BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Lepra (Morbus Hansen)
a. Definisi Lepra
Lepra(Morbus Hansen, kusta) adalah suatu penyakit infeksi kronik
yang disebabkan oleh M. leprae yang bersifat intraseluler obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat.1,8Lepra merupakan infeksi bakteri granulomatosa
kronis, terutama mempengaruhi kulit dan saraf perifer yang
disebabkan oleh M. leprae.9
b. Epidemiologi Lepra
Lepra dapat terjadi dimanapun seperti di Asia, Afrika, Amerika
latin,
daerah tropis dan subtropis serta masyarakat dengan
sosioekonomi yang rendah. Tingkat endemisitaspenyakitlepraterjadi di
15 negaradengan 83% ditemukan di India, Brazil, danBirmania.1,9
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011
tercatat 226.626 kasus baru lepra dan meningkat pada tahun 2012
menjadi 232.857 kasus. Tahun 2012 jumlah kasus baru di Indonesia
sejumlah 18.994 kasus, sedangkan di Jawa Tengah pada tahun 2012
dilaporkan terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB) sebanyak 1.308
kasus dan pada lepra tipe Pausibasilar (PB) sebanyak 211 kasus
dengan Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 4,57 per 100.000
penduduk.3,4
Indonesia berhasil mencapai eliminasi lepra pada tahun 2000 di 19
provinsi dan sekitar 300 kabupaten/kota. Eliminasi dilakukan dengan
menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk
dan lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan dan lebih dari 1
juta penderita telah diselamatkan dari kecacatan. Prevalensi penderita
http://digilib.unimus.ac.id
Page 5
lepra di Indonesia turun sebesar 81% dari 107.271 pada tahun 1990
menjadi 21.026 pada tahun 2009. Hal itu dicapai setelah dilakukan
program rehabilitasi melalui operasi, rekonstruksi, protesa dan
pembentukan kelompok perawatan diri. 10
Lepra merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh
karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas.
Penderita lepra bukan hanya menderita penyakitnya tetapi juga
pengucilan dari masyarakat sekitar. Hal ini akibat kerusakan saraf
besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik
serta dengan adanya kerusakan yang berulang pada daerah anestesia
yang disertai paralisis dan atrofi otot.1,6
c. Etiologi Lepra
Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang
belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.1
Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang,
sisi pararel dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-8 µm x 0,5
µm. Basil ini berbentuk gram positif, tidak bergerak dan tidak
berspora dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,
termasuk massa irreguler besar yang disebut globi. Dengan mikroskop
elektron, M. leprae terlihat mempunyai dinding yang terdiri dari dua
lapisan yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan
lapisan
transparan
lipopolisakarida
dan
kompleks
protein
lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini adalah
suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan
ketebalan 2 nm. Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat spesifik pada
M. lepra, yaitu adanya asam amino glisin, sedangkan pada bakteri lain
mengandung alanin.1,11
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit meliputi
bangsa atau ras, sosioekonomi, kebersihan dan keturunan. Pada ras
kulit hitam insiden bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada
http://digilib.unimus.ac.id
Page 6
kulit putih cenderung tipe lepramatosa. Banyak terjadi pada negaranegara berkembang dan golongan sosioekonomi rendah dan
lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan. Faktor genetik
berperan penting dalam penularan penyakit lepra. Penyakit ini tidak
diturunkan pada bayi yang dikandung ibu lepra.12
d. Patogenesis Lepra
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi
yang rendah karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak
belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat
sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat
sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat
disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompok umur terbanyak
terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.1,12
Onsetlepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf,
kulit dan mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut,
hidung dan faring), testis, ginjal, otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh darah.2,8
Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan,
memiliki patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang
terinfeksi menimbulkan tanda-tanda penyakit.
Masa inkubasi M.
leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh basil bermigrasi
kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga
dapat
ditemukan
dalam
makrofag,
sel-sel
otot
dan
sel-sel
endotelpembuluh darah.8,13
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri
tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai
berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri
membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel hancur
dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak,
http://digilib.unimus.ac.id
Page 7
peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh sistem
imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan
terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai
keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin
patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan
lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.8
Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap
penderita lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi
dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan
lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi
menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe
Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba berubah
baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang
menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang
disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).1,8
http://digilib.unimus.ac.id
Page 8
M. leprae
Masuk melalui saluran pernapasan
Sel Schwann di daerah yang dingin (nervus
cutaneus dan batang saraf perifer anggota tubuh
dan wajah) basil berkembang di sel Schwann
Respon SIS baik
1. Tidak ada lesi
atau
saraf
muncul atau
2. Lesi kulit atau
muncul diikuti
penyembuhan
spontan atau
3. Lepra tipe PB
Respon SIS lemah
kulit
yang
saraf
oleh
1. Lepra tipe MB
2. Mengenai kulit dan
saraf, mata, testis,
ginjal , otot halus atau
volunter,
sistem
retikulo endotelial dan
endotelium vaskular
ikut terlibat
Gambar 2.1. Patogenesis Lepra8
e. Klasifikasi Lepra
Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas
tipe Indeterminan(I), tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipe
Borderline (B). Ridley Jopling (1960) membagi lepra kedalam
berbagai tipe yaituIndeterminan (I), Tuberculoid polar (TT),
Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB), Borderline
Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL).12
http://digilib.unimus.ac.id
Page 9
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe
tuberculoid polar yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil
sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga dengan tipe LL
yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100% ,
mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB
merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberculoid dan 50%
lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada
tipe BL lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe
yang labil yang berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke
arah tipe TT maupun tipe LL.1
Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe
Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB).1,12
1) Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada
tipe ini berarti mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT
dan tipe I. Pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri
(IB) kurang dari 2+.
2) Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang
rendah. Pada tipe ini berarti bahwa mengandung banyak kuman
yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi RidleyJopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.
Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah
terjadi perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif
pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe
BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut
disertai BTA positif maka akan dimasukkan kedalam lepra tipe MB.
Sedangkan lepra tipe MB adalah semua penderita lepra tipe BB, tipe
BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif,
harus diobati dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.1
http://digilib.unimus.ac.id
Page 10
f. Manifestasi Klinis Lepra
Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu
multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita
terhadap kuman M. leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh
kerusakan saraf perifer.11
Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:14
1) Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat,
saraf yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi
penebalan saraf yang menyebabkan gangguan motorik, sensorik
dan otonom.
2) Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar,
perlahan tetapi progresif, beberapa tahun kemudian terjadi
hipoestesi (bagian-bagian dingin pada tubuh), simetris pada
tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking anaesthesia
terjadi penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik
dan otonom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3) Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe
tuberculoid dan tipe lepromatosa)
http://digilib.unimus.ac.id
Page 11
Tabel 2.1Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra
tipe MB.1
Sifat
Lepramatosa
(LL)
Borderline
Lepromatosa
(BL)
Mid
Borderline
(BB)
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Makula
Plakat
Papul
Plakat
Dome-shaped
(kubah)
Punched-out
Dapat
dihitung, kulit
sehat jelas ada
Lesi
-
Bentuk
-
Jumlah
-
Distribusi
Simetris
-
Permukaan
Halus berkilat
-
Batas
Anestesia
Tidak jelas
Tidak
ada
sampai
tidak
jelas
Agak jelas
Tidak jelas
Agak kasar,
agak berilat
Agak jelas
Lebih jelas
BTA
-
Lesi kulit
Banyak
globus)
Banyak
globus)
Negatif
(ada
Banyak
Agak banyak
(ada
Biasanya
negatif
Negatif
Negatif
-
Sekret
hidung
Tes lepromin
http://digilib.unimus.ac.id
Sukar
dihitung,
masih
ada
kulit seha
Hampir
simetris
Halus berkilat
Asimetris
Biasanya
negatif
Page 12
Tabel 2.2.Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra
tipe PB.1
Sifat
Tuberkuloid
(TT)
Borderline
Tuberkuloid
(BT)
Indeterminate
(I)
Makula saja;
makula
dibatasi
infiltrat
Satu, dapat
beberapa
Hanya makula
Lesi
-
Bentuk
-
Jumlah
-
Distribusi
Asimetris
-
Permukaan
-
Batas
Kering
bersisik
Jelas
Makula
dibatasi
infiltrat;
infiltrat saja
Beberapa
atau
satu
dengan
satelit
Masih
asimetris
Kering
bersisik
Jelas
-
Anestesia
Jelas
Jelas
BTA
-
Lesi kulit
Hampir
selalu negatif
Positif kuat
(3+)
Negatif atau
hanya 1+
Positif lemah
Tes lepromin
Satu
atau
beberapa
Variasi
Halus,
agak
berkilat
Dapat
jelas
atau tidak jelas
Tidak
ada,
sampai tidak
jelas
Biasanya
negatif
Dapat positif
lemah
atau
negatif
g. Reaksi Lepra
Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang kronik disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang
menyerang kuman M. leprae. Penderia lepra dapat mengalami reaksi
hampir setiap saat yaitu sebelum pengobatan, saat diagnosis
ditegakkan, selama pengobatan maupun setelah pengobatan selesai.
Sebagian besar reaksi terjadi dalam satu tahun setelah diagnosis. Pada
penderita tipe MB, reaksi dapat timbul setiap saat selama pengobatan
bahkan sampai dengan beberapa tahun setelah pengobatan.1,15
http://digilib.unimus.ac.id
Page 13
Berikut ini adalah tanda-tanda terjadinya reaksi lepra:1,15
1) Pada kulit: peradangan bercak kulit
2) Pada saraf: rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul
kehilangan rasa raba baru dan timbul kelemahan otot baru
3) Pada mata: rasa sakit atau kemerahan pada mata, timbul
penurunan daya penglihatan yang baru, timbul kelemahan otototot penutup mata yang baru
Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu:
1) Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal.
Reaksi tipe 1 ini disebabkan peningkatan aktivitas sistem
kekebalan tubuh dalam melawan basil lepra atau bahkan sisa basil
yang mati. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan terjadi
peradangan setiap terdapat basil lepra pada tubuh, terutama kulit
dan saraf. Penderita lepra dengan tipe MB maupun PB dapat
mengalami reaksi tipe 1. Sekitar seperempat dari seluruh
penderita lepra kemungkinan akan mengalami reaksi tipe 1.15
Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam enam bulan setelah
mulai minum obat. Beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1
sebelum mulai berobat dimana belum terdiagnosis. Reaksi
merupakan tanda penyakit yang sering muncul pertama yang
menyebabkan penderita datang untuk berobat. Sebagian kecil
penderita mengalami reaksi lebih lambat, baik selama masa
pengobatan maupun sesudahnya.15
2) Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi Erythema Nodusum Leprosum
(ENL).
Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae dalam jumlah
besar terbunuh dan secara bertahap dipecah. Protein dari basil
yang mati mencetuskan reaksi alergi. Reaksi tipe 2 akan
mengenai seluruh tubuh dan menyebabkan gejala sistemikkarena
protein ini terdapat dialiran pembuluh darah.15
http://digilib.unimus.ac.id
Page 14
Erythema nodusum leprosumhanya terjadi pada penderita tipe
MB, terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula
pada tipe BL, serta pada ENL tidak terjadi perubahan tipe, berarti
bahwa semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar
kemungkinan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL
termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks imun
akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG) dan
komplemen, maka ENL termasuk didalam golongan penyakit
kompleks imun, karena salah satu protein M. leprae bersifat
antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin
penderita lepra lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberculoid.
Hal ini terjadi oleh karena tipe lepromatosa jumlah kuman jauh
lebih banyak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering terjadi
pada masa pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman
lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang
dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan
sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai
organ.1,15,16,17
http://digilib.unimus.ac.id
Page 15
Tabel 2.3Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2.1,15,17
No
1
Gejala/tanda
Keadaan umum
2
Peradangan di kulit
3
Saraf
4
Peradangan
organ lain
5
Waktu timbul
6
Tipe lepra
http://digilib.unimus.ac.id
pada
Reaksi tipe 1
Umumnya baik,
demam
ringan
(sub febris) atau
tanpa demam
Bercak kulit lama
menjadi
lebih
meradang
(merah),
dapat
timbul
bercak
baru
Sering
terjadi,
umumnya berupa
nyeri tekan saraf
dan
atau
gangguan fungsi
saraf
Hampir tidak ada
Biasanya segera
setelah
pengobatan
Dapat terjadi pada
lepra tipe PB
maupun MB
Reaksi tipe 2
Ringan
sampai
berat
disertai
kelemahan umum
dan demam tinggi
Timbul
nodul
kemerahan, lunak
dan nyeri tekan.
Biasanya
pada
lengan
dan
tungkai.
Nodul
dapat
pecah
(ulserasi)
Dapat terjadi
Terjadi
pada
mata,
kelenjar
getah
bening,
sendi,
ginjal,
testis, dll
Biasanya
saat
pengobatan
Hanya pada lepra
tipe MB
Page 16
Tabel 2.4Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi lepra tipe 1
dan tipe 2.17
No
Gejala/tanda
1
Kulit
2
Saraf tepi
3
4
Keadaan
umum
Gangguan
pada organ
lain
Reaksi tipe 1
Ringan
Berat
Bercak:
Bercak:
merah,
merah,
tebal,
tebal,
panas,
panas, nyeri
nyeri*
yang
bertambah
parah
sampai
pecah
Nyeri pada Nyeri pada
perabaan:
perabaan:
(-)
(+)
Gangguan
fungsi: (-)
Demam: (-)
Gangguan
fungsi: (+)
Demam: ±
-
-
Reaksi tipe 2
Ringan
Berat
Nodul:
Nodul:
merah,
merah, panas,
panas,
nyeri
yang
nyeri
bertambah
parah sampai
pecah
Nyeri
pada
perabaan:
(-)
Gangguan
fungsi: (-)
Demam:
±
-
Nyeri pada
perabaan: (+)
Gangguan
fungsi: (+)
Demam: (+)
Terjadi
perdanngan
pada:
Mata:
Iridocyclitis
Testis:
epididimoorc
hitis
Ginjal:
nephritis
Kelenjar
limfe:
limfadenitis
Gangguan
pada tulang,
hidung dan
tenggorokan
*) Apabila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf
dikategorikan sebagai reaksi berat.
h. Deformitas atau Kecacatan
Deformitas atau kecacatan lepra sesuai dengan patofisiologinya,
dapat dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder. Deformitas
primer terjadi sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk
sebagai reaksi terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak
http://digilib.unimus.ac.id
Page 17
jaringan disekitarnya yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai
akibat adanya deformitas primer terutama kerusakan saraf (sensorik,
motorik dan otonom) antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan
kaki.1,14
Gejala-gejala kerusakan saraf:1,17
1) Nervus Ulnaris akan terjadi anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis,
atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lubrikalis
medial.
2) Nervus Medianus terjadi anestesia pada ujung jari sebagian
anterior ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi
ibu jari, clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah, ibu jari
kontraktur dan atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.
3) Nervus Radialis terjadi anestesia dorsum manus, serta ujung
proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), dan tidak
mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangn.
4) Nervus Poplitea laterallis dapat terjadi anestesia tungkai bawah,
bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), dan
kelemahan otot peroneus.
5) Nervus Tibialis posterior terjadi anestesia telapak kaki, claw toes,
dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
6) Nervus
Fasialis
yaitu
cabang
temporal
dan
zigomatik
menyebabkan lagoftalmus, cabang bukal, mandibular dan servikal
menyebabkan
kehilangan
ekspresi
wajah
dan
kegagalan
mengatubkan bibir.
7) Nervus Trigeminus terjadi anestesia kulit wajah, kornea dan
konjungtiva mata, atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis
lateral.
http://digilib.unimus.ac.id
Page 18
Kerusakan mata pada lepra juga dapat terjadi secara primer dan
sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu
mata serta dapat mendesak jaringan mata lainnya. Kerusakan sekunder
disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat paralisis N.
Orbicularis
palpebrarum
sebagian
atau
seluruhnya
yang
mengakibatkan lagoftalmus, selanjutnya menyebabkan kerusakan
bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung
yang akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.1,14
Infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit yang terdiri atas
kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambutmenyebabkan kulit
kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia
akibat gangguan keseimbangan hormonal dan infiltrasi granuloma
pada tubulus seminiferus testis.1
Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga
tahap yaitu:(1) terjadi kelainan pada saraf, berbentuk penebalan saraf,
nyeri tanpa gangguan fungsi gerak namun telah terjadi gangguan
sensorik, (2) terjadi kerusakan pada saraf, timbul paralisis tidak
lengkap atau paralisis awal, termasuk pada otot kelopak mata, otot jari
tangan dan otot kaki. Pada stadium ini masih dapat terjadi pemulihan
dan kekuatan otot. Bila berlanjut dapat terjadi luka (di mata, tangan
dan kaki) dan kekakuan sendi, (3) terjadi penghancuran saraf serta
kelumpuhan menetap. Pada stadium ini dapat terjadi infeksi yang
progesif dengan kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan.14
Derajat kecacatan pada lepra terbagi atas tiga tingkatan yaitu:
1) Kecacatan tingkat 0 berarti tidak ada cacat.17
2) Kecacatan tingkat 1 adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan
saraf sensoris yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada
kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki. Gangguan fungsi
sensoris pada mata tidak diperiksa dilapangan oleh karena itu
tidak ada cacat tingkat 1 pada mata. Kecacatan tingkat 1 pada
telapak kaki beresiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan
http://digilib.unimus.ac.id
Page 19
perawatan diri secara rutin hal ini dapat dicegah. Mati rasa pada
bercak bukan merupakan kecacatan tingkat 1 karena bukan
disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama, tetapi rusaknya
saraf lokal kecil pada kulit.17
3) Kecacatan tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.
Pada mata yaitu terjadi ketidakmampuan menutup mata dengan
rapat (lagoftalmus), kemerahan yang jelas pada mata(terjadi pada
ulserasi kornea atau uveitis), gangguan penglihatan berat atau
kebutaan.Sedangkan pada tangan dan kaki dapat terjadi luka dan
ulkus di telapak serta deformitas yang disebabkan oleh
kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kontraktur) dan atau
hilangnya jaringan (atrofi) atau reabsorbsi parsial dari jar-jari.14,17
i. Diagnosis Lepra
Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis,
bakterioskopis, histopatologis dan serologis. Diantara pemeriksaan
tersebut, diagnosis secara klinis adalah yangterpenting dan paling
sederhana dilakukan. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling
sedikit
(15-30
menit),
sedangkan
pemeriksaan
histopatologi
memerlukan waktu 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda)juga dapat
dilakukan untuk membantu penentuan tipe yang hasilnya baru dapat
diketahuisetelah 3 minggu. Penentuan tipe lepra perlu dilakukan
supaya dapat menetapkan terapi yang sesuai.1
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di
lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi
klinis lepra berdasarkan penghitungan lesi kulit dan saraf yang
terkena. Pada tahun 1997, diagnosis klinis lepra berdasarkan tiga
tanda kardinal yang dikeluarkan oleh “WHO’s Committe on Leprosy”
yaitu lesi pada kulit berupa hipopigmentasi atau eritema yang mati
rasa, penebalan saraf tepi, serta pada pemeriksaan skin smear atau
basil pada pengamatan biopsi positif.1,9
http://digilib.unimus.ac.id
Page 20
Seseorang dikatakan sebagai penderita lepra apabila terdapat satu
atau lebih dari tanda-tanda terssebut.9,17
Tabel 2.5 Diagnosis klinis, klasifikasi dan penanganan lepra menurut
“WHO’s Cardinal Sign” (1997) .9
Cardinal sign
Hipopigmentasi atau eritema dengan
disertai kehilangan sensasi
Penebalan saraf perifer
Hasil positif dalam pemeriksaan skin
smear atau biopsi
Klasifikasi
Pausibasilar (1-5 lesi kulit)
Multibasilar ( 6 atau lebih lesi kulit)
Pada diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada
kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Diagnosis
klinis harus didasarkan hasil pemeriksaan seluruh tubuh penderita,
sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan
tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi
(kelainan kulit) dapat berbeda tipe dengan lesi lainnya. Begitu pula
dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa tempat dan
dari mana biopsi tersebut diambil. Diagnosis klinis dimulai dengan
inspeksi, palpasi lalu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan
alat sederhana berupa jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing
dengan air panas dan air dingin, pensil tinda dan sebagainya.1,14
Ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan
diagnosis. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan jarum
terhadap rasa nyeri, dan kapas terhadap rasa raba. Apabila belum jelas
dapat dilakukan dengan pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan
dingin menggunakan dua tabung reaksi. Untuk mengetahui adanya
kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya dehidrasi di
daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak, yang dipertegas dengan
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya
dimulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada gangguan,
goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan
http://digilib.unimus.ac.id
Page 21
bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah
lesi. Gangguan fungsi motoris diperiksa dengan Voluntary Muscle
Test (VMT).1,14,17
Sarafperifer yang perlu diperhatikan adalah mengenai pembesaran,
konsistensi, ada tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya
beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N.
Fasialis, N. Aurikularis magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus,
N. Poplitea lateralis, dan N. Tibialis posterior.1
j. Penunjang Diagnosis Lepra
1) Pemeriksaan bakterioskopik
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan
yang diperoleh melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang
kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae.
Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari
kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam
(BTA) yaitu dengan menggunakan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik
negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung kuman M. leprae. 1
Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling
padat oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah
tempat yang akan diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat
dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling
aktif
yaitu yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat ada
tidaknya lesi di tempat tersebut, karena pada tempat tersebut
mengandung kuman paling banyak.1
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada
sediaan. Dibedakan atas batang utuh (solid), batang terputus
http://digilib.unimus.ac.id
Page 22
(fragmented) dan butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman
hidup, sedangkan pada bentuk fragmented dan granular adalah
kuman mati. Kuman dalam bentuk hidup lebih berbahaya karena
dapat berkembang biak dandapat menularkan ke orang lain.1
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan
rentang nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Interpretasi hasil
adalah sebagai berikut:1
a) 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
b) 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
c) 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
d) 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e) 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f) 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g) 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang
dibuat sediaan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa
objektif 100 kali.1
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna
untuk mengetahui daya penularan kuman dan untuk menilai hasil
pengobatan dan membantu menentukan resistensi terhadap
obat.1,17
2) Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan
untuk memastikan gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate
atau penentuan klasifikasi lepra. Granuloma adalah akumulasi
makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologi
http://digilib.unimus.ac.id
Page 23
tipe tuberculoid adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebih
nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-solid.
Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung dibawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow
dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut
pada tipe Borderline.1,14
3) Pemeriksaan serologis
Pada
pemeriksaan
serologis
lepra
didasarkan
atas
terbentuknya antibodi tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.
leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak
spesifik. Antibodi yang spesifik terhadap M. lepraeyaitu antibodi
antiphenolic glycolipid-1(PGL 1) dan antibodi antiprotein 16kD
serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman M. tuberculosis.1
Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra
yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Selain itu dapat juga membantu menentukan lepra subklinis,
karena tidak terdapat lesi kulit, misalnya pada narakontak
serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik lepra adalahuji
MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA
(Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test
(Mycobacterium
leprae
dipstick),
(Mycobacterium leprae flow test).
dan
ML
flow
test
1
k. Penatalaksanaan Lepra
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health OrganizationMultydrug Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin,
klofazimin dan dapson untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin
dan dapson untuk penderita lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat
antilepra yang paling penting dan termasuk dalam perawatan kedua
http://digilib.unimus.ac.id
Page 24
jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu obat antilepra akan
selalu menghasilkan mengembangan resistensi obat, pengobatan
dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai
monoterapi dianggap tidak etis.18
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan
mengobati
resistensi,
memperpendek
masa
pengobatan,
dan
mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun
kombinasi obat perlu diperhatikan efek terapeutik obat, efek samping
obat, ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan penerapannya.1
Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:
1) MDT untuk lepra tipe MB
Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600
mg setiap bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap
hari, dan dapsone 100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak,
diberikan selama 12 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg
setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap bulan dan 50 mg setiap
hari, serta dapsone 50 mg setiap hari. 19
2) MDT untuk lepra tipe PB
Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi
rifampisin 600 mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan.
Pada anak-anak diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi
rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone 50 mg setiap bulan.19
Sedangkan pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun,
diberikan kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap
bulan, klofamizin 1 mg/kg berat badan diberikan pada pergantian
hari, tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/kg berat badan setiap
hari.19
http://digilib.unimus.ac.id
Page 25
Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:
1) Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)
Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut,
obat pilihan pertama adalahkorikosteroid. Biasanya diberikan
prednison 40 mg/hari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan
harus secepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk
mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara menndadak.
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Apabila diperlukan dapat diberikan analgetik dan sedativa.1
2) Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid
antara lain prednison dengan dosis yang disesuaikan berat
ringannya reaksi, biasanya diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari.
Dosis diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali
sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan dapat ditambahkan
analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan timbul
ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila
obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu
sehingga penderita harus mendapatkan kortikosteroid secara
terus-menerus.1
Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak
mendapat MDT mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan
saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi lepra terutama reaksi
reversal lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau
nyeri juga memiliki risiko tersebut.1
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya
sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul
berupa nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau
hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya, serta
adanya kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya
http://digilib.unimus.ac.id
Page 26
memasang kancing baju, memegang benda kecil atau kesulitan
berjalan.1
Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of
disability (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini
lepra, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat,
mengenali gejala dan tanda reaksi lepra yang disertai gangguan
saraf
serta
memulai
pengobatan
dengan
kortikosteroid
secepatnya. Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan
misalnya memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering
dan lainnya apabila terdapat gangguan sensibilitas.1
2. Kualitas Hidup
a. Definisi kualitas hidup
Kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya dalam
kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada
dan hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar dan hal-hal
lain yang terkalit. Cakupan tentang kualitas hidup sangat luas dan
kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologik, tingkat
kebebasan, hubungan sosial dan hubungan lingkungan tempat mereka
berada.20
b. Faktor penghambat peningkatan kualitas hidup manusia
Persoalan rendahnya kualitas hidup manusia Indonesia dipicu oleh
berbagai faktor yang kompleks. Permasalahan yang dapat menghambat
perkembangan kualitas hidup manusia Indonesia diantaranya:21
1) Aspek kesehatan meliputi: disparitas status kesehatan; beban ganda
penyakit, terutama penyakit yang menular; kinerja pelayanan
kesehatan yang rendah; perilaku masyarakat yang kurang
mendukung pola hidup bersih dan sehat; rendahnya kondisi
kesehatan lingkungan; terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi
yang tidak merata; dan rendahnya status kesehatan penduduk
miskin.21
http://digilib.unimus.ac.id
Page 27
2) Aspek pendidikan meliputi: tingkat pendidikan yang relatif rendah;
masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar
antar kelompok masyarakat seperti antara penduduk kaya dan
penduduk miskin; fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk
jenjang pendidikan menengah pertama dan yang lebih tinggi belum
tersedia secara merata; kualitas pendidikan relatif masih rendah dan
belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik; dan
anggaran pembangunan pendidikan belum memadai.21
3) Aspek ekonomi meliputi: kegagalan pemenuhan hak dasar; beban
kependudukan, beban masyarakat miskin semakin berat akibat
besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang
mendorong terjadinya migrasi; dan ketidaksetaraan gender.21
c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup penderita lepra.
1) Umur: pada penelitian yang dilakukan oleh Euis Rahayuningsih
tahun 2012 dan penelitian Tsutsumi, et al tahun 2007 menyebutkan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan
kualitas hidup.22,23
2) Jenis kelamin: pada penelitian yang dilakukan oleh Euis
Rahayuningsih tahun 2012 dan penelitian Tsutsumi, et al(2007)
menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
jenis kelamin dengan kualitas hidup pasien lepra.22,23
3) Penghasilan:
pada
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Euis
Rahayuningsih (2012) dan Tsutsumi, et al (2007) menyebutkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara penghasilan dengan
kualitas hidup pasien lepra.22,23
4) Pendidikan: pada penelitian Euis Rahayuningsih(2012) menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antarapendidikan dengan kualitas hidup,
tapi ada hubungan yang signifikan antara skor domain lingkungan
kualitas hidup dengan pendidikan. Tetapi pada penelitian Tsutsumi,
et al(2007) menyebutkan bahwa lamanya pendidikan dalam tahun
berhubungan dengan kualitas hidup penderita lepra.22,23
http://digilib.unimus.ac.id
Page 28
5) Status pernikahan: secara umum seseorang yang sudah menikah
mempunyai dukungan dan hubungan sosial lebih baik yang dapat
mempengaruhi kualitas hidupnya.22
6) Stigma: pada penelitian yang dilakukan oleh Euis Rahayuningsih
(2012) menyebutkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
perceived stigma dengan kualitas hidup. Pada penelitian Tsutsumi,
et al(2007) juga menyebutkan hal yang sama bahwa ada hubungan
yang bermakna antara perceived stigma dengan penurunan kualitas
hidup pasien lepra.22,23
7) Kecacatan lepra: menurut hasil penelitian Tsutsumi, et al 2007,
adanya kecacatan yang terlihat mempunyai hubungan yang
bermakna dengan penurunan kualitas hidup penderita.23
8) Riwayat penyakit lepra dalam keluarga: menurut hasil penelitian
Tsutsumi, et al(2007), riwayat penyakit lepra dalam keluarga tidak
mempunyai hubungan yang bermakna dengan penurunan kualitas
hidup penderita lepra.23
9) Reaksi lepra: dapat mempengaruhi kecacatan pada penderita, tetapi
dalam penelitian Tsutsumi, et al(2007), reaksi lepra dalam keluarga
tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan penurunan
kualitas hidup penderita lepra.23
B. Kerangka Teori
http://digilib.unimus.ac.id
Page 29
M. leprae
Infeksi host
SIS baik
SIS kurang
Gambaran klinis
Gambaran klinis
tuberculoid
lepromatosa
Lepra tipe PB
TT
BT
Lepra tipe MB
LL
I
Masa penyembuhan 6-9 bulan
(lebih singkat dari pada masa
penyembuhan tipe MB)
BL
BB
Masa penyembuhan 2-3 tahun
(lebih lama dari pada masa
penyembuhan tipe PB)
Kualitas hidup
C. Kerangka Konsep
http://digilib.unimus.ac.id
Page 30
Penderita lepra tipe
Kualitas hidup
multibasilar (MB)
D. Hipotesis
Ada hubungan antara penderita lepra tipe multibasilar dengan kualitas
hidup.
http://digilib.unimus.ac.id
Page 31
Download