BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peperangan merupakan sebuah aksi fisik maupun nonfisik antara dua atau lebih kubu untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang dimaknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern, perang lebih mengarah kepada superioritas teknologi dan industri. Secara umum perang berarti pertentangan. Peperangan biasanya melibatkan kelompok sosial. Kelompok sosial sendiri adalah kumpulan individu yang saling memiliki hubungan dan interaksi, sehingga menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling memiliki. Pada abad 20, telah terjadi perang yang memakan korban hingga jutaan manusia. Peristiwa itu dinamakan Perang Dunia II yang terjadi sekitar tahun 1938-1945. Saat itu di Eropa terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan tentara Nazi Jerman terhadap bangsa Yahudi yang sering disebut dengan L’Holocauste. Banyak orang Yahudi yang dideportasi dari tempat asalnya ke kamp-kamp konsentrasi Nazi. Sesuatu hal tentang perang pun juga ada yang dituangkan ke dalam karya sastra. Sastra berbicara tentang kehidupan sehingga dalam karya sastra terdapat makna tertentu tentang kehidupan yang isinya perlu dicerna segera secara mendalam oleh pembaca (Pradopo, 1995: 27). Sebuah realita yang digambarkan di dalam karya sastra dapat berupa kritikan atau tanggapan atas suatu persoalan 1 yang ada di dalam masyarakat. Kritikan atau tanggapan yang terdapat dalam karya sastra dapat mengubah kondisi sosial dengan nilai-nilai yang terpancar di dalam karya sastra tersebut. Di dalam nilai-nilai tersebut terdapat pandangan atau ideologi pengarangnya. Pengarang memiliki peran penting di dalam menciptakan karya sastra. Itulah sebabnya karya sastra dapat juga dianggap sebagai biografi pengarang. Artinya bahwa latar belakang sosial budaya, pandangan politik, dan gagasan-gagasannya tidak akan pernah lepas dari apa yang dia sampaikan dalam karya sastranya (Damono, 1984: 15). Manusia terlahir ke dalam ras yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam konteks ini, ras dipahami sebagai penggolongan manusia berdasarkan kelompok, golongan, dan keturunan secara biologis. Perbedaan ras tersebut berpotensi menjadi konflik sosial apabila diikuti oleh paham rasisme, yaitu keyakinan suatu kelompok tentang superioritas ras tertentu dan inferioritas ras yang lain. Rasisme menjadi sebuah alasan bagi suatu kelompok untuk menganggap ras mereka sebagai kelompok yang beradab, sedangkan ras lain tidak beradab. Masalah rasisme berkaitan erat dengan orientalisme dan kolonialisme. Karena, salah satu akar kolonialisasi adalah motivasi keunggulan ras bangsa Eropa atau Barat sebagai ras kulit putih. Di negara manapun pasti ada yang dinamakan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Biasanya kelompok mayoritas lebih mendominasi di segala aspek kehidupan, seperti di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dominasi akan mulai terasa manakala terjadi gesekan sosial. Hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas. Salah satu faktor dari mayoritas adalah 2 karena jumlah anggota grup yang banyak. Seiring dengan bertambah banyaknya anggota, maka pengaruh sosial kelompok tersebut semakin besar. Kebanyakan kaum minoritas sering mengalami kesulitan atau hambatan saat berhadapan dengan kaum mayoritas. Hubungan antara kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan konflik sosial yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat. Secara umum, kelompok yang dominan cenderung mempertahankan posisinya yang ada sekarang dan menahan proses perubahan sosial yang mungkin akan mengacaukan status tersebut. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan mendorong mereka untuk melakukan penindasan. Mayoritas dan minoritas dapat berdampak negatif bagi masyarakat, baik bagi kelompok minoritas ataupun mayoritas itu sendiri. Hal ini disebabkan adanya perilaku diskriminatif yang muncul karena menganggap kelompok lain sebagai “bukan kelompok sendiri” yang merupakan lawan bagi mereka. Biasanya hal ini dilakukan oleh kelompok mayoritas yang menganggap asing kelompok minoritas. Adanya perilaku diskriminatif ini menimbulkan konflik sosial dimana salah satu pihak kelompok merasa dirugikan dan ditindas. Rasisme merupakan suatu bentuk sikap yang mendiskriminasikan sekelompok manusia berdasarkan ciri-ciri rasnya. Pendapat ini dapat juga diartikan bahwa nilai dan derajat manusia ditentukan berdasarkan ras, sebab rasisme memungkinkan adanya pembagian manusia berdasarkan jenis rasnya (Kimmel, 2005: 43). Rasisme adalah suatu pemikiran yang memuat tentang diskriminasi, dominasi, dan penyerangan satu sama lain yang muncul karena adanya prasangka sosial ( dalam bahasa Prancis disebut le prejugé). Prasangka di 3 sini maksudnya adalah anggapan yang didasarkan atas perbedaan biologis. Karena adanya perbedaan biologis ini maka timbullah rasisme. Sebenarnya rasisme sudah ada sejak manusia dan perbedaan-perbedaan yang dimiliki itu ada. Belum ada bukti kuat yang mendukung pernyataan ini. Hanya saja disebutkan bahwa pada abad ke-16 sudah terjadi praktik rasisme di Spanyol, yaitu berupa rasisme kolonial. Bangsa Spanyol akan membunuh semua orang di Spanyol yang tidak berbicara bahasa Spanyol. Kemudian, pada tahun 1865 terjadi perbudakan besarbesaran di Amerika. Pada tahun 1945, Hitler melakukan pembunuhan besarbesaran terhadap orang Yahudi. Hal ini dianggap sebagai tindakan rasisme yang paling menyedihkan dan memprihatinkan. Pendapat lain mengatakan bahwa rasisme pada umumnya dikenal sebagai suatu sistem atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Beberapa ahli menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada kelompok etnis tertentu (ethosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras dan generalisasi terhadap suatu kelompok ras tertentu (Kimmel, 2005: 50). Berbagai sumber membagi rasisme menjadi bentuk yang berbedabeda. Setidaknya ada 3 unsur penting yang berhubungan langsung dengan rasisme dan sekaligus menjadi bentuk rasisme, yaitu warna kulit, homoseksualitas, dan agama. Bentuk pertama rasisme adalah hal yang paling sering ditemukan di seluruh dunia karena hal yang dibandingkan pertama kali ketika bertemu orang 4 lain adalah warna kulit. Dalam perkembangan berikutnya, muncul bentuk rasisme yang lain bersamaan dengan munculnya kepercayaan yang berbeda terhadap Yang Maha Kuasa, yaitu rasisme yang didasarkan pada agama dan rasisme terhadap kaum homoseksual, bersamaan dengan munculnya fenomena homoseksual Satu unsur yang tidak dapat lepas dari rasisme adalah dominasi. Tindakan ini menyangkut identitas sosial yang di dalamnya sarat akan diskriminasi. Foucault (1997) pernah mengatakan bahwa tanda ketika manusia memiliki kekuasaan adalah ketika mereka memiliki dominasi. Menurutnya, tidak pernah ada sebuah komunitas yang tidak memiliki tingkat hierarkis, kekuasaan, dominasi antar seks, umur dan kelas sosial. Mengkaji sastra berarti mengkaji sebuah produk budaya yang telah berabad-abad sejak manusia ada menjadi bagian darinya. Ketika berhadapan dengan produk budaya ini sebetulnya manusia tidak hanya berhadapan dengan sebuah artefak yang mati. Karya sastra bukan sebuah produk tanpa makna yang seakan-akan hanya diberi jiwa atau makna oleh yang menganalisis. Sastra adalah produk yang hidup yang menjelaskan banyak hal. Produk ini memiliki nilai yang sama dengan produk-produk budaya lain yang dalam penelitian diteliti oleh ahliahli dari bidang ilmu yang berbeda. Dinamika penelitian sastra juga sama progresifnya dengan penelitian dalam bidang lain (Udasmoro, 2012: 1). Novel merupakan sebuah karya sastra yang naratif, biasanya berbentuk cerita. Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti “sebuah kisah atau sepotong berita”. Novel biasanya lebih kompleks daripada 5 cerpen. Umumnya, sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Di sini akan dibahas mengenai sebuah novel karya Elie Wiesel berjudul La Nuit. Sebuah novel yang menceritakan pengalaman dari pengarang saat dia berada di kamp tentara Jerman pada Perang Dunia II. Pada saat itu Jerman terkenal dengan Nazi-nya. Sekitar tahun 1919, ketika Adolf Hitler berumur 30 tahun, dia bergabung dengan partai kecil berhaluan kanan di Munich, dan segera setelah itu partai ini mengubah nama menjadi Partai Buruh Nasionalis Jerman (Nationalsozialismus disingkat Nazi) berhaluan nasionalis-sosialis yang terkenal dengan semboyan ein volk, ein rich, und ein führer (satu bangsa, satu pemerintah, dan satu pemimpin). Dalam tempo dua tahun dia menjadi pemimpin tanpa saingan yang dalam bahasa Jerman disebut Der Führer. Di bawah kepemimpinan Hitler, partai Nazi dengan kecepatan luar biasa menjadi suatu kekuatan dan di bulan November 1923 percobaan pemberontakannya gagal. Peristiwa tersebut terkenal dengan sebutan The Munich Beer Hall Putsch. Hitler ditangkap, dituduh pengkhianat, dan terbukti bersalah. Akhirnya, dia dikeluarkan dari penjara setelah mendekam di sana kurang dari setahun (Baratha, 2003: 6). Di tahun 1928 partai Nazi masih merupakan partai kecil. Depresi besar-besaran membuat rakyat tidak puas dengan partai-partai politik yang besar dan sudah mapan. Dalam keadaan seperti ini partai Nazi menjadi semakin kuat, dan di bulan Januari 1933, saat umur Hitler 44 tahun, dia menjadi kanselir Jerman. Dengan jabatan itu, Hitler dengan cepat dan cekatan membentuk kediktatoran dengan menggunakan aparat pemerintah melabrak semua golongan oposisi. Proses ini bukanlah lewat erosi kebebasan sipil dan hak-hak pertahanan diri 6 terhadap tuduhan-tuduhan kriminal, tetapi digarap dengan cepat dan seringkali partai Nazi tidak ambil pusing dengan prosedur pengajuan di pengadilan sama sekali. Banyak lawan politik dibunuh langsung di tempat. Meski begitu, sebelum pecah Perang Dunia II, Hitler meraih dukungan sebagian besar penduduk Jerman karena dia berhasil menekan jumlah pengangguran dan melakukan perbaikanperbaikan ekonomi (Baratha, 2003: 7). Hitler kemudian merancang jalan menuju penaklukan-penaklukan yang ujung-ujungnya membawa dunia ke kancah Perang Dunia II. Dia merebut daerah pertamanya tanpa lewat peperangan sama sekali. Inggris dan Prancis terkepung oleh berbagai macam kesulitan ekonomi, karena itu begitu menginginkan perdamaian sehingga mereka tidak ambil pusing saat Hitler mengkhianati Persetujuan Versailles dengan cara membangun Angkatan Bersenjata Jerman. Begitu pula mereka tidak ambil peduli saat Hitler menduduki dan memperkokoh benteng di Rhineland (1936), dan demikian juga ketika Hitler menaklukkan Austria (Maret 1938). Persetujuan Internasional yang dikenal dengan sebutan “Pakta Munich” yang oleh Inggris dan Prancis diharapkan sebagai hasil pembelian “Perdamaian sepanjang masa” dibiarkan terinjak-injak dan mereka bengong ketika Hitler merampas sebagian Cekoslovakia beberapa bulan kemudian karena Cekoslovakia sama sekali tidak berdaya. Pada tiap tahap, Hitler dengan cerdik menggabung argumen membenarkan tindakannya dengan ancaman bahwa dia akan perang apabila hasratnya dianggap sepi, dan pada tiap tahap negara-negara demokrasi merasa gentar dan mundur (Baratha, 2003: 8). 7 Pasukan Jerman menaklukkan Yunani dan Yugoslavia di bulan April 1941. Kemudian, di bulan Juni tahun itu pula Hitler merobek-robek “Perjanjian tidak saling menyerang” dengan Uni Soviet dan membuka penyerbuan. Angkatan Bersenjata Jerman dapat menduduki bagian yang amat luas di wilayah Rusia tetapi tak mampu melumpuhkannya secara total sebelum musim dingin. Meski bertempur lawan Inggris dan Rusia, tidak tanggung-tanggung Hitler memaklumkan perang dengan Amerika Serikat pada bulan Desember 1941 dan beberapa hari kemudian Jepang menaklukkan Amerika Serikat dengan menghancurkan pangkalan Angkatan Lautnya di Pearl Harbour (Baratha, 2003: 9). Pada tahun 1942 Jerman sudah menguasai sebagian besar wilayah Eropa yang tidak pernah sanggup dilakukan oleh siapapun dalam sejarah. Selama berkuasa, Hitler terlibat dalam tindakan pembunuhan massal yang tidak ada tolok tandingannya dalam sejarah. Dia seorang rasialis yang fanatik, khususnya terhadap orang Yahudi yang dilakukannya dengan penuh kebencian. Secara terbuka dia mengumumkan untuk membunuh setiap orang Yahudi di dunia. Di masa pemerintahannya, Nazi membangun kamp-kamp pengasingan yang besar, dilengkapi dengan kamar gas. Di tiap daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya, orang-orang tidak bersalah, lelaki dan perempuan serta anak-anak digiring dan dijebloskan ke dalam gerbong ternak untuk selanjutnya dicabut nyawanya di kamar-kamar gas. Dalam jangka waktu beberapa tahun saja sekitar 6.000.000 orang Yahudi mati (Baratha, 2003: 10). 8 Orang-orang Yahudi dianggap ras yang mengancam atau musuhmusuh negara, karena Yahudi terkenal dengan kepandaian, kemampuan, ketangkasan, dan kecerdikannya, Itulah keunggulan orang Yahudi. Pembunuhan ini dilakukan secara spontan, atau dalam keadaan panas dan sengitnya peperangan. Hitler membangun kamp maut itu dengan organisasi yang rapi dan cermat seakan-akan dia merancang sebuah perusahaan bisnis besar. Data-data tersusun, jumlah ditetapkan, dan mayat-mayat secara sistematis dilepas anggotaanggota badannya yang berharga seperti gigi emas dan cincin kawin. Begitu telitinya rencana pembunuhan Hitler bahkan hingga akhir perang akan selesai, tatkala Jerman kekurangan bahan-bahan untuk penggunaan baik sipil maupun militer, gerbong ternak masih terus menggelinding menuju kamp-kamp pembunuhan dalam rangka misi teror non-militer (Baratha, 2003: 12). Novel La Nuit ditulis oleh Elie Wiesel, seorang pengarang besar yang meraih Nobel Perdamaian pada tahun 1986 saat berusia lima puluh delapan tahun. Dia adalah seorang keturunan Rumania kelahiran Sighet, Hongaria. Dia pun juga seorang Yahudi, salah satu saksi mata sekaligus saksi hidup kekejaman Nazi di kamp konsentrasi Buchenwald. Dia adalah salah satu orang Yahudi yang selamat. Elie Wiesel menyadari betul kehadiran dirinya merupakan satu dari sekian orang yang masih beruntung menghirup hawa dunia, dan bisa menjalani kehidupan yang normal, setelah nyaris dua tahun diteror Nazi secara fisik. Kendati demikian, berbeda dengan orang lain yang mengubur dalam-dalam kenangan mengerikan dalam hidupnya, berpura-pura normal seolah hal buruk itu tidak pernah terjadi, 9 Wiesel memutuskan untuk membongkarnya, mengungkapkannya pada dunia, mengomunikasikannya melalui buku-bukunya. Kemudian lahirlah La Nuit. Elie Wiesel sendiri adalah seorang Yahudi ortodok. Yahudi yang begitu menjunjung tinggi kesucian bangsanya, hingga tidak menginginkan kedekatan dengan aliran lain. Tipe Yahudi ini tidak mau menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, sehingga termasuk Yahudi yang ketinggalan zaman. Sebagai contoh adalah ketika hari Sabbath, orang Yahudi Ortodok pergi ke sinagogue harus dengan berjalan kaki, walaupun di rumahnya memiliki kendaraan bermotor. Hal itu dilakukan tanpa memandang harta dan kekayaan. Yahudi ini mengakui garis ke-yahudi-an melalui darah wanita tanpa putus, artinya garis Yahudi hanya dilahirkan dari wanita Yahudi. Nama aslinya adalah Eliezer Wiesel, tetapi lebih dikenal dengan panggilan Elie. Dia menulis novel La Nuit ini sekitar tahun 1955. Dia lahir pada tanggal 30 September 1928 yang merupakan seorang novelis, filsuf, humanitarian, aktivis politik, dan korban Holocaust politik. Wiesel dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 1986. Komite Nobel Norwegia menyebutnya sebagai “utusan kepada umat manusia”. Dalam novel La Nuit, Elie Wiesel menjelaskan tentang kejadian yang pernah dialaminya selama bertahun-tahun ketika dia dan orang Yahudi lainnya disiksa secara fisik dan mental. Novel La Nuit ditulis pada tahun 1958 yang menceritakan tentang penindasan massal terhadap kaum Yahudi yang dilakukan oleh tentara Nazi pada Perang Dunia II tahun 1939. Kondisi masyarakat Yahudi sedang mengalami transisi dari kaum yang sejahtera menjadi kaum yang ditindas oleh Nazi. Adanya 10 transisi itulah yang menyebabkan adanya perubahan prilaku dan budaya yang digambarkan dalam novel ini. Pembunuhan orang Yahudi oleh Nazi Jerman bukan sekedar kasus pemusnahan suatu bangsa. Saat itu adalah saat pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, pembunuhan besar-besaran atas jutaan manusia yang dilakukan secara sistematik dan terencana. Enam juta orang Yahudi, satu setengah juta di antaranya adalah anak-anak, terbunuh di kamp Nazi Jerman, hanya karena mereka adalah orang Yahudi (Baratha, 2003: 144). Tidak seorangpun menyangsikan besarnya rasa kemanusiaan yang dimiliki oleh Elie Wiesel. La Nuit, sebuah karya sastra yang ditulis sebagai sebentuk memory dari seorang manusia yang ditakdirkan lepas dari cengkeraman maut. Tidak sekadar merekam kepedihan, tetapi juga menyampaikan betapa berharganya kemanusiaan, yang lebih bernilai dari sepotong nyawa manusia itu sendiri. Wiesel adalah saksi hidup kemanusiaan yang pernah bergulat nyawa dan bahkan bermain-main dengan malaikat maut. Spiritualitas La Nuit begitu dalam, intens, memberi hikmah-hikmah luar biasa, yang hanya mungkin terlahir dari mereka yang pernah merasakan tekanan hidup mati sesungguhnya. Elie Wiesel pada dekade 90-an adalah sosok yang tetap gigih mengingatkan dunia akan tragedi kemanusiaan Holocaust. Selama tiga puluh tahun berkarir sebagai aktivis hak asasi manusia, mendeklarasikan diri sebagai sahabat sejati manusia dan kemanusiaan, Wiesel mendapatkan The Congressional Medal of Honor dari pemerintah Amerika Serikat pada 1985. Reputasi Wiesel 11 meluas, tidak hanya sekadar penulis empat puluh buku dengan mutu sastra yang hebat, dia juga termasuk salah satu deretan anggota penasihat terpercaya presiden AS. Terkait dengan perkembangan dunia saat ini, Wiesel menyentuh isu-isu kemanusiaan seperti pelanggaran hak asasi di Tibet oleh otoritas China, tragedi pembersihan etnis di Bosnia Herzegovina, bahkan nasib orang-orang perahu asal Vietnam. Hal menarik di sini sekaligus membedakan La Nuit dengan karya sastra yang lainnya adalah bahwa karya sastra ini merupakan sebuah kesaksian, sebuah pengalaman nyata yang diangkat menjadi sebuah narasi dengan tokoh bernama Eliezer. Ada dominasi sosial yang begitu kompleks dalam novel La Nuit ini. Tidak semua rakyat Jerman adalah anggota Nazi. Bahkan ada rakyat Jerman yang juga tidak suka dengan keberadaan Nazi. Dari sisi Yahudi, Jerman hanyalah musuh bagi mereka, walau di beberapa tempat sebelum menuju kamp konsentrasi Nazi masih ada warga Jerman yang berbaik hati kepada para orang Yahudi dengan memberinya makanan ala kadarnya. Begitu juga dengan antar sesama Yahudi sendiri, mereka sudah tidak mengenal istilah kerabat lagi ketika berada dalam kamp konsentrasi Nazi. Hal ini dialami oleh si tokoh utama ketika dia berada di kamp konsentrasi dan sedang merawat ayahnya yang terkena penyakit disentri. Banyak orang Yahudi yang menyindirnya. Elie tetap tidak mengindahkan kata-kata mereka. Selain istilah kerabat, orang Yahudi juga tidak mengenal lagi adanya rasa kebersamaan antar mereka sendiri. Mereka sering dipermainkan tentara Nazi. Sebagai contoh adalah ketika tentara Nazi melemparkan makanan dengan jumlah sedikit ke dalam satu gerbong kereta yang penuh dengan tawanan 12 Yahudi. Untuk mendapatkan makanan tersebut, orang Yahudi terpaksa berkelahi antar sesama mereka. Bahkan hingga ada yang meninggal. Tidak jarang tentara Nazi tertawa melihat kelakuan para Yahudi tersebut. Siksaan demi siksaan didapatkan para tawanan Yahudi. Walaupun begitu, La Nuit adalah karya sastra yang tidak sulit untuk diteliti. 1.2 Rumusan Masalah Ditemukannya beragam permasalahan dalam novel La Nuit karya Elie Wiesel ini mejadikannya cukup kompleks. Permasalahan sosial, seperti permasalahan ras yang saling mendominasi menjadi permasalahan utama di sini. Dominasi sosial antara satu kelompok kepada kelompok lain, dalam hal ini Nazi kepada Yahudi, menjadi topik utama untuk diperbincangkan. Dominasi yang muncul pun juga ada dalam tubuh Yahudi sendiri. Selain itu, juga ditambah dengan adanya konflik etnis beserta sebab dan akibatnya. Maka, dari latar belakang tersebut dapat ditemukan beberapa masalah, yaitu: (1) Bagaimanakah sistem dominasi sosial yang digambarkan oleh pengarang dalam novel La Nuit ini? (2) Mengapa pengarang menggambarkan konflik etnis yang terjadi dalam novel La Nuit ini? 13 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini menjelaskan tentang sistem dominasi sosial yang terjadi antara tentara Nazi dengan bangsa Yahudi, di mana Nazi sebagai pihak yang dominan dan Yahudi sebagai pihak yang tersubordinasi. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai konflik etnis dalam novel La Nuit di mana dalam novel terdapat konflik beragam etnis yang begitu terasa. Tidak hanya berlainan etnis, tetapi juga sesama etnis pun bisa saling tikam. 1.4 Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian yang mirip atau sejenis dengan penelitian yang akan dibahas di sini. Yang pertama, Mohammad Rizky Sasono (1996) dengan skripsinya yang berjudul Strukturalisme Gilles Deleuze pada Novel La Nuit karya Elie Wiesel. Skripsi ini membahas metode struktural yang berkembang di Prancis yaitu metode struktural versi Gilles Deleuze. Adapun pada teori Deleuze terdapat tujuh kriteria dan ketujuh kriteria tersebut saling berhubungan. Ketujuh kriteria yang diteliti oleh Mohammad Rizky Sasono adalah harkat simbolik, lokal atau posisi dan seri, singularitas dan differensial, differensiandifferensiasi, bilik kosong, dari subyek ke praktik. Dia juga menjelaskan unsurunsur yang terdapat dalam novel La Nuit seperti unsur hubungan ayah-anak, unsur penderitaan, unsur ketuhanan, unsur kematian, serta unsur kemanusiaan. 14 Kemudian, yang kedua adalah Muhammad Ali Fikri (2009) dengan skripsi berjudul Kekerasan Terhadap Bangsa Yahudi dalam Roman La Nuit Karya Elie Wiesel (Tinjauan Strukturalisme Genetik), menggunakan pendekatan Strukturalisme Genetik versi Lucien Goldmann untuk menganalisis roman La Nuit. Di sini penulis mencoba mengetahui aspek kekerasan yang ditampilkan dalam La Nuit, kemudian mengelompokkan jenis kekerasan secara mendetil dan mengetahui pandangan dunia penulis terhadap kekerasan yang ada dalam roman. Ketiga, penelitian skripsi yang dilakukan oleh I Komang Andika Permana (2012) dengan judul Pendekatan Psikologis Tokoh dalam Novel La Nuit Karya Elie Wiesel: Pendekatan Psikologi Sastra. Skripsi ini menggunakan teori strukturalisme dan psikologi sastra versi Sigmund Freud. Penelitian ini membahas unsur-unsur intrinsik dalam novel sekaligus aspek psikologis yang dialami oleh kaum Yahudi akibat kekejaman Nazi. Keempat, penelitian skripsi dengan judul Gerakan Holocaust Rezim Nazi Terhadap Bangsa Yahudi Eropa 1935-1945: Ditinjau dari Perspektif Parlindoengan Loebis yang ditulis oleh Harry Rizki Utami (2013). Skripsi ini menggunakan teori ras unggul menurut Count Arthur Gobineau dan Chamberlain, teori yang berbicara mengenai Holocaust; teori konflik menurut Ralf Dahrendorf, teori ini mendukung kekuasaan yang dimiliki Hitler guna mencapai semua keinginannya dalam menguasai dunia ;dan teori agresi menurut Sigmund Freud dan Konrad Lorenz. Teori ini merujuk pada agresi jahat yang diaplikasikan dalam bentuk destruktif untuk menganalisa segala tindak kekerasan yang dilakukan 15 rezim Nazi kepada daerah yang ingin dikuasainya. Secara keseluruhan, penelitian ini membahas peristiwa Holocaust yang terjadi di Eropa saat Perang Dunia II. Kelima, skripsi dengan judul Reproduksi Kekerasan Pasca Holocaust pada Roman L’Aube Karya Elie Wiesel yang ditulis oleh Kenyo Kharisma (2011). Penelitian ini menggunakan teori kekerasan spiral yang dikemukakan oleh Dom Helder Camara dan teori sosiologi sastra. Dengan teori tersebut, peneliti menggambarkan bagaimana dampak-dampak kekerasan dan hubungan sastra dengan cerminan ideology masyarakat Yahudi pasca Holocaust. Roman L’Aube merupakan lanjutan dari La Nuit yang menceritakan tentang perebutan tanah suci Palestina oleh Yahudi yang saat itu dikuasai Inggris. Mereka melakukan kekerasan pada para tentara Inggris. Secara tidak sadar mereka melakukan tindakan yang mirip dengan yang dilakukan Nazi dulu terhadap mereka. Kemudian, yang keenam adalah penelitian skripsi yang ditulis oleh Budi Mulia (1995) dengan judul L’Aube Karya Elie Wiesel: Sebuah Analisis Struktural. Penelitian ini membahas penokohan, tema, sudut pandang, alur, dan alat cerita. Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Tema member koherensi dan makna pada fakta-fakta cerita. Tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana. Latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita. Latar dapat berwujud waktu (hari, bulan, tahun) atau periode sejarah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tokoh dalam karya sastra adalah sosok yang benar-benar mengambil peran dalam cerita. Dengan berpedoman pada definisi di atas, dapat dilihat bahwa tokoh dalam cerita memiliki 16 varian fungsi peran seperti peran utama, penting, agak penting, hingga hanya sekedar penggembira saja. Perbedaan peran inilah yang menjadikan tokoh mendapat predikat sebagai tokoh utama (sentral), tokoh protagonist, antagonis, peran pembantu utama (tokoh andalan), tokoh tidak penting (figuran), dan tokoh penggembira atau lataran. Dengan analisis tersebut, peneliti menghubungkan korelasi, korelasi struktur teks yang ada dalam L’Aube dengan keadaan saat ini. Ketujuh, penelitian skripsi yang dilakukan oleh Febita Nur Tisani (2009) dengan judul Pergeseran Terjemahan Nomina Novel L’Aube pada Novel Terjemahan Fajar. Penelitian ini berkisar pada pergeseran penerjemahan nomina dalam novel L’Aube. Objek penelitian ini adalah nomina karena hasil terjemahannya mempunyai bentuk dan makna bervariasi. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis bentuk-bentuk pergeseran sekaligus penyebab yang terjadi dalam teks tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, khususnya kajian dominasi sosial terhadap novel La Nuit karya Elie Wiesel memang belum pernah dilakukan. Maka dari itu peneliti mencoba meneliti novel La Nuit dengan menggunakan teori dominasi sosial yang dikemukakan oleh Jim Sidanius. 1.5 Landasan Teori Dalam menganalisis novel La Nuit digunakan teori dominasi sosial yang dikemukakan oleh Jim Sidanius dalam Social Dominance Theory and The 17 Dynamics of Intergroup Relations (2006). Teori ini memaparkan bagaimana hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat, terlebih kelompok masyarakat yang berbeda. Kelompok masyarakat yang terlibat dalam penelitian ini adalah masyarakat Yahudi, polisi Hongaria dan tentara Nazi. Dikatakan bahwa populasi manusia cenderung mengatur hierarki sosial berdasarkan kelompok di mana paling tidak suatu kelompok menikmati status sosial dan pengaruh lebih tinggi daripada kelompok lain. Anggota kelompok sosial yang berkuasa cenderung menikmati bagian yang tidak sesuai dari nilai sosial positif, atau material yang diinginkan, dan sumber daya yang melambangkan sesuatu seperti kekuatan politik, kekayaan, perlindungan oleh pasukan, makanan yang disukai dalam jumlah banyak dan akses ke mana saja yang baik, perawatan kesehatan, waktu luang, dan pendidikan. Teori dominasi sosial yang dikemukakan Jim Sidanius ini memfokuskan pada faktor-faktor struktural dan individual secara bersamaan yang mengontribusikannya dalam berbagai bentuk penindasan yang berdasarkan kelompok. Teori ini melihat semua bentuk yang dikenal dari penindasan yang berdasarkan kelompok, seperti rasisme, etnosentrisme (pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri sekaligus meremehkan kebudayaan masyarakat lain), klasisme, seksisme, sebagai bentuk spesial dari kecenderungan kebiasaan manusia yang membentuk dan mempertahankan hierarki yang berdasarkan kelompok. Teori Dominasi Sosial dikembangkan dalam usaha untuk memahami bagaimana hierarki sosial yang berdasarkan kelompok dibentuk dan 18 dipertahankan. Teori Dominasi Sosial mengasumsikan bahwa kita harus mengerti proses produksi dan mempertahankan prasangka dan diskriminasi pada berbagai tingakatan analisis, termasuk ideologi budaya dan kebijakan, kebiasaan institusional, hubungan antara individu yang satu dengan yang lainnya baik di dalam maupun di luar kelompok mereka (Sidanius, 2006: 272). Merujuk pada proses pembentukan populasi manusia, Teori Dominasi Sosial lebih umum daripada teori yang hanya memfokuskan pada kapitalisme, kerajaan, gender, kepentingan kelompok, identitas sosial, atau perbedaan individual. Teori Dominasi Sosial sama ambisiusnya dengan hal tadi karena beberapa hal tadi mencoba menyatukan wawasan dari sejumlah perspektif awal, dengan banyak pengaruh: (a) ideologi teori budaya, (b) teori konflik kelompok yang realistis, (c) teori elitism neoclassical, (d) teori identitas sosial, (e) marxisme, (f) analisis antropologi feminis keluarga dan tenaga kerja, dan (g) tenaga kerja evolusioner. Teori dominasi sosial diciptakan untuk membuat kita mengerti lebih lanjut dari realita keberadaan manusia saat ini, termasuk realita patriarki secara menyeluruh, etnosentrisme, dan dominasi (Sidanius, 2004: 847). Merujuk pada teori dominasi sosial, diskriminasi kelompok cenderung sistematik karena ideologi sosialnya menolong untuk mengatur gerakan-gerakan institusi dan individual. Itulah kenapa manusia menyebar pengetahuan dan kepercayaan yang melegitimasi diskriminasi, dan kebanyakan dari mereka berperilaku seakan-akan mereka mendukung ideologi ini. Sebagai contoh dapat dilihat pada sosok tokoh Adolf Hitler yang merupakan pemimpin tertinggi Nazi. Dia menyebarkan ideologi 19 fasisme yang sangat terkenal di Eropa. Ideologi itu didukung pula dengan kemenangan partai fasis pada pemilihan di negara Jerman, sehingga semakin mempermudah penyebaran ideologi tersebut. Sebuah ideologi yang memaparkan tentang keharusan untuk membunuh semua ras Yahudi karena mereka dianggap bekerja sama dengan sekutu dan menjadi musuh negara. Dengan adanya ideologi tersebut, seluruh tentara Nazi pasti akan menyetujui dan menurutinya. Walaupun ada pro dan kontra, hal tersebut tidak bisa dilakukan karena begitu besarnya kekuatan pengaruh yang dimiliki Hitler di Jerman saat itu. 1.5.1 Konsep Dominasi Sosial Teori Dominasi Sosial berpendapat bahwa masyarakat memproduksi kelebihan ekonomi yang stabil yang berisi tiga sistem kualitatif yang berbeda berdasarkan hierarki kelompok: (1) sistem umur, di mana orang dewasa memiliki kekuatan yang tidak seimbang terhadap anak-anak. Dapat dilihat pula dalam novel yang akan diteliti, La Nuit. Di sana terlihat bahwa tentara Nazi yang tentu saja orang dewasa menindas anak-anak dari bangsa Yahudi, termasuk si pengarang sendiri yang saat itu masih berusia sekitar lima belas tahun; (2) sistem gender, di mana laki-laki memiliki kekuatan yang lebih dalam sosial, politik, dan militer dibandingkan perempuan. Dapat dilihat pula contohnya dalam novel di mana posisi wanita selalu dianiaya oleh laki-laki. Ketika itu Nazi selalu main pukul terhadap siapapun orang Yahudi tanpa memandang jenis kelamin; dan (3) sistem keputusan sendiri atau kesewenang-wenangan, di mana kelompok ini dibangun berdasarkan kesewenang-wenangan, itulah kenapa tidak dihubungkan dengan 20 siklus hidup manusia, sekaligus memiliki akses sosial yang berbeda dalam hal positif maupun negatif. Kelompok yang sewenang-wenang digambarkan oleh perbedaan sosial yang memiliki kekuatan seperti kewarganegaraan, ras, suku, kelas, kepemilikan tanah, keturunan, agama, ataupun klan (Sidanius, 2006: 273). Sebuah ras memusnahkan ras lainnya adalah menu utama dari sebuah novel yang akan dianalisis di sini. Nazi telah memusnahkan Yahudi tanpa alasan jelas. Walaupun beberapa fungsi dan strukturnya memiliki kemiripan antara umur, gender, dan kelompok berkeputusan sendiri yang berdasarkan hierarki sosial, teori dominasi sosial berpendapat bahwa tiap sistem sangat berbeda dan oleh sebab itu satu sistem tidak dapat dianggap hanya sebagai kasus khusus dari yang lainnya. Sistem umur dan gender memiliki keluwesan sebagaimana ditegaskan siapa yang berperan sebagai “anak” melawan “dewasa” dan siapa yang berperan sebagai “laki-laki” melawan “perempuan”. Kesewenang-wenangan adalah satu-satunya tipe sistem di mana penghancuran penuh ditemukan. Itulah kenapa, banyak kasus di mana satu kelompok klan atau ras atau etnis menghancurkan kelompok yang lain. Seperti tercantum dalam kalimat yang diungkapkan Sidanius: Arbitrary-sets are the only type of system in which total annihilation is found. That is, there are cases in which one clan or race or ethnic group has exterminated another (Sidanius, 2006: 274). Ada sebuah kasus yang diketahui di mana orang dewasa membunuh semua anak-anak, atau para laki-laki membunuh semua perempuan, dalam suatu masyarakat. Akhirnya, sistem umur difokuskan pada kendali anak-anak oleh 21 orang dewasa, dan sistem gender difokuskan pada kendali perempuan oleh lakilaki, teori dominasi sosial berpendapat bahwa hierarki kesewenang-wenangan utamanya terfokus pada kendali laki-laki tersubordinasi yang dilakukan oleh gabungan dari laki-laki berpengaruh atau yang dominan. Kenyataannya, inilah alasan utama bahwa hierarki kesewenang-wenangan diasosiasikan dengan tingkat kekerasan yang luar biasa. Antar laki-laki yang terfokus pada konflik kesewenang-wenangan ini dapat dilihat dalam bentuk diskriminasi kelompok sehari-hari. Pada tingkat stereotip sosial, Eagly dan Kite (1987) menemukan bahwa stereotip kewarganegaraan biasanya berbeda dengan stereotip laki-laki di suatu negara; stereotip tentang perempuan, menurut kewarganegaraan mereka, mencerminkan pembesaran peran wanita dalam sebuah negara. Pada tingkat diskriminasi individu, asumsi yang menyatakan ketidakadilan dari sistem kesewenangwenangan utamanya memusatkan laki-laki pada kenyataan yang tersirat bahwa kebanyakan studi mengenai diskriminasi ras hanya menggunakan laki-laki sebagai targetnya (Sidanius, 2006: 274-275). Menurut teori dominasi sosial, kelompok yang berdasarkan hierarki sosial diproduksi oleh efek jaringan diskriminasi antara beberapa tingkat: institusi, individual, dan proses kolaborasi antar kelompok. Diskriminasi antar tingkat ini dikoordinasikan pada kebaikan hati kelompok berkuasa/dominan terhadap kelompok tersubordinasi dengan legitimising myths, atau secara sosial, dibagikan melalui persetujuan ideologi sosial. Teori dominasi sosial mengasumsikan bahwa 22 keputusan dan kelakuan individu, formasi dari praktik sosial yang baru, dan operasi dari institusi yang dibentuk oleh dongeng yang logis (legitimising myths). 1.5.2 Fungsi Dominasi Sosial Teori dominasi sosial membedakan dua ciri fungsional dalam legitimising myths. Pertama, hierarchy-enhancing legitimising myths (HE-LMs) yang menangani moral dan pembenaran intelektual untuk kelompok yang teropresi. (Sidanius, 2006: 275). Kedua, ideologi yang menentang dominasi dinamakan hierarchy-attenuating legitimising myths (HA-LMs). Hierarki yang pertama, contohnya, beragam bentuk rasisme (warna kulit, agama, jenis ras), seksisme (diskriminasi ataupun kebencian terhadap suatu jenis kelamin tertentu; seperti misoginis yang benci kepada perempuan dan misandria yang benci kepada laki-laki), heteroseksisme (ideologi yang menolak berbagai perilaku, identitas, hubungan, dan komunitas non-heteroseksual), stereotip (penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan kelompok dimana orang tersebut berada), dugaan “takdir”, hanya kepercayaan di dunia, nasionalisme, konfusianisme, doktrin karma yang berjasa, klasisme, hak mutlak dari para raja, daftar muatan yang mutlak, dan perlengkapan kemiskinan. Contoh dari hierarki kedua adalah doktrin politik seperti demokrasi sosial, sosialisme, dan komunisme. Doktrin politik adalah contoh dari doktrin yang digunakan Hitler dalam mempropagandakan diskriminasi terhadap ras Yahudi, dimana Yahudi dianggap sebagai musuh negara karena dianggap bekerjasama dengan tentara sekutu. Tindakan tersebut dilakukan Hitler ketika partai fasis yang dipimpinnya mulai berkuasa di Jerman. Kemudian, 23 doktrin agama seperti pilihan preferensi atau istimewa untuk si miskin dan tema egalitarian dalam surat wasiat baru, dan doktrin humanis seperti hak universal laki-laki, feminisme, dan hak asasi manusia. Kedua hierarki tersebut, hierarchyenhancing dan hierarchy-attenuating myths, berkaitan dengan kosmologi, pola perilaku, dan hubungan kebudayaan (Sidanius, 2006: 276). Seperti halnya dongeng yang logis (legitimising myths), banyak institusi yang diklasifikasikan sebagai hierarchy-enhancing ataupun hierarchy attenuating. Institusi hierarchy-enhancing yang kuat termasuk institusi keuangan dengan keuntungan penuh, perusahaan lintas negara, organisasi keamanan internal ( contohnya: FBI, KGB), dan sistem keadilan kriminal. Sistem keadilan kriminal dilihat sebagai mekanisme penting dan kendali dari kelompok dominan. Dibandingkan dengan kelompok dominan, kelompok tersubordinasi lebih terwakili dalam penjara, ruang penyiksaan, dan ruang eksekusi di antara banyak perbedaan masyarakat, bahkan setelah laporan perbedaan angka kriminalitas antar kelompok (Sidanius, 2006: 276). Untuk mengurangi konsekuensi dari hierarchy-enhancing, tapi juga menyeimbangkan dampaknya walaupun jarang, adalah tugas dari institusi hierarchy-attenuating. Institusi ini mencoba untuk membuka akses pada sumber daya yang dibatasi oleh kelompok dominan, seperti layanan publik. Institusi ini di dalamnya juga terdapat hak asasi manusia, hak warga sipil, dan kelompok kebebasan warga; organisasi kesejahteraan, dan organisasi keagamaan yang didedikasikan untuk perlindungan bagi si miskin yang teropresi dan mudah diserang. Institusi seperti ini sering kekurangan dana, pasukan, hak didahulukan 24 (precedent) yang resmi, atau dasar kekuatan yang lain yang kokoh (Sidanius, 2006: 277). Diskriminasi yang dilakukan oleh institusi hierarchy-enhancing ini berakibat fatal bagi kelompok hierarki. Pertama, institusi dapat menggerakkan dan mengalokasikan sumber daya dalam jumlah besar dengan kuat dibanding yang dapat dilakukan oleh perorangan. Kedua, institusi besar, seperti pemerintahan nasional dan perusahaan multinasional memiliki “jangkauan” yang lebih luas dalam pengaruh sistematiknya terhadap perusahaan lokal. Ketiga, karena banyak institusi mengabadikan diri mereka, diskriminasi yang mereka gunakan biasanya lintas generasi dan ketika perorangan atau kelompok mencoba untuk melawan praktek diskriminasi, institusi biasanya mempertahankan praktek diskriminasi mereka sebagai bagian dari pertahanan institusi itu sendiri. Keempat, banyak institusi membangun norma-norma internal mereka dimana norma itu mengatur orang-orang yang bekerja di dalamnya dan perbedaan perorangan. Kelima, orangorang dalam institusi, termasuk militer dan perusahaan, seringkali dibebaskan dari kesalahan yang menyangkut tempat mereka bekerja karena perusahaan tersebut memiliki status resmi yang spesial. Selain Dominasi Sosial yang diungkapkannya, Sidanius juga mengungkapkan hal lain mengenai konflik etnis. Dia mengungkapkan dengan contoh kasus di Amerika, bagaimana orang kulit putih selalu berkonflik dengan orang kulit hitam dan latin (Sidanius, 2006: 279). Warga kulit putih lebih diistimewakan daripada kulit hitam, hal inilah yang memicu terjadinya konflik apabila terjadi gesekan antara mereka. Warga Afrika-Amerika lebih banyak 25 terkurung di penjara, sekitar enam kali lebih banyak dibandingkan warga EropaAmerika. Untuk warga Afrika-Amerika yang berjenis kelamin laki-laki memiliki sepertiga kesempatan dalam hidupnya untuk terkurung di penjara ( Sidanius, 2006: 276-277). Hal semacam ini dipicu oleh adanya diskriminasi dalam kehidupan sosial, seperti sekolah, organisasi kelompok beragama, perusahaan pembiayaan yang lebih mengutamakan kelompok kulit putih. Sedangkan, hal-hal yang tidak menyenangkan lebih ditujukan kepada kelompok kulit hitam seperti pekerjaan berbahaya, penjara, dan kematian yang tidak wajar (Sidanius, 2004: 847). Selama 15 tahun belakangan ini, teori dominasi sosial telah lebih menginspirasi pemikiran tentang hubungan antar kelompok, perbedaan kelompok sekaligus penyebabnya, fungsi-fungsi stereotip dan dongeng legitimasi yang lain, gender dan ketidaksamaan gender, dan konsekuensi psikologis dari memiliki maupun kekurangan tenaga atau kekuasaan. Dalam membandingkan teori dominasi sosial dengan teori-teori yang lain, dapat ditemukan bahwa teori dominasi sosial bukanlah mencoba untuk menolak wawasan dari model-model penting diskriminasi dan hubungan antar kelompok yang lain, seperti teori identitas sosial, teori kuasa kepribadian, teori konflik nyata kelompok, dan beberapa teori rasisme modern. Pendekatan-pendekatan tersebut berisi terlalu banyak wawasan berharga untuk sebuah penolakan besar-besaran. Teori dominasi sosial mencoba untuk menggabungkan ciri-ciri yang paling benar dari modelmodel lain ini ke dalam pemahaman yang lebih luas dan bertingkat dari penindasan sosial berdasarkan kelompok. 26 Kesimpulannya, teori dominasi sosial ini melakukan beberapa hal. Pertama, teori ini membangkitkan pembelajaran tentang kekuasaan dan tidak hanya gengsi atau status sebagai aspek utama dari psikologi sosial dan hubungan antar kelompok. Kedua, pendekatan dari teori ini menyoroti kepentingan sosial yang disebarkan dan kumpulan perilaku sosial, seperti wacana sosial, ideologi budaya, dan diskriminasi institusi daripada penyesuaian dan kesadaran pribadi. Ketiga, teori dominasi sosial telah membedakan antara pola hubungan yang umum dengan sesuatu yang berbeda antar budaya. Keempat, terinspirasi oleh pembelajaran etnis dan feminis, penelitian dominasi sosial telah mempelajari situasi nyata dari orang-orang yang berada dalam posisi terdominasi maupun dominan, bukanlah hanya karena mengasumsikan penelitian laboratorium pada orang-orang yang dapat sepenuhnya mewakili kondisi tersebut. 1.6 Metode Pengumpulan dan Analisis Data Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) menentukan karya yang dijadikan objek material penelitian yaitu novel berjudul La Nuit karya Elie Wiesel; (2) menetapkan masalah pokok penelitian, masalah dominasi sosial dan konflik etnis yang terdapat di dalam novel La Nuit karya Elie Wiesel; (3) melakukan kategori data yang dapat mendukung penelitian, yaitu data-data yang menunjukkan adanya dominasi sosial dan konflik etnis; (4) memilah dan mengelompokkan data yang akan digunakan untuk analisis, yaitu: (4a) dominasi sosial terhadap kelompok lain, dalam hal ini adalah 27 Nazi terhadap Yahudi, Hongaria terhadap Yahudi, (4b) dominasi sosial antar sesama kelompok, dalam hal ini adalah Yahudi dengan Yahudi sendiri; (5) melakukan analisis terhadap novel dengan langkah-langkah analisis sebagai berikut: (5a) mendeskripsikan permasalahan dominasi sosial yang digambarkan pengarang dalam novel La Nuit karya Elie Wiesel, (5b) mendeskripsikan konflik etnis dalam novel La Nuit karya Elie Wiesel; (6) menarik kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dari analisis data yang mengacu teori tertentu yang dapat menjawab semua persoalan yang termuat dalam rumusan masalah, yakni permasalahan dominasi sosial dan konflik etnis dalam novel La Nuit karya Elie Wiesel; (7) menyusun laporan penelitian. 28 1.6.1 Bagan Metode Pengumpulan dan Analisis Data (1) Menentukan karya yang dijadikan objek material penelitian yaitu novel berjudul La Nuit karya Elie Wiesel (2) Menetapkan masalah pokok penelitian, masalah dominasi sosial dan konflik etnis yang terdapat di dalam novel La Nuit karya Elie Wiesel. (3) Melakukan kategori data yang dapat mendukung penelitian, yaitu data‐data yang menunjukkan adanya dominasi sosial dan konflik etnis. (4) memilah dan mengelompokkan data yang akan digunakan untuk analisis, yaitu: (a) dominasi sosial terhadap kelompok lain, dalam hal ini adalah Nazi terhadap Yahudi, Hongaria terhadap Yahudi, (b) dominasi sosial antar sesama kelompok, dalam hal ini adalah Yahudi dengan Yahudi sendiri (5) melakukan analisis terhadap novel dengan langkah‐ langkah analisis sebagai berikut: (a) mendeskripsikan permasalahan dominasi sosial yang digambarkan pengarang dalam novel La Nuit karya Elie Wiesel, (b) mendeskripsikan konflik etnis dalam novel La Nuit karya Elie Wiesel. (6) menarik kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dari analisis data yang mengacu teori tertentu yang dapat menjawab semua persoalan yang termuat dalam rumusan masalah, yakni permasalahan dominasi sosial dan konflik etnis dalam novel La Nuit karya Elie Wiesel (7) menyusun laporan penelitian. 29 1.7 Pengadaan Data Dilakukan tiga tahap pengadaan data dalam penelitian ini, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi pustaka, yaitu mengumpulkan bahan-bahan acuan dari pembacaan berbagai literature yang mendukung objek material yang diteliti, novel La Nuit. Langkah-langkah pengumpulan datanya sebagai berikut: membaca objek material novel La Nuit secara intensif dan kritis, kemudian mengidentifikasi data mengenai konsep dominasi sosial yang menyangkut hubungan antara pihak dominan dengan pihak terdominasi, konflik etnis yang terjadi antara pihak penjajah dengan terjajah, kemudian menginventarisasi data yang telah berhasil dikumpulkan dalam bentuk kartu data. Analisis data yang digunakan adalah analisis konten dengan menyeleksi kategori yang termasuk dalam dominasi dan konflik etnis antara pihak dominan dan pihak terdominasi kemudian dijelaskan konsep yang ada dalam teori dominasi sosial. 1.8 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam lima bab, yaitu bab I berisi “Pendahuluan” yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode pengumpulan dan analisis data, dan 30 sistematika penyajian. Bab II berisi pembahasan dari novel La Nuit meliputi sistemsistem dominasi social yang dipakai. Bab III juga merupakan pembahasan novel yang berhubungan dengan konflik etnis, meliputi penyebab, bentuk-bentuk, serta jalan keluarnya. Bab IV berisi kesimpulan yang merangkum hasil penelitian ini. Kemudian, bab V yang adalah lampiran yang meliputi synopsis dan data-data dari penelitian. 31