SENSITIFITAS DAN SPESIFISITAS INSPEKSI VISUAL ASAM ASETAT PADA LESI SERVIKS DI DESA NYAMBU KEDIRI TABANAN dr. I G P Mayun Mayura, Sp.OG BAG/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH DENPASAR 2012 RINGKASAN Kanker serviks merupakan kanker kedua tersering yang diderita oleh wanita di seluruh dunia. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 1989, insiden kanker serviks di Indonesia adalah sebesar 100-90 per 100.000 penduduk dan kanker serviks dikatakan sebagai kanker yang paling sering terjadi pada wanita (Gaffikin, 2003). Manifestasi klinik dari proses molekuler dan seluler adalah metaplasia dan displasia. Inspeksi Visual Asam asetat (IVA) adalah salah satu cara untuk mendiagnosis displasia dimana salah satu penyebab displasia adalah infeksi HPV. Penelitian ini merupakan desain cross sectional. Jumlah sampel adalah sebesar 150 sampel, di mana sampel dipilih secara random, yang sebelumnya telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan Pap smear kemudian dilakukan pemeriksaan IVA dengan mengoleskan asam asetat 5 % pada porsio. Setelah 20 detik dilakukan pengamatan pada porsio dengan mata telanjang, apakah terdapat perubahan warna acethowhite. Dari data yang terkumpul, dilakukan pengujian tingkat kemaknaan denganrumus, setelah itu dilakukan analisis data dengan uji chi square dengan koreksi Yates bila dalam satu sel ada nilai yang kurang dari 5. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata umur kelompok IVA positif adalah 37,67±5,66, sedangkan kelompok negatif adalah 34,96±8,19. Berdasarkan hasil analisis dengan uji t-independent didapatkan bahwa rerata umur kedua kelompok tidak berbeda secara statistik (p>0,05). Berdasarkan hasil analisis dengan menggunkan tabel silang 2 x 2 didapatkan bahwa Sensitivitas = 72,73%; Spesifisitas = 97,12%; Nilai duga positif = 66,67%); Nilai duga negatif = 97,83%; Rasio Kemungkinan positif = 25,27; Rasio Kemungkinan negatif = 0,28; dan akurasi = 95,33%. Sehingga disarankan skrining dengan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dapat diterapkan sebagai pemeriksaan alternatif untuk deteksi lesi serviks karena bersifat sederhana, mudah, hasil segera dapat diketahui, tidak perlu tenaga khusus, murah, dan dapat dipadukan dengan upaya pengobatan langsung saat kunjungan pertama . ABSTRAK Pendahuluan : Kanker serviks merupakan kanker kedua tersering yang dideritaoleh wanita di seluruh dunia. Manifestasi klinis kanker ini terjadi melalui perubahan molekuler dan seluler berupa metaplasia dan displasia. Inspeksi visual dengan asam asetat adalah salah satu alat skrining yang dapat mendeteksi displasia yang disebabkan oleh virus HPV. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui kejadian tes inspeksi visual dengan asamasetat positif dengan test human papiloma virus positif dan tes inspeksi visual asam asetat negatif dengan tes human papilloma virus positif. Metode penelitian : Studi ini adalah studicross sectionalyang melibatkan 150sampel yang diambil di pusat layanan kesehatan yang berpartisipasi dan memenuhi syarat untuk diikutsertakan. Semua pasien diperiksa dengan PAP smear dan selanjutnya diperiksa dengan teknik IVA oleh tenaga kesehatan terlatih dan hasil PAP smear dikirim untuk pemeriksaan polymerase chain reaction dan selanjutnya dihitung dengan tabel 2x2 dan dianalisa dengan studi t-test. Hasil : Rerata umur pasien dengan IVA positif adalah 37,67±5,66 dan IVAnegatif adalah 34,96±8,19. Hasil tersebut menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaaan yang bermakna. ( p>0,05). Analisis data diatas menunjukan spesifisitas 97,12%; sensitifitas 72,73%;nilai prediksi negatif 97,83% ; nilai prediksi positif 66,67%; rasio probabilitas postif 25,27 rasio probabilitas negatif 0,28% dan akurasi sebesar 95,33%. Simpulan : Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa tes inspeksidengan asam asetat (IVA) memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk mendiagnosa dysplasia serviks sehingga dapat diandalkan sebagai alat skrining untuk kanker serviks. Kata kunci : kanker serviks, tes inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) ABSTRACT Introduction : Cervical cancer is the second commonest cancer that affectswomen through out the world.. Its clinical manifestation through molecular and cellular changes are metaplasia and dysplasia. Visual inspection of the cervix by acetic acid ( VIA ) is one of the many screening tools to aid the diagnosis of dysplasia which are caused by HPV infection. Objective : To identify a positive visual inspection by acetic acid test withpositive human papilloma virus test in cervical lession and a positive visual inspection test with negative human papilloma virus test in cervical lession. Subject and method : This research is across sectional study .One hundred andfifty samples were included in this study which were identified at the participating local community health center who agreed and are qualified. All samples were inspected and had the PAP Smear test thus the patient was examined by a qualified and trained personel to visual inspection by acetic acid. The result of the VIA test were then compared to the result of the PCR test which were then calculated with chi square and analysed by the t- independent test. Result : The average age of the sample who are VIA positive is 37,67±5,66 andwith negative result is 34,96±8,19. Results from the t-independent test shows there is no statistical differences in the average age of the subjects (p>0,05). Analysis with the 2x2 table identified sensitivity of 72,73%; specificity 97,12%; negative prediction 97,83% positive prediction 66,67%; ratio of positive probability 25,27; ratio of negative probability 0,28% and an accuracy of 95,33%. Conclusion: Based on the research result above we may conclude that this simpletest is spesific and sensitive in diagnosing dysplasia thus quiet reliable as a screening tool to detect cervical carcinoma in its early stages. Key word : Cervical cancer, Visual inspection by acetic acid (VIA) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kanker serviks merupakan kanker kedua tersering yang diderita oleh wanita di seluruh dunia. Di Amerika serikat terdapat kurang lebih 14.000 kasus baru dan terdapat 5000 kematian setiap tahun akibat kanker serviks (Schellekens, et al., 2004). Pada tahun 2000 terdapat kurang lebih 468.000 kasus baru dimana 80% dari kasus tersebut terdapat di Negara berkembang. Rerata kejadian kanker serviks bervariasi dan bergantung pada lokasi geografis tertentu, sepert insiden tertinggi terdapat di Amerika latin, Sub Sahara Afrika dan Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Gaffikin, 2003). Menurut data dari World Health Organization (WHO) diperkirakan pada tahun 2000, di seluruh dunia terdapat 6,25 juta kanker baru pertahun dan dalam 10 tahun mendatang diperkirakan terjadi 9 juta kematian akibat kanker, dimana sebagian besar terjadi di negara berkembang. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 1989, insiden kanker serviks di Indonesia adalah sebesar 90-100 per 100.000 penduduk dan kanker serviks dikatakan sebagai kanker yang paling sering terjadi pada wanita (Gaffikin, 2003). Mortalitas kanker seviks di Indonesia masih tinggi. Laporan dari beberapa rumah sakit di Indonesia didapatkan angka harapan hidup tiga tahun hanya 23,5%. Hal ini di karenakan 80-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium lanjut, bahkan pada stadium terminal. Terdapat variasi mengenai angka harapan hidup diantara negara berkembang yang pada umumnya diakibatkan oleh variasi stadium klinis saat ditemukan, adanya aksesibililitas terhadap pusat pelayanan dan pengobatan. Di Negara Uganda, Zimbabwe, dan Gambia angka harapan hidup 5 tahun dikatakan dibawah 25% dan di Negara Kuba,India dan Filipina diperkirakan berada pada kisaran 30-50% dan lebih tinggi lagi di Negara Singapura, Korea, USA, dan Eropa yang diperkirakan lebih besar dari 65% (Domingo, E.J, et al. (2008). Salah satu cara yang dikatakan paling efektif dalam mengatasi permasalahan ini adalah melalui upaya implementasi program skrining. Salah satunya adalah skrining dengan metode sitologi yang lebih dikenal dengan Pap smear telah berhasil menurunkan angka kejadian kanker serviks di Negara maju sampai 80% dalam 5 dekade terakhir (Domingo, et al., 2008). Sistem ini belum dapat diterapkan secara sempurna di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia karena pemeriksaan sitologi yang sub optimal, kurangnya tenaga ahli, kurangnya cakupan sasaran wanita yang berisiko, dan lemahnya sistem follow-up. Dewasa ini telah diakui bahwa faktor risiko utama kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV) tipe onkogenik yang persisten yaitu ± 72,3 %dapat diisolasi HPV tipe 16 dan 18 (Schellekens, et al., 2004). Ditemukannya HPV dianggap sebagai promotor dan mungkin inisiator, sedangkan faktor risiko lainnya sebagai inisiator. Manifestasi klinik dari proses molekuler dan seluler adalah metaplasia dan displasia dimana hal ini dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologis dari bahan Pap smear maupun dengan pemeriksaan histopatologis dari bahan biopsi serviks. Telah diketahui bahwa infeksi HPV mengakibatkan displasia serviks yang kemudian berkembang menjadi kanker serviks. Perlunya Skrining Kanker Serviks dengan IVA di Indonesia Kanker serviks di Indonesia Dari data Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dikatakan bahwa kanker serviks merupakan kanker tersering di Indonesia dengan keadaan yang cenderung meningkat. Dari 230 milyar penduduk Indonesia pada tahun 2003, maka terdapat 58 juta wanita usia 16- 64 tahun yang berisiko untuk mengidap kanker serviks. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa hampir 75% ditemukan pada stadium invasif (> stage IIB). Upaya pemerintah untuk melakukan program skrining melalui test Pap Smear yang telah dipakai acuan oleh beberapa negara maju dalam rangka menurunkan angka kejadian kanker serviks tidak dapat di aplikasikan di Indonesia karena berbagai kendala, sehingga cakupan skrining di Indonesia sampai saat ini hanyalah sebesar kurang dari 5% dari target ideal yang seharusnya mencapai 80%. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan jumlah penduduk kurang lebih 230 milyar pada tahun 2003 dengan kondisi sosial ekonomi yang masih rendah dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah ( 17,3%) tentunya akan mempersulit upaya implementasi program skrining kanker serviks dengan Pap Smear. Sebagai gambaran bahwa perbandingan tenaga spesialis kandungan di Indonesia adalah 1:40.000 diperparah dengan jumlah tenaga ahli Patologi Anatomi sebesar 277 pada tahun 2000, tenaga skriner 65 orang, bidan 84.789 dan 90.000 tenaga dokter umum tentunya akan mempersulit usaha skrining dan upaya follow up terhadap kasus-kasus kanker serviks. Dengan keadaan Indonesia seperti diatas, maka diperlukan upaya-upaya didalam mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam implementasi program skrining yang tentunya dapat diaplikasikan di negara berkembang pada umumnya dan Indonesia khususnya. Tentunya kesulitan diatas dialami oleh berbagai negara yang kondisinya hampir sama dengan Indonesia seperti Afrika, Amerika Latin , India dan negara Asia lainnya. Upaya diatas telah dimulai dengan berbagai penelitian yang berusaha mencari upaya alternatif untuk skrining kanker serviks. Salah satu cara yang kini sedang diteliti diberbagai belahan dunia adalah upaya skrining dengan visualisasi langsung atau dengan menggunakan mata telanjang yang lebih dikenal dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat ( IVA), yang tentunya telah memenuhi syarat-syarat skrining yang sesuai dengan keadaan Indonesia yang bersifat sederhana, mudah ,hasil segera dapat diketahui,tidak perlu tenaga khusus, murah dan dapat dipadukan dengan upaya pengobatan langsung saat kunjungan pertama apabila ditemukan lesi serviks ( See and Treat ). Pemeriksaan skrining yang pada saat ini lazim digunakan untuk lesi prakanker serviks adalah tes pap. Sebagai suatu pemeriksaan skrining alternatif, pemeriksaan IVA mempunyai beberapa manfaat jika dibandingkan dengan uji yang sudah ada, yaitu efektif (tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar), lebih mudah dan murah, peralatan yang dibutuhkan lebih sederhana, hasilnya segera diperoleh sehingga tidak memerlukan kunjungan ulang, cakupannya lebih luas, dan pada tahap penapisan tidak dibutuhkan tenaga skriner untuk memeriksa sediaan sitologi. Informasi hasil dapat diberikan segera. Keadaan ini lebih memungkinkan dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia, karena hingga kini tenaga skriner sitologi masih sangat terbatas. Data pada tahun 2003 tenaga skriner belum mencapai 100 orang. Demikian pula halnya dengan spesialis patologi anatomi juga masih terbatas. Dengan IVA, peran spesialis patologi anatomi dalam upaya penapisan kanker serviks dapat didelegasikan sebagian kepada tenaga kesehatan lain, misalnya bidan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Berapa besar sensitifitas dan spesifisitas tes IVA? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui sensitifitas tes IVA dibandingkan dengan tes HPV DNA / Polymerase Chain Reaction (PCR) pada lesi serviks. 2. Mengetahui Spesifisitas tes IVA dibandingka denga tes HPV DNA / Polymerase Chain Reaction (PCR) pada lesi serviks. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Keilmuan Mengetahui hubungan antara Tes Inspeksi Visual Asam Asetat dengan Tes Human Papilloma Virus (PCR) pada lesi serviks. 1.4.2. Manfaat Praktis 1. Mengetahui hubungan antara tes Inspeksi Visual Asam Asetat dengan tes Human Papilloma Virus (PCR) pada lesi serviks , sehingga dapatdiperkirakan adanya pola perubahan pada serviks dengan mata telanjang yang berpotensi berubah kearah keganasan. 2. Dapat menerapkan sistem dengan satu kali lihat dan langsung diobati apabila ditemukan adanya kelainan pada tes IVA. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA II.1. Human Papilloma Virus Virus Human Papilloma merupakan sekelompok virus yang dapat menginfeksi jaringan epitel. Saat in terdapat lebih dari 70 tipe yang berbeda secara genetik. Beberapa diantaranya berhubungan dengan lesi yang dapat berkembang menjadi suatu keganasan. HPV memiliki genom berantai ganda yang mengandung 8000 pasangan basa yang memiliki dua jenis protein yakni early protein yang berperan dalam regulasi DNA virus (E1 dan E2) , transkripsi RNA (E2) dan transformasi sel (E5,E6 dan E7), dan late protein (L1 dan L2) yang merupakan komponen strutktural dari kapsid virus (Tzyy-Choou Wu, 1994), merupakan anggota famili papovaviridae, virus DNA rantai ganda dengan berat molekul 5x10 dalton,diameter ± 55 nm (Kenneth, et al., 1997). Ekspresi dari early gene akan menentukan apakah infeksi oleh HPV adalah aktif atau laten atau bahkan menyebabkan transformasi kearah keganasan. Produk gen utama yang berperan dalam onkogensis adalah E2, E6, dan E7 (Schellekens, et al., 2004). II.1.1. Prevalensi Penelitian prevalensi pajanan HPV pada kanker serviks telah dilakukan oleh lebih dari 22 negara dengan tehnik PCR. Dilaporkan bahwa sekitar 92,9% dari 1000 biopsi kanker serviks ditemukan HPV tipe 16, 18, 31, dan 45 dimana HPV tipe 16 sejumlah 51,5% dari seluruh HPV tipe onkogenik. Gambaran variasi geografis menunjukkan HPV tipe 16 lebih banyak ditemukan di negara Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika. HPV tipe 18 lebih banyak terdapat di negara Asia Tenggara yaitu sekitar 50% dari tipe virus yang teridentifikasi. Sedangkan HPV tipe 39 dan 59 ditemukan hanya di Amerika Latin dan HPV 45 hanya di Afrika Barat (Penelope, et al., 1998). Munoz, et al. tahun 1997, melaporkan bahwa 90% dari kanker serviks yang invasif terinfeksi HPV dimana 50% adalah tipe 16,12% adalah tipe 18,8% adalah tipe 45, dan 5% adalah tipe 31. Laporan dari Yunani menyatakan bahwa pada kanker serviks didapatkan HPV tipe 16 sebesar 56%, tipe 18 sebesar 23%, dan tipe 31 sebesar 6%. Pada LSIL ditemukan 13% HPV tipe 16 dan 13% tipe 18. Sedangkan pada HSIL didapatkan 41% tipe 16 dan 14% tipe 18 (Labropoubou, et al., 1997). Penelitian lain menemukan bahwa infeksi HPV tipe 16 pada kanker serviks di Brasil sebesar 53,8%, di Spanyol sebesar 45,8%, dan di Kolombia sebesar 50,6% (Penelope, et al., 1998). Schneider, et al. tahun 1991 mendapatkan prevalensi HPV tipe 16 pada kasus dengan sitologi normal sebesar 14%, Brandsma, et al. tahun 1989, mendapatkan HPV positip pada 20% dari wanita yang diperiksa, dan Lorinz, et al. tahun 1992 mendapatkan sekitar 10-15% positip HPV. Di Bali, proporsi pajanan HPV tipe 16 sekitar 57,8% (Widiarsa, 2000) dan tipe 16 & 18 pada kanker serviks adalah 76,5% (Surya Negara, dkk., 2002). Dari penelitian pendahuluan yang dilakukan di Bali dapatkan hasil HPV (+) sebanyak 50% dari semua lesi servik yang di periksa. (Weinstein, et al., 2009). II.1.2. Morfologis dan Sifat Biofisik Virus papilloma dikatakan merupakan penyebab lesi epitel pada berbagai spesies termasuk sapi, kelinci dan manusia. Peran dari virus ini pada onkogenesis pertamakali di perlihatkan pada kelinci, dimana infeksi tersebut dapat menyebabkan perubahan kearah malignansi. Telah disebutkan diatas bahwa virus ini memiliki early dan late gene dimana yang pertama terlibat dalam replikasi dan onkogenesis sedangkan yang tipe yang kedua berperan dalam pemberian kode struktural protein pada kapsid. Ekspresi produk tipe pertama akan menentukan aktifnya suatu infeksi dan perubahan kearah keganasan. Produk utama yang terlibat dalam keganasan adalah E2, E6, dan E7. Gen E2 mengkode regulator transkripsi yang mengatur ekspresi onkoprotein virus E6 dan E7. Integrasi HPV ke kromosom host dapat menganggu gen E2 dan akan menyebabkan peningkatan ekspresi E6 dan E7, dan produk ini yang berasal dari HPV tipe 16 dan 18 dapat mengikat, menginaktivasi, dan akhirnya melumpuhkan fungsi protein supresor tumor seperti p53 dan pRb. Proses tersebut diatas memiliki peran dalam terjadinya kanker serviks melalui beberapa mekanisme seperti menganggu ekspresi gen host, pelepasan sel, mempengaruhi proses perbaikan DNA dan aktivasi ekspresi telomerase (Weinstein, et al., 2009). Terdapat kurang lebih 35 tipe virus HPV yang dapat diisolir dari epitel anogenital (serviks, vulva, vagina, rektum, dan penis) sedangkan tipe lainnya berhubungan dengan lesi yang tidak ganas (tabel 2). Tipe anogenital biasanya diklasifikasikan menjadi tipe risiko tinggi dan rendah tergantung hubungannya dengan tipe lesi. Virus tipe risiko rendah seperti tipe 6, 11, 42, 43, dan 44 berhubungan dengan lesi low grade dan tipe risiko tinggi seperti HPV 16,18, dan 31 berhubungan dengan lesi serviks high grade dan kanker. Partikel virus matur mempunyai kapsid luar ikosahedral yang terdiri atas 2 protein struktural yaitu protein L1 dan L2. Protein L1 merupakan komponen mayor yaitu 80% dari seluruh protein virus dengan massa molekul relatif 53.000 – 59.000. Sedangkan protein L2 merupakan komponen minor dengan massa molekul relatif 70.000. Didalam protein kapsid terdapat genom virus DNA sirkuler rantai ganda dengan panjang 7,9 kilobasa (kb). Setiap genom dibagi atas 7 daerah early (E) dan 2 daerah late (L). Daerah L terdiri atas 2 late open readingframe (ORF). Struktur HPV terdiri atas 3 bagian yaitu: Upstrean Regulatory Region (URR), early Region (ER), dan Late Region (LR). URR berupa non-coding region yangberperan penting pada pengaturan replikasi dan transkripsi pada rangkaian ER. URR juga merupakan regulator yang sangat kompleks di mana peranan dan fungsi yang pasti dalam siklus hidup virus belum jelas diketahui. Bagian ini mengandung tempat ikatan berbagai faktor transkripsi seperti activator protein 1 (AP-1), keratinostic spesific factor 1 (KRF-1), dan faktor transkripsi lainnya. Mungkinikatan-ikatan ini diatur oleh open reading frames (ORFs) yang terdapat pada ER dan LR. ER terbentuk pertama kali pada siklus hidup virus dan mengkode protein yang sangat berperan pada replikasi virus. LR terbentuk kemudian untuk mengkode protein struktural virus. ORFs mengkode protein yang diperlukan pada ekspresi E1, E2, E4, E5, E6, dan E7. Tabel. 2.1 Fungsi Gen pada HPV (Schellekens, et al., 2004) Tabel 2.2 Tipe HPV dengan lesi yang ditimbulkannya serta klasifikasi HPV atasdasar risiko rendah dan tinggi (Schellekens, et al., 2004) Gambar 2.1 Bagan terjadinya kanker serviks (Schellekens,et al., 2004) Gen E1 dan E2 mengkode protein DNA yang mengatur proses transkripsi. Ekspresi gen E1 terjadi pada permulaan pajanan yang berfungsi mengontrol replikasi virus dan pemeliharaan genom. Gen E2 merupakan regulator transkripsi dan juga terlibat dalam replikasi DNA. Gen E3 tidak teridentifikasi. Gen E4 mengkode rangkaian protein yang penting pada proses maturasi dan replikasi virus. Protein E4 dapat mengganggu jaringan keratin sitoplasma, mengakibatkan efek halo pada sitoplasma yang disebut koilositosis. Gen E5 mengkode protein E5 yang memiliki daya transformasi lemah dan berperan dalam transformasi seluler melalui interaksinya dengan reseptor faktor pertumbuhan membran sel. Pada gen E6 dan E7 terdapat ujung URR menyandi protein E6 dan E7 yang menyebabkan transformasi pada HPV tipe 16 dan 18 dan perubahan onkogen. Kedua protein transformasi dominan tersebut mampu mendorong proliferasi sel dan menetap dalam jangka waktu lama (imortalisation). Peranan E6 dan E7 sangat berperan dalam proses transformasi gen. Hal ini dibuktikan dengan penemuan E6 dan E7 HPV tipe onkogenik risiko tinggi seperti tipe 16 dan 18 pada kultur jaringan sel yang telah mengalami transformasi in vitro selalu ditemukan pada kanker serviks (Lesley, et al., 2000). Kedua protein onkogen tersebut yaitu E6 dan E7 dapat berintegrasi dengan gen sel epitel dan dapat melumpuhkan fungsi protein supresor tumor p53 dan pRB dimana hal ini akan mengakibatkan perubahan replikasi sel, gangguan diferensiasi, akumulasi abrasi kromosom dan selanjutnya berkembang ke dalam proses karsinogenesis (Retnowardani, 1998; Lesley, et al., 2000). Lateregion mengandung 2 ORFs yaitu gen L1 dan L2 yang menyandi selaput proteinvirus dan diaktifkan pada stadium terakhir siklus virus pada sel yang telah berdiferensiasi. Transkripsi L1 dan L2 terjadi belakangan pada siklus hidup virus, saat dimana infeksi sudah memasuki fase aktif. Transkripsi LR tampak pada diferensiasi sel intermediate epitel skuamosa, terutama pada NIS I, sedikit pada NIS II-III, dan kanker serviks. Gen l1 dipakai untuk menentukan tipe HPV dan menyandi antigen HPV yang merupakan target deteksi antibodi pada tehnik imunohistokimia (Wright, et al., 1995; Kenneth, et al., 1997). II.1.3. Klasifikasi HPV Lebih dari 77 jenis HPV telah berhasil di isolasi dan dibedakan menjadi 3 kelompok seperti tabel berikut. Tabel 2.3. Klasifikasi HPV (Wright, 1995) TIPE HPV LESI Mucocutaneus grup 1 Veruca plantaris 2 Veruca plantaris, veruca vulgaris 3 Veruca plantaris, veruca vulgaris, veruca plana 7 Butcher’s warts 10 Veruca plana 13 Focal epithelial hyperplasia 28 Veruca plana 29 Veruca vulgaris 32 Focal epithileal hyperplasia 38 Veruca vulgaris 41 Squamous carcinoma Epidermodysplasia veruciformis group 5,8,9,12,15,17,19-21, 23-25,36,46,47 Macular warts Genital (cervical) group 6,11 Condyloma acuminatum, low grade SIL (CIN I) 16 All grade of SIL, squamous cell carsinoma 18 All grade of SIL, adeno and squamous cell ca 30 All grade of SIL 31,32,35,39 All grade of SIL, squamous cell carcinoma 40 All grade of SIL 42,43,44 Low grade of SIL (CIN I) 45 All grade of SIL, squamous cell carcinoma 51,52,56 All grade of SIL, squamous cell carcinoma Kelompok genital (cervical) terdiri dari 3 tipe risiko yaitu: 1. Tipe onkogenik risiko rendah ditemukan pada kondiloma akuminata 2. Tipe onkogenik risiko sedang ditemukan pada semua SIL 3. Tipe risiko tinggi yang meliputi HPV tipe 16, 18, 45, dan 56 ditemukan pada kanker serviks. HPV tipe onkogenik risiko rendah yaitu HPV tipe 6, 11, 42, 43, dan 44 biasanya sebagai penyebab kondiloma akuminata atau NIS I. Jarang berhubungan dengan NIS II-III dan hampir tidak pernah berhubungan dengan kanker serviks invasif. HPV tipe onkogenik risiko sedang yaitu HPV tipe 31, 33, 35, 51, dan 52 sering berhubungan dengan semua tingkat NIS tetapi sangat jarang berhubungan dengan kanker serviks invasif. HPV tipe onkogenik risiko tinggi yaitu 16, 18, 45, dan 56 sering berhubungan dengan kanker serviks invasif (Wright, et al., 2000). Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungan dengan kanker serviks (Retnowardani, 1998): 1. HPV tipe onkogenik risiko rendah yaitu HPV tipe 6 dan 11, jarang ditemukan pada kanker invasif kecuali karsinoma verukosa. 2. HPV tipe onkogenik risiko sedang yaitu HPV tipe 33, 35, 39, 40, 43, 51, 56 dan 58. 3. HPV tipe onkogenik risiko tinggi yaitu HPV tipe 16, 18, dan 31. Cox tahun 1996 menyatakan bahwa dari perspektif klinik tipe HPV dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: 1. Kelompok risiko rendah, meliputi HPV tipe 6, 1, 42, 43, dan 44 dimana tidak pernah berhubungan dengan kanker serviks. 2. Kelompok risiko tinggi atau tipe onkogenik, meliputi HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, dan 66 dimana semua tipe virus ini ditemukan dan berhubungan dengan kanker serviks. Dalam sepuluh tahun terakhir dari studi dikatakan bahwa pajanan HPV tipe 16, 18, 31, dan 45 adalah sebagai risiko mayor (Berek dan Hacker, 2000; Kenneth, 2000). Sampai saat ini diketahui 77 tipe HPV dimana 30 adalah tipe anogenital. HPV tipe 6, 11, 16, 18, dan 35 yang menginfeksi organ genetalia dan hanya tipe 16 dan 18 dilaporkan sebagai high risk human papiloma virus yang dihubungkan dengan NIS II-III dimana ± 70% NIS II-III akan berkembang menjadi kanker serviks. HPV tipe onkogenik masuk melalui mikrolesi dan menginfeksi sel basal serviks dan periode laten ini memerlukan waktu ± 10 tahun untuk menjadi kanker serviks invasif (Barasso, 2000; Mirawati, 2000). HPV tipe lain menyebabkan NIS I yang sebagaian besar mengalami regresi dalam waktu 2-3 tahun (Kjaer dan Brinton, 1993; Bosch, et al., 1995; Hoskins, et al., 2000). II.1.4. Siklus Hidup dan Mekanisme Infeksi HPV Siklus hidup HPV belum sempurna diketahui. Infeksi pertama diduga pada sel basal atau sel primitif basal epitel skuamosa imatur. Ada dua jenis infeksi: 1. Infeksi virus laten yang tidak menghasilkan DNA virus infeksiosus. DNA virus masih tetap pada inti sirkuler bebas yang disebut episome. Replikasi episome DNA virus terjadi bersamaan dengan replikasi sel epitel atau DNA sel penjamu. Pada fase infeksi laten, tidak ditemukan kelainan sitopatologi dan HPV ditemukan pada epitel basalis serviks sehingga hanya dapat dideteksi dengan metode molekuler saja. 2. Fase virus produktif dimana terjadi replikasi DNA virus infeksiosus yang disebut virion. Replikasi DNA virus ini terjadi di epitel skuamosa sel intermediet dan superfisial. Jumlah virion semakin banyak dan membentuk efek sitopatik yang dapat dideteksi secara sitologi histopatologi. Efek sitopatik tersebut diantaranya akantosis, vakuolisasi sitoplasma, dan inti atipik. Schneider dan Koutsky tahun 1992 menduga virus yang terdapat dalam sel yang terlepas mengandung HPV menembus sel basal melalui mikro trauma akibat gesekan saat kontak seks. Setelah melepas pembungkus protiennya, virus menembus dinding sel menuju nukleus dan membuat infeksi laten dimana hal ini berarti keberadaan DNA-HPV tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan sitologi, morfologi, ataupun kolposkopi dan hanya dideteksi dengan tes DNA-HPV (Tseng et al., 1999; Sudiro, 2001). Luka yang ditimbulkan akibat gesekan tersebutmerangsang sel basal untuk membelah dan merangsang pembuluh darah untuk melakukan proliferasi yang memacu virus untuk melakukan replikasi. Setelah melakukan infeksi, DNA-HPV diduga berada hanya pada epitel basal dan menetap dalam jumlah yang kecil. Tidak diketahui dengan jelas bagaimana interaksi antara tipe HPV, lokasi genitalia, dan imunitas epitel. Apabila imunitas penjamu efektif maka virus dalam keadaan tidak produktif. Transkripsi, translasi awal, dan replikasi virus dalam jumlah terbatas terjadi di dalam sel basal dan supra basal epitel serviks yang terinfeksi. Tahapan siklus hidup virus yang mendekati tahap produksi partikel terjadi pada sel keratinosit yang berdiferensiasi berupa replikasi dalam jumlah besar, transkripsi daerah akhir, produksi protein kapsid L1 dan L2, dan perakitan partikel virus baru yang akhirnya virus keluar baik dari inti sel maupun sel. Walaupun terdapat hubungan erat antara HPV dan kanker serviks, tetapi belum ada bukti-bukti yang mendukung bahwa HPV adalah penyebab tunggal. Perubahan keganasan epitel normal membutuhkan faktor lainnya. Teori two hit hipothesis tentang onkogenesis kanker serviks yaitu: pertama pasien terinfeksi oleh HPV mungkin menyebabkan inaktivasi fungsi normal p53, kedua: pasien tidak terinfeksi oleh HPV tetapi p53 mengalami mutasi (Retnowardani, 1998). Keterlibatan HPV pada kejadian kanker serviks didasarkan pada beberapa faktor yaitu: 1. Timbul keganasan pada binatang yang diinduksi dengan HPV, 2. Dalam pengamatan kondiloma akuminata terlihat adanya perkembangan menjadi kanker insitu, 3. Penelitian epidemiologi, pada infeksi HPV ditemukan juga peningkatan angka kejadian kanker serviks, dan 4. DNA HPV sering ditemukan bersama dengan lesi NIS. II.1.5. Diagnosis infeksi HPV Diagnosis pajanan HPV adalah dengan cara sitologi/histopatologi dan biologi molekuler. Secara sitologi/histologis pajanan HPV ditegakkan berdasarkan koilositik, diskeratotik, dan sel basal kondilomatosa. Kelebihan cara ini adalah murah dan tidak traumatis akan tetapi kekurangannya adalah sensitivitasnya rendah dan tidak mampu membedakan tipe-tipe HPV (Kresno, 2001). Koilositotik adalah sel patognomonik pada infeksi HPV berupa rongga perinuklear yang dikelilingi oleh lingkaran sitoplasma padat tetapi mempunyai inti yang membesar, hiperkromatik, berkeriput, dan kromatin yang tidak teratur. Gambaran ini tidak selalu ada namun apabila tidak ditemukan koilositotik tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HPV. Diskeratosis adalah sel-sel yang mengandung keratin dimana keratin dalam keadaan normal tidak ditemukan. Sel diskeratosis merupakan sel skuamosa matur dengan inti besar yang kadang-kadang piknotik dan sitoplasma padat berwarna jingga. Sel parabasal kondilomatosa adalah sel parabasal metaplastik dengan rasio inti dan sitoplasma abnormal, sitoplasma amfilik dengan satu atau dua inti yang struktur kromatinnya tidak jelas. Secara biologi molekuler seperti Southern blot dan PCR mampu mengatasi masalah dignostik pada sitologi/histopatologis. Cara Southern blot memiliki spesifisitas tinggi akan tetapi bahan harus segar, tingkat kesulitan tinggi dan tidak dapat membedakan HPV. Pemeriksaan dengan tehnik biomolekuler mempunyai akurasi yang tinggi dan dapat menentukan sampai tipetipe HPV. Studi kasus subklinis dilaporkan bahwa dengan pemeriksaan sitologi didapatkan infeksi HPV ± 4-6% sedangkan dengan pemeriksaan PCR didapatkan infeksi HPV ± 46% (Cox, 1998). Tehnik PCR merupakan tehnik biomolekuler dengan sensitifitas dan spesifisitas tinggi, disamping itu relatif mudah karena spesimen dapat baik dari bahan segar maupun dari blok parafin (Endang, 1998; Debbie, 2001). II.2. Lesi Serviks II.2.1. Batasan Serviks merupakan bagian paling distal uterus yang menonjol kedalam vagina bagian atas, yang dikenal sebagai porsio, ektoserviks. Porsio dibentuk oleh bibir depan yang lebih pendek dan bibir belakang yang lebih panjang, diantaranya terdapat ostium uteri eksternum. Lebih ke proksimal dari ostium ini dikenal sebagai endoserviks. Ostium uteri eksternum merupakan batas antara ektoserviks dan endoserviks. Lebih ke proksimal lagi endoserviks berhubungan dengan isthmus yaitu bagian dari korpus uteri yang terbawah sehingga disebut segmen bawah rahim. Serviks normal biasanya berwarna merah muda dengan permukaan licin dan datar dengan konsistensi lunak. Ostium uteri eksternum dapat berbentuk bulat pada nulipara dan berbentuk celah pada multipara. Lesi serviks adalah kelainan pada serviks yang ditemukan pada pemeriksaan inspekulo yang berisiko menimbulkan kanker serviks. Banyak faktor risiko yang di sebut-sebut berperan pada terjadinya lesi pra kanker/kanker servik uteri, antara lain usia saat aktifitas seksual pertama, pasangan seksual yang multipel, higiene, dan sosial ekonomi yang rendah, jumlah anak yang banyak, infeksi karena penyakit hubungan seksual terutama HumanPapiloma Virus (HPV) dan Herpes Simplex Virus (HSV) dan infeksi oleh karenabakteri lainnya, pemakaian kontrasepsi hormonal, defisiensi nutrisi, dan supresi imunologi endogen/eksogen (Kim, 1995; Hoesin, 2001; Santoso H, 2001). Menurut Rotkin, faktor risiko yang bermakna adalah kawin pertama kurang dari 20 tahun, pasangan seksual dua atau lebih, cerai atau pisah, dan hubungan seksual yang tidak stabil (Sjamsudin, 1985). Sedangkan menurut American College ofObstetricians and Gynecologist (ACOG) faktor risiko yang bermakna yaitumultipatner seksual, wanita dengan infeksi HPV, kondiloma atau keduanya, merokok, dan sosial ekonomi rendah (Partidge, 2000). Beberapa lesi serviks kadang-kadang berhubungan dengan keganasan (Fasmer, 1990; Taufik, 2000). Dari penelitian Waldron dan Shafer menunjukkan 20% dari leukoplakia disertai displasia ringan sampai karsinoma sel skuamosa dan 3% menunjukkan karsinoma invasif (Burghardt, 1991). II.2.2. Prevalensi Prevalensi NIS menurun dengan meningkatnya umur. NIS I dan II tertinggi pada usia 25-29 tahun yaitu 2,6% dan menurun menjadi 0,9% pada wanita yang berumur lebih dari 50 tahun. NIS III terjadi 0,5% pada wanita berumur 35-39 tahun (Wright., 1995). Penelitian di RSCM tahun 1992-1993 mendapatkan dari 351 sediaan Pap 2,8% merupakan kasus SIL yang terdiri dari 80% SIL derajat rendah dan 20% SIL derajat tinggi. Dari data tersebut terlihat bahwa penapisan sitologi menjadi semakin penting dilakukan terutama pada wanita umur belasan tahun yang telah melakukan hubungan seksual aktif (Sianturi, 1993; Wright, et al., 1995). II.2.3. Jenis Lesi Serviks Lesi serviks meliputi salah satu kriteria dibawah: a. Leukoplakia adalah daerah berwarna putih, berbatas tegas dengan tepi irreguler yang didapatkan sebelum aplikasi asam asetat. b. Eritroplakia adalah daerah berwarna merah, datar atau dengan peninggian ringan tanpa menunjukkan tanda-tanda peradangan. Biasanya ditemukan mengelilingi ostium uteri eksternum. Klinikus menyatakan sebagai erosio porsiones. c. Ulkus adalah diskontinuitas permukaan porsio yang terdiri dari tepi, dinding dasar dan isi akibat hilangnya epitel permukaan melewati stratum basalis. d. Papiloma adalah pertumbuhan eksofilik yang berwarna putih, merah muda atau merah dan kadang-kadang berbentuk seperti bunga kol. Secara sitologis maka lesi serviks dapat berupa Neoplasia Intraepithelial Serviks (NIS) yang dibedakan menjadi NIS I, NIS II dan NIS III. NIS merupakan lesi prekanker serviks. Pada dekade terakhir, NIS banyak dihubungkan dengan infeksi Human Papiloma Virus (HPV), terutama kelompok onkogenik tipe 16 dan 18. Berdasarkan hal ini maka pembagian lesi serviks dibedakan atas LowgradeSquamous Intraepithelial Lesion (LSIL) untuk lesi oleh HPV kelompokonkogenik risiko rendah-sedang dan High-grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL) untuk lesi oleh kelompok onkogenik risiko tinggi. II.2.4. Perkembangan NIS NIS berasal dari epitel serviks normal. Karena perubahan derajat keasaman vagina maka terjadi perubahan epitel normal menjadi metaplasia. Metaplasia ini 15% berkembang menjadi NIS I. Kanker serviks merupakan lanjutan proses NIS dimana pada studi kohort didapatkan bahwa ± 15% NIS I berkembang menjadi NIS II, ±15 % NIS II berkembang menjadi NIS III, dan ± 90% NIS III berkembang menjadi kanker serviks invasive (Cox, 1990). Pada studi lain, pajanan HPV risiko tinggi berhubungan dengan NIS II-III atau HighgradeSquamous Intraepithelial Lesion (HSIL). Sedangkan pajanan HPV onkogenikrisiko rendah-sedang lebih banyak berhubungan dengan NIS I atau Low-gradeIntraepithelial lesion (LSIL) (Luesley, 2000). II.2.5. Diagnosis Lesi Serviks Berbagai cara untuk mendiagnosis lesi serviks, antara lain: 1. Sitologis/histopatologis Berdasarkan cara tersebut maka lesi serviks dibedakan atas NIS I, NIS II, dan NIS III dimana secara gambaran histopatologis dan klasifikasinya dapat dilihat pada tabel dibawah. Menurut WHO, lesi prekanker dibedakan atas NIS I, NIS II, dan NIS III. Tabel 2.4 Klasifikasi NIS (WHO, 2000) Histologi 1. NIS I / Displasia Ringan -Hipoplasia sel basal ringan Sitologi -Sel diskariotik ringan dan matur -Partial interruption of satisfaction -Sel diskariotik sedikit -Gangguan ringan maturasi sel -Sel diskariotik Superfisial pre- dominan (indeks diskariotik rendah) -Aglycogenous -X kromatin rendah -Mitosis (+) dalam jaringan:jarang. 2. NIS II / Displasia Sedang Displasia sedang adalah klasifikasi antara displasia ringan dan displasia berat. Ciri: Sel diskariotik dengan beratnya atipia sel derajat sedang. 3. NIS III / Displasia Berat -Hipoplasia basal sel -Sel diskariotik banyak dan imatur -Stratifikasi irreguler dengan po- -Sel diskariotik banyak la sel distorsi -Dominan: sel diskariotik parabasal -Gangguan nyata maturasi sel (indeks diskariotik tinggi) -Mitosis pada 2/3 epitel -X kromosom berkurang 4. Karsinoma insitu a. Undifferentiated Small -Epitel seluruhnya diganti oleh - -Sel parabasal dan basal dominan Cell Type sel kanker kecil -Gambaran sel maligna monoton -Kehilangan polaritas dan strati- tanpa adanya dias (nekrosis) fikasi -Abnormal mitosis 7 2/3 lapisan Epitel -X kromatin berkurang, ada double X kromatin -Tidak ada invasi stroma -Sel dominan: sel parabasal dengan -Epitel total diganti oleh sel kan- sitoplasma sedikit ker tipe besar b. CIS: Differentiated Large Cell Type -Kehilangan polaritas dan stratifikasi -Sel dominan: sel parabasal dengan sitoplasma sedikit -Kecenderungan ringan diferensiasi permukaan -Sel dikariotik maligna, ukuran kecil (kadang-kadang) -Mitosis sering dan abnormal > -Sel maligna pleomorphis 2/3 -Diathesis tumor (-) -X kromatin berkurang dan adanya double X kromatin Karena lesi serviks banyak dihubungkan dengan berbagai tipe pajanan HPV maka dibuatlah pembagian lesi serviks menurut Bethesda, tahun 1998. Pembagian tersebut dapat dilihat dibawah ini : Tabel 2.5. Pembagian Lesi Serviks Menurut Bethesda. Grade Kriteria 1.Low Grade Squamous Intracervical 1.Abnormalitas Lesion (LSIL). Termasuk: inti terjadi pada sel Displasia matur/sel superfisial ringan/NIS I dan Atipia koilositosis 2.Pembesaran inti minimal 3x ukuran inti sel intermediate yang mengakibatkan peningkatan rasio inti/sitoplasma 3.Ukuran dan bentuk inti sel berariasi ringan 4.Biinukleasi dan multinukleasi sering ditemukan 5.Hiperkromatin (+) yang tersebar uniform 6.Jarang ada nukleoli 7.membran inti terlihat jelas dengan iregularitas ringan atau kadang-kadang tak tampak bila kromatin inti padat dan menonjol 8Ada pemisah antar sel 9.Koilositosis 2.High Grade Squamous Intracervical 1.Sel biasanya tersusun tunggal, Lesion (HSIL) berkelompok atau -NIS II/III (karsinoma Insitu) (sinsitial) -Displasia sedang-berat 2.Abnormalitas inti umumnya terjadi pada seperti bersambungan seskuamosayangimaturdengan sitoplasma sel metaplastik padat dan berisi keratin 3.pembesaran inti seperti pada LSIL, tetapi sitoplasma lebih berkurang, sehingga rasio inti sitoplasma sangat tinggi 4.Secara umu ukuran sel HSIL lebih kecil dari LSIL 5.Hipokromatin nyata, kromatin granuler 6.Tidak ada nukleoli 7.Membran inti ireguler II.3.Inspeksi Visual Asam Asetat ( IVA ) Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) pertamakali ditemukan secara tidak sengaja oleh Hinselmann saat mencoba membersihkan lendir serviks sebelum pemeriksaan kolposkopi dengan menemukan adanya perubahan warna dari selsel yang mengalami displasia setelah diberikan larutan asam asetat. Hal ini kemudian dikembangkan oleh Navratil dan Burghardt di Austria. Asam asetat sendiri merupakan suatu asam lemak jenuh dengan rumusan kimia CH3COOH yang merupakan komponen yang khas dalam pembuatan larutan cuka. Asam asetat dapat diperoleh melalui fermentasi bakteri secara oksidatif dari etil alkohol dan oksidasi dari asetilaldehide. Secara fisika zat ini berupa cairan jernih, tidak berwarna, bau khas menusuk dengan rasa asam yang tajam. Sifat kimiawi dari zat ini adalah dapat larut atau bercampur dengan air, etanol, dan gliserol. Sifat kimia lainnya adalah zat ini dapat memperlemah ikatan kovalen dari struktur sekunder, tersier, dan kuartener dari protein, sehingga semua struktur protein tersebut berbentuk struktur primer, akibatnya akan terjadi koagulasi protein tersebut. Sifat sifat diatas dipakai untuk mendiagnosis adanya lesi serviks terkait dengan displasia. Salah satu bentuk larutan asam asetat adalah asam cuka glasial yang merupakan cairan bening tidak berwarna dan mengandung asam asetat 5,7-6,3 gram per 100ml air. Larutan ini akan menyebabkan perubahan warna sel menjadi putih atau abu-abu putih bila sel mengalami proses metaplasia atipik , displasia ataupun neoplasia (Suwiyoga, 2005). Perubahan yang terjadi diatas dapat diterangkan sebagai berikut: 1. Kepadatan inti pada sel atipik baik yang mengalami displasia maupun neoplasia relatif meningkat sejalan dengan peningkatan rasio inti: sitoplasma. 2. Asam asetat akan menimbulkan perubahan osmotik jaringan serviks dimana cairan akan ditarik keluar sehinga ruang ekstraseluler menjadi hipertonik. Di saat terjadi proses difusi osmotik, maka konsentrasi DNA inti akan meningkat sehingga densitas intipun meningkat. Hal ini akan menyebabkan hambatan transmisi cahaya sehingga permukaan epitel akan berwarna putih. 3. Sel atipik , displastik dan neoplastik memiliki jumlah kromatin protein yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan sel epitel normal akibat adanya proses hiperkromasia, asam asetat juga menyebabkan koagulasi kromatin dan protein lainnya pada inti dan sitoplasma yang juga mengakibatkan sel epitel tampak opaque dan putih. Deteksi dini kanker serviks dapat dilakukan dengan program skrining melalui metode yang lebih murah, mudah dan sederhana tetapi memiliki akurasi diagnostik yang cukup tinggi antara lain dengan upaya down staging. Downstaging kanker serviks adalah upaya mendapatkan lebih banyak temuan kankerserviks stadium dini melalui inspeksi visual dengan melakukan aplikasi asam asetat (IVA). Inspeksi visual dapat dilakukan dengan mata telanjang atau pembesaran gineskopi. Penggunaan IVA sebagai metode skrining untuk kanker serviks dengan pertimbangan bahwa tehnik ini mudah, praktis, dan mampu dilaksanakan oleh bidan, dokter umum di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu, bukan dokter ginekologi. Alat-alat dan bahan yang dibutuhkan sederhana, biaya yang diperlukan murah, interpretasi hasil cepat dan mudah dan tidak traumatis. Metode IVA menggunakan cairan asam asetat 3-5% yang di oleskan pada serviks sebelum dilakukan pemeriksaan dalam. Pada lesi prakanker, 20 detik setelah pulasan akan tampak bercak putih yang disebut aceto white epithelium (WE) dimana WE disimpulkan bahwa tes IVA positip. Dasar molekulernya adalah asam asetat menyebabkan dehidrasi dari sel-sel dan koagulasi permukaan sel protein sehingga menyebabkan penurunan dari kebeningan epitelium serviks dan perubahan ini akan lebih nampak pada epitelium abnormal oleh karena densitas nuklear yang besar dan konsentrasi protein yang sangat tinggi. Dari berbagai penelitian diperoleh sensitifitas IVA untuk mendeteksi lesi prakanker berkisar antara 76,7%-79% dan spesifisitasnya berkisar antara 64%-87% dengan nilai prediksi positip sebesar 97% dan nilai prediksi negatif sebesar 40%. Data mengenai nilai positip palsu yang didapatkan dari penelitian adalah 24,5%. Hal ini disebabkan karena reaksi aceto white bersifat non spesifik, 80% lesi ini tidak berhubungan dengan neoplasia intraepithelial serviks maupun kanker serviks, bisa merupakan reaksi fisiologis regeneratif atau peradangan termasuk infeksi (Coppleson, 1992). Nilai negatif palsu IVA dari penelitian adalah sebesar 25,0%. Negatip palsu ini dapat disebabkan faktor tajam penglihatan pemeriksa akibat keterbatasan kemampuan mata telanjang menangkap lesi aceto white yang minimal, lesi berada di daerah endo servik atau sumber cahaya yang kurang terang. Selain itu faktor konsentrasi asam asetat yang menurun akibat penyimpanan jangka lama (Suhartini, 2001; Yulpetropala, 2002). Peralatan yang diperlukan pada pemeriksaan IVA: 1. Meja periksa untuk memposisikan pasien dalam posisi litotomi 2. Sumber cahaya yang bagus . lebih diutamakan lampu halogen yang dapat diarahkan ke serviks dan sekitarnya 3. Spekulum steril (Cusco, Grave atau Collin) 4. Sepasang handschoen steril 5. Swab katun 6. Ring forceps 7. Asam asetat 5% yang baru 8. Wadah yang berisi 0.5% chlorine untuk sarung tangan bekas pakai 9. Wadah yang berisi 0.5% chorine untuk tempat alat habis pakai 10. Tempat sampah Cara membuat larutan asam asetat 5%: Dibuat dengan cara menambahkan 5 ml asam asetat glasial kedalam 95 ml air. Jika akan mempergunakan asam cuka yang dapat dibeli di pasaran, maka harus dipastikan bahwa konsentrasi asam asetat adalah 5%. Prosedur pemeriksaan : Wanita yang akan diperiksa haruslah diberikan keterangan selengkap mungkin dengan sebelumnya harus menandatangani informed consent mengenai tindakan . Riwayat obstetrik dan ginekologi harus diambil secara lengkap dengan format khusus dan selanjutnya wanita tersebut diberikan pengertian bahwa tindakan yang akan dilakukan diusahakan tanpa adanya rasa sakit. Pasien dipersilakan berbaring pada posisi litotomi dimana kaki ditaruh pada penyangga dan diamati apakah ada sekresi cairan / fluor , papul, ulkus dan luka. Setelah itu dimasukan spekulum dan dibuka secara lembut untuk mengidentifikasi serviks. Amati ukuran dan bentuk dari serviks. Identifikasi os eksterna, epitel kolumner yang berwarna merah, epitel skuamosa yang berwarna pink dan skuamokolumner junction. Lalu amati zona transformasi dengan batas atas yang dibentuk oleh hubungan skuamokolumner. Perhatikan adanya ekteropion, kista naboti, ulkus, leukoplakia dan kondilomata. Tentukan dan nilai jika ada sekresi / discharge dalam hal warna, jumlah dan odor. Jika saat pemeriksaan ditemukan darah menstruasi maka pemeriksaan IVA dapat dikerjakan setelah 5 – 15 hari. Pada ekteropion, terdapat area kemerahan disekitar os eksterna dan skuamo kolumner junction berada jauh dari os. Kista nabothi akan tampak sebagai nodul biru keputhian atau kuning keputihan yang berbatas tegas dan cabang pembuluh darah yang jelas. Polip servikal akan tampak sebagai massa yang menonjol dari kanalis servikalis keluar os. Leukoplak akan tampak dengan permukaannya yang licin, berwarna putih dan tidak dapat dikerok. Kondilomata servikal akan tampak sebagai area yang putih keabuan dan meninggi didalam ataupun diluar area transformasi pada epitel skuamosa dan dapat disertai dengan lesi yang sama pada vulva dan vagina. Perhatikan adanya ulkus pada serviks dan adanya kumpulan vesikel. Erosi yang luas dapat terlihat pada serviks sebagai pertanda adanya peradangan. Kanker invasif stadium dini dapat tampak sebagai area granuler yang kemerahan, kasar dan dapat berdarah saat disentuh. Kemudian aplikasikan secara lembut larutan asam asetat 5% dengan swab katun, setelah menunggu sekitar 20 detik amati adanya perubahan warna putih terutama pada zona transformasi dekat dengan squamocolumner junction atau adanya warna putih pada epitel kolumner yang tidak dapat dihilangkan. Catat waktu timbul reaksi warna putih dan saat hoilangnya warna tersebut. Jika hasil meragukan maka prosedur dapat diulang dengan perhatian tidak menimbulkan trauma pada serviks. Jika dicurigai adanya keganasan, maka pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian setelah pemeriksaan maka alat-alat direndam dalam larutan chlorine 0.5% selama 10 menit dan hasil pemeriksaan diterangkan kepada pasien dengan saran jika hasil negatif maka disarankan untuk periksa ulang 5 tahun lagi dan jika hasil positif dapat diteruskan dengan krioterapi dan apabila mencurigakan ganas maka dapat dirujuk untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut (WHO Manual, 2003). Beberapa pertimbangan penggunaan IVA sebagai metode skrining : 1. Alat dan bahan yang dibutuhkan sederhana 2. Dapat dilakukan oleh tenaga bidan atau perawat maupun dokter umum terlatih 3. Biaya murah 4. Tidak traumatis 5. Interpretasi hasil yang cepat dan mudah. Disamping kelebihan tes IVA ada beberapa kelemahan yang patut diperhatikan : 1. Masih diperlukannya pembentukan standar untuk menjamin kualitas 2. Menjadi kurang akurat untuk pemeriksaan wanita pos menopause 3. Sangat bergantung pada keahlian pemeriksa. 4. Tidak ada bukti kuat akan dampak dan biaya jika terjadi pengobatan yang berlebih / overtreatment Beberapa hal yang masih harus diteliti pada IVA : 1. Faktor-faktor yang dapat memaksimalkan hasil IVA 2. Bagaimana penanganan dan kontrol kualitas pada saat pemeriksaan diluar setting penelitian 3. Bagaimana cara terbaik untuk memasukan IVA pada program pencegahan penyakit 4. Dampak jangka panjang mortalitas kanker serviks yang telah menggunakan IVA didalam penanganannya. Tabel 2.6 Tingkat sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan IVA (Gaffikin 2003) Sensitifitas (%) Spesifisitas (%) Minimum 65 64 Maksimum 96 98 Median 84 82 Mean 81 83 Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa dari berbagai hasil penelitian IVA maka range untuk sensitifitas dan spesifisitas adalah 65-96 % dan 64-98% yang nilainya menyerupai bahkan melebihi Tes Pap dengan sensitifitas 83% dan spesifisitas 50,8% (Alliance for Cervical Cancer Prevention) Tabel 2.7 Hasil penelitian sensitifitas dan spesifisitas IVA (ACCP) Walaupun telah dilakukan penelitian terhadap sensitifitas dan spesifisitas di berbagai belahan dunia masih banyak terdapat variasi hasil. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil sensitifitas terendah justru terdapat pada penelitian di Amerika serikat ( 29%) oleh Slawson, et al (1992). Nilai yang paling tinggi dari kedua variabel ukur diperoleh pada penelitian oleh Sankaranarayanan, et al (1998), ada 3000 sampel penelitian di India. Dapat disimpulkan bahwa masih terdapat variasi hasil yang besar pada berbagai penelitian untuk menguji sensitifitas dan spesifisitas tes IVA. BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPO PENELITIAN III.1. Kerangka Konsep Penelitian Pada infeksi Human Papiloma Virus (HPV) kejadian lesi serviks lebih banyak menyebabkan test inspeksi visual asam asetat positip dibandingkan dengan non infeksi Human Papiloma Virus. Premis dari penelitian ini dapat dibuat sebagai berikut: 1. Lesi serviks jika di oleskan dengan asam asetat akan menimbulkan suatu bercak putih yang disebut aceto white epithelium (WE). 2. Pada infeksi Human Papiloma Virus lebih banyak menyebabkan timbulnya lesi servik sedangkan non infeksi Human Papiloma Virus kejadian lesi lebih kecil. Infeksi HPV Lesi servik Non infeksi HPV Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Hasil IVA III.2. Hipo Penelitian Berdasarkan kerangka konsep tersebut diatas dapat dibuat hipo penelitian yaitu: Kejadian tes IVA positif lebih tinggi pada infeksi Human Papiloma Virus positif dibandingkan dengan non infeksi Human Papiloma Virus. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. 4.2. Populasi, sampel dan besar sampel penelitian 4.2.1. Populasi Target Populasi target dalam penelitian ini adalah wanita usia subur yang sudah menikah atau sudah pernah melakukan hubungan seksual yang melakukan pemeriksaan dini kanker leher rahim di tempat pemeriksaan kesehatan yang sudah ditentukan di Desa Nyambu Kediri Tabanan. 4.2.2. Sampel Sampel diambil dari populasi terjangkau yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini. Kriteria inklusi adalah sudah menikah atau sudah pernah melakukan hubungan seksual, umur kurang dari atau sama dengan 60 tahun, bersedia ikut dalam penelitian dan dilakukan pemeriksaan. Kriteria eksklusi adalah sedang haid atau menderita perdarahan abnormal, memakai obat/bahan antiseptik < 1 minggu sebelum pemeriksaan, melakukan hubungan seksual dalam 3 hari sebelum pemeriksaan. 4.2.3. Besar sampel Dengan memakai rumus: 2 n = Zα PQ 2 d α= 5 % P = 50 % Q = 1 – P = 50 % d=8% Maka besar sampel adalah : 2 n = 1,96 x 0,50 x 0,50 2 0,08 = 150 4.2.4. Cara Pemilihan sampel Sampel dipilih secara random, diambil sebanyak 10% dari jumlah yang di periksa sampai jumlah sampel yang di tetapkan terpenuhi. 4.3. Variabel dan Definisi Operasional Variabel 4.3.1. Variabel Variabel bebas : Infeksi HPV Variabel tergantung : Hasil IVA Variabel antara : Lesi serviks 4.3.2. Definisi Operasional Variabel 1. Infeksi HPV: Infeksi yang ditegakkan dengan metoda Polymerase ChainReaction (PCR). 2. Hasil IVA : IVA (+) adalah lesi yang tampak pada displasia servik dimana 20 detik setelah pulasan akan tampak bercak putih yang disebut Aceto WhiteEpithelium (WE). 3. IVA (-) adalah lesi yang tidak tampak pada servik 20 detik setelah pulasan berupa bercak putih. 4. Lesi servik: Kelainan pada servik yang di temukan pada pemeriksaan inspekulo. 5. Sensitifitas adalah proporsi subjek dengan uji diagnostik + , dibandingkan seluruh subjek yang sakit 6. Spesifisitas adalah proporsi subjek sehat dengan uji diagnostik dibandingkan seluruh subjek yang tidak sakit. 4.4. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di tempat pemeriksaan kesehatan yang sudah ditentukan dalam periode waktu Agustus – September 2007 di Desa Nyambu Kediri Tabanan. 4.5. Prosedur dan Alur penelitian 4.5.1. Persiapan -Pendekatan Melalui Yayasan Kanker Indonesia (YKI) dilakukan pendekatan ke pemerintah di tingkat Propinsi bahwa akan dilakukan kegiatan “See andTreat” untuk mendeteksi adanya kanker serviks secara dini dan mencariapakah ada hubungan antara infeksi Human Papiloma Virus dan test inspeksi visual asam asetat. Kemudian barulah dilakukan pembicaraan ke tingkat pemerintah daerah kabupaten. -Persiapan lapangan Kabupaten yang terpilih adalah Desa Nyambu, Kediri, Tabanan dengan asumsi bahwa: -Masih banyak daerah pedesaannya Pemerintah daerah sangat kooperatif Dipilih ibu-ibu yang sudah menikah atau wanita yang sudah pernah melakukan hubungan seksual dan umur masih atau sama dengan 60 tahun. 4.5.2. Pelaksanaan survei 4.5.2.1. Pemberian informed consent Pasien yang memenuhi kriteria sampel di beri penjelasan tentang dasar, tujuan, manfaat, dan efek samping penelitian. Apabila setuju dan bersedia ikut penelitian maka di minta menanda tangani lembar informed consent. 4.5.2.2.Prosedur pemeriksaan Pap smear dan IVA Pasien dalam posisi litotomi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan Pap smear kemudian dilakukan pemeriksaan IVA dengan mengoleskan asam asetat 5% pada porsio. Setelah 20 detik dilakukan pengamatan pada porsio dengan mata telanjang, apakah terdapat perubahan warna aceto white. 4.5.2.3.Prosedur pengambilan bahan Pengambilan Pap smear dilakukan dengan memakai spatula dan cito brush, setelah pengambilan pada porsio dilakukan pulasan pada deck glass dengan memakai spatula dan cito brush. Spatula dan cito brush kemudian dimasukkan pada tabung sentrifuge 100 cc yang telah berisi larutan buffer saline fosfat sebanyak 20 cc, dengan memakai spatula dan cito brush di lakukan pengocokan pada tabung sentrifuge 100 cc selama kurang lebih 2 menit dengan tangan, selanjutnya cairan yang ada dibuang sehingga yang tersisa hanya supernatan (endapan cairan), di tambah larutan buffer 1 cc, ganti tabung yang lebih kecil yang disebut tabung avendoff, di masukkan mesin sentrifuge untuk selanjutnya diputar dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, larutan ini kemudian di periksa secara biologi molekuler (PCR) untuk mengetahui apakah terdapat infeksi HPV. Setelah itu barulah kemudian dilakukan test IVA. IV.5.2.4. Alur penelitian Populasi Kriteria inklusi Kriteria eksklusi Informed Consent Tidak setuju Eksklusi Setuju Eksklusi Sampel penelitian Pap smear IVA (+) (-) PCR (+) PCR (-) PCR (+) PCR (-) Analisis 4.6. Rencana Analisis Untuk menganalisis hubungan antara hasil pemeriksaan serologis dan test IVA akan dilakukan dengan membandingkan kejadian relatif antara HPV (+) pada IVA (+) dengan kejadian HPV (+) pada IVA (– ) dengan rumus sebagai berikut: RP = P1 = HPV (+) pada IVA (+) P2 HPV (+) pada IVA (-) Untuk menguji tingkat kemaknaan hasil test IVA dengan serologis akan di uji 2 dengan X pada α = 0,05 dengan tabel sebagai berikut: Tabel 4.1. Hubungan Antara HPV dan IVA IVA (+) IVA (-) HPV (+) A b a+b HPV (-) C d c+d a+c b+d n Sensitifitas : a/a+c Spesifisitas : d/b+d Rumus yang digunakan adalah: 2 2 X = ______(ad-bc) _________ Total (a+c)(b+d)(a+b)(c+d) Tetapi apabila terdapat nilai expected dalam salah satu sel ada yang kurang dari 5 maka akan dianalisis menggunakan chi square dengan koreksi Yates dengan rumus sebagai berikut: 2 X = n x ( ad – bc - n/2) 2 (a+b)(c+d)(a+c)(b+d) BAB 5 HASIL PENELITIAN Uji diagnostik pada 150 orang wanita usia subur yang sudah menikah atau sudah pernah melakukan hubungan seksual yang melakukan pemeriksaan dini kanker leher rahim di Desa Nyambu Kediri Tabanan yang dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus – 4 September 2007. 5.1 Karakteristik Subjek Tabel 5.1 Karakteristik Berdasarkan Histopatologi IVA Karakteristik Umur ibu (tahun) Positif Negatif (n = 12) (n = 138) 37,67±5,66 34,96±8,19 P 0,246 Pada Tabel 5.1 ditunjukkan bahwa rerata umur kelompok IVA positif adalah 37,67±5,66, sedangkan kelompok negatif adalah 34,96±8,19. Berdasarkan hasil analisis dengan uji t-independent didapatkan bahwa rerata umur kedua kelompok tidak berbeda secara statistik (p>0,05). 5.2 Uji Diagnostik antara Tes IVA dan Tes HPV DNA/Polymerase Chain Reaction (PCR) Untuk mengetahui hubungan tes IVA dengan hasil tes HPV DNA/PCR dipakai uji Chi-Square, yang dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Uji Diagnostik antara Tes IVA dan HPV DNA/PCR HPV DNA/PCR Kelompok P Positif Positif 8 Negatif 4 IVA 1,000 Negatif 3 135 Berdasarkan hasil analisis dengan menggunkan tabel silang 2 x 2 didapatkan bahwa Sensitivitas = 72,73%; Spesifisitas = 97,12%; Nilai duga positif = 66,67%); Nilai duga negatif = 97,83%; Rasio Kemungkinan positif = 25,27; Rasio Kemungkinan negatif = 0,28; dan akurasi = 95,33%. BAB 6 PEMBAHASAN Kanker serviks merupakan kanker kedua tersering yang diderita oleh wanita di seluruh dunia. Pada tahun 2000 terdapat kurang lebih 468.000 kasus baru dimana 80% dari kasus tersebut terdapat di Negara berkembang. Rerata kejadian kanker serviks bervariasi dan bergantung pada lokasi geografis tertentu, sepert insiden tertinggi terdapat di Amerika latin, Sub Sahara Afrika dan Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Gaffikin,L, 2003). Menurut data dari World Health Organization (WHO) diperkirakan pada tahun 2000, di seluruh dunia terdapat 6,25 juta kanker baru pertahun dan dalam 10 tahun mendatang diperkirakan terjadi 9 juta kematian akibat kanker, dimana sebagian besar terjadi di negara berkembang. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 1989, insiden kanker serviks di Indonesia adalah sebesar 90-100 per 100.000 penduduk dan kanker serviks dikatakan sebagai kanker yang paling sering terjadi pada wanita. Mortalitas kanker seviks di Indonesia masih tinggi. Ditemukannya HPV dianggap sebagai promotor dan mungkin inisiator, sedangkan faktor risiko lainnya sebagai inisiator. Manifestasi klinik dari proses molekuler dan seluler adalah metaplasia dan displasia dimana hal ini dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologis dari bahan Pap smear maupun dengan pemeriksaan histopatologis dari bahan biopsi serviks. Telah diketahui bahwa infeksi HPV mengakibatkan displasia serviks yang kemudian berkembang menjadi kanker serviks. 6.1 Karakteristik Subjek 6.1.1 Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa rerata umur kelompok IVA positif adalah 37,67±5,66, sedangkan kelompok negatif adalah 34,96±8,19. Dengan uji t-independent didapatkan bahwa rerata umur kedua kelompok tidak berbeda secara statistik (p>0,05). 6.1.2 Umur rata- rata menikah pada penelitian ini didapatkan bahwa 60% wanita menikah pada umur kurang dari 20 tahun dan dan 40% menikah pada umur diatas 20 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pernikahan di usia muda (<20 tahun) akan meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks. 6.1.3 Sebanyak 95 % responden melakukan pernikahan sebanyak satu kali dan hanya 5% yang melakukan pernikahan lebih dari satu kali. 6.1.4 Sepuluh persen dari sampel adalah primi para dan 90% sampel penelitian adalah multipara. 6.1.5 Tiga puluh persen dari sampel tidak menggunakan alat kontrasepsi dan 70 % merupakan akseptor KB dengan rincian KB suntik sebanyak 15%, IUD 20%, kondom 5%, suntik depoprovera 40%, susuk 15% dan MOW 5%. 6.1.6 Keluhan yang dialami oleh sampel adalah keputihan 75%, perdarahan pervaginam 20% dan perdarahan kontak 5%. 6.1.7 Tujuh puluh lima persen sampel adalah dengan parias kurang atau sama dengan tiga dan 25% adalah dengan paritas lebih dari tiga. 6.2 Uji Diagnostik antara Tes IVA dan Tes HPV DNA/Polymerase Chain Reaction (PCR) Untuk mengetahui hubungan tes IVA dengan hasil tes HPV DNA/PCR dipakai uji Chi-Square. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunkan tabel silang 2 x 2 didapatkan bahwa Sensitivitas = 72,73%; Spesifisitas = 97,12%; Nilai duga positif = 66,67%); Nilai duga negatif = 97,83%; Rasio Kemungkinan positif = 2 25,27; Rasio Kemungkinan negatif = 0,28; dan akurasi = 95,33% (χ = 67,57; p = 1,00). Berdasarkan table silang 2 x 2 didapatkan bahwa sensivitas dan spesifisitas tes IVA dibandingkan dengan tes HPV DNA/PCR di atas 70%. Demikian juga nilai akurasi tes IVA dibandingkan tes PCR juga di atas 90%. Di samping itu berdasarkan nilai Chi-Square didapatkan hasil uji yang tidak berbeda (p > 0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nampaknya skrining dengan visualisasi langsung atau dengan menggunakan mata telanjang yang lebih dikenal dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat ( IVA), yang tentunya telah memenuhi syaratsyarat skrining yang sesuai dengan keadaan Indonesia yang bersifat sederhana, mudah, hasil segera dapat diketahui, tidak perlu tenaga khusus, murah dan dapat dipadukan dengan upaya pengobatan langsung saat kunjungan pertama apabila ditemukan lesi serviks sudah memberikan hasil sesuai dengan uji baku emasnya (See and Treat, 2007). Pemeriksaan skrining yang pada saat ini lazim digunakan untuk lesi prakanker serviks adalah tes pap. Sebagai suatu pemeriksaan skrining alternatif, pemeriksaan IVA mempunyai beberapa manfaat jika dibandingkan dengan uji yang sudah ada, yaitu efektif (tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar), lebih mudah dan murah, peralatan yang dibutuhkan lebih sederhana, hasilnya segera diperoleh sehingga tidak memerlukan kunjungan ulang, cakupannya lebih luas, dan pada tahap penapisan tidak dibutuhkan tenaga skriner untuk memeriksa sediaan sitologi. Informasi hasil dapat diberikan segera. Keadaan ini lebih memungkinkan dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia, karena hingga kini tenaga skriner sitologi masih sangat terbatas. Data pada tahun 2003 tenaga skriner belum mencapai 100 orang. Demikian pula halnya dengan spesialis patologi anatomi juga masih terbatas. Dengan IVA, peran spesialis patologi anatomi dalam upaya penapisan kanker serviks dapat didelegasikan sebagian kepada tenaga kesehatan lain, misalnya bidan. Hasil penelitian ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan yang memeperoleh bahwa sensitifitas IVA untuk mendeteksi lesi prakanker berkisar antara 76,7%-79% dan spesifisitasnya berkisar antara 64%-87% dengan nilai prediksi positip sebesar 97% dan nilai prediksi negatif sebesar 40%. Data mengenai nilai positip palsu yang didapatkan dari penelitian adalah 24,5%. Hal ini disebabkan karena reaksi aceto white bersifat non spesifik, 80% lesi ini tidak berhubungan dengan neoplasia intraepithelial serviks maupun kanker serviks, bisa merupakan reaksi fisiologis regeneratif atau peradangan termasuk infeksi (Coppleson, 1992). Nilai negatif palsu IVA dari penelitian adalah sebesar 25,0%. Negatip palsu ini dapat disebabkan faktor tajam penglihatan pemeriksa akibat keterbatasan kemampuan mata telanjang menangkap lesi aceto white yang minimal, lesi berada di daerah endo servik atau sumber cahaya yang kurang terang. Selain itu faktor konsentrasi asam asetat yang menurun akibat penyimpanan jangka lama (Suhartini, 2001; Yulpetropala, 2002). 6.3 Kelemahan Penelitian Berbagai penelitian mengenai Tes Inspeksi Visual dengan Asam Asetat ( IVA) diseluruh dunia mempergunakan jumlah sampel dalam hitungan ribuan. Hal ini akan mempengaruhi sensitifitas dan sensitifitas dari penelitian yang dilakukan. Penelitian ini hanya mempergunakan 150 sampel pada satu lokasi tempat pemeriksaan pelayanan kesehatan di Desa Nyambu , Kediri Tabanan dimana tidak semua pasien yang datang dapat diikutsertakan pada penelitian sehingga harus dieksklusi seperti pada kondisi subjek yang mengalami menstruasi saat itu, telah melakukan hubungan seksual (coitus) dalam tiga hari sebelum pemeriksaan, umur diatas enam puluh tahun dan atau bagi subjek yang sudah jelas terdiagnosis dengan kanker serviks sebelumnya. Demikian juga dengan kualitas bahan yang dipergunakan sudah diupayakan seoptimal mungkin mempergunakan asam cuka yang baru dan tidak mengalami proses pembuatan larutan sebelumnya. Faktor pencahayaan merupakan hal yang sangat penting yang dapat mempengaruhi penilaian terhadap bercak acetowhite yang timbul saat pengolesan larutan cuka. Terakhir adalah faktor penilai sendiri, yang dapat memberikan penilaian yang subjektif. Permasalahan ini telah diupayakan melalui pelatihan kepada tenaga medis sebelum dilakukan penelitian ini. BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sensitifitas dan spesifitas Tes inspeksi Visual Dengan Asam Asetat ( IVA) jika dibandingakna dengan pemeriksaan Gold Standard Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah 72,73 % dan 97,12%. 7.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dapat diberikan saran sebagai berikut: Skrining dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dapat diterapkan sebagai pemeriksaan alternatif untuk deteksi lesi serviks karena bersifat sederhana, mudah, hasil segera dapat diketahui, tidak perlu tenaga khusus, murah dan dapat dipadukan dengan upaya pengobatan langsung saat kunjungan pertama. DAFTAR PUSTAKA Akinola, O.I, et al. 2007. Efficacy of visual inspection of the cervix using acetic acid in cervical cancer screening: A comparison with cervical cytology, in Journal of Obstetrics and Gynaecology, October 2007; 27 (7): 703-705. Available: http://www.informaworld.com Anderson, S.M. 2002. Human Papilomavirus and Cervical Cancer, in Clinical Microbiology Newsletter, Vol. 24, No. 15: 113-118. De Boer, M.A, et al. 2006. Human Papilomavirus type 18 and other risk factors for cervical cancer in Jakarta, Indonesia, in Int J Gynecol Cancer 2006, 16, 1809-1814. DiMaio, D. and Liao, J.B. 2006. Human Papilomaviruses and Cervical Cancer, in Advances in Virus Research, Vol. 66: 125-159. Domingo, E.J, et al. 2008, Epidemiology and Prevention of Cervical Cancer in Indonesia, Malaysia, the Philippines, Thailand and Vietnam, in Vaccine 26S (2008) M71-M79. Available: http://www.elsevier.com/locate/vaccine Gaffikin, L., Lauterbach, M., and Blumenthal P.D. 2003. Performance of Visual Inspection with Acetic Acid for Cervical Cancer Screening: A Qualitative Summary of Evidence to Date, in CME Review Article, Vol. 58, No. 8: 543-550. Sankaranarayanan, R, et al. 2005. A critical assessment of screening methods for cervical neoplasia, in International Journal of Gynecology and Obstetrics (2005) 89: S4-S12. Available: http://www.elsevier.com/locate/ijgo Sankaranarayanan, R. 2006. Overview of The Cervical Cancer in The Developing World. Schellekens, M.C, et al. 2004. Prevalence of single and multiple HPV types in cervical carcinomas in Jakarta, Indonesia, in Gynecologic Oncology 93 (2004): 49-53. Available: http://www.elsevier.com/locate/ygyno Suwiyoga IK, Kanker Serviks : Penyakit yang dapat dicegah, Maj Obstet Ginekol Indones 2007 ;31 :3-25 Suwiyoga IK. Perbandingan Akurasi Diagnostik Lesi Pre Kanker Serviks Antara Pap Smear dengan inspeksi visual asam asetat pada Lesi Serviks. Cermin Dunia Kedokteran,2004 ;145(1) : 5-8 Weinstein, L.C, et al. 2009. Screening and Prevention: Cervical Cancer. Available: http://www.primarycare.theclinics.com Weisberg, S.S. 2007. The Human Papilomaviruses and HPV Infections, in Dis Mon 2007; 53: 463-466. Wheeler, C.M. 2008. Natural History of Human Papilomavirus Infections, Cytologic and Histologic Abnormalities, and Cancer, in Obstet Gynecol Clin N Am 35 (2008) 519-536, Available: http://www.obgyn.theclinics.com Wiyono et al. 2008. Inspeksi Visual Asam Aseta (IVA) untuk Deteksi Dini Lesi Prakanker Serviks, dalam Media Medika Indonesia 43 2008) 116-120 Wu, T-C. 1994. Immunology of the human papilloma virus in relation to cancer, in Current Opinion in Immunology 1994, 6: 746-754.