Menghidupkan Tuhan Kembali: Ikhtiar Menggagas Tuhan Masa Depan Muhammad Mukti *) Penulis adalah Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I.), dosen tetap di Jurusan Komunikasi (Dakwah) STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Al-Amin, Pabuwaran, Purwokerto. *) Abstract: God that we believe in now principally emerge from a concept that formulated by early thinkers, therefore certainly its contents affected by environment condition surrounding that concept’s formulator. Therefore, cultural, politic, or even economic factor more or less playing role to produce that concept. With the existence of “numinous” (Godliness talent) -indicate that man still need God, so offered new “God” became necessity. Even that God should we pick up again with new face, according to modern aspiration that idealized human rights, autonomy, love friendship, etc. With this model of God, we hope that God not being alienated or killed again. Keywords: God, concept of God, numinous. Pendahuluan Pembicaraan mengenai Tuhan merupakan diskusi yang usianya seumur keberadaan manusia. Diduga kuat pada diri manusia memang memiliki bakat ber-Tuhan.1 Tuhan yang digambarkan sebagai wujud yang Mahakuasa, pencipta, dan sebagainya yang diyakini mampu memberikan keselamatan, kedamaian, dan dapat memberi murka. Meskipun bakat ber-Tuhan melekat pada diri dan jiwa manusia, namun dalam perkembangannya, wujud dan gambaran Tuhan yang diyakini, umumnya mengikuti bentuk dan tren yang dilahirkan oleh institusi Agama yang lahir melalui logika para ulama sebagai hasil dari pemahaman mereka terhadap kitab suci. Selain itu, tidak sedikit Tuhan-tuhan yang lahir dan dibentuk oleh kebudayaan lokal. Oleh karenanya dalam satu agama sekalipun, Tuhan yang diyakini dan disembah oleh para pemujanya lahir dengan berbagai cerita, sesuai dengan pola pandang dan afiliasi teologi yang dianut. Dalam kasus Islam, misalnya, Tuhan yang diyakini lahir dari logika-logika Asyarisme, Muktazila, Jabariyah maupun Syi’ah. Variasi dan citra Tuhan yang beragam tidak hanya terjadi di dunia Islam, pada Kristen pun hal yang demikian terjadi. Dalam dunia Kristen format Tuhan yang sah adalah yang keluar dari mulut gereja . P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 1 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 Akan tetapi, tidak seperti dunia Islam, yang selama beberapa abad terakhir mengalami kemandekan intelektual dan pada saat yang sama Tuhan yang diyakini oleh para pemeluknya masih tetap mengikuti format yang merupakan kreasi ulama masa lalu yang dianggap memiliki otoritas. Di dunia Barat yang mayoritas Kristen, setelah masa pencerahan yang ditandai dengan bangkitnya nasionalisme dan empirisme, bermunculan para pendobrak “Tuhan” yang puncaknya sampai pada pengumuman kematian “Tuhan” oleh Friedrich Nietzsche. Terlepas dari bagaimana, apa, atau Tuhan telah mati, yang jelas diskusi tentang Tuhan itu sendiri menjadi menarik dan penting. Letak penting dan menariknya bukan saja kerena sosok-Nya yang abstrak, tetapi secara faktual pemahaman tentang konsep Tuhan (dalam arti yang lebih luas Teologi) bagi sebuah kebudayaan manusia adalah lahirnya variasi implikasi sosial dalam kehidupan dan pada gilirannya konsepsi pemahaman tersebut, sedikit banyaknya ikut andil dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan. Persoalannya kemudian adalah kalau kita menyetujui sejumlah pandangan yang meyakini eksistensi dan peran Tuhan bagi kehidupan, maka apakah Tuhan yang selama ini diyakini sebagai manifestasi dari rasa keberagaman dan bakat bawaan masih layak pakai atau tidak? Bagi yang meyakini dan mempercayai-Nya tentu mengatakan: Ya! tetapi pertanyaannya kemudian, mengapa Nietzche membunuhnya. Bagi Nietzche tentunya Tuhan sudah tidak akomodatif, tidak bersahabat, dan membelenggu kebebasan sehingga Dia dibunuh. Berangkat dari persoalan di atas, bagi mereka yang mendukung “Tuhan” kiranya penting untuk menghidupkan-Nya kembali, tetapi tentu dalam wajah yang lain, agar Dia tidak terbunuh untuk kedua kalinya. Tuhan dalam Konsep Kepercayaan Manusia: Perspektif Historis Sebagai makhluk yang menyimpan bakat ber-Tuhan, maka eksperimentasi untuk menggambarkan Tuhan yang cocok bagi kehidupan dan budaya manusia telah terjadi dari masa ke masa. Dalam tradisi Yunani, sebelum munculnya para filosof, tradisi ke-Tuhan-an mereka terdapat Iliad dan Oclyssey karya Homer, mereka menggambarkan adanya dewa-dewa yang memerintah alam, dan yang terpenting darinya adalah dewa keteraturan atau Zeus. Zeus digambarkan sebagai dewa yang Mahakuasa. Zeus memiliki anak-anak yang juga menjadi dewa-dewa, tetapi tidak kekal. Ia bukan pencipta alam dan sangat mengikuti kemauannya sendiri dalam menghadapi manusia.2 Kepercayaan terhadap dewa-dewa di atas yang umumnya digambarkan dalam bentuk cerita yang bersifat mitos, tidak memuaskan kalangan ahli pikir (filsuf). Oleh karenanya dengan berdasar atas kemampuan akal dan kecermatan mereka membaca buku alam, maka para filsuf berusaha menemukan Tuhan, yang lepas dari khayalan, menuju pada suatu logika berpikir yang sistematis. Sejumlah ahli pikir mengemukakan pandangan dan konsepnya mengenai Tuhan, antar lain Zenopanes (570 SM), Socrates (470-399 SM), Plato (472-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 2 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 Zenopanes menggagas Tuhan yang universal dan Esa. Pandangan tersebut sekaligus menolak pengkotak-kotakan Tuhan atas dasar suku, ras atau Tuhan kedaerahan yang diyakini pada zamannya.3 Adapun Socrates, mempercayai Tuhan yang diyakininya sebagai penguasa dan pengatur, tetapi Tuhan yang kuasa tersebut dipoles dengan sifat yang Mahabijak dan baik.4 Sementara Plato memiliki Dimergous (sang Tukang). Dalam konsepsi Plato Dimergous disebutkan sebagai pengatur chaos dengan mendasarkan diri pada ide-ide sehingga menjadi cosmos. Aktivitas Dimergous mengkomunikasikan diri lewat tindakan baik menata chaos.5 Sedangkan Aristioteles yang lahir kemudian membentuk Tuhan yang diyakininya sebagai penggerak pertama yang tidak digerakkan (unmover mover). Menurutnya gerak atau perubahan dalam alam tidak mempunyai permulaan atau penghabisan karena tiap-tiap sesuatu yang berubah pasti mengandaikan penyebab yang mengubah hal itu menjadi hal lain sehingga dibutuhkan penyebab pertama ini bersifat abadi demikian pula dengan perubahan yang disebabkan oleh-Nya.6 Jika para filosof seperti yang telah dikemukakan di atas mempercayai dan meyakini Tuhan atas dasar hasil analisis berpikir mereka terhadap fenomena yang ada di alam ini, maka agamawan menjelaskan Tuhan atas dasar pemahaman mereka terhadap teks-teks kitab suci yang diyakini sebagai wahyu sehingga dapat disebutkan bahwa Tuhannya orang-orang Hindu, Kristen, dan Islam adalah Tuhan yang diinterpretasi dari teks-teks kitab suci masing-masing agama. Dalam Hindu, konsep Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh persepsi para penyair, kenyataan ini lebih disebabkan karena umumnya pesan-pesan kitab Weda, dituangkan dalam bentuk syair oleh para penyair. Secara umum dapat disebutkan bahwa dalam pola ke-Tuhan-an Hindu ditemukan adanya tingkat kasta yang diatur oleh Tuhan.7 Dalam perspektif Kristen, Tuhan dibentuk dari penafsiran umat Kristen terhadap teks kitab suci. Bahwa pembukuan Injil dalam sejarah mengalami keterlambatan, sudah barang tentu melahirkan implikasi sendiri bagi pemahaman konsep ketuhanan Kristen. Konsep Trinitas yang kemudian dipegang oleh umat kristiani, tidak lahir dengan sendirinya, melainkan sangat terkait dengan fakta historis yang melatarbakakangi konsep tersebut. Abbas Mahmud al-Akkad menyebutkan bahwa lima abad pertama sesudah Nabi Isa wafat, umat Kristen tidak pernah sunyi dari perselisihan antara konsili dan gereja, yang bertumpu pada penafsiran yang berbeda terhadap kata Bapak, Anak, dan Roh Kudus yang tercantum dalam kitab Injil.8 Dari data-data sejarah yang ada, secara eksplisit menunjukkan bahwa Tuhan yang diyakini umat kristiani adalah hasil lukisan gereja. Konsep ke-Tuhan-an yang dilahirkan gereja tersebut adalah yang legal dalam doktrin Kristen. Oleh karena sebagaimana diketahui dalam tradisi Kristen (Katolik), gereja menempati posisi yang sangat sakral yang diyakini tidak mungkin berbuat salah.9 Sementara Islam yang juga mewarisi tradisi monoteisme dari agama Ibrahim, konsep Tuhan bukan tanpa masalah. Sebagai contoh di Indonesia, negara yang mayoritas berpenduduk Muslim ini, dalam hal konsep ke-Tuhan-an umumnya meyakini Tuhan sebagaimana yang diwariskan oleh P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 3 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 Asyarisme. Dalam konsep Asyari, Tuhan digambarkan sebagai Tuhan yang memiliki kekuasaan yang mutlak sehingga Tuhan yang mengatasi manusia terlalu “over”. Akhirnya manusia kehilangan independensinya dan berada dalam posisi dan kondisi seperti “mobil-mobilan” yang dikontrol melalui remot. Selain Asyarisme, juga dikenal kelompok Muktazilah, kelompok ini oleh Islamolog Barat diposisikan dalam jaringan rasionalis. Agak berbeda dengan Asyarisme, dalam gagasan Mutazilah. Tuhan lebih akomodatif kepada manusia. Sekalipun mereka meyakini ciri kebertuhanan Tuhan yang pada umumnya diyakini memiliki kemahakuasaan, namun muktazilah menggagas “kesaling pengertian” antara Tuhan dan manusia. Kegemaran melukis Tuhan tidak hanya terbatas pada lingkungan teolog, sejumlah sufi juga melakukan hal yang sama. Sufi terpidana mati Husain bin Mansur al-Khallaj memiliki pandangan tersendiri mengenai Tuhan dengan mengadopsi pandangan Ittihad-nya (Union Mistik). Abu Yaszid alButami dan al-Khallaj mengundang Tuhan turun ke bumi dam mengambil tempat pada alam dan manusia (hulul).10 Perbedaan pendekatan dalam menginterpretasikan Tuhan antara kelompok teolog dan sufi melahirkan konsep Tuhan yang berbeda. Pada umumnya teolog meletakkan Tuhan jauh di atas awan-awan (Transendensi Tuhan sangat ditekankan), sedangkan para sufi umumnya menghadirkan Tuhan ke Bumi (Immanen). Ibarat perlombaan melukis, selama berabad-abad, sejak manusia merasa memiliki kepentingan dengan-Nya, maka pada saat itu pula “Tuhan” diotak-atik di atas sebuah kanvas. Pada beberapa abad terakhir sebelum kebangkitan nasionalisme dan empirisme di Barat, pelukis yang menampilkan Tuhan dengan wajah yang represif atau sebagai raja yang menguasai rakyatnya, mendapat legalitas dari institusi keagamaan (gereja katolik) sehingga keluar sebagai pemenang. Tidak berbeda jauh dengan dunia Barat yang diwakili oleh Kristen, di dunia Timur Islam didominsai oleh Ahl al-sunnsah wa al-Jama’ah, sebagai pewaris teologi Asy’ari. Tuhan-pun secara substansial digambarkan seperti gambaran di atas dan dengan dasar legalitas dari Jumhur Ulama, maka segala upaya penggambaran wajah Tuhan yang lain, terkadang dianggap sesat. Pada kesimpulannya dapat dikatakan bahwa ketika kita menyebut-nyebut “Tuhan” (dalam konteks Kristen, Islam, Hindu atau budaya apa saja) maka tentunya yang dimaksud adalah Tuhan dalam konsepsi kita/saya. Oleh karena Tuhan yang dibicarakan tersebut sangat historis, sedangkan Tuhan yang hakiki (esensi) yang mengenal-Nya adalah Tuhan sendiri. Upaya Manusia Menggulingkan Tuhan; Berhasilkah? Barat sebelum abad XVI adalah dunia yang gelap, di mana manusia yang menjadi pusat harapan bagi pengembangan kebudayaan di dunia, sepenuhnya berada di bawah supremasi gereja. Pada saat itu gereja merupakan perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi dan dengan mengatasnamakan Tuhan segala kebenaran harus mendapat stempel restu dari institusi tersebut. Sebagai sumber dari segala P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 4 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 sumber kebenaran, gereja melalui operatornya (Paus) diyakini tidak maungkin keliru, dan sebagai pelanjut Kristus (Paus) menyampaikan pesan-pesan moral dan agama yang memiliki status Qathi. Keadaan di atas berlangsung selama berabad-abad sehingga ketika kekuatan pemersatu agama (Katolik) abad pertengahan mengalami keretakan karena gerakan perpecahan agama yang berlangsung secara revolusioner pada abad XVI, maka manusia yang sebelumnya hidup dalam suasana kebekuan dan hak-hak berkreasinya dikebiri dan perlahan-lahan mulai bangkit dengan munculnya gerakan reformasi. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa gerakan reformasi agama oleh kaum Protestan, Renaisance, Aufklarung maupun kaum revolusi Perancis adalah jalan yang melicinkan untuk membalikkan supremasi gereja (Agama, Tuhan) di bawah supresami manusia. Dengan dipicu oleh Renaisance dan Aufklarung, manusia menemukan babak baru dan awal lahirnya episode sejarah yang membebaskan manusia dari kebekuan yang berabad-abad. Mausia yang sebelumnya dipaksa tunduk pada dogma berbalik menyerang dogma. Di bawah kibaran bendera rasionalisme dan epirisme, manusia memilki keyakinan baru, yaitu keyakinan akan hukum-hukum alam. Kepercayaan pada hukum alam yang bersifat material diperkuat dengan keyakinan pada kemampuan rasio sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. Aufklarung dengan semboyan beranilah berpikir, orang merasa yakin bahwa kekuatan dahsyat yang diperoleh lewat sains dan logika dapat menjawab semua persoalan. Dalam spinoza keyakinan pada rasio telah melahirkan struktur geometri dan logika yang menakjubkan. Alam semesta menjadi sebuah sistem yang mekanik dan dapat digambarkan apriori dengan hanya deduksi dari akasioma-aksioma yang sudah diterima. Dalam Hobbes rasionalisme Bacon menjadi ateisme dan materialisme yang tegar sehingga yang ada hanyalah “atom dan kekosongan”. Di tangan Spinoza sampai Diderot, kehancuran Iman terjadi bersamaan dengan kemajuan rasio. Satu per satu dogma lama berguguran. Katedral kepercayaan abad pertengahan dengan segala keagungan dan keindahannya hancur berantakan. Tuhan jatuh dari singgasananya, surga memudar menjadi langit, dan neraka hanya menjadi ekspresi emosional. Sekarang dalam pendangan Aufklarung, yang ada hanyalah yang bisa dijelaskan oleh sains atau diperoleh melalui deduksi-logis dari dalil-dalil umum (seperti dalam matematika). Tuhan tentu saja tidak ada karena tidak dapat diteliti di laboratorium penjelasan masa prailmu.11 Akibat dari pengaruh pencerahan yang terjadi pada abad XVII dan XVIII, dunia Barat melahirkan sejumlah pemikir dan pembongkar tatanan kehidupan yang beku. Konsekuensinya, segala yang tidak logis didekonstruksi. Agama dan gereja mendakwahkan wahyu sudah tidak menarik lagi, bahkan agama pada saat yang sama menjadi tertuduh sebagai biang dari kebekuan. Tidak cukup sebagai tertuduh bahkan “Tuhan” yang diyakini para penganut agama sebagai suatu yang absolut digiring ke tiang gantungan. Sejumlah nama dapat disebutkan sebagai tokoh-tokoh revolusioner abad ini yang mengeksekusi Tuhan, di antaranya adalah Friederich Nietzcshe, Sigmund Freud, ataupun Jean Paul Sartre. Filsuf P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 5 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 dekonstruksionis Nietzcshe adalah sosok kontroversi dan merupakan nabi bagi nihilisme. Ia merupakan penggagas Tuhan mati. Selain Nietzcshe, tokoh lain yang sangat mencurigai Tuhan adalah psikoanalis Freud. Dalam dakwah Nietzcshe, dia menyebutkan bahwa manusia harus kembali menjadi ubermench, yang mempunyai kehendak untuk menguasai dunia secara sempurna, manusia yang telah diperbudak oleh Tuhan harus membalas dendamnya dan membunuh-Nya. Tuhan harus mati supaya manusia dapat mencapai apa yang sebenarnya harus dicapai, yaitu pencipta kebudayaan tanpa batas. Upaya menggulingkan Tuhan, memang memiliki pengaruh pada manusia Barat khususnya. Manusia Barat kini berusaha untuk berdiri sendiri dalam usaha berbudaya dan menentukan masa depannya. Manusia ingin dibiarkan dalam kelemahannya agar dari kelemahannya itu ia dapat menciptakan kekuatannya sendiri dan dapat mengusahakannya sendiri keperluannya dari yang tidak ada menjadi ada agar tujuan ini tercapai, maka Tuhan harus mati. Tuhan mati berarti bahwa manusia dapat hidup sendiri menentukan sendiri apa yang baik apa yang jahat. Tuhan mati berarti manusia hidup tanpa harus memakai Tuhan sebagai kapital bagi hidupnya. Segala sesuatu berada di tangan manusia sendiri. Benarkah manusia telah berhasil menggulingkan Tuhan? William Hamilton sebagaimana yang diuraikan oleh Harun Hadiwiyono dalam Teologi Reformatoris abad 20, mengatakan bahwa kini kita hidup di suatu zaman “Tuhan mati”, yaitu masa yang orang-orang menganggap bahwa Tuhan telah mengundurkan diri dari dunia ini, Tuhan tidak hadir lagi, sehingga bagaimanapun harus dikatakan bahwa Tuhan mati. Lebih lanjut, Hamilton mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh tentang menghilangnya Tuhan ialah pada saat kita benar-benar tidak berasa benar-benar bahwa Tuhan hadir di dunia ini, kita toh masih merasa mungkin untuk berdoa, untuk memohon agar Tuhan balik kembali. Oleh karena itu, yang menjadi beban manusia dewasa ini ialah ia merasa hidup tanpa kehadiran Tuhan, namun berharap juga akan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa orang modern zaman ini bagaimanapun ingin hidup tanpa Tuhan, namun mereka juga masih berharap pada-Nya.12 Dari apa yang telah disebutkan oleh Hamilton di atas, dapat disimak bahwa membunuh perasaan ber-Tuhan atau paling tidak ide dan konsep ke-Tuhan-an pada jiwa manusia tidaklah semudah mengkampanyekan. Kesulitan itu tampaknya tetap terkait dengan potensi bawaan manusia yang menyimpan bakat ber-Tuhan. Seperti apa yang diistilahkan oleh Rudolf Otto dengan nominous. Perasaan nominous sebagai perekat yang menghubungkan manusia dengan kekuatan supranatural, pada zaman modern dewasa ini terus bergerak untuk mencari kembali Allah. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Lois Leahy bahwa bila kita meninjau panorama filosofis, maka kesimpulan yang segera nampak secara menonjol di hadapan kita adalah bahwa pikiran dewasa ini sedang mencari Allah atau sedang bergulat secara terbuka dengan Dia. Hal ini sekaligus sebagai bukti bahwa filsafat telah memanggil kembali Tuhan dari pengasingan-Nya.13 P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 6 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 Kalau kita sepakat bahwa dengan adanya bakat ber-Tuhan (nominous) adalah menjadi tameng dan penghalang yang kuat untuk merealisasikan upaya manusia menggulingkan Tuhan, atau upaya itu telah gagal terbukti dengan kecenderungan yang semakin besar yang diperlihatkan oleh manusia dewasa ini untuk menjemput Tuhan seperti kata Lois Leahy dan optimisme tentang kegagalan menggulingkan Tuhan dari wilayah kepercayaan manusia, ditambah dengan bukti yang menyebutkan bahwa 99 % orang Amerika masih percaya pada Tuhan, sebagaimana yang disebutkan oleh Armstrong.14 Pertanyaannya kemudian adalah Tuhan bagaimanakah yang akan dihidupkan? Sketsa Tuhan Masa Depan Untuk menggagas Tuhan masa depan, maka perlu dilihat dahulu, mengapa Tuhan di mata sebagian para pemikir seperti Nietzche, Sartre, dan beberapa pemikir Atheis lainnya sangat dicurigai, bahkan dihapus dari lingkungan kepercayaan manusia sehingga untuk menghasilkan konsep yang komprehensif bagi bentuk Tuhan masa depan. Agar Dia tidak terbunuh untuk kali yang kedua, maka setting historis dari pembunuhan ide Tuhan perlu disimak dan diperhatikan. Teologi “God of Death” dan “God is death movement” yang sebelumnya digagas oleh Nietzche, menurut Nico Syukur pengaruhnya sangat terasa di tahun enam puluhan pada abad ini. Tokoh-tokoh yang menjadi pionir terhadap gerakan ini pada tahun enam puluhan seperti Thomas J. Altizer, Paul Van Buren, dan lain-lain.15 Dari sejumlah tokoh yang disebut-sebut memiliki pandangan teologi Tuhan mati, maka nama Friedrich Nietzche, yang selalu dikedepankan sosoknya yang revolusioner dan sekaligus dekonstruksionis. Dia berusaha membangun dunia yang lepas dari campur tangan Tuhan. Untuk mencapai keinginannya tersebut ia menghancurkan tatanan nilai lama yang dianggapnya sebagai kepalsuan dan kebohongan. Oleh karena itu, dia melihat nilai-nilai lama tersebut inheren dengan agama, maka Nietzche mendeklarasikan “Kematian Tuhan”, yang disebutnya sebagai peristiwa paling penting zaman ini.16 Selaku pendeklarator “Kematian Tuhan” Nietzche melihat Tuhan sebagai musuh dari kebebasan. Oleh karena itu, dengan membunuh-Nya, manusia menemukan kebebasan untuk menentukan nilai, memilih yang baik dan buruk. Sebagaimana Nietzche, Sartre juga melihat Tuhan sebagai penghambat. Menurutnya hanya dengan meniadakan Tuhan kita baru dapat bertindak dengan otentik. Baik Nietzche maupun Sartre mengalami apa yang dikatakan “angry disbelievers”, mereka melihat Tuhan sebagai penyebab ketidakadilan, penindas, dan penurunan nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, bila manusia ingin bebas dan terbuka maka manusia harus lepas dari ikatan Tuhan. Manusia harus berdiri sendiri di alam semesta dan bertanggung jawab sepenuhnya pada apapun yang ia lakukan.17 Pandangan-pandangan Nietzche terhadap Tuhan, sesungguhnya tidak berdiri sendiri, tetapi sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan yang dia alami. Terlahir dari keluarga yang mewarisi agama Protestan yang taat, disitulah Nietzche untuk pertama kalinya bersentuhan dengan P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 7 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 konsep Tuhan. Dari tulisan-tulisan Nietzche, dengan mudah dapat ditebak, bahwa dia menemukan Tuhan dalam hidupnya, seperti seorang raksasa yang menguasai hidup manusia tanpa batas sehingga ruang gerak manusia menjadi sempit, sumpek, dan membelenggu kebebasan serta kemandirian untuk hidup di dunia yang luas. Sejumlah masalah tersebut dirasakan olehnya dan masalah itu pulalah yang menimbulkan kegelisahan intelektualnya dan kemudian mendorong dirinya untuk mengeksekusi Tuhan. Kegelisahan untuk hidup bebas dan mandiri seperti yang digagas oleh Nietzche di atas merupakan salah satu ciri dari prototipe manusia modern dewasa ini yang bergerak menggunakan kaki rasionalisme dan empirisme. Kebebasan dan kemandirian berpikir tanpa terikat oleh batas-batas dogma yang awalnya dikibarkan oleh renaisance kemudian mendapat follow up pada masa Aufklarung. Inilah yang selama berabad-abad disumbat oleh “Tuhan” yang dikonsepsikan agama-agama. Untuk itu, Agama sebagai sebuah sistem kepercayaan yang lahir di tengah-tengah kebudayaan manusia, bila tidak memiliki keberanian untuk mengubah poin-poin ajarannya yang mengekang kebebasan dan kemandirian manusia yang dijadikan jati diri sebagai makhluk modern saat ini, maka mau tidak mau, cepat atau lambat, ia harus rela disingkirkan dalam atmosfer budaya manusia masa datang. Oleh karenanya jika agama ingin tetap eksis, maka sangat urgen bagi agama-agama tersebut untuk mereformasi diri. Pertanyaannya kemudian adalah, apa yang harus direformasi dari agama? Usaha untuk mereformasi agama diarahkan pada beberapa masalah pokok, yang sebelumnya menjadi penyebab dari ketidaksimpatisan manusia pada agama. Salah satunya adalah agama-agama tradisional harus memulihkan kepercayaan orang dengan menghilangkan sifat konservatif masa lalu yang sangat kaku dan bahkan cenderung menjadi rival bagi usaha pengembangan sains dan teknologi di atas landasan rasionalisme dan empirisme. Jika reformasi di atas berjalan, maka posisi dan peran Tuhan terhadap manusia juga harus ditata ulang. Oleh karena itu, dengan belajar dari pengalaman dan kenyataan masa lalu dari kisah tragis yang menimpa “Tuhan”, maka konsep Tuhan harus direkonstruksi. Gambar Tuhan yang lebih menampakkan gambar penguasa yang otoriter dan menenggelamkan ciri kasih sayang-Nya sebagaimana yang dikonsepsikan dalam agama harus ditinggalkan. Menurut Whitehead, perfomence Tuhan yang dibentuk oleh agama-agama masa lalu, sebagai kekuatan yang maha kuasa yang dapat bertindak apa saja yang dia inginkan, bukan saja bertentangan dengan aspirasi manusia modern, melainkan juga secara intelektual tidak memuaskan, dengan alasan. Pertama; kalau Tuhan itu dipandang sebagai Mahakuasa dalam segala hal. Hal itu berarti tidak ada sesuatu yang dapat terjadi di dunia ini yang tidak Dia dikehendaki dan perbolehkan. Akan tetapi, kalau memang demikian adanya, berarti dia juga harus bertanggung-jawab untuk setiap kejadian apapun di dunia ini termasuk kejadian yang jahat. Kalau Allah itu Mahakuasa dalam segala hal dan tidak sesuatu P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 8 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 pun terjadi tanpa perkenaannya maka Dia menjadi asal dari segala yang baik maupun yang buruk. Kedua; konsep Tuhan dalam agama-agama tradisional terlalu menekankan transendensi-Nya, sehingga tampak dengan kasat mata sebuah jurang yang mengangga yang memisahkan Tuhan dari manusia dan dunianya sebuah jurang yang sulit bahkan untuk membuktikan keberadaan-Nya saja.18 Dengan meminjam konsep teologi proses dari Ch. Harshorne, Whitehead memberikan solusi bagi pengembangan konsep ke-Tuhan-an yang merupakan sintesa dari konsep Tuhan dalam monoteisme dan panteisme. Monoteisme sebagai paham ber-Tuhan secara eksplisit terlalu menekan transendensi panteisme tidak cukup membedakan Tuhan dari manusia, karenanya sebagai sintesa dari dua paham di atas, dia menawarkan panenteisme. Dalam panenteisme, Tuhan tidak berada di luar maupun di samping dunia, dan juga tidak ada sebelum dunia ini dilahirkan, tetapi selalu ada dan korelatif bersama dunia.19 Menurut penulis tawaran Whitehead pada sisi yang pertama, yaitu Tuhan tidak bisa dilepaskan terlalu jauh dari manusia dan juga tidak identik dengan dunia IS OK. Pada sisi berikutnya yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak ada sebelum dunia dijadikan, secara kasat mata sangat paradoksal dengan pengakuan terhadap aspek primordial Tuhan, yaitu sebagai pencipta, abadi, dan lain lain yang sebelumnya diakui oleh Whitehead. Oleh karenanya menurut hemat penulis, Tuhan memang “tidak patut” menjauhkan diri atau lebih tidak patut lagi kalau dijauhkan oleh manusia, dalam arti berada dia atas sebagai yang tak terhingga, seperti dalam konsep transendensi Tuhan. Jika demikian, Tuhan harus immanen, dalam pengertian aspek kasih, sayang, keadilan, kebijaksanaan yang diturunkan tanpa harus menghapus hak primordialNya yaitu kuasa, abadi, dan sebagainya. Pada akhirnya, tanpa pretensi untuk meniadakan kemahakuasaan Tuhan, sebagai ciri dari kebertuhanan Tuhan, maka ide tentang Tuhan masa depan adalah: Tuhan yang mengedepankan kasih sayang daripada kemahakuasaan. Dengan meresesifkan kemahakuasaan Tuhan dan mendominankan kasih sayang-Nya (kemahakuasaan-Nya tenggelam dalam lautan kasih sayang-Nya) akan menampakkan wajah Tuhan yang persuasif dan bukan represif. Pada sisi lain kemahakuasaan yang lebur dalam kasih sayang-Nya tadi akan melahirkan kebijakan dan keadilan yang merupakan lawan dari kesewenang-wenangan. Penutup Oleh karena Tuhan yang kita yakini sekarang pada prinsipnya lahir dari sebuah konsep yang digagas oleh para pemikir sebelumnya, maka sudah barang tentu isi dan muatannya tidak dapat dielakkan dari pengaruh suasana lingkungan yang berada di sekitar penggagas konsep dimaksud. Untuk itu, faktor budaya, politik, atau bahkan ekonomi sedikit banyaknya turut berperan dalam melahirkan konsep dimaksud. Dari apa yang telah dikemukakan panjang lebar pada bagian; Tuhan dalam konsep kepercayaan manusia; perspektif historis, maka secara kasat mata terlihat, baik di Eropa P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 9 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 (sebelum abad XV) maupun pada dunia Islam, dapat disebutkan bahwa selain pengaruh budaya, maka pengaruh politik juga ikut mempresur konsep ke-Tuhan-an. Merujuk pada apa yang telah disebutkan semula bahwa pada prinsipnya, ketika kita menyebutkan Tuhan kemudian kita menyembah-Nya, berbakti pada-Nya, berkorban untuk-Nya (baik dalam konteks Kristen, Islam, Hindu, dan lain sebagainya) maka yang kita maksud dengan Tuhan tersebut adalah Tuhan dalam konsep saya atau kita. Oleh karena itu, Tuhan (konsep Tuhan) adalah sangat historis, dan karena historis, maka konsep tersebut sangat mungkin diubah atau diganti dengan yang baru. Bahwa dengan adanya “nominous” (bakat ber-Tuhan) yang mengindikasikan manusia tetap butuh terhadap Tuhan, maka menggagas “Tuhan” baru menjadi sebuah keniscayaan. Akhirnya, Tuhan itu pun kita harus jemput kembali dengan wajah baru dan tentunya sesuai dengan aspirasi modern yang mengidealkan hak asasi, otonomi, kasih sayang, persahabatan, dan lain sebagainya. Dengan model Tuhan yang demikian, kita berharap Tuhan tidak lagi diasingkan atau dibunuh. Endnote Rudolf Otto, seperti yang dikutip oleh Karen Armstrong, menyebutkan bahwa dalam diri setiap orang, terdapat perasaan keyakinan terhadap adanya kekuatan yang lebih besar dan tinggi, Karen Amstrong, A History of God (New York : Alfred A Knoof, 1993), hal. 5. 1 Harold A Titus, dkk., “Living Issues In Philosophy,” dalam H. M. Rasyidi, Persoalan-persoalan Filsafat (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hal. 447. 2 3 Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta : UI Press, 1988), hal. 20. 4 Kidd I. G. Encyclopedia of Philosophy (New York: MacMillan Publishing, 1972), hal. 83-84. 5 Lois Leahi, Filsafat Ketuhanan Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 193-194. 6 Ibid., hal. 194. Zaenal Abidin Ahmad, Perkembangan Pemikiran ke Agamaan (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), hal. 187, lihat juga Donald Eugene Smith, “Religion and Political Development”, dalam Machnun Husain, Agama & Meodernisasi Politik (Jakarta : Rajawali, 1985), hal. 34. 7 Abbas Mahmud Al-Akkad, “Allah”, dalam M. Adib Bisri, Tuhan di Segala Zaman (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995), hal. 188. 8 9 Donald, “Religion”, hal. 73. 10 Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam (Jakarta : Rajawali Press, 1997), hal. 161. Djalaluddin Rahmat, Ateisme dalam Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Ed. Muhammad Wahyuni Nafis (Jakarta : Paramadina, 1996), hal. 37. 11 12 Harun Hadiwiyono, Teologi Reformatoris Abad ke 20 (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993), hal. 156-157. 13 Lois Leahy, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hal. 23. 14 Karen Armstrong, History, hal. 398. 15 Nico Syukur, Filsafat Kebebasan (Yogyakarta : Kanisius, 1993), hal. 26. P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 10 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197 Frans Magnis Suseno, Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Sembilan Belas (Yogyakarta : Kanisius, 1997), hal. 197-198. 16 Djalaluddin Rahmat, Ateisme dalam Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Ed. Muhammad Wahyuni Nafis (Jakarta : Paramadina, 1997), hal. 35. 17 J. Sudarminta, Filsaafat Proses sebuah Pengantar Sistematika Filsafat Alfred North Whitehead (Yogyakarta : Kanisius, 1997), hal. 88. 18 19 Ibid., hal. 88-100. Daftar Pustaka Ahmad, Zaenal Abidin. 1993. Perkembangan Pemikiran ke Agamaan. Jakarta: Pustaka Al-Husna. Al-akkad, Mahmud Abbas. 1995. Allah. Jakarta : Putaka Firdaus. Armstrong, Karen. 1993. A History of God. New York: Alfred A Knopf. Hadiwiyono, Harun. 1993. Teologi Reformatoris Abad 20. Yogyakarta: Kanisius. Hatta, Muhammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press. Husain, Machnun. 1985. Agama dan Modernisasi Politik. Jakarta: Rajawali. I.G. , Kidd. 1972. Ensiklopedia of Philosophy. New York: Mac Millan Publishing. J. Sudarminta. 1991. Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. Leahy, Lois. 1984. Masalah Ke-Tuhan-an Dewasa Ini I. Yogyakarta: Kanisius. ____________. 1993. Filsafat Ke-Tuhan-an Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius. Rahmat, Djalaludin. 1996. Ateisme dalam Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Ed. Muh. Wahyuni Nafis. Jakarta : Paramadina. Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: Rajawali Press. Suseno, Franz Magnis. 1997. Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Yogyakarta; Kanisius. P3M STAIN Purwokerto | Muhammad Mukti 11 Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 181-197