BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU Perubahan Atas UUJN). Notaris juga mempunyai wewenang untuk membantu pemerintah dalam melayani masyarakat dalam menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Akta otentik yang dibuat oleh notaris merupakan sebuah alat pembuktian untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak. Sebagai alat bukti, akta otentik dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna karena memiliki tiga kekuatan pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian 1 2 lahiriah, kekuatan pembuktian formil, dan kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yaitu kemampuan yang dimiliki oleh akta otentik untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik yang lahir sesuai dengan aturan hukum mengenai peryaratan sebuah akta otentik. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht), yaitu kemampuan untuk memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta yang disebutkan dalam akta memang benar dilakukan, terkait dengan tanggal atau waktu pembuatan, identitas para pihak, tanda tangan para penghadap, saksi-saksi, dan notaris, tempat pembuatan akta, serta keterangan atau pernyataan yang dilihat, disaksikan, didengar atau disampaikan oleh para pihak. Kekuatan pembuktian material (materiele beswijskarcht) merupakan kepastian mengenai kebenaran materi suatu akta.1 Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggungjawab atas perbuatannya hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU Perubahan Atas UUJN. Tanggungjawab tersebut sebagai kesediaan dasar untuk melaksanakan kewajibannya. Pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materil atas akta yang dibuatnya. Notaris tidak bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahan isi akta yang dibuat di hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggung jawab bentuk formal akta otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-undang. Setiap wewenang yang diberikan kepada notaris harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang 1 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertangungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 116-118. 3 jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang notaris melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar wewenang. Maka akta notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan. Kewenangan notaris adalah membuat akta otentik sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perubahan Atas UUJN. Keberadaan akta otentik sangat diperlukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, salah satunya adalah dalam dunia perbankan. Salah satu kewenangannya adalah membuat perjanjian kredit. Pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa perjanjian pemberian jaminan. Agunan atau jaminan merupakan suatu hal yang sangat erat hubungannya dengan bank dalam pelaksanaan teknis pemberian kredit. Kredit yang di berikan oleh bank perlu diamankan. Tanpa adanya pengamanan, bank sulit menghindari risiko yang akan datang.. Untuk mendapatkan kepastian dan keamanan dari kreditnya, bank melakukan tindakan-tindakan pengamanan dan meminta kepada calon nasabah agar memberikan jaminan suatu barang tertentu sebagai jaminan di dalam pemberian kredit dan yang diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata). Dalam prakteknya jaminan yang paling sering digunakan adalah jaminan kebendaan yang 4 salah satunya adalah tanah atau tanah dan bangunan yang dijadikan jaminan dengan hak tanggungan.2 Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), telah diatur suatu lembaga jaminan hak atas tanah atau tanah dan bangunan yang disebut dengan Hak Tanggungan, yang pengaturannya akan diatur lebih lanjut dengan suatu Undang-Undang. Berkaitan dengan hal tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT). Pemberian jaminan dengan Hak Tanggungan diberikan melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) yang didahului dan/atau dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT) merupakan bagian yang terpisahkan dari perjanjian kredit. Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan hak tanggunan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi senua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda sebagai jaminan kredit. Perjanjian kredit berkedudukan sebagai perjanjian pokoknya. Untuk itu, praktik pengikatan dengan jaminan hak tanggungan dalam kegiatan perbankan hendaknya sesuai dengan yang telah diatur dalam UUHT, artinya merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya. Perjanjian kredit dengan Jaminan hak tanggungan bukan merupakan hak jaminan yang lahir karena undang-undang melainkan lahir karena 2 Muchdarsyah Sinungan, 1990, Kredit Seluk Beluk dan Pengelolaannya. Tograf, Yogyakarta, hal. 12. 5 harus diperjanjian terlebih dahulu antar bank selaku kreditor dengan nasabah selaku debitor. Oleh karena itu secara yuridis pengikatan jaminan hak tanggungan lebih bersifat khusus jika dibandingkan dengan jaminan yang lahir berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Wewenang Notaris/PPAT dalam perjanjian kredit adalah pada saat pembebanan hak tanggungan sebagai jaminan kredit, serta dalam proses pencoretan atau roya hak tanggungan tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUHT, yang dimaksud Roya adalah pencatatan hapusnya hak tanggungan. Pencatatan hapusnya Hak Tanggungan tersebut dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan cara mencoret catatan adanya hak tanggungan yang bersangkutan pada buku tanah dan sertipikat obyek yang dijadikan jaminan. Pencoretan catatan tersebut didasarkan pada permohonan dari pihak yang berkepentingan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan tersebut diterima oleh Kantor Pertanahan.3 Terkait dengan hal tersebut diatas, dalam hal kajian penelitian ini adalah saat debitor akan melakukan proses roya terhadap hak tanggungan sebagaimana tertulis dalam sertifikat, sedangkan sertifikat Hak Tanggungan yang dipegang oleh kreditor dalam hal ini bank ternyata hilang. Untuk proses pencoretan sertifikat itu diperlukan suatu akta khusus yang dibuat oleh notaris guna membantu para pihak yang terkait untuk mewujudkan keinginannya. Akta tersebut adalah akta konsen roya. 3 Sutardja Sudrajat, 1997, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbilan Sertiftkatnya, Mandar Maju, Bandung, hal. 54. 6 Akta konsen roya merupakan salah satu akta otentik yang dibuat notaris atas permintaan bank sebagai pihak yang berisi pernyataan pihak bank bahwa sertipikat hak tanggungan debitor yang berada dalam kekuasaannya telah hilang, di mana sertipikat hak tanggungan itu merupakan syarat bagi debitor yang telah melunasi hutangnya untuk melakukan roya. Keberadaan akta konsen dalam ruang lingkup hak tanggungan belum diatur secara tegas dalam undang-undang hak tanggungan maupun oleh undang-undang atau aturan lainnya, sehingga hal ini menimbulkan permasalahan terhadap kedudukan hukum dari akta yang dibuat oleh notaris tersebut. Akta konsen roya walaupun tidak diatur secara spesifik dalam UUJN, UUHT dan peraturan lainnya, namun notaris dapat berwenang untuk membuat akta ini menurut Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN. Notaris berwenang untuk membuat Akta konsen roya karena akta ini merupakan kehendak dari pihak sendiri (bukan inisiatif dari notaris) dan tidak dikecualikan sebagai wewenang Pejabat lain. Akta konsen roya merupakan akta pihak (partij), merupakan akta yang berisi suatu keterangan dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris, artinya diterangkan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir 7 oleh notaris di dalam suatu akta otentik.4 Akta tersebut berisi pernyataan dari pihak bank, oleh karena itu tanggung jawab notaris dalam pembuatannya hanya terbatas pada awal dan akhir akta, tidak termasuk isi akta yang merupakan hasil dari notaris mengkonstatir pernyataan pihak bank. Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 KUH Perdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan didalam akta. Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat sehingga akta akan kehilangan keotentikannya. Dalam ketentuan tersebut terdapat adanya norma kabur. Norma kabur yang dimaksud adalah mengenai kewenangan notaris untuk membuat akta konsen roya, karena pada Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN hanya mengatur mengenai kewenangan notaris untuk membuat akta, dan 4 G.H.S. Lumban Tobing, 1992, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal 46 8 dalam UUHT juga tidak mengatur mengenai ketentuan adanya akta konsen roya terkait dengan proses pembebanan hak tanggungan. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti dan membahas sejauh mana Kedudukan Hukum dari akta konsen roya yang dibuat oleh notaris/PPAT ini dengan judul “KEKUATAN MENGIKAT AKTA KONSEN ROYA YANG DIBUAT OLEH NOTARIS”. 1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Akta Konsen Roya yang dibuat oleh Notaris dalam proses Pencoretan atau Roya Hak Tanggungan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997? 2. Bagaimanakah Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Konsen Roya yang dibuatnya dalam hal digunakan sebagai syarat Pencoretan atau Roya? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus yang akan dijelaskan sebagai berikut : 1.3.1. Tujuan Umum. Tujuan umum penelitian tesis ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang Hukum Kenotariatan berkaitan dengan kekuatan mengikat dari akta konsen roya yang dibuat oleh notaris. 9 1.3.2. Tujuan Khusus. Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang telah disebutkan, juga terdapat tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni: a. Untuk mengkaji dan menganalisa lahirnya akta konsen roya yang dibuat oleh Notaris dalam hal Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang dalam proses pencoretan atau roya Hak Tanggungan b. Untuk mengetahui akibat hukum dari akta konsen roya yang dibuat oleh Notaris/PPAT yang tidak wenang untuk membuat akta tersebut. 1.4. Manfaat Penelitian. Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan agar dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam tesis ini, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat yaitu sebabagai berikut: 1.4.1. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya perkembangan ilmu hukum Agraria dan hukum Jaminan, dalam hal kepastian hukum dan perlindungan hukum akta konsen roya yang dibuat oleh notaris/PPAT dalam hal pencoretan/Roya Hak Tanggungan. 1.4.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini bagi Pemerintah, Masyarakat, Notaris serta penulis dalam hal ini adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 10 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, berkaitan dengan lahirnya akta konsen roya yang dibuat oleh notaris serta hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi tepat bagi pengambil keputusan bila timbul masalah yang berkaitan dengan pencoretan atau roya hak tanggungan. 1.5. Landasan Teoritis Landasan teoritis merupakan landasan berfikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan teori berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Dalam setiap penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Menurut Brian H Bix, “Theories of law will tell one what it is that makes some rule (norm), rule (norm) system, practice, or institution “legal” or “not legal”, “law” or “not law”.5 Landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori-teori serta konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa penjelasan serta teori yang dipergunakan sebagai pisau analasis dalam penulisan ini. Berdasarkan pada latar belakang diatas yang menjelaskan mengenai perjanjian acap kali timbul suatu masalah apabila tidak terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Ada beberapa teori-teori dan konsep yang dapat menjelaskan hal tersebut, antara lain: 1.5.1. Teori Negara Hukum Pemikiran Negara Hukum bermula dari pemikiran Plato yang menyatakan bahwa pemyelenggaraan Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan 5 Brian H Bix, 2009, Jurisprudence: Theory and Concept, Thomson Reuters (legal) Limited, London, hal. 9. 11 (hukum) yang baik yang disebut dengan istilah “nomoi”.6 Konsep Negara Hukum ini berkembang dalam 2 (dua) sistem hukum yaitu system hukum Eropa Kontinental (Rechtsstaat) dan system Anglo Saxon (Rule of Law). Konsep Negara hukum “Rechtsstaat” dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Konsep Negara hukum menurut Immanuel Kant, menyebutkan unsur-unsur Negara hokum terdiri dari: 1. Perlindungan hak asasi manusia; 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu. Unsur-unsur Negara hukum menurut Immanuel Kant, merupakan unsurunsur Negara hukum formal. Kemudian pada abad ke 19, muncunya pendapat dari Frederich Julius Stahl yang menyempurnakan unsur-unsur negara hukum formal tersebut diatas menjadi unsur-unsur negara materiil.7 Adapun konsep negara hukum menurut Frederich Julius Stahl, ditandai dengan adanya empat unsur pokok yaitu: 1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia; 2. Negara didasarkan pada teori trias politika; 3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang; 4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. 6 Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.61. 7 Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif Dalam Pembaharuan UUD 1945, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjajajaran Bandung, hal 32-33. (selanjutnya disebut R.Ibrahim 1). 12 Konsep negara hukum yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem hukum Eropa Kontinental (Rechtsstaat). Adapun ciri-ciri Rechtsstaat:8 1. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan penguasa dan rakyat; 2. Adanya pembagian kekuasaan negara; 3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Pada hakikatnya negara hukum adalah negara yang menolak melepaskan kekuasaan tanpa kendali. Negara yang pola hidupnya berdasarkan hokum adalah negara yang adil dan demikrasi. Berdasrkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang tunduk pada hokum yang berlaku dan hokum tersebut mengikat seluruh warga Indonesia. Berdasarkan ciri-ciri negara hukum yang dianut di Indonesia tersebut, maka relevansi dengan permasalahan ini diperlukan adanya ketegasan dan kepastian hukum yang tidak bertentangan satu sama lain antara akta konsen roya dalam hal sertipikat Hak Tanggungan hilang dalam proses pencoretan atau roya Hak Tanggungan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Teori ini berguna untuk memberikan kepastian hukum mengenai kekuatan mengikat dari akta konsen roya yang dibuat oleh notaris. 1.5.2. Teori Kewenangan Relevansi teori kewenangan dengan penelitian ini ialah dalam rangka pembenaran tentang wewenang seorang Notaris terkait dengan fungsinya. 8 Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 82. 13 Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undangundang, maka dikatakan berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.9 Bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi. Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, 9 Indroharto,1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 65. 14 pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat). J.G. Brouwer10 berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Atributif merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu atau juga dirumuskan pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.11 Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi kewenangan dalam peraturan perundangundangan adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) atau uu kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap diperlukan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Sehingga notaris sebagai Pejabat Umum mempunyai kewenangan atributif yaitu kewenangan yang bersumber dari UU Perubahan Atas UUJN 10 J.G. Brouwer dan E.A.Schilder, 1998, A survey of dutch administrative law, Ars Aequi Libri, Nijmegan hal.16-17 11 Indroharto,1996, Usaha Memahami Undangāundang Tentang Peradilan Tata Usaha negara,Buku I, Beberapa Pengertian dasar Hukum Tata Usaha negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 91 15 Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.12 Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut. Untuk memperjelas mengenai kewenangan dari delegasi, maka delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; 12 hal 105 HR.Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 16 d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.13 Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.14 Berkaitan dengan kewenangan notaris yang diatur dalam Pasal 15 UU Perubahan Atas UUJN, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang 13 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya, Bandung, hal 219 14 F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib,2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 219 17 lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam Pasal 15 ayat (2) UU Perubahan Atas UUJN, Notaris juga berwenang : (a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (b) membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (c) membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; (d) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; (e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; (f) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau (g) membuat akta risalah lelang. Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 hal yang dapat dipahami, yaitu : 1. Notaris dalam tugas jabatannya memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. 2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti yang lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku Setelah menelaah mengenai Teori Kewenangan dan unsur-unsurnya di atas, maka menurut Teori Kewenangan, wewenang seorang Notaris dalam 18 menjalankan fungsinya lahir secara Atributif, karena wewenang seorang Notaris melekat pada jabatannya. Kewenangan seorang Notaris juga tidak dapat dilepaskan dari undang-undang yang mengaturnya, yakni Undang Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Wewenang seorang Notaris juga bersifat mandiri dan otonom, sebagai Pejabat Publik yang diangkat oleh Negara, seorang Notaris dapat menjalankan fungsinya kapan saja, tanpa harus memperoleh ijin dari pemerintah pusat, Notaris bebas menjalankan fungsi dan wewenangnya selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. 1.5.3. Konsep Hak Tanggungan Sejak bertakunya UUPA sampai dengan saat ini, ketentuan-ketentuan yang lengkap mengenai hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk. Ketentuan mengenai Hipotek sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 UUPA masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang hak tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan. Sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia sedangkan perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk 19 sebagai obyek Hak Tanggungan oleh UUPA, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani hak tanggungan. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dibentuklah undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam UUPA, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional. Linda A. Spagnola berpendapat mengenai perjanjian, bahwa “A contract must be certain in its terms. It is generally accepted that there are four elements that must be certain in a contract in order for there to be a valid offer : parties, price, subject matter, and time for performance”15. (Terjemahannya: Persyaratanpersyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar sebuah kontrak dapat dikatakan sah, terdapat empat elemen yang pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang harus pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak, harga, permasalahan dan waktu pelaksanaannya). Mariam Darus mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah “Perjanjian Pendahuluan” (Voorovereenkomst) dari penyerahan uang, ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubunganhubungan hukum antara keduanya.16 Dalam hukum jaminan yang merupakan perjanjian tambahan atau accesoir selalu didahului oleh perjanjian kredit. Sehingga tiada jaminan tanpa perjanjian kredit. 15 Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States, hal. 4 16 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 32. 20 Menurut pendapat Martin Dixon, “Generally, a “Treaty” can be regarded as legally binding agreement deliberately created by, an between, two or more subjects, who are recognised as having treaty-making capacity,”17 yang diartikan bahwa perjanjian dianggap mengikat para pihak secara hukum, yang sengaja dibuat oleh dan di antara dua atau lebih subyek yang diakui memiliki kapasitas dalam membuat perjanjian. Hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak pihak pemberi hak tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap barang jaminan sehingga perlu kiranya dikaji lebih jauh kedudukan kreditor pemegang hak tanggungan dalam hal terjadinya wanprestasi dari pemberi hak tanggungan. Dalam setiap pemberian kredit dengan hak tanggungan harus didahului dengan perjanjian hutang piutang antara debitor dan kreditor dengan membuat APHT dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selajutnya disebut PPAT). Disamping itu kreditor meminta agar debitor menyerahkan asli sertifikat tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut untuk pelunasan hutang debitor. Setelah itu PPAT mengecek sertifikat hak atas tanah tersebut ke kantor pertanahan untuk mengetahui apakah masih ada beban hak tanggungan atau tidak ada, apabila tidak ada kemudian PPAT mendaftarkan perjanjian tersebut ke kantor pertanahan. Kemudian kantor pertanahan membuat buku tanah hak tanggungan dan 17 Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law, Oxford University Press, New York, Sixth Edition, Hal. 54. 21 mencatatnya dalam buku tanah debitor yang ada di kantor pertanahan serta menyalin catatan tersebut didalam sertifikat hak atas tanahnya. Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian sertifikat hak atas tanah dan sertifikat hak tanggungan disimpan oleh kreditor. Setelah debitor melunasi hutangnya kepada kreditor kemudian kreditor membuat surat permohonan roya kepada kantor pertanahan yang isinya menyatakan karena hutang yang dijamin dengan hak tanggungan sudah lunas maka hak tanggungan hapus atas dasar itu mohon roya atau pencoretan catatan beban hak tanggungan pada sertifikat hak atas tanah debitor. Dalam surat permohonan roya tersebut kreditor melampirkan asli sertifikat hak atas tanah dan asli sertifikat hak tanggungan dan dalam sertifikat hak atas tanah disebut klausula roya hutang sudah dibayar lunas. Kemudian kantor pertanahan melakukan roya atau pencoretan catatan hak tanggungan pada sertifikat hak atas tanah dan buku tanah debitor, dengan demikian hak tanggungan tersebut hapus. Setelah di roya sertifikat hak atas tanah dikembalikan pada debitor, sedangkan sertifikat hak tanggungan ditarik oleh kantor pertanahan dan dinyatakan tidak berlaku lagi, demikian juga buku tanah hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini menggambarkan bagaimana pelaksanaan roya dalam hal bank selaku kreditor telah menghilangkan sertifikat yang akan diroya, sehingga akan dijelaskan mengenai syarat-syarat apa yang harus dipenuhi 22 dalam pelaksanaan roya tersebut, hambatan-hambatan apa yang terdapat dalam roya dan bagaimana cara mengatasinya. 1.5.4. Teori Kepastian Hukum Teori yang berkaitan dengan penelitian ini ialah Teori Kepastian Hukum. Teori hukum menurut Satjipto Rahardjo18 ialah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, dan ratio legis peraturan hukum. Asas kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Kepastian hukum juga merupakan asas dalam Negara hukum yang digunakan sebagai landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara, kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara logis dan jelas. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan dan logis dalam artian menjadi suatu system norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma dan dengan adanya kepastian hukum tentunya menghindari terjadinya kekaburan norma dan kekosongan norma. Akta otentik sebagai alat bukti yang mengikat dan sempurna mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan meningkatnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, 18 Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 153. 23 regional maupun global. Dengan demikian melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban agar dapat menjamin kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan jelas pulah penerapanya.19 Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumanya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi. Teori kepastian hukum ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna meengkapi dan menjawab mengenai kepastian hukum terkait dengan akta konsen roya yang dibuat oleh notaris. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik 19 M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan,Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta, hal.76 24 terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya. Dalam Pasal 1 angka 1 UU Perubahan Atas UUJN yang berlaku pada saat ini, disebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.” Apabila diamati ternyata ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perubahan Atas UUJN lain merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata mengenai siapa yang dimaksud dengan pejabat umum. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 7 UU Perubahan Atas UUJN menegaskan: “Akta Notaris yang selanjutnya disebut adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Namun, notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris benar-benar telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakan sehingga 25 menjadi jelas isi akta notaris. Dengan demikian para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta notaris yang akan ditandatangani.20 Akta konsen roya merupakan suatu akta yang diperlukan dalam pencoretan (roya) hak tanggungan, dalam hal terjadi masalah yaitu hilangnya sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan merupakan salah satu syarat untuk melakukan pencoretan (roya) hak Tanggungan pada Kantor Kepala Badan Pertanahan. Dimungkinkannya notaris membuat Akta Konsen Roya memenuhi kebutuhan praktek sebagai wujud dari kebebasan berkontrak dari para pihak yaitu debiotr dan kreditor. Notaris berkewajiban untuk membuat dokumen atau akta yang diminta masyarakat. Seorang notaris tidak dapat menolak permohonan tersebut karena memang itulah salah satu tugas pokok seorang notaris. Atas dasar inilah Notaris tidak dapat membuat akta Konsen roya, sebab akta ini merupakan keinginan dan permohonan dari pihak Debitor dan kreditor untuk kepentingan pencoretan (roya) Hak Tanggungan. 1.5.5. Teori Tujuan Hukum Kata tujuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki definisi sebagai arah atau sasaran yang hendak bergantung kacamata yang dipakai untuk melihatnya dan mencapainya. Hukum merupakan kumpulan aturan yang tertata dalam bentuk sebuah sistem yang membatasi ruang gerak tingkah laku manusia sebagai subjek hukum tentang hal-hal yang bisa dan tidak bisa dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, yang yang apabila aturan tersebut dilanggar maka akan 20 Habib Adjie, 2009,Hukum Notaris Indonesia Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notais,Reflika Aditama, Bandung, hal.27 26 mendapat sanksi. Dengan uraian antara tujuan dan hukum maka dapat diambil sebuah kesimpulan tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan tujuan tersebut dalam tatanan mengatur masyarakat. Hukum mengandung tiga nilai identitas yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, harus ada skala prioritas yang harus dijalankan tiga nilai identitas tersebut antara lain: 1. Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid. Asas ini meninjau dari sisi yuridis. 2. Asas keadilan hukum atau gerectigheit. Asas ini meninjau dari sisi filosofis. 3. Asas kemanfaatan. Asas ini meninjau dari sisi sosiologis21. Hukum menjalankan fungsinya sebagai sarana konservasi kepentingan manusia dalam masyarakat. Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai yang membagi hak dan kewajiban antara setiap individu didalam masyarakat. Hukum juga memberikan wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Kepastian hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh subjek hukum. Dengan kepastian hukum maka seseorang memperoleh kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Kepastian hukum dapat diwujudkan 21 Muntasir Syukri, (tanpa tahun), Keadilan dalam Sorotan, diakses dari: URL:http://badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20KEADILAN%20DALAM%20SOROTAN %20(1).pdf, pada hari Rabu, tanggal 15 Januari 2014, pukul 10.00 WITA. 27 melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang sehingga kepastian hukum dapat menciptakan suatu ketertiban. Keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan tidaklah ada artinya sama sekali22. Kemanfaatan hukum dapat dikatakan sebagai adanya suatu manfaat yang diperoleh dari masyarakat atas adanya suatu hukum yang mengatur. Maka demi tercapainya tujuan hukum yang menuntut kedamaian, ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam masyarakat. Asas prioritas dalam tujuan hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch dapat dijadikan pedoman. Apalagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai latar belakang. Asas prioritas yang mengedepankan keadilan daripada manfaat dan kepastian hukum menjawab persoalan kemajemukan di Indonesia. 1.5.6. Konsep Perlindungan Hukum Dalam penelitian ini digunakan konsep perlindungan hukum menurut Philipus M. kepustakaan Hadjon mengemukakan hukum bahasa Belanda perlindungan dikenal “rechtbescherming van de burgers”23 Pendapat 22 ini hukum dengan dalam sebutan menunjukkan kata Rasjuddin Dungge, (tanpa tahun), Kepastian Hukum, diakses dari: http: //rasjuddin.blogspot.com/, pada hari Jumat, tanggal 21 Maret 2014, pukul 17.05 WITA. 23 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,hal. 1. 28 perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa ”rechsbescherming”. Pengertian usaha untuk memberikan kata hak-hak Belanda, yakni perlindungan tersebut, terdapat suatu pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Satijipto Raharjo menyatakan bahwa perlindungan hukum itu adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.24 Sedangkan Philipus M.Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan hukum meliputi dua hal yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada upaya pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk menyelesaikan sengketa, seperti contohnya adalah penyelesaian sengketa di pengadilan.25 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. Profesi seorang Notaris harus berpedoman dan tunduk kepada UUJN dan UU perubahan atas UUJN. Landasan filosofis dibentuknya UUJN dan UU perubahan atas UUJN adalah untuk terwujudnya 24 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54. Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak Kekayaan Intelektual Dalam masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta, hal.12 25 29 jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, maka Notaris harus dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang menggunakan jasa Notaris. Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif yaitu bersifat pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara menerbitkan akta otentik hak, yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, dan kewajiban seseorang dalam hukum yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan apabila terjadi sengketa atas hak dan kewajiban terkait. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik dalam memberikan manapun perlindungan hukum kepada para pihak yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau kepastian perbuatan hukum itu dilakukan. 1.5.7. Teori Tanggung Jawab Istilah tanggungjawab negara dalam Liability Convention 1972 dan Deklarasi Stockholm 1972 dituangkan dalam dua istilah yang berbeda, yaitu ; Responsibility: lebih menunjuk kepada idikator penentu lahirnya tanggungjawab yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam bentuk kewajiban yang harus diataati serta lahirnya suatu tanggungjawab, serta Liability: lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggungjawab yang harus diwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau 30 kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, yaitu pemulihan (legal redress).26 Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab. Liability meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik27. Persoalan mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu: a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang 26 Ida Bagus Wyasa Putra, 2001. Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa. PT. Refika Aditama, Bandung. h.54 27 Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.335-337. 31 bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung28. Dalam teori pertanggungjawaban tradisional, berdasarkan ada dua kesalahan jenis (based tanggung on fault) jawab: dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility)29. Tanggung jawab mutlak yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatan dengan akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya. Menurut Hans Kelsen dalam teorinya menyatakan bahwa, “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”30. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa31: Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan. 28 Ibid., hlm.365. Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, hlm.61. 30 Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta (selanjutnya ditulis Hans Kelsen II), hlm.81. 31 Ibid., hlm.83. 29 32 Selanjutnya Hans Kelsen membagi tanggung jawab menjadi 4 (empat) bagian yang terdiri dari32: a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri; b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain; c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian; d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan. Apabila dihubungkan dengan penelitian ini maka teori tanggung jawab dipergunakan untuk mengetahui tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang dibuatnya serta dalam menjalankan jabatannya. 1.5.8. Kekuatan Mengikat Akta Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna dan mengikat.33 Akta konsen Roya merupakan akta pihak (partij), yaitu akta yang berisi suatu keterangan dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris, artinya diterangkan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak 32 Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia, Bandung (selanjutnya ditulis Hans Kelsen III), hlm.140. 33 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 73 33 lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Artinya apabila akta otentik yang diajukan memenuhi syarat formil dan materiil serta bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak bertentangan, maka pada akta otentik langsung melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dengan nilai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang melekat pada akta otentik, pada dasarnya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain dan dengan sendirinya mencapai batas minimal pembuktian. Seluruh jenis alat bukti mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas dan batas minimum pembuktiannya harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Akibat hukum akta otentik yang memuat keterangan palsu hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Sebagaimana perjanjian yang tertulis dalam akta jual beli tanah adalah batal demi hukum, artinya sejak lahirnya perjanjian jual beli tanah itu sudah batal atau tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada. Dengan kata lain sejak awal dibuatnya akta itu sudah tidak mempunyai kekuatan hukum bagi para pihak. Dalam KUH Perdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai Pasal 1880. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan 34 saja. Contoh dari akta otentik antara lain akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya antara lain surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli. Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KUH Perdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. 1.6. Orisinalitas Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui penelusuran dengan media internet, ditemukan judul tesis yang menyangkut kekuatan mengikat akta konsen roya. Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena belum ada penelitian secara khusus menulis tesis dengan judul ini meskipun demikian ada sejumlah tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial. Adapun judul beserta rumusan masalah penelitian lain yang tidak sama dengan penelitian ini adalah: 35 Tesis yang berjudul “Roya Hak Tanggungan Dalam Hal Bank Dilikuidasi di Kantor Pertanahan Jakarta Timur” oleh Fatima Syuraini Dewi, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Diponegoro Semarang, Tahun 2009. Permasalahan yang ditelaah pada tesis ini adalah: 1. Bagaimanakah pelaksanaan Roya Hak Tanggungan dalam hal bank dilikuidasi Di Kantor Pertanahan Jakarta Timur, 2. Hambatan/kendala apa yang dihadapi dalam permohonan Roya, apabila bank selaku kreditor telah dilikuidasi di Kantor Pertanahan Jakarta Timur dan bagaimana penyelesaiannya. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada pelaksanaan roya hak tanggungan dalam hal bank dilikuidasi serta hambatan dalam permohonan roya. Tesis yang berjudul “Kedudukan Hukum Akta Konsen Roya Untuk Kepentingan Pencoretan (Roya) Hak Tanggungan” oleh Dini Pranita, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Hasanuddin Makasar, Tahun 2012. Permasalahan yang ditelaah pada tesis ini adalah: 1. Bagaimanakah kedudukan Akta Konsen Roya yang dibuat oleh Notaris 2. Apakah akibat hukum Akta Konsen Roya yang dibuat oleh Notaris yang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada kedudukan akta konsen roya dalam proses pencoretan hak tanggunggan. Tesis yang berjudul “Implikasi Yuridis Hilangnya Sertifikat Hak Tanggungan Dalam Proses Roya” oleh Marissa Isabella, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Tahun 2012. Permasalahan yang dilatih pada tesis ini adalah: 1. Bagaimana Implikasi yuridis dari hilangnya sertifikat Hak Tanggungan dalam proses roya, 2. bagaimanakah 36 pelaksanaan roya terkait hilangnya sertifikat Hal Tanggungan dalam proses roya di Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada hilangnya sertifikat hak tanggungan yang akan dilakukan proses roya di kantor pertanahan. 1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif yaitu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum guna menjawab isu hukum yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini. Kegunaan metode penelitian hukum normatif adalah untuk melakukan penelitian dasar (basic research) dibidang hukum, khususnya bila peneliti mencari asas hukum, teori hukum, dan sistem hukum, terutama dalam hal penemuan hukum dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum baru dan sistem hukum nasional.34 1.7.2. Jenis Pendekatan Menurut Peter Mahmud Marzuki35 pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Tetapi untuk membahas permasalah dalam tesis ini pendekatan yang diterapkan sebagai berikut: 1. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) 34 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, hal. 141. 35 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 93. 37 Pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.36 Dalam penelitian ini dilakukan dengan menelaah suatu undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan permasahan yang dibahas. Pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan UUD NRI 1945 atau antara regulasi dan undangundang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. 2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approaach) Dalam pendekatan konseptual, peneliti merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum juga dapat ditemukan di dalam undang-undang. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan. 1.7.3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dari penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier. Adapun sumber bahan hukum tersebut antara lain: 36 Ibid 38 a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan permasalahan yang diangkat yaitu antara lain: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata); 3. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 4. Undang- Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632); 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432); 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59). b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang berkaitan dengan isi dari sumber bahan hukum primer serta 39 implementasinya dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang dapat berupa : − Buku-buku literatur; − Jurnal hukum dan Majalah Hukum; − Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan Koran − Tesis, artikel ilmiah dan disertasi.37 c. Bahan hukum tertier, yaitu berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan huum sekunder, seperti kamus (hukum) dan ensiklopedia. 1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik penggumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan gabungan antara metode bola salju dan metode system kartu. Metode bola salju (snowball method) adalah metode di mana bahan hukum dikumpulkan melalui beberapa literature kemudian dari beberapa literature tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literature tersebut.38 Bahan hukum yang diperoleh kemudian dikumpulkan dengan menggunakan system kartu (card system). Bahan hukum primer dalam penelitian ini dicatat dalam kartu kutipan adalah mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta, hal.33 38 Djamarah Syaiful Bahri, 2010, Strategi Belajar mengajar – Edisi Revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal 35 40 pendapatnya. Selanjutnya bahan sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.39 1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah bahan hukum terkumpul, baik bahan hukum yang diperoleh dari undang-undang maupun dari bahan hukum kepustakaan, kemudian akan diklasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan masalah dan analisis dengan teoriteori yang relevan. Ini bertujuan untuk menyederhanakan seluruh bahan yang terkumpul, menyajikan secara sistematik, kemudian mengolah, menafsirkan, dan memaknai sehingga dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang diajukan, kemudian dapat dipaparkan secara deskriptif dan interpretasi. 39 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. hal. 113