1 PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN: LAHAN KERING & LAHAN KRITIS (MK. PENGELOLAAN SDALH; smno.psdl.pdkl.ppsub2013) Sumberdaya LAHAN dan PENGELOLAANNYA Proses pembangunan nasional dan regional hingga saat ini, khususnya sektor pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi, terutama di wilayah pertanian lahan kering-kritis yang kondisinya sangat beragam. Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering (Manuwoto, 1991). Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi peman faatan sumberdaya lahan kering dan kebijakan kelembagaan penunjang operasional. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, adalah (i) Teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (ii) Ekonomis menguntungkan, (iii) Sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) Aman lingkungan, dan (v) Mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan (Satari, dkk., 1991). Kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan dan problematik degradasi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan dan kelembagaan yang didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenagakerja), kredit pedesaan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna yang site-spesific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekwensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan. Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebijakan-kebijakan lokal ini 2 adalah (1) tersedianya Data-base Management System tentang sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumberdaya ekonomi lainnya, (2) mekanisme analisis kendala dan problematik, dan (3) mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada (1) perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenagakerja), dan (3) pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau di daerah. Khusus dalam kaitannya dengan program konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, Douglas (1991) mengikhtisarkan lima prinsip dasar bagi keberhasilannya pada tingkat lapangan, yaitu: (1) program ini harus merupakan bagian integral dari program pem bangunan pertanian yang lebih luas, dan harus dimulai dengan peningkatan produksi, (2) program ini harus bersifat bottom-up yang dirancang dengan melibatkan kepentingan masyarakat petani, (3) asistensi teknis melalui program jangka panjang, (4) suatu aktivitas konservais dan pengelolaan lahan harus mampu menunjukkan benefit jangka pendek, dan (5) degradasi lahan harus dapat dikendalikan sebelum melampaui batas ambangnya. Berdasarkan pada kelima prinsip ini, maka beberapa implikasi kebijakan yang penting adalah (1) Para perencana program harus menguasai pengetahuan tentang "sistem pertanian ber-kelanjutan" dan komponen-komponen penggunaan lahan yang relevan, (2) Para pelaksana program harus mampu "ber-komunikasi dengan petani" dalam rangka untuk meng-akomodasikan pandangan, persepsi dan kepentingan petani; (3) Para perencana dan pelaksana program harus menyadari bahwa proses perubahan berlangsung secara lambat dan lama, sehingga diperlukan "komitmen jangka panjang"; (4) Para perencana harus mampu mengidentifikasikan "kebutuhan petani dan alternatif solusinya" yang terkait langsung dengan problem pengelolaan lahan, dan 3 (5) Para perencana harus mengetahui "sebab-sebab terjadinya permasalahan" pengelolaan lahan dan menelusurinya. Integrasi antara kepentingan konservasi dengan kebu-tuhan petani merupakan kunci utama keberhasilan program konservasi tanah dan pengelolaan lahan pertanian. Collison (1982) mengemukakan empat sasaran prioritas yang harus diikuti dalam merancang program usahatani konservasi, yaitu (1) memenuhi obligasi-oblikasi sosial-budaya dari masyarakat, (2) menyediakan suplai pangan yang dapat diandalkan oleh petani, (3) menyediakan tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak dapat dihasilkan oleh sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra "cash resources". Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi atau daerah pegunungan, Dimyati Nangju (1991) mengemukakan tiga faktor dominan yang sangat berpengaruh, yaitu: (1) tekanan penduduk atas sumberdaya lahan, (2) praktek pengelolaan kesuburan tanah, dan (3) strategi dan kebijakan pembangunan yang dikhususkan bagi daerah pegunungan. Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan sistem pertanian di daerah lahan pegunungan, Jodha (1990) mengemukakan enam spsesifikasi penting, yaitu : (1) aksesibilitas, (2) fragilitas, (3) marjinalitas, (4) heterogenitas dan diversitas, (5) suitabilitas ekologis, dan (6) sejarah mekanisme adaptasi manusia. Konsepsi tentang Lahan Istilah “lahan” digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; 4 yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas (i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976). Lahan sebagai suatu "sistem" mempunyai komponen- komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sys (1985) mengemukakan enam kelompok besar sumberdaya lahan yang paling penting bagi pertanian, yaitu (i) iklim, (ii) relief dan formasi geologis, (iii) tanah, (iv) air, (v) vegetasi, dan (vi) anasir artifisial (buatan). Dalam konteks pendekatan sistem untuk memecahkan permasalahanpermasalahan lahan, setiap komponen lahan atau sumberdaya lahan tersebut di atas dapat dipandang sebagai suatu subsistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem lahan. Selanjutnya setiap subsistem ini tersusun atas banyak bagianbagiannya atau karakteristik- karakteristiknya yang bersifat dinamis (Soemarno, 1990). Sistem Sumberdaya Lahan Sebagai suatu ekosistem alam, lahan pertanian mempu- nyai komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Interaksi-interaksi yang berlang sung di dalam ekosistem ini menimbulkan beberapa proses kunci, seperti proses perkembangan tanah (tercermin dalam tingkat kesesuaian lahan), proses erosi dan lim pasan permukaan, proses produksi tanaman dan ternak, dan proses-proses sosial-ekonomi . Proses perkembangan tanah di alam terjadi secara terus menerus, dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi satu sama lain . Beberapa faktor yang sangat penting adalah iklim, organisme, batuan induk, topografi, dan waktu. Interaksi faktor-faktor ini menentukan laju pelapukan batuan induk yang hasil-hasilnya akan menyusun salah satu dari komponen-komponen tanah. Sifat- sifat komponen tanah ini selanjutnya akan menentukan tipe tanah dan tingkat kesesuaiannya bagi tanaman (Buol, Hole, dan McCracken, 1980). Sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik dan proses-proses serta fenomena-fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Salah satu tipe penggunaan lahan yang penting ialah 5 penggunaan sumberdaya lahan dalam tipe-tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) pertanian untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dan ternak (Hardjowigeno, 1985). Upaya pemanfaatan lahan pertanian pada hakekatnya ditujukan untuk mendapatkan hasil-hasil dari komoditas pertanian. Aktivitas pengelolaan sumberdaya lahan dalam hal ini pada dasarnya merupakan upaya penyesuaian antara kondisi lahan yang ada dengan persyaratan bagi ko- moditas pertanian (Sitorus, 1985). Kondisi lahan ini menjadi kendala yang membatasi kemampuan dan kesesuaian sumberdaya lahan terhadap persyaratan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Secara lebih operasional, konsepsi tentang kondisi lahan ini dapat dijabarkan dalam konsepsi kualitas lahan yang dapat dievaluasi secara lebih kuantitatif dan lebih obyektif (Soemarno, 1990; Janssen, 1991). Hubungan antara kondisi lahan dengan respon tanaman dalam upaya pengelolaan lahan akan menentukan tingkat produktivitas lahan (Wood dan Dent, 1983). Berbagai teknik telah dikembangkan untuk memperkirakan tingkat produktivitas lahan melalui proses evaluasi lahan. Hasil evaluasi ini penting dalam rangka perencanaan dan pengelolaan sumberdaya lahan (Sys, 1985; Soemarno, 1990). Salah satu bentuk pengelolaan lahan yang terkenal adalah menggunakan lahan sebagai komponen sistem usahatani. Suatu sistem usahatani komoditas pada kenyataannya sangatlah kompleks (subsistem sumberdaya alam, dan subsistem sosial-ekonomi-budaya), bersifat dinamis, dan senantiasa berinteraksi dengan sistem-sistem lain. Pendekatan sistemik dipersyaratkan demi keberhasilan penelaahan usahatani komoditas dalam kerangka pewilayahannya (Dent dan Young, 1971; Shanner, et al., 1982, dan Wright, 1971). Melalui serangkaian analisis sistem dapat ditelaah struktur sistem dalam upaya mendapatkan struktur yang optimal, sehingga dengan mensimulasi input sistem diharapkan dapat diperoleh output yang diharapkan. Implikasi lebih lanjut ialah dimungkinkannya rekayasa agroteknologi arahan bagi setiap sistem usahatani komoditas di suatu wilayah pengembangan (Soemarno, 1988). Evaluasi Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan peng- gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus, 1985). Dalam bidang pertanian, kesesuaian lahan dikaitkan dengan penggunaannya untuk usaha pertanian. Brinkman dan Smyth (1973) telah menemukan beberapa kualitas lahan yang menentukan tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman. Kualitas lahan ini adalah ketersediaan air tanah, ketersediaan unsur hara, daya menahan 6 unsur hara, kemasaman, ketahanan terhadap erosi, sifat olah tanah, kondisi iklim, dan kondisi daerah perakaran tanaman. Konsepsi ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh Soepraptohardjo dan Robinson (1975), yang telah mengemukakan beberapa faktor penting lainnya, yaitu kedalaman efektif tanah, tekstur tanah di daerah perakaran, pori air tersedia, batu-batu di permukaan tanah, kesuburan tanah, reaksi tanah, keracunan hara, kemiringan, erodibilitas tanah, dan keadaan agro klimat. Suatu bagan umum untuk evaluasi lahan pertanian telah dikembangkan oleh FAO (1976). Menurut bagan ini istilah lahan mengandung makna lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi. Proses evaluasi lahan pada hakekatnya melibatkan klasifikasi interpretatif, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Sistem evaluasi lahan dengan komputer (Land Evaluation Computer System, LECS) pada dasarnya merupakan penjabaran dari kerangka evaluasi lahan (Framework for Land Evaluation, FAO, 1976) . Penggunaan fasilitas komputer dalam analisis kesesuaian lahan sangat diperlukan karena: (i) melibatkan banyak data yang meliputi berbagai unit lahan, berbagai taraf pengelolaan, jenis-jenis tanaman pertanian dan tanaman hutan; (ii) penilaian dilakukan secara kuantitatif untuk menyatakan tingkat kesesuaian tanaman; dan (iii) pemodelan diperlukan untuk lebih memahami interaksi yang rumit dalam sistem pertanian (Wood dan Dent, 1983). Pengelolaan Sumberdaya Lahan Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use (Sys, 1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabi litasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar (Norton, 1984). 7 Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan lahan kering (seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air). Persesuaian syarat agroekologis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemero- sotan kualitas sumberdaya lahan (Brinkman dan Smyth, 1973). Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering-kritis di bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut dapat bersifat internal seperti kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedimentasi di berbagai fasilitas perairan (Rauschkolb, 1971). Soekardi dan Eswaran (1991) mengemukakan beberapa ciri dan proses yang berlangsung dalam ekosistem pegunungan (highland areas) yang dapat menjadi kendala atau penunjang pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri ekosistem yang sangat penting adalah (1) iklim, (2) landform, dan (3) 8 sumberdaya tanah. Sedangkan dua proses yang terkait dengan ciri-ciri tersebut adalah proses geomorfik dan proses-proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan oleh ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, curah hujan tahunan lebih 2000 mm, temperatur rataan 15-29oC dengan rezim suhu tanah isothermik atau isohiperthermik. Pada kondisi seperti ini biasanya variasi rezim lengas tanah adalah Udik dan Ustik. Kondisi ekosistem pegunungan seperti ini mempunyai keunggulan komparatif bagi pengembangan berbagai jenis penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan sistem pertanaman (cropping systems). Potensi seperti ini pada kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar daerah untuk "menggarap" lahan secara lebih intensif. Pada akhirnya hal ini akan dapat mengakibatkan munculnya "kesenjangan" yang semakin besar antara intensitas penggunaan sumberdaya dengan karakteristik sumberdaya. Apabila kesenjangan ini melampaui daya dukung sumberdaya, maka laju degradasi akan dapat melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan strategi petani di daerah pegunungan untuk berjuang mempertahankan kehidupannya biasanya bertumpu pada tiga prinsip dasar yang spesifik, yaitu 9 (1) Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani mengelola sumberdaya lahannya dengan berbagai aktivitas produksi tanaman, ternak, hortikultura dan kehutanan; (2) Petani menghindari resiko kegagalan dan bencana melalui pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola lahannya, dan (3) Teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi karena keterbatasan penguasaan pengetahuan, teknologi dan kapital (Dimyati Nangju, 1991). Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi kesesuaian agroekologis lahan untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan. Beberapa metode dan prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini ( FAO, 1976; Wood dan Dent, 1983). Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987). Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material, teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas (Soemarno, 1990). Biasanya sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendungan, waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut. 10 Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbulkannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut relatif sangat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kondisi seperti ini diperlukan campur tangan kebijakan pemerintah. Davies dan Kamien (1972) mengemukakan beberapa macam campur tangan pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu: (i) larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi, (v) pengaturan (regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. 11 Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat beragam (Suwardjo dan Saefuddin, 1988). Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim yang berfluktuasi menjadi faktor pembatas yang menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987, Ispandi, 1990; dan Sembiring, 1990). Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi (Suwardjo dan Saefudin, 1988). Dalam kondisi seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan (Anwarhan, Supriadi, dan Sugandi, 1991). 12 Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada pola tanam tradisional (P3HTA, 1987). Suatu peluang yang tampaknya cukup besar di lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan kelapa (Nuhardiyati, 1988; Djumali dan Sasa, 1988). Kedua jenis komoditas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitianpenelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama musiman (Thamrin, 1990; Soelaiman, 1990). Selain itu, penelitian-penelitian ini masih belum menganalisis hasil-hasil erosi dan limpasan permukaan secara terintegrasi dengan analisis ekonomis, belum dilakukan analisis kepekaan erosi dan limpasan permukaan terhadap variasi bentuk kegiatan konservasi tanah, serta belum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dampak jangka panjangnya. Tampaknya kom- ponen teknologi sistem usahatani lahan kering yang cukup baik untuk menunjang program intensifi- kasi adalah ternak (Hardianto, 1990a; Hardianto, 1990 b; dan Lubis, 1990). Introduksi hijauan pakan ternak, baik yang berupa rumput maupun semak/perdu dan pepohonan, mampu memberikan manfaat ganda, yaitu mengurangi bahaya erosi dan limpasan permukaan, serta menghasilkan pakan hijauan. Khusus jenis rumput setaria ternyata mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan di lakan kering, karena mempunyai nilai gizi yang cukup baik bagi ternak ruminansia serta mampu memainkan peran sebagai tanaman penguat teras yang baik. Usahatani domba ternyata mampu memberikan sumbagan pendapatan keluarga yang cukup besar (bisa mencapai 35% dari total pendapatan keluarga), dan faktor utama yang sangat berpengaruh adalah jumlah dan jenis (kualitas) pakan yang terkonsumsi ternak (Syam, 1988). Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya pengelolaan lahan kering - kritis dalam suatu sistem pertanian harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan kesesuaiannya serta harus diikuti oleh tindakan konservasi tanah dan air secara memadai . Beberapa peneliti telah mencoba mengembangkan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering secara 13 lokal (Toha, 1990; Hardianto, 1990c; dan Rachman, 1990). Tampaknya para peneliti ini menghadapi kesulitan dalam menyusun polatanam yang tepat karena keterbatasan informasi sumberdaya lahan yang bersifat lokal, demikian juga informasi tentang kesesuaiannya. Lahan Kering dan Lahan Kritis 1. Lahan Kering Hingga saat ini takrif pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati benar. Di dalam bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan kering seperti upland, dryland dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan pertanian tadah hujan. Istilah upland farming, dryland farming dan rainfed farming dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah bercurah hujan terbatas. Penertian upland mengandung arti lahan atasan 14 yang merupakan lawan kata bawahan (lowland) yang terkait dengan kondisi drainase (Tejoyuwono, 1989) dalam Suwardji (2003). Sedangkan istilah unirrigated land biasanya digunakan untuk teknik pertanian yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Namun pengertian lahan tidak beririgasi tidak memisahkan pengusahaan lahan dengan system sawah tadah hujan. Untuk menghilangkan kerancuan pengertian lahan kering dengan istilah pertanian lahan kering Tejoyuwono (1989) dalam Suwardji (2003) menyarankan beberapa pengertian sebagai berikut: a. Untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering”. b. Untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah lain istilahnya lahan atasan atau Upland. c. Untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan kering. Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah lahan kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi (Suwardji, 2003)). Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang. Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan, ladang dan padang rumput. Pemanfaatan lahan kering untuk kepentingan pembangunan daerah ternyata banyak menghadapi masalah dan kendala. Masalah yang utama adalah masalah fisik lahan kering banyak yang telah rusak atau mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi rusak. Sehingga paket teknologi yang berorientasi 15 pada perlindungan lahan kering sangat diperlukan. Kekurangan air pada saat musim kemarau, kahat unsur hara serta keadaan tanah yang peka terhadap erosi merupakan kendala lingkungan yang paling dominan di kawasan lahan kering. Masalah utama lain yang harus dihadapi didalam pemanfaatan lahan kering ini adalah keadaan sosial ekonomi petani atau masyarakat yang menggunakan lahan kering sebagai tempat usahanya. Pendapatan keluarga yang rendah serta kemiskinan dibanyak tempat berkolerasi positif dengan uasaha tani di lahan kering. 2. Konservasi Lahan Kering Juni 1995 Agdex: 041/577 Lahan kering dalam keadaan alamiah memiliki kondisi antara lain peka terhadap erosi, terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak tertutup vegetasi, tingkat kesuburannya rendah, air merupakan faktor pembatas dan biasanya tergantung dari curah hujan serta lapisan olah dan lapisan bawahnya memiliki kelembaban yang amat rendah. Merosotnya produktivitas lahan pada tanah datar dapat pula terjadi karena hilangnya unsur hara lewat pencucian dan aliran permukaan. Di daerah Irian Jaya yang penduduknya masih menggunakan sistem ladang berpindah dengan mempergunakan lahan yang berlereng curam masih ada kegiatan-kegiatan usahatani pangan semusim dimana para petani tidak atau belum memperhatikan konservasi lahan. Kerusakan tanah tersebut pada umumnya terjadi karena tindakan manusia sendiri yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dalam mengelola usahataninya yang merupakan kemunduran dalam penggunaan sumber daya alam. Hingga mengakibatkan kerugian dengan banyak bencana misalnya banjir, kekeringan, erosi dan lain-lain. Oleh karena itu dalam pengelolaan sumber daya alam (tanah dan air) penting dilakukan tindakan konservasi. Tujuan Konservasi - Mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan aliran permukaan. - Memperbaiki tanah yang rusak/kritis - Mengamankan dan memelihara produktivitas tanah agar tercapainya produksi setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas - Meningkatkan produktivitas lahan usahatani Usaha konservasi lahan ini biasanya dilakukan salah satunya dengan kultur teknis atau vegetasi yaitu dengan: 16 1. Penambahan Tanaman Penutup Tanah Tanah penutup berfungsi untuk mencegah erosi, menambah bahan organic tanah dan memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang jatuh. Jenis tanaman penutup tanah yaitu : Jenis merambat (Colopogonium mucunoides, Centrosema Sp, Pueraria Sp), jenis perdu (Crotolaria Sp), jenis pohon (Lamtoro gung, Lamtoro lokal, Gamal, esliandia grandiflora),dan jenis kacang-kacangan. 2. Penanaman Rumput. Rumput memegang peranan penting dalam usahatani konservasi terutama lahan-lahan kering yang berlereng (3%). Berbagai jenis rumput dapat berfungsi: a. sebagai pelindung tanaman dan penahan air b. memperbaiki kesuburan tanah c. sebagai hijau makanan ternak d. meningkatkan nilai usahatani atau pendapatan petani 3. Penanaman dalam strip Adalah suatu sistem bercocok tanam dengan care menanam beberapa jenis tanaman dalam strip-strip yang berselang seling pada bidang tanah dan disusun memotong lereng atau menurut kontur. Tanaman yang digunakan adalah tanaman pangan atau tanaman semusim yang ditanam berbaris diselingi strip-strip tanamantanaman yang lebih rapat berupa tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah. 4. Pergiliran tanaman Cara penting lainnya untuk konservasi tanah dan air ialah dengan pergiliran tanaman yaitu sistem penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada suatu bidang lahan. Pada lahan kering yang berlereng atau tanahnya miring pergiliran tanaman yang efektif untuk mencegah erosi adalah antara tanaman penghasil bahan pangan dengan tanaman penutup tanah untuk pupuk hijau. Selain mencegah erosi keuntungan lain dari pergiliran tanaman adalah: a. Memberantas hama dan penyakit tanaman melalui siklus hidupnya. b. Memberantas tumbuhan pengganggu atau gulma. c. Mempertahankan sifat fisik tanah dengan cara mengembalikan sisa-sisa tanah kedalam tanah. 17 5. Menambah tanaman penguat teras Tanaman yang memenuhi syarat sebagai penguat teras adalah: a. Mempunyai sistem perakaran intensif, sehingga mampu mengikat air. b. Tahan pangkas sehingga tidak menaungi tanaman utama. c. Bermanfaat dalam menyuburkan tanah maupun sebagai penghasil makanan ternak. Tanaman penguat teras yang dianjurkan ditanam antara lain lamtorogung, gamal, akasia, kaliandra, rumput gajah dan rumput benggala. Letak Penanaman rumput berselang-seling Penampang guludan yang ditanami rumput 6. Penggunaan bahan organik dan mulsa Salah satu cara untuk memperbaiki struktur tanah, mempertinggi kemampuan tanah dalam menyerap air yaitu dengan menggunakan pupuk organik berupa 18 pupuk hijau atau pupuk kandang serta penggunaan sisa-sisa tanaman yang diletakkan di atas tanah sebagai serasah (mulsa) sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah. Dengan cara ini penguapan air tanah dapat diperkecil sehingga air tanah tetap tersedia bagi tumbuhnya tanaman. Penampang teras bangku dan bagan yang ditanami rumput Penampang saluran pembuang air yang ditanami rumput 3. Lahan Kritis 19 Menurut Wahono (2002 : 3), lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengatur media pengatur tata air, unsur produksi ertanian, maupun unsur perlindungan alam dan lingkungannya. Lahan kritis merupakan suatu lahan yang kondisi tanahnya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia atau biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi di sekitar daerah pengaruhnya (Ade Iwan Setiawan, 1996). Lahan Kritis merupakan lahan yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukkannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Lahan Kritis adalah Lahan yang tidak mampu lagi berperan menjadi unsur produksi pertanian, baik sebagai media pengatur tata air, maupun sebagai perlindungan alam lingkungan (Departemen Kehutanan). Kriteria Lahan Kritis Kawasan Budidaya Untuk Usaha Pertanian No. 1 2 Kriteria (% bobot) Produktivitas *) (30) Kelas Besaran/Diskripsi Skor 1. Sgt. Tinggi 2. Tinggi 3. Sedang 4. Rendah 5. Sgt. Rendah >80% 61 – 80 % 41 – 60 % 21 – 40 % <20 % 5 4 3 2 1 Lereng (20) 1. Datar 2. Landai 3. Agk. Curam 4. Curam 5. Sgt. Curam <8 % 8 – 15 % 16 – 25 % 26 – 40 % >40 % 5 4 3 2 1 Keterangan Dinilai berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional 20 3 Erosi (15) 1. Ringan 2. Sedang 3. Berat 4. Sgt. Berat 4 Batu – batuan (5) 1. Sedikit 2. Sedang 3. Banyak 5 Manajemen (30) 4. Baik Tanah dalam : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak 20 – 50 m Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m Tanah dalam : 25 – 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m Tanah dangkal : 25– 50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20-50 m 5 4 3 2 Tanah dalam : Lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m Tanah dangkal : 50 – 75 % lapisan tanah atas hilang Tanah dalam : Lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m Tanah dangkal : 50 – 75 % lapisan tanah atas hilang < 10 % permukaan lahan tertutup batuan 10 – 30 % permukaan lahan tertutup batuan >30 % permukaan lahan tertutup batuan 5 3 1 - 5 5. Sedang 6. Buruk - Penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan sesuai petunjuk teknis Tidak lengkap atau 3 1 21 tidak terpelihara Tidak ada Lahan Kritis: Washington County Critical Lands Resource Guide Berikut ini disajikan metode kategorisasi lahan kritis, serta deskripsi masing-masing tipe lahan kritis yang berlaku di Washington. Lahan kritis dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok utama dalam hubungannya dengan kesejahteraan masyarakat publik. Kategori pertama adalah kelompok lahan dengan karakteristik atau vulnerabilitas yang mengandung risiko bagi kehidupan, kesehatan dan keamanan masyarakat. Kategori 1. Public Health and Safety a. Geologic Hazards a. Landslide b. Rockfall c. Flooding record (10,000 years) d. Earthquakes b. FEMA flooding data c. Erosion prone soils hazard d. Wildfire Risk Kategori ke dua meliputi lahan-lahan yang dapat mendukung kualitas hidup local dan regional, termasuk aesthetika, budaya, dan rekreasional. Kategor1 2. Quality of Life (Public Interests) a. Agricultural Land b. Viewsheds, Ridge Lines d. (Riparian) – habitat, fishing, recreation, clean water etc. e. Scenic Byway 22 The third category may indirectly relate to public health and safety, or to Quality of Life interests, and focuses directly on important wildlife habitat areas in Washington County. One goal of this section is to promote understanding of how negative impacts to federally listed species can be diminished, and to assure that federal regulations do not require additional control over local governance of private land. Category 3. Wildlife Habitat 3a. Threatened and Endangered Species Listed species in Washington County include: The Desert Tortoise, Mexican Spotted Owl, Southwestern Willow Flycatcher, Yellow-Billed Cuckoo, Virgin River Chub, Woundfin, Dwarf bear-claw poppy, Shivwits milkvetch, Homgren milkvetch, and Siler pincushion cactus. 3b. Critical Habitat for Large Ungulate Species Mule Deer, Elk, and Bighorn Sheep migrate over large landscape areas that also provide habitat for many additional plant and animal species. Lahan Kritis: Toleransi Erosi Dalam konteks pertanian, toleransi layu erosi tanah merupakan tingkat maksimum erosi tanah yang masih memungkinkan produktivitas pertanian cukup tinggi yang layak ekonomi dan berkelanjutan. Biasanya laju genesis tanah (pembentukan tanah) digunakan untuk menentukan tingkat toleransi erosi, yaitu kehilangan tanah neto jangka panjang sama dengan tingkat produksi tanah (genesis tanah). Tingkat pembentukan tanah biasanya didekati dengan pengukuran/ pengamatan atau dengan pemodelan. Dengan asumsi rata-rata tingkat pembentukan tanah 1.5 x 10-5 m yr-1 dan bulk-density tanah sebesar 1.3 t m-3 maka toleransi kehilangan tanah sebesar 0.2 t ha-1 yr-1. Konsep toleransi erosi tanah merupakan ide tentang “the life span of soil” atau "waktu habisnya tanah " yang dapat dikuantifikasikan sebagai “periode kritis” , Tc, yang diperlukan untuk mengerosi seluruh profil tanah. Formulanya adalah: Tc = S/E - P 23 Analisis Tc memerlukan data ketebalan tanah (S), laju erosi tanah neto (E, merupakan keseimbangan antara erosi dan deposisi), dan laju pembentukan tanah (P). Ketebalan tanah didefinisikan dalam bentuk Horizon-A, karena horizon ini merupakan bagian profil tanah yang secara langsung berhubungan dengan produktivitas pertanian. Informasi yang diperlukan untuk menghitung Tc, yaitu peta ketebalan tanah, tingkat erosi, dan tingkat pembentukan tanah, kemudian kita mengestimasi Tc, dan mengidentifikasi zone yang berisiko karena melampaui toleransi erosi. Toleransi Kehilangan Tanah Toleransi kehilangan tanah merupakan jumlah tanah maksimum setiap tahun yang dapat diangkut (ter-erosi) sebelum produktivitas tanah jangka panjang terpengaruhi (menurun) secara signifikan (serius). Dampak erosi tanah pada sebidang lahan tertentu, dan juga toleransi erosinya, ternyata beragam dan dipengaruhi oleh tipe dan kedalaman tanah. Umumnya, tanah-tanah dengan topsoil yang “dalam / tebal”, seragam, bebas batu-batu dan/ atau tidak ada erosi sebelumnya, diasumsikan mempunyai batas toleransi lebih besar dibandingkan dnegan tanah-tanah yang solumnya dangkal dan telah tererosi sebelumnya. Beberapa contol tingkat toleransi erosi adalah: Kelas erosi tanah Very Low (tolerable) Low Moderate High Severe Sumber: http://www.omafra.gov.on.ca. Kehilangan tanah potensial (tons/acre/year) <3 3-5 5 - 10 10 - 15 >15 Batas Toleransi Erosi (T) dan Tingkat Bahaya Erosi Toleransi erosi adalah batas maksimal besarnya erosi yang masih diperkenankan terjadi pada suatu lahan. Pada batas ini kecepatan kehilangan tanah lebih kecil atau sama dengan laju pembentukan tanah. Besarnya batas toleransi erosi dipengaruhi oleh kedalaman tanah, batuan asal pembentuk tanah, iklim, dan permeabilitas tanah. Toleransi Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi menggunakan tabel acuan Departemen Kehutanan. Tingkat Bahaya Erosi dikategorikan kedalam sangat ringan hingga sangat berat. Pada tanah dengan 24 solum dalam (kedalaman >90 cm) seperti pada wilayah kajian, tingkat bahaya erosi dikatakan Sangat Ringan (SR) bila jumlah erosi < 15 ton/ha/tahun, Ringan (R) bila jumlah erosi antara (15-60) ton/ha/tahun, Sedang (S) bila jumlah erosi (60-180) ton/ha/tahun, Berat (B) bila jumlah erosi (180-480) ton/ha/tahun dan Sangat Berat (SB) bila erosinya > 480 ton/ha/tahun. Jika laju erosi lebih kecil dari batas toleransi yang diperbolehkan (T), diterapkan skenario “semua model rotasi bisa diterapkan”. Jika laju erosi lebih besar dari nilai T maka diterapkan skenario “menerapkan rotasi tanam tertentu”. Hubungan antara hasil relative Crotalaria juncea dan kedalaman tanah (sumber: https://www.soils.org/publications/sssaj/articles/65/5/1479) Data hasil penelitian Salviano et al. (1998) digunakan untuk menghitung persamaan regresi yang menghubungkan hasil relative dengan kedalaman tanah yang tersisa. Persamaan ini digunakan untuk menghitung nilai hasil relative tanaman tebu dalam kisaran 0 hingga 100% sesuai dengan kedalaman tanah 0 - 1.0 m. Dengan kedalaman tanah lebih dari 1.0 m hasil relative tanaman tebu dianggap 100%. 25 DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, A., S. Sutono, dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi Pengendalian Erosi Lahan Berlereng (dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering; Penyunting: Abdurrachman Adimihardja dan Mappaona). Puslitanak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Hal. 101-140. Agus, F., dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian. World Agroforestry Centre, ICRAF Southesst Asia. Bogor. Alexander, E.B. 1988. Rates of soil formation: Implications for soil-loss tolerance. Soil Sci. 145:37–45. Alfsen, K.H. 1996. The cost of soil erosion in Nicaragua. Ecol. Economics 16:129–145. Ariyanto, D.P., B.H. Sunarminto, D. Shiddieq. 2008. Pengaruh Perubahan Tegakan terhadap Erosi, Nisbah C/N, Bahan Organik dan Berat Volume Tanah di DTA Waduk Sempor Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Prosiding Seminar The Indonesian Network For Agroforestry Education (INAFE). Surakarta, 4 Maret 2008. Hal. 59-67. Arsyad, S. 1986. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Arsyad, S., I. Amien, T. Sheng, and W. Moldenhauer. 1992. Conservation Polices for Sustainable Hillslope Farming. Soil and Water Conservation Society. Ankeny, Iowa, USA. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Atmojo, S.W. 2008. Peran Agroforestry dalam Menanggulangi Banjir dan Longsor Daerah Aliran Sungai (DAS). Prosiding Seminar The Indonesian Network For Agroforestry Education (INAFE). Surakarta, 4 Maret 2008. Hal. 19-28. Darori. 2008. Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Pidato Pembukaan pada Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak (Prosiding). Kerjasama FPUSU dan BP-DAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan Misran. Hal. iii-viii. Erwiyono, R. 2008. Pemanfaatan Rorak untuk Optimasi Pengelolaan Bahan Organik dan Konservasi Tanah dan Air di Kebun Kopi. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional MKTI VI. Bogor, 17-18 Desember 2007. Hal. 109-118. Flanagan, D.C., and M.A. Nearing (ed.) 1995. USDA-Water Erosion Prediction Project: Hillslope profile and watershed model documentation. West 26 Lafayette: NSERL Report no.10.USDA-ARS-MWA, West Lafayette, IN. Hammer, W.I. 1981. Soil Conservation Consultant Report Center for Soil Research. LPT Bogor. Indonesia. Hardjoamidjojo. S, dan Sukandi. S. 2008. Teknik Pengawetan Tanah dan Air. Graha Ilmu. Yogyakarta. Haryati, U. 2008. Strategi Implementasi Sistem Usahatani Konservasi di Lahan Kering Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional MKTI VI. Bogor, 17-18 Desember 2007. Hal. 15-37. Haryati, U., A. Abdurachman, dan C. Setiani. 1993. Alternatif Teknik Konservasi Tanah untuk Lahan Kering di DAS Jratunseluna Bagian Hulu. Risalah Lokakarya Pengembangan Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Konservasi di Lahan Kering Hulu DAS Jratunseluna dan Brantas. Tawangmangu, 7-8 Desember 1992. P3HTA. Hal. 83-106. Heimsath, A.M. 1997. The soil production function and landscape equilibrium. Nature 388:358–361. Hudson, N. 1992. Soil Conservation. BT Batsford Ltd, London. Hutabarat, S. 2008. Kebijakan Umum Pengelolaan DAS. Prosiding Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Kerjasama FP-USU dan BPDAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan Misran. Hal. 16. Idris, M. 2005. Model Dinamika Penetapan Tingkat Bahaya Erosi Berdasarkan Penggunaan Lahan di Sub DAS Simbelin Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2005. Teknologi Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan Terdegradasi (dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering; Penyunting: Abdurrachman Adimihardja dan Mappaona). Puslitanak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Hal. 141-168. Kurnia, U., Y. Sulaeman, dan A.K. Muti. 2004. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Tinggi (dalam Sumberdaya Lahan di Indonesia dan Pengelolaannya; Penyunting: Abdurrachman Adimihardja, Istiqlal Amien, Fahmuddin Agus, dan Djaenuddin). Puslitanak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Lal, R. 1986. No-tillage and Surface-Tillage Systems to Alleviate Soil Related Constraints in the Tropics. In No-Tollage and Surface-Tillage Agriculture; Edited by: M.A. Sprague and G.B. Triplett. John Wiley & Sons, Inc., Canada, pp. 261-317. 27 Linsley, R.K., Jr., M.A. Kohler, J.L.H. Paulhus, Hermawan. 1996. Hidrologi untuk Insinyur (Edisi Ketiga). Penerbit Erlangga. Jakarta. Misran. 2008. Pengelolaan DAS secara terpadu DAS Wampu dan DAS Sei Ular. Prosiding Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Kerjasama FPUSU dan BP-DAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan Misran. Hal. 43-53. Nasution, Z. 2008. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam Harapan dan Kenyataan. Prosiding Semiloka Pengelolaan DAS Berbasis Multipihak. Kerjasama FPUSU dan BP-DAS Wampu Ular; Editor: Bejo Slamet, Abdul Rauf, dan Misran. Hal.: 26-30. Nicks, A.D., L.J. Lane, and G.A. Gander. 1995. Weather generator. p. 2.1–2.22. In D.C. Flanagan and M.A. Nearing (Ed.) USDA-Water Erosion Prediction Project: Hillslope profile and watershed model documentation. USDA-ARS-MWA-SWCS, West Lafayette, IN. Owens, L.B. 1979. Rates of weathering and soil formation on granite in Rhodesia. Adv. GeoEcol. 31:369–374. Pawitan, H., dan N. Sinukaban. 2007. Karakteristik Hidrologi dan Daur Limpasan Permukaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung; Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan oleh Naik Sunukaban. Penerbit Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan. Hal. 154170. Rahim, S. E. 2003. Pengendalian Erosi Tanah dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Rauf, A. 2004. Kajian Sistem dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Agroforestry di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Saidi, A. 2001. Kajian Degradasi Tanah di Sub DAS Sumani Solok Sumatera Barat. Prosiding Kongres IV dan Seminar Nasional MKTI. Medan, 25-27 Mei 2000. Hal. 145-159. Salviano, A.A.C. 1998. Erosion intensity and Crotalaria juncea yield on a Southeast Brazilian ultisol. Adv. GeoEcol. 31:369–374. Saptarini, C.L., B. A. Kironoto, dan R. Jayadi, 2007. Kajian Perubahan Erosi Permukaan Akibat Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Areal Pencadangan HTI Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat. UGM Press,Yogyakarta. Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Kementrian Perhubungan, Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. 28 Sinukaban, N., 1986. Dasar-dasar Konservasi Tanah dan Perencanaan Pertanian Konservasi. Jurusan Tanah, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Skidmore, E.L. 1982. Soil loss tolerance. p. 87–93. In Determinants of soil loss tolerance. ASA Spec. Publ. 45. ASA, Madison, WI. Soil Survey Staff. 1990. Keys to soil taxonomy. 4th ed. SMSS Tech. Mono. No. 19. Virginia Polytechnic Inst. and State Univ., Blacksburg, VA. Sparovek, G. 1997. Definition of tolerable soil erosion values. Rev. bras. Cienc. Solo 21:467–471. Sparovek, G. 1997. The life-time concept as a tool for erosion tolerance definition. Sci. Agric. 54:130–135. Sparovek, G. 1998. Influence of organic matter and soil fauna on crop productivity and soil restoration after simulated erosion. Cienc. Solo 21:467–471. Stamey, W.L. 1964. A conservation definition of erosion tolerance. Soil Sci. 97:183–186. Sukresno. 1993. Pengaruh Kegiatan Konservasi Tanah terhadap Pengurangan Sedimen di Waduk Gajah Mungkur. Prosiding Lokakarya Nasional Pembangunan Daerah Dalam Rangka Pengelolaan Usahatani Lahan Kering dan Perbukitan Kritis. Jakarta, 2-4 Februari 1993. Hal. 265-276. Sutrisna, N., dan S.R.P. Sitorus. 2009. Tingkat Kerusakan Tanah di Hulu Sub DAS Cikapundung Kawasan Bandung Utara. Prosiding Semiloka Nasional Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi. Bogor, 22-23 Desember 2008. Hal. 189-201. Wischmeier W.H., and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses: A guide to Conservation Planning. USDA Handbook No. 537. Washington DC.