EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH Abstrak Dalam meningkatkan rasio elektrifikasi nasional, PLN telah melakukan banyak upaya untuk mencapai target yang ditetapkan. Pembangunan pembangkit listrik baru dan mengupayakan penggunaan energi baru terbarukan menjadi solusi untuk pencapaian target tersebut. Namun pelaksanaan strategi tersebut masih mengalami beberapa kendala dan dilaksanakan kurang maksimal. Rasio elektrifikasi beberapa daerah masih tergolong rendah. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaan strategi tersebut, PLN masih berfokus di area Jawa. Penggunaan pembangkit listrik bertenaga uap yang menjadi solusi pengganti pembangkit listrik bertenaga diesel dengan bahan bakar minyak, masih didominasi daerah Jawa, baik dari fisiknya maupun kapasitasnya. Kesulitan menjangkau daerah terpencil menjadi kendala utama dalam penyaluran pasokan listrik dari pembangkit listrik yang baru dibangun. A. Pendahuluan Sepanjang tahun 2013 yang lalu, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mencatat rasio eletrifikasi nasional naik sekitar 4% dibanding tahun sebelumnya atau mencapai 79,3%. PLN menyatakan yang mendorong naiknya eletrifikasi nasional pada tahun 2013 yakni bertambahnya pelanggan baru serta adanya peningkatan jaringan listrik di pedesaan. Meskipun begitu, di tahun 2013 rasio elektrifikasi di sejumlah daerah di Indonesia Timur tercatat masih rendah. Hal ini terjadi karena beberapa daerah kurang mendapatkan pasokan listrik akibat lokasinya yang tidak tersentral atau terpusat. Daerah-daerah yang kurang mendapatkan pasokan listrik di wilayah Indonesia Timur tersebut adalah Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua yang masing-masing memiliki rasio elektrifikasi di bawah 60% (lihat grafik I). Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 120 Grafik I. Rasio Elektrifikasi Daerah 2009-2013 (dalam %) Sumber: Statistik PLN 2009-2013 B. Upaya PLN Meningkatkan Pasokan Listrik Daerah Kondisi fisik lingkungan daerah yang sulit dijangkau infrastruktur listrik merupakan tantangan tersendiri bagi PLN dalam menghadirkan listrik bagi area tersebut. Banyak solusi telah ditawarkan bahkan telah dijalankan oleh PLN namun masih belum optimal dirasakan efeknya. Program yang dilakukan PLN diantaranya program listrik masuk desa yang didanai dari dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Tahun 2011, PLN mengajukan DIPA untuk program listrik masuk desa sebesar Rp 3,19 triliun. Namun, tidak semua anggaran tersebut terserap. Penyerapan anggaran untuk listrik masuk desa tersebut hingga November 2011 hanya sebesar Rp 1,27 triliun atau 39,72 persen dan hingga akhir tahun 2011, anggaran tersebut hanya terserap hingga Rp 2,99 triliun atau 93,4 persen saja. Kendala utama program ini adalah transisi diberlakukannya Perpres 54/2010 untuk Pengadaan Barang dan Jasa. Pembangunan listrik di pedesaan juga menjadi program corporate social responsibility (CSR) PLN yang menunjang peningkatan rasio elektrifikasi nasional. Program tersebut adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), adalah suatu pembangkit listrik skala kecil yang menggunakan tenaga air sebagai tenaga penggeraknya seperti, saluran irigasi, sungai atau air terjun alam dengan cara memanfaatkan tinggi terjunan (head) dan jumlah debit air namun kapasitas listrik yang dimunculkan tergolong kecil (<200MW). PLTMH di bangun di areal yang Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 121 relatif terpencil, sulit diakses oleh jaringan listrik secara ekonomis, namun memiliki potensi sumber air yang potensial dan luas hutan yang memadai untuk menjamin pasokan air. Potensi sumber energi tenaga air ini tersebar sebanyak 15.600 MW (20,8%) di Sumatera, 4.200 MW (5,6%) di Jawa, 21.600 MW (28,8%) di Kalimantan, 10.200 MW (13,6%) di Sulawesi, 620 MW (0,8%) di Bali, NTT dan NTB, 430 MW (0,6%) di Maluku, dan 22.350 MW (29,8%) di Papua, dari potensi nasional. PLN sendiri dengan program CSR-nya telah membantu pembangunan PLTMH bekerja sama dengan perguruan tinggi. Salah satu unit PLTMH hasil kerja sama ini dibangun di Desa Pesawaran Indah, Lampung. Beberapa unit PLTMH kerja sama PLN dengan Universitas Gadjah Mada, juga dibangun di beberapa lokasi lain, yakni: Dusun Lebak Picung, menerangi 52 KK, 1 sekolah dasar dan 1 musholla; Desa Adat Susuan Karang Asem, Provinsi Bali dengan kapasitas 25 KW; Dusun Kampung Sawah, kapasitas 6 KW, menerangi 40 KK; Dusun Bojong Cisono, kapasitas 6KW, menerangi 70 KK; Dusun Cibadak, kapasitas 6 KW, menerangi 266 KK; Dusun Cisuren, kapasitas 12KW, menerangi 120 KK; Dusun Ciawi, kapasitas 6KW, menerangi 180 KK; Dusun Luewi Gajah, kapasitas 6 KW, menerangi 70 KK; Dusun Parakan Darai, kapasitas 10 KW, menerangi 54 KK; PLTMH di Sungai Code, Yogyakarta. Selain memanfaatkan energi yang berasal dari tenaga air, PLN juga mengupayakan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dalam menyajikan listrik bagi Indonesia, diantaranya penggunaan panas bumi dalam pembangkitan listrik. Salah satu area di Indonesia, Jawa Barat memiliki potensi sumber daya alam panas bumi yang luar biasa besar dan merupakan yang terbesar di Indonesia. Potensi panas bumi di Jawa Barat mencapai 5411 MW atau 20% dari total potensi yang dimiliki Indonesia. Sebagian potensi panas bumi tersebut bahkan telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik seperti: 1. PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Kamojang di dekat Garut, memiliki unit 1, 2, 3 dengan kapasitas total 140 MW. Potensi yang masih dapat dikembangkan sekitar 60 MW. 2. PLTP Darajat, 60 km sebelah tenggara Bandung dengan kapasitas 55 MW 3. PLTP Gunung Salak di Sukabumi, terdiri dari unit 1, 2, 3, 4, 5, 6 dengan kapasitas total 330 MW 4. PLTP Wayang Windu di Pangalengan dengan kapasitas 110 MW. Meski begitu, pemanfaatan energi panas bumi tidak tanpa kendala. Energi panas bumi yang umumnya berada di kedalaman 1.000-2.000 meter di bawah permukaan tanah sulit ditebak keberadaan dan "karakternya". Investasi untuk menggali energi panas bumi tidak sedikit karena tergolong berteknologi dan berisiko tinggi. Investasi untuk kapasitas di bawah satu MW, berkisar US$ 3.0005.000 per kilowatt (kW). Sementara untuk kapasitas di atas satu MW, diperlukan Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 122 investasi US$ 1.500-2.500 per kW. Tantangan selanjutnya adalah akibat sifat panas yang "site specific" kondisi geologis setempat. Karakter produksi dan kualitas produksi akan berbeda dari satu area ke area yang lain. Penurunan produksi yang cepat, sebagai contoh, merupakan karakter produksi yang harus ditanggung oleh pengusaha atau pengembang, ditambah kualitas produksi yang kurang baik, dapat menimbulkan banyak masalah di pembangkit. Misalnya, kandungan gas yang tinggi mengakibatkan investasi lebih besar di hilir atau pembangkitnya. Di sisi lain, adanya potensi panas bumi di suatu daerah biasanya di pegunungan dan terpencilsering tak bisa dimanfaatkan karena kebutuhan listrik di daerah itu sedikit sehingga belum ekonomis untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan energi panas bumi tersebut. Selain PLTMH dan PLTP, PLN terus memberikan bauran energi untuk pembangkit listrik di Indonesia. Salah satunya menggantikan pembangkit listrik yang menggunakan BBM dengan sumber energi yang lebih murah seperti gas. Wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh pipa gas pun diganti dengan teknologi gas bumi kompresi (Compressed Natural Gas/CNG). Penggantian pembangkit baru saja dilakukan di Bawean, Jawa Timur. PLN bekerja sama dengan anak perusahaannya, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), telah membangun Pusat Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) berkapasitas 3x1 megawatt (mw). Di PLTMG ini, dua unit mesin gas telah beroperasi dengan kapasitas total 2 mw, sedangkan satu unit terakhir akan segera menyusul. Pasokan gas nanti didapat dari terminal CNG Gresik. CNG tersebut disimpan dalam tabung-tabung dan diangkut dengan kapal laut dari Gresik. Kemudian, melintasi laut Jawa sejauh 80 mil laut atau 120 kilometer ke Pulau Bawean. Tapi pihak perseroan harus mengeluarkan ongkos produksi yang tidak murah untuk membeli BBM. Setiap bulan mesin diesel pada pembangkit tersebut mengonsumsi 503.096 liter BBM. Ditambah dengan biaya transportasi BBM dan sewa mesin, biaya produksi listrik di wilayah itu mencapai Rp 2.800 per kWh (kilowatt per jam). Hal ini merupakan kendala dalam penerapan teknologi CNG, namun meskipun begitu, dengan menggunakan CNG dan mengurangi pemakaian BBM dalam pembangkitan listrik, PLN sendiri dapat menghemat sekitar Rp. 1,488 miliar per bulan. Jika dilihat dari beberapa situasi ini, PLN sebenarnya telah berupaya untuk meningkatkan pelayanannya agar diterima di daerah. Namun masih ada beberapa hal yang mungkin menjadi kelemahan dari masing-masing solusi karena kondisi di daerah yang tidak memungkinkan. Dengan kondisi seperti itu, perlu dikaji pula apakah lebih baik menghadirkan banyak pembangkit listrik baru dengan kapasitas kecil di daerah-daerah yang sulit terjangkau infrastruktur listrik ataukah menghadirkan beberapa pembangkit listrik yang berkapasitas besar namun masih perlu dipertimbangkan bagaimana penyaluran listriknya ke area yang terpencil. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 123 C. Efisiensi Pembangkit Listrik Indonesia Tahun 2013 pembangkit listrik yang telah dibangun dalam program fast track 10.000 MW mulai dioperasikan. Dari sekian banyak pembangkit listrik yang dibangun, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memiliki peningkatan jumlah pembangkit yang progresif dari tahun ke tahun (gambar I). Dari segi kapasitas PLTU juga memiliki kapasitas terpasang paling tinggi. Gambar 1. Perbandingan Jumlah dan Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik Indonesia Sumber: Statistik PLN, 2013 PLTU dijadikan pembangkit listrik utama pengganti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), meskipun begitu dari segi jumlah dan kapasitas serta daya mampu pembangkit listrik ini masih terpusat di wilayah Jawa dan Bali. Di luar Jawa dan Bali, pembangkit yang banyak dipakai adalah pembangkit listrik tenaga diesel yang berbahan bakar minyak. Pembangkit listrik ini masih mendominasi sebagai penyedia pasokan listrik di area luar Jawa dan Bali. Gambar 2. Perbandingan Jumlah, Kapasitas Terpasang, Daya Mampu Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2013 Sumber: Statistik PLN 2013 Jika dilihat dari optimalisasi penggunaannya, pembangkit listrik tenaga uap dan gas memiliki optimalisasi penggunaan yang rendah di luar Jawa. Terlihat di Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 124 gambar 3, bahwa di luar Jawa, daya mampu pembangkit listrik masih belum sepenuhnya dioptimalkan untuk memenuhi kapasitas terpasang dari 2 jenis pembangkit tersebut. Sedangkan di Jawa, optimalisasi penggunaan PLTD-lah yang paling rendah, karena penggunaan pembangkit listrik dengan BBM mulai ditinggalkan. PLTU tidak terlalu optimal digunakan di Luar Jawa karena dalam membangun pembangkit listrik ini dibutuhkan lahan yang luas dan harus ditempatkan di daerah yang dekat dengan sumber air yang melimpah karena membutuhkan air pendingin yang cukup banyak. Selain itu emisi gas buang tidak ramah lingkungan (biasanya untuk bahan bakar batubara atau residu). Gambar 3. Perbandingan Pembangkit Listrik di Jawa dan Luar Jawa tahun 2013 Sumber Statistik PLN, 2013 Pembangkit listrik tenaga gas juga kurang optimal dioperasikan di luar Jawa, hal ini terjadi karena sifat dasar dari PLTG yaitu daya yang dihasilkan memang relatif rendah dan perlu sering dilakukan pemeriksaan terhadap area yang dilewati gas panas. Pembangkit listrik ini merupakan pembangkit yang memiliki efisiensi rendah. Dari segi biaya operasi, sesuai tabel 1 dapat dibandingkan pembangkit listrik mana yang memberi pasokan listrik dengan biaya yang murah namun energi yang dihasilkan besar, yaitu adalah PLTU, namun seperti yang tadi disampaikan bahwa PLTU masih sedikit dibangun di luar Jawa dan Bali. Tabel 1. Biaya Operasional PLN Sesuai Jenis Pembangkit Kapasitas Terpasang (MW) Jumlah Pembangkit PLTA 3,519 220 13,010 24.78 40.70 83.94 3.26 13.99 PLTU 15,554 71 80,926 555.50 49.42 108.66 1.86 4.08 719.52 PLTG 2,894 77 5,917 2,633.42 124.48 181.38 2.17 12.83 2,954.28 PLTGU 8,814 66 36,423 1,022.08 54.79 74.74 3.16 4.44 1,159.21 Jenis Pembangkit Energi yg Biaya Operasional Rata-rata (juta Rp/GWh) Diproduksi Penyusutan Bahan Bakar *) Pemeliharaan Lain-lain Pegawai (GWh) Aktiva Jumlah 166.67 PLTP 568 14 4,345 853.57 108.68 125.33 1.91 14.02 1,103.51 PLTD 2,848 4,422 3,594 2,375.01 592.60 188.68 19.50 110.35 3,286.14 Sumber: Statistik PLN, 2013 Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 125 Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa biaya operasional per GWh yang paling tinggi adalah untuk pembangkit listrik berbahan bakar minyak (PLTD) namun energi yang diproduksi sangatlah sedikit. Hal ini karena bahan bakar PLTD merupakan bahan bakar dengan harga tinggi dan sangat dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap US Dollar yang tidak stabil dan cenderung melemah. Selain itu biaya pemeliharaan per Gwh untuk pembangkit ini sangat tinggi dibandingkan dengan pembangkit lainnya. Hal ini merupakan kondisi inefisiensi yang hingga kini masih terjadi, karena minyak masih digunakan dan pemakaiannya tidak menunjukkan kondisi penurunan bahkan dari tahun ke tahun cenderung bertambah, seperti terlihat di tabel 2. Tabel 2. Pemakaian Bahan Bakar per Jenis Pembangkit Sumber: Statistik Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, 2012 Hal yang sama seperti pemakaian BBM, di pembangkit listrik dengan tenaga gas (PLTG) juga terjadi inefisiensi, dimana energi yang diproduksi sedikit namun mengeluarkan biaya yang relatif tinggi, terutama biaya bahan bakar, mengingat biaya bahan bakar gas merupakan bahan bakar dengan harga paling tinggi. D. Penutup Dalam meningkatkan pasokan listrik nasional PLN telah mengupayakan beberapa strategi untuk mencapai target rasio elektrifikasi, namun masih banyak ditemui daerah yang belum terjangkau aliran listrik dengan kendala kondisi area yang tidak memungkinkan dibangun infrastruktur listrik. Solusi dari hal ini telah diajukan bahkan telah dilaksanakan namun upaya ini sepertinya belum dilaksanakan optimal. Pembangunan pembangkit listrik uap besar-besaran dilakukan di area Jawa dan diperuntukkan untuk memasok listrik dan menggantikan peran pembangkit listrik tenaga diesel di area Jawa saja. Sementara itu di area lain terutama Papua, Kalimantan, dan Sulawesi, upaya ini dilaksanakan juga namun masih dalam skala kecil. Penggunaan energy terbarukan juga Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 126 diupayakan namun seperti PLTU, hanya dilakukan di beberapa area saja dan dalam skala kecil. Untuk dapat memaksimalkan hasil upaya penyaluran listrik ke daerah, PLN perlu memfokuskan perhatiannya untuk menghadirkan pembangkit di area luar Jawa dan Bali. Jika kondisi geografis menjadi kendala, maka PLN perlu mencari solusi yang sesuai dengan kondisi geografis tersebut tanpa mengabaikan sisi ekonomis dari solusi yang ditawarkan. PLN perlu memanfaatkan potensi alam yang dimiliki Indonesia dalam menghadirkan listrik,, misalnya potensi listrik dari tenaga air di luar Jawa sangat menguntungkan jika dapat digali lebih optimal. (MN) Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN | 127