Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 PERSEPSI APOTEKER TERHADAP PERAN APOTEKER DALAM TATA LAKSANA HIPERTENSI DI APOTEK Lourenzdita Nur Kencana Dewi*, Wahyu Utami, dan Hanni Prihhastuti Puspitasari Departemen Farmasi Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga, Surabaya 60286, Indonesia *Corresponding author email: [email protected] Abstrak Latar belakang: Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular. Apoteker mempunyai peran penting dalam tata laksana hipertensi diantaranya memberi edukasi kepada pasien mengenai penyakit hipertensi, terapi farmakologi dan non-farmakologi, memantau kondisi dan pengobatan pasien, serta merujuk pasien menemui dokter apabila diperlukan. Hasil wawancara dengan apoteker dari beberapa negara berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa persepsi negatif dari apoteker merupakan salah satu faktor penghambat implementasi tata laksana hipertensi dalam praktik sehari-hari. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi apoteker di Indonesia tentang tata laksana hipertensi yang meliputi: melakukan assesmen, melakukan penyusunan rencana pelayanan kefarmasian, melaksanakan rencana pelayanan kefarmasian yang sudah disusun, dan melakukan monitoring. Metode: Pengambilan data penelitian dilakukan dengan metode wawancara bebas terpimpin terhadap 13 apoteker di apotek wilayah Surabaya yang dipilih secara purposive sampling. Seluruh wawancara direkam dan ditranskrip secara verbatim. Selanjutnya data diolah berdasarkan thematic analysis. Hasil penelitian: Dari hasil wawancara didapatkan empat tema terkait tata laksana hipertensi di apotek meliputi: assesmen dan dokumentasi, rekomendasi terapi, konseling, dan monitoring. Rekomendasi terapi atas permintaan obat hipertensi berdasarkan resep maupun tanpa resep dan konseling merupakan perwujudan dari penyusunan dan pelaksanaan rencana pelayanan kefarmasian. Secara umum para informan memiliki persepsi positif terhadap aktivitas tata laksana hipertensi tersebut. Meskipun demikian, terdapat perbedaan persepsi terkait konseling terhadap pola hidup pasien dan pelaksanaan monitoring tekanan darah pasien di apotek karena beberapa informan beranggapan bahwa kedua hal tersebut merupakan wewenang dokter. Sebagai tambahan para informan menyebutkan adanya kendala dalam pelaksanaan aktivitas tata laksana hipertensi meliputi: keterbatasan waktu, jumlah staf, dan biaya operasional. Kesimpulan: Secara umum apoteker yang menjadi informan dalam penelitian ini memiliki persepsi positif terhadap aktivitas tata laksana hipertensi di apotek. Namun, aktivitas tersebut tidak berjalan dengan maksimal karena adanya kendala yang dihadapi apoteker dalam praktik sehari-hari. Kata kunci: persepsi apoteker, tata laksana hipertensi, apotek. 1. PENDAHULUAN Hipertensi sebagai faktor risiko utama penyakit kardiovaskular yang merupakan penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang serta diperkirakan telah menyebabkan 4,5% dari beban penyakit dunia.1 Di Indonesia prevalensi hipertensi dilaporkan sebesar 25,8%, dimana mayoritas penduduk yang dinyatakan menderita hipertensi belum pernah terdiagnosa oleh tenaga kesehatan.2 Disamping itu, hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 70% pasien hipertensi tidak patuh menggunakan obat antihipertensi.3,4,5,6 Apoteker sebagai tenaga kesehatan mempunyai peran penting dalam tata laksana hipertensi. Berdasarkan konsep pharmaceutical care tata laksana hipertensi dapat meliputi: aktivitas assesmen, penyusunan dan pelaksanaan rencana pelayanan kefarmasian, serta monitoring.7,8 Beberapa studi dengan metode randomised controlled trial (RCT) menunjukkan bahwa pemberian konseling oleh apoteker di apotek yang berkolaborasi dengan dokter dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan sehingga tekanan darah pasien terkontrol.9,10 Meskipun demikian, implementasi tata laksana hipertensi dalam praktik apoteker seharihari belum banyak dilaporkan. Sebagian besar aktivitas apoteker masih termasuk dalam kategori product-focused tidak sebagai patientcentred dan mayoritas apoteker beranggapan bahwa dirinya bukan bagian dari team terapi 205 Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 pasien.11,12,13 Hasil penelitian kualitatif (wawancara) dengan apoteker di apotek dari beberapa negara menunjukkan bahwa hambatan utama dari implementasi tersebut adalah adanya persepsi negatif dari apoteker itu sendiri.13,14,15 Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi apoteker di Indonesia tentang tata laksana hipertensi di apotek. 2. BAHAN DAN METODE Pengambilan data penelitian dilakukan dengan metode wawancara bebas terpimpin terhadap apoteker di apotek (selanjutnya disebut informan) wilayah Surabaya (purposive sampling) berdasarkan kriteria inklusi: apoteker pemilik sarana apotek dan/atau pengelola apotek atau staf apotek, laki-laki atau perempuan dengan variasi lamanya pengalaman praktik di apotek, bekerja di apotek mandiri atau jaringan, dan bersedia menjadi informan. Seluruh wawancara direkam dan ditranskrip secara verbatim. Wawancara dihentikan setelah tercapai saturasi data. Pengolahan data dilakukan seiring dengan berjalannya wawancara menggunakan thematic analysis. 3. HASIL Pengambilan data dilakukan sejak tanggal 26 Februari hingga 21 April 2016 kepada informan yang memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 22 apoteker diundang untuk berpartisipasi. Saturasi data tercapai setelah dilakukan wawancara kepada 13 apoteker. Dari hasil wawancara didapatkan empat tema terkait tata laksana hipertensi di apotek meliputi: assesmen dan dokumentasi, rekomendasi terapi, konseling, dan monitoring. Persepsi informan terhadap masing-masing tema tersebut adalah sebagai berikut. 3.1 Assesmen dan Dokumentasi Istilah “assesmen” pada penelitian ini merupakan aktivitas yang berkaitan dengan penilaian terhadap permintaan obat hipertensi baik dengan atau tanpa resep dokter. Para informan menyatakan bahwa assesmen penting untuk dilakukan sebelum memutuskan memberikan pelayanan. Akan tetapi, terdapat informan yang menyatakan bahwa assesmen terkait dosis obat tidak diutamakan dengan anggapan bahwa dosis obat yang ditetapkan oleh dokter merupakan dosis yang relatif aman terhadap pasien. “Ketika dia [pasien] datang ke apotek membawa obatnya ...disitu pentingnya kita [apoteker] mengkorek, assesmen”. (Apoteker02) “Kalau untuk tepat dosis atau tidak, kita kadang skriningnya kalau orangnya sudah lewat kita baru skrining ...[karena] kebanyakan memang yang dipakai terapinya dosis yang paling rendah dulu jarang yang langsung dosisnya tinggi”. (Apoteker03) Untuk membantu dalam menetapkan keputusan pelayanan terhadap permintaan obat antihipertensi tanpa resep dokter, sebagian besar informan menganggap pentingnya pengukuran tekanan darah di apotek. Beberapa informan menambahkan bahwa layanan tersebut dapat membuat pasien lebih peduli terhadap kesehatannya. Meski belum ada peraturan yang mendukung sehingga beberapa informan belum melakukannya. Selain itu, para informan menyebutkan tidak semua pasien bersedia diukur tekanan darahnya di apotek. “Selama regulasinya oke kita sih sebenernya senang [melakukan pengukuran tekanan darah], soalnya …bisa mendorong pasien untuk lebih aware sama kesehatannya, jadi [pasien] belum sampai [mengalami] komplikasi”. (Apoteker10) Berdasarkan buku pharmaceutical care untuk penyakit hipertensi data yang diperoleh pada tahap assesmen tersebut diperlukan untuk penyusunan database pasien hipertensi.8 Meskipun hampir seluruh informan menyatakan pentingnya aktivitas dokumentasi tersebut, keterbatasan waktu, jumlah staf, dan biaya operasional dilaporkan sebagai kendala. “Sangat perlu [mencatat data pasien], di awal buka apotek aktif [mencatat], cuma dalam perkembangannya …pegawai itu gajinya tidak pernah naik jadi merasa malas, buku habis banyak …pekerjaannya terlalu overload”. (Apoteker01) 3.2 Rekomendasi Terapi Pemberian rekomendasi terapi dalam penelitian ini mencakup tindakan apoteker berupa konfirmasi ke dokter penulis resep dan/atau pasien sebelum apoteker memutuskan untuk melakukan pelayanan obat. Sebagian besar informan tidak melayani permintaan obat tanpa resep kepada pasien yang belum pernah mendapatkan terapi obat antihipertensi karena menilai bahwa apoteker tidak berhak melakukan diagnosa. “Kalau untuk rekomendasi obat, saya tidak berani …kita tidak boleh mendiagnosa …saya hanya menyarankan untuk mengatur pola makan, pola tidur, karena itu pengaruh [terhadap tekanan darah pasien]”. (Apoteker13) Tiga dari 13 informan pernah “mendiagnosa” pasien meskipun mengetahui 206 Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 bahwa tindakan tersebut melewati batas wewenang dari apoteker dikarenakan adanya penolakan pasien terhadap rekomendasi untuk ke dokter atau karena tidak ada dokter terdekat untuk dikunjungi. Dalam hal ini informan menggunakan pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan. “Kita rekomendasikan ke dokter dulu, cuma kan ada beberapa pasien kadang kalau ke dokter itu malas …mungkin malas ngantrinya atau mungkin ada beberapa pasien yang mindsetnya kalau sakit ini obatnya ini …atau mungkin jarak rumahnya ke dokter [jauh]”. (Apoteker06) “Kadang bisa memberikan rekomendasi obat [meski tanpa resep] …ada literatur yang saya gunakan [JNC seven] …dan ilmu juga yang saya dapat”. (Apoteker02) Namun, terdapat informan yang langsung melayani permintaan obat tanpa resep dokter dan tidak menggunakan pedoman yang berlaku. Rujukan ke dokter akan diberikan jika tekanan darah pasien melebihi batas bahaya yang diketahuinya. “Ya sudah kita kasih saja, soalnya kan memang tanpa resep ya …merekomendasikan ke dokter kalau bawahnya itu tinggi …kalau bawahnya 100”. (Apoteker05) 3.3 Konseling Konseling bertujuan memberikan edukasi kepada pasien terkait pengobatan dan pola hidup. Beberapa informan menyatakan bahwa mengedukasi pasien merupakan aktivitas yang sangat penting sebagai strategi agar pasien kembali lagi ke apotek sehingga dapat meningkatkan loyalitas pasien. “KIE itu penting untuk jadi jangkar, pasien akan tetap kembali ke apotek dengan konseling itu, bukan dengan harga obat yang lebih murah, bukan dengan pelayanannya itu …sehingga pasien itu tetap setia sama apotek kita”. (Apoteker02) Beberapa informan menyatakan bahwa konseling akan maksimal jika ada reward perkunjungan pasien (jasa profesi). Jasa profesi tersebut diberikan untuk meningkatkan antusias apoteker dalam memberikan konseling kepada pasien. “…yang penting ada reward per-kunjungan pasien, …pasti dengan semangat dia [apoteker] kan menjelaskan semuanya”. (Apoteker01) Akan tetapi, terdapat beberapa informan yang tidak memberikan banyak informasi terkait obat ataupun pola hidup kepada pasien. Informan tersebut menyatakan bahwa dokter sudah memberikan konseling kepada pasien. “[ketika pasien ke dokter] kan dicek [tekanan darahnya] sudah stabil [jadi obatnya] teruskan saja kan dokternya sering bilang begitu, jadi kita sudah tidak banyak [memberikan informasi obat]”. (Apoteker01) “masalah lifestyle sudah dapat [informasi] dari dokternya jadi kita tinggal menerangkan untuk menggunakan obatnya”. (Apoteker06) 3.4 Monitoring Pada penelitian ini monitoring meliputi: monitoring pengobatan, tekanan darah, dan adanya gangguan organ, misalnya stroke. Seluruh informan menganggap pentingnya monitoring pengobatan pasien terutama ketika pasien datang kembali untuk mendapatkan obatnya. Sebaliknya, sebagian besar informan menganggap apoteker tidak perlu melakukan monitoring tekanan darah di apotek karena hal tersebut merupakan tugas dari dokter. Untuk pasien yang kesulitan mengunjungi apotek (misalnya pasien stroke), dua dari 13 informan memberikan layanan home care secara gratis sebagai bagian dari program apotek. Sebagian besar informan tidak melakukan aktivitas home care karena keterbatasan waktu, jumlah staf, dan biaya operasional. Meskipun demikian, home care dianggap sebagai perwujudan patient care yang sangat panting dilakukan apoteker untuk dapat meningkatkan kepedulian pasien terhadap kondisinya. “Kalau tekanan darah memang monitoringnya ada di dokter …kita tidak mencatat tekanan darah, kita tanya saja”. (Apoteker10) “Seminggu sekali pasien [degeneratif] ditelpon disuruh ke apotek untuk ambil obat sama dicek [tekanan darah] …jadi dengan minum obat ada perubahan [atau] tidak …[jika tidak ada perubahan] kita bisa rujuk lagi pasien ke dokter …kita melakukan home care [untuk] pasien stroke yang sudah tidak bisa datang ke apotek …kalau di apotek kita seperti home care, follow up, memang tugas kita [apoteker] jadi sudah tidak ada biaya [tambahan], memang harus dari hati kita [apoteker], dalam melakukan pekerjaan seperti [home care]”. (Apoteker12) “Patient care kan wajib [tetapi] harus monitoring lagi ke rumah itu kendala waktu ...kalau apoteknya besar, modalnya besar, pegawainya delapan tidak masalah [melakukan home care]. Kalau kita mau idealis bagusnya gitu”. (Apoteker04) 207 Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 4. PEMBAHASAN Secara umum, sebagian besar informan dalam penelitian ini mempunyai persepsi yang positif terhadap tata laksana hipertensi di apotek. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa aktivitas apoteker hanya sebagai penyedia obat saja.11,12 Penelitian tersebut dilakukan menggunakan metode survei terhadap lebih dari 200 apoteker (di Alberta, Canada dan Northern Ireland, UK) dan 900 apoteker (di New Zealand) dengan sampel yang dipilih secara acak.11,12 Sementara itu, penelitian dengan menggunakan teknik purposive sampling seperti penelitian kali ini dimungkinkan hanya melibatkan apoteker yang memiliki persepsi positif terhadap implementasi konsep pharmaceutical care. Meskipun terdapat persepsi positif, tahapan proses dalam tata laksana hipertensi tidak sepenuhnya terlaksana. Dari keempat aktivitas kunci di atas, aktivitas dokumentasi dan monitoring tidak banyak dilakukan oleh informan. Beberapa informan melaporkan bahwa aktivitas dokumentasi terkendala oleh keterbatasan waktu, jumlah staf, dan biaya operasional. Sebuah studi kualitatif (wawancara) di Alberta (Canada) juga menunjukkan bahwa tidak semua apoteker mendokumentasikan data pasien setelah melakukan assesmen.16 Dari laporan yang disampaikan pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa mayoritas terkendala oleh waktu dan keterbatasan jumlah staf meski apoteker sudah mendapatkan pelatihan tentang model penelitian yang akan dilakukan.16 Oleh karena monitoring dapat dilakukan jika adanya dokumentasi, tidak adanya dokumentasi menghambat apoteker untuk melakukan monitoring. Menurut Bloom, perilaku manusia dapat diketahui dari pengetahuan, sikap, dan tindakan.17 Dengan kata lain seseorang yang memiliki pengetahuan baik dan persepsi positif diharapkan memiliki sikap yang positif yang diwujudkan dalam perilaku seseorang. Berdasarkan hasil penelitian ini persepsi positif apoteker tidak terwujud dalam perilaku seharihari mereka dalam tata laksana hipertensi yang disebabkan oleh adanya kendala keterbatasan waktu, jumlah staf, dan biaya operasional. Mengacu pada teori yang disebutkan oleh Notoatmodjo kendala dapat dianggap sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku apoteker dalam tata laksana hipertensi. Oleh karena itu, faktor-faktor eksternal tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk perbaikan tata laksana hipertensi oleh apoteker di apotek di masa yang akan datang. 5. KESIMPULAN Pada penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum terdapat anggapan yang positif terhadap aktivitas assesmen dan dokumentasi, rekomendasi terapi, konseling, dan monitoring. Rekomendasi terapi atas permintaan obat hipertensi berdasarkan resep maupun tanpa resep dan konseling merupakan perwujudan dari penyusunan dan pelaksanaan rencana pelayanan kefarmasian. Dari keempat aktivitas utama tersebut, dokumentasi dan monitoring tidak berjalan maksimal dalam praktik apoteker seharihari di apotek karena terkendala faktor eksternal seperti: keterbatasan waktu, jumlah staf, dan biaya operasional. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada DRPM Kemenristekdikti, Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (No: 53KEPK) dan apoteker di apotek wilayah Surabaya yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Kaplan N, Mendis S, Poulter N, Whitworth J. International Society of Hypertension (ISH) statement on management of hypertension. Journal of Hypertension. 2003;21(11):1983-92. 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. 3. Aldila F. Kepatuhan Pasien pada Penggunaan Obat Antihipertensi di Puskesmas Kedurus Surabaya Selatan. Surabaya: Universitas Airlangga; 2015. 4. Ananda MR. Kepatuhan Penggunaan Obat Antihipertensi di Puskesmas Pacar Keling Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga; 2015. 5. Machfud AR. Pengukuran Kepatuhan Pasien pada Penggunaan Obat Antihipertensi dengan Metode MMAS-8 dan Pill Count (Studi Pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Kenjeran Surabaya Utara). Surabaya: Universitas Airlangga; 2015. 6. Rizka NE. Kepatuhan Pasien pada Penggunaan Obat Antihipertensi dengan MMAS-8 dan Pill Count di Puskesmas 208 Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 Tambakrejo Surabaya Pusat. Surabaya: Universitas Airlangga; 2015. 7. Cipolle RJ, Strand LMS, Morley PC. Pharmaceutical Care Practice: The PatientCentered Approach To Medication Management Services. Third ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2012. p. 49-55. 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pharmaceutical care untuk penyakit hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006. 9. Svarstad BL, Kotchen MJ, Shireman TI, Brown LR, Crawford SY, Palmer AP, et al. The Team Education and Adherence Monitoring (TEAM) Trial: Pharmacy interventions to improve hypertension control in blacks. Journal of the American Pharmacists Association. 2009:264-71. 10. Sookaneknun P, Richards RME, Sanguansermsri J, Teerasut C. Pharmacist involvement in primary care improves hypertensive patient clinical outcomes. The Annals of Pharmacotherapy. 2004:2023-8. 11. Al Hamarneh YN, Rosenthal M, McElnay J, Tsuyuki RT. Pharmacists’ perception of their practice: a comparison between Alberta and Northern Ireland. International Journal of Pharmacy Practice. 2012;20:57-64. 12. Bryant LJM, Coster G, Gamble GD, McCormick RN. General practioners’ and pharmacists’ perceptions of the role of community pharmacist in delivering clinical services. Research in Social and Administrative Pharmacy. 2009;5:347-62. 13. Mak VSL, Clark A, Poulsen JH, Udengaard KU, Gilbert A. Pharmacists’ awareness of australia’s health care reforms and their beliefs and attitudes about their current and future roles. International Journal of Pharmacy Practice. 2011;20:33-40. 14. Grindrod KA, Rosenthal M, Lynd L, Marra CA, Bougher D, Wilgosh C, et al. Pharmacists’ perspectives on providing chronic disease management services in the community - Part I : Current practice environment. Canadian Pharmacists Journal. 2009;142(5):234-9. 15. Puspitasari HP, Aslani P, Krass I. Challenges in the care of clients with established cardiovascular disease: lesson learned from Australian community pharmacists. PLOS ONE. 2014;9:e113337. 16. Guirguis LM, Lee S. Patient assessment and documentation integrated in community pharmacy practice: Chat, check, and chart. Journal of the American Pharmacist Association. 2012;52:e241-e51. 17. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2012. p. 131-150. 209