Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Gempa Bumi dan Seismologi Lempeng

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1
Gempa Bumi dan Seismologi
Lempeng-lempeng tektonik yang bergerak relatif satu sama lain dengan arah dan
kecepatan yang berbeda mengakibatkan penumpukan tegangan geser (shear
stress) pada lempeng-lempeng tersebut. Ketika tegangan geser yang terkumpul
melebihi kuat geser (shear strength) batuan, maka keruntuhan akan terjadi dan
akumulasi energi regangan elastik yang tersimpan dalam material lempeng
tektonik akan terlepas. Sebagian energi dilepaskan dalam bentuk panas dan
sebagian dalam bentuk gelombang seismik yang dirasakan sebagai gempa bumi
(Gambar I-1). Boen (1976) menyebutkan batas penimbunan tegangan geser agar
terjadi gempa bumi adalah sebesar 1020 hingga 1050 erg.
Gambar II-1Riwayat terjadinya gempa bumi (Tarbuck & Lutgens, 2001)
II-1
II.1.1
Gelombang Seismik
Gelombang seismik yang timbul ketika energi regangan terlepas terdiri dari
gelombang badan (body waves) dan gelombang permukaan (surface waves).
Gelombang badan merupakan gelombang seismik yang merambat ke dalam bumi
dalam bentuk gelombang-p dan gelombang-s (Gambar II-2). Gelombang-p yang
dikenal juga dengan gelombang primer, gelombang tekan atau gelombang
longitudinal dapat merambat melalui material padat dan cair, menimbulkan
tekanan dan penipisan yang berurutan pada material yang dilewatinya. Serupa
dengan gelombang bunyi, gerakan partikel yang dilewati oleh gelombang-p akan
sejajar dengan arah gelombang. Gelombang-s yang dikenal juga dengan
gelombang sekunder, gelombang geser atau gelombang transversal merambat
tegak lurus terhadap arah gerakan partikel. Gerakan partikel ini dapat digunakan
untuk membagi komponen gelombang-s ke dalam arah vertikal (SV) dan arah
horisontal (SH). Perambatan gelombang-s akan menimbulkan deformasi geser
pada material yang dilewatinya. Kecepatan rambat gelombang badan tergantung
kepada kekakuan material yang dilewati gelombang tersebut. Semakin kaku
material maka kecepatan tersebut akan semakin besar. Oleh sebab itu gelombangp atau gelombang tekan merambat lebih cepat daripada gelombang lainnya karena
material geologis yang dilewatinya menjadi lebih kaku ketika ditekan.
Gambar II-2 Gelombang seismik berupa gelombang badan (USGS, 2007)
II-2
Gelombang permukaan merupakan hasil interaksi antara gelombang badan dengan
permukaan dan lapisan permukaan bumi. Gelombang ini merambat di permukaan
bumi dengan amplitudo tertentu yang akan berkurang seiring bertambahnya
kedalaman (Gambar II-3). Karena pengaruh interaksi, gelombang permukaan akan
semakin dominan pada jarak yang semakin jauh dari sumber gempa. Sebagai
ilustrasi, pada jarak yang lebih besar dari dua kali ketebalan kerak bumi, peak
ground motion akan ditentukan oleh gelombang permukaan dibandingkan dengan
gelombang badan.
Dalam rekayasa gempa, gelombang permukaan dibedakan atas gelombang
Rayleigh dan gelombang Love. Gelombang Rayleigh merupakan hasil interaksi
antara gelombang-p dan gelombang-SV dengan dengan permukaan bumi.
Gelombang ini menyebabkan gerakan dalam arah horisontal dan vertikal pada
partikel yang serupa dengan gelombang yang ditimbulkan saat sebuah batu
dilemparkan ke dalam kolam. Gelombang Love dihasilkan dari interaksi antara
gelombang-SH dengan lapisan permukaan yang lunak, menimbulkan gerakan
partikel dalam arah horisontal.
Gambar II-3 Gelombang seismik berupa gelombang permukaan (USGS, 2007)
II-3
II.1.2
Continental Drift dan Plate Tectonic
Konsep pergerakan lempeng awalnya telah dipelajari oleh beberapa peneliti sejak
abad ke-17 (dalam Glen 1975; Kearey dan Vine 1990) yang menemukan
kesamaan bentuk garis pantai dan kondisi geologi antara bagian timur Amerika
Selatan dan bagian barat Afrika serta bagian selatan India dan bagian utara
Australia. Wegener pada awal abad ke-20 mengajukan teori Continental Drift
yang menyebutkan bahwa sekitar 200 juta tahun yang lalu bumi hanya terdiri dari
satu benua besar yang bernama Pangaea. Benua Pangaea ini kemudian terpecah
menjadi benua-benua yang lebih kecil dan perlahan hanyut hingga membentuk
konfigurasi benua seperti saat ini (Gambar II-4).
Gambar II-4 Teori continental drift (Wegener, 1912)
II-4
II.1.2.1 Plate Tectonic
Teori plate tectonics dikembangkan berdasarkan teori continental drift. Teori ini
menyebutkan bahwa permukaan bumi tersusun atas segmen-segmen besar yang
menyatu dan saling berkaitan yang dinamakan plate atau lempeng. Lempenglempeng tersebut bergerak relatif satu sama lain dengan arah dan kecepatan
tertentu. Terdapat enam lempeng benua (Afrika, Amerika, Antartika, IndiaAustralia, Eurasia dan Pasifik) dan empat belas lempeng sub benua (Karibia,
Kokos, Nazca, dll) seperti terlihat dalam Gambar II-5 berikut.
Gambar II-5 Major tectonic plates, mid-oceanic ridges, trenches, dan transform fault
pada permukaan bumi, tanda panah menunjukkan arah pergerakan lempeng
(Fowler, 1990)
Deformasi relatif antar lempeng terjadi pada zona-zona sempit yang berada dekat
dengan batas pertemuan lempeng. Deformasi ini dapat berlangsung dengan lambat
dan menerus (aseismic deformation) atau berlangsung cepat dan tidak tetap
(seismic deformation). Apabila seismic deformation yang terjadi, maka akan
timbul gempa bumi. Karena seismic deformation ini sebagian besar hanya terjadi
di daerah batas pertemuan lempeng, maka gempa bumi pun sebagian besar terjadi
pada daerah-daerah tersebut seperti terlihat dalam Gambar II-6.
II-5
Gambar II-6 Titik-titik merah menunjukkan sebaran episenter gempa yang
menggambarkan aktifitas seismik. Gempa terjadi pada batas pertemuan lempeng
(dimodifikasi dari IISE BRI Tsukuba, 2002)
Pergerakan lempeng tektonik disebabkan oleh suatu gaya dorong yang sangat
besar yang bersumber pada terciptanya kondisi keseimbangan termomekanik
material bumi. Bagian atas dari selimut bumi bersinggungan dengan kerak (crust)
bumi yang relatif lebih dingin dan bagian bawahnya bersinggungan dengan inti
luar (outer core) bumi yang panas. Fenomena ini menghasilkan variasi temperatur
pada selimut (mantle) bumi dan menimbulkan kondisi yang tidak stabil, dimana
material yang lebih rapat dan lebih dingin berada di atas material yang lebih
renggang dan temperatur lebih hangat. Akibat gaya gravitasi, material yang lebih
rapat tersebut lama-lama akan tenggelam dan mendesak material yang lebih
renggang untuk naik ke atas. Karena bersinggungan dengan inti luar bumi yang
panas, material yang tenggelam ini perlahan akan menghangat dan kerapatannya
menjadi lebih renggang, kemudian bergerak ke arah lateral dan naik kembali.
Sebaliknya, material di atas yang dingin akan tenggelam karena gravitasi. Proses
yang terjadi berulang-ulang ini dinamakan dengan konveksi (Gambar II-7).
II-6
Outer
core
Inner
core
HOT
Mantle
(solid)
Gambar II-7 Struktur bumi dan arus konveksi dalam selimut bumi (Noson,dkk.,
1988)
Hager (1978) menyebutkan bahwa arus konveksi akan menimbulkan tegangan
geser di bagian bawah lempeng dan mengakibatkan pergerakan lempeng di
permukaan bumi. Pergerakan inilah yang menyebabkan lempeng dapat bergerak
saling menjauh di suatu tempat dan mendekat di tempat lainnya.
II.1.2.2 Batas Pertemuan Lempeng
Pergerakan lempeng-lempeng relatif satu sama lain menghasilkan tiga bentuk
pertemuan lempeng. Karakteristik dari tiap bentuk pertemuan lempeng
akan
mempengaruhi perilaku gempa bumi yang terjadi di sepanjang daerah tersebut.
a.
Spreading Ridge
Spreading ridge terjadi pada batas pertemuan lempeng yang bergerak saling
menjauh (Gambar II-8). Celah yang terbentuk pada daerah ini akan diisi oleh
lelehan batuan (molten rock) dari selimut yang naik ke permukaan bumi yang
II-7
dingin dan membentuk lempeng baru. Kecepatan dari lempeng yang menjauh ini
diperkirakan sebesar 2 cm/tahun hingga 18 cm/tahun.
Gambar II-8 Spreading ridge pada kerak samudera (dimodifikasi dari
www.gasd.k12.pa.us, 2005)
b.
Zona Subduksi
Akibat terbentuknya spreading ridge di suatu daerah, maka pada daerah lainnya
akan terbentuk zona subduksi atau zona penunjaman (Gambar II-9).
Keseimbangan ini terjadi karena ukuran bumi yang konstan. Zona subduksi
terbentuk pada batas pertemuan lempeng yang saling mendekat satu sama lain
(konvergen). Pada titik pertemuan tersebut, salah satu lempeng akan menumpang
pada lempeng lainnya yang menunjam ke bawahnya dengan kemiringan tertentu.
Zona subduksi umumnya ditemukan dekat ujung benua, yaitu pada pertemuan
kerak benua (continental crust) dan kerak samudera (oceanic crust), antar kerak
samudera,
dan
antar
kerak
benua.
Gempa
bumi
terjadi
pada
lajur
megathrust/interplate dan lajur Benioff/intraplate. Lajur megathrust adalah
bagian dangkal zona subduksi yang mempunyai sudut penunjaman yang landai.
Sedangkan lajur Benioff adalah bagian dalam zona subduksi mempunyai sudut
penunjaman yang curam. Kecepatan penunjaman yang cepat akan membentuk
palung pada batas pertemuan lempeng. Sebaliknya, kecepatan penunjaman yang
lambat akan memicu pembentukan sedimen di atas kerak batuan.
II-8
Gambar II-9 Zona subduksi, kerak samudera menunjam ke bawah kerak benua
(dimodifikasi dari www.gasd.k12.pa.us, 2005)
c.
Patahan Transformasi
Patahan transformasi merupakan sesar geser yang terjadi ketika lempeng-lempeng
bergerak horizontal saling berpapasan satu sama lain tanpa disertai pembentukan
kerak baru atau penelanan kerak lama (Gambar II-10).
Gambar II-10 Zona patahan transformasi pada kerak benua (dimodifikasi dari
www.gasd.k12.pa.us, 2005)
II-9
II.1.3
Patahan
Patahan terjadi akibat pergerakan diantara lempeng pada suatu struktur kerak
geologi yang baru atau eksisting. Panjang patahan dapat bervariasi dari beberapa
meter hingga ratusan kilometer dengan kedalaman dari permukaan tanah hingga
beberapa puluh kilometer. Patahan merupakan tempat terjadinya gempa bumi
kerak dangkal atau shallow crustal fault zone.
II.1.3.1 Geometri Patahan
Notasi geologi digunakan untuk menjelaskan orientasi suatu patahan , yaitu strike
dan dip. Strike dari suatu patahan adalah garis horisontal yang dibuat oleh
perpotongan
bidang
patahan
dengan
bidang
horisontal.
Sudut
strike
menggambarkan arah patahan relatif terhadap arah utara (contoh N60°E).
Kemiringan bidang patahan dinyatakan dengan sudut dip, yaitu sudut antara
bidang patahan dan bidang horisontal yang diukur tegak lurus terhadap strike.
Patahan vertikal memiliki sudut dip sebesar 90°.
II.1.3.2 Gerakan Patahan
Terdapat dua jenis gerakan patahan berdasarkan komponen strike dan sudut dip –
nya.
a.
Dip Slip
Gerakan patahan yang sebagian besar terjadi pada arah dip –nya (tegak lurus
strike) disebut sebagai gerakan dip slip. Gerakan dip slip ini dibedakan atas
patahan normal (normal fault) dan patahan terbalik (reverse fault) seperti terlihat
dalam Gambar II-11. Patahan normal terjadi ketika komponen horisontal dip slip
tertarik dan material di atas patahan miring (hanging wall) bergerak relatif turun
terhadap material di bawah patahan miring (foot wall). Patahan terbalik terjadi
ketika komponen komponen horisontal dip slip tertekan dan material di atas
II-10
patahan miring (hanging wall) bergerak relatif naik terhadap material di bawah
patahan miring (foot wall). Patahan dorong (thrust fault) terjadi ketika bidang
patahan memiliki sudut dip yang kecil.
Gambar II-11 Gerakan patahan dengan mekanisme dip slip (dimodifikasi dari
www.hp1039.jishin.go.jp, 2007)
b.
Strike Slip
Strike slip terjadi ketika patahan bergerak sejajar terhadap strike-nya. Strike slip
terdiri dari dua jenis yang dibedakan berdasarkan arah relatif pergerakan material
di kedua sisi patahan, yaitu right lateral strike slip dan left lateral strike slip
seperti terlihat dalam Gambar II-12.
Gambar II-12 Gerakan patahan dengan mekanisme strike slip (dimodifikasi dari
www.hp1039.jishin.go.jp, 2007)
II-11
Selain kedua jenis gerakan di atas, patahan juga dapat bergerak baik dalam
komponen strike maupun dip. Gerakan ini dinamakan dengan patahan miring
(oblique fault) seperti terlihat dalam Gambar II-13.
Gambar II-13 Oblique fault (Crystal Wicker, 2007)
II.1.4
Teori Elastic Rebound
Teori Elastic Rebound dari Reid (1911) menyebutkan bahwa tingkat kerusakan
batuan akibat proses pelepasan energi dipengaruhi oleh karakteristik batuan
tersebut. Jika batuan lemah dan bersifat ductile, maka energi regangan yang
tersimpan akan dilepaskan secara lambat dan pergerakannya terjadi secara
aseismik. Jika batuan kuat dan bersifat brittle, maka keruntuhan cepat akan terjadi
dan menimbulkan gempa. Setelah gempa terjadi proses penimbunan energi akan
berlangsung kembali sampai suatu saat gempa terjadi kembali (Gambar II-14).
II-12
Gambar II-14 Teori elastic rebound (Reid, 1911)
II.1.5
Notasi Geometrik
Lokasi suatu gempa bumi dapat dijelaskan melalui notasi geometrik. Fokus atau
hiposenter adalah lokasi dimana keruntuhan (rupture) dimulai dan lokasi awal
dimana gelombang gempa terbentuk. Keruntuhan menyebar dari fokus ke
sepanjang patahan dengan kecepatan 2-3 km/detik. Meski keruntuhan pada
patahan dapat memanjang hingga ke permukaan tanah, fokus atau hiposenter
terletak pada kedalaman tertentu di bawah permukaan. Kedalaman ini dinamakan
dengan kedalaman fokus atau kedalaman hiposenter. Titik di permukaan tepat di
atas hiposenter dinamakan episenter. Jarak di permukaan dari lokasi pengamatan
ke episenter dinamakan dengan jarak episenter dan jarak dari lokasi pengamatan
ke fokus atau hiposenter dinamakan dengan jarak fokal atau jarak hiposenter.
Ilustrasi notasi geometrik ini dapat dilihat dalam Gambar II-15.
II-13
Gambar II-15 Notasi geometrik untuk menggambarkan lokasi gempa (Shakal &
Bernreuter , 1981; Boore & Joyner, 1982)
II.1.6
Lokasi Gempa
Lokasi gempa umumnya diidentifikasi sebagai lokasi episenter dimana lokasi
awal dari episenter ini diketahui dari pencatatan waktu tiba relatif gelombang-p
dan gelombang-s di sedikitnya tiga seismograf. Jarak seismograf dengan fokus
gempa dapat diketahui berdasarkan perbedaan waktu tiba gelombang-p dan
gelombang-s di seismograf dan perbedaan kecepatan rambat gelombang-p dan
gelombang-s. Di batuan dasar gelombang-p merambat dengan kecepatan 3 hingga
8 km/detik, sedangkan gelombang-s merambat dengan kecepatan 2 hingga 5
km/detik. Berdasarkan konsep ini, maka dari satu seismograf dapat ditentukan
besarnya jarak episenter. Untuk mengetahui arah episenter dilakukan analisis
grafis berupa penggambaran lingkaran dengan radius sebesar jarak episenter
seperti terlihat dalam Gambar II-16. Arah episenter adalah perpotongan tiga
lingkaran dari tiga seismograf yang berdekatan. Keakuratan metode ini tergantung
pada jumlah, kualitas, dan distribusi seismograf serta tingkat akurasi pemodelan
kecepatan gelombang gempa.
II-14
B
A
p-s time shows that earthquake
occurred at this distance from
station C
Epicenter
C
Seismograph
Station
Gambar II-16 Penentuan lokasi episenter dengan metode grafis (dimodifikasi dari
Foster, 1988)
II.1.7
Ukuran Gempa
Salah satu hal penting yang perlu diketahui dari suatu kejadian gempa adalah
informasi mengenai besarnya gempa yang terjadi yang dinyatakan dengan ukuran
gempa. Ukuran gempa tersebut dapat dinyatakan secara kualitatif atau kuantitatif.
II.1.7.1 Intensitas Gempa
Intensitas gempa menunjukkan ukuran gempa secara kualitatif berdasarkan
tingkatan pengaruh kejadian gempa terhadap fenomena alam di permukaan dan
dirasakan oleh manusia dan sarana infrastruktur. Intensitas gempa sangat berguna
dalam menentukan karakteristik pengulangan kejadian gempa dengan ukuran
yang berbeda di berbagai lokasi. Intensitas ini juga dapat digunakan untuk
II-15
memperkirakan tingkat strong ground motion dan membandingkan pengaruh
gempa di wilayah geografis yang berbeda-beda.
Skala intensitas gempa Rossi-Forel (RF) diperkenalkan pertama kali pada tahun
1880. Pengembangan terhadap skala ini diperkenalkan oleh Mercalli pada tahun
1931 yang dikenal dengan Modified Mercalli Intensity (MMI). Intensitas gempa
dalam skala MMI terbagi atas 12 tingkatan seperti terlihat dalam Tabel II-1.
Skala-skala lainnya juga diperkenalkan oleh berbagai institusi di beberapa negara
seperti Japanese Meteorological Agency (JMA) dan Medvedev-SpoonheuerKarnik (MSK) di Eropa Timur dan Tengah. Perbandingan skala-skala intensitas
tersebut dapat dilihat dalam Gambar II-17.
Tabel II-1 Skala intensitas Modified Mercalli (dimodifikasi dari www.dnr.mo.gov,
2007)
II-16
Gambar II-17 Perbandingan berbagai skala intensitas gempa (Richter, 1958;
Murphy & O’Brien, 1977)
II.1.7.2 Magnitude Gempa
Pengukuran gempa secara kuantitatif mulai diperkenalkan sejak ditemukannya
alat untuk mengukur ground motion yang timbul saat gempa terjadi. Dengan alat
ini pengukuran gempa menjadi lebih obyektif karena menggunakan skala
pengukuran yang lebih pasti dibandingkan dengan pengukuran secara kualitatif.
Ukuran gempa ini dikenal dengan dengan magnitude gempa.
a.
Magnitude Lokal Richter (ML)
Magnitude Lokal Richter adalah skala magnitude yang iperkenalkan oleh Charles
Richter pada tahun 1933 berdasarkan pengukuran menggunakan seismometer
Wood-Anderson untuk gempa-gempa dangkal dan lokal (episenter kurang dari
600 km). Richter mendefisikan magnitude lokal sebagai logaritma (basis 10)
amplitudo maksimum (dalam mikrometer) yang terukur oleh seismometer WoodAnderson yang berada pada jarak 100 km dari episenter gempa (Gambar II-18).
Skala lokal Richter ini merupakan skala yang paling umum digunakan, tetapi
terbatas hanya untuk gempa-gempa lokal saja. Korelasi antara skala magnitude
Richter dengan skala intensitas Modified Mercalli dapat dilihat dalam Tabel II-2.
II-17
Gambar II-18 Penentuan skala lokal Richter berdasarkan amplitudo dan jarak
episenter atau waktu tiba gelombang p-s (Richter, 1933)
Tabel II-2 Hubungan antara skala intensitas Modified Mercalli dengan skala
magnitude Richter (dimodifikasi dari www.dnr.mo.gov, 2007)
II-18
b.
Magnitude Gelombang Permukaan (Ms)
Magnitude gelombang permukaan dikembangkan karena keterbatasan skala
magnitude lokal Richter yang tidak mendeskripsikan secara jelas jenis gelombang
gempa yang terukur. Skala magnitude gelombang permukaan sangat sesuai untuk
pengukuran gempa pada jarak yang jauh dimana perambatan gelombang gempa
didominasi oleh gelombang permukaan. Hal ini disebabkan karena gelombang
badan sudah tidak terdeteksi pada jarak yang jauh. Skala magnitude gelombang
permukaan diperkenalkan oleh Gutenberg-Richter 1936 berdasarkan amplitudo
gelombang permukaan Rayleigh pada periode 20 detik dengan persamaan sebagai
berikut :
M s = log A + 1,66 log Δ + 2,0
(II-1)
dimana A adalah perpindahan tanah maksimum (dalam mikrometer) dan ∆ adalah
jarak episenter dari seismometer yang diukur dalam derajat (cat : 360° adalah
keliling bumi). Magnitude ini umum digunakan untuk mengukur gempa-gempa
sedang hingga besar dengan kedalaman hiposenter kurang dari 70 km dan jarak
episenter lebih dari 1.000 km.
c.
Magnitude Gelombang Badan (mb)
Untuk gempa-gempa dalam dengan kedalaman episenter lebih dari 70 km dimana
gelombang permukaan sudah tereduksi, ukuran gempa lebih seusai dinyatakan
dengan skala magnitude gelombang badan. Magntude gelombang badan yang
diperkenalkan oleh Gutenberg pada tahun 1945 mengukur gempa berdasarkan
amplitudo dari beberapa siklus gelombang-p yang tidak terpengaruh oleh
kedalaman fokus (Bolt, 1989). Skala magnitude gelombang permukaan dihitung
berdasarkan persamaan sebagai berikut :
mb = log A − log T + 0,01Δ + 5,9
(II-2)
dimana A adalah amplitudo (dalam mikrometer) dan T adalah periode gelombangp (umumnya sebesar 1 detik). Nutili (1973) menyebutkan bahwa magnitude
II-19
gelombang badan juga dapat ditentukan berdasarkan amplitudo gelombang
Rayleigh untuk periode 1 detik. Magnitude ini disimbolkan dengan mbLg dan
umumnya digunakan untuk mengukur gempa-gempa intraplate.
d.
Magnitude Lainnya
Beberapa pengukuran skala magnitude menggunakan data pencatatan gempa yang
berbeda telah diperkenalkan oleh beberapa peneliti. Aki (1969) memperkenalkan
skala magnitude coda, Mc. Coda dari suatu gempa adalah gelombang
backscattered yang mengikuti arah gelombang badan dan gelombang permukaan
utama. Magnitude durasi, MD, mengukur gempa berdasarkan total durasi waktu
suatu kejadian gempa. Skala magnitude ini sesuai untuk mengukur gempa-gempa
kecil yang sering terjadi dimana skala ini lebih dibutuhkan dalam kajian
seismologi (Real dan Teng, 1973). Badan Meteorologi Jepang (Japanesse
Meteorological Agency/JMA) menggunakan gelombang periode panjang untuk
menentukan skala magnitude lokal, MJMA.
e.
Magnitude Momen (Mw)
Skala-skala magnitude yang disebutkan sebelumnya merupakan ukuran kuantitas
gempa secara empiris berdasarkan pemgukuran karakteristik guncangan tanah
menggunakan berbagai macam peralatan. Namun kenaikan jumlah energi yang
dilepaskan saat gempa terjadi menyebabkan kenaikan karakteristik guncangan
tanah menjadi tidak sama. Untuk gempa-gempa kuat, karakteristik guncangan
tanah yang terukur menjadi tidak sensitif. Fenomena ini dikenal dengan saturasi.
Pada magnitude gelombang badan dan magnitude lokal Richter, saturasi akan
terjadi pada skala magnitude 6 hingga 7. Sedangkan pada magnitude gelombang
permukaan akan terjadi pada Ms=8. Untuk menghindari saturasi yang terjadi,
pengukuran gempa-gempa besar selanjutnya menggunakan skala magnitude yang
tidak tergantung pada derajat guncangan tanah. Magnitude ini dikenal dengan
magnitude momen. Magnitude momen diukur berdasarkan seismic moment yang
ditentukan oleh faktor yang menyebabkan keruntuhan di sepanjang patahan.
Magnitude momen dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
II-20
Mw =
log M o
− 10,7
1,5
(II-3)
M o = μA D
(II-4)
dimana Mo adalah seismic moment dalam dyne-cm, μ adalah kuat runtuh material
di sepanjang patahan, A adalah area keruntuhan, dan D adalah jumlah rata-rata
pergerakan.
Bolt (1989) mengusulkan penggunaan ML dan mb untuk gempa-gempa dangkal
dengan magnitude 3 hingga 7, Ms untuk gempa-gempa dengan magnitude 5
hingga 7,5, dan Mw untuk gempa-gempa dengan magnitude di atas 7,5.
II.2
Strong Ground Motion
Getaran yang terjadi di bumi akibat gempa berlansung secara terus-menerus
dengan variasi periode gelombang dari milidetik hingga hari dan amplitudo
gelombang dari nanometer hingga meter. Namun, getaran yang memberikan
pengaruh signifikan terhadap bangunan dan manusia serta lingkungannya
hanyalah strong ground motion. Pengukuran kuantitatif yang obyektif terhadap
strong ground motion ini dapat menggambarkan bagaimana suatu kejadian gempa
bumi berdampak pada suatu lokasi tertentu.
Besarnya ground motion yang ditimbulkan akibat gempa dapat diketahui dari data
yang tercatat pada alat instrumentasi. Data ini berbentuk data time histories
terhadap perpindahan, kecepatan, atau percepatan ground motion. Dalam rekayasa
kegempaan, perlu diketahui karakteristik dari data ground motion tersebut yang
meliputi: (1) amplitudo, (2) kandungan frekuensi, dan (3) durasi. Karakteristik ini
sangat mempengaruhi kerusakan yang akan ditimbulkan oleh gempa.
II-21
II.2.1
Pengukuran Strong Ground Motion
Identifikasi dan evaluasi terhadap parameter ground motion dilakukan
berdasarkan hasil pengukuran strong ground motion akibat kejadian gempa.
National Research Council Committee on Earthquake Engineering Research
(Houston, 1992) menyebutkan bahwa pengukuran strong ground motion sangat
penting dalam analisis seismic hazard dan analisis seismik bangunan.
Meskipun deskripsi tertulis dari kejadian gempa bumi telah ada sejak tahun 780
SM, namun pengukuran secara akurat terhadap ground motion yang merusak baru
ditemukan pada tahun 1933, ketika terjadi gempa di Long Beach, California
(Hudson, 1984).
Ground motion diukur melalui berbagai peralatan instrumentasi berdasarkan besar
kecilnya ground motion yang terjadi. Seismograf (Gambar II-19) umumnya
digunakan untuk pengukuran weak ground motion dimana hasil pencatatannya
disebut seismogram. Untuk strong ground motion, pengukuran yang lebih akurat
dapat dilakukan dengan menggunakan akselerograf. Hasil dari pencatatan ini
dinamakan akselerogram.
Gambar II-19 Pencatatan ground motion dengan seismograf (dimodifikasi dari
http://earthsci.org, 2007)
II-22
Seismograf didisain mengikuti prinsip kerja sistem satu derajat kebebasan (single
degree of freedom/SDOF) yang tersusun atas massa (mass), pegas (spring) dan
peredam (damper) seperti dalam Gambar II-20.
Gambar II-20 Prinsip kerja seismograf berdasarkan sistem derajat satu kebebasam
dengan massa (mass), pegas (spring), dan peredam (damper) (Kramer, 1996)
Seiring waktu, alat pencatatan ground motion menjadi sangat beragam
diantaranya adalah seismometer dan akselerometer dengan transducer elektronik,
servo atau force balance akselerometer, piezoelectric akselerometer, dan
seismoscope (Hudson, 1958).
II.2.2
Parameter Ground Motion
Karakteristik dari strong ground motion dapat dikuntifikasi secara jelas apabila
diketahui parameter-parameter ground motion (ground motions parameters).
Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk menjelaskan karakteristik
dari amplitudo, kandungan frekuensi, serta durasi dari strong ground motion
tersebut. Karena karakteristik dari suatu ground motion pada suatu lokasi tertentu
tergantung kepada besarnya magnitude gempa dan jarak antara sumber gempa
dengan lokasi tinjau, maka parameter-parameter ground motion ini juga
dipengaruhi oleh magnitude gempa dan jarak dari sumber gempa ke lokasi tinjau.
II-23
II.2.2.1 Parameter Amplitudo
Metode yang paling umum digunakan untuk menggambarkan ground motion
adalah dengan grafik time histories. Parameter dari gerakan tersebut dapat berupa
percepatan, kecepatan, atau perpindahan atau kombinasi dari ketiganya seperti
terlihat dalam Gambar II-21. Biasanya pengukuran hanya dilakukan untuk satu
parameter saja dan parameter lainnya diperoleh secara matematis melalui operasi
integrasi atau diferensiasi.
Gambar II-21 Data pencatatan ground motion berupa time histories terhadap
percepatan, kecepatan, dan perpindahan (Kramer, 1996)
Amplitudo dari hasil pengukuran ground motion umumnya adalah percepatan
horisontal puncak atau peak horizontal acceleration (PHA). PHA adalah nilai
mutlak terbesar dari percepatan horisontal yang terukur pada akselerogram.
Percepatan horisontal ini berkaitan langsung dengan gaya inersia dan gaya
dinamik yang akan bekerja pada bangunan. PHA memberikan indikasi yang
akurat pada ground motion dengan frekuensi-frekuensi tinggi.
II-24
Selain PHA, karakterisasi ground motion dapat juga ditentukan dari kecepatan
horisontal puncak atau peak horizontal velocity (PHV). PHV sangat sesuai untuk
menggambarkan ground motion dengan frekuensi menengah. Pada bangunan
dengan frekuensi alami menengah, PHV dapat memberikan indikasi yang lebih
akurat dibandingkan dengan PHA terhadap potensi kerusakan yang dapat
ditimbulkan. Sedangkan untuk ground motion dengan frekuensi rendah,
karakteristik lebih mudah teridentifikasi dengan perpindahan horisontal
maksimum atau peak horizontal displacement (PHD).
II.2.2.2 Parameter Kandungan Frekuensi
Respon dinamik dari bangunan, baik alami maupun manusia seperti gedung,
jembatan, lereng dan timbunan tanah menunjukkan tingkat sensitifitas yang sangat
tinggi pada frekuensi dimana gempa terjadi. Gempa bumi menghasilkan
kombinasi beban yang rumit pada bangunan karena gerakan gempa memiliki
kisaran frekuensi yang sangat luas. Dengan kandungan frekuensi (frequency
content) dapat diketahui bagaimana amplitudo ground motion didistribusikan pada
frekuensi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu untuk menghasilkan karakterisasi
yang akurat terhadap ground motion, maka perhitungan kandungan frekuensi
penting dilakukan mengingat kandungan frekuensi dari suatu gempa sangat
berpengaruh kepada efek gerakan yang dihasilkan.
Kandungan frekuensi dari suatu strong ground motion didefinisikan dalam bentuk
spectra. Terdapat beberapa tipe spectra untuk menggambarkan kandungan
frekuensi ini. Fourier spectra dan Power spectra dapat menggambarkan secara
jelas kandungan frekuensi dari ground motion itu sendiri. Sedangkan Response
spectra lebih menjelaskan pengaruh ground motion kepada bangunan dengan
periode alami yang beragam. Selain spectra, kandungan frekuensi dari gerakan
tganah kuat juga dapat digambarkan melalui berbagai spectral parameters.
Parameter-parameter tersebut adalah periode dominan (predominant period, Tp),
bandwidth, frekuensi tengah (central frequency), faktor bentuk (shape factor), dan
parameter Kanai-Tajimi.
II-25
Gambar II-22 Kandungan frekuensi dalam respon spektra (Kramer, 1996)
II.2.2.3 Parameter Durasi
Durasi dari strong ground motion sangat mempengaruhi kerusakan yang
ditimbulkan oleh gempa. Proses-proses fisik seperti penurunan kekakuan dan
kekuatan bangunan tertentu serta epningkatan tekanan air pori dalam lapisan pasir
lepas jenuh sangat bergantung kepada jumlah beban atau tegangan yang terjadi
selama gempa. Semakin lama durasi gempa maka jumlah beban atau tegangan
yang terjadi akan semakin besar yang akhirnya akan menyebabkan kerusakan
yang lebih besar.
Durasi dari ground motion ini erat kaitannya dengan waktu yang dibutuhkan
untuk melepaskan akumulasi energi regangan dari keruntuhan di sepanjang
patahan. Durasi strong ground motion dapat dideskripsikan secara mutlak atau
relatif. Bracketed duration didefinisikan sebagai rentang waktu antara percepatan
batas awal dan akhir. Braceketed duration ini mengacu kepada pengukuran
mutalk percepatan ground motion. Selain itu, pengukuran durasi berdasarkan
II-26
ground motion relatif dapat menggambarkan durasi yang sama panjang untuk
weak ground motion.
II.3
Analisis Seismic Hazard
Dalam perencanaan bangunan tahan gempa, bangunan didesain agar dapat
menahan guncangan tanah sampai tingkatan tertentu tanpa menimbulkan
kerusakan yang berlebihan. Besarnya tingkat guncangan tanah ditentukan
berdasarkan ground motion yang dihitung melalui analisis seismic hazard.
Terdapat dua metode analisis untuk menentukan seismic hazard, yaitu 1)metode
deterministik dimana skenario gempa tertentu diasumsikan 100% terjadi dan
2)metode probabilistik yang memperhitungkan faktor ketidakpastian terhadap
ukuran, lokasi, dan waktu kejadian gempa.
II.3.1
Identifikasi dan Evaluasi Sumber-sumber Gempa
Dalam analisis seismic hazard pada suatu lokasi, seluruh sumber gempa aktif di
sekitar lokasi tersebut serta kemungkinan sumber gempa tersebut menghasilkan
strong ground motion di masa datang harus diidentifikasi dan dievaluasi secara
jelas. Identifikasi dan evaluasi aktifitas gempa dapat dilakukan berdasarkan data
seismik dari instrumentasi seperti seismograf. Dari data tersebut dapat diketahui
besarnya magnitude gempa, lokasi keruntuhan di permukaan serta parameterparameter sumber. Apabila data seismik ini tidak tersedia, maka aktifitas gempa
dapat diketahui dari bukti-bukti geologis atau tektonis serta informasi seismisitas
historis. Wells & Coppersmith (1994) mengusulkan hubungan empiris antara
magnitude momen terhadap data geologis berupa panjang keruntuhan (L), luas
area keruntuhan (A), dan perpindahan maksimum di permukaan (D) seperti
terlihat dalam Tabel II-3.
II-27
Tabel II-3 Hubungan empiris antara magnitude momen (Mw), panjang keruntuhan,
L (km), luas area keruntuhan, A (km2), dan perpindahan maksimum di permukaan,
D (m) (Wells & Coppersmith, 1994)
Tipe
Patahan
Strike Slip
Reverse
Normal
All
Strike Slip
Reverse
Normal
All
Strike Slip
Reverse
Normal
All
II.3.2
Jumlah
Kejadian
43
19
15
77
83
43
22
148
43
21
16
80
Persamaan
σMw
Persamaan
σlog L, A, D
Mw = 5.16 + 1.12 log L
Mw = 5.00 + 1.22 log L
Mw = 4.86 + 1.32 log L
Mw = 5.08 + 1.16 log L
Mw = 3.98 + 1.02 log A
Mw = 4.33 + 0.90 log A
Mw = 3.93 + 1.02 log A
Mw = 4.07 + 0.98 log A
Mw = 6.81 + 0.78 log D
Mw = 6.52 + 0.44 log D
Mw = 6.61 + 0.71 log D
Mw = 6.69 + 0.74 log D
0.28
0.28
0.34
0.28
0.23
0.25
0.25
0.24
0.29
0.52
0.34
0.4
Log L = 0.74 Mw – 3.55
Log L = 0.63 Mw – 2.86
Log L = 0.50 Mw – 2.01
Log L = 0.69 Mw – 3.22
Log A = 0.90 Mw – 3.42
Log A = 0.98 Mw – 3.99
Log A = 0.82 Mw – 2.87
Log A = 0.91 Mw – 3.49
Log D = 1.03 Mw – 7.03
Log D = 0.29 Mw – 1.84
Log D = 0.89 Mw – 5.90
Log D = 0.82 Mw – 4.56
0.23
0.2
0.21
0.22
0.22
0.26
0.22
0.24
0.34
0.42
0.38
0.42
Analisis Seismic Hazard Probabilistik
Analisis seismic hazard dilakukan untuk mengetahui tingkat goncangan tanah
secara kuantitatif yang diakibatkan oleh suatu kejadian gempa pada suatu lokasi
tertentu. Analisis ini dapat dilakukan dengan dua metode perhitungan, yaitu
dengan metode deterministik (DSHA) dan metode probabilistik (PSHA). Analisis
dengan metode deterministik dilakukan dengan cara mengasumsikan suatu
skenario kejadian gempa dalam besaran tertentu yang terjadi pada suatu lokasi
tertentu. Sedangkan analisis seismic hazard dengan metode probabilistik
dilakukan dengan memperhitungkan seluruh ketidakpastian pada ukuran gempa,
lokasi gempa, pengulangan kejadian gempa serta variasi karakteristk ground
motion dengan ukuran dan lokasi gempa dimana dengan metode ini memberikan
ruang kerja yang memungkinkan identifikasi, pengukuran dan penggabungan
faktor ketidakpastian pada suatu hubungan yang rasional untuk menghasilkan
gambaran yang lebih detail dalam perhitungan analisis resiko gempa. Reiter
(1990) menyimpulkan empat tahapan umum dalam melakukan analisis seismic
hazard dengan metode probabilistik sebagai berikut :
1.
Identifikasi dan karakterisasi sumber gempa serta probabilitas dari distribusi
lokasi keruntuhan yang mungkin terjadi di sekitar sumber gempa. Dengan
PSHA, probabilitas distribusi jarak sumber gempa-lokasi tinjau ditentukan
II-28
dari gabungan distribusi gempa yang diasumsikan terjadi di setiap lokasi
dalam zona sumber gempa dengan geometri sumber gempa.
2.
Karakterisasi seismisitas atau distribusi temporer pengulangan kejadian
gempa menggunakan hubungan pengulangan kejadian gempa (recurrence
relationship) dengan menentukan tingkat rata-rata suatu kejadian gempa
dengan ukuran terentu akan terlampaui.
3.
Penentuan besarnya ground motion yang terjadi pada suatu lokasi akibat
suatu kejadian gempa dengan ukuran tertentu pada setiap lokasi dalam zona
sumber gempa menggunakan predictive relationship. Dalam tahapan ini,
diperhitungkan juga ketidakpastian yang ada pada predictive relationship.
4.
Selanjutnya, probabilitas parameter ground motion akan terlampaui dalam
periode ulang tertentu ditentukan dari gabungan seluruh ketidakpastian pada
ukuran gempa, lokasi gempa serta prediksi parameter ground motion.
Ilustrasi dari tahapan dalam PSHA ini dapat dilihat dalam Gambar II-23.
Gambar II-23 Tahapan dalam analisis seismic hazard probabilistik (Kramer, 1996)
II-29
Karakterisasi terhadap suatu sumber gempa perlu memperhitungkan karakteristik
jarak dan geometri sumber gempa serta distribusi gempa dalam sumber gempa,
distribusi ukuran gempa untuk setiap sumber gempa dan distribusi gempa
terhadap waktu. Karakteristik tersebut mengandung ketidakpastian yang perlu
diperhitungkan dalam analisis seismic hazard.
II.3.2.1 Ketidakpastian Jarak dan Geometri Sumber Gempa
Geometri suatu sumber gempa tergantung pada proses tektonik sumber gempa
tersebut. Karakterisasi terhadap geometri sumber gempa ini dapat berbentuk 1)
point source seperti pada patahan-patahan pendek atau gempa-gempa vulkanik
Gambar II-24 (a), 2) area source seperti pada bidang-bidang patahan yang
teridentifikasi dengan baik Gambar I-1Gambar II-24 (b), dan 3) 3-D volumetric
source seperti pada sistem patahan yang sangat luas Gambar II-24 (c).
Gambar II-24 Geometri model sumber gempa (a) patahan pendek yang dimodelkan
sebagai point source (b) patahan dangkal yang dimodelkan sebagai linear source (c)
sumber gempa 3-dimensi (Kramer, 1996)
Ketidakpastian pada jarak sumber gempa dalam suatu zona sumber gempa
diperhitungkan dengan menggunakan probability density function berdasarkan
jarak dan geometri sumber gempa seperti terlihat dalam Gambar II-25.
II-30
Gambar II-25 Distribusi probabilitas jarak untuk berbagai geometri sumber gempa
(Kramer, 1996)
II.3.2.2 Ketidakpastian Distribusi Ukuran Gempa
Distribusi ukuran gempa di zona sumber pada periode tertentu diperhitungkan
dengan hukum pengulangan kejadian (recurrence law). Terdapat beberapa metode
reccurence law yang digunakan dalam analisis seismic hazard, diantaranya adalah
Gutenberg-Richter recurrence law dan characteristic recurrence law.
Gutenberg-Richter recurrence law seperti terlihat dalam Gambar II-26 ditentukan
berdasarkan nilai rata-rata kejadian gempa tahunan (mean annual rate of
exceedance) dari suatu gempa dengan magnitude m, λm yang ditentukan dari
pembagian jumlah kejadian gempa untuk setiap magnitude dengan periode
pengamatan. Gutenberg-Richter recurrence law dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut :
λm =10 a −bM = exp(α − βm )
(II-5)
dimana :
λm
a
10
b
α
β
= rata-rata kejadian gempa tahunan dari gempa dengan magnitude m
= rata-rata tahunan jumlah gempa dengan magnitude ≥ 0
= b-value, distribusi relatif kejadian gempa besar dan kecil
= 2.303a
= 2.303b
II-31
Gambar II-26 Gutenberg-Richter recurrence law (Kramer, 1996)
Persamaan (II-7) menunjukkan bahwa magnitude gempa dalam GutenbergRichter recurrence law ini terdistribusi secara eksponensial.
Dalam perhitungan analisis seismic hazard, umumnya gempa-gempa kecil
diasumsikan tidak memberikan tingkat kerusakan yang berarti pada bangunan
sehingga diabaikan dalam recurrence law. McGuire dan Arabasz (1990)
persamaan untuk menghitung rata-rata kejadian gempa tahunan sebagai berikut :
λm =ν exp[− β (m − mo )]
m > mo
(II-6)
dimana :
mo
= threshold magnitude (dalam PSHA diambil sebesar 5.0)
ν
= exp(α − βmo )
Characteristic recurrence law dikembangkan mengingat PSHA umumnya
dilakukan untuk lokasi tertentu daripada wilayah yang luas sehingga
karakekteristik geologis dari patahan tunggal sangat menentukan hasil PSHA
tersebut. Studi paleoseismik menyebutkan bahwa setiap lokasi pada patahan atau
segmen patahan cenderung bergerak dengan jarak yang sama pada setiap gempa
yang terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa patahan tunggal tersebut
II-32
secara berulang-ulang akan menghasilkan gempa dengan ukuran sebesar 1.5 kali
magnitude maksimum di dekat atau pada magnitude maksimum tersebut. Gempa
ini dinamakan dengan gempa karakteristik (characteristic earthquake). Buktibukti geologis menunjukkan bahwa gempa karakteristik ini lebih sering terjadi
dibandingkan dengan gempa yang diperkirakan dari ekstrapolasi GutenbergRichter recurrence law (Gambar II-27).
Gambar II-27 Recurrence law berdasarkan data seismik (Gutenberg-Richter law)
dan data geologi (characteristic law ) (Kramer, 1996)
II.3.2.3 Teori Probabilitas Total
Teori probabilitas total McGuire (1976) dikembangkan berdasarkan konsep
probabilitas dari Cornell (1968) yang mengasumsikan magnitude gempa M dan
jarak hiposenter R sebagai variabel acak independen yang kontinyu. Teori
probabilitas total dinyatakan melalui persamaan sebagai berikut :
P[I ≥ i ] = ∫ ∫ P[I ≥ i m,r ] f M (m ).f R (r ).dm.dr
r m
II-33
(II-7)
dimana :
fM
fR
P[I ≥ i m, r ]
= fungsi probabilitas magnitude
= fungsi probabilitas jarak hiposenter
= probabilitas berkondisi dari intensitas I yang melampaui nilai i
pada lokasi yang ditinjau untuk kejadian gempa dengan magnitude M dan jarak hiposenter R
P[I ≥ i m, r ] merupakan probability density function (PDF) untuk magnitude M
dan jarak hiposenter R yang diperoleh dari predictive relationship dengan fungsi
atenuasi tertentu dan fM(m) dan fR(r). PDF dengan variabel acak tersebut dapat
dinyatakan dalam cummulative distribution function (CDF) sebagai berikut :
P[I ≥ i m,r ]= 1 − FI (i )
(II-8)
Nilai FI(i) ditentukan dari distribusi probabilitas yang digunakan untuk
menggambarkan distirbusi dari parameter ground motion sebagai fungsi dari
magnitude dan jarak. Distribusi probabilitas ini dapat berbentuk distirbusi
seragam (uniform distribution), disribusi normal (normal distirbution), atau
distribusi lognormal (lognormal distirbution).
Apabila magnitude maksimum, mmax, dapat ditentukan, McGuire & Arabasz
(1990) mengusulkan persamaan untuk menghitung rata-rata kejadian gempa
tahunan sebagai berikut :
λm =ν
exp[− β (m − mo )] − exp[− β (mmax − mo )]
1 − exp[− β (mmax − mo )]
mo ≤ m ≤ mmax
(II-9)
Selanjutnya distribusi probabilitas magnitude fM dapat dinyatakan dalam
probability density function (PDF) sebagai berikut :
f M (m ) =
βe − β (m − mo )
d
FM (m ) =
dm
1 − e − β (mmax − mo )
atau dalam cummulative distribution function (CDF) sebagai berikut :
II-34
(II-10)
FM (m ) = P[M < m M > mo ] =
λm − λm
=1 − e − β ( m
λm − λm
o
max
max − mo
)
(II-11)
o
Distribusi probabilitas jarak fR ditentukan dari geometri sumber gempa, jarak
sumber serta arah relatifnya terhadap lokasi yang ditinjau. Apabila geometri zona
keruntuhan diperhitungkan dalam perhitungan jarak, maka distribusi jarak
ditentukan oleh magnitude gempa.
II.3.2.4 Logic Tree
Logic tree merupakan suatu metode yang dikembangkan oleh Power dkk., 1981;
Kulkarni dkk., 1984; Coppersmith & Youngs, 1986 untuk memperhitungkan
seluruh ketidakpastian dalam menentukan parameter-parameter dalam PSHA,
yaitu pemilihan recurrence model, fungsi atenuasi, recurrence rate, dan magnitude
maksimum. Dengan logic tree, setiap alternatif yang dipilih dalam menentukan
parameter-parameter di atas diberi suatu bobot yang menggambarkan tingkat
kepercayaan terhadap parameter yang digunakan. Jumlah faktor bobot dari semua
alternatif metode untuk parameter yang sama harus sama dengan satu seperti pada
contoh dalam Gambar II-28.
Gambar II-28 Contoh logic tree (Coppersmith & Youngs, 1986)
II-35
II.3.2.5 Deagregasi
Deagregasi diperlukan dalam pemilihan data ground motion/akselerogram untuk
analisis respon dinamik tanah. Deagragasi menghasilkan controlling earthquake,
yaitu gempa yang memberikan kontribusi terbesar dalam analisis seismic hazard
probabilistik seperti pada contoh dalam Gambar II-29. Controlling earthquake
ditentukan dari controlling magnitude (Mcontrolling) dan controlling distance
(Rcontrolling) yang diperoleh berdasarkan konsep titik berat dari kurva deagregasi.
M controlling =
Rcontrolling =
∑ M (kontribusi kejadian/tahun )
∑ (kontribusi kejadian/tahun )
i
(II-12)
∑ R (kontribusi kejadian/tahun )
∑ (kontribusi kejadian/tahun )
i
(II-13)
0.016
0.014
0.012
5.5-6.0
6.0-6.5
0.010
6.5-7.0
7.0-7.5
0.008
7.5-8.0
8.5-9.0
0.006
Contribution to Hazard
5.0-5.5
8.5-9.0
7.0-7.5
6.0-6.5
5
5.0-5.5
0.000
45
85
m)
125
nce
(k
165
Dista
0.002
205
245
285
0.004
ud
Magnit
e
Gambar II-29 Contoh kurva deagregasi untuk menentukan controlling earthquake
(Irsyam, dkk., 2006)
II-36
II.3.3
Konsep Probabilistik Untuk Model Sumber Gempa Tiga Dimensi
Dalam Program Komputer EZ-FRISKTM
PSHA
dalam
program
komputer
EZ-FRISKTM
dari
Risk
Engineering
dikembangkan dari persamaan (II-9) dan (II-10). P[I ≥ i m,r ] dalam persamaan
tersebut dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
ln I = C1 + C 2 M + C 3 ln R + C 4 R + ε
ε ≈ N (0, σ 12 )
(II-14)
dimana R adalah jarak ke zona keruntuhan gempa, C1, C2, C3, dan C4 adalah
konstanta, dan σ1 adalah standar deviasi. Persamaan (II-10) di atas dapat ditulis
dalam bentuk sebagai berikut :
P[I ≥ i m,r ]= φ * −
ln i − ln I (m, r )
(II-15)
σ1
dengan φ adalah normal complementary cumulative distribution function.
Distribusi magnitude gempa ditentukan dengan model eksponensial atau model
karakteristik dari Young & Coppersmith (1985). Model eksponensial dinyatakan
dengan persamaan sebagai berikut :
f M (m ) = ki(− βi(m − M oi )),
M oi < m < M max
(II-16)
dimana :
ki = (1 − exp(βi(m − M oi ))) − 1
= konstanta normalisir
Moi
= magnitude minimum
Mmax
= magnitude terbesar yang dapat terjadi di
sumber gempa
Model karakteristik dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
f Mi (m ) = k i' exp(− β i (m = M oi ))
M oi ≤ m ≤ M max i − 3
II-37
2
(II-17)
( ((
f Mi (m ) = k i' exp − β i M max i − 3
2
)− M ))
oi
M max i − 1 ≤ m ≤ M max i
2
(II-18)
dimana ki' adalah konstanta normalisir. Model karakteristik hanya sesuai untuk
sumber gempa berupa patahan.
EZ-FRISKTM menggunakan model tiga dimensi untuk menggambarkan sumber
gempa patahan. Karakteristik dari patahan ini ditentukan oleh jejak patahan di
permukaan dan potongan penampang vertikalnya. Jejak patahan di permukaan
dimodelkan dengan segmen-segmen berbentuk garis lurus yang bersambungan
dan potongan penampang vertikal patahan dimodelkan dengan sudut dip serta
kedalaman seperti terlihat dalam Gambar II-30. Pemodelan kedalaman meliputi
kedalaman minimum dimana energi dilepaskan, kedalaman dimana sudut
berubah, dan kedalaman maksimum dimana energi dilepaskan.
Gambar II-30 Karakteristik patahan dalam program komputer EZ-FRISKTM (Risk
Engineering, 2007)
Jarak sumber gempa dalam program ini ditentukan dengan memperhitungkan
dimensi zona keruntuhan dan hubungan antara ukuran keruntuhan dengan
II-38
magnitude gempa. Panjang keruntuhan, LR, dan lebar keruntuhan, WR, bervariasi
terhadap magnitude gempa dan dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
δ ≈ N (0, SIGL2 ) (II-19)
log10 LR = log10 WR = AL + BL + δ
Konstanta AL dan BL umumnya diperoleh dari analisis regresi magnitude gempa
terhadap dimensi zona keruntuhan. SIGL merupakan standar deviasi dari analisis
regresi. Apabila untuk nilai δ tertentu, nilai LR yang dihitung dengan persamaan
(2-19) di atas lebih besar daripada panjang patahan, maka LR diasumsikan sama
dengan panjang patahan. Hal ini berlaku juga untuk lebar patahan, WR. Dalam
studi ini, konstanta AL dan BL diambil dari korelasi empiris oleh
Wells &
Coppersmith (1994) dalam Tabel II-4 sebagai berikut :
Tabel II-4 Konstanta panjang zona keruntuhan (Wells & Coppersmith, 1994)
Mekanisme Gempa
AL
BL
SIGL
Subduksi
Shallow Crustal
-3.22
-3.55
0.69
0.74
0.22
0.23
EZ-FRISKTM mendefisikan jarak R sebagai :
• R0 : jarak terdekat dengan zona keruntuhan
• R1 : jarak terdekat dengan proyeksi horisontal zona keruntuhan
R1 = Rhorisontal
• R2 : jarak terdekat dengan proyeksi keruntuhan di permukaan (jarak terdekat
dengan bagian zona keruntuhan dari jalur patahan, jika zona keruntuhan
memanjang ke permukaan); termasuk kedalaman tetap yang didefinisikan
sebagai RZEROF.
R2 = R ekspresi ke permukaan
R1 = R2 untuk patahan vertikal
Ilustrasi dari definisi jarak di atas dapat dilihat dalam Gambar II-31 berikut :
II-39
Gambar II-31 Definisi jarak pada patahan dalam program komputer
EZ-FRISKTM (Risk Engineering, 2007)
Jarak umumnya didefinsikan sebagai R0. Definisi jarak lainnya digunakan sesuai
dengan definisi jarak pada fungsi atenuasi tertentu. Dengan definisi jarak R di
atas, persamaan (II-9) untuk menghitung PSHA dimodifikasi menjadi persamaan
berikut :
P[I ≥ i ] = ∫ f M (m )∫ f LR (l )∫ P[I ≥ i m,r ] f R , M,LR (r , m, l ).dr.dl.dm.
m
l
(II-20)
r
dimana :
fM
= fungsi probabilitas magnitude
fR
= fungsi probabilitas jarak hiposenter
P[I ≥ i m, r ]
= probabilitas berkondisi dari intensitas I yang melampaui nilai i
pada lokasi yang ditinjau untuk kejadian gempa dengan magnitude M dan jarak hiposenter R
II.4
Pembuatan Ground Motion
Pada kasus-kasus tertentu seperti analisis nonlinear dalam perhitungan respon
struktur inelastis atau deformasi permanen dari suatu lereng yang tidak satabil,
parameter ground motion tidak dapat menggambarkan secara jelas pengaruh dari
II-40
goncangan tanah akibat gempa. Hal ini disebabkan ground motion akibat gempa
bekerja sebagai beban dinamik pada struktur dan respon dinamik struktur terhadap
beban gempa ini tergantung pada besarnya beban dinamik dan durasi beban
dinamik tersebut. Selanjutnya, ground motion akan lebih tepat digambarkan
dalam bentuk acceleration time histories. Acceleration time histories dapat
digunakan untuk menentukan ground motion desain spesifik di lokasi studi (sitespecific design ground motion) yang menggambarkan respon tanah di permukaan
akibat perambatan gelombang gempa.
Acceleration time histories diperoleh dari pencatatan instrumentasi di lokasi
tinjau. Pada kenyataanya, data acceleration time histories di Indonesia masih
sangat kurang dan lebih banyak berupa informasi mengenai lokasi episenter
gempa, magnitude, kedalaman dan mekanisme gempa. Guna mengatasi hal ini,
acceleration time histories dapat diperoleh dari metode alternatif sebagai berikut :
a.
menggunakan catatan time histories dari daerah yang memiliki kondisi
geologi dan seismologi serupa dengan lokasi studi.
b.
menggunakan catatan time histories dari lokasi lain yang kemudian dimatch-kan dengan target spektra batuan dasar (percepatan maksimum dan
periode).
c.
membuat motion gempa sintetik yang disesuaikan terhadap kondisi geologi
dan seismologi lokasi studi.
II.4.1
Spectral Matching Dalam Program Komputer EZ-FRISKTM
Pembuatan ground motion yang menggambarkan data m dapat dilakukan dengan
metode spectral matching yang tersedia dalam program komputer EZ-FRISKTM.
Dengan spectral matching, data akselerogram dari lokasi lain akan dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga respon spektra dari data akselerogram tersebut sesuai
(matched) dengan respon spektra target. EZ-FRISKTM menggunakan algoritma
pemrograman RSPM99 dari Norm Abrahamson untuk menentukan spectral
II-41
matching. RSPM99 dikembangkan berdasarkan metode time domain dari Tseng
dan Linaland (1988).
II-42
Download