penyaluran daya listrik dari pembangkit ke pln ke konsumen

advertisement
PENYALURAN DAYA LISTRIK DARI PEMBANGKIT
KE PLN HINGGA KE PELANGGAN
Daya listrik yang didistribusikan oleh PLN bersumber dari suatu pembangkit
listrik. Proses penyaluran daya listrik dari pembangkit hingga ke pelanggan melalui
beberapa tahap, yaitu:
1.
Menaikkan tegangan keluaran pembangkit untuk ditransmisikan
2.
Mentransmisikan daya listrik
3.
Menurunkan tegangan transmisi untuk didistribusikan dan
4.
Mendistribusikan daya listrik ke pelanggan.
Saat ini terdapat berbagai macam pembangkit listrik yang dibedakan
berdasarkan sumber tenaga pembangkitnya, seperti PLTA (Pembangkit Listrik
Tenaga Air), PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), PLTN (Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir) dan lain sebagainya. Namun di Indonesia khususnya di Jawa
Tengah, sampai saat ini baru tersedia dua jenis pembangkit yaitu PLTA dan PLTU.
Pada PLTA daya listrik dihasilkan oleh generator yang digerakkan oleh
turbin, dimana turbin digerakkan dengan tenaga air. Sedangkan pada PLTU daya
listrik dihasilkan oleh generator yang digerakkan oleh turbin yang ditenagai uap.
Daya listrik yang dihasilkan PLTU jauh lebih besar dari daya listrik yang
dihasilkan PLTA. Pada PLTU dapat dihasilkan daya listrik hingga 400-600
megawatt (MW), sedangkan di PLTA hanya sebesar 5 MW.
Baik pada PLTA maupun PLTU keduanya menghasilkan arus listrik bolakbalik atau AC (alternating current) dengan 3 fase yang dikenal dengan fase R, fase
S dan fase T. Antara masing-masing fase ada beda 120o. Agar arus listrik dapat
mengalir, selain ketiga fase R, S dan T diperlukan pula fase netral yang sering
disebut ground, nol atau netral saja.
Beda potensial keluaran dari pembangkit yakni sebesar 11,5 KV. Jika beda
potensial yang hanya sebesar 11,5 KV langsung ditransmisikan, daya yang
dihasilkan pembangkit akan berkurang bahkan hilang di sepanjang jaringan
transmisi. Supaya tidak kehilangan daya, maka voltase pada jaringan transmisi
harus jauh lebih besar dari voltase keluaran pembangkit. Hal ini dapat ditinjau
menggunakan 2 persamaan :
Dimana : P adalah daya dalam watt
V adalah beda potensial dalam volt
I adalah kuat arus dalam ampere dan
R adalah hambatan dalam ohm
Dari persamaan I = V / R terlihat bahwa nilai V akan berbanding lurus
dengan nilai I, dengan kata lain semakin besar tegangan transmisi, akan semakin
besar arus yang mengalir dalam jaringan transmisi. Dan jika ditinjau dari
persamaan P = V . I jika arus dan tegangan semakin besar, semakin besar pula
daya yang dihasilkan (tidak terjadi penurunan daya).
Dengan tegangan yang lebih tinggi akan dihasilkan arus yang lebih rendah,
jika arus yang mengalir rendah maka hanya dibutuhkan konduktor (kabel) yang
lebih kecil untuk mengalirkan arus, kabel yang lebih kecil, relatif lebih murah.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, maka tegangan di pembangkit
terlebih
dahulu
dinaikkan
menggunakan
transformator
(trafo
step
up).
Transformator atau lebih dikenal trafo merupakan alat untuk merubah tegangan.
Untuk menaikkan tegangan digunakan trafo step up, sedangkan untuk menurunkan
tegangan digunakan trafo step down. Tegangan keluaran pembangkit yang semula
sebesar 11,5 KV dinaikkan menggunakan trafo step up secara bertahap menjadi
500 KV.
Gambar 3.3. Single line kenaikan tegangan dari pembangkit hingga SUTET
Keterangan :
A. Pembangkit listrik
B. Trafo step up = gardu induk, tegangan 11,5 KV dinaikkan menjadi 30 KV
C. Trafo step up = gardu induk, tegangan 30 KV dinaikkan menjadi 150 KV
D. Trafo step up = gardu induk, tegangan 150 KV dinaikkan menjadi 500 KV
Setelah tegangan dari pembangkit dinaikkan bertahap dari 11,5 KV hingga
mencapai 500 KV, maka listrik sudah dapat ditransmisikan melalui jaringan jarak
jauh yang akan saling terhubung (interkoneksi) pada setiap kota, khususnya di
Pulau Jawa. Jaringan 500 KV ini sering disebut dengan SUTET yaitu Saluran
Udara Tegangan Ekstra Tinggi.
Saluran udara pada jaringan listrik memiliki isolasi udara yaitu setiap 1 KV
= 1cm. Jadi pada SUTET yang bertegangan 500 KV, isolasi udaranya adalah
500cm (5meter). Maka jika ada rumah di bawah SUTET dengan tinggi tower
SUTET (kabel paling bawah) lebih dari 15meter, secara logika sudah cukup aman
dan tidak akan terkena induksi listrik.
Dengan pertimbangan isolasi udara, semakin besar tegangan listrik, maka
harus semakin besar dan tinggi pula tower listrik. Hal ini bermaksud agar tidak
terjadi saling induksi antar kabel fase, tidak terjadi hubungan pendek antara kabel
fase dengan ground (kabel netral atau tower) dan supaya listrik tidak menginduksi
benda-benda disekitar tower.
Jaringan SUTET sebesar 500 KV tentu saja tidak bisa digunakan langsung
oleh pelanggan. Maka tegangan 500 KV perlu diturunkan lagi secara bertahap
supaya nantinya dapat digunakan pelanggan.
Gambar 3.4. Single line penurunan tegangan dari SUTET sampai ke pelanggan
Keterangan :
A. Trafo step down = gardu induk, tegangan 500 KV diturunkan menjadi 150 KV
B. Trafo step down = gardu induk, tegangan 150 KV diturunkan menjadi 20 KV
untuk 3 fase dan 11,5 KV untuk 1 fase
C. Trafo step down = trafo distribusi, tegangan 20 KV diturunkan menjadi 380V
untuk 3 fase dan 220V untuk 1 fase
Jaringan
SUTET
dengan
tegangan
sebesar
500
KV
diturunkan
menggunakan trafo step down di Gardu Induk (GI) menjadi 150 KV yang sering
disebut jaringan SUTT (Saluran Udara Tegangan Tinggi). SUTT 150 KV
diturunkan lagi menggunakan trafo step down di GI menjadi jaringan 20 KV untuk
3 fase dan 11,5 KV untuk 1 fase dimana jaringan ini sering disebut JTM (Jaringan
Tegangan Menengah).
JTM 20 KV diturunkan lagi menggunakan trafo step down yaitu trafo-trafo
distribusi di sepanjang JTM menjadi jaringan 380V untuk 3 fase dan 220V untuk 1
fase dimana jaringan ini sering disebut JTR (Jaringan Tegangan Rendah). Listrik
220v inilah yang kita gunakan di rumah.
Download