prodromal seperti demam, anoreksia, lemas dan lain – lain. {Neuorologi Klinis Dasar. Prof. dr. Mahar Mardjono, Dian Rakyat. 2010} Mikroorganisme akan berkembang pesat dalam aliran darah {bakteriemia} dan menetap dalam aliran darah {septicemia} mengikuti sirkulasi darah seluruh tubuh, kuman ini akan menuju suatu organ tertentu yang menyebabkan disfungsi organ yang terlokalisir pada otak dapat menimbulkan gejala enteritis, nefritis, ensefalitis. {Neuorologi Klinis Dasar. Prof. dr. Mahar Mardjono, Dian Rakyat. 2010} Bakteriemia / septicemia dapat masuk ke otak melalui cara langsung yaitu melalui arteri cerebral. Sedangkan cara tidak langsung melalui arteritis pada arteri meningeal yang menyebabkan kuman tiba di liquor dengan invasi ke otak melalui penerobosan piameter. Mikroorganisme dapat pula masuk ke otak dengan cara merusak sawar darah otak dengan membuka tight junction yang dapat meningkatkan permeabilitas. Ketika mikroorganisme mencapai “persinggahannya”, mikroorganisme akan melepaskan komponen selnya seperti sel pada bakteri yaitu lipopolisakarida, lipid A {endotoksin}, asam lipoteikoit, asam teikoit, dan peptidoglikan yang bergantung pada jenis bakteri, apakah Gram positif atau gram negative. Komponen – komponen sel tersebut akan menyebabkan sel – sel endotel kapiler dan makrofag SSP melepaskan sitokin {interleukin-1/IL-1} dan Tumor Necrosis Factor {TNF}. Sel – sel kapiler endotel dan leukosit SSP akan melepaskan produk – produk asam arakidonat siklooksigenase {prostaglandin, dan tromboksan}, platelet activating factor {PAF}. PAF mengaktifkan reaksi koagulasi, dan metabolit asam arakidonat merangsang vasodilatasi. Semua itu akan menyebabkan udem serebral, peningkatan tekanan intracranial, peningkatan limfosit di cairan serebrospinal {pleositosit}, penyebaran koagulasi intravaskuler atau DIC, sindroma sekresi anti diuretic hormone yang tidak sesuai {SIADH}, penurunan aliran darah otak, iskemia otak dan kematian. DIAGNOSIS Sebelum melakukan penegakkan diagnosa penyakit, dilakukan prosedur anamnesis terlebih dahulu. Anamnesis yang dilakukan meliputi gejala dan tanda klasik seperti demam, kekakuan leher, belakang leher dan punggung, pemeriksaan tanda Brudzinski positif (fleksi kedua kaki dan paha akibat leher yang ditekuk paksa), tanda Kernig positif (ketidakmampuan meluruskan kaki bila berbaring pada punggung dengan paha ditekuk pada sudut kanan tubuh). Perjalanan penyakit selanjutnya adalah pasien dapat mengalami kejang, defisit fokus neurologi dan hidrosefalus. Anamnesis terhadap bayi yang menderita meningitis bakteri mungkin hanya menunjukkan gejala yang tidak spesifik seperti gelisah, pola tidur berubah, muntah, menangis keras, penurunan asupan oral atau kejang. Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) yang diambil setelah dicurigai adanya gejala dan tanda meningitis, kultur darah, pewarnaan cairan serebrospinal dan biakan cairan serebrospinal. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan infeksi system saraf khususnya meningitis maupun ensefalitis. Temuan – temuan cairan serebrospinal pada meningitis bakterial dan non bakterial : Pustaka 1 : Profil CSS Total sel (per µl) Leukosit Glukosa (% darah) Protein (mg/dL) Pewarnaan Gram Bakterial Viral Biasanya > 500 Predominan PMN ≤40% >50 Positif (65 – Biasanya <500 Predominan mononuklear >40% >50 negatif Mikrobakterial atau jamur Biasanya <500 Predominan mononuklear ≥40% >50 Negatif 95%) Diagnosis Banding pleositosis CSS Abses otak atau empiema subdural disertai ruptur Vaskulitis sistem saraf pusat, tumor Predominan PMN (>90%) Predominan mononuklear (<90%) Meningitis bakterial Meningitis viral atau ensefalitis Meningitis viral dini Tuberkulosis atau meningitis jamur Tuberkulosis dini atau meningitiss jamur Meningitis bakterial yang diobati sebagian Abses otak atau empiema subdural disertai Abses obat pada empiema subdural ruptur ke dalam ruang subarakhnoid Listeriosis (bervariasi) Araknoid kimia Neurosifilis Abses pada empiema subdural Neuroboreliosis (penyakit Lyme) Neurosistiserkosis Meningoensefalitis amoebik primer Sindrom Guillain Barre Vaskulitis sistem saraf pusat, tumor, perdarahan Multiple sklerosis (Kim A. Eagle. 2006 : 196) Pustaka 2 : Keadaan Normal Meningitis bakterialis Meningitis TBC eningitis virus Ensefalitis virus Sel Protein (g/L) 0-4 limfosit/mm3 >>polimorf 0,15 – 0,40 Glukosa (mmol/L) 2,7 – 4,0 Bentuk > < atau tidak ada >awal polimorf, > kemudian limfosit >awal polimorf , > kemudian >>limfosit >awal polimorf, > kemudian >limfosit < atau tidak ada Jernih oplaesen atau Normal Jernih berwarna tak Normal Jernih berwarna tak Jernih tidak berwarna Opaq dan keruh (J.C.E. Underwood. 1999 : 874) Pungsi lumbal adalah suatu tindakan dalam klinik untuk memperoleh likuor serebrospinalis dari ruang subaraknoid medulla spinalis. Likuor serebrospialis atau cairan serebrospinal adalah cairan jernih, tidak berwarna yang mengisi ruang ventrikel, sisterna – sisterna, ruang subaraknoid otak dan medulla spinalis. Pada kasus infeksi meninges kadang disertai dengan hipokalsemia, hiponatremia serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolic. Pencitraan otak juga harus segera dilakukan secepatnya. 4. TUJUAN TERAPI Tujuan terapi adalah untuk menghilangkan infeksi dengan menurunkan tanda - tanda dan gejala serta mencegah kerusakan neurologi seperti kejang, tuli, koma hingga kematian akibat infeksi beserta kerusakan yang terjadi. Prinsip pengobatannya adalah mengurangi / meniadakan agen penyebab infeksi menggunakan antibiotik atau antivirus. Karena sasaran pengobatan adalah system saraf {system organ dengan mekanisme pertahanan khusus Blood Brain Barrier}, maka hal yang perlu diperhatikan adalah penggunaan obat yang mampu menembus Blood Brain Barrier sehingga mampu bekerja di otak. 5. TATALAKSANA TERAPI Terapi yang diberikan kepada pasien yang mengalami infeksi susunan saraf didasarkan pada mikroorganisme penyebab infeksi. Terapi mengunakan antibiotic merupakan terapi utama yang harus diberikan pada pasien penderita infeksi system saraf yang disebabkan oleh bakteri, pemberian antiviral untuk pasien terinfeksi virus, juga pemberian anti parasit / antelmintik pada infeksi akibat parasit. Mengingat bahwa di otak terdapat Blood Brain Barrier {sawar otak} dimana tidak sembarang molekul/senyawa/zat dapat dengan mudah menembusnya, maka perlu dipilih obat yang dapat menembus Blood Brain Barrier. Pemilihan obat yang tepat serta strategi mempertahankan kadarobat di cairan serebrospinal perlu dilakukan untuk mencapai tujuan terapi Prinsip umum terapi infeksi system saraf adalah : 1. Terapi antibiotika empiris {amoksisilin, ampisilin} harus segera diberikan sesegera mungkin untuk menghilangkan mikroba penyebab. Terapi antibiotic harus diberikan paling tidak selama 48 – 72 jam atau hingga diagnose dapat ditegakkan. Terapi menggunakan obat khusus tergantung dengan penyebab infeksi diberikan selama 7 hingga 14 hari. 2. Pemberian cairan, elektrolit, antipiretik, analgesic dan terapi penunjang lainnya yang penting untuk pasien penderita infeksi susunan saraf. Isolasi dan identifikasi penyebab dapat langsung dilakukan pemilihan antimikroba spesifik yang sesuai untuk pasien. Peningkatan inflamasi pada selaput otak akan meningkatkan penetrasi obat. Masalah penetrasi antibiotic dapat diatasi dengan pemberian obat secara intratekal, intrasisternal atau intaventrikuler. Adapun factor lain yang akan memperkuat penetrasi obat ke CSS adalah berat molekul obat yang rendah, molekul yang tidak terionan, kelarutan dalam lemak dan ikatan protein yang kecil. TERAPI FARMAKOLOGIS a. Terapi menggunakan antibiotik Penggunaan antibiotic dilakukan bila setelah penegakan diagnose diketahui penyebab infeksi adalah agen bakteri. Antibiotic yang dapat digunakan berdasarkan penggolongan umur : Bila hasil laboratorium dan penegakan diagnose telah dilakukan dan telah ditentukan jenis bakteri penginfeksi, terapi yang diberikan dalah pemberian antibiotic spesifik. Berikut merupakan antibiotik spesifik pada infeksi bakterialis : Infeksi susunan saraf yang disebakan oleh Mycrobacterium tuberculosis dapat diberikan terapi yang sama seperti halnya pada tuberculosis. Terapi kombinasi diberikan dengan tujuan untuk mengoptimalkan penyembuha. Obat yang biasanya digunakan pada terapi tuberculosis adalah isoniasid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Isoniasid bekerja dnegan mekanisme menghambat subtesa asam miokolik yang menimbulkan kerusakan dinding sel bakteri. Rifampisin bekerja menghambat sintesa RNA bakteri dengan mengikat sub unit beta DNA, RNA polimerasi dan memblok transkripsi RNA. Pirazinamud akan berubah menjadi asam pyrazinoik sehingga terjadi penurunan pH lingkungan bakteri. Bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung pada konsentrasi obat. Sedangkan etambutol akan menekan multiplikasi mikroba dengan cara mengganggu sintesis DNA. b. Terapi menggunakan antivirus / antiviral. Infeksi system saraf yang disebabkan karena virus. Dosis asiklovir yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB untuk neonates dan 10 mg/kgBB untuk penderita ensefalitis HSV, diberikan setiap 8 jam secara i.v.pada neonates, semua bentuk infeksi HSV diobati dengan dosis yang lebih tinggi. Pemberian asiklovir selama 14 – 21 hari. Tabel berikut menunjukkan terapi spesifik yang diberikan pada kasus infeksi akibat virus : Etiologi Pengobatan Cytomegalovirus Ganciclovir Enterovirus Immune globulin Herpes Simplex Virus Acyclovir Human Immunodeficiency Virus Multidrug antiretroviral regimens Lyme Dissease Ceftriaxone Syphillis Penisilin dosis tinggi Toxoplasmosis Pyrimethamine dan sulfadiazine Tuberkulosis Multidrug antimikroba regimen c. Terapi menggunakan antifungi Pemberian dilakukan bila Mutagen penyebab infeksinya adalah jamur. Agen antifungi yang biasanya digunakan untuk terapi adalah amfotericin, itraconazol, atau mikonnazol. Kasus infeksi fungal Cryptococosis, diberikan terapi amfoterisin dengan dosis 0,5 – 1 mg/kg/hari, kombinasi dengan flusitosin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari akan lebih efektif, pemberian selama 6 – 10 minggu. Atau bisa juga dilakukan terapi amfoterisin dengan dosis 0,5 – 1 mg/kg/hari, kombinasi dengan flusitosin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian terapi diganti denan fluoconazole dengan dosis 400 mg/hari selama 8 – 10 minggu. Pada pasien yang mengalami imunocompromised, diberikan terapi dengan jangka waktu yang lebih lama berupa : amfoterisin (0,5- 10 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan pemberian fluokonazol 400 – 800 mg/hari kemudian terapi maintenance menggunakan flukonazol dosis rendah sebesar 200 mg/hari. Aspergilosis diberikan terapi amfoterisin dengan dosis 1,0 mg/kgBB/hari atau menggunakan itrakonazol dengan dosis 400 mg/hari secara intravena. Infeksi Candidosis pada system saraf diberikan amfoterisin dengan dosis 0,7 – 1,0 mg/kgBB/hari dengan kombinasi bersama flucitosin dosis 100mg/kgbb/hari. Pemberian flositosin dilakukan setiap 12 atau 24 jam sekali. Treatment harus dilanjutkan selama 4 minggu setelah dinyatakan sembuh. Terapi pada infeksi Mucormycosis digunakan amfoterisin dengan dosis 1,0 – 1,5 mg/kg/hari (formulais konvesional). Bila terapi ini gagal, maka terapi dilakukan dengan metode lipid - based formulationdisertai peningkatan dosis sebesar 3 – 5 mg/kgBB. Terapi diberikan hingga pasien dinyatakan sembuh. Pada pasien terinfeksi Blastomycosis diberikan amfoterisin dengan dosis 0,7 – 1,0 mg/kgBB/hari. Antifungi golongan azole sebaiknya tidak diberikan sebagai terapi initial pada penderita infeksi Blastmycosis. Kasus Coccidioidomycosis penyembuhannya menggunakan Amfoterisin dengan dosis 0,01 – 1,5 mg secara intratekal. Penggunaannya dimulai dari dosis paling rendah, peningkatan dosis dilakukan jika pasien mengalami intoleransi terhadap obat. Pemberian Fluconazole dan Itrakonazole oral dengan dosis efektif masing – masing sebesar 400 mg/hari dan 400 – 600mg/hari. Histoplasmosis susunan saraf diterapi menggunakan Amfoterisin (0,7 – 1,0 mg/kgBB/hari) selama 3 – 4 bulan secara intratekal atau intraventrikular sebagai drug o choice. Kemudian dapat diberikan Fluconazole dengan dosis 800 mg/hari selama 9 – 12 bulan untuk mengurangiresiko kambuh. Terapi dpat digantikan dengan Itrakonazole dengan dosis 400 -600 mg/hari. d. Terapi menggunakan antiparasit. Sulfonamida Sulfonamida diklasifikasikan menjadi 5 kelompok berdasarkan waktu paruh dan absorbsinya sebagai berikut: 1. Sulfonamida dengan masa kerja pendek: Sulphaurea (tidak ada di Indonesia). 2. Sulfonamida dengan masa kerja medium: Sulphadiazine, sulphamethoxazole. 3. Sulfonamida dengan masa kerja panjang: Sulphamethoxydiazine (tidak ada di Indonesia). 4. Sulfonamida dengan masa kerja sangat panjang: Sulphadoxine. 5. Sulfonamida yang sulit diabsorbsi: Sulfaguanidine. Mekanisme kerjanya adalah bakteriostatik dengan menghambat sintesa asam folat, memblokade enzim yang membentuk asam foalt dari PABA (para-aminobenzoic acid). Sebagian menginvasi enzim – eznim lain bakteri. Karena beberapa bakteri mempunyai cara tertentu untuk menyuplai asam folat, biasanya mula kerja dari sulfonamide akan selalu lambat. Golongna sulfonamide adalah obat antiparasit yang sifatnya sangat lemah tetapi mempunyai efek anti parasit sinergistik yang cukup baik dengan pyrimethamine. Efek samping yang paling sering adalah reaksi alergi, kerusakan ginjal karena deposit dari kristal sulfonamida yang sukar larut dalam air, gangguan gastrointestinal, risiko hiperbilirubinaemia pada kelahiran prematur, abnormalitas jumlah darah, cyanosis, dan cholestatic jaundice (jarang). Pyrimethamine Pyrimethamine merupakan antiparasit yang secara kimiawi dan farmakologi menyerupai trimetropim. Mekanisme kerja: pyrimethamine mengganggu metabolisme parasit seperti sulfonamida. Untuk terapi infeksi parasit, loading dose oral untuk dewasa adalah 200 mg dilanjutkan dengan dosis secara umum 50 - 75 mg per oral sekali sehari, dikombinasi dengan sulfadiazine dengan dosis 1000 <60 kg) – 1500 mg tiap 6 jam. Sebagai terapi pemeliharaannya, dapat digunakan : 1. Pirimetamin 25 – 50 mg peroral setiap 6 jam, dikombinasikan dengan asam folinat 10 – 25 mg/oral tiap 6 jam dan sulfadiazine 500 – 1000 mg/oral tiap 6 jam. 2. Klindamisin dengan dosis 300 – 450 mg tiap 6 – 8 jam (digunakan bersama dengan pirimetamin dan asam folinat peroral). 3. Atovaquone 750 mg tiap 6 – 12 jam, digunakan bersamaan dengan asam folinat 10 mg tiap 6 jam secara peroral. Efek samping yang paling sering adalah kerusakan sel-sel darah, khususnya jika diberikan dalam dosis tinggi. Kekurangan asam folat akan memicu agranulocytosis. Urtikaria dapat timbul selama terapi dengan pyrimethamine dan dapat menjadi tanda awal dari efek samping yang lebih serius yaitu, Sindroma Stevens- Johnson. Pyrimethamine harus digunakan sangat hati-hati pada kehamilan (katagori kehamilan tipe C). Pada hewan percobaan, dijumpai adanya efek teratogenik dan mutagenik. Pyrimethamine dapat menurunkan derajat fertilitas. Spiramycin (RovamycineR) Spiramycin merupakan antibiotika makrolida yang paling aktif terhadap toksoplasmosis di antara antibiotika lainnya yang mempunyai mekanisme kerja yang serupa, seperti Clindamycin, Midecamycin, dan Josamycin. Mekanisme kerja Spiramycin menghambat pergerakan mRNA pada bakteri/parasit dengan cara memblokade 50s Ribosome. Dengan begitu, sintesa protein bakteri/parasit akan terhenti dan kemudian mati. Spiramycin merupakan antibiotika yang paling banyak digunakan untuk menangani kasus toksoplasmosis di Eropa karena: 1. Aktivitas intraselularnya yang sangat tinggi. 2. Konsentrasi di plasenta yang sangat tinggi (6.2 mg/L), sehingga dapat mencegah infeksi maternal infiltrasi ke janin. 3. Aman bagi fetus. Spiramycin sedikit sekali kadarnya yang dapat masuk ke janin. Oleh sebab itu, pada janin yang sudah terinfeksi toksoplasma, efek terapi Spiramycin tidak akan maksimal. Spiramycin tidak dapat mencegah kerusakan yang sudah terjadi pada janin sebelum terapi Spiramycin dimulai. 4. Ditoleransi dengan baik oleh ibu hamil. 5. Studi-studi pendukung yang sangat banyak sebagai evidence based medicine22. Dosis Spiramycin untuk profilaksis toksoplasmosis kongenital 3 kali sehari 3 juta Internasional Unit (3 MIU) selama 3 minggu, lalu diulang setelah interval 2 minggu hingga saat partus. Pengobatan harus terus dilakukan sepanjang kehamilan untuk mencegah terjadinya infeksi primer Toxoplasma gondii Niklosamid digunakan sebagai pengobatan infeksi akibat Taenia solium Prazikuantel digunakan sebagai infeksi Taenia solium TERAPI NON-FARMAKOLOGIS Terapi farmakologis yang diberikan kepada pasien perlu didukung dengan terapi non farmakologi (terapi tanpa menggunakan obat). Terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan antara lain : 1. Konsumsi cairan sebanyak mungkin Gejala awal munculnyabiasanya adalah dehidrasi secara berlebihan. nah untuk mengatasi gejala yang satu ini, Anda bisa mengonsumsi banyak cairan. Mulai dari air putih, teh, jus jeruk ataupun minuman yang mengandung banyak isotonik. Jika biasanya manusia memerlukan konsumsi cairan sebanyak minimal 8 gelas, akan tetapi untuk penderita memerlukan konsumsi cairan yang lebih banyak dari 8 gelas. 2. Istirahat secara total Terapi non farmakologi selanjutnya adalah dengan istirahat secara total. Istirahat total ini sangat diperlukan bagi penderita, terutama istirahat dari aktivitas-aktivitas berat yang memerlukan banyak tenaga dan pikiran. Istirahat yang terbaik bagi penyakit meningitis adalah dengan tidur sebanyak mungkin. 3. Diet makanan Makanan yang dikonsumsi oleh penderita, haruslah berbeda dengan makanan yang dikonsumsi oleh masyakat pada umumnya. Adapun makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi oleh penderita antara lain seperti kacang-kacangan, buah, sayur dan sereal. Selain makanan jenis tersebut, usahakan untuk mengurangi atau menghindari sebisa mungkin. 4. Mandi air hangat Terapi non farmakologi yang terakhir adalah dengan selalu melakukan mandi dengan air hangat. Hal ini bertujuan agar meminimalisir sakit kepala yang disebabkan oleh peradangan di selaput otak. Usahakan untuk mandi dengan air hangat di atas suhu 35 derajat celcius setiap harinya. BAB III KASUS Pasien perempuan, 66 tahun, suku Bali, datang ke UGD RSUP Sanglah dengan keluhan kaku pada mulut sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, kaku diikuti tidak bisa menelan, minum air bisa sedikit-sedikit, makanan bubur dan nasi tidak bisa, tidak ada mual dan muntah. Pasien juga mengeluh perut dan punggung yang kaku. Pasien dengan riwayat luka pada jari ketiga kaki kiri karena tersandung batu sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak berobat sehingga luka di kakinya busuk dan berbau, dua hari setelah luka di kakinya busuk pasien mulai merasa panas badan dan pusing. Pasien mengaku sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan seperti ini, riwayat penyakit sistemik disangkal. Tanda vital stabil, dengan temperatur aksila 37,60 C. Dari pemeriksaan fisik umum ditemukan trismus, kaku kuduk dan perut seperti papan, serta pasien masih dalam keadaan sadar baik. Tidak ditemukan adanya kelainan sistemik. Pada pemeriksaan status lokalis regio pedis sinistra digiti 3 palang distal ditemukan jaringan nekrotik dan nyeri tekan. Pada pemeriksaan laboratorium, WBC = 8320 /μL, HB = 12,1 g/dl, hitung Platelet = 277000/μL, SGPT = 13,1 U/L, SGOT = 15,8 U/L, BUN = 16 mg/dl, Creatinin = 0,68 mg/dl, Na = 141 mmol/l, K = 3,9 mmol/l. Pada foto Rontgenregio pedis sinistra, tidak tampak jelas pembengkakan jaringan lunak, dan tak tampak erosi/destruksi tulang. Pada pasien ini kemudian dilakukan debridement untuk perawatan luka dan pemasangan nasogastric tube. Pemasangan infus Ringer laktat (1): D5% (1) : Aminofusin (2), Pasang O2 sungkup 3 liter per menit. Diberikan terapi Human tetanus immunoglobulin(Tetagam) 3.000 IU secara intramuskular, pemberian antibiotik Ceftriaxone 2x1 gram intravena, metronidazole 3x500 mg intravena, diazepam 20 mg dalam D5% (20 tetes per menit), dan diet cair 6x200 cc setiap 24 jam. Analisa S.O.A.P a. Subjek 1. Pasien : perempuan 2. Umur : 66 tahun 3. Keluhan utama : Kaku pada mulut sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, kaku diikuti tidak bisa menelan, minum air bisa sedikit-sedikit, tidak bisa makan bubur dan nasi, Tidak ada mual dan muntah. Kaku pada perut dan punggung. 4. Riwayat penyakit : luka pada jari ketiga kaki kiri karena tersandung batu sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak berobat sehingga luka di kakinya busuk dan berbau, dua hari setelah luka di kakinya busuk pasien mulai merasa panas badan dan pusing. Pasien mengaku sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan seperti ini, riwayat penyakit sistemik disangkal. b. Objek 1. Tanda vital stabil temperatur aksila : 37,60 C 2. Pemeriksaan fisik umum ditemukan trismus kaku kuduk perut seperti papan pasien dalam keadaan sadar baik tidak ditemukan adanya kelainan sistemik 3. Pemeriksaan status lokalis regio pedis sinistra digiti 3 palang distal ditemukan jaringan nekrotik dan nyeri tekan. 4. Pemeriksaan laboratorium WBC = 8320 /μL HB = 12,1 g/dl hitung Platelet = 277000/μL SGPT = 13,1 U/L SGOT = 15,8 U/L BUN = 16 mg/dl Creatinin Na = 0,68 mg/dl = 141 mmol/l K = 3,9 mmol/l Foto Rontgenregio pedis sinistra, tidak tampak jelas pembengkakan jaringan lunak, dan tak tampak erosi/destruksi tulang c. Assessment Dari hasil pemeriksaan, ditemukannnya trismus, kaku kuduk dan perut seperti papan, dan pada pemeriksaan status lokalis regio pedis sinistra digiti 3 palang distal ditemukan jaringan nekrotik dan nyeri tekan. Maka pasien diduga menderita tetanus generalisata dengan jaringan nekrotik digiti III pedis sinistra. d. Planning Terapi nonfarmakologi Terapi farmakologi Netralisasi dari tetanospasmin dengan pemberian antitoksin tetanus, pemberian antibiotik, pemberian obat anti kejang dan debridement. Dan penilaian terhadap beratnya penyakit tetanus dengan menggunakan Phillip Score. Penatalaksanaan terapi : 1. Pemberian antitoksin tetanus Human tetanus imunoglubulin (HTIG) dengan dosis 3.000 - 10.000 unit, diberikan secara intramuskular dan dapat diulang bila diperlukan. (berapa lama) Bila HTIG tidak tersedia maka diberikan anti tetanus serum (ATS) dengan dosis 100.000 - 200.000 unit. 2. Untuk mencegah produksi dari toksin, direkomendasikan untuk pemberian antibiotik Penisilin adalah terapi standar untuk tetanus dengan dosis 100.000-200.000 IU/Kg/hari secara intramuskular atau intravena selama 7 sampai 10 hari. Alternatif obat antibiotik adalah Metronidazol dengan dosinya 400 mg setiap 6 jam. Jika tidak tersedia eritromisin dan klindamisin adalah alternatif yang bisa digunakan. 3. Pemberian cairan nutrisi dengan prinsip kalori yang banyak dengan protein yang sedang.Pada kasus ini pasien termasuk tetanus dengan kelas berat maka diberikan cairan nutrisi dengan nasogastric tube. 4. Pemberian obat sedasi dengan pertimbangan bahwa tetanus merupakan penyakit menakutkan dan menyakitkan. Diazepam 10-20 mg setiap 4-6 jam atau chlorpromazine 100-200 mg setiap 4 jam dapat diberikan. Pada pasien ini diberikan diazepam 20 mg dalam D5% (20 tetes per menit) (kenapa diberikan dosis DAFTAR PUSTAKA http://tempo.co.id/medika/arsip/052001/pus-1.htm , diakses pada tanggal 1 Juni 2015. Pukul 12.06. Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistemik Vol II. Jakarta : EGC Eagle, K. A. 2006. Algoritma Pengambilan Keputusan Klinis. Jakarta : EGC Himawan, Sutisna. 1973. Patologi. Jakarta : UI Press Jakarta Ginsberg, Lionel. 2005. Neurologi. Jakarta : Erlangga Richardson, M.D., Warnock, D.W.. 2003. Fungal Infection Diagnosis and Management.Victoria : Blackwell Publishing. Brust, J.C.M.. 2007. Current Diagnosis and Treatment Neurology. New York : Mc. Graw Hill Medical. Anonim. 2001. WHOModel Prescribing Information: Drugs Used in Bacterial Infection. Geneva Harsono, D.S.S. 1996. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta :UGM Press. Scheld, M.W., Richard J.W., Christina M.M.. 2014.Infection of The Central Nervous System. Philadelphia : Wolter Kluwer Health.