BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan Sebagai kebutuhan utama manusia, konsumsi energi semakin meningkat seiring dengan perkembangan industri, kemajuan teknologi, dan meningkatnya populasi serta taraf hidup manusia. Beberapa usaha nyata dapat dilakukan untuk mencegah kebutuhan terhadap energi yang tak terkendali dan tetap menpertahankan taraf hidup yang ada, terutama di negara-negara berkembang, yaitu menekan peningkatan populasi, membatasi konsumsi energi dan menemukan sumber energi alternatif. Gambar 1.1 menunjukkan perbandingan antara populasi, konsumsi energi dan konsumsi energi per kapita dunia. Gambar 1.1 Perbandingan antara populasi, konsumsi energi dan konsumsi energi per kapita dunia (Gupta dan Roy, 2007) Bumi memiliki bahan bakar fosil dalam jumlah yang banyak namun terbatas. Kebutuhan terhadap minyak bumi semakin meningkat dan dikhawatirkan semakin tidak sebanding dengan produksinya. Sumber energi lain yang melimpah, seperti 1 2 batubara, semakin sulit diperoleh karena kini praktik penambangannya berbahaya dan banyak negara maju yang kekurangan pekerja. Energi panas bumi hadir sebagai alternatif yang menjanjikan, karena termasuk sumber energi yang melimpah dan telah sukses menyediakan kebutuhan energi domestik dan industri di beberapa negara selama beberapa dekade terakhir. Panas bumi telah banyak dipilih sebagai sumber energi alternatif karena relatif bersih dan terbarukan. Selain itu, eksploitasi komersial untuk energi panas bumi penting untuk segera dilakukan karena adanya peningkatan harga minyak mentah yang pesat. Energi panas bumi mencapai pertumbuhan puncak yaitu sekitar ~22,5% setiap 5 tahun antara tahun 1980 hingga 1990 dan mengalami sedikit penurunan yaitu sekitar ~16,7% antara tahun 1990 hingga 2000 (Huttrer, 2001). Indonesia memiliki sumber yang melimpah dari panas bumi, baik itu sumber panas bumi yang berasal dari uap kering maupun air panas. Sumber panas bumi ini berasosiasi dengan beberapa gunungapi aktif yang terbentang pada batas lempeng antara lempeng Eurasia dengan lempeng Indo-Australia. Pergerakan konvergen dan strike-slip sepanjang batas lempeng tersebut diyakini telah menghasilkan sistem panas bumi bersuhu tinggi dengan jumlah cadangan besar di lokasi yang dekat dengan batas lempeng, yaitu di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Halmahera. Setidaknya terdapat 70 lapangan panas bumi bersuhu tinggi yang telah diidentifikasi, dengan tujuh darinya sedang dalam produksi. Lapangan panas bumi di Pulau Jawa yang sudah memasuki tahap produksi didominasi oleh lapangan uap, sementara di Sumatra dan Sulawesi didominasi oleh lapangan air panas. Kapasitas total yang terpasang diperkirakan sebesar 1226 MW (Dirjen EBTKE, 2011), seperti yang ditampilkan pada Tabel 1.1, dengan tambahan kapasitas yang direncanakan untuk beberapa tahun ke depan. Namun, eksplorasi dan program pengembangan lebih lanjut akan dibutuhkan untuk memanfaatkan potensi energi panas bumi yang besar ini, agar dapat berkontribusi terhadap kebutuhan energi Indonesia yang berkembang pesat. Tabel 1.1 menunjukkan beberapa PLTP di Indonesia yang dimiliki berbagai perusahaan. 3 Tabel 1.1 Kapasitas terpasang energi panas bumi Indonesia tahun 2011 (Dirjen EBTKE, 2011) No. Lokasi 1 2 3 4 5 6 7 PLTP Kamojang Salak Jawa Darajat Wayang Windu Dieng Lahendong Luar Jawa Sibayak Total Kapasitas Terpasang (MW) 200 377 270 227 60 80 12 1226 Secara sederhana, energi panas bumi menghasilkan uap yang digunakan untuk menggerakkan turbin. Turbin tersebut terhubung ke generator sehingga dapat menghasilkan energi listrik. Tempat pembangkit tenaga listrik dari energi panas bumi ini disebut Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Pembentukan uap di bawah permukaan bumi terjadi ketika air yang terdapat pada batuan yang mewadahinya (disebut batuan reservoir) dipanaskan hingga mendidih oleh batuan pemanas atau magma (disebut sumber panas) di bawahnya. Uap ini kemudian akan bergerak naik melalui celah terbuka pada batuan atau berusaha membuka celah yang sebelumnya tertutup sebagai jalur menuju permukaan. Dengan kata lain, uap akan berusaha naik melewati daerah yang relatif permeabel menuju permukaan. Uap yang bergerak melalui celah pada batuan ini akan mengakibatkan gempa mikro. Gempa mikro merupakan gempa dengan magnitudo yang rendah, yaitu ≤ 3 Skala Richter. Gempa mikro juga dapat terjadi akibat proses lainnya, seperti pengisian ulang air ke dalam reservoir secara alami (air hujan) maupun buatan, seperti proses produksi dan injeksi. Proses produksi dapat menghasilkan gempa mikro yang terjadi akibat uap yang diekstraksi bergerak sepanjang retakan yang terhubung dengan reservoir. Uap yang diekstraksi saat proses produksi juga akan menurunkan tekanan dan menyebabkan kompaksi pada reservoir, sehingga akan timbul gempa mikro pada batas reservoir (Segall, 1989). Proses injeksi akan menimbulkan gempa mikro yang dipicu oleh setidaknya dua proses ini, yaitu: (1) gempa mikro yang 4 dipicu oleh naiknya tekanan injeksi dan (2) gempa mikro yang dipicu oleh injeksi air dingin (Stark dkk., 2007). Ilustrasi sederhana sistem PLTP dan gempa mikro (simbol merah) ditampilkan pada Gambar 1.2. Gambar 1.2 Sistem sederhana PLTP dan pembentukan gempa mikro (dimodifikasi dari bbc.co.uk, 2011) Investigasi terhadap gempa mikro penting untuk dilakukan, seperti yang dibuktikan oleh Ward (1979) bahwa aktivitas gempa mikro yang tinggi sering menjadi karakteristik dari sistem hidrotermal pada area yang aktif secara tektonik atau vulkanik. Sistem hidrotermal adalah sistem air tanah yang memiliki daerah recharge, daerah discharge, dan sumber panas. Tujuan utama dari survei gempa mikro adalah untuk memantau dan mengetahui lokasi absolut hiposenter gempa mikro secara tepat. Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui lokasi sesar aktif yang bertindak sebagai jalur naiknya fluida dari reservoir atau memperkirakan kedalaman zona sirkulasi fluida pada sistem hidrotermal. Survei gempa mikro juga dapat mempengaruhi penentuan target pengeboran, terutama pada kasus sistem hidrotermal yang sama sekali belum dieksplorasi. 5 Dalam penentuan lokasi hiposenter, beberapa faktor yang mengaturnya antara lain: geometri jaringan stasiun, fase yang terekam, akurasi pembacaan waktu datang, dan pengetahuan mengenai struktur kerak bumi (Pavlis, 1986; Gomberg dkk., 1990). Dalam penentuan lokasi hiposenter gempa mikro, kondisi geologi yang heterogen dan isotropis disederhanakan menjadi suatu model kecepatan satu dimensi. Model ini masih memiliki kesalahan (error) ketika adanya variasi kecepatan yang tidak dimodelkan, contohnya seperti stasiun yang terletak lebih tinggi atau lebih rendah dan adanya kontras kecepatan dekat stasiun. Dengan menggunakan metode double-difference, kesalahan akibat hal tersebut dapat dikurangi tanpa membutuhkan koreksi stasiun. Metode double-difference juga dapat merelokasikan hiposenter sehingga tampak pola seismisitas yang lebih jelas. Daerah penelitian untuk aplikasi metode double-difference adalah daerah lapangan panas bumi “KRHR” yang terletak di daerah Jawa Barat. 1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan penelitian ini, penulis ingin menentukan prosedur relokasi hiposenter gempa mikro yang tepat dan membandingkan distribusinya terhadap hiposenter awal. Hasil akhir penelitian merupakan interpretasi pola seismisitas yang diharapkan sesuai dengan kaidah geologi. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menerapkan metode double-difference untuk relokasi hiposenter gempa mikro pada lapangan panas bumi “KRHR”. 2. Membandingkan solusi penentuan lokasi hiposenter gempa mikro yang diperoleh dari metode double-difference dengan hiposenter awal dari data katalog pada lapangan panas bumi “KRHR”. 3. Menginterpretasikan pola seismisitas yang berkembang pada lapangan panas bumi “KRHR” dengan didukung data sekunder, seperti struktur dan jalur sumur. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui lokasi sebenarnya dari struktur aktif yang diduga memicu gempa mikro di daerah penelitian. Dengan mengetahui 6 lokasi sebenarnya dari struktur tersebut, diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam penentuan lokasi dan arah sumur produksi baru. 1.3. Batasan Masalah Dalam penelitian Tugas Akhir ini, batasan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Data gempa mikro yang digunakan merupakan data katalog gempa selama kurun waktu 70 hari pada lapangan panas bumi “KRHR”. 2. Luas area penelitian adalah 20x17,5 km2. 3. Koordinat lokasi hiposenter dan koordinat lokasi stasiun diubah ke koordinat lokal atau tidak ditampilkan.