Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam Azhari Akmal Tarigan Penerbit FEBI Pers 2016 BAB I DINUL ISLAM DAN DASAR-DASARNYA A. Defenisi Agama Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama yang di dalam bahasa Arab disebut al-din dijelaskan sebagai sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan ajaran itu.1 Menterjemahkan kata din dengan agama seperti yang telah disebut di muka tidaklah salah. Tinggal lagi terjemahan di atas tidak cukup memadai untuk mengungkap substansi yang dikandung kata din. Satu hal yang menarik untuk dicermati, dalam bahasa Arab setiap kata yang terdiri dari huruf d-y-n, mengandung pengertian hubungan dua pihak. Seperti kata dain yang berarti hutang menunjukkan adanya pihak yang berhutang (debitor) dan pihak yang memberi hutang (kreditor). Demikian juga halnya dengan kata dana atau yadinu yang artinya menghukum juga menggambarkan adanya interaksi dua pihak, hakim dan terdakwa. Adapun kata din sendiri mengandung arti hubungan antara dua pihak di mana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang kedua. Dengan kata lain, agama adalah hubungan antara makhluk dengan khaliknya.2 Dalam hal ini keberadaan khalik (pencipta) tentu lebih tinggi dari makhluk (yang diciptakan). Jika arti kata din tersebut menunjukkan adanya interaksi dua pihak, maka ada tiga bentuk relasi yang terjadi. Pertama, hubungan manusia dengan Allah yang sering disebut dengan 1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1995), h.10 2 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan,1992), h. 209-210 hablum min Allah. Hubungan ini diterjemahkan dengan ibadah kepada Allah SWT. Contoh sederhananya adalah sholat dan do’a. kedua bentuk ibadah ini sesungguhnya adalah cermin pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Kedua, hubungan manusia dengan manusia yang disebut dengan hablu min al-nas. Pola ini diterjemahkan dengan apa yang disebut mu’amalat, baik dalam konteks transaksi bisnis ataupun dalam bentuk munakahat (perkawinan). Ketiga, hubungan manusia dengan alam biasanya diterjemahkan dalam konteks pemeliharaan atau penjagaan terhadap hukum keseimbangan yang berlaku di alam. Artinya, manusia senantiasa harus menjaga keharmonisan alam. Hubungan manusia dengan alam tidak boleh dalam bentuk hubungan yang eksploitatif. Jelas bahwa kata din itu mengandung relasi dua pihak. Bukan sekedar dalam makna kepercayaan. Tentu saja kata din berbeda dengan Religion yang sering diartikan sebagai tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak. Jadi pengertian agama yang dikandung kata Relegion sangat sempit dan berkonotasi individual (pribadi). 3 Selanjutnya kata Islam yang terambil dari kata salm bermakna kedamaian atau ketentraman. Kata Islam juga dapat diterjemahkan dengan keselamatan. Siapapun yang memilih Islam sebagai agamanya, pastilah ia akan selamat hidup baik di dunia ataupun di akhirat. Islam juga diterjemahkan sebagai sikap pasrah dan tunduk (al-inqiyad wa al-khudhu’) kepada Allah. Inilah makna etimologis dari kata Islam tersebut. Sedangkan dalam pengertian terminologisnya, Islam adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam, Akidah dan Syari’ah mendefenisikan agama Islam sebagai agama Allah yang diperintahkan kepada nabi Muhammad untuk mengajarkan tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturan-Nya dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dan mengajak mereka untuk memeluknya.4 3 Jhon R.Bennet, “Relegion’’ dalam Encyiclopedia Americana, Vol.XXIX, (New York), h.342 Definisi lain tentang Islam disebutkan oleh……. B. Lingkup Islam. Sebagai sebuah agama, Islam mengandung ajaran-ajaran yang disimpulkan dengan trilogi ajaran ilahi yang terdiri dari iman, islam, dan ihsan. Pokok-pokok ajaran tersebut disarikan dari sebuah hadis Rasul yang diriwayatkan dari Bukhori Muslim, yang memuat rukun islam, rukun iman dan ihsan (akhlak). Dari hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa garis besar agama Islam terdiri dari akidah, syari’ah dan akhlak. Akidah yang berarti ikatan, kepercayaan, dan keyakinan telah disistematisasikan ke dalam apa yang disebut dengan rukun iman (arkan al iman), yang memuat kepercayaan (keimanan): iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitabkitab, iman kepada Rasul, iman kepada hari Qiamat dan iman kepada Qadar Syari’ah yang semula berarti jalan, memuat satu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Pada garis besarnya aturan-aturan tersebut dikelompokkan pada dua bahagian yaitu Ibadah dan Mua’malah. Ibadah yang dimaksud di sini adalah tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan ritual langsung antara hamba (makhluk) dengan Tuhannya, yang tata caranya telah ditentukan secara rinci sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadis. Ibadah dalam pengertian ini tersimpul dalam rukun Islam (arkan al-Islam) yaitu, Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji. Adapun mu’amalah memuat aturan-aturan dalam konteks hubungan sesama manusia dalam maknanya yang luas. Aspek mu’amalah ini dalam Al-Qur’an dan Hadis, tidak diatur secara rinci, melainkan diungkap dengan menyebut garis-garis besarnya saja. Bahkan dalam Al-Qur’an aspek mua’malah ini dijelaskan tidak lebih dari 500 ayat atau 5, 8 % dari keseluruhan ayat AlQur’an. Jika menggunakan penelitian Abdul Wahab Khallaf, yang 4 Mahmud Syaltut, Islam `Aqidah Wa Syari`ah,(Kairo: Dar al-Qalam, 1968),h.1-2 termasuk dalam bagian mu’amalah adalah,5 1.Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga (al-ahwal al- syakhshiah) yang terdiri dari 70 ayat.2.Hukum Perdata terdiri dari 70 ayat (ahkam Madniyah), 3.Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat (ahkam alJinayah), 4. Hukum Acara terdiri dari 13 ayat (ahkam alMurafa’at), 5. Hukum Peradilan terdiri dari 10 ayat (ahkam al-Dustyah), 6. Hukum Tata Negara terdiri dari 25 ayat (ahkam al-Dauliyah), 7. Hukum Ekonomi terdiri dari 10 ayat (ahkam alIqtisadiyah wa al-Maliyah) Berangkat dari jumlah ayat-ayat mu’amalah yang relatif sedikit di atas, terkesan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam tidak merinci dan terkesan tidak tuntas membicarakannya. Padahal, masalah hubungan antar sesama manusia merupakan persoalan yang cukup penting. Berbeda dengan aspek ibadah, dimana Al-Qur’an dan Hadis membicarakannya secara rinci, tentu saja dengan jumlah ayat dan hadis yang banyak. Sekali lagi pertanyaannya adalah, mengapa demikian? Tentu saja ada pesan, hikmah dan rahasia di dalamnya. Tugas kita adalah menggali hikmahnya. C. Perbedaan Ibadah dan Mu`amalah Perbedaan yang mendasar antara ibadah dan mu’amalah terletak pada bahasa atau ungkapan yang digunakan Al-Qur’an. Untuk yang pertama, Al-Qur’an menggunakan bahasa yang rinci (tafsili) dan tegas, sehingga ruang untuk terjadinya perbedaan penafsiran sangat kecil. Kalaupun ada perbedaan tidaklah perinsipil. Hal ini menunjukkan dalam dimensi ibadah menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, tidak ada peluang untuk menambah atau mengurangi hal-hal yang telah diatur oleh AlQur’an dan hadis. Tegasnya di dalam ibadah tidak diperlukan inovasi dan kreatifitas. Ulama telah membuat satu kaedah pokok dalam ibadah yang artinya, “Pada prinsipnya dalam persoalan ibadah segala sesuatu terlarang (haram) dilakukan, kecuali ada dalil yang memerintahkannya”. 5 Abdul Wahab Khalaf,`Ilmu Usul al-Fiqh,(Dar al-Kuwaitiyyah, 1986). h.32-33 Kaedah ini menjelaskan bahwa dalam masalah ibadah, kreasi dan inovasi manusia tidak diperlukan karena semuanya telah diatur secara rinci oleh Allah SWT. Manusia hanya dituntut untuk melaksanakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Kebalikannya segala inovasi yang di buat di dalam ibadah disebut dengan bid’ah. Bid’ah di dalam ibadah sesungguhnya sangat terlarang. Berbeda dengan aspek Mu’amalah, kaedah yang berlaku adalah, “Pada prinsipnya dalam bidang mu’amalah segala sesuatu adalah dibolehkan (ibahah) kecuali ada dalil yang melarang”. Prinsip ini tentu saja memiliki implikasi yang cukup luas, dimana manusia dapat mengembangkan aturan-aturan global Al-Qur’an agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Sampai di sini kreativitas manusia sangat dibutuhkan untuk dapat menerjemahkan pesan-pesan Al-Qur’an agar lebih aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Inilah hikmah terpenting, mengapa ayat-ayat mu’amalah relatif sangat sedikit dan dijelaskan dengan bahasa yang global (mujmal). Kita dapat berandai-andai, sekiranya dalam aspek mu’amalah, Al-Qur’an mengungkapkannya dengan bahasa yang rinci, niscaya manusia akan mengalami kesulitan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya adalah, realitas masyarakat ketika ayat-ayat tersebut diturunkan tentu berbeda dengan realitas masyarakat saat ini. Tidak itu saja, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sangat cepat sedikit banyaknya pastilah akan berpengaruh ke dalam kehidupan manusia. Pada saat yang sama, Al-Qur’an dan Hadisn Nabi telah terhenti. Jadi sangat tidak mungkin kitab suci akan memberikan responnya. Adapun yang paling mungkin kita lakukan adalah menterjemahkan pesan-pesan atau nilai-nilai Al-Qur’an agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Jadi pengungkapan Al-Qur’an tentang ayat-ayat mu`amalah yang global tersebut ternyata menguntungkan dalam rangka mengembangkan ajaran Islam yang relevan dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh, ayat-ayat tentang “ekonomi” yang menurut Khallaf hanya 10 ayat, merupakan peluang yang cukup besar bagi pengembangan pemikir Islam untuk mengembangkan sistem ekonomi Islam sehingga dapat bersaing dengan sistem ekonomi lainnya.6 Salah satu ayat tentang ekonomi yang artinya: Dan sebagian mereka orang-orang yang berjalan (yadribuna) di muka bumi mencari sebahagian Karunia Allah”. (al-Muzammil ; 20) Adapun contoh hadis tentang ekonomi yang artinya “Dari Shalih Bin Suhaib R.A, Rasulullah Bersabda, ada tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan jual beli secara tangguh, muqaradah (Mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.(H.R. Ibnu Majah No : 2280, kitab at-Tijarat) Al-Qur’an hanya menyebut kata yadribuna yang asal katanya adalah daraba dan merupakan akar kata dari Mudharabah. Demikian juga hadis nabi, hanya menyebut Muqaradhah tanpa ada penjelasaan yang rinci tentang apa yang dimaksud dengan Muqaradhah tersebut. Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, Mudharabah (bagi hasil) dikenal sebagai salah satu institusi ekonomi Islam, yang dalam prakteknya Sahibul Mal atau orang yang memiliki harta dapat menjalin kerja sama dengan orang yang memiliki skill (keahlian) dengan ketentuan hasil dari usaha akan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Pada masa lalu sahibul mal adalah individu-individu yang memiliki kelebihan harta., namun saat ini, sejalan dengan perkembangan zaman, Bank sebagai lembaga keuangan dapat berfungsi sebagai pemilik modal (sahibul mal).7 Jika pada masa lalu hubungan sahib al-mal dengan mudharib itu sangat sederhana dan konvensional, sekarang hubungan tersebut terjalin secara modern yaitu antara bank sebagai lembaga dan nasabah sebagai 6 Sebenarnya ayat-ayat Ekonomi itu cukup banyak. Seiring dengan perkembangan ilmu ekonomi Islam, maka penggalian terhadap ayat-ayat ekonomi atau ayat-ayat yang bernuansa ekonomi menjadi sebuah keniscayaan. Beberapa buku tafsir ayat ekonomi yang terbit belakanga ini telah menjelaskan bahwa ayat ekonomi itu lebih dari apa yang pernah dibayangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf . Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, Bandung: Citapustaka Media, 2013. 7 Mu`amalat Institut, Perbankan Syari’ah Perspektif Praktisi,(Jakarta: Mu`amalat Institut, 1999),h.72-74. Lihat juga, Syafi`i Antonio, Perbankan Syari`ah :Wacana Ulama Dan Cendikiawan,(Jakarta, Tazkia Institut dan BI, 1999), h.171 dan 184. pengguna modal. Lebih lanjut masalah ini akan dibicarakan pada Bab Etika Kerjasama Dalam Islam. Adapun ihsan merupakan ajaran Islam tentang akhlak atau moralitas. Nabi Muhammad dalam hadisnya menjelaskan ihsan dengan kalimat, “Engkau mnyembah Allah seolah-olah engkau melihatnya dan jika engkau tidak melihatnya pasti ia melihatmu”. Ihsan sendiri bermakna berbuat baik, orangnya disebut muhsin. Dengan demikian ihsan sangat berkaitan erat dengan akhlak, moral atau etika. Dalam sebuah hadis nabi Muhammad menyatakan yang artinya, “yang paling utama dikalangan orang beriman adalah yang paling baik akhlaknya”.. Perintah ihsan adalah perintah untuk berbuat baik, berakhlak mulia tidak saja kepada sesama manusia, melainkan juga sesama makhluk lainnya. D.Tujuan Syari’at Islam Fungsi Al-Qur’an diturunkan kepada manusia, sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan. Fungsi tersebut dapat diwujudkan bila kandungan Al-Qur’an dapat dipahami, dihayati dan tentu saja diamalkan. Dalam rangka memahami Al-Qur’an diperlukan penafsiran-penafsiran terhadap teks-teks yang didalamnya sarat dengan nilai-nilai universal. Penafsiran Al-Qur’an, seperti yang telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, tentu sangat beragam karena masingmasing dipengaruhi oleh lingkungan sosio kultur yang mengitarinya. Biasanya, penafsiran yang mereka berikan adalah dalam rangka menjawab persoalan yang muncul dan berkembang saat itu dan tidak dimaksud untuk berlaku sepanjang zaman. Artinya agar Al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Upaya penafsiran Al-Qur’an secara terus menerus, kini dan akan datang merupakan satu keniscayaan. Hanya dengan cara ini, persoalan-persoalan kontemporer terutama yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan etika bisnis dapat dijelaskan dan dijawab oleh Al-Qur’an. Dalam kaitannya dengan hukum-hukum mu’amalah di atas, yang ayatnya sedikit, penafsiran kembali (reinterpretasi) merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kendati demikian, bukan berarti penafsiran itu bisa dilakukan serampangan. Disamping harus sesuai dengan kaedah penafsiran yang berlaku, hasilnya juga harus menjamin terciptanya kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Kemaslahatan itu penting, karena merupakan tujuan dari syari’at itu sendiri. Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi seorang pakar Ushul Fiqh menyatakan “Tujuan Syari’at Allah adalah Maslahat, dan dimana saja terdapat Maslahat maka disanalah syari’at Allah".8 Maslahat itu sendiri adalah satu kondisi dimana masingmasing individu dapat memenuhi kebutuhan dharurinya (Agama, jiwa, keturunan, harta dan aqal) serta adanya jaminan terpeliharanya kebutuhan tersebut. Sebagai contoh konkrit, larangan Islam terhadap aktivitas ekonomi yang dapat merusak akal manusia, seperti memproduksi dan mengkosumsi minuman keras, adalah satu bentuk rekayasa Islam dalam menciptakan kemaslahatan kehidupan manusia, khususnya yang berkenaan dengan pemeliharaan akal (al-hifz al`aql). Demikian juga larangan Islam terhadap praktek riba juga dalam rangka melindungi harta manusia dari eksploitasi pemilik modal. E. Rangkuman 1. Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk selanjutnya disampaikan kepada seluruh umat manusia agar mereka memperoleh kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. 2. Lingkup agama Islam terdiri dari Aqidah, syari`ah dan akhlak. Aqidah berbicara tentang keyakinan terhadap Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan tersebut, syari`ah berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah) yang terangkum dalam ajaran Ibadah dan hubungan manusia dengan manusia (hablun min al-nas) yang terangkum dalam ajaran mu`amalah. Adapun ihsan berbicara tentang 8 Muhammad Ma`ruf al-Dawalibi, Al-Madkhal Ila `Ilm Usul al-Fiqh, (Damaskus :Dar alQalam, 1965), h. 97 akhlak baik kepada Allah SWT, manusia dan makhlukmakhluk lainnya. 3. Prinsip dalam ibadah adalah segala sesuatu itu diharamkan, kecuali ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan dalam mu`amalah prinsip yang berlaku adalah segala sesuatu dibolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. 4. Tujuan dari syari`at Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia dan menolak segala bentuk kemudaratan atau kerusakan. F.Pertanyaan: 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan, Islam, Iman dan Ihsan dan berikan contohnya ? 2. Apa implikasi perbedaan prinsip yang berlaku dalam bidang ibadah dan prinsif yang berlaku dalam bidang mu`amalah ? 3. Jumlah ayat ekonomi dalam Al-Qur’an menurut Abdul Wahab Khallaf hanya terdiri dari 10 ayat, jumlah yang sangat sedikit. Apakah dengan kondisi ini ekonomi Islam dapat berkembang ?. BAB II SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM Kata-kata sumber merupakan terjemahan dari kata Masdar ( ) jamaknya masadir ( ). Sumber berarti tempat asal digalinya sesuatu. Jika disebut sumber air, maksudnya adalah tempat asal air mengalir atau mata air. Maka ungkapan mashadir al-ahkam ( ) bermakna sumber-sumber hukum islam yang merupakan tempat asal hukum itu digali.1 Sebenarnya kata mashadir al-ahkam tidak ditemukan dalam literatur ushul fiqih klasik. Para Ushuliyyun (ahli ushul al-Fiqh) menyebutnya dengan al-Adillah al- Syar‟iyyah, ( yang berarti dalil-dalil syari‟at. Sebahagian ), ahli hukum menyamakan kedua pengertian ini karena yang ditunjuk oleh kedua kata ini sama yaitu, Al-Qur‟an, Hadis, Ijma‟ dan Qiyas. Ahli hukum kontemporer membedakan kedua kata ini. Jika disebut kata masdar al-syari‟ah maksudnya adalah wadah atau tempat asal digalinya norma-norma hukum dan ini bisa dilekatkan hanya pada Al-Qur‟an dan Hadis. Sedangkan yang lainnya, ijma‟ dan qiyas tidak dapat disebut sumber, karena keduanya bukan tempat asal, malah ijma' dan qiyas harus menyandarkan diri pada 1 Wahbah al-Zuhaily, Usul al-Fiqh al-Islami, I (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 417-418 Al-Qur‟an dan hadis. Sesuactu yang tidak dapat berdiri sendiri, tidaklah mungkin disebut dengan sumber. 2 Sedangkan kata dalil yang berarti petunjuk, yang membawa kita menemukan sesuatu hukum tertentu dapat mencakup AlQur‟an, Hadis, Ijmak, Qiyas, Istislah, Istihsan, „Uruf, Istishab dan lainnya. Kalaupun dibedakan, hanyalah pada persoalan disepakati atau tidak. Biasanya empat dalil hukum yang disebut pertama dinamai dengan adillah al-muttafaq (dalil-dalil yang disepakati). Sedangkan selebihnya disebut adillah al-mukhtalaf (dalil-dalil yang diperselisihkan) oleh ulama. A. Sumber Ajaran Islam Yang Disepakati 1). Al-Qur’an Secara etimologis, Al-Qur‟an bermakna “bacaan” dan “apa yang tertulis”. Sedang didefenisikan sebagai makna terminologisnya Al-Qur‟an “Kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas.3 Dari defenisi di atas, ciri-ciri khas Al-Qur‟an adalah : 1. Al-Qur‟an merupakan Kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. 2 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Hukum Islam (Angkasa: Padang, 1993) h.20. 2. Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab. Hal ini ditunjukkan dalam surah : al-syu‟ara / 26 - 192 - 195, Yusuf : 12 ; 2, al-Zumar 39 ; 28, Ibrahim : 14 ; 4 dll. Dengan demikian, terjemahan dan penafsiran Al-Qur‟an tidak dapat disebut Al-Qur‟an. Tentu saja membaca terjemahan dan tafsirnya tidak bernilai ibadah. 3. Al-Qur‟an sesudahnya itu dinukilkan secara kepada mutawatir beberapa (diturunkan generasi oleh orang banyak kepada sejumlah orang yang dari segi jumlah sangat tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berdusta). Atas dasar itu pulalah, kemurnian Al-Qur‟an tetap terjaga dan terjamin sampai hari kiamat. Pernyataan ini dapat dilihat dalam Al-Qur‟an surah al-hijr / 15 ; 9. 4. Membaca Al-Qur‟an dipandang ibadah dan mendapat pahala dari Allah SWT. 5. Ciri terakhir dari Al-Qur‟an yang dianggap sebagai suatu kehati-hatian bagi para ulama untuk membedakan dengan kitab-kitab lain adalah bahwa Al-Qur‟an dimulai dari surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat al-nas. Susunan surat ini tidak boleh diubah letaknya dan sebagai akibatnya, do‟ado‟a yang terdapat diakhir Al-Qur‟an tidak dapat disebut Al-Qur‟an. Keberadaan Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran/sumber hukum mengandung pengertian bahwa Al-Qur‟an 3 Wahbah al-Zuhaily, op.cit.,h.421 memuat nilai-nilai Ilahiyah yang dapat dijadikan sebagai sumber motivasi, arahan dan penuntun dalam menjalani kehidupan di dunia. Nilai-nilai inilah yang perlu diterjemahkan agar dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pernyataan bahwa Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran/sumber hukum bukanlah dalam pengertian Al-Qur‟an memuat segala persoalan yang ada bahkan yang akan muncul seperti pemahaman yang berkembang selama ini di masyarakat. Lebih keliru lagi, kalau dikatakan Al-Qur‟an itu memuat aturanaturan teknis yang langsung dapat diaplikasikan dalam relitas kehidupan manusia. Apabila disebut Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran dalam ekonomi Islam, maksudnya bukan Al-Qur‟an memuat ajaran secara lengkap tentang sistem ekonomi Islam seperti, barang dan jasa apakah yang akan diproduksi, bagaimana memproduksinya serta kepada siapa barang tersebut didistribusikan sehingga ia memiliki manfaat dalam masyarakat. Akan tetapi maksudnya adalah AlQur‟an memuat nilai-nilai universal tentang bagaimana sebenarnya ekonomi Islam itu harus diformulasikan.4 Sebagai contoh, Al-Qur‟an menyebut bahwa riba merupakan aktivitas ekonomi yang menimbulkan kesengsaraan masyarakat. Untuk itu praktek riba harus dihindari (QS. Ar-Rum ; 39, An-Nisa ; 160-161, Ali Imran : 130, Al-Baqarah ; 278-279). Dampak ekonominya adalah meningginya harga barang. Semangkin tinggi 4 Penjelasan yang lebih luas dapat dilihat dalam Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, h. suku bunga, semangkin tinggi pula harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Salah satu elemen penentuan harga adalah suku bunga. Sedangkan dampak sosialnya, para pelaku riba (rentenir) akan mengeksploitasi korbannya dengan bunga yang tinggi sampai pada suatu saat ia tidak mampu lagi membayar bunga apalagi melunasi hutang. Pada akhirnya semua yang dimilikinya akan disita oleh pelaku riba sampai si korban tidak lagi memiliki apa-apa. Bisa diduga, ia akan menjadi beban sosial baru di masyarakat. Sedangkan persoalan etikanya adalah, riba sebagai sebuah sistem ternyata menimbulkan kezaliman dan kesengsaraan bagi orang yang terlibat didalamnya. Nilai pentingnya adalah Al-Qur‟an mencela sistem bunga yang melahirkan kezaliman ekonomi. Sebagai gantinya Al-Qur‟an menawarkan sistem mudharabah yang mengandung nilai tolong-menolong, kemaslahatan dan keadilan. Nilai-nilai ini yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam produkproduk perbankan Islam seperti tabungan mudharabah, musyarakah dan lain-lain. 2) Sunnah. Sunnah ( biasa ) secara etimologis berarti “jalan yang dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”, terlepas apakah kebiasaan itu baik atau buruk. Sedangkan pengertian terminologisnya, sunnah adalah “segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan.5 Dari defenisi di atas, sunnah dapat dibagi kepada tiga macam : a. Sunnah Qauliyah (Perkataan) Yaitu perkataan-perkataan Rasul yang disampaikan dan didengar oleh sahabat untuk selanjutnya ditransmisikan kepada generasi-generasi berikutnya, Misalnya hadis yang artinya, “Bahwasanya Nabi berkata “riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah dosanya sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”. (Hadis diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Mas‟ud) b. Sunnah Fi’liyah (Perbuatan) Yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi, yang dilihat para sahabat untuk selanjutnya dipraktekkan dan disampaikan kepada generasi berikutnya. Contohnya, prilaku bisnis Rasul yang tidak pernah mengurangi timbangan. c. Sunnah Taqririyah (ketetapan/persetujuan) Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi atau dilaporkan kepadanya, tetapi Nabi hanya diam saja dan tidak mencegahnya. Sikap Nabi ini dipandang sebagai 5 `Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis,wa Mustaluhuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.17 isyarat persetujuannya terhadap perbuatan atau perkataan sahabat tersebut. c. Fungsi Sunnah Terhadap Al-Qur’an Pada pembahasan Al-Qur‟an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat Al-Qur‟an diungkap dengan bahasa yang global (ijmali) yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran. Sebagai Rasul Allah, Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling memiliki otoritas untuk melakukannya melalui sunnah-sunnahNya. Dengan demikian dapat dikatakan, fungsi sunnah terhadap Al-Qur‟an adalah :6 1). Bayanu Tafsili (merinci) Maksudnya adalah merinci hukum global yang ada dalam AlQur‟an. Sebagai contoh, Allah memperintahkan sholat dalam AlQur‟an tanpa ada penjelasan tentang raka‟at dan tata caranya sunnah Nabi yang menjelaskannya mulai dari jumlah raka‟at, tata cara serta bacaan-bacaannya. 2).Bayanu Tafsir (menafsirkan) Maksudnya adalah sunnah yang memberikan penafsiran- penafsiran terhadap ungkapan Al-Qur‟an yang global. Sebagai contoh, Al-Qur‟an melarang peraktek riba. Namun apa ang dimaksud riba tidak dijelaskan. Untuk itulah sunnah Rasul menafsirkan bahwa riba adalah : Artinya: Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah. (H. R. Muslim). 3). Bayanu Ta‟kid (meguatkan) Maksudnya adalah sunnah menguatkan hukum yang telah diungkap Al-Qur‟an. Contohnya, hadis-hadis tentang riba yang berisi kecaman Rasul terhadap praktek riba. Hadis-hadis ini menguatkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang berbicara tentang riba. 4). Bayanu Tasyri‟ (membuat Syari`at) Maksudnya adalah sunnah membuat hukum-hukum baru yang tidak disinggung Al-Qur‟an. Sebagai contoh, larangan Rasul mengawini wanita sekaligus dengan bibinya (dalam satu masa). (H.R. Bukhari Muslim). Begiitu pentingnya keberadaan Sunnah Rasul, para ulama menempatkannya sebagai sumber dan dalil hukum setelah AlQur‟an. Ini juga diisyaratkan oleh Firman Allah Q.S. Al-Hasyr 59;7 yang artinya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah dan apa yang dilarangnya jauhilah . 3. Ijma’ Secara etimologis, ijma‟ berarti kesepakatan atau konsensus. Sedang menurut pengertian terminologinya ijma‟ adalah kesepakatan seluruh Mujtahid pada suatu masa, setelah 6 Mustafa al-Siba`i, Al-Sunnah Wa Makanatuha Fi Tasyri` al-Islami, (al-Dar alQaumiyyah li al-taba`ah wa al-nasar,1949) h. 343 –347. wafatnya Rasul, terhadap sebuah persoalan baru.7 Adapun syaratnya adalah : a. Yang melakukan ijma‟ adalah mujtahid yang berada pada suatu masa tertentu. b. Kesepakatan yang terjadi, harus diawali dengan mengemukakan argumentasi oleh masing-masing mujtahid. c. Hukum yang disepakati adalah hukum syara‟ yang tidak ada penjelasannya secara rinci dalam Al-Qur‟an dan hadis. d. Sandaran hukum ijma‟ haruslah Al-Qur‟an dan hadis. Contohnya, ijma‟ ulama tentang haramnya riba nasi‟ah yaitu riba akibat penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang yang mengakibatkan adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan pada awal transaksi dengan yang diserahkan kemudian. 4. Qiyas. Secara etimologis qiyas berarti ukuran. Adapun menurut pengertian terminologisnya, qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan nashnya dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya dalam nash disebabkan kesamaan illat (ratio legis) pada keduanya. 8 Adapun rukun qiyas adalah : 7 8 Wahbah al-Zuhaily, op.cit., h.490 Ibid., h .601 1. Asal ( ) yaitu objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh nas. 2. Far‟u( ) yaitu objek baru yang akan ditentukan hukumnya. 3. Illat ( ) yaitu sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum 4. Hukum asal ( ) adalah hukum syara‟ yang telah ditentukan oleh nas atau ijma‟. ontoh : Asal Khamar - Far’u - wisky Illat memabukkan memabukkan Hukum haram haram asal Khamar adalah minuman yang diharamkan dalam Al-Qur‟an (Q.S. Al-Maidah: 59) karena sifatnya yang memabukkan. Sedangkan wisky atau jenis minuman yang memabukkan lainnya tidak disebutkan oleh Al-Qur‟an. Masalahnya apakah hukum minum wisky. Untuk menemukan jawaban hukumnya ditempuhlah jalan qiyas. Setelah diteliti, ternyata minum wisky juga dapat memabukkan seperti halnya khamar, karena illatnya sama, maka hukumnya juga sama yaitu haram. C. Dalil-dalil Yang Diperselisihkan. 1. Maslahat Maslahat al-mursalah didefenisikan sebagai satu bentuk kemaslahatan yang tidak didukung syara‟ dan tidak pula ditolak/dibatalkan syara‟ melalui dalil yang rinci. Maslahat itu sendiri bermakna meraih manfaat dan menolak mafsadat (kerusakan). Dan ini merupakan tujuan syariat Islam (maqasid al-syari‟ah). Pentingnya maslahat, sampai-sampai muhammad Ma‟ruf al-Dawalibi seorang ahli hukum Islam menyatakan, “Dimana saja terdapat “kemaslahatan” disanalah syari‟at Allah”. Masalahat atau al-istislah merupakan dalil hukum yang diperselisihkan. Kendati demikian keberadaannya tetap penting untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Dalam menetapkan hukum terhadap satu persoalan yang muncul, ukuran yang digunakan adalah seberapa jauh persoalan tersebut menimbulkan maslahat dan menghindarkan mudharat yang timbul di masyarakat. Tentu saja analisa itu digunakan dengan menggunakan pemikiran yang rasional dan jernih. Apabila ditemukan bahwa dampak yang ditimbulkannya adalah kemaslahatan, maka hal itu boleh dilakukan. Sebaliknya, jika yang muncul adalah kemudharatan, maka harus ditolak. Contohnya, di dalam Al-Qur‟an dan hadis tidak ditemukan satu ayat baik yang eksplisit ataupun implisit tentang perintah mendirikan Bank Islam. Tidak juga ditemukan, dalil-dalil yang melarang pendiriannya. Namun setelah dikaji, pendirian Bank Islam merupakan satu kemestian untuk pemberdayaan ekonomi umat Islam serta menghindarkan umat dari jeratan Bank Konvensional yang menggunakan sistem bunga yang eksploitatif. Karena dampaknya adalah kemaslahatan, maka pendirian Bank Islam dibolehkan bahkan menjadi satu kemestian. 2. „Uruf Secara etimologis diketahui. `Uruf `uruf adalah sesuatu yang telah sama dengan adat yang bermakna tradisis, kebiasaan atau praktek. Secara terminologis `uruf merupakan praktek yang dilakukan berulang-ulang yang dapat diterima oleh seseorang atau masyarakat yang memiliki akal sehat.9 Biasanya `uruf dibagi dua, „Uruf Sahih yakni kebiasaan yang dilakukan dan tidak bertentangan dengan syara‟. Kedua, „Uruf Fasid, kebiasaan yang tidak dapat diterima oleh seseorang atau masyarakat yang memiliki akal sehat. „Uruf yang dapat berfungsi sebagai dalil hukum adalah „Uruf yang Sahih. Adapun kaedah yang digunakan adalah al-„adatu muhakkamah (adat itu dapat dijadikan dasar untuk menetapkan sesuatu). Sebagai contoh, dalam Fiqih Syafi‟i salah satu rukun jual beli adalah ijab dan kabul dimana sipembeli mengatakan “saya beli” dan penjual menjawab “saya jual”. Rukun ini digunakan untuk mengukur sah tidaknya suatu peraktek jual beli. Namun di Indonesia, hal ini tidak begitu lazim dilakukan. Peraktek jual beli masyarakat sejak dahulu tidak melalui ijab dan kabul dan ternyata tidak ada keburukan yang ditimbulkannya. Karena sudah merupakan tradisi, maka jual beli tanpa ijab kabul tetap dipandang sah. D. Ijtihad, Pengertian Dan Syaratnya. Bagaimanapun pentingnya kedudukan Al-Qur‟an dan hadis, namun keduanya memiliki “keterbatasan”, maksudnya segala permasalahan baru yang muncul dalam kehidupan umat yang dipicu oleh perkembangan IPTEK, tidak dapat langsung dicarikan jawabannya dari kedua sumber tersebut, walaupun mungkin pesan dasarnya tercantum dalam Al-Qur‟an dan hadis. Pesan-pesan inilah yang akan digali dengan metode tertentu sehingga menghasilkan hukum. Upaya menggali pesan-pesan tersebut dinamai dengan Ijtihad. Ijtihad terambil dari kata al-juhd yang berarti upaya sungguhsungguh. Secara etimologis, ijtihad adalah mengerahkan kemampuan intelektual secara maksimal untuk menemukan hukum syara‟. Orang yang melakukannya disebut dengan Mujtahid. Ijtihad bukanlah satu pekerjaan mudah, untuk dapat melakukannya diperlukan beberapa syarat ,Mengetahui bahasa 9 Ahmad Fahmi Abu Sunnah , al-`Uruf wa al-`adah fi Ra‟yi al-Fuqaha‟(Mesir: dar al- arab dengan seluk beluknya.,mengetahui Al-Qur‟an dengan segala ilmu-ilmu yang terkait dengannya,mengetahui Sunnah rasul dengan segala ilmu yang berhubungan dengannya,memahami qiyas, ijma‟ dan metode lainnya Karena permasalahan yang berkembang semangkin konpleks dan berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka seorang Mujtahid harus juga memahami dengan baik masalah yang sedang dihadapi. Mengingat beratnya persyaratan ijtihad, sangat kecil kemungkinan syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi seseorang. Itulah sebabnya ijtihad fardiyah tidak mungkin lagi dilakukan sekarang. Yang paling mungkin adalah ijtihad jama‟i (ijtihad kolektif) dimana masing-masing ahli duduk bersama-sama memecahkan satu persoalan dan mencari jawaban hukumnya. Ijtihad semangkin penting untuk saat ini disebabkan satu kenyataan bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial politik, ekonomi dan lain-lain. Dalam bidang kedokteran, muncul masalah-masalah baru seperti genetika. Dalam bidang ekonomi muncul lembaga-lembaga perbankan yang menawarkan berbagai macam produk, lembaga asuransi dengan segala permasalahan, dicarikan jawaban hukumnya. Fikr al-`Arabi, t.t,),h.8 yang harus segera Tentulah hal-hal di atas tidak dapat dijawab oleh seorang ulama yang hanya menguasai ilmu-ilmu islam saja. Untuk memecahkan persoalan yang berkaitan dengan kedokteran, diperlukan ahli di bidang kedokteran yang dapat menjelaskan rekayasa genetika. Untuk menjawab persoalan ekonomi, diperlukan pakar ekonomi dsb. Inilah yang disebut dengan ijtihad kolektif. Dalam kerangka menjawab persoalan kontemporer dapat dilakukan dengan dua bentuk ijtihad, yaitu : ijtihad Intiqo‟i (ijtihad tarjihi) dan ijtihad Insya‟i. Ijtihad Intiqo‟i adalah ijtihad yang dilakukan sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu. Asumsinya, mungkin masalah yng muncul hari ini memiliki kemiripan dengan masalah yang muncul pada masa lalu. Tugas para Mujtahid hanyalah memilih diantara pendapat-pendapat ahli fiqih sehingga ditemukan pendapat yang lebih rajih (kuat) dan relevan dengan masalah yang ada. Sebagai contoh dalam masalah hukum bunga bank ?. Menyikapi masalah ini para ulama dapat merujuk pendapat ulama masa lalu yang berbicara tentang riba. Jika ditemukan persamaan ilat (ratio legis) maka dapat ditempuh dengan metode Qiyas. Jadilah hukum bunga bank sama dengan riba. Sedangkan ijtihad insya‟i adalah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang jawabannya tidak ditemukan pada masa lalu. sebagai contoh dapat dilihat hukum tentang reksadana Syari`ah. Masalah reksadana rujukannya syari`ah dalam adalah masalah kitab-kitab baru yang fikih.untuk tidak ada menjawabnya digunakanlah Ijtihad baru. Disinilah diperlukan pemahaman yang utuh terhadap kasus baru dengan meminta penjelasan dari ahlinya dan ketepatan dalam menggunakan metode Ijtihad. Selanjutnya barulah ditetapkan hukumnya. E.. Rangkuman : 1. Yang dimaksud dengan sumber ajaran Islam adalah, tempat asal digali dan ditemukannya ajaran Islam baik dari Al-Qur‟an maupun al-Hadis. 2. Sumber ajaran Islam yang disepakati adalah, Al-Qur‟an, Hadis, Ijma` dan Qiyas. Sedangkan yang diperselisihkan adalah maslahat, istihsan, `uruf dan lain-lain. 3. Ijtihad sebagai sebuah upaya pengerahan kemampuan intelektual mujtahid dalam rangka mengeluarkan hukumhukum dari sumbernya, sangat diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul akibat perkembangan IPTEK. F. Pertanyaan: 1. Apakah yang dimaksud dengan sumber ajaran Islam ? 2. Mengapa Al-Qur‟an disebut sebagai sumber pertama dan bagaimana posisi sunnah terhadap Al-Qur‟an. 3. Apakah yang dimaksud dengan Ijtihad tarjihi dan ijtihad Intiqa‟i. Berikan contohnya. BAB III ETIKA DAN MORAL Hampir setiap hari kita mendengar istilah etika, etis, dan moral baik di ruang kuliah, maupun di tempat-tempat umum. Sering kali istilah etika dan moral dipertukarkan dan digunakan secara serampangan. Agaknya di awal diskusi ini kedua istilah tersebut etika dan moral dan bentukannya seperti etiket, amoral, immoral perlu dijernihkan kembali. A.Pengertian Etika dan Moral Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno ethos. Dalam bentuk tunggal kata tersebut mempunyai banyak arti, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha ) artinya adalah adat kebiasaan. Arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filosof besar Yunani Aristoteles (384-322 SM ) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.1 Dalam kamus bahasa Inggris, etika (ethic) mengandung empat pengertian. Pertama, etika adalah prinsip tingkah laku yang benar atau baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip itu. Kedua, etika, merupakan sistem prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral. Ketiga, dalam kata-kata “ethics” (yaitu “ethic” dengan 1 K.Bertens, Etika, (Jakarta:Gramedia,1994), h.3-4 tambahan “s” tapi dalam penggunaan mufrad (singular), diartikan sebagai kajian tentang hakikat umum moral dan pilihanpilihan khusus moral. Kempat, “ethics” (yaitu “ethic” dengan tambahan “s” dalam penggunaan mufrad (tunggal) dan jamak (plural), ialah ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang mengatur tingkah laku para anggota suatu profesi2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti : 1). Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). 2). Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3). Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.3 K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, memilih arti yang ketiga sebagai pengertian etika yang paling substansial. Menurutnya etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Jika disebut “etika suku indian”, Etika Protestan (ingat bukunya Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit Of Capitalism), Etika Islam, maka maksudnya bukan ilmu, melainkan dalam pengertian yang telah disebut yaitu sebagai nilai mengenai benar salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.4 Sampai disini etika dapat juga disebut 2 Ibid., h.11 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1995),h.271 4 K.Bertens, Loc.cit., 3 sebagai sistem nilai yang dapat berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun sosial. Disamping itu etika dapat diartikan sebagai kode etik yang merupakan kumpulan asas atau nilai moral. Seperti, kode etik dokter, kode etik pers dan lain-lain. Bisa juga etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk, etika disini sama artinya dengan filsafat moral. Adapun moral yang berasal dari bahasa latin mos (jamaknya mores) secara etimologis bermakna adat kebiasaan. Jika didefinisikan, moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau satu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam batasan ini pengertian moral sama dengan etika dalam pengertian ketiga.5 Adalagi ungkapan amoral. Kamus Concise Oxford Dictionary menerangkan kata amoral sebagai, “tidak berhubungan dengan konteks moral” atau “di luar suasana moral (non moral)”. Sedangkan immoral bertentangan dengan moralitas yang baik atau “secara moral buruk”6 Kata yang sering dipertukarkan dengan etika adalah etiket. Etiket secara sederhana berarti sopan santun, atau menyangkut cara suatu perbuatan dilakukan dalam suatu pergaulan. Jadi etiket lebih menyangkut perbuatan lahiriah. Sebagai contoh, ketika makan bersama, etiket melarang makan dengan tangan kiri 5 6 Ibid., h.4-7 Ibid., atau ribut. Namun apabila makan sendiri ketika tidak ada orang yang menyaksikan maka dalam suasana tersebut etiket tidak berlaku. Di muka telah dijelaskan, ada persamaan antara etika dan moral. Namun keduanya dapat di bedakan. Amin Abdullah yang menulis desertasi, The idea of universality of ethical Norms In Ghazali and Kant, menyebut moral adalah aturan-aturan normatif (dalam Islam disebut dengan akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata nilai moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi kajian antropologi sedangkan etika adalah bidang garap filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis ( critical studies) adalah wilayah yang dibidangi etika. Jadi studi kritis terhadap moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material dari etika.7 Dalam pengertian sederhana moral adalah seperangkat tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai sedangkan etika mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan baik-buruk yang telah mengkristal dalam kehidupan sosial, untuk selanjutnya dirumuskan kembali. Tegasnya, jika moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, maka etika merupakan ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau `ilm al-akhlaq) dan moral (akhlak) adalah praktiknya.8 Etika tidak berbicara bagaimana seharusnya, namun apa yang harus dilakukan, tentu saja dalam bingkai baik buruk. B. Aliran-Aliran Etika Diskursus tentang baik-buruk telah berlangsung cukup lama, semasa dengan sejarah peradaban umat manusia. Generasi setiap masa mencoba untuk merumuskan apa yang disebut dengan baik, buruk dan bahagia. Perbedaan cara pandang telah membuat rumusan yang berbeda-beda dan pada perkembangan berikutnya menjadi aliran-aliran etika dan sistem etika. 1. Hedonisme Pertanyaan yang muncul dalam membicarakan persoalan baik adalah, “apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia ?. Para hedonis menjawab, kesenangan. Sesuatu itu baik apabila dapat memuaskan keinginan kita atau apa yang dapat meningkatkan kreativitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita. Pemikiran ini telah muncul sejak zaman Aristoteles (433-355 S.M), dan dilanjutkan oleh muridnya Sokrates. menurutnya sejak kecil manusia selalu mencari kesenangan dan selalu menghindar 7 Amin Abdullah, Falsafah kalam Di Era Post Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995), h.146147 dari segala sesuatu yang tidak menyenangkan. Baginya kesenangan tersebut bersifat badani. Namun ia memberi catatan, kesenangan yang diperoleh tidak boleh menjadikan manusia larut. Kesenangan tersebut harus tetap berada dalam kendali dirinya. Kesenangan harus dipergunakan sebaik-baiknya.9 Epikorus (341-270 S.M) melanjutkan pemikiran ini. menurutnya kesenangan tersebut tidak hanya terbatas pasda badani saja, tetapi juga melingkupi kesenangan rohani. Ia berkata, “bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuan, kami tidak bermaksud bahwa kesenangan tersebut hanya bersifat inderawi saja, tetapi mencakup kebebasan dari nyeri dalam tubuh dan kebebasan dari keresahan jiwa. 10 Penting untuk dicatat, bagi aliran ini, kebebasan bukan dalam makna seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya. Epikorus membedakan tiga macam keinginan. Keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak) dan keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan). Hanya keinginan pertama harus dipuaskan dan pemuasnya secara terbatas menghasilkan kesenangan paling besar. 8 Haidar Bagir, “Etika “Barat”, Etika Islam”, Pengantar dalam buku, Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam Antara Al_Ghazali dan kant, (Bandung : Mizan, 2002). h. 15 9 K.Bertens, op.cit.,h.235-240 10 Ibid., Epikorus menganjurkan kesederhanaan atau pola hidup sederhana. Karena menurutnya hanya dengan inilah manusia dapat mencapai ataraxia, atau ketenangan jiwa. 2. Utilitarianisme Biasanya perbuatan itu baik atau buruk dilihat pada perbuatannya sendiri. menolong orang dari kesusahan itu perbuatan baik, dan berbohong itu buruk. Akan tetapi menurut aliran Utilitarianisme, nilai moral perbuatan manusia ditentukan oleh tujuannya. Inilah makna dari utilitarianisme (utilis-bahasa latin) yang berati manfaat. Prinsip aliran ini adalah, “suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral apabila akibat-akibatnya menunjang kebahagiaan semua yang bersangkutan.11. Perbuatan yang mengakibatkan banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup dipandang baik dan merupakan tanggungjawab moral manusia ?. Kaum utilitarianisme menjawab, karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia secara keseluruhan bahkan bagi generasi yang akan datang.12 Filosof pertama yang mengutarakan konsep ini adalah Jeremi Bentham (1748-1832) dari Inggris. Ungkapannya yang terkenal adalah “the greatest happiness of the greatest number” 11 Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika,(Yogyakarta: kanisius, 1997),h.195-197. Bandingkan, K.Bertens, Etika, op.cit.h.246-250 (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Baginya kualitas kesenangan sebenarnya sama, yang membedakannya hanyalah kuantitasnya. Jika sebuah perbuatan menimbulkan banyak manfaat, paling banyak menimbulkan kemakmuran dan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu dipandang baik. Sebaliknya jika perbuatan itu lebih banyak membawa keburukan dan kerugian bagi masyarakat ketimbang manfaatnya, maka perbuatan itu dipandang buruk. Bagi aliran ini sebenarnya kesenangan dapat diukur. Untuk itu ia mengembangkan the hedonistic calculus. Oleh sebab itu banyak ahli yang menyatakan bahwa teori ini cocok sekali dengan pemikiran ekonomi dan cukup dekat dengan teori cost benefit analysis. Manfaat yang dimaksudkan oleh aliran ini bisa dihitung sama seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Sebagai contoh dapat dilihat di bawah ini dalam kasus meminum-minuman keras : Ketidak senangan (debet) Lamanya : singkat Kesenangan (kredit) Intensitas : membawa banyak kesenangan Akibatnya : - Kemiskinan Kepastian: kesenangan pasti terjadi - Nama buruk -Tidak sanggup bekerja. Kemurnian 12 : dapat diragukan Jauh / dekat : Kesenangan K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 66 dapat timbul (dalam keadaan cepat mabuk sering tercampur unsur ketidak senangan). Sebenarnya mabuk itu membawa banyak kesenangan dan untuk menjadi senang tidak perlu menunggu waktu yang lama. Tetapi karena keseluruhan saldo negatif, malah sangat negatif, maka mabuk harus dinilai sebagai perbuatan yang buruk. Pemikiran ini dikembangkan dan diperkukuh oleh filsuf Inggris lainnya, John Stuart Mill (1806-1873). Ia menegaskan dua hal penting, pertama, nikmat jangan dibatasi nikmat jasmani saja, nikmat rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Kedua, utilitarianisme tidak ada kaitan dengan egoisme. Kriteria moralitas utilitarianisme, prinsip kebahagiaan terbesar, mencakup semua orang yang terkena dampak tindakan kita. Berbeda dengan hedonisme Epikorus, utilitarianisme tidak menciptakan kebahagiaan bagi diri sendiri saja, melainkan kebahagiaan semua orang.13 3. Deontologi Aliran ini dipelopori oleh filosof Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Menurutnya, baik dan buruk tidak dapat diukur 13 Ibid., berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud sipelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kant sampai pada kesimpulan, yang bisa disebut baik dalam arti yang sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak dapat disebut baik, betapapun luhurnya motif tersebut.14 Tegasnya , sesuatu perbuatan itu baik dilakukan karena kewajiban atau berdasarkan “imperatif katagoris”. Imperatif katagoris akan mewajibkan orang untuk melakukan suatu perbuatan tanpa ada persyaratan-persyaratan tertentu. Istilah deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti kewajiban. Jika ditanyakan mengapa perbuatan ini adalah baik dan perbuatan tersebut adalah buruk, deontologi menjawab, perbuatan pertama menjadi kewajiban manusia dan perbuatan kedua di larang. Yang menjadi dasar baik buruknya suatu perbuatan hanyalah kewajiban. Konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Sebagai contoh apabila kita menolong orang lain dengan memberinya sedekah karena prihatin melihat keadaannya yang menyedihkan maka perbuatan ini tidak dapat disebut dengan baik. Perbuatan tersebut dikatakan baik, jika didasarkan pada 14 Ibid.,h.151-156 dorongan moral dan semata-mata karena perbuatan menolong itu suatu kewajiban. Menurut Bertens, sadar atau tidak orang beragama berpegang pada pendirian deontologi. Mengapa satu perbuatan baik atau buruk ?, orang beragama akan menjawab karena perbuatan tersebut diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan. Dalam Islam dikenal perintah yang wajib dikerjakan dan larangan yang harus ditinggalkan. Dalam Kristen ada yang disebut dengan The Ten Commandements (sepuluh perintah Allah) yang berisi larangan berdusta, berzina, membunuh dan lain-lain.15 Dari tiga bentuk aliran etika di atas, dalam bentuknya yang lain Rafiq Issa Beekun merumuskan enam sistem etika kontemporer yang berlaku dalam dunia bisnis ringkasannya dapat dilihat dibawah ini.16 Tabel- 1 IKHTISAR ENAM SISTEM ETIKA KONTEMPORER UTAMA Sistem Etika Kreteria Pembuat Keputusan Kontemporer Relativisme 15 16 Keputusan etis dibuat berdasar pada kebutuhan K.Bertens, Pengantar…op.cit, h.69-70 Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics ,(USA:The International Institute of Islamic Thought, 1996),h.10 . Lihat juga, Choirul Fuad Yusuf, “Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global”, dalam, Ulumul Qur’an, Vol. 3/VII/97, hlm.15 (kehendak diri) dan kehendak diri sendiri Utilitarianisme Keputusan etis dibuat beradsarkan hasil )out- (kalkulasi comes) Untung Rugi) tindakan akibat keputusan dinilai mengakibatkan etis tersebut. jika tindakan (menghasilkan Suatu itu manfaat/ keuntungan sebesar-besarnya bagi sebagian Universalisme besar orang. (Kewajiban) Keputusan etis didasarkan pada maksud tujuan Hak (Pemberian tindakan. Keputusan yang sama harus dibuayt Hak Individu) oleh seseorang pada situasi yang sama. Keputusan etis menitikberatkan pada nilai Keadilan tunggal kebebasan, dan didasarkan pada hak- Distributif hak (Kejujuran Dan memilih. Keadilan individu yang menjamin kebebasan Keputusan etis menitikberatkan pada nilai tunggal: keadilan, dan menjamin pemerataan Hukum Abadi distribusi kekayaan dan keuntungan. (kitab Suci) Keputusan etis dibuat berdasarkan hukum abadi (eternal law) yang terdapat dalam kitab suci. C. Etika Islam Dalam Islam tidak ada main stream pemikiran tentang akhlak, seperti aliran lainnya. Islam juga mengenal sistem akhlak yang pernah berkembang dalam sejarah Islam. masalahnya menyangkut apakah ukuran baik dan buruk dalam Islam. Ada yang menyebut, baik dan buruk ditentukan oleh al-Qur‟an (Wahyu). Ada yang menyebut, akal harus diutamakan dari pada wahyu. Sebahagian lagi menyebut, akal harus dilengkapi dengan wahyu dalam merumuskan perbuatan baik dan buruk.. Seperti yang dikatakan M. Quraish Shihab, tolak ukur perbuatan baik dan buruk mestilah merujuk pada ketentuan Allah seperti yang terdapat dalam al-Qur‟an.17 Namun untuk memahaminya peran akal tidak dapat diabaikan. Dengan kata lain, akal memiliki peran yang sangat penting dalam merumuskan perbuatan baik dan buruk dengan tetap mengacu pada petunjuk al-Qur‟an seperti keadilan, persamaan, kebahagiaan dunia akhirat, jasmani, rohani dan kemaslahatan. Paling tidak menurut Haidar Bagir ciri-ciri etika Islam tersebut adalah, Pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat fitri. Artinya, semua manusia pada hakikatnya-baik itu muslim maupun non muslim- memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. 17 M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997),h. Kedua, Moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan, yakni menempatkan sesuatu pada porsinya. Ketiga, Tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya. Keempat, Tindakan etis itu bersifat rasional.18 Berangkat dari prinsip etika Islam tersebut dapatlah dijelaskan aksioma etik Islam seperti yang dirumuskan oleh Rafiq Issa pada tabel di bawah ini.19 Tabel – 2 AKSIOMA ETIKA ISLAM Aksioma Unitas Berkaitan keseluruhan dengan konsep homogen dari tauhid. segenap Bentuk aspek kehidupan manusia: sosial , politik, ekonomi, agama, dsb. Kesatuan ini bersifat konsisten dan terpadu dengan alam semesta. Equilibrium Berkaitan dengan konsep adil. Merupakan suasana keseimbangan di antara pelbagai aspek a kehidupan manusia (sosial, politik, ekonomi, agama, dsb), Yang membentuk tatanan sosial Kehendak yang harmonis. Bebas 18 19 Haidar Bagir, op.cit.,h.19-20 Choirul Fuad Yusuf, op.cit, h. 15 Kemampuan manusia untuk bertindak tanpa paksaan dari luar sesuai dengan parameter ciptaan Allah SWT serta posisinya sebagai Tanggungjawab khalifatullah di muka bumi. Kebutuhan manusia untuk bertanggungjawab Ihsan atau mempertanggungjawabkan atas tindakan yang dilakukannya. Ihsan (benevolence) merupakan suatu tindakan yang menguntungkan oranmg lain. D. Norma , Konflik Norma Dan Dekadensi Moral. Norma adalah tata aturan yang kalau diikuti akan membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi “normal”. Sebaliknya yang melanggarnya dianggap “abnormal”. Setiap orang cenderung untuk mengikuti norma yang ingin terlihat normal. Norma yang terdapat dalam suatu masyarakat itu juga ada bermacam-macam sesuai dengan struktur masyarakatnya. Secara horizontal, norma suku Batak dapat dibedakan dalam banyak hal dari norma suku Melayu. Secara vertikal, misalnya, kalangan elit memiliki norma berbeda dari masyarakat awam. Hal ini kentara sekali pada masyarakat yang tertutup (closed society). Sedangkan pada masyarakat yang terbuka, norma yang mengatur masyarakat lebih banyak yang berlaku umum. Dalam kehidupan sosial dapat dibedakan empat jenis norma. Yang paling umum adalah norma adat-tradisi yang timbul dari kebiasaan yang turun temurun. Yang paling kuat sanksi keberlakuannya karena „dipaksakan‟ oleh negara adalah norma hukum, yang dalam negara kita yang mengikuti civil law system tertuang dalam perundang-undangan (legal statuates). Yang paling mendalam nilainya, karena terkait dengan sakral, adalah norma agama. Meskipun tidak memiliki sanksi langsung, tetapi norma susila – apa yang dianggap baik oleh hati nurani pribadi perorangan- juga sangat menentukan pilihan banyak orang dalam bertingkah laku dan dalam menilai tingkah laku orang lain. Yang terakhir inilah yang juga dikenal dengan budi pekerti. Meskipun biasanya dipilih untuk kepentingan analisis dan diagnosa, tetapi pada kenyataan kehidupan sehari-hari, keempat jenis norma ini saling tumpang tindih, berjalin berkelindan, dan bahkan sering menimbulkan mutasi, integrasi maupun asimilasi. Contohnya, banyak norma adat atau agama, yang kemudian diresmikan sebagai norma hukum suatu negara atau peraturan suatu daerah (perda). Norma hukum harus pakai helm dikecualikan, secara aformal maupun informal, bagi mereka orang muslim berpeci ketika pergi jum‟atan, atau orang India yang tradisinya mengharuskan ia memakai turban. Jika keempat jenis norma di atas sama dan sejajar, maka bertambah kuatlah keberlakuan dan ketaatan masyarakat untuk mengikutinya atau memberikan sanksi kepada mereka yang melanggarnya. Jika madat dilarang oleh norma hukum, diharamkan oleh norma agama, dibenci oleh norma susila serta dinistakan oleh norma adat, maka bertambah kuatlah pengakuan dan kepatuhan masyarakat untuk menjauhi madat tersebut. Dalam konteks bisnis, konflik norma ini juga kerap terjadi. Di satu sisi agama melarang praktek bisnis curang, namun tradisi yang berkembang menuntut kelihaian seseorang untuk melihat peluang yang ada, terlepas apakah merugikan orang lain. Ini pulalah yang dikeluhkan oleh Rosita Nor yang menulis buku Menggugah Etika Bisnis Orde Baru. Rosita Noer menggambarkan dengan sangat gamblang bagaimana PT.Indofood Sukses makmur (ISM), salah satu anak perusahan grup Salim yang memproduksi mie instan bermerek Sarimi menghambat dan membatasi gerak Sanmaru dan Supermi Indonesia dengan jalan mengganggu pasokan bahan baku utama, tepung terigu dan produksi pabrik gandum yang nota bene juga dimiliki oleh kelompok Salim.20 Contoh lain menyangkut konflik yang terjadi antara norma adat, agama dan tradisi bisnis yang berkembang terjadi pada kasus perkayuan. Baik norma adat dan norma agama mengajarkan bahwa hutan dengan segala isinya diperuntukkan untuk kesejahteraan manusia namun pengelolaan dan pemanfaatannya 20 Rosita Noer, Menggugah Etika Bisnis Orde Barub, (Jakarta: Sinar harapan, 1998), h. 63 haruslah mengindahkan keselamatan makhluk-makhluk yang ada disekitarnya. Mengabaikan kelestarian alam tidak saja akan merusak alam itu sendiri tetapi dapat mengakibatkan kehancuran manusia, seperti banjir, tanah longsor dan sebagainya. Inilah makna penting kedudukan manusia sebagai khalifah yang memiliki tugas untuk memakmurkan bumi. Namun seringkali ini tidak disadari oleh pelaku bisnis. Diakui kekayaan hutan memang menjanjikan keuntungan yang tidak bisa dikatakan kecil bagi pengusaha. Apalagi permintaan pasar kayu, baik nasional maupun dunia semakin lama semakin meningkat. Pilihan-pilihan antara memelihara kelestarian hutan dan rangsangan keuntungan yang cukup besar menjadi konflik tersendiri bagi pelaku bisnis. Sayangnya pilihan dijatuhkan untuk meraih keuntungan yang besar walaupun resiko kerugian yang dihadapi –seringkali yang merasakan akibatnya bukan pelaku tetapi rakyat kecil- jauh lebih besar. Konflik norma membuat tingkah laku pelaku bisnis menjadi bertentangan dari yang diharapkan. Tidaklah mengherankan jika berkembang satu ungkapan, menjunjung etika dalam kegiatan bisnis akan menghambat tujuan kegiatan bisnis itu sendiri.21 Dalam kondisi yang seperti itu, pelaku bisnis bisa memilih salah satu dari norma-norma yang bertentangan itu. Ini berarti mematuhi yang satu dan melanggar yang lain. Atau tidak mematuhi kedua-duanya sama sekali dan beralih kenorma lain. Dalam memilih mana yang dipatuhi dan mana yang akan dilanggar, banyak faktor yang menentukan.Faktor sanksi salah satu yang paling berpengaruh. Meskipun seseorang mungkin saja telah mengetahui dan mengakui norma yang benar dan berlaku, tetapi mengapa ia masih saja melanggarnya ? Para pakar telah banyak mengkajinya. Jawabannya sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa, jahat itu masalah tabi‟at yang terdapat dalam kepribadian manusia. Lebih umum adalah pendapat yang mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia ingin mematuhi norma, ingin hidup „normal‟, jika tidak maka ia pasti dijangkiti „pathos’ atau penyakit. Penyakit yang meluas, disebut pathologi sosial. Namun disebabkan faktor-faktor tertentu, manusia tersebut berani melanggar norma-norma tersebut. Konflik norma lebih dipersulit dengan adanya kenyataaan bahwa sebenarnya kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial, tidak ada yang statis. Normapun terus mengalami perubahan. Biasanya lamban, tetapi terkadang cepat. Masyarakat akan mengalami transisi, yang bisa membuat warga bingung atau ekstrim, ketika norma lama sudah goyah dan tak menarik, sedangkan norma baru belum kokoh dan dikenal. Jika keadaaan makin memburuk, malah bisa menimbulkan situasi anomie. Ketika tidak ada norma-norma yang jelas mengatur dan dipatuhi oleh masyarakat, maka setiap orang akan semaunya bertindak. 21 Ibid., h.11 Akhirnya masyarakat menjadi chaos dan hukum rimbalah yang berkuasa. Menurut Rosita Noer, pelaku bisnis sering kali mengalami cultural shock .Mereka melihat dan merasakan pergeseran kehidupan bisnis yang sudah tidak lagi menempatkan etika dalam posisi yang semestinya.Pada sisi lain mereka juga sedang mencaricari sistem nilai yang “pas” (tanpa kehilangan rasa kepantasan hati nurani mereka dalam beraktivitas).Akhirnya muncullah sikap ambivalen. Disatu sisi pelaku bisnis bahkan beberapa organisasi bisnis ingin menegaskan dirinya sebagai pembawa peradaban bisnis (bussines civilization initiator), tetapi pada sisi lain mereka cenderung untuk melakukan pembenaran terhadap cara-cara bisnis yang melanggar etika.22 Pada situasi seperti inilah dibutuhkan satu norma yang jelas, tegas, meyakinkan, sekaligus menyejukkan. Inilah yang ditawarkan oleh agama. Hidayah, Tuhan dan panduan agama memberikan wawasan, arah, makna dan malah kaedah tingkah laku dalam situasi konflik dan kondisi anomi tersebut. Mereka yang tidak beragama, atau tidak memperdulikan nilai-nilai relegius, biasanya lebih mudah mengalami stress, bingung, frustasi atau malah melakukan tindakan konfensatif atau memilih alternatif yang salah dan membahayakan, bukan saja bagi orang lain, tetapi bahkan terhadap dirinya sendiri. Meskipun peran dan fungsi agama bagi kehidupan manusia sangat bervariasi, dari satu zaman kezaman berikutnya, secara umum semua agama berperan sebagai pemberi makna mendalam (sublime values) dan pembentuk identitas penganutnya. Di samping itu agama berfungsi, dalam kadar yang berbeda, sebagai pembentuk solidaritas, pengarah keyakinan dan pengatur tingkah laku penganutnya. Berbagai hasil penelitian telah mengkonfirmasikan bahwa berbagai upaya penanggulangan problema sosial lebih berhasil jika didukung oleh semua perangkat norma, terutama norma agama. Pentingnya norma agama ini terlebih lagi bagi masyarakat yang relegius, seperti halnya Indonesia. Meskipun begitu diberbagai masyarakat modern, peran agama banyak, diambil-alih oleh perangkat sumber nilai dan acuan lain, terutama iptek. Paling tidak peranan agama dikucilkan pada masalah-masalah yang bersifat spritual dan hubungan vertikal kepada Tuhan semata. Sikap ambivalensi dan mendua terhadap norma agama juga sangat mewarnai masyarakat modern. Disatu sisi mereka ingin mendapat berkah Tuhan, tetapi disisi lain tidak mau tunduk pada petunjuk Tuhan, atau setidak-tidaknya ia memilah-milah Hidayah Tuhan, ada yang diikuti dan lebih banyak ditinggalkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan formulasi norma-norma tersebut dan memberikan tekanan yang lebih pada norma agama, karena ia memiliki sumber yang absolut yaitu Allah SWT. Dalam kegiatan ekonomi, keberadaan norma agama sangat penting. Sayyid Qutub telah mengingatkan “Bisnis/Kegiatan Ekonomi” merupakan aktivitas pertama yang menanggalkan etika, disusul dengan politik terakhir dewasa ini adalah sex. Disinilah signifikansinya reformulasi dan aktualisasi Etika Bisnis Islam yang diharapkan dapat menjadi panduan dalam kehidupan ekonomi. E. Tiga Kaedah Untuk Mengukur Baik dan Buruk Persoalan yang hendak dikemukan disni adalah bagaimana mengukur dan menentukan sebuah perbuatan itu baik atau buruk terlebih lagi jika berhadapan dengan kasus-kasus bisnis ?. Menurut Bertens ada tiga alat ukur yang dapat digunakan untuk menentukan perbuatan baik dan buruk. Pertama, hati nurani. Suatu perbuatan baik jika dilakukan sesuai dengan hati nurani (hati yang disinari atau diberi cahaya), dan suatu perbuatan lain adalah buruk, jika dilakukan bertentangan dengan suara hati nurani. Dalam bertindak yang tindakan tersebut bertentangan dengan hati nurani, kita menghancurkan integritas pribadi, karena kita menyimpang dengan keyakinan kita yang terdalam. Hati nurani mengikat kita dalam arti, kita harus melakukan apa yang diperintahkan oleh hati nurani dan tidak boleh melakuakan apa-apa yang dilarang oleh hati nurani.23 Kedua, Kaedah Emas. Cara yang lebih obyektif untuk menilai baik buruknya prilaku moral adalah mengukurnya dengan kaedah emas yang berbunyi, “ hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”. Prilaku saya bisa dianggap secara moral baik, bila saya memperlakukan orang lain tertentu sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan. Jika saya ingin diperlakukan orang secara baik, maka saya harus memperlakukan orang juga dengan cara yang baik..Kaedah Emas ini juga dapat dirumuskan secara negatif, “Janganlah melakukan terhadap orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilalakukan terhadap diri anda”. Jika tidak ingin disakiti oleh orang lain, maka jangan menyakiti orang lain.24 Ketiga, Penilaian Umum. Cara ini dipandang paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau prilaku dengan menyerahkannya pada masyarakat umum untuk menilainya. Cara ini bisa juga disebut “audit sosial”. Asumsi kaedah ini adalah masyarakat umum dalam arti jumlah yang cukup banyak tidak mungkin sepakat untuk berdusta sehingga menyebut sesuatu yang baik itu buruk dan sesuatu yang buruk itu baik.25 23 K.Bertens, op.cit. h. 28 Ibid., h. 29 25 Ibid., h. 30 24 Sejatinya sebuah perbuatan baik haruslah sesuai dengan ketiga macam ukuran yang telah disebut di muka. Baik Menurut hati nurani, kaedah emas dan penilaian umum. Dalam konteks Islam harus ditambahkan lagi perbuatan itu baik jika sesuai dengan bingkai syari`at. Namun jika sebuah prilaku sesuai dengan dengan tiga ukuran yang telah disebut di muka itu, bisa dipastikan Menurut agama juga baik. F. Rangkuman 1. Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam hal ini pengertian etika sama dengan moral dan akhlak. 2. Aliran-aliran etika yang berkembang sampai saat ini adalah aliran hedonisme (kesenangan), utilitarianisme (manfaat), deontologi (kewajiban) dan akhlak Islam. 3. Dalam kenyataannya norma-noram yang hidup dimasyarakat, apakah norma agama, susila, adat dan hukum seringkali mengalami benturan. Mengatasi konflik norma ini, norma agama harus tetap menjadi rujukan karena ia mampu memberikan nilai-nilai yang lebih meyakinkan sekaligus menyejukkan bagi manusia. G. Pertanyaan 1. Apakah yang dimaksud dengan Etika, Etiket, moral,a moral dan akhlak ? 2. Mengapa etika sangat diperlukan dalam kehidupan manusia ? 3. Bagaimana pandangan akhlak hedonisme dan utilitarianisme? Islam tentang aliran Etika Bisnis Islam BAB II EKONOMI ISLAM DAN ETIKA BISNIS A. Pengertian Ekonomi Islam Sebelum membicarakan pengertian Ilmu Ekonomi Islam, terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian Ilmu Ekonomi atau Ekonomi itu sendiri. Dengan penjelasan ini diharapkan pertanyaan yang cukup penting, apakah Ekonomi Islam itu ?, apakah pengertian “Ekonomi” dalam Ekonomi Islam itu berbeda dengan pengertian umum?, dapat dijawab. Defenisi yang paling populer tentang ekonomi adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi diantara orang-orang. Disini, titik tekan defenisi adalah kegiatan “produksi” dan “distribusi” barang dan jasa yang bersifat material.1 Dalam Kamus The Pinguin Dictionary Of Economics, dikatakan bahwa Ilmu Ekonomi itu merupakan kajian tentang produksi, distribusi dan konsumsi kekayaan di dalam masyarakat dunia. Perbedaan dengan defenisi pertama adalah kata “Konsumsi” dan kekayaan yang tidak lain maksudnya adalah kekayaan material.2 1 Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi :Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro Dan Makro,(Jakarta: rajawali,Pers,1999),h.34-38 2 M.Dawam Rahardjo,Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (jakarta: LSAF,1999), hlm.5-6 34 Etika Bisnis Islam Pengertian yang paling tepat dengan melihat hakikat ekonomi adalah defenisi yang diberikan oleh Lord Robbins ahli ekonomi Neo-Klasik yang menyebut Ilmu Ekonomi sebagai kajian tentang prilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang langka, yang mengandung pilihan dalam penggunaannya.3 Robbins mengajukan pengertian lain dengan menyebut aspek “Pilihan dan Penggunaan Sumberdaya” (Choice in the Use of Resources). Dengan demikian persoalan yang harus dijawab ilmu ini adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu. Tentu saja kajian tentang prilaku manusia atau lebih tepat bagaimana menentukan pilihan dan penggunaan barang dan jasa sangat berhubungan erat dengan cara pandang seseorang terhadap sesuatu serta nilai-nilai apa yang ada dalam dirinya. Disinilah persoalan spritualitas (rohaniyah) menjadi menarik dan menjadi ruang dimana Islam dapat memberikan konstribusinya.4 Disamping itu, Islam juga dapat memberikan jawaban terhadap tujuan-tujuan pilihan dan penggunaan sumberdaya tersebut. Inilah yang ingin dijawab oleh penulis ekonomi muslim. Paling tidak seperti apa yang disebut oleh M. Dawam Raharjo, ada tiga kemungkinan penafsiran istilah “ekonomi Islam”. Pertama, yang dimaksud adalah : “Ilmu ekonomi yang 3 Roekmono Markam, Menuju ke Definisi Ekonomi Post Robbins, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM (1978), h. 2 4 M.Dawam Rahardjo, op.cit., h.6-7.Lihat juga karyanya yang lain, Etika Ekonomi Dan Manajemen, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),h.110-111 35 Etika Bisnis Islam berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam”. Kedua, yang dimaksud adalah: “Sistem Ekonomi Islam” sistem menyangkut peraturan, yaitu sistem pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan metode tertentu. Oleh sebab itu, sistem ini bersifat normatif. Ketiga, ekonomi islam maksudnya “Perekonomian Islam” atau mungkin lebih tepat, “Perekonomian Dunia Islam”. Pengertian seperti ini berkembang dari sikap pragmatis sebagaimana yang dilakukan oleh OKI dengan mendirikan Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank), yang memberikan kredit dan sumbangan (Grant) kepada masyarakat muslim, melalui pemerintah masing-masing.5 Dari tiga kemungkinan penafsiran “ekonomi Islam” di atas, kemungkinan pertama dan kedua lebih mendekati apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam. Arkham dalam sebuah artikelnya “Islamic Economics : Nature and Need mendefenisikan Ekonomi Islam dengan memberi penekanan pada tujuan aktivitas ekonomi yang disebutnya dengan human falah yaitu : kebahagiaan manusia” atau “keberhasilan hidup manusia” ia menyatakan : Ilmu Ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang kebahagiaan hidup manusia (human falah) yang dicapai dengan mengorganisasikan sumberdaya di bumi atas dasar gotong royong dan partisipasi.6 5 6 M.Dawam Rahardjo, Islam, …op.cit.,h.7-9 Dikutip dari Dawam rahardjo,Ibid,, 36 Etika Bisnis Islam Lebih luas lagi defenisi ekonomi islam dapat dilihat pada tulisan Hasanuzzaman yang berjudul “Defenition of Islamic Economics” ia mengatakan : “Ilmu Ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan perintah-perintah (injuction) dan tata cara (rules) yang diterapkan oleh Syari’ah yang mencegah ketidak-adilan, dalam penggalian dan penggunaan sumberdaya material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.7 Terlihat Hasanuzzaman tidak hanya membatasi pada tujuan aktivitas ekonomi juga berbicara bagaimana cara aktivitas ekonomi itu dijalankan menurut Syari`ah. Defenisi lain dapat ditemukan pada hasil rumusan seminar dan Workshop Ekonomi Islam di IAIN SU, disimpulkan bahwa Ekonomi Islam adalah satu disiplin atau ilmu yang mengkaji kegiatan manusia dalam menggunakan sumbu (produksi), bagi menghasilkan barang dan jasa untuk dirinya dan untuk didistribusikan kepada orang lain dengan mengikuti peraturan yang telah diterapkan oleh Agama Islam dengan harapan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT.8 Mencermati defenisi di atas, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara pengertian ekonomi umum 7 Ibid., 8 Hasil Rumusan Seminar dan Workshop Ekonomi Islam Kerja sama IAIN dan Universitas Malaysia di Medan, tanggal 25-28 Oktober 1993. 37 Etika Bisnis Islam dengan ekonomi Islam kecuali pada paradigma dasar bangunan ekonomi islam itu sendiri, dimana islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai pedoman pelaksanaan. Sampai disini benar apa yang dikatakan Mannan dalam bukunya “Islamic Economic,Theory and Practice bahwa ekonomi Islam itu normatif sekaligus positif. Artinya ekonomi Islam itu tidak hanya bicara bagaimana semestinya, tapi juga bicara realitas yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.9 B. .Asas-Asas Ekonomi Islam 1. Tauhid. Secara garis besar tauhid dapat dibagi kedalam dua bagian besar yang masing-masing memiliki implikasi tertentu yaitu : Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah. Tauhid Rububiyah menekankan suatu keyakinan bahwa hanya Allah saja yang memberi dan menentukan rizqi untuk segenap makhluknya di bumi ini. Segala sesuatu yang ada di alam (sumber daya alam) adalah milik Allah dan manusia sebagai pelaku ekonomi tidak lebih sebagai seorang trustee atau sebagai pemegang amanah, untuk mengelola dan memanfaatkannya untuk kepentingan manusia.10 9 M.A.Mannan, Teori Dan Peraktek Ekonomi Islam , terj.M.Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995) 10 Muhammad Syafi`I Antoniuo, “Prinsip Dan Etika Bisnis Dalam Islam” Makalah, Seminar Dan Worshop …op.cit,. h.14-15 38 Etika Bisnis Islam Berhubungan dengan pernyataan di atas dapat dilihat pada Q.S.Al-Baqarah 2;29 : Artinya : “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu”. Dalam Q.S. Ibrahim 14 ; 32 juga dinyatakan : Artinya : “Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Konsekuensinya, pengolahan sumber daya alam yang ada di bumi ini haruslah sesuai dengan aturan-aturan yang disyari’atkan oleh Allah SWT, sebagai pemilik hakiki. Sedangkan Tauhid Uluhiyah, bahwa aktivitas yang dilakukan dalam dunia bisnis adalah dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT, pelakunya berbuat sesuai dengan aturanaturan Allah, sebaliknya pelanggaran dan penyimpangan terhadap aturan syari’ah merupakan suatu bentuk kekufuran kepada Allah SWT, menyangkut hal ini dapat dilihat pada Firman Allah SWT, Q.S. Al-Maidah 5 ; 48-50,11 2. Asas Kekhalifahan Manusia 11 Ibid., 39 Etika Bisnis Islam Kata “Khalifah” artinya orang yang menggantikan orang sebelumnya. Bisa juga bermakna al-Imarah yaitu kepemimpinan atau as-Sultan yaitu kekuasaan. Di dalam al- Qur’an kata ini digunakan dua kali dalam bentuk jamak yaitu khalaif dan khulafa. Penelitian para ahli menunjukkan penggunaan kata khalifah dalam al-Qur’an mengacu pada individu manusia sebagai pemimpin dan kepada suatu generasi manusia yang tampil menggantikan generasi sebelumnya. Dengan kata lain kedudukan manusia sebagai pemimpin yang bertugas memakmurkan bumi.12 Berangkat dari pengertian ini, Azas kekhalifahan manusia adalah keharusan manusia sebagai pemimpin untuk mengelola alam sebaik-baiknya pengetahuan dan dengan menggunakan tekhnologi untuk perangkat kesejahteraan ilmu seluruh makhluk yang ada di bumi. Dalam kerangka memproduksi sumber daya alam menjadi barang yang memiliki memperhatikan harga komunitas lain ekonomi, dan manusia bukan harus semata-mata kepentingan diri atau kelompoknya. Contoh : Penebangan kayu, bagaimanapun besarnya keuntungan yang akan diperoleh haruslah tetap memperhatikan habitat lain seperti, burung dan generasi kayu itu sendiri, tanpa ini yang timbul adalah kerusakan. 12 Abbas Mahmud al-`Aqqad, al-Insan fi al-Qur’an al-karim, (Kairo:dar al-Islam, 1973), h.156. Lihat juga Musa `Asy`ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Qur’an (Yogyakarta: LESFI, 1992). 40 Etika Bisnis Islam 3. Asas Ta’awun Manusia dengan segala keterbatasan yang dimilikinya tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, Ia butuh orang lain. Atas dasar inilah dalam Ilmu Sosial manusia disebut Zoon Politicion (makhluk sosial), makhluk yang saling membutuhkan. Jika demikian, sudah seharusnyalah manusia saling tolong menolong yang dalam istilah al-qur’an disebut dengan Ta’awun. Terlebih lagi dalam aktivitas ekonomi apakah produksi, distribusi dan konsumsi, kesemuanya tidak dapat dilakukan sendirian. Hal ini penting dalam perspektif ekonomi islam bahwa kebahagian manusia (human falah) itu adalah kebahagiaan bersama bukan kebahagiaan individu semata-mata. Sebaliknya Islam melarang aktivitas ekonomi yang saling menjatuhkan dan menghancurkan, karena prilaku seperti itu tidak saja menimbulkan persaingan yang tidak sehat malah lebih jauh itu akan membawa kesengsaraan umat manusia secara keseluruhan. 4. Asas Maslahat Dalam maknanya yang sederhana Maslahat bermakna manfa’at. Kebalikan dari maslahat adalah mafsadat yang berarti kerusakan. Dalam maknanya yang lebih luas, maslahat adalah kebaikan yang besar lagi langgeng atau kebaikan untuk umum (publik good). Dalam kajian hukum islam yang dimaksud dengan maslahat adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk mewujudkan 41 Etika Bisnis Islam kebaikan dan menghindarkan keburukan atau dengan kata lain maslahat adalah setiap tindakan untuk menarik manfaat dan menolak mudharat. Penting untuk diperhatikan, kemaslahatan yang diinginkan adalah kemaslahatan yang bersifat umum (kulliyah) dan bukan untuk kepentingan individu atau golongan tertentu saja. Paling tidak, kemaslahatan itu akan bermanfaat buat sebagian besar warga masyarakat. Jika suatu kebijakan hanya menguntungkan untuk orang-orang atau kelompok tertentu saja dan merugikan yang lainnya, maka hal itu bukanlah maslahat. Keberadaan maslahat sebagai azas ekonomi islam, mengandung arti segala bentuk aktivitas ekonomi haruslah membawa kemaslahatan umum. Jadi tidak hanya demi kemaslahatan pribadi atau kelompok. Contoh : bisa saja memproduksi minuman keras membawa keuntungan pribadi atau sejumlah karyawan, akan tetapi kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar terlebih menyangkut masalah moral. Dengan demikian memproduksi minuman keras bertentangan dengan azas maslahat ekonomi islam. 5. Azas Keseimbangan dan Keadilan Keadilan dan Keseimbangan adalah suatu konsep yang luas berkaitan hampir dengan seluruh aspek kehidupan sosial, politik terutama ekonomi. Dalam al-qur’an kata adil disebut sebanyak 42 Etika Bisnis Islam tiga puluh satu kali. Belum lagi kata-kata yang semakna seperti al-Qist, al-Wazn (Seimbang) dan al-Wast (Moderat)13 Ditempatkannya keadilan dan keseimbangan sebagai asas ekonomi islam mengandung pengertian aktivitas ekonomi tidak boleh mengabaikan dua hal dia atas. Ajaran islam banyak memberi contoh praktek-praktek ekonomi yang membawa ketidakadilan seperti : 1), Monopoli, 2), Penumpukan barang, 3), Mempermainkan harga dengan cara membeli barang orang desa dengan harga yang lebih rendah dari pasar, pembelian maupun penjualan besar-besaran yang sengaja dilakukan pelaku utama pasar dan lain-lain.14 Dalam maknanya yang lebih luas, aktivitas ekonomi tidak boleh membawa manusia menjadi spilit personality (keterpecahan pribadi) karena dominasi nafsu duniawi dalam mencari keuntungan sehingga aspek kebutuhan rohaninya menjadi terabaikan. Sangat menarik perintah al-qur’an dalam surah al-jumu’ah ayat 10-11, dimana Allah perintahkan untuk meninggalkan jual beli disaat panggilan azan dikumandangkan. Setelah itu Allah juga perintahkan untuk “bertebaran” di muka bumi mencari karunia Allah setelah selesai mengerjakan sholat. 13 Lihat kesimpulan Disertasi Amiur Nuruddin, Konsep Keadilan Dalam Al-Qur’an dan Implikasinya Terhadap Tanggungjawab Moral, Disertasi, Programa Pascasarjana IAIN. Yogyakarta, 1995. 14 M.Syafi`I Antonio, op.cit., h.18 43 Etika Bisnis Islam Asas-asas Ekonomi Islam di atas, haruslah menjadi semangat sekaligus “ruh” dalam aktivitas ekonomi ummat. Disebabkan asas ekonomi islam itu pada hakikatnya adalah nilai universal islam, maka pelaku ekonomi dituntut untuk mampu menterjemahkannya secara dinamis dalam kehidupannya seharihari. C. Etika Bisnis Islam Pada pembahasan terdahulu telah dibicarakan pengertian Islam. Etika dan Ekonomi Islam. Kajian selanjutnya adalah merumuskan apa yang dimaksud dengan etika islam itu. Bisnis termasuk kata yang sering digunakan orang, namun tidak semuanya memahami kata bisnis secara tepat dan proporsional. Hughes dan Kapoor seperti dikutip oleh Buchari Alma menjelaskan bahwa bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.15 Lebih ringkas dari itu Brown dan Petrello menyebut Bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pengertian yang sederhana bisnis adalah lembaga yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang lain.16 15 Buchari Alma, Ajaran Bisnis Dalam Islam, (Bandung; Alfabeta, 1994), h.17 44 Etika Bisnis Islam Demikian jelasnya pengertian bisnis, namun tidak sejelas apa yang dimaksud dengan etika bisnis terlebih lagi disandarkan dengan kata Islam. Berbagai buku yang berbicara tentang etika bisnis seperti Sondang P. Siagian dalam bukunya Etika Bisnis, O.P. Simorangkir dalam buku Etika Bisnis, Etika Bisnis Dasar dan Aplikasinya yang disunting oleh Jacobus Tarigan, Buchori Alma, dalam karyanya Ajaran Islam Dalam Bisnis demikian juga dengan Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics, Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Islam, demikian juga dengan buku yang ditulis oleh Rosita Noer, Menggugah Etika Bisnis Orde Baru, tidak mendefenisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan etika bisnis. Penjelasan yang baik tentang pengertian etika bisnis ditemukan di dalam karya K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis yang dalam pendahuluannya membahas tentang apa yang dimaksud dengan etika bisnis. Dengan mengutip Richard De George, ia memandang perlu untuk membedakan kata ethics in business (etika dalam bisnis) dan business ethics (etika bisnis). Istilah pertama mengandung pengertian etika yang berhubungan dengan bisnis atau etika yang berbicara tentang bisnis sebagai salah satu topik di samping sekian banyak topik lainnya.17 Sedangkan istilah ke dua mengandung pengertian satu bidang intelektual dan akademis dalam konteks pengajaran dan penelitian di perguruan 16 Ibid, K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), h. 37 17 45 Etika Bisnis Islam tinggi. Namun harus di catat, etika bisnis merupakan hasil perjalanan panjang dari etika dalam bisnis.18 Lalu apa yang dimaksud dengan etika bisnis itu ?. menurut Bertens etika bisnis adalah studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis. Etika ini dapat diperaktekkan dalam tiga taraf. Pertama, taraf makro, etika bisnis akan berbicara tentang aspek-aspek bisnis secara keseluruhan seperti, persoalan keadilan. Kedua, taraf meso (madya), etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi seperti serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi dan lain-lain. Ketiga, taraf mikro, yang memfokuskan pada individu dalam hubungannya dengan kegiatan bisnis seperti tanggungjawab etis karyawan dan majikan, manajer, produsen dan konsumen.19 Penjelasan lain terlihat dalam karya yang menyatakan bahwa etika bisnis adalah sebuah penilaian perilaku moral dalam lingkungan bisnis dengan menggunakan standar-standar moral yang telah didefinisikan dengan jelas, serta merinci petunjuk moral tertentu yang sesuai dengan isu bisnis yang sebenarnya. 18 Bertens mencatat lima periode perkembangan etika dalam bisnis yang menjadi etika bisnis. Pertama, situasi terdahulu sejak munculnya filosof-filosof Yunani, Plato, Aristoteles dll. Pada periode ini etika dalam bisnis dipraktekkan dalam konteks agama dan teologi. Kedua, Masa Peralihan: tahun 1960-an. Periode ini ditandai dengan dijadikan bisnis sebagai social issues dalam kuliah tentang manajemen. Topik yang populer adalah tentang corporate social responsibility (tangungjawab sosial perusahaan). Ketiga, Etika Bisnis lahir di Amerika Serikat: tahun 1970-an. Periode ini telah menjadikan etika dalam bisnis sbagai bidang telaahan intelektual. Keempat , Etika Bisnis meluas ke Eropa: tahun 1980-an. Periode ini ditandai dengan dijadikannya etika bisnis sebagai mata kuliah di Fakultas Ekonomi di universitas-universitas di Eropa. Bahkan pada tahun 1987 telah dibentuk Wuropean Business Ethics Network (EBEN) yang menjadi forum pertemuan akademisi dari universitas dan sekolah bisnis. Kelima, Etika Bisnis menjadi fenomena global; tahun 1990-an. Periode ini etika bisnis tidak lagi menjadi gejala Barat tetapi telah menjadi fenomena internasional dan global sebagai mana bisnis itu sendiri. lihat, Ibid, . 19 Ibid, h.35 46 Etika Bisnis Islam Sampai di sini etika bisnis mempunyai dua tujuan utama, diagnosis dan pengobatan etika normatif umum.20 Dari penjelasan di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa etika bisnis merupakan keputusan etis21 yang diambil dan dilakukan pelaku bisnis dalam menggunakan sumber daya yang terbatas, apa akibat dari pemakainya dan apa akibat proses produksi yang ia lakukan. Dapat juga dikatakan, etika bisnis adalah suatu upaya untuk menganalisa asumsi-asumsi bisnis, bagaimana caranya orang seharusnya bertindak dalam struktur bisnis tertentu. Lalu jika dihubungkan dengan Islam, maka pertanyaannya adalah, apa yang dimaksud dengan etika bisnis Islam ?. lagi-lagi persoalan yang muncul adalah masalah definisi ?.mungkin saja masalahnya sama dengan definisi ekonomi Islam, istilah ekonomi begitu jelas namun ketika dihubungkan dengan Islam, muncul persoalan baru. Rumusan etika bisnis mungkin telah jelas, namun menjadi sulit ketika dihubungkan dengan Islam mengingat bukubuku yang berbicara tentang masalah ini agak langka untuk mengatakan belum ada. Namun demikian tetap saja definisi etika bisnis Islam tetap penting. Pada tataran praktis etika bisnis Islam mengandung pengertian , segala apa yang dipraktekkan dalam prilaku bisnis yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam atau yang menyalahinya. Sedangkan etika sebagai refleksi, maka etika bisnis Islam adalah 20 Peter Pratley, The Essence of Business Ethics , (Ypgyakarta : Andi, 1995), h.35 47 Etika Bisnis Islam studi tentang baik buruknya sebuah prilaku bisnis menurut ajaran Islam. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada contoh di bawah ini : Contoh kasus I :Kasus tambang yang ambruk.22 Disuatu tambang di Eropa sejumlah pekerja menggali batubara di suatu terowongan yang dalamnya ribuan meter di bawah permukaan tanah. Selama dua hari sebenarnya telah dideteksi adanya timbunan gas. Dan hal ini telah dilaporkan kepala bagian keamanan kepada pemimpin tambang.Timbunan gas ini cukup gawat sehingga sewajarnyalah jika penggalian dihentikan dan pekerja-pekerja disuruh meninggalkan tambang. Tetapi pihak perusahaan hanya menanggapi dengan mengatakan bahwa bahaya timbunan gas itu hanya marjinal saja. Perusahaan diperkirakan akan rugi besar jika pekerjaan dihentikan, karena kebetulan waktu itu ada pesanan batubara yang harus dipenuhi. Pemimpin tambang berharap mudah-mudahan gas itu akan buyar sebelum sempat meledak. Kepada kepala bagian keamanan diperintahkan untuk tidak mengatakan apa-apa kepada pekerja tambang tentang bahaya yang mungkin mengancam.Pada tanggal 2 Mei gas meledak. Satu seksi dari terowongan tambang rubuh dengan membawa korban 3 0rang pekerja tambang meninggal seketika dan 8 orang lainnya terperangkap dalam sebuah kantong, Yang lainnya berhasil menyelamatkan diri. Kekuatan 21 22 Ibid,. O.P.Simorangkir, Etika Bisnis, (Jakarta; Aksara Persada Indonesia, 1992),h.29-31 48 Etika Bisnis Islam ledakan itu demikian besar, sehingga tambang mengalami kerusakan berat. Menurut perhitungan biaya untuk menyelamatkan para pekerja tambang yang terperangkap itu sebelum mereka sempat mati lemas, meliputi beberapa juta dollar. Problema yang dihadapi pemimpin tambang adalah apakah biaya yang sebesar itu layak dikeluarkan. Akhirul kalam, berapa sih harga satu nyawa ? Siapakah sekarang yang harus memutuskan dan dengan cara yang bagaimana? Apakah pemimpin perusahan harus memprioritaskan kepentingan pemegang saham atau kepentingan pekerja-pekerja tambang yang terjebak itu ?.Apakah ia harus memilih cara penyelamatan yang lebih lamban, lebih aman dan lebih murah atau cara yang lebih cepat, tetapi lebih berbahaya dan lebih mahal biayanya, namun dengan kemungkinan besar bahwa nyawa orang-orang itu masih sempat tertolong ? Kasus di atas menunjukkan problema etika bisnis bagaimana seorang pimpinan membuat keputusan etis dengan mengajukan asumsi-asumsi bisnis. Kasus II : Mengincar Pesangon23 Ir. Abraham Maruli ,39 tahun usianya, sudah 12 tahun lamanya bekerja sebagai kepala bagian teknis di sebuah pabrik sepatu di Jawa Barat. Saudaranya merencanakan membuka pabrik sepatu sejenis di Medan dan mengajak pak Abraham pindah kerja. Ia ditawari menjadi direktur bagian teknis di Pabrik baru itu. Pabrik akan beroperasi 49 Etika Bisnis Islam sesudah satu setengah tahun lagi. Setelah menerima tawaran ini, pak Abraham dengan sengaja mengurangi disiplin kerja sampai mengkhawatirkan pimpinannya. Ia sering datang terlambat dan pulang sebelum waktunya. Kadang-kadang sama sekali ia tidak masuk kerja tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Ia juga tidak menyelesaikan tugas-tugasnya pada saat yang diharapkan. Dengan kekuatan indisipliner ini Ir.Abraham berharap akan dipecat, supaya ia dapat menerima pesangon cukup besar. Kecuali keluarganya, tidak ada yang tahu tentang rencananya untuk pindah kerja. Beranjak dari kasus II, Pertanyaannya adalah apakah sikap pak Maruli dapat dibenarkan secara moral ?. Bukankah mencari keuntungan atau gaji besar itu merupakan satu kebutuhan hidup ?.lalu apakah boleh mencari keuntungan dengan merugikan orang lain ?.Jika ditelaah dari kaca mata Islam, maka pertanyaannya apakah sikap pak Maruli dibenarkan dalam ajaran etika bisnis Islam. Demikianlah gambaran-gambaran persoalan yang muncul dalam kegiatan bisnis. Sering kali terjadi tarik menarik antara kepentingan bisnis yang selalu mengukur keuntungan secara material-matematis dengan persoalan moral yang abstrak ?. 23 K.Bertens, Pengantar, op.cit, h.17 50 Etika Bisnis Islam D. Rangkuman 1. Asas-asas ekonomi Islam merupakan landasan moral yang mewarnai segala kegiatan ekonomi Islam, seperti, asas tauhid, asas kekhalifahan manusia, asas Ta`awun, asas tawazun, asas maslahat. Dan asas keadilan dan keseimbangan. 2. Pada tataran peraktis etika bisnis Islam mengandung pengertian , segala apa yang diperaktekkan dalam perilaku bisnis yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam atau yang menyalahinya. Pada tataran reflektif , maka etika bisnis Islam adalah studi tentang baik buruknya sebuah perilaku bisnis menurut ajaran Islam. E. Pertanyaan 1. Di antara asas ekonomi Islam adalah tauhid dan tawazun. Jelaskanlah pengertian asas ini dan berikan contoh ? 2. Apakah yang dimaksud dengan etika bisnis dan apa pula yang dimaksud dengan etika bisnis Islam ?. 3. Ada anggapan menjunjung etika dalam bisnis akan menimbulkan kerugian bagi pelaku bisni. Bagaimana pendapat anda ?. 51 Etika Bisnis Islam 52 BAB V MANUSIA DALAM AJARAN ISLAM Salah satu ajaran Islam yang nampaknya tidak mendapat cukup banyak perhatian adalah yang berkenaan dengan konsep-konsep antropologis. Tiadanya perhatian yang cukup itu agaknya bukanlah karena pandangan dasar tentang eksistensi, hakikat dan makna tingkah laku manusia tidak penting dalam ajaran Islam, tetapi lebih karena dalam dunia pemikiran klasik Islam, masalah itu dibahas dalam berbagai tempat secara terpencar-pencar, seperti dalam ilmu-ilmu tasawwuf, fiqh dan akhlak, tanpa diperlakukan sebagai kajian terpisah dan disiplin spesialisasi tersendiri.1 Dalam mengkaji konsep Islam tentang manusia, adalah menarik sekali melakukan kajian semantik filologis terhadap terminologi yang digunakan al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, ada tiga istilah kunci (key terms) –basyar, insan dan al-nas- yang mengacu pada makna pokok (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning). Dari penelusuran istilahistilah inilah diharapkan kejelasan konsep al-Qur’an tentang manusia. Disamping itu, ada konsep lain yang dipergunakan, tetapi dalam frekuensi yang lebih sedikit, dan dapat dilacak pada salah satu istilah kunci di atas, yaitu: unasiy, insiy dan ins. Istilah unas yang disebut lima kali dalam al-Qur’an (2:60;7:82;7:160;17:17 Dan 27:56) Menunjukkan kelompok atau golongan manusia. Kata anasiy yang merupakan bentuk jamak dari insan hanya disebut satu kali (25:49) untuk menunjuk kumpulan manusia yang banyak. Sedangkan kata ins tercantum 18 kali dalam al-Qur’an dan selalu digabungkan dengan kata jin sebagai pasangan makhluk tuhan yang mukallaf (6:112,128,130; 7:38,179; 17:88 dan lain-lain).2 A. Manusia Dalam al-Qur’an :Basyar, Insan dan al-Nas Istilah basyar yang disebut 27 kali dalam al-Qur’an memberikan referent pada manusia sebagai makhluk biologis. Kata ini dirangkaikan dengan frasa mislukum sebanyak tujuh kali dan kata misluna sebanyak 1 Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim (Insan Kamil) ; Suatu Kajian Epistemologis” dalam, Aktualisasi Pemikiran Islam, Farid Nasution (ed), (Medan, Widyasarana, 1993) .h.129 2 Ibid.,h.133 enam kali. Sifat-sifat manusia yang dirujuk dengan istilah ini adalah makan, minum (3:33), berjalan-jalan di pasar (25:20), raut wajah (12:31), bersetubuh (3:47). Ringkasnya, konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia. Dari segi inilah barangkali kita seyogyanya memahami persamaan Rasul dengan manusia.3 Kata insan disebut sebanyak 65 kali dalam al-Qur’an dan istilah ini digunakan dalam kitab suci dalam tiga konteks. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah pemikul amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif dalam dirinya. Ketiga, insan dihubungkan dengan peroses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks insan merujuk pada sifat-sifat psikologis dan spritual.4 Pada kategori pertama, keistimewaan manusia adalah sebagai wujud yang berbeda dari makhluk hewani. Menurut al-Qur’an, insan adalah makhluk yang diberi ilmu (26:4,5) dan diajarkan bahasa konseptual (55:3). Insan diberikan kemampuan untuk mengembangkan ilmu dengan daya nalarnya, dengan menalar perbuatannya sendiri (79:35), proses terbentuknya bahan makanan (80:24-36) dan penciptaannya (86:5). Dalam hubungan inilah, setelah Allah menjelaskan sifat insan yang labil, Allah berfirman: (Q.S:41;53). Artinya : Akan kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda kami di alam semesta dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka itu kebenaran (al-haq). Dengan mempergunakan istilah insan, al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang mengemban amanah (33:72). Menurut Fazlur Rahman ,amanah itu adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam istilah al-Qur’an mengetahui nama - nama semuanya, dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral insani, untuk menciptakan tatanan dunia yang baik. 5 Beberapa mufassir menjelaskan makna amanah sebagai predisposisi untuk beriman dan mentaati petunjuk Allah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain 3 Ibid., h. 134, Lihat juga, Jalaluddin Rakhmat, “Konsep –Konsep Anthropolgis “, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,Budy Munawwar Rahman (ed), (Jakarta:Paramadina, 1994),H.75-77 4 5 Nur Ahmad fadil lubis, Loc.cit., Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an , terj.Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983),h. 28 disebut sebagai perjanjian dan komitmen yang digambarkan secara metaforis dalam al-Qur’an (7:172). Berkaitan dengan amanah yang dipikul oleh manusia, insan juga dihubungkan dengan konsep tanggungjawab (75:36;75:3;50:6). Ia diwasiatkan untuk tetap berbuat baik (29:8;31:14;14:15) dan seluruh amal perbuatannya akan dicatat untuk diberi imbalan atau balasan. Karena itu, insanlah yang dimusuhi syetan (17:53) dan yang ditentukan nasibnya dihari kiamat (75:10,13,14). Dalam menerapkan amanah Tuhan ini, insan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Bila ditimpa musibah, ia cenderung menyembah Allah dengan khidmat, bila ia mendapat keberuntungan cenderung sombong, takabbur bahkan musyrik (10:12;11:9;17:67,83). Pada katagori kedua, kata insan dihubungkan dengan predisposisi negatif. Menurut al-Qur’an, manusia itu cenderung zalim dan kafir (14:34;22:66), tergesa-gesa (17:11;21:37), bakhil (17:100), bodoh (33:72), suka berbantah dan berdebat (18:54;16:4), resah, gelisah, susah dan menderita (84:6;90:4), tidak berterimakasih (100:6), dan suka berbuat dosa (96:6;75:5) serta meragukan hari kiamat (19:66). 6 Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada katagori pertama, insan menjadi makhluk paradoksal yang berjuang mengatasi konflik antara dua kekuatan yang saling bertentangan yaitu kekuatan untuk mengikuti fitrah (memikul amanah Allah) dan kekuatan untuk mengikuti predisposisi negatif.7 Kedua kekuatan ini digambarkan dengan katagori ketiga ayat-ayat insan. Adalah menarik mencermati proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia itu dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus. Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, sari pati tanah (15:26;55:14;23:12;32:7). Demikian pula, basyar berasal dari tanah liat (15:28;38:71;30:20) dan air (25:54). Ini menunjukkan bahwa peroses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolik karakteristik basyari dan karakteristik insani. Menurut Yusuf Qardhawi, manusia adalah gabungan dari kekuatan tanah dan hembusan ilahi, yang pertama unsur material dan yang kedua unsur rohani atau yang pertama unsur basyari dan yang kedua unsur insani..Keduanya harus bergabung dalam keseimbangan.”Tidak boleh seorang muslim mengurangi hak-hak 6 7 Nur Ahmad fadil Lubis, op.cit, h. 134 Lois Lohaiy, Manusia Makhluk Paradoksal, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 212-213 tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh mengurangi hak ruh untuk memenuhi hak tubuh”. Demikian kata Abbas Mahmud al`aqqad. Term kunci yang paling banyak dipakai al-Qur’an adalah al-nas yang disebut sebanyak 240 kali dalam berbagai surah. Penyebutan al-nas tampaknya mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial.Dari segi jumlah, tampaknya al-Qur’an mengisyaratkan pentingnya manusia sebagai makhluk sosial. Indikasi manusia sebagai makhluk sosial dapat dilihat pada frasa yang digunakan al-Qur’an seperti ungkapan wa mina al-nas (diantara sebagian manusia), al-Qur’an memperkenalkan tipologi kelompok. Ada manusia yang bertaqwa (2:2,4,5), kafir (2:6,7) dan munafiq (2:8-20). Disamping itu al-Qur’an juga mengidentifikasi manusia sebagai makhluk yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), berdebat tentang Allah tanpa ilmu dan petunjuk (22:3), memusuhi kebenaran (2:204) dan banyak tipe-tipe lain. Frasa yang lain adalah ungkapan aksar al-nas (kebanyakan manusia) yang mengisyaratkan kepada kita bahwa sebagian besar manusia memiliki kualitas yang rendah dalam bidang ilmu pengetahuan (7:127;12:21,28,68), enggan berterimakasih (40:61;2:243;12:38), tidak mau beriman (11:17;12:103;13:1), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92) dan harus menanggung azab penderitaan (22:18). Tipologi terakhir ini dipertegas al-Qur’an dengan frasa qalil mina al-nas (sedikit manusia) yang menunjukkan sedikitnya manusia yang benar-benar beriman kepada Allah (4:66;38:24;2:88). Menyimpulkan pernyataan terakhir ini dapat dilihat pada firman Allah yang terdapat pada surah al-an`am ayat:116 dimana Allah menyatakan: Artinya: Jika kamu ikuti kebanyakan manusia yang ada di bumi,mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Dari uraian di atas tampak bahwa al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur fisik- material, hingga pada keadaan ini manusia secara alami tunduk (muyassar) pada takdir Allah sama seperti tunduknya matahari, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Namun manusia, meskipun dalam cakupan takdir ilahi, insan dan al-nas diberi kekuatan untuk memilih (ikhtiyar) sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Pada diri manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus. Menurut al-Qur`an, kewajiban manusialah untuk memenangkan predisposisi positif. Ini bisa terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang diembannya dan tidak memungkiri fitrahnya yang suci. B .Kebutuhan dan Tujuan Hidup Manusia Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Ketiga dimensi harus terjalin secara integral dalam diri manusia. Tidak boleh yang satu mendominasi yang lainnya. Seperti, kecenderungannya sebagai makhluk biologis lebih menonjol dari dimensi psikologisnya. Jika ini terjadi, manusia bisa jatuh pada derajat yang paling bawah bahkan lebih rendah dari binatang. Disamping itu multi dimensi manusia yang digambarkan al-Qur’an juga menunjukkan bahwa ia memiliki kebutuhan yang bermacammacam. Sebagai makhluk biologis misalnya, manusia membutuhkan hal-hal yang dapat menyehatkan dan melindungi tubuhnya .Sebagai makhluk psikologis manusia membutuhkan hal-hal yang dapat menyuburkan pertumbuhan intelektual dan rohaninya. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan bersosialisasi dengan makhluk lainnya. Secara garis besar, kebutuhan manusia itu dapat dibagi kepada dua, kebutuhan psikis (kejiwaan) dan kebutuhan pisik (jasmani).Ingin terhormat ingin bahagia adalah contoh kebutuhan psikis. Sedangkan ingin kenyang, ingin memiliki rumah, ingin punya mobil adalah contoh kebutuhan jasmani. Kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat. Pada tingkat pertama, primary needs (kebutuhan primer), manusia membutuhkan sandang, pangan, dan papan. Dikatakan primer, karena apabila tidak terpenuhi, menimbulkan kerusakan pada diri manusia., bahkan dapat membawa kematian. Tingkat kedua, Secondary needs (kebutuhan sekunder) adalah kebutuhan pendukung bagi kebutuhan primer. Manusia membutuhkan kendaraan untuk memudahkannya mencari nafkah. Manusia membutuhkan makanan tambahan, kue , roti untuk melengkapi makanan pokok dan sebagainya. Namun kebutuhan tingkat kedua itu muncul apabila kebutuhan primer telah terpenuhi. Demikianlah seterusnya sampai kebutuhan tingkat ketiga, tertiary needs) dalam bentuk kesenangan dan perhiasan hidup manusia. Walaupun manusia telah memiliki rumah, ia ingin rumahnya berlantaikan mar-mar dan beratap genteng, ingin memiliki pagar yang indah dan sebagainya. 8 Menurut Abraham Maslow kebutuhan manusia itu dibagi kedalam lima kebutuhan dasar yaitu;(1). Kebutuhan biologis (fa`ali) seperti makan dan minum.(2), kebutuhan akan keselamatan dan rasa aman.(3), kebutuhan akan rasa memiliki, rasa cinta dan bersosialisasi.(4). Kebutuhan akan harga diri yang berbentuk ingin dihormati, ingin dipuji dan sebagainya. (5). Kebutuhan akan aktualisasi diri. Selain kebutuhan dasar ini Ia juga menyebut kebutuhan lainnya seperti keinginan untuk memahami serta kebutuhan akan seni.9 Menurut Malinowski yang ada dalam diri manusia adalah kebutuhan-kebutuhan biologisnya, seperti reproduksi, kenyamanan tubuh, keamanan, kebutuhan akan gerak serta kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang. Tampaknya kedua pakar di atas sangat menyadari bahwa kebutuhan yang disebut pertama adalah kebutuhan yang paling penting. Artinya, kebutuhan akan rasa aman akan dibutuhkan jika kebutuhan makan dan minum telah dipenuhi. Sebaliknya jika kebutuhan pertama tidak terpenuhi, maka kebutuhan-kebutuhan berikutnya tidak begitu penting. Selanjutnya jika kebutuhan-kebutuhan di atas dianalisa, tampak sekali bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat bersifat material. Ironisnya seringkali kebahagian manusia itu ditentukan sejauh mana ia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya, tanpa memperhatikan kebutuhan yang paling asasi yang bersifat immateri. Mungkin ini disebabkan oleh pandangan yang dipengaruhi filsafat positivistik dan materialistik. Kebutuhan asasi itu ternyata ditemukan dalam konsep ajaran Islam .Dalam khazanah keilmuan Islam (Filsafat Hukum Islam), kebutuhan-kebutuhan tersebut disebut dengan al-daruriyat (kebutuhan perimer), al-hajiyat (sekunder) dan al-tahsinat (tertier). Bedanya hanyalah, Islam memandang kebutuhan primer tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat material, tetapi melingkupi hal-hal yang bersifat immaterial, seperti kebutuhan terhadap agama dan kebebasan dalam 8 Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi, Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro,(Jakarta: rajawali Pers, 1999),h.28-29 9 Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-Teori Sosial Budaya, (Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, 1994),h .2 menjalankannya (hifz al-din), kebutuhan akan pemeliharaan jiwa (hifz alnafs), kebutuhan akan pemeliharaan keturunan (hifz al-nasal) kebutuhan akan pemeliharaan harta (hifz al-mal) dan kebutuhan akan pemeliharaan akal (hifz al-`aql). Dalam pandangan Islam, kebutuhan terhadap agama serta kebebasan dalam menjalankannya adalah kebutuhan yang paling asasi. Kebutuhan terhadap makan dan minum, walaupun tetap penting namun dalam pandangan Islam tetap merupakan instrumen atau alat untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan agama (kepercayaan) agar menjadi lebih baik. Dengan demikian, segala hal-hal yang mengancam terhadap kebutuhan agama ini harus dihindari. Malah dalam tingkat tertentu, apabila posisi agama terancam, umatnya diperintahkan oleh kitab suci untuk mengorbankan jiwa raganya serta harta yang dimilikinya. Ini menunjukkan, betapa kebutuhan terhadap agama sangat penting, sampai-sampai kebutuhan terhadap keamanan diri harus dikorbankan. Sampai di sini sebenarnya Islam melihat kebutuhan manusia yang paling hakiki adalah memenuhi dorongan hati nuraninya untuk selalu tunduk dan patuh pada pencipta. Dan ini merupakan fitrah kemanusiaan yang tidak dapat begitu saja ditolak. Sejak manusia berada di alam rahim, kepadanya telah dibisikkan untuk pasrah dan tunduk (hanifan musliman) kepada Allah SWT, pada waktu itu manusia menerimanya tanpa ada paksaan. Inilah yang sering disebut para pakar dengan perjanjian perimordial. Dengan demikian tugas manusia di dunia ini tidak lebih memenuhi perjanjian tersebut. Atas dasar ini pulalah segala aktivitas manusia dalam kehidupan sosial ,politik bahkan ekonomi adalah dalam kerangka ibadah dan mencari keridhaan Tuhannya (mardatillah). Pandangan ini bukan menafikan kebutuhan manusia terhadap harta benda. Lebih salah lagi jika dinyatakan bahwa Islam lebih mementingkan kebutuhan rohani daripada jasmani. Keduanya menempati posisi yang sejajar dan saling menentukan. Pemenuhan kebutuhan rohani tidak akan sempurna tanpa didukung dengan terpenuhinya kebutuhan jasmani. Bahkan sebagian ibadah Islam, pelaksanaannya sangat tergantung kepada harta,seperti zakat, infaq, sadaqah terlebih lagi haji. Demikian pula sebaliknya, pemenuhan manusia terhadap kebutuhan jasmani, tanpa terpenuhinya kebutuhan rohani, akan menjadikan manusia akan mengalami keterpecahan pribadi (split personality), dan sangat rentan terhadap penyakit kejiwaan lainnya seperti depresi, alienasi, stress dan sebagainya. Jelaslah keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani manusia sangat menentukan dalam pencapaian tujuan ekonomi Islam seperti yang disebut oleh Akram dan Hasanuzzaman dengan istilah human falah (manusia sejahtera). Pandangan ini didasarkan pada satu pemikiran bahwa dalam kaca mata Islam manusia bukan hanya sebagai makhluk biologis tetapi juga makhluk spritual sekaligus makhluk sosial. Sebagai tujuan akhir, segala aktivitas yang dilakukan baik dalam bidang sosial, politik terlebih dalam bidang ekonomi adalah sematamata mencari perkenan Tuhan (keridhaan Tuhan). Ini akan terlihat lebih jelas bagaimana konsep Islam terhadap harta dan kerja. C. Rangkuman 1. Dalam al-Qur’an kata kunci yang digunakan untuk menggambarkan manusia diungkap dengan kata basyar 27 kali, insan 65 kali dan al-nas 240 kali. Kata basyar mengacu pada dimensi biologis, kata insan mengacu pada dimensi psikologis spritual dan kata al-nas mengacu pada dimensi sosiologis. 2. Kebutuhan manusia dalam pandangan al-Qur’an tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat material saja sebagaimana yang dijelaskan para sosiolog, tetapi juga menyangkut hal-hal yang bersifat spiritual. 3. Kesejahteraan yang ingin dicapai manusia dalam konsepsi Islam bukanlah hanya kesejahteraan material -duniawijasmani, melainkan kesejahteraan duniawi-ukhrawi, jasmani rohani dan material spritual. D. Pertanyaan. 1. Ada tiga kata kunci yang digunakan al-Qur’an untuk menjelaskan manusia. Jelaskanlah ketiga kata kunci tersebut beserta makna yang dikandungnya ?. 2. Sebutkan kebutuhan manusia menurut Abraham Moslow dan bagaimana pandangan Islam tentang kebutuhan manusia ?. 3. Pemenuhan kebutuhan hidup oleh manusia haruslah mampu menghantarkannya mencapai apa yang disebut oleh Akram Khan dan Hasanuzzaman sebagai human falah . apa maksud istilah ini ?. BAB VI HARTA DAN PEROSES MEMPEROLEHNYA DALAM ISLAM Pada bab yang lalu telah disinggung bahwa harta (mal) merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang ditempatkan pada kebutuhan primer (al-daruriyat). Pembahasan berikut ini akan mendiskusikan bagaimana kedudukan harta dalam kehidupan manusia menurut Islam, bagaimana katagori harta , jalan memperoleh harta dan ditutup dengan pembahasan kewajiban manusia terhadap harta. A..Kedudukan harta Dalam Kehidupan. Harta yang dalam bahasa Arab disebut dengan mal (jamaknya :amwal) terambil dari kata kerja mala-yamulu-maulan yang berarti mengumpulkan, memiliki dan mempunyai. Dari pengertian semantik ini dipahami sesuatu itu dinamakan harta bila dapat dikumpulkan untuk dimiliki baik bagi 1 kepentingan individu, keluarga maupun masyarakat. Secara terminologis kata mal berarti sesuatu yang dikumpulkan dan dimiliki, yaitu harta atau kekayaan yang mempunyai nilai dan manfaat. Faruqi mendefinisikan harta sebagai sesuatu benda atau kekayaan yang memberi faedah yang dapat memuaskan jasmani dan rohani atau kebutuhan hidup. 2 Kata mal dalam al-Qur,an disebut sebanyak 86 kali pada 79 ayat dalam 38 surah, satu jumlah yang cukup banyak menghiasi sepertiga surah-surah alQur’an. Jumlah ini belum termasuk kata-kata yang semakna dengan mal seperti rizq, mata’, qintar dan kanz (perbendaharaan) Menurut penelitian Yahya Bin Josoh M. dalam disertasinya yang berjudul Konsep Mal dalam al-Qur’an ,menyimpulkan bahwa konsep harta dalam al-Qur’an mencakup hal-hal di bawah ini. 1 .Harta adalah milik Allah, karena segala sumber daya alam dari langit dan bumi, disediakan oleh Allah Maha Pencipta yang mengaturnya untuk patuh terhadap sunnatullah, agar dapat diproduksi menjadi harta yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. 1 2 Abi Husein Ahmad bin Faris, Mu`jam Maqayis al-Lugat,(Beirut: dar al-Fikr, t.t),juz V, h.285 Harit Sulaiman al-Faruqi, Faruqi Law Dictionary (English-Arabic), (Beirut: Librairi Du’lisan, 1991), H.743-744 2.Pengumpulan harta dapat dilakukan dengan usaha mengeksplorasi sumber daya alam, usaha perdagangan dan pemberian harta dari orang lain dengan jalan yang telah ditentukan oleh aturan Islam. 3. Pemilikan harta individu terletak dalam batas-batas kepentingan anggota masyarakat, karena pada harta yang dikumpulkan oleh individu terdapat hak-hak orang lain. 4. Kebebasan mengumpulkan dan memanfaatkan harta adalah pada barang-barang yang halal dan baik, dan tidak melanggar batas-batas ketentuan Allah. 5.Harta harus dimanfaatkan untuk fungsi sosial dengan prioritas awal dimulai dari individu, anggota keluarga dan masyarakat. 6. Pemanfatan harta haruslah pada prinsip kesederhanaan, dalam arti tidak sampai pada batas menghamburkan harta kepada hal-hal yang tidak penting dan mubazir, dan tidak pula sampai pada batas-batas kekikiran yang mengakibatkan terjadinya penimbunan harta. 7.Harta dapat dikembangkan dengan usaha-usaha yang telah ditentukan syara’ dengan bantuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. 8. Harta disisi Allah tidak akan ada manfaatnya, apabila kewajiban mentaati perintah Allah dilalaikan, karena harta hanyalah sekedar sarana untuk mendekatkan diri dan mencapai keridhaannya di dunia dan diakhirat. 3 Perhatian al-Qur’an yang begitu besar terhadap harta membuktikan bahwa sebenarnya harta merupakan satu kebutuhan manusia yang sangat penting sehingga al-Qur’an memandang perlu untuk memberikan garisangarisan yang dapat dikatakan rinci. Hikmahnya adalah agar manusia tidak terjerumus pada penyimpangan-penyimpangan baik pada pengumpulan harta ataupun pada pemanfaatannya yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian pada individu maupun masyarakat. Menarik untuk dicermati, pada satu sisi Allah menegaskan harta dapat menjadi alat yang ampuh untuk mendekatkan diri padanya melalui apa yang disebut al-Qur’an dengan jihad. Didalam al-Qur’an surah al-anfal/8:72 Allah berfirman: Artinya: Sesungguhnya mereka orang-orang yang beriman dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah Jihad dengan harta dapat berbentuk zakat, infaq, sadaqah, memanfaatkan harta untuk kepentingan sosial dan bentuk-bentuk lainnya, 3 Yahaya Bin Jusoh, Konsep Mal Dalam al-Qur`an , Disertasi, Program Pascasarjana IAIN.Jakarta, 1997, h.90-91 selama dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai wujud pembuktian iman, maka semuanya itu dipandang ibadah. Sebaliknya pemanfaatan harta secara negatif yang disebut al-Qur’an dengan mengikuti jalan syetan (Q.S.al-Isra’/17:64) seperti menafkahkan harta disertai sifat-sifat riya, (Q.S.al-nisa’/4:38), kikir (Q.S.al-lail/92:8-11), berbangga-bangga dengan harta (Q.S.al-Hadid/57:20), menghamburhamburkannya, tidak saja menjauhkannya dari jalan Allah, tetapi juga akan menimbulkan kerusakan bagi individu dan masyarakat.Al-Qur’an menegaskan, harta yang dimanfaatkan dengan tidak mengikuti ajaran Allah hanya akan merugikan, karena pemiliknya akan di azab di akhirat (Q.S.alTaubah/9:69). Al-Qur’an memberikan arahan agar harta dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh manusia untuk kebahagiaan kehidupannya di dunia dan di akhirat. Isyarat ini ditemukan pada Q.S. ali-Imran/3:14. Artinya:Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Ayat tersebut mengisyaratkan berbagai jenis harta, baik hasil pertambangan, pertanian, peternakan dan perdagangan agar semuanya itu dapat dimanfaatkan untuk menjadi kesenangan hidup manusia secara individu. Namun pada bagian akhir ayat ada pernyataan (dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga), seolah-olah mengingatkan manusia dalam pemanfaatan harta sejalan dengan petunjuk-petunjuk Allah SWT. Jenis-jenis harta pada ayat di atas juga mengisyaratkan macam-macam kebutuhan hidup manusia. Hasil pertambangan (emas , perak dan lain-lain) mengisyaratkan kebutuhan manusia pada peralatan dan perhiasan, kuda pilihan mengisyaratkan kebutuhan manusia pada kendaraan, binatang ternak dan sawah ladang mengisyaratkan kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan. Setelah terpenuhinya kebutuhan pribadi, harta juga harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan kepentingan sosial, terlebih lagi orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan. Perintah ini ditemukan pada Q.S.al-Isra’/17:26 Artinya:Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta . Cukup menarik bahwa harta dalam Islam ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri sendiri, anggota keluarga yang menjadi tanggungan, dan anggota masyarakat keseluruhannya. Harta dapat dibelanjakan atau digunakan untuk keperluan atau diinvestasikan untuk pengembangan harta, atau disimpan saja untuk kegunaan masa mendatang. Namun kebebasan pemanfaatan harta ini dibatasi untuk sesuatu yang mendatangkan kebaikan, yaitu jalan-jalan yang tidak melangar ketentuan Allah dan tidak untuk perkara-perkara haram yang mengakibatkan kerusakan akhlak dan lingkungan sosial. Jadi tegaslah bahwa pemanfaatan harta adalah untuk melakukan kebaikan (ibadah), menegakkan keadilan sosial, dengan memberikan nafkah pada diri sendiri, anggota keluarga, dan membantu memberikan harta pada fakir miskin, anak yatim, muallaf, musafir, orang yang tertindas , tawanan dan orang-oarang yang sedang berjung pada jalan Allah. Disamping itu, pemanfaatan harta harus dapat menjadikan seseorang selalu mengingat Allah dan mendekatinya, menjadikan lebih pandai bersyukur. Ini bisa tercapai bila manusia dalam memanfaatkan harta selalu mengikuti etika al-Qur’an yaitu pembelanjaan dan penggunaan harta dengan cara yang sederhana, terhindar dari sifat boros, kikir, berbangga-bangga, riya dan melampau batas. B. Harta Yang Halal, Haram dan Syubhat Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini diciptakan Allah SWT untuk kepentingan dan kebahagian manusia .Kendati demikian bukan berarti manusia bebas untuk menikmatinya. Ada aturanaturan yang telah digariskan Allah dalam kitabnya tentang pengelolaan dan pemanfaatan isi alam baik dalam bentuk perintah ataupun larangan. Peraturan –peraturan itu berguna untuk membatasi manusia yang cenderung memiliki sifat tamak dan rakus, tidak pernah merasa puas terhadap harta yang pada gilirannya dapat mencelakakan dirinya sendiri. Banyak sekali ayat-ayat dan hadis-hadis nabi yang menunjukkan kecenderungan negatif manusia tersebut. Dapatlah dikatakan, aturan-aturan itu penting agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya dan mampu memilah dan memilih mana yang penting, berguna dan mana pula yang sekedar hiasan semata. Ditinjau dari kaca mata hukum Islam, harta itu ada yang bendanya (a`in) halal (boleh dikumpulkan dan dimanfaatkan) dan ada pula yang haram (dilarang mengumpulkannya, mengkonsumsi dan memproduksinya). Diantara dua katagori tersebut ada yang disebut syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya). Dalam wilayah bisnis katagori halal dan haram ini juga berlaku. Rafiq Isa Beekun menyebutnya dengan Halal and Haram Business Areas.4 Dari sisi mendapatkannya atau memperolehnya demikian juga ada yang halal , haram dan syubhat. Katagorisasi ini berangkat dari sebuah hadis Rasul yang artinya: Yang halal itu telah jelas dan yang haram itu juga jelas, dan antara keduanya adalah hal-hal yang syubhat. Barang siapa yang bergelimang pada hal-hal syubhat diibaratkan seorang yang mengembalakan kambingnya dipinggir jurang . Pernyataan hadis di atas yang menyebut bahwa sesuatu yang halal itu jelas, begitu pula yang haram, berpijak pada satu kenyataan bahwa al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam telah memberikan keteranganketerangan yang rinci dan tegas menyangkut katagori tersebut. Berbeda dengan yang syubhat, keterangannya tidak begitu jelas, namun apakah ia dikatagorikan kepada halal atau haram dapat dilihat dari indikasi-indikasi yang ada. Menarik untuk dicermati adalah metode yang digunakan al-Qur’an dalam mengungkap dan menjelaskan harta yang halal dan yang haram.. Ketika menyebut hal-hal yang diharamkan al-Qur’an menggunakan bahasa yang rinci dan tegas.Contohnya pada surah al-maidah/5:3 Artinya; Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekek, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan diharamkan bagimu menyembelih untuk berhala… Sedangkan ketika menjelaskan hal-hal yang dihalalkan, al-Qur’an menggunakan bahasa yang gelobal seperti firman Allah di bawah ini: Artinya: Wahai manusia, ,makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagi kamu. Hikmah semua ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam menggunakan harta. Pengungkapan harta yang haram dengan rinci adalah bertujuan agar manusia tidak mengalami kebingungan dalam menentukannya. Jika tidak dijelaskan, dipastikan manusia akan berbeda dalam menentukan mana yang haram dan mana yang tidak karena manusia akan dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya (hawa al-nafs). Ternyata jumlah 4 Rafiq Isa Beekun, Islamic Businees Ethic (Virginia : The International Institut Of Islamic Thought, 1981).h. 31 harta yang haram itu sedikit, sehingga manusia tidak mengalami kesulitan dalam mengidentifikasinya. Ini berbeda ketika Allah menjelaskan harta-harta yang halal dengan ungkapan yang global. Allah SWT hanya menyebutkan halalan tayyiba (halal lagi baik). Tidak dijelaskan apa-apa saja yang halal lagi baik tersebut. Seandainya Allah juga merincinya, disamping jumlahnya sangat banyak, alQur’an menjadi jauh lebih tebal dan tidak fleksibel. Hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi manusia sendiri. Kesulitan ini bisa saja dalam mengidentifikasi harta-harta yang halal dan lebih sulit lagi ketika muncul produk-produk baru yang tentu saja tidak disentuh al-Qur’an. Muncullah persoalan baru tentang kejelasan hukumnya. Di satu sisi produk baru tersebut bisa jadi dibutuhkan manusia. Pada sisi lain kejelasan hukumnya belum ada karena tidak ditegaskan oleh al-Qur’an. Mengantisipasi persoalan yang seperti inilah, metode yang ditempuh al-Qur’an ketika menjelaskan harta yang haram dengan cara merincinya sedangkan harta yang halal dijelaskannya dengan global. Semuanya dalam rangka memberikan kemudahan dan kemaslahatan bagi manusia. Menyangkut harta yang syubhat sebenarnya di sini ada keleluasaan manusia dalam menentukan sikap. Rasulullah hanya memberikan isyarat, bermain-main dengan barang yang syubhat tak obahnya seperti pengembala kambing yang mengembalakan kambingnya dipinggir jurang, sehingga besar kemungkinan akan jatuh kedalamnya. Artinya, bermain-main dengan harta yang syubhat dapat menjerumuskan manusia pada hal-hal yang diharamkan. Dengan isyarat yang diberikan Rasul, seyogiyanya harta-harta yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya) itu dihindari agar kita tidak terjerumus pada harta-harta yang haram. C. Jalan-jalan Memperoleh Harta Yang Halal. Di muka telah dijelaskan bahwa harta itu dapat dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Al-Qur’an juga dalam hal ini memberikan tuntunan cara pengumpulan harta, mana cara yang dibolehkan syari’at dan mana yang dilarang. Merujuk kepada al-Qur’an akan ditemukan paling tidak tiga cara pengumpulan harta. Pertama, lewat eksplorasi sumber daya alam. Kedua, lewat usaha perdagangan. Ketiga, lewat pemberian orang lain.5 5 Yahaya Bin Jusoh, op.cit., h.92-93. Eksploarasi sumber daya alam adalah produksi yang memungut langsung hasil bahan-bahan alamiah yang ada dipermukaan dan perut bumi. Tentu saja ini membutuhkan usaha manusia untuk menguaknya.Tanpa usaha manusia harta itu akan tetap tersimpan dan tidak dapat termanfaatkan dengan baik. Eksplorasi sumber daya alam mengisyaratkan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang harus dimiliki manusia. Berkaitan dengan ekplorasi sumber daya alam, al-Qur’an mengisyaratkan tiga hal. Melalui pertanian (Q.S al-Kahfi/18:34,39). Pertanian adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tanaman-tanaman atau produksi pertumbuhan tanaman. Kedua.melalui peternakan. Allah SWT menjadikan binatang-binatang yang hidup di alam ini untuk dapat dipelihara manusia sebagai binatang ternak yang dapat dikembangbiakkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.6 Dalam al-Qur’an Allah SWT menyatakan bahwa diturunkannya hujan untuk menyuburkan bumi dan menumbuhkan tanaman, semunya itu diperuntukkan bagi manusia dan binatang ternak. (Q.S `abasa/80:25-32, Q.S al-nazia’at /79:29-33). Ketiga adalah pertambangan. Sebagaimana diketahui perut bumi mengandung beragam jenis bahan tambang yang apabila digali, maka dapat dikumpulkan menjadi harta yang berguna. Pertambangan sendiri bermakna menggali tambang untuk mendapatkan hasil bumi.7 Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ungkapan-ungkapan,”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk manusia” yang merupakan pernyataan implisit meminta manusia untuk menyelidiki dan berusaha untuk mencari kekayaan diperut bumi, seperti besi, tembaga, emas,perak dan lain sebagainya. Ungkapan-ungkapan ini ditemukan pada (Q.S.al-Saba’/34:10-12). Menyangkut tentang perdagangan dalam al-Qur’an, topik ini diungkap dengan kata tijarah (perdagangan) yang berarti menebarkan modal untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan yang disebut dengan kata tijarah diungkap al-Qur’an sebanyak 8 kali dan kata bai`un yang bermakna jual beli disebut sebanyak 6 kali. Banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang mengungkap kata ini menunjukkan bahwa usaha perdagangan merupakan salah satu cara yang paling baik dan utama dalam pengumpulan harta. Pernyataan ini dapat dilihat pada surah al-nisa’ ayat 29. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku suka 6 7 Rafiq Isa Beekun, op.cit, h.32 Ibid,. sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu. Ayat ini melarang manusia untuk mengumpulkan harta dengan jalan yang batil dan sebaliknya memerintahkan kepada manusia untuk mengumpulkan harta dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka. Berkaitan dengan ini , Muhammad al-Bahiy dalam karyanya yang berjudul Al-Fikr al-Islamy wa al-Mujtama` al-Islami menyatakan, ungkapan “ illa an takuna tijaratan `an taradin minkum”, menunjukkan wujud keseimbangan dan kerelaan antara penjual dan pembeli tanpa adanya unsur penindasan atau paksaan.8 Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan bahwa perdagangan yang menguntungkan adalah yang dilaksanakan atas keimanan kepada Allah dan harta tersebut digunakan untuk berjihad (al-Saf/61:10-11). Ini bisa terjadi jika harta yang dikumpulkan dijadikan modal untuk hal-hal yang dapat membawa kemanfaatan bagi masyarakat banyak. Disamping ia akan mendapatkan keuntungan material, ia juga memperoleh keuntungan spritual, rasa bahagia karena telah berbuat baik untuk masyarakat. Cara memperoleh harta yang ketiga adalah melalui pemberian orang lain. Ada isyarat dari al-Qur’an, pemberian harta dari orang lain dengan jalanjalan yang dibenarkan syari`at merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan harta. Beberapa ayat al-Qur’an menunjukkan bahwa sebenarnya pada harta yang dimiliki seseorang terdapat hak orang lain yang harus segera ditunaikan. Dalam surah al-Ma`arij/70:24 Allah berfirman: Artinya: Pada harta mereka tersebut ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Pada surah al-zariyat/51:19 Artinya: Dan pada harta mereka ada hak orang yang meminta-minta dan orangorang yang serba kekurangan. Pemberian harta dari orang lain dapat berbentuk, zakat, sadaqah, infaq, ganimah, jizyah, fai`, warisan dan sebagainya. Ini bukan berarti kebolehan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam sebuah perbincangan, Rasul pernah ditanya seorang sahabat, apakah usaha yang paling baik ? Rasul menjawab, yang paling baik (afdal) adalah, usaha mandiri. Secara implisit hadis ini melarang umat Islam untuk meminta-minta. Pesan ini diperkuat dengan beberapa ayat al-Qur’an dan 8 Muhammad al-Bahiy, al-Fikr al-Islami wa al-Mujtama` al-Islami (Mesir: dar al-Qaumiyyah, 1963),h. 35-36. hadis nabi yang melarang umatnya untuk berpangku tangan, malas, putus asa dan sebagainya. Jika demikian dapat dikatakan, pemberian orang lain yang dimaksud ayat-ayat di atas, bukanlah berangkat dari satu usaha agar ia diberi atau meminta belas kasihan dari orang lain. Dari penjelasan di atas, tampaklah cara-cara memperoleh atau mengumpulkan harta yang dibolehkan menurut al-Qur’an. Namun harus diingat, perintah al-Qur’an untuk mengumpulkan harta melalui eksplorasi sumber daya alam, perdagangan dan pemberian orang lain tetap harus sesuai dengan aturan-aturan agama. Jika aturan-aturan tersebut dilanggar, seperti menipu pembeli, menebang kayu sehingga merusak hutan, maka dipandang sebagai cara yang ditolak al-Qur’an. Sama halnya larangan al-Qur’an mengumpulkan harta dengan cara yang haram seperti memproduksi minuman keras, menjual benda-benda yang diharamkan, prostitusi, judi, transaksi bisnis yang mengandung unsur tipuan (garar),9 mencuri, merampok, korupsi dan sebagainya. D. Contoh Jalan Memperoleh Harta Yang Haram Di bawah ini akan dikemukakan contoh-contoh harta yang haram ditinjau dari segi memperolehnya berdasarkan informasi yang diberikan oleh al-Qur’an dan Hadis.10 1. Harta Suap Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil, dan (janganlah) menggunakan sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat memakan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui hal itu. (alBaqarah:188). 2. Hadiah yang Diharamkan (ghulul dan suht) Dalam beberapa hadis, nabi Muhammad SAW bersabda, “hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah ghulul (perbuatan curang)”. “Hadiah yang diberiak kepada pejabat adalah suht (haram). 9 Rafiq Isa Beekun, op.cit, h.35-36 10 Lihat, M.Ismail Yusanto dan M.Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam (Jakarta : GIP, 2002), h.107-113 “Barang siapa yang kami pekerjakan untuk melakukan suatu tugas dan kepadanya kami telah berikan rezeki (imablan atas jerih payahnya), maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah suatu kecurangan. 3. Komisi yang Diharamkan “Rasul SAW mengutusku ke Yaman sebagai penguasa daerah. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pulamng kembali. Rasul berttanya kepadaku, “Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang menyusulmu ?. janganlah engkau mengambil sesuatu untuk kepentinganmu tanpa seizinku. Jika hal itu kau lakukan, itu merupakan kecurangan, dan barangsiapa berbuat curang pada hari kiamat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah, engkau aku panggil dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugsmu. (Hadis Riwayat Imam Tirmizi dari Mu`adz bin Jabal) . 4. Harta Hasil Tindak Kezaliman. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan batil. (al-nisa`:29). Barang siapa mengambil (tanpa izin) harta saudaranya dengan tangan kanannya (dengan kekuatan), ia akan dimasukkan ke da;am neraka dan diharamkan masuk surga. “seorang sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana kalau sedikit ?. Beliau menjawab, walaupun sebesar kayu siwak. 5. Harta Korupsi Perampas, koruptor dan pengkhianat tidak dieknakan hukum potong tangan (dihukum lebih berat dari sekdar potong tangan). Barangsiapa yang merampok dan merampas atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (Bukan dari golongan umat Muhammad SAW). 6. Harta Riba Nabi melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya dan para pencatatnya. (HR.Ibnu Majah), 7. Harta dari Wanprestasi Tiga orang yang aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan karena aku, lalu berkhianat, dan orang yang memberi barang pilihan, lalu makan kelebihan harganya, serta orang yang mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya sedangkan upahnya tidak dibayarkan. 8. Harta dari tindak Penipuan Bukanlah termasuk umatku, orang yang melakukan penipuan. (HR.Ibnu Majah dan Abu Daud) E. Kewajiban Terhadap Harta Pada kajian terdahulu telah dijelaskan pengertian harta, klasifikasinya dan cara-cara memperolehnya menurut panduan Islam. Tampaklah bahwa sebenarnya Islam memandang harta secara positif dan menempatkannya sebagai salah satu instrumen untuk mendekatkan diri pada Allah. Untuk itulah harta harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan masyarakat. Islam mengajarkan ada kewajiban-kewajiban tertentu manusia terhadap harta, baik kepada hartanya sendiri maupun terhadap harta orang lain. Kewajiban terhadap harta sendiri dapat berbentuk : 1. Pemanfaatan harta untuk kepentingan sosial atau masyarakat. Dalam kaca Islam harta atau uang adalah modal, tidak boleh dibiarkan “idle” melainkan untuk investasi yang menghasilkan kesejahteraan umat dengan peningkatan produksi dan kesempatan kerja. 2. Dalam tingkat tertentu, seseorang yang memiliki harta berlebih harus menginfakkan hartanya melalui institusi zakat, infaq, sadaqah, waqf dan sebagainya. 3. Seseorang yang memiliki harta harus dapat menjaga dan menjamin bahwa harta yang dimilikinya tidak akan menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. Terhadap harta orang lain, setiap orang harus ikut memeliharanya dari segala kerusakan. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk saling menolong apakah melalui institusi sewa menyewa, pinjam meminjam gadai menggadai, dimana terjadi pemindahan hak pemanfaatan bukan hak milik dari seseorang kepada yang menyewa atau yang meminjam, dan pada saat itulah penyewa atau peminjam berkewajiban untuk memilihara harta tersebut sebaik-baiknya. E. Rangkuman 1. Harta dalam bahasa Arab disebut dengan mal (jamaknya-amwal) yang bermakna mengumpulkan, memiliki dan mempunyai. Dinamai harta karena ia dapat dikumpulkan, dimiliki baik bagi kepentingan pribadi, keluarga ataupun masyarakat. Pengertian terminologisnya adalah harta benda atau kekayaan yang memberi faedah serta dapat memuaskan jasmani dan rohani. 2. Untuk memperoleh harta dapat dilakukan dengan tiga cara, 1).Eksplorasi sumber daya alam, 2). Perdagangan dan 3).pemberian orang lain. Cara-cara tersebut harus dilakukan dengan mengikuti petunjuk al-Qur’an. Eksplorasi sumber daya alam tidak boleh mengakibatkan kerusakan alam sehingga komunitas makhluk lain menjadi terganggu. Perdagangan tidak boleh dilakukan dengan menipu karena akan merugikan orang lain dan sebagainya. 3. Adanya klasifikasi harta dalam ajaran agama Islam kepada halal, haram dan syubhat, semua aturan tersebut dalam rangka memberi kemudahan dan kemaslahatan bagi manusia selama manusia mengikuti petunjuk al-Qur’an. 4. Islam tidak pernah melarang manusia untuk mencari, dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Namun manusia harus mengetahui dan menyadari bahwa pada harta yang dimilikinya terdapat hak orang lain yang harus ditunaikan apakah melalui institusi zakat, infaq dan sadaqah. F. Pertanyaan 1. Jelaskan makna kata mal (amwal) baik pengertian etimologis ataupun terminologisnya ? 2. Dalam menjelaskan harta yang haram, Allah menjelaskannya dengan bahasa yang rinci, sedangkan ketika berbicara tentang yang halal digunakan bahasa yang global. Mengapa demikian ?. 3. Jelaskan cara memperoleh harta dalam pandangan al-Qur’an ? BAB VII BEKERJA DALAM PANDUAN ISLAM Pada bab VI telah dibicarakan konsep al-Qur`an tentang manusia dan tata cara pengumpulan harta. Secara implisit pesan kitab suci tersebut mengajarkan kepada umatnya bahwa harta sebagai kebutuhan hidup hanya akan diperoleh melalui kerja dan usaha yang maksimal dari manusia. Pada bab ini akan didiskusikan bagaimana pesan al-Qur’an tentang bekerja atau mencari rizqi, otonomi manusia dan taqdir, dan akan ditutup dengan hubungan do`a dengan rizqi. A.Kerja Dan Kebutuhan Hidup Robert Maltus menyatakan bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur, sementara pertambahan makanan (kebutuhan hidup manusia) hanya seperti deret hitung. Teori ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pertumbuhan manusia dengan ketersediaan kebutuhan pokok khususnya makanan. Pada gilirannya kerja yang didefinisikan sebagai usaha untuk mendapatkan makanan, bergeser pada maknanya yang lebih luas. Pada zaman dahulu kerja dipahami hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti pangan, sandang dan papan. Sejalan dengan peradaban manusia masa itu yang masih sederhana, tujuan kerja bagi manusia hanyalah untuk menjaga kelangsungan hidup. Pada masa itu kebutuhan hidup manusia tidak menjadi persoalan yang serius karena alam masih bisa mencukupinya disamping jumlah manusia relatif sedikit. Persoalan mulai muncul ketika jumlah penduduk terus bertambah dan alam tidak lagi mampu menyediakan kebutuhan hidup manusia, kalaupun ada, kebutuhan tersebut tidak cukup memadai sehingga manusiapun berupaya untuk memperoduksinya sendiri. Disinilah kerja mulai menjadi persoalan serius bagi manusia. Dikatakan menjadi persoalan karena tidak seluruh manusia dapat menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri, dan ternyata kebutuhan manusia tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan primernya, tetapi ia juga berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tertier. Sampai disini definisi kerja mengalami perubahan. Pada zaman modern manusia bekerja memiliki beberapa tujuan yaitu:1 1 Redi Panuju, Etika Bisnis:Tinjauan Sehat,(Jakarta:Grasindo,19950, h. 81-82. Empiris dan Kiat Mengembangkan Bisnis 1. Memenuhi kebutuhan primer seperti makan, minum, rumah dan pakaian. 2. Memenuhi kebutuhan sekunder seperti, rekreasi, memiliki barangbarang mewah, kesehatan dan pendidikan. 3. Memenuhi kebutuhan tertier seperti ingin gengsi, terlihat mewah, aksesoris-aksesoris dan lain-lain. 4. Meneguhkan jati diri sebagai manusia. Tiga tujuan manusia bekerja yang disebut dimuka, tampaknya sudah jelas. Namun yang disebut terakhir perlu mendapat penjelasan sedikit. Pada masa modern, bekerja bukan lagi persoalan hidup atau mati, tetapi sudah menyangkut tentang harga diri. Ukuran martabat manusia akan dilihat dari apakah ia memiliki pekerjaan atau tidak. Selanjutnya apakah pekerjaan yang digelutinya. Bagi orang yang belum memiliki pekerjaan akan merasa dirinya belum lengkap sebagai manusia. Ia akan menjadi rendah diri mendapat gelar sebagai “penganggur”. Selanjutnya, bidang kerja yang digeluti juga sangat mempengaruhi setatus sosialnya. Pegawai negeri akan dipandang lebih “hebat” dibanding buruh, pengusaha akan lebih dihormati oleh masyarakat dibanding dengan seorang guru. Ada ungkapan yang menarik dari Nurcholis Madjid ketika berbicara tentang Tafsir Islam Perihal Etos Kerja. Ia menyatakan, … kerja atau amal adalah bentuk keberadaan (mode of existence) manusia. Artinya, manusia ada karena kerja dan kerja itulah yang mengisi eksistensi kemanusiaannya. Jadi jika failusuf Perancis Rene Descartes menyatakan “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, slogan ini harus ditambah dengan ungkapan “aku berbuat maka aku ada”.2 Pergeseran makna kerja yang telah diungkap di atas, ternyata memiliki implikasi yang lebih jauh. Mungkin dipengaruhi konsep kerja pola kapitalisme yang mempunyai akar asumsi, manusia mempunyai kewajiban untuk memanfaatkan alam dengan menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi agar sumber kekayaan alam menjadi barang komoditi yang secara ekonomis menguntungkan, maka upaya meraih keuntungan ekonomi tidak lagi dilihat sebagai imbalan kerja melainkan menjadi tujuan kerja itu sendiri. Dengan kata lain, kerja harus menguntungkan terlepas bagaimana cara yang dilakukan untuk memperolehnya.3 Dampaknya yang paling parah adalah manusia menjadi serakah, kerja tidak lagi dalam rangka untuk meneguhkan 2 Nurcholis madjid, “Tafsir Islam Perihal Etos Kerja”, dalam, Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam , (ed) Firdaus Efendi dkk , (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), h.66 3 Redi Panuju, op.cit., h.88 eksistensi diri yang menuntutnya untuk menunjukkan kualitas kerja, tetapi semata-mata dilakukan untuk memburu keuntungan ekonominya. B..Konsep Islam Tentang Kerja Setidaknya ada dua kata kunci untuk menjelaskan konsep kerja dalam pandangan Islam; `amal dan sun`. Kedua kata ini diungkap dalam al-Qur’an lebih kurang 602 kali, suatu jumlah yang cukup besar. Makna generik kata `amal menurut Sayyed Hosein Nasr adalah “tindakan peraksis” terhadap sesuatu, sedangkat sun` adalah membuat atau memproduksi sesuatu dengan mengolah bahan baku atau mengolah ulang bahan yang sudah jadi. 4 Salah satu bentukan dari kata sun` adalah sina`ah yag berarti pabrik.5 Di dalam al-Qur’an, Allah telah memberikan jaminan bahwa setiap makhluk yang ada dibumi ini telah ditetapkan rizkinya. Yang menarik alQur’an menggunakan kata dabbah seperti yang tampak pada ayat berikut ini : Artinya: Tidak ada binatang yang melata (dabbah) di muka bumi ini kecuali telah ditetapkan Allah rezekinya. Menurut bahasa kata dabbah diartikan sebagai makhluk yang melata. Secara implisit rizki yang telah dipersiapkan Allah untuk manusia hanya bisa diperoleh bagi orang–orang yang selalu berusaha menemukannya dan itu hanya dapat dilakukan dengan bekerja. Seperti yang telah diungkapkan Cak Nur (panggilan akrab untuk Nurcholis Madjid), kerja dalam pandangan Islam adalah mode of existence. Harga manusia sangat ditentukan oleh amal atau kerja yang dilakukannya. Jika ia melakukan suatu pekerjaan yang baik dengan penuh kesungguhan, maka ia akan mendapatkan balasan yang baik pula di dunia dan diakhirat. Sebaliknya, jika ia melakukan pekerjaan yang buruk, maka ia akan memperoleh balasannya. Lebih dari itu harga kemanusiaannya menjadi turun. Atas dasar pemikiran tersebut dalam Islam kerja dipandang sebagai ibadah. Sejatinya seorang muslim yang bekerja keras haruslah berangkat dari kesadarannya bahwa kerja tersebut merupakan ibadah. Ini tidak berarti bahwa seseorang dilarang untuk mengharapkan reward (penghargaan) baik materil maupun non materil seperti gaji atau penghasilan, karier dan kedudukan yang 4 5 Seyyed Hosein Nasr,Perspektif Islam Perihal Etika Kerja” dalam, Nilai … op.cit., h.75. Menurut Mustaq Ahmad, kata amal disebut sebanyak 360 kali, kata fa`ala dengan segala derivasinya sebanyak 109 kali, termasuk juga kata kasaba (usaha), sa`aa (usaha) dan jahada . Mustaq sampai pada kesimpulan, banyaknya terma al-Qur’an tentang kerja menunjukkan betapa pentingnya segala bentuk kerja produktif dan aktivitas yang menghasilkan. Bandingkan, Mustaq Ahmad, op.cit, h.11 lebih baik serta pujian dan sebagainya. Diperbolehkan juga seorang muslim bekerja keras untuk menghindarkan punishment (hukuman) baik berupa penghasilan yang berkurang, jabatan yang rendah atau karir yang mandek. Penting untuk dicatat, dalam kaca mata ajaran Islam kerja tidak hanya semata-mata untuk mengharapkan profit-materi tetapi juga benefit-non materi. Dala hal ini paling tidak ada empat qimah (profit) yang akan diperoleh yaitu; qimah madiah (nilai materi), qimah insaniyah ( nilai kemanusiaan), qimah khuluqiyah (nilai akhlak) dan qimah ruhiyah (mencari keridaan Allah). Jika pendekatan reward dan Punishment ini digunakan sebagai paradigma membangun etos kerja maka dapat dilihat dalam skema di bawah ini:6 Qimah Madiah Insaniyah Khuluqiyah Ruhiyah Reward Gaji/Penghasilan besar Pujian, Nama/Reputasi baik Rasa hormat/Simpati Pahala/Keridaan Punishment Denda/Skorsing/PHK Celaan, Nama/Reputasi buruk Antipati Dosa/Murka Dari kerangka pemikiran di atas, pekerja yang baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya pekerja yang buruk maka ia sendiri akan merasakan akibatnya. Berkenaan dengan masalah tersebuit ayat di bawah ini relevan untuk dijadikan landasan noramtifnya, Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 7 yang artinya, Jika kamu berbuat baik, maka kebaikan itu untuk dirimu dan apabila kamu berbuat buruk maka akibatnya juga akan menimpamu… Berkaitan dengan kerja yang baik dapat dilihat pada hadis rasul yang menyatakan: Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kamu untuk berbuat baik (ihsan) terhadap sesuatu. Karena itu jika kamu menyembelih, maka berihsanlah dalam penyembelihan itu, dan seseorang hendaklah menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu.7 Ihsan disini dapat dikatakan optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin dengan tetap mempertimbangkan 6 M.Ismail Yusanto dan M.Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta : Gema Insani Pers, 2002), h. 117 7 Al-Hafiz al-Munziri, Mukhtasar sahih Muslim, (Kuwait :Wazarah al-Awkaf wa al-Syu’un alIslamiyyah, 1969), Juz II, h.47. (Hadis No.1249) efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya yang dilambangkan oleh hadis dengan menajamkan pisau. Pada gilirannya amal (kerja) yang baik itulah yang akan menghantarkan dirinya mencapai harkat yang tinggi yaitu bertemu dengan Tuhan penuh keridaan seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-kahfi /18:110. “Barang siapa benar-benar berharap bertemu dengan Tuhannya, maka hendaklah ia berbuat (bekerja) yang baik dan hendaknya dalam beribadah ia tidak melakukan syirik. Sampai di sini ada ajaran yang luhur dalam Islam yaitu otonomi manusia. Kitab suci menegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali apa yang ia usahakan sendiri. Al-Qur’an menyatakan, seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain, dan bagi manusia adalah apa yang ia usahakan. (al-Najm/52-36-42). Kalaulah manusia tidak mendapatkan apaapa kecuali yang ia usahakan sendiri, maka ia tidak boleh memandang ringan setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ia harus memberi makna terhadap kerjanya, sehingga menjadi bagian integral dari makna kehidupannya secara menyeluruh. Ia harus menginsyafi bahwa kerja itu sebagai mode of existence dirinya, baik dan buruk akan membentuk nilai peribadinya. 8 Ada dua hal sangat penting dari penjelasan Cak Nur di atas. Pertama, pada dasarnya manusia memiliki kebebasan atau otonomi yang luas dalam bekerja. Dengan demikian kerja dan hasil kerja yang diterimanya bukanlah sesuatu yang telah ditentukan oleh Tuhan sehingga manusia hanya menjalani dan harus menerimanya. Dalam pembahasan Teologi Islam ini disebut dengan free will (Qadariyah) sebagai lawan dari predestination (jabariyah, fatalis). Bagi aliran Qadariyyah yang rasional , manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak serta berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusialah yang menciptakan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh tidak patuh kepada Tuhan adalah atas kehendaknya sendiri. Sedangkan bagi aliran jabariyyah (fatalis) manusia tidak memiliki kebebasan dalam berbuat dan berkehendak, manusia hanya dapat berusaha (al-kasb) sedangkan hasilnya tetap saja ditentukan oleh Tuhan. Perdebatan dan perbedaan aliran di atas tidak begitu relevan dengan diskusi ini, yang penting adalah apa implikasinya terhadap etos kerja 9 8 Nurcholis Madjid, op.cit, h. 68 9 Secara etimologis kata etos yang berasal dari bahasa Yunani (etos) bermakna watak atau karakter. Dengan kata lain etos adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, kepercayaan yang melekat pada seseorang seseorang. Berhubungan dengan hal ini menarik untuk melihat penelitian yang dilakukan oleh Nanat Fatah Nasir tentang Etos Kerja Wirausahawan Muslim di Kabupaten Tasik Malaya. Jawa Barat. Dalam kesimpulannya Ia menyatakan: Bagi orang Islam yang cenderung ke pemikiran Qadariyah, pemahaman tentang ikhtiyar ialah bahwa keberhasilan manusia dalam kegiatan ekonomi sangat ditentukan oleh sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan manusia itu sendiri untuk meraih keberhasilan atau keuntungan dalam usahanya, bukan semata-mata ditentukan oleh Allah SWT. Karena itu, kerja keras, hemat, jujur, dan perhitungan dalam usaha, merupakan bagian dari ikhtiyar manusia sebagai prasyarat untuk meraih keberhasialan atau keuntungan dalam usaha mereka. Berbeda halnya dengan orang Islam yang cenderung kepada pemikiran jabariyah, pemahaman mereka tentang ikhtiyar ialah bahwa keberhasilan manusia termasuk dalam kegiatan ekonomi sangat ditentukan oleh kehendak Allah SWT semata-mata, bukan ditentukan oleh adanya kerja keras, hemat, jujur, dan berperhitungan dalam kegiatan usaha. 10 Dari penelitian yang dilakukan oleh Nanat Fatah Nasir di atas, jelaslah bahwa ada korelasi (hubungan) yang signifikan antara pemahaman keagamaan dengan etos kerja. Pemahaman keagamaan seseorang yang cenderung fatalistic berimplikasi pada rendahnya etos kerja yang dimilikinya. Sebaliknya pemahaman keagamaan yang dinamis dan progresif seperti yang terdapat dalam aliran qadariyah, berimplikasi pada etos kerja yang tinggi. Pengaruh kepercayaan terhadap etos kerja bukan hanya berlaku dalam Islam saja. Max Weber seorang sosiolog agama telah melakukan penelitian terhadap pengaruh etika Protestan terhadap sistem Kapitalisme. Bermula dari observasinya di Jerman ternyata, sebagian besar pimpinan perusahan pemilik modal dan perusahaan teknik dan komersial tingkat atas adalah orang Protestan bukannya Katolik. Apa yang memicu mereka untuk bekerja keras tidak lain adalah ajaran teologi Protestan itu sendiri. Menurut Weber dalam Teologi Protestan khususnya sekte calvinisme yang dianggap sebagai aliran yang paling banyak menyumbang bagi atau sekelompok manusia. Dari perkataan ini terambil kata etika dan etis yang artinya lebih kurang sama dengan akhlak. Nurcholis Madjid menyebut etos sebagai jiwa khas suatu kelompok manusia, yang dari jiwa khas itu berkembang menjadi pandangan bangsa tentang yang baik dan yang buruk. Dapatlah dikatakan yang dimaksud dengan etos kerja itu merupakan kualitas esensial seseorang atau sekelompok orang menyangkut pandangan tentang kerja dan etikanya. Lihat, Ibid., 10 Nanat Fatah Nasir, Etos Kerja Wirausahan Muslim,(Bandung: Gunung Djati Press,1999), h.153-154. perkembangan semangat kapitalisme Barat- ada ajaran tentang takdir dan nasib manusia di hari nanti. Menurutnya takdir ini telah ditentukan dan keselamatan manusia akan diberikan kepada manusia terpilih. Siapakah yang terpilih, ajaran ini menyatakan tidak ada kepastian. Tetapi adalah kewajiban manusia untuk beranggapan bahwa ia adalah manusia terpilih dan berusaha untuk selalu memerangi segala keraguan dan godaan setan.11 Untuk membangun kepercayaan terhadap diri sendiri itu, manusia harus bekerja keras, sebab hanya kerja keras inilah yang dapat menghilangkan keraguan manusia. Tuhan menurut calvinisme mengharuskan ummatnya tidak satu kerja yang baik, tetapi suatu hidup dari kerja yang baik. Demikianlah cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Weber menyebut kerja merupakan panggilan (beruf), sedangkan menurut katolik kerja adalah sebagai satu keharusan untuk kelanjutan hidup. Jadi menurutnya, yang diinginkan oleh doktrin ini adalah askese duniawi, yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dengan kegairahan bekerja sebagai gambaran dan pernyataan sebagai manusia terpilih.12 Dalam Islampun seharusnya sikap tunduk dan patuh kepada Tuhan (pengabdiaan) harus ditunjukkan dengan kerja keras yang nota bene juga dipandang ibadah untuk mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Akhirnya Weber menyatakan, semangat kapitalisme yang bersandarkan kepada cinta, ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional dan sanggup menahan diri, menemukan pasangannya dalam semangat protestan. Selanjutnya sukses hidup yang dihasilkan oleh kerja keras bisa pula dianggap sebagai pembenaran bahwa ia adalah manusia terpilih.13 Dapatlah dikatakan betapa ajaran agama –terlepas agama apa yang dianut- memiliki pengaruh yang signifikan terhadap etos kerja seseorang. Menyangkut hal ini Cak Nur menyatakan, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai. Selanjutnya sistem nilai akan memberi manusia kejelasan apa yang baik dan apa yang buruk dan akhirnya ini pulalah yang akan mendasari seluruh kegiatan manusia dalam menciptakan peradaban.14 11 Ibid., h.10-11. Lebih luas kajian ini dapat dilihat dalam Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (New York: Charles Scribner`s Sons, 1958) 12 Ibid., h.12 13 Ibid., h.13 14 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (jakarta: Paramadina, 1992), h.xxiii Seorang muslim yang meyakini dan percaya bahwa kerja dan hasil kerja yang dilakukannya sudah ditentukan oleh Allah, maka yang terbaik baginya hanyalah menjalani kehidupan ini apa adanya, karena semuanya sudah ditentukan Allah. Ia akan beranggapan tidak ada pengaruh keseriusannya dalam bekerja terhadap perubahan hasil kerja. Sebaliknya, jika seorang Muslim beranggapan bahwa ialah yang akan menentukan nasibnya sendiri, maka implikasi dari keyakinan ini akan menjadikannya orang yang bersungguh-sungguh dalam bekerja agar mendapatkan hasil yang maksimal. Dari pembahasan di atas, jelaslah terdapat hubungan yang erat antara agama terlepas apapun agamanya dan etos kerja.15 Jika dikembangkan lebih jauh lagi, paling tidak ada delapan etos kerja yang harus dimiliki setiap orang seperti yang dijelaskan oleh Jansen H Sinamo dalam bukunya Ethos 21: Etos Kerja Profesional di era Digital Global, sebagai berikut :16 1. Kerja adalah rahmat: “aku bekerja tulus penuh syukur”. Hidup dan kerja dipahami sebagai manifestasi kekuatan kebaikan oleh rahmat Tuhan (the power of goodness by the grace of god). 2. Kerja adalah amanah. “Aku bekerja benar penuh tanggungjawab”. Kerja yang diamanahkan kepada kita harus dijunjung tinggi, dipelihara, dan dilaksanakan sebaik-baiknya sampai di sini akan muncul sikap bertanggungjawab terhadap apa yang dikerjakan. 3. Kerja adalah Panggilan. “Aku bekerja tuntas penuh integritas”. Kerja harus dilihat sebagai panggilan hidup sesuai dengan profesi kita masing-masing. 4. Kerja adalah aktualisasi. “Aku bekerja keras penuh semangat”. Kerja keras yang kita lakukan merupakan wahana aktualisasi diri sehingga potensi dirinya dapat berkembang dengan baik. 5. Kerja adalah ibadah. “Aku bekerja serius penuh kecintaan”. Kerja sebagai ibadah adalah sebuah tindakan menyerahankan atau memberikan kepada sesautu yang hidup ini kita abdikan untuk-NYA. 15 Beberapa karya yang dapat dirujuk berkenaan dengan masalah ini adalah, Taufiq Abdullah (ed), Agama dan etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta : LP3ES, 1979). Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan, (Yogyakarta: Galang Pers, 2001). Amin Rais (ed) Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiyar Mengaca Diri, (Jakarta : Rajawali Pers, 1994), Masyhur Amin, Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikran Islam, (Yogyakarta: LPSM-NU DIY, 1989). 16 Jansen H Sinamo, Ethos 21: Etos Kerja Profesional di era Digital Global,(Jakarta : Maharadika, 202) 6. Kerja adalah seni. “Aku bekerja kreatif penuh sukacita”. Kerja sebagai seni akan mampu mendatangkan kegairahan dalam bekerja yang bersumber dari aktivitas-aktivitas kreatif, artistic, dan interaktif.suka cita ini bertambah pula krena adanya suasana penuh tantangan yang memungkinkan terjadinya sense of accomplishment. 7. Kerja dalah kehormatan: “Aku bekerja tekun penuh keunggulan”. Kita wajib menjaga kehormatan itu dengan menampilkan kinerja yang unggul (excellent performance). 8. Kerja dalah pelayanan. Aku bekerja Sempurn apenuh kerendahan hati. Kemuliaan datang dari pelayanan dan orang yang melayani adalah orang yang mulia. Delapan etos kerja yang dikemukan di atas, merupakan tafsir baru terhadap kerja. Jadi kerja tidak lagi sekedar sarana untuk memenuhi kebutuhan material tetapi lebih sebagai sarana mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang bermartabat. C.Pekerjaan yang Halal dan yang Haram Di muka telah disinggung bahwa konsep kerja yang selama ini dipahami sekedar cara untuk memenuhi kebutuhan hidup telah bergeser menjadi ukuran harga diri seseorang. Jenis dan bentuk pekerjaan sangat menentukan posisi sosialnya di masyarakat. Dalam pandangan Islam jenis dan bentuk pekerjaan tidak menjadi ukuran kemuliaan seseorang. Sama halnya dengan rupa, harta dan pangkat tidak membuat seseorang lebih mulia dari yang lain. Dengan demikian yang menjadi ukuran adalah kualitas kerja dan seberapa jauh pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan tuntutan ajaran Islam. Memang ada beberapa teks-teks hadis yang menjelaskan jenis-jenis pekerjaan yang dianjurkan dan dipandang lebih baik dari yang lain. Namun lagi-lagi harus diingat hadis-hadis tersebut sangat kontekstual (sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu) dan tidak boleh dipahami secara literal (harpiah). Sebagai contoh dalam sebuah hadis, Rasul pernah ditanya sahabat tentang pekerjaan yang paling afdal (baik). Rasul menjawab `amal al-rajul biyadih (usaha mandiri). Usaha mandiri itu adalah bertani, berdagang dan bertukang. Dari ketiga jenis pekerjaan ini mana pula yang paling baik, para ulama memahaminya yang paling baik (afdal) adalah berdagang, karena Rasul sendiri berdagang disamping penyebutan jenis pekerjaan ini ada dalam al-Qur’an. Ingat kembali kata al-tijarah yang bermakna berdagang. Ada yang menyatakan pekerjaan yang paling baik adalah bertukang karena banyak nabi-nabi yang menjadi tukang seperti nabi Daud tukang besi, nabi Idris tukang jahit, nabi Nuh tukang kayu, namun jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat yang paling baik adalah bertani karena lebih dapat mendekatkan diri pada Allah.17 Pernyataan hadis rasul tersebut tidak boleh dipahami secara literal, akan tetapi bagaimana menangkap esensi dari pesan tersebut. Agaknya yang paling esensial dari pesan tersebut adalah penekanan Rasul pada usaha mandiri dan larangannya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain dengan jalan meminta-minta. Berkenaan dengan ini Rasul menyatakan, mukmin yang kuat lebih disukai Allah dari mukmin yang lemah walaupun pada kedua-duanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan pada Allah.18 Ibn Taimiyyah pernah menyatakan bahwa Usman Ibn `Affan, Ali Ibn Abi Talib dan `Abd al-Rahman Ibn `Auf adalah contoh-contoh mukmin yang kuat. Sedangkan Abu Zar al-Gifari adalah contoh mu’min yang lemah. Kelemahan Abu Zar bukanlah pada keimanannya tetapi pada pola hidup duniawi yang ditempuhnya. Baginya, manusia tidak boleh memiliki harta diluar kebutuhannya. Setiap harta berlebih adalah simpanan (kanz) yang bakal disetrikakan ketubuhnya di hari akhirat nanti. 19Kerja dalam pandangannya hanyalah memenuhi kebutuhan hidup primer agar bisa bertahan. Dunia baginya bukanlah tempat untuk meraih kebahagiaan. Dengan kata lain Abu Zar pesimis dalam melihat dunia. Padahal duniapun sebenarnya dapat memberikan kebahagian kepada manusia walaupun harus diakui kebahagiaan akhirat lebih abadi. Memandang dunia secara pesimis akan berimplikasi pada menurunnya etos kerja seseorang. Ia tidak akan terpacu untuk meningkatkan prestasi dan kualitas kerjanya. Jadi penghargaan yang diberikan rasul terhadap orang yang mau berusaha sendiri tanpa mengharap belas kasihan dari orang lain adalah implementasi dari otonomi manusia yang telah dijelaskan dimuka. Dengan demikian pekerjaan apapun yang dilakukan apakah bertani, berdagang, bertukang, mengajar, harus dipandang sebagai pekerjaan yang baik. Pekerjaan itu dapat dikatakan tidak baik jika dalam pelaksanaannya melanggar aturanaturan syari`at yang telah digariskan Allah. Berdagang itu baik namun jika yang diperdagangkan itu adalah minuman keras, pekerjaan itu menjadi tidak 17 Abdullah Syah, “Mencari Rizki yang halal adalah Jihad fi Sabilillah” dalam, Media Ulama ,No. 9 Tahun III Maret 2000, MUI ,Sumatera Utara, h.32. 18 Al-Hafiz al-Munziri, op.cit., jilid II , h.246 19 Nurcholis Madjid, op.cit., h.70-71 baik. Bertani itu baik, namun apabila tanah yang digarap adalah hasil penipuan maka bertani menjadi tidak baik. Sampai disini pekerjaan yang halal dan yang haram dalam Islam dapat dilihat dari dua sisi. 1) Pekerjaan yang halal (bertani, berdagang dan sebagainya) namun dalam pelaksanaannya melanggar aturan syari`at dan 2) Pekerjaan yang nyata-nyata diharamkan Allah seperti mencuri, merampok, praktek rentenir (membungakan uang), melacurkan diri dan lain-lain. Mengapa Islam membuat pemilahan terhadap pekerjaan yang halal dan haram ?. Jawabnya adalah pekerjaan dalam Islam bukan hanya dilihat dari sudut ekonomi untuk meraih keuntungan tetapi juga memiliki dimensi etis. Artinya, pekerjaan-pekerjaan yang haram mengasumsikan adanya pihak lain yang dirugikan atau dikorbankan. Ini tentu saja bertentangan dengan asasasas ekonomi Islam yang sangat menjunjung nilai-nilai kemaslahatan dan saling tolong menolong. Implikasinya lebih jauh adalah, pekerjaan yang haram akan menghasilkan sesuatu yang diharamkan pula. Pada akhirnya barang yang haram ini pula yang dijadikan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti memberi makan keluarga. Pada hal dalam ajaran Islam dijelaskan, makanan yang haram atau sesuatu yang diperoleh dari yang haram, tidak saja diharamkan tetapi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan jiwa manusia yang tidak baik. E.Do`a Dan Rizki Sebuah pertanyaan yang menarik diajukan adalah, apakah ada pengaruh do`a terhadap hasil kerja yang dilakukan manusia (rizki)?. Menurut hemat penulis tidak ada pengaruh do`a secara langsung terhadap hasil kerja. Do`a pada hakikatnya adalah satu bentuk kesadaran manusia atas kelemahan dan keterbatasan dirinya. Dalam sosiologi Agama disebutkan, manusia beragama sebenarnya didasarkan pada satu pandangan bahwa tidak ada kepastian dalam hidup ini. Selalu saja ada hal-hal yang misterius. Disamping itu dalam kehidupannya seringkali manusia mengalami hal-hal yang diluar jangkauan pemikirannya, yang terkadang sering membuatnya menjadi tidak tenang. Untuk itu ia harus memiliki sandaran vertikal yang kira-kira membuatnya tenang. Pada sisi lain, manusia juga menyadari, bagaimanapun kehebatan yang dimilikinya tetap saja memiliki keterbatasan. Di saat inilah muncul kesadaran pada dirinya tentang kekuatan supranatural di luar dirinya. Atas dasar ini kepercayaan tersebut ternyata sangat dibutuhkan untuk memberikan ketenangan dan harapan baru dalam hidup. Dalam rangka inilah do`a harus dipahami sebagai bentuk kesadaran manusia akan kelemahan dan keterbatasan dirinya. Dalam suasana do`a, manusia akan mengalami ketenangan yang akan menjadikan dirinya memiliki temperatur batin yang stabil. Pada akhirnya suasana tenang inilah yang akan memberikan pengaruh pada penampilan dirinya dalam bekerja. Ketenangan dalam bekerja akan memberikan pengaruh pada hasil kerja. Dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan bahwa orang yang bekerja dengan tenang akan membawa hasil kerja yang baik. Sedangkan orang yang bekerja dalam suasana yang gelisah, resah, berada dalam tekanan, seringkali hasil kerjanya tidak baik. Karena bagaimanapun kondisi batin seseorang akan mempengaruhi penampilan kesehariannya. Hemat penulis, do`a tidak memberikan pengaruh langsung terhadap hasil kerja seseorang. Kendati ayat-ayat al-Qur`an dan hadis-hadis Rasul menyuruh ummatnya berdo`a namun yang tetap menentukan rizki itu adalah kerja yang dilakukan. Dari sinilah mengapa Allah –seperti yang telah disebut dimuka- menyatakan bahwa setiap binatang yang melata (dabbah)) di bumi ini telah disiapkan Allah rizkinya. Melata merupakan isyarat pentingnya usaha yang sungguh-sungguh untuk menemukan rizki yang telah dipersiapkan Allah. Namun bukan berarti do`a tidak perlu. Pada hakikatnya do`a yang disampaikan seseorang akan membentuk visi, motivasi, kepribadian, sikap dan pada gilirannya juga akan membentuk prilaku manusia. Semuanya ini tanpa disadari akan menentukan terhadap proses dan hasil kerja seseorang. Agaknya inilah makna hadis Rasul yang menyatakan, “do`a itu adalah otaknya ibadah”. Di bawah ini ada ilustrasi yang dapat dijadikan cermin betapa pentingnya kerjakeras tersebut: Tersebutlah seorang lelaki tua tinggal di daratan Cina bersama dua orang putranya. Rumah mereka menghadap ke Timur dan tepat di depan desa mereka berdiri dua buah bukit besar, Taihung dan Wangwu namanya. Kedua bukit itu menghalangi cahaya matahari pagi.setelah berpikir keras, lelaki tua itu bertekad bersama anaknya untuk meratakan dua bukit tersebut. Setiap hari mereka mencangkul bukit itu. Para tetangganya melihat mereka bekerja dan menggelengkan kepala sambil berkomentar, “Betapa bodohnya kalian. Mana mungkin kalian bisa memindahkan kedua bukit besar itu.” Lelaki tua itu tersenyum dan berkata, “Bila saya kelak meninggal, anak-anak saya akan meneruskan pekerjaan ini. Kedua bukit itu memang besar, tetapi keduanya tidak akan tumbuh lebih besar lagi. Tetapi kekuatan kami masih bisa bertambah karena cucu-cucu saya akan lahir. Dan sedikit demi sedikit kami akan mendekatai tujuan kami. Lebih baik melakukan sesuatu dari pada hanya duduk mengeluh bahwa bukit itu menghalangi cahaya matahari. Dengan keyakinan demikian mereka terus bekerja keras menggempur kedua bukit besar itu. Mereka ingin menikmati cahaya matahari memancar ke dalam rumah dan halaman mereka, yang akan menyburkan lahan dan memberikan panen. Mereka bekerja keras penuh semangat sehingga tubuh mereka semakin sehat dan kuat.. Kisah di atas sebenarnya cukup inspiratif bagaimana kerja keras merupakan sebuah keniscayaan untuk memperoleh keberhasilan. Logikanya jika dibalik, tiada keberhasilan yang dapat dicapai tanpa adanya kerja keras. F. Etika Kerja Muslim Jika merujuk kepada al-Qur’an akan ditemukan beberapa tuntutan ajaran Islam tentang etika kerja diantaranya adalah : 1. Niat yang baik dan ikhlas. Rasul menyatakan, “sesungguhnya segala amal perbuatan akan dinilai dari niatnya”.(Hadis Riwayat Bukhari). 2. Tidak melalaikan kewajibannya kepada Allah SWT. Dalam surat aljumu`ah ayat 10-11 Allah SWT menyatakan,“apabila telah berkumandang azan pada hari jum`at maka tinggalkanlah jual beli dan bersegeralah untuk berzikir (sholat)…..apabila telah ditunaikan sholat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah. 3. Suka sama suka (tidak ada keterpaksaan).al-nisa’/4;29. 4. Akhlak yang baik. Rasul bersabda, pedagang yang jujur kelak bersama para Rasul di hari kiamat. (H.R.Ibnu Majah). 5. Tidak curang dan tidak pula memberi mudharat pada orang lain.(alRahman/55:9), (al-Muthaffifin/83/1-3). 6. Menerapkan administrasi dan manajemen yang baik (alBaqarah/2:282) 7. Obyek Usaha haruslah yang halal. Tentu saja etika kerja yang disarikan dari ajaran al-Qur’an ini dapat dikembangkan lebih jauh dan dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. G.Rangkuman: 1. Dalam pandangan Islam kerja bukan hanya sebuah perintah agar manusia memenuhi kebutuhan hidupnya namun lebih dari itu kerja merupakan mode of existence dan tolak ukur tingkat kehambaan seseorang di hadapan Allah SWT. 2. Ketentuan al-Qur’an agar manusia memilih pekerjaan yang halal dan meninggalkan pekerjaan yang haram serta syubhat adalah untuk kebahagiaan manusia tidak saja di dunia (jasmani) tetapi juga diakhirat (rohani). H. Pertanyaan 1. Dalam pandangan Islam kerja merupakan bentuk keberadaan seorang hamba (mode of existence). Jelaskanlah maksudnya ?. 2. Sebutkan jenis-jenis kerja yang halal, haram dan syubhat, masingmasing tiga buah !. Apa hikmah dibalik aturan-aturan ini ?. 3. Uraikanlah etika kerja dalam pandangan Islam minimal 4 buah ?. BAB VIII ETIKA KERJA SAMA DAN PERKONGSIAN DALAM ISLAM Berangkat dari analisa semantik manusia yang diungkap oleh al-Qur’an, ditemukan bahwa kata al-nas yang menjelaskan manusia sebagai makhluk sosial adalah kata yang paling banyak diungkap oleh al-Qur’an sampai 240 kali. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia perlu berinteraksi dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dalam suasana itulah ia membutuhkan kerja sama dengan orang lain apakah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup atau dalam pengembangan usaha bisnis. Khusus menyangkut dunia bisnis, kerja sama merupakan satu keniscayaan. Bisnis itu sendiri mengandung makna adanya dua pihak atau lebih yang melakukan satu kegiatan bisnis. Tidaklah mengherankan, didalam khazanah keilmuan Islam kerja sama itu disebut dengan musyarakah (adanya dua pihak yang bersyarikat), mudharabah (adanya dua pihak yang melakukan satu usaha dengan perjanjian bagi hasil). Bab berikut ini akan menjelaskan bentuk –bentuk kerja sama dalam Islam dan etika apa yang harus dipegangi oleh orang yang bekerjasama. A.Bentuk-Bentuk Kerja sama 1.Mudharabah Mudharabah berasal dari kata darb artinya memukul atau lebih tepatnya proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha. Secara teknis mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (sahib al-mal) menyediakan seluruh dana 100%, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola dana tersebut. 1 Keuntungan usaha mudarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola atau penyimpangan-penyimpangan yang dilakukannya. Namun apabila kerugian itu 1 Syafi`i Antonio, Bank Syari`ah Wacana Ulama Dan Cendikiawan,(Jakarta: BI dan Tazkia Institut, 1999), h. 173. disebabkan kecerobohan atau kecurangan pihak pengelola, maka ialah yang harus bertanggungjawab.2 Untuk terciptanya kerjasama mudarabah diperlukan beberapa rukun:3 1. Pemodal (sahib al-mal) dan Pengelola . Dalam mudarabah ada dua pihak yang melakukan kontrak, penyedia dana (sahib al-mal) dan pengelola. Keduanya harus mampu melakukan transaksi dan sah secara hukum. 2. Sighat Sighat adalah penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul) yang harus diucapkan kedua belah pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk menyempurnakan kontrak..Sighat ini boleh juga dilakukan dengan tulisan. 3. Modal Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola untuk tujuan menginvestasikannya dalam aktivitas mudharabah. 2..Musyarakah Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. 4 Adapun Rukun Musyarakah adalah : 1. Sighat Tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah. Ia dapat berbentuk pengucapan yang menunjukkan tujuan atau juga dalam bentuk tulisan. Tentu saja kontrak tersebut harus dicatat dan disaksikan. 2. Pihak yang berkontrak Disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. 3. Dana 2 Ibid., h.173-174 3 Ibid,. h. 173 4 Mu’amalat Institut, Perbankan Syari`ah :Perspektif Praktisi, (jakarta:Mu`amalat Institut, 1999), h. 7778. Lihat juag, Syafi`I Antonio, op.cit.,h. 187 72 Modal yang diberikan harus uang tunai, emas dan perak atau yang bernilai sama. 4. Kerja Partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah merupakan ketentuan dasar. Tidak dibenarkan bila salah seorang di antara mereka menyatakan tidak ikut serta menangani pekerjaan dalam kerjasama. Kendati demikian tidak ada keharusan bahwa mereka harus menanggung beban kerja yang sama, namun harus disesuaikan dengan keahlian masing-masing.5 Dalam kerjasama musyarakah ini, syari’at Islam memberi ketentuan bahwa keuntungan dan kerugian dibagi sesuai dengan besar modal dan beban kerja yang ada. 3.Qard Qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Qard juga diartikan sebagai suatu transaksi yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu. 6 Qard pada hakikatnya adalah bantuan modal yang diberikan seseorang atau lembaga kepada pengusaha kecil dalam rangka membantu usahanya agar dapat berkembang. Dalam bantuan itu tidak disyaratkan bagi hasil, peminjam hanya dituntut untuk mengembalikan modal dalam rentang waktu yang telah disepakati. Adapun Rukunnya adalah: 1. Muqrid (pemilik barang atau modal) 2.Muqtarid (peminjam) 3.Sighat (ucapan ijab dan qabul) 4. Qard (barang atau modal yang dipinjamkan).7 Apa yang telah disebut di muka adalah sebagian kecil bentuk kerja sama yang ada dalam ekonomi Islam. Dalam konteks yang lebih luas, bentuk kerjasama tersebut lebih bervariasi.Diantaranya adalah: A.Firma 5 6 7 Ibid., h.190. Bandingkan, Mu`amalat Institut, op.cit., h.84 Ibid,.h.131 Syafi`i Antonio, Ibid., h. 224-225. 73 Biasanya firma didefinisiakan sebagai usaha untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan tujuan untuk membagi-bagi hasil yang didapatkan dari persekutuan itu. Permodalan berasal dari pemilik dengan suatu jumlah yang ditetapkan bersama dan kemungkinan ada yang menyetor lebih besar dari yang lain. Bisa juga yang disertakan adalah keahlian atau keterampilan tertentu yang berguna untuk pengembangan usaha yang sedang dijalankan. 8 B.CV (Commanditer Vennootschap) Dalam CV biasanya kerjasama yang dilakukan tampak dalam jenis keanggotaan yang terdiri dari: 1.Anggota pengurus atau anggota aktiv yang ,menjalankan operasional usaha sehari-hari dan bertanggungjawab penuh dengan jalannya perusahaan. 2.Anggota komanditer atau anggota pasif yaitu pemilik modal dan tidak ikut serta dalam operasional perusahaan.9 C. PT (Perseroan Terbatas) Secara sederhana PT adalah bentuk kerjasama antara dewan direksi yang menjalankan operasional perusahaan dan para pemegang saham yang diwakili oleh komisaris PT. Modal PT diperoleh dari hasil penjualan saham kepada peminat.10 D. Koperasi Koperasi adalah bentuk kerjasama yang dilakukan paling tidak oleh dua puluh orang, dengan menjalankan satu bidang usaha untuk mencapai kesejahteraan bersama, khususnya para anggota. 11 B. Adab Kerjasama dalam Islam Kerjasama atau perkongsian seperti yang telah dijelaskan di atas, dibenarkan dalam ajaran Islam selama yang bekerjasama itu tidak berkhianat antara yang satu dengan lainnya. Peluang untuk berbuat yang tidak baik terbuka lebar, karena bidang yang dijalankan berkaitan dengan kebutuhan 8 Bukhari Alma, Ajaran Islam Dalam Bisnis (Bandung: Alafabeta, 1994), h. 159 9 Ibid., h. 160 Ibid., h. 161 11 Ibid., h. 161 10 74 dasar manusia yaitu harta benda. Apakah karena kecenderungan nafsu serakah atau keinginan untuk berkuasa seringkali menjadikan manusia berkhianat dengan mitra kerjanya. Atas dasar inilah, di dalam al-Qur’an telah dijelaskan ancaman terhadap pelaku kerjasama yang tidak jujur terhadap mitranya, seperti yang terdapat pada surah al-Sad:24 Artinya: Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berkongsi (bersyarikat) itu, sebagian mereka berbuat zalim (curang) kepada sebagian yang lain. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, tetapi mereka yang demikian jumlahnya sangat sedikit. Dalam sebuah hadis Rasul juga mneyatakan: Artinya: Tangan Allah menyertai dua orang yang berkongsi, selama salah satu pihak tidak berkhianat kepada orang lain. Apabila salah satu pihak mengkhianati temannya, maka Allah akan menarik tangannya dari persyerikatan itu. Ayat dan hadis di atas memberikan isyarat betapa pada dasarnya kerjasama yang dilakukan antara dua belah pihak atau lebih dalam satu kegiatan bisnis sangat dianjurkan karena didalamnya terkandung keluhuran akhlak berupa keinginan untuk saling membantu. Keridaan Allah ditunjukkan dengan “keikutsertaannya” dalam kerjasama itu. Namun harus dicatat, kerjasama merupakan sumber malapetaka, bila orang-orang yang melakukannya tidak memiliki iman sehingga ia tergiur untuk melakukan pengkhianatan terhadap mitra kerjasama. Penting disadari bagi orang-orang yang ingin melakukan kerjasama dalam bisnis, bahwa tujuan kerjasama adalah untuk saling membantu dan mencapai kebahagian dan kesejahteraan bersama (win-win solution). Harus disadari setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan adanya kerjasama kekurangan yang dimiliki seseorang akan tertutupi oleh kelebihan yang dimiliki orang lain. Sedangkan kelebihan yang dimiliki seseorang berubah menjadi satu keunggulan ketika ia digabung dengan kelebihan yang dimiliki orang lain. Kerjasama akan berhasil dengan baik jika masing-masing pihak menyadari wilayah kerja masing-masing. Pemilik modal tidak diperkenankan menyampuri hal-hal yang bersifat tekhnis operasional karena wilayah ini telah dipegang oleh ahlinya. Sebaliknya, pengelola harus menjalankan usahanya dengan sebaik-baiknya karena mereka memegang amanah yang cukup berat dari pemilik modal. Demikian pula halnya dalam pembagian keuntungan dan beban kerugian harus diatur sesuai dengan kesepakatan yang telah dibangun bersama. 75 C.Siddiq Dan Amanah: Etika Kerjasama Islam Berangkat dari penjelasan di atas, siddiq dan amanah adalah kata kunci dalam hubungan kerjasama. Kejujuran bermakna kesediaan menjalankan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya baik oleh pemilik modal, pengusaha atau pihak-pihak yang terlibat. Sedangkan amanah bermakna kesediaan dengan teguh untuk menjalankan bidang tugas masing-masing yang dibarengi dengan kesediaan untuk mempertangungjawabkan seluruh kerja yang telah dilakukan, Menyangkut pentingnya amanah dalam kerjasama ekonomi dijelaskan Allah SWT dalam al-Qur’an seperti yang terdapat pada surah al-Maidah:283. Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang, .akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang dipercayai itu hendaklah ia menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya dan janganlah para saksi menyembunyikan persaksiannya. Dan barang siapa yang menyembunyikan persaksian, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan . Dawam Rahardjo menyebut ayat ini sebagai ayat ekonomi (mu`amalah) yang memberikan petunjuk bagaimana seorang muslim dalam melakukan transaksi yang tidak tunai baik dalam keadaan muqim (orang yang menetap) terlebih lagi dalam keadaan musafir. Ada tiga tawaran yang diberikan al-Qur’an. Pertama, mencatat hutang yang ditransaksikan. Kedua, menyerahkan barang gadaian. Ketiga, tidak dicatat dan tidak pula memakai barang gadaian, melainkan cukup hanya dengan berbekal saling percaya.12 Ayat ini menjelaskan ajaran dalam mu`amalat bahwa tulis menulis segala bentuk transaksi yang dilakukan itu sangat penting. Begitu pentingnya sampai-sampai mufassir yang khusus menulis tafsir ayat al-ahkam menghukumkannya dengan sunnat. Adanya bukti tertulis dalam satu transaksi mu`amalat terlebih lagi yang tidak tunai sangat berguna untuk menghindari terjadinya penipuan antara salah satu pihak. Namun demikian, hal ini bukanlah perintah yang paku mati. Sekiranya tidak ada penulis atau tidak terdapatnya alat-alat yang digunakan untuk menuliskannya, al-Qur’an memberikan tawaran berikutnya dengan cara memberikan barang gadaian. Jika ini juga tidak mungkin, al-Qur’an memberikan alternatif terakhir, jika dua 12 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an:Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta:paramadina, 1996), h. 190-191 76 pihak yang saling berinteraksi itu saling mempercayai (amanah), itu sudah cukup untuk melakukan transaksi tidak tunai tersebut. Kedua belah pihak dalam bermu’amalah harus menunaikan amanah, karena keduanya mengemban janji (`aqd). Sebagai konsekuensi logis dari kontrak tersebut, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Keharusan untuk memenuhi kontrak ini dipertegas oleh Al-Qur’an surah almaidah/5:1. Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji. Mengomentari ayat ini mufassir Maulana Muhammad Ali menyatakan, menghormati segala perjanjian, kontrak, persetujuan, persekutuan, yang semua tercakup dalam kata `uqud, dan menghormati pula segala peraturan Allah yang dibuat untuk kesejahteraan orang-orang dan masyarakat. Secara substansial ayat diatas (al-Baqarah ;238) menunjukkan hal-hal yang bersifat administratif (catatan hutang) dan keharusan adanya barang jaminan ketika seseorang melakukan aktivitas bisnis yang tidak tunai, menjadi tidak diperlukan lagi ketika kedua orang yang berinteraksi saling percaya. Dalam skala yang lebih besar, Anwar Nasution pakar ekonomi Indonesia menyatakan bahwa Bank pada hakikatnya adalah “satu lembaga amanah”, baik para pemegang saham atau depositor, menaruhkan kepercayaannya pada bank yang berfungsi menjalankan amanah.Dengan kata lain bank pada hakikatnya juga merupakan satu bentuk kerjasama anatar Bank dan nasabah yang mempercayakan modalnya untuk dikelola. 13 Bersamaan dengan disyahkannya UU Perbankan No.10 Tahun 1998 dimana bank Syari`ah mendapat tempat yang sejajar dengan bank konvensional, posisi amanah dan kejujuran semakin penting untuk dijalankan bagi pihak-pihak yang terlibat dengan bank syari`ah tersebut. Dalam salah satu tulisannya, Dawam Rahardjo menginformasikan, di Filipina terdapat sebuah Bank Islam yang memakai nama Amanah Bank. Asumsi dari pemakaian nama itu adalah bahwa Bank tersebut memang dimaksudkan sebagai “lembaga pengemban Amanah” para nasabahnya yang mendepositokan uangnya pada Bank tersebut untuk selanjutnya dijalankan dalam usaha Bisnis. Berbeda dengan bank konvensional yang menerapkan keharusan adanya jaminan (borgh) bagi orang yang ingin mengambil kredit, Bank Islam 13 Ibid., h. 191 77 tidak mensyaratkan hal yang demikian.14 Dalam produk mudharabah, dimana Bank bertindak sebagai sahib al-mal yang menyandang modal 100% untuk pengusaha yang membutuhkannya dengan ketentuan bagi hasil yang disepakati, pengusaha tersebut tidak diharuskan untuk memberikan jaminan sebentuk borgh dalam permohonannya. Pihak bank hanya mempelajari proposal yang diajukan. Ketika dipelajari, rencana usaha tersebut benar-benar prospektif dan menjanjikan dan tidak bertentangan dengan syari`ah , maka bank Islam akan memberikan bantuan modal.15 .Dengan demikian munculnya rasa percaya pihak Bank terhadap pemohon kredit ditunjukkan dengan adanya niat bayar dan kemampuan bayar serta kelayakan usaha yang meyakinkan. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah, pihak Bank akan mempelajari track record pemohon selama ini. Jika ia memang telah dikenal sebagai orang yang jujur (siddiq) dan amanah, maka ini merupakan kredit point untuk lebih cepat mendapatkan bantuan. Demikian juga dalam musyarakah kerja sama dalam satu usaha, keberadaan amanah sangat penting untuk direalisasikan dalam aktivitas bisnis. Dalam beberapa hadis Rasul dinyatakan, Allah akan bersama-sama orang yang berserikat, selama tidak ada salah satu pihak yang berkhianat. Jika salah seorang berkhianat, maka Allah “keluar” dari perserikatan tersebut dan hilanglah keberkatan usahanya. Belakangan ini siddiq dan amanah sebagai etika yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam dunia bisnis semakin mendapatkan perhatian. Karya terakhir yang cukup komprehensif mengelaborasi konsep amanah adalah karya Iwan Triyuwono yang menulis Disertasi yang berjudul “Shari`ate Organisation and Accounting : The Reflection of Self’s faith and Knowledge yang setelah diterjemahkan penulisnya menjadi Organisasi Dan Akutansi Syari`ah.16 Dalam karyanya tersebut ia menguraikan konsep amanah dalam 14 Informasi yang diterima penulis dari pihak BMI, untuk hari ini pinjaman tanpa borgh (jaminan) belum dapat dilaksanakan, karena pihak Bank belum memiliki bukti-bukti kuat bahwa calon kreditor benarbenar amanah. 15 BMI, Kertas Kerja Sosialisai Bank Syari`ah yang dilaksanakan BI cabang Medan, tanggal 17 April 2000. 16 Untuk menyebut diantaranya M.dawam Rahardjo menulis buku yang berjudul Etika Ekonomi Dan Manajemen (1990) berbicara amanah pada bab V dengan judul Amanah dalam manajemen.Y Pada karyanya yang lain, Islam Dan Transformasi Sosial Ekonomi ( 1999), Dawam kembali menegaskan pentingnya amanah dalam aktivitas ekonomi (hal. 327. ) Yusuf Qardawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (1997) juga menyinggung amanah pada hal.171.Syed Nawab Haidar naqvi Etika Dan 78 empat bab, dan yang paling penting hemat penulis terdapat pada bab VI yang berbicara tentang Amanah, Simbol Ketuhanan: Interpretasi dalam konteks Organisasi Bisnis. Ia menjelaskan bagaimana amanah teraktualisasi dalam bisnis Perbankan Islam, Implikasi amanah dalam berbisnis, implikasinya dalam produk perbankan dan implikasinya dalam praktek akuntansi. Ada ungkapan yang menarik dari Iwan Triyuwono yang menyatakan, …Akan tetapi perlu dipertimbangkan bahwa kata-kata “berdasarkan Syari`ah” dan “bertangungjawab kepada Tuhan” memiliki arti implisit dan substansial yang pertama, mendorong pencarian nilai-nilai normatif untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, dan sifat altruistik dari diri untuk diekspresikan dalam transaksi komunal. Dalam pandangan Syari`ah , bisnis tidaklah sekedar untuk bisnis semata, tetapi ia semacam ibadah yang meliputi bukan hanya transaksi-transaksi ekonomi saja, melainkan rasa menolong sesama, peduli lingkungan dan rasa cinta kepada Tuhan. 17 Dengan demikian dalam bisnis Islam aspek-aspek material-spritual, sakral dan profan, sosial dan individu tidak terpisah tetapi terjalin secara integral. Implimentasi amanah dalam aktivitas ekonomi memberikan kesadaran baru bahwa pada satu sisi pelaku bisnis merupakan hamba yang selalu berada dalam pengawasan Allah, pada sisi lain ia juga merupakan makhluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain, dan harus menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Pada akhirnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan amanah dalam aktivitas bisnis, tidak saja memberikan keuntungan material - karena ia akan menjadi mitra bisnis yang disenangi rekan-rekannya- tetapi juga spritual berupa ketenangan batin sehingga tidak rentan terhadap goncangangoncangan bisnis yang menderanya. Sebaliknya prilaku khianat tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga akan merugikan orang lain. Lebih jelas dapat di lihat dalam kasus di bawah ini: Kasus : Pemasok Komputer18 PT W.V.K. merupakan perusahaan besar yang ingin mengganti sistem komputernya, karena membutuhkan komputer tipe baru yang lebih canggih. Untuk itu mereka menghubungi perusahaan PT C.T.A. yang dapat memasok IlmuEkonomi: Suatu Sintesis Islami (1985) menyatakan amanah sebagai salah satu aksioma etik Islam disamping Tauhid, kehendak bebas dan keseimbangan. 17 Iwan Triyuwono,Shari`ate Organisation and Accounting : The Reflection of Self’s faith and Knowledge, (Organisasi Dan Akutansi Syari`ah), (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 183. 18 K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 14 79 komputer yang dicari. Seluruh proses penggantian komputer direncanakan akan selesai dalam satu tahun. Faktor waktu bagi mereka sangat penting. Kalau proses penggantian berlangsung lebih lama, PT W.V.K. akan mengalami kerugian cukup besar. Kepala bagian penjualan PT.C.T.A. meragukan kemampuan perusahaannya memenuhi permohonan ini tepat waktu, karena komputer baru yang dicari itu tergolong populer, sehingga produsen belum tentu dapat memenuhi permintaan pada waktunya. Tahap pertama dari pesanan (sesudah tiga bulan) pasti dapat ia penuhi, tetapi tentang kelanjutannya ia ragu-ragu. Di sisi lain ia mengkhawatirkan order yang meraup ratusan juta rupiah ini akan diberikan kepada perusahaan lain, bila ia menyatakan keraguannya untuk memenuhi permintaan tepat waktu. Akhirnya Ia memilih diam saja. (sumber: J.R.Boatright,Ethics and The Conduct of Business) Mencermati kasus di atas terkesan ada ketidakjujuran dari PT.C.T.A sebagai pemasok komputer. Karena mungkin tergiur dengan keuntungan yang besar ia berani membuat janji yang barangkali sulit untuk dipenuhinya. Disini aspek etisnya ialah, janji harus ditepati. Kalau demi keuntungan besar, ia sanggup membuat janji palsu berarti ia akan menipu mitra bisnisnya. Padahal sebenarnya lebih baik ia jujur menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. D.Rangkuman. 1. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Ia pasti membutuhkan orang lain. Disinilah pentingnya kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam melakukan satu kegiatan usaha. 2. Kerja sama yang terjadi akan berhasil dan menguntungkan dua pihak, selama kerja sama tersebut dilandasi dengan kejujuran dan saling percaya. Dengan demikian siddiq dan amanah merupakan etika kerja sama yang harus dijunjung tinggi. 3. Mengabaikan kejujuran dan membangun kerja sama dengan saling menipu, dan khianat akan merugikan diri sendiri dan merugikan mitra bisnis. 80 E.Pertanyaan; 1. Mengapa manusia membutuhkan kerja sama ? 2. Jelaskan bentuk-bentuk kerja sama dalam ekonomi Islam ? 3. Etika apa yang harus dimiliki oleh orang yang bekerja sama?. 81 BAB IX SISTEM EKONOMI DUNIA SUATU KAJIAN PERBANDINGAN A. Sistem Ekonomi : Pengertian Untuk menyamakan persepsi terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian sistem ekonomi yang akan dimulai dengan menjelaskan tentang arti sistem itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem diartikan dengan tiga pengertian. 1). Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. 2). Susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya. 3) Metode. 1 D.Keuning telah mengumpulkan sejumlah besar definisi tentang sistem yang dikemukan oleh sejumlah sarjana. Diantaranya adalah apa yang disebut oleh H.Thierry yang mendefinisikan sistem sebagai, ”suatu keseluruhan komponen yang saling mempengaruhi, yang tersusun menurut rencana tertentu guna mencapai tujuan tertentu”2. Kemudian J.H.R.Van Poel menyatakan sebuah sistem adalah, Sejumlah elemen yang diantaranya terdapat hubungan. Dalam berbagai definisi terdapat tambahan sebagai berikut:…elemen-elemen yang ditujukan ke arah pencapaian sasaran-sasaran bersama tertentu.3 Untuk lebih jelas dapat dipahami dari tabel berikut ini: SISTEM MANUSIA PERUSAHAAN 1 ELEMEN-ELEMEN TUJUAN/SASARAN Kerangka, organ tubuh, Manusia yang baik susunan saraf, dsb Manusia, mesin-mesin, Produksi barang-barang gedung, bahan-bahan dasar, dsb Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1995), hlm.950 2 Winardi, Kapitalisme Versus Sosialisme: Suatu Analisis Ekonomi Teoritis, (Bandung: Remaja Karya, 1986), h.6 3 Ibid., Dengan demikian manusia merupakan sebuah sistem yang masingmasing elemennya harus dapat saling mempengaruhi dan berfungsi secara seimbang untuk mencapai tujuan manusia itu sendiri berupa kebaikan hidup.Perusahan juga merupakan sebuah sistem yang terdiri dari para karyawan, mesin-mesin, gedung-gedung, bahan-bahan dasar yang kesemuanya saling berhubungan secara teratur untuk mencapai tujuan tertentu. Dari penjelasan para ahli di atas, pengertian sistem dalam bahasa Indonesia lebih tepat pada pengertian pertama yaitu, sebagai Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Pengertian unsur dapat di samakan dengan elemen yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Jika dihubungkan dengan ekonomi maka yang dimaksud dengan sistem ekonomi adalah; “sebuah organisasi yang mencakup sejumlah lembaga dan pranata (ekonomi, sosial, politik, ide) yang bertugas memecahkan masalah-masalah, barang-barang dan jasa apakah yang akan dihasilkan, bagaimana cara barang-barang dan jasa tersebut akan dihasilkan dan bagaimana cara membagi barang-barang dan jasa yang dihasilkan kepada masyarakat.4 Dalam tabel sistem ekonomi dapat dilihat di bawah ini sebagai berikut: SISTEM Sistem Ekonomi ELEMEN-ELEMEN Lembagalembaga/pranata ekonomi, lembaga politik, ide TUJUAN/SASARAN Melaksanakan proses -Produksi, Distribusi dan Kosumsi Para pakar telah mencoba untuk mengklasifikasikan sistem ekonomi yang ada di dunia ini dengan berbagai macam pendekatan. Theodore Morgan membagi sistem ekonomi kepada lima jenis sistem ekonomi; 1. Mixed Economic 2. Fascism 3. Communism 4. British Socialism 5. The Middle way 4 Ibid., h.22 Albert R.Oxenfeldt membaginya kepada tiga bentuk dengan melihat bagaimana sebuah sistem ekonomi dijalankan pada beberapa negara. 1. The United states 2. The Soviet Union 3. The united kingdom Melville J.Ulmer menggunakan klasifikasi berikut: 1. Capitalism 2. Socialism 3. Communism. Dari klasifikasi tersebut tampak bahwa secara umum sistem ekonomi dunia secara garis besar terbagi kepada tiga, kapitalisme, sosialisme dan komunisme. Dapat dikatakan sistem ekonomi Islam belum dipandang sebagai bagian dari sistem ekonomi dunia.Alasannya mungkin, sistem ekonomi Islam relatif masih baru, bisa juga sistem ekonomi Islam dipandang ekonom Barat belum ada, kalaupun ada masih sebatas wacana yang dapat diperdebatkan keberadaannya. Pendeknya sistem ekonomi Islam belum dipandang positif. Anggapan-anggapan inilah yang menjadikan Prof. Dr. M.A.Mannan seorang pakar ekonomi Islam memandang perlu untuk menjelaskan keraguan sebagian ekonom tentang eksistensi ekonomi Islam seperti terlihat dalam bukunya, Islamic Economic, Theory and Practice. Dalam kajian berikut ini sistem ekonomi dunia tersebut akan dibicarakan dengan mengklasifikasikannya kepada empat bentuk. 1. Sistem Ekonomi kapitalis 2. Sistem Ekonomi Komunis 3. Sistem Ekonomi Sejahtera dan Campuran. 4. Sistem Ekonomi Islam. B. Sistem Ekonomi Kapitalis. Sistem Ekonomi Kapitalis adalah, “Sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik pribadi (privat) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik, jalan-jalan dan sebagainya) dan pemanfa`atannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.5 Dari definisi tersebut, sendi-sendi kapitalisme (The pillars of Capitalism) dapat dilihat pada: Pemahaman tentang profit (laba). Pemahaman tentang Pasar Pemahaman tentang Kompetisi 5 Ibid., h.33 Pemahaman tentang kepemilikan pribadi Pemahaman tentang karya dan kerja.6 Menurut Winardi dalam bukunya, Kapitalisme Versus Sosialisme, sendi-sendi tersebut dapat dilihat pada: Hak milik Swasta (Private Proverty) Kepentingan diri sendiri (Self Interest) dan tangan yang tak terlihat (the invisible hand) Individualisme Ekonomi (Laissez faire) Persaingan dan Pasar Bebas Sitem harga (the price system) Pemerintah : Pembuatan peraturan, protektor dan wasit. Pada pembahasan berikut ini, sendi-sendi tersebut akan dijelaskan dengan memilih tiga hal yang paling penting yaitu, hak milik pribadi, pasar bebas, persaingan dan etos kerja. A. Hak Kepemilikan Pribadi Kepemilikan Pribadi dapat diartikan dengan hak untuk memiliki menggunakan, mengatur, atau membuang/memindahtangankan barang atau tempat tertentu kepada sesuatu yang lain sesuai dengan keinginannya sendiri. Sebagai konsekuensinya, bila seseorang mendapatkan hak kepemilikan pribadi atas suatu benda atau tempat, maka ia juga berhak untuk membatasi atau melarang orang lain mempergunakan, mengatur, dan memindahtangankan barang atau tempat tersebut. Singkatnya, kepemilikan pribadi berarti hak untuk menentukan akses orang lain terhadap milik itu dan menentukan akses kita terhadapnya.7 Dari manakah asal hak milik ini ?. John Locke (1632-1704) seorang filosof Inggris menyebutnya, kekayaan merupakan hak alamiah, terlepas dari kekuasaan negara. Pada perkembangan selanjutnya teori hak milik pribadi ini dikembangkan oleh Adam Smith (1723 - 1790 M) yang membagi hak milik pribadi menjadi dua bagian, hak real dan hak personal. Hak real adalah hak atas barang khusus tertentu. Ini mencakup hak milik pribadi, hak pakai, hak atas barang gadaian dan warisan. Sedangkan hak personal adalah hak yang 6 7 Robby I.Chandra, Etika Dunia Bisnis, (Yogyakarta:Kanisius, 1995), h.107 Ibid.,., h.107 dimiliki seseorang dalam hubungan pribadi tertentu yang muncul karena kontrak, semi kontrak atau ganti rugi.8 Untuk mendapatkan hak milik pribadi, Adam Smith menawarkan lima cara, 1) melalui pekerjaan, atau mengambil sesuatu yang sebelumnya tidak dimiliki oleh siapapun untuk menjadi milik pribadi. 2) melalui pengembangan hak milik pribadi, yaitu hak seseorang atas suatu barang sebagai akibat dari dimilikinya barang tersebut. 3), melalui penggunaan yang lama atas suatu barang, yaitu hak atas barang orang lain sebagai akibat pengunaannya yang lama dan terus menerus. 4) melalui warisan dari nenek moyang. 5), melalui pengalihan secara suka rela.9 B. Pasar Bebas Secara sederhana pasar bebas berarti orang bebas untuk melakukan apa saja secara ekonomis dengan kepemilikan yang secara absolut, tanpa adanya intervensi pemerintah. Menurut Smith pemerintah sedapat mungkin tidak terlalu banyak campur tangan mengatur perekonomian. 10 Baginya biarkan saja perekonomian berjalan dengan wajar tanpa campur tangan pemerintah, nanti akan ada suatu tangan tak terlihat (invisible hands) yang akan membawa perekonomian tersebut ke arah keseimbangan. Jika banyak campur tangan pemerintah, pasar akan mengalami distorsi yang akan membawa perekonomian pada ketidakefisienan dan ketidakseimbangan. 11 Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan pasar bebas ini adalah, bagaimana terjadinya keseimbangan pasar yang didasarkan pada keinginankeinginan pribadi tersebut? Menjawab pertanyaan ini, Smith mengajukan dua argumentasi. Pertama, argumentasi ekonomis yang berkaitan dengan pertumbuhan dan efisiensi ekonomi dan kedua, argumen moral yang menurutnya pasar bebas merupakan perwujudan kebebasan kodrati dan keadilan. Keadilan merupakan aturan main yang pada gilirannya akan melahirkan keuntungan timbal balik secara spontan bagi setiap pelaku. 12 8 Sonny Keraf, Pasar Bebas, Keadilan Dan Peran Pemerintah:Telaah atas Etika politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta:Kanisius, 1996), h.146 9 Ibid,. Pada awalnya perdagangan bebas yang dicetuskan Smith merupakan kritiknya terhadap merkantilisme yang menginginkan pembatasan dalam perdagangan. Lihat, Steven Pressmen, Fifty Major Economist ( Lima Puluh Pemikir Ekonomi), terj. Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). H.31 11 Deliarnov,Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), h.28 12 Sony Keraf, op.cit., h.164 10 Dalam tatanan seperti itu tidak hanya setiap peserta mendapat kesempatan yang lebih besar untuk mengejar kepentingannya, melainkan tatanan ekonomi pasar bebas juga akan memperbaiki kondisi setiap orang. Lebih penting dari itu, pelaku pasar bebas tidak boleh melanggar hak dan kepentingan orang lain, dan hanya dengan ini dapat tercapai suatu tatanan sosial yang harmonis dan fair. Kepedulian untuk tidak sampai melanggar hak dan kepentingan orang lain adalah justru merupakan kendali moral bagi seluruh mekanisme perdagangan bebas.13 C. Persaingan dan Etos Kerja Bila pemahaman tentang kepemilikan dan pasar bebas berjalan menurut alur pikir Kapitalisme, maka persaingan merupakan suatu konsekuensi logis dari suatu hukum alam. Persaingan ini menjadi sebuah keniscayaan karena dapat dilihat melalui seleksi alamiah antara pelaku bisnis yang tangguh dan pelaku bisnis yang buruk. Persaingan kerja juga lahir dari pembagian kerja yang tegas. Bahkan menurut Smith, pertumbuhan ekonomi bisa berjalan selama ada pembagian kerja.14 Persaingan tersebut dapat mengambil bentuk sebagai berikut, antara para penjual barang-barang yang serupa untuk menarik pembeli, antara pembeli untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan, antara pekerja untuk memperoleh pekerjaan, dan antara pihak majikan untuk memperoleh pekerja. Akhirnya muara dari persaingan ini adalah terciptanya keseimbangan harga terhadap barang-barang. Smith sangat yakin bahwa mekanisme supply dan demand akan menghasilkan suatu tingkat harga yang wajar dengan adanya persaingan harga antar penjual. Sebagai contoh, ketika pengusaha tertentu menetapkan suatu harga yang tinggi, sudah barang tentu mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan ini membuat pengusaha lain ingin terjun untuk menghasilkan barang yang serupa. Akibatnya persaingan semakin meningkat dan mungkin pula supply melebihi demand. Akibatnya harga menjadi turun, menuju tingkat yang lebih wajar. Ini menyebabkan pengusaha tertentu akan mengalihkan sumber-sumber mereka ke industri lain. Dengan demikian sumber-sumber industri akan tetap ditempatkan secara efisien.15 13 14 15 Ibid., Steven Pressman, op.cit, h.30 Robby I.Chandra, op.cit, h.111 C. Sistem Ekonomi Komunis Sejak awal perkembangannya ajaran-ajaran Kapitalisme telah menimbulkan berbagai reaksi yang kritis dari berbagai pihak. Reaksi yang muncul tidak hanya dalam bentuk perdebatan teoritis, tetapi juga dalam bentuk gerakan politik. Seperti apa yang disebutkan oleh Karl Mark, Kapitalisme telah melakukan penghisapan atas manusia oleh manusia lainnya.16 Menurutnya, Kapitalisme dapat bertahan hidup karena dua hal. Pertama, adanya pemilikan terhadap alat-alat produksi seperti, tanah, mesin, modal, dan keterampilan. Kedua, adanya penjualan tenaga oleh pemilik tenaga kerja.17 Penjualan tenaga kerja ini terjadi karena mereka tidak memiliki alat-alat produksi Tentu saja pemilik modal berada pada posisi yang kuat dalam transaksi penjualan tenaga tersebut, dan buruh pada posisi yang lemah karena mereka dengan terpaksa menjual tenaganya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Dalam situasi inilah pemilik modal dapat memberikan imbalan terhadap tenaga yang dibelinya dengan harga yang murah. Murah dalam arti mereka menerima harga jauh lebih rendah dari nilai yang mereka berikan kepada pemilik modal. Dari sinilah, Kapitalisme telah menciptakan susunan kelas sosial baru yang belum pernah dikenal sebelumnya; pemilik modal (borjuasi) yang jumlahnya sangat sedikit tetapi memiliki modal yang cukup besar dan kelas buruh (proletar).18 Selanjutnya, jumlah kelas buruh mengalami perkembangan yang cukup pesat karena kebanyakan kelas menengah tidak mampu lagi bersaing dengan pemilik modal besar sehingga merekapun bangkrut lalu masuk ke dalam kelas buruh. Pada saat yang bersamaan muncul pula sebuah kesadaran baru kaum buruh akan eksploitasi yang mereka derita selama ini yang pada gilirannya memunculkan keinginan untuk keluar dari penindasan pemilik modal. Untuk itulah kaum buruh mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh yang pada gilirannya melahirkan revolusi Sosialis.19 Revolusi itu pada mulanya bersifat politis: proletariat merebut kekuasaan negara dan mendirikan “kediktatoran proletariat”. Artinya, proletariat menggunakan kekuasaan negara untuk menindas kaum kapitalis 16 17 Steven Pressman, op.cit, h.71 Ibid., h. 114 Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx:dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta:Gramedia, 2000), h.166 19 Ibid., h.168 18 dan mencegah mereka memakai kekayaan dan fasilitas negara. Selanjutnya hak milik atas tanah, pabrik-pabrik serta alat-alat produksi lainnya dirampas dan dialihkan ke negara.20 Inilah latar belakang lahirnya sistem Sosialis atau juga disebut dengan sistem Komunis. 1. Pengertian. Sosialisme didefinisikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat dalam menasionalisasikan industri-industri besar seperti pertambangan, jalan-jalan, jembatan dan cabang-cabang produksi lainnya yang mencakup hajat hidup orang banyak.21 Dengan kata lain, negaralah yang menjadi pemilik alat-alat produksi, tanah-tanah dan bukan swasta seperti pada sistem Kapitalisme. Dalam pemakaiannya sehari-hari, sosialisme dan Komunisme sering dipakai secara bergantian. Memang di antara keduanya tidak banyak perbedaan. Bahkan Marx sering menggunakan kedua istilah tersebut untuk menjelaskan persoalan yang sama. Kendati demikian, sebagian pakar mencoba membedakannya. Mereka menyebut, kalau Sosialisme menggambarkan pergeseran hak milik kekayaan dari swasta kepada pemerintah berlangsung secara perlahanlahan melalui prosedur peraturan pemerintah dan memberikan kompensasi kepada pemilik-pemilik swasta. Sedangkan dalam Komunisme, peralihan pemilikan swasta kepada Pemerintah tersebut berlangsung dengan cepat dan “revolusioner”, dilakukan secara paksa dan tanpa kompensasi.22 Dengan demikian antara sosialisme dan komunisme terdapat persamaan tujuan namun berbeda dalam cara. Sendi-sendi sistem Komunisme dapat dilihat di bawah ini: 1. Tentang hak milik 2. Sosialisme pasar 3. Nilai Kerja dan Laba 1.Tentang Hak Milik 20 21 22 Ibid., h.169 Deliarnov, op.cit, h.53 Ibid., h.54 Dalam masyarakat Sosialis yang menonjol adalah rasa kebersamaan atau kolektivisme (collectivism). Ini tercermin pada bentuk kepemilikan yang mereka anut. Bagi sistem ini barang-barang dimiliki bersama-sama dan didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masingmasing anggota masyarakat. Ada sebuah motto yang sering digunakan dalam sistem ini,”from each according to his abilities, to each according to his needs.(dari setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap orang sesuai kebutuhan). Dengan demikian ciri masyarakat komunis adalah penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan dialihkannya hak milik pribadi tersebut kepada negara. Namun menurut Marx ini hanya berlaku ketika Kapitalisme masih menjadi ancaman, namun ketika Kapitalisme dipastikan tidak lagi berdaya, maka negara akan kehilangan perannya dan pabrik serta tempat produksi lainnya akan diurus langsung oleh mereka yang bekerja di pabrik tersebut.23 1. Sosialisme Pasar Berbeda dengan sistem Kapitalis yang mempercayakan dirinya kepada mekanisme Pasar, maka Komunisme mempercayakan sistemnya pada “perencanaan dan pengendalian’. Dalam sistem Sosialis yang memegang kendali adalah satu badan yang disebut dengan Badan Pusat Perencanaan (BPP) yang bertugas untuk menentukan harga barang-barang yang diproduksi. Badan ini selanjutnya akan menginformasikan harga tersebut kepada perusahaan sesuai dengan dua patokan. Pertama, meminimalkan biaya produksi, Kedua, menghasilkan output produksi di mana tingkat harga sama dengan tingkat biaya. Bila pada suatu akhir masa perencanaan terjadi kelebihan barang yang diproduksi, maka PBB menurunkan tingkat harga. Sebaliknya bila terjadi peningkatan permintaan, maka harga dinaikkan. Tegasnya, BPP menjadi penentu harga dimana tingkat permintaan dan penawaran seimbang. C. Nilai Kerja Dalam sistem Kapitalis, tenaga kerja buruh identik dengan komoditi. Si buruh menjual tenaga kerjanya kepada pemliki modal, dan pemilik modal akan membelinya sesuai dengan nilai tukarnya. Masalahnya adalah bagaimana nilai tukar ini ditentukan.? Menurut Marx, nilai tenaga kerja adalah jumlah nilai semua komoditi yang perlu diberikan kepada buruh agar ia dapat hidup; 23 Franz Magnis Suseno, op.cit, h.170 dalam arti agar ia dapat memulihkan tenaganya, memperbaharuinya dan menggantikannya kalau ia sudah tidak mampu lagi bekerja. Dengan kata lain, nilai tenaga kerja adalah jumlah nilai makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya termasuk untuk keluarganya. Tegasnya menurut Marx, upah yang diterima buruh adalah upah yang wajar dalam arti senilai (equivalent) dengan apa yang diberikannya.24 Dengan demikian upah yang diterima buruh adalah upah yang adil dalam arti transaksi antara majikan dan buruh berupa pertukaran ekuivalen. Hanya dengan inilah eksploitasi buruh seperti yang dilakukan kapitalis dapat dihindari. D. Sistem Negara Sejahtera Sistem Kapitalisme yang diharapkan dapat membawa rakyat pada kebahagiaan, ternyata gagal mencapai tujuannya. Sebaliknya sistem tersebut melahirkan kelas sosial baru di mana yang kuat (borjuis) menindas dan mengeksploitasi yang lemah yaitu kaum buruh. Melihat kenyataan ini muncul sistem sosialis untuk selanjutnya menjadi komunis, membawa misi untuk mensejahterakan rakyat dengan cara menyingkirkan para borjuis yang menguasai alat-alat produksi. Namun akhirnya, setelah borjuis tersingkir, buruh-buruh yang menguasai alat-alat produksi tertentu atau yang mengatur perusaahan berubah menjadi diktator-diktator baru yang juga melakukan penindasan terhadap buruh-buruh yang tidak memiliki akses kepada alat-alat produksi. Kegagalan kedua sistem ini, menjadikan pakar ekonomi mencoba berpikir sintetik. Hasilnya lahir sebuah konsep yang disebut dengan negara sejahtera (welfare state). Dalam menjalankan sistemnya negara sejahtera mencoba untuk menerapkan kebaikan-kebaikan yang dikandung oleh sistem Kapitalisme dan Sosialisme serta mencoba menghilangkan keburukankeburukan yang dikandung oleh sistem tersebut. Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, sistem ini menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan baik yang bersifat primer ataupun sekunder. Kemiskinan Primer adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur masyarakat yang timpang, kebijaksanaan yang tidak memihak pada rakyat ataupun tidak adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat.25 24 Steven Pressman, op.cit, h.71 Soetrisno, Welfare State dan Welfare Society Dalam Ekonomi Pancasila, (Yogyakarta:Fakultas Ekonomi UGM, 1982), h. 2 25 Sedangkan kemiskinan sekunder adalah kemiskinan yang disebabkan oleh masing-masing individu seperti kemalasan, boros dan prilaku tidak produktif lainnya. Untuk mengatasinya di samping diperlukan kesadaran masing-masing individu, juga pemerintah dapat melakukan upaya penyadaran dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan melalui media massa maupun media elektronik.26 Arthur Cecil Pigou (1877- 1959) sebagai salah satu tokoh welfare economics memandang negara sangat diperlukan dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan ini dengan cara menggunakan berbagai macam instrument dan kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi rakyat. Pigou menyatakan perlunya distribusi kue ekonomi dari pemerintah. 27 Gagasan negara sejahtera dapat terwujud, jika pemerintah dan rakyat dapat menjalin kerja sama yang harmonis. Pada satu sisi negara berperan menyediakan perangkat-perangkat peraturan yang memihak kepada rakyat serta fasilitas-fasilitas umum, dan pada saat lain rakyat dituntut untuk memanfaatkannya secara optimal. Penting untuk dicatat, kesemuanya itu harus tetap berjalan dalam suasana yang demokratis. Keterlibatan pemerintah tidak menjadikannya otoriter terhadap rakyat, melainkan hanya sebagai fasilitator dan pengawas dalam perjalanan aktivitas ekonomi rakyat. Disinilah azas subsidiartia yang menyatakan apabila masyarakat dan swasta sendiri telah dapat melakukannya, maka peran pemerintah tidak lagi diperlukan. Lagi-lagi konsep negara sejahtera dipandang gagal dalam menciptakan kesejahteraan rakyat secara utuh. Seperti apa yang dikatakan oleh pakar ekonomi Islam, M.Abdul Mannan, prinsip ekonomi kesejahteraan yang dikembangkan oleh Profesor Arthur Cecil Pigou, hanya menekankan kesejahteraan material rakyat dan mengabaikan kesejahteraan spritual dan moral masyarakat. Ini hanya bisa dijawab oleh sistem ekonomi Islam. 28 E. Sistem Ekonomi Islam Sebelum berbicara tentang sistem ekonomi Islam ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu bagaimana pandangan dan sikap Islam tentang sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi komunis. Jika Islam 26 Ibid., 27 Steven Pressmen , op.cit, h. 141 M.A.Mannan, Teori Dan Peraktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf,1995), h.357-358. 28 menerimanya, sisi mana yang diterima. Jika ternyata Islam menolak kedua sistem ini apakah semuanya unsurnya di tolak ?. Dalam salah satu tulisannya yang dimuat dalam buku Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam Dawam Rahardjo menulis sebuah judul artikel yang cukup menarik, Ekonomi Islam, mendayung diantara dua karang Sosialisme dan Kapitalisme. Terkesan dari tulisan ini, pada dasarnya Islam tidak menolak secara mutlak kedua sistem ini, malah sebaliknya sistem ekonomi Islam mengandung unsur-unsur kedua sistem tersebut. Kendati demikian Islam juga mengkritik kedua sistem ini. Salah satu kritik yang diajukan dan dianggap paling fundamental adalah, kedua sistem ini menafikan dimensi spritualitas manusia, menafikan kehidupan akhirat karena penekanan yang berlebihan pada materialisme. Tegasnya kedua sistem ini menolak peran agama. 29 Selanjutnya, M. Umer Chapra dalam karyanya Islam Dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer, setelah menjelaskan kedua sistem Kapitalisme dan Sosialisme sampai pada sebuah sub judul yang berbunyi, Strategi-strategi yang gagal. Menurutnya, sekalipun kapitalisme mencakup tujuantujuan kemanusiaan dari agama secara permukaan untuk menutupi kelemahan, strateginya tetap kacau balau. Peranan nilai-nilai moral dalam alokasi dan distribusi sumber daya yang langka ditumpulkan oleh penekanan yang tidak semestinya pada preferensi individu dan penyandaran yang sepenuhnya pada mekanisme harga.30 Lebih lanjut Chapra menyatakan, …karenanya, sementara strategi sistem pasar mampu meningkatkan inisiatif dan motivasi pribadi, dan suatu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dengan membolehkan individu untuk memenuhi kepentingan sendiri ia tidak mampu memenuhi kepentingan sosial.31 Sedangkan terhadap sistem sosialis kritik Chapra adalah, …kinerja perencanaan ekonomi terpusat ternyata tidak lebih baik. Penghapusan motif laba dan pemilikan pribadi membunuh inisiatif, motivasi dan kreatifitas individu dalam sebuah masyarakat dengan suatu perspektif kehidupan dunia yang pendek.32 Kritikan yang cukup tajam juga datang dari Syed Nawab Haider Naqvi dalam bukunya, Etika Dan Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami. Naqvi kendati 29 Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah : Menuju Ekonomi Islam, (Bandung : Mizan,1993), h.126-129. 30 M.Umer Chafra, Islam Dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer, terj. Nur Hadi Ihsan (Surabaya ; Risalah Gusti, 1999), h. 371 31 Ibid., 32 Ibid., h. 372 . bandingkan dengan, Ali Syari`ati, Kritik Islam atas Marxisme Dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, (Bandung : Mizan, 1988). mengakui kebaikan-kebaikan sosialisme, namun akhirnya ia mengatakan bahwa sosialisme itu tidak Islami. Alasannya adalah, pertama, sosialisme, dengan menjadikan usaha material manusia sebagai dasar struktur sosial, hendak menghapuskan konsep Islam tentang keesaan. Kedua, pandangan sejarah sosialis sangat berbeda dengan pandangan Islam. Sejarah sosialisme diwarnai dengan rasa saling benci dan pertentangan antar golongan. Ketiga, konsep Islam mengenai manusia bebas, yang berlandaskan aksioma kehendak bebas dan pertanggungjawaban, tidak dapat terus hidup di bawah tekanan kolektivisme (kesamarataan).33 Berkaitan dengan kapitalisme kritik Naqvi adalah, pertama, kapitalisme gagal mengejewantahkan kesatuan kehidupan dengan penekanan yang berlebihan pada nilai material manusia dengan mengorbankan dimensi spritualitasnya. Kedua, kapitalisme merusak keseimbangan alam dengan terpusatnya kekayaan pada segelintir orang. Ketiga, kapitalisme sangat menekankan pemilikan individu secara mutlak dan menafikan kemutlakan pemilikan Tuhan. Keempat, Kapitalisme tidak memperhatikan tanggungjawab kolektif (sosial).34 Kritikan yang tidak kalah tajamnya datang dari Muhammad Baqir ashshadr yang juga membedah kelemahan-kelemahan kapitalis dan sosialis. Menurutnya kapitalisme adalah suatu system yang ultra matrialisme yang hanya mementingkan keuntungan-keuntungan material semata dan mengasingkan manusia dari agama dan kerohaniaan. Lebih lanjut Baqir ashShadr menyebut keburukan kapitalisme adalah berkuasanya kaum mayoritas atas minoritas. Lebih dari itu kaum borjuasi juga mengeksploitasi kelas proletar. Kaum kapitalis melihat segala sesuatunya dari sudut materialisme dan mengabaikan aspek moral.35 Berkenaan dengan Sosialisme, kritikan Baqir ash-Shadr adalah bahwa Pertama, system komunisme hendak menghapus segala kepemilikan pribadi, termasuk perdagangan dan perindustrian. Kedua, semua hasil produksi dibagikan kepada seluruh individu. Tentu saja keduanya bertentangan dengan fitrah manusia yang ingin memiliki segala apa yang menjadikannya dapat memperoleh kebahagiaan.36 33 Syed Nawab Haider Naqvi, Etika Dan Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami, (Bandung : Mizan, 1985), h.110-111 34 Ibid.,h. 111-112 35 Muhammad Baqir Ash-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Az-Zahra, 2002), h..6272 36 Ibid., h. 75 Setelah memperhatikan kritikan-kritikan pakar-pakar ekonomi Islam ada baiknya kita melihat konsep ekonomi Islam. Sebagaimana telah diuraikan pada bab IV dari buku ini, sebagai sebuah sistem yang dapat dikatakan baru, ekonomi Islam belum memiliki satu rumusan yang baku atau setidaknya diterima sebagian besar pakar. Bahkan buku-buku yang membicarakan tentang sistem ekonomi dunia, ekonomi Islam belum dipandang sebagai sebuah sistem sebagaimana sistem-sistem lainnya. Kendati demikian bukan berarti ekonomi Islam tidak dapat didefinisikan. Sebagai pijakan bersama, ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai ilmu yang mengkaji kegiatan manusia dalam menggunakan sumber (produksi) bagi menghasilkan barang dan jasa untuk dirinya dan untuk didistribusikan kepada orang lain dengan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh agama Islam dengan harapan untuk mendapatkan keridaan Allah. 37 Definisi sederhana tentang ekonomi Islam adalah, suatu konsep atau teori yang dikembangkan berdasarkan ajaran-ajaran Islam.38 Adapun pilar-pilar tentang ekonomi Islam tentu sangat variatif. Ini merupakan konsekuensi logis dari pemikiran ekonomi Islam yang terus berkembang. Dengan mengikuti alur pikir pembahasan sebelumnya, pilarpilar ekonomi Islam itu secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut : Hak milik pribadi Makna kerja dan laba. Kerjasama . 1. Harta dan Hak milik Pribadi Konsep pemilikan dalam Islam didasarkan pada tiga pandangan : a. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di bumi adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia bersifat relatif. b. Manusia hanyalah manjalankan amanah dari Allah SWT untuk memanfaatkan harta sebaik-baiknya dan untuk kemaslahatan manusia. c. Harta dipandang sebagai perhiasan hidup dan manusia disuruh menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. d. Harta benda harus diperoleh manusia dengan jalan yang halal. 37 FKEBI-IAIN.SU, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Hasil Seminar dan Workhsof Ekonomi Islam, Medan, 1993, h. 8 38 Dawam Rahardjo,Islam Dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama Dan Filsafat, 1999), h. 7-10. lebih lanjut lihat kembali bab III buku ini. e. Di samping memiliki fungsi pribadi, harta dalam Islam juga memiliki fungsi sosial.39 2. Makna Kerja. Kerja dalam Islam dipandang sebagai mode of existence (bentuk keberadaan) manusia itu sendiri. Manusia ada karena kerjanya, dan ia akan dipandang dan dinilai berdasarkan kerja atau amalnya. Disamping itu Islam memandang kerja bukanlah hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup baik yang bersifat primer, sekunder, atau tertier, melainkan kerja juga memiliki nilai ibadah. Disebabkan kerja memiliki nilai ibadah, maka kerja tersebut harus sesuai dengan petunjuk-petunjuk ajaran agama. Kerja dalam pandangan Islam tidaklah semata-mata untuk mencapai keuntungan material (upah), tetapi lebih dari itu kerja merupakan bagian dari pelaksanaan perintah Allah kepada manusia untuk bekerja yang baik (`amilu al-shalihat, dan ahsanu `amala). Tidaklah berlebihan jika kerja dalam pandangan Islam merupakan ibadah sekaligus dipandang sebagai jihad. Lebih jauh dari itu, hubungan iman dengan amal (kerja) itu ibarat hubungan akar dengan pohon. Iman tidak akan berarti apa-apa jika tidak dibuktikan dengan kerja, sebaliknya kerja menjadi tidak bernilai tanpa didasari keimanan.40 Berkaitan dengan upah, nilai moral yang menjadi perhatian Islam adalah bagaimana kerja tersebut tidak dibangun atas dasar hubungan eksploitatif dengan menekan upah serendah-rendahnya seperti yang berlaku pada sistem kapitalis, tidak juga menafikan prestasi orang seperti yang terjadi pada sistem Sosialis. Upah harus menggambarkan keadilan yang merupakan salah satu prinsip ekonomi Islam.41 Isyarat ini dapat ditangkap melalui sebuah hadis Rasul yang berbunyi, Bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya. Maknanya bisa diterjemahkan lebih luas dari sekedar sistem upah yang berkembang dalam kedua sistem besar. Bisa saja dikatakan, makna upah dalam tinjauan Islam harus menjamin kesejahteraan pekerja, upah harus layak yang menjadikan pekerja dapat memenuhi kebutuhan daruri (primer) hidupnya dan lain-lain. 39 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Al-Kaustar, 2001), h. 56-57 40 Ibid., h.10 Syed Nawab Haidar Naqvi, op.cit, h. 126 41 3.Kerjasama . Dalam sistem ekonomi Islam, setiap individu bagaimanapun bermaknanya sesuai dengan otonomi yang dimiliki tetap saja tidak dapat melepaskan diri dari dimensi sosialnya, (ingat kembali kajian tentang konsep manusia). Manusia membutuhkan kerja sama. Kerja sama dalam Islam sebenarnya lebih menekankan pada kerjasama yang dilandasi dengan prinsip saling tolong menolong (ta`awun) dan persaudaraan (al-ukhuwah), amanah (saling percaya) dan sidq (kejujuran). Islam tidak menolak persaingan yang menjadi inti dalam kapitalisme, namun tetap saja persaingan itu harus dilandasi dengan semangat berlombalomba untuk kebaikan. Persaingan itu sendiri merupakan sunnatullah, untuk itulah Islam menganjurkan persaingan itu harus diselenggarakan secara sehat dan beretika. Dalam ajaran ekonomi Islam pentingnya tolong menolong dalam kerja sama terlihat pada bentuk kerjasama mudarabah di mana keuntungan haruslah sama-sama diraih baik oleh sahib al-ma (pemilik modal) ataupun mudarib (orang yang memanfaatkan modal). Demikian juga dalam musyarakah apabila proyek kerjasama tersebut berhasil, masing-masing pihak yang menginvestasikan modalnya akan memperoleh keuntungan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibangun. Sebaliknya apabila mengalami kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama. Atas dasar inilah ekonomi Islam sangat mementingkan dimensi moral dalam sistem ekonominya. Penolakan Islam terhadap riba, lebih didasarkan pada praktek riba terkandung unsur manipulasi dan eksploitasi manusia. Demikian juga penolakan Islam terhadap bentuk penipuan (gharar) adalah satu bentuk perlindungan Islam terhadap hak orang lain. Anjuran Islam untuk mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqah, adalah satu bentuk perhatian Islam terhadap orang-orang yang tidak mampu. Lebih penting dari itu ajaran ZIS secara substansial adalah satu upaya pendistribusian kekayaan agar tidak terkonsentrasi pada segelintir orang yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial. Adalah tidak mungkin mengkaji konsep ekonomi Islam yang begitu 42 luas dalam bahasan ini, karena kajian ekonomi Islam memerlukan pembahasan tersendiri. Penting untuk dicatat, sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang sedang dalam proses pengembangan dan perumusan konseptual. 42 Sebagaimana sistem lainnya, Islam juga memiliki konsep ekonomi mikro, ekonomi makro, ekonomi moneter, kebijakan fiskal, siyasah al-iqtisadiyyah (politik ekonomi) dan lain-lain. Dengan kata lain, ekonomi Islam belum menjadi sistem ekonomi yang telah mapan seperti sistem-sistem lainnya. Untuk itulah upaya dari berbagai pihak untuk mengembangkannya sangatlah dibutuhkan. F. Rangkuman. 1. Sistem ekonomi adalah; “sebuah organisasi yang mencakup sejumlah lembaga dan pranata (ekonomi, sosial, politik, ide) yang bertugas memecahkan masalah-masalah, barang-barang dan jasa apakah yang akan dihasilkan, bagaimana cara barang-barang dan jasa tersebut akan dihasilkan dan bagaimana cara membagi barangbarang dan jasa yang dihasilkan kepada masyarakat”. 2. Paling tidak sampai saat ini ada empat sistem ekonomi yang masih dipraktekkan dan masih berkembang; sistem ekonomi kapitalis, sosialis, campuran dan sistem ekonomi Islam. 3. Kendati sistem ekonomi Islam relatif baru dalam perumusan dan perkembangan, namun sistem tersebut dapat menjadi alternatif bagi sistem ekonomi masa depan, mengingat; Pertama, sistemsistem yang ada hari ini tetap saja tidak mampu sepenuhnya memenuhi harapan manusia akan kehidupan yang lebih makmur, bahagia, damai secara jasmani dan rohani. Kedua, sistem ekonomi Islam tidak mengandung dikotomi dalam struktur ajarannya sendiri baik antara kebutuhan material-spritual, duniawi-ukhrawi, maupun kepentingan individu dan sosial. G. Pertanyaan 1. Jelaskan secara singkat elemen-elemen yang terkandung dalam sistem kapitalisme dan sosialisme ?. 2. Apakah ekonomi campuran berhasil menjawab kegagalan kedua sistem tersebut untuk mensejahterakan manusia ?. 3. Uraikan secara singkat dan jelas kritik Islam terhadap kedua sistem ekonomi tersebut ? BAB X NORMA DAN ETIKA HUBUNGAN MAJIKAN – BURUH Pola majikan – buruh menggambarkan perbedaan status sosial dalam masyarakat. Secara sederhana, majikan dipahami sebagai pemilik modal yang memiliki alat-alat produksi sekaligus menjadi pimpinan pada perusahaan tertentu. Sedangkan buruh adalah orang yang memiliki tenaga, memiliki keterampilan yang relatif sedikit dan menjadi pekerja pada perusahaan dengan mengharapkan imbalan (upah). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majikan adalah orang atau organisasi yang menyediakan pekerjaan untuk orang lain berdasarkan ikatan kontrak atau juga dijelaskan sebagai orang yang menjadi atasan.1 Sedangkan buruh adalah, orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah.2 Dalam sistem Kapitalis kelas majikan (Borjuasi) dan buruh (proletar) dipandang sebagai perbedaan status sosial. Seringkali karena majikan berada posisi yang kuat, pemilik alat-alat produksi, menjadikannya dapat berbuat apa saja kepada buruh. Tidaklah mengherankan dalam sistem kapitalis terjadi eksploitasi terhadap buruh. Sedangkan buruh yang berada pada posisi yang lemah bertambah lemah dan tidak punya alternatif untuk keluar dari eksploitasi tersebut, karena yang mereka miliki hanya tenaga dan pada saat yang sama mereka juga butuh makan dan butuh biaya untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan sistem Sosialis menolak kelas Borjuasi dan Proletar. Berpijak pada alasan bahwa Borjuasi sering menimbulkan ketidakadilan terhadap buruh, maka kelas Borjuasi itu harus dihapuskan. Prinsipnya adalah sama rasa bagi semua manusia. Islam sendiri tampaknya tidak menolak adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Bahkan al-Qur’an sendiri sering, menggunakan terma-terma yang berlawanan, seperti, agniya (orang kaya) dan fukara (orang miskin), mu’min (orang beriman) dengan kufur, al-Qawiy (kuat) dan al-da`if (lemah), hayat (hidup) dan al-maut (mati), dan lain sebagainya. 1 Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.615 2 Ibid, h. 159 Perbedaan kelas tersebut merupakan konsekuensi logis dari anjuran alQur’an untuk berlomba-lomba mencari kebaikan dan perintah al-Qur’an untuk menjadi profesional. Dengan kata lain, perbedaan strata yang muncul di masyarakat merupakan hal yang wajar dan alami. Bahkan menolak perbedaan–perbedaan tersebut dipandang bertentangan dengan sunnatullah itu sendiri. Persoalannya sekarang adalah bagaimana melihat perbedaan-perbedaan tersebut. Apakah tepat melihat perbedaan tersebut untuk menggambarkan tinggi rendahnya derajat seseorang dan tingkat kemuliaannya seperti yang terdapat pada sistem Kapitalis. Berangkat dari semangat ajaran al-Qur’an perbedaan-perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan fungsional saja. Seseorang yang menjadi manajer berarti berfungsi sebagai pemimpin dan harus melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannnya. Sedangkan seseorang yang menjadi buruh, berfungsi sebagai buruh dan harus melaksanakan fungsinya sebagi buruh. Tidaklah berarti seorang majikan lebih mulia dibanding dengan seorang karyawan/buruh. Karena kemulian itu didasarkan pada tingkat ketaqwaan seseorang terhadap Allah SWT seperti yang diisyaratkan oleh Q.S, alHujurat;13. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling Taqwa. Dalam sebuah hadis rasul dinyatakan, Sesungguhnya Allah tidak akan melihat kamu dari jasad, harta, pangkat, keturunan, melainkan Allah memandangmu dari sisi amal dan ketakwaanmu. Dari sini ditariklah suatu prinsip persamaan (al-musawah) atau egalitarian dalam Islam. Pada hakikatnya manusia itu memiliki kedudukan yang sama di mata Allah SWT. Tidaklah tepat membedakan manusia dari hal-hal yang bersifat aksidental seperti jabatan, harta dan sebagainya. Persamaan ini menjadi dasar dalam melihat hubungan majikan – buruh dalam Bisnis Islam. A. Majikan – Buruh : Hubungan Kontraktual Satu pertanyaan dapat diajukan di sini, apakah sebenarnya yang menghubungkan seorang karyawan dengan perusahan yang dalam hal ini majikan ? jawabannya adalah kontrak antara perusahan sebagai pengguna tenaga kerja dengan para karyawannya. Dikatakan demikian karena seorang karyawan suatu perusahaan menjatuhkan pilihannya pada perusahaan tertentu adalah berdasarkan kemauannya sendiri dan bukan karena paksaan. Biasanya kontrak tersebut diwujudkan dalam bentuk surat lamaran dari karyawan. Apabila seorang karyawan telah mengikatkan dirinya dengan perusahaan berarti ia setuju untuk : Menerima kewenangan formal organisasi (Perusahaan). Memikul tanggungjawab tertentu. Menerima penugasan dan penempatan pada salah satu satuan kerja di perusahaan tersebut. Mengerahkan segala pengetahuan, keterampilan, kemampuan, tenaga, dan waktu demi keberhasilan perusahan tersebut. Taat dengan berbagai ketentuan formal yang ditentukan oleh perusahaan. Menunjukkan loyalitas, dedikasi dan komitmen 3 kepada organisasi. Di samping kewajiban karyawan tersebut, mereka juga memiliki hak yang harus ditunaikan, dihargai, dan dipenuhi oleh perusahan : Pengakuan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Upah yang adil, wajar dan setara. Penugasan sesuai dengan skill. Pelayanan yang simpatik. Lingkungan kerja yang sehat dan nyaman. Peningkatan mutu hidup karyawan. Penilaian kerja yang objektif.4 Menurut Sony Kerap, yang menjadi hak karyawan dalam perusahaan adalah : Hak atas pekerjaan dalam makna sikap hormat terhadap harkat dan martabat manusia (karyawan) karena dalam makna lain, hak atas pekerjaan berarti hak atas kehidupan. Hak atas upah yang adil dalam pengertian upah minimun yang layak, bagi penghidupan yang layak. Atas upah yang layak tersebut pasar dapat ikut menentukan tingkat upah yang sebenarnya berlaku. Hak untu bersyarikat. Ini menjadi penting berangkat dari asumsi, karyawan itu selalu berada dalam posisi yang lemah. Untuk itulah serikat pekerja menjadi kekuatan yang efektif dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Hak atas perlindungan keamanan dan kesehatan.5 3 Sondang P Siagian, Etika Bisnis, (Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo, 19960) h. 178 4 Ibid, h. 178 K. Bertens menyebut kewajiban karyawan terhadap perusahaan ada tiga. Pertama, kewajiban ketaatan. Ketaatan merupakan sebuah konsekuensi dari hubungan kontraktual tersebut, namun tidak berarti seluruh perintah atasan harus ditaati. Dalam tingkat tertentu, karyawan boleh untuk tidak taat jika, 1). Perintah itu mengarah pada perbuatan yang bertentangan dengan moral. 2). Perintah yang tidak wajar kendati dari segi etika tidak ada persoalan. 3). Perintah yang lahir di luar kesepakatan bersama. Kedua, Kewajiban Konfidensialitas. Kewajiban ini maksudnya kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial–dan karena itu rahasia-yang telah diperoleh dengan menjalankan sebuah profesi. Ketiga, Kewajiban loyalitas. Kewajiban ini terlihat dalam bentuk dukungan yang penuh dari setiap karyawan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan perusahaan.6 Dalam perspektif bisnis Islam, nilai-nilai moral yang diungkap di atas memiliki pijakan yang jelas dan tegas dalam ajaran kitab suci. Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia merupakan ajaran alQur’an karena pada hakikatnya manusia dihadapan Allah memiliki kedudukan yang sejajar. Inilah yang telah kita sebut di muka dengan persamaan (al-musawah) atau egalitarian. Bahwa seorang karyawan harus taat pada atasan selama pada hal-hal yang dibenarkan syari`at, harus memiliki kewajiban konfidensialitas, harus loyal kepada atasan dan mengerahkan segala kemampuan dan keterampilan yang dimiliki untuk mendukung tujuan perusahaan adalah nilai-nilai yang juga memiliki referent dalam ajaran Islam. Berkaitan dengan upah dalam ungkapan yang cukup padat, Rasul SAW pernah menyatakan, Bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya. Begitu pentingnya doktrin ini sampai-sampai pemerhati buruh/ pekerja muslim Indonesia yang bernama Eggy Sujana (Pengurus pusat PPMI) menjadikannya sebagai judul buku yang diterbitkan oleh organisasi pekerja muslim tersebut. Tentu saja hadis ini mengandung interpretasi yang bermacam-macam. Bisa dikatakan hadis itu menunjukkan pembelaan Islam terhadap kaum buruh, yang selalu saja berada pada posisi yang lemah. Seperti yang pernah disinyalir oleh Sony Kerap, para majikan (pimpinan) seringkali 5 A. Sonny Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis : Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta; Kanisius, 1995), h.120-125 6 K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), h.171-173 lebih memperhatikan kepentingan pemilik modal ketimbang kepentingan buruh.7 Bisa juga ditafsirkan bahwa hadis tersebut mengandung perintah, agar majikan tidak menunda-nunda upah karyawannya karena hal tersebut berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan hidup para karyawan. Lebih penting dari itu, majikan harus memberi upah yang pantas dan adil bagi karyawannya. Namun disnilah masalahnya, apa yang dimaksud dengan adil tersebut. Secara tradisional, keadilan itu dapat di bagi kepada tiga, keadilan legal, keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan legal dalam konteks bisnis berarti bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlakuan hukum yang sama dalam bidang usaha, berhak memperoleh dan dijamin haknya. Keadilan distributif menyangkut perlakuan yang sama kepada setiap orang baik menyangkut hal-hal yang baik atau menguntungkan ataupun yang tidak menguntungkan. Setiap pelaku bisnis berhak memperoleh apa yang menjadi haknya sesuai dengan imbalan jasa yang diberikan. Sedangkan keadilan komutatif mengandung pengertian bahwa setiap perusahan harus memberikan upah atau gaji sesuai dengan jasa yang mereka sumbangkan.8 Ada lagi teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls yang sering disebut keadilan sebagai fairness, terkadang disebut dengan keadilan distributif dan keadilan egaliter. Disini setiap orang memiliki kedudukan yang sama, bebas dan rasional dalam membicarakan hak dan kewajiban, sehingga masing-masing pihak dapat menentukan kebutuhan hidupnya secara fair. Dalam konteks upah, bisa saja sebelum terdapat kontrak, majikan dan buruh harus menyepakati terlebih dahulu upah yang akan dibayar. Agaknya, adil yang merupakan pesan implisit dari hadis di atas merupakan sebuah nilai yang perlu diterjemahkan agar aplikatif. Lebih mudah memahaminya jika dibantu dengan mengungkap lawan katanya yaitu zalim (gelap, teraniaya). Artinya, upah yang diberikan majikan mungkin sangat minimal sehingga, buruh tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari, akhirnya buruh itu menjadi teraniaya. Dalam konteks hari ini, jika pemerintah telah menetapkan UMR (upah minimun Regeional), majikan tidak boleh menetapkan upah buruhnya di bawah standar minimun tersebut. Seperti yang telah diuraikan di muka, hubungan antara perusahaan dengan karyawan adalah hubungan yang bersifat kontraktual yang 7 8 Ibid,. Ibid, h. 106-107. Bandingkan, K.Bertens, op.cit, h.89-90 didalamnya terkandung hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dapatlah dikatakan apa yang menjadi kewajiban karyawan merupakan hak perusahaan, sebaliknya apa yang menjadi hak karyawan merupakan kewajiban perusahaan yang harus ditunaikan. Hubungan antara karyawan dan majikan akan berjalan dengan harmonis, jika masing-masing pihak menjalankan hak dan kewajibannya secara dewasa dan bertanggungjawab. Sesunguhnya suatu kontrak merupakan sebuah perjanjian, untuk itu ia harus dipenuhi. Pernyataan ini penting karena sifatnya yang sangat mendasar bagi penyelenggaraan kegiatan bisnis, termasuk dalam pemeliharan hubungan majikan dengan karyawan (buruh). Berkaitan dengan konsep Islam, kontrak yang disebut dengan aqad dan `ahd (janji) merupakan sesuatu yang harus ditunaikan karena sangat berhubungan dengan amanah (kepercayaan). Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan umatnya untuk menunaikan amanah dan janji. Diantaranya dapat dilihat pada surah al-nisa’ :58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”. Dalam surah al-Ma`arij: 32 yang artinya “Dan orang-orang yang memelihara amanatamanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya”. Pada surah al-Isra’ :34 Allah berfirman, “Dan sempurnakanlah janji, sesungguhnya janji itu akan diminta pertanggungjawaban”. Pelanggaran terhadap kontrak (aqad) yang telah disepakati antara majikan dan buruh, tidak saja akan menjadikan hubungan keduanya tidak harmonis, melainkan lebih dari itu ada pihak-pihak yang dirugikan. Jika pelanggaran itu dilakukan oleh karyawan, akibatnya yang mengalami kerugian adalah perusahaan dan pada gilirannya ia juga akan terkena akibatnya. Apabila yang melanggar adalah majikan, dan ini yang lebih sering terjadi, maka yang dirugikan adalah buruh. Akibatnya terjadi apa yang disebut dengan eksploitasi terhadap buruh yang menjadikan haknya menjadi berkurang. Dalam bahasa al-Qur’an, perbuatan tersebut disebut dengan khianat yang bermakna al-naqs (pengurangan) terhadap hak-hak salah satu pihak. Dalam surah al-anfal ayat 27 dinyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasulnya dan mengkhianati amanah-amanah di antara sesama kamu, sedang kamu mengetahuinya”. Para mufassir menyatakan, pada hakikatnya, pelanggaran terhadap amanah yang berlangsung antara sesama manusia berarti juga melanggar amanah Allah dan Rasulnya. Jika demikian hubungan yang perlu dibangun antara majikan dan buruh adalah saling percaya dengan sama-sama menjaga amanah dengan cara menunaikan hak dan kewajiban secara bertanggungjawab. Hasilnya tentu positif, akan terbangun hubungan yang harmonis penuh pengertian dan suasana kerja yang kondusif. Pada gilirannya hal ini akan mendukung produktifitas kerja sehingga perusahaan dapat mencapai tujuannya dan para karyawan akan mendapatkan kemakmuran. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diberikan beberapa contoh kasus berkaitan dengan hubungan majikan dan buruh. Kasus I. Perintah Atasan. Indrawati bekerja untuk perusahaan PT Konstruksi ABC. Pak Taufiq Rachman atasan langsungnya, telah membuat kalkulasi untuk sebuah proyek pembangunan dan dalam tender PT Konstruksi ABC akan memperoleh keuntungan proyek pembangunan atas dasar kalkulasi tersebut. Walaupun kontrak sudah ditandatangani, atasan Indrawati meminta kepadanya untuk mencek lagi perhitungannya. Dalam menjalankan tugas ini, Indrawati menemukan sebuah kekhilafan. Akibatnya, perusahaan akan mengalami kerugian kecil dengan proyek ini dan tidak memperoleh keuntungan yang diharapkan. Indrawati melaporkan temuan ini kepada atasannya. Pak Taufiq menyuruhnya untuk tidak memperhatikan kekhilafan tersebut dan meminta untuk tidak menceritakannya kepada siapapun. Kalau tidak, ia langsung dipecat. Pak Taufiq sendiri tidak melaporkan kekhilafan tersebut kepada direksi perusahaan. Kasus II. Membeli Gorden Dan Karpet Pak Ali dan Mbak Susi adalah karyawan PT.Maju Terus. Pak Ali adalah manager gedung perkantoran dan Susi sekretaris Direktur. Ruang kerja direktur membutuhkan gorden dan karpet baru. Ali pergi ke toko Senang di mana ia sudah menjadi pelanggan sejak bekerja pada PT Maju Terus. Direktur menyuruh mbak Susi untuk menemani pak Ali, karena ia berpendapat bahwa Mbak Susi mempunyai selera yang tepat dalam memilih warna gorden dan karpet yang dianggap cocok. Pemilik toko membuat kwitansi yang menunjukkan harga 20 % lebih tinggi dari harga gorden dan karpet yang disebut oleh pemilik toko. Mbak Susi berbisik menunjukkan keheranannya. Ali menjawab bahwa hal itu biasa saja dan nanti Susi juga akan mendapatkan sebagian dari “komisi” tersebut. Dari dua kasus di atas terlihat beberapa persoalan etis yang berkaitan pola hubungan majikan dan buruh. Pada kasus I, sebenarnya sikap yang di ambil oleh Indrawati sudah benar untuk melaporkan kondisi yang sebenarnya. Tapi perintah atasan memaksa ia harus diam dan tidak melaporkan penyimpangan tersebut. Dalam hal ini, semestinya Susi tidak harus patuh pada atasannya, karena perintah tersebut bertentangan dengan ajaran agama. Demikian juga pada kasus II. Sikap pak Ali yang melakukan korupsi sebenarnya dari sisi etika sangat bertentangan dengan loyalitas yang seharusnya diberikan karyawan dengan cara tidak merugikan perusahaan. Komisi yang diambilnya merupakan satu kerugian bagi perusahaan. B. Rangkuman: Hubungan antara majikan dan buruh adalah hubungan kontraktual. Masing-masing pihak mengikatkan diri pada sebuah perjanjian kerja. Konsekuensi perjanjian kerja tersebut menjadikan masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Agar hubungan kerja tersebut berjalan harmonis maka masing-masing pihak harus berprilaku amanah. Dalam perspektif bisnis Islam, hubungan kerja harus dijalankan atas dasar persamaan manusia ,saling menghargai. Segala bentuk eksploitasi majikan terhadap buruh apakah melalui institusi upah yang tidak layak, menafikan harkat kemanusiaan adalah sesuatu yang ditolak. C. Pertanyaan : 1. Apakah yang mendasari hubungan majikan dengan buruh ? 2. Jelaskan kewajiban majikan (Perusahaan) terhadap buruh menurut Sondang P Siagian ? 3. Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam sebuah hadis, “Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya ?”. jelaskanlah maksud hadis ini ?. BAB XI ZAKAT DAN PERMASALAHANNYA Dalam bukunya Perspektif Deklarasi Makkah, Dawam Rahardjo menjelaskan dua konsep doktrin sosial ekonomi Islam. Doktrin pertama dikemukakan dalam bentuk negatif, yaitu larangan riba. Kedua, diungkap dalam bentuk positif, yaitu perintah menunaikan zakat, sadaqah dan infaq. 1 Kedua konsep ini saling berkaitan dalam arti, zakat bisa berperan dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup ekonomi ummat, selama praktek riba dengan segala variasinya benar-benar lenyap dari kehidupan umat. Selama praktek riba masih berjalan, zakat tidak akan berperan apa-apa. Zakat menurut Abdul Mannan dapat berperan dalam bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis habis sifatsifat ketamakan, keserakahan orang-orang kaya Dalam bidang sosial, zakat dapat berfungsi menghapuskan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin serta menyadarkan si kaya dari tanggung jawab sosialnya sedangkan dalam bidang ekonomi, zakat menghindarkan akumulasi modal pada tangan segelintir orang yang dapat merusak mekanisme pasar.2 Jika demikian zakat, infaq dan sadaqah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur ajaran mu`amalah Islam. Ini ditunjukkan dengan disebutkannya perintah wajib untuk mengeluarkan zakat sebanyak 36 kali dan 1 M.dawam rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah, (Bandung: Mizan, 1992), h.141-142 M.Abdul Mannan, Teoroi Dan Peraktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti wakaf, 1995 ), h. 256 2 21 kali dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Isyarat al-Qur’an menunjukkan bahwa zakat merupakan sumber utama kas negara (bait al-maal). Zakat merupakan soko-guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan al-Qur’an.3 Kebalikannya orang-orang yang menolak untuk membayar zakat dianggap sebagai orang yang kafir dan wajib untuk diperangi. 4 A. Pengertian Zakat berasal dari kata, zaka, yazki, zakatan yang berarti mensucikan sesuatu, tumbuh dan berkembang.5 Menurut istilah, zakat berarti nama dari benda yang dikeluarkan baik dari harta atau pribadi dengan cara-cara yang telah ditentukan. Dalam definisi lain, zakat adalah memilikkan sebagian dari harta tertentu dengan bagian tertentu kepada pihak tertentu. 6 Dari definisi di atas jelaslah bahwa ada empat unsur dalam zakat, 1) harta yang dikeluarkan, 2) Orang yang mengeluarkan zakat (muzakki), 3) Orang yang berhak menerima zakat (mustahaq atau al-asnaf) dan, 4) Ukuranukuran harta yang dizakatkan. Adapun yang menjadi dalil zakat adalah Q.S. al-Baqarah /2: 43) yang artinya, Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat” Pada surah al-Taubah/10:103, Allah SWT juga memerintahkan untuk menunaikan zakat dengan firmannya, Ambillah zakat sebagian dari harta mereka, dengan zakat itu kami membersihkan dan mensucikan mereka”. Sedangkan dalil yang berasal dari hadis adalah pernyataan 3 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta : Al-Kaustar, 2000), h. 75 Ibid., 5 Lois Ma`luf, Munjid fi al-lugat wa al-a`lam (Libanon, Dar al- Masyriq, 1986), h.303 4 6 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, juz I (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), h.730 Rasul tentang Rukun Islam yang lima dan salah satunya adalah menunaikan zakat. Berkaitan dengan syarat –syarat penunaian zakat adalah : a. Berkenaan dengan pemilik harta orang yang berzakat haruslah, Islam, baligh, dan berakal. b. Berkenaan dengan harta yang akan dizakatkan, harta tersebut harus mencapai : nisab (kadar yang ditentukan oleh syara`), haul (kepemilikan terhadap harta selama satu tahun qamariyah), al-milk al-tam (kepemilikan yang sempurna atau bukan harta syarikat). 7 Adapun harta yang wajib dizakati : a. Zakat binatang ternak (lembu, kambing, kerbau). b. Emas dan Perak. c. Hasil perniagaan d. Barang tambang e. Hasil pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma dan anggur) f. Hasil dari sebuah profesi.8 Sedangkan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq, asnaf) yang berhak menerima zakat adalah seperti yang terdapat pada surah al-taubah: 60 1. Fakir dan Miskin 2. Amil Zakat 3. Mu’allaf (Orang yang hatinya perlu dilunakkan) 4. Orang yang memerdekakan hamba 5. Orang yang berhutang 6. Orang yang berjuang pada jalan Allah. 7 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, terj. Salman harun, Didin Hafiduddin dan Hasanuddin, (Jakarta : Lentera antar Nusa,1999), h. 507-508 7. Ibn Sabil Terkesan dari penjelasan di atas, para penerima zakat itu sangat ditekankan pada individu-individu yang mengalami himpitan ekonomi. Apakah badan-badan sosial seperti lembaga pendidikan, masjid berhak menerima zakat ?. Memang secara eksplisit tidak ada ditemukan nas yang menyebut bahwa institusi atau lembaga-lembaga Islam yang membutuhkan bantuan material berhak menerima zakat. Namun secara implisit, hal itu dibenarkan. Alasannya adalah, ketika Allah menyebut orang yang berhutang (garim) atau fi sabilillah, termasuklah didalamnya, institusi-institusi keagamaan selama institusi itu bergerak untuk penyebaran syiar Islam dan pemberdayaan ummat Islam. Perkembangan pemikiran tentang zakat menunjukkan bahwa zakat tidak hanya diberikan kepada individu saja dan tidak pula bersifat konsumtif tetapi sudah produktif. Dapat ditarik kesimpulan bahwa zakat dapat diberikan dengan cara : 1. Zakat diberikan langsung kepada fakir miskin untuk keperluan konsumtif. Dalam konteks perubahan sekarang ini, maka bagian zakat ini diserahkan kepada golongan “the destitude” yang sifatnya “relief” dan berjangka pendek. 2. Zakat diberikan kepada mereka yang terlibat dalam kegiatan pendidikan dan da`wah, yang dalam taraf hidup kekurangan. 3. Sebagian zakat dan infaq dipergunakan untuk membangun sarana pendidikan dan da`wah Islam. 4. Sebagian kecil zakat kini telah mulai diarahkan untuk tujuan “produktif”, baik berupa hibah maupun pinjaman tanpa bunga 8 ibid., h. 122-164 bagi golongan miskin tetapi tidak tergolong “the destitude”, dengan harapan mereka bisa melepaskan diri dari kemiskinan, bahkan dalam jangka waktu tertentu diharapkan bisa menjadi muzakki, setidak-tidaknya dalam zakat fitrah. 5. Bagian yang lain, yang jumlahnya mungkin kecil bisa dimanfaatkan oleh `amil. Di sini konsep `amil mengalami pergeseran dari individu ke lembaga. Dana zakat ini diharapkan mampu memperbaiki organisasi pengelolaan zakat tersebut.9 B. Zakat Profesi Melihat jenis-jenis harta yang wajib dizakatkan, terkesan bahwa ajaran zakat turun pada masyarakat agraris (pertanian) dan masyarakat industri (perdagangan). Wajarlah jika harta yang dizakatkan itu mengacu pada hasil bumi dan hasil-hasil perdagangan. Namun sehubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang membawa perubahan-perubahan besar dalam kehidupan manusia, memunculkan kebutuhan manusia terhadap jasa. Jadi yang diproduk manusia ternyata tidak hanya barang (materi) juga jasa, seperti jasa bantuan hukum yang diberikan para pengacara. Demikian juga para dokter, dosen, teknokrat yang juga bergerak dalam bidang pelayanan jasa dan dalam kenyataannya penghasilan dari profesi yang mereka jalankan jauh lebih besar dari penghasilan yang diperoleh para petani atau pedagang. Persoalannya adalah apakah mereka juga dikenakan kewajiban zakat ? Yusuf Qardawi dalam karyanya yang terkenal Fiqih Zakat telah membicarakan persoalan zakat profesi ini. Menurutnya, pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama, pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini adalah penghasilan profesional seperti penghasilan seorang advokat, insinyur, dokter, akuntan dan sebagainya. Kedua, pekerjaan yang dilakukan seseorang buat orang lain atau pemerintah, baik melalui tangan atau otak yang atas pekerjaan itu ia mendapatkan upah, gaji atau honorarium. 10 Yusuf Qardawi berkesimpulan tentang zakat profesi sebagai berikut : Siapa yang memperoleh pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali modal dan persyaratan-persyaratannya. Berdasarkan hal itu maka seorang dokter, insinyur, advokat dan sebagainya wajib mengeluarkan zakat berdasarkan keumuman ayat al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 267 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian hasil usaha yang kalian peroleh”.11 Qardawi melanjutkan, Islam tidak mungkin mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddam (1 faddam = ½ ha), sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddam tidak dikenakan kewajiban zakat, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya 9 Dawam Rahardjo, Islam Dan Trabsformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta : LSAF, 1999), h.507-508. 10 11 Yusuf al-Qardhawi, op.cit,. h. 461 Ibid ., h. 481 sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya.12 Persoalan yang tampaknya belum selesai adalah berapa besar zakat yang harus dikeluarkan dari sebuah profesi ?. Tampaknya para ulama setuju sampai pada angka 2,5 %. Ada yang menyebutnya 10 % - 20 % dengan menyamakannya dengan harta temuan (rikaz) yang zakatnya 10 % sampai 20 %.13 Di Indonesia angka 2,5 % ini pernah dipersoalkan oleh Amin Rais dengan mengatakan, ketika para ulama menetapkan angka 2,5 % , profesi modern seperti sekarang ini belumlah muncul. Hari ini cukup banyak profesi yang mendatangkan uang secara gampang dan melimpah seperti komisaris perusahaan, bankir, pialang, dokter spesialis, pemborong berbagai konstruksi, eksportir, importir, akuntan, notaris, bahkan artis dan berbagai penjual jasa, serta bermacam profesi white collar lainnya, Apakah bagi mereka wajar dikenakan zakat 2,5 %. Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf menetapkan zakat Profesi sebesar 2,5 % berdasarkan qiyas kepada zakat perdagangan yang nisabnya disesuaikan dengan nisab emas yaitu 94 gram emas. Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian. Sehingga, menurutnya beban zakat setiap pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya, seperti ukuran beban petani dalam mengairi sawahnya, yaitu 5 % atau 10 %. 14 Menurut Didin Hafidhuddin dalam bukunya Zakat dalam Perekonomian Modern, zakat profesi itu dapat dianalogikan kepada dua hal sekaligus, yaitu 12 13 Ibid ., Mashfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta : Haji Masagung, 1993), h. 223 pada zakat pertanian dan zakat emas dan perak. Dari sudut nishab dianalogkan kepada zakat pertanian yang zakatnya dikeluarkan pada saat panen. Sedangkan dari sudut kadar zakat dapat dianalogkan kepada zakat emas dan perak yang zakatnya 2,5 %.15 Dari sisi istinbat (penetapan) hukum Islam qiyas yang dilakukan para ulama tersebut seperti yang dikritik oleh Muhammad yang menulis buku Zakat Profesi Wacana Pemikiran dalam Fikih Kontemporer, menimbulkan kemusykilan-kemusykilan (kesulitan) tersendiri seperti masalah epistemologi hukum Islam yang belum kukuh (debatable). Sebagai contoh bagaimana mungkin mengqiyaskan zakat profesi dengan perdagangan yang haul dan nisabnya masih diperselisihkan. Kesulitan berikutnya adalah, hasil dari qiyas tersebut belum mampu menjawab cita keadilan hukum Islam. Terlepas apakah mengqiyaskannya dengan zakat pertanian, perdagangan, atau rikaz, yang jelas implikasinya adalah terjadi pembebanan baru terhadap orang-orang yang memiliki profesi, tetapi gajinya tidak mencukupi dan sekali lagi hal ini bertentangan dengan cita keadilan Islam.16 Sebagai contoh, jika qiyas zakat profesi berdasarkan zakat pertanian, maka pegawai yang penghasilannya hanya Rp.250.000 dikenakan kewajiban zakat karena disamakan dengan hasil seorang petani. Argumentasinya, nisab zakat pertanian adalah 750 Kg beras. Untuk mengetahui jumlah gaji pegawai yang besarnya setara dengan zakat pertanian, maka zakat pertanian ini harus disesuaikan terlebih dahulu. Misalnya petani dalam setahun mengalami dua kali panen maka hasilnya, 750 Kg X Rp.2000 = Rp. 1.500.000.-. karena dua 14 Lihat, Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta : GIP Pers, 2002), h.96-97 Ibid., 16 Muhammad, Zakat Profesi Wacana Pemikiran dalam Fikih Kontemporer,(Jakarta : Salemba Diniyyah, 2002), h. 64-65 15 kali panen menjadi, Rp.1.500.000 X 2 = Rp. 3.000.000,-. Dibagi 12 bulan, sehingga pendapatan petani perbulannya adalah Rp. 250.000. Jadi apabila pendapatan seorang pegawai telah mencapai Rp. 250.000, maka ia wajib membayar zakat profesinya.17 Lebih musykil lagi jika diqiyaskan dengan harta temuan, maka setiap menerima gaji, pegawai tersebut wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 20 % dan ini merupakan angka yang cukup tinggi. Berangkat dari kemusykilan-kemusykilan yang terjadi dalam penentuan kadar zakat profesi, maka perlu ditempuh jalan lain. Jalaluddin Rakhmat, menawarkan cara baru untuk menemukan landasan kewajiban zakat profesi dengan cara merujuk ayat-ayat al-Qur’an dan meninggalkan metode qiyas yang selama ini digunakan para ulama. Menurutnya zakat profesi itu memiliki landasan dalil yang kuat seperti yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-anfal ayat 41 yang berbicara tentang khumus (perlimaan) berkenaan dengan ghanimah (harta rampasan perang) yang dapat juga berarti keuntungan. Jika orang yang berperang pada jalan Allah dengan mengorbankan nyawa, harta dan keluarga sanggup mengeluarkan 20 % dari hasil rampasan perangnya, maka sejatinya kaum profesional yang dengan mudah mendapatkan uang, seharusnya juga mampu mengeluarkan jumlah sebesar itu karena penghasilan profesi juga dapat disebut dengan ghanimah. Jika demikian hasil ghanimah tersebut harus dikeluarkan khumus (perlimaan) atau 20 %. Jelaslah bahwa kadar zakat profesi itu sebesar 20 % dengan berdasarkan dalil al-Qur’an dan Hadis.18 17 18 Ibid., Ibid., Penting untuk ditegaskan secara sederhana ada dua jenis profesi, profesi yang penghasilannya cukup besar seperti profesi white collar yang telah disebut di muka dan mereka mendapatkannya dengan mudah dan profesi yang penghasilannya sekedar cukup, seperti guru, karyawan disebuah perusahaan dan lain-lain. yang dikenai zakat profesi adalah yang profesi yang pertama saja sedangkan yang kedua tidak. Terlepas dari perdebatan epitemologis zakat profesi yang telah diungkapkan di muka, dengan berpijak pada cita keadilan sosial dan keadilan ekonomi seperti yang dinyatakan al-Qur’an maka perlu diperhatikan kembali panduan al-Qur’an mengenai harta yaitu seperti, harta kekayaan tidak boleh berputar pada sebagian orang saja (Q.S: al-Hasyar/ 59:7), Orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadari bahwa dalam harta kekayaannya ada hak milik orang lain (Q.S: al-Zariyat /51:19). C. Dimensi Etis ZIS Dari gambaran di atas, tampaklah yang dibayarkan untuk menunaikan perintah zakat adalah harta (al-amwal) dengan segala jenis dan bentuknya. Ini menunjukkan betapa harta tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Wajarlah jika al-Qur’an menyebutnya dengan mata’ yang berarti sumber kenikmatan dan kesenangan dalam kehidupan duniawi (Q.S:3;14). Jelaslah bahwa Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk mencari kekayaan yang sebanyak-banyaknya. Namun harus diingat bahwa pemilik mutlak harta itu adalah Allah SWT sedangkan manusia hanyalah sebagai pengemban amanah untuk mengelola dan memanfaatkannya pada jalan kebaikan. Tentu saja sebagai pemegang amanah manusia akan diminta pertanggunganjawab terhadap hartanya baik cara memperolehnya ataupun cara mengkosumsinya. Berkaitan dengan konsep pemilikan dan tanggungjawab di atas, maka kitab suci mengajarkan fungsi sosial harta. Dalam al-Qur’an ada ditemukan ungkapan, “…dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi yang meminta dan orang yang tidak memiliki apa-apa. (Q.S: al-Zariyat / 59:19). Dalam konteks inilah sering dipahami menurut ajaran Islam hak milik pribadi sangat diakui dan dilindungi oleh hukum, namun pada milik pribadi tersebut terdapat hak milik orang lain yang harus dikeluarkan baik melalui institusi zakat, infaq dan sadaqah (pemberian suka rela tanpa ada ketentuan). Lebih dari itu pemberian harta kepada orang yang membutuhkan bukanlah hanya sekedar manifestasi keimanan seseorang kepada Tuhannya, melainkan satu bentuk komitmen sosial muslim terhadap muslim lainnya. Singkatnya, zakat dalam Islam bukan hanya mengandung dimensi etis teologis tetapi juga etis sosial ekonomi. Adalah menarik ternyata dikalangan umat Islam muncul kecenderungan untuk melihat zakat tidak lagi semata-mata kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan hartanya dalam kerangka mendapat perkenan (rida) Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap sesama manusia. Zakat telah dihubungkan dengan persoalan ekonomi. Ketika zakat dihubungakn dengan masalah ekonomi, maka konsekuensinya adalah sumber pendapat zakat akan semakin besar karena sector ekonomi yang terus berkembang. Paling tidak sumber-sumber zakat dalam perekonomian modern adalah, zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat berharga, zakat perdagangan mata uang, zakatb hewan ternak yang diperdagangkan, zakat madu, zakat investasi property, zakat asuransi, zakat usaha tanaman anggrek, sarang burung wallet, ikan hias dan zakat sektor rumahtangga modern.19 Jika seluruh potensi zakat ini dapat diberdayakan semaksimal mungkin, maka cukup banyak harta umat Islam ini yang dapat dikumpulkan untuk selanjutnya dimanfaatkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat Islam sendiri. Realitas yang tidak bisa ditolak bahwa secara sosiologis terdapat sekelompok manusia yang hidup serba kekurangan dan pada sisi lain terdapat sekelompok manusia yang hidup serba mewah. Di sini diperlukan pemikiran rasional bagaimana mengangkat derajat kehidupan orang miskin menjadi lebih baik. Dengan demikian zakat dipahami sebagai realokasi sumbersumber ekonomi. Ketika zakat dilihat sebagai satu bentuk realokasi sumber-sumber ekonomi, maka pengelolaan dan penggunaannya harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan manfaat konsumtif atau produktif yang maksimal. Seperti apa yang telah disebut Mannan di muka, zakat dapat berfungsi secara moral, sosial dan ekonomi. Fungsi moral zakat agar menjadikan orang tidak rakus, tamak, serta fungsi sosialnya untuk mengikis kesenjangan ekonomi antara si kaya dengan si miskin dan fungsi ekonominya agar harta tidak terakumulasi pada segelintir orang, haruslah diterjemahkan dalam bentuk yang lebih konkrit dengan cara memberdayakan zakat secara maksimal. Untuk itulah para pakar telah merumuskan, bagaimana zakat itu benar-benar sebagai satu bentuk kebijaksanaan ekonomi untuk memberdayakan orang yang tidak mampu. Diantara upaya yang dilakukan adalah melalui BAZ dan LAZ. 19 Lihat lebih luas dalam, Didin Hafidhuddin, op.cit. h. 91-121 Melalui BAZ dan LAZ ini diharapkan zakat umat Islam bisa terkonsentrasi pada sebuah lembaga resmi. Dari lembaga inilah mengalir kebijakan-kebijakan sehingga zakat bisa disalurkan tidak hanya dalam bentuk yang bersifat konsumtif sesaat, tetapi lebih penting dari itu bagaimana zakat bisa memberdayakan pengusaha kecil dengan suntikan-suntikan dana (qard alhasan), atau yang bersifat peningkatan sumber daya manusia melalui pemberian bea siswa dan sebagainya. Sayangnya sampai hari ini zakat masih mengandung satu persoalan yang cukup serius, yaitu masalah kepercayaan umat. Fenomena di masyarakat menunjukkan mereka tidak begitu percaya terhadap BAZ. Untuk membangkitkan kepercayaan ummat Islam terhadap BAZ, maka ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, Perlunya dilakukan transformasi pemahaman dan pemikiran umat Islam terhadap zakat sebagai konsep ibadah kepada zakat sebagai konsep mu`amalah yang memiliki peran yang signifikan dalam membangun kehidupan ekonomi umat Islam. Kedua, Sosialisasi BAZ di tengah-tengah umat Islam dengan melibatkan para ulama, para da`i, diiringi dengan publikasi yang menunjukkan transparansi pengelolaan zakat oleh BAZ dengan memanfaatkan media massa. Lebih lanjut dari itu, BAZ harus mampu menunjukkan mustahiq yang berhasil menjadi muzakki atas pembinaan BAZ. Ini penting untuk memotivasi ummat untuk lebih yakin terhadap BAZ. Ketiga, membangun kerja sama dengan masjid-masjid yang pada gilirannya amil tradisional yang di masjid menjadi perpanjangan tangan BAZ. Kerja sama ini juga bisa dilakukan dengan lembaga amil Zakat diperusahaan-perusahaan, BUMN, baik negeri maupun swasta. Keempat, orang-orang yang berada di BAZ harus memiliki track record yang positif di mata umat. Mereka harus memiliki integritas (siddiq), public accontability (amanah, transparansi (tabligh), dan kompetensi (fatonah). Hemat penulis sebaiknya BAZ dikelola bukan oleh “orang-orang pemerintah” dan bukan pula orang-orang yang telah memiliki jabatan tertentu baik yang bersifat politis atau struktural, sehingga diharapkan kerja di BAZ bukan kerja sambilan melainkan kerja yang membutuhkan keseriusan dan menuntut profesionalisme. Pada tempatnyalah BAZ belajar dari Dompet Du`afa yang sedang eksis sekarang ini. Penjelasan ini hanya ingin menunjukkan, bahwa nilai-nilai keadilan, persaudaraan, kepeduliaan antar sesama yang dikandung pada perintah zakat harus diikuti dengan pengelolaan yang baik dan profesional. Tanpa upaya seperti ini, cita sosial yang dikandung zakat tidak akan berfungsi dengan baik. Dalam uraian yang cukup panjang, Qardawi mengatakan bahwa, zakat merupakan lambang pensyukuran nikmat, pembersihan jiwa, pembersihan harta dan pemberian hak Allah, hak masyarakat, dan hak orang yang lemah. Pandangan ini mengharuskan bahwa zakat itu harus dipungut dari orangorang yang telah terkena kewajiban zakat. D.Rangkuman 1. Zakat dalam Islam merupakan sebuah ajaran sosial al-Qur’an dalam kerangka mewujudkan keadilan sosial ekonomi dengan cara menghindarkan akumulasi kekayaan pada segelintir orang. 2. Dimensi etis yang dikandung zakat adalah, secara moral zakat berfungsi untuk membersihkan jiwa dan harta pemiliknya, mengikis sifat tamak dan rakus serta memupuk rasa persaudaraan. Aspek sosial yang ingin dicapai oleh ajaran zakat adalah memperkecil kalau tidak mungkin menghapus kesenjangan yang timbul antara si kaya dengan si miskin. 3. Dalam tinjauan ekonomi, zakat merupakan satu bentuk kebijaksanaan ekonomi dengan melakukan realokasi sumbersumber ekonomi melalui pemberdayaan zakat agar tidak hanya berfungsi secara konsumtif melainkan juga produktif. E. Pertanyaan 1. Jelaskan pengertian zakat secara bahasa dan istilah ? 2. Tuliskan benda-benda yang wajib dizakati dan orang- orang yang berhak menerima zakat. 3. Jelaskan dimensi etis zakat ? Etika Bisnis Islam BAB XII RIBA DAN MASALAHNYA A. Pengertian Riba Riba secara bahasa bermakna bertambah, dan tumbuh. Sedangkan menurut istilah riba yang dalam bahasa Inggris disebut dengan usury berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.1 Kendati para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan riba, namun ada benang merah yang menghubungkannya yaitu, pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli atau hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam. Ulama telah sepakat bahwa riba hukumya haram. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa ayat al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad SAW. Diantaranya terdapat pada surah al-Baqarah /2; 278, 279 dan ali- Imran /3;130. sebenarnay dalam agama selain Islampun khususnya agama samawi riba tetap dilarang. Sampai abad ke-13, ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh gereja dan hukum canon. Akan tetapi, pada akhir abad ke-13, pengaruh geraja ortodoks mulai melemah dan orangpun mulai berkompromi dengan riba. Bacon seorang tokoh saat itu menulis dalam buku, Discource on Usury, “karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya 1 Syafi`i Antonio, Perbankan Syari`ah , Wacana Ulama Dan Cendikiawan, (Jakarta: BI dan Tazkia Institut, 1999), h. 59. Lihat juga, Mu`amalat Institut, Perbankan Syari`ah : Perspektif Praktisi, (Jakarta : MI, 1999), h. 8 132 Etika Bisnis Islam manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima suatu manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan.2 Menarik untuk dicermati, pengharaman riba dalam al-Qur’an tidaklah berlangsung sekaligus melainkan bertahap. Ini mengisyaratkan betapa riba bagi masyarakat Arab seperti di Thaif, Mekah maupun di Madinah pada waktu itu sebagai kegiatan ekonomi yang telah berurat berakar dalam kehidupan sehari-hari. Thabari mencatat bahwa pada saat jatuh tempo, pemberi utang biasanya memberi dua pilihan: melunasi seluruh pinjaman atau perpanjangan waktu dengan tambahan pembayaran. Seorang yang harus mengembalikan seekor unta betina berumur satu tahun bila meminta perpanjangan waktu pada saat jatuh temponya, harus membayar dengan unta betina dua tahun. Bila ia meminta masa perpanjangan kedua maka unta betina tiga tahun, dan seterusnya. Begitu pula dengan emas atau perak.3 Untuk melarang praktek riba diperlukan strategi khusus seperti ditempuh al-Qur’an dengan menggunakan strategi pelarangan bertahap. Tahap pertama, al-Qur’an menolak anggapan bahwa pinjama riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan yang mendekatkan diri pada Allah. Ini dinyatakan Allah pada surah ar-rum:39 yang artinya,” Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Tahap kedua, Allah melukiskan bahwa riba merupakan aktivitas bisnis yang buruk. Bagi yang melakukannya akan diberi balasan yang pedih.Dalam surah an-nisa’/4:160-161, Allah menyatakan,”Maka disebabkan kezaliman orang 2 Adiwarman A.Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2001), h.72 133 Etika Bisnis Islam Yahudi, kami haramkan atas mereka yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan pada mereka, dan mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka banyak memakan riba, pada hal mereka sesunggguhnya telah dilarang dari padanya dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih. Tahap ketiga, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Pada saat itu (III H) pengambilan bunga dengan jumlah yang besar banyak dilakukan orang Arab. Akibatnya banyak yang terzalimi. Untuk itu Allah menegaskan dalam surah aliImran:/3:130, “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan”. Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.4 Pernyataan ini ditemukan pada surah al-Baqarah/2:278-279, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa dari berbagai jenis riba jika kamu orang-orang yang beriman. jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat mengambil riba, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Adapun hadis nabi tentang larangan riba dapat ditemukan pada pesan terakhirnya pada tanggal 9 Zulhijjah tahun 10 H. Pada waktu itu nabi menyatakan, “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) adalah hak kamu. Bahkan nabi 3 4 Ibid., h. 70 Syafi`I Antonio, op.cit, h.73-74 134 Etika Bisnis Islam mengatakan bahwa dosa pemanfaatan riba sama dengan penyelewengan seksual sebanyak tiga puluh enam kali bagi mereka yang sudah menikah atau sama dosanya dengan bersetubuh dengan ibu kandung. Satu dosa yang cukup besar. Demikian Chafra mengomentari hadis Rasul tersebut.5 Seperti yang telah disebut di muka, strategi larangan bertahap yang ditempuh al-Qur’an serta banyaknya hadis nabi yang melarang riba memberi kesan bahwa praktek riba merupakan aktivitas ekonomi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Arab masa itu. Ini disebabkan bahwa Mekah adalah kota dagang dan bukan kota agraris. Melihat tandusnya kota Mekah pada masa itu, bisa dipastikan bahwa kegiatan dagang orang Quraisy mengambil bentuk dagang agen dan bukan dagang hasil produksi. Memasuki abad VI M, kemajuan dagang kota Mekah semakin pesat. Akhirnya kota tersebut tidak saja sebagai pusat dagang melainkan telah menjelma menjadi pusat keuangan. Tidaklah mengherankan apabila pemuka-pemuka Mekah sudah mahir dalam memanipulasi kredit, pandai berspekulasi dan menguasai modal serta pandai memanfaatkan potensi investasi yang menguntungkan dari orang Aden ke Gaza dan Damaskus. 6 Membaca latar belakang kehidupan Mekah saat itu, peraktek riba yang mereka lakukan dapat dipahami. Formula riba yang dilakukan adalah, pinjam meminjam dengan satu perjanjian, peminjam bersedia mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang telah disepakati berikut tambahannya. Pada saat jatuh tempo, si pemberi pinjaman (kreditor), meminta jumlah pinjaman yang 5 Umer Chafra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, terj.Lukman Hakim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h.27 6 Muh.Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 25 135 Etika Bisnis Islam dulu diberikan kepada peminjam (debitor). Jika debitor menyatakan belum sanggup membayar, kreditor memberi tenggang waktu dengan syarat, debitor bersedia membayar sejumlah tambahan di atas pinjaman pokok tadi. Bisa diduga riba seperti ini menjadikan kaum lemah semakin lemah. Karena ketidakmampuan debitor mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang telah ditentukan maka jumlah hutang mereka semakin bertambah. Pada akhirnya riba menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat saat itu. B. Jenis-Jenis Riba Ulama membagi riba kepada dua macam. Pertama riba fadl dan kedua riba nasi’ah. Riba fadl berlaku dalam jual beli. Para ulama mendefinisikannya sebagai pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk barang jenis ribawi. Dengan bahasa yang agak berbeda riba fadl adalah, kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’. Misalnya 1 kg beras dijual dengan 1,25 kg beras. Kelebihan ¼ kg tersebut adalah riba fadl. Jual beli ini berlaku dengan barter dan bukan dengan uang.7 Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, nabi Muhammad SAW bersabda, ’jangan jual emas dengan emas kecuali apabila ia serupa dengan serupa (sama tombangannya), jangan menambahkan yang satu dari pada yang lain. (hadis riwayat Bukhari dan Muslim). Sedangkan riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran atas utang kepada pemilik modal ketika waktu yang telah disepakati jatuh tempo, ternyata orang yang berhutang tidak sanggup membayar hutang, maka 136 Etika Bisnis Islam waktunya bisa diperpanjang namun jumlah utangnya bertambah sebab keterlambatan tersebut.8 Menyangkut jenis riba nasi’ah ini dalam sebuah hadis Rasul bersabda, ”Sekiranya seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dan pemberi pinjaman itu hendaknya jangan mengambil apa-apa hadiah yang ditawarkan (Hadis riwayat Bukhari). C.Riba Versus Bunga : Samakah ? Persoalan bunga bank merupakan topik yang sering diperdebatkan. Pertanyaannya adalah apakah bunga bank sama dengan riba ? Seperti yang telah disebut di muka, ulama telah sepakat bahwa riba hukumnya haram. Namun apakah riba sama dengan bunga bank, para ulama tampaknya berbeda pendapat. Bagi yang menyatakan sama, tentu akan menyatakan bunga bank itu haram. Bagi kelompok yang menyatakan berbeda tentu akan menyatakan bahwa bunga bank tidak haram. Perbedaan dalam memandang hukum bunga bank bukan isu baru. Sejak lama topik ini menjadi perdebatan dikalangan pakar hukum Islam Indonesia. Namun tetap saja tidak menemukan jalan keluar yang bisa diterima semua pihak. Salah seorang pemikir ekonomi Islam yang cukup produktif, Umar Chapra telah menyelesaikan perdebatan ini dengan menyatakan, secara teknis riba (bunga) mengacu pada premi yang harus dibayar peminjam kepada pemberi pinjaman bersama pinjaman pokok sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Sejalan dengan hal ini, 7 8 Syafi`I Antonio, op.cit, h. 63-64. Lihat Mu`amalat Institut, op.cit, h. 11-12 Umer Chapra, Ibid., h .27 137 Etika Bisnis Islam riba mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai bunga sesuai dengan konsensus ulama fikih.9 Kendati Chapra telah memberikan kesimpulan bahwa bunga sama dengan riba, namun tetap saja ada yang tidak sependapat. Untuk menyebut salah satu diantaranya adalah Muhammad Abduh. Baginya riba yang diharamkan hanyalah riba yang ad`aafan muda`aafah (berlipat ganda). Abduh membolehkan menyimpan uang di Bank dan mengambil bunganya. Dasarnya menurut Abduh adalah Pertama, maslahat mursalah. Kedua, Tabungan di bank bisa mendorong perkembangan ekonomi. Ketiga, Tabungan di bank disamakan dengan konsep kerjasama dalam Islam (mudarabah dan musyarakah). 10 Dalam bentuknya yang agak berbeda paling tidak ada tiga alasan mengapa sebagian ulama menyatakan bahwa bunga bank tidak haram. Pertama, pertimbangan darurat. Kedua, Yang dilarang oleh al-Qur’an adalah bunga yang berlipat ganda (tinggi). Ketiga, Bank sebagai lembaga tidak termasuk dalam katagori mukallaf, jadi bank tidak terkena khitab ayat-ayat Allah maupun hadis nabi. Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah :Wacana Ulama dan Cendikiawan telah membantah argumen-argumen tersebut Menurutnya menjadikan darurat sebagai alasan pembenaran riba tidak tepat. Dalam Ushul fiqh yang disebut darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan cepat, maka akan 9 Ibid., 10 Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami : Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh , (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60 138 Etika Bisnis Islam membawanya kejurang kehancuran atau kematian. Jika demikian pertanyaannya adalah, apakah jika tidak menabung atau meminjam uang ke bank akan menjadikan perekonomian hancur sehingga manusia akan mengalami kesengsaraan.11 Beberapa waktu yang lalu, Prof.Ali Yafi ketua MUI pernah menyatakan bolehnya mengambil bunga yang rendah karena pada waktu itu tidak ada bank yang tidak menggunakan sistem bunga. Padahal masyarakat perlu rasa aman untuk menitipkan uangnya. Namun sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 alasan untuk menyebut darurat itu menjadi hilang. Tegasnya saat ini terlebih lagi setelah berdirinya Bank Syari’ah Mandiri (1999), BNI Syari`ah, Danamon Syari`ah, BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syari`ah) dan bank-bank Islam lainnya, alasan darurat tidak lagi dapat dibenarkan. Mengenai alasan bunga yang berlipat ganda saja yang diharamkan, sedangkan tingkat suku bunga bank yang rendah tidak dipandang riba, didasarkan pada argumentasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Memahami ayat 130 surah Ali–Imran yang telah disebut, tidak dapat dipisahkan dari ayat riba lainnya. Ayat terakhir tentang riba telah menegaskan bahwa tambahan terlepas besar atau kecil tetap dilarang. Dengan demikian tidak ada satu ruangpun yang membedakan antara riba (usury) dengan bunga (interest) karena keduanya sama-sama merepresentasekan tambahan atau peningkatan dari pokok modal yang ada.12 11 Syafi`i Antonio, op.cit., h. Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Al-Kaustar, 2000), h.128 . Lihat lebih luas, Ziaul Haque, Riba: The Moral Economy of Usury, Intrest and Profit (Kuala Lumpur: S.Abdul Majeed & Co, 1995). 12 139 Etika Bisnis Islam Kemudian kata “berlipat ganda” pada ayat 130 surah ali imran dalam ilmu tata bahasa Arab (nahu) disebut hal yang menggambarkan sifat riba bukan sebagai syarat. Maksud bukan syarat adalah, apabila terjadi pelipatgandaan yang besar baru disebut riba. Jika kecil tidak termasuk riba. Berkenaan dengan hal ini Yusuf al-Qardhawi juga mengomentari persoalan adh`afan mudha`afah dengan menyatakan, “ Orang yang memiliki kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan memahami retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat ini dengan kata adh`afan mudha`afah adalah dalam konteks menerangkan kondisi objektif dan sekaligus mengecamnya. Mereka (orang-orang Mekah) telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipatgandakan uang yang berlebihan. Pola berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kreteria (syarat) dalam pelarangan riba. Dalam arti yang tidak berlipat ganda menjadi boleh.13 Selanjutnya menurut al-Qardhawi, manakah yang disebut riba kecil dan mana riba yang berlipat ganda. Jika dipahami struktur tata bahasa Arab kata adh`af itu sendiri jamak, paling sedikitnya tiga. Maka jika tiga dilipatgandakan walau sekali menjadi enam. Bisa jadi riba yang berlipat ganda itu mencapai 600 %. Adakah yang membenarkan hal ini, kata al-Qardhawi ?.14 Tegasnya kata adh`afan mudha`afah bukan syarat bagi pengharaman riba. Alasan ketiga yang menyebut bank bukan taklif juga keliru. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau sakhsiyah hukmiyah dan dipandang sah serta dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan. Ditinjau dari sisi mudharat dan manfaat, perusahan dapat menimbulkan kemudharatan yang lebih besar dari 13 14 Yusuf al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2001), h.74-75 Ibid., 140 Etika Bisnis Islam perorangan. Bank yang menggunakan sistem bunga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding rentenir. Dengan demikian ketika Allah mengharamkan riba melalui ayatayatnya, yang dituju bukan hanya individu-individu saja melainkan institusi yang melaksanakan praktek riba. Sampai di sini, pakar ekonomi Islam kontemporer berkesimpulan bahwa bunga bank terlepas dari tinggi rendahnya suku bunga yang diterapkan tetap haram. Mendiskusikan riba dari sisi hukum, akan diwarnai dengan perbedaan pendapat. Untuk itu adalah menarik untuk melihat sisi lain mengapa alQur’an melarang praktek riba, atau dengan kata lain apa motivasi al-Qur’an ketika melarang riba ? Pada intinya riba sangat bertentangan secara langsung dengan semangat kooperatif yang ada dalam ajaran Islam. Orang yang kaya, seharusnya memberikan hak-hak orang miskin dengan membayar zakat dan memberi sedekah sebagai tambahan dari zakat tersebut. Islam tidak mengizinkan kaum muslimin untuk menjadikan kekayaannya sebagai alat untuk menghisap darah orang-orang miskin. Maulana Maududi-seperti yang dikutip Mustaq Ahmad- menjelaskan kejahatan-kejahatan riba sebagai berikut: 1. Riba akan meningkatkan rasa tamak, menimbulkan rasa kikir yang berlebihan dan mementingkan diri sendiri, keras hati dan menjadi pemuja uang. 2. Riba akan menimbulkan kebencian, permusuhan dan bukan sikap simpati dan koorporasi. 3. Riba mendorong terjadinya penimbunan dan akumulasi kekayaan dan akan menghambat adanya investasi langsung dalam perdagangan. Jika ia melakukan investasipun, maka itu akan 141 Etika Bisnis Islam dilakukan demi kepentingan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat. 4. Riba akan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan karena kekayaan itu hanya berada di dalam tangan pemilik-pemilik modal.15 Dr..Muh Zuhri dalam Disertasinya yang berjudul: Riba dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif) menyimpulkan, Riba dalam al-Qur’an dilarang disebabkan karena: 1. Riba menjadikan pelakunya kesetanan, tidak dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk. 2. Riba merupakan transaksi utang piutang dengan pertambahan yang dijanjikan di depan dan ini merupakan praktek kezaliman. 3. Riba dalam al-Qur’an yang selalu dihadapkan dengan zakat, infaq, sadaqah memberikan isyarat bahwa riba dapat menjauhkan persaudaraan bahkan dapat menimbulkan permusuhan.16 Umer Chapra setelah membahas persoalan Riba sampai pada sebuah kesimpulan: Alasan pokok mengapa al-Qur’an memberi penjelasan larangan riba yang cukup keras, adalah karena Islam ingin menegakkan sistem ekonomi yang didalamnya semua bentuk eksploitasi dibatasi. Ketidakadilan yang terjadi dalam bentuk, penyandang dana yang dijamin memperoleh keuntungan tanpa melakukan sesuatu atau ikut menanggung risiko, sementara 15 pengusaha, meskipun telah melakukan kerja keras, tidak Ibid., , h.133-134 16 Muh.Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h.88-89. 142 Etika Bisnis Islam mempunyai jaminan serupa. Islam ingin menegakkan keadilan di atara pengusaha dan pemilik modal.17 Jauh sebelumnya, Imam al-Razi seorang Mufassir telah memberikan peringatan yang cukup keras tentang dampak negatif yang ditimbulkan Riba. Setidaknya ada empat keburukan riba.18 1. Merampas Kekayaan Orang lain. Transaksi yang melibatkan bunga sama halnya dengan merampas harta orang lain. Dalam transaksi satu rupiah di tukar dengan dua rupiah, baik secara kredit ataupun tunai. Salah satu pihak menerima kelebihan tanpa mengeluarkan apa-apa. Jenis transaksi ini tidak adil dan sewenang-wenang dan peminjam menjadi tereksploitasi. 2. Merusak Moralitas. Hati nurani merupakan cerminan jiwa yang paling murni dan utuh. Ketulusan seseorang akan runtuh bila egoisme pembungaan uang sudah merasuk ke dalam hatinya.Dia menjadi sangat tega untuk merampas apa saja yang dimiliki sipeminjam untuk mengembalikan bayaran bunga yang mungkin sudah berlipat-lipat dari pokok pinjaman. 3. Melahirkan Benih Kebencian dan Permusuhan. Bila egoisme dan perampasan harta si peminjam sudah dihalalkan, maka tidak mustahil akan timbul benih kebencian dan permusuhan antara si kaya dengan si miskin, si pemilik modak dengan si peminjam. 4. Yang Kaya Semakin Kaya, Yang Miskin Semakin Miskin Pada saat resesi ekonomi dan tigh money policy atau kebijakan uang ketat, si kaya akan memperoleh suku bunga yang cukup tinggi 17 Umer Chapra, op.cit, h.36` 143 Etika Bisnis Islam Sementara biaya modal menjadi sangat mahal, si miskin menjadi tidak mampu meminjam dan tidak dapat berusaha, akibatnya dia akan semakin jauh tertinggal . Dalam tinjauan ekonomi, para pakar menyebut bahwa riba banyak mengandung kerugian. Anwar Iqbal menyatakan bahwasanya riba adalah sumber segala bentuk kejahatan ekonomi, dan dia amat bertanggungjawab dalam melahirkan konsentrasi kekayaan pada satu tangan. Sistem bunga yang menjadikan penambahan dan akumulasi kekayaan tanpa usaha dan keringat akan melahirkan kebencian dan permusuhan.19 Syekh Mahmud Ahmad menyatakan bahwa sistem bunga adalah berbanding terbalik dengan keputusan investasi, dan sepanjang sistem bunga mendominasi sistem perekonomian maka pengangguran akan muncul. Qutub menyatakan bahwa praktek riba akan menimbulkan matinya kesadaran moralitas pelaku bisnis. 20 Dilihat dari uraian terdahulu, jelaslah larangan al-Qur’an terhadap praktek riba karena aktivitas ini hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lain, terutama orang yang ekonominya lemah. Dalam perjanjian itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menerima perjanjian berat sebelah tersebut. Tegasnya riba (bunga bank) mengandung unsur eksploitasi manusia terhadap manusia lain sesuatu yang sangat bertentangan dengan perinsip ekonomi Islam yaitu ta`awun dan win-win solution. 18 Syafi`i Antonio, op.cit, hlm.114-115. Lihat juga Adiwarman A Karim, loc.cit., Anwar Iqbal Quraisy, Economic and Social System of Islam, (Lahore : Islamic Book Service, 1979). h. 8 19 20 Mustaq Ahmad, op.cit, h.134 144 Etika Bisnis Islam D. Rangkuman 1. Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah) sedangkan secara istilah riba berarti sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli atau hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan prinsip mu`amalat Islam. 2. Pada dasarnya riba terdiri dari dua jenis, riba fadl dan riba nasi’ah. Yang dimaksud dengan riba fadl adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk barang jenis ribawi. Sedangkan riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran atas utang kepada pemilik modal ketika waktu yang telah disepakati jatuh tempo. 3. Nilai penting dari haramnya riba dalam Islam karena sistem ini melahirkan kezaliman dalam bentuk eksploitasi manusia atas manusia lainnya. E. Pertanyaan. 1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan riba dan apakah riba sama dengan bunga bank ? 2. Uraikan strategi al-Qur’an ketika mengharamkan riba pada masyarakat Mekah. 3. Mengapa al-Qur’an mengharamkan riba ? 145 Etika Bisnis Islam 146 BAB XIII PERBANKAN SYARI`AH Dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditas. Al-Ghazali mengatakan bahwa uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik dikatakan uang tidak memberi kegunaan langsung (direct utility function), hanya apabila uang itu digunakan untuk membeli barang maka barang itu akan mempunyai kegunaan.1 Uang juga dipandang sebagai modal untuk itu tidak boleh dibiarkan “idle”. Dengan demikian uang harus digunakan sebagai alat investasi yang produktif untuk kemakmuran masyarakat di muka bumi dengan meningkatkan produksi dan kesempatan kerja.2 Diciptakannya uang adalah dalam rangka menghapuskan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh sistem tukar menukar yang populer disebut dengan barter. Barter adalah sistem tukar menukar antara barang dengan barang, atau dengan kata lain, sistem tukar menukar secara in-natura. 3 Dalam kaca mata ekonomi Islam, barter ini dipandang sebagai salah satu bentuk riba fadl. Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan tentang riba, riba fadl adalah pertukaran antar barang dengan kadar atau takaran yang berbeda. Disini terkandung makna adanya ketidakadilan karena barang yang satu mungkin lebih besar kadarnya dengan barang yang dipertukarkan. Dalam upaya untuk menciptakan keadilan ekonomi diciptakanlah uang yang merupakan alat tukar sekaligus pada perkembangan berikutnya menjadi ukuran nilai terhadap sesuatu.4 Setidaknya uang dapat digunakan dalam dua bentuk. Pertama, Transaksi yaitu menggunakan uang (membelanjakan) untuk membeli sesuatu yang 1 Adiwarman A Karim, “sistem Ekonomi Syari`ah : Sebuah Solusi Meningkatkan ekonomi Umat, Makalah, pada seminar Ekonomi Islam, 12 November 2000 di Garuda Plaza Medan. Lihat juga, „Uang Ibarat Cermin” dalam, Panji Masyarakat, No.32 Tahun 11. 25 November 1998. 2 Mulya E Siregar, “Peran dan perospek Perbankan Syari`ah Dalam Perekonomian Syari`ah”, makalah, Seminar Nasional Sosialisasi dan Aktualisasi Ekonomi Syari`ah, FKEBI dan FE.UISU., tanggal 3 April 2000 di Medan, h.3. Lihat juga, BMI, Kertas Keraja Sosialisai Perbankan Syari`ah, BI.Cab.Medan, tanggal 17 April 2000 , Medan, h.5 3 4 Suherman Rosyidi, Pengantar Kepada Teori Ekonomi , (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h.67 Mu`amalat Institut, Perbankan Syari`ah Perspektif Praktisi, (Jakarta: Mu`amalat Institut, 1999), h. 13 memang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Kedua, Saving, yaitu digunakan dengan cara menyimpan atau dibelikan barang untuk investasi.5 Ketika peradaban manusia belum maju, kegiatan saving dilakukan dengan cara yang biasa disebut dengan celengan. Bisa juga penyimpanan uang dilakukan dengan menitipkannya pada orang lain. Ini pernah dialami nabi Muhammad SAW. Disebabkan nabi dipandang sebagai orang yang terpercaya (al-amin, trustworthy), maka banyak orang yang menitipkan uang dan hartanya kepada nabi, dan beliau menunjuk Ali untuk mengembalikan uang dan harta tersebut kepada pemiliknya apabila masanya telah sampai. Tampaknya manusia baru menggunakan jasa perbankan sebagai lembaga profesional yang berperan sebagai mediator (intermediary institution) antara pihak yang mengalami deficit spending unit dengan surplus spending unit untuk pertama kalinya pada tahun 1157, kemudian bank yang secara resmi menggunakan Deposito adalah di Bercelona pada tahun 1401. Sebenarnya jauh sebelumnya orang Italia sudah mengenal kata Banco yang artinya bangku atau counter. Kata tersebut dipopulerkan karena segala aktivitas pertukaran uang orang Italia menggunakan bangku dan counter. Namun perkembangan aktivitas ini mengalami hambatan sampai zaman Renaissance.6 Padanan kata Bank dalam bahasa Arab adalah masrif yang artinya tempat pertukaran (exchange), yaitu pertukaran dan penjualan mata uang dengan mata uang lainnya. Kata masrif sendiri sebenarnya merupakan nama sebuah tempat dilakukannya transaksi pertukaran dan penjualan tersebut. Dalam bahasa Indonesia bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.Sedangkan perbankan dijelaskan sebagai segala sesuatu mengenai bank.7 A. Pengertian 5 Paling tidak ada empat pokok fungsi uang. Pertama, uang sebagai alat tukar. Kedua, Satuan hitung, ketiga, Penimbun kekayaan, Keempat, Standar Pencicilan hutang. Lihat, Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2000), h.17-18 6 7 Mu`amalat Institut, op.cit,., h.14. Lihat juga, Kasmir, op.cit, h.28-29 Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 90 Menurut UU Perbankan No.7 tahun 1998 dijelaskan yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. (Pasal 1 ayat 1). Sedangkan yang disebut dengan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.(ayat 2).8 Berkaitan dengan fungsi bank, paling tidak ada dua fungsi yang cukup mendasar, yaitu fungsi perantara (intermediaton role) dan fungsi transmisi (transimision role). Fungsi perantara adalah penyediaan kemudahan untuk aliran dana dari mereka yang mempunyai dana nganggur atau kelebihan dana selaku penabung (saver) atau pemberi pinjaman (lender) kepada mereka yang memerlukan atau kekurangan dana untuk memenuhi berbagai kekurangan untuk berbagai kepentingan peminjam (borrower). Sedangkan fungsi transmisi berkaitan dengan peranan bank dalam hal lintas pembayaran dan peredaran uang dengan menciptakan instrumen keuangan seperti penciptaan uang kartal, uang giral dan lain-lain.9 Berangkat dari pengertian di atas maka perbankan Syari`ah dapat dipahami dalam makna di atas. Jelasnya Bank Syari`ah adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha penghimpunan dan penyaluran dana yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan syari`ah Islam.10 Adapun yang menjadi prinsip bank Islam adalah, larangan riba, mengutamakan dan mempromosikan perdagangan dan jual beli, keadilan, kebersamaan dan tolong menolong. Sedangkan yang menjadi ciri-ciri bank Islam, 1), Keuntungan dan beban biaya yang disepakati tidak kaku. 2), Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kontrak. 3). Penggunaan persentase untuk perhitungan keuntungan dan biaya administrasi selalu dihindarkan. 4). Bank Islam tidak mengenal keuntungan pasti (fixed return). 5). 8 Lebih luas masalah ini dapat dilihat pada, Achjar Iljas, “Sistem Perbankan Syari`ah dalam UU No. 10/1998 Tentang Perbankan „ dalam, Ekonomi dan Bank Syari`ah Pada Millenium ketiga: Belajar dari Pengalaman Sumatera Utara,Azhari Akmal Tarigan (ed), (Medan: IAIN.Pers dan FKEBI-IAIN.SU, 2002). Khususnya pada bab II 9 Ketut Rindjin, Pengantar Perbankan Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta : Gramedia, 2000) H. 16-17 10 M.Amin Aziz, Mengembankan Bank Islam Di Indonesia, (Jakarta : Bankit, t.t), h.1 Uang dari jenis yang sama tidak dapat dipertukarkan dengan kelebihan tertentu.11 Adapun tujuan bank Islam adalah: 1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan Syari`ah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilisasi dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmnen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga. 2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis (mutual investor relationship). Sementara dalam bank konvensional, konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur (debtor to creditor relationship). 3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga berkesinambungan (perpetual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif (unproductive speculation), dan pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.12 B. Produk Penghimpunan Dana 1.Wadi`ah secara umum wadiah terdiri dari dua jenis, yaitu yad al-amanah dan yad damanah. Yad al-amanah diterapkan pada produk simpanan yang tidak sering ditarik atau dipakai seperti safe deposit box.Sementara yad damanah diterapkan pada rekening giro. 2. Mudharabah Dalam menghimpun dana, biasanya bank menggunakan akad mudarabah, di mana penyimpan bertindak sebagai sahib al-mal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Penerapan akad ini dilakukan 11 Ibid., h.7-8 Zainul Arifin, Memahami Bank Syari`ah , Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,(jakarta: Alvabet, 1999), h. 135-136. 12 pada produk tabungan dan deposito berjangka karena sifatnya berjangka waktu, sehingga bank dapat menyalurkan pada proyek-proyek tertentu. C. Produk Penyaluran Dana Sebelum membicarakan tentang produk Bank Syari`ah terlebih dahulu perlu dijelaskan spesifikasi ideal produk perbankan Syari`ah. yaitu: 1. Diangkat dari akad-akad syari`ah mu`amalah. 2. Integral dengan transaksi riil. 3. Akomodatif terhadap keperluan nasabah. 4. Kompetitif dalam dunia perbankan. 5. Dapat mengakses tekhnologi yang berkembang13. Sedangkan manfaat yang didapat dari produk bank Syari`ah adalah: 1. Memelihara aspek keadilan untuk para pihak yang bertransaksi. 2. Lebih murah dibanding produk konvensional. 3. Memelihara nilai mata uang, karena tergantung kepada transaksi riil, bukan sebaliknya. 4. Transparansi yang menjadi sifat inheren. 5. Nasabah tidak perlu khawatir akan kenaikan cicilan. 6. Meluaskan aplikasi syari`ah dalam kehidupan muslim.14 Secara garis besar produk pengeluaran dana dapat di bagi menjadi tiga macam; jual beli, bagi hasil dan sewa menyewa.. 15 A. Jual beli a. Bai` al-Murabahah Bank Syari`ah menerapkan murabahah pada pembiayaan untuk pembelian barang-barang inventiori, baik produksi maupun kosumsi. Dalam hal ini bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah bertindak sebagai pembeli. Bank dan nasabah harus menyepakati harga pokok, keuntungan dan jangka waktu.lalu bank membeli barang tersebut dan diberikan kepada nasabah. Nasabah kemudian 13 14 Ibid, h.198-1999 Ibid ., lebih luas lihat, Syafi`i Antonio, op.cit, h. 249-250, .lihat juga, Mu`amalat Institut, op.cit, h.39-139. lihat juga, M.Amin Aziz, op.cit, h. 91-105, dan bandingkan dengan Muhammad, Sistem Dan Prosedur Operasional bank Syari`ah, (Yogyakarta : UII Press, 2000) h.7-40 15 mencicilnya sesuai dengan harga dan jangka waktu yang telah disepakati. b. Bai` al-salam Jenis ini berlaku untuk pertanian jangka pendek, seperti penanaman padi, cabai, dan sebagainya. Di sini bank bertindak sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual. Bank membayar harga yang disepakati di awal kontrak sedangkan nasabah akan mengirim barang tersebut apabila telah jatuh tempo. B. Bagi Hasil a. Mudharabah Bank dapat memberikan pembiayaan terhadap proyek-proyek tertentu di mana bank bertindak sebagai sahibul mal yang menyiapkan modal 100% sedangkan pengusaha bertindak sebagai mudarib (pengelola). Keuntungan dari peroyek tersebut di bagi sama sesuai dengan nisbah yang telah disepakati. b. Musyarakah Di sini bank bersama pemiliki modal lainnya menyediakan dana untuk pembiayaan peroyek tertentu. Keuntungan akan di bagi sama sesuai dengan nisbah yang disepakati. C. Produk Jasa a. Wakalah Perinsip perwakilan diterapkan dalam bank Syari`ah di mana bank bertindak Sebagai wakil dan nasabah sebagai pemberi wakil (muwakkil).Prinsip ini diterapkan untuk pengiriman uang atau transfer, penagihan (collection), dan letter of credit. b. Kafalah Prinsip penjaminan diterapkan oleh bank Syari`ah di mana bank bertindak sebagai penjamin (kafil) sedangkan nasabah sebagai pihak yang dijamin (makful-lah). c. Hawalah Prinsip pengalihan hutang atau al-hawalah diterapkan dalam bank syari`ah di mana bank bertindak sebagai penerima pengalihan hutang dan nasabah bertindak sebagai pengalih piutang. Untuk jasa ini bank Syari`ah mendapatkan upah pengalihan dari nasabah. d. Rahn Rahn diterapkan dalam bank Syari`ah pada dua hal..1) Sebagai jaminan pembiayaan dan , 2) sebagai produk. Sebagai jaminan ia menyertai pembiayaan kepada nasabah yang dimungkinkan diambil jaminan seperti pada ba`I al-murabahah.Sebagai produk, bank dapat menerima jaminan dan menahannya, seperti dalam bentuk emas dan barang kecil yang bernilai lainnya. e. Qard Penerapan prinsip qard dalam perbankan Syari`ah adalah pinjaman tanpa imbalan. Untuk pembiayaan khusus ini biasanya sumber dana diambil dari ZIS (Zakat, Infaq dan Sadaqah). D. Perbedaan Bank Syari`ah dan bank Konvensional Syafi`i Antonio menjelaskan empat point perbedaan Bank Syari`ah dengan bank Konvensioanl. 1. Akad dan Aspek Legalitas Dalam bank Syari`ah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. 2. Struktur Organisasi Unsur yang amat membedakan bank Syari`ah dengan bank Konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syari`ah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar tetap sesuai dengan garis-garis Syari`ah. 3. Bisnis dan Usaha yang dibiayai Bisnis atau usaha yang dibiayai oleh Bank Syari`ah adalah usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan Syari`ah. Dengan kata lain bank tidak akan mengeluarkan pembiayaan terhadap usaha-usaha yang diharamkan seperti produk minuman keras, pornografi dan sebagainya. 16 4. Lingkungan Kerja dan Corporate Culture Setiap karyawan bank syari`ah harus memiliki akhlak yang baik seperti sifat siddiq dan amanah yang dilengkapi dengan profesionalitas kerja. 16 Syafi`i Antonio, op.cit, hlm. 261-262. Demikian pula dalam hal reward and punishment diperlukan perinsif keadilan yang sesuai dengan syari`ah.17 E. Prinsip Dan Penghitungan Bagi Hasil Kasus I Bank Syari`ah Bapak A memiliki Deposito nominal Rp. 10.000.000,Jangka waktu = 1bulan (1 Jan 1999-1 Feb 1999) Nisbah = Deposan 57 % dan Bank 43 % Jika keuntungan yang diperoleh untuk deposito dalam satu bulan sebesar Rp. 30.000.000,00 dan ratarata saldo deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp. 950.000.000,00 Pertanyaan : Berapakah keuntungan yang diperoleh Bapak A ? Jawab : Rp.(10.000.000,00 : 950.000.000) X Rp.30.000.000,00 X 57 % = Rp.180.000. Bank Konvensional Bapak B memiliki Deposito Nominal = Rp.10.000.000,00 Jangka waktu = 1 bulan (1 Jan 1999-1 Feb 1999) Bunga = 20 % Pertanyaan : Berapakah keuntungan yang diperoleh Bapak B ? Jawab : Rp.10.000.0000,00 X (31 : 365 hari) X 20 % = 169.863 b.Perbandingan I BANK SYARI`AH BANK KONVENSIONAL Besar kecilnya bagi hasil yang Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan tergantung pada : diperoleh deposan tergantung pada : Pendapatan bank Tingkat Bunga yang berlaku Nisbah bagi hasil antara Nominal Deposito nasabah dengan bank Jangka waktu Deposito Nominal Deposito nasabah Rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu yang ada pada bank. Jangka waktu deposito karena 17 I b I d ., pengaruh investasi. pada lamanya Perbandingan II BANK SYARI`AH Bank Syari`ah memberi keuntungan kepada deposan dengan pendekatan LDR (loan to Deposit ratio), yaitu mempertimbangkan rasio antara dana pihak ketiga dengan pembiayaan yang diberikan. BANK KONVENSIONAL Semua Bunga yang diberikan kepada deposan menjadi beban biaya langsung. Tanpa memperhitungkan berapa pendapatan yang dihasilkan dari dana yang dihimpun. Dalam perbankan Syari`ah LDR bukan saja mencerminkan Konsekuensinya, bank harus keseimbangan tetapi juga keadilan, menambah bila bunga dari peminjam karena bank benar-benar ternyata lebih kecil dibandingkan membagikan hasil real dari dunia dengan kewajiban bunga ke deposan. usaha (loan) kepada deposan Hal ini terkenal dengan istilah negatif (deposit). spread atau keuntungan negatif (rugi). * Dikutip dari Muhammad Syafi`I Antonio, Bank Syari`ah Wacana Ulama Dan Cendikiawan, (Jakarta : BI dan Tazkia Institut, 1999), hlm. 263-265 F. Sekilas Etika Perbankan Etika perbankan didefinisikan sebagai suatu kesepakatan para bankir yang merupakan suatu norma sopan santun dalam menjalankan usahanya, dan merupakan prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai (values) mengenai halhal yang dianggap baik dan mencegah yang tidak baik.18 Pentingnya etika dalam Bisnis perbankan pada hakikatnya dilandasi oleh pemikiran bahwa bank adalah lembaga kepercayaan. Masyarakat harus percaya bahwa simpanannya akan aman di bank tersebut. Tentu saja kepercayaan masyarakat sangat erat kaitannya dengan perilaku kehidupan karyawan bank. Artinya, para bankir harus menunjukkan etika yang sesuai dengan profesinya. 18 As.Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1994),h.25 Para penulis etika perbankan seringkali menjelaskan pentingnya memahami prinsip etika perbankan. Prinsip tersebut adalah : 1. Prinsip kepatuhan peraturan. 2. Prinsip kerahasiaan 3. Prinsip kebenaran pencatatan 4. Prinsip kesehatan persaingan. 5. Prinsip kejujuran wewenang. 6. Prinsip keselarasan kepentingan. 7. Prinsip keterbatasan keterangan. 8. Prinsip kehormatan profesi. 9. Prinsip pertanggungjawaban sosial. 10. Prinsip persamaan perlakuan. 11. Prinsip kebersihan pribadi.19 Adiwarman A Karim dengan menyebut setidaknya ada enam etika yang harus dimiliki para Bankir. Pertama, etika untuk selalu menyampaikan yang benar (jujur). Kedua, etika untuk dapat dipercaya. Ketiga, etika untuk mengerjakan sesuatu dengan ikhlas. Keempat, etika menjunjung tinggi persaudaraan. Kelima, etika untuk menguasai ilmu pengetahuan. Keenam, etika untuk selalu berlaku adil.20 Dapatlah disimpulkan bahwa bank pada hakikatnya adalah lembaga kepercayaan, dan kepercayaan masyarakat inilah yang menjadi modal untuk berkembangnya suatu bisnis perbankan. Jika bank telah memperoleh kepercayaan masyarakat, maka dipastikan masyarakat akan menginvestasikan uangnya di bank tersebut. Di antara faktor yang paling menentukan dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat terletak pada etika yang ditampakkan oleh pengurus dan karyawannya dalam kegiatan bisnis perbankan sehari-hari.21 Disinilah pentingnya etika perbankan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis perbankan. G.Rangkuman 1. Signifikansi Bank dalam Islam didasari pada pemikiran uang dipandang sebagai alat tukar dan modal, bukan sebagai komoditi untuk itu tidak boleh dibiarkan “idle”.Dengan demikian uang harus digunakan sebagai alat investasi yang produktif untuk kemakmuran 19 Ibid., h.1123-129 Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2001), h. 160 21 O.P. Simorangkir, Etika Perbankan, (Jakarta; Aksara Persada Indonesia, 1990).h. 92 20 masyarakat di muka bumi dengan meningkatkan produksi dan kesempatan kerja 2. Bank Syari`ah adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha penghimpunan dan penyaluran dana berdasarkan prinsip syari`ah. 3. Ciri terpenting dari Bank Syari`ah adalah sistem Bagi hasil yang tidak mengandung unsur eksploitatif terhadap manusia seperti bank konvensional yang menerapkan sistem bunga. H. Pertanyaan 1. Jelaskan perbedaan Bank Konvensional dengan Bank Syari`ah 2. Tuliskan bentuk-bentuk penyaluran dana dalam Bank Syari`ah 3. Jelaskan lima prinsip etika perbankan ?. BAB XIV ASURANSI TAKAFUL Jujur harus diakui, umat Islam Indonesia belum sepenuhnya dapat menerima keberadaan asuransi Takaful yang dalam operasionalnya berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Syari`ah, walaupun jenis asuransi ini telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1994. Ironisnya sebagian orang menyamakannya dengan asuransi konvensional. Padahal asuransi konvensional itu cacat ditinjau dari sudut pandang Syari`ah karena mengandung unsur ketidakjelasan (garar, jahalah), judi (maysir), dan riba. 1 Jika ditelusuri sikap yang kurang simpatik terhadap asuransi Takaful disebabkan belum tersosialisasinya konsep dan operasional asuransi takaful ditengah-tengah masyarakat muslim A. Pengertian Asuransi Takaful Takaful berasal dari bahasa Arab kafala yang berarti saling menanggung atau saling menjamin. Dalam pengertian mu`amalah Islam, takaful berarti saling memikul resiko, sehingga antara satu dengan yang lain saling menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan.2 Sedangkan asuransi takaful berarti sebuah lembaga atau perusahaan asuransi yang menjalankan prinsip takaful seperti tersebut di atas. Dalam operasionalnya, lembaga ini mensyaratkan adanya pihak yang mengikat diri untuk bekerjasama saling menanggung (peserta/ sahib al-mal) dengan pihak yang diberi amanah untuk mengatur kerjasama tersebut (perusahaan) sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari`ah dengan cara menghindarkan operasinya dari unsur ketidakpastian (al-garar), judi (al-maisir) dan riba (bunga).3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246 memberikan pengertian asuransi sebagai berikut,” Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung , dengan menerima premi, untuk memberi penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Definisi lain adalah, “suatu kontrak di mana seseorang disebut penjamin asuransi, yang menjalankan sebagai balas jasa atas imbalan yang 1 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Asuransi Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 18-19 Takaful Asuransi Islam, (Jakarta : Kopkar Takaful, 1997), h. 18 3 Muhammad Nejatullah Siddiqi, op.cit, h. 18-28 2 telah disetujui yang disebut premi, untuk membayar orang lain yang diasuransikan, yang disebut tertanggung, sejumlah uang atau yang senilai atas suatu kejadian tertentu. Peristiwa tersebut haruslahmerupakan unsure yang tidak menentu; peristiwa tersebut mungkin berupa (a) masalah asuransi jiwa, dalam kenyataan bahwa peristiwa ini dapat terjadi sebagai kejadian seharihari, peristiwa terjadi tidak tentu waktunya, atau (b) suatu kenyataan bahwa pristiwa yang dialami disebabkan oleh suatu kecelakaan, yang mungkin peristiwa itu tidak pernah dialami sama sekali yang dapat disebut kecelakaan.4 Sedangkan yang dimaksud dengan asuransi takaful adalah, “saling memikul resiko di antara sesama orang sehingga antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko itu dilakukan atas dasar saling tolong dalam kebaikan dengan cara masingmasing mengeluarkan dana ibadah (tabarru`) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.5 Berangkat Dari pengertian tersebut ada tiga pokok yang menjadi unsur dalam asuransi.1) bahaya yang dipertanggungkan, 2) premi pertanggungan, 3) sejumlah uang ganti rugi pertanggungan. Sampai disini, sebenarnya takaful sama dengan asuransi-asuransi lainnya. Hanya saja, pada takaful terdapat kekhususan dalam sistem operasinya yang berlandaskan syari`at Islam. Kekhususan tersebut dapat dilihat pada dua hal. Pertama, adanya arahan terhadap investasi dari dana yang terkumpul ke sektor-sektor investasi yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam. Kedua, adanya porsi bagi hasil yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam. Ketiga, adanya porsi bagi hasil yang dapat diterima oleh peserta asuransi/tertanggung. 6 Sesuai dengan namanya takaful, praktek asuransi Islam dibangun berdasarkan atas semangat saling menanggung (takaful) sesama peserta. Oleh karena itu, didalamnya tidak berlaku akad pertukaran (tabadul) sebagaimana lazimnya asuransi konvensional. Jika dihubungkan dengan sesama peserta asuransi Islam (perorangan, perusahaan, yayasan atau badan hukum lainnya) dijalin atas dasar takaful, maka hubungan antara peserta dengan perusahaan ditegakkan atas prinsip bagi hasil (mudharabah).7 Dalam hal ini perusahaan takaful sebenarnya diberikan kepercayaan oleh para peserta untuk mengelola premi mereka, mengembangkan dengan jalan yang halal.Keuntungan perusahaan takaful diperoleh dari bagian keuntungan 4 5 6 7 Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Islam, (Jakarta : Salemba Empat, 2002), h.101 Ibid., Purwanto Abdulcadir,”Prospek Takaful Di Indonesia”, dalam, Ulumul Qur’an, No. 2/VII/96, h.28 M.Abdul Mannan, Teori Dan Peraktek Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), h.306 dana para peserta dengan prinsip mudarabah. Para peserta takaful berkedudukan sebagai pemilik modal, sementara perusahaan takaful berkedudukan sebagai yang menjalankan modal. Keuntungan yang akan diperoleh itulah yang akan dibagi antara perusahaan dengan peserta. Dengan demikian dalam asuransi ini terdapat semangat tolong-menolong yang dalam istilah keagamaan disebut dengan “wa ta`awanu `ala al-birri wa altaqwa” (tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) serta menciptakan rasa aman (al-ta’min). Pentingnya asuransi syari`ah tegak atas dasar prinsip ini karena asuransi menjadi suatu kebutuhan dasar manusia, karena kecelakaan dan konsekuensi finansialnya memerlukan santunan, di sini asuransi menjadi sebuah keniscayaan.8 Kendati unsur tolong menolong dalam asuransi konvensional juga ada, namun yang lebih menonjol adalah ketidakpastian dalam perjanjian (garar). Ini pula yang dipermasalahkan ahli-ahli hukum Islam. Terjadinya bahaya yang dipertanggungkan resikonya mengandung ketidakpastian, demikian pula ganti rugi atau santunan yang diterima jauh lebih besar dari premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi dipandang sebagai riba. Ditambah lagi dengan investasi dana yang terhimpun pada perusahaan asuransi dengan jalan dibungakan, semakin memperkukuh adanya unsur riba pada asuransi konvensional.9 Dalam asuransi kebakaran misalnya, jika kebakaran benar-benar terjadi, tertanggung dipandang menang karena akan memperoleh ganti rugi jauh lebih besar dari premi yang dibayarkan. Sebaliknya, jika tidak terjadi kebakaran, maka tertanggung dipandang kalah karena preminya tidak akan dikembalikan.Adanya unsur menang kalah atau untung rugi antara pihak tertanggung dengan penanggung dipandang mengandung unsur judi. Dengan demikian jelaslah bahwa asuransi konvensional dengan asuransi Syari`ah (takaful) tidak sama baik dalam prinsip maupun operasionalnya. B. Prinsip Asuransi Takaful Asuransi takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama. Pertama, Saling bertanggungjawab. Prinsip ini digali dari ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut bahwa umat Islam itu bersaudara (Q.S. al-Hujurat:10). Demikian juga dengan hadis nabi yang menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman itu bagaikan satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuhnya mengalami sakit, maka 8 Muhammad Nejatullah Siddiqi, op.cit, h. 51 Ahmad Azhar Basyir, “Takaful Sebagai Alternatif Asuransi Islam,” dalam, Ulumul Qur’an, No. 2/VII/96, h.16-17 9 anggota tubuh lainnya juga menjadi terganggu dan merasakan sakitnya. Atas dasar inilah setiap muslim sangat bertangungjawab terhadap saudaranya yang mengalami musibah atau bencana. Dalam asuransi takaful ini terwujud rasa tanggung jawab peserta asuransi terhadap peserta lainnya yang mengalami musibah. Pada gilirannya, rasa bertanggungjawab akan melahirkan rasa persaudaraan dan persatuan umat. Kedua, Saling bekerjasama atau tolong menolong. Prinsip ini juga digali dari ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan umatnya untuk saling tolongmenolong antar sesama. Allah dengan tegas menyatakan, hendaklah kamu saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.10 Prinsip ini terlihat-misalnya- pada keuntungan bagi hasil antara peserta sebagai pemilik modal dengan perusahaan yang menjalankan modal dengan jalan menginvestasikannya kepada lembaga keuangan yang senafas seperti Bank Mumalat Indonesia dan Bank Syari`ah Mandiri. Pada gilirannya investasi takaful pada lembaga keuangan Syari`ah akan sangat bermanfaat dalam mendukung penyediaan modal usaha kebanyakan pengusaha ekonomi lemah.dari sini akan terjadi siklus kerjasama dan tolong menolong antara orang kaya dengan pengusaha lemah. Lebih dari itu, bagi masyarakat yang rentan terhadap musibah baik kematian atau kerugian usaha seperti kebakaran, manfaat takaful yang diperolehnya sekurang-kurangnya dapat menyangga ekonominya sehingga tidak jatuh miskin atau bangkrut. Mereka akan tetap dapat berdiri karena adanya santunan dari takaful. Ketiga, Saling melindungi penderitaan satu sama lain. Islam mengajarkan agar setiap peribadi agar melindungi diri dan keluarganya (Q.S; al-Tahrim: 6), bahkan masyarakat dari segala macam bahaya yang akan menimpa seperti kelaparan, kebodohan, keamanan dan sebagainya. Dalam suatu hadis Rasul juga menyatakan bahwa, belum beriman seseorang yang dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang, sementara tetangganya menderita kelaparan.Orang muslim itu adalah orang yang memberikan keselamatan kepada sesama muslim dari gangguan perkataan dan perbuatannya.11 10 11 Ibid., ibid., C. Pentingnya Asuransi Takaful Sampai hari ini ada dua jenis asuransi takaful Islam yang ada di Indonesia, Asuransi Takaful Umum dan Asuransi Takaful Keluarga. Takaful umum adalah bentuk takaful yang memberi perlindungan dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta milik peserta takaful seperti rumah, kendaraan bermotor, bangunan, pabrik dan sebagainya. Sedangkan Takaful keluarga adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas peserta takaful. Dalam musibah kematian, yang akan menerima santunan sesuai perjanjian adalah keluarga/ahli warisnya atau orang yang ditunjuk jika tidak ada ahli warisnya. Adapun produk Asuransi Takaful Umum adalah: 1. Takaful Kendaraan bermotor 2. Takaful Kebakaran 3. Takaful Resiko Pembangunan 4. Takaful Resiko pemasangan 5. Takaful Mesin 6. Takaful peralatn Elektronik 7. Takaful Pengangkutan Barang 8. Dan lain-lain Sedangkan Produk Takaful Keluarga adalah : Takaful dana investasi Takaful dana Siswa Takaful Dana haji Takaful al-Khairat Takaful Kesehatan Takaful Majlis Ta`lim Takaful Wisata dan `Umrah Takaful Perjalanan Haji Takaful Kecelakaan diri D. Prospek Asuransi Takaful di Indonesia. Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi permintaan orang terhadap asuransi, faktor indogenous dan exogenous. Faktor indogenous termasuk kemakmuran, tingkat pendapatan, gaya hidup, selera, adat dan budaya, bahkan keyakinan keagamaan. Kekuatan masing-masing faktor di atas dapat mendukung keputusan seseorang untuk membeli suatu jasa asuransi. Sedangkan faktor exogenous adalah faktor yang berasal dari luar tetapi dapat mendorong terjadinya permintaan terhadap asuransi.Contohnya adalah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. produk asuransi itu sendiri, tingkat suku premi, pelayanan, kepercayaan dan hal-hal yang spesifik dan menarik. Seperti yang telah disebut di muka salah satu faktor indogenous adalah keyakinan keagamaan. Salah satu yang menghambat perkembangan asuransi Takaful adalah pandangan yang digeneralisasi secara teologis bahwa asuransi bertentangan dengan syari`at Islam atau paling tidak mengandung kesamaran tentang hukumnya. Terkadang keputusan ulama bersikap mendua. Sebagai contoh dalam keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah dinyatakan: 1. Asuransi jiwa/ sosial yang dilakukan oleh pemerintah, a) perum jasa Raharja, b) Taspen, hukumnya mubah. 2. Asuransi jiwa yang mengandung unsur-unsur riba, maysir, ketidakadilan, garar, dan menyalahi hukum kewarisan Islam hukumnya haram.Jika tidak mengandung unsur-unsur di atas, hukumnya boleh (mubah). 3. Asuransi jiwa jama`ah haji yang sedang dalam perencanaan hukumnya mubah apabila, tidak memberatkan jam`ah haji, dikelola oleh Depag, dananya digunakan untuk kemaslahatan umat dan bersifat terbuka. 12 Berpijak dari gambaran di atas, tampaklah ajaran agama (hukum Islam) tidak memberikan motivasi yang kuat kepada pemeluknya untuk berasuransi. Paling-paling hukumnya hanyalah mubah yang tidak memuat perintah untuk dilaksanakan dan tidak pula untuk dihindari.Untuk itulah perlu dilihat dari sisi lain pesan-pesan kitab suci agar umat dapat melihat manfaat berasuransi . Al-Qur’an sebagai kitab suci menganjurkan kepada umatnya untuk tidak hanya mempersiapkan bekal kehidupan untuk hari ini, melainkan memerintahkannya untuk mempersiapkan bekal masa depan. Pada surah alnisa` ayat 9, Allah mengingatkan agar para orang tua tidak meninggalkan generasinya dalam keadaan lemah. Termasuklah di dalamnya lemahnya ilmu pengetahuan karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan pendidikan dan lemah dari sisi ekonomi. Dalam sebuah hadis tentang wasiat, Nabi melarang para orang tua meninggalkan ahli warisnya dalam keadaan meminta-minta sehingga memberatkan orang lain. Disamping itu, semangat al-Qur’an yang menjunjung tinggi nilai tolong menolong, persaudaraan dan solidaritas sosial merupakan ajaran yang perlu direalisasikan dalam bentuk usaha yang lebih konkrit sehingga ia tidak sekedar menjadi semboyan kosong. Mengembangkan semangat solidaritas 12 Rifyal Ka`bah, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta, 1999), h.166 sosial antar sesama ini semakin penting di saat semakin ketatnya persaingan bisnis yang menjadikan orang sanggup berbuat apa saja tanpa mengindahkan norma-norma sosial terlebih lagi norma-norma agama. Bisa saja kepekaan sosial manusia hari ini semakin pupus oleh gerakan liberalisasi, kapitalisasi dan individualisme yang menyertainya, sehingga rasa saling peduli dan saling membantu menjadi hilang. Disinilah pentingnya asuransi Takaful yang tegak atas nilai tolong menolong, ukhuwah (persaudraan), saling menanggung dan menciptakan rasa aman. Dengan demikian kita merasa perlu untuk lebih mengembangkan asuransi takaful dengan partisipasi umat yang lebih luas di dalamnya. Dapatlah dikatakan, Asuransi takaful merupakan wujud nyata dari ajaran Islam yang memerintahkan ummatnya untuk saling membantu, saling melindungi dan bertanggungjawab antar sesama. E. Perbedaan Asuransi takaful Dengan Asuransi Konvensional. Paling tidak ada enam perbedaan ,mendasar antara asuransi takaful dengan asuransi konvensional.13 1. Pada asuransi takaful ada dewan pengawas Syari`ah yang mengawasi produk-produk takaful yang dipasarkan dan dalam pengelolaan investasi dana.Dewan ini tidak ditemukan pada asuransi konvensional (selanjutnya disebut AK). 2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi takaful (selanjutnya disebut AT) berdasarkan tolong menolong sedangkan pada AK pada jual beli. 3. Investasi dana pada AT berdasarkan bagi hasil (mudarabah) sedangkan pada AK memakai sistem bunga dalam perhitungan investasi. 4. Pemilikan dana pada AT, merupakan hak peserta. Perusahaan hanya pemegang amanah untuk mengelola. Pada AK, dana yang terkumpul dari nasabah menjadi hak perusahaan sehingga perusahaan bebas dalam menentukan alokasi investasi. 5. Dalam soal pembayaran klaim, pada AT diambilkan dari rekening tabarru’ seluruh peserta. Sedangkan pada AK, pembayaran klaim diambil dari rekening dana perusahaan. 6. Pada AT keuntungan dibagi antara perusahaan dengan peserta dengan prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. 13 Kopkar Takaful, op.cit, h.26-27 Sedangkan pada AK, seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan. Dalam bukunya “Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Islam” Muhammad dengan mengutip sumber dari syarikat takaful Indonesia, lebih jelas membedakan asuransi takaful dengan asuransi konvensional sebagai berikut:14 Topik Prinsip Dasar Sistem dan operasional Pengelolaan dana Biaya Premi Asuransi Biasa Asuransi Takaful Akad Pertukaran Jual beli Akad Saling Melindungi Kerjasama Tolong menolong Hukum Saling melindungi Ekonomi Saling bertanggungjawab Aktuaria Saling bekerjasama Perusahaan sebagai Perusahaan sebagai pemiliki dana pemegang amanah Dana diinvestasikan Kebijaksanaan investasi sesuai dengan kebijakan sesuai dengan syari`ah manajemen. Bagi hasil (mudharabah) Bunga Pemegang polis hanya Biaya ditanggung menanggung biaya pemegang polis sebagian kecil saja berdasarkan keduabelah Mortalita pihak Mortalita/harapan hidup Biaya (alpa, beta, gama) (net premium) Bunga Dengan melihat perbedaan ini, sangat jelaslah bahwa asuransi takaful sangat menekankan tolong menolong, persaudaraan, persamaan. Bisa saja dikatakan asuransi konvensional juga demikian, namun perbedaannya adalah asuransi takaful tegak atas nilai-nilai kemanusiaan dengan menghindarkan segala bentuk eksploitasi. F.Rangkuman. 1. Asuransi takaful sebuah lembaga atau perusahaan yang menjalankan prinsip takaful dengan saling memikul resiko di antara sesama orang, sehingga antara satu dengan yang lain saling menjadi 14 Muhammad, op.cit., h. 108 penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan. 2. Takaful merupakan salah satu aspek ajaran Islam dalam lingkup mu`amalah yang menekankan nilai-nilai keadilan, persaudaraan dan persamaan. Nilai-nilai ini diterjemahkan dalam bentuk yang konkrit dengan menjalankan asuransi takaful. 3. Asuransi takaful adalah jenis asuransi yang dipandang tidak bertentangan dengan syari`ah karena tidak ditemukan unsur-unsur garar, (penipuan), maysir (judi) dan riba (bunga bank). G. Pertanyaan 1. Apakah yang dimaksud dengan Takaful ? Jelaskanlah baik secara etimologi ataupun terminologisnya. 2. Uraikan prinsip-prinsip yang mendasari asuransi takaful ? 3. Jelaskan tiga perbedaan asuransi Takaful dengan asuransi konvensional ?.