KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA PITRA

advertisement
PROPOSAL TESIS
KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA
PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU
(Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)
I Putu Adi Suryawan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
PROPOSAL TESIS
KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA
PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU
(Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)
I Putu Adi Suryawan
Nim : 11.1.2.5.1.0389
PROGRAM STUDI MAGISTER BRAHMA WIDYA
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA
PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU
(Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Pada Program Magister Ilmu Agama
Program Studi Brahma Widya
Menyetujui :
Pembimbing I,
Pembimbing II,
KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA
PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU
(Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)
Dipersiapkan dan disusun oleh
I Putu Adi Suryawan
NIM : 11.1.2.5.1.0389
Dipertahankan di depan Panitia Ujian Proposal
Pada Tanggal : 22 Juli 2012
Susunan Dewan Penguji
Ketua Ujian,
Sekretaris,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................ 1
1. 2 Rumusan Masalah ................................................................... 6
1. 3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
1.3.1 Tujuan Umum................................................................. 7
1.3.2 Tujuan Khusus................................................................ 7
1.4 Manfaat Penelitian..................................................................... 8
1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................. 8
1.4.2 Manfaat Praktis .............................................................. 9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN.................................................................................. 10
2.1 Kajian Pustaka .......................................................................... 10
2.2 Konsep .................................................................................... 18
2.2.1 Pengertian Esensi ........................................................... 19
2.2.2 Pengertian Upacara ........................................................ 19
2.2.3 Pengertian itra Yajña...................................................... 22
2.2.4 Pengertian Ngaben Ngelanus.......................................... 24
2.2.5 Agama Hindu................................................................. 26
2.2.6 Pengertian Filosofis......................................................... 29
2.2.7 Provinsi DKI Jakarta ....................................................... 31
2.3 Landasan Teori .......................................................................... 31
i
2.3.1 Teori Religi ……………………..................................... 32
2.3.2 Teori Simbol …………................................................... 34
2.3.3 Teori Fungsional Struktural ............................................ 35
2.4 Model Penelitian ...................................................................... 38
BAB III
METODE PENELITIAN................................................................ 40
3.1 Lokasi Penelitian ..................................................................... 40
3.2 Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................... 41
3.3 Penentuan Informan ………...................................................... 42
3.4 Jenis dan Sumber Data ……..................................................... 43
3.5 Teknik Pengumpulan Data ………............................................ 43
3.5.1 Observasi …………........................................................ 44
3.5.2 Wawancara ……............................................................. 45
3.5.3 Kepustakaan ................................................................... 45
3.6 Analisis Data ………................................................................ 46
3.7 Penyajian Hasil ………………............................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 48
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Hindu mengajarkan bahwa tubuh manusia terdiri dari 2 (dua) unsur
yang disebut stula sarira (badan wadag), dan suksma sarira yaitu yang
menyebabkan badan wadag ini hidup dan bisa bergerak. Unsur halus yang
membuat badan wadag hidup dan bisa bergerak juga disebut atma/jiwatma.
Atma/jiwatman adalah percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi yang
memberi kehidupan pada setiap mahluk. Tanpa jiwatman tidak ada kehidupan di
dunia ini.
Suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri oleh setiap
mahluk bahwa kehidupan ini tidaklah kekal adanya. Kehidupan akan diakhiri
dengan kematian, sebaliknya kematian akan diikuti oleh kelahiran. Menurut
ajaran agama Hindu kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari
sebuah proses perjalanan panjang jiwatman menuju Paramatman.
Umat Hindu yakin bahwa agar perjalanan sang jiwatman menuju
paramatma lebih lancar dan tidak menemukan hambatan besar dapat dibantu
dengan melaksanakan upacara kematian yang selanjutnya disebut pitra yajña.
Pelaksanaan pitra yadnya bagi mereka yang ditinggalkan merupakan salah satu
cara untuk melepaskan diri dari ikatan tri rna, dengan harapan agar dapat
mencapai kebahagiaan sekarang dan kebahagiaan yang akan datang.
Agama Hindu menuntun agar setiap umatnya selalu hormat dan bhakti
terhadap orang tua atau leluhurnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah
1
tiada. Semasih hidup mereka harus dihormati dengan memberikan pelayanan
sebaik-baiknya, sedangkan terhadap mereka yang sudah meninggal wajib
diselenggarakan upacara kematian (pengabenan).
Penghormatan kepada orang tua merupakan pintu gerbang kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat. Ketika masih hidup ia akan mendapat pujian dan
penghormatan dari orang-orang yang ada di sekelilingnya, sedangkan setelah
kematiannya Ida Sang Hyang Widhi akan menganugrahkan kebahagiaan yang
tiada terkira untuknya.
Umat Hindu meyakini bahwa upacara pengabenan merupakan sebuah
solusi yang dapat mempermudah dan mempercepat proses pembebasan suksma
sarira (badan halus) dari stula sarira (badan kasar). Sang suksma sarira yang
hadir sebagai jiwatman (pemberi hidup) pada setiap mahluk diharapkan dapat
bersatu kembali dengan sang Paramatma, sedangkan stula sariranya
dapat
kembali kepada asalnya yaitu menjadi panca maha bhuta. Oleh karenanya
pelaksanaan upacara pengabenan merupakan salah satu bentuk penghormatan
kepada arwah leluhur yang dirasakan wajib hukumnya untuk dilaksanakan oleh
oleh setiap umat Hindu. Karenanya upacara pengabenan seringkali dilakukan
sangat meriah bahkan paling meriah diantara panca yadnya. Jika dicermati
upacara ngaben menjadi salah satu icon kedatangan touris dari manca Negara.
Hal ini terjadi karena mereka merasakan betapa besarnya jasa para leluhur
terhadap keturunannya. Karma wasana leluhur merupakan landasan berpijak bagi
keturunannya. Para leluhurlah yang telah berjasa memberikan pemeliharaan serta
perawatan sejak dalam kandungan sampai dewasa, dan menyebabkan mereka
2
mampu berdiri sendiri serta mampu menikmati kehidupan yang lebih baik.
Belaian kasih orang tua selalu menyelimuti anak-anaknya ketika mereka
kedinginan, demikian pula tetesan keringat dan deraian air mata-nya selalu
menyirami anak-anaknya ketika mereka kepanasan.
Upacara ngaben yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya dan dilandasi
oleh Pitra Rna (hutang jasa kepada leluhur). Keyakinan ini memotivasi umat
Hindu untuk menyelenggarakan upacara kematian yang terkadang tampil sangat
meriah. Bagi sebagian umat Hindu upacara ngaben mendapat perhatian yang
sangat istimewa sehingga dilakukan dengan sangat khusuk penuh pengabdian
bahkan terkadang sangat meriah. Terkadang ada yang memaksakan untuk
melaksanakan upacara ngaben yang sangat meriah tanpa memikirkan resiko
yang akan dihadapinya dengan meminjam uang kesana kemari, padahal
sesungguhnya hal itu bukanlah suatu keharusan. Hal ini terjadi karena pada
hakikatnya tidak semua umat Hindu memahami hakikat pelaksanaan upacara
Ngaben. Terkadang upacara ngaben dilakukan dengan sangat meriah karena
dilandasi rasa takut, jangan sampai karena upacaranya kurang meriah leluhur
mereka tidak memperoleh tempat yang baik atau kurang lancar perjalanannya.
Hal itulah yang menyebabkan mereka berusaha melakukan upacara kematian
(pengabenan) dengan semeriah mungkin dengan harapan agar arwah leluhur
mereka dapat melanjutkan perjalanannya ke alam surga tanpa halangan. Sampai
saat ini sebagian umat Hindu masih meyakini bahwa upacara pengabenan
merupakan solusi yang paling ampuh untuk menyelesaikan suatu persoalan dalam
3
kehidupan, sehingga saat terjadi kematian pada seseorang kerabatnya merupakan
saat terakhir bagi mereka untuk menunjukkan rasa hormat dan bakti mereka.
Hal ini tampak jelas ketika kita menyaksikan usaha-usaha yang dilakukan
oleh sebagian umat Hindu disaat sanak keluarganya ada yang meninggal dunia,
mereka pada sibuk dan khusus melakukan upacara pengabenan dengan sedetail
mungkin. Jangankan bagi mereka yang mampu seperti Keluarga Puri Ubud di
Bali yang terbiasa melakukan upacara kematian dengan sangat meriah. Misalnya
pada tahun 1998 ketika ada keluarga Puri yang meninggal dunia, mereka
melaksanakan upacara kematian yang sangat meriah. Ada balai-balai (bade)
setinggi 28 meter menjulang tinggi sebagai wadah jenazah orang tua mereka yang
diupacarai. Dapat dipastikan pembuatan balai-balai itu membutuhkan biaya yang
tidak sedikit apalagi untuk mengusungnya ke kuburan, sehingga jika dihitung
secara materiil untuk dapat melakukan upacara yang semegah itu dapat dipastikan
membutuhkan biaya yang cukup banyak. Akan tetapi sedikitpun tidak tampak
keragu-raguan dari pihak keluarga untuk melakukannya, mereka sangat ikhlas
karena mereka meyakini hal itu merupakan salah satu cara terbaik untuk
menunjukkan rasa hormat dan bhakti kepada leluhur mereka yang telah berjasa
dalam kehidupannya, dan dengan cara itu hutang-hutang mereka terhadap
leluhurnya bisa ditebus/dibayar.
Kenyataan itu tidak hanya berlaku bagi umat Hindu yang ada di Bali,
hampir sebagian umat Hindu melakukan hal yang tidak jauh berbeda hanya saja
cara dan bentuk pelaksanaannya yang berbeda. Misalnya umat Hindu di Tana
Toraja, mereka menyelenggarakan upacara kematian dengan sangat meriah.
4
Disana tampak tongkonan yang dihias dengan belasan tanduk kerbau yang
merupakan simbul keagungan bhakti mereka kepada leluhurnya. Sehubungan
dengan hal tersebut pelaksanaan upacara kematian yang merupakan perwujudan
rasa hormat dan bakti kepada leluhurnya, terkadang menjadi beban bagi mereka
yang kurang mampu. Di satu sisi mereka merasa wajib untuk melaksanakan
upacara yang sepantasnya, di satu sisi lagi mereka terbentur oleh masalah
ekonomi.
Di era modern terkait dengan tuntutan ekonomi, pelaksanaan upacara yang
besar, sering menimbulkan pertanyaan, mengapa upacara untuk orang yang
meninggal harus dilakukan dengan sangat meriah?, apakah dengan biaya sebesar
itu sudah pasti atma leluhur mereka akan masuk svarga? Apakah dengan upacara
yang sederhana leluhurnya tidak memperoleh svarga, atau adakah upacara
ngaben yang sederhana sifatnya tanpa mengurangi fungsi dan maknanya.
Akhir-akhir ini umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta mulai tertarik dengan
pelaksanaan upacara Ngaben Ngelanus. Upacara ngaben ngelanus dilaksanakan
dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama sehingga tidak perlu menyimpan
dan merawat jenazah dalam waktu yang lama, hal ini sesuai dengan aturan Pemda
DKI Jakarta. Upacara ngaben ngelanus dilaksanakan secara bergotong royong,
dimana pembuatan sesajen dibagi sesuai dengan kapasitas anggota tempek.
Upacara ngaben ngelanus diyakini sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah.
Karena proses pelaksanaannya yang tidak begitu lama maka biaya yang
dibutuhkan juga tidak terlalu banyak. Akan tetapi ada juga yang meragukan
kesempurnaan upacara ngaben ngelanus tersebut, misalnya bagaimana dengan
5
ala ayuning dewasa, apakah pelaksanaan upacara ngaben dalam waktu yang
singkat itu lebih baik, sehingga masih perlu diulas lebih lanjut yakni bagaimana
eksistensinya dalam paradigma ajaran agama Hindu.
Dalam usaha menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini dilakukan.
Penelitian ini dilakukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dengan rumusan
masalah yang akan dibahas : (1) Apakah arti Upacara Ngaben Ngelanus itu, 2)
Apa pelaksanaan upacara ngaben ngelanus mengurangi esensi kesempurnaan
pelaksanaan upacara pitra yadnya, (3) Bagaimana tatacara pelaksanaan Ngaben
Ngelanus di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta?.
Untuk membedah permasalahan ini, dipergunakan beberapa teori yaitu:
teori religi digunakan untuk memahami apakah arti dan bagaimana ngaben
ngelanus tersebut, teori semiotic digunakan untuk apakah ngaben ngelanus
tersebut mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan pitra yadnya, teori
fungsional struktural digunakan untuk memahami arti dan tatacara pelaksanaan
upacara ngaben ngelanus.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang di depan,
maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang dijadikan obyek penelitian yaitu :
1. Apakah Arti Ngaben dan bagaimana Ngaben Ngelanus itu?
2. Apakah Ngaben Ngelanus mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan
Pitra Yajña.
3. Bagaimana tata cara pelaksanaan Ngaben Ngelanus di DKI Jakarta?
6
1.3
Tujuan Penelitian
Dalam mengadakan penelitian ilmiah, tentu ada tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan yang ingin dicapai akan sangat menentukan langkah-langkah yang akan
dilalui sehingga penelitian yang dilaksanakan menjadi tepat sasaran. Semakin
jelas rumusan tujuan penelitian, maka semakin mudah untuk mencapai tujuan
penelitian tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, maka tujuan penelitian
dibedakan menjadi dua yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan
umum
dari
penelitian
ini
adalah
untuk
menggali,
menginterpretasikan, melestarikan, mengembangkan budaya agama yang hidup
dikalangan umat Hindu akan tetapi tidak hanya sebatas pelaksanaan saja akan
tetapi harus dibarengi dengan pemahaman akan fungsi dan makna serta nilai
filosofinya sehingga pelaksanaannya selalu disesuaikan dengan kemampuan umat
Hindu dan tidak memaksakan apalagi sampai ngutang atau menjual tanah warisan
yang hanya sejengkal. Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat dapat lebih
memahami esensi ajaran agama Hindu sehingga kualitas keberagamaan menjadi
lebih baik.
1.3.2
Tujuan Khusus
Secara khusus dan praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan
pemahaman yang lebih mendalam yaitu:
1. Untuk mengetahui Arti Ngaben dan bagaimana Ngaben Ngelanus itu?
7
2. Untuk
Mengetahui
Apakah
Ngaben
Ngelanus
mengurangi
esensi
kesempurnaan pelaksanaan Pitra Yajña.
3. Untuk Mengetahui Bagaimana tata cara pelaksanaan Ngaben Ngelanus di
DKI Jakarta
1.4
Manfaat Penelitian
Dalam mengadakan penelitian ilmiah diharapkan hasilnya dapat
memberikan manfaat positif dan membangun masyarakat (subyek penelitian),
demikian juga masyarakat akademis. Sehubungan dengan hal tersebut maka
dalam mengadakan penelitian ini manfaatnya dibedakan menjadi dua yaitu
manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1
Manfaat Teoritis
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memberikan wawasan
akademis bagi seluruh karyasiswa khususnya dan kalangan akademis umumnya
tentang Filosofi Upacara Ngaben Ngelanus. Hasil penelitian ini akan sangat
bermanfaat khususnya bagi penulis demikian juga bagi peneliti selanjutnya yang
mungkin ingin meneliti lebih mendalam tentang Filosofi Upacara Ngaben
Ngelanus. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan penelitian ini diharapkan dapat
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Filosofi
mengingat pelaksanaan upacara pengabenan Umat Hindu sangatlah beragam unik
dan sarat dengan nilai-nilai filosofis.
8
1.4.2
Manfaat Praktis
Bagi peneliti, hasil penelitian ini pasti akan menambah wawasan
pengetahuan tentang Filosofi Upacara Ngaben Ngelanus. Melalui hasil penelitian
ini diharapkan dapat mengungkap filosofis apa saja yang terdapat dalam
pelaksanaan upacara ngaben ngelanus, sehingga dapat dijadikan sumber
informasi tentang pelaksanaan ajaran agama yang tepat dalam kehidupan seharihari, sehingga dapat berguna dalam mengadakan pembinaan dan pengembangan
ilmu pengetahuan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat:
1)
Dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam melaksanakan upacara ngaben
ngelanus.
2)
Dijadikan acuan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia dalam
mengadakan pembinaan dan mengambil kebijakan.
3)
Dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan oleh tokoh masyarakat dan
pemerintah.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Layaknya karya tulis harusnya merupakan hasil analisis dari sebuah
penelitian dan bukan sekedar tulisan yang bersifat fiktif. Karya tulis harus dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dan dalam penyusunannya dilakukan
secara kritis, logis, dan sistematis melalui langkah-langkah tertentu. Untuk lebih
mempertegas hasil dari sebuah penelitian tersebut, maka sangat diperlukan
sumber dari pustaka baik berupa kutipan dari para sarjana atau para rohaniawan,
guna mendukung isi tulisan sehingga keabsahannya dapat dipertanggung
jawabkan. Adapun pustaka-pustaka relevan yang mendukung penelitian ini
sebagai kajian pustaka sebagai berikut ini.
Relin (2005), dalam tesisnya ”Teologi Hindu Dalam Ritual Kematian
Masyarakat Jawa”, mengungkapkan ritual kematian adalah merupakan tradisi
leluhur orang Jawa yang dilaksanakan ketika ada keluarga meninggal dunia.
Ritual ini digunakan sebagai sarana persembahan kepada Tuhan untuk
mendoakan almarhum agar rohnya bisa mencapai svarga bahkan mokhsa.
Pelaksanaannya; mulai dari orang meninggal yang disebut ritual Geblak, Upacara
Tiga Hari (telung dinane), Upacara Tujuh Hari (Pitung dina), Upacara Empat
Puluh Hari ( ritual petang puluh dina), Upacara Seratus Hari (satus dina),
Upacara Pendak Pisan (satu tahun setelah meninggal, Upacara Pendak Pindo
(dua tahun setelah meninggal), Upacara Seribu Hari (tiga tahun setelah
10
meninggal). Fungsi Ritual ini adalah untuk membantu proses kesempurnaan roh
orang yang meninggal dan dapat lebur secara cepat bersatu dengan Tuhan
(terciptanya Manunggal Kawula lawan Gusti).
Mencermati uraian di atas, makna pelaksanaan upacaranya tidak jauh
berbeda yaitu untuk mencapai kebebasan yang sejati, akan tetapi prosesi
pelaksanaan upacaranya sangatlah berbeda. Perbedaan prosesi upacaranya sangat
jelas, hal mana ditunjukkan yaitu ritual kematian umat Hindu di Jawa
dilaksanakan dengan jalan mengubur jenazah, yang selanjutnya dibuatkan
upacara dan didoakan mulai dari ketika dia baru meninggal, sesudah tiga hari,
tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dua tahun sesudah meninggal, tiga
tahun sesudah meninggal.
Menurut ketetapan susastra suci Hindu penguburan jenazah sebaiknya
dihindari kecuali alasan tertentu. Fungsi pelaksanaan upacaranya adalah samasama sebagai penyucian arwah orang sudah meninggal agar dapat bersatu dengan
Sang Pencipta (bersatunya Kawula Gusti). Menurut ketentuan pustaka suci Hindu
pelaksanaan upacara pengabenan selain sebagai sarana untuk membebaskan diri
dari hutang kepada para leluhur yang sudah banyak berjasa dalam kehidupan,
juga berfungsi sebagai penyucikan arwah leluhur sehingga dapat bersatu dengan
Sang Pencipta dan tidak dikutuk menjadi Bhuta Cuil yang bisa mengotori alam
semesta ini, sehingga Tuhan berkenan turun ke bumi. Berkenaan dengan itu hal
tersebut maka penelitian ini pantas untuk dilanjutkan.
Ningrat (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ”Banten Panjang
Ilang Dalam Upacara Ngaben di Mataram, Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna
11
”mengetengahkan fokus penelitianya di Kota Mataram, secara diakronis
mengikuti tatanan konseptual tiga kerangka dasar keagamaan yang terdiri dari
tatwa, susila, dan upacara. Secara umum, dalam realisasi kehidupan sosial
beragama aspek upacara merupakan bentuk ekspresif yang secara simultan
merupakan wujud penampakan yang paling menonjol, namun secara sistematik
satu aspek dengan aspek lainnya saling memberikan fungsi yang saling terkait.
Salah satu elemen dari aspek upacara agama Hindu yang belakangan ini
mendapatkan perhatian dari masyarakat Hindu di kota Mataram, menurut Ningrat
adalah aktivitas keagamaan serta fenomena yang bertalian dengan wacana
simplifikasi dalam tatanan upakara masyarakat Hindu. Munculnya wacana
tersebut akibat pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan makna upacara
belum mendalam, serta sarana–sarana upacara yang dipakai dirasakan semakin
terbatas di kalangan masyarakat Hindu di kota Mataram. Dalam penelitian
tersebut diketengahkan tiga permasalahan pokok yang dijawab dalam penelitian,
yakni; (1) Bagaimana bentuk Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben, (2)
Apa fungsi simbolik Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben, dan (3) Apa
makna simbolik Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben di kota Mataram.
Mengenai bentuk Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben di kota
Mataram, dalam hasil penelitian tersebut diketengahkan eksistensi, sarana, dan
bentuk Banten Panjang Ilang dari proses pembuatan/pengolahan, tahap
penyusunan isinya, tahap penyelesaian dengan pengisian beberapa variasi,
sampai pada mantram Banten Panjang Ilang di kota Mataram.
12
Fungsi Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben di kota Mataram,
membahas tentang fungsi religius, fungsi sosial, dan fungsi estetika. Sedangkan
makna Banten Panjang Ilang mengupas tentang makan bentuk, makna simbolik
Banten Panjang Ilang sebagai oleh-oleh kepada sang atma, sebagai
persembahan, sebagai pembinaan moral dan budaya, sampai pada mengupas
makna mantram Banten Panjang Ilang di kota Mataram.
Berdasarkan uraian di atas, hal mana menunjukkan bahwa uraian di atas
hanya pada penggunaan sarana upacara yang disebut Banten Panjang Ilang yang
memiliki makna simbolis sebagai oleh-oleh sang atma, demikian juga sebagai
persembahan, akan tetapi tidak membahas prosesi pelaksanaan upacara
pengabenan, maka penelitian ini layak untuk diteliti.
Werdinaya (2007) dalam ”Upacara Mebeya Tanem Pada Dua Tradisi
Kuno Desa Pakraman Puakan dan Pakusebe di Desa Taro, Kecamatan
Tegalalang, Kabupaten Gianyar”, mengungkapkan Upacara Mebeya Tanem
adalah suatu usaha yang dilaksanakan oleh ”sentana” atau ahli warisnya dengan
perasaan yang tulus ikhlas tanpa pamrih, sebagai perwujudan rasa bhakti kepada
leluhur dengan tujuan untuk membersihkan atman (roh) leluhur agar dapat
meningkat dari alam preta ke alam pitra. Mabeya Tanem pada hakikatnya sama
dengan upacara Ngaben tetapi menurut tata cara yang dilaksanakan di desa
Pakraman Puakan dan Pakusebe memiliki perbedaan-perbedaan yang khas
terutama dalam istilah, tata cara, serta prosesi pelaksanaannya, mengingat
prosesinya tidak melalui pembakaran jenazah.
13
Berkenaan dengan hal tersebut penelitian ini hendaknya dilanjutkan karena
pelaksanaan Upacara Mabeya Tanem sangat berbeda dengan norma-norma yang
terkandung pada pelaksanaan upacara ngaben ngelanus, seperti telah dijelaskan di
atas prosesi penguburan jenazah bagi orang yang meninggal secara wajar
hendaknya sebisa mungkin dihindarkan, jika keluarga yang ditinggalkan tidak
memiliki biaya yang cukup disediakan bentuk upacara yang sangat sederhana
yang disebut Swasta Gheni, sebab mengubur jenazah bisa mengotori arwah yang
orang yang meninggal, dan jika tidak diaben selama tiga tahun akan dikutuk
menjadi Bhuta Cuil.
Suastini (2008) dalam tesisnya berjudul ”Upacara Ngaben Matempung
di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan”,
dikemukakan bahwa upacara ngaben merupakan kewajiban bagi anak dan cucu
untuk menghormati orang tua baik semasih hidup maupun sesudah meninggal,
yang
mana
menurut
lontar
Panca
Yadnya
perbuatan
tersebut dapat
menghilangkan penderitaan dan kesengsaraan dari orang tuanya. Menurut ajaran
Tri Rna, Upacara Pitra Yadnya merupakan bagian dari Pitra Rna, yang
menjelaskan bahwa seorang anak memiliki hutang jasa kepada leluhurnya yang
wajib dibayar dengan melakukan penghormatan ketika masih hidup dan
melaksanakan upacara Pengabenan sampai Memukur dan Ngelinggihang Dewa
Hyang ketika mereka sudah meninggal.
Prosesi Upacara Ngaben Matempung hampir sama dengan pelaksanaan
upacara pengabenan yang dilaksanakan secara mandiri atau perorangan, yaitu
sama-sama mreteka (mengupacarai) sawa (jenazah) keluarga yang meninggal
14
agar lebih cepat dapat bersatu dengan sang pencipta, akan tetapi karena prosesi
pelaksanaan Upacara Ngaben Matempung dilaksanakan secara kolosal atau
bersama dengan banyak orang, maka dari segi penghabisan biaya akan menjadi
lebih hemat.
Mencermati pemaparan di atas, pelaksanaan Upaca Ngaben Matempung
menitikberatkan pada penghematan akan biaya yang dipergunakan dalam
pelaksanaan upacara pengabenan tersebut. Sedangkan menurut Teks Yama
Purwana Tattwa, pelaksanaan upacara pengabenan hendaknya disesuaikan
dengan kemampuan yang melaksanakan upacara. Jika keluarga yang ditinggalkan
tidak mampu dari segi ekonomi, maka upacara pengabenan dapat dilaksanakan
sesederhana mungkin sehingga tidak memberatkan keluarga yang ditinggalkan.
Akan tetapi jika keluarga yang ditinggalkan berkecukupan baik dari segi ekonomi
demikian juga yang lainnya, maka penyelenggaraan upacara pengabenan yang
mewahpun tidak dilarang. Selain itu upacara Ngaben Matempung hanya
memungkinkan dilaksanakan jika ada kesepakatan banyak keluarga memiliki
sawa yang belum di aben untuk melaksanakan upacara pengabenan. Berdasarkan
uraian tersebut maka penelitian ini tepat untuk dilanjutkan.
Adiputra (2003) dalam tesisnya berjudul ”Ngaben Beya Tanem di Desa
Tengkudak, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan”, dinyatakan bahwa
upacara Ngaben Beya Tanem sudah dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Desa
Adat Tengkudak sejak jaman dahulu sampai sekarang. Upacara pengabenan ini
merupakan sesuatu yang unik, karena mayat tidak boleh dibakar, tetapi harus
dikubur. Keunikan lain dalam pelaksanaan upacara ini yaitu diiringi dengan Tari
15
Baris Memedi khususnya dalam upacara Ngaben Beya Tanem yang tergolong
utama. Penyelenggaraan Ngaben Beya Tanem di Desa Tengkudak meliputi tiga
jenis, yaitu: Swasta Sundari, Swasta Geni, dan Sawa Preteka. Tingkat
upacaranya juga dapat dibagi menjadi tiga yaitu: utama, madya dan nista.
Pelaksanaan upacara Ngaben Beya Tanem diselenggarakan atas dasar
tiga pertimbangan yaitu: secara geografis Desa Adat Tengkudak terletak di kaki
Gunung Batukaru yang merupakan kawasan suci. Pembakaran mayat
dikhawatirkan akan mencemari kawasan suci tersebut yang merupakan stana dari
Betara Tumuwuh (Bhatara Penataran Sakti Bali) sebagai Purusa. Disamping itu,
dikawatirkan pula dapat mencemari danau Beratan sebagai linggih Dewi Danuh
sebagai Predana. Secara epistemologis Hindu, manusia berasal dari unsur Panca
Mahabhuta. Secara sosial, upacara itu sesuai dengan konsep Tri Hita Karana,
yang mengatur dan menjaga keseimbangan tiga penyebab kehidupan, yaitu:
parahyangan, palemahan, dan pawongan.
Semua sarana upacara untuk pelaksanan Ngaben Beya Tanem tersedia
dan dapat diperoleh dari lingkungan desa tanpa perlu mendatangkan dari luar
desa. Sebelum pelaksanan penguburan yang disebut dengan pekutangan ditarikan
sebuah tarian sakral yang disebut dengan Baris Memedi. Tarian ini ditarikan
mulai dari kuburan sampai di depan rumah orang yang diaben, dan berakhir
kembali di kuburan, yang umumnya diawali dengan pedeeng. Pengkajian
terhadap sarana upacara menyimpulkan bahwa ada kesamaan dengan sarana
upacara pengabenan yang dilakukan oleh masyarakat di desa tetangga, yang
berbeda hanyalah mayat tidak dikremasi tetapi dikubur dan tidak ada upacara
16
pembuangan abu jenasah yang disebut nganyud. Upacara dipimpin oleh Balian
Desa yang dipilih dalam Paruman Desa. Balian Desa ini diberi tanggung jawab
melakukan upacara Pitra dan Manusa Yadnya.
Upacara Ngaben Beya Tanem dilakukan dengan jalan ngelanus, artinya
setelah pelaksanaan upacara penguburan dilanjutkan dengan upacara ngerorasin.
Upacara ngerorasin dimaksudkan untuk menstanakan Dewa Hyang. Sesudah tiga
hari pelaksanaan upacara, dilanjutkan dengan upacara nebus pitra, yang
dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada Balian Desa yang telah
membantu penyelenggaraan upacara. Dengan telah dilaksanakannya upacara
ngerorasin, maka berakhirlah upacara Ngaben Beya Tanem.
Berdasarkan penelitian dan tulisan di atas, nampaknya upacara Ngaben
Beya Tanem berbeda dengan prosesi upacara ngelanus. Adapun yang
membedakannya adalah: 1) dalam pelaksanaan upacara Ngaben Beya Tanem
jenazah dikubur atau tidak dibakar, sedangkan menurut ketetapan sedangkan pada
upacara ngaben ngelanus yang dilakukan di Provinsi DKI Jakarta melalui proses
dibakar. 2) Pelaksanaan upacara Mabeya Tanem di Desa Tengkudak diiringi
tarian Baris Memedi, sedangkan pada pelaksanaan Upacara Ngaben Ngelanus
tidak diwajibkan adanya pementasan tari. Hanya saja pada pelaksanaan upacara
Mabeya Tanem di Desa Tengkudak juga upacara ngaben ngelanus di DKI Jakarta
sama-sama memiliki kelebihan demikian juga kekurangannya, dan sama-sama
diyakini benar oleh masyarakat setempat. Untuk dapat memahami mengapa
pelaksanaan upacara itu sama-sama diyakini dan dianggap benar sehingga masih
dilaknakana maka jawabannya akan lebih sempurna jika penelitian ini dilanjutkan
17
karena dapat dipahami dasar dan alasan mereka melaksanakan upacara dimaksud
apakah mematuhi tradisi atau berdasarkan referensi kitab suci yang dijadikan
sebagai rujukan. Sebab jika hanya berdasarkan pada tradisi tentu masih perlu
digali dan dicari dasar hukum yang dijadikan acuan pelaksanaan upacara, sebab
upacara pengabenan merupakan kewajiban dan merupakan keharusan untuk
dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu. Masalahnya jika warga desa Tengkudak
berpindah domisili ke tempat lain tentunya pelaksanaan upacara Pengabenan
Beya Tanem yang dilaksanakan di Desa Tengkudak tidak bisa diterapkan di
daerah lain.
Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut di atas, upacara ngaben
ngelanus bagi Umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta belum ada yang meneliti,
untuk itu kiranya sangat penting untuk diteliti lebih lanjut dan diangkat sebagai
pokok pikiran dalam tulisan ilmiah.
2.2
Konsep
Konsep adalah abstaksi mengenai satu fenomena yang dirumuskan atas
dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau
individu tertentu. Konsep-konsep sebagai pendukung analisis dalam penelitian ini
akan dijelaskan, sehingga dapat memberi bingkai sesuai dengan permasalahan
yang akan dijadikan obyek penelitian. Adapun konsep yang akan dijelaskan
terkait dengan penelitian ini meliputi: konsep filosofis, konsep upacara, konsep
ngelanus, konsep masyarakat Hindu, konsep DKI Jakarta.
18
2.2.1
Pengertian Esensi
Pengertian Esensi menurut kamus umum bahasa indonesia adalah
hakekat, inti; hal pokok. (Poerwadarminta, 1991 : 278). Esensi adalah substansi
yang paling mendasar dari suatu isu. Maka tanpa menyelesaikannya apalagi tidak
menyentuhnya, tidak akan ada penyelesaian apalagi kemajuan. Tanpa mengetahui
esensi dari sesuatu yang akan di bahas maka kita sulit untuk membedakan mana
yang merupakan kulit dan mana isi dari suatu persoalan.
Maka dalam penelitian ini ditekankan pada esensi, agar dapat menggali
secara dalam apa sebenarnya yang menjadi esensi / hakekat, inti; hal pokok dari
ngaben ngelanus. Apakah esensi dari ngaben ngelanus sama dengan ngaben yang
biasanya. Bagimana praktik ngaben ngelanus apakah tetap sempurna dalam
pelaksanaanya tanpa mengurangi makna dan nilai dari Ngaben yang biasa.
2.2.2
Pengertian Upacara
Konsep upacara dalam hubungannya dengan pelaksanaan yajña menurut
Agama Hindu, bahwa pengertian upacara adalah sebuah kata yang berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti “mendekati” dan berarti juga penghormatan
(Wiana, 1998 : 42). Sedangkan menurut (Mas Putra, 2001 : 6) upacara berasal
dari kata "upa" yang berati berhubungan dan "cara" yang berarti gerakan. Jadi
upacara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan. Gerakan dalam
hal ini dapat ditafsirkan sebagai pelaksanaan sesuatu Jadi upacara yang dimaksud
dalam Agama Hindu adalah pelaksanaan dan suatu yajña atau korban suci. Lebih
lanjut (Sura 1999 : 38) menyatakan bahwa upacara agama adalah rangkaian
19
upacara yang urut dan sistimatis formalistik. Upacara juga berati gerakan
sekeliling kehidupan manusia, aktivitas-aktivitas manusia dalam upaya dan usaha
menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi dengan segenap Asta
Dewatanya (Supartha, 1997 : 34). Dalam kamus Sansekerta Indonesia dijelaskan
bahwa upacara memiliki arti "mendekati" (Tim Penyusun, 2000 : 112). Secara
maknawi inti upacara agama merupakan aktivitas manusia untuk senantiasa
mendekatkan diri kepada sesama dalam bentuk saling mengabdi sesuai dengan
swadharma masing-masing, dekat kepada alam lingkungan dalam wujud menjaga
lingkungan alam dan yang paling penting adalah membangun rasa lebih dekat
kepada Ida Sang Hyang Widhi sesuai dengan konsep Agama Hindu yaitu Tri Hita
Karana.
Upacara Yadnya merupakan salah satu korban/persembahan suci yang
dilakukan oleh umat Hindu untuk menghubungkan atau mendekatkan dirinya
dengan Ida Sang Hyang Widi. Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat 1985;
23) mengungkapkan tentang upacara bersaji sebagai suatu aktivitas untuk
mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa, dalam hal ini dewa atau
para dewa dipandang sebagai suatu komunitas, walaupun sebagai warga
istimewa. Selanjutnya ia menggambarkan upacara bersaji sebagai suatu upacara
yang dilaksanakan dengan gembira, bahkan terkadang sangat meriah dan juga
keramat. Ritus dan upacara menjadi kegiatan manusia sejak jaman prasejarah
hingga kini, bahkan menjadi isu sentra kegiatan manusia dalam mengatasi dirinya
dari ketidak berdayaan hidup dan hal-hal yang gaib. Ritus dan upacara kematian
20
menjadi salah satu religi yang penting dalam hidup ini untuk meningkatkan
kehidupan leluhur dan keluarga yang hidup.
Dalam buku yang berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1904
dalam Koentjaraningrat, 1985: 25) Preusz mengungkapkan bahwa, pusat dari
setiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan
melalui kekuatan-kekuatan yang dianggap berperan dalam tindakan-tindakan gaib
seperti itu, manusia meyakini dapat memenuhi kebutuhannya serta mencapai
tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun spiritual.
Menurut Mircea Eliade (dalam Mariasusai Dhavamony, 1995 : 167) yang
menyatakan bahwa tindakan agama terutama ditampakkan dalam upacara (ritual)
atau dapat dikatakan ritual merupakan agama dalam tindakan. Tindakan agama
ini merupakan tindakan simbolis sebagai perwujudan dari makna religius dan
sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap religius. Simbol itu sendiri menjadi
pokok ketegangan dan dilema yang terwujud dalam agama. Di samping itu
simbol-simbol digunakan untuk memberikan kemungkinan suatu perpanjangan
dari penampakan yang Illahi.
Selain itu Mircea Eliade (dalam Mariasusai Dhavamony, 1995 : 183)
menyatakan pula, bahwa upacara (ritual) mengakibatkan perubahan ontologis
pada manusia dan mentransformasikannya kepada situasi keberadaan yang baru,
misalnya; penempatan pada lingkup yang kudus.
21
2.2.3 Pengertian Pitra Yadnya
Kata pitra yajña berasal dari dua kata yaitu pitra dan yajña. Pitra/ pitara
artinya bapak, ibu atau leluhur yang telah meninggal, sedang yajña dari kata yaj
yang artinya persembahan. Menurut Wijayananda, kata yajña sesungguhnya
berasal dari kata Sanskerta yang diartikan pemujaan, persembahan, korban suci,
upacara korban dan lain sebagainya. Sedangkan dalam Bhagawadgita menurut
Wijayananda, Yajna diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan
penuh keikhlasan dan kesadaran sebagai persembahan (Wijayananda, 2004:14).
Sedangkan menurut Tim Penulis buku Catur Yajña Pemda Tingkat I Bali
(1989/1990) kalimat Pitra Yajña terdiri dari kata Pitra (pitara) dan yajña. Pitra
(pitara) berarti bapak/ibu leluhur yang terhormat sinuhun dan yajña berarti
penyaluran tenaga atas dasar suci, untuk keselamatan bersama atau pengorbanan.
Jadi yang dimaksud pitra yajña ialah suatu penyaluran tenaga (sikap, tingkah laku
dan perbuatan) atas dasar suci (ikhlas) (persembahan) yang ditujukan kepada
leluhur untuk keselamatan bersama (Tim, 1989/1 990:75).
Ajaran suci Veda disamping mengamanatkan untuk memuja Tuhan Yang
Maha Esa, para dewata, juga diamanatkan untuk memuja leluhur, karena pada
nakikatnya para leluhur adalah perwujudan atau pengejawantahan dewata (Pitr
dewo bhawa, mair dewo bhawa, ayah adalah perwujudan dewata, ibu adalah
perwujudan dewata). Roh suci leluhur yang telah mencapai moksa, bersatu
dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa. Ada dua jenis leluhur, yakni yang
karena karmanya yang baik memperoleh sorga atau moksa, sedang yang
karmanya yang buruk memperoleh neraka (naraka). Selanjutnya kepada mereka
22
yang mendapat tempat yang baik ( sorga dan moksa ) dimohon karuniannya,
sedang yang berada dalam lembah neraka, keturunannya patut mendoakan dan
berbuat baik untuk membebaskan mereka dari lembah kesengsaraan dengan doa,
mantra dan persembahan ( Yajña ) (Titib, 1998 : 225)
Persembahan kepada leluhur atau roh suci dalam kitab Manawa
Dharmasastra disebut pitra yajna (prasita) “gryarca pracitam petr tarpanam”,
Prasita adalah persembahan tarpana kepada lelluhur (Pudja dan Sudharta, Mdhs,
III : 74). Perintah pelaksanaan pitra yajña kepada umat manusia yang
mempunyai leluhur demi membahagiakan dan mendoakan agar menyatu dengan
Tuhan Yang Maha Esa dinyatakan dalam kitab Manawa Dharmasastra III.82 :
Kurya daharahah craddham
Annadyeno dakena wa,
Payo mula phalairwapi
Pitrbhyah pritimawaham
Terjemahannya :
Upacara pitra yajna yang harus kamu lakukan, Hendaknya setiap harinya
melakukan sraddha dengan mempersembahkan nasi atau dengan air atau susu
dengan ubi-ubian dan buah-buahan dan dengan demikian menyenangkan para
leluhur. (Pudja dan Sudharta, 2002 : 154)
Pernyataan sloka tersebut di atas memberikan inspirasi kepada umat untuk
tetap menghaturkan persembahan kepada leluhur. Persembahan tidak diukur dari
besar dan kecilnya harga, tetapi nilai persembahan itu diukur dari ketulusan dan
cinta
kasih
sraddhā
atau
yajña
yang
dipersembahkan.
Dengan
mempersembahkan sebagian makanan yang dimiliki yang dilandasi hati yang
suci akan memberikan kedamaian dan kebahagiaan para leluhur.
Tidak mengurangi makna/nilai persembahan kepada para leluhur, selain
menghaturkan persembahan agar para leluhur bahagia dan damai atau mencapai
23
moksa bagi yang belum, juga persembahan itu dilakukan untuk memohon maaf
atas kesalahan dan mohon bimbingan kepada para leluhur agar anak
keturunannya sejahtera dan bahagia. Pernyataan tersebut diperkuat oleh mantram
Rgveda X. 15:4
Barhasadah pitara ūti arvāg
Imā vo havyā cakrma juṣadhvam
Ta ā gata avasā ṣamtamena
Atha naḥ sāṁ yor arapo dadhāta
Terjemahannya:
Wahai para leluhur yang duduk: bertebaran, datanglah kemari dengan
(membawa) pertolongan, upacara persembahan ini kami persembahkan untuk
anda semoga anda bahagia. Datanglah dengan pertolongan bermanfaat,
karuniailah kami kesehatan, rahmat dan bebaskan dari keperihan. (Titib,
1989:227)
Pada intinya upacara pitra yajna dilakukan untuk memuja Tuhan Yang
Maha Kuasa agar kita yang masih hidup dan para leluhur (pitara) bebas dari
penderitaan dan mencapai kebahagiaan dan kedamaian yang abadi. Karena hidup
yang bahagia dan damai lahir dan bathin merupakan cita-cita dan tujuan manusia
hidup. Apalagi mencapai kemanunggalan dengan Brahman. Menurut Aristoteles
tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Karena apabila sudah bahagia manusia
tidak memerlukan apa-apa lagi, kebahagiaan bernilai bukan dari suatu nilai lebih
tinggi lainnya, melainkan demi dirinya sendiri.
2.2.4
Pengertian Ngaben Ngelanus
Menurut Wiana (1998 : 32) Upacara Pitra Yadnya (ngaben) merupakan
suatu keharusan bagi umat Hindu untuk dilaksanakan kepada orang yang telah
meninggal, karena manusia selama hidupnya atmanya dibelenggu oleh dua
24
lapisan sarira yang disebut : stula sarira dan suksma sarira. Maka ”ngaben” yang
artinya menujua api. Api dalam lambang agama Hindu yaitu melambangkan
”Brahma”. Dapat diuraikan kata ngaben artinya perjalanan menuju ke alamnya
Brahma. Kalau disimpulkan bahwa fungsi ngaben adalah melepaskan atma dari
ikatan Stula sarira (Panca Maha Bhuta).
Menurut Putra (1993) dalam Upacara Pitra Yadnya Recadana pada
warga bhakti yoga Desa Bestala bahwa yang disebut upacara pitra yajña (ngaben)
adalah serangkaian upacara penyucian dan ”Mrelina” serta penghormatan kepada
orang yang telah meninggal dunia (mrtyu) menurut agama Hindu. Selanjutnya
yang dimaksud dengan ”Mrelina” yaitu merubah suatu wujud sedemikian rupa
sehingga unsur-unsur yang ada kembali kepada asal semula (Panca Maha Bhuta).
Sarana yang digunakan untuk penyucian atau pembersihan pada jenazah adalah
air dan tirtha (air suci). Selanjutnya dalam pembakaran dan mrelina digunakan
”Api Pemrelina”.
Selanjutnya ”Ngelanus” (bahasa Bali), berasal dari kata lanus yang
berarti lancar/cepat. Ngelanus dalam bahasa Bali seketika. Dalam kaitannya
dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan, ”Upacara Ngaben Ngelanus”
yang dimaksudkan adalah pelaksanaan ”Upacara Ngaben” sampai ”Nyekah”
yang dilaksanakan dalam waktu satu hari. Pelaksanaan Upacara Ngaben seperti
ini saat ini menjadi pilihan bagi umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta. Fenomena
tersebut merupakan salah satu alasan mengapa penelitian ini dilakukan.
25
2.2.5
Agama Hindu
Agama Hindu adalah agama yang paling tua di dunia. Diinspirasikan oleh
wahyu ("oleh nafas Tuhan"), para rsi jaman dahulu menyanyikan lagu yang suci
di hutan dan juga di tepian sungai India, jauh ribuan tahun sebelum Moses,
Buddha atau Kristus. Lebih dari ribuan tahun lagu ini tetap dinyanyikan oleh para
rsi, yang menggabungkan kebijaksanaan yang melahirkan agama Hindu yang
dikenal dengan nama Hinduisme saat ini. Nama asli dari Agama Hindu adalah
Sanatana Dharma (Kebenaran universal atau abadi). ( Pandit, 2006 : 3 )
Walaupun asal usul dari Hindu bagaimana pun juga kontroversial, para
cendekiawan setuju bahwa agama Hindu ada sejak awal 500 S.M, orang Persia
memanggil orang India yang tinggal di tepian sungai Indus (dikenal dengan nama
Sindhu dalam bahasa Sanskrta) sebagai Sindhus. Dalam Bahasa Persia, kata
Sindhu menjadi Hindu dan orang yang tinggal di India dikenal dengan nama
Hindu.
Tidak seperti agama lain di dunia, agama Hindu tidak berasal dari seorang
pendiri atau sebuah kitab, atau dimulai pada titik waktu tertentu. Sangat tidak
mungkin untuk menentukan waktu dan tempat asalnya. Dalam buku-buku
biasanya dikatakan bahwa Agama Hindu kira-kira terbentuk 1500 S.M, yang
didasarkan pada Teori Invasi Arya (lihat bab 39) yang sekarang tidak
dipergunakan lagi. Menurut teori ini bangsa Arya pada jaman Weda datang dari
India tengah, yang menyerbu India sekitar tahun 1500 S.M, menghancurkan peradaban yang lebih maju yaitu Peradaban Harappan, dan menyebarkan budaya
Weda di India. Berdasarkan bukti arkeologi dan kesusastraan, cendekiawan
26
moderen telah menyebutkan bahwa tidak ada invasi Ārya dan orang-orang jaman
Rg Weda yang menyebut diri mereka Aryan (kata Ārya dalam bahasa Sanskrta
berarti kebijaksanaan), merupakan penduduk asli India dan merupakan salah satu
etnik grup sejak 6500 S.M atau bahkan lebih awal lagi.
Agama Hindu berkembang dari jaman pra-sejarah di India dalam bentuk
pantheon agama Monothéisme (contohnya memuja satu Tuhan dalam berbagai
cara dan bentuk). Sementara itu sejumlah kelas sosial muncul dalam masyarakat
Hindu dalam bentuk upacara agama yang besar-besaran, pengorbanan binatang,
pelaksanaan sistem kasta yang terlalu kaku dan pernyataan kesuperioran para
Brahmana dari kasta yang lainnya.
Agama Hindu di India, perkembangannya dapat diketahui dari kitab-kitab
suci Hindu yang terhimpun dalam Veda Sruti, Veda Smrti, Itihasa, Upanisad dan
sebagainya.
Pertumbuhan
filsafat
keagamaan
(Darsana)
dan
perkembangan
pelaksanaan keagamaannya tak dapat melepaskan diri dari sumber-sumber
tersebut, sehingga perkembangan agama senantiasa bersifat religius, dalam arti
dan bernafaskan keagamaan. Agama Hindu merupakan sumber kekuatan batin
yang menjiwainya.
Perkembangan Agama Hindu di India, berlangsung dalam kurun waktu
yang amat panjang yaitu berabad-abad hingga sekarang. Sejarah yang amat
panjang itu menurut pendapat Govinda Das Hinduism Madras, 1924, halaman 25,
zaman dikatakan dapat dibagi 3 bagian yang besar, sekalipun batas-batas
27
pembagiannya tak dapat dipastikan dengan jelas. Ketiga bagian itu adalah: (
Ngurah, dkk, 2005 : 15)
1.
Zaman Veda Kuna.
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Ārya kurang lebih 2500 tahun
sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu, yang juga
dikenal dengan nama Punyab (daerah lima aliran sungai). Zaman Veda kuna
merupakan zaman penulisan wahtu suci Veda yang pertama yaitu Ŗg Veda.
Kehiduopan beragama pada zaman ini, didasarkan atas ajaran-ajaran yang
tercantum pada Veda Saṁhitā, yang lebih banyak menekankan pada pembacaan
pelafalan ayat-ayat Veda secara oral, yaitu dengan menyayikan dan
mendengarkan secara berkelompok.
2.
Zaman Brahmana.
Pada zaman Brahmana, kekuasan kaum Brahmana amat besar pada
kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahanpersembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Zaman brahmana ini
ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang teratur.
Kitab Brahmana adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan Upacaranya.
Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan
yang termuat di dalam kitab suci Veda. ( Netra, 1994 : 2 )
3.
Zaman Upanisad.
Pada zaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas kepada
upacara dan saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bhatin yang
lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Zaman Upanisad ini
28
adalah zaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang
berfilsafat atas dasar Veda. Pada zaman ini uncullah ajaran filsafat yang tinggitinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Ithihasa dan
Purana. Sejak zaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
( Netra, 1994 : 2 )
2.2.6
Pengertian Filosofis
Kata
filsafat
berasal
dari
bahasa
Yunani,
yaitu
dari
kata
’philos’dan”sophos”, menjadi ’philosophia’. Philos berarti cinta atau teman dan
shopos berarti bijaksana. Jadi philosophia atau fisafat berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau pengetahuan. Pengetahuan atau kebijaksanaan memberi
kebenaran, bagi orang yang mencintai pengetahuan, karena itu yang mencarinya
adalah orang-orang yang mencintai kebenaran. Tentang mencintai kebenaran
adalah karakteristik dari setiap filsuf dari dahulu hingga sekarang. Di dalam
mencari kebenaran itu, filsuf mempergunakan cara dengan berfikir sedalamdalamnya. Hasil filsafat disebut falsafah. Filsafat sebagai hasil berfikir sedalamdalamnya diharapkan merupakan suatu yang paling bijaksana atau setidaktidaknya mendekati sempurna. Filsafat terbentuk karena berfilsafat. Dapat
disimpulkan bahwa berfilsafat adalah mencari kebenaran, dan filsafat adalah
sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil dari
berfikir secara sistematis dan universal. (Burhanuddin Salam, 1996;24-25).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat ialah suatu
ilmu atau usaha untuk mencari kebenaran yang hakiki, dengan cara berfikir
29
sedalam-dalamnya
secara
sistematis
dan
universal
untuk
melahirkan
kebijaksanaan.
Sejalan dengan penjelasan diatas, penulis melihat bahwa dalam ajaran
Agama Hindu juga dikenal dengan adanya filsafat Saiva. Filsafat Saiva
merupakan satu cabang dari agama Hindu, dimana gambaran perbedaanya adalah
pemujaan bentuk phalus dari Siva. Saiva sebagai satu agama telah ada sejak
jaman prasejarah, terbukti dari hasil penggalian arkeologi yang ditemukan di
Harappa dan Mohenjodaro dan memiliki sejarah yang berlanjut paling kurang
5.000 tahun lamanya. Simbol phalus dari Siva, seperti yang ditemukan pada
reruntuhan pradaban lembah sungai Hindus, yang bahkan hingga saat ini
merupakan objek pemujaan diantara para pengikut aliran Saiva, yang merupakan
keyakinan hidup dari seluruh bagian India. Para arkeologis di Harappa
menemukan Siva Lingam, yaitu benda dari tanah liat yang di bakar, dengan
puncaknya yang menurut perkiraan Dr.R.E.M. Wheeler, merupakan sebuah
phalus, dan cincin tebal yang lebar, yang di nyatakan sebagai sebuah Yoni (
prinsip wanita).
Dari daftar kepustakaan yang berlaku pada saat ini menunjukkan bahwa
terdapat delapan aliran filsafat Saiva yaitu, Pasupata Dualisme, Saiva Siddhanta
Dualisme,
Dvaitadvaita
Saivaisme
dari
Lakulisa
Pasupata,Vasistadvaita
Saivaisme dan Saiva Monistik dari Kasmir. Menurut Abhinavagupta secara
logika Filsafat Saiva berkembang dari Dualisme menuju monistik, melalui
Dvaitadvaita, (Maswinara,1999:213). Penulis melihat bahwa pengaruh filsafat
Saiva ini telah ada sejak lama, bahkan dari ajaran tentang Siwa telah melahirkan
30
suatu agama dimana Siwalah yang dianggap sebagai Dewa tertinggi pada ajaran
ini. Di indonesia khususnya di Bali ajaran Siwa berkembang sanagt pesat dan
mempengaruhi setiap upacara atau ritual keagamaannaya. Ajaran Siwa yang kita
kenal disebut dengan Saiva Siddhanta.
2.2.7
Provinsi DKI Jakarta
Provinsi DKI Jakarta adalah sebuah bagian dari negara Indonesia,
bahkan terletak di tengah-tengah negara kesatuan Republik Indonesia. Berkenaan
dengan letak geografisnya juga posisinya sebagai ibu kota negara Indinesia,
penduduk Provinsi DKI Jakarta sangatlah heterogen, baik sukunya, bangsanya,
agamanya juga adat dan budayanya. Selain itu kehidupan masyarakat Provinsi
DKI Jakarta juga sangatlah sibuk, akan tetapi pelaksanaan agama, adat juga
budaya dari masing-masing daerah tidaklah ketinggalan, terutama pelaksanaan
upacara ngaben ngelanus masih tetap menjadi pilihan masyarakat Hindu DKI
Jakarta. Sehubungan dengan hal tersebutlah penelitian ini dilakukan
2.3.
Landasan Teori
Dalam melakukan penelitian terhadap objek ini, tentunya peneliti tidak
dapat lepas dari teori. Oleh karena teori merupakan pijakan didalam mengupas isi
yang terkandung didalam objek yang akan diteliti. Dalam meneliti pelaksanaan
upacara khususnya Upacara Ngaben Ngelanus, banyak teori yang dapat
digunakan, akan tetapi dalam hal ini peneliti memilih menggunakan beberapa
31
teori yang sangat mendukung keberhasilan penelitian ini. Sehubungan dengan hal
tersebut ada beberapa teori yang dipilih yakni :
2.3.1
Teori Religi
Makna agama (religi) berangkat dari pemahaman ke-Tuhanan sehingga
umat meningkatkan Sraddha (Keimanan) dan Bhakti (Taqwa) umat Hindu
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dengan aneka nama (Titib,
2006:24). Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa ”suatu religi itu adalah suatu
sistem yang berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang
keramat”. Artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara
yang berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut umat
(Koentjaraningrat, 1985 : 37)
Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat 1985 : 23) mengungkapkan
tentang upacara bersaji sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas
dengan dewa atau para dewa, dalam hal ini dewa atau para dewa dipandang
sebagai suatu komunitas, walaupun bukan sebagai warga istimewa. Selanjutnya
ia menggambarkan upacara bersaji sebagai suatu upacara yang gembira, meriah
dan juga keramat.
Dalam buku yang berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1904 :
dalam Koentjaraningrat, 1985: 25) Preusz mengungkapkan bahwa, pusat dari
setiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan
melalui kekuatan-kekuatan yang dianggap berperan dalam tindakan-tindakan gaib
seperti itu, manusia mengira dapat memenuhi kebutuhannya serta mencapai
32
tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun spiritual. Dengan demikian,
Preusz menganggap tindakan ilmu gaib dan upacara religi itu hanya sebagai dua
aspek dari satu tindakan, dan seringkali ia beranggapan bahwa upacara religi
memang bersifat ilmu gaib.
Ritus dan upacara menjadi kegiatan manusia sejak jaman prasejarah
hingga kini, bahkan menjadi isu sentra kegiatan manusia dalam mengatasi diri
dari ketidak berdayaan hidup dari hal-hal yang gaib. Ritus dan upacara kematian
menjadi salah satu religi yang penting dalam hidup ini untuk meningkatkan
kehidupan leluhur dan keluarga yang hidup.
Herts (dalam Koentjaraningrat, 1985 : 29), mengungkapkan bahwa mati
berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke
kedudukan sosial yang lain. Dalam peristiwa mati, manusia beralih dari suatu
kedudukan sosial dalam dunia ini, ke suatu kedudukan sosial dalam dunia mahluk
halus. Dengan demikian upacara kematian tidak lain dari pada upacara inisiasi.
Selanjutnya Herts, Van Gennep menyatakan bahwa dalam kaitannya
dengan upacara kematian semua ritus dan upacara itu dapat dibagi kedalam tiga
bagian, yaitu: 1) pemisahan atau separation, 2) peralihan atau marge, 3) integrasi
kembali atau agregation (dalam Koentjaraningrat, 1985: 32-33). Dalam bagian
pertama dari ritus, manusia melepaskan kedudukannya yang semula, acara ritus
biasanya terdiri dari tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan. Dalam
bagian kedua, ketika dianggap sudah mati sehingga dia tidak tergolong dalam
lingkungan sosial manapun, perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru
dalam lingkungan yang baru. Dalam bagian ketiga, mereka diresmikan dalam
33
lingkungan sosialnya yang baru. Dalam inisiasi sering ada acara dimana individu
yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan dilahirkan kembali.
Berdasarkan uraian di atas teori religi sangat dibutuhkan dalam penelitian
ini mengingat Upacara Ngaben Ngelanus bagi umat Hindu di Provinsi DKI
Jakarta berfungsi sebagai sarana penyucian, hal mana dalam teori religi disebut
inisiasi.
2.3.2
Teori Simbol
Secara etimologi simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan
pengantaran pemahaman terhadap objek. Manifestasi serta karakteristik simbol
tidak terbatas pada isyarat fisik, tetapi dapat juga berwujud penggunaan kata-kata,
yakni simbol suara yang mengandung arti bersama serta bersifat standar.
Singkatnya, simbol berfungsi memimpin pemahaman subjek kepada objek
(Triguna, 2007). Kata simbol berasal dari bahasa Yunani, yaitu simballo
(sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan, membandingkan,
bertemu, melempar menjadi satu, menyatukan. Secara leksikal kata simbol bererti
lambang (Poerwadarminta,1984 : 947). Imanuel Kant (dalam Triguna, 2000 : 29)
mendefinisikan simbol adalah perantara untuk menampilkan akal murni melalui
relasi dengan yang transendental. Menurut Kant, simbol berfungsi untuk (I)
menerapkan suatu pengertian objek pengalaman inderawi ; (2) untuk menerapkan
hokum refleksi atas pengalaman kepada objek lain.
Cassier membedakan pengertian antara tanda (sign) dan simbol (symbol),
tanda adalah bagian dari dunia fisik yang berfungsi sebagai operator dan
34
memiliki substansi sedangkan simbol merupakan bagian dari dunia makna
manusia yang berfungsi sebagai signator oleh karena itu simbol tidak memiliki
kenyataan fisik tetapi hanya memiliki nilai fungsional (Triguna, 2000).
Menurrut Cassier dan Sradley dalam bingkai kebudayaan tidak semua
tindakan manusia bernuansa simbol, hanya tindakan-tindakan tertentu lazimnya
disebut simbol dan tindakan simbol itu memberikan suatu kekhususan seakan
akan mempertebal dan mempererat sifat-sifat tindakan biasa (Triguna, 2000 : 4).
Dalam makna tertentu, simbol acap kali memiliki makna mendalam, yaitu suatu
konsep yang paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat. Simbol hanya
hidup selama simbol mengandung arti bagi kelompok manusia yang besar,
sebagai suatu yang mengandung milik bersama sehingga simbol menjadi simbol
sosial yang hidup dan pengaruhnya menghidupkan.
Teori ini akan dimanfaatkan untuk segala hal yang sifatnya simbol, untuk
menemukan makna simbolik, terkait dengan pelaksanaan “Upacara Ngaben
Ngelanus”.
2.3.3
Teori Fungsional Struktural
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti fungsi adalah
kegunaan suatu hal (Tim, 1995:282 ). Dalam bahasa latin, kata fungsi disebut
function yang artinya menjalankan, melaksanakan.Teori fungsional structural ini
menekankan pada keteraturan dan pengabaian konflik dan perubahan-perubahan
dalam masyarakat agama. Masyarakat agama merupakan suatu sistem sosisl yang
terdiri atas bagian–bagian yang satu sama lainnya saling berhubungan menyatu
35
dalam keseimbangan perubahan yang terjadi pada suatu bagian yang akan
membawa perubahan pada bagian yang lainnya. Dasar berfikirnya, setiap struktur
dalam sistem sosial memiliki fungsional terhadap yang lainnya.
Tokoh teori ini adalah Merton, yang menyatakan bahwa para penganut
teori ini harus memperhatikan aspek peranan sosial keagamaan, pola-pola
institusional keagamaan, proses sosial keagamaan, serta organisasi kelompok
keagamaan. Sebenarnya masih banyak aspek yang dapat dikaji, tetapi pusat
perhatian senantiasa pada fungsi dari suatu fakta terhadap fakta lainnya.
Menurutnya, fungsi adalah akibat-akibat yang diamati menuju adaptasi atau
penyesuaian dalam suatu sistem sosial (Triguna, 1997:18).
Pitana dan Gayatri (2005:19) menyatakan bahwa ada beberapa asumsi
pokok teori fungsional structural yaitu sebagai berikut :
1.
Masyarakat sebagai sistem sosial, terdiri dari bagian–bagian (subsistem)
yang interdependen. Masing-masing bagian mempunyai fungsi tertentu, yang
berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan .
2.
Setiap elemen atau subsistem harus dikaji dalam hubungan dengan fungsifungsi dan peranannya terhadap sistem, serta dilihat apakah subsistem
tersebut berfungsi atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh
perilaku suatu sistem. Jadi yang dilihat adalah fungsi real, bukan fungsi yang
seharusnya.
3.
Kalau suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya, maka sistem
tersebut akan stabil.
36
4.
Berfungsinya masing-masing bagian (subsistem) dan suatu sistem, akan
menyebabkan sistem ada dalam keadaan equilibrium. Masyarakat yang
equilibrium adalah masyarakat yang stabil dan normal karena semua faktor
yang saling bertentangan telah melakukan keseimbangan.
Pada pelaksanaan Upacara Ngaben Ngelanus terdapat pembahasan secara
struktural suatu pengorganisasian pelaksanaan Upacara Ngaben Ngelanus yang
sederhana akan tetapi tidak mengurangi fungsi dan maknanya. Pada pelaksanaan
“Upacara Ngaben Ngelanus” di Provinsi DKI Jakarta masing-masing subsistem
organisasi kemasyarakatan berperan aktif dan mengatur dirinya untuk dapat
berfartisifasi secara aktif sehingga upacara dapat dilaksanakan dengan baik dan
lancar.
37
2.4
Model Penelitian
WEDA
KARANGKA DASAR AGAMA
HINDU
TATTWA
SUSILA
UPACARA
NGABEN
NGELANUS
BENTUK
FUNGSI
MAKNA
MOKSARTAM JAGADHITA YA CA I TI DHARMA
38
Weda adalah kitab suci Umat Hindu. Ajaran agama Hindu meliputi tattwa,
susila dan Upacara. Upacara agama Hindu disebut panca yajña, yaitu Dewa
yajña, Bhuta yajña, Pitra yajña, Manusa yajña dan Resi yajña. Upacara Ngaben
Ngelanus termasuk upacara pitra yajña. Upacara pitra yajña berfungsi sebagai
pembebasan diri dari hutang terhadap para leluhur, juga sebagai penyucian arwah
orang yang telah meninggal agar arwahnya tidak dikutuk menjadi bhuta cuil,
yang mengotori dunia. Melalui pelaksanaan upacara pitra yajña maka alam
semesta akan tersucikan sehingga keadaannya menjadi damai.
39
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam membuat kajian ilmiah, selain berlandaskan kepada teori diperlukan
pula metode-metode tertentu sesuai dengan obyek yang diteliti. Metode adalah
suatu jalan yang dapat dipakai untuk mendekatkan kita kepada obyek ilmu
pengetahuan atau cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan (Surachmad,
1979:121).
Metode mempunyai peranan penting dalam megumpulkan dan megolah
data pada pelaksanaan penelitian. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
metode didefenisikan sebagai cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai suatu maksud (Poerwadarminta, 1991:149).
Metode adalah usaha menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan metodemetode ilmiah (Hadi, 1981:4).Untuk mengetahui suatu karya ilmiah hendaknya
mempergunakan perhitungan-perhitungan yang tepat, sehingga perlu dirumuskan
metode yang relevan dengan permasalahan, sehingga dapat mencapai tujuan yang
diinginkan dalam penelitian.
3.1
Lokasi Penelitian
Mengingat pelaksanaan upacara agama Hindu sangat ditentukan oleh
Desa (tempat), Kala (waktu) juga Patra (keadaan), dimana upacara agama
tersebut dilaksanakan maka penentuan Lokasi sangatlah diperlukan. Sehubungan
40
dengan hal tersebut, peneliti membatasi lokasi penelitian ini hanya di Provinsi
DKI Jakarta. Adapun maksud pembatasan lokus penelitian ini adalah agar hasil
yang diperoleh dapat bermanfaat semaksimal mungkin.
3.2
Jenis Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini bersumber pada peristiwa yang dilakukan oleh
masyarakat, jadi proses pendekatannya dilakukan secara deskriptif dan metode
yang digunakan dalam upaya pengumpulan data ditempuh pendekatan yang
bersifat kualitatif, artinya ukuran data yang dihasilkan tidak berwujud benda,
melainkan gejala atau nilai yang akan diukur secara kualitatif dan tidak secara
statistik. Hadjar dalam Kantriani ( 2008 : 41 ) menyatakan penelitian kualitatif
bertujuan nuntuk mendapat pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan
sosial dari perspektif partisipan, tetapi didapat setelah melakukan analisis
terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan penelitian
tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya
abstrak tentang kenyataan-kenyataan.
Selanjutnya pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan
struktural
kemasyarakatan.
Melalui
pendekatan
sosial
kemasyarakatan diharapkan dapat terfokos pada sejumlah konsep khususnya
sehingga dapat dipahami filosofinya.
41
3.3.
Penentuan Informan
Metode penentuan informan dalam penelitian ini adalah menggunakan
model purposive. Digunakan model purposive ini dalam menentukan informan,
karena informan dipilih oleh peneliti sendiri yang dipandang mampu memberikan
informasi berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Informan yang dipilih telah memenuhi syarat-syarat tertentu terutama
tingkat pengetahuan yang dimiliki dan yang tidak kalah pentingnya adalah
kejujuran
di
dalam
memberikan
keterangan
nantinya.
Sehingga
akan
mendapatkan informasi yang benar berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (
Kaelan, 2005: 181 )
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan tiga pendekatan,
yaitu (1) pendekatan posisional, (2) pendekatan reputasional, dan (3) pendekatan
pengambilan keputusan. Dalam pendekatan tersebut dapat ditentukan tokoh mana
yang merupakan ahli agama, tokoh agama dalam lembaga formal dan informal
pada lembaga adat, yang dianggap benar-benar memahami persoalan dan
permasalahan yang diangkat dalam satu penelitian.
Untuk menghindari adanya penyimpangan dalam menentukan informan
kunci, diperhatikan juga heterogenitas informan, seperti pendidikan, pengalaman
dan pemahaman terhadap persoalan yang sedang diteliti.
42
3.4.
Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu:
1. Data primer yaitu hasil observasi lapangan tentang pelaksanaan upacara
ngaben nglanus itu sendiri.
2. Data skunder adalah buku-buku yang merujuk pada pelaksanaan upacara
kematian.
3. Data penunjang yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
narasumber yang sudah ditentukan.
3.5
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan suatu usaha untuk mengumpulkan bahan-
bahan sebagai sumber tertulis, atau informasi yang dapat digunakan sebagai
pedoman dalam penulisan karya ilmiah. Dalam hal pengumpulan data ini
digunakan metode studi kepustakaan dan wawancara.
Secara sederhana perpustakaan dapat dirumuskan sebagai usaha yang
dengan teratur dan sistimatis, menyelenggarakan pengumpulan, perawatan dan
pengolahan bahan pustaka untuk disajikan dalam bentuk pelayanan yang bersifat
edukatif, informative dan rekreatif, kepada masyarakat (Surjono, 1979:5).
Adapun maksudnya adalah untuk mengumpulkan data yang diperoleh dari
berbagai sumber dan keterangan-keterangan yang merupakan berbagai pendapat
dan hasil penelitian serta pembahasan para sarjana yang ada hubungannya dengan
masalah yang diungkapkan.
43
3.5.1
Observasi
Metode observasi adalah suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan
mengadakan pengamatan dan pencatatan secara langsung (Burhan, 2003 : 26).
Menurut Koentjaraningrat (1997 : 139) “Pengamatan” merupakan metode yang
pertama digunakan dalam penelitian ilmiah, dan menuntut dipenuhinya syaratsyarat tertentu yang merupakan jaminan hasil pengamatan memang sesuai dengan
kenyataan yang menjadoi sasaran penelitian.
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro (1935:62) mengatakan observasi
adalah pengamalan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis mengenai
tenomena sosial dan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan.
Sedangkan menurut Bogdan dalam Moleong (2004:117) mendefinisikan
pengamatan berperanserta sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang
memakan waktu cukup lama antara subjek dan lingkungan subjek, dan selama itu
data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku
tanpa gangguan.
Jadi berdasarkan uraian tersebut metode observasi partisipatif atau
pengamatan berperanserta digunakan dalam penelitian ini pengamatan langsung
ke obyek penelitian untuk mengetahui keadaan daerah penelitian yang dikunjungi
termasuk informan dengan melakukan pengamatan serta meneliti hal-hal yang
penting.
44
3.5.2
Wawancara
Moleong ( 2004 : 135 ) menyebutkan, wawancara adalah percakapan
dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan itu.
Black dan Champion ( 2001 : 305 ) mengatakan, wawancara adalah
teknik penelitian yang paling sosioogis dari semua teknik-teknik penelitian sosial.
Ini karena bentuknya yang berasal dari interaksi verbal antara peneliti dengan
responden.
Teknik wawancara yang dipakai adalah wawancara mendalam (indept
interview), artinya wawancara dilakukan secara berkesinambungan kepada
sejumlah informan dengan harapan dapat mengorek informasi yang dibutuhkan
sehingga mampu menjawab segala persoalan yang mungkin timbul dalam
penelitian ini. Dengan cara tersebut diharapkan wawancara dapat berlangsung
dengan lancar. Hasil wawancara dicatat secara manual, lengkap dan utuh. Catatan
hasil penelitian dalam bentuk wawancara dipisahkan secara individu, sehingga
menghasilkan banyak catatan data lapangan yang banyaknya sesuai dengan
banyaknya jumlah informan.
3.5.3
Kepustakaan
Ali ( 2003 : 157 ) menyatakan, secara garis besar studi keperpustakaan
bersumber dari teori-teori dan konsep-konsep dari sumber bacaan umum seperti
buku-buku teks, enklopedi, monograf dan lain-lain. Generalisasi dapat ditarik
45
dari sumber bacaa khusus seperti, hasil-hasil penelitian terdahulu, jurnal, skripsi,
tesis, disertasi dan lain-lain.
Metode kepustakaan adalah suatu metode yang dilakukan melalui
penelitian kepustakaan guna mencari informasi dan teori-teori yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti (Bawa, 1986 : 28). Studi kepustakaan adalah suatu
metode pengumpulan data yang berguna untuk memahami lingkup materi dan
karangka teori guna mempermudah analisis.
Kepustakaan adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalanpeninggalan tertulis, terutama berupa arsip dan termasuk buku tentang pendapat,
teori yang berhubungan dengan masalah penelitian (Nawawi, 1983 : 133). Data
yang didapat berupa data primer berupa hasil observasi lapangan yang akan
dianalisa,
sekaligus
buku-buku
penunjangnya
yang
dibutuhkan
dalam
menyelesaikan penelitian ini. Terkait dengan penelitian ini kepustakaan diperoleh
dari Perpustakaan STAH DN Jakarta, Perpustakaan pribadi, Perpustakaan
Nasional dan lain-lainnya dalam bentuk lontar, buku, hasil penelitian, produk
media massa seperti surat kabar, majalah maupun hasil seminar dan lain-lain
yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti.
3.7
Analisis Data
Analisis data yaitu proses penyusunan data agar dapat menggolongkan
data yang menyangkut, bentuk, fungsi dan makna Ngaben Ngelanus di provinsi
DKI Jakarta.
46
Data sebagai bahan mentah harus diolah dengan tepat agar menperoleh
tujuan yang telah dirumuskan. Setelah data diperoleh dan dikumpulkan melalui
observasi, studi kepustakaan dan wawancara di lapangan dipandang cukup, maka
selanjutnya data diolah dan dianalisa melalui prosedur .
Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif kualitatif diperoleh dengan menganalisis terlebih dahulu
sebelum ditulis. Metode analisis kualitatif ini penulis mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya tentang ngaben ngelanus yang didapatkan dari buku-buku,
lontar-lontar dan informan yang penulis anggap menunjang dalam penulisan
karya ilmiah ini.
3.8
Penyajian Hasil
Mengingat pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
metode kualitatif, maka dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan secara eksploratif (menjelajah) karena bertujuan menggali ketentuanketentuan yang ada pada obyek penelitian.
Hamidi (2004:78), menyebutkan bahwa penyajian data pada dasarnya
terdiri dari hasil analisis data yang berupa cerita rinci dari para informan sesuai
dengan ungkapan atau pandangan mereka apa adanya (termasuk hasil observasi)
tanpa ada komentar, evaluasi dan interpretasi. Yang kedua berupa pembahasan
yaitu diskusi antara data dan temuan dengan teori-teori yang digunakan (kajian
teoretik atau data temuan).
47
Data yang sudah diolah, agar mudah dan dimengerti oleh orang lain atau
pengambilan keputusan, maka ditampilkan ke dalam bentuk-bentuk tertentu.
Penampilan data yang sudah diolah tersebut ke dalam bentuk-bentuk penyajian
data (Iqbal, 2002:93).
Berdasarkan uraian tersebut di atas penyajian data dilakukan dalam
bentuk deskriptif yaitu data diuraikan dalam kalimat-kalimat sehingga
membentuk suatu pengertian yang berhubungan dengan masalah penelitian.
48
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, I Nyoman Arjana. 2003. Ngaben Beya Tanem di Desa Tengkudak
Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Tesis Magister Program
Pascasarjana : Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Denpasar.
Ali, Sayuti, HM. 2003. Metodelogi Penelitian Agama Pendekatan Teori Dan
Praktek. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Bawa, Wayan. 1986. Ringkasan Metodelogi Penelitian. Singaraja : Bioma.
Dhavamony, M. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius.
Hamidi. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Malang : Universitas
Muhammadiyah.
Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodelogi Penelitian dan Aplikasinya.
Ghalia Indonesia.
Kantriani, Ni Ketut, 2008. ”Upacara Ngebo di Desa Adat Ababi, Kajian Fungsi,
Bentuk, Makna”. Tesis Magister Program Pascasarjana Institut Hindu
Negeri Dharma Negeri Denpasar.
Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka.
Mas, Putra. 2001. Upakara Yadnya. Denpasar.
Maswinara, I Wayan, 1997. Srimad Bhagawad Gita Dalam Bahasa Inggris dan
Indonesia. Surabaya : Paramita
Maswinara, I Wayan, 1999, ”Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha)”
Surabaya : Paramita
Moeleong, Lexy. J. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Nawawi, Hadari, 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah
Mada Universitas Press.
Netra, Anak Agung Gde, 1994. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Jakarta :
Departemen Agama RI.
Ngurah, Igusti Made, dkk, 2005. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk
Perguruan Tinggi. Surabaya : Paramita.
49
Ningrat, Jero Ayu, 2006. ”Banten Panjang Ilang Dalam Upacara Ngaben di
Mataram Kajian Fungsi, Bentuk, Makna”. Tesis Magiter Program
Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Pandit, Bansi. 2006., Pemikiran Hindu (Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan
Filsafat). Surabaya : Paramita.
Pudja, Gede dan Sudharta, Tjokorda Rai, 2002. Manawa Dharmasastra, Jakarta :
Pelita Nursatama Lestari.
Poerwadarminta, 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Rasmini, Sang Ayu Made, 2008. ”Upacara Pitra Yajnya Recadana Pada Warga
Bhakti Yoga Desa Bestala Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng,
Tinjauan Bentuk, Fungsi, Dan Makna”. Tesis Magister Program
Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Relin D.E, 2005. “Teologi Hindu Dalam Ritual Kematian Masyarakat Jawa,
Kajian Fungsi, Bentuk, Makna” Tesis Magiter Program Pascasarjana
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Salam, Burhanuddin, 1996. ”Filsafat Pancasila” Bandung: Rineka Cipta.
Suastini, Ni Nyoman, 2001. ”Upacara Ngaben Matempung di Desa Gadungan,
Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. Analisis Fungsi,
Bentuk, Makna”. Tesis Magiter Program Pascasarjana Institut Hindu
Dharma Negeri Denpasar.
Sura, dkk, 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar : Pemerintah Propinsi
Bali.
Surachmand, Winarno, 1979. Paper, Skripsi, Tesis, Deskripsi. Bandung : Tarsito.
Suryono, H. Yusuf, Abduh, 2008. Reformasoi Teologi Mohammad Abduh vis â
vis Muhammad Iqbal. Semarang : Rasail Media Group.
Soemitro, H.R. 1985. Metodelogi Penelitian Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia
Werdinaya, K, 2007. ”Upacara Beya Tanem pada Dua Tradisi Kuno Desa
Pakraman Puakan dan Pakusebe, di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang,
Kabupaten Gianyar”. Tesis Magiter Program Pascasarjana Institut Hindu
Dharma Negeri Denpasar.
Wiana, I Ketut, 1998. Berbhakti Pada Leluhur, Upacara Pitra Yadnya dan
Upacara Nuntun Dewa Hyang. Paramita : Surabaya.
50
Wiana, I Ketut, 2001. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita.
Tim Penyusun, 1989/1990. Catur Yadnya. Denpasar : Pemda Tingkat I Bali.
Titib, I Made, 1998. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Umat Hindu. Surabaya :
Paramita.
Titib, I Made, 2006. Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Sorga, Neraka
Moksa Dalam Swargarohana Parwa, Perspektif Kajian Budaya.
Denpasar : Paramita Surabaya.
Tim Penterjemah, 1997. Teks Alih Aksara dan Alih Bahasa Lontar Yama Purwwa
Tattwa, Yama Purana Tattwa, Yama Purwana Tattwa, Yama Tattwa.
Denpasar : Kantor Dokumentasi Budaya Bali, Propinsi Daerah Tingkat I
Bali.
Tim Penyusun, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Triguna, IB Yudha, 2000, “Teori tentang Simbol” Widya Dharma.
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya, 2004. Mana Filosofis Upacara dan
Upakara, Surabaya : Paramita.
51
Tempat dan Jadual Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini bertempat di Provinsi DKI Jakarta.
2. Waktu Penelitian
Proses penelitian akan penulis laksanakan dan harapan dapat selesai dalam waktu
6 bulan, mulai dari usulan penelitian sampai penyelesaian tesis.
Jadual Penelitian sebagai berikut:
No
Kegiatan
1 Tahap I : Penyusunan Usulan Tesis
a. Menyusun usulan penelitian
b. Sidang usulan penelitian
c. Perbaikan usulan penelitian
2 Tahap II : Penulisan Tesis
a. Menyusun pertanyaan
b. Observasi
c. Analisis dan pengelolaan data
d. Penulisan laporan teisi
e. Bimbingan tesia
3 Tahap III : Sidang Tesis
a. Bimbingan tesis
b. Sidang tesis
c. Perbaikan tesis
BULAN (tahun 2012)
Juli Agst Sept Okt Nop Des
Download