Korelasi arsitektur pohon model rauh dari jenis pinus

advertisement
KORELASI ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH
DARI JENIS Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese
DENGAN KONSERVASI TANAH DAN AIR
DI AREA PHBM YANG DITANAMI Coffea arabica L.
RPH GAMBUNG KPH BANDUNG SELATAN
RITA SUGIHARTI AINILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Korelasi Arsitektur Pohon Model
Rauh dari Jenis Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese dengan Konservasi Tanah
dan Air di Area PHBM yang Ditanami Coffea arabica L. RPH Gambung KPH
Bandung Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Rita Sugiharti Ainillah
NIM G353090211
ABSTRACT
RITA SUGIHARTI AINILLAH. Correlation of Rauh Model Tree Architecture on
Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese to Soil and Water Conservation in CBFM
Area Planted Coffea arabica L. RPH Gambung KPH Bandung Selatan. Under
direction of DEDE SETIADI and LIES BAHUNTA.
Trees in CBFM (Community-Based Forest Management) ecosystems are
suspected to modify rainfall interception, infiltration and as a consequence,
erosion. Their effect urges to be assessed and modelled in various conditions of
soil and density of vegetation. The most important parameters that affect the soil
water balance and erosion were identified as being the total input of water
(throughfall and stemflow) to the ground and the runoff ratio. This research was
studied correlation of erosion on rainfall, throughfall, stemflow, and runoff. The
aims of the research were to : (1) identify architecture model of pine tree, (2)
observe throughfall, stemflow, runoff, and soil loss values, (3) study impact of
architecture model of pine tree to water and soil conservation. Runoff and soil loss
data were collected for thirty-four days of rainfall from three runoff plots situated
on a 36% uniform slope areas. Three fields are studied on this research ; pine
forest planted with Coffea arabica L., natural vegetation dominated by Altingia
excelsa Noronha., and cultivated land. Erosion measurement was conducted at
plots 12 long and 4 m wide. The result of the research indicates that P.merkusii
and A.excelsa have same tree architecture, Rauh model. Result of loading plot
analysis indicate that correlation between throughfall, stemflow and runoff with
rainfall and erosion are positive. Forest planted P. merkusii and natural vegetation
dominated by A. excelsa prevent or decrease the risk of soil erosion. The greatest
amount of sedimentation was observed in cultivated land (55.99 ton/ha/yr). In
conclusion, important to consider the type and model of tree architecture which
will be planted so as to conserve soil and water and to keep the ground cover to
decrease soil erosion.
Keywords : tree architecture model, erosion, soil and water conservation
RINGKASAN
RITA SUGIHARTI AINILLAH. Korelasi Arsitektur Pohon Model Rauh dari
Jenis Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese dengan Konservasi Tanah dan Air di
Area PHBM yang Ditanami Coffea arabica L. RPH Gambung KPH Bandung
Selatan. Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan LIES BAHUNTA.
Pohon-pohon yang ada dalam ekosistem PHBM (Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat) diduga berperanan penting dalam konservasi tanah dan air.
Erosi merupakan suatu proses penghancuran tanah (detached) dan kemudian tanah
tersebut dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, gletser atau gravitasi
(Arsyad 2006). Tanaman dan tanah yang subur juga dapat membantu
mengendalikan erosi (Christensen 2002). Menurut Lee (1998), ekosistem hutan
dan perkebunan mempunyai peranan penting dalam mengendalikan air di
permukaan tanah dan sebagai sistem pengatur siklus air, sehingga dapat mencegah
erosi. Pengaruh hutan dan perkebunan tersebut sangat penting diketahui dan
diterapkan dalam berbagai kondisi tanah dan kepadatan vegetasi. Parameter paling
penting yang mempengaruhi keseimbangan air tanah dan erosi diidentifikasi
sebagai total air yang masuk (curahan tajuk dan aliran batang) ke tanah dan rasio
aliran permukaan. Penelitian ini mempelajari korelasi erosi dengan curah hujan,
curahan tajuk, aliran batang, dan aliran permukaan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk : (1) mengidentifikasi model arsitektur pohon pinus, kopi dan rasamala, (2)
mengukur curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan, dan laju erosi tanah, (3)
mengetahui korelasi model arsitektur dari pohon pinus dan rasamala terhadap
konservasi air dan tanah. Data aliran permukaan dan laju erosi tanah dikumpulkan
selama tiga puluh empat hari kejadian hujan dari tiga plot aliran permukaan
terletak pada kemiringan lereng yang sama, yaitu 36%. Penelitian dilaksanakan di
hutan Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese yang ditanami Coffea arabica L., di
hutan lindung yang didominasi oleh Altingia excelsa Noronha., dan lahan tanpa
tegakan. Pengukuran erosi dilakukan pada plot berukuran panjang 12 m dan lebar
4 m dengan 3 (tiga) kali ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa P.merkusii dan A.excelsa memiliki
model arsitektur pohon yang sama, yaitu Rauh. Walaupun memiliki model
arsitektur pohon yang sama, namun keduanya memiliki bentuk daun yang
berbeda. Pinus memiliki daun berbentuk jarum (DJ) dan batang beralur,
sedangkan rasamala berdaun lebar (DL) dan berbatang licin. Kopi (Coffea arabica
L.) mempunyai arsitektur pohon model Roux.
Berdasarkan struktur dan komposisi vegetasi, terdapat 19 jenis tumbuhan
di areal PHBM, dan jenis yang dominan dengan INP tertinggi untuk tingkat pohon
adalah Pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese) sebesar 173.32%, pada
tingkat tiang yaitu Pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese) sebesar
300.00%, dan untuk tumbuhan bawah didominasi oleh jenis Teklan (Eupatorium
riparium Regel) sebesar 72.23%. Di hutan lindung terdapat 42 jenis dengan INP
tertinggi pada tingkat pohon adalah Rasamala (Altingia excelsa Noronha.) sebesar
104.58%, pada tingkat tiang adalah Puspa (Schima wallichii Korth.) sebesar
73.96%, dan untuk jenis tumbuhan bawah yaitu Jampang piit (Eleusina indica (L.)
Gaertn.) sebesar 41.18%. Di areal PHBM ditemukan jenis tumbuhan herba, bibit
pohon kopi, dan semak belukar. Di lahan terbuka atau tanpa tegakan, karena
sering diolah untuk penanaman sayuran maka hanya terdapat jenis rumput dan
jenis-jenis tumbuhan bawah lain dengan INP tertinggi yaitu Babadotan (Ageratum
conyzoides L.) sebesar 43.37%.
Curahan tajuk tertinggi terdapat pada Rasamala yang mempunyai
arsitektur pohon model Rauh DL sebesar 28.73 mm dan pada Pinus sp. dengan
model Rauh DJ 27.16 mm. Dengan nilai korelasi pada model Rauh DJ sebesar
90.50% dan Rauh model DL 80.80%, hal ini menunjukkan hubungan curah hujan
dengan curahan tajuk bersifat positif. Aliran batang tertinggi terdapat pada
arsitektur pohon model Rauh DJ sebesar 50.57 mm dibandingkan dengan model
Rauh DL 0.04 mm. Nilai korelasi antara curah hujan dengan aliran batang pada
Rauh DJ yaitu sebesar 90.00% dan pada Rauh DL sebesar 88.90%. Aliran
permukaan terbesar terdapat pada lahan tanpa tegakan yaitu sebesar 106.22 L
dibandingkan dengan lahan PHBM 70.27 L dan yang paling kecil adalah hutan
lindung sebesar 51.43 L. Nilai korelasi antara curah hujan dengan aliran
permukaan pada lahan PHBM sebesar 73.90% dan hutan lindung sebesar 87.80%.
Pada lahan tanpa tegakan yaitu sebesar 63.00%.
Hasil analisis loading plot menunjukkan bahwa hubungan yang positif
antara curah hujan, curahan tajuk, aliran batang dan aliran permukaan dengan
erosi. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya sudut lancip oleh garis yang
dibentuk dari plot ketiga variabel itu. Lahan P. merkusii yang ditanami kopi dan
hutan alami yang didominasi oleh A. excelsa dapat mencegah atau mengurangi
resiko erosi tanah. Berdasarkan pengamatan dan perhitungan, lahan yang diolah
untuk pertanian memiliki laju erosi yang sangat tinggi (55.99 ton/ha/thn)
dibandingkan lahan PHBM (6.94 ton/ha/thn) dan hutan lindung (4.08 ton/ha/thn).
Kesimpulannya, sangat penting untuk mempertimbangkan jenis dan model
arsitektur pohon yang akan ditanam sehingga baik untuk konservasi tanah dan air
dan menjaga tanaman penutup tanah dan teras bangku untuk mengurangi erosi
tanah.
Kata kunci: model arsitektur pohon, erosi, konservasi tanah dan air
KORELASI ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH
DARI JENIS Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese
DENGAN KONSERVASI TANAH DAN AIR
DI AREA PHBM YANG DITANAMI Coffea arabica L.
RPH GAMBUNG KPH BANDUNG SELATAN
RITA SUGIHARTI AINILLAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Tesis
: Korelasi Arsitektur Pohon Model Rauh dari Jenis Pinus merkusii
Junghuhn & de Vriese dengan Konservasi Tanah dan Air di
Area PHBM yang Ditanami Coffea arabica L. RPH Gambung
KPH Bandung Selatan.
Nama
: Rita Sugiharti Ainillah
NIM
: G353090211
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S.
Ketua
Ir. Lies Bahunta, M.Sc. forest.trop
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Miftahudin, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr
Tanggal Ujian :
5 Juli 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai Januari 2011
ini ialah model arsitektur pohon dengan konservasi tanah dan air, dengan judul
Korelasi Arsitektur Pohon Model Rauh Jenis Pinus merkusii
Junghuhn & de
Vriese dengan Konservasi Tanah dan Air di Area PHBM yang Ditanami Coffea
arabica L. RPH Gambung KPH Bandung Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi,
M.S. dan Ibu Ir. Lies Bahunta, M.Sc.forest.trop. selaku pembimbing. Juga kepada
Bapak Dr. Ir. Miftahudin, M.Si selaku ketua Mayor Biologi Tumbuhan dan Bapak
Dr. Ir. Ibnul Qayim sebagai penguji luar komisi. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Kementerian Agama RI yang telah memberikan
beasiswa S2. Juga kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten KPH
Bandung Selatan. Serta masyarakat Leuwi liang – Pasir Jambu Ciwidey, yang
telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala do’a, dukungan
dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Rita Sugiharti Ainillah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 10 November 1981 dari ayah
Athoillah Kabier, S.Pd.i dan ibu Nurul Hidayah. Penulis merupakan putri ketiga
dari enam bersaudara.
Tahun 2000 penulis lulus dari SMAS Nur El Falah di Petir dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk UIN Syarief Hidayatullah Jakarta melalui jalur
Ujian seleksi masuk UIN. Penulis memilih jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas
Ilmu Tadris dan Keguruan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di BEM
dan organisasi ekstra kampus.
Setelah lulus tahun 2005, penulis diterima mengajar Biologi di SMA dan
MA Nur El Falah di Petir-Serang sampai sekarang. Dan pada tahun 2009, penulis
lulus tes Seleksi Beasiswa S2 Kementrian Agama RI. Penulis memilih mayor
Biologi Tumbuhan minor Ekologi Departemen Biologi IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
i
DAFTAR GAMBAR ………………………………..………….………..
ii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………..….………………..
iii
1.
PENDAHULUAN …………………………..…………….………..
1
1.1 Latar Belakang ..………………………..………………..……..
1
1.2 Tujuan Penelitian ……………………….………………….…....
3
1.3 Manfaat Penelitian
…..……………….………………………...
3
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….………
4
2.1 Model Arsitektur Pohon ..………………….…………………...
4
2.2 Konservasi Tanah dan Air ………………………….………..….
7
2.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Erosi . ………………….…...
9
2.4 Klasifikasi Hutan ...........................................................................
12
2.5 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ………………………..
13
3. METODE .........................………………….……………….……….
15
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……..……………………………..
15
3.2 Bahan ..................…………………….…………………………
15
3.3 Metode Pengambilan Data ……….……………..………………
16
3.3.1 Analisis Vegetasi …..…….………………………………
16
3.3.2 Analisis Tanah …………………………………………...
17
3.3.3 Identifikasi Model Arsitektur Pohon ……………..……..
17
3.3.4 Parameter Konservasi Tanah dan Air .................................
18
3.4 Analisis Data .. ..………………………………..……………….
20
3.5 Diagram Alir Penelitian ................................................................
20
2.
4.
HASIL ………………………………….......................................….
21
4.1 Analisis Vegetasi .........................………………….…..………..
21
4.2 Model Arsitektur Pohon ………………………………….…......
22
4.3 Jenis Tanah …………………………………………..……...…..
22
4.4 Curah Hujan ..................................................................................
23
4.5 Curahan Tajuk ………………………………………..…..….…..
24
4.6 Aliran Batang ………………………………………..….….…....
25
4.7 Aliran Permukaan dan Erosi…….………………………....…….
26
4.8 Matriks Korelasi antar Variabel ……………………….….…….
27
4.8.1 Lahan PHBM …………………….……………………….
27
4.8.2 Hutan Lindung …………………………………….….......
28
4.8.3 Lahan tanpa Tegakan ……………………………….…….
29
5. PEMBAHASAN ....................................................................................
31
5.1 Analisis Vegetasi .........................………………….…..………..
31
5.2 Model Arsitektur Pohon ………………………………….…......
31
5.3 Jenis Tanah …………………………………………..……...…..
33
5.4 Curah Hujan ..................................................................................
34
5.5 Curahan Tajuk ………………………………………..…..….…..
35
5.6 Aliran Batang ………………………………………..….….…....
35
5.7 Aliran Permukaan dan Erosi…….………………………....…….
36
6. SIMPULAN DAN SARAN ………...……………………….………...
38
6.1 Simpulan .......................................................................................
38
6.2 Saran ..............................................................................................
38
DAFTAR PUSTAKA …………………………………….. ….………..
39
LAMPIRAN ……………………………………………………………...
42
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil analisis tanah di lahan PHBM, hutan lindung dan
tanpa tegakan………………………………………………………....
23
2. Curahan tajuk pada arsitektur model Rauh DJ dan DL………….……
25
3. Aliran batang pada arsitektur model Rauh DJ dan DL ..……….…….
25
4. Aliran permukaan pada lahan PHBM, hutan lindung, dan
tanpa tegakan …………………………………………………………
26
5. Nilai erosi pada lahan PHBM, hutan lindung, dan tanpa tegakan .…..
27
6. Matriks korelasi antar variabel di lahan PHBM …….…………….....
27
7. Matriks korelasi antar variabel di hutan lindung ………….…………
28
8. Matriks korelasi antar variabel di lahan tanpa tegakan ..…………….
29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Model arsitektur pohon (1) Corner (2) Leuwenberg (3) Kwan-Koriba
(4) Attims (5) Rauh (6) Massart (7) Scarrone (8) Troll…………………
5
2. Lokasi RPH Gambung, BKPH Ciwidey, KPH Bandung Selatan, Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat ..................................................................
15
3. Layout petak contoh pengambilan data vegetasi di lahan PHBM dan
hutan lindung .......…..……………..............................................……...
16
4. Diagram alir penelitian …………………………………….….……….
20
5. INP di lahan PHBM dan hutan lindung .................................................
21
6. INP di lahan tanpa tegakan .............................................….……..…….
22
7. Profil tanah di lahan PHBM ....................................................................
23
8. Data curah hujan di lahan PHBM, hutan lindung, dan
lahan tanpa tegakan ................................................................................
24
9. Ombrometer untuk mengukur curah hujan di lahan PHBM,
hutan lindung, dan lahan tanpa tegakan ..................................................
24
10. Pengukuran curahan tajuk di lahan PHBM pinus
yang ditanami kopi .................................................................................
25
11. Pengukuran aliran batang di lahan PHBM ....……………………….…
26
12. Petak erosi dengan sistem guludan serta bak dan drum penampungan
aliran permukaan di lahan PHBM .……………………………………..
27
13. Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di lahan PHBM .......
28
14. Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di
hutan lindung ...........................................................……………..……
29
15. Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di
lahan tanpa tegakan .................................................……………..….…
30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil analisis vegetasi pohon, tiang, sapihan dan tumbuhan bawah di
lahan PHBM pinus ……………………….........................……….…....
43
2. INP pohon, tiang, sapihan, tumbuhan bawah dan model arsitektur di
lahan PHBM pinus ………………………………………………...…...
44
3. Hasil analisis vegetasi pohon, tiang, sapihan dan tumbuhan bawah di
hutan lindung ………….........................................................................
45
4. Jenis pohon, tiang, sapihan, tumbuhan bawah dan model arsitektur di
hutan lindung ...…………………………………………......................
47
5. Hasil analisis vegetasi dan nilai INP di lahan tanpa tegakan …….........
49
6. Kunci identifikasi model arsitektur pohon .............................................
50
7. Hasil uji fisika dan kimia tanah di lahan PHBM, hutan lindung, dan
lahan tanpa tegakan ................................................................................
66
8. Hasil pengukuran curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan,
dan laju erosi pada lahan PHBM ...........................................................
67
9. Hasil pengukuran curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan,
dan laju erosi pada hutan lindung ..........................................................
68
10. Hasil pengukuran aliran permukaan dan laju erosi pada
lahan tanpa tegakan ................................................................................
69
11. Keadaan lahan PHBM, hutan lindung, dan tanpa tegakan …………….
70
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah dan air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai
peranan sangat besar dalam segala aspek kehidupan yang mudah mengalami
kerusakan atau degradasi. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh (1) kehilangan unsur
hara dan bahan organik dari daerah perakaran, (2) terakumulasinya garam di
daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau
senyawa yang merupakan racun bagi tumbuhan, (3) penjenuhan tanah oleh air,
dan (4) erosi (Arsyad 2006).
Penggunaan lahan yang berupa hutan, sudah sejak lama diyakini sebagai
pengatur tata air (stream flow regulator) (Muntasib 1999) artinya hutan
menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau.
Vegetasi hutan selain berperan dalam mencegah erosi dan menyimpan air, juga
menggunakannya dalam proses transpirasi. Air hujan yang jatuh di areal hutan,
sebagian tertahan oleh lapisan tajuk dan dikembalikan ke atmosfer melalui
penguapan (transpirasi).
Indonesia sebagai daerah tropis, erosi oleh air merupakan bentuk degradasi
tanah yang sangat dominan. Penebangan hutan dan praktek usaha tani yang tidak
memperhatikan
kaidah-kaidah
konservasi
akan
menyebabkan
terjadinya
kemerosotan sumberdaya lahan yang akan berakibat semakin luasnya lahan kritis.
Keadaan ini akan membawa dampak lahan semakin kritis dan kekeringan panjang
terjadi dimusim kemarau. Di musim hujan, sering terjadi erosi dan tanah longsor
yang merupakan ancaman bagi daerah berlereng, yang pada akhir-akhir ini banyak
menelan korban jiwa. Kejadian erosi dan tanah longsor selain disebabkan oleh
kerusakan lingkungan juga disebabkan oleh faktor alam yaitu curah hujan, jenis
tanah (kedalaman lapisan kedap air dan kekuatan tanah) dan topografi/lereng
(kemiringan dan stabilitas).
Lahan kritis adalah lahan yang karena tidak sesuai penggunaan tanah dan
kemampuannya, telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik-kimiabiologi, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, produksi pertanian,
pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya.
2
Lahan kritis dan marjinal di Indonesia mencapai 43 juta ha, diantaranya 20 juta ha
kritis hidrorologisnya dan setiap tahunnya masih terus bertambah (Soewandito et
al. 2002).
Untuk memperbaiki kondisi lahan yang telah rusak, maka dapat dilakukan
upaya konservasi tanah, dengan rekayasa-rakayasa teknis. Namun upaya
konservasi tanah dan air dalam memperbaiki serta meningkatkan produktivitas
lahan, haruslah benar-benar tepat sesuai dengan kondisi lahan pemilihan vegetasi
serta iklim.
Bentuk konservasi tanah dan air dapat mengurangi erosi yang disebabkan
oleh aliran air. Tanah yang tererosi diangkut aliran permukaan yang akan
diendapkan di tempat-tempat yang alirannya melambat atau berhenti di dalam
berbagai badan air seperti sungai atau saluran air. Tanaman dan tanah yang subur
juga dapat membantu mengendalikan erosi (Christensen 2002).
Sistem pengelolaan lahan dengan pendekatan konservasi merupakan suatu
upaya konservasi tanah dan air untuk menanggulangi erosi permukaan dan
menjaga hilangnya kesuburan tanah. Tanpa adanya teknik-teknik penanaman yang
menitikberatkan pada konservasi, maka akan semakin banyak lahan yang kritis,
dan hanya dapat dikelola dalam jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang,
produktivitasnya akan menurun.
Didalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan, pemilihan jenis-jenis pohon
yang ditanam pada saat ini lebih banyak berdasarkan pada fungsi dan manfaat
ekonominya sedangkan fungsi konservasi tanah dan air masih belum diperhatikan.
Sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dipandang sebagai
salah satu upaya konservasi tanah dan air secara vegetatif dan mekanik yang
dinilai mampu mengatasi permasalahan penurunan kualitas lahan, dan
peningkatan ekonomi. Dengan penerapan sistem PHBM diharapkan dapat
mengembalikan fungsi konservasi tanah dan air sebagai sistem penyangga
kehidupan. Menurut Dariah et al. (2008) penanaman kopi dengan sistem
multistrata (sistem campur) dapat memperbaiki kualitas tanah dibandingkan
dengan sistem monokultur.
Di Indonesia, penelitian tentang model arsitektur pohon dan kaitannya
dengan konservasi tanah dan air masih sangat jarang. Hal ini menyebabkan
3
kurangnya informasi yang dibutuhkan untuk menyertakan aspek model arsitektur
pohon dalam pemilihan jenis-jenis pohon yang ditanam. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui besarnya aliran batang, curahan tajuk, dan
erosi tanah sesuai dengan model arsitekturnya.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji model arsitektur pohon pinus, kopi dan rasamala.
2. Mengetahui besarnya parameter konservasi tanah dan air yang terdiri dari
curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan dan laju erosi tanah di area
PHBM, hutan alam, dan lahan tanpa tegakan.
3. Mengetahui pengaruh model arsitektur pohon pinus, kopi dan rasamala
terhadap konservasi tanah dan air.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan tentang potensi erosi pada lahan
pinus yang ditanami kopi dan sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan jenisjenis pohon berdasarkan model arsitekturnya supaya mendukung usaha konservasi
tanah dan air untuk penyempurnaan pengelolaan hutan di masa yang akan datang.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model Arsitektur Pohon
Gambaran morfologi pohon pada suatu waktu disebut arsitektur pohon.
Arsitektur pohon merupakan sebuah fase dari suatu rangkaian seri pertumbuhan
pohon, nyata dan dapat diamati setiap waktu. Sedangkan program pertumbuhan
yang menentukan rangkaian fase arsitektur disebut model arsitektur. Arsitektur
berbeda dengan bentuk karena hal ini biasanya merujuk pada ekspresi bentuk
akhir organisme seperti herba, semak dan pohon serta merujuk kepada ukuran
(Halle et al. 1978) (Gambar 1).
Elemen-elemen dari arsitektur pohon terdiri dari pola pertumbuhan batang,
percabangan dan pembentukan pucuk terminal. Pola pertumbuhan pohon dapat
berupa ritmik atau kontinu. Pertumbuhan ritmik berarti memiliki suatu
periodesitas dalam proses pemanjangannya, sedangkan pertumbuhan kontinu
tidak memiliki periodesitas pemanjangan. Secara morfologi pertumbuhan ritmik
ditandai oleh adanya segmentasi pada batang atau cabang, sebaliknya
pertumbuhan kontinu tidak memilliki segmentasi. Pola percabangan dibedakan
atas Syllepsis dan Prolepsis. Syllepsis yaitu percabangan dibentuk dari meristem
lateral dengan perkembangan yang kontinu. Sedangkan pada prolepsis
perkembangan cabang diskontinu dengan beberapa periode istirahat dari meristem
lateral. Adapun pertumbuhan tunas meliputi orthotropik yaitu pucuk terbentuk
berorientasi tumbuh vertikal dan sering tidak berbunga dan plagiotropik yaitu
pucuk terbentuk berorientasi tumbuh horizontal dan sering menghasilkan bunga
(Halle et al. 1978).
Model arsitektur pohon dapat dibedakan dalam empat karakteristik utama,
yaitu :
1. Pohon tidak bercabang yaitu bagian vegetatif pohon hanya terdiri dari satu
aksis dan dibangun oleh sebuah meristem soliter, contohnya model Holttum
dan Corner.
2. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang ekivalen dan orthotropik,
contohnya model Tomlinson, Chamberlain, Leuwenberg, dan Schoute.
5
3. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang nonekivalen, contohnya model
Prevost, Rauh, Cook, Kwan-Koriba, Fagerlind, Petit, Aubreville, Theoretical,
Scarrone, Attim, Nozeran, Massart, dan Roux.
4. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif campuran ada yang ekivalen dan
nonekivalen, contohnya model troll, Champagnat, dan Mangenot (Halle &
Oldeman 1975).
Gambar 1 Model Arsitektur Pohon (1) Corner (2) Leuwenberg (3) Kwan-Koriba
(4) Attims (5) Rauh (6) Massart (7) Scarrone (8) Troll (Halle et al.
1978)
Pinus ( Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese ) merupakan vegetasi perintis
dan mendiami daerah ekologi luas mulai dari savana sampai habitat hutan. Daerah
penyebaran pinus meliputi Burma sebelah timur, Indocina, Cina Selatan, Thailand
bagian utara, Philipina dan Indonesia dengan pusat keragaman terletak di Mexico,
Amerika Serikat bagian timur dan daratan Asia Timur. Penyebaran vertikalnya
pada ketinggian 50-2000 dpl, dengan batas teratas mencapai ketinggian 30004000 m dpl (Soerianegara & Lemmens 1994).
Pada mulanya penanaman pinus di lahan-lahan hutan khususnya jenis Pinus
merkusii Junghuhn & de Vriese bertujuan untuk mempercepat reboisasi dan
rehabilitasi lahan-lahan kosong dalam kawasan hutan. Kemudian berkembang
menjadi hutan lindung dan hutan produksi. P. merkusii merupakan jenis pionir
yang mampu bertahan hidup dan pertumbuhannya sangat cepat (fast growing
spesies) serta mampu tumbuh pada kondisi yang sangat sulit. P. merkusii dapat
tumbuh di tanah yang kurang subur, tanah berpasir, dan tanah berbatu dengan
curah hujan tipe A-C pada ketinggian 200-1700 m dpl. Vegetasi hutan pinus yang
sudah dewasa tajuknya berbentuk limas dan selalu bertajuk, tetapi setelah tua
melebar seperti payung. Daun primer (daun sisik) muncul dalam beberapa minggu
dan daun sekunder (daun seperti jarum) biasanya muncul dalam tahun kedua;
6
sistem akar terdiri dari akar tunggang dengan akar-akar halus dekat permukaan
tanah dan dekat dengan ujung akar. Cabang-cabang sewaktu muda tumbuh
menuju ke atas dan bekas cabang terlihat sangat jelas sedang pada umur tua
cabang-cabang tumbuh lebih mendatar dengan pucuk cabang ke atas dan bekas
cabang kurang jelas. Pinus mencapai tinggi 60-70 m dengan diameter batang 100
cm. Batang dengan kulit berwarna kelabu tua, beralur dalam memanjang, bulat
panjang serta lurus dan kadang-kadang juga bengkok (Soerianegara & Lemmens
2002).
Selain di lahan datar, tanaman kopi juga banyak dibudidayakan pada lahan
miring di daerah pegunungan. Curah hujan yang tinggi terkonsentrasi pada bulanbulan tertentu, sehingga erosivitasnya sangat besar. Lahan miring merupakan
lahan yang peka terhadap degradasi/penurunan kualitas. Erosi merupakan
penyebab utama kemunduran lahan kering di daerah tropika basah. Tanah yang
hilang karena erosi merupakan tanah lapisan atas yang subur, sehingga erosi akan
menurunkan kesuburan tanah secara nyata.
Sifat-sifat botani dan standar budidaya tanaman kopi yang berperan dalam
konservasi tanah dan air adalah:
1. Tajuk berlapis-lapis (dengan pangkasan batang tunggal) dapat melindungi
tanah dari tetesan air hujan langsung (rain drop impact) sehingga mencegah
splash erosion.
2. Tanaman pendek dengan sistem pangkasan batang tunggal mengurangi energi
potensial daya erosif tetesan air hujan yang tertahan daun kopi sampai
permukaan tanah.
3. Di atas tajuk tanaman kopi terdapat tajuk tanaman penaung tetap berupa
tanaman pinus, sehingga terbentuk strata lapisan tajuk yang sangat berperan
dalam mengurangi rain drop impact.
4. Kopi mempunyai akar tunggang yang kuat sampai kedalaman hingga 3 m,
dan akar lateral sampai sepanjang 2 m dengan ketebalan sekitar 0,5 m dari
permukaan tanah dan membentuk anyaman ke segala arah. Sifat ini dapat
melindungi dan memegang tanah dari daya erosif air hujan.
5. Metode kultur teknik pada tanaman kopi sejalan dengan prinsip konservasi
tanah dan air, meliputi penanaman pohon penaung tetap, pengaturan jarak
7
tanam dan tata tanam sejajar kontur, pemangkasan, pemberian bahan organik,
dan pembuatan rorak.
6. Guna menciptakan lingkungan tumbuh yang ideal bagi tanaman kopi, setiap
luasan tertentu penanaman kopi dikelilingi oleh tanaman kayu, yang
berfungsi sebagai pengendali iklim mikro sekaligus sebagai pematah angin.
Metode ini disebut box system.
Bibit kopi ditanam pada lubang berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm. Karena
lahan bergelombang dan berteras-teras maka bibit kopi ditanam langsung diantara
pohon pinus sehingga berada di tepi-tepi teras dengan jarak tanam 2 m. Adanya
tanaman kopi diantara pohon pinus dan banyaknya tumbuhan bawah yang tumbuh
membantu mencegah erosi dan melindungi tanah dari sinar matahari yang terlalu
terik dan juga dapat melindungi permukaan tanah dari air hujan dan mengurangi
erosi terutama pada tanah yang permukaannya miring, curam atau bergelombang,
sehingga mengurangi kehilangan unsur hara akibat pencucian, serta berfungsi
mengembalikan unsur hara yang tercuci dari lapisan dalam dan permukaan tanah
(Simanjuntak & Matanari 2004).
Penanaman kopi secara mutistrata selain dapat membantu konservasi tanah
dan air, secara finansial juga mampu memberikan keuntungan pada masyarakat
sekaligus memberikan lapangan kerja secara berkelanjutan (Budidarsono &
Wijaya 2004).
Menurut Lee (1998), ekosistem hutan dan perkebunan mempunyai peranan
penting dalam mengendalikan air di permukaan tanah dan sebagai sistem pengatur
siklus air. Hujan yang turun di atas kanopi tanaman, sebelum sampai ke
permukaan tanah akan ditahan dan dihambat oleh daun-daunan, cabang dan
batang pohon sehingga permukaan tanah akan terlindungi dari timpaan (energi
kinetik) titik-titik hujan. Menurut Pudjiharta (2001), air hujan yang tertahan oleh
tajuk, cabang dan batang tersebut akan sampai ke permukaan tanah melalui air
tirisan (throughfall) dan aliran batang (stemflow) yang energi kinetiknya relatif
lebih kecil.
2.2 Konservasi Tanah dan Air
Konservasi (conservation) adalah upaya pengelolaan yang dilakukan oleh
manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan
8
yang sebesar-besarnya, serta tetap menjaga dan memelihara potensinya untuk
generasi saat ini dan yang akan datang. Berdasarkan pengertian ini maka ada
berbagai aspek positif yang mendasari upaya konservasi antara lain, aspek
perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi dan
perbaikan lingkungan hidup (Setyawati & Bismark 2002).
Konservasi tanah berarti penempatan setiap bidang tanah pada cara
penggunaan tanah yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar kerusakan
tanah dapat diminimalkan. Usaha-usaha konservasi tanah bertujuan untuk : (i)
mencegah terjadinya kerusakan tanah, (ii) memperbaiki tanah rusak, dan (iii)
menetapkan kelas kemampuan lahan dan tindakan atau perlakuan yang diperlukan
untuk kemungkinan lahan itu dapat digunakan dalam jangka waktu tidak terbatas.
Mengingat terdapat hubungan yang erat antara tanah dan air, dan bahwa
setiap perlakuan yang diberikan pada tanah akan mempengaruhi tata air di tempat
itu dan di daaerah hilir, maka masalah konservasi tanah sangat berkaitan dengan
konservasi air.
Konservasi air pada prinsipnya merupakan usaha penggunaan air yang jatuh
ke tanah seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi
banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.
Usaha-usaha konservasi air bertujuan untuk (i) memelihara jumlah dan
kualitas air sebaik mungkin melalui cara pengelolaan dan penggunaan tanah yang
baik, dan (ii) memaksimalkan manfaat air melalui penerapan cara-cara yang
efisien (Purwowidodo 1986).
Dengan kata lain, konservasi tanah dan air bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas lahan serta menurunkan atau menghilangkan dampak negatif
pengelolaan lahan seperti erosi/longsor, sedimentasi dan banjir.
Upaya konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara sipil teknik
(mekanis) dan secara vegetatif. Pengendalian erosi secara vegetatif merupakan
pengendalian erosi yang didasarkan pada peran tanaman sehingga mengurangi
daya pengikisan dan penghanyutan tanah oleh aliran permukaan. Tanaman dapat
berfungsi melindungi permukaan tanah terhadap pukulan air hujan, melindungi
daya transportasi aliran permukaan, dan menambah infiltrasi tanah, sehingga
9
pasokan dan cadangan air dalam tanah meningkat. Pangkasan dan seresah
tanaman dapat memasok bahan organik dan hara, serta dapat menyediakan pakan
untuk ternak. Cara vegetatif dapat dilakukan dengan penanaman tanaman penutup
tanah, penanaman sistem lorong, dan penghijauan.
Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan sekaligus menekan laju
erosi, upaya konservasi dapat dilakukan secara terpadu antara pendekatan
vegetatif dan sipil teknik (mekanis) seperti pembuatan teras, sehingga laju erosi
dan sedimentasi dapat ditekan.
2.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Erosi
Erosi merupakan suatu proses penghancuran tanah (detached) dan kemudian
tanah tersebut dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, gletser atau
gravitasi (Arsyad 2006). Di Indonesia erosi yang terpenting adalah disebabkan
oleh air.
Secara alami sebenarnya erosi tidak menimbulkan permasalahan, karena
laju kehilangan tanah berjalan sangat lambat dan terjadi keseimbangan antara laju
kehilangan tanah dengan laju pembentukan tanah tersebut. Erosi semacam ini
dikenal dengan erosi normal atau erosi geologi. Suatu erosi dikatakan masih
dalam batas normal jika < 2.5 ton/ha/tahun (Agus et al. 2002). Namun demikian,
karena berbagai pengaruh dari aktifitas manusia, laju kehilangan tanah tersebut
dapat melampaui laju pembentukannya. Erosi semacam inilah yang dapat
membahayakan kelestarian tanah dan air.
Bahaya erosi dapat terjadi baik di tempat terjadinya erosi maupun di luar
tempat terjadinya erosi. Arsyad (2006) menyebutkan bahwa di tempat terjadinya
erosi dapat menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur, hilangnya
unsur hara dari daerah perakaran, merosotnya produktivitas tanah pertanian. Di
luar tempat terjadinya erosi dapat menyebabkan tertimbunnya lahan pertanian,
dan meningkatkan frekuensi dan besarnya banjir.
Pada dasarnya erosi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan
(Arsyad 2006), diantaranya adalah curah hujan. Sifat-sifat yang perlu diketahui
adalah (i) Intensitas hujan : menunjukkan banyaknya curah hujan per satuan
waktu. Biasanya dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam, (ii) Jumlah hujan :
menunjukkan banyaknya air hujan selama terjadi hujan, selama satu bulan atau
10
selama satu tahun dan sebagainya, (iii) Distribusi hujan : menunjukkan
penyebaran waktu terjadinya hujan.
Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah:
Tekstur tanah. Tanah dengan tekstur kasar seperti pasir adalah tahan terhadap
erosi, karena butir-butir yang besar (kasar) tersebut memerlukan lebih banyak
tenaga untuk mengangkut. Tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena
daya rekat yang kuat sehingga gumpalannya sukar dihancurkan. Tekstur tanah
yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus. Oleh karena
itu makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka tanah menjadi makin peka
terhadap erosi.
Bentuk dan kemantapan struktur tanah. Bentuk struktur tanah yang
membulat (granuler, remah, gumpal membulat) menghasilkan tanah dengan daya
serap tinggi sehingga air mudah meresap ke dalam tanah, dan aliran permukaan
menjadi kecil, sehingga erosi juga kecil. Struktur tanah yang mantap tidak akan
mudah hancur oleh pukulan-pukulan air hujan, akan tahan terhadap erosi.
Sebaliknya struktur tanah yang tidak mantap, sangat mudah oleh pukulan air
hujan, menjadi butir-butir halus sehingga menutup pori-pori tanah. Akibatnya air
infiltrasi terhambat dan aliran permukaan meningkat yang berarti erosi juga akan
meningkat.
Daya infiltrasi tanah. Kerusakan lantai hutan akan mengakibatkan
berkurangnya laju infiltrasi air ke dalam tanah dan meningkatnya laju aliran
permukaan (Pratiwi & Mulyanto 2002). Apabila daya infiltrasi tanah besar, berarti
air mudah meresap ke dalam tanah, sehingga aliran permukaan kecil dan erosi
juga kecil. Jumlah air yang meresap ke dalam tanah tergantung banyak faktor,
seperti karakteristik tanah (Oztas et al. 2003), tipe penutupan vegetasi (Chirino et
al. 2006), dan sistem perakaran (Gyssels et al. 2005).
Kandungan bahan organik. Kandungan bahan organik menentukan
kepekaan tanah terhadap erosi karena bahan organik mempengaruhi kemantapan
struktur tanah. Tanah yang mantap tahan terhadap erosi (Dariah et al. 2008).
Erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang.
Apabila lereng makin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat
11
sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula. Lereng yang semakin panjang
menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin besar.
Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah (i) menghalangi air hujan agar tidak
jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan
tanah dapat dikurangi, (ii) menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air
infiltrasi, (iii) penyerapan air kedalam tanah diperkuat oleh transpirasi
(penguapan) melalui vegetasi, (iv) hutan paling efektif dalam mencegah erosi
karena daun-daunnya dan rumputnya rapat. Untuk pencegahan erosi paling sedikit
70% tanah harus tertutup vegetasi (Chirino et al. 2006).
Sebagian air hujan akan diserap oleh tumbuhan dan sebagian lagi akan
langsung diuapkan ke udara sehingga tidak pernah mencapai tanah. Begitupun
penutupan vegetasi yang luas memperlambat aliran permukaan, dan sistem
perakaran pohon dan semak mempunyai peran penting dalam mengurangi air
hujan yang jatuh ke tanah dengan mengembangkan karakteristik tanah, seperti
porositas dan kandungan organik tanah yang akan meningkatkan daya infiltrasi
dan mengurangi permukaan tanah (Mohammad & Adam 2010).
Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia menjadi lebih
baik atau buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah berlereng curam merupakan
pengaruh baik manusia, karena dapat mengurangi erosi. Sebaliknya penggundulan
hutan di daerah pegunungan merupakan pengaruh yang jelek karena dapat
menyebabkan erosi dan banjir.
Kerusakan tanah di tempat terjadinya erosi terutama akibat hilangnya
sebagian tanah dari tempat tersebut karena erosi. Hilangnya sebagian tanah ini
mengakibatkan hal-hal sebagai berikut (Sinukaban 2007):
1. Menghasilkan tanah kritis di berbagai tempat
2. Menurunnya produksi sehingga mengurangi pendapatan petani
3. Kehilangan unsur hara yang diperlukan tanaman
4. Kualitas tanaman menurun
5. Laju infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air berkurang
6. Struktur tanah menjadi rusak
7. Erosi gully dan tebing (longsor) menyebabkan lahan terbagi-bagi dan
mengurangi luas lahan yang dapat ditanami.
12
2.4 Klasifikasi Hutan
Dalam UU RI No.41 tahun 1999 Pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa
berdasarkan fungsi pokoknya, pemerintah membagi hutan menjadi tiga yaitu
hutan lindungi, hutan konservasi, dan hutan produksi. Dan pasal 8 ayat 1
menyebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk
tujuan khusus. Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus dimaksudkan
untuk kepentingan umum seperti (1) penelitian dan pengembangan, (2)
pendidikan dan latihan, dan (3) religi dan budaya. Kawasan hutan dengan tujuan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 1, tidak mengubah fungsi pokok
kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Hutan lindung (protection forest) adalah kawasan hutan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi,
agar fungsi-fungsi ekologisnya terutama menyangkut tata air dan kesuburan tanah,
tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah.
Hutan lindung pengertiannya sering tertukar dengan kawasan lindung dan
kawasan konservasi pada umumnya. Kawasan konservasi, atau yang juga biasa
disebut sebagai kawasan yang dilindungi (protected areas), lazimnya merujuk
pada wilayah-wilayah yang didedikasikan untuk melindungi kekayaan hayati
seperti halnya kawasan-kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
sebagaimana dimaksud oleh UU no 5/1990. Jadi, fungsinya jelas berbeda dengan
hutan lindung.
Kawasan lindung memiliki pengertian yang lebih luas, di mana hutan
lindung tercakup di dalamnya. Keppres no 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung menyebutkan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna
kepentingan pembangunan berkelanjutan. Mencakup (kawasan) hutan lindung
sebagai kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan
13
perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata
air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.
2.5 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Keselarasan/harmoni hubungan manusia dan alam lingkungan menjadi
kunci dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Secara tradisional hubungan
tersebut meliputi multi aspek, yaitu sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi.
Hal tersebut tercermin dari cara dan aturan yang terbangun dalam pengelolaan
hutan. Aspek sosial dan ekonomi lebih banyak diperlihatkan melalui struktur dan
lembaga pengelolaan hutan, sistem penguasaan dan pemanfaatan lahan dan hutan.
Sedangkan aspek ekologis dapat dilihat melalui aturan adat/hukum adat dalam
pengelolaan maupun pemanfaatan sumber daya hutan serta pembagian kawasan
menurut fungsinya. Filosofi dan praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat (adat)
merupakan satu bentuk kekayaan budaya, intelektual/pengetahuan tersendiri yang
seharusnya dijaga.
Menyadari keberadaan masyarakat sekitar hutan sangat menentukan baik
dan buruknya hutan, maka dalam pembangunan hutan dipandang perlu melibatkan
masyarakat sekitar hutan, seperti yang dilakukan Perum Perhutani. Perum
Perhutani sebagai BUMN yang diberi mandat untuk mengelola hutan negara
dituntut untuk memberikan perhatian yang besar kepada masalah sosial ekonomi
masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang sebagian besar tinggal di sekitar
hutan. Interaksi antara masyarakat dengan hutan tidak mungkin dipisahkan. Oleh
karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan harus
memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat di
sekitar hutan.
Sejalan dengan terjadinya reformasi di bidang kehutanan, Perum Perhutani
menyempurnakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan lahirnya
Penglolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pada tahun 2007, PHBM
disempurnakan kembali dengan PHBM plus. Dengan PHBM plus diharapkan
pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa akan lebih fleksibel,
akomodatif, partisipatif dan dengan kesadaran tanggung jawab sosial yang tinggi,
14
sehingga mampu memberikan kontribusi peningkatan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
Pengelolaan hutan bersama msyarakat merupakan sistem pengelolaan
sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani
dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya
mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan
peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan akomodatif.
PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya
hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional
dan professional (Perum Perhutani 2007).
15
BAB III
METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian secara geografis terletak pada 7° 7' LS dan 107° 29' BT, di
petak 28 dengan luas areal 10 Ha, dengan ketinggian 1299 m dpl dan kemiringan
36%.
Menurut
administrasi
kehutanan
termasuk
wilayah
kerja
Resort
Pemangkuan Hutan (RPH) Gambung, BKPH Ciwidey, Kesatuan Pemangkuan
Hutan (KPH) Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sedangkan
secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Cibodas, Kecamatan Pasir
Jambu, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 sampai Januari 2011.
Gambar 2 Lokasi RPH Gambung, BKPH Ciwidey, KPH Bandung Selatan, Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat (www.google.co.id).
3.2 Bahan
Areal yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan PHBM yang
ditumbuhi pohon pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese), kopi (Coffea
arabica L.), hutan lindung dan lahan tanpa tegakan sebagai kontrol. Untuk setiap
areal penelitian ditanam plot penelitian berukuran 4x12 m2 dengan 3 (tiga) kali
ulangan. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, tali plastik, helingmeter,
16
ombrometer, jerigen, selang, pipa paralon, kompas, patok, gelas ukur, seng, dan
bahan plastik.
3.3 Metode Pengambilan Data
Dalam penelitian ini data yang diambil berupa data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dari pengamatan, pengukuran, pengujian di lapangan dan
hasil analisis laboratorium. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan
instansi terkait.
3.3.1
Analisis vegetasi
Penelitian pendahuluan berupa pengamatan lapangan untuk menentukan
plot penelitian. Penentuan plot dilakukan secara acak dan sistematik. Metode Line
intercept digunakan untuk analisis dominansi tumbuhan bawah di lahan tanpa
tegakan. Sedangkan metode kuadrat (Gambar 3) digunakan untuk analisis
dominansi fase pohon, tiang, pancang, dan anakan di lahan PHBM dan hutan alam
dengan luasan kuadrat yang telah ditentukan (Mueller & Ellenberg 1974).
Gambar 3 Layout petak contoh pengambilan data vegetasi di lahan PHBM dan
hutan lindung
Ukuran kuadrat-kuadrat tersebut disesuaikan dengan bentuk morfologis
jenis dan lapisan distribusi vegetasi secara vertikal (stratifikasi). Tetapi umumnya
para peneliti dibidang ekologi hutan membedakan pohon ke dalam beberapa
tingkat pertumbuhan, yaitu:
•
anakan (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi <1,5 m).
•
pancang (permudaan dengan >1,5 m sampai pohon muda berdiameter <10
cm).
17
•
tiang (pohon muda berdiameter 10 cm sampai 20 cm).
•
pohon (diameter >20 cm).
Untuk memudahkan pelaksanaannya ukuran kuadrat disesuaikan dengan
tingkat pertumbuhannya yaitu umumnya 20 m x 20 m (pohon), 10 m x 10 m
(tiang), 5 m x 5 m (pancang), dan 2 m x 2 m (anakan). Jumlah seluruh petak
contoh adalah 3 petak (Gambar 3).
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui spesies vegetasi yang
dominan dan vegetasi penutup tanah berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP).
Identifikasi vegetasi dilakukan secara langsung di lokasi penelitian untuk
menentukan nama lokal dan nama ilmiah, jika terdapat kesulitan dalam
identifikasi maka dikoleksi untuk kemudian diidentifikasi di herbarium
Bogoriense.
INP (i) = KR(i) + DR(i) + FR(i)
(Mueller & Ellenberg 1974)
Keterangan : KR(i) : kerapatan relatif jenis i
DR(i) : dominansi relatif jenis i
FR(i) : frekuensi relatif jenis i
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini, yang merupakan data
hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan meliputi :
1. Kemiringan lereng yang diukur dengan Helingmeter
2. Erodibilitas tanah melalui uji laboratorium
3. Vegetasi melalui analisis vegetasi dengan menggunakan metode kuadrat
4. Tumbuhan penutup tanah dengan metode line intercept.
3.3.2 Analisis Tanah
Pembuatan profil tanah digali sedalam 1,5 m, kemudian dianalisis
kesuburan tanahnya. Analisis tanah ini dilakukan di Balai Penelitian dan
Pengembangan Tanah Bogor.
1.3.3. Identifikasi Model Arsitektur Pohon
Penentuan model arsitektur pohon pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de
Vriese), kopi (Coffea arabica L.) dan rasamala (Altingia excelsa Noronha.) yang
berada di hutan alam dilakukan berdasarkan ketentuan Halle et al. (1978) dan
menggunakan kunci identifikasi yang telah dikembangkan oleh Setiadi (1998).
18
Selanjutnya beberapa ciri pohon dicatat yaitu pola pertumbuhan batang dan
cabang, percabangan, tinggi pohon, tinggi batang bebas cabang, model perakaran,
kedalaman tajuk, diameter tajuk, luas tajuk, diameter batang dan luas bidang
dasar.
3.3.4 Parameter Konservasi Tanah dan Air
Parameter konservasi tanah dan air yang diukur pada penelitian di lahan
PHBM, hutan alam, dan lahan tanpa tegakan sebagai berikut :
1. Curah hujan
Curah hujan harian diukur dengan penakar hujan otomatis (ombrometer) yang
diletakkan di tempat terbuka.
2. Curahan Tajuk (Throughfall)
Pengukuran curahan tajuk dilakukan dengan menggunakan lembaran plastik
berukuran 1m x 1m dengan kerangka kayu yang ditempatkan di bawah tajuk
pohon. Banyaknya pohon yang diukur untuk curahan tajuk adalah 3 pohon
untuk tiap jenis. Kemudian volume curahan tajuk (cm3) yang tertampung
dikonversi kedalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan persamaan :
Tfi = Vi / Li cm = Vi / Li x 10 mm
(Kaimuddin 1994)
Keterangan : Tfi = tinggi curahan tajuk ke-i (mm)
Vi = volume curahan tajuk ke-i (cm3)
Li = luas penampungan ke-i (cm2)
3. Aliran Batang (Stemflow)
Pengukuran aliran batang dilakukan dengan menampung air yang mengalir
pada batang. Penampungan dilakukan dengan membuat lingkaran spiral dari
selang plastik pada sekeliling permukaan batang dengan salah satu ujungnya
diletakkan lebih rendah menuju jerigen penampungan. Banyaknya pohon
yang diukur untuk aliran batang adalah 3 pohon untuk tiap jenis. Kemudian
volume aliran batang (cm3) yang tertampung dikonversi kedalam satuan
tinggi kolom air (mm) dengan persamaan :
Sfi = Vi / Li cm = Vi / Li x 10 mm
(Kaimuddin 1994)
Keterangan : Sfi = tinggi aliran batang ke-i (mm)
Vi = volume aliran batang ke-i (cm3)
Li = luas tajuk pohon ke-i (cm2)
19
4. Laju Erosi Tanah
Pengukuran laju erosi tanah untuk suatu kejadian hujan menggunakan petak
ukur (Stroosnijder 2005). Pada tanah dibuat petak erosi berukuran 12 m x 4 m
memanjang dari atas ke bawah lereng. Banyaknya petak ukur adalah 3 petak
sebagai pengulangan. Kemiringan tanah yang akan digunakan seragam yaitu
36%. Kemudian pada bagian ujung bawah petak ukur dibuat bak
penampungan untuk menampung aliran permukaan dan erosi langsung dari
petak ukur dan bagian atasnya diberi lubang pembagi sebanyak 11 buah
(Alegre & Rao 1996). Lubang pembagi ini berfungsi untuk menghitung
banyaknya air yang luber ketika terjadi luapan. Masing-masing lubang
berdiameter ¾ inch dan jarak antar lubang 2 cm. Bak penampungan diberi
penutup untuk menghindari masuknya air secara langsung dari atas. Volume
aliran permukaan yang tertampung pada setiap petak ukur dilakukan setiap
hari pada jam yang sama, minimal sebanyak 30 kali pengukuran. Volume
aliran permukaan dihitung menggunakan persamaan :
V ap = V 1 + 11V 2
(Santosa 1985)
Keterangan : V ap = volume total aliran permukaan (L)
V 1 = volume aliran permukaan pada wadah I
V 2 = volume aliran permukaan pada wadah II
5. Berat Tanah yang Tererosi
Penentuan berat tanah yang tererosi dilakukan dengan cara mengambil contoh
air masing-masing 1 liter untuk tiap petak ukur yang telah diaduk terlebih
dahulu sehingga homogen. Pengambilan sampel air dilakukan minimal
sebanyak 30 kali hari hujan. Kemudian contoh air disaring dengan kertas
saring yang telah diketahui berat keringnya. Kertas saring beserta endapannya
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80-85 ⁰C sampai berat konstan.
Berat tanah yang tererosi adalah :
W tc = W 1 + W 2
(Santosa 1985)
Keterangan : W tc = berat tanah tererosi (g)
W 1 dan W 2 = berat basah tanah (g)
W 1 atau W 2 = V d /Vs x ( W ksc – W ks )
20
5.4. Analisis Data
`
Data yang terkumpul dari lapangan selanjutnya dianalisis menggunakan
program Excel 2007 untuk menghitung INP vegetasi, dan analisis komponen
utama menggunakan program Minitab versi 15 dan dilanjutkan dengan loading
plot untuk mengetahui hubungan model arsitektur pohon dengan konservasi tanah
dan air. Dalam hal ini dicari hubungan antara laju erosi tanah dengan besarnya
curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, dan aliran permukaan.
5.5 Diagram Alir Penelitian
Peta Area perkebunan
Survey Lapangan
Kemiringan
Lereng
Analisis
Vegetasi
INP
Arsitektur
Pohon
Curahan Tajuk, Aliran Batang,
Aliran Permukaan
Erosi Tanah
Kesimpulan
Gambar 4 Diagram alir penelitian
Pengukuran Curah
Hujan
BAB IV
HASIL
4.1 Analisis Vegetasi
Dari hasil analisis vegetasi diketahui bahwa struktur dan komposisi
vegetasi, terdapat 19 jenis tumbuhan di lahan PHBM, dan jenis yang dominan
dengan INP tertinggi untuk tingkat pohon adalah Pinus (Pinus merkusii Junghuhn
& de Vriese) sebesar 173.32% pada tingkat tiang yaitu Pinus (Pinus merkusii
Junghuhn & de Vriese) sebesar 300.00% dan pada tingkat tumbuhan bawah yaitu
Teklan (Eupatorium riparium Regel) sebesar 72.23% (Gambar 5a dan Lampiran
1,2).
Hasil analisis vegetasi di hutan lindung terdapat 42 jenis tumbuhan. INP
tertinggi pada tingkat pohon adalah Rasamala (Altingia excelsa Noronha.) sebesar
104.58%, pada tingkat tiang adalah Puspa (Schima wallichii Korth.) sebesar
73.96% dan pada tingkat tumbuhan bawah yaitu Jampang piit (Eleusina indica
(L.) Gaertn.) sebesar 41.18% (Gambar 5b dan Lampiran 3,4).
Di lahan terbuka atau tanpa tegakan, karena sering diolah untuk penanaman
sayuran maka hanya terdapat jenis rumput. Dan berdasarkan analisis vegetasi
terdapat 20 jenis tumbuhan bawah dengan INP tertinggi yaitu Babadotan
(Ageratum conyzoides L.) sebesar 43.37% (Gambar 6 dan Lampiran 5).
(a)
(b)
Gambar 5 INP di (a) lahan PHBM dan (b) hutan lindung
22
Gambar 6 INP di lahan tanpa tegakan
4.2 Model Arsitektur Pohon
Berdasarkan hasil pengamatan di lahan pinus PHBM yang ditanami kopi
dan pohon rasamala di hutan lindung, yang mengacu pada ketentuan Halle et al.
(1978) dan menggunakan kunci identifikasi model arsitektur pohon yang telah
dikembangkan oleh Setiadi (1998) (Lampiran 6), bahwa pohon pinus (Pinus
merkusii Junghuhn & de Vriese) dan pohon rasamala (Altingia excelsa Noronha.)
di hutan lindung sebagai pembanding model arsitektur, memiliki arsitektur pohon
model Rauh. Walaupun memiliki model arsitektur pohon yang sama. namun
keduanya memiliki bentuk daun dan batang yang berbeda. Pinus memiliki bentuk
daun yang menyerupai jarum (DJ) dan batangnya beralur dalam, sedangkan
rasamala berdaun lebar (DL) dan berbatang licin. Tanaman kopi (Coffea arabica
L.) mempunyai arsitektur pohon model Roux.
4.3 Jenis Tanah
Berdasarkan profil tanah yang diambil (Gambar 7) dan hasil uji fisika dan
kimia tanah di laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor (Lampiran 7), bahwa
tanah di lokasi penelitian PHBM termasuk jenis regosol liat berdebu, memiliki
Kejenuhan Basa (KB) tinggi yaitu 68.00%, kapasitas tukar kation (KTK) sedang
yaitu 17.22 cmol/kg, sedangkan tanah di hutan lindung termasuk pada regosol liat,
dengan Kejenuhan Basa (KB) yang tinggi yaitu 71.00% dan kapasitas tukar kation
23
(KTK) rendah yaitu 16.88 cmol/kg. Dan tanah di lahan tanpa tegakan termasuk
pada regosol liat berdebu, dengan Kejenuhan Basa (KB) yang tinggi yaitu 61.00%
dan kapasitas tukar kation (KTK) rendah yaitu 12.43 cmol/kg (Tabel 1).
Tabel 1 Hasil analisis tanah di lahan PHBM, hutan lindung dan tanpa tegakan
Lahan
pH
H 2 O KCl
PHBM
5.00 4.10
Hutan lindung 5.10 4.60
Tanpa tegakan 5.00 4.60
C-organik
(%)
N-Total
(%)
0.72
2.91
1.51
0.08
0.19
0.11
Pasir
Tekstur
Debu
Liat
22.46
17.00
10.00
16.01
16.00
51.00
61.53
67.00
39.00
Gambar 7 Profil tanah di lahan PHBM pinus
4.4 Curah Hujan
Kejadian hujan selama penelitian tercatat sebanyak 34 kali (Gambar 8) yang
diukur dengan menggunakan ombrometer (Gambar 9). Curah hujan bervariasi
mulai dari yang terendah 14.52 mm sampai yang tertinggi 73.70 mm dengan total
curah hujan 1203.80 mm dan total lama hujan 69.20 jam atau 4152 menit.
Berdasarkan kategori hujan menunjukkan bahwa hujan sedang (11-25 mm/hari)
terjadi sebanyak 15 kali dan hujan agak tinggi (26-50 mm/hari) terjadi sebanyak
12 kali, sedangkan hujan dengan kategori tinggi (51-75 mm/hari) terjadi sebanyak
7 kali (Arsyad 2006).
24
Gambar 8 Data curah hujan di lahan PHBM, hutan lindung, dan lahan tanpa
tegakan
Gambar 9 Ombrometer untuk mengukur curah hujan di lahan PHBM, hutan
lindung, dan lahan tanpa tegakan
4.5 Curahan Tajuk
Curahan tajuk ditampung dengan menggunakan plastik yang diletakkan di
bawah pohon (Gambar 10). Korelasi curah hujan dengan curahan tajuk memiliki
hubungan yang nyata. Nilai korelasi pada Rauh DJ sebesar 90.50% dan Rauh DL
80.80%. menunjukkan hubungan curah hujan dengan curahan tajuk bersifat
positif. Artinya apabila curah hujan meningkat. maka curahan tajuk akan
bertambah (Lampiran 8,9). Tabel 2 menunjukkan bahwa curahan tajuk tertinggi
terdapat pada arsitektur pohon model Rauh DL sebesar 28.73 mm dibandingkan
dengan model Rauh DJ 27.16 mm.
25
Tabel 2 Curahan tajuk pada arsitektur model Rauh DJ dan DL
Model arsitektur pohon
Rauh DJ
Rauh DL
Tegakan
Curah hujan (mm) Curahan tajuk (mm)
P. merkusii
A. excelsa
35.41
35.41
27.16
28.73
Gambar 10 Pengukuran curahan tajuk pinus di lahan PHBM pinus yang ditanami
kopi
4.6 Aliran Batang
Nilai korelasi antara curah hujan dengan aliran batang pada Rauh DJ pada
P. merkusii yaitu sebesar 90.00% dan pada Rauh DL pada A. excelsa di hutan
lindung sebesar 88.90%. Berdasarkan kedua nilai korelasi tersebut menunjukkan
bahwa hubungan curah hujan dengan aliran batang bersifat positif. Meningkatnya
curah hujan akan diikuti dengan peningkatan aliran batang (Lampiran 8,9). Dari
hasil pengukuran aliran batang (Gambar 11) bahwa aliran batang tertinggi
terdapat pada arsitektur pohon model Rauh DJ sebesar 50.57 mm dibandingkan
dengan model Rauh DL 0.04 mm (Tabel 3).
Tabel 3 Aliran batang pada arsitektur model Rauh DJ dan DL
Model Arsitektur Pohon
Rauh DJ
Rauh DL
Tegakan
P. merkusii
A. Excelsa
Curah hujan (mm)
35.41
35.41
Aliran Batang (mm)
50.57
0.04
26
Gambar 11 Pengukuran aliran batang pohon pinus di lahan PHBM
4.7 Aliran Permukaan dan Erosi
Nilai korelasi antara curah hujan dengan aliran permukaan pada lahan
PHBM sebesar 73.90% dan pada hutan lindung sebesar 87.80%, sedangkan pada
lahan tanpa tegakan yaitu sebesar 63.00%. Berdasarkan ketiga nilai koefisien
korelasi tersebut menunjukkan bahwa hubungan curah hujan dengan aliran
permukaan bersifat positif (Lampiran 8,9, dan 10).
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada curah hujan yang sama, aliran permukaan
terbesar terdapat pada lahan tanpa tegakan yaitu sebesar 106.22 L dibandingkan
dengan lahan PHBM 70.27 L dan yang paling kecil adalah hutan lindung sebesar
51.43 L.
Tabel 4 Aliran permukaan pada lahan PHBM, hutan lindung, dan tanpa tegakan
Lahan
PHBM
Hutan lindung
Tanpa tegakan
Curah hujan (mm)
35.41
35.41
35.41
Aliran Permukaan (L)
70.27
51.43
106.22
Pengukuran laju erosi yang dilakukan pada curah hujan yang sama (Gambar
12), lahan tanpa tegakan mempunyai tingkat erosi yang paling besar yaitu 55.99
ton/ha/th dibandingkan lahan PHBM dan hutan lindung (Tabel 5).
27
Tabel 5 Nilai erosi pada lahan PHBM, hutan lindung, dan tanpa tegakan
Lahan
Curah hujan (mm)
PHBM
Hutan lindung
Tanpa tegakan
Erosi (ton/ha/tahun)
35.41
35.41
35.41
6.94
4.08
55.99
Gambar 12 Petak erosi dengan sistem guludan serta bak dan drum penampungan
aliran permukaan di lahan PHBM
4.8 Matriks Korelasi antar Variabel
4.8.1 Lahan PHBM
Berdasarkan matriks korelasi pada lahan PHBM (Tabel 6), ternyata curahan
tajuk mempunyai nilai korelasi yang lebih besar yaitu 55.90%. Hal ini berarti
curahan tajuk pengaruhnya yang lebih besar terhadap erosi dibandingkan variabel
yang lain.
Tabel 6 Matriks korelasi antar variabel di lahan PHBM
Variabel
CH
CT
AB
AP
CT
0.905
-
-
-
AB
0.900
0.914
-
-
AP
0.739
0.703
0.772
-
ET
0.534
0.559
0.520
0.537
Keterangan : CH = curah hujan, CT = curahan tajuk, AB = aliran batang,
AP = aliran permukaan, ET = erosi tanah
28
Hasil loading plot menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara erosi
dengan curah hujan, curahan tajuk, dan aliran batang. Hal ini ditunjukkan dengan
terbentuknya sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot ketiga variabel itu.
Artinya apabila curah hujan meningkat, maka curahan tajuk. aliran batang dan laju
erosi akan bertambah. Korelasi yang sama terjadi antara variabel laju erosi dan
aliran permukaan (Gambar 13).
1.0
TE
0.8
Second Component
0.6
0.4
0.2
AP
0.0
CT
CH
AB
-0.2
-0.4
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
First Component
0.3
0.4
0.5
Gambar 13 Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di lahan PHBM
4.8.2 Matriks Korelasi antar Variabel di Hutan Lindung
Tabel 7 menunjukkan nilai korelasi antar variabel pada hutan lindung.
Berdasarkan matriks korelasi antar variabel di hutan lindung, ternyata aliran
batang rasamala mempunyai kontribusi yang lebih besar terhadap erosi. Ini
ditunjukkan dengan nilai korelasinya sebesar 73.90%.
Tabel 7 Matriks korelasi antar variabel di hutan lindung
Variabel
CH
CT
AB
AP
CT
0.808
-
-
-
AB
0.889
0.777
-
-
AP
0.878
0.836
0.918
-
ET
0.700
0.581
0.739
0.736
Hasil loading plot di hutan lindung menunjukkan bahwa terdapat korelasi
positif antara curah hujan dengan aliran batang dan aliran permukaan. Hal ini
ditunjukkan dengan terbentuknya sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot
29
ketiga variabel itu. Artinya apabila curah hujan meningkat, maka aliran batang
dan aliran permukaan akan bertambah. Meningkatnya aliran batang dan aliran
permukaan diikuti dengan peningkatan laju erosi tanah (Gambar 14).
Korelasi yang sama terjadi antara variabel curah hujan, curahan tajuk, dan
aliran permukaan. Berdasarkan hasil loading plot tersebut juga dapat dilihat
bahwa curahan tajuk mempunyai pengaruh yang kecil terhadap laju erosi.
Besarnya laju erosi yang terjadi pada lahan hutan lindung ini disebabkan
penutupan tajuk hutan yang kurang rapat dan sangat sedikitnya tumbuhan bawah
yang menutupi tanah.
1.00
ET
Second Component
0.75
0.50
0.25
AB
0.00
AP
CH
-0.25
CT
-0.50
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
First Component
0.3
0.4
0.5
Gambar 14 Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di hutan lindung
4.8.3 Matriks Korelasi antar Variabel di Lahan tanpa Tegakan
Tabel 8 menunjukkan nilai korelasi antar variabel pada lahan tanpa tegakan.
Berdasarkan matriks korelasi antar variabel di lahan tanpa tegakan, ternyata aliran
permukaan mempunyai kontribusi yang lebih kecil terhadap erosi. Ini ditunjukkan
dengan nilai korelasinya sebesar 62.50%.
Tabel 8 Matriks korelasi antar variabel di lahan tanpa tegakan
Variabel
CH
AP
AP
0.630
-
ET
0.712
0.625
30
Hasil analisis loading plot menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi
positif dengan aliran permukaan. Arti adanya peningkatan curah hujan akan
disertai dengan bertambahnya aliran permukaan. Maka semakin besar curah hujan
akan meningkatkan energi kinetik butiran hujan. Hal ini berarti dapat
meningkatkan jumlah erosi tanah pada lahan tanpa tegakan ini (Gambar 15).
1.00
AP
Second Component
0.75
0.50
0.25
0.00
-0.25
CH
ET
-0.50
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
First Component
0.4
0.5
0.6
Gambar 15 Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di lahan tanpa
tegakan
31
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan dengan tahapan : menghitung nilai kerapatan
relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominasi relatif (DR) yang
penjumlahannya berupa nilai INP untuk tiap fase perkembangan pohon.
Berdasarkan hasil perhitungan jumlah individu, diperoleh bahwa jumlah individu
terbanyak terdapat pada tumbuhan bawah, kemudian berkurang sangat drastis
pada sapihan, tiang, dan sedikit meningkat pada pohon. Rendahnya jumlah
individu pada sapihan karena beberapa faktor : 1) kondisi kemasaman tanah, 2)
intensitas cahaya yang melebihi batas optimum, dan 3) kurangnya unsur hara
untuk pertumbuhan.
Struktur hutan lindung yang masih utuh terdiri mulai dari pohon-pohon
besar dan tinggi sampai pohon perdu dan tanaman merambat, yang semuanya
tersusun dalam lapisan-lapisan tajuk yang rapat. Lapisan-lapisan tajuk (strata) ini
terbentuk sebagai akibat dari persaingan, dan pada akhirnya jenis-jenis tertentu
akan lebih dominan dibandingkan jenis yang lain.
5.2 Model Arsitektur Pohon
Arsitektur pohon model Rauh dibentuk oleh sebuah batang monopodial
dan orthotropik dengan pertumbuhan ritmik dan membentuk percabangan yang
ortothtropik. Pertumbuhan
ritmik
merupakan
perkembangan
aksis
yang
menunjukkan pergantian secara endogen dan teratur antara seri internodus yang
pendek yang berhubungan dengan pengurangan daun dan seri internodus panjang
yang mengurangi lebar daun (Halle et al. 1978). Aksis ortotropik tegak lurus dan
biasanya dengan filotaksis spiral yang simetri radial. Cabang-cabang ini secara
genetik identik dengan batang. Perbungaan lateral tanpa berpengaruh terhadap
sistem pertumbuhan tunas. Model ini adalah salah satu yang paling sering
dijumpai pada tumbuhan berbiji. Model ini juga sangat lazim dijumpai diantara
pohon-pohon pada latitude yang tinggi seperti pinus, dan juga biasanya terdapat di
daerah tropis (Halle et al. 1978).
Model Rauh sendiri menghasilkan sistem perakaran yang lebih
terspesialisasi dan secara inheren mudah beradaptasi karena semua meristem sama
32
dan ritmik. Bentuk perakaran yang dangkal pada pinus memiliki peran khusus dan
tidak mengurangi daya kompetisi dengan tumbuhan lain. Perkembangan ritmis
dari batang monopodial mengarah pada pengembangan tingkatan yang berbeda
dari cabang-cabang, yang merupakan pertumbuhan berulang dari axis awal
dengan tingkat asimetri yang tidak sama. Dan ini merupakan karakteristik bagian
distal dari sistem percabangan. Dan perkembangan cabang erat kaitannya dengan
pertumbuhan ritmis dari aksis. yang merupakan fitur penting dari model Rauh.
Pada spesies subtropis, cabang dikembangkan terutama oleh prolepsis, tunas
lateral yang aktif letaknya dekat dengan tunas terminal yang istirahat. Daun
berkembang meluas pada bagian terminal. Bunga aksila dan berkembang di malai
lateral dari axil daun terakhir pada saat tunas terminal dalam kondisi istirahat.
Posisi bunga majemuk lateral secara konsisten pada model ini, tetapi bervariasi
pada pertumbuhan tambahannya. Variasi dalam periodesitas pertumbuhan ritmik
terkait dengan musim. Penurunan latitude cenderung menghasilkan pertumbuhan
pucuk lebih dari satu.
Model Roux pada kopi (Coffea arabica L.) merupakan salah satu model
arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial atau pohon dengan
beberapa aksis yang berbeda, dengan aksis vegetatif yang tidak ekuivalen dengan
bentuk homogen, heterogen atau campuran tetapi selalu mempunyai perbedaan
yang jelas antara batang dan cabang, aksis vegetatifnya homogen, terdiferensiasi
dalam bentuk aksis ortotropik dan plagiotropik atau aksis majemuk, percabangan
akrotonik dalam membentuk batang, bukan konstruksi modular, daun tersusun
spiral pada batang namun biasanya dikotom pada cabang, namun pada C.arabica
tidak ada perbedaan daun yang tumbuh pada batang dan cabang, perbungaan
lateral, batang monopodium dengan pertumbuhan batang serta percabangannya
secara kontinyu, Pertumbuhan kontinyu merupakan perkembangan aksis yang
menunjukkan ekuivalen kuantitatif semua internodus, daun, dan meristem lateral.
Kopi merupakan pohon kecil yang tingginya bisa mencapai 8 m jika
tumbuh tanpa pemangkasan. Model roux ini biasanya tumbuh di hutan dengan
kerapatan sedang sebagai pola penyesuaian efisiensi intersepsi cahaya pada
cabang plagiotropik. Pemangkasan dilakukan untuk mempermudah pemanenan
dan untuk budidaya biasanya batangnya dipotong untuk merangsang pertumbuhan
33
lebih lanjut tunas ortotropik dari meristem laten pada batang yang ada. Cabang
ortotropik pada kopi merupakan cabang reproduksi yang tumbuhnya tegak dan
lurus. Cabang ini berasal dari tunas reproduksi yang terdapat di setiap ketiak daun
pada batang utama. Setiap ketiak daun mempunyai 4-5 tunas reproduksi sehingga
bila cabang reproduksi mati dapat diperbaharui. Cabang reproduksi mempunyai
sifat seperti batang utama sehingga bilang batang utama mati atau tidak tumbuh
sempurna maka fungsinya dapat digantikan oleh cabang ini.
Disamping pertumbuhan cabang yang baru, cabang lama yang plagiotropik
pun tetap tumbuh. Cabang plagiotrop adalah cabang yang tumbuh pada batang
utama dan berasal dari tunas primer. Arah pertumbuhannya mendatar, lemah, dan
berfungsi sebagai penghasil bunga. Setiap ketiak daun hanya mempunyai satu
tunas primer sehingga bila cabang ini mati, di tempat tersebut tidak dapat lagi
tumbuh cabang plagiotrop lagi. Dan pada jenis kopi percabangannya ireversibel.
Jika perbanyakan cabang dengan cara dipotong, pohon kopi bercabang
plagiotropik dapat diproduksi meskipun agak sulit. Meristem apikal pada cabang
mempertahankan bentuk simetri radial seperti batang (Halle et al. 1978).
5.3 Jenis Tanah
Tanah dengan KTK sedang karena didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K,
Na dengan tingkatan rendah-sedang, masih tergolong tanah dengan kesuburan
sedang. Siklus unsur hara di bawah pinus adalah rendah dibandingkan tanaman
berdaun lebar yang serasahnya lebih banyak mengandung basa. Unsur hara hasil
dekomposisi cenderung membentuk sifat asam untuk semua kerapatan di bawah
tegakan Pinus. Disamping itu, basa umumnya mudah tercuci pada tanah di bawah
pohon pinus. Namun, tanah dengan KB tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut
belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur
(Hardjowigeno 2010).
Tanah dengan kandungan bahan organik atau dengan kadar liat tinggi
seperti pada tanah di lahan PHBM dan hutan lindung mempunyai KTK lebih
tinggi daripada tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah
berpasir. Menurut Hardjowigeno (2010), bahwa tekstur tanah mempunyai
pengaruh yang penting terhadap kemampuan tanah dalam menahan air, laju
infiltrasi, perkolasi, dan peredaran udara didalam tanah. Tanaman memberikan
34
masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan rantingnya yang gugur, dan
juga melalui akar-akarnya yang telah mati.
Tanah dengan tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena daya
kohesi yang kuat dari liat tersebut sehingga gumpalan-gumpalannya sukar
dihancurkan atau tidak mudah terdispersi, sedangkan debu dan pasir sangat halus
seperti pada lahan tanpa tegakan merupakan tekstur tanah yang paling peka
terhadap erosi. Oleh karena itu, makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka
makin peka terhadap erosi. Bentuk struktur tanah yang membulat (granuler,
remah, gumpal membulat) mempunyai porositas tinggi sehingga air mudah
meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan menjadi kecil. Dan struktur tanah
yang mantap tidak mudah hancur oleh pukulan air hujan.
5.4 Curah Hujan
Pada waktu hujan lebat yang terjadi dalam waktu yang singkat, maka
kondensasi, adsorpsi, perkolasi, evaporasi dan transpirasi terjadi dalam jumlah
yang kecil yaitu hanya beberapa persepuluh mm jam-1 , sedangkan curah hujan,
aliran permukaan, dan air tersimpan dapat sampai beberapa puluh mm jam-1 .
Menurut Arsyad (2006), ada tiga komponen karakteristik hujan yang
berpengaruh terhadap erosi yaitu jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Jumlah
hujan adalah volume air hujan yang jatuh dalam waktu tertentu. Jumlah hujan
rata-rata yang tinggi mungkin tidak menyebabkan terjadinya erosi jika
intensitasnya rendah. Demikian juga suatu hujan yang intensitasnya tinggi tetapi
terjadi dalam waktu yang singkat karena tidak cukup air untuk mengangkut tanah.
Sifat hujan yang juga mempengaruhi proses erosi adalah energi kinetika
hujan. Energi ini merupakan penyebab pokok dalam proses penghancuran tanah.
Hasil penelitian kaimuddin (1994) menunjukkan bahwa rata-rata batas penjenuhan
tajuk pada P.merkusii 1.50 mm. Nilai batas penjenuhan tajuk atau kapasitas tajuk
ini menggambarkan tentang jumlah maksimum air yang dapat ditampung dan
menjenuhkan tajuk apabila terjadi hujan. Jika tajuk menerima air hujan lebih besar
dari batas penjenuhan, maka air tersebut akan dialirkan menjadi curahan tajuk.
Dari 34 kali kejadian hujan semuanya berada diatas batas penjenuhan tajuk dan
menghasilkan aliran batang, curahan tajuk, aliran permukaan dan erosi.
35
5.5 Curahan Tajuk
Curahan tajuk dipengaruhi oleh tebalnya lapisan tajuk (strata), jenis-jenis
pohon yang membentuk tegakan, suhu dan kecepatan angin (Zinke 1967).
Curahan tajuk meliputi air hujan yang telah diintersepsi oleh tajuk maupun tanpa
diintersepsi terlebih dahulu. Menurut Manokaran (1979), curahan tajuk
dipengaruhi oleh suhu, kecepatan angin, selisih waktu kejadian hujan, dan waktu
terjadinya hujan (siang atau malam).
Kecilnya nilai curahan tajuk pada pinus disebabkan angin yang membawa
air curahan tajuk. Selain itu P. merkusii memiliki daun berbentuk jarum sehingga
lebih banyak mengintersepsi curah hujan, sehingga jumlah air yang mencapai
permukaan tanah berkurang. Sedangkan lebih besarnya curahan tajuk pada A.
excelsa yang ada di hutan alam disebabkan rapatnya tegakan pohon sehingga
tiupan anginpun akan kecil. Menurut Manokaran (1979), curahan tajuk
dipengaruhi oleh suhu, kecepatan angin, selisih waktu kejadian hujan, dan waktu
terjadinya hujan (siang atau malam).
5.6 Aliran Batang
Aliran batang dipengaruhi oleh arsitektur pohon, kulit batang, struktur
tegakan, dan posisi daun (Kittredge 1948). Menurut Manokaran (1979), unsurunsur iklim yang berpengaruh terhadap aliran batang adalah curah hujan total,
intensitas hujan, selisih waktu antara urutan kejadian hujan, kondisi atmosfir
sebelum turun hujan, dan kondisi angin selama hujan.
Model Rauh DJ pada pinus, pola percabangannya yang orthotropik akan
meningkatkan aliran batang, karena cabang-cabang yang tumbuh secara vertikal
berfungsi sebagai wadah penampungan air hujan yang selanjutnya dialirkan ke
batang. Daun pinus yang berbentuk jarum mempunyai daya tampung yang sangat
kecil, sehingga air hujan yang jatuh ke tajuk sebagian besar akan langsung jatuh
ke batang dan permukaan tanah. Diameter tajuk dan percabangan pohon pinus
lebih pendek sehingga kapasitas penampungan air hujan juga kecil. Kulit pohon
pinus yang kasar dan beralur dalam menjadikan air yang mengalir di batang tidak
mudah hilang tertiup angin dan kapasitas penyimpanan air hujan lebih besar.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa bila intensitas dan frekuensi
hujannya tinggi, aliran batang pada model Rauh DJ akan meningkat dengan tajam.
36
Hal ini karena kulit P.merkusii membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi
kering, bahkan ketika hujan sudah berhenti aliran batang masih ada yang menetes
(mengalir). Jika dalam kondisi demikian turun lagi hujan dengan intensitas tinggi,
maka laju aliran batang akan cepat meningkat karena permukaan kulit sudah lebih
dulu jenuh air dan bentuk alur yang dalam bagaikan saluran yang efektif
mengalirkan air hujan. Aliran batang pada model Rauh DL lebih kecil karena
percabangannya jarang dan diameter tajuknya lebih panjang sehingga kapasitas
penampungan air hujan besar.
5.7 Aliran Permukaan dan Erosi
Aliran permukaan dan erosi diukur sebanyak 34 hari kejadian hujan. Aliran
permukaan yang besar berfungsi sebagai transportasi bagi agregat tanah yang
telah dipecah oleh butir-butir hujan. Semakin besar aliran permukaan maka tanah
yang terangkutpun akan semakin besar pula. Besarnya aliran permukaan di lahan
PHBM disebabkan bentuk daun jarum pada pinus hampir tidak dapat menahan air
hujan yang jatuh ke tajuk sehingga air hujan langsung jatuh ke tanah. Namun
banyaknya serasah yang jatuh dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air
hujan, juga mengurangi aliran permukaan dan penguapan. Tinggi rendahnya
peranan serasah ini ditentukan oleh kualitas bahan organik tersebut. Semakin
rendah kualitas bahan, semakin lama bahan tersebut lapuk, sehingga terjadi
akumulasi serasah yang cukup tebal pada permukaan tanah hutan (Hairiah et al.
2005).
Tajuk-tajuk pohon yang rapat di hutan lindung dapat mengurangi tenaga
terpaan (energi kinetik) air hujan sehingga butiran hujan yang sampai ke
permukaan tanah tidak banyak memecah agregat tanah dan akar pohon yang dapat
meningkatkan infiltrasi air sehingga aliran permukaan berkurang.
Adanya perlakuan teras bangku pada lahan PHBM pinus yang ditanami
kopi, selain mengurangi panjang lereng juga berfungsi menahan air sehingga
mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan
penyerapan air oleh tanah. Dengan demikian erosi berkurang (Arsyad 2006).
Besarnya aliran permukaan pada lahan tanpa tegakan karena tidak adanya
tegakan yang tumbuh dan tumbuhan bawah yang sangat sedikit. Juga tekstur tanah
yang gembur karena sering diolah sebagai lahan sayuran, kondisi ini
37
menyebabkan agregat tanah lebih mudah pecah oleh butiran hujan dan diangkut
oleh aliran permukaan.
Pada tanah yang relatif terbuka (tanpa tanaman dan tanpa mulsa) butir hujan
akan langsung menerpa permukaan tanah sehingga banyak agregat tanah yang
hancur menjadi butir tunggal (partikel) tanah. Partikel ini selanjutnya menutup
pori tanah yang dapat menurunkan kapasitas infiltrasi tanah, sehingga tanah lebih
peka terhadap erosi karena lebih banyak air hujan yang mengalir sebagai aliran
permukaan.
Rendahnya jumlah sedimen pada lahan PHBM dan hutan lindung
dibandingkan dengan lahan tanpa tegakan disebabkan penutupan vegetasi yang
rapat dan banyaknya serasah dari tumbuhan mampu memperlambat aliran di atas
permukaan sehingga hanya sedikit tanah yang terbawa. Sistem perakaran pohon
dan semak juga mempunyai peran penting untuk mengurangi aliran permukaan
dengan cara membentuk karakteristik tanah seperti porositas tanah yang dapat
meningkatkan infiltrasi. Persentase kandungan pasir suatu lahan sangat
menentukan kemampuan tanah dalam mengikat partikel-partikel tanah, sehingga
pada saat terjadi hujan ikatan tersebut mudah lepas. Kondisi ini tentu saja tidak
menguntungkan pada saat terjadi aliran permukaan, karena dengan lemahnya
ikatan antar partikel tanah, air akan melepaskannya sehingga sedimen yang
terbawa aliran permukaan lebih banyak dan tingkat erosi akan lebih besar.
Sehingga perlu adanya tindakan konservasi tanah.
38
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan :
1. Model Rauh berdaun lebar (DL) dan berbatang licin dari Rasamala (Altingia
sp.) merupakan arsitektur pohon yang sangat baik untuk konservasi tanah dan
air dibandingkan dengan model Rauh berdaun jarum (DJ) dan batang yang
beralur pada Pinus (Pinus sp.).
2. Kopi dengan model arsitektur pohon Roux yang ditanam diantara pohon
Pinus juga berperan dalam menahan erosi karena daunnya yang lebar mampu
mengurangi besarnya curahan tajuk yang jatuh dari dari pohon Pinus sebelum
jatuh ke tanah.
3. Curahan tajuk DJ dari pohon Pinus (Pinus sp.), sebesar 27.16 mm dan tajuk
DL dari pohon Rasamala (Altingia sp.), sebesar 28.73 mm.
4. Aliran batang pohon Pinus, sebesar 50.57 mm dan batang pohon Rasamala,
sebesar 0.04 mm.
5. Aliran permukaan dari lahan PHBM, sebesar 6.94 L dan hutan lindung,
sebesar 4.08 L lebih kecil dibandingkan lahan tanpa tegakan,sebesar 106.22
L.
6. Erosi dari lahan PHBM, sebesar 6.94 ton/ha/thn dan hutan lindung, sebesar
4.08 ton/ha/thn mempunyai laju erosi yang lebih kecil dibandingkan lahan
tanpa tegakan yang diolah untuk pertanian, yang memiliki laju erosi sangat
tinggi (55.99 ton/ha/thn).
7. Kehadiran tumbuhan bawah dan kerapatan penutupan tajuk vegetasi sangat
baik untuk memperkecil aliran permukaan sehingga mampu mengurangi laju
erosi tanah.
6.2 Saran
1. Pohon pinus dapat digunakan sebagai jenis yang ditanam untuk konservasi
tanah dan air asalkan mempertahankan tumbuhan bawah dan teras bangku
untuk memperkecil laju erosi.
2. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dengan model arsitektur yang berbeda.
39
DAFTAR PUSTAKA
Agus
F, Ginting AN, van Noordwijk M. 2002. Pilihan Teknologi
Agroforestry/Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di
Sumberjaya. Lampung Barat. Bogor : World Agroforestry Centre ICRAF.
Alegre JC, Rao MR. 1996. Soil and water conservation by contour hedging in the
humid tropics of Peru. Agric Eco and Env. 57:17-25.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Ed ke-2. Bogor : IPB Press.
Budidarsono S, Wijaya K. 2004. Praktek konservasi dalam budidaya kopi robusta
dan keuntungan petani. Agrivita. 26(1): 126-138.
Chirino E, Bonet A, Bellot J, Sanchez JR. 2006. Effects of 30 years old Allepo
pine plantations on runoff. soil erosion. and plant diversity in a semi-arid
landscape in South Eastern spine. Catena. 65:19-29.
Christensen LA. 2002. Soil. nutrient. and water management systems used in
U.S.
corn
production.
Agric
Info
Bull
No.774
April.
http://www.ers.usda.gov.html [1 Maret 2010].
Dariah A, Agus F, Maswar. 2008. Soil quality of the land under coffee-based
farming system (case study at Sumberjaya. West Lampung). Indones J of
Agric. 1(1): 51-57
Gyssels G, Poesen J, Bochet E. Li Y. 2005. Impact of plant roots on the resistance
of soils to erosion by water : a review. Progress in Physical Geography. 22:
189-217.
Hairiah K, Utami SRBL, van Noordwijk M. 2005. Neraca Hara dan Karbon dalam
Sistem Agroforestri. Neth J Agric Sci. 48(2000): 3-17.
Halle F, Oldeman RAA. 1975. An Essay on the Architechture and Dynamics of
Growth of Tropical Trees. Kuala Lumpur : Penerbit University Malaya.
Halle F, Oldeman RAA, Tomlison PB. 1978. Tropical Trees and Forest an
Architecture Analysis. New York : Springer-Verlag. Berlin. Heidelberg.
New York.
Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Cet ke-7. Jakarta : Akademika Pressindo
Kaimuddin. 1994. Kajian Model Pendugaan Intersepsi Hujan pada Tegakan Pinus
merkusii Junghuhn & de Vriese, Agathis lorenthifolia, dan Schima walichii
di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi [tesis]. Bogor : Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Kittredge J. 1948. Interception and Stemflow. Dalam Forest Influences. New York
: Mc Graw-hill Book and Co.Inc.
Lee R. 1998. Hidrologi Hutan. Yogyakarta : UGM Press.
40
Manokaran N. 1979. Stemflow, Throughfall and Rainfall Interception in a
Lowland and Tropical Rainforest in Peninsular Malaysia. The Malaysian
Forester. 42(3) : 174-201.
Mohammad AG, Adam MA. 2010. The impact of vegetative cover type on runoff
and soil erosion under different land uses. Catena. 30 : 1-7.
Mueller D, Ellenberg. 1974. Aim and Methods of Vegetation Ecology. New York :
John Wiley and Son. Inc.
Muntasib H. 1999. Hutan dan Lingkungan. Kerjasama Pusat Penyuluhan
Kehutanan dan Perkebunan dengan Fakultas Kehutanan IPB. BPPK.
Departemen Kehutanan.
Oztas T, Koc A, Comakli B. 2003. Change in vegetation and soil properties longe
a slope on overgrazed and eroded rangelands. J of Arid Env. 55: 93-100.
[Perum Perhutani]. 2007. Keputusan Direksi Perum Perhutani No.
628/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat Plus (PHBM PLUS).
Pudjiharta A. 2001. Aspek Hidrologi dari Eucalyptus. Jakarta : Departemen
Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan.
Pratiwi, Mulyanto B. 2002. Pengaruh penebangan hutan terhadap tanah dan usaha
perbaikannya. Bull Lit dan Bang Hut. 3:19-32.
Purwanto E, Ruijter J. 2004. Hubungan antara hutan dan fungsi daerah aliran
sungai. Di dalam: Rahayu S. editor. Dampak Hidrologis Hutan.
Agroforestri. dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian
Imbalan kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding
Lokakarya; Padang. 25-28 Feb 2004. Bogor : ICRAF. 2004. hlm 1-22.
Purwowidodo. 1986. Tanah dan Erosi Sebuah Dokumentasi. Jurusan Manajemen
Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Santosa W. 1985. Aliran Permukaan dan Erosi pada Tanah yang Tertutup oleh
Tanaman Teh dan Hutan Alam di Gambung. Bandung [tesis]. Bogor :
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Setiadi D. 1998. Keterkaitan Profil Vegetasi Sistem Agroforestry Kebun Campur
dengan Lingkungannya [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Setyawati T, Bismark M. 2002. Prioritas konservasi keanekaragaman tumbuhan di
Indonesia. Bull Lit dan Bang Hut. 3:131-144.
Simanjuntak D, Matanari J. 2004. Manfaat cover crops terhadap erosi dan
kesuburan tanah. J Lit Perta 2(2): 42-47.
Sinukaban N. 2007. Soil and Water Conservation in Sustainable Development
Effect of Soil Conservation Practices and Slope Lengths on Runoff. Soil
41
Loss and Yield of Vegetables In West Java. Direktorat Jenderal RLPS
Departemen Kehutanan.
Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1994. Timber Trees :Major Commercial
Timbers. Bogor : Prosea
Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 2002. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 1(5)
Pohon Penghasil Kayu Perdagangan Utama. Bogor : Prosea
Soewandito et.al 2002. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap aliran
permukaan. Sedimen dan unsur hara. J Sains dan Teknologi Indones. 4(5).
http://www.iptek.net.id.html [ 25 Februari 2010].
Stroosnijder L. 2005. Measurement of erosion : is it possible ?. Catena. 64 : 162173.
Zinke PJ. 1967. Forest Interception Studies in The United State. Dalam : Sopper
WE and Lull HW (Ed).Symposium on Forest Hydrology. Oxford :
Pergamon Press.
42
LAMPIRAN
43
Lampiran 1. Hasil Analisis Vegetasi Pohon, Tiang, Sapihan dan Tumbuhan
Bawah di Lahan PHBM Pinus
a. Pohon
No.
Nama Lokal
Nama Spesies
DR
KR
FR
INP
1
Pinus
Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese
46.97
83.44
42.92
173.32
2
Rasamala
Altingia excelsa Noronha.
48.58
13.91
42.92
105.41
3
Puspa
Schima wallichii Korth.
4.45
2.66
14.16
21.27
Total
100.00
100.00
100.00
300.00
Nama Spesies
DR
KR
FR
INP
Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese
100.00
100.00
100.00
300.00
Total
100.00
100.00
100.00
300.00
b. Tiang
No.
1
Nama Lokal
Pinus
c. Sapihan
No.
Nama Lokal
1
Kopi arabika
Nama Spesies
Coffea arabica L.
Total
DR
KR
FR
INP
100.00
100.00
100.00
300.00
100.00
100.00
100.00
300.00
d. Tumbuhan Bawah
No.
Nama Lokal
Nama Spesies
KR
FR
INP
1
Teklan
Eupatorium riparium Regel
61.47
10.73
72.20
2
Jukut pait
Paspalum conjugatum P.J. Bergius
10.55
10.73
21.28
3
Kopi arabika
Coffea arabica L.
13.68
7.19
20.87
4
Harendong
Melastoma affine D. Don
3.74
10.73
14.47
5
Pacar air
Impatiens balsamina L.
3.61
10.73
14.34
6
Jenggut
Memorialis pentandra Wedd.
1.23
7.19
8.41
7
Tali said
Aneilema nudiflorum (L.) R. Br.
0.34
7.19
7.53
8
Paku geulis
Cyclosorus sp.
0.14
7.19
7.32
9
Babadotan
Ageratum conyzoides L.
2.45
3.54
5.99
10
Jampang piit
Eleusine indica (L.) Gaertn
0.95
3.54
4.49
11
Antanan
Viola arcuata Blume
0.88
3.54
4.43
12
Sawuheun
Setaria palmifolia Stapf.
0.61
3.54
4.15
13
Cabe kingki
Solanum capsicastrum Link ex Schauer
0.14
3.54
3.68
14
Ciplukan
Physalis angulata Linn.
0.07
3.54
3.61
15
Jukut ibun
Drymaria cordata Willd.ex Schult.
0.07
3.54
3.61
16
Gewor
Commelina diffusa Burm.
0.07
3.54
3.61
100.00
100.00
200.00
Total
44
Lampiran 2. INP Pohon, Tiang, Sapihan, Tumbuhan Bawah dan Model
Arsitektur di Lahan PHBM Pinus
INP (%)
No.
Nama Lokal
Nama Latin
Model
Arsitektur
Pohon
Tiang
Sapihan
Tumbuhan
Bawah
173.32
300.00
0
0
Rauh
1
Pinus
Pinus merkusii Junghuhn & de
Vriese
2
Rasamala
Altingia excelsa Noronha.
105.41
0
0
0
Rauh
3
Puspa
Schima wallichii Korth.
21.27
0
0
0
Rauh
4
Kopi Arabika
Coffea arabica L.
0
0
299.99
20.87
5
Pacar air
Impatiens balsamina L.
0
0
0
14.34
6
Babadotan
Ageratum conyzoides L.
0
0
0
5.99
7
Antanan
Viola arcuata Blume
0
0
0
4.43
8
Ciplukan
Physalis angulata Linn.
0
0
0
3.61
9
Tali said
Aneilema nudiflorum (L.) R. Br.
0
0
0
7.53
10
Jampang piit
Eleusine indica (L.) Gaertn
0
0
0
4.54
11
Jukut pait
Paspalum conjugatum P.J.
Bergius
0
0
0
21.91
12
Jenggut
Memorialis pentandra Wedd.
0
0
0
8.41
13
Harendong
Melastoma affine D. Don
0
0
0
14.54
14
Teklan
Eupatorium riparium Regel
0
0
0
72.23
0
0
0
3.61
15
Jukut ibun
16
Paku geulis
Drymaria cordata Willd.ex
Schult.
Cyclosorus sp.
0
0
0
7.32
0
0
0
3.77
17
Cabe kingki
Solanum capsicastrum Link ex
Schauer
18
sawuheun
Setaria palmifolia Stapf
0
0
0
4.23
19
Gewor
Commelina diffusa Burm.
0
0
0
3.61
300.00
300.00
299.99
200.99
Total
45
Lampiran 3. Hasil Analisis Vegetasi Pohon, Tiang, Sapihan dan Tumbuhan
Bawah di Hutan Lindung
a. Pohon
No
Nama Lokal
Nama Spesies
DR
KR
FR
INP
1
Puspa
Schima wallichii Korth.
9.88
30.77
27.25
67.90
2
Kibancet
Turpinia sphaerocarpa Hassk.
2.68
7.69
9.08
19.45
3
Kokopian
Plectronia glabra Benth. & Hook.f. ex Kurz
3.27
7.69
9.08
20.04
4
Kihonje
Pittosporum ferrugineum W.T.Aiton
9.28
7.69
9.08
26.05
5
Huru batu
Litsea noronhae Blume
8.95
15.38
18.17
42.50
6
Rasamala
Altingia excelsa Noronha.
63.34
23.08
18.17
104.58
7
Saninten
Castanopsis argentea Korth.
Total
2.61
7.69
9.08
19.38
100.01
99.99
99.91
299.90
DR
KR
FR
INP
b. Tiang
No
Nama Lokal
Nama Spesies
1
Puspa
Schima wallichii Korth.
20.62
33.33
20.00
73.96
2
Spesies E
Sanicula elata Buch-Ham. Ex D. Don
7.56
16.67
20.00
44.23
3
Nangsi
Villebrunea rubescens Blume
11.29
16.67
20.00
47.96
Seuseureuhan
Piper aduncum L.
44.14
16.67
20.00
80.81
Total
83.61
83.34
80.00
246.96
DR
KR
FR
INP
4
c. Sapihan
No
Nama Lokal
1
Nama Spesies
Puspa
Schima wallichii Korth.
6.13
5.56
8.33
20.01
2
Kokopian
Plectronia glabra Benth. & Hook.f. ex Kurz
1.16
5.56
8.33
15.05
3
Dadap
Erythrina lithosperma Miq
6.67
5.56
8.33
20.56
4
Seuseureuhan
Piper aduncum L.
11.86
5.56
8.33
25.75
5
Spesies A
Phyllanthus urinaria L.
28.04
11.11
8.33
47.48
6
Huru koneng
Litsea angulata Bl
3.75
5.56
8.33
17.64
7
Ramogiling
Trevesia sundaica L.
1.16
5.56
8.33
15.05
8
Kicareuh
Alangium chinense (Lour.) Harms & Rehd.
1.16
5.56
8.33
15.05
9
Nangsi
Villebrunea rubescens Blume
18.53
5.56
8.33
32.42
55.59
74.97
209.01
KR
FR
INP
Total
d. Tumbuhan Bawah
No
Nama Lokal
78.46
Nama Spesies
1
Paku geulis
Nephrolepis hirsutula (G.Forst.) C. Preslt
10.08
8.82
18.91
2
Cariwuh
Schismatoglottis calyptrata Zoll. & Moritzi.
4.20
2.94
7.14
3
Cerem
Macropanax dispermumKunze.
5.04
5.88
10.92
4
Canar
Smilax leucophylla Blume
2.52
5.88
8.4
5
Spesies D
Sp. D
0.84
2.94
3.78
6
Suangkung
Carriyota mitis
0.84
2.94
3.78
7
Harendong
Melastoma affine D. Don
14.29
8.82
23.11
46
Lanjutan
No
Nama Lokal
Nama Spesies
KR
FR
8
Paku A
9
Jampang piit
10
Paku A
0.84
2.94
3.78
Eleusine indica (L.) Gaertn
35.29
5.88
41.18
Jukut ilat
Scleria purpurascens Steud.
3.36
5.88
9.24
11
Huru
Litsea umbellata Merr.
0.84
2.94
3.78
12
Kareumbi
Homolanthus populneus Kuntze
0.84
2.94
3.78
13
Kirinyuh jalu
Clibadium surinamense L.
0.84
2.94
3.78
14
Gewor
Commelina diffusa Burm.
0.84
2.94
3.78
15
Gadung
Dioscorea alata L.
1.68
2.94
4.62
16
Amis panon
Ficus montana Burm.f.
1.68
2.94
4.62
17
Paku anam
Mycrolepias strigosa
4.20
2.94
7.14
18
Pacing
Costus speciosus Sm.
1.68
2.94
4.62
19
Bubuay
Plectocomia elongata Mart. & Blume
0.84
2.94
3.78
20
Hareueus
Rubus moluccanus L.
0.84
2.94
3.78
21
Kihampelas
Ficus ampelas Burm.f.
0.84
2.94
3.78
22
Spesies B
Sp. B
0.84
2.94
3.78
23
Kitoke
Archidendron clypearia (Jack) I.C.Nielsen
0.84
2.94
3.78
24
Spesies C
Ficus ribes Reinw ex Bl.
0.84
2.94
3.78
94.94
94.08
189.00
Total
INP
47
Lampiran 4. INP Pohon, Tiang, Sapihan, Tumbuhan Bawah
Arsitektur di Hutan Lindung
dan Model
INP (%)
No
Nama Lokal
1
Puspa
2
Kibancet
Nama Latin
Model
Arsitektu
Pohon
Tiang
Sapihan
Tumbuhan
Bawah
Schima wallichii Korth.
67.90
73.96
20.02
0
Rauh
Turpinia sphaerocarpa Hassk.
19.45
0
0
0
Massart
20.04
0
15.05
0
Roux
26.05
0
0
0
Attims
Plectronia glabra Benth. &
Hook.f. ex Kurz
Pittosporum ferrugineum
W.T.Aiton
3
Kokopian
4
Kihonje
5
Huru batu
Litsea noronhae Blume
42.50
0
0
0
Rauh
6
Rasamala
Altingia excelsa Noronha.
104.58
0
0
0
Rauh
19.38
0
0
0
Stone
0
53.05
0
0
0
44.24
0
0
7
Saninten
Castanopsis argentea Korth.
Ganitri
beureum
Calincing
jawa
Elaeocarpus angustifolius
Blume
Sanicula elata Buch-Ham. Ex D.
Don
10
Nangsi
Villebrunea rubescens Blume
0
47.60
32.42
0
11
Seuseureuha
n
Piper aduncum L.
0
80.81
25.75
0
12
Damar
Agathis dammaraL.C. Richard
0
0
91.00
0
13
Dadap
Erythrina lithosperma Miq
0
0
20.56
0
14
Spesies A
Phyllanthus urinaria L.
0
0
47.48
0
15
Huru koneng
Litsea angulata Bl
0
0
17.64
0
16
Tusuk sate/
kalingkem
Trevesia sundaica L.
0
0
15.05
0
17
Kicareuh
Alangium chinense (Lour.)
Harms & Rehd.
0
0
15.05
0
18
Congkok
Curculigo orcioides Gaeratn.
0
0
0
10.92
0
0
0
18.91
0
0
0
7.14
8
9
Nephrolepis hirsutula (G.Forst.)
C. Preslt
Schismatoglottis calyptrata Zoll.
& Moritzi.
19
Paku geulis
20
Cariwuh
21
Cerem
Macropanax dispermumKunze.
0
0
0
10.92
22
Canar
Smilax leucophylla Blume
0
0
0
8.40
23
Spesies D
Sp. D
0
0
0
3.78
24
Suangkung
Carriyota mitis
0
0
0
3.78
25
Harendong
Melastoma affine D. Don
0
0
0
23.11
26
Paku A
Paku A
0
0
0
3.78
27
Jampang piit
Eleusine indica (L.) Gaertn
0
0
0
41.18
28
Jukut ilat
Scleria purpurascens Steud.
0
0
0
9.24
29
Huru
Litsea umbellata Merr.
0
0
0
3.78
30
Kareumbi
Homolanthus populneus Kuntze
0
0
0
3.78
31
Kirinyuh
jalu
Clibadium surinamense L.
0
0
0
3.78
32
Gewor
Commelina diffusa Burm.
0
0
0
3.78
33
Gadung
Dioscorea alata L.
0
0
0
4.62
34
Amis panon
Ficus montana Burm.f.
0
0
0
4.62
35
Paku anam
Mycrolepias strigosa
0
0
0
7.14
36
Pacing
Costus speciosus Sm.
0
0
0
4.62
48
Lanjutan
INP (%)
No
Nama Lokal
Nama Spesies
Pohon
Tiang
Sapihan
Tumbuhan
Bawah
37
Bubuay
Plectocomia elongata Mart. &
Blume
0
0
0
3.78
38
Hareueus
Rubus moluccanus L.
0
0
0
3.78
39
Kihampelas
Ficus ampelas Burm.f.
0
0
0
3.78
40
Spesies B
Sp. B
0
0
0
3.78
41
Kitoke
Archidendron clypearia (Jack)
I.C.Nielsen
0
0
0
3.78
42
Spesies C
Ficus ribes Reinw ex Bl.
0
0
0
3.78
299.90
299.66
300.00
200.00
Total
Model
Arsitektu
49
Lampiran 5. Hasil Analisis Vegetasi dan Nilai INP di Lahan Tanpa Tegakan
No
Nama Lokal
1
Saliara
2
Jukut Pait
3
Paniir Jangkrik
4
Jukut Babi
5
Sintrong Leuweung
6
Sp1
Nama Latin
Lantana camara
Paspalum conjugatum
P.J. Bergius
Digitaria timorensis
(Kunth) Balansa
Richidia brasiliensis
Crassocephalum
crepidiodes Benth.
Hyptis pectinata Poit.
1/M
KR
DR
FR
INP
0.08
0.06
0.03
0.19
0.28
8.01
5.97
16.38
4.28
26.63
5.89
4.39
7.90
6.53
18.81
18.80
14.00
11.29
15.63
40.93
9.56
7.12
5.45
14.31
26.89
5.06
3.77
8.67
6.73
19.16
7
Sp2
Labiateae
0.13
0.09
0.34
0.31
0.75
8
Sp3
Borreria levis Griseb.
0.25
0.19
0.44
0.62
1.25
9
Antanan
Viola arcuata Blume
0.50
0.37
0.37
1.25
1.99
10
Babadotan
18.36
13.67
13.35
16.35
43.37
11
Jalantir
2.94
2.19
8.05
2.94
13.18
12
Jukut Ibun
0.33
0.25
0.51
0.83
1.59
13
Sadagori
10.24
7.62
13.98
13.75
35.35
14
Susuukan
Ageratum conyzoides L.
Erigeron sumatrensis
Retz.
Drymaria cordata
Willd.ex Schult.
Sida rhombifolia
Richardia brasiliensis
Gomez
Setaria palmifolia Stapf
1.25
0.93
0.56
1.56
3.05
1.90
1.41
2.25
2.84
6.51
Bidens pilosa L.
Emilia sonchifolia (L.)
DC.
Poaceae
1.33
0.99
1.26
3.33
5.57
3.40
2.53
4.94
4.24
11.71
0.23
0.17
0.49
0.28
0.94
15
Sawuheun
16
Hareuga
17
Jonge
18
Sp4
19
Calincing
Oxalis barrelieri L.
1.00
0.74
1.84
4.99
7.58
20
Babalingbingan
Oxalis corniculata L.
0.50
0.37
0.64
1.25
2.26
66.84
98.75
102.21
267.80
Total
50
Lampiran 8. Hasil Pengukuran Curahan Tajuk, Aliran Batang, Aliran Permukaan,
dan Laju Erosi Tanah di Lahan PHBM
No
Tanggal
Curah Hujan
Curahan
Tajuk
Aliran Batang
Aliran
Permukaan
Erosi
Tanah
1
14 Oktober 2010
15 Oktober 2010
46.90
88.00
97.41
88.77
197.72
46.90
94.00
120.82
192.72
884.14
2
3
18 Oktober 2010
41.32
80.80
48.00
182.61
703.29
4
19 Oktober 2010
53.60
96.60
279.58
988.42
972.86
5
20 Oktober 2010
20.10
70.70
158.18
198.14
795.98
6
26 Oktober 2010
14.52
15.60
7.19
54.34
117.73
7
27 Oktober 2010
24.57
47.90
68.77
104.57
238.78
8
30 Oktober 2010
23.45
48.70
151.44
66.20
123.81
9
02 Nopember 2010
20.10
92.40
108.52
189.03
291.08
10
03 Nopember 2010
29.03
90.20
127.01
204.32
423.53
11
04 Nopember 2010
23.45
84.80
111.25
221.84
509.38
12
07 Nopember 2010
36.85
80.00
149.67
205.77
813.59
13
08 Nopember 2010
20.10
33.05
86.10
67.75
151.75
14
11 Nopember 2010
26.80
45.40
57.36
94.57
77.13
15
13 Nopember 2010
23.45
41.50
51.05
80.03
51.29
16
15 Nopember 2010
36.85
90.50
91.68
98.05
54.04
17
17 Nopember 2010
20.10
46.90
78.38
100.66
163.90
18
19 Nopember 2010
23.45
57.35
65.85
99.07
127.71
19
22 Nopember 2010
30.15
71.70
66.60
92.63
147.73
20
25 Nopember 2010
26.80
52.70
47.12
86.09
72.73
21
28 Nopember 2010
30.15
88.60
150.09
197.04
86.87
22
30 Nopember 2010
46.90
107.70
210.71
329.35
476.26
23
01 Desember 2010
67.00
119.90
411.83
528.24
507.10
24
03 Desember 2010
70.35
186.40
436.15
393.24
1892.78
25
04 Desember 2010
73.70
195.20
445.39
823.87
506.64
26
05 Desember 2010
70.35
183.90
458.34
386.59
205.83
27
07 Desember 2010
67.00
161.80
429.49
390.29
364.11
28
12 Desember 2010
55.83
94.00
225.57
226.91
266.23
29
20 Desember 2010
23.45
55.04
74.89
77.71
10.39
30
24 Desember 2010
23.45
61.50
110.16
122.25
132.78
31
26 Desember 2010
29.03
69.20
107.77
128.79
45.91
32
05 Januari 2011
16.75
42.90
34.82
50.99
30.74
33
08 Januari 2011
17.87
38.40
46.60
54.19
9.07
34
09 Januari 2011
23.45
36.90
43.87
42.04
15.33
Total
1203.80
2770.24
5157.70
7167.10
337.29
Rata-rata
35.41
27.16
50.57
70.27
6.94
Keterangan : CH = Curah Hujan, CT = Curahan Tajuk, AB = Aliran Batang, AP = Aliran
Permukaan, ET = Erosi Tanah
51
Lampiran 9. Hasil Pengukuran Curahan Tajuk, Aliran Batang, Aliran Permukaan,
dan Laju Erosi Tanah di Hutan Lindung
No
Tanggal
Curah
Hujan
Curahan
Tajuk
Aliran
Batang
Aliran
Permukaan
Erosi
Tanah
1
14 Oktober 2010
46.90
30.00
0.01
12.56
181.36
2
15 Oktober 2010
46.90
33.00
0.02
49.62
120.05
3
18 Oktober 2010
41.32
30.50
0.01
25.72
13.61
4
19 Oktober 2010
53.60
33.20
0.04
93.83
227.47
5
20 Oktober 2010
20.10
33.60
0.02
34.87
37.49
6
26 Oktober 2010
14.52
0.10
0.00
0.40
2.60
7
27 Oktober 2010
24.57
33.40
0.02
30.30
83.33
8
30 Oktober 2010
23.45
18.30
0.04
27.61
72.54
9
02 Nopember 2010
20.10
33.10
0.02
47.06
118.70
10
03 Nopember 2010
29.03
33.10
0.04
48.20
96.40
11
04 Nopember 2010
23.45
29.20
0.04
68.50
137.00
12
07 Nopember 2010
36.85
22.70
0.02
32.40
112.66
13
08 Nopember 2010
20.10
15.00
0.00
18.33
31.13
14
11 Nopember 2010
26.80
29.70
0.02
40.22
100.93
15
13 Nopember 2010
23.45
23.10
0.01
21.50
30.34
16
15 Nopember 2010
36.85
31.20
0.03
48.18
41.53
17
17 Nopember 2010
20.10
17.90
0.01
28.37
64.70
18
19 Nopember 2010
23.45
21.10
0.01
32.27
79.26
19
22 Nopember 2010
30.15
33.20
0.02
44.12
50.05
20
25 Nopember 2010
26.80
27.10
0.01
32.27
33.81
21
28 Nopember 2010
30.15
34.10
0.02
68.37
337.03
22
30 Nopember 2010
46.90
34.10
0.06
88.46
317.62
23
01 Desember 2010
67.00
45.20
0.12
124.96
1573.19
24
03 Desember 2010
70.35
46.70
0.15
133.14
809.66
25
04 Desember 2010
73.70
43.60
0.14
130.54
388.75
26
05 Desember 2010
70.35
42.90
0.15
113.43
1015.42
27
07 Desember 2010
67.00
52.20
0.14
116.26
165.50
28
12 Desember 2010
55.83
40.30
0.10
87.05
190.96
29
20 Desember 2010
23.45
26.00
0.01
26.51
10.48
30
24 Desember 2010
23.45
17.10
0.01
37.25
6.77
31
26 Desember 2010
29.03
18.90
0.01
40.17
7.05
32
05 Januari 2011
16.75
13.20
0.01
15.17
54.34
33
08 Januari 2011
17.87
16.10
0.01
16.67
8.85
34
09 Januari 2011
Total
Rata-rata
23.45
17.90
0.01
14.24
7.98
1203.80
976.80
1.35
1748.50
192.02
35.41
28.73
0.04
51.43
4.08
Keterangan : CH = Curah Hujan, CT = Curahan Tajuk, AB = Aliran Batang,
AP = Aliran Permukaan, ET = Erosi Tanah
52
Lampiran 10. Hasil Pengukuran Curahan Tajuk, Aliran Batang, Aliran
Permukaan, dan Laju Erosi Tanah di Lahan Tanpa Tegakan
No
Tanggal
Curah
Hujan
Aliran
Permukaan
1
14 Oktober 2010
46.90
14.72
54.14
2
15 Oktober 2010
46.90
21.17
226.06
3
18 Oktober 2010
41.32
153.98
7832.26
4
19 Oktober 2010
53.60
197.36
5466.80
5
20 Oktober 2010
20.10
198.10
9451.89
6
26 Oktober 2010
14.52
66.86
258.37
7
27 Oktober 2010
24.57
62.20
549.01
8
30 Oktober 2010
23.45
55.18
2014.55
9
02 Nopember 2010
20.10
75.55
648.90
10
03 Nopember 2010
29.03
124.91
458.46
11
04 Nopember 2010
23.45
132.71
2502.97
12
07 Nopember 2010
36.85
49.60
420.71
13
08 Nopember 2010
20.10
5.48
28.01
14
11 Nopember 2010
26.80
74.56
740.91
15
13 Nopember 2010
23.45
54.61
696.81
16
15 Nopember 2010
36.85
96.67
804.96
17
17 Nopember 2010
20.10
68.47
3315.69
18
19 Nopember 2010
23.45
44.77
303.76
19
22 Nopember 2010
30.15
69.15
1012.92
20
25 Nopember 2010
26.80
83.91
477.68
21
28 Nopember 2010
30.15
136.72
3198.70
22
30 Nopember 2010
46.90
201.43
936.00
23
01 Desember 2010
67.00
250.94
28909.59
24
03 Desember 2010
70.35
264.80
26503.05
25
04 Desember 2010
73.70
271.77
37650.26
26
05 Desember 2010
70.35
258.56
41805.88
27
07 Desember 2010
67.00
243.94
236.12
28
12 Desember 2010
55.83
88.26
1417.65
29
20 Desember 2010
23.45
61.03
305.16
30
24 Desember 2010
23.45
97.51
373.77
31
26 Desember 2010
29.03
101.98
63.04
32
05 Januari 2011
16.75
32.90
107.52
33
08 Januari 2011
17.87
37.47
158.69
34
09 Januari 2011
23.45
41.01
264.82
3738.26
5119.86
Total
1203.80
Erosi
Tanah
Rata-rata
35.41
109.95
55.99
Keterangan : CH = Curah Hujan, AP = Aliran Permukaan, ET = Erosi Tanah
53
Lampiran 11. Keadaan Lahan PHBM Pinus, Hutan Lindung, dan Lahan Tanpa
Tegakan
a. Lahan PHBM pinus yang ditanami kopi
b. Hutan lindung sebagai kontrol
c. Lahan tanpa tegakan sebagai kontrol
54
Download