i KEANEKARAGAMAN DAN PERAN EKOLOGI

advertisement
i
KEANEKARAGAMAN DAN PERAN EKOLOGI SERANGGA
NOKTURNAL PADA KEBUN NILAM (Pogostemon cablin) KECAMATAN
TINONDO KABUPATEN KOLAKA TIMUR SULAWESI TENGGARA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana (S1)
Oleh:
DESSYANI MANTU M.
F1D1 12 021
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
OKTOBER 2016
ii
ii
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Dessyani Mantu M.
Tempat/Tanggal Lahir : Kendari, 30 Desember 1994
Alamat
: Btn Surya Mas, Blok B14
No Telpn/Hp
: 085222259260
Email
: [email protected]
Nama Ayah
: Drs. H. Mantu Mustafa
Nama Ibu
: Hj. Gunartin, S.Sos, M.Si
Alamat
: Btn Surya Mas, Blok B14
Riwayat Pendidikan
:
1. SD Negeri 07 Kendari Barat, masuk tahun 2000 dan
lulus tahun 2006.
2. SMP Negeri 1 Kendari, masuk tahun 2006 dan lulus
tahun 2009.
3. SMA Negeri 1 Unaaha, masuk tahun 2009 dan lulus
tahun 2012.
4. Perguruan Tinggi/Akademi Universitas Halu Oleo,
masuk tahun 2012.
iii
iv
iv
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul “Keanekaragaman Dan Peran Ekologi
Serangga Nocturnal Pada Kebun Nilam Kecamatan Tinondo Kabupaten
Kolaka Timur Sulawesi Tenggara” dalam rangka memenuhi sebagian
persyaratan untuk mencapai derajat Sarjana Stata Satu (S-1) pada Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo.
Berbagai kesulitan dan hambatan dalam penulisan hasil penelitian ini
penulis dapatkan, namun atas rahmat Allah SWT serta dorongan, tekad dan
kemauan yang keras terutama adanya bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
menghaturkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr.
Amirullah, M. Si selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Suriana, M.Si selaku
pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan hasil penelitian ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih serta penghargaan yang tak
terhingga kepada orang tuaku yang tercinta ayahanda Drs. H. Mantu Mustafa
dan ibunda Hj. Gunartin, S.sos, M.Si yang penuh kasih sayang memelihara,
v
vi
menuntun, mendidik, dan membesarkan penulis. Semoga seluruh budi baik dan
jasa mereka diberikan pahala dan keselamatan di akhirat kelak. Ucapan
terimakasih
kepada
saudara-saudaraku
Riskayani
Mantu,
yang
selalu
memberikan masukan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi.
Dalam penyusunan hasil penelitian ini, penulis banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak yang merupakan sumber acuan dalam keberhasilan
penyusunan hasil penelitian ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis sangat
berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan pendapat, saran, serta
solusi penyelesaian penyusunan hasil penelitian, yaitu kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Halu Oleo Kendari
2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu
Oleo Kendari
3. Ketua Jurusan Biologi yang telah mendorong dan memotivasi penulisan selama
ini.
4. Dr. Jamili, M.Si selaku penasehat akademik yang telah memberikan
pengarahan bimbingan dalam memprogramkan mata kuliah.
5. Muhsin, S.Pd, M.Si, Wa Ode Harlis, S.Si, M.Si dan Dr. Hj. Sitti Wirdhana
A, S.Si, M. Si selaku dewan penguji yang telah banyak memberikan ide dan
masukan saran-saran yang membangun.
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Biologi serta segenap Staf Administrasi di
Lingkungan FMIPA UHO.
vi
vii
7. Sahabat seperti keluarga penulis, Retno Wulan Saputri, Irmayanti Arief,
Winda Astuti Febrianti, Siti Surahmi, Eis Nurhilya. Terimah kasih banyak
telah memberikan suport kepada penulis.
8. Sahabat-sahabat penulis : Irzhalina Zhavhira, Maharani, Ananda Dwi
Yuandini, Istghfarani, dan Nur Istiqomah, Ewit Arfina, Julyani Wijaya, Elda
Citra, Ekarisma Faradita, Aulia Sujastia terima kasih atas bantuannya selama
ini.
9. Saudara seperjuangan angkatan 2012, Muh. Zulvichar, Siti Feny Musdalifa,
S.Si, Andi Hildayani, S.Si, Nur Isnaini Ulfa, S.Si, Muh. Gusmiranda,
Febrianto Meyer, Aditya Aminuddin, Desty Triaswati S.Si, Andi Nurhana,
Hironimus Elander, Dafit Pratama S.Si, I Wayan Rustanto, Rosminah, S.Si, Ni
Komang Lilik S,Si, Efis Amalia, Muh. Rajab, Rudy Harto, Bobby, Muh.
Aswarsyah S.Si, Kholifath S.Si, Iman Sulaiman, Emi Nurfiani, Desi
Afdhaliana, Nuraini, Irman S.Si, Andi Nur Hamsy, Rosmaya, Riska,
Sadawati, ,Serta semua angkatan 2012 Jurusan Biologi yang tidak sempat
disebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuannya selama ini baik secara
moril maupun materil.
10. Untuk senior-seniorku, Waode Desi, S.Si, Fitri Andrita S.Si, Istika Novianti
S.Si, Sinta Sawitri S.Si, Hardianti Faisal S.Si, Andi Ilham S.Si, Ranty
Melkaresi S.Si, Irjum Budiatman S,Si, dan yang tidak sempat saya sebutkan
satu persatu. Terima kasih atas arahan dan motivasinya.Adik-adik di jurusan
Biologi mulai dari angkatan 2013 hingga 2016; Clara Cecilia Mekuo, Hestin
vii
viii
Wulandari, Risna, Putra Prabowo, Diaz Eka serta adik-adik yang tidak bisa
saya sebutkan satu persatu terima kasih atas bantuannya.
Akhirnya penulis berharap semoga partisipasi dan bantuan yang telah
diberikan kepada penulis bernilai ibadah serta mendapat imbalan yang setimpal
dari Allah SWT. Walaupun masih banyak kekurangan dalam skripsi ini penulis
berharap ini dapat menjadikan sumber informasi ilmiah bagi peneliti yang relevan
dengan penelitian ini. Amin Yaa Rabbal ‘alamin.
Kendari,
Penulis
viii
Oktober 2016
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
ABSTRAK
ABSTRACT
i
ii
iii
iv
v
ix
xi
xii
xiii
xiv
xv
I.
PENDAHULUAN
1
A.
B.
C.
D.
1
3
3
4
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
5
A. Keanekaragaman
B. Taksonomi dan Deskripsi Serangga
C. Peran Ekologis Serangga Terhadap Lingkungan dan Pertumbuhan
Tanaman
D. Serangga Nocturnal
E. Tanaman Nilam
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman dan
Kemerataan
III. METODE PENELITIAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
5
6
9
12
13
15
18
Waktu dan Tempat
Jenis Penelitian
Alat dan Bahan
Variabel Penelitian
Definisi Operasional
Indikator Penelitian
Prosedur Penelitian
Analisis Data
18
19
19
20
20
22
22
27
ix
x
I. Penyajian Data
28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Faktor Lingkungan
1. Suhu
2. Kelembapan
3. pH
B. Jenis-Jenis Serangga Nocturnal berdasarkan Peran Ekologi
yang ditemukan di Kebun Nilam, Kecamatan Tinondo,
Kabupaten Kolaka Timur.
C. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E)
Jenis Serangga Nocturnal Pada Kebun nilam,
Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur.
D. Deskripsi Jenis Serangga Nocturnal Pada kebun Nilam
Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur,
Sulawesi Tenggara.
37
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
51
52
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
53
58
x
29
29
30
30
31
35
xi
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1.
Alat yang digunakan beserta fungsinya
19
2.
Bahan yang digunakan beserta fungsinya
20
3.
Rata-rata hasil pengukuran parameter lingkungan pada setiap
29
stasiun pada kebun nilam.
4.
Jenis dan Jumlah Individu Serangga Nocturnal berdasarkan
31
peran ekologi di Kebun Nilam, Kecamatan Tinondo,
Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
5.
Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis
Serangga Nocturnal Pada Kebun nilam, Kecamatan Tinondo,
Kabupaten Kolaka Timur.
xi
35
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1. Gambaran Umum Serangga
7
2. Peta Lokasi Penelitian kebun nilam Kecamatan Tinondo
Kabupaten Kolaka Timur Sulawesi Tenggara.
18
3. Perangkap modifikasi Light Trap dan Pitfall Trap
24
4. Skema Transek dengan Kuadrat Sampling
25
5. Histogram Komposisi Serangga Nocturnal Berdasarkan
Peran Ekologi Pada Kebun Tanaman Nilam.
33
6. Genus Phyllophaga
38
7. Genus Helicoverpa
39
8. Genus Phyllopalpus
40
9. Genus Xanthippus
41
10. Genus Schistoscerca
42
11. Genus Gryllus
43
12. Genus Pycnoscelus
44
13. Genus Megacephala
45
14. Genus Eremopedes
46
15. Genus Euborellia
47
16. Genus Aradus
48
17. Genus Agonum
49
18. Genus Panagaesus
50
xii
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Teks
Halaman
1. Dokumentasi Penelitian
58
2. Peta Penelitian
60
xiii
xiv
KEANEKARAGAMAN DAN PERAN EKOLOGI SERANGGA
NOKTURNAL PADA KEBUN NILAM KECAMATAN TINONDO
KABUPATEN KOLAKA TIMUR SULAWESI TENGGARA
Oleh:
Dessyani Mantu M
F1D1 12 021
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan peran
ekologi serangga nokturnal di kebun nilam Kecamatan Tinondo Kabupaten
Kolaka Timur Sulawesi Tenggara. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif
yang dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2016. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan metode transek dengan perangkap modifikasi
light trap dan pitfall trap, identifikasi dilakukan di laboratorium Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo, menggunakan
buku Pengenalan Pelajaran Serangga edisi keenam (Borror et. al, 1992) dan
buku identifikasi Australian Beetles (Lawrence dan Britton, 1994). Data disajikan
dalam bentuk tabel dan diagram serta hasil identifikasi serangga disajikan dalam
bentuk gambar. Keanekaragaman jenis serangga nokturnal dianalisis dengan
menggunakan Indeks Shannon-Wiener dan kemerataan dihitung menurut rumus
Pielou, peran ekologi ditentukan berdasarkan deskripsi tipe mulut serangga. Hasil
penelitian diperoleh 244 individu yang terdiri dari 6 ordo, 10 famili dan 13 genus.
Indeks keanekaragaman (H’) serangga pada kebun nilam (2,43) yang tergolong
dalam kategori sedang. Indeks kemerataan (E’) serangga pada kebun nilam (0,94)
yang tergolong dalam kemerataan yang stabil. Peran ekologi dari serangga pada
kebun nilam diperoleh serangga herbivora sebanyak 5 jenis family, scavenger
sebanyak 3 family, dan predator sebanyak 2 family.
Kata Kunci: Serangga nokturnal, Kebun nilam, Keanekaragaman, Kemerataan,
Peran ekologi.
xiv
xv
DIVERSITY AND THE ROLE OF ECOLOGICAL NOCTURNAL
INSECTS IN PATCHOULI GARDEN OF TINONDO DISTRICT EAST
KOLAKA REGENCY SOUTH EAST SULAWESI
Written by :
Dessyani Mantu M
F1D1 12 021
ABSTRACT
The aims of this research was to know determine the diversity and the ecological
role of nocturnal insects in the farm patchouli at Tinondo District of Eastern
Kolaka of Southeast Sulawesi. This study is an exploratory study, conducted in
May and July 2016. Sampling was done by using transect method with trap light
modification pitfall trap and trap, the identification is done in the laboratory of
Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences haluoleo university, using
the book Introduction to Lesson Insects The sixth edition (Borror et. al, 1992), and
book of identification Australian Beetles (Lawrence and Britton, 1994). Data is
presented in the form of tables and diagrams and the results of the identification of
the insects will be presented in the form of images. Nocturnal insect species
diversity was analyzed using the Shannon-Wiener Index and the evenness is
calculated according to the formula Pielou, ecological role is determined by the
description of the type of insect mouth. The results were obtained 244 individuals
consisting of 6 orders, 10 families and 13 genera. Diversity index (H ') insect in
the garden patchouli (2.43) are classified in the medium category. Evenness index
(E ') insect in the garden patchouli (0.94) belonging to the evenness stable. The
ecological role of insects in the garden herbivorous insects patchouli gained as
much as 5 types of family, as much as 3 family scavenger and predator as much as
2 family.
Keywords: Nocturnal Insects, Patchouli Gardens, Diversity, Evenness, Role
Ecology.
xv
1
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dengan kekayaan yang
menempati urutan ke 2 di dunia setelah Brasil. Sebagian besar keanekaragaman di
Indonesia didominasi oleh serangga jika dibandingkan dengan hewan lainnya
(Arief, 2001). Menurut Bappenas (1993) jumlah serangga di indonesia terdiri dari
250.000 jenis atau sekitar 15% dari jumlah jenis biota. Diantara kelompok
serangga tersebut, kumbang (Coleoptera) merupakan kelompok terbesar karena
menyusun sekitar 40% dari seluruh jenis serangga dan sudah lebih dari 350.000
jenis yang diketahui namanya (Borror dkk., 1989).
Serangga merupakan fauna kosmopolit yang sangat penting dalam berbagai
ekosistem, serangga mendominasi ekosistem darat karena kemampuan adaptasinya
yang tinggi. Keanekaragaman yang tinggi dan kemampuan beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang
murni maupun terapan dengan menggunakan serangga sebagai model/bahan
pengamatan (Tarumingkeng, 2001).
Serangga merupakan kelas penting dalam filum Arthropoda, karena ukuran
badan serangga relatif kecil jika dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya
yang demikian besar menyebabkan serangga menjadi penyambung kebutuhan
dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam
suatu habitat. Menurut Borror (1992) Ukuran tubuh serangga berkisar kira-kira
1
2
0.25 sampai 330 mm dan 0.5 sampai 300 mm dalam bentang sayap. Sebuah fosil
capung mempunyai bentang sayap lebih dari 760 mm.
Serangga mempengaruhi terjadinya keseimbangan dalam ekosistem,
sehingga sering digunakan sebagai bioindikator dalam suatu ekosistem. Hal ini
dipertegas oleh Altieri (1999) yang menyatakan bahwa serangga selain berperan
menjaga keseimbangan ekosistem juga sebagai bioindikator. Selain sebagai
sumber makanan bagi organisme lain, serangga juga sebagai salah satu komponen
keanekaragaman hayati dalam jaring makanan yaitu sebagai herbivor.
Tanaman nilam (Pogostemon cablin) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak atsiri utama di Indonesia dan memiliki nilai ekonomi tinggi.
Indonesia merupakan negara penghasil minyak nilam terbesar di pasaran dunia,
hampir 70% dari total kebutuhan minyak nilam dunia berasal dari Indonesia.
Sedangkan Negara penghasil nilam lainnya adalah dari Cina (Herlina, 2006).
Lebih jauh jenis tanaman nilam varietas Pogostemon cablin, sebenarnya dari
Filipina yang kemuudian berkembang ke Malaysia dan Indonesia (Harahap, 2009).
Nilam (Pogostemon cablin) saat ini banyak dibudidayakan di Sulawesi
Tenggara termasuk di Kabupaten Kolaka. Tanaman ini sangat cocok dan telah
terbukti sebagai penyumbang sumber devisa Negara, dan dapat meningkatkan
kesejahteraan petani nilam. Tanaman ini telah dibudidayakan oleh masyarakat dari
berbagai daerah di Sultra, termasuk di kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka
Timur.
3
Sebagaimana tanaman lain di berbagai jenis perkebunan, pada lahan
tanaman nilam juga terdapat berbagai jenis serangga, yang keberadaannya terbukti
membantu berbagai proses di perkebunan diantaranya penyerbukkan. Ilham (2015)
menemukan serangga nokturnal pada lahan kelapa sawit di Kecamatan Besulutu
Kabupaten Konawe sebanyak dalam 14 genus, 12 Famili dan 3 Ordo. Sejauh ini
belum pernah dilakukan penelitian tentang keanekaragaman serangga nocturnal di
kebun nilam di Tinondo, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang
keanekaragaman dan peran ekologi serangga nocturnal pada kebun Nilam
Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dikaji pada penelitian ini adalah :
1. Genus Serangga nokturnal apakah yang ditemukan pada kebun nilam
Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara ?
2. Bagaimana Keanekaragaman serangga nokturnal yang ditemukan pada kebun
nilam Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara ?
3. Bagaimana peran ekologi jenis serangga nokturnal yang ditemukan pada kebun
nilam Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui serangga nokturnal yang ditemukan pada kebun nilam,
Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
4
2. Untuk mengetahui Keanekaragaman serangga nokturnal yang ditemukan pada
kebun nilam Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi
Tenggara.
3. Untuk mengetahui peran ekologi serangga nokturnal yang ditemukan pada
perkebunan kebun nilam, Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur,
Sulawesi Tenggara.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui serangga nokturnal yang ditemukan pada kebun nilam
Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
2. Dapat mengetahui Keanekaragaman serangga nokturnal apa saja yang
ditemukan pada kebun nilam Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur,
Sulawesi Tenggara.
3. Dapat mengetahui peran ekologi serangga nokturnal apa saja yang ditemukan
pada kebun nilam Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi
Tenggara.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A . Keanekaragaman
Keanekaragaman hayati Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Hal
ini disebabkan Indonesia terletak di kawasan tropik yang mempunyai iklim yang
stabil sehingga memungkinkan terbentuknya komunitas-komunitas mahluk hidup
yang beragam. Menurut Arief (2001) sepuluh persen dari ekosistem alam berupa
suaka alam, suaka margasatwa, taman nasional, hutan lindung, dan sebagian lagi
kepentingan pembudidayaan plasma nutfah, dialokasikan sebagai kawasan yang
dapat memberi perlindungan bagi keanekaragaman hayati. Jenis – jenis fauna
yang ada di Indonesia diperkirakan berjumlah sekitar 220.000 jenis, yang terdiri
atas ± 200.000 jenis serangga (kurang dari 17% fauna serangga di dunia), 4000
jenis ikan, 2000 jenis burung, dan 1000 jenis reptil dan amphibi (Resosoedarmo,
et al., 1985).
Keanekaragaman menurut Pielou (1975) adalah jumlah spesies yang ada
pada suatu waktu dalam komunitas tertentu, sedangkan Southwood (1978)
membagi keanekaragaman menjadi keanekaragaman α, keanekaragaman β dan
keanekaragaman γ. Keanekaragaman α adalah keanekaragaman spesies dalam
suatu komunitas atau habitat, keanekaragaman β adalah suatu ukuran kecepatan
perubahan spesies dari satu habitat ke habitat lainnya dan keanekaragaman γ
adalah kekayaan spesies pada suatu habitat dalam satu wilayah geografi (contoh:
pulau).
Smith
(1992)
menambahkan
5
bahwa
keanekaragaman
β
atau
6
keanekaragaman antar komunitas dapat dihitung dengan menggunakan beberapa
teknik, yaitu kesamaan komunitas dan indeks keanekaragaman.
Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan
kelimpahan spesies dalam komunitas. Keanekaragaman spesies terdiri dari 2
komponen yaitu jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan
spesies dan kesamaan spesies. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan
spesies itu yaitu jumlah individu, biomass, penutup tanah, dsb tersebar antara
banyak spesies itu (Abadi, 2009).
Keragaman jenis merupakan sifat suatu komunitas yang memperlihatkan
tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya (Krebs, 1978).
Untuk memperoleh keragaman jenis diperlukan kemampuan mengenal dan
membedakan jenis serta dapat mengidentifikasi jenis serangga. Untuk mengetahui
keanekaragaman
serangga
dalam
satu
kawasan
digunakan
indeks
keanekaragaman jenis serangga dihitung menurut rumus Shannon–Wiener
(Agusrinal, 2011)
Indeks kemerataan menggambarkan perataan penyebaran individu dari
spesies organisme yang menyusun komunitas. Rumus dari indeks kemerataan
Evennens (E) menurut Pielou (1966), (Agusrinal, 2011)
B. Taksonomi dan Morfologi Serangga
Serangga atau insekta termasuk dalam phylum Arthropoda, dan dibedakan
menjadi 3 subphylum, yaitu Trilobita, Mandibulata dan Chelicerata. Sub phylum
Trilobita telah punah dan tinggal sisa-sisanya (fossil). Sub phylum Mandibulata
7
terdiri atas beberapa kelas, dan salah satu di antaranya adalah kelas lnsecta
(Hexapoda). Sub phylum Chelicerata terdiri atas beberapa kelas, termasuk
Arachnida di dalamnya (Hadi, 2009).
Secara morfologi, tubuh serangga dewasa dapat dibedakan menjadi tiga
bagian utama, sementara bentuk pradewasa biasanya menyerupai moyangnya,
hewan lunak beruas mirip cacing. Ketiga bagian tubuh serangga dewasa
adalah kepala (caput), dada (thorax), dan perut (abdomen). Caput merupakan
sebuah konstruksi yang padat dan keras dan terdapat beberapa suture yang
menurut teori evolusi caput tersebut terdiri dari empat ruas yang mengalami
penyatuan. Thorax terdiri dari tiga ruas yang jelas terlihat, sedangkan abdomen
terdiri dari + 9 ruas (Pelawi, 2009). Gambar 1 menunjukan morfologi secara
umum.
Gambar 1. Morfologi Serangga
(https://www.google.com/search?q=serangga&source=lnms&tbm= 24 juli).
8
Menurut Meyer (2003), Subphylum trilobita merupakan arthropoda yang
hidup di laut, yang ada sekitar 245 juta tahun yang lalu. Anggota subphylum
trilobita sangat sedikit yang diketahui, karena pada umumnya ditentukan dalam
bentuk fosil. Kelompok subphylim chelicerata merupakan hewan predator yang
mempunyai selicerae dengan kelenjar racun, laba-laba, tungau, kalajengking, dan
kepiting merupakan hewan yang termasuk dalam kelompok ini. Subphylum
mandibulata mempunyai mandible dan maksila dibagian mulutnya, yang
termasuk kelompok mandibulata yaitu Crustacea, Myriapoda, dan Insecta
(Serangga).
Kelas penting dalam phylum Arthropoda terbagi atas 2 kelas yaitu kelas
Arachnida (laba-laba) dan kelas Insecta (Hexapoda). Ciri-ciri kelas Arachnida
yaitu tubuh terdiri atas dua bagian antara lain prosoma (cephalothorax) dan
abdomen, tidak mempunyai antenna, dewasa umumnya mempunyai 4 pasang
kaki. Sedangkan kelas Insecta (Hexapoda) memiliki ciri-ciri yaitu, tubuh terbagi
menjadi 3 bagian yaitu kepala, dada, abdomen. Selain itu, Mempunyai sepasang
antenna,memiliki Kaki 3 pasang, Sayap 1-2 pasang atau tanpa sayap, alat mulut
terdiri atas: I pasang mandibula (rahang), 1 pasang maxilla (letak di belakang
rahang), labium (bibir), hypopharinx (lidah) (Suheriyanto, 2005).
Kelas insecta terbagi atas 2 subklas yaitu Apterygota dan Pterygota
Subkelas Apterygota terbagi menjadi 4 ordo dan subkelas Pterygota masih terbagi
menjadi
2
golongan
yaitu
Exopterygota
(golongan
Pterygota
dengan
Metamorfosis sederhana) yang terdiri dari 15 ordo, dan golongan Endopterygota
9
(golongan Pterygota dengan Metamorfosis sempurna) terdiri dari 3 ordo (Siwi,
2006).
B. Peran Ekologis Serangga Terhadap Lingkungan dan Pertumbuhan
Tanaman
Serangga sangat berperan penting terhadap lingkungan maupun ekosistem.
Serangga dapat berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu
ekosistem baik sebagai bioindikotor, predator, polinatoer, detritivor dan
dekomposer. Serangga merupakan faktor biotis dalam ekosistem, karena serangga
berfungsi sebagai bioindikator pada suatu ekosistem ataupun
lingkungan,
misalnya pada lingkungan akuatik. Menurut Samways (1994) ketidakhadiran
jenis serangga Ephemeropthera bisa mengindikasi bahwa suatu lingkungan
mengalami pencemaran kerena serangga tersebut tidak dapat hidup pada
lingkungan tercemar, sedangkan serangga Lepidoptera sebagai bioindikotor
adanya perubahan habitat (Holloway & Strok 1991). Serangga Carabidae sebagai
bioindikator manajemen lahan pertanian (Kromp 1990). Pengunaan serangga
bioindikator dapat menggambarkan adanya keterkaitan dengan kondisi faktor
abiotik dan biotik.
Pada Ekosistem perkebunan banyak dijumpai komunitas serangga.
Menurut Untung (1996) tidak semua jenis serangga agroekosistem merupakan
serangga hama, tetapi dapat berperan sebagai musuh alami hama atau predator.
Serangga juga berperan dalam mengendalikan gulma yang merugikan serta
10
bermanfaat dalam pengendalian hama tanaman.
Serangga dapat membantu
proses pertumbuhan tanaman melalui proses penyerbukan. Proses reproduksi
sexsual tanaman yaitu proses pemindahan polen dari anther ke stigma yang
dilakukan oleh serangga.
Menurut Klein, et al., (2007) 65% spesies tanaman memerlukan
penyerbukan yang dilakukan oleh serangga. Peran serangga sebagai polinator
dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas pada tanaman. Menurut Rusfidar
(2005) tingkat polinasi dapat mempengaruhi hasil produksi tanaman secara
kualitas dan kuantitas, sedangkan Schoonhoven dan Van Loon (2006)
mengemukakan bahwa adanya koloni serangga dapat meningkatkan hasil
produksi tanaman.
Selain sebagai polinator, serangga juga berperan sebagai detritivor dan
dekomposer. Peran serangga sebagai detritivor sangat penting karena dapat
membantu proses pembentukan rantai makanan dalam suatu ekosistem (Strong, et
al., 1984), sedangkan peran serangga sebagai dekomposer membantu proses
penguraian atau pelapukan serasah yang digunakan sebagai sumber nutrisi bagi
tumbuhan. Penguraian akan menjadi lebih sempurna apabila hasil ekskresi fauna
ini dihancurkan serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu
merubah zat-zat yang membusuk menjadi sumber nutrisi (Rahmawaty, 2000).
Serangga juga berperan sebagai organisme perombak (decomposer) yang
mendegradasi kayu tumbang, ranting, daun, hewan mati dan sisa kotoran hewan.
Jenis-jenis seperti rayap, semut, kumbang, kecoa hutan dan lalat akan merombak
11
bahan organik menjadi bahan anorganik yang berfungsi untuk regenerasi dan
penyubur tanaman. Serangga juga berperan sebagai pengendali fitofagus
(serangga hama bagi tanaman), sehingga tercipta keseimbangan alam yang
permanen di dalam ekosistem hutan. Jika proses dalam rantai makanan itu terjaga
maka dinamika ekosistem hutan pun akan stabil (Tarumingkeng, 2001).
Menurut Schowalter (2000) menyatakan banyak serangga makan pada
tumbuhan, dan sebagian di antara mereka ditasbihkan manusia menjadi serangga
yang merugikan. Banyak jenis larva kupu-kupu dan ngengat menjadi hama
penting bagi tanaman, misalnya Plutella xylostella yang menjadi hama tanaman
kubis-kubisan, belalang Locusta migratoria adalah pemangsa rakus hamper segala
jenis tumbuhan yang mereka temui. Secara alamiah, serangga herbivora berperan
sebagai pengontrol kemelimpahan tumbuhan. Serangga herbivora dimanfaatkan
untuk mengendalikan pertumbuhan tumbuhan gulma. Lalat gali Procecidochares
connexa musalnya, digunakan untuk mengendalikan gulma siam (Hamid, 2012).
Serangga predator merupakan musuh alami yang terdiri dari pemangsa
atau predator, parasitoid dan pathogen. Predator berguna karena memakan hama
tanaman. Aktifitas serangga pemangsa hama tanaman yang disebut musuh-musuh
alami (predator dan parasitor), secara tidak langsung ikut membantu manusia
khususnya petani dalam menekan perkembangan hama tanaman. Contoh dari
serangga predator adalah kumbang ladybird, lalat perompak , dan larva syriphidae
(Adisubroto, 1990).
12
Penggolongan serangga berdasarkan aktivitasnya yaitu serangga diurnal,
nocturnal masing masing mempunyai peranan ekologis. Serangga diurnal seperti
lebah dan kupu–kupu membantu proses pertumbuhan buah melalui penyerbukan.
Serangga tanah seperti rayap dan semut berperan sebagai perombak bahan
organik kemudian dilepaskan kembali dalam bentuk bahan organik, sedangkan
serangga nocturnal dapat berperan sebagai predator. Rahayu, dkk (2006)
menemukan bahwa serangga nocturnal yang ditangkap pada malam hari sebagai
predator
yaitu
Hymenoptera
(Eulophidae,
Bombidae, dan
Formicidae),
Coloeptera (Staphylinidae), Araneidae, dan Tetrestichus xylebororum, sedangkan
Agung, dkk (2014) menemukan serangga nocturnal berperan sebagai predator
pada perkebunan kopi yaitu Deraeocoris flavilinea dengan nilai 35,78%. Hal ini
menunjukkan bahwa serangga nocturnal dapat dimanfaatkan sebagai musuh alami
dengan kerjanya sebagai Predator, parasitoid serta menularkan patogen sehingga
menghasilkan keseimbangan Ekosistem.
C. Serangga nocturnal
Hewan yang aktif di malam hari disebut nocturnal. Serangga nocturnal
merupakan golongan hewan yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk
beraktivitas pada malam hari. Serangga beraktivitas pada malam hari untuk
mencari makan sekaligus merupakan mekanisme yang membantu dalam
mempertahankan diri terhadap lingkungan yang bersuhu rendah. Serangga malam
ini juga biasanya tertarik pada cahaya lampu. Serangga dapat melihat panjang
13
gelombang cahaya dari 300-400 nm (mendekati ultraviolet) sampai 600-650 nm
(orange). Diduga bahwa serangga tertarik pada ultraviolet karena cahaya itu
merupakan cahaya yang diabsorbsi oleh alam terutama oleh daun (Borror, 1996).
Menurut Aditama (2013) banyak organisme dengan adaptasi maju untuk
berkembang biak di malam hari seperti katak dan tumbuhan. Biasanya, tanaman
menyimpan energi melalui fotosintesis pada siang hari tetapi mekar pada malam
hari, untuk menarik serangga. Kunang-kunang adalah nama umum untuk
serangga yang bercahaya dan termasuk ke dalam famili Lampyridae, aktif pada
malam hari (Nocturnal). Kunang-kunang juga dikenal dengan firefly, lightning
bugs, glowworms. Kunang-kunang memiliki organ dan sel khusus (Photocytes)
yang mampu menghasilkan cahaya, terdapat pada segmen 2 pertama atau kedua
terakhir dari abdomen. Larva dan telur juga dilaporkan menghasilkan cahaya
(Resty, 2007).
D. Tanaman Nilam
Tanaman nilam adalah tanaman yang memiliki akar serabut yang wangi,
memiliki daun halus beludru, dan agak membulat lonjong seperti jantung serta
berwarna pucat. Bagian bawah daun dan ranting berbulu halus, berbatang kayu
dengan diameter 10-20 mm membentuk segi empat, serta sebagian besar daun
yang melekat pada ranting hampir selalu berpasangan satu sama lain. Jumlah
cabang yang banyak dan bertingkat mengelilingi batang antara 3-5 cabang per
tingkat. Tanaman nilam merupakan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi. Hasil
14
yang diharapkan pada tanaman ini berupa daun dengan kandungan kadar minyak
nilam yang tinggi (Rahman 2004).
Tanaman ini telah banyak dibudidayakan di Indonesia dengan areal
pengembangan tersebar di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan
Bengkulu (Mulyodihardjo 1990), sedangkan menurut (Herry et al.,1998) Produksi
tanaman nilam di daerah Sumatera Utara, Aceh dan Sumatera Barat, sebagian
besar petani membudidayakan tanaman ini dengan sistem budidaya berpindah.
Pertumbuhan tanaman nilam akan berlangsung baik jika didukung oleh kondisi
tanah yang subur, gembur dan kaya akan bahan organik. Kapasitas tukar kation
dan mampu menahan air (Tasma dan Wahid, 1988).
Klasifikasi tanaman nilam menurut Nuryani, dkk, (2004).
Kindom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Lamiales
Famili
: Labiateae
Genus
: Pongostemon
Spesies
: Pongostemon cablin Benth
a. Morfologi Tanaman Nilam (Pogostemon cablin)
Ciri-ciri tanaman nilam yaitu berakar serabut, berbatang lunak dan
berbuku - buku, batangnya menggembung dan berair, warna batangnya hijau
15
kecokelatan. Daun nilam merupakan daun tunggal yang berbentuk bulat telur atau
lonjong, melebar ke tengah, meruncing ke ujung dan tepinya bergerigi. Tulang
daunnya bercabang-cabang ke segala penjuru. Bila daun nilam diremas-remas
akan berbau harum. Daun nilam merupakan bagian dari tanaman nilam yang
berharga. Tanaman nilam tidak selalu berbunga, tergantung pada jenisnnya.
Nilam yang berbunga, berwarna putih dan tersusun di tangkai. Jenis nilam yang
berbunga ini menjadi indikator bahwa nilam tersebut tidak layak dikembangkan,
karena kadar minyaknya rendah dan komposisi minyaknya juga jelek (Firmanto,
2009).
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keanekaragman dan Kemerataan
Menurut Jumar (2000) secara garis besar ada tiga faktor yang
mempengaruhi kehidupan serangga yaitu, faktor fisik, faktor makanan, dan faktor
hayati, ketiga faktor ini bekerja dan bertindak bersama-sama dalam mempengaruhi
kehidupan serangga. Faktor-faktor tersebut setiap waktu dapat berubah-ubah baik
secara mendadak ataupun perlahan-lahan, perubahan sering kali menghambat
populasi serangga.
Populasi setiap organisme pada ekosistem tidak pernah sama dari waktu ke
waktu lainnya, tetapi berfluktuasi. Demikian pula ekosistem yang terbentuk dari
populasi serta lingkungan fisiknya senantiasa berubah dan bertumbuh sepanjang
waktu. Menurut Krebs (1978), ada enam faktor yang saling berkaitan menentukan
derajat fluktuasi keragaman jenis, yaitu :
16
1. Waktu
Keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang
sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organism daripada komunitas
muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam ekologi lebih pendek
atau hanya sampai puluhan generasi.
2. Heterogenitas Ruang
Semakin heterogen suatu lingkungan fisik, maka semakin kompleks
komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebut dan semakin tinggi keragaman
jenisnya.
3. Kompetisi
Apabila sejumlah organism menggunakan sumber yang sama yang
ketersediaanya kurang atau walaupun ketersediaanya cukup, namun persaingan
tetap terjadi juga bila organism-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut,
yang satu menyerang yang lainnya atau sebaliknya.
4. Pemangsaan
Dalam mempertahankan komunitas populasi dari jenis bersaing yang
berbeda dibawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar kemungkinan
hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman, apabila intensitas dari
pemangsaan selalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis.
5. Kestabilan Iklim
17
Makin stabil keadaan suhu, kelembapan, salinitas, pH dalam suatu
lingkungan, maka semakin banyak jenis dalam lingkungan tersebut. Lingkungan
yang stabil lebih memungkinkan keberlangsungan evolusi.
6. Produktivitas
Dalam skala ini dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang
tinggi. Dalam keadaan ekosistem yang stabil, populasi suatu jenis organisme selalu
dalam keadaan keseimbangan dengan populasi organisme lainnya dalam
komunitasnya. Keseimbangan ini terjadi karena adanya mekanisme pengendalian
yang bekerja secara umpan balik negative yang berjalan pada tingkat antar spesies
(persaingan dan predasi) dan tingkat inter spesies (persaingan dan teritorial)
(Untung, 1996).
18
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2016. Pengambilan
sampel dilakukan di Kebun Nilam, Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka
Timur, Sulawesi Tenggara (Gambar 2). Selanjutnya sampel tersebut dianalisis di
Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Halu Oleo Kendari.
Gambar 2. Lokasi Penelitian Desa Ambapa Kecamatan Tinondo Kabupaten Kolaka
Timur. (Sumber: Peta Administrasi Kab. Kolaka Timur)
18
19
B. Jenis Penelitian
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
eksploratif
untuk
melihat
keanekaragaman dan peran ekologi serangga nokturnal yang ditemukan pada
Kebun Nilam.
C. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Alat yang digunakan beserta fungsinya
No
1
Alat
2
1.
GPS
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Termometer
Higrometer
Soil tester
Kamera
Alat tulis
Roll meter
Senter
Mangkuk Plastik
Botol Serangga
11.
Mikroskop
12.
Loupe
13.
14.
15.
Spoit
Pinset
Plastik Ciplok
16.
Amplop
17.
18.
Pipet tetes
Kertas kuning
Fungsi
3
Untuk menentukan titik koordinat lokasi
pengambilan sampel
Untuk mengukur suhu udara
Untuk mengukur kelembaban udara
Untuk mengukur pH tanah
Dokumentasi
Mencatat sampel-sampel yang di dapat
Untuk mengukur luas stasiun
Untuk memancing kedatangan serangga
Sebagai wadah untuk menjebak serangga
Untuk tempat menyimpan serangga agar
tetap utuh
Untuk
pengamatan
serangga
di
laboratorium
Untuk
pengamatan
serangga
di
laboratorium
Alat suntik
Untuk menjepit serangga
Untuk menyimpan sampel yang di
dapatkan
Untuk menyimpan sampel yang tidak biasa
basah
Untuk memipet larutan
Sebagai umpan daya tarik seramgga
20
2. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Bahan yang digunakan beserta fungsinya
No
Bahan
1.
Alkohol 70 %
2.
Buku Identifikasi pelajaran
pengenalan Serangga (Borror
at al., 1976)
Buku identifikasi Australian
Beetles (Lawrence dan Britton,
1994)
3.
Fungsi
Untuk mengawetkan sampel
serangga.
Untuk
mengidentifikasi
sampel
serangga
yang
ditemukan.
Untuk
mengidentifikasi
sampel
serangga
yang
ditemukan.
D. Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini adalah keanekaragaman dan kemerataan jenis
serangga Nokturnal Kebun Nilam Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur,
Sulawesi Tenggara.
E. Definisi Operasional
Untuk
menghindari
adanya
kekeliruan
maka
dijelaskan
definisi
operasional seperti berikut:
1. Serangga merupakan kelompok utama dari hewan beruas yang berkaki enam.
Tubuh serangga terbagi atas 3 ruas utama tubuh (caput, toraks, dan abdomen).
Morfologi Serangga pada bagian kepala, terdapat mulut,
antena, mata
majemuk (faset) dan mata tunggal (ocelli). Pada bagian torak, ditemukan
21
tungkai 3 pasang dan spirakel. Sedangkan di bagian abdomen dapat dilihat
membran timpanum, spirakel, dan alat kelamin (Suin, 1997).
2. Serangga nokturnal merupakan golongan hewan yang aktivitasnya dilakukan
pada malam hari dan biasanya tertarik pada cahaya lampu (Borror, 1996)
3. Keanekaragaman serangga yang ada pada perkebunan Nilam adalah jenis
serangga yang ditemukan pada perkebunan Nilam dan dihitung dengan rumus
indeks Shannon dan Wiener yaitu H' =
– Σ pi ln pi dimana H´ = Indeks
keanekaragaman, Pi = Jumlah jenis (ni/N), ni = Jumlah individu jenis ke-I,
N = Jumlah total individu seluruh jenis.
4. Kemerataan serangga yang ada pada perkebunan Nilam adalah jenis serangga
yang ditemukan pada perkebunan Nilam dan dihitung dengan rumus indeks
Evennens (E) yaitu
E =
𝐻′
𝐻 π‘šπ‘Žπ‘₯′
=
𝐻′
𝐿𝑛 (𝑆)
dimana E = Indeks Kemerataan
(Eveness), H' = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener, S = Jumlah genus
5. Peran ekologi serangga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Serangga
berperan sebagai pemakan tumbuhan, sebagai parasitoid (hidup secara parasit
pada serangga lain), sebagai predator (pemangsa), sebagai pemakan bangkai,
sebagai penyerbuk (misalnya tawon dan lebah), dan sebagai penular (vektor)
bibit penyakit tertentu yang diamati melalui deskripsi morfologi.
22
F. Indikator Penelitian
Indikator yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jumlah jenis
serangga dan peran ekologi yang terdapat pada kebun Nilam Kecamatan Tinondo
Kabupaten Kolaka Timur Sulawesi Tenggara.
G. Prosedur Kerja
1. Penentuan Lokasi Pengamatan
Untuk memudahkan peneliti dalam menetapkan tempat dari lokasi
pengamatan, maka penentuan lokasi penelitian didasarkan pada berbagai
pertimbangan seperti waktu, jarak dan biaya serta perijinan. Pertimbangan
utama adalah keberlanjutan/kontinuitas budidaya nilam yang dilakukan pada
lokasi yang dituju. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kebun Nilam di Desa
Ambapa, Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara
warga seluas kurang lebih 2 Ha. Kebun ini telah dibudidayakan secara
berkelanjutan mulai dari tahun 2014. Berdasarkan hal tersebut pada lokasi
penelitian dibuat transek sepanjang 80 m pada transek tersebut dipasang 5 plot
dengan 5 perangkap di setiap plot.
2. Pengukuran Faktor Lingkungan
Pengambilan data faktor lingkungan dilakukan pada tiap pengamatan.
Data yang diambil meliputi suhu udara, pH tanah dan Kelembaban udara.
23
a. Suhu
Suhu udara diukur pada tempat pemasangan perangkap dengan
menggunakan Thermometer yang berketelitian 1oC. Pengukuran suhu udara
dilakukan dengan menggantungkan thermometer selama ± 5 menit
kemudian dibaca skalanya.
b. Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran derajat keasaman (pH) di tempat pemasangan perangkap
dilakukan
dengan
menggunakan
Soil
tester
yaitu
dengan
cara
menancapkan alat tersebut di permukaan tanah selama ± 5 menit
kemudian dibaca skalanya.
c. Kelembaban
Pengukuran kelembaban di tempat pemasangan perangkap dilakukan
dengan menggunakan Higrometer yaitu dengan cara memencet tombol
restar kemudian membiarkan selama ± 5 menit dan membaca skalanya.
3. Pengambilan sampel
Pengambilan sampel serangga dilakukan dengan mengambil sampel
serangga pada daerah kebun nilam. Penangkapan serangga dilakukan dengan
menggunaan metode perangkap yaitu sebagai berikut :
a. Serangga malam hari (Nokurnal)
Untuk penangkapan serangga yang aktif pada malam
hari
dilakukan dengan metode, modifikasi antara Light trap dan Pitfall trap.
24
Perangkap ini digunakan untuk menangkap serangga yang ada pada
permukaan tanah dan yang respon terhadap cahaya pada malam hari
(nocturnal). Perangkap ini menggunakan lampu sebagai sumber cahaya.
Lampu diletakkan dengan cara digantung diatas baskom yang rata
dengan permukaan tanah yang telah berisi larutan (Gambar 3).
Pemasangan perangkap dilakukan pada pukul 18.00 atau menjelang
magrib dan pengambilannya dilakukan saat fajar/pagi hari pada pukul
07.00.
Gambar 3. Perangkap modifikasi Light trap dan Pitfall trap
(Sumber ilham, 2015).
25
Skema penempatan plot sampling pada setiap kuadran sepanjang kebun
nilam disajikan pada Gambar 4.
5
5
15 m
5
1
2
15 m
80 m
5
5
15 m
3
4
5
15 m
5
5
(a)
(b)
Gambar 4. a. Skema Transek dengan Kuadrat Sampling
b. Skema Kuadran dan Penempatan Plot
26
Berdasarkan Gambar 4 lokasi pemasangan perangkap dilakukan pada
kebun nilam, ditempatkan 5 perangkap (Gambar 4).
4. Indentifikasi Sampel
Identifikasi sampel didasarkan atas ciri morfologi yang meliputi:
a.
Tubuh
Ukuran tubuh (panjang), bersayap/tidak, warna dominan, dan jumlah
serangga yang ditemukan.
b.
Kepala
Bentuk kepala, bentuk antena, tipe mulut, jumlah ruas kepala, dan warna.
c.
Dada
Bentuk sayap, jumlah ruas dada, dan warna.
d.
Perut
Jumlah ruas perut, dan warna.
Serangga yang terdapat di lapangan kemudian dikelompokkan sesuai
dengan lokasi pengambilan sampel dan diawetkan dengan alkohol 70%,
selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dideterminasi dan diidentifikasi
dengan memerhatikan bentuk luar (morfologi). Determinasi dilakukan dengan
menggunakan mikroskop dan bantuan loupe. Identifikasi dilakukan dengan
menggunakan buku Pengenalan Pelajaran Serangga edisi keenam (Borror et.
al, 1992 Buku identifikasi Australian Beetles (Lawrence dan Britton, 1994).
27
H. Analisis Data
Data dari jenis-jenis serangga yang telah diperoleh, kemudian dianalisis
secara kualitatif dan deskriptif serta ditampilkan dalam bentuk grafik, tabel dan
foto. Sedangkan data dari jumlah jenis-jenis serangga yang diperoleh, kemudian
dianalisis berdasarkan parameter keanekaragaman Indeks Shannon-Wiener
(1994), dalam Rahim (2011) dengan rumus :
H’ = ο€­
i ο€½0
οƒ₯ ( Pi) Ln
(Pi)
dimana :
i ο€½1
H´ = Indeks keanekaragaman
Pi = Jumlah jenis (ni/N)
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu seluruh jenis
Kriteria penilaian berdasarkan keanekaragaman jenis :
H´ ≤ 1,
: keanekaragaman rendah
1 < H´ ≤ 3, : keanekaragaman sedang
H´ > 3,
: Keanekaragaman tinggi
Indeks kemerataan dihitung menurut rumus Pielou (1966). Indeks ini
menggambarkan perataan penyebaran individu dari spesies organisme yang
menyusun komunitas.
Ket :
H'
E =
ln S
E = Indeks Kemerataan (Eveness)
H' = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah genus
28
Kriteria penilaian berdasarkan keanekaragaman jenis :
E' < 0,50
: Komunitas berada pada kondisi tertekan
0,50 < E' ≤ 0,75
: Komunitas berada dalam kondisi labil
0,75 < E' ≤ 1,00
: Komunitas berada dalam kondisi yang stabil
I. Penyajian Data
Data disajikan dalam bentuk table dan diagram dan deskripsi disajikan
dalam bentuk gambar (dilampirkan) beserta peran ekologinya.
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Faktor Lingkungan
Hasil pengukuran faktor lingkungan di kebun nilam pada lokasi penelitian
dapat dilihat pada Tabel 3 .
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di Kebun Nilam Kec. Tinondo,
Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
No
Waktu
1.
Malam
Suhu Udara
(°C)
24
Parameter
Kelembaban
Udara (‰)
76%
pH
6,1
Berdasarkan hasil pengukuran faktor-faktor lingkungan pada Tabel 3
diketahui bahwa pada suhu udara, kelembaban dan pH.
1. Suhu
Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan
serangga, baik terhadap perkembangan maupun aktivitasnya. Serangga
memiliki kisaran suhu tertentu dimana ia dapat hidup. Pada suhu tertentu,
aktivitas hidup serangga tinggi (sangat aktif), sedangkan pada suhu yang lain
aktivitas serangga rendah (kurang aktif).
Umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 15 °C, suhu
optimum 25 °C dan suhu maksimum 45 °C (Jumar, 2000).
Rata-rata
pengukuran suhu di lokasi pengamatan pada setiap waktu pengamatan suhu
udara, yaitu pada saat malam hari berkisar 240C. Suhu ini masih berada dalam
kisaran suhu untuk serangga berkembang dengan baik.
29
30
2. Kelembaban
Kelembaban udara bisa mempengaruhi aktifitas serangga. Nainggolan
(2001) menjelaskan bahwa kelembaban udara berperan sangat besar terhadap
kadar air tubuh serangga, dan siklus hidup serangga sehingga mengatur aktivitas
organisme dan penyebaran serangga. Umumnya semakin tinggi tempat maka
kelembaban udara semakin rendah untuk daerah tropis.
Rata-rata pengukuran kelembaban udara pada pada perkebunan nilam,
berkisar 70% - 80%. Ukuran kelembaban masih dalam ukuran normal yaitu
berkisar 50% - 90% yang masih dapat ditolerir oleh serangga untuk hidup dan
berkembang biak pada tempat tersebut.
3. pH
Keberadaan serangga juga dipengaruhi oleh pH tanah, khususnya
serangga yang ada pada permukaan tanah. Nilai pH tanah berpengaruh terhadap
indeks keanekaragaman, karena pH yang terlalu asam atau terlalu basa dapat
mengakibatkan kematian pada serangga tanah. pengukuran pH pada lokasi
penelitian di setiap waktu pengambilan sampel hampir sama, yaitu berkisar 6,0 6,1, ukuran pH ini masih dalam batas toleransi yang dapat memungkinkan
serangga hidup dan berkembang biak. karena pH optimum yang ditolerir oleh
serangga berkisar 5 – 7 (Desi, 2015).
31
B. Jenis-Jenis Serangga Nocturnal berdasarkan Peran Ekologi yang ditemukan
di Kebun Nilam, Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur.
Hasil identifikasi jenis serangga nocturnal pada kebun nilam yang
ditemukan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Individu dan Genus Serangga Nocturnal berdasarkan peran
ekologi di Kebun Nilam, Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur,
Sulawesi Tenggara.
Jenis Serangga
No
Ordo
Family
Genus
Peran
Ekologi
Jumlah
Individu
1
Orthoptera
Gryllidae
Gryllus
Scavenger
37
2
Orthoptera
Gryllidae
Phyllopalpus
Scavenger
7
3
Blattodea
Blaberidae
Pycnoscelus
Scavenger
18
4
Coleoptera
Carabidae
Panagaesus
Scavenger
21
5
Coleoptera
Scarabaeidae
Phyllophaga
Scavenger
28
111
6
Orthoptera
Tettigonidae
Eremopedes
Herbivora
4
7
8
9
10
11
Hemiptera
Orthoptera
Coleoptera
Orthoptera
Lepidoptera
Aradidae
Acrididae
Carabidae
Acrididae
Noctuidae
Aradus
Xanthippus
Megacephala
Schistocerca
Helicoverpa
Herbivora
Herbivora
Herbivora
Herbivora
Herbivora
7
12
23
17
27
12
Orthoptera
Tetrigidae
Agonum
Predator
19
13
Dermaptera
Forficulidae
Euborellia
Predator
24
90
43
Jumlah Total
244
Peran
Ekologi
(%)
15.16
2.86
7.37
8.60
11.47
45.49
1.63
2.86
4.91
9.42
6.96
11.06
36.88
7.78
9.83
17.62
100
Tabel 4 menunjukkan Jenis serangga nocturnal sebanyak 244 individu,
terbagi atas 6 ordo yaitu ordo, Orthoptera, Dermaptera, Hemiptera, Blattodea,
Lepidoptera, dan Coleoptera. 10 famili yaitu family Gryllidae, acrididae,
Tetrigidae,
Tettigonidae,
Forficulidae,
Aradidae,
Blaberidae,
Carabidae,
Scarabaeidae, Noctuidae,. 13 genus yaitu genus Gyllus, Phyllopalpus, Xanthipus,
32
Schistocerca,
Agonum,
Eremopedes,
Euborellia,
Aradus,
Pynoscelus,
Megacephala, Panagesus, Phyllophaga, Helicoverpa.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa serangga yang paling banyak
tertangkap di kebun nilam yaitu ordo Orthoptera dengan total 88 individu, hal ini
sejalan dengan Borror (1992) yang menyatakan bahwa ordo Orthopthera
menyusun salah satu dari ordo-ordo yang terbesar dari serangga dan anggotaanggotanya secara individual dan jenisnya sangat banyak dan terdapat hampir
dimana-mana.
Tingginya jumlah serangga ordo Orthoptera dimana keberadaan serangga
tersebut sangat diperlukan dalam sebuah pertanaman sebagai komponen ekosistem
di kebun nilam disebabkan pada kebun nilam tersebut tersedia sumber makanan
yang melimpah untuk ordo Orthoptera dimana ordo ini beberapa diantaranya
merupakan serangga fitofagus yang banyak memakan tumbuhan dan serangga
scavenger yang memakan bangkai hewan maupun tumbuhan yang sudah mati.
Selain itu faktor lingkungan yang mendukung bagi ordo Orthoptera untuk hidup di
kebun nilam ini. Hal ini sejalan dengan Sunjaya (1970) yang menyatakan bahwa
kehidupan serangga sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan disekitar
habitatnya dalam hal ini faktor fisis, biotis dan makanan. Menurut Untung (1996)
Kelimpahan serangga akan berkurang ketika sumber makanan, tempat berlindung,
tempat kawin, dan faktor lingkungan lainnya tidak mencukupi).
33
Berdasarkan komposisi peranan ekologi serangga diperoleh histogram
komposisi peranan ekologi serangga nocturnal pada kebun nilam yang disajikan
pada Gambar 5.
45,49
36,88
50
45
40
Scavenger
35
17,62
30
25
Herbivora
Predator
20
15
10
5
0
Gambar 5. Histogram Komposisi Serangga Nocturnal Berdasarkan Peran
Ekologi Pada Kebun Tanaman Nilam.
Komposisi serangga berdasarakan peranan ekologi pada kebun nilam dapat
dilihat dari nilai presentase (%). Dari gambar 5 dapat dilihat bahwa nilai
presentase serangga yang berperan sebagai schavenger sebesar 45,49%, serangga
yang berperan sebagai herbivora sebesar 36,88% dan serangga yang berperan
sebagai predator sebesar 17,62%. Hal ini menunujukkan bahwa serangga yang
berperan sebagai schavenger lebih tinggi dibandingkan serangga yang berperan
sebagai herbivora dan predator.
34
Serangga scavenger terdiri dari 3 ordo yaitu Orthoptera, Blattodea, dan
Coleoptera. Serangga scavenger berperan penting dalam kondisi kebun nilam
dimana serangga scavenger ini adalah serangga pemulung yang sering memakan
bangkai baik hewan maupun tumbuhan yang sudah mati. Menurut Setiawati
(2005), Serangga scavenger memiliki peranan penting dalam penguraian sehingga
materi yang ada pada makhluk hidup dapat kembali ke alam. Materi yang telah
kembali ke alam akan digunakan tanaman untuk mensintesis produk dengan
bantuan sinar matahari sebagai energi.
Serangga yang dapat langsung berhubungan dengan tanaman nilam yaitu
kelompok serangga herbivora atau fitofagus. Serangga ini terdiri 4 genus yang
terdiri
dari
ordo
Orthoptera,
Coleoptera,
Hemiptera,
dan
Lepidoptera.
Meningkatnya jumlah serangga herbivora dapat menyediakan sumber makanan
alternatif bagi musuh alami dan serangga-serangga musuh dapat alami tersebut
tidak akan meninggalkan tempat ketika hama utama menyerang tanaman nilam
sehingga tidak terjadi kerusakan akibat serangga hama.
Tingginya jumlah serangga yang berperan sebagai predator akan lebih
membantu petani kebun nilam untuk membasmi hama yang ada. Sebagian ordo
predator yang ditemukan yaitu ordo Orthoptera dan Dermaptera pada kebun nilam
dapat bertahan hidup dengan memakan berbagai jenis mangsa yang menjadi
makanannya. Menurut Untung (2006), predator dapat memangsa lebih dari satu
inang dalam menyelesaikan satu siklus hidupnya dan pada umumnya bersifat
35
polyphagus, sehingga predator dapat melangsungkan hidupnya tanpa tergantung
dari satu inang.
C. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E) Jenis Serangga
Nocturnal Pada Kebun nilam, Kecamatan Tinondo, Kabupaten Kolaka
Timur.
Hasil perhitungan indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis serangga
nocturnal yang ditemukan di kebun nilam dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Kemerataan (E’) Jenis Serangga
Nocturnal di Kebun Nilam
No
-1
Jenis Serangga
Ordo
Family
Genus
-2
-3
-4
Jumlah
Individu
(Ni)
-5
Pi
lnPi
PiLn
Pi
H’
E’
-6
-7
-8
-9
-10
2.43
0.94
1
Orthoptera
Gryllidae
Gryllus
37
0.15
-1.88
-0.28
2
Orthoptera
Gryllidae
Phyllopalpus
7
0.02
-3.55
-0.10
3
Orthoptera
Acrididae
Xanthippus
12
0.04
-3.01
-0.14
4
Orthoptera
Acrididae
Schistocerca
17
0.06
-2.66
-0.18
5
Orthoptera
Tetrigidae
Agonum
19
0.07
-2.55
-0.19
6
Orthoptera
Tettigonidae
Eremopedes
4
0.01
-4.11
-0.06
7
Dermaptera
Forficulidae
Euborellia
24
0.09
-2.31
-0.22
8
Hemiptera
Aradidae
Aradus
7
0.02
-3.55
-0.10
9
Blattodea
Blaberidae
Pycnoscelus
18
0.07
-2.60
-0.19
10
Coleoptera
Carabidae
Megacephala
23
0.09
-2.36
-0.22
11
Coleoptera
Carabidae
Panagaesus
21
0.08
-2.45
-0.21
12
Coleoptera
Scarabaeidae
Phyllophaga
28
0.11
-2.16
-0.24
13
Lepidoptera
Noctuidae
Helicoverpa
27
0.11
-2.20
-0.24
244
-2.43
Tabel 5 tersebut menunjukkan bahwa indeks Keanekaragaman (H’) jenis
serangga nocturnal di lokasi penelitian kebun nilam yaitu 2,43, Hal ini
menunjukkan bahwa kriteria keanekaragaman jenis pada kebun nilam terhadap
36
lingkungan termasuk kategori sedang (1-3). Tiga kriteria nilai indeks
keanekaragaman jenis yaitu, bila H' < 1 berarti keanekaragaman tergolong rendah,
bila H' = 1-3 berarti keanekaragaman tergolong sedang, bila H` > 3 berarti
keanekaragaman tergolong tinggi (Michael, 1995).
Indeks keanekaragaman pada kebun nilam termasuk kategori sedang, hal
ini disebabkan karena kebun nilam merupakan ekosistem pertanian dimana pada
komunitas pertanian kebun nilam belum lama terbentuk koloni serangga,
pembentukan koloni tersebut membutuhkan waktu yang lama. Hal ini didukung
oleh pernyataan Kedawung dkk, (2013) yang menyatakan ekosistem yang alami
memiliki keanekaragaman yang tinggi dibandingkan ekosistem pertanian. Indeks
keanekaragaman cenderung tinggi pada komunitas yang lebih lama dan
cenderung rendah pada komunitas yang baru dibentuk.
Dari 13 genus yang ditemukan, masing-masing genus memiliki jumlah
yang bervariasi. Jumlah yang bervariasi tersebut menyebabkan nilai indeks
keanekaragaman genus bervariasi. Indeks keanekaragaman akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya kemerataan kelimpahan spesies. Dari
segi ekologi, jumlah spesies dalam suatu komunitas penting karena keragaman
spesies tampaknya bertambah bila komunitas menjadi stabil.
Keanekaragaman
jenis
merupakan
karakteristik
tingkatan
dalam
komunitas berdasarkan organisasi bilogisnya, yang dapat digunakan untuk
menyatakan struktur komunitasnya. Suatu komunitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman yang tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak spesies
37
dengan kelimpahan spesies sama dan hampir sama. Sebaliknya jka suatu
komunitas disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya sedikit spesies yang
dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah (Umar, 2013).
Hasil perhitungan indeks kemerataan (E') jenis serangga nocturnal pada
kebun nilam sebesar 0,94, hal ini menunjukan bahwa pada kemerataan serangga
pada kebun nilam tergolong kemerataan dalam kondisi stabil. Menurut Krebs
(1985), tiga kriteria komunitas lingkungan berdasarkan nilai kemerataan, yaitu
bila E' < 0,50 maka komunitas berada pada kondisi tertekan. Bila 0,50 < E' ≤ 0,75
maka komunitas berada dalam kondisi labil sedangkan 0,75 < E' ≤ 1,00 maka
komunitas berada dalam kondisi yang stabil. Nilai indeks kemerataan (E') dapat
menggambarkan kestabilan suatu komunitas. Semakin kecil nilai E' atau
mendekati nol, maka semakin tidak merata penyebaran organisme dalam
komunitas tersebut yang didominansi oleh jenis tertentu dan sebaliknya
semakin besar nilai E' atau mendekati satu, maka organisme dalam
komunitas akan menyebar secara merata.
D. Deskripsi Jenis Serangga Nocturnal Pada Kebun Nilam Kecamatan
Tinondo, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
Deskripsi dan identifikasi jenis serangga nocturnal yang ditemukan pada
kebun nilam dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi Borror et al.
(1996), Bugguide (2009), Sarnat dan Economo (2012), adalah sebagai berikut:
38
1. Spesies 1
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Coleoptera
: Scarabaeidae
: Phyllophaga
Gambar 5. Genus Phyllophaga
Deskripsi:
Spesies ini berwarna coklat muda dengan cangkang berwarna coklat
ketuaan, tidak memiliki antena, kaki panjang, permukaan tubuh kasar,
serangga ini memiliki tipe mulut penggigit dan pengunyah yang dilengkapi
dengan rahang atas dan rahang bawah yang sangat kuat. Panjang ukuran
berkisar 1 cm. spesies ini termaksud ordo coleoptera.
Peran Ekologi:
Peran ekologi serangga ini dapat dideskripsikan berdasarkan tipe
mulutnya. dimana serangga ini banyak memakan tinja atau makan materialmaterial tumbuhan seperti rumput-rumput, daun-daunan, dan buah sehingga
hewan ini dianggap berperan sebagai scavenger (Borror, 1992).
39
2. Spesies 2.
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Lepidoptera
: Noctuidae
: Helicoeverpa
Gambar 6. Genus Helicoverpa
Deskripsi :
Spsies ini berwarna kuning kecokelatan, memiliki sepasang antenna.
Sayap belakang tanpa rangka-rangka sayap humerus, ujung sayap-sayap
depan biasanya tidak berbentuk sabit. Sungut-sungut menggembung di bagian
ujung, terdapat mata tunggal. Memiliki tipe mulut menggigit yang dilengkapi
dengan rahang atas dan rahang bawah yang sangat kuat. Ngengat-ngengat
dengan bentangan sayap kira-kira 25 mm, dengan bintik-bintik kuning pada
sayap.
Peran ekologi :
Serangga ini merupakan serangga herbivora yang merupakan hama
bagi tanaman, pada saat menjadi ulat spesies ini sering membuat lubang dan
memakan daun. Hama ulat helicoverpa sp bersifat polifag. Sedangkan larva
noctuidae berperan sebagai parasitoid dimana karakteristik parasitoid
40
membunuh inangnya untuk tumbuh, berkembang, dan perubahan bentuk
tubuh (Siwi, 1991).
3. Spesies 3.
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Orthoptera
: Gryllidae
: Phyllopalpus
Gambar 7. Genus Phyllopalpus
Deskripsi:
Spesies ini memiliki tiga bagian tubuh yaitu caput, torax, dan
abdomen. Pada bagian torax terdapat tida pasang kaki dan dua pasang sayap.
Memiliki sepasang antenna yang sangat panjang melebihi panjang tubuhnya,
Memiliki tipe mulut penggigit dan pengunyah yang dilengkapi dengan rahang
atas dan rahang bawah yang sangat kuat. Tubuhnya berwarna hitam, kaki
belakang berwarna bening, alat ovipositor berbentuk jarum.
Peran ekologi:
Phyllopalpus merupakan ordo ortoptera omnivora, memiliki kebiasaan
menarik dari menggigit ketika terganggu. Serangga ini juga berperan sebagai
41
perombak untuk kesuburan tanah dan tanaman serta perbaikan hutan (Borror,
1992).
4. Spesies 4.
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Orthoptera
: Acrididae
: Xanthippus
Gambar 8. Genus Xanthippus
Deskripsi :
Spesies ini memiliki cirri-ciri berwarna hitam ke abu-abuan, memiliki
sepasang antenna, memiliki tipe mulut menggigt dan mengunyah yang
dilengkapi dengan rahang atas dan rahang bawah yang sangat kuat. Warna
sayap belakang bervariasi, tetapi tidak bening, pinggir ekor mengarah
kebelakang dan bersudut dibagian tengah, sayapnya panjang, mencapai atau
melewati ujung abdomen, panjangnya sekitar 2-3 cm.
Peran Ekologi :
Berdasarkan tipe mulutnya dimana posisi kepala yang menghadap ke
bawah (Hypognathous), serangga ini merupakan serangga herbivora yang
42
bersifat hama dimana hewan ini memakan tumbuhan dan seringkali merusak
pada tanam-tanaman
5. Spesies 5.
Klasifikasi:
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Orthoptera
: Acrididae
: Schistocerca
Gambar 9. Genus Schistocerca
Deskripsi :
Spesies ini memiliki tiga bagian tubuh yaitu caput, torax, dan abdomen.
Pada bagian torax terdapat tida pasang kaki dan dua pasang sayap. Sayap depan
memiliki venasi dari bahan perkamen dan sayap belakang melipat seperti kipas.
Spesies ini berwarna coklat kemerahan dan memiliki panjang sekitar 4-7 cm.
Kaki belakangnya berwarna kuning keemasan dan ramping. Antenyanya tidak
panjang dan agak tebal. Panjang sayapnya sama dengan panjang tubuhnya.
Mempunyai tipe mulut menggigit dan mengunyah karena posisi kepala yang
menghadap ke bawah (Hypognathous).
43
Peran Ekologi:
Hewan ini merupakan serangga herbivora. serangga ini merupakan hama
dimana ia memakan daun, sehingga tanaman menjadi gundul. Pada serangan
berat, batang tanamannya dimakan dan akhirnya mati (Borror, 1996).
6. Spesies 6.
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Orthoptera
: Gryllidae
: Gryllus
Gambar 10. Genus Gryllus
Deskripsi :
Spesies ini mempunyai tubuh berwarna hitam keabu-abuan, kepala
pendek dan tegak lurus, terdapat mata tunggal. Memiliki tipe mulut
menggigit dan mengunyah yang dilengkapi dengan rahang atas dan rahang
bawah yang sangat kuat. Mempunyai tulang belakang pada tibia pendek.
Mempunyai panjang tubuh 12 mm atau lebih. Mempunyai sungut yang sama
panjangnya dengan tubuh. Memiliki ovipositor berbentuk jarum.
44
Peran ekologi:
Spesies ini merupakan serangga dekomposer yang berperan penting
dalam proses perombak untuk kesuburan tanah dan tanaman serta perbaikan
hutan (scavenger) (Siwi, 1991).
7. Spesies 7
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Blattaria
: Blaberidae
: Pycnoscelus
Gambar 11. Genus Pycnoscelus
Deskripsi :
Spesies ini mempunyai tubuh yang oval dan rata, bagian kepala
tersembunyi diatas bagian pronotum. Serangga ini memiliki tipe mulut
penggigit karena mulutnya dilengkapi dengan rahang atas dan rahang bawah
yang sangat kuat. Mempunyai sayap. Mempunyai antenna yang panjang dan
tipis. Tarsi sebanyak 5 segment, dan cerci bersegment banyak.
Peran Ekologi :
Spesies ini mengkonsumsi berbagai jenis makanan dan mempunyai
bau yang tidak mengenakkan, karena kebiasaannya memakan sisa-sisa bahan
45
organik, maka hewan ini dianggap berperan dalam pendauran materi (Siwi,
1991).
8. Spesies 8
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Coleoptera
: Carabidae
: Megacephala
Gambar 12. Genus Megacephala
Deskripsi :
Spesies ini mempunyai badan yang memanjang dan berwarna gelap.
Biasanya badan berbentuk seperti kotak dengan warna metalik. spesies ini
memiliki ciri sama dengan ciri serangga pada umumnya. di bagi menjadi tiga
bagian : kepala, torak, abdomen. Serangga ini memiliki tipe mulut penggigit
karena mulutnya dilengkapi dengan rahang atas dan rahang bawah yang
sangat kuat. Antena 11 segmen dengan tipe filiform. Pangkal antenna berawal
dari bagian antar mata dan mandible. Kaki panjang dan kuat yang digunakan
untuk berlari dengan cepat.
46
Peran Ekologi :
Serangga ini bertindak sebagai hama dan ada juga yang yang menjadi
predator larva hama. Serangga dewasa ini memakan hewan dan tanaman yang
masih hidup maupun yang sudah mati sedangkan larvanya memakan kompos
batang dan akar pohon (Borror, 1992).
9. Spesies 9.
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Orthoptera
: Tettigoniidae
: Eremopedes
Gambar 13. Genus Eremopedes
Deskripsi :
Spesies ini merupakan anggota subfamily Decticinae. Berwarna coklat
sampai hitam, biasanya panjang tubuh 1 in atau lebih, umumnya mempunyai
sayap yang pendek dengan bagian pronotum memanjang kebagian belakang
abdomen. Memiliki tipe mulut penggigit karena mulutnya dilengkapi dengan
rahang atas dan rahang bawah yang sangat kuat.
47
Peran Ekologi:
Serangga ini merupakan serangga yang aktif pada malam hari,
serangga ini merupakan serangga herbivora dimana serangga ini merupakan
hama pada tanaman (Borror, 1992).
10. Spesies 10.
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Dermaptera
: Forficulidae
: Euborellia
Gambar 14. Genus Euborellia
Deskripsi :
Spesies ini berwarna hitam kecoklatan. Bagian segment kedua tarsal
berlekuk dibagian bawah, dan agak meluas kesamping, dan bagian distal
memanjang dibawah segment ketiga. Antena 12-15 segmen.
Peran Ekologi :
Hewan ini biasa dikenal dengan nama Cocopet yang memiliki peran
sebagai predator umum yang dilaporkan bisa memangsa hama perusak
tanaman (Siwi, 1991).
48
11. Spesies 11.
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Hemiptera
: Aradidae
: Aradus
Gambar 15. Genus Aradus
Deskripsi :
Spesies ini mempunyai tubuh yang kecil, oval, berwarna hitam dan
sangat datar. Mempunyai sayap yang kecil, sehingga bagian abdomen
terlihat. Antena terdiri dari 4 segment, segment pertama dari antenna sangat
pendek. Tidak mempunyai mata majemuk. Tarsi 2 segment. Spesies ini
biasanya ditemukan dibawah kulit kayu yang sudah mati. Tipe mulut
memarut dan menghisap
Peran Ekologi:
Spesies ini memiliki tipe mulut memarut dan menghisap, dimana
bagian mulut terdapat labrum, stilet Mandibel, stilet Maksila, dan rostrum,
biasanya menyerang jaringan pada tumbuhan dan mengakibatkan bekas
49
serangan berwarna putih atau belang kemudian mengerut. Oleh sebab itu,
serangga ini berperan sebagai hama (Borror, 1992).
12. Spesies 12.
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Coleoptera
: Carabidae
: Agonum
Gambar 16. Genus Agonum.
Deskripsi:
Spesies ini termasuk dalam ordo coleoptera, terdiri dari 3 bagian yaitu
caput, thorax dan abdomen, memiliki sepasang antenna dan kaki yang
panjang. Mereka mempunyai kepala lebih kecil dari pada dadanya. Memiliki
tipe mulut penggigit yang dilengkapi dengan rahang atas dan rahang bawah
yang kuat. Berwarna hitam kebiru-biruan. Memiliki panjang kurang dari 1
cm.
Peran Ekologi:
Pada tanaman seperti padi serangga ini berperan sebagai musuh alami
atau predator untuk hama seperti kepinding tanah (Scotinopthora coarctata)
(Borror, 1992).
50
13. Spesies 13
Klasifikasi
Kingdom
Filum
Class
Ordo
Family
Genus
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Coleoptera
: Carabidae
: Panagaesus
Gambar 17. Genus Panagaesus
Deskripsi:
Spesies ini memikiki tiga bagian tubuh yaitu caput, thorax, dan
abdomen, memiliki sepasang antenna yang panjangnya melebihi ukuran
tubuhnya. tipe mulut penggigit, Berwarna hitam, tetapi pada bagian abdomen
berwarna hitam kecokelatan, spesies ini termasuk dalam ordo coleoptera dan
memiliki tipe mulut menggigit.
Peran ekologi :
Serangga ini memiliki tipe mulut penggigit yang dilengkapi dengan
rahang atas dan rahang bawah yang kuat, dimana ia biasa membantu dalam
proses penguraian sisa-sisa bahan organik (Borror, 1992)
51
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kebun nilam Kecamatan
Tinondo Kabupaten Kolaka Timur, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Secara total jumlah individu Serangga nokturnal yang ditemukan sebanyak
244 individu dengan 13 genus yaitu Gryllus, Phyllopalpus, Pycnoscelus,
Panagaesus, Phyllophaga, Eremopedes, Aradus, Xanthippus, Megacephala,
Schistocerca, Helicoverpa, Agonum, Euborellia. Genus-genus masuk dalam
kelompok 10 famili yaitu Gryllidae, Blaberidae, Carabidae, Scarabaeidae,
Tettigonidae,
Aradidae,
Acrididae,
Carabidae,
Acrididae,
Noctuidae,
Tetrigidae, Forficulidae, yang terbagi dalam 5 ordo yaitu Orthoptera,
Blattodea, Coleoptera, dan Lepidoptera.
2. Indeks keanekaragaman (H’) serangga nocturnal pada kebun nilam yang
ditemukan sebesar 2,43 tergolong dalam keanekaragaman sedang, sedangkan
Indeks kemerataannya (E’) sebesar 0,94 menunjukkan kemerataan yang stabil.
3. Berdasarkan peran ekologinya, maka serangga nokturnal di kebun nilam di
kelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok serangga herbivora
sebanyak 6 genus yaitu Eremopedes, Aradus, Xanthippus, Megacephala,
Schistocerca, Helicoverpa, scavenger sebanyak 5 genus yaitu Gryllus,
Phyllopalpus, Pycnoscelus, Panagaesus, Phyllophaga, dan predator sebanyak
2 genus yaitu Agonum dan Euborellia.
51
52
B. Saran
Saran yang dapat diajukan penulis melalui penelitian ini yaitu:
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai serangga keseluruhan baik
nokturnal maupun diurnal pada kebun nilam.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan apakah ada perubahan komposisi spesies
serangga nocturnal pada kebun nilam bila dilakukan pada lokasi yang
berbeda.
53
DAFTAR PUSTAKA
Adisubroto, W., 1990, Pengkajian Populasi Predator Hama Kedelai pada Musim
Tanam, Jurusan hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Aditama, Candra, R., dan Nia, K., 2013, Struktur Komunitas Serangga Nocturnal
Area Pertanian Padi Organik pada Musim Penghujan di Kecamatan
Lawang, Kabupaten Malang, J. Biotropika, (Online), 1 (4)
(http://jurnalub.ac.id), Diakses 03 Januari 2016.
Agusrinal, 2011, Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Kepiting (Brachyura) Pada
Ekosistem Mangrove Di Pulau Kaledupa, Darawa Dan Hoga
Kabupaten Wakatobi, Skripsi Jurusan Biologi FMIPA, Universitas
Halu Oleo, Kendari.
Agung, S.A.P., Ibrohim, Tuarita, H., 2014, Kajian Struktur Dan Komposisi
Komunitas Serangga Predator Yang Berpotensi Sebagai Agen
Pengendali Hayati di Perkebunan Kopi Desa Bangelan Kecamatan
Wonosari Kabupaten Malang, Skripsi, Universitas Negeri Malang.
Altieri, M. A., 1999, The Ecologycal Role Of Biodiversity in agroecosystems,
Agricult Ecosys Enviro, 74 : 19-31
Abadi, P. P., 2009, Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Beberapa
Ekosistem di Areal Perkebunan PT. Umbul Mas Wisesa Kabupaten
Labuhanbatu, Skripsi, Universitas Sumatera Utara.
Arief, 2001, Hutan dan Kehutanan, Kanisius, Jakarta
Borror, 1992, Pengenalan Pelajaran Serangga, edisi VI, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Borror, D.J., Triplehorn, C.A. dan N.F. Johson, 1996, Pengenalan Pelajaran Serangga
Edisi ke-enam, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Borror, D.J., Triplehorn, C.A., and Johnson, N.F., 1989, An Introduction to the Study
of Insects. 7th edition, Saunders College Publishing, New York.
Bugguide, 2009, Identification, Images & Information For Insects, Spiders & Their
Kin, www.bugGuide.net, diakses tanggal 24 januari 2016.
53
54
Desi, 2015, Keanekaragaman Serangga Permukaan Tanah pada Komunitas Mangrove
di Pulau Hoga Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Skripsi Jurusan
Biologi FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari.
Firmanto, B. H., 2009, Budidaya Tanaman Industri Wewangian Nilam, CV. Walatra,
Bandung.
Google, 2014, Gambaran Umum Serangga, (https://www.google.\com/search?q
=serangga&source=lnms&tbm=) di akses pada 24 Juli 2016.
Halloway, J.D., and Stork N.E., 1991, The dimensions of biodiversity: the use of
invertebrates as indicators of human impact, CAB International,
Wallingford, United Kingdom.
Hadi, H.M., Udi, T., Rully, R., 2009, Biologi Insekta Entomologi, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Hamid, H., 2012, Struktur Komunitas Serangga Herbivora dan Parasitoid pada
Polong Tanaman Kacang-kacangan (Fabaceae) di Padang, Skripsi,
Universitas Andalas, Padang.
Harahap, 2009, Karakterisasi dan simplisia dan isolasi serta analisis komponen
minyak
atsiri
pada
daun
nilam
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14328/1/09E0159.pdf
) (diakses 20 februari 2016) Edition, Harper and Row Pulisher, New
York.
Heddy, S., dan Kurniati, M., 1994, Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi : Suatu Bahasan
Tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Herlina, Betty, 2006, Pengaruh Volume Air Dan Berat Bahan Pada Penyulingan
Minyak Atsiri. (online) http://jurtek.akprind.ac.id/sites/default/files/hal83-88-sumarni-gabung-ok.pdf (diakses 15 Februari 2016).
Herry, M., Trisilawati, O., Sabernard, Suryadi, R., 1998, Studi kebutuhan Hara pada
Tanaman Nilam, Laporan Teknis Penelitian APBN TA1997/1998,
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
55
Ilham, A., 2015, Keanekaragaman Jenis Serangga Nocturnal Pada Perkebunan
Kelapa Sawit Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe Sulawesi
Tenggara, Universitas Halu Oleo, Kendari.
Jumar, 2000, Entomologi Serangga, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Kedawung, Wachju, Jekti. 2013. Keanekaragaman Serangga Tanaman Tomat, J.
Krebs, 1978, Ecology The Experimental Analysis of Distribusion and Abudance,
Third
Kromp, B., 1990, Carabid beetles (Coleoptera, Carabidae) as bioindicators in
biological and conventional farming in Austrian potato fields, Biol
Fert Soils, 9 : 182-187
Meyer, J.R., 2003, ENT 425, Departemen of Entomology, NC State Universty.
http:www.cals.nsc.edu/courselent 425.
Mulyodihardjo S., 1990, Program Penanaman atsiri di Sumatera, Prosiding
Komunikasi Ilmiah Pengembangan Atsiri di Sumatera-Balittro.
Nainggolan, D. 2001. Aspek Ekologis Kultivar Buah Merah Panjang (Pandanus
conoideus Lamk) Di Daerah Dataran Rendah Manokwari, Skripsi
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih,
Manokwari
Nuryani, Y., 2005, Pelepasan varietas unggul nilam, Warta Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, 11 (1) : 1 – 3
Odum, E. P., 1998, Dasar – Dasar Ekologi Edisi Ketiga, Gadjah Madah University
Press, Yogyakarta.
Pelawi, A,P,. 2009, Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Beberapa
Ekosistem di Areal Perkebunan PT. Umbulmas Wisesa Kabupaten
Labuhan Batu, USU Repository.
Pielou, C. E., 1975, Ecological Diversity, New York.
Pielou, C.E., 1966, The Measurement Of Diversity In Different Type Of Biological
Collections. J. Theoret. Biol, 13: 131-144
Putra, N. S., 1994, Serangga di Sekitar Kita, Kanisius, Yogyakarta.
56
Resty, R., 2007, Mengenal Kunang-kunang Melalui Habitat dan Ciri-ciri Morfologi,
Artikel Ilmiah, Universitas Andalas, Sumatera Barat.
Rahman, 2004, Penerapan Petanian Organik, Kanisius, Yogyakarta.
Rahayu, S., Setiawan, A., Endang, A., Husaeni, dan Suyanto, S., 2006, Pengendalian
Hama Xylosandrus compactus Pada Agroforestri Kopi Multisrata
Secara Hayati: Studi kasus dari Kecamatan Suberjaya, Lampung Barat,
J. Agrivita, 28 (3)
Rahmawaty, 2000, Keanekaragaman Serangga Tanah dan Perannya pada Komunitas
Rhizopora spp. Dan Konitas Ceriops tagal di Taman Nasional Rawa
Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara, Tesis Program paska Sarjana,
IPB, Bogor.
Resosoedarmo, S., Kuswata, K., Aprilani, S., 1985, Pengantar Ekologi, Jakarta.
Samways, M.J., 1994, Insect Conservation Biology, Chapman & Hall, New York.
Schoonven, L.M., Jermy, T., Van Loon J.A., 1998, Insect-Plant Biology: from
physiology to evolution, Chapman & Hall, London.
Siwi, S., 1991, Kunci Determinasi Serangga, Kanisisus, Yogyakarta.
Smith, R.L., 1992, Elements of Ecology, Third Edition, Harper Collins Publishers Inc,
New York.
Southwood, T.R.E., 1978, Ecological methods. With particular reference to the study
Of Insect populations, The ELBS and Chap-men and Hall, London.
Suheriyanto, D., 2005, Ekologi Serangga, UIN Malang Press, Malang.
Suin, N. M., 1997, Ekologi Hewan Tanah, Buni Aksara, Jakarta.
Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-Dasar Ekologi Serangga. Ilmu Hama Tanaman. IPB.
Bogor
Tarumingkeng, 2001, Serangga dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tasma, I. M., dan Wahid, P., 1988, Pengaruh mulsa dan pemupukan terhadap
pertumbuhan dan hasil nilam, J. Pemberitaan Littri, 15 (1-2) : 34 – 41
57
Umar, R., 2013, Penuntun Praktikum Ekologi Umum, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Untung, K., 1996, Pengantar Pengolahan Hama Terpadu, Universitas Gadjah Mada
Press, Yogyakarta.
58
Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Pembuatan Stasiun Pengamatan
Gambar 2. Perangkap modifikasi Light trap dan Pitfall trap
58
59
Gambar 3. Pengukuran Faktor Lingkungan
60
Lampiran 2. Peta Penelitian
Download