Penetrasi Bakteri Pada Mahkota Gigi Terbuka

advertisement
Penetrasi Bakteri Pada Mahkota Gigi Terbuka
Nevi Yanti
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
Saluran akar yang sudan diisi dapat terkontaminasi kembali karena beberapa
keadaan seperti: (a) pasien menunda penumpatan dengan restorasi permanen setelah
perawatan endodontik: (b) jika tumpatan sementara pesan; atau (c) jika bahan pengisi
dan/atau struktur gigi mengalami fraktur atau hilang.(5).
Bi1a keadaan ini terjadi maka bagian koronal dari saluran akar akan terbuka
sehingga flora normal mulut dapat masuk kedalamnya. Untuk mengetahui seberapa
cepat keseluruhan saluran akar yang sudah dirawat terkontaminasi kembali, beberapa
ahli telah melakukan penelitian secara in vitro dengan menggunakan dye (zat warna)
dari isotop. Tetapi penelitian dengan menggunakan dye dari isotop diragukan hasilnya
(5).
Oleh karena itu Torabinejad dkk menggunakan bakteri Staphylococcus
epidermidis dan Proteus vulgaris untuk memberikan informasi yang lebih akurat
seperti keadaan di klinik. Adapun tujuan dari penelitian Torabinejad ini adalah untuk
menentukan panjang waktu yang diperlukan bakteri tersebut untuk berpenetrasi
kepanjang standar saluran akar yang sudan diisi (5).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bakteri
Bakteri adalah suatu kelompok jasad renik heterogen yang ukuran besarnya
antara 0,2-2 um sehingga hanya dapat dilihat melalui mikroskop. Bakteri dapat hidup
bebas ataupun menumpang pada tubuh makhluk hidup lain. Bakteri yang menumpang
hidup pada tubuh makhluk hidup lain disebut sebagai parasit. Ini tidak berati bahwa
suatu parasit harus mengganggu tuan rumahnya. Parasit yang mendiami permukaan
dalam dan luar dari tubuh makhluk hidup lain tanpa mengakibatkan timbulnya
penyakit disebut sebagai flora normal. Flora normal dapat juga menimbulkan penyakit
Jika habitat normalnya terganggu. Misalnya Staphylococcus epidermidis merupakan
flora normal pada saluran pernafasan bagian atas. Bi1a sebagian besar bakteri tersebut
masuk ke dalam aliran darah (misalnya setelah ekstraksi gigi), bakteri tersebut dapat
tinggal pada katup-katup jantung dan menimbulkan suatu endokarditis infektif (1,2,4).
Pada penelitian ini, Torabinejad hanya menggunakan dua spesies bakteri agar
memudahkan penanganan kondisi percobaan dan interpretasi data. Bakteri-bakteri
tersebut adalah Staphylococcus epidermidis dan Proteus vulgaris. Dasar pemilihan ini
adalah karena: kedua spesies bakteri ini merupakan flora normal pada rongga mulut
(dapat menjadi sumber infeksi dalam saluran akar gigi dan jaringan sekitarnya bila
habitat normalnya terganggu). Kedua spesies ini mudah tumbuh pada berbagai media
pembenihan, Staphylococcus epidermidis merupakan spesies bakteri yang tidak
bergerak, sedangkan Proteus vulgaris merupakan spesies bakteri yang sangat aktif
1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
bergerak (sebagai pembanding terhadap Staphylococcus epidermidis dalam hal
kemampuan penetrasi ke dalam saluran akar) (1.2,4,5).
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bakteri-bakteri yang digunakan dalam
penelitian Torabinejad, di bawah ini akan dijelaskan mengenai identifikasi,
epidemiologi, dan klinikal infeksi dari Staphylococcus epidermidis dari Proteus
vulgaris.
2.1.1. Identifikasi
Identifikasi bakteri dalam hal ini meliputi morfologi dari ciri-ciri organisme,
biakan dan sifat-sifat pertumbuhan (1,2,4).
Staphylococcus epidermidis adalah sal berbentuk bola dengan garis tengah
kira-kira 1 um dan tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur. Coccus
muda bersifat Gram-positif kuat, pada biakan tua banyak coccus menjadi Gramnegatif. Coccus ini tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Hudah tumbuh pada
berbagai pembenihan bakteriologik dalam keadaan aerob atau mikro-aerob. Tumbuh
paling cepat pada suhu 37°C tetapi paling baik membentuk pigmen pada suhu kamar
(20°C). Koloni pada pembenihan berbentuk bulat, halus, menonjol, dan pembenihan
membentuk suatu pigmen berwarna putih. Relatif resisten terhadap pengeringan, suhu
panas (tahan 50°C selama 30 menit), dan terhadap larutan natrium klorida 8%, tetapi
dihambat oleh heksaklorofen 3% (1,2,4),
Proteus vulgaris adalah sel berbentuk batang, Gram-negatif, dan tidak
membentuk spora. Bergerak sangat aktif dengan menggunakan bulu-bulu cambuk
disekeliling tubuhnya (flagel peritrih). Mudah tumbuh pada berbagai pembenihan
dalam keadaan anaerob. Dapat menghasilkan urease, yang menyebabkan hidrolisis
cepat dari urea, dengan melepaskan amonia. Pada infeksi saluran kemih, air kemih
dapat menjadi sangat alkali sehingga dapat merangsang pembentukan batu (1,2,4) .
2.1.2. Epidemiologi
Staphylococcus epidermidis selain ditemukan bebas di udara, juga merupakan
flora normal pada kulit dari saluran pernafasan bagian atas manusia. Bakteri ini dapat
menimbulkan penyakit jika habitat normalnya terganggu. Misalnya, terdapat luka
sehingga bakteri tersebut dapat masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan
infeksi pada daerah yang lain yang bukan habitat normalnya (1.2.4).
Proteus vulgaris sebagian besar hidup bebas dalam air, tanah, dan sampah.
Tetapi bakteri ini ditemukan juga sebagai flora normal dalam saluran pencernaan
manusia dan dapat menimbulkan penyakit jika habitat normalnya terganggu. Jadi
sebenarnya manusia bertindak sebagai sumber kontaminasi yang endogen bagi dirinya
Sendiri (1,2,4).
2.1.3. Klinikal infeksi
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, flora normal dalam tubuh manusia
dapat menjadi infektif apabila habitat normalnya terganggu (1,2,4).
Staphylococcus epidermidis, yang merupakan flora normal pada saluran nafas
bagian atas manusia, pada dasarnya tidak invasif dan jarang menyebabkan
pernanahan. Tetapi apabila habitat normalnya terganggu maka ia dapat menimbulkan
penyakit melalui kemampuannya berbiak dan menyebar luas dalam jaringan serta
toksin yang dihasilkannya. Daerah-daerah yang sering terinfeksi Staphylococcus
epidermidis adalah protesa ortopedik dan sistem kardiovaskular (1,2,4).
Proteus vulgaris, yang merupakan flora normal pada saluran pencernaan
manusia, juga dapat menjadi infektif apabila habitat normalnya terganggu. Daerah2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
daerah yang sering terinfeksi Proteus vulgaris adalah saluran kemih, saluran empedu,
paru-paru, peritonium, dan selaput bila daya tahan tubuh tuan rumah tidak cukup,
khususnya pada bayi baru lahir, usia tua, atau setelah immun, kuman ini dapat
mencapai aliran darah dan menyebabkan sepsis (1,2,4)
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap flora normal,
dimanapun ia berada dapat infektif jika habitat normalnya terganggu. Begitu halnya
dengan flora normal rongga mulut. Oleh karena setiap perawatan endodontik baik itu
dengan menggunakan teknik kondensasi lateral, teknik kondensasi vertikal ataupun
dengan teknik lainnya, perlu dilakukan dengan tepat dan sempurna agar kemungkinan
Saluran akar oelh flora normal rongga mulut dapat dihindari (1,2.3,4),
2.2. Perawatan endodontik dengan teknik kondensasi lateral
Untuk memperkecil kemungkinan adanya variasi yang signifikan yang
diperlukan bakteri untuk berpenetrasi ke seluruh saluran akar, maka Torabinejad dkk
menggunakan gigi insisivus dan kaninus dengan akar yang lurus dalam penelitiannya.
Teknik pengisian saluran akar yang biasa digunakan untuk gigi jenis ini (termasuk
dalam klas I Ingle, yaitu gigi-gigi yang mempunyai saluran akar yang besar, lurus dan
saluran lateral) adalah teknik kondensasi lateral (3,5,6).
Sebelum saluran akar diisi, gigi dipreparasi dengan teknik step-back (teknik
preparasi untuk bentuk saluran akar klas I Ingle). Adapun keuntungan dari teknik ini
adalah:(6 )
1. Lebih efektif dalam membersihkan saluran akar
2. Lebih mudah melakukan pengisian saluran akar dengan teknik kondensasi lateral
3. Celah antara gutaperca dan dinding saluran akar lebih kecil
Setelah dipreparasi, saluran akar diisi. Pada teknik kondensasi lateral biasanya
digunakan gutaperca, yang dimasukkan ke dalam saluran akar setelah dilapisi dengan
pasta saluran akar (sealer) (3,6).
Kadang-kadang gutaperca tersebut disemprot dengan etil klorida untuk
mempermudah pemasukannya ke dalam saluran akar serta mengurangi kelenturannya.
Setelah master point berada dalam saluran akar dengan benar, lalu dimasukkan
penguak di samping master point tersebut. Maka akan ditemukan ruangan untuk
beberapa gutaperca yang lain. Penambahan gutaperca dengan penguak ini
menyebabkan terjadinya kondensasi dari material di dalam saluran akar. Gutaperca
ditekan ke dinding saluran akar dan saluran samping secara kuat. Dengan demikian
pengisian sealer di dalam saluran akar menjadi berkurang. Kelebihan dari gutaperca
yang mencuat dari saluran akar dipotong dengan instrumen (misalnya ekskavator)
yang dipanaskan (3.6).
BAB III
PENELITIAN TORABINEJAD
Untuk menguji kemampuan penetrasi bakteri ke dalam saluran akar yang telah
diisi. Torabinejad dkk menggunakan Staphylococcus epidermidis dan Proteus vulgaris
dalam penelitiannya. Sedangkan gigi yang digunakan dalam penelitian ini adalah gigi
insisivus dan kaninus rahang atas dengan akar yang lurus.
3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3.1. Bahan dan cara
Penyediaan alat. Dengan menggunakan handpiece berkecepatan tinggi dan
round bur no.2 suatu lubang kecil dibuat (kurang lebih 1 mm diameternya) melalui
tutup botol isi 20 ml. Sebuah penjepit kertas dimasukkan ke dalam lubang yang dibuat
dari sebuah penjepit buaya digantung di sebelah dalam botol. Ujung luar penjepit
kertas dibengkokkan untuk menstabilkan penjepit buaya pada tutup botol. Bagian luar
tutup botol yang terbuka ditutup kembali dengan bahan akrilik. Botol-botol dengan
penjepit-penjepit buaya yang melekat pada tutupnya, disterilkan dengan uap.
Setelah saluran akar diinstrumentasi dan diisi, sebuah tabung lateks dengan panjang
25 mm ditempatkan di atas bagian koronal dari masing-masing gigi dan bagian
tepinya ditutup dengan epoxy resin. Tabung-tabung dengan gigi-gigi yang sudan
dilekatkan ke atasnya disterilkan dalam larutan sodium hipoklorit 5.25% selama 15
menit dan kemudian dibilas dengan kurang lebih 300 ml air yang steril. Tabung
tersebut kemudian dilekatkan pada tutup botol yang telah disterilkan.
Sepuluh milimeter phenol red broth yang steril dengan 3% laktosa
ditambahkan pada dasar botol, dan panjang dari tabung diatur sedemikian rupa
sehingga paling sedikit dua milimeter apikal gigi terendam dalam larutan tadi
(Gambar 1)
Gambar 1. Sebuah gigi yang dilekatkan pada sebuah tabung dan digantung dalam
botol dengan sebuah penjepit buaya
Persiapan bakteri. Dua spesies bakteri digunakan sebagai pengkontamisasi
pada percobaan ini; Proteus vulgaris yang sangat aktif bergerak, dan Staphylococcus
epidermidis yang tidak bergerak. Bakteri-bakteri ini ditumbuhkan selama 24 jam
dalam 30 ml trypticase soy broth (kira-kira 4,7 x 108 per ml Proteus vulgaris dan 7,5 x
106 per ml Staphylococcus epidermidis).
Dua milimeter dari suspensi bakteri dan 0,7 ml saliva buatan yang steril
seperti yang ditentukan Swanson dan Madison ( 1 mM CaC12, 3 mM NaH2PO4, 20
mM NaHCO3) diletakkan dalam tabung. Karena kedua organisme tersebut adalah
pembentuk asam, diharapkan larutan indikator phenol merah pada dasar botol berubah
menjadi warna kuning saat bakteri-bakteri tersebut mencapainya.
Memonitor sampel-sampel. Hasil dari pilot study menunjukkan bahwa
kehidupan Proteus vulgaris muncul setelah diinkubasi selama 3 minggu, sedangkan
setelah diinkubasi tersebut dibiarkan Staphylococcus epidermidis muncul setelah
diinkubasi selama 1 minggu. Kultur organisme tersebut dibiarkan selama 24 jam dan
saliva buatan yang steril ditambahkan ke dalam tabung dengan interval 5 hari untuk
4
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Staphylococcus epidermidis dan interval 5-10 hari untuk Proteus vulgaris. Saat kultur
bakteri diisi kembali, kultur yang lama di kultur kembali untuk memastikan
kehidupan organisme tersebut terus berlanjut.
Persiapan gigi-gigi. Empat puluh lima gigi insisivus dan kaninus rahang atas
dengan akar yang lurus dalam penelitian ini. Gigi-gigi ini sebelumnya telah disimpan
dalam larutan formalin 10% dan dijaga tetap lembab sepanjang waktu percobaan.
Setelah dirontgen, kavitas dengan akses standar dan bagian koronal dari saluran
diperlebar dengan Gates Glidden drill no.2 sampai no.4. Untuk mendapatkan
diameter standar, bagian apikal dari gigi diperlebar dan diperjelas sampai file no.40,
dengan memakai teknik teknik preparasi step-back. Kira-kira dua milimeter larutan
NaOCl 5,25% digunakan untuk setiap penggantian ukuran file guna menghilangkan
debris. Gigi-gigi yang telah dipreparasi dibagi dalam dua group yaitu group percobaan
dan group kontrol.
Group percobaan. Saluran akar dari 33 gigi diisi dengan gutaperca dan Roths
sealer dengan teknik kondensasi lateral. Untuk mendapatkan panjang pengisian yang
standar, bagian koronal dari gutaperca dibuang dengan plugger yang panas sampai
tinggal kira-kira 10 dari saluran. Untuk mendapatkan bahan pengisi yang berada di
dalam mencegah bakteri berpenetrasi dari permukaan akar, dua lapisan cat kuku
disapukan ke bagian luar akar, kecuali satu milimeter dari apeks tetap dibiarkan.
Group 1. Bagian koronal dart saluran akar 16 gigi dalam group ini diletakkan
berkontak dengan dua milimeter Proteus vulgaris dalam tryticase soy broth dan 0,7
ml saliva buatan yang steril. Tabung kemudian digantung di atas phenol broth
sedemikian rupa sehingga kira-kira dua milimeter apeks gigi terendam di dalamnya.
Group 2. Bagian koronal dari saluran akar 17 gigi dalam group ini diletakkan
berkontak dengan dua milimeter Staphylococcus epidermidis dan 0,7 ml saliva
buatan. Apeks dari gigi direndam dalam phenol broth merah.
Group Kontrol. Untuk menguji ketepatan dari hasil-hasil yang didapat, sisa dari gigi
yang telah dipreperasi dibagi dalam dua group kontrol.
Group 3. 5aluran akar dari 8 gigi yang digunakan sebagai kantrol positif diisi dengan
satu point gutaperca tanpa sealer, meniru pengisian saluran akar yang tidak bagus.
Masing-masing dari dua spesies bakteri diletakkan terpisah pada tabung untuk
mengkontaminasi empat saluran akar (per mikroorganisme) seperti yang telah
dijelaskan pada group percobaan.
Group 4. Untuk membuktikan bahwa tidak terjadi kontaminasi percobaan (kontrol
negatif ), empat saluran akar yang telah dipreparasi diisi dengan gutaperca dan
sealer. Setelah membuang bagian koronal dari bahan pengisi dan meninggalkan 10
mm dari bahan pengisi dalam saluran akar, bagian koronal dari pengisian dibiarkan
dalam saliva buatan yang steril.
5
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Diagram alur cara penelitian
Penyediaan
alat
Persiapan
bakteri
Persiapan
gigi-gigi
Group percobaan
dan
Group Kontrol
Monitor Sampel
Hasil
3.2. Hasil
Pada group 1, yang dikontaminasi Proteus vulgaris, dua dari sampel menjadi
positif seteleha dua hari. Satu dari sampel ini mungkin berasal dari sampel kontrol
positif, dan yang satu lagi ditemukan mengalami kebocoran pada tabung lateksnya.
Kedua sampel ini dibuang.
Tabel 1 menunjukkan waktu yang diperlukan Proteus vulgaris untuk mencapai
apeks sepanjang 10 mm bahan pengisi. Waktu tersebut bervariasi dari 10 sampai 73
hari. Panjang waktu rata-rata yang diperlukan untuk mengalami kebocoran adalah
48,6 hari.
Tabel 1. Tingkat rekontaminasi total dari saluran akar yang telah diisi yang dibiarkan
dengan Proteus vulgaris
Jumlah sampel
2 dibuang
1
1
1
2
2
2
1
1
1
1
1
Jumlah : 14
% dari jumlah
7
7
7
14,3
14,3
14,3
7
7
7
7
7
99,9 %
% kumulatif
Jumlah hari
10
7
29
14
31
21
39
36
42
50
57
64
63
71
64
79
66
86
68
93
73
100
Rata-rata: 48,6 hari
0,2 mm/hari
Periode waktu yang dibutuhkan Staphylococcus epidermidis untuk mencapai
apeks pada group 2 ditunjukkan dalam tabel 2. Dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh pada group 1, hasil yang diperoleh pada group 2 lebih konsisten, yaitu
6
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
kebanyakan kebocoran pada apeks terjadi antara 15 sampai 30 hari, dengan jarak
antara 15 sampai 51 hari. Panjang waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk penetrasi
total adalah 24,1 hari.
Kecuali untuk satu sampel pada group kontrol positif (group 3), sampel yang
lain (7 dari 8) menyebabkan perubahan warna dalam phenol merah setelah satu
sampai empat hari. Medium kultur tidak berubah warna pada gigi yang berkontak
dengan saliva steril (group 4) sepanjang percobaan (lebih dari 90 hari).
Tabel 2. Tingkat rekontaminasi total dari saluran akar yang telah diisi dan dibiarkan
dengan Staphylococcus epidermidis
Jumlah sampel
1
1
5
2
2
4
1
1
Jumlah : 17
% dari jumlah
6
6
29
12
12
23
6
6
100%
% kumulatif
Jumlah hari
15
6
16
12
17
41
19
53
20
65
30
88
45
94
51
100
Rata-rata: 24,1 hari
0,4 mm/hari
3.3. Diskusi
Kebanyakan sampel pada group kontrol positif (group 3), dengan pengisian
saluran akar yang tidak bagus menunjukkan kebocoran dalam waktu 1 sampai 4 hari,
kecuali satu yang tidak menunjukkan satu yang tidak menunjukkan perubahan apapun
sampai hari ke-22. Ada kemungkinan kesalahan teknis yang mungkin menyebabkan
hal ini, yaitu: Pertama adalah bahwa gigi ini telah tertukar secara tidak sengaja dengan
satu dari sampel percobaab. Kedua adalah bahwa ruang yang dipreparasi
kemungkinan cukup bulat untuk menghasilkan seal yang sangat ketat.
Hasil-hasil diperoleh positif mendukung study yang dilakukan oleh Marshall
dan Massler, Evans dan Simon, Shinner dan Himel yang menunjukkan bahwa sealer
diperlukan untuk meningkatkan seal apikal.
Karena tidak satupun gigi dari kontrol negatif yang menunjukkan perubahan
warna dalam medium phenol merah, kelihatan bahwa persiapan alat-alat pada
penelitian ini memberikan ruangan yang betas kontaminasi.
Lebih dari 85% gigi yang dibiarkan dengan Proteus vulgaris menjadi
terpenetrasi seluruhnya dalam waktu 66 hari, sedangkan kebanyakan (88%) dari gigi
yang dibiarkan dengan Staphylococcus epidermidis terinfeksi seluruhnya dalam
waktu 30 hari, menunjukkan bahwa motilitas bukanlah suatu faktor dalam tingkat
penetrasi pada apeks.
Ditemukan variasi waktu yang signifikan yang diperlukan bakteri untuk
berpenetrasi ke seluruh saluran akar. Hasil yang serupa dilaporkan oleh Swanson dan
Madison sewaktu mereka mempelajari penetrasi dye dalam saluran akar yang diisi. Ini
Mungkin disebabkan oleh bentuk dari saluran akar yang dipreparasi, jenis sealer yang
digunakan atau sifat larutan dimana bagian koronal dari saluran akar direndam.
Goldman dkk mempelajari penetrasi bakteri pada saluran akar yang diisi
dengan poly-HEHA, hidrofilik, dan polimer plastik. Mereka tidak menemukan
penetrasi bakteri setelah 42 hari. Alasan utama tidak adanya penetrasi bakteri dalam
7
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
hasil mereka mungkin poly-HEHA tidak mendukung pertumbuhan bakteri seperti
yang dilaporkan oleh Kronman dkk, sebab pori-porinya lebih kecil dari bakteri, atau
polimer memiliki adhesif yang sama seperti cat kuku akrilik yang digunakan untuk
melapisi permukaan luar gigi.
Dibandingkan dengan situasi klinik, model yang digunakan dalam
pemeriksaan ini adalah statis, media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri
tidaklah serupa benar dengan saliva, dari untuk memudahkan penanganan kondisi
percobaan dan interpretasi data, bakteri dibatasi hanya dua spesies saja. Karena
keterbatasan ini dan kemungkinan efeknya yang ada pada hasil yang diperoleh, model
ini vitro yang meniru kondisi klinis diperlukan untuk meneliti tingkat kebocoran pada
saluran akar yang diisi tanpa sealer.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian Torabinejad dkk dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengisian saluran akar yang tidak baik (tanpa sealer) akan menunjukkan kebocoran
dalam waktu yang relatif cepat, yaitu satu sampai empat hari (setelah terkontaminasi
dengan bakteri). Tetapi pada pengisian saluran akar yang sebelumnya telah dilapisi
dengan sealer akan menunjukkan kebocoran (setelah terkontaminasi dengan bakteri)
dalam waktu yang relatif lama, yaitu 66 hari jika terkontaminasi dengan Proteus
vulgaris dan 30 hari jika terkontaminasi dengan Staphylococcus epidermidis. Jika
dilihat dari sifat motilitas kedua spesies bakteri ini, Staphylococcus epidermidis
merupakan bakteri tidak bergerak sedangkan Proteus vulgaris merupakan bakteri yang
sangat aktif bergerak, maka hal ini menunjukkan bahwa motilitas bukanlah suatu
faktor yang menentukan dalam cepat atau lambatnya penetrasi pada apeks.
Oleh karena penelitian Torabinejad dkk hanya menggunakan dua spesies
bakteri saja, maka masih diperlukan suatu penelitian yang menyerupai kondisi klinis
dengan menggunakan bakteri lain yang menjadi flora normal dalam rongga mulut
agar didapatkan suatu hasil yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adelberg EA. Jawetz E. Melnick JL. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan. Edisi
ke-16. Jakarta: EGC Penerbit buku kedokteran, 1986: 239-44. 298.
2. Amos DB. Joklih WK, Willet HP. Zinsser Microbiology. 8th ed. Connecticut:
Appleton-Century-Croffs/Norwalh, 1984: 459. 609.
3. Bence R. Buku Pedoman Endodontik Klinik. Edisi ke-1. Jakarta: UI Press. 1990:
177-85.
4. Cassell GH. McGhee JR, Michalek SM. Dental Microbiology. Philadelphia:
Harper and Row Publisher, 1982: 404-5, 415, 849-50.
5. Kettering JD. Torabinejad M. Ung B. In vitro bacterial penetration of coronally
unsealed endodontically treated teeth. Journal of Endodontics 1990; 16: 566-9.
6. Tarigan R. Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti). Edisi ke- 1. Jakarta: Penerbit
Widya Hedika, 1994: 86-8, 97-9.
7. Tarigan R. Karies Gigi. Edisi ke-l. Jakarta: Penerbit Hipokrates, 1990: 23.
8
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Download