Peranan Gereja Katolik dalam Pembangunan Nasionalisme di Timor L'este1* Chris Lundry Abstrak Prior to the Indonesian invasion of East Timor, the Catholic Church remained somewhat aloof from the population, although the beginnings of The importance of the Church began with the founding of the Dare seminary And the publication of the newsletter Seara. These two developments helped push East Timorese identity, which turned to nationalism aimed at ousting the Indonesians after their invasion. During the Indonesian occupation, the Church and clergy became firmly aligned with the people through a process of inculturization, and in return people flocked to the Church as the only reliable refuge from the horrors of the occupation. The membership rate skyrocketed to over 95 percent, although many of these are nominal Catholics who gained tangible benefits from their association with the Church. The Indonesian military and government pursued strategies to deal with the Church, but they ultimately failed. The Catholic Church can be credited with helping to foment the East Timorese nationalism that eventually led to Independence. KeyWords: Kata kunci: Timor L'este, Nasionalisme, Katolik, Uskup Belo, Agama dan Politik. Gereja Karya-karya akademik setelah Perang Dunia II (PD II), yakni setelah kemunculan gerakan-gerakan nasionalisme dan kemerdekaan pasca penjajahan di Afrika dan Asia, menunjukkan munculnya nasionalisme sebagai fenomena kealatan (instrumental) yang didasarkan pada gagasan-gagasan tentang apa yang membentuk identitas kelompok atau "imagined community" Walaupun pemikiran ini seringkali mengacu pada persatuan yang terjadi pada masa lalu, seringkali gerakan ini pada dasamya merupakan basil modernisasi (Anderson, 1983; Gellner, 1983, Suny, 1993).Gelombang dekolonisasi di Asia Tenggara, yang didasarkan nasionalisme yang seringkali difasilitasi Jepang selama PD II, tidak mempengaruhi wilayah jajahan Portugis yang terakhir di Asia 177 WjiSKITA Jumal Studi Agama dan Masyarakat Vol. Ill, No. 2, Nov. 2006: 177-195 Tenggara, Timor L'este (Timor Timur). Menurunnya kekuasaan Portugal sebagai penjajah ini, yang sebenamya sudah dimulai pada sekitar abad ke-16, mengakibatkan menderitanya jajahan Portugal di bawah sistem "benign neglect" (pengabaian lunak), dan tidak terpengaruhnya Timor L'este oleh modemisasi yang dimulai di daerah jajahan yang lain di dekatnya, yakni di Filipina dan di Hindia Belanda. Akibatnya, setelah PD II, Timor L'este kembali pada kedaulatan Portugal, dan terus-menerus menderita. Artikel ini mengambarkan munculnya nasionalisme yang terlambat di Timor L'este dan berargumen bahwa dalam gerakan ini Gereja Katolik di Timor L'este (GKTL) berperan besar menanamkan benih nasionalisme di Timor L'este. Seperti peristiwa-peristiwa dramatis dalam PD II di Asia Tenggara, realisasi nasionalisme Timor L'este teijadi melalui peristiwa/ perjalanan sejarah yang traumatis, yang dimulai dengan kudeta di Lisboa pada bulan April 1974 dan dibentuknya partai-partai politik di Timor L'este, selama invasi, pendudukan, dan penarikan tentara Indonesia (TNI). Selama pendudukan Indonesia, GKTL tetap menjadi gereja masyarakat dan bangsa, yang melakukan proses "inkulturasi" atau Timorisasi dan merupakan satu-satunya manifestasi masyarakat sipil yang ditolerir. Secara bertahap GKTL kemudian berfimgsi menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang yang disiksa TNI dan sumber informasi tentang penindasan terhadap rakyat Timor L'este setelah pelarangan media massa. Jadi di samping menjalankan peran tradisional, GKTL juga menjalankan fimgsi yang biasanya dilakukan oleh LSM. Di sini gereja, sebagai institusi, memainkan peran instrumental dalam kemunculan nasionalisme Timor L'este, dan peran ini benar-benar membentuk GKTL sebagai gereja "publik" yang mempengaruhi perkembangan Timor L'este dari bangsa ke negara-bangsa (Casanova, 1994). Latar Belakang Gereja Katolik di Timor L'este Untuk memahami pentingnya perkembangan GKTL, kita perlu meninjau latar belakangnya. Misionaris yang datang pertama kali ke Timor L'este adalah Pastor Dominikan dari Maluku pada tahun 1562. Sesuai dengan kebijakan pada waktu itu, mereka mencoba mengajak orang Timor memeluk agamanya, tetapi tingkat kesuksesannya pada waktu itu sangat terbatas. Ada sekolah-sekolah yang dibangun oleh pastor Salesian dan suster Dominikan dan Klaretian, namun pendidikan saat itu tidaklah luas, dan biasanya hanya diikuti oleh liurai (ita) dan kepala desa 178 Chris Lundry, Per an an Gereja Katolik dalam Pembangunan Nasionalisme yang telah dibaptis dan mendapat pendidkan. Salah satu hasil dari proses ini adalah terkonsolidasinya kedaulatan mereka (Taylor, 1991. 152). Namun misionaris dilarang ke Timor L'este sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah di Lisboa dari tahun 1834 sampai 1875, dan pelarangan ini terjadi lagi pada tahun 1910 dengan adanya deklarasi Republik Portugal. Pada tahun 1940 Presiden Antonio Oliverira Salazar menandatangani konkordat XX dengan Roma, yang mengakibatkan hubungan lebih erat antara Gereja Katolik dan pemerintah Portugal. Konkordat tersebut mendeklarasikan "imperial usefulness" (manfaat imperialis) dan "civilizing influence" (pengaruh yang memperadapkan) misionaris Katolik Portugis (Taylor, 1991: 13; Nevins, 2005: 38). Berdasarkan konkordat ini, dibentuklah Keuskupan Dili sehingga GKTL tidak lagi berada di bawah Keuskupan Makao, dan ini mengakibatnya peningkatan jumlah pemeluk Katolik. Pendidikan yang ada di Timor L'este dilakukan oleh gereja di bawah bimbingan negara, dan sebagai salah satu hasilnya anak-anak Timor disosialisasikan dengan nilai kolonial sebagai hasil pendidikan mereka. Selanjutnya sebuah seminari Jesuit yang bemama Nossa Senhora de Fatima dibangun di Dare tahun 1958 untuk mendidik para calon pastor pribumi dan mereka yang ingin melanjutkan kejenjang pendidikan tinggi. (Hull, 1992: 5-6). Dari KV II direkomendasikan hubungan gereja-negara perlu dikaji ulang dan para pastor serta suster didorong untuk membuat isu-isu keadilan sosial sebagai salah satu bagian "panggilan evangelisasi" (Anyawu, 1987: 275-76). Dampak dari KV II di Timor L'este, setidaknya pada awalnya, sedikit sekali. Pendidkan masih ditangani oleh GKTL yang masih konservatif, walaupun ada tanda bahwa beberapa pastor Jesuit sudah mengajarkan nasionalisme Asia dan metode-metode pembangunan altematif di pertengahan 1960-an. Pastor Jesuit juga mengritik penjajahan Portugis, tetapi tidak dengan cara yang revolusioner tetapi didasarkan pada ajaran gereja. Geoffrey Hull menulis bahwa "ketimpangan antara Negara Korporatis Salazar dan prinsip-prinsip masyarakat korporatif yang disusun oleh Pius XI di Quadragesima Anno merupakan... hal-hal yang umum dibahas oleh kalangan gereja di Portugal" (1992: 7). Namun demikian, dampak dari pelajaran KV II tidak dirasakan sama sekali di Timor L'este mirip dengan hasil penilitian tentang Amerika Latin, di mana Gereja Katolik umumnya juga dianggap sebagai gereja yang sadar sosial dan aktif secara politik. Sebagai contoh Anthony Gill berkaitan dengan ini menulis: "Kalau semua uskup di 179 UtfSKJTjl, Jumal Studi Agama dan Masyarakat Vol. Ill, No. 2, Nov. 2006: 177-195 Amerika Latin diekspos pada ide-ide progresif dari KV II... maka perubahan seharusnya terjadi secara merata di seluruh wilayah tersebut. Tetapi ini tidak terlihat." Uskup-uskup yang man mengecam ketidakadilan melihat reformasi bisa menjadi jalan untuk mencapai tujuan-tujuan mereka; tetapi para uskup yang tidak man "bisa saja berjalan lambat atau mengacuhkan saja semua rekomendasi dewan tersebut" (Gill, 19987: 45-6). Setelah KV II, GKTL pada hakikatnya masih tetap merupakan gereja yang "at heart a foreign church"" dan kebiarawanannya konservatif. Sebelum invasi Indonesia para pastor masih bersikap eksklusif dan menganggap rendah orang Timor. Gereja diasosiasikan dengan negara sedangkan para biarawan bertugas menjalankan kebijakan pemerintah (Taylor, 1991: 152). Sampai hari ini, para biarawan di Timor L'este masih tetap konservatif. Walaupun demikian, peran sosial mereka telah berubah drastis sejak KV II dan khususnya setelah invasi Indonesia. Dengan terisolasinya GKTL pada tahun-tahun awal pendudukan Indonesia, para pastor mulai berempati terhadap rakyat Timor yang tertindas dan menjadi lebih aktif secara sosial dan politik. Para pastor Katolik kemudian dipandang sebagai pemimpin masyarakat. Mereka mengajarkan katekismus dalam Bahasa Portugis sehingga menjadi orang Katolik dalam prakteknya sama dengan menjadi orang Portugis secara budaya. Pada akhir masa 1960-an, surat kabar Katolik bernama Seara muncul di Timor L'este. Karena diterbitkan oleh GKTL, Seara bisa bebas dari sensor dan bisa menjadi corong bagi para nasionalis Katolik dan Muslim yang muncul, misalnya Jose Ramos Horta, Nicolau Lobato, dan Mari Alkitiri, yang semuanya mengenyam pendidikan di Dare. Seara juga mengajarkan bahasa Tetum sebagai lingua franca di Timor L'este, dan menerbitkan artikel tentang masalah sosial. Namun akhirnya Policia Intemacional de Defesa do Estado, polisi rahasia pemerintah Portugal, membreidel Seara pada tahun 1973 setelah artikel-artikelnya semakin bermuatan politis. Meskipun demikian, surat kabar tersebut telah memungkinkan sekelompok nasionalis, beberapa dari mereka telah menyaksikan gerakan-gerakan di wilayah jajahan Portugal di Afrika pada waktu diasingkan, untuk bertemu secara rahasia (Jolliffe, 1978: 55-7). Banyak dari tokoh ini memainkan peran besar dalam partai politik yang muncul pada tahun 1974-75 (Nevins, 2005: 38). Namun demikian, semua kegiatan yang tidak mendukung Indonesia akhirnya dihentikan setelah invasi Indonesia. 180 Chris Lundry, Peranan Gereja Katolik dalam PembangunanNasionalisme Reaksi Pemimpin Gereja Timor L'este GKTL dipimpin oleh Uskup Dom Jose Joaquim Riberio saat terjadi invasi. Amendemen dalam Konstitusi Portugal sebelum kudeta 1974 menjelaskan kerapuhan dalam hubungan antara Portugal dan penjajah di Afrika dan Asia. Uskup Riberio menuliskan reaksinya terhadap kudeta dalam buletin, "Tentang Keadaan Terakhir," yang diterbitkan tanggal 25 Januari 1975. Dia menyatakan kesediaan GKTL untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru: Semua pastor dan misionaris senang menyaksikan kesempatan baru yang muncul. Gereja menjadi sadar terhadap kondisi sosial dan politik yang mempengaruhi kehidupan rakyat. Keadaan baru baik untuk Gereja maupun rakyat... Uskup dan para pastor (Timor L'este) menatap masa depan: Kami menginginkan Timor yang progresif, adil, damai, dan Katolik (Jolliffe, 1978:93). Ketika partai-partai politik muncul di Timor L'este setelah 1974, Riberio menyerang FRETILIN3) secara tidak langgsung dengan mengingatkan jemaatnya bahwa suara untuk FRETILIN merupakan suara melawan Tuhan, walaupun sebenarnya FRETILIN tidak mendukung ideologi komunis, dan kebanyakan dari pemimpin mereka berpendidikan di Dare dan beragama Katolik. Sekali lagi di bulan Maret 1975 Riberio menyampaikan keprihatinannya tentang komunisme kepada Parliamen Australia, dan memperingatkan bahwa walaupun rakyat di Timor L'este anti-komunis, politik di Timor L'este sedang mendapat pengaruh dari luar negeri. "Dialog bisa dilakukan pada tingkat budaya Eropa," ujamya, "tetapi tidak di sini di mana rakyatnya masih belum maju" (Jolliffe, 1978: 118). Ketika hubungan antara UDT4) dan FRETILIN bertambah buruk pada tahun 1975, Riberio dikabarkan memberitahu pemimpin UDT bahwa komunis dari Vietnam Utara sudah datang ke Timor L'este untuk melatih FRETILIN. Walaupun tidak benar dan hal ini diketahui oleh pemerintah Indonesia, pernyataan Riberio dianggap otoriter dan disebarluaskan oleh pers Indonesia yang dikendalikan pemerintah (Jolliffe, 1978: 118). Yang mengkhawatirkan Riberio adalah advokasi FRETILIN tentang pemisahan antara GKTL dan pemerintah, yang bisa menghentikan peran istimewa GKTL. Jadi tidak sulit baginya untuk percaya bahwa FRETILIN telah diinfiltrasi oleh komunis. Pada tahun 1977, Riberio turun setelah mengalami depresi yang dikabarkan karena dia menyaksikan kejahatan TNI. Uskup Martinho da Costa Lopes, penggantinya, yang dilahirkan di Timor L'este, mengatakan: 181 H^lSKjnX Jumal Studi Agama dan Masyarakat Vol. Ill, No. 2, Nov. 2006: 177-195 Kasihan, beliau sama sekali tidak sanggup. Semua yang terjadi melebihi yang bisa beliau pikul. Beliau terus-menurus menangis setiap kali beliau mendengar tentang apa yang dilakukan oleh Indonesia. Beliau hanya bisa menangis dan menangis. Juga, jangan lupa, beliau orang Portugal, dan perasaannya sangat terluka melihat orang Indonesia menurunkan bendera Portugal dan menginjak-injak semua yang berbau Portugal. Jadi beliau meminta pension dari Vatikan... Kini beliau sedang tinggal di Portugal dan sakit parah (Jolliffe, 1978: 117-18). Lopes bertugas sebagai Administrator Apostolik alih-alih Uskup, jadi dia bertangung jawab secara langsung kepada Roma, karena tidak ada hubungan antara GKTL dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Posisi Vatikan ini dianggap berhati-hati, dan diinterpretasikan tidak mendukung kedaulatan Indonesia. Vatikan menganggap Timor L'este sebagai wilayah sengketa. Karena berdiri sendiri dan lepas dari KWI dan kontrol Indonesia, GKTL bisa memantau kejahatan dan menyebarkan informasi tanpa gangguan yang berarti dari Indonesia (Archer, 1995: 126-7; Hull, 1992: 12). Di samping itu status tersebut memungkinkan GKTL menjadi "tantangan besar terhadap kewenangan moral Indonesia dan rintangan utama terhadap integrasi" (Gunn, 1994: 144). Pada awalnya, Lopes enggan mengritik secara publik tentang kejahatan di Timor L'este, walaupun ia berbicara secara tertutup dengan beberapa pimpinan TNI.5) Tetapi setelah permintaan-permintaannya tidak dipedulikan, ia mulai mengritik terang-terangan pada tahun 1981, awalnya dalam khotbah dan kemudian dalam surat yang diselundupkan keluar Timor L'este. Di Timor L'este ia juga membangun jaringan di antara sumber-sumber gereja untuk mengumpulkan informasi tentang tindakan TNI yang mengambarkan secara sangat terperinci tentang penyiksaan yang dilakukan TNI (Taylor, 1991: 153). Tanggal 11 Januari, 1982, Sydney Morning Herald memuat surat Lopes yang mengutuk pembunuhan besar-besaran terhadap lebih dari 500 jiwa di tempat keramat Santa Anthony, dekat Lacluta. Surat Lopes diikuti laporan dari "sumber gereja" bahwa separuh penduduk Timor L'este menghadapi kekurangan makanan yang parah (Taylor, 1990: 33). Surat tersebut mengejutkan masyarakat Australia, dan mengritik Australia karena pemerintah tidak melakukan apa-apa. Mantan Perdana Menteri Gough Whitlam, dalam usaha mendiskreditkan Uskup dan mempertahankan posisinya terhadap Timor L'este, kemudian dikirim ke Timor L'este oleh Center for Strategic and International Studies - Pusat Studi Strategis dan Intemasional, sebuah think tank yang memiliki 182 Chris Lundry, Peranan Gereja Katolik dalam Pembangunan NasionaHsme hubungan dengan TNI dan pada waktu itu dipimpin oleh Jendral AH Moertopo. Dengan seorang wartawan Australia yang ikut serta, Whitlam diajak berkunjung ke tempat-tempat yang telah dipersiapkan untuk menjelaskan bahwa keadaannya tidak seperti yang digambarkan oleh Lopes. Whitlam mengatakan ia tidak bisa mengerti mengapa Lopes "melakukan tindakan jahat dan mengirim surat yang kejam." "Argumen satu arah" Whitlam ini digemakan oleh wartawan yang mengikutinya (Gunn, 1994: 143). Lopes makin ditekan oleh pemerintah Indonesia dan Pro Nuncio di Jakarta. Dia juga ditekan oleh Vatikan, yang tidak bersedia ikut campur tangan masalah Timor L'este karena takut akan konsekuensinya di Indonesia. Walaupun anggota Gereja Katolik di Indonesia hanya sekitar tiga persen, mereka merupakan konstituen yang cukup berpengaruh. Vatikan mengkhawatirkan kemungkinan terancamnya mereka. Selain itu, karena semua bantuan kemanusiaan yang dikirim ke Timor L'este pada waktu itu dikirim melalui organisasi Gereja Katolik, kritikan mungkin akan membahayakan operasinya. Karena itu Vatikan mencari jalur tenggah yang praktis. Lopes meringkaskan pendapatnya terhadap sikap Vatikan: "Adalah impian besar Vatikan untuk memperluas Gereja Katolik di Indonesia... yang kecil dikorbankan untuk kepentingan yang lebih besar" (Kohen, 1999: 112-113). Ia meletakkan jabatannya sebagai uskup pada tanggal 16 Mei 1983, kembali ke Lisboa, dan melakukan kunjunganke berbagai negara untuk menjelaskan ketidakadilan yang terjadi di Timor L'este (Budiarjo dan Liong, 1984: 149). Lopes kemudian digantikan oleh Carlos Filipe Ximenes Belo, yang juga ditugaskan sebagai Administrator Apostolik. Belo diterima secara dingin pada awalnya dan pada saat pelantikannya, dia disebut sebagai "boneka Indonesia yang diangkat oleh Vatikan."6) Kekhawatiran terhadap para pastor Timor L'este didasarkan pada fakta bahwa Belo dididik di Eropa dan tidak pernah tinggal di Timor L'este setelah invasi Indonesia. Ketika Belo menyadari situasi yang ada (hanya setelah 15 hari dia mengirimkan perkiraan mengenai kekuatan FRETILIN kepada pastor di Jakarta [Taylor, 1990: 40]), dia mulai mengritik seperti yang dilakukan Lopes, dan ini mengubah citranya. Dia tidak dipandang pro-Jakarta lagi, dan dia tidak percaya bahwa perdamaian saat itu akan terwujud di Timor L'este. Belo kemudian mulai mengumpulkan fakta dan membuat penilaian secara independen. Ketika pada tahun 1983 KWI meminta Belo untuk mempertimbangkan integrasi daerah kantong Oecusse dengan Timor Barat, ia 183 Jumal Studi Agama dan Masyarakat Vol. Ill, No. 2, Nov. 2006: 177-195 pergi ke sana dan memutuskan bahwa rakyat di daerah itu menganggap diri mereka sebagai orang Timor L'este dan tetap ingin terpisah dari Timor Barat. Belo melaporkan informasi ke Pro Nuncio di Jakarta sebagai alasannya Oecusse hams tetap bagian Timor L'este (Budiardjo, 1984: 123). Pada tahun 1986 Belo menarik para pastomya dari penataran P4 sebagai protes terhadap pemukulan beberapa pastor, dan ia juga meyakinkan KWI agar mereka mau menulis surat untuk menyatakan kenetralan mereka terhadap masalah integrasi Timor L'este dengan Indonesia. Pada tahun 1988, dia dipromosikan menjadi uskup oleh Vatikan.7) Setahun kemudian dia menulis kepada Sekretaris Jendral PBB Perez de Cuellar untuk mendukung jajak pendapat, dan mengatakan bahwa rakyat Timor L'este sedang "mati sebagai suku dan bangsa" (Budiardjo, 1994: 14). Pada tahun 1989, Paus John Paul II mengunjungi Timor L'este dalam kunjungannya ke Indonesia. Namun sebuah demonstrasi terjadi setelah misa yang dipimpin Paus. Belo memberi perlindungan kepada 40 demonstran di kediamannya. Di tengah-tengah protes Belo, para demonstran tersebut diciduk dari kediamannya dan disiksa (Gunn, 1994: 157-58). Aktivitas Belo mengakibatkan dua percobaan pembunuhan terhadap dirinya, pada tahun 1989 dan 1991 (Carey, 1996: 14). Komentamya yang menentang TNI atas pembantaian massal di pemakaman Santa Cruz, tanggal 11 November 1991 juga membuatnya sangat tertekan (Gunn, 1994: 232). Belo dinominasikan untuk mendapatkan Hadiah Nobel untuk perdamaian tahun 1995, dan pada tahun 1996 ia mendapat penghargaan tersebut bersama Jose Ramos Horta. Keberaniannya menjadi "inspirasi bagi banyak orang Timor L'este" dan merupakan "penegasan nyata atas solidaritas antara gereja dan rakyatnya... Belo, seperti Xanana (Gusmao), sangatlah penting untuk penyelesaian jangka panjang di Timor L'este" (Carey, 1996: 14). Setelah jajak pendapat tanggal 30 Augustus 1999, Belo menjadi sasaran serangan milisi, rumahnya dihancurkan, dan akhirnya ia mengungsi ke Australia (Nevins, 2005: 102-103). Sekembalinya ke Timor L'este, ia secara terbuka mengritik panglima TNI agar diajukan ke pengadilan istimewa HAM. Fungsi-Fungsi GKTL Walaupun peranan Lopes dan Belo sangat penting untuk menyatukan gerakan perlawanan, memberi bantuan kemanusiaan dan 184 Chris Lundry, Peranan Gereja Katolik dalam PembangunanNasionalisme menyebarluaskan informasi, pekerjaan mereka tidak mungkin berhasil tanpa dukungan keimaman. Mungkin faktor utama dalam perkembangan nasionalisme di Timor L'este adalah terinkulturisasinya para pastor. Kepergian sebagian besar para pastor Portugis dari Timor L'este setelah invasi Indonesia telah memungkinkan terjadinya "Timorisasi" terhadap para pelayan gereja yang masih tinggal di wilayah tersebut. Menurut Carmel Budiardjo dan Liem Soei Long, para pastor Portugis yang tetap tinggal ikut melarikan diri ke hutan bersama mayoritas penduduk Timor L'este: "Pengunduran diri kelompok religius dan kepergian pemerintah penjajah Portugal menghancurkan sistem lama di mana GKTL hidup. Disintegrasi Gereja Katolik Portugis di Timor L'este ini mempercepat transformasi gereja menjadi gereja nasional" (1984: 118). Walau rakyat Timor L'este merasa dikhianati oleh kepergian mereka, hal ini justru memperkuat posisi para pastor yang masih tetap tinggal. Mereka melupakan antagonisme mereka terhadap FRETILIN dan "mulai melihat mereka sebagai pendukung Maubere (Orang Timor L'este)" (Hull: 1992: 11). Sebagian besar pastor pribumi dididik di seminari Dare bersama mereka yang menjadi pemimpin FRETILIN. Para pastor yang dibawa turun dari gunung oleh TNI mengritik invasi Indonesia dan mendukung FRETILIN (Taylor, 1991: 153). Perkembangan langkah inkulturisasi selanjutnya adalah ijin Vatikan terhadap pengunaan Bahasa Portugis sebagai bahasa liturgi, yang semula bertujuan untuk mencegah dilarangnya bahasa Portugis oleh pemerintah Indonesia.8) Selama di pegunungan bersama FRETILIN, para pastor berhasil menarik banyak orang Timor L'este menjadi Katolik. Ini bukanlah kebijakan FRETILIN, namun tidak ditolak juga (Pinto, 1996: 47). Perpindahan ke agama Katolik mengalamai kenaikan pesat dan dewasa ini diperkirakan jumlahnya lebih dari 95 persen (paling tidak secara nominal9)) dengan beberapa alasan. Pertama, dalam hukum Indonesia, setiap orang harus memeluk salah satu agama dari lima agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, yaitu Kristen, Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha. Animisme di Timor L'este yang dianut mayoritas sebelum tahun 1975 dianggap tidak berketuhanan (dan orang di Indonesia yang dianggap tak bertuhan biasanya dianggap sebagai Komunis). Kedua, karena penindasan TNI di Timor L'este, GKTL menjadi tempat perlindungan (Jardine, 1995: 67; Mubyarto, et al., 1991: 30). Ketiga, ada semacam gengsi yang melekat sebagai anggota GKTL sejak jaman Portugis. Keempat, GKTL memungkinkan rakyat Timor L'este untuk berkumpul dalam jumlah besar dan memakai bahasa ibu, dan ikonografi 185 •WJLSKJTX Jumal Studi Agama dan Masyarakat Vol. HI, No. 2, Nov. 2006: 177-195 Gereja Katolik menggantikan ikonografi kepercayaan asli (Aditjondro, 1994: 69; Kohen, 1999: 29). Yang terakhir, GKTL dianggap oleh orang Timor L'este di pegunungan sebagai "tempat untuk melakukan perlawanan" (Franks, 1996: 163). Uskup Belo memperbolehkan para demonstran dari kunjungan Pans dan pembantaian Santa Cruz untuk tinggal di rumahnya. Ketika para demonstran dikeluarkan secara terpaksa, seperti ditulis di atas, Belo membuat persetujuan dengan TNI yang menijinkannya untuk bisa mengunjungi mereka di penjara untuk memastikan bahwa mereka diperlakukan dengan manusiawi (seringkali mereka tidak diperlakukan secara manusiawi) dan mengumumkan nama-nama mereka untuk menarik perhatian terhadap nasib mereka dan mengurangi kemungkinan mereka dibunuh selama dipenjarahkan (Pinto, 1996: 110). GKTL adalah satu-satunya institusi yang keluar kesiksaan setelah invasi dan juga telah memberi bantuan kepada ribuan korban janda dan anak yang kehilangan orang tuanya. GKTL menjadi penyalur utama bantuan luar negeri yang datang setelah bencana kelaparan pada tahun-tahun awal pendudukan. Meskipun bantuan tersebut merupakan sumbangan lembaga intemasional seperti Palang Merah dan Catholic Relief Services, seringkali gereja harus membelinya dari orang Indonesia. Lepas dari berbagai laporan dari para pengungsi dan kadangkadang dari orang-orang yang berhasil masuk dan keluar Timor L'este, GKTL merupakan sumber informasi utama untuk dunia luar. Informasi ini seringkali harus diselundupkan dalam bentuk surat oleh para pastor. Jaringan yang dibangun Lopes kemudian berkembang di bawah pimpinan Belo. Berdasarkan kesepakatan dengan Vatikan, "selama pendudukan, GKTL merupakan satu-satunya institusi yang berkomunikasi secara independent dengan dunia luar, memelihara hubungan institusional dengan lembaga intemasional, dan dengan demikian bisa mempertahankan kemandiriannya dari penguasa Indonesia" (Archer, 1995: 126). GKTL memberikan informasi yang sahih mengenai nama dan jumlah korban penganiayaan dan penyiksaan TNI (Budiardjo dan Liong, 1984: 50). Tingkat pengumpulan informasi, yang menunjukkan jaringan yang luas dan rumit, dibuktikan dengan jumlah kutipan yang diambil dari sumber GKTL dalam laporan tentang Timor L'este sejak 1975. Lopes, dan kemudian Belo, bersama Dewan Gereja di Timor L'este, menolak undangan integrasi dari KWI. Alih-alih, mereka 186 Chris Lundry, Peranan Gereja Katolik dalam Pembangunan Nasionalisme menekan KWI untuk ikut mengutuk invasi Indonesia dan membela hak rakyat Timor L'este untuk menentukan masa depannya sendiri. Permintaan tersebut tidak dipedulikan hingga tahun 1988, yakni ketika Pro Nuncio di Jakarta menulis surat solidaritas kepada Belo untuk menyampaikan dukungan dan pengertiannya terhadap alasan orang Timor L'este untuk memisahkan diri dari Indonesia (Taylor, 1990: 73). Konferansi Waligereja Amerika Serikat (KWAS) juga mengecam intimidasi pemerintah Indonesia terhadap GKTL (Taylor, 1990: 68). Wakil GKTL, didukung oleh KWAS dan kelompok lain, juga memprotes keras program "keluarga berencana" di Timor L'este. Pada tahun 1985, pers Indonesia melaporkan adanya pemberian depo provera kepada 31,7 persen pasangan subur (Taylor, 1990: 53). Seringkali perempuan yang mendapat depo provera tidak diberitahu dampak sampingnya, dan kadang-kadang tidak diberitahu bahwa itu merupakan program untuk membatasi kelahiran. Juga dilaporkan bahwa ada perempuan yang disterilisasikan di luar pengetahuan pasien dengan tubal ligation sehingga tidak dapat memiliki anak lagi. Laporan lain menunjukkan bahwa beberapa ibu hamil dipaksa aborsi dan pembatasan kelahiran diberlakukan kepada remaja yang masih 12 tahun umumya. Para perempuan yang melaporkan masalah KB seringkali tidak punya pilihan lain; doktor Indonesia terlalu mahal untuk orang Timor L'este. Praktek pembatasan kelahiran yang disponsori oleh pemerintah menakutkan perempuan Timor L'este, dan mereka tidak merasa aman ketika pergi ke klinik pemerintah. Alih-alih Mereka lebih mempercayai klinik gereja.10) GKTL memainkan peranan kunci untuk melindungi penduduk Timor L'este dari penyiksaan TNI, dan dengan demikian memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan pergerakan nasional untuk menuntut kemerdekaan. Bulan Februari 1999, Constancio Pinto, sebagai wakil Conselho Nacional de Resitencia Timorense (Dewan Nasional Perlawanan Timor, CNRT) di PBB, mengatakan bahwa rakyat Timor L'este "masih tetap hidup... karena keyakinan mereka" dan menambahkan bahwa "tanpa GKTL, perlawanan mereka pasti gagal" (Steele, 1999). Strategi Indonesia untuk GKTL Menurut Mayor Prabowo, pada waktu itu mantan perwira yang ditugaskan di Timor L'este dan menantu mantan Presiden Suharto, "Gereja, pemuka agama, dan pastor merupakan tiga faktor utama yang 187 WJ4SKJTA, Jumal Studi Agama dan Masyarakat Vol. Ill, No. 2, Nov. 2006: 177-195 mengancam integrasi Timor L'este dengan Indonesia." Prabowo melanjutkan bahwa "rakyat harus berbalik melawan" GKTL kalau Indonesia man berhasil di Timor L'este (Taylor, 1991: 157). Indonesia menerapkan beberapa strategi untuk menghadapi gereja yang makin berpengaruh: kooptasi; pendiskreditan kepercayaan Katolik; "Indonesianisasi" baik terhadap para biarawan dan biarawati maupun penduduk; perusakan; dan Islamisasi. Salah satu upaya untuk mengkooptasi sistem pendidikan Katolik, para guru dijanjikan tiga kali gaji yang lebih besar untuk meninggalkan posisi mereka di sekolah Katolik dan mengajar di sekolah negeri. Upaya ini sangatlah menarik untuk para guru karena sekolah Katolik di Timor L'este tidak menerima dana dari pemerintah, dan bantuan yang mereka terima dialirkan lewat institusi sosial Katolik dari Indonesia (Taylor, 1991: 28). Usaha yang lain dibuktikan dengan pamflet yang diterbitkan oleh TNI yang menjelaskan prosedur penganiayaan di Timor L'este dan menyarankan untuk mengambil foto tawanan bersama tentara: Sebaiknya mengambil foto yang menarik, misalnya foto saat makan bersama dengan tawanan atau berjabat tangan dengan yang baru turun dari pegunungan, dan yang memperlihatkan mereka di depan rumah, dan lain-lain. Jika foto-foto seperti ini disebarluaskan di pegunungan, ini pasti akan menurunkan moril dan semangat juang mereka. Dan kalau foto-foto tersebut ditunjukkan kepada para pastor, ini bisa mendorong gereja untuk mendukung operasi tersebut untuk mengembalikan keamanan (Kodim, 1982, cetak miring saya). Selanjutnya sebagai bagian kampanye untuk mendiskreditkan GKTL, Lopes dan Belo digambarkan dengan buruk dalam pers Indonesia.11^ Pada tahun 1984, TNI menuduh GKTL disusupi paham Marxis (Taylor, 1990: 46). Wartawan Swedia Terja Svabo diijinkan pergi ke Timor L'este pada tahun 1987, tetapi dilarang mewawancarai para pastor (Taylor, 1990: 68). Dua pastor Jesuit yang menentang integrasi diberhentikan dan disalahkan oleh KWI (Taylor, 1990: 70). Kampanye Indonesianisasi mulai tertancap dengan kuat tanggal 24 Juni 1982 saat Menteri Luar Negeri Mochtar mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan mulai menggantikan misionaris luar negeri dengan pastor dari Indonesia (Taylor, 1990: 35). Namun demikian, orang Timor L'este pada umumnya menolak pastor Indonesia dan lebih memilih menempuh perjalanan jauh agar bisa menerima sakramen dari pastor Timor (Carey, 1995: 11). Kebanyakan pastor Indonesia dianggap pro-integrasi, penjajah, dan tidak dipercaya (Archer, 1995: 128; Franks, 188 Chris Lundry, Peranan Gereja Katolik dalam Pembangunan Nasionalisme 1996: 160). Beberapa pastor Indonesia dicurigai sebagai anggota kelompok "warga negara yang terhormat dan pemimpin lokal" yang membantu meningkatkan kekuasaan atau kontrol Indonesia dan membantu para milisi pro Indonesia (TAPOL, 1998: 22-24). Pemerintah Indonesia juga mendorong "Indonesianisasi" Timor L'este melalui Gereja Protestan Indonesia. Gereja Protestan, misalnya, mendukung integrasi, mungkin karena mereka berharap bisa menarik banyak pengikut baru di Timor L'este. Mereka juga berhasil mencegah Dewan Gereja Intemasional (World Council of Churches) ketika mereka akan mengeluarkan pemyataan yang menyalahkan invasi Indonesia (Budiardjo dan Liong, 1984: 124). Indonesianisasi juga dimungkinkan dengan adanya program transmigrasi yang memindahkan puluhan ribu orang Indonesia ke Timor L'este yang berakibat pada berkurangnya jumlah penduduk asli orang Timor L'este, terdesaknya budaya asli, dan pengangguran besar-besaraan di kalangan pribumi di Timor L'este (sekitar 45 persen pada tahun 1995) (Scalla, 1997: 194). Jajak Pendapat Setelah mendapat tekanan intemasional yang besar, Presiden Indonesia B.J. Habibie mengumumkan kemungkinan untuk jajak pendapat di Timor L'este, dan mulai diadakannya perundingan antara Indonesia, Portugal dan PBB. Akhirnya dicapai kesepakatan yang diumumkan 5 Mei 1999 bahwa jajak pendapat di Timor L'este awal akan dilakukan Agustus. Kelompok HAM menunjukkan adanya masalah dalam persetujuan tersebut, misalnya bahwa TNI yang akan bertugas menangami semua isu keamanan dan hasil jajak pendapat harus disetujui oleh MPR, walaupun MPR tidak bersidang hingga pertengahan Oktober, sehingga menciptakan ketidakpastian di Timor L'este jika mereka memilih untuk merdeka. PBB menunda tanggal jajak pendapat dua kali, sampai 30 Agustus, karena kekerasan makin meningkat dan adanya ketidakpastian terhadap persiapan jajak pendapat. Akhirnya jajak pendapat diselengarakan tanggal 30 Agustus. Dalam prosesnya profil GKTL jelas terlihat dengan memberi perlindungan kepada orang-orang dari kekerasan milisi dan memberi rekomendasi dan peringatan kepada PBB dan kelompok pemantau. Tidak ada satu pun biarawan atau biarawati yang secara terbuka berkampanye untuk mendukung salah satu pihak. Pada malam setelah jajak pendapat terjadi kerusuhan yang menghancurkan ketenangan yang ada sebelumnya. Kekerasan ini meluas 189 WjZSKJTji, Jumal Studi Agama dan Masyarakat Vol. Ill, No. 2, Nov. 2006: 177-195 sampai ke seluruh wilayah dan meningkat hari demi hari. Tim pemantau dan personil PBB terpaksa mengevakuasi daerah-daerah yang dianggap dikuasai kelompok milisi seperti Suai, Oecusse, Maliana dan Aileu. Untuk pertama kalinya, pos PBB juga mendapat serangan, yaitu pada tanggal 1 September. Namun aparat keamanan Indonesia bereaksi sangat lambat. Ketika basil jajak pendapat diumumkan tanggal 4 September, dan lebih dari 78 persen mendukung kemerdekaan, kekerasan meningkat lagi. Hampir semua petugas PBB dievakuasikan pada minggu kedua bulan September, meninggalkan TNI dan milisi tanpa saksi mata atas segala kehancuran yang telah mereka lakukan sejak beberapa bulan sebelumnya. Mereka mencari dan membunuh orang-orang Timor L'este yang dikenal sebagai pendukung kemerdekaan, juga orang Timor L'este yang bekerja sama dengan PBB. Saat itu sekitar 200,000 orang Timor L'este dikumpulkan dan dipaksa untuk naik pesawat, truk, dan kapal laut di bawah ancaman senapan untuk diangkut ke Timor Barat, Flores, dan daerah tujuan lain di Indonesia. Sementara itu kebanyakan kendaraan dan harta benda penduduk dirusak atau dijarah, dan antara 70 dan 80 persen gedung yang ada di seluruh wilayah tersebut dibakar. Muka TNI seolaholah terasa ditampar oleh orang Timor L'este karena "pembangunan" yang dilakukan bertahun-tahun di Timor L'este hancur oleh politik bumi hangus tersebut. GKTL juga menjadi sasaran TNI dan milisi. GKTL diserang setelah jajak pendapat meskipun mereka biasanya dihormati oleh pihak pro-integrasi. Tanggal 6 September, sekitar 50 jiwa, termasuk beberapa pastor dan pengungsi, dibunuh di gereja Suai oleh Milisi Laksaur. Tanggal 26 September, 8 jiwa, termasuk beberapa suster dan pekerja agama dibunuh di Los Palos oleh kelompok milisi Tim Alfa. Barangbarang milik GKTL dijarah dan dihancurkan, termasuk rumah Uskup Belo yang saat itu sedang mengungsi ke Australia (U.S. Dept. of State, 2000). Setelah lebih dari dua minggu pemerintah Indonesia banyak mendapat tekanan, yang selalu diwarnai dengan penyangkalan atas kehancuran yang terjadi di Timor L'este dan keyakinan bahwa para milisi masih di bawah kendali, akhirnya Habibie mengijinkan pasukan perdamaian untuk masuk ke Timor L'este di bawah pimpinan pasukan Australia.12) Perdamaian segera dapat diciptakan tanpa menimbulkan banyak kekerasan, walau sudah terlanjur banyak terjadi. Kelompok bantuan kemausiaan pun segera datang ke Timor l'este untuk mencegah 190 Chris Lundry, Peranan Gerq'a Katolik dalam Pembangunan Nasionalisme terjadinya kelaparan (karena TNI dan milisi melakukan pencurian makanan, menghancurkan tanaman dan membunuh temak). Setelah jajak pendapat, di samping mendistribusikan bantuan, GKTL juga membantu proses pembangunan negara-bangsa. GKTL juga mempunyai wakilnya, Pastor Jose Antonio dalam Dewan Konsultatif Nasional, kelompok yang bertugas untuk menciptakan sistem politik yang bisa hidup (Gutierres, 2000). GKTL juga mengembangkan program pendidikan dan berperan dalam Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi. Berbeda dengan Gusmao dan Ramos Horta, Uskup Belo tetap mengritik keras pemerintah Indonesia dan TNI atas kekerasan yang mereka lakukan di Timor L'este, dan meminta dilakukan pengadilan intemasional terhadap orang-orang yang bertanggung jawab. Kesimpulan Apakah fenomena peranan GKTL ini membuat universitalitas teori sekularizasi, sesuai dengan tesis Jose Casanova (1994) semakin diragukan? Di Polandia, Gereja Katolik berkembang dari lembaga yang membela pemerintah dari musuh luar negeri menjadi pembela rakyat Polandia dari pemerintah yang tidak adil. Seperti di Timor L'este, Gereja Katolik memainkan peran yang sangat penting untuk mendukung nasionalisme Katolik di Polandia. Upaya pemerintah Polandia untuk melakukan privatisasi agama Katolik dan mengurangi perananannya gagal, dan justru berakitbat sebaliknya. Peranan gereja bertambah luas dari pembela "hak agama dan hak negara" menjadi pembela hak asasi manusia, sipil dan buruh atau pekerja (Casanova, 1994: 100). Upaya negara untuk mendiskreditkan gereja justru semakin memperkuat gereja: Jika perlawanan tersebut datang dari lembaga hirarkis yang tidak mapan melawan proses diferensiasi yang dilakukan oleh kekuasaan negara yang tidak punya legitimasi masyarakat, maka perlawanan terhadap sekularisasi tersebut mungkin berkaitan dengan perlawanan masyarakat terhadap kekuasaan negara yang tidak sah dan perlawanan tersebut mungkin justru akan menguatkan lembaga agama hirarkis (Casanova, 1994: 215). Hasil ini mencerminkan pengalaman GKTL yang menghadapi usaha-usaha Indonesia untuk memprivatisasi agama tersebut. Meskipun ada usaha-usaha keras dari TNI untuk mengkooptasi atau mendiskreditkan para wakil gereja, GKTL tetap menjadi batu pertama dalam perjuangan penentuan nasib sendiri Timor L'este. Uskup Belo dan para pemimpin gereja lainnya tidak hanya tidak hanya meringankan 191 1VJISXJTX Jumal Studi Agama dan Masyarakat Vol. Ill, No. 2, Nov. 2006: 177-195 penderitaan penduduk Timor L'este, tetapi juga mendorong tumbuhnya semangat nasionalisme yang mendukung gerekan kemerdekaan. Ketika gereja semakin menyesuaikan diri dengan budaya setempat dan aktif memberitakan ketidakadilan di Timor L'este kepada dunia intemasional, suara GKTL menjadi semakin kuat sebagai suara rakyat. Pendudukan Timor L'este yang dulu dianggap "tidak bisa dibalikkan" sekarang sudah dibalikkan (Weatherbee, 1981: 5), tetapi nasib rakyat Timor L'este tentu saja tergantung pada beberapa faktor, termasuk kemampuan para pemimpinnya untuk meyelesaikan perbedaan yang ada dan membuat kesepakatan dalam masalah politik dan ekonomi. Namun yang pasti, peranan besar GKTL, dipimpin oleh Lopes and Belo, dalam membangun semangat nasionalisme yang bertahan selama 24 tahun penindasan telah memastikan peranan GKTL di Timor L'este sebagai suara yang tertindas, dan masih akan terus mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara termuda pada abad ke-21 ini. Catatan dan Acuan Catatan 1) Penulis mau mengucapkan terima kasih kepada Elizabet Titik Murtisari dan Anton Wahyana untuk bantuan penerjemahan. Penulis juga mau mengucapkan terima kasih kepada Professor Daniel S. Lev, Professor James Rush, Professor Joseph Nevins, dan Professor Peter McDonough untuk komentar mereka tentang versi-versi awal makalah ini. Penulis yang bertanggung jawab untuk isinya. 2) Sebagai contoh falsifikasi sejarah, kita bisa meneliti wacana tentang kerajaan Majapahit dan Sriwijaya selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang gemanya masih terdengar sampai hari ini. Tetapi walaupun kekaisaran tersebut luas sekali, kalau dianggap sebagai cikal bakal Negara Indonesia, ini adalah pemutarbalikan kebenaran. Berkenaan dengan modernitas, tetrologi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer mengambarkan secara baik wujud modem kemunculan nasionalisme melalui sastra sejarah. 3) Frente Revoutiondria do Timor-Leste Independente - Barisan Revolusi Kemerdekaan Timor L'este 4) Uniao Democratica Timor - Serikat Demokratis Timor. 5) Karena TNI memaksakan penutupan informasi secara menyeluruh di Timor L'este, isteri dan anak anggota TNI yang berada di Timor L'este seringkali menanyakan kabar tentang keluarga tercinta ketika Lopes pergi 192 Chris Lundry, Per an an Gereja Katolik dalam Pembangunan Nasionalisme ke Jakarta. TNI biasanya tidak memberitahu keluarga tentang kematian atau luka-luka yang dialami oleh tentara yang berada di Timor L'este (Da Costa Lopes, 1994: 23). 6) Sambil acara pelantikan, kelompok pastor memrotes oleh memain basket di lapangan sekolah yang dekat (McMillan, 1992: 83). 7) Belo menjadikan Uskup Lorium, "keusukupan kuno di Italia yang tidak lagi berfungsi." Dia menetapkan Administrator Apostolik di Dili, dan keputusan ini dianggap sebagai bukti kepercayaan dalam Uskup yang muda (Kohen, 1999: 130-1). Kelakuan ini juga menunjukkan perubahan posisi Vatikan. 8) Walaupun bahasa Portugis masih diajar di seminari Dare, sekurangkurangnya tahun-tahun awalnya dudukan Indonesia. Administrator di Dare bisa meyakinkan orang yang berkuasa bahwa mereka menyiapkan pemuda untuk kembali ke Portugal (De Oliveira, 2000). 9) Penulisnya mau mengakui bahwa dalamnya konversi keagamaan pribadi adalah hal lain, yaitu persentasi persis pengikut yang menghentikan secara lengkap kepercayaan lama dan menkonvert secara lengkap ke agama Katolik tidak diketahui benar, dan barangkali tidak mungkin diketahui. Titiknya penting adalah penduduk yang mengidentifikasikan diri sebagai Katolik mendapat manfaat karena berasosiasi dengan insititusi gereja, yang didaftarkan dalam bagaian ini. 10) Untuk laporan lebih lengkap tentang persoalan perempuan dan kebijakan pembatasan kelahiran di Timor L'este, bacalah: Sissons, 1997; Franks, 1996:155-56. 11) Pada waktu itu pes Indonesia dipunyai oleh TNI atau disponsori atau diberi ijin oleh pemerintah.Atas ancaman penutupan, persnya biasanya mengulangkan apa yang dibilang oleh pemerintah. 12) Ini dengan segara membuat kapok hubungan antara Australia dan Indonesia, dan berhasil dengan protes di Indonesia dan pembatalan persetujuan keamanan. Acuan 1. Aditjondro, George J. In the Shadow of Mount Ramelau. Leiden, The Netherlands: Indonesian Documentation and Information Centre, 1994. 2. Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism. London: Verso, 1983. 3. Anyawu, Simon O. Vatican II Concept of Authority. Kurtztitelaufhahme der Deutschen Bibiotehk, 1987. 4. Archer, Robert. "The Catholic Church in East Timor." In East Timor at the Crossroads. Peter Carey dan G. Carter Bentley, eds. New York: Social Science Research Council, 1995. Verlag: 193 Chris Lundry, Per an an Gereja Katolik dalam Pembangunan Nasionalisme 21. Kohen, Arnold S. From the Place of the Dead: The Epic Struggles of Bishop Belo of East Timor. New York: St. Martin's Press, 1999. 22. McMillan, Andrew. Death in Dili. Rydalmere, Australia: Sceptre, 1992. 23. Mubyarto, et al., East Timor: The Impact of Integration. Northcote, Australia: The Indonesia Resources and Information Program, 1991. 24. Nevins, Joeph. A Not-So-Distant Horror: Mass Violence in East Timor. Ithaca: Cornell University Press, 2005. 25. Pinto, Constancio. East Timor's Unfinished Struggle: Inside the Timorese Resistance. Boston: South End Press, 1996. 26. Scalla, Michael. "East Timor's Non-Violent Resistance." Peace Review. Volume 7, Number 2, 1997, 194. 27. Sissons, Miranda E. From One Day to Another: Violations of Women's Reproductive and Sexual Rights in East Timor. Fitzroy, Australia: East Timor Human Rights Centre, 1997. 28. Steele, Stephen. "No More Fear: Exiled Resistance Leaders Say East Timor Independence Inevitable," Catholic NY, February 18, 1999, forwarded by [email protected]. 29. Suny, Ronald Grigor. The Revenge of the Past: Nationalism, Revolution and the Collapse of the Soviet Union. Stanford: Stanford University Press, 1993. 30. TAPOL: The Indonesian Human Rights Campaign, "Under the Indonesian Jackboot." Bulletin No. 149/150, December 1998, 22-24. 31. Taylor, John G. The Indonesian Occupation of East Timor, 1974-1989: A Chronology. London: Catholic Institute for International Relations, 1990. 32. Taylor, John G. Indonesia's Forgotten War. London: Zed Books, 1991. 33. U.S. Department of State, Bureau of Democracy, Human Rights and Labor. 1999 Country Reports on Human Rights Practices, Indonesia. February 25, 2000. Accessed from: http://www.state.gov/www/global/human_rights/1999_hrp_report/indonesi .html. 34. Weatherbee, Donald. "The Indonesianization of Contemporary Southeast Asia, Volume 3, No. 1, 1981. East Timor." 195