BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelimpahan Sel Chlorella sp. Hasil penelitian menunjukan bahwa kultur Chlorella yang diberi pupuk berupa ekstrak etanol bayam mengalami peningkatan kelimpahan sel yang tinggi dibanding dengan kelimpahan sel Chlorella yang diberi pupuk anorganik (pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP). Hal tersebut menandakan bahwa media perlakuan yang diberi ekstrak etanol bayam sebagai substitusi pupuk anorganik lebih baik dalam menghasilkan kelimpahan sel Chlorella. Rerata kelimpahan sel Chlorella selama penelitian pada masing-masing pemberian pupuk perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8. (data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11). Rerata kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l, 5 mg/l dan 8 mg/l terus meningkat hingga hari ke tujuh selama kultur, sedangkan rerata kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak etanol bayam sebesar 11 mg/l hanya dapat mencapai puncak populasi hingga hari ke enam selama kultur dan untuk perlakuan kontrol, sel Chlorella dapat mencapai puncak populasi hingga hari ke delapan. 63,6 x 105 41,1 x 105 40,1 x 105 30,3 x 105 26,3 x 105 Gambar 8. Kelimpahan Sel Chlorella Selama Kultur 34 35 Pencapaian puncak populasi pada perlakuan kontrol lebih lama disebabkan kandungan unsur hara makro yang terdapat dalam perlakuan kontrol kurang dapat dioptimalkan dengan baik oleh sel-sel Chlorella untuk melakukan proses pembelahan sel dan disisi lain, pupuk kontrol (pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP) tidak mengandung unsur hara mikro yang dapat menunjang proses pembelahan sel Chlorella, sehingga perlakuan kontrol mencapai waktu puncak populasi yang lebih lama dibandingkan dengan 4 perlakuan yang diberi ekstrak etanol bayam. Pada media kultur yang diberi perlakuan ekstrak etanol bayam dapat mencapai puncak populasi lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol yang diberi perlakuan pupuk anorgaik, hal ini dikarenakan ekstrak etanol bayam mengandung unsur hara mikro seperti unsur Fe, Zn dan Mn sebagai penunjang proses pembelahan sel Chlorella. Emerson dan Lewis (1939) melaporkan bahwa Mn dan Zn yang terdapat dalam media kultur akan mengefektifkan fotosintesis pada strain Chlorella sorokiniana. Menurut Bassham (1965), proses fotosintesis yang berlangsung efektif akan mempengaruhi produk yang dihasilkan, dengan hasil produk akhir fotosintesis berupa oksigen, glukosa, ATP dan sel-sel baru Chlorella. Dalam ekstrak etanol bayam terdapat beberapa vitamin seperti vitamin B1 (thiamin), vitamin B7 (biotin), vitamin B12 (kobalamin), dan vitamin C. Vitamin berperan penting sebagai stimulan dalam laju perkembangbiakan fitoplankton. Berdasarkan penelitian Droop (1962), menyatakan bahwa vitamin esensial yang dibutuhkan bagi perkembangbiakan fitoplankton antara lain yakni vitamin B1 (thiamin), vitamin B7 (biotin) dan vitamin B12 (kobalamin). Vitamin thiamin berfungsi dalam reaksi -dekarboksilase dan reaksi transketolase pada proses katabolisme, dimana proses katabolisme merupakan reaksi penguraian senyawa kompleks (unsur hara makro) menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan tujuan untuk menghasilkan ATP (energi) yang digunakan organisme untuk proses metabolisme sel atau proses pembelahan sel (Campbell 2003). Vitamin biotin berfungsi dalam sintesis asam lemak dan fiksasi karbondioksida dan vitamin kobalamin berfungsi untuk sintesis deoksiribosa atau sintesis senyawa protein. 36 Betawati (2007) menjelaskan mengenai mekanisme sintesis protein. Pada tahap awal protein diuraikan menjadi monomer-monomer penyusunnya, pada akhirnya akan menjadi asetil Koenzim-A (KoA). Selanjutnya, asetil KoA masuk ke dalam siklus Krebs, dilanjutkan dengan rantai transpor elektron yang akan menghasilkan ATP. Energi yang terkandung dalam ATP tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel Chlorella. Pada media kultur yang diberi perlakuan ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l, memiliki waktu yang lebih cepat untuk memasuki puncak populasi dibandingkan oleh 3 perlakuan yang diberikan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l, 5mg/l dan 8 mg/l. Puncak populasi dengan waktu yang lebih cepat tidak selalu dianggap bagus, hal ini dapat diterangkan dengan rerata kelimpahan sel Chlorella yang diberi ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l memiliki rerata kelimpahan sel paling rendah dibandingkan dengan perlakuan ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi 2 mg/l, 5 mg/l dan 8 mg/l, serta kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan D ini lebih kecil dibandingkan dengan rerata kelimpahan sel Chlorella perlakuan kontrol. Hal ini diduga, ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l, mengandung unsur fosfor yang cukup tinggi. Effendie (2003), menyatakan bahwa kelebihan unsur seperti unsur fosfor menyebabkan penyerapan unsur hara mikro seperti unsur Fe, Cu dan Zn dapat terganggu. Dengan dilakukannya perhitungan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 11 mg/l (Lampiran 12), didapatkan estimasi nilai fosfor yang melebihi ambang batas optimum untuk proses perkembangbiakan sel Chlorella. Menurut Mackentum (1969), konsentrasi fosfor yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,27-5,51 mg/l. Rendahnya rerata kelimpahan sel Chlorella rendah pada perlakuan D juga diakibatkan ekstrak etanol bayam (EEB) dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l, mengandung senyawa saponin (senyawa fitokimia yang terdapat dalam bayam) yang cukup tinggi. Hal ini pun diperkuat dengan adanya pernyataan dari Lipkin (1995), konsentrasi saponin yang tinggi menyebabkan penurunan kandungan lipid pada Chlorella, dimana fungsi lipid itu sendiri pada Chlorella berfungsi untuk penyimpanan ATP bagi proses perkembangbiakan sel Chlorella. Kandungan 37 senyawa saponin yang terdapat pada perlakuan D (11 mg/l) sudah melebihi ambang batas toleran sel Chlorella, sehingga rerata kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan D ketika mencapai puncak populasi menjadi rendah. Pada media kultur yang diberi perlakuan ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l dan 11 mg/l menghasilkan kelimpahan sel Chlorella terendah. Rerata kelimpahan biakan sel Chlorella rendah pada perlakuan A, diakibatkan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l semakin berkurang akibat adanya proses pengenceran. Berdasarkan pernyataan dari O’Kelley (1968), kekurangan unsur hara makro nutrien seperti unsur hara N (unsur nitrogen) mempengaruhi pembentukan klorofil. Sementara itu, kekurangan unsur mikro nutrien seperti unsur Mn dapat mempengaruhi proses fotosintesis karena unsur Mn merupakan aktivator enzim pada reaksi terang fotosintesis. Hal tersebut akan mempengaruhi laju fotosintesis. Laju fotosintesis menentukan kuantitas produk (karbohidrat) yang dihasilkan. Karbohidrat hasil fotosintesis oleh fitoplankton selain digunakan untuk perkembangbiakan juga digunakan untuk respirasi seluler. Apabila hasil fotosintesis berkurang, maka karbohidrat yang tersisa setelah sebagian digunakan dalam proses respirasi tidak mencukupi untuk perkembangbiakan bagi sel Chlorella. Peningkatan rerata kelimpahan sel Chlorella dapat dilihat dari perubahan warna kultur. Warna kultur fitoplankton merupakan warna pigmen utama yang terdapat dalam sitoplasma sel, yaitu klorofil. Pada pengamatan hari pertama (saat inokulasi), kultur Chlorella yang ditumbuhkan dengan menggunakan ekstrak etanol bayam terlihat bening (Gambar 9). Gambar 9. Warna Media Kultur Chlorella Hari Pertama 38 Kondisi tersebut disebabkan karena jumlah sel inokulum Chlorella belum sebanding dengan volume media. Selain itu, perbandingan antara volume media dengan konsentrasi klorofil belum dapat memberikan warna pada media kultur. Pada pengamatan hari ketujuh (Gambar 10), kultur dengan pemberian ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi 2 mg/l dan 11 mg/l dan perlakuan kontrol berwarna hijau muda, kultur dengan pemberian ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi 5 mg/l berwarna hijau apel, dan kultur dengan pemberian esktrak etanol bayam dengan konsentrasi 8 mg/l berwarna hijau tembaga. Perubahan warna hijau kultur mulai dari hijau muda hingga hijau tembaga menunjukkan bahwa populasi sel meningkat seiring dengan bertambahnya umur kultur. Gambar 10. Warna Media Kultur Chlorella Hari Ketujuh Setelah mencapai puncak populasi, rerata kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan C (8 mg/l), perlakuan B (5 mg/l) dan perlakuan A (2 mg/l) pada hari ke delapan mulai menurun, sedangkan perlakuan D (11 mg/l) mulai memasuki fase stationer pada hari ke tujuh dan perlakuan kontrol mulai memasuki fase stationer ketika hari ke sembilan (Lampiran 11). Fase stationer ini disebabkan oleh berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase logaritmik, adanya toksik yang dihasilkan oleh Chlorella itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni Chlorella itu sendiri dan berkurangnya fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel, sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Pelczar 2005). 39 Pada hari kultur ke sepuluh, perlakuan C, perlakuan K, perlakuan B, perlakuan A dan perlakuan D telah memasuki fase deklinasi dengan kelimpahan sel akhir yakni pada perlakuan C dengan kelimpahan sel akhir sebesar 43,3 x 10 5 sel/ml, perlakuan K dengan kelimpahan sel akhir sebesar 28,1 x 10 5 sel/ml, perlakuan B dengan kelimpahan sel akhir sebesar 27,6 x 105 sel/ml, perlakuan A dengan kelimpahan sel akhir sebesar 19 x 105 sel/ml sedangkan untuk perlakuan D dengan kelimpahan sel akhir sebesar 16,5 x 105 sel/ml. Pada fase deklinasi ini sel menjadi mati lebih cepat dari pada terbentuknya sel-sel yang baru, laju kematian mengalami percepatan menjadi eksponensial bergantung pada spesiesnya, semua sel mati dalam waktu beberapa hari atau beberapa bulan. Penyebab utama kematian adalah autolisis sel dan penurunan energi seluler (Purwoko 2007). Pengaruh pemberian pupuk perlakuan dan pupuk kontrol terhadap kelimpahan sel Chlorella dibuktikan dengan uji statistik Duncan 95% dapat dilihat pada Lampiran 13. 4.2 Laju Perkembangbiakan Spesifik Chlorella sp. Hasil penelitian menunjukan, pemberian ekstrak etanol bayam sebagai substitusi pupuk untuk kultur Chlorella memberikan laju perkembangbiakan spesifik tertinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik seperti pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP (Lampiran 14). Perlakuan B memiliki laju perkembangbiakan spesifik tertinggi ketika hari kedua kultur, hal ini diduga kandungan unsur hara makro dan unsur hara mikro yang terdapat dalam ekstrak etanol bayam sesuai dengan permeabilitas sel Chlorella. Permeabilitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh membran sel Chlorella dalam menyaring partikelpartikel yang akan melalui membran sel, sehingga kandungan unsur hara makro dan unsur hara mikro yang berasal dari ekstrak etanol bayam dapat dioptimalkan oleh sel Chlorella dalam proses pembelahan sel yang berfungsi untuk perbanyakan jumlah koloni sel-sel Chlorella. Ditambahkan oleh Suminto dan Hirayama (1996), dalam penelitiannya menyatakan bahwa nilai laju perkembangbiakan spesifik yang lebih besar mempunyai arti bahwa pada proses 40 pembelahan sel Chlorella menjadi lebih cepat, sehingga pertambahan sel per satuan waktu akan lebih besar dari pada pertambahan waktu itu sendiri. Perlakuan A pada hari kultur kedua mempunyai laju perkembangbiakan spesifik yang sangat rendah dibandingkan dengan perlakuan D, perlakuan K, perlakuan B dan perlakuan C (Gambar 11). Hal ini diduga pada perlakuan A, konsentrasi unsur hara makro yang terlalu sedikit (Lampiran 15). Kekurangan unsur hara makro seperti unsur nitrat (NO3-) dan unsur ortofosfat (PO43-) ini berperan penting dalam proses sintesis protein (Isnansetyo dan Kurniastuti 1995). Menurut penelitian Mackentum (1969) mengenai konsentrasi nitrat yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,9-3,5 mg/l, sedangkan untuk konsentrasi ortofosfat yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,27-5,51 mg/l. Dalam penelitian ini, didapatkan perhitungan konsentrasi nitrat dan ortofosfat pada Lampiran 15, didapatkan konsentrasi nitrat pada perlakuan A sebesar 0,852 mg/l dan konsentrasi ortofosfat sebesar 1,1 mg/l. Dengan meninjau estimasi perhitungan konsentrasi unsur N dan unsur P pada perlakuan A, dapat ditarik pernyataan, konsentrasi unsur N (unsur nitrat) dibawah 0,9 mg/l dan unsur P (unsur ortofosfat) sebesar 1,1 mg/l merupakan konsentrasi minimum bagi proses perkembangbiakan sel Chlorella. Gambar 11. Laju Perkembangbiakan Spesifik Chlorella Selama Kultur 41 Laju perkembangbiakan spesifik sel Chlorella tertinggi pada saat puncak populasi terdapat pada perlakuan C, yakni sebesar 0,74. Hal ini diduga pada perlakuan C dengan penambahan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 8 mg/l memiliki kandungan vitamin B12 (kobalamin) yang sesuai dengan membran sel Chlorella. Vitamin B12 (kobalamin) ini berfungsi untuk sintesis deoksiribosa atau sintesis protein. Hal ini diperkuat oleh penelitian Droop (1968), mengenai kinetika keterbatasan vitamin B12 (kobalamin) pada suatu spesies fitoplankton seperti Monochrysis lutheri dengan menghubungkan laju perkembangbiakan spesifik dari fitoplankton tersebut. Dari percobaan tersebut kemudian diperoleh bahwa laju perkembangbiakan spesifik sel fitoplankton dengan vitamin B12 memiliki hubungan yang erat. Pengaruh pemberian pupuk perlakuan dan pupuk kontrol terhadap laju perkembangbiakan spesifik sel Chlorella juga dibuktikan dengan uji statistik Duncan 95% dapat dilihat pada Lampiran 16. 4.3 Waktu Lag Phase Sel Chlorella sp. Hasil penelitian menunjukan, waktu lag phase sel Chlorella tercepat pada perlakuan A dan perlakuan K, kemudian diikuti oleh perlakuan B, perlakuan C dan perlakuan D (Lampiran 17). Waktu lag phase menunjukan lamanya adaptasi Chlorella dengan media barunya. Perbedaan lamanya masa adaptasi diduga karena adanya perbedaan kepekatan antara media kultur dengan cairan sel Chlorella, dalam masa adaptasi sel-sel memulihkan enzim dan konsentrasi substrat ke tingkat yang diperlukan untuk pertumbuhan serta masukya unsur hara ke dalam sel Chlorella terjadi melalui proses difusi sebagai akibat perbedaan konsentrasi antara media kultur dengan cairan sel. Pada fase ini tidak ada pertambahan populasi. Sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi dan bertambah ukurannya, substansi interaseluler bertambah (Perclazar 2005). Proses adaptasi meliputi sintesis enzim baru yang sesuai dengan medianya dan pemulihan terhadap metabolit yang bersifat toksik (misalnya asam, alkohol, dan basa) pada waktu media lama (Purwoko 2007). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etanol bayam akan mempengaruhi kenaikan konsentrasi unsur-unsur hara makro dan unsur hara mikro, dimana unsur-unsur 42 hara makro dan mikro ini bersifat asam maupun basa, sehingga semakin besar kandungan unsur hara makro dan unsur hara mikro akan mempengaruhi lamanya waktu lag phase sel Chlorella. Perlakuan dengan menggunakan pupuk perlakuan dan pupuk kontrol (pupuk anorganik) memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada waktu lag phase dapat dilihat pada Lampiran 18, dengan perlakuan terbaik adalah perlakuan A dan perlakuan Kontrol, dimana perlakuan A memberikan waktu lag phase yakni 2,56 jam dan diikuti oleh perlakuan K memberikan waktu lag phase yakni 2,6 jam. Perlakuan A dan perlakuan K (Gambar 12) memberikan waktu phase yang terbaik dikarenakan kepekatan antara media kultur dengan cairan sel hampir sama sehingga masa adaptasinya lebih cepat. Sedangkan pada perlakuan B memberikan waktu lag phase yakni 3,84 jam, perlakuan C memberikan waktu lag phase yakni 5,36 jam dan perlakuan D memberikan waktu lag phase terlama yakni 13,68 jam, hal ini disebabkan karena kepekatan antara cairan sel dengan media barunya berbeda, sehingga masa adaptasi sedikit lebih lama dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan K. Gambar 12. Waktu Lag Phase Sel Chlorella Dengan Berbagai Perlakuan Menurut Surawiria (1987), Chlorella sp. mempunyai waktu generasi yang sangat cepat. Oleh karena itu dalam waktu yang relatif singkat, perbanyakan sel akan terjadi sangat cepat, terutama jika tersedia cahaya sebagai sumber energi, walaupun dalam jumlah minimal. Pada umumnya perbanyakan sel terjadi dalam 43 kurun waktu 4-14 jam, tergantung pada lingkungan pendukungnya dan kesesuaian nutrisi bagi perkembangbiakan sel-sel Chlorella tersebut. 4.4 Klorofil-a Hasil pengukuran nilai klorofil-a pada akhir penelitian menunjukan bahwa kultur Chlorella yang diberi pupuk kontrol (pupuk anorganik) memiliki nilai klorofil-a akhir yang lebih tinggi dibandingkan ke empat perlakuan pupuk substitusi ekstrak etanol bayam. Hasil pengukuran klorofil-a (Lampiran 19) pada perlakuan kontrol dan perlakuan A termasuk dalam kategori klorofil-a dengan nilai sedang, sedangkan untuk perlakuan B, perlakuan D dan perlakuan C termasuk dalam kategori klorofil-a dengan nilai rendah. Menurut Hatta (2002), konsentrasi klorofil-a < 0,07 mg/m3 termasuk kedalam kategori klorofil-a dengan nilai sedang, konsentrasi klorofil-a dengan rentang nilai sebesar 0,07-0,14 mg/m3 termasuk kedalam kategori klorofil-a dengan nilai sedang dan konsentrasi klorofil-a dengan nilai > 0,14 mg/m3 termasuk kedalam kategori klorofil-a dengan nilai besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak etanol bayam tidak sebanding dengan kadar klorofil-a yang dikandung oleh sel Chlorella. Kelimpahan sel yang tinggi tidak diikuti dengan kadar klorofil-a yang tinggi pula. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Rachmayanti (2004), yaitu kelimpahan sel yang tinggi tidak selalu menghasilkan klorofil-a yang tinggi. Nontji (1973) menyatakan bahwa kandungan klorofil sangat dipengaruhi oleh pH, oksigen, cahaya, enzimatik, unsur nitrogen, unsur magnesium, unsur besi dan unsur air. Tidak adanya salah satu faktor tersebut akan mencegah terjadinya sintesa klorofil yang disebut chlorosis. Rendahnya nilai klorofil-a pada perlakuan C (EEB 8 mg/l), perlakuan D (EEB 11 mg/l) dan perlakuan B (EEB 5 mg/l) diduga kuat dikarenakan pada akhir penelitian, media kultur ketiga perlakuan tersebut (perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan B) dalam kondisi pH akhir yang bersifat asam (Lampiran 20). pH asam dalam media kultur perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan B pada akhir penelitian diduga kuat dapat mengaktifkan enzim klorofillase pada Chlorella tersebut. Diungkapkan 44 oleh Bogorad (1962), enzim klorofilase merupakan sebuah esterase dimana secara in vitro dapat mengkatalis pemecahan gugus phytol (C20H39OH). Phytol adalah alkohol primer jenuh yang mempunyai daya afinitas yang kuat terhadap O2 dalam proses reduksi klorofil dan pada tahap akhir klorofil akan merubah phytol menjadi chlorophyllidac (Gambar 13) dan kemudian unsur Mg akan tergeser oleh 2 molekul atom H bila dalam suasana asam, sehingga membentuk suatu persenyawaan yang disebut phaeophytin, selanjutnya proses degradasi atau proses perombakan phaeophytin oleh enzim klorofillase akan membentuk senyawa phaeophorbide. Tidak liniernya konsentrasi klorofil-a dengan kelimpahan sel dikarenakan pengujian klorofil-a dilakukan pada akhir penelitian, sehingga sel Chlorella sudah memasuki fase deklinasi, dimana sel Chlorella menghasilkan produk degradasi klorofil-a berupa phaeophytin. Gambar 13. Skema Proses Dekomposisi Pada Klorofil-a (Sumber : Nontji 1973) Terlepasnya unsur Mg pada phaeophorbide menyebabkan terjadinya perubahan warna kultur Chlorella dari hijau menjadi kecoklatan (Gambar 14). Reaksi ini bersifat irreversible dalam larutan cair (larutan ekstrak etanol bayam). Gambar 14. Warna Media Kultur Chlorella pada pH Asam 45 Penurunan nilai klorofil-a pada perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan B juga diduga disebabkan telah habisnya unsur hara makro, seperti penurunan unsur nitrogen (N), unsur magnesium (Mg) dan unsur hara mikro, seperti unsur besi (Fe) dan unsur air (H2O) dalam media kultur. Menurut Odum (1994) dalam Susana (2004), nitrogen merupakan bagian dari molekul klorofil, maka tidak mengherankan bila defisiensi unsur ini akan menghambat pembentukan klorofil. Unsur magnesium (Mg) adalah satu-satunya unsur logam yang merupakan komponen utama, karena merupakan atom pusat dari klorofil dan defisiensinya akan menghambat. Menurut Parsons et al. (1984), unsur besi (Fe) merupakan unsur yang esensial untuk pembentukan klorofil meskipun besi sendiri tidak merupakan bagian dari molekul klorofil (sebagai katalisator). Nontji (1973) menyatakan, berkurangnya kadar air dalam fitoplankton tidak saja menghambat pembentukan klorofil, tetapi juga dapat mempercepat perombakan (dekomposisi) klorofil yang telah ada. Ketiadaan unsur air, fitoplankton tidak dapat hidup hal ini dikarenakan untuk melakukan proses fotosintesis diperlukan adanya unsur air. Pengaruh pemberian pupuk perlakuan dan pupuk kontrol terhadap nilai klorofil-a Chlorella juga dibuktikan dengan uji statistik Duncan taraf 95% dapat dilihat pada Lampiran 21. 4.5 Kualitas Air Suhu Hasil penelitian menunjukan, parameter suhu sangat berfluktuatif pada berbagai macam perlakuan (Lampiran 22). Suhu mempengaruhi proses-proses fisik, kimiawi dan biologis yang berlangsung dalam sel fitoplankton. Suhu di bawah 160C dapat menyebabkan kecepatan perkembangbiakan Chlorella sp. turun, sedangkan suhu diatas 360C dapat menyebabkan kematian (Taw 1990). Perubahan suhu rata-rata media kultur Chlorella dapat dilihat pada Gambar 15. Perubahan suhu tersebut diduga dipengaruhi oleh jumlah sel Chlorella dalam media kultur. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) dan Taw (1990) kisaran suhu tersebut masih berada dalam kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan Chlorella sp. untuk kultur di ruangan yaitu 25-300C. 46 Pada saat mencapai puncak populasi, suhu media kultur pada perlakuan C lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A, perlakuan B, perlakuan D dan perlakuan K, hal ini dapat disebabkan pada saat memasuki puncak populasi, sel Chlorella pada perlakuan C (8 mg/l) memiliki kelimpahan sel tertinggi, dengan kelimpahan sel sebesar 6.360.000 sel/ml. Tingginya kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan C mengindikasikan bahwa sel Chlorella dapat memanfaatkan suhu media kultur secara optimum untuk proses perkembangbiakannya. Menurut penelitian Sachlan (1982), peningkatan suhu hingga batas tertentu akan merangsang aktifitas molekul, meningkatnya laju difusi dan juga laju fotosintesis. Dapat ditarik pernyataan bahwa suhu yang optimum bagi perkembangbiakan sel Chlorella adalah pada suhu 26,70C (Lampiran 22). Pada saat memasuki puncak populasi ini pun, suhu berimplikasi positif dengan kenaikan oksigen terlarut pada media kultur (Lampiran 23). Gambar 15. Suhu Media Selama Kultur Pada hari terakhir kultur, media kultur Chlorella pada perlakuan C mengalami peningkatan secara drastis dibandingkan dengan perlakuan A, perlakuan B dan perlakuan K. Hal ini mengindikasikan kelimpahan sel Chlorella pada media perlakuan C telah memasuki fase deklinasi. Dengan semakin meningkatnya suhu, akan berimplikasi negatif terhadap enzim photo oksidatif yang dimiliki oleh Chlorella. Menurut Strickland (1960), untuk sintesa klorofil 47 yang efektif umumnya diperlukan intensitas cahaya yang relatif rendah. Cahaya yang intensitasnya terlalu kuat akan merusak klorofil dalam reaksi yang disebut photo oxidation. Diperjelas lebih lanjut melalui penelitian Tomasick et al. (1997), mengenai suhu bagi fitoplankton, secara umum laju fotosintesis fitoplankton akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan setiap spesies fitoplankton selalu beradaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu. Derajat Keasaman (pH) Hasil penelitian menunjukan, perlakuan C memberikan nilai pH tertinggi pada hari kedua kultur hingga sel Chlorella mencapai puncak populasi pada hari ketujuh, kemudian diikuti oleh perlakuan B dan perlakuan A (Gambar 16). Sedangkan perlakuan D, peningkatan nilai pH pada hari kedua kultur hingga hari ke enam kultur pada saat mencapai puncak populasi dan perlakuan K mengalami peningkatan nilai pH pada hari kedua kultur hingga hari ke delapan kultur (Lampiran 20). Gambar 16. pH Media Selama Kultur Peningkatan nilai pH pada hari kedua hingga hari ke tujuh kultur media kultur pada perlakuan C, perlakuan B dan perlakuan A ini diduga adanya penguraian protein yg terdapat dalam ekstrak etanol bayam oleh Chlorella 48 menjadi amonium, nitrat dan nitrit (unsur nitrogen). Senyawa amonium ini bersifat basa, dikarenakan dalam reaksi pembentukan dari amoniak menjadi amonium menghasilkan gugus OH atau gugus basa (Fessenden 1999). Meningkatnya nilai pH disebabkan juga oleh proses fotosintesis, dikarenakan pada saat fotosintesis, CO2 bebas merupakan jenis karbon anorganik utama yg digunakan Chlorella sebagai bahan baku utama dalam proses fotosintesis. juga dapat menggunakan ion karbonat (CO32-) dan ion bikarbonat (HCO3-). Penyerapan CO3 bebas dan ion bikarbonat menyebabkan penurunan konsentrasi CO2 terlarut pada media kultur dan mengakibatkan peningkatan nilai pH (Sze 1993). Secara umum, pada perlakuan A, perlakuan B, perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan K pada hari kedua kultur hingga mencapai puncak populasi, nilai pH masih dalam rentang nilai pH 7 hingga 8,16 (Lampiran 20). Menurut Morel (1983) in Zahara (2003), pada kisaran pH 7-9 terdapat dua kemungkinan pemanfaatan nitrogen dari nutrien dalam media oleh sel Chlorella, yaitu pemanfaatan unsur nitrogen dalam bentuk nitrat dan amonium. Adapun reaksi biologis pemanfaatan nitrogen dalam bentuk nitrat adalah sebagai berikut: 106HCO3- + 16NO3- + HPO42- + 16H2O + 124H Protoplasma + 138O2 Pemanfaatan senyawa nitrogen dalam bentuk amonium adalah melalui reaksi biologis sebagai berikut: 106 HCO3- + 16 NH4+ + HPO42- + 16H2O + 92H Protoplasma + 138O2 Berdasarkan kedua reaksi di atas maka reaksi pemanfaatan senyawa N yang dapat terjadi selama kultur Chlorella adalah reaksi kedua, yaitu pemanfaatan amonium (NH4+) oleh sel Chlorella. Menurut pernyataan dari Reynolds (1984), pada lingkungan netral (kisaran pH 7), CO2 berada dalam bentuk bebas sehingga dapat berdifusi dengan mudah ke dalam sel Chlorella. Hal tersebut menyebabkan CO2 sebagai sumber karbon utama bagi proses fotosintesis Chlorella cukup tersedia sehingga proses metabolisme dapat berlangsung cepat dan kelimpahan sel dapat meningkat. Pada perlakuan D, peningkatan nilai pH hanya sampai pada hari ke enam kultur. Cepatnya peningkatan nilai pH pada perlakuan D tidak berbanding lurus dengan hasil kelimpahan sel Chlorella, hal ini tidak menandakan dampak yang 49 bagus. Diduga, pada perlakuan D dengan penambahan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 11 mg/l, kandungan senyawa flavonoid yang bersifat asam melebihi ambang batas yang tidak dapat ditolelir oleh sel Chlorella, sehingga dengan adanya senyawa asam yang berlebih dari senyawa flavonoid ini mengakibatkan rendahnya kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan D. Menurut Goldman et al. (1983) dalam Prihantini et al. (2005), karbon anorganik yg paling banyak terdapat pada media asam adalah asam karbonat (H2CO3). Asam karbonat pada kisaran pH tersebut umumnya berada dalam bentuk senyawa yg sangat mudah masuk ke dalam sel Chlorella, sehingga membuat pH internal sel Chlorella menjadi asam. Kondisi pH asam mengakibatkan proses biokimia sel terganggu sehingga mempengaruhi pertumbuhan sel dari Chlorella itu sendiri (Lane 1981). Pada perlakuan K, peningkatan nilai pH media kultur hingga hari ke delapan, hal ini diduga kuat, Chlorella kurang dapat memanfaatkan secara optimal unsur-unsur makro yang terdapat dalam pupuk anorganik. Setelah mencapai puncak populasi, semua perlakuan (perlakuan A, perlakuan B, perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan K) mengalami penurunan nilai pH secara drastis, hal ini diduga oleh telah habisnya unsur hara makro dan unsur hara mikro dalam media kultur, sehingga kelimpahan sel Chlorella mengalami penurunan. Degradasi sel Chlorella yang telah mati menyebabkan pH media kultur menjadi asam, dimana komponen penyusun Chlorella tersusun oleh protein dengan presentasi sebesar 51-58%, karbohidrat dengan presentasi 12-26% dan lemak dengan presentasi sebesar 2-22% (Becker 1994). Degradasi yang terjadi pada sel Chlorella terjadi secara anaerob, dimana karbohidrat yang terkandung dalam sel Chlorella akan menghasilkan produk akhir karbondioksida (Pelczar 2005). Penurunan nilai pH pada kelima media kultur ini pun disebabkan oleh degradasi klorofil-a (pada pH asam, enzim klorofillase pada Chlorella akan aktif dengan demikian nilai klorofil-a menjadi rendah). Rendahnya klorofil-a, menyebabkan fiksasi CO2 menjadi rendah, sehingga pH pada media kultur menjadi asam. Beberapa penelitian Soeder (1974) yang lain memperlihatkan bahwa pH asam mempengaruhi konsentrasi dan mobilitas logam berat dalam sel Chlorella. 50 Salah satu logam berat tersebut adalah tembaga (Cu). Kelarutan Cu meningkat pada media yang asam, Cu terserap oleh sel dalam jumlah banyak, akibatnya Cu dalam sel Chlorella menjadi toksik, sehingga kelimpahan sel Chlorella menjadi berkurang secara drastis (Lampiran 11). Nilai pH akhir pada kelima media kultur perlakuan masih dapat dikatakan sebagai media untuk proses kelangsungan hidup Chlorella, hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Hladka (1971), pH pertumbuhan yang optimum bagi Chlorella berkisar antara 4,9-7,7. Sementara Nielsan (1995) dalam Prihantini et al. (2005) menyatakan bahwa rentang pH kultur yang terukur tersebut pada rentang pH pertumbuhan yang baik yaitu 4,5-9,3. Oksigen Terlarut (DO) Hasil penelitian menunjukan, hari pertama hingga hari ke tiga kultur, DO pada perlakuan C rendah, hal ini disebabkan karena waktu lag phase pada perlakuan C lebih lama dari pada perlakuan A, perlakuan K dan perlakuan B. Pada perlakuan K, nilai DO (oksigen terlarut), tidak dapat mencapai nilai DO sebesar 8 mg/l, (Lampiran 23), hal ini disebabkan komponen penyusun pupuk kontrol tidak memiliki kandungan unsur hara mikro yang dapat menunjang sintesis fotosintesis. Perlakuan C memberikan nilai DO tertinggi pada hari ke empat kultur hingga sel Chlorella mencapai puncak populasi pada hari ketujuh, kemudian diikuti oleh perlakuan B dan perlakuan A (Gambar 17). Gambar 17. DO Media Selama Kultur 51 Perlakuan D memiliki nilai DO yang lebih rendah dibandingkan ke empat perlakuan, hal ini disebabkan oleh tidak terserapnya unsur hara mikro sebagai faktor penunjang dalam proses fotosintesis. Kandungan DO (oksigen terlarut) pada akhir perlakuan C adalah perlakuan dengan kandungan DO paling rendah diantara empat perlakuan, hal ini diduga adanya reduksi klorofil-a oleh enzim klorofillase, dengan demikian klorofil-a akan terhidrolisa, sehingga akan didapatkan gugus alkohol yang disebut phytol. Gugus phytol membentuk sepertiga dari molekul klorofil dan mempunyai afinitas yang kuat terhadap oksigen, sehingga kandungan DO menjadi rendah (Prezelin 1981). Penurunan DO terjadi setelah memasuki puncak populasi, pada tahap ini sel Chlorella sudah mati sehingga proses fotosintesis untuk menghasilkan produk akhir oksigen terlarut menjadi rendah. 4.6 Korelasi Antara pH dan DO Dengan Klorofil-a Hasil penelitian menunjukan adanya kaitan antara pH (derajat keasaman), DO (oksigen terlarut) dengan nilai klorofil-a yang terkandung dalam sel Chlorella (Lampiran 24). Semakin tinggi nilai klorofil-a, maka akan semakin tinggi pula nilai oksigen terlarut dalam media kultur, dikarenakan klorofil-a merupakan komponen penyusun dalam proses fotosintesis, yang mana produk akhir dari proses fotosintesis ini adalah oksigen terlarut (Prezelin 1981). Hasil uji korelasi didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara nilai klorofil-a dengan DO dengan persamaan regresi linier sebagai berikut : y = a + bx DO = 6,383 + 4,756 x Klorofil-a r = 0,688 Dari hasil perhitungan uji korelasi, didapatkan bahwa sebesar 68,8%, kandungan DO dipengaruhi oleh klorofil-a dan 31,2% dipengaruhi oleh parameter lain seperti kekuatan aerasi pada media kultur. 52 Semakin tinggi nilai klorofil-a yang dikandung oleh sel Chlorella, maka semakin tinggi pula nilai pH pada media kultur, hal ini dikarenakan adanya penguraian protein dari ekstrak etanol bayam oleh sel Chlorella menjadi senyawa amonium (senyawa basa) dalam proses pembentukan klorofil-a. Hasil uji korelasi didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara nilai klorofil-a dengan pH dengan persamaan regresi linier sebagai berikut : y = a + bx pH = 7,057 + 3,082 x Klorofil-a r = 0,680 Dari hasil perhitungan uji korelasi, didapatkan bahwa sebesar 68%, kandungan pH dipengaruhi oleh klorofil-a dan 32% dipengaruhi oleh parameter lain, seperti kandungan CO2 pada media kultur dan degradasi sel Chlorella sp. pada media kultur. .