MEREFLEKSI MUTU PROFESIONAL GURU Makalah Disampaikan dalam Seminar Pendidikan Diselenggarakan STKIP PGRI Kediri 20 Maret 2010 Oleh : Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah, M.Si. [email protected] Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2010 0 LATAR BELAKANG Hampir empat dasawarsa terakhir, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) terus melakukan inovasi dan perubahan dalam berbagai komponen sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan. Telah ditemukan dalam berbagai studi baik di Indonesia maupun di berbagai negara, bahwa komponen paling penting dalam peningkatan mutu pendidikan adalah pendidik. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang “Guru dan Dosen” dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang “Standar Nasional Pendidikan”, merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka melakukan restukturisasi dan perbaikan mutu pendidik di Indonesia. Berkaitan dengan pentingnya faktor guru dalam peningkatan mutu pendidikan Kim (2005) mengemukakan mutu profesional guru merupakan faktor yang paling inti dalam memacu peningkatan mutu pendidikan. Selanjutnya dikemukakan oleh Kim bahwa ”the quality of education can not exceed the quality of teachers”1. Michael G. Fullan (Sudrajat: 2008) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think”. Kedua pendapat itu menunjukkan bahwa pelaksanaan inovasi dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada peran pendidik. Jika Kim mengatakan “kualitas pendidikan tidak dapat melebihi kualitas guru” maka program peningkatan mutu guru pada hakekatnya harus lebih prioritas dibandingkan dengan program peningkatan mutu lainnya. Inovasi dan pembaharuan pendidikan baru akan terjadi manakala guru telah dapat berfikir dan berbuat sesuatu atas dasar kompetensi profesi yang dimilikinya. Jika merupakan faktor yang paling inti dalam memacu kualitas pendidikan, maka peningkatan kualitas profesi guru adalah keniscayaan. Pendidik yang profesional memiliki seperangkat kompetensi yang dipersyaratkan untuk menopang tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Pendidik profesional tidak sekedar menguasai bidang ilmu, bahan ajar, dan metode, tapi juga harus mampu memotivasi peserta didik, memiliki kecakapan yang tinggi dan berwawasan luas. Sehubungan dengan itu, kompetensi guru ini telah dipersyaratkan oleh PP 19 tahun 2005 pasal 28 ayat (3) yang meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. 1 Kim, E (2007) Educationan Policy and Reforms in Korea., Korean Educational Development Institute. 1 Sebelum diberlakukan UU No. 14/2005, telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia (2004) bahwa guru adalah sebuah profesi, sama dengan profesi lain seperti dokter atau akuntan. Berdasarkan PP No. 19/2005, untuk menjadi guru yang profesional, seseorang harus memenuhi baik kualifikasi maupun kompetensi sebagai sebuah profesi. Persyaratan kualifikasi seorang guru adalah sarjana, sedangkan persyaratan kompetensinya ditetapkan melalui Standar Kompetensi. Pendidik yang profesional mampu mengelola belajar siswa secara efektif hingga mencapai minimal standar kualifikasi yang telah ditetapkan. Pendidik yang profesional juga adalah mereka yang inovatif, kreatif, dan mampu melahirkan gagasan-gagasan segar untuk mendorong belajar siswa secara optimal. Sistem keprofesian guru ini menuntut kepada setiap guru untuk mewujudkan kapasitas, perilaku, dan karya-karya profesional untuk memacu lebih cepat lagi peningkatan mutu pendidikan. Untuk mewujudkan guru sebagai profesi ini Menteri Pendidikan Nasional menetapkan Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan untuk mengatur kompetensi yang harus dimilikinya. Guru yang memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan adalah mereka yang profesional dan dibuktikan dengan sertifikat profesi yang diberikan. Sertifikasi memberikan jaminan terhadap kinerja dan kompetensi pendidik dalam melakukan pekerjaan mendidik dan mengajar secara profesional pula. Tanpa sertifikasi, banyak orang yang “merasa” mampu menjadi guru tanpa melalui pendidikan dan memenuhi kompetensi yang dipersyaratkan. Anggapan bahwa pekerjaan mengajar dapat dilakukan oleh siapa saja asal memiliki bekal kemampuan materi yang diajarkan perlu diluruskan. Mengajar pada hakekatnya tidak sekadar transformasi pengetahuan tetapi lebih dari itu. Mengajar adalah pekerjaan yang memiliki misi perubahan perilaku peserta didik sehingga berbagai kompetensi pedagogis juga merupakan suatu keahlian profesional. Tujuan sertifikasi bukan semata-mata meningkatkan kesejahteraan guru tetapi yang terutama adalah meningkatkan kompetensi mereka. Sertifikasi bukanlah sebuah “hadiah” bagi guru untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar, tetapi merupakan sebuah pengakuan atas profesi mereka. Pengakuan tersebut harus dibuktikan atau berkorelasi searah dengan kompetensi profesinya. Sertifikat yang dimiliki oleh guru merupakan simbol dari kapasitas, perilaku dan karya-karya profesinya. Jika sertifikasi telah berfungsi sedemikian, maka semakin banyak guru yang bersertifikat, semakin cepat pula mutu pendidikan akan meningkat secara terukur. Indikator keberhasilan dalam serifikasi itu dapat diukur baik dari unsur pendidik maupun siswa itu sendiri. Dari unsur 2 pendidik, indikatornya adalah sikap, tindakan dan perilaku produktif dan kreatif yang tampak dalam proses pembelajaran yang diciptakannya. Mereka juga mempunyai kompetensi dan kecakapan dalam mengelola kegiatan belajar siswa sebanyak mungkin sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan kualitas belajar siswa sebagai ukuran akhir (ultimate measure) dari mutu pendidikan. KERANGKA KONSEPTUAL Sistem Keprofesian Guru Sertifikasi, menurut definisi yang dirumuskan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen, sebagai sebagai bukti formal pengakuan yang dibeikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Dasar hukum pelaksanaan sertifikasi guru didasarkan pada amanah Pasal 42 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 8 UU No 14 tahun 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4/S1 dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) sampai (5) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi yang dimiliki oleh guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi prfesional, dan kompetensi sosial. Kualifikasi pendidikan minimum diperoleh melalui jenjang sarjana pendidikan tinggi, dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah memenuhi syarat pencapaian standar kompetensi guru yang diukur melalui lulus ujian sertifikasi. Uraian standar kompetensi yang harus dimiliki guru dijabarkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang meliputi Guru TK/RA, Guru SD/MI, Guru SMP/MTs, Guru SMA/MA dan Guru SMK/MAK. Sedangkan pelaksanaan uji sertifikasi diatur dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Misi penting di balik program sertifikasi guru adalah peningkatan mutu dan daya saing pendidikan nasional. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan 3 kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Oleh karena itu program sertifikasi dan pendidikan profesi guru harus dibingkai oleh perspektif tentang mutu dan daya saing pendidikan. Program sertifikasi seharusnya tidak dipandang sekadar legalisasi (credential) untuk memperoleh tunjangan profesi, tetapi lebih sebagai upaya meningkatkan kompetensi guru dalam rangka peningkatan mutu pendidikan nasional. Guru sebagai salah satu komponen penting dalam system pendidikan nasional harus mendapat perhatian utama dan sangat serius. Bangsa Indonesia perlu banyak belajar dari Jepang yang menjadikan guru sebagai perhatian utama. Setelah Jepang hancur akibat bom tentara Sekutu, pada tahun 1945, yang difikirkan pertama adalah nasib guru yang masih hidup dan selanjutnya Jepang menyusun program besar dalam mencetak guru-guru yang berkualitas. Kompetensi guru diyakini tidak secara otomatis menjadi baik dengan hanya menaikkan remunerasi. Oleh sebab itu, diperlukan upaya membangkitkan motivasi dan kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan dalam bentuk pembinaan keprofesian. Dengan system yang terpercaya, guru yang mengikuti proses sertifikasi seharusnya secara otomatis dapat memenuhi persyaratan tersebut, dan mereka yang dinyatakan lulus adalah yang telah memenuhi bahkan melampuai syarat keprofesian yang ditetapkan. Bagi guru yang belum mengikuti sertifikasi karena belum memenuhi persyaratan, tentu akan berusaha meningkatkan diri, dan Pemerintah wajib untuk memfasilitasi guru terutama peningkatan kualifikasi akademik guru yang belum memenuhi ketentuan. Kinerja guru, selain ditentukan oleh kualifikasi minimum pendidikan dan kompetensi yang sesuai dengan standar, juga ditentukan oleh kesejahteraan yang memadai sebagai sumber motivasi untuk guru dalam melakukan tugas keprofesiannya. Kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugas keprofesian akan sangat menentukan terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. Selain berfungsi sebagai pengelola kegiatan pembelajaran siswa, guru berfungsi sebagai pembimbing kegiatan belajar peserta didik dan sekaligus sebagai teladan bagi peserta didiknya untuk belajar secara optimal baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Jaminan kesejahteraan akan mendorong guru untuk lebih terkonsentrasi kepada tugas-tugasnya serta mereka akan memberikan perhatian lebih terhadap proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Guru seyogyanya tidak memikirkan lagi keharusan mencari penghasilan tambahan dari pekerjaan lain 4 yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap kinerja. Guru tidak siap mengajar, metode dan media pembelajaran membosankan, tidak respek pada kondisi siswa, merupakan sebagian kecil contoh perilaku guru yang tidak memprioritaskan tugas mengajar. Guru di Jepang, misalnya, mempunyai tingkat kesejahteraan yang baik. Setelah diberlakukan sertifikasi guru, seorang guru di Negara Matahari ini mendapat penghasilan yang relatif besar. seorang guru dapat menabung senilai uang Indonesia Rp8 juta setiap bulan (tahun 2000 lalu). Asumsinya, kalau menabung saja Rp 8 juta setiap bulan, berarti gaji para guru akan jauh lebih besar dari itu sehingga hidup mereka sejahtera. Sertifikasi guru akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan nasional apabila sertifikasi dapat dilakukan secara efektif dan obyektif. Artinya sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan benar-benar telah memiliki standar kompetensi dan hal ini hanya akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara efektif dan obyektif. Sertifikasi guru merupakan program prestisius pemerintah karena membutuhkan anggaran sangat besar baik dalam proses dan terutama setelah proses sertifikasi. Hal ini dapat dipahami karena dibutuhkan dana besar untuk membayar tunjangan profesi sebanyak 2,7 juta orang guru yang ditargetkan untuk disertifikasi. Untuk sertifikasi guru pada APBN 2006 disediakan anggaran sebesar 35,8 miliar untuk mensertifikasi 20.000 guru, sedangkan pada APBN 2007 disediakan anggaran sebesar 380,9 miliar untuk mensertifikasi 190.450 guru (www.depdiknas.go.id diakses 9 Pebruari 2007). Pelaksanaan sertifikasi akan mendahulukan 20.000 guru yang berasal dari kuota tahun 2006 yaitu 14.000 guru Sekolah Dasar (SD) dan 6.000 guru Sekolah Menengah Pertama (SMP). Anggaran dana pemerintah sangat terbatas yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, kurang lebih hanya 10% saja. Tentu prosentase tersebut akan tersedot untuk membayar tunjangan guru. Sebagai gambaran, apabila dirataratakan satu kali gaji pokok Rp 1.500.000,00, untuk dua juta guru diperlukan dana Rp 3 triliun per bulan, atau sebesar Rp 36 triliun per tahunnya. Itu baru tunjangan profesi yang satu kali gaji. Kalau gaji guru beserta tunjangan fungsionalnya Rp 2.000.000,00, diperlukan dana Rp 4 triliun per bulan, sehingga per tahun mencapai Rp 48 triliun. Apabila dijumlah, gaji guru 5 ditambah tunjangan fungsional dan tunjangan profesi, dibutuhkan dana Rp 84 triliun. Itu baru gaji guru PNS, belum mencakup gaji dosen PNS, guru swasta, serta dosen swasta yang lolos sertifikasi. Sedangkan yang namanya anggaran pendidikan bukan hanya gaji dan tunjangan, melainkan banyak kebutuhan pos pendidikan lain yang membutuhkan perhatian serius pemerintah. Seperti projek pembuatan sekolah baru, rehabilitasi sekolah yang rusak, penyediaan peralatan dan perlengkapan sekolah, penyediaan bahan dan sumber belajar, maupun sektor-sektor lain yang memerlukan dana besar. Kalau hal ini terjadi, untuk anggaran pendidikan diperlukan dana Rp 160 - Rp 200 triliun. Tentu sangat berat karena sudah melebihi beban APBN. Padahal, pemerintah punya utang luar negeri yang cukup besar. Belum lagi pos anggaran departemen lain yang juga perlu dana besar. Menyadari bahwa proram sertifikasi guru membutuhkan biaya besar, maka program ini harus penuh makna dan sesuai dengan tujuan semula. Pelaksanaannya harus dikawal ketat dan pasca sertifikasi guru-guru tetap dievaluasi. Namun, adakah jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru? Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk memberikan jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas kompetensi guru. Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi. 6 Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed (berpengetahuan paling luas) terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya (http://www.psb-psma.org). Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung. Guru yang profesional dipersyaratkan memiliki: pertama, dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21. Kedua, penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan paktis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada paktis pendidikan masyarakat Indonesia. Terakhir pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan. Profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Sertifikasi pendidik secara umum mengacu pada National Commision on Educatinal Services (NCES), disebutkan“Certification is a procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or 7 her a license to teach.” Amerika memberlakukan uji sertifikasi terhadap guru melalui badan independent yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE). Pendidik harus mengikuti tes untuk menjadi pendidik bersertifikasi dan diakui kelayakannya pada bidang mereka. Di Korea, lulusan program pendidikan guru tidak perlu menempuh ujian untuk memperoleh sertifikasi. Pendidik dipilih berdasarkan hasil ujian tahunan yang diselenggarakan oleh provinsi atau kantor pendidikan metropolitan yang meliputi empat komponen yaitu pedagogy, penguasaan materi pelajaran dan penulisan essay, tes praktek, dan interview (Kane, 2007). Di Victoria Australia, sertifikasi pendidik disebut dengan teacher registration, di dalamnya terdiri dari dua tahapan. Calon peserta harus memenuhi persyaratan agar bisa mengikuti tahapan provisional registration, yaitu: (1) graduate (4 years at university level/S1), or 3 years undergraduate and 1 year postgraduate), (2) Qualification, (3) Criminal Record Check, (4) Reference, dan (5) IELTS 7.0 Selama dua tahun pendidik di tahapan pertama mempersiapkan diri menuju tahap kedua full registration. Agar bisa lulus peserta harus menguasai delapan komponen yang dikelompokkan menjadi tiga elemen, yaitu: professional knowledge, professional practices, dan professional engagement (Victorian Institute of Teaching, 2007). Setelah lima tahun, setiap pendidik berkewajiban registrasi ulang guna memperbaharui lisensi mengajar. Manakala memenuhi persyaratan, pendidik memperoleh hak perpanjangan sertifikat pendidik, tetapi bila tidak memenuhi persyaratan hak mengajar dicabut. Kompetensi Pendidik dalam Perspektif Louise Moqvist (2003) dalam Sudrajat, (2008) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Dalam Trainning Agency, Len Holmes (1992) menyebutkan: ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.” Mengacu kepada Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 pasal 1, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesiannya. 8 National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah membuat rumusan standar kompetensi bagi guru di Amerika Serikat. Rumusan tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar bagi guru untuk memperoleh sertifikat profesi guru. Rumusan standar kompetensi guru dikenal dengan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, sebagai berikut. a. Teachers are Committed to Students and Their performance b. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students c. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning d. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience e. Teachers are Members of Learning Communities Seorang pendidik dipersyaratkan untuk memiliki seperangkat kompetensi yang menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya. Dimensi kompetensi pendidik yang secara tegas disebutkan dalam pasal 28 Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mencakup 4 komponen yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi Guru tersebut bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mendukung. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial memang tidak secara langsung berhubungan dengan perannya sebagai pendidik, tetapi turut memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter seorang pendidik. Sedangkan kompetensi pedagogik dan profesional terkait dengan kemampuan prasyarat yang secara langsung dibutuhkan sebagai pendidik, yaitu kemampuan-kemampuan yang akan menjamin tugas-tugas dalam mengajar, mendidik, melatih siswa berlangsung lancar. Domain kompetensi personal berkaitan dengan pengelolaan diri sendiri, berisikan kapabilitas kesadaran pribadi dan kapabilitas pengelolaan diri. Domain kompetensi sosial bertautan dengan mengelola hubungan, berisikan kapabilitas kesadaran social dan kapabilitas pengelolaan hubungan. Menurut pandangan Peter Drucker (dalam Crowther, 2009:36), penguasaan dan penerapan kompetensi tersebut memungkinkan setiap pendidik mewujudkan profesi mereka sebagai “leading class in post-industrial societies.” 9 Crowther (2009:35) mengutip pendapat Goleman, Boyatzis, dan McKee membuat formula kompetensi pendidik, di dalamnya berisi dua domain kecerdasan emosional, empat kompetensi, dan dua belas kapabilitas. Konsep yang disusun Goleman dapat dilihat dalam gambar di bawah ini. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik. Kompetensi pedagogik mempunyai tiga dimensi yang dikenal dengan sebutan 3-DP (Three Dimensional Pedagogy) yaitu sebagai berikut. a. Personal pedagogy: the “gift,” talents, values, and specialized expertise that shape and define the work of teachers as individual profesionals. b. Schoolwide pedagogy: a school’s agreed approach to teaching and/or learning, derived from consideration of the school’s vision, the particular values and needs of students, and analysis of the most successful practices of teachers. c. Authoritative pedagogy: established theories and rationales for outstanding teaching, learning, and assessment. (Crowther, 2009:37) Kompetensi pedagogi diakui sebagai faktor esensial kesuksesan sekolah. Kolaborasi ketiga dimensi di atas disebut Crowther dengan istilah Excellence Pedagogy. Konsep ini dimaknai lebih dari sekedar konstruksi individu; kemampuan ini memberikan dampak terhadap prestasi siswa secara efektif manakala dipahami dan dipraktekkan sebagai kombinasi individu dan adanya pembagian pemahaman, bakat, dan strategi. Implikasinya, profesi pendidik abad 21, untuk mencapai hasil belajar siswa secara memuaskan dibutuhkan sinergi antar dimensi dalam diri pendidik dan disesuaikan dengan daya dukung dan kondisi sekolah. Dalam pandangan Crowther (2009:37), hubungan antara kualitas kelas, penerapan Schoolwide pedagogy dan kepemimpinan pendidik menjadi faktor penentu kesuksesan keluaran sekolah. Kompetensi pedagogik, sebagaimana tertuang dalam Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 meliputi: (a) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (b) Menguasai teori belajar dan prinsipprinsip pembelajaran mendidik, (c) Mengembangkan kurikulum terkait dengan mata pelajaran yang diampu, (d) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (e) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (f) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, (g) 10 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, (h) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (i) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran, (j) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran. Gambar 2: Goleman’s El Domains, Competencies, and Capabilities. Refining personal “gift” Seeking pedagogical meaning Emphasizing accomplishment Articulating positive futures Contributing to positive profesional image Standing up for childrens’ right (Personal Competence) Self -Awareness Self-Management (Goleman’s Domains Relationship Management Social Awareness (Social Competence) Showing genuine interest in students Facilitating alignment of school activities Building network Encouraging collective responsibility Collaborating on justice issues Encouraging schoolwide pedagogy PD as consciousness-rising Synthesizing new ideas Encouraging student “voice” Encouraging self-respect in communities Profesional secara esensial memiliki tiga dimensi pokok yaitu keilmuan dan pengetahuan (science and knowledge), keahlian (skills), dan organisasi kesejawatan (organisation of profession). Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Guru profesional memiliki dan mengembangkan kemampuan dalam tiga pilar profesional diatas. Pendidik profesional mampu menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam serta memgembangkan materi tersebut dengan konsep keterkaitan secara universal dan menerapkan konsep–konsep keilmuan, metode pengajaran yang koheren dengan materi ajar secara mendalam dan berkualitas. Disamping itu pendidik juga mengeksplorasi konsep dan metode keilmuan, melakukan penilitian dan kajian-kajian kritis 11 untuk memperdalam pengetahuan tentang materi ajar sehingga menemukan hal-hal baru dalam proses pembelajaran. Kemampuan guru melaksanakan tugas profesi keguruannya dalam proses belajar mengajar merupakan salah satu bentuk kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional berkaitan langsung dengan proses pembelajaran yang diselenggarakan setiap pendidik, namun begitu kompetensi kepribadian dan sosial turut memberikan kontibusi terhadap excellent character building (pembentukan karakter unggul) seorang pendidik. Ruang Lingkup Pengembangan Kompetensi Pendidik Kompetensi pendidik adalah kecakapan yang bersifat dinamis, berkembang melalui proses belajar dan interaksi dengan berbagai lingkungan dalam komunitas professional. Kompetensi guru dikembangkan dalam 4 cakupan wilayah (gurupembaharu.com,2009), yang meliputi: Pengembangan kompetensi pendidik dapat dilakukan melalui berbagai forum dan media yang merupakan manifestasi learning communities. Partisipasi aktif di dalamnya memberi peluang luas bagi setiap pendidik untuk mewujudkan diri sebagai learning persons dalam konteks longlife learning. Dengan cara demikian pendidik dapat selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan diseminasi penemuan dalam pembelajaran, sehingga kompetensi pendidik juga berkembang. 12 DAFTAR PUSTAKA Crowther , Frank. 2009. Developing Teacher Leaders Second Edition; How Teacher Leadership Enhances School Success. California: Corwin Press dan National Association Of Secondary School Principal. Furqon. 2008. Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Glewwe, Paul. Et.al. 2003. Teacher Incentives. Poverty Action Lab Paper No. 11 April 2003 Gurupembaharu.com.2009./pengelolaan_/peningkatan-mutu_/menerapkanpenjaminan- mutu- guru- sesuai- standar- nasional- pendidikan/. Online: gurupembaharu.com. Accesed: 30 November 2009. Hasan, M. Iqbal. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hoadley, Ursula and Paula Ensor. 2009. Teachers’ Social Class, Professional Dispositions and Pedagogic Practice, Teaching and Teacher Education 25, (2009) 876–886 Kane, John. (2007). Teacher Education and Professional Development in Korea dalam “Dinamic Korea” Education Policies and Reform. [online]. Tersedia: globalizationand education. ed.uiuc.edu/.../ GSEB/.../South%20 Korea2007.pdf. [28 Desember 2009]. Kim, E (2007) Educationan Policy and Reforms in Korea., Korean Educational Development Institute Kusdiyono, 2007. Sekali Lagi Sertifikasi, Anggaran Dan Kecemburuan. Available on: http: kusdiyono.wordpress.com/2007/12/05/sekali lagi sertifikasi anggaran dan kecemburuan/ Millan, James MC dan Sally Schumacher, 2001. Research in Education. New York: addison Wesley Longman Inc. Mhozya, C.M. 2007. The Extent To Which Incentive Influence Primary School Teachers And Job Satisfaction In Botswana, The Social Science 2 Medwell Journal (4), 2007 pp. 412-418 Osei, George M. 2006. Teachers In Ghana: Issues Of Training, Remuneration And Effectiveness. International Journal of Educational Development 26 (2006). Pp. 38–51 Propper, Carol. 2006. Are Public Sector Workers Motivated By Money?. Available on: Error! Hyperlink reference not valid. Sudrajat, Akhmad. 2008. Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru. Available on : http: www.psb-psma.org/ content/blog/peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi guru (accessed 12 November 2008) Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. 13 Tuhusetya, Sawali. 2008. Latar Belakang Sertifikasi. Available on: Error! Hyperlink reference not valid. Victorian Institute of Teaching. (2007). The Standards, Guidelines And Process For The Accreditation Of Pre-Service Teacher Education Courses; Preparing Future Teachers June 2007. Victoria: Victorian Institute of Teaching. -------. 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. -------. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tanggal 4 Mei 2007 Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, Standar Kompetensi Pedagogik -------. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. -------. 2006. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. -------. 2006. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. -------. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Sumber internet: http://sertifikasiguru.org/index.php?mact http://sismanto.com/2008/05/30/membumikan-guru-profesional-dengan-sertifikasi/ 14 15