BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak semua manusia yang harus dijaga, dipelihara, dan dibina sebaik-baiknya sehingga dapat tercapai kualitas hidup yang baik. World Health Organisation (WHO) merumuskan sehat adalah suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial bukan hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat (Latipun, 2005). Ketika sehat segala kegiatan dapat dilakukan namun sebaliknya ketika dalam keadaan sakit kegiatan tidak dapat dilakukan sebagaimana yang diharapkan, tidak terkecuali dengan kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan kesehatan yang mengarah pada sistem reproduksi baik pada wanita maupun pada laki-laki dalam rangka perkembangbiakan. Perkembangbiakan dapat terjadi karena wanita dan laki-laki memiliki alat reproduksi yang memiliki fungsi masing-masing. Seiring perkembangan zaman, sistem reproduksi tersebut mengalami perubahan-perubahan yang mengarah keganasan (kanker) baik pada wanita maupun pada laki-laki karena berbagai macam faktor baik dari kondisi fisik yang tidak normal dan pola hidup yang tidak sehat. Menurut Ranggiasanka (2010) Kanker dapat menyerang berbagai jaringan di dalam organ tubuh baik pada laki-laki dan wanita, kanker pada laki-laki dikenal 1 dengan kanker yang berasal dari testis, penis, prostat, sedangkan pada wanita kanker yang sering ditemui pada payudara, indung telur, saluran telur, vulva, vagina, rahim, leher rahim (serviks). Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker leher rahim di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Sementara itu di negara berkembang masih menempati urutan teratas sebagai penyebab kematian akibat kanker di usia reproduktif (Rasjidi, 2007). Samadi (2010) menyatakan Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah kanker yang tumbuh pada serviks (sel-sel kanker tersebut terutama tumbuh dan berkembang dari lapisan epitel atau lapisan luar permukaan serviks). Ranggiasanka (2010), 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Kanker serviks menyerang wanita dengan masa produktif usia 30–45 tahun dan bisa juga beresiko pada wanita umur di bawah usia 30–45 tahun (Mitayani,2009). Penyebab kanker serviks 99,7 % disebabkan oleh infeksi virus Human Papiloma Virus (HPV)1, yakni HPV 16 & 18. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi kanker leher rahim menurut laporan Baird (1991) dalam (Sukaca, 2009) yaitu faktor individu, faktor resiko dan faktor pasangan laki1 Virus ini bersifat spesifik dan hanya tumbuh di dalam sel manusia terutama pada sel-sel lapisan permukaan/epitel mulut rahim. HPV merupakan virus DNA yang berukuran 8000 pasang basa, berbentuk ikosahedral dengan ukuran 55 nm, memiliki 72 kapsomer, dan 2 protein kapsid. Virus ini dapat menular melalui mikro lesi atau sel abnormal di vagina dan penularan dapat terjadi saat berhubungan seksual (Samadi, 2010). 2 laki. Faktor resiko terdiri dari makanan, gangguan sistem kekebalan, pemakaian kontrasepsi. Faktor Individu terdiri dari faktor etologik, perubahan sistem fisiologik epitel serviks, perubahan neoplastik epitel serviks, merokok, umur, paritas, usia wanita saat menikah. Faktor pasangan terdiri dari hubungan seks pada usia muda, pasangan seksual lebih dari satu (multipel seks) . Organisasi kesehatan dunia WHO pada tahun (2005) dalam (berita satu.com, 2014) memperkirakan kematian akibat kanker sebanyak 7 juta jiwa di dunia, kasus baru sebanyak 11 juta, dan yang masih hidup dengan kanker sebanyak 25 juta orang. Tetapi pada tahun 2030, jumlah ini akan meningkat drastis. Kematian meningkat tiga kali lipat, yaitu 17 juta orang, kasus baru menjadi 27 juta orang, dan yang hidup dengan kanker naik 75 juta orang. Hal ini bahkan lebih mencolok di Asia di mana jumlah kematian per tahun pada tahun 2002 sebesar 3,5 juta dan diperkirakan meningkat menjadi 8,1 juta pada tahun 2020 (Metrotvnews, 2011). Globocan (2008) menyatakan bahwa kanker serviks merupakan penyakit kanker ketiga terbanyak pada wanita, peringkat ketujuh pembunuh wanita di dunia dengan 530.000 kasus baru pada tahun 2008. Kejadian kanker serviks lebih dari 85% pada negara berkembang, menyumbang 13% dari semua kanker pada wanita. Setiap tahun sekitar 470.000 wanita di seluruh dunia terdiagnosis kanker serviks sejumlah 230.000 orang 3 meninggal, lebih dari 190.000 orang di antaranya berasal dari negaranegara berkembang termasuk Indonesia (Samadi,2010). Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker serviks yang sangat tinggi/tertinggi di dunia (Kompas, 2009; WHO, 2005), dan dalam setiap 1 jam seorang meninggal karena kanker serviks (Samadi, 2010). Menurut Depkes R1 (2009), terdapat 90 – 100 kasus kanker leher rahim per 100 ribu penduduk. Menurut Depkes RI (2007), pada tahun 2006, kanker leher rahim menempati posisi kedua untuk rawat inap dan rawat jalan setelah kanker payudara. Angka kejadian Kanker leher rahim pada pasien rawat inap di RS Indonesia sebanyak 4.696 kasus (11,07 %), sedangkan pada pasien rawat jalan untuk jumlah kunjungan sebanyak 17.990 kasus (19,5%). Selain peningkatan jumlah kasus dan kunjungan ke rumah sakit, mereka yang datang mengecekkan keadaan kankernya di RS sudah memasuki stadium lanjut dengan keluhan perdarahan. Hal ini terkait dengan banyak faktor, antara lain tingkat pendidikan dan kondisi sosial ekonomi masih rendah. Fenomena penderita kanker serviks pada masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah serta kondisi sosial-ekonomi yang rendah bertolak belakang dengan negara maju seperti Jepang, Eropa Barat, dan Australia yang telah memiliki sistem kesehatan yang baik dengan dukungan negara untuk menopang skrining masal terhadap perempuan yang telah melakukan hubungan seksual. Berdasarkan laporan Liputan6.com (2014), Di Indonesia, 4 Deteksi dini (pap smear, tes IVA, dan cryotheraphy baru mulai (January, 2014) diintroduksi dalam sistem jaminan kesehatan nasional (JKN)2 yang diselenggarakan oleh BPJS. Saat didiagnosa kanker serviks untuk yang pertama kalinya merupakan pukulan berat dalam hidup. Pilihan berat antara penyakit atau tugas terhadap keluarga. Dari penyakitnya harus menjalani sejumlah terapi, terapi kanker serviks yang dikenal dengan terapi neoadjuvant kemoterapi memiliki efek samping baik psikis ataupun fisik selama menjalani terapi. Hal ini menimbulkan kecemasan yang mungkin berpengaruh pada proses kemoterapi. Kecemasan merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang jelas, namun dapat diukur dari respon fisiologis terhadap kecemasan kardiovaskular,pernapasan,neuromuskular, baik dari gastrointestinal, sistem saluran perkemihan dan kulit.Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat kecemasan yang berat tidak sejalan dengan kehidupan (Stuart, 2006). kecemasan dapat menempatkan orang dalam keadaan waspada terhadap bahaya (flight-or-flight). Sehingga dapat meningkatkan lapang persepsi dan penilaiannya, mengalami gangguan memori, dan bahkan manifestasi fisiologis (Stuart, 2006). Pada pasien-pasien kanker serviks 2 JKN merupakan jaminan kesehatan berupa asuransi yang pembayarannya berdasarkan tingkat pendapatan. JKN bisa digunakan oleh semua kalangan baik dari ekonomi rendah sampai ekonomi menengah ke atas. 5 yang menjalani program kemoterapi mungkin mengalami kecemasan, tingkat kecemasan yang rendah menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Akan tetapi, jika terjadi kecemasan yang berlebihan misalnya pasien terlalu takut pada terapi yang dilakukan, dapat memberikan efek negatif pada terapi yang dijalaninya dan lebih enggan pasien enggan menjalani kemoterapi. Di RSUD dr.Moewardi kanker serviks masuk dalam 10 besar penyakit terbanyak rawat inap. Laporan Rawat Inap Tahunan RSUD Dr.Moewardi diketahui rata-rata sebanyak 1134 orang pada tahun 2007, 2008, 2010, 2011, dan 2012. Di Rumah Sakit ini sebagian besar pasien kanker serviks yang melakukan program kemoterapi berasal dari status sosial-ekonomi rendah. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar pasien (75%) berobat dengan menggunakan jamkesmas. Penggunaan jamkesmas meringankan pasien untuk melakukan program kemoterapi. Selanjutnya, rata-rata responden berobat ke RS dalam keadaan stadium lanjut (stadium IIB – IIIB (Samadi, 2010). Dengan kondisi seperti ini, kecemasan yang berlebihan dapat saja muncul sebagai efek dari kondisi sosial ekonomi, dan perkembangan stadium kanker, atau sebaliknya dapat saja dalam konteks nilai kultur “nrimo” kekuatiran itu tidak berlebihan atau diredam. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien kanker serviks pada golongan ekonomi rendah yang mengikuti program kemoterapi di RSUD Dr.Moewardi. 6 1.2 Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimana tingkat kecemasan pasien kanker serviks pada golongan ekonomi rendah yang mengikuti program kemoterapi di RSUD Dr.Moewardi?” 1.3 Batasan Masalah Pada penelitian tentang tingkat kecemasan pasien kanker serviks yang mengikuti program kemoterapi, peneliti membatasi masalah dengan menggambarkan dan mendeskripsikan tingkat kecemasan pasien kanker serviks pada golongan ekonomi rendah yang mengikuti program kemoterapi baik yang pertama maupun yang sudah beberapa kali. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui tingkat kecemasan pasien kanker serviks pada golongan ekonomi rendah yang mengikuti program kemoterapi. b. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien kanker serviks pada golongan ekonomi rendah yang mengikuti program kemoterapi. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Secara Teoretis Bagi Pendidikan Keperawatan Bagi pendidikan keperawatan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber pengetahuan dan masukan bagi mahasiswa dalam menerapkan asuhan keperawatan sehingga dapat peka dengan kecemasan pasien kanker 7 serviks pada golongan ekonomi rendah yang mengikuti program kemoterapi. 1.5.2 Secara Praktis a. Praktek Keperawatan Manfaat dari penelitian ini dapat menjadi masukan, acuan dan sumber pengetahuan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan mempertimbangkan aspek psikis dari pasien. b. Bagi Penelitian Keperawatan Bagi penelitian keperawatan dapat memberikan pengetahuan yang berharga bagi peneliti, sehingga penelitian ilmiah dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya dan dijadikan sumber informasi bagi perawat tentang tingkat kecemasan pasien kanker serviks pada golongan ekonomi rendah yang mengikuti program kemoterapi. c. Bagi Peneliti Bagi peneliti, dapat dijadikan sumber pengetahuan dan pembelajaran tentang tingkat kecemasan pasien kanker serviks pada golongan ekonomi rendah yang mengikuti program kemoterapi sehingga dapat dijadikan acuan dalam dunia kerja. 8