STUDI KORELASIONAL BUDAYA PERUSAHAAN DENGAN SIKAP KEWIRAUSAHAAN KARYAWAN (INTRAPRENEURSHIP) DI PENERBIT GRAMEDIA GROUP Oleh: Winarno Universitas Multimedia Nusantara ABSTRACT The objectives of this study is to find out the relationship between the corporate culture and the Intrapreneurial attitude of the employees. The study was conducted at Gramedia Group publishing houses with 60 respondents selected randomly from editorial departments of the companies within the corporate. The data was analyzed using simple regression analysis, Pearson ProductMoment correlation. The research concluded that there are positive correlations between: corporate culture with intrapreneurial attitude of the employees. Therefore the corporate culture is very important factor in increasing the intrapreneurial attitude of the employees. PENDAHULUAN Tugas utama manajemen suatu perusahaan adalah menjaga kelangsungan hidup perusahaan, dengan mencapai tujuan perusahaan dan mengatasi segala perubahan yang dihadapi perusahaan. Namun hal itu bukan tugas yang mudah, karena manajemen menghadapi berbagai masalah, mulai dari masalah internal maupun eksternal. Masalah internal sudah semestinya lebih mudah dikendalikan. Berbeda dengan masalah eksternal yang kadang-kadang tidak dapat diantisipasi. Salah satu masalah internal yang dihadapi perusahaan adalah masalah kemampuan sumber daya manusia, khususnya sikap intrapreneurship (kewirausahaan) karyawan, yang merupakan unsur yang sangat vital bagi kelangsungan usaha. Karyawan yang memiliki sikap kewira-usahaan tinggi, akan selalu mengantisipasi situasi dan peluang yang ada, dan mencari pemecahan atas masalah yang dihadapi perusahaan. Dengan demikian maka perusahaan dapat melewati masamasa sulit dan terus berkembang. Dalam kaitan itu, teridentifikasi salah satu masalah yang dihadapi manajemen untuk meningkatkan sikap kewirausahaan karyawan, yaitu: apakah budaya perusahaan memiliki korelasi dengan sikap kewirausahaan karyawan? Seberapa besarkah pengaruh budaya perusahaan terhadap tumbuhnya sikap kewirausahaan karyawan. Penelitian ini akan diarahkan pada pengukuran sikap kewirausahaan karyawan, dan budaya perusahaan berdasarkan indikator-indikatornya masing-masing. Dari pembatasan masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara budaya perusahaan dengan sikap kewirausahaan karyawan? 1 TINJAUAN LITERATUR DAN HIPOTESIS Budaya Perusahaan Budaya perusahaan merupakan aplikasi budaya organisasi (organizational culture) terhadap badan usaha (Ndraha, 1997: 4). Budaya Perusahaan mencakup nilainilai yang dipegang bersama, keyakinan dan sikap sikap bersama. Budaya perusahaan merumuskan “cara kita mengerjakan segala sesuatu di sini” (Pheysey, 1993: xiii). Menurut Schein (1992: 15-18), penggunaan kata budaya antara lain dalam: (1) Keteraturan sikap ketika orang berinteraksi: seperti bahasa yang digunakan, kebiasaan dan tradisi yang berkembang, dan ritual yang mereka lakukan dalam berbagai situasi,(2) Norma-norma kelompok: Standar-standar dan nilai-nilai implisit yang berkembang dalam kelompok kerja, misalnya norma tentang jam kerja per hari kerja untuk upah kerja yang pantas, (3) Nilai-nilai yang menyertai: prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipublikasikan yang ingin dicapai kelompok, misalnya kualitas produk, keunggulan harga, (4) Filosofi formal: kebijakan umum dan prinsip-prinsip ideologi yang memandu tindakan kelompok terhadap stakeholder, tenaga kerja, pelanggan dan stakeholder lain, seperti filosofi “HP Way” yang luas dipublikasikan, (5) Aturan main: Aturan-aturan implisit agar bisa bersama-sama di dalam organisasi, benang merah yang harus dipelajari pendatang baru agar bisa menjadi anggota yang diterima, “cara kita melakukan sesuatu di sini”, (6) Iklim: perasaan yang terbawa di dalam kelompok oleh tataletak fisik dan cara ang-gota-anggota organisasi saling berinteraksi, dengan pelanggan atau dengan pihak luar lainnya,(7) Ketrampilan yang dimiliki: kompetensi anggota-anggota kelompok yang ditampilkan dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu, kemampuan membuat sesuatu yang diturunkan dari generasi ke generasi tanpa harus ditulis,(8) Kebiasaan berpikir, model mental dan atau paradigma bahasa: kerangka kognitif bersama yang memandu persepsi, pemikiran dan bahasa yang digunakan oleh anggota-anggota kelompok dan diajarkan ke anggota baru dalam proses sosialisasi awal,(9) Makna bersama: pengertian bersama yang diciptakan oleh anggota-anggota kelompok ketika mereka saling berinteraksi,(10) Simbol-simbol (root metaphors and integrating symbols): ide, perasaan dan citra yang dikembangkan kelompok untuk mengkarakterisasikan diri mereka sendiri, yang dihargai maupun tidak dihargai secara sadar, namun terkandung dalam bangunan, tataletak kantor, atau benda-benda artifak kelompok. Budaya tingkat ini mencerminkan respon emosional dan kein-dahan anggota kelompok sebagai kontras dari respon kognitif dan evaluatif (Schein, 1992: 8-10). Schein mendefinisikan budaya organisasi sebagai: “a pattern of basic assumtions -invented, discovered, or developed - by a given group as it learns to cope with a problems of external adaptaion and internal intregration that has worked well enough to be considered perceive, think, and feel in relation to those problems” (1992: 12). Menurut Hickok (2002), budaya bagi sebuah perusahaan sama seperti kepribadian bagi seseorang. Sebagaimana sulit mengubah kepribadian, demikian pula sulit mengubah budaya perusahaan, khususnya bagi para karyawan yang bekerja di dalamnya (Hickok, 2002, http://www. pamij.com/ hickok.html). 2 Sedangkan Greenberg dan Baron (1995:539) mendefinisikan budaya organisasi sebagai kerangka kognitif yang terdiri dari sikap-sikap, nilai-nilai, norma-norma sikap dan harapan yang menjadi milik bersama anggota organisasi. Budaya dapat dianalisis berdasarkan level yang berbeda-beda. Level adalah istilah yang menunjukkan derajat dimana fenomena budaya terlihat oleh pengamat. Adanya kebingungan mengenai definisi budaya karena kita tidak membedakan level-level manisfestasi budaya. Level-level ini merentang dari wujud yang dapat disentuh, dilihat dan diraba hingga ke asumsi dasar yang melekat, yang di bawah sadar yang disebut hakikat budaya. Di antara itu semua, terdapat berbagai nilai-nilai, norma-norma, dan aturan sikap yang digunakan anggota budaya sebagai cara menggambarkan budaya bagi diri mereka sendiri dan orang lain (Schein, 1992:16). Setiap budaya kelompok dapat dipelajari dari ketiga level ini, yaitu level artifakartifak, level nilai-nilai dan level asumsi-asumsi dasar. Bila kita tidak memahami pola asumsi-asumsi dasar yang berlaku, maka kita tidak tahu bagaimana menafsirkan artifakartifak dengan benar, atau seberapa besar keyakinan yang diberikan terhadap nilai-nilai yang dicanangkan. Dengan kata lain, hakikat budaya terletak pada pola asumsi-asumsi dasar, dan sekali kita memahaminya, maka kita dapat dengan mudah memahami levellevel yang lebih permukaan dan menghadapi-nya dengan pantas (Schein, 1992: 26). Robbins (1994:480) mengungkapkan adanya karakteristik utama yang menjadi pembeda budaya organisasi, yaitu: (1) Inisiatif individual. Tingkat tanggungjawab, kebebasan dan independensi yang dimiliki individu; (2) Toleransi terhadap tindakan beresiko. Sejauh mana para karyawan dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan mengambil resiko; (3) Arah. Sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi; (4) Integrasi. Tingkat sejauh mana unit-unit di dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi; (5) Dukungan dari manajemen. Tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta dukungan terhadap bawahan mereka; (6) Peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan sikap karyawan; (7) Identitas. Tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional; (8) Adanya imbalan. Tingkat sejauh mana alokasi imbalan (misalnya kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi karyawan sebagai kebalikan dari senioritas, apakah terdapat sikap pilih kasih dan sebagainya; (9) Toleransi terhadap konflik. Tingkat sejauh mana para karyawan didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka; dan (10) Pola-pola komunikasi. Tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarkhi kewenangan yang formal. Menurut Hofstede dalam Pheysey (1993:15-18), ada empat tipe budaya organisasi, yaitu: Budaya Peran, Budaya Pencapaian, Budaya Kekuasaan dan Budaya Dukungan. Umumnya budaya peran berlaku dalam perusahaan besar. Perusahaan ini memiliki akte perusahaan yang menetapkan visi dan misi bisnisnya, serta kewenangan rapat pemegang saham yang telah diserahkan kepada para direksi. Di bawah direksi ada beberapa tingkat jabatan manager, dan di bawah para manager ada staf serta pegawai yang menangani kegiatan operasional. Struktur organisasi tersebut membentuk sebuah piramid. Semakin tinggi tingkatannya, semakin sedikit jumlah orangnya. Selain terdapat 3 divisi-divisi hierarkis, juga terdapat pembedaan departemen. Pekerjaan membuat produk dilakukan oleh departemen manufaktur; pekerjaan menjual produk dilakukan oleh departemen penjualan; pekerjaan pengadaan bahan baku oleh departemen pembelian; pekerjaan pemantauan pendapatan dan pengeluaran oleh departemen akunting; dan seterusnya. Contoh dari budaya pencapaian adalah toko tradisional setempat yang tampaknya lebih terfokus pada pekerjaan yang harus dilakukan daripada menyesuaikan dengan aturan-aturan. Pemilik toko dan keluarganya sendiri akan melayani pembeli. Bila dipekerjakan pembantu, maka pembantu itu juga akan tahu keadaan persediaan barang sama seperti si pemilik. Dalam budaya pencapaian, orang tertarik pada pekerjaannya, dan memiliki sumbangan perorangan terhadap selesainya pekerjaan. Perusahaan konsultan kecil dan lembaga riset biasanya termasuk organisasi yang memiliki budaya pencapaian. Organisasi ini oleh Harrison disebut “hasil interaksi orang-orang yang termotivasi untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri”. Dalam budaya kekuasaan, orang-orang tertentu dominan, dan yang lainnya melayani. Terdapat kecenderungan tatanan masyarakat yang berbasis kebiasaan menghormati kekuasaan. Menurut Harrison dalam Pheysey (1993:15-18), dalam organisasi kekuasaan, keadaan yang terbaik adalah apabila kepemimpinannya berbasis kekuatan, keadilan dan kebijaksanaan paternalistik. Pemimpin diharapkan serba tahu, dan serba bisa. Bawahan diharapkan patuh dan taat. Sebaliknya, keadaan yang terburuk adalah bahwa organisasi kekuasaan ini cenderung menjurus ke penguasaan dengan ketakutan. Organisasi yang berorientasi dukungan menawarkan kepada para anggotanya kepuasan yang berasal dari hubungan, mutualitas, milik dan koneksi. Dasarnya adalah bahwa orang akan memberikan sumbangan atas dasar komitmen kepada kelompok atau organisasi dimana mereka merasa benar-benar menjadi anggotanya, dan mereka yakini mereka memiliki sumbangan pribadi. Menurut Handy dalam Pheysey (1993:15-18), koperasi termasuk organisasi yang memiliki budaya dukungan. Robbins menyatakan bahwa budaya disampaikan kepada karyawan/pegawai dalam beberapa bentuk, misalnya: (1) Cerita, yakni cerita turun temurun sejak penemu organisasi; (2) Ritual, keyakinan dan kebiasaan yang dilakukan dalam perusahaan; (3) Simbol Material, barang-barang atau alat yang digunakan dalam kegiatan perusahaan yang menunjukkan kepentingan seseorang; (4) Bahasa, setiap kelompok biasanya mempunyai bahasa khusus yang hanya dimengerti oleh kelompok itu sebagai bukti penerimaannya atas budaya yang ada (Robbins, 1994: 491). Schein (1999:29-57) mengungkapkan cara untuk menganalisis budaya perusahaan adalah dengan mengamati Culture Content-nya, yang meliputi tiga aspek: (1)Bagaimana bertahan (survival) dalam lingkungan eksternal; (2) bagaimana mengintegrasikan organisasi manusianya; dan (3) bagaimana asumsi-asumsi dasarnya mengenai realitas, waktu, ruang, kebenaran, sifat alamiah manusia, dan hubungan manusia. Aspek survival atau adaptasi eksternal meliputi rumusan misi, strategi dan sasaran; dengan sarana berupa struktur (organisasi), sistem-sistem dan proses-proses; disertai alat pengukur keberhasilan pencapaian target berupa deteksi kesalahan dan sistem koreksi. 4 Aspek integrasi internal meliputi bahasa yang dipakai bersama dan konsepkonsep yang digunakan; batas-batas perusahaan dan identitas perusahaan; pengaturan kewenangan dan hubungan-hubungan antar karyawan; serta alokasi penghargaan dan status. Aspek asumsi-asumsi dasar meliputi konsep hubungan manusia dengan alam; sifat dari realitas dan kebenaran; sifat alamiah manusia; sifat hubungan manusia (internal dan eksternal); serta pandangan tentang waktu dan ruang. Pernyataan misi perusahaan - kadang-kadang disebut pernyataan nilai, kredo atau prinsip perusahaan - adalah lampu pembimbing keuangan perusahaan yang operasional dan etis. Ini bukan hanya motto atau slogan; melainkan mengutarakan tujuan, impian, sikap, budaya dan strategi perusahaan melebihi dokumen apapun juga (Jones, 1999: 5). Moeljono menyatakan bahwa budaya perusahaan asli diturunkan dari filsafat pendirinya. Selanjutnya budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan karyawan. Menurut Yong dalam Moeljono (2003: 24-25), proses perkembangan budaya korporat dipengaruhi oleh faktor-faktor kebijaksanaan perusahaan (corporate wisdom), gaya perusahaan (corporate style) dan jati diri perusahaan (corporate identity). Budaya perusahaan pada gilirannya melahirkan budaya kerja. Menurut Triguno (1997:3), budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi sikap, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja. Menurut Smither (1996:15), budaya perusahaan berdasarkan asumsi-asumsi mengenai pelanggan, pesaing dan masyarakat. Ketika asumsi-asumsi itu dihayati secara luas oleh seluruh karyawan, maka dikatakan budaya itu sangat kuat. Para ahli organisasi memandang bahwa budaya kuat sangat dibutuhkan karena adanya karyawan yang memiliki pandangan yang sama mengenai perusahaan dan lingkungannya dapat membuat organisasi lebih efektif. Namun apabila budaya perusahaan terlalu kuat, maka dapat mematikan kreativitas karyawan. Budaya perusahaan pada dasarnya merupakan sistem cybernetic. Kata cybernetic berasal dari bahasa Yunani kybernetes yang berarti jurumudi. Dengan mengatakan budaya sebagai cybernetic berarti bahwa budaya mampu mengemudikan dirinya sendiri dan akan mempertahankan arah yang telah ditentukan tidak peduli ada hambatan atau gangguan. Sebagai contoh, jarum kompas otomatis akan memberitahu kita ke arah mana harus mengemudikan kapal agar tidak salah arah atau hanya berputar-putar di sekitar hambatan. Semua sistem cybernetic mengolah umpan-balik mengenai perubahan di dalam lingkungan dan membuat koreksi semestinya mengenai arah yang benar (Turner, 1990:7). Menurut Kotter dalam Gibson (1997:167), sangatlah mungkin untuk menciptakan budaya perusahaan yang akan memfasilitasi perubahan daripada budaya yang menjadi jangkar. Dengan demikian perusahaan akan mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan, bukannya mengikat kita ke belakang. Di abad ke-21 ini akan banyak upaya dilakukan untuk mencoba menciptakan budaya perusahaan seperti itu. Dua unsur 5 terpenting bagi budaya perusahaan yang memfasilitasi perubahan adalah: Pertama, manajemen menghargai para pemain penting perusahaan secara mendalam, adil dan tulus. Kedua, inisiatif dan kepemimpinan benar-benar dihargai dan didorong pada setiap level organisasi. Di masa depan, terdapat kecenderungan bahwa masyarakat menuntut diciptakannya budaya yang tidak hanya mampu memiliki proses produksi tanpa cacat, pemasaran efisien dan pelayanan lengkap, tetapi juga melibatkan komitmen penuh tanggung jawab kepada semua orang dengan siapa perusahaan melakukan bisnis. Pemilik modal dituntut tanggungjawab sosial dan konservasi lingkungan hidup (Laszlo, 1999:59). Budaya perusahaan harus dipahami oleh seluruh sumberdaya manusia yang ada di dalam perusahaan. Ada dua jenis budaya perusahaan, yaitu budaya entrepreneur dan budaya administratif (Susanto, 1997: 15-16). Perusahaan yang memiliki jenis budaya entrepreneur dalam setiap aktivitasnya selalu memfokuskan pada peluang-peluang baru. Hal ini tercermin dalam jiwa kewiraswastaan yang selalu menganggap bahwa dengan menemukan dan memanfaatkan peluang-peluang baru tersebut perusahaan akan selalu survive dan terdorong untuk selalu berusaha mencapai sasaran yang berbeda-beda dari satu periode ke periode berikutnya. Oleh karena itu kegiatan operasional yang terjadi di dalam perusahaan ini cukup dinamis dan membutuhkan sumberdaya manusia yang cukup cepat dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi, baik dari sisi internal maupun eksternal. Perusahaan yang memiliki jenis budaya administratif cenderung memfokuskan diri pada peluang-peluang yang sudah ada. Bertolak dari beberapa pengertian dan teori-teori di atas, maka budaya perusahaan didefinisikan sebagai aturan perilaku, interaksi, peraturan perusahaan dan identitas yang berlaku dalam suatu perusahaan. Untuk dimensi aturan perilaku, indikatorindikatornya adalah kebebasan karyawan berinisiatif, toleransi terhadap risiko, dan toleransi terhadap konflik. Untuk dimensi interaksi, indikator-indikatornya adalah integrasi perusahaan dan komunikasi. Untuk dimensi peraturan perusahaan, indikatorindikatornya adalah dukungan manajemen, peraturan yang jelas dan tegas, dan adanya penghargaan dan sanksi. Sedangkan untuk dimensi identitas, indikator-indikatornya adalah identifikasi diri dan kejelasan arah pekerjaan. Sikap Kewirausahaan Karyawan (Intrapreneurship) Menurut Kerlinger, sikap (attitude) adalah ancang-ancang atau kecenderungan yang tertata untuk berpikir, merasa, mencerap dan berperilaku terhadap suatu referen atau objek kognitif. Sikap merupakan struktur yang awet (tahan waktu) yang terdiri atas pandangan dan keyakinan, yang menyebabkan individu cenderung untuk berperilaku selektif terhadap referen-referen sikap. Sedangkan referen (referent) adalah suatu kategori, kelompok, atau himpunan fenomen seperti objek-objek fisik, kejadian, perilaku, bahkan konstruk (Kerlinger, 1998: 794). Entrepreneur akan memperlihatkan semangat inovatif (memiliki innovation quotient tinggi), keseimbangan antara intuisi dan rasional, visioner, pemimpi, inovator 6 dan pencipta dan pemimpin karismatik. Juga menurut Riyanti (2003:101), sikap inovatif wirausaha adalah kecenderungan bertindak inovatif atau adaptif dari wirausaha. Menurut Drucker (1993:26), kita sebaiknya berbicara tentang apa tindakan dan sikap entrepreneur daripada psikologi entrepreneur. Kita tidak boleh memandang entrepreneur sebagai privilege atau segelintir orang berbakat yang memiliki sifat-sifat pribadi yang khusus (entrepreneur yang dilahirkan). Entrepreneur adalah masalah melakukan dan melaksanakan. Entrepreneur terdiri dari sekumpulan tindakan atau keahlian tertentu yang dapat diamati, dipelajari dan dinilai. Drucker mengungkapkan bahwa sebuah perusahaan akan segera mengalihkan perhatiannya dari entrepreneurship murni ke kegiatan manajemen, seperti pemasaran, perencanaan dan pengembangan tim. Wirausaha adalah seseorang yang mampu menghasilkan atau menciptakan nilai tambah melalui pematangan ide-idenya dan menyatukan sumber daya yang dimilikinya serta mewujudkannya. Definisi tersebut mencerminkan bahwa seorang wirausaha adalah orang yang kreatif, berani mengambil resiko, inovatif dalam menggunakan sumber daya. Seorang wirausaha adalah orang yang selalu aktif dalam mengambil peran. Mereka selalu berkreasi untuk mendapatkan yang diimpikannya (Kao, 1989: 89). Iwantono juga menekankan bahwa entrepreneur memiliki kemauan dan keberanian mengambil resiko, baik dalam finansial, karier ataupun reputasi. Tujuannya adalah ide-ide bisnisnya dapat dijalankan (Iwantono, 2002: 111). Mutis (1995:18-20) mengatakan kewirausahaan adalah sikap untuk melakukan suatu usaha karena ada suasana yang mendukung untuk merealisasikannya. Jarillo-Mossi dalam Mutis memberikan definisi sebagai: “seseorang yang merasakan adanya peluang, mengejar peluang-peluang yang sesuai dengan situasi dirinya dan percaya bahwa kesuksesan merupakan suatu hal yang bisa dicapai”. Higgins dalam Mutis mengemukakan bahwa pembeda utama antara wirausaha dengan manajer terletak pada pendekatannya terhadap pemecahan masalah. Para wirausahawan tidak hanya memecahkan masalah atau bereaksi terhadap masalah, melainkan juga mencari peluang dan mengambil resiko. Husada mengelompokkan para wirausaha sukses itu dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah kategori kreatif, yakni para pengusaha sukses yang dengan daya kreatifnya dapat menemukan, menyusun rencana, menjalankan, dan memasarkan produk atau jasa yang baru. Selain itu, mereka juga dapat memelihara kelangsungan usahanya dalam jangka waktu relatif lama. Kategori kedua adalah wirausaha inovatif, yakni mereka yang dapat menemukan peluang usaha dan inovatif dalam pengelolaan usahanya, dan melibatkan unsur teknologi dalam pengembangan usahanya. Sedangkan kategori ketiga adalah mereka yang meneruskan tongkat estafet perusahaan (Husada, 1996: xxiii). Menurut Suryana, kewirausahaan adalah kemampuan dalam berpikir kreatif dan bersikap inovatif yang dijadikan dasar, sumberdaya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup (Suryana, 2001: 4) Kemudian dalam lampiran Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, disebutkan bahwa: Kewirausahaan adalah semangat, sikap, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan 7 efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dari pemaparan di atas, maka Sikap Kewirausahaan karyawan dapat didefinisikan sebagai kecenderungan berpikir (kognitif), merasa (afektif) dan berperilaku (konatif) dari karyawan dalam bekerja yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru, meningkatkan efisiensi, memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Untuk dimensi kognitif, indikatornya adalah optimistik dan objektif dalam mengamati situasi. Untuk dimensi afektif, indikator-indikatornya adalah berani mengambil resiko yang diperhitungkan, suka mencari peluang baru, dan menghargai umpan balik. Sedangkan untuk dimensi konatif, indikator-indikatornya adalah bertanggungjawab terhadap tugas dan proaktif dalam manajemen. Hipotesis yang akan diuji berbunyi: “Terdapat hubungan positif antara budaya perusahaan (X) dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y)”. METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Gramedia Group Jakarta dan berlangsung selama tiga bulan. Sasaran penelitian adalah karyawan di Bagian Editorial. Penelitian dimulai sejak Januari 2004 hingga Juli 2004. Proses pengumpulan data di lapangan dilaksanakan pada bulan Februari 2004 dan Juli 2004. Sumber data penelitian adalah para editor yang ada di Penerbit Gramedia Group. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survai, dengan konstelasi pemasalahan sebagai berikut: X Y Gambar 1. Hubungan antara variabel penelitian. X = Budaya Perusahaan Y = Sikap Kewirausahaan Karyawan. Populasi dan Sample Populasi penelitian ini adalah semua karyawan Bagian Editorial di Penerbit Gramedia Group sebanyak 84 orang. Seluruh angggota populasi tersebut dapat dijangkau karena berada di Jakarta. Dari populasi tersebut sebanyak 21 orang diambil untuk sampel uji coba instrumen dan sebanyak 60 orang untuk sample penelitian. Penelitian menggunakan sampel karyawan Bagian Editor karena para editor merupakan ujung tombak bagi sebuah penerbitan, yang menentukan kemajuan 8 perusahaan. Para editor tersebut memiliki tugas dan tanggungjawab yang variatif, menangani berbagai jenis produk buku yang diterbitkan, mulai dari buku anak-anak, komik, buku umum, kamus dan buku pelajaran; dengan sumber naskah dari dalam negeri maupun luar negeri. Instrumen Penelitian a. Definisi Konseptual dan Operasional Budaya Perusahaan Definisi Konseptual: Budaya Perusahaan adalah aturan perilaku, interaksi, peraturan perusahaan dan identitas yang berlaku dalam suatu perusahaan. Untuk dimensi aturan perilaku, indikator-indikatornya adalah kebebasan karyawan berinisiatif, toleransi terhadap risiko, dan toleransi terhadap konflik. Untuk dimensi interaksi, indikatorindikatornya adalah integrasi perusahaan dan komunikasi. Untuk dimensi peraturan perusahaan, indikator-indikatornya adalah dukungan manajemen, peraturan yang jelas dan tegas, dan adanya penghargaan dan sanksi. Sedangkan untuk dimensi identitas, indikator-indikatornya adalah identifikasi diri dan kejelasan arah pekerjaan. Definisi Operasional: Budaya Perusahaaan adalah total skor yang diperoleh seseorang setelah menjawab 39 butir instrumen budaya perusahaan yang disusun untuk mengukur indikator-indikatornya yang terdiri dari: kebebasan karyawan berinisiatif, toleransi terhadap risiko, toleransi terhadap konflik, integrasi perusahaan, komunikasi, dukungan manajemen, peraturan yang jelas dan tegas, adanya penghargaan dan sanksi, identifikasi diri dan kejelasan arah pekerjaan. Instrumen Budaya Perusahaan mempunyai lima alternatif jawaban, yaitu A (Selalu), B (Sering), C (Kadang-kadang), D (Pernah) dan E (Tidak Pernah). Responden yang menjawab A untuk suatu butir pernyataan positif diberi skor 5, B diberi skor 4, C diberi skor 3, D diberi skor 2 dan E diberi skor 1. Sedangkan untuk butir pernyataan negatif diberi skor bertur-turut: A = 1, B = 2, C = 3, D = 4, dan E = 5. Dengan demikian rentang skor teoritik instrumen Budaya Perusahaan adalah antara 39 sampai dengan 195. Tabel 1. Kisi-kisi Final Instrumen Budaya Perusahaan No. Indikator Nomor Item Jumlah 1 Kebebasan karyawan berinisiatif 1,2,3 3 2 Toleransi terhadap risiko 4,5,6,7 4 3 Toleransi terhadap konflik 8,9,10,11 4 4 Integrasi perusahaan 12,13,14,15,16 5 5 Komunikasi 17,18,19,20 4 6 Dukungan manajemen 21,22,23,24,25 5 9 7 Peraturan yang jelas dan tegas 26,27,28,29 4 8 Adanya penghargaan dan sanksi 30,31,32,33 4 9 Identifikasi diri 34,35,36 3 10 Kejelasan arah pekerjaan 37,38,39 3 Jumlah 39 Kalibrasi Proses pengembangan instrumen dimulai dengan penyusunan instrumen berbentuk skala lima (Likert) sebanyak 40 butir yang mengacu pada indikator-indikator variabel Budaya Perusahaan. Selanjutnya instrumen tersebut diujicobakan, yaitu diberikan kepada 21 orang responden. Proses kalibrasi dilakukan dengan menganalisis data hasil ujicoba instrumen untuk menguji kesahihan (validitas) instrumen, yakni validitas butir atau validitas internal. Disini digunakan koefisien korelasi skor butir dengan skor total instrumen. Metode statistika yang digunakan adalah koefisien korelasi product moment (rit). Kriteria yang digunakan untuk menguji validitas butir adalah r tabel dengan = 0.05. Artinya, jika rit lebih besar dari rtabel maka butir tersebut dianggap valid. Sedangkan jika rit lebih kecil dari rtabel maka butir tersebut dianggap tidak valid, dan selanjutnya didrop atau tidak digunakan dalam penelitian. Dari hasil analisis validitas terhadap 40 butir instrumen variabel Budaya Perusahaan yang diujicobakan, diperoleh 39 butir yang valid, dan 1 butir yang di-drop. Instrumen Budaya Perusahaan yang terdiri dari 39 butir yang sudah diuji validitasnya itu selanjutnya dianalisis reliabilitasnya (keandalannya) dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach. Dari hasil perhitungan dengan jumlah responden (n) 21 orang, diperoleh koefisien reliabilitas (alpha) adalah 0.983. Oleh karena Koefisien Reliabilitas lebih besar dari koefisien tabel, maka 39 butir instrumen ini dapat diandalkan (reliabel) sebagai instrumen penelitian. Ke 39 butir instrumen inilah yang disebut instrumen final Budaya Perusahaan yang kisi-kisinya dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk selanjutnya 39 butir instrumen tersebut dipakai dalam penelitian. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Sikap Kewirausahaan Karyawan Definisi Konseptual: Sikap kewirausahaan karyawan adalah kecenderungan berpikir (kognitif), merasa (afektif) dan berperilaku (konatif) dari karyawan dalam bekerja yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi, memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. 10 Untuk dimensi kognitif, indikator-indikatornya adalah berpandangan optimis, dan obyektif dalam mengamati situasi. Untuk dimensi afektif, indikator-indikatornya adalah berani mengambil resiko yang diperhitungkan dan suka mencari peluang baru, serta menghargai umpan-balik. Sedangkan untuk dimensi konatif, indikator-indikatornya adalah bertanggungjawab terhadap tugas, dan proaktif dalam manajemen. Definisi Operasional: Sikap kewirausahaan karyawan adalah total skor yang diperoleh seseorang setelah menjawab 35 butir instrumen Sikap Kewirausahaan Karyawan yang disusun untuk mengukur indikator sikap kewirausahaan karyawan, yaitu berpandangan optimis, bertanggungjawab terhadap tugas, berani mengambil resiko yang diperhitungkan, suka mencari peluang baru, serta menghargai umpan-balik, obyektif dalam mengamati situasi, dan proaktif dalam manajemen. Instrumen Sikap Kewirausahaan Karyawan mempunyai lima alternatif jawaban, yaitu A (Sangat setuju), B (Setuju), C (Agak Setuju), D (Tidak Setuju) dan E (Sangat Tidak Setuju).Responden yang menjawab A untuk suatu butir pernyataan positif diberi skor 5, B diberi skor 4, C diberi skor 3, D diberi skor 2 dan E diberi skor 1. Sedangkan untuk butir pernyataan negatif diberi skor bertur-turut: A = 1, B = 2, C = 3, D = 4, dan E = 5. Dengan demikian rentang skor teoritik instrumen Sikap Kewirausahaan Karyawan adalah antara 35 sampai dengan 175. Tabel 2: Kisi-kisi Final Instrumen Variabel Sikap Kewirausahaan Karyawan. No. Indikator Sebaran Butir Jumla h 1 Berpandangan optimis 1,2,3,4,5 5 2 Bertanggungjawab terhadap tugas 6,7,8,9,10 5 3 Berani mengambil diperhitungkan 4 yang 11,12,13,14,15 5 Suka mencari peluang baru 16,17,18,19,20 5 5 Menghargai umpan-balik 21,22,23,24,25 5 6 Obyektif dalam mengamati situasi 26,27,28,29,30 5 7 Proaktif dalam manajemen 31,32,33,34,35 5 Jumlah Butir resiko 35 Kalibrasi Proses pengembangan instrumen dimulai dengan penyusunan instrumen berbentuk skala lima (Likert) sebanyak 40 butir yang mengacu pada indikator-indikator variabel sikap kewirausahaan karyawan. Selanjutnya instrumen tersebut diujicobakan, yaitu diberikan kepada 21 orang responden. Proses kalibrasi dilakukan dengan menganalisis data hasil ujicoba instrumen untuk menguji kesahihan (validitas) instrumen, yakni validitas butir atau validitas 11 internal. Di sini digunakan koefisien korelasi skor butir dengan skor total instrumen. Metode statistika yang digunakan adalah koefisien korelasi product moment (rit). Kriteria yang digunakan untuk menguji validitas butir adalah r tabel dengan = 0.05. Artinya, jika rit lebih besar dari rtabel maka butir tersebut dianggap valid. Sedangkan jika rit lebih kecil dari rtabel maka butir tersebut dianggap tidak valid, dan selanjutnya didrop atau tidak digunakan dalam penelitian. Dari hasil analisis validitas terhadap 40 butir instrumen variabel Sikap Kewirausahaan Karyawan yang diujicobakan, diperoleh 35 butir yang valid, dan 5 butir yang di-drop. Instrumen Sikap Kewirausahaan Karyawan yang terdiri dari 35 butir yang sudah diuji validitasnya itu selanjutnya dianalisis reliabilitasnya (keandalannya) dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach. Dari hasil perhitungan dengan jumlah responden (n) 21 orang, diperoleh koefisien reliabilitas (alpha) adalah 0.964. Oleh karena Koefisien Reliabilitas lebih besar dari koefisien tabel, maka 35 butir instrumen ini dapat diandalkan (reliabel) sebagai instrumen penelitian. Ke 35 butir instrumen inilah yang disebut instrumen final Sikap Kewirausahaan Karyawan yang kisi-kisinya dapat dilihat pada Tabel 2. Untuk selanjutnya 35 butir instrumen tersebut dipakai dalam penelitian. Teknik Analisis Data Untuk menguji hipotesis penelitian, dilakukan analisis data dengan menggunakan metode statistika deskriptif sebagai analisis pendahuluan dengan mendeskripsikan data masing-masing variabel secara tunggal. Kemudian analisis dilanjutkan dengan metode statistika inferensial yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. Statistika deskriptif yang digunakan adalah ukuran gejala pusat yang meliputi rata-rata-rata, median, modus serta ukuran penyebaran atau variabilitas dengan menggunakan standar deviasi (simpangan baku), dan rentangan skor. Di samping ukuran gejala pusat dan ukuran penyebaran, penyajian data juga dilengkapi dengan tabel frekuensi dan histogram. Sebelum menguji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan pengujian persyaratan analisis, yaitu uji normalitas dan homogenitas variansi Y (variabel terikat Sikap Kewirausahaan Karyawan) atas variabel bebas penelitian, yaitu Budaya Perusahaan (X). Metode statistika yang digunakan untuk pengujian normalitas galat taksiran regresi variabel terikat sikap kewirausahaan karyawan atas variabel bebas adalah uji Liliefors, sedangkan pengujian homogenitas varians antara kelompok-kelompok data variabel terikat yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan nilai skor variabel bebasnya dilakukan dengan Uji Bartlet. Statistika inferensial untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan korelasi sederhana dan jamak, serta analisis regresi sederhana dan jamak. Pengujian signifikansi dalam perhitungan regresi menggunakan analisis varian (ANAVA) dengan Uji-F pada taraf signifikansi = 0,01. Perhitungan koefisien korelasi sederhana menggunakan teknik korelasi product moment dengan pengujian signifikansinya 12 menggunakan Uji-t pada = 0,01, sedangkan pengujian signifikansi koefisien korelasi ganda menggunakan Uji-F pada = 0,01. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Budaya Perusahaan (Variabel X) Berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian (dikembangkan sendiri oleh penulis), rentangan skor teoretik data adalah antara 39 – 195, yang berarti bahwa secara teoretik skor minimum adalah 39 dan skor maksimum adalah 195. Dari hasil pengumpulan data, diperoleh skor terendah 70 dan skor tertinggi 190 sehingga rentang skor adalah 120. Berdasarkan hasil analisis deskriptif data, diperoleh rata-rata sebesar 136,98; simpangan baku sebesar 28,18; modus sebesar 153 dan median sebesar 138. Tabel 3: Tabel Distribusi Frekuensi Skor Budaya Perusahaan. No. Kelas Interval Frekuensi Batas Bawah Batas Atas Absolut Relatif (%) 1 70 – 87 69,5 87,5 4 6,67% 2 88 – 105 87,5 105,5 5 8,33% 3 106 – 123 105,5 123,5 7 11,67% 4 124 – 141 123,5 141,5 18 30% 5 142 – 159 141,5 159,5 15 25% 6 160 – 177 159,5 177,5 7 11,67% 7 178 – 195 177,5 195,5 4 6,67% 60 100% Jumlah Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa 6,67% responden merasakan penerapan aspek-aspek budaya perusahaan sangat tinggi, 36,67% merasakan penerapan aspek-aspek budaya perusahaan tinggi, 41,67% merasakan penerapan sedang, dan 15% merasakan penerapan aspek-aspek budaya perusahaan yang rendah. Pengukuran Sikap Kewirausahaan Karyawan (Variabel Y) Berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian (dikembangkan sendiri oleh penulis), rentangan skor teoretik data adalah antara 35 – 175, yang berarti bahwa secara teoretik skor minimum adalah 35 dan skor maksimum adalah 175. Dari hasil pengumpulan data, ternyata diperoleh skor terendah 45 dan skor tertinggi 161 sehingga rentang skor adalah 116. Berdasarkan hasil analisis deskriptif data, diperoleh rata-rata sebesar 119,47, simpangan baku sebesar 26,6, modus sebesar 118 dan median sebesar 121.5. 13 Tabel 4: Tabel Distribusi Frekuensi Skor Sikap Kewirausahaan Karyawan. No. Kelas Interval Frekuensi Batas Bawah Batas Atas Absolut Relatif (%) 1 45 – 61 44,5 61,5 2 3,33% 2 62 – 78 61,5 78,5 3 5% 3 79 – 95 78,5 95,5 6 10% 4 96 – 112 95,5 112,5 9 15% 5 113– 129 112,5 129,5 17 28,33% 6 130 – 146 130,5 146,5 15 25% 7 147 – 162 146,5 162,5 8 13,33% 60 100% Jumlah Tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa 13,33% responden memperlihatkan sikap kewirausahaan sangat tinggi, 53,33% bersikap wirausaha tinggi, 25% bersikap wirausaha sedang, 8,33% bersikap wirausaha rendah. Dari data X dan Y tersebut di atas, maka diperoleh hubungan antara X dengan Y yang ditunjukkan oleh persamaan regresi Ŷ = 30 + 0,65X. Uji signifikan dan linearitas persamaan regresi tersebut digambarkan dalam tabel Analisis Varians berikut: Tabel 5: Analisis Varians Regresi Y atas X dengan model Regresi Ŷ = 30 + 0,65X. Sumber Dk JK RJK Fhitung Ftabel Varians (α=0,05) Total 60 898088 Koefisien (a) 1 856337,1 Regresi (b |a) 1 19974,72 19974,72 4,01 53,2* Sisa 58 21776.01 375,45 Tuna Cocok 41 17901.45 434.38 2,10 1.86** Galat 17 3966.33 233.31 * = Regresi sangat signifikan (Fhitung = 53,2 > Ftabel = 7,09 ) ** = Regresi berbentuk linier (Fhitung = 1,86 < Ftabel = 2,10 ) dk = Derajat Kebebasan JK = Jumlah Kuadrat RJK = Rerata Jumlah Kuadrat Ftabel (α=0,01) 7,09 2,90 Berdasarkan uji signifikansi, bila Fhitung lebih besar daripada Ftabel maka hubungan regresi tersebut signifikan. Ternyata Fhitung = 53,2 > Ftabel = 7,09 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan regresi kedua variabel tersebut sangat signifikan. 14 Sedangan untuk uji kelinearan regresi, bila Fhitung lebih kecil dari Ftabel maka regresi tersebut linear. Ternyata Fhitung = 1,86 < Ftabel = 2,10 sehingga dapat disimpulkan regresi tersebut linear, sehingga dapat disimpulkan regresi Ŷ = 30 + 0,65X sangat signifikan dan linear. Persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 skor budaya perusahaan (X) akan menyebabkan kenaikan 0,65 skor sikap kewirausahaan (Y) pada konstanta 30 seperti terlihat pada grafik linearitas persamaan regresi berikut: Y = 30 + 0,65X Sikap Wirausaha (Y) 160 143.75 140 121 120 100 98.25 80 75.5 60 52.75 40 30 20 0 0 50 100 150 200 Budaya Perusahaan (X) Gambar 4: Grafik Hubungan antara Budaya Perusahaan (X) dengan Sikap Kewirausahaan Karyawan (Y) berupa Model Regresi Ŷ = 30 + 0,65X. Kuatnya hubungan antara X1 dengan Y ini dihitung dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan hasil seperti tercantum pada Tabel 6. Tabel 6: Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Sederhana antara Budaya Perusahaan (X) dengan Sikap Kewirausahaan Karyawan (Y). Cacah Observasi (n) Koefisien Korelasi (ry) thitung 60 0,69 9,49** ** Koefisien Korelasi sangat signifikan (thit > ttab(0.01)) ttabel ttabel α = 0.05 α = 0.01 1,67 2,39 Uji signifikansi korelasi adalah bila thit > ttab(0.01) maka korelasi tersebut dapat disimpulkan signifikan. Ternyata bahwa thit = 9,49 > ttab(0.01) = 2,39 sehingga korelasi antara budaya perusahaan (X) dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y) sebesar 0,69 15 adalah sangat signifikan pada α = 0.01. Dengan demikian terdapat hubungan positif antara budaya perusahaan (X) dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y). Hasil pengujian di atas memperlihatkan adanya hubungan berbanding lurus antara budaya perusahaan dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y) sebesar 0,69 yang sangat signifikan. Artinya semakin tinggi penerapan aspek-aspek budaya perusahaan, maka semakin tinggi pula sikap kewirausahaan karyawan. Dari koefisien korelasi sebesar 0,69 dapat diketahui pula koefisien determinasi (r2) sebesar (0,69)2 = 0,48, atau sebesar 48%. Kondisi ini dapat diartikan bahwa 48% variasi yang terjadi dalam kecenderungan tinggi atau rendahnya sikap kewirausahaan karyawan ditentukan oleh budaya perusahaan. Jadi hipotesis yang diuji: “Terdapat hubungan positif antara budaya perusahaan (X) dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y)” diterima. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN Kesimpulan Terdapat hubungan positif antara budaya perusahaan (X) dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y) yang ditunjukkan oleh persamaan regresi Ŷ = 30 + 0,65X dengan koefisien korelasi (ry) = 0,69 dan koefisien determinasi (ry2) = 0,48. Kondisi ini dapat diartikan bahwa setiap kenaikan 1 skor budaya perusahaan (X) akan menyebabkan kenaikan 0,65 skor sikap kewirausahaan (Y) pada konstanta 30; dan 48% variasi yang terjadi dalam kecenderungan tinggi atau rendahnya sikap kewirausahaan karyawan ditentukan oleh budaya perusahaan. Jadi semakin tinggi penerapan aspek-aspek budaya perusahaan, maka semakin tinggi pula sikap kewirausahaan karyawan. Implikasi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap kewirausahaan karyawan menguat secara signifikan seiring dengan peningkatan penerapan nilai-nilai budaya perusahaan yang baik. Hasil penelitian ini memberikan petunjuk bagi pimpinan perusahaan penerbitan agar menerapkan aspek-aspek budaya perusahaan secara konsisten, sehingga para karyawan dapat mengembangkan potensi atau bakat kewirausahaannya bagi perusahaan. Peningkatan penerapan aspek-aspek budaya perusahaan ini sangat mungkin, karena budaya perusahaan merupakan lingkungan kerja beserta segala peraturannya yang memungkinkan karyawan melakukan integrasi internal (koordinasi ke dalam) dan adaptasi eksternal (menghadapi dunia luar, melayani pelanggan, dan menangkap peluang bisnis yang ada). Budaya perusahaan yang sehat menyebabkan karyawan mampu menampilkan segala potensi yang dimiliki, dan menerima kepercayaan dari perusahaan sesuai kemampuan yang dimilikinya. Penerapan aspek-aspek budaya perusahaan secara konsisten akan membuat perusahaan kompak ke dalam maupun keluar, dan karyawan dapat memenuhi berbagai 16 tingkat kebutuhannya, mulai dari kebutuhan fisik hingga aktualisasi diri. Dengan demikian pada gilirannya akan semakin memperkuat perusahaan. Budaya perusahaan yang baik akan memberikan dampak kebanggaan bagi karyawan, sehingga juga akan menciptakan loyalitas karyawan. Selain itu akan menciptakan suasana kerja yang harmonis, sehingga karyawan dapat memberikan produktivitas yang optimal, dan efisiensi bagi operasional perusahaan. Sebagai contoh, karyawan jarang sakit, sehingga biaya pengobatan rendah dan produktivitas tinggi. Semakin tinggi penerapan aspek-aspek budaya perusahaan, maka semakin tinggi pula image atau citra perusahaan dan karyawannya. Dengan demikian akan semakin banyak peluang usaha yang dapat diraih atau dikembangkan, sejalan dengan tingginya kepercayaan pihak eksternal kepada perusahaan. Adanya peluang usaha dari luar, akan memberikan tantangan bagi karyawan, sehingga akhirnya karyawan mau tidak mau akan mengembangkan sikap kewirausahaannya. Editor sebagai tenaga profesional sangat rentan terhadap perubahan atau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di satu pihak, mereka memiliki pengetahuan yang luas, karena setiap hari menyunting buku-buku, sehingga mengetahui berbagai hal. Namun di pihak lain, mereka juga perlu memiliki visi ke depan, memiliki pandangan jauh ke depan, dan mampu meramalkan trend ke depan. Jangan sampai mereka hanya duduk sehari-hari di belakang meja, tenggelam dalam pekerjaan menyunting buku. Salah satu fungsi budaya perusahaan adalah memfasilitasi pada editor agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, dan khususnya menangkap peluang-peluang bisnis yang ada. Para editor yunior direkrut berdasarkan latar belakang keilmuan tertentu (minimal lulusan S-1). Selanjutnya mereka diberikan pelatihan mengenai falsafah perusahaan, peraturan perusahaan, dan teknik penyuntingan. Kemudian mereka diterjunkan untuk menyunting buku-buku sebagai asisten editor. Melalui para editor inilah, budaya perusahaan akan terinternalisasi kepada para editor yunior, sebagai lingkungan pertama yang memperkenalkan budaya perusahaan dalam bentuk tata-tertib, peraturan, target kerja, cara kerja, cara bersikap, penghargaan, dan sebagainya. Para editor biasanya sudah terlibat dengan pekerjaan mengembangkan produk atau membuat konsep produk buku baru, sesuai dengan kebutuhan di pasar. Pada dasarnya para editor memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai hal, dan memiliki penguasaan product knowledge yang baik, sehingga sering mengemban tugas presentasi atau promosi, membantu tim pemasaran. Dengan kemampuan yang tinggi, maka mereka termasuk kelompok yang dominan dalam menentukan aspek-aspek budaya perusahaan yang berlaku. Oleh karena para editor memiliki pengetahuan yang luas dan mengenal berbagai peluang bisnis yang ada di industri perbukuan, maka para editor seringkali mendapat kesempatan pertama untuk mengembangkan sikap kewirausahaan. Dari uraian di atas, maka penerapan aspek-aspek budaya perusahaan dapat ditingkatkan dengan upaya-upaya sebagai berikut: Pertama, meningkatkan penerapan aspek kebebasan berinisiatif, mengemukakan pendapat, berbeda pendapat dan menyampaikan kritik kepada bawahan, kolega maupun atasan. Hal ini sangat penting, karena berkaitan dengan suasana keterbukaan di tempat 17 kerja, sehingga para karyawan tidak perlu saling bergunjing di belakang punggung. Demikian pula setiap karyawan dapat merasakan kepuasan karena boleh mengemukakan ide-ide yang dimilikinya. Selain itu, seyogyanya pimpinan sedapat mungkin mengakomodasikan ide-ide yang disampaikan karyawan. Kedua, meningkatkan tradisi memberikan penghargaan, kepercayaan, dan kesempatan kepada karyawan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka, sehingga karyawan merasakan kepuasan kerja. Namun demikian, pimpinan tetap bertanggungjawab terhadap pekerjaan anak buah, dan siap mengatasi resiko-resiko yang timbul. Selain itu, dalam menyelesaikan persoalan yang timbul, ditempuh langkah-langkah musyawarah, dengan memperhatikan usulan-usulan dari karyawan. Ketiga, meningkatkan toleransi terhadap konflik. Dalam hal ini tentunya adalah konflik dalam rangka argumentasi pekerjaan, bukan konflik emosional. Karyawan diberi keleluasaan mengembangkan berbagai alternatif solusi, dalam rangka mencari solusi terbaik. Keempat, meningkatkan tradisi koordinasi kerja dan bekerja secara tim (teamwork). Hal ini adalah dalam rangka mencapai integrasi internal yang harmonis. Setiap karyawan diwajibkan agar mampu bekerjasama dengan bagian-bagian lainnya, selalu mau menolong bagian lain yang memerlukan pertolongan. Kelima, meningkatkan lalu-lintas informasi yang jelas dan transparan, dimana setiap kebijakan yang diambil oleh pimpinan, sedapat mungkin telah dibicarakan dengan karyawan yang berkaitan, lalu disosialisasikan. Juga di sini menyangkut penyediaan fasilitas komunikasi yang memadai, seperti surat, telpon, telpon seluler, berlangganan media massa, dan Internet. Keenam, tradisi memberikan dukungan moril kepada karyawan oleh pimpinan. Hal ini dapat berupa ikut turun langsung ke lapangan, memberikan sapaan, atau dukungan moril ketika karyawan sedang melaksanakan pekerjaan. Ketujuh, meningkatkan obyektivitas penilaian terhadap kinerja karyawan, serta pemberlakuan peraturan perusahaan bagi seluruh karyawan tanpa pandang bulu, tidak ada anak emas atau anak bawang. Kedelapan, meningkatkan tradisi untuk memberikan penghargaan dan pujian bagi karyawan yang berprestasi, baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maupun adanya penghargaan khusus. Kesembilan, meningkatkan pelaksanaan standard operating procedures, seperti pelaporan, supervisi, inspeksi, target dan kapasitas serta ketaatan kepada posisi dan fungsi. Kesepuluh, para karyawan hendaknya dilibatkan dalam perumusan visi dan misi perusahaan, pembuatan rencana kerja, serta mendapat pengarahan yang jelas mengenai tugas dan tanggungjawab yang diemban. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan dan implikasinya, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: Pertama, faktor budaya perusahaan, gaya kepemimpinan dan Motivasi Berprestasi hendaknya mendapatkan perhatian khusus bagi perusahaan, agar 18 karyawannya dapat mengembangkan sikap kewirausahaan yang optimal, dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan perusahaan di masa mendatang, karena perusahaan akan membutuhkan pimpinan-pimpinan untuk mengambangkan usaha-usaha baru dari peluang-peluang yang muncul. Kedua, faktor penerapan nilai-nilai yang baik dalam budaya perusahaan perlu terus ditingkatkan sehingga tercipta suasana kerja yang kondusif bagi karyawan untuk mengembangkan sikap kewirausahaannya. Terutama di sini adalah nilai-nilai seperti keleluasaan berpendapat, berbeda pendapat dan menyampaikan kritik; pemberian penghargaan kepada karyawan yang berprestasi; pemberian kepercayaan kepada karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan atau masalah yang dihadapi; pemberian kepercayaan kepada karyawan untuk mengambil resiko dari pekerjaan yang dilaksanakan; mekanisme musyawarah dalam penyelesaian berbagai masalah; adanya partisipasi karyawan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan sesuai dengan jenjang kewenangannya; pengembangan teamwork; memberikan pelatihan ketrampilan dan keahlian yang dibutuhkan karyawan untuk melaksanakan tugas dan pengembangan kemampuannya; penegakan pelaksanaan peraturan perusahaan secara konsisten dan tidak pandang bulu; kesediaan pimpinan mendengarkan karyawan; saling percaya, saling hormat, saling menghargai; saling bertukar informasi yang diperlukan; disamping kontrol yang tersistem untuk menjaga kejujuran karyawan. Referensi : Bygrave, William D. The Portable MBA: Entrepreneurship, Terjemahan Dyah Ratna Permatasari. Jakarta: Binarupa Aksara, 1996. Drucker, Peter F. Innovation and Entrepreneurship: Practice and Principles. New York: HarperBusiness, 1993. Fishbein, M. and Ajzen, I. Believe, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Philippines: Addison-Wesley Publishing Company, Inc., 1975. Greenberg, Jerald and Robert A. Baron, Behavior in Organizations: Understanding and Managing the Human Side of Work. Englewood Cliffs –NJ: Prentice-Hall, 1995. Griffin, Ricky W., Ronald J. Ebert. Bisnis, Edisi 6. Terjemahan Edina C. Tarmidzi. Jakarta, Prenhalindo, 2002. Hickok, Thomas A. Downsizing and Organizational Culture. 2003, http://www. pamij.com/ hickok.html. Husada, Safaruddin. 36 Profil Wirausahaan Sukses Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo, 1996. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Iwantono, Sutrisno. Kiat Sukses Berwirausaha: Strategi Baru Mengelola Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta: Grasindo, 2002. Jansen, P.G.W. Conditions for Internal Entrepreneurship. Journal of Management Development Vol.13 No.9. MCB University Press, http://anbar.com, 1994. Johnson, Spencer. Who Moved My Cheese? Terjemahan Juni Prakoso. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2001. 19 Jones, Patricia and Larry Kahaner, Misi dan Visi 50 Perusahaan Terkenal di Dunia, Terjemahan Anton Adiwiyoto. Jakarta: Interaksara, 1999. Justin G. Longenecker, et al. Small Business Management: An Entrepreneurial Emphasis. Terjemahan Thomson Learning. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2001. Kao, John J., Entrepreneurship. Creativity and Organization: Text, Cases and Reading. Englewood Cliffs, NJ, Harvard Business School-Prentice Hall, 1989. Kerlinger, Fred N. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. McGrath, Rita Gunther. The Entrepreneurial Mindset. Boston: Harvard Business School Press, 2000. Moeljono, Djokosantoso. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003. Mutis, Thoby. Kewirausahaan Yang Berproses. Jakarta: PT Grasindo, 1995. Ndraha, Taliziduhu. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Pheysey, Diana C. Organization Cultures: Type and Transformations. London: Routledge, 1993. QuickMBA.com. Entrepreneurship .( http://www.quickmba.com/ entre/definition, 2004. Riyanti, Benedicta Prihatin Dwi. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta: Grasindo, 2003. Robbins, Stephen P. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan, 1994. Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1992. Schein, Edgar H. The Corporate Culture Survival Guide. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1999. Smither, Robert D. et al., Organization Development: Strategies for Changing Environment. New York: HarperCollins, 1996. Suryana. Kewirausahaan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2001. Susanto, A.B. Budaya Perusahaan: Manajemen dan Persaingan Bisnis 1 Jakarta: Elex Media Komputindo, 1997. Triguno, Budaya Kerja: Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: Golden Terayon Press, 1997. Walters, Kenneth D., (Ed.), Entrepreneurial Management . Cambridge: Ballinger Publishing Company, 1989. Wiratmo,Masykur. Pengantar Kewiraswastaan: Kerangka Dasar Memasuki Dunia Bisnis. Yogyakarta: BPFE, 1996. 20