sensitifitas dan spesifisitas inspeksi visual asam

advertisement
SENSITIFITAS DAN SPESIFISITAS INSPEKSI
VISUAL ASAM ASETAT PADA LESI SERVIKS DI
DESA NYAMBU KEDIRI TABANAN
dr. I G P Mayun Mayura, Sp.OG
BAG/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH DENPASAR
2012
RINGKASAN
Kanker serviks merupakan kanker kedua tersering yang diderita oleh wanita di
seluruh dunia. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 1989,
insiden kanker serviks di Indonesia adalah sebesar 100-90 per 100.000
penduduk dan kanker serviks dikatakan sebagai kanker yang paling sering
terjadi pada wanita (Gaffikin, 2003). Manifestasi klinik dari proses molekuler
dan seluler adalah metaplasia dan displasia. Inspeksi Visual Asam asetat (IVA)
adalah salah satu cara untuk mendiagnosis displasia dimana salah satu
penyebab displasia adalah infeksi HPV.
Penelitian ini merupakan desain cross sectional. Jumlah sampel adalah
sebesar 150 sampel, di mana sampel dipilih secara random, yang sebelumnya
telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan Pap smear kemudian dilakukan pemeriksaan IVA dengan
mengoleskan asam asetat 5 % pada porsio. Setelah 20 detik dilakukan
pengamatan pada porsio dengan mata telanjang, apakah terdapat perubahan
warna acethowhite. Dari data yang terkumpul, dilakukan pengujian tingkat
kemaknaan denganrumus, setelah itu dilakukan analisis data dengan uji chi
square dengan koreksi Yates bila dalam satu sel ada nilai yang kurang dari 5.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata umur kelompok IVA
positif adalah 37,67±5,66, sedangkan kelompok negatif adalah 34,96±8,19.
Berdasarkan hasil analisis dengan uji t-independent didapatkan bahwa rerata
umur kedua kelompok tidak berbeda secara statistik (p>0,05). Berdasarkan hasil
analisis dengan menggunkan tabel silang 2 x 2 didapatkan bahwa Sensitivitas =
72,73%; Spesifisitas = 97,12%; Nilai duga positif = 66,67%); Nilai duga negatif
= 97,83%; Rasio Kemungkinan positif = 25,27; Rasio Kemungkinan negatif =
0,28; dan akurasi = 95,33%. Sehingga disarankan skrining dengan Inspeksi
Visual Asam Asetat (IVA) dapat diterapkan sebagai pemeriksaan alternatif
untuk deteksi lesi serviks karena bersifat sederhana, mudah, hasil segera dapat
diketahui, tidak perlu tenaga khusus, murah, dan dapat dipadukan dengan upaya
pengobatan langsung saat kunjungan pertama
.
ABSTRAK
Pendahuluan : Kanker serviks merupakan kanker kedua tersering yang
dideritaoleh wanita di seluruh dunia. Manifestasi klinis kanker ini terjadi melalui
perubahan molekuler dan seluler berupa metaplasia dan displasia. Inspeksi
visual dengan asam asetat adalah salah satu alat skrining yang dapat mendeteksi
displasia yang disebabkan oleh virus HPV.
Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui kejadian tes inspeksi visual dengan
asamasetat positif dengan test human papiloma virus positif dan tes inspeksi
visual asam asetat negatif dengan tes human papilloma virus positif.
Metode penelitian : Studi ini adalah studicross sectionalyang melibatkan
150sampel yang diambil di pusat layanan kesehatan yang berpartisipasi dan
memenuhi syarat untuk diikutsertakan. Semua pasien diperiksa dengan PAP smear
dan selanjutnya diperiksa dengan teknik IVA oleh tenaga kesehatan terlatih dan
hasil PAP smear dikirim untuk pemeriksaan polymerase chain reaction dan
selanjutnya dihitung dengan tabel 2x2 dan dianalisa dengan studi t-test.
Hasil : Rerata umur pasien dengan IVA positif adalah 37,67±5,66 dan
IVAnegatif adalah 34,96±8,19. Hasil tersebut menunjukan bahwa tidak
terdapat perbedaaan yang bermakna. ( p>0,05). Analisis data diatas
menunjukan spesifisitas 97,12%; sensitifitas 72,73%;nilai prediksi negatif
97,83% ; nilai prediksi positif 66,67%; rasio probabilitas postif 25,27 rasio
probabilitas negatif 0,28% dan akurasi sebesar 95,33%.
Simpulan : Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa tes
inspeksidengan asam asetat (IVA) memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang
baik untuk mendiagnosa dysplasia serviks sehingga dapat diandalkan sebagai
alat skrining untuk kanker serviks.
Kata kunci : kanker serviks, tes inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
ABSTRACT
Introduction : Cervical cancer is the second commonest cancer that
affectswomen through out the world.. Its clinical manifestation through
molecular and cellular changes are metaplasia and dysplasia. Visual inspection
of the cervix by acetic acid ( VIA ) is one of the many screening tools to aid
the diagnosis of dysplasia which are caused by HPV infection.
Objective : To identify a positive visual inspection by acetic acid test
withpositive human papilloma virus test in cervical lession and a positive
visual inspection test with negative human papilloma virus test in cervical
lession.
Subject and method : This research is across sectional study .One hundred andfifty
samples were included in this study which were identified at the participating local
community health center who agreed and are qualified. All samples were inspected
and had the PAP Smear test thus the patient was examined by a qualified and
trained personel to visual inspection by acetic acid. The result of the VIA test were
then compared to the result of the PCR test which were then calculated with chi
square and analysed by the t- independent test.
Result : The average age of the sample who are VIA positive is 37,67±5,66 andwith
negative result is 34,96±8,19. Results from the t-independent test shows there is no
statistical differences in the average age of the subjects (p>0,05). Analysis with the
2x2 table identified sensitivity of 72,73%; specificity 97,12%; negative prediction
97,83% positive prediction 66,67%; ratio of positive probability 25,27; ratio of
negative probability 0,28% and an accuracy of 95,33%.
Conclusion: Based on the research result above we may conclude that this
simpletest is spesific and sensitive in diagnosing dysplasia thus quiet reliable as
a screening tool to detect cervical carcinoma in its early stages.
Key word : Cervical cancer, Visual inspection by acetic acid (VIA)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Kanker serviks merupakan kanker kedua tersering yang diderita oleh wanita di
seluruh dunia. Di Amerika serikat terdapat kurang lebih 14.000 kasus baru dan
terdapat 5000 kematian setiap tahun akibat kanker serviks (Schellekens, et al.,
2004). Pada tahun 2000 terdapat kurang lebih 468.000 kasus baru dimana 80% dari
kasus tersebut terdapat di Negara berkembang. Rerata kejadian kanker serviks
bervariasi dan bergantung pada lokasi geografis tertentu, sepert insiden tertinggi
terdapat di Amerika latin, Sub Sahara Afrika dan Asia Selatan, dan Asia Tenggara
(Gaffikin, 2003). Menurut data dari World Health Organization (WHO)
diperkirakan pada tahun 2000, di seluruh dunia terdapat 6,25 juta kanker baru
pertahun dan dalam 10 tahun mendatang diperkirakan terjadi 9 juta kematian akibat
kanker, dimana sebagian besar terjadi di negara berkembang. Menurut data
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 1989, insiden kanker serviks di
Indonesia adalah sebesar 90-100 per 100.000 penduduk dan kanker serviks
dikatakan sebagai kanker yang paling sering terjadi pada wanita (Gaffikin, 2003).
Mortalitas kanker seviks di Indonesia masih tinggi. Laporan dari beberapa rumah
sakit di Indonesia didapatkan angka harapan hidup tiga tahun hanya 23,5%. Hal ini
di karenakan 80-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium lanjut, bahkan pada
stadium terminal. Terdapat variasi mengenai angka harapan hidup
diantara negara berkembang yang pada umumnya diakibatkan oleh variasi stadium
klinis saat ditemukan, adanya aksesibililitas terhadap pusat pelayanan dan
pengobatan. Di Negara Uganda, Zimbabwe, dan Gambia angka harapan hidup 5
tahun dikatakan dibawah 25% dan di Negara Kuba,India dan Filipina diperkirakan
berada pada kisaran 30-50% dan lebih tinggi lagi di Negara Singapura, Korea, USA,
dan Eropa yang diperkirakan lebih besar dari 65% (Domingo, E.J, et al. (2008).
Salah satu cara yang dikatakan paling efektif dalam mengatasi permasalahan ini
adalah melalui upaya implementasi program skrining. Salah satunya adalah skrining
dengan metode sitologi yang lebih dikenal dengan Pap smear telah berhasil
menurunkan angka kejadian kanker serviks di Negara maju sampai 80% dalam 5
dekade terakhir (Domingo, et al., 2008). Sistem ini belum dapat diterapkan secara
sempurna di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia karena pemeriksaan
sitologi yang sub optimal, kurangnya tenaga ahli, kurangnya cakupan sasaran wanita
yang berisiko, dan lemahnya sistem follow-up.
Dewasa ini telah diakui bahwa faktor risiko utama kanker serviks adalah infeksi
Human Papilloma Virus (HPV) tipe onkogenik yang persisten yaitu ± 72,3
%dapat diisolasi HPV tipe 16 dan 18 (Schellekens, et al., 2004).
Ditemukannya HPV dianggap sebagai promotor dan mungkin inisiator,
sedangkan faktor risiko lainnya sebagai inisiator. Manifestasi klinik dari proses
molekuler dan seluler adalah metaplasia dan displasia dimana hal ini dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan sitologis dari bahan Pap smear maupun dengan
pemeriksaan histopatologis dari bahan biopsi serviks. Telah diketahui bahwa
infeksi HPV mengakibatkan displasia serviks yang kemudian berkembang
menjadi kanker serviks.
Perlunya Skrining Kanker Serviks dengan IVA di Indonesia
Kanker serviks di Indonesia
Dari data Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dikatakan bahwa kanker serviks
merupakan kanker tersering di Indonesia dengan keadaan yang cenderung
meningkat. Dari 230 milyar penduduk Indonesia pada tahun 2003, maka terdapat
58 juta wanita usia 16- 64 tahun yang berisiko untuk mengidap kanker serviks.
Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa hampir 75% ditemukan pada
stadium invasif (> stage IIB). Upaya pemerintah untuk melakukan program
skrining melalui test Pap Smear yang telah dipakai acuan oleh beberapa negara
maju dalam rangka menurunkan angka kejadian kanker serviks tidak dapat di
aplikasikan di Indonesia karena berbagai kendala, sehingga cakupan skrining di
Indonesia sampai saat ini hanyalah sebesar kurang dari 5% dari target ideal yang
seharusnya mencapai 80%.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk kurang
lebih 230 milyar pada tahun 2003 dengan kondisi sosial ekonomi yang masih rendah
dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah ( 17,3%) tentunya akan
mempersulit upaya implementasi program skrining kanker serviks dengan Pap
Smear. Sebagai gambaran bahwa perbandingan tenaga spesialis kandungan di
Indonesia adalah 1:40.000 diperparah dengan jumlah tenaga ahli Patologi Anatomi
sebesar 277 pada tahun 2000, tenaga skriner 65 orang, bidan 84.789 dan
90.000 tenaga dokter umum tentunya akan mempersulit usaha skrining dan
upaya follow up terhadap kasus-kasus kanker serviks.
Dengan keadaan Indonesia seperti diatas, maka diperlukan upaya-upaya didalam
mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam implementasi program skrining yang
tentunya dapat diaplikasikan di negara berkembang pada umumnya dan Indonesia
khususnya. Tentunya kesulitan diatas dialami oleh berbagai negara yang kondisinya
hampir sama dengan Indonesia seperti Afrika, Amerika Latin , India dan negara Asia
lainnya. Upaya diatas telah dimulai dengan berbagai penelitian yang berusaha
mencari upaya alternatif untuk skrining kanker serviks.
Salah satu cara yang kini sedang diteliti diberbagai belahan dunia adalah upaya
skrining dengan visualisasi langsung atau dengan menggunakan mata telanjang yang
lebih dikenal dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat ( IVA), yang tentunya
telah memenuhi syarat-syarat skrining yang sesuai dengan keadaan Indonesia yang
bersifat sederhana, mudah ,hasil segera dapat diketahui,tidak perlu tenaga khusus,
murah dan dapat dipadukan dengan upaya pengobatan langsung saat kunjungan
pertama apabila ditemukan lesi serviks ( See and Treat ).
Pemeriksaan skrining yang pada saat ini lazim digunakan untuk lesi prakanker
serviks adalah tes pap. Sebagai suatu pemeriksaan skrining alternatif, pemeriksaan
IVA mempunyai beberapa manfaat jika dibandingkan dengan uji yang sudah ada,
yaitu efektif (tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar), lebih mudah dan
murah, peralatan yang dibutuhkan lebih sederhana, hasilnya segera diperoleh
sehingga tidak memerlukan kunjungan ulang, cakupannya lebih luas, dan pada tahap
penapisan tidak dibutuhkan tenaga skriner untuk memeriksa sediaan
sitologi.
Informasi
hasil
dapat
diberikan
segera.
Keadaan
ini
lebih
memungkinkan dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia, karena
hingga kini tenaga skriner sitologi masih sangat terbatas. Data pada tahun 2003
tenaga skriner belum mencapai 100 orang. Demikian pula halnya dengan
spesialis patologi anatomi juga masih terbatas. Dengan IVA, peran spesialis
patologi anatomi dalam upaya penapisan kanker serviks dapat didelegasikan
sebagian kepada tenaga kesehatan lain, misalnya bidan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
Berapa besar sensitifitas dan spesifisitas tes IVA?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui sensitifitas tes IVA dibandingkan dengan tes HPV DNA /
Polymerase Chain Reaction (PCR) pada lesi serviks.
2.
Mengetahui
Spesifisitas tes IVA dibandingka denga tes HPV DNA /
Polymerase Chain Reaction (PCR) pada lesi serviks.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Keilmuan
Mengetahui hubungan antara Tes Inspeksi Visual Asam Asetat dengan Tes
Human Papilloma Virus (PCR) pada lesi serviks.
1.4.2. Manfaat Praktis
1.
Mengetahui hubungan antara tes Inspeksi Visual Asam Asetat dengan tes
Human
Papilloma
Virus
(PCR)
pada
lesi
serviks
,
sehingga
dapatdiperkirakan adanya pola perubahan pada serviks dengan mata
telanjang yang berpotensi berubah kearah keganasan.
2.
Dapat menerapkan sistem dengan satu kali lihat dan langsung diobati
apabila ditemukan adanya kelainan pada tes IVA.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Human Papilloma Virus
Virus Human Papilloma merupakan sekelompok virus yang dapat menginfeksi
jaringan epitel. Saat in terdapat lebih dari 70 tipe yang berbeda secara genetik.
Beberapa diantaranya berhubungan dengan lesi yang dapat berkembang menjadi
suatu keganasan. HPV memiliki genom berantai ganda yang mengandung 8000
pasangan basa yang memiliki dua jenis protein yakni early protein yang
berperan dalam regulasi DNA virus (E1 dan E2) , transkripsi RNA (E2) dan
transformasi sel (E5,E6 dan E7), dan late protein (L1 dan L2) yang merupakan
komponen strutktural dari kapsid virus (Tzyy-Choou Wu, 1994), merupakan
anggota famili papovaviridae, virus DNA rantai ganda dengan berat molekul
5x10 dalton,diameter ± 55 nm (Kenneth, et al., 1997). Ekspresi dari early gene
akan menentukan apakah infeksi oleh HPV adalah aktif atau laten atau bahkan
menyebabkan transformasi kearah keganasan. Produk gen utama yang berperan
dalam onkogensis adalah E2, E6, dan E7 (Schellekens, et al., 2004).
II.1.1. Prevalensi
Penelitian prevalensi pajanan HPV pada kanker serviks telah dilakukan oleh lebih
dari 22 negara dengan tehnik PCR. Dilaporkan bahwa sekitar 92,9% dari 1000
biopsi kanker serviks ditemukan HPV tipe 16, 18, 31, dan 45 dimana HPV tipe 16
sejumlah 51,5% dari seluruh HPV tipe onkogenik. Gambaran variasi geografis
menunjukkan HPV tipe 16 lebih banyak ditemukan di negara Eropa, Amerika
Serikat, dan Afrika. HPV tipe 18 lebih banyak terdapat di negara Asia Tenggara
yaitu sekitar 50% dari tipe virus yang teridentifikasi. Sedangkan HPV tipe 39 dan 59
ditemukan hanya di Amerika Latin dan HPV 45 hanya di Afrika Barat (Penelope, et
al., 1998). Munoz, et al. tahun 1997, melaporkan bahwa 90% dari kanker serviks
yang invasif terinfeksi HPV dimana 50% adalah tipe 16,12% adalah tipe 18,8%
adalah tipe 45, dan 5% adalah tipe 31. Laporan dari Yunani menyatakan bahwa pada
kanker serviks didapatkan HPV tipe 16 sebesar 56%, tipe 18 sebesar 23%, dan tipe
31 sebesar 6%. Pada LSIL ditemukan 13% HPV tipe 16 dan 13% tipe 18.
Sedangkan pada HSIL didapatkan 41% tipe 16 dan 14% tipe 18 (Labropoubou, et
al., 1997). Penelitian lain menemukan bahwa infeksi HPV tipe 16 pada kanker
serviks di Brasil sebesar 53,8%, di Spanyol sebesar 45,8%, dan di Kolombia sebesar
50,6% (Penelope, et al., 1998). Schneider, et al. tahun 1991 mendapatkan prevalensi
HPV tipe 16 pada kasus dengan sitologi normal sebesar 14%, Brandsma, et al. tahun
1989, mendapatkan HPV positip pada 20% dari wanita yang diperiksa, dan Lorinz,
et al. tahun 1992 mendapatkan sekitar 10-15% positip HPV. Di Bali, proporsi
pajanan HPV tipe 16 sekitar 57,8% (Widiarsa, 2000) dan tipe 16 & 18 pada kanker
serviks adalah 76,5% (Surya Negara, dkk., 2002). Dari penelitian pendahuluan yang
dilakukan di Bali dapatkan hasil HPV
(+) sebanyak 50% dari semua lesi servik yang di periksa. (Weinstein, et al.,
2009).
II.1.2. Morfologis dan Sifat Biofisik
Virus papilloma dikatakan merupakan penyebab lesi epitel pada berbagai spesies
termasuk sapi, kelinci dan manusia. Peran dari virus ini pada onkogenesis
pertamakali di perlihatkan pada kelinci, dimana infeksi tersebut dapat menyebabkan
perubahan kearah malignansi. Telah disebutkan diatas bahwa virus ini memiliki
early dan late gene dimana yang pertama terlibat dalam replikasi dan onkogenesis
sedangkan yang tipe yang kedua berperan dalam pemberian kode struktural protein
pada kapsid. Ekspresi produk tipe pertama akan menentukan aktifnya suatu infeksi
dan perubahan kearah keganasan. Produk utama yang terlibat dalam keganasan
adalah E2, E6, dan E7. Gen E2 mengkode regulator transkripsi yang mengatur
ekspresi onkoprotein virus E6 dan E7. Integrasi HPV ke kromosom host dapat
menganggu gen E2 dan akan menyebabkan peningkatan ekspresi E6 dan E7, dan
produk ini yang berasal dari HPV tipe 16 dan 18 dapat mengikat, menginaktivasi,
dan akhirnya melumpuhkan fungsi protein supresor tumor seperti p53 dan pRb.
Proses tersebut diatas memiliki peran dalam terjadinya kanker serviks melalui
beberapa mekanisme seperti menganggu ekspresi gen host, pelepasan sel,
mempengaruhi proses perbaikan DNA dan aktivasi ekspresi telomerase (Weinstein,
et al., 2009).
Terdapat kurang lebih 35 tipe virus HPV yang dapat diisolir dari epitel
anogenital (serviks, vulva, vagina, rektum, dan penis) sedangkan tipe lainnya
berhubungan dengan lesi yang tidak ganas (tabel 2). Tipe anogenital biasanya
diklasifikasikan menjadi tipe risiko tinggi dan rendah tergantung hubungannya
dengan tipe lesi. Virus tipe risiko rendah seperti tipe 6, 11, 42, 43, dan 44
berhubungan dengan lesi low grade dan tipe risiko tinggi seperti HPV 16,18, dan
31 berhubungan dengan lesi serviks high grade dan kanker.
Partikel virus matur mempunyai kapsid luar ikosahedral yang terdiri atas 2
protein struktural yaitu protein L1 dan L2. Protein L1 merupakan komponen
mayor yaitu 80% dari seluruh protein virus dengan massa molekul relatif 53.000
– 59.000. Sedangkan protein L2 merupakan komponen minor dengan massa
molekul relatif 70.000. Didalam protein kapsid terdapat genom virus DNA
sirkuler rantai ganda dengan panjang 7,9 kilobasa (kb). Setiap genom dibagi atas
7 daerah early (E) dan 2 daerah late (L). Daerah L terdiri atas 2 late open
readingframe (ORF).
Struktur HPV terdiri atas 3 bagian yaitu: Upstrean Regulatory Region
(URR), early Region (ER), dan Late Region (LR). URR berupa non-coding
region yangberperan penting pada pengaturan replikasi dan transkripsi pada
rangkaian ER. URR juga merupakan regulator yang sangat kompleks di mana
peranan dan fungsi yang pasti dalam siklus hidup virus belum jelas diketahui.
Bagian ini mengandung tempat ikatan berbagai faktor transkripsi seperti
activator protein 1 (AP-1), keratinostic spesific factor 1 (KRF-1), dan faktor
transkripsi lainnya. Mungkinikatan-ikatan ini diatur oleh open reading frames
(ORFs) yang terdapat pada ER dan LR. ER terbentuk pertama kali pada siklus
hidup virus dan mengkode protein yang sangat berperan pada replikasi virus. LR
terbentuk kemudian untuk mengkode protein struktural virus. ORFs mengkode
protein yang diperlukan pada ekspresi E1, E2, E4, E5, E6, dan E7.
Tabel. 2.1 Fungsi Gen pada HPV (Schellekens, et al., 2004)
Tabel 2.2 Tipe HPV dengan lesi yang ditimbulkannya serta klasifikasi HPV
atasdasar risiko rendah dan tinggi (Schellekens, et al., 2004)
Gambar 2.1 Bagan terjadinya kanker serviks (Schellekens,et al., 2004)
Gen E1 dan E2 mengkode protein DNA yang mengatur proses transkripsi.
Ekspresi gen E1 terjadi pada permulaan pajanan yang berfungsi mengontrol
replikasi virus dan pemeliharaan genom. Gen E2 merupakan regulator transkripsi
dan juga terlibat dalam replikasi DNA. Gen E3 tidak teridentifikasi. Gen E4
mengkode rangkaian protein yang penting pada proses maturasi dan replikasi virus.
Protein E4 dapat mengganggu jaringan keratin sitoplasma, mengakibatkan efek halo
pada sitoplasma yang disebut koilositosis. Gen E5 mengkode protein E5
yang memiliki daya transformasi lemah dan berperan dalam transformasi seluler
melalui interaksinya dengan reseptor faktor pertumbuhan membran sel. Pada gen
E6 dan E7 terdapat ujung URR menyandi protein E6 dan E7 yang menyebabkan
transformasi pada HPV tipe 16 dan 18 dan perubahan onkogen. Kedua protein
transformasi dominan tersebut mampu mendorong proliferasi sel dan menetap
dalam jangka waktu lama (imortalisation). Peranan E6 dan E7 sangat berperan
dalam proses transformasi gen. Hal ini dibuktikan dengan penemuan E6 dan E7
HPV tipe onkogenik risiko tinggi seperti tipe 16 dan 18 pada kultur jaringan sel
yang telah mengalami transformasi in vitro selalu ditemukan pada kanker serviks
(Lesley, et al., 2000). Kedua protein onkogen tersebut yaitu E6 dan E7 dapat
berintegrasi dengan gen sel epitel dan dapat melumpuhkan fungsi protein
supresor tumor p53 dan pRB dimana hal ini akan mengakibatkan perubahan
replikasi sel, gangguan diferensiasi, akumulasi abrasi kromosom dan selanjutnya
berkembang ke dalam proses karsinogenesis (Retnowardani, 1998; Lesley, et al.,
2000). Lateregion mengandung 2 ORFs yaitu gen L1 dan L2 yang menyandi
selaput proteinvirus dan diaktifkan pada stadium terakhir siklus virus pada sel
yang telah berdiferensiasi. Transkripsi L1 dan L2 terjadi belakangan pada siklus
hidup virus, saat dimana infeksi sudah memasuki fase aktif. Transkripsi LR
tampak pada diferensiasi sel intermediate epitel skuamosa, terutama pada NIS I,
sedikit pada NIS II-III, dan kanker serviks. Gen l1 dipakai untuk menentukan
tipe HPV dan menyandi antigen HPV yang merupakan target deteksi antibodi
pada tehnik imunohistokimia (Wright, et al., 1995; Kenneth, et al., 1997).
II.1.3. Klasifikasi HPV
Lebih dari 77 jenis HPV telah berhasil di isolasi dan dibedakan menjadi 3
kelompok seperti tabel berikut.
Tabel 2.3. Klasifikasi HPV (Wright, 1995)
TIPE HPV
LESI
Mucocutaneus grup
1
Veruca plantaris
2
Veruca plantaris, veruca vulgaris
3
Veruca plantaris, veruca vulgaris, veruca plana
7
Butcher’s warts
10
Veruca plana
13
Focal epithelial hyperplasia
28
Veruca plana
29
Veruca vulgaris
32
Focal epithileal hyperplasia
38
Veruca vulgaris
41
Squamous carcinoma
Epidermodysplasia veruciformis group
5,8,9,12,15,17,19-21,
23-25,36,46,47
Macular warts
Genital (cervical) group
6,11
Condyloma acuminatum, low grade SIL (CIN I)
16
All grade of SIL, squamous cell carsinoma
18
All grade of SIL, adeno and squamous cell ca
30
All grade of SIL
31,32,35,39
All grade of SIL, squamous cell carcinoma
40
All grade of SIL
42,43,44
Low grade of SIL (CIN I)
45
All grade of SIL, squamous cell carcinoma
51,52,56
All grade of SIL, squamous cell carcinoma
Kelompok genital (cervical) terdiri dari 3 tipe risiko yaitu:
1.
Tipe onkogenik risiko rendah ditemukan pada kondiloma akuminata
2.
Tipe onkogenik risiko sedang ditemukan pada semua SIL
3.
Tipe risiko tinggi yang meliputi HPV tipe 16, 18, 45, dan 56 ditemukan
pada kanker serviks.
HPV tipe onkogenik risiko rendah yaitu HPV tipe 6, 11, 42, 43, dan 44 biasanya
sebagai penyebab kondiloma akuminata atau NIS I. Jarang berhubungan dengan NIS
II-III dan hampir tidak pernah berhubungan dengan kanker serviks invasif. HPV tipe
onkogenik risiko sedang yaitu HPV tipe 31, 33, 35, 51, dan 52 sering berhubungan
dengan semua tingkat NIS tetapi sangat jarang berhubungan dengan kanker serviks
invasif. HPV tipe onkogenik risiko tinggi yaitu 16, 18, 45, dan 56 sering
berhubungan dengan kanker serviks invasif (Wright, et al., 2000). Dari berbagai
penelitian disimpulkan bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungan
dengan kanker serviks (Retnowardani, 1998):
1.
HPV tipe onkogenik risiko rendah yaitu HPV tipe 6 dan 11, jarang
ditemukan pada kanker invasif kecuali karsinoma verukosa.
2.
HPV tipe onkogenik risiko sedang yaitu HPV tipe 33, 35, 39, 40, 43, 51, 56
dan 58.
3.
HPV tipe onkogenik risiko tinggi yaitu HPV tipe 16, 18, dan 31.
Cox tahun 1996 menyatakan bahwa dari perspektif klinik tipe HPV dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu:
1.
Kelompok risiko rendah, meliputi HPV tipe 6, 1, 42, 43, dan 44 dimana
tidak pernah berhubungan dengan kanker serviks.
2.
Kelompok risiko tinggi atau tipe onkogenik, meliputi HPV tipe 16, 18, 31,
33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, dan 66 dimana semua tipe virus ini ditemukan
dan berhubungan dengan kanker serviks.
Dalam sepuluh tahun terakhir dari studi dikatakan bahwa pajanan HPV tipe 16,
18, 31, dan 45 adalah sebagai risiko mayor (Berek dan Hacker, 2000; Kenneth,
2000). Sampai saat ini diketahui 77 tipe HPV dimana 30 adalah tipe anogenital.
HPV tipe 6, 11, 16, 18, dan 35 yang menginfeksi organ genetalia dan hanya tipe
16 dan 18 dilaporkan sebagai high risk human papiloma virus yang dihubungkan
dengan NIS II-III dimana ± 70% NIS II-III akan berkembang menjadi kanker
serviks. HPV tipe onkogenik masuk melalui mikrolesi dan menginfeksi sel basal
serviks dan periode laten ini memerlukan waktu ± 10 tahun untuk menjadi
kanker serviks invasif (Barasso, 2000; Mirawati, 2000). HPV tipe lain
menyebabkan NIS I yang sebagaian besar mengalami regresi dalam waktu 2-3
tahun (Kjaer dan Brinton, 1993; Bosch, et al., 1995; Hoskins, et al., 2000).
II.1.4. Siklus Hidup dan Mekanisme Infeksi HPV
Siklus hidup HPV belum sempurna diketahui. Infeksi pertama diduga pada sel
basal atau sel primitif basal epitel skuamosa imatur. Ada dua jenis infeksi:
1.
Infeksi virus laten yang tidak menghasilkan DNA virus infeksiosus. DNA
virus masih tetap pada inti sirkuler bebas yang disebut episome. Replikasi
episome DNA virus terjadi bersamaan dengan replikasi sel epitel atau DNA
sel penjamu. Pada fase infeksi laten, tidak ditemukan kelainan sitopatologi
dan HPV ditemukan pada epitel basalis serviks sehingga hanya dapat
dideteksi dengan metode molekuler saja.
2.
Fase virus produktif dimana terjadi replikasi DNA virus infeksiosus yang
disebut virion. Replikasi DNA virus ini terjadi di epitel skuamosa sel
intermediet dan superfisial. Jumlah virion semakin banyak dan membentuk
efek sitopatik yang dapat dideteksi secara sitologi histopatologi. Efek
sitopatik tersebut diantaranya akantosis, vakuolisasi sitoplasma, dan inti
atipik.
Schneider dan Koutsky tahun 1992 menduga virus yang terdapat dalam sel yang
terlepas mengandung HPV menembus sel basal melalui mikro trauma akibat
gesekan saat kontak seks. Setelah melepas pembungkus protiennya, virus menembus
dinding sel menuju nukleus dan membuat infeksi laten dimana hal ini berarti
keberadaan DNA-HPV tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan sitologi,
morfologi, ataupun kolposkopi dan hanya dideteksi dengan tes DNA-HPV (Tseng et
al., 1999; Sudiro, 2001). Luka yang ditimbulkan akibat gesekan tersebutmerangsang
sel basal untuk membelah dan merangsang pembuluh darah untuk
melakukan proliferasi yang memacu virus untuk melakukan replikasi. Setelah
melakukan infeksi, DNA-HPV diduga berada hanya pada epitel basal dan
menetap dalam jumlah yang kecil. Tidak diketahui dengan jelas bagaimana
interaksi antara tipe HPV, lokasi genitalia, dan imunitas epitel. Apabila imunitas
penjamu efektif maka virus dalam keadaan tidak produktif. Transkripsi, translasi
awal, dan replikasi virus dalam jumlah terbatas terjadi di dalam sel basal dan
supra basal epitel serviks yang terinfeksi. Tahapan siklus hidup virus yang
mendekati tahap produksi partikel terjadi pada sel keratinosit yang
berdiferensiasi berupa replikasi dalam jumlah besar, transkripsi daerah akhir,
produksi protein kapsid L1 dan L2, dan perakitan partikel virus baru yang
akhirnya virus keluar baik dari inti sel maupun sel. Walaupun terdapat hubungan
erat antara HPV dan kanker serviks, tetapi belum ada bukti-bukti yang
mendukung bahwa HPV adalah penyebab tunggal. Perubahan keganasan epitel
normal membutuhkan faktor lainnya. Teori two hit hipothesis tentang
onkogenesis kanker serviks yaitu: pertama pasien terinfeksi oleh HPV mungkin
menyebabkan inaktivasi fungsi normal p53, kedua: pasien tidak terinfeksi oleh
HPV tetapi p53 mengalami mutasi (Retnowardani, 1998). Keterlibatan HPV
pada kejadian kanker serviks didasarkan pada beberapa faktor yaitu:
1.
Timbul keganasan pada binatang yang diinduksi dengan HPV,
2.
Dalam pengamatan kondiloma akuminata terlihat adanya perkembangan
menjadi kanker insitu,
3.
Penelitian epidemiologi, pada infeksi HPV ditemukan juga peningkatan
angka kejadian kanker serviks, dan
4.
DNA HPV sering ditemukan bersama dengan lesi NIS.
II.1.5. Diagnosis infeksi HPV
Diagnosis pajanan HPV adalah dengan cara sitologi/histopatologi dan biologi
molekuler. Secara sitologi/histologis pajanan HPV ditegakkan berdasarkan
koilositik, diskeratotik, dan sel basal kondilomatosa. Kelebihan cara ini adalah
murah dan tidak traumatis akan tetapi kekurangannya adalah sensitivitasnya rendah
dan tidak mampu membedakan tipe-tipe HPV (Kresno, 2001). Koilositotik adalah
sel patognomonik pada infeksi HPV berupa rongga perinuklear yang dikelilingi oleh
lingkaran sitoplasma padat tetapi mempunyai inti yang membesar, hiperkromatik,
berkeriput, dan kromatin yang tidak teratur. Gambaran ini tidak selalu ada namun
apabila tidak ditemukan koilositotik tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi
HPV. Diskeratosis adalah sel-sel yang mengandung keratin dimana keratin dalam
keadaan normal tidak ditemukan. Sel diskeratosis merupakan sel skuamosa matur
dengan inti besar yang kadang-kadang piknotik dan sitoplasma padat berwarna
jingga. Sel parabasal kondilomatosa adalah sel parabasal metaplastik dengan rasio
inti dan sitoplasma abnormal, sitoplasma amfilik dengan satu atau dua inti yang
struktur kromatinnya tidak jelas. Secara biologi molekuler seperti Southern blot dan
PCR mampu mengatasi masalah dignostik pada sitologi/histopatologis. Cara
Southern blot memiliki spesifisitas tinggi akan tetapi bahan harus segar, tingkat
kesulitan tinggi dan tidak dapat membedakan HPV. Pemeriksaan dengan tehnik
biomolekuler mempunyai akurasi yang tinggi dan dapat menentukan sampai tipetipe HPV. Studi kasus subklinis
dilaporkan bahwa dengan pemeriksaan sitologi didapatkan infeksi HPV ± 4-6%
sedangkan dengan pemeriksaan PCR didapatkan infeksi HPV ± 46% (Cox,
1998). Tehnik PCR merupakan tehnik biomolekuler dengan sensitifitas dan
spesifisitas tinggi, disamping itu relatif mudah karena spesimen dapat baik dari
bahan segar maupun dari blok parafin (Endang, 1998; Debbie, 2001).
II.2. Lesi Serviks
II.2.1. Batasan
Serviks merupakan bagian paling distal uterus yang menonjol kedalam vagina
bagian atas, yang dikenal sebagai porsio, ektoserviks. Porsio dibentuk oleh bibir
depan yang lebih pendek dan bibir belakang yang lebih panjang, diantaranya
terdapat ostium uteri eksternum. Lebih ke proksimal dari ostium ini dikenal
sebagai endoserviks. Ostium uteri eksternum merupakan batas antara ektoserviks
dan endoserviks. Lebih ke proksimal lagi endoserviks berhubungan dengan
isthmus yaitu bagian dari korpus uteri yang terbawah sehingga disebut segmen
bawah rahim. Serviks normal biasanya berwarna merah muda dengan
permukaan licin dan datar dengan konsistensi lunak. Ostium uteri eksternum
dapat berbentuk bulat pada nulipara dan berbentuk celah pada multipara. Lesi
serviks adalah kelainan pada serviks yang ditemukan pada pemeriksaan
inspekulo yang berisiko menimbulkan kanker serviks.
Banyak faktor risiko yang di sebut-sebut berperan pada terjadinya lesi pra
kanker/kanker servik uteri, antara lain usia saat aktifitas seksual pertama, pasangan
seksual yang multipel, higiene, dan sosial ekonomi yang rendah, jumlah
anak yang banyak, infeksi karena penyakit hubungan seksual terutama
HumanPapiloma Virus (HPV) dan Herpes Simplex Virus (HSV) dan infeksi oleh
karenabakteri lainnya, pemakaian kontrasepsi hormonal, defisiensi nutrisi, dan
supresi imunologi endogen/eksogen (Kim, 1995; Hoesin, 2001; Santoso H,
2001). Menurut Rotkin, faktor risiko yang bermakna adalah kawin pertama
kurang dari 20 tahun, pasangan seksual dua atau lebih, cerai atau pisah, dan
hubungan seksual yang tidak stabil (Sjamsudin, 1985). Sedangkan menurut
American College ofObstetricians and Gynecologist (ACOG) faktor risiko yang
bermakna yaitumultipatner seksual, wanita dengan infeksi HPV, kondiloma atau
keduanya, merokok, dan sosial ekonomi rendah (Partidge, 2000). Beberapa lesi
serviks kadang-kadang berhubungan dengan keganasan (Fasmer, 1990; Taufik,
2000). Dari penelitian Waldron dan Shafer menunjukkan 20% dari leukoplakia
disertai displasia ringan sampai karsinoma sel skuamosa dan 3% menunjukkan
karsinoma invasif (Burghardt, 1991).
II.2.2. Prevalensi
Prevalensi NIS menurun dengan meningkatnya umur. NIS I dan II tertinggi pada
usia 25-29 tahun yaitu 2,6% dan menurun menjadi 0,9% pada wanita yang
berumur lebih dari 50 tahun. NIS III terjadi 0,5% pada wanita berumur 35-39
tahun (Wright., 1995). Penelitian di RSCM tahun 1992-1993 mendapatkan dari
351 sediaan Pap 2,8% merupakan kasus SIL yang terdiri dari 80% SIL derajat
rendah dan 20% SIL derajat tinggi. Dari data tersebut terlihat bahwa penapisan
sitologi menjadi semakin penting dilakukan terutama pada wanita umur belasan
tahun yang telah melakukan hubungan seksual aktif (Sianturi, 1993; Wright, et
al., 1995).
II.2.3. Jenis Lesi Serviks
Lesi serviks meliputi salah satu kriteria dibawah:
a.
Leukoplakia adalah daerah berwarna putih, berbatas tegas dengan tepi
irreguler yang didapatkan sebelum aplikasi asam asetat.
b.
Eritroplakia adalah daerah berwarna merah, datar atau dengan peninggian
ringan tanpa menunjukkan tanda-tanda peradangan. Biasanya ditemukan
mengelilingi ostium uteri eksternum. Klinikus menyatakan sebagai erosio
porsiones.
c.
Ulkus adalah diskontinuitas permukaan porsio yang terdiri dari tepi, dinding
dasar dan isi akibat hilangnya epitel permukaan melewati stratum basalis.
d.
Papiloma adalah pertumbuhan eksofilik yang berwarna putih, merah muda
atau merah dan kadang-kadang berbentuk seperti bunga kol.
Secara sitologis maka lesi serviks dapat berupa Neoplasia Intraepithelial Serviks
(NIS) yang dibedakan menjadi NIS I, NIS II dan NIS III. NIS merupakan lesi
prekanker serviks. Pada dekade terakhir, NIS banyak dihubungkan dengan infeksi
Human Papiloma Virus (HPV), terutama kelompok onkogenik tipe 16 dan 18.
Berdasarkan hal ini maka pembagian lesi serviks dibedakan atas LowgradeSquamous
Intraepithelial
Lesion
(LSIL)
untuk
lesi
oleh
HPV
kelompokonkogenik risiko rendah-sedang dan High-grade Squamous Intraepithelial
Lesion
(HSIL) untuk lesi oleh kelompok onkogenik risiko tinggi.
II.2.4. Perkembangan NIS
NIS berasal dari epitel serviks normal. Karena perubahan derajat keasaman
vagina maka terjadi perubahan epitel normal menjadi metaplasia. Metaplasia ini
15% berkembang menjadi NIS I. Kanker serviks merupakan lanjutan proses NIS
dimana pada studi kohort didapatkan bahwa ± 15% NIS I berkembang menjadi
NIS II, ±15 % NIS II berkembang menjadi NIS III, dan ± 90% NIS III
berkembang menjadi kanker serviks invasive (Cox, 1990). Pada studi lain,
pajanan HPV risiko tinggi berhubungan dengan NIS II-III atau HighgradeSquamous Intraepithelial Lesion (HSIL). Sedangkan pajanan HPV
onkogenikrisiko rendah-sedang lebih banyak berhubungan dengan NIS I atau
Low-gradeIntraepithelial lesion (LSIL) (Luesley, 2000).
II.2.5. Diagnosis Lesi Serviks
Berbagai cara untuk mendiagnosis lesi serviks, antara
lain: 1. Sitologis/histopatologis
Berdasarkan cara tersebut maka lesi serviks dibedakan atas NIS I, NIS II, dan
NIS III dimana secara gambaran histopatologis dan klasifikasinya dapat dilihat
pada tabel dibawah. Menurut WHO, lesi prekanker dibedakan atas NIS I, NIS
II, dan NIS III.
Tabel 2.4 Klasifikasi NIS (WHO, 2000)
Histologi
1. NIS I / Displasia Ringan -Hipoplasia sel basal ringan
Sitologi
-Sel diskariotik ringan dan matur
-Partial interruption of satisfaction -Sel diskariotik sedikit
-Gangguan ringan maturasi sel
-Sel diskariotik Superfisial pre-
dominan (indeks diskariotik rendah)
-Aglycogenous
-X kromatin rendah
-Mitosis (+) dalam jaringan:jarang.
2. NIS II / Displasia Sedang
Displasia sedang adalah klasifikasi
antara displasia ringan dan displasia berat.
Ciri: Sel diskariotik dengan beratnya atipia sel derajat sedang.
3. NIS III / Displasia Berat -Hipoplasia basal sel
-Sel diskariotik banyak dan imatur
-Stratifikasi irreguler dengan po- -Sel diskariotik banyak
la sel distorsi
-Dominan: sel diskariotik parabasal
-Gangguan nyata maturasi sel
(indeks diskariotik tinggi)
-Mitosis pada 2/3 epitel
-X kromosom berkurang
4. Karsinoma insitu
a. Undifferentiated Small -Epitel seluruhnya diganti oleh - -Sel parabasal dan basal dominan
Cell Type
sel kanker kecil
-Gambaran sel maligna monoton
-Kehilangan polaritas dan strati- tanpa adanya dias (nekrosis)
fikasi
-Abnormal mitosis 7 2/3 lapisan
Epitel
-X kromatin berkurang, ada double
X kromatin
-Tidak ada invasi stroma
-Sel dominan: sel parabasal dengan
-Epitel total diganti oleh sel kan-
sitoplasma sedikit
ker tipe besar
b. CIS: Differentiated Large
Cell Type
-Kehilangan polaritas dan stratifikasi
-Sel dominan: sel parabasal dengan
sitoplasma sedikit
-Kecenderungan ringan diferensiasi permukaan
-Sel dikariotik maligna, ukuran kecil (kadang-kadang)
-Mitosis sering dan abnormal >
-Sel maligna pleomorphis
2/3
-Diathesis tumor (-)
-X kromatin berkurang dan adanya
double X kromatin
Karena lesi serviks banyak dihubungkan dengan berbagai tipe pajanan HPV
maka dibuatlah pembagian lesi serviks menurut Bethesda, tahun 1998.
Pembagian tersebut dapat dilihat dibawah ini :
Tabel 2.5. Pembagian Lesi Serviks Menurut Bethesda.
Grade
Kriteria
1.Low Grade Squamous Intracervical 1.Abnormalitas
Lesion
(LSIL).
Termasuk:
inti
terjadi
pada
sel
Displasia matur/sel superfisial
ringan/NIS I dan Atipia koilositosis
2.Pembesaran inti minimal 3x ukuran inti
sel
intermediate
yang
mengakibatkan
peningkatan rasio inti/sitoplasma
3.Ukuran dan bentuk inti sel berariasi
ringan
4.Biinukleasi dan multinukleasi sering
ditemukan
5.Hiperkromatin (+) yang tersebar uniform
6.Jarang ada nukleoli
7.membran inti terlihat jelas dengan
iregularitas ringan atau kadang-kadang tak
tampak bila kromatin inti padat dan
menonjol
8Ada pemisah antar sel
9.Koilositosis
2.High Grade Squamous Intracervical
1.Sel
biasanya
tersusun
tunggal,
Lesion (HSIL)
berkelompok atau
-NIS II/III (karsinoma Insitu)
(sinsitial)
-Displasia sedang-berat
2.Abnormalitas inti umumnya terjadi pada
seperti bersambungan
seskuamosayangimaturdengan
sitoplasma sel metaplastik padat dan berisi
keratin
3.pembesaran inti seperti pada LSIL, tetapi
sitoplasma lebih berkurang, sehingga rasio
inti sitoplasma sangat tinggi
4.Secara umu ukuran sel HSIL lebih kecil
dari LSIL
5.Hipokromatin nyata, kromatin granuler
6.Tidak ada nukleoli
7.Membran inti ireguler
II.3.Inspeksi Visual Asam Asetat ( IVA )
Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) pertamakali ditemukan secara tidak
sengaja oleh Hinselmann saat mencoba membersihkan lendir serviks sebelum
pemeriksaan kolposkopi dengan menemukan adanya perubahan warna dari selsel yang mengalami displasia setelah diberikan larutan asam asetat. Hal ini
kemudian dikembangkan oleh Navratil dan Burghardt di Austria.
Asam asetat sendiri merupakan suatu asam lemak jenuh dengan rumusan
kimia CH3COOH yang merupakan komponen yang khas dalam pembuatan
larutan cuka.
Asam asetat dapat diperoleh melalui fermentasi bakteri secara oksidatif dari etil
alkohol dan oksidasi dari asetilaldehide. Secara fisika zat ini berupa cairan jernih,
tidak berwarna, bau khas menusuk dengan rasa asam yang tajam. Sifat kimiawi dari
zat ini adalah dapat larut atau bercampur dengan air, etanol, dan gliserol. Sifat kimia
lainnya adalah zat ini dapat memperlemah ikatan kovalen dari struktur sekunder,
tersier, dan kuartener dari protein, sehingga semua struktur protein tersebut
berbentuk struktur primer, akibatnya akan terjadi koagulasi protein tersebut. Sifat
sifat diatas dipakai untuk mendiagnosis adanya lesi serviks terkait dengan displasia.
Salah satu bentuk larutan asam asetat adalah asam cuka glasial yang merupakan
cairan bening tidak berwarna dan mengandung asam asetat 5,7-6,3 gram per 100ml
air. Larutan ini akan menyebabkan perubahan warna sel menjadi putih atau abu-abu
putih bila sel mengalami proses metaplasia atipik , displasia ataupun neoplasia
(Suwiyoga, 2005).
Perubahan yang terjadi diatas dapat diterangkan sebagai berikut:
1.
Kepadatan inti pada sel atipik baik yang mengalami displasia maupun neoplasia
relatif meningkat sejalan dengan peningkatan rasio inti: sitoplasma.
2.
Asam asetat akan menimbulkan perubahan osmotik jaringan serviks dimana
cairan akan ditarik keluar sehinga ruang ekstraseluler menjadi hipertonik. Di
saat terjadi proses difusi osmotik, maka konsentrasi DNA inti akan
meningkat sehingga densitas intipun meningkat. Hal ini akan menyebabkan
hambatan transmisi cahaya sehingga permukaan epitel akan berwarna putih.
3.
Sel atipik , displastik dan neoplastik memiliki jumlah kromatin protein yang
relatif lebih banyak dibandingkan dengan sel epitel normal akibat adanya
proses hiperkromasia, asam asetat juga menyebabkan koagulasi kromatin
dan protein lainnya pada inti dan sitoplasma yang juga mengakibatkan sel
epitel tampak opaque dan putih.
Deteksi dini kanker serviks dapat dilakukan dengan program skrining melalui
metode yang lebih murah, mudah dan sederhana tetapi memiliki akurasi
diagnostik yang cukup tinggi antara lain dengan upaya down staging.
Downstaging kanker serviks adalah upaya mendapatkan lebih banyak temuan
kankerserviks stadium dini melalui inspeksi visual dengan melakukan aplikasi
asam asetat (IVA). Inspeksi visual dapat dilakukan dengan mata telanjang atau
pembesaran gineskopi. Penggunaan IVA sebagai metode skrining untuk kanker
serviks dengan pertimbangan bahwa tehnik ini mudah, praktis, dan mampu
dilaksanakan oleh bidan, dokter umum di setiap tempat pemeriksaan kesehatan
ibu, bukan dokter ginekologi. Alat-alat dan bahan yang dibutuhkan sederhana,
biaya yang diperlukan murah, interpretasi hasil cepat dan mudah dan tidak
traumatis.
Metode IVA menggunakan cairan asam asetat 3-5% yang di oleskan pada
serviks sebelum dilakukan pemeriksaan dalam. Pada lesi prakanker, 20 detik
setelah pulasan akan tampak bercak putih yang disebut aceto white epithelium
(WE) dimana WE disimpulkan bahwa tes IVA positip. Dasar molekulernya
adalah asam asetat menyebabkan dehidrasi dari sel-sel dan koagulasi permukaan
sel protein sehingga menyebabkan penurunan dari kebeningan epitelium serviks
dan perubahan ini akan lebih nampak pada epitelium abnormal oleh karena
densitas nuklear yang besar dan konsentrasi protein yang sangat tinggi. Dari
berbagai penelitian diperoleh sensitifitas IVA untuk mendeteksi lesi prakanker
berkisar antara 76,7%-79% dan spesifisitasnya berkisar antara 64%-87% dengan
nilai prediksi positip sebesar 97% dan nilai prediksi negatif sebesar 40%. Data
mengenai nilai positip palsu yang didapatkan dari penelitian adalah 24,5%. Hal
ini disebabkan karena reaksi aceto white bersifat non spesifik, 80% lesi ini tidak
berhubungan dengan neoplasia intraepithelial serviks maupun kanker serviks,
bisa merupakan reaksi fisiologis regeneratif atau peradangan termasuk infeksi
(Coppleson, 1992). Nilai negatif palsu IVA dari penelitian adalah sebesar 25,0%.
Negatip palsu ini dapat disebabkan faktor tajam penglihatan pemeriksa akibat
keterbatasan kemampuan mata telanjang menangkap lesi aceto white yang
minimal, lesi berada di daerah endo servik atau sumber cahaya yang kurang
terang. Selain itu faktor konsentrasi asam asetat yang menurun akibat
penyimpanan jangka lama (Suhartini, 2001; Yulpetropala, 2002).
Peralatan yang diperlukan pada pemeriksaan IVA:
1.
Meja periksa untuk memposisikan pasien dalam posisi litotomi
2.
Sumber cahaya yang bagus . lebih diutamakan lampu halogen yang dapat
diarahkan ke serviks dan sekitarnya
3.
Spekulum steril (Cusco, Grave atau Collin)
4.
Sepasang handschoen steril
5.
Swab katun
6.
Ring forceps
7.
Asam asetat 5% yang baru
8.
Wadah yang berisi 0.5% chlorine untuk sarung tangan bekas pakai
9.
Wadah yang berisi 0.5% chorine untuk tempat alat habis pakai
10. Tempat sampah
Cara membuat larutan asam asetat 5%:
Dibuat dengan cara menambahkan 5 ml asam asetat glasial kedalam 95 ml air.
Jika akan mempergunakan asam cuka yang dapat dibeli di pasaran, maka harus
dipastikan bahwa konsentrasi asam asetat adalah 5%.
Prosedur pemeriksaan :
Wanita yang akan diperiksa haruslah diberikan keterangan selengkap mungkin
dengan sebelumnya harus menandatangani informed consent mengenai tindakan .
Riwayat obstetrik dan ginekologi harus diambil secara lengkap dengan format
khusus dan selanjutnya wanita tersebut diberikan pengertian bahwa tindakan yang
akan dilakukan diusahakan tanpa adanya rasa sakit. Pasien dipersilakan berbaring
pada posisi litotomi dimana kaki ditaruh pada penyangga dan diamati apakah ada
sekresi cairan / fluor , papul, ulkus dan luka. Setelah itu dimasukan spekulum
dan dibuka secara lembut untuk mengidentifikasi serviks. Amati ukuran dan
bentuk dari serviks.
Identifikasi os eksterna, epitel kolumner yang berwarna merah, epitel skuamosa
yang berwarna pink dan skuamokolumner junction. Lalu amati zona transformasi
dengan batas atas yang dibentuk oleh hubungan skuamokolumner. Perhatikan
adanya ekteropion, kista naboti, ulkus, leukoplakia dan kondilomata. Tentukan dan
nilai jika ada sekresi / discharge dalam hal warna, jumlah dan odor. Jika saat
pemeriksaan ditemukan darah menstruasi maka pemeriksaan IVA dapat dikerjakan
setelah 5 – 15 hari. Pada ekteropion, terdapat area kemerahan disekitar os eksterna
dan skuamo kolumner junction berada jauh dari os. Kista nabothi akan tampak
sebagai nodul biru keputhian atau kuning keputihan yang berbatas tegas dan cabang
pembuluh darah yang jelas. Polip servikal akan tampak sebagai massa yang
menonjol dari kanalis servikalis keluar os. Leukoplak akan tampak dengan
permukaannya yang licin, berwarna putih dan tidak dapat dikerok. Kondilomata
servikal akan tampak sebagai area yang putih keabuan dan meninggi didalam
ataupun diluar area transformasi pada epitel skuamosa dan dapat disertai dengan lesi
yang sama pada vulva dan vagina. Perhatikan adanya ulkus pada serviks dan adanya
kumpulan vesikel. Erosi yang luas dapat terlihat pada serviks sebagai pertanda
adanya peradangan. Kanker invasif stadium dini dapat tampak sebagai area granuler
yang kemerahan, kasar dan dapat berdarah saat disentuh.
Kemudian aplikasikan secara lembut larutan asam asetat 5% dengan swab
katun, setelah menunggu sekitar 20 detik amati adanya perubahan warna putih
terutama pada zona transformasi dekat dengan squamocolumner junction atau
adanya warna putih pada epitel kolumner yang tidak dapat dihilangkan. Catat
waktu timbul reaksi warna putih dan saat hoilangnya warna tersebut. Jika hasil
meragukan maka prosedur dapat diulang dengan perhatian tidak menimbulkan
trauma pada serviks. Jika dicurigai adanya keganasan, maka pasien harus dirujuk
untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian setelah pemeriksaan maka alat-alat
direndam dalam larutan chlorine 0.5% selama 10 menit dan hasil pemeriksaan
diterangkan kepada pasien dengan saran jika hasil negatif maka disarankan
untuk periksa ulang 5 tahun lagi dan jika hasil positif dapat diteruskan dengan
krioterapi dan apabila mencurigakan ganas maka dapat dirujuk untuk
mendapatkan perawatan lebih lanjut (WHO Manual, 2003).
Beberapa pertimbangan penggunaan IVA sebagai metode skrining :
1.
Alat dan bahan yang dibutuhkan sederhana
2.
Dapat dilakukan oleh tenaga bidan atau perawat maupun dokter umum
terlatih
3.
Biaya murah
4.
Tidak traumatis
5.
Interpretasi hasil yang cepat dan mudah.
Disamping kelebihan tes IVA ada beberapa kelemahan yang patut
diperhatikan :
1.
Masih diperlukannya pembentukan standar untuk menjamin kualitas
2.
Menjadi kurang akurat untuk pemeriksaan wanita pos menopause
3.
Sangat bergantung pada keahlian pemeriksa.
4.
Tidak ada bukti kuat akan dampak dan biaya jika terjadi pengobatan yang
berlebih / overtreatment
Beberapa hal yang masih harus diteliti pada IVA :
1.
Faktor-faktor yang dapat memaksimalkan hasil IVA
2.
Bagaimana penanganan dan kontrol kualitas pada saat pemeriksaan diluar
setting penelitian
3.
Bagaimana cara terbaik untuk memasukan IVA pada program pencegahan
penyakit
4.
Dampak jangka panjang mortalitas kanker serviks yang telah menggunakan
IVA didalam penanganannya.
Tabel 2.6 Tingkat sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan IVA (Gaffikin 2003)
Sensitifitas (%)
Spesifisitas (%)
Minimum
65
64
Maksimum
96
98
Median
84
82
Mean
81
83
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa dari berbagai hasil penelitian IVA
maka range untuk sensitifitas dan spesifisitas adalah 65-96 % dan 64-98% yang
nilainya menyerupai bahkan melebihi Tes Pap dengan sensitifitas 83% dan
spesifisitas 50,8% (Alliance for Cervical Cancer Prevention)
Tabel 2.7 Hasil penelitian sensitifitas dan spesifisitas IVA (ACCP)
Walaupun telah dilakukan penelitian terhadap sensitifitas dan spesifisitas di
berbagai belahan dunia masih banyak terdapat variasi hasil. Dari tabel diatas
dapat dilihat bahwa hasil sensitifitas terendah justru terdapat pada penelitian di
Amerika serikat ( 29%) oleh Slawson, et al (1992). Nilai yang paling tinggi dari
kedua variabel ukur diperoleh pada penelitian oleh Sankaranarayanan, et al
(1998), ada 3000 sampel penelitian di India. Dapat disimpulkan bahwa masih
terdapat variasi hasil yang besar pada berbagai penelitian untuk menguji
sensitifitas dan spesifisitas tes IVA.
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPO PENELITIAN
III.1. Kerangka Konsep Penelitian
Pada infeksi Human Papiloma Virus (HPV) kejadian lesi serviks lebih banyak
menyebabkan test inspeksi visual asam asetat positip dibandingkan dengan non
infeksi Human Papiloma Virus. Premis dari penelitian ini dapat dibuat sebagai
berikut:
1.
Lesi serviks jika di oleskan dengan asam asetat akan menimbulkan suatu
bercak putih yang disebut aceto white epithelium (WE).
2.
Pada infeksi Human Papiloma Virus lebih banyak menyebabkan timbulnya
lesi servik sedangkan non infeksi Human Papiloma Virus kejadian lesi lebih
kecil.
Infeksi HPV
Lesi servik
Non infeksi
HPV
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Hasil IVA
III.2. Hipo Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep tersebut diatas dapat dibuat hipo penelitian
yaitu:
Kejadian tes IVA positif lebih tinggi pada infeksi Human Papiloma Virus positif
dibandingkan dengan non infeksi Human Papiloma Virus.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional.
4.2. Populasi, sampel dan besar sampel penelitian
4.2.1. Populasi Target
Populasi target dalam penelitian ini adalah wanita usia subur yang sudah
menikah atau sudah pernah melakukan hubungan seksual yang melakukan
pemeriksaan dini kanker leher rahim di tempat pemeriksaan kesehatan yang
sudah ditentukan di Desa Nyambu Kediri Tabanan.
4.2.2. Sampel
Sampel diambil dari populasi terjangkau yang bersedia ikut serta dalam
penelitian ini. Kriteria inklusi adalah sudah menikah atau sudah pernah
melakukan hubungan seksual, umur kurang dari atau sama dengan 60 tahun,
bersedia ikut dalam penelitian dan dilakukan pemeriksaan. Kriteria eksklusi
adalah sedang haid atau menderita perdarahan abnormal, memakai obat/bahan
antiseptik < 1 minggu sebelum pemeriksaan, melakukan hubungan seksual
dalam 3 hari sebelum pemeriksaan.
4.2.3. Besar sampel
Dengan memakai rumus:
2
n = Zα PQ
2
d
α= 5 %
P = 50 %
Q = 1 – P = 50 %
d=8%
Maka besar sampel adalah :
2
n = 1,96 x 0,50 x 0,50
2
0,08
= 150
4.2.4. Cara Pemilihan sampel
Sampel dipilih secara random, diambil sebanyak 10% dari jumlah yang di
periksa sampai jumlah sampel yang di tetapkan terpenuhi.
4.3. Variabel dan Definisi Operasional Variabel
4.3.1. Variabel
Variabel bebas
: Infeksi HPV
Variabel tergantung : Hasil IVA
Variabel antara
: Lesi serviks
4.3.2. Definisi Operasional Variabel
1.
Infeksi HPV: Infeksi yang ditegakkan dengan metoda Polymerase
ChainReaction (PCR).
2.
Hasil IVA : IVA (+) adalah lesi yang tampak pada displasia servik dimana
20 detik setelah pulasan akan tampak bercak putih yang disebut Aceto
WhiteEpithelium (WE).
3.
IVA (-) adalah lesi yang tidak tampak pada servik 20 detik setelah pulasan
berupa bercak putih.
4.
Lesi servik: Kelainan pada servik yang di temukan pada pemeriksaan
inspekulo.
5.
Sensitifitas adalah proporsi subjek dengan uji diagnostik + , dibandingkan
seluruh subjek yang sakit
6.
Spesifisitas
adalah
proporsi
subjek
sehat
dengan
uji
diagnostik
dibandingkan seluruh subjek yang tidak sakit.
4.4. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di tempat pemeriksaan kesehatan yang sudah ditentukan
dalam periode waktu Agustus – September 2007 di Desa Nyambu Kediri
Tabanan.
4.5. Prosedur dan Alur penelitian
4.5.1. Persiapan
-Pendekatan
Melalui Yayasan Kanker Indonesia (YKI) dilakukan pendekatan ke
pemerintah di tingkat Propinsi bahwa akan dilakukan kegiatan “See
andTreat” untuk mendeteksi adanya kanker serviks secara dini dan
mencariapakah ada hubungan antara infeksi Human Papiloma Virus
dan test inspeksi visual asam asetat. Kemudian barulah dilakukan
pembicaraan ke tingkat pemerintah daerah kabupaten.
-Persiapan lapangan
Kabupaten yang terpilih adalah Desa Nyambu, Kediri, Tabanan dengan
asumsi bahwa:
-Masih banyak daerah pedesaannya Pemerintah daerah sangat kooperatif
Dipilih ibu-ibu yang sudah menikah atau wanita yang sudah pernah
melakukan hubungan seksual dan umur masih atau sama dengan 60
tahun.
4.5.2. Pelaksanaan survei
4.5.2.1. Pemberian informed consent
Pasien yang memenuhi kriteria sampel di beri penjelasan tentang dasar, tujuan,
manfaat, dan efek samping penelitian. Apabila setuju dan bersedia ikut
penelitian maka di minta menanda tangani lembar informed consent.
4.5.2.2.Prosedur pemeriksaan Pap smear dan IVA
Pasien dalam posisi litotomi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan Pap smear
kemudian dilakukan pemeriksaan IVA dengan mengoleskan asam asetat 5% pada
porsio. Setelah 20 detik dilakukan pengamatan pada porsio dengan mata
telanjang, apakah terdapat perubahan warna aceto white.
4.5.2.3.Prosedur pengambilan bahan
Pengambilan Pap smear dilakukan dengan memakai spatula dan cito brush,
setelah pengambilan pada porsio dilakukan pulasan pada deck glass dengan
memakai spatula dan cito brush. Spatula dan cito brush kemudian dimasukkan
pada tabung sentrifuge 100 cc yang telah berisi larutan buffer saline fosfat
sebanyak 20 cc, dengan memakai spatula dan cito brush di lakukan pengocokan
pada tabung sentrifuge 100 cc selama kurang lebih 2 menit dengan tangan,
selanjutnya cairan yang ada dibuang sehingga yang tersisa hanya supernatan
(endapan cairan), di tambah larutan buffer 1 cc, ganti tabung yang lebih kecil
yang disebut tabung avendoff, di masukkan mesin sentrifuge untuk selanjutnya
diputar dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, larutan ini kemudian di
periksa secara biologi molekuler (PCR) untuk mengetahui apakah terdapat
infeksi HPV. Setelah itu barulah kemudian dilakukan test IVA.
IV.5.2.4. Alur penelitian
Populasi
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Informed Consent
Tidak setuju
Eksklusi
Setuju
Eksklusi
Sampel penelitian
Pap smear
IVA
(+)
(-)
PCR (+) PCR (-)
PCR (+) PCR (-)
Analisis
4.6. Rencana Analisis
Untuk menganalisis hubungan antara hasil pemeriksaan serologis dan test IVA
akan dilakukan dengan membandingkan kejadian relatif antara HPV (+) pada
IVA (+) dengan kejadian HPV (+) pada IVA (– ) dengan rumus sebagai berikut:
RP = P1 = HPV (+) pada IVA (+)
P2 HPV (+) pada IVA (-)
Untuk menguji tingkat kemaknaan hasil test IVA dengan serologis akan di uji
2
dengan X pada α = 0,05 dengan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1. Hubungan Antara HPV dan IVA
IVA (+)
IVA (-)
HPV (+)
A
b
a+b
HPV (-)
C
d
c+d
a+c
b+d
n
Sensitifitas
: a/a+c
Spesifisitas
: d/b+d
Rumus yang digunakan adalah:
2
2
X = ______(ad-bc) _________
Total
(a+c)(b+d)(a+b)(c+d)
Tetapi apabila terdapat nilai expected dalam salah satu sel ada yang kurang dari 5
maka akan dianalisis menggunakan chi square dengan koreksi Yates dengan
rumus sebagai berikut:
2
X =
n x ( ad – bc - n/2)
2
(a+b)(c+d)(a+c)(b+d)
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Uji diagnostik pada 150 orang wanita usia subur yang sudah menikah atau sudah
pernah melakukan hubungan seksual yang melakukan pemeriksaan dini kanker
leher rahim di Desa Nyambu Kediri Tabanan yang dilaksanakan pada tanggal 28
Agustus – 4 September 2007.
5.1 Karakteristik Subjek
Tabel 5.1 Karakteristik Berdasarkan Histopatologi
IVA
Karakteristik
Umur ibu (tahun)
Positif
Negatif
(n = 12)
(n = 138)
37,67±5,66
34,96±8,19
P
0,246
Pada Tabel 5.1 ditunjukkan bahwa rerata umur kelompok IVA positif adalah
37,67±5,66, sedangkan kelompok negatif adalah 34,96±8,19. Berdasarkan hasil
analisis dengan uji t-independent didapatkan bahwa rerata umur kedua kelompok
tidak berbeda secara statistik (p>0,05).
5.2 Uji Diagnostik antara Tes IVA dan Tes HPV DNA/Polymerase Chain
Reaction (PCR)
Untuk mengetahui hubungan tes IVA dengan hasil tes HPV DNA/PCR dipakai
uji Chi-Square, yang dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Uji Diagnostik antara Tes IVA dan HPV DNA/PCR
HPV DNA/PCR
Kelompok
P
Positif
Positif
8
Negatif
4
IVA
1,000
Negatif
3
135
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunkan tabel silang 2 x 2
didapatkan bahwa Sensitivitas = 72,73%; Spesifisitas = 97,12%; Nilai duga
positif = 66,67%); Nilai duga negatif = 97,83%; Rasio Kemungkinan positif =
25,27; Rasio Kemungkinan negatif = 0,28; dan akurasi = 95,33%.
BAB 6
PEMBAHASAN
Kanker serviks merupakan kanker kedua tersering yang diderita oleh wanita di
seluruh dunia. Pada tahun 2000 terdapat kurang lebih 468.000 kasus baru dimana
80% dari kasus tersebut terdapat di Negara berkembang. Rerata kejadian kanker
serviks bervariasi dan bergantung pada lokasi geografis tertentu, sepert insiden
tertinggi terdapat di Amerika latin, Sub Sahara Afrika dan Asia Selatan, dan Asia
Tenggara (Gaffikin,L, 2003). Menurut data dari World Health Organization
(WHO) diperkirakan pada tahun 2000, di seluruh dunia terdapat 6,25 juta kanker
baru pertahun dan dalam 10 tahun mendatang diperkirakan terjadi 9 juta kematian
akibat kanker, dimana sebagian besar terjadi di negara berkembang. Menurut data
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 1989, insiden kanker serviks di
Indonesia adalah sebesar 90-100 per 100.000 penduduk dan kanker serviks
dikatakan sebagai kanker yang paling sering terjadi pada wanita. Mortalitas kanker
seviks di Indonesia masih tinggi. Ditemukannya HPV dianggap sebagai promotor
dan mungkin inisiator, sedangkan faktor risiko lainnya sebagai inisiator. Manifestasi
klinik dari proses molekuler dan seluler adalah metaplasia dan displasia dimana hal
ini dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologis dari bahan Pap smear maupun
dengan pemeriksaan histopatologis dari bahan biopsi serviks. Telah diketahui bahwa
infeksi HPV mengakibatkan displasia serviks yang kemudian berkembang menjadi
kanker serviks.
6.1 Karakteristik Subjek
6.1.1 Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata umur kelompok IVA
positif adalah 37,67±5,66, sedangkan kelompok negatif adalah 34,96±8,19.
Dengan uji t-independent didapatkan bahwa rerata umur kedua kelompok tidak
berbeda secara statistik (p>0,05).
6.1.2 Umur rata- rata menikah pada penelitian ini didapatkan bahwa 60% wanita
menikah pada umur kurang dari 20 tahun dan dan 40% menikah pada umur
diatas 20 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
pernikahan di usia muda (<20 tahun) akan meningkatkan risiko terjadinya
kanker serviks.
6.1.3 Sebanyak 95 % responden melakukan pernikahan sebanyak satu kali dan
hanya 5% yang melakukan pernikahan lebih dari satu kali.
6.1.4 Sepuluh persen dari sampel adalah primi para dan 90% sampel penelitian
adalah multipara.
6.1.5 Tiga puluh persen dari sampel tidak menggunakan alat kontrasepsi dan 70
% merupakan akseptor KB dengan rincian KB suntik sebanyak 15%, IUD
20%, kondom 5%, suntik depoprovera 40%, susuk 15% dan MOW 5%.
6.1.6 Keluhan yang dialami oleh sampel adalah keputihan 75%, perdarahan
pervaginam 20% dan perdarahan kontak 5%.
6.1.7 Tujuh puluh lima persen sampel adalah dengan parias kurang atau sama
dengan tiga dan 25% adalah dengan paritas lebih dari tiga.
6.2 Uji Diagnostik antara Tes IVA dan Tes HPV DNA/Polymerase Chain
Reaction (PCR)
Untuk mengetahui hubungan tes IVA dengan hasil tes HPV DNA/PCR dipakai
uji Chi-Square. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunkan tabel silang 2 x 2
didapatkan bahwa Sensitivitas = 72,73%; Spesifisitas = 97,12%; Nilai duga
positif = 66,67%); Nilai duga negatif = 97,83%; Rasio Kemungkinan positif =
2
25,27; Rasio Kemungkinan negatif = 0,28; dan akurasi = 95,33% (χ = 67,57; p =
1,00). Berdasarkan table silang 2 x 2 didapatkan bahwa sensivitas dan spesifisitas tes
IVA dibandingkan dengan tes HPV DNA/PCR di atas 70%. Demikian juga nilai
akurasi tes IVA dibandingkan tes PCR juga di atas 90%. Di samping itu berdasarkan
nilai Chi-Square didapatkan hasil uji yang tidak berbeda (p > 0,05).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nampaknya skrining dengan visualisasi
langsung atau dengan menggunakan mata telanjang yang lebih dikenal dengan
Inspeksi Visual dengan Asam Asetat ( IVA), yang tentunya telah memenuhi syaratsyarat skrining yang sesuai dengan keadaan Indonesia yang bersifat sederhana,
mudah, hasil segera dapat diketahui, tidak perlu tenaga khusus, murah dan dapat
dipadukan dengan upaya pengobatan langsung saat kunjungan pertama apabila
ditemukan lesi serviks sudah memberikan hasil sesuai dengan uji baku emasnya (See
and Treat, 2007). Pemeriksaan skrining yang pada saat ini lazim digunakan untuk
lesi prakanker serviks adalah tes pap. Sebagai suatu pemeriksaan skrining alternatif,
pemeriksaan IVA mempunyai beberapa manfaat jika dibandingkan dengan uji yang
sudah ada, yaitu efektif (tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar), lebih
mudah dan murah, peralatan yang dibutuhkan lebih
sederhana, hasilnya segera diperoleh sehingga tidak memerlukan kunjungan ulang,
cakupannya lebih luas, dan pada tahap penapisan tidak dibutuhkan tenaga skriner
untuk memeriksa sediaan sitologi. Informasi hasil dapat diberikan segera. Keadaan
ini lebih memungkinkan dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia, karena
hingga kini tenaga skriner sitologi masih sangat terbatas. Data pada tahun 2003
tenaga skriner belum mencapai 100 orang. Demikian pula halnya dengan spesialis
patologi anatomi juga masih terbatas. Dengan IVA, peran spesialis patologi anatomi
dalam upaya penapisan kanker serviks dapat didelegasikan sebagian kepada tenaga
kesehatan lain, misalnya bidan. Hasil penelitian ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hal ini sesuai
dengan hasil dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan yang memeperoleh
bahwa sensitifitas IVA untuk mendeteksi lesi prakanker berkisar antara 76,7%-79%
dan spesifisitasnya berkisar antara 64%-87% dengan nilai prediksi positip sebesar
97% dan nilai prediksi negatif sebesar 40%. Data mengenai nilai positip palsu yang
didapatkan dari penelitian adalah 24,5%. Hal ini disebabkan karena reaksi aceto
white bersifat non spesifik, 80% lesi ini tidak berhubungan dengan neoplasia
intraepithelial serviks maupun kanker serviks, bisa merupakan reaksi fisiologis
regeneratif atau peradangan termasuk infeksi (Coppleson, 1992). Nilai negatif palsu
IVA dari penelitian adalah sebesar 25,0%. Negatip palsu ini dapat disebabkan faktor
tajam penglihatan pemeriksa akibat keterbatasan kemampuan mata telanjang
menangkap lesi aceto white yang minimal, lesi berada di daerah endo servik atau
sumber
cahaya yang kurang terang. Selain itu faktor konsentrasi asam asetat yang
menurun akibat penyimpanan jangka lama (Suhartini, 2001; Yulpetropala,
2002). 6.3 Kelemahan Penelitian
Berbagai penelitian mengenai Tes Inspeksi Visual dengan Asam Asetat ( IVA)
diseluruh dunia mempergunakan jumlah sampel dalam hitungan ribuan. Hal ini
akan mempengaruhi sensitifitas dan sensitifitas dari penelitian yang dilakukan.
Penelitian ini hanya mempergunakan 150 sampel pada satu lokasi tempat
pemeriksaan pelayanan kesehatan di Desa Nyambu , Kediri Tabanan dimana
tidak semua pasien yang datang dapat diikutsertakan pada penelitian sehingga
harus dieksklusi seperti pada kondisi subjek yang mengalami menstruasi saat itu,
telah melakukan hubungan seksual (coitus) dalam tiga hari sebelum
pemeriksaan, umur diatas enam puluh tahun dan atau bagi subjek yang sudah
jelas terdiagnosis dengan kanker serviks sebelumnya. Demikian juga dengan
kualitas bahan yang dipergunakan sudah diupayakan seoptimal mungkin
mempergunakan asam cuka yang baru dan tidak mengalami proses pembuatan
larutan sebelumnya. Faktor pencahayaan merupakan hal yang sangat penting
yang dapat mempengaruhi penilaian terhadap bercak acetowhite yang timbul
saat pengolesan larutan cuka. Terakhir adalah faktor penilai sendiri, yang dapat
memberikan penilaian yang subjektif. Permasalahan ini telah diupayakan melalui
pelatihan kepada tenaga medis sebelum dilakukan penelitian ini.
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
sensitifitas dan spesifitas Tes inspeksi Visual Dengan Asam Asetat ( IVA) jika
dibandingakna dengan pemeriksaan Gold Standard Polymerase Chain Reaction
(PCR) adalah 72,73 % dan 97,12%.
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diberikan saran sebagai berikut:
Skrining dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dapat diterapkan
sebagai pemeriksaan alternatif untuk deteksi lesi serviks karena bersifat sederhana,
mudah, hasil segera dapat diketahui, tidak perlu tenaga khusus, murah dan dapat
dipadukan dengan upaya pengobatan langsung saat kunjungan pertama.
DAFTAR PUSTAKA
Akinola, O.I, et al. 2007. Efficacy of visual inspection of the cervix using acetic
acid in cervical cancer screening: A comparison with cervical cytology, in
Journal of Obstetrics and Gynaecology, October 2007; 27 (7): 703-705.
Available: http://www.informaworld.com
Anderson, S.M. 2002. Human Papilomavirus and Cervical Cancer, in Clinical
Microbiology Newsletter, Vol. 24, No. 15: 113-118.
De Boer, M.A, et al. 2006. Human Papilomavirus type 18 and other risk factors
for cervical cancer in Jakarta, Indonesia, in Int J Gynecol Cancer 2006, 16,
1809-1814.
DiMaio, D. and Liao, J.B. 2006. Human Papilomaviruses and Cervical Cancer,
in Advances in Virus Research, Vol. 66: 125-159.
Domingo, E.J, et al. 2008, Epidemiology and Prevention of Cervical Cancer in
Indonesia, Malaysia, the Philippines, Thailand and Vietnam, in Vaccine 26S
(2008) M71-M79. Available: http://www.elsevier.com/locate/vaccine
Gaffikin, L., Lauterbach, M., and Blumenthal P.D. 2003. Performance of Visual
Inspection with Acetic Acid for Cervical Cancer Screening: A Qualitative
Summary of Evidence to Date, in CME Review Article, Vol. 58, No. 8:
543-550.
Sankaranarayanan, R, et al. 2005. A critical assessment of screening methods for
cervical neoplasia, in International Journal of Gynecology and Obstetrics
(2005) 89: S4-S12. Available: http://www.elsevier.com/locate/ijgo
Sankaranarayanan, R. 2006. Overview of The Cervical Cancer in The
Developing World.
Schellekens, M.C, et al. 2004. Prevalence of single and multiple HPV types in
cervical carcinomas in Jakarta, Indonesia, in Gynecologic Oncology 93
(2004): 49-53. Available: http://www.elsevier.com/locate/ygyno
Suwiyoga IK, Kanker Serviks : Penyakit yang dapat dicegah, Maj Obstet
Ginekol Indones 2007 ;31 :3-25
Suwiyoga IK. Perbandingan Akurasi Diagnostik Lesi Pre Kanker Serviks Antara
Pap Smear dengan inspeksi visual asam asetat pada Lesi Serviks. Cermin
Dunia Kedokteran,2004 ;145(1) : 5-8
Weinstein, L.C, et al. 2009. Screening and Prevention: Cervical Cancer.
Available: http://www.primarycare.theclinics.com
Weisberg, S.S. 2007. The Human Papilomaviruses and HPV Infections, in Dis
Mon 2007; 53: 463-466.
Wheeler, C.M. 2008. Natural History of Human Papilomavirus Infections,
Cytologic and Histologic Abnormalities, and Cancer, in Obstet Gynecol
Clin N Am 35 (2008) 519-536, Available: http://www.obgyn.theclinics.com
Wiyono et al. 2008. Inspeksi Visual Asam Aseta (IVA) untuk Deteksi Dini Lesi
Prakanker Serviks, dalam Media Medika Indonesia 43 2008) 116-120
Wu, T-C. 1994. Immunology of the human papilloma virus in relation to cancer,
in Current Opinion in Immunology 1994, 6: 746-754.
Download