BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Musik Bali telah banyak dijadikan objek penelitian, baik oleh peneliti lokal, nasional, maupun asing. Dari penelitian-penelitian tersebut telah terbit sejumlah buku, artikel, laporan, dan naskah tercetak lainnya dengan perspektif yang beragam sesuai latar belakang keilmuan penelitinya. Para peneliti ini menggunakan pisau analisis yang bermacam-macam, seperti sejarah, etnomusikologi, sosial, estetika, termasuk kajian budaya. Dari beberapa pustaka yang telah dikaji belum ditemukan adanya hasil penelitian yang membahas kreativitas musik Bali garapan baru di Kota Denpasar. Namun demikian, terdapat sejumlah pustaka berupa buku-buku, laporan penelitian, dan artikel yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Adapun sumber-sumber pustaka yang dimaksud adalah sebagai berikut. Buku berjudul Music In Bali: A Study in Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music oleh Colin McPhee yang diterbitkan Yale University Press tahun 1966. Buku ini adalah hasil pengamatan langsung McPhee terhadap keberadaan musik Bali dari tahun 1931-1939. Salah satu informasi menarik dari buku ini dalam kaitannya dengan kreativitas musik Bali adalah dilakukannya peleburan barungan-barungan gamelan kuno untuk dijadikan ansambel baru, yaitu gamelan Kebyar. Hal ini dikatakan oleh McPhee (1966:328) sebagai berikut. 16 ”It was probably in the early years of the present century that musician in certain villages of north Bali, the territory of many innovations, began to transform the traditional gamelan gong into the modernized form known to day as the gamelan Gong Kebyar. The trompong was dropped, except for old ceremonial music; the saron were abandoned in favor of the gangsa gantung, whose range was now extended to nine or ten tone, while the original reong of four gongs was expanded to include a series of twelve The cymbal section was reduce to two or three player; the cymbals use were smaller and lighter in sound.” (Pada tahun-tahun permulaan abad ke-20, seniman musik di beberapa desa di Bali Utara melakukan upaya pembaharuan, dimulai dengan mengubah gamelan Gong tradisional menjadi ansambel baru yang kemudian dikenal dengan gamelan Gong Kebyar. Instrumen trompong dihilangkan, kecuali untuk musik-musik ritual; instrumen saron diubah menjadi gangsa gantung dengan rentang nada dikembangkan menjadi sembilan atau sepuluh nada, sementara instrument reyong yang sebelumnya terdiri atas empat dikembangkan menjadi dua belas. Kelompok instrumen cengceng dikurangi menjadi untuk dua atau tiga pemain; cengceng yang digunakan lebih kecil dengan suara yang lebih renyah) Catatan di atas menunjukkan upaya pembaharuan musik Bali yang terjadi pada awal abad ke-20 di Bali Utara, yakni dengan mengubah beberapa instrumen gamelan yang telah ada, kemudian dirajut kembali menjadi ansambel baru. Peristiwa ini berawal di Bali Utara, kemudian menyebar ke Bali Selatan hingga dekade 1930-an, dalam hal ini gamelan Semara Pagulingan, Palegongan, dan Gong Gede milik beberapa puri juga dilebur untuk dijadikan Gong Kebyar. McPhee melukiskan musik Kebyar sebagai “the bursting open of a flower” (seperti mekarnya sekuntum bunga), untuk menandai lahirnya musikalitas baru dalam dunia penciptaan musik Bali. Informasi ini sangat bermanfaat dalam memahami upaya-upaya pembaharuan atau cara kerja kreatif seniman Bali pada era 1930-an. Sebagaimana ditegaskan McPhee bahwa idiom-idiom musikal baru yang lahir dari cara kerja kreatif ini sangat menarik perhatian masyarakat Bali sehingga berkembang dengan pesat dan cepat. 17 Sebuah artikel berjudul ”The World of Music Composition in Bali” karya David Harnish dari Bowling Green University, yang diterbitkan dalam Journal Musicological Research tahun 2000, mengulas tentang penciptaan musik Bali garapan baru dengan fokus pada dua genre, yaitu kreasi baru dan kontemporer. Pengertian musik kreasi baru menurut Harnish (2000:12) seperti di bawah ini. “Kreasi baru composition are linked to traditional form, structure, and orchestration, but feature a number of standard innovations. Works typically consist of ”a series of melodic ostinati whose abrupt changes of mood, tempo, and dynamic level create an air of high excitemen.” (Komposisi kreasi baru terkait dengan bentuk, struktur, dan orkestrasi tradisional, tetapi mengutamakan sejumlah standar inovasi. Karya-karya biasanya terdiri atas serangkaian melodi ostinato yang mengalami perubahan seketika dari ekspresi musikal, tempo, dan tingkatan dinamika untuk menciptakan suasana kegembiraan) Selanjutnya, pengertian musik kontemporer dijelaskan sebagai berikut. “A radically new genre of music emerge in the late 1970s, inspired by colleagues in Java and perhaps those abroad, few composer began exploring what was to be called musik kontemporer. This music would sever many connections with traditional Balinese musical with kreasi baru as well…composers state that they compose these works as experiments, often as a way to express themselves individually, and sometimes to make sosisopolitical statements that not be accommodate in the kreasi baru genre (2000: 19--20).” (Sebuah genre musik baru yang radikal muncul pada akhir tahun 1970-an, terinspirasi oleh rekan-rekan dari Jawa dan mungkin orang-orang dari luar negeri, beberapa komposer mulai menjelajahi apa yang disebut dengan musik kontemporer. Musik ini akan memutuskan banyak hubungan dengan musik tradisional Bali dan juga musik kreasi baru ... banyak komposer menyatakan bahwa mereka menciptakan karya tersebut sebagai percobaan, sering juga sebagai cara untuk mengekspresikan diri mereka secara individual, dan kadang-kadang untuk membuat pernyataan sosial politik yang tidak terakomodasi dalam genre kreasi baru) Ada dua hal yang perlu dicermati dari pernyataan Harnish di atas, yaitu pengertian serta ide kelahiran musik Bali garapan baru. Dalam hal ini, Harnish 18 dengan tegas membedakan pengertian musik kreasi baru dengan musik kontemporer, yakni yang satu masih berkaitan dengan tradisi dan yang lainnya disebutkan tidak lagi terikat dengan pola-pola tradisi. Selanjutnya, terkait dengan ide kelahiran musik kontemporer, Harnish mengatakan bahwa musik jenis ini dipengaruhi oleh komposer dari Jawa dan luar negeri, tetapi penulis kurang sepaham. Harnish hanya mengamati latar belakang kelahiran musik kontemporer dari sisi eksternal, padahal ada faktor internal yang sangat berpotensi, yaitu idealisme seniman Bali yang selalu berkembang dari zaman ke zaman. Namun demikian, tulisan ini cukup bermanfaat karena telah membuka peluang untuk melakukan penyelidikan yang lebih luas tentang berbagai bentuk dan faktor yang mempengaruhi kreativitas musik Bali garapan baru. Persoalan tentang wacana-wacana musik komtemporer yang terjadi di Indonesia, termasuk di Bali, dibahas dalam buku berjudul Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, yang ditulis oleh Dieter Mack terbitan ARTI tahun 2004. Dalam hal ini Mack (2004:1--2) berpendapat bahwa persoalan mendasar musik kontemporer di Indonesia hingga saat ini adalah belum adanya kesatuan pemahaman karena budaya musik otonom, sebagaimana pengertian di Barat, tidak pernah terjadi dalam tradisi musik di Indonesia. Demikian juga dengan masalah pengertian istilah “kontemporer” masih mengalami kekacauan. Istilah musik kontemporer merupakan istilah Barat dengan konotasi tertentu. Namun, penggunaan istilah tersebut di Indonesia mengarah pada sesuatu yang bagi orang Barat sama sekali tidak berhubungan dengan aspek kontemporer. 19 Menurut pengamatan Mack (2004:35), ada dua pandangan tentang pengertian istilah kontemporer di Indonesia. Pandangan ini dipilah menjadi pandangan ”ekstrem kiri” dan pandangan ”ekstrem kanan” dengan penjelasan sebagai berikut. ”Pada pandangan ekstrem di sebelah kiri, istilah kontemporer biasanya diartikan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan tradisi sama sekali....Para apresiator cenderung menerapkan istilah kontemporer pada setiap musik baru yang tidak biasa bagi mereka...Di lingkungan perguruan tinggi, biasanya dibedakan tiga konsep karya yaitu menggarap dalam suatu gaya tradisional, mengaransir baru suatu karya tradisional, serta menggarap musik kontemporer. Adanya tiga konsep karya ini menunjukkan bahwa, tersirat musik kontemporer dipisahkan dari tradisi, kriteria kontemporer adalah ketidakbiasaan atau suatu bayangan ”kebebasan sepenuhnya”...Jika inilah pola ekstrem kiri, maka pola ekstrem kanan kebanyakan terjadi di tingkat akademis...Lalu yang dianggap kontemporer oleh kalangan ini adalah jenis garapan misalnya dalam idiom historis (tradisional) dari Barat, khususnya idiom zaman Klasik/Romantik, yaitu abad ke-18/ke-19. Model-model zaman itu senantiasa diimitasikan.” Terkait dengan keberadaan musik Bali garapan baru di Bali, Mack (2001:140) menyatakan sepertidi bawah ini. ”Di Bali sendiri telah dibuat perbedaan signifikan antara kreasi baru dan kontemporer. Pandangan umum ini kurang lebih sesuai dengan anggapan nasional bahwa kontemporer adalah suatu gaya tertentu dengan makna utamanya, yaitu tidak ada hubungannya dengan tradisi. Di sisi lain, tidak salah jika genre kreasi baru dinilai sebagai genre tradisi, sebab terdapat gejala-gejala standarisasi yang signifikan...Walaupun standar ini sudah amat divariasikan, secara tersirat, kerangka dasarnya masih tetap laku dan justru merupakan salah satu alasan mengapa genre kreasi baru tetap sangat populer di Bali.” Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa ada dua bentuk musik Bali garapan baru, yaitu kreasi baru yang sesuai dengan pandangan ”ekstrem kanan” dan kontemporer yang sesuai dengan pandangan ”ekstrem kiri”. Konsep yang digunakan sebagai dasar penciptaan musik kreasi baru adalah ”klasisisme”, yaitu penciptaan musik dengan tidak meninggalkan apa yang sudah diakui serta yang 20 memiliki kriteria standar yang jelas. Sementara itu, penciptaan musik kontemporer menggunakan konsep radikalisme, yaitu mengadakan perubahan secara total, baik dalam gagasan, bentuk, maupun penyajiannya. Pernyataan-pernyataan tersebut di atas memberi stimulasi kepada penulis untuk mendalami lebih jauh mengenai berbagai persoalan seperti definisi, konsep, proses penciptaan, dan berbagai bentuk musik Bali garapan baru. Penulis sepaham dengan Mack tentang kurang akuratnya penggunaan istilah kontemporer sebagai salah satu bentuk musik Bali garapan baru karena istilah tersebut telah memiliki pengertian tertentu di Barat. Oleh sebab itu, dalam disertasi ini penulis menggunakan istilah eksperimental karena lebih sesuai dengan pemahaman masyarakat Bali dan kenyataan yang ada bahwa musik baru jenis ini diciptakan dengan melakukan berbagai eksperimen. Sebuah pustaka konseptual/teoritis berjudul Corat-coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini oleh Suka Harjana yang diterbitkan tahun 2003, merupakan kumpulan artikel dengan berbagai topik tentang musik yang sedang hangat dibicarakan di kalangan masyarakat dalam dua puluh tahun terakhir, termasuk di antaranya tentang musik baru. Topik-topiknya dipilih secara acak, tetapi berkaitan antara satu dengan yang lainnya; peristiwanya terjadi di manamana kemudian permasalahannya didekati secara konprehensif. Ada dua bab menarik yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu musik abad ke-20 dan musik kontemporer. Mengenai berbagai perubahan citra dan sifat dasar musik yang terjadi pada abad ke-20, Harjana menegaskan sebagai berikut. 21 ”Musik telah berubah secara dramatis, dari citra masa lalu yang simbolis, ideal, dan otupian – menjadi ”benda pakai” yang berguna langsung, praktis, dan fungsional. Apakah dengan demikian seni telah mati?. Tentu saja jawabannya, ya dan tidak. Tergantung. Apapun jawabannya, nyata sekali bahwa watak musik telah bergeser, dari yang serba ”mendengar” (audible) dan menggerakkan, ke ”tontonan” (visible) yang serba merangsang (sensual) dan menggegarkan (shocking). Dari kesadaran rasa dan penghayatan, ke citra dan sensasi. Dari komunitas terbatas, ke ruang publik terbuka tanpa penyekat layaknya oksigen di ruang udara.” Dalam mengamati faktor penyebab perubahan, Harjana melihat musik berubah bukan hanya karena tradisi atau trend paham (ideologi seni), melainkan juga karena lingkungan (masyarakat). Penemuan teknologi baru di bidang audio-visual dan benda-benda teknologi mutakhir yang terus melaju dan berkembang juga merupakan faktor yang menyebabkan perubahan dalam bidang musik. Secara lebih detail Harjana (2003: 193--194) menyatakan sebagai berikut. ”Sifat-sifat dasar musik kontemporer pada setiap zaman, dulu maupun kini, tidak pernah berubah. Yaitu, menyangkut kebutuhan akan adanya pembaharuan sebagai tuntutan terhadap masa lalu yang dianggap sudah tidak relevan dan usang (absolescent, obsolete). Tuntutan akan pembaharuan yang oleh Saint Laurent disebut sebagai “transformasi sebuah zaman” itu pada gilirannya akan selalu menimbulkan tiga faktor guncangan besar. Pertama, kehendak umum akan adanya perubahan, perombakan (reformasi) sampai revolusi. Kedua, sebagai akibat logisnya terjadi distorsi sejarah (dengan masa lalu). Ketiga adalah timbulnya sifat kesementaraan (impermanentcy) pada “transformasi zaman”’sampai semuanya kemudian mencapai kestabilan (kemapanannya) kembali dan seterusnya.” Hal lain yang juga dijelaskan dalam buku ini adalah penyebaran musik modern yang sejak tahun-tahun awal abad ke-20 tidak lagi terpusat di Eropa, tetapi telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hal ini disebabkan oleh para komponis abad ke-20 banyak melakukan interaksi silang budaya, kendatipun masing-masing masih menampakkan ciri lingkungan hidup dan budayanya. Harjana (2003:58) juga menyebutkan bahwa munculnya istilah-istilah dalam 22 karya musik seperti modern, kontemporer, eksperimental, new age, dan postmodern, pada dasarnya hanyalah kata sandang sebagai ”baju” penanda waktu dari suatu masa yang dianggap sedang laku dan belum berlalu. Buku ini memberikan manfaat dalam memahami berbagai terminologi dan konsep untuk mengkaji berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan mendasar musik Bali. Buku berjudul Balinese Dance, Drama, and Music, karya I Wayan Dibia dan Rucina Ballinger yang diterbitkan oleh Periplus Edition tahun 2004. Dalam salah satu babnya, buku ini membahas tentang musik baru (new music). Dibia dan Ballinger menyebutkan bahwa sejak dekade tahun 1970-an di Bali telah berkembang pesat berbagai jenis musik baru. Perkembangan ini antara lain dipengaruhi oleh musik-musik dari berbagai daerah di Indonesia di samping musik dari berbagai tempat di dunia. Dalam mengamati perkembangan musik baru di Pulau Dewata, kedua penulis ini mengatakan sebagai berikut. ”Contemporary music in Bali can be placed in two categories: those innovation that introduce new musical ideas and concepts into the traditional gamelan, and those that create new instrumens to build a new type of ensemble. The first develovement includes the use of new rhythmic patterns or works which transform ritual, social, and political activities into the sound of music. The second involves expanding or changing the traditional gamelan orchestra to create a new type of ensemble.” (Musik kontemporer di Bali dapat ditempatkan dalam dua kategori: inovasi yang memperkenalkan ide-ide dan konsep musik baru ke dalam gamelan tradisional dan menciptakan instrumen baru untuk membangun jenis ansambel baru. Pengembangan pertama meliputi penggunaan pola irama baru atau karya-karya yang mentrasformasikan peristiwa-peristiwa ritual, sosial, dan kegiatan politik ke dalam suara musik. Kedua, melibatkan pengembangan atau mengubah gamelan tradisional untuk menciptakan jenis ansamble baru) 23 Penempatan dua kategori musik kontemporer dalam buku ini merupakan hasil pengamatan Dibia dan Rucina Ballinger dari sisi tingkat inovasi dalam proses kreativitas seniman. Pengembangan pertama, yang menggunakan gamelan tradisional, masih dalam tingkat inovasi pada masalah musikalitas. Pengembangan kedua bersifat lebih progresif, yakni dengan menciptakan ansambel baru yang secara langsung berdampak pada pengembangan musikalitas. Dalam buku ini juga dikemukakan beberapa contoh bentuk musik baru baik yang menggunakan gamelan tradisional maupun dengan menciptakan instrumen-instrumen dan gamelan baru. Informasi yang terdapat dalam buku ini digunakan sebagai landasan untuk mencermati dan menelusuri lebih lanjut tentang bentuk dan perkembangan musik Bali garapan baru. Sebuah disertasi berjudul ”Musik Kontemporer: Experimental Music By Balinese Composers” oleh Andrew McGraw 2005, membahas tentang keberadaan musik kontemporer Bali dengan penekanan pada masalah analisis musikal lewat notasi dan deskripsi. McGraw berkesimpulan bahwa musik kontemporer Bali bukan merupakan fenomena baru karena ideologi serta proses kelahirannya identik dengan musik Avant-Garde di Amerika Serikat. Musik kontemporer diciptakan untuk mempresentasikan idiom-idiom baru dari seni musik Bali. Adapun faktor yang memotivasi penciptaan musik baru, McGraw (2005:150-183) menyatakan seperti di bawah ini. ”Since the mid 1980s young composers have frequently interacted and collaborated with Western composers and artists. The composers associated with the American based Gamelan Sekar Jaya, primarily Michael Tenzer, Wayne Vitale, and Evan Ziporyn, and the German composer Dieter Mack have had a considerable and direct impact on 24 young Balinese composer… Many Balinese composers have been influenced by the composition of Vitale and Tenzer.” (Sejak pertengahan 1980-an komponis muda sering berinteraksi dan berkolaborasi dengan komposer serta seniman Barat. Komponis yang tergabung dalam Gamelan Sekar Jaya (kumpulan warga negara Amerika), terutama Michael Tenzer, Wayne Vitale dan Evan Ziporyn dan komponis Jerman Dieter Mack telah membawa dampak yang cukup besar dan langsung pada komponis muda Bali ...Banyak komponis Bali telah dipengaruhi oleh komposisi dari Vitale dan Tenzer) Ungkapan ini menunjukkan bahwa McGraw lebih melihat kepada faktor eksternal yang berperan dalam kreativitas musik Bali garapan baru. Dalam hal ini, penulis memiliki pendapat yang agak berbeda dengan McGraw bahwa faktor yang memotivasi penciptaan musik Bali garapan baru harus dilihat secara seimbang antara faktor eksternal dan internal. Penciptaan musik eksperimental Bali telah terjadi tahun 1979, yakni jauh sebelum persentuhan komposer Bali dengan komposer Amerika Serikat. Hal ini mungkin disebabkan karena dalam disertasi ini McGraw tidak membahas fenomena yang lebih mendasar dalam penciptaan musik Bali garapan baru, yaitu latar belakang, proses perubahan, konsep dan ekspresi estetik, serta dampak dan makna kehadiran musik Bali garapan baru. Buku berjudul The New Music, The Avant-Garde Since 1945 karya Reginald Smith Brindle yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1993, membahas berbagai hal tentang perkembangan musik baru di Eropa, khususnya setelah Perang Dunia II. Selain membahas latar belakang, sejarah, dan fenomena kehadiran musik baru, buku ini juga banyak membahas hal-hal teknis yang berkaitan dengan konsep dan teori perkembangan bentuk-bentuk musikal seperti improvisasi, musik konkret, dan konsep-konsep karya komposer musik baru Amerika, terutama John Cage. 25 Berkaitan dengan istilah ”improvisasi” sebagai salah satu pola permainan khas musik baru, dalam buku ini disebutkan bahwa pengertiannya sudah diperluas dan bervariasi tetapi esensinya adalah spontanitas yang didasarkan pada imajinasi dan kecerdikan pemain. Musik konkret adalah kumpulan bunyi hidup yang terdiri atas dua jenis, yaitu manipulasi tape dan modifikasi elektronik. Melalui kedua sarana ini suara-suara yang asli dari satu jenis musik dapat diolah untuk melahirkan suara baru yang tidak terduga sebelumnya. Improvisasi dan musik kongkret sebagaimana dijelaskan di atas kini juga mewarnai dinamika penciptaan musik Bali garapan baru. Salah satu ungkapan menarik dari buku ini adalah pandangan Brindle tentang karya-karya musik John Cage. Brindle menulis sebagai berikut. “For Cage, too, music is action. A players body, gesture, speech, and action are an extension of his instrument, an enlargement of its personality. Cage’s music can therefore involve players in speech, movement, and gesture, in theatricalisms which are quite alien to almost impersonal ‘white tie and tail’ tradition of European instrumentalism.” (Bagi Cage, musik adalah aksi atau tindakan. Tubuh, gerakan tangan, dan ucapan para pemain merupakan perluasan dari instrumennya, untuk menunjukkan kekhasannya. Musik karya Cage dapat melibatkan para pemain pada perkataan, gerakan tubuh dan gerakan tangan, teatrikal, dimana hal demikian cukup asing pada tradisi musik instrumental Eropa) Ungkapan tentang karya musik Cage tersebut di atas menyiratkan perlunya cara pandang kreatif dalam memahami suatu karya musik. Dengan cara pandang baru ini Cage telah meruntuhkan pemahaman lama bahwa konsepsi dasar musik adalah rekayasa bunyi yang dinikmati secara auditif. Ungkapan Cage yang menyatakan bahwa musik sebagai aksi menunjukkan bahwa musik bukan hanya mengandung aspek kenikmatan auditif melainkan juga menawarkan daya pikat visual. 26 Perkembangan konsep dan pola-pola musikalitas musik Bali garapan baru sesuai dengan pernyataan Cage tersebut di atas, yaitu tidak hanya terfokus pada mengolah suara atau bunyi, tetapi juga hal yang bersifat visual seperti akting, perpindahan pemain, penataan instrumen, dan memasukkan unsur teatrikal. 2.2 Konsep Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang topik yang diajukan maka dalam penelitian ini perlu dijelaskan konsep-konsep yang digunakan. Adapun konsep yang terkandung dalam penelitian ini terdiri dari atas tiga variabel utama, yaitu (1) kreativitas, (2) musik Bali garapan baru, dan (3) Kota Denpasar. Deskripsi masing-masing variabel tersebut dijabarkan sebagai berikut. 2.2.1 Kreativitas Secara etimologi, istilah kreativitas berasal dari kata creativity (Inggris) yang artinya ’kemampuan untuk mencipta atau daya cipta’. Namun, secara harfiah atau berdasarkan konteks kalimat, kreativitas dapat diartikan sebagai ‘prihal berkreasi atau persoalan penciptaan yang dilandasi konsep dan sifat-sifat kreatif’. Penentuan kriteria kreativitas menyangkut tiga dimensi, yaitu proses, person, dan produk. Proses kreatif dilakukan oleh person atau individu kreatif, sehingga segala produk yang dihasilkan dianggap sebagai produk kreatif (Amable, dalam Supriadi, 1994:12). 27 Proses penciptaan yang bersifat kreatif merentang dari persiapan (eksplorasi), inkubasi, iluminasi, dan evaluasi yang dilandasi oleh pemikiran baru yang “senang” merayakan keberagaman dan kemajemukan sehingga selalu memberi ruang bagi sesuatu yang berbeda. Person atau individu kreatif memiliki kemampuan kognitif (bakat) dan non-kognitif (minat, sikap, dan kualitas temperamental) sehingga mampu berpikir kreatif. Berdasarkan analisis faktor, Guilford (dalam Supriadi, 1994:7) menemukan lima sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibelity), keaslian (originality), penguraian (elaboration), dan perumusan kembali (redifinition). Seniman kreatif selalu memiliki banyak gagasan, ide, sigap serta mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan penciptaan karya baru. Gagasan-gagasannya bersifat original, bukan tiruan atau klise, kemudian mampu menguraikannya secara rinci berdasarkan perspektif dan cara pandang yang berbeda dengan cara-cara yang lazim. Sementara dari sisi produk, Baron (dalam Supriadi, 1994:7) menyatakan kreativitas adalah “the ability to bring some thing new into existence.” Produk bernilai kreatif apabila (1) bersifat baru atau orisinal, unik, berguna atau bernilai dari segi kebutuhan tertentu; (2) lebih bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang belum pernah atau jarang dilakukan orang sebelumnya. Murgiyanto (2004:53) menyebutkan kreativitas seni adalah persoalan kemampuan mencipta, memberi interpretasi, mewujudkan ide, gagasan, dan pengalaman ke dalam sebuah bentuk yang disertai daya imajinasi dan inovasi yang tinggi. Kreativitas mesti ditopang oleh kondisi yang baik, yaitu ‘rasa bebas’ 28 dan ‘rasa aman’ dalam berbuat. Selanjutnya, Sedyawati (2007:38) menegaskan: “dengan kreativitas orang dapat melakukan berbagai upaya, dari pemuliaan khasanah budya yang diwariskan hingga penciptaan hal-hal baru yang dirasakan relevan dengan kebutuhan-kebutuhan kekinian”. Dalam kaitannya dengan objek material penelitian ini, yaitu musik Bali garapan baru, kreativitas dimengerti sebagai persoalan penciptaan musik Bali garapan baru yang diamati dari sifat-sifat kreatif baik dari segi produk, proses, maupun person atau individu yang melakukannya. 2.2.2 Musik Bali Garapan Baru Satuan konsep musik Bali garapan baru adalah gabungan dari istilah musik Bali dan garapan baru. Kata musik, jika dipahami dari aspek kompositoris berarti bunyi yang terorganisir (Johan, 2011:8). Materi dasar musik adalah bunyi, tetapi tidak semua bunyi dapat disebut sebagai musik. Berkomentar tentang kaitan bunyi dengan musik, Suka Harjana (2003:3) menyebutkan seperti di bawah ini. ”Derit rel kereta api, derit pedal rem bus kota, atau berisik knalpot bajaj yang memekakkan telinga, semua orang tahu bahwa itu bukan musik sejauh bunyi-bunyi itu ’asli’ terwujud dalam konteks sebagaimana adanya dan belum direkayasa sebagai suatu kenyataan yang ada di luar dirinya; walaupun tentu saja tak akan menjadi halangan bagi para komponis masa kini untuk memanfaatkan suara-suara tersebut di atas sebagai elemen bunyi untuk kepentingan rekayasa karya-karya musik baru mereka” Hal menarik yang dapat dicermati dari pernyataan tersebut di atas bahwa musik adalah hasil rekayasa manusia yang terbentuk karena disengaja, bukan karena faktor kebetulan. Sebagai hasil karya manusia, musik memiliki berbagai norma dan krteria estetik, seperti bentuk (form), kerangka dasar (struktur), nada-nada 29 (parameter kepastian tinggi rendahnya suara), ritme (irama), melodi (lagu), dan organisasi suara-suara nada (harmoni) dalam berbagai suasana dan watak bunyi. Dalam bentuk yang paling sederhana, musik bisa terjadi jika ritme dan bunyi sudah bersatu. Ritme menjadi dasar pijak pertama dari pernyataan diri bunyi sehingga ritme dan bunyi tidak dapat dipisahkan (Harjana, 1983:56--57). Pada hakikatnya, musik bersifat universal. Akan tetapi karena setiap manusia memiliki latar belakang sejarah, budaya, lingkungan, dan pengalaman yang berbeda hal itu mempengaruhi sikap, pandangan, dan reaksi mereka terhadap suatu musik tertentu. Musik akhirnya masuk pada ranah ideologi dan beridentitas budaya, gaya, atau zaman tertentu seperti musik Bali, musik Jawa, musik Klasik musik Pop, musik Dangdut, dan musik Keroncong. Semua kata yang melekat dengan kata musik menunjukkan identitas tertentu dengan kekhasan-kekhasan yang dimiliki oleh musik-musik yang bersangkutan. Beranalogi dari uraian tersebut di atas, istilah musik Bali dapat didefinisikan sebagai bentuk musik yang dijiwai oleh nilai-nilai, identitas budaya, dan ekspresi artistik kelompok etnis Bali. Nilai, identitas budaya, dan ekspresi artistik tersebut dapat diamati dari segi instrumen, musikalitas, teknik permainan dan tata penyajiannya. Berdasarkan media bunyinya musik Bali terdiri atas dua jenis, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal menggunakan suara manusia sebagai sumber bunyi, sedangkan musik instrumental menggunakan alat (instrumen) sebagai sumber bunyi. Unsur-unsur musikalitas musik Bali mencerminkan ekspresi artistik kelompok etnis Bali yang dapat dibedakan dari musikalitas etnis lainnya. Kendatipun instrumentasi dan musikalitas musik Bali 30 kini telah berkembang, tetapi tetap memiliki ciri dan identitas budaya Bali. Misalnya, jika sebuah musik Bali garapan baru menggunakan instrumen gabungan dengan instrumen musik daerah lain atau instrumen musik Barat, sepanjang dikemas dengan lebih mengedepankan ekspresi artistik dan ungkapan budaya Bali, maka dapat dikategorikan musik Bali. Demikian pula, jika sumber bunyinya berasal dari instrumen non-gamelan, seperti batu, lempengan tembaga, dan pipa besi, sepanjang digarap dengan ekspresi dan ungkapan budaya Bali, maka dapat disebut musik Bali. Karena luas dan kompleksnya aktualitas musik Bali, maka dalam studi ini pengkajiannya difokuskan pada beberapa hal. Pertama, dari segi sumber bunyi lebih banyak mengkaji musik-musik instrumental dan musik campuran vokal dan instrumental yang didominasi instrumental. Adapun pertimbangannya adalah karena secara kuantitas dan keragaman olah musikal, musik Bali garapan baru lebih banyak menggunakan sumber bunyi instrumental dan campuran sehingga penulis mendapatkan sumber data yang lebih banyak untuk dikaji. Kedua, studi ini lebih mendalami kajian tentang musik sebagai sajian instrumentalia (konser) daripada musik iringan tari. Hal ini disebabkan karena dalam penggarapan musik instrumentalia, kreativitas seniman lebih ”murni” sementara dalam musik iringan tari ekspresi seniman lebih terbatas karena harus ”mengabdi” pada kebutuhan ekspresi dan aksentuasi gerak-gerak tari. Ketiga, musik Bali garapan baru yang dikaji dalam penelitian ini juga dibatasi pada musik-musik yang berevolusi selama tiga puluh satu tahun belakangan ini, yaitu tahun 1979--2010. Pembatasan rentangan waktu selain dimaksudkan untuk memberikan fokus kajian, juga 31 disebabkan oleh munculnya fenomena-fenomena menarik yang menyertai kelahiran musik Bali garapan baru selama kurun waktu tersebut. Istilah garapan baru terbentuk dari dua kata, yaitu garapan dan baru. Garapan sebagai hasil kreativitas artistik juga disebut ciptaan atau kreasi yang dibedakan dari hasil kerja seorang buruh pabrik yang biasanya disebut produk. Esensi perbedaan antara kreasi dengan produk terletak pada adanya pengaruh ekspresi, rasa (emosi), dan gagasan pada kreasi karena hal tersebut tidak terdapat pada produk. Dalam rumusan lain, kata garapan juga untuk menerangkan bahwa kreativitas tidak lahir dari ketiadaan (ex-nihilo), tetapi dengan menciptakan kombinasi-kombinasi baru dari hal-hal yang telah ada. Arieti (dalam Supriadi, 1994:17) menegaskan bahwa hanya kreativitas Tuhan yang terjadi dari ketiadaan. Kaitannya dengan bidang musik, garapan dimaknai sebagai hasil kreativitas atau kerja kreatif seniman musik dalam merekayasa unsur-unsur musik, seperti melodi, ritme, tempo, dan harmoni dengan ekspresi jiwa yang diungkapkan melalui berbagai media. Kata baru, sebagaimana dikemukakan Harjana (2003:57), pada awalnya merupakan istilah sugesti psikologi masa yang dilontarkan sebagai penguat propaganda sebuah produksi dalam budaya industri. Sifatnya lebih banyak untuk menunjukkan keunggulan-keunggulan, seperti efisien, praktis, dan modern dari produk yang baru sehingga masyarakat mau menerimanya. Dalam dunia seni, kata ”baru” sejak lama digunakan sebagai penanda batas deviasi atau ”penyimpangan” (perubahan, perbedaan) antara dua kutub yang dianggap masa lalu dengan masa yang sedang berlangsung. Wacana lama dan baru kendatipun batas-batasnya 32 sangat kabur, memang sering dipasangkan dan dipertentangkan secara dikotomis, namun sangat disadari bahwa sesuatu yang baru merupakan kelanjutan dari yang lama. Mengacu pada pandangan-pandangan di atas, maka istilah garapan baru adalah hasil karya cipta seni yang memiliki konsep, nuansa, dan pola-pola baru (newness, novelty) sehingga berbeda dari karya-karya yang sudah ada sebelumnya dalam hal ini adalah karya-karya tradisional. Konsep-konsep atau pola-pola baru itu dapat diamati mulai dari aspek luarnya seperti fisik (instrumentasi), bentuk, dan tata penyajian hingga aspek dalam (isi), yaitu gagasan dan cara pandang dalam memaknai realitas. Jadi, konsep operasional musik Bali garapan baru adalah bentuk-bentuk musik yang dijiwai oleh nilai, identitas budaya, dan ekspresi artistik kelompok etnis Bali serta memiliki konsep, nuansa, dan pola-pola baru sehingga berbeda dari karya-karya sebelumnya, yaitu musik tradisional Bali. Berdasarkan tingkat perubahan dan perbedaannya dari karya-karya musik tradisional, musik Bali garapan baru muncul dalam dua wujud, yaitu musik kreasi baru yang dicipta dengan perubahan bertahap dan musik eksperimental yang dicipta dengan perubahan radikal. 2.2.3 Kota Denpasar Denpasar adalah sebuah kota yang terletak di bagian tengah selatan Pulau Bali. Selain sebagai kota terbesar di Bali, Denpasar juga merupakan ibu kota Provinsi Bali dan secara administratif sebagai salah satu daerah tingkat dua yang memiliki kedudukan setara dengan delapan kabupaten lainnya. Sebagai sebuah 33 kawasan budaya, Kota Denpasar memiliki kehidupan seni budaya yang dinamis. Seni-seni tradisional yang bernafaskan kehidupan sosial kemasyarakatan hidup subur bersanding dengan seni-seni yang berbasis kebudayaan populer. Penduduk Kota Denpasar yang didominasi oleh etnis Bali yang beragama Hindu, berbaur dengan penduduk pendatang dari berbagai etnis seperti Jawa, Sunda, Minang, Bugis, Sasak, dan Madura. Kompleksitas penduduk dengan berbagai latar belakang budaya ini ikut menyemarakkan aktivitas Kota Denpasar. Kaitannya dengan aktivitas seni khususnya musik, keragaman budaya etnis juga menjadikan dunia kreativitas musik di Kota Denpasar berkembang pesat. Dalam kaitan penelitian ini Kota Denpasar diposisikan sebagai wilayah budaya, yaitu pusat penciptaan kreativitas musik Bali garapan baru di Bali. Oleh karena itu Kota Denpasar perlu dituangkan dalam konsep untuk memperjelas serta menghindari perbedaan persepsi. Penuangan Kota Denpasar dalam konsep juga dimaksudkan untuk memberikan arah dan fokus bagi penelitian ini. Jadi, konsep operasional Kota Denpasar adalah sebagai lokasi penelitian dan tempat kreativitas musik Bali garapan baru dilakukan. Hal ini berarti peneliti menfokuskan kajiankajian tentang proses kreativitas musik Bali garapan baru yang terjadi di Kota Denpasar. Seniman-seniman yang dijadikan fokus penelitian ini adalah mereka yang berdomisili di Kota Denpasar. Demikian halnya dengan karya-karya musik yang dikaji adalah karya-karya musik Bali garapan baru yang diciptakan dan pernah dipentaskan di Kota Denpasar. Jika dalam pembahasan penelitian ini juga disinggung aktivitas musik dan seniman dari daerah lain, semata-mata hanya sebagai perbandingan. 34 2.3. Landasan Teori. Penelitian ini merupakan penelitian kajian budaya (cultural studies) dengan menggunakan beberapa teori secara ekletik untuk mengkaji berbagai fenomena terkait dengan kreativitas musik Bali garapan baru. Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, studi ini berangkat dari kerangka pemikiran postmodernisme. Salah satu pola pikir postmodernisme adalah merevisi pemikiran modernisme yang tidak selaras dengan perkembangan budaya masyarakat tanpa menolaknya mentah-mentah, tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang dinilai perlu. Pemikiran seperti ini merupakan kritik terhadap kemapanan untuk mengatasi konsekuensi negatifnya (Noris, 2008:7). Ada tiga persoalan pokok yang mesti dicarikan landasan teori dalam penelitian ini. Ketiga persoalan yang dimaksud adalah persoalan faktor-faktor yang mendorong terjadinya kreativitas, persoalan wujud kreativitas, dan persoalan dampak serta makna kreativitas musik Bali garapan baru di Kota Denpasar. Mengacu pada pokok persoalan tersebut, teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan sebagai teori utama (grand-theory) untuk mengkaji permasalahan secara umum. Sementara itu, empat teori lainnya, yaitu ideologi, etnomusikologi, estetika, dan semiotika digunakan sebagai teori pendukung (midle-theory). 2.3.1 Teori Dekonstruksi Dekonstruksi adalah sebuah teori analisis yang dikembangkan oleh Jacques Derrida, yaitu pada intinya merupakan kritik dan penolakan terhadap tradisi pemikiran strukturalis filsafat modern. Kritik dan penolakan ini didasarkan 35 pada beberapa fakta bahwa modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang diinginkan oleh pendukungnya. Dalam hal ini muncul kontradiksi antara teori dan fakta dalam ilmu pengetahuan modern yang berimplikasi pada terjadinya kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas. Di samping itu, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu (Santoso, 2009:248). Tradisi pemikiran modern yang ditolak oleh teori Dekonstruksi Derrida adalah logosentrisme, yang berimplikasi pada pandangan epistemologi modern lainnya seperti dikotomi subjek-objek dan oposisi biner. Logosentrisme memandang suatu realitas merupakan representasi dari akal, pikiran, atau logos. Implikasinya adalah dominannya konsep totalitas dan konsep esensi. Konsep totalitas menyatakan bahwa realitas adalah satu, sementara konsep esensi menyatakan hanya pengetahuan yang mendasari sesuatu. Konsekuensi dari kedua konsep ini menimbulkan dogmatisme untuk melegitimasi rasio dan pengetahuan yang cenderung menindas karena memaksa manusia masuk ke dalam sistem. Menurut Derrida, logosentrisme sekurang-kurangya mengandung dua ciri. Pertama, prosedur-prosedur yang ada harus diakui sebagai orientasi yang paling umum. Kedua, prosedur-prosedur itu harus merupakan suara yang berdaulat sehingga tidak dapat lagi dipermasalahkan (Lubis, 2004:107). Implikasi pandangan logosentrisme adalah dikotomi subjek-objek dan kecenderungan berpikir oposisi biner. Subjek dianggap menentukan validitas kebenaran sehingga memiliki peranan lebih besar yang akhirnya mendominasi 36 dan mengeksploitasi objek. Pemikiran oposisi biner yang Cartesian (bermula dari Descartes) merupakan konsep berpikir yang bersifat dikotomis dan hierarkis. Oposisi antara akal/tubuh, penanda/petanda, positif/negatif, tuturan/tulisan, makna/bentuk, menurut filsafat Barat istilah-istilah yang pertama lebih superior daripada yang kedua. Istilah yang pertama menjadi pusat, subjek, mendominasi, dan ada secara niscaya, sedangkan istilah yang kedua hanya sebagai derivasi, objek, manifestasi pinggir, dan sekunder. Konsep pikiran subjek-objek dan oposisi biner ini ditolak oleh Derrida karena realitas sesungguhnya tidak dapat ditentukan atau dipastikan sebagai sesuatu yang berada dalam kategori dualitas belaka. Realitas tidak dualitas dikotomis, melainkan beragam posisi, tidak dominasional dan sentralistis, melainkan menyebar dan sejajar (Lubis, 2004:107--108; Barker, 2005:102--103). Derrida membedakan dua cara penafsiran, yaitu (1) penafsiran restrospective yang dapat diartikan sebagai upaya merekonstruksi makna atau kebenaran awal atau orisinal, (2) penafsiran prospective, yakni suatu upaya yang secara eksplisit membuka pintu bagi indeterminasi makna di dalam free play. Apabila dikaitkan dengan makna, teori Dekonstruksi Derrida merupakan kritik terhadap teori Ferdinand de Saussure yang melihat hubungan antara signifiant (bentuk) dan signifie (makna) bersifat statis. Oleh karena bagi Derrida, struktur makna suatu tanda bukan sesuatu yang objektif dan juga bukan subjektif, melainkan suatu hubungan yang dinamis sehingga membuka peluang bagi munculnya makna baru. Pencarian makna baru bertujuan untuk menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, kemudian ingin 37 menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan. Jika menurut de Saussure makna dihasilkan dari perbedaan antara satu tanda dengan yang lain, tetapi menurut Derrida makna dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan makna yang berbeda-beda menurut setiap individu (Hoed, 2011:129). Dekonstruksi merupakan proses pembaharuan yang tetap konstruktif. Hal ini ini sesuai dengan penegasan oleh Kutha Ratna (2005: 250--252) bahwa, dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku. Dalam teori kontemporer, dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Dekonstruksi memang melakukan pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dekonstruksi berarti sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan dekonstruksi tetap konstruktif, dengan sendirinya dalam bentuk yang berbeda, konstruksi yang seimbang sekaligus dinamis. Dalam penelitian ini teori Dekonstruksi digunakan sebagai teori utama karena paradigma, konsep, dan cara kerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip kreatif yang melandasi penciptaaan musik Bali garapan baru. Kreativitas musik Bali garapan baru dilakukan oleh seniman yang memiliki pola pikir terbuka dan 38 mampu mewujudkan gagasan-gagasan abstrak menjadi realistis. Gagasangagasannya bersifat bersifat original, bukan tiruan atau klise, kemudian mampu diuraikan secara terinci dengan meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif dan cara pandang yang berbeda dengan cara-cara yang lazim. Sifat-sifat kreatif seperti tersebut di atas juga memiliki kecendrungan menolak cara berpikir strukturalis sebagaimana halnya dekonstruksi. Apabila mengacu pada teori Dekonstruksi, musik Bali garapan baru tidak hanya dilihat sebagai sebuah ekspresi seni, tetapi juga sebagai fenomena budaya. Makna atau kebenaran yang telah mapan yang selama ini dipahami secara strukturalis dalam musik tradisi, kemudian ditafsirkan lebih prospektif yang diaktualisasikan dengan berbagai bentuk kreativitas. Seniman menginginkan kebebasan dalam berekspresi guna menemukan hal-hal baru sesuai perkembangan zaman dan lingkungan budaya. Oleh karena dengan dekonstruksi seniman dapat menciptakan wacananya sendiri di tengah wacana yang sedang menjadi mainstream dalam masyarakat. 2.3.2 Teori Ideologi Ideologi adalah pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Ketika berbicara tentang ideologi profesional misalnya, sebenarnya kita sedang membahas gagasangagasan mendasar yang memberi stimulasi terhadap visi dan praktik kelompok profesional tertentu. Demikian halnya jika berbicara tentang ideologi Partai 39 Buruh, akan mengacu pada sekumpulan gagasan politik, ekonomi, dan sosial yang menyuarakan aspirasi dan aktivitas para buruh (Story, 2003: 4). Secara fungsional, ideologi dirumuskan dalam bentuk tujuan yang hendak dicapai dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Ideologi berfungsi untuk memberi justifikasi tindakan dan jalan keluar bagi mereka yang resah, menyembunyikan kontradiksi, memberi kerangka acuan bagi komunitas yang loyal, mengatur dan memotivasi suatu tindakan, serta menjadi kriteria dalam evaluasi kebijakan dan tindakan (Jazuli, 2000: 94). Secara struktural, ideologi adalah sistem pembenaran atas suatu kepentingan, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil penguasa. Hal ini berarti bahwa klaim terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan dapat dicarikan pembenar atas nama ideologis (Jazuli, 2000: 94). Atmaja (2010: 133) yang mengacu Sanderson (1993), Geertz (1973, 1999) dan Spradley (1972) menyatakan apapun bentuk tindakan manusia, termasuk kegiatan berkesenian tidak terlepas dari superstruktur ideologi yang ada di baliknya. Superstruktur ideologi merupakan resep atau pola untuk bertindak bagi seseorang dalam masyarakat. Ideologi seniman merupakan gagasan-gagasan kreatif yang tersistem, bersifat intelektualistik dan ekspresionistik, berfungsi sebagai resep atau pola untuk menciptakan karya seni. Dalam seni, ideologi berfungsi pada level konotasi, makna sekunder, yang ditampilkan oleh teks dan praktik secara simbolik. Sebuah karya musik dapat dijadikan sarana untuk memproduksi konotasi dan makna tertentu yang sifatnya sekunder dan hal itu 40 merupakan ideologi. Setiap karya mengandung unsur ideologi tertentu yang mencerminkan ungkapan pencipta dan budaya jamannya Dalam penelitian ini teori ideologi digunakan sebagai teori pendukung untuk mengkaji faktor internal yang memotivasi seniman musik Bali untuk menciptakan musik Bali garapan baru. Ideologi sebagai faktor pendorong seseorang untuk bertingkah laku mengalami perubahan dalam ruang, waktu, dan situasi. Dalam teori motivasi, Abraham Maslow ( dalam Gitosudarmo, 1990: 5152) menyebutkan ada lima urutan atau hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Beranalogi dari hierarki kebutuhan ini, ideologi seniman musik Bali dalam berkreativitas mengalami tiga fase motivasi secara hierarki, yaitu fase pengabdian dan prestasi, fase mencari popularitas untuk aktualisasi diri, dan fase profesi komersial untuk mendapatkan penghargaan finansial. 2.3.3 Teori Etnomusikologi Istilah etnomusikologi pertama kali dikemukakan oleh ahli musik berkebangsaan Belanda bernama Jaap Kunst pada tahun 1950. Istilah ini digunakan sebagai pengganti istilah sebelumnya, yaitu musikologi komparatif yang memfokuskan kajian-kajian terhadap musik rakyat dari masyarakat nonEropa dan musik yang diwariskan dengan tradisi oral. Tokoh-tokoh sentral etnomusikologi antara lain Charles Seeger, Alan P. Merriam, Bruno Nettl, Mantle Hood, Hellen Myers, W. Rhodes, G. List, K.A. Gourlay, K.P. Wachsmann, dan Mark Slobin (Bandem, 2001:5). Berbagai pandangan dikemukakan oleh tokoh- 41 tokoh ini terkait dengan usaha penyelamatan musik-musik Timur, musik rakyat, dan musik-musik dalam tradisi lisan, yakni dengan mengedepankan isu-isu konseptual seperti asal mula musik, perubahan musik, musik sebagai simbol universal, fungsi dan kegunaan musik dalam masyarakat, perbandingan sistem musikal, dan dasar-dasar biologis dari musik dan tari. Pada prinsipnya etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari musik sebagai kultur (music as culture). Merriam (1964:187), yang menyebutkan, “...etnomusicology involves much more than the structural analysis of music sound, for music is a human phenomenon produced by people for people and existing and functioning in a social situation.” (etnomusikologi tidak hanya meliputi analisis struktural suara musik, musik adalah suatu gejala manusia yang diciptakan manusia untuk manusia dan mempunyai fungsi dalam situasi sosial). Dalam hal ini dikatakan bahwa seorang etnomusikolog, selain meneliti aspek musikal, juga meneliti hal lain seperti budaya material musik, teks nyanyian, kategori musik, pelatihan dan kehidupan pemusik, guna, dan fungsi musik, serta musik sebagai aktivitas kreatif. Hasil telaah etnomusikologi menghasilkan beragam teori yang tidak hanya dapat menerangkan “kekayaan intrinsik” yang terkandung dalam musik melainkan juga sebagai sumber inspirasi baru bagi dunia penciptaan musik kreatif. Dalam pandangan etnomusikologi, sistem suara selalu mempunyai struktur yang harus dipandang sebagai produk tingkah laku yang menghasilkannya. Tingkah laku yang dimaksud, termasuk aspek-aspek fisik, sosial, verbal, dan aspek belajar yang muncul dari konseptualisasi yang mendasarinya. Oleh karena 42 tanpa konsep tentang musik, tingkah laku tidak akan ada, dan tanpa tingkah laku, suara musik tidak akan bisa dihasilkan (Merriam, 1964:33). Model sederhana ini mempunyai satu implikasi pokok bahwa tujuan etnomusikologi adalah studi tentang musik, tidak hanya mempelajari suara musik. Di samping itu, etnomusikologi bertujuan melihat suara musik sebagai produk manusia dan bukan sebagai suatu kenyataan terpisah yang hanya mempunyai objektivitas dalam dirinya sendiri. Etnomusikologi lahir dari semangat penolakan terhadap rasa superior kebudayaan bangsa Barat yang merasa memiliki budaya musik lebih tinggi dan menganggap musik Timur sebagai musik kuna, primitif, dan tidak beradab karena tidak mempunyai sejarah, struktur, dan konsep, baik musikal maupun sosial (Santosa, 2009:3). Dalam kaitan ini ada tiga prinsip utama etnomusikologi dalam memandang seni musik, yaitu relativitas, pluralitas, dan identitas. Prinsip relativitas menghargai keanekaragaman bentuk, cara kerja seniman, konsepkonsep musikal, ataupun prinsip-prinsip kebudayaan setempat mengembangkan nilai-nilai secara kontekstual. Prinsip pluralitas yang yang menghargai setiap kelompok budaya musik dalam hubungannya dengan kelompok budaya musik lainnya. Prinsip identitas untuk menunjukkan ciri, gaya dan kekhasan sebagai pertahanan budaya yang sifatnya dinamis. Dampak nyata dari pemahaman terhadap ketiga prinsip tersebut di atas adalah tumbuhnya kreativitas di kalangan seniman etnis untuk mengembangkan khazanah musik mereka. Seniman-seniman musik etnis merasa memiliki kedudukan sejajar dengan seniman musik Barat dalam mengembangkan nilai-nilai pada konteks masing- 43 masing. Selain itu, seniman musik etnis mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengekspresikan ide musikalnya sehingga menyebabkan dunia penciptaan musik baru tumbuh subur. Musik-musik etnis menjadi lebih hidup dan berkembang dengan prinsip-prinsip dan konsep yang lebih otonom sehingga mampu mengantisipasi perubahan zaman. Dengan demikian pada gilirannya hal ini juga dapat menumbuhkan situasi yang kondusif dalam berdialog antara komposer, peneliti, dan para penyangga kebudayaan. Dalam penelitan ini, teori Etnomusikologi dengan tiga prinsip utama, yaitu relativitas, pluralitas, dan identitas serta musik sebagai aktivitas kreatif digunakan sebagai teori pendukung untuk mengkaji permasalahan faktor eksternal yang melatarbelakangi kreativitas musik Bali garapan baru. Kelahiran etnomusikologi yang dimotivasi oleh penolakan terhadap paham budaya “seni elite” yang superior dan strukturalis, memiliki pararelitas dengan cara pandang dekonstruksi. Dengan mencermati faktor eksternal yang memotivasi kreativitas musik Bali garapan baru, maka dapat ditemukan sebuah konstruksi baru dalam membaca realitas yang dipresentasikan lewat seni musik. 2.3.4 Teori Estetika Postmodern Estetika sebagai sebuah teori ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak hanya menyimak keindahan dalam pengertian konvensional, tetapi juga telah berkembang ke arah wacana dan fenomena. Estetika dalam karya seni dewasa ini bukan hanya simbolisasi dan makna, melainkan juga sikap dan daya. Piliang (mengacu pemikiran Baudrillard) mengemukakan bahwa ada tiga relasi 44 pertandaan dalam wacana seni dari pelbagai zaman, yaitu (1) estetika klasik/pramodernisme, (2) estetika modernisme, dan (3) estetika postmodernisme Dalam estetika klasik digunakan prinsip bentuk mengikuti makna (form follows meaning), artinya upaya praksis dalam berkesenian lebih mengutamakan penggalian makna ideologis yang telah ada. Estetika modernisme menggunakan prinsip bentuk mengikuti fungsi (form follows function) sehingga karya seni yang diciptakan lebih berdasarkan pada fungsi dan penggunaannya dalam masyarakat. Selanjutnya estetika postmodernisme dengan prinsip bentuk mengikuti kesenangan (form follows fun), yakni lebih mengedepankan aspek-aspek ”gelitikan” sehingga karya seni yang diciptakan lebih mengutamakan permainanpermainan yang bebas dalam memberikan tanda-tanda estetis (Sachari, 2006:66). Dalam pandangan estetika klasik Bali, Ida Pedanda Made Sidemen, seorang Kawi sastra Bali, menekankan bahwa melakukan kesenian adalah pengabdian, suatu kegiatan kebaktian, dan karya yang dihasilkan adalah persembahan kepada Tuhan. Hal ini merupakan jalan untuk mencapai suasana bersatu dengan jiwa universal atau Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan istilah ”manunggal”. Karya sastra, karya seni, baik yang bentuknya kelihatan maupun kedengaran (dibaca dan ditembangkan) dipandang sebagai ”wadah” bagi Dewa Keindahan (Djelantik, 1992:22--23). Dalam proses kerjanya seniman Bali tradisional menikmati rasa indah yang disebut kelangen. Kuatnya intensitas kelangen itu bertaraf, kemudian bila mencapai puncak dirasakan sebagai taksu seperti dikuasai oleh kekuatan yang ajaib yang memberi keberhasilan istimewa. 45 Di samping rasa kelangen, seniman Bali biasanya merasa diri bersatu (manunggal) dengan objek yang dikerjakan. Pada zaman modern, ketika semangat kebudayaan semakin rasional dengan pandangan dunia yang mekanistis, pandangan-pandangan tentang estetika dalam kesenian bergeser lebih ke arah sekulerisme. Dalam hal ini karya seni tidak lagi menggambarkan dan menunjukkan dimensi hidup ”yang lain”, tetapi justru merupakan pendukung wacana mapan. Memang pada saat itu, aktivitas seni tumbuh lebih bebas dan fleksibel, tetapi berbagai eksperimen tersebut dilakukan untuk kepentingan pasar sehingga memicu munculnya oposisi-oposisi dalam seni seperti seni serius-seni pasar, seni elitis-seni rakyat, seni ekpsresif-seni fungsional, seni tradisional-seni modern (Sachari, 2006:26--30). Menurut pandangan modernisme, estetika mesti dikaji secara empiris dan ilmiah berdasarkan pengalaman-pengalaman riil dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan estetika yang dikembangkan pada zaman klasik, yaitu estetika ”dari atas”, estetika modernisme dicermati mulai ”dari bawah” dengan menggunakan pengamatan secara empiris untuk menemukan kaidah-kaidah mengapa orang menyukai sesuatu yang indah (tertentu), tetapi kurang menyukai yang lain (Parmono, 2009: 27--28). Konsep estetika positivistik seperti ini berimplikasi pada munculnya berbagai standar dan aturan-aturan dalam menilai karya seni. Estetika postmodernisme tidak seperti estetika klasik dan modernisme yang banyak mempersoalkan tentang standar-standar dan oposisi. Bahkan, Piliang (1998:151) secara ekstrem mengatakan lebih cocok menggunakan istilah 46 ”antiestetika” daripada estetika untuk menjelaskan fenomena estetika pada era postmodern. Hal ini disebabkan karena estetika postmodernisme merupakan bentuk-bentuk subversif dari kaidah-kaidah baku estetika klasik dan modern. Beberapa bahasa estetik postmodernisme yang bersifat hipereal dan ironis, seperti pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizoprenia. Secara umum, pastiche adalah karya seni yang elemen-elemennya diambil dari masa lalu sehingga tampak imitatif dan kurang orisinal. Parodi adalah karya seni yang berisi kritik dan kecaman dengan meniru ungkapan khas gaya tertentu, dalam hal ini kelucuan yang muncul dari distorsi dan plesetan yang digunakan di dalamnya. Kitsch adalah karya seni berselera rendah (bad taste), bahkan merupakan seni palsu (pseudo art) yang sifatnya murahan. Camp adalah model estetisme dalam keartifisialan dan stilisasi sehingga merupakan karya seni yang ingin kelihatan berlebihan, spesial, glamor, dan vulgar. Schizoprenia adalah karya seni dimana rantai pertandaan putus sehingga tidak ada pertautan yang membentuk ungkapan atau makna dan tidak ditemukan hubungan yang stabil antara petanda dan penandanya (Piliang, 1998:306--308). Teori-teori estetika postmodern dipandang mendukung teori Dekonstruksi Derrida sehingga dapat digunakan untuk mengkaji permasalahan wujud kreativitas musik Bali garapan baru. Munculnya berbagai tipe perubahan yang menyertai kreativitas musik Bali garapan baru disebabkan terjadinya perkembangan konsep estetika dalam musik Bali, yaitu dari estetika klasik dan modern ke estetika postmodern. Pada musik tradisional Bali, konsep estetika yang dijadikan orientasi adalah keindahan yang mampu memberikan rasa nyaman, rasa 47 senang, di samping memberikan makna dan fungsi. Pada musik Bali garapan baru, ketika perkembangan intelektual mempengaruhi aktivitas seni, konsep estetika lebih berorientasi pada permainan dengan mendekonstruksi konsep estetika sebelumnya. 2.3.5 Teori Semiotika Kata ”semiotika” berasal dari kata semeion yang berarti ’tanda’ sehingga semiotika berarti ’ilmu tanda’. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dalam kehidupan manusia. Ilmu ini menjadikan kebudayaan sebagai objek utama kajiannya. Dua tokoh sentral dalam semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857--1913) dari Swiss dan Charles Sanders Peirce (1839--1914) dari Amerika (Zoest, 1993:1). Adanya perbedaan keahlian dari kedua tokoh semiotika ini, yaitu Saussure ahli bahasa, sedangkan Peirce ahli filsafat yang menyebabkan ada dua definisi tentang semiotika. Menurut definisi Saussure (dalam Eco, 2009:19), pengertian sebuah tanda sebagai entitas yang memiliki dua sisi (penanda dan petanda atau wahana tanda dan makna) telah mengantisipasi dan mengusulkan seluruh definisi korelasi fungsi tanda. Hubungan antara penanda dan petanda dikukuhkan berdasarkan sistem aturan-aturan yang tidak lain adalah ”la langue”, maka semiologi Saussurean adalah semiotika signifikansi. Saussure tidak mendefinisikan petanda sebagai sesuatu yang bersangkut paut dengan aktivitas mental seseorang yang menerima penanda sehingga tanda secara eksplisit dipandang sebagai sarana komunikatif di 48 antara dua orang manusia yang bermaksud melakukan komunikasi atau mengekspresikan sesuatu antara satu dengan yang lainnya. Menurut Peirce (dalam Eco, 2009:21), tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berfungsi sebagai wakil dari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitas tertentu. Tanda dapat mewakili sesuatu yang lain bagi seseorang karena hubungan ”perwakilan” ini diperantarai oleh sebuah interpretan. Interpretan merupakan sebuah tanda yang menerjemahkan tanda yang pertama, kemudian dia pun dijelaskan oleh tanda yang lain dan begitu seterusnya. Perbedaan definisi ini dengan pandangan Saussure adalah bahwa Peirce tidak mensyaratkan tanda itu harus selalu mempunyai maksud (intentional) dan buatan (artificial). Definisi semiotika yang dikemukakan Pierce sifatnya lebih menyeluruh karena dapat diterapkan dalam bidang ilmu apa saja. Dalam hal ini tanda digunakan dan mencakup, baik suatu representasi dan interpretasi, suatu denotatum, maupun suatu interpretant. Dalam perkembangan selanjutnya, semiotika pasca-Saussure dan Pierce dikembangkan oleh beberapa tokoh, salah satu di antaranya adalah Umberto Eco. Umberto Eco adalah tokoh semiotika mutakhir asal Italia yang menggambarkan semiotik sebagai kajian dalam dua bidang, yaitu komunikasi (melihat tanda sebagai alat berkomunikasi) dan signifikasi (yang memfokuskan perhatian pada produksi dan pemaknaan tandanya sendiri). Menurut Eco (dalam Hoed, 2011:25), tanda adalah satuan kultural, yaitu bukan hanya sebagai satuan semantis, melainkan juga sebagai bagian dari ”interconnected cultural units”. Berdasarkan pandangan ini, Eco mendorong penelitian semiotika dalam berbagai bidang seni, 49 dan salah satunya adalah semiotika musikal. Selanjutnya Eco (2009:13) menyebutkan bahwa sejak zaman Pythagoras, seluruh ilmu musikal berupaya mendeskripsikan medan komunikasi musikal sebagai sistem yang terstruktur secara ketat. Semiotika musikal yang telah dikukuhkan sebagai sebuah disiplin bertujuan menemukan ”silsilahnya sendiri” dan mengembangkan perspektifperspektif baru. Menurut Eco (2009:13) pada dasarnya musik mengetengahkan masalah sistem semiotis tanpa level semantis (atau ranah isi) di satu sisi, tetapi di sisi lain terdapat pula tanda-tanda musikal atau sintagma yang memiliki nilai denotatif eksplisit (misalnya, sinyal terompet bagi tentara) dan terdapat pula sintagma atau keseluruhan teks yang memiliki nilai-nilai konotatif yang belum terbudayakan (musik ”pastoral” atau musik ”yang menggugah”, dan sebagainya). Dalam kurun sejarah tertentu, musik dipahami sebagai media yang mampu menyampaikan makna-makna emosional dan konseptual secara tepat, dalam hal ini makna-makna tersebut terbentuk oleh kode-kode atau, setidaknya oleh repertoar. Dalam penelitian ini teori Semiotika digunakan sebagai teori pendukung (midle-theory) untuk membedah masalah ketiga, yaitu dampak dan makna kreativitas musik Bali garapan baru. Dalam pandangan semiotik, kreativitas merupakan fenomena budaya sehingga dapat dianggap sebagai sebuah produksi tanda. Tanda yang diproduksi dari kreativitas musik Bali garapan baru dapat diberi makna secara dinamis, progresif, dan transformatif. Hal ini memunculkan rangkaian interpretasi tanpa akhir dalam sebuah mata rantai karena tanda mendapatkan tempat hidupnya sehingga makna selalu berada dalam perubahan. 50 2.4. Model Penelitian Model penelitian adalah sebuah kerangka pikir, suatu abstraksi, atau rancangan yang disederhanakan dari suatu proses dan sistem kerja. Dalam penelitian berjudul ”Kreativitas Musik Bali Garapan Baru di Kota Denpasar” ini, model digambarkan dalam bentuk bagan dengan penjelasan sebagai berikut. Bagan 2.1. Model Penelitian Faktor Internal MUSIK BALI KREATIVITAS MUSIK BALI GARAPAN BARU DI KOTA DENPASAR Dorongan Ideologi - pengabdian - aktualisasi diri - profesi komersial Semangat Baru dalam Memaknai Pelestarian Musik Tradisi Apakah yang melatarbelakangi kreativitas musik Bali garapan baru di Kota Denpasar? Bagaimanakah wujud kreativitas musik Bali garapan baru di Kota Denpasar? : Hubungan/yang mempengaruhi Faktor Eksternal Musik Bali dalam Konstelasi Global - modernisasi dan rasionalisasi - silang budaya - festival sebagai ritual baru Apakah dampak dan makna kreativitas musik Bali garapan baru di Kota Denpasar? 51 Penjelasan Model Penelitian Musik Bali dapat dilihat dari berbagai bentuk pernyataan musikal seperti gamelan, tembang dengan berbagai ciri dan kekhasannya. Bentuk-bentuk musik Bali ini terpelihara sebagai sebuah tradisi dan dianggap sebagai milik bersama masyarakat. Dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh tahun belakangan ini (1979-2009) musik Bali mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Perkembangan ini tidak hanya terjadi pada wilayah artistik, tetapi juga sudah sampai pada hal-hal prinsip, yaitu konsep estetika, baik berupa gagasan maupun isi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan musik Bali, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pengaruh internal adalah dorongan ideologi yang muncul dari dalam diri seniman dan semangat baru dalam memaknai konsep pelestarian musik tradisi. Pengaruh eksternal adalah musik Bali telah masuk dalam konstelasi global. Pengaruh internal dan eksternal ini menyebabkan musik Bali garapan baru tidak memiliki identitas yang bulat dan tunggal. Wujud fisik (instrumentasi), musikalitas, fungsi dan pendukung musik Bali garapan baru sangat beragam dan berubah dengan cepat. Konsep-konsep dan ekspresi estetik mengalami dua tipe perubahan, yaitu perubahan yang masih mempertahankan stabilitas dan perubahan radikal dengan melakukan pembongkaran yang cukup mendasar terhadap konsep dan sistem yang ada. Terjadinya perubahan mendasar dalam musik Bali karena seniman musik Bali melahirkan musik yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kreativitas, yaitu membongkar cara pandang dan konsep-konsep musikal yang telah ada, kemudian 52 mengonstruksi kembali secara kreatif. Fenomena ini dapat ditelusuri melalui tiga rumusan permasalahan, yaitu latar belakang terjadinya kreativitas, wujud kreativitas, serta berbagai dampak yang ditimbulkan dan makna yang terkandung di balik terjadinya kreativitas. Kreativitas tiada henti yang dilakukan seniman musik Bali berimplikasi pada semarak dan bergairahnya dunia penciptaan, kendatipun banyak di antara karya-karya yang lahir “tak terpahamkan” karena masyarakat belum siap mencerna. Terjadinya pergulatan wacana karena adanya dua gagasan tersistem yang belum saling memahami. Fenomena ini tentu memberikan makna bahwa pembaharuan yang cenderung dijadikan sifat-sifat positif dan tidak memberi ruang pada aspek sosio-kultural akan bersifat ekslusif sehingga hanya dipahami oleh kalangan terbatas. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran baru, baik oleh seniman, masyarakat, maupun penentu kebijakan agar aktualitas musik Bali dapat memberi arti pada entitas yang lebih luas.