BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Notaris

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta otentik, menjamin kepastian pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU
Perubahan Atas UUJN).
Notaris juga mempunyai wewenang untuk membantu pemerintah dalam
melayani masyarakat dalam menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya, mengingat akta
otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam
setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Akta
otentik yang dibuat oleh notaris merupakan sebuah alat pembuktian untuk
menyatakan adanya suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak.
Sebagai alat bukti, akta otentik dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna karena memiliki tiga kekuatan pembuktian, yaitu kekuatan pembuktian
1
2
lahiriah, kekuatan pembuktian formil, dan kekuatan pembuktian material.
Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yaitu kemampuan yang
dimiliki oleh akta otentik untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik
yang lahir sesuai dengan aturan hukum mengenai peryaratan sebuah akta otentik.
Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht), yaitu kemampuan untuk
memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta yang disebutkan dalam
akta memang benar dilakukan, terkait dengan tanggal atau waktu pembuatan,
identitas para pihak, tanda tangan para penghadap, saksi-saksi, dan notaris, tempat
pembuatan akta, serta
keterangan atau pernyataan yang dilihat, disaksikan,
didengar atau disampaikan oleh para pihak. Kekuatan pembuktian material
(materiele beswijskarcht) merupakan kepastian mengenai kebenaran materi suatu
akta.1
Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya yang berwenang
membuat akta otentik dapat dibebani tanggungjawab atas perbuatannya hal ini
sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU Perubahan Atas UUJN. Tanggungjawab
tersebut
sebagai
kesediaan
dasar
untuk
melaksanakan
kewajibannya.
Pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materil atas akta yang dibuatnya.
Notaris tidak bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahan isi akta yang dibuat
di hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggung jawab bentuk formal akta
otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-undang. Setiap wewenang yang
diberikan kepada notaris harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar
jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang
1
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertangungjawaban Notaris dalam
Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 116-118.
3
jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang notaris melakukan suatu tindakan
di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan
yang melanggar wewenang. Maka akta notaris tersebut tidak mengikat secara
hukum atau tidak dapat dilaksanakan.
Kewenangan notaris adalah membuat akta otentik sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 angka 1 UU Perubahan Atas UUJN. Keberadaan akta otentik sangat
diperlukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, salah satunya adalah
dalam dunia perbankan. Salah satu kewenangannya adalah membuat perjanjian
kredit.
Pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu
perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang
piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa perjanjian pemberian
jaminan. Agunan atau jaminan merupakan suatu hal yang sangat erat
hubungannya dengan bank dalam pelaksanaan teknis pemberian kredit. Kredit
yang di berikan oleh bank perlu diamankan. Tanpa adanya pengamanan, bank
sulit menghindari risiko yang akan datang..
Untuk mendapatkan kepastian dan keamanan dari kreditnya, bank
melakukan tindakan-tindakan pengamanan dan meminta kepada calon nasabah
agar memberikan jaminan suatu barang tertentu sebagai jaminan di dalam
pemberian kredit dan yang diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata). Dalam
prakteknya jaminan yang paling sering digunakan adalah jaminan kebendaan yang
4
salah satunya adalah tanah atau tanah dan bangunan yang dijadikan jaminan
dengan hak tanggungan.2
Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), telah diatur suatu
lembaga jaminan hak atas tanah atau tanah dan bangunan yang disebut dengan
Hak Tanggungan, yang pengaturannya akan diatur lebih lanjut dengan suatu
Undang-Undang. Berkaitan dengan hal tersebut, maka lahirlah Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT). Pemberian jaminan
dengan Hak Tanggungan diberikan melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan
(selanjutnya disebut APHT) yang didahului dan/atau dengan pembuatan Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT) merupakan
bagian yang terpisahkan dari perjanjian kredit. Adanya aturan hukum mengenai
pelaksanaan pembebanan hak tanggunan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan
untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi senua pihak dalam
memanfaatkan tanah beserta benda-benda sebagai jaminan kredit.
Perjanjian kredit berkedudukan sebagai perjanjian pokoknya. Untuk itu,
praktik pengikatan dengan jaminan hak tanggungan dalam kegiatan perbankan
hendaknya sesuai dengan yang telah diatur dalam UUHT, artinya merupakan
sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang
mengikutinya. Perjanjian kredit dengan Jaminan hak tanggungan bukan
merupakan hak jaminan yang lahir karena undang-undang melainkan lahir karena
2
Muchdarsyah Sinungan, 1990, Kredit Seluk Beluk dan Pengelolaannya. Tograf,
Yogyakarta, hal. 12.
5
harus diperjanjian terlebih dahulu antar bank selaku kreditor dengan nasabah
selaku debitor. Oleh karena itu secara yuridis pengikatan jaminan hak tanggungan
lebih bersifat khusus jika dibandingkan dengan jaminan yang lahir berdasarkan
undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.
Wewenang Notaris/PPAT dalam perjanjian kredit adalah pada saat
pembebanan hak tanggungan sebagai jaminan kredit, serta dalam proses
pencoretan atau roya hak tanggungan tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 22
UUHT, yang dimaksud Roya adalah pencatatan hapusnya hak tanggungan.
Pencatatan hapusnya Hak Tanggungan tersebut dilakukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan dengan cara mencoret catatan adanya hak tanggungan yang
bersangkutan pada buku tanah dan sertipikat obyek yang dijadikan jaminan.
Pencoretan catatan tersebut didasarkan pada permohonan dari pihak yang
berkepentingan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan tersebut
diterima oleh Kantor Pertanahan.3
Terkait dengan hal tersebut diatas, dalam hal kajian penelitian ini adalah
saat debitor akan melakukan proses roya terhadap hak tanggungan sebagaimana
tertulis dalam sertifikat, sedangkan sertifikat Hak Tanggungan yang dipegang oleh
kreditor dalam hal ini bank ternyata hilang. Untuk proses pencoretan sertifikat itu
diperlukan suatu akta khusus yang dibuat oleh notaris guna membantu para pihak
yang terkait untuk mewujudkan keinginannya. Akta tersebut adalah akta konsen
roya.
3
Sutardja Sudrajat, 1997, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbilan Sertiftkatnya,
Mandar Maju, Bandung, hal. 54.
6
Akta konsen roya merupakan salah satu akta otentik yang dibuat notaris
atas permintaan bank sebagai pihak yang berisi pernyataan pihak bank bahwa
sertipikat hak tanggungan debitor yang berada dalam kekuasaannya telah hilang,
di mana sertipikat hak tanggungan itu merupakan syarat bagi debitor yang telah
melunasi hutangnya untuk melakukan roya. Keberadaan akta konsen dalam ruang
lingkup hak tanggungan belum diatur secara tegas dalam undang-undang hak
tanggungan maupun oleh undang-undang atau aturan lainnya, sehingga hal ini
menimbulkan permasalahan terhadap kedudukan hukum dari akta yang dibuat
oleh notaris tersebut.
Akta konsen roya walaupun tidak diatur secara spesifik dalam UUJN,
UUHT dan peraturan lainnya, namun notaris dapat berwenang untuk membuat
akta ini menurut Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN. Notaris berwenang
untuk membuat Akta konsen roya karena akta ini merupakan kehendak dari pihak
sendiri (bukan inisiatif dari notaris) dan tidak dikecualikan sebagai wewenang
Pejabat lain.
Akta konsen roya merupakan akta pihak (partij), merupakan akta yang
berisi suatu keterangan dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan
oleh pihak lain dihadapan notaris, artinya diterangkan oleh pihak lain kepada
notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu
sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan
perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir
7
oleh notaris di dalam suatu akta otentik.4 Akta tersebut berisi pernyataan dari
pihak bank, oleh karena itu tanggung jawab notaris dalam pembuatannya hanya
terbatas pada awal dan akhir akta, tidak termasuk isi akta yang merupakan hasil
dari notaris mengkonstatir pernyataan pihak bank.
Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan
materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam
UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar,
sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1870 KUH Perdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak itu suatu bukti
yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan didalam akta.
Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik
merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang
terdapat pada akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun
persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai
nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat sehingga akta akan
kehilangan keotentikannya. Dalam ketentuan tersebut terdapat adanya norma
kabur. Norma kabur yang dimaksud adalah mengenai kewenangan notaris untuk
membuat akta konsen roya, karena pada Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan Atas
UUJN hanya mengatur mengenai kewenangan notaris untuk membuat akta, dan
4
G.H.S. Lumban Tobing, 1992, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal
46
8
dalam UUHT juga tidak mengatur mengenai ketentuan adanya akta konsen roya
terkait dengan proses pembebanan hak tanggungan.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti dan membahas
sejauh mana Kedudukan Hukum dari akta konsen roya yang dibuat oleh
notaris/PPAT ini dengan judul “KEKUATAN MENGIKAT AKTA KONSEN
ROYA YANG DIBUAT OLEH NOTARIS”.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah
yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Akta Konsen Roya yang dibuat oleh
Notaris dalam proses Pencoretan atau Roya Hak Tanggungan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997?
2. Bagaimanakah Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Konsen Roya yang
dibuatnya dalam hal digunakan sebagai syarat Pencoretan atau Roya?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat
umum dan tujuan yang bersifat khusus yang akan dijelaskan sebagai berikut :
1.3.1. Tujuan Umum.
Tujuan umum penelitian tesis ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum
khususnya dalam bidang Hukum Kenotariatan berkaitan dengan kekuatan
mengikat dari akta konsen roya yang dibuat oleh notaris.
9
1.3.2. Tujuan Khusus.
Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang
telah disebutkan, juga terdapat tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni:
a. Untuk mengkaji dan menganalisa lahirnya akta konsen roya yang dibuat oleh
Notaris dalam hal Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang dalam proses
pencoretan atau roya Hak Tanggungan
b. Untuk mengetahui akibat hukum dari akta konsen roya yang dibuat oleh
Notaris/PPAT yang tidak wenang untuk membuat akta tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian.
Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan agar dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Dalam tesis ini, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat yaitu
sebabagai berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran
bagi ilmu pengetahuan khususnya perkembangan ilmu hukum Agraria dan hukum
Jaminan, dalam hal kepastian hukum dan perlindungan hukum akta konsen roya
yang dibuat oleh notaris/PPAT dalam hal pencoretan/Roya Hak Tanggungan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini bagi Pemerintah, Masyarakat, Notaris
serta penulis dalam hal ini adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
10
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, berkaitan dengan lahirnya akta konsen roya
yang dibuat oleh notaris serta hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
solusi tepat bagi pengambil keputusan bila timbul masalah yang berkaitan dengan
pencoretan atau roya hak tanggungan.
1.5. Landasan Teoritis
Landasan teoritis merupakan landasan berfikir yang bersumber dari suatu
teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk memecahkan berbagai
permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan teori berfungsi
sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Dalam setiap
penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.
Menurut Brian H Bix, “Theories of law will tell one what it is that makes
some rule (norm), rule (norm) system, practice, or institution “legal” or “not
legal”, “law” or “not law”.5 Landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi teori-teori serta konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan.
Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa penjelasan serta teori yang
dipergunakan sebagai pisau analasis dalam penulisan ini. Berdasarkan pada latar
belakang diatas yang menjelaskan mengenai perjanjian acap kali timbul suatu
masalah apabila tidak terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Ada
beberapa teori-teori dan konsep yang dapat menjelaskan hal tersebut, antara lain:
1.5.1. Teori Negara Hukum
Pemikiran Negara Hukum bermula dari pemikiran Plato yang menyatakan
bahwa pemyelenggaraan Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
5
Brian H Bix, 2009, Jurisprudence: Theory and Concept, Thomson Reuters (legal)
Limited, London, hal. 9.
11
(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah “nomoi”.6 Konsep Negara Hukum
ini berkembang dalam 2 (dua) sistem hukum yaitu system hukum Eropa
Kontinental (Rechtsstaat) dan system Anglo Saxon (Rule of Law).
Konsep Negara hukum “Rechtsstaat” dipelopori oleh Immanuel Kant dan
Frederich Julius Stahl. Konsep Negara hukum menurut Immanuel Kant,
menyebutkan unsur-unsur Negara hokum terdiri dari:
1. Perlindungan hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu.
Unsur-unsur Negara hukum menurut Immanuel Kant, merupakan unsurunsur Negara hukum formal. Kemudian pada abad ke 19, muncunya pendapat dari
Frederich Julius Stahl yang menyempurnakan unsur-unsur negara hukum formal
tersebut diatas menjadi unsur-unsur negara materiil.7 Adapun konsep negara
hukum menurut Frederich Julius Stahl, ditandai dengan adanya empat unsur
pokok yaitu:
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia;
2. Negara didasarkan pada teori trias politika;
3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang;
4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah.
6
Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.61.
7
Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan
Eksekutif Dalam Pembaharuan UUD 1945, Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Padjajajaran Bandung, hal 32-33. (selanjutnya disebut R.Ibrahim 1).
12
Konsep negara hukum yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah sistem hukum Eropa Kontinental (Rechtsstaat). Adapun ciri-ciri
Rechtsstaat:8
1. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan penguasa dan rakyat;
2. Adanya pembagian kekuasaan negara;
3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Pada hakikatnya negara hukum adalah negara yang menolak melepaskan
kekuasaan tanpa kendali. Negara yang pola hidupnya berdasarkan hokum adalah
negara yang adil dan demikrasi. Berdasrkan hal tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa negara Indonesia merupakan negara yang tunduk pada hokum yang
berlaku dan hokum tersebut mengikat seluruh warga Indonesia.
Berdasarkan ciri-ciri negara hukum yang dianut di Indonesia tersebut, maka
relevansi dengan permasalahan ini diperlukan adanya ketegasan dan kepastian
hukum yang tidak bertentangan satu sama lain antara akta konsen roya dalam hal
sertipikat Hak Tanggungan hilang dalam proses pencoretan atau roya Hak
Tanggungan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Teori ini
berguna untuk memberikan kepastian hukum mengenai kekuatan mengikat dari
akta konsen roya yang dibuat oleh notaris.
1.5.2. Teori Kewenangan
Relevansi teori kewenangan dengan penelitian ini ialah dalam rangka
pembenaran tentang wewenang seorang Notaris terkait dengan fungsinya.
8
Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal 82.
13
Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang,
artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undangundang, maka dikatakan berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam
kewenangan itu.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.9
Bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan
wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal
dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari
kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan
oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut
dalam kewenangan itu.
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam
melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan
keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara
atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan
yang asli atas dasar konstitusi. Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu
pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak
terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang
diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat,
9
Indroharto,1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 65.
14
pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama
mandator (pemberi mandat).
J.G. Brouwer10 berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang
diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh
suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak
diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan
kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan
memberikan kepada organ yang berkompeten.
Atributif merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya
kepada organ tertentu atau juga dirumuskan pada atribusi terjadi pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.11 Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan
yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi
kewenangan dalam peraturan perundangundangan adalah pemberian kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut
UUD NRI 1945) atau uu kepada suatu lembaga negara atau pemerintah.
Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa
sendiri setiap diperlukan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru.
Sehingga notaris sebagai Pejabat Umum mempunyai kewenangan atributif yaitu
kewenangan yang bersumber dari UU Perubahan Atas UUJN
10
J.G. Brouwer dan E.A.Schilder, 1998, A survey of dutch administrative law, Ars Aequi
Libri, Nijmegan hal.16-17
11
Indroharto,1996, Usaha Memahami Undangā€undang Tentang Peradilan Tata Usaha
negara,Buku I, Beberapa Pengertian dasar Hukum Tata Usaha negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hal 91
15
Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari
suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator
(organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas
namanya. Sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan
tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain
(mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas
namanya.12
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada
atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada
delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan
secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan
hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut.
Untuk memperjelas mengenai kewenangan dari delegasi, maka delegasi
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan
sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan
untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian
tidak diperkenankan adanya delegasi;
12
hal 105
HR.Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
16
d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang
tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan
instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.13
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi),
sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan
demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber
kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat
diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi,
delegasi dan mandat.
Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang
dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa
kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.14
Berkaitan dengan kewenangan notaris yang diatur dalam Pasal 15 UU
Perubahan Atas UUJN, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
13
Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya, Bandung, hal 219
14
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib,2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi
dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 219
17
lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam Pasal 15 ayat (2) UU Perubahan
Atas UUJN, Notaris juga berwenang : (a) mengesahkan tanda tangan dan
menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus; (b) membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus; (c) membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan; (d) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya; (e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
(f) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau (g) membuat akta
risalah lelang.
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam
Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 hal yang
dapat dipahami, yaitu :
1. Notaris dalam tugas jabatannya memformulasikan keinginan/tindakan para
pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang
berlaku.
2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti
yang lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut
tidak benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib
membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku
Setelah menelaah mengenai Teori Kewenangan dan unsur-unsurnya di
atas, maka menurut Teori Kewenangan, wewenang seorang Notaris dalam
18
menjalankan fungsinya lahir secara Atributif, karena wewenang seorang Notaris
melekat pada jabatannya. Kewenangan seorang Notaris juga tidak dapat
dilepaskan dari undang-undang yang mengaturnya, yakni Undang Undang Nomor
2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Wewenang seorang Notaris juga bersifat
mandiri dan otonom, sebagai Pejabat Publik yang diangkat oleh Negara, seorang
Notaris dapat menjalankan fungsinya kapan saja, tanpa harus memperoleh ijin
dari pemerintah pusat, Notaris bebas menjalankan fungsi dan wewenangnya
selama
tidak
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
mengaturnya.
1.5.3. Konsep Hak Tanggungan
Sejak bertakunya UUPA sampai dengan saat ini, ketentuan-ketentuan yang
lengkap mengenai hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat
dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, belum terbentuk. Ketentuan mengenai Hipotek sebagaimana diatur
dalam Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan
mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah
dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 UUPA masih
diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang hak
tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan.
Sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia sedangkan
perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi
hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain
Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk
19
sebagai obyek Hak Tanggungan oleh UUPA, Hak Pakai atas tanah tertentu yang
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga
dimungkinkan untuk dibebani hak tanggungan. Berhubung dengan hal-hal
tersebut di atas, maka dibentuklah undang-undang yang mengatur hak tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana
dimaksud dalam UUPA, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.
Linda A. Spagnola berpendapat mengenai perjanjian, bahwa “A contract
must be certain in its terms. It is generally accepted that there are four elements
that must be certain in a contract in order for there to be a valid offer : parties,
price, subject matter, and time for performance”15. (Terjemahannya: Persyaratanpersyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar sebuah kontrak dapat dikatakan sah,
terdapat empat elemen yang pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang harus
pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak, harga, permasalahan dan waktu
pelaksanaannya).
Mariam Darus mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah “Perjanjian
Pendahuluan” (Voorovereenkomst) dari penyerahan uang, ini merupakan hasil
permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubunganhubungan hukum antara keduanya.16 Dalam hukum jaminan yang merupakan
perjanjian tambahan atau accesoir selalu didahului oleh perjanjian kredit.
Sehingga tiada jaminan tanpa perjanjian kredit.
15
Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and Practical
Applications), McGraw-Hill Companies, United States, hal. 4
16
Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 32.
20
Menurut pendapat Martin Dixon, “Generally, a “Treaty” can be regarded
as legally binding agreement deliberately created by, an between, two or more
subjects, who are recognised as having treaty-making capacity,”17 yang diartikan
bahwa perjanjian dianggap mengikat para pihak secara hukum, yang sengaja
dibuat oleh dan di antara dua atau lebih subyek yang diakui memiliki kapasitas
dalam membuat perjanjian.
Hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak
pihak pemberi hak tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan
kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap
barang jaminan sehingga perlu kiranya dikaji lebih jauh kedudukan kreditor
pemegang hak tanggungan dalam hal terjadinya wanprestasi dari pemberi hak
tanggungan.
Dalam setiap pemberian kredit dengan hak tanggungan harus didahului
dengan perjanjian hutang piutang antara debitor dan kreditor dengan membuat
APHT dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selajutnya disebut PPAT).
Disamping itu kreditor meminta agar debitor menyerahkan asli sertifikat tanah
yang menjadi objek hak tanggungan tersebut untuk pelunasan hutang debitor.
Setelah itu PPAT mengecek sertifikat hak atas tanah tersebut ke kantor pertanahan
untuk mengetahui apakah masih ada beban hak tanggungan atau tidak ada, apabila
tidak ada kemudian PPAT mendaftarkan perjanjian tersebut ke kantor pertanahan.
Kemudian kantor pertanahan membuat buku tanah hak tanggungan dan
17
Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law, Oxford University Press, New
York, Sixth Edition, Hal. 54.
21
mencatatnya dalam buku tanah debitor yang ada di kantor pertanahan serta
menyalin catatan tersebut didalam sertifikat hak atas tanahnya.
Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan kantor pertanahan menerbitkan
sertifikat hak tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian sertifikat hak atas
tanah dan sertifikat hak tanggungan disimpan oleh kreditor. Setelah debitor
melunasi hutangnya kepada kreditor kemudian kreditor membuat surat
permohonan roya kepada kantor pertanahan yang isinya menyatakan karena
hutang yang dijamin dengan hak tanggungan sudah lunas maka hak tanggungan
hapus atas dasar itu mohon roya atau pencoretan catatan beban hak tanggungan
pada sertifikat hak atas tanah debitor.
Dalam surat permohonan roya tersebut kreditor melampirkan asli sertifikat
hak atas tanah dan asli sertifikat hak tanggungan dan dalam sertifikat hak atas
tanah disebut klausula roya hutang sudah dibayar lunas. Kemudian kantor
pertanahan melakukan roya atau pencoretan catatan hak tanggungan pada
sertifikat hak atas tanah dan buku tanah debitor, dengan demikian hak tanggungan
tersebut hapus. Setelah di roya sertifikat hak atas tanah dikembalikan pada
debitor, sedangkan sertifikat hak tanggungan ditarik oleh kantor pertanahan dan
dinyatakan tidak berlaku lagi, demikian juga buku tanah hak tanggungan
dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini menggambarkan bagaimana pelaksanaan
roya dalam hal bank selaku kreditor telah menghilangkan sertifikat yang akan
diroya, sehingga akan dijelaskan mengenai syarat-syarat apa yang harus dipenuhi
22
dalam pelaksanaan roya tersebut, hambatan-hambatan apa yang terdapat dalam
roya dan bagaimana cara mengatasinya.
1.5.4. Teori Kepastian Hukum
Teori yang berkaitan dengan penelitian ini ialah Teori Kepastian Hukum.
Teori hukum menurut Satjipto Rahardjo18 ialah jiwanya peraturan hukum, karena
ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, dan ratio legis peraturan hukum.
Asas kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan
terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Kepastian hukum juga
merupakan asas dalam Negara hukum yang digunakan sebagai landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara
Negara, kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara logis dan jelas. Jelas dalam
artian tidak menimbulkan keragu-raguan dan logis dalam artian menjadi suatu
system norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
konflik norma dan dengan adanya kepastian hukum tentunya menghindari
terjadinya kekaburan norma dan kekosongan norma.
Akta otentik sebagai alat bukti yang mengikat dan sempurna mempunyai
peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat.
Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan,
kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta
otentik makin meningkat sejalan dengan meningkatnya tuntutan akan kepastian
hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional,
18
Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 153.
23
regional maupun global. Dengan demikian melalui akta otentik yang menentukan
secara jelas hak dan kewajiban agar dapat menjamin kepastian hukum.
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan
terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang
selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Karena
dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan
kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak
tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah,
dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan
melalui penoramaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan
jelas pulah penerapanya.19
Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya
dan objeknya serta ancaman hukumanya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin
sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana
yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas
manfaat dan efisiensi. Teori kepastian hukum ini dimaksudkan untuk membahas
dan menganalisis guna meengkapi dan menjawab mengenai kepastian hukum
terkait dengan akta konsen roya yang dibuat oleh notaris.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik
dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang
dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik
19
M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan,Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Edisi Kedua, Jakarta, hal.76
24
terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang
dilakukannya dan dilihat di hadapannya.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU Perubahan Atas UUJN yang berlaku pada saat
ini, disebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.” Apabila diamati ternyata ketentuan Pasal 1 angka 1 UU
Perubahan Atas UUJN lain merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 1868
KUH Perdata mengenai siapa yang dimaksud dengan pejabat umum. Sedangkan
dalam Pasal 1 angka 7 UU Perubahan Atas UUJN menegaskan: “Akta Notaris
yang selanjutnya disebut adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”.
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan
penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam
berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan
sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik
makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum
dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial melalui akta otentik yang
menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan
sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Akta otentik pada
hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para
pihak kepada notaris. Namun, notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan
bahwa apa yang termuat dalam akta notaris benar-benar telah dimengerti dan
sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakan sehingga
25
menjadi jelas isi akta notaris. Dengan demikian para pihak dapat menentukan
dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta notaris yang akan
ditandatangani.20
Akta konsen roya merupakan suatu akta yang diperlukan dalam pencoretan
(roya) hak tanggungan, dalam hal terjadi masalah yaitu hilangnya sertifikat hak
tanggungan. Sertifikat hak tanggungan merupakan salah satu syarat untuk
melakukan pencoretan (roya) hak Tanggungan pada Kantor Kepala Badan
Pertanahan. Dimungkinkannya notaris membuat Akta Konsen Roya memenuhi
kebutuhan praktek sebagai wujud dari kebebasan berkontrak dari para pihak yaitu
debiotr dan kreditor. Notaris berkewajiban untuk membuat dokumen atau akta
yang diminta masyarakat. Seorang notaris tidak dapat menolak permohonan
tersebut karena memang itulah salah satu tugas pokok seorang notaris. Atas dasar
inilah Notaris tidak dapat membuat akta Konsen roya, sebab akta ini merupakan
keinginan dan permohonan dari pihak Debitor dan kreditor untuk kepentingan
pencoretan (roya) Hak Tanggungan.
1.5.5. Teori Tujuan Hukum
Kata tujuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki definisi
sebagai arah atau sasaran yang hendak bergantung kacamata yang dipakai untuk
melihatnya dan mencapainya. Hukum merupakan kumpulan aturan yang tertata
dalam bentuk sebuah sistem yang membatasi ruang gerak tingkah laku manusia
sebagai subjek hukum tentang hal-hal yang bisa dan tidak bisa dilakukan dalam
kehidupan bermasyarakat, yang yang apabila aturan tersebut dilanggar maka akan
20
Habib Adjie, 2009,Hukum Notaris Indonesia Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notais,Reflika Aditama, Bandung, hal.27
26
mendapat sanksi. Dengan uraian antara tujuan dan hukum maka dapat diambil
sebuah kesimpulan tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak
diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan tujuan
tersebut dalam tatanan mengatur masyarakat.
Hukum mengandung tiga nilai identitas yang dikemukakan oleh Gustav
Radbruch, harus ada skala prioritas yang harus dijalankan tiga nilai identitas
tersebut antara lain:
1. Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid. Asas ini meninjau dari sisi
yuridis.
2. Asas keadilan hukum atau gerectigheit. Asas ini meninjau dari sisi filosofis.
3. Asas kemanfaatan. Asas ini meninjau dari sisi sosiologis21.
Hukum menjalankan fungsinya sebagai sarana konservasi kepentingan
manusia dalam masyarakat. Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak
dicapai yang membagi hak dan kewajiban antara setiap individu didalam
masyarakat. Hukum juga memberikan wewenang dan mengatur cara memecahkan
masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.
Kepastian hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang telah ditetapkan
terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku pada
prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh
subjek hukum. Dengan kepastian hukum maka seseorang memperoleh kejelasan
akan hak dan kewajiban menurut hukum. Kepastian hukum dapat diwujudkan
21
Muntasir Syukri, (tanpa tahun), Keadilan dalam Sorotan, diakses dari:
URL:http://badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20KEADILAN%20DALAM%20SOROTAN
%20(1).pdf, pada hari Rabu, tanggal 15 Januari 2014, pukul 10.00 WITA.
27
melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang sehingga
kepastian hukum dapat menciptakan suatu ketertiban.
Keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak,
baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Keadilan dapat diartikan
sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau
pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti
memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya
berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan tidaklah ada artinya
sama sekali22. Kemanfaatan hukum dapat dikatakan sebagai adanya suatu manfaat
yang diperoleh dari masyarakat atas adanya suatu hukum yang mengatur.
Maka demi tercapainya tujuan hukum yang menuntut kedamaian,
ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam masyarakat. Asas prioritas dalam
tujuan hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch dapat dijadikan pedoman.
Apalagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai latar
belakang. Asas prioritas yang mengedepankan keadilan daripada manfaat dan
kepastian hukum menjawab persoalan kemajemukan di Indonesia.
1.5.6. Konsep Perlindungan Hukum
Dalam penelitian ini digunakan konsep perlindungan hukum menurut
Philipus M.
kepustakaan
Hadjon
mengemukakan
hukum bahasa
Belanda
perlindungan
dikenal
“rechtbescherming van de burgers”23 Pendapat
22
ini
hukum
dengan
dalam
sebutan
menunjukkan
kata
Rasjuddin Dungge, (tanpa tahun), Kepastian Hukum, diakses dari: http:
//rasjuddin.blogspot.com/, pada hari Jumat, tanggal 21 Maret 2014, pukul 17.05 WITA.
23
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya,hal. 1.
28
perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa
”rechsbescherming”. Pengertian
usaha
untuk memberikan
kata
hak-hak
Belanda,
yakni
perlindungan tersebut, terdapat suatu
pihak
yang
dilindungi sesuai dengan
kewajiban yang telah dilakukan.
Satijipto Raharjo menyatakan bahwa perlindungan hukum itu adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan
orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.24 Sedangkan
Philipus M.Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan hukum
meliputi dua hal yakni
perlindungan
hukum preventif dan
perlindungan
hukum represif. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju
kepada
upaya pencegahan
terjadinya
sengketa
sedangkan
perlindungan
represif maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya
untuk menyelesaikan sengketa,
seperti
contohnya
adalah
penyelesaian
sengketa di pengadilan.25
Perlindungan
hukum
yang preventif bertujuan
untuk
mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap
hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan
yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk
penanganannya di lembaga peradilan. Profesi seorang Notaris harus berpedoman
dan tunduk kepada UUJN dan UU perubahan atas UUJN. Landasan filosofis
dibentuknya UUJN dan UU perubahan atas UUJN adalah untuk terwujudnya
24
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54.
Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak Kekayaan
Intelektual Dalam masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta, hal.12
25
29
jaminan
kepastian
hukum, ketertiban
dan
perlindungan
hukum
yang
berintikan kebenaran dan keadilan.
Melalui akta yang dibuatnya, maka Notaris harus dapat memberikan
kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang menggunakan jasa
Notaris. Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian
hukum serta perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif
yaitu bersifat pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara menerbitkan
akta otentik
hak,
yang
dibuat
dihadapannya
terkait
dengan
status
hukum,
dan kewajiban seseorang dalam hukum yang berfungsi sebagai alat bukti
yang paling sempurna di pengadilan apabila terjadi sengketa atas hak dan
kewajiban terkait.
Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti
otentik dalam memberikan
manapun
perlindungan
hukum
kepada
para
pihak
yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian
peristiwa atau kepastian perbuatan hukum itu dilakukan.
1.5.7. Teori Tanggung Jawab
Istilah tanggungjawab negara dalam Liability Convention 1972 dan
Deklarasi Stockholm 1972 dituangkan dalam dua istilah yang berbeda, yaitu ;
Responsibility: lebih menunjuk kepada idikator penentu lahirnya
tanggungjawab yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih
dahulu dalam bentuk kewajiban yang harus diataati serta lahirnya suatu
tanggungjawab, serta Liability: lebih menunjuk kepada akibat yang timbul
dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk
tanggungjawab yang harus diwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau
30
kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut,
yaitu pemulihan (legal redress).26
Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir
semua karakter risiko atau tanggung jawab. Liability meliputi semua karakter hak
dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan,
biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.
Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi
juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.
Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada
pertanggungjawaban politik27.
Persoalan mengenai pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan
Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:
a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu
telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan
pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
26
Ida Bagus Wyasa Putra, 2001. Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak
Komersialisasi Ruang Angkasa. PT. Refika Aditama, Bandung. h.54
27
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm.335-337.
31
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan.
Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah
kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan
ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada
tanggung jawab yang harus ditanggung28.
Dalam
teori
pertanggungjawaban
tradisional,
berdasarkan
ada
dua
kesalahan
jenis
(based
tanggung
on
fault)
jawab:
dan
pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility)29. Tanggung jawab mutlak
yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh
pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatan dengan
akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari
perbuatannya.
Menurut Hans Kelsen dalam teorinya menyatakan bahwa, “seseorang
bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia
memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab
atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”30. Lebih lanjut Hans
Kelsen menyatakan bahwa31:
Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum
disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai
satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang
terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa
maksud jahat, akibat yang membahayakan.
28
Ibid., hlm.365.
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi
Press, Jakarta, hlm.61.
30
Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan
Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan
Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta (selanjutnya ditulis Hans Kelsen II), hlm.81.
31
Ibid., hlm.83.
29
32
Selanjutnya Hans Kelsen membagi tanggung jawab menjadi 4 (empat) bagian
yang terdiri dari32:
a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab
terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung
jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja
dan tidak diperkirakan.
Apabila dihubungkan dengan penelitian ini maka teori tanggung jawab
dipergunakan untuk mengetahui tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik
yang dibuatnya serta dalam menjalankan jabatannya.
1.5.8. Kekuatan Mengikat Akta
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah
sempurna dan mengikat.33 Akta konsen Roya merupakan akta pihak (partij), yaitu
akta yang berisi suatu keterangan dari apa yang terjadi karena perbuatan yang
dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris, artinya diterangkan oleh pihak lain
kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak
32
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa &
Nusamedia, Bandung (selanjutnya ditulis Hans Kelsen III), hlm.140.
33
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 73
33
lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau
melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu
dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Artinya apabila akta otentik
yang diajukan memenuhi syarat formil dan materiil serta bukti lawan yang
dikemukakan tergugat tidak bertentangan, maka pada akta otentik langsung
melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dengan nilai
kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang melekat pada akta otentik,
pada dasarnya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain dan
dengan sendirinya mencapai batas minimal pembuktian.
Seluruh jenis alat bukti mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas dan
batas minimum pembuktiannya harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti yang sah. Akibat hukum akta otentik yang memuat keterangan palsu hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Sebagaimana
perjanjian yang tertulis dalam akta jual beli tanah adalah batal demi hukum,
artinya sejak lahirnya perjanjian jual beli tanah itu sudah batal atau tidak berlaku
atau dianggap tidak pernah ada. Dengan kata lain sejak awal dibuatnya akta itu
sudah tidak mempunyai kekuatan hukum bagi para pihak.
Dalam KUH Perdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867
sampai Pasal 1880. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta
tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti
Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di
bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau
dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan
34
saja. Contoh dari akta otentik antara lain akta notaris, vonis, surat berita acara
sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb,
sedangkan akta di bawah tangan contohnya antara lain surat perjanjian sewa
menyewa rumah, surat perjanjian jual beli.
Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta
otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan
ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang
dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang
berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh
hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak
ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KUH
Perdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap
siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat
pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli
warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
1.6.
Orisinalitas
Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui
penelusuran dengan media internet, ditemukan judul tesis yang menyangkut
kekuatan mengikat akta konsen roya. Penelitian ini merupakan penelitian yang
masih original atau asli karena belum ada penelitian secara khusus menulis tesis
dengan judul ini meskipun demikian ada sejumlah tulisan yang mirip tetapi tidak
sama secara substansial. Adapun judul beserta rumusan masalah penelitian lain
yang tidak sama dengan penelitian ini adalah:
35
Tesis yang berjudul “Roya Hak Tanggungan Dalam Hal Bank Dilikuidasi
di Kantor Pertanahan Jakarta Timur” oleh Fatima Syuraini Dewi, mahasiswa S2
Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Diponegoro Semarang, Tahun
2009. Permasalahan yang ditelaah pada tesis ini adalah: 1. Bagaimanakah
pelaksanaan Roya Hak Tanggungan dalam hal bank dilikuidasi Di Kantor
Pertanahan Jakarta Timur, 2. Hambatan/kendala apa yang dihadapi dalam
permohonan Roya, apabila bank selaku kreditor telah dilikuidasi di Kantor
Pertanahan Jakarta Timur dan bagaimana penyelesaiannya. Dalam tesis yang di
bahas berikut ini lebih menekankan pada pelaksanaan roya hak tanggungan dalam
hal bank dilikuidasi serta hambatan dalam permohonan roya.
Tesis yang berjudul “Kedudukan Hukum Akta Konsen Roya Untuk
Kepentingan Pencoretan (Roya) Hak Tanggungan” oleh Dini Pranita, mahasiswa
S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Hasanuddin Makasar,
Tahun 2012. Permasalahan yang ditelaah pada tesis ini adalah: 1. Bagaimanakah
kedudukan Akta Konsen Roya yang dibuat oleh Notaris 2. Apakah akibat hukum
Akta Konsen Roya yang dibuat oleh Notaris yang menjalankan jabatan di luar
wilayah jabatannya. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada
kedudukan akta konsen roya dalam proses pencoretan hak tanggunggan.
Tesis yang berjudul “Implikasi Yuridis Hilangnya Sertifikat Hak
Tanggungan Dalam Proses Roya” oleh Marissa Isabella, mahasiswa S2 Program
Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas
Gadjah
Mada,
Tahun
2012.
Permasalahan yang dilatih pada tesis ini adalah: 1. Bagaimana Implikasi yuridis
dari hilangnya sertifikat Hak Tanggungan dalam proses roya, 2. bagaimanakah
36
pelaksanaan roya terkait hilangnya sertifikat Hal Tanggungan dalam proses roya
di Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih
menekankan pada hilangnya sertifikat hak tanggungan yang akan dilakukan
proses roya di kantor pertanahan.
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif yaitu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum guna menjawab isu hukum yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini. Kegunaan metode penelitian hukum normatif adalah untuk
melakukan penelitian dasar (basic research) dibidang hukum, khususnya bila
peneliti mencari asas hukum, teori hukum, dan sistem hukum, terutama dalam hal
penemuan hukum dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum
baru dan sistem hukum nasional.34
1.7.2. Jenis Pendekatan
Menurut
Peter
Mahmud
Marzuki35
pendekatan-pendekatan
yang
digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang,
pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan
konseptual. Tetapi untuk membahas permasalah dalam tesis ini pendekatan yang
diterapkan sebagai berikut:
1. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach)
34
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Alumni, Bandung, hal. 141.
35
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hal. 93.
37
Pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.36 Dalam
penelitian ini dilakukan dengan menelaah suatu undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan permasahan yang dibahas. Pendekatan undang-undang ini
akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi
dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau
antara undang-undang dan UUD NRI 1945 atau antara regulasi dan undangundang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan
isu yang dihadapi.
2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approaach)
Dalam pendekatan konseptual, peneliti merujuk pada prinsip-prinsip
hukum. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana
ataupun doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum
juga dapat ditemukan di dalam undang-undang. Pendekatan ini menjadi penting
sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika
menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas
ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum,
maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dari penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier. Adapun sumber bahan hukum
tersebut antara lain:
36
Ibid
38
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang
berlaku terkait dengan permasalahan yang diangkat yaitu antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
3. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang No 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043);
4. Undang- Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3632);
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432);
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 59).
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan yang memberikan informasi atau
hal-hal lain yang berkaitan dengan isi dari sumber bahan hukum primer serta
39
implementasinya dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer yang dapat berupa :
− Buku-buku literatur;
− Jurnal hukum dan Majalah Hukum;
− Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan Koran
− Tesis, artikel ilmiah dan disertasi.37
c. Bahan hukum tertier, yaitu berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan huum sekunder, seperti
kamus (hukum) dan ensiklopedia.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik penggumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini
adalah dengan menggunakan gabungan antara metode bola salju dan metode
system kartu. Metode bola salju (snowball method) adalah metode di mana bahan
hukum dikumpulkan melalui beberapa literature kemudian dari beberapa literature
tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literature tersebut.38 Bahan
hukum yang diperoleh kemudian dikumpulkan dengan menggunakan system kartu
(card system).
Bahan hukum primer dalam penelitian ini dicatat dalam kartu kutipan
adalah mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya
dalam kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para
ahli yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta, hal.33
38
Djamarah Syaiful Bahri, 2010, Strategi Belajar mengajar – Edisi Revisi, PT. Rineka
Cipta, Jakarta, hal 35
40
pendapatnya. Selanjutnya bahan sekunder yang diperoleh melalui studi
kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.39
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Setelah bahan hukum terkumpul, baik bahan hukum yang diperoleh dari
undang-undang maupun dari bahan hukum kepustakaan, kemudian akan
diklasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan masalah dan analisis dengan teoriteori yang relevan. Ini bertujuan untuk menyederhanakan seluruh bahan yang
terkumpul, menyajikan secara sistematik, kemudian mengolah, menafsirkan, dan
memaknai sehingga dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang
diajukan, kemudian dapat dipaparkan secara deskriptif dan interpretasi.
39
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. hal. 113
Download