BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Karakteristik Banjir Jakarta. Analisis daerah potensi banjir didasarkan pada integrasi antara data estimasi awan yang berpeluang hujan lebat harian dan daerah genangan. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pada dasarian pertama bulan Januari 2005 daerah lokasi genangan yang berpotensi banjir terjadi di Pulau Jawa antara lain meliputi sebagian besar di DKI Jakarta, propinsi Banten, Jawa Barat, dan sebagian kecil propinsi Jawa Tengah. (Zubaidah et al., 2005). Menurut Nugroho (2002) banjir yang terjadi pada tanggal 29 Januari 2002 di DKI Jakarta disebabkan adanya curah hujan yang tinggi, atau curah hujan ekstrim. Terjadinya curah hujan dengan intensitas besar dan durasi lama disebabkan karena adanya pusat tekanan rendah di atas Selat Sunda dan di Samudera Hindia. Hal tersebut menyebabkan massa uap air basah yang berasal dari Asia terlokalisir di atas Jakarta sehingga menimbulkan hujan lebat. Beberapa faktor pendukung kejadian banjir di atas disebabkan oleh adanya sistem pengelolaan sumberdaya air, khususnya air permukaan yang tidak baik, sehingga kemampuan saluran drainase dan pengendali banjir tidak mampu mengalirkan limpasan air tersebut. Pergerakan Madden-Julian Oscillation (MJO) ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan pertumbuhan konveksi awan cumulus tebal. Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sepanjang penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari di Samudra Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia. Ada tiga faktor dominan yang menyebabkan banjir Jakarta tahun 2007, yaitu kehadiran cold surge dengan kecepatan angin dari arah barat daya lebih besar 10 m/s dan berlangsung dalam waktu cukup lama sekitar 12-24 harian. Fasa aktif osilasi gelombang MJO dalam periode 30-50 harian dan kondisi lokal adanya peningkatan instabilitas angin secara menegak dan menjadi kondisi kondusif sebagai pembentukan awan cumulus melalui proses konveksi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya konvergensi angin bertekanan rendah di permukaan yang secara intensif dan berlangsung cukup lama sejak akhir Januari sampai minggu pertama Februari 2007. Sebaliknya di lapisan menengah berembus angin tenggara 7 yang berlawanan dengan arah angin di lapisan bawahnya dan membawa massa udara akibat proses depresi di Samudra Hindia bagian timur, pada saat meluruhnya Indian Ocean Dipole (IOD). Kondisi itu menyebabkan gaya gesekan angin secara menegak yang cukup besar, sehingga menyebabkan terjadinya pembentukan awan cumulus dalam waktu lama dan berulang dalam sehari (Wu et. al., 2007; Syamsudin, 2007) II.2 Dinamika Awan Hujan II.2.1 Pola Curah Hujan Tropis Ditinjau dari dinamika awan hujan, fluktuasi curah hujan di daerah tropis khususnya DKI-Jakarta banyak diakibatkan oleh jenis awan cumulonimbus (Cb). Hal ini karena secara umum Benua Maritim Indonesia (BMI) menerima insolasi (panas sensible) dan panas laten kondensasi akibat perubahan fasa uap air dalam jumlah besar, maka jenis awan yang muncul adalah awan konvektif atau awan cumuliform. Pola sirkulasi monsun sangat berperan terbentuknya angin zonal di Jakarta, baik berupa angin baratan (westerly) pada musim hujan dan angin timuran (easterly) pada musim kering. Konveksi skala besar selama periode monsun aktif menyebabkan variabilitas curah hujan dengan disertai kecepatan angin yang besar (Johnson dan Houze, 1987). Hashiguchi et al. (1996) menunjukan perubahan musim ditandai oleh perubahan kecepatan angin, dimana pada musim kemarau kecepatan angin kurang dari 6 ms-1 dalam arah komponen meridional sangat lemah. Sementara dalam musim penghujan kecepatan angin lebih dari 6 ms-1 dengan arah dominan dari utara. Dinamika awan hujan di Indonesia khususnya DKI Jakarta sangat tergantung pada perubahan musim yang terjadi. Pada bulan-bulan Desember–Januari–Februari, meskipun secara normal musim hujan telah mulai sekitar dasarian ke 1 bulan November. Pada bulan-bulan tersebut pita zona konvergensi intertropis (ITCZ: Inter-Tropical Convergence Zone) dan gerak semu matahari berada di atas Belahan Bumi Selatan (BBS). Depresi tropis dapat terjadi pada perairan Indonesia 8 tetapi intensifikasi dan pertumbuhan menjadi badai atau siklon tropis menjauh dari equator. Pita ITCZ dan badai tropis menyebabkan konvergensi massa udara tropis lembap yang akan bergerak vertikal. Gambar II.1. Populasi awan tropis penghasil hujan konveksi dan hujan stratiform (Houze et al., 1981) Dalam penelitianya Liong et al. (2004) menyatakan bahwa faktor utama banjir di DKI ialah hujan lebat yang berlangsung berjam-jam untuk daerah yang cukup luas dan ditambah dengan banjir kiriman yang dibawa oleh sungai melewati DKI terutama sungai Ciliwung, Pasanggrahan dan Sunter. Disekitar DKI Jakarta lintasan pusat konveksi dapat dipengaruhi oleh variasi angin horizontal sekitar 4 ms-1, sedangkan curah hujan berkaitan dengan konveksi lokal hanya disebabkan oleh gangguan angin sekitar 1 ms-1. Studi numerik yang dilakukan oleh Reinking (1995) menunjukan hujan di area monsun disebabkan oleh awan cumulonimbus (Cb) atau cumulus bermenara. Hujan yang dihasilkan awan Cb adalah hujan deras (shower) atau hujan konveksi sebagaimana pada Gambar II.1 (Houze et al., 1981). Hujan konveksi terjadi setelah radiasi matahari maksimum, biasanya setelah jam 12.00 menjelang sore hari. Hujan konveksi diawali oleh hujan deras (shower) pada waktu awan mencapai tingkat dewasa (mature) kemudian diakhiri dengan 9 hujan (rain) sampai gerimis (drizzle) pada waktu awan mencapai tingkat peluruhan. Dengan demikian maka sifat hujan yang terjadi adalah pada durasi pertama intensitas hujan besar, tetapi durasi berikutnya intensitas hujan menjadi kecil. Meskipun intensitas hujan cukup besar, pada umumnya hujan yang dihasilkan mempunyai intensitas yang lebih kecil dari pada hujan deras. Secara umum pola fluktuasi ini akan berpengaruh terhadap perubahan pola iklim. (Tjasyono et al., 2008; Liong et al., 2004; Reinking, 1995; Smith, 2003; Andrieu et.al., 1996). II.2.2 Ilustrasi Awan Hujan Terjadinya hujan dimulai dengan proses kenaikan udara lembap sehingga mengalami pendinginan, kemudian mengalami kondensasi menjadi butir-butir air yang selanjutnya akan terkumpul membentuk awan. Gaya gravitasi dan updraf di dalam awan memegang peranan yang paling dominan dan menyebabkan adanya gerakan turun dan naik. Secara fisis butir-butir besar mempunyai kecepatan jatuh relatif lebih besar bila dibandingkan dengan butir-butir yang lebih kecil. Dalam lintasan jatuhnya butirbutir besar ini akan menumbuk butiran-butiran yang lebih kecil dan kemudian bergabung sehingga didapatkan ukuran lebih besar lagi. Proses ini akan berlangsung berulang-ulang sehingga ukuran butir akan terus membesar hingga mencapai melebihi ukuran kritisnya, dimana gaya beratnya mampu mengatasi updraftnya dan akan keluar dari awan sebagai hujan (Castellano et al., 2004). Dari dinamika mikrofisika awan hujan dapat diperkirakan kemungkinan terjadinya hujan, dimana untuk kadar tetes awan yang lebih besar dari 10 g/kg mempunyai kemungkinan hujan akan turun. Pada saat massa udara lembap yang naik ini mencapai titik jenuh, maka udara lembap ini akan mengalami kondensasi pada inti-inti kondensasi berukuran antara 0.1-1 ȝm yang banyak terdapat di udara dan akan membentuk awan. Bila kandungan air cukup banyak dan updraft di dalam awan cukup kuat, maka awan dapat terus tumbuh dan membesar, sampai mencapai stadium matang (mature stage). Di dalam proses pematangan awan ini, 10 secara fisis proses kondesasi tetap terus berlangsung diantara butir-butir air yang mempunyai ukuran berbeda sebagai inti kondensasi awan dan selain itu terjadi pula proses tumbukan dan penggabungan. (Mason, 1969; Powers dan Davis, 2002; Grabowski, 1999; Costa et al., 2000; De Beauville dan Pontikis, 1998; Birmili et al., 1996). Penelitian yang dilakukan Juaeni (1996) dengan data sounding radiosonde stasiun Biak pada 1 Desember 1993, dilaporkan dari hasil simulasi dalam penelitianya bahwa updraft berlangsung sampai ketinggian 4000 m dengan nilai kecepatan maksimum 11 m/s dimulai sejak beberapa menit, pertama iterasi sampai lebih dari 120 menit. Kecepatan vertikal pada dasar kolom adalah 1 m/s. Tetes awan mulai terlihat pada ketinggian 900 meter dengan kadar uap air bervariasi antara 0.1 g/kg sampai 0.4 g/kg, adapun perbedaan temperatur virtual berkisar antara 0.50C sampai 10C yang dilakukan dengan model konveksi satu dimensi. Adapun sebagai validasi model dari data pengamatan permukaan menunjukan adanya awan cumulus congestus pada ketinggian 300 – 600 m, dan dari data diagram meteorologi terlihat bahwa paras kondensasi konveksi (Convective Condensation Level : CCL) mulai terjadi pada ketinggian 970 mb atau sekitar 340 m. Dalam penelitianya Tjasyono (2007) menyatakan bahwa ukuran kritis ditentukan pada pembentukan tetes melalui inti kondensasi awan. Inti kondensasi awan (Cloud condensation nuclei) adalah pusat terbentuknya tetes awan, paling banyak di atmosfer, yang secara efektif menunjukan total konsentrasi tetes (droplets) di dalam awan (Yin et al., 2000). Johnson (1982) telah meneliti peran pertumbuhan raksasa dan ultragiant (jari-jari > 10 ȝm) dari partikel hujan. Hasilnya menunjukkan bahwa ketika terjadi pertumbuhan awan, partikel ini menghasilkan suatu tetesan besar di dalam distribusi tetes awan. Efek tetes besar ini jadi lebih penting untuk awan kontinental dibanding awan maritim. Penelitian serupa juga dilaporkan oleh Kuba dan Takeda (1983) yang menyatakan bahwa dalam atmosfer tetes awan terbentuk pada aerosol yang berfungsi sebagai inti kondensasi atau inti pengembunan. Kecepatan pembentukan tetes tersebut ditentukan oleh banyaknya inti kondensasi. Proses dimana tetes air dari fasa uap terbentuk pada inti 11 kondensasi disebut pengintian heterogen. Adapun pembentukan tetes air dari fasa uap dalam suatu lingkungan murni yang memerlukan kondisi sangat jenuh (supersaturation) disebut pengintian homogen. Pengintian homogen yaitu pembekuan pada air murni hanya akan terjadi pada suhu di bawah -40 0C. Akan tetapi dengan keberadaan aerosol sebagai inti kondensasi maka pembekuan dapat terjadi pada suhu hanya beberapa derajat di bawah 0 0C. Efisiensi hujan, yang menyatakan banyak air hujan yang jatuh dibandingkan dengan kandungan air di dalam awan, secara umum berkisar 10-20% (Herckes et al., 2002) dan 11-19% (Rogers, 1979). Efisiensi hujan yang lebih besar dari 50% hanya terdapat pada awan cumulonimbus (Cb) atau sistem awan konvektif yang luas dan terorganisir. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi hujan adalah waktu hidup (lifetime) awan dan waktu yang dibutuhkan oleh butir-butir awan untuk berkembang menjadi butir-butir hujan. Bila waktu pembentukan butir-butir hujan lebih kecil dari waktu hidup awan, maka kemungkinan besar hujan akan turun (Warner, 1970; Yin et al., 2000; Yau, 1980; De Beauville dan Pontikis, 1998; Reinking, 1995). II.3 Teknologi Modifikasi Cuaca Istilah modifikasi cuaca atau hujan buatan menurut Segal et al. (2004) tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai membuat hujan, karena modifikasi cuaca merupakan kegiatan pemicuan awan atau memacu turunya hujan dari awan yang kandungan airnya memadai. Oleh karena itu dalam melaksanakan modifikasi cuaca, awan harus ada di daerah target atau sekitarnya. Modifikasi cuaca adalah suatu usaha untuk menambah/meningkatkan curah hujan di suatu daerah target. Untuk mengetahui keberhasilanya dapat dilakukan evaluasi baik fisis maupun dengan pendekatan statistik guna menghitung banyaknya curah hujan tambahan yang dihasilkan (Ben and Fanar, 1997). Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) menurut Nasution (2004), Solak et al. (2002), Fukuta et al. (2000) adalah suatu upaya manusia untuk mempercepat proses terjadinya hujan, dari awan-awan yang memang secara potensial berpeluang besar 12 menghasilkan hujan di lokasi tertentu untuk tujuan yang menguntungkan, yaitu mengatasi bencana akibat iklim dan cuaca seperti kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan tanah longsor. Parameter cuaca yang dikaji pemanfaatannya yaitu awan, melalui proses penaburan/pengasapan/penembakan partikel bahan semai menggunakan media penghantar (Gambar.II.2). a. Sebelum penyemaian b.Selama penyemaian c.Setelah penyemaian Gambar II.2. Proses penyemaian awan (Cloud Seeding) (sumber: Wheather Modification Association (WMA), 1996). Teknik penilaian keberhasilan modifikasi cuaca yang paling banyak dilakukan adalah pengukuran besarnya curah hujan wilayah pada daerah target selama periode penyemaian, untuk kemudian dibandingkan dengan curah hujan wilayah pada daerah Kontrol. Cara lain adalah dengan melakukan perhitugan dari pengukuran Tinggi Muka Air (TMA), pengukuran debit dan penggunaan radar hujan. Dalam penelitianya Farley et al. (2004), tidak merekomendasikan evaluasi dengan data debit karena terlalu banyak varibel yang tidak dapat di kontrol. Namun penilaian keberhasilan modifikasi cuaca, dapat dilakukan melalui pemantauan lingkungan yang dikaitkan dengan modifikasi cuaca. Definisi tambahan air hujan dalam hal ini adalah peningkatan curah hujan pada periode modifikasi cuaca yang dibandingkan dengan curah hujan alam apabila tidak ada modifikasi cuaca. Besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam tinggi atau volume curah hujan. Monitoring lingkungan dilakukan untuk mendeteksi secara dini jika ada dampak negatif akibat modifikasi cuaca. 13 Menurut Tikno (2000), hasil uji coba maupun penerapan teknologi modifikasi cuaca dalam penyemaian awan di Indonesia (1979–1989) dapat meningkatkan curah hujan alam antara 14–17 %. Dengan mengingat tingginya variabilitas curah hujan alam, hasil peningkatan tersebut masih perlu dikoreksi. Setelah mempertimbangkan faktor koreksi ini, disepakati bahwa tingkat keandalan teknologi modifikasi cuaca paling tidak dapat meningkatkan curah hujan alam antara 10 % atau lebih. Hasil yang diperoleh ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh di negara-negara lain, baik untuk penyemaian awan maupun salju dalam hal efisiensi dari teknologi modifikasi cuaca tersebut (Griffith and Solak, 2002; Solak et al., 2002; Fukuta et al., 2000; Bigg 1997; Ben and Fanar, 1997). Gambar II. 3. Macam-macam metoda penyemaian awan (Cloud Seeding Methods) antara lain Teknologi dinamik (mobile) sebagai teknologi aktif dan Teknologi GBG (Ground Based Generator ) sebagai teknologi pasif dalam modifikasi Cuaca (Sumber : Wheather Modification Association (WMA) 1996). Dalam TMC dikenal 2 (dua) media penghantar yaitu bergerak (mobile) seperti Pesawat Terbang dan diam (statis) seperti sistem pembangkit dari permukaan yang dikenal dengan istilah Ground Based Generator (GBG) (Gambar.II.3). 14 Penghantaran bahan semai ke dalam awan dikenal dengan istilah penyemaian awan (cloud seeding). II.3.1 Teknologi Modifikasi Cuaca Sistem Dinamis Dalam penerapan di lapangan, media penghantar mobile dan statis ini memiliki faktor kelebihan dan kekurangan, antara lain pesawat terbang sebagai media penghantar mobile mempunyai kelebihannya dapat melakukan pencarian, pengejaran dan mendekat ke posisi awan yang dijadikan target penyemaian. Selain itu, pesawat terbang dapat mengangkut bahan semai dalam jumlah yang besar. Untuk Casa NC-212-200 misalnya, dapat memuat maksimum 1100 kg bahan semai bentuk powder per sorty penerbangan. Dengan kemampuan seperti itu, maka jumlah awan yang akan disemai lebih banyak dan daerah cakupan operasinya lebih luas. Dengan pesawat terbang operasi modifikasi cuaca dapat dilakukan secara proaktif. Namun syaratnya harus ada pangkalan udara (airport) dan fasilitas pendukung penerbangan seperti Ground Support Equipment (GSE) dan bahan bakar (fuel). Faktor minus penggunaan pesawat terbang dalam TMC yaitu tidak leluasa terbang di sekitar puncak gunung demi keselamatan penerbangan, sehingga awan Cumulus yang ada di sekitar puncak gunung tidak dapat dioptimalkan penyemaiannya. Untuk melengkapi kelemahan tersebut diperlukan teknologi TMC sistem statis. II.3.2 Teknologi Modifikasi Cuaca Sistem Statis Media penghantar statis atau menara Ground Based Generator (GBG) memiliki kelebihan antara lain dapat dioperasikan dengan mudah, sepanjang hari dan dalam waktu yang tidak terbatas. Dengan memberikan pelatihan singkat, pengoperasiannya dapat dilaksanakan oleh aparat di Kelurahan / Desa dan petugas lokal di sekitar lokasi dimana menara GBG tersebut didirikan. Faktor plus yang sangat menarik dari teknik ini adalah dapat melakukan penyemaian awan-awan orografik dan Cumulus di sekitar puncak gunung yang tidak terjangkau oleh pesawat terbang. Faktor minusnya adalah karena sifatnya yang tidak bergerak, 15 maka awan yang dijadikan target penyemaian hanya awan yang berada di atas dan di sekitar lokasi menara GBG. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pendirian menara GBG ini tidak cukup satu atau dua, tapi harus dalam jumlah yang banyak disesuaikan dengan luas daerahnya. Keunggulan teknologi dan ekonomi dari sistem ini yaitu teknologi tepat guna dan biaya untuk pendirian dan perawatannya relatif murah dibanding dengan membangun hanggar dan merawat pesawat terbang. Dengan demikian teknologi ini menjadi lebih kompetitif karena biayanya yang relatif murah. Di Amerika banyak upaya dilakukan untuk menambah jumlah salju yang turun pada musim tertentu sehingga pada musim hangat salju tersebut mencair dan meningkatkan aliran permukaan sebagai tambahan air yang dipergunakan untuk berbagai keperluan. Sistem peralatan berupa perak iodida (AgI), sebagaimana yang dikembangkan oleh Chungang dan Guo (2006). Secara fisis pembakaran perak iodida akan menguapkan dan menerbangkan partikel halus dalam ukuran inti kondensasi awan (IKA= 0,01–0,1µm) berupa kristal perak iodida ke udara bebas, sistem ini disebut sebagai Ground Based Generator (GBG). Karena kristal perak iodida mirip dengan kristal es maka uap air kelewat jenuh (supercooled water) yang berada di atmosfer bergabung menjadi endapan dengan partikel perak iodida tersebut, akibat pengaruh gaya gravitasi akan turun ke permukaan menjadi salju. Perak iodida tidak ditargetkan terlalu tinggi, karena target (supercooled water) berada disekitar generator. Baik secara model maupun hasil pengukuran, metoda ini dapat meningkatkan salju hingga mencapai 15% (Yu dan Dai, 2005). II.4. Karakteristik Awan Semai II.4.1 Klasifikasi Awan Proses kondensasi dan pembentukan awan di daerah tropis dan di daerah lintang menengah dan tinggi mempunyai perbedaan yang menyolok. Di daerah tropis umumnya proses kondensasi dan pembentukan awan dapat terjadi pada suhu tinggi (>0 0C) melalui pengangkatan udara atau konveksi yang diakibatkan oleh pemanasan yang kuat. Sedang di daerah lintang menengah dan tinggi proses yang 16 terjadi umumnya karena adanya front yaitu pertemuan massa udara panas dan massa udara dingin (Borys et al., 2000). Cuaca di daerah tropis ditandai dengan perubahan yang cepat dan mendadak. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal seperti adanya garis ekuator dimana gaya Coriolis mendekati nol, adanya ITCZ, awan-awan konvektif, sel Hadley dan sirkulasi Walker (Power dan Davis, 2002). Gambar II.4. Jenis-jenis awan berdasarkan karakteristik dan ketinggian ..(sumber:Comet http://www.meted.ucar.edu) Berdasarkan ketinggian dan proses terbentuknya sebagaimana Gambar II.4 maka awan dibagi menjadi 3 kelompok; Awan rendah, yaitu awan yang mempunyai ketinggian dasar kurang dari 2 km meliputi jenis stratus (St), stratocumulus (Sc), cumulus (Cu), cumulonimbus (Cb) dan nimbostratus (Ns). Khusus Cu, Cb dan Ns, mempunyai dasar sebagai awan rendah namun tumbuh secara vertikal yang puncaknya mencapai awan tinggi. Awan menengah, yaitu awan ketinggian dasar antara 2-7 km, meliputi jenis altocumulus (Ac) dan altostratus (As). Awan tinggi, 17 yaitu awan dengan ketinggian dasar lebih dari 7 km, meliputi cirrus (Ci), cirrocumulus (Cc) dan cirrostratus (Cs) (Rogers, 1979). Sistem awan dikendalikan oleh gerak udara vertikal akibat konveksi, efek orografi, konvergensi dan front. Klasifikasi awan yang didasarkan pada mekanisme gerak vertikal awan adalah awan statiform dan cumuliform. Awan stratifom yang terbentuk karena gerak vertikal akan menghasilkan hujan kontinyu dan menyebar luas. Adapun awan cumuliform atau awan konvektif terjadi karena konveksi udara yang tidak stabil yang menyebabkan gerak vertikal tetapi terlokalisir dalam skala yang tidak luas. Hujan yang terjadi umumnya tiba-tiba dan sangat lebat (heavy shower) tetapi terjadi dalam waktu yang singkat. Dalam awan konvektif waktu presipitasi lebih pendek tetapi kadar air lebih tinggi dari stratiform sehingga koalisensi sangat berperan menghasilkan hujan (Birmili et al., 1996; Borys et al., 2000). Awan cumulonimbus (Cb) adalah jenis awan cumulus dengan ketebalan vertikal yang besar dan terdiri atas campuran kristal es di bagian atas dan tetes air di bagian bawah. Karakteristik ini menyebabkan awan Cb akan menurunkan hujan deras (shower) dalam waktu yang singkat. Namun, setelah periode hujan deras hujan gerimis (drizzle) masih bisa terjadi lama.Selain hujan deras, akibat terjadinya aliran udara ke atas (upward) dan aliran udara ke bawah (downward) yang kuat, awan ini juga sering menghasilkan kilat (lightning) dan guruh (thunder) karena terbentuknya lapisan elektrik positif dan negatif dalam awan. Cumulonimbus semacam inilah yang sering disebut badai guruh (thunderstorm) (Chaudhry et al., 1996; Farley et al., 2004). Badai guruh (thunderstorm) bisa terjadi dalam sebuah awan tunggal, baik yang radiusnya kecil (single cell) maupun yang radiusnya besar (super cell). Tapi thunderstorm juga terjadi dalam kumpulan beberapa sel awan (multi cell) dengan area presipitasi yang besar pula. Konveksi sel tunggal umumnya dipicu oleh pemanasan yang kuat yang menyebabkan massa udara naik dengan cepat dan kuat. Sedangkan awan multi cell biasanya terbentuk akibat adanya konvergensi 18 skala besar di lapisan bawah. Karakteristik hujannya mungkin tidak sederas single cell, namun bisa berlangsung sangat lama, dalam orde harian bahkan mingguan. Selain itu juga menimbulkan penurunan suhu yang sangat signifikan di daerah yang dilaluinya. Awan multi cell, atau juga disebut Mesoscale Convective System (MCS), ini sulit diamati secara langsung, secara eksperimen fenomena ini diamati melalui satelit atau radar cuaca (Houze et. al., 1981; Chaudhry et al., 1996). II.4.2 Jenis Awan Semai Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dengan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan cumulus terjadi karena proses konveksi. Secara lebih rinci awan cumulus terbagi dalam 3 jenis, yaitu: strato cumulus (Sc) yaitu awan cumulus yang baru tumbuh; cumulus, dan cumulonimbus (Cb) yaitu awan cumulus yang sangat besar dan mungkin terdiri beberapa awan cumulus yang bergabung menjadi satu. Jenis awan cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol, merupakan jenis awan yang dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan (Guo et al., 2006; Nasution, 2004; Haryanto, 2007). Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm cloud). Sebagaimana Gambar II.5. Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku (< 00C), sedangkan awan hangat adalah awan yang semua bagiannya berada di atas titik beku ( > 00C) (Costa et al., 2000; De Beauville dan Pontikis, 1998). Awan dingin kebanyakan adalah awan yang berada pada daerah lintang menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara dekat permukaan tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar 180C. Namun demikian puncak awan dapat menembus jauh ke atas melampaui titik beku, sehingga sebagian awan merupakan awan hangat, sebagian lagi di atasnya 19 merupakan awan dingin. Awan semacam ini disebut awan campuran (mixed cloud). Gambar II.5 Ilustrasi awan dingin dan awan hangat (sumber: http://rst.gsfc.nasa.gov) Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin (supercooled water) langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut proses kristal es (Griffith dan Solak, 2002). Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air dan terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang sumbunya berada di bawah titik beku, titik air dalam awan itu membeku menjadi kristal es kecilkecil. Udara sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. 20 Dengan demikian kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada musim dingin salju jatuh tanpa mencair. Proses hujan pada awan hangat, terjadi ketika uap air terangkat naik ke atmosfer melalui aktivitas konveksi ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 - 0,1 µm) yang banyak beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut mengalami pengembunan. Sumber utama inti kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena bersifat higroskopik, maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel berubah menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan (Costa et al., 2000). Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei: GN: 0,1 - 5 µm) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30 µm, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 - 50 µm. Dalam gerak turun ia akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini berlangsung berulangulang dan merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara reaksi berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, terlihat dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan turun dari awan melalui proses tumbukan dan penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 µm atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan penggabungan tidak terjadi (Borys et al., 2000; Castellano et al., 2004). 21 Prinsip dasar penerapan TMC untuk menambah curah hujan adalah mengupayakan agar proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif. Upaya dilakukan dengan cara mempengaruhi proses fisika yang terjadi di dalam awan, yang dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana lingkungan awan tersebut berada. Untuk bagian awan dingin, curah hujan akan bertambah jika proses pembentukan es di dalam awan juga semakin efektif. Proses pembentukan es dalam awan akan semakin efektif jika awan disemai dengan menggunakan bahan semai berupa perak iodida (Agl). Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan partikel higroskopik dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN: berukuran lebih dari 5 µm) ke dalam awan yang sedang dalam masa berkembang atau matang sehingga proses hujan dapat segera dimulai serta berkembang ke seluruh awan (Guo et al., 2006; Chungang dan Guo, 2006). Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi. Dari sinilah didapatkan tambahan curah hujan. Injeksi partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua manfaat sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan penggabungan sehingga menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan yang kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan. Bahan semai yang digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik dalam bentuk super fine powder (berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus), paling sering digunakan adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl 2 atau Urea (Nasution, 2004; Ben dan Fanar, 1997). II.5 Perkembangan Model Cuaca II.5.1 Perkembangan Model Iklim Global Perkembangan model iklim menurut Hadley Center for Climate Prediction and Research tahun 1999, dimulai sejak tahun 1975 dengan model iklim yang masih sangat sederhana yang mencakup satu komponen yaitu atmosfer saja. Kemudian perkembangan terjadi di tahun 1985 untuk dua komponen yaitu atmosfer dan 22 permukaan tanah, dan pada tahun-tahun terakhir (2000-hingga saat ini) model iklim hampir mencakup seluruh komponen sistem iklim yaitu atmosfer, laut, permukaan tanah, kriosfer dan kimia atmosfer. Model WRF merupakan pengembangan dari generasi terkini model skala meso dari peramalan dan sistem asimilasi data, yang lebih memberikan pemahaman dan peramalan mengenai sistem skala meso tentang perubahan iklim. Dalam hal ini model akan menyertakan teknik asimilasi dan klasifikasi data lebih lanjut, tentang skala meso dari perubahan iklim yang aplikasinya mempunyai cakupan luas dari suatu riset ke operasional peramalan. Model ini lebih jauh merupakan pengembangan dari model skala meso sebelumnya antara lain yaitu; seperti model Global Climate Model (GCM), Commonwealth Scientific and Industrial Resarch Organisation-Australia (CSIRO), Division of Atmospheric Research Limited Area Model (DARLAM), High Resolution Limited Area Modeling (HIRLAM), Aviation Model Forecast (AVN), Medium Range Forecats (MRF), Model skala meso Mesoscale Model 5 (MM5), National Center for Environmental Prediction) (NCEP) dan The Rapid Update Cycle (RUC). Perkembangan awal model skala meso WRF versi pertama (WRF 1.0) pada 30 November 2000. Sejumlah besar organisasi yang sedang mengambil bagian merancang WRF, antara lain: Microscale Division Meteorologi Pusat nasional untuk Riset angkasa (NCAR/MM5), Pusat nasional untuk Ramalan Lingkungan (NOAA/NCEP), Laboratorium Sistem Peramalan (NOAA/FSL), Universitas Oklahoma divisi Pusat Analisis dan Ramalan Badai (KOPIAH) dan Agen Cuaca Angkatan Udara U.S.(AFWA). Peserta tambahan meliputi Laboratorium Dinamika fluida yang berhubungan dengan geofisika (NOAA/GFDL), Laboratorium Badai nasional (NOAA/NSSL) (Michalakes, 2000; Michalakes et al., 1999). Aplikasi model WRF menurut Michalakes et al. (1999) dan Skamarock et al. (2005) cukup luas, yaitu mencakup: proses mikrofisika (microphysics), parameterisasi awan cumulus (cumulus parameterization), lapisan batas atmosfer 23 (planetary boundary layer), lapisan permukaan (surface layer), radiasi gelombang panjang (longwave radiation), radiasi gelombang pendek (shortwave radiation), Sub-grid turbulensi (sub-grid turbulence), penggunaan lahan kategori penentuan kekayaan permukaan. Sebagaimana dalam model Eta disebutkan bahwa parameterisasi cumulus bukan masalah sederhana dan sangat sulit untuk memprediksi lokasi dan gerakan konveksi. Hal ini menyangkut perbedaan sifat konveksi di daerah pegunungan maupun di lautan (Black et al., 2002; De Beauville dan Pontikis, 1998; Staudenmaier, 1996). Dalam penelitianya Guo et al. (2006) dan Chungang dan Guo (2006) mempelajari efek dinamik dan mikrofisika dari model persemaian awan dengan perbandingan antara bahan penyemai silver iodida (AgI) dan karbon dioksida cair (zat cair CO2) yang dibangun dalam model 3D (tiga dimensi). Syarat awal model didasarkan pada data rawinsonde dari stasiun Pinliang China bagian barat pada 20 April 2001. Hasil model menunjukan terjadinya proses persemaian oleh kedua bahan penyemai terhadap sel-sel awan, sedemikian sehingga terbentuk inti kondensasi awan lebih banyak yang memungkinkan untuk menghasilkan efek dinamis dan pengendapan jauh lebih kuat dengan pembentukan banyak sel-sel konvektif baru pada yang tingkat rendah di dalam awan-awan yang ditaburi benih. II.5.2 Perkembangan Model Iklim di Indonesia Pemodelan awan dilintang menengah sudah cukup maju meskipun hasilnya belum memuaskan, namun perkembangan model awan di Indonesia masih sangat ketinggalan, sehingga perlu banyak dikaji dan dirancang pemodelan awan yang sesuai dengan daerah tropis khususnya di Indonesia. Hal ini merupakan peluang yang cukup baik untuk dikaji mengingat besarnya tantangan yang dihadapi menyangkut kerumitan dan kekomplekan iklim di Benua Maritim Indonesia (BMI). Sebagaimana ditunjukan oleh Wolters et al. (1995) bahwa dalam setiap model atmosfer modern akan mencakup dua komponen yaitu komponen dinamik yang membahas persamaan gerak dan komponen fisik meliputi skema radiasi, skema lapisan batas, skema parameterisasi permukaan, skema konveksi dan 24 skema hujan skala besar. Komponen lain berupa pemodelan awan, pemodelan kriosfer dan pemodelan interaksi atmosfer laut. Beberapa penelitian yang terkait dengan model dinamika awan sebagaimana di atas sudah banyak dilakukan, terutama untuk daerah lintang tinggi. Adapun untuk daerah tropis penelitian semacam ini masih jarang dilakukan, sebagaimana yang dilakukan oleh peneliti sains atmosfer dari LAPAN dengan menggunakan model area terbatas Division of Atmospheric Research Limited Area Model (DARLAM), GCM dalam Atmopheric Model Intercomparison Project 2 (AMIP 2), disini cenderung dilakukan penelitian mengenai ketepatan penggunaan skema konveksi terhadap variabilitas curah hujan untuk lokasi tertentu (Juaeni et al., 2008). Perkembangan penelitian dan peramalan cuaca terkini cenderung digunakan untuk pengamatan dinamika dan proses fisis atmosfer adalah model Weather Research and Forecast (WRF), dimana model WRF adalah suatu usaha multi-Institusional yang mengembangkan suatu sistem asimilasi data skala meso dan peramalan yang lebih akurat, efisien dan ter-skalakan (Michalakes et al., 1999). Peningkatan sumber daya dan kemampuan komputasi di tahun-tahun terakhir, memungkinkan aplikasi model iklim ke permasalahan yang secara langsung berhubungan dengan peran awan di dalam sistem atmosfer. Hal ini terutama model yang relevan untuk daerah tropis, sebab efek adiabatik yang berhubungan dengan proses awan hanya dapat dilakukan dengan model besar atau terkini yang bergantung pada parameterisasi ter-skala (Grabowski, 1999). Hal ini yang akan dilakukan dalam penelitian ini, karena perubahan dinamika awan berlangsung sangat cepat maka dalam penelitian ini akan dikhususkan pada area penelitian, yaitu meliputi DKI-Jakarta. Berkaitan dengan penelitian ini, komponen pemodelan awan difokuskan pada model yang berhubungan dengan curah hujan sebagai evaluasi efektivitas teknologi modifikasi cuaca. Hal tersebut merupakan salah satu komponen penting dalam model iklim, baik ditinjau dari segi makrofisika dan mikrofisikanya. Peningkatan resolusi dan parameterisasi yang tepat pada pemodelan awan sangat mendukung pada setiap model atmosfer (Takeda, 1966; Takeda, 1971; Seifert dan Beheng, 2001). 25 Karakteristik Banjir Jakarta Pola curah hujan tropis 2. Obyek 1 No. Kajian dinamika atmosfer dari aktivitas pergerakan MJO, cold surge dan IOD saat kejadian banjir Jakarta tahun 2007. Analisis dinamika atmosfer fenomena banjir DKI Jakarta tahun 2007 (Wu et. al., 2007; Syamsudin, 2007). 26 Pola dan sifat hujan konveksi dari awal berupa hujan deras dan diakhiri gerimis (Tjasyono et al., 2008; Houze et. al., 1981; Reinking, 1995; Smith, 2003; Andrieu et.al., 1996). Kecepatan angin (v) pada musim kemarau v< 6 ms-1 arah komponen meridional lemah, dalam musim penghujan v> 6 ms-1 arah dominant utara di daerah monsun. Periode hujan konveksi terjadi setelah radiasi matahari maksimum, terjadi setelah jam 21.00 wib. Korelasi antara daerah genangan dengan data estimasi awan, serta analisis dinamika atmosfer banjir DKI Jakarta tahun 2002. Analisis daerah potensi banjir didasarkan pada integrasi antara data estimasi awan yang berpeluang hujan lebat harian dan daerah genangan. Karakteristik banjir tahun 2002 disebabkan curah hujan ekstrim (Zubaidah et al., 2005; Nugroho, 2002). Konveksi skala besar selama periode monsun aktif menyebabkan variabilitas curah hujan, perubahan musim ditandai dengan perubahan kecepatan dan arah angin (Johnson dan Houze, 1987; Hashiguchi et al., 1996) Identifikasi Masalah Perkembangan Penelitian Tabel II.1 Ringkasan Tinjauan Pustaka Analisis pola dan sifat fisis hujan konveksi. Posisi Penelitian dan Kontribusinya Menunjukan daerah genangan yang berpotensi banjir, adanya pusat tekanan rendah di atas Selat Sunda dan di Samudera Hindia sebagai prekursor banjir di Jakarta. Analisis banjir Jakarta tahun 2007 disebabkan oleh kehadiran cold surge, fase aktif MJO serta pembentukan awan konvektif Menunjukan sifat-sifat angin pada periode monsun yang menyebabkan terjadinya variabilitas curah hujan tropis. Ilustrasi awan hujan Teknologi Modifikasi Cuaca 3 4. Analisis fisis kejadian hujan ditinjau dari proses makro dan mikrofisika, yang dimulai dari proses updraft. Perhitungan jumlah total air yang masuk ke DKI-Jakarta saat kejadian banjir akibat curah hujan ekstrim. 27 Modifikasi cuaca adalah suatu usaha untuk menambah/meningkatkan curah hujan disuatu daerah target. Untuk mengetahui keberhasilanya dapat dilakukan evaluasi dan validasi guna menghitung banyaknya curah hujan tambahan yang dihasilkan (Ben and Fanar, 1997; Segal et al., 2004). Evaluasi dan validasi hasil teknologi modifikasi cuaca sistem dinamis dengan pendekatan statistik dan pengukuran didaerah penelitian dengan menghitung tinggi muka air. Kegunaan proses dinamika awan hujan Kajian dinamika awan dari menjadi sangat penting untuk dikaji, sebagai proses mikrofisika untuk tinjauan teoritis dalam menganalisis perubahan analisis curah hujan ekstrim. pola fluktuasi curah hujan (Mason, 1969; De Beauville dan Pontikis, 1998; Grabowski, 1999; Birmili et al., 1999). Terjadinya hujan dimulai dengan proses kenaikan udara lembap sehingga mengalami pendinginan, kemudian mengalami kondensasi menjadi butir-butir air yang selanjutnya akan terkumpul membentuk awan (Castellano et al., 2004). Tabel II.1 Lanjutan Faktor utama banjir di DKI Jakarta adalah hujan lebat dalam waktu lama, ditambah kenaikan debit sungai ciliwung, pesanggrahan dan sunter (Liong et. al., 2004) Teknik evaluasi dan validasi hasil teknologi hujan buatan sistem dinamis. Representasi teoritis dinamika awan hujan secara umum. Model prediksi fenomena banjir DKI-Jakarta akibat curah hujan ekstrim dengan analisis model ANFIS dan dinamik. Pengenalan proses fisis kejadian hujan baik teoritis maupun eksperimen. 5. Karakteristik Awan Semai 28 Pengelompokan jenis-jenis awan berdasarkan karakteristik dan ketinggian dan sistem awan konvektif ditunjukan oleh; Rogers (1979); Birmili et al. (1996); Borys et al. (2000). Pengelompokan awan cumulonimbus menjadi single, super cell dan multi cell dalam suatu Mesoscale Convective System (MCS) ditunjukan oleh Houze et. al. (1981); Chaudhry et al. (1996). Kontraversi penerapan TMC sistem statis melalui teknologi Ground Based Generator (GBG) diharapkan mampu mengurangi intensitas curah hujan ekstrim (Tikno, 2000; Haryanto, 2007). Table II.1 Lanjutan Hasil perolehan peningkatan curah hujan dengan teknologi modifikasi cuaca diperkirakan mencapai 10% dari curah hujan alam (Griffith and Solak, 2002; Solak et al., 2002; Fukuta et al., 2000; Bigg 1997;Ben and Fanar, 1997; Tikno, 2000). Kajian ilmiah TMC sistem dinamis, dengan model skala meso dikembangkan oleh Chungang dan Guo (2007) dan Guo et al. (2006) dengan penyemai AgI. Teknik pengelompokan awan berdasarkan ketinggian dan karakteristinya. Teknik pengelompokan awan cumulonimbus menjadi suatu MesoScale Convective System (MCS) dan Mesoscale Convective Complex (MSCC). Evaluasi dan validasi TMC dinamis baik di dunia maupun di Indonesia dapat meningkatkan capaian hampir 10 % dari curah hujan alam. Validasi dengan simulasi model skala meso WRF (Weather Research & Forecast) dihasilkan dasar ilmiah TMC dinamis. Pengembangan TMC statis di Indonesia dengan penerapan teknologi GBG dalam taraf eksperimen Kepastian dasar ilmiah baik model maupun experimen menunjukan TMC dinamis lebih diterima existensinya. Dasar ilmiah yang belum tersedia, serta data pendukung untuk validasi yang masih kurang sehingga menimbulkan kontraversi dimasyarakat. Tiga jenis kelompok awan berdasarkan ketinggian yaitu awan rendah, menengah dan tinggi. Spesifikasi awan lokal yang menyebabkan badai guruh (thunderstorm) dan hujan deras. Perhitungan teknik evaluasi dan validasi hasil teknologi hujan buatan sistem dinamis. 6 Perkembangan Model Iklim dan Cuaca Perkembangan model yang telah diuji cobakan di Indonesia meliputi DARLAM, GCM, MM5 dan WRF Pemodelan awan dilintang menengah sudah cukup maju meskipun hasilnya belum memuaskan, namun perkembangan model awan di Indonesia masih sangat ketinggalan (Wolters et al.,1995; Juaeni et al., 2008). 29 Model awal mulai dari (Global Climate Model) GCM, (Division of Atmospheric Research Limited Area Model) DARLAM, (Mesoscale Model 5) MM5 hingga model terbarukan (Weather Research & Forecast) WRF. Karakteristik hujan awan dingin dan awan panas dibedakan melalui perbedaan suhu lingkungan Jenis awan target yaitu awan cumulus aktif dengan teknik penempatan bahan penyemai pada titik target. Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm cloud) dan pemilhan jenis bahan penyemai (Costa et al., 2000; Nasution, 2004; Ben dan Fanar, 1997). Perkembangan model iklim Global dimulai Sejas tahun 1975 hingga akhir tahun 2000 an. Dari prinsip sederhana hingga komplek yang mencakup seluruh komponen sistem iklim yaitu atmosfer, laut, permukaan tanah, kriosfer dan kimia atmosfer (Black et al., 2002; Staudenmaier, 1996; Michalakes, 2000; Michalakes et al., 1999; Skamarock et al., 2005). Tabel II.1 Lanjutan Karakteristik awan yang menjadi target penyemaian yang dianalisis melalui model maupun eksperimen dilakukan oleh Guo et al. (2006); Nasution (2004); Haryanto (2007). Model regional (Weather Research & Forecast) WRF merupakan model skala meso yang masih dikembangkan. Secara spesifik model iklim terbarukan saat ini yaitu model regional (Weather Research & Forecast) WRF yang merupakan model skala meso. Spesifikasi awan semai menjadi tiga yaitu Strato Cumulus (Sc), Cumulonimbus (Cb) dan Cumulus (Cu). Pemilihan bahan semai yang sesuai untuk jenis awan supaya diperoleh hasil penyemaian sesuai harapan.