KATOLISISME KATOLISISME Teologi bagi Kaum Awam Thomas P

advertisement
KATOLISISME
KATOLISISME
Teologi bagi Kaum Awam
Thomas P. Rausch
PENERBIT KANISIUS
Katolisisme
015034
© Kanisius 2001
PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281
Kotak Pos 1125/Yk – Yogyakarta 55011
Telepon (0274) 588783, 565996, Fax (0274) 563349, 520549
E-Mail : [email protected]
[email protected]
Website :
www.kanisius.co.id
Diterjemahkan dari buku CATHOLICISM, At The Dawn of The Third Millennium, Thomas P.
Rausch, The Liturgical Press, St. John’s
Abbey, Collegeville, Minnesota 56321, 1996, oleh
Agus M. Hardjana.
Cetakan ke-
5
4
3
2
1
Tahun
05
04
03
02
01
Nihil Obstat
:
F. Hartono, SJ
Yogyakarta, 7 Maret 2001
Imprimatur :
J. Pujasumarta, Pr. Vikjen
Semarang, 10 Maret 2001
ISBN 979-672-681-5
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk
fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta
Kata Pengantar
Buku ini dirancang sebagai buku antara katekismus bagi orang dewasa dan buku teologi.
Buku ini disusun berdasarkan dua pertanyaan: apakah Katolisisme itu dan ke mana Gereja
mengarah pada ambang abad ke-21, milenium ketiga? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak sama,
namun erat berkaitan.
Katolisisme
Secara umum istilah ”Katolisisme” digunakan untuk menyebut pengalaman Kristianitas
yang dijalani bersama oleh orang-orang Kristiani dalam kesatuan dengan Gereja Roma. Secara
populer ”Katolisisme” berarti komunitas umat beriman, Gereja historis yang kelihatan, dan tradisi yang hidup, yang seluruh akarnya berawal dari Gereja para Rasul. Dalam arti lebih luas,
”Katolisisme” kadang-kadang dimengerti mencakup Gereja-Gereja lain seperti Gereja Ortodoks
dan Gereja-Gereja Anglikan, yang mempunyai tradisi amat dekat dengan tradisi Katolik. Tanpa
mengingkari bahwa Gereja-Gereja Ortodoks dan Gereja-Gereja Anglikan memiliki tradisi yang
serupa dengan tradisi Katolik, dalam buku ini pembahasan dipusatkan pada ”Katolisisme”
dalam arti populer, yang berkaitan dengan Gereja yang disebut ”Katolik”.
Kata sifat ”katolik” berasal dari kata Yunani kath’ holou, yang berarti ”menyangkut
keseluruhan”. Kata itu diterapkan pada Gereja dalam arti ”seluruh” atau ”universal” oleh
Ignasius dari Antiokhia sekitar
tahun 115. Konsili Konstantinopel I (381) menambahkan
kata itu pada syahadat dalam rumusannya tentang Gereja sebagai ”satu, kudus, katolik, dan
apostolik.” Sesudah Kristianitas terbagi dua antara Kristianitas Barat dan Timur pada tahun
1054, Gereja-Gereja Timur mulai menyebut diri sebagai Gereja ”Ortodoks”, sementara Gereja
Barat tetap dikenal sebagai ”Gereja Katolik”. Sejak zaman reformasi pada abad ke-16 menjadi
semakin umum bahwa pada sebutan ”Gereja Katolik” ditambah dengan kata ”Roma”. Akan
tetapi, Gereja itu sendiri terus menyebut diri dengan nama ”Gereja Katolik” saja dalam dokumen-dokumen resminya.
Lalu apa arti ”Katolisisme” bagi mereka yang menjadi anggota Gereja Katolik sendiri? Bagi
mereka, kata ”Katolisisme” pertama-tama berarti cara mengungkapkan iman Kristiani yang
sifatnya khas eklesial. Gereja bagi orang Katolik jauh lebih dari sekadar lembaga religius yang
kelihatan. Kata ”Katolisisme” mempunyai dimensi sakramental yang amat mistis, yang bagi dan
melalui para anggotanya menjadi perantara hidup Ilahi yang penuh misteri. Sekurangkurangnya sejak abad ke-2 dan seterusnya, ciri perantaraan ini dikenal, sering digambarkan
sebagai ibu yang melahirkan manusia melalui baptis, mengajar mereka melalui sabda,
membawa mereka hidup dalam Kristus yang lebih dalam melalui sakramen-sakramen.
”Katolisisme” juga mempunyai arti universalitas atau katolisitas Gereja. Bila orang Katolik
menyebut ”Gereja”, pada umumnya ia berpikir tentang seluruh Gereja. Gereja jauh lebih besar
daripada umat lokal atau penjumlahan Gereja-Gereja setempat. Ecclesia catholica berarti baik
kepenuhan Gereja maupun kesatuan Gereja-Gereja, karena Gereja yang satu itu ada dalam
banyak Gereja. Paus sebagai Uskup Roma mengepalai kesatuan Gereja, dengan
melambangkan universalitas dan katolisitasnya.
Katolisitas Gereja bukan hanya menyangkut segi ruang atau geografi; ”katolisitas”
mencakup keanggotaan dalam Gereja. ”Katolik” berarti ”di sini setiap orang diterima dengan
baik”. Karena pengutusannya memaklumkan universalitas keselamatan dalam Yesus, Gereja
harus memeluk dalam haribaannya segala bangsa, kelas, ras, dan budaya. ”Katolisitas” berarti
bahwa Gereja merangkum dalam dirinya segala macam manusia – orang kudus dan orang
berdosa, kaum kaya dan miskin, orang dewasa dan anak-anak, bahkan bayi. Gereja Katolik
menjunjung tinggi keanekaragaman yang kaya ini. Gereja menampung dalam persekutuannya
orang-orang yang suka berperang dan orang-orang yang memperjuangkan perdamaian, para
teolog pembebasan dan para anggota Opus Dei, para Pekerja Katolik yang anarkis dan Kesatuan Katolik untuk Iman, kaum karismatik, kaum feminis, kaum tradisionalis, orang-orang
yang hidup sendiri, orang-orang yang menikah, para rahib dan para rubiah, para pertapa, para
imam, para penyembuh dan filsuf, kaum mistik, dan kaum aktivis. Ajaran tentang persekutuan
para kudus memperluas persekutuan ini dan menjangkau semua orang yang sudah meninggal
dalam Tuhan, para kudus – yang dikanonisasi atau tidak – orang-orang suci dalam Kitab Suci
Yahudi, dan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal namun belum masuk ke dalam kepenuhan
hidup abadi.
Daftar hal-hal yang oleh orang-orang Katolik diterima begitu saja sebagai ciri-ciri
Katolisisme, meski tidak selalu khas baginya, meliputi: orang Katolik yang memiliki rasa
kekhasan historis dari Gereja mereka, pelayanan hierarkis dan kewibawaan mengajarnya, dan
penghormatan pada tradisinya. Iman Katolik bercirikan teologi inkarnasi, sakramentalitas, tradisi
liturgis, berpusat pada Ekaristi, penghormatan kepada Maria dan penghormatan pada orang
kudus, tradisi spiritualitas yang kaya, mistisisme, dan doa kontemplatif. Katolisisme mencakup
hidup monastik, tarekat-tarekat religius, penghargaan atas nilai religius dalam seni, rasa
mendalam tentang saling melengkapinya iman dan akal, pemahaman bersama baik tentang
dosa dan penebusan, dan dengan demikian pentingnya komunitas, sistem persekolahan dan
pelayanan kesehatan yang besar, ajaran sosial yang didasarkan atas martabat pribadi manusia,
keterlibatan pada kegiatan misioner, dan tentu saja jabatan Paus. Dalam buku ini unsur-unsur
Katolisisme itu akan dibahas.
Setiap studi tentang Katolisisme mana pun, pertama, haruslah dimulai dengan menyajikan
pandangan yang menyeluruh tentang iman dan ajaran Katolik. Tugas teologis kami yang
sebenarnya adalah menunjukkan bagaimana iman Gereja muncul dari Kitab Suci dan sejarah
Kristiani – yaitu, dari kehidupan umat Allah yang kudus – dan diungkapkan dalam lambang dan
kisah, dalam ritual dan sakramen, dan pada akhirnya dalam bahasa teologis dan pernyataanpernyataan ajaran. Teologi yang baik membantu proses perkembangan ini menjadi jelas.
Teologi yang baik juga harus mempunyai peranan penting untuk menyelidiki tradisi,
menjelaskan bahasa religiusnya, menafsirkan kembali ajaran-ajaran yang telah kehilangan
kekuatan untuk disajikan, dan menguji pernyataan-pernyataan imannya dari sudut pandang
bidang ilmu lain dan keseluruhan tradisi Kristiani.
Kedua, untuk mengerti Katolisisme sezaman, kita perlu mengetahui kekuatan-kekuatan dan
gerakan-gerakan yang telah ikut membentuknya dalam abad ke-20. Katolisisme bukan hanya
tradisi historis; Katolisisme adalah tradisi yang hidup, yang terus berkembang dan tumbuh,
bahkan berubah. Khususnya kita perlu memperhitungkan pengaruh besar Konsili Vatikan II
dalam membentuk Katolisisme. Menurut John O’Malley, ahli sejarah Gereja, ”tak pernah ada
dalam sejarah Katolisisme sebelumnya sedemikian banyak perubahan dan sedemikian
mendadak yang telah diundangkan dan dilaksanakan yang secara langsung mengenai
kehidupan umat beriman, dan tak pernah ada sebelumnya penyesuaian pandangan yang
sedemikian mendasar yang dituntut dari mereka.”1
O’Malley membandingkan Konsili Vatikan II dengan dua gerakan besar yang
mendatangkan perubahan dalam sejarah Gereja, yaitu Reformasi Gregorius pada abad ke-9
dan Reformasi Luther pada abad ke-16. Reformasi Gregorius, dalam perjuangannya melawan
penyalahgunaan penjualan jabatan-jabatan Gereja dan pengangkatan uskup-uskup, merupakan
penolakan terhadap sistem feodal. Reformasi itu memberi kepada Gereja kemandirian besar
dalam tata urusan duniawi dan mendatangkan pengembangan kepausan yang kuat yang
memberi ciri pada Gereja Katolik dalam milenium kedua. Reformasi Luther mendatangkan
perubahan paradigma teologis yang mengakibatkan perpecahan-perpecahan dalam Gereja
Barat sampai dewasa ini.
Diharapkan, Konsili Vatikan II, melalui pemeriksaan diri dan pembaruan yang
diprakarsainya, pada suatu saat akan dilihat sebagai langkah menuju ke rekonsiliasi dan
persiapan Gereja menyongsong milenium ketiga. Akan tetapi, pada waktu komunitas iman
berusaha membaca ”tanda-tanda zaman” (GS 4) dan menegaskan kehadiran Allah yang penuh
misteri berpangkal pada tantangan-tantangan baru dan keadaan-keadaan yang telah berubah,
ada masalah-masalah serius yang menghadangnya. Dengan berbagai cara Gereja terbagi-bagi,
dan ada banyak masalah yang jika tidak ditangani dengan bijak, dapat mendatangkan kerugian
yang luar biasa besarnya. Oleh karena itu, kita juga perlu melihat masalah-masalah yang
dihadapi Gereja dewasa ini dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang Katolik
pada saat ini. Untuk itu, dalam seri ini kita akan mulai uraian dengan Konsili Vatikan II dan
mengakhiri dengan hal-hal yang dapat dianggap merupakan agenda Konsili yang belum
selesai.
Di sini, kita juga perlu menyampaikan sesuatu tentang budaya Katolisisme. Seperti budayabudaya lain, budaya Katolisisme merupakan lingkungan yang dibentuk bersama, dunia bentukbentuk lambang yang mengandung dan meneruskan makna dan nilai. Budaya mengubah dunia
alamiah dan memungkinkan kita berhubungan satu sama lain secara manusiawi. Budaya
Katolisisme mengubah budaya manusiawi kita, dengan menghubungkan kita dengan Allah dan
kehadiran-Nya di dunia, terutama dalam komunitas manusia. Sebagai iman sakramental,
Katolisisme ditampilkan baik oleh budaya yang diciptakannya – masa-masa liturgi, ruang-ruang
kudus, lambang-lambang sakramental, pilihan-pilihan panggilan hidup, dan komunitas-komunitas yang beraneka ragam – maupun oleh teologi-teologi yang mengungkapkannya. Dengan
demikian, kita harus berbicara tentang budaya Katolisisme, pandangannya tentang dunia, caracaranya mengalami yang kudus, pandangan-pandangan yang beraneka ragam tentang hidup
Kristiani, perasaannya terhadap upacara keagamaan, cara-cara doanya, dan spiritualitasspiritualitas yang ber-beda.
Menguraikan budaya ini mungkin merupakan tantangan yang nyata dewasa ini. Teologi
selalu dapat ditemukan dalam buku, perpustakaan, dan diktat-diktat kuliah. Akan tetapi budaya
Katolisisme merupakan perwujudan dari cara hidupnya. Budaya itu tidak sekadar menyangkut
budi tetapi hati. Dewasa ini, budaya itu ada dalam bahaya untuk lenyap. Dalam tahun-tahun
sesudah Konsili Vatikan II, kebanyakan orang Katolik terhanyut dalam budaya umum
masyarakat yang beretos sekular dan tak banyak memberi ruang untuk yang kudus. Banyak
tradisi devosional hilang, dan bersama hilangnya tradisi-tradisi itu, hilang juga Katolisisme
kerakyatan. Di banyak lembaga pendidikan Katolik, pendidikan agama terbatas pada pelajaranpelajaran agama. Sementara anak-anak Katolik yang bersekolah atau berkuliah di lembagalembaga non-Katolik tidak selalu mendapat pelayanan pendidikan dalam agama mereka.
Pendidikan lanjut kebanyakan orang Katolik terbatas pada khotbah dalam Ibadat hari Minggu.
Banyak orang Katolik tidak lagi menjalankan agama dan iman mereka.
Bersamaan dengan itu, banyak orang Katolik mau mempelajari iman mereka secara lebih
mendalam. Di satu pihak, mereka malu lantaran tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan oleh orang lain tentang ajaran iman mereka, dan di pihak lain, mereka mau
mewariskan sesuatu kepada anak-anak mereka. Paroki-paroki yang menyelenggarakan
program pendidikan agama tingkat lanjut, semacam kursus teologi bagi kaum awam,
mendapatkan banyak peserta. Perayaan Ekaristi hari Minggu di lembaga-lembaga umum dan
non-Katolik di kota-kota besar dihadiri banyak orang. Tidak sedikit orang Katolik bingung
tentang iman mereka dan apa yang harus mereka percayai. Mereka terombang-ambing di
antara orang-orang Katolik ”konservatif” dan ”progresif” atau di antara ajaran resmi Gereja dan
pendapat-pendapat umum, terutama yang dilontarkan lewat media. Mereka tidak merasa
nyaman terhadap kedua belah pihak. Sedang orang-orang Katolik lainnya berusaha
menemukan jalan untuk menghubungkan apa yang telah mereka pelajari dan diajarkan kepada
mereka dengan ajaran-ajaran Gereja yang baru.
Diharapkan, buku ini dapat membantu menyediakan hubungan-hubungan itu. Buku ini
dimaksudkan bagi orang Katolik yang sudah akrab dengan Katolisisme, tetapi mau menggali
lebih dalam lagi dalam tingkat yang lebih matang. Di antara mereka mungkin adalah orangorang Katolik muda yang tidak mendapat kesempatan studi teologi; mungkin orang Katolik yang
mengalami pertobatan pada umur dewasa yang bertanya-tanya bagaimana mereka dapat
memahami iman mereka lebih baik dan dapat menjelaskan kepada orang lain; mungkin orang
yang hanya tertarik pada apa yang diimani oleh orang Katolik dan mengapa orang Katolik hidup
dan berperilaku seperti itu. Untuk itu dengan sengaja buku ini disusun tak bersifat teknik,
melainkan bersifat gabungan antara penyajian secara setia tradisi dan refleksi dan penafsiran
teologis tentang di mana sekarang Gereja berada dan ke mana akan bergerak.
Bapa Suci atas mandat Sinode Luar Biasa Para Uskup pada tahun 1985 telah menerbitkan
Katekismus Gereja Katolik. Namun buku ini tidak disusun berdasarkan Katekismus itu. Buku ini
bukan uraian resmi tentang iman Katolik, melainkan penyajian mengenai iman Katolik dalam
konteks sezaman. Dengan demikian, sifatnya lebih historis, dan dengan demikian interpretatif.
Buku ini membahas banyak topik yang tidak disinggung dalam Katekismus. Dalam penyusunan
buku ini diusahakan agar catatan-catatan dibuat sesedikit mungkin. Dalam seluruh uraian,
bahasa dibuat lancar dan kutipan-kutipan dimasukkan ke dalam teks. Namun demikian, ini tidak
selalu mungkin dan teks-teks kutipan terpaksa disertakan. Untuk ini para pembaca dimohon
memakluminya.
Saya berterima kasih kepada Michael Glazier yang memberi saran kepada saya untuk
menulis buku ini. Kepada Bill Cain, rekan Yesuit dan sahabat di Loyola Marymount, yang
beberapa kali menekankan kepada saya tentang kebutuhan terbitnya buku
semacam ini. Kebanyakan buku ini telah ditulis di Institute For Ecumenical and Intercultural
Research di Collegeville pada musim gugur tahun 1994. Minat dan dukungan semua anggota
Institute itu, baik rekan maupun staf, telah membuat saya senang selama saya tinggal dan
bekerja di sana. Pada akhirnya, saya mau mengucapkan terima kasih kepada Elizabeth
Montgomery atas kerja pengetikannya dalam mempersiapkan penerbitan buku ini.
Daftar Isi
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………
5
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………… 13
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………………………………………… 17
I. GEREJA DAN KONSILI…………………………………………………………………… 19
1.
2.
3.
4.
Katolisisme Pra–Vatikan II ………………………………………………………
Arus-Arus Pembaruan…………………………………………………………………
Konsili Vatikan II: 1962-1965 …………………………………………………
Kesimpulan………………………………………………………………………………………
19
25
31
42
II. IMAN DAN JEMAAT YANG PERCAYA…………………………………… 45
1.
2.
3.
4.
Hakikat Iman …………………………………………………………………………………
Umat Allah ………………………………………………………………………………………
Yesus dan Pemerintahan Allah………………………………………………
Kesimpulan………………………………………………………………………………………
45
55
64
76
III. GEREJA YANG KELIHATAN………………………………………………………… 79
1. Gereja dan Konsili ……………………………………………………………………… 80
2. Jemaat Para Murid……………………………………………………………………… 81
3. Pelayanan Resmi…………………………………………………………………………… 86
4. Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik…………………………………… 99
5. Kesimpulan……………………………………………………………………………………… 111
IV. TRADISI YANG HIDUP …………………………………………………………………… 114
1.
2.
3.
4.
Wahyu dan Tradisi ………………………………………………………………………
Ungkapan-Ungkapan Tradisi …………………………………………………
Tradisi Katolik ………………………………………………………………………………
Kesimpulan………………………………………………………………………………………
116
122
130
136
V. SAKRAMEN-SAKRAMEN DAN INISIASI KRISTIANI……… 139
1.
2.
3.
4.
Prinsip Sakramental ……………………………………………………………………
Sakramen Inisiasi…………………………………………………………………………
Upacara Inisiasi Kristiani …………………………………………………………
Kesimpulan………………………………………………………………………………………
140
147
161
166
VI. HIDUP KRISTIANI DAN PANGGILAN
MENJADI MURID ……………………………………………………………………………… 168
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Panggilan Menjadi Murid …………………………………………………………
Perkawinan dalam Kristus ………………………………………………………
Imamat ………………………………………………………………………………………………
Komunitas Kristiani dan Hidup Religius …………………………
Hidup Sendiri, Tidak Menikah ……………………………………………
Kesimpulan………………………………………………………………………………………
169
172
177
182
195
197
VII. DOSA, PENGAMPUNAN, DAN PENYEMBUHAN …………… 201
1.
2.
3.
4.
5.
Dosa dalam Tradisi Kitab Suci……………………………………………… 203
Ajaran Tentang Dosa ………………………………………………………………… 209
Pengampunan dan Pendamaian……………………………………………219
Penyembuhan dan Pengurapan Orang Sakit………………… 226
Kesimpulan……………………………………………………………………………………… 228
VIII. MORALITAS SEKSUAL DAN KEADILAN SOSIAL…………… 232
1.
2.
3.
4.
Moralitas Seksual…………………………………………………………………………
Keadilan Sosial………………………………………………………………………………
Hati Nurani dan Otoritas …………………………………………………………
Kesimpulan………………………………………………………………………………………
IX. DOA DAN SPIRITUALITAS
1.
2.
3.
4.
5.
…………………………………………………………
233
248
260
264
268
Jenis-Jenis Doa……………………………………………………………………………… 271
Spiritualitas……………………………………………………………………………………… 278
Spiritualitas-Spiritualitas Dewasa Ini…………………………………… 285
Mariologi ………………………………………………………………………………………… 294
Kesimpulan……………………………………………………………………………………… 301
X. KEPENUHAN HARAPAN KRISTIANI ……………………………………… 304
1. Keselamatan dan Eskatologi……………………………………………………304
2.
3.
4.
5.
Eskatologi Kristiani……………………………………………………………………… 309
Persekutuan Orang Kudus……………………………………………………… 320
Keselamatan di Luar Gereja…………………………………………………… 325
Kesimpulan……………………………………………………………………………………… 327
XI. AGENDA YANG BELUM SELESAI…………………………………………… 330
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pembaruan Liturgi ……………………………………………………………………… 332
Masalah Otoritas…………………………………………………………………………… 337
Wanita dalam Gereja ………………………………………………………………… 342
Ekumenisme…………………………………………………………………………………… 352
Dialog Antaragama……………………………………………………………………… 361
Kesimpulan……………………………………………………………………………………… 364
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………… 368
DAFTAR SUMBER GAMBAR/FOTO
……………………………………………………
370
Daftar Singkatan
Dokumen-Dokumen Konsili Vatikan II
DH Dignitatis Humanae
: Pernyataan tentang Kebebasan
Beragama.
DV Dei Verbum
: Konstitusi Dogmatis tentang
Wahyu Ilahi.
GS Gaudium et Spes
: Konstitusi Pastoral tentang Gereja
dalam Dunia Modern.
LG Lumen Gentium
: Konstitusi Dogmatis tentang Gereja.
NA Nostra Aetate
: Pernyataan tentang Hubungan
Gereja dengan Agama-Agama
Bukan Kristen.
OE Orientalium Ecclesiarum : Dekrit tentang Gereja-Gereja Timur Katolik.
PC Perfectae Caritatis
: Dekrit tentang Pembaruan dan
Penyesuaian Hidup Religius.
PO Presbyterorum Ordinis : Dekrit tentang Pelayanan dan
Kehidupan para Imam.
SL Sacrosanctum Concilium : Konstitusi tentang Liturgi Suci.
UR Unitatis Redintegratio
: Dekrit tentang Ekumenisme.
Lain-Lain
BEM Baptism, Eucharist and Ministry: Baptis, Ekaristi, dan Pelayanan
DS Denzinger – Schönmetzer – Enchiridion Symbolorum – edisi ke-33 Freiburg: Herder, 1965
PL Patrilogia Latina
WCC World Council of Churches: Dewan Gereja-Gereja Dunia
I
Gereja dan Konsili
Pada waktu Paus Pius XII wafat pada tahun 1958, bagi para pengamat lepas, Gereja ada
dalam keadaan bagus. Pada paruh abad ke-20 Gereja dipimpin oleh sejumlah Paus yang kuat,
terutama Paus Pius XII sendiri, yang telah memimpin Gereja selama Perang Dunia II dan
memusatkan energinya melawan ancaman komunisme pasca-Perang Dunia II. Gereja terus
berkembang baik dalam jumlah maupun pengaruh. Seminari-seminari, biara-biara, dan
pertapaan-pertapaan penuh penghuni sampai berkelebihan. Rumah-rumah religius didirikan di
mana-mana di seluruh dunia. Teologi Katolik, jika tidak amat kreatif, amat ortodoks. Hampir
tidak ada perbedaan pendapat, hampir tidak ada perselisihan. Orang-orang Katolik mengetahui
siapa diri mereka. Mereka bangga akan Gereja dan memiliki identitas yang jelas tentang diri
mereka.
1. Katolisisme Pra-Vatikan II
Akan tetapi, ada sisi gelap dari gambaran di atas. Gereja Katolik pada pertengahan abad
ke-20 melihat dirinya sebagai Gereja yang ada dalam keadaan terkepung bahaya. Karena
kecurigaan terhadap dunia modern, Gereja mengambil sikap defensif. Keilmuan Katolik lumpuh
oleh suasana curiga dan tidak percaya, yang mengikuti krisis Modernisme pada awal abad ke20. Buku-buku pengarang Katolik jarang diterbitkan tanpa sensor para penguasa Gereja. Para
pengarang harus mendapatkan imprimatur (izin boleh terbit) dan nihil obstat (pernyataan yang
menyebutkan isi buku tak berlawanan dengan ajaran Gereja) dari para petugas sensor resmi
Gereja. Model satu-satunya yang dapat diterima untuk teologi adalah buku-buku pegangan dogmatik dari aliran Roma, buku-buku teologi yang bersandar pada neoskolastisisme yang abstrak
dan ahistoris. Daripada mempersoalkan permasalahan-permasalahan baru dan menyelidiki
sumber-sumber biblis dan historis, buku teks teologi itu menyajikan pendirian-pendirian
tradisional dengan mengutip bukti-bukti biblis dan nomor-nomor Enchiridion Symbolorum oleh
Denzinger, yang merupakan ringkasan ajaran-ajaran Paus dan Konsili-Konsili.
Pada waktu Pius XII wafat menjelang akhir tahun 1950-an, sejumlah sarjana Katolik seperti
Karl Rahner, Yves Congar, Henri de Lubac, Marie-Dominique Chenu, Teilhard de Chardin, dan
John Courtney Murray dibungkam, dilarang menulis tentang topik-topik tertentu. Jika tidak taat,
mereka dikenai sanksi disiplin. Ancaman bahwa buku-buku mereka ditaruh pada rak buku-buku
yang dilarang membayang di atas kepala mereka. Profesor-profesor seminari dituntut
mengucapkan sumpah melawan Modernisme setiap tahun.
Gereja Katolik secara resmi tidak berminat pada ekumenisme, gerakan yang ditujukan
untuk memulihkan kesatuan Gereja-Gereja yang terpecah-pecah. Gerakan ekumenis modern
ini berasal dari pertemuan umat Kristiani Protestan dalam World Missionary Conference
(Konferensi Pekabar Injil Dunia) di Edinburgh, Skotlandia, pada tahun 1910. Dari pertemuan itu,
lahirlah Faith and Order Conference (Konferensi Iman dan Tata Dunia), yang untuk pertama kali
berkumpul di Lausanne, Swiss, pada tahun 1928. Tidak lama kemudian, Paus Pius XII
mengeluarkan ensiklik Mortalium Animos, yang melarang orang-orang Katolik ikut mengambil
bagian dalam pertemuan-pertemuan ekumenis yang diadakan oleh orang-orang non-Katolik.
Pendekatan Katolik pada kesatuan Kristiani cukup jelas: ”Hanya ada satu jalan yang dapat
memupuk kesatuan umat Kristiani, yaitu dengan mendorong kembalinya mereka yang sudah
memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja Kristus yang benar.”2 Pendekatan ”kesatuan
dengan Gereja yang benar” ini menjadi ciri pemikiran Katolik selama paruh pertama abad ke20. Orang-orang Katolik memandang orang-orang Kristiani di Gereja-Gereja lain sebagai orangorang baik, tetapi tersesat. Meskipun pada tahun 1949 Tahta Suci mengeluarkan surat yang
memperbolehkan orang Katolik ikut serta dalam gerakan ekumenis dengan syarat yang amat
ketat, dalam tahun-tahun sebelum Vatikan II kebanyakan orang Katolik diingatkan untuk tidak
menghadiri ibadat Protestan atau bahkan memperbolehkan anak pergi menghadiri acara-acara
pembinaan yang diadakan oleh umat Protestan.
Teologi kaum awam yang asli baru mulai muncul. Gerakan awam yang dikenal dengan
sebutan ”Catholic Action” (”Aksi Katolik”) berawal di Italia pada tahun 1930. Terutama melalui
ungkapan Belgia dan Prancisnya, gerakan itu memberikan energi baru kepada Gereja Amerika
Latin, dengan meletakkan dasar teologi pembebasan yang dikenal pada tahun 1960-an. Akan
tetapi, Gereja resmi agaknya tidak dapat mengakui bahwa kaum awam juga ikut memiliki
bagian dalam perutusan Gereja. Dalam dokumen-dokumen Gereja, ”kerasulan awam”
dirumuskan sebagai ”kerja sama kaum awam dalam kerasulan hierarki.”3 Pelayanan merupakan
hak istimewa para klerus.
Secara liturgis, meski gerakan liturgi sudah berkembang di dalam Gereja sejak akhir abad
ke-19, pada waktu wafatnya Pius XII, Roma berusaha melunakkan praktek ”Misa Dialog”.
Dalam ”Misa Dialog”, umat berdoa dan menanggapi pemimpin ibadat dalam bahasa Inggris,
sementara imam di altar berdoa dalam bahasa Latin. Gereja agaknya lebih memusatkan
perhatian ke masa lampau daripada ke masa depan. Bukti-bukti untuk itu tak terbilang
jumlahnya.
Bagaimana Gereja Katolik dapat menjadi sedemikian mandeg? Dalam arti yang
sebenarnya, Gereja belum pernah sembuh betul-betul dari keterkejutan yang diakibatkan oleh
Reformasi pada abad ke-16. Sebagai akibat Reformasi, dalam waktu sekitar 40 tahun, separo
Eropa telah menjadi Protestan. Namun, ada juga sebab-sebab lain yang membuat Gereja tidak
mempercayai dunia modern. Revolusi ilmiah dan rasionalisme Pencerahan pada abad ke-17
dan ke-18 dengan serangan-serangan terhadap ajaran, kewibawaan, dan ritual Gereja membuat Gereja bersikap defensif. Kedua gerakan itu mengandaikan akal manusia yang otonom
yang tidak memberi kemungkinan bagi wahyu atau yang transenden. Lalu, terjadilah revolusirevolusi pada akhir abad ke-18 dan abad ke-19, termasuk revolusi Prancis. Revolusi itu berusaha mengubah pemerintahan Gereja dengan memaksa klerus untuk menaati undang-undang
negara yang melepaskan otoritas yuridis atas Gereja di Prancis dari Paus. Akhirnya, revolusi itu
berusaha membatasi praktek iman itu sendiri.
Pada tahun 1863, Pius IX, yang dianggap cukup liberal pada awal masa kepausannya,
menerbitkan Syllabus Errorum (Daftar Kesalahan-Kesalahan), daftar 80 konsep dan gerakan
yang dianggapnya khas menjadi ciri peradaban modern. Di antara kesalahan-kesalahan yang
dihukum adalah pernyataan bahwa ”Paus Roma dapat dan harus mendamaikan diri sendiri dan
mencapai persetujuan dengan ’kemajuan’, Liberalisme, dan kebiasaan penjauhan diri dari
masyarakat sipil yang belum lama mulai dipraktekkan” (DS 2980). Bahkan, wilayah yang oleh
Gereja dipandang menjadi miliknya ikut diserang. Pada tahun 1870, Garibaldi menguasai
Negara Kepausan untuk dimasukkan ke dalam negara Italia yang baru disatukan. Hilangnya
daerah luas di Italia Tengah yang diperintah oleh para paus selama lebih dari 1000 tahun
menciptakan trauma, luka batin yang mendalam.
Modernisme
Krisis Modernisme pada awal abad ke-20 semakin membuat Gereja resmi menjadi takut
terhadap ilmu pengetahuan yang baru.4 Gerakan yang disebut dengan istilah ”Modernisme”
tidak pernah merupakan sistem teologi yang sungguh-sungguh koheren. Apa yang ditampilkan
adalah usaha beberapa ilmuwan Katolik untuk berdialog dengan modernitas dengan
menggunakan metode-metode penyelidikan biblis dan historis. Metode-metode ”kritis” yang
sebagian besar dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Protestan di Jerman, membuka dunia
ilmu biblis baru yang kaya, yang memberi pengertian baru tidak hanya ke dalam teks-teks
sendiri tetapi juga ke dalam cara wahyu Allah muncul dari sejarah umat Allah.
Sayangnya, banyak yang menggunakan metode-metode itu, baik Protestan maupun
Katolik, sampai tahap tertentu mewarisi pengandaian-pengandaian rasionalistis yang berasal
dari Pencerahan. Dalam banyak hal mereka merelatifkan, merasionalkan apa saja yang tidak
dapat dijelaskan secara ilmiah, dan menyempitkan isi wahyu menjadi pengalaman subjektif
manusia. Ajaran-ajaran menjadi lambang tanpa kebenaran, mukjizat disingkirkan, dan wahyu
Kristiani ditafsirkan kembali sebagai tak berkaitan dengan pengaruh adikodrati, sebagai
ungkapan khusus pengalaman religius umum yang dapat dialami oleh semua orang. Dengan
demikian, dengan banyak cara, ”Modernisme” dapat dipandang sebagai versi Katolik dari
Protestantisme Liberal.
Yang khas pada semua pemikir itu adalah perhatian untuk memasukkan sejarah dan
subjektivitas pada pemikiran teologi. Alfred Loisy (1857-1940), sarjana Kitab Suci Prancis, yang
bukunya berjudul L’Evangile et L’Eglise (Injil dan Gereja) terbit tahun 1904, berusaha menunjukkan bagaimana Gereja merupakan hasil dari pelembagaan yang harus terjadi atas pewartaan
Yesus tentang Kerajaan Allah. George Tyrell (1861-1909), seorang Yesuit Inggris adalah
seorang filsuf agama. Minat utamanya ada pada wahyu sebagai pengalaman religius batin, sesuatu yang dapat diungkapkan secara simbolik tetapi tak pernah dapat dimengerti hanya
sebagai kumpulan pernyataan-pernyataan. Friedrich von Hügel (1852-1925), seorang teolog
dan pembimbing rohani, menafsirkan Kristianitas dalam kerangka unsur kelembagaan,
intelektual, dan mistiknya. Meskipun ia tidak menganggap diri sebagai seorang Modernis,
namun ia kerap berhubungan dengan pemikir-pemikir Modernis dan kerap dikait-kaitkan
dengan mereka.
Gereja Katolik menanggapi dengan keras apa yang dilihatnya sebagai ancaman terhadap
imannya. Pada tahun 1907, dua dokumen dikeluarkan untuk menghukum Modernisme, yaitu
Ensiklik Pius X Pascendi dan Dekrit Takhta Suci, Lamentabili. Ensiklik itu menunjukkan
beberapa kesalahan nyata dalam Modernisme, meskipun para ilmuwan dewasa ini tidak
sepakat tentang sejauh mana kesalahan-kesalahan itu ada pada pemikiran para ilmuwan yang
dituju oleh ensiklik. Loisy dan Tyrell diekskomunikasikan; sedang von Hügel lepas dari hukuman.
Selama 50 tahun berikutnya, keilmuan Katolik harus membayar mahal karena tindakantindakan yang diambil untuk meniadakan ancaman Modernisme dari Gereja. Pascendi
mendorong terciptanya sensor yang ketat, pendirian panitia pengawasan keuskupan untuk
menjaga ajaran Katolik, dan pelaporan nama-nama yang dicurigai menganut Modernisme
kepada Takhta Suci. Atas persetujuan Paus, perkumpulan rahasia yang dikenal dengan nama
Sodalitium Pianum didirikan untuk mengawasi bahkan anggota hierarki yang dicurigai condong
ke Modernis.5
Apa yang terjadi selanjutnya adalah masa panjang dari kecurigaan dan penekanan. Para
uskup dan profesor-profesor seminari dituntut untuk setiap tahun mengucapkan sumpah
melawan Modernisme, seperti sudah disebut di atas. Setiap ajaran yang tidak sesuai dengan
teologi buku-buku pegangan Roma dicurigai. Ilmuwan-ilmuwan tidak jarang dipecat dari jabatan
mereka, dan ilmuwan-ilmuwan yang lain, buku-bukunya ditaruh pada rak buku-buku indeks.
Kongregasi Kuria Roma, birokrasi Vatikan yang harus membantu Paus dalam memimpin
Gereja, semakin berkuasa. Anggota-anggota kongregasi dan komisi kuria, sebagian besar
klerus Italia, mengawasi ajaran dan moral, menetapkan pendirian-pendirian mana yang harus
dipegang dan diajarkan oleh profesor-profesor Katolik, mendisiplinkan mereka yang berpendirian lain, mengawasi secara ketat seminari-seminari, menunjuk uskup-uskup dan
mendirikan keuskupan-keuskupan baru. Mereka mengirim nuntius-nuntius dan delegat-delegat
apostolik untuk mewakili Gereja dalam Gereja-Gereja nasional, mengawasi tarekat dan
kongregasi religius, terutama tarekat dan kongregasi wanita, serta mengatur hidup sakramental
dan liturgi Gereja.
2. Arus-Arus Pembaruan
Gambarnya tidak seluruhnya suram. Segi yang paling cerah pada masa dari tahun 1920
sampai 1960 telah digambarkan dengan kata Prancis ressourcement, ”kembali ke sumber”,
yaitu sumber Katolisisme dalam Kitab Suci, Bapa-Bapa Gereja, liturgi, dan filsafat.6 Kembali ke
sumber ini menimbulkan atau mendukung sejumlah aliran pembaruan yang pada akhirnya
memainkan peranan penting dalam membentuk kembali wajah Katolisisme pada Konsili Vatikan
II. Tambahan pula, dalam masa sesudah Perang Dunia II, dunia sendiri mengalami perubahan.
Sesudah kengerian Nazisme, Gereja Kristiani (di Eropa) mengalami kebangkitan iman kembali.
Ada rasa optimis dan kebebasan baru. Kita akan melihat secara singkat aliran-aliran
pembaruan itu.
Gerakan Biblis Modern
Gerakan biblis modern telah dimungkinkan oleh perkembangan metode penyelidikan teksteks Kitab Suci (kritik historis, kritik bentuk, kritik redaksi, kritik sumber, dan kritik teks) yang
kritis, historis, dan literer di kebanyakan universitas-universitas Jerman. Karena takut kalaukalau dicemari oleh semangat Modernisme, kritisisme biblis yang baru untuk waktu yang lama
dilawan oleh Gereja. Komisi Kitab Suci Kepausan, yang mengeluarkan sejumlah keputusan
antara tahun 1905 dan 1915 yang menuntut para ahli Kitab Suci Katolik untuk mengambil sikap
terhadap keilmuan yang kritis, mulai mempertanyakan, di antaranya kepengarangan Musa atas
isi pokok buku Pentateukh, sifat historis bab-bab pertama Kitab Kejadian, pandangan bahwa
Kitab Yesaya merupakan karya satu orang pengarang, Injil Matius sebagai Injil pertama yang
ditulis, dan lain-lain.7
Titik balik terjadi pada tahun 1943 dengan terbitnya ensiklik Paus Pius XII, Divino Afflante
Spiritu, dokumen yang kerap disebut sebagai Magna Charta ilmu Kitab Suci Katolik. Dalam
ensiklik itu, Paus memberi kepada ilmuwan Katolik kebebasan untuk menggunakan metode
keilmuan historis-kritis yang tidak diperbolehkan sebelumnya. Ilmu Kitab Suci Katolik, yang
sebelumnya ketinggalan dari ilmu Kitab Suci Protestan, mulai berkembang setelah ilmuwanilmuwan Katolik yang telah dilatih dalam metode-metode baru itu, mulai mengajar di seminariseminari dan universitas-universitas. Dekrit-dekrit dari Komisi Kitab Suci Kepausan selanjutnya
meneguhkan arah baru itu, bahkan membalikkan pengarahan-pengarahan sebelumnya ketika
pada tahun 1955 sekretaris komisi memberi kepada para ilmuwan Katolik kebebasan penuh
dari pengarahan-pengarahan tahun 1905-1915 kecuali yang berkaitan dengan iman dan moral.
Gerakan Liturgis
Gerakan liturgis merupakan aliran pembaruan yang kedua yang sudah mulai lama sebelum
Vatikan II. Jika dewasa ini kita kadang-kadang menghubungkan gerakan liturgis dengan gitar
dan nyanyian-nyanyian rakyat, drama, tarian, dan panji-panji di dalam Gereja, itu semua
sesungguhnya menggambarkan usaha untuk menemukan kembali kekayaan simbolis dan
komunal ibadat Kristiani tradisional, dengan demikian memberi hidup baru kepada doa dan
ibadat resmi Gereja. Akar-akar pembaruan liturgi ditemukan dalam biara-biara Benediktin di
Jerman, Swiss, dan Prancis, yang dalam abad ke-19 mulai mempopulerkan penggunaan
nyanyian Gregorian dan mendorong partisipasi yang lebih besar dalam liturgi dari pihak awam.
Dom Prosper Guéranger (1805-1875) dari Solesmes di Prancis, dengan tulisan-tulisannya
tentang tahun liturgi, kerap dianggap sebagai pendiri gerakan liturgis itu. Di Belgia, Dom
Lambert Beauduin (1873-1960) menekankan bahwa liturgi merupakan cara untuk
memperdalam hidup iman. Liturgi bukan hanya merupakan tindakan imam tetapi tindakan seluruh umat yang berkumpul.
Di Amerika Serikat pembaruan liturgi kerap dikaitkan dengan
St. John’s Abbey
(Biara St. Yohanes) di Collegeville, Minnesota, dan dengan nama Virgil Michel (1890-1938),
rahib dari biara itu. Dia mengenal gerakan pembaruan liturgi itu ketika belajar di Eropa. Sekembalinya ke Amerika pada tahun 1925, ia mencurahkan tenaga untuk pembaruan liturgi. Dia
mulai menerbitkan majalah bulanan liturgi, Orate Fratres dan mendirikan The Liturgical Press
(Penerbitan Liturgi). Pengganti Virgil Michel, Godfrey Dicmann mengubah nama majalah itu
dengan nama Worship (Ibadat) pada tahun 1955. Collegeville dengan biara, universitas dan
penerbitannya sampai sekarang ini masih menjadi pusat gerakan liturgi di Amerika Serikat.
Selama bertahun-tahun sebelum Konsili Vatikan II, orang-orang yang tertarik pada liturgi
akan pergi ke biara-biara untuk mengikuti ibadat, mengadakan retret dan mempelajari nyanyian
Gregorian. Pada tahun 1951 diadakan Kongres I para ahli liturgi di Maria Lach, Jerman. Kerja
gerakan liturgis mendatangkan buah pada Konsili Vatikan II dengan diterbitkannya Konstitusi
tentang Liturgi Suci.
Teologi Baru
Terlalu lama teologi Katolik yang direstui di Roma terbatas pada kategori-kategori filsafat
dan teologi Skolastik yang diwarisi dari universitas-universitas besar Eropa pada Abad
Pertengahan. Yang paling berpengaruh adalah buku-buku karangan seorang Dominikan bernama Thomas Aquinas. Sesungguhnya, Leo XIII dalam ensikliknya Aeterni Patris (1879) telah
berusaha memaksakan Thomisme pada seluruh Gereja, sementara Pius X memerintahkan
Summa Theologiae menjadi buku pegangan yang harus digunakan di semua lembaga kepausan.8 Krisis Modernisme pada awal abad ke-20 dipicu oleh usaha untuk lepas dari
pendekatan yang sempit ini dan untuk berdialog dengan pemikiran sezaman. Yang disebut
nouvelle théologie (”teologi baru”) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan karya
beberapa ilmuwan di Prancis dan Jerman dalam dua dasawarsa sebelum Konsili Vatikan II merupakan tanggapan yang lain.
Istilah ”teologi baru” tampaknya digunakan untuk pertama kali oleh Mgr. Pietro Parente dari
Kantor Takhta Suci pada bulan Februari 1942 dalam Observatore Romano, surat kabar resmi
Vatikan, dan istilah itu digunakan dalam arti buruk. Akan tetapi seperti Modernisme, teologi itu
merupakan usaha banyak ilmuwan – Yves Congar, Henri de Lubac, Jean Daniélou, dan MarieDominique Chenu di Prancis; Karl Rahner dan Otto Scmmelroth di Jerman; Hans Urs von
Balthasar di Swiss – untuk kembali ke sumber-sumber: Kitab Suci, patristik dan liturgi yang
telah sedemikian memperkaya pemahaman-diri Gereja milenium pertama. Eklesiologi
merupakan isu utama bagi para teolog itu. Topik-topik lain meliputi perkembangan ajaran,
penciptaan, evolusi, dosa asal, rahmat, dan Ekaristi.
Karena pendekatan para ilmuwan itu biblis dan historis, mereka diserang oleh para wakil
ortodoksi Roma yang menganut pemikiran Skolastik. Para wakil itu melihat karya mereka
sebagai Modernisme jenis baru. Ini agaknya menjadi keprihatinan Pius XII dalam ensiklik tahun
1950 Humani Generis. Ensiklik itu menghimbau agar kembali ke pendekatan Thomas, baik
dalam filsafat maupun teologi. Ensiklik itu juga menyatakan bahwa tugas sebenarnya para
teolog adalah menunjukkan bagaimana hal-hal yang diajarkan oleh Magisterium Gereja
ditemukan dalam Kitab Suci dan tradisi (DS 3886). Sejumlah orang yang terlibat dengan teologi
baru itu dikenai sanksi disiplin; mereka ”dipecat dari jabatan mereka sebagai profesor, dilarang
menyajikan pandangan-pandangan mereka dalam kuliah-kuliah atau tulisan-tulisan, dihukum
sehingga terbungkam dan tak aktif lagi”.9
Pada tahun 1954, terjadilah peristiwa yang digambarkan sebagai ”penggerebegan para
Dominikan” di mana tiga Provinsial Dominikan Prancis dipecat dari jabatan mereka, dan
sejumlah Dominikan, antara lain Chenu dan Congar, dikenai sanksi disiplin atas desakan
Takhta Suci, yang takut akan pembaruan-pembaruan yang dianggap berbahaya dalam
ajaran mereka. Chenu, teolog tentang abad pertengahan yang hebat, telah membandingkan
perubahan-perubahan dalam masyarakat abad ke-13 dan Gereja dengan perubahan masyarakat abad ke-20 dan Gereja. Tulisan-tulisan Congar mengangkat isu-isu seperti sifat organik
dari tradisi, pembaruan Gereja, teologi kaum awam, dan ekumenisme. Kedua-duanya dipecat
dari jabatan mengajarnya. Namun, kedua-duanya hadir dalam Konsili Vatikan II di mana tugas
mereka adalah membantu menyusun sejumlah dokumen Konsili.10
Pius XII
Humani Generis bukanlah ensiklik yang progresif. Ensiklik itu kerap digunakan sebagai
bukti bahwa Pius XII bukanlah seorang pembaru. Akan tetapi, ilmuwan sezaman menemukan
hal-hal yang pantas dihargai sejauh Paus yang hidup keras dan kebapaan itu menyiapkan jalan
bagi Vatikan II. Ensikliknya Divino Afflante Spiritu (1943) memasukkan kritik Kitab Suci modern
ke dalam Gereja, bahkan jika para pejabat di Kuria Roma terus-menerus ”menembak” dengan
sembunyi-sembunyi orang-orang yang menggunakan metode itu. Sampai sekurang-kurangnya
tahun 1962, para pejabat itu melancarkan beberapa serangan terhadap Institut Kitab Suci
(Institutum Biblicum) di Roma yang dikelola Yesuit dan berusaha agar dua orang profesornya
dipecat dari lembaga itu.
Ensiklik Paus Pius XII lain yang penting adalah Mystici Corporis (1943), dengan visi
sakramentalnya tentang Gereja sebagai tubuh Kristus. Pada tahun 1947 ensiklik itu diikuti
ensiklik Mediator Dei, ensiklik besar Paus tentang liturgi. Meskipun memberi peringatan melawan ekses-ekses pembaruan liturgi, namun ensiklik itu mendorong gerakan liturgis dan
menganjurkan Misa Dialog.
Yohanes XXIII
Pada tahun 1958, Pius XII wafat. Wafatnya menandai berakhirnya suatu era. Sedikit saja
yang menduga bahwa era baru dalam hidup Gereja akan mulai. Pada waktu para Kardinal
berkumpul di Kapel Sistina untuk memilih seorang pengganti, tidak ada harapan lain kecuali
perubahan. Kebanyakan Kardinal yang berkumpul menghendaki seseorang yang akan
melanjutkan kepemimpinan Pius XII yang kuat dan konservatif. Akan tetapi konklaf (pemilihan
Paus) macet. Tak ada calon yang mendapat suara cukup untuk dipilih. Akhirnya terjadilah
kompromi. Para Kardinal berpaling pada Kardinal berumur 76 tahun yang bernama Angelo
Roncalli (1881-1963). Ia menjadi Paus peralihan. Pendapat umum adalah bahwa ia terlalu tua
untuk membuat perubahan.
Roncalli, atau Yohanes XXIII, seperti dikenal dalam sejarah, adalah orang Italia yang bulat
dan gemuk dengan wajah yang mirip dengan wajah lukisan Michelangelo. Ia berasal dari keluarga petani dari Italia Utara. Di balik penampilannya, Roncalli adalah pejabat Gereja yang
cerdik dan berpengalaman. Setelah ditahbiskan pada tahun 1904, pada tahun-tahun awal imamatnya ia menjadi profesor seminari di Bergamo, pastor tentara dalam Perang Dunia I, dan
sebagai pembimbing para mahasiswa. Kebanyakan kariernya dijalani di luar Roma dalam diplomasi kepausan. Ia menjadi wakil Vatikan di Belgia dan Turki, yang dalam perjalanan waktu
tumbuh penghargaan yang mendalam terhadap Kristianitas Ortodoks dan akrab dengan
bahasa-bahasa serta masalah-masalah Eropa Timur. Pada tahun 1941 ia ditunjuk menjadi
Nuntius Apostolik untuk Prancis. Pada saat itu, ia dapat menyaksikan pembaruan teologi dan
pastoral yang terjadi di negeri itu. Selama bertugas di Prancis, ia menjalin persahabatan
dengan sekelompok ekumenis Protestan yang berusaha menghayati hidup monastik di dusun
kecil di Burgundy yang disebut Taizé. Di balik segala prestasinya, hatinya yang sebenarnya
adalah hati seorang pastor, gembala. Akhirnya pada tahun 1953 ia diangkat menjadi Uskup
Agung Venesia. Sebagai uskup, ia dapat mewujudkan perhatian dan minat pastoralnya secara
penuh.
Segera sesudah terpilih menjadi Paus, Paus yang baru, sambil berbicara dengan sekretaris
negara tentang masalah-masalah dunia dan Gereja, memberi tahu kepada sekretaris itu bahwa
ia mau mengadakan Konsili. Konsili Paus Yohanes XXIII akan secara radikal mengubah Gereja.
3. Konsili Vatikan II: 1962-1965
Pada tanggal 25 Januari 1959, Paus Yohanes XXIII dan tujuh belas Kardinal yang
kebanyakan dari Kuria Roma bertemu di Basilika St. Paulus di luar tembok untuk mengadakan
ibadat vesper (sore) guna menutup pekan doa untuk kesatuan umat Kristiani. Dalam sambutan
singkatnya, Paus mengumumkan bahwa ia bermaksud mengadakan Konsili ekumenis, dengan
menambah pada akhir sambutan itu doa untuk ”undangan yang diperbarui kepada umat dari
jemaat-jemaat yang terpisah agar mereka juga mengikuti kita sebagai sahabat dalam usaha
mencapai kesatuan dan rahmat, yang diharapkan oleh sedemikian banyak orang di segala
penjuru dunia.”11 Para Kardinal menyambut pengumuman itu dengan diam karena terkejut.
Bagaimana mungkin Paus baru mau berjalan sendiri? Hal terakhir yang dikehendaki para
pemimpin tetap Kuria Roma adalah mengumpulkan semua uskup Gereja, terutama beberapa
uskup yang lebih progresif dari Prancis, Jerman, Austria, Belgia, dan Belanda.
Tahap Persiapan
Dalam mengadakan konsili, yang akan disebut Konsili Vatikan II, Paus menegaskan bahwa
Konsili itu harus menjadi Konsili ekumenis bagi seluruh Gereja. Dalam bulan-bulan selanjutnya,
ia menjelaskan tujuan-tujuan Konsili itu. Pertama, ia menghendaki konsili itu menjadi
aggiornamento, pembaruan atau tepatnya ”memperbarui Gereja Katolik hingga menjadi up-todate”. Cerita yang kerap dikisahkan untuk menggambarkan apa yang Paus kehendaki agar
dicapai oleh Konsili adalah dengan pergi ke jendela yang terdekat dan membukanya untuk
membiarkan udara segar masuk ke dalam ruangan.
Kedua, kesatuan Kristiani merupakan tujuan Konsili yang utama. Sesungguhnya itulah
tujuannya sejak semula. Untuk mempromosikan intensi-intensi ekumenisnya, Paus mengambil
sejumlah langkah konkret yang masing-masing amat bermakna simbolis. Pertama, ia minta
agar pengamat-pengamat resmi dikirim oleh Gereja-Gereja Ortodoks dan Protestan. Kedua, ia
mengatur agar mereka disediakan tempat duduk kehormatan di bagian depan Basilika St.
Petrus dekat dengan bagian yang dikhususkan bagi para Kardinal. Akhirnya, ia mendirikan
kongregasi Vatikan yang baru, Sekretariat untuk Memajukan Kesatuan Kristiani, dengan tugas
membawa Gereja Katolik masuk ke dalam gerakan ekumenis, dan menempatkan sumbersumber daya untuk melayani para pengamat.
Saat menjadi jelas bahwa Paus tidak dapat diyakinkan untuk tidak mengadakan Konsili,
para pemimpin Kuria mengambil strategi agar Konsili itu tetap berada dalam pengendalian
mereka. Dibentuk 10 komisi dan 2 sekretariat yang disiapkan untuk Konsili, yang para anggotanya terdiri dari para pejabat dari Kongregasi Kuria yang bersangkutan. Panitia itu
menyiapkan 70 bagan atau draft mengenai berbagai masalah dogmatik dan tata tertib yang
harus dibahas oleh para uskup ketika mereka berkumpul di Roma. Jelaslah rencana itu adalah
untuk membebani Konsili sehingga membuat kerja Kuria mutlak diperlukan.
Akan tetapi, dalam dua pidatonya yang penting, Paus menegaskan kepada para uskup
yang berkumpul untuk Konsili bahwa pekerjaan Konsili adalah milik mereka sendiri. Dalam
pidato radio pada tanggal 11 September 1962, Paus berbicara tentang perlunya bagi Gereja
untuk membahas masalah perdamaian, kesamaan dan hak-hak segala bangsa, masalahmasalah negara-negara yang sedang berkembang, dan kesengsaraan-kesengsaraan yang
dihadapi oleh sedemikian banyak orang, serta menyarankan agar Gereja ditampilkan sebagai
”Gereja semua orang, dan terutama kaum miskin”.12 Dari topik-topik itu tak ada topik yang
berasal dari komisi-komisi persiapan.
Kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1962 dalam pidato yang
secara resmi
membuka Konsili, Paus meminta kepada 2500 uskup yang berkumpul dari seluruh dunia dalam
Misa Agung di Basilika St. Petrus agar tidak memandang ke masa lampau tetapi ke masa
depan. Dengan memisahkan diri dari ”nabi-nabi kegelapan yang selalu meramalkan
malapetaka”, yang berarti kritik terhadap Kuria, ia berkata bahwa Konsili tidak akan
membicarakan ajaran fundamental ini atau itu, tetapi ”langkah ke masa depan menuju ke
pendalaman ajaran dan pembinaan kesadaran” yang setia pada ajaran autentik Gereja, tetapi
yang ”harus dipelajari dan diuraikan melalui metode-metode penelitian dan bentuk-bentuk literer
(sastra) pemikiran modern.” Yang paling sering dikutip adalah penegasannya tentang
pembaruan bahasa teologis Gereja: ”Inti ajaran lama tentang iman adalah satu hal, dan cara
untuk menyampaikannya adalah hal yang lain.”13
Hasil Kerja Konsili
Pada sesi kerja pertama, kerja Konsili pada tanggal 13 Oktober 1962 adalah memilih
anggota untuk kesepuluh komisi Konsili. Tugas anggota adalah untuk menyampaikan bagan
kepada para Bapa Konsili dan mempertimbangkan apakah ada perbaikan-perbaikan yang akan
diajukan. Kuria mengharap bahwa anggota-anggota yang telah bertugas dalam komisi-komisi
persiapan akan dipilih kembali. Untuk membantu para Bapa Konsili, diedarkan daftar namanama. Akan tetapi Kardinal Liènart, Uskup Agung Lille, Prancis, mengajukan usul yang penting.
Ia mengusulkan agar diberi waktu tunda sebelum langkah yang sedemikian penting diambil,
supaya para uskup dapat berkonsultasi dalam konferensi nasional atau regional tentang siapa
yang akan mereka pilih. Usul itu didukung oleh Kardinal Frings dari Cologne, Jerman, dan
kedua intervensi itu disambut dengan tepuk tangan meriah oleh para Bapa Konsili. Dengan
dukungan sedemikian kuat itu, permintaan untuk menunda pemilihan disetujui. Para uskup
mulai memegang kendali Konsili.
Konsili bertemu dalam tiga sesi. Debat dan voting mengenai berbagai dokumen
dilangsungkan di lantai Basilika St. Petrus, di mana para Bapa Konsili, 2500 uskup dan
pimpinan religius pria, duduk. Akan tetapi, banyak urusan Konsili yang sebenarnya kurang
formal terjadi di ruang-ruang sidang, ruang-ruang makan, tempat-tempat minum kopi Roma, di
mana terjadi banyak sekali percakapan di antara berbagai kelompok yang berbeda, yang
berkumpul untuk Konsili – para uskup bertemu satu sama lain, dengan para periti (ahli) atau penasihat teologi mereka, dengan para ilmuwan dan para wartawan, serta dengan para pengamat
dari Gereja-Gereja Prostestan, Anglikan, dan Ortodoks.
Dengan mengundang para pengamat dari Gereja-Gereja Kristiani, Konsili sejak awalnya
mendapatkan suasana ekumenis. Ada sekitar 40 pengamat hadir pada waktu Konsili dibuka
pada tanggal 11 Oktober 1962; pada waktu Konsili ditutup, jumlah pengamat naik menjadi 80
orang. Meskipun kerahasiaan diusahakan dipertahankan oleh Kuria berkaitan dengan
pembicaraan-pembicaraan Konsili, para pengamat sebelumnya menerima salinan draft dari
dokumen-dokumen Konsili. Karena diperlakukan sebagai tamu kehormatan, mereka dapat hadir
dalam semua sesi di dalam Basilika dan menghadiri pertemuan-pertemuan komisi-komisi.
Pelayanan untuk menerjemahkan juga disediakan bagi mereka.
Sesudah Kardinal Suenens melihat bahwa tidak ada wanita yang hadir untuk pembicaraanpembicaraan Konsili, beberapa wanita ditambahkan menjadi ”pendengar”. Pada akhir Konsili
ada 22 wanita yang hadir, di antaranya Sr. Luke Tobin, pimpinan Suster-Suster Loretto dari
Amerika Serikat.
Konsili membangkitkan minat yang besar sekali. Dengan kadang-kadang membalikkan
pendirian yang dipegang sebelumnya, bahkan pendirian yang diajarkan oleh Paus-Paus, Konsili
menggambarkan sifat dinamis Katolisisme. Dua dokumen yang disiapkan oleh Komisi Teologi
yang konservatif, skema tentang Gereja dan wahyu Ilahi, dikembalikan oleh para Bapa Konsili
kepada Komisi agar ditulis ulang. Enam belas dokumen yang merupakan hasil dari
pembahasan-pembahasan menjadi pegangan bagi pembaruan Gereja, yang masih belum
selesai, dalam sejumlah bidang.
Gereja
Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) merupakan usaha untuk
merumuskan pemahaman diri sezaman, Gereja yang berlawanan dengan eklesiologi klerikal
dan monarkhial Katolisisme abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang kerap dilambangkan dalam
bentuk piramida, di mana segala otoritas turun dari atas ke bawah. Terutama bermaknalah
penekanannya pada Gereja sebagai umat Allah, ajarannya tentang kolegialitas episkopal, dan
teologi awamnya.
Bab 1 merumuskan Gereja sebagai ”Sakramen tanda dan sarana persatuan mesra dengan
Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG 1). Ketika membahas hakikat perutusan Gereja,
Konsili menyebut hubungan antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja lain. Ketika membicarakan ”satu-satunya Gereja Kristus” konstitusi menyatakan: ”Gereja itu, yang di dunia ini
disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja Katolik” (LG 8). Draft sebelumnya,
yaitu draft tahun 1963, menyebut: ”Gereja ini .... adalah Gereja Katolik.”14 Penggantian kecil kata
”adalah” (”is”) dengan kata ”berada dalam” (”subsists”) dibuat yang oleh Komisi Teologis
sesudah sesi kedua amatlah bermakna secara ekumenis. Itu berarti bahwa Gereja Katolik tidak
lagi menyatakan
suatu identitas yang eksklusif atau penyamaan total antara Gereja Kristus dan dirinya sendiri. Meski Konsili memahami Gereja Katolik sebagai perwujudan Gereja
Kristus dalam kelengkapan dan kepenuhannya yang hakiki (LG 14), namun Konsili menyiratkan
bahwa Gereja Kristus dengan berbagai cara juga ada dalam Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat
gerejawi (LG 8).
Bab 2 menggambarkan Gereja sebagai umat Allah, gambaran yang dominan dalam
eklesiologi Konsili. Penunjukan pada ”karuniakarunia karismatis” (LG 12), yang
di tempat lain digambarkan ”baik hierarkis maupun karismatis” (LG 4), merupakan bukti dari
penemuan kembali teologi karismata (karunia-karunia) yang memegang peran sedemikian
penting dalam 1Kor 11-14. Perbedaan antara ”imamat jabatan” atau ”hierarki” dan ”imamat
umum” (imamat seluruh umat beriman) menggarisbawahi keikutsertaan umat dalam imamat
Kristus (LG 10).
Bab 3 mengembangkan pemahaman kolegial tentang jabatan uskup. Perdebatan tentang
kolegialitas merupakan salah satu perdebatan penting dalam Konsili. Perdebatan itu
mengandung arti kembali ke pemahaman yang sudah lama tentang Gereja dan pemerintahannya. Bersama dengan Paus, para uskup memiliki otoritas tertinggi atas Gereja semesta (LG
22) dan ikut ambil bagian dalam tugas mengajarnya yang tidak dapat sesat (LG 25). Dengan
demikian, para uskup tidak dimengerti sebagai wakil Paus melainkan Kepala Gereja-Gereja
lokal (LG 27). Gereja sendiri merupakan kesatuan Gereja-Gereja, seperti pemahaman Gereja
atas dirinya dalam milenium pertama, daripada lembaga satu-satunya dan monolitis. Dengan
menegaskan bahwa para uskup ikut mengambil bagian dalam karunia tak dapat sesat, Konsili
memberikan suatu konteks penafsiran baru tentang ajaran Konsili Vatikan I (1870) mengenai
ketidaksesatan Paus.
Bab 4 membahas teologi awam, yang menekankan bahwa melalui baptis dan penguatan,
mereka umat awam ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja (LG 33) dan dalam tiga jabatan
Kristus sebagai nabi, imam, dan raja (LG 31). Dari tekanan ini, kemudian muncullah berbagai
pelayanan kaum awam dalam Gereja sesudah Konsili Vatikan II, pengakuan kewajiban orang
awam yang kompeten untuk menyatakan pendapat mereka demi kebaikan Gereja (LG 37), dan
keterlibatan baru kaum awam, pria dan wanita, dalam tugas Gereja dalam refleksi teologis (bdk.
GS 62). Konstitusi membayangkan bahwa kaum awam pria dan wanita menghayati panggilan
mereka justru ”dengan melibatkan diri dalam urusan-urusan dunia,” bekerja ”demi pengudusan
dunia dari dalam, bagaikan ragi” (LG 31).
Bab 5 berbicara tentang panggilan seluruh Gereja untuk kesucian. Bab 6 berbicara tentang
kaum religius. Bab 7 berbicara tentang kesatuan Gereja di dunia dengan Gereja surgawi, para
kudus di surga, dan jiwa-jiwa di api pencucian. Gambarannya tentang Gereja sebagai ”Gereja
yang berziarah” menjauh dari pengertian tentang Gereja sebagai ”perserikatan sempurna” yang
dominan dalam eklesiologi sejak zaman Robertus Bellarminus. Bab terakhir berbicara tentang
peran Santa Perawan Maria dalam misteri Kristus dan Gereja.
Wahyu
Konstitusi Dogmatik Konsili tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum) mengambil pendekatan
personal daripada proposisional dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Wahyu bukanlah
merupakan sesuatu yang ”tersimpan” dalam sumber-sumber, meski bab pertama dari draft asli
Komisi Teologi yang ditolak berjudul ”Dua Sumber Wahyu”. Konsili merumuskan wahyu sebagai
pengungkapan-diri Allah dalam sejarah, yang mencapai kepenuhan dalam pribadi Yesus, dan
melalui hidup dalam Roh memberi kepada manusia keikutsertaan dalam Kodrat Ilahi Allah
sendiri (DV 2). Dengan demikian dalam pengertian Konsili, wahyu lebih bersifat personal,
pribadi, daripada proposisional, pernyataan. Wahyu adalah Trinitarian dalam bentuk, Kristologis
dalam perwujudan, dan historis dalam perantaraannya.
Bab 2 membahas penyampaian wahyu Allah dalam Alkitab dan tradisi. Bab 3
mencerminkan pengaruh gerakan Kitab Suci Modern dalam pembahasannya tentang Alkitab.
Dengan menggemakan Ensiklik Pius XII Divino Afflante Spiritu, bab itu menekankan pentingnya
pencarian maksud pengarang Kitab Suci dan menemukan bentuk sastra. Bab terakhir
menggariskan tindakan-tindakan untuk mengembalikan Sabda Allah ke tempat sentralnya
dalam kehidupan Gereja dan terutama dalam liturginya (DV 21). Bab itu meminta terjemahan
baru dari teks-teks aslinya, mendorong para ilmuwan Kitab Suci dalam kerja mereka, dan
menunjukkan tempat pusat Alkitab dalam teologi. Para imam, diakon, dan katekis didorong
untuk berbagi Sabda Allah dengan orang-orang yang dipercayakan kepada mereka dan umat
didorong untuk kerap membaca Kitab Suci serta menggunakan Kitab Suci untuk doa mereka.
Dengan demikian, Konstitusi tentang Wahyu Ilahi mengakhiri pengabaian Kitab Suci yang
menjadi ciri Gereja Katolik sejak Reformasi, dan menekankan peran sentral Sabda Allah dalam
liturgi.
Liturgi
Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosanctum Concilium) mengawali pembaruan yang
menyeluruh dalam doa dan ibadat resmi Gereja. Konstitusi itu mendorong partisipasi yang lebih
besar dari kaum awam dalam liturgi (SC 14) dan memerintahkan peninjauan kembali teks-teks
dan ritus-ritus liturgis untuk membuat liturgi menjadi lebih berbuah dalam hidup Gereja (SC 2).
Pembaruannya yang jelas, yang mencerminkan penekanannya pada pentingnya Sabda Allah
adalah ketetapannya untuk perayaan liturgi dalam bahasa umat (SC 36). Banyak saran dan
langkah-langkah percobaan untuk pembaruan, sejak Konsili itu, menjadi biasa: homili dalam
Perayaan Ekaristi, doa umat dan doa semesta Gereja, salam damai, penerimaan komuni dalam
dua rupa, konselebrasi, nyanyian umat, dan banyaknya pelayanan liturgis bagi kaum awam pria
dan wanita.
Ekumenisme
Bergerak melampaui kecurigaan Gereja sebelumnya terhadap gerakan ekumenis, Vatikan
II dengan tegas melibatkan Gereja Katolik untuk mencari kesatuan Kristiani. Dekrit tentang
Ekumenisme (Unitatis Redintegratio) mengakui bahwa orang-orang Kristiani dari berbagai
Gereja dan komunitas-komunitas gerejawi sudah bersatu, satu sama lain secara tidak
sempurna karena baptis (UR 3). Mereka sampai tahap tertentu sudah ikut mengambil bagian di
dalam hidup rahmat. Dekrit itu menekankan bahwa semua ekumenisme mulai dengan
pertobatan hati dan atas nama Gereja Katolik secara resmi mohon ampun kepada Allah dan
minta maaf kepada orang-orang Kristiani lain karena dosa-dosanya sendiri melawan kesatuan
(UR 7). Kemudian Dekrit menguraikan prinsip-prinsip bagi keterlibatan ekumenis Katolik Roma.
Dekrit menganjurkan acara-acara doa bersama, meski lebih hati-hati tentang ibadat bersama
(UR 8). Dialog ekumenis dianjurkan, dan mereka yang terlibat dalam dialog itu diingatkan
bahwa ”ada tata urutan atau hierarki kebenaran.” Dengan perkataan lain, tidak semua ajaran
sama pentingnya, karena ”berbeda-bedalah hubungannya dengan dasar iman Kristiani” (UR
11).
Kebebasan Agama
Perdebatan terbesar dalam Konsili terjadi pada pembahasan deklarasi tentang kebebasan
agama. Skema dengan tajam diserang oleh mereka yang menganut pemikiran tradisional
bahwa ”kesalahan tidak memiliki hak” dan oleh karena itu menghendaki Gereja untuk terus
mempertahankan bahwa di negara-negara yang pada dasarnya Katolik secara prinsip harus
mampu melarang praktek dan penyebaran agama-agama yang dipandang salah. Iman-iman
lain, termasuk iman Kristiani lain, karena alasan-alasan politis diberi toleransi, tetapi tidak mempunyai hak intrinsik untuk diperlakukan secara sama. Menurut John Courtney Murray,
pengarang utama dari dekrit itu, Konsili menjernihkan kekaburan yang sudah berlangsung lama:
”Gereja tidak membahas tatanan sekular dalam kerangka standar ganda kebebasan bagi
Gereja bila Katolik merupakan minoritas, hak khusus bagi Gereja dan tak memberi toleransi
terhadap orang-orang lain bila Katolik merupakan mayoritas.”15
Perbedaan tentang kebebasan agama sungguh-sungguh panas. Hasil voting atas teks
deklarasi yang pro ada 1.114 dan yang kontra ada 1.074. Kemenangan pilihan yang tipis.
Namun membalik ajaran Pius IX dan Leo XIII, Dignitatis Humanae menyatakan bahwa manusia
mempunyai hak dalam kebebasan agama, untuk beribadat secara merdeka menurut suara hati
mereka yang didasarkan pada martabat mereka sebagai pribadi manusia (DH 2).
Agama non-Kristiani
Melampaui aksioma tradisional ”tak ada keselamatan di luar Gereja,” Konsili mengakui
bahwa mereka yang mencari Allah dengan tulus dan membuka diri terhadap rahmat Allah dapat
diselamatkan, meskipun mereka tidak memiliki pengetahuan yang eksplisit tentang Kristus (LG
16). Menurut deklarasi tentang hubungan antara Gereja dan agama-agama non-Kristiani
(Nostra Aetate), Gereja Katolik memandang agama-agama besar dunia dengan hormat,
dengan mengakui bahwa ajaran-ajaran agama itu kerap mencerminkan sinar kebenaran Ilahi
(NA 2).
Gereja dan Dunia Modern
Mungkin pergeseran yang paling berarti yang ditunjukkan oleh Konsili adalah perhatiannya
terhadap dunia dan terutama terhadap kaum miskin. Dari kalimat pembukaannya, Konstitusi
Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes), dokumen Konsili yang paling
panjang, menarik perhatian pada keadaan menyedihkan kaum miskin dan kaum penderita:
”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan zaman sekarang, terutama kaum miskin dan
siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para
murid Kristus juga” (GS 1). Sebagai tambahan pada penekanan bahwa harus diadakan usahausaha keras untuk memenuhi keadilan dan kewajaran (GS 66) dan panggilannya kepada
orang- orang Kristiani agar meningkatkan perhatian bagi orang miskin (GS 69), Konstitusi
menyediakan bab-bab mengenai perkawinan dan keluarga, meliputi konsep menjadi orang tua
yang bertanggung jawab, pengembangan keberdayaan, prinsip-prinsip sosioekonomi, hak
semua orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, masalah perang dan perlombaan
senjata. Gaudium et Spes bermaksud membantu memberi inspirasi kepada sejumlah gerakan
religius yang sadar secara sosial, teologi pembebasan Amerika Latin, teologi-teologi asli di
Afrika dan Asia, surat-surat pastoral uskup-uskup Amerika tentang pendamaian dan keadilan
ekonomis, dan teologi feminis.
4. Kesimpulan
Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II mencerminkan hakikat Konsili sendiri yang terpecah.
Beberapa dokumen tampak berpendirian terbagi, dengan menempatkan secara berdampingan
pandangan-pandangan tradisional dan progresif. Misalnya Konstitusi Dogmatik tentang Gereja
menyeimbangkan hampir setiap pernyataan tentang kolegialitas uskup dengan menegaskan
kembali hak-hak istimewa kepausan yang tradisional.
Akan tetapi, Konsili sangat berhasil dalam melepaskan arus-arus pembaruan dalam Gereja.
Dalam waktu beberapa tahun, Katolisisme mengalami pembaruan besar-besaran dalam liturgi
dan ibadat,
teologi, pemahamannya tentang otoritas dan pelayanan, komunitaskomunitas religius, kehidupan paroki, bahkan dalam budaya populernya. Tidak semua
perubahan mendatangkan kebaikan bagi Gereja, dan bagi banyak orang Katolik telah dan
masih tetap merupakan kebingungan yang besar.
Situasi Gereja pada akhir abad ke-20 tidak dapat dikatakan disebabkan oleh Konsili saja.
Pada paro kedua abad ini telah terjadi sejumlah gerakan, di antaranya sekularisme yang
semakin menguat, krisis otoritas dan lembaga-lembaga sosial yang makin meluas, revolusi
seks, gerakan-gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa, feminisme, dan perhatian yang semakin
besar terhadap keadilan sosial. Gerakan-gerakan itu telah mengakibatkan perubahanperubahan besar di dalam Gereja dan dalam hidup Kristiani bahkan tanpa Konsili sekali pun,
semua itu telah mengakibatkan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Akan tetapi, Konsili
membawa Gereja ke vitalitas baru, dan dengan memanggil Gereja untuk memperbarui strukturstruktur, teologi dan hidupnya, Konsili telah membuat Gereja mampu memainkan peran secara
sadar dalam perubahan dan pembaruannya.
Satu konsep yang amat berguna yang muncul dalam Konsili adalah konsep ”ortodoksi nonhistoris” yang dikembangkan oleh Michael Novak dalam bukunya The Open Church (Gereja
yang Terbuka). ”Ortodoksi non-historis”16 menggambarkan kepercayaan yang, dengan berjalannya waktu, telah secara salah memegang kepastian suatu ajaran yang dianggap ortodoks,
masalah iman, seolah-olah menyajikan secara paling baik pendirian teologis, yang tidak ada
dasar biblis atau historisnya. Orang-orang Katolik sebelum Vatikan II tumbuh menjadi dewasa
dan menerima begitu saja sekumpulan pendirian ”Katolik” – tentang ketidaksesatan Paus,
hakikat Gereja, sumber atau sumber-sumber wahyu, hakikat imamat yang sakral, adanya limbo,
dan lain-lain; itu semua dapat dianggap menjadi contoh-contoh ortodoksi non-historis.
Benar juga bahwa pendirian-pendirian yang diajarkan oleh magisterium biasa dan – dalam
beberapa kasus selama berabad-abad – dianggap sebagai ajaran Katolik pada akhirnya diubah
sebagai akibat kritik teologis dan kurangnya penerimaan oleh umat beriman. Contoh-contoh
dari sejarah Gereja meliputi ajaran-ajaran tentang kekuasaan duniawi Paus; pengingkaran
tentang keselamatan di luar Gereja; ajaran konsiliaris Konsili Konstantinopel; tak terusiknya
Gereja oleh praktek perbudakan, yang disetujui oleh 4 Konsili ekumenis; dan pembenaran serta
pemberian kuasa untuk menggunakan siksaan guna mendapatkan pengakuan.17 Contoh-contoh
ajaran Paus yang dimodifikasikan atau ditolak oleh Konsili Vatikan II meliputi ketidakmampuan
Pius IX untuk menemukan kebenaran dan kebaikan dalam agama-agama non-kristiani,
penghukumannya atas pernyataan bahwa Gereja dan negara harus dipisahkan,
penyangkalannya atas kebebasan agama sebagai hak objektif, dan penyamaan Pius XII atas
Gereja Katolik dengan tubuh mistik Kristus.18
Konsili tak hanya memulai pembaruan hidup Gereja; Konsili juga mengubah cara orangorang Katolik memandang diri sendiri dan Gereja mereka. Dalam bab-bab berikut kami akan
berusaha untuk menyampaikan pemahaman zaman ini mengenai hidup dan iman Katolik, yang
dikembangkan berdasarkan hasil kerja Konsili Vatikan II.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
John O’Malley, Tradition and Transition: Historical Perspectives on Vatican II (Wilmington: Glazier, 1989) hlm. 17.
Acta Apostolicae Sedis 20 (1928) 14.
”Allocution to Italian Catholic Action,” Acta Apostolicae Sedis 32 (1940) 362.
Lihat Grabriel Daly, Transcendence and Immanence: A Study of Catholic Modernism and Integralism. (Oxford: Clarendon,
1980).
Carlo Falconi, The Popes in the Twentieth Century. (London: Weidenfeld & Nicolson, 1967) 54-55.
Lihat Stephen Happel dan David Tracy, A Catholic Vision. (Philadelphia: Fortress, 1984) 134-36.
Lihat Raymond E. Brown, Biblical Reflection on Crises Facing the Church. (New York: Paulist, 1975) 6-10.
Lihat Avery Dulles, The Craft of Theology: From Symbol to System. (New York: Crossroad, 1992) 120.
Falconi, The Popes in the Twentieth Century. 283.
Thomas O’Meara: ”’Raid on Dominicans’: The Repression of 1954,” America 170 (1994) 8-16.
”Pengumuman Paus Yohanes tentang Konsili Ekumenis,” Council Daybook, Sesi 1-2. (Washington: National Catholic Welfare
Conference, 1962) 2.
Dikutip oleh Peter Hebblethwaite, ”John XXIII,” dalam Adrian Hastings, ed., Modern Catholicism: Vatican II and After. (New
York: Oxford Univ. Press, 1991) 30.
Teks sambutan Paus termuat dalam Walter M. Abbott, ed., The Documents of Vatican II. (New York: Herder & Herder, 1966)
710-19; lihat 712, 715.
Garis miring ditambahkan.
John Courtney Murray, introduction to ”Religious Freedom”, The Documents of Vatican II, ed., Walter M. Abbott, 673.
Michael Novak, The Open Church: Vatican II, Act II. (New York: Macmillan, 1964); lihat terutama bab 5, ”The School of Fear.”
Lihat Luis M. Bermejo, Infallibility on Trial, Conciliarity, and Communion. (Westminster: Christian Classics, 1992).
J. Robert Dionne, The Papacy and the Church: A Study of Praxis and Reception in Ecumenical Perspective. (New York:
Philosophical Library, 1987).
II
Iman dan Jemaat yang Percaya
Iman, menurut penulis surat kepada umat Ibrani ”adalah dasar dari segala sesuatu yang
kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Banyak hal yang kita
imani, karena pengalaman memberi kita kepercayaan pada kebenaran atau pada kenyataan
akan banyak hal yang tidak dapat kita buktikan bagi diri kita sendiri atau tidak mempunyai
kesempatan untuk menunjukkannya. Bahkan ilmuwan yang paling kritis pun menerima begitu
saja bahwa dunia ini teratur dan dapat dimengerti. Ilmuwan mempunyai iman yang diatur oleh
hukum-hukum alam tertentu yang dapat ditemukan.
Iman religius berkaitan dengan kenyataan yang terakhir, dengan pertanyaan-pertanyaan
terakhir yang kita tanyakan pada saat-saat reflektif. Apakah kita sendirian di dunia ini, atau ada
kehadiran di atasnya, misteri yang mengatasi pemahaman kita, yang menemui kita untuk memberi kita belas kasih, persahabatan dan cinta?
1. Hakikat Iman
Kita semua mengalami saat-saat pewahyuan – ketika di padang memandang rumputrumput yang bergerak lembut tertiup angin, atau mungkin di pantai memandang ombak-ombak
laut menerpa pantai, atau pada waktu malam memandang Bima sakti di langit hitam bagai jalan
bintang-bintang yang cemerlang – pada waktu kita merasakan
hati kita mengembang
dan merasa bahwa alam raya jauh lebih banyak daripada awan-awan gas yang panas, benda
yang berputar-putar, bentuk-bentuk hidup yang fana, dan bintang-bintang yang meredup. Pada
saat-saat seperti itu, alam raya tampak penuh dengan kebaikan; alam raya terasa pribadi, dan
kita mengalami kehadiran yang misterius di dalamnya. Orang tua sudah mengalaminya pada
waktu bergembira karena kelahiran anak mereka. Suami dan istri yang telah menjadi tua secara
bersama sering mengingatnya sepintas dalam hidup mereka. Pada saat-saat keheningan,
kegembiraan atau kebersamaan seperti itu, kita tidak mempunyai cukup kata-kata untuk
mengungkapkannya. Kita merasakan kehadiran dari yang paling akhir.
Akan tetapi, bagaimana kita dapat membayangkan misteri itu? Bagaimana kita dapat
mendekati kehadiran yang menarik kita, jika yang lain yang misterius itu, entah bagaimana
caranya tidak keluar mendatangi dan menjumpai kita? Seperti apakah yang lain itu? Itulah
pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab oleh Kristianitas! Menurut iman Kristiani, misteri
yang ada di dalam inti kenyataan yang biasa disebut Allah, yang telah mengambil inisiatif,
prakarsa, dan dinyatakan kepada kita dalam pribadi Yesus dari Nazaret. Perjumpaan dalam
iman dengan misteri Allah ini membawa dampak pada pengalaman kita dengan berbagai cara.
Dalam membahas perjumpaan dalam iman itu, tradisi Katolik telah lama membedakan antara
tindak (act) iman dan isi (content) iman. Kita akan membicarakan dua segi iman itu maupun
sumbernya dalam Roh Kudus.
Tindak Iman
Tindak iman merupakan penerimaan Allah dan kasih Allah yang diwahyukan kepada kita
dalam pribadi Yesus. Tindak iman mencakup perjumpaan pribadi dengan Allah yang membuat
orang mempercayakan diri, percaya, menyerah dan mencintai. Tindak iman dapat dibandingkan
dengan kisah di dalam Injil; bagaimana seorang wanita yang menderita sakit pendarahan (Mrk
5:28), perwira dengan hamba yang sakit (Mat 8:5-13), dan ayah yang anaknya kerasukan setan
(Mrk 9:24) membuka diri mereka kepada Yesus dan mengalami kekuasaan Kerajaan Allah yang
hadir dalam diri-Nya. Terutama dalam Injil Sinoptik, iman kepada Yesus selalu menyangkut
kepercayaan diri secara pribadi yang mendalam. Dengan demikian, tindak iman merupakan
saat Allah menjadi nyata bagi seseorang dan ia mencapai hubungan pribadi dengan Allah dan
dengan Yesus. Tindak iman merupakan ”peziarahan iman” pribadi seseorang yang dapat
digambarkan sebagai ”penerimaan Allah yang berlangsung secara progresif, yang dapat mencapai ekstasi mistis sebagai puncaknya dalam hidup ini”1 sebagaimana tampak dialami oleh St.
Fransiskus Assisi.
Tindak iman merupakan tanggapan total seseorang. Kata Injil untuk tanggapan ini adalah
metanoia (Mrk 1:15), yang biasanya diterjemahkan menjadi ”penyesalan”, ”pertobatan” atau
”pembalikan”. Akan tetapi, metanoia bukan hanya berarti penyesalan atau kesedihan karena
dosa-dosa, melainkan perubahan hati secara total. Metanoia merupakan tindak kreatif yang
mengatur kembali prioritas-prioritas seseorang dan memberi kepadanya perasaan diri dicintai
dan disayangi oleh Allah, sekalipun berdosa. Tindak iman pada dasarnya merupakan tindakan
bebas karena Allah selalu menghormati kebebasan manusia. Allah tidak memaksa kita. Tindak
iman merupakan tanggapan terhadap ajakan Allah, rahmat, kehadiran Allah. Akan tetapi
sebagai tanggapan pribadi, tindak iman itu dapat berdampingan dengan keraguan, karena
objek iman tidak dilihat dengan langsung (bdk. Ibr 11:11). Dalam hidup ini, seperti dikatakan
oleh St. Paulus, ”kita melihat suatu gambaran yang samar-samar, seperti dalam cermin” (1Kor
13:12).
Jika tindak iman itu sejati, tindak iman itu akan mewujudkan diri dalam perbuatanperbuatan. Tindak iman tidak dapat disempitkan melulu menjadi penerimaan dan kepercayaan.
Tradisi Katolik meyakini betul-betul kata-kata St. Yakobus: ”Jika iman itu ..., maka iman itu pada
hakikatnya adalah mati” (Yak 2:17).
Di kalangan kelompok orang-orang Kristiani tertentu, saat terjadinya iman pribadi kepada
Yesus ini digambarkan sebagai ”dilahirkan kembali”, ”membiarkan Yesus masuk ke dalam
hidupnya” atau sebagai ”menerima Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat pribadi”. Mereka
suka menyebut Yesus ”Tuhanku” atau ”Yesusku”. Sedang orangorang Katolik biasa
menggunakan sebutan ”Tuhan” atau ”Kristus” yang lebih bernada formal daripada orang-orang
Kristiani yang bernada pribadi dan mungkin agak sarat dengan rasa atau emosi.
Sebetulnya orang-orang Katolik dapat belajar sesuatu dari cara menyebut Yesus yang lebih
emosional itu. Karena, akibat sebutan formal kepada Yesus itu, tanpa sadar banyak orang
Katolik menyempitkan iman menjadi isi teologisnya, yaitu, percaya segala ”pengajaran” dan
”ajaran” Gereja. Mereka kurang memperhatikan dimensi tindak iman yang penting, yaitu
perjumpaan pribadi dengan Yesus yang dirasakan dengan kuat oleh orang-orang Kristiani di
atas. Karena bagaimanapun juga bahasa yang bersifat pribadi itu menggambarkan pengalaman
yang amat nyata, saat pertobatan atau keputusan pada waktu orang membuat komitmen yang
sangat pribadi kepada Tuhan dalam iman.
Namun, banyak orang Katolik telah mendapatkan pengalaman-pengalaman semacam itu
pada waktu iman mereka diuji, dan mereka telah menegaskannya serta menjadikannya milik
sendiri yang amat pribadi. Orang-orang Katolik lain mengalami iman mereka sebagai sesuatu
yang telah menjadi bagian dari hidup mereka, pada waktu kesadaran dan pengetahuan tentang
Allah yang tumbuh bersama jalannya waktu dan menjadi mendalam di dalam diri mereka.
Sedang orang-orang Katolik yang lain lagi menemukan iman mereka amat nyata, meski adanya
kejatuhan-kejatuhan yang mereka alami dan dosa-dosa yang mereka lakukan. Suatu keraguan
dan formalitas tertentu dalam ungkapan tidak berarti bahwa seseorang belum melakukan tindak
iman, bahkan jika tindak itu belum diungkapkan secara jelas dalam bahasa injili.
Tetapi ada beberapa alasan yang mendalam mengapa orang Katolik mencurigai bahasa
yang terlalu personal dan emosional. Bagi orang-orang Katolik, pengetahuan tentang Allah
selalu merupakan pengetahuan yang didapat melalui perantaraan tertentu. Allah tidak dialami
secara langsung melalui semacam pengalaman rohani atau pewahyuan pribadi. Iman lebih
daripada sekadar pengalaman subjektif ”dilahirkan kembali”, dan tak dapat
dipersempit menjadi perasaan atau penerangan batin. Meskipun mempunyai tradisi mistik yang
kuat dan mengakui adanya kemungkinan visiun, Katolisisme cenderung mencurigai
pengalaman iman yang terlalu dipribadikan. Katolisisme selalu menekankan dimensi sosial dan
komunal iman, yaitu bahwa iman itu bukan sekadar iman orang-perorangan, melainkan juga
iman jemaat yaitu Gereja.
Renungkan sejenak perjalanan iman Anda sendiri. Bagaimana Anda sampai pada iman
pribadi? Siapakah Allah itu bagi Anda? Bagaimana Anda menggambarkan Allah? Pernahkah
Anda mengalami kehadiran Allah secara khusus? Siapakah Yesus? Apakah Anda merasa
bahwa Yesus itu seorang pribadi bagi Anda, dan bahwa Anda mempunyai hubungan pribadi
dengan-Nya? Dengan cara-cara apa Yesus telah membantu Anda mengenal siapa Allah itu?
Atau dikatakan secara
lain, apakah Allah yang Anda kenal adalah Allah Yesus seperti
terurai dalam Injil? Apakah pengalaman Anda akan Allah Trinitarian; apakah Anda berpikir
tentang Allah sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus?
Siapa atau apa yang telah membentuk dan mempengaruhi iman Anda? Apakah orang tua
Anda memainkan peran penting? Kakek-nenek? Sanak-saudara? Dapatkah Anda ingat saatsaat, mungkin pada waktu acara keluarga, doa-doa menjelang makan, doa dan renungan di
depan gua Natal, atau pada waktu dikaruniai anggota keluarga baru dengan kelahiran anak,
pengalaman-pengalaman yang membuat Anda menyadari kehadiran Allah dalam hidup
keluarga Anda?
Apakah ada guru, imam, bruder, atau suster, pembimbing rohani, atau teman yang telah
membantu Anda dalam memperdalam iman Anda? Pernahkah Anda mengadakan diskusi yang
serius tentang pergulatan Anda untuk beriman, untuk mengenal Allah dengan sahabat Anda?
Biasanya bila kita menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, dengan merenungkan
dari mana asalnya iman kita, kita menjadi sadar tentang orang-orang yang telah membantu kita
mengenal dan percaya pria dan wanita yang telah berbagi iman mereka kepada kita, yang telah
membantu kita mengenal Kitab Suci, yang telah merayakan iman mereka dengan kita dalam
doa, ibadat, perayaan keagamaan, yang bagi kita telah menjadi jemaat yang disebut ”Gereja”.
Kita akan kembali pada pengertian tentang iman yang sampai kepada kita dengan perantaraan
jemaat Kristiani, tetapi sebelum itu bagaimana Sabda men-jadi hidup bagi kita, bagaimana kita
mampu mengenal Yesus sebagai Tuhan, bagaimana kita dibantu menerima Yesus sebagai
Allah kita.
Roh yang Mewahyukan
Jika tindak iman dimengerti sebagai tanggapan pribadi terhadap Allah, tanggapan itu dibuat
oleh pribadi Roh yang memungkinkan kita mengenal Allah dan Yesus Kristus, yang telah diutus
Allah (bdk. Yoh 17:3). Roh Kudus dengan demikian merupakan sumber iman kita. Meski kerap
menjadi yang terakhir dalam perumusan teologis, namun Roh merupakan yang pertama pada
tingkat pengalaman. Roh adalah hidup dan napas Allah di dalam dan bagi dunia, kelanjutan
misteri penjelmaan sesudah hidup Yesus di dunia.
Akan tetapi, sulitlah membicarakan Roh itu. Kita tidak mengalami Roh secara langsung.
Roh Kudus harus ditegaskan. Kita merasakan gerak Roh. Kata ”Roh” sendiri menyarankan
sesuatu yang lebih terasa daripada dimengerti, sesuatu yang mempercepat dan
memperhangat, daya tarik yang memberi hidup dan persatuan. Kata Hibrani ”roh” yaitu, rûah
sulit untuk diterjemahkan. Dalam konteks yang berbeda-beda kata itu berarti ”napas,” ”angin”,
”prinsip hidup.” Kata Yunani pneuma sama halnya. Napas merupakan tanda kehidupan. Angin
dapat lembut, sejuk, atau panas. Lagu Veni Creator Spiritus, doa Sequentia dalam liturgi Pesta
Pentakosta, menyebut kehadiran Roh Kudus yang membawa perubahan:
Sembuhkanlah luka kami,
perbaruilah kekuatan kami;
siramilah jiwa kami yang layu;
basuhlah noda-noda kesalahan kami;
lenturkanlah hati dan kehendak yang keras;
cairkanlah yang beku, hangatkanlah yang dingin.
Dalam Kitab Suci Hibrani, terutama sesudah pembuangan, ”roh” kerap dijadikan
personifikasi kehadiran dan kegiatan Allah. Roh
Allah bersifat kreatif dan memberi hidup
(Mzm 104:29-30). Pada awalnya Roh itu melayang di atas air pada waktu Allah mengatur
tatanan dan hidup dari kekacauan (Kej 1:2). Roh Allah membuat para nabi mampu
mengucapkan Sabda Allah dan dengan demikian kehadiran Allah dalam kehidupan jemaat (Bil
11:17 dst.; 2Sam 23:2; Yeh 3:8). Roh itu juga dikaitkan dengan pengadilan dan perhatian Allah
untuk keadilan (Mi 3:8; Yes 11:2-4; 42:7; 61:1-2).
Roh Allah hadir dan aktif sepanjang hidup Yesus. Ia dikandung oleh Roh (Mat 1:20; Luk
1:35), menerima Roh pada waktu pembaptisan (Mrk 1:10), melaksanakan pelayanan dengan
menyampaikan kabar baik kepada kaum miskin (Luk 4:18-19), dan mengadakan mukjizatmukjizat serta melakukan pengusiran-pengusiran roh-roh jahat dalam Roh (Mat 12:28), dan
menghembuskan Roh pada para murid-Nya, Gereja (Luk 24:49). Bagi St. Paulus, Roh
merupakan prinsip hidup Gereja. Roh memberi hidup baru kepada umat beriman (Rm 8:11) dan
dalam baptis Roh menyatukan mereka menjadi satu tubuh Kristus (1Kor 12:13). Roh
merupakan sumber struktur karismatis Gereja dan pelayanannya (1Kor 12). Dalam kisah para
Rasul, Roh membimbing pertumbuhan Gereja awal. Rumusan baptis Trinitarian pada akhir Injil
Matius (28:19) dan penyebutan Penghibur dalam Injil Yohanes merupakan teks Perjanjian Baru
yang paling dekat mempersonifikasikan Roh dalam hubungan Bapa dan Putra.
Pengalaman apa yang ada di balik kata ”Roh” dalam Perjanjian Baru ini? Mungkin kuncinya
dapat kita temukan dalam surat-surat St. Paulus. Paulus melihat Roh sebagai kurnia Yesus
yang telah bangkit; ada ”dalam Kristus” adalah memiliki hidup baru ”dalam Roh” yang membuat
kita mampu mengenal kasih Allah (bdk. Rm 5:5), menyebut-Nya sebagai Abba ”Bapa” (Rm
8:15), dan berdoa dari hati (bdk. Rm 8:26-27)2. Dalam 1Kor, St. Paulus menulis, ”Tidak ada
seorang pun yang dapat mengaku ’Yesus adalah Tuhan’ selain oleh Roh Kudus (1Kor 12:3).
Kita dapat merumuskan pandangan St. Paulus dengan mengatakan bahwa Rohlah yang
membantu kita mengenal dan menerima Yesus sebagai Tuhan, yang membuat kita mampu
mengenal kasih Allah dan menyeru kepada Allah dalam doa. Selanjutnya, ”buah Roh” dalam hi-
dup kita adalah ”kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23). Itu semua merupakan kebiasaan-kebiasaan
hati atau ”keutamaan-keutamaan” yang menjadi tanda-tanda yang dialami dari kehadiran Roh.
St. Paulus menyebut kasih sebagai karunia Roh yang paling besar (1Kor 13:13); kasih
merupakan tanda kehadiran Roh dalam hidup kita. Teologi selanjutnya mengembangkan
pengertian ini. Bagi St. Agustinus, Roh merupakan kasih timbal balik antara Bapa dan Putra
yang menarik kita untuk masuk dalam hubungan kasih itu supaya kita sungguh-sungguh ikut
ambil bagian dalam hidup Ilahi. Dalam teologi Trinitarian Gereja, komunikasi-diri Allah terjadi
dalam Putra (penjelmaan) dan mengubah hidup kita dalam Roh (rahmat). Pada gilirannya, Roh
menarik kita untuk masuk secara lebih mendalam ke dalam hidup Kristus dan dengan demikian
kembali kepada Bapa.
Sejak awal Gereja, liturgi baptis telah merayakan penyadaran pada iman kepada Allah
melalui Kristus dalam Roh ini. Orang yang dibaptis bukan menerima Roh, melainkan mengakui
kegiatan Roh yang membawanya kepada Allah dalam Kristus. Sebagai sakramen yang memasukkan orang ke dalam Kristus dan Gereja, baptis justru merupakan tanggapan terhadap
rahmat, terhadap kehadiran Allah dalam hidup seseorang. Ini menjadi jelas dalam liturgi pada
waktu orang yang akan dibaptis menyangkal perbuatan-perbuatan dan godaan-godaan jahat
dan mengungkapkan pernyataan iman Trinitarian.
Kita semua merasakan saat-saat kita mengalami kehadiran Roh yang menarik kita untuk
percaya, saat-saat iman kita menjadi hidup dengan cara istimewa. Tindakan Roh Kudus yang
menarik kita untuk masuk ke dalam hidup yang lebih mendalam di dalam Allah ini, tercermin
dalam bahasa tradisional mengenai ”Tujuh Kurnia Roh Kudus”: kebijaksanaan, pengertian,
nasihat, keberanian, pengetahuan, kesalehan, dan takut akan Tuhan. Perhatikanlah bagaimana
masing-masing ”karunia” itu dengan suatu cara menghubungkan kita dengan Allah.
Bagi orang-orang Katolik, pengalaman akan Roh ini selalu merupakan pengalaman yang
diperantarai. Pengalaman itu dapat berasal dari pengalaman kasih yang ramah dan
menyembuhkan, yang menerima kita sebagai pribadi apa adanya, diperantarai oleh kasih sahabat, pasangan, orang tua, seperti sudah kita bicarakan sebelumnya. Pengalamanpengalaman semacam itu mengembangkan hati kita dan mengisinya dengan ketakjuban;
pengalaman itu kerap mendorong kita untuk mencari sumber terakhir dari kasih ini. Kita juga
dapat mengalami Roh yang menarik kita kepada Kristus dalam doa dan ibadat jemaat Kristiani.
Pengalaman itu dapat muncul dari pewartaan Sabda, mendorong kita untuk mempercayakan
diri, untuk membuka diri kita kepada Allah. Hal itu dapat terjadi pada peristiwa sakramental,
pada waktu kita menjadi sadar akan kehadiran Kristus dalam roti yang dipecah dan anggur
yang dituangkan, atau dalam jemaat, atau dalam menerima pengampunan. Itulah saat-saat kita
merasakan kehadiran Roh dalam diri kita.
Dalam dua bagian terakhir ini kita telah mengetahui bahwa iman Katolik bersifat iman
komunal, eklesial. Meskipun masing-masing orang pada akhirnya harus memberi tanggapan
terhadap Roh, terhadap rahmat Allah, dengan membuat tindak iman, orang-orang Katolik
menemukan kehadiran Allah yang diperantarai oleh Gereja, dengan jemaat, sejarah, lambanglambangnya yang kudus, sakramen-sakramennya, bahkan struktur-struktur kelembagaannya.
Iman Katolik berakar dalam sejarah Israel yang telah diwahyukan secara penuh dalam hidup,
kematian, dan kebangkitan Yesus, dan telah diteruskan selama berabad-abad sejak komunitaskomunitas agama Kristen awal oleh tradisi yang hidup.
Isi Iman
Jika Injil Sinoptik menekankan iman sebagai mempercayakan diri kepada Yesus, Injil
Yohanes menekankan dengan sama kuatnya bahwa iman tidak hanya mempercayakan diri
kepada Yesus tetapi juga menerima ajaran-Nya. Percaya kepada Yesus berarti bahwa kita
menerima siapa Yesus itu (Yoh 6:69), asal-usul-Nya (Yoh 16:30), dan kata-kata yang telah
diucapkan-Nya (Yoh 2:22; 5:47; 8:45). Dengan kata lain, iman juga berkaitan dengan isi, kisah
tentang Allah dan umat Allah, yang diungkapkan dalam Kitab Suci, dalam syahadat, dan dalam
ajaran-ajaran Gereja.
Bagaimana kita dapat meringkas isi iman Kristiani? Untuk itu, kita harus melihat kembali
kisah Umat Allah yang termuat dalam Kitab Suci Hibrani, yaitu kumpulan tulisan-tulisan suci
Yahudi yang oleh orang Kristiani biasa disebut Perjanjian Lama. Kemudian kita akan
membicarakan kisah tentang Yesus, ajaran-ajaran-Nya, hidup, kematian, dan
kebangkitan-Nya, dan cara yang digunakan oleh murid-murid-Nya, orang-orang Kristiani
pertama untuk menafsirkan dan memahami apa yang terjadi pada-Nya. Pada akhirnya, kita
perlu membahas bagaimana Gereja perdana merumuskan imannya kepada Yesus dalam
bahasa syahadat-syahadat resminya.
2. Umat Allah
Kitab Suci Yahudi dibuka dengan Kitab Kejadian. Sebelas bab pertama dari Kitab Kejadian
merupakan pendahuluan untuk kisah biblis mengenai karya Allah yang menyelamatkan. Babbab itu menceritakan kisah penciptaan dunia, asal-usul umat manusia, kejatuhan (manusia
pertama ke dalam dosa), penyebaran dosa dan akibat-akibatnya yang membawa malapetaka,
dan janji keselamatan, dengan menggunakan mitos-mitos dan kisah-kisah yang sebagian
diambil dari bangsa-bangsa tetangga Israel yang belum mengenal Allah.
Penciptaan dan Kejatuhan
Meski kisah penciptaan ditemukan paling awal dalam Kitab Suci, namun teologi penciptaan
dikembangkan baru kemudian dalam tradisi Perjanjian Lama. Orang-orang Israel pada awalnya
tidak memikirkan Allah mereka sebagai pencipta kosmis. Pemahaman awal mereka tentang
Allah mempunyai ciri dinamis dan personal. Allah bapa-bapa bangsa, dikenal dengan berbagai
nama ”Allah Abraham”, ”Yang Perkasa dari Yakub”, ”Allah Mahatinggi”, adalah dewa suku yang
menyertai perjalanan suku atau bangsa. Ini merupakan pengalaman tentang Allah orang Israel
yang paling mendasar. Kemudian, melalui pengaruh Musa, mereka mulai berbicara mengenai
Allah mereka sebagai ”Yahwe”, Allah yang menguasai umat Israel sebagai raja. Selanjutnya,
mereka memperluas Kerajaan Allah atas bangsa-bangsa lain juga (Mzm 22:29; 47; 99). Ini
merupakan pengembangan teologis yang besar. Pada waktu mereka menemukan kisah-kisah
penciptaan bangsa-bangsa tetangga, mereka mulai melihat Allah mereka sebagai pencipta.
Mazmur-mazmur menggambarkan Allah yang menjalankan kekuasaan rajawi-Nya, raja atas
ciptaan berdasarkan karya-Nya, sebagai pencipta (Mzm 74:12;93;95-99).
Mitos merupakan cara pra-ilmiah untuk menjelaskan misteri. Kita dapat mengatakan bahwa
dua kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian bercorak mitis, yaitu menyampaikan kebenaran
religius dengan cara yang amat imajinatif dan puitis. Kisah penciptaan pertama (Kej 1-2:4a)
menyampaikan gambaran yang indah tentang Allah Israel yang membentuk dunia yang teratur,
penuh terang, dan hidup, dari kekacauan, hanya melalui Sabda Ilahi-Nya saja. Dari segi sastra,
kisah itu merupakan penulisan kembali kisah penciptaan Timur Tengah, yaitu Enuma Elish
dalam bentuk Babilonianya, yang dilakukan dengan teliti oleh penulis Kitab Suci.3 Orang-orang
Israel meminjamnya dari bangsa-bangsa tetangga mereka, dengan mempertahankan struktur
dasarnya tetapi men-”demitologisasi”-kannya dengan meniadakan dari kisah asli penciptaan
dunia melalui peperangan hebat antara dewa-dewi yang saling bersaing dan menggubahnya
untuk menunjukkan Allah mereka menciptakan dunia tanpa susah payah dan sendirian.
Kisah kedua (Kej 2:4b-25) lebih berpusat pada penciptaan Allah atas manusia dari tanah
liat. Kisah itu diikuti dengan kisah kejatuhan, yang memasukkan ke dunia kekuatan-kekuatan
kekacauan yang amat merusak dan yang telah ditaklukkan serta dikendalikan oleh Allah dalam
karya penciptaan. Sesudah manusia, pria dan wanita, jatuh ke dalam godaan ular untuk
menjadi ”seperti Allah” (Kej 3:5)—yaitu menempatkan diri sebagai yang utama dengan menolak
untuk mengakui Ia yang satu-satunya Allah, dengan demikian mengambil tempat pencipta—
dunia yang diberikan Allah kepada mereka mulai rusak. Kedua manusia itu kehilangan
kemurniannya dan harus meninggalkan taman; anak-anak mereka mulai saling membunuh; dan
pada waktu keadaan tanpa hukum meluas, tak lama kemudian umat manusia sendiri hampir
hancur dengan kembalinya air awal dalam banjir besar.
Apa yang diajarkan oleh mitos ”pra-sejarah” ini? Ada sejumlah tema penting yang muncul
jika teks dibaca dengan teliti. Tema-tema itu tentang kebenaran-kebenaran religius, bukan
kebenaran-kebenaran ilmiah. Pertama-tama, pra-sejarah Kejadian mengajarkan bahwa ciptaan
sendiri itu baik, karena berasal dari tangan Allah. Kisah penciptaan pertama mengulang-ulang
refren yang menyertai karya Ilahi seperti antifon liturgis: ”Allah melihat bahwa semuanya itu
baik.”
Kedua, Kejadian menegaskan martabat manusia yang tinggi. Dasar Katolik untuk
mengatakan bahwa semua kehidupan manusia, mulai dari kehidupan anak yang belum lahir
sampai orang tua, orang yang sakit tak tersembuhkan, penjahat yang dihukum, didasarkan dari
pernyataan dalam teks bahwa pria dan wanita diciptakan ”menurut gambar Allah”. Dengan cara
yang penuh misteri, setiap manusia mencerminkan kemuliaan Allah. Tambahan pula, pria dan
wanita merupakan pasangan, diciptakan untuk saling melengkapi secara sejajar, sebagai lakilaki dan perempuan (bdk. Kej 1:27). Kritisisme mutakhir menunjukkan bahwa makhluk ha adam,
yang diterjemahkan sebagai ”pria” (Kej 2:7) tidak terbedakan secara seksual sampai Allah
menciptakan wanita. Dengan kata lain, tak ada subordinasi satu sama lain. Umat manusia
hanya ada sebagai pria dan wanita. Sebelum jatuh dalam dosa, pria dan wanita merupakan
pasangan yang sejajar dan menikmati hubungan akrab dengan Allah yang mendatangi mereka
untuk bercakap-cakap dengan mereka di taman pada sore hari yang sejuk. Dalam lambang
kemurnian yang amat bagus, hidup mereka digambarkan; karena diciptakan yang satu bagi
yang lain, pria dan wanita tak terganggu oleh ketelanjangan mereka di hadapan satu sama lain.
Ketiga, hubungan mesra antara umat manusia dan Allah rusak akibat dosa. Karena dosa
manusia pertama, terjadi tiga macam pengasingan (Kej 3:16-19). Pertama, manusia pertama
tidak lagi bersahabat dengan Allah. Kedua, hubungan mereka dengan alam rusak. Wanita
harus melahirkan anak dengan susah payah dan kesakitan. Pria harus bekerja keras untuk
mendapatkan nafkahnya berhadapan dengan alam yang sekarang melawannya. Pada
akhirnya, hubungan satu sama lain berubah. Seksualitas mereka lalu mendatangkan alienasi
dalam hubungan mereka. Mereka menjadi terganggu oleh ketelanjangan mereka dan wanita
kehilangan kesamaan dengan suaminya seperti semula dimaksudkan Allah.
Masih ada butir yang terakhir. Meski terjadi kekacauan dan alienasi yang diakibatkan oleh
tindakan manusia pertama di dalam ciptaan yang baik itu, namun Allah mau menyelamatkan
dan membebaskan umat manusia dari akibat-akibat yang datang dari dosa mereka. Kebaikan
Allah diungkapkan dalam berbagai campur tangan. Pada waktu Adam dan Hawa malu karena
ketelanjangan mereka, Allah membuatkan pakaian bagi mereka. Allah memberi tanda pada
Kain untuk melindunginya dari mereka yang mau membalas dendam atas pembunuhannya
pada diri Abil. Allah membebaskan Nuh dan keluarganya – dan dengan demikian umat manusia
– dari banjir yang menerjang. Akhirnya, kepada Abraham, Allah menjanjikan berkat bahwa
segala bangsa di dunia pada suatu hari akan ikut menikmatinya (Kej 12:3).
Keluaran dan Perjanjian
Karena karya penyelamatan Allah didasarkan atas penciptaan sendiri, kisah Umat Allah
yang sebenarnya mulai dengan Abraham, bapa bangsa Israel dan model biblis orang beriman.
Allah memanggil Abraham agar meninggalkan keluarga bapak dan sukunya serta pergi ke
tanah yang tidak dikenal, Kanaan. Keturunan-keturunannya menetap di sana, tetapi angkatanangkatan sesudahnya terpaksa mengungsi ke Mesir karena kelaparan. Di Mesir mereka
menjadi minoritas yang ditindas, pekerja migran yang dijadikan budak dalam kerajaan yang
menindas. Buku Keluaran menceritakan kisah pembebasan Allah atas umat dari belenggu dan
penindasan dengan perantaraan kepemimpinan Musa.
Keturunan Abraham bukan bangsa yang penting. Secara historis orang-orang yang
meninggalkan Mesir bersama Musa, yang kemudian menjadi bangsa Israel, mencakup
”kelompok orang yang bernenek moyang campuran” (Kel 12:38), orang-orang Yahudi dari
berbagai suku, budak-budak yang melarikan diri dan sejumlah orang Mesir. Akan tetapi, kisah
Keluaran merupakan pusat dari identitas bangsa Yahudi (seperti pengalaman Holokaus zaman
Nazi Jerman tidak terpisahkan dari apa arti menjadi Yahudi dewasa ini). Menjadi seorang
Yahudi adalah menjadi anggota kelompok malang yang dipilih, dibebaskan, dan dibentuk Allah
menjadi suatu bangsa. Yang menjadi butir-butir sejarah bangsa itu adalah bahwa Allah memilih
mereka dari antara bangsa-bangsa; mereka dibimbing melalui padang pasir dengan perbuatanperbuatan penuh kuasa; mereka dipimpin oleh tokoh-tokoh yang penuh dengan Roh seperti
Musa dan Miriam; mereka diselamatkan dari pengejaran orang-orang Mesir di Laut Merah dan
Allah mengadakan perjanjian dengan mereka di gunung Sinai. Dekalog, Sepuluh Perintah, yang
diberikan kepada Musa di gunung yang kudus merupakan ungkapan paling awal dari Perjanjian
itu, dan oleh perjanjian itu terciptalah hubungan antara Yahwe dan Israel, dan Israel dijadikan
umat Allah yang kudus: ”Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah
Mesir dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku” (Kel 20:2-3).
Dosa dan Keselamatan
Bagi orang-orang Israel, peristiwa Keluaran merupakan penyelamatan Allah. Peristiwa itu
merupakan tindakan Allah di masa lampau Israel. Tindakan itu merupakan tindakan Allah dalam
sejarah mereka yang diambil Allah untuk membebaskan orang-orang migran yang diperbudak
dari penindasan dan membuat mereka menjadi bangsa. Tradisi Israel terus melihat kembali
peristiwa besar yang menjadi dasar pembentukan bangsa itu dan merayakannya (Mzm 103:2345; Yes 63:11-14). Penyeberangan Laut Merah yang menakjubkan, awan pada siang hari dan
pilar api pada malam hari, penampakan Allah di gunung Sinai, dua loh batu dengan Perintah
yang tertulis padanya; semua itu merupakan lambang kehadiran Allah pada bangsa-Nya selama perpindahan mereka dari Mesir ke tanah Kanaan. Pesta Paskah merupakan jamuan ritual
yang secara simbolis memperagakan kembali peristiwa pembebasan mereka. Akan tetapi,
sejarah Israel selanjutnya menyebabkan pergeseran dalam pembayangan religius bangsa, dan
keselamatan mulai dilihat sebagai sesuatu yang akan dilakukan Allah di masa mendatang
daripada sebagai penyelamatan di masa lampau. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan
pergeseran itu adalah pengalaman gagal dan bersalah, atau dalam istilah teologis, pengalaman
dosa.
Sementara dosa dan rahmat selalu ada bersama dalam kehidup-an bangsa Israel, Israel
sebagai komunitas mengalami sejumlah krisis antara abad ke-9 dan abad ke-6 SM. Kesatuan
yang telah dibentuk oleh Daud antara suku-suku Utara dan Selatan hancur pada tahun 922 SM
pada waktu satu kerajaan terpecah menjadi dua, Israel di Utara dan Yudea di Selatan. Kedua
kerajaan itu diperlemah oleh serangkaian raja-raja yang lemah dan kerakusan kelas-kelas
atasnya. Tambahan lagi, bangsa Yudea, yang secara salah percaya akan pilihan Allah dari
keluarga Daud, terutama yang diungkapkan dalam ramalan Nabi Natan (2Sam 7:16),
mengubah tradisi religius mereka menjadi ideologi politis. Serangkaian panjang nabi-nabi
berusaha mengajak bangsa itu untuk bertobat, dengan menghukumnya karena memuja dewadewa palsu, karena percaya pada senjata dan persekutuannya dengan penguasa-penguasa
asing daripada percaya pada Yahwe, dan terutama karena ketidakadilan dan penindasan
mereka pada kaum miskin. Nabi-nabi seperti Amos, Yesaya, Mikha, Yeremia, Habakuk,
Yehezkiel, dan Maleakhi mencela pemimpin-pemimpin bangsa dan kelas-kelas atas karena
kerakusan, korup, tak adanya rasa belas kasihan, dan penggantian mereka atas agama dengan
ketaatan lahiriah untuk keadilan dan belas kasihan yang dituntut oleh Hukum (Am 5:7-12,21-24;
8:4-6; Yes 1:1-17; 10:1-4; 58:3-7; Yer 7:3-7).
Sulitlah untuk terlalu menekankan pandangan tentang agama biblis dan profetis ini:
upacara keagamaan tanpa keadilan dan belas kasih kepada kaum miskin tidak berkenan bagi
Tuhan (Yes 1:13-15). Kita perlu mendengar pesan ini dewasa ini seperti zaman Israel kuno.
Akan tetapi, nabi-nabi Israel gagal. Kedua kerajaan jatuh, Israel pada tahun 721 SM jatuh ke
tangan Asiria, Yudea jatuh ke tangan orang Babilon pada tahun 587 SM. Nabi-nabi melihat
peristiwa ini sebagai pengadilan Allah pada bangsa karena ketidaksetiaan, kedosaan mereka.
Akan tetapi, khotbah nabi tidak tanpa janji untuk pembebasan di masa datang. Para nabi
selalu menyampaikan harapan bahwa Allah akan campur tangan lagi dalam kehidupan bangsa,
dengan menunjukkan kebaikan penuh kasih ilahi, menghancurkan kejahatan yang menindas
mereka, dan menyatakan keselamatan yang hanya dapat didatangkan oleh Allah. Demikianlah
keselamatan menjadi sesuatu yang bakal datang, campur tangan di masa depan. Janji Allah
adalah tidak meninggalkan bangsa yang dipilih dan disayangi-Nya ke suatu nasib yang
diakibatkan oleh dosa-dosa mereka.
Para nabi tidak dapat melukiskan gambaran yang konkret mengenai masa depan. Harapan
mereka adalah umum, tidak khusus. Akan tetapi, dalam tulisan-tulisan profetis ditemukan
berbagai gambaran dan ungkapan-ungkapan mesianis untuk mengungkapkan kepercayaan
mereka akan keselamatan Allah yang bakal datang. Mereka berbicara tentang raja keturunan
Daud atau ”mesias” yang akan memulihkan kehidupan religius bangsa dan memerintah dengan
bijaksana (Yes 9:16; Mi 5:1-5; Yer 23:5; Yeh 37:24; Za 9:9). Beberapa berbicara mengenai
”Hari Yahwe” pada waktu pengadilan Allah akan dinyatakan, dengan membawa keadilan bagi
kaum miskin, hiburan bagi orang yang sedih, dan hukuman bagi mereka yang berbuat jahat
(Yes 2:11; Yl 4:14; Zef 1:14-18; 2:4-15). Yesaya (1:12; 5:6), Zefanya (2:7,9; 3:13), dan Zakharia
(8:10-12) berbicara tentang ”sisa” Israel yang akan mengenal lagi berkat Yahwe.
Yehezkiel berbicara tentang pembaruan perjanjian (Yeh 27:26; 34:27); Yeremia, dengan
lebih pesimis, melihat Allah menetapkan perjanjian baru (31:31-34). Dalam Kidung Hamba
Yahwe yang indah (Yes 42:1-4; 49:1-6; 50:4-9; 52:13-53:12) Yesaya kedua menggunakan gambaran Hamba Yahwe yang penuh teka-teki, yang akan membawa sendiri keselamatan Allah.
Tradisi apokaliptik pada Yudaisme sesudah pembuangan yang berkembang pada masa krisis
yang luar biasa pada waktu orang-orang Yahudi yang taat mati demi hak untuk menjalankan
iman mereka, memandang ke akhir sejarah dan tatanan baru yang mencakup kebangkitan
orang mati (Dan 12:1-3; 2Mak 12:44); untuk pertama kali gagasan tentang hidup sesudah mati
masuk ke dalam tradisi Yahudi.
Khotbah nabi-nabi dan harapan akan kebangkitan umum orang mati dalam tradisi
apokaliptik menimbulkan harapan pada abad pertama Yudaisme Palestina, yang diungkapkan
dengan berbagai cara, bahwa Allah akan melakukan sesuatu yang baru. Dalam khotbah
Yohanes Pembaptis, harapan itu diungkapkan dalam bentuk peringatan akan pengadilan yang
akan datang: ”Hai kamu keturunan ular beludak! Siapakah yang mengatakan kepadamu
melarikan diri dari murka yang akan datang?” (Luk 3:7). Sebaliknya, khotbah Yesus sejak awal
adalah pesan kabar baik, yang secara harfiah merupakan arti dari kata ”injil”.
3. Yesus dan Pemerintahan Allah
Sangat mungkinlah bahwa untuk beberapa waktu Yesus menjadi anggota gerakan
Yohanes Pembaptis.4 Pastilah pembaptisan Yesus oleh Yohanes merupakan titik balik dalam
hidup-Nya. Injil menceritakan penampakan Allah sesudah pembaptisan-Nya, Yesus diurapi
dengan Roh dan dinyatakan sebagai Putra Allah. Meskipun tidak mungkinlah menemukan
pengalaman batin Yesus di belakang teks-teks, Lukas mencatat bahwa teofani itu terjadi pada
waktu Yesus ”sedang berdoa” (Luk 3:21), dan para pengarang Injil Sinoptik sepakat bahwa
sesudah itu Yesus mengundurkan diri ke padang gurun dan menggunakan banyak waktu untuk
berdoa dan hening. Pada waktu Ia kembali dari padang gurun, Ia mulai berkhotbah dan
mengumpulkan sekelompok murid di sekeliling-Nya. Dari murid-murid itu, Ia memilih 12 orang,
angka simbolis Israel yang diperbarui.
Pewartaan Yesus
Dalam tahun-tahun pelayanan-Nya yang tidak panjang, Yesus tidak berbicara banyak
tentang diri-Nya sendiri, dan pesan-Nya pun bukan terutama tentang hidup di masa depan.
Menurut Lukas, Yesus ”Adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan”
(Luk 24:19), yang ”berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang
yang dikuasai Iblis. Sebab Allah menyertai Dia” (Kis 10:38). Bahkan sekarang ini kita dapat
merasakan kekuatan perumpamaan-perumpamaan-Nya. Perumpamaan-perumpamaan itu sulit
kita terima, karena menantang cara berpikir kita yang sudah biasa. Seperti dikatakan oleh
Eamonn Bredin, perumpamaan-perumpamaan itu menyampaikan kepada kita visi, pandangan
baru yang mengejutkan, bahkan subversif: ”Orang Samaria-lah yang merupakan sesama; yang
terakhir-lah yang menjadi yang pertama; orang yang hilang-lah yang membuat orang gembira;
orang asing-lah yang tetap; anak boros-lah yang dipeluk dan dipestakan”.5
Gambaran yang memberi ciri utama pada pewartaan-pewartaan Yesus adalah gambaran
tentang Kerajaan Allah, karena Ia menyatakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk 1:15).
Meskipun istilah ”Kerajaan Allah” mempunyai akar dalam Perjanjian Lama, terutama dalam
konsep merajanya Yahwe, namun sebagian besar merupakan ungkapan Perjanjian Baru.
Dalam pewartaan Yesus, istilah ”Kerajaan Allah” itu berfungsi lebih sebagai lambang daripada
konsep yang dirumuskan dengan jelas. Yesus tidak menjelaskannya, tetapi menggambarkan
maknanya dengan perumpamaan-perumpamaan dan kedatangan-Nya melalui pelayanan-Nya.
Istilah ”kerajaan” (basileia) kerap dan lebih tepat diterjemahkan sebagai ”pemerintahan” karena
istilah itu menunjuk peristiwa yang dinamis, bukan tempat. Dalam pewartaan Yesus,
pemerintahan Allah hadir baik sekarang ini maupun di masa yang akan datang.
Dimensi masa depan pemerintahan Allah amat jelas dalam pewartaan Yesus. Dalam doa
Bapa Kami, Ia mengajar murid-murid-Nya berdoa untuk kedatangan pemerintahan Allah (Mat
6:10). Sabda Bahagia menjanjikan hiburan dan kegembiraan kepada orang miskin, orang yang
berdukacita, dan yang lapar dalam Kerajaan Allah (Mat 5:3-12; Luk 6:20-23). Sabda-sabda Injil
tentang Putra Manusia yang datang untuk mengadili menunjukkan dimensi masa depan
Kerajaan Allah (Luk 12:8-9). Seperti dikatakan oleh John P. Meier dalam studinya tentang
Yesus historis, ”Kerajaan eskatologis yang diwartakan Yesus ... akan berarti pembalikan dari
segala penindasan dan penderitaan yang tidak adil, pemberian ganjaran yang dijanjikan kepada
orang-orang Israel yang setia (kebahagiaan), dan keikutsertaan penuh dalam kegembiraan oleh
umat beriman (dan bahkan beberapa bangsa lain) dalam pesta surgawi dengan para bapa
bangsa Israel (Mat 8:11-12 dsj. dan doa permohonan roti dalam Doa Bapa Kami)”.6
Akan tetapi, Kerajaan dalam arti tertentu sudah hadir dalam pelayanan Yesus, menjadi
nyata dalam hidup orang-orang lain melalui pewartaan dan perumpamaan-perumpamaan-Nya,
mukjizat-mukjizat dan pengusiran-pengusiran setan, pewartaan tentang pengampunan dosa,
dan praktek makan bersama-Nya. Sesudah mengusir setan dari orang yang tidak mampu
berbicara, Yesus menjawab orang-orang yang mengecam-Nya: ”Tetapi jika Aku mengusir setan
dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang padamu” (Luk 11:20).
Tentulah inti tradisi mukjizat Injil itu historis, yaitu mukjizat-mukjizat yang berhubungan dengan
penyembuhan orang yang menderita dan sakit, meski beberapa mukjizat yang sifatnya lebih
hebat, seperti contohnya, mengubah air menjadi anggur di pesta pernikahan di Kana, mungkin
merupakan ciptaan para pengarang Injil.
Tradisi makan bersama, acara makan yang diikuti Yesus bersama teman-teman, para
pendosa, dan orang-orang lain yang oleh para penguasa agama dianggap ada di luar hukum
(Mrk 2:16-19), menunjukkan bahwa Kerajaan Allah mencakup semua orang; tidak ada
orang yang dikecualikan. Yesus terus-menerus dikecam karena bergabung dengan ”para
pemungut cukai dan pendosa.” Ekaristi Gereja mempunyai akar dalam tradisi makan bersama
ini. Perumpamaan-perumpamaan tentang Kerajaan – petani dan benih, rumput dan gandum,
biji sesawi, ragi yang dicampur dalam tepung, jala yang ditebarkan ke laut (Mat 13:1-53) –
mengutarakan dimensi Kerajaan Allah, baik kini maupun di masa mendatang.
Dengan demikian, Kerajaan Allah ”merupakan istilah Yesus yang menyeluruh untuk berkatberkat keselamatan, sejauh mengandung arti kegiatan Ilahi di dalam hidup manusia”.7 Kerajaan
Allah berarti bahwa Allah harus ditemukan di tengah-tengah kita, bahwa kekuasaan penyelamatan Allah harus ditemukan di antara kita, pada waktu kita membuka diri kita kepada Allah
dengan iman, dan keluar menghubungi orang-orang lain dengan penuh belas kasih seperti
dilakukan Yesus. Namun, kita masih harus menunggu kepenuhan keselamatan kita.
Meskipun semua dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam Kerajaan Allah, Yesus membuat
hubungan antara masuk ke dalam Kerajaan dan tanggapan orang secara pribadi. Orang harus
menjadi seperti anak kecil untuk masuk ke dalam Kerajaan (Mrk 10:15; Luk 18:17). Ia memanggil mereka yang mendengarkan untuk pertobatan pribadi (Mrk 1:15), untuk menjadi murid
demi pelayanan Kerajaan Allah, mengajar mereka untuk mencintai orang lain dengan cinta
kepada semua orang dan penuh pengorbanan-diri (Mat 5:38-48), setia kepada pasangan
perkawinannya (Mat 5:31-32), dan memperingatkan tentang bahaya-bahaya kekayaan (Mrk
10:24-25; Luk 12:16-21). Sabda Bahagia merupakan inti pewartaan-Nya; Sabda itu
menggambarkan mereka yang akan menemukan pemenuhan dalam Kerajaan Allah. Dapat masuk tidaknya ke dalam Kerajaan Allah tergantung dari perilaku orang terhadap sesamanya,
terutama orang miskin dan orang yang menderita (Mat 25:34-46).
Siapakah Allah yang diwartakan oleh Yesus? Yesus adalah seorang pengkhotbah keliling,
tukang cerita, bukan teolog. Ia tidak memberi kuliah-kuliah abstrak tentang hakikat Allah.
Gambaran-Nya tentang Allah bersifat pribadi dan konkret. Dalam khotbah-Nya, Allah tampil
sebagai seorang Bapa yang penuh kasih, yang begitu melihat anaknya yang hilang kembali
segera bergegas untuk menyongsong dan memeluknya (Luk 15:20). Allah adalah gembala
yang meninggalkan sembilan puluh sembilan domba untuk pergi mencari satu domba yang
tersesat (Mat 18:13). Kegiatan Allah di dunia tidak kelihatan tetapi pasti; Allah adalah wanita
yang mencampur ragi ke dalam tepung roti, sampai akhirnya membuatnya khamir seluruhnya
(Mat 13:33). Allah adalah tuan yang amat bermurah hati karena perhatiannya kepada mereka
yang malang, yang memberi upah pekerja yang nganggur yang dipekerjakan pada akhir hari
dengan upah yang sama dengan mereka yang dipekerjakan pada pagi hari (Mat 20:1). Allah
adalah Pribadi yang menunjukkan perhatian khusus kepada orang-orang yang miskin, lapar,
dan berduka cita (Luk 6:20-21), yang membalikkan kebiasaan dengan membuat yang terakhir
menjadi yang pertama dan yang pertama menjadi yang terakhir (Mrk 10:31; Luk 1:52-53). Allah
adalah pemilik kebun anggur yang membuat diri rentan, yang mengambil risiko dengan
mengutus anaknya yang terkasih sesudah para penyewa memperlakukan para buruh dengan
kasar dan membunuh orang-orang yang sebelumnya diutus untuk mengambil bagian hasil
panenan (Mrk 12:6). Allah adalah pribadi yang oleh Yesus terus-menerus dimohon dalam doa,
pribadi yang disebut Yesus ”Abba”, istilah akrab yang digunakan anak untuk bapaknya.
Kematian dan Kebangkitan
Dalam mewartakan belas kasih Allah, kasih yang merangkum bahkan ”para pemungut
cukai dan pendosa,” secara tersirat Yesus menantang para pemimpin religius Yahudi. Perasaan
bahwa otoritas mereka terancam telah membuat mereka menjadi semakin melawan Yesus.
Pada akhirnya, mereka bersekongkol dengan para pejabat pemerintahan Romawi untuk
membunuh-Nya. Dalam arti yang amat nyata kejahatan yang hadir di dunia, kejahatan yang
merupakan akibat kedosaan manusia, terungkap secara konkret dalam diri para pemimpin
politis dan religius yang menolak untuk mengakui kehadiran
Allah dalam pelayanan
Yesus. Ia mencurahkan seluruh hidup-Nya bagi orang lain, bahkan sampai mati di salib.
Dengan demikian, kematian yang diterima-Nya dengan bebas merupakan pemenuhan hidupNya untuk memberikan diri-Nya kepada orang-orang lain, penyerahan-diri yang merupakan
bagian pelayanan-Nya demi Kerajaan Allah.
Orang-orang Kristiani awal melihatnya
sekaligus sebagai korban. Bahasa korban yang ada dalam kata-kata yang diucapkan oleh
Yesus sendiri atas roti dan piala pada Perjamuan Terakhir ”tubuh-Ku ... yang diserahkan bagi
kamu ... perjanjian baru oleh darah-Ku, yang akan ditumpahkan bagimu” (Luk 22:19-20).
Yesus menyongsong kematian-Nya sendiri, ditinggalkan oleh teman-teman-Nya dan
mungkin merasa ditinggalkan bahkan oleh
Allah (bdk. Mrk 15:34). Namun demikian Ia
tidak putus asa; sampai akhir Ia terus percaya bahwa Dia yang disebut-Nya ”Bapa” akan membela-Nya;8 dan Allah membangkitkan-Nya ke hidup kekal. Kebangkitan Yesus merupakan inti
tradisi Perjanjian Baru. Tanpa kebangkitan itu, kisah orang-orang Kristiani awal tidak masuk
akal. Kisah itu tidak padu. Meskipun kadang-kadang kita berkata Yesus ”bangkit” dari mati, bahasa itu kurang tepat. Dalam Perjanjian Baru, kebangkitan merupakan sesuatu yang terjadi
pada Yesus. Allah membangkitkan-Nya. Bahkan jika bukan merupakan hal yang dapat
dibuktikan dengan metode penelitian historis biasa, kebangkitan bukan hal yang tidak nyata.
Kebangkitan tidak dapat disempitkan menjadi pengalaman subjektif dari pihak para murid.
Namun, masih tetap merupakan sesuatu yang misterius tentang perjumpaan para murid
dengan Yesus yang telah bangkit. Mereka tidak segera mengenal-Nya (Luk 24:31); mereka
ketakutan dan berpikiran bahwa mereka melihat hantu (Luk 24:37); beberapa murid terus raguragu bahkan waktu Yesus menampakkan diri kepada mereka (Mat 28:17); bahkan Maria
Magdalena yang begitu dekat dengan Yesus tidak mengenal-Nya (Yoh 20:14). Kisah-kisah penampakan dalam Injil menyarankan bahwa ada sesuatu dalam pengalaman Paskah yang tidak
dapat diobjektifikasikan.9 Yesus tidak menampakkan diri kepada musuh-musuh-Nya, tetapi
hanya kepada teman-teman-Nya, kepada mereka yang mempunyai hubungan dengan-Nya. (Di
sini St. Paulus merupakan pengecualian, tetapi St. Paulus juga adalah orang yang sungguhsungguh mencari Allah meski secara salah). Itu seolah-olah Yesus telah membuat mereka
percaya kepada-Nya. Mungkin pengalaman mereka sampai beriman kepada Yesus itu cukup
khas, masih tidak sedemikian berbeda dengan pengalaman kita.
Kebangkitan Yesus merupakan peristiwa yang ada di seberang sisi sejarah. Kebangkitan
merupakan pengalaman eskatologis, sangat berbeda dari menghidupkan kembali orang mati.
Kebangkitan berarti bahwa Allah telah mempertahankan Yesus; Allah telah membangkitkanNya ke hidup kekal ”di sisi kanan-Nya” (Kis 2:33), bahwa Yesus sekarang hidup di hadirat Allah
yang abadi. Kebangkitan juga berarti bahwa kuasa Allah lebih kuat daripada kematian, bahwa
seperti Yesus telah ditampilkan; demikian juga kita dapat mengharapkan hidup abadi.
Kebangkitan hidup Yesus merupakan janji kemenangan kita yang terakhir atas dosa dan
kematian. Terutama kaum miskin melihat kebangkitan sebagai kekuasaan Allah untuk
mengalahkan ketidakadilan dan kejahatan.
Kristologi dan Soteriologi
Kematian dan kebangkitan Yesus mengubah pengertian para murid tentang Yesus. Yesus
mewartakan Kerajaan Allah. Orang-orang Kristiani awal, yang menangkap secara intuitif apa
yang telah dilakukan Allah dalam kematian dan kebangkitan Yesus, mewartakan Yesus.
Mereka melihat hubungan intrinsik antara orang dan pesan-Nya; dengan demikian pewarta
menjadi yang diwartakan.
Dalam surat kepada jemaat di Korintus, St. Paulus mengutip rumusan Kristiani awal yang
mengatakan bahwa ”Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci” (1Kor
15:3). Dalam surat-suratnya, St. Paulus menggunakan berbagai istilah yang diambil dari tradisi
Yahudi untuk mengungkapkan makna penyelamatan tentang apa yang dilakukan Allah dalam
Yesus Kristus. Dalam Kristus, Allah telah ”membenarkan” kita, membuat kita benar (Rm 4:25;
5:16-18), ”mendamaikan dunia dengan diri-Nya”, tanpa memperhitungkan dosa-dosa kita
melawan kita (2Kor 5:19). Dengan demikian, Yesus mendatangkan perdamaian kita dengan
Allah (Rm 5:10). Ia telah menyelesaikan ”penebusan” kita, menebus seseorang atau sesuatu
yang terkena denda, untuk mengungkapkan gagasan bahwa Yesus menebus dosa-dosa kita
dengan darah-Nya (Rm 3:23-25; 1Kor 1:30). Yang paling penting Paulus melihat bahwa kemenangan Yesus atas dosa berarti bahwa kuasa maut telah dihancurkan (Rm 8) dan bahwa
mereka yang percaya pada Yesus juga akan ikut dalam kebangkitan-Nya. Yesus sendiri adalah
”buah pertama” kebangkitan dari dunia orang mati (1Kor 15:23).
Kebangkitan juga menimbulkan, bagi orang-orang Kristiani awal, pertanyaan Kristologis
yang mendasar: Siapakah Yesus ini? Karena mereka adalah orang-orang Yahudi, mereka
menggunakan tradisi religius mereka sendiri, dengan menggunakan gambaran-gambaran dan
gelar-gelar penyelamatan dari Kitab Suci, mereka mengungkapkan pengalaman mereka akan
Yesus.10 Yesus adalah ”Mesias” atau Kristus, putra Daud yang diurapi, yang dijanjikan oleh para
nabi sebagai tokoh yang akan mendatangkan keselamatan Allah, meskipun Yesus historis tidak
mengatakan tentang diri-Nya sebagai Mesias dan tampaknya enggan menerima gelar itu dari
orang-orang lain (bdk. Mrk 8:30). Yesus juga disamakan dengan ”Putra Manusia”, tokoh yang
dalam tradisi apokaliptik akan datang pada hari-hari akhir sebagai penguasa dan hakim. Yesus
sendiri berbicara tentang Putra Manusia sebagai Pribadi yang akan menjalankan pengadilan
Allah (Luk 12:8-9).
Yesus disebut ”Tuhan”, gelar kehormatan seperti ”Tuan”, tetapi juga dalam penggunaannya
dalam bahasa Aram digunakan untuk menyebut Allah sebagai ”Tuhan” atau ”Tuhan itu”.
Penggunaan yang kabur ini tetap bertahan dewasa ini dalam bahasa Jerman Herr dan dalam
bahasa Spanyol Senor. ”Tuhan” dipergunakan untuk menyebut Yesus yang telah bangkit
sebagai tokoh yang menampilkan ketuhanan Allah atau pemerintahan Allah di dunia. Akan
tetapi, gelar ”Tuhan” merupakan gelar yang amat kuat. Kata Yunani untuk ”Tuhan”, ”Kyrios”
telah digunakan dalam Septuaginta, terjemahan Kitab Suci Yahudi, untuk menerjemahkan
nama kudus Yahwe. Pada waktu diterapkan pada Yesus, istilah itu mengandung arti bahwa
Yesus ikut ambil bagian dalam otoritas Allah dan bahwa kalimat-kalimat dalam Kitab Suci Yahudi yang menunjuk pada Yahwe dapat juga menunjuk pada Yesus.
Yesus juga disebut ”Putra Allah”, gelar yang di dalam Injil mempunyai beberapa arti.
Markus yang Injilnya tidak terdapat kisah Natal, melihat Yesus sebagai Putra Allah berdasarkan
pengangkatan yang dinyatakan atau diangkat sebagai Putra Allah pada waktu pembaptisanNya (Mrk 1:11). Di belakang ini ada gambaran Perjanjian Lama tentang keturunan yang
dijanjikan dalam garis Daud, yang menurut ramalan Nabi Natan akan diangkat sebagai Putra
Allah (2Sam 7:14). Studi mutakhir telah menekankan pentingnya tradisi kebijaksanaan dalam
Yudaisme bagi umat Kristiani awal. Mereka melihat Yesus sebagai orang yang sungguh benar,
disebut Putra Allah dan dapat menyebut Allah Bapa-Nya (Keb 2:13,16-18). Yesus dilihat
mempunyai hubungan khusus dengan Bapa (Luk 10:22).11
Dalam Perjanjian Baru, istilah ”Putra Allah” akhir-akhir ini digunakan dalam arti yang lebih
metafisis: Yesus dari Kodrat-Nya adalah Putra Allah, seperti dalam Matius dan Lukas, yang
menyatakan bahwa Yesus tidak dikandung oleh manusia melainkan oleh Roh Kudus (Mat 1:20;
Luk 1:35), atau dalam Yohanes, di mana dikatakan bahwa Yesus adalah Sabda yang ada
sebelum dunia dan Putra Allah yang kekal. Dari Injil Yohanes muncul dasar dogma inkarnasi
awal, yang merupakan kepercayaan yang amat mendasar bagi Katolisisme bahwa Sabda Ilahi,
Logos, telah menjadi daging dan tinggal di antara kita (Yoh 1:14), dengan perkataan lain,
bahwa Allah telah masuk ke ruang, waktu, dan sejarah manusia dalam pribadi Yesus.
Jelaslah bahwa pada akhir masa Perjanjian Baru keilahian Yesus dipahami dengan jelas,
dan ada bukti sungguh-sungguh bahwa St.
Paulus sadar akan misteri keputraan Ilahi
Yesus jauh lebih awal sebelumnya (bdk. Flp 2:6-11). Orang merasa dalam Injil Markus kesadaran tentang misteri hubungan Yesus dengan Allah jauh melampaui apa yang dapat
diungkapkannya dalam bahasa tradisional yang tersedia baginya. Apa yang menarik untuk
direnungkan sekarang ini, bukan bahwa orang-orang Kristiani membutuhkan waktu yang sedemikian lama untuk mengenal keilahian Yesus, tetapi justru sebaliknya, bahwa umat Kristiani
awal, banyak di antaranya adalah orang-orang Yahudi, dengan iman Yahudi kepada satu Allah
yang tak tergoyahkan, dalam waktu relatif singkat mengakui bahwa Yesus sendiri adalah
bersifat ilahi (bdk. Yoh 20:28). Akan tetapi inilah pengalaman mereka akan Yesus, iman mereka
kepada-Nya, yang telah membuat mereka sampai pada pengakuan itu. Seolah-olah iman
mereka kepada Yesus terus-menerus melampaui batas-batas imajinasi religius yang telah mereka warisi, dan gambaran-gambaran serta ungkapan-ungkapan biblis yang mereka gunakan
untuk mendapatkan makna baru pada waktu mereka bergulat guna menemukan ungkapan
yang memadai bagi iman mereka kepada Yesus.
Dari Perjanjian Baru ke Kalsedon
Setelah Kristianitas bergerak keluar dari tempat kelahirannya di dunia Kristiani Yahudi dan
masuk ke dalam Kekaisaran Roma, Gereja menghadapi tantangan baru untuk menemukan
bahasa yang mampu mengartikan imannya dalam budaya yang amat berbeda dengan tempat
Kristianitas hidup sekarang. Tulisan-tulisan umat Kristiani awal yang segera akan dikenal
sebagai Perjanjian Baru telah menggunakan bahasa mito-poetis Kitab Suci Yahudi; untuk
sebagian besar, Yesus diuraikan secara fungsional, dalam kerangka hubungan-Nya dengan
kita. Yesus adalah Mesias yang membawa keselamatan Allah; Ia adalah Putra Manusia yang
melaksanakan pengadilan Ilahi, Putra Allah, Sabda Allah, sebagaimana telah kita lihat.
Sekarang, di dunia Yunani-Romawi, pertanyaan ontologis atau metafisis yaitu siapakah
Yesus bagi diri-Nya sendiri semakin banyak diajukan serta cara-cara baru untuk
mengungkapkan ini dirumuskan dengan menggunakan bahasa filsafat Yunani Helenis yang
lebih abstrak. Pemikiran Helenis tidak begitu kesulitan untuk menerima Keallahan Yesus
sebagai Sabda (Logos) Allah, karena filsafat Neoplatonis penuh dengan imanensi dan prinsipprinsip kosmis Ilahi, tetapi gagasan bahwa Sabda Ilahi dapat menjadi daging merupakan hal
yang berbeda. Itu tak dapat diterima oleh prasangka yang memusuhi persoalan yang khas
dalam filsafat Yunani. Bidaah-bidaah awal seperti Docetisme dan Gnosticisme tidak dapat
menerima kemanusiaan
Yesus. Masalah yang sulit adalah masalah mempertahankan
kesatuan biblis tentang Yesus, sementara mengakui kemanusiaan dan keallahan-Nya.
Tidak semua usaha untuk memberi ungkapan akan kesatuan dalam diri Yesus itu berhasil.
Salah satu krisis terbesar yang dihadapi oleh Gereja awal adalah bidaah Arianisme pada abad
ke-3. Arius adalah seorang imam dari Alexandria, Mesir, yang lahir di Libia pada tahun 256.
Dalam usaha untuk membela kemanusiaan Yesus yang dirasa diancam oleh ajaran uskupnya,
Arius menolak keallahan-Nya. Ia mengajarkan bahwa Logos, atau Putra, adalah makhluk biasa,
makhluk yang menerima keberadaan ”sebelum waktu dan zaman”, namun makhluk yang
mempunyai awal, atau, seperti slogan teologisnya mengungkapkannya: ”ada waktu ketika Ia
tidak ada.”
Ajaran Arius tersebar dengan cepat, memecah umat Kristiani dan mengancam kesatuan
kekaisaran. Pada akhirnya, dalam usaha untuk memulihkan perdamaian, Kaisar Konstantinus
pada tahun 325 mengundang semua uskup untuk berkonsili di Nicea, Asia Kecil. Ini merupakan
Konsili umum atau ekumenis yang pertama. Uskup-uskup yang berkumpul menolak pendirian
Arian ”ada waktu ketika Ia tidak ada” dan menyiapkan pengakuan iman atau ”credo” untuk
mengungkapkan apa yang dipercaya Gereja tentang Yesus:
Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan
tidak kelihatan. Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang lahir dari Bapa,
yaitu dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan,
bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-Nya baik yang di surga
maupun di dunia.
Bahasa Nicea jauh lebih filosofis daripada bahasa Kitab Suci. Bahasa Nicea berbicara
tentang Yesus dan hubungan-Nya dengan Allah dalam istilah-istilah ontologis dengan
menggunakan istilah Yunani homoousios, ”sehakikat”. Yesus adalah satu hakikat dengan Bapa,
satu dalam keberadaan dengan Bapa. Syahadat Nicea sedikit diubah dan diperluas oleh Konsili
lain beberapa tahun kemudian di Konstantinopel (381). Konsili itu meneguhkan keallahan Roh
Kudus, ”Yang bersama Bapa dan Putra dipuji dan dimuliakan.” Meski beberapa Gereja pada
awalnya melawan syahadat, tahap demi tahap syahadat itu diterima atau ”disetujui” oleh
kebanyakan Gereja kuno sebagai ungkapan iman mereka. Sekarang ini syahadat yang dikenal
sebagai Syahadat Nicea, masih tetap diucapkan sebagai bagian Ibadat Hari Minggu, pada
Gereja Katolik, Ortodoks, dan Gereja-Gereja Protestan Aliran Besar.
Dengan Konsili Konstantinopel, Gereja telah maju dari pengalamannya tentang
pewahyuan-diri Allah dalam sejarah sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus, kepada dogma
Tritunggal yang dirumuskan, yang masih dalam bentuk pokoknya. Konsili Kalsedon tahun 451
menyelesaikan masalah kesatuan Yesus dengan mengambil peristilahan satu pribadi dalam
dua kodrat. Konsili-konsili berikutnya mengembangkan dan memperbaiki bahasa Trinitarian
Gereja. Allah adalah kesatuan yang mengatasi, tetapi tidak meniadakan perbedaan. Satu Allah
ada sebagai satu pengada atau hakikat dalam tiga pribadi
yang berbeda tetapi sama.
Dalam bahasa yang lebih sesuai dengan zaman ini, hidup batin Allah dibentuk oleh hubungan
saling kasih dan kesatuan, kesatuan ke mana kita dipanggil untuk ikut ambil bagian.
4. Kesimpulan
Tidak mudahlah untuk menjadi orang beriman dewasa ini. Budaya modern cenderung tidak
lagi mengandaikan nilai iman religius dan hanya memberi sedikit dukungan bagi mereka yang
berusaha menghayati iman mereka dalam hidup sehari-hari. Dalam budaya seperti itu nilai atau
perasaan religius cenderung dipandang sebagai urusan pribadi dan bukan sebagai sesuatu
yang dapat memberi sumbangan kepada hidup masyarakat.12 Budaya modern cenderung mendekati kepercayaan religius seperti mendekati kepercayaan atau nilai lain. Budaya itu
mengandaikan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk percaya akan apa saja yang
dipilihnya, karena tidak ada yang 100% aman. Akibatnya dalam bidang kepercayaan, masalahmasalah kebenaran ditentukan berdasarkan cita rasa pribadi.
Pendekatan Katolisisme terhadap iman lebih bersifat pribadi daripada dalil, lebih bersifat
bersama daripada perorangan. Tindak iman merupakan perjumpaan pribadi dengan Allah yang
diwahyukan dalam Yesus, tetapi perjumpaan itu merupakan karya Roh Kudus melalui
perantaraan jemaat yang percaya. Kita dapat mengenal Allah sebagai anggota umat yang telah
lebih dulu dipilih Allah dan berhubungan dengannya. Dari zaman Abraham dan Sara, Musa dan
Miriam, umat ini adalah umat Allah; dan melalui sejarah mereka dengan perjuangan-perjuangan
dan tragedi-tragedinya maupun prestasi roh manusianya, melalui para nabi yang berbicara atas
nama Allah, yang menyebut dosa dan meyakinkan umat tentang kesetiaan Allah, pewahyuandiri Allah terjadi. Pewahyuan itu mencapai perwujudannya yang penuh dalam hidup, kematian,
dan kebangkitan Yesus.
Dengan demikian, iman jauh lebih banyak daripada pengalaman subjektif pribadi; iman
mempunyai isi, isi yang berakar pada pengalaman dan bersamaan dengan itu mengatasinya.
Iman diteruskan secara historis, dinyatakan melalui lambang-lambang dan diungkapkan dalam
kisah-kisah serta bahasa jemaat yang percaya. Jemaat yang menjadi perantara kita mengenal
Allah sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah jemaat para murid Yesus yang kita sebut
Gereja.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Avery Dulles, The Assurance of Things Hoped For: A Theology of Christian Faith (New York: Oxford Univ. Press. 1994) 32.
Lihat Kilian McDonnell ”A Trinitarian Theology of the Holy Spirit” Theological Studies 46 (1985) 204.
Lihat Alexander Heidel, The Babylonian Genesis (Chicago: Univ. of Chicago Press, 1942).
Lihat John P. Meier, A Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus (New York: Doubleday, 1994) 2:123.
Eamonn Bredin, Rediscovering Jesus: Challenge of Discipleship (Mystic, Conn: Twenty-Third, 1986) 40.
Meier, A Marginal Jew, 2:349.
Michael L. Cook, The Jesus of Faith (New York: Paulist, 1981) 56-57.
Edward Schillebeeckx, Jesus: An Experiment in Christology (New York: Seabury, 1979) 256-271.
Lihat Dermot Lane, The Reality of Jesus (New York: Paulist, 1975) 60. Istilah ”Pengalaman Paskah” berasal dari
Schillebeeckx, Jesus, 380.
Lihat Bredin, Rediscovering Jesus, 247-259.
Marinus de Jonge, Christology in Context: The Earliest Christian Response to Jesus (Philadelphia: Westminster, 1988) 79-82.
Lihat Stephen L. Carter, The Culture of Disbelief: How American Law and Politics Trivialize Religious Devotion (New York:
Basic Books, 1993).
III
Gereja yang Kelihatan
Ada sebuah lukisan karya pelukis California, bernama John
August Swanson, yang
diberi nama ”Prosesi.” Pada bagian depan lukisan itu digambarkan sekelompok umat yang
keluar dari gereja besar didahului para misdinar yang membawa lilin-lilin dan dupa. Mereka itu
mengiringi Ekaristi yang dibawa oleh seorang imam dan dipayungi. Di bagian tengah lukisan
tampaklah Gereja, menaranya menjulang ke atas untuk menyangga Yesus dan para murid
dalam perahu yang menarik jala besar penuh ikan.
Seluruh lukisan penuh dengan manusia – dalam prosesi, pada latar belakang panji-panji
yang dibawa umat, dan dalam ruangan-ruangan, dalam ikon-ikon kecil seperti ikon-ikon pada
jendela kaca yang berwarna yang melekat pada dinding-dinding gereja. Beberapa tokoh yang
dilukis adalah tokoh-tokoh Kitab Suci – Adam dan Hawa yang meninggalkan taman, perahu
Nuh, korban Iskak, impian Yakub mengenai tangga ke surga, Musa yang ditemukan oleh putri
Firaun di sungai, Daud dan Goliat, Yudit yang memenggal kepala Holofernes, Yunus yang
ditelan oleh ikan besar, tiga orang muda di perapian, Maria menerima kabar gembira, kanakkanak Yesus di palungan Betlehem, Tiga Raja, Yesus dibaptis di sungai Yordan, wanita yang
membasuh kaki Yesus dengan air matanya, prosesi Minggu Palma, penyaliban, penampakan
Yesus kepada para murid. Beberapa tokoh adalah tokoh-tokoh pria dan wanita kudus dari
sejarah Kristiani – St. Heronimus di gua menerjemahkan Kitab Suci, St. Fransiskus dengan serigala-serigala Gubbio, St. Clara, St. Patricius, St. Elisabet dari Hongaria. Beberapa tokoh adalah
tokoh-tokoh apokrif – Veronika mengusap wajah Yesus, St. Kristoforus membawa Kanak-kanak
Yesus menyeberang sungai, St. Gregorius dan naga.
Tokoh-tokoh itu tampak seperti orang Indian atau Hispanik. Warna-warnanya bernuansa
Amerika Tengah. Lukisan itu penuh, dipadati manusia – berbagai warna kulit, berbagai
kegiatan: bermain musik, merayakan, menjumpai Tuhan. Prosesi hidup itu adalah Gereja –
dalam sejarah, dalam keanekaragaman, dan dalam hidup sakramental.
1. Gereja dan Konsili
Pada waktu para Bapa Konsili Vatikan II mau mengembangkan dokumen tentang Gereja,
yang sungguh-sungguh merupakan pemahaman diri Gereja Katolik Roma, mereka bergulat
dengan sejumlah skema atau draft. Draft pertama (1962) disiapkan oleh subkomite dari Komisi
Teologis Roma yang konservatif, yang diketuai oleh Kardinal Alfredo Ottaviani, kepala Kantor
Takhta Suci. Lencana keuskupan Kardinal bertuliskan semper idem, yang berarti ”selalu sama”.
Draft yang dihasilkan oleh komisi itu ditolak oleh para Bapa Konsili. Para Bapa Konsili
berpendapat bahwa penguraiannya tidak cukup biblis, bahwa dokumen itu merumuskan Gereja
hampir sepenuhnya – dalam kerangka hierarki, dan bahwa dokumen itu tidak memenuhi keprihatinan ekumenis Paus Yohanes XXIII, yang telah menjadikan kesatuan Kristiani salah satu
tujuan utama Konsili. Menurut Uskup de Smedt dari Bruges, dokumen itu terlalu triumpal,
klerikal, dan yuridis.1
Draft kedua, yang disampaikan kepada para uskup pada musim semi tahun 1963,
menunjukkan perbaikan yang berarti. Sesudah beberapa revisi lebih lanjut, dokumen itu
disetujui oleh para uskup pada tanggal 21 November 1964, dengan 2.151 suara setuju dan 5
melawannya. Dokumen, yang disebut Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium)
dibuka dengan bab yang berjudul ”Misteri Gereja”. Bab 2 membahas seluruh Gereja sebagai
”Umat Allah.” Bab 3, ”Susunan Hierarkis Gereja, khususnya keuskupan” difokuskan pada
pelayanan resmi Gereja, terutama jabatan uskup.
Gereja adalah jemaat para murid Yesus. Gereja harus tetap demikian pada masa sekarang.
Akan tetapi, apa hubungan antara Gereja sebagai jemaat dan Gereja sebagai lembaga?
Bagaimana orang-orang Kristiani Katolik mengerti Gereja? Dalam bab ini, kita akan menyelidiki
dialektika antara Gereja sebagai jemaat serta ungkapannya yang institusional dan kelihatan.
Kita akan membahas Gereja sebagai jemaat para murid, pelayanan resminya, dan hakikatnya
yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.
2. Jemaat Para Murid
Gereja telah ada sejak sahabat-sahabat dan murid-murid Yesus, yang terpencar-pencar
karena penangkapan dan penyaliban-Nya, berkumpul kembali karena kehadiran Yesus, dalam
wujud yang baru sebagai Dia yang telah bangkit, di antara mereka. Pada hakikatnya Gereja
adalah jemaat para murid Yesus.
Dalam arti apa kita dapat mengatakan bahwa Yesus ”mendirikan” Gereja? Di satu pihak,
Yesus historis tidak merancang dan merencanakan Gereja sebagai organisasi, dengan
serangkaian pejabat, tujuh sakramen dan sebuah konstitusi. Di pihak lain, Yesus memang
mengumpulkan pria dan wanita, yang adalah murid-murid-Nya, menjadi suatu jemaat,
mengikutsertakan mereka dalam pelayanan-Nya sendiri dalam mewartakan kabar baik tentang
pemerintahan Allah, menunjuk dua belas orang menjadi Rasul, memberitahu mereka untuk
meneruskan tradisi mohon bersama dengan memecah roti dan minum dari cawan untuk
mengenang-Nya, dan memberi kuasa kepada mereka dengan Roh Kudus. Orang dapat
melacak ”penerusan iman, petugas dan praktek antara kelompok yang berkumpul di sekeliling
Yesus dalam pelayanan-Nya di dunia (para murid) dan kelompok yang berkumpul di sekeliling
Tuhan yang sudah bangkit (Gereja).”2 Pada waktu jemaat itu menyebar dan berkembang,
jemaat itu tahap demi tahap mengembangkan struktur kelembagaan dan pelayanan yang akan
menjamin kesetiaannya kepada asal-usul dan perutusannya. Semua ini terjadi di bawah bimbingan Roh, yang dicurahkan oleh Yesus yang sudah bangkit. Dengan demikian, Gereja Katolik
dapat menyatakan lembaga Ilahi bagi struktur-struktur historisnya.
Gereja
Kata Perjanjian Baru untuk ”Gereja,” ekklesia, yang berasal dari kata Yunani ex (keluar)
dan kaleo (memanggil), secara harfiah berarti ”mereka yang telah dipanggil keluar,” yaitu
”kumpulan” atau ”jemaat”. Kata itu merupakan kata Pentakosta, bukan kata Injil, yang hanya
muncul tiga kali dalam Injil terutama dalam Injil Matius 16:18 dan 18:17.
St. Paulus menggunakan kata ekklesia dengan tiga cara dalam surat-suratnya. Kadangkadang ia menggunakan ungkapan ”jemaat di rumah mereka” atau jemaat keluarga, untuk
kumpulan orang-orang Kristiani setempat dalam rumah perorangan (1Kor 16:19; Rm 16:5; Kol
4:15). Jemaat-jemaat keluarga itu merupakan ungkapan paling awal dari Gereja; di sini orangorang Kristiani berkumpul untuk pengajaran (didache), persekutuan (koinonia), dan ibadat
(leiturgia) dan dari jemaat-jemaat itu muncul banyak kepemimpinan Gereja awal. Secara
teologis, tatanan jemaat keluarga menunjukkan bahwa tempat kehadiran Allah bagi jemaat
Kristiani awal bukan tempat khusus, atau tempat kudus tetapi jemaat itu sendiri. Realitas Gereja
ada dalam jemaat umat beriman sendiri.3
Kerap kali St. Paulus menggunakan kata ekklesia untuk menyebut jemaat setempat seperti
”jemaat Allah di Korintus” (1Kor 1:2) atau menyebut semua jemaat (1Kor 11:16). Kadangkadang ia menggunakan kata ”jemaat” secara umum, penggunaan yang menjadi lebih umum
pada Perjanjian Baru yang kemudian (bdk. Kol 1:24; Ef 5:29). Dewasa ini kita berbicara tentang
Gereja yang ”menyeluruh”, ”universal” atau ”Katolik” maupun Gereja ”lokal” atau ”khusus” yang
dipimpin oleh uskup. 4
Tubuh Kristus
Istilah lain dari St. Paulus untuk Gereja adalah ”Tubuh Kristus”. Sebagai jemaat dengan
anggota-anggota yang berbeda dan karunia-karunia serta pelayanan-pelayanan yang berbedabeda (1Kor 12:4-7) yang dijadikan satu tubuh dalam Roh oleh pembaptisan (1Kor 12:13) dan
Ekaristi (1Kor 10:17), jemaat, atau Gereja, membentuk tubuh Kristus (1Kor 12:27).
Dasar pemahaman St. Paulus tentang Gereja sebagai tubuh Kristus adalah pendamaian
orang-orang yang merupakan buah baptis dan Ekaristi. Ia memberitahu umat Kristiani di
Korintus bahwa mereka berdosa melawan tubuh dan darah Tuhan karena jemaat mereka terpecah dalam perjamuan Ekaristinya (1Kor 11:17-34). Ia memperingatkan mereka bahwa
”Dalam satu Roh, kita semua, baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik budak maupun
orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh” (1Kor 12:113). Ia menggunakan bahasa
yang serupa kepada umat Galatia: ”Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah
mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba
atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua ada-lah satu di
dalam Kristus Yesus” (Gal 3:27-28). Dengan kata lain, segala perpecahan buatan berdasarkan
ras, status sosial, atau jenis kelamin tidak ada lagi bagi mereka yang dipersatukan ke dalam
Kristus melalui baptis. Tidak terbantahkan lagi bahwa ada sifat yang inklusif pada Gereja.
Hidup dalam Roh
St. Paulus biasanya menyebut kehidupan Kristiani sebagai hidup dalam Roh. Ia melihat
bahwa jemaat Kristiani kaya dalam karisma dan pelayanan. Karisma dan pelayanan itu meliputi
karunia-karunia (charismata) seperti kebijaksanaan, iman, penyembuhan, penegasan,
pelayanan, pemberian derma, kerja amal maupun peran-peran atau pelayanan-pelayanan yang
lebih tetap (diakonia) seperti rasul, nabi, guru, dan pemimpin. Semua diberikan untuk
pembangunan Gereja (1Kor 12:4-7; Rm 12:4-8). Ia juga menyebut perkawinan dan selibat demi
kerajaan sebagai karunia (1Kor 7:7). Gereja, menurut pandangan Paulus, merupakan
paguyuban yang dipenuhi oleh Roh. Masing-masing anggota paguyuban dapat
menyumbangkan sesuatu: ”Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk
kepentingan bersama” (1Kor 12:7).
Konsili Vatikan II dengan berbagai cara menekankan bahwa umat awam ikut ambil bagian
di dalam perutusan dan pelayanan Gereja. Meski Konsili tidak sampai berbicara secara khusus
tentang pelayanan kaum awam, namun jelas bahwa Konsili menggerakkan Gereja ke arah itu.
Konstitusi Dogmatik tentang Gereja mengambil kembali, bagi orang-orang Katolik, pandangan
St. Paulus tentang Gereja yang dilengkapi dengan berbagai karunia karismatis. Beberapa kali
Konsili berbicara tentang keanekaragaman karunia (LG 12), ”baik hierarkis maupun karismatis”
(LG 4). Konsili juga menekankan bahwa baik imamat hierarkis maupun imamat umum dari
semua orang yang dibaptis ikut ambil bagian di dalam imamat Kristus (LG 20), dan bah-wa
kaum awam ikut ambil bagian baik dalam fungsi Kristus sebagai imam, nabi dan raja (LG 31)
maupun dalam perutusan Gereja sendiri (LG 33).
Tidaklah pernah mudah bagi Gereja untuk menjadi apa yang seharusnya, yaitu jemaat para
murid. Mungkin tantangan terbesar yang dihadapi oleh Gereja Perjanjian Baru adalah
menciptakan kesatuan baru antara orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi yang
menjadi hasil pendamaian Allah dalam Kristus. Tidak segera jelas bagi orang-orang Kristiani
awal, karena mereka orang Yahudi, tentang apa tepatnya arti pendamaian itu. Bagi banyak
orang di antara mereka, amat sulit dimengerti bagaimana orang dapat menjadi murid Yesus dan
anggota jemaat Kristiani tanpa terlebih dulu menjadi orang Yahudi, yang artinya menaati hukum
Yahudi dengan segala peraturan makan dan bagi orang laki-laki sunat, (bdk. Kis 15; Gal).
Paulus sendiri melihat dengan jelas bahwa menjadi Yahudi atau non-Yahudi tak ada bedanya.
Pesan pentingnya yang tertulis dalam surat kepada umat Roma adalah bahwa semua
dibenarkan oleh iman akan Yesus Kristus. Gereja membutuhkan waktu yang jauh lebih lama
untuk menentang perbudakan sebagai lembaga. Sementara mengajarkan bahwa hubungan
antara budak dan tuan harus berbeda berdasarkan kebersamaan baru dalam Yesus Kristus
(Flm; Ef 6:5-9), St. Paulus tidak menantang lembaga perbudakan, yang diterima begitu saja di
dunia kuno. Gereja menerima perbudakan selama berabad-abad. Sejumlah Paus mulai
berbicara melawan perdagangan budak pada abad ke-16, meski baru pada zaman Paus Leo
XIII (1873-1903), Gereja secara resmi mulai memperbaiki ajarannya tentang perbudakan.5
Dapat diperdebatkan, sebagaimana banyak dilakukan sekarang ini, bahwa Gereja belum
mengalami persamaan penuh antara pria dan wanita, bukan hanya dalam prinsip melainkan
dalam Gereja sendiri.
Bagaimana Gereja berkembang dari jemaat para murid Yesus menjadi Gereja dengan
pelayanan uskup, imam, dan diakon yang hierarkis dan disusun, serta dikepalai oleh Uskup
Roma, Paus?
3. Pelayanan Resmi
Sejak awal keberadaannya, jemaat para murid Yesus mempunyai sekelompok
kepemimpinan pada dua belas Rasul, kelompok inti yang dipilih oleh Yesus selama pelayanan
historisnya. Perjanjian Baru mengakui lingkungan rasul-rasul yang lebih luas sejak awal
maupun tempat khusus dua belas Rasul. Rasul-rasul adalah saksi mata atas kebangkitan
Yesus, mereka yang mempunyai ”Pengalaman Paskah” dari Yesus yang sudah bangkit. Meski
Yesus yang telah bangkit menampakkan diri baik kepada pria maupun wanita, wanita tidak
diberi sebutan ”rasul” oleh para penulis Perjanjian Baru,6 mungkin sekali karena alasan budaya
bahwa dalam masyarakat Yahudi suara wanita tidak dianggap sebagai kesaksian yang
mengikat secara legal. Kebanyakan rasul bekerja sebagai penginjil yang berkeliling daripada
pastor yang menetap. Sebagaimana St. Paulus sendiri, mereka terus-menerus bergerak untuk
membangun komunitas-komunitas atau jemaat-jemaat.
Sejak awal, dua belas Rasul memilih untuk berbagi pelayanan kerasulan dengan orang lain
(Kis 6:1-6). Tambahan pula, rasul-rasul bukan satu-satunya pelayan atau penginjil pada zaman
Gereja awal itu. Semua murid dipanggil untuk ikut ambil bagian di dalam perutusan Yesus. St.
Paulus berbicara tentang berbagai karunia dan pelayanan (1Kor 12:4), dan daftar nama dari
”rekan-kerjanya” pada akhir banyak suratnya merupakan bukti bahwa ia tergantung pada orang-
orang lain, beberapa orang diantaranya adalah suami-istri (bdk. Rm 16). Pada hari-hari awal itu
bahasanya cukup encer, meski di sana-sini sudah ada aturan tertentu. Dalam 1Kor, Paulus
berbicara tentang ”pertama, rasul-rasul; kedua, nabi-nabi; ketiga, pengajar. Selanjutnya mereka
yang mendapat karunia untuk mengajarkan mukjizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani,
untuk memimpin dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh” (1Kor 12:28). Dalam surat kepada
umat di Roma, Paulus menyebut karunia bernubuat, mengajar, menasihati, memberi dana,
memimpin, dan berbuat amal.
Pelayanan dan Kepemimpinan
Kiranya baik untuk merenungkan sifat bahasa yang digunakan oleh jemaat-jemaat awal
bagi para pelayan dan pemimpin mereka.7 Pertama, bahasa itu fungsional. Para pelayan dan
pemimpin biasanya disebut dalam kerangka peran yang mereka mainkan: mengajar, memimpin, mengawasi, menggembalakan. Perjanjian Baru tidak menggunakan kata ”imam”
(hiereus) bagi para pelayan Kristiani. Kedua, bahasa yang digunakan menyarankan sesuatu
berkaitan dengan gaya kepemimpinan dan cara menjalankan otoritas dalam jemaat Kristiani.
Kata-kata kekuasaan dihindari. Ajaran Yesus tentang kepemimpinan sebagai pelayanan dalam
jemaat para murid diingat dan diwariskan. ”Kamu tahu bahwa mereka yang disebut pemerintah
bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya
menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidak demikian di antara kamu.
Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan
barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah menjadi hamba untuk
semuanya.” (Mrk 10:42-44; bdk. Luk 22:25-26). Kata ”gembala” (pastor dalam bahasa Latin)
dihubungkan dengan guru (Ef 4:11) dan penilik (Kis 20:28; 1Ptr 5:2-4). Petrus dijadikan
gembala dalam arti amat khusus (Yoh 21:15-17). Pikirkanlah sejenak tentang bagaimana
gembala berfungsi terhadap kawanannya. Pada umumnya gembala mengikuti daripada
memimpin kawanan, karena domba-domba tahu ke mana mereka mau pergi. Gembala hanya
campur tangan bila seekor domba menyeleweng atau ada bahaya yang mengancam. Perannya
adalah membimbing dan melindungi, bukan menguasai. Kita masih berbicara tentang kepemimpinan atau pelayanan ”pastoral” dan berkeberatan bila kepemimpinan itu dijalankan secara
otoriter.
Kata Perjanjian Baru yang pokok untuk ”pelayanan” adalah kata Yunani diakonia yang
diturunkan dari kata diakonos, ”hamba”, ”pelayan”. Kata diakonia diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin menjadi ministerium. Dari kata itu kita mendapatkan kata Inggris ”ministry”. Pelayanan adalah tugas demi komunitas Kristiani; seperti setiap karunia spiritual atau karisma,
maksud pelayanan adalah untuk pembangunan Gereja (1Kor 14). St. Paulus menggambarkan
diri sebagai pelayan bagi bangsa-bangsa non-Yahudi (Rm 15:16), dan ia menyebut Febe
”saudari kita” sebagai ”pelayan” (bukan diakonos) Gereja di Kengkrea (Rm 16:1).
Para pemimpin Gereja setempat digambarkan dengan berbagai istilah, antara lain:
”pemimpin” atau ”ketua” (bdk. 1Tes 5:12; Rm 12:8), ”nabi” dan ”guru” (1Kor 12:28, bdk. Kis
13:1), ”gembala dan guru” (Ef 4:11), ”pemimpin” (Ibr 14:7,17, 24), ”penatua” (Kis 14:23; 20:17;
1Tim 5:17-22; Tit 1:5), atau ”penilik”, karena dua istilah itu tidak selalu jelas dibedakan (bdk. Kis
20:17-35; 1Ptr 5:1-4).
Sedikit demi sedikit penilik mengambil alih peran-peran yang sebelumnya dilaksanakan
oleh nabi, guru, dan pemimpin. Tanggung jawab mereka meliputi baik kepemimpinan jemaat
maupun, sedikit demi sedikit, fungsi mengajar dan liturgis yang dilakukan oleh nabi dan guru
(Kis 13:2). Dari satu pelayanan, yang disebut dengan berbagai sebutan ini, muncul dua jabatan
yang berbeda, penatua atau ”imam” sebagai istilah yang kemudian menjadi lebih populer
dikenal, dan uskup. Perjanjian Baru yang kemudian juga mengenal kelompok yang disebut
”diakon”.
Tahbisan
Pada akhir masa Perjanjian Baru penatua diangkat menduduki jabatan, mungkin dengan
penumpangan tangan (1Tim 4:14; 5:22). Penunjukan pada jabatan dengan ritual dan doa
menjadi dikenal sebagai ”tahbisan”, istilah yang ditemukan dari kata Latin ordo yang berarti
”lembaga yang mantap”. Dengan tahbisan, seseorang dimasukkan ke dalam ordo episcoporum
(jajaran uskup), ordo presbyterorum (jajaran penatua), atau ordo diaconorum (jajaran diakon),
dengan demikian ke dalam jabatan pastoral resmi Gereja. Ada juga ”jajaran” perawan, janda,
katekumen, dan peniten pada Gereja awal. Dalam tradisi penunjukan ke jabatan pastoral
melalui doa dan penumpangan tangan menjadi dikenal sebagai sakramen ”tahbisan suci”.
Uskup
Kata ”uskup” dari bahasa Yunani episkopos, berarti ”penilik”. Peranan episkopos adalah
mengawasi jemaat dengan menjalankan reksa gembala untuk kebaikannya. Dalam 1 Clement,
surat yang ditulis dari Gereja di Roma sekitar tahun 96, istilah ”penatua” dan ”penilik” masih
dipakai secara bergantian. Akan tetapi dalam 1Tim, dua jabatan penatua-penilik dan diakon
tampaknya dalam proses berkembang menjadi tiga jabatan: uskup dibantu oleh penatua dan
diakon. Surat itu menguraikan beberapa penatua dengan memberi tambahan pada peran
mereka untuk mengawasi jemaat tugas-tugas untuk berkotbah dan mengajar (1Tim 5:17).
Dengan kata lain, kelompok penatua-penilik agaknya dalam proses untuk berkembang lebih
lanjut menjadi penatua dan beberapa penatua dengan tambahan tanggung jawab kepemimpinan, yang mungkin sekali telah mendapat sebutan episkopos di Efesus (bdk. 1Tim 3:1-7). Di
Antiokhia tiga pelayanan itu sudah menjadi mantap pada tahun 115. Pada tahun 150, tiga
pelayanan itu sudah tersebar di sebagian besar Gereja dan dalam langkah menjadi universal.
Sejak zaman Ignasius dari Antiokhia (± 115) peranan uskup sudah menjadi kepala Gereja
setempat dan menjaga kesatuan (koinonia) antara Gereja itu dengan Gereja-Gereja lain dalam
kesatuan dengan uskup-uskup mereka. Dengan demikian, ada dimensi simbolis penting pada
jabatan uskup. Uskup-uskup melambangkan dan menjaga kesatuan antara Gereja-Gereja
setempat mereka dan Gereja Apostolik maupun dengan kesatuan Gereja seluruh dunia. Ajaran
Katolik menyatakan bahwa para uskup mengganti fungsi kepemimpinan yang pernah dijalankan
oleh para rasul (LG 20). Mereka merupakan suatu dewan yang bersama kepalanya, uskup
Roma, memiliki otoritas tertinggi dan penuh atas Gereja universal (LG 22). Bersatu dengan
Paus, para Uskup ikut memiliki karisma Gereja akan ketidak-dapat-sesatan (LG 25).
Imam
Kata Yunani Presbyteros, yang secara etimologis merupakan asal kata Inggris ”priest”,
aslinya berarti ”penatua”. Para penatua pertama kali ada di Gereja-Gereja Kristiani Yahudi,
yang diambil dari sinagoga di mana tanggung jawab para penatua adalah menjadi penyuluh
dan pembimbing jemaat. Kebanyakan penatua, atau ”imam” membantu uskup dengan
mengepalai jemaat umat setempat, mewartakan sabda, merayakan sakramen-sakramen, dan
menjalankan kepemimpinan dan reksa pastoral (LG 28). Karena mereka menjadi milik Gereja
setempat atau diosis, mereka dikenal sebagai imam diosesan atau ”sekulir”. Para imam yang
menjadi anggota ordo atau kongregasi religius kerap menjalankan imamat yang lebih kerigmatis
atau profetis, dengan menggabungkan pelayanan liturgis dan sakramental dengan pelayanan
sabda yang lebih luas yang meliputi pewartaan, pengajaran, dan keilmuan, bimbingan rohani,
dan berbagai pelayanan keadilan sosial.
Diakon
Dalam Perjanjian Baru, diakonos agaknya banyak dipergunakan sebagai sebutan bagi
mereka yang ikut ambil bagian dalam pelayanan kepemimpinan. Baru dalam masa Perjanjian
Baru yang kemudian, diakonos mulai digunakan untuk jabatan khusus, jabatan diakon (1Tim
3:8-13). Pada masa pasca Perjanjian Baru, diakon berfungsi sebagai pembantu uskup, kerap
mengurus urusan harta benda dan kekayaan Gereja, peran yang membuat beberapa diakon
menjadi amat berkuasa. Mereka diserahi berbagai tugas amal dan liturgis, dan tugas yang paling penting adalah memberi derma kepada orang-orang miskin dalam jemaat dan membantu
dalam upacara inisiasi Kristiani.8 Mereka kerap diserahi tugas mengajar orang-orang yang
dipersiapkan untuk menerima baptis. Diakon ditunjuk menduduki jabatan melalui tahbisan dengan penumpangan tangan atau kadang-kadang hanya diangkat begitu saja dan diberi peran
dalam liturgi.
Wanita berperan menjadi diakones, baik di Gereja Barat maupun di Gereja Timur. Fungsi
mereka agaknya adalah mengurapi wanita-wanita di antara orang-orang yang dibaptis dan
mengunjungi orang sakit. Beberapa diakones ditahbiskan, tetapi pelayanan mereka pada
umumnya ada di bawah diakon dan tidak berlangsung lama. Menurut normanya, jangka
waktunya adalah baptis orang dewasa. Pada abad ke-10 dan ke-11 diakones tidak ditemukan
lagi, bahkan di Gereja-Gereja Timur.9
Di Gereja Barat, pelayanan diakon secara bertahap dijadikan tahap atau langkah sebelum
tahbisan imamat. Diakonat tetap sebagai ungkapan dari 3 pelayanan tradisional Gereja tidak
diadakan lagi sampai Konsili Vatikan II. Diakon diberi wewenang untuk mewartakan Injil dan
mengepalai baptis, pernikahan, dan pemakaman (bdk. LG 29). Karena ditahbiskan, diakon
permanen secara teknis masuk kedalam jajaran ”klerus” dan diwajibkan selibat, meski Gereja
juga menahbiskan pria-pria yang sudah nikah menjadi diakon.
Sementara peran uskup, imam dan diakon telah dibentuk dan dikondisikan oleh berbagai
periode dalam sejarah Gereja, ada beberapa hal yang tetap. Mereka terutama adalah pelayan.
Seperti semua pelayan, jabatan mereka ada demi pelayanan dan pembangunan Gereja.
Imamat
Meskipun Perjanjian Baru mengatakan seluruh jemaat sebagai ”imamat rajawi” (1Ptr 2:9),
baru pada awal abad ke-3 istilah ”imam agung” dan ”imam” kultis mulai digunakan untuk
pelayan Kristiani. Istilah pertama, untuk uskup dan istilah kedua, untuk para pembantu uskup,
imam. Kata Inggris ”priest” mengandung arti pelayan kultis (hiereus) dan pemimpin jemaat
(presbyteros). Kaum Reformasi Protestan pada abad ke-16, dengan mengikuti prinsip ketat
”hanya Kitab Suci” menyebut pelayan yang ditahbiskan sebagai ”minister” atau ”pastor”. Kaum
Lutheran menyatakan bahwa Allah telah menetapkan ”jabatan pewarta” bagi Gereja. Akan
tetapi, istilah imamat bagi uskup dan imam sebaiknya tidak ditolak karena merupakan suatu
yang baru atau berlawanan dengan hakikat pelayanan yang ditahbiskan. Istilah itu muncul pada
awalnya dalam tradisi Gereja pada waktu dimensi korban Ekaristi menjadi lebih jelas dipahami.
Konsili Vatikan II kembali ke pemahaman kuno mengenai jabatan uskup, yang melihat uskup
memiliki kepenuhan imamat. Konsili juga mengajarkan bahwa baik imamat pelayanan atau
hierarkis dan imamat umum semua umat beriman ikut ambil bagian dalam imamat Kristus (LG
10).
Pelayanan Paus
Rasa universalitas dan katolisitas Gereja, yang berpusat pada Uskup Roma, Paus, merupakan hal yang mendasar bagi pemahaman Katolik Roma tentang Gereja. Paus adalah lambang
Katolisisme yang paling jelas. Ada dua dasar untuk jabatan Paus itu. Dua dasar yang terpisah
tetapi berhubungan. Dasar pertama adalah tradisi kepemimpinan Petrus di antara para murid
pertama Yesus. Dasar kedua adalah supremasi atau kedudukan tertinggi Gereja Roma.
Simon, anak Yonas, yang oleh Yesus kemudian diubah menjadi Kefas, atau Petrus (”batu
karang”), adalah murid Yesus yang terkemuka. Namanya selalu tertulis pertama dalam daftar
para Rasul dan disebut lebih banyak daripada rasul-rasul lain mana pun. Petrus menonjol
dalam Gereja awal sebagian karena kedudukannya yang istimewa di antara Kedua Belas Rasul
dan sebagian karena ia adalah orang pertama yang mengalami penampakan Diri Yesus
sesudah bangkit (meski tradisi lain, yang sama-sama kuno, melaporkan bahwa Yesus
menampakkan diri pertama kali kepada Maria Magdalena dan beberapa wanita lain).
Gereja Roma mempunyai kedudukan yang menonjol sejak awal. Selain merupakan ibu kota
Kekaisaran Romawi, kota itu memiliki warisan apostolis yang khas, yaitu bahwa baik Petrus
maupun Paulus telah bekerja dan meninggal di kota itu. Sudah pada zaman Perjanjian Baru,
Gereja Roma sudah mengajar jemaat-jemaat Kristiani lain. Surat I Petrus mungkin sekali ditulis
dari Roma atas nama Petrus untuk sekelompok orang Kristiani di Asia Kecil pada pertengahan
tahun 80-an. Surat yang dikenal sebagai I Clement ditulis dari Roma sekitar tahun 96 untuk
menasihati orang-orang Kristiani di Korintus. Seperti dicatat oleh Raymond Brown, amat
mungkinlah bahwa alasan Gereja Romawi tidak ragu-ragu untuk mengajar Gereja-Gereja lain
adalah karena merasa telah mewarisi tanggung jawab pastoral Petrus dan Paulus terhadap
Gereja-Gereja yang mereka dirikan.10
Beberapa tahun sesudah Clement, Ignasius dari Antiokhia menyebut Roma sebagai
”keunggulan cinta” karena telah mengajar Gereja-Gereja lain. Ireneus mengatakan ”asal-usul
Roma yang lebih kuat” berdasarkan dua rasul yang mendirikannya. Ciprianus (meninggal tahun
258) menyebut Roma sebagai ”Gereja utama”. Karena Gereja Roma terus berlanjut memberi
saran-saran kepada Gereja-Gereja lain dan Gereja-Gereja lain naik banding ke Roma sebagai
semacam pengadilan banding, otoritasnya tumbuh menjadi besar.
Pada abad ke-4, sejumlah uskup di Roma mengacu pada otoritas yang diberikan kepada
Petrus dalam Matius 16:18 sebagai sumber otoritas mereka sendiri. Paus Leo Agung (440-461)
menyebut diri sebagai”wakil Petrus”, sebuah gelar yang digunakan sekurang-kurangnya pada
abad ke-11 dan ke-12. Gregorius Agung (590-604) menolak gelar”Paus Universal” karena gelar
itu mengambil kehormatan rekan-rekan uskupnya, dengan memilih gelar servus servorum Dei,
”hamba para hamba Allah”, sebagai gantinya. Gelar ”Wakil Kristus” dipopulerkan oleh Paus
Inosensius III (meninggal tahun 1216). Satu gelar Paus yang lain Pontifex Maximus atau ”Imam
Tertinggi” mempunyai sejarah yang menarik. Pada awalnya gelar itu adalah gelar kafir yang
digunakan untuk Ketua Dewan Imam Romawi Kuno. Gelar itu baru dipakai untuk menyebut
Paus sesudah abad ke-15. Dewasa ini penggunaan sebutan ”Imam Tertinggi” bernada amat
imamat dan hierarkis. Akan tetapi, etimologi populer yang telah menerjemahkan gelar itu
sebagai ”pembangun jembatan yang utama”, pastilah merupakan gelar yang tepat untuk Paus.
Konsili Vatikan I (1869-1870) secara meriah menyatakan bahwa Paus Roma mempunyai
kekuasaan penuh dan tertinggi atas Gereja universal, tidak hanya dalam hal iman dan moral,
tetapi juga dalam hal-hal yang berkaitan dengan disiplin dan pemerintahan Gereja di seluruh
dunia. Sehubungan dengan otoritas mengajar, Konsili berkata bahwa bila Paus berbicara ex
cathedra, ia ”memiliki infalibilitas (ketidak-dapat-sesatan) yang dikehendaki oleh Penebus Ilahi
untuk dimiliki Gereja guna meneruskan ajaran yang berkaitan dengan iman dan moral”(DS
3074). Perlu dicatat bahwa Konsili memandang karisma infalibilitas terutama menjadi milik
Gereja, bukan kepada Paus saja. Pertanyaan pokok adalah bagaimana infalibilitas Gereja
diungkapkan?
Konsili Vatikan II, dengan teologi kolegialitas tentang jabatan uskup menempatkan ajaran
Vatikan I tentang kedudukan utama dan infalibilitas Paus dalam konteks yang baru. Sebagai
kepala Dewan para uskup, Uskup Roma mengepalai kesatuan Gereja dan menjaga kesatuannya. Uskup-uskup dalam kesatuan dengan Paus mempunyai otoritas atas Gereja universal dan
ikut memiliki infalibilitas (LG 25). Bersamaan dengan itu, otoritas Paus tidak dapat hanya
bersifat simbolis, karena sebagai gembala universal dan kepala Dewan para uskup, Paus harus
mempunyai kekuasaan untuk bertindak.
Magisterium
Tugas mengajar Paus dan uskup-uskup disebut ”magisterium”. Kata itu berasal dari kata
Latin magister, yang berarti ”tuan” atau ”guru”. Para Bapa Konsili dengan hati-hati membedakan
antara pelaksanaan magisterium yang tak dapat sesat dan apa yang biasanya disebut ajaran
magisterium biasa (atau tidak-tidak dapat sesat). Kedua hal itu penuh wibawa. Tetapi macam
kesetujuan terhadapnya berbeda. Umat beriman menyampaikan ”ketaatan iman” terhadap
ajaran-ajaran yang dinyatakan tidak dapat sesat (LG 25). Ajaran-ajaran yang tidak dapat sesat,
yang dinyatakan dengan otoritas Gereja yang paling tinggi, disebut ”dogma”. Ajaran-ajaran itu
meliputi butir-butir syahadat, ajaran resmi Konsili-Konsili Ekumenis dan ajaran-ajaran ex
cathedra dari magisterium Paus. Dogma merupakan peraturan-peraturan iman Gereja. Menolak
dogma akan membuat orang berada di luar jemaat yang percaya. Dogma tak dapat diubah
dalam arti bahwa keputusan yang terkandung dalam dogma tidak dapat diubah, meski seperti
setiap ungkapan iman yang muncul secara historis, dogma itu dikondisikan secara historis dan
dengan demikian dapat ditafsirkan kembali.
Doktrin-doktrin punya wibawa tetapi doktrin-doktrin itu merupakan ajaran-ajaran Gereja
yang dinyatakan tidak-tidak dapat sesat. Apakah tentang Kitab Suci, Konsili, atau Magisterium
Paus yang biasa, ajaran-ajaran itu menuntut ”ketaatan religius” obsequium religiosum kehendak
dan budi (LG 25). Diandaikan bahwa orang beriman selalu menyetujui ajaran-ajaran karena
berasal dari kewibawaan Gereja. Akan tetapi, karena ajaran-ajaran tidak dinyatakan tidak dapat
sesat, kemungkinan salah dapat terjadi, tidak seperti dogma, doktrin-doktrin itu tidak hanya
dapat ditafsirkan kembali tetapi kadang-kadang dapat diubah sebagaimana tampak pada studi
sejarah tradisi doktrin Gereja. Teologi melayani Gereja dengan meneliti tradisi dan mencari
cara-cara yang lebih memadai untuk mengungkapkan iman Kristiani.
Beberapa orang Katolik salah mengerti tentang magisterium. Mereka lebih memahami
magisterium sebagai otoritas mengajar yang ada di atas Gereja dan disertai dengan bantuan
khusus Roh Kudus untuk merumuskan iman dan ajaran daripada jabatan untuk mengungkapkan iman yang dipercayakan kepada seluruh Gereja. Dari sudut pandangan ini, magisterium
disebut sebagai ecclesia docens, ”Gereja yang mengajar,” yang ditempatkan dan terpisah dari
ecclesia discens, ”Gereja yang belajar”.
Demikian juga, sementara orang Katolik masih saja membayangkan Paus sebagai sumber,
sesudah Allah, dan dari sumber itu mengalir segala kuasa dan otoritas serta sebagai pengambil
keputusan utama untuk masalah-masalah sezaman. Orang-orang seperti itu masih memahami
Gereja secara monarkis. Masalah-masalah yang diperdebatkan dapat dijawab hanya dengan
mengutip kata-kata Paus. Dengan demikian, masalah-masalah yang rumit dipecahkan hanya
atas dasar otoritas saja, dan seluruh proses pengembangan ajaran yang banyak seginya
diabaikan. Pendekatan ini merupakan sikap fundamentalisme bentuk Katolik, meski
fundamentalisme kepausan dan magisterial dan bukan fundamentalisme biblis.
Dalam tatanan yang nyata, magisterium berfungsi amat berbeda. Gereja pada dasarnya
bukanlah lembaga yang menjalankan otoritas mengajarnya dari atas ke bawah. Roh Kudus aktif
dalam seluruh Gereja, bukan hanya dalam hierarki. Ajaran tentang sensus fidelium (”keyakinan
umat beriman”) menunjukkan bahwa doktrin-doktrin dan dogma-dogma Gereja muncul dari
iman seluruh Gereja. Rumusan ajaran tidak didasarkan ajaran mayoritas pendapat, tetapi
keluar dari kesepakatan, yang di bawah bimbingan Roh Kudus mencakup para imam dan awam
(LG 12).
Praktek Gereja dalam ”menerima ajaran” merupakan bukti lebih lanjut tentang mentalitas
atau saling ketergantungan antara otoritas hierarkis dan keseluruhan umat dalam merumuskan
ajaran yang kadang-kadang menghasilkan modifikasi dan peninjauan kembali ajaran-ajaran
magisterium Paus yang biasa. Misalnya ajaran Pius XII yang bulat-bulat menyamakan Gereja
Katolik dengan tubuh mistik Kristus dalam ensikliknya Mystici Corporis diubah oleh Konsili
Vatikan II. Konsili mengatakan bahwa Gereja Kristus ”berada dalam” bukan ”sama dengan”
Gereja Roma Katolik, sebagaimana dinyatakan dalam draft pertama (LG 8). 11 Perkembangan
dan perumusan ajaran selalu merupakan proses yang rumit yang melibatkan kerja para teolog,
perasaan umat beriman, proses penerimaan, dan ajaran otoritatif uskup-uskup Gereja. Percaya
bahwa kebenaran Kristiani hanya ditegaskan oleh ucapan magisterial tanpa memperhitungkan
proses yang rumit ini, merupakan semacam fundamentalisme kepausan yang disebut di atas.
Bahkan dalam menjalankan magisterium yang luar biasa atau tak dapat sesat, Paus
merumuskan apa yang dipercayai oleh Gereja. Ini jelas dalam dua kasus perumusan tak dapat
sesat dari magisterium Paus yang luar biasa, Maria dikandung tanpa dosa asal (1854) dan
Maria diangkat ke surga (1950). Kedua dogma itu dibuat hanya sesudah proses berkonsultasi
dengan Gereja melalui pengumpulan pendapat para uskup. Dengan demikian, Gereja berfungsi
sebagai kesatuan semua anggota umat beriman dan hierarki, saling tergantung secara timbal
balik. Tak ada fungsi yang terlepas dari fungsi lain. Pemahaman yang jelas mengenai saling
ketergantungan ini akan sangat banyak membantu untuk meyakinkan umat Kristiani dari
Gereja-Gereja lain yang masih curiga terhadap magisterium Paus.
4. Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik
Sejak zaman Konsili Konstantinopel pada tahun 381, orangorang Kristiani telah
menyatakan bahwa mereka percaya akan ”Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik”.
Empat sifat itu menjadi ciri Gereja Kristus. Dalam Gereja kuno, sifat-sifat itu berguna untuk
membedakan Gereja yang benar dari kumpulan-kumpulan atau Gereja-Gereja yang palsu.
Sejak Reformasi, ciri-ciri itu kerap dijadikan bahan perdebatan, untuk membenarkan pernyataan
satu Gereja melawan Gereja yang lain. Di situlah masalahnya. Dewasa ini bagi banyak
orang, sifat-sifat itu lebih tampak sebagai uraian tentang apa hakikat Gereja itu sesungguhnya
daripada apa Gereja itu sebagaimana adanya sekarang ini. Jelas bahwa Gereja dewasa ini
bukan satu tetapi banyak. Bagi cukup banyak orang, kekudusan Gereja tidak segera kelihatan.
Agaknya lebih jelas bahwa Gereja itu adalah Gereja yang berdosa. Jika beberapa Gereja masih
menyebut diri sebagai Katolik, Gereja-Gereja itu masih harus menetapkan diri lebih lanjut
sebagai Anglo-Katolik, Katolik Lama atau Katolik Roma. Kebanyakan Gereja menyatakan diri
sebagai apostolik dalam arti menjadi ganti Gereja para Rasul. Bagaimana harus memahami
sifat-sifat itu?
Akan salahlah menyempitkan ciri-ciri Gereja melulu pada sifat-sifat eskatologis, sifat-sifat
yang diterima Gereja dari Tuhan hanya dalam pemenuhan waktu. Sifat-sifat itu merupakan
atribut-atribut Gereja Kristus yang ada dalam waktu dan ruang. Orang terjebak dalam eskatologi
kalau berkata bahwa tidak ada cara untuk mengenal Gereja yang tampak dan historis.
Keterjebakan itu merupakan semacam relativisme eklesial – mirip dengan kecenderungan
modern untuk mengabaikan masalah-masalah pernyataan historis, kesetiaan terhadap tradisi
para Rasul, perhatian untuk pewartaan yang benar dan pelaksanaan Sakramen yang sesuai
dan menekankan sifat jemaat yang menyenangkan, musik yang bagus, dan kecocokan pribadi.
Ini merupakan satu ekstrem, yang dengan membuat satu Gereja adalah sebaik Gereja yang
lain, mengambil setiap dorongan untuk berusaha menjadi Gereja Kristus secara lebih penuh
dari semua Gereja.
Pada ekstrem yang lain, pendekatan ”satu Gereja yang benar” yang menyatakan identitas
eksklusif antara jemaat khusus dan Gereja Kristus. Dewasa ini pendekatan itu merupakan ciri
yang lebih umum pada kaum sektarian. Pendekatan itu mengabaikan kompleksitas Gereja.
Gereja adalah kelihatan maupun tak kelihatan, satu dan banyak, tubuh mistik dan jemaat yang
kelihatan, yang dipersatukan oleh Roh dan diungkapkan dalam struktur sakramen,
pemerintahan gerejawi, dan kesatuan (bdk. LG 8).
Gereja yang Satu
Sejak awal Gereja adalah satu, karena Gereja Perjanjian Baru merupakan kesatuan
Gereja-Gereja. Kata koinonia yang biasanya diterjemahkan sebagai ”persatuan” atau
”persekutuan” untuk pertama kali digunakan oleh St. Paulus. Kata itu berarti hubungan
kesatuan antara orang-orang beriman berdasarkan pemilikan bersama atas hal-hal tertentu
(koinon). Dasar kesatuan itu pertama-tama bersifat spiritual; kesatuan itu muncul dari
keikutsertaan dalam ambil bagian didalam hidup bersama dalam Roh yang diberikan dalam
baptis (1Kor 12:13) dan terutama karena keikutsertaan ambil bagian dalam Ekaristi. Para
anggota Gereja merupakan ”satu tubuh” karena mereka berpartisipasi dan bersatu (koinonia)
dalam Tubuh dan Darah Kristus (1Kor 10:16-17).
Koinonia diungkapkan dalam tanda-tanda yang kelihatan. St. Paulus memberi tahu kita
bahwa sesudah pergi ke Yerusalem untuk menyampaikan kepada para pimpinan Gereja, Injil
yang diwartakannya kepada bangsa-bangsa non-Yahudi, dia menerima jabat tangan persekutuan (koinonia) dari Yakobus, Kefas, dan Yohanes (bdk. Gal 2:9). Usaha St. Paulus untuk
memerintahkan Gereja-Gerejanya menyumbang secara finansial untuk membantu orang miskin
di Gereja Induk Yerusalem (Rm 15:25-26; 1Kor 16:1-4; 2Kor 8:1-5) merupakan tanda lain dari
keinginannya untuk menjaga koinonia. Selama milenium pertama ciri autentik dari GerejaGereja yang bersangkutan ditunjukkan melalui tanda-tanda koinonia yang kelihatan, yang
menghubungkan mereka satu sama lain menjadi ecclesia catholica, perjamuan Ekaristi, suratsurat kontak, kesatuan antar uskup-uskup sendiri, dan paling sedikit sejak abad ke-3 dengan
Roma.
Akan tetapi, Gereja tidak mampu mempertahankan kesatuan dan persatuan dengan semua
yang mengakui iman Kristiani. Beberapa Gereja kuno kehilangan kesatuan dengan Gereja
universal karena ketidakmampuan mereka untuk menerima ajaran Kristologi Gereja yang
berkembang: Gereja Nestorian atau Timur sesudah Konsili Efesus (431) Koptik di Mesir dan
Armenia sesudah Kalsedon (451). Perpecahan besar pertama terjadi pada tahun 1054 karena
ketegangan dan salah paham antara Roma dan Konstantinopel. Sesudah utusan Paus Leo IX
mengekskomunikasikan patriach Michael Cerularius, dan kemudian diekskomunikasi oleh
sinode lokal, kesatuan antara Gereja Timur dan Barat pecah. Gereja-Gereja Timur menjadi
dikenal sebagai ”Ortodoks”. Kata ini digunakan terutama di Timur untuk menggambarkan
Gereja-Gereja yang tetap setia pada ajaran-ajaran Konsili Efesus dan Kalsedon.
Gereja-Gereja Barat yang hidup dalam persatuan dan yang semakin di bawah uskup Roma
selanjutnya dikenal sebagai Gereja Katolik, meski kesatuannya rusak selama Reformasi pada
abad ke-16 dan ke-17. Di Eropa Barat muncul tiga tradisi Gereja, Gereja Lutheran di Jerman
dan Skandinavia, Gereja Kalvinis atau Reformasi di Swiss dan Prancis, dan Gereja Anglikan di
Inggris. Tambahan pula yang disebut Reformasi sayap kiri atau radikal menciptakan sejumlah
jemaat yang secara kolektif disebut Anabaptis: Persaudaraan Swiss, Kaum Huterit di Moravia,
dan Mennonit Belanda. Jemaat-jemaat itu tidak hanya berusaha mengubah Gereja, tetapi
memulihkan hidup Kristiani menurut model Gereja Perjanjian Baru.
Bagian tragedi Reformasi adalah ketidakmampuannya mempertahankan kesatuan di dalam
dirinya sendiri. Gereja-Gereja baru terus saja bermunculan. Karena pemikiran Kalvin tersebar,
Gereja-Gereja dalam tradisi Reformasi berdiri di Eropa Timur, Belanda, Skotlandia, Inggris,
Irlandia, dan akhirnya Amerika Serikat. Pada abad ke-17 dari gerakan Puritan di Inggris muncul
Gereja Baptis. Kaum Metodis yang berawal sebagai gerakan pembaruan di Gereja Inggris abad
18 dipimpin oleh John dan Charles Wesley.
Dewasa ini ada 1,8 milyar orang Kristiani di dunia dan itu merupakan 33,5% dari penduduk
dunia. Orang-orang Kristiani itu terbagi-bagi dalam berbagai Gereja. Jumlah orang Katolik lebih
dari satu milyar. Orang Kristiani Ortodoks 173 juta, orang Protestan 382 juta, dan orang
Anglikan 75 juta.12 Ada lebih dari 300 Gereja dalam keanggotaan Dewan Gereja Dunia. Dewan
ini merupakan persekutuan Gereja-Gereja Protestan dan Ortodoks yang didirikan pada tahun
1948.
Bagaimana kita dapat dengan paling baik memahami hubungan antara satu Gereja dan
banyak Gereja dan bersamaan dengan itu, mengerti pernyataan Konsili Vatikan II bahwa agar
dapat ”masuk sepenuhnya” ke dalam Gereja, orang harus ada dalam kesatuan penuh yang
kelihatan dengan Gereja Katolik.
Gereja tidak dapat dipersempit menjadi sekadar umat setempat atau kumpulan semua
Gereja khusus, seperti cenderung dilakukan oleh banyak orang Protestan. Konsep tentang
Gereja yang atomistik itu berlawanan dengan cara Gereja milenium pertama mempertahankan
kesatuan dan keanekaragaman bersama-sama secara seimbang. Jika Gereja merupakan
kesatuan Gereja-Gereja, maka untuk menjadi Gereja yang penuh, setiap Gereja lokal atau
khusus harus menjadi bagian kesatuan itu. Bersamaan dengan itu, Gereja tidak dapat dimengerti sebagai satu lembaga yang monolitik, dan tersebar di seluruh dunia. Terlalu banyak
orang Katolik berpikir seperti itu. Menurut Vatikan II, Gereja-Gereja khusus ”dibentuk menurut
citra Gereja semesta”, sementara ”Gereja Katolik yang satu dan tunggal berada dalam GerejaGereja khusus dan terhimpun daripadanya” (LG 23).
Sebagai kesatuan Gereja-Gereja seluruh dunia, Gereja Katolik adalah sekaligus satu dan
banyak. Gereja lokal atau khusus dihubungkan satu sama lain dengan Uskup Roma melalui
ikatan-ikatan kesatuan antara uskup-uskup mereka. Termasuk di dalam kesatuan ini adalah
Gereja-Gereja Katolik Timur, yang kadang-kadang disebut secara salah sebagai Gereja-Gereja
yang ”Terpisah”. Gereja-Gereja itu adalah jemaat-jemaat yang dulu disebut Ortodoks tetapi
yang pada berbagai saat dalam sejarah telah membangun kembali kesatuan dengan Uskup
Roma. Gereja-Gereja itu mempertahankan tradisi-tradisi teologis,
liturgis dan kanonis,
mereka termasuk klerus yang menikah. Dekrit Konsili tentang Gereja-Gereja Timur Katolik
mengakui ritus Latin (OE 3). Kesatuan yang menghubungkan Gereja-Gereja bukan hanya kesatuan teologis melainkan juga institusional. Ini berarti bahwa kesatuan Gereja-Gereja dapat
bertindak sebagai satu Gereja, seperti terjadi pada Konsili Vatikan II. Menurut Konsili, kesatuan
atau sifat satu yang diberikan oleh Kristus kepada Gereja-Nya sudah ada dalam Gereja Katolik
sebagai sesuatu yang tidak dapat hilang. Namun, kesatuan itu belum sempurna, karena Konsili
mengungkapkan harapan agar ”kesatuan itu dari hari ke hari bertambah erat sampai kepenuhan zaman” (UR 4).
Gereja Katolik selalu mengakui Gereja-Gereja Ortodoks sebagai Gereja, dan Konsili
berbicara tentang ”Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi” yang terpisah (UR 19) untuk
menyebut perpecahan-perpecahan di Barat. Ungkapan ”Gereja dan Jemaat gerejawi” digunakan untuk membedakan antara Gereja-Gereja yang memiliki tata tertib yang sah dan GerejaGereja yang tidak mempunyainya, dan dengan demikian ”sudah kehilangan hakikat misteri
Ekaristi yang autentik dan sepenuhnya” (UR 22). Gereja-Gereja yang tidak memiliki tata tertib
itu tidak diakui sebagai Gereja dalam arti teologis yang penuh. Bersamaan dengan itu, disebut
jemaat gerejawi karena Gereja Kristus dengan sesuatu cara hadir dalam jemaat-jemaat itu,
meski tidak sempurna. Gereja-Gereja itu analog dengan Gereja-Gereja khusus dari Gereja
Katolik.13
Gereja yang Kudus
Satu segi yang paling menarik dari pengalaman akan Allah yang muncul dari Kitab Suci
Yahudi adalah gagasan bahwa Allah adalah ”kudus” dan umat Allah adalah juga kudus.
”Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus.” Gagasan tentang ”kekudusan” (yang
akar kata Hibraninya qds, berarti ”terpisah”) menggambarkan sifat hakiki Allah – lain, berbeda,
terpisah dari segala hal yang diciptakan, yang terbatas, dan tidak sempurna. Kekudusan Allah
meliputi baik kekuasaan Ilahi maupun kebenaran moral. Kekudusan Allah ditunjukkan dalam
pembebasan oleh Allah atas bangsa terpilih, dalam keadilan, dan rasa jijik akan dosa.
Dalam arti kedua, orang, tempat, dan benda disebut kudus karena hubungannya dengan
Allah. Tanah di sekitar semak yang menyala adalah kudus karena Allah ada di sana (Kel 3:4-5).
Israel adalah kudus karena hubungan perjanjian – yang dirumuskan dalam Sepuluh Perintah –
antara umat dan Yahwe (Kel 19:5-6). Benda-benda yang digunakan dalam ibadat atau liturgi
dipandang kudus, tenda pertemuan, tempat ibadat, altar, pakaian ibadat, imam, hari Sabat,
korban. Segala itu kudus bukan dalam arti gaib tetapi karena kedekatan dan hubungannya
dengan yang Ilahi.
Gereja disebut ”kudus” dalam arti derivatif (dikembangkan lebih lanjut). Gereja adalah
kudus karena menjadi tempat kehadiran Allah yang tetap. Dalam Kristus, Allah telah
menguduskan para murid; mereka telah menjadi satu sebagai ”Tubuh Kristus”(1Kor 12:27);
jemaat adalah ”bangunan Allah”( 1Kor 3:9), dan melalui Kristus jemaat menjadi ”bait Allah yang
kudus di dalam Tuhan” dan ”tempat kediaman Allah di dalam Roh” (Ef 2:21-22). Jemaat adalah
”imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9). Dokumendokumen Perjanjian Baru yang paling awal menyebut para anggota Gereja sebagai ”orangorang kudus” (hagioi) atau ”orang-orang suci”(Rm 1:7; 12:13; 15:25; 1Kor 14:33; 16:1; Fil 4:22;
Kis 9:13,32), yang ”dikuduskan” dalam Kristus Yesus (1Kor 1:2) atau oleh Roh Kudus (Rm
15:16).
Konsili Vatikan II menggemakan teologi ini, dengan mendasarinya dalam baptis: ”mereka
yang dibaptis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi
kediaman rohani dan imamat suci”(LG 10). Akan tetapi, jika Allah telah membuat Gereja kudus
sebagai umat yang dikuduskan ”Umat Kudus Allah” (LG 12), maka jelaslah bahwa sebagai
perorangan mereka harus menjadi kudus (1Kor 1:27; Rm 1:7). Mereka harus menanggapi
dalam ketaatan (1Ptr 1:14-16).
Gereja juga kudus karena Allah telah memberi kepadanya karunia-karunia kudus: Sabda
Allah (Yoh 1:21; 1Ptr 1:23), pelayanan Gereja (2Kor 5:18; Ef 4:11-12), sakramen-sakramen
(Yoh 3:5; 20:3; 1Kor 6:11; 11:27; Yoh 5:14-15), untuk melestarikan dan menguduskan umat.
Anugerah-anugerah atau struktur Gereja itu kudus pada dirinya sendiri karena merupakan
karunia-karunia Ilahi. Anugerah-anugerah itu membuat Gereja mampu menjadi tanda
kekudusan yang efektif dan sakramen di dunia selain ketidaklayakan umat atau pelayan Gereja.
Dalam liturgi Gereja-Gereja Timur, dua dimensi kekudusan Gereja bergabung pada waktu
diakon mengundang umat untuk maju dan menerima Ekaristi dengan kata-kata ”hal-hal kudus
bagi orang kudus”.
Dapatkah Gereja kudus sekaligus berdosa? Tradisi resmi enggan untuk berbicara tentang
Gereja sebagai berdosa, tetapi Konsili mengakui bahwa kesucian Gereja tidaklah sempurna:
”Gereja harus selalu dibersihkan” (LG 8). Wajah Gereja ”kurang terang bersinar” karena dosadosa para anggotanya (UR 4); dan sebagai Gereja yang berziarah perlu ”terus-menerus
memperbaiki diri”(UR 6), menggemakan penekanan Protestan pada Gereja yang selalu
memerlukan perombakan (ecclesia semper reformanda).
Gereja-Gereja lain kurang yakin untuk mengakui bahwa Gereja Kudus, karena terdiri dari
orang-orang kudus dan pendosa, juga berdosa. Konsili mengingatkan tanggung jawab Gereja
karena ikut berdosa melawan kesatuan pada abad ke-16 (UR 7) dan Sullivan dalam bukunya
The Church We Believe In menambahkan contoh dosa-dosa historis yang secara kolektif,
Gereja ikut bertanggung jawab: ”... perlakuan buruk terhadap orang-orang Yahudi, dan
menerima perbudakan.”14 Dengan demikian, seperti Gereja dapat menjadi lebih satu secara
penuh, demikian Gereja juga dapat menjadi lebih kudus secara lebih sempurna.
Gereja yang Katolik
Kata sifat Yunani katholikos, yang berarti ”umum”, ”menyeluruh” atau ”universal” pertama
kali digunakan Gereja dalam arti Gereja keseluruhan atau universal oleh Ignasius dari Antiokhia
sekitar tahun 115. Ignasius menulis: ”Di mana uskup berada, di sana umat harus berada,
seperti, di mana Yesus Kristus berada, di sana Gereja Katolik berada” (Smyrn.8.2). Ignasius
menyatakan bahwa seperti Kristus menjadi kepala dan pusat seluruh Gereja, demikian pula
uskup adalah kepala dan pusat jemaat setempat.
Tetapi sekurang-kurangnya pada abad ke-3 dan ke-4 kata ”katolik” digunakan secara
polemis untuk membedakan Gereja yang besar atau benar dari kelompok-kelompok atau
gerakan-gerakan heretik yang terpisah daripadanya. Ignasius (meninggal tahun 430), pada
waktu mendaftar ciri-ciri Gereja yang benar – kesepakatan universal, otoritas, penggantian
dalam imamat dari takhta St. Petrus – pada akhirnya menyebut ”nama ’katolik’ sendiri, yang
tidak tanpa alasan di tengah sedemikian banyak bidaah, hanya satu Gereja telah bertahan
sehingga semua heretik mau disebut ’katolik’, tidak seorang pun dari mereka akan berani
menjawab pertanyaan orang asing tentang di mana Gereja Katolik bertemu dengan
menunjukkan basilika atau rumahnya sendiri”.15
Agustinus juga ikut berjasa dalam memberi arti ketiga pada kata ”katolik”: dalam
perdebatan dengan kaum Donatis ecclesia catholica dimengerti secara geografis untuk
menyebut Gereja tersebar ke seluruh dunia.
Dengan demikian, kata ”katolik” berarti: Gereja dalam kepenuhan atau keseluruhannya;
telah digunakan secara polemik untuk Gereja yang benar; dan mempunyai arti geografis atau
universal bagi Gereja yang hadir di mana-mana. Cyrilus dari Yerusalem (meninggal tahun 387)
menggunakan kata ”katolik” dalam beberapa arti, pada waktu ia menggambarkan Gereja
sebagai katolik karena terbentang sampai ke ujung dunia, mengajarkan segala ajaran yang diperlukan untuk keselamatan, mengajar segala bangsa, menyembuhkan segala macam dosa,
dan memiliki segala keutamaan (Catechesis 18). Kekatolikan Gereja mencakup sifat
menyeluruh terhadap keanggotaan Gereja. Sebagai tanda perdamaian dalam Kristus dan kesatuan dalam Roh, Gereja harus merangkum segala bangsa, mendamaikan ras-ras, kelas, dan
budaya yang berbeda-beda, sebagaimana disarankan saat kelahirannya pada pesta
Pentakosta (Kis 2:5-11). Perutusan Gereja untuk memberi wujud pada penebusan Kristus menuntut kekatolikan itu; kekatolikan merupakan tanda kesatuan seluruh umat manusia (Bdk. LG
1). Sebuah Gereja yang tidak menerima orang-orang lain karena ras, etnik, atau status sosial
tidak dapat bersifat katolik.
Kesatuan dan kekatolikan ecclesia catholica berkurang karena perpecahan antara Gereja
Timur dan Barat pada tahun 1054, maupun oleh perpecahan-perpecahan baru yang diakibatkan
oleh Reformasi. Dengan Kristianitas yang terpecah-pecah, katolisitas tak hanya menjadi milik
Gereja Katolik, yang sejak abad ke-16 disebut sebagai ”Gereja Katolik Roma”, meski dalam
dokumen-dokumen resmi Gereja terus-menerus menyebut dirinya hanya sebagai ”Gereja
Katolik”. Dalam keanggotaan keseluruhannya, Gereja Katolik sedikit lebih dari separo jumlah
seluruh orang Kristiani. Sebuah Gereja setempat adalah Katolik jika Gereja itu ada dalam
kesatuan dengan Gereja-Gereja yang membentuk Gereja universal. Vatikan II mengajarkan
bahwa ada kepenuhan katolisitas yang menjadi milik Gereja Katolik, meski Konsili juga
mengakui bahwa karena perpecahan-perpecahan historis, Gereja ”menjadi lebih sukar untuk
mengungkapkan dalam kenyataan hidupnya kepenuhan sifat katoliknya dalam segala seginya
(UR 4). Tentu saja ada unsur-unsur kekatolikan dalam tradisi-tradisi lain. Tradisi-tradisi teologis,
liturgis, dan spiritual yang kaya dari Gereja-Gereja Timur yang terpisah merupakan bagian
kekatolikan Gereja yang tak terpecah-pecah. Sejumlah tradisi menunjukkan kekatolikan melalui
anggota-anggota mereka dalam kelompok-kelompok konfesional dunia seperti Persatuan
Anglikan, Federasi Dunia Lutheran, dan Perserikatan Dunia Gereja-Gereja Reformasi, meski
masing-masing anggota Gereja secara yuridis mandiri. Dewan Gereja Dunia merupakan keinginan untuk mewujudkan katolisitas dari pihak Gereja-Gereja, meski Dewan itu sendiri
bukanlah Gereja tetapi dewan dari Gereja-Gereja yang mandiri yang tetap bebas untuk
memisahkan diri dalam setiap pendirian atau pernyataan dewan. Jika Gereja Katolik merasa
berhak menyatakan kepenuhan katolisitas, mungkin Gereja Katolik mempunyai tanggung jawab
khusus dalam menemukan jalan untuk memasukkan Gereja-Gereja lain dalam kepenuhan itu.
Gereja yang Apostolik
Dalam uraian singkat Lukas tentang Gereja Kristiani awal, ia mengatakan bahwa semua
”bertekun dalam pengajaran Rasul-rasul” (Kis 2:42). Dewasa ini semua orang Kristiani sepakat
mengenai peranan para Rasul yang khas dan tak tergantikan dalam pendirian Gereja. Semua
sepakat bahwa Gereja dewasa ini harus apostolik dalam arti mengganti Gereja para Rasul.
Tetapi sejak Reformasi pada abad ke-16, penggantian apostolik dimengerti secara lain.
Gereja-Gereja Anglikan, Katolik dan Ortodoks secara tradisional telah menekankan
penggantian melalui jabatan uskup historis. Gereja Katolik berpendapat bahwa ”atas penetapan
Ilahi, para uskup menggantikan para Rasul sebagai gembala Gereja” (LG 20). Gereja-Gereja
Protestan memisahkan diri dari Gereja yang diatur secara episkopal pada abad ke-16. Dalam
hal kaum Lutheran, uskup-uskup tidak bersedia menahbiskan pastor-pastor mereka. Yohanes
Calvin berpendapat bahwa apostolisitas harus ditemukan dalam kesesuaian dengan ajaran
para Rasul (Institute 4.2.6). Ini menjadi pendirian tradisional Gereja-Gereja Protestan.
Penggantian apostolik dimengerti dalam kerangka penggantian dalam iman para Rasul.
Prinsip penggantian para Rasul ditetapkan sekurang-kurangnya pada tahun 96 oleh penulis
surat Clement. Dalam menasihati Gereja di Korintus karena memecat episkopoi mereka dari
jabatan mereka,
Clement menyatakan bahwa para Rasul sendiri, untuk mencegah
kasak-kusuk minat atas jabatan uskup, telah ”menunjuk orang-orang pentobatan pertama ...
menjadi uskup dan diakon dan orang-orang beriman masa yang akan datang” (42.4) asalkan
bila orang-orang ini meninggal ”orang-orang lain yang disetujui harus mengganti pelayanan
mereka” (44.2).
Kebanyakan sarjana dewasa ini menganggap prinsip Clement lebih bercorak teologis
daripada historis, tetapi gagasan tentang penggantian pelayanan para Rasul sudah ada dalam
Perjanjian Baru. Para pemimpin Gereja lokal kerap digambarkan sebagai mengganti tanggung
jawab pastoral para Rasul, kedua-duanya dalam kerangka menjaga tradisi apostolik (Kis 20:2930; 1Tim 1:14; 2:2) dan dengan berbagai usaha menghubungkan pelayanan mereka dengan
pelayanan para Rasul sendiri (1Ptr 5:1; Kis 14:23; 1Tim 3:22; Tit 1:5). Di satu sisi, terdapat
cukup bukti yang menyarankan bahwa gambar para Rasul yang menunjuk pemimpin-pemimpin
yang kemudian dikenal sebagai penatua-penilik (uskup-presbyter) mungkin mempunyai dasar
historis. Di lain sisi, itu mungkin bukan satu-satunya praktek. Misalnya jemaat-jemaat yang
disebut oleh Didache diperintahkan untuk ”menunjuk sendiri uskup-uskup dan diakon-diakon
kalian yang layak bagi Tuhan” (15:1).
Dalam Gereja pasca Perjanjian Baru, yang terganggu munculnya jemaat-jemaat heretik dan
pernyataan kaum Gnostik tentang tradisi tak tertulis dan rahasia yang berasal dari Yesus, para
penulis seperti Hegesippus (± 180), Ireneus (meninggal ± 100), dan Tertulianus (± 200)
mengacu pada tradisi apostolik yang benar yang diwariskan melalui Gereja-Gereja dengan
dasar apostolik, dengan menggunakan daftar para uskup dari Gereja-Gereja itu untuk
menunjukkan kelanjutan yang kelihatan dengan Gereja Apostolik. Tertulianus menantang
Marcion untuk membentuk satu Gereja Marcionit yang dapat menemukan keturunannya dari
seorang Rasul (Marc 1.21.5). Dengan demikian, uskup-uskup diakui sebagai pengganti para
Rasul dan penjaga tradisi apostolik sekurang-kurangnya sejak abad ke-2.
Ada bukti liturgis untuk hakikat kolegial jabatan uskup dalam Tradisi Apostolik (Traditio
Apostolica) dari Hyppolytus, yang berasal dari akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3. Dalam
upacara pemberkatan uskup, uskup baru menerima penumpangan tangan dari uskup-uskup
lain yang hadir (2.3). Keikutsertaan mereka merupakan tanda bahwa uskup baru dan Gerejanya
ada dalam kesatuan dengan Gereja-Gereja lain dan mengganti Gereja para Rasul.
5. Kesimpulan
Gereja sebagai jemaat murid-murid Yesus merupakan kenyataan historis yang kelihatan.
Katolisisme memahami bahwa jemaat itu diperantarai dan dipertahankan oleh lambang-lambang sakramental dan struktur-struktur kelembagaan, ungkapan-ungkapan tradisi yang hidup
yang berawal dari zaman para Rasul. Ada jabatan pelayanan di dalam Gereja, yang
berhubungan dengan pelayanan para Rasul, tetapi itu bukan merupakan satu-satunya sumber
otoritas. Otoritas Gereja ditemukan dalam Kitab Suci, tradisi, kesaksian dan hidup para kudus,
sensus fidelium (keyakinan umat beriman) maupun di dalam keputusan-keputusan magisterium.
Orang-orang Kristiani Prostestan, yang hidup dalam tradisi yang menekankan
kemerdekaan mutlak dan transendensi Allah, satu perantara Yesus Kristus, dan keunggulan
Sabda, kerap curiga terhadap penekanan Katolik atas tradisi, lambang-lambang dan strukturstruktur. Bagi banyak orang Protestan, dengan mengikuti Calvin, Gereja yang benar adalah
kumpulan orang yang terpilih yang tidak kelihatan. Yang penting adalah jemaat umat beriman
yang berkumpul yang menanggapi sabda yang diwartakan, bukan denominasi atau institusi.
Iman dan hidup lebih penting dari sumber-sumber kepercayaan historis. Bagi umat Protestan,
Gereja Kristus ada dalam banyak Gereja.
Orang-orang Katolik juga memahami Gereja Kristus sebagai ada dalam banyak Gereja
yang berbeda-beda, tetapi mendekati permasalahan secara berbeda. Sejak awal, kata ”jemaat”
berarti baik Gereja setempat maupun seluruh Gereja, yang disebut ”Katolik” sejak awal abad
ke-2. Kepausan merupakan kepenuhan Gereja. Orang-orang Katolik melihat Gereja Kristus
sebagai ada dalam Gereja Katolik dalam kepenuhan hakikinya karena struktur-struktur historis
Gereja itu dan pernyataan khasnya atas kesatuan, kekudusan, katolisitas, dan apostolitas.
Mereka tidak menyangkal bahwa Gereja Kristus dapat juga ada dengan berbagai cara dalam
Gereja-Gereja lain dan jemaat-jemaat gerejawi.
Gereja Katolik adalah Gereja dunia. Gereja itu ada di setiap negeri. Mayoritas orang Katolik
bergeser dari Hemisfer Utara ke Hemisfer Selatan. Pada Sinode Istimewa Para Uskup yang
berkumpul di Roma pada tahun 1985, 74% uskup datang dari benua bukan Eropa dan Amerika
Utara. Diperkirakan bahwa pada tahun 2000, mungkin 70% umat Katolik akan ada di negerinegeri Dunia Ketiga.17
Vatikan II mengakui bahwa berkat baptis sudah ada kesatuan yang nyata tetapi belum
sempurna antara orang-orang Kristiani lain dengan Gereja Katolik (UR 3; LG 25). Buku
Petunjuk Ekumene (Ecumenical Directory) Katolik Roma, yang direvisi pada tahun 1993,
berpikir lanjut. Direktori itu berbicara jauh lebih jelas tentang kesatuan yang nyata tetapi belum
sempurna itu tidak hanya ada di antara orang-orang Kristiani tetapi juga di antara Gereja Katolik
dan Gereja-Gereja lain dan jemaat-jemaat gerejawi (no. 28).18 Jika satu Gereja itu merupakan
kesatuan Gereja-Gereja, tugas ekumenis adalah menemukan jalan untuk menciptakan kembali
kesatuan penuh antara Gereja-Gereja yang berbeda dan jemaat-jemaat gerejawi. Dengan cara
ini, kesatuan yang sudah ada dalam Gereja Katolik dapat merangkum semua Gereja dan
dengan demikian menjadi kesatuan yang sempurna yang oleh Yesus didoakan (Yoh 17:22).
Catatan:
1.
2.
3.
Untuk melihat kembali debat dalam Konsili, lihat Xavier Rynne, Vatican Council II (New York: Farmar, Straus and Giroux,
1968).
Daniel J. Harrington, God’s People in Christ, (Philadelphia: Fortress, 1980) 29.
Lihat Thomas. O’Meara, Theology of Ministry, (New York: Paulist, 1983) 102-104.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Lihat Joseph A. Kamonchak, ”The Local Church and the Church Catholic”: The Contemporary Theological Problematic,” The
Jurist 52 (1992) 416-447.
Lihat John Francis Maxwell, Slavery and the Catholic Church, (London: Barry Rose, 1975) 115-120.
St. Paulus menyebut Andronicus dan Yunia sebagai ”menonjol di antara rasul-rasul” (Rm 16:7). Yunia adalah nama wanita,
meskipun kerap ditafsirkan sebagai nama pria.
Lihat Kenan Osborne, Priesthood: A History of Ordained Ministry in the Roman Catholic Church, (New York: Paulist, 1988) 4085; Paul Bernier, Ministry in the Church: A Historical and Pastoral Approach, (Mystic, Conn.: Twenty Third, 1992) 15-49.
Lihat James M. Barnett, The Diaconate: A Full and Equal Order, (New York: Seabury, 1981) 57-93.
Lihat Aimé Georges Martimort, Deaconesses: An Historical Study, (San Francisco: Ignatius, 1986) 182-183.
Raymond E. Brown dan John P. Meier, Antioch and Rome: New Testament Cradles of Catholic Christianity (New York:
Paulist, 1983) 165-166.
Lihat Francis A. Sullivan, The Church We Believe In: One Holy, Catholic and Apostolic, (New York: Paulist, 1988) 23-33.
Berdasarkan Statistik pada tahun 1994, Britannica Book of the Year, 271.
Sullivan, The Church We Believe In, 54.
Sullivan, The Church We Believe In, 82-83.
Contra ep. Manichaei 4.5; PL 42,175.
World Council of Churches, Baptism, Eucharist and Ministry, (Geneva: WCC, 1982).
Lihat Walter Bühlmann, The Church of the Future, (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1988) 3-11.
Lihat ”Directory for the Application of Principles and Norms on Ecumenism” Origins, 23 (1993).
IV
Tradisi yang Hidup
Sementara orang menolak pengertian tradisi. Bagi mereka, kata tradisi sendiri
menyarankan sesuatu yang beku, otoritarian, yang mengunci orang di masa lampau. Mereka
melihat tradisi sebagai tantangan terhadap otonomi pribadi.
Kata tradisi (dalam bahasa Yunani: paradosis, Latin: traditio) secara harfiah berarti sesuatu
yang telah ”diserahkan”, ”diteruskan”, ”diwariskan.” Banyak sekali istilah ”tradisi” disamakan
dengan arti kedua yaitu segala kebiasaan, praktek, kepercayaan, dan ajaran populer tetapi merupakan kepercayaan jemaat yang tidak resmi.
Orang-orang Katolik pernah
mempunyai tradisi-tradisi semacam itu, puasa selama masa Puasa, puasa sebelum menerima
Komuni, pantang daging pada hari Jumat, mengangkat topi pada waktu melewati depan gedung
gereja (karena Sakramen Mahakudus ada di dalamnya), wanita menutup kepala di gereja, dan
lain-lain. Tradisi-tradisi itu pernah menjadi bagian budaya Katolik populer dan membantu
memperkuat identitas Katolik. Akan tetapi, tradisi-tradisi itu telah dikondisikan oleh zaman dan
pada akhirnya tidak penting.
Dalam arti yang paling dasar, ”tradisi” merupakan pengalaman iman bersama jemaat
Kristiani, hidupnya dalam Kristus, dan persatuannya di dalam Roh. Bagi para Bapa Gereja,
tradisi itu, sebagai hal yang diwariskan dari zaman para Rasul, mempunyai tiga ciri: ”antikuitas,
universalitas, dan konsensus”. Pengertian mengenai prinsip tradisi itu membuat Gereja awal
mampu mengumpulkan tulisan-tulisan suci yang diakui sebagai apostolik oleh semua Gereja ke
dalam kanon Kitab Suci, untuk membedakan ajaran-ajaran yang salah dari ajaran-ajaran yang
asli dan mengembangkan syahadat dan pengakuan iman yang normatif. Dengan cara itu,
pewahyuan Allah dipertahankan dan diungkapkan dalam hidup jemaat.
Tradisi jauh lebih banyak daripada hormat terhadap hal-hal yang kuno. Tradisi merupakan
kenyataan yang hidup yang menyimpan pengalaman iman jemaat yang diterima, diwartakan,
dirayakan, dan diwariskan kepada angkatan-angkatan selanjutnya. Vatikan II membicarakan
peran aktif tradisi ini dalam konstitusi tentang Wahyu Ilahi: ”Demikianlah Gereja dalam ajaran,
hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan, dirinya
seluruhnya, imannya seutuhnya”. Tradisi ”berkat bantuan Roh Kudus” berkembang dalam
Gereja, ”sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata
yang ditanamkan,” dan ”Gereja tiada hentinya berkembang menuju kepenuhan kebenaran Ilahi”
(D8). Dalam arti ini tradisi mempunyai orientasi ke masa depan. Menurut Jaroslav Pelikan,
”Tradisi adalah iman hidup orang yang sudah mati. Sedang tradisionalisme adalah iman mati
orang yang masih hidup.”1
Dalam bab ini kita akan membahas hubungan antara hidup atau tradisi jemaat dan wahyu,
dialog atau pewahyuan dari Allah yang telah diadakan-Nya dengan umat manusia. Kemudian,
kita akan membicarakan berbagai ungkapan resmi dari tradisi Gereja.
Akhirnya, kita akan menguraikan ciri-ciri khusus tradisi Katolik.
1. Wahyu dan Tradisi
Banyak orang Kristiani, yang akrab dengan cara Allah berhubungan dengan umat manusia
yang tampaknya terjadi secara langsung, rindu akan kejelasan zaman biblis dengan nostalgia.
Segalanya sedemikian sederhana. Allah berbicara melalui semak yang menyala kepada Musa,
dari asap dan api Gunung Sinai kepada umat. Allah memberi 10 perintah yang jelas tertulis di
loh batu. Umat dibimbing melewati padang pasir dengan awan pada siang hari dan pijar api
pada malam hari. Terjadi banyak mukjizat, seperti wabah penyakit di Mesir, terbelahnya laut
Merah selama masa pengungsian dari Mesir, matahari terhenti di langit di Gibeon, dan ramalanramalan eksplisit para nabi.
Kegamblangan yang sama rupanya juga terjadi dalam Perjanjian Baru. Yesus memiliki
perasaan yang jelas tentang identitas-Nya, dengan berkata kepada orang Yahudi dalam Injil
Yohanes, bahwa diri-Nya dan Bapa adalah satu (Yoh 10: 30), bahwa Ia ada sebelum Abraham
(Yoh 8: 58). Dalam Injil Matius, Ia memberikan instruksi-instruksi yang eksplisit kepada para
Rasul sesudah kebangkitan-Nya: mereka diutus untuk mengajar segala bangsa menjadi muridmurid-Nya (Mat 28: 19). Khotbah-khotbah para Rasul sesudah Pentakosta disertai dengan
mukjizat-mukjizat yang menakjubkan, termasuk membangkitkan
orang mati (Kis 9: 40), dan
pada waktu ada masalah yang harus dipecahkan, Petrus dan Paulus mendapatkan mimpi atau
visiun pewahyuan, sehingga kehendak Allah dengan mudah ditegaskan (Kis 10: 10-16, 23:11).
Bagaimana kita dapat menjelaskan bantuan Ilahi yang menakjubkan pada zaman kitab suci
dan menerangkan Allah yang diam dan tersembunyi pada zaman kita ini? Mengapa Allah
sedemikian membantu nenek moyang kita dan membiarkan kita pada sumber-sumber daya kita
sendiri? Barangkali situasi pada zaman Kitab Suci tidak sesederhana seperti tampak sekilas.
Sesungguhnya dengan membaca Kisah Para Rasul, kita menemukan bahwa situasi Gereja
awal tidak sedemikian berbeda dengan zaman kita. Keadaan-keadaan Perjanjian Baru
menimbulkan masalah-masalah baru dan jawaban atas masalah-masalah itu tidak segera
ditemukan.
Krisis terbesar pertama yang dihadapi oleh Gereja Perdana adalah masalah orang-orang
non-Yahudi, pria dan wanita, yang percaya kepada Yesus dan menghendaki dibaptis ke dalam
jemaat Kristiani. Ini menjadi masalah besar bagi Gereja: apakah para calon Kristiani itu terlebih
dulu harus menjadi Yahudi, menaati kewajiban-kewajiban hukum Yahudi, bagi pria non-Yahudi
itu juga berarti harus disunat? Masalah itu bukan masalah mudah bagi Gereja Perdana.
Meskipun tampak jelas teks-teks Injil seperti Matius 28:19, yang menginstruksikan para Rasul
untuk membaptis segala bangsa, masalah orang non-Yahudi itu membutuhkan waktu lama bagi
Gereja untuk memecahkannya.
Model-Model Wahyu
Dengan demikian, bagaimana Allah berkomunikasi dengan kita? Berbagai jawaban sudah
diberikan.2 Beberapa orang mengerti wahyu sebagai penyampaian ”kebenaran-kebenaran”
tertentu oleh Allah, yang kemudian dapat dirumuskan ke dalam pernyataan-pernyataan yang
jelas. Wahyu semacam ini membuat Allah tampak seperti teolog yang berbicara dengan
konsep-konsep yang jelas, atau Yesus seperti guru yang menyampaikan kumpulan ajaran
khusus kepada para Rasul-Nya. Orang-orang Katolik kerap berbicara tentang ”harta perbendaharaan iman” dalam arti ini. Wahyu dimengerti secara statis, seolah-olah Yesus
mempercayakan iman kepada para Rasul sebagai kumpulan kebenaran yang lengkap.
Konsili Trente (1546-1563) mengerti wahyu seperti itu pada waktu berkata tentang Injil
sebagai ”Kebenaran-kebenaran dan peraturan-peraturan ... yang termuat dalam kitab tertulis
dan tradisi-tradisi tak tertulis yang telah sampai pada kita, sesudah diterima oleh para Rasul
dari Yesus sendiri” (DS 1501). Sumpah melawan modernisme menguraikan iman sebagai
”penerimaan secara intelektual yang sungguh-sungguh atas kebenaran yang diterima dari luar
dengan mendengar” (DS 2145).
Bagi banyak orang Protestan, ajaran tentang inspirasi Kitab Suci mencerminkan
permohonan tentang wahyu seperti di atas. Kata-kata Kitab Suci dimengerti sebagai benar
dalam arti harfiah, yang didiktekan kepada pengarang suci oleh Roh Kudus. Misalnya, banyak
orang fundamentalis yang melihat dalam Kitab Wahyu, buku Kristiani awal yang hampir tidak
masuk ke dalam Perjanjian Baru, isyarat yang diwahyukan secara Ilahi untuk segala peristiwa
historis yang akan memaklumkan akhir dunia dan kedatangan Kristus yang kedua.
Pendekatan yang proposisional terhadap wahyu dengan benar memahami bahwa ada
bagian dalam pewahyuan diri Allah yang dapat dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan
teologis. Akan tetapi, pendekatan itu tidak berhasil memahami bahwa dalil-dalil atau doktrindoktrin itu secara historis adalah susunan manusia yang dapat ditafsirkan kembali. Lagi pula,
dengan mereduksikan pewahyuan pada kebenaran-kebenaran yang berasal dari luar,
pendekatan semacam itu tidak memberi tempat bagi perkembangan pemahaman peristiwa
Kristus dan bagi perkembangan doktrin.
Orang-orang lain melihat wahyu dalam karya-karya kuasa Allah dalam sejarah, peristiwaperistiwa ajaib atau peristiwa-peristiwa historis yang dengan sendirinya jelas seperti keluaran,
terbelahnya Laut Merah, atau terbelahnya tirai Bait Allah pada saat Yesus wafat. Sementara
benar bahwa wahyu terjadi di dalam sejarah Israel. Pendekatan ini menyarankan model wahyu
yang interventionis (campur tangan). Wahyu itu menggambarkan Allah campur tangan langsung
dalam tata alam-dunia. Sayangnya, peristiwa-peristiwa yang dinyatakan sebagai intervensi Ilahi
sama sekali tidak jelas dengan sendirinya. Apa yang dilihat oleh
orang beriman ketika
Allah membebaskan anak-anak Israel dari perbudakan di Mesir, oleh ahli sejarah atau antropologi dilihat sebagai migrasi penduduk sebagai akibat kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang
buruk. Tambahan pula, pendekatan interventionis menciptakan masalah lebih lanjut dengan
menyarankan bahwa Allah bertindak dengan meniadakan atau mengatasi hukum-hukum alam.
Dewasa ini banyak orang berpikir jauh lebih masuk akal dalam melihat wahyu Allah, atau
lebih tepat, pewahyuan-diri Allah, sebagai sesuatu yang tidak berasal dari luar melainkan dari
dalam dunia, di mana Allah yang transenden ada dalam hubungan imanen dengan ciptaan.
Pendekatan ini berpendapat bahwa kita tidak berjumpa dengan Allah secara langsung.
Pewahyuan selalu diperantarai oleh pengalaman di dunia, orang, peristiwa, kisah, atau gejala
alam yang menjadi lambang yang mengungkapkan makna yang lebih dalam. Pengalaman kita
merupakan kenyataan yang dalam dan kompleks. Pengalaman itu meliputi hal-hal yang terjadi
pada kita secara pribadi, peristiwa-peristiwa historis dalam hidup jemaat kita, masalah yang
mengganggu kita, keinginan kita akan makna, kebahagiaan, pemenuhan, dan kelaparan akan
Allah.
Dari sudut pandang ini, pengalaman manusia sendiri dan terutama pengalaman jemaat
yang percaya menjadi medan komunikasi diri Allah. Dengan cara itu, apa yang kita sebut
”wahyu” merupakan pemahaman atau visi religius yang muncul dari jemaat beriman. Jemaat
melihat kehadiran dan tindakan Allah melalui manusia, peristiwa, dan benda. Jemaat
mengungkapkannya dalam bahasa atau kisah, dan akhirnya merumuskannya sebagai ajaran
religius. Ini tidak menyangkal karya Roh Kudus yang penuh misteri. Justru Roh Kuduslah yang
membuat umat beriman dan penafsir-penafsir profetis sampai pada kesadaran baru akan
kehadiran dan tindakan Allah melalui berbagai lambang alamiah dan religius, dan terutama
dalam pribadi Yesus.
Kisah-kisah suci atau mitos dapat juga menjadi sarana pewahyuan diri Allah, seperti
peristiwa historis dan khotbah profetis. Kisah biblis tentang kejatuhan manusia pertama adalah
mitos yang digunakan oleh pengarang-pengarang Kitab Suci untuk menerangkan pengalaman
umat mereka akan kejahatan dan dosa. Kisah ular yang membuat pria dan wanita pertama
jatuh ke dalam dosa di taman, mengajarkan kebenaran religius yang mendalam dengan
menyarankan bahwa akar seluruh dosa adalah kegagalan umat manusia untuk mengakui
keterbatasan manusia dan mengakui Allah sebagai Allah. Dari kisah itu, St. Paulus
mengembangkan teologi dosa yang ditulis dalam surat kepada umat di Roma dan Agustinus
merumuskan apa yang kemudian menjadi ajaran tentang dosa asal. Demikian juga
kepercayaan akan hidup sesudah mati, pada awalnya merupakan bagian tradisi Israel. Akan
tetapi, harapan bahwa Allah akan membangkitkan orang mati menjadi hidup mulai tampak
dalam Kitab Suci Yahudi dalam tulisan-tulisan apokaliptik seperti Kitab Daniel, yang ditulis
sekitar zaman Antiochus IV (150 SM), pada waktu orang-orang Yahudi yang saleh disiksa dan
dibunuh karena iman mereka. Kebangkitan Kristus merupakan bukti kuasa Allah atas maut itu
sendiri dan menjadi dasar ajaran kebangkitan badan, yang amat sentral dalam iman Kristiani.
Bagan pada halaman 121 memberi beberapa contoh bagaimana jemaat beriman bergerak dari
pengalaman melalui lambang-lambang interpretatif ke apa yang pada akhirnya menjadi kepercayaan-kepercayaan atau ajaran-ajaran resmi.
Dengan demikian wahyu terjadi dalam sejarah umat Allah yang tercermin dalam Kitab Suci
Yahudi dan dalam kitab-kitab Perjanjian Baru dan mencapai kepenuhan dalam hidup, kematian,
dan kebangkitan Yesus. Dengan kata lain, pewahyuan-diri Allah dalam Yesus hanya dapat
dimengerti sepenuhnya dalam konteks bangsa yang menjadi asal Yesus dan jemaat-jemaat
para murid awal yang merayakan kehadiran-Nya di tengah-tengah mereka. Tradisi mereka
diungkapkan dan disimpan bagi kita di dalam Kitab Suci. Ungkapan ”wahyu selesai dengan
kematian Rasul yang terakhir” menunjuk pada Yesus sebagai pewahyuan-diri Allah yang
definitif dan mutu normatif Kitab Suci Gereja Apostolik. Tidak lagi ada wahyu karena Sabda
Allah yang definitif sudah diucapkan dan menjadi daging dalam Yesus.
2. Ungkapan-Ungkapan Tradisi
Pengalaman iman jemaat diungkapkan baik secara resmi maupun tidak resmi. Secara tidak
resmi pengalaman iman diungkapkan dalam seni, musik, dan sastra Kristiani, dalam
kepercayaan populer dan ajaran para teolog, dalam berbagai spiritualitas dan tradisi-tradisi
devosional, dalam ceritera-ceritera para kudus, dan hidup orang Kristiani, dan seterusnya.
Secara resmi tradisi Gereja yang hidup diungkapkan dalam Kitab Suci kanonis, dalam
syahadat, dalam liturgi, dan dalam sakramen-sakramen Gereja, serta dalam rumusan doktrinal
jabatan mengajar Gereja atau magisterium.
Kitab Suci
Alkitab dipandang sebagai tulisan-tulisan suci, atau Kitab Suci, karena dalam kitab-kitab itu
Gereja mengenal suara Tuhannya. Menurut Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru telah ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus; Allah adalah
pengarang yang benar dan ”harus diakui bahwa Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia
serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam
Kitab-Kitab Suci demi keselamatan kita” (DV 11). Dengan demikian, Alkitab itu menjadi norma
bagi iman, pewartaan, dan ajaran Kristiani, serta sebagai sabda Allah merupakan sumber yang
kaya untuk doa pribadi.
Bersamaan dengan itu, Alkitab sendiri merupakan produk tradisi; Alkitab merupakan
ungkapan tertulis iman Israel dan jemaat-jemaat Kristiani awal. Sebagai saksi utama untuk
pewahyuan Allah kepada Israel dan dalam Yesus, Alkitab adalah normatif bagi iman jemaat
Kristiani dewasa ini dan harus terus ditafsirkan dalam tradisi hidup Gereja.
Kitab Suci Yahudi merupakan koleksi atau kanon yang beranekaragam dari kitab-kitab suci
yang ditulis selama lebih dari 1000 tahun. Kumpulan buku itu dibagi menjadi tiga bagian:
Hukum, Nabi-nabi, dan Tulisan-Tulisan. Kitab Hukum, yang secara tradisional dianggap ditulis
oleh Musa, berisi lima buku dari Alkitab Yahudi: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan,
Ulangan. Kelima buku itu juga disebut Pentateukh. Kitab Nabi-Nabi yang memuat lebih
daripada kitab-kitab profetis tradisional, mencakup semua nabi, dari Yosua dan Hakim-Hakim
sampai Maleakhi. Kitab-kitab biblis sisanya – kitab-kitab sejarah, mazmur, sastra kebijaksanaan
– dikelompokkan bersama menjadi Tulisan-Tulisan.
Kanon Perjanjian Lama Katolik memuat semua tulisan itu ditambah enam kitab dan bagianbagian tambahan kitab yang hanya tersimpan dalam bahasa Yunani (1 dan 2 Makabe, Tobit,
Yudit, Sirakh, Kebijaksanaan Salomo, Barukh, dan bagian-bagian tambahan Kitab Daniel dan
Ester). Kitab-kitab itu merupakan bagian ”Septuaginta”, terjemahan Kitab Suci Yahudi ke dalam
bahasa Yunani, yang dibuat sekitar tahun 250 SM di Aleksandria, Mesir. Kitab-kitab itu
digunakan oleh banyak jemaat Kristiani awal, yang sebagian besar adalah pertobatan orangorang Yahudi yang berbahasa Yunani dan orangorang non-Yahudi, tetapi tidak
dimasukkan ke dalam kanon Yahudi, yang disusun oleh kaum Farisi di Yamnia sekitar tahun 90
SM. dengan menggunakan norma bahwa untuk dapat dimasukkan ke dalam kanon kitab itu
harus berbahasa Ibrani. Pada abad ke-16, kaum Reformasi Protestan kembali ke kanon
Yahudi. Dengan menolak kitab-kitab Deuterokanonika, yang mereka sebut ”apokrif”, kaum
reformasi menetapkan kanon Perjanjian Lama Protestan agak berbeda dari kanon yang secara
tradisional diikuti oleh Gereja-Gereja Katolik dan Ortodoks.
Kanon Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab yang ditulis selama jangka waktu 60 tahun.
Dokumen-dokumen Perjanjian Baru awal adalah surat-surat St. Paulus yang asli, I Tesalonika, I
dan II Korintus, Galatia, Filipi, Roma, dan Filemon yang singkat yang ditulis sendiri oleh St.
Paulus pada awal tahun 50-an. Surat-surat lain yang dianggap ditulis oleh St. Paulus mungkin
ditulis oleh salah satu muridnya satu – tiga dasawarsa sesudah St. Paulus meninggal (63). Injil
Pertama, yaitu Injil Markus, muncul pada kira-kira tahun 68, tidak lama sebelum kehancuran
Yerusalem, yang menandai berakhirnya zaman para Rasul. Injil Matius dan Lukas, yang
sebagian besar didasarkan pada Injil Markus, tetapi juga menggunakan sumber lain tentang
ucapan-ucapan Yesus yang hanya disebut ”Q” (dari kata Jerman Quelle, yang berarti
”sumber”), ditulis antara tahun 85 dan 90, bersama Kisah Para Rasul oleh Lukas, Injil Yohanes
muncul sekitar tahun 100; 3 surat Yohanes muncul tidak lama kemudian. Kitab Perjanjian Baru
yang terakhir, 2 Petrus ditulis sekitar atau sesudah tahun 110.
Kitab-kitab itu diterima dalam kanon biblis dan diakui sebagai diilhami secara ilahi. GerejaGereja awal melihat kitab-kitab itu sebagai ungkapan iman mereka dan dengan demikian
memiliki otoritas Ilahi. Kita dapat menyatakan kitab-kitab itu merupakan tradisi hidup jemaat
atau Gereja sampai menjadi ungkapan tertulis. Memang masih ada kitab-kitab lain, baik Yahudi
maupun Kristiani, yang oleh orangorang atau jemaat-jemaat tertentu, kerap Gnostik,
dinyatakan berotoritas Ilahi. Kitab-kitab pseudoprofetis, surat-surat, injil-injil, dan kisah berbagai
rasul yang secara kolektif dikenal sebagai tulisan-tulisan ”apokrif”. Pada akhirnya, kitab-kitab itu
tidak dapat diakui dan diterima; yang menjadi dasar kanon biblis. Alkitab dengan demikian muncul dari Gereja dan bukan sebaliknya.
Pada abad ke-16 orang-orang Katolik dan kaum Reformasi berdebat tentang hubungan
antara Kitab Suci dan tradisi.3 Kaum reformasi berpegang pada sola scriptura (Kitab Suci saja)
sebagai patokannya. Gereja Katolik terus melihat Kitab Suci sebagai kitab Gereja, yang
ditafsirkan dalam tradisinya yang hidup.
Dewasa ini kedua pihak itu jauh lebih dekat. Para ahli Katolik dan Protestan kerap belajar di
Universitas atau sekolah teologi yang sama. Mereka mengambil kuliah dari profesor-profesor
yang sama dan membaca buku-buku oleh pengarang yang sama. Kebanyakan orang Protestan
mengakui bahwa Alkitab sendiri merupakan ungkapan tradisi dan selalu ditafsirkan dalam
jemaat beriman tertentu yang memberinya hidup. Orang Katolik mengakui bahwa Kitab Suci
tetap merupakan patokan utama bagi iman dan ajaran Kristiani. Konstitusi Dogmatik tentang
Wahyu Ilahi Vatikan II berkata tentang magisterium: ”wewenang mengajar itu tidak berada di
atas sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, dengan bantuan Roh Kudus” (DV 10).
Syahadat
Iman Gereja juga diungkapkan dalam syahadat. Syahadat dalam bahasa Latin, credo
(berarti ”aku percaya”) merupakan pengakuan iman yang resmi. Salah satu pengakuan Kristiani
yang paling awal adalah ungkapan ”Yesus adalah Tuhan” (1Kor 12: 3). Demikian juga rumusan,
”Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan dan percaya dalam hatimu
bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan”
(Rm 10:9) mungkin merupakan bagian dari pengakuan kuno pada waktu pembaptisan.
Rumusan-rumusan kepercayaan seperti itu sejak awal dituntut dari para calon baptis.
Dari konteks baptis inilah, terutama dari pembinaan katekese sebelum pembaptisan,
syahadat historis Gereja berkembang.4 Rumusan dalam Injil Matius, ”Baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” (Mat 28:19), mungkin telah menjadi model Trinitarian
untuk syahadat-syahadat sebelumnya. Pada abad ke-2 dan ke-3 kepada para calon baptis
diajukan ketiga pertanyaan yang memungkinkan mereka mengakui kepercayaan mereka
kepada Allah sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus. Sebuah contoh dari Gereja Roma abad ke-3
dapat ditemukan dalam Traditio Apostolica (Tradisi Apostolik) Hippolytus (21:12 – 18).
Syahadat yang bersifat pertanyaan itu hilang pada waktu muncul syahadat yang bersifat
pernyataan. Syahadat para Rasul agaknya berasal dari syahadat pembaptisan Gereja Roma,
meski teks sesungguhnya diperkirakan berasal dari St. Paulus. Syahadat itu masih
dihubungkan dengan baptis. Yang disebut syahadat Nicea sesungguhnya merupakan
peninjauan kembali syahadat Nicea (325) oleh konsili Konstantinopel I (381). Syahadat itu
kadang-kadang disebut sebagai ”syahadat Ekumenis”. Syahadat Athanasia mungkin sudah
ditulis pada abad ke-5 oleh Caesarius Arles, murid Agustinus. Dan masih ada syahadatsyahadat lain.
Syahadat Nicea masih dipertahankan di kalangan Gereja-Gereja Katolik, dan aliran utama
Protestan (meskipun Gereja Ortodoks menghapuskan kata filioque yang menyatakan bahwa
Roh Kudus keluar dari Bapa dan Putra, yang ditambahkan pada syahadat di Barat pada abad
ke-11). Sayangnya, banyak dari antara kita dewasa ini, biasa mendaraskan syahadat tanpa
banyak berpikir. Akan tetapi, perenungan sejenak mengungkapkan harta kekayaan ajaran
Kristiani karena syahadat menyampaikan peraturan Gereja dalam hal iman, yang dipadatkan
menjadi ”butir-butir rumusan” yang relatif tidak banyak. Kepercayaan kepada Allah sebagai
Bapa, Putra dan Roh Kudus, keperawanan Maria, Gereja yang satu, kudus, katolik dan
apostolik, pengampunan dosa, kebangkitan badan, dan hidup kekal – ini semua diakui secara
publik dalam pengalaman historis iman Kristiani. Jika kita mau tahu apa yang dipercaya oleh
Gereja, telitilah syahadat, lalu lihatlah hidup ibadatnya.
Liturgi
Kata liturgi (leitourgia) berasal dari kata Yunani laos, ”rakyat”. ”Umat” dan ergon ”kerja”.
Maka, leitourgia berarti ”kerja rakyat”, ”kerja umat”. Kata itu dipergunakan untuk menyebut doa
publik resmi Gereja, Ekaristi, Sakramen-sakramen, serta upacara-upacara resmi lain, Doa Ofisi,
yang sekarang disebut ”Liturgi Ibadat Harian”.
Liturgi menampilkan Gereja dalam doa, bukan sebagai perorangan atau bahkan para
petugas resmi Gereja, tetapi seluruh umat atau ”jemaat”. Ketika Gereja menghantarkan orang
masuk ke dalam jemaatnya dan dengan demikian ke dalam Kristus dalam sakramen Baptis,
ketika Gereja berkumpul untuk memecah roti dan berbagi piala bersama untuk mengenang
Yesus, ketika Gereja memaklumkan pengampunan dosa atas nama-Nya, Gereja sendiri
menjadikan secara lebih penuh kehadiran Kristus yang sudah bangkit di tengah umat-Nya.
Dengan cara itu, tradisi hidup Gereja diungkapkan lagi.
Sakramen-sakramen merupakan lambang-lambang yang terdiri dari tindakan dan kata-kata
ritual. Sakramen-sakramen ”dapat digambarkan sebagai lambang kehadiran Allah di dunia,
hidup, sejarah, dan Gereja”.5 Perhatikanlah berapa banyak iman Kristiani dipadatkan dalam masing-masing sakramen itu. Baptis menghantarkan orang masuk ke dalam jemaat Kristiani.
Rumusan baptis merupakan pengakuan iman akan Allah Tritunggal; baptis menuntut
pengakuan iman dari pihak orang yang dibaptis atau dalam kasus baptis bayi, dari pihak orang
tua dan bapak/ibu baptis, yang akan menjadi Gereja utama, yang akan dialami oleh anak selama bertahun-tahun. Dibaptis merupakan tanda dibersihkan dari dosa dan bangkit ke hidup
baru yang menjadi milik seseorang yang dibaptis melalui kematian dan kebangkitan Yesus.
Demikian juga, perhatikan berapa banyak yang hadir ketika kita membuka sakramen
Ekaristi. Pada waktu berkumpul untuk Ekaristi, Gereja mengucap syukur kepada Allah dalam
doa syukur Agung karena hidup, kematian, dan kebangkitan Yesus dan mohon kepada Allah
agar berkenan mencurahkan karunia Roh Kudus. Pada waktu berbagi roti dan piala untuk
mengenang Yesus, jemaat mengakui kehadiran Kristus yang sudah bangkit dalam roti dan
anggur yang menjadi sakramen Tubuh-Nya yang dipecah-pecah dan Darah-Nya yang
dicurahkan, korban agung Yesus, yang membebaskan kita dari dosa-dosa kita. Karena kita
sudah didamaikan dengan Allah dan satu sama lain, jemaat Ekaristis merupakan tanda
kesatuan seluruh umat manusia; apa pun yang merusak kesatuan itu, seperti kata St. Paulus,
adalah dosa melawan Tubuh dan Darah Tuhan (1Kor 11: 27). Ekaristi memanggil kita untuk
berdamai dengan saudara-saudari kita dan mengakui kesatuan kita dengan mereka yang telah
ditebus oleh Kristus. Bersamaan dengan itu, pesta Ekaristi merupakan lambang pesta
eskatologis besar di dalam Kerajaan Allah.
Praktek orang Yahudi berdoa tiga kali sehari, pagi, siang dan malam, mungkin sekali
menjadi asal-usul Doa Ofisi Harian sekarang ini. Pada abad ke-3 dan ke-4, para Bapa padang
pasir menyanyikan mazmur di sel-sel mereka atau pada pertemuan-pertemuan mingguan mereka, ”doa ofisi” pagi serta sore dirayakan di Gereja-Gereja besar, baik di Timur maupun di
Barat sudah pada abad ke-4. Setiap doa ofisi meliputi beberapa mazmur dan nyanyian-
nyanyian, beberapa doa permohonan, dan berkat terakhir serta pembubaran. Komunitaskomunitas monastik membangun hidup religius mereka di seputar doa ofisi: bangun sebelum
fajar untuk doa vigili, dan kembali ke Gereja lima kali lagi untuk mendoakan doa-doa ofisi lain
sampai ibadat akhir completorium untuk menutup hari.
Dewasa ini komunitas-komunitas monastik masih mendoakan doa ofisi dengan dinyanyikan
dalam koor. Imam diosesan dan religius pria serta wanita dari komunitas-komunitas religius
apostolik biasanya mendoakan doa ofisi sendirian, sebagaimana dilakukan banyak
orang awam. Namun idealnya, doa ofisi sebaiknya didoakan bersama.
Ajaran
Akhirnya tradisi Gereja diungkapkan secara resmi dalam doktrin atau ajarannya. ”Doktrin”,
”Ajaran” (berasal dari kata latin doctrina yang berarti ”pengajaran”) berarti lebih daripada
kepercayaan atau pendapat teologis. Doktrin adalah kepercayaan yang telah menjadi ajaran
resmi Gereja, biasanya sebagai hasil dari pengajaran secara otoritatif oleh magisterium Gereja.
”Dogma” adalah ajaran atau doktrin yang dianggap telah diwahyukan secara ilahi dan diajarkan
dengan otoritas Gereja yang paling tinggi. Seperti sudah kita lihat sebelumnya, doktrin meliputi
butir-butir syahadat, ajaran-ajaran konsili-konsili ekumenis, dan ajaran ex-cathedra (tak dapat
sesat) magisterium Paus yang luar biasa.
Tradisi doktrinal Gereja merupakan sumber daya yang kaya. Akan tetapi, ada kerawanan
pada doktrin kita. Pernyataan doktrinal merupakan usaha dari pihak Gereja untuk menemukan
bahasa dan konsep guna mengungkapkan apa yang secara intuitif ditangkap tentang imannya.
Jika kita tidak memilih tinggal diam, mau tak mau kita merasa butuh untuk mengungkapkan
iman kita dalam kata-kata. Sesungguhnya itulah yang menjadi hakikat teologi, yaitu
menemukan bahasa untuk mengungkapkan apa yang kita percayai agar kita dapat mengerti
iman kita dengan lebih baik dan berbagi dengan orang lain. Menurut St. Anselmus (meninggal
1109), teologi adalah iman yang mencari pemahaman (fides querens intellectum).
Akan tetapi betapapun perlunya bahasa teologis, bahasa itu tetap tidak memadai.
Pernyataan-pernyataan teologis kita selalu merupakan beberapa tingkat abstraksi yang
dijauhkan dari kenyataan, baik manusiawi atau Ilahi, yang mau diuraikan. Betapapun besarnya
prestasi seperti ajaran tentang dosa asal, ajaran itu tetap merupakan ungkapan yang tidak
memadai bentuk misteri kejahatan, yang telah mengenai diri kita masing-masing, dengan caracara yang tragis dan kuat sejak saat-saat pertama keberadaan kita. Demikian juga bahasa
rahmat masih jauh dari pengalaman akan hidup dalam Roh. Bahasa kita tentang Allah palingpaling hanyalah analogis. Bahasa itu sekaligus mengandung penegasan maupun penyangkalan
karena Allah yang transenden melampaui kemampuan kita untuk memahami dan menguraikan.
Doktrin dapat benar dan meski demikian masih belum memadai seperti Kongregasi Vatikan
untuk Ajaran Iman mengakui dalam instruksi Mysterium ecclesiae (24 Juni 1973), setiap
”ungkapan wahyu” (yang meliputi bahasa syahadat, doktrin, dogma dan ajaran magisterium,
bahkan Kitab Suci) secara historis dikondisikan dan oleh karena itu terbatas.6 Instruksi
Kongregasi untuk Ajaran Iman melihat bahwa ungkapan-ungkapan wahyu dapat dibatasi oleh
kemampuan ekspresif bahasa yang digunakan, oleh pengetahuan yang terbatas atau konsep
zaman yang berubah dan oleh perhatian khusus yang mendorong munculnya ajaran tertentu.
Salah satu tugas teologi adalah menafsirkan kembali bahasa Gereja, bahkan bahasa dari
doktrinnya, supaya bahasa itu secara lebih memadai mencerminkan iman yang mau
diungkapkannya. Bahkan, dogma-dogma Gereja adalah ungkapan-ungkapan wahyu yang
dapat ditafsirkan kembali. Misalnya Konsili Vatikan II (1962 – 1965) menafsirkan kembali ajaran
dogmatik Konsili Vatikan I (1870) tentang infalibilitas Paus, dengan menempatkannya dalam
konteks baru dengan melibatkan uskup-uskup dalam melaksanakan karisma Gereja dalam
infalibilitas.
3. Tradisi Katolik
Kata Yunani katholikos aslinya berarti ”keseluruhan” atau ”umum” sebagai lawan dari
”sebagian”, ”parsial” atau ”khusus”, ”partikular”. Pemahaman Katolisisme tentang iman Kristiani
adalah ”Katolik”, justru dalam kerangka pendekatan yang menyeluruh terhadap iman. ”Katolisisme, dengan demikian, dicirikan dengan pendekatan keduanya (dan) daripada pendekatan
baik keduanya (atau).”7 Katolisisme bukanlah produk dari satu perubahan atau gerakan historis
dalam sejarah Kristiani Pasca-Perjanjian Baru. Katolisisme tidak menemukan identitas atau jati
dirinya dalam satu doktrin, aliran, teks liturgis atau teori penafsiran biblis, Dengan demikian,
dapat merangkum dalam dirinya beraneka ragam teologi, spiritualitas, ritus liturgis, dan ungkapan hidup Kristiani.
Menjadi ”katolik” berarti terbuka terhadap segala kebenaran, terhadap apa pun yang betulbetul manusiawi dan dari kodratnya baik. Ada kesan bahwa dalam seluruh sejarah Gereja, ada
”kecenderungan menuju ke rasionalitas”, tetapi di pihak lain Katolisisme dinilai lamban untuk
menerima penalaran kritis, terutama yang muncul pada zaman pencerahan dan empirisisme
modern.8 Gereja resmi kadang-kadang menghambat kegiatan pemikir-pemikir dan ilmuwanilmuwan yang menentang hal yang oleh Gereja dimengerti sebagai doktrin. Kasus Galileo
masih tetap memalukan sampai hari ini, dan kasus itu bukan satu-satunya. Seperti dikatakan
oleh Hans Küng, ”pada abad ke-19 karya-karya para ilmuwan modern tetap ditempatkan dalam
buku-buku Index yang dilarang untuk dibaca oleh orang-orang Katolik, sejajar dengan kaum
Reformasi dan filsafat modern (dari Descartes sampai Kant)”. 9 Akan tetapi, saat-saat atau
zaman-zaman penekanan, yang ditandai oleh rasa takut terhadap apa yang baru akan berbeda,
tidaklah khas. Bagaimanapun juga tradisi telah mengakui bahwa kebenaran itu satu dan ilmu
serta seni dapat juga membimbing kepada Allah. Dari para teolog skolastik universitasuniversitas Abad Pertengahan sampai para teolog sistematik dewasa ini, para pemikir Katolik
telah berusaha mengintegrasikan iman dan pengetahuan yang datang dari filsafat dan ilmu.
Iman dan Pikiran
Katolisisme tidak melihat ketidaksesuaian antara iman dan pikiran. Diterangi oleh iman,
pikiran dapat memberi dasar tindak iman dan mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang misteri-misteri iman. Tradisi hukum kodrat dalam etika filosofis Katolik dan teologi moral
mencerminkan kepercayaan terhadap saling melengkapinya iman dan pikiran ini.
Reformasi pada abad ke-16 cenderung mengikuti pendekatan ”atau/atau” terhadap iman
Kristiani. Pandangan Luther yang fundamental yang muncul dari pergulatannya sendiri untuk
membuat dirinya benar di hadapan Allah dengan menaati peraturan biara adalah bahwa kita dibenarkan oleh iman, bukan oleh pelaksanaan kesalehan atau hukum.10 Penemuan Luther yang
besar dari studinya atas Surat Paulus kepada umat Roma (lih. 1:17) ini dirumuskan oleh
Reformasi sebagai prinsip sola fide, hanya iman saja. Sebagai profesor Kitab Suci yang cemas
karena Gereja telah menggantikan Injil dengan teologi filosofis skolastik, Luther menjadikan
Kitab Suci sebagai dasar semua teologinya. Dari sinilah muncul semboyan sola scriptura, Kitab
Suci saja. Seperti Agustinus, Luther pesimis tentang apa yang dapat dicapai oleh manusia yang
sudah jatuh dengan kekuatannya sendiri. Ia menekankan orang dapat mendekati Allah hanya
lewat rahmat saja, sola gratia. Akhirnya ia menolak apa yang disebutnya sebagai ajaran Gereja
Abad Pertengahan tentang perantaraan rahmat melalui para Kudus, sakramen, imam, devosi,
dan mengajarkan bahwa kita hanya diselamatkan oleh Kristus saja, Solus Christus.
Luther menekankan apa yang telah dicapai Allah melalui kematian Kristus. Dengan
demikian, ia menganut ”teologi salib” (theologia crucis). Namun, penolakan Luther atas segala
macam teologi filosofis sebagai jenis ”teologi kemuliaan” (theoligia gloriae) yang dilarang, bersamaan dengan prinsip Kitab Sucinya, kemudian menimbulkan masalah dalam tradisi
Protestan. Karena Reformasi mengandaikan kejelasan Kitab Suci pada waktu Kitab Suci
ditafsirkan menurut prinsip-prinsip yang sehat. Akan tetapi, tanpa merasa bahwa iman dan akal
saling melengkapi, prinsip Kitab Suci pada akhirnya berantakan karena dirongrong oleh
rasionalisme pencerahan abad ke-18 dan kemenangan metode historis-kritis abad ke-19. Sejak
itu, teologi Protestan tidak jarang mengarah ke kedua kecenderungan rasionalisme filosofis
atau fundamentalisme biblis.
Tradisi Katolik lebih suka berkata ”baik/maupun”. Pendekatannya inklusif (mencakup
semua) dan komprehensif (menyeluruh) bukan hanya Kitab Suci saja tetapi Kitab dan tradisi;
bukan hanya rahmat, tetapi rahmat dan kodrat, bukan iman saja tetapi iman dan perbuatan
maupun iman dan akal. Konsili Trente (1546 – 1543) merupakan tanggapan Gereja terhadap
tantangan yang ditimbulkan oleh kaum Reformasi. Melawan prinsip ”hanya Kitab Suci saja”,
Konsili Trente mengajarkan ”kebenaran-kebenaran dan peraturan-peraturan” yang berasal dari
Injil ”terkandung dalam buku-buku yang ditulis dan tradisi-tradisi yang tak tertulis” (DS 1501).
Dengan kata lain, baik Kitab Suci maupun tradisi merupakan saksi bagi wahyu. Dekrit Konsili
Trente tentang kebenaran berusaha menjawab masalah-masalah yang diangkat oleh Luther
tanpa mengkanonisasikan salah satu aliran pemikiran dalam Gereja. Dekrit itu meneguhkan
bahwa iman merupakan ”dasar dan akar segala pembenaran”, bahwa rahmat pembenaran
tidak dapat diperoleh lewat jasa manusia (DS 1532), dan bahwa pembenaran merupakan karya
Allah dalam Kristus sejak awal karena manusia tanpa rahmat Allah tidak mampu membuat ini
benar di hadapan Allah (DS 1525). Konsili Trente juga menekankan bahwa iman tidak dapat
menyatukan orang secara sempurna pada Kristus tanpa harapan dan cinta kasih, karena ”iman
tanpa perbuatan adalah mati” (DS 1531). Salah satu perhatiannya yang utama adalah
melindungi peran kebebasan manusia dalam proses pembenaran. Dengan demikian, Konsili
menegaskan bahwa manusia tidak hanya pasif; manusia harus bekerja sama dengan rahmat
Allah (DS 1554).
Antropologi Teologis
Antropologi teologis tradisi Katolik, yang mencerminkan sudut pandang inkarnasi teologi
patristik, bersikap serius terhadap kodrat dan rahmat. Penekanan Konsili Trente bahwa kita
harus dengan bebas bekerja sama dengan rahmat pembenaran mencerminkan tradisi itu.
Antropologi Protestan, karena amat dipengaruhi teologi Agustinus dan minat soteriologis Luther,
cenderung menjadi pesimis. Protestantisme memandang kodrat manusia sesudah jatuh
sebagai sama sekali rusak. Citra Allah telah lenyap. Karena kehendak dilihat ada dalam keadaan terbelenggu, tak mampu memilih atau berbuat baik, kerja sama manusia dengan rahmat
tidak mungkin. Pembenaran melalui iman merupakan tindakan Allah. Jasa Kristus dikenakan
pada kita, dosa ditutupi, bukan dihapuskan. Ajaran Kalvin tentang predestinasi (takdir)
merupakan bentuk ekstrem dari pesimisme itu. Demikian juga, bagi kaum Reformasi, budi
dibutakan oleh dosa, tak mampu mengetahui sesuatu pun tentang Allah, terlepas dari Kitab
Suci.
Sementara teologi Katolik tidak sepenuhnya bebas dari sikap pesimisme semacam itu
terhadap kodrat sesudah jatuh, terutama sesudah dipengaruhi oleh Jansenisme, teologinya
sendiri lebih optimistis. Tradisi terus mengulangi bahwa rahmat berdasar atas kodrat, berbicara
tentang kodrat yang sudah jatuh dan kodrat yang telah ditebus. Akan tetapi, kodrat saja tanpa
rahmat tidak ada, maka kodrat selalu merupakan kodrat yang sudah dirahmati, dirusak tetapi
tidak secara radikal hancur oleh dosa asal.
Karena umat manusia diciptakan untuk bersatu dengan Allah, kemampuan budi dan
kehendak manusia terarah pada Yang Ilahi. Kata-kata Agustinus yang terkenal, ”Hati kami
diciptakan bagi-Mu ya Allah, dan tidak akan damai sampai beristirahat pada-Mu,”11 menyarankan bahwa dengan suatu cara, jiwa manusia dapat mencapai melebihi kemampuannya, atau
lebih cepat, jiwa manusia menangkap lebih dari apa yang dapat diketahui dengan sadar.
Thomas Aquinas melihat hubungan antara budi manusiawi dan budi ilahi. Ia berpendapat
bahwa ”terang intelek” dari budi manusia ”tidak lebih dari kesamaan yang mengambil bagian
dari terang yang tak terciptakan yang mengandung gagasan-gagasan Ilahi”.12 Dengan
perkataan lain, budi merupakan dinamisme yang dengan suatu cara menangkap inteligibilitas
(dapat dimengertinya) pengada yang absolut, karena ikut mengambil bagian dalam terang yang
tak terciptakan, di mana pengada yang tak terbatas dan inteligibilitas tak terbatas yang sama.
Kaum Thomis transendental mengembangkan segi pemikiran Aquinas ini. Bagi Karl Rahner,
Allah telah ditangkap dengan cara yang tidak eksplisit sebagai dasar dari kemungkinan untuk
mengajukan pertanyaan tentang pengada dan menginginkan kebaikan.13
Menurut tradisi, keberadaan Allah dapat diketahui dengan merenungkan Yang Ilahi dalam
karya ciptaan, meski kita tergantung pada wahyu untuk mengetahui siapa Allah itu.
Pembenaran merupakan karya Allah, tetapi kebebasan manusia selalu terlibat karena manusia
harus bekerja sama dengan rahmat Allah. Pembenaran bukan hanya merupakan tindakan
yuridis. Kodrat sungguh-sungguh diubah oleh rahmat. Tubuh sendiri dianggap suci; daripada
dipandang berlawanan dengan roh, tubuh merupakan medium yang dipergunakan oleh roh
untuk mengungkapkan diri. Tradisi secara serius memperhatikan teologi Yohanes tentang Allah
yang tinggal di antara manusia dan di dunia. Allah tidak hanya ”menutupi” dosa, tetapi menebus
kita, dengan mengikutsertakan dalam hidup batin Trinitas (Yoh 14:16–23). Tradisi GerejaGereja Timur menyebut keikutsertaan kita dalam hidup Ilahi sebagai pengilahian yang progresif
(apotheosis).
Tekanan pada Inkarnasi
Doktrin inkarnasi, penjelmaan, dalam arti imanensi, keberadaan Ilahi dalam ciptaan,
merupakan dasar dari penghargaan Katolisisme terhadap kenyataan yang diciptakan,
penghormatannya terhadap tradisi, teologi antropologis dan imajinasi sakramentalnya. Teologi
Protestan cenderung menekankan transendensi Allah yang Mahatinggi, tetapi mengurbankan
penghargaan terhadap tata ciptaan. Sementara berguna menggunakan bahasa transendensi
dan imanensi dalam membicarakan Allah, pandangan inkarnasi menekankan bahwa dalam diri
Yesus, Allah secara definitif telah masuk ke dalam ruang, waktu, dan sejarah manusia. Karena
inkarnasi, kenyataan-kenyataan ciptaan dirahmati. Kodrat dan rahmat dapat dipisah secara
konseptual seperti sudah kita lihat, namun ciptaan sendiri ditata oleh inkarnasi. Kristus adalah
”yang sulung dari segala yang diciptakan” (Kol 1:15), ”Segala sesuatu dijadikan oleh Dia” (Yoh
1:3).
Dalam tradisi patristik, yang mengembangkan pengertian creatio ex nihilo (penciptaan dari
ketiadaan), karya kreatif Allah merupakan hal yang dinamis dan terus-menerus berlangsung.
Penciptaan bukan peristiwa satu-waktu di masa lampau, karena Allah terus mempertahankan
dan mendukung segalanya dalam keberadaan. Tradisi Skotlandia, berdasarkan ajaran seorang
Fransiskan, bernama John Duns Scotus (meninggal tahun 1308) berpendapat bahwa Sang
Sabda telah menjadi manusia bahkan jika Adam tidak melakukan dosa, untuk membawa
ciptaan menuju ke kesempurnaan. Roh Allah aktif dalam segala ciptaan, yang mencerminkan
kemuliaan pencipta. St. Ignasius dengan jelas melihat hal ini pada abad ke-16. Dalam
”Kontemplasi untuk Mendapatkan Cinta”, renungan pada akhir Latihan Rohani, Ignasius
mengajak para retretan untuk membayangkan bagaimana Allah memberikan kepada kita
segala benda ciptaan, tinggal di segala benda ciptaan, bekerja dalam benda-benda itu, dan
bagaimana segala anugerah dan berkat yang diciptakan datang dari atas. Pada abad ke-20,
teologi Katolik semakin kembali ke pengertian patristik bahwa kodrat manusia secara intrinsik
diarahkan menuju kepada yang Ilahi dan penggunaan unsur-unsur kebenaran Ilahi di dalam
agama dunia lain, tanpa menyangkal bahwa kepenuhan kebenaran diwahyukan di dalam
Kristus.
4. Kesimpulan
Katolisisme amat menghormati apa yang biasa disebut ”tradisi” (yang bertolak belakang
dari ”tradisi-tradisi”). Penghormatan ini lebih dari sekadar menghormati apa yang kuno. Tradisi
merupakan pengalaman iman Gereja, yang diterima, dihayati, dirayakan, dan diteruskan.
Tradisi itu diungkapkan secara resmi dalam Kitab Suci yang dikanonkan, syahadat, sakramensakramen, dan liturgi Gereja, dan dalam ajaran magisterium. Dengan demikian, tradisi
menyimpan bagi kita dan angkatan-angkatan yang akan datang wahyu Allah dalam Kristus melalui jemaat Gereja.
Wahyu merupakan pengungkapan diri pribadi Allah. Melalui manusia, peristiwa, dan benda;
wahyu terjadi dalam sejarah umat Allah, yang dicerminkan dalam Kitab Suci Yahudi dan
Perjanjian Baru, dan mencapai kepenuhan dalam hidup, kematian, dan kebangkitan Yesus.
Kitab Suci sendiri merupakan produk tradisi. Kitab Suci merupakan ungkapan normatif yang
dihayati dari iman Israel kuno dan jemaat-jemaat Kristiani kuno, dan dewasa ini tetap
merupakan norma bagi iman, pewartaan, dan ajaran Kristiani. Pada waktu yang sama, Kitab
Suci terus ditafsirkan dalam tradisi hidup Gereja dengan bantuan magisterium.
Tradisi Katolik menyeluruh dalam pendekatannya pada kebenaran. Tradisi Katolik
mencakup keanekaragaman teologi, spiritualitas, dan ungkapan hidup Kristiani. Percaya bahwa
rahmat berdasar atas kodrat, tradisi Katolik berusaha mengintegrasikan budi dan iman. Pandangan inkarnasinya membuatnya menghargai segala yang manusiawi dan penghormatan
pada ciptaan, karena yang manusiawi diangkat oleh Allah dalam inkarnasi, dan ciptaan
mencerminkan kehadiran serta kegiatan sang pencipta.
Tradisi Gereja bukanlah huruf-huruf yang mati. Tradisi merupakan penerusan atau
pewarisan iman jemaat yang terus hidup di dalam Roh Yesus. Seperti sudah kita lihat, tradisi itu
mengambil ungkapan yang konkret, baik secara resmi maupun tidak resmi. Ungkapan tradisi
dalam Kitab Suci, syahadat, liturgi, dan doktrin penting karena menghubungkan dan
mengantarkan jemaat sekarang dengan wahyu Allah di dalam sejarah terutama di dalam
Yesus. Dengan demikian, ada dimensi yang secara intrinsik konservatif dalam tradisi.
Akan tetapi, justru karena merupakan kenyataan yang hidup, tradisi terus tumbuh,
berkembang, menjumpai tantangan-tantangan baru sebagaimana diperlihatkan oleh studi
historis mengenai tradisi itu. Banyak tantangan yang dihadapi Gereja dewasa ini dan di masa
depan. Gereja harus terus melanjutkan pembaruan yang sudah dimulai oleh Konsili Vatikan II.
Tetap ada ketegangan antara Roma dan ahli teologi Katolik. Umat awam minta bagian yang
lebih besar di dalam hidup liturgi Gereja dan dalam proses pengambilan keputusan dan
perumusan doktrinal. Kaum wanita menghendaki agar kehadiran mereka lebih memadai diakui
dalam bahasa dan pelayanan Gereja. Kaum minoritas minta agar diperhitungkan dan diberi
tempat.
Gereja di masa depan haruslah menjadi Gereja yang terekonsiliasikan, terdamaikan;
Gereja di mana Gereja-Gereja yang berbeda-beda dapat menambahkan tradisi-tradisi khasnya
sendiri pada katolisitas Gereja. Gereja harus dapat mempertahankan universalitas dan partikularitas, termasuk ungkapan-ungkapan yang sesuai dengan budaya masing-masing, bersamasama di dalam satu kesatuan. Gereja harus mengadakan dialog dengan agama-agama besar
dunia. Gereja harus menemukan bahasa baru untuk imannya, Gereja yang membawa pesan
Injil yang membebaskan kepada jutaan kaum miskin dan menderita yang merupakan mayoritas
bangsa di dunia. Isu-isu seperti itu akan membentuk kembali tradisi Gereja. Kita akan
membahasnya pada bab terakhir buku ini.
Tradisi tidak pernah statis. Tradisi sekaligus merupakan kenyataan normatif dan dinamis
yang merangkum keyakinan umat beriman, karya ilmiah para teolog, kesaksian berbagai suara
kenabian, kepemimpinan pastoral, uskup-uskup, dan otoritas mengajar tertinggi Gereja. Sulit
mengatakan kata akhir tentang apa yang akan dilakukan atau tidak dilakukan di masa depan
justru karena tradisinya merupakan tradisi yang hidup. Pertanyaannya bukan hanya apa yang
sudah dilakukan Gereja di masa lampau, tetapi untuk apa Gereja dipanggil oleh Roh pada
zaman sekarang ini, pada waktu Gereja menghadapi tantangan-tantangan baru, sehingga
dapat melanjutkan memberi hidup baru dalam Kristus Yesus dan kesatuan di dalam Roh.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Jaroslav Pelikan, The Emergence of the Catholic Tradition (100-600) (Chicago: Univ of Chicago Press, 1971) 9.
Lihat buku Avery Dulles, Models of Revelation (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1983).
Lihat George H. Tavard, Holy Writ or Holy Church: The Crisis of the Protestant Reformation (London: Burns & Oats, 1959).
Lihat J.N.D. Kelly, Early Christian Creeds (London: Longman, 1972) 50.
Michael Downey, Clothed in Christ: The Sacraments and Christian Living (New York: Crossroad, 1987) 23.
”Declaration in Defense of the Catholic Doctrine on the Church Against Certain Errors of the Present Day”, Origins 3 (1973)
97-100.
Richard P. McBrien, Catholicism: New Edition (San Francisco: Harper, 1994) 16.
Catholicism Confronts Modernity (New York: Seabury, 1975) 23.
Hans Küng, Great Christian Thinkers (New York: Continuum, 1994) 161.
H. George Anderson, F, Austin Murphy dan Joseph A. Burges, eds., Justification by Faith: Lutherans and Catholics in
Dialogue VIII (Minneapolis: Augsburg, 1985).
Confessiones 1.1.
Summa Theologiae I.84.5
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Seabury, 1978) 33-35.
V
Sakramen-Sakramen dan Inisiasi Kristiani
Setiap tahun saya menanti-nantikan Perayaan malam Paskah. Umat berkumpul dalam
kegelapan malam di luar Gereja untuk menyalakan api baru, yang digunakan untuk menyalakan
lilin Paskah, yang melambangkan kehadiran Tuhan yang telah bangkit di tengah-tengah umatNya. Sewaktu diakon mulai membawa lilin ke altar, lilin umat yang hadir dinyalakan dengan api
lilin Paskah itu, dan seluruh sinar lilin menyebar dan memenuhi ruang gereja yang gelap. Tiga
kali selebran menyerukan kata, ”Kristus cahaya dunia” dan umat menanggapi dengan kata
”Syukur kepada Allah”. Pada waktu arak-arakan sampai panti imam, diakon mendupai lilin dan
kemudian mengidungkan lagu Exsultet, kidung pujian yang mengajak segala ciptaan menjadi
saksi dan merayakan Kristus yang bangkit dari mati; ”Bergembiralah, hai bumi, dalam
kemegahan yang bersinar, berseri-seri dalam penerangan rajamu. Kristus telah menang.
Kemuliaan memenuhimu. Kegelapan lenyap untuk selama-lamanya”. Lalu serangkaian bacaan
mulai dari kitab Kejadian tentang kisah penciptaan guna melihat kembali sejarah keselamatan.
Pada waktu koor menyanyikan Kemuliaan, semua lampu gereja dinyalakan dan lilin serta
bunga-bunga dibawa ke altar.
Sesudah itu para calon baptis dibawa maju ke depan altar, doa litani para Kudus untuk
mohon perantaraan para Kudus dinyanyikan. Para calon baptis menyatakan iman mereka,
dibaptis dan dikuatkan dalam Roh Kudus dan diterima dalam jemaat. Pada akhirnya, seluruh
jemaat dengan para anggotanya yang baru merayakan Perayaan Ekaristi Paskah meriah.
Ibadat – dengan gelap dan terang, api dan air, roti dan anggur serta minyak, bau harum dupa,
lilin dan saat-saat hening, musik dan nyanyian – mengambil unsur-unsur pengalaman kita
sehari-hari dan membuatnya menjadi lambang-lambang hidup Kristus yang baru dan kehadiranNya penuh misteri di tengah-tengah kita. Semua itu mengubah cara kita melihat. Melihat lilin
besar kita berpikir tentang Paskah. Semua ini menggambarkan apa yang kerap disebut sebagai
imajinasi sakramental.
1. Prinsip Sakramental
Imajinasi sakramental ini merupakan inti tradisi Katolik. Imajinasi sakramental
mencerminkan apa yang disebut ”prinsip sakramental”, perasaan mendalam bahwa kehadiran
Ilahi yang tak kelihatan dinyatakan melalui benda-benda ciptaan yang berfungsi sebagai
lambang. Seperti dikatakan Langdon Gilkey, bagi orang-orang Katolik, misteri Ilahi disampaikan
”tidak hanya melalui kesadaran rasional atau ekstasi saja, tetapi melalui berbagai lambang yang
berkaitan dengan segala segi kehidupan”.1 Setiap lambang yang menyarankan atau memungkinkan kita untuk melihat secara intuitif sesuatu yang secara misteri kedalaman kebaikan, kasih,
belas kasih, dan kehadiran yang kita sebut Allah dapat menjadi tanda sakramental.
Lambang-lambang seperti itu terutama tidak bersifat intelektual; lambang-lambang itu tidak
hanya berbicara kepada otak, tetapi juga kepada perasaan, intuisi, hal-hal yang afektif.
Beberapa lambang itu alamiah sifatnya yang dapat menjadi religius melalui kekuatan evokatif.
Matahari yang sedang terbenam kelihatan indah seakan menyampaikan rasa keselarasan dan
kedamaian akan kehadiran Allah yang penuh misteri. Lambang-lambang lain merupakan
lambang religius. Tokoh-tokoh profetis seperti Musa, Yesaya dan Yesus sendiri, menyatakan
kehadiran dan tindakan Allah melalui kata dan perbuatan-perbuatan mereka. Sebuah kisah
dapat membantu kita mengenal makna religius yang mendalam dari beberapa segi hidup kita
sehari-hari. Lambang-lambang religius seperti upacara-upacara sakramental, patung, salib,
ikon, dan gereja menyangkut budi dan hati kita kepada Allah.
Orang-orang Katolik memiliki penghargaan yang mendalam terhadap lambang-lambang
religius seperti itu. Mereka menghias rumah dan lembaga mereka dengan seni religius, dan
gereja-gereja mereka penuh dengan gambar, patung, salib, dan kaca-kaca bergambar berwarna-warni. Tempat air suci ada di samping pintu masuk gereja, dan lampu merah menyala di
sekitar tabernakel. Liturgi Katolik, dengan perarakan, lilin yang menyala, dupa, musik suci, dan
pelayan yang berpakaian warna-warni, sangat menarik indra dan hati. Uskup dan Paus
mengenakan pakaian dan hiasan-hiasan yang sudah berabad-abad umurnya. Pesta-pesta dan
upacara-upacara religius merayakan misteri-miseri hidup Maria dan teladan-teladan orangorang Kudus.
Hidup devosional Katolik kerap kali mengambil alih lambang, kebiasaan, pesta, dan
upacara dari budaya di mana hidup Gereja sudah diinkulturasikan.2 Merayakan kelahiran pada
tanggal 25 Desember mungkin sekali merupakan pengkristenan pesta orang Roma akan kelahiran dewa matahari (Sol Invictus, ”Matahari yang tak tertaklukkan”), pesta itu dijadikan
”Kersmis”, ”Christmas” (Misa Kristus) untuk memperingati kelahiran Putra Allah yang diakui
sebagai Terang Dunia. Salib Celtik pada awalnya merupakan lambang kesuburan Eropa. 3
Orang-orang Katolik Italia mengadakan perarakan dengan patung santo/santa pelindung
komunitas mereka pada hari raya santo/santa itu. Orang-orang Katolik Meksiko menghormati
Santa perawan Maria di Guadalupe; beberapa orang Katolik mengungkapkan devosi mereka
dengan berjalan berlutut menuju patung Maria. Orang-orang Katolik Filipina kerap
memperagakan kisah penyaliban sebagai bagian dari pelaksanaan puasa mereka pada masa
puasa.
Sakramen-Sakramen Gereja
Konsep sakramentalitas diungkapkan di dalam Perjanjian Baru dan Gereja perdana dengan
kata Yunani mysterion, ”misteri”, yang dalam penggunaan sekular berarti ”rahasia” atau
”tersembunyi”. St. Paulus menggunakan kata mysterion untuk melukiskan kebijaksanaan Allah
yang penuh misteri yang diwahyukan melalui kematian dan kebangkitan Yesus (1Kor 2: 7).
Dalam Gereja pasca-Perjanjian Baru, kata mysterion digunakan untuk upacara-upacara,
lambang-lambang, benda-benda liturgis, berkat-berkat, dan perayaan-perayaan Kristiani. Kata
latin untuk kata mysterion adalah sacramentum. Baru pada Abad Pertengahan kata ”sakramen”
dibatasi penggunaannya untuk kegiatan-kegiatan resmi Gereja tertentu. Petrus Lombardus
(meninggal pada tahun 1160) dalam bukunya De Sententiis (Buku tentang pendapat-pendapat)
membedakan antara ”tujuh sakramen” sebagai penyebab-penyebab rahmat dan ”sakramentalsakramental” lain, yang disebutnya sebagai tanda-tanda rahmat. Jumlah sakramen yang ada
tidak amat penting. Orang-orang Kristiani Protestan pada umumnya hanya mengakui dua
sakramen saja, Baptis dan Ekaristi, dengan menggunakan norma biblis ketat tentang
pendiriannya oleh Yesus historis, yang dewasa ini baik orang Katolik maupun Protestan tidak
akan menekankan. Namun sakramentalitas itu sendiri sangat penting.
Bagaimana Allah yang tidak kelihatan yang adalah Roh, dapat kelihatan dan dapat
dirasakan di dunia ruang dan waktu kita? Inilah masalah yang diperhatikan oleh teologi
sakramental. Teologi sakramental dewasa ini, yang sebagian besar bertumpu pada karya Karl
Rahner dan Edward Schillebeeckx, melihat Yesus di dalam pelayanan historis sebagai
sakramen Allah yang fundamental.4 Seperti diakui oleh Perjanjian Baru dan tradisi Kristiani
selanjutnya, Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia. Yesus dalam penyembuhan
orang sakit dan pengusiran setan dari para penderita, penghiburan-Nya terhadap orang-orang
yang sedih, penerimaan-Nya atas orang-orang yang tersingkir, dan pemberian pengampunanNya kepada kaum pendosa, dalam perjamuan-Nya bersama para murid, dan cinta kasih
istimewa-Nya kepada kaum miskin, dalam kemenangan-Nya atas dosa dan maut, dalam
kebangkitan-Nya di sisi kanan Bapa, kasih dan perhatian Allah yang tak terbatas terhadap umat
manusia, menjadi kelihatan dan masuk ke dalam sejarah umat manusia.
Gereja yang ”dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra
dengan Allah” (LG 1) terus membuat kasih dan perhatian itu menjadi tampak di dunia. Sebagai
jemaat para murid Yesus, Gereja hidup dari Roh Yesus dan melaksanakan pelayanan-Nya.
Dalam mewartakan kedekatan Allah, dalam menyembuhkan, membebaskan, menghibur,
mengumpulkan dan mendamaikan, mengurapi dan memberkati serta berbagi roti dan anggur
hidup abadi – dalam semua itu pelayanan Yesus terus dibuat tampak di dalam ruang dan
waktu. Seperti halnya Yesus adalah sakramen Allah, Gereja adalah sakramen Yesus. Gereja
membuat kasih Allah yang diwahyukan dalam Yesus menjadi kelihatan dalam berbagai saat
sakramental dan terutama dalam tanda-tanda resmi rahmat yang disebut sakramen.
Bagaimana ”kerja” sakramen-sakramen? Sakramen-sakramen menyampaikan rahmat
dengan melambangkan, menggabungkan kisah dan tindakan: membasuh dengan air, berbagi
roti dan anggur, mengurapi dengan minyak, menumpangkan tangan, mewartakan pengampunan. Sebagai lambang, sakramen-sakramen mengandung banyak nilai dan dapat
menyampaikan beberapa arti. Sean McDonagh mengamati bahwa sakramen-sakramen
”mengambil dari unsur-unsur alam – air, makanan, minyak, terang, kegelapan, dan angin”;
sakramen-sakramen harus dapat menarik kita keluar dari kepompong yang salah dengan
menghubungkan kita kembali dengan Allah dan ciptaan.”5 Sakramen-sakramen harus menjadi
lambang yang tulus. Air baptis harus menjadi pembasuhan yang nyata dengan air hidup, bukan
hanya beberapa tetes simbolis. Roti Ekaristi harus tampak seperti roti betulan. Ekaristi sendiri
merupakan lambang kesatuan, tetapi bagi banyak wanita dewasa ini dialami sebagai lambang
penyingkiran diri mereka. Sebagai tanda, sakramen-sakramen kehilangan banyak kekuatannya
jika dilaksanakan secara asal-asalan, tanpa rasa hormat dan iman yang penuh harapan.
Sebagai tindakan Gereja, sakramen-sakramen mengungkapkan hakikat Gereja sendiri sebagai
tubuh Kristus yang hadir di dunia, yang membagikan hidup baru dalam Roh Yesus (baptis),
yang mewartakan pengampunan dosa atas nama-Nya (rekonsiliasi), melayani orang sakit
(sakramen orang sakit), merayakan cinta pasangan manusia (perkawinan), mewujudkan kepemimpinan dalam jemaat Gereja (tahbisan) dan mengakui kehadiran-Nya kepada umat-Nya sendiri dalam perjamuan Ekaristi (Ekaristi).
Sakramentalia
Kecuali tujuh sakramen, ada banyak lambang, benda, upacara, dan doa religius yang
menjadi ungkapan misteri-misteri Kristiani. Itu disebut ”sakramentalia” yang pada dasarnya
merupakan tanda dari yang suci (SC 60). Banyak tindakan merupakan tindakan ritual, yang bila
dilakukan memberi kepada iman kita ungkapan tubuh. Pada tindakan-tindakan sakramental itu
ada dimensi sosialnya. Karena dilakukan secara publik, sakramentalia menjadi saksi untuk dan
mengingatkan orang lain akan kehadiran Allah di tengah manusia. Katolisisme kaya dalam
tindakan-tindakan ritual seperti itu.
Tanda salib, dengan memberi tanda salib pada diri sendiri dengan mengucap ”demi nama
Bapa, Putra, dan Roh Kudus, merupakan pengakuan iman Trinitarian kita. Tanda salib dapat
digunakan untuk menandai secara ritual saat awal dan saat akhir doa. Membuat tanda salib
dengan air suci mengingatkan rahmat baptis Kristiani, orang tua memberi tanda salib pada dahi
bayi ketika bayi itu dibaptis. Menerima abu di dahi pada hari Rabu Abu melambangkan awal
masa Puasa. Abu yang melambangkan penyesalan pada zaman Perjanjian Lama (Yun 3:6,
Dan 9:3) maupun abu yang menjadi asal-usul kita yang pada suatu saat nanti kita akan
kembali, mengingatkan kita akan kematian kita dan membuka diri kita lagi terhadap rahmat Injil.
Demikian juga perarakan dengan daun palma pada hari Minggu Palma mengajak kita untuk ikut
serta secara lebih pribadi dalam misteri-misteri Minggu Suci. Banyak orang Katolik menyimpan
daun palma sampai tahun berikutnya, dengan memasangkannya di bawah salib atau di
belakang gambar religius sebagai kenangan mereka menyertai Yesus melalui misteri-misteri
kesengsaraan-Nya. Tindakan-tindakan sakramental lain berlutut di depan sakramen
Mahakudus, menundukkan kepala pada waktu nama Yesus disebut, berbagi salam damai
dalam perayaan liturgi, memberi berkat, menumpangkan tangan dalam doa penyembuhan, dan
menyalakan lilin untuk melambangkan kesucian tempat di mana orang berdoa. Dalam budaya
Latin, banyak orang Katolik melengkapi tanda salib dengan membuat dan mencium salib kecil
dengan ibu jari dan jari telunjuk.
Salib, lengkap dengan patung tubuh Yesus (corpus), sangat berharga bagi orang-orang
Katolik sebagai tanda kasih dan korban penebusan Kristus. Patung-patung religius
mengingatkan kita akan Gereja yang telah jaya, persekutuan para Kudus, yang bagi kita
menjadi teladan dan pengantara. Sulit untuk membayangkan gereja atau kapel Katolik tanpa
patung atau gambar Maria. Ikon, warisan yang sedemikian kaya dalam Gereja Timur,
merupakan gambar Kristus, Santa perawan Maria dan para Kudus, yang digayakan, yang
mengajak kita untuk merenungkan misteri-misteri yang ditampilkan.6 Masa-masa liturgi seperti
Adven, Natal, Puasa, dan Paskah merayakan misteri-misteri keselamatan, yang membuat masa
itu menjadi suci. Lilin Paskah, yang dinyalakan pada upacara Malam Paskah, menjadi lambang
Kristus yang amat kuat dan lambang terang yang dibawa-Nya dalam hidup kita. Cincin
perkawinan mengingatkan pasangan akan janji saling mencintai dan setia. Pakaian-pakaian
liturgi, pakaian biara, medali, salib, lilin, air suci, – semua itu merupakan tanda dari Yang Suci,
yang hadir dalam waktu dan ruang serta sejarah pribadi. Semua itu mengundang dan
memungkinkan kita mengambil bagian dalam dunia roh yang tidak kelihatan.
Sakramentalia dapat disalahgunakan. Sakramentalia dapat menjadi sasaran takhyul,
seperti membuat tanda salib sebelum menendang bola pinalti di muka gawang lawan.
Sakramentalia bukan seperti jimat-jimat, daya sihir yang melindungi pemiliknya. Sakramentalia
mengundang kita untuk ikut serta dalam misteri-misteri Kristiani. Jika melibatkan iman kita,
sakramentalia dapat membantu kita melihat melampaui permukaan perkara dan mengangkat
budi serta hati kita kepada Allah.
2. Sakramen Inisiasi
Sakramen inisiasi – Baptis, Penguatan, Ekaristi – melambangkan dan merayakan
masuknya orang secara bertahap ke dalam Kristus dan Gereja. Pada Gereja perdana, Baptis
dan Penguatan merupakan saat-saat terpisah dalam satu upacara inisiasi Kristiani, yang
selesai pada waktu orang-orang Kristiani baru – dibaptis, diurapi dengan minyak, dan diberi
pakaian putih – dibawa kepada jemaat, biasanya dilaksanakan pada upacara malam Paskah
pada hari Sabtu malam, untuk ikut berbagi dalam Ekaristi untuk pertama kali. Tiga sakramen
inisiasi merayakan kenyataan-kenyataan yang paling mendalam dalam hidup orang Kristiani:
diperintahkan dengan Kristus, hidup dalam Roh, persatuan dalam tubuh-Nya, Gereja.
Baptis
Kata ”baptis” berasal dari kata Yunani baptizo, yang digunakan dalam upacara pencucian
atau pembasuhan. Dalam Kristianitas zaman sekarang ini, baptis kerap kali dimengerti sebagai
sakramen untuk bayi yang membersihkannya dari noda dosa asal. Akan tetapi, pengertian itu
menyempitkan simbolisme sakramen baptis yang kaya menjadi satu dimensi saja. Baptis
terutama merupakan sakramen bagi orang dewasa. Baptis merupakan tanggapan iman pribadi
terhadap sabda yang telah dikhotbahkan (Kis 8:26–40). Gereja-Gereja yang terus membatasi
baptis pada orang dewasa (baptis orang beriman) merupakan peringatan terhadap Gereja lain
mengenai fakta itu.
Dengan baptis, kita dimasukkan ke dalam Kristus. St. Paulus berkata bahwa kita dibaptis
dalam kematian Kristus (Rm 6:3), secara mistik dipersatukan ke dalam kesengsaraan-Nya
supaya kita dapat bangkit bersama-Nya. ”Baptis dalam kematian Kristus” berarti pengampunan
dosa. Mereka yang dibaptis telah dicuci, disucikan, dan dibenarkan dalam nama Yesus dan
dalam Roh (1Kor 6:11).
Pada waktu yang sama, dipersatukan dengan Kristus berarti dimasukkan ke dalam tubuh
Kristus, Gereja (1Kor 12:13) dan menerima hidup baru dalam Roh (Yoh 3:5). Dalam teks yang
amat awal dengan implikasi eklesial yang penting, St. Paulus menyatakan bahwa dengan baptis
kita ”mengenakan” Kristus (yang dalam Gereja perdana dilambangkan dengan memberi kepada
mereka yang dibaptis pakaian putih) sejauh kita menjadi bagian dari umat baru yang mengatasi
perbedaan ras, status sosial, dan jenis kelamin. ”Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau
orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena
kita semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28).
Bagaimana kita dapat lebih memaknakan baptis di dalam pengalaman hidup kita?
Bagaimana baptis ”melaksanakan” perubahannya? Baptis menyatukan kita dengan Kristus
justru karena baptis memasukkan kita ke dalam Gereja. Meski Roh tidak dibatasi oleh struktur
Gereja, namun Gerejalah yang mengantarai Yesus yang telah bangkit dengan kita. Hanya
melalui Gerejalah – jemaat melanjutkan pewartaan Injil, merayakan sabda dan upacara misterimisteri hidup-Nya, melanjutkan pelayanan-Nya yang penuh belas kasih – kita dapat mengenal
siapa Yesus itu dan mengenal kehadiran-Nya. Terlepas dari jemaat yang beriman, Kitab Suci
paling-paling hanya menjadi kisah-kisah saleh.
Baptis memungkinkan hidup baru, hidup di dalam ”Roh” atau hidup ”rahmat” justru dengan
membawa orang ke dalam jemaat baru di mana para anggotanya berusaha menghayati dalam
hidup mereka misteri Paskah, kematian dan kebangkitan Yesus. Orang-orang yang sudah
dibaptis telah mati terhadap dosa dan berusaha mencontoh cinta Yesus yang penuh kasih dan
pengorbanan diri dalam hidup mereka. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak pernah gagal atau
bahwa cita-cita hidup dalam Yesus kadang-kadang tak pernah menjadi kendor. Akan tetapi,
keterlibatan mereka pada Gereja merupakan lambang dari keinginan mereka untuk hidup dalam
Roh Yesus. Secara teologis, Roh itu adalah Roh Ilahi yang dicurahkan pada para murid Yesus
melalui kematian dan kebangkitan, Roh kebenaran, yang memberi kesaksian tentang Yesus di
dalam hati kita (Yoh 15:26). Berdasarkan pengalaman, kita dapat mengenal kehadiran Roh
melalui dampak-dampak atau buah-buah kehidupan para anggota jemaat. St. Paulus menyebut
buah-buah Roh seperti ”kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan,
kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5:22–23).
Kita tidak selalu menangkap pentingnya hidup dalam jemaat beriman, karena, meski
dewasa ini banyak dibicarakan tentang ”hubungan”, kita tidak secara sunguh-sungguh
memperhatikan jaringan hubungan-hubungan yang membentuk hidup kita. Namun, siapa saja
yang pernah mengalami jatuh cinta tahu dari pengalaman betapa kreatif dan menggairahkan
hidup sebuah hubungan itu berlangsung. Hubungan-hubungan yang baik memberdayakan kita.
Bila kita dicintai, seluruh dunia tampak berbeda; kita menemukan kebebasan baru untuk
menjadi diri sendiri maupun rasa sejahtera dan aman yang membuat kita mampu berusaha
menyelesaikan hal-hal yang tanpa rasa dicintai tak pernah berpikir mampu kita lakukan.
Demikian juga, hubungan-hubungan yang negatif dapat membuat orang melawan kita, dengan
membuat mereka marah dan pahit. Kerap kali mereka melakukan hal yang mengakibatkan
kerugian seumur hidup.
Kita tahu betapa pentingnya anak tumbuh dalam keluarga di mana ia dikasihi dan
disayangi, dan betapa berbeda perkembangan anak yang lingkungannya merusak. Anak yang
tidak mendapatkan kasih sayang, keamanan, dan hubungan dengan orang-orang lain yang diperlukannya, tumbuh lemah seperti bunga tanpa tanah dan air yang baik. Mungkin seumur
hidup ia akan berusaha mencari kompensasi, dengan susah payah mencari afeksi dan
persetujuan, kerap dengan cara yang tidak tepat. Kerap kali pengalaman tidak mendapatkan
cinta kasih dan keamanan yang dibutuhkan atau luka batin yang dialami beberapa tahun
kemudian meledak dalam bentuk permusuhan dan amarah, dan anak yang diperlakukan buruk
tidak jarang menjadi orang dewasa yang suka memperlakukan sesamanya dengan buruk pula.
Orang dewasa pun membutuhkan komunitas yang mendukung, jika saja mereka hendak
dibantu untuk mewujudkan cita-cita mereka. Kita juga tahu betapa sulitnya menjalani hidup
bergaya sederhana dalam budaya konsumeristik yang didorong oleh kebutuhan-kebutuhan
yang diciptakan oleh iklan, menghargai kemurnian dalam masyarakat yang meremehkannya,
dan mempertahankan integritas dalam lingkungan bisnis di mana ”setiap orang melakukannya”.
Betapa lebih memberdayakanlah hidup dengan pria dan wanita yang berusaha hidup
sebagai murid Yesus, membentuk hidup mereka berdasarkan Injil. Hidup seperti itu membantu
kita melihat kemungkinan-kemungkinan baru, untuk mendapatkan dukungan guna usaha-usaha
baru, dan mampu menjalani macam hidup yang lain. Secara teologis, jemaat yang disebut
Gereja berbagi dengan kita, Roh yang menghidupinya, Roh Yesus atau ”Rahmat”. Roh itu
mengatasi kekuatan-kekuatan negatif dan kepentingan diri yang kita sebut dosa asal, dengan
membuat kita mampu untuk menjalani hidup baru, untuk bangkit kembali manakala kita jatuh,
dan untuk menerima dan memberi maaf satu sama lain. Hidup dalam Roh ini berarti bahwa
dalam arti yang sebenarnya, kita ikut ambil bagian dalam hidup Tritunggal, atau bahwa Allah
tinggal di dalam diri kita dengan berbagi hidup dan kasih melalui Roh.
Jika rahmat baptis diharapkan menjadi efektif dalam hidup
orang yang dimasukkan ke
dalam jemaat Gereja, maka makin menjadi jelaslah mengapa tidak banyak maknanya
merayakan sakramen baptis bagi anak yang orang tuanya tidak menjalankan dan tidak mau
menjalankan imannya. Dalam baptis, yang asal-asalan seperti itu, betapapun baiknya orang
tua, bila tidak ada komunitas kaum beriman yang menerima anak itu di lingkungannya, tidak
ada ”Gereja keluarga” guna mengungkapkan dan memupuk iman anak selama masa pertumbuhannya.
Sakramen-sakramen bukanlah upacara magis. Sakramen-sakramen tidak bekerja ”secara
otomatis”, lepas dari kerja sama kita. Sebagaimana pepatah teologi menyatakan, rahmat
mengembangkan kodrat. Sayangnya, baptis asal-asalan banyak dipraktekkan dewasa ini,
dengan akibat, baptis menjadi upacara inisiasi kultural daripada perayaan sakramental
masuknya orang ke dalam kehidupan baru dalam Kristus.
Penguatan
Kadang-kadang dikatakan bahwa penguatan adalah sakramen yang masih mencari teologi.
Pada awalnya tanda penguatan, pengurapan dengan minyak yang disertai dengan
penumpangan tangan, merupakan bagian perayaan baptis. Masih dipraktekkan di Gereja
Timur, di mana urutan inisiasi Kristiani – Baptis, Penguatan, Ekaristi – masih dipertahankan.
Bahkan anak-anak dibaptis, diurapi dengan minyak, yang oleh umat Ortodoks disebut:
”Chrismatio” dan diberi Ekaristi, biasanya dengan sendok yang dicelupkan dalam anggur yang
telah dikonsekrasikan. Pelayan biasa yang menerimakan penguatan di Timur masih imam
biasa.
Akan tetapi, di Gereja Barat, pengurapan sesudah baptis biasanya dilakukan oleh uskup.
Ketika Gereja tumbuh dan tersebar di daerah-daerah pedesaan dan jumlah calon baptis
bertambah, uskup tidak selalu hadir pada pembaptisan. Lama-kelamaan penguatan menjadi
upacara yang terpisah. Meskipun uskup tetap menjadi pelayan penguatan yang asli dan biasa,
imam diberi kuasa untuk memberikan penguatan pada waktu membaptis atau menerima orang
dewasa dalam Gereja.
Apa arti penguatan? Penguatan hendaknya jangan dimengerti terutama sebagai pemberian
Roh, karena Roh diberikan bersama baptis dan sesungguhnya sudah aktif menarik orang
kepada Kristus sebelum baptis. Sakramen penguatan juga jangan dimengerti sebagai
sakramen kedewasaan Kristiani. Meskipun demikian, St. Thomas Aquinas mendukung
pandangan ini dengan mengatakan bahwa penguatan adalah sakramen kedewasaan spiritual
yang mempersiapkan orang untuk berperang melawan musuh-musuh iman. ”Penamparan
ringan pada pipi” zaman pra-Vatikan II mencerminkan teologi itu. Sementara itu, teolog dewasa
ini melihat penguatan sebagai sakramen yang mengungkapkan keterbukaan dan ketaatan
kepada Roh Kudus. Pastilah penguatan merupakan perayaan hidup dalam Roh Yesus, dan
masih benar bagi banyak orang Kristiani Barat yang dibaptis pada masa bayi, penguatan
dialami sebagai saat sakramental di mana keterlibatan yang dulu dibuat oleh orang tua mereka
pada waktu mereka masih bayi, mereka teguhkan sebagai keterlibatan mereka sendiri.
Kitab Hukum Kanonik tahun 1983 menyatakan agar penguatan diberikan pada waktu anakanak ”mencapai umur nalar” (Kan. 891), meski kodeks memberi keleluasan besar kepada para
uskup dalam hal penetapan waktu penerimaan sakramen penguatan. Dewasa ini di negeri kita,
sakramen penguatan diberikan kepada anak-anak umur 10-an tahun atau kelas IV – VI SD.
Karena sakramen penguatan berarti kesanggupan sebagai orang yang mengikuti Yesus,
sebagai orang Kristiani, bagi anak-anak yang dibaptis pada masa bayi, tepatlah bahwa
sakramen penguatan itu diberikan pada waktu anak-anak sudah sadar akan arti hidup dan arti
hidup sebagai pengikut Kristus, sebagai
orang Kristiani, anggota Gereja.
Ekaristi
Ekaristi merupakan ”kegiatan ibadat Gereja yang sentral” dan perayaan kesatuannya dalam
Yesus yang sudah bangkit yang menjadi sumber hidupnya.7 Dalam tradisi Kristiani, Ekaristi
disebut dengan beberapa nama: korban Misa, Perjamuan Tuhan, Ibadat Ilahi, Komuni Kudus.
Menurut Konsili Vatikan II, korban Ekaristi ”merupakan sumber dan puncak seluruh hidup
Kristiani” (LG 11).
Asal-usul Ekaristi amat kompleks. Dalam Kitab Suci Yahudi, gambaran tentang perjamuan
eskatologis tampak sebagai tanda kesatuan dengan Allah pada zaman keselamatan mesianis
(Yes 25:6). Yesus menggunakan gambaran ini dalam perumpamaan-Nya tentang Kerajaan
Surga (Mat 8:11; Luk 14:15–24). Pastilah tradisi makan bersama dalam pelayanan Yesus,
makan yang Ia bagi bersama murid-murid-Nya dan orang-orang lain, termasuk ”pemungut cukai
dan pendosa”, merupakan bagian dari sejarah Ekaristi, sebagai perjamuan terakhir yang Yesus
adakan bersama murid-murid-Nya pada malam sebelum wafat. Sesudah wafat-Nya, muridmurid-Nya melanjutkan berkumpul untuk memecah roti dan berbagi piala untuk mengenang
Dia. Dalam pemecahan roti dan berbagi piala itu, mereka mengenal-Nya hadir bersama mereka
dengan cara baru. Inilah inti cerita dua murid di jalan ke Emaus yang mengenal Yesus yang
telah bangkit ”pada waktu Dia memecah-mecah roti” (Luk 24:35; bdk. Kis 10:41; Yoh 21:12).
Ada kesinambungan dalam makan bersama Yesus selama pelayanan-Nya, pada waktu
perjamuan terakhir, dalam makan bersama para murid sesudah Paskah, dan dalam Ekaristi
Gereja.
Susunan liturgi Ekaristi terdiri dari Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Liturgi Sabda diambil
dari ibadat sinagoga Yahudi, yang terdiri dari Doa Pembukaan, 2 Bacaan Kitab Suci (satu dari
kitab hukum, dan satu lagi dari kitab Nabi-Nabi), yang diikuti dengan homili atau perenungan
dan beberapa doa (bdk. Luk 4:16–21). Liturgi Ekaristi atau perjamuan Tuhan dirayakan dalam
konteks makan bersama dalam jemaat-jemaat paling awal, meskipun pemisahan antar kedua
hal itu sudah terjadi pada zaman St. Paulus. St. Paulus menegur umat Korintus karena
perjamuan Ekaristi mereka yang tidak pantas dengan mengatakan kepada para anggota jemaat
agar mereka makan saja di rumah (1Kor 11:12,34).
Seperti berlian, Ekaristi merupakan realitas yang mempunyai banyak segi. Ekaristi
memancarkan misteri penyelamatan Allah dalam Yesus dengan berbagai cara. Ekaristi adalah
perjamuan sakramental, kesatuan dalam tubuh dan darah Kristus, kenangan akan kematian
dan kebangkitan-Nya, doa syukur, korban dan tanda kerajaan.
Perjamuan Sakramental
Pertama-tama Ekaristi adalah perjamuan sakramental. Tanda atau lambang Ekaristi adalah
tindak sakramental berbagi roti yang sudah dipecah-pecah dan piala yang sudah diberkati untuk
mengenangkan Yesus. Paulus mendasarkan kesatuan jemaat sebagai satu tubuh Kristus
dalam berbagi atau ikut serta dalam tubuh dan darah Ekaristis Kristus: ”Bukankah cawan
pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah
Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan Tubuh Kristus?
Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua
mendapatkan bagian dalam roti yang satu itu”
(1Kor 10:16–17). Dalam berbagi
roti dan anggur Ekaristi itulah, jati diri Gereja menjadi lebih penuh yaitu tubuh Kristus di dunia.
Tanda Kerajaan
Dengan didamaikan satu sama lain dalam Yesus Kristus, disatukan dalam tubuh-Nya,
orang-orang Kristiani menjadi tanda yang mengantisipasi dan menunjukkan kesatuan semua
umat manusia. Dengan cara itu, Ekaristi merupakan tanda kerajaan. Doa indah dari Didache
atau ”ajaran 12 Rasul”, kumpulan pengajaran mengenai moralitas dan tata tertib Gereja yang
ditulis sekitar tahun 100 SM mengungkapkannya secara puitis ”Sebagaimana roti yang dipecah-
pecah ini dulu tersebar di puncak-puncak gunung dan sesudah dipanen dijadikan satu,
demikian juga biarkanlah Gereja-Mu dikumpulkan dari ujung-ujung bumi ke dalam kerajaan-Mu”
(9.4).
Dengan demikian Ekaristi merupakan sakramen perdamaian yang paling mendasar dan
memanggil masing-masing di antara kita untuk menjadi tanda perdamaian di dunia yang
terpecah-pecah. Perpecahan di dalam Gereja, entah didasarkan atas status ekonomi, ras, jenis
kelamin, atau kedudukan sosial, merusak kenyataan sakramental jemaat Ekaristis; seperti
dikatakan oleh St. Paulus, membiarkan atau mendatangkan perpecahan dalam jemaat adalah
berdosa melawan Tubuh dan Darah Tuhan (1Kor 11:17–30).
Sebagai kenangan (anamnesis) kematian dan kebangkitan Yesus, Ekaristi merupakan
jaminan kebangkitan kita sendiri. Banyak orang Kristiani mengalaminya di dalam perayaan
Ekaristi, terutama dalam perayaan Misa Pemakaman sebagai bagian liturgi penguburan. Di sini
terutama kesatuan kita dengan Kristus yang sudah bangkit merupakan lambang yang amat kuat
dari harapan kita akan hidup abadi.
Doa Syukur
Ekaristi juga merupakan doa Syukur Agung Gereja (dalam bahasa Yunani eucharistia
berarti ”ucapan syukur”). Pimpinan Ekaristi mengajak umat untuk mengucap syukur
bersamanya dalam dialog pembukaan dalam prefasi dan kemudian berdoa atas nama mereka,
dengan bersyukur kepada Allah karena karya-karya agung penciptaan, penebusan dan
mengenang terutama penyerahan diri Yesus sebelum Dia wafat, kematian dan kebangkitanNya dan pemberian Roh Kudus. Pemimpin ibadat menyeru Roh Kudus atas persembahan roti
dan anggur Ekaristi dan atas umat (epiclesis) dan mendoakan doksologi penutupan, yang
dijawab oleh umat ”Amin” yang menjadikan doa itu menjadi doa mereka sendiri.
Pengenangan atas korban Kristus
Orang-orang Katolik secara tradisional menyebut Ekaristi sebagai ”korban Misa”. Dimensi
korban Ekaristi dikenal awal abad ke-2, karena Didache berbicara tentang Ekaristi sebagai
korban (14.1–3). Melalui pengkisahan dan upacara, Doa Ekaristi menghadirkan atau mengenang korban Kristus di salib, sehingga dalam arti yang sesungguhnya ibadat Ekaristi Gereja
menghadirkan penyerahan diri Kristus kepada Allah. Konsep anamnesis atau pengenangan
merupakan hal yang sangat penting di sini. Dalam bahasa yang lebih tradisional, orang-orang
Katolik telah menggambarkan Ekaristi sebagai pengulangan korban salib ”dengan cara yang
tidak berdarah”. Teologi zaman ini kadang-kadang membicarakan Ekaristi sebagai sakramen
korban Kristus, dengan membuat korban Kristus secara sakramental,dan oleh karena itu nyata,
hadir dalam ibadat Gereja.
Kehadiran Nyata
Apa yang disebut oleh orang-orang Katolik sebagai ”kehadiran nyata” Kristus dalam roti dan
anggur Ekaristi telah dikenal sejak zaman Perjanjian Baru (bdk. Yoh 6:52–60). Akan tetapi, cara
mengungkapkan ajaran ini dalam bahasa teologi merupakan masalah yang sulit. Sejak abad
ke-2, teologi Kristiani telah berbicara tentang ”perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan
Darah Kristus. Bahasa ”transubstansi” digunakan pada Abad Pertengahan untuk menyatakan
bahwa sementara rupa roti dan anggur (”spesies”) tetap sama, substansi dari keduanya
sungguh-sungguh berubah. Melalui tindakan Roh Kudus dalam liturgi, roti dan anggur menjadi
tanda sakramental kehadiran Kristus. Kedua benda itu bukan lagi roti dan anggur melainkan
Tubuh dan Darah Kristus. Akan tetapi, bahasa yang tampaknya amat harfiah ini masih
mengakui bahwa kehadiran Kristus bukanlah bersifat fisik. Kehadiran itu bersifat sakramental.
Maksudnya, Kristus yang telah bangkit hadir dalam tindak sakramental, bukan dalam tubuh dan
darah tersendiri yang dimengerti dalam arti fisik tetapi dalam arti pribadi, dalam kemanusiaan
yang sudah dimuliakan.
Jika bahasa Katolik tradisional kadang-kadang berbicara tentang kehadiran Kristus dalam
Ekaristi dengan cara yang amat harfiah, orang-orang Katolik sudah lama diajar bahwa
menerima ”satu rupa” bukanlah menerima hanya Tubuh atau hanya Darah Kristus tetapi keduaduanya, Tubuh dan Darah Kristus. Menerima roti atau anggur adalah berjumpa dan menerima
Yesus yang sudah bangkit. ”Tubuh Kristus yang diberikan kepada orang-orang Kristiani dalam
roti dan anggur yang sudah dikonsekrasikan bukanlah sesuatu melainkan seseorang. Dalam
Ekaristi, Kristus hadir bukan sebagai ’objek’ yang dikagumi, tetapi sebagai ’subjek’ yang harus
dijumpai”.8
Devosi Ekaristi
Sejak abad-abad awal, roti Ekaristi yang dikonsekrasikan disimpan di sakristi untuk komuni
orang sakit, tetapi tidak ditampilkan secara jelas dalam Gereja sampai Abad Pertengahan.
Mulai abad ke-11 ”ibadat kehadiran Ekaristis Kristus menjadi populer. Astuti, Pentahtaan Sakramen Mahakudus atau Benedictio merupakan salah satu ungkapannya. Konsili Trente pada
abad ke-16 memerintahkan agar ditempatkan tabernakel di altar pusat setiap gereja. Sesudah
pembaruan liturgi Konsili Vatikan II, sudah menjadi biasa untuk menyimpan Ekaristi untuk doa
pribadi di tempat khusus terpisah dari altar atau malah di ruang tersendiri. Ungkapan devosi
Ekaristis Katolik meliputi perayaan Ekaristi setiap hari, ”kolosanto”, ”tuguran”, prosesi ”Corpus
Christi” dan kunjungan ke Sakramen Mahakudus.
Konsili dan pembaruan liturgi yang mendahuluinya telah menekankan sentralitas liturgi
Ekaristi dalam hidup Gereja dan pentingnya keikutsertaan penuh dalam liturgi itu dengan
menerima Komuni Kudus. Ini telah mengakibatkan pergeseran dari devosi kepada Sakramen
Mahakudus terlepas dari misa ke keikutsertaan secara penuh di dalam liturgi. Demikian juga,
ajaran sesudah Konsili menekankan bahwa ibadat Ekaristi di luar Misa harus selalu dikaitkan
pada perayaan Misa yang menjadi pusatnya. Di banyak tempat, penekanan ini telah
mengurangi praktek Astuti atau pentahtaan Sakramen Mahakudus. Pada waktu yang
bersamaan, menarik untuk dicatat bahwa sejumlah komunitas Kristiani dewasa ini seperti
Arche, suster-suster Misionaris Caritas, Bruder dan Suster Kecil Yesus mengadakan doa
kontemplasi di hadapan Sakramen Mahakudus sebagai bagian biasa dari spiritualitas mereka.9
Kunjungan ke Sakramen Mahakudus pun tetap merupakan ungkapan devosi Ekaristis Katolik
yang penting.
Interkomuni
Hal yang amat menyedihkan dewasa ini adalah ketidakmampuan untuk ikut serta dalam
Ekaristi karena perpecahan di dalam Gereja. Masalah hospitalitas Ekaristi, atau interkomuni
sendiri sudah bersifat memecah belah. Bagi banyak orang Protestan, interkomuni sendiri merupakan tanda kesatuan yang berkembang dan sarana untuk pemenuhannya. Mereka
menekankan bahwa Tuhanlah yang memanggil orang-orang beriman yang sudah dibaptis ke
satu meja makan dan tak ada Gereja yang membatasinya.
Gereja Roma dan Ortodoks mengambil pandangan yang berbeda dengan berpendapat
bahwa komuni Ekaristi merupakan tanda kesatuan yang sudah ada dalam iman, tradisi
apostolik, dan hidup Gereja. Menurut buku Petunjuk Ekumene (Ecumenical Directory) Katolik
Roma yang baru (1993), interkomuni diperbolehkan hanya dengan syarat-syarat tertentu yang
terbatas. Berteman dengan Gereja-Gereja Timur, pada prinsipnya ikut serta dalam Ekaristi
dimungkinkan, meski memberi peringatan kepada orang-orang Katolik bahwa Gereja-Gereja itu
kerap mempunyai disiplin yang lebih membatasi dan harus dihormati. Karena alasan-alasan
keperluan atau manfaat spiritual yang sejati, orang-orang Katolik dapat mendatangi pelayan
suatu Gereja Timur untuk mendapatkan sakramen Ekaristi, pengakuan dosa dan pengurapan
orang sakit. Pelayan Katolik pun dapat memberi sakramen-sakramen itu kepada anggota suatu
Gereja Timur yang memintanya. Hal itu harus diatur dengan baik, dan menghindari kesan pemertobatan.
Peraturan-peraturan untuk menerima orang-orang dari Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat
lain jauh lebih keras. Pelayan Katolik dapat memberikan sakramen-sakramen itu kepada orangorang non-Katolik bila ada bahaya maut atau kebutuhan-kebutuhan mendesak dengan syaratsyarat berikut: orang yang bersangkutan tidak mampu mendapatkan pelayan sakramen dari
Gereja atau jemaatnya dan bahwa ia minta pelayanan sakramen dan menampakkan iman
Katolik dan sikap yang sesuai untuk menerima sakramen itu. Orang Katolik yang ada dalam
keadaan yang sama, hanya boleh meminta Gereja lain kepada pelayan sakramen-sakramen
yang sah atau dari pelayan yang diketahui ditahbiskan secara sah menurut ajaran Gereja
tentang pentahbisan ” (No. 132).
Waktu untuk memulihkan kesatuan Ekaristis yang penuh tampaknya belum ada. Sementara
kemajuan besar pada tingkat teologis dalam dialog-dialog ekumenis, pernyataan-pernyataan
yang sudah disepakati bersama yang dihasilkan belum diterima oleh Gereja-Gereja yang bersangkutan. Juga jika Gereja-Gereja diharapkan berbagi dalam misi bersama, Gereja-Gereja itu
harus menemukan jalan untuk bekerja sama secara efektif dalam bidang-bidang otoritas
mengajar dan kegiatan sosial, hal yang belum mampu dikerjakan.
Pada waktu yang bersamaan, dapat dipertanyakan apakah Gereja Katolik tidak perlu
menemukan jalan agar menjadi lebih fleksibel, luwes. ”Berbagi dalam komuni tidak pada
tempatnya bila tidak ada pemahaman bersama tentang sakramen dan tidak ada keikutsertaan
bersama yang nyata dalam kehidupan Gereja. Akan tetapi pemahaman tentang sakramen dan
keikutsertaan dalam kehidupan Gereja itu sekarang ini merupakan kenyataan yanag semakin
besar melintasi batas-batas Gereja/denominasi formal”.10 Gerakan liturgi sudah mengakibatkan
penghargaan yang diperbarui terhadap Ekaristi di banyak Gereja, dan sedikit orang Katolik
dewasa ini akan mengajukan pertanyaan tradisional ”sahnya” perayaan Ekaristi di GerejaGereja lain bila perayaan-perayaan itu mencerminkan iman Ekaristi mereka. Disiplin Gereja
Katolik yang ada pada saat ini tampaknya tidak sejalan dengan teologinya sendiri. Dekrit Konsili
Vatikan II tentang ekumenisme mengajarkan bahwa ”Kebersamaan merayakan sakramensakramen janganlah dianggap sebagai upaya yang boleh digunakan secara acak-acakan untuk
memulihkan kesatuan umat Kristen. Namun rahmat yang dapat diperoleh kadang-kadang
menganjurkannya” (UR 8). Beberapa ekumenis Katolik dewasa ini menyatakan bahwa
interkomuni tertentu sebaiknya diperbolehkan, misalnya, dalam nikah campuran dalam
komunitas ekumenis yang tetap di mana iman Ekaristi dimiliki bersama. Hospitalitas Ekaristi
dalam situasi-situasi seperti itu dapat menjadi sarana untuk kesatuan dan merupakan tanda
harapan untuk masa depan.
3. Upacara Inisiasi Kristiani
Bagaimana orang menjadi anggota Gereja? Dalam Gereja awal, orang dewasa secara
sakramental menjadi anggota Gereja hanya sesudah menyelesaikan proses persiapan dan
pengajaran yang dikenal dengan nama ”katekumenat” (dari kata Yunani catechesis, yang
berarti ”pengajaran”), yang dapat berlangsung selama 3 tahun. Hal yang pokok dalam proses
itu adalah keputusan pribadi, bebas untuk baptis. Keputusan ini mengandaikan pertobatan
kepada Kristus, yang diuji oleh orang itu dan ditegaskan oleh jemaat selama proses
katekumenat.
Setiap calon, atau ”katekumen”, mempunyai seorang wali/pendamping, (sponsor) seorang
anggota jemaat yang membantu membimbingnya dengan doa, berbagi iman secara pribadi,
dan pengajaran. Pada awal proses, calon-calon diperkenalkan pada uskup dan jemaat, dan
nama mereka dicatat dalam buku baptis. Pada hari-hari Minggu mereka hadir dalam ibadat
liturgis, terutama untuk pengajaran yang terjadi dalam homili, meski mereka secara formal
dipersilakan meninggalkan upacara liturgi sebelum liturgi Ekaristi. Selama minggu-minggu
terakhir sebelum Paskah diadakan persiapan intensif untuk inisiasi sakramental calon. Mereka
diuji dengan berbagai pertanyaan atau ”penyelidikan”, dan mereka menyiapkan diri dengan doa
dan puasa. Persiapan akhir untuk pesta Besar Paskah ini dalam perjalanan waktu menjadi
masa liturgi Puasa. Akhirnya, pada waktu jemaat berkumpul untuk merayakan Malam Paskah,
sesudah menyatakan menolak setan, calon-calon dibaptis, diurapi dengan minyak, diberi pakaian jubah, dan dibawa kepada jemaat untuk ikut serta dalam Ekaristi untuk pertama kalinya.
Upacara inisiasi Kristiani kuno merupakan peziarahan rohani yang nyata, yang ditandai
dengan tahap-tahap simbolis seperti pencatatan nama calon-calon di dalam buku baptis,
pengusiran setan, pemeriksaan oleh uskup dan akhirnya pemasukan secara sakramental ke
dalam Gereja. Sayangnya, upacara mulai berkurang maknanya sesudah Dekrit Milan oleh
Konstantinus pada abad ke-4 mengakhiri pengejaran orang-orang Kristiani di Barat dan
memberi toleransi kepada Gereja. Sesudah tonggak dalam sejarah Gereja ini, jumlah orang
yang minta baptis bertambah luar biasa, dan pembaptisan bayi semakin menjadi kebiasaan.
Lambat laun, proses katekumenat yang kaya disempitkan menjadi satu unsur saja, yaitu
pengajaran. Sebelum Konsili Vatikan II, orang yang ingin menjadi anggota Gereja dapat diajar
secara privat oleh imam atau mengikuti kelas ”penyelidikan”. Teks dasarnya biasanya adalah
katekismus. Akan tetapi, tekanan pada doa pribadi, pertumbuhan rohani, penegasan bersama,
dan perayaan ritual dari proses upacara inisiasi kebanyakan menghilang.
Mungkin salah satu pembaruan liturgi Konsili Vatikan II yang paling berarti adalah
pengembalian katekumenat ke upacara Inisiasi Kristiani bagi Orang Dewasa (IKOD) tahun
1972. Dengan upacara baru itu, inisiasi Kristiani sekarang dimengerti sebagai suatu proses dari
lima tahap yang pada umumnya berlangsung dalam jangka waktu satu tahun atau lebih.
Prakatekumenat
Tahap pertama adalah masa orang mulai mencari kemungkinan untuk bergabung ke dalam
Gereja. Tahap pertama adalah saat pertobatan sejati terjadi dalam hidup orang itu. Pada tahap
pertama dapat terjadi dialog dengan Gereja, kerap melalui teman-teman yang imannya telah
membangkitkan minat orang itu dalam hidup Kristiani. Teman-teman itu dapat
memperkenalkannya pada hidup dan ajaran Gereja.
Katekumenat
Tahap kedua adalah untuk pengajaran resmi atau katekese, doa, dan penegasan.
Katekumenat dimulai dengan upacara penerimaan yang dirayakan dengan pertemuan liturgi
seluruh jemaat, biasanya pada hari Minggu pertama Masa Adven. Setiap calon diperkenalkan
kepada jemaat oleh walinya/pendamping, dan jemaat berjanji untuk membantu keinginan calon
untuk mengenal Yesus. Kitab Suci yang diwartakan dalam liturgi seharusnya memainkan
peranan penting dalam proses katekumenat, demikian juga walinya, ia menjadi sahabat rohani
dan ikut serta dalam peziarahan para calon.
Masa Pembersihan dan Penerangan
Bagian terakhir dari masa katekumenat sendiri dimulai dengan upacara pemilihan yang
biasanya dirayakan pada hari Minggu pertama dalam Masa Puasa. Para calon dipersilakan
maju ke depan sesudah homili, ditanyai maksud mereka, dan secara resmi diterima dalam kelompok ”orang terpilih”. Para calon memperdalam persiapan mereka selama masa itu. Menurut
tradisi kuno Gereja, bacaan Injil untuk Minggu ke-3, 4, 5 dalam masa Puasa adalah kisah
wanita Samaria (Yoh 4), penyembuhan orang buta sejak lahir (Yoh 9), dan pembangkitan
Lazarus (Yoh 11), dengan tema air, terang, dan hidup.
Inisiasi Sakramental
Masa pembersihan dan penerangan memuncak dengan sakramen inisiasi sendiri, baptis,
penguatan dan Ekaristi, yang biasanya dirayakan sebagai bagian upacara Malam Paskah.
Katekese sesudah Baptis (Mystagogy)
Tahap akhir inisiasi Kristiani dimaksudkan untuk melanjutkan penyatuan orang-orang yang
baru dibaptis ke dalam kehidupan Gereja. Mereka yang secara sakramental telah dimasukkan
ke dalam misteri-misteri Kristiani, perlu memperdalam pemahaman mereka atas misteri-misteri
itu untuk hidup mereka sendiri. Katekese sesudah baptis dapat dilaksanakan selama masa
Paskah dan selanjutnya.
Upacara inisiasi Kristiani bagi orang dewasa (IKOD) berusaha menjadi cara yang lebih
holistik untuk menginisiasikan orang ke dalam Gereja. Inisiasi bukan hanya pengajaran
katekese tetapi harus meliputi doa, renungan bersama, dan penegasan. Inisiasi tidak
dimaksudkan menjadi proses yang kaku melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan masing-masing calon. Dewasa ini IKOD yang baik dapat merangkum orang yang
belum dibaptis dan orang-orang Kristiani yang telah dibaptis yang sudah minta menjadi anggota
Gereja Katolik. Daripada menyebut orang Kristiani itu sebagai ”orang yang bertobat” lebih baik
menyebut mereka sebagai orang yang minta masuk ke dalam jemaat secara penuh dengan
Gereja Katolik, karena mereka telah bersatu dengan Gereja melalui baptis mereka (bdk. UR 3).
Dewasa ini dapat terjadi bahwa orang-orang Katolik dibaptis bayi tetapi belum pernah
menerima komuni pertama, biasanya karena orang tua mereka tidak menjalani iman mereka.
Dengan demikian inisiasi Kristiani mereka tidak pernah lengkap.
Perayaan IKOD harus membedakan antara mereka yang minta baptis dan mereka yang
telah dibaptis. Mereka yang minta baptis akan menerima tiga sakramen inisiasi. Mereka yang
minta diterima penuh ke dalam kesatuan dengan Gereja Katolik mengucapkan syahadat iman,
karena baptis dalam Gereja-Gereja lain diakui sah dan tidak perlu diulang (kecuali ada alasan
untuk mempertanyakan bentuk atau maksud baptis aslinya). Jika mereka berasal dari jemaatjemaat Gereja Reformasi abad 16, pembaptisan mereka harus diberi penguatan karena belum
ada kesepakatan dengan jemaat-jemaat itu tentang makna dan hakikat sakramen penguatan.
Mereka yang inisiasi Kristianinya terputus menerima penguatan bersama calon-calon lain, dan
menerima komuni untuk pertama kalinya. Meski uskup adalah pelayan biasa untuk penguatan,
pastor atau imam yang memimpin Misa Malam Paskah memberi penguatan sebagai bagian dari
proses inisiasi.
4. Kesimpulan
Kristianitas bukanlah agama dunia seberang sana. Kristianitas tidak meremehkan dunia
material tetapi melihatnya sebagai jejak-jejak Yang Ilahi. Allah ditemukan di dalam kedalaman
umat manusia, dalam hubungan-hubungan pribadi dan keluarga, pada saat-saat keharuan dan
kerinduan untuk kesatuan, dalam menghadapi misteri kejahatan dan penderitaan, dalam
pengalaman kegembiraan cinta dan persahabatan, berkurangnya umur, dan maut yang tak
mungkin dihindari. Justru dalam dan melalui kenyataan-kenyataan yang amat manusiawi itu
hidup Kristiani harus dijalani.
Orang-orang Katolik memandang dunia ini dengan cara yang secara mendalam
dipengaruhi oleh imajinasi atau penggambaran sakramental. ”Dunia dipenuhi oleh keagungan
Allah”, kata Gerard Manley Hopkins.11 Imajinasi sakramental mengenal kehadiran Allah yang
penuh misteri yang tercermin dalam keajaiban-keajaiban alam dan dalam upacara-upacara
serta seni religius yang mengungkapkan iman. Imajinasi sakramental melihat dalam sakramensakramen, rahmat dan kehadiran Allah yang menjadi tampak dalam jemaat Kristiani ketika
membagikan hidup baru dalam Roh Yesus, menyatakan pengampunan dosa, berdoa bagi
orang sakit, merayakan cinta yang setia dalam perkawinan dan kehadiran Yesus dalam Ekaristi.
Orang-orang yang minta baptis dan diterima masuk ke dalam Gereja kerap tertarik ke
Gereja karena telah merasakan kehadiran Ilahi dalam hidup jemaat itu dan iman para
anggotanya. Upacara inisiasi Kristiani berarti ikut ambil bagian dalam iman itu melalui doa dan
penegasan, melalui renungan atas Kitab Suci yang dimaklumkan dan didengarkan dalam umat,
melalui berbagi tentang peziarahan iman dengan orang-orang lain, dan akhirnya merayakannya
dalam Baptis, Penguatan, dan Ekaristi.
Ekaristi ada di pusat dalam pemahaman orang Katolik tentang Gereja. Kebanyakan orang
Katolik merasakannya, bahkan jika mereka tidak selalu dapat menjelaskan mengapa demikian
atau apa persis artinya. Mereka telah dibentuk secara mendalam oleh pengalaman kesatuan
dengan Yesus yang sudah bangkit dan satu sama lain dalam pemecahan roti dan berbagi piala
untuk mengenang kematian dan kebangkitan-Nya. Sebagai medan tindak-tindak sakramental,
Gereja sendiri merupakan ungkapan sakramental dari kehadiran Kristus di tengah-tengah umat
yang berkumpul atas nama-Nya.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Langdon Gilkey, Catholicism Confronts Modernity (New York: Seabury, 1975) 47.
Lihat Greg Dues, Catholic Customs and Traditions: A Popular Guide (Mystic, Conn: Twenty Third, 1989).
Lihat Andrew Greeley, ”Sacramental Experience” dalam Andrew M. Greeley dan Mary Greeley Durkin, How to Save the
Catholic Church (New York: Viking, 1984) 44-45.
Edward Schillebeeckx, Christ the Sacrament of the Encounter with God (New York: Sheed & Ward, 1963); Karl Rahner, The
Church and the Sacraments (New York: Herder & Herder, 1963).
Scan McDonagh, Passion for the Earth (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1994) 148.
Lihat Henri J.M. Nouwen, Behold the Beauty of the Lord: Praying with Icons (Notre Dame: Ave Maria, 1987).
Lihat Baptism, Eucharist and Ministry (Geneva: WCC, 1982) 10.
Nathan Mitchell, ”Who Is at the Table: Reclaining the Real Presence,” Commonweal 122 (January 27, 1995) 12.
Lihat Thomas P. Rausch, Radical Christian Communities (Collegiville: The Liturgical Press 1990).
Adrian Heastings, ”How to Be Ecumenical in 1995,” Priests & People 9 (January 1995), 6.
11.
”God”, Grandeur,” Poems of Gerard Manley Hopkins, 4th ed., ed. W.H. Gardner and N.H. Mackenzie (London) New York:
Oxford Univ. Press, 1967).
VI
Hidup Kristiani dan
Panggilan Menjadi Murid
Abad kita, yang akan segera berakhir ini, telah menyaksikan kekejaman dan penderitaan
manusia pada taraf yang jarang terbayangkan sebelumnya. Akan tetapi, abad yang sama juga
telah menyaksikan contoh-contoh luar biasa bagaimana menjadi murid Kristus itu. Pada tahun
1930-an di Amerika, Dorothy Day, seorang Katolik pertobatan, mendirikan gerakan Pekerja
Katolik untuk membela para pekerja miskin di New York. Dalam Perang Dunia II, seorang
petani Austria bernama Franz Jäggerstätter dihukum mati karena menolak dinas militer di
Jerman. Ia berpendapat bahwa perang Hittler tidak bermoral. Pada zaman itu juga Dietrich
Bonhoeffer, Pastor Lutheran, dihukum mati karena melawan perang yang sama. Pada tahun
1980, Oscar Romero, uskup San Salvador, pejuang kaum miskin dibunuh oleh partai sayap
kanan. Masih ada banyak kisah lain tentang orangorang, pria dan wanita, yang
konsekuen mengikuti panggilan menjadi murid Yesus dan menderita, bahkan korban nyawa
karenanya.
Bila kita mendengar kisah-kisah itu, kita terkagum-kagum akan keberanian dan iman
mereka. Dalam bab ini, kita akan membahas panggilan dasar menjadi murid yang ditujukan
kepada semua pengikut Yesus dan kemudian melihat ungkapan-ungkapan menjadi murid yang
berbeda-beda dalam hidup Kristiani.
1. Panggilan Menjadi Murid
Yesus tidak datang untuk mendirikan agama baru. Dalam pelayanan singkat-Nya yang
hanya berlangsung selama tiga tahun itu, Ia memaklumkan kedatangan Kerajaan Allah dan
memanggil semua
orang yang mau mendengarkan dan menjadi murid-Nya untuk mengikuti Dia dalam pelayanan.
Murid dalam Perjanjian Baru
Kata ”murid”, yang dalam bahasa Yunani adalah mathetes, disebut 250 kali dalam
Perjanjian Baru, kebanyakan dalam Injil dan Kisah Para Rasul. Kata ”mengikuti” atau akolouthe
dalam bahasa Yunani terdapat 70 kali. Menjadi murid berarti mengikuti Yesus.
Konsep murid bukanlah sesuatu yang baru. Baik orang-orang Farisi maupun Yohanes
Pembaptis mempunyai murid. Akan tetapi, menjadi murid Yesus unik sifatnya karena beberapa
alasan. Pertama, tidak seperti menjadi murid dalam Yudaisme Rabbinik, murid-murid Yesus
tidak memilih guru. Akan tetapi, guru yang memilih dan memanggil murid-murid. Prakarsanya
selalu datang dari Yesus (Mrk 1:17; 2:14).
Kedua, ada unsur keterbukaan dalam panggilan Yesus. Ia tidak membatasi panggilan pada
orang-orang yang secara ritual bersih dan secara religius taat. Di antara mereka yang dipanggil
mengikuti-Nya adalah ”para pemungut cukai dan pendosa.” Ia kerap dikecam karena bergaul
dengan mereka (Mrk 2:16). Wanita juga menyertai-Nya sebagai murid (Luk 8:2).
Ketiga, panggilan Yesus untuk menjadi murid menuntut perubahan hati secara mendasar
(metanoia), pertobatan religius yang kerap dilambangkan dengan meninggalkan segala milik.
Kisah orang muda yang kaya dalam Injil Sinoptik menggambarkan tema pertobatan itu. Kepada
orang muda, yang telah menaati segala perintah Allah sejak muda, Yesus berkata: ”Hanya satu
lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang
miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku”
(Mrk 10:21). Dengan demikian menjadi murid adalah putus total dengan masa lampau
seseorang. Dalam Injil mereka yang mengikuti Yesus ”meninggalkan segala sesuatu” (Luk
5:11). Mereka meninggalkan pekerjaan mereka (Mrk 2:14), orang tua, keluarga, anak (Luk
14:26). Bagi beberapa orang, menjadi murid juga berarti selibat, tidak nikah, yang dihayati demi
Kerajaan (Mat 19:11-12).
Keempat, menjadi murid Yesus adalah ikut serta dalam pelayanan-Nya. Tidak seperti
murid-murid Rabbi yang harus menghafalkan ajaran-ajaran guru mereka, murid-murid Yesus
dipanggil untuk melayani seperti yang dilakukan Yesus. Yesus mengutus mereka untuk
mengajar dan bertindak atas nama-Nya, untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir setan,
dan memaklumkan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk 6:7-12; Luk 10:2-12). Menjadi
murid tidak hanya ikut melayani tetapi juga ambil bagian dalam kemiskinan dan menyertai
pengembaraan-Nya (Mat 8:20). Mereka bersikap hormat terhadap penguasa, tetapi bukan tidak
kritis (Mrk 12:17; Mat 23:2-3). Yesus memperingatkan mereka bahwa mereka akan ditolak,
dikejar-kejar oleh penguasa religius dan sipil, bahkan terasing dari keluarga mereka (Mat 10).
Akhirnya, menjadi murid Yesus berarti bersedia mencintai orang-orang lain dengan cinta
penuh pengorbanan, dan tanpa syarat dan batas. Murid-murid harus bersedia berbagi apa pun
dengan
orang-orang lain (Luk 6:30). Mereka harus mencari tempat yang terakhir dan
melayani orang lain (Mrk 9:35). Cita-cita menjadi murid sebagai cinta yang penuh pengorbanan
diungkapkan paling jelas dalam Injil Yohanes, di mana Yesus berkata: ”Inilah perintah-Ku, yaitu
supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih
besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh
15:12-13).
Menjadi Murid Sesudah Paskah
Sesudah Paskah para murid memahami bahwa mengikuti Yesus meliputi mengikuti Dia
dalam peralihan Paskah dari kematian ke kehidupan. Dalam bagian ”perjalanan” (Mrk 8:27–
10:52) Markus membeberkan pengajaran tentang menjadi murid. Jalan Yesus berarti
memanggul salib dan mengikuti-Nya, mengambil tempat terakhir, bahkan bersedia
menyerahkan hidup (Mrk 8:34-35). Markus menggabungkan gagasan tentang mengikuti Yesus
dengan kemartiran, pengertian yang populer dalam Gereja awal yang memandang kemartiran
sebagai ungkapan yang tertinggi dari menjadi murid. Kisah Para Rasul menggunakan kata
”murid” untuk menyebut orang-orang Kristiani awal, meski penggunaan itu tak bertahan lama.
Akan tetapi, gagasan menjadi murid, yang diungkapkan dengan cara-cara yang berbeda,
merupakan hal penting dalam Gereja Awal.
Dengan demikian, menjadi murid dalam Injil berarti mengikuti Yesus secara pribadi dan
kerap kali mahal yang mempengaruhi setiap dimensi hidup manusia. Menjadi murid membentuk
sikap seseorang terhadap milik dan kekayaan, mengubah cara memandang keberhasilan dan
pemenuhan pribadi, dan akhirnya memanggilnya untuk masuk secara lebih mendalam ke dalam
misteri Paskah Yesus, peralihan-Nya dari kematian ke kehidupan. Intinya adalah apa yang oleh
tradisi Kristiani disebut Imitatio Christi, menyerupai Kristus.
St. Paulus tidak menggunakan kata ”murid” untuk menggambarkan para anggota Gereja,
meski gagasan tentang murid itu ada. Bagi St. Paulus, segala hidup Kristiani adalah
menyerupai Kristus; kita dimasukkan ke dalam kematian dan kebangkitan Kristus melalui pembaptisan kita (Rm 6:3-5) dan dipanggil untuk membentuk hidup kita berdasar misteri PaskahNya (Fil 3:8-11).
Jika setiap orang Kristiani dipanggil untuk menjadi murid Yesus, untuk menjalani hidup
pelayanan dengan menggunakan karunia-karunia yang telah mereka terima dari Roh Kudus,
maka baptis, yang memasukkan seseorang ke dalam Gereja, menjadi sakramen dasar untuk
pelayanan Kristiani. Jemaat atau paroki lokal merupakan wadah di mana sumbangan masingmasing anggota jemaat dapat diberikan. Kerap kali paroki-paroki terlalu terfokus pada keluargakeluarga sehingga mereka yang tidak masuk ke dalam pola keluarga tradisional – apakah
mereka itu satu orang dewasa, satu pasang orang tua, orang homo, mereka yang menikah
antar Gereja, mereka yang cerai dan nikah lagi, janda – dapat merasa terabaikan. Semua orang
Kristiani dipanggil untuk menjadi murid dan memberi pelayanan. Beberapa orang menjalani
panggilan mereka melalui pernikahan Katolik; yang lain mengungkapkannya sebagai pelayan
yang ditahbiskan. Beberapa orang berusaha mengikuti Kristus dengan menjadi anggota jemaat
Kristiani dan yang lain memilih panggilan hidup sendiri, single.
2. Perkawinan dalam Kristus
Bagi banyak orang, perkawinan merupakan tempat pendidikan atau sekolah cinta yang
besar. Hidup dalam hubungan erat dengan orang lain, harus menyusun kembali prioritasprioritas untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pasangan, mengolah konflik dalam
lingkup-lingkup hidup yang sempit, belajar untuk mengampuni dan minta maaf karena
kesalahan-kesalahan yang sudah dibuat, menerima pengampunan, dan memulai yang baru lagi
tanpa dendam karena perasaan yang terluka, atau cedera-cedera di masa lampau, terbagi atas
ruang pribadi, tugas-tugas rumah tangga, kepekaan, dan iman, semua itu merupakan
pengajaran hidup perkawinan, yang membuat janji perkawinan bukan hanya menjadi kata-kata
kosong melainkan perjanjian untuk penyerahan diri.
Sakramen Perkawinan
Dimensi sakramental cinta perkawinan telah dikenal sejak awal sejarah Kristianitas. St.
Paulus memasukkan perkawinan di antara karisma-karisma, sebagai penampakan kehadiran
Roh dalam hidup dua orang demi pembangunan Gereja (1Kor 7:7). Harapan St. Paulus akan
kedatangan kembali Yesus yang sudah bangkit yang akan segera terjadi membuatnya
membuat ucapan-ucapan yang bernada agak negatif tentang perkawinan (1Kor 7:27-29). Akan
tetapi, ia juga melihat kekuatan perkawinan yang dihayati dalam iman yang menyempurnakan.
Ia menyatakan bahwa hidup dengan pasangan Kristiani dapat menguduskan pasangan yang
belum beriman dan anak-anak buah kesatuan mereka (1Kor 7:14). Selanjutnya ia menyebut
saling cinta kasih suami-istri sebagai mysterion (misteri) besar, atau lambang, kesatuan mesra
antara Kristus dan Gereja-Nya. St. Agustinus kemudian menggunakan teks itu untuk
membahas hakikat sakramen perkawinan. Pada abad ke-12, Petrus Lombardus memasukkan
perkawinan dalam daftarnya tentang ”tujuh sakramen” dalam bukunya De Sententiis.
Perkawinan bukanlah sakramen yang diterima oleh pasangan tetapi lebih sakramen yang
membuat mereka menjadi suami-istri. Pasangan yang saling mencintai dengan cinta tanpa
syarat, pengampunan, dan penyerahan diri menjadi perwujudan sakramental, cinta
Allah
yang tak bersyarat, mengampuni, yang memberi hidup – bagi satu sama lain, bagi anak-anak
mereka, dan bagi jemaat Kristiani. Menjalani sakramen semacam itu tidaklah mudah. Banyak
orang yang tidak menikah, termasuk imam dan biarawan/biarawati, sulit memahami betapa
banyak waktu dan usaha yang diperlukan untuk menjadi pasangan dan orang tua yang baik.
Perkawinan merupakan komitmen untuk seumur hidup. Sebagaimana orang-orang dalam ME
(Marriage Encounter) menyatakan bahwa cinta bukanlah perasaan, melainkan keputusan,
sesuatu yang harus dijalani setiap hari. Menjanjikan cinta semacam itu kepada pasangan
menjadi panggilan sakramental justru karena mengantarai cinta dan kesetiaan Allah kepada
orang lain. Berapa banyak di antara kita dapat menghargai sesuatu dari misteri cinta Allah bagi
kita melalui cinta yang telah kita alami dari orang tua!
Seperti karisma lain, keinginan untuk menikah perlu dipertimbangkan sungguh-sungguh
untuk melihat apakah keinginan itu betul-betul merupakan penampakan Roh. Tanggung jawab
utama ada pada pasangan sendiri. Mereka perlu menguji hubungan mereka, untuk melihat
apakah cocok dan sungguh-sungguh memiliki kesatuan minat, untuk menemukan apakah cinta
mereka sejati, apakah cukup kuat untuk mengatasi hambatan-hambatan dan tantangantantangan yang dapat timbul dalam hidup mereka bersama. Seluruh waktu pacaran dan
pertunangan merupakan bagian yang penting untuk pertimbangan itu.
Jemaat Kristiani telah berbuat banyak dalam perkawinan anggota-anggotanya. Dengan
demikian, Gereja berusaha membantu pasangan-pasangan dalam pertimbangan-pertimbangan
mereka, meski usaha-usahanya untuk melembagakan proses pertimbangan melalui hukum
kanonik tentang perkawinan dan kuesionernya sebelum perkawinan masih belum sempurna.
Sejak Konsili Trente berusaha memperbarui praktek Kristiani pada abad ke-16, orang-orang
Katolik telah dituntut untuk menaati ”bentuk kanonik” untuk sahnya perkawinan mereka. Mereka
dituntut untuk merayakan perkawinan mereka di dalam Gereja di hadapan imam atau diakon
beserta dua orang saksi.
Perkawinan Beda Gereja
Dewasa ini jumlah perkawinan orang Katolik dan orang Kristiani yang dibaptis dari Gereja
lain bertambah dan mengakibatkan pertambahan jumlah keluarga antargereja. Direktori
Ekumenis telah mengambil beberapa langkah untuk menanggapi keprihatinan-keprihatinan
khusus orang-orang Kristiani dalam masalah perkawinan campur atau antargereja.1 Direktori
menekankan perlunya menghormati hati nurani baik pasangan Katolik maupun non-Katolik.
Pasangan Katolik diharapkan ”berjanji secara jujur untuk berbuat sekuat tenaga menjaga agar
anak-anak, buah perkawinan, dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik.” Akan tetapi, pasangan
Katolik juga mengakui bahwa pasangan non-Katolik mungkin merasakan kewajiban yang sama
terhadap Gerejanya dan oleh karena itu, mereka tidak lagi dituntut untuk mengucapkan janji
formal, entah secara lisan maupun tertulis, untuk mendidik anak-anak dalam Gereja Katolik (no.
50), sebagaimana terjadi di masa lampau. Jika meski usaha betul-betul dari pihak pasangan
Katolik, anak-anak tidak dibaptis dan dididik di dalam Gereja, pasangan Katolik tidak terkena
sanksi hukum kanonik (no. 151).
Perkawinan campur biasanya dilangsungkan di luar Perayaan Ekaristi, karena pasangan
Gereja-Gereja itu belum bersatu. Namun uskup dalam kasus-kasus tertentu dapat memberi
pengecualian pada peraturan itu (no. 159). Orang-orang Katolik, dengan alasan-alasan yang
baik, menerima dispensasi dari peraturan kawin sehingga perkawinan dapat dirayakan di dalam
Gereja (atau sinagoga) pasangan non-Katolik. Ibadat perkawinan antargereja dengan
persetujuan kedua pelayan dapat dirayakan secara ekumenis. Dalam ibadat-ibadat semacam
itu, satu pelayan mengetuai dan menerima kaul, sedang pelayan dari pihak lain dapat
membantu dengan memanjatkan doa, membaca Kitab Suci, memberi khotbah pendek, atau
memberkati pasangan. Yang dilarang adalah pasangan mengadakan dua ibadat dengan
kesepakatan bersama.
Kapan Perkawinan Putus?
Salah satu masalah yang dihadapi oleh Gereja pada saat ini adalah bagaimana menangani
secara pastoral perkawinan-perkawinan yang karena satu dan lain hal tidak jalan lagi. Tentu
saja banyak orang Katolik juga mengalami situasi yang sulit itu. Ada banyak orang Katolik yang
cerai. Dalam hal ini, Gereja menghadapi dilema dari dua nilai yang bertentangan.
Dari satu sudut, Gereja bermaksud mempertahankan dan mengajarkan nilai indissolubilitas,
ketidakdapat-diceraikannya, perkawinan pada zaman dan budaya di mana orang kawin dan
cerai tanpa pikir panjang. Ajaran Gereja tentang ketetapan perkawinan berasal dari Yesus
sendiri, yang melarang perceraian dan perkawinan kembali (Mrk 10:2-12). Meski menarik untuk
dicatat bahwa St. Paulus (1Kor 7:10-16) maupun Matius (5:32;19,1-2) mengakui adanya
pengecualian untuk larangan itu. Di pihak lain, Gereja merasakan kebutuhan untuk melayani
secara pastoral orang-orang yang mau menikah lagi sesudah perkawinan mereka gagal atau
yang kecewa perkawinannya, mereka tak diperbolehkan untuk ikut serta dalam Ekaristi.
Sebelum Konsili Vatikan II, syarat-syarat untuk pembatalan dimengerti lebih keras.
Perkawinan diakui tidak sah jika dilangsungkan dengan tidak bebas, atau jika satu pihak
menarik persetujuan untuk salah satu ”keutamaan” perkawinan seperti ketetapan atau anakanak, atau jika beberapa ”halangan” seperti ada ikatan nikah sebelumnya. Sejak Konsili Vatikan
II syarat-syarat itu dimengerti secara lebih luas. Gereja telah mengetahui dengan lebih jelas
bahwa membuat komitmen perkawinan dalam Kristus menuntut kedewasaan dan keputusan
yang hati-hati dari pihak-pihak yang terlibat. Dengan demikian, pasangan dapat diberi
pembatalan perkawinan berdasarkan ”tidak adanya pertimbangan yang seharusnya ada”.
Dewasa ini jauh lebih mudah mendapatkan pembatalan daripada di masa lampau. Tidak
perlu lagi mengajukan permohonan ke Roma, pembatalan perkawinan dapat diberikan oleh
uskup setempat. Dan jumlah pembatalan amat meningkat. Namun proses pembatalan perkawinan tidak mudah. Satu pemecahan yang dianjurkan oleh sejumlah ahli hukum dan teologi
moral adalah mengizinkan pasangan yang perkawinan keduanya menunjukkan bukti cinta yang
amat mendalam, untuk menerima Ekaristi tanpa secara resmi merayakan pernikahan kedua
mereka secara sakramental. Gereja-Gereja Ortodoks, untuk melunakkan kekerasan hukum
yang tidak dimaksudkan, mengizinkan perkawinan sesudah cerai dengan prinsip ”ekonomi”
(mirip dengan ”dispensasi” di Gereja Roma).
Gereja Katolik berusaha menanggapi secara lebih pastoral mereka yang menikah lagi
tanpa mendapatkan pembatalan. Pasangan yang melangsungkan perkawinan semacam itu
tidak perlu mendapatkan ekskomunikasi. Gereja juga tidak menyebut perkawinan-perkawinan
seperti itu sebagai ”perkawinan zina”, karena kebanyakan orang Katolik mengakui bahwa
perkawinan kedua mungkin pada suatu saat dapat menunjukkan segala tanda cinta dan
komitmen yang diharapkan dalam sakramen perkawinan, bahkan jika Gereja tidak dapat secara
resmi mengakuinya demikian.
3. Imamat
Peran imam dalam jemaat Kristiani telah amat berubah sejak Konsili Vatikan II. Sebelum
Konsili, imam menduduki tempat istimewa di dalam budaya Katolik. Pemahaman yang sakral
tentang imamat yang muncul pada Abad Pertengahan merumuskan imamat selalu eksklusif
dalam kerangka peran imam dalam Perayaan Ekaristi. Secara populer, imam dipandang
sebagai orang kudus, memiliki kekuasaan sakramental sehingga dapat mempersembahkan
korban Misa Kudus dan ”mengkonsekrasikan” Ekaristi. Imam adalah ”Kristus yang lain”.
Perannya dengan jelas dirumuskan dan dilindungi oleh budaya klerikal. Imam adalah manusia
yang dikhususkan, dipisahkan dari awam oleh pakaian dan hak istimewa klerikal, gelar
kehormatan, sistem pendidikan terpisah yang diikuti oleh anak laki-laki saja, hidup di pastoran,
bahkan bahasa yang digunakan dalam liturgi, yaitu bahasa Latin.
Dalam tahun-tahun sesudah Konsili Vatikan II, dengan tekanannya pada Gereja sebagai
Umat Allah, dan penemuannya atas konsep pelayanan yang lebih luas, konsep sakral imamat
secara luas tidak diterima. Bahkan ada yang berkata bahwa kata ”imam” pun harus dibuang
karena sejak Perjanjian Baru pelayan-pelayan jemaat tidak disebut imam-imam.2 Imamat
dimengerti dalam kerangka pelayanan dan pengabdian, bukan kekuasaan dan otoritas. Dalam
banyak hal penekanan ini penting, karena pendekatan sakral pada imamat yang berat sebelah
sebelum Konsili Vatikan II. Imam adalah pemimpin pelayan, yang dipanggil untuk pelayanan
yang rendah hati menurut teladan pelayanan Yesus. Akan tetapi, karena teologi populer cenderung menggambarkan semua orang Kristiani itu pelayan, lalu pertanyaan di mana khasnya
pelayanan imam menjadi semakin meningkat.
Pada awal tahun 1990-an, berdasarkan peran imam dalam perayaan sakramen-sakramen,
disarankan model ”perwakilan” bagi imamat. Gereja sebagai tubuh Kristus mewakili dan
membuat Kristus hadir bagi dunia, tetapi untuk itu, ”juga perlu bagi Kristus diwakili oleh tindakan-tindakan resmi Gereja sebagai Gereja”.3 Peran mewakili ini dilaksanakan oleh uskup-uskup
dan imam-imam, yang mendapat otoritas sebagai pelayan resmi Gereja oleh tahbisan mereka
dan dengan demikian dapat mewakili Kristus dalam tindakan-tindakan resmi Gereja, sakramensakramennya. Dalam bahasa yang telah menjadi tradisi sejak abad-abad awal, uskup dan imam
bertindak ”atas nama Kristus” (in persona Christi).
Atas Nama Kristus
Konsep itu didasarkan pada peran uskup sebagai pemimpin Gereja setempat. Sebagai
orang yang mengepalai jemaat, atau Gereja, dan sudah ditahbiskan, uskup atau imam
bertindak atas nama Kristus dalam sakramen-sakramen Gereja dan terutama dalam Ekaristi.
Bersamaan itu, uskup atau imam bertindak ”atas nama Gereja” (in persona ecclesiae)
berdasarkan perannya sebagai pimpinan umat yang beribadat. Imam dapat bertindak atas
nama Kristus karena ia bertindak atas nama Gereja, Tubuh Kristus. Di luar Gereja, imamat tidak
mempunyai makna. Kebanyakan imam diosesan atau sekular melaksanakan pelayanan sabda,
sakramen, dan kepemimpinan pastoral dalam Gereja, biasanya dengan mengepalai jemaat
beriman lokal, paroki. Kebanyakan imam monastik melaksanakan imamat yang terutama
bersifat kultis, ibadat, berpusat pada puji-pujian kepada Allah melalui liturgi. Imam-imam yang
menjadi anggota komunitas religius apostolik pada umumnya melaksanakan pelayanan yang
jangkauannya melampaui batas-batas Gereja lokal. Pelayanan mereka kerap lebih profetis atau
kerigmatis, karena meliputi bidang pelayanan sabda yang jauh lebih luas, memberi retret, dan
memberi bimbingan rohani, mengajar dan menulis, membaktikan diri untuk pelayananpelayanan penginjilan dan keadilan sosial.
Selibat
Kita akan membicarakan selibat, tidak nikah, demi Injil bila kita membicarakan panggilan
untuk hidup sendiri. Cukuplah di sini jika dikatakan bahwa meski selibat telah menjadi nilai
dalam hidup Kristiani sejak awal, namun selibat tidak selalu dikaitkan dengan imamat. Pada
abad-abad awal banyak imam menikah, meski cukup banyak yang memilih selibat. Di Gereja
Timur berkembang tradisi bahwa uskup harus selibat, sebagian besar karena praktek pemilihan
uskup diadakan di antara para rahib. Tradisi itu masih berlangsung sampai sekarang. Uskup
harus selibat. Akan tetapi, baik Gereja Ortodoks Timur maupun Gereja Katolik Timur
menahbiskan pria yang sudah menikah.
Di Barat, tradisi wajib selibat berkembang lambat. Pada abad ke-4 dan ke-5 berbagai konsili
lokal – di Spanyol (Elvira, 306), Afrika (Cartago, 390, 419), Italia (Turino, 398), dan Prancis
(Orange, 441) – berusaha menuntut pantang seks pada imam-imam yang menikah. Caloncalon untuk tahbisan harus mengucapkan kaul kemurnian. Akan tetapi, banyak imam terus
menikah dan mempunyai anak meski diprotes Paus-Paus dan perundang-undangan sinoda dan
Konsili. Nikolas II (1059) berusaha mencegah umat menghadiri Misa yang dirayakan oleh
imam-imam yang menikah. Konsili Lateran I (1123) menetapkan selibat menjadi wajib bagi
mereka yang mendapat tahbisan besar. Konsili Lateran II (1139) menyatakan bahwa
perkawinan klerus tidak berlaku. Sejak itu selibat merupakan kewajiban dan berlaku umum di
Gereja Barat.
Perlu dicatat bahwa selibat merupakan perkara disiplin Gereja, bukan ajaran, sebagaimana
diakui oleh Konsili Trente (DS 1809). Meski, jika dilakukan secara bebas, selibat dapat
merupakan tanda kerajaan, namun tidak intrinsik untuk panggilan menjadi imam diosesan.
Dengan demikian menurut pikiran dapat diubah. Namun bagi imam-imam religius (biarawan)
yang hidup di dalam komunitas dan mengucapkan kaul nasihat Injili kemiskinan, kemurnian,
dan ketaatan, selibat merupakan hal yang intrinsik bagi panggilan mereka. Baik Paus Paulus VI
maupun Yohanes Paulus II telah dengan tegas meneguhkan tradisi selibat bagi klerus,3
meskipun banyak orang Katolik dewasa ini menyatakan bahwa apa yang merupakan karisma
bebas, jangan dijadikan masalah hukum Gereja terutama berdasarkan kenyataan bahwa jumlah
calon untuk tahbisan yang tidak menikah terus berkurang. Di masa lampau imamat telah
mengambil sejumlah bentuk yang berbeda-beda. Bentuk dan ungkapan apa yang akan terjadi
di masa depan masih perlu dilihat.
Imamat Dewasa Ini
Memaklumkan Injil berhadapan dengan sekularisasi yang semakin meluas dan
ketidakacuhan keagamaan, bersaksi tentang dimensi sosialnya berhadapan dengan kemiskinan
yang menghancurkan, yang menimpa sedemikian banyak manusia dewasa ini, dapat berbagi
pengalaman iman pribadi dengan orang-orang lain yang bergulat dengan iman mereka sendiri
merupakan bagian tantangan menjadi imam dewasa ini.
Bagaimana imam berbicara dengan orang tua yang telah kehilangan anak atau ada dalam
bahaya kehilangan anak karena mereka tidak dapat lagi berkomunikasi dengannya?
Bagaimana ia membantu
orang tua yang bingung untuk menerima dan mencintai anak yang
homo atau memberitahukan bahwa ia positif terkena virus HIV? Bagaimana ia dapat
menjangkau wanita yang terluka dan terasing karena merasa didiskriminasi oleh Gereja dan
menemukan peran yang bermakna di dalam Gereja? Bagaimana ia dapat menolong anggotaanggota masyarakat yang telah berumur agar menjadi damai dengan kekuatan mereka yang
menurun atau malah tak mempunyai kemampuan lagi? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu
lebih mudah diajukan daripada dijawab, tetapi pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang
dihadapi imam-imam dewasa ini.
Imam hanya dapat membantu jika mudah dihubungi. Ia tidak dapat menyembunyikan diri di
belakang status atau perannya. Zaman pada waktu imam menjadi orang di Paroki yang paling
terdidik sudah berlalu. Gambaran tentang imam sebagai ”manusia yang terpisah” tidak amat
membantu pada zaman sekarang ini. Juga budaya klerikal yang mendirikan penghalangpenghalang di antara imam dan umat tidak lagi pada tempatnya. Imam hanya dapat
menjalankan peran kepemimpinan di antara umat jika ia menjadi bagiannya, terlibat dengan
para anggotanya. Ini nyata sekali pada waktu ia memimpin Ekaristi.
Ekaristi menjadi pusat pelayanan imam, karena umat yang dilayani imam, diciptakan dan
dilestarikan oleh Ekaristi. Melalui perayaan Ekaristi umat menjadi Gereja, sedang imam
berdasarkan kesatuannya dengan uskup melambangkan dan melestarikan umat lokal dan
kesatuan Gereja di seluruh dunia. Pada waktu imam memimpin Ekaristi, hakikat Gereja yang
satu, kudus, katolik, dan apostolik diungkapkan.
Pada akhirnya, imamat merupakan panggilan, bukan karier. Mereka yang menjadi imam
dengan pemikiran bahwa imamat itu memberi mereka keamanan, status, atau kemajuan diri
akan kecewa. Doa merupakan hal yang amat penting dalam hidup imam. Orang-orang Katolik
mengharapkan agar imam mereka menjadi manusia pendoa agar mereka dapat melaksanakan
pelayanan mereka dengan tulus dan kedalaman rohani yang cukup. Jika dihayati dengan
benar, imamat merupakan ungkapan dari kemuridan Kristiani – bukan satu-satunya, tetapi pasti
dekat sekali dengan imamat Petrus, Andreas, Yakobus, Yohanes dan murid-murid lain yang
dipanggil oleh Yesus untuk menjadi sahabat Yesus dan ikut serta dalam pelayanan-Nya.
4. Komunitas Kristiani dan Hidup Religius
Sejak abad-abad awal Gereja, sejumlah pria dan wanita telah berusaha menanggapi
panggilan Injil untuk menjadi murid Yesus dengan hidup bersama orang-orang Kristiani lain
dalam komunitas yang dibentuk untuk doa, pelayanan Injil, dan pelayanan Kristiani. Lambat
laun, beberapa komunitas itu menjadi ordo atau kongregasi religius, komunitas rahib atau
rubiah, imam, bruder, atau suster yang hidup bersama dan mengikat diri mereka dengan
nasihat Injil ”kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan.” Ada juga komunitas orang awam yang para
anggotanya hidup dan melaksanakan pelayanan bersama. Ada juga lembaga-lembaga sekular
yang diakui secara kanonik, perkumpulan pria atau wanita yang mengucapkan kaul religius
tradisional secara pribadi dan ”terus” melanjutkan hidup di dunia dan tidak di dalam komunitas
religius.
Monastisisme
Gereja telah selalu mengakui berbagai kelompok, atau ordo,
orang-orang Kristiani yang
menghayati nilai-nilai Injil dengan cara khusus. Gereja awal menghormati wanita-wanita yang
mempersembahkan keperawanan mereka dan martir-martir yang mengorbankan hidup mereka
demi iman sebagai ungkapan kemurnian mereka. Pada abad ke-3 dan ke-4, pada waktu hidup
Kristiani tidak hanya menjadi legal tetapi juga dihormati dan tidak jarang hidup makmur, banyak
pria dan wanita pergi meninggalkan kota untuk mencari Allah dalam keheningan padang pasir.
Mereka kemudian dipanggil ”rahib”, karena mereka hidup sendiri (monos).
St. Antonius dari Mesir, seorang pertapa (heremios berarti ”mendatangi padang pasir” atau
”sendirian”) abad ke-3, dianggap sebagai bapa monastisisme. Bahkan jika ia bukan rahib yang
pertama, kisahnya, Hidup Antonius, yang ditulis oleh St. Athanasius (meninggal tahun 373)
memberi inspirasi ribuan orang untuk mengikuti teladannya. Pria dan wanita itu, yang mengikuti
nasihat Injil, melepaskan segala harta bendanya, menjalani hidup selibat, dan kerap menjanjikan ketaatan terhadap guru, bapa rohani (abbas) atau ibu rohani (amma).
Meski ada ribuan rahib yang hidup di padang pasir sebagai pertapa, pada waktu Antonius
meninggal (± 356), banyak dari mereka hidup dalam tempat-tempat tinggal yang dibangun di
seputar bangunan untuk keperluan bersama. Pachomius (± 292-346) menyatukan sejumlah
pertapa dari tempat-tempat tinggal kecil itu menjadi komunitas atau biara monastik, yang
anggota-anggotanya hidup dalam komunitas dan mengadakan doa bersama, bekerja tangan,
dan kemudian belajar bersama di bawah bimbingan seorang pemimpin. Basilius dari Kaisarea
(± 330-379) membuat gambaran singkat tentang cara hidup yang memperlunak askese pribadi
dengan penekanan pada kasih dan karya amal. Regulae-nya (peraturan-peraturan) membantu
pemantapan gerakan monastik dalam Gereja. Evagrius dari Pontus (349-399) ikut mengembangkan spiritualitas monastik dengan membagi hidup rohani menjadi dua tahap: hidup
”aktif” yang berkaitan dengan pembersihan indra dan perolehan keutamaan, dan hidup ”kontemplatif”, semacam doa yang diatur untuk mendapatkan ketenangan budi dan
mengasingkannya dari gangguan-gangguan supaya rahib dapat bersatu dengan Allah.
Monastisisme juga berkembang di Gereja Barat. Di Roma, ada pria dan wanita yang hidup
di semacam monastisisme kota pada awal abad ke-4. Orang-orang yang askese (dari kata
Yunani askeis, yang digunakan untuk latihan olah raga) menjalani hidup selibat dan membaktikan diri untuk mempelajari Kitab Suci dan berdoa. Terutama bagi wanita, hidup monastik
memberi kemungkinan bentuk hidup lain daripada pernikahan dan memberi pembebasan dari
peran yang didiktekan oleh budaya mereka. Martinus dari Tours (317-397) dan Yohanes
Casianus (± 360-435) membawa hidup monastik ke Prancis. Dari sana, rahib misionaris
membawanya ke kepulauan Inggris, terutama Irlandia, di mana tumbuh monastisisme Celtik
yang unik dan membentuk Gereja Irlandia selama berabad-abad.
Nama tokoh yang paling terkenal dalam monastisisme Barat adalah Benediktus Nursia
(480-550). Berturut-turut, Benediktus adalah pelajar di Roma, pertapa di Subiaco, dan pendiri
komunitas rahib di Monte Casino. Ia menulis Regulae-nya yang terkenal, yang menetapkan
pola monastisisme Barat. Regulae itu seimbang dengan berusaha mengintegrasikan hidup doa
dan bekerja, kesendirian dan kebersamaan, tanggung jawab pribadi dan otoritas.
Para rahib hidup dalam komunitas yang praktis mandiri di bawah bimbingan Abbas.
Bangunan-bangunan, gereja, tempat tidur, rapat komunitas, dan kamar makan dibangun
mengelilingi kebun terbuka, atau kloster. Rahib-rahib bekerja, belajar, berjalan-jalan di jalanjalan tertutup, yang membentuk sisi kloster. Hari mereka dibagi menjadi tiga bagian. Tujuh kali
sehari mereka berkumpul di gereja untuk ibadat monastik, yang dikenal dengan nama opus Dei
(ofisi Ilahi) dengan menyanyikan mazmur untuk memuji Allah. Beberapa jam sehari digunakan
untuk membaca sambil merenungkan Kitab Suci (lectio divina) yang menghidupi doa mereka.
Akhirnya, enam atau tujuh jam digunakan untuk kerja tangan (labora) guna mendukung hidup
mereka.
Pada awal Abad Pertengahan, biara-biara menyediakan jaringan pelayanan
kemasyarakatan yang penting. Mereka menyediakan penginapan bagi orang-orang yang
mengadakan perjalanan, dan makanan serta pakaian dan perlindungan bagi orang-orang
miskin. Biara menjadi pusat belajar dan seni. Banyak keluarga mengirimkan anak mereka untuk
hidup di biara-biara untuk mendapat pendidikan. Bersamaan dengan itu, tidak selalu mudah
mempertahankan idealisme yang menjadi pangkal yang menarik orang-orang untuk hidup monastik. Bila kita mempelajari sejarah monastik, pola-pola yang sama terjadi. Cara hidup yang
mulai sebagai komunitas yang mencari
Allah dalam keheningan, kemiskinan, dan
penyangkalan diri secara bertahap menjadi mapan, terjamin dan makmur. Selibat menjadi faktor di sini. Karena rahib-rahib tidak mempunyai anak-anak untuk mewarisi kekayaan yang
dihasilkan oleh usaha mereka, komunitas monastik sendiri sedikit demi sedikit mempunyai harta
bersama. Banyak biara Benediktin menjadi cukup kaya.
Akan tetapi, kelompok-kelompok baru muncul untuk mulai lagi dengan mencari melalui
keheningan dan doa, Allah yang tersembunyi yang dirindukan hati manusia. Romualdus dari
Ravenna (± 950-1027) dan Bruno dari Koeln (1032-1101) membantu mendirikan komunitaskomunitas pertapa yang baru. Romualdus mendirikan Camaldolese, yang namanya diambil dari
pertapaan di Camaldoli di pegunungan Tuscan. Bruno membantu mendirikan Kelompok
Kartusia yang menyebut biara mereka di Prancis Alp La Grande Chartreuse. Di Prancis, sekelompok rahib meninggalkan biara mereka di Solesmes pada tahun 1098 dengan harapan
untuk memulihkan hidup doa dan kerja yang sederhana yang menjadi ciri regulae St.
Benediktus. Mereka memilih daerah yang terpencil untuk biara-biara mereka, mengembalikan
liturgi Benediktin yang sudah dikembangkan ke bentuk dasarnya, dan berusaha membuang dari
gereja-gereja mereka yang penuh seni, patung, kaca-kaca dan menara-menara Benediktin
yang besar-besar. Dikenal dengan nama kelompok Cisterciensis, dari biara baru mereka di
Citeaux (Cistercium), ”Rahib-rahib Putih” menjadi ordo monastik yang paling berpengaruh pada
abad ke-12. Kelompok Cisterciensis juga ada di Indonesia, yaitu di Rowoseneng, Temanggung,
Jawa Tengah.
Komunitas Injili dan Ordo Apostolik
Dalam huru-hara dan pergolakan yang mengubah hidup dan peta Eropa pada abad ke-12
dan ke-13, komunitas-komunitas baru yang dipengaruhi oleh kebangkitan injili yang melanda
Eropa muncul. Komunitas-komunitas itu berusaha menjalani kemiskinan injili dan pewartaan
apostolik menurut model Injil dalam budaya kota yang makin berkembang.
Banyak dari komunitas-komunitas itu merupakan gerakan awam. Beberapa di antaranya
seperti Humiliati, Kaum Waldenses, dan
orang-orang Katolik miskin merupakan komunitas
campur pria dan wanita. Yang lain, komunitas-komunitas wanita seperti Beguines dapat
dipandang sebagai mewakili untuk pertama kali gerakan wanita sejati dalam Gereja. Usahausaha komunitas-komunitas untuk mengembangkan dan menjalani spiritualitas awam
berdasarkan Injil menimbulkan ketegangan antara mereka dan Gereja resmi, terutama tentang
masalah khotbah oleh kaum awam. Beberapa, seperti kaum Waldenses, pada akhirnya
menyeleweng dan memisahkan diri dari Gereja.
Komunitas-komunitas lain menjadi ordo religius baru, yang paling terkenal adalah
Fransiskan dan Dominikan. Dominikus Guzman (1172-1221) seorang kanon katedral Diosis
Osma di Spanyol. Ordonya berkembang dari sekelompok misionaris yang bergabung dengannya dalam pelayanan khotbah melawan kaum Albigens di Prancis selatan. Fransiskus Assisi
(1182-1226) adalah seorang anak pedagang kain Italia yang kaya. Sesudah pengalaman
pertobatan yang terjadi selama beberapa tahun, Fransiskus mengumpulkan sekelompok teman
dan bersama kelompoknya mulai berkeliling daerah Umbria, berkhotbah di alun-alun kota,
bekerja bersama petani-petani di ladang, dan meminta-minta untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri.
Baik Dominikus maupun Fransiskus tergerak oleh semangat Injil baru yang mempengaruhi
sekian banyak orang sezamannya. Pengertian komunitas apostolik, bebas pergi ke manapun
dibutuhkan, mewartakan Injil di kota-kota kecil dan di kota-kota besar, hidup dalam kemiskinan
dan kesederhanaan, tidak berasal dari kedua orang itu. Sesungguhnya, pada awalnya
komunitas mereka kadang-kadang tak terbedakan dari komunitas-komunitas yang lebih radikal
dan menyimpang ajarannya. Dominikus dan beberapa teman awalnya berjalan dengan
telanjang kaki sampai Konsili Konstanz memerintahkan agar mereka mengenakan sepatu untuk
membedakan pengkhotbah-pengkhotbah yang sejati dan bidaah yang menyamakan hak untuk
berkhotbah dengan berjalan dengan kaki telanjang. Orang-orang Fransiskan awal kerap kali
secara keliru dianggap sebagai anggota-anggota persaudaraan penginjil lain yang dicurigai,
terutama kaum Waldenses yang telah dihukum, dan karena kurangnya mereka akan
pendidikan, menjadi peluang bagi beberapa untuk menerima pandangan-pandangan bidaah
bagi mereka sendiri.
Akan tetapi, baik Dominikus dan Fransiskus berhasil menemukan jalan untuk memasukkan
visi tentang hidup apostolik mereka ke dalam struktur hidup Gereja. Teman-teman Dominikus
membentuk komunitas klerikal sejak awal, yang dibantu oleh para Bruder dan ”ordo kedua”,
sekelompok wanita yang beberapa di antaranya bertobat dari kaum Albigens. Paus Honorius III
mengakui komunitas Dominikus sebagai Ordo Praedicatorum (Ordo Para Pengkhotbah) pada
tahun 1217. Fratres minores (saudara-saudara dina) Fransiskus pada awalnya komunitas
awam, menjadi semakin klerikal untuk menyesuaikan penekanan mereka pada khotbah.
Fransiskus menulis beberapa Regulae sebelum Regula Bullata (Regula Kedua) disetujui oleh
Paus Honorius III
pada tahun 1223. Tampaknya, Fransiskus sendiri ditahbiskan
menjadi diakon.
Fransiskan wanita, yang dipimpin oleh teman Fransiskus, Clara, berusaha menjalani hidup
yang sama yang dijalani oleh saudara-saudara dina, terutama dalam melayani orang miskin,
tetapi tahap demi tahap mereka diharuskan menerima kewajiban hidup membiara yang
menghilangkan gaya apostolik mereka. Gereja tidak cukup siap untuk menerima komunitas
apostolik wanita. ”Clara-Clara yang miskin” menjadi komunitas monastik kontemplatif.
Komunitas-Komunitas Sesudah Reformasi
Meskipun Reformasi pada abad ke-16 merupakan pukulan berat bagi hidup religius di
Eropa, semangat perubahan yang dibangkitkan dalam Gereja Katolik melahirkan sejumlah
komunitas religius baru. Di Spanyol, Teresia Avila dibantu oleh Yohanes dari Salib, melaksanakan pembaruan di kalangan Karmelit untuk menghidupkan lagi hidup kontemplatif. Pada tahun
1526, pembaruan di kalangan Fransiskan menghasilkan kelompok Kapusin. Abad ke-16
juga menyaksikan pendirian sejumlah komunitas imam, ”clerus regularis” seperti Theatin
(1524), Somaschi (1528), Barnabit (1533) dan Piaris (1597).
Mungkin yang paling berhasil di antara komunitas-komunitas baru religius pria itu adalah
Serikat Yesus, atau Yesuit, sekelompok mantan mahasiswa Universitas Paris yang dipimpin
oleh Ignasius Loyola. Cara hidup mereka berbeda dari cara ordo-ordo religius zaman itu.
Mereka tidak mempunyai pakaian khusus, tak ada puasa dan mati raga yang diwajibkan, tidak
ada doa koor – lepas dari tradisi secara radikal. Hidup religius ”teman-teman dalam Tuhan” itu
tidak didasarkan atas peraturan melainkan pada pengalaman bersama dari Exercitia Spiritualia
(Latihan Rohani), serangkaian pertimbangan dan renungan atas Injil yang dimaksudkan untuk
membimbing orang ke dalam hubungan baru dengan Allah, yang telah berkembang dari doa
Ignasius selama berbulan-bulan di Manresa pada tahun 1522. Cara hidup mereka disetujui
pada tahun 1540 pada waktu Paus Paulus II menyetujui Formula Instituti yang ditulis oleh
Ignasius. Pada waktu Ignasius meninggal pada tahun 1556, Yesuit-Yesuit bekerja sebagai
misionaris di India, Jepang, dan Afrika, serta membimbing 46 kolese.
Pada abad-abad sesudah Reformasi, berturut-turut muncul komunitas-komunitas religius
pria dan wanita. Vincensius Paulo mendirikan kelompok Lazaris pada tahun 1663 dan bersama
Louise de Marillac membentuk Suster-suster Kasih untuk melayani orang-orang sakit dan
miskin. Yohanes Baptista dari sales membentuk Bruder-Bruder Kristiani pada tahun 1681 untuk
mendidik anak-anak buruh. Abad ke-18 menyaksikan berdirinya kelompok Pasionis (1725) dan
Redemptoris (1735). Sekitar 65 kongregasi dan serikat imam didirikan pada abad ke-19.
Meski wanita beriman telah berusaha membaktikan diri untuk karya amal dan kerasulan
bahkan sebelum zaman St. Clara, mereka harus berjuang melawan Gereja yang tidak dapat
membayangkan religius wanita hidup di dalam komunitas, tanpa perlindungan praktek hidup
monastik seperti pakaian khusus, tempat tersendiri, biara dan koor. Suster-Suster Ursulin yang
didirikan oleh Angela Merici pada tahun 1535 mulai sebagai komunitas religius wanita yang
tidak tinggal di biara. Pada awalnya, wanita-wanita itu hidup di keluarga bersama keluarga
mereka, tetapi tahap demi tahap mereka dituntut untuk hidup dalam komunitas yang semakin
menjadi monastik. Sama halnya dengan Suster-Suster Visitasi, yang didirikan oleh St.
Fransiskus dari Sales dan Jean Frances de Chantal di Prancis pada tahun 1610. Mereka mulai
sebagai komunitas yang membaktikan diri untuk merawat
orang sakit, tetapi tak lama
kemudian diubah menjadi Ordo Suster-suster berklausura tertutup yang ketat. Lebih dari 400
kongregasi religius apostolik wanita didirikan di Prancis antara tahun 1800 dan 1880. Dari
komunitas-komunitas wanita yang membaktikan diri itu – komunitas-komunitas seperti SusterSuster Belas Kasih, Suster-Suster
St. Yosef, Suster-Suster Hati Maria Tak Bercela, –
muncul Suster-Suster yang membuat pelayanan sosial dan pendidikan Gereja menjadi konkret
bagi jutaan manusia di dunia. Mereka melaksanakan karya misioner, berkarya di rumah sakit
dan sekolah, merawat orang sakit, anak yatim piatu, orang tua dan orang yang tak beruntung.
Komunitas-Komunitas Religius Baru
Dorongan untuk hidup komunitas Kristiani masih tetap kuat pada abad ke-20. Komunitaskomunitas baru muncul, baik awam maupun religius, yang berusaha membuat cara hidup para
anggotanya berakar dalam Injil.
Suster-Suster dan Bruder-Bruder kecil mendapatkan inspirasinya dari Charles de Foucauld,
rahib-pertapa Prancis yang hidup di antara orang Berber di Tamanrasset di Sahara yang
berusaha membentuk hidup mereka menurut teladan hidup sembunyi Yesus di Nazaret.
Foucauld dibunuh pada tahun 1916 oleh anak suku berumur 16 tahun. Teladan
kesetiakawanannya dengan orang miskin mempengaruhi sejumlah komunitas religius sezaman.
Suster-Suster dan Bruder-Bruder berusaha menghayati hidup bersama orang miskin, bekerja
seperti orang-orang biasa di pabrik-pabrik, ladang-ladang pertanian, dan toko-toko, dan kembali
pada sore harinya ke komunitas mereka untuk berdoa selama satu jam di hadapan Sakramen
Mahakudus. Mereka adalah kontemplatif yang biaranya adalah dunia sehari-hari orang miskin.
Jauh lebih dikenal adalah komunitas-komunitas Ibu Teresa, Misionaris Kasih (The
Missionaries of Charity). Para Suster Misionaris Kasih menjalani kemiskinan yang keras dan
mengucapkan kaul keempat: kasih. Aktivitas harian mereka dimulai kira-kira pukul 04.30 pagi
dengan renungan dan Misa Kudus dan seluruh hari diisi dengan merawat ”orang-orang yang
paling miskin dari antara orang miskin.” Bruder-Bruder Kasih, meski jumlahnya lebih kecil,
mengikuti hidup religius yang sama. Sesudah meditasi dan Misa, mereka pergi melaksanakan
karya kasih dan kembali pada sore harinya untuk Doa Sore dan meditasi di hadapan Sakramen
Mahakudus. Misionaris Kasih bukan satu-satunya komunitas modern yang melayani orang
miskin. Banyak komunitas religius pria dan wanita terlibat dalam pelayanan yang serupa.
Mereka menjadi anggota staf paroki-paroki di tengah kota, menjalankan tempat-tempat
perlindungan dan rumah-rumah penginapan dan menyediakan jaringan-jaringan pelayanan bagi
orang-orang yang tidak beruntung.
Hidup Religius Sesudah Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II menyerukan dua pembaruan hidup religius:
”(1) pengacuan
terus-menerus kepada sumber-sumber seluruh hidup Kristiani serta inspirasi tarekat yang mulamula dan (2) penyesuaiannya dengan kenyataan zaman yang sudah berubah” (PC 2). Dalam
tahun-tahun selanjutnya, hidup religius sangat berubah, baik dalam penampilan maupun dalam
pemahamannya.
Perubahan-perubahan itu kebanyakan menyangkut hal-hal luar, lahiriah. Bagi cukup
banyak komunitas religius aktif pria dan wanita, pakaian biara, hidup harian, devosi-devosi yang
dituntut, mati raga lahir, peraturan-peraturan yang membatasi, biara dan lambang-lambang luar
lain yang dulu menjadi ciri-ciri hidup religius lenyap. Komunitas-komunitas religius memangkas
banyak praktek yang sudah dijalani selama berabad-abad.
Perubahan-perubahan lain lebih menyangkut hakikatnya. Tantangan untuk kembali ke
sumber ternyata berbuah banyak. Komunitas-komunitas monastik mulai menemukan dimensi
kontemplatif panggilan mereka. Banyak komunitas berpikir kembali tentang pemisahan antara
anggota-anggota komunitas yang ditahbiskan dan yang tidak ditahbiskan, dan pengandaian
umum bahwa rahib haruslah imam. Komunitas-komunitas apostolik berusaha menemukan
karisma para pendiri mereka. Para Fransiskan memusatkan perhatian pada kesederhanaan
hidup St. Fransiskus dan kesetiaan kawanannya dengan
orang miskin. Para Yesuit menemukan kembali retret yang dibimbing secara pribadi, yaitu cara para Yesuit awal untuk memberi
Latihan Rohani. Bagi kebanyakan komunitas religius wanita, kembali ke sumber berarti menemukan kembali fleksibilitas asli yang telah lenyap karena hidup mereka telah dimonastikkan
oleh Gereja. Mereka meninjau kembali konstitusi dan pelayanan-pelayanan mereka. Banyak
komunitas, diilhami Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini yang dikeluarkan
Konsili untuk membaca ”tanda-tanda zaman” (GS 4), mulai lebih mengarahkan energi mereka
demi keadilan sosial dan pelayanan kaum miskin.
Bagi kebanyakan komunitas religius, proses pembaruan memakan banyak biaya. Pada
waktu komunitas-komunitas meninjau kembali arti hidup religius, beberapa ”mitos” dan dasar
pemikirannya ditafsirkan kembali. Selama berabad-abad, hidup religius dikatakan lebih tinggi
dari panggilan awam. Hidup religius digambarkan sebagai ”status kesempurnaan” dan
dipandang ”secara objektif lebih tinggi”. Terlalu kerap pengudusan diri dijadikan tujuan
utamanya, sedang pelayanan atau pengabdian dipandang nomor dua. Bagi beberapa religius,
penekanan Konsili bahwa semua orang Kristiani dipanggil ke kesucian, dianggap meniadakan
salah satu alasan utama untuk menjalani hidup religius. Dalam dasawarsa sesudah Konsili,
ribuan religius meninggalkan komunitas mereka. Selama 30 tahun ”jumlah kaum religius merosot 45% bagi Bruder dan Suster dan 27% bagi imam religius.”5 Beberapa komunitas mungkin
akan lenyap dan bergabung dengan komunitas lain.
Jika proses pembaruan menyakitkan, proses itu juga merupakan pembaruan dan
pembersihan yang sejati. Hidup religius akan tetap hidup sebagaimana pada zaman-zaman
kacau dan perubahan dalam Gereja, tetapi komunitas religius mungkin pada pertengahan abad
20 tidak akan besar jumlahnya. Dewasa ini ada banyak sekali ungkapan menjadi murid Kristus
dan pelayanan, terutama bagi wanita.
Komunitas-komunitas religius dewasa ini menghadapi sejumlah tantangan. Komunitaskomunitas akan terus bergulat menemukan keseimbangan antara individu dan komunitas,
spontanitas dan struktur, kesetiaan kepada tradisi dan penyesuaian. Mereka harus menemukan
cara untuk bersaksi tentang hidup yang sederhana di tengah zaman kemewahan. Mereka perlu
menarik anggota-anggota baru. Akan tetapi, mereka juga diteguhkan oleh penekanan baru
pada komunitas, penghargaan baru pada doa dan kontemplasi, dan kerelaan baru untuk
keadilan sosial dan kesetiakawanan pada kaum miskin dalam sejarahnya. Gereja diperkaya
oleh adanya komunitas-komunitas religius bukan karena cara hidup mereka lebih tinggi atau
lebih sempurna dari cara hidup orang Kristiani lain, tetapi keberadaan komunitas-komunitas itu
melambangkan keunggulan Injil dan menjadi murid Yesus yang menjadi panggilan semua
orang Kristiani.
Komunitas-Komunitas Awam
Abad ke-20 juga menyaksikan munculnya berbagai komunitas awam di mana pria dan
wanita, baik hidup sendiri maupun berkeluarga, berjuang untuk menjalani hidup menjadi murid.
Komunitas Pekerja Katolik telah memberi makan dan memberi pakaian orang-orang miskin dan
para gelandangan di kota-kota dan bekerja demi keadilan sosial sejak tahun 1933. Waktu itu
Dorothy Day dan Peter Maurin mulai menerbitkan Catholic Worker (Pekerja Katolik), surat kabar
radikal Katolik di kota New York. Sejak itu, dapur umum dan rumah-rumah penampungan telah
menjadi ciri banyak kota besar di Amerika Serikat. Sekarang ini di Amerika Serikat ada 80
komunitas Pekerja Katolik.
L’Arche (yang berarti bahtera), gerakan yang didirikan oleh Jean Vanier di Trosly-Breuil,
Prancis tahun 1964, menyediakan rumah-rumah bagi orang-orang yang terlambat
perkembangannya. Di rumah-rumah itu, mereka dapat hidup di dalam komunitas bersama
dengan pria dan wanita normal, yang disebut ”assistant” (”pembantu”) yang membaktikan
hidup mereka untuk merawat orang-orang malang itu. Komunitas-komunitas alternatif itu
menjalani cara hidup yang terpusat pada doa dan Ekaristi. Spiritualitas mereka berdasar Sabda
Bahagia Yesus, yang menyamakan diri dengan orang miskin dan orang yang menderita.
Mereka yang bergabung dengan l’Arche mengetahui bahwa jika kita membuka diri terhadap
orang miskin dan malang, kita mengetahui kehadiran Kristus dan mengalami kedamaian-Nya.
Dewasa ini ada lebih dari 100 komunitas l’Arche di seluruh dunia. Beberapa di antaranya
adalah ekumenis dan antar penganut agama.
Di banyak negara Dunia Ketiga dewasa ini, kelompok-kelompok kecil orang Kristiani, kerap
kali tetangga dan kebanyakan miskin, membentuk Komunitas basis Kristiani. Para anggota
berkumpul setiap minggu untuk berbagi keprihatinan dan iman. Kitab Suci mendapat perhatian
utama dalam Komunitas Kristiani Basis. Para anggota merenungkan teks Kitab Suci untuk
menyoroti pengalaman hidup mereka dengan Sabda Allah yang hidup. Komunitas-komunitas
Kristiani Basis membantu memberdayakan orang-orang miskin dan mengembangkan kelompok
baru pemimpin pastoral yang efektif dari masyarakat bawah (di Amerika Latin banyak pemimpin
pastoral itu adalah wanita). Mereka telah berbuat banyak untuk memperbarui Gereja.
Komunitas-komunitas Perjanjian mengambil asalnya dari gerakan pembaruan karismatik,
yang mulai di dalam Gereja Katolik tak lama sesudah Konsili Vatikan II. Gerakan itu terdiri dari
kelompok-kelompok orang Kristiani yang terlibat satu sama lain dalam berbagi hidup beriman.
Berdasarkan Kisah Para Rasul 2:42-47, para anggota sepakat untuk berbagi hidup, iman, dan
biasanya sumber keuangan mereka. Mereka biasanya berkumpul setiap hari untuk sejenak
berdoa bersama. Komunitas Perjanjian kuat di Amerika Serikat dan di Prancis. Di Prancis
pembaruan karismatik mungkin telah menjadi kekuatan utama untuk pembaruan Gereja.
Mereka telah menolong banyak
orang Kristiani, Katolik dan non-Katolik, untuk
mengembangkan gambaran Allah yang lebih penuh kasih dan merasa nyaman dengan gaya
doa yang lebih spontan dan efektif.
5. Hidup Sendiri, Tidak Menikah
Hidup sendiri, tidak nikah, juga dapat merupakan panggilan, yaitu, panggilan dari Allah
untuk menjadi murid dan melayani. Banyak pria dan wanita di dalam Gereja yang hidup sendiri,
entah karena pilihan atau keadaan.
Meski selibat pada umumnya tidak dihargai dalam Perjanjian Lama, gagasan untuk
melepaskan hidup perkawinan demi Kerajaan Allah jelas merupakan nilai Injil. Yesus sendiri
menjadi contoh utama untuk hidup sendiri yang dibaktikan itu, dan Ia mengajarkan bahwa
orang-orang lain dipanggil untuk melepaskan perkawinan ”demi Kerajaan Surga” (Mat 19:12).
Ungkapan ”demi Kerajaan Surga” merupakan kunci. Hidup sendiri dapat dipilih berdasarkan
berbagai alasan demi keenakan diri. Orang dapat memilih hidup sendiri karena ia tidak mau
bertanggung jawab atas hidup perkawinan, atau takut keintiman dan keterlibatan, atau
memungkinkan gaya hidup yang terpusat pada diri dan kebutuhan-kebutuhan sendiri.
Memilih selibat demi Kerajaan Surga berarti bahwa hidup sendiri tanpa nikah menjadi
ungkapan hidup yang diserahkan demi cinta kepada Allah dan secara khusus membagi kasih
itu kepada orang lain. Paulus mencerminkan pemahaman itu pada waktu ia membicarakan
perkawinan dan hidup sendiri tanpa nikah sebagai karisma, kurnia Roh demi pembangunan
Gereja (1Kor 7:7). Bagi sementara orang, hidup sendiri berarti hidup sebagai pertapa,
dibaktikan untuk kontemplasi, doa, dan keheningan. Bagi yang lain, hidup sendiri dapat diungkapkan melalui pelayanan dan pengabdian di dalam Gereja. Hidup sendiri mungkin juga
mencerminkan keterlibatan yang mendalam pada kurnia yang telah diterima dan dapat
digunakan untuk memuliakan Allah dan membantu umat-Nya. Di luar orang-orang yang
dipanggil untuk hidup religius, dalam sejarah Kristiani ada banyak contoh pria dan wanita yang
telah memilih hidup sendiri untuk membaktikan diri pada seni, musik, studi, teologi, kedokteran,
perawatan, pendidikan atau keadilan sosial – bukan hanya sebagai minat atau karier melainkan
sebagai ungkapan iman dan menjadi murid.
Bagaimana dengan mereka yang hidup sendiri tidak nikah bukan karena pilihan melainkan
karena keadaan? Ada banyak orang yang ingin menikah tetapi tidak dapat menemukan
pasangan. Yang lain kehilangan pasangan karena mati, pisah atau cerai. Bagi sementara
orang, perkawinan tidak dapat mereka jadikan pilihan karena tidak mampu, orientasi seks atau
keadaan fisik. Ini tidak menyarankan bahwa perkawinan adalah normal dan hidup sendiri
merupakan gaya hidup kelas dua, tetapi untuk mengakui bahwa kadang-kadang impian-impian
kita tidak dapat diwujudkan. Di antara kita tak ada orang yang bebas sebebas-bebasnya dan
pilihan-pilihan kita kerap terbatas. Dengan demikian, panggilan dapat dipeluk maupun dipilih.
Yang paling penting adalah bahwa orang menanggapi kehadiran Allah yang penuh rahmat
dan panggilan-Nya untuk hidup bersatu mesra dalam keadaan hidupnya yang konkret dan
khusus. Di sinilah terutama bidang-bidang pilihan terbuka. Kita dapat tetap tertutup pada diri
sendiri dan merasa sakit hati karena peristiwa-peristiwa hidup dan keadaan dalam hidup kita
tidak dapat kita kendalikan. Kita dapat berusaha mengisi kekosongan kita dan kesendirian yang
merupakan bagian hidup setiap orang dengan harta milik atau kekuasaan atas orang-orang lain
dan mengumbar berbagai macam kesenangan. Kita dapat membuka diri terhadap Allah yang
selalu bersama kita untuk menarik harapan dari kekecewaan, kebaikan dari keburukan, hidup
dari kematian. Justru di sinilah masing-masing di antara kita harus menjumpai salib dan
memasuki misteri Paskah dari kematian dan kebangkitan Yesus ke hidup yang baru, yang tetap
merupakan pola bagi mereka yang memilih untuk mengikuti Yesus (Mrk 8:34-35;
Fil
3:10; Yoh 12:24-25). Hidup sendiri, bahkan jika terpaksa oleh keadaan, dapat menjadi
panggilan, pilihan Allah dalam misteri
hidup kita sendiri dan perayaan iman yang
menggembirakan. Menjalaninya sebagai panggilan adalah membiarkan diri kita diubah oleh
rahmat.
Panggilan untuk hidup sendiri, seperti panggilan lain, perlu dipupuk dengan doa dan ibadat
dan diungkapkan dalam suatu kepedulian bagi komunitas yang lebih luas.6 Jika merupakan
perayaan yang autentik atas kehadiran hidup Allah dalam hidupnya, hidup sendiri itu harus
terbuka bagi orang-orang lain. Orang-orang yang hidup sendiri bebas untuk mencintai dengan
cinta yang tidak eksklusif yang menyambut dan menghargai semua orang yang mereka jumpai.
Mereka lebih bebas untuk melayani. Ini seharusnya juga berlaku bahkan bagi para pertapa.
Para pertapa berbeda dengan orang yang hidup menyendiri. ”Keutamaan-keutamaan yang
menjadi ciri pertapa yang sejati adalah belarasa dan keramahtamahan.”7
6. Kesimpulan
Dalam bab 3, kita melihat bahwa Gereja diakui kudus sebagian karena Gereja merupakan
kumpulan umat Allah yang kudus, yaitu orang-orang yang sudah dibaptis, yang telah dilahirkan
kembali dalam Kristus dan diurapi oleh Roh Kudus. Sayangnya banyak orang Kristiani masih
terus mengira bahwa kesucian hidup hanya menjadi milik
orang-orang kudus saja atau
hanya diperuntukkan bagi mereka yang menjalani hidup ”religius” dalam Gereja, seperti imam,
bruder atau suster. Ini sama sekali salah.
Dalam salah satu bab penting dari Konstitusi Dogmatik tentang Gereja yang berjudul
”Panggilan Umum Untuk Kesucian”, para uskup pada Konsili Vatikan II menekankan bahwa
semua orang Kristiani dipanggil untuk kesucian, bukan berdasarkan status atau kedudukan
mereka dalam Gereja tetapi justru dengan bekerja sama dengan rahmat Allah dalam keadaan
konkret dari hidup mereka sehari-hari (LG 41). Bukan hanya religius tetapi semua orang
Kristiani – uskup, imam, diakon, pasangan yang menikah, dan orang tua, orang yang hidup
sendirian, dan mereka yang telah kehilangan pasangan mereka, para buruh, orang sakit dan
orang lemah, orang miskin – dipanggil untuk kekudusan dan kesucian hidup, bukan dengan
menjalani suatu religiositas buatan tetapi dengan menghayati hidup yang bercirikan ”doa,
penyangkalan diri, pelayanan yang aktif terhadap sesama, dan latihan dalam segala
keutamaan” – singkatnya, dengan menghayati cinta yang dicurahkan Roh Allah ke dalam hati
kita (LG 42).
Dalam bab ini, kita telah membahas panggilan semua orang Kristiani untuk menjadi kudus
dalam kerangka panggilan Yesus untuk menjadi murid; mengikuti Yesus, yang merupakan inti
hidup Kristiani; dan beberapa perbedaan ungkapan dari kemuridan dalam kehidupan Gereja.
”Menjadi murid” dalam Injil bukan merupakan sesuatu yang mengambil kita dari dunia. ”Menjadi
murid” lebih merupakan undangan untuk mengubah cara kita memandang dunia, untuk bergabung dengan Yesus dalam pelayanan-Nya demi Kerajaan Allah, mencintai dengan cinta
tanpa syarat, dan cinta yang penuh pengorbanan. Sesudah Paskah, menjadi murid mendapat
makna tambahan, yaitu mengikuti Yesus dalam misteri Paskah-Nya. Semua orang dipanggil
untuk mengikuti Yesus, dan ada banyak ungkapan untuk menjadi murid dan pelayanan Kristiani
di dalam Gereja.
Banyak orang Kristiani menghayati panggilan menjadi murid melalui sakramen perkawinan.
Sakramen perkawinan bukanlah sakramen untuk diterima tetapi untuk dihayati, karena
panggilan pasangan yang menikah dalam Kristus adalah untuk menggambarkan cinta
Allah
yang tidak bersyarat dalam cinta mereka satu sama lain dan kepada anak-anak mereka.
Imam-imam mengungkapkan panggilan mereka menjadi murid melalui pelayanan sabda,
sakramen, dan reksa pastoral umat Allah. Terutama dalam merayakan sakramen-sakramen
bagi umat beriman, imam bertindak atas nama Kristus, dengan menunjukkan kehadiran Kristus
dan kesetiaan-Nya terhadap umat-Nya dalam tindakan-tindakan sakramental Gereja.
Sepanjang sejarah Kristiani, banyak pria dan wanita telah berusaha untuk mengikuti Yesus
Kristus melalui hidup religius. Dalam tradisi, hidup religius baik monastik maupun apostolik telah
digambarkan sebagai tanda Kerajaan. Konsili Vatikan II meneguhkan pemahaman ini (PC 1).
Akan tetapi, fungsi ini tidak dapat dibatasi pada komunitas-komunitas religius kanonis.
Setiap komunitas Kristiani, entah awam atau religius, Katolik, Protestan atau ekumenis,
yang anggota-anggotanya berusaha menghayati menjadi murid Kristiani secara publik berperan
sebagai tanda Keraja-an Allah. Sebagai komunitas-komunitas yang hidup anggota-anggotanya
berakar pada Injil, komunitas-komunitas itu merupakan tanda pelayanan penuh kasih bagi
orang miskin, pendamaian antarmanusia, kesucian hidup, dan kesatuan dalam Kristus, yang
semua itu merupakan tanda kerajaan.
Akhirnya, banyak pria dan wanita yang menghayati panggilan mengikuti Yesus sebagai
orang yang hidup sendiri, tidak nikah. Cara hidup mereka juga merupakan panggilan, karena
dihayati tanpa pasangan atau komunitas karena mereka bebas untuk persahabatan yang tidak
eksklusif dan kerap kali ikut ambil bagian dalam beberapa komunitas yang berbeda-beda.
Panggilan itu juga tidak tanpa ungkapan sakramental, karena rahmat baptis menumbuhkan
panggilan ini
dan panggilan-panggilan lain. Keterlibatan terhadap Kristus sebagai orang
yang hidup sendiri juga diteguhkan dalam perayaan Sakramen Ekaristi yang biasa.
Panggilan-panggilan umum yang telah kita bahas hanyalah merupakan ungkapanungkapan panggilan untuk menjadi murid, yang ditujukan kepada semua orang yang
menyatakan untuk mengikuti Yesus.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
”Directory for the Application of Principles and Norms on Ecumenism,” Origins 23 (July 29, 1993).
Hans Küng, Why Priest?: A Proposal For a New Church Ministry (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1974) 42.
Lih. Avery Dulles, ”Models for ministerial Priesthood,” Origins 20 (1990) 288.
Paulus VI, Sacerdotalis coelibatus, 1967; Yohanes Paulus II, Résurrection, marriage et célibat: L’Evangile de la rédemption du
corps (Paris: Cerf, 1985).
David Nygren dan Miriam Ukeritis, ”Future of Religious Orders in the United States,” Origins 22 (1922) 257.
Lihat Susan A. Muto, Celebrating the Single Life: A Spirituality for Single Persons (New York: Crossroad, 1989).
Karen Karper, ”’By No Worldly Logic’: To Be a Hermit in the 1990s,” America 171 (September 10, 1994) 28.
VII
Dosa, Pengampunan, dan Penyembuhan
Baru-baru ini seorang rekan di universitas menceritakan kepada saya tentang anaknya
yang mempersiapkan pengakuan dan penerimaan komuni pertama. Ia sungguh terkesan
terhadap katekese yang diterima anaknya dan pemahaman anak laki-lakinya tentang Ekaristi.
Lalu ia berkata, sedikit terkejut, ”Anda tahu mereka tidak bicara lagi tentang dosa. Mereka
berbicara tentang membuat pilihan-pilihan yang buruk.”
Bagaimana mungkin di dunia yang banyak kejahatan yang sungguh nyata, kita sedemikian
enggan berbicara tentang dosa? Karl Menninger, seorang Psikiatris, mengangkat masalah itu
lebih dari 20 tahun yang lalu dalam bukunya Whatever Became of Sin?1 ”Jika aku OK dan kamu
OK, dan teman-teman kita (orang-orang baik, dan seperti kita, jelas dari kelas menengah) OK,
mengapa dunia jelas tak OK.”2
Agaknya lebih mudah merumuskan kejahatan daripada dosa. Adanya kejahatan di dunia
kita jelas dengan sendirinya. Kita mengetahui contoh-contoh kejahatan yang menggemparkan
pada zaman kita. Kita membaca tentang kejahatan dalam surat-surat kabar dan melihat contohcontoh setiap sore pada waktu kita menyaksikan berita di TV. Kita kerap tertimpa kejahatan
dalam hidup kita sendiri atau dalam hidup orang-orang yang kita sayangi. Akan tetapi,
kejahatan tetap merupakan sesuatu yang ada di luar diri kita. Dosa lebih rumit lagi. Dosa adalah
segi pribadi dari kejahatan. Dosa berkaitan dengan pilihan-pilihan kita, dengan keterlibatan kita
dalam misteri kejahatan. Kita kerap kali enggan mengakui keterlibatan kita.
Rasa salah kerap merupakan tanda adanya dosa dalam hidup kita. Sayangnya dalam
budaya terapeutik (pengobatan) kita, rasa salah kerap dianggap begitu saja sebagai masalah
neurotik. Rasa salah tidak diakui sebagai tanggapan yang sehat terhadap kejahatan yang telah
kita lakukan. Meski ada hal yang disebut rasa salah yang neurotik (misalnya dalam kasus
skrupel atau kebingungan), pengalaman rasa salah juga dapat menjadi tanda suara hati yang
sehat. ”Apa yang Anda dapat di dunia tanpa rasa salah adalah kamp Auschwitz, pemerkosaan
kelompok, orang yang ambisius, pemboman membabi buta, pembuangan sampah beracun,
penembak kendaraan, terorisme. Masyarakat kita – dan pendidikan religius – amat perlu
menghentikan rasa salah yang sah”.3
Kita tahu bahwa kita melakukan hal-hal yang jahat, bahwa kita bertindak karena mau
mengejar kepentingan diri sehingga merugikan orang lain, bahwa kita berdosa. Akan tetapi,
kadang-kadang kita juga mempunyai perasaan bahwa dosa merupakan sesuatu yang lebih
besar dari ”dosa-dosa” kita lakukan, bahwa dosa merupakan rakitan yang jauh lebih
menyeluruh, bahwa dosa melebihi pilihan-pilihan buruk atau tindakan-tindakan salah. Dalam
surat kepada umat di Roma, St. Paulus menangkap makna eksistensial dosa ini sebagai
kekuatan yang menumbangkan intensi-intensi kita dan membatasi kemerdekaan kita:
”Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku
perbuat, tetapi apa yang aku benci .... Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa
yang ada di dalam aku. Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak
ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang
baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang
tidak kukehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku
kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku” (Rm
7:15,17-20).
Kadang-kadang kita mendapatkan pandangan sekilas tentang kekuatan dosa yang
destruktif ini, kekuatan yang dapat menangkap dan menguasai orang lain, yang mengakibatkan
tragedi dan kehancuran hati di belakangnya. Betapa kerap kita telah membaca laporan tentang
kejahatan yang mengerikan; korban yang tidak bersalah telah dibunuh secara brutal. Kita
menjadi muak karenanya. Kita mau agar pelaku kejahatan itu dihukum seberat-beratnya. Akan
tetapi kerap kali, pada waktu kita mendengar lebih banyak tentang kasus itu, membaca laporan
selengkapnya, kita menemukan bahwa orang yang melakukan kejahatan itu telah menjadi
korban, akibat keluarga yang bobrok, tidak pernah mengalami kasih orang tua atau masa
kanak-kanak yang normal. Tiba-tiba kita mengerti cerita itu dengan terang baru. Kejahatan
orang itu tidak dapat dimaafkan, tetapi amarah yang telah meledak menjadi tragedi bukan lagi
misteri seluruhnya. Kejahatan itu mempunyai latar belakang dan mungkin sudah menyampaikan tanda-tanda peringatan selama bertahun-tahun.
1. Dosa dalam Tradisi Kitab Suci
Dalam tradisi Kitab Suci, dosa dan hal yang dihasilkan, kejahatan, masuk ke dalam sejarah
umat manusia pada bab-bab awalnya. Kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian bab 1 (Kej 1:1–
2:4a) berkali-kali menekankan bahwa ciptaan Allah itu baik adanya. Sesungguhnya, karya
penciptaan Allah justru menghasilkan dunia yang teratur, hidup dari kekacauan yang gelap dan
tak berbentuk. Dalam istilah-istilah yang lebih filosofis, mitos Taman Firdaus mengatakan
bahwa di dunia tempat pria dan wanita ditempatkan oleh Allah tidak ada kejahatan. Mereka
menikmati kekuasaan atas alam, kesamaan satu sama lain, dan berhubungan akrab dengan
Penciptanya.
Akan tetapi, kisah kejatuhan (Kej 3) memberi kesan bahwa nenek moyang kita yang
pertama tidak puas dengan status mereka sebagai ciptaan. Dengan mudah mereka jatuh pada
godaan ular agar makan buah terlarang, yang membuat mereka menjadi seperti Allah sendiri.
Akibatnya, kemurnian mereka lenyap untuk selama-lamanya. Dosa mereka menghancurkan
ciptaan, dan mereka mengalami tiga bentuk pengasingan. Mereka menjadi terasing satu sama
lain, dari dunia tempat mereka hidup, dan dari Allah (Kej 3:7-19). Ada pemahaman mendalam
dalam kisah itu. Dalam keinginan mereka menjadi Allah, penolakan Adam dan Hawa untuk
mengakui bahwa hanya Allah saja yang menjadi Allah merupakan bencana besar. Jika kita
membaca bab-bab selanjutnya dengan baik, jelaslah bahwa ada sesuatu yang
baru di
dunia, yaitu kejahatan yang merupakan akibat langsung dari egoisme manusia. Teks itu
berkisah tentang pembunuhan atas saudara dan tak lama kemudian kejahatan manusia yang
meningkat, mendatangkan Banjir Besar. Hanya karena campur tangan Allah yang langsung
sajalah sejarah umat manusia dapat terus berjalan.
Sepuluh Perintah
Kisah kejadian yang termuat dalam Kitab Kejadian menunjukkan bagaimana dosa dan
akibat-akibatnya yang menghancurkan masuk ke dunia. Karena dosa, hubungan akrab dengan
Allah yang dinikmati nenek moyang kita yang pertama lenyap. Akan tetapi, Kitab Kejadian dan
buku-buku Pentateukh yang lain juga merupakan pengantar untuk karya penyelamatan Allah.
Tema-tema besar tentang pilihan dan perjanjian menunjukkan Allah yang memilih dan menjalin
hubungan dengan umat-Nya. Sepuluh Perintah, ungkapan perjanjian yang pertama dan dasar
dari Hukum Yahudi, merumuskan apa arti hidup dalam hubungan perjanjian dengan Yahwe (Ul
5:6-21; bdk. Kel 20:2-17).
Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.
Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.
Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan.
Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabat.
Hormatilah ayahmu dan ibumu.
Janganlah membunuh.
Janganlah berzinah.
Janganlah mencuri.
Janganlah mengucapkan saksi dusta terhadap sesamamu.
Janganlah mengingini istri sesamamu.
Janganlah mengingini rumahnya atau ladangnya, ... ataupun segala sesuatu yang dipunyai
sesamamu.
Perintah-perintah itu tidak hanya dimengerti sebagai norma-norma etis. Perintah-perintah
itu merupakan syarat-syarat perjanjian dengan Allah. Dengan demikian, ada dimensi yang amat
pribadi pada pemahaman dosa Yahudi itu. Dosa berarti pemutusan hubungan. Dua pesan yang
memuat sepuluh Perintah menguraikan dosa sebagai kebencian terhadap Allah (Kel 20:5; Ul
5:9). Akan tetapi karena sepuluh Perintah menuntut hormat terhadap orang lain sebagai syarat
untuk ada dalam hubungan dengan Allah, maka jelaslah bahwa kebencian terhadap Allah dan
menyalahgunakan orang-orang lain menjadi syarat yang sama. Dalam Kitab Suci Yahudi
disebut beberapa dosa yang amat berat, dosa-dosa yang ”menyeru ke surga” di antaranya
adalah pembunuhan saudara (Kej 4:10), menindas orang asing, janda atau anak yatim (Kel
2:20-22), atau mengambil keuntungan dengan tidak membayar upah pekerja pada waktunya
(Bil 24:15).
Yesus
Yesus menerima adanya dosa. Ia mengajarkan kepada murid-murid-Nya bahwa dosa
berasal dari hati manusia: ”Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan,
perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat” (Mat 15:19). Secara tersirat Ia
menunjukkan dalam kisah wanita yang tertangkap berzinah bahwa semua orang adalah
pendosa, dengan menantang mereka yang sedemikian cepat menghukum wanita itu agar siapa
pun di antara mereka yang tidak berdosa hendaknya paling dulu melemparkan batu (Yoh 8:7).
St. Paulus
Uraian Perjanjian Baru yang paling sistematis tentang dosa adalah surat St. Paulus kepada
jemaat di Roma. Pada bagian pertama surat itu, Paulus mementaskan sebuah drama yang
panggungnya adalah seluruh sejarah keselamatan. Para aktor dalam drama itu adalah Adam,
Dosa, Maut, Hukum, dan Kristus. Adam memasukkan Dosa ke dunia, dan bersama Dosa
muncul Maut. Maut merupakan buah Dosa, dan memang merupakan bagian rusaknya tatanan
ciptaan yang benar yang sedemikian jelas dalam kisah kejatuhan dalam Kitab Kejadian.
Dalam teologi Paulus, Dosa mendatangkan tiga macam kematian; pertama, kehancuran di
dunia atau kematian yang diakibatkan dalam hubungan-hubungan kita. Dosa mengasingkan
kita satu sama lain. Dosa mengakibatkan perpecahan-perpecahan ke dalam masyarakat (Rm
3:13-17; bdk. Gal 5:20). Kedua, Paulus menyebut dosa sebagai penyebab kematian fisik. Ia
menulis bahwa maut menimpa semua orang ”karena semua orang telah berbuat dosa” (Rm
5:12). Dengan kata lain, maut menimpa semua orang bukan hanya karena Adam dulu berdosa,
tetapi lebih tepat, karena semua orang hidup di dunia di mana dosa sudah masuk dan mereka
sendiri secara pribadi telah berdosa dan dengan demikian mereka telah memenuhi syaratsyarat untuk mati. Dosa telah menjadi bagian dari kondisi manusia. Akhirnya, karena dosa
mengasingkan kita dari Allah, dosa mendatangkan kematian kekal.
Aktor besar keempat dalam drama Paulus adalah Hukum Musa, yang tampil di pentas
bersama Musa. Apa fungsi Hukum? Orangorang Yahudi mempunyai keuntungan yang
tidak dinikmati oleh
orang-orang non-Yahudi; karena Hukum berperan untuk menyatakan
keadaan dosa mereka. Tema ini untuk pertama kali diolah dalam surat kepada umat Galatia di
mana Paulus menyebut Hukum sebagai ”penuntun” atau ”pendisiplin” (Gal 3:24) sebelum
kedatangan Kristus. Dengan jelas Paulus berkata bahwa ”justru oleh hukum Taurat,
orang mengenal dosa (Gal 3:20) dan ”aku tidak mengenal dosa kecuali melalui hukum” (Rm
7:7). Orang-orang Yahudi yang hidup di bawah hukum dibuat sadar akan dosa-dosa mereka,
karena dosa membuat terbuka pelanggaran mereka atas hukum batin yang ditulis oleh kodrat di
dalam hati semua orang, baik orang-orang Yahudi maupun orang-orang non-Yahudi (Rm 2:1415). Akan tetapi, Paulus menekankan bahwa baik orang-orang Yahudi maupun orang-orang
non-Yahudi telah berdosa.
Hukum mengungkapkan hakikat dosa, tetapi tidak mampu membebaskan orang-orang
Yahudi dari dosa karena hukum tidak mampu menghancurkan kekuatan dosa. Menghancurkan
kekuatan dosa adalah karya Kristus, manusia yang menjadi gambaran Adam, manusia pertama
(Rm 5:14) dalam teologi Paulus. Jika dosa dan maut masuk ke dunia karena ketidaktaatan satu
orang maka karena ketaatan Kristuslah banyak orang akan dibenarkan dan rahmat akan
berkuasa
(Rm 5:19-20).
Dalam surat kepada umat Roma bab 8, drama bergeser. Temanya bukan lagi dosa dan
maut, tetapi rahmat dan hidup dalam Roh, bukan perbudakan dan belenggu tetapi
kemerdekaan, ”buah-buah pertama” kematian dan kebangkitan Kristus (Rm 8:23). Meskipun
dunia belum kembali ke tatanan ideal awal mula, namun pembenaran, rahmat, dan
keselamatan sekarang tersedia bagi semua melalui Kristus dalam Roh. Sebelum Surat kepada
umat Roma bab 8, Roh hanya disebut 5 kali; dalam bab 8 disebut 29 kali. Dalam Surat Pertama
kepada umat Korintus, Paulus membicarakan Kristus sebagai ”Adam terakhir” dan ”manusia
kedua” (1Kor 15:45,47). Dalam arti sebenarnya, karena Kristus umat manusia sudah diciptakan
kembali. Dengan demikian, Kristus adalah Adam yang baru. Rahmat adalah istilah Paulus untuk
tindakan penyelamatan Allah demi kita dan, sekaligus, untuk hidup baru yang datang pada kita
sebagai akibat tindakan penyelamatan Allah. Dalam kenyataannya yang pokok, rahmat adalah
keikutsertaan kita dalam hidup Allah sendiri melalui Kristus dan di dalam Roh.
Paulus cukup realistis dan mengakui bahwa bahkan bagi orang yang sudah dibaptis ada
pergulatan yang terus-menerus antara usaha untuk hidup dalam Roh dan keinginan-keinginan
daging. Dalam suratnya kepada umat Galatia, perbedaan yang dibuatnya tentang ”perbuatanperbuatan daging” dan ”buah-buah Roh” memberi prinsip penegasan mengenai mutu hidup kita.
Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, pencemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala,
sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah,
kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu –
seperti telah kubuat dahulu – bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan
mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Tetapi buah-buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5:19-23).
Singkatnya, bagi Paulus dalam arti yang paling mendalam, dosa lebih daripada masalah
tindakan yang salah, ”pelanggaran hukum”. Dosa adalah keadaan eksistensial, kondisi-beradadi-dunia ontologis yang mengenai semua orang karena semua orang telah berdosa. ”Dua
macam dosa dapat dibedakan. Pertama, seluruh umat manusia dirusak oleh dosa dan tunduk
kepada kematian kekal. Kedua, dosa yang diketahui oleh orang yang mempunyai Hukum ketika
tindakan-tindakan seperti pencurian, pembunuhan, dan perzinahan dilakukan. Bahkan hukum
sipil berbicara tentang jenis dosa yang kedua itu, meski tidak amat tepat.”4
Ungkapan ”seluruh umat manusia” mungkin agak ekstrem. Akan tetapi, pemahaman
pokoknya benar. Bagi Paulus kejahatan dosa yang sesungguhnya adalah akibat
eksistensialnya, kacaunya arah dasar umat manusia kepada Allah. Dosa sebagai keadaan atau
kondisi berarti bahwa struktur dinamis pribadi manusia menjadi semakin terarah kepada dirinya
sendiri, dan dengan demikian lebih terarah kepada kematian daripada kepada Allah dan hidup.
Kata yang digunakan Paulus untuk dosa adalah harmartia (bahasa Yunani) yang berarti ”tidak
mengenai sasaran” atau secara lebih umum ”menyeleweng”, ”berjalan salah”. Kata itu
menegaskan pandangannya atas dosa sebagai kekacauan radikal hubungan orang dengan
Allah yang diberikan dalam ciptaan.
2. Ajaran tentang Dosa
Dalam arti yang paling dalam, dosa jauh melebihi pelanggaran peraturan atau hukum.
Personifikasi Paulus akan dosa sebagai kekuatan jahat yang merajalela di dunia amatlah tepat.
Personifikasi itu amat sejalan dengan tradisi Kitab Suci, yang menguraikan makna sesungguhnya kesatuan komunitas manusia dan apa artinya menjadi bagian orang yang berdosa.
Kedosaan kita sendiri untuk sebagian dijelaskan oleh komunitas manusia yang berdosa dimana
kita menjadi anggota-anggotanya. Ada semacam kesetiakawanan dalam dosa, seperti juga ada
kesetiakawanan dalam keselamatan. Dengan mudah kita melihat kekuatan kebiasaan jahat
yang merusak dan bahwa ”kekerasan melahirkan kekerasan.” Dengan demikian, dosa
melahirkan dosa, mengenai masyarakat tempat kita hidup. Akibat-akibat dosa bersifat dinamis.
Seperti riak-riak air yang dibuat kerikil yang dilemparkan ke kolam, akibat-akibat dosa
memencar dari sumbernya, mengenai orangorang yang ada di sekitar pendosa.
Dosa Asal
Jika Paulus memahami benar-benar bahwa dosa yang masuk ke dunia bersama-sama
Adam merupakan kekuatan yang mengacau maksud-maksud baik kita dan membatasi
kemerdekaan kita, St. Agustinuslah (meninggal tahun 430) yang merumuskan ”ajaran tentang
dosa asal”. Untuk sebagian besar Agustinus memberi tanggapan terhadap Pelagius (meninggal
± 418), seorang guru asketis dari Inggris, yang berpendapat bahwa orang Kristiani dipanggil
kepada hidup sempurna (lihat Mat 5:48) dan sesudah dibaptis mampu menghayati secara
penuh hidup sempurna itu berkat kurnia kehendak bebas. Penekanan Pelagius pada kehendak
bebas sepertinya membuat kodrat manusia sendiri merupakan ungkapan rahmat. Ia
menyangkal bahwa dosa Adam mempunyai akibat nyata pada orang-orang yang lahir sesudahnya, melampaui kenyataan bahwa banyak orang berdosa karena ”peniruan.” Satu akibat dari
penyangkalan ini bagi Pelagius adalah penolakan tradisi pembaptisan bayi yang sudah secara
luas dilaksanakan. Mungkin kita dapat memahami Pelagius sebagai seorang humanis yang
mengandaikan kebaikan fundamental kodrat manusia atau sebagai pembimbing rohani yang
mau mendorong orang-orang lain untuk berusaha mencapai hidup sempurna.
Agustinus yang bertobat menjadi Kristiani sesudah dewasa dan hanya sesudah pergulatan
hebat (doanya yang terkenal, ”Tuhan, berilah aku kemurnian, tetapi jangan sekarang”)5
mempunyai pengertian tentang misteri dosa yang jauh lebih baik. Pengalamannya yang paling
mendasar adalah tentang kekuatan rahmat Allah yang kuasa, yang pada akhirnya
membebaskan dirinya dari hidup yang kacau balau. Dengan demikian, pengalaman pribadinya
amat mempengaruhi teologinya. Ia berpendapat bahwa dosa Adam tidak hanya merusak kodrat
manusia tetapi secara radikal menghancurkannya, yang membuat kehendak tidak mampu
memilih kebaikan tanpa rahmat yang diperlukannya. Agustinus jauh melampaui konsep Paulus
tentang kesetiakawanan umat manusia dalam dosa. Menurut Agustinus, dosa Adam diteruskan
ke setiap orang melalui hubungan seks pada waktu pembuahan, oleh ”penurunan”. Bahkan
dengan demikian, anak pun tercemar oleh dosa pertama atau ”asal” ini dan perlu dibaptis untuk
membersihkannya dari keadaan berdosa. Teologi Agustinus membantu menjelaskan praktek
pembaptisan bayi. Pembaptisan bayi dijadikan ajaran resmi Gereja oleh Sinode Daerah di
Cartago (418) dan Konsili Orange II (529).
Pada abad ke-16, baik teolog Reformasi maupun Katolik amat dipengaruhi oleh teologi
Agustinus tentang dosa asal, tetapi mereka menafsirkan dengan cara yang berbeda. Dengan
menggunakan kata-kata Agustinus, kaum Reformasi mengajarkan bahwa kodrat manusia
secara radikal dihancurkan oleh dosa Adam dan imago Dei, citra Allah, yang tercermin pada
budi dan kehendak manusia telah hilang. Budi, karena dibutakan oleh dosa, tak mampu
mengetahui apa pun tentang Allah tanpa Kitab Suci. Tanpa adanya pengetahuan kodrati
tentang Allah melalui refleksi filosofis, sejak itu terjadilah pemisahan antara akal dan iman yang
sampai waktu itu tidak dikenal. Kehendak ada dalam keadaan terbelenggu, tak mampu memilih
kebaikan berdasarkan kemampuannya sendiri. Kehendak tidak dapat bekerja sama dengan
rahmat Allah; pembenaran seluruhnya merupakan karya
Allah. Calvin mengikuti jalan
pemikiran itu sampai pada kesimpulan logisnya dan, seperti Agustinus, berakhir dengan ajaran
predestinasi.
Pada tahun 1546 Konsili Trente menegaskan kembali ajaran Agustinus bahwa dosa Adam
”diteruskan oleh kelahiran bukan oleh peniruan” (DS 223), tanpa perlu mengambil
pandangannya yang negatif terhadap hubungan seksual. Konsili mengajarkan, melawan kaum
reformasi, bahwa baptis meniadakan kesalahan dosa asal, bahkan jika ”keinginannya pun”,
kecenderungan terhadap dosa tetap ada pada kemampuan-kemampuan yang lebih rendah.
Menurut pandangan Katolik, kodrat manusia dirusak oleh dosa tetapi tidak secara radikal
dihancurkan. Jika kita kehilangan citra Allah, kita masih diciptakan menurut ”citra” Allah.
Pendekatan Dewasa Ini
Bagaimana sebaiknya kita memahami ajaran tradisional Gereja tentang dosa Adam
dewasa ini? Ajaran tentang dosa asal berakar dalam sifat sosial dasar dari pribadi manusia.
Sifat sosial manusia itu menyatakan bahwa masing-masing dari antara kita dilahirkan di dunia
atau lebih konkret, jaringan hubungan antarmanusia telah dirusak oleh dosa. Kita dibentuk oleh
hubungan-hubungan sosial kita. Bahkan sebelum kita lahir, masing-masing di antara kita
mempunyai kebutuhan akan perkembangan yang harus dipenuhi jika kita pada suatu saat
diharap dapat secara penuh mewujudkan potensi kemanusiaan kita. Kita butuh diterima dan
dicintai sebagai anak, jika kita diharap bahagia dan aman. Kita perlu dibelai, dipeluk waktu tidur
dan dicintai, jika pada suatu saat nanti kita diharap mampu mencintai dan mengungkapkan pe-
rasaan kita sendiri. Tanpa masyarakat manusia, dengan bahasa, budaya, dan hubunganhubungan pribadi, tak seorang pun di antara kita akan mengembangkan kemampuan untuk
berbicara, berpikir abstrak, bahkan menyadari diri-sendiri. Kita belajar hidup dan berfungsi
sebagai manusia dari masyarakat manusia di mana kita menjadi bagiannya, dan untuk
sebagian besar kita dibentuk dan dididik oleh hubungan kita dengan orang tua, saudara-saudari
sekandung, dan orang-orang yang dekat dengan kita.
Karena hubungan-hubungan itu sudah dirusak oleh egoisme, rasa-rasa yang tak pada
tempatnya, pengasingan yang dimasukkan oleh dosa ke dunia, setiap orang tidak mendapatkan
yang diperlukan, dirusak dan diperlemah oleh dunia yang berdosa tempat ia dilahirkan. Sejarah
kita berisi luka-luka kekerasan, perang, ketidakadilan yang membuat anggota-anggota
masyarakat sakit hati satu terhadap yang lain. Budaya kita kerap berprasangka terhadap
mereka yang berbeda dari kita. Budaya-budaya itu mengajarkan peran sosial berdasar pada
jenis kelamin yang fungsional tetapi juga membatasi. Bahasa kita mengkondisikan cara kita
melihat kenyataan. Masing-masing dari kita telah dibentuk, dipengaruhi dan dengan berbagai
cara dibatasi oleh keadaan historis dan sosial kita yang konkret, oleh keluarga, ras, budaya,
seksualitas, lingkungan pribadi, dan hubungan antarmanusia. Karena semua itu tersentuh oleh
dosa, maka kita pun juga tersentuh dosa dengan cara-cara yang jarang kita curigai. Kita kerap
mengalami diri kita berantakan. Kita merasa bahwa hubungan kita kacau. Kita menyesali
ketidakmampuan kita untuk mencinta.
Sifat sosial dosa asal, yang membatasi kebebasan bahkan sebelum dilaksanakan, dapat
dilihat dalam kisah-kisah anak-anak yang tak terbilang jumlahnya, yang tumbuh dalam keluarga
yang tak berfungsi, mengalami kekerasan fisik dan seksual, anak-anak yang orang tuanya
peminum, anak-anak di daerah kumuh di kota, atau dipaksa oleh teman-teman sebaya dan oleh
ketidakamanan lingkungan hingga terseret masuk menjadi anggota ”gang”.
Dosa asal berarti bahwa kita merasa sulit menjadi diri sendiri. Kita semua mengenal kisah
orang-orang yang hancur dan hidup rusak, kerap tak mungkin diperbaiki lagi. Bahkan beberapa
berhasil mengatasi sejarah pribadi mereka karena nasib baik, watak atau rahmat, banyak dari
mereka yang telah menjadi korban dosa terus melakukan dosa melawan orang-orang lain.
Demikian polanya diteruskan. Kita mengerti dinamika ini secara tersirat bahkan bila kita gagal
melihat pola yang sama terjadi dalam hidup kita.
Meski tidak selalu dimengerti dengan baik, ajaran tentang dosa asal tetap merupakan salah
satu prestasi yang terbesar yang diperoleh Kristianitas, salah satu dari beberapa ajaran,
sebagaimana kerap dikatakan, yang mempunyai bukti-bukti empirik. Ajaran itu mengungkapkan
dalam bahasa yang tidak selalu memadai, hal-hal yang dewasa ini kita andaikan saja; konstitusi
pribadi manusia yang paling mendasar, kekuasaan jahat yang menular, kehadiran di dalam
hidup kita kekuatan-kekuatan negatif yang ada sebelum pilihan-pilihan sengaja kita, kebutuhan
mendasar kita akan kekuatan Allah yang menyelamatkan. Hanya bila kita mengenal diri kita
sebagai pendosalah kita dapat membuka diri kita terhadap sentuhan Allah yang
menyembuhkan dan menerima pengampunan Allah.
Dosa yang Kita Lakukan
Perjanjian Baru mengakui bahwa dosa membawa kematian (Rm 6:16; 1Kor 6:9-10), tetapi
juga menyadari bahwa tidak semua dosa ”mematikan” (1Yoh 5:16-17). Tradisi sudah
menemukan tujuh dosa yang mematikan atau ”berat”: kesombongan, kerakusan, iri, amarah,
keinginan nafsu jahat, gelojoh atau tak mampu mengendalikan nafsu makan, dan kemalasan.
Perlu dibedakan antara dosa ”berat” (yang membawa maut) dan dosa ”ringan”. Dosa berat
adalah pelanggaran yang menghancurkan hubungan dengan Allah. Dosa ringan adalah dosa
yang merusak hubungan itu tanpa sepenuhnya memutuskannya.
Perbedaan itu membantu. Tentu saja ada dosa-dosa yang kurang serius atau dosa-dosa
serius menjadi kurang serius karena tidak tahu atau kurang bebas, apa yang oleh tradisi disebut
”kurang persetujuan penuh”. Dalam satu hari banyak kali kita gagal dalam hubungan kita
dengan sesama, baik karena perbuatan maupun karena kelaliman. Namun kita belum
memisahkan diri kita dari rahmat Allah dan dapat membuka diri kita terhadap hidup Allah
dengan cara baru. Bersamaan dengan itu, ada dosa yang sedemikian berat sehingga
memutuskan hubungan kita dengan Allah atau mungkin lebih tepat, sedemikian memenuhi diri
kita dan memusatkan perhatian kita pada diri sendiri dan keinginan kita sendiri sampai Allah
sungguh-sungguh dilepaskan dari hidup kita. Untuk melakukan dosa semacam itu, perkaranya
harus serius dan kebebasan kita harus terlibat secara penuh. Dalam bahasa yang masih
dipakai di dalam Gereja, Thomas Aquinas berpendapat bahwa dosa berat adalah dosa yang
menyangkut perkara berat, cukup pemikiran, dan kesetujuan kehendak yang penuh.6
Pembedaan antara dosa berat dan dosa ringan itu berguna. Akan tetapi, pembedaan itu
juga cenderung memperkecil dosa-dosa kecil dengan membuatnya menjadi tidak penting, dan
terhadap dosa kecil itu orang dengan gampang dapat mengatakan, ”Hanya dosa kecil.” Teologi
tradisional mengajarkan bahwa tidak ada dosa-dosa kecil yang jika dikumpulkan menjadi satu
menciptakan dosa besar. Akan tetapi, yang diabaikan oleh cara pendekatan itu adalah dosadosa yang terus-menerus dilakukan cenderung melemahkan kehendak dan memperkuat
kebiasaan-kebiasaan yang merusak dalam diri kita. Lama kelamaan situasi itu mengubah
orientasi utama kita terhadap Allah ke diri kita sendiri. Bila kita terlalu terfokus pada diri sendiri,
secara rohani kita sudah mati.
Beberapa teolog dewasa ini telah menggunakan istilah ”opsi fundamental” (fundamental
option) untuk menggambarkan proses pembentukan sikap atau pendirian moral dasar
seseorang atas segala keputusan yang telah dibuat sepanjang hidupnya. Dari sudut pandang
ini sulit untuk mengatakan pada saat mana dan oleh keputusan khusus mana pendirian dasar
orang terhadap Allah dan sesama sudah ditentukan, meski seluruh pola dan arah hidup orang
itu amat jelas. Setiap pilihan baik atau jahat adalah berarti, bahkan jika beberapa dosa lebih
berat daripada yang lain. Misalnya, sulit untuk mengatakan bahwa dengan sengaja tidak
menghadiri Misa pada suatu hari Minggu sama dengan memutuskan hubungannya dengan
Allah. Akan tetapi, kebiasaan untuk tidak menghadiri Misa atau sikap yang tidak menganggap
penting untuk memuji Allah secara teratur dan menjadi anggota umat yang berkumpul bersama
untuk berdoa, dapat menggerogoti hubungan dengan Allah sampai pada suatu saat lenyap. Kita
mengetahui betul-betul betapa mudahnya hubungan kita dengan seseorang yang kita cintai
putus karena kurang perhatian.
Baik konsep opsi fundamental maupun perbedaan antara dosa berat dan ringan memberi
penjelasan yang memuaskan atas keterlibatan kita dalam misteri kejahatan. Pembedaan itu
sudah lama ada dalam sejarah tradisi Katolik. Pembedaan itu mengakui bahwa beberapa
perbuatan secara objektif jahat dan beberapa dosa sedemikian berat sampai menolak kasih
Allah. Penekanannya pada perlunya pengertian yang mencukupi dan persetujuan yang penuh
menghargai hakikat rumit dari motivasi dan kemampuan atas kebebasan yang kerap telah
berkurang. Pada waktu yang sama, pembedaan itu dapat dengan mudah membentuk sikap
legalistik (seberapa banyak? seberapa jauh?), memperkecil dosa-dosa ringan, dan untuk
kesopanan.
Istilah opsi fundamental kurang objektif dan yuridis, lebih psikologis. Istilah itu mengakui
sifat kompleks dari kesadaran moral dan pentingnya pilihan dan perilaku dalam perkembangan
pribadi. Istilah itu menyajikan pengertian yang lebih personal, biblis, yang melihat dosa tidak
terutama dalam kerangka peraturan atau hukum melainkan dalam kerangka hubungan. Dosa
mengasingkan kita dari Allah dan dari sesama. Kedua pendekatan itu telah memberi sumbangan besar dalam usaha kita untuk memahami kelemahan dan kemampuan kita untuk
berbuat jahat, untuk berdosa.
Dosa Sosial
Pada tahun-tahun akhir ini, istilah-istilah seperti ”struktur dosa,” ”kekerasan yang
dilembagakan,” dan ”dosa sosial” telah menjadi bagian kosa kata teologi moral.7 Khususnya
Teologi Pembebasan telah memberi sumbangan besar pada peristilahan itu. Akan tetapi,
gagasan bahwa struktur sosial dapat dipengaruhi oleh dosa yang hadir di dunia dan pada
gilirannya ikut menciptakan perilaku yang merusak atau berdosa terhadap orang-orang lain,
sudah ada dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja dalam dunia modern (GS 25). Para
uskup Amerika Latin di Medelin (1968) berbicara tentang ”keadaan ketidakadilan yang dapat
disebut kekerasan dilembagakan.”8 Kita dapat menambah contoh-contoh dosa sosial lain
seperti rasisme, seksisme, militarisme, dan pencemaran lingkungan.
Paus Yohanes Paulus II mengartikan dosa sosial dalam arti khusus. Dalam nasihat
apostoliknya, Reconciliatio et Paenitentia, Paus menyatakan bahwa dosa sosial harus
dimengerti secara ”analogis” (no. 16). Dalam ensikliknya, Sollicitudo Rei Socialis, Paus
menggunakan istilah ”struktur dosa”, tetapi ia menekankan bahwa struktur-struktur itu selalu
berakar pada dosa-dosa pribadi perorangan. Jaringan struktur-struktur itu tumbuh dan
menyebar, lalu menjadi sumber dosa-dosa baru pada pihak orang-orang lain (no. 36).
Dalam arti apa kita dapat berbicara tentang dosa sosial. Pada dasarnya, lembaga atau
struktur tidak dapat menjadi subjek perbuatan moral, karena hanya orang-orang yang mampu
membuat keputusan-keputusan moral. Akan tetapi, sejauh struktur memasukkan keputusankeputusan dan mencerminkan kepentingan-kepentingan manusia yang berdosa, struktur dapat
menjadi moral atau imoral, dan kekuasaan untuk kejahatan yang dapat dilaksanakan oleh
struktur itu amatlah besar. Gereja tidak ragu-ragu untuk mengajarkan ajaran-ajaran sosialnya,
tidak hanya terhadap orang perorangan tetapi juga terhadap kelompok atau sistem sosial. 9
Hukum, struktur sosial, sistem ekonomis dan negara dapat memasukkan ke dalam dirinya
kepentingan-diri yang sempit dari orang perorangan dan kelompok-kelompok kuat dalam
masyarakat. Jika melanggar hak-hak azasi manusia, membuat orang-orang lemah menjadi
korban, atau melembagakan pembagian kekayaan yang tidak adil, struktur itu dapat dikatakan
berdosa atau tidak adil. Apa yang mungkin paling merusak tentang struktur-struktur kejahatan
adalah karena sifat sosial kita sehingga kita pasti terkena olehnya. Kita dapat menerima
keadaan begitu saja karena kita diuntungkan, atau dengan susah payah melawannya. Dari
sudut pandang ketidakpedulian atau keterlibatan menghadapi kejahatan, atau menjadi ikut
dalam melawan kejahatan itu, kekuatan struktur dosa yang destruktif menjadi makin jelas.
Di sinilah dosa sosial masuk. Dosa sosial berkaitan dengan kejahatan struktural yang
secara moral patut dicela, kejahatan yang seharusnya perlu dilawan”10. Kita kerap merasakan
keterlibatan kita dalam kejahatan sosial dan kebutuhan kita untuk dibersihkan dari rasa salah
yang menyertainya. Kita merasa tercemar oleh kekerasan dan diskriminasi dalam masyarakat
kita, tetapi tidak seperti orang Israel yang mempunyai upacara-upacara dan hari-hari pemberian
silih (Im 4:13-29; Bil 29:7-11; Mzm 106), kita tidak mempunyai upacara-upacara sakramental
untuk membersihkan diri kita dari keterlibatan kita dalam dosa semacam itu. Mungkin pada
suatu hari Gereja merayakan ibadat tobat bersama dengan pengampunan umum untuk dosadosa sosial yang dengan jelas kita merasa bersalah.
3. Pengampunan dan Pendamaian
Yesus Kristus berbicara lebih banyak tentang pengampunan daripada tentang dosa. Ia
memaklumkan pengampunan dosa dalam pewartaan-Nya, menguraikannya dalam
perumpamaan-perumpamaan, dan membuat orang mampu mengalaminya dalam perjamuan
makan bersama-Nya (lihat Mrk 2:15). Perintah Yesus untuk memaklumkan pengampunan dosa
merupakan bagian dari pesan Paskah (Yoh 20:23).
Pertobatan dan Rekonsiliasi
Gereja perdana lambat mengembangkan perayaan ritual pengampunan sesudah sakramen
baptis. Mungkin umat Kristiani mengandaikan secara naif bahwa mereka yang telah
menemukan hidup baru di dalam Kristus dan sudah dibaptis akan mampu menjalani hidup yang
bebas dari dosa. Namun, sejak awal jemaat Kristiani sadar akan akibat-akibat dosa atas
anggota-anggotanya dan menyediakan cara-cara untuk menangani para pelaku dosa berat.
Dalam suratnya kepada umat di Korintus yang pertama, St. Paulus memerintahkan agar orang
yang hidup dengan istri ayahnya diusir dari jemaat (2Kor 5:1-13). Dalam kasus lain, Paulus
mendorong jemaat agar mengampuni dan menyambut kembali orang yang telah ditertibkan
karena pelanggaran (2Kor 5:5-11). Injil Matius melihat para pimpinan jemaat mempunyai kekuasaan akhir untuk ”mengikat dan melepaskan”, yaitu mengeluarkan dan menerima kembali
mereka yang telah menyesal, seperti dalam tradisi sinagoga (Mat 18:15-18). Beberapa jemaat
dalam beberapa kasus menolak untuk menyambut kembali pendosa-pendosa yang menyesal
(Ibr 6:4-6).
Beberapa dokumen sesudah Perjanjian Baru yang lebih awal (1Clement; Didache)
berbicara tentang pengampunan dan pendamaian sesudah baptis, meski Pastor dari Hermas
(Gembala dari Hermas) menyebutnya sebagai ”kesempatan kedua,” yang ditafsirkan berarti
hanya satu kali. Pada akhir abad ke-2 dan awal abad ke-3, disiplin pertobatan seperti disiplin
para katekumen mulai dilaksanakan. Mereka yang bersalah karena dosa-dosa berat – murtad,
pembunuhan, perzinahan, masuk ke dalam kelompok peniten; mereka dipisahkan dari umat
sesudah Liturgi Sabda dan hanya dapat diterima kembali ke dalam liturgi secara penuh oleh
uskup sesudah masa doa dan puasa. Dalam beberapa Gereja, mereka yang masuk ke dalam
kelompok peniten menerima abu pada dahi mereka sebagai tanda penyesalan. Praktek ini
berkembang menjadi upacara Rabu Abu yang menandai Masa Puasa.
Proses ”pertobatan kanonik” ini, yang kadang disebut sebagai ”baptis yang kedua dan yang
lebih berat,” merupakan proses yang keras, terutama di dunia Barat. Pertama, karena yang
masuk ke dalam kelompok peniten dipisahkan dari umat, ibadat itu bersifat publik. Kedua, orang
hanya mendapatkan pendamaian ini sekali saja. Pada abad ke-6 praktek itu disalahgunakan.
Kebanyakan orang menunggu pendamaian sakramental itu sampai menjelang ajal, meski ada
berbagai usaha dari pihak Paus-Paus dan uskup-uskup untuk menghidupkan praktek ibadat itu.
Sejak abad ke-6 perayaan pengampunan baru, yang diperkenalkan ke Eropa oleh rahib
Irlandia, mulai menjadi populer. Praktek itu mempunyai akar dalam tradisi monastik, di mana
rahib yang mencari pengarahan dan bimbingan mengakukan dosa-dosanya kepada anggota
komunitas yang lain – dan tidak selalu imam – dan akan menerima penegasan pengampunan
dosa. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan praktek ini adalah pengakuan dosa pribadi dan
orang dapat melakukannya berulang-ulang. Sebagai ganti waktu pertobatan umum yang
panjang, ”orang yang menerima pengakuan” (confessor) akan memberi tugas pertobatan
khusus seperti pantang makan makanan-makanan tertentu untuk dosa-dosa ringan, atau
hubungan seks atau penggunaan senjata untuk dosa-dosa berat seperti perzinahan atau
penumpahan darah. Rahib-rahib Irlandia mengumpulkan denda-denda dosa itu dalam buku
yang disebut buku Paenitentiales sebagai bantuan bagi para penerima pengakuan dosa.
Gereja di benua Eropa menanggapi praktek ini sebagai penyalahgunaan. Berbagai Konsili
dan Sinode berusaha untuk melarangnya. Akan tetapi, praktek itu jelas memenuhi kebutuhan
pastoral, dan pada abad ke-10 pengakuan pribadi sudah menjadi praktek yang hampir umum.
Untuk mengakuinya, Konsili Lateran IV mengeluarkan dekrit pada tahun 1215 bahwa setiap
orang Kristiani yang telah melakukan dosa berat harus mengakukannya dalam waktu 1 tahun.
Perhatikanlah bahwa hukum itu, yang masih tetap berlaku, menuntut agar orang mengakukan
dosa-dosanya setiap tahun hanya jika ia mempuyai dosa berat untuk diakukan. Banyak orang
masih berpendapat salah bahwa orang harus mengaku sebelum menerima Ekaristi. Dengan
demikiran pengakuan dosa secara pribadi tidak lagi dipandang sebagai penyalahgunaan, tetapi
peraturan.
Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, bagi orang Kristiani yang menjadi dewasa
sebelum Konsili Vatikan II, pengakuan yang kerap itu menjadi norma. Di belakang praktek ini
ada tekanan yang terlalu berlebihan pada dosa yang merupakan bagian pandangan zaman pra
Konsili Vatikan II, dengan ciri-ciri: ”otoritas, dosa, ibadat, dan mukjizat”.11 Devosi Katolik yang
amat dipengaruhi oleh pesimisme Agustinus ini melihat ancaman dosa di mana-mana. Bukubuku doa dan pegangan-pegangan devosi, pemeriksaan batin yang berkepanjangan, devosi
kepada Hati Kudus dengan tekanan pada pemulihan dosa, retret umat dengan khotbah-khotbah
tentang neraka dan uraian tentang siksaan bagi para pendosa yang dihukum, curiga terhadap
dunia sekular, dan terutama pengakuan berkali-kali merupakan bagian dari apa yang disebut
sebagai ”budaya dosa.”12
Satu akibat dari budaya dosa ini adalah bahwa banyak orang Katolik membayangkan Allah
sebagai hakim yang keras, yang membuat catatan-catatan yang rapi dan menunggu orang
membuat kesalahan-kesalahan. Banyak orang Katolik yang saleh pergi mengaku beberapa kali
setiap bulan atau bahkan setiap minggu. Di sekolah-sekolah Katolik anak-anak diperbolehkan
meninggalkan kelas untuk pergi ke pengakuan sebelum ”Jumat Pertama” setiap bulan bila
memang mereka diharapkan menghadiri Misa. Dewasa ini, praktek menerima sakramen
pengakuan disebut sebagai ”pengakuan devosi” (sebagai lawan dari pengakuan wajib) karena
kebanyakan orang datang mengakukan dosa meskipun mereka tidak mempunyai dosa berat
untuk diakukan. Seperti banyak devosi Katolik, praktek menerima sakramen pengakuan berkalikali ini menghilang sesudah Konsili Vatikan II.
Rekonsiliasi Dewasa Ini
Banyak orang Katolik dewasa ini merasa bahwa pendamaian atau rekonsiliasi sakramental
itu sulit. Beberapa orang yang ter-biasa dengan praktek pengakuan yang rutin masih tetap
merasa perlu mendaftar segala kegagalan mereka, betapapun tak berartinya. Beberapa orang
tidak mengaku dosa lagi karena mereka tidak merasa bahwa ”daftar” dosa mereka, entah nyata
atau hanya bayangan, amat bermakna. Orang-orang lain lagi merasa tidak nyaman karena mereka tidak tahu lagi bagaimana ”mengaku dosa” dewasa ini. Saya kerap mendapatkan
pengalaman tentang siswa yang mengenal saya ter-utama ketika seorang guru bertanya,
”Apakah kamu mengakukan dosa?”
Fakta bahwa selama berabad-abad dalam hidup Gereja orang hanya dapat menerima
pendamaian sakramental ritual hanya satu kali dan kemudian hanya untuk dosa-dosa berat
merupakan bukti yang jelas bahwa komunitas Kristiani saat itu, seperti juga sekarang,
mengenal berbagai cara untuk mengalami rahmat pengampunan. Perjanjian Baru mengajarkan
kepada kita bahwa dosa-dosa kita diampuni jika kita mengakuinya dengan tulus (Luk 18:9-14;
1Yoh 1:9), atau saling mengakukan (Yak 5:16). Kita dapat mohon pengampunan dosa dengan
berdoa kepada Allah dengan rendah hati. Ibadat tobat pada awal liturgi dapat menjadi
pengalaman pengampunan yang kaya bila kita melakukannya dengan menyesal atas sesuatu
yang sungguh kita sesali.
Sakramen pendamaian atau rekonsiliasi dapat merupakan rahmat yang amat
menyembuhkan karena membuat kita mampu mendengar kepastian pengampunan dari Allah
dari orang yang diberi kuasa oleh Gereja untuk bertindak atas namanya sebagai wakil Kristus.
Tidak
sulit untuk mengatakan bahwa kita adalah pendosa. Kita dapat mengatakan hal
ini tanpa perlu mengakukan dan dengan demikian tidak perlu banyak usaha. Akan tetapi,
mengakui bahwa kita telah tidak jujur, merugikan nama baik orang, memanfaatkan sesama,
jauh lebih sulit. Pengakuan itu menuntut agar kita memeriksa perilaku kita secara jujur, agar kita
mengakui di hadapan bapa pengakuan kita bahwa kita telah gagal di jalan menuju hidup suci
yang menjadi panggilan kita.
Pada hakikatnya sakramen pendamaian atau rekonsiliasi adalah dialog antara dua orang;
orang yang mengaku, yang dosa-dosanya telah mengurangi jemaat dan mendatangkan
halangan dalam hubungan orang itu dengan Allah, dan imam yang mewakili Kristus dan Gereja.
Orang yang mengaku mengakui bahwa dirinya adalah orang pendosa, mengakukan dosadosanya yang menurutnya penting, dan mohon pengampunan. Bapa pengakuan
mendengarkan dengan sungguh-sungguh, memberi denda, kerap berdoa bersama orang yang
mengaku itu, dan menyatakan pengampunan Allah dengan rumusan absolusi (pengampunan)
sakramental Gereja. Dialog antara imam dan orang yang mengaku dan kesedihan serta
kehendak untuk memperbaiki diri yang diungkapkan jauh lebih penting daripada rumusan atau
”kata-kata yang tepat”. Orang yang belum biasa dengan ibadat pengakuan dan kacau karena
kebingungan atau kesedihan hanya perlu dibantu.
Upacara Pertobatan Baru
Ibadat Pertobatan Baru, yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci untuk Ibadat Ilahi pada
tahun 1973, menyediakan tiga bentuk ibadat. Pertama, pengakuan perorangan dan
pengampunan/absolusi. Kedua, merupakan ibadat tobat bersama yang diikuti dengan
pengakuan dan pengampunan/absolusi. Ketiga, memberi kemungkinan pengampunan umum,
tetapi hanya dalam situasi-situasi tertentu; jumlah orang yang hadir harus tidak terlalu besar
untuk dapat mengaku secara perorangan dan mereka yang menerima sakramen pengakuan
”harus memutuskan untuk mengakukan pada waktunya dosa-dosa beratnya yang tidak dapat
diakukan dalam ibadat itu (no. 33). Dalam ibadat baru itu, penekanan jauh lebih pada
penyembuhan dan rekonsiliasi daripada pengampunan dosa secara yuridis. Dengan demikian
ibadat itu lalu disebut sebagai ”sakramen rekonsiliasi”.
Untuk ibadat rekonsiliasi perorangan seluruh suasana berbeda. Kebanyakan Gereja
sekarang ini menyediakan ruang pengakuan, ruang yang diatur bagus dengan meja yang ada
Kitab Suci dan kerap kali lilin, untuk merayakan sakramen itu. Meskipun orang yang mengaku
dapat memilih mengaku secara terpisah, sekarang ini mulai banyak yang mengaku dengan
duduk berhadapan dengan bapa pengakuan.
Imam menyambut orang yang mengaku dengan kata-kata sambutan yang membesarkan
hati, biasanya dengan kata-kata dari Kitab Suci. Imam dapat membaca – jika waktu
mengizinkan – kutipan dari Kitab Suci, sesudah itu orang yang mengaku mengakukan dosadosanya, mulai dengan mengatakan sesuatu seperti ”Berkatilah saya Pater/Romo, karena saya
telah berdosa” atau ”Saya mengakukan dosa-dosa saya. Dosa-dosa saya adalah .... Untuk
dosa-dosa itu saya mohon pengampunan dan absolusi....” Imam lalu menyarankan denda, doa,
kerja amal, atau tindakan simbolis yang harus dilakukan sebagai tanda kesedihan dan silih.
Kemudian imam meminta orang yang mengaku dosa berdoa untuk pengampunan dan
penyembuhan. Banyak
orang Katolik pada waktu mengaku itu mendoakan doa penyesalan,
tetapi berdoa mohon bantuan dan pengampunan Allah, entah didoakan keras atau dalam hati,
akan cukup. Akhirnya, imam mengulurkan tangan dan mendoakan doa absolusi, dan orang
yang mengaku menjawab ”Amin”.
Ibadat tobat model baru memungkinkan lebih banyak dialog antara imam dan orang yang
mengaku daripada ibadat lama. Banyak orang yang memanfaatkan sakramen pengakuan untuk
mendapatkan kesempatan mengadakan percakapan rohani pendek. Mereka jarang menerima
sakramen pengakuan, tetapi mereka menerimanya dengan persiapan dan renungan yang lebih
sungguh-sungguh.
4. Penyembuhan dan Pengurapan Orang Sakit
Sakramen rekonsiliasi merupakan sakramen penyembuhan. Ketika kita mengakui dosadosa dan kegagalan-kegagalan kita, kita membuka diri terhadap rahmat Allah yang mengubah.
Rahmat mendamaikan kembali kita dengan Allah dan memulai proses penyembuhan akibatakibat negatif dosa dan kejahatan dalam hidup kita dan dalam hidup orang-orang lain, yang
membuat kita mampu menjadi terlibat dalam penyembuhan luka yang telah diakibatkan oleh
dosa antara kita dan orang-orang lain. Ekaristi juga merupakan sakramen penyembuhan yang
membarui perjanjian kita dengan Allah (SC 10).
Namun, rahmat penyembuhan tidak terbatas pada sakramen rekonsiliasi dan Ekaristi.
Sejak zaman Perjanjian Baru, Gereja telah memohonkan rahmat penyembuhan Allah bagi
orang sakit dengan doa dan upacara. Penulis surat St. Yakobus menulis, ”Kalau ada seorang di
antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka
mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari
iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia, dan jika ia telah
berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni” (Yak 5:14-15). Gereja berdoa agar rahmat
penyembuhan Kristus menyentuh seluruh pribadi tidak hanya penyembuhan fisik, tetapi agar
orang yang sakit mendapatkan pengampunan dan harapan.
Sakramen Orang Sakit
Bukti adanya sakramen ini amat sedikit pada abad-abad awal. Hippolytus membicarakan
uskup yang memberkati minyak dengan doa, agar minyak itu ”memberi kekuatan kepada
semua yang merasakannya dan kesehatan kepada semua yang menggunakannya” (Traditio
Apostolica 5). Pada abad-abad awal, minyak yang diberkati oleh uskup digunakan dengan
berbagai cara untuk penyembuhan. Kadang-kadang orang sakit meminumnya atau
mengoleskannya pada diri mereka, atau para anggota keluarga mengolesi mereka dengan
minyak dan menyertai pengolesan itu dengan ”doa iman”. Pada zaman pembaruan Karl Agung
(740-840) muncul buku-buku upacara yang memuat ibadat pengurapan orang sakit dan
Viaticum, Komuni suci sebagai ”makanan untuk perjalanan.” Buku-buku itu harus digunakan
oleh imam-imam dalam memberikan sakramen tobat bagi orang yang akan meninggal. Sejak
zaman itu, pengurapan orang sakit hanya boleh dilakukan oleh imam-imam, dan ibadat semakin
dikaitkan dengan persiapan untuk meninggal dan pengampunan dosa.13 Pada abad ke-12,
Petrus Lombardus memasukkan ”pengurapan terakhir” ini ke dalam daftar tujuh sakramennya.
Akibatnya, muncul nama yang tak mengenakkan ”pengurapan terakhir” sampai Konsili Vatikan
II.
Dalam pembaruan sakramennya, Konsili Vatikan II menyatakan bahwa pengurapan terakhir
dapat juga dan lebih cocok disebut dengan nama ”Pengurapan Orang Sakit”, dengan
menekankan bahwa ”sakramen itu bukanlah sakramen bagi mereka yang berada di ambang
kematian saja” (SC 73). Dewasa ini sakramen itu dimengerti sebagai sakramen bagi kesehatan
dan penyembuhan. Sakramen itu dirayakan bagi orang yang sakit keras, orang yang sudah
berumur, mereka yang akan menjalani operasi besar, dan kadang-kadang bagi mereka yang
menderita trauma psikologis. Sakramen itu dapat merupakan pengalaman yang hebat bagi
semua orang itu, membantu mereka untuk menemukan rahmat Allah justru pada saat sakit, tak
mampu, atau menjelang kematian.
Ibadat yang sudah diperbarui menempatkan sakramen pengurapan dalam konteks reksa
pastoral bagi orang sakit.14 Unsur-unsur paling penting dalam ibadat itu adalah pewartaan
Sabda, doa iman, penumpangan tangan, dan pengurapan dahi serta tangan dengan minyak.
Yang amat penting adalah sentuhan manusia. Yesus menyembuhkan orang sakit dengan
menyentuh mereka (Mrk 1:41; 8:23; Luk 4:40). Sentuhan manusia dengan penumpangan
tangan membantu menjembatani pemisahan yang kerap dialami oleh orang sakit, terutama
menjelang ajalnya. Orang sakit perlu mengetahui bahwa ia tidak sendirian, bahwa sahabatsahabat, mereka yang dicintai dan Gereja ada bersamanya. Karena alasan yang sama,
sakramen itu sebaiknya dirayakan bersama. Sakramen dapat dirayakan pada ibadat Ekaristi,
atau jika orang yang sakit tidak lagi mampu beranjak dari tempat tidur, di hadapan para anggota
keluarga yang menggabungkan doa mereka dengan doa imam. Reksa pastoral orang sakit menyangkut lebih banyak orang daripada imam. Pengolesan dengan minyak atas orang sakit
mengingatkan orang akan pengurapan baptis mereka dan penyatuan dirinya dengan Kristus
dan dalam misteri Paskah.
5. Kesimpulan
Banyak pemikir pada masa kini kerap menggunakan adanya sedemikian banyak
penderitaan dan kejahatan di dunia sebagai argumen untuk melawan adanya Allah. Sedemikian
banyak penderitaan, terutama yang menimpa mereka yang tidak bersalah, merupakan halangan untuk percaya. Bagaimana Allah yang sedemikian baik menciptakan dunia semacam itu,
bagaimana Allah Yang Mahakuasa membiarkan terjadi sedemikian banyak penderitaan?
Misteri kejahatan tidak begitu mudah untuk dimengerti. Sudah sejak awalnya tradisi Kitab
Suci menekankan bahwa ciptaan itu baik. Kisah penciptaan pertama merayakan kemenangan
Allah atas kekuatan-kekuatan kekacauan untuk menciptakan dunia yang indah dan teratur (Kej
1:1–2:4a). Masalahnya bukan pada dunia ciptaan melainkan dalam hati makhluk yang
ditempatkan Allah di tengah-tengah dunia ciptaan, pria dan wanita, yang diciptakan menurut
citra Allah, yang mampu menerima dan menanggapi cinta tetapi juga mampu menolak karunia
itu. Karena kita diciptakan sebagai makhluk bebas, Allah tak dapat memaksa cinta kita. Allah
hanya dapat mengundang kita untuk menjawab dengan bebas. Bersama kebebasan muncul kemungkinan dosa, yang masuk ke dunia karena pilihan bebas manusia. Tradisi Kitab Suci
menekankan kenyataan dosa yang tersebar di mana-mana. Dosa adalah kekuatan yang
merajalela di dunia, yang mendatangkan penderitaan, kematian, dan kehancuran. Akan tetapi,
daripada mengakui kekuatan dosa yang destruktif, kita cenderung mempersalahkan Allah atas
adanya penderitaan dan kejahatan itu.
Bagian dari masalah adalah kecenderungan alamiah untuk terlalu menekankan kekuasaan
Allah. Kita kerap berpikir tentang Allah dalam kerangka filosofis, dengan menyebut Allah
sebagai ”Mahakuasa”. Pada kenyataannya, sebagaimana dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus
II, justru penciptaan kebebasan oleh Allah merupakan pembatasan-diri kekuasaan Ilahi: ”Dalam
arti tertentu, orang dapat menyatakan bahwa berhadapan dengan kebebasan manusia, Allah
memutuskan untuk membuat Diri-Nya tak berdaya.”15 Allah tidak dapat tidak menghormati
kebebasan kita. Oleh karena itu, daripada melihat Allah sebagai penyebab langsung setiap
peristiwa, lebih masuk akallah membayangkan lamanya penderitaan dan belas kasih Allah yang
secara misterius pada karya yang membawa kebaikan dari kejahatan, kemenangan dari kekalahan, kehidupan dari kematian. Hal ini tak ditunjukkan secara lebih jelas di mana pun kecuali
dalam kematian dan kebangkitan Yesus.
Pandangan tentang dosa yang muncul dalam Alkitab dengan demikian bersifat pribadi.
Dosa merusak hubungan kita dengan
Allah dan mengasingkan kita satu sama lain.
Kejahatan terakhir dosa ditunjukkan dalam keperkasaannya atas Yesus, ”Orang yang benar”
(Kis 3:13; 7:52) dengan mendatangkan kematian-Nya. Namun demikian, kematian dan
kebangkitan-Nya menyatakan kemenangan besar Allah atas dosa, mematahkan kekuasaannya
sekali untuk selamanya dan mengadakan perjanjian baru dalam darah Kristus (Luk 22:20).
Sewaktu menulis kepada umat di Korintus, Paulus membicarakan misteri salib sebagai
”kelemahan Allah” yang ternyata lebih kuat daripada kekuatan manusia (1Kor 1:25).
Baru pada abad ke-5 Agustinus merumuskan apa yang kemudian menjadi ajaran tentang
dosa asal, tetapi akarnya sudah ditemukan dalam surat St. Paulus dan kita dapat merasakan
akibat-akibatnya dalam hidup kita sendiri. Masing-masing dari kita dipengaruhi oleh kelahiran
kita ke dunia yang berdosa dan membutuhkan belas kasihan Allah. Kita menyadari kedosaan
kita, bahwa kita hancur, bahwa kita butuh disembuhkan dan dibebaskan. Kita dapat berdosa
karena perbuatan dan kelalaian, seperti diajarkan Yesus dalam perumpamaan tentang hari
penghakiman; ”Ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak
memberi Aku minum” (Mat 25:31-46).
Tobat dan pengurapan orang sakit merupakan sakramen-sakramen penyembuhan.
Mewartakan pengampunan dosa merupakan tema sentral dalam pewartaan Yesus, dan Gereja
terus memaklumkan pengampunan atas nama-Nya (Yoh 20:23). Dalam sejarah Gereja,
sakramen pengampunan telah mengambil beberapa bentuk. Jika
orang-orang Katolik
dewasa ini ikut serta dalam ibadat tobat yang baru, mereka akan mendapatkan buah yang
banyak dalam sakramen yang memberi tekanan pada doa, penyembuhan dan rekonsiliasi itu.
Dewasa ini banyak Paroki menyelenggarakan ibadat tobat dengan memberi kesempatan
kepada peserta untuk pengakuan pribadi sebagai bagian dari pengisian masa Adven dan
Puasa.
Pelayanan penyembuhan Yesus terus ditampakkan dalam sakramen pengurapan orang
sakit. Dalam sejarah, sakramen itu juga telah mengambil beberapa bentuk dan memberi
beberapa tekanan. Ibadat yang baru menekankan penyembuhan orang sakit dari akibat-akibat
kejahatan dan dosa, yaitu dari penyakit, penderitaan dan ketakutan akan kematian. Sakramen
itu membawa rahmat penyembuhan Kristus dan memperkuat mereka yang mendekati kematian
dengan janji dibangkitkan kembali.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Karl Menninger, Whatever Become of Sin? (New York: Hawthorn, 1973).
Kathleen Norris, Dakota: A Spiritual Geography (Boston: Houghton Mifflin, 1993) 97-98.
Wiliam J. O’Malley, ”A Sane Sense of Sin,” America 172 (April 8, 1995) 11.
Martin Luther, ”The Psalm Miserere,” Luther’s Works, ed. Jaroslav Pelikan (St. Louis: Concordia, 1955) 12:307-308.
Augustinus, Confessiones 8.7.
Thomas Aquinas, Summa Theologiae I-II. 88.2.6.
Lih. Mark O’Keefe, What Are They Saying About Social Sin? (New York: Paulist, 1990) 13-17.
CELAM II, ”Peace,” no. 17.
Lihat Peter J. Henriot, Edward P. DeBerri dan Michael J. Schultheis, eds., Catholic Social Teaching: Our Best Kept Secret
(Mayknoll, N.Y.: Orbis, 1988).
Joseph Mckenna, ”The Possibility of Social Sin,” The Irish Theological Quarterly 60 (1994) 130.
Jay Dolan, The American Catholic Experience (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1985) 221.
Ibidem, 226-227.
Lihat John J. Ziegler, Let Them Anoint the Sick (Collegeville: The Liturgical Press, 1987) 68-70.
Ibadat itu pada awalnya disebut Ibadat Pengurapan dan Reksa Pastoral Orang Sakit. Setelah ditinjau lagi ibadat itu disebut
Reksa Pastoral Orang Sakit: Ibadat Pengurapan dan Viaticum (Washington: ICEL, 1982).
Yohanes Paulus II, Crossing the Threshold of Hope, ed. Vittorio Messori (New York: Random House, 1994) 61.
VIII
Moralitas Seksual dan Keadilan Sosial
Menjadi murid Kristus harus membentuk hidup interpersonal dan sosial kita. Moralitas
seksual berkaitan dengan ungkapan yang tepat dari dorongan, keintiman, cinta dan penerusan
keturunan, yang memegang peran sedemikian penting dalam hubungan antarpribadi kita.
Keadilan sosial menggambarkan apa yang terjadi bila masyarakat kita ditata sedemikian rupa
sehingga setiap orang dihormati dan dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan sosial, politik,
dan ekonomi masyarakat. Masalah-masalah yang diangkat oleh kedua bidang itu menyentuh
diri kita secara pribadi. Kedua bidang itu telah ditanggapi secara luas oleh otoritas mengajar
Gereja dan kedua bidang itu merupakan bidang perselisihan pendapat yang menimbulkan
banyak emosi, perhatian, dan tanggapan yang berbeda terhadap otoritas Gereja.
Beberapa orang Katolik dewasa ini tidak menyetujui ajaran Gereja tentang masalahmasalah pengaturan kelahiran, perceraian, dan pernikahan kembali, hubungan seksual di luar
nikah, dan perkawinan antara orang homo, dan (pada tingkat yang kurang luas) pengguguran.
Orang-orang Katolik lain, yang menerima ajaran Gereja tentang masalah-masalah itu
mendapatkan kesulitan besar untuk menerima ajaran Gereja di bidang keadilan sosial,
misalnya, tentang hak orang untuk berimigrasi, penggunaan senjata-senjata nuklir untuk
menakut-nakuti, dan penerapan prinsip-prinsip keadilan distributif, yang menegaskan hak
semua warga negara untuk ikut ambil bagian secara sama dalam kehidupan ekonomi.
Demikian juga, di masa lalu beberapa orang Katolik tidak menyetujui ajaran Gereja tentang hak
kaum pekerja untuk bergabung dalam serikat buruh atau penghukumannya atas kejahatan
rasisme dan pemisahan orang menurut warna kulit. Dalam bab ini akan kita bahas moralitas
seksual dan keadilan sosial.
1. Moralitas Seksual
Secara jujur harus diakui bahwa Gereja Katolik telah amat mendua dalam sikapnya
terhadap seks. Dari satu pihak, Gereja mengakui bahwa seksualitas merupakan anugerah Allah
yang baik yang diberikan kepada nenek moyang kita pertama untuk cinta timbal balik mereka
dan untuk mendatangkan kehidupan baru di dunia. Ini telah selalu menjadi keyakinan
mendalam tradisi Katolik. Di pihak lain, Gereja tampaknya takut-takut terhadap kekuatan
misterius seksualitas. Menggunakan pesimisme St. Agustinus, Gereja kerap kali menyempitkan
makna hubungan seksual pada prokreasi (penciptaan anak), hampir tidak menenggang
kesenangan pasangan yang menyertai hubungan seks itu. Berdasarkan pandangan itu,
berkembanglah teologi moral yang cenderung memandang seksualitas dalam kerangka
tindakan abstrak daripada hubungan manusia yang kompleks.
Pandangan Katolik bahwa seksualitas merupakan kurnia ilahi yang mendapatkan
pemenuhannya yang tepat dalam hubungan kasih dan khusus, terbuka untuk terciptanya hidup
baru, berakar dalam Kitab Suci. Kitab Kejadian mengajarkan bahwa seks adalah untuk
prokreasi (ikut penciptaan manusia) (1:28) dan cinta kasih timbal balik (2:18-24). Kidung Agung,
puisi yang jelas-jelas erotik, merayakan cinta fisik antara pria dan wanita. Yesus mengandaikan
lembaga perkawinan bersifat ilahi dan meneguhkan kembali ketidakdapatputusnya hubungan
perkawinan. Dengan menolak kelonggaran hukum Musa yang memperbolehkan pria
menceraikan istri tetapi bukan sebaliknya, Yesus mengajarkan prinsip timbal-balik dalam
hubungan seksual yang tidak dihormati dalam tradisi. St. Paulus mengakui perkawinan sebagai
karisma, kurnia rahmat untuk pembangunan Gereja (1Kor 7:7). Surat kepada umat Efesus
melihat hubungan intim antara suami dan istri sebagai misteri besar (mysterion) yang
menggambarkan kesatuan Kristus dan Gereja (Ef 5:31-32), pemahaman intuitif tentang
perkawinan yang sakramentalitasnya kemudian diakui oleh Gereja.
Kitab Suci menekankan bahwa Alkitab memandang seksualitas tidak secara terpisah
melainkan selalu dalam hubungan dengan jemaat. Masih ada teks Kitab Suci yang menghukum
beberapa perilaku seksual yang dianggap menyeleweng dari norma umum perkawinan
heteroseksual, monogam dan tetap. Perilaku-perilaku itu meliputi:
Perzinahan (Im 20:10; Kej 39:9 Ams 2:17; Sir 23:16-21; Kel 20:14; Bil 5:18; Mrk 7:22; Mat 5:28;
15:19; 1Kor 6:9); perbuatan seks di luar nikah (Sir 42:10; Bil 22:13-21; Im 19:29; porneia atau imoralitas seksual yang mencakup perbuat-an seks di luar nikah (Mrk 7:21; Mat 15:19; 1Kor 5:9-11; 7:2;
2Kor 12:21; Gal 5:19; Ef 5:3,5), dan perbuatan homoseksual (Im 18:22; 20:13; Rm 1:27; 1Kor 6:9).
Semua perbuatan itu tidak sesuai dengan hidup iman dalam jemaat religius. Yang jauh
lebih penting adalah hakikat jemaat dan ciri-ciri hidup para anggotanya.1
Tentu saja harapan sudah ada sejak permulaan agar mereka, yang sudah dibaptis dalam
Kristus dan jemaat murid-murid-Nya, harus hidup dengan cara yang mencerminkan kedua
kenyataan Kristiani yang fundamental itu. St. Paulus mengajarkan kepada umat di Korintus
untuk mengeluarkan seorang anggota yang hidup dalam hubungan sumbang dengan ibu
tirinya. Perkataan St. Paulus tidak hanya tertuju kepada orang perorangan melainkan demi
kesejahteraan jemaat (1Kor 5:1-13). Demikian juga, dalam hal orang-orang Kristiani yang
berhubungan seks dengan pelacur-pelacur, St. Paulus menyatakan bahwa kesatuan yang
sudah ada antara mereka dan Kristus, dengan demikian, setiap hubungan seksual harus
mencerminkan kesucian hubungan ini (1Kor 6:15-20). Di sini St. Paulus menyarankan sebuah
teologi tentang hubungan seksual.
Perkembangan Teologi Moral
Orang-orang Kristiani awal, yang dibina dalam konflik besar tentang sunat dan hukum
Musa, pada zaman St. Paulus tidak memahami hidup mereka dalam Kristus dalam kerangka
hukum moral baru. Mereka mengetahui ajaran Kristus bahwa cinta kepada Allah, yang tak
terpisahkan dari cinta kepada sesama, meringkas segala perintah (Mrk 12:29-31). Mereka
berusaha meresapkan panggilan Injil untuk bertobat. Mereka sadar untuk membedakan
kehadiran Roh dalam jemaat dan hidup mereka. Dengan demikian seorang penulis Kristiani
pasca Perjanjian Baru, yang menulis bagaimana orang-orang Kristiani hidup di antara sesama
mereka tetapi berbeda dari mereka, menunjukkan bahwa orang-orang Kristiani tidak
memamerkan anak-anak mereka atau saling berbagi ranjang istri-istri mereka dengan orangorang lain (Ad Diognetus 5).
Lalu, bagaimana ajaran Katolik tentang seksualitas menjadi sedemikian legalistik
ungkapannya, sedemikian menaruh perhatian pada dosa? Ajaran itu untuk sebagian besar
ternyata dipengaruhi oleh ajaran St. Agustinus, perhatian yang terlalu banyak terhadap dosa
yang berkembang bersamaan dengan praktek pengakuan dosa.2
St. Agustinus, Uskup Hippo (354- 430), merupakan salah seorang tokoh yang berpengaruh
besar pada teologi Kristiani di Barat. Ajaran-ajaran tentang Allah, Tritunggal, rahmat, dosa asal,
Gereja, sakramen, kedudukan Roma mendapatkan pengaruh daripadanya hingga hari ini. Akan
tetapi seperti sudah kita lihat, ada unsur gelap dalam pemikiran St. Agustinus, pesimisme yang
mendalam tampak pada pandangannya tentang kerusakan yang diakibatkan dosa asal pada
kodrat manusia dan kesibukan pikirannya tentang masalah dosa dan kejahatan.
Segi gelap ini menandai teologi Katolik sekurang-kurangnya dengan dua cara. Pertama,
prinsipnya bahwa Allah tidak memerintahkan hal yang mustahil yang dirumuskannya untuk
menekankan keunggulan rahmat melawan tekanan Pelagius tentang apa yang dapat dicapai
oleh kebebasan manusia dengan kekuatannya sendiri, mempengaruhi tumbuhnya dimensi yang
halus pada ajaran moral Katolik yang berlangsung selama berabad-abad. Pius XI mengacu
pada prinsip itu sewaktu menghukum kontrasepsi dalam ensikliknya Casti Connubii (1930)3 dan
Paus Johanes Paulus II mengutipnya dalam ensiklik Veritatis Splendor (no. 103)4 tentang
prinsip-prinsip teologi moral. Dewasa ini beberapa orang akan melihat penalaran yang keras
dalam ajaran Gereja bahwa satu-satunya pilihan moral bagi orang yang mempunyai
kecenderungan homoseksual adalah hidup selibat.
Kedua karena dipengaruhi oleh pergulatannya yang panjang dan sulit untuk kemurnian,
Agustinus melihat seks sesudah kejatuhan manusia pertama sedemikian dikuasai oleh nafsu
sehingga tujuan moral satu-satunya untuk hubungan seksual adalah prokreasi. Ajaran St. Agustinus ini juga mempunyai sejarah panjang dalam teologi Katolik. Pada Abad Pertengahan
dengan mengikuti St. Agustinus, para teolog terus mengajarkan bahwa hubungan suami-istri
yang lebih untuk mendapatkan kesenangan daripada untuk prosesi adalah dosa – berat bagi
teolog moral yang berpendirian keras atau sekurang-kurangnya ringan menurut pandangan
kebanyakan teolog moral.5
Faktor lain yang membuat teologi moral menjadi terlalu menaruh perhatian terlalu banyak
pada dosa adalah praktek pengakuan dosa yang mulai abad ke-6. Sebelum abad itu, sakramen
rekonsiliasi hanya diperuntukkan bagi orang murtad, berzinah, dan membunuh. Seperti sudah
kita lihat, sakramen rekonsiliasi merupakan ibadat publik dan hanya diterima satu kali seumur
hidup. Akan tetapi, praktek pengakuan pribadi, praktek yang dipinjam dari tradisi monastik, mengembangkan buku-buku penitensi, yang disusun untuk membantu para penerima pengakuan
dalam menemukan dan menggolongkan dosa-dosa dan menetapkan silih. Buku-buku penitensi
awal, secara teologis sederhana dan tidak muluk-muluk, kemudian dikembangkan menjadi
summa (kumpulan pokok-pokok) yang sistematis bagi para bapa penerima pengakuan,
terutama sesudah Konsili Lateran IV (1215) yang menetapkan pengakuan dosa dan komuni
sekali dalam satu tahun selama Masa Paskah. Kumpulan-kumpulan itu terus menjadi berlipat
ganda – kumpulan untuk para bapa pengakuan, kumpulan kasus-kasus moral (yang disukai
oleh yesuit), kumpulan teologi moral – sampai pertengahan abad ke-20. Dari tradisi ini berkembanglah teologi moral yang khusus disusun bagi para bapa pengakuan. Sayangnya, teologi
moral itu menjadi teologi moral yang terputus dari teologi dogmatik dan teologi spiritual.
Penekanan Konsili Trente pada peran imam sebagai hakim dalam pengakuan, menambah sifat
legalistik pada sakramen pengakuan. Perhatian yang keterlaluan terhadap dosa seksual
diperkuat oleh deklarasi Takhta Suci Vatikan pada abad ke-17 yang ”mengelompokkan setiap
pelanggaran dalam masalah seksualitas yang secara objektif merupakan perkara berat yang
merupakan dosa berat”.6
Ajaran tradisional tentang seksualitas yang berasal dari teologi moral ini diterima begitu
saja oleh orang-orang Katolik – jika tidak selalu dihormati – sampai Konsili Vatikan II. Akan
tetapi sesudah Konsili itu, kredibilitas ajaran itu mulai melemah. Dalam proses ini, ajaran Gereja
tentang kontrasepsi artifisial memegang peranan kunci. Banyak orang telah berharap agar
pembaruan-pembaruan Konsili melunakkan pendekatan Gereja yang keras terhadap masalahmasalah yang berkaitan dengan seksualitas. Ada tanda-tanda yang membesarkan hati. Konsili,
untuk menghindari bahasa tradisional tentang ”tujuan primer dan sekunder perkawinan”, pada
akhirnya meninggalkan penomorduaan cinta timbal balik suami-istri pada prokreasi yang telah
menjadi pendirian Gereja sejak zaman St. Agustinus (GS 48- 50).
Pada tahun 1963, Paus Yohanes XXIII menetapkan panitia untuk menyelidiki larangan
tradisional Gereja atas kontrasepsi, terutama menanggapi ”pil pengaturan kelahiran” yang
anovulant yang dikembangkan oleh Dr. John Rock dan lain-lain pada tahun 1950-an. Akan
tetapi pada tahun 1967, Paus Paulus VI menolak metode-metode kontrasepsi dalam ensikliknya
Humanae Vitae. Para komentator teologi Katolik menyatakan bahwa Humanae Vitae memberi
pukulan pada otoritas mengajar magisterium yang masih harus dipulihkan kembali.7
Akan tetapi, ada juga faktor-faktor lain yang membuat orang kehilangan kepercayaan pada
ajaran Gereja tentang seksual, di antaranya adalah yang disebut revolusi seksual pada akhir
tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, yang dibantu oleh tersedianya secara luas pil-pil kontraseptif, gerakan wanita, dan bertambahnya jumlah pembangkang terhadap doktrin
magisterium tentang seksualitas (terutama sesudah Humanae Vitae) dari pihak teolog-teolog
Katolik.
Pada tahun 1976 karena prihatin bahwa orang-orang Kristiani yang setia pun merasa ”tidak
tenang”, Kongregasi untuk Ajaran Iman menerbitkan ”Deklarasi tentang Masalah-Masalah
Tertentu Berhubungan dengan Etika Seksual”.8 Deklarasi itu meneguhkan kembali ajaranajaran tradisional Gereja dengan ungkapan yang tegas. Ajaran-ajaran itu, argumentasinya
didasarkan atas beberapa segi dari hukum kodrat yang ”memiliki nilai mutlak dan tak dapat
diubah” (no. 4). Menurut ajaran itu, ”setiap hubungan seksual haruslah dalam kerangka
perkawinan” (no. 7); dengan demikian setiap perbuatan seksual di luar konteks itu dilarang.
Secara khusus deklarasi menyebutkan marturbasi, seks sebelum nikah, perbuatan
homoseksual untuk diperhatikan secara khusus dan tradisi menegaskan kembali bahwa tidak
ada ”masalah kecil” jika menyangkut seks: ”Tatanan moral seksualitas menyangkut nilai hidup
manusia yang tinggi sehingga setiap pelanggaran langsung terhadap tatanan itu secara objektif
berdosa” (no. 9).9
Tidak pada tempatnya jika dalam buku ini kita masuk ke dalam diskusi-diskusi tentang
masalah-masalah hubungan Gereja Katolik dan seksualitas yang muncul dewasa ini. Cukuplah
bila disampaikan ajaran resmi Gereja dan bersamaan dengan itu, ditunjukkan beberapa masalah yang dewasa ini diangkat oleh teolog-teolog moral Katolik. Kita akan membahas pengaturan
kelahiran, pengguguran, masturbasi, seks sebelum nikah, dan hubungan homoseksual.
Pengaturan Kelahiran
Meskipun kontrasepsi (anti kehamilan dengan segala cara) sudah dihukum oleh para teolog
sekurang-kurangnya sejak abad ke-4, namun tidak menjadi masalah gawat sampai akhir abad
ke-19, pada waktu praktek pengaturan kelahiran mulai menjadi lebih umum di Eropa. Sesudah
sejumlah pernyataan melawan kontrasepsi oleh hierarki-hierarki nasional dan persetujuan
bersyarat atas metode-metode kontrasepsi oleh Konferensi Lambeth para Uskup Anglikan
(Lambeth Conference of Anglican Bishops) tahun 1930, Paus Pius XI menghukum segala
bentuk kontrasepsi dalam ensikliknya tentang perkawinan, Casti Connubii (1930). Pius XII
memajukan ajaran Katolik satu langkah lagi pada tahun 1951, ketika dalam sambutannya
kepada Ikatan Bidan Katolik Italia, ia menyetujui pantang berkala selama masa subur wanita
untuk menghindari kehamilan, asal ada alasan cukup. Metode itu disebut metode ritma (rhytm
method).
Dengan beredarnya pil kontraseptif pada tahun 1950-an, masalah kontrasepsi artifisial
(buatan) menjadi pembicaraan hangat. Paulus VI tidak menghendaki Konsili Vatikan II
membahas masalah kontrasepsi artifisial itu. Paus Paulus VI malah memperluas menjadi 69
anggota Komisi Internasional yang dibentuk oleh Paus Yohanes XXIII untuk mempelajari ajaran
Gereja tentang kontrasepsi.
Pada tahun 1967, 64 anggota Komisi mendukung dan 4 anggota tak mendukung (Uskup
Agung Karol Wojtyla – yang kemudian menjadi Paus Yohanes Paulus II – tidak menghadiri
pertemuan) untuk mengubah ajaran tradisional yang menyatakan bahwa penggunaan segala
alat kontraseptif adalah imoral. Namun, sesudah pembahasan susah payah mengenai masalah
itu, Paus Paulus VI menegaskan lagi larangan tradisional dalam ensikliknya, Humanae Vitae,
yang terbit pada tahun 1968. Humanae Vitae menyatakan bahwa ”masing-masing dan setiap
hubungan suami-istri dalam perkawinan harus terbuka untuk penerusan kehidupan” (no. 11)
karena hubungan yang tak terpisahkan antara makna perbuatan seksual yang sifatnya unitif
dan prokreatif (no. 12).
Ada sedikit masalah yang telah bersifat memecah belah bagi agama Katolik pada zaman ini
seperti ajaran Paus melawan kontrasepsi. Ensiklik itu merupakan tindak magisterium yang
otoritatif meski tidak dapat tidak sesat, sebagaimana dinyatakan oleh Vatikan pada waktu
ensiklik dikeluarkan. Konferensi para uskup sebanyak 13 negara menunjukkan kecenderungan
untuk memperlunak pendirian Paus dalam tanggapan mereka.10 Charles Curran, teolog moral di
The Catholic University of America, AS, pada waktu itu, menulis pernyataan yang tak
menyetujui pendirian Paus. Curran menyatakan bahwa pasangan dapat secara bertanggung
jawab memutuskan menurut hati nurani mereka bahwa kontrasepsi artifisial dalam keadaankeadaan tertentu diperbolehkan dan memang diperlukan untuk menjaga dan memupuk nilai dan
kesucian perkawinan. Lebih dari 600 teolog, imam, dan akademisi menandatangani pernyataan
itu. Dewasa ini banyak teolog mengambil pendirian bahwa makna unitif dan prokreatif
seksualitas perlu disatukan prinsip, tetapi tidak harus dalam segala hubungan seksual.
Perdebatan yang disulut oleh Humanae Vitae berlangsung selama bertahun-tahun.11 Pada
Sinode Para Uskup tentang Keluarga di Roma tahun 1980, Uskup Agung John R. Quinn dari
San Francisco berbicara atas nama banyak orang – awam, klerus, dan tentu saja sejumlah
uskup – pada waktu melihat bahwa ada perlawanan luas di kalangan orang-orang Katolik
terhadap ajaran ensiklik tentang kejahatan intrinsik dari masing-masing dan tiap-tiap
penggunaan kontraseptif. Ia mengutip sebuah studi yang menunjukkan bahwa 76,5% wanita
Katolik Amerika menggunakan beberapa bentuk pengaturan kelahiran, dan 94% dari jumlah itu
menggunakan metode-metode yang dihukum oleh ensiklik. Quinn menyarankan agar Gereja
berusaha menciptakan konteks baru bagi ajarannya mengenai kontrasepsi dengan menekankan apa yang telah dikatakan Gereja tentang orang tua yang bertanggung jawab; agar Gereja
mulai dialog dengan para teolog tentang masalah-masalah yang diangkat oleh mereka yang
tidak menyetujui ajara-ajaran Humanae Vitae; dan bahwa perhatian yang sungguh-sungguh
diberikan pada cara ensiklik-ensiklik ditulis dan dikomunikasikan.12
Pengguguran
Jika ajaran tradisi Gereja melawan kontrasepsi belum diterima secara luas oleh umat
Katolik, situasi terhadap pengguguran berbeda. Kebanyakan orang Katolik dewasa ini percaya
bahwa secara langsung mengakhiri hidup dalam rahim merupakan kejahatan moral yang berat,
bahkan jika tidak semua dari mereka sepakat tentang cara terbaik menyelesaikan masalah itu.
Sejak awal, tradisi Katolik sudah melawan pengguguran.13 Didache yang berasal dari awal
abad ke-2, mengajarkan bahwa ”kamu jangan membunuh anak dengan pengguguran atau
membunuhnya pada saat kelahiran” (2.2). Baru pada pertengahan abad ke-2, tradisi ini mulai
ditantang oleh dunia yang semakin sekular, dan menyebabkan munculnya sejumlah pernyataan
Paus dan uskup yang untuk sebagian berkaitan dengan hubungan antara hukum dan
moralitas.14 Kongregasi untuk Ajaran Iman mengeluarkan Deklarasi tentang Pengguguran yang
Diusahakan (Declaration on Procured Abortion) pada bulan November 1974. Kitab Hukum
Kanonik yang direvisi tahun 1983, menyatakan bahwa ”orang yang mengusahakan
pengguguran dan berhasil dengan sendirinya terkena ekskomunikasi” (Kan. 1398). Ensiklik
Paus Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, meneguhkan kembali dengan kata-kata tegas
ajaran Gereja tentang pengguguran, dengan menekankan bahwa semua orang dipanggil untuk
mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk melindungi hidup manusia yang tak
berdosa.
Meskipun Gereja belum menetapkan kapan hidup manusia sesungguhnya mulai, Gereja
telah mengambil tindakan untuk mempertahankan bahwa hidup manusia sudah ada dari saat
pembuahan atau fertilisasi. Ini berarti bahwa Gereja memandang campur tangan seperti I.U.D
(intra uterine device) atau pil morning after (digunakan sesudah hubungan seksual) yang
mencegah ovum yang sudah dibuahi tidak menempel pada dinding rahim, sebagai yang bersifat
abortif.
Sejumlah teolog Katolik seperti Richard McCormick, Charles Curran, Bernard Häring, dan
Karl Rahner menyarankan bahwa penemuan-penemuan dalam biologi reproduktif
memungkinkan bahwa hidup manusia perorangan dapat sudah ada sampai dua atau tiga
minggu sesudah fertilisasi. ”Hominisasi” menuntut dua perubahan yang harus terjadi pada
embrio awal. Pertama, hominisasi harus melewati tahap twinning, tahap selama embrio dapat
terbagi menjadi dua atau lebih, dan sesudah itu ada kepastian bahwa individualitas satu atau
dua embrio telah mantap. Kedua, hominisasi harus berubah dari ”hidup manusia berbentuk sel
ke bentuk yang mulai menunjukkan diferensiasi yang khas dari organisme manusia”15 Pendapat
ini menyediakan periode 14 sampai 21 hari yang terbatas, suatu bidang kelabu, yang karena
alasan-alasan serius seperti perkosaan atau inses, embrio awal dapat gugur. Namun, yang lain
menyatakan bahwa hidup manusia sedemikian suci sehingga bahkan hidup manusia yang
potensial pun harus dilindungi. Sungguh penting dicatat bahwa dokumen-dokumen Gereja
”pada umumnya menyatakan perang melawan pengguguran dalam konteks penghormatan
terhadap hidup yang lebih luas pada setiap tahap dan dalam segala bidang”.16
Aborsi terapeutik, karena alasan-alasan medis membuang fetus seperti embrio yang sudah
bersarang pada tuba falopi dan dengan demikian tidak dapat berkembang untuk kehamilan
(kehamilan ektopik) atau dalam proses membuang rahim yang terserang kanker, merupakan
persoalan yang lain. Prosedur-prosedur semacam itu merupakan pengguguran yang tidak
langsung. Prosedur-prosedur itu diperbolehkan dan diperlukan untuk menyelamatkan hidup ibu.
Bagaimana Gereja dapat membuat posisinya tentang kesucian hidup lebih didengarkan?
Ada pendapat yang diajukan yang menyatakan bahwa posisi Gereja dalam masalah aborsi itu
dapat menjadi lebih kokoh, jika Gereja memasukkan istilah ”hak untuk hidup” dalam kerangka
pemahaman tradisional ”kebaikan bersama” (bonum commune), dan jika menempatkan
pengguguran dalam konteks masalah peran gender dalam masyarakat. Gereja sebaiknya lebih
mengakui hak-hak wanita untuk ikut ambil bagian dalam sektor publik agar ”kebebasan
reproduktif” tidak dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk menjamin hak untuk hidup.
Gereja masih mempertahankan peran-peran sosial yang berpedoman pada gender dengan
memberikan peran wanita dalam rumah dan keluarga tanpa mengakui secara memadai hak
mereka untuk ikut ambil bagian secara sejajar dalam bidang publik. Salah satu cara untuk itu
adalah mengajar pria untuk juga ikut bertanggung jawab dalam rumah tangga supaya masalah
pengasuhan anak menjadi urusan bersama dalam keluarga dan bukan hanya urusan wanita
saja.17
Masturbasi
Pernyataan-pernyataan magisterium yang melawan masturbasi sudah muncul pada abad
ke-11.18 Ajaran bahwa dalam masalah seks tidak ada ”perkara kecil” membuat masturbasi
menjadi perkara penting dalam Teologi Moral dan mungkin juga dalam sebagian besar hidup
banyak orang Katolik. Dewasa ini pendapat mengenai masalah itu amatlah beragam. Banyak
orang berpendapat bahwa masturbasi merupakan bagian dari kesadaran dan kematangan
seksual remaja. Oleh karena itu, masturbasi di kalangan remaja kerap mengurangi kebebasan
mereka dan dengan demikian juga tanggung jawab mereka. Kebiasaan masturbasi yang sudah
kuat merupakan gejala bahwa seksualitas orang yang bersangkutan belum terintegrasi dalam
dirinya. Dengan demikian masturbasi mempunyai makna yang berbeda-beda bagi anak remaja,
dan orang dewasa, orang yang telah menikah atau hidup sendirian tidak kawin.
Kebanyakan ahli moral Katolik enggan untuk berpandangan bahwa masturbasi hanya
merupakan bentuk pelampiasan seksual yang normal. Mereka menyatakan bahwa secara
fenomenologis, masturbasi merupakan ungkapan seksualitas yang lebih berpusat pada diri
sendiri, sendirian, dan hedonistis daripada relasional, timbal-balik, dan memberi. Dengan
demikian, tindakan itu mengungkapkan kegagalan mencapai dimensi integratif dari hakikat
seksual. Melakukan masturbasi dengan tahu dan sengaja menghambat pengintegrasian dan
perubahan pribadi yang merupakan buah Roh. Orang-orang yang mengalami masa-masa
masturbasi yang teratur, yang bergantian dengan masa-masa pengendalian diri, menyarankan
untuk tidak menerima masturbasi sebagai hal yang baik. Mereka melihatnya sebagai tanda
kelemahan, yang menimbulkan perasaan malu terhadap diri sendiri. ”Tetapi ketidakmauan dan
ketidaksediaan untuk menuruti dorongan masturbasi dan menguasai dirinya merupakan fakta
bahwa bagi orang itu, masturbasi merupakan dorongan untuk merendahkan diri daripada
ungkapan kedosaan dasar dan berat”.19
Seks Pranikah
Salah satu masalah pelik yang merupakan bahan pembicaraan dengan anak-anak remaja
adalah tentang seks pranikah. Para teolog Katolik ”selalu dan di mana-mana” berpendapat
bahwa hubungan seksual pranikah merupakan dosa berat.20
Visi Gereja yang paling mendalam tentang seksualitas adalah bahwa makna unitif dan
prokreatif hubungan seksual secara intrinsik berhubungan. Dengan demikian, Gereja melihat
bahwa hubungan antara kesetiaan perkawinan dan ungkapan seksual tak terpisahkan. Hubungan seksual merupakan saling penyerahan total antara suami-istri. Jika hubungan itu penuh
cinta, maka menyangkut komitmen. Akan tetapi, jika ungkapan lahir, fisik, bukan merupakan
pernyataan kenyataan batin, spiritual yang menyangkut cinta tanpa syarat dan penyerahan diri,
maka kesatuan tubuh pasangan bukan merupakan lambang kesatuan roh mereka, seks mereka
dengan mudah menjadi eksploitatif. Tanpa penyerahan-diri dan keterlibatan yang setia satu
sama lain,
maka tidak ada kesatuan cinta yang dapat menyambut dan mengasuh
hidup yang baru. Tragedi pengguguran seringkali terjadi karena pasangan melakukan
hubungan seksual sebelum mereka siap untuk menyambut anak yang merupakan buah dari
hubungan seksual itu.
Sekarang ini banyak anak muda menggunakan istilah ”hubungan” untuk menyatakan
hubungan seksual yang eksklusif tetapi tidak mengikat. Karena hubungan semacam itu
merupakan hubungan yang bersifat sementara, hubungan itu tidak mencapai makna
seksualitas baik yang unitif maupun yang prokreatif. Sedang pandangan Katolik justru
sebaliknya. ”Keyakinan Kristiani menyatakan bahwa hubungan yang dihayati dalam janji untuk
membangun hubungan yang tetaplah yang mencegah hubungan seksual menjadi kegiatan tak
berarti yang memecah-belah, mengasingkan, dan menghancurkan.”21 ”Seks tanpa komitmen
bersama penuh dengan bahaya penipuan, dan eksploitasi diri, khususnya pada wanita oleh
pria.”22
Beberapa moralis dewasa ini membedakan seks pra-upacara (praseremonial) dan seks
pranikah. Pembedaan itu mengandung arti bahwa jika sudah ada komitmen, ungkapan seksual
dalam beberapa kasus tertentu dapat tepat. Akan tetapi, pantas ditanyakan apakah komitmen
itu sungguh-sungguh ada sebelum dinyatakan secara publik. Mewujudkan hubungan
perkawinan sebelum komitmen publik apakah bukan merupakan jalan pintas dalam proses
pemantapan – tujuan utama pertunangan – di mana akan dilihat apa masing-masing pasangan
memang akan mampu membuat komitmen itu?
Salah satu alasan mengapa banyak perkawinan gagal dewasa ini adalah terlalu banyak
pasangan menempuh jalan pintas pada proses pemantapan. Daripada membiarkan kesatuan
seksual menjadi meterai dan ungkapan cinta yang telah tumbuh sampai pasangan sungguhsungguh terlibat satu sama lain, mereka mulai hidup bersama sebelum mereka tahu bagaimana
saling berbicara, berbagi perasaan mereka yang paling dalam, menjadi nyaman dalam
kehadiran bersama, erat dan akrab satu sama lain dengan saling mengungkapkan rasa cinta
dengan cara-cara yang wajar dan saling dapat diterima. Mudahlah untuk mengacaukan ”seks
yang nikmat” dengan cinta yang sejati, dan pada waktu seks tidak lagi baru dan
menggairahkan, mereka mendapatkan bahwa cinta yang mau diungkapkan ternyata tidak ada.
Sayangnya, penemuan ini kerap kali terlalu terlambat datangnya.
Hubungan Homoseksual
Salah satu masalah sulit yang dihadapi oleh jemaat Kristiani dewasa ini adalah hubungan
homoseksual.
Ada sejumlah penghukuman eksplisit terhadap hubungan homoseksual baik di dalam
Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru, tetapi banyak penafsir dan ahli Kitab Suci
dewasa ini, tidak melihat dalam teks-teks Kitab Suci itu penghukuman terhadap hubungan
homoseksual, karena konsep homoseksual baru dikenal pada zaman modern ini. Menurut
pendapat para penafsir dan ahli Kitab Suci, teks-teks Kitab Suci itu berkenaan dengan tindakan
ikut serta dalam ibadat tahayul dengan ikut bergabung bersama pelacur-pelacur kuil laki-laki
dan perempuan (Im 18:22; 20:13; Bil 23:18; bdk. 1Raj 14:24; 15:12), praktek umum di Timur
Tengah kuno, atau berkenaan dengan pelanggaran kewajiban kesediaan menerima tamu (Kej
19:4-8), atau berkenaan dengan pemburit (1Kor 6:9-10; 1Tim 1:10). Teks yang lebih sulit adalah
Rm 1:24-31. St. Paulus dengan jelas berbicara tentang hubungan homoseksual. Akan tetapi,
fakta bahwa St. Paulus melihat orang yang dihukumnya, pria dan wanita, karena meninggalkan
hubungan yang normal dan lebih menyukai hubungan homoseksual, membuktikan bahwa St.
Paulus tidak mengerti homoseksual sebagai keadaan.23 Ahli-ahli lain tentu saja tidak setuju
dengan penafsiran itu atau berpendapat penafsiran itu tidak ada kaitan dengan penghukuman
biblis.
Jelaslah dewasa ini bahwa orang tidak memilih menjadi homoseksual, bahkan bila kita
belum yakin apa yang menjadi penyebab kecenderungan homoseksual itu. Katekismus Gereja
Katolik mengakui bahwa kecenderungan homoseksual bukanlah pilihan (2358). Dengan
demikian, istilah ”memilih secara seksual” tidaklah tepat. Gereja membedakan kecenderungan
homoseksual dan perbuatan homoseksual. Perbuatan homoseksual inilah yang dipandang
amoral.
Perbuatan-perbuatan homoseksual yang tidak bertanggung jawab, bebas memilih
pasangan dan kasar merupakan kejahatan moral seperti halnya heteroseksual yang berciri
sama. Dilema yang dihadapi Gereja dewasa ini adalah apa yang harus dikatakannya kepada
orang homo dan lesbi yang hubungannya tetap, eksklusif dan setia, dan yang mau
mengungkapkan cinta mereka secara seksual. Ini merupakan masalah pelik yang akan selalu
menjadi masalah sulit bagi jemaat Kristiani.
Veritatis Splendor
Baru-baru ini Paus Yohanes Paulus II, seorang filsuf moral dan mantan profesor etika di
Universitas Katolik Lublin di Polandia, ikut terlibat ke dalam wacana tentang teologi moral
fundamental dan penerapan-penerapannya. Dalam ensikliknya Veritatis Splendor (1993),
perhatiannya ditujukan untuk menegaskan kembali ajaran tradisional teologi moral Katolik
bahwa perintah-perintah larangan hukum kodrat secara universal valid, berlaku (no. 52).
Dengan menunjukkan keakraban yang mengesankan dengan perdebatan zaman ini, secara
khusus ia menolak teori-teori etika teologis, proporsionalis, dan konsekuensialis yang
berpendirian bahwa ”tidak pernah mungkin merumuskan larangan mutlak tentang jenis perilaku
tertentu yang dalam segala hal bertentangan dengan nilai-nilai moral yang ditunjukkan oleh akal
dan wahyu (no. 75). Dengan demikian, ia meneguhkan kembali adanya ”perbuatan yang secara
intrinsik jahat”, tindakan yang pada dirinya jahat terlepas dari keadaan dan intensi pelakunya
(no. 80). Ia juga menegaskan lagi konsep tradisional tentang dosa berat, dengan
mengemukakan bahwa pilihan fundamental atau orientasi orang terhadap Allah dapat berubah
secara radikal oleh perbuatan-perbuatan tertentu (no. 70).
Veritatis Splendor merupakan pernyataan kembali yang kuat tentang tradisi. Ensiklik itu
perlu diperhatikan, dihormati, dan ditaati berdasarkan ajaran otoritatif magisterium Paus yang
sederhana (LG 25). Akan tetapi, orang-orang Katolik dan Kristiani lainnya akan terus
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai tradisi dan ajaran Gereja, pada waktu mereka
berusaha mempersatukan hidup pribadi dan seksual mereka dengan panggilan Injil untuk
menjadi murid.
2. Keadilan Sosial
Mungkin salah satu dokumen Konsili Vatikan II yang paling berarti adalah Konstitusi
Pastoral tentang Gereja Dewasa Ini, Gaudium et Spes. Dokumen ini, dengan visinya tentang
Gereja untuk pelayanan dunia (GS 3) dan ajakannya terhadap orang-orang Kristiani untuk
meringankan hidup orang miskin (GS 69), memberi inspirasi kepada banyak orang Katolik untuk
berperan aktif dalam berbagai gerakan pemerdekaan yang menandai bagian kedua abad ke-20
ini.
Akan tetapi, Gaudium et Spes bagaimanapun juga bukan satu-satunya contoh ajaran
magisterial Gereja mutakhir tentang keadilan sosial dan hak-hak azasi manusia. Akar-akar
ajaran sosial Gereja harus ditemukan dalam tulisan-tulisan profetik Kitab Suci Yahudi dan
dalam tradisi kaya pemikiran sosial Katolik yang mencakup para pemikir selama berabad-abad
seperti Agustinus, Aquinas, Suarez, von Ketteler, Maritain, dan John Courtney Murray maupun
tradisi ensiklik sosial para Paus selama 100 tahun terakhir ini.
Ensiklik-Ensiklik Sosial
Ensiklik-ensiklik sosial para Paus merupakan pernyataan gerejawi yang paling mutakhir dari
ajaran sosial Gereja. Dari Rerum Novarum (Leo XIII) (1891) tentang hak-hak pekerja, ensiklikensiklik sosial telah meluaskan pusat perhatiannya sampai meliputi masalah-masalah
perkembangan dan keadilan ekonomis antarbangsa, teknologi dan perlombaan senjata, makin
melebarnya jurang antara kaum kaya dan miskin dan kritik baik terhadap komunisme maupun
kapitalisme. Inti ajaran sosial dan pendasaran sikap pro-hidup adalah keyakinan Katolisisme
yang mendalam tentang nilai luhur setiap pribadi manusia yang diciptakan menurut citra Allah
(GS 12). Sayangnya, tradisi tentang ajaran sosial Gereja ini merupakan tradisi yang paling
sedikit diketahui oleh orang-orang Katolik zaman sekarang ini.24 Richard
P. McBrien
membedakan 3 periode dalam tradisi itu.25
Tahap I: 1891 – 1930. Rerum Novarum dari Paus Leo XIII dikeluarkan pada zaman
Revolusi Industri. Pada masa itu, di Eropa dan Amerika Serikat hukum pasar dibiarkan
mendominasi sepenuhnya hak-hak pekerja. Upah memprihatinkan, buruh anak-anak diterima
begitu saja, dan setiap usaha untuk membentuk serikat buruh guna melindungi kaum buruh
ditentang, kerap dengan kekerasan. Rerum Novarum memusatkan perhatian pada hak-hak itu,
terutama hak untuk mendapatkan upah yang adil yang mendukung keluarga pekerja dan hak
untuk bergabung pada serikat pekerja. Ensiklik menegaskan hak atas milik pribadi, tetapi
menekankan fungsinya untuk melayani kepentingan bersama. Dengan kata lain, hak atas milik
pribadi tidaklah mutlak. Ensiklik menekankan agar pemerintah campur tangan untuk mencegah
kerugian bagi orang-perorangan maupun kesejahteraan bersama.
Dengan membela hak-hak kaum buruh untuk masuk ke dalam perhimpunan-perhimpunan,
termasuk ”perserikatan-perserikatan buruh” (no. 36), Leo mendesak para penindas untuk
bertobat guna menghadapi masalah yang sekarang disebut ketidakadilan tingkat struktural.
Namun, pendekatan Paus masih cukup konservatif. Curiga terhadap munculnya gerakan serikat
buruh karena sifatnya yang sekular dan kadang-kadang anti-Katolik, Leo mendorong para
pekerja Katolik untuk membentuk perhimpunan mereka sendiri, dengan akibat Gereja tak dapat
mempengaruhi atau mendukung gerakan buruh sebagaimana seharusnya.26 Namun dengan
meminta perhatian pada masalah keadilan dalam tatanan sosial, Leo mengangkat suara Gereja
demi kaum miskin, Ensikliknya memberi dasar yang kuat bagi ajaran sosial Gereja, dasar yang
terus berfungsi sebagai patokan dan titik acuan bagi Paus-Paus selanjutnya.
Empat puluh tahun kemudian, Paus Pius XI mengembangkan ajaran sosial Paus Leo XIII
dalam ensikliknya Quadragesimo Anno (1931). Paus merumuskan untuk pertama kalinya
prinsip subsidiaritas (no. 79-80). Gagasan dasarnya adalah prioritas dan hak-hak masingmasing orang dan keluarga. Intinya, lembaga-lembaga masyarakat yang lebih besar jangan
mengambil tanggung jawab kelompok-kelompok atau perhimpunan-perhimpunan yang lebih
kecil. Pius XI juga memperkenalkan konsep keadilan sosial (justitia socialis) sebagai ”prinsip
yang membimbing” atau norma bagi lembaga-lembaga publik dan tatanan ekonomis (no. 8890).
Pada tahun 1937, Pius XI mengeluarkan Mit Brennender Sorge, ensiklik yang amat tajam
mengecam pemerintahan Nazi karena melanggar hak-hak Gereja Katolik. Ensiklik itu dibacakan
di semua mimbar Katolik di Jerman. Pada tahun terakhir hidupnya, Pius XI sedang menyiapkan
suatu ensiklik tentang kesatuan umat manusia. Sebagian besar dari ensiklik itu, yang berulangulang menganalisis dan menghukum anti-semitisme di Jerman dan rasisme di Amerika Serikat,
disiapkan atas permintaan Paus oleh John Lafarge, seorang Yesuit Amerika. Sayangnya,
seseorang di Roma berpendapat bahwa dokumen, yang secara khusus menghukum antisemitisme itu, tidak menguntungkan, berdasarkan situasi politik di Eropa yang memanas, dan
draft yang sudah selesai dicegah agar tidak sampai di meja Paus. Pius XI wafat tahun 1939,
tanpa mengeluarkan dokumen yang dapat merupakan ensikliknya tentang rasisme.
Tahap II: Pasca Perang Dunia II. Masa sesudah Perang Dunia II merupakan masa
penginternasionalisasian ajaran sosial Gereja. Dokumen-dokumen yang dikeluarkan pada masa
itu membahas organisasi masyarakat internasional, tuntutan-tuntutan keadilan sosial pada
tingkat internasional, dan masalah-masalah moral yang dimunculkan oleh perang pada zaman
nuklir.
Ensiklik Paus Yohanes XXIII yang pertama, Mater et Magistra, memusatkan perhatian pada
masalah melebarnya jurang antara kaum kaya dan kaum miskin. Ensiklik itu menekankan
fungsi sosial hak milik pribadi dan mengajak untuk diadakan rekonstruksi hubungan-hubungan
sosial. Pacem in terris (1963), ensikliknya tentang perdamaian, merupakan himbauan kepada
orang-orang yang berkehendak baik. Paus menyerukan larangan atas senjata-senjata nuklir
dan menekankan tanggung jawab tiap-tiap orang untuk melindungi hidup ”jika otoritas sipil
mengundang-undangkan atau memperbolehkan apa pun yang berlawanan dengan kehendak
Allah, baik hukum yang dibuat maupun otorisasi yang diberikan, tidak dapat mengikat hati
nurani warga negara karena ’kita harus menaati Allah daripada manusia’” (no. 51).
Ajaran sosial Konsili Vatikan II termuat dalam dua dokumen yang terbit tahun 1965.
Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini) membahas praktek
keadilan sosial sebagai bagian misi Gereja.27 Dignitatis Humanae, Deklarasi tentang Kebebasan
Beragama, merupakan salah satu dokumen konsili yang paling kontroversial.
Populorum Progressio, ensiklik Paus Paulus VI, terbit pada tahun 1967. Kecuali mengulang
ajaran tradisional bahwa hak atas milik pribadi tidaklah mutlak, Paus mengutarakan masalah
land reform: ”Jika pertanahan luas menghambat kesejahteraan umum karena terlalu luas, tidak
didayagunakan atau didayagunakan secara buruk, atau mendatangkan kesusahan bagi rakyat
atau merugikan kepentingan negara, kesejahteraan umum kadang-kadang menuntut pengambilalihan” (no. 24). Paus Paulus VI juga menolak kapitalisme liberal sebagai ”sistem ... yang
memandang keuntungan sebagai motif utama untuk kemajuan ekonomis, persaingan sebagai
hukum tertinggi ekonomi, dan pemilikan pribadi atas sarana produksi sebagai hak mutlak yang
tidak mempunyai batas dan tidak mempunyai kewajiban sosial yang sesuai” (no. 26).
Justitia in Mundo (1971) atau Keadilan di Dunia merupakan dokumen Sinode Para Uskup
III, menghubungkan evangelisasi dengan keterlibatan untuk perubahan dunia: ”Tindakan demi
keadilan dan partisipasi dalam perubahan dunia bagi kami jelas merupakan dimensi konstitutif
dari pewartaan Injil, atau dengan kata lain, dari misi Gereja untuk penebusan umat manusia dan
pemerdekaannya dari segala macam keadaan yang menindas” (no. 6).
Tahap III: 1971 – . Tahap mutakhir ajaran sosial Gereja mengangkat masalah makin
melebarnya jurang antara yang kaya dan yang miskin, masalah-masalah yang disebabkan oleh
teknologi perlombaan senjata, siksaan dan penindasan, dan memuat kritik baik terhadap komunisme dan kapitalisme.
Octogesima Adveniens, surat yang dikirimkan oleh Paus Paulus VI kepada Kardinal
Maurice Roy, presiden Dewan Pontifikal tentang Keadilan dan Perdamaian, membahas
masalah-masalah yang diakibatkan oleh urbanisasi, mencakup keadaan kaum wanita, kaum
muda, dan kaum miskin baru. Ada tiga butir penting dalam surat itu. Pertama, surat itu
mengakui bahwa sosialisme merupakan pilihan bagi orang-orang Katolik. Kedua, surat itu
mengambil pendekatan yang sedikit berbeda terhadap Marxisme, dengan menolaknya sebagai
sistem filsafat yang lengkap dan sebagai bentuk politik pemerintahan yang terkait dengan
kediktatoran, namun mengakui kegunaannya sebagai bentuk analisa sosial, meski harus
digunakan dengan amat hati-hati. Akhirnya, surat itu menunjukkan penghargaan atas fungsi
kritis ”utopia”, suatu pengertian yang dipinjam dari filsuf Marxis revisionis Ernst Bloch, yang
dapat merangsang visi tentang masyarakat alternatif.28
Amanat Apostolik Paus Paulus VI tentang Evangelisasi, Evangelii Nuntiandi, menekankan
bahwa evangelisasi mempunyai dimensi baik sosial maupun personal. Dimensi sosial
menyangkut hak-hak asasi manusia, hidup keluarga, perdamaian, keadilan, perkembangan dan
pemerdekaan (no. 29). Paus melihat hubungan mendalam antara evangelisasi dan
pemerdekaan karena pribadi ”yang akan menerima evangelisasi bukanlah makhluk abstrak
tetapi tunduk pada masalah-masalah sosial dan ekonomi” (no. 31). Ia mencatat bahwa meski
beberapa komunitas basis penuh kritik pedas terhadap Gereja dan hierarki, komunitaskomunitas basis lainnya membuat Gereja tumbuh dan dapat menjadi tempat evangelisasi (no.
58).
Evangelisasi merupakan inti perutusan Gereja; evangelisasi menjadi tanggung jawab
Gereja lokal maupun Gereja universal. Semua orang Kristiani, baik klerus maupun awam,
mempunyai peranan penting yang harus dimainkan dalam evangelisasi.
Ensiklik sosial pertama Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens, terbit pada tahun
1981. Ensiklik itu telah dipuji sebagai dokumen pengajaran yang sejati, ensiklik yang tidak
hanya mengajar, tetapi menerangkan dan menjelaskan. Dengan menekankan prioritas kerja di
atas modal dan prioritas manusia di atas benda, ensiklik itu menyampaikan kritik yang
seimbang terhadap kapitalisme liberal dan Marxisme. Dengan mengembangkan spiritualitas
kerja, Paus Yohanes Paulus II melihat kerja diperlukan bagi martabat manusia dan bagi perkembangan kerajaan.
Konsep kunci ensiklik itu adalah solidaritas (kesetiakawanan) (no. 8). Kerap digunakannya
istilah solidaritas dalam ensiklik pada waktu bersamaan ketika gerakan solidaritas Polandia
sedang berjuang melawan pemerintah Komunis di negara itu ”pastilah mendatangkan dampak
memberi aura tersamar tertentu atas persetujuan Vatikan terhadap Gerakan Buruh Polandia”.29
Sollicitudo Rei Socialis (1987), ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang keprihatinankeprihatinan sosial Gereja, dirancang untuk merayakan dan mengembangkan lebih lanjut
Populorum Progressio dari Paus Paulus VI. Ensiklik itu menekankan jurang yang makin
menganga antara negara-negara maju di belahan bumi Utara dan negara-negara yang sedang
berkembang di belahan bumi Selatan, dengan menimpakan banyak kesalahan atas keadaan ini
karena adanya dua blok yang berlawanan, kapitalisme liberal di Barat dan kolektivisme Marxis
di Timur. Ajaran sosial Gereja bersikap kritis terhadap kedua sistem itu.
Paus Yohanes Paulus menegaskan bahwa Gereja tidak mempunyai pemecahan untuk
masalah keterbelakangan, ”jalan ketiga” antara dua sistem yang bersaing. Menggunakan
teologi pembebasan, Paus menyerukan ”opsi atau pilihan keberpihakan pada kaum miskin,”
keprihatinan bagi kaum miskin yang harus mengkondisikan ”hidup kita sehari-hari maupun
keputusan-keputusan di dalam bidang politik dan ekonomi” (no. 42). Ensiklik itu merupakan
tantangan Paus yang paling kuat terhadap negara-negara makmur dan pantas dicatat karena
minta perhatian pada soal-soal ekologi (no. 39).
Centesimus Annus (1991), menandai satu abad Rerum Novarum, diterbitkan sesudah
runtuhnya Komunisme di Eropa Timur dan Uni Soviet. Ensiklik itu bersikap lebih positif terhadap
kapitalisme, dengan pengakuannya terhadap peranan bisnis yang positif dan penghargaannya
terhadap kreativitas manusia dalam ekonomi. Namun, kapitalisme mempunyai kelemahankelemahannya sendiri. Kapitalisme tidak dapat begitu saja dijadikan sasaran Dunia Ketiga dan
negara-negara yang sedang berkembang, di mana ada kebutuhan untuk membatasi kebebasan
dalam sektor ekonomi dalam kerangka yuridis yang menghormati pengertian yang lebih
komprehensif tentang kebebasan yang berakar pada nilai-nilai etika dan religius (no. 42).
Evangelium Vitae, ensiklik panjang tentang hidup manusia dari Paus Yohanes Paulus II,
terbit pada tahun 1995. Dengan mengambil titik tolak ”nilai kudus hidup manusia dari sejak awal
sampai akhirnya” (no. 2), Paus mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk
menegaskan ”budaya baru hidup manusia” (no. 6). Contoh-contoh kekuranghormatan terhadap
hidup dewasa ini mencakup pembagian sumber-sumber daya yang tidak adil yang
mendatangkan kemiskinan, kekurangan gizi, dan kelaparan bagi jutaan manusia, kekerasan
peperangan dan perdagangan senjata yang memalukan, perusakan yang tidak bertanggung
jawab atas keseimbangan ekologi dunia, penyebarluasan obat bius, dan promosi jenis kegiatan
seksual tertentu yang mendatangkan risiko yang besar kepada hidup (no. 10).
Khususnya ensiklik itu berpusat pada ”serangan-serangan yang mengenai hidup pada
tahap paling awal dan pada tahap paling akhir” (no. 11). Ensiklik itu menyampaikan dasar baru
pada waktu berbicara amat keras melawan hukuman mati, dengan menyatakan bahwa dewasa
ini ”sebagai akibat pengembangan yang terus menerus dalam organisasi sistem hukuman,”
kasus-kasus di mana hukuman mati dibenarkan untuk melindungi masyarakat ”amatlah jarang
jika tidak secara praktis tidak ada” (no. 56).30 Ensiklik itu meneguhkan kembali pendirian Gereja
bahwa ”pengguguran yang dikehendaki baik sebagai tujuan maupun sebagai sarana selalu
merupakan kekacauan moral yang berat” (no. 62) dan menghukum ”penggunaan embrio atau
janin manusia sebagai objek percobaan” (no. 63). Meski ensiklik itu menolak eutanasia, bunuh
diri, dan ”bunuh diri yang dibantu” karena berlawanan dengan hukum Allah, namun
menghormati keputusan penderita untuk tidak menjalani ”perawatan medis yang agresif” yang
”hanya akan melindungi perpanjangan hidup yang rentan dan memberatkan, selama perawatan
yang biasa yang harus diberikan kepada orang sakit dalam kasus yang sama tidak diputus’ (no.
65). Dalam bab terakhir, Paus menghimbau penciptaan budaya baru yang menghormati dan
melindungi setiap hidup manusia. Orang-orang Kristiani harus menunjukkan perhatian khusus
bagi kaum miskin dan tak beruntung; jemaat-jemaat mereka harus mendukung ibu-ibu yang
tidak menikah, badan-badan konseling perkawinan dan keluarga, program pengobatan dan
perawatan untuk mereka yang kecanduan obat bius, orang yang belum dewasa, orang yang
sakit mental, orang-orang yang terkena AIDS, dan orang-orang cacad (no. 87-88).
Gereja dan Lingkungan
Meskipun Evangelium Vitae memasukkan penyalahgunaan lingkungan di dalam ancamanancaman modern terhadap kehidupan, Gereja Katolik telah lambat memasukkan perhatian
terhadap lingkungan ke dalam ajaran resminya.31 Para uskup dalam Konsili Vatikan II tidak
mengangkat masalah itu dan dokumen-dokumen konsili mencerminkan apa yang sekarang
disebut ”teologi dominasi”, teologi yang melihat dunia alam ada hanya untuk umat manusia
(bdk. GS 34). Teologi ini dapat ditemukan dalam ensiklik Paus Paulus VI yang terbit tahun
1967, yang mengutip perintah dalam Kitab Kejadian 1:28 ”untuk mengisi bumi dan
menaklukkannya” (no. 22). Kisah penciptaan kedua dalam Kitab Kejadian menyarankan
tanggung jawab yang lebih besar terhadap dunia alam; menurut kisah itu Tuhan Allah
”mengambil wanita itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan
memelihara taman itu” (Kej 2:15). Gambaran di sini bukan dominasi melainkan penjagaan.
Octogesima Adveniens, surat Paus Paulus VI, yang dikeluarkan tahun 1971
mengungkapkan keprihatinan pada lingkungan (no. 21), dan Paus Yohanes Paulus II menyebut
beberapa kali masalah perusakan bumi dalam ensiklik pertamanya, Redemptor Hominis (no. 8,
15, 16). Akan tetapi, laporannya pada Sinode Para Uskup tahun 1984 tentang rekonsiliasi,
Reconciliatio et Poenitentia, sayang tidak memuat pengasingan yang makin besar umat
manusia dari lingkungannya yang mendukung hidup mereka sebagai salah satu hubungan yang
memerlukan rekonsiliasi. Ensikliknya tahun 1988 Sollicitudo Rei Socialis merupakan ensikliknya
yang pertama yang menyampaikan penekanan pada keprihatinan-keprihatinan terhadap
lingkungan. Dalam pesannya untuk hari Perdamaian Dunia, 1 Januari 1991, ”Damai dengan
Allah Pencipta, Damai dengan segala ciptaan” (Peace with God the Creator, Peace with All
Cretion) seluruhnya membahas masalah lingkungan.
Dewan Gereja-Gereja Dunia (The World Council of Churches) telah menaruh perhatian
pada masalah lingkungan dalam agendanya sekurang-kurangnya sejak tahun 1975. Pada
sidangnya di Vancouver, Kanada, tahun 1983, Dewan itu memperluas perhatiannya pada pelestarian masyarakat dengan menyebut perhatiannya untuk ”keadilan, perdamaian, dan
keutuhan ciptaan.” Disesalkan, bahwa Gereja Katolik tidak memenuhi undangan Dewan GerejaGereja Dunia untuk bersama-sama mensponsori Konferensi Dunia tentang keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan di Korea tahun 1990.
Prinsip-Prinsip Sosial Katolik
Sementara ajaran sosial Gereja dibangun berdasarkan prinsip martabat pribadi manusia,
pendekatannya lebih bersifat komunitarian daripada perorangan. Dengan cara itu, ajaran sosial
Gereja sangat berbeda dengan etos individualistis Barat. Peninjauan sistematis terhadap ajaran
sosial Gereja mengungkapkan prinsip-prinsip dasar berikut.
1. Martabat pribadi manusia. Setiap manusia diciptakan menurut citra Allah, maka setiap
hidup manusia adalah suci dan tidak pernah boleh diperlakukan sebagai sarana. Akibatnya,
segala sesuatu dalam bidang ekonomi dan politik harus dinilai berdasarkan kriteria, apakah
bidang itu melindungi atau merongrong martabat manusia. Prinsip ini merupakan prinsip
dasar pemikiran sosial Gereja.
2. Prioritas masyarakat dan kesejahteraan umum. Pada hakikatnya, manusia itu bersifat sosial
dan harus dilihat dalam hubungannya dengan masyarakat, yang diperlukan oleh manusia
untuk perkembangannya secara penuh. Hak-hak azasi manusia harus dilindungi agar
setiap orang dapat ikut ambil bagian dalam hidup masyarakat. Hak-hak individual
3.
4.
5.
6.
7.
8.
mempunyai tanggung jawab yang berkaitan dan harus dilaksanakan dengan pandangan
untuk kesejahteraan umum. Keluarga merupakan unit dasar masyarakat.
Keadilan distributif. Hal pokok untuk kesejahteraan bersama adalah distribusi yang adil.
Tanpa itu hak masing-masing orang untuk mendapatkan hal-hal yang dianggap mutlak
untuk standar hidup yang layak, tidak dapat terwujud. Tujuan ekonomi adalah melayani
kesejahteraan bersama (daripada memperbesar untung).
Prioritas tenaga kerja atas modal. Orang-orang lebih penting daripada barang-barang.
Benda-benda material bukan satu-satunya alasan untuk komunitas ekonomi, karena
martabat manusia adalah yang utama dan kerja harus mengabdi martabat itu. Kerja juga
mempunyai martabat, dan martabat manusia tak terpisahkan dari kerjanya. Melalui kerja,
manusia menjadi lebih manusiawi.
Hak untuk mengambil bagian. Semua orang mempunyai hak untuk ikut ambil bagian dalam
kehidupan ekonomi masyarakat. Hak untuk ikut mengambil bagian itu meliputi hak untuk
bekerja, karena kerja hakiki bagi martabat manusia. Kerja penuh merupakan tujuan utama.
Pengangguran tidak dapat dibiarkan menjadi sarana untuk tujuan lain, karena dengan
demikian modal lebih diutamakan dari tenaga kerja. Kerja merupakan sarana untuk ikut
ambil bagian dalam tatanan ekonomi, dan para pekerja tidak boleh dibiarkan tidak
mendapatkannya. Para pekerja harus diberi kesempatan untuk ikut serta dalam keputusankeputusan organisasi sehari-hari. Kerja tidak hanya merupakan fungsi ekonomi tetapi juga
kegiatan yang mempengaruhi sifat psikologis dan spiritual manusia.
Prinsip subsidiaritas. Bilamana mungkin keputusan-keputusan harus dibuat pada tingkattingkat lokal daripada oleh badan-badan yang lebih tinggi, dengan demikian memberi
prioritas pada inisiatif pribadi. Ikatan-ikatan pengantara (keluarga, masyarakat lokal,
perserikatan, perkumpulan) harus bebas untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sesuai
dengan ikatan-ikatan itu tanpa campur tangan negara.
Hak milik pribadi yang dibatasi. Hak untuk milik pribadi tidaklah mutlak. Hak itu tidak dapat
dipisahkan dari kewajiban orang terhadap kesejahteraan bersama.
Kewajiban terhadap kaum miskin. Baik orang perorangan maupun masyarakat sipil
mempunyai kewajiban terhadap mereka yang rentan. Tidak setiap orang mempunyai titik
tolak yang sama dalam kehidupan ekonomi, karena itu kemiskinan tidak dapat dipersalahkan kepada perorangan. Apa pun penyebab kemiskinan, kaum miskin mempunyai martabat
yang sama dengan orangorang lain.
3. Hati Nurani dan Otoritas
Dalam bab ini, kita telah melihat ajaran Gereja di bidang seksualitas dan keadilan sosial.
Sekarang kita akan membahas peran hati nurani. Dalam tradisi Katolik, baik hati nurani maupun
otoritas mempunyai peran penting untuk membantu orang mengetahui apa yang harus
dilakukan dalam situasi khusus. Akan tetapi, baik hati nurani maupun otoritas dengan mudah
dapat disalah mengerti.
Hati Nurani
Katolisisme menghargai hati nurani sebagai bimbingan manusia yang terakhir. Konsili
Vatikan II menggambarkan hati nurani sebagai ”inti manusia yang paling rahasia, sanggar suci”
manusia, di mana ia seorang diri bersama Allah (GS 16). Di sini Konsili menggemakan Thomas
Aquinas yang mengajarkan bahwa hati nurani dalam arti yang paling umum adalah kebiasaan
(synderesis), rasa intuitif yang ada dalam masing-masing orang untuk melakukan yang baik dan
menghindari yang jahat. Aquinas memahami hati nurani dalam arti tegas sebagai proses
mencari apa arti rasa kewajiban untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat dalam
situasi khusus.32 Karena menyangkut proses penegasan di mana kebaikan tertentu tidak segera
menjadi jelas, proses mencari itu dapat meliputi penggunaan akal atau bersandar pada wahyu
yang dipercayakan kepada Gereja.
Dewasa ini banyak teolog moral Katolik mengikuti analisis Timothy O’Connell tentang
tradisi: Hati nurani merupakan kesadaran moral manusia yang meliputi: 1) pemahaman dasar
kita tentang bentuk perintah moral, melakukan yang baik dan menghindari yang jahat; 2) proses
atau ”pengetahuan moral” untuk menemukan kebaikan khusus yang harus dilakukan dan
kejahatan yang harus dihindari; dan 3) penilaian khusus yang dibuat pada kasus tertentu.33
Karena hati nurani pada akhirnya harus berakhir pada keputusan praktis yang dicapai
sesudah pertimbangan teliti atas situasi, pentinglah untuk tidak membuatnya menjadi rasa atau
suara batin subjektif. Hati nurani jangan disamakan dengan apa yang disebut oleh Freud
sebagai ”superego”, sensor yang dikenakan yang merupakan ”keharusan-keharusan” dari
berbagai tokoh yang berwibawa dalam hidup kita dan bersandar pada rasa salah untuk
pelaksanaannya. Hati nurani mencakup seluruh pribadi: budi, intuisi, kepekaan moral, dan
keputusan praktis.
Meski orang harus selalu mengikuti hati nuraninya, hati nurani itu dapat keliru, entah karena
ia belum dewasa sehingga belum mampu mengatasi kepentingan pribadi dan mengikuti saja
pendapat masyarakat dalam membuat keputusan moral, atau ketidaktahuan, atau karena orang
itu tidak berusaha menemukan kebenaran. Dengan demikian, setiap orang mempunyai
kewajiban untuk membentuk hati nurani yang benar.
Otoritas
Gereja, yang oleh umat Katolik dipandang sebagai ibu dan guru, membantu dalam proses
ini. Inilah titik di mana otoritas masuk. Sebagai jemaat murid-murid Yesus, otoritas Gereja
diungkapkan dalam Kitab Suci, tradisi, dan magisteriumnya, atau jabatan mengajar resminya.
Kitab Suci menyampaikan kepada kita kisah Allah dan umat
Allah yang kudus. Kitab
Suci memberikan kita dekalog, sepuluh perintah (Kel 20:2-17), yang menetapkan parameter
untuk hidup dalam hubungan perjanjian dengan Allah. Hubungan perjanjian itu dilanggar jika
kita menyembah dewa lain, tidak menghormati orang tua, melakukan pembunuhan atau
perzinahan, mencuri, merusak nama baik sesama, atau mengingini apa yang menjadi milik
orang lain Para nabi mengingatkan kita akan cinta Allah terhadap keadilan dan perintah terusmenerus untuk mengingat orang miskin dan orang lemah, ”tidak menindas orang asing, yatim
dan janda” (Yer 7:6; bdk. Ul 24:21). Melalui Injil kita mengenal Yesus; seperti dikatakan oleh
Paus Yohanes Paulus II dalam Veritatis Splendor, mengikuti Yesus merupakan dasar hakiki
dan terutama dari moralitas Kristiani (no. 19). Injil membuat kita menjadi akrab dengan sabda
dan ajaran Yesus, memberi kita kebijaksanaan yang termuat dalam perumpamaan-perumpamaannya, dan menantang kita untuk mencontoh teladan pelayanan setia-Nya.
Tradisi menyimpan kumpulan kebijaksanaan Gereja, kebijaksanaan yang datang dari
pewartaan, perayaan dan penyebaran iman jemaat Kristiani melalui banyak generasi. Tradisi itu
ditunjukkan dalam hidup para martir dan para kudus. Tradisi meliputi keyakinan Gereja bahwa
Allah telah memasukkan ke dalam setiap hati manusia ”hukum kodrat” untuk melakukan yang
baik dan menghindari yang jahat, maupun pemahaman Gereja tentang apa yang disebut
kebaikan manusiawi dalam situasi-situasi khusus, didasarkan atas wahyu Kitab Suci dan
renungannya atas tatanan moral yang diwahyukan dalam ciptaan dan dalam martabat pribadi
manusia.
Magisterium mengajar atas nama Gereja dan juga atas nama Kristus; melalui magisterium,
otoritas yang dipercayakan oleh Kristus kepada para Rasul dan para pengganti mereka, para
uskup, diungkapkan. Dengan demikian tidak hanya mengingatkan umat Katolik tentang apa
yang telah diajarkan oleh Gereja secara resmi di masa lampau, magisterium juga berfungsi
sebagai jabatan mengajar yang hidup, yang memaklumkan prinsip-prinsip moral dan menerapkan prinsip-prinsip itu baik untuk hidup pribadi maupun tatanan moral.
Katolisisme memiliki keyakinan mendalam bahwa setiap segi hidup manusia – pribadi,
seksual, ekonomi, sosial – harus diubah berdasarkan janji Kerajaan Allah dalam Yesus. Banyak
ajaran resmi Gereja di bidang seksualitas dan perkawinan berlawanan dengan nilai-nilai budaya
modern. Orang Katolik menerima perutusan mengajar ini secara sungguh-sungguh dan
menghormatinya. Mungkin karena ini orang berpikir bahwa orang-orang Katolik selalu berbicara
tentang moralitas dan seksualitas. Gereja terus menekankan kesucian hidup, tak
terceraikannya perkawinan, dan hubungan yang erat antara kesetiaan perkawinan dan
ungkapan seksual. Bersamaan dengan itu, dalam bidang penerapan prinsip-prinsip moralitas
Kristiani dalam kehidupan sehari-hari, hati nurani dan otoritas kadang-kadang dapat konflik.
Hati Nurani yang Terbentuk Baik
Bagaimana konflik-konflik antara hati nurani dan otoritas itu diatasi? Prinsipnya tetap sama
yaitu pada akhirnya orang harus mengikuti hati nuraninya. Akan tetapi, hati nurani itu tidak
berdiri sendiri. Karena hati nurani orang dapat salah dan keliru, pengutamaan hati nurani tidak
pernah dapat digunakan untuk menghindari tanggung jawab untuk membentuk hati nurani, yang
bagi orang Katolik meliputi usaha yang sungguh-sungguh dan penuh doa untuk merasukkan
pandangan moral yang muncul dari tradisi Katolik, yang dimengerti dalam arti penuh menurut
Kitab Suci, Tradisi Gereja, keyakinan umat, pengajaran magisterium yang dilakukan oleh Paus
dan para uskup.
Dalam membentuk hati nurani, magisterium memainkan peran penting. Misalnya, orang
Katolik yang berkata bahwa ”Gereja tak mempunyai hak untuk memberitakan tentang apa yang
saya lakukan di tempat tidur” atau yang menyatakan bahwa ajaran-ajaran sosial Gereja
merupakan campur tangan yang tak berdasar ke dalam bidang politik dapat berbuat demikian
lebih karena kepentingan pribadi atau kesadaran kelas daripada keinginan murni untuk
menemukan kebenaran. Dalam masyarakat yang narsisistik dan tersekularisasi, seperti
masyarakat modern ini, kita membutuhkan pandangan moral sebagai pedoman hidup.
Pentinglah bahwa magisterium terus melaksanakan fungsi profetisnya untuk membantu umat
Katolik dalam pembentukan moral mereka. Akan tetapi, pada akhirnya, tetap benarlah bahwa
otoritas tidak pernah dapat menjadi pengganti keputusan-keputusan yang bertanggung jawab
yang dibuat menurut hati nurani yang terbentuk baik.34
4. Kesimpulan
Masalah-masalah seksualitas dan keadilan yang telah kita bahas adalah masalah-masalah
penting karena berusaha mengungkapkan implikasi-implikasi menjadi murid dan pandangan
Kristiani tentang kerajaan untuk hidup pribadi dan sosial. Masalah-masalah seksualitas dan
keadilan menjadi kontroversial karena masalah-masalah itu menyangkut kita masing-masing
secara pribadi.
Ajaran Kristiani tentang seksualitas telah bertahan lama. Bahwa ajaran tentang seksualitas
dalam perjalanan waktu hanya berubah sedikit tidaklah harus menjadi argumen untuk
melawannya. Hidup Kristiani harus dibina oleh Injil, bukan oleh nilai-nilai kebudayaan tertentu.
Namun demikian, pandangan etis tidak boleh membuat orang menjadi buta sehingga tidak
dapat berbelaskasihan dan mengakui kekhasan orang-perorangan. Gereja bersikap keras
dalam perannya sebagai guru, namun pada umumnya dalam praktek pastoralnya Gereja
bersikap penuh belas kasihan. Ada juga suara-suara lain dalam Gereja yang pantas
didengarkan.
Ajaran sosial Gereja dilihat dari penyampaiannya masih baru, tetapi mempunyai akar yang
kuat di dalam tradisi. Kisah Para Rasul menggambarkan jemaat Kristiani sebagai jemaat yang
”tak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri,
tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (Kis 4:32). Gambaran itu mungkin
merupakan pandangan tentang yang ideal, tetapi zaman kita mungkin membutuhkan visi seperti
itu.
Kita hidup dalam dunia di mana jurang antara kaum kaya dan miskin semakin melebar,
tidak hanya dalam bangsa-bangsa melainkan juga secara global. Pada saat ini beberapa
negara hancur menjadi anarki; ekonomi mereka tidak jalan, dan sistem pengekangan budaya,
religius dan sipil mereka mulai runtuh. Di samping itu, lingkungan alam pun ada dalam situasi
krisis. Habisnya sumber-sumber daya yang tidak dapat diperbarui kembali, pengikisan hutanhutan hujan tropis, hilangnya humus tanah, pencemaran sungai, danau, dan udara, menipisnya
lapisan ozon, pengumpulan berton-ton sampah beracun – semua ini membahayakan
kemampuan planet bumi untuk mendukung hidup manusia sendiri.
Dalam dunia yang begitu terancam, tradisi komunitarian yang berbicara tentang
kesejahteraan bersama, keadilan distributif hak semua untuk ikut ambil bagian di dalam harta
kekayaan masyarakat, dan hak atas milik pribadi yang dibatasi, dapat menjadi sumber daya
yang kaya. Tetapi sungguh mengancam karena mengajak mereka yang hidup di Dunia Pertama
yang makmur untuk meninjau kembali dan mungkin mengubah cara hidup mereka.
Bagi orang Katolik, merupakan hal yang diterima bahwa Allah berbicara melalui Gereja
meski tidak hanya melalui Gereja saja. Jika ada saat-saat atau situasi-situasi di mana orang
menurut suara hatinya tidak dapat menerima apa yang diajarkan oleh Gereja, maka sesudah
cukup doa dan studi, orang itu harus mengikuti suara hatinya.
Akan tetapi, sama-sama penting bahwa dewasa ini menegaskan hak Gereja untuk
mengajar, dan kewajiban orang Katolik untuk mengakui ajaran itu (bdk. LG 25). Jika ajaran
magisterium harus diterima oleh umat beriman agar efektif di dalam hidup Gereja, juga benar
bahwa para uskup, yang merupakan magisterium, mempunyai peran profetis penting untuk
dimainkan guna membawa terang Injil untuk menerangi masalah-masalah yang dihadapi oleh
Gereja di dunia dewasa ini.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
Lisa Sowle Cahill, ”Humanity as Female and Male: The Ethics of Sexuality”, Called to love: Towards a Contemporary Christian
Ethic, ed., Francis A. Eigo (Villanova, Pa.: Villanova Univ. Press, 1985) 87.
John Mahoney, The Making of Moral Theology: A Study of the Roman Catholic Tradition (Oxford: Clarendon, 1987).
Ibid., 53-54.
Origins 23 (Oktober 14, 1993).
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
John T. Noonan, Contraception, (Cambridge, Mass.: Harvard Univ. Press, 1965) 251-252.
Mahoney, The Making of Moral Theology, 33.
Lihat, misalnya, George Gallup Jr. dan Jim Castelli, The American Catholic People: Their Beliefs, Practices, and Values,
(Garden City, N.Y.: Doubleday, 1987) 51.
Origins 5 (1976) 485-494.
Survey tentang tanggapan terhadap deklarasi itu, lihat Richard A. McCormick, ”Notes on Moral Theology,” Theological
Studies. 38 (1977) 100-114.
Lihat Vincent J. Genovesi, In Pursuit of Love: Catholic Morality and Human Sexuality (Wilmington: Glazier, 1987) 237-238.
Lihat Richard A. McCormick, ”Notes on Moral Theology,” Theological Studies 30 (1969) 635-644; 40 (1979) 80-97.
”New Context for Contraception Teaching,” Origins 10(1980) 263-267.
Lihat John Connery, Abortion: The Development of the Roman Catholic Perspective (Chicago: Loyola Univ. Press, 1977).
Richard A. McCormick, ”Notes on Moral Theology,” Theological Studies 35 (1974) 325.
Lihat Carol A. Tauer, ”The Tradition of Probabilism and Moral Status of the Early Embrio,” Theological Studies 45 (1984) 5-6.
McCormick ”Notes on Moral Theology” Theological Studies 35(1974) 490-491.
Todd David Whitmore, ”Notes for a ’New Fresh Compelling’ Statement,” America, 171 (October 8, 1994) 14-18.
Lihat John P. Dedek, Contemporary Sexual Morality (New York: Sheed & Ward, 1971) 51-55.
Genovesi, In Pursuit of Love, 318.
Dedek, Contemporary Sexual Morality, 36.
McCormick, ”Notes on Moral Theology”, Theological Studies, 35(1974) 461.
Andrew Greeley, ”Sex and Single Catholic,” America 167(1992) 345.
Lihat Genovesi, In Pursuit of Love, 262-273; Jeffrey S. Siker, Homoseksuality in the Church: Both Sides of the Debate,
(Louisville: Westminster/John Knox, 1994).
Lihat Michael J. Schultheis, Edward P. De Berri, dan Peter J. Henriot, Our Best Kept Secret: The Rich Heritage of Catholic
Social Teaching (Washington: Center of Concern, 1987).
Richard P. McBrien, Catholicism, rev. ed. (San Francisco: Harper, 1994) 913-914.
Donal Dorr, Option for the Poor: A Hundred Years of Vatican Social Teaching (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1983) 26-27.
Lihat Timothy G. McCarthy, The Catholic Tradition: Before and After Vatican II (Chicago: Loyola Univ. Press, 1994) 251.
Gregory Baum, ”Faith and Liberation: Development since Vatican II,” Gerald M. Fagin, ed., Vatican II: Open Questions and
New Horizons (Wilmington: Glazier, 1984) 90-93.
Donal Dorr, Option for the Poor: A Hundred Years of Vatican Social Teaching, (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1983) 248; Paus
Johanes Paulus II untuk pertama kali menganalisis solidaritas sebagai konsep pada tahun 1969 pada waktu menjadi Uskup
Cracow; lihat hlm. 245.
Dengan terbitnya ensiklik itu, uraian dalam Katekismus Gereja Katolik perlu dirumuskan kembali berdasarkan ajaran Paus
yang termuat dalam ensiklik itu.
Sean McDonagh, The Greening of the Church (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1990) 175; lihat ”The Environment in the Modern
Catholic Church,” 175-203.
Summa Theologiae I. 79. 12-13.
Timothy O’Connell, Principles for a Catholic Morality (San Francisco: Harper & Row, 1990) 109 dst.
Philip S. Kaufman, Why You Can Disagree and Remain a Faithful Catholic (Bloomington, Ind.: Meyer-stone Books, 1989).
IX
Doa dan Spiritualitas
Thomas Merton menceritakan cerita yang bagus tentang pengalamannya mengikuti Misa
untuk pertama kali di sebuah Gereja Katolik, tidak lama sebelum pertobatannya. Pada waktu ia
masuk dan duduk di deretan bangku doa, tidak yakin tentang apa yang diharapkan daripadanya, ia melihat di dekatnya seorang gadis muda sekitar umur 16 tahun yang berlutut
dengan tenang dalam doa. Kemudian ia menulis dalam autobiografinya yang terkenal, ”Saya
amat terkesan ketika melihat bahwa seorang gadis yang masih sedemikian muda dan cantik
dengan sedemikian sederhana dapat membuat doa menjadi alasan utama, sungguh-sungguh
dan nyata untuk pergi ke Gereja.”1
Kristianitas bukanlah pesan atau wahyu tentang Allah yang tetap jauh. Menurut St.
Agustinus, Allah jauh lebih dekat dengan saya daripada saya dengan diri saya sendiri.
Pewahyuan-diri Allah dalam pribadi Yesus Kristus berarti bahwa Allah adalah Pemberi dan DiriNyalah yang diberikan. Dalam Yesus, yang membuat kita saudara dan saudari dan
mencurahkan Roh-Nya kepada kita, kita telah diikutsertakan dalam hidup batin Tritunggal. Doa
Kristiani selalu merupakan doa Trinitarian. Kita berdoa kepada Bapa dalam Putra melalui Roh
Kudus. Sebagian besar misteri Tritunggal justru misteri keikutsertaan kita dalam hidup Ilahi.
”Jika seseorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia
dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yoh 14:23).
Akan tetapi, kita tidak selalu mengenal kedalaman Ilahi ini. Bukan jarak Allah tetapi justru
kedekatan Allah itulah yang membuat kita sulit untuk menyadari kehadiran-Nya itu. Allah
melingkupi kita, lebih dekat daripada udara yang kita hirup. Kadang-kadang kita tidak menyadari kehadiran Allah yang terus berlangsung seperti ikan tidak sadar akan air laut yang terus
ada. Doa merupakan sarana bagi kita untuk mengalami hidup Ilahi itu. Doa mengembangkan
hidup kita dalam Allah seperti gerimis yang jatuh di tanah membuat tanah itu menjadi gembur
dan menjadikannya subur.
Ada banyak bentuk doa, tetapi pada dasarnya semua doa berarti membuka diri kepada
Allah. Doa mengangkat budi dan hati kita pada Allah. Berdoa adalah bersantai, membiarkan,
mengulurkan tangan dan membuka telapak tangan sebagai tanda mau menerima.2 Kita berdoa
dalam harapan karena Allah itu dekat dan mau mengisi kita. Kita merasa perlu berdoa karena
tanpa Allah kita tak berakar dan sendirian, dan hidup kita menjadi dangkal. Kita berdoa penuh
ketakjuban karena Allah adalah Pencipta dan kita adalah ciptaan, buah karya tangan-Nya.
Doa tak terpisahkan dari hidup umat Allah dalam Kitab Suci. Orang tidak dapat membaca
Mazmur tanpa rasa yang hidup betapa nyata kehadiran Allah bagi bangsa Yahudi. Mereka menyanyikan kenyataan Allah, untuk memuji dan mengucap syukur pada waktu kehadiran Allah
dialami: ”Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya” (Mzm 89:2); ”Hanya
dekat Allah saja aku tenang, daripada-Nyalah keselamatanku” (Mzm 62:2). Atau dengan
cucuran air mata dan ratapan pada waktu Allah terasa jauh atau tidak hadir: ”Aku mau berseruseru dengan nyaring kepada Allah, dengan nyaring kepada Allah supaya Ia mendengarkan aku
(Mzm 77:2); ”Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Mzm 22:2). Hal yang
paling mengesankan adalah bahwa mazmur-mazmur menyampaikan rasa yang mendalam
mengenai apa arti hidup dalam hubungan perjanjian dengan Allah Yahwe tanpa gagasan
tentang hidup sesudah mati. Dalam tradisi Perjanjian Lama, gagasan itu baru muncul kemudian. Kurang lebih 200 tahun sebelum zaman Yesuslah harapan bahwa Allah orang yang
hidup juga memberi hidup kepada orang yang mati muncul dalam tulisan religius Yahudi.
Injil menampilkan Yesus sebagai manusia pendoa. Ia mengikuti tradisi-tradisi religius
bangsa-Nya, dengan teratur mengikuti ibadat Sabat resmi ”menurut kebiasaan-Nya” (Luk 4:16)
dan amat mungkin mendaraskan tiga kali sehari Shema, doa syahadat yang mulai ”Dengarlah,
hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!” (bdk. Ul 6:4-5). Lukas terutama
menekankan Yesus yang sedang berdoa. Pengalaman-Nya di sungai Yordan sesudah baptisNya terjadi sementara Ia sedang berdoa (3:21). Lukas menunjukkan Yesus yang berdoa
sebelum saat-saat penting lain dalam hidup-Nya (5:16; 6:12; 9:18,28; 11:1; 22:42; 23:46) dan
menasihati orang-orang lain agar berdoa (11:5-13; 18:1,9-14; 21:36; 22:40). Satu ucapan Yesus
yang indah mendorong murid-murid-Nya agar bertekun dalam doa; dorongan itu juga merupakan pelajaran bagi kita juga: ”Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu
akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Luk 11:9).
Mungkin hal yang paling menyentuh dari hubungan Yesus dengan Allah adalah istilah yang
biasa digunakan-Nya dalam doa-Nya sendiri, yang menyapa Allah sebagai ”Abba”, ”Bapa”:
ungkapan dalam keluarga yang artinya bukan hanya sebutan formal ”Bapak” tetapi seperti
”Bapa yang penuh kasih”, istilah yang digunakan oleh anak-anak dalam hubungan akrab
keluarga. Tidak ada orang Yahudi pada zaman itu akan berani menyebut Allah dengan istilah
akrab itu. Sungguh,
orang-orang Yahudi yang saleh bahkan tidak menyebut nama Allah
yang kudus. Mereka lebih suka menggunakan kata-kata, seperti ”Yang Terpuji” (Mrk 14:61)
daripada mengucapkan nama kudus. Akan tetapi, kenyataan bahwa Yesus secara teratur
berbicara dengan Allah dengan cara yang akrab itu menyarankan kepada kita banyak hal bukan
hanya tentang pengalaman-Nya akan Allah tetapi juga tentang hakikat doa. Doa adalah
berbicara secara pribadi dengan Allah yang mencintai dan memelihara kita.
Pada akhir hidup-Nya, dengan pelayanannya yang tampaknya gagal, Yesus menghadapi
kematian sendirian, ditinggalkan oleh sahabat-sahabat-Nya. Bahkan Allah-Nya terasa tidak
hadir. Namun Ia tidak putus asa, tidak berhenti mempercayakan Diri kepada Pribadi yang
disebut-Nya ”Abba”, dengan harapan bahwa Allah akan membela-Nya. Allah ternyata tidak
meninggalkan-Nya. Allah membangkitkan-Nya ke hidup abadi.
1. Jenis-Jenis Doa
Doa Kristiani selalu merupakan usaha memalingkan diri kita kepada Allah melalui Kristus
dalam Roh. Uraian tentang doa ada banyak, beraneka ragam, dan agak artifisial. Doa dapat
berupa doa liturgi yang dilakukan bersama-sama atau pribadi. Tradisi Katolik juga mempunyai
tradisi doa devosional seperti devosi kepada Hati Kudus Yesus, berbagai devosi kepada Maria,
mengenang para Kudus dan mohon perantaraan mereka, berdoa di depan Sakramen
Mahakudus, menyalakan lilin untuk melambangkan hakikat doa yang tidak kunjung putus,
mengadakan peziarahan, atau novena (doa 9 hari berturut-turut) dan seterusnya. Devosi-devosi
itu merupakan pelaksanaan kesalehan yang dimaksudkan untuk mendorong dan memperdalam
hidup doa.
Penulis-penulis rohani berbicara tentang beberapa jenis doa pribadi: doa lisan dan mental,
doa afektif dan doa diskursif, doa spontan dan doa formal, doa meditasi, doa kontemplasi dan
doa mistik. Akan tetapi, pembedaan yang rapi itu kerap luluh menjadi satu jenis doa yang
berkembang menjadi doa lain. Doa lisan dengan Rosario dapat dengan mudah membawa
orang berkontemplasi atau meditasi imaginatif tentang misteri-misteri hidup Yesus. Meditasi
diskursif dapat menjadi doa kontemplatif, termasuk doa kontemplasi yang dalam yang memusat
menjadi doa ”mistik”. Untuk membuat jelas, kita akan mengikuti pembedaan doa tradisional
menjadi doa lisan atau diucapkan (oratio), doa mental (meditatio), dan doa kontemplasi
(contemplatio) dengan mengakui keterbatasan pengelompokan itu sendiri.
Doa Lisan
Doa lisan merupakan cara untuk menyapa Allah dengan menggunakan baik doa-doa formal
seperti Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan Kepada Allah maupun mengungkapkan pemikiran
dan keprihatinan hati kita kepada Allah dengan kata-kata kita sendiri. Kita tidak pernah boleh
berpikiran bahwa doa formal atau percakapan merupakan doa kelas dua. Doa-doa formal dapat
amat membantu pada saat kita mau berdoa tetapi tidak mempunyai kata-kata untuk mengungkapkan perasaan-perasaan kita, terutama pada waktu mengalami kekosongan yang
kadang-kadang kita alami. Mereka yang lemah karena sakit yang lama seringkali merasa sulit
untuk mengumpulkan pemikiran dan berkonsentrasi. Mereka dengan senang menerima
kehadiran orang yang dapat membantu mereka berdoa dengan mengulang bersama mereka
doa-doa yang sederhana.
Berdoa kepada Allah dengan ucapan dapat menjadi pengalaman yang mendalam pada
waktu kita merasakan kegembiraan atau kesedihan, atau pergulatan batin. Kita harus dapat
mengungkapkan diri kita secara leluasa kepada Allah pada waktu amat tergerak. Kedua macam
doa lisan itu harus menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari, seperti kadang-kadang kita perlu
menantikan Tuhan dengan diam dan berharap. Yang penting adalah bahwa kita secara jujur
berdoa dari hati daripada berusaha memaksakan sesuatu yang sebetulnya tidak mengungkapkan perasaan-perasaan terdalam kita.
Beberapa macam doa lisan melibatkan tidak hanya pikiran dan perasaan kita, tetapi tubuh
dan imajinasi kita. Hal yang mengherankan adalah bahwa banyak orang Katolik sekarang ini
malah pergi ke pusat-pusat doa non-Katolik untuk berdoa dengan tubuh, padahal tradisi Katolik
mempunyai cara doa dengan tubuh itu. Rosario merupakan metode doa kuno yang
menggabungkan doa-doa sederhana yang dikeramatkan oleh tradisi dengan renungan pendek
tentang peristiwa-peristiwa dalam hidup Yesus dan Santa Perawan Maria. Doa Rosario
merupakan doa mantra, menenangkan pikiran dan imaginasi dengan memegang tasbih dengan
jari kita satu per satu dan mengulang-ulang kata-kata sederhana dari Salam Maria sambil
memusatkan perhatian pada misteri penyampaian kabar gembira, kelahiran Yesus, penyaliban,
turunnya Roh Kudus, dan seterusnya. Jalan salib merupakan bentuk doa lain yang
menggabungkan doa lisan dan meditasi tentang misteri-misteri kesengsaraan Kristus dengan
gerakan tubuh, kadang-kadang berdiri, kadang-kadang berlutut, berjalan bersama Yesus dari
satu pemberhentian ke pemberhentian yang lain.
Bentuk doa lisan lain adalah ”glossolalia”, atau kurnia bahasa yang timbul dari pengalaman
gerakan pembaruan karismatik. Disebut dalam Surat pertama St. Paulus kepada umat Korintus
(bab 12, 14), bahasa adalah doa pujian yang meluap dari dalam diri orang sedemikian rupa
sehingga perasaan mengatasi batasan-batasan bahasa dan menghasilkan ucapan atau
nyanyian dalam lafal-lafal yang tidak dimengerti. St. Paulus mengakui bahwa bahasa
merupakan anugerah Roh yang sejati, tetapi jelas merupakan rahmat kecil yang perlu diatur
(1Kor 14). Meski jarang terlihat di luar lingkungan karismatik, karunia bahasa tidak perlu
dianggap luar biasa atau mukjizat.
Doa Mental
Bila kita berdoa secara diskursif, dengan menggunakan budi, pikiran, dan imaginasi kita
untuk menyatukan diri kita dengan Allah atau merenungkan misteri ilahi, kita melakukan doa
mental. Meditasi atau renungan merupakan bentuk yang paling umum dari doa mental.
Alkitab terutama merupakan sumber meditasi yang kaya. Kita dapat merenungkan kutipan
Kitab Suci, dengan membacanya, menikmati bahasa dan penggambarannya, membiarkan
Tuhan berbicara kepada kita melalui teks. Kita dapat merenungkan salah satu peristiwa dalam
hidup Yesus dengan membayangkan penyembuhan orang buta misalnya, memasukkan diri kita
dalam peristiwa itu, mengambil salah satu peran dalam kisah, membayangkan diri sebagai
orang buta, menyeru kepada Yesus (atau merasa enggan untuk mendekati-Nya), merasakan
sentuhan-Nya, membuka mata untuk pertama kalinya. Bila kita merenungkan hidup Yesus
dalam Injil kita membiarkan penggambaran dan bahasanya tahap-demi-tahap menjadi milik kita.
Lebih penting, dengan mengadakan semacam hubungan imaginatif dengan pribadi Yesus yang
disajikan kepada kita dalam misteri-misteri Injil, kita menemukan kesejajaran antara
kemanusiaan-Nya dan kemanusiaan kita. Yesus menjadi lebih nyata bagi kita. Dengan
demikian, kita tumbuh dalam cinta dan penghargaan terhadap Tuhan yang tidak kita lihat.
Satu cara yang amat bagus untuk berkembang dalam doa adalah setiap hari mengambil
kutipan pendek dari Injil tertentu, bukan seluruh bab tetapi satu kisah sederhana – kisah
mukjizat, ajaran atau sabda, – dan menggunakannya untuk doa. Beberapa orang merasa
terbantu dengan menggunakan bacaan-bacaan liturgi harian yang bersangkutan yang termuat
dalam kalender liturgi, sebagai bahan doa harian. Manfaatnya adalah menyatukan bacaanbacaan untuk doa mereka dengan liturgi atau mempersiapkan bacaan-bacaan untuk liturgi hari
berikutnya jika mereka dapat mengikuti Misa harian. Orang lain merasa terbantu dengan
menggunakan buku renungan-renungan pendek seperti Mengikuti Jejak Kristus (Imitatio Christi)
oleh Thomas à Kempis.
Bentuk-bentuk doa mental atau diskursif lain dapat meliputi bacaan meditatif Kitab Suci,
bacaan rohani, mengadakan pemeriksaan batin atau ”pemeriksaan kesadaran” – atau membuat
jurnal di mana kita merenungkan pengalaman doa dan perjalanan rohani kita. Mereka yang
berdoa secara teratur seringkali menemukan bahwa doa mereka secara bertahap dapat
bergeser dari doa diskursif ke cara doa yang lebih sederhana, lebih kontemplatif.
Kontemplasi
Doa kontemplatif adalah doa perhatian yang penuh cinta atas kehadiran Allah yang penuh
misteri, meski kehadiran itu tidak langsung dialami tetapi hanya diketahui berdasarkan iman.
Doa Samuel muda yang dipelajarinya dari imam Eli ”Berbicaralah, Tuhan, sebab hamba-Mu ini
mendengar” (1Sam 3:9). Bila doa mental menggunakan daya-daya imajinasi dan intelek, doa
kontemplatif lebih tenang, reseptif dan afektif. Doa kontemplatif adalah doa dari hati, berfokus,
dan menyadari dengan tenang kehadiran Allah yang dirasa dalam di dalam diri kita atau
terkesan oleh kedamaian atau keheningan pandangan alam – padang rumput hijau di bawah
langit biru yang luas membentang atau langit malam yang penuh bertaburan bintang-bintang.
Kadang-kadang kehadiran Allah itu mendorong kita untuk berdoa secara afektif, dengan
memuji, mengasihi dan memohon ampun. Dengan demikian, kontemplasi tidak sedemikian
banyak melibatkan imajinasi atau penalaran diskursif tetapi melibatkan hati dan perasaan.
Thomas Merton, biarawan Trapis yang mungkin menjadi orang yang paling berjasa
memperkenalkan kontemplasi pada orang-orang zaman modern ini, menggambarkan
kontemplasi sebagai pendalaman iman sampai ke titik di mana kesatuan dengan Allah yang
sudah diberikan dalam hakikat diri kita diwujudkan dan dialami. Kontemplasi bukanlah buah
akal-akalan psikologis tetapi rahmat sejati yang timbul sebagai kurnia dan bukan hasil
penggunaan teknik-teknik khusus kita sendiri. Dalam bahasa yang puitis, Merton
menggambarkan kontemplasi sebagai pintu yang terbuka di pusat diri kita dan melalui pintu itu,
kita seolah-olah jatuh ke dalam kedalaman yang luar biasa dari keheningan dan kehadiran
sementara daya-daya pikiran dan imaginasi kita terhenti.3 Pada titik ini pada waktu daya-daya
alamiah kita tenang dan dalam kegelapan dan doa menjadi kesadaran yang sederhana,
kontemplasi mulai berubah menjadi kontemplasi ”yang dicurahkan”, yang merupakan tahaptahap awal doa mistik. Doa mistik ini jangan disamakan dengan fenomena luar biasa seperti
suara, visiun, atau pengangkatan. Kontemplasi lebih baik dimengerti sebagai doa kontemplatif
yang meningkat, yang merupakan jalan bagi orang untuk masuk ke dalam kesadaran yang lebih
mendalam tentang kehadiran Allah yang penuh misteri.
Gereja telah amat diperkaya oleh guru-guru spiritual dan mistik-mistiknya, pria dan wanita,
seperti Bernardus dari Clairvaux, Katarina dari Siena, Fransiskus dari Assisi, Julianus dari
Norwich, Jean Gerson, Teresia dari Avila, Ignasius dari Loyola, Fransiskus dari Sales, Dorothy
Day, dan Thomas Merton. Mistisisme merupakan bagian besar dari tradisi Katolik. Akan tetapi,
doa kontemplatif bukan merupakan hal yang terbatas pada orang-orang mistik atau mereka
yang hidup dalam hidup monastik atau religius. Doa kontemplatif dapat dilakukan oleh semua
orang Kristiani.
Dewasa ini banyak orang merasa bahwa apa yang disebut doa ”yang memusat” (centering
prayer) merupakan persiapan yang membantu untuk doa kontemplatif.4 Doa yang memusat
dapat menenangkan budi dan imaginasi dan berpusat pada kesadaran diri. Pendekatannya
sederhana. Orang duduk dengan tenang dan mata tertutup menghadap Allah dalam iman,
dengan mengabaikan pikiran-pikiran dan gambaran-gambaran yang terus keluar dari imaginasi.
Banyak orang merasakan kegunaan ”kata suci” seperti ”Abba” atau ”Yesus Tuhan” untuk
memusatkan perhatian mereka. Bila pikiran melayang, orang kembali lagi ke kata suci itu. Doa
yang memusat berkaitan dengan tradisi Timur kuno yang dikenal sebagai Hesychasme (dari
kata Yunani hesychia yang berarti ”tenang” atau ”diam”) atau Doa Yesus, suatu cara untuk
memusatkan diri dengan mengulang-ulang kata-kata ”Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah,
kasihanilah aku.”
Doa Liturgis
Doa liturgis adalah doa Gereja atau umat yang berkumpul untuk beribadat dan memuji
Allah. Pertama adalah Ekaristi itu sendiri, ”sumber dari puncak seluruh hidup Kristiani” (LG 11).
Ibadat harian atau Doa Ofisi Harian merupakan doa pujian liturgis yang didasarkan pada doa
biblis sinagoga-sinagoga Yahudi. Pada Gereja awal, Ibadat Harian dirayakan di dalam gerejagereja besar dan di biara-biara. Struktur pokok dari Doa Ofisi katedral awal meliputi beberapa
mazmur dan kidung, Gloria in excelsis, beberapa doa umat, dan berkat penutup serta
pembubaran.
Vatikan II berusaha mengembalikan irama asli Doa Ofisi supaya Doa Ofisi tidak hanya
merupakan doa imam-imam dan kaum religius melainkan seluruh Gereja (SC 100). Konsili
Vatikan II menyebut secara khusus Ibadat Pagi dan Ibadat Malam sebagai ”poros rangkap
Ibadat Harian, sebagai dua Ibadat yang utama” (SC 89). Dewasa ini Ibadat Harian semakin
banyak didoakan oleh orang awam Kristiani. Banyak komunitas religius mendoakan Ibadat
Harian pada pagi, siang dan sore hari untuk menetapkan irama doa pada hari yang bersangkutan.
2. Spiritualitas
Hidup Kristiani adalah hidup di dalam Kristus. Seperti doa Kristiani, hidup Kristiani
merupakan gerakan menuju kepada Allah melalui Kristus dalam Roh. Kata ”spiritualitas” berasal
dari St. Paulus yang menggunakan kata pneumatikos, ”spiritual” dalam arti apa pun yang
mendapat ciri atau dipengaruhi oleh Roh Allah. Di masa lampau spiritualitas terlalu kerap
dipandang sebagai hal yang berhubungan dengan hidup rohani para rahib dan biarawati, kerap
digambarkan sebagai ”hidup batin”. Dewasa ini, istilah spiritualitas dimengerti jauh lebih
menyeluruh. Spiritualitas digunakan untuk melukiskan banyak cara yang berbeda yang menjadi
sarana orang mengalami yang Transenden dan secara populer kerap digunakan untuk berbagai
macam program peningkatan diri yang bertitik tolak pada sumber-sumber daya batin manusia.
Dalam tradisi Kristiani, spiritualitas telah digunakan untuk menggambarkan cara-cara khusus
untuk mengalami dan memupuk hidup dalam Kristus. Spiritualitas ”berkaitan dengan pengembangan, hari demi hari, keputusan mendasar untuk menjadi atau tetap menjadi orang Kristiani
yang dibuat pada waktu baptis, diulangi pada waktu penguatan, dan diperbarui ketika kita
menerima Ekaristi.”5
Karena banyaknya pandangan mengenai apa makna sebenarnya hidup dalam Kristus,
maka terdapat banyak spritualitas yang berbeda.6 Beberapa spiritualitas ditemukan oleh
gerakan atau cara hidup di dalam Gereja seperti monastisisme, hidup religius apostolik, dan
berbagai gerakan awam seperti Marriage Encounter, Cursillo, dan pembaruan karismatik.
Spiritualitas lain dikenal karena berhubungan dengan orang dalam sejarah Gereja seperti
Fransiskus Assisi, Ignatius Loyola, atau Dorothy Day.
Spiritualitas monastik, yang selalu memusatkan perhatian pada usaha mencari Allah saja,
bersifat kontemplatif. Rahib dan rubiah kontemplatif berusaha untuk memusatkan hidup mereka
pada Allah melalui selibat, diam, dan bagi banyak spiritualitas, kaul stabilitas. Hidup yang
berpusat pada opus Dei atau doa liturgis, memberi dimensi liturgis yang kuat pada spiritualitas
monastik; sedang hidup yang menekankan lectio divina, bacaan kontemplatif Kitab Suci
membuat spiritualitas monastik menjadi amat bersifat biblis. Spiritualitas Benediktin khususnya
menempatkan nilai besar pada hospitalitas atau keramahtamahan. Menurut Regulae St.
Benedicti (Peraturan St. Benediktus) tamu harus diterima seperti Yesus sendiri.
Para Fransiskan membaktikan diri pada Yesus yang miskin dan menderita dan berusaha
melayani Yesus dalam orang miskin. Dengan demikian, spiritualitas Fransiskan mempunyai ciri
khas cinta pada kemiskinan Injil dan kesetiakawanan dengan mereka yang kurang beruntung.
Segi-segi lain meliputi usaha untuk menemukan pedoman hidup dalam Injil, rasa persaudaraan
yang kuat, dan hormat terhadap ciptaan, yang meliputi rasa sayang besar terhadap binatang.
Spiritualitas Ignasian, tumbuh dari pengalaman mistik Kristus, berciri Trinitarian. Cirinya
yang kuat untuk kerasulan mencerminkan latar belakang Ignasius sebagai tentara. Beberapa
segi spiritualitas Ignasian dapat dilihat pada Exercitia Spiritualia (Latihan Rohani); meditasi
tentang Kristus Raja dan Dua panji-panji menekankan mengikuti Kristus dalam pelayanan-Nya
dan penyamaan diri dengan-Nya dalam pengalaman direndahkan dan ditolak. Dari pandangan
tentang
Allah yang hadir dan aktif dalam segala ciptaan pada akhir Latihan Rohani, dikenal
sebagai ”Kontemplasi untuk Mendapatkan Cinta” tampaklah cita-cita Ignatius untuk menemukan
Allah di dalam segala hal. Peraturan tentang penegasan rohani merupakan perwujudan pemahaman Ignatius bahwa kita dapat mengenal kehendak Allah dalam gerakan-gerakan rasaperasaan kita. Spiritualitas Ignatian menekankan penegasan rohani.
Dalam segala ungkapannya, spiritualitas Kristiani mau membimbing orang-orang lain ke
hidup yang lebih mendalam dalam Kristus dan tumbuh dalam Roh. Dengan demikian, hidup
cinta kasih harus menjadi inti setiap spriritualitas. Jika tidak ada cinta kasih, spiritualitas itu
bukan spiritualitas Kristiani yang otentik. Tanpa cinta kasih, spiritualitas dapat dengan mudah
terarah ke dalam, dengan menjadi semacam narsisisme rohani yang hanya sibuk dengan diri
sendiri dan kebutuhan-kebutuhannya atau asketisme yang mengingkari dunia yang
mengasingkan yang satu dari yang lain dan mematikan roh.
Hidup dalam Kristus berarti hidup untuk menjadi murid, dan menjadi murid diringkas dalam
Injil Yohanes oleh perintah Yesus ”supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi
kamu” (Yoh 15:12). Dalam khotbah eskatologis yang terkenal dalam Injil Matius, Yesus
menegaskan bahwa pada suatu hari kita akan diadili berdasarkan bagaimana kita menaruh
perhatian terhadap kaum miskin dan kekurangan, terutama mereka yang menderita kelaparan,
kehausan, orang asing, yang telanjang, yang sakit atau dalam penjara (Mat 25:31-46). Khotbah
itu menjadi titik tolak untuk melakukan apa yang oleh katekismus tradisional disebut ”karya
amal”, baik jasmani seperti memberi makan orang lapar, memberi minum orang haus, memberi
pakaian orang yang telanjang, memberi perlindungan orang yang tidak mempunyai tempat
tinggal, mengunjungi orang sakit, membebaskan tawanan, dan mengubur orang mati, maupun
rohani seperti mengajar orang yang tidak tahu, menasihati orang yang bingung, menasihati
orang yang salah, menanggung kejahatan dengan sabar, mengampuni penghinaan, menghibur
orang yang sedih, berdoa bagi orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Karya amal
itu dianjurkan kepada semua orang Kristiani.
Untuk mendorong pertumbuhan dalam iman, harapan, dan terutama cinta kasih,
kebanyakan spiritualitas menekankan doa. Doa merupakan hal yang hakiki. Tanpa doa tidak
ada hidup batin, tidak ada pengalaman kehadiran Allah yang mengubah. Di samping doa,
spiritualitas-spiritualitas Kristiani mengajarkan disiplin rohani.
Kita tahu bahwa sejumlah disiplin diperlukan bagi kesehatan fisik kita. Kita memerlukan
olah raga, diet yang hati-hati, ugahari dalam penggunaan alkohol dan obat perangsang, dan
lama waktu tidur yang tepat. Demikian juga, kita membutuhkan disiplin dalam hidup rohani kita.
Istilah tradisional untuk disiplin semacam itu adalah ”asketisme”, istilah yang dewasa ini
menimbulkan rasa tidak enak, meski istilah itu masuk dalam perbendaharaan kata Kristiani dari
kata Yunani yang berarti cinta atletik (kata Yunani askesis berarti ”latihan atletik” atau
”praktek”). St. Paulus sendiri membandingkan usahanya untuk menguasai tubuhnya demi kerja
kerasulan dengan latihan atletik yang diperlukan untuk dapat ikut bertanding (1Kor 9:25-27).
”Asketisme” berarti praktek disiplin rohani untuk mengatur dorongan-dorongan alamiah,
membuat orang menjadi berpusat, dan membuka roh bagi kehadiran Allah. Ada sejumlah
praktek asketis tradisional yang masih dapat amat membantu.
Kebanyakan tradisi religius telah mengakui nilai rohani dalam berpuasa. Dalam Perjanjian
Lama, puasa merupakan tanda silih dosa. Dalam sejarah Kristianitas, puasa telah dipraktekkan
sebagai cara untuk menyatukan diri dengan Yesus yang menderita sengsara dan persiapan
untuk doa (bdk. Kis 13:2-3). Menurut Didache abad ke-2, orang yang akan dibaptis dan orang
yang akan membaptis harus berpuasa sebelum merayakan sakramen (Didache 7). Dalam
literatur patristik, puasa kerap kali dikaitkan dengan pemberian derma. Paling sedikit mulai abad
ke-3 orang-orang Kristiani berpuasa dalam persiapan Paskah, praktek yang kemudian
berkembang menjadi masa liturgi puasa.
Peraturan puasa, yang telah selama berabad-abad menjadi bagian dari praktek keagamaan
orang Katolik telah amat diringankan di sekitar waktu Konsili Vatikan II. Pada tahun 1964, Paus
Paulus VI mengurangi waktu puasa sebelum menerima Komuni dari pukul 12 malam menjadi 1
jam sebelum menerima Komuni. Sesudah Konsili, puasa Masa Puasa yang diwajibkan amat
diperlunak, meskipun orangorang Katolik masih dituntut menaati puasa kecil pada hari
Rabu Abu dan Jumat Suci. (Aturannya adalah dalam satu hari hanya makan kenyang satu kali).
Dewasa ini banyak orang Kristiani menemukan kembali puasa sebagai disiplin untuk doa dan
cara untuk mengalami kesetiakawanan dengan orang kelaparan dan kaum miskin.
Pantang, tidak makan daging, merupakan praktek asketis lain yang mempunyai sejarah
panjang di dalam Gereja. Banyak komunitas monastik sama sekali tidak makan daging baik
sebagai disiplin maupun sebagai tanda silih dosa, praktek yang masih dipertahankan oleh
biarawan trapis dan komunitas-komunitas kontemplatif lain.
Menemukan waktu dan tempat untuk sendiri di hadapan Allah, untuk keheningan,
merupakan disiplin spiritual yang lain. Dalam sejarah spiritualitas, padang gurun telah berfungsi
sebagai lambang keheningan yang memupuk doa dan membantu untuk bertemu dengan Allah.
Sejumlah komunitas kontemplatif modern menyediakan kesempatan untuk mendapatkan
pengalaman ”padang gurun” itu satu hari seminggu, hari yang dikhususkan untuk keheningan
dan kontemplatif tenang, terbebas dari acara harian komunitas yang biasa. Dalam kehidupan
kita yang sibuk dan gaduh, kita perlu menemukan tempat untuk hening. Kadang-kadang kita
perlu dapat mencium bau tanah, merasakan rumput dengan telapak kaki kita yang telanjang
dan terpaan angin pada wajah kita. Keheningan membantu kita membuka diri kepada Allah
yang berbicara kepada kita dalam keheningan dan dalam keindahan alam. Kita juga harus
menemukan tempat tenang dan keheningan dalam hidup kita sehari-hari, tempat tertutup untuk
berjalan-jalan sambil refleksi atau sudut di dalam kamar di mana kita dapat menyalakan lilin di
depan ikon atau salib dan duduk dalam doa dan keheningan. Retret merupakan waktu hening
yang panjang, waktu untuk masuk secara lebih intensif ke dalam doa dan meditasi. Ada rumahrumah retret yang memberi kesempatan untuk mengadakan Latihan Rohani, bahkan ada rumah
retret yang menyediakan tempat bagi orang yang mau berakhir pekan untuk berdoa dan merenung.
Bimbingan rohani dapat amat membantu dalam usaha kita untuk menghayati hidup rohani
secara lebih sadar. Pembimbing rohani lebih sebagai sahabat yang dipercaya daripada orang
yang ”mengarahkan” atau memberi tahu kita tentang apa yang harus kita lakukan. Pembimbing
rohani adalah orang yang dapat kita curahi kisah tentang peziarahan batin kita, dengan
mengutarakan doa dan usaha kita untuk menegaskan di mana kita berdiri di hadapan Allah dan
ke mana kita sebaiknya mengarah. Disiplin untuk bertemu secara teratur dengan pembimbing
rohani, seperti menulis jurnal, membantu mengobjektifikasikan pengalaman kita dan dapat
melindungi diri terhadap penipuan-diri. Pembimbing rohani yang baik adalah orang yang mendengarkan dengan baik dan dirinya sendiri berpengalaman dalam doa. Dewasa ini semakin
banyak orang awam pria dan wanita yang memberi pelayanan sebagai pembimbing rohani.
Tanpa Kekerasan
Meksipun pada umumnya tidak termaktub dalam tulisan-tulisan tradisional tentang
spiritualitas, tanpa kekerasan (nonviolence) juga merupakan disiplin rohani yang menuntut
banyak. Dalam esainya yang berjudul ”Berbahagialah mereka yang lemah lembut,” Thomas
Merton menyebut tujuh prinsip.7
Tanpa kekerasan Kristiani secara teologis didasarkan pada Sabda Bahagia. Mereka yang
mempraktekkannya harus bersedia menolak penggunaan kekuasaan yang tidak adil dan salah.
Merton yakin bahwa mereka yang melawan kekerasan dengan menggunakan kekerasan akan
tertular oleh kejahatan yang justru mereka lawan, dan jika berhasil, mereka sendiri akan
menjadi sama kejam dan tidak adil. Akan tetapi, tanpa kekerasan bukanlah kepasifan. Tanpa
kekerasan berarti menjadi bagi orang lain terutama kaum miskin dan kaum yang tak beruntung.
Mereka yang mempraktekkan tanpa kekerasan harus menghindari sikap benar-diri yang
dengan mudah dapat membuat mereka yang terlibat terpuruk ke dalam pergulatan moral.
Mereka harus bersedia melepaskan fetisisme untuk mencari hasil-hasil yang segera tampak,
cara struktur kekuasaan yang mereka lawan.
Terutama, harus ada sikap menolak secara mutlak terhadap kejahatan, termasuk
ketidakjujuran, dan mereka harus bersedia mengakui dan menerima kebenaran pendirianpendirian lawan-lawan mereka. Merton menyatakan bahwa tanpa kekerasan tidak dapat dipandang sebagai taktik yang akan digunakan untuk memperoleh perdamaian sebagai tujuan
politik, betapapun pantas dipujinya. Tanpa kekerasan akan berhasil hanya jika merupakan
usaha untuk mengejar kebenaran. Merton telah mempelajarinya dari Gandhi dan mengutip
kata-kata Gandhi yang merupakan ringkasan Gandhi tentang seluruh ajaran tanpa kekerasan:
”Jalan perdamaian adalah jalan kebenaran ... Kebenaran bahkan lebih penting daripada
perdamaian.”8 Merton menekankan bahwa mereka yang melawan tanpa kekerasan tidak berjuang demi kebenaran-”nya” atau hati nurani-”nya”, tetapi demi kebenaran, kebenaran umum
baik bagi mereka yang melawan kekuasaan maupun lawan, dan dengan demikian mereka yang
melawan tanpa kekerasan sesungguhnya berjuang bagi semua orang.
Pandangan Merton tentang tanpa kekerasan mengalir dari kontemplasi dan rasa
keterkaitan segala hal yang merupakan buah kontemplasi itu. Tanpa kekerasan harus
melepaskan segala kebenaran khusus, betapapun berharga, demi kebenaran sendiri,
kebenaran yang adalah Allah sendiri.
3. Spiritualitas-Spiritualitas Dewasa Ini
Spiritualitas Awam
Hidup religius dengan kaul dalam Gereja kerap disebut sebagai ”status perfectionis,” status
hidup sempurna, dan terlalu kerap tradisi Katolik cenderung mengatakan seolah-olah
spiritualitas hanya berkaitan dengan hidup yang dijalani oleh kaum religius. ”Identitas
orang Kristiani awam telah menjadi amat kabur selama berabad-abad karena hidup religius
menjadi kerangka normatif bagi hidup Kristiani.”9 Kita cenderung melupakan bahwa banyak
tradisi spiritual yang kaya dalam Gereja diciptakan oleh pria dan wanita awam. Bapa-bapa dan
ibu-ibu padang gurun awal adalah orang awam, bukan klerus atau religius. Beguine dan
Beghard dari abad ke-12 dan ke-13 merupakan gerakan awam seperti halnya spiritualitas St.
Fransiskus Assisi.
Semua orang Kristiani, awam pria dan wanita maupun religius, dipanggil ke hidup rohani.
Dengan demikian, pentinglah memperluas konsep spiritualitas untuk mencerminkan lingkungan
dan kebutuhan orang awam yang berbeda-beda, apakah hidup sendiri atau nikah. St.
Fransiskus dari Sales (meninggal tahun 1622) mengenal keanekaragaman spiritualitas. Dalam
bukunya Introduction to the Devout Life, Fransiskus dari Sales menekankan bahwa praktek
devosi harus disesuaikan untuk setiap orang menurut tugas dan pekerjaan masing-masing:
Saya minta kepadamu, Philothea, apakah baik bahwa uskup menjalani hidup bertapa seperti
seorang cartusian? Atau orang yang menikah tidak mengumpulkan lebih banyak kebaikan daripada
seorang Kapusin? Jika pedagang harus tetap berada di dalam Gereja, seperti anggota Ordo
Religius, atau religius terus-menerus bersusah payah melayani sesama, seperti seorang uskup,
bukankah itu devosi yang lucu, kacau, dan tak dapat dijalani?10
Konsili Vatikan II, dengan penekanannya pada panggilan umum untuk kesucian (LG 42)
memberikan dasar untuk berbagai spiritualitas awam. Dasar semua spiritualitas adalah baptis
yang memasukkan
orang ke dalam Kristus dan Gereja, dan memberi bagian kepada
masing-masing, baik awam, religius, atau ditahbiskan dalam fungsi Kristus sebagai imam, nabi,
dan raja (LG 31).
Spiritualitas awam mengembangkan panggilan baptis ini baik di dalam Gereja maupun di
dunia. Sebagai panggilan di dalam Gereja, spiritualitas awam dipupuk oleh Sabda Allah dan
Sakramen-sakramen. Sebagai panggilan di dunia, spiritualitas awam harus inkarnasional.
Spiritualitas awam harus dapat menemukan kehadiran Allah di tengah-tengah hal yang biasa
dan sehari-hari, dan mengetahui bahwa kerja dapat menjadi ungkapan keterlibatan Kristiani
seseorang. Spiritualitas awam dapat dihayati dalam perkawinan atau dalam hidup sendiri tanpa
nikah.
Pasangan suami-istri dipanggil untuk spiritualitas yang pada dasarnya relasional, saling
berhubungan satu sama lain. Panggilan utama mereka adalah perkawinan dan keluarga.
Mereka dipanggil untuk hidup bersama yang menghormati dan mengatasi perbedaan-perbedaan. Cinta seksual mereka merupakan ungkapan spiritualitas mereka. Cinta seksual merupakan
tanda yang penting dari cinta Allah yang lembut dan penyerahan diri. Kesenangan seksual
mengikat suami dan istri satu sama lain dan menyembuhkan friksi dan konflik yang kerap
muncul dari hidup bersama.11 Dalam arti sebenarnya, suami dan istri menggambarkan Allah
bagi pasangannya dan bagi anak-anak mereka. Keluarga dan rumah tangga mereka menjadi
tempat di mana orang-orang lain dapat mengalami kegembiraan dan jaminan kasih Allah.
Baik hidup perkawinan maupun hidup sendiri dapat membawa orang dekat pada Allah.
Gerakan Marriage Encounter telah amat berjasa dalam meningkatkan spiritualitas perkawinan.
Marriage Encounter telah membantu pasangan menemukan apa makna menjalani perkawinan
Kristiani sebagai sakramen. Beberapa pria dan wanita memilih hidup sendiri tanpa nikah
sebagai cara untuk mengembangkan keakraban dengan Allah dan untuk menyerahkan diri
secara lebih lengkap bagi pelayanan khusus di dalam Gereja. Hidup sendiri mereka dapat
merupakan ungkapan selibat demi Kerajaan (bdk. Mat 19:12).
Pembaruan karismatik telah menolong banyak orang awam untuk mengalami hidup yang
mendalam dalam roh. Gerakan Cursillo, yang didasarkan pada pembaruan rohani pada akhir
minggu, meningkatkan spiritualitas yang menemukan kehadiran Allah dalam hidup sehari-hari,
di rumah, di tempat kerja, dan terutama di dalam Gereja lokal. Penemuan kembali pelayanan
awam menuntut spiritualitas pelayanan.
Keadilan dan Solidaritas dengan Kaum Miskin
Salah satu aliran yang paling kuat mempengaruhi spiritualitas dalam abad ke-20 adalah
gabungan spiritualitas kontemplatif dengan keterlibatan untuk memperjuangkan keadilan sosial
dan solidaritas (kesetiakawanan) dengan kaum miskin. Spiritualitas pembebasan, yang
berkembang dari teologi pembebasan di Amerika Latin, merupakan ungkapan dari aliran
spiritualitas itu. Gagasan tentang solidaritas dengan kaum miskin bukan merupakan hal yang
baru dalam sejarah Gereja. Meskipun retorikanya berbeda, panggilan untuk mengikuti Yesus
yang miskin, yang didengar oleh Fransiskus Assisi dan Saudara-Saudara Dinanya, dan praktek
kemiskinan mereka dengan mengemis pasti merupakan ungkapan dari apa yang dewasa ini
disebut ”pilihan mengutamakan kaum miskin.”
Charles de Foucauld, dalam usahanya mewartakan Injil dengan meneladan hidup Yesus
yang tersembunyi di Nazaret, dengan hidupnya sendiri di tengah suku-suku Sahara merupakan
contoh modern dari tradisi ini. Ia mempunyai pengaruh yang amat besar pada komunitaskomunitas religius tertentu dewasa ini. Ada beberapa komunitas yang didirikan oleh pria dan
wanita awam seperti komunitas Pekerja Katoliknya Dorothy Day dan l’Archenya Jean Vanier,
yang anggota-anggotanya berusaha menggabungkan kontemplasi, kesederhanaan hidup, dan
pelayanan langsung kepada orang miskin dalam hidup mereka.
Spiritualitas gerakan Pekerja Katolik didasarkan pada Injil. Dalam sebuah pahatan yang
dibuat oleh seniman Quacker, Fritz Eichenberg, yang menjadi semacam ikon tidak resmi dari
gerakan itu, Yesus berdiri kedinginan dan tak dikenal dalam deretan orang-orang miskin yang
dengan sabar menunggu. Para Pekerja Katolik melihat hubungan yang jelas antara praktek
perayaan Ekaristi dan makanan yang mereka sajikan kepada orang-orang lapar di dapur
mereka. Mereka mengulang kata-kata Dorothy Day: ”Kita mengenal Kristus dalam pemecahan
roti. Kita mengenal satu sama lain dalam pemecahan roti.”
Mereka yang tertarik pada l’Arche merasakan dalam orangorang yang cacat mental
kerentanan yang membuat mereka terbuka terhadap Allah dengan cara khusus. Spiritualitas
mereka didasarkan pada kebenaran dasar Injil: Yesus menyamakan diri dengan orang miskin
dan menderita, dan bila kita membuka hati kita bagi orang miskin, kita dapat mengenal
kedamaian dan kehadiran-Nya. Mereka tak dapat meneruskan hidup sehari-hari mereka untuk
merawat
orang-orang cacad jika mereka tidak yakin akan kebenaran itu. Sabda Bahagia
(Mat 5:3-12; Luk 6:20-26) menjadi pusat spiritualitas mereka. Mereka yang disebut bahagia oleh
Yesus adalah mereka yang miskin, menderita, dan berbelaskasihan, dan bukan mereka yang
enak dan berkuasa. Sabda Bahagia merupakan tantangan yang terus-menerus bagi kita,
karena Sabda itu menjungkirbalikkan nilai-nilai konvensional kita dan membuka pandangan
dunia yang sama sekali baru.
Dewasa ini krisis AIDS telah menantang orang-orang Kristiani untuk menanggapi mereka
yang hidup dan menghadapi ajal karena penyakit yang mengerikan itu. Dewasa ini ada kira-kira
13 juta orang terinfeksi virus HIV. Diperkirakan jumlah itu akan membengkak menjadi 110 juta
pada tahun 2000.12 Di antara para penderita AIDS itu, banyak yang menanggung penderitaan
tambahan karena penyakit itu dicap negatif oleh masyarakat, ditinggalkan oleh keluarga
mereka, dan kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Banyak orang yang merawat orang
yang terkena AIDS dan mereka yang menderita penyakit itu menemukan spiritualitas belas
kasihan, doa dan harapan, dalam usaha untuk menghadapi AIDS sebagai fakta dalam hidup
mereka.
Usaha orang-orang Kristiani dan Gereja-Gereja Amerika Latin untuk menghayati
pengutamaan kaum miskin di tengah-tengah masyarakat yang keras dan menindas telah
menciptakan spiritualitas menjadi murid bahkan menjadi martir. Harganya amat mahal. Jumlah
imam, suster, bruder dan pendeta-pendeta Prostestan yang terbunuh di Amerika Tengah dan
Latin sejak akhir Konsili Vatikan II sudah ratusan orang. Pada tahun 1980-an lebih dari dua
belas imam dan sekurang-kurangnya tiga pendeta dibunuh atau hilang di Guatemala. Dalam
jangka waktu yang sama di El Salvador, Uskup Agung Romero, 4 wanita Gereja dan sekurangkurangnya 17 imam dibunuh. Pada tahun 1989, enam Yesuit bersama dengan juru masak dan
anak perempuannya dibunuh pada waktu pasukan Salvador masuk ke dalam tempat tinggal
mereka dan membunuh mereka dengan kepala dingin. Jika tokoh-tokoh awam dihitung, jumlah
orang yang dibunuh di Amerika Tengah dan Latin mencapai ribuan orang.
Jon Sobrino, salah seorang Yesuit Salvador yang kebetulan tidak ada di rumah pada waktu
enam rekannya dibunuh di tempat tinggal mereka, telah banyak menyumbangkan apa yang
disebutnya spiritualitas pemerdekaan, spiritualitas keadilan, dan solidaritas dengan kaum
miskin.13 Ia menceritakan malam yang tragis yang dialami rekan-rekannya pada malam itu, yang
melambangkan secara lebih kuat dari segala tulisannya solidaritas Allah dengan kaum miskin
dan kaum tak berdaya.14 Di kamarnya di antara buku-bukunya ada buku yang ditulis oleh teolog
Jerman Jürgen Moltmann yang berjudul The Crucified God. Sesudah pembunuhan, tentaratentara menyeret satu mayat Yesuit yang sudah meninggal ke kamar Sabrino. Tentara-tentara
itu menabrak rak buku sampai buku Moltmann jatuh. Buku itu jatuh dekat tubuh Yesuit yang
meninggal, dan ditemukan keesokan harinya; buku penuh berlumuran darah Yesuit yang
meninggal itu. Jauh lebih bagus daripada semua uraian teologis, buku yang penuh darah itu
dengan judulnya yang kuat berbicara tentang rasa-perasaan Allah sendiri, solidaritas Allah
melalui Yesus yang disalib dengan korban-korban kekuasaan dan ketidakadilan sepanjang
sejarah umat manusia.
Apa ciri-ciri spiritualitas keadilan dan solidaritas dengan kaum miskin itu? Pertama,
spiritualitas itu harus berakar pada doa dan kontemplasi, yang selalu merupakan pergulatan
untuk mencapai kenyataan, untuk melihat segala sesuatunya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Membaca Kitab Suci sehingga hidupnya sehari-hari dimengerti menurut
penerangannya memegang peranan vital di sini.
Kedua, kesederhanaan hidup. Sulit malah mustahil untuk solider dengan kaum miskin
sementara ia menjalani gaya hidup enak – makmur melimpah. Pada kenyataannya, budaya
kelimpahan, yang dapat membunuh roh merupakan produk jaringan ekonomi dan strukturstruktur sosial yang memungkinkan sejumlah kecil orang hidup melimpah dengan
mengorbankan mayoritas orang. ”Pengalaman terlibat”, yang diperoleh dengan hidup dan
bekerja selama beberapa waktu dengan kaum miskin dan juga pelayanan langsung kepada
mereka yang tidak beruntung dapat amat membantu mengembangkan spiritualitas itu.
Demikian analisis sosial yang terus-menerus dapat memperdalam kesediaan terlibat untuk
hidup sederhana dan solider dengan kaum miskin.
Ketiga, keinginan untuk membangun masyarakat yang mencakup semua orang yang
mengatasi segala batas dan halangan. Gereja sendiri merupakan tanda kesatuan semua orang
untuk kedatangan Kerajaan Allah. Perpecahan antara mereka yang telah dibaptis entah
didasarkan ras, jenis kelamin, kekayaan, atau status sosial, memecah kesatuan tubuh Kristus.
Itu semua, menurut St. Paulus, merupakan pelanggaran melawan Tubuh dan Darah Tuhan
(1Kor 11:17-31).
Pada akhirnya bertindak demi keadilan. Doa yang autentik membawa ke perhatian bahkan
keprihatinan terhadap keadilan. Terlibat aktif dalam perjuangan demi keadilan merupakan
bagian tanggung jawab semua orang Kristiani. Keterlibatan itu merupakan ungkapan
keikutsertaan mereka dalam perutusan Gereja. Sinode para uskup tahun 1971 menegaskannya
dalam pengantar dokumen Justitia in Mundo (Keadilan di Dunia): ”Tindakan demi keadilan dan
keikutsertaan dalam perubahan dunia bagi kami tampak secara penuh sebagai dimensi
konstitutif pewartaan Injil, atau dengan kata lain, dari perutusan Gereja untuk penebusan umat
manusia dan pembebasannya dari segala situasi yang opresif.” Spiritualitas keadilan dan
solidaritas dengan kaum miskin harus selalu memberi perhatian pada pergeseran dari
mewartakan kebenaran ke melaksanakan kebenaran.
Anak-anak muda Kristiani dapat mempelajari nilai-nilai spiritualitas keadilan sosial itu
dengan melaksanakan pelayanan kepada orang miskin dengan hidup selama satu atau dua
tahun melalui kelompok-kelompok pelayanan yang sudah atau dibentuk secara khusus untuk
pelayanan itu.
Spiritualitas Feminis
Spiritualitas feminis merupakan spiritualitas yang relatif baru. Spiritualitas ini tumbuh dari
perjuangan wanita demi kesamaan, baik di dalam masyarakat maupun di dalam Gereja.
Spiritualitas itu juga merupakan ungkapan teologi pembebasan. Seperti teologi feminis (karena
kerap sulit dibedakan antara teologi dan spiritualitas), spiritualitas feminis memuat berbagai
pandangan dan mencakup berbagai tokoh di dalam Gereja Katolik dewasa ini. Beberapa teolog
feminis secara terang-terangan sudah bergerak lebih jauh dari tradisi Kristiani. Minat teologis
mereka terpusat pada pemujaan dewi Eropa pra-Kristiani, agama asli yang dikenal dengan
nama Wicca. Mary Daly adalah salah seorang dari kaum feminis yang menyebut diri sebagai
pasca-Kristiani. Feminis-feminis lain, seperti Rosemary Radford Ruether dan Elisabeth
Schüssler Fiorenza, telah menantang tradisi secara radikal dari dalam. Apa yang umum bagi
kebanyakan teolog feminis adalah usaha untuk memasukkan ke dalam permenungan teologis
pengalaman kaum wanita yang kerap dilupakan.
Spiritualitas feminis berusaha untuk merumuskan pandangan tentang hidup rohani yang
dapat menampung pengalaman kaum wanita, terutama pengalaman penindasan; teologi itu
mengolah kebutuhan-kebutuhan khusus kaum wanita dan membantu mereka untuk
mendapatkan kembali kekuasaan rohani mereka. Timbulnya kesadaran merupakan langkah
pertama terhadap visi spiritual feminis yang sejati. Wanita, yang kerap kali telah didefinisikan
dalam kerangka fungsi seksual dan reproduktif mereka, menekankan bahwa nilai dan
kemungkinan-kemungkinan pribadi mereka tidak dapat ditentukan oleh biologi. Dengan
demikian, teologi feminis memberi kepada kaum wanita pandangan alternatif yang mengandung
kritik terhadap kekuatan-kekuatan dan gerakan-gerakan yang menindas kaum wanita dan
mengasingkan mereka dari diri mereka sendiri. Patriarki (penyusunan) masyarakat dan budaya
dalam kerangka minat dan kekuasaan pria dan hierarki (pengorganisasian masyarakat dan
Gereja dalam kerangka status yang lebih tinggi dan lebih rendah), ditolak. Teologi feminis
menekankan kesamaan, perangkuman dan ketimbalbalikan. Teologi itu lebih merupakan
diskusi daripada kuliah, lingkaran daripada segi empat.
Spiritualitas feminis amat berbeda dari spiritualitas tradisional dalam pendekatannya yang
non dualitis terhadap segala kenyataan. Teologi itu berusaha mengatasi keterpisahan antara
badan dan jiwa, antara spiritualitas dan seksualitas, antara yang transenden dan yang imanen,
pikiran dan perasaan, yang suci dan yang sekular, antara dunia ini dan dunia yang akan
datang. Teologi itu berusaha membaca Injil sedemikian rupa, sehingga wanita diberdayakan.
Dengan demikian, teologi feminis merasa tidak nyaman dengan penekanan dalam teologi klasik
tentang mengalahkan diri sendiri dengan mengutamakan orang lain, karena melihat di sini
penguatan kembali pada kepasifan dan penundukan yang dialami oleh sedemikian banyak
wanita karena kebudayaan patriarkal dan Gereja. Menggantikan egonya sendiri adalah bagus
jika godaannya adalah kesombongan, tetapi bagi banyak wanita tugas pertobatan sejati yang
nyata adalah menjadi lebih tegas, menegaskan nilai mereka sendiri, dan sungguh-sungguh
mencintai diri sendiri.15
Ada sejumlah ciri khas spiritualitas feminis: pertama, spiritualitas itu berakar pada
pengalaman kaum wanita. Dengan demikian pada umumnya ada tekanan pada penyampaian
(sharing) pribadi tentang kisah-kisah sebagai cara untuk mendapat kembali apa yang tertekan
dan peningkatan kesadaran. Kedua, spiritualitas itu mengungkapkan segi-segi yang berkaitan
dengan tubuh, terutama yang berhubungan dengan pengalaman wanita seperti melahirkan dan
menstruasi, yang sama sekali tidak diperhatikan oleh agama. Segi-segi tubuh itu memberi
hidup, bukan memalukan. Ketiga, spiritualitas itu berkaitan dengan alam non-manusia, dengan
makna hubungan organis kita dengan alam raya; secara ekologis, visinya peka. Keempat,
spiritualitas itu menekankan upacara-upacara yang lebih inklusif daripada hierarkis, gembira
dan partisipatif daripada non-emosional dan dominatif. Spiritualitas feminis menaruh perhatian
besar pada pembaruan pelayanan, liturgi, organisasi, dan jemaat Gereja. Pada akhirnya, spiritualitas feminis melihat hubungan yang intrinsik antara pertumbuhan pribadi dan keadilan
sosial. Dari sudut pandang spiritualitas feminis, yang pribadi itu selalu bersifat politis.16
4. Mariologi
Devosi atau kebaktian kepada Maria Bunda Yesus merupakan bagian penting dari
spiritualitas Katolik sejak abad-abad awal. Sulitlah untuk membayangkan Gereja Katolik tanpa
patung atau gambar Maria yang dipasang di tempat yang menyolok. Perkembangan ajaran
Gereja tentang Maria merupakan masalah yang rumit, tetapi tidak ada masalah tentang tempat
yang dipegang Maria dalam hati orang-orang Katolik. Maria telah lama menarik bagi orangorang Kristiani sebagai lambang keterbukaan manusia terhadap Yang Ilahi dan kekuatan Roh
yang mengubah dalam hidup manusia. Oleh karena itu, Maria kerap dipandang sebagai contoh
Gereja.
Maria dalam Kitab Suci
Simbolisme mungkin merupakan pendekatan yang paling tepat terhadap Maria dalam Kitab
Suci. Dengan menggunakan penafsiran topologis (sebagai lawan dari literal) yang sedemikian
populer pada Gereja awal, tradisi Kristiani telah melihat Maria digambarkan dalam kutipan
seperti Kejadian 15:3, yang menyatakan permusuhan antara keturunan wanita, Hawa, dan ular,
dan Yesaya 7:14 di mana almah, kata Hibrani yang berarti ”wanita muda” diterjemahkan ”anak
dara” atau ”perawan” oleh Hieronimus dalam Vulgata: ”Sesungguhnya, anak dara itu akan
mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia
Imanuel” (Mat 1:23).
Tidak banyak dikatakan tentang Maria dalam dokumen-dokumen Perjanjian Baru awal;
Markus agaknya memasukkan Maria di antara para anggota keluarga Yesus yang
menganggap-Nya tidak waras (Mrk 3:21). Akan tetapi, Maria memainkan peranan yang lebih
penting dalam buku-buku yang kemudian, dan kisah kanak-kanak Matius dan Lukas dengan
laporan mereka tentang Yesus yang dikandung oleh perawan, dan dalam Injil Yohanes. Banyak
dari bahan ini melihat Maria sebagai lambang: sebagai murid yang sejati (Luk 8:21), sebagai
pengantara (Yoh 3:2), dan ibu murid (Yoh 19:26-27).
Maria dalam Tradisi
Bapa-Bapa Gereja melanjutkan mengembangkan simbolisme kaya yang disarankan oleh
gambaran ibu Yesus. Semua Bapa Gereja mengajarkan keperawanan Maria. Yustinus martir
(meninggal tahun 165), Ireneus (meninggal tahun 202), dan Tertulianus (meninggal tahun 221)
berpangkal pada pengertian St. Paulus tentang Yesus sebagai Adam Baru, mengembangkan
gagasan Maria sebagai Hawa baru. Ireneus, yang menekankan peran aktif Maria dalam karya
penebusan melalui ketaatannya, mengaitkan Maria dengan Gereja, seperti dilakukan oleh
Tertulianus, Hipolitus, Ambrosius, dan Agustinus. Gambaran Ambrosius tentang Maria sebagai
contoh Gereja diteguhkan oleh Konsili Vatikan II.
Salah satu gelar Maria yang paling penting adalah Theotokos, ”Bunda Allah” yang secara
harafiah berarti ”yang melahirkan Allah”, yang sedemikian dihormati di Gereja Timur. Gelar itu
agaknya digunakan mulai tahun 220 oleh Hipolitus dari Roma dan kemudian menjadi populer
dalam perlawanan melawan kaum Arian pada abad IV karena makna kristologis yang
sedemikian jelas. Meski gelar itu ditolak oleh kaum Nestorian, namun diterima oleh Gereja
universal sesudah rumusan Efesus (431) dan Kalsedon (451).
Bersamaan dengan pengembangan teologi Maria adalah tempat penting yang diperolehnya
dalam kesalehan dan devosi orang-orang Kristiani awal. Salah satu tandanya adalah kerapnya
Maria ditampakkan dalam tulisan-tulisan apokrif. Meski bahan-bahan ini kebanyakan
merupakan imaginasi saleh yang berusaha mengisi lubang-lubang dalam kisah Yesus dan
Maria, namun merupakan bukti bahwa Maria disebut-sebut.
Jauh lebih bermakna adalah fakta bahwa orang-orang Kristiani berdoa kepada Maria
sebagai pengantara mulai abad ke-3. Tulisan tangan dari waktu itu memuat doa ini: ”Kami
mengungsi di bawah naunganmu (sub tuum praesidium), hai Bunda Allah (theotokos) yang
suci; janganlah memandang hina doa permohonan kami, tetapi bebaskanlah kami selalu dari
segala bahaya, hai perawan yang mulia dan terpuji.” Bentuk doa yang lain yang tampak masih
populer dewasa ini adalah doa Memorare (Ingatlah), doa yang berasal dari Abad Pertengahan:
”Ingatlah ya Perawan Maria yang penuh kasih karena tak pernah ada orang yang lari pada
perlindunganmu ...”. Dari abad ke-5 dan seterusnya, gereja-gereja mulai diberi nama untuk
menghormati Maria. Bagi orang-orang Katolik, Maria merupakan yang paling utama dalam
kesatuan para kudus.
Maria juga dirayakan dalam liturgi. Pesta Maria yang berdiri sendiri yang pertama berasal
dari luar Yerusalem pada tahun 430. Pesta itu dirayakan pada tanggal 15 Agustus untuk
menghormati Maria, Bunda Allah, tetapi dalam beberapa dasa warsa dibuat menjadi peringatan
”meninggalnya” Maria. Nama Maria disebut dalam Doa Ekaristi Romawi sejak abad ke-5. Pada
abad ke-7 Pesta Penyampaian Kabar Gembira (25 Maret), wafat atau kenaikan ke surga (15
Agustus), kelahiran (8 September) dan Penyucian (2 Februari yang sekarang dikenal dengan
pesta Persembahan Tuhan) ditaati, baik di Gereja Barat maupun Gereja Timur.
Gereja pada umumnya mendorong devosi populer Maria, tetapi juga hati-hati membedakan
dengan teliti apa yang merupakan kesalehan populer dan pengakuan iman, seperti dalam
dogma Maria. Bahkan penampakan dan visiun seperti di Tepeyac, Lourdes, dan Fatima, meski
dapat disetujui Gereja, namun pada dasarnya merupakan devosi pribadi. Devosi-devosi itu
bukan ajaran resmi Gereja.
Beberapa penampakan itu telah memainkan peranan penting dalam pengembangan
Katolisisme populer. Kisah tentang penampakan Perawan Maria di Guadalupe pada tahun 1531
kepada petani Aztec Juan Diego di Tepeyac, dekat Kota Meksiko, amat berpengaruh dalam
membuat rakyat Indian Meksiko mampu mengenal diri mereka dalam agama para penakluk
mereka. Dalam gambar yang terkenal, masih dihormati oleh orang Meksiko dan Amerika
Meksiko, Maria tampak sebagai mestiza, wanita berdarah campuran Spanyol dan Indian, dan
tampaknya ia hamil. Penampakan kepada Bernadette Soebirous, gadis muda Prancis, pada
tahun 1855 di Lourdes mendorong pendirian gereja dan pembangunan tempat ziarah yang
telah menjadi tempat rahmat dan penyembuhan bagi jutaan orang.
Ajaran tentang Maria
Devosi Katolik terhadap Maria timbul karena saling mempengaruhinya antara kepentingan
dan imajinasi doa dan perayaan liturgis, kesalehan populer dan refleksi teologis. Proses yang
panjang menggambarkan prinsip bahwa doa dan liturgi membantu dalam pembentukan iman
(lex orandi, lex credendi). Gereja telah mengajarkan keperawanan kekal Maria sejak abad ke-4.
Konsili Trente meneguhkan ketidakberdosaan Maria (DS 91). Dua ajaran yang paling baru
adalah dogma Maria dikandung tanpa dosa asal, yang dengan meriah dirumuskan oleh Paus
Pius IX pada tahun 1854, dan rumusan agung Paus Pius XII tentang pengangkatan ke surga
pada tahun 1951. Meski kedua dogma itu tidak dapat ”dibuktikan” dari Kitab Suci, masingmasing dogma itu mempunyai sejarah panjang dalam tradisi dan masing-masing dinyatakan
hanya sesudah proses pertimbangan atas iman Gereja melalui polling (jajak pendapat) pada
para uskup.
Dalam menyatakan bahwa Maria dikandung ”bersih dari segala noda dosa asal”, dekrit
Paus Pius IX Ineffabilis Deus mengutip teks-teks seperti salam malaikat Gabriel kepada Maria
”penuh rahmat” (Luk 1:28) dan seru Elisabet ”Terpujilah engkau di antara wanita” (Luk 1:42).
Agaknya ajaran itu berasal dari tradisi liturgi Kristianitas Timur, yang mulai merayakan terkandungnya Maria sekitar akhir abad ke-7. Pesta itu sampai di Eropa pada abad ke-9 dan ke10, yang sempat menimbulkan kontroversi besar atas ajaran itu. Menarik untuk dicatat bahwa
teolog-teolog seperti Anselmus, Bernardus, Albertus, Aquinas, dan Bonaventura – semua itu
adalah orang kudus Gereja – melawan ajaran itu karena tidak dapat memadukanya dengan
gagasan bahwa semua manusia diselamatkan melalui Kristus.
Dilema itu dipecahkan oleh Duns Scotus yang menyatakan bahwa Kristus dapat
menyelamatkan umat manusia dengan mempertahankan mereka dari dosa maupun dengan
mengambil dosa dari mereka yang telah terkena. Dogma terkandung tanpa dosa asal tidak
menyangkal bahwa Maria diselamatkan oleh Kristus; apa yang diteguhkan adalah bahwa
karena Maria ditakdirkan menjadi ibu penebus, ia dipersatukan dengan Allah dengan cara yang
amat mesra sejak awal hidupnya.
Tradisi tentang pengangkatan Maria ke surga sudah lebih tua. Pengangkatan Maria ke
surga sudah dirayakan oleh Gereja sekurang-kurangnya pada akhir abad ke-6. Dogma itu
menyatakan bahwa dari saat kematiannya, Maria secara penuh ikut dalam kebangkitan Kristus
– yaitu bahwa Maria masuk ke surga dengan kemanusiaannya secara penuh, ”jiwa dan badan”.
Dogma itu merupakan peneguhan yang penting atas keikutsertaan kita dalam kebangkitan
Kristus, bahkan jika Gereja belum secara definitif menjawab pertanyaan tentang bagaimana
dan kapan kebangkitan dari mati terjadi pada kita. Beberapa teolog dewasa ini menyatakan
bahwa apa yang ditegaskan Gereja tentang masuknya Maria ke dalam kemuliaan terjadi
dengan cara yang sama bagi semua orang benar pada saat kematian mereka.17
Beberapa orang mempunyai harapan bahwa Konsili Vatikan II akan mengeluarkan
dokumen yang terpisah tentang Maria, dengan menyatakannya menjadi Mediatrix (Perantara)
segala rahmat. Yang lain menyatakan bahwa tidak perlulah mengeluarkan dokumen terpisah
karena hanya akan merusak gerakan ekumenis. Sesudah perdebatan yang cukup, para Bapa
Konsili memilih untuk mengeluarkan ajaran Konsili tentang Maria dimasukkan sebagai bab
terpisah dalam Konstitusi Dogmatik tentang Gereja. Meski bab itu hanya menyinggung secara
singkat tentang hubungan Maria dengan misteri Kristus, namun memberi tekanan lebih besar
pada Maria sebagai model Gereja dengan menekankan iman, kasih dan kesatuannya dengan
Kristus (LG 63).
Maria dan Ekumenisme
Meski agama Kristen Ortodoks mempunyai devosi besar terhadap Bunda Allah, devosi
Katolik terhadap Maria kerap disalahmengerti oleh orang-orang Kristen Protestan. Mereka
kadang-kadang menuduh orang-orang Katolik menyembah Maria. Maria mempunyai tempat terhormat dalam tradisi Katolik, baik dalam hidup devosional maupun dalam warisan ajaran. Akan
tetapi, tradisi telah selalu dengan teliti membedakan antara pemujaan (latria), yang hanya
ditujukan kepada Allah dan penghormatan (dulia bagi orang-orang kudus dan hyperdulia bagi
Maria). Gereja juga telah dengan teliti mempertahankan pembedaan antara kesalehan populer
dan pengakuan iman secara publik, sebagaimana kita lihat di atas. Orang Katolik amat
menghargai penghormatan mereka kepada Maria, tetapi tidak berusaha memaksakannya pada
orang Protestan. Bersamaan dengan itu, orang Kristen Protestan hendaknya tidak melihat
penghormatan orang Katolik terhadap Maria sebagai hal yang berlawanan dengan Injil atau
hambatan untuk kesatuan umat Kristiani. Dogma-dogma tentang Maria hendaknya dimengerti
sebagai contoh yang sah tentang perkembangan ajaran dalam tradisi Katolik.
Dewasa ini baik orang Protestan maupun orang Katolik sampai pada penghargaan baru
atas kekuatan Maria sebagai lambang. Dulu devosi Katolik terhadap Maria merupakan
halangan besar bagi
orang Protestan yang sekarang menemukan Maria yang
mengucapkan Magnificat (Jiwaku Mengagungkan).18 Meski gambaran Maria dapat ditafsirkan
secara stereotipe dengan menempatkan wanita dalam peran tersubordinasi, namun tradisi
Maria (dan wanita pada umumnya) dapat menjadi sumber yang kaya tentang penggambaran
Ilahi.19
5. Kesimpulan
Godaan untuk mengecilkan Kristianitas menjadi sistem etika atau hanya sebagai
pelaksanaan peraturan emas, merupakan pemiskinan yang besar. Yesus berkata bahwa Ia
datang agar kita mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10).
Hidup yang diberikan kepada kita bukan hanya hidup kekal tetapi ikut ambil bagian dalam hidup
Allah sekarang ini. ”Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satusatunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang telah Kauutus” (Yoh 17:3).
Doa, entah lisan, mental atau kontemplatif, menyatukan kita dengan Allah sehingga kita
dapat mengalami sesuatu dari kelimpahan hidup yang diberikan Kristus kepada kita. Doa
liturgis merupakan doa resmi Gereja. Disiplin rohani membantu kita untuk menyiapkan tanah
hati kita, untuk menyiangi dan menyiraminya dengan air, supaya hidup Ilahi dalam Kristus dapat
berakar kuat di dalam diri kita. Spiritualitas mengembangkan hidup itu dan memberinya
ungkapan dalam hidup kita sendiri. Spiritualitas yang sejati merupakan hal yang mengembangkan kedewasaan psikologis dan spiritual dan membuka diri kita terhadap orang lain.
Gereja telah diperkaya oleh jumlah besar orang-orang mistik dan guru-guru rohani.
Keanekaragaman yang kaya dari spiritualitas dalam tradisi Katolik – monastik, apostolik,
keadilan sosial, karismatik, matrimonial (perkawinan), awam, feminis – menampakkan
keseluruhan Katolik yang sejati. Pada waktu yang sama, pada umumnya ada satu segi eklesial
pada spiritualitas Katolik. Spiritualitas Katolik bersifat komunal (melibatkan banyak orang) dan
liturgis. Spiritualitas Katolik meliputi tradisi kuno untuk menghormati Maria sebagai Bunda Allah.
Sebagai lambang, Maria menunjukkan kekuasaan Allah maupun kemungkinan manusia.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Thomas Merton, The Seven Storey Mountain (New York: Harcourt, Brace, 1948) 204.
Henri Nouwen, With Open Hands (Notre Dame: Ave Maria, 1972) 2.
Thomas Merton, New Seeds of Contemplation (New York: New Directions, 1962) 227.
Lihat M. Basil Pennington, Centering Prayer: Renewing an Ancient Christian Prayer Form (Garden City, N.Y.: Doubleday,
1980); Thomas Keating, Open Mind, Open Heart: The Contemplative dimension of the Gospel (Rockport, Mass: Element,
1992).
William Reiser, Looking for a God to Pray To: Christian Spirituality in Transition (New York: Paulist, 1994) 2.
Lihat Michael Downey, ed., The New Dictionary of Catholic Spirituality (Collegeville: The Liturgical Press, 1993).
Thomas Merton, Faith and Violence: Christian Teaching and Christian Practice (Notre Dame: Univ. of Notre Dame Press,
1968) 14-29.
Thomas Merton, Conjectures of a Guilty Bystander (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1968) 84.
Philip Sheldrake, Spirituality and History (New York: Crossroad, 1992) 107.
St. Francis de Sales, The Introduction to the Devout Life, trans. and ed. John K. Ryan (New York: Harper & Brothers, 1950) 6.
Andrew M. Greeley, Sex: The Catholic Experience (Chicago: Thomas More, 1994).
Lihat Keneth R. Overberg, Aids, Ethics, and Religion (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1994) 3.
Jon Sobrino, Spirituality of Liberation: Toward Political Holiness (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1988).
Jon Sobrino, A Question of Conscience: The Murder of The Jesuit Priests in El Salvador, dir. Ilan Ziv, First Run Features,
1990, videocassette.
Rosemary Chinnici, Can Women Re-Image The Church? (New York: Paulist, 1992) 11-36.
Sandra M. Schneiders, ”Feminist Spirituality,” The New Dictionary of Catholic Spirituality, ed. Michael Downey (Collegeville:
The Liturgical Press, 1993) 400.
Misalnya, Karl Rahner, Foundations of Christian Faith: An Introduction to the Idea of Christianity (New York: Seabury, 1978)
388.
Robert McAfee Brown, ”Protestants and the Marian Year,” Christian Century 104 (June 3, 1987) 520-521.
Elizabeth Johnson, ”Mary and Female Face of God,” Theological Studies 50 (1989) 525-526.
X
Kepenuhan Harapan Kristiani
Tujuan akhir kita, adalah hidup abadi kepenuhan hidup bersama Allah, yang diwahyukan
dan dijanjikan oleh Yesus dalam kemenangan atas dosa dan maut. Inilah arti terakhir
keselamatan kita dalam Yesus Kristus. Menurut Yohanes Paulus II, ”Menyelamatkan berarti
membebaskan dari kejahatan yang mendasar”.1
Tradisi Kristiani menggunakan sejumlah lambang, gambaran, dan konsep untuk
mengungkapkan kepenuhan harapan Kristiani, yang sebetulnya melampaui kemampuan kita
untuk membayangkan. Kebangkitan badan, kedatangan Kristus yang kedua, pengadilan pribadi
pada saat ajal, pengadilan umum pada akhir zaman, imortalitas (tidak dapat matinya) jiwa,
surga, visiun yang membahagiakan, hidup abadi – itu semua merupakan konsep-konsep
eskatologis (eschatos, bahasa Yunani, berarti ”terakhir” atau ”akhir”) yang merupakan usaha
untuk mengungkapkan kebenaran teologis dari tujuan akhir kita, tujuan yang berakar pada
kebangkitan Kristus. Itu semua merupakan istilah-istilah keselamatan yang menyatakan tentang
masa depan yang disediakan Allah bagi kita. Akan tetapi, keselamatan tidak selalu merupakan
konsep eskatologis.
1. Keselamatan dan Eskatologi
Keselamatan dalam Kitab Suci Yahudi
Kata Hibrani untuk ”keselamatan” dan kata-kata bentukannya berasal dari akar kata YS,
yang mengandung arti ruang, keamanan, dan kebebasan dari pembatasan. Dalam tradisi Israel
kuno, pengertian keselamatan berkaitan dengan campur tangan Allah demi umat Israel.
Meskipun Allah ”menyelamatkan” umat-Nya dengan banyak cara, namun paradigma
keselamatan bagi Israel kuno adalah senantiasa peristiwa besar Keluaran (Exodus),
pembebasan Allah atas umat dari perbudakan Mesir (Kel 15:2; Mzm 78:22; Yes 63:9).
Selama jangka waktu yang panjang yang tercermin dalam Alkitab tidak terdapat
kepercayaan terhadap kehidupan di balik kubur, atau kebangkitan kembali orang mati
memainkan peran amat besar dalam Kitab Suci Yahudi. Kita dapat tahu banyak tentang
bagaimana kuatnya pengalaman orang Yahudi tentang Allah dengan membaca mazmur;
mereka hidup dengan kegembiraan karena hidup dalam hubungan perjanjian dengan Allah,
karena merasakan kehadiran Allah, karena memuji nama Allah dalam jemaat – dan semua ini
tanpa gagasan apa pun tentang hidup sesudah kematian. Hal ini mungkin sulit bagi banyak
orang di antara kita untuk mengerti, karena kita merupakan produk hampir 2000 tahun sejarah
Kristianitas; karena kebangkitan Yesus, kita menerima begitu saja kebangkitan orang mati.
Cara berpikir kita juga telah amat dipengaruhi oleh antropologi dualistik yang diwarisi dari
filsafat Yunani. Orang Yunani berpikir tentang pribadi sebagai gabungan jiwa dan badan atau
seperti dikatakan oleh para penganut Plato, jiwa ”terpenjara” dalam tubuh. Dalam tradisi
Yahudi, pribadi tidak dipahami secara dualistik. Manusia selalu merupakan tubuh yang hidup.
Bila orang meninggal, ”roh” atau prinsip hidup dan kegiatan hilang (ruah) dan diri (nepes) turun
ke Sheol, dunia bawah atau tempat tinggalnya orang mati. Akan tetapi, Sheol bukan merupakan
tempat untuk jenis hidup yang lain. Sheol adalah tempat kegelapan, ulat, debu, lubang (Ayb
17:13-16). Kadang-kadang kata ”sheol” digunakan begitu saja sebagai sinonim dengan
kematian atau kubur.
Keadaan orang mati di Sheol sama sekali berlawanan dengan keadaan dalam kehidupan.
Keadaan itu adalah keadaan pasivitas penuh; di Sheol tidak ada pekerjaan, pemikiran,
pengetahuan dan kebijaksanaan (Pkh 9:10). Yang paling buruk, di Sheol tidak ada lagi
hubungan apa pun dengan Yahwe karena orang mati tidak dapat mengingat atau memuji
Yahwe (Mzm 6:6; 88:12). Baru pada sastra antar perjanjian, yang ditulis pada zaman yang
dekat dengan zaman Yesuslah Sheol tampak sebagai tempat khusus bagi orang jahat.
Kebangkitan Orang Mati
Selama dan sesudah pembuangan di Babilon pada abad ke-6, Yudaisme mulai bergulat
secara serius dengan masalah-masalah kesetiaan Yahwe dan keselamatan dalam konteks
harapan-harapan yang hancur, kejahatan dan kematian. Visiun Yehezkiel dalam bab 37:1-14
menunjukkan bahwa Yahwe menghidupkan kembali tulang-tulang kering bangsa dan membawa
padanya kehidupan baru. Kisah Ayub, orang benar yang menderita, mengangkat masalah
misteri kejahatan.
Bukti jelas pertama tentang harapan orang Yahudi untuk kebangkitan orang mati tampak
dalam buku Daniel yang ditulis pada zaman pengejaran Antiokhus IV Epifanes (167-164 SM),
150 tahun lebih sedikit sebelum zaman Yesus. Antiokhus telah melarang orang Yahudi untuk
menjalani agama mereka. Mereka yang tidak mentaati dibunuh. Kesetiaan mereka pada Hukum
tidak menyelamatkan mereka dari siksaan dan pembunuhan (bdk. 2Mak 6-7). Dengan
demikian, kemartiran mereka menimbulkan pertanyaan tentang hubungan mereka dengan
Yahwe dengan cara baru. Di mana Allah mereka? Pengarang buku Daniel meyakinkan rakyat
bahwa campur tangan Allah sudah dekat. Bagi mereka yang mati demi iman, pengarang
mengungkapkan harapan bahwa pengadilan apokaliptik yang akan datang akan melihat orang
mati dibangkitkan ke dalam hidup abadi (Dan 12:1-3). Dalam 2 Makabe (2:7; 14:46), buku lain
dari zaman yang sama, kepercayaan akan kebangkitan orang mati jelas ada. Gagasan yang
sama ada pada buku-buku apokaliptik non-kanonis (Enoch 51; Barukh 50; 4 Ezra 7.29). Ini
berarti bahwa dalam beberapa ungkapan tradisi Yahudi dalam abad sebelum Yesus,
keselamatan telah menjadi konsep eskatologis. Pada zaman Yesus, orang-orang Farisi percaya
akan kebangkitan orang mati, sedang orang Saduki tidak (Luk 20:27-28).
Dengan demikian, gagasan tentang kebangkitan orang mati merupakan perkembangan
yang kemudian dalam tradisi Yahudi. Akan tetapi, konsep Yahudi tentang kebangkitan orang
mati merupakan pengertian apokaliptik. Kepercayaan itu berkaitan dengan kebangkitan semua
orang mati, yang akan terjadi pada akhir zaman. Karena dipengaruhi oleh pemikiran apokaliptik
Yahudi itu, banyak orang Kristiani awal percaya bahwa kebangkitan Yesus dan orang mati
berarti bahwa akhir dunia sudah dekat (1Kor 7:29).
Kebangkitan Yesus
Kematian Yesus merupakan pengalaman yang menghancurkan bagi murid-murid-Nya.
Kematian Yesus membuat mereka kehilangan arah, kacau, dan takut akan keselamatan mereka. Salah satu unsur pengalaman mereka ditangkap oleh Lukas dalam kisahnya tentang dua
murid dalam perjalanan ke Emaus. Sementara kedua murid itu sedang berjalan, mereka
memberitahukan kepada seorang asing yang bergabung dengan mereka tentang kesedihan
mereka karena kematian Yesus: ”Padahal dahulu kami mengharapkan, bahwa Dialah yang
datang untuk membebaskan bangsa Israel” (Luk 24:21). Kedua murid itu lamban untuk
mengenal kembali bahwa orang asing itu adalah Yesus yang telah bangkit dari mati, tema yang
jika dibaca dengan teliti ditemukan juga dalam kisah-kisah penampakan Paskah yang lain.
Namun dua murid itu seperti halnya Petrus, Maria Magdalena dan orang-orang lain yang telah
mengikuti Yesus, yakin oleh pengalaman Paskah mereka tanpa keraguan sedikit pun bahwa
Allah telah membebaskan Yesus dari dunia orang mati dan memberi kepada-Nya hidup baru.
Pengalaman Paskah kedua murid atas kehadiran Dia yang sudah disalibkan di antara
mereka dengan cara baru menantang kemampuan pengungkapan mereka. Hidup baru Yesus
merupakan misteri yang tidak mudah ditangkap dalam bahasa. Kebangkitan itu sama sekali
berbeda dari pembangkitan Lazarus. Yesus yang sudah bangkit sekarang hidup dalam sisi lain
dari waktu dan ruang, dalam kehadiran Allah. Menurut St. Paulus: ”Sebab kematian-Nya adalah
kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah
kehidupan bagi Allah” (Rm 6:10).
Bahasa kebangkitan menonjol dalam Perjanjian Baru, meski mempunyai cara-cara lain
untuk mengungkapkan apa yang masih misteri dari hidup baru Yesus dengan Allah. Tradisi
awal berbicara tentang Allah ”yang melepaskan Dia dari sengsara maut karena tidak mungkin
Ia tetap berada dalam kuasa maut itu” (Kis 2:24). Beberapa tradisi menggunakan kata
”peninggian” daripada ”kebangkitan” (Fil 2:9; Luk 24:26; Ef 4:8; Kis 5:6). Berlawanan dengan
kisah-kisah yang amat kemudian tentang pertobatannya yang tampak dalam Kisah Para Rasul,
St. Paulus sendiri tidak banyak memberi rincian atas pengalaman Paskahnya. Ia hanya
menyatakan dalam suratnya kepada umat Galatia bahwa Allah ”berkenan menyatakan AnakNya di dalam aku” (Gal 1:16). Ada cara-cara lain untuk mengungkapkan kepercayaan bahwa
Yesus telah dipertahankan dan hidup bersama Allah. Akan tetapi, tidak mengherankan bahwa
bahasa kebangkitan menonjol karena gagasan tentang kebangkitan orang mati pada akhir
zaman sudah merupakan bagian harapan eskatologis Yahudi.
2. Eskatologi Kristiani
Kebangkitan Tubuh
Kebangkitan tubuh merupakan konsep yang mendasari eskatologi Kristiani daripada
imortalitas jiwa. St. Paulus mengandaikan kebangkitan orang mati dalam surat pertamanya
kepada umat Korintus; sesungguhnya dua kali ia berani menyatakan dari kebangkitan orang
mati ke kebangkitan Yesus (1Kor 15:13; 16) untuk meyakinkan orangorang Korintus akan
harapan mereka untuk ikut serta dalam kebangkitan. Dengan kata lain, kebangkitan kita dan
kebangkitan Yesus tidak terpisahkan. St. Paulus menggambarkan Yesus yang telah bangkit
sebagai ”yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal” (1Kor 15:20) dan sebagai ”Adam
yang terakhir” (1Kor 15:45).
Akan tetapi ketika sampai pada titik usaha untuk menerangkan kepada mereka apa tubuh
yang bangkit itu, bahasa St. Paulus mulai macet. Ia berbicara tentang apa yang dibangunkan
sebagai ”yang tidak dapat binasa” (1Kor 15:42), tentang ”tubuh rohani” (soma pneumatikon)
sebagai lawan dari tubuh alamiah (1Kor 15:14), tentang tubuh yang mengenakan ”yang tidak
dapat binasa” (1Kor 15:53). Tetapi apa tubuh rohani itu? Ungkapan itu sendiri kedengarannya
bertentangan. Apa yang ditegaskan oleh St. Paulus pada dasarnya adalah pengalaman pribadi,
karena kebangkitan badan berarti bahwa kita masuk ke dalam hidup bersama Allah dalam
kepenuhan kemanusiaan pribadi, yang bagi cara berpikir Yahudi yang tidak dualistik tidak
terpisahkan dari keberadaan badani. Dengan demikian, kebangkitan tubuh berarti satu jenis
keberadaan yang melampaui batas-batas waktu dan ruang tetapi bersamaan dengan itu jauh
lebih banyak daripada tetap hidupnya jiwa kita. St. Paulus berkata bahwa Tuhan Yesus ”yang
akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia” (Fil
3:21). Sesungguhnya, bagi St. Paulus ”makhluk sendiri” ditujukan untuk ikut mengambil bagian
dalam karya penyelamatan Kristus; makhluk itu ”sendiri juga akan dimerdekakan dari
perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Rm
8:21). Rahmat Allah yang mengubah, bekerja tidak hanya dalam manusia tetapi juga dalam
alam semesta.
Beberapa teolog zaman sekarang membuat spekulasi bahwa kebangkitan orang benar
terjadi pada saat meninggalnya.2 Pendapat ini mempunyai keuntungan untuk memecahkan
salah satu pertanyaan yang belum terjawab dari pengertian yang lebih tradisional mengenai
eskatologi Kristiani yang melihat jiwa ”memasuki surga” sesudah pengadilan pribadi tetapi
harus menanti sampai kebangkitan orang mati pada akhir zaman untuk dipersatukan dengan
badannya. Pengertian harfiah tentang teks-teks Kitab Suci seperti Yoh 6:54 dan Why 20:12-13,
merupakan cara sementara untuk merumuskan eskaton, yang dari definisinya mengatasi ruang
dan waktu. Tambahan pula, pengertian itu membiarkan tidak dijelaskan bagaimana identitas
dan kesadaran pribadi dapat dipertahankan dalam jiwa yang dipisahkan dari tubuh yang
merupakan sarana untuk mengetahui dan sadar diri. Seperti dikatakan oleh Rahner:
”Keabadian bukanlah cara waktu murni yang memuat perhitungannya amat lama, tetapi cara
roh dan kebebasan yang telah diaktualisasikan pada waktu, dan oleh karena itu hanya dapat
ditangkap dari pengertian tentang roh dan kebebasan yang benar.”3
Kebangkitan badan tetap merupakan pernyataan teologis yang paling mendasar tentang
harapan Kristiani. Kebangkitan badan merupakan rumusan iman yang diakui dalam syahadat
para Rasul, Nicea-Konstantinopel, dan Athanasian. Kebangkitan badan merupakan lambang
yang amat kuat. Akan tetapi, ada lambang-lambang lain yang mengungkapkan harapan
eskatologis Kristiani, dan beberapa di antaranya telah ditafsir secara terlalu harfiah.
Surga
Lambang surga merupakan ungkapan eskatologi Kristiani yang paling populer. Dalam
Perjanjian Lama, surga berarti daerah di atas bumi dan tempat Allah bersemayam. Dalam
Perjanjian Baru surga menjadi tempat tinggal maupun ganjaran orang Kristiani (Mat 5:12; 1Tes
4:16-17). Sesungguhnya, surga bukanlah tempat. Berada di surga berarti sepenuhnya berada
di hadirat Allah. Surga tidak hanya ada tetapi menjadi ada ”bila makhluk ciptaan yang pertama
ada secara eskatologis dan akhirnya diambil oleh Allah. Surga dibentuk dalam kebangkitan dan
peninggian Kristus.”4
Cara-cara Alkitab lain yang mengungkapkan tujuan akhir orang yang benar meliputi istilah
”hidup kekal” (Rm 2:7; 6:23; 1Tim 1:16; Yoh 3:15,36; 6:68; 12:50; 20:31); ungkapan St. Paulus
”mewarisi Kerajaan Allah” (1Kor 6:9; 15:50; Gal 5:21; Ef 5:5); dan gagasannya yang indah
bahwa kita telah melihat kemuliaan Allah yang dicerminkan pada wajah Kristus (2Kor 4:6) dan
pada suatu hari akan melihat wajah Allah secara langsung (1Kor 13:12). Gereja yang kemudian
mengungkapkan gagasan melihat wajah Allah berhadap-hadapan ini dengan istilah ”visio
beatifica”, penglihatan yang membahagiakan.
Kedatangan yang Kedua
Kedatangan Kristus yang kedua, kadang-kadang disebut parousia (kata Yunani yang berarti
”kehadiran” atau ”kedatangan”) merupakan konsep yang telah kerap ditafsirkan secara terlalu
harfiah. Konsep itu mempunyai sejarah yang panjang dan merupakan campuran beberapa
gambaran alkitabiah yang berbeda-beda. Akarnya ada dalam gambaran Anak Manusia dalam
Daniel 7:13 yang digambarkan sebagai ”datang dengan awan-awan dari langit”. Dalam kutipan
ini, Anak Manusia berperan sebagai lambang bagi umat Israel. Akan tetapi, dalam sastra
apokaliptik yang kemudian, Anak Manusia tampil sebagai pelaku pengadilan Allah, yang datang
dengan awan-awan dari langit pada akhir dunia. Yesus kerap kali berbicara tentang Anak
Manusia dalam konteks pengadilan terakhir (Mat 24:30; 25:31; Mrk 8:38; Luk 12:8).
Akan tetapi, jemaat Kristiani awallah yang mulai mewartakan kedatangan dengan segera
Kristus yang sudah bangkit dalam pengadilan. Dari sinilah gambaran tentang kedatangan yang
kedua berkembang. Dalam perkembangan Kristologis yang amat awal, terbentuk dua gabungan
gagasan. Pertama, kebangkitan Kristus ditafsirkan berdasarkan latar belakang harapan
apokaliptik atas kebangkitan umum orang yang sudah meninggal pada akhir dunia, yang waktu
itu populer di kalangan masyarakat Yahudi Palestina. Jika Yesus sudah dibangkitkan dari mati,
maka akhir dunia pastilah sudah dekat. Ini membawa ke harapan apokaliptik sedemikian jelas
pada tahap-tahap awal tradisi (bdk. Luk 12:8), termasuk St. Paulus (1Kor 1:8; 7:29). Paulus
menggambarkan Yesus sebagai Tuhan yang turun dari surga dengan seru penghulu malaikat
dan bunyi sangkakala Allah (1Tes 4:16). Kedua, Yesus yang sudah bangkit disamakan dengan
Anak Manusia surgawi, pelaku pengadilan Allah dan pembawa keselamatan Allah. Para
penginjil Sinoptik kerap kali menampilkan Kristus yang menyebut diri sebagai Anak Allah.
Orang-orang Kristiani fundamentalis telah menggunakan teks seperti 1Tes 4:17 dan Why
3:10 untuk mengajarkan kedatangan Yesus untuk mengadili secara amat harfiah seperti lukisan
Michelangelo, Pengadilan Terakhir, yang terkenal di Kapel Sistin. Beberapa orang berbicara
tentang ”pengambilan”, pada waktu orang-orang Kristiani yang setia yang masih hidup di dunia
diambil untuk menjumpai Tuhan dengan semua orang kudus, meski ada ketidaksepakatan
tentang apakah peristiwa itu akan terjadi sebelum atau sesudah ”huru-hara besar” yang akan
membawa pengadilan Allah atas orang-orang jahat. Akan tetapi, itu bukan satu-satunya
penafsiran yang mungkin. Iman Katolik tidak mewajibkan kita untuk percaya bahwa Tuhan akan
datang secara harfiah pada suatu pagi atau pada suatu siang dengan awan-awan dari langit.
Ada banyak cara untuk membayangkan akhir dunia, beberapa di antaranya, sayangnya,
seluruhnya kita buat sendiri. Apa yang jelas adalah bahwa masing-masing di antara kita pada
suatu hari harus menghadapi pengadilan Allah tetapi bagaimana atau kapan atau dalam
keadaan apa, kita tidak tahu. Sekurang-kurangnya kita dapat mengatakan bahwa bagi orang
yang sudah meninggal, parousia sudah terjadi.
Pengadilan Terakhir
Bagaimana nasib orang-orang jahat? Gagasan bahwa pada suatu hari orang-orang jahat
harus menghadapi pengadilan Allah dan menanggung akibat atas dosa-dosa mereka
ditemukan dalam Kitab Suci Yahudi maupun Kristiani. Eskatologi Kristiani populer
menggunakan gambaran neraka (”tempat orang mati”) untuk menggambarkan dalam istilahistilah yang amat imajinatif nasib akhir orang-orang jahat. Di belakang gambaran ini dapat
ditemukan pengertian Alkitab tentang pengadilan dan gambaran Gehenna.
Pengertian Perjanjian Lama tentang pengadilan Allah (mispat) mungkin berasal dari
pengadilan di dunia yang dilakukan oleh kepala suku dan raja-raja. Pengadilan Allah ditunggutunggu dengan penuh keinginan besar atau ditakuti, tergantung pada keadaan moral
orang. Bagi orang benar, pengadilan Allah berarti pembelaan (Ul 10:18; Mzm 7:7; 9:5; 76:10;
Yes 11:4), tetapi bagi orang-orang jahat pengadilan Allah mendatangkan hukuman dan siksaan
(Yeh 5:7; 7:3).
Gagasan tentang hari pengadilan, Hari Yahwe, muncul pertama kali pada nabi Amos, tetapi
pasti berasal dari periode yang lebih dulu, karena Amos tidak menjelaskannya. Amos yang
pesimis mengaitkan Hari Yahwe dengan pengadilan Allah atas Israel. Hari Yahwe akan menjadi
hari kegelapan dan kekelaman (Am 5:18-20; 8:9). Pada nabi-nabi selanjutnya, Hari Yahwe
berarti hari di masa depan pada waktu Allah menampakkan keadilan Ilahi, kerap dengan
memperagakan kekuasaan kosmis. Yesaya memperluas konsep itu menjadi berlaku bagi
bangsa-bangsa lain tanpa mengesampingkan Israel. Hari Yahwe adalah hari pada waktu
Yahwe menurunkan orang-orang congkak dan angkuh (Yes 2:12), hari kebengisan dan murka
pada waktu matahari dan bintang-bintang menjadi gelap, bulan tidak memancarkan sinarnya,
bumi menjadi sunyi sepi, dan orang-orang berdosa dimusnahkan (Yes 13:9-11). Pada beberapa
nabi yang kemudian, Hari Yahwe dimengerti secara eskatologis. Yoel (3:12-14) melihatnya
sebagai hari yang membawa pengadilan Allah kepada segala bangsa. Zefanya (1:15)
menggambarkannya dalam istilah-istilah kegemasan, kesusahan, dan kesulitan, kemusnahan
dan pemusnahan kegelapan dan kesuraman yang bergema dalam kidung Abad Pertengahan,
Dies Irae,
Gambaran tentang neraka berasal dari kata Aram Gehenna, bentuk singkatan dari ”lembah
anak Hinnon”. Terletak di daerah pinggiran Yerusalem, lembah itu telah mendapat nama buruk
karena pernah menjadi tempat keramat, tempat dipersembahkan korban manusia (2Raj 23:10).
Yeremia mengutuknya (Yer 7:31-33). Meski Yesaya tidak menyebutnya, ia menyindirnya
sebagai tempat mereka yang memberontak kepada Yahwe akan dijebloskan dan ia
memberikan gambaran-gambaran api dan siksaan ”di situ ulat-ulatnya tidak akan mati, dan
apinya tidak akan padam” (Yes 66:24). Dalam tulisan-tulisan di luar Kitab Suci Yahudi,
penggambaran itu digunakan lagi untuk melukiskan Gehenna sebagai tempat orang-orang jahat
yang dihukum sesudah meninggal. Dalam Perjanjian Baru Gehenna digambarkan sebagai tempat api (Mat 5:22; 18:9) yang tak terpadamkan (Mrk 9:43), sebagai lubang ke mana orang-orang
jahat dilemparkan (Mat 5:29; Mrk 9:45), ”di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak
padam” (Mrk 9:48). Dari sinilah gambaran populer tentang neraka muncul.
Bagaimana tentang setan? Meski kepercayaan pada roh-roh jahat tersebar luas di dunia
kuno dan masuk ke dalam tradisi Yahudi melalui Mesopotamia, namun kepercayaan itu tidak
memegang peran penting dalam Kitab Suci Yahudi awal. Tokoh setan, yang arti namanya
adalah ”penuduh”, berperan sebagai lawan atau tokoh yang menguji keutamaan manusia pada
sastra yang lebih awal (bdk. Ayb 1:6; 2:1). Dalam Septuaginta yang merupakan terjemahan
Kitab Suci Yahudi, kata ”Setan” diterjemahkan menjadi diabolos (dari kata itu terbentuk kata
”devil” dalam bahasa Inggris), yang juga berarti ”penuduh”. Hanya baru kelak kemudian hari,
dalam sastra intertestamental, demonologi menjadi jauh lebih penting dan setan dipandang
sebagai roh jahat yang berkuasa untuk menghancurkan umat manusia. Dalam tulisan-tulisan
Yahudi apokrif, setan digambarkan sebagai malaikat yang jatuh dan setan diusir dari surga karena menolak menghormati manusia sebagai gambar Allah.
Perjanjian Baru menerima begitu saja kekuasaan dan sikap bermusuhan setan terhadap
Kerajaan Allah (Mat 13:19; Luk 22:3; Yoh 13:2). Pengusiran setan yang dilakukan Yesus
digambarkan sebagai ”pengusiran” (ekballein) roh-roh jahat (Mat 8:16; Luk 11:14) atau ”penyembuhan” (therapeuein) orang-orang dari setan-setan (Mrk 1:34; Luk 6:18; 8:2). Keberadaan
setan dan roh-roh jahat diandaikan dalam kepercayaan Katolik tradisional, tetapi tidak jelas
bahwa keberadaannya telah ditetapkan secara formal. Keberadaan setan telah ditunjukkan oleh
magisterium, yaitu dalam konteks teologi penciptaan, dengan menegaskan bahwa setan dan
roh-roh jahat diciptakan baik tetapi menjadi jahat karena kesalahan mereka sendiri (DS 800).
Tidak semua penulis Perjanjian Baru menggambarkan nasib akhir orang-orang jahat
berkaitan dengan neraka, dengan api dan setan-setan. Akan tetapi, gagasan bahwa pada suatu
hari mereka harus menghadapi pengadilan Allah ditemukan di mana-mana. St. Paulus mengajarkan bahwa orang-orang berdosa tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah (1Kor 6:10; Gal
5:19-21) dan akan dihukum dengan kebinasaan kekal (Fil 3:19). Bagi Yohanes orang-orang
berdosa sudah ada di bawah pengadilan Yesus (Yoh 3:18; 5:22-24; 12:31) dan akan dikeluarkan dari hidup abadi (Yoh 5:29; 8:24; 10:28).
Apakah Allah mengenakan hukuman kekal atas pendosa-pendosa? Memang Perjanjian
Baru berbicara tentang hukuman kekal sebagai hasil akhir orang-orang jahat (Mat 25:41; Luk
16:23; Why 20:10). Beberapa orang Kristiani dewasa ini menyatakan bahwa adanya sedemikian banyak kejahatan di dunia menuntut adanya neraka bagi mereka yang telah memilih
hidup tanpa Allah, atau dalam istilah-istilah yang lebih alkitabiah, mereka yang berusaha
menjadi allah mereka sendiri (Kej 3:5). Yang lain-lain mengungkapkan harapan bahwa pada
akhirnya semua akan diselamatkan.
Pentinglah kita berpikir lebih lanjut tentang masalah hukuman kekal ini. Secara teologis
tidak banyak artinya berpikir tentang Allah yang menghukum orang jahat dengan siksaan kekal.
Allah tidak menghukum, entah dalam hidup sekarang ini atau hidup di masa yang akan datang.
Penderitaan dan pengasingan yang diakibatkan oleh dosa kita di dunia merupakan
hukumannya sendiri. Allah adalah sekaligus Pencipta hidup kita dan Tujuan akhir kita, yang
mengundang kita untuk bersatu, dalam hidup Ilahi. Akan tetapi, Allah selalu menghormati
kebebasan kita. Tanggapan kita harus diberikan dengan bebas-merdeka. Jika kita menolak
untuk menanggapi, itu merupakan pilihan kita. Allah tidak dapat memaksakan cinta dan
kesatuan pada kita seperti halnya kita tidak dapat memaksa cinta dan kesatuan kita satu sama
lain. Cinta yang tidak secara bebas diberikan bukanlah cinta. Menyingkirkan Allah dari hidup
kita adalah dosa. Meninggal dalam keadaan dosa adalah telah menolak pemberian Allah untuk
bersatu dalam hidup Ilahi. Inilah arti sebenarnya neraka, terlepas dari segala penggambaran
yang seram-seram. Neraka merupakan pengasingan yang terakhir yang diakibatkan dosa.
Neraka ada untuk selama-lamanya tanpa Allah yang menjadi Pencipta kita dan menjadi
kerinduan hati kita. Neraka ada untuk selamanya menjadi seperti yang telah kita buat bagi diri
sendiri.
Pandangan yang melihat bahwa semua orang akan diselamatkan terlalu dangkal.
Pandangan itu meremehkan peperangan nyata antara yang baik dan yang buruk, yang
sedemikian jelas dalam sejarah umat manusia. Akan tetapi, surga dan neraka tidak dapat
dipikirkan pada tingkat yang sama. Surga dan neraka merupakan penegasan iman yang
berlawanan total. Tidak masuk akal untuk membayangkan
orang benar hidup dalam
kemuliaan, sedang orang jahat ”hidup bersebelahan dengan mereka” menderita siksaan
neraka. Di sinilah letak sifat berlawanannya. Allah memang memberi kesatuan atau hidup abadi
kepada orang-orang yang telah bersatu dengan misteri Ilahi dan solider dengan orang-orang
lain selama hidup mereka di dunia. Ini merupakan ikatan yang tidak dapat dihancurkan oleh
kematian. Akan tetapi, daripada melihat Allah yang menghukum orang jahat dengan hukuman
kekal, lebih tepat melihat orang-orang yang telah menolak untuk solider dengan sesama
mereka dan dengan demikian menolak kesatuan dengan Allah, tidak akan selamat sesudah
kematian mereka. ”Maka tidak ada masa depan untuk kejahatan dan penindasan, sementara
kebaikan masih mengenal masa depan melampaui batas-batas kematian, berkat Tangan Allah
yang terbuka yang menerima kita. Allah tidak dapat mengambil tindakan balasan. Allah menyerahkan kejahatan pada logikanya sendiri yang terbatas”.5
Cara berpikir di atas menarik justru karena memperhatikan keadilan Allah dan kebebasan
manusia secara sungguh-sungguh. Cara berpikir itu menghormati Allah dan manusia tanpa
mengubah Allah yang berbelaskasihan dan hidup menjadi hakim yang suka menghukum yang
membiarkan orang-orang jahat ada dalam hukuman selama-lamanya.
Api Pencucian
Ajaran tentang Api Pencucian merupakan dasar bagi orang Katolik untuk berdoa bagi orang
yang sudah meninggal (bdk. 2Mak 12:43-46). Ajaran itu berkaitan dengan pembersihan yang
harus dijalani untuk ”hukuman sementara” karena dosa yang sudah diampuni, atau dengan kata
lain, untuk meniadakan akibat-akibat dosa. Gagasan dasarnya adalah pembersihan sebelum
menghadap hadirat Allah. Ada banyak bukti bahwa orang-orang Kristiani berdoa bagi orangorang beriman yang sudah meninggal sejak abad-abad awal. Pada Abad Pertengahan,
gagasan Barat tentang api pencucian menjadi lebih yuridis, dengan menekankan kebutuhan
untuk pemulihan dosa. Gereja Timur terus melanjutkan penekanan pada pembersihan dan
pertumbuhan rohani. Pengertian tentang api pencucian sebagai tempat agaknya berawal pada
abad ke-12. Ajaran tentang api pencucian diteguhkan oleh Konsili Lyon II (1274) dan oleh
Konsili Florence (1439). Ajaran itu diteguhkan kembali oleh Konsili Trente melawan kaum
Reformasi.
Sebagai konsep eskatologis, api pencucian janganlah dibayangkan dalam kerangka waktu
atau ruang. Teologi zaman sekarang ini cenderung memahami api pencucian dalam kaitan dengan perjumpaan dengan Allah pada saat kematian atau mungkin malah sebelumnya. Suatu
perjumpaan yang menghanguskan perlawanan kita terhadap kecemerlangan kehadiran Ilahi
dan membersihkan kita dari egoisme macam apa pun yang masih ada yang menghalangi
persatuan kita dengan Allah. Orang-orang Katolik menyerahkan anggota jemaat yang
meninggal kepada Allah dengan merayakan Misa Penguburan Katolik. Orang-orang Katolik
mengenangkan mereka yang ada dalam Api Pencucian pada Hari Arwah, tanggal 2 November.
Limbo
Bagaimana tentang limbo? Banyak orang Katolik menjadi percaya bahwa anak-anak yang
meninggal tanpa baptis, jadi masih ada dalam dosa asal, pergi ke limbo, keadaan bahagia
secara alamiah, karena mereka belum melakukan dosa apa pun, tetapi tanpa kegembiraan
visio beatifica, penglihatan yang membahagiakan. Akan tetapi, magisterium belum menyatakan
sikap resmi tentang masalah limbo ini.
Kepercayaan pada limbo berkembang di dalam Gereja untuk melawan ajaran St. Agustinus
tentang nasib anak-anak yang belum dibaptis. Dalam menanggapi ajaran Pelagius bahwa anakanak seperti itu diberi kemungkinan memasuki tempat kebahagiaan, Agustinus mengajarkan
bahwa anak-anak itu dibuang ke hukuman kekal, meski jenisnya paling lunak (Enchiridion 93).
Pendapat St. Agustinus ini diperlunak oleh Petrus Lombardus dan teolog Abad Pertengahan
yang lain pada abad ke-12 dengan menyampaikan pendapat bahwa anak-anak yang belum
dibaptis tidak dihukum, tetapi tidak dapat menerima visio beatifica. Keadaan tengah-tengah ini
dikenal sebagai limbo (dari bahasa Latin limbus, yang berarti ”perbatasan”). Meski kepercayaan
pada limbo menjadi bagian katolisisme populer dan diterima luas, Gereja tidak mempunyai
ajaran formal tentang nasib anak-anak yang belum dibaptis. Dengan demikian, limbo tetap
merupakan pendapat teologis.
Dewasa ini teologi Katolik mengandaikan bahwa anak-anak yang meninggal tanpa baptis
masuk ke dalam hidup abadi, karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menolak
keselamatan yang diperuntukkan bagi umat manusia melalui kematian dan kebangkitan Yesus.
Yesus sendiri memeluk anak-anak kecil Yahudi sebagai contoh keterbukaan terhadap Kerajaan
Allah (Mrk 10:14). Katekismus Gereja Katolik tidak menyebut limbo dan mengungkapkan
harapan bahwa ada jalan keselamatan bagi anak-anak yang telah meninggal tanpa baptis.
Fakta bahwa anak belum dibaptis tidak menyingkirkan anak dari rahmat Allah. Memang
praktek membaptis begitu saja anak-anak yang orang tuanya tidak menjalankan iman mereka
sekurang-kurangnya perlu dipertanyakan, karena mengandung bahaya menjadikan baptis
sebagai upacara inisiasi atau peralihan secara kultural daripada perayaan iman secara
sakramental. Namun demikian, Gereja meneruskan tradisinya membaptis anak-anak dalam
bahaya maut agar mereka dapat disatukan dalam kematian dan kebangkitan dengan hidup
baru Yesus dan menjadi anggota tubuh-Nya, Gereja.
3. Persekutuan Orang Kudus
Salah satu ciri Katolisisme adalah kesadarannya akan hubungan antara orang-orang yang
masih hidup dan yang sudah meninggal. Hubungan itu diungkapkan dalam ajaran persekutuan
orang kudus, kepercayaan bahwa mereka yang ada dalam Gereja di dunia berada dalam
persekutuan dengan mereka yang sudah meninggal dalam Allah, ”para kudus” entah
dikanonisasi atau tidak, orang kudus dari Perjanjian Lama dan jiwa-jiwa di api pencucian.
Istilah asli persekutuan para kudus (communio sanctorum) mendua artinya. Istilah itu dapat
berarti kesatuan benda-benda kudus maupun orang-orang kudus. Istilah itu berasal dari Gereja
Timur, yang diartikan sebagai kesatuan ”benda-benda kudus” (ta hagia), mungkin dalam kaitan
dengan kesatuan Ekaristis. Di Barat communio sanctorum termuat dalam syahadat, mungkin
berasal dari Gaul Selatan pada abad ke-5. Dalam penggunaan Barat aslinya istilah itu berarti
”persekutuan terakhir dengan orang-orang kudus dari segala zaman maupun dengan seluruh
rombongan surga”.6 Meskipun istilah itu di Barat juga digunakan dalam kaitan dengan
sakramen-sakramen, namun sejak sekurang-kurangnya abad ke-6 istilah itu telah dimengerti
dalam arti persekutuan orang-orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Kita berhubungan dengan Gereja yang sudah jaya dan Gereja yang masih berjuang melalui kesatuan kita
dengan Yesus yang telah bangkit dan dalam Roh Kudus.
Konsili Vatikan II ”penuh khidmat menerima iman yang layak kita hormati, pusaka leluhur
kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulia di surga, atau sudah
meninggal masih mengalami pentahiran” (LG 51). Refleksi teologis dewasa ini menyatakan
bahwa persekutuan orang kudus tidak terbatas pada mereka yang sudah meninggal atau masih
hidup yang menjadi anggota Gereja namun meliputi semua yang telah mendapatkan jasa dari
karya penyelamatan Allah dalam Kristus. Dengan demikian, istilah persekutuan orang kudus
sejajar artinya dengan Kerajaan Allah daripada dengan Gereja.
Pengantaraan Para Kudus
Orang kudus adalah pria dan wanita yang rahmat dan kehadiran Allah amat jelas tampak
pada diri mereka – dalam kesaksian heroik mereka atas iman dalam kemartiran (”martyr”
bahasa Yunani berarti ”saksi”), dalam kasih dan belas kasihan pada orang lain, dalam karya
mereka bagi Gereja, atau kesetiaan mereka dalam menghayati panggilan mereka. Para ahli
sejarah Gereja telah menemukan sepuluh ribu orang kudus yang pemujaannya telah dirayakan
oleh umat beriman, yang kebanyakan tidak pernah secara resmi dikanonisasi.7 Orang kudus
adalah orang yang dikenang, dipuja, dan diseru namanya oleh orang beriman. Proses
kanonisasi belum sungguh-sungguh berkembang sampai sesudah tahun 1000 dan menjadi hak
Paus sampai tahun 1234, pada waktu Paus Gregorius IX dalam Dekritnya menyatakan hak
mutlak Paus dalam segala urusan orang kudus.8 Bahkan sekarang ini, beberapa orang secara
resmi dinyatakan sebagai orang kudus oleh orang-orang – Uskup Agung Romero dari El
Salvador, Ibu Teresa dari Kalkuta, dan Paus Yohanes XXIII – karena kedekatan mereka
dengan Allah jelas nyata dalam hidup mereka.
Karena sadar akan persekutuan atau kesatuan mereka dengan orang-orang kudus, orangorang Kristiani telah memohon perantaraan orang kudus mungkin sejak pertengahan abad ke2. Pada awal abad ke-3, Origenes menulis bahwa doa-doa pengantara yang ditujukan kepada
orang kudus sah dan kuat (De Oratione 11.2) (Tentang Doa). St. Agustinus mengagungagungkan kekuatan orang-orang kudus dan mendorong untuk mengajukan doa perantaraan
kepada mereka (Urbs Dei 22.8 dst.) (Kota Allah).
Mohon perantaraan orang kudus merupakan bagian pokok kesalehan Katolik dan tradisi
liturgi Katolik. Litani Para Kudus, yang didoakan pada kesempatan-kesempatan besar seperti
tahbisan atau pembaptisan para calon baptis pada upacara Malam Paskah, dapat menjadi
ungkapan yang kuat dari kesatuan Gereja dengan pria dan wanita kudus dari masa lampau.
Hari-hari pesta orang kudus banyak diperingati dalam kalender liturgi. Pesta Semua Orang
Kudus, yang dirayakan pada tanggal 1 November, menghormati semua orang kudus yang telah
meninggal dalam persatuan dengan Kristus bahkan jika mereka belum secara resmi diakui
sebagai orang kudus oleh Gereja.
Orang-orang Kristen Protestan merasa kesulitan untuk memohon perantaraan orang-orang
kudus maupun berdoa bagi orang yang sudah meninggal. Menurut mereka, kedua praktek itu
tidak dibenarkan oleh Alkitab. Apalagi, mereka takut kalau-kalau memohon perantaraan orang
kudus dapat membahayakan kepengantaraan Kristus. Kedua, praktek itu berasal dalam
pengalaman iman orang-orang Kristiani selama berabad-abad dan sudah diakui oleh Gereja.
Permohonan perantaraan para kudus pada saat ini masih berlaku, terutama dalam budayabudaya tertentu, dan menjadi bagian pokok agama populer, yang dengan senang telah diterima
oleh Gereja sebagai bagian inkulturasi iman. Bersamaan dengan itu, Gereja telah berusaha
untuk menjaga, meski tidak selalu berhasil, agar tidak terjadi penyelewengan yang terjadi di
dalam agama populer.
Indulgensi
Pengertian indulgensi berkaitan dengan ajaran tentang persekutuan para kudus. Dalam
sejarah Gereja, indulgensi merupakan bab yang ruwet dan kadang-kadang pantas
disayangkan. Indulgensi tidak berkaitan dengan peniadaan dosa sendiri, yang diampuni melalui
rahmat Allah, tetapi dengan peniadaan sepenuhnya (indulgensi penuh) atau mengurangi
”hukuman sementara” yang merupakan akibat dari dosa yang dilakukan sesudah baptis.
Pada awal-awal sejarah Gereja, orang yang melakukan dosa yang berat akan dimasukkan
ke dalam kelompok peniten, orang-orang yang menyesal, untuk menjalani masa penebusan
dosa publik. Kelak kemudian, pada waktu pengakuan pribadi mulai dipraktekkan, orang yang
mengaku dosa kerap diberi ”keringanan” atau pengurangan hukuman dosa kanonis tetapi akan
menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baik. Ini mirip dengan ”hukuman” atau denda dosa
yang masih kita terima dalam pengakuan dosa sekarang ini.
Indulgensi-indulgensi pertama muncul pada abad ke-11 pada waktu Gereja berdoa untuk
penghapusan hukuman sementara karena dosa-dosa mereka dan bersamaan dengan itu
memberi pengurangan atas sebagian atau seluruh hukuman kanonis mereka. Akan tetapi,
tahap demi tahap dua unsur, doa dan pengurangan hukuman, bergabung menjadi satu tindakan
menghapuskan hukuman sementara yang diakibatkan dosa. Hugo dari St. Cher (1230)
membenarkan praktek itu atas dasar ”perbendaharaan Gereja”, ”jasa” atau lebih tepatnya,
rahmat Kristus yang amat melimpah dan para kudus yang diterapkan oleh Gereja, semakin
bertambah karena otoritas Paus, demi orang berdosa. Gagasan untuk melakukan pekerjaan
baik, warisan perubahan hukuman kanonik, masih dituntut. Akan tetapi tidak lagi masuk akal,
pada waktu Gereja mulai memberikan pengurangan atas hukuman sementara yang sekarang
ada di luar forum pengakuan.
Dari abad ke-15, indulgensi mulai diterapkan pada orang yang sudah meninggal. Praktek
memberi pengurangan hukuman dosa, yang disertai dengan pemberian dana, yang pada
awalnya merupakan karya amal baik, jelas terbuka untuk penyalahgunaan. ”Penjualan” indulgensi-indulgensi oleh Yohanes Tetzel di Jerman pada abad ke-16 menjadi pemicu protes Luther
di Wittenburg. Itu merupakan rumput kering yang mematahkan punggung unta. Pada waktu
Trente menghukum penyalahgunaan yang berkaitan dengan indulgensi, kerugian sudah terjadi.
Paus Paulus VI secara khusus mengaitkan ajaran tentang indulgensi dengan ajaran
tentang persekutuan orang kudus dalam konstitusi apostoliknya, Indulgentiarum doctrina, yang
terbit pada tahun 1967. Dalam konteks ini masuk akallah, karena praktek berdoa bagi orang
yang sudah meninggal merupakan ajaran kuno. Persekutuan para kudus merupakan
persekutuan yang nyata. Namun demikian, pendekatan yang egosentris dan penuh perhitungan
terhadap nasib akhir orang Kristiani di mana orang terutama menaruh perhatian pada pengumpulan ”kredit” spiritual, sama sekali berlawanan dengan prinsip-prinsip teologi dan ajaran bahwa
hilangnya praktek-praktek indulgensi semacam itu hanya harus diterima dengan baik”.10 Paus
Paulus kemudian mengubah disiplin yang berkaitan dengan indulgensi dengan meniadakan
waktu khusus (30 hari, 7 tahun, dst.) dan membatasinya.
4. Keselamatan di Luar Gereja
Penekanan tradisional Gereja atas perlunya baptis untuk keselamatan mendatangkan
keganjilan-keganjilan teologis lain selain kepercayaan akan limbo. Yang juga menjadi persoalan
adalah aksioma yang berbunyi ”tidak ada keselamatan di luar Gereja” (extra ecclesiam nulla
salus). Aksioma itu tidak hanya bernada sombong dan tidak tenggang rasa pada sebagian
orang-orang Katolik dan orang-orang Kristiani lain, tetapi yang lebih buruk lagi, aksioma itu
menyiratkan konsep tentang Allah yang sangat sempit dan dipermiskin.
Ajaran Tradisional
Aksioma itu mempunyai sejarah yang panjang dalam tradisi.11 Kebanyakan Bapa Gereja
sebelum St. Agustinus menerapkan aksioma itu pada orang-orang Kristiani yang memisahkan
diri dari Gereja entah karena ajaran sesat atau pemisahan. Dengan kata lain, aksioma itu dipergunakan dalam kaitan dengan orang-orang Kristiani yang tersesat. Akan tetapi menjelang
abad ke-4, pada waktu sebagian besar Kekaisaran Romawi telah menjadi Kristiani, aksioma itu
mulai digunakan sebagai peringatan melawan orang kafir dan orang Yahudi. Yohanes
Chrysostomus, misalnya, menggunakan aksioma itu terutama melawan orang Yahudi, dan
disesalkan, dengan menyebut mereka dengan ”bahasa yang paling menyakitkan tentang orang
Yahudi yang ditemukan dalam sastra Kristiani.”12
Penekanan St. Agustinus pada perlunya baptis dan Gereja memperkuat pendirian itu; St.
Agustinus secara khusus menolak kemungkinan keselamatan bagi orang kafir dan Yahudi,
apakah mereka telah mendengar Injil atau tidak. Bahkan anak yang belum dibaptis dihukum,
seperti kita lihat di atas. Pengaruh Agustinus sedemikian membentuk tradisi selanjutnya
sehingga Paus-Paus dan konsili-konsili sepanjang sejarah Kristiani mengulang apa yang sudah
menjadi ajaran tradisional. Bahkan sampai tahun 1863, Paus Pius IX dapat menyatakan,
”Merupakan dogma Katolik yang dikenal umum bahwa tak ada orang yang dapat diselamatkan
di luar Gereja Katolik” (DS 2867). Yang menjadi keprihatinan Paus adalah sikap indiferentisme
religius, tetapi pada waktu bersamaan, ia tampaknya tidak dapat mengakui kebenaran atau
kebaikan apa pun dalam agama-agama non-Kristiani.13
Namun demikian, ada tradisi lain yang mengakui kemungkinan keselamatan bagi mereka
yang bukan karena salah mereka sendiri tetap berada di luar Gereja. Akar-akarnya dapat
dilacak sampai ke Thomas Aquinas abad ke-13. Meskipun Thomas percaya bahwa tak seorang
pun dapat diselamatkan tanpa iman yang eksplisit pada Kristus, ia juga percaya dengan teguh
pada universalitas kehendak Allah untuk menyelamatkan dan tampaknya mengakui
kemungkinan atas ketidaktahuan akan Kristus yang tak dapat disalahkan. Ia juga berbicara
tentang keinginan yang implisit untuk baptis. Sesudah penemuan Dunia Baru, dengan benuabenua yang besar dan jutaan orang yang belum pernah mendengar Kristus, teolog-teolog mulai
mengangkat masalah keselamatan di luar Gereja dengan cara baru. Para Dominikan di
Salamanca, Spanyol, mengembangkan gagasan St. Thomas, menggali konsep ketidaktahuan
yang tak dapat diperbaiki atau dapat disalahkan maupun kemungkinan bahwa orang-orang
Indian di Dunia Baru tidak dapat menerima iman karena perilaku yang jahat para penjajah
Kristiani. Mereka dan para Yesuit di Roma sampai pada kesimpulan bahwa ”keselamatan harus
mungkin, bahkan pada zaman Kristiani, melalui iman kepada Allah tanpa iman eksplisit pada
Kristus.”14
Arah Baru
Baru pada pertengahan abad ke-19, Paus Pius IX mengakui bahwa orang yang tetap di luar
Gereja karena ketidaktahuan yang tak dapat disalahkan dapat diselamatkan bila mereka
bekerja sama dengan rahmat Ilahi.
Konsili Vatikan II secara resmi mengubah sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain.
Konstitusi Dogmatik tentang Gereja mengakui bangsa Yahudi yang ”sangat dicintai oleh Allah,
sebab
Allah tidak menyesalkan kurnia-kurnia serta panggilan-Nya”. Rencana
penyelamatan Allah juga mencakup orang-orang Muslim, yang ”bersama kami menyembah
Allah satu-satunya dan penuh belas kasihan”. Konsili dengan jelas mengakui bahwa orangorang lain dapat diselamatkan:
”Mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya tetapi dengan hati tulus
mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka
kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal.
Penyelenggaraan Ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan
kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah,
namun berkat rahmat Ilahi berusaha menempuh hidup yang benar” (LG 16).
Kebanyakan orang Katolik dewasa ini mengakui bahwa keselamatan ada di luar Gereja
bagi mereka yang tidak menyadari pewahyuan Allah dalam Yesus. Rahmat Allah tidak terbatas
pada struktur-struktur Gereja; Roh bergerak ke mana Ia kehendaki. Seperti Konstitusi Pastoral
tentang Gereja di Dunia Dewasa ini menyatakan, Roh Kudus memberikan kemungkinan kepada
semua orang ”dengan cara yang diketahui oleh Allah” disatukan dengan misteri Paskah itu (GS
22).
Namun pada waktu yang bersamaan orang-orang Kristiani menekankan bahwa Gereja
mengandung kepenuhan kebenaran. Gereja merupakan sakramen universal keselamatan (LG
48). Melalui Gereja diwartakan hakikat Tritunggal Allah, keselamatan semua orang dalam
Yesus, dan hidup dalam Roh. Mereka yang menjadi anggota Gereja secara sadar hidup,
mewartakan, dan merayakan misteri iman ini. Gereja harus melanjutkan mewartakannya
kepada segala bangsa. Akan tetapi Gereja, harus melakukannya dengan cara-cara yang amat
penuh hormat terhadap mereka yang menganut agama-agama lain, karena Roh Allah hadir
dalam hidup mereka.
5. Kesimpulan
Di masa lampau penekanan yang terlalu banyak pada dimensi masa depan eskatologi
Kristiani membuat Gereja lupa akan makna penyelamatan dan pemerdekaan Injil bagi hidup di
dunia. Iman yang hanya memandang ke masa depan mudah menjadi ideologi, yang mengajar
kaum miskin dan tertindas untuk menerima kondisi mereka tanpa mengeluh dan membenarkan
struktur-struktur sosial yang menindas. Ungkapan agama menjadi ”candu bagi masyarakat”
merupakan reaksi terhadap iman yang berat sebelah itu.
Mengideologisasikan Injil juga mempersempit Injil menjadi pesan untuk mengubah
masyarakat tanpa menyebut tujuan akhir kita untuk hidup abadi bersama Allah. Agama Kristen
mulai dengan kebangkitan Yesus dari mati. Kebangkitan merupakan misteri yang ada pada inti
pewartaan para murid pertama. Misteri itu ditafsirkan dengan kekayaan lambang-lambang dan
gambaran-gambaran yang meliputi eskatologi Kristiani yang tidak selalu dapat ditafsirkan
secara harfiah. Akan tetapi, kebangkitan Yesus dari mati bukan hanya merupakan lambang.
Kebangkitan Kristus adalah peristiwa eskatologi, merasuknya Allah ke dalam sejarah manusia
di masa depan, yang menyatakan kemenangan Yesus atas dosa dan kematian serta janji untuk
kebangkitan kita sendiri.
Ajaran tentang persekutuan para kudus, dalam mengumpulkan ke dalam Gereja tak hanya
orang-orang yang dibaptis di dunia, tetapi juga umat beriman yang sudah meninggal,
merupakan ungkapan hakikat eskatologis Gereja. Orang-orang Kristiani mempunyai persekutuan dengan para kudus di surga dan jiwa-jiwa di api pencucian, yang akan diwujudkan secara
penuh dalam eskaton pada waktu segala-galanya akan dipulihkan dalam Kristus (Ef 1:10; Kol
1:20). Orang-orang Kristiani telah memohon perantaraan para kudus dan berdoa bagi orangorang yang sudah meninggal sejak abad-abad awal. Kedua praktek itu berakar dalam
kesalehan populer dan telah diakui oleh Gereja.
Orang-orang Katolik percaya bahwa rahmat dan keselamatan diberikan kepada seluruh
umat manusia melalui kematian dan kebangkitan Yesus. Dengan demikian, orang-orang
Kristiani melihat jemaat Gereja sebagai lambang semua keselamatan yang paling lengkap.
Akan tetapi, rahmat tidak pernah terkungkung dalam batas-batas Gereja atau sakramensakramen. Meskipun orang-orang Katolik telah diajar dan percaya untuk beberapa waktu bahwa
mereka yang bekerja sama dengan rahmat Allah dapat diselamatkan meskipun mereka belum
mendengar Injil, Konsili Vatikan II menyatakan hal itu secara tegas. Dengan demikian
sesungguhnya ajaran itu menafsirkan kembali aksioma ”tak ada keselamatan di luar Gereja”
menjadi lebih memadai dengan memperhitungkan universalitas keselamatan yang tersedia
melalui Yesus Kristus.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Johanes Paulus II, Crossing the Threshold of Hope, ed. Vittorio Messori (New York: Random House, 1994) 67.
Lihat Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Seabury, 1978) 270-274.
Ibid., 271.
Walter Kasper, Jesus the Christ (New York: Paulist, 1976) 152.
Edward Schillebeeckx, Church: The Human Story of God (New York: Crossroad, 1990) 138.
J. N. D. Kelly, Early Christian Creeds (London: Longman, 1972) 391.
Kenneth L. Woodward, Making Saints (New York: Simon & Schuster, 1990) 17.
Ibid., 66-67.
H. George Anderson, Y. Francis Stafford, and Yoseph A. Burgess, eds., The One Mediator, The Saints and Mary
(Minneapolis: Augsburg, 1992) 62.
Richard McBrien, Catholicism (San Francisco: Harper, 1994) 1171.
Lihat Francis A. Sullivan, Salvation Outside the Church? Tracing the History of the Catholic Response (New York: Paulist,
1992).
Ibid., 26.
J. Robert Dionne, The Papacy and The Church: A Study of Praxis and Reception in Ecumenical Perspective (New York:
Philosophical Library, 1987) 92.
Sullivan, Salvation Outside the Church? 98.
XI
Agenda yang Belum Selesai
Apakah penerbitan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II menandai selesainya pembaruan
Gereja yang dikemukakan oleh Konsili, atau apakah dokumen-dokumen itu hanya merupakan
awal dari proses pembaruan yang belum selesai? Masalah ini masih menjadi bahan
perdebatan.
Sementara orang Katolik merasa bahwa Gereja telah menapak terlalu jauh, dengan
menyesuaikan diri dengan semangat zaman daripada menantang zaman dengan
kebenarannya yang abadi. Sejumlah orang bergabung dengan Serikat Orang-Orang Katolik
Konservatif, Catholic United for the Faith (CUF) (Persatuan Orang Katolik demi Iman), Opus
Dei, atau The Fellowship of Catholic Scholars (Ikatan Sarjana Katolik). Beberapa orang menulis
surat kepada para pejabat resmi di Roma dengan mencela kelunakan uskup-uskup yang ”tidak
tegas” dan kesalahan-kesalahan teolog-teolog ”modernis”. Orang-orang Katolik itu kerap
disebut sebagai kaum ”integralis”. Istilah itu yang digunakan untuk menggambarkan mereka
yang memandang ajaran-ajaran Katolik adalah sama pentingnya dan sedemikian saling
berkaitan erat, sehingga menentang salah satu ajaran berarti merongrong seluruh struktur yang
diwahyukan secara Ilahi.1 Integralisme merupakan suatu jenis fundamentalisme Katolik. Orangorang Katolik bahkan lebih kecewa; beberapa orang menempuh perjalanan berkilo-kilometer
untuk ikut serta dalam Perayaan Misa dalam bahasa Latin; yang lain, sesudah menolak Konsili
Vatikan II, bergabung dengan jemaat-jemaat skisma Konsili Trente, Serikat St. Pius X Uskup
Agung Lefebvre, dan dengan demikian memisahkan diri dari Gereja.2
Orang-orang Katolik lain pada zaman sekarang ini juga tak bahagia, tetapi dengan alasan
yang berlawanan. Mereka merasa bahwa Gereja telah bergerak lambat, sehingga gagal untuk
melaksanakan perubahan-perubahan yang ditunjukkan oleh dokumen-dokumen Konsili, bahwa
timbul reaksi yang berusaha mengembalikan Katolisisme zaman sebelumnya yang tertutup dan
tersentralisasikan. Banyak orang bekerja demi perubahan melalui lembaga, bekerja di pengadilan, melayani di Paroki, mengajar di kursus katekese, sekolah-sekolah, dan universitasuniversitas. Beberapa bergabung dalam perhimpunan-perhimpunan seperti The Call for Action,
(Panggilan untuk bertindak), Women’s Ordination Conference (Konferensi Penahbisan Wanita),
atau CORPUS, yaitu organisasi imam-imam yang telah menjadi awam dan istri-istri mereka
yang berjuang untuk mengungkapkan pelayanan imamat yang lebih luas. Beberapa berusaha
mencari Gereja yang lebih sesuai dengan bergabung ke dalam komunitas-komunitas kecil
tanpa pimpinan yang ditahbiskan. Beberapa menyerah begitu saja dan meninggalkan Gereja.
Jika ada kekecewaan pada dua sayap Gereja, ada juga banyak kecemasan di Roma. Baik
orang Katolik maupun orang Protestan menaruh perhatian tentang apa yang mereka lihat
sebagai usaha dari pihak Roma pada tahun-tahun akhir kepausan Paus Yohanes Paulus II
untuk membuat pembaruan atau ”pemulihan”, istilah yang digunakan oleh Kardinal Yoseph
Ratzinger, Prefek Congregatio de Doctrina Fidei, dalam wawancara yang diberikan kepada
majalah Italia tak lama sebelum Sinode Uskup Luar Biasa pada tahun 1985. Bagi banyak
orang, Paus Yohanes Paulus tampak menaruh perhatian terutama menyatukan umat yang
terpecah dan memulihkan disiplin. Sementara progresif dalam masalah-masalah sosial, Paus
Yohanes Paulus konservatif dalam hal ajaran dan moral, dan ia telah menunjuk uskup-uskup –
sekarang jumlahnya lebih dari separoh seluruh jumlah uskup dalam Gereja – yang
mencerminkan pandangannya.3
Akan tetapi, bagi mayoritas orang-orang Katolik di seluruh dunia, Konsili Vatikan II telah
menjadi bagian sejarah dan perubahan-perubahan yang dimasukkan ke dalam kehidupan
Katolik diterima begitu saja. Mereka yang sekarang berumur di bawah 30, belum pernah mengenal Gereja lain. Dokumen-dokumen Konsili menetapkan ukuran untuk pembaruan, dan
dokumen-dokumen itu merupakan ungkapan normatif dari pemahaman-diri Gereja Katolik
menjelang abad 21 atau milenium ketiga ini.
Akan tetapi, aliran-aliran pembaruan yang mendahului Konsili dan pembaruan-pembaruan
baru yang dilepas kendalinya oleh Konsili terus membentuk Katolisisme dewasa ini. Dalam arti
yang sebenarnya, masalah-masalah yang diangkat oleh aliran-aliran itu merupakan agenda
Konsili yang belum selesai, kami menyebut beberapa agenda pada akhir bab 4. Dalam bab
terakhir ini, kita perlu membahas beberapa masalah itu, antara lain pembaruan liturgi, persoalan
otoritas, wanita dalam Gereja, gerakan ekumenis, dan dialog antaragama. Masalah-masalah itu
akan terus mengubah cara orang Katolik mengalami diri sendiri dan Gereja mereka dalam
memasuki abad ke-21.
1. Pembaruan Liturgi
Salah satu tujuan utama gerakan liturgi sejak awal adalah mendorong ”partisipasi atau
keikutsertaan secara penuh, sadar, dan aktif dalam perayaan liturgi” oleh umat beriman (SC
14). Konsili Vatikan II bergerak cukup jauh menuju ke tujuan itu dengan memungkinkan
penggunaan bahasa daerah dalam liturgi dan memberi peran kepada pria dan wanita sejumlah
peranan liturgis yang sebelumnya merupakan peran khas para klerus.
Perubahan Liturgi
Dalam tahun-tahun sesudah Konsili, orang-orang Katolik mengalami deretan perubahan
yang dirancang untuk mengurangi jarak fisik dan psikis antara imam dan umat. Pusat perhatian
tidak lagi ditekankan pada konsekrasi tetapi dipusatkan pada perayaan umat yang berkumpul.
Mulai tahun 1966, altar-altar di banyak gereja dibuat menghadap umat sehingga imam dapat
memimpin Misa berhadapan dengan umat. Sebelumnya imam berada jauh di depan umat dan
membelakangi mereka. Bangku-bangku komuni mulai disingkirkan. Hal ini meniadakan
halangan fisik yang pernah memisahkan umat dari tempat kudus. Pemisahan itu secara tersirat
memberi tahu kepada umat pengertian yang salah bahwa hanya orang yang ditahbiskan dapat
memasuki tempat kudus. Dengan keikutsertaan umat, Misa menjadi dialog antara imam dan
umat, dan bukan lagi percakapan berbisik-bisik antara imam dan putra-putra altar, yang selama
berabad-abad telah menjawab imam menggantikan umat. Pada waktu umat mulai
bereksperimen dengan berbagai macam musik, gitar dipergunakan, dan ”Misa Rakyat” menjadi
populer. Salam damai yang dulu hanya dilakukan oleh tiga pelayan klerikal yang
mempersembahkan Misa Agung, dilakukan oleh seluruh umat. Tiga Doa Syukur Agung baru, dikeluarkan pada tahun 1968 dan tata laksana Misa disetujui pada tahun 1969. Doa-doa Syukur
Agung lain menyusul disetujui sehingga sekarang ini ada sembilan Doa Syukur Agung.
Kebanyakan perubahan dalam liturgi, yang pada dasarnya tak pernah berubah sejak abad
ke-16, diterima dengan gabungan rasa acuh-tak-acuh dan humor yang baik. Kerapkali
penjelasan-penjelasan yang diperlukan amatlah buruk jika ada. Beberapa orang menjadi
bingung mengapa memotong doa mereka ”untuk bertukar salam damai dengan umat lain yang
hadir atau merasa tidak enak” menerima Komuni dari ”pelayan awam” daripada dari imam.
Pada waktu menerima komuni dengan tangan disetujui, beberapa orang merasa bahwa Sakramen Mahakudus tidak diterima dengan hormat sebagaimana layaknya, sementara yang lain
menyatakan tangan orang yang dibaptis dan diurapi dalam Roh merupakan penerimaan yang
layak seperti jambangan emas yang diberkati oleh imam.
Umat yang Beribadat
Di luar perubahan-perubahan yang relatif kecil, studi tentang liturgi telah mengakibatkan
pergeseran dalam pemahaman tentang liturgi. Khususnya yang penting adalah penekanan
dalam teologi liturgi akhir-akhir ini bahwa umat yang mengambil bagian dalam liturgilah yang
merayakan liturgi. Bahasa liturgi pada milenium pertama menunjukkan bahwa seluruh umatlah
yang merayakan Ekaristi. Instruksi umum untuk Missal (Buku Misa) Roma (1970) telah kembali
pada pandangan ini. Dari sudut pandang ini imam lebih tepat disebut pemimpin daripada
selebran. Akan tetapi, mempraktekkan tidaklah selalu mudah. Tantangannya adalah menemukan cara-cara yang tepat untuk bergeser dari ”liturgi yang berpusat pada imam dengan umat”
ke ”liturgi yang berpusat pada umat dengan pemimpin”, sehingga peranan umat dalam
perayaan dapat diungkapkan secara lebih jelas.4
Pengaturan orang untuk liturgi harus mencerminkan pentingnya umat. Dalam Gereja
perdana, tempat kehadiran Allah bukan pada tempat tetapi pada umat yang berkumpul sendiri.
St. Paulus memberi tahu kepada umat Korintus ”Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait
Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1Kor 3:16; bdk. Ef 2:19-2). Jemaat-jemaat
perdana berkumpul untuk Ekaristi di rumah-rumah perorangan.
Ketika Gereja berkembang, bangunan-bangunan besar menjadi perlu, tetapi gereja
seharusnya tidak seperti gedung teater di mana fokusnya adalah seorang pemimpin yang berada jauh dan yang dilihat adalah belakang kepala para anggota umat lain.
Gereja seharusnya dibangun sedemikian rupa sehingga umat
Allah harus dapat melihat
satu sama lain dan berkumpul di seputar meja Ekaristi. Seluruh tempat adalah suci, bukan
hanya ”panti imam”. Dengan demikian, arsitektur gereja modern cenderung menggeser altar
maju ke depan mendekati umat. Ada dimensi ”stasional” pada liturgi. Pusat perhatian perbuatan
liturgis bergerak ke tempat duduk pemimpin pada upacara pendahuluan, ke mimbar bacaan
pada liturgi Sabda, ke altar pada liturgi Ekaristi, dan akhirnya kembali ke tempat duduk. Dari
tempat duduk itu, imam membubarkan umat dengan berkat dan penugasan untuk membawa
misteri kasih Allah yang sudah mereka rayakan kepada orang-orang lain.
Penemuan kembali konsep umat yang beribadat juga berarti deklerikalisasi liturgi. Ini tidak
hanya menciptakan peran-peran liturgi baru bagi awam pria dan wanita tetapi juga harapanharapan baru. Orang- orang Katolik dewasa ini, terutama kaum mudanya, berharap untuk dapat
berperan aktif dalam liturgi. Mereka bersemangat untuk melayani – sebagai pembaca atau
pelayan Ekaristi, sebagai perencana, pelayan di bidang musik, dan dalam kesempatankesempatan tertentu sebagai pengkhotbah pada upacara-upacara non-liturgis dan pemimpin
dalam Ibadat Komuni bila imam berhalangan hadir.
Dewasa ini, awam pria dan wanita merasa tersinggung dikatakan oleh Gereja resmi bahwa
mereka itu hanyalah pelayan Ekaristi ”luar biasa” dan oleh karena itu mereka tidak dapat
melayani roti atau piala dalam liturgi besar bila ada cukup jumlah imam yang merayakan.
Mereka bertanya-tanya mengapa pria yang tak ditahbiskan dapat diangkat menjadi akolit dan
lektor tetapi wanita tidak? Beberapa orang bertanya mengapa awam pria dan wanita yang
memenuhi syarat tidak dapat kadang-kadang memberi homili pada Perayaan Ekaristi, peran
yang oleh hukum kanonik (Kan. 767.1) hanya diberikan kepada
orang-orang yang
ditahbiskan. Sementara khotbah tidak dapat dipisahkan dari peran pelayan yang ditahbiskan
untuk memimpin jemaat lokal, beberapa orang menyatakan bahwa tanggung jawab pastoral
imam dapat secara sah dilakukan dengan kadang-kadang mengakui anggota-anggota umat
yang memiliki kharisma untuk berkhotbah dengan baik. Tentu saja ketika semakin banyak
awam pria dan wanita mengambil peran pelayanan purna waktu di dalam Gereja atau
mendapatkan reputasi sebagai teolog dan pembimbing rohani, akan terus ada ketegangan
dalam hal pembatasan peran pelayan awam yang dapat mereka lakukan dalam Ekaristi.
Pembaruan Teologi Imamat
Ada juga kebutuhan untuk memikirkan kembali pertanyaan siapa yang dapat ditahbiskan.
Meskipun Konsili Vatikan II membuat langkah yang berarti dalam mengembangkan teologi
jabatan uskup dan teologi awam, Konsili berbicara sedikit tentang imamat kecuali menggambarkan imam ”sebagai pembantu yang arif badan para uskup” (LG 28). Tanpa pembaruan
teologi imamat dan dengan harapan-harapan baru terhadap imam dari pihak orang awam, apa
yang sudah amat jelas tentang panggilan imam tampak hilang sesudah Konsili.5 Sejak itu, lima
puluh ribu imam telah melepaskan jabatan mereka. Dan dengan bertambah sedikitnya calon
untuk tahbisan, Gereja dewasa ini mengalami kekurangan imam yang berat. Diperkirakan 50%
paroki dan stasi di Dunia Ketiga tidak mempunyai imam yang menetap. Kekurangan jumlah
imam itu merupakan masalah besar di dalam Gereja. Ini menantang Gereja untuk memikirkan
kembali hakikat imamat dan menetapkan siapa yang dapat ditahbiskan menjadi imam termasuk
syarat-syaratnya. Yang menjadi titik tolak pemikiran tentang imamat adalah terlantarnya
pelayanan umat karena kekurangan imam itu. Bagaimana kebutuhan akan imam itu dapat
dipenuhi?
Memikirkan Kembali Diakonat
Masalah lain adalah diakonat tetap, yang dipulihkan oleh Konsili. Sekarang ini sudah
banyak orang awam yang diangkat menjadi diakon tetap. Akan tetapi, masih ada kebingungan
tentang perannya. Meski diakon berfungsi dalam Gereja awal sebagai pelayan dengan tugas
melayani orang miskin, dalam masyarakat sekarang ini pelayanan diakon terlalu kerap dilihat
hampir secara eksklusif dalam kerangka pelayanan liturgi. Walaupun peran liturgis mereka itu
penting, masuk akallah, jika saat ini Gereja memusatkan pelayanan diakon pada tugas karitatif,
karena pelayanan kepada orang yang tidak beruntung merupakan dimensi pokok dari
perutusan Gereja.
2. Masalah Otoritas
Sejumlah perkembangan dalam sejarah akhir-akhir ini telah memainkan peranan yang amat
besar dalam mengubah cara orangorang Katolik memahami otoritas Gereja. Pertama,
teologi Katolik sejak akhir Konsili Vatikan II telah mengalami revolusi yang sebenarnya dalam
metodologi. Kedua, sejak waktu yang sama telah terjadi laisisasi (pengawaman) teologi.
Akhirnya, berkembangnya pelayanan awam pada tahun-tahun terakhir ini menunjukkan
perkembangan yang ketiga.
Secara metodologis, teologi Katolik sebelum Konsili Vatikan II terutama bersifat spekulatif
dan deduktif. Teologi Katolik berperan dalam menganalisis dan menjelaskan kebenaran Ilahi
yang diajarkan oleh magisterium. Akan tetapi, penerimaan Gereja atas kritik alkitabiah modern
dan pergeseran dari cara pemahaman yang abstrak, dogmatik, ”klasik” ke pemahaman yang
didasarkan kesadaran historis membawa perubahan besar dalam pendekatan. Ketika kerangka
Skolastik lama banyak ditinggalkan, teologi menjadi disiplin yang jauh lebih kritis – menguji
dasar-dasar, menyelidiki perkembangan-perkembangan historis, menafsirkan kembali formulaformula (rumusan-rumusan) tradisional, dan semakin berpaling pada pengalaman. Dalam
istilah-istilah mereka yang berteologi, kebanyakan teologi sampai zaman itu adalah teologi yang
dilakukan di seminari-seminari oleh imam-imam. Belum ada teologi bagi awam pria apalagi
awam wanita termasuk para suster atau para biarawati.
Perkembangan-perkembangan dan pergeseran-pergeseran dalam teologi Katolik itu telah
mengakibatkan perubahan-perubahan yang berarti. Pertama, teologi Katolik jauh lebih mandiri
daripada pada zaman ketika teologi dilakukan hampir sepenuhnya oleh para imam dan religius.
Karena kemandirian itu, para teolog Katolik ditempatkan dalam pengawasan uskup setempat,
terutama melalui peraturan bahwa untuk dapat mengajar, para teolog harus mendapat mandat
kanonik (bdk. kan. 812).
Kedua, banyak orang Katolik dewasa ini jauh lebih terdidik daripada masa lampau, ketika
hanya imam-imam dan religius yang mendapat pendidikan teologi. Banyak orang awam
menjadi sadar akan berbagai sifat sumber-sumber alkitabiah dan konteks historis yang berbeda
yang menjadi latar belakang timbul dan berkembangnya ajaran-ajaran Katolik dan jauh lebih
siap untuk menerima perkembangan dan perubahan.
Dengan demikian, banyak orang awam yang mengetahui bahwa wahyu tidak disampaikan
dalam ajaran-ajaran yang dirumuskan atau pernyataan-pernyataan abadi tetapi diperantarai
oleh lambang-lambang yang muncul dari pengalaman jemaat religius. Hanya baru kemudianlah
pengalaman religius itu dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan doktrinal yang tetap terbatas
dan dikondisikan secara historis. Mereka menjadi menghargai Yesus historis, menjadi lebih
dekat dengan Yesus dari Injil Sinoptik daripada Yesus dari Injil Yohanes, yang berbicara
sedemikian terbuka dan sadar tentang keallahan-Nya. Mereka memahami Gereja bukan
sebagai lembaga yang secara rinci didirikan oleh Yesus, tetapi jemaat para murid, yang di
bawah bimbingan Roh Kudus berkembang dari jemaat Kristiani awal menjadi kesatuan GerejaGereja di seluruh dunia. Mereka menghargai pentingnya ajaran magisterium yang kuat, tetapi
bersamaan dengan itu mereka juga menjadi sadar bahwa magisterium adalah jabatan dalam
Gereja, bukan otoritas lepas yang ditempatkan di atasnya.
Perkembangan ketiga adalah bahwa dalam tahun-tahun sesudah Konsili jumlah awam pria
dan wanita yang menyiapkan diri untuk pelayanan bertambah banyak, sementara jumlah imam
dan religius cenderung terus menurun.
Pelaksanaan Otoritas
Perkembangan-perkembangan yang telah kita bahas telah mempertajam masalah
bagaimana otoritas dilaksanakan dalam Gereja. Masalah ini akan terus menjadi masalah
kontroversi di masa datang. Ada banyak masalah – antara lain, kekurangan imam, tempat
wanita di dalam Gereja, dan moralitas seksual Gereja – yang harus dihadapi dengan jujur oleh
Gereja dewasa ini. Masalah-masalah itu harus dibahas secara terbuka.
Orang-orang Katolik awam belum mempunyai kesempatan untuk ikut menentukan
kebijakan Gereja atau mempengaruhi proses pembuatan keputusannya. Bagi banyak orang
Katolik, Gereja masih tampak berstruktur dan berpola hidup ala monarki yang badan-badan
mengajar dan pemerintahannya di luar pengaruh atau jangkauan umat yang diajar dan
diperintah. Kepada siapa otoritas Gereja bertanggung jawab? Orang awam Katolik belum
banyak ikut dalam pengarahan hidup dan pelayanan Gereja. Mereka belum dapat ikut dalam
proses pengambilan keputusan Gereja, dalam perumusan ajarannya dan dalam pemilihan para
gembalanya.
Namun, sementara itu perlu diingat bahwa Gereja jauh lebih fleksibel daripada yang
kelihatan. Gereja bukanlah sebuah demokrasi, dan juga bukan sebuah monarki absolut. Gereja
bukanlah struktur kelembagaan tetapi organisme yang hidup, komunitas awam sejati dan
anggota-anggota yang ditahbiskan. Bagaimana Gereja dapat mengungkapkan tanggung jawab
bersama untuk hidup dan pelayanannya berdasarkan hakikat saling ketergantungannya itu?
Ada beberapa langkah yang dapat diambil, dengan tetap mengakui hubungan dialektika yang
harus ada antara jabatan dan karisma tanpa mengubah struktur fundamental Gereja.
Membuat Keputusan Bersama
Wakil-wakil klerus dan awam dapat ikut ambil bagian dalam struktur pembuatan keputusan
Gereja tanpa meniadakan peran Paus atau kolegialitas uskup. Keikutsertaan dalam
pembentukan jemaat merupakan masalah keadilan. Menurut Konsili Vatikan II, orang-orang
merupakan faktor yang menentukan struktur-struktur sosial dan ”menyadari bahwa merekalah
ahli-ahli serta pencipta-pencipta kebudayaan masyarakat mereka” (GS 55). Ini bahkan lebih
berlaku bagi jemaat Gereja.6
Fakta bahwa doktor-doktor teologi universitas dan wakil-wakil ordo-ordo religius ikut serta
dalam Konsili-konsili Gereja pada Abad Pertengahan merupakan contoh peristiwa yang dapat
dijadikan awal, untuk memperluas cara magisterium mengajar Gereja dapat dilak-sanakan
dalam Gereja di masa depan. Kehadiran para ahli teologi dan pendengar awam pada Sinode
para Uskup tentang kaum awam pada tahun 1987, dapat ikut serta dalam diskusi-diskusi dalam
kelompok kecil tetapi tidak memilih merupakan satu model untuk gaya pembuatan keputusan
yang lebih partisipatif. Dan masih banyak hal lain.
Pemilihan Uskup
Bagaimana uskup dipilih merupakan masalah yang rumit dewasa ini. Selama 1000 tahun
pertama sejarah Gereja, hak Gereja-Gereja lokal untuk memilih uskup-uskup mereka jelas
diakui. Paus Celestinus I menyatakan: ”Janganlah uskup dipaksakan pada umat yang tidak
menghendakinya.”7 Paus Leo I menyatakan: ”Orang yang memimpin semua harus dipilih oleh
semua.”8 Pada tahun 1305, Paus Clemens V berusaha membuat hak untuk menunjuk uskupuskup menjadi haknya sendiri dengan tujuan menaikkan penghasilan, tetapi uskupuskup tetap terus dipilih oleh para penguasa setempat, kadang-kadang raja-raja, kadangkadang klerus katedral. Namun, uskup baru harus diakui oleh Paus dan membayar untuk
persetujuannya. Ini tentu saja menambah kas Paus, tetapi juga berguna untuk mengungkapkan
dan mempertahankan kesatuan antara Gereja lokal dan Uskup Roma. Pada akhir abad ke-17
dan abad ke-18, uskup-uskup kerap kali diangkat oleh para penguasa negara-negara Eropa
yang semakin disekularisasikan.
Baru pada tahun 1884, Paus menyatakan sebagai haknya untuk mengangkat uskup-uskup
di seluruh dunia. Praktek pemilihan uskup oleh Roma pada akhir abad ke-19 menjadi pola untuk
seluruh Gereja Barat.9
Jika ada sejarah panjang bahwa uskup-uskup dipilih pada tingkat lokal, maka GerejaGereja setempat mempunyai hak untuk memilih uskup-uskup mereka, atau mengajukan tiga
calon ke Roma. Kitab hukum Kanonik baru sebenarnya mengakui kemungkinan ini dengan
menyatakan bahwa Paus ”dengan bebas menunjuk uskup-uskup atau meneguhkan uskupuskup yang dipilih secara legal (Kan. 375). Agar tetap ada dalam kesatuan dengan Gereja
universal, uskup-uskup yang dipilih secara lokal perlu diakui oleh Takhta Suci di Roma.
Dengan demikian, sebagai ganti praktek pengangkatan uskup oleh Roma yang berlaku
sekarang tidak perlu berupa pemilihan calon-calon yang mengajukan diri sebagai uskup, karena
dapat mempolitisasikan jabatan uskup. Akan tetapi, ada peristiwa-peristiwa historis yang
mendahului dan hukum kanonik yang memungkinkannya. Berdasarkan peristiwa-peristiwa
historis dan hukum kanonik itu, awam dan klerus Gereja-Gereja setempat dapat diberi
kesempatan lebih untuk menyampaikan pendapat dalam proses pemilihan uskup-uskup mereka. Cara itu juga akan mengakui secara lebih efektif dalam hidup Gereja prinsip subsidiaritas
yang sedemikian penting dalam ajaran-ajaran sosial Gereja.
3. Wanita dalam Gereja
Tantangan yang paling radikal terhadap status quo dalam Gereja mungkin muncul dari
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh banyak wanita dewasa ini. Meski banyak kemajuan
telah dicapai oleh wanita dalam masyarakat sekular pada tahun-tahun terakhir ini, banyak
wanita Katolik merasa sebagai warga kelas dua dalam Gereja. Mereka melihat bahwa Gereja
tidak dapat menerima wanita ke dalam jabatan pelayanan yang ditahbiskan. Dengan demikian,
Gereja tidak dapat menerima mereka ke dalam jabatan pemimpin dan pengambil keputusan
resmi. Gereja menyatakan bahwa baptis mengatasi perpecahan atas dasar ras, status sosial,
dan jenis kelamin (Gal 3:28). Berdasarkan makna baptis itu, kaum wanita merasa bahwa baptis
mereka tidak dianggap serius karena ajaran tentang baptis itu belum diakui oleh Gereja resmi.
Dengan demikian, banyak wanita diasingkan dari Gereja.
Jika gerakan wanita dalam Gereja berkembang dari gerakan feminis yang lebih luas
dewasa ini, dasarnya dapat ditemukan jauh lebih awal pada wanita-wanita yang menantang apa
yang dianggap merupakan pandangan alkitabiah tentang tempat wanita dalam Gereja dan
masyarakat. Sarah Grimke (1792-1873) merupakan salah seorang wanita yang menyarankan
bahwa masalahnya bukan pada teks Kitab Suci, melainkan dalam cara menafsirkannya.
Perbedaan penafsiran Kitab Suci ini menjadi dasar munculnya cabang-cabang gerakan feminis
dari yang paling kanan seperti menafsirkan kembali tradisi Kristiani secara lebih inklusif sampai
yang paling kiri seperti yang menolak Yesus dan karya penyelamatan-Nya berdasarkan
argumen bahwa wanita tidak dapat diselamatkan oleh Allah yang laki-laki.
Akan tetapi, gerakan wanita dalam Gereja dewasa ini juga merupakan bagian dari gerakan
pemerdekaan yang berasal dari sikap berpalingnya perhatian Gereja ke dunia, kaum miskin,
dan kaum tertindas sesudah Konsili Vatikan II. Paus Yohanes XXIII menarik perhatian pada
tumbuhnya kesadaran wanita akan martabat mereka dalam ensikliknya Pacem in Terris (no. 41)
tahun 1963. Ada kesamaan yang jelas antara teologi pembebasan Amerika dan teologi feminis.
Dalam konteks Gereja, feminisme merupakan kesadaran yang seluruhnya baru dari pihak
wanita yang meminta kesamaan mereka secara penuh baik di dalam Gereja maupun di dalam
masyarakat. Apa yang diminta oleh gerakan wanita dewasa ini? Agar Gereja memperhatikan
pengalaman wanita secara serius; agar Gereja mengakui bahwa teks-teks Kitab Suci
dikondisikan oleh budaya androsentris (yang berpusat pada kaum laki-laki) atau patriarkal, agar
Gereja berbicara lebih secara inklusif dengan memasukkan wanita ke dalamnya, dan agar
Gereja menyediakan pelayanan yang lebih melibatkan wanita.
Memperhatikan Pengalaman Wanita Secara Serius
Wanita dewasa ini menekankan bahwa kebenaran datang dari pengalaman dan tidak harus
dari otoritas. Mereka menghendaki agar pengalaman mereka diperhatikan secara serius. Baik
teologi feminis maupun teori psikologi berpendapat bahwa ”1) pengalaman pribadi ada pada inti
kebenaran; 2) pengalaman wanita itu sah; dan 3) wanita mempunyai kekuasaan untuk
menyebutkan pengalaman-pengalaman yang diambil dari mereka.”10 Memperhatikan
pengalaman wanita sekurang-kurangnya berarti mengakui dua hal.
Pertama, Apa yang dialami wanita amat kerap berbeda dari apa yang dialami pria. Apa
yang dialami oleh wanita adalah penindasan dan pengingkaran. Mereka amat menyadari bahwa
banyak wanita di seluruh dunia diingkari hak penuh mereka, bahwa wanita bekerja selama 2/3
dari jam kerja dunia, bahwa mereka merupakan 2/3 dari manusia buta aksara di dunia, dan
bahwa mereka kerap disalahmanfaatkan secara fisik dan secara seksual dieksploitasi. Hal-hal
itu telah mereka alami sendiri secara pribadi. Mereka mengetahui ada hal-hal yang tidak boleh
mereka lakukan, bukan karena dibatasi oleh bakat atau oleh biologi, tetapi karena peran sosial
yang ditentukan hanya berdasarkan jenis kelamin.
Penyingkiran berdasarkan jenis kelamin seperti itu kerap mengakibatkan berkurangnya
rasa harga diri. Bila suatu pengalaman khusus membuat wanita tiba-tiba menyadarinya untuk
pertama kali, ia kerap mengalami luka yang dalam dan marah yang berat. Akan tetapi, bahkan
dalam kasus-kasus seperti itu ada peraturan-peraturan yang memberi tahu kepadanya
bagaimana harus menanggapi. Jika ia mengungkapkan kemarahan karena distereotipkan dan
disingkirkan, ia dibuat merasa bersalah, dikatakan bahwa itu tidak selayaknya, atau bahwa ia
harus mempertimbangkan orang lain dan bukan diri sendiri. Tidak mengherankan bahwa
banyak wanita memandang masyarakat dan Gereja itu sangat patriarkal dan menindas.
Kedua, seperti teologi feminis menyatakan, cara wanita mengalami diri sendiri dan dunia
berbeda dengan cara laki-laki mengalaminya. Perbedaan itu berakar pada cara-cara berbeda
yang digunakan anak-anak laki-laki dan perempuan mengembangkan rasa identitas pada
tahun-tahun awal hidup mereka.11 Sejak awal, anak-anak perempuan mengalami bahwa
mereka ”menyerupai” ibu mereka. Ketika rasa keterikatan dan relasi ini dipindahkan pada orang
lain, berkembanglah rasa diri-dalam-hubungan (self-in-relation). Sebaliknya anak-anak laki-laki
mengalami bahwa mereka bukan seperti ibu mereka dan dengan demikian mereka dapat
mengalami diri-sebagai-terpisah (self-as-separate) berdiri sendiri. Dengan demikian, bagi orang
dewasa, pria cenderung mengalami diri sebagai terpisah dan berbeda dari orang lain dan
benda-benda di dunia, sementara wanita mengalami diri dan dunia dalam kerangka hubungan.
Ini berarti bahwa pria dan wanita mempunyai tugas-tugas perkembangan yang berbeda.
Menurut Chinnici,
kedewasaan bagi pria dan wanita terletak pada kemampuan mereka untuk sekaligus berhubungan
dan terpisah pada waktu yang bersamaan.... Wanita memandang diri mereka sebagai manusiadalam-hubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, untuk mencapai diri yang sehat mereka harus
didorong untuk mengembangkan kemandirian dan ketegasan-diri. Pria memandang diri sendiri
sebagai manusia/sebagai/terpisah dan harus belajar mengembangkan segi kepribadian mereka yang
mendorong hubungan.... Perbedaan dalam perkembangan itu penting bagi pemahaman kita, karena,
jika pengalaman pria dianggap sebagai normatif, komunikasi masyarakat yang didengar wanita akan
berupa pesan yang diperlukan oleh kaum laki-laki, komunikasi yang akan mendorong perkembangan
hubungan tetapi yang akan merugikan perkembangan wanita.12
Hermeneutik Feminis
Mungkin tantangan yang paling radikal terhadap Kristianitas zaman ini datang dari teologteolog feminis yang menggunakan hermeneutik feminis, yaitu teori penafsiran untuk
mendekonstruksikan Perjanjian Baru dan menafsirkan kembali pesan Yesus dalam kerangka
keprihatinan feminis. Tidak semua usaha mereka dapat diterima oleh mayoritas orang Katolik.
Beberapa teolog bergerak melampaui batas-batas ortodoksi atau sedemikian radikal
menafsirkan kembali Kitab Suci sehingga arti rekonstruksinya hanya dapat dimengerti oleh
orang yang ahli. Akan tetapi, keekstreman gerakan itu jangan membuat kita buta terhadap
pengertian sejati dari studi feminis.
Para sarjana Kitab Suci feminis minta agar kita mendekati teks Kitab Suci dengan
kesadaran bahwa teks itu dikondisikan bukan hanya secara historis melainkan juga oleh
budaya androsentris (yang berpusat pada kaum laki-laki) yang menjadi asalnya.13 Artinya, teksteks Kitab Suci cenderung mencerminkan kepentingan laki-laki, karena ditulis oleh orang-orang
laki-laki, diterjemahkan oleh orang-orang laki-laki, dan dalam tradisi selanjutnya ditafsirkan dan
dijelaskan oleh orang-orang laki-laki. Misalnya, ada sejumlah pemimpin Kristiani awal yang
nama dalam teks-teks awal adalah perempuan, namun dalam teks-teks kemudian nama-nama
itu berubah menjadi laki-laki (Junias dalam Surat Kepada Umat Roma 16:7; Nympha/Nymphas
dalam Surat kepada Umat Kolese 4:15). Bahkan dewasa ini kita mengira dua murid dalam
perjalanan ke Emaus (Luk 24) adalah laki-laki, meski hanya satu orang diketahui laki-laki atau
Maria Magdalena adalah seorang pelacur, bahkan jika Kitab Suci tidak pernah menyebutnya
demikian.
Oleh karena itu, kritik feminis minta agar kita mendekati Kitab Suci dengan ”kecurigaan
hermeneutik”, pendekatan kritis terhadap teks yang mengakui bias patriarkal dan berusaha
menemukan kembali kisah-kisah wanita yang kerap ditiadakan dalam sejarah Kristiani awal.
Mengapa, misalnya, kata diakonos bila diterapkan pada Febe dalam Surat kepada umat Roma
16:1 sedemikian kerap diterjemahkan ”diakones” ketika para ahli sadar bahwa tidak ada
diakonos atau diakones dalam Gereja-Gereja tahun 50-an, bahwa diakonos di sini adalah lakilaki, bukan perempuan, dan kata yang sama bila diterapkan pada Paulus selalu diterjemahkan
”pelayan”. Terjemahan yang lebih tepat adalah ”Febe saudari kami yang adalah pelayan Gereja
di Kengkrea.”
Atau haruslah ”tata tertib rumah tangga” yang tampak pada tulisan-tulisan Perjanjian Baru
kemudian (Kol 3:18–4.1; Ef 5:22–6:9; 1Ptr 2:13–3:7; Tit 2:5-9) tidak dimengerti sebagaimana
adanya, sebagai peraturan tata tertib rumah tangga yang berasal dari masyarakat RomawiYunani yang ke dalam masyarakat itu Gereja awal berjuang untuk masuk daripada pernyataan
wahyu Ilahi yang berlaku selama-lamanya? Peraturan-peraturan itu, yang menekankan bahwa
istri tunduk kepada suami mereka, anak-anak menurut kepada orang tua mereka, dan budak
taat kepada tuan mereka, merupakan hasil kebudayaan. Para penulis Perjanjian Baru
meminjamnya dari lingkungan mereka dengan memberi alasan baru dalam kerangka iman
Kristiani. Penulis Surat kepada umat Efesus melihat cinta Kristus kepada Gereja sebagai model
bagaimana suami harus mencintai istri (Ef 5:25) dan menyatakan bahwa hubungan antara tuan
dan budak harus berbeda bagi
orang Kristiani (Ef 6:5-9). Baru berabad-abad kemudian,
Gereja menantang perbudakan sebagai lembaga. Pemasukan tata tertib keluarga kafir ke
dalam tulisan-tulisan Kristiani itu merupakan contoh-contoh yang baik dan inkulturasi awal,
bahkan jika hasilnya adalah menempatkan wanita di tempat bawah, mengurangi kesamaan
jenis kelamin yang lebih khas dari jemaat Kristiani awal.
Orang harus hati-hati agar tidak memaksa bukti Perjanjian Baru ke arah ini atau itu. Dari
satu pihak, Perjanjian Baru tidak mengangkat wanita sebagai Rasul atau menunjukkan wanita
memimpin Ekaristi. Perjanjian Baru tidak memberi banyak informasi tentang siapa yang
memimpin Ekaristi. Di pihak lain, orang tidak dapat menyatakan secara dogmatik bahwa wanita
tidak memegang peran kepemimpinan dalam jemaat Kristiani awal. Fakta bahwa beberapa
wanita diketahui sebagai pelayan (Rm 16:1), sebagai tuan rumah untuk berkumpulnya umat
lokal (Kol 4:15), sebagai suami yang berkeliling dan istri menjadi rekan sekerja atau penginjil
(Rm 16:3-5,7; 1Kor 16:19), menjalankan peran profetis dalam kumpulan umat (1Kor 11:5) atau
”menonjol di kalangan para Rasul” (Rm 16:7) seharusnya membuat orang hati-hati. Juga tidak
dapat disangkal bahwa ketika jemaat Kristiani menjadi lebih terstruktur dan terinkulturasi
menjelang akhir masa Perjanjian Baru, jemaat juga semakin menjadi membatasi dalam hal apa
yang dapat dilakukan wanita. Pemasukan tata tertib rumah tangga seperti disebut di atas,
pembatasan istilah ”karisma” pada para pemimpin Gereja, dan perintah yang melarang wanita
untuk mengajar (1Tim 2:12) membuktikan hilangnya keterbukaan terhadap pelayanan wanita
yang dapat sedikit dilihat pada jemaat-jemaat paling awal.
Bahasa yang Inklusif
Masalah bahasa yang inklusif, memasukkan jenis kelamin, merupakan masalah yang sulit.
(Masalah ini sebetulnya masalah Gereja Barat, khususnya yang berbahasa Inggris, namun baik
juga jika kita mengetahui duduk perkaranya.) Bagaimana kita berbicara tentang diri sendiri
sebagai jemaat pada waktu berdoa, bagaimana kita menyebut Allah. Banyak orang Kristiani
dewasa ini, baik pria maupun wanita, peka terhadap fakta bahwa cara kita menggunakan
bahasa agaknya tidak secara khusus mencakup wanita. Bahasa kita menggunakan kata benda
umum ”orang” untuk menyebut pria dan wanita. Allah digambarkan dalam istilah-istilah maskulin
dan disapa sebagai Bapa, meski kita tahu Allah itu bukan maskulin, laki-laki, maupun feminin,
perempuan. Bila bahasa liturgi kita terus berbicara seolah-olah Allah itu laki-laki dan tidak ada
usaha memasukkan wanita, banyak objek yang berdasarkan jenis kelamin atau tidak inklusif.
Bahasa yang non-inklusif tidak hanya tidak mengenakkan bagi banyak orang, tetapi juga
merugikan, karena melestarikan gagasan bahwa jenis kelamin perempuan adalah sekunder
dan turunan. Kepekaan akan gender yang rendah ini, digabung dengan fakta bahwa kita
seringkali berbicara tentang Allah sebagai maskulin, kita mulai mengalami Allah sungguh
sebagai laki-laki, dan mengakibatkan pengalaman kita tentang Allah dan pandangan tentang
wanita menjadi terbatas.
Bagaimana kita dapat membuat bahasa kita menjadi lebih inklusif?14 Banyak hal yang dapat
dilakukan, tanpa mengganti kata
Allah menjadi Dewi atau mengganti tanda salib ke dalam
istilah-istilah yang bebas jenis kelamin. Langkah pertama adalah berusaha untuk menjadi
inklusif, dengan mengatakan”saudara dan saudari” atau ”pria dan wanita”. Kita dapat berusaha
untuk menyebut Allah sebagai ”laki-laki”. Kedua, kita perlu mengakui bahwa bahasa kita
tentang Allah bersifat metaforis atau analogis. Metafora Allah sebagai Bapa adalah tepat. Istilah
itu berakar dalam tradisi Kristiani, berasal dari istilah ”Abba” yang digunakan Yesus dalam doaNya. Akan tetapi, sebutan itu bukan satu-satunya. Ada juga metafora feminin bagi Allah dalam
tradisi Kristiani. Allah dikatakan telah melahirkan Israel (Ul 32:18), dan cinta Allah bagi Israel
dibandingkan dengan cinta ibu bagi anaknya (Yes 49:15), yang menyarankan bahwa keibuan
dapat menggambarkan yang Ilahi seperti juga kebapaan. Dalam Perjanjian Baru, Yesus
membandingkan Allah yang berkarya penuh rahasia di dunia dengan wanita yang menjatuhkan
ragi dalam tepung terigu sampai khamir seluruhnya (Mat 13:33).
Gereja (Gereja Barat yang berbahasa Inggris) akan terus bergulat dengan masalah
bagaimana kita berbicara tentang Allah. Masalah ini bukan tidak berarti. Perlulah menemukan
jalan dan cara-cara untuk membuat bahasa, terutama bahasa liturgi, menjadi inklusif dan menemukan kembali dan memasukkan gambaran Allah, yang feminin yang juga merupakan bagian
tradisi. Bersamaan dengan itu, kita perlu ingat bahwa sementara kita menggunakan bahasa
untuk berbicara tentang Allah, bahasa tentang Allah selalu bersifat metaforis dan tetap melampaui bayangan dan konsep kita. Beberapa teolog wanita berusaha membangun jembatan
antara teologi klasik dan feminis;15 bagaimana bahasa berdampak pada imajinasi religius dan
membentuk imajinasi religius.
Wanita dan Pelayanan
Dewasa ini wanita menjalankan banyak peran dan melaksanakan banyak pelayanan yang
di masa lampau tertutup bagi mereka. Mereka menjalankan program katekese di paroki-paroki,
mengajar teologi di universitas-universitas, sekolah tinggi, seminari-seminari dan memberi
bimbingan rohani. Pada tahun 1994, sesudah perdebatan bertahun-tahun, Congregatio de
Divinis Officiis (Kongregasi untuk Ibadat) pada akhirnya memutuskan bahwa wanita (termasuk
anak-anak perempuan) dapat membantu Misa sebagai putri altar.16 Lebih penting lagi, banyak
wanita dewasa ini bertindak sebagai administrator di paroki-paroki yang tidak mempunyai imam
yang menetap. Peran mereka juga meliputi tugas pastoral.
Tidak mungkinnya wanita ditahbiskan masih merupakan masalah yang sulit dan berat.
Gereja resmi tidak melihat bagaimana dapat mengizinkan wanita ditahbiskan menjadi pelayan
Gereja, dengan menyatakan bahwa tradisi Gereja yang tetap melawan, bahwa Yesus tidak
memanggil wanita di antara 12 Rasul-Nya, dan bahwa imam, untuk bertindak secara
sakramental In persona Christi (menggantikan Kristus), haruslah laki-laki seperti Kristus
sendiri.17 Akan tetapi, argumen melawan tahbisan wanita tidak meyakinkan bagi banyak orang
Katolik, termasuk banyak teolog Katolik. Bersamaan dengan itu, gelombang pendapat umum
menunjukkan kesediaan yang semakin meningkat untuk menerima pelayanan wanita yang
ditahbiskan. Paus Yohanes Paulus II berusaha menghentikan pembicaraan mengenai masalah
itu dalam Ordinatio Sacerdotalis, deklarasi yang diterbitkan tahun 1994, dengan menyatakan
bahwa ”Gereja tidak mempunyai otoritas untuk memberi tahbisan imam kepada wanita dan
bahwa keputusan ini harus ditaati oleh semua umat beriman” (no. 4).18
Apakah akan ada perkembangan dalam masalah ini? Jika masa depan sulit diramalkan,
sulit juga mengatakan dengan pasti bahwa Gereja pada akhirnya akan berbuat sesuatu atas
masalah itu. Mereka yang berusaha berbuat demikian di masa lampau kerap kali terbukti salah.
Banyak Gereja Kristiani dewasa ini menerima begitu saja tahbisan wanita. Jika Gereja Katolik
berharap untuk suatu saat hidup dalam kesatuan dengan Gereja-Gereja itu, pada akhirnya
dapat memikirkan kembali ketidakmampuannya menemukan tempat bagi wanita dalam
pelayanan Gereja yang ditahbiskan.
Pengasingan yang dialami oleh banyak wanita Katolik dewasa ini amatlah nyata;
Menyedihkan bukan hanya bagi wanita sendiri, melainkan juga bagi banyak pria. Mereka yang
mencintai Gereja dan menyadari kemungkinan-kemungkinan serta kebutuhan-kebutuhannya,
risau pada waktu melihat wanita yang berbakat dan berdedikasi melepaskan usaha mereka
untuk melayani dalam Gereja atau bergabung dengan Gereja-Gereja lain. Mereka merasa sedih
atas wanita-wanita itu dan susah karena Gereja dan kesaksiannya berkurang karena
pengasingan, amarah, luka hati, dan kehilangan. Pentinglah menanggapi keprihatinan wanita
dan pria itu. Satu hal pasti, gerakan wanita sudah mengubah Gereja dan terus akan
mendatangkan pembaruan dalam tahun-tahun yang akan datang.
4. Ekumenisme
Gereja Katolik yang terlambat bergabung dengan gerakan ekumenis, sesudah Konsili
Vatikan II, giat terlibat dalam gerakan itu. Di bawah pengarahan Sekretariat untuk memajukan
kesatuan Kristiani, sekarang diganti namanya menjadi Dewan Kepausan untuk Meningkatkan
Kesatuan Kristiani, Gereja Katolik melakukan dialog bilateral secara resmi dengan kebanyakan
Gereja dunia. Dialog-dialog itu meliputi dialog dengan Komisi Internasional Anglikan-Katolik
Roma, Komisi Gabungan Internasional Katolik Roma-Lutheran, maupun dengan Gereja-Gereja
Ortodoks, Dewan Metodis Dunia, Perserikatan Gereja-Gereja Reformasi Dunia, Perserikatan
Gereja Baptis, Gereja-Gereja Pentekosta, Para Murid Yesus, sedang dengan Gereja-Gereja
Evangelis masih pada tahap-tahap awal. Kelompok Kerja Gabungan didirikan di antara Dewan
Gereja-Gereja Dunia, yang berkantor pusat di Jenewa dan di Roma; dan teolog-teolog Katolik
menjadi anggota Komisi Iman dan Tatanan Dewan Gereja-Gereja Dunia. Selama tiga puluh tahun sejak Konsili Vatikan II berakhir telah tercapai banyak perkembangan
dalam pernyataan-pernyataan yang disetujui bersama.
Bagaimana keadaan gerakan ekumenisme menjelang abad ke-21 ini? Milenium (sepuluh
abad) pertama merupakan abad-abad di mana Gereja bersatu tak terbagi. Gereja Katolik dan
universal memahami diri dan berfungsi sebagai kesatuan Gereja-Gereja. Pada Milenium kedua
persatuan Gereja pecah, pertama perpecahan Gereja Timur dan Barat, secara tradisional mulai
tahun 1054 ketika Michael Cerularius dan utusan Paus Leo IX saling mengekskomunikasikan.
Kedua, pada abad 16, protes Luther di Jerman mengakibatkan Reformasi Protestan dan
perpecahan baru kesatuan Gereja di Barat. Apakah milenium ketiga akan menyaksikan
pemulihan kesatuan antar Gereja-Gereja yang terpecah itu?
Pada saat ini tanda-tandanya tidak amat bagus. Dewasa ini ada perasaan yang kuat bahwa
gerakan ekumenis telah kehilangan momentumnya. Sejumlah pengamat telah mengamati
bahwa kegairahan yang ditimbulkan oleh Konsili Vatikan II telah pudar menjadi rasa kecil hati
karena sedemikian banyak harapan yang tak terpenuhi. Paus Yohanes Paulus telah membuat
beberapa isyarat yang dramatis, dengan mengunjungi Uskup Agung Canterbury di katedralnya,
Markas Besar Dewan Gereja-Gereja Dunia di Jenewa, dan sinagoga Yahudi di Roma,
kunjungan pertama yang pernah dilakukan oleh Paus. Akan tetapi, isyarat-isyarat itu
kebanyakan masih tetap bersifat simbolis dan ada kesan bahwa Yohanes Paulus lebih tertarik
dalam menegaskan kembali disiplin dan keutuhan doktrinal dalam Gereja Katolik. Lalu, ke
mana kegiatan-kegiatan dan dialog ekumenis yang telah dilakukan bertahun-tahun itu
mengarah?
Perbedaan-Perbedaan di Masa Lampau
Salah satu prestasi yang paling berarti dari gerakan ekumenis adalah kesepakatan yang
luas yang telah dicapai tentang masalah-masalah yang memecah Gereja-Gereja sejak abad ke16: ajaran tentang pembenaran, hakikat Ekaristi, teologi, dan struktur pelayanan yang ditahbis-
kan, pelaksanaan otoritas, lembaga keuskupan bahkan tentang masalah kedudukan utama
Paus.19 Lebih tepat dikatakan bahwa telah terjadi banyak kemajuan selama bertahun-tahun atau
kesepakatan yang dicapai para wakil Gereja dan teolog, tetapi kesepakatan itu belum diterima
secara resmi oleh Gereja-Gereja yang mensponsori mereka.
Sesudah 16 tahun bekerja, Komisi Internasional Anglikan-Katolik Roma menemukan
”kesepakatan substansial” tentang Ekaristi, dan pelayanan dan kesatuan pandangan tentang
otoritas. Para Anggota Komisi telah menyatakan bahwa dalam setiap kesatuan seluruh jemaat
Kristiani kedudukan utama universal yang melayani kesatuan Gereja-Gereja harus dilakukan
oleh Takhta Suci Roma, satu-satunya takhta
yang sudah dan masih melaksanakan
20
pelayanan itu.
Dialog Lutheran-Katolik Roma (di Amerika Serikat) telah menerbitkan seri pernyataanpernyataan yang sudah disetujui tentang Syahadat, Ekaristi sebagai korban, pelayanan,
pelayanan Petrus, infalibilitas, pembenaran, maupun Maria dan para kudus. Orang Lutheran
telah berbicara tentang ”fungsi Petrus”, pelayanan kesatuan demi Gereja keseluruhan. Dialog
Lutheran-Roma Katolik itu telah mengungkapkan minat dalam hal kedudukan utama Paus yang
diperbarui berdasarkan Injil demi Gereja masa depan.21 Berkenaan dengan masalah sulit
tentang pembenaran oleh iman, dialog menemukan ”kesepakatan fundamental tentang Injil”
(no. 163), meski dialog itu mengakui masih ada perbedaan-perbedaan dalam rumusan-rumusan
teologis dan pendekatan-pendekatan pastoral (no. 157).22
Laporan lain, yang diterbitkan di Jerman pada tahun 1988 oleh Kelompok Studi Ekumenis,
yang diketuai oleh seorang Kardinal Roma Katolik dan seorang Uskup Lutheran, menyatakan
bahwa penghukuman orang Protestan dan orang Katolik Roma yang dijauhkan satu sama lain
pada abad ke-16 kerap terjadi karena salah pengertian dan jangan dianggap memecah
Gereja.23 Berdasarkan konsultasi internasional uskup-uskup dan teolog-teolog Katolik dan
Lutheran yang bertemu di Florida pada tahun 1993, dua tradisi bekerja untuk menyusun deklarasi bahwa penghukuman sudah tak dapat diterapkan lagi.
Mungkin dokumen ekumenis yang paling berarti sejak Konsili Vatikan II menerbitkan Dekrit
tentang Ekumenisme adalah teks Dewan Gereja-Gereja Dunia Baptism, Eucharist, and Ministry
(Baptis, Ekaristi, dan Pelayanan) yang dikeluarkan tahun 1982, disetujui oleh Komisi Iman dan
Tatanan pada pertemuan pertamanya di Lima, Peru. Dokumen itu, hasil kerja selama lebih dari
50 tahun, memuat pengertian bersama mengenai baptis, Ekaristi, dan pelayanan yang sampai
tingkat yang mengesankan, memasukkan pendirian-pendirian doktrinal dan pokok perhatian
Gereja-Gereja yang berbeda. Dokumen itu juga memberi bukti tumbuhnya kesepakatan tentang
masalah otoritas. Dokumen itu melihat pergantian uskup secara historis ”sebagai tanda,
meskipun bukan jaminan, dari kelangsungan dan kesatuan Gereja” (M. no. 38) dan
menyarankan agar Gereja-Gereja yang tidak mempunyainya ”mungkin perlu menemukan
kembali jejak penggantian uskup” (M. no. 536). Apa yang tidak dapat diterima oleh dokumen itu
adalah setiap saran bahwa pelayanan dianggap tidak berlaku sampai masuk ke garis
penggantian uskup (M. no. 38).
Tanda kemajuan lain yang membesarkan hati adalah minat baru pada ekumenisme oleh
Gereja-Gereja Evangelis dan Pentekosta, sekurang-kurangnya pada belahan bumi utara.
Dialog internasional Katolik Roma dan Pentekosta yang diawali pada tahun 1972 telah menghasilkan saling pengertian yang makin besar pada kedua belah pihak. ”Umat Pentekosta telah
ditanya oleh pasangan dialog mereka, Katolik Roma, yang belum pernah mereka hadapi
sebelumnya dan telah menantang mereka untuk menjadi lebih jelas dalam ungkapan teologis
dan penafsiran Kitab Suci mereka. Orang Pentekosta dalam dialog itu menemukan bahwa
orang Katolik Roma adalah orang Kristiani,” kesan salah seorang teolog Pentekosta.24
Berbagai Masalah Baru
Jika banyak kesepakatan telah dicapai atas banyak masalah yang telah memecah GerejaGereja, paruh kedua abad ke-20 telah menyaksikan perpecahan-perpecahan baru muncul yang
membuat Gereja-Gereja menjadi terpisah seperti sebelumnya. Di antara perpecahanperpecahan itu yang paling menonjol adalah masalah-masalah etika dan tempat wanita di
dalam Gereja.
Fakta bahwa Gereja-Gereja pada umumnya telah menggali perbedaan-perbedaan mereka
tentang masalah-masalah etika dapat menjadi petunjuk bahwa Gereja-Gereja itu secara tersirat
menyadari adanya jarak yang besar satu sama lain dalam bidang itu. Tambahan pula, GerejaGereja itu kerap berbeda pendapat tentang bagaimana masalah-masalah khusus harus
ditentukan. Misalnya, apakah masalah pengguguran merupakan masalah hidup manusia atau
hak wanita? Ada perbedaan-perbedaan besar terhadap masalah-masalah seperti perceraian
dan pernikahan kembali, pengguguran, pengaturan kelahiran, seks di luar nikah, hubungan
homoseksual, teknologi reproduksi baru, orang tua pengganti, dan sterilisasi (pemandulan).
Masalah tahbisan wanita, yang diterima begitu saja dalam banyak Gereja dewasa ini,
mungkin merupakan halangan yang paling besar bagi rekonsiliasi Gereja-Gereja dan ikut ambil
bagian dalam sakramen-sakramen sebagai kelanjutannya. Gereja-Gereja yang telah menahbiskan wanita tidak akan mengubah kembali keputusan-keputusan yang sudah dibuat berdasarkan
refleksi, doa dan penegasan teologis yang lama. Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Ortodoks
berbeda pendapat dalam hal tahbisan wanita atas dasar apa yang dianggap merupakan tradisi
kuno Gereja. Bahkan jika Gereja-Gereja secara resmi menerima kesepakatan yang muncul dari
dialog-dialog, masalahnya tetap bagaimana Gereja-Gereja yang tidak dapat menerima tahbisan
wanita dapat bersama-sama merayakan Perjamuan Ekaristi dengan Gereja-Gereja yang
menerimanya? Situasinya ada dalam keadaan macet.
Masalah-masalah etika dan gerejawi itu dapat menjadi tumit Achilles gerakan ekumenis.
Ada bahaya nyata dewasa ini bahwa perasaan-perasaan umat yang dibangkitkan oleh
masalah-masalah itu dapat mengakibatkan mentalitas satu – masalah, misalnya, tentang
tahbisan wanita atau hak hidup anak yang belum lahir. Mentalitas semacam itu dapat menjadi
semacam lakmus tes untuk keterlibatan ekumenis, yang membuat dialog mustahil dan
mengandung bahaya perpecahan-perpecahan baru yang lebih parah.
Bersamaan dengan itu, keseriusan masalah-masalah itu janganlah membuat kita buta akan
perlunya dapat hidup dengan perbedaan-perbedaan kuat terhadap masalah-masalah itu.
Pertemuan ekumenis tidak berarti bahwa setiap orang harus percaya, berpikir, dan berbuat
yang sama. Perlunya pertemuan itu adalah untuk menemukan apa yang dimiliki bersama
meskipun ada perbedaan-perbedaan dan bekerja untuk mencapai rekonsiliasi. Harus juga
diakui bahwa ada perbedaan-perbedaan besar tentang masalah-masalah itu dewasa ini, bukan
hanya di antara berbagai tradisi tetapi juga dalam suatu Gereja tertentu.
Arah Masa Depan
Jika dewasa ini ada tantangan-tantangan baru untuk rekonsiliasi Gereja-Gereja, juga jelas
bahwa sejumlah arah ke masa depan muncul dari pertemuan dan dialog selama lebih dari 30
tahun ini. Gerakan ekumenis telah menunjukkan bahwa prinsip Ecclesia semper reformanda
(Gereja selalu harus diperbarui) berlaku bagi semua Gereja, Protestan, maupun Katolik serta
Ortodoks. Mungkin sekali kekurangan gerakan yang tampak jelas dewasa ini menunjukkan
bahwa kegairahan semula yang mengikuti Konsili telah berubah menjadi pengakuan yang lebih
tenang dan realistis bahwa Gereja-Gereja membutuhkan waktu untuk menilai dan
menyaturagakan kemajuan yang telah dibuat maupun langkah-langkah positif menuju ke
pembaruan dan penemuan kembali tradisi. Setiap Gereja akan dipanggil untuk mencapainya.
Gereja-Gereja Protestan aliran utama sedang ditantang oleh dialog ekumenis untuk
memperbarui struktur pelayanan dan otoritas mereka. Teks Baptism, Eucharist and Ministry
terbitan Dewan Gereja-Gereja Dunia menyarankan bahwa pengambilan kembali tanda kesatuan dengan Gereja kuno melalui tahbisan dalam penggantian uskup historis mungkin
diperlukan. Yang lain, kesepakatan-kesepakatan bilateral seperti, Facing Unity, laporan KatolikLutheran, dan Niagara Report antara Anglikan-Lutheran, mengajak pelaksanaan bersama
jabatan uskup, termasuk tahbisan bersama, yang akan menghasilkan terciptanya pelayanan
yang diakui bersama.25
Gereja-Gereja Evangelis dan Pentekosta dipanggil untuk memperoleh kembali tradisi
liturgis dan sakramental Gereja kuno, terutama sentralitas Ekaristi. Gereja-Gereja itu perlu
menemukan suatu cara untuk memberi ungkapan institusional bagi universalitas dan katolisitas
Gereja.
Gereja-Gereja Katolik dan Ortodoks dipanggil untuk mengubah cara otoritas dilaksanakan,
sehingga keputusan-keputusan dibuat dengan cara yang sungguh-sungguh kolegial dan entah
bagaimana caranya mengikutkan awam. Gereja-Gereja itu sebaiknya mengakui autentisitas
pelayanan yang ditahbiskan dalam Gereja-Gereja lain, meski pelayanan itu tidak mempunyai
tanda kelanjutan dengan Gereja kuno melalui tahbisan dalam penggantian uskup. GerejaGereja itu sebaiknya menerima keanekaragaman yang lebih besar dalam teologi, spiritualitas,
dan hidup Gereja dan mengakui bahwa warisan ajaran dari satu Gereja tidak dipaksakan pada
yang lain. Gereja-Gereja itu pada akhirnya sebaiknya dapat menerima tahbisan wanita,
meskipun ini merupakan masalah yang harus dihadapi oleh seluruh Gereja, bukan hanya oleh
satu Gereja.
Akhirnya Gereja-Gereja ditantang untuk melaksanakan ekumenisme secara lebih serius
pada tingkat lokal. Ekumenisme resmi dari para pemimpin Gereja tidak berarti apa-apa jika
tidak diimbangi dengan ekumenisme di tingkat bawah, karena rekonsiliasi tidak akan terjadi
sampai orang-orang Kristiani dari Gereja-Gereja yang berbeda dapat saling mengakui bahwa
mereka mempunyai iman yang sama. Perjanjian-perjanjian, kesepakatan-kesepakatan
antargereja, antara umat lokal dan Gereja-Gereja dari tradisi-tradisi yang berbeda yang menjanjikan saling kerja sama, doa bersama, dan bila mungkin, pelayanan bersama, dapat
mengungkapkan kebersamaan iman dan menjadi langkah yang berarti menuju ke rekonsiliasi
dan kesatuan penuh.
Gereja-Gereja juga harus bekerja sama untuk menemukan cara guna mengungkapkan
kembali pesan Injil dalam bahasa yang dapat menyapa harapan-harapan dan keinginankeinginan terdalam manusia zaman ini. Orang-orang Kristen evangelis biasanya menggunakan
bahasa yang amat individualistis, dengan membicarakan keselamatan pribadi dengan
menerima Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat. Orang-orang Katolik kelas menengah dan
orang-orang Protestan dari aliran utama kerap memahami hidup baru dalam Kristus secara
terapetis, dalam kerangka penyembuhan luka-luka psikologis, perilaku adiktif, dan keluarga
atau masyarakat yang disfungsional. Orangorang Kristiani lain menafsirkan Injil dalam
kerangka pembebasan dari ketidakadilan dan struktur-struktur sosial yang menindas dan dari
diskriminasi melawan kelompok-kelompok tertentu – wanita, kaum homo, dan lesbian, etnik
minoritas. Gereja masa depan membutuhkan bahasa Injil yang mengakui dosa pribadi dan
sosial, yang mengintegrasikan moralitas pribadi dan keadilan sosial, rahmat dan inisiatif manusia, evangelisasi dan pembangunan kembali masyarakat.
Gereja Masa Depan
Bagaimana Gereja masa depan dapat dibayangkan? Gereja Katolik dewasa ini harus
kembali ke konsep Gereja sebagai koinonia, kesatuan, atau persekutuan yang merupakan
pemahaman dirinya selama milenium pertama. Sebagai kesatuan, Gereja memiliki unsur yang
kelihatan dan tidak kelihatan. Secara tidak kelihatan, kesatuan Gereja didasarkan atas
penghayatan hidup bersama dengan Allah melalui Kristus dalam Roh Kudus. Secara kelihatan,
hidup bersama itu diwujudkan melalui struktur-struktur sakramental dan institusional – terutama
baptis, Ekaristi, dan ikatan persekutuan dari Gereja-Gereja partikular yang kelihatan.
Setiap Gereja lokal atau partikular, agar menjadi Gereja yang penuh, harus menjadi bagian
kesatuan. Ciri autentik dari Gereja-Gereja yang bersangkutan dalam milenium pertama
ditunjukkan justru oleh tanda-tanda communio kesatuan yang kelihatan yang menyatukan
Gereja-Gereja menjadi Ecclesia Catholica. Dalam eklesiologi komunal ini, Paus telah memiliki
dan terus akan memiliki peran penting untuk dimainkan. Justru melalui kesatuan dengan Uskup
Roma, uskup dan Gereja partikular tampak secara kelihatan dalam kesatuan dengan Gereja
Katolik, kesatuan Gereja-Gereja.
Dewasa ini semakin bertambah jumlah orang-orang Kristen Protestan yang mengakui
pentingnya peran yang harus dimainkan oleh Uskup Roma dalam Gereja masa depan. Orangorang Anglikan dan Lutheran bersedia mempertimbangkan pelayanan Paus atau Petrus, yang
diperbarui menurut Injil, seperti sudah kita lihat. Pada suatu saat, Uskup Roma dapat dipilih
oleh para wakil Gereja Roma (yang pada awalnya adalah Kardinal) maupun oleh ”beberapa
wakil Gereja Waldesian, Anglikan, Baptis, Lutheran, dan Ortodoks yang melayani jemaat di
Roma – bagaimanapun bukan para administrator Gereja yang tidak mempunyai tanggung
jawab atas umat lokal”.26
”Hanya Roma memiliki otoritas tradisional, eklesiologis, dan moral untuk bekerja
menyatukan Gereja.” Akan tetapi, yang mengecewakan sesudah selama sekian tahun dialog
dan sedemikian banyak kemajuan adalah bahwa ”Roma belum berhasil menemukan cara untuk
membuka kembali bendungan kuno sehingga air kesatuan yang mengalir dari sumbernya dapat
mengalir lagi kepada saudari-saudarinya yang terdampar dan terasing.”27 Rekonsiliasi GerejaGereja agaknya menunggu tindakan dari pihak Roma. Paus Yohanes Paulus II mengambil
langkah penting ke arah itu dan ensikliknya tentang ekumenisme, Ut Unum Sint,28 yang
diterbitkan pada tahun 1995. Tanpa memperkecil masalah-masalah yang ada, Paus Yohanes
Paulus mencatat bahwa dialog telah dan terus berbuah dan penuh janji? (no. 69), dan ia mengajak para wakil Gereja-Gereja lain untuk bergabung dengannya dalam mencari ”cara untuk
menjalankan primasi, kedudukan utama yang, tanpa meniadakan apa yang hakiki bagi
perutusannya, namun terbuka terhadap situasi baru? (no. 95).
5. Dialog Antaragama
Dokumen Konsili yang paling pendek, Deklarasi tentang Hubungan Gereja dengan AgamaAgama non-Kristiani (Nostra Aetate) dapat menjadi salah satu dari dokumen Konsili yang paling
penting. Sejarahnya rumit. Keinginan Paus Yohanes XXIII agar Konsili memuat pernyataan
tentang hubungan Yahudi-Katolik pada awalnya merupakan bagian dari Dekrit Konsili tentang
Ekumenisme. Kemudian uskup-uskup memutuskan agar disiapkan pernyataan terpisah tentang
hubungan Yahudi-Kristiani. Pada akhirnya, pernyataan Yahudi-Kristiani diperluas dan meliputi
hubungan dengan agama-agama dunia.29
Untuk pertama kalinya Gereja Katolik menerima adanya kebenaran dalam agama-agama
besar dunia, dengan secara khusus menyebut Hinduisme, Budhisme, dan Islam. ”Gereja
Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu apa yang benar dan suci. Dengan
sikap hormat dan tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah
serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan
diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua
orang.” (NA 2)
Dalam dokumen itu, ada bagian khusus yang diperuntukkan bagi bangsa Yahudi. Sambil
mengingat ”hubungan rohani” yang mengikat orang-orang Kristiani dan orang-orang Yahudi,
deklarasi mengajak untuk saling memahami, menghormati, dan berdialog, dan ”sangat
menyesalkan kebencian antisemitisme terhadap bangsa Yahudi kapan pun dan oleh siapa pun
itu dijalankan” (NA 4).
Dengan menerbitkan Nostra Aetate, Gereja telah amat maju bergerak dari ajaran
tradisionalnya bahwa tak ada orang di luar Gereja dapat diselamatkan ke pengakuan bahwa
kebenaran juga tercermin dalam agama-agama besar dunia, dan mereka yang bekerja sama
dengan rahmat Allah dapat diselamatkan. Ini merupakan pendirian yang ”inklusif”, lebih toleran
daripada pendekatan ”tak ada keselamatan di luar Gereja” tetapi masih mengakui pernyataan
Kristianitas sebagai pewahyuan definitif keselamatan Allah.
Apakah Agama-agama Lain Menyelamatkan?
Para Bapa Konsili tidak secara eksplisit menyangkut masalah nilai penyelamatan agamaagama besar lain. Akan tetapi, masalah itu telah semakin dibicarakan sesudah Konsili. Pasti
sulitlah untuk mempertahankan bahwa Kristianitas merupakan satu-satunya jalan keselamatan
bila agama itu hanya dianut oleh 1/3 penduduk dunia.
Namun, banyak orang Kristiani mendapatkan bahwa penilaian kembali atas kebenaran dan
nilai penyelamatan agama-agama non-Kristiani sulit diterima. Teologi Katolik masih
mempertahankan bahwa keselamatan dunia telah dicapai satu kali untuk selama-lamanya melalui kematian dan kebangkitan Yesus. Konsili mengajak Gereja memasuki dialog yang sejati
dengan para wakil tradisi-tradisi agama lain.
Dialog dan Magisterium
Dalam dokumennya tentang evangelisasi, Evangelium Nuntiandi, yang terbit pada tahun
1975, Paus Paulus VI mengatakan tentang agama-agama non-Kristiani sebagai mengandung
”gema pencarian Allah yang sudah berlangsung selama ribuan tahun.” Ia memuji nilai-nilai
spiritual, dengan menyebut agama-agama itu sebagai ”benih-benih sabda” dan ”persiapan
untuk Injil.” Tetapi ia juga menekankan hakikat pernyataan khusus Kristianitas atas kebenaran
dengan menyatakan bahwa ”agama kami secara efektif menciptakan hubungan yang autentik
dan hidup dengan Allah yang agama-agama lain belum berhasil menciptakan, meski agamaagama itu seolah-olah telah merentangkan lengan ke surga” (no. 53). Paus tidak hanya
menaruh perhatian agar penghargaan baru terhadap agama-agama lain tidak sedikitpun
mengurangi karya evangelisasi Gereja. Dalam menegaskan kembali bahwa Yesus datang
untuk mewahyukan ”jalan-jalan keselamatan yang biasa” (no. 80), Paus agaknya menanggapi
pendapat yang mengatakan bahwa agama-agama dunia merupakan jalan-jalan keselamatan
yang biasa bagi para pemeluknya.
Paus Yohanes Paulus II menghargai agama-agama non-Kristiani namun tidak terlalu jauh
sampai mengakui bahwa agama-agama itu menyelamatkan. Ia berpegang secara teguh pada
sentralitas mutlak Kristus pada ensikliknya tentang misiologi, Redemptoris Missio, yang
dikeluarkan pada tahun 1990. Dalam ensiklik itu, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa:
”Kristus adalah satu-satunya penyelamat bagi semua, satu-satunya yang dapat mewahyukan
Allah dan membawa kepada-Nya” (no. 5). Seperti Paus Paulus VI, ia menekankan ”bahwa
Gereja merupakan sarana keselamatan yang biasa” (no. 55).
Akan tetapi, Paus Yohanes Paulus II juga melihat tanda-tanda
karya Roh di dalam
agama-agama lain. Ia telah pergi untuk berjumpa dengan pemimpin-pemimpin agama lain dan
menegaskan bahwa dialog antaragama merupakan bagian dari pengutusan penginjilan Gereja
(no. 55). Jika ajaran-ajaran Paus Yohanes Paulus II tentang evangelisasi dipelajari sungguhsungguh, kita menemukan bahwa meskipun tidak secara eksplisit mengakui agama-agama lain
sebagai perantara keselamatan bagi para penganutnya, Paus Yohanes Paulus dapat mengakui
agama-agama itu sebagai ”bentuk-bentuk perantaraan yang dipartisipasikan”, tergantung pada
perantaraan Kristus sendiri. Namun demikian, ia merasa bahwa hal ini merupakan masalah
yang perlu dipelajari dan direnungkan lebih lanjut sebelum magisterium mengambil pendirian
tertentu.
Dialog antaragama akan terus menantang Gereja, meski pentingnya tidak selalu diakui oleh
orang-orang Kristiani di Eropa dan Amerika Utara dan Selatan. Akan tetapi di Asia, India,
bagian-bagian tertentu Afrika, di mana jumlah orang-orang Kristiani bukan hanya minoritas,
tetapi minoritas yang terancam, dialog antaragama merupakan kebutuhan yang mendesak dan
nyata-nyata terasa. Dialog antaragama dapat menjadi salah satu masalah penting dalam
agenda Gereja pada abad ke-21.
6. Kesimpulan
Gereja Katolik menjelang milenium ke-3 amatlah berbeda dari Gereja pada awal abad ke20. Selama beberapa dasawarsa terakhir ini, Gereja telah mengalami kekacauan dan
perubahan jauh lebih banyak daripada umat-umat agama lain, berkat kebijaksanaan Paus
Yohanes XXIII yang mengundang Gereja untuk meluangkan waktu guna melakukan
pemeriksaan diri secara intensif dan pembaruan. Konsili Vatikan II jelas merupakan Konsili
tentang Gereja itu sendiri. Konsili itu dimaksudkan agar Gereja dapat mendayagunakan tradisi,
studi, dan tenaga para anggotanya untuk secara sadar mengadakan pembaruan daripada
sekadar membiarkan diri ikut terseret angin perubahan.
Akan tetapi, arus-arus pembaruan yang didatangkan oleh Konsili belum mendapatkan
jalannya. Sesungguhnya, aliran-aliran pembaruan itu tampaknya melampaui kemampuan para
pemimpin Gereja untuk mengendalikan atau menyalurkannya. Gereja dewasa ini menghadapi
tantangan-tantangan yang tak kalah besarnya seperti tantangan-tantangan pada zaman-zaman
lain. Beberapa tantangan itu menyangkut kehidupan Gereja ke dalam, masalah-masalah seperti
keikutsertaan dalam liturgi, kekurangan imam, hak umat untuk merayakan Ekaristi, gaya
kepemimpinan yang lebih partisipatif, kemungkinan awam ikut terlibat dalam pembuatan
keputusan Gereja dan dalam perumusan ajarannya, meninjau kembali cara kita menyebut
Allah, mengizinkan wanita untuk ikut ambil bagian dalam hidup dan pelayanan Gereja. Pada
waktu mayoritas penduduk Katolik dunia bergeser dari Eropa dan Amerika Utara ke Afrika dan
Asia dan belahan bumi bagian Selatan, semakin pentinglah memungkinkan Gereja-Gereja baru
itu mengungkapkan hidup gerejawi dan iman mereka dalam kerangka budaya mereka sendiri,
untuk mengimbangi secara lebih memadai universalitas dan partikularitasnya.
Tantangan-tantangan lain berkaitan dengan hubungan Gereja Katolik dan Gereja-Gereja
Kristen, iman religius lain, dan dunia. Gereja perlu mempertimbangkan langkah-langkah konkret
yang perlu diambil untuk menciptakan rekonsiliasi Kristiani agar Gereja-Gereja lain dapat ikut
serta menikmati tradisi Katolik secara penuh tanpa menolak warisan-warisan mereka yang
khusus. Gereja perlu terlibat ke dalam dialog yang konstruktif dan sungguh-sungguh timbalbalik dengan agama-agama lain, dan mengembangkan bahasa evangelisasi yang dapat
dipercaya dalam dunia yang terpecah-pecah dan tersekularisasikan. Apakah Gereja akan
mampu membawa pesan Yesus yang menebus dan memerdekakan dunia di mana ditemukan
sedemikian banyak ketidakadilan dan penderitaan sehingga jutaan orang miskin mendapat
bagian yang lebih memadai dalam menikmati kekayaan bumi? Apakah Gereja akan dapat
menemukan di dalam visi sakramentalnya tentang ciptaan, sumber daya bagi hidup biologi
planet yang terancam? Apakah Gereja akan mampu membawa visi Katolik tentang
universalitas, komprehensivitas dan inklusivitasnya pada masyarakat dan bangsa-bangsa abad
ke-21 yang saling bersaing? Atau apakah Gereja akan menjadi gerakan sektarian, yang hanya
menaruh perhatian pada kelangsungan lembaganya sendiri saja? Cara Gereja menanggapi
masalah-masalah itu akan menentukan kelangsungan hidupnya pada milenium ketiga.
Gereja akan terus memaklumkan kabar gembira tentang keselamatan Allah melalui Yesus
Kristus, karena kehidupan yang sebenarnya bukan datang dari diri sendiri, melainkan dari
kehadiran Kristus yang telah bangkit di tengah-tengah jemaat yang berkumpul atas nama-Nya.
Apa yang dikatakan St. Paulus tentang pelayanan Gereja dapat dikatakan juga tentang hidup
Gereja: ”Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan
yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah dan bukan dari kami” (2Kor 4:7). Gereja sendiri
adalah bejana yang mudah pecah. Jika ingin secara efektif menjadi sakramen kesatuan umat
manusia (LG 1) dalam abad ke-21 seperti dibayangkan oleh Konsili, Gereja harus terus
memperbarui hidup dan struktur-strukturnya. Hal itu tidak pernah mudah. Itu berarti mau mati
terhadap yang sudah ada supaya hidup baru dilahirkan. Ini merupakan misteri Paskah.
Tentu saja pembaruan struktur-struktur otoritasnya akan terus menjadi masalah sentral bagi
Gereja dalam abad ke-21. Akan tetapi, kata-kata St. Paulus juga mengingatkan akan janji atas
kehadiran
Allah. Itulah kekuatan Gereja dan harapannya.
Catatan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Lihat Gabriel Daly, Transcendence and Immanence: A Study in Catholic Modernism and Integralism. (Oxford: Clarendon,
1980) 187.
Lihat Michael J. Walsh ”The Conservative Reaction,” Modern Catholicism: Vatican II and After, ed. Adrian Hastings (New York:
Oxford Univ. Press, 1991) 283-288.
Heinrich Fries, Suffering from the Church: Renewal or Restoration? (Collegeville: The Liturgical Press, 1995).
Bdk. Bob Hurd, ”Liturgy and Empowerment: The Restoration of the Liturgical Assembly” That They Might Live: Power,
Empowerment, and Leadership in the Church, ed. Michael Downey (New York: Crossroad, 1991) 132.
Lihat Thomas P. Rausch, Priesthood Today: An Appraisal (New York: Paulist, 1992).
John Coleman ”Not Democracy but Democratization,” A Democratic Catholic Church, ed. Eugene C. Bianchi, and Rosemary
Radford Ruether (New York: Corrsroad, 1992) 233.
J. Migne, PL 50, 434.
Ibid., 54, 634.
James Hennesey, ”Rome and the Origins of United States Hierarchy,” The Papacy and the Church in the United States, ed.
Bernard Cooke (New York: Paulist, 1989) 90-92.
Rosemary Chinnici, Can Women Re-Image the Church? (New York: Paulist, 1992) 11.
Lihat misalnya, Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge, Mass.:
Harvard Univ. Press, 1982).
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Rosemary Chinnici, Can Women Re-Image the Church? 14.
Lihat Elisabeth Schüssler Fiorenza, In Memory of Her: A Feminist Reconstruction of Christian Origins (New York: Crossroad,
1983).
Buku yang membantu adalah Thomas H. Groome Language for a ”Catholic” Church (Kansas City: Sheed & Ward, 1955).
Lihat Elizabeth A. Johnson, She Who is (New York: Crossroad, 1992); Sandra M. Schneiders, Women and The Word (New
York: Paulist 1986).
Lihat ”Use of Female Altar Servers” Origins 23 (1994) 779.
Lihat Congregatio de Doctrina Fidei, Congregation for the Doctrine of Faith, Declaration on the Question of the Admission of
Women to the Ministerial Priesthood (Washington: USCC, 1977).
Origins 24 (1994) 49-52.
Lihat George Weigel, ”Re-viewing Vitican II: An Interview with George A. Lindbeck,” First Things 48 (December 1994) 48.
”Authority in the Church I” (no. 23); teks dalam Komisi Internasional Anglikan – Katolik Roma, The Final Report (Washington:
USCC, 1982) 64.
Paul C. Empie dan T. Austin Murphy, eds., Lutheran and Catholics in Dialogue V: Papal Primacy and the Universal Church
(Minneapolis: Augsburg, 1974) no. 32.
H. George Anderson, T. Austin Murphy, and Joseph A. Burgess, eds., Justification by Faith: Lutherans and Catholics in
Dialogue VII (Minneapolis: Augsburg, 1985).
Karl Lehmann and Wolfhart Pannenberg, eds., The Condemnations of the Reformation Era: Do They Still Divide?
(Minneapolis: Fortress, 1990).
Jerry Sandidge, ”The Pentecostal Movement and Ecumenism: An Update, Ecumenical Trends 18 (1989) 103 (huruf miring
adalah asli).
Roman Catholic – Lutheran Joint Commission, Facing Unity: Models, Forms, and Phases of Catholic-Lutheran Fellowship
(Geneva: Lutheran World Federation, 1985); Anglican – Lutheran Consultation, Niagara Report (London: Church Publishing
House, 1988).
Gordon Lathrop, Holy Things: A Liturgical Theology (Minneapolis: Fortress, 1993) 200-201.
Mark Chapman, ”Rome and the Future of Ecumenism: Rome as the Future of Ecumenism,” Ecumenical Trends 23 (1994)
8/40.
Origins 25 (1995) 49-72.
Lihat John M. Oesterreicher, ”Declaration on the Relationship of the Church to Non-Christian Religions,” Commentary on the
Documents of Vatican II, ed. Herbert Vorgrimmler (New York: Herder & Herder, 1969) 1-36.
Paul Knitter, ”Christian Salvation: Its Nature and Practice An Interreligious Proposal,” New Theology Review 7/4 (1994) 43.
Daftar Pustaka
Abbott, Walter M., ed. The Documents of Vatikan II. New York: The America Press, 1966.
Bokenkotter, Thomas, Essential Catholicism: Dynamics of Faith and Belief. Garden City, N.Y.:
Doubleday, 1985.
Brown, Raymond E., Joseph A. Fitzmyer, dan Roland E. Morphy, ed. The New Jerome Biblical
Commentary. Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall, 1990.
–––––,Catechism of the Catholic Church. Vatican city: Libreria Editrice Vaticana, 1994.
Cunningham, Lawrence. The Catholic Faith: An Introduction. New York: Paulist, 1987.
Downey, Michael, ed. The New Dictionary of Catholic Spirituality. Collegeville: The Liturgical
Press, 1993.
Dulles, Avery. The Chatolicity of the Church. Oxford: Clarendon, 1985.
–––––,Models of the Church. Garden City, N.Y.: Doubleday, 1974.
Dwyer, Judith A., ed. The New Dictionary of Catholic Social Thought. Collegeville: The Liturgical
Press, 1994.
Eagan, Joseph F. Restoration and Renewal? The Church in the Third Millennium. Kansas city:
sheed and Ward, 1995.
Fink, Peter, ed. The New Dictionary of Sacramental Worship. Collegeville: The Liturgical Press,
1990.
Flannery, Austin, ed. Vatican Council II: The Conciliar and Post Conciliar Documents. 2 volume.
Northport, N.Y. Costello, 1975-1982.
Fiorenza, Francis Schüssler, dan John P. Galvin, ed. Systematic Theology: Roman Catholic
Perspectives. 2 volume. Minneapolis: Forress, 1991.
Glazier, Michael, dan Monika K. Hellwig, ed. The Modern Catholic Encyclopedia. Collegeville:
The Liturgical Press, 1994.
Hastings, Adrian, ed. Modern Catholicism: Vatikan II and After. New York: Oxford Univ. Press,
1991.
Hennesey, James. American Catholics. Oxford: Oxford Univ. Press, 1981.
Komonchak, Joseph A., Mary Collins, dan Dermot A. Lane, ed. The New Dictionary of
Theology. Collegeville: The Liturgical Press, 1991.
McBrien, Richard P. Catholicism. San Francisco: Harper, 1994.
–––––,The Harper Collins Encyclopedia of Chatolicism. San Francisco: Harper San Francisco,
1995.
McCharthy, Timothy G. The Catholic Tradition: Before and After Vatican II: 1878-1993. Chicago:
Loyola Univ. Press, 1994.
McKenzie, John L. Dictionary of the Bible. Milwaukee: Bruce, 1965.
Rahner, Karl, ed. The Teaching of the Catholic Church. Aslinya dipersiapkan oleh Joseph
Neuner dan Heinrich Roos. Staten Island, N.Y.: Alba, 1967.
Rausch, Thomas P. The Roots of the Catholic Tradition. Wilmington: Glazier, 1986.
Sanks, T. Howland. Salt, Leaven, and Light: The Community Called Church. New York:
Crossroad, 1992.
Sullivan, Francis A. Magisterium: Teaching Authority in the Catholic Church. Mahwah, N.J.:
Paulist, 1983.
Vorgrimler, Herbert, ed. Commentary on the Documents of Vatican II. 5 volumes. New York:
Herder & Herder, 1967-1969.
Wilhelm, Anthony. Christ Among Us: A Modern Presentation of the Catholic Faith for Adults.
San Francisco: Harper, 1990.
Daftar Sumber Gambar/Foto
Singkatan sumber foto/gambar:
Der Rosenkranz (DR)
Ensiklopedi Gereja III (EG)
Encyclopedia of Catholicism (EC)
Hell (Hell)
Modern Catholic Encyclopedia (MCE)
Roots of Faith (RF)
The Grand Louvre (TGL)
I.
GEREJA DAN KONSILI
Hlm.
Hlm.
Hlm.
Hlm.
Hlm.
18 – Suasana Konsili – EC, hlm. 1299
21– Yesus Kristus Sang Penyelamat – MCE, plate 27
30 – Yohanes XXIII – MCE, hlm. 455
32 – Suasana Konsili Vatikan II – EC, hlm. 1300
36 – Perjumpaan dengan yang lain (dok. Kanisius)
II. IMAN DAN JEMAAT YANG PERCAYA
Hlm.
Hlm.
Hlm.
Hlm.
Hlm.
47 – Roh Kudus dan Jemaat – poscard
53 – Manusia pertama, DR, hlm. 17.
59 – Penyembuhan di Kapernaum, MCE, plate 10
62 – Yesus disalib – postcard
64 – Kebangkitan Yesus – MCE, hlm. 742
III. GEREJA YANG KELIHATAN
Hlm. 75 – ”Umat Allah” berziarah (dok. Basis/Kanisius)
Hlm. 78 – Basilika St. Petrus – MCE, hlm. 627
Hlm. 81 – Upacara tahbisan imam baru – (terlampir 2 buah)
Basis/Kanisius)
Hlm. 85 – Paus Yohanes Paulus II – MCE, hlm. 462
Hlm. 88 – Suasana pertemuan magisterium Gereja – EC,
hlm. 806
Hlm. 95 – Gereja Perdana – MCE, plate 26
Hlm. 99 – St. Petrus dan St. Yohanes – EC, hlm. 990
(dok.
IV. TRADISI YANG HIDUP
Hlm. 104 – St. Agustinus (354-430) – MCE, hlm. 59
Hlm. 108 – St. Paulus yang sudah tua di dalam penjara di Roma –
Hlm. 115 – Sakramen Baptis mengantar orang ke dalam Jemaat
Kanisius)
EG, hlm. 286
Kristiani (dok.
Hlm. 119 – Martin Luther – MCE, hlm. 530
V. SAKRAMEN-SAKRAMEN DAN INISIASI KRISTIANI
Hlm. 128 – Pemberkatan air baptis dalam ibadat meriah upacara
Paskah – EG, hlm. 278
Hlm. 131 – Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembatis – RF, hlm. 31
Hlm. 137 – Penerimaan sakramen Krisma (dok. Basis/Kanisius)
Hlm. 140 – Perjamuan Malam dan Ekaristi – dari buku DR,
hlm. 25
Hlm. 146 – Ekaristi bersama anak-anak (dok. Basis/Kanisius)
Hlm. 148 – Pendampingan Iman Anak (dok. Kanisius)
VI. HIDUP KRISTIANI DAN PANGGILAN MENJADI MURID
Hlm. 154 – Oscar Romero, ’Martir’ pembela kaum tertindas –MCE, hlm. 755
Hlm. 156 – Upacara penerimaan Sakramen Perkawinan
(dok. Kanisius)
Hlm. 163 – Komunitas Biarawati (dok. Kanisius)
Hlm. 171 – Ibu Teresa, ibu kaum papa - EC, hlm. 1246
Hlm. 174 – St. Ignatius Loyola – MCE, hlm. 415
VII. DOSA, PENGAMPUNAN, DAN PENYEMBUHAN
Hlm. 186 – Musa menerima 10 perintah Allah – DR, hlm. 32
Hlm. 194 – St. Polikarpus dibakar hidup-hidup – RF, hlm. 59
Hlm. 198 – Berdamai dengan sesama dan Tuhan (dok. Kanisius)
Hlm. 202 – Sakramen Pengakuan Dosa masih perlu!
(dok. Kanisius)
Hlm. 206 – Mendampingi orang sakit (dok. Basis/Kanisius)
VIII. MORALITAS SEKSUAL DAN KEADILAN SOSIAL
213 – Sepasang muda-mudi (dok. Kanisius)
219 – Yesus mencintai anak-anak – MCE, plate 11
229 – Paus Paulus VI – EC, hlm. 976
231 – YB. Mangunwijaya, pejuang kemanusiaan
(dok. Kanisius)
Hlm. 236 – Para guru mencari keadilan (dok. Kanisius)
Hlm.
Hlm.
Hlm.
Hlm.
IX.
DOA DAN SPIRITUALITAS
Hlm. 245 – Pasrah di dalam doa (dok. Basis/Kanisius)
Hlm. 250 – Membiasakan berdoa bersama dalam keluarga
(dok. Kanisius)
Hlm. 252 – Perayaan Ekaristi (dok. Kanisius)
Hlm. 258 – Yesus menjadi korban kekerasan – TGL, hlm. 68.
Hlm. 262 – Fransiskus Assisi
Hlm. 267 – Ibu Maria dan putranya – DR, hlm. 5
Hlm. 271 – Ibu Maria mengajak kita untuk berdoa Rosario – DR, hlm. 5
malam
X.
KEPENUHAN HARAPAN KRISTIANI
Hlm. 278 – Kristus menampakkan diri kepada ibu-Nya, MCE, plate 24
Hlm. 282 –Yesus duduk di sisi kanan Bapa - DR, hlm. 71
Hlm. 285 – Balatentara setan – Hell, hlm. 39
Hlm. 287 – Gambaran neraka – RF, hlm. 41
Hlm. 290 – Gambaran persekutuan orang kudus di surga – DR, hlm. 43
Hlm. 295 – Ibu Maria dan Kanak-kanak Yesus, (Koleksi Museum Benaki, Athena, Yunani)
XI. AGENDA YANG BELUM SELESAI
Hlm.
Hlm.
Hlm.
Hlm.
Hlm.
Hlm.
Hlm.
302 – Inkulturasi dalam Ekaristi (I) (dok. Kanisius)
304 – Inkulturasi dalam Ekaristi (II) (dok. Kanisius)
307 – Bagaimana dengan perempuan awam? (dok. Kanisius)
310 – Wanita dalam Gereja – EC, hlm. 1334
314 – Cerah menatap masa depan? (dok. Basis/Kanisius)
325 – Imam dan umat bersama-sama (dok. Kanisius)
327 – Membangun persaudaraan sejati (dok. Kanisius)
Download