50 PARADIGMA KOMUNIKASI HINDU = ETIKA KEUTAMAAN

advertisement
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
PARADIGMA KOMUNIKASI HINDU = ETIKA KEUTAMAAN HINDU +
KEARIFAN LOKAL
Nengah Bawa Atmadja
1. Pendahuluan
Agama Hindu sebagai agama dunia berasal dari India, masuk ke Indonesia
sekitar awal abad masehi. Manurut Coedes (2010) hubungan antara India dan
Indonesia terus mengalami meningkatan sehingga memunculkan indianisasi atau
sanksekertaisasi, yakni “tersebarnya suatu kebudayaan yang terorganisir, yang
berlandaskan konsep India tentang kerajaan, yang ciri-ciri khasnya adalah agama
Hindu atau agama Buddha, mitologi Purana, kepatuhan pada Dharmasastra, dan
yang cara pengungkapannya adalah bahasa Sansekerta” (Coedes, 2010: 43).
Bukti-bukti bahwa indiaisasi semakin kuat adalah berdirinya kerajaan Hindu
Buddha di Indonesia. Aneka kerajaan ini merupakan tanda bahwa indianisasi
semakin sukses, dan wajah kebudayaan lokal di berbagai daerah di Indonesia –
terutama Jawa dan Bali sangat kental dengan pengaruh India (Poeponegoro dan
Notosusanto, 1993; Lombard, 2005; Amadja, 2010).
Dengan mengacu kepada Lombard (2005) banyak pakar yang menentang
indiaisasi, mengingat bahwa pengaruh India tidak ditiru secara total, tetapi diolah
sehingga menghasilkan corak kebudayaan yang berbeda daripada kebudayaan
Hindu di India. Misalnya, kebudayaan Hindu Jawa dalam bentuk candi misalnya,
tidak sama dengan bangunan suci agama Hindu di Jawa. Begitu pula pura di Bali,
namannya memang memakai bahasa Sansekerta – tanda adanya sansekertaisasi,
namun bentuk, fungsi, dan makna pura tidak sama dengan bangunan suci
keagamaan di India. Jadi, di balik kesamaan ada perbedaaan sebagai hasil dari
daya kreativitas bangsa Indonesia dalam menerima pengaruh India.
Makalah ini mencoba memaparkan tentang bagaimana kebudayaan India,
yakni agama Hindu, setelah masuk ke Indonesia – kasus Bali mengalami
pengelohaan sehingga melahirkan ide yang mengakar pada kultur lokal. Ide-ide
ini lazim disebut kearifan lokal. Kedudukannya amat penting, yakni sebagai resep
bertindak yang tercermin dari tindakan sosial, termasuk di dalamnya komunikasi
yang mereka lakukan secara meruang dan mewaktu. Untuk lebih jelasnya gagasan
ini dapat digambar dalam suatu bagan, seperti terlihat pada Bagan 1.
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
50
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
Tabel 1
Lokalisasi Agama Hindu Berbentuk Kearifan Lokal
Agama Hindu
 Tat Twam Asi
 Beberapa contoh butir etika keutamaan sebagai etika sosial
(a) Maitri (persahabatan atau persaudaraan)
(b) Karuna (welas asih atau belas kasih)
(c) Mudita (simpatik atau bersimpati)
(d) Upeksa (tenggang rasa atau toleran)
(e) Ahimsa (nirkekerasan)
(f) Adrobah (sikap ramah)
(g) Acapalam (kesantunan, kejatmikan)
(h) Advesa (tidak membenci)
(i) Akrodah (tidak marah)
(j) Priti (berpandangan bahwa semua manusia adalah sama)
(k) Satya (jujur)
(l) Ksama (mudah memberi maaf), dll.
Kreativitas dan adaptivitas
 Lokalisasi
 Local genius
 Glokalisasi
 Akulturasi
 Sinkretisme
 Hibridisasi
Manusia Rasional empirikal
 Pengalaman ekologis
(keruangan)
 Pengalaman sosial budaya
 Pengalaman kewaktuan
Kearifan Lokal
 Konsepsi abstrak yang dirumuskan secara padat, singkat, menarik, mudah diingat
dan sarat makna
 Kearifan lokal bisa berbentuk kearifan sosial dan kearifan ekologi
 Digunakan sebagai habitus, skemata atau pedoman bertindak dalam
berkomunikasi dan/atau berinteraksi sosial pada suatu arena (ranah)
 Komunikasi bisa antar pribadi atau non antar pribadi.
 Komunikatif memakai bahasa verbal dan/atau non-verbal dalam konteks
kesalingpahaman guna mewujudkan suatu tujuan.
 Melahirkan artefak sebagai sarana komunikasi dan/atau simbol status sosial (nilai
guna atau nilai tanda)
2. Esensi Agama Hindu
Dengan mengacu kepada Gellner (2009) dan Koentjaraningrat (2015)
agama memiliki banyak karakter antara lain kitab suci yang memuat etika (sila,
susila). “Etika menyangkut sikap kita terhadap hidup, kita diharapkan berperilaku
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
51
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
yang baik, memiliki disiplin yang benar, moralitas, tidak melakukan perbuatan
jahat” (Putra, 2014: ix). Gagasan ini mencerminkan bahwa etika selalu berkaitan
dengan bagaimana manusia berperilaku terhadap orang lain – dalam agama Hindu
tidak saja manusia, tetapi juga makhluk hidup lainnya. Dalam konteks inilah
pertanyaan utama yang menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak etis
terhadap orang lain menjadi penting. Adapun pertanyaannya adalah “Siapakah
saya? “Siapa pula orang lain di luar diri saya?”
Dengan berpegang pada Bagan 1, agama Hindu memiliki jawaban atas
pertanyaan ini, yakni melalui filsafat manusia dengan rumusan Tat Twam Asi.
Putra (2014) dan Visvanathan (2004) menjelaskan konsep Tat Twam Asi, yakni
berkaitan dengan kondisi manusia bahwa secara ketubuhan adalah berbeda satu
sama lainnya, namun secara esensial roh yang ada di dalamnya adalah jiwa
universal yang sama di dalam semua makhluk. Jiwa universal adalah Brahman.
Brahman sebagai jiwa universal bersifat transendental, namun berimanensi dalam
tubuh manusia yang disebut Atman. Gagasan ini menimbulkan implikasi bahwa
manusia berbeda secara ketubuhan, namun secara esensial – apa yang ada di
dalam tubuhnya adalah sama, yakni Atman = Brahman. Dengan demikian Tat
Twam Asi menekankan pada persaudaraan universal antarumat manusia –bahkan
sesama makhluk hidup mengingat mereka pun memiliki Atman = Brahman.
Bertolak dari gagasan ini maka agama Hindu mengembangkan etika
tentang apa yang harus dilakukan terhadap orang lain sebagai saudara agar
hubungan saya dengan dia atau kita dengan mereka terbina secara baik yang
ditandai oleh pola kehidupan yang damai atau shanty. Adapun yang dimaksud
dengan etika meminjam gagasan Bertens (2011: 10) sebagai berikut.
Dengan “etika” kita maksudkan pemikiran moral. Dalam konteks etika,
kita memandang, mempertimbangkan, dan menilai aspek-aspek moral
tingkah laku manusia, baik pada taraf individual maupun taraf sosial. Kita
bertanya, apakah suatu perbuatan terpuji atau tercela, pantas dilakukan
atau sebaliknya tidak pantas dilakukan. Kita memikirkan apa yang boleh
diperbuat atau justru tidak boleh dilakukan. Karena mencari orientasi atau
pegangan tingkah laku, etika bersifat normatif. Dalam etika, kita
menyelidiki norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku atau barangkali
tidak berlaku dalam situasi tertentu (Bertens, 2011: 10).
Dengan kata lain bisa pula dikemukakan bahwa “etika ... dapat dipandang sebagai
sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
52
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?” (Magnis-Suseno, 1991:
13). Pendek kata, etika memberikan kita orientasi bagaimana dan kemana kita
harus melangkah dalam hidup ini” (Salam, 1997: 1-2).
Dengan mengacu kepada paparan Suhardana (2009), Putra (2014),
Sandika (2014), dan kitab suci agama Hindu, misalnya Bhagavad Gita
(Darmayasa, 2012; Ranganathannanda, 2000, 200a) sangat kaya dengan etika.
Gagasan ini dapat dicermati pada Bagan 1. Butir-butir etika ini disebut etika
keutamaan Hindu, dengan alasan, pertama, dia tidak saja penting sebagai orientasi
bertindak secara etis, tetapi merupakan pula kewajiban karena dilegitimasi oleh
fisafat manusia yang terumuskan dalam gagasan, yakni Tat Twam Asi. Kedua,
butir-butir tersebut merupakan asas utama atau inti dari tindakan etis. Jika
diterapkan secara konsisten maka tidak saja menjadikan seseorang sebagai
makhluk paling utama daripada orang-orang lainnya, tetapi juga paling utama jika
dibandingkan dengan hakhluk-mkahluk hidup lainnya. Ketiga, ide-ide tersebut
berasal dari agama Hindu sehingga disebut etika keutamaan Hindu.
3. Lokalisasi Agama Hindu
Konsep-konsep etika keutamaan yang tercantum pada Bagan 1 bisa jadi
tidak dikenal pada masyarakat Hindu Jikalau pun dikenal, terbatas pada orangorang yang termasuk ke dalam kelompok elite agama tradisional (pedanda) atau
mereka yang tergolong ke dalam kelompok agamawan yang ilmuwan atau
ilmuwan yang agamawan. Walaupun demikian bukan berarti umat Hindu sama
sekali tidak mengenal etika keutamaan, melainkan mengenalnya, namun dengan
formulasi atau rumusan yang lain. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari daya
kreatif dan daya adaptif yang dimiliki oleh agen budaya dalam masyarakat.
Kemampuan seperti ini lazim disebut local genius. Istilah ini mengacu
kepada kemampuan luar biasa yang tumbuh dan berkembang pada suatu
komunitas yang secara kreatif mengolah dan mengadaptasikan unsur-unsur
kebudayaan dari luar guna menghasilkan suatu kebudayaan baru yang memiliki
karakteristik khas yang berbeda daripada kebudayaan aslinya (Atmadja, 2010).
Ada pula yang memakai istilah yang berbeda, yakni Mulder (1999) memakai
konsep apa yang disebut lokalisasi.
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
53
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
Konsep ini menyoroti inisiatif dan sumbangan masyarakat-masyarakat
lokal sebagai jawaban dan penanggung jawab atas hasil-hasil pertemuan
budaya. Dengan kata kain, budaya yang menerima pengaruh dari luarlah
yang menyerap dan menyatakan kembali unsur-unsur asing, dengan cara
menempa unsur-unsur asing itu sesuai dengan pandangan hidup. Dalam
proses lokalisasi, unsur-unsur asing perlu menenukan akar-akar lokal, atau
cabang asli daerah daerah tersebut, di mana unsur-unsur asing itu dapat
dicangkokkan. Baru kemudian, melalui peresapan oleh getah budaya asli
itu, cangkokan itu akan berkembang dan berbuah (Wolters, 1982: 52-5).
Kalau kedua unsur itu tidak saling berinteraksi secara demikian itu,
berbagai gagasan dan pengaruh asing boleh jadi akan tetap menjadi
sesuatu yang berada di pinggiran budaya (Mulder, 1999: 5).
Aneka istilah lain sebagaimana terlihat pada Bagan 1, bisa disejajarkan
dengan lokal genius atau lokalisasi, yakni akulturasi (pencapuran budaya),
sikretisme (percampuran agama) (Koentjaraningrat, 1985), hibridisasi budaya –
(percampuran budaya sehingga menghasilkan suatu kebudayaan baru dan tidak
asli lagi) (Atmadja 2015; Darmawan, 2014) atau Glokalisasi (melokalkan budaya
global) (Ritzer, 2006, 2014; Ritzer dan Goodman, 2004).
Dengan berpegang pada makna lokalisasi maka selalu bisa terjadi, etika
keutamaan Hindu, seperti terlihat pada Bagan 1, bisa saja tidak dikenal secara
tekstual pada masyarakat Hindu. Walaupun demikian bukan berarti umat Hindu
sama sekali tidak mengenalnya atau sama sekali tidak mempraktikkannya,
melainkan sebaliknya, yakni mereka mengenal dan sekaligus mempraktikkan atau
mengontekstualkannya dalam kehidupan sehar-hari lewat suatu proses lokalisasi.
Bagan 1 menunjukkan lokalisasi terhadap konsep-konsep etika keutamaan Hindu
dikaitkan dan/atau dicangkokkan ke dalam pengalaman mereka dalam
berinterakasi dengan sesama manusia lainnya dalam suatu ruang dan waktu.
Dengan demikian secara esensial mereka tidak asing dengan etika keutamaan
Hindu, melainkan sebaliknya, yakni mereka terbiasa melakukannya. Jadi, ada
sinergi antara etika keutamaan Hindu dengan pengalaman keseharian mereka
sehingga yang satu memperkuat yang lainnya. Walaupun demikian mereka tidak
bisa memaknai dan/atau mengkaitkannya dengan butir-butir etika keutamaan
Apalagi apa yang mereka lakukan adalah tradisi maka mereka pun tidak
mempertanyakannya karena tradisi acapkali diasumsikan benar adanya.
Kemampuan ini berkaitan dengan hakikat manusia sebagai makhluk
rasional empirik sehingga mereka bisa memaknai dan mengolah pengalaman
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
54
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
ekologis, pengalaman kewaktuan, dan pengalaman sosial budaya menjadi
kumpulan kognisi. Hal ini dipakai sebagai modal dasar untuk melakukan
lokalisasi terhadap etika keutamaan Hindu. Baerkenaan dengan itu maka etika
keutamaan Hindu tidak diterima secara tekstual – memakai istilah-istilah baku
berbahasa Sansekerta seperti Bagan 1, melainkan
dicangkokkan ke dalam kebudayaan lokal -
diolah, diserap, dan
konsep-konsep lokal yang
disesuaikan dengan dengan kepribadian mereka. Dengan demikian terbentuk
seperangkat ide milik bersama - meminjam pendapat Durkheim (dalam Samuel,
2010; Koentjaraningrat, 1992) disebut gagasan kolektif. Gagasan kolektif
memiliki daya untuk mendorong bahkan memaksa manusia untuk bertindak
sesuai dengan pesan yang terkandung di dalamnya.
4. Kearifan Lokal, Karakteristik dan Contohnya
Bagan 1 menunjukkan bahwa
konsep-konsep dalam etika keutamaan
Hindu merupakan konsekuensi dari gagasan Tat Twam Asi. Gagasan ini
berimplikasi bahwa Tat Twam Asi dan etika keutamaan Hindu yang menyertainya
tidak saja merupakan sarana orientasi bagi usaha manusia untuk bertindak secara
etis, tetapi juga melegitmasinya. Artinya, ada argumentasi yang bisa
dipertangungjawabkan dilihat dari filsafat manusia dan etika Hindu dalam konteks
mengapa manusia melakukan tindakan etis. Pertanyaan ini dijawab oleh gagasan
Tat Twam Asi dan etika keutamaan Hindu yang mengiringinya.
Bagan 1 menunjukkan bahwa lokalisasi terhadap konsep-konsep etika
keutamaan Hindu melahirkan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah konsepsi
abstrak yang dirumuskan secara padat, singkat, menarik, mudah diingat dan sarat
makna. Kearifan lokal bisa berbentuk kearifan sosial dan kearifan ekologi.
Kearifan sosial mengacu kepada gagasan yang memberikan orientasi agar
manusia menjadi insan bijaksana dalam berhubungan dengan manusia lainnya
dalam sistem sosial. Kearifan ekologis mengacu kepada ide yang memberikan
orientasi agar manusia menjadi insan yang arif dalam memperlakukan lingkungan
alam biofisikal. Kearifan lokal merupakan
habitus, skemata atau pedoman
bertindak dalam berinteraksi sosial pada suatu arena (ranah) secara meruang dan
mewaktu guna mewujudkan tujuan ideal, yakni kehidupan dunia yang damai.
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
55
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
Lokalisasi terhadap etika keutamaan Hindu bisa dicermati pada folklor
Bali berbentuk ungkapan-ungkapan tradisional sebagimana dikemukakan Ginarsa
(2009), Tinggen (1988) dan apa yang hidup pada masyarakat Bali. Gagasan ini
terlihat misalnya pada etika keutamaan Hindu, yakni
ahimsa (nirkekerasan).
Manurut Visvanathan (2004: 196) ahimsa tidak saja berkaitan dengan gagasan
bahwa manusia tidak melakukan kekerasan terhadap manusia dan segala makhluk
hidup lainnya, tetapi di dalamnya mengadung pula “kelembutan, sopan santun,
kebaikan, keramahan, kemanusiaan dan kasih”. Jadi, etika keutamaan Hindu yang
ada pada Bagan 1, secara implisit tercakup dalam ahimsa sehingga ahimsa sering
disebut sebagai kewajiban tertinggi dalam agama Hindu (Visvanathan (2004:
196). Ahimsa tidak saja bermakna menghindari kekerasan, tetapi bisa pula
digunakan sebagai pusat orientasi guna memutus rantai kekerasan sehingga
peluang adanya kedamian sebagai tujuan ideal menjadi lebih besar adanya.
Walaupun ahimsa amat penting dalam agama Hindu, namun ahimsa tidak
dikenal secara luas pada akar rumput. Jargon yang mereka kenal adalah kearifan
lokal berbentuk ungkapan, yakni “yen timpuge aji tahi, de balese aji tahi, bales aji
bunga (jika Anda dilempar dengan kontoran manusia maka jangan dibalas dengan
kotoran manusia, tetapi dibalas dengan bunga)”. Ungkapan ini bisa saja naif,
namun tidak bisa dipungkiri dia bermakna amat dalam – terkait dengan ahimsa,
yakni kekerasan tidak boleh dilawan dengan kekerasan. Jika kekerasan dilawan
dengan kekerasan maka terjadi lingkaran kekerasan yang sulit memutuskannya.
Lingkaran kekerasan harus diputus melalui ahimsa, mengingat, jika tidak diputus
maka kekerasan akan membawa korban, yakni kelas sosial terbawah pada suatu
rantai hubungan sosial dalam masyarakat (Atmadja, 2010; 2010a).
Etika keutamaan Hindu yang lainnya adalah kasih sayang. Atmadja (2014)
yang mengutip dari berbagai sumber menujukkan bahwa inti dari belas kasih bisa
dirumuskan melalui dua cara, yakni pertama, Kaidah Emas Negatif, yakni
“Jangan berbuat terahadap orang lain apa yang Anda sendiri tidak diinginkan akan
diperbuat terhadap diri Anda”. Atau, “Jangan kaulakukan terhadap orang lain apa
yang tidak kaumaui dilakukan terhadapmu”. Kedua, Kaidah Emas Positif,
yakni”lakukan apa yang ingin orang lain lakukan untuk Anda”. Atau, “Hendaknya
memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan” atau
“Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Atmadja, 2014: 209).
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
56
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
Betapa
pentingnya
belas
kasih
dijelaskan
pula
oleh
Swami
Chinmayananda (dalam Bhalla, 2010: 4) yang menyatakan bahwa “Kasih adalah
dasar dari agama Hindu. Bila Anda tahu cara mengasihi, Anda adalah seorang
Hindu. Semua orang-orang hebat menjadi hebat karena rasa kasih mereka untuk
sesama. Mereka menjadi hebat karena mereka belajar untuk mengasihi”. Begitu
pula Kahril Gibran, kelahiran Libanon 6-1-1883, seorang penyair ternama yang
karya-karyanya mencerminkan perpaduan budaya Timur dan Barat, sangat disukai
di seantero dunia memberikan penilaian amat tinggi terhadap kasih sayang.
Gagasan ini dapat dicermati pada ungkapan Kahril Gibran tentang cinta yang
dikumpulkan Anjali Ratri (2015) yang menyatakan sebagai berikut.
Kasih sayang dan kekerasan
selalu berperang di hati manusia
seperti malapetaka yang berperang
di langit malam yang pekat.
Tetapi kasih sayang selalu mengalahkan kekerasan
Karena, ia adalah anugrah Tuhan.
Dan ketakutan-ketakutan malam ini akan berlalu dengan
datangnya siang.
(Kahlil Gibran dalam Ratri, 2015: 62).
Gagasan ini memberikan petunjuk bahwa kasih sayang sangat penting,
tidak saja dalam konteks hubungan antarmanusia, tetapi terkait pula dengan
kemampuannya melawan kekerasan yang menyelimuti kehidupan manusia.
Mengingat betapa pentingnya kasih sayang, maka tidak mengherankan jika
agama-agama di dunia pada tahun 2008 menandatangani Piagam Belas Kasih
sebagai etika untuk menghindarkan umat manusia dari berbagai tindakan yang
menhancurkan peradaban manusia antara lain berbagai bentuk tindakan kekerasan
(Armstrong, 2013: 21-14). Agama Hindu merupakan agama dunia yang pertamatama dan selaligus sangat mengutamakan kasih sayang. Gagasan ini tidak bisa
dilepaskan dari filsafat manusia yang berlaku pada agama Hindu, yakni di dalam
dirinya ada Atman = Brahman = Tuhan. Brahman adalah kekuatan adhidaya yang
Mahapengasih dan Mahapenyayang. Berkenaan dengan itu maka manusia pun
memiliki kodrat untuk memancarkan kasih sayang kepada sesama makhluk hidup
(Atmadja, 2014). Bagaimana pencerminan bahwa manusia memancarkan kasih
sayang dalam kehidupannya? Pertanyaan inilah yang dijawab lewat butir-butir
etika keutamaan Hindu seperti terlihat pada Bagan 1. Jadi, etika keutamaan Hindu
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
57
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
pada dasarnya merupakan patokan dan/atau pencerminan dari manusia yang
berkomitmen untuk merepresentasikan kasih sayang, tidak saja untuk kedamaian
dirinya sendiri, tetapi juga untuk kedamaian alam semesta.
Gagasan ini dikenal pada masyarakat Bali, dengan rumusan, yakni “yen
jimpite sakit, eda nyimpit anak len, karana ia pasti sakit (jika Anda dicubit terasa
sakit, maka Anda jangan mencubit orang lain, karena dia pun pasti sakit)”.
Rumusan ini secara esensial menekankan pada dalil bahwa jangan berbuat sesuatu
terahadap orang lain apa yang Anda sendiri tidak diinginkan akan diperbuat
terhadap diri Anda. Jika Anda ingin orang lain memperlakukan Anda secara
menyenankan dan/atau secara adil, maka Anda pun harus memperlakukan orang
lain secara menyenangkan dan/atau secara adil pula. Tindakan ini merupakan
wujud kasih guna menjamin terciptanya suatu kedamaian dalam masyarakat.
Gagasan yang tidak kalah menariknya adalah etika keutamaan upeksa
(tenggang rasa atau toleran). Gagasan ini berlaku pada ungkapan sebagai berikut.
Belahan pane belahan paso
(Pecahan pane [belanga kecil] pencahan paso [belanga]
Celebingkah beten biu
(Pecahan keramik di bawah pohon pisang)
Artinya
Ada kene ade keto
(Ada begini ada begitu)
Gumi linggah ajak liu
(Dunia ini luas dan penghuninya banyak)
Ungkapan ini merupakan kearifan sosial yang bermakna memberikan
penyadaran kepada kita bahwa dunia sebagai ruang bagi kita untuk melakukan
berbagai aktivitas sosial memang luas. Berkenaan dengan itu maka penduduknya
banyak pula. Bahkan yang tidak kalah pentingnya sebagai implikasi dari dunia
yang luas dan penghuninya yang banyak maka keragaman atau kepluralitasan
menjadi tidak terhindarkan baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun
bernegara. Dengan demikian kepluralitasan merupakan keniscayaan bagi
kehidupan manusia sehingga upeksa tidak saja menjadi amat penting, tetapi
merupakan pula suatu keharusan bagi umat manusia. Bahkan gagasan upeksa
pada ungkapan tersebut tidak saja upeksa pasif (mengakui toleransi secara
teoretis), tetapi juga upeksa aktif (mewujudkannya dalam tindakan). Toleransi
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
58
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
negatif dan toleransi positif amat penting guna mewujudkan terbentuknya
masyarakat pluralistik yang berkedamaian (Baghi ed, 2012).
Etika keutamaan lainnya, yakni ksama yang bermakna mudah memberi
maaf kepada orang lain yang melakukan kesalahan, baik secara sengaja maupun
tidak sengaja. Pemberian maaf tidak saja bermakna bahwa yang bersangkutan
menyadari kesalahannya dan berjanji memperbaiki dirinya, tetapi kita yang
memberikannya maaf secara tulus ikhlas, secara otomatis tidak memperpanjang
lagi permasalahan. Pascapemberian maaf maka kedisharmonisan pada tataran
psikologis dan sosial menjadi ternetralisir. Hal ini amat penting, mengingat, jika
kita tidak memaafkannya dan kita secara terus-menerus memojokkan orang yang
bersalah – apalagi yang bersangkutan telah meminta maaf, maka kearifan lokal
berbentuk sesenggakan yang menyatakan “cicing kebelet (malikin negor)” bisa
berlaku. Hal ini berkaitan dengan makna sesenggakan tersebut, yakni
ibarat
anjing terkepung bisa berbalik lalu menggigit. Dalam konteks ini orang bersalah,
lalu dipojokkan secara terus-menerus bahkan disertai dengan kata-kata kasar,
padahal yang bersangkutan telah menyadari kesalahannya dan meminta maaf.
Kondisi ini dapat menimbulkan kondisi cicing kebelet (malikin negor), yakni dia
bisa berubah menjadi berani melawan, bahkan tidak menutup kemungkinan dia
siap melakukan pembunuhan (Ginarsa, 2009).
Walaupun sesenggakan cicing kebelet tidak secara langsung menyebutkan
tentang ksama, namun secara implisit terkait dengan ksama. Gagasan ini tidak
bisa dilepaskan dari makna yang terkandung di dalam sesenggakan cicing kebelet
bahwa seseorang tidak boleh memojokkan orang lain yang bersalah secara terusmenerus, melainkan memberikannya peluang untuk mengakui kesalahannya dan
sekaligus memberikannya kesempatan untuk meminta maaf dan kitapun
memaafkannya. Tindakan memaafkannya atau ksama merupakan tindakan yang
lebih tepat daripada memojokkan orang bersalah secara terus-menerus. Sebab,
sesenggakan cicing kebelet mengajarkan bahwa tindakan memojokkan seseorang
yang bersalah secara berlebihan dapat mengakibatkan dia menjadi kehilangan rasa
takut dan besamaan dengan itu dia pun bisa berubah menjadi agresif, yakni tak
ubahnya seperti cicing keselek – akan menggigit orang yang memojokkannya.
Beberapa contoh ini menunjukkan bahwa etika keutamaan Hindu seperti
terlihat pada Bagan 1, setelah masuk ke suatu komunitas lokal melalui lokalisasi
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
59
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
sehingga melahirkan kearifan lokal sebagai skemata dalam kehidupan
bermasyarakat. Pola ini tidak saja berlaku pada beberapa contoh etika keutamaan
Hindu seperti dipaparkan di atas, tetapi bisa pula berlaku pada etika keutamaan
yang lainnya (Bagan 1). Contoh aneka etika keutamaan, yakni ahimsa, karuna,
upeksa, dan ksama seperti diuraikan di atas, tidak berdiri sendiri, tetapi bisa
berkaitan dengan konsep-konsep etika keutamaan lainnya.
Misalnya, jika seseorang menyatakan bahwa “yen timpuge aji tahi, de
balese aji tahi, bales aji bunga” – pencerminan dari ahimsa, begitu pula
ungkapan bahwa “yen jimpite sakit, eda nyimpit anak len, karana ia pasti sakit” –
pencerminan dari karuna, maka tidak bisa dipungkiri bahwa butir-butir etika
keutamaan lainnya, yakni maitri (persahabatan atau persaudaraan), mudita
(simpatik atau bersimpati), adrobah (sikap ramah), acapalam (kesantunan,
kejatmikan),
advesa
(tidak
membenci),
akrodah
(tidak
marah),
priti
(berpandangan bahwa semua manusia adalah sama) dan satya (jujur) secara
otomatis menyertainya. Sebab, jika seseorang ingin mengembangkan kasih sayang
misalnya, maka etika-etika keutamaan lainnya harus hadir sebagai akibat dan/atau
sebagai aspek penting yang menyertainya.
5. Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan
Lokal (Suatu Wacana Awal)
Manusia adalah Homo socius, yakni selalu berada dalam interaksi sosial
secara meruang dan mewaktu. Interaksi sosial tidak terlepas dari komunukasi,
mengingat bahwa “... komunikasi merupakan hal yang terpenting atau vital bagi
manusia. Tanpa komunikasi maka manusia bisa dikatakan ‘tersesat’ dalam
belantara kehidupan ini” (Nasrullah, 2012: 1). Manurut Ruben dan Stewart (2013:
19) “komunikasi manusia adalah proses melalui mana individu dalam hubungan,
kelompok, organisasi, dan masyarakat membuat dan menggunakan informasi
untuk berhubungan satu sama lain dan dengan lingkungan”. Ada pula yang
mendefinisikan komunikasi berarti “memberikan, menyampaikan, atau bertukar
gagasan, pengetahuan, atau informasi baik secara lisan, tulisan, ataupun melalui
tanda-tanda” (Kamus Inggris Oxford dalam Ruben dan Stewart, 2013: 15).
Dengan berpegang pada gagasan ini maka komunikasi mensyarakatkan
ada agen yang berkomunikasi (komunikator), yakni mereka yang terlibat dalam
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
60
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
kegiatan bertukar informasi, ide atau pesan secara lisan, tulisan dan/atau melalui
tanda-tanda. Mereka terikat oleh ruang, waktu, tujuan,` dan membentuk suatu
tindakan berpola. Dengan meminjam gagasan Ibrahim (1992) kesemuanya ini
tertikat pada tiga aspek, yakni: pertama, pengetahuan linguistik menyangkut
kemampuan berbahasa, baik bahasa verbal maupun nonverbal, termasuk di
dalamnya bahasa tubuh. Kedua, keterampilan interaksi, menyangkut menguasaan
norma-norma interaksi dan interpretasi terhadap ruang, waktu, dan tindakan sosial
dalam konteks pencapaian tujuan dalam suatu komunikasi. Ketiga, pengetahuan
kebudayaan menyangkut penguasaan atas berbagai nilai yang digunakan sebagai
habitus dalam bertindak termasuk di dalamnya berkomunikasi.
Dengan berpegang pada gagasan ini tampak bahwa komunikasi tidak bisa
dilepaskan dari pengetahuan kebudayaan. Dalam konteks inilah seperti terlihat
pada Bagan 1, etika keutamaan Hindu baik dalam bentuk teks asli – memakai
bahasa Sansekerta maupun teks lokal dalam bentuk kearifan lokal – ungkapanungkapan tradisional sebagai hasil dari lokalisasi, memiliki kedudukan amat
penting dalam komunikasi. Adapun kedudukannya, adalah pengetahuan
kebudayaan yang tidak saja saja sebagai pusat orientasi, tetapi juga sebagai
habitus dalam berkomunikasi pada suatu arena sosial – memijam gagasan
Bourdieu (2010, 2011) – beberapa karya yang membahas gagasan Bourdieu
(Haryatmoko, 2010, Jenkin, 2004, 2014).
Dengan cara ini maka komunikasi sebagai suatu aktivitas prosesual yang
di dalam tidak sekedar melibatkan manusia yang bertukar informasi, tetapi bisa
pula bertarung untuk memperebutkan suatu modal dan sekaligus juga berkelas,
menjadi jelas arahnya. Dalam konteks ini pertarungan memperebutkan modal
sebagai suatu keniscayaan yang menyertai komunikasi dalam suatu arena, menjadi
jadi terbebas dari berbagai bentuk tindakan kekarasan. Mengapa hal ini bisa
terjadi? Alasannya, karena seperti terlihat pada Bagan 1, ada habitus atau skemata
yang mempedomaninya, yakni etika keutamaan Hindu dan/atau kearifan lokal
sebagai hasil lokalisasi atas etika keutamaan Hndu.
Jika gagasan ini bisa diwujudkan maka interaksi sosial dalam suatu arena
– memuat aktivitas komunikasi maka secara fundamental harus berbingkaikan
pada Tat Twam Asi. Artinya, siapapun yang berkomunikasi pada suatu arena maka
habitus pertama dan utama yang harus dipegang adalah asas Tat Twam Asi.
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
61
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
Gagasan ini menimbulkan implikasi bahwa hubungan komunikatif antaragen yang
bersaing memperebutkan suatu modal atau bahkan berkelas sosial seperti
dikemukakan Bourdieu (2010, 2011), tidak boleh saling me-liyan-kan yang
berujung pada yang satu meniadakan yang lainnya – kekerasan atau himsa, tetapi
dilandasi oleh rasa persaudaraan. Persaudaraan terjadi karena secara esensial kita
memiliki kesamaan dan pertalian satu sama lainnya, yakni berbentuk Atman
dalam diri makhluk hidup adalah Brahman yang menubuh.
Berdasarkan gagasan ini maka komunikasi berbingkai Tat Twam Asi
seperti terlihat pada Bagan 1 secara otomatis tidak bisa dilepaskan dari etika
keutamaan Hindu dan/atau kearifan lokal. Aspek-aspeknya sebagai berikut.
(a)
Maitri, yakni komunikator tidak menempatkan dirinya
sebagai lawan atau bahkan saling me-liyan-kan, tetapi mereka terikat
pada suatu hubungan persahabatan atau persaudaraan.
(b)
Karuna, yakni komunikator terikat pada welas asih atau
belas kasih, yakni menganut dalil, yakni “Jangan berbuat terahadap
orang lain apa yang Anda sendiri tidak diinginkan akan diperbuat
terhadap diri Anda”, “Jangan kaulakukan terhadap orang lain apa yang
tidak kaumaui dilakukan terhadapmu”, ”Lakukan apa yang ingin orang
lain lakukan untuk Anda”, “Hendaknya memperlakukan orang lain
sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan” atau “Kasihilah
sesamamu seperti dirimu sendiri”.
(c)
Mudita, yakni dalam berkomunikasi seseorang tidak saja
mengembangkan sikap simpatik tetapi juga empatik terhadap orang
yang diajak berkomunikasi.
(d)
Upeksa, yakni dalam berkomunikasi seseorang bersikap
tenggang rasa atau toleransi terhadap perbedaan latar belakang fisikal,
kebudayaan, agama, dll. Perbedaan tidak dianggap musibah, tetapi
berkah bagi kehidupan, mengingat menurut asas rwa bhineda bahwa
perbedaan memberikan peluang bagi terciptanya kehidupan yang
berkomplementer. Penerimaan asas toleransi tidak saja bersifat pasif,
tetapi juga bersifat aktif.
(e)
Ahimsa (nirkekerasan), yakni seseorang tidak melakukan
berbagai tindakan kekerasan terhadap orang yang diajak berkomunikasi,
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
62
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
misalnya kekerasan psikologis, kekerasan bahasa, kekerasan simbolik
apalagi kekerasan fisik baik secara idividual dan/atau secara kolektif.
Apa pun tindakan kekerasan (himsa) yang dilakukan terhadap manusia
lainnya guna mencapai suatu tujuan tidak dibenarkan adanya.
Adrobah, yakni dalam berkomunikasi seseorang bersikap
(f)
ramah sehingga suasana komunikasi menjadi sangat menyenangkan.
Acapalam,
(g)
artinya
dalam
berkomunikasi
seseorang
mengikuti adat sopan santun yang berlaku dalam masyarakat.
Advesa, yakni dalam berkomunikasi sseorang harus
(h)
membebaskan diri persaan membenci pihak lawan yang diajak
berkomunikasi.
Akrodah,
(i)
yakni
dalam
berkomunikasi
seseorang
hendaknya mampu membebaskan dirinya dari kemarahan mengingat
kemarahan bisa mengalahkan asas rasionalitas.
Priti,
(j)
yakni
dalam
berkomunikasi
seseorang
berpandangan bahwa semua manusia adalah sama sehingga tindakan
yang mencedrai rasa keadilan secara otomatis tidak dibenarkan adanya.
Satya, yakni dalam berkomunikasi seseorang harus jujur,
(k)
tidak saja dalam pikiran, tetapi juga dalam ucapan dan tindakan sosial.
Ksama, yakni dalam berkomunikasi seseorang bersedia
(l)
mengakui kesalahan atas tindakan yang dilakukan dan sekaligus bisa
saling memaafkan sehingga harmoni psikologis dan harmoni sosial
terwujudkan.
Pendek kata, butir-butir di atas hanya merupakan bagian kecil dari etika
keutamaan Hindu yang bisa digunakan sebagai habitus dalam berkomunikasi pada
suatu arena sosial. Jika gagasan ini bisa diwujudkan dalam tindakan
berkomunikasi maka tidak saja asas Tat Twam Asi bisa diwujudkan, tetapi yang
tidak kalah pentingnya ranah sebagai ruang pertarungan untuk memperebutkan
modal dan sekaligus berkelas sosial akan terbebas dari tindakan kekerasan.
Pencapaian sasaran ini dilakukan lewat tindakan komunikatif atau dialog yang
melibatkan berbagai agen dengan berlandaskan pada etika keutamaan Hindu.
Apapun tindakan yang dilakukan pada saat manusia berkomunikasi dalam suatu
arena, sasarannya tidak sekedar mewujudkan apa yang menjadi tujuan seseorang,
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
63
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
tetapi yang lebih penting adalah mewujudkan kedamaian di dunia maupun di alam
kelanggengan baik dalam bentuk pencapaian surga atau terminal akhir – tujuan
tertinggi dan finalis dalam agama Hindu apa yang disebut moksha.
Apa yang dikemukakan pada gagasan di atas tidak sekedar sebagai
paradigma dalam membangun komunikasi yang sehat, tetapi yang tidak kalah
pentingnya, bisa pula disebut komunikasi Hindu. Komunikasi Hindu tidak saja
menyangkut mengapa dan bagaimana manusia berkomunikasi pada suatu arena
guna memperebutkan suatu modal, tetapi yang tidak kalah pentingnya apa yang
dilakukan adalah tunduk pada Tat Twam Asi dan etika keutamaan yang
menyertainya, yakni maitri, mudita, adrobah, acapalam, advesa, akrodah, priti,
satya, dll. Berbagai etika keutamaan Hindu ini, seperti terlihat pada contoh-contoh
di atas acapkali mengalami lokalisasi dalam bentuk kearifan lokal.
Dengan demikian berbicara tentang hakikat paradigma komunikasi Hindu,
pada dasarnya tidak saja menekankan pada etika keutamaan Hindu, tetapi juga
kearifan lokal. Kearifan lokal amat penting tidak saja karena kearifan lokal bisa
jadi merupakan lokalisasi dari etika keutamaan Hindu, tetapi bisa pula sebagai
hasil pengalaman kolektif yang teruji kemanfaatannya bagi kelangsungan hidup
masyarakat. Jika gagasan ini dibuat formulasinya maka dapat digambarkan dalam
suatu rumus atau bahkan bisa pula disebut dalil, yakni “Paradigma Komunikasi
Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan lokal”. Dengan rumusan lain
gagasan tersebut bisa pula dikemukakan, yakni “Etika Keutamaan Hindu +
Kearifan Lokal = Paradigma Komunikasi Hindu”.
Budyatna dan Ganiem (2011) menunjukkan bahwa hubungan komunikasi
pada tingkat sosiologis bisa dipilahkan menjadi dua, yakni hubungan sosiologis
formal dan hubungan sosiologis informal. Hubungan sosiologis formal mengacu
kepada suatu interaksi yang di dalamnya melibatkan suatu komunikasi yang
formal yang ditandai oleh penerapan tata aturan yang ketat dan memakai sistem
komonadom misalnya berlaku pada dinas militer. Hubungan sosiologis informal
adalah interaksi sosial yang melibatkan suatu komunikasi yang kurang lebih sama
dengan yang formal tetapi pada tingkat yang lebih longgar. Pola hubungan seperti
ini terlihat misalnya pada berbagai lembaga di luar dinas militer.
Pemberlakuan Paradigma Komunikasai Hindu yang bertumpu pada Etika
Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal, tidaklah menghilangkan kedua pola
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
64
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
hubungan sosiologis tersebut – karena telah melembaga, tetapi yang lebih penting,
meminjam gagasan Budyatna dan Ganiem (2011) adalah terfokus pada usaha
memberikan apa yang disebut keadaan kultural yang mengelilingi peristiwa
komunikasi. “Konteks kultural meliputi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, sikapsikap, makna, hierarki sosial, agama, pemikiran mengenai waktu, dan peran dari
para partisipan” (Samovar dan Porter dalam Budyatna dan Ganiem, 2011).
Dengan berpegang pada gagasan ini maka Etika Keutamaan Hindu +
Kerifan Lokal sebagai modal bagi pembentukan Paradigma Komunikasi
Hindu, bisa diposisikan dalam konteks kultural atau meminjam gagasan Ibrahim
(1992) bisa disebut sebagai pengetahuan kebudayaan. Gagasan ini menimbulkan
implikasi bahwa tindakan yang dilakukan oleh para agen pada saat
berkomunikasi, selain berpatokan pada tata aturan yang bersifat formal – bahkan
bisa pula dilengkapi dengan kebiasaan, bisa pula diperkuat oleh konteks kultural,
yakni Etika Keutamaan Hindu + Kerifan Lokal (lokalisasi dari etika
keutamaan Hindu dalam bentuk uangkapan-ungkapan tradisional sebagai habitus
yang melahirkan tindakan sosial dan/atau artefaktual).
Butir-butir etika keutamaan Hindu seperti terlihat pada Tabel 1, jika
dikaitkan dengan gagasan Swami Chinmayananda (dalam Bhalla, 2010: 4) tentang
kasih adalah dasar dari agama Hindu maka substansinya bisa dikembalikan ke
dasarnya, yakni kasih sayang. Dengan kata lain bisa pula dikemukakan bahwa
butir-butir keutamaan Hindu seperti terlihat pada Bagan 1 pada dasarnya
merupakan pencerminan dan/atau bermuara dari kasih sayang. Kasih sayang yang
melahirkan
melahirkan
perilaku
tidak
melakukan
kekerasan
toleransi,
persahabatan, empati dan/atau simpati, suka memaafkan, dll. Manusia tidak
mungkin bertindak seperti ini jika mereka tidak berpegang pada kasis sayang.
Kasih sayang bermuara pada Tat Twam Asi. Tat
Twam Asi = Aham
Brahman melahirkan gagasan bahwa semua makhluk hidup adalah bersaudara
sehingga
mereka
harus
mengembangkan
belas
kasih.
Berbagai
kajian
menunjukkan pula bahwa belas kasih merupakan kebutuhan dasar manusia karena
terkait dengan aspek biologis dan sosilogis (Atmadja, 2014: 209-210). Dengan
demikian berbicara tentang etika keutamaan Hindu secara esensial ada dua aspek
penting, yakni Tat Twam Asi dan belas kasih. Ibarat mata uang logam, keduanya
tidak terpisahkan dalam konteks mewujudkan kedamian bagi umat manusia.
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
65
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
Bertolak dari gagasan ini maka berbicara tentang Paradigma Komunikasi
Hindu bisa pula dirumuskan suatu formulasi lain, yakni Paradigma Komunikasi
Hindu = Etika Keutamaan Hindu (Tat Twam Asi + Belas Kasih) + Kerifan
Lokal atau Etika Keutamaan Hindu (Tat Twam Asi + Belas Kasih) + Kerifan
= Paradigma Komunikasi Hindu. Artinya, komunikasi sebagai keniscayaan bagi
manusia (umat Hindu) secara ideal harus berpegang pada habitus atau skemata,
yakni apa yang sisebut etika keutamaan Hindu yang secara esensial mengacu
kepada Tat Twam Asi dan belas kasih, tanpa mengabaikan kearifan lokal. Kearifan
lokal amat penting mengingat bahwa banyak kearifan lokal secara esensial
merupakan lokalisasi dari etika keutamaan Hindu.
6. Penutup
Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa agama Hindu
sebagai agama dunia, sesampainya di Indonesia (Jawa, Bali) maka konsepkonsepnya –khusunya etika keutamaan Hindu banyak yang mengalami lokalisasi
dalam bentuk kearifan lokal. Etika keutamaan Hindu dan/atau kearifan lokal amat
penting, karena bisa dipakai sebagai habitus atau skemata bagi tindakan sosial
manusia, termasuk di dalamnya bagaimana mereka berkomunikasi satu sama
lainnya dalam suatu arena yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.
Bahkan yang tidak kalah pentingnya etika keutamaan Hindu dan/atau kearifan
lokal bisa pula dipakai sebagai modal kultural untuk membangun paradigma
komunikasi Hindu yang bisa diformulasikan ke dalam rumus, yakni Paradigma
Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu = Kearifan Lokal.
Esensi etika keutamaan Hindu adalah Tat Twam Asi dan Kasih Sayang.
Dengan demikian paradigma komunikasi Hindu bisa pula dirumuskan dengan
suatu formula lain, yakni Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan
Hindu (Tat Twam Asi + Belas Kasih) + Kerifan Lokal. Jika formula ini bisa
diwujudkan dalam berkomunikasi atau secara luas dalam berbagai tindakan sosial
dalam masyarakat maka kedamaian pada tataran individu dan/atau masyarakat
secara otomatis terwujudkan secara baik dan benar.
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
66
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen. 2013. Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas
Kasih. [penerjemah T. Hermayah]. Bandung: Mizan.
Atmadja, Nengah Bawa. 2001. Reformasi Ke Arah Kemajuan Yang Sempurna dan
Holistik: Gagasab Perkumpulan Sura Kanta Tentang Bali di Masa Depan.
Surabaya: Paramita.
Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali: Gerakan Identitas Kultural dan
Globalisasi. Yogyakarta: LKiS.
Atmadja, Nengah Bawa. 2010a. Genealogi Keruntuhan Majapahit: Islamisasi,
Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Atmadja, Nengah Bawa. 2014. Saraswati Dan Ganesha Sebagai Simbol
Paradigma Interpretativisme Dan Positivisme: Visi Integral Mewujudkan
Iptek dari Pembawa Musibah Menjadi Berkah bagi Umat Manusia.
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
67
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan IBIKK BCCC Undiksha
Singaraja dan Universitas Hindu Indonesia.
Baghi, Felix [Ed.]. 2012. Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi. Maumere:
Penerbit Ledalero.
Bertens, K. 2011. Etika Biomedis. Yogyakarta: Kanisius.
Bhalla, Prem P. 2010. Tata Cara, Ritual dan Tradisi Hindu. [penerjemah. Diah
Sri Pandewi]. Surabaya: Paramita.
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi
Budaya. [penerjemah. Yudi Santosa]. Bantul: Kreasi Wacana.
Bourdieu, Pierre. 2011. Choses Dites Uraian & Pemikiran. [penerjemah. Ninik
Rochani Sjams]. Bantul: Kreasi Wacana.
Budyatna, Muhammad dan Leila Mona Ganiem. 2011. Teori Komunikasi Antar
Pribadi. Jakarta: Kencana.
Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Darmawan, Darwin. 2014. Identitas Hibrid Orang Cina. Yogyakarta: Gading
Publishing.
Darmayasa. 2012. Bhagavad Gita (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma
Sthapanam.
Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:
Jalasustra.
Gellner, David N. 2009. “Pendekatan Antropologis”. Dalam Peter Connolly [ed].
Aneka Pendekatan Studi Agama. [penerjemah. Imam Khoiri]. Yogyakarta:
LKiS.
Ginarsa, Ketut. 1980. Paribasa Bali. Denpasar: Kayumas Agung.
Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi.
Surabaya: Usaha Nasional.
Jendra, I Wayan. 2004. Karmaphala Pedoman dan tuntunan Moral Hidup
Sejahtera, Bahagia, dan Damai. Denpasar: Deva.
Jenkins, Richard. 2010. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. [penerjemah.
Nurhadi]. Bantul: Kreasi Wacana.
Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
68
SADHARANIKARAN- Volume 1, Nomor 1. Mei 2015
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia 2. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Morissan. 2013. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana.
Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Jakarta:
Kencana.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:
Balai Pustaka.
Putra, Ngakan Putu. 2014. Kamu adalah Tuhan. Denpasar: Media Hindu.
Ranganathananda, Swami. 2000. Pesan Universal Bhagavad Gita. [penerjemah.
Dewa K. Suratnaya, dkk]. Denpasar: Media Hindu.
Ratri, Anjali. 2015. Pesan Cinta Kahlil Gibran Kumpulan Syair & Mutiata Cinta
dari Sang Guru Cinta Sejati Kahlil Gibran. Solo: Abata Press.
Ruben, Brent D. dan Lea P. Stewart. 2013. Komunikasi dan Perilaku Manusia.
Jakarta: RajaGrafindo Pustaka.
Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Samuel, Hanneman. 2010. Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran dan Warisan
Bapak Sosiologi Modern. Depok: Kepik Ungu.
Sandika, I Ketut. 2014. Membentuk Siswa Berkarakter Mulia Melalui Pola
Pembelajaran Pendidikan agama Hindu: Telaah Teks Kitab Chandogya
Upanisad. Surabaya: Paramita.
Suhardana, K.M. 2009. Dharma Jalan Menuju Kebahagiaan & Moksa. Surabaya:
Paramita.
Suhardana, K.M. 2009. Catur & Sad Paramita Jalan Menuju Keluhuran Budi.
Surabaya: Paramita.
Tinggen, I Nengah. 1988. Aneka Rupa Paribasa Bali. Denpasar: Rika Dewata.
Visvanathan, Ed. 2004. Apakah Saya Orang Hindu? [penerjemah. N.P. Putra &
Sang Ayu Putu Renny. Denpasar: Pustaka Manik Geni.
Nengah Bawa Atmadja : Paradigma Komunikasi Hindu = Etika Keutamaan Hindu + Kearifan Lokal
69
Download