KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA NEGARA ASING (KASUS TKW KARTINI DI UNI EMIRAT ARAB DAN RUYATI DI ARAB SAUDI) Dian Purwaningrum Soemitro ____________________________________________________________________ Latar Belakang Status Warga Negara suatu Negara (the Sending State) yang berada di wilayah Negara lain baik yang bersifat sementara, semi permanent maupun permanent berada di dalam kewenangan atau yurisdiksi Negara setempat (the Receiving State). Warga Negara semacam itu dikecualikan para Diplomat dan Konsul harus tunduk pada Hukum Nasional Negara Penerima. Negara Penerima kecuali harus memberikan perlindungan dan perlakuan terhadap Warga Negaranya sendiri menurut hukum nasionalnya juga harus melakukan hal yang sama terhadap Warga Negara asing yang berada di wilayah yurisdiknya tanpa adanya perbedaan-perbedaan (Non-Discriminatory Treatment). Tindakan semacam ini bukan saja didasarkan atas hukum nasionalnya tetapi juga sesuai dengan prinsip-prinsip mengenai tanggung jawab Negara yang diatur dalam Hukum Internasional.68 Walaupun Perwakilan Diplomatik dan Konsuler mempunyai yurisdiksi ekstra teritorial dalam memberikan perlindungan terhadap Warga Negaranya termasuk kepentingannya di Negara Penerima, Perwakilan-Perwakilan tersebut harus tetap menghormati hukum nasional atau peraturan perundang-undangan Negara Penerima. Perwakilan Diplomatik suatu Negara Pengirim juga tidak dibenarkan melakukan campur tangan terhadap urusan dalam negeri Negara Penerima 69 Belakangan ini marak kasus-kasus mengenai nasib perlindungan terhadap Warga Negara Asing di Negara Penerima yang terabaikan, terutama terhadap Warga Negara Asing yang bekerja sebagai tenaga kerja kerah biru (blue collar), ada dua kasus yang mencuat cukup tajam yang dapat kita jadikan contoh dalam pembahasan tulisan ini, yakni kasus TKW Kartini dan kasus TKW Ruyati, yang sama-sama bekerja di Arab Saudi. Sehingga dapat kita persoalkan di dalam pembahasan ini apakah Negara setempat sepenuhnya mempunyai tanggung jawab dalam melindungi orang-orang asing yang sedang berada di dalam wilayah Negaranya dan apakah Perwakilan Diplomatik dan Konsuler (Kedutaan Besar dan Konsulat/Konsulat Jenderal) suatu Negara memiliki peranan tertentu dalam ikut melindungi Warga Negaranya di luar negeri? Pembahasan Perlindungan Perwakilan Asing terhadap Warga Negara-nya di luar negeri telah lama ada sebelum berlakunya kedua Konvensi tersebut dianut oleh banyak Negara sebagai hukum kebiasaan internasional. Hak perlindungan semacam itu merupakan atribut yang paling mulia dan suci (the most sacred and noble attributions) dari Perwakilan suatu 68 69 Jurnal Hukum Internasional, Vol.2, No.4, Juli 200. hlm. 688. Lihat Pasal 41.1. Konvensi Wina 1961. Negara,70 karena hal itu merupakan tugas yang sangat penting bagi Perwakilan asing di suatu Negara terhadap Warga Negaranya yang berada di luar negeri.71 Perlindungan Negara Penerima yang diberikan kepada Warga Negara asing yang berada di wilayahnya akan didasarkan pada hukum nasional sebagaimana diberikan kepada Warga Negaranya sendiri. Negara tersebut mempunyai yurisdiksi absolut terhadap Warga Negaranya sendiri yang tinggal di wilayahnya, sedangkan perlindungan yang diberikan oleh Warga Negara asing akan tergantung dari pembatasan-pembatasan tertentu yang diatur oleh Hukum Internasional,72 termasuk ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 dan 1963 masing-masing mengenai Hubungan Diplomatik dan Hubungan Konsuler. Di pihak lain Perwakilan Diplomatik dan Konsuler dari Negara Pengirim menurut kedua Konvensi tersebut dalam hal-hal tertentu dapat melakukan yurisdiksinya di wilayah Negara lain (Extra-Territorial Jurisdiction) walaupun ada pembatasanpembatasannya. Perlindungan yang diberikan oleh Perwakilan Diplomatik dan Konsuler tersebut akan mencakup bukan saja perlindungan terhadap Warga Negara Pengirim tetapi juga terhadap kepentingan Warga Negaranya di Negara Penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh Hukum Internasional.73 Perlindungan yang Diberikan oleh Negara Penerima Terhadap Warga Negara Asing Negara Penerima mempunyai yurisdiksi sepenuhnya sebagai Negara berdaulat untuk membuat peraturan perundang-undangannya sendiri yang mengikat secara hukum baik penduduknya sendiri yang tinggal diwilayahnya termasuk kepemilikannya.74 Pada umumnya setiap Negara mempunyai yurisdiksi secara eksklusif di lingkungan wilayahnya sendiri, tetapi yurisdiksi tersebut bukanlah merupakan yurisdiksi yang bersifat absolut karena hal itu akan tergantung dari pembatasan-pembatasan tertentu yang diatur oleh Hukum Internasional. Oleh karena itu dalam praktek Negara tidak selalu dapat melakukan cara-cara atau tindakan yang diambilnya untuk melaksanakan yurisdiksi itu di wilayahnya. Namun di lain pihak Negara dalam hal-hal tertentu dapat melaksanakan yurisdiksinya di luar wilayahnya. Terlepas dari pembatasan-pembatasan oleh Hukum Internasional, suatu Negara mempunyai wewenang hukum untuk melakukan apa yang dikehendaki di dalam wilayahnya, sehingga orang-orang atau hal-hal atau peristiwa tertentu yang terjadi di lingkungan wilayahnya bisa dikenakan hukum dan keputusan pengadilan Negara tersebut. Suatu Negara hanya mempunyai yurisdiksi absolut terhadap penduduknya yang tinggal di wilayahnya. Dalam hal mereka tinggal di wilayah Negara lain, bagaimanapun, mereka akan tetap memperoleh perlindungan dan sebaliknya mereka juga akan terikat oleh kewajiban-kewajiban terhadap Negaranya sendiri seperti untuk memberikan kesaksian di depan pengadilan di Negaranya, membayar pajak pendapatan kepada 70 De Cussy, Reglement Consulaires, hlm.20 . Oppenheim, International Law, hlm. 838-839. 72 J.L. Brierly, The Law of Nations, hlm. 222. 73 United Nations, Vienna Convention on the Diplomatic Relations ‘1961; Article 3 (1) b. 74 J.B.S. Fawcett, The Law of Nations, 1968, hlm. 54. 71 pemerintahnya di dalam negeri, walaupun pendapatnya atau kepemilikannya sudah dikenakan pajak di Negara lain dimana mereka tinggal. Pada umumnya untuk menghindarkan adanya pajak berganda semacam ini banyak Negara membuat persetujuan bersama secara bilateral seperti “Agreement on Avoiding the Double Taxation”.75 Dalam hal terjadinya tindak kejahatan yang dilakukan oleh warga negara suatu negara di negara penerima, pada prinsipnya ia tetap harus dihukum oleh Negara tersebut dimana hukum dilanggarnya (locus delicti), walaupun dalam kasus-kasus tertentu dimana suatu perbuatan dianggap melangar hukum di suatu Negara Penerima tetapi tidak di Negara Pengirim.76 Pada waktu Warga Negara dari Negara Pengirim masuk dan tinggal di wilayah Negara Penerima, ia juga berhak untuk memperoleh perlindungan yang sama seperti yang diberikan kepada waga Negara Negara Penerima sesuai dengan peraturan perundangundangannya. Suatu Negara juga mempunyai hak kedaulatan untuk mengusir atau memulangkan orang asing jika ia masuk ke Negara itu secara tidak sah atau kehadirannya tidak di Negara itu dari segi keamanan dan kepentingan nasional suatu Negara Penerima tidak dikehendaki. Masuknya orang asing ke wilayah suatu Negara menurut Hukum Internasional memang bukanlah kewajiban. Suatu Negara bisa saja untuk mencekal masuknya orangorang asing atau orang-orang yang memang tidak dikehendakinya. Namun setiap diskriminasi yang dikenakan terhadap masuknya ras atau warga negara tertentu dapat menimbulkan permasalahan dengan negara-negara dimana Warga Negara asing itu berasal.77 Warga Negara dari Negara Pengirim yang sedang mengunjungi atau bertempat tinggal karena tugas atau pekerjaannya di wilayah Negara Penerima akan berada di bawah yurisdiksi wilayah Negara tersebut (Territorial Jurisdiction). Oleh karena itu Negara dalam melakukan yurisdiksi diwilayahnya harus menghormati yurisdiksi pribadi dari Warga Negara asing, dimana Negara Pengirim akan tetap mengenakan hak-hak dan kewajiban terhadap Warga Negaranya dimana-pun mereka berada, baik di Negaranya sendiri maupun di Negara lain. Untuk kepentingan ini Negara dapat memberikan perlindungan terhadap Warga Negaranya yang berada di Negara lain melalui baik Perwakilan Diplomatik maupun Perwakilan Konsulernya yang ada di Negara Penerima. Mengenai hak dan kewajiban Warga Negara Negara Pengirim yang tinggal di Negara Penerima akan tergantung dari hukum dan peraturan dari negara-negara yang berbeda. Di satu pihak, yang menyangkut hak-hak politik biasanya diberikan kepada Warga Negaranya sendiri, di lain pihak yang menyangkut hak-hak perdata akan tergantung dari aturan-aturan tertentu yang ada di Negara tersebut, seperti hak untuk membeli tanah atau mengadakan usaha perdagangan dan lain sebagainya.78 75 William L.Tung, International Law in an Organising World, New York, 1968, hlm.206-207. AJIL, 1966, hlm. 411. 77 Lihat Advisory Opinion mengenai penafsiran Perjanjian Perdamaian dengan Bulgaria, Hongaria dan Romania tahun 1947, ICJ Reports (1950), hlm.65 dan 221. 78 A Collection of Decisions of the Chinese Supreme Court; English Translation by Tung, hlm. 117. 76 Kewajiban Negara Penerima dalam Hal Terjadinya Musibah yang Menyangkut Warga Negara Asing Warga Negara Asing yang Meninggal di Negara Lain Dalam hal Warga Negara dari Negara Pengirim meninggal dunia karena suatu hal yang terjadi di Negara Penerima, Negara Penerima mempunyai kewajiban untuk segera memberitahukan kepada Perwakilan Konsuler dimana musibah itu terjadi di dalam lingkungan wilayah Konsuler dari Negara Pengirim. Di samping itu Negara Penerima juga harus memberitahukan secepatnya kepada Perwakilan Konsuler mengenai setiap kejadian dimana dirasakan perlu untuk menunjuk seorang pelindung atau wali dalam rangka memberikan perlindungan terhadap Warga Negara dari Negara Pengirim yang masih di bawah umur dan yang sepenuhnya kurang mampu. Namun pemberitahuan mengenai informasi termasuk penunjukan semacam itu dilakukan tanpa mengurangi arti dari peraturan perundang-undangan Negara Penerima.79 Pelanggaran Hukum yang Dilakukan Warga Negara Asing di Negara Penerima Apabila di wilayah Konsuler dari Perwakilan Konsuler suatu Negara Pengirim ada seorang Warga Negara Pengirim yang ditangkap atau dimasukkan dalam penjara ataupun ditempatkan di bawah pengawasan sambil menunggu diadili atau dalam suatu hal ia harus ditahan, maka instansi yang berwenang dari Negara Penerima wajib memberitahukan segera kepada Perwakilan Konsuler Negara Pengirim.80 Di samping itu instansi yang berwenang dari Negara Penerima tersebut wajib meneruskan setiap komunikasi dari Warga Negara Pengirim yang terkena perkara tersebut kepada Perwakilan Konsuler dari Negara dimana terperkara itu berasal. Instansi tersebut juga harus memberitahukan kepada mereka yang terperkara itu hal-hal yang berkenaan dengan hak-haknya. Negara Penerima juga harus memberikan hak kepada para pejabat Konsuler dari Perwakilan Konsuler Negara Pengirim untuk mengunjungi Warga Negaranya yang berada dipenjara, yang ada di bawah pengawasan atau yang ada di dalam tahanan untuk berbicara, serta hak untuk menghubungi mereka melalui surat menyurat, mengusahakan pengacara hukum dan yang sedang diadili.81 Tugas Perwakilan Diplomatik dan Konsuler dalam Melindungi Warga Negaranya di Negara Penerima Salah satu tugas Perwakilan Diplomatik adalah untuk melindungi bukan saja kepentingan Negara Pengirim di Negara Penerima tetapi juga termasuk perlindungan terhadap Warga Negaranya yang berada atau tinggal di Negara Penerima, dengan pengertian bahwa tindakan-tindakan semacam itu dilakukan sesuai dengan hukum internasional. Ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 ini tidak secara rinci dinyatakan melainkan hanya bersifat umum, oleh karena itu sukar untuk mengartikan arti sebenarnya dari ketentuan tersebut. Namun di dalam keadaan krisis atau bencana alam, Perwakilan Diplomatik dapat pula bertindak secara langsung atas nama Warga Negaranya, dengan 79 United Nations, Vienna Convention on the Cosular Relations ‘1963; Article 37. Ibid. 81 Ibid. 80 pengertian bahwa hal itu perlu memperoleh kesepakatan terlebih dahulu dari Negara Penerima. Suatu Negara mempunyai kekuasaan sepenuhnya di wilayahnya untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap Warga Negaranya dan sebaliknya Negara itu tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya diwilayah Negara lain. Namun dengan adanya kedua Konvensi Wina 1961 dan 1963 tersebut Perwakilan Diplomatik dan Konsuler dalam beberapa hal dapat melaksanakan yurisdiksinya di Negara lain (yurisdiksi ekstrateritorial). Yurisdiksi ekstrateritorial ini diartikan sebagai kepanjangan secara semu (quasi extentio) dari yurisdiksi suatu Negara di wilayah yurisdiksi Negara lain. Konsep ini didasarkan atas teori ekstrateritorial dalam kaitannya dengan premises (sebidang tanah dimana berdiri gedung-gedung Perwakilan Diplomatik atau Konsuler) di suatu Negara. Lingkungan wilayah di dalam premises tersebut dianggap seakan-akan meriupakan wilayah tambahan dari suatu Negara. Premises tersebut di dalam hukum Diplomatik dinyatakan tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh dimasuki oleh aparat keamanan setempat kecuali seizin Kepala Perwakilannya.82 Karena itu Perwakilan Diplomatik maupun Konsuler suatu Negara dalam batas-batas tertentu dapat melaksanakan yurisdiksi ekstrateritorial-nya di Negara lain. Yurisdiksi ekstrateritorial tersebut meliputi yurisdiksi Perwakilan Diplomatik dan Konsuler dari suatu Negara khususnya yang menyangkut yurisdiksi suatu Negara terhadap Warga Negaranya di Negara lain. Yurisdiksi ekstrateritorial ini pada awalnya disebut sebagai yurisdiksi Konsuler karena yurisdiksi semacam itu sudah dianut dan dikenal sejak dahulu dan telah dipraktekkan oleh Konsul-Konsul di Negara lain.83 Bahkan yurisdiksi ekstrateritorial ini juga telah dipraktekkan semasa Kekaisaran Ottoman dalam abad ke-16, oleh karena pada masa itu hukum Turki yang didasarkan pada Qur’an tidak selayaknya dapat diberlakukan pada golongan Kristen Barat yang berada di Negara tersebut.84 Dalam hal terjadinya musibah terhadap Warga Negara terhadap Warga Negara asing di suatu Negara, khususnya keterlibatan mereka dalam tindak kejahatan, walaupun dia tetap harus menghormati peraturan perundang-undangan Negara setempat dari penyelidikan, penyidikan sampai kepada penuntutan di pengadilan, instansi yang berwenang dari Negara Penerima mempunyai pembatasan terhadap yurisdiksinya, dimana instansi tersebut berkewajiban untuk memberitahukan kepada pemerintah Negara dimana Warga Negara itu berasal baik melalui Perwakilan Diplomatik maupun Perwakilan Konsuler-nya yang berada di Negara Penerima mengenai musibah yang terjadi dan mengenai jalannya proses peradilan yang akan diambil terhadap Warga Negara asing tersebut.85 Dengan demikian baik Perwakilan Diplomatik maupun Konsuler yang mempunyai yurisdiksi ekstrateritorial wajib memberikan perlindungan terhadap Warga Negaranya termasuk kepentingannya di Negara Penerima, antara lain untuk mengunjungi Warga Negaranya yang ada di dalam penjara, mempersiapkan pengacara hukum yang 82 Lihat Pasal 22(1) Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik. Lihat Hyde, II, hlm. 849-871. 84 ICJ Report, (1952), 93. 85 Lihat Pasal 36.1.b. Konvensi Wina 1963 Mengenai Hubungan Konsuler. 83 diperlukan, mengusahakan penterjemah dalam hal mereka tidak mampu berbicara dalam bahasa setempat sebelum diadili dalam setiap tingkatan di pengadilan Negara Penerima.86 Kronologis Kasus TKW Kartini dan Ruyati Kartini binti Karim seorang TKW dari Indonesia yang bekerja di Uni Arab Emirat dituduh telah melakukan perzinahan dan di Pengadilan Syariah di Fujaira, Uni Arab Emirat di awal tahun 2000 telah diputuskan hukuman “rajam” (dilempatri batu sampai mati) terhadap Kartini. Selama persidangan di Pengadilan Tingkat Pertama, tidak ada upaya untuk memberikan bantuan hukum kepada terdakwa Kartini baik pengacara maupun penterjemah, namun Kartini kemudian bisa mengajukan banding. Kantor Perwakilan Diplomatik Indonesia (KBRI) di Abu Dhabi sejak terjadinya kasus tersebut tidak pernah diberitahukan oleh otorita setempat mengenai kasus Kartini tersebut, karena itu upaya-upaya tersebut tidak bisa dilakukan oleh KBRI di Abu Dhabi. KBRI baru mengetahui kasus tersebut setelah diberitakan melalui surat-surat kabar setempat tatkala Pengadilan Tingkat Banding akan digelar. Sehubungan dengan hal tersebut KBRI kemudian telah mengupayakan pengacara dan penterjemah karena Kartini tidak menguasai bahasa setempat termasuk pendekatan lainnya dalam usaha melindungi dan meringankan hukuman. Kartini pada akhirnya dijatuhi hukuman yang lebih ringan dari yang didakwakan sebelumnya. Sedangkan pada kasus yang menimpa Ruyati seorang TKW dari Indonesia yang bekerja di Arab Saudi atas alat bukti dan saksi serta atas pengakuannya Ruyati sendiri telah didakwa melakukan pembunuhan terhadap majikannya Khaitiyah Hamid Mujallid 64 tahun pada tanggal 12 Januari 2010. Menurut pengakuan Ruyati pembunuhan itu dilakukan karena ia tidak tahan lagi terhadap perlakuan majikannya yang sangat kasar. Menurut Harian setempat “Okaz” Ruyati telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya itu di kursi rodanya tatkala majikannya sedang melakukan Shalat Duha. Sejak itu Ruyati telah ditahan dan kemudian mulai diadili di Pengadilan Umum di Mekkah selama dua kali yaitu pada tanggal 3 dan 10 Mei 2010 dan dalam persidangan tersebut Ruyati telah mengakui segala perbuatannya dan dengan alat bukti dan saksi yang diajukan di pengadilan memang sangat memberatkan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Selama satu tahun lebih Konsulat Jenderal R.I di Jeddah tidak memperoleh kabar apapun dari otorita setempat mengenai keadaan Ruyati dan akhirnya Konsulat telah mengambil langkah untuk mencari Ruyati di Penjara Wanita di Mekkah pada tanggal 17 Januari 2011 dan telah mendapat informasi bahwa Ruyati karena kesehatannya yang sangat menurun dan mengalami depresi selama dua minggu terakhir telah dirawat di Rumah Sakit di Mekah. Keadaan Ruyati tersebut kemudian telah diberitahukan kepada keluarganya di Indonesia oleh Kementerian Luar Negeri tanggal 2 Februari 2011. Selama dua kali persidangan yang diadakan di Pengadilan Umum Mekkah, otorita yang berwenang di kota tersebut tidak pernah memberitahukan kejadian yang menimpa Ruyati baik kepada Kedutaan Besar R.I. di Riyadh maupun Konsulat Jenderal R.I di Jeddah. Dengan demikian kedua Perwakilan kita tidak bisa mengambil langkah-langkah seperlunya dalam upaya memberikan perlindungan kepada Ruyati atau setidak-tidaknya untuk meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada Ruyati. KBRI di Riyadh dan 86 Lihat Pasal 3.1.b. Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik. Konsulat Jenderal R.I di Jeddah baru mengetahui kasus Ruyati tersebut setelah diberitakan melalui surat-surat kabar lokal, bahkan sejak hukuman pancung dijatuhkan sampai kepada eksekusinya tanggal 18 Juni 2011. Sebagaimana Indonesia, Uni Emirat Arab merupakan negara pihak dari kedua Konvensi Wina tahun 1961 dan tahun 1963 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konsuler. Dengan demikian baik Indonesia maupun Uni Emirat Arab terikat oleh ketentuan-ketentuan dalam kedua Konvensi tersebut dan harus melaksanakan dengan itikad baik atas dasar azas Pacta Sunt Servanda (lihat Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian). Penutup Berdasarkan pembahasan permasalahan di atas dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa otorita yang berwenang dari Kerajaaan Arab Saudi ternyata sejak terjadinya kasus Ruyati tidak memberitahukan baik kepada KBRI di Riyadh maupun Konsulat Jenderal R.I di Jeddah. Hal ini jelas telah melanggar “Mandatory Access on Consular Notification”. Dengan demikian Perwakilan kita di sana tidak dapat mengambil langkahlangkah yang perlu dalam usaha memberikan perlindungan seperti mengupayakan pengacara dan penterjemah jika tidak menguasai bahasa Arab, upaya banding termasuk pendekatan lainnya dalam usaha melindungi dan meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepada Ruyati. KBRI di Riyadh dan Konsulat Jenderal R.I. di Jeddah sesuai dengan ketentuanketentuan Konvensi Wina tahun 1961 dan 1963 mempunyai kewenangan untuk memberikan perlindungan terhadap Warga Negaranya yang berada di wilayah Arab Saudi (Extra Territorial Jurisdiction) dalam hal mereka memperoleh musibah seperti Kartini dan Ruyati. Permasalahannya apakah kewenangan ekstra teritorial semacam itu dilaksanakan secara proaktif atau tidak, dan jelas terbaca dari gambaran kasus di atas hal tersebut tidak dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya sesuai dengan aturan Hukum Internasional yang berlaku di antara kedua Negara.