BAB I

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Musik Bali telah banyak dijadikan objek penelitian, baik oleh peneliti
lokal, nasional, maupun asing. Dari penelitian-penelitian tersebut telah terbit
sejumlah buku, artikel, laporan, dan naskah tercetak lainnya dengan perspektif
yang beragam sesuai latar belakang keilmuan penelitinya. Para peneliti ini
menggunakan
pisau
analisis
yang
bermacam-macam,
seperti
sejarah,
etnomusikologi, sosial, estetika, termasuk kajian budaya. Dari beberapa pustaka
yang telah dikaji belum ditemukan adanya hasil penelitian yang membahas
kreativitas musik Bali garapan baru di Kota Denpasar. Namun demikian, terdapat
sejumlah pustaka berupa buku-buku, laporan penelitian, dan artikel yang ada
relevansinya dengan penelitian ini. Adapun sumber-sumber pustaka yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
Buku berjudul Music In Bali: A Study in Form and Instrumental
Organization in Balinese Orchestral Music oleh Colin McPhee yang diterbitkan
Yale University Press tahun 1966. Buku ini adalah hasil pengamatan langsung
McPhee terhadap keberadaan musik Bali dari tahun 1931-1939. Salah satu
informasi menarik dari buku ini dalam kaitannya dengan kreativitas musik Bali
adalah dilakukannya peleburan barungan-barungan gamelan kuno untuk dijadikan
ansambel baru, yaitu gamelan Kebyar. Hal ini dikatakan oleh McPhee (1966:328)
sebagai berikut.
16
”It was probably in the early years of the present century that musician in
certain villages of north Bali, the territory of many innovations, began to
transform the traditional gamelan gong into the modernized form known
to day as the gamelan Gong Kebyar. The trompong was dropped, except
for old ceremonial music; the saron were abandoned in favor of the
gangsa gantung, whose range was now extended to nine or ten tone, while
the original reong of four gongs was expanded to include a series of
twelve The cymbal section was reduce to two or three player; the cymbals
use were smaller and lighter in sound.”
(Pada tahun-tahun permulaan abad ke-20, seniman musik di beberapa desa
di Bali Utara melakukan upaya pembaharuan, dimulai dengan mengubah
gamelan Gong tradisional menjadi ansambel baru yang kemudian dikenal
dengan gamelan Gong Kebyar. Instrumen trompong dihilangkan, kecuali
untuk musik-musik ritual; instrumen saron diubah menjadi gangsa gantung
dengan rentang nada dikembangkan menjadi sembilan atau sepuluh nada,
sementara instrument reyong yang sebelumnya terdiri atas empat
dikembangkan menjadi dua belas. Kelompok instrumen cengceng
dikurangi menjadi untuk dua atau tiga pemain; cengceng yang digunakan
lebih kecil dengan suara yang lebih renyah)
Catatan di atas menunjukkan upaya pembaharuan musik Bali yang terjadi
pada awal abad ke-20 di Bali Utara, yakni dengan mengubah beberapa instrumen
gamelan yang telah ada, kemudian dirajut kembali menjadi ansambel baru.
Peristiwa ini berawal di Bali Utara, kemudian menyebar ke Bali Selatan hingga
dekade 1930-an, dalam hal ini gamelan Semara Pagulingan, Palegongan, dan
Gong Gede milik beberapa puri juga dilebur untuk dijadikan Gong Kebyar.
McPhee melukiskan musik Kebyar sebagai “the bursting open of a flower”
(seperti mekarnya sekuntum bunga), untuk menandai lahirnya musikalitas baru
dalam dunia penciptaan musik Bali. Informasi ini sangat bermanfaat dalam
memahami upaya-upaya pembaharuan atau cara kerja kreatif seniman Bali pada
era 1930-an. Sebagaimana ditegaskan McPhee bahwa idiom-idiom musikal baru
yang lahir dari cara kerja kreatif ini sangat menarik perhatian masyarakat Bali
sehingga berkembang dengan pesat dan cepat.
17
Sebuah artikel berjudul ”The World of Music Composition in Bali” karya
David Harnish dari Bowling Green University, yang diterbitkan dalam Journal
Musicological Research tahun 2000, mengulas tentang penciptaan musik Bali
garapan baru dengan fokus pada dua genre, yaitu kreasi baru dan kontemporer.
Pengertian musik kreasi baru menurut Harnish (2000:12) seperti di bawah ini.
“Kreasi baru composition are linked to traditional form, structure, and
orchestration, but feature a number of standard innovations. Works
typically consist of ”a series of melodic ostinati whose abrupt changes of
mood, tempo, and dynamic level create an air of high excitemen.”
(Komposisi kreasi baru terkait dengan bentuk, struktur, dan orkestrasi
tradisional, tetapi mengutamakan sejumlah standar inovasi. Karya-karya
biasanya terdiri atas serangkaian melodi ostinato yang mengalami
perubahan seketika dari ekspresi musikal, tempo, dan tingkatan dinamika
untuk menciptakan suasana kegembiraan)
Selanjutnya, pengertian musik kontemporer dijelaskan sebagai berikut.
“A radically new genre of music emerge in the late 1970s, inspired by
colleagues in Java and perhaps those abroad, few composer began
exploring what was to be called musik kontemporer. This music would
sever many connections with traditional Balinese musical with kreasi baru
as well…composers state that they compose these works as experiments,
often as a way to express themselves individually, and sometimes to make
sosisopolitical statements that not be accommodate in the kreasi baru
genre (2000: 19--20).”
(Sebuah genre musik baru yang radikal muncul pada akhir tahun 1970-an,
terinspirasi oleh rekan-rekan dari Jawa dan mungkin orang-orang dari luar
negeri, beberapa komposer mulai menjelajahi apa yang disebut dengan
musik kontemporer. Musik ini akan memutuskan banyak hubungan
dengan musik tradisional Bali dan juga musik kreasi baru ... banyak
komposer menyatakan bahwa mereka menciptakan karya tersebut sebagai
percobaan, sering juga sebagai cara untuk mengekspresikan diri mereka
secara individual, dan kadang-kadang untuk membuat pernyataan sosial
politik yang tidak terakomodasi dalam genre kreasi baru)
Ada dua hal yang perlu dicermati dari pernyataan Harnish di atas, yaitu
pengertian serta ide kelahiran musik Bali garapan baru. Dalam hal ini, Harnish
18
dengan tegas membedakan pengertian musik kreasi baru dengan musik
kontemporer, yakni yang satu masih berkaitan dengan tradisi dan yang lainnya
disebutkan tidak lagi terikat dengan pola-pola tradisi. Selanjutnya, terkait dengan
ide kelahiran musik kontemporer, Harnish mengatakan bahwa musik jenis ini
dipengaruhi oleh komposer dari Jawa dan luar negeri, tetapi penulis kurang
sepaham. Harnish hanya mengamati latar belakang kelahiran musik kontemporer
dari sisi eksternal, padahal ada faktor internal yang sangat berpotensi, yaitu
idealisme seniman Bali yang selalu berkembang dari zaman ke zaman. Namun
demikian, tulisan ini cukup bermanfaat karena telah membuka peluang untuk
melakukan penyelidikan yang lebih luas tentang berbagai bentuk dan faktor yang
mempengaruhi kreativitas musik Bali garapan baru.
Persoalan tentang wacana-wacana musik komtemporer yang terjadi di
Indonesia, termasuk di Bali, dibahas dalam buku berjudul Musik Kontemporer
dan Persoalan Interkultural, yang ditulis oleh Dieter Mack terbitan ARTI tahun
2004. Dalam hal ini Mack (2004:1--2) berpendapat bahwa persoalan mendasar
musik kontemporer di Indonesia hingga saat ini adalah belum adanya kesatuan
pemahaman karena budaya musik otonom, sebagaimana pengertian di Barat, tidak
pernah terjadi dalam tradisi musik di Indonesia. Demikian juga dengan masalah
pengertian istilah “kontemporer” masih mengalami kekacauan. Istilah musik
kontemporer merupakan istilah Barat dengan konotasi tertentu. Namun,
penggunaan istilah tersebut di Indonesia mengarah pada sesuatu yang bagi orang
Barat sama sekali tidak berhubungan dengan aspek kontemporer.
19
Menurut pengamatan Mack (2004:35), ada dua pandangan tentang
pengertian istilah kontemporer di Indonesia. Pandangan ini dipilah menjadi
pandangan ”ekstrem kiri” dan pandangan ”ekstrem kanan” dengan penjelasan
sebagai berikut.
”Pada pandangan ekstrem di sebelah kiri, istilah kontemporer biasanya
diartikan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan tradisi sama
sekali....Para apresiator cenderung menerapkan istilah kontemporer pada
setiap musik baru yang tidak biasa bagi mereka...Di lingkungan perguruan
tinggi, biasanya dibedakan tiga konsep karya yaitu menggarap dalam suatu
gaya tradisional, mengaransir baru suatu karya tradisional, serta
menggarap musik kontemporer. Adanya tiga konsep karya ini
menunjukkan bahwa, tersirat musik kontemporer dipisahkan dari tradisi,
kriteria kontemporer adalah ketidakbiasaan atau suatu bayangan
”kebebasan sepenuhnya”...Jika inilah pola ekstrem kiri, maka pola ekstrem
kanan kebanyakan terjadi di tingkat akademis...Lalu yang dianggap
kontemporer oleh kalangan ini adalah jenis garapan misalnya dalam idiom
historis (tradisional) dari Barat, khususnya idiom zaman Klasik/Romantik,
yaitu abad ke-18/ke-19. Model-model zaman itu senantiasa diimitasikan.”
Terkait dengan keberadaan musik Bali garapan baru di Bali, Mack
(2001:140) menyatakan sepertidi bawah ini.
”Di Bali sendiri telah dibuat perbedaan signifikan antara kreasi baru dan
kontemporer. Pandangan umum ini kurang lebih sesuai dengan anggapan
nasional bahwa kontemporer adalah suatu gaya tertentu dengan makna
utamanya, yaitu tidak ada hubungannya dengan tradisi. Di sisi lain, tidak
salah jika genre kreasi baru dinilai sebagai genre tradisi, sebab terdapat
gejala-gejala standarisasi yang signifikan...Walaupun standar ini sudah
amat divariasikan, secara tersirat, kerangka dasarnya masih tetap laku dan
justru merupakan salah satu alasan mengapa genre kreasi baru tetap sangat
populer di Bali.”
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa ada dua bentuk musik Bali
garapan baru, yaitu kreasi baru yang sesuai dengan pandangan ”ekstrem kanan”
dan kontemporer yang sesuai dengan pandangan ”ekstrem kiri”. Konsep yang
digunakan sebagai dasar penciptaan musik kreasi baru adalah ”klasisisme”, yaitu
penciptaan musik dengan tidak meninggalkan apa yang sudah diakui serta yang
20
memiliki kriteria standar yang jelas. Sementara itu, penciptaan musik
kontemporer menggunakan konsep radikalisme, yaitu mengadakan perubahan
secara total, baik dalam gagasan, bentuk, maupun penyajiannya.
Pernyataan-pernyataan tersebut di atas memberi stimulasi kepada penulis
untuk mendalami lebih jauh mengenai berbagai persoalan seperti definisi, konsep,
proses penciptaan, dan berbagai bentuk musik Bali garapan baru. Penulis sepaham
dengan Mack tentang kurang akuratnya penggunaan istilah kontemporer sebagai
salah satu bentuk musik Bali garapan baru karena istilah tersebut telah memiliki
pengertian tertentu di Barat. Oleh sebab itu, dalam disertasi ini penulis
menggunakan istilah eksperimental karena lebih sesuai dengan pemahaman
masyarakat Bali dan kenyataan yang ada bahwa musik baru jenis ini diciptakan
dengan melakukan berbagai eksperimen.
Sebuah
pustaka
konseptual/teoritis
berjudul
Corat-coret
Musik
Kontemporer Dulu dan Kini oleh Suka Harjana yang diterbitkan tahun 2003,
merupakan kumpulan artikel dengan berbagai topik tentang musik yang sedang
hangat dibicarakan di kalangan masyarakat dalam dua puluh tahun terakhir,
termasuk di antaranya tentang musik baru. Topik-topiknya dipilih secara acak,
tetapi berkaitan antara satu dengan yang lainnya; peristiwanya terjadi di manamana kemudian permasalahannya didekati secara konprehensif. Ada dua bab
menarik yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu musik abad ke-20
dan musik kontemporer.
Mengenai berbagai perubahan citra dan sifat dasar musik yang terjadi pada
abad ke-20, Harjana menegaskan sebagai berikut.
21
”Musik telah berubah secara dramatis, dari citra masa lalu yang simbolis,
ideal, dan otupian – menjadi ”benda pakai” yang berguna langsung,
praktis, dan fungsional. Apakah dengan demikian seni telah mati?. Tentu
saja jawabannya, ya dan tidak. Tergantung. Apapun jawabannya, nyata
sekali bahwa watak musik telah bergeser, dari yang serba ”mendengar”
(audible) dan menggerakkan, ke ”tontonan” (visible) yang serba
merangsang (sensual) dan menggegarkan (shocking). Dari kesadaran rasa
dan penghayatan, ke citra dan sensasi. Dari komunitas terbatas, ke ruang
publik terbuka tanpa penyekat layaknya oksigen di ruang udara.”
Dalam mengamati faktor penyebab perubahan, Harjana melihat musik berubah
bukan hanya karena tradisi atau trend paham (ideologi seni), melainkan juga
karena lingkungan (masyarakat). Penemuan teknologi baru di bidang audio-visual
dan benda-benda teknologi mutakhir yang terus melaju dan berkembang juga
merupakan faktor yang menyebabkan perubahan dalam bidang musik. Secara
lebih detail Harjana (2003: 193--194) menyatakan sebagai berikut.
”Sifat-sifat dasar musik kontemporer pada setiap zaman, dulu maupun
kini, tidak pernah berubah. Yaitu, menyangkut kebutuhan akan adanya
pembaharuan sebagai tuntutan terhadap masa lalu yang dianggap sudah
tidak relevan dan usang (absolescent, obsolete). Tuntutan akan
pembaharuan yang oleh Saint Laurent disebut sebagai “transformasi
sebuah zaman” itu pada gilirannya akan selalu menimbulkan tiga faktor
guncangan besar. Pertama, kehendak umum akan adanya perubahan,
perombakan (reformasi) sampai revolusi. Kedua, sebagai akibat logisnya
terjadi distorsi sejarah (dengan masa lalu). Ketiga adalah timbulnya sifat
kesementaraan (impermanentcy) pada “transformasi zaman”’sampai
semuanya kemudian mencapai kestabilan (kemapanannya) kembali dan
seterusnya.”
Hal lain yang juga dijelaskan dalam buku ini adalah penyebaran musik
modern yang sejak tahun-tahun awal abad ke-20 tidak lagi terpusat di Eropa,
tetapi telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hal ini disebabkan oleh para
komponis abad ke-20 banyak melakukan interaksi silang budaya, kendatipun
masing-masing masih menampakkan ciri lingkungan hidup dan budayanya.
Harjana (2003:58) juga menyebutkan bahwa munculnya istilah-istilah dalam
22
karya musik seperti modern, kontemporer, eksperimental, new age, dan
postmodern, pada dasarnya hanyalah kata sandang sebagai ”baju” penanda waktu
dari suatu masa yang dianggap sedang laku dan belum berlalu. Buku ini
memberikan manfaat dalam memahami berbagai terminologi dan konsep untuk
mengkaji berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan mendasar
musik Bali.
Buku berjudul Balinese Dance, Drama, and Music, karya I Wayan Dibia
dan Rucina Ballinger yang diterbitkan oleh Periplus Edition tahun 2004. Dalam
salah satu babnya, buku ini membahas tentang musik baru (new music). Dibia dan
Ballinger menyebutkan bahwa sejak dekade tahun 1970-an di Bali telah
berkembang pesat berbagai jenis musik baru. Perkembangan ini antara lain
dipengaruhi oleh musik-musik dari berbagai daerah di Indonesia di samping
musik dari berbagai tempat di dunia. Dalam mengamati perkembangan musik
baru di Pulau Dewata, kedua penulis ini mengatakan sebagai berikut.
”Contemporary music in Bali can be placed in two categories: those
innovation that introduce new musical ideas and concepts into the
traditional gamelan, and those that create new instrumens to build a new
type of ensemble. The first develovement includes the use of new rhythmic
patterns or works which transform ritual, social, and political activities
into the sound of music. The second involves expanding or changing the
traditional gamelan orchestra to create a new type of ensemble.”
(Musik kontemporer di Bali dapat ditempatkan dalam dua kategori:
inovasi yang memperkenalkan ide-ide dan konsep musik baru ke dalam
gamelan tradisional dan menciptakan instrumen baru untuk membangun
jenis ansambel baru. Pengembangan pertama meliputi penggunaan pola
irama baru atau karya-karya yang mentrasformasikan peristiwa-peristiwa
ritual, sosial, dan kegiatan politik ke dalam suara musik. Kedua,
melibatkan pengembangan atau mengubah gamelan tradisional untuk
menciptakan jenis ansamble baru)
23
Penempatan dua kategori musik kontemporer dalam buku ini merupakan
hasil pengamatan Dibia dan Rucina Ballinger dari sisi tingkat inovasi dalam
proses kreativitas seniman. Pengembangan pertama, yang menggunakan gamelan
tradisional, masih dalam tingkat inovasi pada masalah musikalitas. Pengembangan
kedua bersifat lebih progresif, yakni dengan menciptakan ansambel baru yang
secara langsung berdampak pada pengembangan musikalitas. Dalam buku ini juga
dikemukakan beberapa contoh bentuk musik baru baik yang menggunakan
gamelan tradisional maupun dengan menciptakan instrumen-instrumen dan
gamelan baru. Informasi yang terdapat dalam buku ini digunakan sebagai
landasan untuk mencermati dan menelusuri lebih lanjut tentang bentuk dan
perkembangan musik Bali garapan baru.
Sebuah disertasi berjudul ”Musik Kontemporer: Experimental Music By
Balinese Composers” oleh Andrew McGraw 2005, membahas tentang keberadaan
musik kontemporer Bali dengan penekanan pada masalah analisis musikal lewat
notasi dan deskripsi. McGraw berkesimpulan bahwa musik kontemporer Bali
bukan merupakan fenomena baru karena ideologi serta proses kelahirannya
identik dengan musik Avant-Garde di Amerika Serikat. Musik kontemporer
diciptakan untuk mempresentasikan idiom-idiom baru dari seni musik Bali.
Adapun faktor yang memotivasi penciptaan musik baru, McGraw (2005:150-183) menyatakan seperti di bawah ini.
”Since the mid 1980s young composers have frequently interacted and
collaborated with Western composers and artists. The composers
associated with the American based Gamelan Sekar Jaya, primarily
Michael Tenzer, Wayne Vitale, and Evan Ziporyn, and the German
composer Dieter Mack have had a considerable and direct impact on
24
young Balinese composer… Many Balinese composers have been
influenced by the composition of Vitale and Tenzer.”
(Sejak pertengahan 1980-an komponis muda sering berinteraksi dan
berkolaborasi dengan komposer serta seniman Barat. Komponis yang
tergabung dalam Gamelan Sekar Jaya (kumpulan warga negara Amerika),
terutama Michael Tenzer, Wayne Vitale dan Evan Ziporyn dan komponis
Jerman Dieter Mack telah membawa dampak yang cukup besar dan
langsung pada komponis muda Bali ...Banyak komponis Bali telah
dipengaruhi oleh komposisi dari Vitale dan Tenzer)
Ungkapan ini menunjukkan bahwa McGraw lebih melihat kepada faktor
eksternal yang berperan dalam kreativitas musik Bali garapan baru. Dalam hal ini,
penulis memiliki pendapat yang agak berbeda dengan McGraw bahwa faktor yang
memotivasi penciptaan musik Bali garapan baru harus dilihat secara seimbang
antara faktor eksternal dan internal. Penciptaan musik eksperimental Bali telah
terjadi tahun 1979, yakni jauh sebelum persentuhan komposer Bali dengan
komposer Amerika Serikat. Hal ini mungkin disebabkan karena dalam disertasi
ini McGraw tidak membahas fenomena yang lebih mendasar dalam penciptaan
musik Bali garapan baru, yaitu latar belakang, proses perubahan, konsep dan
ekspresi estetik, serta dampak dan makna kehadiran musik Bali garapan baru.
Buku berjudul The New Music, The Avant-Garde Since 1945 karya
Reginald Smith Brindle yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun
1993, membahas berbagai hal tentang perkembangan musik baru di Eropa,
khususnya setelah Perang Dunia II. Selain membahas latar belakang, sejarah, dan
fenomena kehadiran musik baru, buku ini juga banyak membahas hal-hal teknis
yang berkaitan dengan konsep dan teori perkembangan bentuk-bentuk musikal
seperti improvisasi, musik konkret, dan konsep-konsep karya komposer musik
baru Amerika, terutama John Cage.
25
Berkaitan dengan istilah ”improvisasi” sebagai salah satu pola permainan
khas musik baru, dalam buku ini disebutkan bahwa pengertiannya sudah diperluas
dan bervariasi tetapi esensinya adalah spontanitas yang didasarkan pada imajinasi
dan kecerdikan pemain. Musik konkret adalah kumpulan bunyi hidup yang terdiri
atas dua jenis, yaitu manipulasi tape dan modifikasi elektronik. Melalui kedua
sarana ini suara-suara yang asli dari satu jenis musik dapat diolah untuk
melahirkan suara baru yang tidak terduga sebelumnya. Improvisasi dan musik
kongkret sebagaimana dijelaskan di atas kini juga mewarnai dinamika penciptaan
musik Bali garapan baru.
Salah satu ungkapan menarik dari buku ini adalah pandangan Brindle
tentang karya-karya musik John Cage. Brindle menulis sebagai berikut.
“For Cage, too, music is action. A players body, gesture, speech, and
action are an extension of his instrument, an enlargement of its
personality. Cage’s music can therefore involve players in speech,
movement, and gesture, in theatricalisms which are quite alien to almost
impersonal ‘white tie and tail’ tradition of European instrumentalism.”
(Bagi Cage, musik adalah aksi atau tindakan. Tubuh, gerakan tangan, dan
ucapan para pemain merupakan perluasan dari instrumennya, untuk
menunjukkan kekhasannya. Musik karya Cage dapat melibatkan para
pemain pada perkataan, gerakan tubuh dan gerakan tangan, teatrikal,
dimana hal demikian cukup asing pada tradisi musik instrumental Eropa)
Ungkapan tentang karya musik Cage tersebut di atas menyiratkan perlunya cara
pandang kreatif dalam memahami suatu karya musik. Dengan cara pandang baru
ini Cage telah meruntuhkan pemahaman lama bahwa konsepsi dasar musik adalah
rekayasa bunyi yang dinikmati secara auditif. Ungkapan Cage yang menyatakan
bahwa musik sebagai aksi menunjukkan bahwa musik bukan hanya mengandung
aspek kenikmatan auditif melainkan juga menawarkan daya pikat visual.
26
Perkembangan konsep dan pola-pola musikalitas musik Bali garapan baru sesuai
dengan pernyataan Cage tersebut di atas, yaitu tidak hanya terfokus pada
mengolah suara atau bunyi, tetapi juga hal yang bersifat visual seperti akting,
perpindahan pemain, penataan instrumen, dan memasukkan unsur teatrikal.
2.2 Konsep
Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang topik yang
diajukan maka dalam penelitian ini perlu dijelaskan konsep-konsep yang
digunakan. Adapun konsep yang terkandung dalam penelitian ini terdiri dari atas
tiga variabel utama, yaitu (1) kreativitas, (2) musik Bali garapan baru, dan (3)
Kota Denpasar. Deskripsi masing-masing variabel tersebut dijabarkan sebagai
berikut.
2.2.1 Kreativitas
Secara etimologi, istilah kreativitas berasal dari kata creativity (Inggris)
yang artinya ’kemampuan untuk mencipta atau daya cipta’. Namun, secara harfiah
atau berdasarkan konteks kalimat, kreativitas dapat diartikan sebagai ‘prihal
berkreasi atau persoalan penciptaan yang dilandasi konsep dan sifat-sifat kreatif’.
Penentuan kriteria kreativitas menyangkut tiga dimensi, yaitu proses, person, dan
produk. Proses kreatif dilakukan oleh person atau individu kreatif, sehingga segala
produk yang dihasilkan dianggap sebagai produk kreatif (Amable, dalam
Supriadi, 1994:12).
27
Proses penciptaan yang bersifat kreatif merentang dari persiapan
(eksplorasi), inkubasi, iluminasi, dan evaluasi yang dilandasi oleh pemikiran baru
yang “senang” merayakan keberagaman dan kemajemukan sehingga selalu
memberi ruang bagi sesuatu yang berbeda. Person atau individu kreatif memiliki
kemampuan kognitif (bakat) dan non-kognitif (minat, sikap, dan kualitas
temperamental) sehingga mampu berpikir kreatif. Berdasarkan analisis faktor,
Guilford (dalam Supriadi, 1994:7) menemukan lima sifat yang menjadi ciri
kemampuan berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibelity),
keaslian (originality), penguraian (elaboration), dan perumusan kembali
(redifinition). Seniman kreatif selalu memiliki banyak gagasan, ide, sigap serta
mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan
penciptaan karya baru. Gagasan-gagasannya bersifat original, bukan tiruan atau
klise, kemudian mampu menguraikannya secara rinci berdasarkan perspektif dan
cara pandang yang berbeda dengan cara-cara yang lazim. Sementara dari sisi
produk, Baron (dalam Supriadi, 1994:7) menyatakan kreativitas adalah “the
ability to bring some thing new into existence.” Produk bernilai kreatif apabila
(1) bersifat baru atau orisinal, unik, berguna atau bernilai dari segi kebutuhan
tertentu; (2) lebih bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang belum
pernah atau jarang dilakukan orang sebelumnya.
Murgiyanto (2004:53) menyebutkan kreativitas seni adalah persoalan
kemampuan mencipta, memberi interpretasi, mewujudkan ide, gagasan, dan
pengalaman ke dalam sebuah bentuk yang disertai daya imajinasi dan inovasi
yang tinggi. Kreativitas mesti ditopang oleh kondisi yang baik, yaitu ‘rasa bebas’
28
dan ‘rasa aman’ dalam berbuat. Selanjutnya, Sedyawati (2007:38) menegaskan:
“dengan kreativitas orang dapat melakukan berbagai upaya, dari pemuliaan
khasanah budya yang diwariskan hingga penciptaan hal-hal baru yang dirasakan
relevan dengan kebutuhan-kebutuhan kekinian”. Dalam kaitannya dengan objek
material penelitian ini, yaitu musik Bali garapan baru, kreativitas dimengerti
sebagai persoalan penciptaan musik Bali garapan baru yang diamati dari sifat-sifat
kreatif baik dari segi produk, proses, maupun person atau individu yang
melakukannya.
2.2.2 Musik Bali Garapan Baru
Satuan konsep musik Bali garapan baru adalah gabungan dari istilah musik
Bali dan garapan baru. Kata musik, jika dipahami dari aspek kompositoris berarti
bunyi yang terorganisir (Johan, 2011:8). Materi dasar musik adalah bunyi, tetapi
tidak semua bunyi dapat disebut sebagai musik. Berkomentar tentang kaitan bunyi
dengan musik, Suka Harjana (2003:3) menyebutkan seperti di bawah ini.
”Derit rel kereta api, derit pedal rem bus kota, atau berisik knalpot bajaj
yang memekakkan telinga, semua orang tahu bahwa itu bukan musik
sejauh bunyi-bunyi itu ’asli’ terwujud dalam konteks sebagaimana adanya
dan belum direkayasa sebagai suatu kenyataan yang ada di luar dirinya;
walaupun tentu saja tak akan menjadi halangan bagi para komponis masa
kini untuk memanfaatkan suara-suara tersebut di atas sebagai elemen
bunyi untuk kepentingan rekayasa karya-karya musik baru mereka”
Hal menarik yang dapat dicermati dari pernyataan tersebut di atas bahwa musik
adalah hasil rekayasa manusia yang terbentuk karena disengaja, bukan karena
faktor kebetulan. Sebagai hasil karya manusia, musik memiliki berbagai norma
dan krteria estetik, seperti bentuk (form), kerangka dasar (struktur), nada-nada
29
(parameter kepastian tinggi rendahnya suara), ritme (irama), melodi (lagu), dan
organisasi suara-suara nada (harmoni) dalam berbagai suasana dan watak bunyi.
Dalam bentuk yang paling sederhana, musik bisa terjadi jika ritme dan bunyi
sudah bersatu. Ritme menjadi dasar pijak pertama dari pernyataan diri bunyi
sehingga ritme dan bunyi tidak dapat dipisahkan (Harjana, 1983:56--57).
Pada hakikatnya, musik bersifat universal. Akan tetapi karena setiap
manusia memiliki latar belakang sejarah, budaya, lingkungan, dan pengalaman
yang berbeda hal itu mempengaruhi sikap, pandangan, dan reaksi mereka terhadap
suatu musik tertentu. Musik akhirnya masuk pada ranah ideologi dan beridentitas
budaya, gaya, atau zaman tertentu seperti musik Bali, musik Jawa, musik Klasik
musik Pop, musik Dangdut, dan musik Keroncong. Semua kata yang melekat
dengan kata musik menunjukkan identitas tertentu dengan kekhasan-kekhasan
yang dimiliki oleh musik-musik yang bersangkutan.
Beranalogi dari uraian tersebut di atas, istilah musik Bali dapat
didefinisikan sebagai bentuk musik yang dijiwai oleh nilai-nilai, identitas budaya,
dan ekspresi artistik kelompok etnis Bali. Nilai, identitas budaya, dan ekspresi
artistik tersebut dapat diamati dari segi instrumen, musikalitas, teknik permainan
dan tata penyajiannya. Berdasarkan media bunyinya musik Bali terdiri atas dua
jenis, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal menggunakan suara
manusia sebagai sumber bunyi, sedangkan musik instrumental menggunakan alat
(instrumen) sebagai sumber bunyi. Unsur-unsur musikalitas musik Bali
mencerminkan ekspresi artistik kelompok etnis Bali yang dapat dibedakan dari
musikalitas etnis lainnya. Kendatipun instrumentasi dan musikalitas musik Bali
30
kini telah berkembang, tetapi tetap memiliki ciri dan identitas budaya Bali.
Misalnya, jika sebuah musik Bali garapan baru menggunakan instrumen gabungan
dengan instrumen musik daerah lain atau instrumen musik Barat, sepanjang
dikemas dengan lebih mengedepankan ekspresi artistik dan ungkapan budaya
Bali, maka dapat dikategorikan musik Bali. Demikian pula, jika sumber bunyinya
berasal dari instrumen non-gamelan, seperti batu, lempengan tembaga, dan pipa
besi, sepanjang digarap dengan ekspresi dan ungkapan budaya Bali, maka dapat
disebut musik Bali.
Karena luas dan kompleksnya aktualitas musik Bali, maka dalam studi ini
pengkajiannya difokuskan pada beberapa hal. Pertama, dari segi sumber bunyi
lebih banyak mengkaji musik-musik instrumental dan musik campuran vokal dan
instrumental yang didominasi instrumental. Adapun pertimbangannya adalah
karena secara kuantitas dan keragaman olah musikal, musik Bali garapan baru
lebih banyak menggunakan sumber bunyi instrumental dan campuran sehingga
penulis mendapatkan sumber data yang lebih banyak untuk dikaji. Kedua, studi
ini lebih mendalami kajian tentang musik sebagai sajian instrumentalia (konser)
daripada musik iringan tari. Hal ini disebabkan karena dalam penggarapan musik
instrumentalia, kreativitas seniman lebih ”murni” sementara dalam musik iringan
tari ekspresi seniman lebih terbatas karena harus ”mengabdi” pada kebutuhan
ekspresi dan aksentuasi gerak-gerak tari. Ketiga, musik Bali garapan baru yang
dikaji dalam penelitian ini juga dibatasi pada musik-musik yang berevolusi selama
tiga puluh satu tahun belakangan ini, yaitu tahun 1979--2010. Pembatasan
rentangan waktu selain dimaksudkan untuk memberikan fokus kajian, juga
31
disebabkan oleh munculnya fenomena-fenomena menarik yang menyertai
kelahiran musik Bali garapan baru selama kurun waktu tersebut.
Istilah garapan baru terbentuk dari dua kata, yaitu garapan dan baru.
Garapan sebagai hasil kreativitas artistik juga disebut ciptaan atau kreasi yang
dibedakan dari hasil kerja seorang buruh pabrik yang biasanya disebut produk.
Esensi perbedaan antara kreasi dengan produk terletak pada adanya pengaruh
ekspresi, rasa (emosi), dan gagasan pada kreasi karena hal tersebut tidak terdapat
pada produk. Dalam rumusan lain, kata garapan juga untuk menerangkan bahwa
kreativitas tidak lahir dari ketiadaan (ex-nihilo), tetapi dengan menciptakan
kombinasi-kombinasi baru dari hal-hal yang telah ada. Arieti (dalam Supriadi,
1994:17) menegaskan bahwa hanya kreativitas Tuhan yang terjadi dari ketiadaan.
Kaitannya dengan bidang musik, garapan dimaknai sebagai hasil kreativitas atau
kerja kreatif seniman musik dalam merekayasa unsur-unsur musik, seperti melodi,
ritme, tempo, dan harmoni dengan ekspresi jiwa yang diungkapkan melalui
berbagai media.
Kata baru, sebagaimana dikemukakan Harjana (2003:57), pada awalnya
merupakan istilah sugesti psikologi masa yang dilontarkan sebagai penguat
propaganda sebuah produksi dalam budaya industri. Sifatnya lebih banyak untuk
menunjukkan keunggulan-keunggulan, seperti efisien, praktis, dan modern dari
produk yang baru sehingga masyarakat mau menerimanya. Dalam dunia seni, kata
”baru” sejak lama digunakan sebagai penanda batas deviasi atau ”penyimpangan”
(perubahan, perbedaan) antara dua kutub yang dianggap masa lalu dengan masa
yang sedang berlangsung. Wacana lama dan baru kendatipun batas-batasnya
32
sangat kabur, memang sering dipasangkan dan dipertentangkan secara dikotomis,
namun sangat disadari bahwa sesuatu yang baru merupakan kelanjutan dari yang
lama. Mengacu pada pandangan-pandangan di atas, maka istilah garapan baru
adalah hasil karya cipta seni yang memiliki konsep, nuansa, dan pola-pola baru
(newness, novelty) sehingga berbeda dari karya-karya yang sudah ada sebelumnya
dalam hal ini adalah karya-karya tradisional. Konsep-konsep atau pola-pola baru
itu dapat diamati mulai dari aspek luarnya seperti fisik (instrumentasi), bentuk,
dan tata penyajian hingga aspek dalam (isi), yaitu gagasan dan cara pandang
dalam memaknai realitas.
Jadi, konsep operasional musik Bali garapan baru adalah bentuk-bentuk
musik yang dijiwai oleh nilai, identitas budaya, dan ekspresi artistik kelompok
etnis Bali serta memiliki konsep, nuansa, dan pola-pola baru sehingga berbeda
dari karya-karya sebelumnya, yaitu musik tradisional Bali. Berdasarkan tingkat
perubahan dan perbedaannya dari karya-karya musik tradisional, musik Bali
garapan baru muncul dalam dua wujud, yaitu musik kreasi baru yang dicipta
dengan perubahan bertahap dan musik eksperimental yang dicipta dengan
perubahan radikal.
2.2.3 Kota Denpasar
Denpasar adalah sebuah kota yang terletak di bagian tengah selatan Pulau
Bali. Selain sebagai kota terbesar di Bali, Denpasar juga merupakan ibu kota
Provinsi Bali dan secara administratif sebagai salah satu daerah tingkat dua yang
memiliki kedudukan setara dengan delapan kabupaten lainnya. Sebagai sebuah
33
kawasan budaya, Kota Denpasar memiliki kehidupan seni budaya yang dinamis.
Seni-seni tradisional yang bernafaskan kehidupan sosial kemasyarakatan hidup
subur bersanding dengan seni-seni yang berbasis kebudayaan populer. Penduduk
Kota Denpasar yang didominasi oleh etnis Bali yang beragama Hindu, berbaur
dengan penduduk pendatang dari berbagai etnis seperti Jawa, Sunda, Minang,
Bugis, Sasak, dan Madura. Kompleksitas penduduk dengan berbagai latar
belakang budaya ini ikut menyemarakkan aktivitas Kota Denpasar. Kaitannya
dengan aktivitas seni khususnya musik, keragaman budaya etnis juga menjadikan
dunia kreativitas musik di Kota Denpasar berkembang pesat.
Dalam kaitan penelitian ini Kota Denpasar diposisikan sebagai wilayah
budaya, yaitu pusat penciptaan kreativitas musik Bali garapan baru di Bali. Oleh
karena itu Kota Denpasar perlu dituangkan dalam konsep untuk memperjelas serta
menghindari perbedaan persepsi. Penuangan Kota Denpasar dalam konsep juga
dimaksudkan untuk memberikan arah dan fokus bagi penelitian ini. Jadi, konsep
operasional Kota Denpasar adalah sebagai lokasi penelitian dan tempat kreativitas
musik Bali garapan baru dilakukan. Hal ini berarti peneliti menfokuskan kajiankajian tentang proses kreativitas musik Bali garapan baru yang terjadi di Kota
Denpasar. Seniman-seniman yang dijadikan fokus penelitian ini adalah mereka
yang berdomisili di Kota Denpasar. Demikian halnya dengan karya-karya musik
yang dikaji adalah karya-karya musik Bali garapan baru yang diciptakan dan
pernah dipentaskan di Kota Denpasar. Jika dalam pembahasan penelitian ini juga
disinggung aktivitas musik dan seniman dari daerah lain, semata-mata hanya
sebagai perbandingan.
34
2.3. Landasan Teori.
Penelitian ini merupakan penelitian kajian budaya (cultural studies)
dengan menggunakan beberapa teori secara ekletik untuk mengkaji berbagai
fenomena terkait dengan kreativitas musik Bali garapan baru. Sesuai dengan
permasalahan yang dirumuskan, studi ini berangkat dari kerangka pemikiran
postmodernisme. Salah satu pola pikir postmodernisme adalah merevisi pemikiran
modernisme yang tidak selaras dengan perkembangan budaya masyarakat tanpa
menolaknya mentah-mentah, tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang dinilai
perlu. Pemikiran seperti ini merupakan kritik terhadap kemapanan untuk
mengatasi konsekuensi negatifnya (Noris, 2008:7).
Ada tiga persoalan pokok yang mesti dicarikan landasan teori dalam
penelitian ini. Ketiga persoalan yang dimaksud adalah persoalan faktor-faktor
yang mendorong terjadinya kreativitas, persoalan wujud kreativitas, dan persoalan
dampak serta makna kreativitas musik Bali garapan baru di Kota Denpasar.
Mengacu pada pokok persoalan tersebut, teori dekonstruksi Jacques Derrida
digunakan sebagai teori utama (grand-theory) untuk mengkaji permasalahan
secara umum. Sementara itu, empat teori lainnya, yaitu ideologi, etnomusikologi,
estetika, dan semiotika digunakan sebagai teori pendukung (midle-theory).
2.3.1 Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi adalah sebuah teori analisis yang dikembangkan oleh
Jacques Derrida, yaitu pada intinya merupakan kritik dan penolakan terhadap
tradisi pemikiran strukturalis filsafat modern. Kritik dan penolakan ini didasarkan
35
pada beberapa fakta bahwa modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan
sebagaimana yang diinginkan oleh pendukungnya. Dalam hal ini muncul
kontradiksi antara teori dan fakta dalam ilmu pengetahuan modern yang
berimplikasi pada terjadinya kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas.
Di samping itu, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis
dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik
individu (Santoso, 2009:248).
Tradisi pemikiran modern yang ditolak oleh teori Dekonstruksi Derrida
adalah logosentrisme, yang berimplikasi pada pandangan epistemologi modern
lainnya seperti dikotomi subjek-objek dan oposisi biner. Logosentrisme
memandang suatu realitas merupakan representasi dari akal, pikiran, atau logos.
Implikasinya adalah dominannya konsep totalitas dan konsep esensi. Konsep
totalitas menyatakan bahwa realitas adalah satu, sementara konsep esensi
menyatakan hanya pengetahuan yang mendasari sesuatu. Konsekuensi dari kedua
konsep ini menimbulkan dogmatisme untuk melegitimasi rasio dan pengetahuan
yang cenderung menindas karena memaksa manusia masuk ke dalam sistem.
Menurut Derrida, logosentrisme sekurang-kurangya mengandung dua ciri.
Pertama, prosedur-prosedur yang ada harus diakui sebagai orientasi yang paling
umum. Kedua, prosedur-prosedur itu harus merupakan suara yang berdaulat
sehingga tidak dapat lagi dipermasalahkan (Lubis, 2004:107).
Implikasi pandangan logosentrisme adalah dikotomi subjek-objek dan
kecenderungan berpikir oposisi biner. Subjek dianggap menentukan validitas
kebenaran sehingga memiliki peranan lebih besar yang akhirnya mendominasi
36
dan mengeksploitasi objek. Pemikiran oposisi biner yang Cartesian (bermula dari
Descartes) merupakan konsep berpikir yang bersifat dikotomis dan hierarkis.
Oposisi antara akal/tubuh, penanda/petanda, positif/negatif, tuturan/tulisan,
makna/bentuk, menurut filsafat Barat istilah-istilah yang pertama lebih superior
daripada yang kedua. Istilah yang pertama menjadi pusat, subjek, mendominasi,
dan ada secara niscaya, sedangkan istilah yang kedua hanya sebagai derivasi,
objek, manifestasi pinggir, dan sekunder.
Konsep pikiran subjek-objek dan oposisi biner ini ditolak oleh Derrida
karena realitas sesungguhnya tidak dapat ditentukan atau dipastikan sebagai
sesuatu yang berada dalam kategori dualitas belaka. Realitas tidak dualitas
dikotomis, melainkan beragam posisi, tidak dominasional dan sentralistis,
melainkan menyebar dan sejajar (Lubis, 2004:107--108; Barker, 2005:102--103).
Derrida membedakan dua cara penafsiran, yaitu (1) penafsiran restrospective yang
dapat diartikan sebagai upaya merekonstruksi makna atau kebenaran awal atau
orisinal, (2) penafsiran prospective, yakni suatu upaya yang secara eksplisit
membuka pintu bagi indeterminasi makna di dalam free play.
Apabila dikaitkan dengan makna, teori Dekonstruksi Derrida merupakan
kritik terhadap teori Ferdinand de Saussure yang melihat hubungan antara
signifiant (bentuk) dan signifie (makna) bersifat statis. Oleh karena bagi Derrida,
struktur makna suatu tanda bukan sesuatu yang objektif dan juga bukan subjektif,
melainkan suatu hubungan yang dinamis sehingga membuka peluang bagi
munculnya makna baru. Pencarian makna baru bertujuan untuk menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, kemudian ingin
37
menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
kepincangan. Jika menurut de Saussure makna dihasilkan dari perbedaan antara
satu tanda dengan yang lain, tetapi menurut Derrida makna dihasilkan dari suatu
proses yang menghasilkan makna yang berbeda-beda menurut setiap individu
(Hoed, 2011:129).
Dekonstruksi merupakan proses pembaharuan yang tetap konstruktif. Hal
ini ini sesuai dengan penegasan oleh Kutha Ratna (2005: 250--252) bahwa,
dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas
bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku. Dalam teori
kontemporer, dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan,
penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan
penyempurnaan arti semula. Dekonstruksi memang melakukan pembongkaran,
tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam
tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga
aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dekonstruksi
berarti sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang
selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan
dekonstruksi tetap konstruktif, dengan sendirinya dalam bentuk yang berbeda,
konstruksi yang seimbang sekaligus dinamis.
Dalam penelitian ini teori Dekonstruksi digunakan sebagai teori utama
karena paradigma, konsep, dan cara kerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip kreatif
yang melandasi penciptaaan musik Bali garapan baru. Kreativitas musik Bali
garapan baru dilakukan oleh seniman yang memiliki pola pikir terbuka dan
38
mampu mewujudkan gagasan-gagasan abstrak menjadi realistis. Gagasangagasannya bersifat bersifat original, bukan tiruan atau klise, kemudian mampu
diuraikan secara terinci dengan meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif
dan cara pandang yang berbeda dengan cara-cara yang lazim. Sifat-sifat kreatif
seperti tersebut di atas juga memiliki kecendrungan menolak cara berpikir
strukturalis sebagaimana halnya dekonstruksi.
Apabila mengacu pada teori Dekonstruksi, musik Bali garapan baru tidak
hanya dilihat sebagai sebuah ekspresi seni, tetapi juga sebagai fenomena budaya.
Makna atau kebenaran yang telah mapan yang selama ini dipahami secara
strukturalis dalam musik tradisi, kemudian ditafsirkan lebih prospektif yang
diaktualisasikan dengan berbagai bentuk kreativitas. Seniman menginginkan
kebebasan dalam berekspresi guna menemukan hal-hal baru sesuai perkembangan
zaman dan lingkungan budaya. Oleh karena dengan dekonstruksi seniman dapat
menciptakan wacananya sendiri di tengah wacana yang sedang menjadi
mainstream dalam masyarakat.
2.3.2 Teori Ideologi
Ideologi
adalah
pelembagaan
gagasan-gagasan
sistematis
yang
diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Ketika berbicara tentang
ideologi profesional misalnya, sebenarnya kita sedang membahas gagasangagasan mendasar yang memberi stimulasi terhadap visi dan praktik kelompok
profesional tertentu. Demikian halnya jika berbicara tentang ideologi Partai
39
Buruh, akan mengacu pada sekumpulan gagasan politik, ekonomi, dan sosial yang
menyuarakan aspirasi dan aktivitas para buruh (Story, 2003: 4).
Secara fungsional, ideologi dirumuskan dalam bentuk tujuan yang hendak
dicapai dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Ideologi
berfungsi untuk memberi justifikasi tindakan dan jalan keluar bagi mereka yang
resah, menyembunyikan kontradiksi, memberi kerangka acuan bagi komunitas
yang loyal, mengatur dan memotivasi suatu tindakan, serta menjadi kriteria dalam
evaluasi kebijakan dan tindakan (Jazuli, 2000: 94). Secara struktural, ideologi
adalah sistem pembenaran atas suatu kepentingan, seperti gagasan dan formula
politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil penguasa. Hal ini berarti
bahwa klaim terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan dapat dicarikan
pembenar atas nama ideologis (Jazuli, 2000: 94).
Atmaja (2010: 133) yang mengacu Sanderson (1993), Geertz (1973, 1999)
dan Spradley (1972) menyatakan apapun bentuk tindakan manusia, termasuk
kegiatan berkesenian tidak terlepas dari superstruktur ideologi yang ada di
baliknya. Superstruktur ideologi merupakan resep atau pola untuk bertindak bagi
seseorang dalam masyarakat. Ideologi seniman merupakan gagasan-gagasan
kreatif yang tersistem, bersifat intelektualistik dan ekspresionistik, berfungsi
sebagai resep atau pola untuk menciptakan karya seni. Dalam seni, ideologi
berfungsi pada level konotasi, makna sekunder, yang ditampilkan oleh teks dan
praktik secara simbolik. Sebuah karya musik dapat dijadikan sarana untuk
memproduksi konotasi dan makna tertentu yang sifatnya sekunder dan hal itu
40
merupakan ideologi. Setiap karya mengandung unsur ideologi tertentu yang
mencerminkan ungkapan pencipta dan budaya jamannya
Dalam penelitian ini teori ideologi digunakan sebagai teori pendukung
untuk mengkaji faktor internal yang memotivasi seniman musik Bali untuk
menciptakan musik Bali garapan baru. Ideologi sebagai faktor pendorong
seseorang untuk bertingkah laku mengalami perubahan dalam ruang, waktu, dan
situasi. Dalam teori motivasi, Abraham Maslow ( dalam Gitosudarmo, 1990: 5152) menyebutkan ada lima urutan atau hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan fisik,
kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan
akan aktualisasi diri. Beranalogi dari hierarki kebutuhan ini, ideologi seniman
musik Bali dalam berkreativitas mengalami tiga fase motivasi secara hierarki,
yaitu fase pengabdian dan prestasi, fase mencari popularitas untuk aktualisasi diri,
dan fase profesi komersial untuk mendapatkan penghargaan finansial.
2.3.3 Teori Etnomusikologi
Istilah etnomusikologi pertama kali dikemukakan oleh ahli musik
berkebangsaan Belanda bernama Jaap Kunst pada tahun 1950. Istilah ini
digunakan sebagai pengganti istilah sebelumnya, yaitu musikologi komparatif
yang memfokuskan kajian-kajian terhadap musik rakyat dari masyarakat nonEropa dan musik yang diwariskan dengan tradisi oral. Tokoh-tokoh sentral
etnomusikologi antara lain Charles Seeger, Alan P. Merriam, Bruno Nettl, Mantle
Hood, Hellen Myers, W. Rhodes, G. List, K.A. Gourlay, K.P. Wachsmann, dan
Mark Slobin (Bandem, 2001:5). Berbagai pandangan dikemukakan oleh tokoh-
41
tokoh ini terkait dengan usaha penyelamatan musik-musik Timur, musik rakyat,
dan musik-musik dalam tradisi lisan, yakni dengan mengedepankan isu-isu
konseptual seperti asal mula musik, perubahan musik, musik sebagai simbol
universal, fungsi dan kegunaan musik dalam masyarakat, perbandingan sistem
musikal, dan dasar-dasar biologis dari musik dan tari.
Pada prinsipnya etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang
mempelajari musik sebagai kultur (music as culture). Merriam (1964:187), yang
menyebutkan, “...etnomusicology involves much more than the structural analysis
of music sound, for music is a human phenomenon produced by people for people
and existing and functioning in a social situation.” (etnomusikologi tidak hanya
meliputi analisis struktural suara musik, musik adalah suatu gejala manusia yang
diciptakan manusia untuk manusia dan mempunyai fungsi dalam situasi sosial).
Dalam hal ini dikatakan bahwa seorang etnomusikolog, selain meneliti aspek
musikal, juga meneliti hal lain seperti budaya material musik, teks nyanyian,
kategori musik, pelatihan dan kehidupan pemusik, guna, dan fungsi musik, serta
musik sebagai aktivitas kreatif. Hasil telaah etnomusikologi menghasilkan
beragam teori yang tidak hanya dapat menerangkan “kekayaan intrinsik” yang
terkandung dalam musik melainkan juga sebagai sumber inspirasi baru bagi dunia
penciptaan musik kreatif.
Dalam pandangan etnomusikologi, sistem suara selalu mempunyai struktur
yang harus dipandang sebagai produk tingkah laku yang menghasilkannya.
Tingkah laku yang dimaksud, termasuk aspek-aspek fisik, sosial, verbal, dan
aspek belajar yang muncul dari konseptualisasi yang mendasarinya. Oleh karena
42
tanpa konsep tentang musik, tingkah laku tidak akan ada, dan tanpa tingkah laku,
suara musik tidak akan bisa dihasilkan (Merriam, 1964:33). Model sederhana ini
mempunyai satu implikasi pokok bahwa tujuan etnomusikologi adalah studi
tentang musik, tidak hanya mempelajari suara musik. Di samping itu,
etnomusikologi bertujuan melihat suara musik sebagai produk manusia dan bukan
sebagai suatu kenyataan terpisah yang hanya mempunyai objektivitas dalam
dirinya sendiri.
Etnomusikologi lahir dari semangat penolakan terhadap rasa superior
kebudayaan bangsa Barat yang merasa memiliki budaya musik lebih tinggi dan
menganggap musik Timur sebagai musik kuna, primitif, dan tidak beradab karena
tidak mempunyai sejarah, struktur, dan konsep, baik musikal maupun sosial
(Santosa, 2009:3). Dalam kaitan ini ada tiga prinsip utama etnomusikologi dalam
memandang seni musik, yaitu relativitas, pluralitas, dan identitas. Prinsip
relativitas menghargai keanekaragaman bentuk, cara kerja seniman, konsepkonsep
musikal,
ataupun
prinsip-prinsip
kebudayaan
setempat
mengembangkan nilai-nilai secara kontekstual. Prinsip pluralitas
yang
yang
menghargai setiap kelompok budaya musik dalam hubungannya dengan
kelompok budaya musik lainnya. Prinsip identitas untuk menunjukkan ciri, gaya
dan kekhasan sebagai pertahanan budaya yang sifatnya dinamis. Dampak nyata
dari pemahaman terhadap ketiga prinsip tersebut di atas adalah tumbuhnya
kreativitas di kalangan seniman etnis untuk mengembangkan khazanah musik
mereka. Seniman-seniman musik etnis merasa memiliki kedudukan sejajar dengan
seniman musik Barat dalam mengembangkan nilai-nilai pada konteks masing-
43
masing. Selain itu, seniman musik etnis mendapat kesempatan yang lebih luas
untuk mengekspresikan ide musikalnya sehingga menyebabkan dunia penciptaan
musik baru tumbuh subur. Musik-musik etnis menjadi lebih hidup dan
berkembang dengan prinsip-prinsip dan konsep yang lebih otonom sehingga
mampu mengantisipasi perubahan zaman. Dengan demikian pada gilirannya hal
ini juga dapat menumbuhkan situasi yang kondusif dalam berdialog antara
komposer, peneliti, dan para penyangga kebudayaan.
Dalam penelitan ini, teori Etnomusikologi dengan tiga prinsip utama, yaitu
relativitas, pluralitas, dan identitas serta musik sebagai aktivitas kreatif digunakan
sebagai teori pendukung untuk mengkaji permasalahan faktor eksternal yang
melatarbelakangi kreativitas musik Bali garapan baru. Kelahiran etnomusikologi
yang dimotivasi oleh penolakan terhadap paham budaya “seni elite” yang superior
dan strukturalis, memiliki pararelitas dengan cara pandang dekonstruksi. Dengan
mencermati faktor eksternal yang memotivasi kreativitas musik Bali garapan baru,
maka dapat ditemukan sebuah konstruksi baru dalam membaca realitas yang
dipresentasikan lewat seni musik.
2.3.4 Teori Estetika Postmodern
Estetika sebagai sebuah teori ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak
hanya menyimak keindahan dalam pengertian konvensional, tetapi juga telah
berkembang ke arah wacana dan fenomena. Estetika dalam karya seni dewasa ini
bukan hanya simbolisasi dan makna, melainkan juga sikap dan daya. Piliang
(mengacu pemikiran Baudrillard) mengemukakan bahwa ada tiga relasi
44
pertandaan dalam wacana seni dari pelbagai zaman, yaitu (1) estetika
klasik/pramodernisme, (2) estetika modernisme, dan (3) estetika postmodernisme
Dalam estetika klasik digunakan prinsip bentuk mengikuti makna (form follows
meaning), artinya upaya praksis dalam berkesenian lebih mengutamakan
penggalian makna ideologis yang telah ada. Estetika modernisme menggunakan
prinsip bentuk mengikuti fungsi (form follows function) sehingga karya seni yang
diciptakan lebih berdasarkan pada fungsi dan penggunaannya dalam masyarakat.
Selanjutnya
estetika
postmodernisme
dengan
prinsip
bentuk
mengikuti
kesenangan (form follows fun), yakni lebih mengedepankan aspek-aspek
”gelitikan” sehingga karya seni yang diciptakan lebih mengutamakan permainanpermainan yang bebas dalam memberikan tanda-tanda estetis (Sachari, 2006:66).
Dalam pandangan estetika klasik Bali, Ida Pedanda Made Sidemen,
seorang Kawi sastra Bali, menekankan bahwa melakukan kesenian adalah
pengabdian, suatu kegiatan kebaktian, dan karya yang dihasilkan adalah
persembahan kepada Tuhan. Hal ini merupakan jalan untuk mencapai suasana
bersatu dengan jiwa universal atau Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan
istilah ”manunggal”. Karya sastra, karya seni, baik yang bentuknya kelihatan
maupun kedengaran (dibaca dan ditembangkan) dipandang sebagai ”wadah” bagi
Dewa Keindahan (Djelantik, 1992:22--23). Dalam proses kerjanya seniman Bali
tradisional menikmati rasa indah yang disebut kelangen. Kuatnya intensitas
kelangen itu bertaraf, kemudian bila mencapai puncak dirasakan sebagai taksu
seperti dikuasai oleh kekuatan yang ajaib yang memberi keberhasilan istimewa.
45
Di samping rasa kelangen, seniman Bali biasanya merasa diri bersatu
(manunggal) dengan objek yang dikerjakan.
Pada zaman modern, ketika semangat kebudayaan semakin rasional
dengan pandangan dunia yang mekanistis, pandangan-pandangan tentang estetika
dalam kesenian bergeser lebih ke arah sekulerisme. Dalam hal ini karya seni tidak
lagi menggambarkan dan menunjukkan dimensi hidup ”yang lain”, tetapi justru
merupakan pendukung wacana mapan. Memang pada saat itu, aktivitas seni
tumbuh lebih bebas dan fleksibel, tetapi berbagai eksperimen tersebut dilakukan
untuk kepentingan pasar sehingga memicu munculnya oposisi-oposisi dalam seni
seperti seni serius-seni pasar, seni elitis-seni rakyat, seni ekpsresif-seni fungsional,
seni tradisional-seni modern (Sachari, 2006:26--30).
Menurut pandangan modernisme, estetika mesti dikaji secara empiris dan
ilmiah berdasarkan pengalaman-pengalaman riil dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan estetika yang dikembangkan pada zaman klasik, yaitu estetika
”dari atas”, estetika modernisme dicermati mulai ”dari bawah” dengan
menggunakan pengamatan secara empiris untuk menemukan kaidah-kaidah
mengapa orang menyukai sesuatu yang indah (tertentu), tetapi kurang menyukai
yang lain (Parmono, 2009: 27--28). Konsep estetika positivistik seperti ini
berimplikasi pada munculnya berbagai standar dan aturan-aturan dalam menilai
karya seni.
Estetika postmodernisme tidak seperti estetika klasik dan modernisme
yang banyak mempersoalkan tentang standar-standar dan oposisi. Bahkan, Piliang
(1998:151) secara ekstrem mengatakan lebih cocok menggunakan istilah
46
”antiestetika” daripada estetika untuk menjelaskan fenomena estetika pada era
postmodern. Hal ini disebabkan karena estetika postmodernisme merupakan
bentuk-bentuk subversif dari kaidah-kaidah baku estetika klasik dan modern.
Beberapa bahasa estetik postmodernisme yang bersifat hipereal dan ironis, seperti
pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizoprenia.
Secara umum, pastiche adalah karya seni yang elemen-elemennya diambil
dari masa lalu sehingga tampak imitatif dan kurang orisinal. Parodi adalah karya
seni yang berisi kritik dan kecaman dengan meniru ungkapan khas gaya tertentu,
dalam hal ini kelucuan yang muncul dari distorsi dan plesetan yang digunakan di
dalamnya. Kitsch adalah karya seni berselera rendah (bad taste), bahkan
merupakan seni palsu (pseudo art) yang sifatnya murahan. Camp adalah model
estetisme dalam keartifisialan dan stilisasi sehingga merupakan karya seni yang
ingin kelihatan berlebihan, spesial, glamor, dan vulgar. Schizoprenia adalah karya
seni dimana rantai pertandaan putus sehingga tidak ada pertautan yang
membentuk ungkapan atau makna dan tidak ditemukan hubungan yang stabil
antara petanda dan penandanya (Piliang, 1998:306--308).
Teori-teori estetika postmodern dipandang mendukung teori Dekonstruksi
Derrida sehingga dapat digunakan untuk mengkaji permasalahan wujud
kreativitas musik Bali garapan baru. Munculnya berbagai tipe perubahan yang
menyertai
kreativitas
musik
Bali
garapan
baru
disebabkan
terjadinya
perkembangan konsep estetika dalam musik Bali, yaitu dari estetika klasik dan
modern ke estetika postmodern. Pada musik tradisional Bali, konsep estetika yang
dijadikan orientasi adalah keindahan yang mampu memberikan rasa nyaman, rasa
47
senang, di samping memberikan makna dan fungsi. Pada musik Bali garapan baru,
ketika perkembangan intelektual mempengaruhi aktivitas seni, konsep estetika
lebih berorientasi pada permainan dengan mendekonstruksi konsep estetika
sebelumnya.
2.3.5 Teori Semiotika
Kata ”semiotika” berasal dari kata semeion yang berarti ’tanda’ sehingga
semiotika berarti ’ilmu tanda’. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan
dengan pengkajian tanda dalam kehidupan manusia. Ilmu ini menjadikan
kebudayaan sebagai objek utama kajiannya. Dua tokoh sentral dalam semiotika
modern adalah Ferdinand de Saussure (1857--1913) dari Swiss dan Charles
Sanders Peirce (1839--1914) dari Amerika (Zoest, 1993:1). Adanya perbedaan
keahlian dari kedua tokoh semiotika ini, yaitu Saussure ahli bahasa, sedangkan
Peirce ahli filsafat yang menyebabkan ada dua definisi tentang semiotika.
Menurut definisi Saussure (dalam Eco, 2009:19), pengertian sebuah tanda sebagai
entitas yang memiliki dua sisi (penanda dan petanda atau wahana tanda dan
makna) telah mengantisipasi dan mengusulkan seluruh definisi korelasi fungsi
tanda. Hubungan antara penanda dan petanda dikukuhkan berdasarkan sistem
aturan-aturan yang tidak lain adalah ”la langue”, maka semiologi Saussurean
adalah semiotika signifikansi. Saussure tidak mendefinisikan petanda sebagai
sesuatu yang bersangkut paut dengan aktivitas mental seseorang yang menerima
penanda sehingga tanda secara eksplisit dipandang sebagai sarana komunikatif di
48
antara dua orang manusia yang bermaksud melakukan komunikasi atau
mengekspresikan sesuatu antara satu dengan yang lainnya.
Menurut Peirce (dalam Eco, 2009:21), tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berfungsi sebagai wakil dari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitas
tertentu. Tanda dapat mewakili sesuatu yang lain bagi seseorang karena hubungan
”perwakilan” ini diperantarai oleh sebuah interpretan. Interpretan merupakan
sebuah tanda yang menerjemahkan tanda yang pertama, kemudian dia pun
dijelaskan oleh tanda yang lain dan begitu seterusnya. Perbedaan definisi ini
dengan pandangan Saussure adalah bahwa Peirce tidak mensyaratkan tanda itu
harus selalu mempunyai maksud (intentional) dan buatan (artificial). Definisi
semiotika yang dikemukakan Pierce sifatnya lebih menyeluruh karena dapat
diterapkan dalam bidang ilmu apa saja. Dalam hal ini tanda digunakan dan
mencakup, baik suatu representasi dan interpretasi, suatu denotatum, maupun
suatu interpretant.
Dalam perkembangan selanjutnya, semiotika pasca-Saussure dan Pierce
dikembangkan oleh beberapa tokoh, salah satu di antaranya adalah Umberto Eco.
Umberto Eco adalah tokoh semiotika mutakhir asal Italia yang menggambarkan
semiotik sebagai kajian dalam dua bidang, yaitu komunikasi (melihat tanda
sebagai alat berkomunikasi) dan signifikasi (yang memfokuskan perhatian pada
produksi dan pemaknaan tandanya sendiri). Menurut Eco (dalam Hoed, 2011:25),
tanda adalah satuan kultural, yaitu bukan hanya sebagai satuan semantis,
melainkan juga sebagai bagian dari ”interconnected cultural units”. Berdasarkan
pandangan ini, Eco mendorong penelitian semiotika dalam berbagai bidang seni,
49
dan salah satunya adalah semiotika musikal. Selanjutnya Eco (2009:13)
menyebutkan bahwa sejak zaman Pythagoras, seluruh ilmu musikal berupaya
mendeskripsikan medan komunikasi musikal sebagai sistem yang terstruktur
secara ketat. Semiotika musikal yang telah dikukuhkan sebagai sebuah disiplin
bertujuan menemukan ”silsilahnya sendiri” dan mengembangkan perspektifperspektif baru.
Menurut Eco (2009:13) pada dasarnya musik mengetengahkan masalah
sistem semiotis tanpa level semantis (atau ranah isi) di satu sisi, tetapi di sisi lain
terdapat pula tanda-tanda musikal atau sintagma yang memiliki nilai denotatif
eksplisit (misalnya, sinyal terompet bagi tentara) dan terdapat pula sintagma atau
keseluruhan teks yang memiliki nilai-nilai konotatif yang belum terbudayakan
(musik ”pastoral” atau musik ”yang menggugah”, dan sebagainya). Dalam kurun
sejarah tertentu, musik dipahami sebagai media yang mampu menyampaikan
makna-makna emosional dan konseptual secara tepat, dalam hal ini makna-makna
tersebut terbentuk oleh kode-kode atau, setidaknya oleh repertoar.
Dalam penelitian ini teori Semiotika digunakan sebagai teori pendukung
(midle-theory) untuk membedah masalah ketiga, yaitu dampak dan makna
kreativitas musik Bali garapan baru. Dalam pandangan semiotik, kreativitas
merupakan fenomena budaya sehingga dapat dianggap sebagai sebuah produksi
tanda. Tanda yang diproduksi dari kreativitas musik Bali garapan baru dapat
diberi makna secara dinamis, progresif, dan transformatif. Hal ini memunculkan
rangkaian interpretasi tanpa akhir dalam sebuah mata rantai karena tanda
mendapatkan tempat hidupnya sehingga makna selalu berada dalam perubahan.
50
2.4. Model Penelitian
Model penelitian adalah sebuah kerangka pikir, suatu abstraksi, atau
rancangan yang disederhanakan dari suatu proses dan sistem kerja. Dalam
penelitian berjudul ”Kreativitas Musik Bali Garapan Baru di Kota Denpasar” ini,
model digambarkan dalam bentuk bagan dengan penjelasan sebagai berikut.
Bagan 2.1.
Model Penelitian
Faktor
Internal
MUSIK BALI
KREATIVITAS
MUSIK BALI
GARAPAN BARU
DI KOTA DENPASAR
Dorongan Ideologi
- pengabdian
- aktualisasi diri
- profesi komersial
Semangat Baru dalam
Memaknai Pelestarian
Musik Tradisi
Apakah yang
melatarbelakangi
kreativitas musik Bali
garapan baru di Kota
Denpasar?
Bagaimanakah wujud
kreativitas musik Bali
garapan baru di Kota
Denpasar?
: Hubungan/yang mempengaruhi
Faktor
Eksternal
Musik Bali dalam
Konstelasi Global
- modernisasi dan
rasionalisasi
- silang budaya
- festival sebagai
ritual baru
Apakah dampak dan
makna kreativitas musik
Bali garapan baru di Kota
Denpasar?
51
Penjelasan Model Penelitian
Musik Bali dapat dilihat dari berbagai bentuk pernyataan musikal seperti
gamelan, tembang dengan berbagai ciri dan kekhasannya. Bentuk-bentuk musik
Bali ini terpelihara sebagai sebuah tradisi dan dianggap sebagai milik bersama
masyarakat. Dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh tahun belakangan ini (1979-2009) musik Bali mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Perkembangan
ini tidak hanya terjadi pada wilayah artistik, tetapi juga sudah sampai pada hal-hal
prinsip, yaitu konsep estetika, baik berupa gagasan maupun isi. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi perkembangan musik Bali, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Pengaruh internal adalah dorongan ideologi yang muncul dari
dalam diri seniman dan semangat baru dalam memaknai konsep pelestarian musik
tradisi. Pengaruh eksternal adalah musik Bali telah masuk dalam konstelasi
global.
Pengaruh internal dan eksternal ini menyebabkan musik Bali garapan baru
tidak memiliki identitas yang bulat dan tunggal. Wujud fisik (instrumentasi),
musikalitas, fungsi dan pendukung musik Bali garapan baru sangat beragam dan
berubah dengan cepat. Konsep-konsep dan ekspresi estetik mengalami dua tipe
perubahan, yaitu perubahan yang masih mempertahankan stabilitas dan perubahan
radikal dengan melakukan pembongkaran yang cukup mendasar terhadap konsep
dan sistem yang ada.
Terjadinya perubahan mendasar dalam musik Bali karena seniman musik
Bali melahirkan musik yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kreativitas, yaitu
membongkar cara pandang dan konsep-konsep musikal yang telah ada, kemudian
52
mengonstruksi kembali secara kreatif. Fenomena ini dapat ditelusuri melalui tiga
rumusan permasalahan, yaitu latar belakang terjadinya kreativitas, wujud
kreativitas, serta berbagai dampak yang ditimbulkan dan makna yang terkandung
di balik terjadinya kreativitas.
Kreativitas tiada henti yang dilakukan seniman musik Bali berimplikasi
pada semarak dan bergairahnya dunia penciptaan, kendatipun banyak di antara
karya-karya yang lahir “tak terpahamkan” karena masyarakat belum siap
mencerna. Terjadinya pergulatan wacana karena adanya dua gagasan tersistem
yang belum saling memahami. Fenomena ini tentu memberikan makna bahwa
pembaharuan yang cenderung dijadikan sifat-sifat positif dan tidak memberi
ruang pada aspek sosio-kultural akan bersifat ekslusif sehingga hanya dipahami
oleh kalangan terbatas. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran baru, baik oleh
seniman, masyarakat, maupun penentu kebijakan agar aktualitas musik Bali dapat
memberi arti pada entitas yang lebih luas.
Download