BAB II TUMBUHAN OBAT DAN BLOK LEGOK JERO SITU LEMBANG A. Tumbuhan Obat Istilah asing yang sepadan dengan pengobatan tradisional secara umum adalah Herbalism. Tergantung daerah asalnya, terdapat istilah Traditional Chinese Medicine yang berasal dari Cina dan Traditional Cherokee Medicine yang berasal dari suku Indian Cherokee (penduduk asli Amerika). Ketiganya memiliki kesamaan, yaitu bahannya terbuat dari ganggang, lumut, jamur, paku-pakuan, maupun tumbuhan biji dan secara umum disebut sebagai tumbuhan obat. Berdasarkan tinjauan pada bahan-bahan dan penggunaannya, tumbuhan obat adalah organisme atau bagian-bagiannya yang diketahui dapat bermanfaat dalam pengobatan maupun terapi, baik melalui metode ilmiah maupun pengalaman sekelompok orang atau suku tertentu tanpa harus melalui ekstraksi untuk mendapatkan bahan aktifnya. Menurut Winston (2000), tumbuhan obat masih mungkin mengandung efek samping. Berbeda tumbuhan obat digunakan secara keseluruhan, dengan obat-obatan modern, dan bukan sebagian kandungan senyawa kimianya saja. Contohnya, penggunaan daun Ageratum conyzoides dalam pengobatan tradisional melibatkan seluruh bagian dari organ daun dan tidak hanya ekstraksi senyawa kimianya saja. Hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa segala efek samping yang ada pada bahan aktif tumbuhan obat telah ternetralisasi oleh bahan lain yang terkandung dalam tumbuhan tersebut atau tumbuhan obat lain yang dikombinasikan bersamanya walaupun hal itu belum tentu benar (The Centre for Complementary and Integrated Medicine, 2008). Penggunaan tumbuhan untuk pengobatan di dunia telah banyak dilakukan (Lai, 2004). Menurut Lancet (1998), Penggunaan tumbuhan obat untuk pengobatan diduga telah dilakukan sejak zaman prasejarah. Pernyataan ini didukung dengan bukti-bukti antropologis. Salah satu contohnya adalah penemuan fosil yang terkubur bersama enam spesies tumbuhan yang telah diketahui masih digunakan sebagai obat tradisional di beberapa belahan dunia sampai saat ini. Menurut Anonim (2007), sejak 5000 tahun yang lalu, orang-orang Sumeria telah menemukan tumbuhan obat, misalnya Laurel (Laurus nobilis), Caraway (Carum carvi), dan Thyme (Thymus sp.). Di Cina, inventarisasi tumbuhan obat beserta fungsinya telah dilakukan pada tahun 2700 sebelum masehi dan telah ditemukan sekitar 365 tumbuhan obat beserta kegunaannya. Salah satu contoh tumbuhan obat yang telah dikenal adalah Pacar Air (Impatiens balsamina) (Gambar 2.1.A). Menurut Arisandi dan Andriani (2006: 311), bagian tumbuhan pacar air yang bisa dimanfaatkan sebagai obat adalah akar, daun, bunga, dan biji. Efek farmakologis tumbuhan pacar air adalah melancarkan peredaran darah dan melunakkan massa atau benjolan yang keras. Bunga Impatiens balsamina bermanfaat untuk mengobati pembengkakan, bisul, rematik, dan radang kulit. Daun Impatiens balsamina bermanfaat untuk anti inflamasi dan fracture. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005), Pacar Air dapat dimanfaatkan untuk mengatasi tekanan darah tinggi (hipertensi). Jarak Pagar (Jatropa curcas) (Gambar 2.1.B), bermanfaat untuk mengobati bengkak, patah tulang, luka berdarah, gatal-gatal, eksim, jamur di sela-sela jari kaki, masuk angin pada bayi, lepra, kencing nanah, rematik, cacingan, borok, kudis, eksim, sembelit, sakit gigi dan terkilir (Sinaga, 2007). Penyakit sakit kepala dan masuk angin dapat diobati dengan Jahe (Zingiber officinale) (Gambar 2.1.C) (Matondang, 2007). A. B. C. Gambar 2.1. Impatiens balsamina (A), Jatropa curcas (B), dan Zingiber officinale (C) (sumber: http://bebas.vism.org/) Meskipun tumbuhan obat sangat aman untuk dikonsumsi dan memiliki efek samping yang sedikit, terdapat pengecualian dalam penggunaan untuk kondisi tertentu dan tumbuhan obat dapat memiliki interaksi dengan obat-obatan tertentu (Natureco Health Centre, 2007). Sesuatu yang alami tidak berarti aman atau efektif (Winston, 2000 ), contohnya, getah Jatropa curcas dapat menimbulkan diare hebat (Sinaga, 2007). 1. Pengelompokan Tumbuhan Obat Menurut Winston (2000), tumbuhan obat dalam pengobatan tradisional Cherokee dibagi menjadi tiga, yakni food herbs, medicine herbs, dan poison herbs. Food herbs adalah tumbuhan obat yang memiliki racun dalam jumlah sedikit, serta kemungkinan tidak memiliki efek samping yang merugikan. Medicine herbs bereaksi lebih cepat, serta diperlukan dosis untuk menggunakannya, namun medicine herbs hanya dapat digunakan dalam periode yang terbatas. Poison herbs memiliki potensi untuk mengakibatkan keracunan akut maupun kronis. Tumbuhan obat yang terakhir disebutkan ini memerlukan penanganan dari ahlinya serta tujuan yang jelas dalam penggunaannya. Seperti pengobatan tradisional Cherokee, pengobatan tradisional Cina juga memiliki pengelompokan tumbuhan obat yang terdiri dari tiga kelompok tumbuhan obat. Ketiga kelompok itu adalah tumbuhan obat kelas atas (superior), tumbuhan obat kelas menengah (ministerial), dan tumbuhan obat kelas bawah (inferior). Tumbuhan obat kelas atas adalah tumbuhan obat non-toxic dan merupakan tonic remedies (obat untuk terapi). Tumbuhan kelas menengah memungkinkan untuk memiliki sedikit toksik dan digunakan sebagai pendukung tumbuhan obat kelas atas. Tumbuhan obat kelas bawah adalah toksik, digunakan pada penyakit yang spesifik, dan hanya dapat digunakan dalam periode yang terbatas (Winston, 2000). 2. Metabolit Sekunder pada Tumbuhan Menurut Sengbusch (2008), metabolit sekunder adalah senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan yang tidak hanya penting untuk sel itu sendiri, tetapi juga untuk tumbuhan itu secara keseluruhan. Metabolit sekunder hanya didapatkan dari sel-sel tertentu yang telah terdiferensiasi. Metabolit sekunder disimpan dalam vakuola maupun di dalam vesikula tertentu. Metabolit sekunder dihasilkan tumbuhan untuk persinyalan sel maupun pertahanan diri terhadap pemangsa. Metabolit sekunder juga diketahui memiliki fungsi dalam pengobatan. Tidak semua senyawa metabolit sekunder dapat dihasilkan oleh setiap spesies tumbuhan (Sengbusch, 2008). Metabolit sekunder dihasilkan hanya pada organ spesies tumbuhan tertentu dan seringkali dihasilkan pada satu tipe sel tertentu atau pada organel tertentu dari sel tersebut. Beberapa jenis senyawa yang termasuk dalam metabolit sekunder adalah senyawa alkaloid, terpenoid, fenolik, dan Polifenol (Sengbusch, 2008). Senyawa alkaloid umumnya termasuk senyawa heterosiklik, yaitu senyawa yang memiliki ikatan berbentuk cincin beranggotakan setidaknya dua unsur yang berbeda pada ikatan tersebut (IUPAC, 1995a). Senyawa terpenoid merupakan derivat dari isopren (CH2=C(CH3)CH=CH2), yakni senyawa yang termasuk golongan hidrokarbon yang boleh jadi berikatan dengan oksigen (IUPAC, 1995b). Senyawa fenolik adalah senyawa yang memiliki setidaknya satu gugus hidroksil yang berikatan dengan hidrokarbon aromatik (Sengbusch, 2008). Senyawa polifenol adalah senyawa yang terdiri atas dua atau lebih gugus fenol dan dihasilkan melalui biosintesis shikimate/phenylpropanoid dan/atau polyketide (Quideau, 2008). Beberapa jenis senyawa tersebut memiliki sifat-sifat tertentu. Senyawa alkaloid umumnya berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau amorf (Putra, 2003). Selain dapat menghambat pergerakan mikrofilamen (Sengbusch, 2008), senyawa alkaloid tertentu juga berfungsi sebagai antidot, maupun pemacu jantung (Sci-Tech Encyclopedia, 2008). Terpenoid tertentu dapat berfungsi sebagai analgetik, anastetik, serta antiinflamasi (Hargono, 2000: 37). Senyawa fenolik bersifat asam, mudah teroksidasi, dan dapat membentuk polimer (Sengbusch, 2008). Polifenol larut dalam air, memiliki massa molekul 500 sampai 4000 Da, serta mengandung dua belas hingga enam belas gugus fenol hidroksil (Quideau, 2008). Polifenol juga mengandung lima hingga tujuh gugus aromatik per 1000 massa molekul relatif sehingga dapat mengalami reaksi fenolik dengan garam-garam Fe (III) membentuk kompleks biru-hitam. Menurut Hukkanen et al. (2005), beberapa contoh metabolit sekunder yang termasuk golongan alkaloid adalah Nikotin (Gambar 2.2.A), Nornicotine, Anatabine, dan Anabasine. Metabolit-metabolit sekunder tersebut terkandung di dalam Nicotiana sp. Menurut Roberts (2007), beberapa contoh metabolit sekunder yang termasuk golongan terpenoid adalah Vincristine dan Vinblastine (pada Catharanthus rosseus) (Gambar 2.2.B), dan Artemisinin (pada Artemisia annua). Beberapa contoh metabolit sekunder yang termasuk golongan fenol adalah Resveratrol (pada Fallopia japonica) (Gambar 2.2.C) (Baur dan Sinclair, 2006), Petunidin glucoside (pada Atropa belladonna), Osajin (pada Maclura pomifera), dan Ocanin (pada Kyllingi brevifolia) (Sengbusch, 2008). Beberapa contoh metabolit sekunder yang termasuk polifenol adalah anthocyanine dan quercetine (Gambar 2.2.D) yang terdapat pada Impatiens balsamina (Arisandi dan Andriani, 2006: 312). Gambar 2.2. Nikotin (A), Vinblastine (B), Resveratrol (C), dan Quercetine (D) (Sumber: http://images.google.com/ ) B. Daerah Legok Jero Situ Lembang Blok Legok Jero Situ Lembang adalah salah satu bagian dari daerah Situ Lembang, tepatnya di sebelah barat laut Pintu Angin, tempat keluar-masuk pengunjung maupun penduduk setempat daerah Situ Lembang. Berdasarkan Peta Situ Lembang Bagian Utara (Mappangara, 2006), Situ Lembang (± 1567 mdpl) terletak di antara Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Leumeungan, tepatnya di sebelah barat laut Gunung Tangkubanparahu dan di sebelah tenggara Gunung Leumeungan (± 1845 mdpl). Gunung Leumeungan merupakan salah satu dari pegunungan yang mengelilingi dan menghubungkan Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Burangrang. Letak astronomis kawasan cagar alam Burangrang berada di antara 107 31’7” -107 o 32’56” BT dan 6 o o 41’45” - 6 o 43’18” LS. Pemerintahan berada pada empat wilayah kecamatan dalam dua kabupaten, yaitu Kecamatan Sagala Herang Kabupaten Subang, Kecamatan Wanayasa, Bojong, dan Darangdan Kabupaten Purwakarta (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat, 2000). Batas-batas kawasan cagar alam Burangrang adalah sebagai berikut (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat, 2000): 1. Sebelah Utara, berbatasan dengan PTPN VIII, Desa Cipancar Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Desa Wanayasa dan Desa Pusaka Mulya Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta. 2. Sebelah Selatan, berbatasan dengan kawasan Hutan Lindung Burangrang KPH Bandung Utara Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. 3. Sebelah Barat, berbatasan dengan Desa Ganjasari Kecamatan Cikalong Wetan Kabupaten Bandung, Desa Pasir Angin Kecamatan Darangdan, Desa Bojong Timur, Desa Pasanggrahan, Desa Cihanjawar, Desa Sakambang, Desa Nagrog dan Desa Sumurugul. 4. Sebelah Timur, berbatasan dengan kawasan hutan Cagar Alam Gunung Tangkubanparahu. Batas sebelah selatan cagar alam Burangrang pada poin di atas menunjukkan bahwa daerah Legok Jero Situ Lembang masih merupakan bagian dari kawasan cagar alam Burangrang karena daerah tersebut berada di kawasan Hutan Lindung Burangrang KPH Bandung Utara Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Batas sebelah timur cagar alam Burangrang menunjukkan bahwa daerah Legok Jero Situ Lembang juga merupakan bagian dari daerah cagar alam Tangkubanparahu. Artinya, generalisasi mengenai topografi, keadaan tanah, iklim, dan vegetasi kawasan cagar alam Burangrang maupun cagar alam Tangkubanparahu berlaku untuk daerah Situ Lembang. Kawasan hutan Burangrang, yang juga mencakup kawasan Situ Lembang, ditunjuk sebagai kawasan Cagar Alam Burangrang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 479/Kpts/Um/8/1979, tanggal 2 Agustus 1979 dengan luas 2700 ha. Saat ini Cagar Alam Burangrang berada di wilayah pengelolaan/pemangkuan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat, 2000). Menurut Bronto dan Hartono (2006: 13), tipe tanah di daerah Situ Lembang adalah tanah Andosol. Menurut United States Departement of Agriculture (USDA) (1999), tanah andosol adalah tanah yang terbentuk pada keluaran vulkanis dan/atau pada endapan vulkanis dan merupakan fraksi koloid yang didominasi oleh mineral short-range-order atau kompleks humus di mana hampir semua tumbuhan dapat tumbuh. Tanah ini sangat subur dan kaya zat-zat organik. Hal inilah yang mendukung keragaman tumbuhan di Situ Lembang. Kawasan cagar alam Burangrang, yang juga mencakup kawasan Situ Lembang, berada di ketinggian 1000 – 1500 mdpl (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat, 2000). Pada umumnya, keadaan topografi kawasan tersebut berbukit dengan variasi kelerengan mulai landai (15%), bergelombang (50%), dan curam berbatu (35%). Kawasan hutan Situ Lembang merupakan kawasan hutan pegunungan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat, 2000). Gunung-gunung yang menyusun kawasan tersebut adalah Gunung Burangrang (± 2044 mdpl), Gunung Gedogan (± 1926 mdpl), Gunung Pangukusan (± 1576 mdpl), Gunung Masigit (± 1884 mdpl), Gunung Batu (± 1690 mdpl) dan Gunung Sunda (± 1862 mdpl). Curah hujan rata-rata tiap tahun di cagar alam Burangrang dan sekitarnya, termasuk kawasan Situ Lembang, berkisar antara 2500 – 4000 mm/th. Bulan basah terjadi antara bulan November sampai dengan April, sedangkan bulan kering antara bulan Juni sampai dengan September. Suhu udara berkisar antara 17 ° C di pagi hari sampai dengan 27 ° C di siang hari. Kelembaban udara berkisar antara 45% - 85% (rata-rata 65%) (Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat, 2000). Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Jawa Barat (2000), daerah cagar alam Burangrang yang juga mencakup kawasan Situ Lembang, termasuk dalam Zona Montana. Vegetasi kawasan cagar alam Burangrang adalah hutan hujan tropik yang sebagian besar tersusun oleh tumbuh-tumbuhan berkayu, berbagai jenis liana, dan epifit. Penyebaran jenis vegetasi ini pada umumnya terdapat pada ketinggian 1.000 – 1.400 meter di atas permukaan laut. Jenis-jenis pohon yang tumbuh di lokasi ini di antaranya: Puspa (Schima walichii), Pasang (Quercus sp), Huru (Litsea sp), Taritih (Paninarium corymbosa), Gelam (Melaleuca leucadendron), Saninten (Castanopsis argantea), Jamuju (Podocarpus imbricatus), dan Rasamala (Altingia exselse). Keadaan hutan di Legok Jero Situ Lembang cukup lembab sehingga di daerah tersebut seringkali berkabut (Gambar 2.3.A). Keadaan tersebut memberi kesuburan pada beberapa jenis tumbuhan lumut yang menempel pada pohon dan beberapa jenis epifit (Herlinda, 1990: 83). A. B. Gambar 2.3. Blok Legok Jero Daerah Situ Lembang berkabut (A) dan tidak berkabut (B) (Sumber: pustaka pribadi)