Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

advertisement
Dasar-Dasar Etika
Bisnis Islam
Azhari Akmal Tarigan
Penerbit FEBI Pers
2016
BAB I
DINUL ISLAM
DAN DASAR-DASARNYA
A. Defenisi Agama Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama yang di dalam
bahasa Arab disebut al-din dijelaskan sebagai sistem atau prinsip
kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban yang bertalian dengan ajaran itu.1 Menterjemahkan
kata din dengan agama seperti yang telah disebut di muka
tidaklah salah. Tinggal lagi terjemahan di atas tidak cukup
memadai untuk mengungkap substansi yang dikandung kata din.
Satu hal yang menarik untuk dicermati, dalam bahasa Arab
setiap kata yang terdiri dari huruf d-y-n, mengandung pengertian
hubungan dua pihak. Seperti kata dain yang berarti hutang
menunjukkan adanya pihak yang berhutang (debitor) dan pihak
yang memberi hutang (kreditor).
Demikian juga halnya dengan kata dana atau yadinu yang
artinya menghukum juga menggambarkan adanya interaksi dua
pihak, hakim dan terdakwa.
Adapun kata din sendiri mengandung arti hubungan antara
dua pihak di mana yang pertama mempunyai kedudukan lebih
tinggi dari yang kedua. Dengan kata lain, agama adalah hubungan
antara makhluk dengan khaliknya.2 Dalam hal ini keberadaan
khalik (pencipta) tentu lebih tinggi dari makhluk (yang
diciptakan).
Jika arti kata din tersebut menunjukkan adanya interaksi dua
pihak, maka ada tiga bentuk relasi yang terjadi. Pertama,
hubungan manusia dengan Allah yang sering disebut dengan
1
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka,1995), h.10
2
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan,1992), h. 209-210
hablum min Allah. Hubungan ini diterjemahkan dengan ibadah
kepada Allah SWT. Contoh sederhananya adalah sholat dan do’a.
kedua bentuk ibadah ini sesungguhnya adalah cermin pengabdian
seorang hamba kepada Tuhannya. Kedua, hubungan
manusia
dengan manusia yang disebut dengan hablu min al-nas. Pola ini
diterjemahkan dengan apa yang disebut mu’amalat, baik dalam
konteks transaksi bisnis ataupun dalam bentuk munakahat
(perkawinan). Ketiga, hubungan manusia dengan alam biasanya
diterjemahkan dalam konteks pemeliharaan atau penjagaan
terhadap hukum keseimbangan yang berlaku di alam. Artinya,
manusia senantiasa harus menjaga keharmonisan alam. Hubungan
manusia dengan alam tidak boleh dalam bentuk hubungan yang
eksploitatif.
Jelas bahwa kata din itu mengandung relasi dua pihak. Bukan
sekedar dalam makna kepercayaan. Tentu saja kata din berbeda
dengan Religion yang sering diartikan sebagai tata keimanan atau
tata keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak. Jadi pengertian
agama yang dikandung kata Relegion sangat sempit dan
berkonotasi individual (pribadi). 3
Selanjutnya kata Islam yang terambil dari kata salm
bermakna kedamaian atau ketentraman. Kata Islam juga dapat
diterjemahkan dengan keselamatan. Siapapun yang memilih Islam
sebagai agamanya, pastilah ia akan selamat hidup baik di dunia
ataupun di akhirat. Islam juga diterjemahkan sebagai sikap pasrah
dan tunduk (al-inqiyad wa al-khudhu’) kepada Allah. Inilah makna
etimologis dari kata Islam tersebut. Sedangkan dalam pengertian
terminologisnya, Islam adalah wahyu yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada manusia dalam
rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam, Akidah dan Syari’ah
mendefenisikan agama Islam sebagai agama Allah yang
diperintahkan kepada nabi Muhammad untuk mengajarkan
tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturan-Nya dan
menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada
seluruh manusia dan mengajak mereka untuk memeluknya.4
3
Jhon R.Bennet, “Relegion’’ dalam Encyiclopedia Americana, Vol.XXIX, (New York), h.342
Definisi lain tentang Islam disebutkan oleh…….
B. Lingkup Islam.
Sebagai sebuah agama, Islam mengandung ajaran-ajaran
yang disimpulkan dengan trilogi ajaran ilahi yang terdiri dari
iman, islam, dan ihsan. Pokok-pokok ajaran tersebut disarikan
dari sebuah hadis Rasul yang diriwayatkan dari Bukhori Muslim,
yang memuat rukun islam, rukun iman dan ihsan (akhlak). Dari
hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa garis besar agama
Islam terdiri dari akidah, syari’ah dan akhlak.
Akidah yang berarti ikatan, kepercayaan, dan keyakinan
telah disistematisasikan ke dalam apa yang disebut dengan rukun
iman (arkan al iman), yang memuat kepercayaan (keimanan):
iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitabkitab, iman kepada Rasul, iman kepada hari Qiamat dan iman
kepada Qadar
Syari’ah yang semula berarti jalan, memuat satu sistem
norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Pada garis
besarnya aturan-aturan tersebut dikelompokkan pada dua
bahagian yaitu Ibadah dan Mua’malah. Ibadah yang dimaksud di
sini adalah tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan ritual
langsung antara hamba (makhluk) dengan Tuhannya, yang tata
caranya telah ditentukan secara rinci sebagaimana yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan al-Hadis. Ibadah dalam pengertian ini
tersimpul dalam rukun Islam (arkan al-Islam) yaitu, Syahadat,
Sholat, Zakat, Puasa dan Haji.
Adapun mu’amalah memuat aturan-aturan dalam konteks
hubungan sesama manusia dalam maknanya yang luas. Aspek
mu’amalah ini dalam Al-Qur’an dan Hadis, tidak diatur secara
rinci, melainkan diungkap dengan menyebut garis-garis besarnya
saja. Bahkan dalam Al-Qur’an aspek mua’malah ini dijelaskan
tidak lebih dari 500 ayat atau 5, 8 % dari keseluruhan ayat AlQur’an. Jika menggunakan penelitian Abdul Wahab Khallaf, yang
4
Mahmud Syaltut, Islam `Aqidah Wa Syari`ah,(Kairo: Dar al-Qalam, 1968),h.1-2
termasuk dalam bagian mu’amalah adalah,5 1.Hukum-hukum yang
berkaitan dengan masalah keluarga (al-ahwal al- syakhshiah) yang
terdiri dari 70 ayat.2.Hukum Perdata terdiri dari 70 ayat (ahkam
Madniyah), 3.Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat
(ahkam
alJinayah), 4. Hukum Acara terdiri dari 13 ayat (ahkam alMurafa’at),
5. Hukum Peradilan terdiri dari 10 ayat (ahkam
al-Dustyah), 6. Hukum Tata Negara terdiri dari 25 ayat (ahkam
al-Dauliyah), 7. Hukum Ekonomi terdiri dari 10 ayat (ahkam alIqtisadiyah wa al-Maliyah)
Berangkat dari jumlah ayat-ayat mu’amalah yang relatif
sedikit di atas, terkesan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber utama
ajaran Islam tidak merinci dan terkesan tidak tuntas
membicarakannya. Padahal, masalah hubungan antar sesama
manusia merupakan persoalan yang cukup penting. Berbeda
dengan
aspek
ibadah,
dimana
Al-Qur’an
dan
Hadis
membicarakannya secara rinci, tentu saja dengan jumlah ayat dan
hadis yang banyak. Sekali lagi pertanyaannya adalah, mengapa
demikian? Tentu saja ada pesan, hikmah dan rahasia di dalamnya.
Tugas kita adalah menggali hikmahnya.
C. Perbedaan Ibadah dan Mu`amalah
Perbedaan yang mendasar antara ibadah dan mu’amalah
terletak pada bahasa atau ungkapan yang digunakan Al-Qur’an.
Untuk yang pertama, Al-Qur’an menggunakan bahasa yang rinci
(tafsili) dan tegas, sehingga ruang untuk terjadinya perbedaan
penafsiran sangat kecil. Kalaupun ada perbedaan tidaklah
perinsipil. Hal ini menunjukkan dalam dimensi ibadah menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhannya, tidak ada peluang untuk
menambah atau mengurangi hal-hal yang telah diatur oleh AlQur’an dan hadis. Tegasnya di dalam ibadah tidak diperlukan
inovasi dan kreatifitas.
Ulama telah membuat satu kaedah pokok dalam ibadah yang
artinya, “Pada prinsipnya dalam persoalan ibadah segala sesuatu
terlarang (haram) dilakukan, kecuali ada dalil yang
memerintahkannya”.
5
Abdul Wahab Khalaf,`Ilmu Usul al-Fiqh,(Dar al-Kuwaitiyyah, 1986). h.32-33
Kaedah ini menjelaskan bahwa dalam masalah ibadah, kreasi
dan inovasi manusia tidak diperlukan karena semuanya telah
diatur secara rinci oleh Allah SWT. Manusia hanya dituntut untuk
melaksanakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
Kebalikannya segala inovasi yang di buat di dalam ibadah disebut
dengan bid’ah. Bid’ah di dalam ibadah sesungguhnya sangat
terlarang.
Berbeda dengan aspek Mu’amalah, kaedah yang berlaku
adalah, “Pada prinsipnya dalam bidang mu’amalah segala sesuatu
adalah dibolehkan (ibahah) kecuali ada dalil yang melarang”.
Prinsip ini tentu saja memiliki implikasi yang cukup luas, dimana
manusia dapat mengembangkan aturan-aturan global Al-Qur’an
agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Sampai di sini
kreativitas
manusia
sangat
dibutuhkan
untuk
dapat
menerjemahkan pesan-pesan Al-Qur’an agar lebih aplikatif dalam
kehidupan sehari-hari.
Inilah hikmah terpenting, mengapa ayat-ayat mu’amalah
relatif sangat sedikit dan dijelaskan dengan bahasa yang global
(mujmal). Kita dapat berandai-andai, sekiranya dalam aspek
mu’amalah, Al-Qur’an mengungkapkannya dengan bahasa yang
rinci, niscaya manusia akan mengalami kesulitan untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya adalah,
realitas masyarakat ketika ayat-ayat tersebut diturunkan tentu
berbeda dengan realitas masyarakat saat ini. Tidak itu saja,
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sangat
cepat sedikit banyaknya pastilah akan berpengaruh ke dalam
kehidupan manusia. Pada saat yang sama, Al-Qur’an dan Hadisn
Nabi telah terhenti. Jadi sangat tidak mungkin kitab suci akan
memberikan responnya. Adapun yang paling mungkin kita lakukan
adalah menterjemahkan pesan-pesan atau nilai-nilai Al-Qur’an
agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Jadi pengungkapan Al-Qur’an tentang ayat-ayat mu`amalah
yang global tersebut ternyata menguntungkan dalam rangka
mengembangkan ajaran Islam yang relevan dengan perkembangan
zaman. Sebagai contoh, ayat-ayat tentang “ekonomi” yang
menurut Khallaf hanya 10 ayat, merupakan peluang yang cukup
besar bagi pengembangan pemikir Islam untuk mengembangkan
sistem ekonomi Islam sehingga dapat bersaing dengan sistem
ekonomi lainnya.6
Salah satu ayat tentang ekonomi yang artinya: Dan sebagian
mereka orang-orang yang berjalan (yadribuna) di muka bumi
mencari sebahagian Karunia Allah”. (al-Muzammil ; 20)
Adapun contoh hadis tentang ekonomi yang artinya “Dari
Shalih Bin Suhaib R.A, Rasulullah Bersabda, ada tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan jual beli secara tangguh,
muqaradah (Mudharabah) dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.(H.R. Ibnu
Majah No : 2280, kitab at-Tijarat)
Al-Qur’an hanya menyebut kata yadribuna yang asal katanya
adalah daraba dan merupakan akar kata dari Mudharabah.
Demikian juga hadis nabi, hanya menyebut Muqaradhah tanpa
ada penjelasaan yang rinci tentang apa yang dimaksud dengan
Muqaradhah tersebut.
Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, Mudharabah
(bagi hasil) dikenal sebagai salah satu institusi ekonomi Islam,
yang dalam prakteknya Sahibul Mal atau orang yang memiliki
harta dapat menjalin kerja sama dengan orang yang memiliki skill
(keahlian) dengan ketentuan hasil dari usaha akan dibagi dua
sesuai dengan kesepakatan.
Pada masa lalu sahibul mal adalah individu-individu yang
memiliki kelebihan harta., namun saat ini, sejalan dengan
perkembangan zaman, Bank sebagai lembaga keuangan dapat
berfungsi sebagai pemilik modal (sahibul mal).7 Jika pada masa
lalu hubungan sahib al-mal dengan mudharib itu sangat sederhana
dan konvensional, sekarang hubungan tersebut terjalin secara
modern yaitu antara bank sebagai lembaga dan nasabah sebagai
6
Sebenarnya ayat-ayat Ekonomi itu cukup banyak. Seiring dengan perkembangan ilmu
ekonomi Islam, maka penggalian terhadap ayat-ayat ekonomi atau ayat-ayat yang bernuansa
ekonomi menjadi sebuah keniscayaan. Beberapa buku tafsir ayat ekonomi yang terbit
belakanga ini telah menjelaskan bahwa ayat ekonomi itu lebih dari apa yang pernah
dibayangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf . Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat
Ekonomi, Bandung: Citapustaka Media, 2013.
7
Mu`amalat Institut, Perbankan Syari’ah Perspektif Praktisi,(Jakarta: Mu`amalat
Institut, 1999),h.72-74. Lihat juga, Syafi`i Antonio, Perbankan Syari`ah :Wacana Ulama Dan
Cendikiawan,(Jakarta, Tazkia Institut dan BI, 1999), h.171 dan 184.
pengguna modal. Lebih lanjut masalah ini akan dibicarakan pada
Bab Etika Kerjasama Dalam Islam.
Adapun ihsan merupakan ajaran Islam tentang akhlak atau
moralitas. Nabi Muhammad dalam hadisnya menjelaskan ihsan
dengan kalimat, “Engkau mnyembah Allah seolah-olah engkau
melihatnya dan jika engkau tidak melihatnya pasti ia
melihatmu”. Ihsan sendiri bermakna berbuat baik, orangnya
disebut muhsin. Dengan demikian ihsan sangat berkaitan erat
dengan akhlak, moral atau etika. Dalam sebuah hadis nabi
Muhammad
menyatakan yang artinya, “yang paling utama
dikalangan orang beriman adalah yang paling baik akhlaknya”..
Perintah ihsan adalah perintah untuk berbuat baik, berakhlak
mulia tidak saja kepada sesama manusia, melainkan juga sesama
makhluk lainnya.
D.Tujuan Syari’at Islam
Fungsi Al-Qur’an diturunkan kepada manusia, sebagai
petunjuk dalam menjalani kehidupan. Fungsi tersebut dapat
diwujudkan bila kandungan Al-Qur’an dapat dipahami, dihayati
dan tentu saja diamalkan. Dalam rangka memahami Al-Qur’an
diperlukan penafsiran-penafsiran terhadap teks-teks yang
didalamnya sarat dengan nilai-nilai universal.
Penafsiran Al-Qur’an, seperti yang telah dilakukan oleh
ulama-ulama terdahulu, tentu sangat beragam karena masingmasing dipengaruhi oleh lingkungan sosio kultur yang
mengitarinya. Biasanya, penafsiran yang mereka berikan adalah
dalam rangka menjawab persoalan yang muncul dan berkembang
saat itu dan tidak dimaksud untuk berlaku sepanjang zaman.
Artinya agar Al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Upaya penafsiran Al-Qur’an secara terus menerus, kini dan akan
datang merupakan satu keniscayaan. Hanya dengan cara ini,
persoalan-persoalan kontemporer terutama yang berkaitan
dengan masalah ekonomi dan etika bisnis dapat dijelaskan dan
dijawab oleh Al-Qur’an.
Dalam kaitannya dengan hukum-hukum mu’amalah di atas,
yang ayatnya sedikit, penafsiran kembali (reinterpretasi)
merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kendati
demikian, bukan berarti penafsiran itu bisa dilakukan
serampangan. Disamping harus sesuai dengan kaedah penafsiran
yang berlaku, hasilnya juga harus menjamin terciptanya
kemaslahatan dalam kehidupan manusia.
Kemaslahatan itu penting, karena merupakan tujuan dari
syari’at itu sendiri. Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi seorang pakar
Ushul Fiqh menyatakan “Tujuan Syari’at Allah adalah Maslahat,
dan dimana saja terdapat Maslahat maka disanalah syari’at
Allah".8 Maslahat itu sendiri adalah satu kondisi dimana masingmasing individu dapat memenuhi kebutuhan dharurinya (Agama,
jiwa, keturunan, harta dan aqal) serta adanya jaminan
terpeliharanya kebutuhan tersebut.
Sebagai contoh konkrit, larangan Islam terhadap aktivitas
ekonomi yang dapat merusak akal manusia, seperti memproduksi
dan mengkosumsi minuman keras, adalah satu bentuk rekayasa
Islam dalam menciptakan kemaslahatan kehidupan manusia,
khususnya yang berkenaan dengan pemeliharaan akal (al-hifz al`aql). Demikian juga larangan Islam terhadap praktek riba juga
dalam rangka melindungi harta manusia dari eksploitasi pemilik
modal.
E. Rangkuman
1. Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah kepada
nabi Muhammad SAW untuk selanjutnya disampaikan
kepada seluruh umat manusia agar mereka memperoleh
kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.
2. Lingkup agama Islam terdiri dari Aqidah, syari`ah dan
akhlak. Aqidah berbicara tentang keyakinan terhadap
Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan
tersebut, syari`ah berbicara tentang hubungan manusia
dengan Tuhannya (hablun min Allah) yang terangkum
dalam ajaran Ibadah dan hubungan manusia dengan
manusia (hablun min al-nas) yang terangkum dalam
ajaran mu`amalah. Adapun ihsan berbicara tentang
8
Muhammad Ma`ruf al-Dawalibi, Al-Madkhal Ila `Ilm Usul al-Fiqh, (Damaskus :Dar alQalam, 1965), h. 97
akhlak baik kepada Allah SWT, manusia dan makhlukmakhluk lainnya.
3. Prinsip dalam ibadah adalah segala sesuatu itu
diharamkan, kecuali ada dalil yang membolehkannya.
Sedangkan dalam mu`amalah prinsip yang berlaku adalah
segala sesuatu dibolehkan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
4. Tujuan dari syari`at Islam adalah untuk kemaslahatan
umat manusia dan menolak segala bentuk kemudaratan
atau kerusakan.
F.Pertanyaan:
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan, Islam, Iman dan
Ihsan dan berikan contohnya ?
2. Apa implikasi perbedaan prinsip yang berlaku dalam
bidang ibadah dan prinsif yang berlaku dalam bidang
mu`amalah ?
3. Jumlah ayat ekonomi dalam Al-Qur’an menurut Abdul
Wahab Khallaf hanya terdiri dari 10 ayat, jumlah yang
sangat sedikit. Apakah dengan kondisi ini ekonomi Islam
dapat berkembang ?.
BAB II
SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM
Kata-kata sumber merupakan terjemahan dari kata Masdar (
) jamaknya masadir (
). Sumber berarti tempat asal
digalinya sesuatu. Jika disebut sumber air, maksudnya adalah
tempat asal air mengalir atau mata air. Maka ungkapan mashadir
al-ahkam (
) bermakna sumber-sumber
hukum islam yang merupakan tempat asal hukum itu digali.1
Sebenarnya kata mashadir al-ahkam tidak ditemukan dalam
literatur ushul fiqih klasik. Para Ushuliyyun (ahli ushul al-Fiqh)
menyebutnya dengan al-Adillah al- Syar‟iyyah, (
yang
berarti
dalil-dalil
syari‟at.
Sebahagian
),
ahli
hukum
menyamakan kedua pengertian ini karena yang ditunjuk oleh
kedua kata ini sama yaitu, Al-Qur‟an, Hadis, Ijma‟ dan Qiyas.
Ahli hukum kontemporer membedakan kedua kata ini. Jika
disebut kata masdar al-syari‟ah maksudnya adalah wadah atau
tempat asal digalinya norma-norma hukum dan ini bisa dilekatkan
hanya pada Al-Qur‟an dan Hadis. Sedangkan yang lainnya, ijma‟
dan qiyas tidak dapat disebut sumber, karena keduanya bukan
tempat asal, malah ijma' dan qiyas harus menyandarkan diri pada
1
Wahbah al-Zuhaily, Usul al-Fiqh al-Islami, I (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 417-418
Al-Qur‟an dan hadis. Sesuactu yang tidak dapat berdiri sendiri,
tidaklah mungkin disebut dengan sumber. 2
Sedangkan kata dalil yang berarti petunjuk, yang membawa
kita menemukan sesuatu hukum tertentu dapat mencakup AlQur‟an, Hadis, Ijmak, Qiyas, Istislah, Istihsan, „Uruf, Istishab dan
lainnya. Kalaupun dibedakan, hanyalah pada persoalan disepakati
atau tidak. Biasanya empat dalil hukum yang disebut pertama
dinamai dengan adillah al-muttafaq (dalil-dalil yang disepakati).
Sedangkan selebihnya disebut adillah al-mukhtalaf (dalil-dalil
yang diperselisihkan) oleh ulama.
A. Sumber Ajaran Islam Yang Disepakati
1). Al-Qur’an
Secara etimologis, Al-Qur‟an bermakna “bacaan” dan “apa
yang
tertulis”.
Sedang
didefenisikan sebagai
makna
terminologisnya
Al-Qur‟an
“Kalam Allah yang diturunkan kepada
Rasulullah SAW dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada
generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan
ditutup dengan surat al-Nas.3
Dari defenisi di atas, ciri-ciri khas Al-Qur‟an adalah :
1. Al-Qur‟an merupakan Kalam Allah yang diturunkan kepada
Muhammad SAW.
2
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Hukum Islam (Angkasa: Padang, 1993) h.20.
2. Al-Qur‟an
diturunkan
dalam
bahasa
Arab.
Hal
ini
ditunjukkan dalam surah : al-syu‟ara / 26 - 192 - 195, Yusuf
: 12 ; 2, al-Zumar 39 ; 28, Ibrahim : 14 ; 4 dll. Dengan
demikian, terjemahan dan penafsiran Al-Qur‟an tidak dapat
disebut Al-Qur‟an. Tentu saja membaca terjemahan dan
tafsirnya tidak bernilai ibadah.
3. Al-Qur‟an
sesudahnya
itu
dinukilkan
secara
kepada
mutawatir
beberapa
(diturunkan
generasi
oleh
orang
banyak kepada sejumlah orang yang dari segi jumlah sangat
tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berdusta). Atas
dasar itu pulalah, kemurnian Al-Qur‟an tetap terjaga dan
terjamin sampai hari kiamat. Pernyataan ini dapat dilihat
dalam Al-Qur‟an surah al-hijr / 15 ; 9.
4.
Membaca Al-Qur‟an dipandang ibadah dan mendapat
pahala dari Allah SWT.
5. Ciri terakhir dari Al-Qur‟an yang dianggap sebagai suatu
kehati-hatian bagi para ulama untuk membedakan dengan
kitab-kitab lain adalah bahwa Al-Qur‟an dimulai dari surat
al-fatihah dan diakhiri dengan surat al-nas. Susunan surat
ini tidak boleh diubah letaknya dan sebagai akibatnya, do‟ado‟a yang terdapat diakhir Al-Qur‟an tidak dapat disebut
Al-Qur‟an.
Keberadaan Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran/sumber hukum
mengandung pengertian bahwa Al-Qur‟an
3
Wahbah al-Zuhaily, op.cit.,h.421
memuat nilai-nilai
Ilahiyah yang dapat dijadikan sebagai sumber motivasi, arahan
dan penuntun
dalam menjalani kehidupan di dunia. Nilai-nilai
inilah yang perlu diterjemahkan agar dapat dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Jadi
pernyataan
bahwa
Al-Qur‟an
sebagai
sumber
ajaran/sumber hukum bukanlah dalam pengertian Al-Qur‟an
memuat segala persoalan yang ada bahkan yang akan muncul
seperti pemahaman yang berkembang selama ini di masyarakat.
Lebih keliru lagi, kalau dikatakan Al-Qur‟an itu memuat aturanaturan teknis yang langsung dapat diaplikasikan dalam relitas
kehidupan manusia.
Apabila disebut Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran dalam
ekonomi Islam, maksudnya bukan Al-Qur‟an memuat ajaran secara
lengkap tentang sistem ekonomi Islam seperti, barang dan jasa
apakah yang akan diproduksi, bagaimana memproduksinya serta
kepada siapa barang tersebut didistribusikan sehingga ia memiliki
manfaat dalam masyarakat. Akan tetapi maksudnya adalah AlQur‟an
memuat
nilai-nilai
universal
tentang
bagaimana
sebenarnya ekonomi Islam itu harus diformulasikan.4
Sebagai contoh, Al-Qur‟an menyebut bahwa riba merupakan
aktivitas ekonomi yang menimbulkan kesengsaraan masyarakat.
Untuk itu praktek riba harus dihindari (QS. Ar-Rum ; 39, An-Nisa ;
160-161, Ali Imran : 130, Al-Baqarah ; 278-279). Dampak
ekonominya adalah meningginya harga barang. Semangkin tinggi
4
Penjelasan yang lebih luas dapat dilihat dalam Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, h.
suku bunga, semangkin tinggi pula harga yang akan ditetapkan
pada suatu barang. Salah satu elemen penentuan harga adalah
suku bunga. Sedangkan dampak sosialnya, para pelaku riba
(rentenir) akan mengeksploitasi korbannya dengan bunga yang
tinggi sampai pada suatu saat ia tidak mampu lagi membayar
bunga apalagi melunasi hutang. Pada akhirnya semua yang
dimilikinya akan disita oleh pelaku riba sampai si korban tidak lagi
memiliki apa-apa. Bisa diduga, ia akan menjadi beban sosial baru
di masyarakat.
Sedangkan persoalan etikanya adalah, riba sebagai sebuah
sistem ternyata menimbulkan kezaliman dan kesengsaraan bagi
orang yang terlibat didalamnya. Nilai pentingnya adalah Al-Qur‟an
mencela sistem bunga yang melahirkan kezaliman ekonomi.
Sebagai gantinya Al-Qur‟an menawarkan sistem mudharabah yang
mengandung nilai tolong-menolong, kemaslahatan dan keadilan.
Nilai-nilai ini yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam produkproduk
perbankan
Islam
seperti
tabungan
mudharabah,
musyarakah dan lain-lain.
2) Sunnah.
Sunnah (
biasa
) secara etimologis berarti “jalan yang
dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan”, terlepas
apakah kebiasaan itu baik atau buruk. Sedangkan pengertian
terminologisnya, sunnah adalah “segala yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan.5
Dari defenisi di atas, sunnah dapat dibagi kepada tiga
macam :
a. Sunnah Qauliyah (Perkataan)
Yaitu perkataan-perkataan Rasul yang disampaikan dan
didengar oleh sahabat untuk selanjutnya ditransmisikan kepada
generasi-generasi berikutnya,
Misalnya hadis yang artinya, “Bahwasanya Nabi berkata “riba itu
mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah dosanya
sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”.
(Hadis diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Mas‟ud)
b. Sunnah Fi’liyah (Perbuatan)
Yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi, yang dilihat para
sahabat untuk selanjutnya dipraktekkan dan disampaikan kepada
generasi berikutnya. Contohnya, prilaku bisnis Rasul yang tidak
pernah mengurangi timbangan.
c. Sunnah Taqririyah (ketetapan/persetujuan)
Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di
hadapan Nabi atau dilaporkan kepadanya, tetapi Nabi hanya diam
saja dan tidak mencegahnya. Sikap Nabi ini dipandang sebagai
5
`Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis,wa Mustaluhuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.17
isyarat persetujuannya terhadap perbuatan atau perkataan
sahabat tersebut.
c. Fungsi Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Pada pembahasan Al-Qur‟an telah dijelaskan bahwa sebagian
besar ayat-ayat Al-Qur‟an diungkap dengan bahasa yang global
(ijmali) yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran. Sebagai
Rasul Allah, Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling
memiliki otoritas untuk melakukannya melalui sunnah-sunnahNya. Dengan demikian dapat dikatakan, fungsi sunnah terhadap
Al-Qur‟an adalah :6
1). Bayanu Tafsili (merinci)
Maksudnya adalah merinci hukum global yang ada dalam AlQur‟an. Sebagai contoh, Allah memperintahkan sholat dalam AlQur‟an tanpa ada penjelasan tentang raka‟at dan tata caranya
sunnah Nabi yang menjelaskannya mulai dari jumlah raka‟at, tata
cara serta bacaan-bacaannya.
2).Bayanu Tafsir (menafsirkan)
Maksudnya
adalah sunnah yang memberikan penafsiran-
penafsiran terhadap ungkapan Al-Qur‟an yang global. Sebagai
contoh, Al-Qur‟an melarang peraktek riba. Namun apa ang
dimaksud riba tidak dijelaskan. Untuk itulah sunnah Rasul
menafsirkan bahwa riba adalah :
Artinya:
Barang
siapa
memberi
tambahan
atau
meminta
tambahan, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan riba.
Penerima dan pemberi sama-sama bersalah. (H. R. Muslim).
3). Bayanu Ta‟kid (meguatkan)
Maksudnya adalah sunnah menguatkan hukum yang telah
diungkap Al-Qur‟an. Contohnya,
hadis-hadis tentang riba yang
berisi kecaman Rasul terhadap praktek riba. Hadis-hadis ini
menguatkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang berbicara tentang riba.
4). Bayanu Tasyri‟ (membuat Syari`at)
Maksudnya adalah sunnah membuat hukum-hukum baru yang
tidak disinggung Al-Qur‟an. Sebagai contoh, larangan Rasul
mengawini wanita sekaligus dengan bibinya (dalam satu masa).
(H.R. Bukhari Muslim).
Begiitu pentingnya keberadaan Sunnah Rasul, para ulama
menempatkannya sebagai sumber dan dalil hukum setelah AlQur‟an. Ini juga diisyaratkan oleh Firman Allah Q.S. Al-Hasyr 59;7
yang artinya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah dan
apa yang dilarangnya jauhilah .
3. Ijma’
Secara
etimologis,
ijma‟
berarti
kesepakatan
atau
konsensus. Sedang menurut pengertian terminologinya ijma‟
adalah kesepakatan seluruh Mujtahid pada suatu masa, setelah
6
Mustafa al-Siba`i, Al-Sunnah Wa Makanatuha Fi Tasyri` al-Islami, (al-Dar alQaumiyyah li al-taba`ah wa al-nasar,1949) h. 343 –347.
wafatnya Rasul, terhadap sebuah persoalan baru.7
Adapun
syaratnya adalah :
a. Yang melakukan ijma‟ adalah mujtahid yang berada
pada suatu masa tertentu.
b.
Kesepakatan
yang
terjadi,
harus
diawali
dengan
mengemukakan argumentasi oleh masing-masing mujtahid.
c. Hukum yang disepakati adalah hukum syara‟ yang tidak
ada penjelasannya secara rinci dalam Al-Qur‟an dan hadis.
d. Sandaran hukum ijma‟ haruslah Al-Qur‟an dan hadis.
Contohnya, ijma‟ ulama tentang haramnya riba nasi‟ah yaitu riba
akibat penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
yang
mengakibatkan
adanya
perbedaan,
perubahan
atau
tambahan antara yang diserahkan pada awal transaksi dengan
yang diserahkan kemudian.
4. Qiyas.
Secara etimologis qiyas berarti ukuran. Adapun menurut
pengertian terminologisnya, qiyas adalah menghubungkan sesuatu
yang tidak disebutkan nashnya dengan sesuatu yang disebutkan
hukumnya dalam nash disebabkan kesamaan illat (ratio legis)
pada keduanya. 8
Adapun rukun qiyas adalah :
7
8
Wahbah al-Zuhaily, op.cit., h.490
Ibid., h .601
1. Asal (
) yaitu objek yang telah ditetapkan hukumnya
oleh nas.
2. Far‟u(
) yaitu objek baru yang akan ditentukan
hukumnya.
3. Illat (
) yaitu sifat yang menjadi motif dalam
menentukan hukum
4. Hukum asal (
) adalah hukum syara‟ yang
telah ditentukan oleh nas atau ijma‟.
ontoh :
Asal
Khamar
-
Far’u
-
wisky
Illat
memabukkan
memabukkan
Hukum
haram
haram
asal
Khamar adalah minuman yang diharamkan dalam Al-Qur‟an
(Q.S.
Al-Maidah:
59)
karena
sifatnya
yang
memabukkan.
Sedangkan wisky atau jenis minuman yang memabukkan lainnya
tidak disebutkan oleh Al-Qur‟an. Masalahnya apakah hukum
minum wisky. Untuk menemukan jawaban hukumnya ditempuhlah
jalan qiyas. Setelah diteliti, ternyata minum wisky juga dapat
memabukkan seperti halnya khamar, karena illatnya sama, maka
hukumnya juga sama yaitu haram.
C. Dalil-dalil Yang Diperselisihkan.
1.
Maslahat
Maslahat al-mursalah didefenisikan sebagai satu bentuk
kemaslahatan yang tidak didukung syara‟ dan tidak pula
ditolak/dibatalkan syara‟ melalui dalil yang rinci.
Maslahat itu sendiri bermakna meraih manfaat dan
menolak mafsadat (kerusakan). Dan ini merupakan tujuan syariat
Islam (maqasid al-syari‟ah). Pentingnya maslahat, sampai-sampai
muhammad Ma‟ruf
al-Dawalibi seorang ahli hukum Islam
menyatakan, “Dimana saja terdapat “kemaslahatan” disanalah
syari‟at Allah”.
Masalahat atau al-istislah merupakan dalil hukum yang
diperselisihkan. Kendati demikian keberadaannya tetap penting
untuk
menjawab
persoalan-persoalan
kontemporer.
Dalam
menetapkan hukum terhadap satu persoalan yang muncul, ukuran
yang
digunakan
adalah
seberapa
jauh
persoalan
tersebut
menimbulkan maslahat dan menghindarkan mudharat yang timbul
di
masyarakat.
Tentu
saja
analisa
itu
digunakan
dengan
menggunakan pemikiran yang rasional dan jernih. Apabila
ditemukan
bahwa
dampak
yang
ditimbulkannya
adalah
kemaslahatan, maka hal itu boleh dilakukan. Sebaliknya, jika yang
muncul adalah kemudharatan, maka harus ditolak.
Contohnya, di dalam Al-Qur‟an dan hadis tidak ditemukan
satu ayat baik yang eksplisit ataupun implisit tentang perintah
mendirikan Bank Islam. Tidak juga ditemukan, dalil-dalil yang
melarang pendiriannya. Namun setelah dikaji, pendirian Bank
Islam merupakan satu kemestian untuk pemberdayaan ekonomi
umat Islam serta menghindarkan umat dari jeratan Bank
Konvensional yang menggunakan sistem bunga yang eksploitatif.
Karena dampaknya adalah kemaslahatan, maka pendirian Bank
Islam dibolehkan bahkan menjadi satu kemestian.
2. „Uruf
Secara
etimologis
diketahui. `Uruf
`uruf
adalah
sesuatu
yang
telah
sama dengan adat yang bermakna tradisis,
kebiasaan atau praktek. Secara terminologis `uruf merupakan
praktek yang dilakukan berulang-ulang yang dapat diterima oleh
seseorang atau masyarakat yang memiliki akal sehat.9
Biasanya `uruf dibagi dua, „Uruf Sahih yakni kebiasaan
yang dilakukan dan tidak bertentangan dengan syara‟. Kedua,
„Uruf Fasid, kebiasaan yang tidak dapat diterima oleh seseorang
atau masyarakat yang memiliki akal sehat.
„Uruf yang dapat berfungsi sebagai dalil hukum adalah
„Uruf yang Sahih. Adapun kaedah yang digunakan adalah al-„adatu
muhakkamah (adat itu dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
sesuatu).
Sebagai contoh, dalam Fiqih Syafi‟i salah satu rukun jual beli
adalah ijab dan kabul dimana sipembeli mengatakan “saya beli”
dan penjual menjawab “saya jual”. Rukun ini digunakan untuk
mengukur sah tidaknya suatu peraktek jual beli. Namun di
Indonesia, hal ini tidak begitu lazim dilakukan. Peraktek jual beli
masyarakat sejak dahulu
tidak melalui ijab dan kabul dan
ternyata tidak ada keburukan yang ditimbulkannya. Karena sudah
merupakan tradisi, maka jual beli tanpa ijab kabul tetap
dipandang sah.
D. Ijtihad, Pengertian Dan Syaratnya.
Bagaimanapun pentingnya kedudukan Al-Qur‟an dan hadis,
namun keduanya memiliki “keterbatasan”, maksudnya segala
permasalahan baru yang muncul dalam kehidupan umat yang
dipicu oleh perkembangan IPTEK, tidak dapat langsung dicarikan
jawabannya dari kedua sumber tersebut, walaupun mungkin pesan
dasarnya tercantum dalam Al-Qur‟an dan hadis. Pesan-pesan
inilah yang akan digali dengan metode tertentu sehingga
menghasilkan hukum. Upaya menggali pesan-pesan tersebut
dinamai dengan Ijtihad.
Ijtihad terambil dari kata al-juhd yang berarti upaya sungguhsungguh.
Secara
etimologis,
ijtihad
adalah
mengerahkan
kemampuan intelektual secara maksimal untuk menemukan
hukum
syara‟.
Orang
yang
melakukannya
disebut
dengan
Mujtahid.
Ijtihad
bukanlah
satu
pekerjaan
mudah,
untuk
dapat
melakukannya diperlukan beberapa syarat ,Mengetahui bahasa
9
Ahmad Fahmi Abu Sunnah , al-`Uruf wa al-`adah fi Ra‟yi al-Fuqaha‟(Mesir: dar al-
arab dengan seluk beluknya.,mengetahui Al-Qur‟an dengan segala
ilmu-ilmu yang terkait dengannya,mengetahui Sunnah rasul
dengan segala ilmu yang berhubungan dengannya,memahami
qiyas, ijma‟ dan metode lainnya
Karena permasalahan yang berkembang semangkin konpleks
dan berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi, maka seorang Mujtahid harus juga memahami dengan
baik masalah yang sedang dihadapi.
Mengingat
beratnya
persyaratan
ijtihad,
sangat
kecil
kemungkinan syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi seseorang.
Itulah sebabnya ijtihad fardiyah tidak mungkin lagi dilakukan
sekarang. Yang paling mungkin adalah ijtihad jama‟i (ijtihad
kolektif)
dimana
masing-masing
ahli
duduk
bersama-sama
memecahkan satu persoalan dan mencari jawaban hukumnya.
Ijtihad semangkin penting untuk saat ini disebabkan satu
kenyataan bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan.
Perubahan masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial,
budaya, sosial politik, ekonomi dan lain-lain.
Dalam bidang kedokteran, muncul masalah-masalah baru
seperti genetika. Dalam bidang ekonomi muncul lembaga-lembaga
perbankan yang menawarkan berbagai macam produk, lembaga
asuransi dengan segala permasalahan,
dicarikan jawaban hukumnya.
Fikr al-`Arabi, t.t,),h.8
yang harus segera
Tentulah hal-hal di atas tidak dapat dijawab oleh seorang
ulama yang hanya menguasai ilmu-ilmu islam saja. Untuk
memecahkan persoalan yang berkaitan dengan kedokteran,
diperlukan ahli di bidang kedokteran yang dapat menjelaskan
rekayasa
genetika.
Untuk
menjawab
persoalan
ekonomi,
diperlukan pakar ekonomi dsb. Inilah yang disebut dengan ijtihad
kolektif.
Dalam kerangka menjawab persoalan kontemporer dapat
dilakukan dengan dua bentuk ijtihad, yaitu : ijtihad Intiqo‟i
(ijtihad tarjihi)
dan ijtihad Insya‟i. Ijtihad Intiqo‟i
adalah
ijtihad yang dilakukan sekelompok orang untuk memilih pendapat
para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu.
Asumsinya, mungkin masalah yng muncul hari ini memiliki
kemiripan dengan masalah yang muncul pada masa lalu. Tugas
para Mujtahid hanyalah memilih diantara pendapat-pendapat ahli
fiqih sehingga ditemukan pendapat yang lebih rajih (kuat) dan
relevan dengan masalah yang ada. Sebagai contoh dalam masalah
hukum bunga bank ?. Menyikapi masalah ini para ulama dapat
merujuk pendapat ulama masa lalu yang berbicara tentang riba.
Jika ditemukan persamaan ilat (ratio legis) maka dapat ditempuh
dengan metode Qiyas. Jadilah hukum bunga bank sama dengan
riba.
Sedangkan ijtihad insya‟i adalah usaha untuk menetapkan
kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang
jawabannya tidak ditemukan pada masa lalu. sebagai contoh
dapat dilihat hukum tentang reksadana Syari`ah. Masalah
reksadana
rujukannya
syari`ah
dalam
adalah
masalah
kitab-kitab
baru
yang
fikih.untuk
tidak
ada
menjawabnya
digunakanlah Ijtihad baru. Disinilah diperlukan pemahaman yang
utuh terhadap kasus baru dengan meminta penjelasan dari ahlinya
dan ketepatan dalam menggunakan metode Ijtihad. Selanjutnya
barulah ditetapkan hukumnya.
E.. Rangkuman :
1. Yang dimaksud dengan sumber ajaran Islam adalah,
tempat asal digali dan ditemukannya ajaran Islam baik
dari Al-Qur‟an maupun al-Hadis.
2. Sumber ajaran Islam yang disepakati adalah, Al-Qur‟an,
Hadis, Ijma` dan Qiyas. Sedangkan yang diperselisihkan
adalah maslahat, istihsan, `uruf dan lain-lain.
3. Ijtihad sebagai sebuah upaya pengerahan kemampuan
intelektual mujtahid dalam rangka mengeluarkan hukumhukum
dari
sumbernya,
sangat
diperlukan
untuk
menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul akibat
perkembangan IPTEK.
F. Pertanyaan:
1. Apakah yang dimaksud dengan sumber ajaran Islam ?
2. Mengapa Al-Qur‟an disebut sebagai sumber pertama dan
bagaimana posisi sunnah terhadap Al-Qur‟an.
3. Apakah yang dimaksud dengan Ijtihad tarjihi dan ijtihad
Intiqa‟i. Berikan contohnya.
BAB III
ETIKA DAN MORAL
Hampir setiap hari kita mendengar istilah etika, etis, dan
moral baik di ruang kuliah, maupun di tempat-tempat umum.
Sering kali istilah etika dan moral dipertukarkan dan digunakan
secara serampangan. Agaknya di awal diskusi ini kedua istilah
tersebut etika dan moral dan bentukannya seperti etiket, amoral,
immoral perlu dijernihkan kembali.
A.Pengertian Etika dan Moral
Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno ethos. Dalam bentuk
tunggal kata tersebut mempunyai banyak arti, kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk
jamak (ta etha ) artinya adalah adat kebiasaan. Arti terakhir
inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “Etika”
yang oleh filosof besar Yunani Aristoteles (384-322 SM ) sudah
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.1
Dalam kamus bahasa Inggris, etika (ethic) mengandung
empat pengertian. Pertama, etika adalah prinsip tingkah laku
yang benar atau baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip itu.
Kedua, etika, merupakan sistem prinsip-prinsip atau nilai-nilai
moral. Ketiga, dalam kata-kata “ethics” (yaitu “ethic” dengan
1
K.Bertens, Etika, (Jakarta:Gramedia,1994), h.3-4
tambahan
“s”
tapi
dalam
penggunaan
mufrad
(singular),
diartikan sebagai kajian tentang hakikat umum moral dan pilihanpilihan khusus moral. Kempat, “ethics” (yaitu “ethic”
dengan
tambahan “s” dalam penggunaan mufrad (tunggal) dan jamak
(plural), ialah ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang
mengatur tingkah laku para anggota suatu profesi2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan
dengan membedakan tiga arti : 1). Ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak). 2). Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak. 3). Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.3
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, memilih arti
yang ketiga sebagai pengertian etika yang paling substansial.
Menurutnya etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Jika disebut “etika suku indian”, Etika
Protestan (ingat bukunya Max Weber, The Protestant Ethic and
The Spirit Of Capitalism), Etika Islam, maka maksudnya bukan
ilmu, melainkan dalam pengertian yang telah disebut yaitu
sebagai nilai mengenai benar salah yang dianut oleh suatu
golongan atau masyarakat.4 Sampai disini etika dapat juga disebut
2
Ibid., h.11
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai
Pustaka,1995),h.271
4
K.Bertens, Loc.cit.,
3
sebagai sistem nilai yang dapat berfungsi dalam hidup manusia
perorangan maupun sosial.
Disamping itu etika dapat diartikan sebagai kode etik yang
merupakan kumpulan asas atau nilai moral. Seperti, kode etik
dokter, kode etik pers dan lain-lain. Bisa juga etika sebagai ilmu
tentang baik dan buruk, etika disini sama artinya dengan filsafat
moral.
Adapun moral yang berasal dari bahasa latin mos (jamaknya
mores)
secara
etimologis
bermakna
adat
kebiasaan.
Jika
didefinisikan, moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau satu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Dalam batasan ini pengertian moral
sama dengan etika dalam pengertian ketiga.5
Adalagi ungkapan amoral. Kamus Concise Oxford Dictionary
menerangkan kata amoral sebagai, “tidak berhubungan dengan
konteks moral” atau “di luar suasana moral (non moral)”.
Sedangkan immoral bertentangan dengan moralitas yang baik atau
“secara moral buruk”6
Kata yang sering dipertukarkan dengan etika adalah etiket.
Etiket secara sederhana berarti sopan santun, atau menyangkut
cara suatu perbuatan dilakukan
dalam suatu pergaulan. Jadi
etiket lebih menyangkut perbuatan lahiriah. Sebagai contoh,
ketika makan bersama, etiket melarang makan dengan tangan kiri
5
6
Ibid., h.4-7
Ibid.,
atau ribut. Namun apabila makan sendiri ketika tidak ada orang
yang menyaksikan maka dalam suasana tersebut etiket tidak
berlaku.
Di muka telah dijelaskan, ada persamaan antara etika dan
moral. Namun keduanya dapat di bedakan. Amin Abdullah yang
menulis desertasi, The idea of universality of ethical Norms In
Ghazali and Kant, menyebut moral adalah aturan-aturan normatif
(dalam Islam disebut dengan akhlak) yang berlaku dalam suatu
masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu.
Penerapan tata nilai moral dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat tertentu menjadi kajian antropologi sedangkan etika
adalah bidang garap filsafat. Realitas moral dalam kehidupan
masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis ( critical studies)
adalah wilayah yang dibidangi etika. Jadi studi kritis terhadap
moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah
objek material dari etika.7
Dalam pengertian sederhana moral adalah seperangkat tata
nilai
yang
sudah
jadi
dan
siap
pakai
sedangkan
etika
mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan baik-buruk yang
telah mengkristal dalam kehidupan sosial, untuk selanjutnya
dirumuskan kembali. Tegasnya, jika moral lebih condong kepada
pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia
itu sendiri”, maka etika merupakan ilmu yang mempelajari
tentang baik dan buruk. Bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai
teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau `ilm al-akhlaq)
dan moral (akhlak) adalah praktiknya.8 Etika tidak berbicara
bagaimana seharusnya, namun apa yang harus dilakukan, tentu
saja dalam bingkai baik buruk.
B. Aliran-Aliran Etika
Diskursus tentang baik-buruk telah berlangsung cukup lama,
semasa dengan sejarah peradaban umat manusia. Generasi setiap
masa mencoba untuk merumuskan apa yang disebut dengan baik,
buruk dan bahagia. Perbedaan cara pandang telah membuat
rumusan yang berbeda-beda dan pada perkembangan berikutnya
menjadi aliran-aliran etika dan sistem etika.
1. Hedonisme
Pertanyaan yang muncul dalam membicarakan persoalan
baik adalah, “apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia ?.
Para hedonis menjawab, kesenangan. Sesuatu itu baik apabila
dapat
memuaskan
keinginan
kita
atau
apa
yang
dapat
meningkatkan kreativitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri
kita.
Pemikiran ini telah muncul sejak zaman Aristoteles (433-355
S.M), dan dilanjutkan oleh muridnya Sokrates. menurutnya sejak
kecil manusia selalu mencari kesenangan dan selalu menghindar
7
Amin Abdullah, Falsafah kalam Di Era Post Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995), h.146147
dari
segala
sesuatu
yang
tidak
menyenangkan.
Baginya
kesenangan tersebut bersifat badani. Namun ia memberi catatan,
kesenangan yang diperoleh tidak boleh menjadikan manusia larut.
Kesenangan tersebut harus tetap berada dalam kendali dirinya.
Kesenangan harus dipergunakan sebaik-baiknya.9
Epikorus
(341-270
S.M)
melanjutkan
pemikiran
ini.
menurutnya kesenangan tersebut tidak hanya terbatas pasda
badani saja, tetapi juga melingkupi kesenangan rohani. Ia
berkata, “bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah
tujuan, kami tidak bermaksud bahwa kesenangan tersebut hanya
bersifat inderawi saja, tetapi mencakup kebebasan dari nyeri
dalam tubuh dan kebebasan dari keresahan jiwa. 10
Penting untuk dicatat, bagi aliran ini, kebebasan bukan
dalam makna seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya. Epikorus
membedakan tiga macam keinginan. Keinginan alamiah yang tidak
perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu
(seperti makanan yang enak) dan keinginan yang sia-sia (seperti
kekayaan). Hanya keinginan pertama harus dipuaskan dan
pemuasnya secara terbatas menghasilkan kesenangan paling
besar.
8
Haidar Bagir, “Etika “Barat”, Etika Islam”, Pengantar dalam buku, Amin Abdullah, Filsafat Etika
Islam Antara Al_Ghazali dan kant, (Bandung : Mizan, 2002). h. 15
9
K.Bertens, op.cit.,h.235-240
10
Ibid.,
Epikorus menganjurkan kesederhanaan atau pola hidup
sederhana. Karena menurutnya hanya dengan inilah manusia
dapat mencapai ataraxia, atau ketenangan jiwa.
2.
Utilitarianisme
Biasanya perbuatan itu baik atau buruk dilihat pada
perbuatannya
sendiri.
menolong
orang
dari
kesusahan
itu
perbuatan baik, dan berbohong itu buruk. Akan tetapi menurut
aliran Utilitarianisme, nilai moral perbuatan manusia ditentukan
oleh tujuannya. Inilah makna dari utilitarianisme (utilis-bahasa
latin) yang berati manfaat.
Prinsip aliran ini adalah, “suatu tindakan dapat dibenarkan
secara moral apabila akibat-akibatnya menunjang kebahagiaan
semua yang bersangkutan.11. Perbuatan
yang mengakibatkan
banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang
terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup dipandang baik
dan
merupakan
tanggungjawab
moral
manusia
?.
Kaum
utilitarianisme menjawab, karena hal itu membawa manfaat
paling besar bagi umat manusia secara keseluruhan bahkan bagi
generasi yang akan datang.12
Filosof pertama yang mengutarakan konsep ini adalah Jeremi
Bentham (1748-1832) dari Inggris. Ungkapannya yang terkenal
adalah “the greatest happiness of the greatest number”
11
Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika,(Yogyakarta: kanisius, 1997),h.195-197.
Bandingkan, K.Bertens, Etika, op.cit.h.246-250
(kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Baginya
kualitas kesenangan sebenarnya sama, yang membedakannya
hanyalah kuantitasnya. Jika sebuah perbuatan menimbulkan
banyak manfaat, paling banyak menimbulkan kemakmuran dan
kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu
dipandang baik. Sebaliknya jika perbuatan itu lebih banyak
membawa keburukan dan kerugian bagi masyarakat ketimbang
manfaatnya, maka perbuatan itu dipandang buruk.
Bagi aliran ini sebenarnya kesenangan dapat diukur. Untuk
itu ia mengembangkan the hedonistic calculus. Oleh sebab itu
banyak ahli yang menyatakan bahwa teori ini cocok sekali dengan
pemikiran ekonomi dan cukup dekat dengan teori cost benefit
analysis. Manfaat yang dimaksudkan oleh aliran ini bisa dihitung
sama seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet
dalam konteks bisnis.
Sebagai contoh dapat dilihat di bawah ini dalam kasus
meminum-minuman keras :
Ketidak senangan (debet)
Lamanya
: singkat
Kesenangan (kredit)
Intensitas :
membawa
banyak
kesenangan
Akibatnya
: - Kemiskinan
Kepastian:
kesenangan pasti terjadi
- Nama buruk
-Tidak sanggup
bekerja.
Kemurnian
12
:
dapat
diragukan
Jauh / dekat : Kesenangan
K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 66
dapat
timbul
(dalam
keadaan
cepat
mabuk sering
tercampur
unsur
ketidak
senangan).
Sebenarnya mabuk itu membawa banyak kesenangan dan
untuk menjadi senang tidak perlu menunggu waktu yang lama.
Tetapi karena keseluruhan saldo negatif, malah sangat negatif,
maka mabuk harus dinilai sebagai perbuatan yang buruk.
Pemikiran ini dikembangkan dan diperkukuh oleh filsuf
Inggris lainnya, John Stuart Mill (1806-1873). Ia menegaskan dua
hal penting, pertama, nikmat jangan dibatasi nikmat jasmani
saja, nikmat rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Kedua,
utilitarianisme
tidak
ada
kaitan
dengan
egoisme.
Kriteria
moralitas utilitarianisme, prinsip kebahagiaan terbesar, mencakup
semua orang yang terkena dampak tindakan kita. Berbeda dengan
hedonisme
Epikorus,
utilitarianisme
tidak
menciptakan
kebahagiaan bagi diri sendiri saja, melainkan kebahagiaan semua
orang.13
3.
Deontologi
Aliran ini dipelopori oleh filosof Jerman, Immanuel Kant
(1724-1804). Menurutnya, baik dan buruk tidak dapat diukur
13
Ibid.,
berdasarkan
hasilnya,
melainkan
semata-mata
berdasarkan
maksud sipelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kant
sampai pada kesimpulan, yang bisa disebut baik dalam arti yang
sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Kehendak menjadi baik,
jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan
dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak dapat
disebut baik, betapapun luhurnya motif tersebut.14 Tegasnya ,
sesuatu perbuatan itu baik dilakukan karena kewajiban atau
berdasarkan “imperatif katagoris”. Imperatif katagoris akan
mewajibkan orang untuk melakukan suatu perbuatan tanpa ada
persyaratan-persyaratan tertentu.
Istilah deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang
berarti kewajiban. Jika ditanyakan mengapa perbuatan ini adalah
baik dan perbuatan tersebut adalah buruk, deontologi menjawab,
perbuatan pertama menjadi kewajiban manusia dan perbuatan
kedua di larang. Yang menjadi dasar baik buruknya suatu
perbuatan hanyalah kewajiban. Konsekuensi perbuatan tidak
boleh menjadi pertimbangan.
Sebagai contoh apabila kita menolong orang lain dengan
memberinya sedekah karena prihatin melihat keadaannya yang
menyedihkan maka perbuatan ini tidak dapat disebut dengan
baik. Perbuatan tersebut dikatakan baik, jika didasarkan pada
14
Ibid.,h.151-156
dorongan moral dan semata-mata karena perbuatan menolong itu
suatu kewajiban.
Menurut
Bertens,
sadar
atau
tidak
orang
beragama
berpegang pada pendirian deontologi. Mengapa satu perbuatan
baik atau buruk ?, orang beragama akan menjawab karena
perbuatan tersebut diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan.
Dalam Islam dikenal perintah yang wajib dikerjakan dan larangan
yang harus ditinggalkan. Dalam Kristen ada yang disebut dengan
The Ten Commandements (sepuluh perintah Allah) yang berisi
larangan berdusta, berzina, membunuh dan lain-lain.15
Dari tiga bentuk aliran etika di atas, dalam bentuknya yang
lain
Rafiq
Issa
Beekun
merumuskan
enam
sistem
etika
kontemporer yang berlaku dalam dunia bisnis ringkasannya dapat
dilihat dibawah ini.16
Tabel- 1
IKHTISAR ENAM SISTEM ETIKA KONTEMPORER UTAMA
Sistem
Etika Kreteria Pembuat Keputusan
Kontemporer
Relativisme
15
16
Keputusan etis dibuat berdasar pada kebutuhan
K.Bertens, Pengantar…op.cit, h.69-70
Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics ,(USA:The International Institute of Islamic Thought,
1996),h.10 . Lihat juga, Choirul Fuad Yusuf, “Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan
Global”, dalam, Ulumul Qur’an, Vol. 3/VII/97, hlm.15
(kehendak diri)
dan kehendak diri sendiri
Utilitarianisme
Keputusan etis dibuat beradsarkan hasil )out-
(kalkulasi
comes)
Untung Rugi)
tindakan
akibat
keputusan
dinilai
mengakibatkan
etis
tersebut.
jika
tindakan
(menghasilkan
Suatu
itu
manfaat/
keuntungan sebesar-besarnya bagi sebagian
Universalisme
besar orang.
(Kewajiban)
Keputusan etis didasarkan pada maksud tujuan
Hak (Pemberian tindakan. Keputusan yang sama harus dibuayt
Hak Individu)
oleh seseorang pada situasi yang sama.
Keputusan etis menitikberatkan pada nilai
Keadilan
tunggal kebebasan, dan didasarkan pada hak-
Distributif
hak
(Kejujuran
Dan memilih.
Keadilan
individu
yang
menjamin
kebebasan
Keputusan etis menitikberatkan pada nilai
tunggal: keadilan, dan menjamin pemerataan
Hukum
Abadi distribusi kekayaan dan keuntungan.
(kitab Suci)
Keputusan etis dibuat berdasarkan hukum
abadi (eternal law) yang terdapat dalam kitab
suci.
C. Etika Islam
Dalam Islam tidak ada main stream pemikiran tentang
akhlak, seperti aliran lainnya. Islam juga mengenal sistem akhlak
yang pernah berkembang dalam sejarah Islam. masalahnya
menyangkut apakah ukuran baik dan buruk dalam Islam. Ada yang
menyebut, baik dan buruk ditentukan oleh al-Qur‟an (Wahyu).
Ada yang menyebut, akal harus diutamakan dari pada wahyu.
Sebahagian lagi menyebut, akal harus dilengkapi dengan wahyu
dalam merumuskan perbuatan baik dan buruk..
Seperti yang dikatakan M. Quraish Shihab, tolak ukur
perbuatan baik dan buruk mestilah merujuk pada ketentuan Allah
seperti
yang
terdapat
dalam
al-Qur‟an.17
Namun
untuk
memahaminya peran akal tidak dapat diabaikan. Dengan kata
lain, akal memiliki peran yang sangat penting dalam merumuskan
perbuatan baik dan buruk dengan tetap mengacu pada petunjuk
al-Qur‟an
seperti
keadilan,
persamaan,
kebahagiaan
dunia
akhirat, jasmani, rohani dan kemaslahatan.
Paling tidak menurut Haidar Bagir ciri-ciri etika Islam
tersebut adalah,
Pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang
bersifat fitri. Artinya, semua manusia pada hakikatnya-baik itu
muslim maupun non muslim- memiliki pengetahuan fitri tentang
baik dan buruk.
17
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997),h.
Kedua, Moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan,
yakni menempatkan sesuatu pada porsinya.
Ketiga,
Tindakan
etis
itu
sekaligus
dipercayai
pada
puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.
Keempat, Tindakan etis itu bersifat rasional.18
Berangkat
dari
prinsip
etika
Islam
tersebut
dapatlah
dijelaskan aksioma etik Islam seperti yang dirumuskan oleh Rafiq
Issa pada tabel di bawah ini.19
Tabel – 2
AKSIOMA ETIKA ISLAM
Aksioma Unitas Berkaitan
keseluruhan
dengan
konsep
homogen
dari
tauhid.
segenap
Bentuk
aspek
kehidupan manusia: sosial , politik, ekonomi,
agama, dsb. Kesatuan ini bersifat konsisten dan
terpadu dengan alam semesta.
Equilibrium
Berkaitan
dengan
konsep
adil.
Merupakan
suasana keseimbangan di antara pelbagai aspek
a
kehidupan manusia (sosial, politik, ekonomi,
agama, dsb), Yang membentuk tatanan sosial
Kehendak
yang harmonis.
Bebas
18
19
Haidar Bagir, op.cit.,h.19-20
Choirul Fuad Yusuf, op.cit, h. 15
Kemampuan manusia untuk bertindak tanpa
paksaan dari luar sesuai dengan parameter
ciptaan Allah SWT serta posisinya sebagai
Tanggungjawab
khalifatullah di muka bumi.
Kebutuhan manusia untuk bertanggungjawab
Ihsan
atau mempertanggungjawabkan atas tindakan
yang dilakukannya.
Ihsan (benevolence) merupakan suatu tindakan
yang menguntungkan oranmg lain.
D. Norma , Konflik Norma Dan Dekadensi Moral.
Norma adalah tata aturan yang kalau diikuti akan membuat
seseorang atau sekelompok orang menjadi “normal”. Sebaliknya
yang melanggarnya dianggap “abnormal”. Setiap orang cenderung
untuk mengikuti norma yang ingin terlihat normal. Norma yang
terdapat dalam suatu masyarakat itu juga ada bermacam-macam
sesuai dengan struktur masyarakatnya. Secara horizontal, norma
suku Batak dapat dibedakan dalam banyak hal dari norma suku
Melayu. Secara vertikal, misalnya, kalangan elit memiliki norma
berbeda dari masyarakat awam. Hal ini kentara sekali pada
masyarakat yang tertutup (closed society). Sedangkan pada
masyarakat yang terbuka, norma yang mengatur masyarakat lebih
banyak yang berlaku umum.
Dalam kehidupan sosial dapat dibedakan empat jenis norma.
Yang paling umum adalah norma adat-tradisi yang timbul dari
kebiasaan
yang
turun
temurun.
Yang
paling
kuat
sanksi
keberlakuannya karena „dipaksakan‟ oleh negara adalah norma
hukum, yang dalam negara kita yang mengikuti civil law system
tertuang dalam perundang-undangan (legal statuates). Yang
paling mendalam nilainya, karena terkait dengan sakral, adalah
norma agama. Meskipun tidak memiliki sanksi langsung, tetapi
norma susila – apa yang dianggap baik oleh hati nurani pribadi
perorangan- juga sangat menentukan pilihan banyak orang dalam
bertingkah laku dan dalam menilai tingkah laku orang lain. Yang
terakhir inilah yang juga dikenal dengan budi pekerti.
Meskipun biasanya dipilih untuk kepentingan analisis dan
diagnosa, tetapi pada kenyataan kehidupan sehari-hari, keempat
jenis norma ini saling tumpang tindih, berjalin berkelindan, dan
bahkan sering menimbulkan mutasi, integrasi maupun asimilasi.
Contohnya, banyak norma adat atau agama, yang kemudian
diresmikan sebagai norma hukum suatu negara atau peraturan
suatu
daerah
(perda).
Norma
hukum
harus
pakai
helm
dikecualikan, secara aformal maupun informal, bagi mereka orang
muslim berpeci ketika pergi jum‟atan, atau orang India yang
tradisinya mengharuskan ia memakai turban.
Jika keempat jenis norma di atas sama dan sejajar, maka
bertambah kuatlah keberlakuan dan ketaatan masyarakat untuk
mengikutinya atau memberikan sanksi kepada mereka yang
melanggarnya.
Jika
madat
dilarang
oleh
norma
hukum,
diharamkan oleh norma agama, dibenci oleh norma susila serta
dinistakan oleh norma adat, maka bertambah kuatlah pengakuan
dan kepatuhan masyarakat untuk menjauhi madat tersebut.
Dalam konteks bisnis, konflik norma ini juga kerap terjadi. Di
satu sisi agama melarang praktek bisnis curang, namun tradisi
yang berkembang menuntut kelihaian seseorang untuk melihat
peluang yang ada, terlepas apakah merugikan orang lain. Ini
pulalah yang dikeluhkan oleh Rosita Nor yang menulis buku
Menggugah Etika Bisnis Orde Baru. Rosita Noer menggambarkan
dengan sangat gamblang bagaimana PT.Indofood Sukses makmur
(ISM), salah satu anak perusahan grup Salim yang memproduksi
mie instan bermerek Sarimi menghambat dan membatasi gerak
Sanmaru dan Supermi Indonesia dengan jalan mengganggu
pasokan bahan baku utama, tepung terigu dan produksi pabrik
gandum yang nota bene juga dimiliki oleh kelompok Salim.20
Contoh lain menyangkut konflik yang terjadi antara norma
adat, agama dan tradisi bisnis yang berkembang terjadi pada
kasus perkayuan. Baik norma adat dan norma agama mengajarkan
bahwa
hutan
dengan
segala
isinya
diperuntukkan
untuk
kesejahteraan manusia namun pengelolaan dan pemanfaatannya
20
Rosita Noer, Menggugah Etika Bisnis Orde Barub, (Jakarta: Sinar harapan, 1998), h. 63
haruslah mengindahkan keselamatan makhluk-makhluk yang ada
disekitarnya. Mengabaikan kelestarian alam tidak saja akan
merusak alam itu sendiri tetapi dapat mengakibatkan kehancuran
manusia, seperti banjir, tanah longsor dan sebagainya. Inilah
makna penting kedudukan manusia sebagai khalifah yang memiliki
tugas untuk memakmurkan bumi.
Namun seringkali ini tidak disadari oleh pelaku bisnis. Diakui
kekayaan hutan memang menjanjikan keuntungan yang tidak bisa
dikatakan kecil bagi pengusaha. Apalagi permintaan pasar kayu,
baik nasional maupun dunia semakin lama semakin meningkat.
Pilihan-pilihan
antara
memelihara
kelestarian
hutan
dan
rangsangan keuntungan yang cukup besar menjadi konflik
tersendiri bagi pelaku bisnis. Sayangnya pilihan dijatuhkan untuk
meraih keuntungan yang besar walaupun resiko kerugian yang
dihadapi –seringkali yang merasakan akibatnya bukan pelaku
tetapi rakyat kecil- jauh lebih besar.
Konflik norma membuat tingkah laku pelaku bisnis menjadi
bertentangan dari yang diharapkan. Tidaklah mengherankan jika
berkembang satu ungkapan, menjunjung etika dalam kegiatan
bisnis akan menghambat
tujuan kegiatan
bisnis itu sendiri.21
Dalam kondisi yang seperti itu, pelaku bisnis bisa memilih salah
satu dari norma-norma yang bertentangan itu. Ini berarti
mematuhi yang satu dan melanggar yang lain. Atau tidak
mematuhi kedua-duanya sama sekali dan beralih kenorma lain.
Dalam memilih mana yang dipatuhi dan mana yang akan
dilanggar, banyak faktor yang menentukan.Faktor sanksi salah
satu yang paling berpengaruh.
Meskipun seseorang mungkin saja telah mengetahui dan
mengakui norma yang benar dan berlaku, tetapi mengapa ia masih
saja melanggarnya ? Para pakar telah banyak mengkajinya.
Jawabannya sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa, jahat
itu masalah tabi‟at yang terdapat dalam kepribadian manusia.
Lebih umum adalah pendapat yang mengatakan bahwa pada
dasarnya setiap manusia ingin mematuhi norma, ingin hidup
„normal‟, jika tidak maka ia pasti dijangkiti „pathos’ atau
penyakit. Penyakit yang meluas, disebut pathologi sosial. Namun
disebabkan faktor-faktor tertentu, manusia tersebut berani
melanggar norma-norma tersebut.
Konflik norma lebih dipersulit dengan adanya kenyataaan
bahwa sebenarnya kehidupan manusia, baik secara individual
maupun sosial, tidak ada yang statis. Normapun terus mengalami
perubahan. Biasanya lamban, tetapi terkadang cepat. Masyarakat
akan mengalami transisi, yang bisa membuat warga bingung atau
ekstrim, ketika norma lama sudah goyah dan tak menarik,
sedangkan norma baru belum kokoh dan dikenal. Jika keadaaan
makin memburuk, malah bisa menimbulkan situasi anomie. Ketika
tidak ada norma-norma yang jelas mengatur dan dipatuhi oleh
masyarakat, maka setiap orang akan semaunya bertindak.
21
Ibid., h.11
Akhirnya masyarakat menjadi chaos dan hukum rimbalah yang
berkuasa.
Menurut Rosita Noer, pelaku bisnis sering kali mengalami
cultural shock .Mereka melihat dan merasakan pergeseran
kehidupan bisnis yang sudah tidak lagi menempatkan etika dalam
posisi yang semestinya.Pada sisi lain mereka juga sedang mencaricari sistem nilai yang “pas” (tanpa kehilangan rasa kepantasan
hati nurani mereka dalam beraktivitas).Akhirnya muncullah sikap
ambivalen. Disatu sisi pelaku bisnis bahkan beberapa organisasi
bisnis ingin menegaskan dirinya sebagai pembawa peradaban
bisnis (bussines civilization initiator), tetapi pada sisi lain mereka
cenderung untuk melakukan pembenaran terhadap cara-cara
bisnis yang melanggar etika.22
Pada situasi seperti inilah dibutuhkan satu norma yang jelas,
tegas,
meyakinkan,
sekaligus
menyejukkan.
Inilah
yang
ditawarkan oleh agama. Hidayah, Tuhan dan panduan agama
memberikan wawasan, arah, makna dan malah kaedah tingkah
laku dalam situasi konflik dan kondisi anomi tersebut. Mereka
yang tidak beragama, atau tidak memperdulikan nilai-nilai
relegius, biasanya lebih mudah mengalami stress, bingung,
frustasi atau malah melakukan tindakan konfensatif atau memilih
alternatif yang salah dan membahayakan, bukan saja bagi orang
lain, tetapi bahkan terhadap dirinya sendiri.
Meskipun peran dan fungsi agama bagi kehidupan manusia
sangat bervariasi, dari satu zaman kezaman berikutnya, secara
umum semua agama berperan sebagai pemberi makna mendalam
(sublime values)
dan pembentuk identitas penganutnya. Di
samping itu agama berfungsi, dalam kadar yang berbeda, sebagai
pembentuk solidaritas, pengarah keyakinan dan pengatur tingkah
laku penganutnya.
Berbagai hasil penelitian telah mengkonfirmasikan bahwa
berbagai upaya penanggulangan problema sosial lebih berhasil
jika didukung oleh semua perangkat norma, terutama norma
agama. Pentingnya norma agama ini terlebih lagi bagi masyarakat
yang
relegius,
seperti
halnya
Indonesia.
Meskipun
begitu
diberbagai masyarakat modern, peran agama banyak, diambil-alih
oleh perangkat sumber nilai dan acuan lain, terutama iptek.
Paling tidak peranan agama dikucilkan pada masalah-masalah
yang bersifat spritual dan hubungan vertikal kepada Tuhan
semata. Sikap ambivalensi dan mendua terhadap norma agama
juga sangat mewarnai masyarakat modern. Disatu sisi mereka
ingin mendapat berkah Tuhan, tetapi disisi lain tidak mau tunduk
pada petunjuk Tuhan, atau setidak-tidaknya ia memilah-milah
Hidayah Tuhan, ada yang diikuti dan lebih banyak ditinggalkan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan
formulasi norma-norma tersebut dan memberikan tekanan yang
lebih pada norma agama, karena ia memiliki sumber yang absolut
yaitu Allah SWT. Dalam kegiatan ekonomi, keberadaan norma
agama
sangat
penting.
Sayyid
Qutub
telah
mengingatkan
“Bisnis/Kegiatan Ekonomi” merupakan aktivitas pertama yang
menanggalkan etika, disusul dengan politik terakhir dewasa ini
adalah sex. Disinilah signifikansinya reformulasi dan aktualisasi
Etika Bisnis Islam yang diharapkan dapat menjadi panduan dalam
kehidupan ekonomi.
E. Tiga Kaedah Untuk Mengukur Baik dan Buruk
Persoalan yang hendak dikemukan disni adalah bagaimana
mengukur dan menentukan sebuah perbuatan itu baik atau buruk
terlebih lagi jika berhadapan dengan kasus-kasus bisnis ?. Menurut
Bertens ada tiga alat ukur yang dapat digunakan untuk
menentukan perbuatan baik dan buruk.
Pertama, hati nurani. Suatu perbuatan baik jika dilakukan
sesuai dengan hati nurani (hati yang disinari atau diberi cahaya),
dan
suatu
perbuatan
lain
adalah
buruk,
jika
dilakukan
bertentangan dengan suara hati nurani. Dalam bertindak yang
tindakan
tersebut
bertentangan
dengan
hati
nurani,
kita
menghancurkan integritas pribadi, karena kita menyimpang
dengan keyakinan kita yang terdalam. Hati nurani mengikat kita
dalam arti, kita harus melakukan apa yang diperintahkan oleh hati
nurani dan tidak boleh melakuakan apa-apa yang dilarang oleh
hati nurani.23
Kedua, Kaedah Emas. Cara yang lebih obyektif untuk menilai
baik buruknya prilaku moral adalah mengukurnya dengan kaedah
emas yang berbunyi, “ hendaklah memperlakukan orang lain
sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”. Prilaku saya bisa
dianggap secara moral baik, bila saya memperlakukan orang lain
tertentu sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan. Jika saya
ingin
diperlakukan
orang
secara
baik,
maka
saya
harus
memperlakukan orang juga dengan cara yang baik..Kaedah Emas
ini juga dapat dirumuskan secara negatif, “Janganlah melakukan
terhadap orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan
dilalakukan terhadap diri anda”. Jika tidak ingin disakiti oleh
orang lain, maka jangan menyakiti orang lain.24
Ketiga, Penilaian Umum. Cara ini dipandang paling ampuh
untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau prilaku
dengan
menyerahkannya
pada
masyarakat
umum
untuk
menilainya. Cara ini bisa juga disebut “audit sosial”. Asumsi
kaedah ini adalah masyarakat umum dalam arti jumlah yang
cukup banyak tidak mungkin sepakat untuk berdusta sehingga
menyebut sesuatu yang baik itu buruk dan sesuatu yang buruk itu
baik.25
23
K.Bertens, op.cit. h. 28
Ibid., h. 29
25
Ibid., h. 30
24
Sejatinya sebuah perbuatan baik haruslah sesuai dengan
ketiga macam ukuran yang telah disebut di muka. Baik Menurut
hati nurani, kaedah emas dan penilaian umum. Dalam konteks
Islam harus ditambahkan lagi perbuatan itu baik jika sesuai
dengan bingkai syari`at. Namun jika sebuah prilaku sesuai dengan
dengan tiga ukuran yang telah disebut di muka itu, bisa dipastikan
Menurut agama juga baik.
F. Rangkuman
1. Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang
dalam
mengatur
tingkah
lakunya.
Dalam
hal
ini
pengertian etika sama dengan moral dan akhlak.
2. Aliran-aliran etika yang berkembang sampai saat ini
adalah aliran hedonisme (kesenangan), utilitarianisme
(manfaat), deontologi (kewajiban) dan akhlak Islam.
3. Dalam
kenyataannya
norma-noram
yang
hidup
dimasyarakat, apakah norma agama, susila, adat dan
hukum seringkali mengalami benturan. Mengatasi konflik
norma ini, norma agama harus tetap menjadi rujukan
karena ia mampu memberikan nilai-nilai yang lebih
meyakinkan sekaligus menyejukkan bagi manusia.
G. Pertanyaan
1. Apakah yang dimaksud dengan Etika, Etiket, moral,a
moral dan akhlak ?
2. Mengapa etika sangat diperlukan dalam kehidupan
manusia ?
3. Bagaimana
pandangan
akhlak
hedonisme dan utilitarianisme?
Islam
tentang
aliran
Etika Bisnis Islam
BAB II
EKONOMI ISLAM
DAN ETIKA BISNIS
A.
Pengertian Ekonomi Islam
Sebelum membicarakan pengertian Ilmu Ekonomi Islam,
terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian Ilmu Ekonomi atau
Ekonomi itu sendiri. Dengan penjelasan ini diharapkan pertanyaan
yang cukup penting, apakah Ekonomi Islam itu ?, apakah
pengertian “Ekonomi” dalam Ekonomi Islam itu berbeda dengan
pengertian umum?, dapat dijawab.
Defenisi yang paling populer tentang ekonomi adalah segala
aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi diantara
orang-orang.
Disini,
titik
tekan
defenisi
adalah
kegiatan
“produksi” dan “distribusi” barang dan jasa yang bersifat
material.1
Dalam Kamus The Pinguin Dictionary Of Economics,
dikatakan bahwa Ilmu Ekonomi itu merupakan kajian tentang
produksi, distribusi dan konsumsi kekayaan di dalam masyarakat
dunia.
Perbedaan
dengan
defenisi
pertama
adalah
kata
“Konsumsi” dan kekayaan yang tidak lain maksudnya adalah
kekayaan material.2
1
Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi :Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro Dan
Makro,(Jakarta: rajawali,Pers,1999),h.34-38
2
M.Dawam Rahardjo,Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (jakarta: LSAF,1999), hlm.5-6
34
Etika Bisnis Islam
Pengertian yang paling tepat dengan melihat hakikat
ekonomi adalah defenisi yang diberikan oleh Lord Robbins ahli
ekonomi Neo-Klasik yang menyebut Ilmu Ekonomi sebagai kajian
tentang prilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan
dan alat-alat pemuas yang langka, yang mengandung pilihan
dalam penggunaannya.3
Robbins mengajukan pengertian lain dengan menyebut
aspek “Pilihan dan Penggunaan Sumberdaya” (Choice in the Use
of
Resources). Dengan demikian persoalan yang harus dijawab
ilmu ini adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu. Tentu saja
kajian tentang prilaku manusia atau lebih tepat bagaimana
menentukan pilihan dan penggunaan barang dan jasa sangat
berhubungan erat dengan cara pandang seseorang terhadap
sesuatu serta nilai-nilai apa yang ada dalam dirinya. Disinilah
persoalan spritualitas (rohaniyah) menjadi menarik dan menjadi
ruang dimana Islam dapat memberikan konstribusinya.4
Disamping itu, Islam juga dapat memberikan jawaban
terhadap tujuan-tujuan pilihan dan penggunaan sumberdaya
tersebut. Inilah yang ingin dijawab oleh penulis ekonomi muslim.
Paling tidak seperti apa yang disebut oleh M. Dawam
Raharjo, ada tiga kemungkinan penafsiran istilah “ekonomi
Islam”. Pertama, yang dimaksud adalah : “Ilmu ekonomi yang
3
Roekmono Markam, Menuju ke Definisi Ekonomi Post Robbins, (Yogyakarta: Fakultas
Ekonomi UGM (1978), h. 2
4
M.Dawam Rahardjo, op.cit., h.6-7.Lihat juga karyanya yang lain, Etika Ekonomi Dan
Manajemen, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),h.110-111
35
Etika Bisnis Islam
berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam”. Kedua, yang dimaksud
adalah: “Sistem Ekonomi Islam” sistem menyangkut peraturan,
yaitu
sistem
pengaturan
kegiatan
ekonomi
dalam
suatu
masyarakat atau negara berdasarkan metode tertentu. Oleh sebab
itu, sistem
ini bersifat normatif. Ketiga, ekonomi islam
maksudnya “Perekonomian Islam” atau mungkin lebih tepat,
“Perekonomian Dunia Islam”. Pengertian seperti ini berkembang
dari sikap pragmatis sebagaimana yang dilakukan oleh OKI dengan
mendirikan Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank),
yang
memberikan
kredit
dan
sumbangan
(Grant)
kepada
masyarakat muslim, melalui pemerintah masing-masing.5
Dari tiga kemungkinan penafsiran “ekonomi Islam” di atas,
kemungkinan pertama dan kedua lebih mendekati apa yang
dimaksud dengan ekonomi Islam. Arkham dalam sebuah artikelnya
“Islamic Economics : Nature and Need mendefenisikan Ekonomi
Islam dengan memberi penekanan pada tujuan aktivitas ekonomi
yang disebutnya dengan human falah yaitu : kebahagiaan
manusia” atau “keberhasilan hidup manusia” ia menyatakan :
Ilmu Ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan
kajian
tentang kebahagiaan hidup manusia (human falah) yang dicapai
dengan mengorganisasikan sumberdaya di bumi atas dasar gotong
royong dan partisipasi.6
5
6
M.Dawam Rahardjo, Islam, …op.cit.,h.7-9
Dikutip dari Dawam rahardjo,Ibid,,
36
Etika Bisnis Islam
Lebih luas lagi defenisi ekonomi islam dapat dilihat pada
tulisan Hasanuzzaman yang berjudul “Defenition of Islamic
Economics” ia mengatakan : “Ilmu Ekonomi Islam adalah
pengetahuan dan penerapan perintah-perintah (injuction) dan
tata cara (rules) yang diterapkan oleh Syari’ah yang mencegah
ketidak-adilan, dalam penggalian dan penggunaan sumberdaya
material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan
mereka
melaksanakan
kewajibannya
kepada
Allah
dan
masyarakat.7
Terlihat Hasanuzzaman tidak hanya membatasi pada tujuan
aktivitas ekonomi juga berbicara bagaimana cara aktivitas
ekonomi itu dijalankan menurut Syari`ah.
Defenisi lain dapat ditemukan pada hasil rumusan seminar
dan Workshop Ekonomi Islam di IAIN SU, disimpulkan bahwa
Ekonomi Islam adalah satu disiplin atau ilmu yang mengkaji
kegiatan manusia dalam menggunakan sumbu (produksi), bagi
menghasilkan
barang
dan
jasa
untuk
dirinya
dan
untuk
didistribusikan kepada orang lain dengan mengikuti peraturan
yang telah diterapkan oleh Agama Islam dengan harapan untuk
mendapatkan keridhaan Allah SWT.8
Mencermati
defenisi
di
atas,
sebenarnya
tidak
ada
perbedaan yang mendasar antara pengertian ekonomi umum
7
Ibid.,
8
Hasil Rumusan Seminar dan Workshop Ekonomi Islam Kerja sama IAIN dan Universitas
Malaysia di Medan, tanggal 25-28 Oktober 1993.
37
Etika Bisnis Islam
dengan ekonomi Islam kecuali pada paradigma dasar bangunan
ekonomi islam itu sendiri, dimana islam ditempatkan sebagai
sumber nilai sekaligus sebagai pedoman pelaksanaan. Sampai
disini benar apa yang dikatakan Mannan dalam bukunya “Islamic
Economic,Theory and Practice bahwa ekonomi Islam itu normatif
sekaligus positif. Artinya ekonomi Islam itu tidak hanya bicara
bagaimana semestinya, tapi juga bicara realitas yang dapat
diaplikasikan dalam kehidupan nyata.9
B. .Asas-Asas Ekonomi Islam
1.
Tauhid.
Secara garis besar tauhid dapat dibagi kedalam dua bagian
besar yang masing-masing memiliki implikasi tertentu yaitu :
Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah. Tauhid Rububiyah
menekankan suatu keyakinan bahwa hanya Allah saja yang
memberi dan menentukan rizqi untuk segenap makhluknya di
bumi ini. Segala sesuatu yang ada di alam (sumber daya alam)
adalah milik Allah dan manusia sebagai pelaku ekonomi tidak
lebih sebagai seorang trustee atau sebagai pemegang amanah,
untuk mengelola dan memanfaatkannya untuk kepentingan
manusia.10
9
M.A.Mannan, Teori Dan Peraktek Ekonomi Islam , terj.M.Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995)
10
Muhammad Syafi`I Antoniuo, “Prinsip Dan Etika Bisnis Dalam Islam” Makalah, Seminar Dan
Worshop …op.cit,. h.14-15
38
Etika Bisnis Islam
Berhubungan dengan pernyataan di atas dapat dilihat pada
Q.S.Al-Baqarah 2;29 :
Artinya : “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di
bumi untukmu”.
Dalam Q.S. Ibrahim 14 ; 32 juga dinyatakan :
Artinya : “Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dan
menurunkan
air
hujan
dari
langit,
kemudian
Dia
mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan sebagai
rezeki untukmu.
Konsekuensinya, pengolahan sumber daya alam yang ada di
bumi ini haruslah sesuai dengan aturan-aturan yang disyari’atkan
oleh Allah SWT, sebagai pemilik hakiki.
Sedangkan
Tauhid
Uluhiyah,
bahwa
aktivitas
yang
dilakukan dalam dunia bisnis adalah dalam kerangka ibadah
kepada Allah SWT, pelakunya berbuat sesuai dengan aturanaturan Allah, sebaliknya pelanggaran dan penyimpangan terhadap
aturan syari’ah merupakan suatu bentuk kekufuran kepada Allah
SWT, menyangkut hal ini dapat dilihat pada Firman Allah SWT,
Q.S. Al-Maidah 5 ; 48-50,11
2. Asas Kekhalifahan Manusia
11
Ibid.,
39
Etika Bisnis Islam
Kata “Khalifah” artinya orang yang menggantikan orang
sebelumnya. Bisa juga bermakna al-Imarah yaitu kepemimpinan
atau as-Sultan yaitu kekuasaan. Di dalam al- Qur’an kata ini
digunakan dua kali dalam bentuk jamak yaitu khalaif dan khulafa.
Penelitian para ahli menunjukkan penggunaan kata khalifah
dalam
al-Qur’an
mengacu
pada
individu
manusia
sebagai
pemimpin dan kepada suatu generasi manusia yang tampil
menggantikan generasi sebelumnya. Dengan kata lain kedudukan
manusia sebagai pemimpin yang bertugas memakmurkan bumi.12
Berangkat dari pengertian ini, Azas kekhalifahan manusia
adalah keharusan manusia sebagai pemimpin untuk mengelola
alam
sebaik-baiknya
pengetahuan
dan
dengan
menggunakan
tekhnologi
untuk
perangkat
kesejahteraan
ilmu
seluruh
makhluk yang ada di bumi.
Dalam kerangka memproduksi sumber daya alam menjadi
barang
yang
memiliki
memperhatikan
harga
komunitas
lain
ekonomi,
dan
manusia
bukan
harus
semata-mata
kepentingan diri atau kelompoknya.
Contoh
:
Penebangan
kayu,
bagaimanapun
besarnya
keuntungan yang akan diperoleh haruslah tetap memperhatikan
habitat lain seperti, burung dan generasi kayu itu sendiri, tanpa
ini yang timbul adalah kerusakan.
12
Abbas Mahmud al-`Aqqad, al-Insan fi al-Qur’an al-karim, (Kairo:dar al-Islam, 1973), h.156.
Lihat juga Musa `Asy`ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Qur’an (Yogyakarta: LESFI,
1992).
40
Etika Bisnis Islam
3. Asas Ta’awun
Manusia dengan segala keterbatasan yang dimilikinya tentu
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, Ia butuh orang
lain. Atas dasar inilah dalam Ilmu Sosial manusia disebut Zoon
Politicion (makhluk sosial), makhluk yang saling membutuhkan.
Jika demikian, sudah seharusnyalah manusia saling tolong
menolong yang dalam istilah al-qur’an disebut dengan Ta’awun.
Terlebih lagi dalam aktivitas ekonomi apakah produksi, distribusi
dan konsumsi, kesemuanya tidak dapat dilakukan sendirian.
Hal ini penting dalam perspektif ekonomi islam bahwa
kebahagian
manusia (human falah) itu adalah kebahagiaan
bersama bukan
kebahagiaan individu semata-mata. Sebaliknya
Islam melarang aktivitas ekonomi yang saling menjatuhkan dan
menghancurkan,
karena
prilaku
seperti
itu
tidak
saja
menimbulkan persaingan yang tidak sehat malah lebih jauh itu
akan membawa kesengsaraan umat manusia secara keseluruhan.
4. Asas Maslahat
Dalam maknanya
yang sederhana Maslahat bermakna
manfa’at. Kebalikan dari maslahat adalah mafsadat yang berarti
kerusakan. Dalam maknanya yang lebih luas, maslahat adalah
kebaikan yang besar lagi langgeng atau kebaikan untuk umum
(publik good). Dalam kajian hukum islam yang dimaksud dengan
maslahat adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk mewujudkan
41
Etika Bisnis Islam
kebaikan dan menghindarkan keburukan atau dengan kata lain
maslahat adalah setiap tindakan untuk menarik manfaat dan
menolak mudharat.
Penting untuk diperhatikan, kemaslahatan yang diinginkan
adalah kemaslahatan yang bersifat umum (kulliyah) dan bukan
untuk kepentingan individu atau golongan tertentu saja. Paling
tidak, kemaslahatan itu akan bermanfaat buat sebagian besar
warga masyarakat. Jika suatu kebijakan hanya menguntungkan
untuk orang-orang atau kelompok tertentu saja dan merugikan
yang lainnya, maka hal itu bukanlah maslahat.
Keberadaan
maslahat
sebagai
azas
ekonomi
islam,
mengandung arti segala bentuk aktivitas ekonomi haruslah
membawa
kemaslahatan
umum.
Jadi
tidak
hanya
demi
kemaslahatan pribadi atau kelompok.
Contoh : bisa saja memproduksi minuman keras membawa
keuntungan
pribadi
atau
sejumlah
karyawan,
akan
tetapi
kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar terlebih menyangkut
masalah moral. Dengan demikian memproduksi minuman keras
bertentangan dengan azas maslahat ekonomi islam.
5. Azas Keseimbangan dan Keadilan
Keadilan dan Keseimbangan adalah suatu konsep yang luas
berkaitan hampir dengan seluruh aspek kehidupan sosial, politik
terutama ekonomi. Dalam al-qur’an kata adil disebut sebanyak
42
Etika Bisnis Islam
tiga puluh satu kali. Belum lagi kata-kata yang semakna seperti
al-Qist, al-Wazn (Seimbang) dan al-Wast (Moderat)13
Ditempatkannya keadilan dan keseimbangan sebagai asas
ekonomi islam mengandung pengertian aktivitas ekonomi tidak
boleh mengabaikan dua hal dia atas. Ajaran islam banyak
memberi
contoh
praktek-praktek
ekonomi
yang
membawa
ketidakadilan seperti : 1), Monopoli, 2), Penumpukan barang, 3),
Mempermainkan harga dengan cara membeli barang orang desa
dengan
harga yang lebih rendah dari pasar, pembelian maupun
penjualan besar-besaran yang sengaja dilakukan pelaku utama
pasar dan lain-lain.14
Dalam maknanya yang lebih luas, aktivitas ekonomi tidak
boleh
membawa
manusia
menjadi
spilit
personality
(keterpecahan pribadi) karena dominasi nafsu duniawi dalam
mencari keuntungan
sehingga aspek kebutuhan rohaninya
menjadi terabaikan.
Sangat menarik perintah al-qur’an dalam surah al-jumu’ah
ayat 10-11, dimana Allah perintahkan untuk meninggalkan jual
beli disaat panggilan azan dikumandangkan. Setelah itu Allah juga
perintahkan untuk “bertebaran” di muka bumi mencari karunia
Allah setelah selesai mengerjakan sholat.
13
Lihat kesimpulan Disertasi Amiur Nuruddin, Konsep Keadilan Dalam Al-Qur’an dan
Implikasinya Terhadap Tanggungjawab Moral, Disertasi, Programa Pascasarjana IAIN. Yogyakarta,
1995.
14
M.Syafi`I Antonio, op.cit., h.18
43
Etika Bisnis Islam
Asas-asas
Ekonomi
Islam
di
atas,
haruslah
menjadi
semangat sekaligus “ruh” dalam aktivitas ekonomi ummat.
Disebabkan asas ekonomi islam itu pada hakikatnya adalah nilai
universal islam, maka pelaku ekonomi dituntut untuk mampu
menterjemahkannya secara dinamis dalam kehidupannya seharihari.
C. Etika Bisnis Islam
Pada pembahasan terdahulu telah dibicarakan pengertian
Islam. Etika dan Ekonomi
Islam. Kajian selanjutnya adalah
merumuskan apa yang dimaksud dengan etika islam itu.
Bisnis termasuk kata yang sering digunakan orang, namun
tidak semuanya
memahami
kata
bisnis secara
tepat
dan
proporsional. Hughes dan Kapoor seperti dikutip oleh Buchari
Alma menjelaskan bahwa bisnis adalah suatu kegiatan usaha
individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual
barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat.15
Lebih ringkas dari itu Brown dan Petrello menyebut Bisnis
adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pengertian yang sederhana
bisnis adalah lembaga yang menghasilkan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan orang lain.16
15
Buchari Alma, Ajaran Bisnis Dalam Islam, (Bandung; Alfabeta, 1994), h.17
44
Etika Bisnis Islam
Demikian jelasnya pengertian bisnis, namun tidak sejelas
apa yang dimaksud dengan etika bisnis terlebih lagi disandarkan
dengan kata Islam. Berbagai buku yang berbicara tentang etika
bisnis seperti Sondang P. Siagian dalam bukunya Etika Bisnis, O.P.
Simorangkir dalam buku Etika Bisnis,
Etika Bisnis Dasar dan
Aplikasinya yang disunting oleh Jacobus Tarigan, Buchori Alma,
dalam karyanya Ajaran Islam Dalam Bisnis demikian juga dengan
Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics, Mustaq Ahmad, Etika
Bisnis Islam, demikian juga dengan buku yang ditulis oleh Rosita
Noer, Menggugah Etika Bisnis Orde Baru, tidak mendefenisikan
secara jelas apa yang dimaksud dengan etika bisnis.
Penjelasan yang baik tentang pengertian etika bisnis
ditemukan di dalam karya K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis yang
dalam pendahuluannya membahas tentang apa yang dimaksud
dengan etika bisnis. Dengan mengutip Richard De George, ia
memandang perlu untuk membedakan kata ethics in business
(etika dalam bisnis) dan business ethics (etika bisnis). Istilah
pertama mengandung pengertian etika yang berhubungan dengan
bisnis atau etika yang berbicara tentang bisnis sebagai salah satu
topik di samping sekian banyak topik lainnya.17 Sedangkan istilah
ke dua mengandung pengertian satu bidang intelektual dan
akademis dalam konteks pengajaran dan penelitian di perguruan
16
Ibid,
K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), h. 37
17
45
Etika Bisnis Islam
tinggi. Namun harus di catat, etika bisnis merupakan hasil
perjalanan panjang dari etika dalam bisnis.18
Lalu apa yang dimaksud dengan etika bisnis itu ?. menurut
Bertens etika bisnis adalah studi tentang aspek-aspek moral dari
kegiatan ekonomi dan bisnis. Etika ini dapat diperaktekkan dalam
tiga taraf. Pertama, taraf makro, etika bisnis akan berbicara
tentang aspek-aspek bisnis secara keseluruhan seperti, persoalan
keadilan. Kedua, taraf meso (madya), etika bisnis menyelidiki
masalah-masalah etis di bidang organisasi seperti serikat buruh,
lembaga konsumen, perhimpunan profesi dan lain-lain. Ketiga,
taraf mikro, yang memfokuskan pada individu dalam hubungannya
dengan kegiatan bisnis seperti tanggungjawab etis karyawan dan
majikan, manajer, produsen dan konsumen.19
Penjelasan lain terlihat dalam karya yang menyatakan
bahwa etika bisnis adalah sebuah penilaian perilaku moral dalam
lingkungan bisnis dengan menggunakan standar-standar moral
yang telah didefinisikan dengan jelas, serta merinci petunjuk
moral tertentu yang sesuai dengan isu bisnis yang sebenarnya.
18
Bertens mencatat lima periode perkembangan etika dalam bisnis yang menjadi etika bisnis.
Pertama, situasi terdahulu sejak munculnya filosof-filosof Yunani, Plato, Aristoteles dll. Pada periode
ini etika dalam bisnis dipraktekkan dalam konteks agama dan teologi. Kedua, Masa Peralihan: tahun
1960-an. Periode ini ditandai dengan dijadikan bisnis sebagai social issues dalam kuliah tentang
manajemen. Topik yang populer adalah tentang corporate social responsibility (tangungjawab sosial
perusahaan). Ketiga, Etika Bisnis lahir di Amerika Serikat: tahun 1970-an. Periode ini telah menjadikan
etika dalam bisnis sbagai bidang telaahan intelektual. Keempat , Etika Bisnis meluas ke Eropa: tahun
1980-an. Periode ini ditandai dengan dijadikannya etika bisnis sebagai mata kuliah di Fakultas Ekonomi
di universitas-universitas di Eropa. Bahkan pada tahun 1987 telah dibentuk Wuropean Business Ethics
Network (EBEN) yang menjadi forum pertemuan akademisi dari universitas dan sekolah bisnis. Kelima,
Etika Bisnis menjadi fenomena global; tahun 1990-an. Periode ini etika bisnis tidak lagi menjadi gejala
Barat tetapi telah menjadi fenomena internasional dan global sebagai mana bisnis itu sendiri. lihat, Ibid,
.
19
Ibid, h.35
46
Etika Bisnis Islam
Sampai di sini etika bisnis mempunyai dua tujuan utama,
diagnosis dan pengobatan etika normatif umum.20
Dari
penjelasan di atas, dapat ditarik suatu pengertian
bahwa etika bisnis merupakan keputusan etis21 yang diambil dan
dilakukan pelaku bisnis dalam menggunakan sumber daya yang
terbatas, apa akibat dari pemakainya dan apa akibat proses
produksi yang ia lakukan. Dapat juga dikatakan, etika bisnis
adalah suatu upaya untuk menganalisa asumsi-asumsi bisnis,
bagaimana caranya orang seharusnya bertindak dalam struktur
bisnis tertentu.
Lalu jika dihubungkan dengan Islam, maka pertanyaannya
adalah, apa yang dimaksud dengan etika bisnis Islam ?. lagi-lagi
persoalan yang muncul adalah masalah definisi ?.mungkin saja
masalahnya sama dengan definisi ekonomi Islam, istilah ekonomi
begitu jelas namun ketika dihubungkan dengan Islam, muncul
persoalan baru. Rumusan etika bisnis mungkin telah jelas, namun
menjadi sulit ketika dihubungkan dengan Islam mengingat bukubuku yang berbicara tentang masalah ini agak langka untuk
mengatakan belum ada.
Namun demikian tetap saja definisi etika bisnis Islam tetap
penting. Pada tataran praktis etika bisnis Islam mengandung
pengertian , segala apa yang dipraktekkan dalam prilaku bisnis
yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam atau yang menyalahinya.
Sedangkan etika sebagai refleksi, maka etika bisnis Islam adalah
20
Peter Pratley, The Essence of Business Ethics , (Ypgyakarta : Andi, 1995), h.35
47
Etika Bisnis Islam
studi tentang baik buruknya sebuah prilaku bisnis menurut ajaran
Islam.
Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada contoh di bawah
ini :
Contoh kasus I :Kasus tambang yang ambruk.22
Disuatu tambang di Eropa sejumlah pekerja menggali batubara
di suatu terowongan yang dalamnya ribuan meter di bawah permukaan
tanah. Selama dua hari sebenarnya telah dideteksi adanya timbunan
gas. Dan hal ini telah dilaporkan kepala bagian keamanan kepada
pemimpin
tambang.Timbunan
gas
ini
cukup
gawat
sehingga
sewajarnyalah jika penggalian dihentikan dan pekerja-pekerja disuruh
meninggalkan tambang. Tetapi pihak perusahaan hanya menanggapi
dengan mengatakan bahwa bahaya timbunan gas itu hanya marjinal
saja. Perusahaan diperkirakan akan rugi besar jika
pekerjaan
dihentikan, karena kebetulan waktu itu ada pesanan batubara yang
harus dipenuhi. Pemimpin tambang berharap mudah-mudahan gas itu
akan buyar sebelum sempat meledak.
Kepada kepala bagian keamanan
diperintahkan untuk tidak
mengatakan apa-apa kepada pekerja tambang tentang bahaya yang
mungkin mengancam.Pada tanggal 2 Mei gas meledak. Satu seksi dari
terowongan tambang rubuh dengan membawa korban 3 0rang pekerja
tambang meninggal seketika dan 8 orang lainnya terperangkap dalam
sebuah kantong, Yang lainnya berhasil menyelamatkan diri. Kekuatan
21
22
Ibid,.
O.P.Simorangkir, Etika Bisnis, (Jakarta; Aksara Persada Indonesia, 1992),h.29-31
48
Etika Bisnis Islam
ledakan itu demikian besar, sehingga tambang mengalami kerusakan
berat. Menurut perhitungan biaya untuk menyelamatkan para pekerja
tambang yang terperangkap itu sebelum mereka sempat mati lemas,
meliputi beberapa juta dollar. Problema yang dihadapi pemimpin
tambang adalah apakah biaya yang sebesar itu layak dikeluarkan.
Akhirul kalam, berapa sih harga satu nyawa ?
Siapakah sekarang yang harus memutuskan dan dengan
cara yang bagaimana?
Apakah pemimpin perusahan harus
memprioritaskan kepentingan pemegang saham atau kepentingan
pekerja-pekerja tambang yang terjebak itu ?.Apakah ia harus
memilih cara penyelamatan yang lebih lamban, lebih aman dan
lebih murah atau cara yang lebih cepat, tetapi lebih berbahaya
dan lebih mahal biayanya, namun dengan kemungkinan besar
bahwa nyawa orang-orang itu masih sempat tertolong ?
Kasus
di
atas
menunjukkan
problema
etika
bisnis
bagaimana seorang pimpinan membuat keputusan etis dengan
mengajukan asumsi-asumsi bisnis.
Kasus II : Mengincar Pesangon23
Ir. Abraham Maruli ,39 tahun usianya, sudah 12 tahun lamanya
bekerja sebagai kepala bagian teknis di sebuah pabrik sepatu di Jawa
Barat. Saudaranya merencanakan membuka pabrik sepatu sejenis di
Medan dan mengajak pak Abraham pindah kerja. Ia ditawari menjadi
direktur bagian teknis di Pabrik baru itu. Pabrik akan beroperasi
49
Etika Bisnis Islam
sesudah satu setengah tahun lagi. Setelah menerima tawaran ini, pak
Abraham
dengan
sengaja
mengurangi
disiplin
kerja
sampai
mengkhawatirkan pimpinannya. Ia sering datang terlambat dan pulang
sebelum waktunya. Kadang-kadang sama sekali ia tidak masuk kerja
tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Ia juga tidak menyelesaikan
tugas-tugasnya
pada
saat
yang
diharapkan.
Dengan
kekuatan
indisipliner ini Ir.Abraham berharap akan dipecat, supaya ia dapat
menerima pesangon cukup besar. Kecuali keluarganya, tidak ada yang
tahu tentang rencananya untuk pindah kerja.
Beranjak dari kasus II, Pertanyaannya adalah apakah sikap
pak Maruli dapat dibenarkan secara moral ?. Bukankah mencari
keuntungan atau gaji besar itu merupakan satu kebutuhan hidup
?.lalu apakah boleh mencari keuntungan dengan merugikan orang
lain ?.Jika ditelaah dari kaca mata Islam, maka pertanyaannya
apakah sikap pak Maruli dibenarkan dalam ajaran etika bisnis
Islam.
Demikianlah gambaran-gambaran persoalan yang muncul
dalam kegiatan bisnis. Sering kali terjadi tarik menarik antara
kepentingan bisnis yang selalu mengukur keuntungan secara
material-matematis dengan persoalan moral yang abstrak ?.
23
K.Bertens, Pengantar, op.cit, h.17
50
Etika Bisnis Islam
D. Rangkuman
1. Asas-asas ekonomi Islam merupakan landasan moral yang
mewarnai segala kegiatan ekonomi Islam, seperti, asas
tauhid, asas kekhalifahan manusia, asas Ta`awun, asas
tawazun,
asas
maslahat.
Dan
asas
keadilan
dan
keseimbangan.
2. Pada tataran peraktis etika bisnis Islam mengandung
pengertian , segala apa yang diperaktekkan dalam
perilaku bisnis yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam
atau yang menyalahinya. Pada tataran reflektif , maka
etika bisnis Islam adalah studi tentang baik buruknya
sebuah perilaku bisnis menurut ajaran Islam.
E. Pertanyaan
1. Di antara asas ekonomi Islam adalah tauhid dan tawazun.
Jelaskanlah pengertian asas ini dan berikan contoh ?
2. Apakah yang dimaksud dengan etika bisnis dan apa pula
yang dimaksud dengan etika bisnis Islam ?.
3. Ada anggapan menjunjung etika dalam bisnis akan
menimbulkan kerugian bagi pelaku bisni. Bagaimana
pendapat anda ?.
51
Etika Bisnis Islam
52
BAB V
MANUSIA DALAM AJARAN ISLAM
Salah satu ajaran Islam yang nampaknya tidak mendapat cukup
banyak perhatian adalah yang berkenaan dengan konsep-konsep
antropologis. Tiadanya perhatian yang cukup itu agaknya bukanlah
karena pandangan dasar tentang eksistensi, hakikat dan makna tingkah
laku manusia tidak penting dalam ajaran Islam, tetapi lebih karena
dalam dunia pemikiran klasik Islam, masalah itu dibahas dalam berbagai
tempat secara terpencar-pencar, seperti dalam ilmu-ilmu tasawwuf, fiqh
dan akhlak, tanpa diperlakukan sebagai kajian terpisah dan disiplin
spesialisasi tersendiri.1
Dalam mengkaji konsep Islam tentang manusia, adalah menarik
sekali melakukan kajian semantik filologis terhadap terminologi yang
digunakan al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, ada tiga istilah kunci (key terms)
–basyar, insan dan al-nas- yang mengacu pada makna pokok (basic
meaning) dan makna nasabi (relational meaning). Dari penelusuran istilahistilah inilah diharapkan kejelasan konsep al-Qur’an tentang manusia.
Disamping itu, ada konsep lain yang dipergunakan, tetapi dalam
frekuensi yang lebih sedikit, dan dapat dilacak pada salah satu istilah
kunci di atas, yaitu: unasiy, insiy dan ins. Istilah unas yang disebut lima
kali dalam al-Qur’an (2:60;7:82;7:160;17:17 Dan 27:56) Menunjukkan
kelompok atau golongan manusia. Kata anasiy yang merupakan bentuk
jamak dari insan hanya disebut satu kali (25:49) untuk menunjuk
kumpulan manusia yang banyak. Sedangkan kata ins tercantum 18 kali
dalam al-Qur’an dan selalu digabungkan dengan kata jin sebagai
pasangan makhluk tuhan yang mukallaf (6:112,128,130; 7:38,179; 17:88
dan lain-lain).2
A. Manusia Dalam al-Qur’an :Basyar, Insan dan al-Nas
Istilah basyar yang disebut 27 kali dalam al-Qur’an memberikan
referent pada manusia sebagai makhluk biologis. Kata ini dirangkaikan
dengan frasa mislukum sebanyak tujuh kali dan kata misluna sebanyak
1
Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim (Insan Kamil) ; Suatu Kajian
Epistemologis” dalam, Aktualisasi Pemikiran Islam, Farid Nasution (ed), (Medan, Widyasarana,
1993) .h.129
2
Ibid.,h.133
enam kali. Sifat-sifat manusia yang dirujuk dengan istilah ini adalah
makan, minum (3:33), berjalan-jalan di pasar (25:20), raut wajah (12:31),
bersetubuh (3:47). Ringkasnya, konsep basyar selalu dihubungkan
dengan sifat-sifat biologis manusia. Dari segi inilah barangkali kita
seyogyanya memahami persamaan Rasul dengan manusia.3
Kata insan disebut sebanyak 65 kali dalam al-Qur’an dan istilah ini
digunakan dalam kitab suci dalam tiga konteks. Pertama, insan
dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah pemikul
amanah. Kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif dalam
dirinya. Ketiga, insan dihubungkan dengan peroses penciptaan manusia.
Kecuali kategori ketiga, semua konteks insan merujuk pada sifat-sifat
psikologis dan spritual.4
Pada kategori pertama, keistimewaan manusia adalah sebagai
wujud yang berbeda dari makhluk hewani. Menurut al-Qur’an, insan
adalah makhluk yang diberi ilmu (26:4,5) dan diajarkan bahasa
konseptual (55:3). Insan diberikan kemampuan untuk mengembangkan
ilmu dengan daya nalarnya, dengan menalar perbuatannya sendiri
(79:35), proses terbentuknya bahan makanan (80:24-36) dan
penciptaannya (86:5). Dalam hubungan inilah, setelah Allah
menjelaskan sifat insan yang labil, Allah berfirman: (Q.S:41;53).
Artinya : Akan kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda
kami di alam semesta dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka itu
kebenaran (al-haq).
Dengan mempergunakan istilah insan, al-Qur’an menjelaskan
bahwa manusia adalah makhluk yang mengemban amanah (33:72).
Menurut Fazlur Rahman ,amanah itu adalah menemukan hukum alam,
menguasainya atau dalam istilah al-Qur’an mengetahui nama - nama
semuanya, dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral
insani, untuk menciptakan tatanan dunia yang baik. 5 Beberapa mufassir
menjelaskan makna amanah sebagai predisposisi untuk beriman dan
mentaati petunjuk Allah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain
3
Ibid., h. 134, Lihat juga, Jalaluddin Rakhmat, “Konsep –Konsep Anthropolgis “, dalam
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,Budy Munawwar Rahman (ed),
(Jakarta:Paramadina, 1994),H.75-77
4
5
Nur Ahmad fadil lubis, Loc.cit.,
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an , terj.Anas Mahyuddin, (Bandung:
Pustaka, 1983),h. 28
disebut sebagai perjanjian dan komitmen yang digambarkan secara
metaforis dalam al-Qur’an (7:172).
Berkaitan dengan amanah yang dipikul oleh manusia, insan juga
dihubungkan dengan konsep tanggungjawab (75:36;75:3;50:6). Ia
diwasiatkan untuk tetap berbuat baik (29:8;31:14;14:15) dan seluruh
amal perbuatannya akan dicatat untuk diberi imbalan atau balasan.
Karena itu, insanlah yang dimusuhi syetan (17:53) dan yang ditentukan
nasibnya dihari kiamat (75:10,13,14). Dalam menerapkan amanah
Tuhan ini, insan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Bila ditimpa
musibah, ia cenderung menyembah Allah dengan khidmat, bila ia
mendapat keberuntungan cenderung sombong, takabbur bahkan
musyrik (10:12;11:9;17:67,83).
Pada katagori kedua, kata insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif. Menurut al-Qur’an, manusia itu cenderung zalim
dan kafir (14:34;22:66), tergesa-gesa (17:11;21:37), bakhil (17:100),
bodoh (33:72), suka berbantah dan berdebat (18:54;16:4), resah, gelisah,
susah dan menderita (84:6;90:4), tidak berterimakasih (100:6), dan suka
berbuat dosa (96:6;75:5) serta meragukan hari kiamat (19:66). 6
Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada katagori
pertama, insan menjadi makhluk paradoksal yang berjuang mengatasi
konflik antara dua kekuatan yang saling bertentangan yaitu kekuatan
untuk mengikuti fitrah (memikul amanah Allah) dan kekuatan untuk
mengikuti predisposisi negatif.7 Kedua kekuatan ini digambarkan
dengan katagori ketiga ayat-ayat insan.
Adalah menarik mencermati proses penciptaan manusia atau
asal kejadian manusia itu dinisbahkan pada konsep insan dan basyar
sekaligus. Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, sari pati
tanah (15:26;55:14;23:12;32:7). Demikian pula, basyar berasal dari tanah
liat (15:28;38:71;30:20) dan air (25:54). Ini menunjukkan bahwa peroses
penciptaan manusia menggambarkan secara simbolik karakteristik
basyari dan karakteristik insani. Menurut Yusuf Qardhawi, manusia
adalah gabungan dari kekuatan tanah dan hembusan ilahi, yang pertama
unsur material dan yang kedua unsur rohani atau yang pertama unsur
basyari dan yang kedua unsur insani..Keduanya harus bergabung dalam
keseimbangan.”Tidak boleh seorang muslim mengurangi hak-hak
6
7
Nur Ahmad fadil Lubis, op.cit, h. 134
Lois Lohaiy, Manusia Makhluk Paradoksal, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 212-213
tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh mengurangi hak ruh
untuk memenuhi hak tubuh”. Demikian kata Abbas Mahmud al`aqqad.
Term kunci yang paling banyak dipakai al-Qur’an adalah al-nas
yang disebut sebanyak 240 kali dalam berbagai surah. Penyebutan al-nas
tampaknya mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial.Dari segi
jumlah, tampaknya al-Qur’an mengisyaratkan pentingnya manusia
sebagai makhluk sosial. Indikasi manusia sebagai makhluk sosial dapat
dilihat pada frasa yang digunakan al-Qur’an seperti ungkapan wa mina
al-nas (diantara sebagian manusia), al-Qur’an memperkenalkan tipologi
kelompok. Ada manusia yang bertaqwa (2:2,4,5), kafir (2:6,7) dan
munafiq (2:8-20). Disamping itu al-Qur’an juga mengidentifikasi
manusia sebagai makhluk yang hanya memikirkan kehidupan dunia
(2:200), berdebat tentang Allah tanpa ilmu dan petunjuk (22:3),
memusuhi kebenaran (2:204) dan banyak tipe-tipe lain.
Frasa yang lain adalah ungkapan aksar al-nas (kebanyakan
manusia) yang mengisyaratkan kepada kita bahwa sebagian besar
manusia memiliki kualitas yang rendah dalam bidang ilmu pengetahuan
(7:127;12:21,28,68), enggan berterimakasih (40:61;2:243;12:38), tidak
mau beriman (11:17;12:103;13:1), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92) dan
harus menanggung azab penderitaan (22:18). Tipologi terakhir ini
dipertegas al-Qur’an dengan frasa qalil mina al-nas (sedikit manusia) yang
menunjukkan sedikitnya manusia yang benar-benar beriman kepada
Allah (4:66;38:24;2:88). Menyimpulkan pernyataan terakhir ini dapat
dilihat pada firman Allah yang terdapat pada surah al-an`am ayat:116
dimana Allah menyatakan:
Artinya: Jika kamu ikuti kebanyakan manusia yang ada di bumi,mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Dari uraian di atas tampak bahwa al-Qur’an memandang
manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia
sebagai basyar berkaitan dengan unsur fisik- material, hingga pada
keadaan ini manusia secara alami tunduk (muyassar) pada takdir Allah
sama seperti tunduknya matahari, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Namun manusia, meskipun dalam cakupan takdir ilahi, insan dan al-nas
diberi kekuatan untuk memilih (ikhtiyar) sesuai dengan kemampuan dan
kesempatan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Pada diri manusia
ada predisposisi negatif dan positif sekaligus. Menurut al-Qur`an,
kewajiban manusialah untuk memenangkan predisposisi positif. Ini bisa
terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang diembannya dan tidak
memungkiri fitrahnya yang suci.
B .Kebutuhan dan Tujuan Hidup Manusia
Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis,
psikologis dan sosial. Ketiga dimensi harus terjalin secara integral dalam
diri manusia. Tidak boleh yang satu mendominasi yang lainnya. Seperti,
kecenderungannya sebagai makhluk biologis lebih menonjol dari
dimensi psikologisnya. Jika ini terjadi, manusia bisa jatuh pada derajat
yang paling bawah bahkan lebih rendah dari binatang.
Disamping itu multi dimensi manusia yang digambarkan al-Qur’an
juga menunjukkan bahwa ia memiliki kebutuhan yang bermacammacam. Sebagai makhluk biologis misalnya, manusia membutuhkan
hal-hal yang dapat menyehatkan dan melindungi tubuhnya .Sebagai
makhluk psikologis manusia membutuhkan hal-hal yang dapat
menyuburkan pertumbuhan intelektual dan rohaninya. Sebagai
makhluk sosial manusia membutuhkan bersosialisasi dengan makhluk
lainnya.
Secara garis besar, kebutuhan manusia itu dapat dibagi kepada
dua, kebutuhan psikis (kejiwaan) dan kebutuhan pisik (jasmani).Ingin
terhormat ingin bahagia adalah contoh kebutuhan psikis. Sedangkan
ingin kenyang, ingin memiliki rumah, ingin punya mobil adalah contoh
kebutuhan jasmani.
Kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat. Pada tingkat pertama,
primary needs (kebutuhan primer), manusia membutuhkan sandang,
pangan, dan papan. Dikatakan primer, karena apabila tidak terpenuhi,
menimbulkan kerusakan pada diri manusia., bahkan dapat membawa
kematian. Tingkat kedua, Secondary needs (kebutuhan sekunder) adalah
kebutuhan pendukung bagi kebutuhan primer. Manusia membutuhkan
kendaraan untuk memudahkannya mencari nafkah. Manusia
membutuhkan makanan tambahan, kue , roti untuk melengkapi
makanan pokok dan sebagainya. Namun kebutuhan tingkat kedua itu
muncul apabila kebutuhan primer telah terpenuhi. Demikianlah
seterusnya sampai kebutuhan tingkat ketiga, tertiary needs) dalam bentuk
kesenangan dan perhiasan hidup manusia. Walaupun manusia telah
memiliki rumah, ia ingin rumahnya berlantaikan mar-mar dan beratap
genteng, ingin memiliki pagar yang indah dan sebagainya. 8
Menurut Abraham Maslow kebutuhan manusia itu dibagi
kedalam lima kebutuhan dasar yaitu;(1). Kebutuhan biologis (fa`ali)
seperti makan dan minum.(2), kebutuhan akan keselamatan dan rasa
aman.(3), kebutuhan akan rasa memiliki, rasa cinta dan
bersosialisasi.(4). Kebutuhan akan harga diri yang berbentuk ingin
dihormati, ingin dipuji dan sebagainya. (5). Kebutuhan akan aktualisasi
diri. Selain kebutuhan dasar ini Ia juga menyebut kebutuhan lainnya
seperti keinginan untuk memahami serta kebutuhan akan seni.9
Menurut Malinowski yang ada dalam diri manusia adalah
kebutuhan-kebutuhan biologisnya, seperti reproduksi, kenyamanan
tubuh, keamanan, kebutuhan akan gerak serta kebutuhan untuk
tumbuh dan berkembang.
Tampaknya kedua pakar di atas sangat menyadari bahwa
kebutuhan yang disebut pertama adalah kebutuhan yang paling penting.
Artinya, kebutuhan akan rasa aman akan dibutuhkan jika kebutuhan
makan dan minum telah dipenuhi. Sebaliknya jika kebutuhan pertama
tidak terpenuhi, maka kebutuhan-kebutuhan berikutnya tidak begitu
penting.
Selanjutnya jika kebutuhan-kebutuhan di atas dianalisa,
tampak sekali bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat bersifat
material. Ironisnya seringkali kebahagian manusia itu ditentukan sejauh
mana ia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya, tanpa
memperhatikan kebutuhan yang paling asasi yang bersifat immateri.
Mungkin ini disebabkan oleh pandangan yang dipengaruhi filsafat
positivistik dan materialistik.
Kebutuhan asasi itu ternyata ditemukan dalam konsep ajaran
Islam .Dalam khazanah keilmuan Islam (Filsafat Hukum Islam),
kebutuhan-kebutuhan tersebut disebut dengan al-daruriyat (kebutuhan
perimer), al-hajiyat (sekunder) dan al-tahsinat (tertier). Bedanya hanyalah,
Islam memandang kebutuhan primer tidak terbatas pada hal-hal yang
bersifat material, tetapi melingkupi hal-hal yang bersifat immaterial,
seperti kebutuhan terhadap agama dan kebebasan dalam
8
Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi, Pendekatan Kepada Teori Ekonomi
Mikro dan Makro,(Jakarta: rajawali Pers, 1999),h.28-29
9
Usman Pelly dan Asih Menanti, Teori-Teori Sosial Budaya, (Jakarta: Dirjen Pendidikan
Tinggi, 1994),h .2
menjalankannya (hifz al-din), kebutuhan akan pemeliharaan jiwa (hifz alnafs), kebutuhan akan pemeliharaan keturunan (hifz al-nasal)
kebutuhan akan pemeliharaan harta (hifz al-mal) dan kebutuhan akan
pemeliharaan akal (hifz al-`aql).
Dalam pandangan Islam, kebutuhan terhadap agama serta
kebebasan dalam menjalankannya adalah kebutuhan yang paling asasi.
Kebutuhan terhadap makan dan minum, walaupun tetap penting
namun dalam pandangan Islam tetap merupakan instrumen atau alat
untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan agama (kepercayaan) agar
menjadi lebih baik.
Dengan demikian, segala hal-hal yang mengancam terhadap
kebutuhan agama ini harus dihindari. Malah dalam tingkat tertentu,
apabila posisi agama terancam, umatnya diperintahkan oleh kitab suci
untuk mengorbankan jiwa raganya serta harta yang dimilikinya. Ini
menunjukkan, betapa kebutuhan terhadap agama sangat penting,
sampai-sampai kebutuhan terhadap keamanan diri harus dikorbankan.
Sampai di sini sebenarnya Islam melihat kebutuhan manusia yang
paling hakiki adalah memenuhi dorongan hati nuraninya untuk selalu
tunduk dan patuh pada pencipta. Dan ini merupakan fitrah
kemanusiaan yang tidak dapat begitu saja ditolak. Sejak manusia berada
di alam rahim, kepadanya telah dibisikkan untuk pasrah dan tunduk
(hanifan musliman) kepada Allah SWT, pada waktu itu manusia
menerimanya tanpa ada paksaan. Inilah yang sering disebut para pakar
dengan perjanjian perimordial.
Dengan demikian tugas manusia di dunia ini tidak lebih
memenuhi perjanjian tersebut. Atas dasar ini pulalah segala aktivitas
manusia dalam kehidupan sosial ,politik bahkan ekonomi adalah dalam
kerangka ibadah dan mencari keridhaan Tuhannya (mardatillah).
Pandangan ini bukan menafikan kebutuhan manusia terhadap
harta benda. Lebih salah lagi jika dinyatakan bahwa Islam lebih
mementingkan kebutuhan rohani daripada jasmani. Keduanya
menempati posisi yang sejajar dan saling menentukan. Pemenuhan
kebutuhan rohani tidak akan sempurna tanpa didukung dengan
terpenuhinya kebutuhan jasmani. Bahkan sebagian ibadah Islam,
pelaksanaannya sangat tergantung kepada harta,seperti zakat, infaq,
sadaqah terlebih lagi haji. Demikian pula sebaliknya, pemenuhan
manusia terhadap kebutuhan jasmani, tanpa terpenuhinya kebutuhan
rohani, akan menjadikan manusia akan mengalami keterpecahan pribadi
(split personality), dan sangat rentan terhadap penyakit kejiwaan lainnya
seperti depresi, alienasi, stress dan sebagainya.
Jelaslah keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani manusia
sangat menentukan dalam pencapaian tujuan ekonomi Islam seperti
yang disebut oleh Akram dan Hasanuzzaman dengan istilah human falah
(manusia sejahtera). Pandangan ini didasarkan pada satu pemikiran
bahwa dalam kaca mata Islam manusia bukan hanya sebagai makhluk
biologis tetapi juga makhluk spritual sekaligus makhluk sosial.
Sebagai tujuan akhir, segala aktivitas yang dilakukan baik dalam
bidang sosial, politik terlebih dalam bidang ekonomi adalah sematamata mencari perkenan Tuhan (keridhaan Tuhan). Ini akan terlihat
lebih jelas bagaimana konsep Islam terhadap harta dan kerja.
C. Rangkuman
1. Dalam al-Qur’an kata kunci yang digunakan untuk
menggambarkan manusia diungkap dengan kata basyar 27 kali,
insan 65 kali dan al-nas 240 kali. Kata basyar mengacu pada
dimensi biologis, kata insan mengacu pada dimensi psikologis
spritual dan kata al-nas mengacu pada dimensi sosiologis.
2. Kebutuhan manusia dalam pandangan al-Qur’an tidak hanya
terbatas pada hal-hal yang bersifat material saja sebagaimana
yang dijelaskan para sosiolog, tetapi juga menyangkut hal-hal
yang bersifat spiritual.
3. Kesejahteraan yang ingin dicapai manusia dalam konsepsi
Islam bukanlah hanya kesejahteraan material -duniawijasmani, melainkan kesejahteraan duniawi-ukhrawi, jasmani
rohani dan material spritual.
D. Pertanyaan.
1. Ada tiga kata kunci yang digunakan al-Qur’an untuk
menjelaskan manusia. Jelaskanlah ketiga kata kunci tersebut
beserta makna yang dikandungnya ?.
2. Sebutkan kebutuhan manusia menurut Abraham Moslow dan
bagaimana pandangan Islam tentang kebutuhan manusia ?.
3. Pemenuhan kebutuhan hidup oleh manusia haruslah mampu
menghantarkannya mencapai apa yang disebut oleh Akram
Khan dan Hasanuzzaman sebagai human falah . apa maksud
istilah ini ?.
BAB VI
HARTA DAN PEROSES MEMPEROLEHNYA
DALAM ISLAM
Pada bab yang lalu telah disinggung bahwa harta (mal) merupakan
salah satu kebutuhan hidup manusia yang ditempatkan pada kebutuhan
primer (al-daruriyat). Pembahasan berikut ini akan mendiskusikan bagaimana
kedudukan harta dalam kehidupan manusia menurut Islam, bagaimana
katagori harta , jalan memperoleh harta dan ditutup dengan pembahasan
kewajiban manusia terhadap harta.
A..Kedudukan harta Dalam Kehidupan.
Harta yang dalam bahasa Arab disebut dengan mal (jamaknya :amwal)
terambil dari kata kerja mala-yamulu-maulan yang berarti mengumpulkan,
memiliki dan mempunyai. Dari pengertian semantik ini dipahami sesuatu itu
dinamakan harta bila dapat dikumpulkan untuk dimiliki baik
bagi
1
kepentingan individu, keluarga maupun masyarakat.
Secara terminologis kata mal berarti sesuatu yang dikumpulkan dan
dimiliki, yaitu harta atau kekayaan yang mempunyai nilai dan manfaat. Faruqi
mendefinisikan harta sebagai sesuatu benda atau kekayaan yang memberi
faedah yang dapat memuaskan jasmani dan rohani atau kebutuhan hidup. 2
Kata mal dalam al-Qur,an disebut sebanyak 86 kali pada 79 ayat dalam
38 surah, satu jumlah yang cukup banyak menghiasi sepertiga surah-surah alQur’an. Jumlah ini belum termasuk kata-kata yang semakna dengan mal
seperti rizq, mata’, qintar dan kanz (perbendaharaan)
Menurut penelitian Yahya Bin Josoh M. dalam disertasinya yang
berjudul Konsep Mal dalam al-Qur’an ,menyimpulkan bahwa konsep harta
dalam al-Qur’an mencakup hal-hal di bawah ini.
1 .Harta adalah milik Allah, karena segala sumber daya alam dari
langit dan bumi, disediakan oleh Allah Maha Pencipta yang mengaturnya
untuk patuh terhadap sunnatullah, agar dapat diproduksi menjadi harta yang
dapat dimiliki dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia.
1
2
Abi Husein Ahmad bin Faris, Mu`jam Maqayis al-Lugat,(Beirut: dar al-Fikr, t.t),juz V, h.285
Harit Sulaiman al-Faruqi, Faruqi Law Dictionary (English-Arabic), (Beirut: Librairi Du’lisan, 1991),
H.743-744
2.Pengumpulan harta dapat dilakukan dengan usaha mengeksplorasi
sumber daya alam, usaha perdagangan dan pemberian harta dari orang lain
dengan jalan yang telah ditentukan oleh aturan Islam.
3. Pemilikan harta individu terletak dalam batas-batas kepentingan
anggota masyarakat, karena pada harta yang dikumpulkan oleh individu
terdapat hak-hak orang lain.
4. Kebebasan mengumpulkan dan memanfaatkan harta adalah pada
barang-barang yang halal dan baik, dan tidak melanggar batas-batas ketentuan
Allah.
5.Harta harus dimanfaatkan untuk fungsi sosial dengan prioritas awal
dimulai dari individu, anggota keluarga dan masyarakat.
6. Pemanfatan harta haruslah pada prinsip kesederhanaan, dalam arti
tidak sampai pada batas menghamburkan harta kepada hal-hal yang tidak
penting dan mubazir, dan tidak pula sampai pada batas-batas kekikiran yang
mengakibatkan terjadinya penimbunan harta.
7.Harta dapat dikembangkan dengan usaha-usaha yang telah
ditentukan syara’ dengan bantuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
8. Harta disisi Allah tidak akan ada manfaatnya, apabila kewajiban
mentaati perintah Allah dilalaikan, karena harta hanyalah sekedar sarana
untuk mendekatkan diri dan mencapai keridhaannya di dunia dan diakhirat. 3
Perhatian al-Qur’an yang begitu besar terhadap harta membuktikan
bahwa sebenarnya harta merupakan satu kebutuhan manusia yang sangat
penting sehingga al-Qur’an memandang perlu untuk memberikan garisangarisan yang dapat dikatakan rinci. Hikmahnya adalah agar manusia tidak
terjerumus pada penyimpangan-penyimpangan baik pada pengumpulan harta
ataupun pada pemanfaatannya yang pada akhirnya dapat menimbulkan
kerugian pada individu maupun masyarakat.
Menarik untuk dicermati, pada satu sisi Allah menegaskan harta dapat
menjadi alat yang ampuh untuk mendekatkan diri padanya melalui apa yang
disebut al-Qur’an dengan jihad. Didalam al-Qur’an surah al-anfal/8:72 Allah
berfirman:
Artinya: Sesungguhnya mereka orang-orang yang beriman dan berjihad dengan
harta dan jiwa mereka pada jalan Allah
Jihad dengan harta dapat berbentuk zakat, infaq, sadaqah,
memanfaatkan harta untuk kepentingan sosial dan bentuk-bentuk lainnya,
3
Yahaya Bin Jusoh, Konsep Mal Dalam al-Qur`an , Disertasi, Program Pascasarjana IAIN.Jakarta,
1997, h.90-91
selama dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
sebagai wujud pembuktian iman, maka semuanya itu dipandang ibadah.
Sebaliknya pemanfaatan harta secara negatif yang disebut al-Qur’an
dengan mengikuti jalan syetan (Q.S.al-Isra’/17:64) seperti menafkahkan harta
disertai sifat-sifat riya, (Q.S.al-nisa’/4:38), kikir (Q.S.al-lail/92:8-11),
berbangga-bangga dengan harta (Q.S.al-Hadid/57:20), menghamburhamburkannya, tidak saja menjauhkannya dari jalan Allah, tetapi juga akan
menimbulkan kerusakan bagi individu dan masyarakat.Al-Qur’an
menegaskan, harta yang dimanfaatkan dengan tidak mengikuti ajaran Allah
hanya akan merugikan, karena pemiliknya akan di azab di akhirat (Q.S.alTaubah/9:69).
Al-Qur’an memberikan arahan agar harta dapat dimanfaatkan dan
dinikmati oleh manusia untuk kebahagiaan kehidupannya di dunia dan di
akhirat. Isyarat ini ditemukan pada Q.S. ali-Imran/3:14.
Artinya:Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Ayat tersebut mengisyaratkan berbagai jenis harta, baik hasil
pertambangan, pertanian, peternakan dan perdagangan agar semuanya itu
dapat dimanfaatkan untuk menjadi kesenangan hidup manusia secara
individu. Namun pada bagian akhir ayat ada pernyataan (dan di sisi Allahlah
tempat kembali yang baik (surga), seolah-olah mengingatkan manusia dalam
pemanfaatan harta sejalan dengan petunjuk-petunjuk Allah SWT.
Jenis-jenis harta pada ayat di atas juga mengisyaratkan macam-macam
kebutuhan hidup manusia. Hasil pertambangan (emas , perak dan lain-lain)
mengisyaratkan kebutuhan manusia pada peralatan dan perhiasan, kuda
pilihan mengisyaratkan kebutuhan manusia pada kendaraan, binatang ternak
dan sawah ladang mengisyaratkan kebutuhan terhadap sandang, pangan dan
papan.
Setelah terpenuhinya kebutuhan pribadi, harta juga harus dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan kepentingan sosial, terlebih
lagi orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan. Perintah ini ditemukan
pada Q.S.al-Isra’/17:26
Artinya:Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan harta .
Cukup menarik bahwa harta dalam Islam ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan hidup bagi diri sendiri, anggota keluarga yang menjadi
tanggungan, dan anggota masyarakat keseluruhannya. Harta dapat
dibelanjakan atau digunakan untuk keperluan atau diinvestasikan untuk
pengembangan harta, atau disimpan saja untuk kegunaan masa mendatang.
Namun kebebasan pemanfaatan harta ini dibatasi untuk sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, yaitu jalan-jalan yang tidak melangar ketentuan
Allah dan tidak untuk perkara-perkara haram yang mengakibatkan kerusakan
akhlak dan lingkungan sosial.
Jadi tegaslah bahwa pemanfaatan harta adalah untuk melakukan
kebaikan (ibadah), menegakkan keadilan sosial, dengan memberikan nafkah
pada diri sendiri, anggota keluarga, dan membantu memberikan harta pada
fakir miskin, anak yatim, muallaf, musafir, orang yang tertindas , tawanan dan
orang-oarang yang sedang berjung pada jalan Allah.
Disamping itu, pemanfaatan harta harus dapat menjadikan
seseorang selalu mengingat Allah dan mendekatinya, menjadikan lebih pandai
bersyukur. Ini bisa tercapai bila manusia dalam memanfaatkan harta selalu
mengikuti etika al-Qur’an yaitu pembelanjaan dan penggunaan harta dengan
cara yang sederhana, terhindar dari sifat boros, kikir, berbangga-bangga, riya
dan melampau batas.
B. Harta Yang Halal, Haram dan Syubhat
Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini
diciptakan Allah SWT untuk kepentingan dan kebahagian manusia .Kendati
demikian bukan berarti manusia bebas untuk menikmatinya. Ada aturanaturan yang telah digariskan Allah dalam kitabnya tentang pengelolaan dan
pemanfaatan isi alam baik dalam bentuk perintah ataupun larangan.
Peraturan –peraturan itu berguna untuk membatasi manusia yang
cenderung memiliki sifat tamak dan rakus, tidak pernah merasa puas terhadap
harta yang pada gilirannya dapat mencelakakan dirinya sendiri. Banyak sekali
ayat-ayat dan hadis-hadis nabi yang menunjukkan kecenderungan negatif
manusia tersebut. Dapatlah dikatakan, aturan-aturan itu penting agar manusia
dapat mengendalikan hawa nafsunya dan mampu memilah dan memilih mana
yang penting, berguna dan mana pula yang sekedar hiasan semata.
Ditinjau dari kaca mata hukum Islam, harta itu ada yang bendanya
(a`in) halal (boleh dikumpulkan dan dimanfaatkan) dan ada pula yang haram
(dilarang mengumpulkannya, mengkonsumsi dan memproduksinya).
Diantara dua katagori tersebut ada yang disebut syubhat (tidak jelas
kehalalannya dan keharamannya). Dalam wilayah bisnis katagori halal dan
haram ini juga berlaku. Rafiq Isa Beekun menyebutnya dengan Halal and
Haram Business Areas.4
Dari sisi mendapatkannya atau memperolehnya demikian juga ada
yang halal , haram dan syubhat. Katagorisasi ini berangkat dari sebuah hadis
Rasul yang artinya:
Yang halal itu telah jelas dan yang haram itu juga jelas, dan antara
keduanya adalah hal-hal yang syubhat. Barang siapa yang bergelimang pada
hal-hal syubhat diibaratkan seorang yang mengembalakan kambingnya
dipinggir jurang .
Pernyataan hadis di atas yang menyebut bahwa sesuatu yang halal itu
jelas, begitu pula yang haram, berpijak pada satu kenyataan bahwa al-Qur’an
dan hadis sebagai sumber hukum Islam telah memberikan keteranganketerangan yang rinci dan tegas menyangkut katagori tersebut. Berbeda
dengan yang syubhat, keterangannya tidak begitu jelas, namun apakah ia
dikatagorikan kepada halal atau haram dapat dilihat dari indikasi-indikasi yang
ada.
Menarik untuk dicermati adalah metode yang digunakan al-Qur’an
dalam mengungkap dan menjelaskan harta yang halal dan yang haram..
Ketika menyebut hal-hal yang diharamkan al-Qur’an menggunakan bahasa
yang rinci dan tegas.Contohnya pada surah al-maidah/5:3
Artinya; Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi yang disembelih atas
nama selain Allah, yang tercekek, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya dan diharamkan
bagimu menyembelih untuk berhala…
Sedangkan ketika menjelaskan hal-hal yang dihalalkan, al-Qur’an
menggunakan bahasa yang gelobal seperti firman Allah di bawah ini:
Artinya: Wahai manusia, ,makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang
terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena
sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagi kamu.
Hikmah semua ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi manusia
dalam menggunakan harta. Pengungkapan harta yang haram dengan rinci
adalah bertujuan agar manusia tidak mengalami kebingungan dalam
menentukannya. Jika tidak dijelaskan, dipastikan manusia akan berbeda
dalam menentukan mana yang haram dan mana yang tidak karena manusia
akan dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya (hawa al-nafs). Ternyata jumlah
4
Rafiq Isa Beekun, Islamic Businees Ethic (Virginia : The International Institut Of Islamic Thought,
1981).h. 31
harta yang haram itu sedikit, sehingga manusia tidak mengalami kesulitan
dalam mengidentifikasinya.
Ini berbeda ketika Allah menjelaskan harta-harta yang halal dengan
ungkapan yang global. Allah SWT hanya menyebutkan halalan tayyiba (halal
lagi baik). Tidak dijelaskan apa-apa saja yang halal lagi baik tersebut.
Seandainya Allah juga merincinya, disamping jumlahnya sangat banyak, alQur’an menjadi jauh lebih tebal dan tidak fleksibel. Hal ini akan
menimbulkan kesulitan bagi manusia sendiri. Kesulitan ini bisa saja dalam
mengidentifikasi harta-harta yang halal dan lebih sulit lagi ketika muncul
produk-produk baru yang tentu saja tidak disentuh al-Qur’an. Muncullah
persoalan baru tentang kejelasan hukumnya. Di satu sisi produk baru tersebut
bisa jadi dibutuhkan manusia. Pada sisi lain kejelasan hukumnya belum ada
karena tidak ditegaskan oleh al-Qur’an. Mengantisipasi persoalan yang seperti
inilah, metode yang ditempuh al-Qur’an ketika menjelaskan harta yang haram
dengan cara merincinya sedangkan harta yang halal dijelaskannya dengan
global. Semuanya dalam rangka memberikan kemudahan dan kemaslahatan
bagi manusia.
Menyangkut harta yang syubhat sebenarnya di sini ada keleluasaan
manusia dalam menentukan sikap. Rasulullah hanya memberikan isyarat,
bermain-main dengan barang yang syubhat tak obahnya seperti pengembala
kambing yang mengembalakan kambingnya dipinggir jurang, sehingga besar
kemungkinan akan jatuh kedalamnya. Artinya, bermain-main dengan harta
yang syubhat dapat menjerumuskan manusia pada hal-hal yang diharamkan.
Dengan isyarat yang diberikan Rasul, seyogiyanya harta-harta yang
syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya) itu dihindari agar kita tidak
terjerumus pada harta-harta yang haram.
C. Jalan-jalan Memperoleh Harta Yang Halal.
Di muka telah dijelaskan bahwa harta itu dapat dikumpulkan dan
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Al-Qur’an juga
dalam hal ini memberikan tuntunan cara pengumpulan harta, mana cara yang
dibolehkan syari’at dan mana yang dilarang.
Merujuk kepada al-Qur’an akan ditemukan paling tidak tiga cara
pengumpulan harta. Pertama, lewat eksplorasi sumber daya alam. Kedua,
lewat usaha perdagangan. Ketiga, lewat pemberian orang lain.5
5
Yahaya Bin Jusoh, op.cit., h.92-93.
Eksploarasi sumber daya alam adalah produksi yang memungut
langsung hasil bahan-bahan alamiah yang ada dipermukaan dan perut bumi.
Tentu saja ini membutuhkan usaha manusia untuk menguaknya.Tanpa usaha
manusia harta itu akan tetap tersimpan dan tidak dapat termanfaatkan dengan
baik. Eksplorasi sumber daya alam mengisyaratkan pentingnya penguasaan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang harus dimiliki manusia.
Berkaitan dengan ekplorasi sumber daya alam, al-Qur’an
mengisyaratkan tiga hal. Melalui
pertanian (Q.S al-Kahfi/18:34,39).
Pertanian adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tanaman-tanaman atau
produksi pertumbuhan tanaman. Kedua.melalui peternakan. Allah SWT
menjadikan binatang-binatang yang hidup di alam ini untuk dapat dipelihara
manusia sebagai binatang ternak yang dapat dikembangbiakkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.6
Dalam al-Qur’an Allah SWT menyatakan bahwa diturunkannya hujan
untuk menyuburkan bumi dan menumbuhkan tanaman, semunya itu
diperuntukkan bagi manusia dan binatang ternak. (Q.S `abasa/80:25-32, Q.S
al-nazia’at /79:29-33). Ketiga adalah pertambangan. Sebagaimana diketahui
perut bumi mengandung beragam jenis bahan tambang yang apabila digali,
maka dapat dikumpulkan menjadi harta yang berguna. Pertambangan sendiri
bermakna menggali tambang untuk mendapatkan hasil bumi.7
Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ungkapan-ungkapan,”Dialah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk manusia” yang merupakan
pernyataan implisit meminta manusia untuk menyelidiki dan berusaha untuk
mencari kekayaan diperut bumi, seperti besi, tembaga, emas,perak dan lain
sebagainya. Ungkapan-ungkapan ini ditemukan pada (Q.S.al-Saba’/34:10-12).
Menyangkut tentang perdagangan dalam al-Qur’an, topik ini
diungkap dengan kata tijarah (perdagangan) yang berarti menebarkan modal
untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan yang disebut dengan kata
tijarah diungkap al-Qur’an sebanyak 8 kali dan kata bai`un yang bermakna jual
beli disebut sebanyak 6 kali. Banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang mengungkap
kata ini menunjukkan bahwa usaha perdagangan merupakan salah satu cara
yang paling baik dan utama dalam pengumpulan harta. Pernyataan ini dapat
dilihat pada surah al-nisa’ ayat 29.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku suka
6
7
Rafiq Isa Beekun, op.cit, h.32
Ibid,.
sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah maha penyayang kepadamu.
Ayat ini melarang manusia untuk mengumpulkan harta dengan jalan
yang batil dan sebaliknya memerintahkan kepada manusia untuk
mengumpulkan harta dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama
suka. Berkaitan dengan ini , Muhammad al-Bahiy dalam karyanya yang
berjudul Al-Fikr al-Islamy wa al-Mujtama` al-Islami menyatakan, ungkapan “
illa an takuna tijaratan `an taradin minkum”, menunjukkan wujud keseimbangan
dan kerelaan antara penjual dan pembeli tanpa adanya unsur penindasan atau
paksaan.8
Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan bahwa perdagangan yang
menguntungkan adalah yang dilaksanakan atas keimanan kepada Allah dan
harta tersebut digunakan untuk berjihad (al-Saf/61:10-11). Ini bisa terjadi jika
harta yang dikumpulkan dijadikan modal untuk hal-hal yang dapat membawa
kemanfaatan bagi masyarakat banyak. Disamping ia akan mendapatkan
keuntungan material, ia juga memperoleh keuntungan spritual, rasa bahagia
karena telah berbuat baik untuk masyarakat.
Cara memperoleh harta yang ketiga adalah melalui pemberian orang
lain. Ada isyarat dari al-Qur’an, pemberian harta dari orang lain dengan jalanjalan yang dibenarkan syari`at merupakan salah satu cara untuk
mengumpulkan harta. Beberapa ayat al-Qur’an menunjukkan bahwa
sebenarnya pada harta yang dimiliki seseorang terdapat hak orang lain yang
harus segera ditunaikan. Dalam surah al-Ma`arij/70:24 Allah berfirman:
Artinya: Pada harta mereka tersebut ada hak orang lain yang harus ditunaikan.
Pada surah al-zariyat/51:19
Artinya: Dan pada harta mereka ada hak orang yang meminta-minta dan orangorang yang serba kekurangan.
Pemberian harta dari orang lain dapat berbentuk, zakat, sadaqah, infaq,
ganimah, jizyah, fai`, warisan dan sebagainya. Ini bukan berarti kebolehan
untuk mengharapkan belas kasihan orang lain dalam memenuhi kebutuhan
hidup manusia.
Dalam sebuah perbincangan, Rasul pernah ditanya seorang sahabat,
apakah usaha yang paling baik ? Rasul menjawab, yang paling baik (afdal)
adalah, usaha mandiri. Secara implisit hadis ini melarang umat Islam untuk
meminta-minta. Pesan ini diperkuat dengan beberapa ayat al-Qur’an dan
8
Muhammad al-Bahiy, al-Fikr al-Islami wa al-Mujtama` al-Islami (Mesir: dar al-Qaumiyyah, 1963),h.
35-36.
hadis nabi yang melarang umatnya untuk berpangku tangan, malas, putus asa
dan sebagainya. Jika demikian dapat dikatakan, pemberian orang lain yang
dimaksud ayat-ayat di atas, bukanlah berangkat dari satu usaha agar ia diberi
atau meminta belas kasihan dari orang lain.
Dari penjelasan di atas, tampaklah cara-cara memperoleh atau
mengumpulkan harta yang dibolehkan menurut al-Qur’an. Namun harus
diingat, perintah al-Qur’an untuk mengumpulkan harta melalui eksplorasi
sumber daya alam, perdagangan dan pemberian orang lain tetap harus sesuai
dengan aturan-aturan agama. Jika aturan-aturan tersebut dilanggar, seperti
menipu pembeli, menebang kayu sehingga merusak hutan, maka dipandang
sebagai cara yang ditolak al-Qur’an. Sama halnya larangan al-Qur’an
mengumpulkan harta dengan cara yang haram seperti memproduksi
minuman keras, menjual benda-benda yang diharamkan, prostitusi, judi,
transaksi bisnis yang mengandung unsur tipuan (garar),9 mencuri, merampok,
korupsi dan sebagainya.
D. Contoh Jalan Memperoleh Harta Yang Haram
Di bawah ini akan dikemukakan contoh-contoh harta yang haram
ditinjau dari segi memperolehnya berdasarkan informasi yang diberikan oleh
al-Qur’an dan Hadis.10
1. Harta Suap
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan batil, dan (janganlah) menggunakan sebagai umpan
(untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat memakan
harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui hal itu. (alBaqarah:188).
2. Hadiah yang Diharamkan (ghulul dan suht)
Dalam beberapa hadis, nabi Muhammad SAW bersabda, “hadiah
yang diberikan kepada penguasa adalah ghulul (perbuatan curang)”.
“Hadiah yang diberiak kepada pejabat adalah suht (haram).
9
Rafiq Isa Beekun, op.cit, h.35-36
10
Lihat, M.Ismail Yusanto dan M.Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam (Jakarta : GIP,
2002), h.107-113
“Barang siapa yang kami pekerjakan untuk melakukan suatu tugas dan
kepadanya kami telah berikan rezeki (imablan atas jerih payahnya), maka
apa yang diambil olehnya selain itu adalah suatu kecurangan.
3. Komisi yang Diharamkan
“Rasul SAW mengutusku ke Yaman sebagai penguasa daerah. Setelah aku
berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pulamng kembali.
Rasul berttanya kepadaku, “Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang
menyusulmu ?. janganlah engkau mengambil sesuatu untuk kepentinganmu
tanpa seizinku. Jika hal itu kau lakukan, itu merupakan kecurangan, dan
barangsiapa berbuat curang pada hari kiamat kelak ia akan dibangkitkan
dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah, engkau aku
panggil dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugsmu. (Hadis
Riwayat Imam Tirmizi dari Mu`adz bin Jabal)
.
4. Harta Hasil Tindak Kezaliman.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta
sesama kalian dengan jalan batil. (al-nisa`:29).
Barang siapa mengambil (tanpa izin) harta saudaranya dengan tangan
kanannya (dengan kekuatan), ia akan dimasukkan ke da;am neraka dan
diharamkan masuk surga. “seorang sahabat bertanya, Ya Rasulullah,
bagaimana kalau sedikit ?. Beliau menjawab, walaupun sebesar kayu siwak.
5. Harta Korupsi
Perampas, koruptor dan pengkhianat tidak dieknakan hukum potong tangan
(dihukum lebih berat dari sekdar potong tangan).
Barangsiapa yang merampok dan merampas atau mendorong perampasan,
bukanlah dari golongan kami (Bukan dari golongan umat Muhammad
SAW).
6. Harta Riba
Nabi melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya dan
para pencatatnya. (HR.Ibnu Majah),
7. Harta dari Wanprestasi
Tiga orang yang aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah
memberikan karena aku, lalu berkhianat, dan orang yang memberi barang
pilihan, lalu makan kelebihan harganya, serta orang yang mengontrak pekerja
kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya sedangkan upahnya
tidak dibayarkan.
8. Harta dari tindak Penipuan
Bukanlah termasuk umatku, orang yang melakukan penipuan. (HR.Ibnu
Majah dan Abu Daud)
E. Kewajiban Terhadap Harta
Pada kajian terdahulu telah dijelaskan pengertian harta, klasifikasinya
dan cara-cara memperolehnya menurut panduan Islam. Tampaklah bahwa
sebenarnya Islam memandang harta secara positif dan menempatkannya
sebagai salah satu instrumen untuk mendekatkan diri pada Allah. Untuk
itulah harta harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan pribadi,
keluarga dan masyarakat.
Islam mengajarkan ada kewajiban-kewajiban tertentu manusia
terhadap harta, baik kepada hartanya sendiri maupun terhadap harta orang
lain. Kewajiban terhadap harta sendiri dapat berbentuk :
1. Pemanfaatan harta untuk kepentingan sosial atau masyarakat. Dalam kaca
Islam harta atau uang adalah modal, tidak boleh dibiarkan “idle”
melainkan untuk investasi yang menghasilkan kesejahteraan umat dengan
peningkatan produksi dan kesempatan kerja.
2. Dalam tingkat tertentu, seseorang yang memiliki harta berlebih harus
menginfakkan hartanya melalui institusi zakat, infaq, sadaqah, waqf dan
sebagainya.
3. Seseorang yang memiliki harta harus dapat menjaga dan menjamin bahwa
harta yang dimilikinya tidak akan menimbulkan kemudharatan bagi orang
lain.
Terhadap harta orang lain, setiap orang harus ikut memeliharanya
dari segala kerusakan. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk
saling menolong apakah melalui institusi sewa menyewa, pinjam meminjam
gadai menggadai, dimana terjadi pemindahan hak pemanfaatan bukan hak
milik dari seseorang kepada yang menyewa atau yang meminjam, dan pada
saat itulah penyewa atau peminjam berkewajiban untuk memilihara harta
tersebut sebaik-baiknya.
E. Rangkuman
1. Harta dalam bahasa Arab disebut dengan mal (jamaknya-amwal)
yang bermakna mengumpulkan, memiliki dan mempunyai.
Dinamai harta karena ia dapat dikumpulkan, dimiliki baik bagi
kepentingan pribadi, keluarga ataupun masyarakat. Pengertian
terminologisnya adalah harta benda atau kekayaan yang memberi
faedah serta dapat memuaskan jasmani dan rohani.
2. Untuk memperoleh harta dapat dilakukan dengan tiga cara,
1).Eksplorasi sumber daya alam, 2). Perdagangan dan 3).pemberian
orang lain. Cara-cara tersebut harus dilakukan dengan mengikuti
petunjuk al-Qur’an. Eksplorasi sumber daya alam tidak boleh
mengakibatkan kerusakan alam sehingga komunitas makhluk lain
menjadi terganggu. Perdagangan tidak boleh dilakukan dengan
menipu karena akan merugikan orang lain dan sebagainya.
3. Adanya klasifikasi harta dalam ajaran agama Islam kepada halal,
haram dan syubhat, semua aturan tersebut dalam rangka memberi
kemudahan dan kemaslahatan bagi manusia selama manusia
mengikuti petunjuk al-Qur’an.
4. Islam tidak pernah melarang manusia untuk mencari, dan
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Namun manusia harus
mengetahui dan menyadari bahwa pada harta yang dimilikinya
terdapat hak orang lain yang harus ditunaikan apakah melalui
institusi zakat, infaq dan sadaqah.
F. Pertanyaan
1. Jelaskan makna kata mal (amwal) baik pengertian etimologis ataupun
terminologisnya ?
2. Dalam menjelaskan harta yang haram, Allah menjelaskannya
dengan bahasa yang rinci, sedangkan ketika berbicara tentang yang
halal digunakan bahasa yang global. Mengapa demikian ?.
3. Jelaskan cara memperoleh harta dalam pandangan al-Qur’an ?
BAB VII
BEKERJA DALAM PANDUAN ISLAM
Pada bab VI telah dibicarakan konsep al-Qur`an tentang manusia dan
tata cara pengumpulan harta. Secara implisit pesan kitab suci tersebut
mengajarkan kepada umatnya bahwa harta sebagai kebutuhan hidup hanya
akan diperoleh melalui kerja dan usaha yang maksimal dari manusia. Pada
bab ini akan didiskusikan bagaimana pesan al-Qur’an tentang bekerja atau
mencari rizqi, otonomi manusia dan taqdir, dan akan ditutup dengan
hubungan do`a dengan rizqi.
A.Kerja Dan Kebutuhan Hidup
Robert Maltus menyatakan bahwa pertambahan penduduk seperti
deret ukur, sementara pertambahan makanan (kebutuhan hidup manusia)
hanya seperti deret hitung. Teori ini menunjukkan adanya kesenjangan
antara pertumbuhan manusia dengan ketersediaan kebutuhan pokok
khususnya makanan. Pada gilirannya kerja yang didefinisikan sebagai usaha
untuk mendapatkan makanan, bergeser pada maknanya yang lebih luas.
Pada zaman dahulu kerja dipahami hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan hidup seperti pangan, sandang dan papan. Sejalan dengan
peradaban manusia masa itu yang masih sederhana, tujuan kerja bagi manusia
hanyalah untuk menjaga kelangsungan hidup. Pada masa itu kebutuhan hidup
manusia tidak menjadi persoalan yang serius karena alam masih bisa
mencukupinya disamping jumlah manusia relatif sedikit.
Persoalan mulai muncul ketika jumlah penduduk terus bertambah dan
alam tidak lagi mampu menyediakan kebutuhan hidup manusia, kalaupun
ada, kebutuhan tersebut tidak cukup memadai sehingga manusiapun
berupaya untuk memperoduksinya sendiri.
Disinilah kerja mulai menjadi persoalan serius bagi manusia. Dikatakan
menjadi persoalan karena tidak seluruh manusia dapat menciptakan lapangan
kerja untuk dirinya sendiri, dan ternyata kebutuhan manusia tidak hanya
sebatas untuk memenuhi kebutuhan primernya, tetapi ia juga berkeinginan
untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tertier.
Sampai disini definisi kerja mengalami perubahan. Pada zaman modern
manusia bekerja memiliki beberapa tujuan yaitu:1
1
Redi
Panuju,
Etika
Bisnis:Tinjauan
Sehat,(Jakarta:Grasindo,19950, h. 81-82.
Empiris
dan
Kiat
Mengembangkan
Bisnis
1. Memenuhi kebutuhan primer seperti makan, minum, rumah dan
pakaian.
2. Memenuhi kebutuhan sekunder seperti, rekreasi, memiliki barangbarang mewah, kesehatan dan pendidikan.
3. Memenuhi kebutuhan tertier seperti ingin gengsi, terlihat mewah,
aksesoris-aksesoris dan lain-lain.
4. Meneguhkan jati diri sebagai manusia.
Tiga tujuan manusia bekerja yang disebut dimuka, tampaknya sudah
jelas. Namun yang disebut terakhir perlu mendapat penjelasan sedikit. Pada
masa modern, bekerja bukan lagi persoalan hidup atau mati, tetapi sudah
menyangkut tentang harga diri. Ukuran martabat manusia akan dilihat dari
apakah ia memiliki pekerjaan atau tidak. Selanjutnya apakah pekerjaan yang
digelutinya. Bagi orang yang belum memiliki pekerjaan akan merasa dirinya
belum lengkap sebagai manusia. Ia akan menjadi rendah diri mendapat gelar
sebagai “penganggur”. Selanjutnya, bidang kerja yang digeluti juga sangat
mempengaruhi setatus sosialnya. Pegawai negeri akan dipandang lebih
“hebat” dibanding buruh, pengusaha akan lebih dihormati oleh masyarakat
dibanding dengan seorang guru.
Ada ungkapan yang menarik dari Nurcholis Madjid ketika berbicara
tentang Tafsir Islam Perihal Etos Kerja. Ia menyatakan,
… kerja atau amal adalah bentuk keberadaan (mode of existence) manusia.
Artinya, manusia ada karena kerja dan kerja itulah yang mengisi eksistensi
kemanusiaannya. Jadi jika failusuf Perancis Rene Descartes menyatakan
“cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, slogan ini harus ditambah dengan
ungkapan “aku berbuat maka aku ada”.2
Pergeseran makna kerja yang telah diungkap di atas, ternyata memiliki
implikasi yang lebih jauh. Mungkin dipengaruhi konsep kerja pola kapitalisme
yang mempunyai akar asumsi, manusia mempunyai kewajiban untuk
memanfaatkan alam dengan menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi
agar sumber kekayaan alam menjadi barang komoditi yang secara ekonomis
menguntungkan, maka upaya meraih keuntungan ekonomi tidak lagi dilihat
sebagai imbalan kerja melainkan menjadi tujuan kerja itu sendiri.
Dengan kata lain, kerja harus menguntungkan terlepas bagaimana cara
yang dilakukan untuk memperolehnya.3 Dampaknya yang paling parah adalah
manusia menjadi serakah, kerja tidak lagi dalam rangka untuk meneguhkan
2
Nurcholis madjid, “Tafsir Islam Perihal Etos Kerja”, dalam, Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam ,
(ed) Firdaus Efendi dkk , (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), h.66
3
Redi Panuju, op.cit., h.88
eksistensi diri yang menuntutnya untuk menunjukkan kualitas kerja, tetapi
semata-mata dilakukan untuk memburu keuntungan ekonominya.
B..Konsep Islam Tentang Kerja
Setidaknya ada dua kata kunci untuk menjelaskan konsep kerja dalam
pandangan Islam; `amal dan sun`. Kedua kata ini diungkap dalam al-Qur’an
lebih kurang 602 kali, suatu jumlah yang cukup besar. Makna generik kata
`amal menurut Sayyed Hosein Nasr adalah “tindakan peraksis” terhadap
sesuatu, sedangkat sun` adalah membuat atau memproduksi sesuatu dengan
mengolah bahan baku atau mengolah ulang bahan yang sudah jadi. 4 Salah
satu bentukan dari kata sun` adalah sina`ah yag berarti pabrik.5
Di dalam al-Qur’an, Allah telah memberikan jaminan bahwa setiap
makhluk yang ada dibumi ini telah ditetapkan rizkinya. Yang menarik alQur’an menggunakan kata dabbah seperti yang tampak pada ayat berikut ini :
Artinya: Tidak ada binatang yang melata (dabbah) di muka bumi ini kecuali
telah ditetapkan Allah rezekinya.
Menurut bahasa kata dabbah diartikan sebagai makhluk yang melata.
Secara implisit rizki yang telah dipersiapkan Allah untuk manusia hanya bisa
diperoleh bagi orang–orang yang selalu berusaha menemukannya dan itu
hanya dapat dilakukan dengan bekerja.
Seperti yang telah diungkapkan Cak Nur (panggilan akrab untuk
Nurcholis Madjid), kerja dalam pandangan Islam adalah mode of existence.
Harga manusia sangat ditentukan oleh amal atau kerja yang dilakukannya.
Jika ia melakukan suatu pekerjaan yang baik dengan penuh kesungguhan,
maka ia akan mendapatkan balasan yang baik pula di dunia dan diakhirat.
Sebaliknya, jika ia melakukan pekerjaan yang buruk, maka ia akan
memperoleh balasannya. Lebih dari itu harga kemanusiaannya menjadi
turun.
Atas dasar pemikiran tersebut dalam Islam kerja dipandang sebagai
ibadah. Sejatinya seorang muslim yang bekerja keras haruslah berangkat dari
kesadarannya bahwa kerja tersebut merupakan ibadah. Ini tidak berarti bahwa
seseorang dilarang untuk mengharapkan reward (penghargaan) baik materil
maupun non materil seperti gaji atau penghasilan, karier dan kedudukan yang
4
5
Seyyed Hosein Nasr,Perspektif Islam Perihal Etika Kerja” dalam, Nilai … op.cit., h.75.
Menurut Mustaq Ahmad, kata amal disebut sebanyak 360 kali, kata fa`ala dengan segala derivasinya
sebanyak 109 kali, termasuk juga kata kasaba (usaha), sa`aa (usaha) dan jahada . Mustaq sampai pada
kesimpulan, banyaknya terma al-Qur’an tentang kerja menunjukkan betapa pentingnya segala bentuk
kerja produktif dan aktivitas yang menghasilkan. Bandingkan, Mustaq Ahmad, op.cit, h.11
lebih baik serta pujian dan sebagainya. Diperbolehkan juga seorang muslim
bekerja keras untuk menghindarkan punishment (hukuman) baik berupa
penghasilan yang berkurang, jabatan yang rendah atau karir yang mandek.
Penting untuk dicatat, dalam kaca mata ajaran Islam kerja tidak hanya
semata-mata untuk mengharapkan profit-materi tetapi juga benefit-non
materi. Dala hal ini paling tidak ada empat qimah (profit) yang akan diperoleh
yaitu; qimah madiah (nilai materi), qimah insaniyah ( nilai kemanusiaan), qimah
khuluqiyah (nilai akhlak) dan qimah ruhiyah (mencari keridaan Allah).
Jika pendekatan reward dan Punishment ini digunakan sebagai paradigma
membangun etos kerja maka dapat dilihat dalam skema di bawah ini:6
Qimah
Madiah
Insaniyah
Khuluqiyah
Ruhiyah
Reward
Gaji/Penghasilan besar
Pujian,
Nama/Reputasi baik
Rasa hormat/Simpati
Pahala/Keridaan
Punishment
Denda/Skorsing/PHK
Celaan,
Nama/Reputasi buruk
Antipati
Dosa/Murka
Dari kerangka pemikiran di atas, pekerja yang baik akan mendapatkan
hasil yang baik, sebaliknya pekerja yang buruk maka ia sendiri akan
merasakan akibatnya. Berkenaan dengan masalah tersebuit ayat di bawah ini
relevan untuk dijadikan landasan noramtifnya,
Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 7 yang artinya, Jika
kamu berbuat baik, maka kebaikan itu untuk dirimu dan apabila kamu berbuat buruk
maka akibatnya juga akan menimpamu…
Berkaitan dengan kerja yang baik dapat dilihat pada hadis rasul yang
menyatakan:
Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kamu untuk berbuat baik (ihsan)
terhadap sesuatu. Karena itu jika kamu menyembelih, maka berihsanlah dalam
penyembelihan itu, dan seseorang hendaklah menajamkan pisaunya dan menenangkan
binatang sembelihannya itu.7
Ihsan disini dapat dikatakan optimalisasi hasil kerja dengan jalan
melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin dengan tetap mempertimbangkan
6
M.Ismail Yusanto dan M.Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta : Gema Insani
Pers, 2002), h. 117
7
Al-Hafiz al-Munziri, Mukhtasar sahih Muslim, (Kuwait :Wazarah al-Awkaf wa al-Syu’un alIslamiyyah, 1969), Juz II, h.47. (Hadis No.1249)
efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya yang dilambangkan oleh hadis
dengan menajamkan pisau. Pada gilirannya amal (kerja) yang baik itulah yang
akan menghantarkan dirinya mencapai harkat yang tinggi yaitu bertemu
dengan Tuhan penuh keridaan seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an
surah al-kahfi /18:110.
“Barang siapa benar-benar berharap bertemu dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia berbuat (bekerja) yang baik dan hendaknya dalam beribadah ia tidak
melakukan syirik.
Sampai di sini ada ajaran yang luhur dalam Islam yaitu otonomi
manusia. Kitab suci menegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan
apa-apa kecuali apa yang ia usahakan sendiri. Al-Qur’an menyatakan, seseorang
yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain, dan bagi manusia adalah apa yang
ia usahakan. (al-Najm/52-36-42). Kalaulah manusia tidak mendapatkan apaapa kecuali yang ia usahakan sendiri, maka ia tidak boleh memandang ringan
setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ia harus memberi makna terhadap
kerjanya, sehingga menjadi bagian integral dari makna kehidupannya secara
menyeluruh. Ia harus menginsyafi bahwa kerja itu sebagai mode of existence
dirinya, baik dan buruk akan membentuk nilai peribadinya. 8
Ada dua hal sangat penting dari penjelasan Cak Nur di atas. Pertama,
pada dasarnya manusia memiliki kebebasan atau otonomi yang luas dalam
bekerja. Dengan demikian kerja dan hasil kerja yang diterimanya bukanlah
sesuatu yang telah ditentukan oleh Tuhan sehingga manusia hanya menjalani
dan harus menerimanya. Dalam pembahasan Teologi Islam ini disebut
dengan free will (Qadariyah) sebagai lawan dari predestination (jabariyah, fatalis).
Bagi aliran Qadariyyah yang rasional , manusia memiliki kebebasan dalam
berkehendak serta berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusialah yang
menciptakan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh tidak
patuh kepada Tuhan adalah atas kehendaknya sendiri. Sedangkan bagi aliran
jabariyyah (fatalis) manusia tidak memiliki kebebasan dalam berbuat dan
berkehendak, manusia hanya dapat berusaha (al-kasb) sedangkan hasilnya
tetap saja ditentukan oleh Tuhan.
Perdebatan dan perbedaan aliran di atas tidak begitu relevan dengan
diskusi ini, yang penting adalah apa implikasinya terhadap etos kerja 9
8
Nurcholis Madjid, op.cit, h. 68
9
Secara etimologis kata etos yang berasal dari bahasa Yunani (etos) bermakna watak atau karakter.
Dengan kata lain etos adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, kepercayaan yang melekat pada seseorang
seseorang. Berhubungan dengan hal ini menarik untuk melihat penelitian
yang dilakukan oleh Nanat Fatah Nasir tentang Etos Kerja Wirausahawan
Muslim di Kabupaten Tasik Malaya. Jawa Barat.
Dalam kesimpulannya Ia menyatakan:
Bagi orang Islam yang cenderung ke pemikiran Qadariyah,
pemahaman tentang ikhtiyar ialah bahwa keberhasilan manusia dalam
kegiatan ekonomi sangat ditentukan oleh sejauh mana upaya-upaya yang
dilakukan manusia itu sendiri untuk meraih keberhasilan atau keuntungan
dalam usahanya, bukan semata-mata ditentukan oleh Allah SWT. Karena itu,
kerja keras, hemat, jujur, dan perhitungan dalam usaha, merupakan bagian
dari ikhtiyar manusia sebagai prasyarat untuk meraih keberhasialan atau
keuntungan dalam usaha mereka. Berbeda halnya dengan orang Islam yang
cenderung kepada pemikiran jabariyah, pemahaman mereka tentang ikhtiyar
ialah bahwa keberhasilan manusia termasuk dalam kegiatan ekonomi sangat
ditentukan oleh kehendak Allah SWT semata-mata, bukan ditentukan oleh
adanya kerja keras, hemat, jujur, dan berperhitungan dalam kegiatan usaha. 10
Dari penelitian yang dilakukan oleh Nanat Fatah Nasir di atas, jelaslah
bahwa ada korelasi (hubungan) yang signifikan antara pemahaman
keagamaan dengan etos kerja. Pemahaman keagamaan seseorang yang
cenderung fatalistic berimplikasi pada rendahnya etos kerja yang dimilikinya.
Sebaliknya pemahaman keagamaan yang dinamis dan progresif seperti yang
terdapat dalam aliran qadariyah, berimplikasi pada etos kerja yang tinggi.
Pengaruh kepercayaan terhadap etos kerja bukan hanya berlaku dalam
Islam saja. Max Weber seorang sosiolog agama telah melakukan penelitian
terhadap pengaruh etika Protestan terhadap sistem Kapitalisme. Bermula dari
observasinya di Jerman ternyata, sebagian besar pimpinan perusahan pemilik
modal dan perusahaan teknik dan komersial tingkat atas adalah orang
Protestan bukannya Katolik. Apa yang memicu mereka untuk bekerja keras
tidak lain adalah ajaran teologi Protestan itu sendiri.
Menurut Weber dalam Teologi Protestan khususnya sekte calvinisme yang dianggap sebagai aliran yang paling banyak menyumbang bagi
atau sekelompok manusia. Dari perkataan ini terambil kata etika dan etis yang artinya lebih kurang sama
dengan akhlak. Nurcholis Madjid menyebut etos sebagai jiwa khas suatu kelompok manusia, yang dari
jiwa khas itu berkembang menjadi pandangan bangsa tentang yang baik dan yang buruk. Dapatlah
dikatakan yang dimaksud dengan etos kerja itu merupakan kualitas esensial seseorang atau sekelompok
orang menyangkut pandangan tentang kerja dan etikanya. Lihat, Ibid.,
10
Nanat Fatah Nasir, Etos Kerja Wirausahan Muslim,(Bandung: Gunung Djati Press,1999), h.153-154.
perkembangan semangat kapitalisme Barat- ada ajaran tentang takdir dan
nasib manusia di hari nanti. Menurutnya takdir ini telah ditentukan dan
keselamatan manusia akan diberikan kepada manusia terpilih. Siapakah yang
terpilih, ajaran ini menyatakan tidak ada kepastian. Tetapi adalah kewajiban
manusia untuk beranggapan bahwa ia adalah manusia terpilih dan berusaha
untuk selalu memerangi segala keraguan dan godaan setan.11
Untuk membangun kepercayaan terhadap diri sendiri itu, manusia harus
bekerja keras, sebab hanya kerja keras inilah yang dapat menghilangkan
keraguan manusia. Tuhan menurut calvinisme mengharuskan ummatnya
tidak satu kerja yang baik, tetapi suatu hidup dari kerja yang baik.
Demikianlah cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Weber menyebut kerja merupakan panggilan (beruf), sedangkan menurut
katolik kerja adalah sebagai satu keharusan untuk kelanjutan hidup. Jadi
menurutnya, yang diinginkan oleh doktrin ini adalah askese duniawi, yaitu
intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dengan kegairahan bekerja
sebagai gambaran dan pernyataan sebagai manusia terpilih.12 Dalam Islampun
seharusnya sikap tunduk dan patuh kepada Tuhan (pengabdiaan) harus
ditunjukkan dengan kerja keras yang nota bene juga dipandang ibadah untuk
mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Akhirnya Weber menyatakan, semangat kapitalisme yang bersandarkan
kepada cinta, ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional dan sanggup
menahan diri, menemukan pasangannya dalam semangat protestan.
Selanjutnya sukses hidup yang dihasilkan oleh kerja keras bisa pula dianggap
sebagai pembenaran bahwa ia adalah manusia terpilih.13
Dapatlah dikatakan betapa ajaran agama –terlepas agama apa yang
dianut- memiliki pengaruh yang signifikan terhadap etos kerja seseorang.
Menyangkut hal ini Cak Nur menyatakan, utuhnya sistem kepercayaan akan
menghasilkan utuhnya sistem nilai. Selanjutnya sistem nilai akan memberi
manusia kejelasan apa yang baik dan apa yang buruk dan akhirnya ini pulalah
yang akan mendasari seluruh kegiatan manusia dalam menciptakan
peradaban.14
11
Ibid., h.10-11. Lebih luas kajian ini dapat dilihat dalam Max Weber, The Protestant Ethic and The
Spirit of Capitalism (New York: Charles Scribner`s Sons, 1958)
12
Ibid., h.12
13
Ibid., h.13
14
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (jakarta: Paramadina, 1992), h.xxiii
Seorang muslim yang meyakini dan percaya bahwa kerja dan hasil kerja
yang dilakukannya sudah ditentukan oleh Allah, maka yang terbaik baginya
hanyalah menjalani kehidupan ini apa adanya, karena semuanya sudah
ditentukan Allah. Ia akan beranggapan tidak ada pengaruh keseriusannya
dalam bekerja terhadap perubahan hasil kerja. Sebaliknya, jika seorang
Muslim beranggapan bahwa ialah yang akan menentukan nasibnya sendiri,
maka implikasi dari keyakinan ini akan menjadikannya orang yang
bersungguh-sungguh dalam bekerja agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Dari pembahasan di atas, jelaslah terdapat hubungan yang erat antara
agama terlepas apapun agamanya dan etos kerja.15
Jika dikembangkan lebih jauh lagi, paling tidak ada delapan etos kerja
yang harus dimiliki setiap orang seperti yang dijelaskan oleh Jansen H Sinamo
dalam bukunya Ethos 21: Etos Kerja Profesional di era Digital Global, sebagai
berikut :16
1. Kerja adalah rahmat: “aku bekerja tulus penuh syukur”. Hidup dan
kerja dipahami sebagai manifestasi kekuatan kebaikan oleh rahmat
Tuhan (the power of goodness by the grace of god).
2. Kerja adalah amanah. “Aku bekerja benar penuh tanggungjawab”.
Kerja yang diamanahkan kepada kita harus dijunjung tinggi, dipelihara,
dan dilaksanakan sebaik-baiknya sampai di sini akan muncul sikap
bertanggungjawab terhadap apa yang dikerjakan.
3. Kerja adalah Panggilan. “Aku bekerja tuntas penuh integritas”. Kerja
harus dilihat sebagai panggilan hidup sesuai dengan profesi kita
masing-masing.
4. Kerja adalah aktualisasi. “Aku bekerja keras penuh semangat”. Kerja
keras yang kita lakukan merupakan wahana aktualisasi diri sehingga
potensi dirinya dapat berkembang dengan baik.
5. Kerja adalah ibadah. “Aku bekerja serius penuh kecintaan”. Kerja
sebagai ibadah adalah sebuah tindakan menyerahankan atau
memberikan kepada sesautu yang hidup ini kita abdikan untuk-NYA.
15
Beberapa karya yang dapat dirujuk berkenaan dengan masalah ini adalah, Taufiq Abdullah (ed),
Agama dan etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta : LP3ES, 1979). Bahtiar Effendy,
Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani,
dan Etos Kewirausahaan, (Yogyakarta: Galang Pers, 2001). Amin Rais (ed) Islam di Indonesia: Suatu
Ikhtiyar Mengaca Diri, (Jakarta : Rajawali Pers, 1994), Masyhur Amin, Teologi Pembangunan:
Paradigma Baru Pemikran Islam, (Yogyakarta: LPSM-NU DIY, 1989).
16
Jansen H Sinamo, Ethos 21: Etos Kerja Profesional di era Digital Global,(Jakarta : Maharadika, 202)
6. Kerja adalah seni. “Aku bekerja kreatif penuh sukacita”. Kerja sebagai
seni akan mampu mendatangkan kegairahan dalam bekerja yang
bersumber dari aktivitas-aktivitas kreatif, artistic, dan interaktif.suka
cita ini bertambah pula krena adanya suasana penuh tantangan yang
memungkinkan terjadinya sense of accomplishment.
7. Kerja dalah kehormatan: “Aku bekerja tekun penuh keunggulan”.
Kita wajib menjaga kehormatan itu dengan menampilkan kinerja yang
unggul (excellent performance).
8. Kerja dalah pelayanan. Aku bekerja Sempurn apenuh kerendahan hati.
Kemuliaan datang dari pelayanan dan orang yang melayani adalah
orang yang mulia.
Delapan etos kerja yang dikemukan di atas, merupakan tafsir baru
terhadap kerja. Jadi kerja tidak lagi sekedar sarana untuk memenuhi
kebutuhan material tetapi lebih sebagai sarana mengaktualisasikan diri sebagai
manusia yang bermartabat.
C.Pekerjaan yang Halal dan yang Haram
Di muka telah disinggung bahwa konsep kerja yang selama ini dipahami
sekedar cara untuk memenuhi kebutuhan hidup telah bergeser menjadi
ukuran harga diri seseorang. Jenis dan bentuk pekerjaan sangat menentukan
posisi sosialnya di masyarakat. Dalam pandangan Islam jenis dan bentuk
pekerjaan tidak menjadi ukuran kemuliaan seseorang. Sama halnya dengan
rupa, harta dan pangkat tidak membuat seseorang lebih mulia dari yang lain.
Dengan demikian yang menjadi ukuran adalah kualitas kerja dan seberapa
jauh pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan tuntutan ajaran Islam.
Memang ada beberapa teks-teks hadis yang menjelaskan jenis-jenis
pekerjaan yang dianjurkan dan dipandang lebih baik dari yang lain. Namun
lagi-lagi harus diingat hadis-hadis tersebut sangat kontekstual (sesuai dengan
situasi dan kondisi saat itu) dan tidak boleh dipahami secara literal (harpiah).
Sebagai contoh dalam sebuah hadis, Rasul pernah ditanya sahabat tentang
pekerjaan yang paling afdal (baik). Rasul menjawab `amal al-rajul biyadih (usaha
mandiri). Usaha mandiri itu adalah bertani, berdagang dan bertukang. Dari
ketiga jenis pekerjaan ini mana pula yang paling baik, para ulama
memahaminya yang paling baik (afdal) adalah berdagang, karena Rasul sendiri
berdagang disamping penyebutan jenis pekerjaan ini ada dalam al-Qur’an.
Ingat kembali kata al-tijarah yang bermakna berdagang. Ada yang menyatakan
pekerjaan yang paling baik adalah bertukang karena banyak nabi-nabi yang
menjadi tukang seperti nabi Daud tukang besi, nabi Idris tukang jahit, nabi
Nuh tukang kayu, namun jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat yang
paling baik adalah bertani karena lebih dapat mendekatkan diri pada Allah.17
Pernyataan hadis rasul tersebut tidak boleh dipahami secara literal, akan
tetapi bagaimana menangkap esensi dari pesan tersebut. Agaknya yang paling
esensial dari pesan tersebut adalah penekanan Rasul pada usaha mandiri dan
larangannya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain dengan jalan
meminta-minta. Berkenaan dengan ini Rasul menyatakan, mukmin yang kuat
lebih disukai Allah dari mukmin yang lemah walaupun pada kedua-duanya ada
kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan
pada Allah.18
Ibn Taimiyyah pernah menyatakan bahwa Usman Ibn `Affan, Ali Ibn
Abi Talib dan `Abd al-Rahman Ibn `Auf adalah contoh-contoh mukmin
yang kuat. Sedangkan Abu Zar al-Gifari adalah contoh mu’min yang lemah.
Kelemahan Abu Zar bukanlah pada keimanannya tetapi pada pola hidup
duniawi yang ditempuhnya. Baginya, manusia tidak boleh memiliki harta
diluar kebutuhannya. Setiap harta berlebih adalah simpanan (kanz) yang bakal
disetrikakan ketubuhnya di hari akhirat nanti. 19Kerja dalam pandangannya
hanyalah memenuhi kebutuhan hidup primer agar bisa bertahan.
Dunia baginya bukanlah tempat untuk meraih kebahagiaan. Dengan
kata lain Abu Zar pesimis dalam melihat dunia. Padahal duniapun sebenarnya
dapat memberikan kebahagian kepada manusia walaupun harus diakui
kebahagiaan akhirat lebih abadi. Memandang dunia secara pesimis akan
berimplikasi pada menurunnya etos kerja seseorang. Ia tidak akan terpacu
untuk meningkatkan prestasi dan kualitas kerjanya.
Jadi penghargaan yang diberikan rasul terhadap orang yang mau
berusaha sendiri tanpa mengharap belas kasihan dari orang lain adalah
implementasi dari otonomi manusia yang telah dijelaskan dimuka. Dengan
demikian pekerjaan apapun yang dilakukan apakah bertani, berdagang,
bertukang, mengajar, harus dipandang sebagai pekerjaan yang baik. Pekerjaan
itu dapat dikatakan tidak baik jika dalam pelaksanaannya melanggar aturanaturan syari`at yang telah digariskan Allah. Berdagang itu baik namun jika
yang diperdagangkan itu adalah minuman keras, pekerjaan itu menjadi tidak
17
Abdullah Syah, “Mencari Rizki yang halal adalah Jihad fi Sabilillah” dalam, Media Ulama ,No. 9
Tahun III Maret 2000, MUI ,Sumatera Utara, h.32.
18
Al-Hafiz al-Munziri, op.cit., jilid II , h.246
19
Nurcholis Madjid, op.cit., h.70-71
baik. Bertani itu baik, namun apabila tanah yang digarap adalah hasil
penipuan maka bertani menjadi tidak baik.
Sampai disini pekerjaan yang halal dan yang haram dalam Islam dapat
dilihat dari dua sisi. 1) Pekerjaan yang halal (bertani, berdagang dan
sebagainya) namun dalam pelaksanaannya melanggar aturan syari`at dan 2)
Pekerjaan yang nyata-nyata diharamkan Allah seperti mencuri, merampok,
praktek rentenir (membungakan uang), melacurkan diri dan lain-lain.
Mengapa Islam membuat pemilahan terhadap pekerjaan yang halal dan
haram ?. Jawabnya adalah pekerjaan dalam Islam bukan hanya dilihat dari
sudut ekonomi untuk meraih keuntungan tetapi juga memiliki dimensi etis.
Artinya, pekerjaan-pekerjaan yang haram mengasumsikan adanya pihak lain
yang dirugikan atau dikorbankan. Ini tentu saja bertentangan dengan asasasas ekonomi Islam yang sangat menjunjung nilai-nilai kemaslahatan dan
saling tolong menolong.
Implikasinya lebih jauh adalah, pekerjaan yang haram akan
menghasilkan sesuatu yang diharamkan pula. Pada akhirnya barang yang
haram ini pula yang dijadikan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti
memberi makan keluarga. Pada hal dalam ajaran Islam dijelaskan, makanan
yang haram atau sesuatu yang diperoleh dari yang haram, tidak saja
diharamkan tetapi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan jiwa manusia
yang tidak baik.
E.Do`a Dan Rizki
Sebuah pertanyaan yang menarik diajukan adalah, apakah ada pengaruh
do`a terhadap hasil kerja yang dilakukan manusia (rizki)?. Menurut hemat
penulis tidak ada pengaruh do`a secara langsung terhadap hasil kerja. Do`a
pada hakikatnya adalah satu bentuk kesadaran manusia atas kelemahan dan
keterbatasan dirinya.
Dalam sosiologi Agama disebutkan, manusia beragama sebenarnya
didasarkan pada satu pandangan bahwa tidak ada kepastian dalam hidup ini.
Selalu saja ada hal-hal yang misterius. Disamping itu dalam kehidupannya
seringkali manusia mengalami hal-hal yang diluar jangkauan pemikirannya,
yang terkadang sering membuatnya menjadi tidak tenang. Untuk itu ia harus
memiliki sandaran vertikal yang kira-kira membuatnya tenang. Pada sisi lain,
manusia juga menyadari, bagaimanapun kehebatan yang dimilikinya tetap saja
memiliki keterbatasan. Di saat inilah muncul kesadaran pada dirinya tentang
kekuatan supranatural di luar dirinya.
Atas dasar ini kepercayaan tersebut ternyata sangat dibutuhkan untuk
memberikan ketenangan dan harapan baru dalam hidup. Dalam rangka inilah
do`a harus dipahami sebagai bentuk kesadaran manusia akan kelemahan dan
keterbatasan dirinya. Dalam suasana do`a, manusia akan mengalami
ketenangan yang akan menjadikan dirinya memiliki temperatur batin yang
stabil. Pada akhirnya suasana tenang inilah yang akan memberikan pengaruh
pada penampilan dirinya dalam bekerja.
Ketenangan dalam bekerja akan memberikan pengaruh pada hasil kerja.
Dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan bahwa orang yang bekerja
dengan tenang akan membawa hasil kerja yang baik. Sedangkan orang yang
bekerja dalam suasana yang gelisah, resah, berada dalam tekanan, seringkali
hasil kerjanya tidak baik. Karena bagaimanapun kondisi batin seseorang akan
mempengaruhi penampilan kesehariannya.
Hemat penulis, do`a tidak memberikan pengaruh langsung terhadap
hasil kerja seseorang. Kendati ayat-ayat al-Qur`an dan hadis-hadis Rasul
menyuruh ummatnya berdo`a namun yang tetap menentukan rizki itu adalah
kerja yang dilakukan. Dari sinilah mengapa Allah –seperti yang telah disebut
dimuka- menyatakan bahwa setiap binatang yang melata (dabbah)) di bumi ini
telah disiapkan Allah rizkinya. Melata merupakan isyarat pentingnya usaha
yang sungguh-sungguh untuk menemukan rizki yang telah dipersiapkan
Allah.
Namun bukan berarti do`a tidak perlu. Pada hakikatnya do`a yang
disampaikan seseorang akan membentuk visi, motivasi, kepribadian, sikap
dan pada gilirannya juga akan membentuk prilaku manusia. Semuanya ini
tanpa disadari akan menentukan terhadap proses dan hasil kerja seseorang.
Agaknya inilah makna hadis Rasul yang menyatakan, “do`a itu adalah otaknya
ibadah”.
Di bawah ini ada ilustrasi yang dapat dijadikan cermin betapa
pentingnya kerjakeras tersebut:
Tersebutlah seorang lelaki tua tinggal di daratan Cina bersama dua orang
putranya. Rumah mereka menghadap ke Timur dan tepat di depan desa mereka
berdiri dua buah bukit besar, Taihung dan Wangwu namanya. Kedua bukit itu
menghalangi cahaya matahari pagi.setelah berpikir keras, lelaki tua itu bertekad
bersama anaknya untuk meratakan dua bukit tersebut. Setiap hari mereka mencangkul
bukit itu.
Para tetangganya melihat mereka bekerja dan menggelengkan kepala sambil
berkomentar, “Betapa bodohnya kalian. Mana mungkin kalian bisa memindahkan
kedua bukit besar itu.” Lelaki tua itu tersenyum dan berkata, “Bila saya kelak
meninggal, anak-anak saya akan meneruskan pekerjaan ini. Kedua bukit itu memang
besar, tetapi keduanya tidak akan tumbuh lebih besar lagi. Tetapi kekuatan kami
masih bisa bertambah karena cucu-cucu saya akan lahir. Dan sedikit demi sedikit kami
akan mendekatai tujuan kami. Lebih baik melakukan sesuatu dari pada hanya duduk
mengeluh bahwa bukit itu menghalangi cahaya matahari.
Dengan keyakinan demikian mereka terus bekerja keras menggempur kedua
bukit besar itu. Mereka ingin menikmati cahaya matahari memancar ke dalam rumah
dan halaman mereka, yang akan menyburkan lahan dan memberikan panen. Mereka
bekerja keras penuh semangat sehingga tubuh mereka semakin sehat dan kuat..
Kisah di atas sebenarnya cukup inspiratif bagaimana kerja keras
merupakan sebuah keniscayaan untuk memperoleh keberhasilan. Logikanya
jika dibalik, tiada keberhasilan yang dapat dicapai tanpa adanya kerja keras.
F. Etika Kerja Muslim
Jika merujuk kepada al-Qur’an akan ditemukan beberapa tuntutan
ajaran Islam tentang etika kerja diantaranya adalah :
1. Niat yang baik dan ikhlas. Rasul menyatakan, “sesungguhnya segala
amal perbuatan akan dinilai dari niatnya”.(Hadis Riwayat Bukhari).
2. Tidak melalaikan kewajibannya kepada Allah SWT. Dalam surat aljumu`ah ayat 10-11 Allah SWT menyatakan,“apabila telah
berkumandang azan pada hari jum`at maka tinggalkanlah jual beli dan
bersegeralah untuk berzikir (sholat)…..apabila telah ditunaikan sholat,
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.
3. Suka sama suka (tidak ada keterpaksaan).al-nisa’/4;29.
4. Akhlak yang baik. Rasul bersabda, pedagang yang jujur kelak
bersama para Rasul di hari kiamat. (H.R.Ibnu Majah).
5. Tidak curang dan tidak pula memberi mudharat pada orang lain.(alRahman/55:9), (al-Muthaffifin/83/1-3).
6. Menerapkan administrasi dan manajemen yang baik (alBaqarah/2:282)
7. Obyek Usaha haruslah yang halal.
Tentu saja etika kerja yang disarikan dari ajaran al-Qur’an ini dapat
dikembangkan lebih jauh dan dapat disesuaikan dengan perkembangan
zaman.
G.Rangkuman:
1. Dalam pandangan Islam kerja bukan hanya sebuah perintah agar
manusia memenuhi kebutuhan hidupnya namun lebih dari itu kerja
merupakan mode of existence dan tolak ukur tingkat kehambaan
seseorang di hadapan Allah SWT.
2. Ketentuan al-Qur’an agar manusia memilih pekerjaan yang halal
dan meninggalkan pekerjaan yang haram serta syubhat adalah
untuk kebahagiaan manusia tidak saja di dunia (jasmani) tetapi juga
diakhirat (rohani).
H. Pertanyaan
1. Dalam pandangan Islam kerja merupakan bentuk keberadaan
seorang hamba (mode of existence). Jelaskanlah maksudnya ?.
2. Sebutkan jenis-jenis kerja yang halal, haram dan syubhat, masingmasing tiga buah !. Apa hikmah dibalik aturan-aturan ini ?.
3. Uraikanlah etika kerja dalam pandangan Islam minimal 4 buah ?.
BAB VIII
ETIKA KERJA SAMA
DAN PERKONGSIAN DALAM ISLAM
Berangkat dari analisa semantik manusia yang diungkap oleh al-Qur’an,
ditemukan bahwa kata al-nas yang menjelaskan manusia sebagai makhluk
sosial adalah kata yang paling banyak diungkap oleh al-Qur’an sampai 240
kali. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia
perlu berinteraksi dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dalam suasana
itulah ia membutuhkan kerja sama dengan orang lain apakah dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup atau dalam pengembangan usaha bisnis.
Khusus menyangkut dunia bisnis, kerja sama merupakan satu
keniscayaan. Bisnis itu sendiri mengandung makna adanya dua pihak atau
lebih yang melakukan satu kegiatan bisnis. Tidaklah mengherankan, didalam
khazanah keilmuan Islam kerja sama itu disebut dengan musyarakah (adanya
dua pihak yang bersyarikat), mudharabah (adanya dua pihak yang melakukan
satu usaha dengan perjanjian bagi hasil).
Bab berikut ini akan menjelaskan bentuk –bentuk kerja sama dalam
Islam dan etika apa yang harus dipegangi oleh orang yang bekerjasama.
A.Bentuk-Bentuk Kerja sama
1.Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata darb artinya memukul atau lebih
tepatnya proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha.
Secara teknis mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di
mana pihak pertama (sahib al-mal) menyediakan seluruh dana 100%,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola dana tersebut. 1 Keuntungan usaha
mudarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola atau
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukannya. Namun apabila kerugian itu
1
Syafi`i Antonio, Bank Syari`ah Wacana Ulama Dan Cendikiawan,(Jakarta: BI dan Tazkia Institut,
1999), h. 173.
disebabkan kecerobohan atau kecurangan pihak pengelola, maka ialah yang
harus bertanggungjawab.2
Untuk terciptanya kerjasama mudarabah diperlukan beberapa rukun:3
1. Pemodal (sahib al-mal) dan Pengelola .
Dalam mudarabah ada dua pihak yang melakukan kontrak, penyedia
dana (sahib al-mal) dan pengelola. Keduanya harus mampu melakukan
transaksi dan sah secara hukum.
2. Sighat
Sighat adalah penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul) yang
harus diucapkan kedua belah pihak guna menunjukkan kemauan mereka
untuk menyempurnakan kontrak..Sighat ini boleh juga dilakukan dengan
tulisan.
3. Modal
Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh penyedia dana
kepada pengelola untuk tujuan menginvestasikannya dalam aktivitas
mudharabah.
2..Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. 4
Adapun Rukun Musyarakah adalah :
1. Sighat
Tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah. Ia dapat
berbentuk pengucapan yang menunjukkan tujuan atau juga dalam bentuk
tulisan. Tentu saja kontrak tersebut harus dicatat dan disaksikan.
2. Pihak yang berkontrak
Disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan atau
diberikan kekuasaan perwakilan.
3. Dana
2
Ibid., h.173-174
3
Ibid,. h. 173
4
Mu’amalat Institut, Perbankan Syari`ah :Perspektif Praktisi, (jakarta:Mu`amalat Institut, 1999), h. 7778. Lihat juag, Syafi`I Antonio, op.cit.,h. 187
72
Modal yang diberikan harus uang tunai, emas dan perak atau yang
bernilai sama.
4. Kerja
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan musyarakah adalah merupakan
ketentuan dasar. Tidak dibenarkan bila salah seorang di antara mereka
menyatakan tidak ikut serta menangani pekerjaan dalam kerjasama. Kendati
demikian tidak ada keharusan bahwa mereka harus menanggung beban kerja
yang sama, namun harus disesuaikan dengan keahlian masing-masing.5
Dalam kerjasama musyarakah ini, syari’at Islam memberi ketentuan
bahwa keuntungan dan kerugian dibagi sesuai dengan besar modal dan beban
kerja yang ada.
3.Qard
Qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau
diminta kembali. Qard juga diartikan sebagai suatu transaksi yang
dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada
orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu. 6
Qard pada hakikatnya adalah bantuan modal yang diberikan seseorang
atau lembaga kepada pengusaha kecil dalam rangka membantu usahanya agar
dapat berkembang. Dalam bantuan itu tidak disyaratkan bagi hasil, peminjam
hanya dituntut untuk mengembalikan modal dalam rentang waktu yang telah
disepakati.
Adapun Rukunnya adalah:
1. Muqrid (pemilik barang atau modal)
2.Muqtarid (peminjam)
3.Sighat (ucapan ijab dan qabul)
4. Qard (barang atau modal yang dipinjamkan).7
Apa yang telah disebut di muka adalah sebagian kecil bentuk kerja
sama yang ada dalam ekonomi Islam. Dalam konteks yang lebih luas, bentuk
kerjasama tersebut lebih bervariasi.Diantaranya adalah:
A.Firma
5
6
7
Ibid., h.190. Bandingkan, Mu`amalat Institut, op.cit., h.84
Ibid,.h.131
Syafi`i Antonio, Ibid., h. 224-225.
73
Biasanya firma didefinisiakan sebagai usaha untuk memasukkan
sesuatu dalam persekutuan, dengan tujuan untuk membagi-bagi hasil yang
didapatkan dari persekutuan itu.
Permodalan berasal dari pemilik dengan suatu jumlah yang ditetapkan
bersama dan kemungkinan ada yang menyetor lebih besar dari yang lain. Bisa
juga yang disertakan adalah keahlian atau keterampilan tertentu yang berguna
untuk pengembangan usaha yang sedang dijalankan. 8
B.CV (Commanditer Vennootschap)
Dalam CV biasanya kerjasama yang dilakukan tampak dalam jenis
keanggotaan yang terdiri dari:
1.Anggota pengurus atau anggota aktiv yang ,menjalankan operasional
usaha sehari-hari dan bertanggungjawab penuh dengan jalannya perusahaan.
2.Anggota komanditer atau anggota pasif yaitu pemilik modal dan tidak
ikut serta dalam operasional perusahaan.9
C. PT (Perseroan Terbatas)
Secara sederhana PT adalah bentuk kerjasama antara dewan direksi
yang menjalankan operasional perusahaan dan para pemegang saham yang
diwakili oleh komisaris PT. Modal PT diperoleh dari hasil penjualan saham
kepada peminat.10
D. Koperasi
Koperasi adalah bentuk kerjasama yang dilakukan paling tidak oleh
dua puluh orang, dengan menjalankan satu bidang usaha untuk mencapai
kesejahteraan bersama, khususnya para anggota. 11
B. Adab Kerjasama dalam Islam
Kerjasama atau perkongsian seperti yang telah dijelaskan di atas,
dibenarkan dalam ajaran Islam selama yang bekerjasama itu tidak berkhianat
antara yang satu dengan lainnya. Peluang untuk berbuat yang tidak baik
terbuka lebar, karena bidang yang dijalankan berkaitan dengan kebutuhan
8
Bukhari Alma, Ajaran Islam Dalam Bisnis (Bandung: Alafabeta, 1994), h. 159
9
Ibid., h. 160
Ibid., h. 161
11
Ibid., h. 161
10
74
dasar manusia yaitu harta benda. Apakah karena kecenderungan nafsu serakah
atau keinginan untuk berkuasa seringkali menjadikan manusia berkhianat
dengan mitra kerjanya.
Atas dasar inilah, di dalam al-Qur’an telah dijelaskan ancaman terhadap
pelaku kerjasama yang tidak jujur terhadap mitranya, seperti yang terdapat
pada surah al-Sad:24
Artinya: Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berkongsi
(bersyarikat) itu, sebagian mereka berbuat zalim (curang) kepada sebagian yang lain.
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, tetapi mereka yang demikian
jumlahnya sangat sedikit.
Dalam sebuah hadis Rasul juga mneyatakan:
Artinya: Tangan Allah menyertai dua orang yang berkongsi, selama salah satu
pihak tidak berkhianat kepada orang lain. Apabila salah satu pihak mengkhianati
temannya, maka Allah akan menarik tangannya dari persyerikatan itu.
Ayat dan hadis di atas memberikan isyarat betapa pada dasarnya
kerjasama yang dilakukan antara dua belah pihak atau lebih dalam satu
kegiatan bisnis sangat dianjurkan karena didalamnya terkandung keluhuran
akhlak berupa keinginan untuk saling membantu. Keridaan Allah ditunjukkan
dengan “keikutsertaannya” dalam kerjasama itu. Namun harus dicatat,
kerjasama merupakan sumber malapetaka, bila orang-orang yang
melakukannya tidak memiliki iman sehingga ia tergiur untuk melakukan
pengkhianatan terhadap mitra kerjasama.
Penting disadari bagi orang-orang yang ingin melakukan kerjasama
dalam bisnis, bahwa tujuan kerjasama adalah untuk saling membantu dan
mencapai kebahagian dan kesejahteraan bersama (win-win solution). Harus
disadari setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan adanya
kerjasama kekurangan yang dimiliki seseorang akan tertutupi oleh kelebihan
yang dimiliki orang lain. Sedangkan kelebihan yang dimiliki seseorang
berubah menjadi satu keunggulan ketika ia digabung dengan kelebihan yang
dimiliki orang lain.
Kerjasama akan berhasil dengan baik jika masing-masing pihak
menyadari wilayah kerja masing-masing. Pemilik modal tidak diperkenankan
menyampuri hal-hal yang bersifat tekhnis operasional karena wilayah ini telah
dipegang oleh ahlinya. Sebaliknya, pengelola harus menjalankan usahanya
dengan sebaik-baiknya karena mereka memegang amanah yang cukup berat
dari pemilik modal. Demikian pula halnya dalam pembagian keuntungan dan
beban kerugian harus diatur sesuai dengan kesepakatan yang telah dibangun
bersama.
75
C.Siddiq Dan Amanah: Etika Kerjasama Islam
Berangkat dari penjelasan di atas, siddiq dan amanah adalah kata kunci
dalam hubungan kerjasama. Kejujuran bermakna kesediaan menjalankan
kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya baik oleh pemilik modal,
pengusaha atau pihak-pihak yang terlibat. Sedangkan amanah bermakna
kesediaan dengan teguh untuk menjalankan bidang tugas masing-masing yang
dibarengi dengan kesediaan untuk mempertangungjawabkan seluruh kerja
yang telah dilakukan,
Menyangkut pentingnya amanah dalam kerjasama ekonomi dijelaskan
Allah SWT dalam al-Qur’an seperti yang terdapat pada surah al-Maidah:283.
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang, .akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang dipercayai itu
hendaklah ia menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah, Tuhannya dan janganlah para saksi menyembunyikan persaksiannya. Dan
barang siapa yang menyembunyikan persaksian, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan .
Dawam Rahardjo menyebut ayat ini sebagai ayat ekonomi
(mu`amalah) yang memberikan petunjuk bagaimana seorang muslim dalam
melakukan transaksi yang tidak tunai baik dalam keadaan muqim (orang yang
menetap) terlebih lagi dalam keadaan musafir. Ada tiga tawaran yang diberikan
al-Qur’an. Pertama, mencatat hutang yang ditransaksikan. Kedua, menyerahkan
barang gadaian. Ketiga, tidak dicatat dan tidak pula memakai barang gadaian,
melainkan cukup hanya dengan berbekal saling percaya.12
Ayat ini menjelaskan ajaran dalam mu`amalat bahwa tulis menulis
segala bentuk transaksi yang dilakukan itu sangat penting. Begitu pentingnya
sampai-sampai mufassir yang khusus menulis tafsir ayat al-ahkam
menghukumkannya dengan sunnat. Adanya bukti tertulis dalam satu transaksi
mu`amalat terlebih lagi yang tidak tunai sangat berguna untuk menghindari
terjadinya penipuan antara salah satu pihak. Namun demikian, hal ini
bukanlah perintah yang paku mati. Sekiranya tidak ada penulis atau tidak
terdapatnya alat-alat yang digunakan untuk menuliskannya, al-Qur’an
memberikan tawaran berikutnya dengan cara memberikan barang gadaian.
Jika ini juga tidak mungkin, al-Qur’an memberikan alternatif terakhir, jika dua
12
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an:Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
(Jakarta:paramadina, 1996), h. 190-191
76
pihak yang saling berinteraksi itu saling mempercayai (amanah), itu sudah
cukup untuk melakukan transaksi tidak tunai tersebut.
Kedua belah pihak dalam bermu’amalah harus menunaikan amanah,
karena keduanya mengemban janji (`aqd). Sebagai konsekuensi logis dari
kontrak tersebut, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban.
Keharusan untuk memenuhi kontrak ini dipertegas oleh Al-Qur’an surah almaidah/5:1.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji.
Mengomentari ayat ini mufassir Maulana Muhammad Ali menyatakan,
menghormati segala perjanjian, kontrak, persetujuan, persekutuan, yang
semua tercakup dalam kata `uqud, dan menghormati pula segala peraturan
Allah yang dibuat untuk kesejahteraan orang-orang dan masyarakat.
Secara substansial ayat diatas (al-Baqarah ;238) menunjukkan hal-hal
yang bersifat administratif (catatan hutang) dan keharusan adanya barang
jaminan ketika seseorang melakukan aktivitas bisnis yang tidak tunai, menjadi
tidak diperlukan lagi ketika kedua orang yang berinteraksi saling percaya.
Dalam skala yang lebih besar, Anwar Nasution pakar ekonomi
Indonesia menyatakan bahwa Bank pada hakikatnya adalah “satu lembaga
amanah”, baik para pemegang saham atau depositor, menaruhkan
kepercayaannya pada bank yang berfungsi menjalankan amanah.Dengan kata
lain bank pada hakikatnya juga merupakan satu bentuk kerjasama anatar Bank
dan nasabah yang mempercayakan modalnya untuk dikelola. 13
Bersamaan dengan disyahkannya UU Perbankan No.10 Tahun 1998
dimana bank Syari`ah mendapat tempat yang sejajar dengan bank
konvensional, posisi amanah dan kejujuran semakin penting untuk dijalankan
bagi pihak-pihak yang terlibat dengan bank syari`ah tersebut. Dalam salah
satu tulisannya, Dawam Rahardjo menginformasikan, di Filipina terdapat
sebuah Bank Islam yang memakai nama Amanah Bank. Asumsi dari
pemakaian nama itu adalah bahwa Bank tersebut memang dimaksudkan
sebagai “lembaga pengemban Amanah” para nasabahnya yang
mendepositokan uangnya pada Bank tersebut untuk selanjutnya dijalankan
dalam usaha Bisnis.
Berbeda dengan bank konvensional yang menerapkan keharusan
adanya jaminan (borgh) bagi orang yang ingin mengambil kredit, Bank Islam
13
Ibid., h. 191
77
tidak mensyaratkan hal yang demikian.14 Dalam produk mudharabah, dimana
Bank bertindak sebagai sahib al-mal yang menyandang modal 100% untuk
pengusaha yang membutuhkannya dengan ketentuan bagi hasil yang
disepakati, pengusaha tersebut tidak diharuskan untuk memberikan jaminan
sebentuk borgh dalam permohonannya. Pihak bank hanya mempelajari
proposal yang diajukan. Ketika dipelajari, rencana usaha tersebut benar-benar
prospektif dan menjanjikan dan tidak bertentangan dengan syari`ah , maka
bank Islam akan memberikan bantuan modal.15
.Dengan demikian munculnya rasa percaya pihak Bank terhadap
pemohon kredit ditunjukkan dengan adanya niat bayar dan kemampuan bayar
serta kelayakan usaha yang meyakinkan. Disamping itu yang tidak kalah
pentingnya adalah, pihak Bank akan mempelajari track record pemohon selama
ini. Jika ia memang telah dikenal sebagai orang yang jujur (siddiq) dan
amanah, maka ini merupakan kredit point untuk lebih cepat mendapatkan
bantuan.
Demikian juga dalam musyarakah kerja sama dalam satu usaha,
keberadaan amanah sangat penting untuk direalisasikan dalam aktivitas bisnis.
Dalam beberapa hadis Rasul dinyatakan, Allah akan bersama-sama orang yang
berserikat, selama tidak ada salah satu pihak yang berkhianat. Jika salah
seorang berkhianat, maka Allah “keluar” dari perserikatan tersebut dan
hilanglah keberkatan usahanya.
Belakangan ini siddiq dan amanah sebagai etika yang perlu
mendapatkan perhatian serius dalam dunia bisnis semakin mendapatkan
perhatian. Karya terakhir yang cukup komprehensif mengelaborasi konsep
amanah adalah karya Iwan Triyuwono yang menulis Disertasi yang berjudul
“Shari`ate Organisation and Accounting : The Reflection of Self’s faith and Knowledge
yang setelah diterjemahkan penulisnya menjadi Organisasi Dan Akutansi
Syari`ah.16 Dalam karyanya tersebut ia menguraikan konsep amanah dalam
14
Informasi yang diterima penulis dari pihak BMI, untuk hari ini pinjaman tanpa borgh (jaminan) belum
dapat dilaksanakan, karena pihak Bank belum memiliki bukti-bukti kuat bahwa calon kreditor benarbenar amanah.
15
BMI, Kertas Kerja Sosialisai Bank Syari`ah yang dilaksanakan BI cabang Medan, tanggal 17 April
2000.
16
Untuk menyebut diantaranya M.dawam Rahardjo menulis buku yang berjudul Etika Ekonomi Dan
Manajemen (1990) berbicara amanah pada bab V dengan judul Amanah dalam manajemen.Y Pada
karyanya yang lain, Islam Dan Transformasi Sosial Ekonomi ( 1999), Dawam kembali menegaskan
pentingnya amanah dalam aktivitas ekonomi (hal. 327. ) Yusuf Qardawi, Norma dan Etika Ekonomi
Islam, (1997) juga menyinggung amanah pada hal.171.Syed Nawab Haidar naqvi Etika Dan
78
empat bab, dan yang paling penting hemat penulis terdapat pada bab VI yang
berbicara tentang Amanah, Simbol Ketuhanan: Interpretasi dalam konteks
Organisasi Bisnis. Ia menjelaskan bagaimana amanah teraktualisasi dalam
bisnis Perbankan Islam, Implikasi amanah dalam berbisnis, implikasinya
dalam produk perbankan dan implikasinya dalam praktek akuntansi.
Ada ungkapan yang menarik dari Iwan Triyuwono yang menyatakan,
…Akan tetapi perlu dipertimbangkan bahwa kata-kata “berdasarkan
Syari`ah” dan “bertangungjawab kepada Tuhan” memiliki arti implisit dan
substansial yang pertama, mendorong pencarian nilai-nilai normatif untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, dan sifat altruistik dari diri untuk
diekspresikan dalam transaksi komunal. Dalam pandangan Syari`ah , bisnis
tidaklah sekedar untuk bisnis semata, tetapi ia semacam ibadah yang meliputi
bukan hanya transaksi-transaksi ekonomi saja, melainkan rasa menolong
sesama, peduli lingkungan dan rasa cinta kepada Tuhan. 17
Dengan demikian dalam bisnis Islam aspek-aspek material-spritual,
sakral dan profan, sosial dan individu tidak terpisah tetapi terjalin secara
integral. Implimentasi amanah dalam aktivitas ekonomi memberikan
kesadaran baru bahwa pada satu sisi pelaku bisnis merupakan hamba yang
selalu berada dalam pengawasan Allah, pada sisi lain ia juga merupakan
makhluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain, dan harus menjalankan
amanah yang diberikan kepadanya.
Pada akhirnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan amanah
dalam aktivitas bisnis, tidak saja memberikan keuntungan material - karena ia
akan menjadi mitra bisnis yang disenangi rekan-rekannya- tetapi juga spritual
berupa ketenangan batin sehingga tidak rentan terhadap goncangangoncangan bisnis yang menderanya. Sebaliknya prilaku khianat tidak hanya
merugikan diri sendiri tetapi juga akan merugikan orang lain. Lebih jelas dapat
di lihat dalam kasus di bawah ini:
Kasus : Pemasok Komputer18
PT W.V.K. merupakan perusahaan besar yang ingin mengganti sistem
komputernya, karena membutuhkan komputer tipe baru yang lebih canggih.
Untuk itu mereka menghubungi perusahaan PT C.T.A. yang dapat memasok
IlmuEkonomi: Suatu Sintesis Islami (1985) menyatakan amanah sebagai salah satu aksioma etik Islam
disamping Tauhid, kehendak bebas dan keseimbangan.
17
Iwan Triyuwono,Shari`ate Organisation and Accounting : The Reflection of Self’s faith and
Knowledge, (Organisasi Dan Akutansi Syari`ah), (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 183.
18
K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 14
79
komputer yang dicari. Seluruh proses penggantian komputer direncanakan
akan selesai dalam satu tahun. Faktor waktu bagi mereka sangat penting.
Kalau proses penggantian berlangsung lebih lama, PT W.V.K. akan
mengalami kerugian cukup besar. Kepala bagian penjualan PT.C.T.A.
meragukan kemampuan perusahaannya memenuhi permohonan ini tepat
waktu, karena komputer baru yang dicari itu tergolong populer, sehingga
produsen belum tentu dapat memenuhi permintaan pada waktunya. Tahap
pertama dari pesanan (sesudah tiga bulan) pasti dapat ia penuhi, tetapi tentang
kelanjutannya ia ragu-ragu. Di sisi lain ia mengkhawatirkan order yang meraup
ratusan juta rupiah ini akan diberikan kepada perusahaan lain, bila ia
menyatakan keraguannya untuk memenuhi permintaan tepat waktu. Akhirnya
Ia memilih diam saja.
(sumber: J.R.Boatright,Ethics and The Conduct of Business)
Mencermati kasus di atas terkesan ada ketidakjujuran dari PT.C.T.A
sebagai pemasok komputer. Karena mungkin tergiur dengan keuntungan yang
besar ia berani membuat janji yang barangkali sulit untuk dipenuhinya. Disini
aspek etisnya ialah, janji harus ditepati. Kalau demi keuntungan besar, ia
sanggup membuat janji palsu berarti ia akan menipu mitra bisnisnya. Padahal
sebenarnya lebih baik ia jujur menjelaskan kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya.
D.Rangkuman.
1. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri. Ia pasti membutuhkan orang lain. Disinilah
pentingnya kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam melakukan
satu kegiatan usaha.
2. Kerja sama yang terjadi akan berhasil dan menguntungkan dua
pihak, selama kerja sama tersebut dilandasi dengan kejujuran dan
saling percaya. Dengan demikian siddiq dan amanah merupakan
etika kerja sama yang harus dijunjung tinggi.
3. Mengabaikan kejujuran dan membangun kerja sama dengan saling
menipu, dan khianat akan merugikan diri sendiri dan merugikan
mitra bisnis.
80
E.Pertanyaan;
1. Mengapa manusia membutuhkan kerja sama ?
2. Jelaskan bentuk-bentuk kerja sama dalam ekonomi Islam ?
3. Etika apa yang harus dimiliki oleh orang yang bekerja sama?.
81
BAB IX
SISTEM EKONOMI DUNIA
SUATU KAJIAN PERBANDINGAN
A. Sistem Ekonomi : Pengertian
Untuk menyamakan persepsi terlebih dahulu akan dijelaskan
pengertian sistem ekonomi yang akan dimulai dengan menjelaskan tentang
arti sistem itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sistem
diartikan dengan tiga pengertian. 1). Perangkat unsur yang secara teratur
saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. 2). Susunan yang teratur
dari pandangan, teori, asas dan sebagainya. 3) Metode. 1
D.Keuning telah mengumpulkan sejumlah besar definisi tentang
sistem yang dikemukan oleh sejumlah sarjana. Diantaranya adalah apa yang
disebut oleh H.Thierry yang mendefinisikan sistem sebagai, ”suatu
keseluruhan komponen yang saling mempengaruhi, yang tersusun menurut
rencana tertentu guna mencapai tujuan tertentu”2. Kemudian J.H.R.Van Poel
menyatakan sebuah sistem adalah, Sejumlah elemen yang diantaranya
terdapat hubungan. Dalam berbagai definisi terdapat tambahan sebagai
berikut:…elemen-elemen yang ditujukan ke arah pencapaian sasaran-sasaran
bersama tertentu.3
Untuk lebih jelas dapat dipahami dari tabel berikut ini:
SISTEM
MANUSIA
PERUSAHAAN
1
ELEMEN-ELEMEN
TUJUAN/SASARAN
Kerangka, organ tubuh, Manusia yang baik
susunan saraf, dsb
Manusia, mesin-mesin, Produksi barang-barang
gedung, bahan-bahan
dasar, dsb
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,
1995), hlm.950
2
Winardi, Kapitalisme Versus Sosialisme: Suatu Analisis Ekonomi Teoritis, (Bandung: Remaja Karya,
1986), h.6
3
Ibid.,
Dengan demikian manusia merupakan sebuah sistem yang masingmasing elemennya harus dapat saling mempengaruhi dan berfungsi secara
seimbang untuk mencapai tujuan manusia itu sendiri berupa kebaikan
hidup.Perusahan juga merupakan sebuah sistem yang terdiri dari para
karyawan, mesin-mesin, gedung-gedung, bahan-bahan dasar yang
kesemuanya saling berhubungan secara teratur untuk mencapai tujuan
tertentu.
Dari penjelasan para ahli di atas, pengertian sistem dalam bahasa
Indonesia lebih tepat pada pengertian pertama yaitu, sebagai Perangkat unsur
yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Pengertian unsur dapat di samakan dengan elemen yang satu dengan lainnya
saling berkaitan.
Jika dihubungkan dengan ekonomi maka yang dimaksud dengan
sistem ekonomi adalah; “sebuah organisasi yang mencakup sejumlah
lembaga dan pranata (ekonomi, sosial, politik, ide) yang bertugas
memecahkan masalah-masalah, barang-barang dan jasa apakah yang akan
dihasilkan, bagaimana cara barang-barang dan jasa tersebut akan dihasilkan
dan bagaimana cara membagi barang-barang dan jasa yang dihasilkan kepada
masyarakat.4
Dalam tabel sistem ekonomi dapat dilihat di bawah ini sebagai berikut:
SISTEM
Sistem Ekonomi
ELEMEN-ELEMEN
Lembagalembaga/pranata
ekonomi,
lembaga
politik, ide
TUJUAN/SASARAN
Melaksanakan proses
-Produksi,
Distribusi
dan Kosumsi
Para pakar telah mencoba untuk mengklasifikasikan sistem ekonomi
yang ada di dunia ini dengan berbagai macam pendekatan.
Theodore Morgan membagi sistem ekonomi kepada lima jenis sistem
ekonomi;
1. Mixed Economic
2. Fascism
3. Communism
4. British Socialism
5. The Middle way
4
Ibid., h.22
Albert R.Oxenfeldt membaginya kepada tiga bentuk dengan melihat
bagaimana sebuah sistem ekonomi dijalankan pada beberapa negara.
1. The United states
2. The Soviet Union
3. The united kingdom
Melville J.Ulmer menggunakan klasifikasi berikut:
1. Capitalism
2. Socialism
3. Communism.
Dari klasifikasi tersebut tampak bahwa secara umum sistem ekonomi
dunia secara garis besar terbagi kepada tiga, kapitalisme, sosialisme dan
komunisme. Dapat dikatakan sistem ekonomi Islam belum dipandang
sebagai bagian dari sistem ekonomi dunia.Alasannya mungkin, sistem
ekonomi Islam relatif masih baru, bisa juga sistem ekonomi Islam dipandang
ekonom Barat belum ada, kalaupun ada masih sebatas wacana yang dapat
diperdebatkan keberadaannya. Pendeknya sistem ekonomi Islam belum
dipandang positif. Anggapan-anggapan inilah yang menjadikan Prof. Dr.
M.A.Mannan seorang pakar ekonomi Islam memandang perlu untuk
menjelaskan keraguan sebagian ekonom tentang eksistensi ekonomi Islam
seperti terlihat dalam bukunya, Islamic Economic, Theory and Practice.
Dalam kajian berikut ini sistem ekonomi dunia tersebut akan
dibicarakan dengan mengklasifikasikannya kepada empat bentuk.
1. Sistem Ekonomi kapitalis
2. Sistem Ekonomi Komunis
3. Sistem Ekonomi Sejahtera dan Campuran.
4. Sistem Ekonomi Islam.
B. Sistem Ekonomi Kapitalis.
Sistem Ekonomi Kapitalis adalah, “Sebuah sistem organisasi ekonomi
yang dicirikan oleh hak milik pribadi (privat) atas alat-alat produksi dan
distribusi (tanah, pabrik, jalan-jalan dan sebagainya) dan pemanfa`atannya
untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.5
Dari definisi tersebut, sendi-sendi kapitalisme (The pillars of Capitalism)
dapat dilihat pada:
 Pemahaman tentang profit (laba).
 Pemahaman tentang Pasar
 Pemahaman tentang Kompetisi
5
Ibid., h.33
 Pemahaman tentang kepemilikan pribadi
 Pemahaman tentang karya dan kerja.6
Menurut Winardi dalam bukunya, Kapitalisme Versus Sosialisme, sendi-sendi
tersebut dapat dilihat pada:
 Hak milik Swasta (Private Proverty)
 Kepentingan diri sendiri (Self Interest) dan tangan yang tak terlihat (the
invisible hand)
 Individualisme Ekonomi (Laissez faire)
 Persaingan dan Pasar Bebas
 Sitem harga (the price system)
 Pemerintah : Pembuatan peraturan, protektor dan wasit.
Pada pembahasan berikut ini, sendi-sendi tersebut akan dijelaskan
dengan memilih tiga hal yang paling penting yaitu, hak milik pribadi, pasar
bebas, persaingan dan etos kerja.
A. Hak Kepemilikan Pribadi
Kepemilikan Pribadi dapat diartikan dengan hak untuk memiliki
menggunakan, mengatur, atau membuang/memindahtangankan barang atau
tempat tertentu kepada sesuatu yang lain sesuai dengan keinginannya sendiri.
Sebagai konsekuensinya, bila seseorang mendapatkan hak kepemilikan
pribadi atas suatu benda atau tempat, maka ia juga berhak untuk membatasi
atau
melarang
orang
lain
mempergunakan,
mengatur,
dan
memindahtangankan barang atau tempat tersebut. Singkatnya, kepemilikan
pribadi berarti hak untuk menentukan akses orang lain terhadap milik itu dan
menentukan akses kita terhadapnya.7
Dari manakah asal hak milik ini ?. John Locke (1632-1704) seorang
filosof Inggris menyebutnya, kekayaan merupakan hak alamiah, terlepas dari
kekuasaan negara. Pada perkembangan selanjutnya teori hak milik pribadi ini
dikembangkan oleh Adam Smith (1723 - 1790 M) yang membagi hak milik
pribadi menjadi dua bagian, hak real dan hak personal. Hak real adalah hak
atas barang khusus tertentu. Ini mencakup hak milik pribadi, hak pakai, hak
atas barang gadaian dan warisan. Sedangkan hak personal adalah hak yang
6
7
Robby I.Chandra, Etika Dunia Bisnis, (Yogyakarta:Kanisius, 1995), h.107
Ibid.,., h.107
dimiliki seseorang dalam hubungan pribadi tertentu yang muncul karena
kontrak, semi kontrak atau ganti rugi.8
Untuk mendapatkan hak milik pribadi, Adam Smith menawarkan
lima cara, 1) melalui pekerjaan, atau mengambil sesuatu yang sebelumnya
tidak dimiliki oleh siapapun untuk menjadi milik pribadi. 2) melalui
pengembangan hak milik pribadi, yaitu hak seseorang atas suatu barang
sebagai akibat dari dimilikinya barang tersebut. 3), melalui penggunaan yang
lama atas suatu barang, yaitu hak atas barang orang lain sebagai akibat
pengunaannya yang lama dan terus menerus. 4) melalui warisan dari nenek
moyang. 5), melalui pengalihan secara suka rela.9
B. Pasar Bebas
Secara sederhana pasar bebas berarti orang bebas untuk melakukan
apa saja secara ekonomis dengan kepemilikan yang secara absolut, tanpa
adanya intervensi pemerintah. Menurut Smith pemerintah sedapat mungkin
tidak terlalu banyak campur tangan mengatur perekonomian. 10 Baginya
biarkan saja perekonomian berjalan dengan wajar tanpa campur tangan
pemerintah, nanti akan ada suatu tangan tak terlihat (invisible hands) yang akan
membawa perekonomian tersebut ke arah keseimbangan. Jika banyak campur
tangan pemerintah, pasar akan mengalami distorsi yang akan membawa
perekonomian pada ketidakefisienan dan ketidakseimbangan. 11
Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan pasar bebas ini adalah,
bagaimana terjadinya keseimbangan pasar yang didasarkan pada keinginankeinginan pribadi tersebut? Menjawab pertanyaan ini, Smith mengajukan dua
argumentasi. Pertama, argumentasi ekonomis yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan efisiensi ekonomi dan kedua, argumen moral yang
menurutnya pasar bebas merupakan perwujudan kebebasan kodrati dan
keadilan. Keadilan merupakan aturan main yang pada gilirannya akan
melahirkan keuntungan timbal balik secara spontan bagi setiap pelaku. 12
8
Sonny Keraf, Pasar Bebas, Keadilan Dan Peran Pemerintah:Telaah atas Etika politik Ekonomi Adam
Smith, (Yogyakarta:Kanisius, 1996), h.146
9
Ibid,.
Pada awalnya perdagangan bebas yang dicetuskan Smith merupakan kritiknya terhadap merkantilisme
yang menginginkan pembatasan dalam perdagangan. Lihat, Steven Pressmen, Fifty Major Economist (
Lima Puluh Pemikir Ekonomi), terj. Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).
H.31
11
Deliarnov,Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), h.28
12
Sony Keraf, op.cit., h.164
10
Dalam tatanan seperti itu tidak hanya setiap peserta mendapat
kesempatan yang lebih besar untuk mengejar kepentingannya, melainkan
tatanan ekonomi pasar bebas juga akan memperbaiki kondisi setiap orang.
Lebih penting dari itu, pelaku pasar bebas tidak boleh melanggar hak dan
kepentingan orang lain, dan hanya dengan ini dapat tercapai suatu tatanan
sosial yang harmonis dan fair. Kepedulian untuk tidak sampai melanggar hak
dan kepentingan orang lain adalah justru merupakan kendali moral bagi
seluruh mekanisme perdagangan bebas.13
C. Persaingan dan Etos Kerja
Bila pemahaman tentang kepemilikan dan pasar bebas berjalan
menurut alur pikir Kapitalisme, maka persaingan merupakan suatu
konsekuensi logis dari suatu hukum alam. Persaingan ini menjadi sebuah
keniscayaan karena dapat dilihat melalui seleksi alamiah antara pelaku bisnis
yang tangguh dan pelaku bisnis yang buruk. Persaingan kerja juga lahir dari
pembagian kerja yang tegas. Bahkan menurut Smith, pertumbuhan ekonomi
bisa berjalan selama ada pembagian kerja.14
Persaingan tersebut dapat mengambil bentuk sebagai berikut, antara
para penjual barang-barang yang serupa untuk menarik pembeli, antara
pembeli untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan, antara
pekerja untuk memperoleh pekerjaan, dan antara pihak majikan untuk
memperoleh pekerja.
Akhirnya muara dari persaingan ini adalah terciptanya keseimbangan
harga terhadap barang-barang. Smith sangat yakin bahwa mekanisme supply
dan demand akan menghasilkan suatu tingkat harga yang wajar dengan adanya
persaingan harga antar penjual. Sebagai contoh, ketika pengusaha tertentu
menetapkan suatu harga yang tinggi, sudah barang tentu mereka akan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan ini membuat pengusaha lain
ingin terjun untuk menghasilkan barang yang serupa. Akibatnya persaingan
semakin meningkat dan mungkin pula supply melebihi demand. Akibatnya
harga menjadi turun, menuju tingkat yang lebih wajar. Ini menyebabkan
pengusaha tertentu akan mengalihkan sumber-sumber mereka ke industri
lain. Dengan demikian sumber-sumber industri akan tetap ditempatkan
secara efisien.15
13
14
15
Ibid.,
Steven Pressman, op.cit, h.30
Robby I.Chandra, op.cit, h.111
C. Sistem Ekonomi Komunis
Sejak awal perkembangannya ajaran-ajaran Kapitalisme telah
menimbulkan berbagai reaksi yang kritis dari berbagai pihak. Reaksi yang
muncul tidak hanya dalam bentuk perdebatan teoritis, tetapi juga dalam
bentuk gerakan politik. Seperti apa yang disebutkan oleh Karl Mark,
Kapitalisme telah melakukan penghisapan atas manusia oleh manusia
lainnya.16 Menurutnya, Kapitalisme dapat bertahan hidup karena dua hal.
Pertama, adanya pemilikan terhadap alat-alat produksi seperti, tanah, mesin,
modal, dan keterampilan. Kedua, adanya penjualan tenaga oleh pemilik
tenaga kerja.17
Penjualan tenaga kerja ini terjadi karena mereka tidak memiliki alat-alat
produksi Tentu saja pemilik modal berada pada posisi yang kuat dalam
transaksi penjualan tenaga tersebut, dan buruh pada posisi yang lemah karena
mereka dengan terpaksa menjual tenaganya untuk dapat melanjutkan
kehidupan. Dalam situasi inilah pemilik modal dapat memberikan imbalan
terhadap tenaga yang dibelinya dengan harga yang murah. Murah dalam arti
mereka menerima harga jauh lebih rendah dari nilai yang mereka berikan
kepada pemilik modal.
Dari sinilah, Kapitalisme telah menciptakan susunan kelas sosial baru
yang belum pernah dikenal sebelumnya; pemilik modal (borjuasi) yang
jumlahnya sangat sedikit tetapi memiliki modal yang cukup besar dan kelas
buruh (proletar).18
Selanjutnya, jumlah kelas buruh mengalami perkembangan yang cukup
pesat karena kebanyakan kelas menengah tidak mampu lagi bersaing dengan
pemilik modal besar sehingga merekapun bangkrut lalu masuk ke dalam kelas
buruh. Pada saat yang bersamaan muncul pula sebuah kesadaran baru kaum
buruh akan eksploitasi yang mereka derita selama ini yang pada gilirannya
memunculkan keinginan untuk keluar dari penindasan pemilik modal. Untuk
itulah kaum buruh mengorganisasikan diri dalam serikat-serikat buruh yang
pada gilirannya melahirkan revolusi Sosialis.19
Revolusi itu pada mulanya bersifat politis: proletariat merebut
kekuasaan negara dan mendirikan “kediktatoran proletariat”. Artinya,
proletariat menggunakan kekuasaan negara untuk menindas kaum kapitalis
16
17
Steven Pressman, op.cit, h.71
Ibid., h. 114
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx:dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme,
(Jakarta:Gramedia, 2000), h.166
19
Ibid., h.168
18
dan mencegah mereka memakai kekayaan dan fasilitas negara. Selanjutnya
hak milik atas tanah, pabrik-pabrik serta alat-alat produksi lainnya dirampas
dan dialihkan ke negara.20 Inilah latar belakang lahirnya sistem Sosialis atau
juga disebut dengan sistem Komunis.
1. Pengertian.
Sosialisme didefinisikan sebagai bentuk perekonomian di mana
pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh
seluruh warga masyarakat dalam menasionalisasikan industri-industri besar
seperti pertambangan, jalan-jalan, jembatan dan cabang-cabang produksi
lainnya yang mencakup hajat hidup orang banyak.21 Dengan kata lain,
negaralah yang menjadi pemilik alat-alat produksi, tanah-tanah dan bukan
swasta seperti pada sistem Kapitalisme.
Dalam pemakaiannya sehari-hari, sosialisme dan Komunisme sering
dipakai secara bergantian. Memang di antara keduanya tidak banyak
perbedaan. Bahkan Marx sering menggunakan kedua istilah tersebut untuk
menjelaskan persoalan yang sama. Kendati demikian, sebagian pakar
mencoba membedakannya.
Mereka menyebut, kalau Sosialisme menggambarkan pergeseran hak
milik kekayaan dari swasta kepada pemerintah berlangsung secara perlahanlahan melalui prosedur peraturan pemerintah dan memberikan kompensasi
kepada pemilik-pemilik swasta. Sedangkan dalam Komunisme, peralihan
pemilikan swasta kepada Pemerintah tersebut berlangsung dengan cepat dan
“revolusioner”, dilakukan secara paksa dan tanpa kompensasi.22 Dengan
demikian antara sosialisme dan komunisme terdapat persamaan tujuan
namun berbeda dalam cara.
Sendi-sendi sistem Komunisme dapat dilihat di bawah ini:
1. Tentang hak milik
2. Sosialisme pasar
3. Nilai Kerja dan Laba
1.Tentang Hak Milik
20
21
22
Ibid., h.169
Deliarnov, op.cit, h.53
Ibid., h.54
Dalam masyarakat Sosialis yang menonjol adalah rasa kebersamaan
atau kolektivisme (collectivism). Ini tercermin pada bentuk kepemilikan yang
mereka anut. Bagi sistem ini barang-barang dimiliki bersama-sama dan
didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masingmasing anggota masyarakat. Ada sebuah motto yang sering digunakan dalam
sistem ini,”from each according to his abilities, to each according to his needs.(dari
setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap orang sesuai
kebutuhan).
Dengan demikian ciri masyarakat komunis adalah penghapusan hak
milik pribadi atas alat-alat produksi dan dialihkannya hak milik pribadi
tersebut kepada negara. Namun menurut Marx ini hanya berlaku ketika
Kapitalisme masih menjadi ancaman, namun ketika Kapitalisme dipastikan
tidak lagi berdaya, maka negara akan kehilangan perannya dan pabrik serta
tempat produksi lainnya akan diurus langsung oleh mereka yang bekerja di
pabrik tersebut.23
1. Sosialisme Pasar
Berbeda dengan sistem Kapitalis yang mempercayakan dirinya kepada
mekanisme Pasar, maka Komunisme mempercayakan sistemnya pada
“perencanaan dan pengendalian’. Dalam sistem Sosialis yang memegang
kendali adalah satu badan yang disebut dengan Badan Pusat Perencanaan
(BPP) yang bertugas untuk menentukan harga barang-barang yang
diproduksi. Badan ini selanjutnya akan menginformasikan harga tersebut
kepada perusahaan sesuai dengan dua patokan. Pertama, meminimalkan biaya
produksi, Kedua, menghasilkan output produksi di mana tingkat harga sama
dengan tingkat biaya.
Bila pada suatu akhir masa perencanaan terjadi kelebihan barang yang
diproduksi, maka PBB menurunkan tingkat harga. Sebaliknya bila terjadi
peningkatan permintaan, maka harga dinaikkan. Tegasnya, BPP menjadi
penentu harga dimana tingkat permintaan dan penawaran seimbang.
C. Nilai Kerja
Dalam sistem Kapitalis, tenaga kerja buruh identik dengan komoditi.
Si buruh menjual tenaga kerjanya kepada pemliki modal, dan pemilik modal
akan membelinya sesuai dengan nilai tukarnya. Masalahnya adalah bagaimana
nilai tukar ini ditentukan.? Menurut Marx, nilai tenaga kerja adalah jumlah
nilai semua komoditi yang perlu diberikan kepada buruh agar ia dapat hidup;
23
Franz Magnis Suseno, op.cit, h.170
dalam arti agar ia dapat memulihkan tenaganya, memperbaharuinya dan
menggantikannya kalau ia sudah tidak mampu lagi bekerja. Dengan kata lain,
nilai tenaga kerja adalah jumlah nilai makanan, pakaian, tempat tinggal dan
kebutuhan lainnya termasuk untuk keluarganya.
Tegasnya menurut Marx, upah yang diterima buruh adalah upah yang
wajar dalam arti senilai (equivalent) dengan apa yang diberikannya.24 Dengan
demikian upah yang diterima buruh adalah upah yang adil dalam arti transaksi
antara majikan dan buruh berupa pertukaran ekuivalen. Hanya dengan inilah
eksploitasi buruh seperti yang dilakukan kapitalis dapat dihindari.
D. Sistem Negara Sejahtera
Sistem Kapitalisme yang diharapkan dapat membawa rakyat pada
kebahagiaan, ternyata gagal mencapai tujuannya. Sebaliknya sistem tersebut
melahirkan kelas sosial baru di mana yang kuat (borjuis) menindas dan
mengeksploitasi yang lemah yaitu kaum buruh. Melihat kenyataan ini muncul
sistem sosialis untuk selanjutnya menjadi komunis, membawa misi untuk
mensejahterakan rakyat dengan cara menyingkirkan para borjuis yang
menguasai alat-alat produksi. Namun akhirnya, setelah borjuis tersingkir,
buruh-buruh yang menguasai alat-alat produksi tertentu atau yang mengatur
perusaahan berubah menjadi diktator-diktator baru yang juga melakukan
penindasan terhadap buruh-buruh yang tidak memiliki akses kepada alat-alat
produksi.
Kegagalan kedua sistem ini, menjadikan pakar ekonomi mencoba
berpikir sintetik. Hasilnya lahir sebuah konsep yang disebut dengan negara
sejahtera (welfare state). Dalam menjalankan sistemnya negara sejahtera
mencoba untuk menerapkan kebaikan-kebaikan yang dikandung oleh sistem
Kapitalisme dan Sosialisme serta mencoba menghilangkan keburukankeburukan yang dikandung oleh sistem tersebut.
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, sistem ini
menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan
baik yang bersifat primer ataupun sekunder. Kemiskinan Primer adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh struktur masyarakat yang timpang,
kebijaksanaan yang tidak memihak pada rakyat ataupun tidak adanya
perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat.25
24
Steven Pressman, op.cit, h.71
Soetrisno, Welfare State dan Welfare Society Dalam Ekonomi Pancasila, (Yogyakarta:Fakultas
Ekonomi UGM, 1982), h. 2
25
Sedangkan kemiskinan sekunder adalah kemiskinan yang disebabkan
oleh masing-masing individu seperti kemalasan, boros dan prilaku tidak
produktif lainnya. Untuk mengatasinya di samping diperlukan kesadaran
masing-masing individu, juga pemerintah dapat melakukan upaya penyadaran
dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan melalui media massa maupun
media elektronik.26
Arthur Cecil Pigou (1877- 1959) sebagai salah satu tokoh welfare
economics memandang negara sangat diperlukan dalam rangka mengatasi
masalah kemiskinan ini dengan cara menggunakan berbagai macam
instrument dan kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi rakyat. Pigou
menyatakan perlunya distribusi kue ekonomi dari pemerintah. 27
Gagasan negara sejahtera dapat terwujud, jika pemerintah dan rakyat
dapat menjalin kerja sama yang harmonis. Pada satu sisi negara berperan
menyediakan perangkat-perangkat peraturan yang memihak kepada rakyat
serta fasilitas-fasilitas umum, dan pada saat lain rakyat dituntut untuk
memanfaatkannya secara optimal.
Penting untuk dicatat, kesemuanya itu harus tetap berjalan dalam
suasana yang demokratis. Keterlibatan pemerintah tidak menjadikannya
otoriter terhadap rakyat, melainkan hanya sebagai fasilitator dan pengawas
dalam perjalanan aktivitas ekonomi rakyat. Disinilah azas subsidiartia yang
menyatakan apabila masyarakat dan swasta sendiri telah dapat melakukannya,
maka peran pemerintah tidak lagi diperlukan.
Lagi-lagi konsep negara sejahtera dipandang gagal dalam menciptakan
kesejahteraan rakyat secara utuh. Seperti apa yang dikatakan oleh pakar
ekonomi Islam, M.Abdul Mannan, prinsip ekonomi kesejahteraan yang
dikembangkan oleh Profesor Arthur Cecil Pigou, hanya menekankan
kesejahteraan material rakyat dan mengabaikan kesejahteraan spritual dan
moral masyarakat. Ini hanya bisa dijawab oleh sistem ekonomi Islam. 28
E. Sistem Ekonomi Islam
Sebelum berbicara tentang sistem ekonomi Islam ada baiknya
dijelaskan terlebih dahulu bagaimana pandangan dan sikap Islam tentang
sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi komunis. Jika Islam
26
Ibid.,
27
Steven Pressmen , op.cit, h. 141
M.A.Mannan, Teori Dan Peraktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf,1995), h.357-358.
28
menerimanya, sisi mana yang diterima. Jika ternyata Islam menolak kedua
sistem ini apakah semuanya unsurnya di tolak ?.
Dalam salah satu tulisannya yang dimuat dalam buku Deklarasi
Makkah: Menuju Ekonomi Islam Dawam Rahardjo menulis sebuah judul artikel
yang cukup menarik, Ekonomi Islam, mendayung diantara dua karang Sosialisme
dan Kapitalisme. Terkesan dari tulisan ini, pada dasarnya Islam tidak menolak
secara mutlak kedua sistem ini, malah sebaliknya sistem ekonomi Islam
mengandung unsur-unsur kedua sistem tersebut. Kendati demikian Islam
juga mengkritik kedua sistem ini. Salah satu kritik yang diajukan dan dianggap
paling fundamental adalah, kedua sistem ini menafikan dimensi spritualitas
manusia, menafikan kehidupan akhirat karena penekanan yang berlebihan
pada materialisme. Tegasnya kedua sistem ini menolak peran agama. 29
Selanjutnya, M. Umer Chapra dalam karyanya Islam Dan Tantangan
Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer, setelah menjelaskan kedua sistem
Kapitalisme dan Sosialisme sampai pada sebuah sub judul yang berbunyi,
Strategi-strategi yang gagal. Menurutnya, sekalipun kapitalisme mencakup tujuantujuan kemanusiaan dari agama secara permukaan untuk menutupi
kelemahan, strateginya tetap kacau balau. Peranan nilai-nilai moral dalam
alokasi dan distribusi sumber daya yang langka ditumpulkan oleh penekanan
yang tidak semestinya pada preferensi individu dan penyandaran yang
sepenuhnya pada mekanisme harga.30
Lebih lanjut Chapra menyatakan, …karenanya, sementara strategi
sistem pasar mampu meningkatkan inisiatif dan motivasi pribadi, dan suatu
tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dengan membolehkan individu untuk
memenuhi kepentingan sendiri ia tidak mampu memenuhi kepentingan
sosial.31 Sedangkan terhadap sistem sosialis kritik Chapra adalah, …kinerja
perencanaan ekonomi terpusat ternyata tidak lebih baik. Penghapusan motif
laba dan pemilikan pribadi membunuh inisiatif, motivasi dan kreatifitas
individu dalam sebuah masyarakat dengan suatu perspektif kehidupan dunia
yang pendek.32
Kritikan yang cukup tajam juga datang dari Syed Nawab Haider Naqvi
dalam bukunya, Etika Dan Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami. Naqvi kendati
29
Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah : Menuju Ekonomi Islam, (Bandung : Mizan,1993),
h.126-129.
30
M.Umer Chafra, Islam Dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer, terj. Nur Hadi
Ihsan (Surabaya ; Risalah Gusti, 1999), h. 371
31
Ibid.,
32
Ibid., h. 372 . bandingkan dengan, Ali Syari`ati, Kritik Islam atas Marxisme Dan Sesat-Pikir Barat
Lainnya, (Bandung : Mizan, 1988).
mengakui kebaikan-kebaikan sosialisme, namun akhirnya ia mengatakan
bahwa sosialisme itu tidak Islami. Alasannya adalah, pertama, sosialisme,
dengan menjadikan usaha material manusia sebagai dasar struktur sosial,
hendak menghapuskan konsep Islam tentang keesaan. Kedua, pandangan
sejarah sosialis sangat berbeda dengan pandangan Islam. Sejarah sosialisme
diwarnai dengan rasa saling benci dan pertentangan antar golongan. Ketiga,
konsep Islam mengenai manusia bebas, yang berlandaskan aksioma kehendak
bebas dan pertanggungjawaban, tidak dapat terus hidup di bawah tekanan
kolektivisme (kesamarataan).33
Berkaitan dengan kapitalisme kritik Naqvi adalah,
pertama,
kapitalisme gagal mengejewantahkan kesatuan kehidupan dengan penekanan
yang berlebihan pada nilai material manusia dengan mengorbankan dimensi
spritualitasnya. Kedua, kapitalisme merusak keseimbangan alam dengan
terpusatnya kekayaan pada segelintir orang. Ketiga, kapitalisme sangat
menekankan pemilikan individu secara mutlak dan menafikan kemutlakan
pemilikan Tuhan. Keempat, Kapitalisme tidak memperhatikan tanggungjawab
kolektif (sosial).34
Kritikan yang tidak kalah tajamnya datang dari Muhammad Baqir ashshadr yang juga membedah kelemahan-kelemahan kapitalis dan sosialis.
Menurutnya kapitalisme adalah suatu system yang ultra matrialisme yang
hanya mementingkan keuntungan-keuntungan material semata dan
mengasingkan manusia dari agama dan kerohaniaan. Lebih lanjut Baqir ashShadr menyebut keburukan kapitalisme adalah berkuasanya kaum mayoritas
atas minoritas. Lebih dari itu kaum borjuasi juga mengeksploitasi kelas
proletar. Kaum kapitalis melihat segala sesuatunya dari sudut materialisme
dan mengabaikan aspek moral.35
Berkenaan dengan Sosialisme, kritikan Baqir ash-Shadr adalah bahwa
Pertama, system komunisme hendak menghapus segala kepemilikan pribadi,
termasuk perdagangan dan perindustrian. Kedua, semua hasil produksi
dibagikan kepada seluruh individu. Tentu saja keduanya bertentangan dengan
fitrah manusia yang ingin memiliki segala apa yang menjadikannya dapat
memperoleh kebahagiaan.36
33
Syed Nawab Haider Naqvi, Etika Dan Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami, (Bandung : Mizan, 1985),
h.110-111
34
Ibid.,h. 111-112
35
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Az-Zahra, 2002), h..6272
36
Ibid., h. 75
Setelah memperhatikan kritikan-kritikan pakar-pakar ekonomi Islam
ada baiknya kita melihat konsep ekonomi Islam. Sebagaimana telah diuraikan
pada bab IV dari buku ini, sebagai sebuah sistem yang dapat dikatakan baru,
ekonomi Islam belum memiliki satu rumusan yang baku atau setidaknya
diterima sebagian besar pakar. Bahkan buku-buku yang membicarakan
tentang sistem ekonomi dunia, ekonomi Islam belum dipandang sebagai
sebuah sistem sebagaimana sistem-sistem lainnya. Kendati demikian bukan
berarti ekonomi Islam tidak dapat didefinisikan.
Sebagai pijakan bersama, ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai ilmu
yang mengkaji kegiatan manusia dalam menggunakan sumber (produksi) bagi
menghasilkan barang dan jasa untuk dirinya dan untuk didistribusikan kepada
orang lain dengan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh agama
Islam dengan harapan untuk mendapatkan keridaan Allah. 37 Definisi
sederhana tentang ekonomi Islam adalah, suatu konsep atau teori yang
dikembangkan berdasarkan ajaran-ajaran Islam.38
Adapun pilar-pilar tentang ekonomi Islam tentu sangat variatif. Ini
merupakan konsekuensi logis dari pemikiran ekonomi Islam yang terus
berkembang. Dengan mengikuti alur pikir pembahasan sebelumnya, pilarpilar ekonomi Islam itu secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut :
 Hak milik pribadi
 Makna kerja dan laba.
 Kerjasama .
1. Harta dan Hak milik Pribadi
Konsep pemilikan dalam Islam didasarkan pada tiga pandangan :
a. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di bumi adalah
Allah SWT. Kepemilikan manusia bersifat relatif.
b. Manusia hanyalah manjalankan amanah dari Allah SWT untuk
memanfaatkan harta sebaik-baiknya dan untuk kemaslahatan
manusia.
c. Harta dipandang sebagai perhiasan hidup dan manusia disuruh
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan.
d. Harta benda harus diperoleh manusia dengan jalan yang halal.
37
FKEBI-IAIN.SU, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Hasil Seminar dan Workhsof Ekonomi Islam,
Medan, 1993, h. 8
38
Dawam Rahardjo,Islam Dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama Dan
Filsafat, 1999), h. 7-10. lebih lanjut lihat kembali bab III buku ini.
e. Di samping memiliki fungsi pribadi, harta dalam Islam juga
memiliki fungsi sosial.39
2. Makna Kerja.
Kerja dalam Islam dipandang sebagai mode of existence (bentuk
keberadaan) manusia itu sendiri. Manusia ada karena kerjanya, dan ia akan
dipandang dan dinilai berdasarkan kerja atau amalnya. Disamping itu Islam
memandang kerja bukanlah hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup baik
yang bersifat primer, sekunder, atau tertier, melainkan kerja juga memiliki
nilai ibadah. Disebabkan kerja memiliki nilai ibadah, maka kerja tersebut
harus sesuai dengan petunjuk-petunjuk ajaran agama.
Kerja dalam pandangan Islam tidaklah semata-mata untuk mencapai
keuntungan material (upah), tetapi lebih dari itu kerja merupakan bagian dari
pelaksanaan perintah Allah kepada manusia untuk bekerja yang baik (`amilu
al-shalihat, dan ahsanu `amala). Tidaklah berlebihan jika kerja dalam pandangan
Islam merupakan ibadah sekaligus dipandang sebagai jihad.
Lebih jauh dari itu, hubungan iman dengan amal (kerja) itu ibarat
hubungan akar dengan pohon. Iman tidak akan berarti apa-apa jika tidak
dibuktikan dengan kerja, sebaliknya kerja menjadi tidak bernilai tanpa didasari
keimanan.40
Berkaitan dengan upah, nilai moral yang menjadi perhatian Islam
adalah bagaimana kerja tersebut tidak dibangun atas dasar hubungan
eksploitatif dengan menekan upah serendah-rendahnya seperti yang berlaku
pada sistem kapitalis, tidak juga menafikan prestasi orang seperti yang terjadi
pada sistem Sosialis. Upah harus menggambarkan keadilan yang merupakan
salah satu prinsip ekonomi Islam.41 Isyarat ini dapat ditangkap melalui sebuah
hadis Rasul yang berbunyi, Bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya.
Maknanya bisa diterjemahkan lebih luas dari sekedar sistem upah yang
berkembang dalam kedua sistem besar. Bisa saja dikatakan, makna upah
dalam tinjauan Islam harus menjamin kesejahteraan pekerja, upah harus layak
yang menjadikan pekerja dapat memenuhi kebutuhan daruri (primer)
hidupnya dan lain-lain.
39
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Al-Kaustar, 2001), h. 56-57
40
Ibid., h.10
Syed Nawab Haidar Naqvi, op.cit, h. 126
41
3.Kerjasama .
Dalam sistem ekonomi Islam, setiap individu bagaimanapun
bermaknanya sesuai dengan otonomi yang dimiliki tetap saja tidak dapat
melepaskan diri dari dimensi sosialnya, (ingat kembali kajian tentang konsep
manusia). Manusia membutuhkan kerja sama. Kerja sama dalam Islam
sebenarnya lebih menekankan pada kerjasama yang dilandasi dengan prinsip
saling tolong menolong (ta`awun) dan persaudaraan (al-ukhuwah), amanah
(saling percaya) dan sidq (kejujuran).
Islam tidak menolak persaingan yang menjadi inti dalam kapitalisme,
namun tetap saja persaingan itu harus dilandasi dengan semangat berlombalomba untuk kebaikan. Persaingan itu sendiri merupakan sunnatullah, untuk
itulah Islam menganjurkan persaingan itu harus diselenggarakan secara sehat
dan beretika.
Dalam ajaran ekonomi Islam pentingnya tolong menolong dalam kerja
sama terlihat pada bentuk kerjasama mudarabah di mana keuntungan haruslah
sama-sama diraih baik oleh sahib al-ma (pemilik modal) ataupun mudarib
(orang yang memanfaatkan modal). Demikian juga dalam musyarakah apabila
proyek kerjasama tersebut berhasil, masing-masing pihak yang
menginvestasikan modalnya akan memperoleh keuntungan sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibangun. Sebaliknya apabila mengalami kerugian,
maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama.
Atas dasar inilah ekonomi Islam sangat mementingkan dimensi moral
dalam sistem ekonominya. Penolakan Islam terhadap riba, lebih didasarkan
pada praktek riba terkandung unsur manipulasi dan eksploitasi manusia.
Demikian juga penolakan Islam terhadap bentuk penipuan (gharar) adalah
satu bentuk perlindungan Islam terhadap hak orang lain. Anjuran Islam
untuk mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqah, adalah satu bentuk perhatian
Islam terhadap orang-orang yang tidak mampu. Lebih penting dari itu ajaran
ZIS secara substansial adalah satu upaya pendistribusian kekayaan agar tidak
terkonsentrasi pada segelintir orang yang dapat menimbulkan kesenjangan
sosial.
Adalah tidak mungkin mengkaji konsep ekonomi Islam yang begitu
42
luas dalam bahasan ini, karena kajian ekonomi Islam memerlukan
pembahasan tersendiri.
Penting untuk dicatat, sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi
yang sedang dalam proses pengembangan dan perumusan konseptual.
42
Sebagaimana sistem lainnya, Islam juga memiliki konsep ekonomi mikro, ekonomi makro, ekonomi
moneter, kebijakan fiskal, siyasah al-iqtisadiyyah (politik ekonomi) dan lain-lain.
Dengan kata lain, ekonomi Islam belum menjadi sistem ekonomi yang telah
mapan seperti sistem-sistem lainnya. Untuk itulah upaya dari berbagai pihak
untuk mengembangkannya sangatlah dibutuhkan.
F. Rangkuman.
1. Sistem ekonomi adalah; “sebuah organisasi yang mencakup
sejumlah lembaga dan pranata (ekonomi, sosial, politik, ide) yang
bertugas memecahkan masalah-masalah, barang-barang dan jasa
apakah yang akan dihasilkan, bagaimana cara barang-barang dan
jasa tersebut akan dihasilkan dan bagaimana cara membagi barangbarang dan jasa yang dihasilkan kepada masyarakat”.
2. Paling tidak sampai saat ini ada empat sistem ekonomi yang masih
dipraktekkan dan masih berkembang; sistem ekonomi kapitalis,
sosialis, campuran dan sistem ekonomi Islam.
3. Kendati sistem ekonomi Islam relatif baru dalam perumusan dan
perkembangan, namun sistem tersebut dapat menjadi alternatif
bagi sistem ekonomi masa depan, mengingat; Pertama, sistemsistem yang ada hari ini tetap saja tidak mampu sepenuhnya
memenuhi harapan manusia akan kehidupan yang lebih makmur,
bahagia, damai secara jasmani dan rohani. Kedua, sistem ekonomi
Islam tidak mengandung dikotomi dalam struktur ajarannya
sendiri baik antara kebutuhan material-spritual, duniawi-ukhrawi,
maupun kepentingan individu dan sosial.
G. Pertanyaan
1. Jelaskan secara singkat elemen-elemen yang terkandung dalam
sistem kapitalisme dan sosialisme ?.
2. Apakah ekonomi campuran berhasil menjawab kegagalan kedua
sistem tersebut untuk mensejahterakan manusia ?.
3. Uraikan secara singkat dan jelas kritik Islam terhadap kedua sistem
ekonomi tersebut ?
BAB X
NORMA DAN ETIKA
HUBUNGAN MAJIKAN – BURUH
Pola majikan – buruh menggambarkan perbedaan status sosial dalam
masyarakat. Secara sederhana, majikan dipahami sebagai pemilik modal yang
memiliki alat-alat produksi sekaligus menjadi pimpinan pada perusahaan
tertentu. Sedangkan buruh adalah orang yang memiliki tenaga, memiliki
keterampilan yang relatif sedikit dan menjadi pekerja pada perusahaan
dengan mengharapkan imbalan (upah).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majikan adalah orang atau
organisasi yang menyediakan pekerjaan untuk orang lain berdasarkan ikatan
kontrak atau juga dijelaskan sebagai orang yang menjadi atasan.1 Sedangkan
buruh adalah, orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan
upah.2
Dalam sistem Kapitalis kelas majikan (Borjuasi) dan buruh (proletar)
dipandang sebagai perbedaan status sosial. Seringkali karena majikan berada
posisi yang kuat, pemilik alat-alat produksi, menjadikannya dapat berbuat apa
saja kepada buruh. Tidaklah mengherankan dalam sistem kapitalis terjadi
eksploitasi terhadap buruh. Sedangkan buruh yang berada pada posisi yang
lemah bertambah lemah dan tidak punya alternatif untuk keluar dari
eksploitasi tersebut, karena yang mereka miliki hanya tenaga dan pada saat
yang sama mereka juga butuh makan dan butuh biaya untuk menghidupi
keluarganya.
Sedangkan sistem Sosialis menolak kelas Borjuasi dan Proletar. Berpijak
pada alasan bahwa Borjuasi sering menimbulkan ketidakadilan terhadap
buruh, maka kelas Borjuasi itu harus dihapuskan. Prinsipnya adalah sama rasa
bagi semua manusia.
Islam sendiri tampaknya tidak menolak adanya kelas-kelas sosial dalam
masyarakat. Bahkan al-Qur’an sendiri sering, menggunakan terma-terma yang
berlawanan, seperti, agniya (orang kaya) dan fukara (orang miskin), mu’min
(orang beriman) dengan kufur, al-Qawiy (kuat) dan al-da`if (lemah), hayat
(hidup) dan al-maut (mati), dan lain sebagainya.
1
Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1995), h.615
2
Ibid, h. 159
Perbedaan kelas tersebut merupakan konsekuensi logis dari anjuran alQur’an untuk berlomba-lomba mencari kebaikan dan perintah al-Qur’an
untuk menjadi profesional. Dengan kata lain, perbedaan strata yang muncul
di masyarakat merupakan hal yang wajar dan alami. Bahkan menolak
perbedaan–perbedaan tersebut dipandang bertentangan dengan sunnatullah
itu sendiri.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana melihat perbedaan-perbedaan
tersebut. Apakah tepat melihat perbedaan tersebut untuk menggambarkan
tinggi rendahnya derajat seseorang dan tingkat kemuliaannya seperti yang
terdapat pada sistem Kapitalis. Berangkat dari semangat ajaran al-Qur’an
perbedaan-perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan fungsional saja.
Seseorang yang menjadi manajer berarti berfungsi sebagai pemimpin dan
harus melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannnya. Sedangkan seseorang
yang menjadi buruh, berfungsi sebagai buruh dan harus melaksanakan
fungsinya sebagi buruh.
Tidaklah berarti seorang majikan lebih mulia dibanding dengan seorang
karyawan/buruh. Karena kemulian itu didasarkan pada tingkat ketaqwaan
seseorang terhadap Allah SWT seperti yang diisyaratkan oleh Q.S, alHujurat;13. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling
Taqwa. Dalam sebuah hadis rasul dinyatakan, Sesungguhnya Allah tidak akan
melihat kamu dari jasad, harta, pangkat, keturunan, melainkan Allah memandangmu
dari sisi amal dan ketakwaanmu.
Dari sini ditariklah suatu prinsip persamaan (al-musawah) atau egalitarian
dalam Islam. Pada hakikatnya manusia itu memiliki kedudukan yang sama di
mata Allah SWT. Tidaklah tepat membedakan manusia dari hal-hal yang
bersifat aksidental seperti jabatan, harta dan sebagainya. Persamaan ini
menjadi dasar dalam melihat hubungan majikan – buruh dalam Bisnis Islam.
A. Majikan – Buruh : Hubungan Kontraktual
Satu pertanyaan dapat diajukan di sini, apakah sebenarnya yang
menghubungkan seorang karyawan dengan perusahan yang dalam hal ini
majikan ? jawabannya adalah kontrak antara perusahan sebagai pengguna
tenaga kerja dengan para karyawannya. Dikatakan demikian karena seorang
karyawan suatu perusahaan menjatuhkan pilihannya pada perusahaan tertentu
adalah berdasarkan kemauannya sendiri dan bukan karena paksaan. Biasanya
kontrak tersebut diwujudkan dalam bentuk surat lamaran dari karyawan.
Apabila seorang karyawan telah mengikatkan dirinya dengan
perusahaan berarti ia setuju untuk :
 Menerima kewenangan formal organisasi (Perusahaan).
 Memikul tanggungjawab tertentu.
 Menerima penugasan dan penempatan pada salah satu satuan kerja
di perusahaan tersebut.
 Mengerahkan segala pengetahuan, keterampilan, kemampuan,
tenaga, dan waktu demi keberhasilan perusahan tersebut.
 Taat dengan berbagai ketentuan formal yang ditentukan oleh
perusahaan.
Menunjukkan loyalitas, dedikasi dan komitmen
3
kepada organisasi.
Di samping kewajiban karyawan tersebut, mereka juga memiliki hak
yang harus ditunaikan, dihargai, dan dipenuhi oleh perusahan :
 Pengakuan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
 Upah yang adil, wajar dan setara.
 Penugasan sesuai dengan skill.
 Pelayanan yang simpatik.
 Lingkungan kerja yang sehat dan nyaman.
 Peningkatan mutu hidup karyawan.
 Penilaian kerja yang objektif.4
Menurut Sony Kerap, yang menjadi hak karyawan dalam perusahaan
adalah :
 Hak atas pekerjaan dalam makna sikap hormat terhadap harkat dan
martabat manusia (karyawan) karena dalam makna lain, hak atas
pekerjaan berarti hak atas kehidupan.
 Hak atas upah yang adil dalam pengertian upah minimun yang
layak, bagi penghidupan yang layak. Atas upah yang layak tersebut
pasar dapat ikut menentukan tingkat upah yang sebenarnya berlaku.
 Hak untu bersyarikat. Ini menjadi penting berangkat dari asumsi,
karyawan itu selalu berada dalam posisi yang lemah. Untuk itulah
serikat pekerja menjadi kekuatan yang efektif dalam
memperjuangkan hak-hak mereka.
 Hak atas perlindungan keamanan dan kesehatan.5
3
Sondang P Siagian, Etika Bisnis, (Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo, 19960) h. 178
4
Ibid, h. 178
K. Bertens menyebut kewajiban karyawan terhadap perusahaan ada
tiga. Pertama, kewajiban ketaatan. Ketaatan merupakan sebuah konsekuensi
dari hubungan kontraktual tersebut, namun tidak berarti seluruh perintah
atasan harus ditaati. Dalam tingkat tertentu, karyawan boleh untuk tidak taat
jika, 1). Perintah itu mengarah pada perbuatan yang bertentangan dengan
moral. 2). Perintah yang tidak wajar kendati dari segi etika tidak ada
persoalan. 3). Perintah yang lahir di luar kesepakatan bersama. Kedua,
Kewajiban Konfidensialitas. Kewajiban ini maksudnya kewajiban untuk
menyimpan informasi yang bersifat konfidensial–dan karena itu rahasia-yang
telah diperoleh dengan menjalankan sebuah profesi. Ketiga, Kewajiban
loyalitas. Kewajiban ini terlihat dalam bentuk dukungan yang penuh dari
setiap karyawan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan perusahaan.6
Dalam perspektif bisnis Islam, nilai-nilai moral yang diungkap di
atas memiliki pijakan yang jelas dan tegas dalam ajaran kitab suci.
Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia merupakan ajaran alQur’an karena pada hakikatnya manusia dihadapan Allah memiliki
kedudukan yang sejajar. Inilah yang telah kita sebut di muka dengan
persamaan (al-musawah) atau egalitarian.
Bahwa seorang karyawan harus taat pada atasan selama pada hal-hal
yang dibenarkan syari`at, harus memiliki kewajiban konfidensialitas, harus
loyal kepada atasan dan mengerahkan segala kemampuan dan keterampilan
yang dimiliki untuk mendukung tujuan perusahaan adalah nilai-nilai yang juga
memiliki referent dalam ajaran Islam.
Berkaitan dengan upah dalam ungkapan yang cukup padat, Rasul
SAW pernah menyatakan, Bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya.
Begitu pentingnya doktrin ini sampai-sampai pemerhati buruh/ pekerja
muslim Indonesia yang bernama Eggy Sujana (Pengurus pusat PPMI)
menjadikannya sebagai judul buku yang diterbitkan oleh organisasi pekerja
muslim tersebut. Tentu saja hadis ini mengandung interpretasi yang
bermacam-macam. Bisa dikatakan hadis itu menunjukkan pembelaan Islam
terhadap kaum buruh, yang selalu saja berada pada posisi yang lemah. Seperti
yang pernah disinyalir oleh Sony Kerap, para majikan (pimpinan) seringkali
5
A. Sonny Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis : Membangun Citra Bisnis Sebagai
Profesi Luhur, (Yogyakarta; Kanisius, 1995), h.120-125
6
K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), h.171-173
lebih memperhatikan kepentingan pemilik modal ketimbang kepentingan
buruh.7
Bisa juga ditafsirkan bahwa hadis tersebut mengandung perintah, agar
majikan tidak menunda-nunda upah karyawannya karena hal tersebut
berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan hidup para karyawan. Lebih
penting dari itu, majikan harus memberi upah yang pantas dan adil bagi
karyawannya.
Namun disnilah masalahnya, apa yang dimaksud dengan adil tersebut.
Secara tradisional, keadilan itu dapat di bagi kepada tiga, keadilan legal,
keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan legal dalam konteks
bisnis berarti bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlakuan hukum
yang sama dalam bidang usaha, berhak memperoleh dan dijamin haknya.
Keadilan distributif menyangkut perlakuan yang sama kepada setiap orang
baik menyangkut hal-hal yang baik atau menguntungkan ataupun yang tidak
menguntungkan. Setiap pelaku bisnis berhak memperoleh apa yang menjadi
haknya sesuai dengan imbalan jasa yang diberikan. Sedangkan keadilan
komutatif mengandung pengertian bahwa setiap perusahan harus
memberikan upah atau gaji sesuai dengan jasa yang mereka sumbangkan.8
Ada lagi teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls yang sering
disebut keadilan sebagai fairness, terkadang disebut dengan keadilan distributif
dan keadilan egaliter. Disini setiap orang memiliki kedudukan yang sama,
bebas dan rasional dalam membicarakan hak dan kewajiban, sehingga
masing-masing pihak dapat menentukan kebutuhan hidupnya secara fair.
Dalam konteks upah, bisa saja sebelum terdapat kontrak, majikan dan buruh
harus menyepakati terlebih dahulu upah yang akan dibayar.
Agaknya, adil yang merupakan pesan implisit dari hadis di atas
merupakan sebuah nilai yang perlu diterjemahkan agar aplikatif. Lebih mudah
memahaminya jika dibantu dengan mengungkap lawan katanya yaitu zalim
(gelap, teraniaya). Artinya, upah yang diberikan majikan mungkin sangat
minimal sehingga, buruh tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan
pokoknya sehari-hari, akhirnya buruh itu menjadi teraniaya. Dalam konteks
hari ini, jika pemerintah telah menetapkan UMR (upah minimun Regeional),
majikan tidak boleh menetapkan upah buruhnya di bawah standar minimun
tersebut.
Seperti yang telah diuraikan di muka, hubungan antara perusahaan
dengan karyawan adalah hubungan yang bersifat kontraktual
yang
7
8
Ibid,.
Ibid, h. 106-107. Bandingkan, K.Bertens, op.cit, h.89-90
didalamnya terkandung hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dapatlah
dikatakan apa yang menjadi kewajiban karyawan merupakan hak perusahaan,
sebaliknya apa yang menjadi hak karyawan merupakan kewajiban perusahaan
yang harus ditunaikan.
Hubungan antara karyawan dan majikan akan berjalan dengan
harmonis, jika masing-masing pihak menjalankan hak dan kewajibannya
secara dewasa dan bertanggungjawab. Sesunguhnya suatu kontrak merupakan
sebuah perjanjian, untuk itu ia harus dipenuhi. Pernyataan ini penting karena
sifatnya yang sangat mendasar bagi penyelenggaraan kegiatan bisnis,
termasuk dalam pemeliharan hubungan majikan dengan karyawan (buruh).
Berkaitan dengan konsep Islam, kontrak yang disebut dengan aqad
dan `ahd (janji) merupakan sesuatu yang harus ditunaikan karena sangat
berhubungan dengan amanah (kepercayaan). Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
memerintahkan umatnya untuk menunaikan amanah dan janji. Diantaranya
dapat dilihat pada surah al-nisa’ :58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”. Dalam
surah al-Ma`arij: 32 yang artinya “Dan orang-orang yang memelihara amanatamanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya”. Pada surah al-Isra’ :34 Allah
berfirman, “Dan sempurnakanlah janji, sesungguhnya janji itu akan diminta
pertanggungjawaban”.
Pelanggaran terhadap kontrak (aqad) yang telah disepakati antara
majikan dan buruh, tidak saja akan menjadikan hubungan keduanya tidak
harmonis, melainkan lebih dari itu ada pihak-pihak yang dirugikan. Jika
pelanggaran itu dilakukan oleh karyawan, akibatnya yang mengalami kerugian
adalah perusahaan dan pada gilirannya ia juga akan terkena akibatnya. Apabila
yang melanggar adalah majikan, dan ini yang lebih sering terjadi, maka yang
dirugikan adalah buruh. Akibatnya terjadi apa yang disebut dengan eksploitasi
terhadap buruh yang menjadikan haknya menjadi berkurang.
Dalam bahasa al-Qur’an, perbuatan tersebut disebut dengan khianat
yang bermakna al-naqs (pengurangan) terhadap hak-hak salah satu pihak.
Dalam surah al-anfal ayat 27 dinyatakan, “Hai orang-orang yang beriman,
Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasulnya dan mengkhianati amanah-amanah
di antara sesama kamu, sedang kamu mengetahuinya”. Para mufassir menyatakan,
pada hakikatnya, pelanggaran terhadap amanah yang berlangsung antara
sesama manusia berarti juga melanggar amanah Allah dan Rasulnya.
Jika demikian hubungan yang perlu dibangun antara majikan dan buruh
adalah saling percaya dengan sama-sama menjaga amanah dengan cara
menunaikan hak dan kewajiban secara bertanggungjawab. Hasilnya tentu
positif, akan terbangun hubungan yang harmonis penuh pengertian dan
suasana kerja yang kondusif. Pada gilirannya hal ini akan mendukung
produktifitas kerja sehingga perusahaan dapat mencapai tujuannya dan para
karyawan akan mendapatkan kemakmuran.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diberikan beberapa contoh
kasus berkaitan dengan hubungan majikan dan buruh.
Kasus I. Perintah Atasan.
Indrawati bekerja untuk perusahaan PT Konstruksi ABC. Pak Taufiq
Rachman atasan langsungnya, telah membuat kalkulasi untuk sebuah proyek
pembangunan dan dalam tender PT Konstruksi ABC akan memperoleh
keuntungan proyek pembangunan atas dasar kalkulasi tersebut. Walaupun
kontrak sudah ditandatangani, atasan Indrawati meminta kepadanya untuk
mencek lagi perhitungannya. Dalam menjalankan tugas ini, Indrawati
menemukan sebuah kekhilafan. Akibatnya, perusahaan akan mengalami
kerugian kecil dengan proyek ini dan tidak memperoleh keuntungan yang
diharapkan. Indrawati melaporkan temuan ini kepada atasannya. Pak Taufiq
menyuruhnya untuk tidak memperhatikan kekhilafan tersebut dan meminta
untuk tidak menceritakannya kepada siapapun. Kalau tidak, ia langsung
dipecat. Pak Taufiq sendiri tidak melaporkan kekhilafan tersebut kepada
direksi perusahaan.
Kasus II. Membeli Gorden Dan Karpet
Pak Ali dan Mbak Susi adalah karyawan PT.Maju Terus. Pak Ali adalah
manager gedung perkantoran dan Susi sekretaris Direktur. Ruang kerja
direktur membutuhkan gorden dan karpet baru. Ali pergi ke toko Senang di
mana ia sudah menjadi pelanggan sejak bekerja pada PT Maju Terus.
Direktur menyuruh mbak Susi untuk menemani pak Ali, karena ia
berpendapat bahwa Mbak Susi mempunyai selera yang tepat dalam memilih
warna gorden dan karpet yang dianggap cocok. Pemilik toko membuat
kwitansi yang menunjukkan harga 20 % lebih tinggi dari harga gorden dan
karpet yang disebut oleh pemilik toko. Mbak Susi berbisik menunjukkan
keheranannya. Ali menjawab bahwa hal itu biasa saja dan nanti Susi juga akan
mendapatkan sebagian dari “komisi” tersebut.
Dari dua kasus di atas terlihat beberapa persoalan etis yang berkaitan
pola hubungan majikan dan buruh. Pada kasus I, sebenarnya sikap yang di
ambil oleh Indrawati sudah benar untuk melaporkan kondisi yang
sebenarnya. Tapi perintah atasan memaksa ia harus diam dan tidak
melaporkan penyimpangan tersebut. Dalam hal ini, semestinya Susi tidak
harus patuh pada atasannya, karena perintah tersebut bertentangan dengan
ajaran agama. Demikian juga pada kasus II. Sikap pak Ali yang melakukan
korupsi sebenarnya dari sisi etika sangat bertentangan dengan loyalitas yang
seharusnya diberikan karyawan dengan cara tidak merugikan perusahaan.
Komisi yang diambilnya merupakan satu kerugian bagi perusahaan.
B. Rangkuman:
 Hubungan antara majikan dan buruh adalah hubungan kontraktual.
Masing-masing pihak mengikatkan diri pada sebuah perjanjian kerja.
Konsekuensi perjanjian kerja tersebut menjadikan masing-masing
pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.
 Agar hubungan kerja tersebut berjalan harmonis maka masing-masing
pihak harus berprilaku amanah.
 Dalam perspektif bisnis Islam, hubungan kerja harus dijalankan atas
dasar persamaan manusia ,saling menghargai. Segala bentuk
eksploitasi majikan terhadap buruh apakah melalui institusi upah yang
tidak layak, menafikan harkat kemanusiaan adalah sesuatu yang
ditolak.
C. Pertanyaan :
1. Apakah yang mendasari hubungan majikan dengan buruh ?
2. Jelaskan kewajiban majikan (Perusahaan) terhadap buruh menurut
Sondang P Siagian ?
3. Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam sebuah hadis, “Bayarlah
upah buruh sebelum kering keringatnya ?”. jelaskanlah maksud hadis ini
?.
BAB XI
ZAKAT DAN PERMASALAHANNYA
Dalam bukunya Perspektif Deklarasi Makkah, Dawam
Rahardjo
menjelaskan dua konsep doktrin sosial ekonomi Islam. Doktrin pertama
dikemukakan dalam bentuk negatif, yaitu larangan riba. Kedua, diungkap
dalam bentuk positif, yaitu perintah menunaikan zakat, sadaqah dan infaq.
1
Kedua konsep ini saling berkaitan dalam arti, zakat bisa berperan dalam
mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup ekonomi ummat,
selama praktek riba dengan segala variasinya benar-benar lenyap dari
kehidupan umat. Selama praktek riba masih berjalan, zakat tidak akan
berperan apa-apa.
Zakat menurut Abdul Mannan dapat berperan dalam bidang moral,
sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis habis sifatsifat ketamakan, keserakahan orang-orang kaya Dalam bidang sosial, zakat
dapat berfungsi menghapuskan kesenjangan sosial antara si kaya dan si
miskin serta menyadarkan si kaya dari tanggung jawab sosialnya sedangkan
dalam bidang ekonomi, zakat menghindarkan akumulasi modal pada tangan
segelintir orang yang dapat merusak mekanisme pasar.2
Jika demikian zakat, infaq dan sadaqah memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam struktur ajaran mu`amalah Islam. Ini ditunjukkan dengan
disebutkannya perintah wajib untuk mengeluarkan zakat sebanyak 36 kali dan
1
M.dawam rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah, (Bandung: Mizan, 1992), h.141-142
M.Abdul Mannan, Teoroi Dan Peraktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti wakaf, 1995 ), h.
256
2
21 kali dirangkaikan dengan kewajiban shalat. Isyarat al-Qur’an menunjukkan
bahwa zakat merupakan sumber utama kas negara (bait al-maal).
Zakat merupakan soko-guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan
al-Qur’an.3 Kebalikannya orang-orang yang menolak untuk membayar zakat
dianggap sebagai orang yang kafir dan wajib untuk diperangi. 4
A. Pengertian
Zakat berasal dari kata, zaka, yazki, zakatan yang berarti mensucikan
sesuatu, tumbuh dan berkembang.5 Menurut istilah, zakat berarti nama dari
benda yang dikeluarkan baik dari harta atau pribadi dengan cara-cara yang
telah ditentukan. Dalam definisi lain, zakat adalah memilikkan sebagian dari
harta tertentu dengan bagian tertentu kepada pihak tertentu. 6
Dari definisi di atas jelaslah bahwa ada empat unsur dalam zakat, 1)
harta yang dikeluarkan, 2) Orang yang mengeluarkan zakat (muzakki), 3)
Orang yang berhak menerima zakat (mustahaq atau al-asnaf) dan, 4) Ukuranukuran harta yang dizakatkan.
Adapun yang menjadi dalil zakat adalah Q.S. al-Baqarah /2: 43) yang
artinya, Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat” Pada surah al-Taubah/10:103,
Allah SWT juga memerintahkan untuk menunaikan zakat dengan firmannya,
Ambillah zakat sebagian dari harta mereka, dengan zakat itu kami membersihkan dan
mensucikan mereka”. Sedangkan dalil yang berasal dari hadis adalah pernyataan
3
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta : Al-Kaustar, 2000), h. 75
Ibid.,
5
Lois Ma`luf, Munjid fi al-lugat wa al-a`lam (Libanon, Dar al- Masyriq, 1986), h.303
4
6
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, juz I (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), h.730
Rasul tentang Rukun Islam yang lima dan salah satunya adalah menunaikan
zakat.
Berkaitan dengan syarat –syarat penunaian zakat adalah :
a. Berkenaan dengan pemilik harta orang yang berzakat haruslah,
Islam, baligh, dan berakal.
b. Berkenaan dengan harta yang akan dizakatkan, harta tersebut harus
mencapai : nisab (kadar
yang ditentukan oleh syara`), haul
(kepemilikan terhadap harta selama satu tahun qamariyah), al-milk
al-tam (kepemilikan yang sempurna atau bukan harta syarikat). 7
Adapun harta yang wajib dizakati :
a. Zakat binatang ternak (lembu, kambing, kerbau).
b. Emas dan Perak.
c. Hasil perniagaan
d. Barang tambang
e. Hasil pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma dan anggur)
f. Hasil dari sebuah profesi.8
Sedangkan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq, asnaf) yang
berhak menerima zakat adalah seperti yang terdapat pada surah al-taubah: 60
1. Fakir dan Miskin
2. Amil Zakat
3. Mu’allaf (Orang yang hatinya perlu dilunakkan)
4. Orang yang memerdekakan hamba
5. Orang yang berhutang
6. Orang yang berjuang pada jalan Allah.
7
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, terj. Salman harun, Didin Hafiduddin dan Hasanuddin, (Jakarta :
Lentera antar Nusa,1999), h. 507-508
7. Ibn Sabil
Terkesan dari penjelasan di atas, para penerima zakat itu sangat
ditekankan pada individu-individu yang mengalami himpitan ekonomi.
Apakah badan-badan sosial seperti lembaga pendidikan, masjid berhak
menerima zakat ?. Memang secara eksplisit tidak ada ditemukan nas yang
menyebut bahwa institusi atau lembaga-lembaga Islam yang membutuhkan
bantuan material berhak menerima zakat. Namun secara implisit, hal itu
dibenarkan. Alasannya adalah, ketika Allah menyebut orang yang berhutang
(garim) atau fi sabilillah, termasuklah didalamnya, institusi-institusi keagamaan
selama institusi itu bergerak untuk penyebaran syiar Islam dan pemberdayaan
ummat Islam.
Perkembangan pemikiran tentang zakat menunjukkan bahwa zakat
tidak hanya diberikan kepada individu saja dan tidak pula bersifat konsumtif
tetapi sudah produktif.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa zakat dapat diberikan dengan cara :
1. Zakat diberikan langsung kepada fakir miskin untuk keperluan
konsumtif. Dalam konteks perubahan sekarang ini, maka bagian
zakat ini diserahkan kepada
golongan “the destitude” yang
sifatnya “relief” dan berjangka pendek.
2. Zakat diberikan kepada mereka yang terlibat dalam kegiatan
pendidikan dan da`wah, yang dalam taraf hidup kekurangan.
3. Sebagian zakat dan infaq dipergunakan untuk membangun sarana
pendidikan dan da`wah Islam.
4. Sebagian kecil zakat kini telah mulai diarahkan untuk tujuan
“produktif”, baik berupa hibah maupun pinjaman tanpa bunga
8
ibid., h. 122-164
bagi golongan miskin tetapi tidak tergolong “the destitude”, dengan
harapan mereka bisa melepaskan diri dari kemiskinan, bahkan
dalam jangka waktu tertentu diharapkan bisa menjadi muzakki,
setidak-tidaknya dalam zakat fitrah.
5. Bagian yang lain, yang jumlahnya mungkin kecil bisa dimanfaatkan
oleh `amil. Di sini konsep `amil mengalami pergeseran dari individu
ke lembaga. Dana zakat ini diharapkan mampu memperbaiki
organisasi pengelolaan zakat tersebut.9
B. Zakat Profesi
Melihat jenis-jenis harta yang wajib dizakatkan, terkesan bahwa ajaran
zakat turun pada masyarakat agraris (pertanian) dan masyarakat industri
(perdagangan). Wajarlah jika harta yang dizakatkan itu mengacu pada hasil
bumi dan hasil-hasil perdagangan. Namun sehubungan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang membawa perubahan-perubahan
besar dalam kehidupan manusia, memunculkan kebutuhan manusia terhadap
jasa.
Jadi yang diproduk manusia ternyata tidak hanya barang (materi) juga
jasa, seperti jasa bantuan hukum yang diberikan para pengacara. Demikian
juga para dokter, dosen, teknokrat yang juga bergerak dalam bidang
pelayanan jasa dan dalam kenyataannya penghasilan dari profesi yang mereka
jalankan jauh lebih besar dari penghasilan yang diperoleh para petani atau
pedagang. Persoalannya adalah apakah mereka juga dikenakan kewajiban
zakat ?
Yusuf Qardawi dalam karyanya yang terkenal Fiqih Zakat telah
membicarakan persoalan zakat profesi ini. Menurutnya, pekerjaan yang
menghasilkan uang ada dua macam. Pertama, pekerjaan yang dikerjakan
sendiri tanpa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun
otak.
Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini adalah penghasilan
profesional seperti penghasilan seorang advokat, insinyur, dokter, akuntan
dan sebagainya. Kedua, pekerjaan yang dilakukan seseorang buat orang lain
atau pemerintah, baik melalui tangan atau otak yang atas pekerjaan itu ia
mendapatkan upah, gaji atau honorarium. 10
Yusuf Qardawi berkesimpulan tentang zakat profesi sebagai berikut :
Siapa yang memperoleh pendapatan tidak kurang dari pendapatan
seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang
sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali
modal dan persyaratan-persyaratannya. Berdasarkan hal itu maka seorang
dokter, insinyur, advokat dan sebagainya wajib mengeluarkan zakat
berdasarkan keumuman ayat al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 267 yang
artinya, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian hasil usaha yang kalian
peroleh”.11
Qardawi melanjutkan, Islam tidak mungkin mewajibkan zakat atas
petani yang memiliki lima faddam (1 faddam = ½ ha), sedangkan atas pemilik
usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddam tidak dikenakan
kewajiban zakat, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya
9
Dawam Rahardjo, Islam Dan Trabsformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta : LSAF, 1999), h.507-508.
10
11
Yusuf al-Qardhawi, op.cit,. h. 461
Ibid ., h. 481
sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari
tanahnya.12
Persoalan yang tampaknya belum selesai adalah berapa besar zakat
yang harus dikeluarkan dari sebuah profesi ?. Tampaknya para ulama setuju
sampai pada angka 2,5 %. Ada yang menyebutnya 10 % - 20 % dengan
menyamakannya dengan harta temuan (rikaz) yang zakatnya 10 % sampai 20
%.13
Di Indonesia angka 2,5 % ini pernah dipersoalkan oleh Amin Rais
dengan mengatakan, ketika para ulama menetapkan angka 2,5 % , profesi
modern seperti sekarang ini belumlah muncul. Hari ini cukup banyak profesi
yang mendatangkan uang secara gampang dan melimpah seperti komisaris
perusahaan, bankir, pialang, dokter spesialis, pemborong berbagai konstruksi,
eksportir, importir, akuntan, notaris, bahkan artis dan berbagai penjual jasa,
serta bermacam profesi white collar lainnya, Apakah bagi mereka wajar
dikenakan zakat 2,5 %.
Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf
menetapkan zakat Profesi sebesar 2,5 % berdasarkan qiyas kepada zakat
perdagangan yang nisabnya disesuaikan dengan nisab emas yaitu 94 gram
emas. Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengqiyaskan zakat profesi
dengan zakat pertanian. Sehingga, menurutnya beban zakat setiap pendapatan
sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya, seperti ukuran
beban petani dalam mengairi sawahnya, yaitu 5 % atau 10 %. 14
Menurut Didin Hafidhuddin dalam bukunya Zakat dalam Perekonomian
Modern, zakat profesi itu dapat dianalogikan kepada dua hal sekaligus, yaitu
12
13
Ibid .,
Mashfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta : Haji Masagung, 1993), h. 223
pada zakat pertanian dan zakat emas dan perak. Dari sudut nishab
dianalogkan kepada zakat pertanian yang zakatnya dikeluarkan pada saat
panen. Sedangkan dari sudut kadar zakat dapat dianalogkan kepada zakat
emas dan perak yang zakatnya 2,5 %.15
Dari sisi istinbat (penetapan) hukum Islam qiyas yang dilakukan para
ulama tersebut seperti yang dikritik oleh Muhammad yang menulis buku
Zakat Profesi Wacana Pemikiran dalam Fikih Kontemporer, menimbulkan
kemusykilan-kemusykilan (kesulitan) tersendiri seperti masalah epistemologi
hukum Islam yang belum kukuh (debatable). Sebagai contoh bagaimana
mungkin mengqiyaskan zakat profesi dengan perdagangan yang haul dan
nisabnya masih diperselisihkan. Kesulitan berikutnya adalah, hasil dari qiyas
tersebut belum mampu menjawab cita keadilan hukum Islam. Terlepas
apakah mengqiyaskannya dengan zakat pertanian, perdagangan, atau rikaz,
yang jelas implikasinya adalah terjadi pembebanan baru terhadap orang-orang
yang memiliki profesi, tetapi gajinya tidak mencukupi dan sekali lagi hal ini
bertentangan dengan cita keadilan Islam.16
Sebagai contoh, jika qiyas zakat profesi berdasarkan zakat pertanian,
maka pegawai yang penghasilannya hanya Rp.250.000 dikenakan kewajiban
zakat karena disamakan dengan hasil seorang petani. Argumentasinya, nisab
zakat pertanian adalah 750 Kg beras. Untuk mengetahui jumlah gaji pegawai
yang besarnya setara dengan zakat pertanian, maka zakat pertanian ini harus
disesuaikan terlebih dahulu. Misalnya petani dalam setahun mengalami dua
kali panen maka hasilnya, 750 Kg X Rp.2000 = Rp. 1.500.000.-. karena dua
14
Lihat, Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta : GIP Pers, 2002), h.96-97
Ibid.,
16
Muhammad, Zakat Profesi Wacana Pemikiran dalam Fikih Kontemporer,(Jakarta : Salemba
Diniyyah, 2002), h. 64-65
15
kali panen menjadi, Rp.1.500.000 X 2 = Rp. 3.000.000,-. Dibagi 12 bulan,
sehingga pendapatan petani perbulannya adalah Rp. 250.000. Jadi apabila
pendapatan seorang pegawai telah mencapai Rp. 250.000, maka ia wajib
membayar zakat profesinya.17
Lebih musykil lagi jika diqiyaskan dengan harta temuan, maka setiap
menerima gaji, pegawai tersebut wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 20 %
dan ini merupakan angka yang cukup tinggi.
Berangkat dari kemusykilan-kemusykilan yang terjadi dalam penentuan
kadar zakat profesi, maka perlu ditempuh jalan lain. Jalaluddin Rakhmat,
menawarkan cara baru untuk menemukan landasan kewajiban zakat profesi
dengan cara merujuk ayat-ayat al-Qur’an dan meninggalkan metode qiyas
yang selama ini digunakan para ulama.
Menurutnya zakat profesi itu memiliki landasan dalil yang kuat seperti
yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-anfal ayat 41 yang berbicara tentang
khumus (perlimaan) berkenaan dengan ghanimah (harta rampasan perang) yang
dapat juga berarti keuntungan. Jika orang yang berperang pada jalan Allah
dengan mengorbankan nyawa, harta dan keluarga sanggup mengeluarkan 20
% dari hasil rampasan perangnya, maka sejatinya kaum profesional yang
dengan mudah mendapatkan uang, seharusnya juga mampu mengeluarkan
jumlah sebesar itu karena penghasilan profesi juga dapat disebut dengan
ghanimah. Jika demikian hasil ghanimah tersebut harus dikeluarkan khumus
(perlimaan) atau 20 %. Jelaslah bahwa kadar zakat profesi itu sebesar 20 %
dengan berdasarkan dalil al-Qur’an dan Hadis.18
17
18
Ibid.,
Ibid.,
Penting untuk ditegaskan secara sederhana ada dua jenis profesi,
profesi yang penghasilannya cukup besar seperti profesi white collar yang telah
disebut di muka dan mereka mendapatkannya dengan mudah dan profesi
yang penghasilannya sekedar cukup, seperti guru, karyawan disebuah
perusahaan dan lain-lain. yang dikenai zakat profesi adalah yang profesi yang
pertama saja sedangkan yang kedua tidak.
Terlepas dari perdebatan epitemologis zakat profesi yang telah
diungkapkan di muka, dengan berpijak pada cita keadilan sosial dan keadilan
ekonomi seperti yang dinyatakan al-Qur’an maka perlu diperhatikan kembali
panduan al-Qur’an mengenai harta yaitu seperti, harta kekayaan tidak boleh
berputar pada sebagian orang saja (Q.S: al-Hasyar/ 59:7), Orang yang
bertaqwa adalah orang yang menyadari bahwa dalam harta kekayaannya ada
hak milik orang lain (Q.S: al-Zariyat /51:19).
C. Dimensi Etis ZIS
Dari gambaran di atas, tampaklah yang dibayarkan untuk menunaikan
perintah zakat adalah harta (al-amwal) dengan segala jenis dan bentuknya. Ini
menunjukkan betapa harta tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Wajarlah jika al-Qur’an menyebutnya dengan
mata’ yang berarti sumber kenikmatan dan kesenangan dalam kehidupan
duniawi (Q.S:3;14).
Jelaslah bahwa Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk mencari
kekayaan yang sebanyak-banyaknya. Namun harus diingat bahwa pemilik
mutlak harta itu adalah Allah SWT sedangkan manusia hanyalah sebagai
pengemban amanah untuk mengelola dan memanfaatkannya pada jalan
kebaikan. Tentu saja sebagai pemegang amanah manusia akan diminta
pertanggunganjawab terhadap hartanya baik cara memperolehnya ataupun
cara mengkosumsinya.
Berkaitan dengan konsep pemilikan dan tanggungjawab di atas, maka
kitab suci mengajarkan fungsi sosial harta. Dalam al-Qur’an ada ditemukan
ungkapan, “…dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi yang
meminta dan orang yang tidak memiliki apa-apa. (Q.S: al-Zariyat / 59:19).
Dalam konteks inilah sering dipahami menurut ajaran Islam hak milik
pribadi sangat diakui dan dilindungi oleh hukum, namun pada milik pribadi
tersebut terdapat hak milik orang lain yang harus dikeluarkan baik melalui
institusi zakat, infaq dan sadaqah (pemberian suka rela tanpa ada ketentuan).
Lebih dari itu pemberian harta kepada orang yang membutuhkan
bukanlah hanya sekedar manifestasi keimanan seseorang kepada Tuhannya,
melainkan satu bentuk komitmen sosial muslim terhadap muslim lainnya.
Singkatnya, zakat dalam Islam bukan hanya mengandung dimensi etis
teologis tetapi juga etis sosial ekonomi.
Adalah
menarik
ternyata
dikalangan
umat
Islam
muncul
kecenderungan untuk melihat zakat tidak lagi semata-mata kewajiban seorang
muslim untuk mengeluarkan hartanya dalam kerangka mendapat perkenan
(rida) Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap
sesama manusia. Zakat telah dihubungkan dengan persoalan ekonomi.
Ketika
zakat
dihubungakn
dengan
masalah
ekonomi,
maka
konsekuensinya adalah sumber pendapat zakat akan semakin besar karena
sector ekonomi yang terus berkembang. Paling tidak sumber-sumber zakat
dalam perekonomian modern adalah, zakat profesi, zakat perusahaan, zakat
surat-surat berharga, zakat perdagangan mata uang, zakatb hewan ternak
yang diperdagangkan, zakat madu, zakat investasi property, zakat asuransi,
zakat usaha tanaman anggrek, sarang burung wallet, ikan hias dan zakat
sektor rumahtangga modern.19
Jika seluruh potensi zakat ini dapat diberdayakan semaksimal mungkin,
maka cukup banyak harta umat Islam ini yang dapat dikumpulkan untuk
selanjutnya dimanfaatkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat
Islam sendiri.
Realitas yang tidak bisa ditolak bahwa secara sosiologis terdapat
sekelompok manusia yang hidup serba kekurangan dan pada sisi lain terdapat
sekelompok manusia yang hidup serba mewah. Di sini diperlukan pemikiran
rasional bagaimana mengangkat derajat kehidupan orang miskin menjadi
lebih baik. Dengan demikian zakat dipahami sebagai realokasi sumbersumber ekonomi. Ketika zakat dilihat sebagai satu bentuk realokasi
sumber-sumber ekonomi, maka pengelolaan dan penggunaannya
harus
dilakukan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan manfaat konsumtif atau
produktif yang maksimal.
Seperti apa yang telah disebut Mannan di muka, zakat dapat berfungsi
secara moral, sosial dan ekonomi. Fungsi moral zakat agar menjadikan orang
tidak rakus, tamak, serta fungsi sosialnya untuk mengikis kesenjangan
ekonomi antara si kaya dengan si miskin dan fungsi ekonominya agar harta
tidak terakumulasi pada segelintir orang, haruslah diterjemahkan dalam
bentuk yang lebih konkrit dengan cara memberdayakan zakat secara
maksimal. Untuk itulah para pakar telah merumuskan, bagaimana zakat itu
benar-benar
sebagai
satu
bentuk
kebijaksanaan
ekonomi
untuk
memberdayakan orang yang tidak mampu. Diantara upaya yang dilakukan
adalah melalui BAZ dan LAZ.
19
Lihat lebih luas dalam, Didin Hafidhuddin, op.cit. h. 91-121
Melalui BAZ dan LAZ ini diharapkan zakat umat Islam bisa
terkonsentrasi pada sebuah lembaga resmi. Dari lembaga inilah mengalir
kebijakan-kebijakan sehingga zakat bisa disalurkan tidak hanya dalam bentuk
yang bersifat konsumtif sesaat, tetapi lebih penting dari itu bagaimana zakat
bisa memberdayakan pengusaha kecil dengan suntikan-suntikan dana (qard alhasan), atau yang bersifat peningkatan sumber daya manusia melalui
pemberian bea siswa dan sebagainya.
Sayangnya sampai hari ini zakat masih mengandung satu persoalan
yang cukup serius, yaitu masalah kepercayaan umat. Fenomena di masyarakat
menunjukkan mereka tidak begitu percaya terhadap BAZ. Untuk
membangkitkan kepercayaan ummat Islam terhadap BAZ, maka ada
beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, Perlunya dilakukan
transformasi pemahaman dan pemikiran umat Islam terhadap zakat sebagai
konsep ibadah kepada zakat sebagai konsep mu`amalah yang memiliki peran
yang signifikan dalam membangun kehidupan ekonomi umat Islam. Kedua,
Sosialisasi BAZ di tengah-tengah umat Islam dengan melibatkan para ulama,
para da`i, diiringi dengan publikasi yang menunjukkan transparansi
pengelolaan zakat oleh BAZ dengan memanfaatkan media massa. Lebih
lanjut dari itu, BAZ harus mampu menunjukkan mustahiq yang berhasil
menjadi muzakki atas pembinaan BAZ. Ini penting untuk memotivasi ummat
untuk lebih yakin terhadap BAZ. Ketiga, membangun kerja sama dengan
masjid-masjid yang pada gilirannya amil tradisional yang di masjid menjadi
perpanjangan tangan BAZ. Kerja sama ini juga bisa dilakukan dengan
lembaga amil Zakat diperusahaan-perusahaan, BUMN, baik negeri maupun
swasta. Keempat, orang-orang yang berada di BAZ harus memiliki track record
yang positif di mata umat. Mereka harus memiliki integritas (siddiq), public
accontability (amanah, transparansi (tabligh), dan kompetensi (fatonah). Hemat
penulis sebaiknya BAZ dikelola bukan oleh “orang-orang pemerintah” dan
bukan pula orang-orang yang telah memiliki jabatan tertentu baik yang
bersifat politis atau struktural, sehingga diharapkan kerja di BAZ bukan kerja
sambilan melainkan kerja yang membutuhkan keseriusan dan menuntut
profesionalisme. Pada tempatnyalah BAZ belajar dari Dompet Du`afa yang
sedang eksis sekarang ini.
Penjelasan ini hanya ingin menunjukkan, bahwa nilai-nilai keadilan,
persaudaraan, kepeduliaan antar sesama yang dikandung pada perintah zakat
harus diikuti dengan pengelolaan yang baik dan profesional. Tanpa upaya
seperti ini, cita sosial yang dikandung zakat tidak akan berfungsi dengan baik.
Dalam uraian yang cukup panjang, Qardawi mengatakan bahwa, zakat
merupakan lambang pensyukuran nikmat, pembersihan jiwa, pembersihan
harta dan pemberian hak Allah, hak masyarakat, dan hak orang yang lemah.
Pandangan ini mengharuskan bahwa zakat itu harus dipungut dari orangorang yang telah terkena kewajiban zakat.
D.Rangkuman
1. Zakat dalam Islam merupakan sebuah ajaran
sosial al-Qur’an
dalam kerangka mewujudkan keadilan sosial ekonomi dengan cara
menghindarkan akumulasi kekayaan pada segelintir orang.
2. Dimensi etis yang dikandung zakat adalah, secara moral zakat
berfungsi untuk membersihkan jiwa dan harta pemiliknya,
mengikis sifat tamak dan rakus serta memupuk rasa persaudaraan.
Aspek sosial yang ingin dicapai oleh ajaran zakat adalah
memperkecil kalau tidak mungkin menghapus kesenjangan yang
timbul antara si kaya dengan si miskin.
3. Dalam
tinjauan
ekonomi,
zakat
merupakan
satu
bentuk
kebijaksanaan ekonomi dengan melakukan realokasi sumbersumber ekonomi melalui pemberdayaan zakat agar tidak hanya
berfungsi secara konsumtif melainkan juga produktif.
E. Pertanyaan
1. Jelaskan pengertian zakat secara bahasa dan istilah ?
2. Tuliskan benda-benda yang wajib dizakati dan orang- orang yang
berhak menerima zakat.
3. Jelaskan dimensi etis zakat ?
Etika Bisnis Islam
BAB XII
RIBA DAN MASALAHNYA
A. Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna bertambah, dan tumbuh. Sedangkan
menurut istilah riba yang dalam bahasa Inggris disebut dengan usury berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.1 Kendati
para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan riba, namun ada benang
merah yang menghubungkannya yaitu, pengambilan tambahan dalam
transaksi jual beli atau hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan
prinsip muamalat Islam.
Ulama telah sepakat bahwa riba hukumya haram. Hal ini ditunjukkan
oleh beberapa ayat al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad SAW. Diantaranya
terdapat pada surah al-Baqarah /2; 278, 279 dan ali- Imran /3;130. sebenarnay
dalam agama selain Islampun khususnya agama samawi riba tetap dilarang.
Sampai abad ke-13, ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba
dilarang oleh gereja dan hukum canon. Akan tetapi, pada akhir abad ke-13,
pengaruh geraja ortodoks mulai melemah dan orangpun mulai berkompromi
dengan riba. Bacon seorang tokoh saat itu menulis dalam buku, Discource on
Usury, “karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya
1
Syafi`i Antonio, Perbankan Syari`ah , Wacana Ulama Dan Cendikiawan, (Jakarta: BI dan Tazkia
Institut, 1999), h. 59. Lihat juga, Mu`amalat Institut, Perbankan Syari`ah : Perspektif Praktisi, (Jakarta
: MI, 1999), h. 8
132
Etika Bisnis Islam
manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima suatu
manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan.2
Menarik untuk dicermati, pengharaman riba dalam al-Qur’an tidaklah
berlangsung sekaligus melainkan bertahap. Ini mengisyaratkan betapa riba
bagi masyarakat Arab seperti di Thaif, Mekah maupun di Madinah pada
waktu itu sebagai kegiatan ekonomi yang telah berurat berakar dalam
kehidupan sehari-hari.
Thabari mencatat bahwa pada saat jatuh tempo, pemberi utang
biasanya memberi dua pilihan: melunasi seluruh pinjaman atau perpanjangan
waktu dengan tambahan pembayaran. Seorang yang harus mengembalikan
seekor unta betina berumur satu tahun bila meminta perpanjangan waktu
pada saat jatuh temponya, harus membayar dengan unta betina dua tahun.
Bila ia meminta masa perpanjangan kedua maka unta betina tiga tahun, dan
seterusnya. Begitu pula dengan emas atau perak.3
Untuk melarang praktek riba diperlukan strategi khusus seperti
ditempuh al-Qur’an dengan menggunakan strategi pelarangan bertahap.
Tahap pertama, al-Qur’an menolak anggapan bahwa pinjama riba yang
pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan yang mendekatkan diri pada Allah. Ini dinyatakan Allah pada surah
ar-rum:39 yang artinya,” Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah
pada manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Tahap kedua, Allah melukiskan bahwa riba merupakan aktivitas bisnis
yang buruk. Bagi yang melakukannya akan diberi balasan yang pedih.Dalam
surah an-nisa’/4:160-161, Allah menyatakan,”Maka disebabkan kezaliman orang
2
Adiwarman A.Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2001),
h.72
133
Etika Bisnis Islam
Yahudi, kami haramkan atas mereka yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan pada
mereka, dan mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan
mereka banyak memakan riba, pada hal mereka sesunggguhnya telah dilarang dari
padanya dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih.
Tahap ketiga, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun
jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Pada saat itu (III H) pengambilan
bunga dengan jumlah yang besar banyak dilakukan orang Arab. Akibatnya
banyak yang terzalimi. Untuk itu Allah menegaskan dalam surah aliImran:/3:130, “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan
keberuntungan”.
Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman.4 Pernyataan ini ditemukan pada surah
al-Baqarah/2:278-279, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa-sisa dari berbagai jenis riba jika kamu orang-orang yang beriman.
jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat mengambil riba, maka bagimu pokok hartamu,
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
Adapun hadis nabi tentang larangan riba dapat ditemukan pada pesan
terakhirnya pada tanggal 9 Zulhijjah tahun 10 H. Pada waktu itu nabi
menyatakan, “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan dia pasti akan
menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu utang
akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) adalah hak kamu. Bahkan nabi
3
4
Ibid., h. 70
Syafi`I Antonio, op.cit, h.73-74
134
Etika Bisnis Islam
mengatakan bahwa dosa pemanfaatan riba sama dengan penyelewengan
seksual sebanyak tiga puluh enam kali bagi mereka yang sudah menikah atau
sama dosanya dengan bersetubuh dengan ibu kandung. Satu dosa yang cukup
besar. Demikian Chafra mengomentari hadis Rasul tersebut.5
Seperti yang telah disebut di muka, strategi larangan bertahap yang
ditempuh al-Qur’an serta banyaknya hadis nabi yang melarang riba memberi
kesan bahwa praktek riba merupakan aktivitas ekonomi yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Arab masa itu. Ini disebabkan bahwa
Mekah adalah kota dagang dan bukan kota agraris. Melihat tandusnya kota
Mekah pada masa itu, bisa dipastikan bahwa kegiatan dagang orang Quraisy
mengambil bentuk dagang agen dan bukan dagang hasil produksi. Memasuki
abad VI M, kemajuan dagang kota Mekah semakin pesat. Akhirnya kota
tersebut tidak saja sebagai pusat dagang melainkan telah menjelma menjadi
pusat keuangan. Tidaklah mengherankan apabila pemuka-pemuka Mekah
sudah mahir dalam memanipulasi kredit, pandai berspekulasi dan menguasai
modal serta pandai memanfaatkan potensi investasi yang menguntungkan
dari orang Aden ke Gaza dan Damaskus. 6
Membaca latar belakang kehidupan Mekah saat itu, peraktek riba yang
mereka lakukan dapat dipahami. Formula riba yang dilakukan adalah, pinjam
meminjam dengan satu perjanjian, peminjam bersedia mengembalikan jumlah
pinjaman pada waktu yang telah disepakati berikut tambahannya. Pada saat
jatuh tempo, si pemberi pinjaman (kreditor), meminta jumlah pinjaman yang
5
Umer Chafra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, terj.Lukman Hakim, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997), h.27
6
Muh.Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 25
135
Etika Bisnis Islam
dulu diberikan kepada peminjam (debitor). Jika debitor menyatakan belum
sanggup membayar,
kreditor memberi tenggang waktu dengan syarat,
debitor bersedia membayar sejumlah tambahan di atas pinjaman pokok tadi.
Bisa diduga riba seperti ini menjadikan kaum lemah semakin lemah.
Karena ketidakmampuan debitor mengembalikan jumlah pinjaman pada
waktu yang telah ditentukan maka jumlah hutang mereka semakin
bertambah. Pada akhirnya riba menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat saat itu.
B. Jenis-Jenis Riba
Ulama membagi riba kepada dua macam. Pertama riba fadl dan kedua
riba nasi’ah. Riba fadl berlaku dalam jual beli. Para ulama mendefinisikannya
sebagai pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk barang jenis
ribawi. Dengan bahasa yang agak berbeda riba fadl adalah, kelebihan pada
salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’. Misalnya
1 kg beras dijual dengan 1,25 kg beras. Kelebihan ¼ kg tersebut adalah riba
fadl. Jual beli ini berlaku dengan barter dan bukan dengan uang.7
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, nabi
Muhammad SAW bersabda, ’jangan jual emas dengan emas kecuali apabila ia
serupa dengan serupa (sama tombangannya), jangan menambahkan yang satu dari pada
yang lain. (hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Sedangkan riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran atas utang
kepada pemilik modal ketika waktu yang telah disepakati jatuh tempo,
ternyata orang yang berhutang tidak sanggup membayar hutang, maka
136
Etika Bisnis Islam
waktunya bisa diperpanjang namun jumlah
utangnya bertambah sebab
keterlambatan tersebut.8
Menyangkut jenis riba nasi’ah ini dalam sebuah hadis Rasul bersabda,
”Sekiranya seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dan pemberi pinjaman itu
hendaknya jangan mengambil apa-apa hadiah yang ditawarkan (Hadis riwayat
Bukhari).
C.Riba Versus Bunga : Samakah ?
Persoalan bunga bank merupakan topik yang sering diperdebatkan.
Pertanyaannya adalah apakah bunga bank sama dengan riba ? Seperti yang
telah disebut di muka, ulama telah sepakat bahwa riba hukumnya haram.
Namun apakah riba sama dengan bunga bank, para ulama tampaknya
berbeda pendapat. Bagi yang menyatakan sama, tentu akan menyatakan
bunga bank itu haram. Bagi kelompok yang menyatakan berbeda tentu akan
menyatakan bahwa bunga bank tidak haram. Perbedaan dalam memandang
hukum bunga bank bukan isu baru. Sejak lama topik ini menjadi perdebatan
dikalangan pakar hukum Islam Indonesia. Namun tetap saja tidak
menemukan jalan keluar yang bisa diterima semua pihak.
Salah seorang pemikir ekonomi Islam yang cukup produktif, Umar
Chapra telah menyelesaikan perdebatan ini dengan menyatakan, secara teknis
riba (bunga) mengacu pada premi yang harus dibayar peminjam kepada
pemberi pinjaman bersama pinjaman pokok sebagai syarat untuk
memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Sejalan dengan hal ini,
7
8
Syafi`I Antonio, op.cit, h. 63-64. Lihat Mu`amalat Institut, op.cit, h. 11-12
Umer Chapra, Ibid., h .27
137
Etika Bisnis Islam
riba mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai bunga sesuai dengan
konsensus ulama fikih.9
Kendati Chapra telah memberikan kesimpulan bahwa bunga sama
dengan riba, namun tetap saja ada yang tidak sependapat. Untuk menyebut
salah satu diantaranya adalah Muhammad Abduh. Baginya riba yang
diharamkan hanyalah riba yang ad`aafan muda`aafah (berlipat ganda). Abduh
membolehkan menyimpan uang di Bank dan mengambil bunganya. Dasarnya
menurut Abduh adalah Pertama, maslahat mursalah. Kedua, Tabungan di bank
bisa mendorong perkembangan ekonomi. Ketiga, Tabungan di bank
disamakan dengan konsep kerjasama dalam Islam (mudarabah dan
musyarakah). 10
Dalam bentuknya yang agak berbeda paling tidak ada tiga alasan
mengapa sebagian ulama menyatakan bahwa bunga bank tidak haram.
Pertama, pertimbangan darurat. Kedua, Yang dilarang oleh al-Qur’an adalah
bunga yang berlipat ganda (tinggi). Ketiga, Bank sebagai lembaga tidak
termasuk dalam katagori mukallaf, jadi bank tidak terkena khitab ayat-ayat
Allah maupun hadis nabi.
Muhammad Syafi’i
Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah :Wacana
Ulama dan Cendikiawan telah membantah argumen-argumen tersebut
Menurutnya menjadikan darurat sebagai alasan pembenaran riba tidak tepat.
Dalam Ushul fiqh yang disebut darurat adalah suatu keadaan emergency dimana
jika seseorang tidak segera melakukan tindakan cepat, maka akan
9
Ibid.,
10
Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami : Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh ,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60
138
Etika Bisnis Islam
membawanya
kejurang
kehancuran
atau
kematian.
Jika
demikian
pertanyaannya adalah, apakah jika tidak menabung atau meminjam uang ke
bank akan menjadikan perekonomian hancur sehingga manusia akan
mengalami kesengsaraan.11
Beberapa waktu yang lalu, Prof.Ali Yafi ketua MUI pernah menyatakan
bolehnya mengambil bunga yang rendah karena pada waktu itu tidak ada
bank yang tidak menggunakan sistem bunga. Padahal masyarakat perlu rasa
aman untuk menitipkan uangnya. Namun sejak berdirinya Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tahun 1992 alasan untuk menyebut darurat itu menjadi
hilang. Tegasnya saat ini terlebih lagi setelah berdirinya Bank Syari’ah Mandiri
(1999), BNI Syari`ah, Danamon Syari`ah, BPRS (Bank Perkreditan Rakyat
Syari`ah) dan bank-bank Islam lainnya, alasan darurat tidak lagi dapat
dibenarkan.
Mengenai alasan bunga yang berlipat ganda saja yang diharamkan,
sedangkan tingkat suku bunga bank yang rendah tidak dipandang riba,
didasarkan pada argumentasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Memahami ayat 130 surah Ali–Imran yang telah disebut, tidak dapat
dipisahkan dari ayat riba lainnya. Ayat terakhir tentang riba telah menegaskan
bahwa tambahan terlepas besar atau kecil tetap dilarang. Dengan demikian
tidak ada satu ruangpun yang membedakan antara riba (usury) dengan bunga
(interest) karena keduanya sama-sama merepresentasekan tambahan atau
peningkatan dari pokok modal yang ada.12
11
Syafi`i Antonio, op.cit., h.
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Al-Kaustar, 2000), h.128 . Lihat lebih luas, Ziaul
Haque, Riba: The Moral Economy of Usury, Intrest and Profit (Kuala Lumpur: S.Abdul Majeed & Co,
1995).
12
139
Etika Bisnis Islam
Kemudian kata “berlipat ganda” pada ayat 130 surah ali imran dalam
ilmu tata bahasa Arab (nahu) disebut hal yang menggambarkan sifat riba
bukan sebagai syarat. Maksud bukan syarat adalah, apabila terjadi pelipatgandaan yang besar baru disebut riba. Jika kecil tidak termasuk riba.
Berkenaan dengan hal ini Yusuf al-Qardhawi juga mengomentari
persoalan adh`afan mudha`afah dengan menyatakan, “ Orang yang memiliki
kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan memahami
retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat
ini dengan kata adh`afan mudha`afah adalah dalam konteks menerangkan
kondisi objektif dan sekaligus mengecamnya. Mereka (orang-orang Mekah)
telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipatgandakan uang yang
berlebihan. Pola berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kreteria (syarat)
dalam pelarangan riba. Dalam arti yang tidak berlipat ganda menjadi boleh.13
Selanjutnya menurut al-Qardhawi, manakah yang disebut riba kecil dan
mana riba yang berlipat ganda. Jika dipahami struktur tata bahasa Arab kata
adh`af itu sendiri jamak, paling sedikitnya tiga. Maka jika tiga dilipatgandakan
walau sekali menjadi enam. Bisa jadi riba yang berlipat ganda itu mencapai
600 %. Adakah yang membenarkan hal ini, kata al-Qardhawi ?.14 Tegasnya
kata adh`afan mudha`afah bukan syarat bagi pengharaman riba.
Alasan ketiga yang menyebut bank bukan taklif juga keliru. Dalam
tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical
personality atau sakhsiyah hukmiyah dan dipandang sah serta dapat mewakili
individu-individu secara keseluruhan. Ditinjau dari sisi mudharat dan
manfaat, perusahan dapat menimbulkan kemudharatan yang lebih besar dari
13
14
Yusuf al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2001), h.74-75
Ibid.,
140
Etika Bisnis Islam
perorangan. Bank yang menggunakan sistem bunga dapat menimbulkan
kerusakan yang lebih besar dibanding rentenir.
Dengan demikian ketika Allah mengharamkan riba melalui ayatayatnya, yang dituju bukan hanya individu-individu saja melainkan institusi
yang melaksanakan praktek riba. Sampai di sini, pakar ekonomi Islam
kontemporer berkesimpulan bahwa bunga bank terlepas dari tinggi
rendahnya suku bunga yang diterapkan tetap haram.
Mendiskusikan riba dari sisi hukum, akan diwarnai dengan perbedaan
pendapat. Untuk itu adalah menarik untuk melihat sisi lain mengapa alQur’an melarang praktek riba, atau dengan kata lain apa motivasi al-Qur’an
ketika melarang riba ?
Pada intinya riba sangat bertentangan secara langsung dengan semangat
kooperatif yang ada dalam ajaran Islam. Orang yang kaya, seharusnya
memberikan hak-hak orang miskin dengan membayar zakat dan memberi
sedekah sebagai tambahan dari zakat tersebut. Islam tidak mengizinkan kaum
muslimin untuk menjadikan kekayaannya sebagai alat untuk menghisap
darah orang-orang miskin. Maulana Maududi-seperti yang dikutip Mustaq
Ahmad- menjelaskan kejahatan-kejahatan riba sebagai berikut:
1. Riba akan meningkatkan rasa tamak, menimbulkan rasa kikir yang
berlebihan dan mementingkan diri sendiri, keras hati dan menjadi
pemuja uang.
2. Riba akan menimbulkan kebencian, permusuhan dan bukan sikap
simpati dan koorporasi.
3. Riba mendorong terjadinya penimbunan dan akumulasi kekayaan
dan
akan
menghambat
adanya
investasi
langsung
dalam
perdagangan. Jika ia melakukan investasipun, maka itu akan
141
Etika Bisnis Islam
dilakukan demi kepentingan dirinya sendiri tanpa memperhatikan
kepentingan masyarakat.
4. Riba akan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan karena kekayaan
itu hanya berada di dalam tangan pemilik-pemilik modal.15
Dr..Muh Zuhri dalam Disertasinya yang berjudul: Riba dalam Al-Qur’an
Dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif) menyimpulkan, Riba dalam
al-Qur’an dilarang disebabkan karena:
1. Riba menjadikan pelakunya kesetanan, tidak dapat membedakan antara
yang baik dengan yang buruk.
2. Riba merupakan transaksi utang piutang dengan pertambahan yang
dijanjikan di depan dan ini merupakan praktek kezaliman.
3. Riba dalam al-Qur’an yang selalu dihadapkan dengan zakat, infaq, sadaqah
memberikan isyarat bahwa riba dapat menjauhkan persaudaraan bahkan
dapat menimbulkan permusuhan.16
Umer Chapra setelah membahas persoalan Riba sampai pada sebuah
kesimpulan:
Alasan pokok mengapa al-Qur’an memberi penjelasan larangan riba
yang cukup keras, adalah karena Islam ingin menegakkan sistem ekonomi
yang didalamnya semua bentuk eksploitasi dibatasi. Ketidakadilan yang
terjadi dalam bentuk, penyandang dana yang dijamin memperoleh
keuntungan tanpa melakukan sesuatu atau ikut menanggung risiko,
sementara
15
pengusaha, meskipun telah melakukan kerja keras, tidak
Ibid., , h.133-134
16
Muh.Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h.88-89.
142
Etika Bisnis Islam
mempunyai
jaminan serupa. Islam ingin menegakkan keadilan di atara
pengusaha dan pemilik modal.17
Jauh sebelumnya, Imam al-Razi seorang Mufassir telah memberikan
peringatan yang cukup keras tentang dampak negatif yang ditimbulkan Riba.
Setidaknya ada empat keburukan riba.18
1. Merampas Kekayaan Orang lain.
Transaksi yang melibatkan bunga sama halnya dengan merampas harta
orang lain. Dalam transaksi satu rupiah di tukar dengan dua rupiah,
baik secara kredit ataupun tunai. Salah satu pihak menerima kelebihan
tanpa mengeluarkan apa-apa. Jenis transaksi ini tidak adil dan
sewenang-wenang dan peminjam menjadi tereksploitasi.
2. Merusak Moralitas.
Hati nurani merupakan cerminan jiwa yang paling murni dan utuh.
Ketulusan seseorang akan runtuh bila egoisme pembungaan uang
sudah merasuk ke dalam hatinya.Dia menjadi sangat tega untuk
merampas apa saja yang dimiliki sipeminjam untuk mengembalikan
bayaran bunga yang mungkin sudah berlipat-lipat dari pokok pinjaman.
3. Melahirkan Benih Kebencian dan Permusuhan.
Bila egoisme dan perampasan harta si peminjam sudah dihalalkan,
maka tidak mustahil akan timbul benih kebencian dan permusuhan
antara si kaya dengan si miskin, si pemilik modak dengan si peminjam.
4. Yang Kaya Semakin Kaya, Yang Miskin Semakin Miskin
Pada saat resesi ekonomi dan tigh money policy atau kebijakan uang
ketat, si kaya akan memperoleh suku bunga yang cukup tinggi
17
Umer Chapra, op.cit, h.36`
143
Etika Bisnis Islam
Sementara biaya modal menjadi sangat mahal, si miskin menjadi tidak
mampu meminjam dan tidak dapat berusaha, akibatnya dia akan
semakin jauh tertinggal .
Dalam tinjauan ekonomi, para pakar menyebut bahwa riba banyak
mengandung kerugian. Anwar Iqbal menyatakan bahwasanya riba adalah
sumber segala bentuk kejahatan ekonomi, dan dia amat bertanggungjawab
dalam melahirkan konsentrasi kekayaan pada satu tangan. Sistem bunga yang
menjadikan penambahan dan akumulasi kekayaan tanpa usaha dan keringat
akan melahirkan kebencian dan permusuhan.19
Syekh Mahmud Ahmad menyatakan bahwa sistem bunga adalah
berbanding terbalik dengan keputusan investasi, dan sepanjang sistem bunga
mendominasi sistem perekonomian maka pengangguran akan
muncul.
Qutub menyatakan bahwa praktek riba akan menimbulkan matinya
kesadaran moralitas pelaku bisnis. 20
Dilihat dari uraian terdahulu, jelaslah larangan al-Qur’an terhadap
praktek riba karena aktivitas ini hanya menguntungkan sebelah pihak dan
merugikan pihak lain, terutama orang yang ekonominya lemah. Dalam
perjanjian itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menerima
perjanjian berat sebelah tersebut. Tegasnya riba (bunga bank) mengandung
unsur eksploitasi manusia terhadap manusia lain sesuatu yang sangat
bertentangan dengan perinsip ekonomi Islam yaitu ta`awun dan win-win
solution.
18
Syafi`i Antonio, op.cit, hlm.114-115. Lihat juga Adiwarman A Karim, loc.cit.,
Anwar Iqbal Quraisy, Economic and Social System of Islam, (Lahore : Islamic Book Service, 1979).
h. 8
19
20
Mustaq Ahmad, op.cit, h.134
144
Etika Bisnis Islam
D. Rangkuman
1. Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah) sedangkan secara
istilah riba berarti sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi
jual beli atau hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan
prinsip mu`amalat Islam.
2. Pada dasarnya riba terdiri dari dua jenis, riba fadl dan riba nasi’ah.
Yang dimaksud dengan riba fadl adalah pertukaran antar barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang dipertukarkan itu termasuk barang jenis ribawi. Sedangkan riba
nasi’ah adalah melebihkan pembayaran atas utang kepada pemilik
modal ketika waktu yang telah disepakati jatuh tempo.
3. Nilai penting dari haramnya riba dalam Islam karena sistem ini
melahirkan kezaliman dalam bentuk eksploitasi manusia atas
manusia lainnya.
E. Pertanyaan.
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan riba dan apakah riba sama
dengan bunga bank ?
2. Uraikan strategi al-Qur’an ketika mengharamkan riba pada
masyarakat Mekah.
3. Mengapa al-Qur’an mengharamkan riba ?
145
Etika Bisnis Islam
146
BAB XIII
PERBANKAN SYARI`AH
Dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar dan bukan sebagai
komoditas. Al-Ghazali mengatakan bahwa uang tidak mempunyai harga,
tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik
dikatakan uang tidak memberi kegunaan langsung (direct utility function), hanya
apabila uang itu digunakan untuk membeli barang maka barang itu akan
mempunyai kegunaan.1
Uang juga dipandang sebagai modal untuk itu tidak boleh dibiarkan
“idle”. Dengan demikian uang harus digunakan sebagai alat investasi yang
produktif untuk kemakmuran masyarakat di muka bumi dengan
meningkatkan produksi dan kesempatan kerja.2
Diciptakannya uang adalah dalam rangka menghapuskan ketidakadilan
yang ditimbulkan oleh sistem tukar menukar yang populer disebut dengan
barter. Barter adalah sistem tukar menukar antara barang dengan barang, atau
dengan kata lain, sistem tukar menukar secara in-natura. 3 Dalam kaca mata
ekonomi Islam, barter ini dipandang sebagai salah satu bentuk riba fadl.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan tentang riba, riba fadl adalah
pertukaran antar barang dengan kadar atau takaran yang berbeda. Disini
terkandung makna adanya ketidakadilan karena barang yang satu mungkin
lebih besar kadarnya dengan barang yang dipertukarkan.
Dalam upaya untuk menciptakan keadilan ekonomi diciptakanlah
uang yang merupakan alat tukar sekaligus pada perkembangan berikutnya
menjadi ukuran nilai terhadap sesuatu.4
Setidaknya uang dapat digunakan dalam dua bentuk. Pertama, Transaksi
yaitu menggunakan uang (membelanjakan) untuk membeli sesuatu yang
1
Adiwarman A Karim, “sistem Ekonomi Syari`ah : Sebuah Solusi Meningkatkan ekonomi Umat,
Makalah, pada seminar Ekonomi Islam, 12 November 2000 di Garuda Plaza Medan. Lihat juga, „Uang
Ibarat Cermin” dalam, Panji Masyarakat, No.32 Tahun 11. 25 November 1998.
2
Mulya E Siregar, “Peran dan perospek Perbankan Syari`ah Dalam Perekonomian Syari`ah”, makalah,
Seminar Nasional Sosialisasi dan Aktualisasi Ekonomi Syari`ah, FKEBI dan FE.UISU., tanggal 3
April 2000 di Medan, h.3. Lihat juga, BMI, Kertas Keraja Sosialisai Perbankan Syari`ah,
BI.Cab.Medan, tanggal 17 April 2000 , Medan, h.5
3
4
Suherman Rosyidi, Pengantar Kepada Teori Ekonomi , (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h.67
Mu`amalat Institut, Perbankan Syari`ah Perspektif Praktisi, (Jakarta: Mu`amalat Institut, 1999), h. 13
memang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari.
Kedua, Saving, yaitu digunakan dengan cara menyimpan atau dibelikan barang
untuk investasi.5
Ketika peradaban manusia belum maju, kegiatan saving dilakukan
dengan cara yang biasa disebut dengan celengan. Bisa juga penyimpanan uang
dilakukan dengan menitipkannya pada orang lain. Ini pernah dialami nabi
Muhammad SAW. Disebabkan nabi dipandang sebagai orang yang terpercaya
(al-amin, trustworthy), maka banyak orang yang menitipkan uang dan hartanya
kepada nabi, dan beliau menunjuk Ali untuk mengembalikan uang dan harta
tersebut kepada pemiliknya apabila masanya telah sampai.
Tampaknya manusia baru menggunakan jasa perbankan sebagai
lembaga profesional yang berperan sebagai mediator (intermediary institution)
antara pihak yang mengalami deficit spending unit dengan surplus spending unit
untuk pertama kalinya pada tahun 1157, kemudian bank yang secara resmi
menggunakan Deposito adalah di Bercelona pada tahun 1401.
Sebenarnya jauh sebelumnya orang Italia sudah mengenal kata Banco
yang artinya bangku atau counter. Kata tersebut dipopulerkan karena segala
aktivitas pertukaran uang orang Italia menggunakan bangku dan counter.
Namun perkembangan aktivitas ini mengalami hambatan sampai zaman
Renaissance.6
Padanan kata Bank dalam bahasa Arab adalah masrif yang artinya tempat
pertukaran (exchange), yaitu pertukaran dan penjualan mata uang dengan
mata uang lainnya. Kata masrif sendiri sebenarnya merupakan nama sebuah
tempat dilakukannya transaksi pertukaran dan penjualan tersebut. Dalam
bahasa Indonesia bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang.Sedangkan perbankan dijelaskan sebagai segala sesuatu
mengenai bank.7
A. Pengertian
5
Paling tidak ada empat pokok fungsi uang. Pertama, uang sebagai alat tukar. Kedua, Satuan hitung,
ketiga, Penimbun kekayaan, Keempat, Standar Pencicilan hutang. Lihat, Kasmir, Bank Dan Lembaga
Keuangan Lainnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2000), h.17-18
6
7
Mu`amalat Institut, op.cit,., h.14. Lihat juga, Kasmir, op.cit, h.28-29
Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1995), h. 90
Menurut UU Perbankan No.7 tahun 1998 dijelaskan yang dimaksud
dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya. (Pasal 1 ayat 1). Sedangkan yang disebut
dengan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup orang banyak.(ayat 2).8
Berkaitan dengan fungsi bank, paling tidak ada dua fungsi yang cukup
mendasar, yaitu fungsi perantara (intermediaton role) dan fungsi transmisi
(transimision role). Fungsi perantara adalah penyediaan kemudahan untuk aliran
dana dari mereka yang mempunyai dana nganggur atau kelebihan dana selaku
penabung (saver) atau pemberi pinjaman (lender) kepada mereka yang
memerlukan atau kekurangan dana untuk memenuhi berbagai kekurangan
untuk berbagai kepentingan peminjam (borrower). Sedangkan fungsi transmisi
berkaitan dengan peranan bank dalam hal lintas pembayaran dan peredaran
uang dengan menciptakan instrumen keuangan seperti penciptaan uang
kartal, uang giral dan lain-lain.9
Berangkat dari pengertian di atas maka perbankan Syari`ah dapat
dipahami dalam makna di atas. Jelasnya Bank Syari`ah adalah bank umum
yang melaksanakan kegiatan usaha penghimpunan dan penyaluran dana yang
menggunakan sistem dan operasi berdasarkan syari`ah Islam.10
Adapun yang menjadi prinsip bank Islam adalah, larangan riba,
mengutamakan dan mempromosikan perdagangan dan jual beli, keadilan,
kebersamaan dan tolong menolong. Sedangkan yang menjadi ciri-ciri bank
Islam, 1), Keuntungan dan beban biaya yang disepakati tidak kaku. 2), Beban
biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu kontrak. 3). Penggunaan
persentase untuk perhitungan keuntungan dan biaya administrasi selalu
dihindarkan. 4). Bank Islam tidak mengenal keuntungan pasti (fixed return). 5).
8
Lebih luas masalah ini dapat dilihat pada, Achjar Iljas, “Sistem Perbankan Syari`ah dalam UU No.
10/1998 Tentang Perbankan „ dalam, Ekonomi dan Bank Syari`ah Pada Millenium ketiga: Belajar dari
Pengalaman Sumatera Utara,Azhari Akmal Tarigan (ed), (Medan: IAIN.Pers dan FKEBI-IAIN.SU,
2002). Khususnya pada bab II
9
Ketut Rindjin, Pengantar Perbankan Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta : Gramedia, 2000)
H. 16-17
10
M.Amin Aziz, Mengembankan Bank Islam Di Indonesia, (Jakarta : Bankit, t.t), h.1
Uang dari jenis yang sama tidak dapat dipertukarkan dengan kelebihan
tertentu.11
Adapun tujuan bank Islam adalah:
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak
dapat menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem
perbankan Syari`ah yang berdampingan dengan sistem perbankan
konvensional, mobilisasi dana masyarakat dapat dilakukan secara
lebih luas terutama dari segmnen yang selama ini belum dapat
tersentuh oleh perbankan konvensional yang menerapkan sistem
bunga.
2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha
berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang
diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis (mutual investor
relationship). Sementara dalam bank konvensional, konsep yang
diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur (debtor to creditor
relationship).
3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang
memiliki keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan
bunga berkesinambungan (perpetual interest effect), membatasi
kegiatan spekulasi yang tidak produktif (unproductive speculation), dan
pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih
memperhatikan unsur moral.12
B. Produk Penghimpunan Dana
1.Wadi`ah
secara umum wadiah terdiri dari dua jenis, yaitu yad al-amanah dan yad
damanah. Yad al-amanah diterapkan pada produk simpanan yang tidak sering
ditarik atau dipakai seperti safe deposit box.Sementara yad damanah diterapkan
pada rekening giro.
2. Mudharabah
Dalam menghimpun dana, biasanya bank menggunakan akad
mudarabah, di mana penyimpan bertindak sebagai sahib al-mal (pemilik
modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Penerapan akad ini dilakukan
11
Ibid., h.7-8
Zainul Arifin, Memahami Bank Syari`ah , Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,(jakarta:
Alvabet, 1999), h. 135-136.
12
pada produk tabungan dan deposito berjangka karena sifatnya berjangka
waktu, sehingga bank dapat menyalurkan pada proyek-proyek tertentu.
C. Produk Penyaluran Dana
Sebelum membicarakan tentang produk Bank Syari`ah terlebih dahulu
perlu dijelaskan spesifikasi ideal produk perbankan Syari`ah. yaitu:
1. Diangkat dari akad-akad syari`ah mu`amalah.
2. Integral dengan transaksi riil.
3. Akomodatif terhadap keperluan nasabah.
4. Kompetitif dalam dunia perbankan.
5. Dapat mengakses tekhnologi yang berkembang13.
Sedangkan manfaat yang didapat dari produk bank Syari`ah adalah:
1. Memelihara aspek keadilan untuk para pihak yang bertransaksi.
2. Lebih murah dibanding produk konvensional.
3. Memelihara nilai mata uang, karena tergantung kepada transaksi
riil, bukan sebaliknya.
4. Transparansi yang menjadi sifat inheren.
5. Nasabah tidak perlu khawatir akan kenaikan cicilan.
6. Meluaskan aplikasi syari`ah dalam kehidupan muslim.14
Secara garis besar produk pengeluaran dana dapat di bagi menjadi tiga
macam; jual beli, bagi hasil dan sewa menyewa.. 15
A. Jual beli
a. Bai` al-Murabahah
Bank Syari`ah menerapkan murabahah pada pembiayaan untuk
pembelian barang-barang inventiori, baik produksi maupun kosumsi.
Dalam hal ini bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah
bertindak sebagai pembeli. Bank dan nasabah harus menyepakati harga
pokok, keuntungan dan jangka waktu.lalu bank membeli barang
tersebut dan diberikan kepada nasabah. Nasabah kemudian
13
14
Ibid, h.198-1999
Ibid .,
lebih luas lihat, Syafi`i Antonio, op.cit, h. 249-250, .lihat juga, Mu`amalat Institut, op.cit, h.39-139.
lihat juga, M.Amin Aziz, op.cit, h. 91-105, dan bandingkan dengan Muhammad, Sistem Dan Prosedur
Operasional bank Syari`ah, (Yogyakarta : UII Press, 2000) h.7-40
15
mencicilnya sesuai dengan harga dan jangka waktu yang telah
disepakati.
b. Bai` al-salam
Jenis ini berlaku untuk pertanian jangka pendek, seperti penanaman
padi, cabai, dan sebagainya. Di sini bank bertindak sebagai pembeli
dan nasabah sebagai penjual. Bank membayar harga yang disepakati di
awal kontrak sedangkan nasabah akan mengirim barang tersebut
apabila telah jatuh tempo.
B. Bagi Hasil
a. Mudharabah
Bank dapat memberikan pembiayaan terhadap proyek-proyek tertentu
di mana bank bertindak sebagai sahibul mal yang menyiapkan modal
100% sedangkan pengusaha bertindak sebagai mudarib (pengelola).
Keuntungan dari peroyek tersebut di bagi sama sesuai dengan nisbah
yang telah disepakati.
b. Musyarakah
Di sini bank bersama pemiliki modal lainnya menyediakan dana untuk
pembiayaan peroyek tertentu. Keuntungan akan di bagi sama sesuai
dengan nisbah yang disepakati.
C. Produk Jasa
a. Wakalah
Perinsip perwakilan diterapkan dalam bank Syari`ah di mana bank
bertindak
Sebagai wakil dan nasabah sebagai pemberi wakil (muwakkil).Prinsip ini
diterapkan untuk pengiriman uang atau transfer, penagihan (collection),
dan letter of credit.
b. Kafalah
Prinsip penjaminan diterapkan oleh bank Syari`ah di mana bank
bertindak sebagai penjamin (kafil) sedangkan nasabah sebagai pihak
yang dijamin (makful-lah).
c. Hawalah
Prinsip pengalihan hutang atau al-hawalah diterapkan dalam bank
syari`ah di mana bank bertindak sebagai penerima pengalihan hutang
dan nasabah bertindak sebagai pengalih piutang. Untuk jasa ini bank
Syari`ah mendapatkan upah pengalihan dari nasabah.
d. Rahn
Rahn diterapkan dalam bank Syari`ah pada dua hal..1) Sebagai jaminan
pembiayaan dan , 2) sebagai produk. Sebagai jaminan ia menyertai
pembiayaan kepada nasabah yang dimungkinkan diambil jaminan
seperti pada ba`I al-murabahah.Sebagai produk, bank dapat menerima
jaminan dan menahannya, seperti dalam bentuk emas dan barang kecil
yang bernilai lainnya.
e. Qard
Penerapan prinsip qard dalam perbankan Syari`ah adalah pinjaman
tanpa imbalan. Untuk pembiayaan khusus ini biasanya sumber dana
diambil dari ZIS (Zakat, Infaq dan Sadaqah).
D. Perbedaan Bank Syari`ah dan bank Konvensional
Syafi`i Antonio menjelaskan empat point perbedaan Bank Syari`ah
dengan bank Konvensioanl.
1. Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank Syari`ah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi
dan ukhrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
2. Struktur Organisasi
Unsur yang amat membedakan bank Syari`ah dengan bank
Konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syari`ah yang
bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar tetap
sesuai dengan garis-garis Syari`ah.
3. Bisnis dan Usaha yang dibiayai
Bisnis atau usaha yang dibiayai oleh Bank Syari`ah adalah usaha-usaha
yang tidak bertentangan dengan Syari`ah. Dengan kata lain bank tidak
akan mengeluarkan pembiayaan terhadap usaha-usaha yang diharamkan
seperti produk minuman keras, pornografi dan sebagainya. 16
4. Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Setiap karyawan bank syari`ah harus memiliki akhlak yang baik seperti
sifat siddiq dan amanah yang dilengkapi dengan profesionalitas kerja.
16
Syafi`i Antonio, op.cit, hlm. 261-262.
Demikian pula dalam hal reward and punishment diperlukan perinsif
keadilan yang sesuai dengan syari`ah.17
E. Prinsip Dan Penghitungan Bagi Hasil
Kasus I
Bank Syari`ah
Bapak A memiliki Deposito nominal
Rp. 10.000.000,Jangka waktu = 1bulan (1 Jan 1999-1
Feb 1999)
Nisbah = Deposan 57 % dan Bank
43 %
Jika keuntungan yang diperoleh
untuk deposito dalam satu bulan
sebesar Rp. 30.000.000,00 dan ratarata saldo deposito jangka waktu
satu bulan adalah Rp. 950.000.000,00
Pertanyaan : Berapakah keuntungan
yang diperoleh Bapak A ?
Jawab :
Rp.(10.000.000,00 : 950.000.000) X
Rp.30.000.000,00 X 57 % =
Rp.180.000.
Bank Konvensional
Bapak B memiliki Deposito Nominal
= Rp.10.000.000,00
Jangka waktu = 1 bulan (1 Jan 1999-1
Feb 1999)
Bunga = 20 %
Pertanyaan : Berapakah keuntungan
yang diperoleh Bapak B ?
Jawab :
Rp.10.000.0000,00 X (31 : 365 hari)
X 20 % = 169.863
b.Perbandingan I
BANK SYARI`AH
BANK KONVENSIONAL
Besar kecilnya bagi hasil yang Besar kecilnya bagi hasil yang
diperoleh deposan tergantung pada : diperoleh deposan tergantung pada :
 Pendapatan bank
 Tingkat Bunga yang berlaku
 Nisbah bagi hasil antara  Nominal Deposito
nasabah dengan bank
 Jangka waktu Deposito
 Nominal Deposito nasabah
 Rata-rata saldo deposito untuk
jangka waktu tertentu yang
ada pada bank.
 Jangka waktu deposito karena
17
I b I d .,
pengaruh
investasi.
pada
lamanya
Perbandingan II
BANK SYARI`AH
Bank Syari`ah memberi keuntungan
kepada deposan dengan pendekatan
LDR (loan to Deposit ratio), yaitu
mempertimbangkan rasio antara dana
pihak ketiga dengan pembiayaan yang
diberikan.
BANK KONVENSIONAL
Semua Bunga yang diberikan kepada
deposan menjadi beban biaya
langsung.
Tanpa memperhitungkan berapa
pendapatan yang dihasilkan dari dana
yang dihimpun.
Dalam perbankan Syari`ah LDR
bukan
saja
mencerminkan Konsekuensinya,
bank
harus
keseimbangan tetapi juga keadilan, menambah bila bunga dari peminjam
karena
bank
benar-benar ternyata lebih kecil dibandingkan
membagikan hasil real dari dunia dengan kewajiban bunga ke deposan.
usaha (loan) kepada deposan Hal ini terkenal dengan istilah negatif
(deposit).
spread atau keuntungan negatif (rugi).
* Dikutip dari Muhammad Syafi`I Antonio, Bank Syari`ah Wacana
Ulama Dan Cendikiawan, (Jakarta : BI dan Tazkia Institut, 1999), hlm.
263-265
F. Sekilas Etika Perbankan
Etika perbankan didefinisikan sebagai suatu kesepakatan para bankir
yang merupakan suatu norma sopan santun dalam menjalankan usahanya,
dan merupakan prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai (values) mengenai halhal yang dianggap baik dan mencegah yang tidak baik.18
Pentingnya
etika
dalam
Bisnis
perbankan pada hakikatnya dilandasi oleh pemikiran bahwa bank adalah
lembaga kepercayaan. Masyarakat harus percaya bahwa simpanannya akan
aman di bank tersebut. Tentu saja kepercayaan masyarakat sangat erat
kaitannya dengan perilaku kehidupan karyawan bank. Artinya, para bankir
harus menunjukkan etika yang sesuai dengan profesinya.
18
As.Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1994),h.25
Para penulis etika perbankan seringkali menjelaskan pentingnya
memahami prinsip etika perbankan. Prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip kepatuhan peraturan.
2. Prinsip kerahasiaan
3. Prinsip kebenaran pencatatan
4. Prinsip kesehatan persaingan.
5. Prinsip kejujuran wewenang.
6. Prinsip keselarasan kepentingan.
7. Prinsip keterbatasan keterangan.
8. Prinsip kehormatan profesi.
9. Prinsip pertanggungjawaban sosial.
10. Prinsip persamaan perlakuan.
11. Prinsip kebersihan pribadi.19
Adiwarman A Karim dengan menyebut setidaknya ada enam etika
yang harus dimiliki para Bankir. Pertama, etika untuk selalu menyampaikan
yang benar (jujur). Kedua, etika untuk dapat dipercaya. Ketiga, etika untuk
mengerjakan sesuatu dengan ikhlas. Keempat, etika menjunjung tinggi
persaudaraan. Kelima, etika untuk menguasai ilmu pengetahuan. Keenam,
etika untuk selalu berlaku adil.20
Dapatlah disimpulkan bahwa bank pada hakikatnya adalah lembaga
kepercayaan, dan kepercayaan masyarakat inilah yang menjadi modal untuk
berkembangnya suatu bisnis perbankan. Jika bank telah memperoleh
kepercayaan masyarakat, maka dipastikan masyarakat akan menginvestasikan
uangnya di bank tersebut. Di antara faktor yang paling menentukan dalam
rangka membangun kepercayaan masyarakat terletak pada etika yang
ditampakkan oleh pengurus dan karyawannya dalam kegiatan bisnis
perbankan sehari-hari.21 Disinilah pentingnya etika perbankan yang harus
dimiliki oleh pelaku bisnis perbankan.
G.Rangkuman
1. Signifikansi Bank dalam Islam didasari pada pemikiran uang
dipandang sebagai alat tukar dan modal, bukan sebagai komoditi
untuk itu tidak boleh dibiarkan “idle”.Dengan demikian uang harus
digunakan sebagai alat investasi yang produktif untuk kemakmuran
19
Ibid., h.1123-129
Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2001), h.
160
21
O.P. Simorangkir, Etika Perbankan, (Jakarta; Aksara Persada Indonesia, 1990).h. 92
20
masyarakat di muka bumi dengan meningkatkan produksi dan
kesempatan kerja
2. Bank Syari`ah adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha penghimpunan dan penyaluran dana berdasarkan prinsip
syari`ah.
3. Ciri terpenting dari Bank Syari`ah adalah sistem Bagi hasil yang
tidak mengandung unsur eksploitatif terhadap manusia seperti
bank konvensional yang menerapkan sistem bunga.
H. Pertanyaan
1. Jelaskan perbedaan Bank Konvensional dengan Bank Syari`ah
2. Tuliskan bentuk-bentuk penyaluran dana dalam Bank Syari`ah
3. Jelaskan lima prinsip etika perbankan ?.
BAB XIV
ASURANSI TAKAFUL
Jujur harus diakui, umat Islam Indonesia belum sepenuhnya dapat
menerima keberadaan asuransi Takaful yang dalam operasionalnya berjalan
sesuai dengan prinsip-prinsip Syari`ah, walaupun jenis asuransi ini telah
berdiri di Indonesia sejak tahun 1994. Ironisnya sebagian orang
menyamakannya dengan asuransi konvensional. Padahal asuransi
konvensional itu cacat ditinjau dari sudut pandang Syari`ah karena
mengandung unsur ketidakjelasan (garar, jahalah), judi (maysir), dan riba. 1
Jika ditelusuri sikap yang kurang simpatik terhadap asuransi Takaful
disebabkan belum tersosialisasinya konsep dan operasional asuransi takaful
ditengah-tengah masyarakat muslim
A. Pengertian Asuransi Takaful
Takaful berasal dari bahasa Arab kafala yang berarti saling
menanggung atau saling menjamin. Dalam pengertian mu`amalah Islam,
takaful berarti saling memikul resiko, sehingga antara satu dengan yang lain
saling menjadi penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini
dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan.2
Sedangkan asuransi takaful berarti sebuah lembaga atau perusahaan
asuransi yang menjalankan prinsip takaful seperti tersebut di atas. Dalam
operasionalnya, lembaga ini mensyaratkan adanya pihak yang mengikat diri
untuk bekerjasama saling menanggung (peserta/ sahib al-mal) dengan pihak
yang diberi amanah untuk mengatur kerjasama tersebut (perusahaan) sesuai
dengan ketentuan-ketentuan syari`ah dengan cara menghindarkan operasinya
dari unsur ketidakpastian (al-garar), judi (al-maisir) dan riba (bunga).3
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246 memberikan
pengertian asuransi sebagai berikut,” Asuransi atau pertanggungan adalah suatu
perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung , dengan menerima premi, untuk memberi penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Definisi lain adalah, “suatu kontrak di mana seseorang disebut
penjamin asuransi, yang menjalankan sebagai balas jasa atas imbalan yang
1
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Asuransi Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 18-19
Takaful Asuransi Islam, (Jakarta : Kopkar Takaful, 1997), h. 18
3
Muhammad Nejatullah Siddiqi, op.cit, h. 18-28
2
telah disetujui yang disebut premi, untuk membayar orang lain yang
diasuransikan, yang disebut tertanggung, sejumlah uang atau yang senilai atas
suatu kejadian tertentu. Peristiwa tersebut haruslahmerupakan unsure yang
tidak menentu; peristiwa tersebut mungkin berupa (a) masalah asuransi jiwa,
dalam kenyataan bahwa peristiwa ini dapat terjadi sebagai kejadian seharihari, peristiwa terjadi tidak tentu waktunya, atau (b) suatu kenyataan bahwa
pristiwa yang dialami disebabkan oleh suatu kecelakaan, yang mungkin
peristiwa itu tidak pernah dialami sama sekali yang dapat disebut kecelakaan.4
Sedangkan yang dimaksud dengan asuransi takaful adalah, “saling
memikul resiko di antara sesama orang sehingga antara satu dengan lainnya
menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko itu
dilakukan atas dasar saling tolong dalam kebaikan dengan cara masingmasing mengeluarkan dana ibadah (tabarru`) yang ditujukan untuk
menanggung resiko tersebut.5
Berangkat Dari pengertian tersebut ada tiga pokok yang menjadi unsur
dalam asuransi.1) bahaya yang dipertanggungkan, 2) premi pertanggungan, 3)
sejumlah uang ganti rugi pertanggungan. Sampai disini, sebenarnya takaful
sama dengan asuransi-asuransi lainnya. Hanya saja, pada takaful terdapat
kekhususan dalam sistem operasinya yang berlandaskan syari`at Islam.
Kekhususan tersebut dapat dilihat pada dua hal. Pertama, adanya arahan
terhadap investasi dari dana yang terkumpul ke sektor-sektor investasi yang
tidak bertentangan dengan syari`at Islam. Kedua, adanya porsi bagi hasil yang
tidak bertentangan dengan syari`at Islam. Ketiga, adanya porsi bagi hasil yang
dapat diterima oleh peserta asuransi/tertanggung. 6
Sesuai dengan namanya takaful, praktek asuransi Islam dibangun
berdasarkan atas semangat saling menanggung (takaful) sesama peserta. Oleh
karena itu, didalamnya tidak berlaku akad pertukaran (tabadul) sebagaimana
lazimnya asuransi konvensional. Jika dihubungkan dengan sesama peserta
asuransi Islam (perorangan, perusahaan, yayasan atau badan hukum lainnya)
dijalin atas dasar takaful, maka hubungan antara peserta dengan perusahaan
ditegakkan atas prinsip bagi hasil (mudharabah).7
Dalam hal ini perusahaan takaful sebenarnya diberikan kepercayaan oleh
para peserta untuk mengelola premi mereka, mengembangkan dengan jalan
yang halal.Keuntungan perusahaan takaful diperoleh dari bagian keuntungan
4
5
6
7
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Islam, (Jakarta : Salemba Empat, 2002), h.101
Ibid.,
Purwanto Abdulcadir,”Prospek Takaful Di Indonesia”, dalam, Ulumul Qur’an, No. 2/VII/96, h.28
M.Abdul Mannan, Teori Dan Peraktek Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), h.306
dana para peserta dengan prinsip mudarabah. Para peserta takaful
berkedudukan sebagai pemilik modal, sementara perusahaan takaful
berkedudukan sebagai yang menjalankan modal. Keuntungan yang akan
diperoleh itulah yang akan dibagi antara perusahaan dengan peserta.
Dengan demikian dalam asuransi ini terdapat semangat tolong-menolong
yang dalam istilah keagamaan disebut dengan “wa ta`awanu `ala al-birri wa altaqwa” (tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) serta menciptakan
rasa aman (al-ta’min). Pentingnya asuransi syari`ah tegak atas dasar prinsip
ini karena asuransi menjadi suatu kebutuhan dasar manusia, karena
kecelakaan dan konsekuensi finansialnya memerlukan santunan, di sini
asuransi menjadi sebuah keniscayaan.8
Kendati unsur tolong menolong dalam asuransi konvensional juga ada,
namun yang lebih menonjol adalah ketidakpastian dalam perjanjian (garar).
Ini pula yang dipermasalahkan ahli-ahli hukum Islam. Terjadinya bahaya yang
dipertanggungkan resikonya mengandung ketidakpastian, demikian pula ganti
rugi atau santunan yang diterima jauh lebih besar dari premi yang dibayarkan
kepada perusahaan asuransi dipandang sebagai riba. Ditambah lagi dengan
investasi dana yang terhimpun pada perusahaan asuransi dengan jalan
dibungakan, semakin memperkukuh adanya unsur riba pada asuransi
konvensional.9
Dalam asuransi kebakaran misalnya, jika kebakaran benar-benar terjadi,
tertanggung dipandang menang karena akan memperoleh ganti rugi jauh
lebih besar dari premi yang dibayarkan. Sebaliknya, jika tidak terjadi
kebakaran, maka tertanggung dipandang kalah karena preminya tidak akan
dikembalikan.Adanya unsur menang kalah atau untung rugi antara pihak
tertanggung dengan penanggung dipandang mengandung unsur judi.
Dengan demikian jelaslah bahwa asuransi konvensional dengan asuransi
Syari`ah (takaful) tidak sama baik dalam prinsip maupun operasionalnya.
B. Prinsip Asuransi Takaful
Asuransi takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama. Pertama, Saling
bertanggungjawab. Prinsip ini digali dari ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut
bahwa umat Islam itu bersaudara (Q.S. al-Hujurat:10). Demikian juga dengan
hadis nabi yang menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman itu bagaikan
satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuhnya mengalami sakit, maka
8
Muhammad Nejatullah Siddiqi, op.cit, h. 51
Ahmad Azhar Basyir, “Takaful Sebagai Alternatif Asuransi Islam,” dalam, Ulumul Qur’an, No.
2/VII/96, h.16-17
9
anggota tubuh lainnya juga menjadi terganggu dan merasakan sakitnya. Atas
dasar inilah setiap muslim sangat bertangungjawab terhadap saudaranya yang
mengalami musibah atau bencana.
Dalam asuransi takaful ini terwujud rasa tanggung jawab peserta
asuransi terhadap peserta lainnya yang mengalami musibah. Pada gilirannya,
rasa bertanggungjawab akan melahirkan rasa persaudaraan dan persatuan
umat.
Kedua, Saling bekerjasama atau tolong menolong. Prinsip ini juga digali
dari ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan umatnya untuk saling tolongmenolong antar sesama. Allah dengan tegas menyatakan, hendaklah kamu
saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kamu
tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.10
Prinsip ini terlihat-misalnya- pada keuntungan bagi hasil antara peserta
sebagai pemilik modal dengan perusahaan yang menjalankan modal dengan
jalan menginvestasikannya kepada lembaga keuangan yang senafas seperti
Bank Mumalat Indonesia dan Bank Syari`ah Mandiri. Pada gilirannya
investasi takaful pada lembaga keuangan Syari`ah akan sangat bermanfaat
dalam mendukung penyediaan modal usaha kebanyakan pengusaha ekonomi
lemah.dari sini akan terjadi siklus kerjasama dan tolong menolong antara
orang kaya dengan pengusaha lemah.
Lebih dari itu, bagi masyarakat yang rentan terhadap musibah baik
kematian atau kerugian usaha seperti kebakaran, manfaat takaful yang
diperolehnya sekurang-kurangnya dapat menyangga ekonominya sehingga
tidak jatuh miskin atau bangkrut. Mereka akan tetap dapat berdiri karena
adanya santunan dari takaful.
Ketiga, Saling melindungi penderitaan satu sama lain. Islam mengajarkan
agar setiap peribadi agar melindungi diri dan keluarganya (Q.S; al-Tahrim: 6),
bahkan masyarakat dari segala macam bahaya yang akan menimpa seperti
kelaparan, kebodohan, keamanan dan sebagainya. Dalam suatu hadis Rasul
juga menyatakan bahwa, belum beriman seseorang yang dapat tidur nyenyak
dengan perut kenyang, sementara tetangganya menderita kelaparan.Orang
muslim itu adalah orang yang memberikan keselamatan kepada sesama
muslim dari gangguan perkataan dan perbuatannya.11
10
11
Ibid.,
ibid.,
C. Pentingnya Asuransi Takaful
Sampai hari ini ada dua jenis asuransi takaful Islam yang ada di
Indonesia, Asuransi Takaful Umum dan Asuransi Takaful Keluarga. Takaful
umum adalah bentuk takaful yang memberi perlindungan dalam menghadapi
bencana atau kecelakaan atas harta milik peserta takaful seperti rumah,
kendaraan bermotor, bangunan, pabrik dan sebagainya. Sedangkan Takaful
keluarga adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan dalam
menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas peserta takaful. Dalam
musibah kematian, yang akan menerima santunan sesuai perjanjian adalah
keluarga/ahli warisnya atau orang yang ditunjuk jika tidak ada ahli warisnya.
Adapun produk Asuransi Takaful Umum adalah:
1. Takaful Kendaraan bermotor
2. Takaful Kebakaran
3. Takaful Resiko Pembangunan
4. Takaful Resiko pemasangan
5. Takaful Mesin
6. Takaful peralatn Elektronik
7. Takaful Pengangkutan Barang
8. Dan lain-lain
Sedangkan Produk Takaful Keluarga adalah :
Takaful dana investasi
Takaful dana Siswa
Takaful Dana haji
Takaful al-Khairat
Takaful Kesehatan
Takaful Majlis Ta`lim
Takaful Wisata dan `Umrah
Takaful Perjalanan Haji
Takaful Kecelakaan diri
D. Prospek Asuransi Takaful di Indonesia.
Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi permintaan orang
terhadap asuransi, faktor indogenous dan exogenous. Faktor indogenous termasuk
kemakmuran, tingkat pendapatan, gaya hidup, selera, adat dan budaya,
bahkan keyakinan keagamaan. Kekuatan masing-masing faktor di atas dapat
mendukung keputusan seseorang untuk membeli suatu jasa asuransi.
Sedangkan faktor exogenous adalah faktor yang berasal dari luar tetapi dapat
mendorong terjadinya permintaan terhadap asuransi.Contohnya adalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
produk asuransi itu sendiri, tingkat suku premi, pelayanan, kepercayaan dan
hal-hal yang spesifik dan menarik.
Seperti yang telah disebut di muka salah satu faktor indogenous adalah
keyakinan keagamaan. Salah satu yang menghambat perkembangan asuransi
Takaful adalah pandangan yang digeneralisasi secara teologis bahwa asuransi
bertentangan dengan syari`at Islam atau paling tidak mengandung kesamaran
tentang hukumnya. Terkadang keputusan ulama bersikap mendua.
Sebagai contoh dalam keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah
dinyatakan:
1. Asuransi jiwa/ sosial yang dilakukan oleh pemerintah, a) perum jasa
Raharja, b) Taspen, hukumnya mubah.
2. Asuransi jiwa yang mengandung unsur-unsur riba, maysir,
ketidakadilan, garar, dan menyalahi hukum kewarisan Islam hukumnya
haram.Jika tidak mengandung unsur-unsur di atas, hukumnya boleh
(mubah).
3. Asuransi jiwa jama`ah haji yang sedang dalam perencanaan hukumnya
mubah apabila, tidak memberatkan jam`ah haji, dikelola oleh Depag,
dananya digunakan untuk kemaslahatan umat dan bersifat terbuka. 12
Berpijak dari gambaran di atas, tampaklah ajaran agama (hukum Islam)
tidak memberikan motivasi
yang kuat
kepada pemeluknya untuk
berasuransi. Paling-paling hukumnya hanyalah mubah yang tidak memuat
perintah untuk dilaksanakan dan tidak pula untuk dihindari.Untuk itulah
perlu dilihat dari sisi lain pesan-pesan kitab suci agar umat dapat melihat
manfaat berasuransi .
Al-Qur’an sebagai kitab suci menganjurkan kepada umatnya untuk
tidak hanya mempersiapkan bekal kehidupan untuk hari ini, melainkan
memerintahkannya untuk mempersiapkan bekal masa depan. Pada surah alnisa` ayat 9, Allah mengingatkan agar para orang tua tidak meninggalkan
generasinya dalam keadaan lemah. Termasuklah di dalamnya lemahnya ilmu
pengetahuan karena tidak adanya biaya untuk melanjutkan pendidikan dan
lemah dari sisi ekonomi. Dalam sebuah hadis tentang wasiat, Nabi melarang
para orang tua meninggalkan ahli warisnya dalam keadaan meminta-minta
sehingga memberatkan orang lain.
Disamping itu, semangat al-Qur’an yang menjunjung tinggi nilai
tolong menolong, persaudaraan dan solidaritas sosial merupakan ajaran yang
perlu direalisasikan dalam bentuk usaha yang lebih konkrit sehingga ia tidak
sekedar menjadi semboyan kosong. Mengembangkan semangat solidaritas
12
Rifyal Ka`bah, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi Jakarta, 1999), h.166
sosial antar sesama ini semakin penting di saat semakin ketatnya persaingan
bisnis yang menjadikan orang sanggup berbuat apa saja tanpa mengindahkan
norma-norma sosial terlebih lagi norma-norma agama. Bisa saja kepekaan
sosial manusia hari ini semakin pupus oleh gerakan liberalisasi, kapitalisasi
dan individualisme yang menyertainya, sehingga rasa saling peduli dan saling
membantu menjadi hilang.
Disinilah pentingnya asuransi Takaful yang tegak atas nilai tolong
menolong, ukhuwah (persaudraan), saling menanggung dan menciptakan rasa
aman. Dengan demikian kita merasa perlu untuk lebih mengembangkan
asuransi takaful dengan partisipasi umat yang lebih luas di dalamnya.
Dapatlah dikatakan, Asuransi takaful merupakan wujud nyata dari ajaran
Islam yang memerintahkan ummatnya untuk saling membantu, saling
melindungi dan bertanggungjawab antar sesama.
E. Perbedaan Asuransi takaful Dengan Asuransi Konvensional.
Paling tidak ada enam perbedaan ,mendasar antara asuransi takaful
dengan asuransi konvensional.13
1. Pada asuransi takaful ada dewan pengawas Syari`ah yang
mengawasi produk-produk takaful yang dipasarkan dan dalam
pengelolaan investasi dana.Dewan ini tidak ditemukan pada
asuransi konvensional (selanjutnya disebut AK).
2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi takaful (selanjutnya disebut
AT) berdasarkan tolong menolong sedangkan pada AK pada jual
beli.
3. Investasi dana pada AT berdasarkan bagi hasil (mudarabah)
sedangkan pada AK memakai sistem bunga dalam perhitungan
investasi.
4. Pemilikan dana pada AT, merupakan hak peserta. Perusahaan
hanya pemegang amanah untuk mengelola. Pada AK, dana yang
terkumpul dari nasabah menjadi hak perusahaan sehingga
perusahaan bebas dalam menentukan alokasi investasi.
5. Dalam soal pembayaran klaim, pada AT diambilkan dari rekening
tabarru’ seluruh peserta. Sedangkan pada AK, pembayaran klaim
diambil dari rekening dana perusahaan.
6. Pada AT keuntungan dibagi antara perusahaan dengan peserta
dengan prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan.
13
Kopkar Takaful, op.cit, h.26-27
Sedangkan pada AK, seluruh keuntungan menjadi hak milik
perusahaan.
Dalam bukunya “Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Islam”
Muhammad dengan mengutip sumber dari syarikat takaful Indonesia, lebih
jelas membedakan asuransi takaful dengan asuransi konvensional sebagai
berikut:14
Topik
Prinsip Dasar
Sistem dan operasional
 Pengelolaan
dana
 Biaya
 Premi
Asuransi Biasa
Asuransi Takaful
Akad Pertukaran Jual beli
Akad Saling Melindungi
 Kerjasama
 Tolong menolong
 Hukum
 Saling melindungi
 Ekonomi
 Saling bertanggungjawab
 Aktuaria
 Saling bekerjasama
 Perusahaan
sebagai
 Perusahaan
sebagai
pemiliki dana
pemegang amanah
 Dana
diinvestasikan
 Kebijaksanaan investasi
sesuai dengan kebijakan
sesuai dengan syari`ah
manajemen.
 Bagi hasil (mudharabah)
 Bunga
 Pemegang polis hanya
 Biaya
ditanggung
menanggung
biaya
pemegang polis
sebagian
kecil
saja
berdasarkan keduabelah
 Mortalita
pihak
 Mortalita/harapan hidup
 Biaya (alpa, beta, gama)
(net premium)
 Bunga
Dengan melihat perbedaan ini, sangat jelaslah bahwa asuransi takaful
sangat menekankan tolong menolong, persaudaraan, persamaan. Bisa saja
dikatakan asuransi konvensional juga demikian, namun perbedaannya adalah
asuransi takaful tegak atas nilai-nilai kemanusiaan dengan menghindarkan
segala bentuk eksploitasi.
F.Rangkuman.
1. Asuransi takaful sebuah lembaga atau perusahaan yang
menjalankan prinsip takaful dengan saling memikul resiko di antara
sesama orang, sehingga antara satu dengan yang lain saling menjadi
14
Muhammad, op.cit., h. 108
penanggung atas resiko yang muncul. Saling pikul resiko ini
dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan.
2. Takaful merupakan salah satu aspek ajaran Islam dalam lingkup
mu`amalah yang menekankan nilai-nilai keadilan, persaudaraan
dan persamaan. Nilai-nilai ini diterjemahkan dalam bentuk yang
konkrit dengan menjalankan asuransi takaful.
3. Asuransi takaful adalah jenis asuransi yang dipandang tidak
bertentangan dengan syari`ah karena tidak ditemukan unsur-unsur
garar, (penipuan), maysir (judi) dan riba (bunga bank).
G. Pertanyaan
1. Apakah yang dimaksud dengan Takaful ? Jelaskanlah baik secara
etimologi ataupun terminologisnya.
2. Uraikan prinsip-prinsip yang mendasari asuransi takaful ?
3. Jelaskan tiga perbedaan asuransi Takaful dengan asuransi
konvensional ?.
Download