BAB II KERANGKA TEORETIS A. Keterkaitan Sejarah

advertisement
BAB II
KERANGKA TEORETIS
A. Keterkaitan Sejarah dengan Ilmu-Ilmu Sosial Secara Konseptual
Pada umumnya pengertian sejarah berkaitan dengan pengetahuan tentang masa
lampau dan pengetahuan tentang realitas dari masa lampau itu, yang keduanya tidak bisa
dipisahkan (Aron, 1959: 153). Pemahaman dan kesadaran tentang masa lampau dan
realitas yang ada di dalamnya, sangat memungkinkan bagi suatu generasi untuk
menelaah masa lampau mereka. Dengan demikian, tanpa kesadaran tersebut masyarakat
hanya akan menjadi subyek yang pasif bagi masa lampau mereka (Steam, Seixas, &
Wineburg, 2000: 5 9 ) . Sebagai akibat lebih jauh, pemahaman tentang masyarakat masa
lampau tidak mungkin dapat mencapai dimensi yang benar sesuai dengan realitas sejarah
yang ada.
Dalam lapangan keilmuan, biasanya sejarah didefinisikan sebagai suatu ilmu
yang mengungkapkan peristiwa masa lampau dengan keunikannya. Berkaitan dengan
peristiwa yang unik itu, maka sejarah merujuk pada suatu peristiwa yang sekali terjadi
dan tidak terulang lagi. Baik mengenai tempat dan waktu, maupun situasi dan konteks
peristiwa yang telah terjadi tidak mungkin terulang lagi. Perlu digarisbawahi, bahwa
sejarah juga diartikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas tentang
perkembangan masyarakat manusia, baik mengenai sistem politik, susunan masyarakat,
ekonomi, pemikiran, kesenian, maupun berbagai pengalamannya, yang semua itu
disusun dalam suatu deskripsi yang bersifat kemanusiaan (Hyma, 1981: 24).
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka sejarah memusatkan studinya pada
tolalitas kegiatan dan pengalaman masyarakat masa lampau, baik yang bersifat lahiriah
48
49
maupun batiniah. Kehidupan dunia yang serba kompleks itu selalu bergerak melalui
suatu proses yang disebut perubahan. Gerakan itu bersifat kontinu, artinya setiap
gerakan dilahirkan dan ditentukan oleh beberapa gerakan sebelumnya. Perkembangan
rangkaian gerakan yang kontinu itu disebut sejarah (Meuien, 1987: 27). Dalam studi
sejarah, manusia merupakan obyek sekaligus sebagai subyek kajian. Hal ini berarti,
sejarah berkaitan dengan kegiatan rekonstruksi tentang masyarakat masa lampau yang
dilakukan oleh manusia yang masih hidup. Di samping itu, hasil kajiannya juga
diperuntukkan bagi generasi yang masih hidup.
Oleh sebab itu, sejarah lahir dari kepentingan masa kini, dengan jalan meneliti
kehidupan masyarakat masa lampau tersebut. Sebagai ilmu pengetahuan, sejarah dimulai
dengan melakukan kegiatan penelitian sebagai reaksi yang rasional
tentang suatu
peristiwa sampai pada kegiatan melakukan imajinasi tentang kejadian yang telah terjadi
di masa lampau. Usaha membangun kembali fakta-fakta dan menetapkan kronologi,
dapat dilakukan untuk mendasari suatu peristiwa yang diteliti. Dengan demikian, untuk
menemukan dan mendeskripsikan bagaimana sesungguhnya peristiwa itu terjadi (wie es
Geschehen ist"), maka obyek yang paling pokok dari studi sejarah itu adalah realitas
yang murni (Aron, 1959: 154).
Walaupun demikian, penulisan sejarah sebagai hasil rekonstruksi dari peristiwa
sejarah, sangat membuka peluang yang seluas-luasnya bagi terjadinya perbedaan
pendapat. Perbedaan tersebut dapat ditolerir, selama memiliki dasar sumber atau data
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bukan bersandar kepada emosi dan
interpretasi yang berlebihan dan kalut. Oleh sebab itu, memahami sejarah sebagai sarana
pendidikan bangsa, sangat diperlukan sikap kritis dan dewasa dalam menyikapi berbagai
perbedaan yang mungkin teijadi dalam setiap rekonstruksi sejarah (Dienaputra, 2002: 3).
50
Dari sini jelaslah, bahwa sejak proses rekonstruksi sejarah telah memerlukan pemikiran
kritis dan demokratis.
Dalam upaya rekosntruksi sejarah perlu dipahami, bahwa masyarakat diwarnai
oleh berbagai aktivitas dalam proses perubahan yang terus berlangsung. Dalam
kenyataannya, perubahan-perubahan yang terjadi antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain memiliki kadar dan kecenderungan yang berbeda, baik dalam hal
adat kebiasaan maupun dalam segi kelembagaan. Semakin lama perkembangan
kelompok yang ada dalam masyarakat, menunjukkan perbedaan yang semakin besar dan
semakin kompleks. Berkaitan dengan itu, sejarawan harus selalu bersikap kritis dalam
upaya menelaah peristiwa yang ditelitinya. Bagi sejarawan, sikap seperti itu dapat
mendorong kehati-hatian dalam menggunakan pikiran dan perasaannya yang tajam
untuk membedakan antara yang mungkin dan tidak mungkin teijadi. Pada akhirnya
mereka sampai pada pengambilan kesimpulan untuk menolak segala sesuatu yang
berada di luar batas kemungkinan tersebut (Issawi, 1962: 46).
Untuk dapat memahami kehidupan masyarakat masa lampau yang kompleks dan
yang bersegi banyak, sejarawan sangat memerlukan bantuan konsep, generalisasi, dan
teori ilmu-ilmu sosial yang lain. Dengan cara itu, kompleksitas kehidupan historis akan
dapat dijelaskan tidak hanya sebagai kesatuan, tetapi juga sebagai jalinan dalam
interaksinya. Hal itu akan mampu pula mengungkap faktor dominan yang berpengaruh
terhadap perilaku masyarakat yang telah terjadi (Kartodirdjo, 1970: 32). Dalam
kerangka itulah, maka sejarawan sangat berkepentingan untuk memahami pola tingkah
laku kolektif berdasarkan konsep, teori, dan model ilmu-ilmu sosial yang berdekatan.
Studi sejarah yang dijelaskan dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu sosial yang
lain semacam itu dikenal dengan sejarah sosial. Akan tetapi sejarawan harus tetap
51
memperhatikan, bahwa konklusi atau generalisasi yang dirumuskan berdasarkan faktafakta harus tetap memiliki karakteristik sejarah. Dalam arti, generalisasi harus tetap
ditekankan pada dimensi waktu dan harus tetap ada hubungan antara fenomena dengan
konteksnya (Sjamsuddin, 1996: 207).
Rekonstruksi sejarah yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan disiplin
ilmu sosial, dapat membantu sejarawan untuk melacak kekuatan yang bergerak di dalam
masyarakat, sehingga mampu mengungkapkan kondisi yang menentukan situasi historis.
Dengan kata lain, penjelasan sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial dapat memberi
banyak kemungkinan untuk mengungkap berbagai dimensi kehidupan masyarakat masa
lampau. Dapat dipastikan, unsur-unsur gejala sejarah yang ada dalam masyarakat masa
lampau tidak berdiri sendiri, sehingga memerlukan pengamatan secara menyeluruh.
Dengan cara itu, maka analisis dan penjelasannya dapat memberi gambaran yang runtut,
dan penjelasan strukturnya dapat diperkuat. Berbagai konsep, generalisasi, dan teori atau
berbagai kerangka referensi dapat dipinjam untuk mencari, mengatur, dan menganalisis
data. Perangkat konseptual yang beragam jenis dan jumlahnya itu akan dapat
mempermudah sejarawan dalam menentukan saling hubungan di antara fakta-fakta
(Alfian, 1985: 15).
Dalam kenyataannya, sejarah memang memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial
yang lain agar dapat mencapai perkembangan yang diharapkan. Terutama dalam dunia
modern sekarang ini, tidak ada satupun disiplin ilmu yang bisa berkembang sendirian.
Keterkaitan antar konsep, generalisasi, dan teori ilmu yang satu dengan ilmu yang lain
(terutama ilmu yang berdekatan) sangat diperlukan untuk memperkaya dan memacu
perkembangan disiplin ilmu yang bersangkutan. Hal ini dapat dipahami, mengingat
dalam penerapannya suatu ilmu harus memberi alternatif-alternatif baru kepada
52
masyarakat dalam upaya menjawab tantangan-tantangan yang dihadapinya yang berubah
sangat cepat (Kuhn, 1989: 118).
1
Dapat pula dinyatakan, bahwa kedudukan suatu ilmu dapat membantu dan
memperkuat perkembangan ilmu lain. Walaupun begitu, ilmu-ilmu bantu {auxiliary
sciences) adalah merupakan bagian pengetahuan yang memusatkan perhatiannya kepada
bidang masing-masing secara khusus. Sejarah menggunakan ilmu-ilmu sosial lain yang
diperlukan sebagai ilmu bantu, sebagaimana ilmu-ilmu sosial yang lain juga dapat
menggunakan ilmu sejarah atau harus menggunakannya untuk tujuan mereka sendiri.
Seperti dijelaskan oleh Renier (1997: 119), bahwa setiap ilmu menjadi pembantu atau
penunjang ilmu-ilmu lainnya, yang dipandangnya sebagai hasil alamiah dari kesatuan
pengetahuan umat manusia. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ilmu-ilmu sosial
sebagai ilmu bantu merupakan sekutu dari ilmu sejarah.
Dalam dunia modern dewasa ini, ilmu-ilmu sosial dituntut untuk memberi
jawaban yang tepat terhadap berbagai tantangan yang timbul dalam kehidupan
masyarakat. Seperti diketahui, dewasa ini tantangan yang dihadapi masyarakat semakin
kompleks seiring dengan semakin banyaknya masalah sosial yang muncul (Daldjuni,
1997: 20). Oleh sebab itu, ilmu-ilmu sosial juga dituntut untuk saling bekerja sama agar
kehadirannya memiliki arti penting bagi masyarakat. Namun demikian harapan itu masih
menemui banyak kendala, mengingat jalinan di antara ilmu-ilmu sosial kurang solid
tidak seperti yang terjadi pada ilmu-ilmu alam (natural science). Hal ini disebabkan,
sangat beragamnya fokus kajian dan gaya setiap disiplin ilmu yang tergabung dalam
ilmu-ilmu sosial itu. Hal ini berdasarkan kenyataan, dalam dunia perguruan tinggi ilmuilmu sosial terkotak-kotak pada fakultas yang tidak seragam. Misalnya, Fakultas
Psikologi, Fakultas Ekonomi, masing-masing berdiri sendiri. Sementara itu, Fakultas
i ^ « i i A l
Sosial-Politik untuk ilmu politik, administrasi, sosiologi, dan atropMoJfiaJ^pM,
i
Fakultas Geografi dimasukkan dalam kelompok MIPA, mengingat s o b w I ^ R j ^ f r
kajiannya yang bersifat kealaman. Sementara itu studi sejarah masuk dalam
ilmu kemanusiaan, sehingga merupakan bagian dari Fakultas Sastra atau Ilmu Budaya
(Hasan, 1996: 8-9). Kenyataan seperti ini membawa dampak pada perbedaan fokus dan
gaya pengembangan ilmu-ilmu sosial yang semakin lama justru semakin sulit
dikompromikan.
Sejauh yang menyangkut posisi ilmu sejarah, sampai sekarang juga masih
dijumpai kesimpangsiuran mengenai kedudukannya yang berada di antara dua kelompok
keilmuan. Di satu pihak sejarah ditempatkan sebagai bagian dari ilmu humanistik
(kemanusiaan) dan sebagian yang lain mengklaim sejarah sebagai bagian dari ilmu
sosial. Di satu pihak, lebih ditekankan disiplin sejarah masuk ke dalam kelompok ilmu
humanistik, mengingat subyeknya adalah perilaku manusia unik dan dalam proses
penulisannya sejarah harus memperhatikan segi bahasa yang menarik. Dengan
pemahaman ini, maka disiplin sejarah masuk sebagai bagian dari Fakultas Sastra atau
Fakultas Ilmu Budaya di universitas. Dalam kenyataannya tidak dapat disangkal, bahwa
disiplin sejarah memang memusatkan perhatiannya pada segi kemanusiaan, dan dalam
proses rekonstruksi juga dipengaruhi oleh daya imajinasi dan perasaan kemanusiaan
penulisnya (Gazalba, 1981: 151). Dalam kerangka itu, disiplin sejarah bersama dengan
disiplin ilmu humanistik lainnya, seperti filsafat, theologi (religi), etika, bahasa dan
sastra, merupakan inti dari ilmu-ilmu humanistik atau kemanusiaan.
Secara kolektif, kelompok ilmu humanistik merupakan kerangka sekaligus kosa
kata (yocabulary) bagi telaah nilai-nilai kemanusiaan, kebutuhan manusia, aspirasi, dan
juga potensi yang ada pada manusia. Di samping itu, ilmu kemanusiaan juga memahami
54
kelebihan dan kelemahan manusia, seperti yang terungkap dalam berbagai kebudayaan
umat manusia. Dengan mempelajari ilmu kemanusiaan dapat membantu kita untuk
- V,
menangkap makna yang terkandung dalam berbagai pengalaman dan juga akan
memberikan kepada kita cara untuk memahami segala jenis dan maksud kegiatan
kemasyarakatan, baik yang ada pada masyarakat sendiri maupun masyarakat yang lain
(Soedjatmoko, 1989: 2). Pada akhirnya, dengan memahami ilmu kemanusiaan dapat
membantu seseorang untuk menyusun kerangka moral yang imajinatif mengenai suatu
masyarakat yang dipelajari.
Di pihak lain, disiplin sejarah dimasukkan dalam kelompok ilmu sosial. Seperti
diketahui Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), menempatkan disiplin
sejarah sebagai salah satu dari bagiannya. Hal ini berdasarkan pertimbangan, fokus
utama kajian disiplin sejarah adalah perilaku kelompok umat manusia, khususnya yang
telah terjadi pada masa yang lampau (Abdulgani, 19E0: 2). Jika disiplin sejarah disoroti
berdasarkan pemahaman sebagai ilmu pengetahuan yang memahami tingkah laku
kelompok umat manusia, maka sangat tepat apabila disiplin ini ditempatkan pada jajaran
ilmu-ilmu sosial (Calhoum, 1971: 42). Berdasarkan pemahaman itu, maka disiplin
sejarah dikelompokkan bersama dengan disiplin ilmu sosial lainnya, seperti geografi,
antropologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, ekonomi dan ilmu politik. Pengelompokan
itu berdasarkan alasan, karena kelompok ilmu sosial tersebut memiliki obyek atau
sebagian dari obyeknya berupa tingkah laku kelompok masyarakat umat manusia.
Dengan demikian, disiplin sejarah dalam posisinya sebagai sumber pendidikan,
bersama-sama dengan disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya dilaksanakan dalam rangka
membentuk warga negara yang baik (Garraghan, 1957: 7). Ukuran warga negara yang
baik, adalah warga negara yang telah melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya
55
sebagai mana mestinya. Kepatuhan terhadap hukum, membayar pajak, melaksanakan
wajib belajar, wajib bela negara, dan lain-lain. Dengan demikian, warga negara yang
baik berarti merujuk kepada setiap orang yang dengan penuh kesadaran menerima
norma-norma tertentu yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, Barr (1987: 30)
menyatakan, bahwa warga negara yang baik ialah warga negara yang memegang teguh
nilai dan sikap secara konsisten. Mereka juga menerima dan melaksanakan nilai dan
sikap yang diyakininya itu dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai tujuan itu, disiplin sejarah sebagai suatu ilmu perlu secara terus
menerus dikembangkan terutama dalam hal metodologinya, agar dapat memberikan
materi yang memadai sebagai sumber pendidikan kewarganegaraan. Pengembangan
metodologi sejarah dengan jalan pemakaian konsep dan teori ilmu-ilmu sosial yang
relevan, akan melahirkan bentuk sejarah model baru {new history) dan dapat menjadikan
sejarah tetap up to date bagi masyarakat (Abdullah, 1997: 31). Untuk kepentingan
pendidikan kewarganegaraan, sejarah model baru tersebut selayaknya menduduki posisi
yang cukup strategis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Saxe (1993: 130), bahwa:
This new history added social and economic perspectives to the old history of
kings, battles, and great events. As a result, it broadened the curricular depth of
what teachers could offer students. The new history was also well suited to social
studies as a means to cultivate an active, competent citizenship . . . was clearly
influential in forging strong ties between social studies and the new history.
Pernyataan di atas menunjukkan, bahwa sejarah model baru menekankan pada perspektif
sosial dan ekonomi. Sementara itu, sejarah model baru juga memiliki kaitan yang sangat
kuat dengan disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya, sehingga layaknya disebut juga dengan
sejarah sosial. Kajiannya, memusatkan perhatian pada aktivitas masyarakat, sehingga
pada tingkat analisis keilmuan selalu ada keterkaitan yang erat antara disiplin sejarah
dengan konsep-konsep, generalisasi dan teori ilmu-ilmu sosial (Banks, 1977: 89).
56
Pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi sejarah mempunyai daya eksplanasi
yang lebih besar untuk mencari kondisi kausal dalam suatu fenomena sejarah guna
memperkuat analisis (Alfian, 1985: 14). Hal ini sangat bermanfaat bagi sejarawan dalam
merekonstruksi peristiwa sejarah yang ditelitinya. Melalui pemahaman konstrukkonstruk konseptual seperti yang berlaku dalam ilmu-ilmu sosial, maka analisis
peristiwa sejarah dapat lebih luas dan mendalam. Untuk dapat memahami secara lebih
jelas dapat diamati pada gambar berikut ini:
Gambar 2.1
Sejarah Di Tengah Sejumlah Konsep
Ilmu-ilmu Sosial lain
Diadopsi dari : James A. Banks. Teaching Strategies for the Social Studies : Inquiry,
Valuing, and Decision-Making. Menlo Park, California,
Addison Wesley Publishing Company, 1977, hal. 89.
57
Keterangan:
SEJARAH
Perubahan, konflik, revolusi, isme-isme (nasionalisme
dsb), peradaban, penjelajahan(eksplorasi)
ANTROPOLOGI
Kebudayaan, elemen kebudayaan, kompleks
kebudayaan, enkulturasi, daerah kebudayaan, difusi,
akulturasi, etnosentrisme, tradisi, relativisme
Kebudayaan, keuniversalan kebudayaan
SOSIOLOGI
Sosialisasi, peran, norma, sanksi, nilai, status, institusi,
komunitas, masyarakat, saling ketergantungan
ILMU POLITIK
Kontrol sosial, negara, kekuasaan, legitimitas,
otoritas, kelompok kepentingan, sosialisasi politik,
kebudayaan politik, sistem politik
GEOGRAFI
: Lokasi, region, interaksi spasial, pola spasial kota,
struktur intern kota, persepsi lingkungan
PSIKOLOGI
: Konsep diri, motivasi, persepsi, frustrasi, sikap
EKONOMI
: Kelangkaan produksi, barang dan jasa, saling
ketergantungan, pembagian kerja, saling tukar, arus
putar pemasukan
Walaupun demikian, pengembangan metodologi sejarah perlu dilakukan secara
hati-hati, agar supaya disiplin sejarah tetap berada pada ciri khasnya. Dengan kata lain,
perkembangan yang terjadi itu tidak akan mengaburkan karakteristik yang ada pada
disiplin sejarah itu sendiri. Dalam kenyataannya disiplin sejarah memilki sifat yang unik.
Artinya, dalam proses rekonstruksi peristiwa yang telah teijadi diperlukan kesadaran
akan historisitas benda-benda, mengutarakan soal kapan, di mana, dan apa yang terjadi.
Rekonstruksi sejarah sebagai cerita berisi kejadian tentang aksi manusia yang semuanya
terjalin dalam rangkaian yang menonjolkan keunikan suatu peristiwa. Di samping itu,
disiplin sejarah mengkaji peristiwa yang terkurung oleh batas waktu (time bound)
tertentu, sehingga pengulangan di waktu selanjutnya belum tentu mepunyai kesamaan
dalam orientasi nilai, sistem sosial, kebutuhan ekonomi, dan lain-lain. Keunikan dalam
58
sejarah itulah yang menyebabkan tidak memungkinkannya dibentuk generalisasi seperti
pada ilmu-ilmu alam (Garraghan, 1957: 7).
Suatu hal yang harus diingat, bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi
sejarah tidak dapat mengabaikan sama sekali hal-hal yang bersifat universal. Para
sejarawan harus mampu menyeleksi dan memisahkan kejadian-kejadian kongkret yang
dipelajari, sehingga sejarawan dapat menyatakan bahwa dalam peristiwa yang khusus
itu mendapat pengaruh dari norma-norma yang bersifat umum. Dalam kaitan ini, salah
satu fase tugas sejarawan adalah melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap
sumber-sumber yang perlu melengkapi dengan konsep-konsep kebenaran umum, yang
dipinjam dari ilmu-ilmu sosial lainnya. Mengingat sejarawan mencoba untuk mengerti
dan menjelaskan tindakan-tindakan manusia dalam kerangka sebab akibat, maka
sejarawan harus mengambil kesimpulan yang tegas tentang hal-hal yang menurut
dugaannya mempunyai kedudukan yang kuat di dalam hukum sebab akibat tersebut
(Nagel, 1959: 204-205).
Dapat diungkap di sini, dalam upaya memahami perkembangan masyarakat
masa lampau, sejarawan dapat menjelaskannya dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial
yang berkedudukan sebagai ilmu bantu (Burke, 1992: 29). Dengan cara itu, sejarawan
dapat meminjam konsep, generalisasi, dan teori ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk
membantu penjelasan peristiwa sejarah. Pendekatan semacam itu dapat meningkatkan
kemampuan sejarah untuk menyoroti gejala-gejala sejarah yang bersifat umum
mengenai kelakukan kolektif, jenis solidaritas, dan otoritas di kalangan masyarakat.
Apabila peristiwa sejarah hanya dijelaskan secara historis hanya dengan deskriptif
naratif, maka gejala sosial semacam itu tidak mungkin dapat diungkap. Penjelasan yang
59
dapat dilakukan hanya terbatas pada pengetahuan fakta dan pengungkapan aneka ragam
informasi.
Dapat ditegaskan, bahwa konsep-konsep ilmu sosial dapat membantu sejarawan
dalam rangka melakukan penjelasan (explanation) rekonstruksi sejarah. Antropologi
dapat membantu dalam memahami sistem budaya masyarakat, kemudian psikologi dapat
membantu menerangkan tingkah laku manusia, yang sangat penting untuk menganalisis
masalah fenomena seperti revolusi, reaksi atau gerakan masyarakat. Di samping itu
psikologi juga penting untuk dapat memahami karakter dalam sejarah. Kemudian,
geografi dapat membantu untuk memahami lingkungan dan pengaruhnya pada manusia.
Dengan demikian, sejarawan dapat menjelaskan mengapa di suatu tempat tertentu telah
muncul dan berkembang suatu peradaban dengan karakteristik yang berbeda dengan
peradaban di daerah yang lain. Sementara itu, ilmu ekonomi dapat memberi informasi
tentang mata pencaharian dan bagaimana benda-benda material dapat mempengaruhi
perkembangan sosial dalam sejarah. Demikian juga ilmu politik dapat membantu
memberi penjelasan tentang prinsip-prinsip manusia dalam hubungannya dengan
lembaga pemerintahan (Garraghan, 1957: 81-82). Oleh sebab itu, seorang sejarawan
dituntut untuk mempunyai pengetahuan seluas mungkin dan selalu tertarik dengan
bidang-bidang kemanusiaan, serta menempatkannya pada posisi yang tepat.
Konsep-konsep maupun teori dari ilmu-ilmu sosial yang biasa digunakan dalam
penjelasan sejarah analitis pada hakekatnya memuat generalisasi, karena menunjuk pada
suatu pola atau kelompok fenomena. Sejarawan dapat mengklasifikasi fenomena empiris
dan menetapkan hubungan antara fenomena-fenomena itu. Dengan konsep dan teori
ilmu-ilmu sosial itu pula, persoalan mengenai data dapat diperluas, dan keadaan historis
dapat ditempatkan dalam konteks tertentu. Hal itu pada gilirannya akan dapat menuntun
60
sejarawan untuk memahami kecenderungan, pola, struktur dari fenomena historis ( Little
& Mackinolty, 1977: 66-67). Dengan demikian, analisis data-data sejarah dapat
dilakukan secara lebih kritis dan komprehenship.
Mengingat sejarah merupakan ilmu yang menekankan pada keunikan, maka
tidak layak apabila sejarah hanya didasarkan pada asumsi-asumsi umum saja. Di sisi
lain, simpulan atau kesimpulan umum memang sangat diperlukan dalam sejarah, karena
sejarah merupakan ilmu yang memenuhi syarat keilmuannya. Jika penarikan generalisasi
atau kesimpulan yang bersifat umum tidak dilakukan, maka tidak akan dapat dibedakan
hal yang bersifat umum dan hal yang bersifat khusus. Pada dasarnya
penarikan
generalisasi dalam sejarah dilakukan untuk mencapai dua hal pokok, yaitu: Pertama,
Saintifikasi. Semua ilmu menarik kesimpulan umum dan keajegan yang menjadi
tumpuan dalam perumusan generalisasi. Dalam sejarah generalisasi sering dipakai untuk
mencek teori yang lebih luas. Hal ini mengingat teori di tingkat makro sering kali
berbeda dengan teori di tingkat mikro Kedua, Simplifikasi. Dalam upaya mengamati
peristiwa, peneliti sejarah akan memusatkan perhatian pada suatu perilaku yang bersifat
massal di suatu kawasan yang begitu luas. Hal ini sangat menyulitkan bagi peneliti
untuk melakukan penjelasan. Dengan demikian maka diperlukan upaya penyederhanaan.
Berbagai bentuk penyederhanaan dapat dilakukan oleh peneliti sejarah yang tercermin
dalam istilah yang digunakan (Kuntowijoyo, 1995:141-144)..
Dewasa ini dikenal tiga batasan tentang sejarah sosial, yang menunjukkan
luasnya cakupan dan orientasi, walaupun diakui antara satu dengan yang lain masih
dirasakan adanya saling tumpang tindih. Pertama, sejarah sosial diartikan sebagai
sejarah gerakan sosial kaum buruh, ide-idenya, dan organisasinya. Kedua, sejarah sosial
menunjuk pada hasil aktivitas manusia, seperti adat-istiadat, kebiasaan, dan kehidupan
61
sehari-hari. Ketiga, istilah sejarah sosial selalu berkait dengan aktivitas ekonomi
masyarakat (Hobsbawn, 1971:21).
Berdasarkan pada penjelasan di atas menunjukkan, bahwa sejarah sosial
mempunyai bidang garapan yang sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah
sosial juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sejarah ekonomi, sehingga
menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi. Perkembangan orientasi semacam ini
menjadikan masyarakat secara keseluruhan dapat dijadikan sebagai bahan garapan. Di
samping itu, banyak tema lain yang dapat diteliti seperti, kaum buruh, petani, kaum
perempuan, nelayan yang masing-masing dalam ruang wilayah yang dimarginalkan.
Sejarah sosial dapat mengambil fakta-fakta sosial yang ada dalam masyarakat sebagai
bahan kajian. Tema-tema sosial seperti kemiskinan, perbanditan, keresahan, interaksi
sosial, kriminalitas, dan lain-lain dapat juga dijelaskan, sehingga menjadi sebuah karya
penulisan sejarah yang bersifat komprehensip (Kuntowijoyo, 1994: 33-35). Dalam
khasanah kesejarahan di Indonesia sebenarnya sangat kaya dengan bahan-bahan sejarah
sosial yang dapat dijadikan tema penelitian.
Dalam banyak kasus, sejarah sosial sering mengambil lingkup lokasi yang sempit
sehingga karya yang dihasilkan merupakan sejarah sosial di tingkat lokal. Sejarah lokal
dapat diartikan sebagai karya sejarah yang memuat proses perkembangan aktivitas
kemanusiaan di daerah tertentu. Pengertian lokal identik dengan daerah, yang berkaitan
dengan lingkungan geografis tertentu yang dari sudut arealnya dapat diperluas atau
dipersempit. Dalam pengertian sejarah nasional, sejarah lokal berarti sejarah daerah di
suatu negara. Dengan demikian, sejarah lokal berkaitan erat dengan konsep geografis
yang biasanya ditentukan sejalan dengan pembagian teritorial administratif (Sutjipto,
1970: 37, Dienaputra, 2002: 2).
62
Penulisan sejarah sosial di tingkat lokal juga dapat memusatkan kajiannya untuk
mengungkap aktivitas masyarakat pedesaan yang jauh dari keramaian kota. Dengan
perkembangan metodologi sejarah yang semakin baik, ternyata penulisan sejarah dengan
ruang lingkup kecil dapat digali permasalahannya secara mendalam, sehingga dapat
ditampilkan kehidupan masyarakat suatu desa yang sebenarnya sangat kompleks.
Dengan penguasaan metodologi yang memadai, peneliti sejarah dapat mengungkap arus
kehidupan masyarakat yang berada di bawah permukaan. Dengan demikian, maka
rekonstruksi sejarah dapat lebih bervariasi dan mampu menampilkan nuansa baru. Pada
umumnya, permasalahan yang banyak mendapat perhatian untuk diungkap adalah
strutur sosial dan interaksinya, pranata sosial dan adat-istiadat, aktivitas ekononi dan
keyakinan agamanya. Tentu saja untuk dapat mengungkap secara lengkap permasalahan
yang ada dalam masyarakat desa masa lampau, peneliti sejarah perlu membekali dirinya
dengan pemahaman konsep disiplin ilmu-ilmu sosial lain sebagai ilmu bantu yang
sesuai. Dengan demikian, hasil penelitiannya tidak hanya deskriptif-naratif yang bersifat
diakronik, tetapi mampu menghasikan karya sejarah kritis (deskriptif-analitis) yang
bersifat sinkronik. Sejarah desa yang lebih menitikberatkan pada aktivitas arus bawah
akan menampilkan gambaran realitas desa yang sesungguhnya, jika mengikuti model
penulisan sejarah sosial (Kuntowijoyo, 1994: 64-65).. Dalam arti, peristiwa sejarah yang
ditampilkan itu mengenai aktivitas masyarakat suatu desa secara keseluruhan, bukan
hanya menyangkut sejarah kelompok elit yang berpengaruh di desa itu.
Di dalam masyarakat itu terdapat pola-pola hubungan antara unsur-unsur sosial
yang satu dengan unsur-unsur sosial yang lain Misalnya, keterkaitan unsur-unsur yang
sangat erat antara sistem sosial, strata sosial, perubahan sosial, kepemimpinan, dan lainlain. Struktur sosial merupakan organisme-organisme yang ada dalam masyarakat yang
63
kompleks karena, merupakan kumpulan dari sel-sel sosial yang hidup. Sel-sel itu
membentuk susunan struktural yang keterkaitannya sangat erat satu dengan lainnya dan
bersifat kompleks. Keberadaan individu sebagai bagian dari masyarakat, dihubungkan
pula dengan jaring-jaring yang kompleks dalam hubungan sosial yang sering dikaitkan
dengan adanya jaringan hubungan secara aktual. Dengan demkian, fenomena sosial
merupakan gejala yang jelas, walaupun saling keterkaitannya sangat rumit. Pada
dasarnya fenomena sosial bukan merupakan keberadaan manusia secara individual,
tetapi merupakan hasil dari pengaruh struktur sosial secara terpadu (Brown & Lyman,
1978: 128 ). Secara umum struktur sosial merujuk pada kelompok-kelompok yang tetap,
yang merupakan bagian integral dari bangsa, suku, klan, yang memiliki kontinuitas, dan
identitas yang tetap, walaupun ditinjau dari anggotanya dapat juga berubah-ubah
Dengan demikian, struktur sosial berkaitan erat dengan konsep logika kongkret
yang dikemukakan oleh Levi Strauss (Boon, 1973: 8 ) yaitu, digunakannya kode yang
konkret oleh pikiran manusia yang dimaksudkan untuk mengkonstruksi berbagai sistem
yang memiliki signifikansi. Secara internal, masyarakat senantiasa terbagi dalam bentuk
klan, kelompok sosial, ataupun satuan lainnya. Hal ini merupakan imajinasi tentang
heterogenitas yang sempurna yang disediakan oleh alam (Boon, 1973: 8-9, Beilharz,
2003: 262-264).
Pemikiran konkret tentang struktur dipandang sama benarnya dan sama validnya
dengan pemikiran lain di manapun. Hal ini berdasarkan alasan, bahwa keteraturan logis
dalam konstruksi sistem tersebut merupakan ekspresi langsung dari struktur fundamental
pikiran manusia. Hal itu sebenarnya adalah manifestasi dari struktur otak manusia.
Semua struktur rasionalisme sebagai perwujudan dari struktur otak manusia dipandang
sebagai dasar dari kehidupan masyarakat modern (Boon, 1973: 9). Dengan demikian,
64
pada umumnya masyarakat dewasa ini memandang bahwa semua struktur rasionalisme
itu dapat menjelaskan masalah yang bersifat duniawi (Kebenaran Sejati, 2002: 1).
zt-
Sebenarnya, struturalisme yang dikenal sekarang adalah struturalisme Ferdinand
de Saussure dan Levi-Strauss, yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek
dari struktur terdalam dari struktur bahasa dan kebudayaan. Makna itu diorganisir secara
internal dalam oposisi biner, seperti hitam-putih, baik-buruk, dan lain-lain. Dari sini
jelaslah, bahwa strukturalisme sangat menekankan aspek kekhususan kebudayaan yang
tidak bisa direduksi begitu saja ke dalam fenomena lainnya (Antariksa, 2003: 1).
Kemudian dalam konteks sosial, Brown dan Lyman (1978: 130) menyatakan, bahwa
struktur sosial berkaitan erat dengan dua hal. Pertama, struktur sosial menyangkut
seluruh hubungan sosial antara seorang dengan orang lain. Kedua, struktur sosial juga
mengikat individu-individu dan kelas dengan peran sosialnya, posisi sosial yang berbeda
antara laki-laki dengan perempuan, pemimpin dengan pengikutnya, pekerja atau buruh
dengan majikannya. Hal ini merupakan penentu dalam pelaksanaan hubungan sosial,
yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Manusia sebagai individu memiliki hubungan sosial yang sangat kompleks
dengan individu yang lain. Tindakan atau kelakuan manusia dalam proses pergaulan
tersebut senantiasa mengikuti kebiasaan, adat atau pola kehidupan yang berlaku dalam
masyarakat itu. Pola atau kebiasaan yang mantap akan menyebabkan terbentuknya suatu
kelembagaan atau pranata sosial, seperti adat-istiadat, etika, etiket, upacara, dan lain-lain
Dengan demikian, kelakuan manusia dalam masyarakat selalu distrukturalisasi sesuai
dengan tradisi atau konvensi (Kartodirdjo, 1992: 124). Dari sini dapat dipahami, bahwa
struktur dapat melatarbelakangi tindakan atau kelakuan tertentu bagi seseorang yang
merupakan bagian dari masyarakat.
Pada hakekatnya sejarah dan ilmu sosial lainnya mempunyai
bersifat timbal balik Istilah sejarah analitis lahir berkat bantuan ilmu-ilmu ^ s f e j ^ a B B ^
arti penjelasan yang dilakukan dengan menggunakan konsep, generalisasi, darTTec'
ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian, dewasa ini mempelajari sejarah tidak dapat
dilepaskan dari belajar ilmu sosial yang lain, meskipun sejarah memiliki caranya sendiri
dalam mendekati obyeknya. Akan tetapi, perlu dipahami pula bahwa sejarah dan ilmuilmu sosial itu memiliki sifat dan tujuan yang berbeda. Sejarah memiliki sifat dan tujuan
untuk mempelajari peristiwa kemanusiaan yang bersifat tunggal, unik, dan hanya sekali
terjadi. Sementara ilmu-ilmu sosial lebih tertarik pada hal yang bersifat umum, ajeg,
nomotetis, dan merupakan pola. Pendekatan sejarah juga berbeda dengan pendekatan
ilmu sosial yang lain. Sejarah itu diakronis, memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu
sosial itu sinkronis yaitu kompleks dan melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan
proses, sementara ilmu sosial lebih menekankan pada struktur. Kemudian mengenai
kegunaan sejarah bagi ilmu sosial yang lain pada umumnya dapat dijelaskan dalam tiga
hal, yaitu:l) sejarah sebagai kritik terhadap generalisasi dalam ilmu sosial, 2)
permasalahan sejarah dapat menjadi permasalahan juga bagi ilmu sosial, dan 3)
pendekatan sejarah yang bersifat diakronis dapat menambah dimensi baru bagi ilmuilmu sosial yang bersifat sinkronis (Kuntowijoyo, 1995: 107-108).
Peristiwa sejarah tentu saja berada dalam suasana kebudayaan masa lampau,
ketika peristiwa itu terjadi. Di samping itu, setiap peristiwa mempunyai keunikannya
masing-masing, dan hanya terjadi sekali yang tidak pernah terulang lagi dalam bentuk
yang sepenuhnya sama. Peristiwa sejarah ditentukan oleh cara hidup tertentu yang
menjadi bagiannya dan menjadi sumber dari sebagian besar ciri khasnya. Dalam
kenyataannya, peristiwa masa lampau itu tidak dapat dilihat dalam bentuk aslinya,
66
kecuali jika kita mengetahui totalitas peristiwa tersebut. Dengan demikian, kebudayaan
•Sudah selayaknya menjadi obyek sejarah, karena peranannya sebagai perwujudan
kehidupan manusia pada zaman lampau, maupun karena pengaruhnya terhadap peristiwa
yang telah terjadi pada suatu periode tertentu. "Namun demikian, bagi setiap orang yang
mempelajari kebudayaan dapat dipastikan tidak mungkin memahami karakteristik
kebudayaan tanpa memahami sistem keagamaan yang berlaku dalam masyarakat
tersebut Dengan kata lain, melakukan penelitian tentang kebudayaan masyarakat masa
lampau hampir tidak mungkin dilakukan, tanpa memahami sistem keyakinan agama,
yang merupakan kekuatan-kekuatan yang diresapi, menghidupi, dan membentuk
kebudayaan tersebut (Zoetmulder, 1995: 288-289). Hal ini menunjukkan, bahwa
penelitian sejarah, tidak hanya menuntut pembuktian dalam bentuk data maupun faktafakta. Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah, tuntutan untuk memahami konsep
dari disiplin ilmu lain yang relevan dengan masalah yang diteliti. Akan tetapi, terkadang
terdapat kesalahan pemahaman dan penggunaan konsep tersebut.
Berdasarkan pada perkembangan yang terjadi itu, muncul kritik dari kalangan
sejarawan kepada kecenderungan para ahli sosiologi dalam hal mencari persamaan
historis dengan cara melakukan penyederhanaan fenomena dari masyarakat yang berada
di tempat yang terpisah jauh dalam tempat dan waktu menjadi suatu istilah yang sama.
Misalnya, anggapan bahwa Serikat Islam yang terjadi pada abad ke-20 di Indonesia
(Solo) sebagai suatu gerakan borjuis yang dapat disamakan dengan Protestanisme di
Eropa pada abad ke-16. Perbandingan antara proses sejarah di Indonesia dengan proses
serupa di tempat lain memang dapat membuka pemahaman yang sangat berguna,
asalkan kategori yang digunakan benar-benar bersifat universal dan karakterisasi tipe
ideal yang bersifat menyederhanakan itu diperluas dengan memperhitungkan juga
67
tentang faktor waktu ( Wertheim, 1995: 316).
Dengan demikian sejarawan dapat
membantu dan mengoreksi sosiolog yang mungkin cenderung mencari dan menarik
terlampau banyak generalisasi, tetapi mengabaikan faktor yang bersifat khusus.
Hubungan timbal balik juga dapat dilihat dalam metodologi dan penggunaan
sumber-sumber penelitian. Seperti dalam disiplin antropologi, hasil penelitian etnografis
yang telah dicapai banyak menyediakan bahan pembanding yang berguna bagi
penelitian sejarah kuno. Khususnya di Indonesia, kumpulan hasil penelitian tentang
prinsip dasar dari struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat masa lampau dari
berbagai bagian wilayah, yang telah berhasil dihimpun oleh para ahli antropologi. Hal
ini dapat memberi gambaran abstrak untuk merumuskan gambaran umum dari prinsip
dasar struktur sosial, politik, dan ekonomi dari beberapa kerajaan yang pernah ada
(Koentjaraningrat, 1995: 278). Semua itu menjadi sumbangan yang sangat berarti bagi
para sejarawan dalam upaya memahami prinsip dasar mengenai struktur sosial, politik,
dan ekonomi masyarakat Indonesia di masa lampau
Pendekatan historis sering pula digunakan oleh para peneliti ilmu sosial yang
lain, karena hal itu dapat menunjukkan kenyataan bahwa masyarakat sekarang adalah
hasil dari suatu proses historis. Hal ini berarti akan dapat menjelaskan data melalui suatu
proses perkembangan atau fase yang masing-masing memuat hubungan kausalitas antara
satu fase dengan fase berikutnya. Dalam realitas dari kontinuitas historis, pengertian
masa sekarang dibentuk dengan mengkonsepsikan suatu peristiwa yang pernah teijadi.
Apabila penelitian sosial menghambil perspektif atau orientasi historis, maka bahan
dokumenter memiliki arti metodologis yang sangat penting. Pada umumnya para peneliti
ilmu sosial memahami manusia secara langsung melalui observasi di lapangan. Akan
tetapi, manusia dan aktivitas yang dijadikan sebagai sasaran penelitian sejarah pada
68
umumnya sudah berlalu. Oleh sebab itu, maka ilmu sejarah mempelajarinya dengan
menggunakan dokumen agar dapat memahami apa yang dilakukan oleh kelompok
manusia pada periode tertentu di suatu tempat tertentu. Banyak pula di antara ahli
antropologi dan sosiologi mengabaikan bahan sejarah. Akan tetapi harus diingat,
sebenarnya sejumlah besar data dan fakta sosial tersimpan dalam "tubuh" pengetahuan
sejarah dengan dokumen sebagai bahan utamanya. Penggunaan bahan dokumenter oleh
sementara ahli ilmu sosial yang akan menggambarkan suatu proses secara diakronis
dilakukan berdasarkan kaidah yang secara khusus berlaku dalam metodologi sejarah
(Kartodirdjo, 1991: 45). Untuk dapat menggunakannya, dukumen itu harus dianalisis
secara kritis sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam metodologi sejarah, baik kritik
ekstern maupun intern. Dengan demikian, para ahli ilmu sosial akan sulit melakukannya
sendiri jika tidak bekerja sama dengan para sejarawan.
B. Aplikasi Nilai dalam Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan memiliki dasar filosofi yang disebut
epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang ruang lingkup, cara memperoleh, dan batasbatas pengetahuan. Sudah pasti pengetahuan yang diharapkan diperoleh melalui studi
yang mendalam, sehingga melahirkan pengetahuan ilmiah, yang setidaknya sebagai
persyaratan utamanya (the necessary condition of knowledgs) adalah harus memenuhi
kriteria JBT atau Justified True Belief. Dalam proses memperoleh ilmu pengetahuan
itu, peran psikologi sangat penting. Hal ini berdasarkan alasan, sesuai dengan teori
fondasi yang berpegang pada konsep dasar, menyatakan bahwa pembenaran suatu
preposisi itu bersifat internal, sensoris, dan empiris. Pengamatan sensoris itu membentuk
69
keyakinan pada diri si pengamat. Dengan demikian, keyakinan tersebut tidak muncul
melalui proses penaiaran, tetapi semata-mata merupakan
hasil observasi psikologis.
Hasil pengamatan yang berkembang seperti itu oleh para ahli disebut dengan keyakinan
dasar (basic belief). Keyakinan dasar itulah yang berfungsi untuk membenarkan dirinya
dan juga preposisi-preposisi lainnya (Syamsuri, 1989: 28).
Perkembangan ilmu pengetahuan terutama Ilmu Sosial dan Ilmu Kemanusiaan,
banyak tergantung pada perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Para ahli psikilogi
modern
dewasa
ini
lebih
banyak
memperhatikan
interaksi
manusia
dengan
lingkungannya secara nyata. Dengan demikian perkembangan psikologi tidak hanya
bersifat khayalan (m abstracto) semata, tetapi menyelidiki manusia dalam kehidupan
sehari-hari (/« concreto) di pelbagai lapangan kehidupan. Oleh sebab itu, dewasa ini
psikologi telah menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat the study of interpersonal
relations. Obyeknya adalah tingkah laku dan penghayatan manusia dalam hubungannya
dengan situasi lingkungan sekitarnya. Berkenaan dengan itu, maka psikologi telah
menjadi dasar pengembangan dan pemahaman ilmu-ilmu sosial lebih jauh (Soeitoe,
1982: 3-4). Hal ini mengingat begitu kompleknya relasi antar manusia dalam struktur
masyarakat modern dewasa ini.
Perkembangan yang terjadi itu sejalan dengan pernyataan Calhoum (1991: 42),
bahwa ilmu sosial adalah sebagai suatu kelompok disiplin yang memusatkan
perhatiannya pada tingkah laku kelompok umat manusia (the study of the group
behavior of human being). Dengan demikian, obyek studi ilmu sosial adalah tingkah
laku umat manusia dalam hubungannya dengan kelompok sosialnya. Dalam dunia
pendidikan, para ahli telah mengidentifikasi tradisi ilmu sosial yang selama ini
dikembangkan untuk kepentingan pendidikan. Suatu kenyataan, bahwa masyarakat yang
70
berkembang sangat cepat dipenuhi dengan masalah yang sangat kompleks. Oleh sebab
itu, melalui studi sosial atau ilmu pengetahuan sosial (IPS), sangat dipandang perlu
untuk mengangkat berbagai isu sosial kontemporer yang berkembang dalam masyarakat.
Di antara isu sosial kontemporer yang ada dalam masyarakat, seperti kualitas hidup,
kemerosotan moral, tingkat peradaban, masalah etika, masalah transportasi, masalah
ekonomi, dan lain-lain dapat dijadikan tema pembelajaran di sekolah (Evans, 1996: 15).
Jika dikaji secara saksama, ternyata telah banyak batasan yang dapat dirumuskan
mengenai pengertian tentang studi sosial. Akan tetapi, pada dasarnya studi sosial lebih
banyak menekankan pada studi tentang hubungan antara manusia dengan masyarakat, di
samping mengenai hubungan manusia dengan lingkungan fisiknya. Jadi, studi sosial
pada hakekatnya merupakan kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam
sistem hidup bermasyarakat. Kajian ini dilakukan dalam bentuk pembelajaran di sekolah
untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik, berdasarkan nilai-nilai
kemasyarakatan yang hidup dan berlaku (Barr, 1987: 1985).
Pada dasarnya, studi sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari
ilmu-ilmu sosial, yang digunakan sebagai materi pembelajaran di sekolah. Dengan kata
lain, bahan pembelajaran pendidikan IPS itu diambil dari materi ilmu sosial untuk
kepentingan pendidikan kewarganegaraan. Tentu saja bahan yang dipetik itu harus
dipilih secara selektif, sehingga relevan dan mampu membantu peserta didik dalam
rangka memahami banyak manusia dan berbagai hal yang berkaitan dengan
interrelasinya, baik yang terjadi pada masa lalu, masa kini, maupun masa datang.
Hertzberg (1981:1-2) menyatakan, bahwa "The social sciences thus simplified have
always included history, some from political science, and at various time geography,
71
ecortomics, sociology, anthropology, and psychology. Hal itu dapat diamati pada
diagram di bawah ini.
Gambar 2.2
Pemahaman Studi Sosial
Sumber : Jarolimek, J., 1967, Social Studies in Elementary Education, Third Edition,
New York, The Mac Millan Coy, hal. 4
Pada diagram tersebut, ternyata Jerolimek (1967: 4) memasukkan filsafat sebagai
bagian dari ilmu-ilmu sosial. Hal ini berarti cakupan ilmu-ilmu sosial itu telah diperluas
lagi dengan memasukkan filsafat sebagai bagiannya, berdasarkan pertimbangan ilmu
filsafat (philosopy) merupakan ilmu yang memusatkan kajiannya pada pandangan hidup
manusia sebagai anggota masyarakat, sehingga sangat berpengaruh terhadap kharakter
dan perilaku masyarakat.
Di Amerika Serikat, studi sosial telah berkembang begitu jauh. Bahkan sejak
tahun 1992, National Council for the Social Studies (NCSS) sebagai sutu lembaga yang
berwenang dalam pengembangan studi sosial (social studies) di negara itu telah
merumuskan cakupan studi sosial lebih luas lagi. Dinyatakan, bahwa:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to
promote civic competence. Within the scool program, social studies provide
coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology,
72
archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science,
psychology, religion, and sociology, as weil as appropriate content from the
humanities, mathematics, and natural science. The primary purpose of social
studies is to help young people develop the ability to make informed and
reasoned decision for the public good as citizen of culturaly diverse, democratic
society in an interdependent world (Evans & Saxe, 1996: 197).
Berdasarkan rumusan tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa studi sosial bagi
bangsa Amerika Serikat telah diarahkan kepada sasaran yang sangat luas. Melalui studi
sosial, diharapkan dalam diri generasi baru dapat terbentuk pengalaman belajar dan
pengalaman hidup untuk menjadi warga negara yang baik, sadar hukum, demokratis,
kritis, ditengah-tengah perbedaan kebudayaan, dalam kehidupan dunia yang saling
tergantung. Di samping itu menurut rumusan terbaru, berarati studi sosial diperluas lagi
cakupannya hingga menyangkut agama, hukum, dan arkeologi. Diupayakan pula untuk
mengkaitkannya dengan matematika dan ilmu-ilmu alam, untuk membantu peserta didik
dalam rangka mengembangkan kecakapan berpikir kritis dan pengambilan keputusan
yang rasional (Evans & Saxe, 1996: 197).
Dalam kenyataannya, perkembangan pendidikan studi sosial atau ilmu
pengetahuan sosial (IPS) di Indonesia, banyak mengambil ide, pemikiran dan pendapat
yang berkembang di Amerika Serikat, terutama yang menyangkut tentang ide dasarnya.
Akan tetapi, dalam hal yang berkaitan dengan tujuan, materi dan pelaksanaannya
dikembangkan sendiri sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Kemudian untuk realisasi
pembelajaran pendidikan IPS di sekolah bersandar pada konsep, bahwa IPS adalah suatu
program pendidikan sebagai suatu keseluruhan yang memusatkan kajiannya tentang
peran dan relasi manusia dengan lingkungan alam fisik maupun lingkungan sosialnya.
73
Kemudian mengenai bahan pembelajarannya diambil dari berbagai ilmu sosial dan ilmu
kemanusiaan (Barr, 1987: 194-196).
Jika dibanding dengan bangsa lain, Amerika Serikat merupakan bangsa yang
sangat banyak berpengalaman dan kaya perbendaharaan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan studi sosial. Pengalaman itu dikaji dan didokumentasikan
secara
cermat, sehingga mereka juga sangat kaya dalam hal koleksi kepustakaannya. Bangsa
Amerika Serikat telah begitu gigih untuk mencapai kata sepakat dalam merumuskan
rasionel studi sosial. Walaupun usaha mencapai kesepakatan yang bulat tidak berhasil,
namun setidaknya telah berhasil dirumuskan beberapa pendapat yang dominan.
Diantaranya adalah; 1) Studi sosial harus memusatkan perhatiannya pada masalah. 2)
Studi sosial tidak berkepentingan dengan alam atau fisik, kecuali hal itu menyangkut
kemanusiaan. 3) Studi sosial tidak sama dengan indoktrinasi atau menerima suatu
keyakinan tanpa nalar. Pada dasarnya, semua bangsa memiliki nilai dan keyakinan yang
harus disampaikan dan diperkuat melalui pranata-pranata sosial yang ada. Salah satu
pranata sosial yang relevan dalam hal ini adalah sekolah (Waney, 1989: 59-60).
Berdasarkan pendapat tersebut, maka studi sosial diarahkan agar siswa sebagai
generasi penerus dapat menjadi warga negara yang efektif. Hal ini tidak hanya ditempuh
dengan menghafalkan materi pelajaran, tetapi dengan mempraktekkan decision making
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, bahan pengajaran bukan merupakan
tujuan akhir dari suatu proses pembelajaran, tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan
pembentukan warga negara yang ideal. Karakteristik dari kewarganegaraan yang ideal
tidak hanya dibatasi oleh kepatuhan dan keteguhan pada norma-norma tertentu saja,
tetapi yang terpenting adalah kecakapan untuk membuat keputusan yang rasional
mengenai apa yang diyakini. Dengan demikian, maka pendidikan studi sosial tidak
74
hanya bertujuan untuk mencapai manusia dewasa semata, tetapi juga pengalaman belajar
yang dicapai melalui proses pendidikan justru menempati posisi penting. Pengalaman
yang dibentuk melalui proses pendidikan merupakan ajang latihan yang sangat tepat
dalam rangka mempersiapkan pembentukan sikap kewarganegaraan bagi para siswa.
Untuk menunjang hal itu, maka materi studi sosial yang dipandang tepat adalah materi
pembelajaran yang menekankan pada permasalahan sosial kontemporer dan kemampuan
peserta didik dalam rangka pengambilan keputusan yang kritis dan rasional (Barr, 1987:
127-128).
Dapat dinyatakan di sini, bahwa studi sosial merupakan tumpuan harapan utama
bagi terbentuknya sikap dan perilaku warga negara yang diharapkan sesuai dengan
tuntutan masyarakat. Oleh sebab itu, program pembelajarannya perlu difokuskan kepada
upaya penyediaan pengalaman belajar yang dapat membantu peserta didik, antara lain
dalam hal: 1) Memahami, bahwa lingkungan fisik menentukan bila dan bagaimana
manusia
hidup.
2)
Memahami,
bangaimana manusia berusaha menyesuaikan,
mempergunakan, dan mengontrol tenaga serta sumber daya yang ada di lingkungan
mereka. 3) Memahami, bahwa perubahan adalah merupakan kondisi yang melekat
dalam masyarakat. 4) Melibatkan diri dalam kekuatan yang membawa perubahan
masyarakat dan perubahan kebudayaan. 5) Mengetahui implikasi dari perkembangan
saling ketergantungan manusia satu sama lain dan bangsa di dunia, sehingga mampu
menghargai nilai-nilai yang berbeda, mempunyai tanggung jawab terhadap manusia lain,
dan kerja sama antar kelompok dalam pertemuan yang bersifat sosial. 6) Menghargai
dan mengerti persamaan semua ras, agama, dan kebudayaan (Barr, 1987: 197-198).
Tentu saja masih banyak lagi upaya yang perlu dilakukan untuk memperkaya,
mengembangkan kemampuan, dan melatih peserta didik dalam berinteraksi dengan
75
lingkungannya, dan menempatkan diri dalam masyarakat yang demokratis. Pada
gilirannya studi sosial dapat membuat wawasan dan perilaku bangsanya semakin baik
Mengingat perkembangan dunia ilmu pengetahuan yang terjadi, maka studi
sosial (social studies) diupayakan selalu memperhatikan juga perkembangan ilmu-ilmu
alam (science). Suatu kenyataan, pengaruh pengembangan sain dan teknologi sangat
kuat bagi kehidupan individu dan masyarakat. Hal ini sangat berpengaruh pula terhadap
proses pengambilan kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran
ilmu-ilmu sosial perlu pula dikombinasikan dengan memperluas penekanannya pada
pengetahuan tentang lingkungan dan sumber daya yang dapat menunjang pembaharuan
dalam masyarakat. Hal ini pada gilirannya dapat memberi kontribusi pada pembaharuan
pendidikan yang disebut dengan Science Technology Society (STS). Dengan demikian
STS dipusatkan pada saling hubungan antara sain dan teknologi dalam kaitannya dengan
kehidupan masyarakat. Pada hakekatnya hal itu tercakup dalam pendidikan sain dan
studi sosial, sehingga penekanannya dalam proses pembelajaran mengkaitkan sain dan
teknologi dalam kurikulum studi sosial. Hal ini berarti STS merupakan aplikasi bagi
pelajaran studi sosial dengan sain atau upaya kolaborasi antara studi sosial dengan sain
(Giese, 1991: 558).
Lebih jauh Giese (1991: 559) menyatakan, bahwa pembelajaran studi sosial
bertujuan untuk meningkatkan perkembangan siswa secara individu dan memberi
kontribusi pada fungsi kecakapan mereka sebagai warga negara. Dalam dunia modern
dewasa ini, pendidikan ilmu pengetahuan sosial perlu diarahkan pula pada segi keilmuan
dengan memasukkan pilihaw topik teknologi dalam kurikulum. Kenyataan yang tidak
dapat disangkal, karena sain (science) sebagai unsur dalam studi sosial merupakan suatu
tuntutan yang harus dipahami masyarakat. Di Amerika Serikat, The National Council
76
Social Studies (NCSS) menyatakan, bahwa keterkaitan studi sosial dengan sain telah
menjadi dasar premis sejak tahun 1950-an. Sain dan teknologi ternyata mempunyai
hubungan yang signifikan dengan kekuatan sosial. Dengan demikian, dapat dijadikan
dasar bagi siswa untuk memahami kompleksitas keilmuan dan teknologi masyarakat.
Berkaitan dengan itu, dalam kurikulum 1980 para pengajar di Amerika Serikat
sepakat untuk menggabungkan studi sosial dan sain dalam STS. Reorganisasi ini
dilakukan dengan cara menghubungkan antara sain, teknologi dan studi sosial, seperti
yang dipelopori oleh NCSS melalui lembaga Society Advisory Committee yang didirikan
sejak tahun 1977 untuk menangani penggabungan ini. Kemudian pad awal 1980-an
muncul dua kebijakan yang menyatakan. Pertama, STS menjadi tema dalam pendidikan
dan pengajaran studi sosial. Kedua, sain dan teknologi dapat diaplikasikan secara
perorangan maupun secara sosial. Pada dasarnya kebijakan tersebut bertujuan untuk
mempelajari interaksi antara sain dan teknologi dengan masyarakat dalam konteks saling
hubungan antara sain dengan isu-isu sosial yang berkembang. Pada gilirannya hal ini
dapat memberi kesempatan lebih besar kearah pengembangan materi pembelajaran yang
meliputi isu-isu sosial kontemporer yang sangat kompleks (Giese, 1991: 560).
Seperti diketahui, telah dikenal secara luas tiga tradisi dalam lapangan pembelajaran
studi sosial. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Barr (1987: 26-27), bahwa tiga
tradisi itu terdiri dari:
Citizernships Transmission, Social Studies Taught as a Social
Science, dan Reflective Inguiry. Lebih jauh tiga tradisi tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
1. Citizenships Transmission, merupakan tradisi pengajajaran studi sosial sebagai
transmisi kewarganegaraan. Dalam pelaksanaannya tradisi ini menggunakan
pendekatan indoktrinasi. Anggapan dasarnya adalah, bahwa para pengajar studi
sosial
mempunyai
kewajiban untuk menanamkan
kemandirian (self-evident values). Tradisi ini sangat pc
dukungan yang sangat luas, baik dari kalangan ahli-ahli iln
pengajar studi sosial. Esensi dari tradisi ini adalah penanaman tentang apa yang
dipertimbangkan sebagai pengetahuan yang paling diminati, nilai-nilai dan
kecakapan-kecakapan yang diasumsikan sangat penting untuk mempertahankan
kelangsungan hidup suatu kebudayaan (Barr, 1987: 26, Waney, 1989:21).
2. Social studies taught as a Social Science, yang menempatkan pengajaran studi
sosial dalam kedudukannya sebagai ilmu sosial (social science). Berbeda dengan
tradisi transmisi kewarganegaraan, dalam pelaksanaannya tradisi yang kedua ini
memusatkan perhatiannya kepada struktur, metodologi, dan substansi ilmu-ilmu
sosial. Para pendukungnya terbagi-bagi sesuai dengan disiplin ilmu sosial mana
yang paling banyak mendapat perhatian (Waney, 1989: 21).
3. Reflective lnquiry, yang menekankan pada pentingnya mempersiapkan peserta
didik sadar akan kewarganegaraannya. Komponen yang paling penting dari segi
kewarganegaraan adalah kemampuan siswa mengidentifikasikan
masalah-
masalah dan isu-isu sosial dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan
kebijakan dan keyakinan (Barr, 1987: 26-27). Kewarganegaraan sebagai suatu
proses pengambilan keputusan sosio-politik didasarkan atas dua anggapan, yaitu:
a) kerangka sosio-politik demokrasi yang didasarkan atas keyakinan, bahwa
semua rakyat terpanggil untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang akan
mengatur mereka, b) menyangkut pengambilan keputusan yang unik, yang
berlangsung pada situasi tak menentu dan setiap pilihan yang tertentu bukan di
78
antara baik dan tidak baik, tetapi di antara apa yang dipandang baik dan apa yang
dilakukan untuk memperbaikinya (Waney, 1987; 21-22).
Berpijak dari tradisi studi sosial yang ke-3 maka dapat dinyatakan di sini, bahwa
pendidikan kewarganegaraan dapat diartikan sebagai suatu proses belajar yang
mengarah kepada peningkatan kemampuan peserta didik tentang bagaimana membuat
keputusan yang menyangkut masalah-masalah sosial yang utama yang tampak sedang
mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, fungsi pembelajaran ilmu sosial
adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik agar mampu mengidentifikasi
masalah-masalah sosial dan mengevaluasi data-data agar keputusannya itu sesuai dengan
kepentingan mereka (Waney, 1987: 22). Oleh karena itu, sikap kritis peserta didik
sebagai warga negara perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPS sesuai dengan
tradisi Reflective Jnquiry itu lebih ditekankan.
Lebih jauh dalam pelaksanaannya di lapangan, pendidikan ilmu-ilmu sosial
adalah untuk menanamkan kepada peserta didik suatu sikap agar mereka menjadi warga
negara yang baik. Dalam realisasinya, studi sosial mengajarkan kepada para siswa
tentang bagaimana berpikir seperti yang berlaku dalam studi sosial berdasarkan pada
warisan budaya. Konsepsi ini mengkondisikan generasi yang lebih tua untuk
memberikan pembelajaran kepada generasi muda dengan menekankan
kepada
kemampuan pemberian jawaban kepada berbagai tipe masalah yang dihadapi (Fenton,
1967: 1-2). Dengan demikian, proses pendidikan yang perlu dilakukan adalah dengan
jalan memperkenalkan konsep, generalisasi, dan teori, yang mendasari cara berpikir, dan
cara bekerja berbagai disiplin ilmu sosial. Untuk mencapai tujuan ini, maka perlu
dilakukan pemilihan secara teliti terhadap materi yang harus dipelajari. Pemilihan itu
dilakukan berdasarkan ruang lingkup materi dan kedudukan materi yang akan diajarkan
79
dalam suatu disiplin ilmu sosial. Di samping itu, juga perlu dipertimbangkan mengenai
bentuk pendidikan studi sosial yang dikehendaki dan pertimbangan pendidikan
mengenai perkembangan peserta didik, perkembangan teori belajar dan proses belajar,
arah kebijakan politik, kondisi sekolah, serta lingkungan sosial budaya yang melingkupi
suatu lembaga pendidikan. Sudah pasti, disiplin ilmu-ilmu sosial tetap merupakan
sumber utama materi kurikulum pendidikan studi sosial. Materi itu dapat dikembangkan
mulai dari aspek metodologi disiplin ilmu. Dapat juga pemilihan materi tersebut
diperoleh dari gabungan beberapa aspek. Mengenai cara pemilihan materi dalam
kurikulum sangat ditentukan oleh bentuk pendidikan studi sosial yang digunakan. Dalam
proses pembelajaran studi sosial, penanaman dan pemahaman nilai sangat penting
artinya bagi peserta didik agar mereka nantinya mampu hidup bermasyarakat dan
berbangsa secara ideal. Dalam kerangka itu, maka pendidikan ilmu sosial harus pula
dikomunikasikan kepada masyarakat melalui jalur formal maupun media massa.
Dengan cara ini diharapkan anggota masyarakat dapat meningkatkan kualitas interaksi
dan partisipasinya, baik dengan sesama anggota masyarakat maupun dengan lembagalembaga sosial politik yang ada. Apabila hal itu berhasil dilaksanakan, maka tidak
disangsikan lagi ilmu-ilmu sosial dapat memiliki peran yang sangat penting dalam upaya
membangun masa depan yang diinginkan (Hasan, 1996: 5).
Di Amerika Serikat, studi sosial memanfaatkan fenomena sosial yang berkaitan
dengan warna kulit, jenis kelamin {gender), lapisan sosial, dan agama sebagai sarana
untuk merekonstruksi masyarakat. Dalam rangka rekonstruksi sosial, perkembangan
ilmu-ilmu sosial dan proses pembelajarannya selalu tergambar dalam perubahan
kurikulum. Tercantumnya suatu mata pelajaran dalam suatu kurikulum, erat kaitannya
dengan kebutuhan masyarakat. Perubahan kurikulum akan melukiskan perubahan
80
kebutuhan utama masyarakat, sehingga isi kurikulum selalu menekankan pentingnya
sesuatu dalam periode tertentu. Dengan demikian, isi kurikulum dan organisasi
kurikulum itu berbeda-beda antara periode yang satu dengan periode yang lain (Dimyati,
1989: 68-70).
Pada dasarnya harapan untuk membentuk warga negara yang baik merupakan
tipe ideal dari kegiatan pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Warga negara yang baik pada
umumnya dapat dinyatakan sebagai warga negara yang telah memenuhi syarat-syarat
dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana layaknya
warganegara suatu negara. Misalnya, mematuhi hukum, membayar pajak, membela
tanah air, dan sebagainya. Dengan demikian, penekanannya lebih kepada penerimaan
(acceptance) norma-norma tertentu yang berlaku di lingkungan masyarakat. Di samping
penerimaan norma-norma yang berlaku umum, ada juga norma yang berupa
kepercayaan yang hanya bersifat lokal yang berupa kebiasaan moral yang ditaati oleh
masyarakat setempat. Hal seperti itupun mesti diajarkan sepanjang norma-norma
tersebut masih diharapkan oleh masyarakat yang bersangkutan (Barr, 1987: 29-30)
Upaya pembentukan waga negara yang baik tentu saja tidak terlepas dari proses
pembelajaran. Hal ini mengingat, pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang dapat
mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa, sehingga proses belajar mengajar dapat
terjadi secara baik. Peristiwa pembelajaran itu merupakan suatu proses pengenalan fakta
dan informasi ilmu-ilmu sosial melalui suatu perencanaan yang baik, agar dapat
mencapai tujuan belajar yang diharapkan. Dalam pelaksanaannya, suatu peristiwa
pembelajaran pada awalnya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dominan yang
bersifat eksternal. Namun demikian, faktor-faktor eksternal itu secara berangsur-angsur
81
akan menjadi faktor internal, jika siswa yang bersangkutan telah mampu mendidik
dirinya sendiri atau telah sampai pada tingkatan self instruction (Gagne, 1988: 32).
Untuk dapat mencapai hasil pembelajaran ilmu sosial yang diharapkan, guru
dapat melakukan proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Diharapkan, proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas memiliki efek terhadap
perilaku siswa, baik efek yang bersifat instruction maupun nurturant. Efek itu dapat
terjadi, selain yang berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran juga pada segi
kepekaan siswa secara sosial. Kepekaan sosial siswa ditinjau dari segi teoretis merujuk
pada konsepsi Scott (1991, 357-360), yang berkaitan dengan empathy, prosocial atau
morality. Empati, dapat dilihat secara afektif, kognitif, dan komunikatif. Unsur afektif
berhubungan dengan kapasitas seseorang dalam merasakan apa yang dirasakan atau
dialami oleh orang lain. Sementara itu, unsur kognitif, merujuk pada kapasitas seseorang
dalam membedakan keadaan afektif orang lain dan memahami cara pandang orang lain
itu, untuk memahami situasi dari cara pandang lainnya. Kemudian unsur komunikatif
dari empati merujuk pada kemampuan untuk mengkomunikasikan perasaan diri terhadap
orang lain.
Masalah-masalah sosial kontemporer yang terjadi dalam masyarakat sudah tentu
memerlukan sense of social atau empathy dari seluruh komponen masyarakat termasuk
di dalamnya para siswa. Mereka yang mempelajari pendidikan ilmu sosial harus mampu
memiliki the ability to put one shelfin someone else's shoes or formally to reciprocate
positions (Dickinson, 1984: 40). Hal ini merupakan bentuk empati terhadap orang lain
yang tengah memiliki masalah-masalah sosial. Jika kemampuan empati, baik yang
bersifat afektif, kognitif, maupun komunikatif dapat dimiliki oleh peserta didik, maka
diharapkan mereka akan dapat memposisikan diri sebagai warganegara yang memiliki
82
kepekaan moral (moral sensitivity) yang memadai. Pada gilirannya, mereka akan mampu
pula melakukan moral judgement, moral decision making, maupun moral action yang
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Scott, 1991: 358-359).
Sudah selayaknya guru-guru ilmu sosial (IPS) memahami benar, bahwa materi
yang diajarkan kepada para siswa adalah fakta-fakta sosial. Fakta itu menjelaskan akan
dirinya sendiri dan merupakan fondasi untuk pengajaran kognitif dalam pengajaran
ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian, harus ada upaya untuk menafsirkan makna dari
fakta-fakta itu agar benar-benar dapat dipahami sebagai dasar ilmu-ilmu sosial. Dalam
tataran keilmuan, fakta merupakan tingkat yang paling rendah dari suatu abstraksi. Suatu
fakta berada dalam keadaan yang sesungguhnya (factual) dan harus diterima
sebagaimana adanya (Sunaryo, 1989: 116).
Pada dasarnya pengetahuan dan pemahaman menjadi sesuatu yang sangat
dominan dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Hal ini disebabkan, kedudukan dan
pemahaman fakta sangat penting dan mendasar. Namun demikian, harus pula diingat
bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial tidak boleh hanya membatasi diri pada pengetahuan
dan pemahaman fakta semata. Lebih jauh pengetahuan dan pemahaman itu harus dapat
dikembangkan melalui cara belajar bermakna, sehingga akan menjadi pengetahuan yang
efektif (Hasan, 1996: 167). Melalui kegiatan belajar bermakna, proses yang ditempuh
melalui tiga jenjang, yaitu kebermaknaan dalam logika, jenjang potensi kebermaknaan,
dan belajar bermakna. Dalam ketiga jenjang tersebut ada kondisi yang harus dipenuhi,
yaitu adanya keterhubungan antara apa yang dipelajari dengan apa yang sudah dimiliki
seseorang. Belajar bermakna baru dapat terjadi apabila dua jenjang terdahulu sudah
tercapai. Dalam setiap jenjang terdapat dua kondisi yang harus berkaitan, yaitu apa yang
sudah terjadi pada struktur kognitif yang dimiliki seseorang dengan sifat materi yang
83
baru dipelajari. Keterhubungan antara keduanya sangat menentukan keberhasilan belajar
bermakna tersebut (Hasan, 1996: 171, Wineburg, 1997: 38).
Dalam kerangka pendidikan moral, pembelajaran ilmu-ilmu sosial dapat juga
mengembangkan aspek-aspek moralitas. Seperti telah dinyatakan, bahwa segi moralitas
terdiri dari empat tataran penting, yaitu moral sensitivity, moral judgement, moral
decision making, and moral action (Scott, 1991:358). Pembelajaran ilmu-ilmu sosial
yang dilaksanakan dapat memunculkan permasalahan yang berkaitan dengan moral
bangsa atau moral masyarakat setempat sebagai salah satu isu sentral. Masalah moral
bangsa atau moral masyarakat setempat berkaitan erat dengan identitas sosial, solidaritas
sosial, semangat kebangsaan, semangat patriotisme, demokrasi, dan tipe masyarakat
ideal yang seharusnya terbentuk sebagai hasil dari proses pembelajaran ilmu-ilmu sosial
(IPS). Dalam kaitan ini, moral individu maupun kelompok masyarakat setempat
berhubungan langsung dengan realitas sosial pada zaman (waktu) dan tempat (ruang) di
mana siswa itu berada. Kepekaan moral (moral sensitivity) seseorang dapat pula
berdimensi universal yang menembus batas ruang dan waktu. Hal ini berarti, bahwa
kepekaan moral dapat melampaui batas wilayah lokal atau nasional dan dalam kurun
waktu yang berbeda. Sebagai contoh, kepekaan seseorang yang berkaitan dengan arti
pentingnya solidaritas antar sesama manusia. Kemudian moral action lebih mengarah
pada perilaku yang nyata secara kolektif maupun individual dalam kehidupan seharihari. Hal itu merupakan efek dari isntructional dan nurturant dari pembelajaran ilmuilmu sosial yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat (Shemilt, 1984: 43).
Sudah pasti para guru ilmu pengetahuan sosial dituntut pula untuk memiliki kepekaan
sosial dan wawasan yang luas semacam itu.
84
Untuk dapat mencapai hasil pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang ideal, tentu saja
harus dicermati tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Secara umum dikenal tujuan
pembelajaran ilmu-ilmu sosial, yaitu: l) Social studies prepare children to be good
citizens, 2) Social studies teach children how to think, 3) Social studies pass on the
cultural heritage (Fenton, 1967: 1). Dengan demikian, studi sosial bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, mengajar peserta didik
agar mampu bagaimana mereka berpikir dan agar peserta didik mampu melanjutkan
warisan kebudayaan bangsanya. Dengan demikian, titik berat studi sosial sebenarnya
adalah perkembangan individu agar dapat memahami lingkungan sosialnya dan kegiatan
serta interaksi di antara mereka. Para peserta didik diharapkan dapat menjadi anggota
masyarakat yang produktif dan dapat memberikan andil bagi masyarakat, mempunyai
rasa tanggung jawab, tolong-menolong antar sesamanya, dan dapat mengembangkan
nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat (Barr, 1987: 197).
Dalam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial, ketrampilan berpikir menempati
kedudukan yang sangat penting. Dengan penguasaan ketrampilan berpikir semacam itu
peserta didik akan mampu mengolah apa yang dipelajarinya, baik melalui pembahasan,
bacaan, maupun pengamatan, sehingga siswa akan menemukan sesuatu yang bermakna
bagi dirinya. Melalui kemampuan analisis yang dimilikinya, siswa dapat memahami
kesamaan dan perbedaan antara satu pokok pikiran dengan pokok pikiran lainnya.
Sebagai hasilnya, siswa yang bersangkutan mampu menentukan mana pendapat yang
memiliki kelebihan dan pendapat mana yang memiliki kekurangan. Hal ini merupakan
kesempatan untuk mengembangkan pikiran baru tentang hal-hal yang dipelajarinya.
Kebermaknaan tersebut akan menyebabkan informasi baru dapat disimpan dalam jangka
85
waktu yang lebih lama dibandingkan dengan apabila materi pelajaran ilmu-ilmu sosial
itu hanya sekedar bersifat hafalan (Hasan, 1996: 113).
Sangat disayangkan, jika perkembangan dalam dunia pendidikan ilmu sosial di
Indonesia dewasa ini pada umumnya cenderung kurang peduli tehadap makna dari ilmu
yang dipelajari. Hal ini disebabkan, selama ini pembelajaran ilmu-ilmu sosial kurang
memperhatikan nilai yang mampu membangkitkan kesadaran atau pentingnya makna
ilmu-ilmu sosial yang dipelajari di sekolah bagi kehidupan masyarakat. Pembelajaran
ilmu sosial juga kurang mampu mengembangkan potensi siswa dalam rangka
menggunakan dan menerapkan apa yang sudah dipelajari di sekolah dalam praktek
kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu untuk dapat meningkatkan kebermaknaan, dalam
pengajaran ilmu-ilmu sosial harus selalu diupayakan untuk mengembangkan rasa
senang, kemauan untuk memiliki, kemampuan menerapkan sikap, nilai, dan moral siswa
dalam hidup bemasyarakat. Untuk pembelajaran dalam kalangan yang lebih luas, ilmuilmu sosial sangat perlu dikomunikasikan kepada masyarakat agar mereka memahami,
bahwa disiplin ilmu-ilmu sosial memberi banyak informasi dan kemampuan tentang
berbagai aspek dalam kehidupan manusia yang berguna dalam kehidupan nyata. Aspekaspek itu menyangkut berbagai dimensi manusia yang meliputi, pemikiran, tingkah laku,
sikap atau moral, dan hasil karya yang dapat menjadi panutan masyarakat. Dengan
demikian, mempelajari ilmu-ilmu sosial tanpa memahami beberapa aspek penting dalam
kehidupan masyarakat, merupakan usaha yang tidak lengkap dan kurang memiliki
kebermaknaan. Dalam kenyataannya, masyarakat tidak hanya sekedar membutuhkan
informasi tentang aspek-aspek itu, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk
merasakan tentang penerapan ilmu-ilmu sosial yang bermanfaat bagi kehidupan (Hasan,
86
1996: 248-249). Jika demikian, maka pengembangan sikap, nilai, dan moral, perlu
mendapat perhatian yang serius dalam pelaksanaan pendidikan ilmu-ilmu sosial itu.
Dalam upaya memahami nilai-nilai yang terkandung dalam materi pembelajaran
ilmu-ilmu sosial bagi kehidupan masyarakat, harus dipenuhi lima prinsip. Kelima
prinsip itu adalah terdiri dari: a) pemahaman terhadap aspek nilai dan moral, b)
penghargaan terhadap nilai dan moral, c) identifikasi diri terhadap nilai dan moral, d)
penerapan nilai dan moral, dan e) pembentukan wawasan dan kebiasaan nilai dan moral.
Keterkaitan kelima prinsip itu sangat kuat satu sama lain. Ketiga prinsip yang pertama
merupakan dasar bagi kedua prinsip berikutnya (Hasan, 1996: 250). Oleh sebab itu,
tanpa pemahaman, penghargaan, dan identifikasi diri terhadap nilai moral, maka akan
sangat sulit untuk dapat mencapai prinsip penerapan nilai, apalagi sampai pada prinsip
pembentukan wawasan dan kebiasaan nilai dan moral (Goods & Brophy, 1997: 243).
Pada dasarnya keterkaitan antara prinsip-prinsip yang ada terjalin sangat erat, sehingga
harus dipahami secara bertahap. Kiranya perlu pula ditekankan di sini, bahwa seseorang
yang tidak mengenal suatu nilai sudah dapat dipastikan orang yang bersangkutan tidak
akan mampu mengembangkan sikap dan wawasan nilai tersebut.
C. Penerapan Konsep Perubahan Sosial dalam Konteks Kesejarahan
Menurut ungkapan Cohen (1975: 1-2), suatu teori dapat diibaratkan seperti
lembaran chek yang masih kosong. Dalam arti, bahwa teori memiliki nilai yang sangat
potensial bagi suatu ilmu pengetahuan, tetapi semua itu sangat tergantung dari pihak
yang menggunakannya. Dalam kenyataannya, teori selalu dapat mengembangkan nilainilai tertentu secara intensif, karena didukung oleh fakta-fakta. Oleh karena itu semua
87
teori perlu didukung oleh fakta-fakta, walaupun tidak semua pernyataan yang disusun
berdasarkan fakta-fakta dapat mendukung suatu teori.
Secara sistematis teori ilmu pengetahuan berupa ide-ide yang berlaku umum
yang disusun untuk beberapa kegunaan, yang dikembangkan dalam empat tipe. Pertama,
analytic theory (teori analitik), seperti logika matematika yang berisi seperangkat
penyataan aksiomatik yang dinyatakan dengan definisi yang benar. Kedua, normative
theories (teori-teori normatif) yang dikembangkan melalui saperangkat kedudukan
dalam bentuk cita-cita ideal, seperti etika dan estetika. Ketiga, scientific theory (teori
ilmu pengetahuan), yang idealnya bersifat universal, berdasarkan statemen empirik dan
menyangkut hubungan kausalitas antara dua atau lebih tipe peristiwa. Keempat,
metaphysical theory (teori metafisika), yang dibentuk tidak berdasarkan atas seperangkat
pengujian (testable), tetapi lebih berdasarkan pada interpretasi secara rasional atas
obyeknya (Cohen, 1975: 2-4).
Secara lebih khusus, dalam lingkup scientific theory dikenal empat jenis teori
yang tersusun secara bertingkat dan membentuk suatu lapisan dari tataran yang tertinggi
sampai yang terendah. Tinggi atau rendahnya suatu teori ilmu pengetahuan sangat
tergantung dari proses terbentuknya dan keluasan penerapannya. Menurut Goetz & Le
Comte (1984: 36) teori ilmu pengetahuan dapat digolongkan dalam empat kelompok.
Pertama, teori besar (grand theory), merupakan teori yang secara ketat mengkaitkan
preposisi-preposisi dan konsep-konsep yang bersifat abstrak, sehingga dapat digunakan
untuk menguraikan, menjelaskan, dan memprediksikan sejumlah fenomena yang besar
secara komprehensip. Sebagai contoh dari teori besar yang sangat terkenal adalah teori
tantangan dan jawaban (challenge and response) dari Arnold Toynbee. Dia menyatakan,
88
bahwa ada empat masa perkembangan peradaban umat manusia, yaitu masa kelahiran
(the genesis of civilization) > masa pertumbuhan peradaban (the growths of civilization),
masa kemunduran peradaban (the breackdowns of civilization), dan masa kehancuran
peradaban (the disintegrations of civilization) (Costello, 1993: 79). Teori tantangan dan
jawaban yang dikemukakan itu dalam proses pengembangannya juga berkaitan dengan
teori tentang perubahan sosial yang bersifat siklus (Vine, 1967: 303).
Kedua, model teoretis (theorietical models), merupakan teori yang menyangkut
keterhubungan yang longgar antara sejumlah asumsi, konsep dan preposisi yang
membentuk pandangan ilmuwan tentang dunia. Sebagai contoh, adalah teori konflik
yang dikembangkan oleh Kari Marx. Dalam teorinya dia menyatakan bahwa dinamika
sosial dalam institusi-institusi dalam jangka panjang benar-benar harus sesuai dengan
dinamika ekonomi. Menurut perspektif ini, pusat perhatian Marx adalah pada tingkat
struktur sosial, bukan pada tingkat kenyataan sosial budaya. Dalam perkembangan
selanjutnya, dinamika sosial itu diwarnai oleh upaya penyesuaian diri antara kondisi
sosial dalam masyarakat dengan lingkungan fisiknya. Dalam kerangka itu, hubungan
sosial yang muncul dalam upaya penyesuaian diri tersebut adalah terjadinya konflik
antar kelas sosial yang berkepanjangan. Tujuan yang akan dicapai adalah tunduknya
aspek-aspek sosial budaya kepada azas ekonomi. (Beilharz, 2002: 274).
Ketiga, teori formal dan teori tingkat menengah (formal theory and middle-range
theory), yang lebih menekankan pada keterhubungan preposisi yang dikembangkan
untuk menjelaskan beberapa kelompok tingkah laku manusia yang bersifat abstrak. Pada
umumnya teori ini dikembangkan untuk banyak studi, yang ruang lingkupnya lebih
sempit dibanding dua teori terdahulu. Ditinjau dari proses pembentukannya, teori ini
dikembangkan dari generalisasi yang sudah bersifat umum, tetapi keterikatannya dengan
data empirik sangat kuat. Dengan demikian maka teori pada tingkat
generalisasi yang dijadikan dasar masih sangat terbatas (Hasan, 12996:
pada tingkat teori ini adalah teori tentang perubahan sosial (social a
dikembangkan oleh Bottomore (1972: 297) yang menyatakan, bahwa perubahan sosial
meliputi perubahan struktur sosial, termasuk perubahan ukuran masyarakat, terutama
dalam lembaga-lembaga sosial, atau yang menyangkut hubungan antar kelembagaan
yang ada dalam masyarakat.
Keempat, teori substantif (substantive theory), adalah merupakan teori yang
dikembangkan melalui keterhubungan preposisi atau konsep yang hanya berlaku untuk
kelompok populasi, lingkungan, dan waktu yang terbatas. Dengan demikian, teori ini
juga hanya berlaku pada lingkup yang terbatas, baik kelompok populasi, lingkungan,
maupun waktu tertentu. Dalam kaitan ini, Hasan (1996: 127), menyatakan bahwa teoriteori antropologi yang berkaitan dengan masyarakat desa, organisasi kekerabatan dapat
dikelompokkan kedalam jenis teori ini.
Pada hakekatnya, teori ilmu-ilmu sosial dikembangkan dengan maksud untuk
menerangkan dan memahami pengalaman yang menjadi basis pengalaman-pengalaman
lain dan ide-ide mengenai realitas tentang dunia. Memang ada perbedaan-perbedaan
yang harus diperhatikan antara teori ilmu sosial dengan pemikiran teoretis sehari-hari.
Dalam teori ilmu sosial berusaha bersifat lebih sistematis, baik dalam menjelaskan
pengalaman maupun ide-ide agar penjelasan yang dilakukan dapat mencapai sasaran
obyektivitas. Cara kerja teori dalam hubungannya dengan penjelasan tentang masyarakat
adalah untuk mengidentifikasi struktur pokok dari obyeknya dengan menggunakan
analogi dan metafora, bahwa masyarakat serupa dengan sesuatu yang lain. Dengan cara
ini akan dapat ditemukan serangkaian perbandingan dalam keseluruhan teori sosial.
90
Kadang-kadang masyarakat disamakan dengan mahluk hidup secara biologis. Menurut
pendapat Craib (1994: 36), dalam hal-hal tertentu pengandaian merupakan tahap yang
paling imajinatif, tetapi hal itu diikuti oleh tingkat ketepatan yang kian tinggi. Ternyata
bukan hanya keserupaan yang diperoleh, tetapi juga penting untuk mendapatkan
perbedaan-perbedaan
yang akan
mendorong perkembangan
lebih jauh dengan
munculnya konsep-konsep yang berkaitan dengan teori itu. Tentu saja teori bukan hanya
berkaitan dengan persoalan untuk menentukan struktur-struktur pokok, karena teori juga
harus mampu memberikan penjelasan. Dengan demikian, teori harus memiliki beberapa
konsepsi tertentu mengenai hubungan sebab akibat.
Berdasarkan pemikiran itu, berarti suatu teori tidak cukup hanya menjelaskan,
bahwa suatu peristiwa telah menyebabkan suatu peristiwa yang lain. Akan tetapi lebih
dari itu, suatu teori harus mampu menetapkan bagaimana proses sebab akibat dari suatu
peristiwa itu berlangsung. Dalam persoalan yang berkaitan dengan masyarakat, suatu
gagasan struktural mengenai "sebab" secara tidak langsung telah tercakup di dalamnya.
"Sebab" dilihat bukan sebagai suatu kejadian tunggal atau sesuatu yang berdiri sendiri,
tetapi sebagai suatu hal yang menetap dalam suatu susunan khusus dari berbagai
hubungan. Hubungan-hubungan ini dapat dilihat sebagai susunan kerangka dari suatu
mekanisme kausal. Teori harus pula dapat menentukan kondisi, seperti apa yang
memungkinkan mekanisme itu bekeija (Boon, 1973: 8, Craib, 1994: 37).
Dalam studi sejarah, kerangka teoretis dipandang sebagai seperangkat kaidah
yang mendasari suatu gejala, yang dalam proses penyusunannya sudah melalui verifikasi
yang cermat (Kuntowijoyo, 1995: 114). Teori mempunyai posisi yang sangat penting,
karena dapat memandu peneliti dalam upaya menjelaskan masalah-masalah yang diteliti.
Oleh sebab itu, kerangka teoretis diperlukan dalam hal penyusunan bahan-bahan yang
91
telah diperoleh, baik melalui analisis sumber maupun hasil yang diperoleh melalui usaha
mengevaluasi hasil yang ditemukan dalam sumber-sumber itu. Fungsi teori dalam
disiplin sejarah seperti juga terdapat dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain, yaitu untuk
mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti, di samping untuk menyusun kategorikategori serta mengorganisasi hipotesis-hipotesis. Melalui tahap ini berbagai macam
interpretasi data dapat diuji, dan memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria yang
dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu (Alfian, 1987: 4-5). Dengan demikian, teori
memang tidak dapat memberikan jawaban kepada peneliti, akan tetapi teori dapat
membekali peneliti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan terhadap
fenomena yang hendak diteliti.
Kecenderungan umum dalam perkembangan dunia ilmu pengetahuan dewasa ini
adalah untuk menyelasaikan masalah-masalah yang kompleks, yang dilakukan dengan
upaya saling mendekati dari berbagai disiplin ilmu. Proses semacam itu juga terjadi
dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial. Dalam kenyataannya dalam lingkungan ilmu-ilmu
sosial, beberapa "wilayah" permasalahan memang menuntut adanya keija sama
interdisipliner atau adanya konvergensi
antara beberapa cabang ilmu sosial. Tidak
mengherankan apabila banyak permasalahan yang masuk ke dalam daerah permasalahan
bersama,
misalnya
perubahan
sosial,
westernisasi,
modernisasi,
akulturasi,
sektarianisme, revivalisme, gerakan sosial dan sebagainya. Penetrasi teoretis secara
interdisiplin dalam menguraikan faktor-faktor yang saling mempengaruhi, perlu ditinjau
dari konteks perkembangan historis, memperhatikan tendensi-tendensi jangka panjang,
pola kelakuan, perubahan nilai dan norma, menentukan kecenderungan umum dari
perkembangan peristiwa, dan faktor-faktor kondisional yang melingkupinya. Perlu pula
ditekankan di sini, bahwa setiap konstelasi dari peristiwa itu mempunyai kekhususannya
92
yang unik dan yang membedakan dengan peristiwa-peristiwa yang lain. Sementara itu,
dalam suatu peristiwa ada pola-pola yang setiap kali muncul, sehingga persamaan antara
peristiwa-peristiwa itu semakin tampak (Kartodirdjo, 1970: 8). Dengan demikian, dapat
dilakukan perbandingan di antara peristiwa-peristiwa itu, sehingga analisisnya akan
semakin tajam dan perspektifnya akan semakin bertambah luas.
Dengan paparan tersebut dapat dinyatakan, bahwa teori-teori ilmu sosial sangat
penting artinya bagi sejarawan dalam rangka mambantu memberi penjelasan-penjelasan
tentang fenomena masyarakat masa lampau yang akan direkonstruksi. Dalam upaya
memahami gejala sejarah itu, ternyata yang diperlukan tidak hanya data-data atau faktafakta saja. Akan tetapi, diperlukan pula kemampuan interpretasi dan imajinasi sejarawan
untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang telah lampau tersebut. Hal ini harus
dilakukan mengingat bersamaan dengan berlalunya waktu, maka peristiwa yang terjadi
semakin menarik diri dari panggung kehidupan masa kini. Semakin lama peristiwa
tersebut, semakin menjauhkan diri dari kehidupan manusia yang selalu berganti dari
generasi ke generasi berikutnya. Seiring dengan berkalunya waktu, pada awalnya teijadi
kekaburan pada peristiwa itu kemudian terjadi kegelapan, sehingga tidak dapat lagi
dijangkau sama sekati oleh ingatan masyarakat. Ilmu sejarah berusaha mengembalikan
peristiwa yang telah terjadi di masa lampau itu dari kegelapan ke bawah sorot cahaya
zaman masa sekarang yang sedapat mungkin sesuai dengan bentuk aslinya (Zoetmulder,
1995:288).
Dalam kerangka ini, sejarawan di samping memerlukan jejak-jejak masa lampau
yang dihimpun melalui sumber-sumber sejarah yang relevan, juga diperlukan pula
kemapuan interpretasi dan imajinasi berdasarkan sumber-sumber tersebut. Diperlukan
pula teori-teori dan metodologi untuk membantu menjelaskannya. Oleh sebab itu,
93
sejarawan harus jeli meminjam dan menggunakan teori-teori ilmu sosial yang lain yang
diperlukan dalam rangka memberi penjelasan sejarah yang direkonstruksi. Misalnya,
untuk menjelaskan sekian banyak kontak kebudayaan di masa lampau, dapat dilakukan
dengan menggunakan teori integrasi dan teori fungsional, seperti yang dikembangkan
dalam disiplin antropologi. Dari sekian banyak kontak bebudayaan di Indonesia, ada
beberapa yang berkaitan dengan proses adaptasi dan asimilasi dengan unsur kebudayaan
asing. Melalui teori integrasi akan dapat dijelaskan persoalan, mengapa unsur-unsur
kebudayaan asing dengan mudah berasimilasi dengan kebudayaan lokal, sementara ada
unsur-unsur lain yang sulit berasimilasi. Mengapa beberapa unsur kebudayaan asli dapat
dengan mudah diganti dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sedangkan unsur-unsur
yang lain tidak semudah itu. Berdasarkan teori integrasi dapat dijelaskan, bahwa ada
sejumlah unsur kebudayaan asing yang mudah dapat diterima dalam keseluruhannya
hanya apabila dapat disesuaikan dengan bentuk perilaku lama dan cocok dengan sikapsikap emosional yang ada dalam masyarakat pada saat itu. Sementara itu berdasarkan
teori fungsional dapat dijelaskan, bahwa unsur-unsur kebudayaan yang tidak mudah
berubah adalah unsur-unsur yang mempunyai fungsi sangat penting bagi kehidupan
masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1995: 266-267).
Lebih jauh Koentjaraningrat (1995: 271) menyatakan, bahwa dengan bantuan
teori-teori ilmu sosial tersebut, maka beberapa kesulitan dalam penelitian sejarah dapat
diatasi. Setidaknya beberapa masalah utama yang dapat diatasi berkaitan dengan hal-hal
penting, seperti: 1) Pemahaman mengenai berbagai proses asimilasi kebudayaan asing
yang pernah terjadi. 2) Petunjuk pencarian data-data yang diperlukan untuk mengisi latar
belakang peristiwa sejarah yang dapat diungkap dari berbagai sumber sajarah. 3) Proses
merekonstruksi sejarah pada tingkat lokal di Indonesia. 4) Mencari informasi tentang
94
asal-usul makna dan fungsi berbagai obyek sejarah serta unsur kebudayaan yang berasal
dari masa lampau.
Pada dasarnya penggunaan teori dilakukan dalam rangka membentuk gambaran
tipe ideal (ideal type) masyarakat masa lampau yang diteliti. Meskipun demikian,
pendekatan tipe ideal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu gambaran nyata dari
realitas, karena kecenderungan yang utama adalah untuk menyederhanakan kenyataan
agar dengan mudah dapat diterima oleh daya tangkap pikiran kita (Wertheim, 1995:
315). Oleh sebab itu, untuk dapat menjelaskan peristiwa perubahan sosial di Banyumas
sangat diperlukan bantuan teori-teori sosial, terutama yang berkaitan dengan teori
perubahan sosial. Sebenarnya, dinamika yang terjadi dalam sejarah secara keseluruhan
juga merupakan proses perubahan sosial dalam berbagai dimensi dan aspeknya (Myers,
2000: 21). Upaya yang terbaik menghadirkan kembali peristiwa masa lampau adalah
dengan melakukan penjelasan secara komprehensip. Untuk dapat mencapai harapan itu,
cara yang perlu ditempuh adalah dengan pendekatan multidimensional (interdisiplin).
Hal ini berarti dalam proses penjelasannya perlu dibantu dengan konsep, generalisasi,
maupun teori ilmu-ilmu sosial yang lain (Navins, 1962: 44-45). Dari sini dapat
dinyatakan, bahwa saling hubungan antar ilmu-ilmu sosial juga dapat digunakan untuk
saling melengkapi. Dengan begitu tidak ada satupun peristiwa di masa lampau yang
tidak dapat dilukiskan secara lengkap dengan segala aspeknya yang senantiasa berubah.
Berbagai pendapat tentang hubungan
antara sejarah
dengan
ilmu-ilmu sosial
menimbulkan perkembangan-perkembangan baru yang berkaitan dengan masalah
logika, konsepsi, dan filsafat (Abdullah, 1985: 189).
Dalam kenyataannya, pertumbuhan ilmu-ilmu sosial yang semakin mantap
dewasa ini telah membuka horison baru bagi disiplin sejarah, sehingga terbuka
95
kemungkinan untuk mengadaptasikan kedudukannya terutama yang berkaitan dengan
metodologi dengan mengarahkan diri kepada ilmu-ilmu sosial. Perkembanganperkembangan tersebut telah menimbulkan situasi metodologis dan pola-pola baru
dalam bidang ilmu sejarah. Hal semacam ini semakin menunjukkan perbedaan antara
sejarah konvensional dengan sejarah model baru. Pada dasarnya sejarah konvensional
bersifat deskriptif-naratif semata-mata, sedangkan sejarah baru lebih dikenal dengan
sejarah kritis yang bersifat deskriptif-naratif-analitis. Sejarah model baru tersebut lebih
mampu mengungkap segi kausalitas faktor-faktor kondisional dan berbagai dimensi
yang melingkupi peristiwa yang direkonstruksi. Hal semacam itu disebabkan adanya
pengaruh kuat dari perkembangan ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian, maka sejarah
sebagai ilmu perlu menyusun metodologinya sendiri yang mencakup pendekatan ilmuilmu sosial. Metodologi semacam itu mensyaratkan penggunaan alat-alat analitis, yang
berupa penggunaan konsep, generalisasi, teori, dan model analisis dari ilmu-ilmu sosial.
Dari sini jelaslah, bahwa ilmu sejarah telah mengalami perkembangan begitu pesat
dalam rangka meningkatkan relevansinya dalam menggarap obyek penelitiannya. Bagi
disiplin sejarah, metodologi baru dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial
ternyata dapat lebih meningkatkan kemampuannya untuk menjelaskan gejala sejarah
yang direkonstruksi. Sebagai dampak lebih jauh dari munculnya metodologi baru
tersebut adalah, pertumbuhan yang tampak begitu semarak yang ditandai dengan
munculnya berbagai jenis sejarah yang tidak lagi mengikuti model sejarah konvensional
(Kuntowijoyo, 1995: 107).
Perhatian sejarah baru tidak semata-mata ditujukan kepada kejadian-kejadian
yang unik, tetapi lebih banyak kepada pola dan kecenderungan dalam perubahan struktur
sosial. Suatu sejarah struktural dengan analisis berdasarkan konsep dan teori ilmu-ilmu
96
sosial, akan mampu mengungkap gejala-gejala umum dan ada kemungkinan melangkah
kepada generalisasi tertentu. Kompleksitas kecenderungan faktor-faktor struktural
tersebut dapat merupakan kerangka referensi untuk menempatkan kejadian-kejadian
sebagai manifestasi dari proses kekuatan sosial, sehingga yang ditempatkan dalam
konteks itu akan lebih mudah dipahami, mengapa hal itu terjadi. Alat-alat konseptual
yang dapat mempertajam analisis itu antara lain, faktor kepemimpinan, ideologi,
hubungan patron-client, ikatan primordial, loyalitas, dan lain-lain. Dipandang dari
perspektif kultural maupun secara kontekstual, suatu proses sosial merupakan aktualisasi
hubungan-hubungan laten yang tercakup dalam suatu sistem. Sementara itu, struktur
dapat dipandang sebagai kristalisasi proses yang diciptakan oleh interaksi sosial dalam
jangka waktu tertentu. Pendekatan ilmu-ilmu sosial (multidimensional atau interdisiplin)
menuntut konsekuensi yang berupa penguasaan metodologi disiplin ilmu-ilmu sosial
(interdisipliner), yang ternyata mendapat dukungan dari kalangan yang luas. Dalam
kaitan ini, lebih jauh Ankersmit (1987: 246-247) mengemukakan alasan:
1. Dengan bantuan konsep dan teori ilmu sosial yang menunjukkan antar berbagai
faktor, pernyataan-pernyataan mengenai masa silam dapat dirinci, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.
2. Suatu teori sosial, memuat hubungan berbagai variabel. Hal ini dapat mendorong
sejarawan untuk meneliti sebuah aspek dari masa silam yang serasi dengan
variabel tertentu. Oleh sebab itu dengan bantuan teori ilmu sosial, sejarawan
dapat melacak hubungan antar aspek tadi dengan aspek-aspek lainnya.
3. Akibat yang dapat diharapkan adalah kaitan yang dibangun oleh teori sosial dan
permasalahan yang ditimbulkan oleh teori yang bersangkutan dalam tinjauan
97
disiplin sejarah. Teori-teori sosial dapat membantu sejarawan agar dapat
menyusun pengetahuan tentang masa silam dalam struktur yang paling memadai.
4. Teori-teori ilmu sosial biasanya berkaitan dengan struktur umum dan supraindividual di dalam kenyataan sosio-historis. Oleh karena itu, teori-teori tersebut
dapat menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas.
Suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah dapat membantu sejarawan,
jika ingin mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat masa lampau yang ditelitinya.
Dalam kenyataannya, batas-batas pengkajian antara pelaksanaan penelitian
sejarah dengan penelitian ilmu-ilmu sosial sering terasa samar-samar. Seorang ahli ilmu
sosial sering secara de facto menggarap penelitian yang bersifat historis. Dengan
demikian, perbedaan formal antara pengkajian sejarah dengan ilmu-ilmu sosial tidak
dihapuskan. Para peneliti ilmu sosial menetapkan konsep-konsep umum, generalisasigeneralisasi, dan teori-teori empirik, sedangkan peneliti sejarah merumuskan yang
singular, yang hanya satu kali terjadi. Dari penjelasan ini dapat dinyatakan, bahwa
perbedaan antara keduanya tidak terbentang antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Perbedaan itu lebih merupakan garis lintang di antara ilmu-ilmu sosial itu sendiri. Dalam
kenyataanya, ilmu-ilmu sosial juga mengadung komponen-komponen yang bersifat
historis, setidak-tidaknya dalam praktek pengkajiannya (Ankersmit, 1987: 247).
Menurut pendapat Burke (1992: 2), pada tahap tertentu antara sejarawan dengan
ahli ilmu-ilmu sosial harus dapat menjadi sahabat yang baik secara intelektual. Dalam
arti, mereka perlu saling membantu karena pada dasarnya mereka saling membutuhkan
dalam upaya memahami tingkah laku masyarakat secara keseluruhan. Hal ini tidak
terkecuali dengan sejarah, mengingat dalam masyarakat masa lampau terdapat aktivitas
98
yang sangat kompleks. Dengan demikian rekonstruksi sejarah perlu dijelaskan dengan
bantuan ilmu-ilmu sosial yang lain. Dalam kaitan ini terutama dalam hal penggunaan
konsep, generalisasi, dan teori ilmu-ilmu sosial tidak dapat dihindarkan, walaupun antara
keduanya memiliki prinsip-prinsip keilmuan yang tidak selalu sejalan. Sebagai contoh,
sosiologi lebih menekankan pada generalisasi perkembangan dalam struktur masyarakat
masa kini. Sementara itu sejarah menitikberatkan studinya pada perubahan struktur dan
perilaku masyarakat di tempat tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, dengan
menampilkan keunikan-keunikan masyarakat yang diteliti. Lebih jauh dinyatakan:
Sociology may be defined as study of human society, with an emphases on
gerteralization about is structure and development. History is better deftne as the
study of human societies in the plural, placing the emphases on the dijferences
between them and also on the changes which have taken place in each one over
time. The two approaches have sometimes been viewed as contradictory, but it is
more useful to treat them as complementary. It is only by comparing it with other
that we can discover in what respects a given society is unique. Change is
structured, and structures change. Indeed, the process of structuration, as same
sociologists call it, has become a focus of attentions in recent years (Burke,
1992: 2).
Tidak dapat diingkari, masyarakat selalu mengalami perubahan-perubahan yang
tidak pernah final, karena adanya penyesuaian sosial yang berlangsung secara terusmenerus. Jika diperhatikan secara saksama, penyesuain sosial itu terjadi sebagai akibat
dari adanya pergeseran unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. Mengingat unsur-unsur
itu berkaitan satu sama lain, maka jika salah satu unsur bergeser akan diikuti oleh
pergeseran pada unsur-unsur lain dalam rangka menyesuaikan diri. Jika Weber
menyatakan, bahwa rasionalisasi kehidupan ekonomi merupakan penyebab utama
perubahan sosial, maka Durkheim lebih menekankan pada organisasi sosial sebagai
penyebab utama perubahan tersebut. Sementara itu Manc seperti juga Weber sama-sama
memandang faktor ekonomi sebagai pendorong tejadinya dinamika sosial. Perbedaan
99
keduanya terletak pada rasionalisasi ekonomi untuk Weber, sementara Mara lebih
menitik beratkan pada kepentingan ekonomi (Roxborough, 1990: 5-6).
Berdasarkan perdapat tersebut, maka pada umumnya perubahan sosial diawali
oleh perubahan pada unsur ekonomi, yang dususul kemudian dengan perubahan pada
unsur organisasi sosial. Perubahan tersebut berakibat salah satu unsur sosial yang ada
dalam masyarakat itu tidak lagi sejajar dengan unsur sosial lainnya. Ada kecenderungan
unsur-unsur tertentu berubah lebih cepat dibanding dengan unsur lainnya, sehingga
terjadilah pergeseran tiap unsur untuk penyesuaian kembali dengan bagian yang telah
berubah kebih dahulu. Dalam kenyataannya, perubahan itu akan membawa masalahmasalah baru dalam masyarakat. Jika perkembangan salah satu unsur lebih cepat
dibanding dengan unsur lainnya, maka akan muncul kesenjangan yang membawa
dampak ketidakserasian dalam kehidupan masyarakat (Ogburn, 1986: 3-4). Proses
perubahan sosial itu, dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3
Proses Perubahan Sosial
100
.
t.
Keterangan : 'i
1. Sistem Budaya
2. Sistem Sosial
, 3 .
Unsur Sosial
Pada dasarnya dalam masyarakat yang harmonis ditandai oleh kesejajaran antar
unsur-unsur sosial yang melingkupinya. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak ada
satupun masyarakat yang berada dalam posisi tetap. Jika salah satu unsur dalam
masyarakat itu berubah, maka akan diikuti oleh pergeseran pada unsur-unsur lainnya
yang bergerak untuk saling menyesuaikan diri. Hal ini dapat terjadi, karena unsur-unsur
yang ada dalam masyarakat itu saling berkaitan satu sama lain. Sebenarnya, itulah yang
menjadi bagian penting dalam proses perubahan sosial.
Untuk dapat memahami lebih jauh tentang pembahan sosial, maka dipandang
perlu untuk menyimak dengan saksama konsep perubahan sosial. Dalam salah satu
pandangannya, Bottomore (1972: 297) menyatakan bahwa perubahan sosial dalam
masyarakat mencakup . . . a change in social structure including here changes iri the
size of a society , or in particular social institutions, or in the relationships between
institutions.. Dengan demikian, perubahan sosial itu menyangkut perubahan tentang
struktur sosial, sistem kelembagaan dan hubungan antar kelembagaan yang terdapat
dalam masyarakat. Dengan demikian penyebab perubahan itu merupakan masalah yang
kompleks, baik yang menyangkut tentang figur sebagai pelaku perubahan maupun
faktor-faktor material dan immaterial yang menyebabkan terjadinya perubahan itu.
Dapat pula dinyatakan di sini, bahwa proses berlangsungnya perubahan sosial dalam
masyarakat paling sedikit menyangkut dua hal penting yang saling berkaitan. Pertama,
adalah kelompok sosial tertentu sebagai pelopor perubahan. Kedua- menyangkut faktor-
faktor yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan dalam masyi
1984:31).
Untuk kasus perubahan sosial di Banyumas, diduga kuat unsur el
peran penting sebagai penyebab teijadinya perubahan sosial, yang kemudian disusul
dengan perubahan pada unsur organisasi sosial. Ketika kontak antara masyarakat
pribumi dengan pihak kolonial terjadi dalam bentuk kegiatan eksploitasi ekonomi
melalui sistem tanam paksa (1830), maka pergeseran-pergeseran unsur sosial dalam
masyarakat lambat-laun mengikutinya. Secara teoretis pergeseran-pergeseran itu terjadi
dalam rangka adaptasi, integrasi, mempertahankan diri, atau upaya mencapai tujuan.
Tujuan perubahan sosial yang paling dominan adalah upaya peningkatan status sosial,
yang pada umumnya ditempuh dengan cara melakukan aktivitas yang bersifat ekonomi
(Deborah & Poster, 1970: 41).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan Geertz untuk kasus Pulau Jawa,
ternyata eksploitasi ekonomi melalui sistem tanam paksa oleh pihak kolonial, baik
pemerintah maupun swasta Belanda ternyata menunjukkan indikasi, bahwa hal itu
berpengaruh sagat kuat terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan
pada masa-masa sesudahnya. Secara substansial, sejarah memang dipenuhi dengan
peristiwa yang harus dijelaskan dengan mempertimbangkan hukum kausal. Hal ini
berdasarkan alasan, bahwa peristiwa yang terjadi dalam sejarah bukan merupakan
kejadian tunggal yang terjadi sendirian, tetapi didorong oleh faktor-faktor tertentu yang
terjadi pada masa-masa sebelumnya sebagai sebab musabab peristiwa. Setiap peristiwa
akan mengarah pada suatu perubahan dan setiap perubahan akan berdampak terhadap
terjadinya peristiwa berikutnya. Perlu dipahami, bahwa kehidupan sosial ekonomi
masyarakat pedesaan di Jawa dewasa ini merupakan akibat yang erat kaitannya dengan
102
«kebijakan pemerintah kolonial di masa lalu. Para petani yang pada umumnya
" terperangkap oleh kemiskinan, juga dipandang sebagai akibat dari sistem eksploitasi
ekonomi kolonial. Dalam kenyataannya, masyarakat petani yang telah berjasa dalam
menghasilkan produksi perkebunan itu tidak dapat menikmati hasilnya secara layak,
bahkan mereka terisolasi kedalam perekonomian sawah yang mandeg. Untuk
mengimbangi jumlah penduduk yang semakin bertambah, maka dengan terpaksa mereka
hidup bersandar pada lahan pertanian yang semakin lama semakin sempit. Terjadilah
ketidakseimbangan antara lahan pertanian yang tetap dengan jumlah penduduk yang
semakin berlipat. Untuk menjelaskan proses pemiskinan masyarakat pedesaan Jawa
semacam i itu, dikembangkan suatu teori yang dikenal dengan teori involusi pertanian
(Geertz, 1983: 72).
Jika ditelaah secara saksama, teori involusi pertanian ternyata tidak sepenuhnya
dapat diterima. Secara jujur perlu diakui, bahwa aktivitas ekonomi penduduk setelah
pertengahan kedua abad ke-19 sebenarnya tidak semata-mata dipusatkan pada sektor
pertanian pribumi saja, tetapi juga menjangkau sektor lain di luar itu. Sektor yang paling
dominan yang dapat menyerap tenaga kerja penduduk adalah sektor industri perkebunan.
Dengan demikian, sebagian masyarakat petani miskin tidak hanya pasrah terhadap
nasibnya. Mereka mengambil inisiatif untuk bekerja sebagai buruh bayaran di sektor
industri perkebunan tersebut. Hal ini secara berangsur-angsur dapat mempengaruhi
orientasi angkatan kerja di pedesaan yang mengarah pada sektor non tanah (Fernando,
1991: 160). Dengan demikian, kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan Jawa
sejak menjelang awal abad ke- 20 dipengaruhi oleh hubungan masyarakat petani dengan
jaringan masyarakat yang lebih luas. Perkembangan yang teijadi itu, tentu saja dapat
memperlebar jaringan hubungan sosial mereka yang pada gilirannya menyebabkan
103
berlangsungnya proses perubahan sosial yang lebih luas dalam masyarakat pedesaan
(Redfield, 1985:42).
Pada umumnya para ahli sosiologi berusaha memahami perubahan sosial dengan
cara memperhatikan hubungan yang terjadi dalam masyarakat yang normal. Untuk
mencapai keberhasilan hidup, warga masyarakat melakukan perubahan sosial yang
ternyata menyebabkan munculnya beberapa masalah sosial. Perubahan sosial tersebut
menyangkut upaya masyarakat melakukan aspirasi sosial, strata sosial, dan pencapaian
tingkat sosial. Pada dasarnya, upaya perubahan itu tidak selamanya beijalan mulus,
sehingga yang diperoleh kadang-kadang berupa kegagalan dan kekecewaan sosial.
Timbulnya tindakan kriminal, perilaku anarkhis, dan penyimpangan sosial lainnya
merupakan dampak negatif dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat
(Deborah & Poster, 1970: 42).
Seperti diketahui, sesudah periode tahun 1870-an sistem kerja paksa secara
berangsur-angsur mengalami pergeseran menjadi sistem kerja bebas (buruh upahan).
Sementara itu, pajak yang berupa kerja wajib diganti dengan pajak dalam bentuk uang.
Berdasarkan perkembangan baru itu, para petani dibebani oleh kewajiban pajak uang
yang cukup banyak jenisnya. Untuk memenuhi kewajiban itu para petani menempuh
berbagai cara. Di antara cara yang paling sering dijalankan oleh para petani adalah
melakukan kontrak sebagai buruh bebas di perkebunan dan pekeijaan lain di luar sektor
pertanian. Kontrak kerja semacam itu biasa dilakukan dengan pihak perkebunan sebagai
buruh upahan yang pada dasarnya bersifat suka rela (Aass, 1984: 126) Sistem buruh
bebas, kontrak tanah untuk perkebunan, dan sistem pajak uang membawa dampak lebih
jauh, berupa semakin meluasnya ekonomi uang dan semakin memudarnya ikatan
tradisional dalam masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan, kondisi seperti itu justru
104
semakin menyebabkan ketergantungan mereka kepada pihak kolonial (Frank, 1967: 6).
Ketergantungan petani kepada pemerintah kolonial terjadi, karena kontrol formal
maupun informal terhadap sumber-sumber ekonomi lokal ditempuh melalui satu cara
yang lebih menguntungkan kekuasaan kolonial, sedangkan bagi perekonomian pribumi
hal itu sangat merugikan (Conor, 1982: 61).
Hukum-hukum perubahan itu berlaku pada tingkat kehidupan masyarakat. Hal
ini disebabkan fenomena sosial selalu mengikuti pola-pola yang syah menurut hukum.
Pola tersebut tidak bersifat kaku seperti halnya yang terjadi pada alam fisik, tetapi cukup
fleksibel dan menunjukkan keteraturan yang memungkinkan untuk dapat dikenali dan
dilukiskan. Hukum-hukum proses perubahan sosial tersebut harus ditemukan melalui
pengumpulan banyak data dan dengan mengamati hubungan antara berbagai variabel.
Catatan yang berasal dari masa lampau dan pengamatan di masa sekarang dapat
menyediakan data yang diperlukan. Penekanan terhadap data empiris dari pengetahuan
sosial ini mencerminkan pangkal tolak yang harus dipahami dari gejala yang khas
menuju pada suatu gambaran yang umum. Hukum-hukum sosial yang serupa berlaku di
berbagai masyarakat yang memiliki kesamaan dalam hal strukturnya. Pada dasarnya,
masyarakat dapat dibedakan, baik dalam segi waktu maupun tempat, namun hal itu
ditandai oleh hukum-hukum yang serupa karena kesamaan struktur sosialnya. Hukumhukum yang berlaku terhadap perubahan itu bersifat sosial bukan biologis atau alamiah.
Memang ada pengaruh lingkungan fisik terhadap perilaku manusia yang berkaitan
dengan iklim, geografis, makanan, dan lain-lain, tetapi hal itu bukan merupakan faktor
penting dalam memahami sejarah. Daya dorong sejarah harus dipahami menurut
fenomena sosial terutama yang berkaitan dengan solidaritas, kepemimpinan, mata
pencaharian, dan juga tingkat kemakmuran. Dengan demikian, perubahan sosial harus
105
dipahami dengan melihat jalinan variabel-variabel sosial yang dengan sendirinya dapat
menerangkan perubahan yang terjadi (Lauer, 1989: 42-43).
Dapat pula disampaikan di sini, bahwa pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam
masyarakat juga mempunyai makna pergeseran jenis solidaritas, dari solidaritas mekanik
kepada solidaritas organik. Solidaritas mekanik adalah merupakan bentuk awal dari
organisasi sosial yang masih dapat dilihat pada masyarakat primitif. Sementara itu
solidaritas organik berasal dari pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial.
Dalam solidaritas mekanik terdapat kecenderungan ide bersama yang lebih besar.
Sebaliknya, dalam solidaritas organik lebih berakar pada perbedaan dibanding pada
persamaan. Kerumitan masyarakat yang semakin meningkat menuntut solidaritas yang
didasarkan atas diferensiasi bermacam-macam fungsi dan pembagian kerja menjadi inti
solidaritas organik (Abdullah & Leeden, 1986: 14).
Dengan demikian, pergeseran yang terjadi dalam masyarakat primitif yang
memiliki solidaritas mekanik menuju masyarakat baru yang memiliki solidaritas organik
terjadi melalui proses perubahan yang berangsur-angsur. Walaupun demikian, tidak
menutup kemungkinan perubahan itu dapat juga berlangsung secara cepat. Pebedaan di
antara dua bentuk solidaritas itu antara lain: Pertama, solidaritas mekanik mengikat
individu secara langsung dengan masyarakat tanpa sesuatu perantara, sedangkan
solidaritas organik ditandai adanya saling ketergantungan antar individu. Kedua,
solidaritas mekanik ditemukan dalam masyarakat yang ditandai oleh keyakinan dan
sentimen bersama yang kuat, sedangkan jenis solidaritas organik menandai masyarakat
yang berdiferensiasi. Ketiga, solidaritas mekanik dapat tumbuh dengan kuat, sejauh hakhak dan kepribadian masyarakat dirasakan sebagai keseluruhan, sementara solidaritas
106
organik membutuhkan berkembangnya hak-hak perorangan dan kepribadian yang unik
(Lauer, 1989: 86-87).
Dengan penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa masyarakat bukan sekedar
wadah bagi terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas. Masyarakat
pada dasarnya merupakan pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama dari
perbuatan moral. Dalam kenyataannya tidak ada masyarakat yang benar-benar statis,
karena di dalamnya pasti terdapat pergeseran-pergeseran, yang disebabkan oleh
masuknya unsur-unsur kebudayaan baru, baik yang bersifat material maupun immateria!
(Abdullah & Leeden, 1986: 81).
Faktor-faktor yang bersifat material menekankan pada kondisi-kondisi teknologis
dan ekonomis dipandang sebagai dasar penting bagi organisasi sosial. Kondisi
teknologis dan ekonomis itulah yang berpengaruh besar terhadap terciptanya nilai-nilai
dalam masyarakat. Dengan demikian, maka dipraktekannya teknologi Barat dan sistem
ekonomi baru dapat mendorong perubahan pada tataran nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat yang bersangkutan. Kondisi itulah yang mesti dicermati sebagai titik tolak
untuk memahami perubahan sosial (Soekanto, 1984: 90).
Dalam kasus sistem tanam paksa, hubungan ekonomi yang tidak seimbang dalam
masyarakat terjadi ketika sistem ekonomi Barat memasuki kehidupan tradisional di
pedesaan. Proses interaksi semacam itu disebabkan oleh sistem ekonomi kolonial
posisinya lebih kuat. Sebagai akibatnya, maka struktur ekonomi yang lebih kuat dapat
mendominasi perekonomian yang lebih lemah (Santos, 1970: 45). Sebagai pihak yang
lebih lemah, maka ekonomi pedesaan berada dalam posisi yang tergantung. Oleh sebab
itu, masyarakat pedesaan terpaksa harus menerima eksploitasi produksi dengan imbalan
yang timpang (Amir, 1976:202).
107
Hubungan yang tidak seimbang antara dua sistem ekonomi itu, mendorong
terjadinya pergeseran-pergeseran unsur sosial dalam masyarakat pedesaan dalam rangka
penyesuaian diri. Perubahan pada awalnya berupa pergeseran bentuk kontrak lahan
pertanian, sistem pajak uang, pemenuhan konsumsi, dan sistem buruh bebas. Proses
perubahan itu berkembang lebih jauh dengan meluasnya sistem ekonomi uang disusul
kemudian dengan terjadinya pergeseran struktur sosial (Knight, 1982: 120). Kesetiaan
yang bersandar pada ikatan tradisional secara berangsur-angsur melemah, disebabkan
oleh munculnya kebebasan individu yang semakin menguat dalam masyarakat (Vries,
1972: 12). Di samping itu, dalam masyarakat juga terjadi pergeseran yang menunjukkan
bahwa kesetiaan penduduk kepada elit pribumi yang menduduki jabatan birokrasi juga
semakin melemah. Sebagai gantinya, kesetiaan penduduk pedesaan diserahkan kepada
para pemimpin informal, yang pada umumnya terdiri dari para ulama bebas yang
kharismatik (Kartodirdjo, 1984: 25, Suhartono, 1991: 73).
Gambaran di atas menunjukkan, bahwa perubahan yang melanda unsur-unsur
sosial yang bersifat material akan diimbangi dengan teijadinya pergeseran unsur-unsur
sosial lainnya yang bersifat immaterial. Cakupan unsur sosial yang bersifat immaterial
meliputi perilaku lembaga-lembaga sosial, norma-norma, dan juga nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat. Perubahan dalam unsur-unsur yang bersifat immaterial
cenderung lebih lambat dibanding dengan perubahan yang terjadi pada unsur-unsur
sosial yang bersifat material. Pada tahap selanjutnya, dalam proses penyesuaian diri
antar kedua jenis unsur sosial itu, ada kecenderungan akan terjadi disharmoni sosial. Hal
ini disebabkan, salah satu unsur mengalami perubahan lebih banyak dibandingkan
dengan unsur yang lain. Apabila ternyata ketidakserasian semakin meluas atau bahkan
108
tidak dapat diselesaiakan, maka akan dimungkinkan terjadinya keresahan sosial dalam
masyarakat yang diwujudkan dalam barbagai bentuk protes sosial (Ogbum, 1950:221).
Perubahan sosial pada umumnya bertujuan untuk merubah kondisi masyarakat
tradisional menjadi masyarakat yang baru. Oleh sebab itu, selama proses perubahan itu
berlangsung akan dijumpai masyarakat yang bersifat transisional yang rentan konflik
(Soekanto, 1984: 13). Dalam situasi seperti ini, masyarakat menghadapi masalah yang
sangat berat. Mereka kehilangan pegangan, dan terperangkap dalam situasi yang disebut
artomi atau suasana masyarakat tanpa norma. Keresahan dan kekacauan sosial dapat
terjadi, karena batas norma tidak lagi disadari, sehingga mudah terjadi pola tindakan
yang mengancam solidaritas (Abdullah & Leeden, 1986: 14-15). Dalam kondisi
semacam itu, kontradiksi dan konflik sosial dalam masyarakat sangat sulit dihindarkan
(Elias, 1988: 6).
Anomi merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh E. Durkheim untuk
menjelaskan situasi masyarakat yang kehilangan norma. Menurut pendapatnya,
individu-individu dengan keras telah mencabut pengekangan normatif dan kontrol
masyarakat dengan terciptanya suatu inovasi. Upaya mereka yang dilakukan dengan
keras tersebut juga telah menghasilkan sesuatu yang berarti sebagai legitimasi dari
inovasinya. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat diarahkan untuk mencapai tujuan,
tetapi kesiapan untuk memenuhi prasarana yang berarti tidak dapat dijumpai, sehingga
masyartakat dihadapkan pada kekacauan yang disebut anomi (Deborah & Poster, 1970:
45). Suatu anomi digambarkan sebagai perilaku menyimpang dengan frekuensi yang
sangat tinggi sebagai akibat dari perbedaan nilai yang tajam dalam masyarakat
(Abdullah & Leeden, 1986: 125).
109
Perubahan-perubahan biasanya terjadi secara lambat, tetapi ada pula perubahan
yang terjadi secara cepat. Perubahan yang memerlukan waktu lama disebut dengan
evolusi (Soemardjan, 1980: 490). Pada evolusi, perubahan-perubahan terjadi dengan
sendirinya tanpa suatu rencana atau suatu kehendak tertentu. Perubahan-perubahan
tersebut terjadi karena kehendak masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluankeperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan yang
terjadi dalam masyarakat. Rentetan perubahan tersebut tidak perlu sejalan dengan
rentetan peristiwa sejarah dalam masyarakat yang bersangkutan. Pada umumnya proses
perubahan itu terjadi dengan irama yang sangat lambat, sehingga akan sangat sulit untuk
dapat diamati (Sajogyo, 1985: 121). Sementara itu perubahan yang cepat mengenai
dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari suatu kehidupan masyarakat lazimnya disebut
revolusi. Dengan demikian, ciri utama dari suatu revolusi adalah adanya perubahan yang
cepat mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat yang
bersangkutan (Soekanto, 1984:315).
Dapat dinyatakan di sini, bahwa di dalam suatu revolusi, perubahan-perubahan
yang terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu atau dapat juga tanpa rencana.
Sebenarnya yang berkaitan dengan ukuran kecepatan suatu revolusi itu bersifat relatif.
Perubahan itu dianggap berjalan lambat, karena membutuhkan waktu puluhan tahun,
seperti Revolusi Industri di Inggris. Sementara itu, ada pula revolusi yang dipandang
cepat karena perubahan-perubahan itu dilakukan dengan segera, yang diawali dengan
pemberontakan dan diikuti dengan perubahan-perubahan yang mendasar dari tatanan
masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh, Revolusi Amerika, Revolusi Perancis,
dan lain-lain (Sajogyo, P.,1985:122). Sebagai faktor-faktor pendorong terjadinya suatu
perubahan pada umumnya terletak pada sumbernya, yaitu ada dalam masyarakat itu
110
sendiri atau sebab yang berasal dari luar. Sebab yang berasal dari dalam masyarakat
berkaitan dengan kondisi sosial, seperti pertumbuhan penduduk, penemuan baru,
konflik, dan lain-lain. Sementara sebab yang berasal dari luar di antaranya adalah
datangnya pengaruh dari unsur kebudayaan masyarakat lain, krisis hubungan, dan
bencana alam (Sajogyo, P., 1985: 125).
Analisis perubahan sosial dalam masyarakat dapat dilakukan dengan cara
menelaah syarat-syarat dan keadaan yang mempunyai efek merubah keseimbangan
sistem masyarakat itu. Jika penyebab perubahan itu berasal dari dalam masyarakat
menyangkut perubahan unsur, maka bentuk perubahannya dapat berupa pergeseranpergeseran antar unsur yang ada untuk saling menyesuaikan diri dengan unsur yang
telah berubah lebih dulu. Jika perubahan sosial dikaitkan dengan kasus eksploitasi
ekonomi kolonial, maka dapat dinyatakan di sini bahwa dalam kehidupan ekonomi,
penggunaan uang secara luas telah mengubah sistem perekonomian dalam masyarakat.
Sistem ekonomi tertutup bergeser menjadi sistem ekonomi uang yang mengarah pada
pertukaran bebas, sehingga gejala monetisasi dan komersialisasi di daerah pedesaan
semakin meluas. Kondisi semacam ini berpengaruh dalam kehidupan sosial. Pergeseranpergeseran dalam masyarakat tampak jelas dengan semakin memudarnya ikatan
solidaritas. Ikatan adat secara berangsur-angsur berubah menjadi ikatan kontrak.
Pergeseran lebih jauh tidak dapat dihindari yang berupa semakin memudarnya ikatan
primordial, sehingga kebebasan individu menjadi semakin menguat (Vries, 1972: 12).
Pengaruh pendekatan ilmu sosial, terutama sosiologi bagi penulisan sejarah di
Indonesia sudah tidak asing lagi. Karya-karya dalam Sejarah Indonesia yang dipandang
telah menggunakan konsep dan teori sosiologi telah dihasilkan oleh van Leur. Pada
tahun 1954 dalam penelitiannya dia menulis sejarah dengan judul Indonesian Trade and
111
Society: Essays in Asian Social and Economic History (1500-1650). Gagasan-gagasan
yang dikemukakan sangat cemerlang dan dipandang penting di kalangan para sejarawan
Indonesia. Di antara sekian banyak gagasan penting, yang paling poluler adalah
gagasannya tentang periodisasi Sejarah Indonesia yang lebih menekankan pada
kenyataan sosial (Leur, 1954: 232-236), tidak lagi terpengaruh oleh periodisasi Sejarah
Eropa yang sangat dominan itu.
Para sejarawan modern dewasa ini cenderung menggunakan pandangan
sosiologis baik dalam bentuk konsep maupun teori dalam penelitian sejarah yang mereka
lakukan. Jika mereka tidak bertindak demikian, lazimnya hasil karya mereka dianggap
sebagai karya yang tidak lengkap. Konsep dan teori sosiologi telah sangat diresapi oleh
para sejarawan masa kini, sehingga tak pelak lagi mereka sangat terpengaruh oleh
pemikiran sosiologis. Meskipun demikian, sejarawan juga tetap berusaha mengkritisi
teori-teori dan pandangan-pandangan khusus yang diajukan oleh para sosiolog.
Penerimaan atau penolakan para sejarawan tentang teori-teori atau pandanganpandangan kongkret yang muncul dari kalangan sosiolog merupakan suatu hal yang
sangat wajar dalam dunia ilmiah. Apapun yang terjadi, yang jelas penggunaan konsep
dan teori disiplin sosiologi telah menambah dimensi baru dalam bidang historiografi
(Wertheim, 1995:316-317).
Dengan perkembangan yang terjadi, karya historiografi dewasa ini memiliki
wawasan dan daya jangkau penjelasan yang lebih luas dan mendalam tentang kehidupan
sosial dan ekonomi masyarakat masa lampau. Hal ini tentu saja sangat membantu para
pendidik dalam rangka menggali, memahami dan interpretasi nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya. Dengan materi pembelajaran sejarah yang semakin luas dan mendalam,
maka nilai-nilai yang dapat diangkat menjadi semakin kompleks dan beragam. Dengan
112
demikian untuk kepentingan pendidikan IPS, materi pembelajaran sejarah itu semakin
menduduki posisi penting.
D. Orientasi Nilai dalam Pembelajaran Sejarah
Pada dasarnya setiap disiplin ilmu dapat diajarkan pada setiap jenjang
pendidikan, sepanjang disesuaikan dengan kemapuan siswa. Jika hal itu diberlakukan
untuk pembelajaran sejarah, maka yang lebih tepat pembelajaran diawali dengan
pengenalan struktur melalui ilmu pengetahuan yang didasari oleh fakta empirik. Lebih
jauh studi sejarah akan mengantarkan siswa kepada pengetahuan kognitif, yang
kemudian dapat diperluas lagi cakupannya kepada pengembangan sistem keilmuan. Hal
ini sejalan dengan perkembangan jiwa anak yang semakin lama semakin meningkat
kemampuannya, sejalan dengan bertambahnya usia. Pada akhirnya mereka sampai pada
tahap siap berpikir untuk tingkatan yang tinggi. Harus diakui, bahwa kesulitan siswa
dalam belajar adalah kenyataan yang dialami dalam proses pendewasaan intelektual. Hal
ini terdapat pula dalam struktur disiplin individual terutama dalam proses adaptasi
belajar tentang diri sendiri (Fenton, 1966: 83, Garvey & Krug, 1977: 12).
Hal tersebut sejalan dengan teori Bruner (Garvey & Krug, 1977: 12-13), yang
menjelaskan, bahwa segi pemikiran yang dapat membantu melakukan adaptasi melalui
aktivitas kesejarahan adalah upaya peningkatan pemahaman konseptual yang dibawa ke
dalam kelas. Dalam proses pembelajaran, guru dapat mengidentifikasi problem-preblem
untuk beberapa ketrampilan intelektual dalam mempelajari sejarah. Dalam kesempatan
itu pula, guru dapat mengorganisasi langkah keija, sehingga peserta didik dapat
menerima rancangan pemikiran itu secara mendasar. Dengan demikian, kurikulum
pengajaran sejarah yang perlu dikembangkan adalah kurikulum yang berdasarkan pada
113
teori psikologi pendidikan yang relevan dengan proses berpikir s
hal itu dapat membantu guru dalam mengidentifikasi bahan sedaki
mengorgasikannya untuk pelaksanaan pembelajaran yang lebih sistkjiad^- / ;
dan
!
y/
Sesuatu yang lebih penting adalah mengkaitkan apa yang dilakukan guru sejarah
dengan taksonomi pembelajaran yang digambarkan oleh Benyamin Bloom dan David
Krathwall. Taksonomi berarti klasifikasi skema secara hirarkis yang menggambarkan
ketrampilan kognitif dan afektif yang menjadi tijuan formal suatu pembelajaran. Pada
dasarnya taksonomi dibedakan menjadi dua domein, yaitu kognitif dan afektif.
Perbedaan ini dalam pembelajaran sejarah diartikan secara lebih kritis, dan yang
diutamakan adalah kemungkinan yang dapat dikembangkan secara kongkrit yang
mengarah kepada pengembangan intelektual dan penguatan aktivitas. Bagiamanapun
domein kognitif dalam taksonomi merupakan indikasi rasional dalam segi ketrampilan
intelektual yang berlaku umum. Enam hal yang termasuk di dalamnya adalah
knowledge, comprehension, application, analysis, and evaluation (Blomm, 1956: 3,
Fenton, 1966a: 23, Garvey & Krug, 1977: 14).
Secara umum proses pembelajaran merupakan kegiatan dalam rangka membantu
peserta didik untuk mengenal materi pelajaran secara bertahap. Begitu juga dalam
kegiatan pembelajaran sejarah, yang tidak lain adalah untuk membantu peserta didik
mengenal data-data, fakta-fakta, menyatakan definisi secara jelas, dan pengembangan
konsep yang berkaitan dengan aspek-aspek masyarakat masa lampau. Kegiatan inilah
yang secara intelektual dapat memperluas imajinasi para siswa (Lee, 1984: 85).
Pada umumnya pembelajaran sejarah merupakan kegiatan pengajaran yang
menekankan pada ketrampilan intelektual yang dilakukan untuk mengetahui fakta secara
spesifik, menyusun konsep-konsep, dan dilanjutkan dengan menyusun generalisasi. Hal
114
seperti itu dapat diterjemahkan dalam kegiatan pembelajaran yang tidak lepas dari
aktivitas secara bertahap, sejak dari imajinasi, interpretasi, aplikasi, ekstrapolasi,
analisis, rekonstruksi imajinatif, ekspresi sisntesis dan melakukan evaluasi (Garvey &
Krug, 1977:
15). Secara lebih khusus, pembelajaran sejarah idealnya mampu
mengarahkan peserta didik untuk menguasai ketrampilan berpikir sejarah (historical
thinking). Hal ini dinyatakan Myers (2000: 37), bahwa:
The knowledge base of historical content drown from (nation history) and world
history provides the base from which learning develop historical understanding
and competence in ways of historical thinking. Historical thinking skill enable
learners to evaluate evidence, develop comparative and causal analyses,
interpret the historical record, and construct sound historical arguments and
perspectives on which informed decisions in contemporary li/e can be based.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dinyatakan, bahwa belajar sejarah merupakan upaya
untuk memahami perkembangan masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu. Belajar
sejarah yang berdasarkan pada bahan sejarah nasional dan dunia akan disertai dengan
bukti-bukti atas dasar perkembangan pemahaman sejarah dan kemampuan yang
mengarah pada ketrampilan berpikir sejarah. Berpikir sejarah {historical thinking)
merupakan ketrampilan belajar yang diarahkan kemampuan mengevaluasi bukti-bukti,
kemampuan
mengembangkan
perbandingan
berdasarkan
analisis
sebab-akibat,
kemampuan menginterpretasi karya sejarah berdasarkan argumen-argumen, dan
memiliki perspektif sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat sekarang.
Seperti diketahui, kehidupan masyarakat sekarang dipenuhi dengan isu-isu
sosial, sejak dari lingkup yang sempit sampai lingkup yang luas.. Hal itu perlu dipahami
peserta didik melalui pembelajaran sejarah, agar mereka memiliki kemampuan untuk
115
memahami
aspirasi manusia dalam kegiatan sosial, politik, teknologi, ekonomi dan
budaya. Lebih jauh Myers (2000: 37), menyatakan:
Historical understanding define what leaners should know about the history of
their nation and of the world. These understandings are drawn from record of
human aspiration, strivings, accomplishments, and failures in at least five
spheres of human activity: the social, political, scientific/technological,
economic, and cultural (philosophical/religious/aesthetic).They also provide
leaners the historical perspectives necessary to analyze contemporary issues and
problems confronting citizens today.
Agar pembelajaran sejarah sebagai bagian dari pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) relevan dengan masalah-masalah sosial kontemporer, maka pembelajaran
perlu menggunakan konsep dan tema-tema besar yang berlaku dalam ilmu-ilmu sosial.
Masalah-masalah aktual yang terjadi dalam masyarakat dapat diangkat sebagai materi
pembelajaran sejarah, sehingga kegiatan pembelajaran tersebut dapat lebih bermakna
(meaningful) bagi kehidupan sehari-hari. Melalui strategi ini, siswa akan merasa sebagai
bagian dari proses perubahan (change), kesinambungan (continuity) dan sebagai
pengambil keputusan (decision makers) bagi zamannya. Dengan demikian, belajar
sejarah sebenarnya memerlukan pemikiran kritis. Seperti dinyatakan Morton (2000: 59),
bahwa melalui pembelajaran sejarah diharapkan dapat mencapai kemampuan historical
thinking, displaced the memorization of approvedfacts and an approvedframework as a
major goal for history promoters.
Dengan demikian, pembelajaran sejarah diharapkan dapat bermanfaat bagi para
peserta didik dalam rangka meningkatkan kemampuan intelektual dengan tidak
mengabaikan
kemampuan moral. Kutipan di bawah ini menjelaskan, bahwa melalui
pembelajaran sejarah dapat mengkondisikan kemampuan intelektual siswa.
Many historian and educators share a belief that expert knowledge possessed by
historians includes not only factual information, but also the habit of critically
116
analyzing evidence. In their workbook, The Methods an SkilJ of History, Conal
Furay and Michael J. Salevouris, provide studets with experience in analyzing
and interpretating historical information. The authors claim that careful
historical study teacher analytical and communications skill that "a highly
usable in other academic pursuits-and in almost any careeryou choose
(iWhy tech history?, 2004: 6).
Kutipan tersebut mengisyaratkan, bahwa pembelajaran sejarah tidak hanya ditekankan
pada upaya menyampaikan informasi tentang fakta-fakta, tetapi juga harus mampu
membentuk pemikiran kritis siswa. Hal ini dapat dilakukan malalui kegiatan siswa
yang berupa pembuktian secara kritis peristiwa sejarah melalui kegiatan menganalisis
dan menginterpretasi informasi historis. Dengan demikian, guru sejarah dituntut untuk
melakukan tugasnya secara cermat dan menunjukkan ketrampilan anasis dan dan
ketrampilan dalam mengkomunikasikan informasi, agar supaya tujuan
pembelajaran
dapat dicapai dengan baik.
Selanjutnya, pembelajaran sejarah sebagai bagian dari pendidikan IPS juga
bertujuan membentuk sikap dan moral peserta didik. Kemampuan yang bersifat moral
dari pengetahuan sejarah di sekolah dapat juga dicapai, jika proses pembelajarannya
diarahkan kepada kemapuan pengambilan keputusan sebagai warganegara yang bebas
dan demokratis. Dengan demikian, aplikasi
pembelajaran sejarah dapat ditempuh
dengan menginformasikan, bahwa semua warga negara memiliki tanggung jawab
bersama. Kegiatan pembelajaran dapat ditempuh dengan cara mengevaluasi dan
memperdebatkan isu-isu aktual yang berkembang dalam masyarakat. Lebih jauh
dinyatakan, bahwa: ". . .that historical knowledge gained i n school would improve the
decision-maktng capasity of free citizens in a democracy supposes that all citizens would
be similarly informed and share a common basis for evaluating and debating the issues
of the day" (Why teach h istory?,2004:6).
117
Tidak dapat diingkari, berbicara tentang sejarah tetap saja perhatian utama harus
diarahkan pada masa lampau, karena obyeknya berupa kehidupan masyarakat yang telah
terjadi. Walaupun begitu, mempelajari sejarah bukan hanya untuk mengetahui masa
lampau itu semata-mata. Pada dasarnya, mempelajari peristiwa sejarah adalah upaya
untuk memahami pengalaman-pengalaman generasi pendahulu dan bagi generasi
berikutnya pengalaman itu penuh dengan nilai-nilai edukatif yang dapat diteladani dan
membuat orang untuk lebih bijaksana (Abdulgani, 1963: 68).
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka mempelajari sejarah tentu bukan untuk
menghafalkan ceritera masa lalu semata-mata, tetapi yang lebih penting adalah upaya
mencari hukum-hukum yang menguasai kehidupan masyarakat sebelum kita. Dengan
demikian, pemahaman sejarah dapat dijadikan sebagai alat untuk memperjelas wawasan
kehidupan masa kini dan perencanaan ke masa depan. Sebagai warga masyarakat yang
bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya, mempelajari sejarah merupakan hal
sangat sentral untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Melalui pemahaman
sejarah, kesadaran nasional akan dapat dipupuk dan identitas nasional akan dapat
ditumbuhkan. Keduanya akan menjadi landasan yang kuat bagi upaya pengembangan
identitas diri bangsa. Secara ideal, tujuan tertinggi dari upaya pembejaran sejarah adalah
untuk mengarahkan kepada pemahaman tentang pentingnya kebebasan, masyarakat
demokratis, dan dalam rangka membangun kebudayaan bersama. Semua itu pada
gilirannya dapat membentuk sikap kebanggaan (prides) terhadap bangsanya, atas dasar
keragaman {pluralism) dan kebebasan individu (individual freedom). Dari sinilah
kemudian identitas diri sebagai anggota suatu masyarakat dapat berkembang lebih lanjut
(Hirsch, 1993: 7).
118
Bentuk kesadaran nasional dan identitas diri sebagai bangsa pada hakekatnya
merupakan fondasi yang sangat diperlukan bagi pembangunan bangsa. Sebagai fondasi,
sudah pasti harus kokoh untuk menunjang keberhasilan pembangunan yang diperlukan
di masa kini dan masa depan. Semakin baik penghayatan makna tentang sejarah bangsa,
maka semakin baik pula potensi suatu generasi untuk membuat perspektif masa depan.
Di sinilah letak peranan penting sejarah, melihat masa lampau dengan saksama,
sebagaimana peristiwa itu terjadi, agar dapat melaksanakan kehidupan masa kini sebaik
mungkin. Hal ini pada gilirannya dapat menjadi dasar untuk merancang masa depan
dalam proporsi dan konteks yang setepat mungkin (Soedjatmoko, 1990: 14).
Berkaitan dengan pernyataan tersebut kiranya perlu digarisbawahi, bahwa
pembelajaran sejarah dituntut untuk mampu berkiprah dalam dua kerangka pokok.
Pertama, pembelajaran sejarah {instruction) dan pendidikan intelektual (intellectual
training). Dari kerangka yang
pertama, menuntut pengajaran sejarah tidak hanya
menyajikan fakta dan pengalaman kolektif masa lampau, tetapi juga meberikan latihan
berpikir kritis dalam memetik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang diterangkan.
Interpretasi sejarah dalam hal ini menempati posisi strategis untuk memberikan latihan
berpikir secara intelektual bagi guru maupun siswa dalam bentuk mengabstraksikan,
merumuskan generalisasi, menganalisis gejala-gejala kemasyarakatan
dalam proses
sejarah yang kritis. Dari sini kegiatan ditekankan pada proses belajar (learning) dan
penalaran (reasoning) (Suryo, 1990: 6). Melalui proses ini pula yang diharapkan mampu
mengubah pemahaman sejarah secara klasik (konvensional) dan menggantikannya
dengan kemampuan berpikir kritis, sehingga pembelajaran sejarah benar-benar
merupakan kegiatan yang bersifat ilmiah (Aryani, 2005: 1).
119
Kedua, pembelajaran dan pendidikan moral bangsa yang demokratis dan
bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya. Kerangka yang kedua ini menuntut
agar pembelajaran dan pendidikan sejarah berorientasi kepada pendidikan kemanusiaan
(humanistic) yang menekankan pada tercapainya segi nilai, norma, dan pemahaman
makna, serta kesadaran masa lampau. Pemahaman seperti inilah yang akan mendasari
pembentukan pengalaman batin dan kepribadian, bukan hanya sekedar penangkapan
pengetahuan sejarah semata-mata (Suryo, 1990: 6). Dengan demikian, masyarakat
tardisional yang telah hidup di masa lampau tetap dihadirkan sebagai "pola" utama
masyarakat modern, sehingga menjadi sumber pembelajaran nilai bagi kehidupan masa
kini. Masa lampau tersebut menjadi dasar untuk mentransformasikan nilai-nilai tertentu
yang dipandang penting bagi masa sekarang. Konsep ini bertahan hingga sekarang
dalam bentuk sejarah nasional untuk kepentingan pendidikan di sekolah, yang dikenal
sebagai of the past into the future (Aryani, 2005: 1).
Nilai-nilai kemanusiaan merupakan peran kunci untuk memupuk kemampuan
dalam mengembangkan empati dan toleransi, yang ditunjukkan dalam bentuk simpati
kepada orang lain (Shemilt, 1984: 39). Selanjutnya dapat pula dipupuk kemampuan
untuk mengembangkan peralatan intelektual yang dapat menopang pelaksanaan analisis,
penilaian, dan kritik secara mandiri. Kemampuan jenis terakhir ini akan terasa sangat
penting pada saat seseorang dihadapkan pada moralitas, baik moralitas yang bersifat
umum atau kemasyarakatan (public morality), maupun mortalitas pribadi (private
morality). Dalam pekelaksanaannya, nilai-nilai kemanusiaan secara umum ditujukan
kepada hal-hal yang bersifat kemasyarakatan, yaitu mendidik warga negara secara
cerdas dan bertanggung jawab. Sementara itu, nilai-nilai kemanusiaan secara khusus
dapat berupa pengetahuan tentang keadaan diri, yang memberi dorongan pada seseorang
120
untuk melakukan sesuatu yang seharusnya diperbuat. Kemampuan mengenali diri dan
menentukan apa yang seharusnya dilakukan merupakan persyaratan dasar bagi
timbulnya kesadaran tentang identitas diri (sel/ identity). Begitu juga kemampuan yang
memadai untuk memahami sejarah masyarakatnya dapat memperkaya aspirasi-aspirasi
dalam dirinya, yang berkaitan dengan aspirasi keagamaan, integrasi sosial, solidaritas
sosial, maupun aspirasi yang berkaitan etos kerja yang berkembang dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, mempelajari sejarah merupakan persyaratan dasar yang sama pentingnya
bagi tumbuhnya kesadaran tentang identitas diri. Studi tentang sejarah yang dilakukan
dalam suatu konteks sosio-kultural yang cukup spesifik ini, lazimnya dilakukan untuk
memberikan seperangkat kesadaran kepada anggota masyarakat. Seperangkat kesadaran
yang dimaksud adalah; a) kesadaran sejarah yang terbentang di hadapannya, b)
kesadaran identitas kultural yang melekat pada dirinya, dan c) kesadaran yang berkaitan
dengan pandangan-pandangan dunia tertentu yang merupakan ciri khas dari dirinya
(Sudjatmoko, 1989: 4-5).
Nilai dan makna dari setiap peristiwa kemanusiaan masa lampau itu pada
hakekatnya merupakan nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Dengan demikian, hal
itu akan dapat digunakan sebagai bahan pemahaman dan penalaran dalam proses
pembentukan identitas diri, dan nilai-nilai lain yang menyertainya sebagai identitas
warga masyarakat yang ideal. Nilai-nilai kemanusiaan yang akan dikaji lebih jauh dalam
penelitian ini adalah sikap luhur atau kebajikan yang berkaitan dengan nilai identitas
diri, keagamaan, integrasi sosial, solidaritas sosial, dan etos kerja. Nilai-nilai semacam
itu berkaitan erat dengan kepribadian daerah (lokal) yang dalam perjalanan waktu
hampir lenyap, di antaranya adalah karena negasi kaum kolonial (Kartodirdjo, 1993: 4).
121
Walaupun demikian, rambu-rambu nilai kemanusiaan semacam itulah yang perlu
mendapat tempat dalam memahami sejarah (Ismail, 1990: 17).
Berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang perlu digali dan dipahami dari
meteri sejarah perubahan sosial di Banyumas periode 1830-1900, maka dapat dinyatakan
beberapa hal penting terlebih dahulu. Hal ini mengingat, betapapun sejarah merupakan
sarana penting bagi pendidikan bangsa, tetap memiliki beberapa kelemahan, yang
berkaitan dengan sifat sejarah yang abstrak-konseptual. Sejarah tidak dapat diamati
secara langsung, karena peristiwanya itu sendiri telah berlalu. Dengan demikian, sejarah
bagaimanapun pentingnya tetap memiliki sisi gelap, sebab peristiwa sejarah telah berada
di luar pengalaman sehari-hari. Dengan demikian, hal ini memerlukan ketrampilan
ilmiah para sejarawan untuk dapat menghidupkan kembali masa lampau itu, agar sejarah
lebih punya makna dalam kehidupan sehari-hari. Agar supaya pemahaman sejarah
benar-benar berdaya guna bagi pengembangan dan pembangunan karakter peserta didik,
maka perlu dipikirkan bukan hanya strategi pembelajarannya, tetapi juga tentang seleksi
bahan atau materi sejarah yang akan diajarkan. Dengan strategi yang tepat maka pesanpesan yang disampaikan terasa wajar dan tidak terkesan dipaksakan. Hal ini perlu
dipertimbangkan, mengingat sasasan yang akan dibidik bukan sekedar pemahaman
peristiwa secara faktual, tetapi juga tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
sesuai dengan tuntutan pembangunan moral bangsa. Tentu saja peran orang tua sangat
diperlukan sampai ketika anak-anak memasuki usia sekolah, baik SD, SLTP, maupun
SMA. Menjelang masa pubertas, yakni pada usia antara 12 tahun sampai 18 tahun yang
merupakan episode yang sangat kritis. Pakar psikologi Amerika Serikat, Robert
Havinghurst menyebutkan, bahwa sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat
tergantung dari periode pubertas ini, sehingga layak disebut sebagai developmental task
122
yang menunjuk kepada suatu proses perkembangan anak menuju usia dewasa (Fatih,
2005: 3).
Upaya semacam itu sudah pasti membutuhkan ketekunan dan kesabaran, serta
memerlukan waktu yang relatif panjang. Keberhasilannya tidak dapat dilihat dalam
kemampuan menghafal peristiwa, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai
sejarah dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkah laku tersebut meliputi kesadaran hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Sudah barang tentu perkembangannya memerlukan waktu yang panjang dan
keberhasilannya hanya dapat diraih secara berangsur-angsur (Sasyardi, 1990: 12).
Sementara itu, menurut Penyarikan (1986: 23) mengenai sifat-sifat selektif materi
sejarah dapat dipilih secara cermat, terutama yang mengandung dua unsur penting yang
diperlukan, yaitu:
a. Unsur Indonesiasentris. Hal ini berarti peristiwa sejarah disoroti dari kacamata
Indonesia dan untuk kepentingan nasional. Sejarah yang berkaitan dengan
bangsa-bangsa lain dibahas karena memang ada kaitannya dengan kepentingan
bangsa Indonesia.
b. Unsur kebanggaan. Berarti pembelajaran sejarah dapat menampilkan puncakpuncak peristiwa sejarah dalam masyarakat di Indonesia, sehingga dapat
meningkatkan kesadaran nasional. Kesadaran akan keberadaan bangsa dalam
percaturan peradaban umat manusia pada gilirannya akan menumbuhkan rasa
bangga sebagai bangsa Indonesia.
Untuk dapat mencapai harapan itu, maka materi pembelajaran sejarah yang
ditampilkan, setidaknya harus mengarah pada upaya; a) Menunjukkan puncak-puncak
kebesaran dan hasil-hasil pekerjaan (prestasi) yang layak dibanggakan, b) Menekankan
123
perhatian kepada peristiwa-peristiwa yang menunjukkan perkembangan kearah integrasi
nasional, dan c) Menghindari penjelasan yang dapat meruncingkan perselisihan dan
pertentangan yang dapat mengarah pada perpecahan (Widja, 1997: 178).
Namun demikian, proses pembelajaran tetap perlu memperhatikan kondisi dan
kepentingan peserta didik. Mereka memerlukan pengetahuan dan ketrampilan berpikir
dalam proses penerimaan informasi secara efektif. Oleh sebab itu kurikulum dan
pelaksanaan pembelajaran sejarah harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahamannya mengenai peristiwa sejarah,
serta kemampuan berpikir dalam sejarah. Kemampuan berpikir itu sendiri merupakan
suatu proses menegakkan hubungan kausalitas, mengubah dan menetapkan keterkaitan
antara apa yang sudah diketahui dan apa yang belum diketahui. Dengan demikian
berpikir dapat menghasilkan makna, kemampuan mencari hubungan antara berbagai
informasi, sehingga dapat mengenal dan menemukan regularitas.Tahap mengklasifikasi
dilakukan berdasarkan kemampuan siswa untuk dapat menemukan kesamaan dan
perbedaan, serta kemampuan menemukan ciri khas suatu informasi (Hasan, 1977: 148).
Dalam rangka mengambil kearifan lokal yang terkandung di dalam peristiwa
perubahan sosial di Banyumas, dapat dilakukan dengan mengembangkan kemampuan
berpikir dalam pendidikan IPS. Menurut Bloom (1956: 38), kemampuan berpikir
diartikan sebagai kemampuan intelektual, yang meliputi kemapuan menganalisis,
sistesis, dan evaluasi. Kemampuan berpikir semacam itu digolongkan sebagai
kemampuan berpikir tingkat tinggi, yang berada di atas berpikir tingkat pemahaman.
Kemampuan berpikir tinggi baru dapat dikembangkan, jika seseorang telah memiliki
tingkat pengetahuan dan pemahaman. Sementara itu, Belth (1977: 188), menyatakan,
bahwa pengetahuan adalah suatu yang dikonstruksikan oleh manusia dan bukan sesuatu
124
yang ada begitu saja dalam alam semesta. Manusia mengkostruksikan pengetahuan itu
•berdasarkan data yang dikumpulkan. Data yang sama akan mendapat perlakuan yang
berbeda dari berbagai disiplin ilmu, sehingga akan melahirkan konsep dan teori yang
berbeda pula. Berdasarkan hal tersebut, maka kemampuan proses yang dapat
dikemdangkan dalam rangka menggali kearifan lokal yang terkandung dalam peristiwa
sejarah yang diteliti, meliputi kemampuan: 1) mengumpulkan informasi (data), 2)
mengolah informasi, 3) memanfaatkan informasi, dan 4) menkomunikasikan hasilnya
(Hasan, 1996:216).
Dengan uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya proses berpikir dalam
mempelajari materi sejarah. Salah satu hasil yang diharapkan adalah kemampuan
intelektual untuk menganalisis, sintesis, dan evaluasi makna, terutama yang berkaitan
dengan nilai-nilai identitas diri (sel/ identityj, keagamaan, integrasi sosial, solidaritas
sosial, dan etos keija, yang dapat diperoleh melalui proses pembelajaran sejarah.
Sebagai bagian dari IPS, sejarah diajarkan dalam rangka membentuk warganegara yang
ideal. Hal ini berdasarkan alasan, betapapun bangsa ini mempunyai kemampuan
intelektual yang tinggi tetap saja rapuh, jika warga negaranya tidak peduli atau tidak
memiliki pemahaman tentang nilai-nilai luhur sejarah bangsanya secara memadai.
Dengan upaya tersebut, pemahaman nilai sejarah bukan saja akan dapat mendasari
pembentukan kecerdasan dan intelektualitas, tetapi juga akan mendasari pembentukan
martabat kemanusiaan yang tinggi. Hal ini berarti sangat relevan dengan upaya bersama
untuk membangun masa depan melalui pemahaman materi sejarah perubahan sosial
yang kompleks. Bahkan, pemahaman nilai sejarah semacam itu dipandang menempati
posisi yang sangat strategis dalam memberikan sumbangan moral bagi pembangunan
masyarakat dan bangsa.
Berikut ini akan dikemukakan secara teoretis tentang niiai-nil|i
dengan identitas diri, keagamaan, integrasi sosial, solidaritas sosial, dakefs
_
ini dimaksudkan sebagai pedoman untuk memahami nilai-nilai tersebut yf"~
dalam peristiwa sejarah masyarakat Banyumas.
1. Nilai Identitas diri
Bagi suatu anggota masyarakat, perkembangan identitas diri senantiasa berproses
bersamaan dengan perjalanan historis, terutama yang berkaitan dengan sejarah dirinya
yang tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosialnya. Dalam interkomunikasi dengan
lingkungan sosialnya, seseorang dapat menangkap kesan-kesan yang berasal dari luar
dirinya melalui pancaindera, baik yang dilihatnya maupun yang didengarnya. Hal ini
kemudian masuk kedalam alam sadarnya atau terhimpun di bawah sadarnya, berpadu
dengan kesan-kesan dan pengalaman yang sudah ada, termasuk kesan yang diwarisi dari
nenek moyangnya. Keseluruhan kesan-kesan dan pengalaman tersebut antara seseorang
dengan orang lain tentu saja berbeda-beda. Hal itulah yang sangat berpengaruh terhadap
pembentukan sifat dan tabiat manusia, yang berbeda antara orang yang satu dengan
orang yang lain. Dengan demikian, maka untuk mengetahui pribadi seseorang tidak
cukup hanya dengan mengenal satu individu itu saja, tetapi juga harus mengenal
kehidupan orang tuanya, kehidupan nenek moyangnya maupun lingkungan sosialnya
(Effendy, 1988:30-31).
Seperti diketahui, salah satu tujuan dari perubahan sosial dalam masyarakat
adalah kebutuhan untuk mencari identitas diri. Pada dasarnya proses pembentukan
identitas diri tersebut melibatkan proses psikis, seperti pikiran, perasaan, intuisi, dan
penginderaan. Salah satu di antara proses phikis itu bagi seseorang bisa bersifat
dominan. Jika seseorang lebih dominan pikirannya, maka dia akan berusaha memahami
126
dengan jalan mendalami pengetahuan. Melalui logika, dia akan memberi penilaian benar
atau salah. Orang yang dominan perasaannya, akan memahami lingkungannya dengan
ukuran senang dan tidak senang. Sementara itu seseorang yang dominan intuisinya, akan
menangkap segala hal dalam lingkungannya lebih banyak melalui penglihatan batin,
dengan cara memahami makna secara keseluruhan. Kemudian orang yang dominan
penginderaannya, akan menangkap hal-hal yang ada dalam lingkungannya sebagaimana
apa adanya tanpa ukuran penilaian apapun (Effendy, 1988: 31).
Dalam perkembangannya, proses psikis itu sangat erat hubungannya dengan
lingkungan sosial, sehingga persona memainkan peranan penting. Persona adalah bentuk
perilaku umum secara psikis dari manusia berkaitan dengan lingkungan sosialnya.
Perilaku umum secara psikis merujuk pada pengertian tentang cara yang sudah terbiasa
dilakukan oleh seseorang dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungannya. Dengan
demikian, persona adalah suatu bentuk kompromi antara watak kodrati dengan normanorma kolektif yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang sebagai anggota masyarakat
akan berusaha menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan
sosialnya. Seperti diketahui, manusia mempunyai pembawaan sendiri, tetapi dia
dihadapkan pada norma-norma yang berlaku umum dalam masyarakat. Seseorang akan
berusaha menyesuaikan diri dengan norma-norma tersebut, sebab jika hal itu tidak
dilakukan akan mucul perasaan resah, takut, dan tidak tenteram. Walaupun pada
dasarnya setiap orang akan mengikuti watak kodratinya, tetapi orang yang bersangkutan
akan tetap berusaha melakukan kompromi terhadap norma-norma yang berlaku di dalam
lingkungannya (Effendy, 1988: 34).
Kompromi semacam itu akan berlangsung secara terus-menerus sepanjang
hidupnya dan hal inilah yang menjadi ciri dari persona seseorang. Pada hakekatnya
127
kesadaran akan identitas diri bagi seseorang berkaitan erat dengan kesadaran tentang
kesejahteraan yang bersifat psiko-sosial. Tujuan utamanya adalah, harapan untuk
memperoleh kepastian dan mengantisipasi pengakuan yang datang dari masyarakat
sekitarnya (Erikson, 1979: 156).
Dengan mengacu kepada tujuan tersebut dapat dinyatakan, bahwa konsep
identitas merupakan masalah psikologi yang erat kaitannya dengan budaya masyarakat.
Oleh sebab itu, identitas tersebut juga berkaitan erat dengan sejarah, karena budaya
masyarakat dibangun bersamaan dengan proses historis. Tentang keterkaitan antara
identitas dengan sejarah, dinyatakan, bahwa " Questions of identity are a central
concern of psychology, which has found that loss identity results in loss of significance,
without identity there is little meaning and purpose to life. Beverly Southgate, argues
that history-the memories of things past-is of "supreme importance " in maintaining a
sense of identity" (Why teach history?, 2000: 7). Hal ini berarti, begitu pentingnya
fungsi sejarah dalam pembentukan identitas, baik secara individual maupun bagi
masyarakat. Hal ini berdasarkan argumen, bahwa sejarah merupakan memori tentang
masa lampau masyarakat, yang sangat penting dalam upaya memelihara suatu identitas
masyarakat yang bersangkutan.
Pada dasarnya, setiap orang membutuhkan memori bersama demi masa depan
mereka, yang dapat diperoleh melalui pemahaman sejarah masyarakatnya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan pernyataan di bawah ini.
Evetyone needs his memories. Without this historical knowledge, this memory of
things said and done, his today would be aimless and his Jomorrow without
significance. . . . the needfor identity applies to nation as well to individuals,
cultural identity contributes to meaning, purpose and cohesion in society. . . . .
think of history as "society 's collective memory. Without that collective memory,
the say, society would bee as rootless and adrift as and individual with amnesia.
128
A country without a memory is a country of madmen {Why teach history?, 2004:
7-8).
Berdasarkan kutipan tersebut dapat dinyatakan, bahwa tanpa pengetahuan sejarah
seseorang akan kehilangan memorinya, sehingga tidak mampu mengkaitkan antara
pemahaman tentang hari ini dengan masa depannya. Untuk mengatasinya, dibutuhkan
upaya untuk mengkaitkan identitas suatu bangsa dengan individu-individu dalam
masyarakat. Dalam hal ini, identitas budaya yang dibangun melalui proses historis dapat
memberi sumbangan yang cukup berarti sebagai alat pengikat masyarakat. Kedudukan
sejarah sebagai memori kolektif seluruh anggota masyarakat menempati posisi sentral.
Tanpa memori kolektif tersebut, masyarakat dan individu-individu yang ada di dalamnya
diibaratkan berada pada kondisi mengidap amnesia.
Jika ingatan tentang masa lampau itu terhapus, maka hapuslah identitas individu
atau kelompoknya. Seseorang yang kehilangan ingatan akan masa lampaunya, akan
berakibat hilangnya identitas mereka. Dalam kondisi demikian, seseorang tidak dapat
mengenali dirinya dan orang-orang di sekitarnya dengan baik. Dengan demikian,
masyarakat suatu negara yang tidak memahami dengan baik sejarah bangsanya,
diibaratkan sebagai negara yang rendah kualitas warga negaranya. Dalam kondisi
masayarakat yang tidak menentu dewasa ini, semakin dirasakan pentingnya nilai
identitas, baik bagi kehidupan individu dan masyarakat sebagai bagian dari suatu
bangsa. Hal ini menunutut adanya upaya pencarian identitas diri melalui pemahaman
tentang masa lampaunya.
2. Nilai keagamaan
Secara umum istilah agama dapat diartikan sebagai suatu sistem keyakinan,
kepercayaan, dan seperangkat norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan
129
Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan juga yang mengatur hubungan manusia dengan
lingkungannya. Berdasarkan konsep antropologi, sistem tersebut terdiri dari seperangkat
pranata dan kepercayaan, yang realisasinya diwujudkan dalam bentuk perilaku
keagamaan yang dijiwai oleh suasana persaudaraan di lingkungan penganutnya (Suyono,
1985: 10). Dengan demikian, nilai keagamaan (religi) yang berlaku dalam masyarakat
berkaitan erat dengan suatu proses kebudayaan di lingkungan para pemeluknya.
Aktivitas manusia yang bersangkutan dalam lingkup keagamaan berdasarkan
atas getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan atau religious
emotion. Pada dasarnya emosi keagamaan pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun
kadarnya sangat bervariasi. Apapun kondisinya, emosi keagamaan itu dapat mendorong
seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi, yang menyebabkan
suatu benda, tindakan, atau gagasan mendapat suatu nilai keramat {sacred values) dan
dianggap keramat. Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciriciri
untuk memelihara emosi keagamaan bagi para pengikutnya (Koentjaraningrat,
1990: 376-377).
Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan salah satu unsur penting dalam
suatu religi, di samping sistem keyakinan (kepercayaan) dan sistem upacara keagamaan
yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dalam studi antropologi, sistem keyakinan pada
umumnya difokuskan pada konsepsi tentang dewa-dewa, mahluk-mahluk halus,
konsepsi tentang terciptanya alam semesta (kosmogoni), konsepsi tentang bentuk dan
sifat-sifat alam semesta (kosmologi), dan konsepsi tentang hidup dan mati, serta
kehidupan sesudah mati (akherat). Adapun sistem upacara keagamaan berkaitan dengan
empat aspek utama, yaitu tempat upacara keagamaan, waktu upacara, benda-benda dan
alat upacara, serta pelaku upacara keagamaan (Kuntjaraningrat, 1990:377-378).
130
Dalam masyarakat petani di pedesaan, sistem keyakinan dan upacara keagamaan
pada hakekatnya dilakukan untuk memenuhi beberapa fungsi yang bersifat sombolik, di
antaranya adalah fungsi ekspresif dan fungsi moral. Fungsi ekspresif ini dapat diamati
apabila gagasan, perbuatan dan benda-benda keramat diyakini dapat membantu
mengatasi suatu krisis dalam kehidupan. Melalui perangkat itu, selain dapat membantu
mengatasi kecemasan masyarakat, juga dapat meyakinkan, bahwa tekanan-tekanan yang
menimpa mereka dapat memperoleh makna yang bersifat umum. Kemudian, fungsi
moral, yang di samping berfungsi sangat penting dalam sistem kepercayaan dan upacara
keagamaan juga terkandung pula fungsi moral, yang dapat menopang cara hidup yang
baik. Dengan demikian, fungsi moral dari sistem keyakinan dan upacara keagamaan itu
dapat menopang ikatan-ikatan sosial yang mempersatukan sendi-sendi kehidupan
masyarakat. Lebih jauh, sistem kepercayaan dan upacara keagamaan itu dapat
membantu mangatasi ketegangan-ketegangan sosial yang timbul, sehingga pada
gilirannya dapat memperkuat sentimen-sentimen yang menentukan kontinuitas sosial
masyarakat yang bersangkutan (Wolf, 1985: 175-176).
Dalam lingkungan masyarakat petani pada umumnya diyakini, bahwa sistem
kepercayaan dan upacara keagamaan menempati posisi penting dalam kehidupan
mereka, karena dapat mendukung dan memelihara keseimbangan ekosistem dan
organisasi sosial petani yang lebih luas. Dengan demikian, melalui sistem keagamaan
masyarakat dapat menanggapi rangsangan-rangsangan, baik yang datang dari dalam
masyarakat itu maupun dari tatanan sosial yang lebih luas. Hal ini akan menciptakan
suatu tingkat hubungan yang mengikat masyarakat petani dengan tatanan sosial itu
(Wolf, 1985: 179).
131
Sistem keagamaan yang berkembang dalam masyarakat, berpengaruh besar
terhadap terbentuknya sistem kepemimpinan. Salah satu bentuk kepemimpinan yang
cukup besar pengaruhnya adalah pimpinan lokal yang bersifat informal dan multi fungsi.
Di kalangan masyarakat pedesaan dikenal kyai, yang merupakan pimpinan yang
bergerak di wilayah keagamaan (Islam), tetapi dia sekaligus juga seorang guru dan tabib.
Kyai juga seorang kepala sekolah (pesantren), di samping dia berfungsi pula sebagai
mediator antara masyarakat pengikutnya dengan pihak penguasa (Antlov & Cederroth,
2001: 56).
Pada prinsipnya, kepemimpinan merupakan perilaku sosial yang sangat erat
kaitannya dengan sistem keyakinan yang dianut dalam masyarakat. Pemimpin pada
umumnya sangat penting peranannya, terutama dalam hal mengawali tindakan, memberi
perintah, mengambil keputusan, menangani peselisihan di antara anggotanya, memberi
dorongan, bertindak sebagai teladan, dan selalu berada di depan dalam aktivitas
kelompok (Sears, 1985: 120). Hal tersebut menggambarkan bagaimana seorang
pemimpin mempengaruhi kelompoknya. Walaupun demikian, tidak semua pempinan
melakukan semuanya.
3. Integrasi sosial
Integrasi sosial merupakan konsep sosiologis yang berusaha menangkap semua
karakteristik masing-masing warga masyarakat. Di sini perlu dibedakan konsep integrasi
sosial dari konsep kesatuan nasional atau integrasi politik yang merupakan konsep ilmu
politik untuk mengatasi akibat negatif dalam masyarakat, dalam arti ideologi, budaya,
etnis, kawasan, dan lain-lain. Dikenal juga konsep kepribadian nasional, yang tidak lain
merupakan konsep politik dengan menggunakan tema-tema kebudayaan. Konsep
tersebut biasanya digunakan untuk menjawab perbenturan antara budaya, yang berlaku
132
dalam masyarakat dengan arus budaya asing, yang secara politik diartikan selalu
berseberangan dengan kepentingan nasional. Semua itu dilancarkan dalam rangka
pembangunan kharakter bangsa. Sebaliknya, integrasi sosial dimaksudkan sebagai
proses yang datang dari dalam (immaneni) dari setiap masyarakat, agar mereka tetap
survive, dan agar tidak terjadi kekacauan dalam tatanan masyarakat (disintegrasi).
Namun harus pula disadari, bahwa konsep integrasi sosial tidak mengandung arti
sebagai suatu peleburan budaya, melainkan yang penting adalah adanya keseimbangan
(equilibrium). Dengan demikian, berarti dibenarkan adanya keanekaragaman, meski
tetap disyaratkan adanya suatu harmoni (serasi, selaras, dan seimbang). Dari semua itu
mengandung arti masih dimungkinkan adanya pembaharuan-pembaharuan dalam
masyarakat sebagai upaya memperbaiki tatanan masyarakat tersebut dengan munculnya
tokoh-tokoh pembaharu atau ide-ide pembaharuan.
Menurut pandangan Alisjahbana (1974: 16-17), dalam upaya memahami
mekanisme integrasi sosial dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan.
Pertama, konsep integrasi sosial itu dapat dijelaskan dengan teori Psikologi Gestalt,
yang menyatakan bahwa sebagai suatu keseluruhan, karakternya tidak ditentukan oleh
sifat komponen-konponennya, melainkan oleh karakter hakekat keseluruhan itu. Bagianbagian dari keseluruhan itu tidak mempunyai arti, tanpa kaitan dalam keseluruhan yang
ditandai oleh berlangsungnya saling ketergantungan. Saling ketergantungan itu bukan
saja antara komponen dengan keseluruhan yang terjadi interaksi, melainkan juga di
antara komponen itu sendiri. Sebagai akibatnya, kita tidak dapat memahami sesuatu
bagian yang dilepaskan dari keseluruhan.
Kedua, mekanisme integrasi sosial itu dapat pula dijelaska dengan pengertian
masyarakat sebagai suatu sistem. Seperti diketahui, dalam masyarakat terdapat unsur-
133
unsur sosial yang merupakan suatu jalinan yang padu. Setiap bagian atau sub-sistem
mempunyai posisi serta sistem tertentu dalam keseluruhan, sehingga masing-masing
mempunyai peranan dan penampilan yang telah dipolakan sesuai dengan harapanharapan sosial. Oleh karena itu, setiap masyarakat mempunyai tujuan dan setiap warga
masyarakat yang ada di dalamnya terikat pada tujuan yang sama pula. Di samping itu,
setiap warga masyarakat juga merasa terikat pada nilai-nilai yang sama. Meskipun
demikian,
masyarakat juga merupakan
sistem
yang terbuka,
sehingga
selalu
memungkinkan adanya proses penyesuaian dengan kondisi lingkungannya/Tentang
integrasi sosial juga dapat dijelaskan dengan konsep sosiologi. Para ahli sosiologi
beranggapan, bahwa orang tidak dilahirkan secara langsung sebagai manusia. Akan
tetapi, harus melewati terlebih dahulu proses interaksi dengan orang lain dan
lingkungannya (Banks, 1977: 250).
Malalui proses sosialisasi itu, kemudian akan dapat menumbuhkan saling
ketergantungan di antara sesama warga masyarakat, karena mereka merasa saling
membutuhkan. Malalui sosialisasi itu pula warga masyarakat yang baru memperoleh
nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dipergunakan dalam kehidupan seharihari. Semua itu merupakan prasyarat agar setiap anggota masyarakat dapat memainkan
peranan masing-masing, sesuai dengan harapan-harapan sosial. Peran yang harus
dimainkan oleh setiap anggota masyarakat berbeda-beda sesuai dengan status dan
posisinya dalam kelembagaan tertentu. Sebenarnya, interaksi yang dirasakan sebagai
suatu hal yang nyata justru terletak pada tingkat kelembagaan. Sementara pada tingkat
komunitas atau warga masyarakat, interaksi itu lebih bersifat abstrak. Masyarakat
merupakan kesatuan sosial yang berstruktur, menempati suatu kawasan tertentu dan di
antara warganya dihubungkan dengan sejumlah peranan, sehingga membentuk suatu
134
keteraturan. Hal ini terjadi karena seluruh unit dalam sistem yang ada di dalamnya
tunduk kepada norma dan nilai tertentu (Johnson, 1986: 114).
Suatu hal yang tidak dapat diabaikan adalah, tereciptanya integrasi sosial tidak
juga dapat lepas dari tersedianya sarana komunikasi yang tepat. Hal ini disebabkan,
orang yang menghadapi persolan bersama belum tentu sependapat dalam upaya
mengatasinya, kecuali jika mereka menyadari tentang situasi kebersamaan mereka
(Svalastoga, 1989: 99). Oleh sebab itu, dalam upaya mewujudkan integrasi sosial dalam
masyarakat sangat diperlukan penyebarluasan ide-ide, gagasan, untuk dapat memahami
situasi dan kondisi secara bersama, sehingga akan mendorong keseragaman perilaku
sosial. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan sarana dan jalur-jalur komunikasi
yang setepat mungkin.
Selama masa sosialisasi berlangsung, pada umumnya masyarakat melakukan
sistem sanksi yang diberikan kepada warganya. Pemberian sanksi itu terjadi dalam
berbagai lapisan masyarakat sebagai bentuk kontrol sosial untuk mendisiplinkan
anggota-anggotanya agar dapat hidup sesuai dengan perilaku kolektif. Dengan demikian,
setiap anggota masyarakat dapat hidup bertanggung jawab sebagai warga masyarakat.
Dengan tumbuhnya tanggung jawab itu, maka setiap warga nasyarakat dapat memainkan
peran sosial mereka sesuai dengan harapan-harapan sosial (Johnson, 1986: 114).
4. Solidaritas sosial
Manusia adalah mahluk sosial dan organisasai sosial merupakan faktor penting
dalam kehidupan mereka. Mengenai sifat-sifat sosial manusia berasal dari kenyataan,
bahwa untuk menolong diri sendiri dalam aktivitas yang diperlukan dalam rangka
mempertahankan hidupnya, manusia harus menyandarkan dirinya kepada orang lain.
Tidak ada seseorang yang secara mutlak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
135
Kebutuhan manusia hanya akan dapat dipenuhi melalui usaha kerja sama dengan
manusia lain. Walaupun manusia sebagai mahluk individu, tetapi tidak ada seorangpun
individu yang selamanya mampu hidup sendiri. Solidaritas adalah faktor penting bagi
setiap individu agar dia dapat menerima invidu lain dalam kesejajaran. Dalam
kenyataannya ada kelompok tertentu memiliki kadar solidaritas yang kuat, tetapi ada
juga kelompok lain yang kurang kuat solidaritasnya. Menyimak hal ini, maka ikatan
kekeluargaan merupakan faktor penting dalam menciptakan solidaritas tersebut, karena
dengan ikatan kekeluargaan itu manusia memiliki dorongan alamiah untuk melindungi
kerabat mereka dari serangan atau ancaman pihak lain (Lauer, 1989: 44-45).
Dalam kenyataannya, manusia hidup di tengah-tengah lingkungan alam dan
lingkungan sosial. Mereka melakukan berinteraksi dengan kedua jenis lingkungannya itu
tidak hanya secara pasif, tetapi dituntut secara aktif dalam rangka memenuhi kebutuhan
kehidupan yang ideal. Dengan interaksi tersebut, manusia dapat saling belajar, saling
mengisi, dan saling mengembangkan pengertian dan kemampuannya dalam bidang
intelektual dan spiritual. Proses sosial yang terjadi dari hubungan antar manusia itu
menimbulkan suatu kekuatan baru, yang dapat mempererat hubungan antar manusia,
seperti kasih sayang, cinta, saling membutuhkan, saling menghargai, dan saling
menguntungkan. Pada umumnya kekuatan yang bersifat asosiatif itu berpangkal dari
suatu hal yang sama-sama dimiliki, seperti persamaan keturunan, persamaan wilayah,
persamaan bahasa, persamaan kebudayaan (Pranowo, 1988: 2). Semua itu dapat
memudahkan terwujudnya suatu solidariras sosial di antara warga masyarakat.
Istilah solidaritas sosial mengacu pada teori sosiologi untuk memahami bentuk
kesadaran kolektif yang terjadi dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, sering
digunakan istilah solidaritas mekanik dan solidaritas organik agar dapat menganalisis
136
solidaritas masyarakat secara keseluruhan. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu
kesadaran kolektif (collective consciusness) yang merujuk pada totalitas kepercayaan
*-* ' dan sentimen bersama yang rata-rata pada warga masyarakat memiliki ciri yang sama.
Solidaritas semacam ini tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat
yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Hal yang
paling penting bagi berkembangnya solidaritas mekanik adalah tingkat homogenitas
yang sangat tinggi dalam hal kepercayaan, sentimen dan lain-lain, yang hanya mungkin
dicapai apabila dalam masyarakat belum berkembang pembagian kerja berdasarkan
spesialisasi (Johnson, 1986: 183, Abdullah & Leeden, 1986: 13).
Sementara itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja dalam
masyarakat yang telah berkembang. Dengan dmikian, solidaritas ini berdasarkan pada
tingkat
saling
ketergantungan
yang
tinggi,
yang
disebabkan
oleh
semakin
berkembangnya spesialiasasi dalam pembagian pekerjaan. Munculnya perbedaanperbedaan di tingkat individu akan merombak kesadaran kolektif, yang dipandang tidak
penting lagi sebagai dasar keteraturan sosial. Sebagai gantinya, muncul saling
ketergantungan fungsional di antara individu-individu yang memiliki spesialisasi, yang
secara relatif lebih otonom sifatnya (Abdullah & Leeden, 1986: 13-14).
Dari sini dapat dinyatakan, bahwa ciri-ciri yang menonjol dari kedua jenis
silidaritas itu adalah, sifat kolektivitas untuk solidaritas mekanik dan sifat individualitas
bagi solidaritas organik. Kehidupan masyarakat petani di pedesaan secara tradisional
selalu digambarkan sebagai masyarakat yang homogen terutama dalam mentalitas dan
moralitasnya. Dengan dermikian, mereka memiliki totalitas kepercayaan dan keyakinan
yang sama, yang belum mengenal diferensiasi fungsi atau pembagian keija secara rinci.
Sering pula digambarkan, bahwa masyarakat desa merupakan kesatuan yang mencakup
kelompok-kelompok hubungan yang bersifat akrab, antar pribadi, fta^jp^'y
(familistis) yang terarah kepada afeksi (perasaan-emosi), dan tradisiwi^
vdengan adat atau tata cara yang berlaku (Kartodirdjo, 1990: 91). Dalam
ini, masyarakat desa digolongkan sebagai masyarakat dengan sifat mekanik yang
cenderung bersifat kolektivitas.
Dalam kenyataannya, kondisi tradisional masyarakat desa mengalami pergeseran
secara berangsur-angsur, seiring dengan masuknya pengaruh asing dan modernisasi.
Dalam masyarakat mulai dikenal fungsi-fungsi baru yang berbeda-beda dengan disertai
koordinasi yang serasi, sehingga masyarakat dapat berfungsi lebih baik. Kenyataan
sepeti itu sering disebut dengan pegeseran integrasi struktural kearah berkembangnya
integrasi fungsional, yang ditandai dengan semakin banyaknya diferensiasi sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu, perlu diperhatikan pula jenis hukum yang
diberlakukan, juga terus disesuaikan agar tetap dapat menjadi pendorong terjadinya
solidaritas sosial dalam masyarakat. Hukum represif yang menjadi dasar solidaritas
masyarakat mekanis secara perlahan bergeser menjadi hukum yang sifatnya retributif
sebagai dasar koordinasi masyarakat organis (Abdullah & Leeden, 1986: 14).
Pada hakekatnya, solidaritas sosial dalam masyarakat organis ditentukan oleh
interaksi antara pembagian kerja, proses pertukaran sosial, dan dengan moralitas yang
timbul dari pertukaran itu. Kiranya perlu pula dipahami, bahwa situasi masyarakat
pedesaan di Jawa sampai awal abad ke-20 diwarnai oleh perbedaan struktural yang
mengarah kepada perbedaan fungsional, walaupun masih berada pada taraf tradisional
dan tidak mencapai tingkat perbedaan seperti dalam masyarakat industrial (Colletta &
Kayam, 1987: 256).
138
Lebih jauh dapat dinyatakan, bahwa ciri-ciri yang melekat pada masyarakat
T*
pedesaan dalam periode itu adalah sebabagi berikut: Pertama, perbedaan fungsional
telah mulai
meningkat,
Kedua, karena adanya
fungsional
masih
tetap
tidak hanya merupakan suatu pemisahan yang identik.
moralitas dan kesadaran
terbatas
dan
bahkan
kolektif, walaupun perbedaan
menekankan
pada
perbedaan
struktural, tetapi telah ada suatu solidaritas organis. Ketiga, hal ini memungkinkan
timbulnya integrasi fungsional yang lebih kuat, dengan akibat bahwa masyarakat desa
tidak merupakan suatu integritas struktural tersendiri. Dalam situasi masyarakat
semacam itu, kerja gotong royong merupakan manifestasi solidaritas sosial tingkat tinggi
yang didasarkan pada moralitas, rasa bersatu, dan common sentiment atau konsensus
umum (Colletta & Kayam, 1987: 256).
Konsep gotong royong itu erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat petani.
Dalam masyarakat agraris, sering dihadapkan kepada pengerahan pengerahan tenaga
keija tambahan, mengingat banyaknya pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Untuk
mengatasi kondisi darurat itu, mereka memobilisasi tenaga keija yang berasal dari luar
kalangan keluarganya sendiri. Dari sanalah konsep gotong royong dikembangkan lebih
jauh dalam masyarakat pedesaan. Dengan demikian konsep gotong royong selalu berkait
dengan upaya mengisi kekurangan tenaga, dalam lingkaran pekerjaan produksi pertanian
(Koentjaraningrat, 1987,1: 12).
5. Etos kerja
Etos kerja yang sering disebut work-ethics, mengacu pada pengertian yang
berkaitan dengan keyakinan masyarakat terhadap nilai kerja. Dalam kenyataannya,
setiap masyarakat memiliki keyakinan yang tidak sama terhadap aktivitas keija,
sehingga mereka akan memberi pandangan, nilai dan penghargaan tertentu. Hal ini
139
sangat penting artinya dalam kehidupan masyarakat, karena motivasi masyarakat dalam
melakukan aktivitas sehari-hari sangat dipengaruhi oleh keyakinan mereka terhadap
pandangan, nilai dan penghargaan tentang kerja tersebut (Lubis, 1977: 15).
Bagi masyarakat tradisional yang masih bersifat feodalistik seperti yang
berkembang dalam masyarakat pedesaan Jawa sampai abad ke-I9, etos ketja yang
berlaku dalam masyarakat belum dikaitkan dengan pencapaian prestasi. Walaupun
demikian nilai kerja tetap dipandang tinggi, mengingat di dalam kerja tersimpan makna
kesetiaan, keihklasan, dan kesungguhan. Dalam lingkungan masyarakat yang feodalistik,
berlaku etos kerja yang tidak dapat terlepas dengan nilai pengabdian. Dalam kerangka
itu, seseorang abdi dituntut untuk selalu patuh, setia, dan tekun menjunjung perintah
atasannya. Dengan pertimbangan etos kerja semacam itu, maka nilai kerja lebih
ditekankan pada siapa yang patut ditaati dalam melaksanakan kerja. Kepatuhan abdi
menuntut agar tidak mempertimbangkan imbalan, kecuali nama harum atau prestise.
Sudah selayaknya seorang abdi patuh dan setia secara mutlak kepada atasannya. Dengan
demikian, penilaian tentang kerja bukan terletak pada penyelesaian kerja itu, tetapi
tergantung bagaimana sikap orang yang memberi kerja. Dari sini dapat dinyatakan,
bahwa nilai kerja tidak diletakkan pada penyelesaian masalah, tetapi pada penyelarasan
diri kepada sikap orang yang diabdi. Dalam pemahaman yang menyeluruh, berbagai
bentuk kerja dalam masyarakat tradisional, harus selalu mempertimbangkan keselarasan
diri dengan alam fisik, alam manusia, dan
harus menyelaraskan diri dengan selera
atasan (Kartodirdjo, 1987: 136-138).
Ketergantungan kelas sosial yang rendah (wong cilik) kepada kelas sosial yang
lebih tinggi (priyayi) tidak terlepas dari pola hubungan patron-client, sebagai suatu pola
hubungan persahabatan yang berat sebelah. Suatu hal yang tetap dijaga dalam pola
140
hubungan itu adalah, keselarasan dan saling menguntungkan secara timbal balik. Pihak
patron sesuai dengan sifat dasarnya, akan selalu lebih banyak menguasai sumber-sumber
yang dapat dipertukarkan kepada client. Sementara itu pihak client rupanya tidak hanya
menguasai sumber pelayanan jasa, tenaga kerja, kemiliteran, dan politik untuk
ditawarkan. Pada dasarnya pihak client dapat memberikan pelayanan jasa yang bernilai
bagi pihak lain, walaupun imbangan keuntungan yang dipetik pihak patron cederung
lebih banyak (Legg, 1983: 26:27).
Aspek positif dari etos keija semacam itu dapat memudahkan para pimpinan
untuk memobilisasi penduduk untuk berpartisipasi dalam aktivitas kerja. Semangat
pengabdian yang diwujudkan dalam bentuk kerja semacam itu bersumber pada suatu
konsep, bahwa hidup ini harus dijalani dan wajib disyukuri. Segi positif dari etos
semacam itulah yang membentuk sikap hidup tahan penderitaan, yang diwujudkan
dalam bentuk keuletan dalam menjalani kehidupan dan kesanggupan menjalani proses
gerak hidup dalam masyarakat. Sikap mental masyarakat semacam itu tentu sangat
penting artinya, karena dipandang sebagai pendorong toleransi di antara penduduk
dalam menjalani kehidupan ini. Lebih jauh, berkembangnya sikap toleransi itu
dipandang merupakan salah satu unsur dari etos kerja gotong-royong. Etos kerja ini
sebenarnya bersandar kepada pemahaman, bahwa manusia itu tidak hidup sendiri di
dunia ini, tetapi dikelilingi oleh sistem sosial dari komunitas dan masyarakat sekitarnya,
sehingga individu hanyalah merupakan suatu unsur yang ikut terbawa dalam proses
peredarannya (Kuntjaraningrat, 1992: 79-81). Konsep ini sangat besar pengaruhnya bagi
kehidupan masyarakat tradisional, yang dipandang telah memberi rasa aman
nurani
yang sangat dalam dan mantap. Dalam pikiran anggota masyarakat tetap ada bayangan,
141
bahwa hidup ini tidak sebatang kara, sehingga jika menghadapi bencana dan mala petaka
pasti ada orang lain yang membantu.
Dalam prakteknya, etos kerja gotong-royong, baik yang berkaitan dengan
pemenuhan unit ketja maupun unit konsumsi, terdapat kecenderungan untuk saling
membantu di antara warga masyarakat. Semangat kebersamaan yang tercermin dalam
kerja gotong royong itu mengarah kepada upaya membantu dan melindungi sesama
warga masyarakat dari kondisi keterbatasan tenaga maupun dana. Aspek positif dari
kerja gotong royong, terutama adalah berkembangnya tenggang rasa terhadap orang lain
dan upaya untuk saling memahmi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang lain.
Sementara itu terdapat pula aspek negatifnya, terutama adalah sikap menggampangkan,
karena dalam pikiran orang selalu ada anggapan, bahwa akan ada orang lain yang
membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi. Dengan demikian, maka motivasi untuk
berusaha secara mandiri sering kali sangat lemah. Hal ini dapat pula melemahkan rasa
tanggung jawab terhadap dirinya sendiri (Koentjaraningrat, 1987, III: 8).
Segi negatif dari sistem kerja gotong-royong semacam itu, sering dikaitkan
dengan tori kemalasan sosial, yang didasarkan pada pengalaman empirik. Dinyatakan,
bahwa semakin banyak tenaga kerja yang dikerahkan untuk menggarap suatu pekerjaan
tertentu, maka semakin kecil produtivitas tenaga yang dikeluarkan oleh setiap orang. Hal
ini tidak berkaitan dengan motivasi setiap individu dalam kelompok masyarakat ketika
melalukan kerja bersama. Akan tetapi, gejala itu dipandang sebagai indikasi, bahwa
dalam bentuk kerja gotong royong yang melibatkan banyak anggota kelompok, terdapat
kecenderungan individu-individu bekerja kurang keras dibandingkan jika dia bekerja
sendirian (Sears, 1985: 152).
142
Pada periode akhir abad ke-19, etos kerja yang berorientasi kepada atasan mulai
menunjukkan gejala yang semakin memudar. Berbagai bentuk kerja mulai dipandang
sebagai upaya untuk memenuhi sandang dan pangan, sehingga telah dikaitkan dengan
imbalan kongkrit yang bukan hanya sekedar prestise semata-mata. Seperti diketahui,
dengan masuknya pengaruh kolonial, secara lambat laun pandangan masyarakat tentang
nilai kerja mengalami pergeseran. Kerja tidak lagi dinilai atas dasar penyesuaian diri
terhadap alam, tetapi lebih mengarah kepada tuntutan prestasi kerja dan imbalannya.
Bahkan kemudian kerja dikaitkan dengan pembagian yang sangat beragam berdasarkan
pada imbangan tenaga fisik dan keahlian, yang meliputi kerja halus, sedang, dan kerja
kasar. Termasuk dalam jenis kerja halus, adalah sastrawan, seniman, dan pegawai.
Kemudian, untuk jenis kerja sedang, antara lain meliputi sebagai pedagang, tukang, dan
pertani. Sementara itu, jenis kerja kasar merupakan peketjaan sebagai buruh dan
pekerjaan
lain yang mengandalkan kekuatan fisik dari jenis pekerjaan yang
bersangkutan (Kartodirdjo, 1987: 140).
Bagi penduduk pedesaan, konsekuensi dari pergeseran pandangan tentang nilai
kerja itu, memaksa mereka harus mempertahankan keseimbangan antara tuntutantuntutannya sendiri dan tuntutan-tuntutan yang datang dari luar, sehingga kehidupan
mereka diwarnai oleh ketegangan-ketegangan. Pihak kolonial memandang, bahwa petani
merupakan sumber tenaga kerja yang perlu dieksploitasi untuk kepentingan mereka.
Dengan demikian, maka unit petani pedesaan {peasant unit) bukan hanya berkedudukan
sebagai unit keija yang terdiri dari sekian banyak tangan yang harus siap bekerja pula
untuk kepentingan pihak kolonial. Sementara itu, di lingkungan petani sendiri tetap
harus mempertahankan hidupnya melalui kerja yang produktif. Hal ini disebabkan,
143
mereka juga merupakan unit konsumsi yang harus menanggung sekian banyak mulut,
sesuai dengan banyaknya warga masyarakat (Wolf, 1985: 19).
Download