Notaris dan Para Pihak Dalam Akta (2) Dr. A.Nuzul Lembaga Notaris di Indonesia yang dikenal sekarang ini, bukan lembaga yang lahir dari bumi Indonesia, melainkan lembaga yang muncul di abad ke-17 seiring hadirnya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Indonesia. Keberadaan Notaris pertamakalinya di Jakarta untuk keperluan para penduduk dan para pedagang yang disebut Notarium Publicum, dan Notarisnya seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Melchior Kerchem, diangkat pada tanggal 27 Agustus 1620. Kemudian, seiring dengan kemajuan zaman dan berkembangnya berbagai kepentingan masyarakat, (baik kepentingan tersebut sama maupun berbeda, ataukah saling berbenturan), namun secara tidak disadari turut menjadi penyumbang dalam perkembangan hukum, di dalam mencarikan solusi hukum atas permasalahan yang timbul dalam pembuatan akta otentik maupun siapa berwenang membuatnya. Kini setelah Indonesia Merdeka, ketentuan tentang jabatan Notaris baik menyangkut kewenangan, kewajiban dan larangan sudah diatur dalam UU no. 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris atau populer dengan sebutan UUJN (lihat Psl 15 s/d 17). Keperluan masyarakat untuk kepastian dan jaminan hukum terhadap kepemilikan objek (barang); berbagai keperluan transaksi; surat-surat berharga; penjaminan utang dan peminjaman uang di bank; maupun pada transaksi-transaksi bisnis dan perjanjian-perjanjian sosial lainnya, sampai pada pendirian yayasan, LSM, serta pendirian partai politik, dll menjadi penting dan utama. Dengan demikian keberadaan alat pembuktian berupa akta otentik yang dibuat oleh Notaris adalah suatu keniscayaan. Dengan demikian, ketergantungan masyarakat kepada Notaris karena kewenangannya di dalam membuat akta otentik sangat tinggi. Jadi akta otentik yang dibuat Notaris menjadi kebutuhan di dalam berbagai keperluan dan kepentingan manusia, mulai dari yang kecil-kecil semacam pendirian klub sepak bola di tingkat desa, sampai keperluan yang besar seperti pendirian partai politik, pendirian lembaga pendidikan, bisnis dengan omzet milyaran atau trilyunan, semuanya memerlukan jasa Noataris berupa akta otentik Bila ditilik sumber kewenangan bagi Notaris terhadap pembuatan akta otentik adalah bersifat atribusi, artinya kewenangan yang ada (membuat akta) itu diciptakan dan diberikan sendiri oleh undang-undang (Pasal 15 UU no 30 tahun 2004). Dengan kata lain, kewenangan Notaris tidak berasal/tidak diberikan dari lembaga lain, misalnya dari Kementerian Hukum dan HAM. Di sisi lain, berdasarkan pula UUJN, maka seorang Notaris untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Notaris (MPN) berwenang memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan atas kasus hukum, jika itu berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpangan Notaris ( Lihat Psl 66 UU JN). Dengan mengacu pada ketentuan ini, maka seorang notaris tidak serta merta bisa didudukkan atau dihadirkan oleh penyidik sebagai saksi atas kasus yang dipersengketakan oleh para pihak, kendatipun objek hukum yang dipersengketakan para pihak tersebut memiliki akta otentik yang pernah dibuat dihadapan Notaris. Sebab boleh jadi penyebab sengketa dari para pihak tersebut tersebut, karena salah satunya ingkar janji atau kedua-duanya lalai dalam memenuhi prestasinya, bukan karena kedua belah pihak mengingkari isi akta otentik yang dibuat atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Berbeda halnya jika akta yang dibuat Notaris cacat yuridis (batal demi hukum atau dapat dibatalkan) karena tidak memenuhi syarat formil dan atau syarat materil, maka ada kewajiban bagi Notaris mempertanggungjawabkan kesalahannya. Bahkan Notaris karena jabatannya atau karena profesinya dapat dituntut secara perdata oleh pihak yang merasa dirugikan atas terbitnya akta Noataris, atau oleh pengadilan, maupun tuntutan pidana oleh Penuntut Umum, Penyidik atau Pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Juga oleh majelis pengawas Notaris selaku Badan dapat menjatuhkan sanksi administrasi kepada Notaris bersangkutan dan selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undanga (Psl 1 ayat (7) UU JN). Oleh karenanya seorang Notaris tidak boleh sembarangan membuat akta otentik, meskipun ada permintaan dari para penghadap atau para pihak. Mereka Noatris harus hati-hati dan mengikuti segala prosedur dan persyaratan yang diperlukan dalam pembuatan akta atau apa yang menjadi kewenangannya menurut undang-undang. Nama saja akta Notaris adalah akta dibuat oleh berwenang (pejabat Notaris), sehingga baik bentuk maupun sifatnya adalah suatu yang pasti dan mengikat. Bentuk akta Noataris terdiri atas awal akta atau kepala akta; badan akta; dan penutup akta (Psl 38 UUJN). Jadi akta yang dibuat Notaris memiliki bentuk yang mengacu pada ketentuan pasal tersebut. Juga karena akta otentik dibuat secara formal oleh pejabat berwenang, maka sifatnya mengikat, artinya memiliki kekuatan mengikat keluar dan ke dalam. Mengikat ke dalam artinya, para pihak yang dicantumkan atau diterangkan identitasnya (termasuk para saksi jika ada) dalam akta otentik tersebut harus tunduk dan mematuhinya. Mengikat ke luar artinya, pihak ketiga atau pihak manapun harus mengakui kekuatan berlakunya akta tersebut. Bagi siapa yang tidak mempercayai atau meragukan akta atau isi akta tersebut, maka kepadanya harus membuktikan sebaliknya dengan menunjukkan bukti yang kekuatan pembuktiannya melebihi atau setidaknya sama dengan akta untuk melumpuhkan kekuatan/atau ketidakbenaran akta otentik yang ia sangkalinya. Pendeknya siapa yang meragukan atau tidak mengakui akta otentik yang dibuat Notaris, maka dialah yang harus menunjukkan/membuktikan ketidakbenran akta otentik dimaksud. Inilah salah satu hal pokok yang membedakan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan. Kalau akta di bawah tangan, baru bisa dijadikan dasar/alas hak jika para pihak (para penanda tangan dari akta di bawah tangan itu) tidak ada yang menyangkali akta dan mengakui isi/materi yang tercantum dalam akta di bawah tangan tersebut. Karena akta di bawah tangan pada dasarnya memiliki kekuatan pembuktian hanya kepada pihak-pihak yang terlibat saja. Baru memiliki kekuatan pembuktian ke luar jika para pihak yang tercantum dalam akta tersebut mengakui (tidak menyangkali) akta di bawah tangan tersebut. Jadi, kalau akta di bawa tangan itu di bawah ke proses hukum dan ada pihak tertentu (yang dicantumkan identitasnya/keterangannya) dalam akta di bawah tangan itu menyangkalinya, maka pihak (sipembuat akta di bawah tangan, terutama yang mengakui kebenaran isi akta tersebut) yang berkewajiban untuk mempertahankan isi akta tersebut, mungkin dengan cara mencarikan bukti lain yang bisa mendukung kekuatan pembuktian atas akta di bawah tangan tersebut. Akta Notaris pada dasarnya adalah akta yang isinya merupakan kehendak para penghadap, Notaris hanya melaksanakan apa yang menjadi kehendak para pihak/penghadap yang kemudian dituangkan secara formal dalam bentuk akta. Dalam ketentuan dikatakan bahwa, “isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan para pihak yang berkepentingan” (Psl 38 huruf c UUJN). Agar keinginan para pihak/penghadap tersebut memiliki kekuatan hukum (kekuatan pembuaktian) maka undang-undang menunjukkan jalannya, yakni silahkan datang ke Notaris dan sampaikanlah keinginanmu, lalu Notaris memprosesnya menurut ketentuan yang berlaku. Karena isi akta merupakan kehendak para pihak, maka Notaris berkewajiban membacakan kepada para pihak/penghadap tentang isi akta sebagai kesepakatan diantaranya sebelum difinalkan. Setelah Notaris selesai membaca isi akta yang baru saja dibuatnya, kemudian menanyakan kepada para pihak/penghadap tentang apakah isi akta yang baru saja di bacakan (selaku pejabat Notaris) sudah sesuai dengan kehendak para penghadap. Dari proses yang demikian itulah, logika bisa menangkapnya mengapa dalam ketentuan mengharuskan para pihak yang kemudian disebut “penghadap” hadir di muka Notaris untuk sebuah pembuatan akta otentik. Dengan demikian, Notaris dituntut kehati-hatiannya dalam memenuhi keinginan para penghadap, di samping ia berkewajiban untuk mematuhi seluruh syarat, prosedur dan mekanisme di dalam pembuatan akta otentik agar dikemudian hari tidak menimbulkan masalah yang justru bisa melibatkan Notaris bersangkutan. Ingat bahwa apa yang tercantum di dalam akta (isi akta) adalah kehendak para penghadap, bukan keinginan Noataris. Ingat juga bahwa Noataris adalah pejabat publik yang menjual jasa dan bekerja secara profesional, dan ingat bahwa Notaris dilengkapi dengan Kode Etik Notaris dalam melaksanakan pekerjaannya. Ingat lagi bahwa Notaris adalah penegak hukum dan keadilan, Wallahu A’lam. Dosen Ilmu Hukum STAIN Wtp, dan Anggota MPDN Kab. Bone.