UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA KOMPONEN KIMIA DAN UJI ANTIBAKTERI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PADA BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa SKRIPSI KURNIA ANISAH 1110102000040 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2014 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ANALISA KOMPONEN KIMIA DAN UJI ANTIBAKTERI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PADA BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi KURNIA ANISAH 1110102000040 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2014 ii iii iv v ABSTRAK Nama : Kurnia Anisah Program Studi : Farmasi Judul : Analisa Komponen Kimia dan Uji Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Bakteri Staphylococcus aureus Dan Pseudomonas aeruginosa Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia. Cangkang kelapa sawit merupakan limbah yang jumlahnya mencapai 60% dari produksi minyak inti. Asap cair tempurung kelapa sawit diperoleh dengan cara pirolisis pada rentang suhu 200-2500C, 280-3500C dan >4000C. Dari hasil uji aktivitas antibakteri menggunakan difusi cakram, ketiga asap cair diketahui memiliki aktivitas antibakteri. Dimana asap cair yang memiliki aktivitas tertinggi yaitu asap cair yang dipirolisis suhu >4000C. Dilakukan fraksinasi suhu terhadap asap cair yang memiliki aktivitas antibakteri tertinggi. Sehingga didapatkan fraksi <650C dan >650C hasil fraksinasi asap cair suhu pirolisis >4000C. Dari analisa komponen kimia dengan GC-MS diketahui komponen utama pada kedua fraksi asap cair yaitu fenol dengan presentase 77,05% pada fraksi <650C dan 84,38% pada fraksi >650C. Untuk mengetahui nilai KHM kedua fraksi diuji menggunakan metode dilusi cair dan didapatkan hasil nilai KHM fraksi <650C 2,50% untuk Staphylococcus aureus dan 1,25% untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa. Fraksi >650C memiliki nilai KHM 0,6250% untuk Staphylococcus aureus dan 0,3125% untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa. Pengujian menggunakan SEM menunjukkan terjadi perubahan morfologi bakteri, dimana terbentuk lubang pada dinding Pseudomonas aeruginosa dan dinding sel bakteri menjadi lebih kasar dan tidak rata serta pemanjangan pada morfologi bakteri Staphylococcus aureus. Kata Kunci: Asap cair, tempurung kelapa sawit, antibakteri, KHM vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRACT Name : Kurnia Anisah Program Study: Pharmacy Title : Chemical Components Analysis and Antibacterial Liquid Smoke Shell Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Test On Staphylococcus aureus and Pseudomonas aeruginosa Bacteria. Indonesia is the second largest palm oil producer in the world. Palm shell is compost heap which is accounted 60% from main oil production. Liquid smoke of palm shell is obtained by pyrolysis in the range temperature of 200-2500C, 280-3500C and >4000C. Antibacterial activity test by using disc method produce all of liquid smoke has antibacterial activity. Which liquid smoke has the high activity is pyrolysis at >4000C. Fractionations by temperature apply for the liquid smoke which has the high activity. Thus fraction be obtained <650C and >650C the result fractionation smoke liquid in pyrolisis temperature >4000C. From chemical components analysis using GC-MS is known that main component from second smoke liquid fractination is fenol with the percentage 77,05% at the fraction <650C and 84,38% at the fraction >650C. Analyzing on the temperature pyrolysis of liquid smoke >4000C obtain 3 main components, those are: phenol, guaiacol and 2-Furancarboxaldehyde. And then next step is temperature fractionation on the liquid smoke >4000C. Temperature which is used for this fractionation is <650C and >650C. To know the KHM value both fraction are experimented by using liquid dilution method and the result obtained MIC value of the fraction <650C 2.50% and 1.25% of Staphylococcus aureus and Pseudomonas aeruginosa bacteria. Fraction> 650C has MIC value of 0.6250% to 0.3125% of Staphylococcus aureus and Pseudomonas aeruginosa bacteria. Examining Using SEM shows morphological bacteria change, where it is shaped a hole on the Pseudomonas aeruginosa walls and bacterial cell walls become more rough and uneven, and also the elongation on the bacteria morphology of Staphylococcus aureus. Keywords: Liquid smoke, shell oil palm, antibacterial, MIC vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sebagai manifestasi penghambaan kita kepada-Nya atas segala nikmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Analisa Komponen Kimia dan Uji Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Sholawat teriring salam senantiasa kita haturkan kepada Sang Revolusioner sejati, Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kita dengan variabel-variabel akhlaqul karimah yang selalu berorientasi ke tingkat kematangan religius yang lebih tinggi yakni taqwallah. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan tingkat sarjana Strata 1 (S1) pada program studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa keberhasilan penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Atiek Soemiati, M. S., Apt. dan Bapak Arief Heru Prianto, M. Si. selaku pembimbing yang senantiasa dengan kesabaran memberikan arahan, dorongan, semangat, saran dan solusi kepada penulis selama melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Kementerian Agama RI selaku pemberi beasiswa, sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Prof. (Ris) Dr. Sulaeman Yusuf M. Agr. selaku Kepala Puslit Biomaterial LIPI Cibinong yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Puslit Biomaterial. 4. Prof. DR. (hc) dr. M.K. Tadjuddin, Sp. And. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Drs. Umar Mansur, M. Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6. Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan ilmu, motivasi, nasehat, bimbingan dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidaytullah Jakarta. 7. Bapak Deddy Triyono Nugroho Adi, M. Si., Ibu Deni Zulfiana, M. Si., Bapak Ikhsan Guswenrivo, M. Sc., Apriwi Zulfitri S. Si., dan seluruh staf peneliti dan teknisi Puslit Biomaterial LIPI Cibinong yang telah membantu mengarahkan serta menuntun selama penelitian. 8. Ayahanda, H. Moch. Mun’im dan Ibunda, Hj. Irawati yang doanya tidak pernah putus di setiap tengadah tangan dan dukungan baik moril maupun materil. Tiada apapun di dunia ini yang dapat membalas kebaikan, cinta dan kasih sayang yang telah kalian berikan. Serta kakak dan adik-adik serta keluarga besar yang selalu memberikan motivasi dan semangat selama menyelesaikan skripsi ini. 9. Mursyad As-Sirbany dengan semua kesabaran, pengertian dan dukungannya serta Shelly Zallina Sustiawati sebagai sahabat dan saudara yang selalu menemani disaat senang maupun susah dan selalu membantu disaat yang tepat. 10. Zakiya Kamila Muhammad dan Annisa Alfira teman seperjuangan yang telah membantu dan menemani penelitian di Puslit Biomaterial LIPI Cibinong. 11. Sahabat-sahabat terbaik Shulcha Fitriyah, Hilma Azmi, Ariyanti, Reka Yuligawati, Surotul Ilmiyah dan Nuraina, saudara-saudara tercinta CSSMoRA 2010, teman-teman seperjuangan Andalusia Farmasi 2010, sahabat-sahabat pergerakan PMII Cabang Ciputat dan keluarga besar Amanatul Ummah. ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi sumbangan pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya. Jakarta, Juli 2014 Penulis x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Kurnia Anisah NIM : 1110102000040 Program Studi : Farmasi Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul ANALISA KOMPONEN KIMIA DAN UJI ANTIBAKTERI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SAWIT (Elaies guineensis Jacq.) PADA BAKTERI Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa untuk dapat diakses melalui Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Jakarta Pada Tanggal : 14 Juli 2014 Yang menyatakan, (Kurnia Anisah) xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iv HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................... v ABSTRAK ......................................................................................................... vi ABSTRACT ........................................................................................................ vii KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. xi DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 4 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 5 2.1 Deskripsi Kelapa Sawit ................................................................... 5 2.1.1 Taksonomi Kelapa Sawit ...................................................... 5 2.1.2 Klasifikasi Kelapa Sawit ....................................................... 5 2.1.3 Penyebaran/Habitat Kelapa Sawit ........................................ 6 2.2 Pirolisis ........................................................................................... 6 2.3 Asap Cair ........................................................................................ 7 2.3.1 Pengertian ............................................................................. 7 2.3.2 Kandungan Kimia ................................................................. 8 2.3.3 Kegunaan pada Masyarakat .................................................. 9 xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.4 Bakteri ............................................................................................. 10 2.4.1 Struktur Bakteri..................................................................... 10 2.4.2 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan ....... 13 2.5 Bakteri Uji ....................................................................................... 14 2.5.1 Staphylococcus aureus .......................................................... 14 2.5.2 Pseudomonas aeruginosa ..................................................... 15 2.6 Tinjauan Antibakteri ......................................................................... 16 2.6.1 Aktivitas dan Spektrum Antibakteri ..................................... 16 2.6.2 Mekanisme Kerja Antibakteri ............................................... 17 2.7 Antibakteri Pembanding .................................................................... 20 2.7.1 Tetrasiklin HCl ...................................................................... 20 2.8 Metode Uji Antibakteri ..................................................................... 21 2.8.1 Metode Difusi ....................................................................... 21 2.8.2 Metode Dilusi (Pengenceran) ............................................... 22 2.9 Scanning Electron Microscope (SEM) ............................................. 22 2.10. Gas Chromatography-Spectroscopy Mass (GC-MS) .................... 25 2.10.1 Prinsip Dasar GC-MS ......................................................... 25 2.10.2 Proses Pemisahan pada GC-MS .......................................... 26 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 27 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 27 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 27 3.2.1 Alat ..................................................................................... 27 3.2.2 Bahan ..................................................................................... 28 3.3 Prosedur Kerja ................................................................................... 28 3.3.1 Penyiapan Bahan Baku ........................................................... 28 3.3.2 Pembuatan Asap Cair .............................................................. 28 3.3.3 Pemurnian Asap Cair .............................................................. 29 3.3.4 Analisis .................................................................................... 29 3.3.5 Sterilisasi Alat dan Bahan ....................................................... 31 3.3.6 Pembuatan Media Pertumbuhan.............................................. 31 xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.3.7 Pembuatan Larutan Uji............................................................ 32 3.3.8 Pembiakan Bakteri Uji ............................................................ 32 3.3.9 Persiapan Suspensi Bakteri ..................................................... 32 3.3.10 Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram ....................... 33 3.3.11 Pengujian Aktivitas Antibakteri dg Metode Difusi Cakram . 33 3.3.12 Pengujian Daya Hambat Antibakteri..................................... 34 3.3.13 Analisis Kerusakan Sel Menggunakan SEM ........................ 35 3.3.14 Preparasi Sample (untuk Analisa GC-MS) ........................... 35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 36 4.1 Produksi Asap Cair............................................................................ 36 4.2 Analisa Sifat Fisik dan Kimia Asap Cair .......................................... 38 4.2.1 pH .................................................................................... 38 4.4.2 Bobot Jenis .............................................................................. 39 4.4.3 Total Fenol .............................................................................. 40 4.4.4 Kadar Asam ............................................................................. 41 4.3 Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram ................................... 43 4.4 Pengujian Aktivitas Antibakteri Metode Cakram ............................. 43 4.5 Analisa Komponen Kimia Asap Cair Menggunakan GC-MS .......... 47 4.6 Hasil Uji KHM Asap Cair Metode Dilusi ......................................... 49 4.8 Analisa Morfologi Bakteri Menggunakan SEM ............................... 53 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 56 5.1 Kesimpulan........................................................................................ 56 5.2 Saran .................................................................................................. 56 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 57 LAMPIRAN ....................................................................................................... 64 xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Skema Alat SEM..............……………………………….. 24 Gambar 2.2. Morfologi Bakteri……………………………………....... 25 Gambar 3.1. Alat Pirolisis……………..…………………………......... 29 Gambar 4.1. Asap Cair yang Dihasilkan………………………………. 36 Gambar 4.2. Grafik Pengaruh Suhu Pirolisis dengan pH Asap Cair….. 38 Gambar 4.3. Grafik Bobot Jenis Asap Cair……………………………. 39 Gambar 4.4. Grafik Total Fenol Asap Cair……………………………. 40 Gambar 4.5. Reaksi Folin-Ciocalteu dengan Senyawa Fenol…………. 40 Gambar 4.6. Grafik Hubungan Konsentrasi Asam Galat & Absorbansi 41 Gambar 4.7. Grafik Pengaruh Suhu Pirolisis terhadap Kadar Asam…... 41 Gambar 4.8. Grafik Perngaruh Asap Cair terhadap Zona Hambat…….. 44 Gambar 4.9. Grafik Perbandingan Nilai KHM yang Dihasilkan……… 51 Gambar 4.10. Hasil Analisa Morfologi Bakteri……………………….. 54 xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Komposisi Kimia Asap Cair dan Persentasenya…………… 9 Tabel 4.1. Pengaruh Suhu terhadap Rendemen dan Warna Asap Cair... 37 Tabel 4.2. Hasil Sifat-Sifat Asap Cair…………………………............ 42 0 Tabel 4.3. Komponen Kimia Asap Cair Fraksi Suhu <65 C………….. 48 Tabel 4.4. Komponen Kimia Asap Cair Fraksi suhu >650C…………... 48 xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Kerangka Penelitian…………………………………………. 64 Lampiran 2. Peremajaan Bakteri Uji………………………………........... 65 Lampiran 3. Persiapan Suspensi Bakteri…………………………............. 66 Lampiran 4. Penentuan Daya Hambat dengan Metode Dilusi Cair……….. 67 Lampiran 5. Analisa Kerusakan Sel Menggunakan SEM……………….. 68 Lampiran 6. Data dan Perhitungan % Rendemen Asap Cair……………… 69 Lampiran 7. Data dan Perhitungan % Rendemen Arang Aktif……………. 70 Lampiran 8. Data dan Perhitungan Bobot Jenis Asap Cair………………... 71 Lampiran 9. Data dan Perhitungan Kadar Fenol………………………….. 72 Lampiran 10. Tabel Perhitungan Kadar Fenol……………………….. ….. 74 Lampiran 11. Tabel Data dan Perhitungan Kadar Asam………………….. 75 Lampiran 12. Bakteri Uji…………………………………………………. 77 Lampiran 13. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dg Difusi Cakram…………. 78 Lampiran 14. Tabel Perhitungan Zona Hambat pada Difusi Cakram…….. 82 Lampiran 15. Hasil Uji KHM Asap Cair dg Dilusi Cair………………….. 84 Lampiran 16. Tabel Hasil Uji Nilai KHM dg Dilusi Cair……………........ 86 Lampiran 17. Perhitungan Larutan Uji KHM……………………………... 87 Lampiran 18. Kromatogram Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu <650C……. 88 Lampiran 19. Komponen Kimia Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu <650C... 89 0 Lampiran 20. Kromatogram Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu >65 C…… 90 Lampiran 21. Komponen Kimia Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu >650C... 91 Lampiran 16. Alat-alat yang Digunakan…………………………………. 92 xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Proyeksi beberapa tahun ke depan diperkirakan Indonesia akan menempati posisi pertama. Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit sangat menjanjikan, karena permintaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri (Anonim, 2009). Dalam industri pengolahan minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil) akan diperoleh limbah industri (Purwanto, 2011). Limbah industri kelapa sawit adalah sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk dalam produk utama atau merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan kelapa sawit. Limbah ini digolongkan menjadi limbah padat, cair dan gas. Salah satu limbah padat pada industri kelapa sawit adalah cangkang kelapa sawit, yang mana pemanfaatannya belum maksimal (Elykurniati, 2011). Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu limbah yang jumlahnya mencapai 60% dari produksi minyak inti. Limbah cangkang kelapa sawit berwarna hitam keabuan, bentuk tidak beraturan dan memiliki kekerasan cukup tinggi. Pengolahan cangkang kelapa sawit sebagai arang aktif adalah salah satu cara mudah untuk menambah nilai ekonomis (Fauzi et al., 2002) Industri arang di Indonesia saat ini hanya mengutamakan arang sebagai produknya, sedangkan sisanya sekitar 70-80% berupa limbah uap atau gas dibuang bebas ke udara sebagai polutan. Upaya peningkatan nilai tambah produk dari asap agar lebih ramah lingkungan telah dilakukan, yaitu dengan penelitian pemanfaatan limbah asap dalam bentuk cairan yang disebut cuka kayu atau asap cair (Nurhayati et al., 2005). Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara pirolisis bahan baku pengasap seperti kayu atau cangkang kelapa, lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair mengandung UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1 2 senyawa-senyawa antibakteri dan antioksidan, sehingga penggunaannya sangat luas mencakup industri makanan sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida, desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya (Luditama, 2006). Sifat sebagai antibakteri ini berkaitan dengan kandungan senyawa-senyawa dalam asap cair, yaitu fenolik, senyawa karbonil, dan asam karboksilat. Penelitian uji daya hambat asap cair hasil pirolisis kayu pelawan (Tristania abavata) dan pengaruh konsentrasinya terhadap pertumbuhan Eschericia coli telah dilakukan dengan metode difusi cakram. Menurut Yatagai (2002) dalam Nurhayati (2009), mengatakan asap cair dapat berfungsi sebagai inhibitor, pemercepat pertumbuhan tanaman, deodorant, farmasi, antijamur dan mikroba, pengusir binatang kecil dan minuman. Kandungan cuka kayu sebagian besar terdiri dari air dan komponen kimia sekitar 200 jenis. Adanya aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri telah dibuktikan juga berdasarkan laporan Pujilestari (2007), untuk menjaga agar kualitas ikan tetap baik, maka perlu dilakukan upaya pengawetan dan salah satu upayanya yaitu menggunakan asap cair. Laporan lainnya oleh Eko dan Indroyono (2007) pada Seminar Nasional Hari Pangan, teknologi yang telah dikembangkan untuk pengawetan hasil perikanan adalah menggunakan asap cair (cuka kayu). Beberapa penelitian tentang produksi dan penggunaan asap cair telah banyak dilakukan antara lain isolasi dan pemurnian asap cair berbahan dasar tempurung dan sabut kelapa secara pirolisis dan destilasi (Luditama, 2006); kemampuan penghambatan asap cair terhadap pertumbuhan bakteri patogen dan perusak lidah sapi (Yulistiani, dkk., 1997); kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa terhadap daya awet baso ikan (Zuraida, 2008). Penelitian-penelitian tersebut semuanya memanfaatkan asap cair dalam upaya pengawetan terhadap makanan. Analisa komponen kimia penyusun asap cair telah dilakukan oleh beberapa peneliti dan diketahui komponen penyusunnya antara lain fenol, 2-metoksi fenol, 1,2benzenediol, 4 metil katekol, 2,6-dimetoksi fenol, dan 3 metil-1,2-benzenediol (Luditama, 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh Zuraida (2008), diketahui UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 komponen penyusun asap cair di antaranya fenol dan turunannya adalah fenol, 2Metilfenol, 3-metilfenol, 2,6-dimetilfenol, 2,4-dimetilfenol dan 3-etilfenol. Sedangkan karbonil dan asam diantaranya 1-Cyclohexene-1-carboxaldehyde, 2,3dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester. Penyakit infeksi atau penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri merupakan penyakit yang banyak ditemukan dalam masyarakat. Sebelumnya menurut laporan Hermansyah (2009), penyakit infeksi ini menjadi penyebab kematian terbesar pada anak-anak dan dewasa dengan jumlah kematian lebih dari 13 juta jiwa setiap tahun, menempati urutan kedua (25%) setelah kardiovaskular (31%) dari 53,9 juta kasus penyebab kematian di dunia dan menjadi penyebab kematian utama pada anak dibawah umur 4 tahun. Pengobatan untuk penyakit infeksi adalah dengan pemberian agen antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba yang menginfeksi. Agen antimikroba (antibiotik) telah banyak ditemukan sekarang ini, tetapi beberapa diantaranya menjadi tidak efektif digunakan (Hermansyah, 2009). Ditemukannya jenis-jenis kuman baru, sifat-sifat yang baru dari kuman dan jenis infeksi yang “keras kepala” atau yang tidak mau sembuh semuanya ini merupakan bukti bahwa kuman-kuman tadi mampu mengadaptasikan diri terhadap lingkungannya yang baru (Anonim, 1993). Oleh karena itu pencarian antimikroba baru yang lebih efektif dan aman menjadi perlu untuk terus dilakukan. Berdasarkan uraian diatas, untuk mempertimbangkan kemungkinan aplikasi asap cair (cuka kayu) sebagai agen antibakteri alami pada pengobatan infeksi pasien, maka diperlukan kajian mengenai aktivitas antibakterinya. Dalam hal ini, bakteri uji yang digunakan adalah Pseudomonas aeruginosa mewakili Gram negatif dan Staphylococcus aureus mewakili Gram positif. Selain itu, juga perlu dilakukan identifikasi komponen golongan senyawa kimia dalam asap cair (cuka kayu). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4 1.2.Perumusan Masalah 1) Apakah asap cair tempurung kelapa sawit yang dipirolisis pada suhu 2002500C, 280-3500C dan >4000C memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa? 2) Apa saja komponen kimia penyusun asap cair tempurung kelapa sawit hasil fraksinasi suhu <650C dan >650C? 3) Berapa nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) masing-masing asap cair tempurung kelapa sawit hasil fraksinasi suhu <650C dan >650C terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa? 4) Bagaimana pengaruh pemberian asap cair tempurung kelapa sawit terhadap morfologi Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa? 1.3.Tujuan Penelitian 1) Mengetahui aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa sawit yang dipirolisis pada suhu 200-2500C, 280-3500C dan >4000C terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. 2) Mengetahui komponen kimia penyusun asap cair tempurung kelapa sawit hasil fraksinasi suhu <650C dan >650C. 3) Menentukan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) masing-masing asap cair tempurung kelapa sawit hasil fraksinasi suhu <650C dan >650C terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. 4) Mengetahui pengaruh pemberian asap cair tempurung kelapa sawit terhadap morfologi Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. 1.4.Manfaat Penelitian Dapat memberikan informasi ilmiah mengenai aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa sawit terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Serta memberikan nilai ekonomi pada limbah padat tempurung kelapa sawit dan mengurangi polutan udara dengan pemanfaatan lebih lanjut dari limbah gas/uap hasil pembakaran tempurung kelapa sawit. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Deskripsi Kelapa Sawit 2.1.1. Taksonomi Kelapa Sawit (Allorerung, 2010) Kelapa sawit termasuk famili Arecaceae (dulu Palmae), sub famili Cocoideae, genus elaies yang mempunyai 3 spesies yaitu E. guineensis Jacq, E. oleifera (HBK) Cortes dan E. odora W. Spesies pertama adalah yang pertama kali dan terluas dibudidayakan. Dua spesies lainnya terutama digunakan untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik dalam rangka program pemuliaan. Klasifikasi tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut: Divisi : Embryophyta siphonagama Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledonae Famili : Aracaceae (Dahulu Palmae) Sub-famili : Cocoideae Genus : Elaeis Spesies : E. guineensis Jacq. 2.1.2. Klasifikasi Kelapa Sawit (Allorerung, 2010) Berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa sawit dikelompokkan dalam tiga tipe yaitu: a) Dura, mempunyai cangkang (tempurung) tebal 6-8 mm porsi mesokarp terhadap buah sekitar 35-65% (dura Deli), kernel besar, tetapi minyak terekstrak rendah, 17-19%. Cangkang tebal dura diduga dapat memperpendek umur mesin pengolah. b) Pisifera, tanpa cangkang, kernel kecil dengan lapisan fiber tipis, proporsi mesokarp tinggi dan kadar minyak terekstrak tinggi, tetapi sebagian besar betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 6 c) Tenera. Merupakan hasil silangan antara dura dan pisifera sehingga mempunyai karakteristik gabungan antara dura dan pisifera sehingga meminimalisir kelemahan masing-masing. Kernel berukuran sedang dengan cangkang menjadi lebih tipis (0,5-4 mm). Proporsi mesokarp tinggi (60-95%) dan kadar minyak 22-25%, bahkan ada yang mencapai 28%. Dengan demikian maka hibrida tenera menjadi bahan tanam yang digunakan dalam budidaya komersial, sedangkan dura dan pisifera terus digunakan untuk menemukan varietas unggul baru. 2.1.3. Penyebaran/Habitat Kelapa Sawit (Pahan, 2006) Kelapa sawit (E. guineensis) diusahakan secara komersial di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara, Pasifik Selatan, serta beberapa daerah lain dengan skala yang lebih kecil. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika dan Amerika Selatan, tepatnya Brasilia. Di Brasilia, tanaman ini dapat ditemukan tumbuh secara liar atau setengah liar di sepanjang tepi sungai. Kelapa sawit yang termasuk dalam subfamily Cococideae merupakan tanaman asli Amerika Selatan, termasuk spesies E. oleifera dan E. odora. Walaupun demikian, salah satu famili Cocoideae adalah tanaman asli Afrika. 2.2.Pirolisis Pirolisis atau pengarangan adalah suatu proses pemanasan pada suhu tertentu dari bahan-bahan organik dalam jumlah oksigen sangat terbatas. Proses ini menyebabkan terjadinya proses penguraian senyawa organik yang menyusun struktur bahan membentuk metanol, uap-uap asetat, tar-tar dan hidrokarbon (Eero, 1995 dalam Indah, dkk., 2009). Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat. Umumnya, proses pirolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 3000C dalam waktu 4-7 jam (Paris et al., 2005 dalam Sutin 2008). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7 Pirolisis berasal dari dua kata yaitu pyro yang berarti panas dan lysis berarti penguraian atau degradasi, sehingga pirolisis berarti penguraian biomassa karena panas pada suhu lebih dari 1500C (Kamaruddin et al. 1999 dalam Marasabessy 2007). Proses pirolisa melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah: penghilangan air dari kayu pada suhu 120-1500C, pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-2500C, pirolisa selulosa pada suhu 280-3200C dan pirolisa lignin pada suhu 4000C. Pirolisa pada suhu 4000C ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Girrard 1992; Maga, 1988 dalam Luditama 2006). 2.3.Asap Cair 2.3.1. Pengertian Asap cair merupakan hasil destilasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran tidak langsung maupun langsung dari bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain, bahan baku yang banyak digunakan adalah kayu, bongkol kelapa sawit, ampas hasil penggergajian kayu, dll (Amritama, 2007). Menurut Simon et al. (2005) asap cair diperoleh dengan teknis pirolisis, dimana senyawa-senyawa yang menguap secara simultan akan ditarik dari zona panas dan akan berkondensasi pada sistem pendingin. Sedangkan menurut Darmadji (1995) asap cair merupakan hasil kondensasi dari pirolisis kayu yang mengandung sejumlah besar senyawa yang terbentuk akibat proses pirolisis konstituen kayu seperti sellulosa, hemisellulosa dan lignin. Hasil pirolisis dari senyawa sellulosa, hemisellulosa dan lignin diantaranya akan menghasilkan asam organik, fenol, karbonil (Himawati, 2010; Marasabessy, 2007). Asap cair merupakan dispersi uap dalam cairan sebagai hasil kondensasi asap dari pirolisa kayu, batok kelapa dan cangkang kelapa sawit. Asap yang dihasilkan dari pirolisis kemudian dikondensasi sehingga diperoleh asap cair. Cairan yang dihasilkan mengandung senyawa fenol, asam, karbonil, senyawa tar, air dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 benzopiren (Indah, dkk., 2009). Cuka kayu (asap cair) sangat asam, cairan bening dengan warna kekuningan atau kecoklatan (Gunarso, dkk., 2009). 2.3.2. Kandungan Kimia Menurut Gunarso, dkk., (2009) cuka kayu sangat asam, cairan bening dengan warna kekuningan atau kecoklatan mengandung asam asetat (asam cuka) sebagai komponen utamanya dan lebih dari 200 jenis senyawa organik lainnya. Cairan ini dapat digunakan sebagai pupuk alami, pengganti sempurna untuk bahan kimia sintetis dan dapat digunakan untuk sayuran, bunga dan pohon. Hasil dari analisa cuka kayu menunjukkan beberapa zat penting. Kisaran berikut ini tercatat untuk asam asetat (3,359 hingga 7,112 ppm), o-cresol (2,267 hingga 4,686 ppm), p-cresol (1,742 hingga 4,269 ppm), aseton (2,125 hingga 4,206 ppm), metanol (1,712 hingga 3,378 ppm) dan fenol (1,539 hingga 3,636 ppm). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Luditama (2006) terhadap komponen asap cair dari sabut dan tempurung kelapa menggunakan GC-MS, hasil yang dominan pada masing-masing asap cair adalah senyawa fenol dengan luas area yang bervariasi antara 31,93-44,30%. Dimana luas area tertinggi di dapat dari pada hasil pirolisis sabut kelapa pada suhu 5000C. Senyawa dominan lainnya yaitu 2,6dimetoksi fenol dan 1,2,-benzenediol dengan luas area yang juga bervariasi tergantung dari masing-masing sampel dan suhu yang digunakan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sutin (2008) juga terhadap komponen asap cair hasil fraksinasi dari tempurung dan serabut kelapa dengan instrumen GC-MS didapatkan hasil fenol tertinggi fraksinasi yaitu tempurung kelapa fraksi n-heksan kandungan fenol 19,28%; fraksi tempurung kelapa-etil asetat kandungan fenol 30,26%; fraksi tempurung kelapa-metanol adalah 2-metilpropil ester asam butanoit 30,76% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 Tabel 2.1. Komposisi kimia asap cair dan presentasenya Komposisi Kimia Kandungan (%) Air 11-92 Fenol 0,2-2,9 Asam 2,8-4,5 Karbonil 2,6-4,6 Ter 1-17 Sumber: Maga, 1988 Menurut Zaitsev, et al. 1969 (dalam Luditama, 2006) mengemukakan bahwa asap mengandung beberapa zat antimikroba, antara lain: a) Asam dan turunannya: format, asetat, butirat, propionat, metal ester. b) Alkohol: metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol. c) Aldehid: formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural. d) Hidrokarbon: silene, kumene, dan simene. e) Keton: aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil keton. f) Fenol g) Piridin dan metil piridin. Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, dan peranannya semakin meningkat apabila kedua senyawa tersebut ada bersama-sama (Darmadji, 1995 dalam Luditama, 2006). 2.3.3. Kegunaan pada Masyarakat Beberapa manfaat dari asap cair, antara lain dapat digunakan sebagai insektisida dan herbisida organik. Hal ini berarti pemanfaatan asap cair sebagai insektisida akan lebih aman bagi lingkungan (Iskandar, 2005). Menurut Yatagai (2002) cuka kayu juga berperan sebagai pemercepat pertumbuhan tanaman yaitu komponen asam, metanol, furfural dan sebagai inhibitor dari komponen fenol, asam, guaikol. Pada masyarakat di daerah pesisir pantai, cuka kayu juga dimanfaatkan untuk menjaga kualitas ikan agar tetap baik yaitu menghambat proses pembusukan, namun ikan masih tetap aman dikonsumsi (Pujilestari, 2007) selain itu produk ikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 yang dihasilkan memiliki rasa yang tidak berbeda jauh dengan rasa aslinya (Eko, 2007). 2.4.Bakteri Bakteri merupakan organisme prokariota yang strukturnya lebih sederhana dari eukariota. Perbedaan primer yang khas dari prokariota adalah ukurannya yang relatif kecil, biasanya kurang lebih berdiameter 1 m dan tidak ada selaput inti (Anonim, 1993; Gillespie, 2007). 2.4.1. Struktur Bakteri a) Inti/Nukleus: Inti bersifat Feulgen positif, suatu tanda adanya DNA. Badan inti tidak mempunyai dinding inti/membran inti. Di dalamnya terdapat benang DNA (DNA fibril) yang bila terekstraksi, berupa molekul tunggal dan utuh dari DNA dengan berat molekul 2-3 x 109. Benang DNA ini disebut kromosom yang panjangnya kira-kira 1 mm. Jumlah salinan kromosom ini bergantung pada stadium siklus sel (Jawetz, dkk., 2005; Anonim, 1993) b) Struktur Sitoplasma: Sel prokariota tidak memiliki plastid otonom, seperti mitokondria atau kloroplas sehingga enzim-enzim untuk transpor elektron tidak bekerja di membran sel melainkan bekerja pada lamellae yang berada di bawah membran sel. Bakteri menyimpan pula makanan cadangannya dalam bentuk granula sitoplasma. Granula sitoplasma pada beberapa jenis bakteri menyimpan pula sulfur, fosfat anorganik yang disebut granula volutin dan granula pada jenis kuman korinebakteria disebut granula metakromatik (Jawetz, dkk., 2005; Anonim, 1993) c) Membran Sitoplasma: Disebut juga membran sel yang komposisinya terdiri dari fosfolipid dan protein. Selaput prokariot berbeda dengan selaput sel eukariotik karena tidak memiliki sterol, satu-satunya pengecualian adalah genus mikoplasma. Di tempat-tempat tertentu pada membran sitoplasma terdapat cekungan/lekukan ke dalam (convulated invagination) yang disebut mesosom (Jawetz, dkk., 2005; Anonim, 1993). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 Ada 2 jenis mesosom: i. Septal mesosom yang berfungsi dalam pembelahan sel dan tempat melekatnya kromosom bakteri (DNA). ii. Lateral mesosom. Fungsi utama membran sitoplasma: i. Menjadi tempat transport bahan makanan secara selektif ii. Pada spesies kuman aerob, sitoplasma merupakan tempat transport elektron dan oksidasi-fosforilasi iii. Tempat ekspresi bagi eksoenzim yang hidrolitik iv. Mengandung enzim dan molekul-molekul yang berfungsi pada biosintesis DNA, polimerisasi dinding sel dan lipid membran atau disebut juga dengan fungsi biosintetik v. Mengandung reseptor dan protein untuk sistem kemotaktik d) Dinding Sel: Lapisan pembungkus sel yang terletak antara selaput sitoplasma dan simpai secara kolektif disebut “dinding sel”. Tekanan osmotik di dalam bakteri berkisar antara 5-20 atmosfir, hal ini disebabkan karena adanya transport aktif yang menyebabkan tingginya konsentrasi larutan di dalam sel. Karena adanya dinding sel kuman yang relatif sangat kuat, maka meskipun tekanan osmotiknya tinggi, sel kuman tidak pecah. Dinding sel tersebut terdiri dari lapisan peptidoglikan. Pada bakteri Gram-positif, dinding sel terutama terdiri atas peptidoglikan yang tebal dan asam teikoat. Pada Gram-negatif, dinding sel terdiri atas peptidoglikan yang lebih tipis dan selaput lendir (Jawetz, dkk., 2005; Anonim, 1993) Fungsi lain dari membran sel selain menjaga osmotik, adalah: i. Dinding sel memegang peranan penting dalam proses pembelahan sel. ii. Dinding sel melaksanakan sendiri biosintesa untuk membentuk dinding sel. iii. Berbagai lapisan tertentu pada dinding sel merupakan determinan dari antigen permukaan kuman. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 iv. Pada kuman Gram negatif, salah satu lapisan dinding sel mempunyai aktivitas endotoksin yang tidak spesifik, yaitu lipopolisakarida (LPS). e) Flagel: Flagel bakteri merupakan alat tambahan pada sel yang menyerupai benang dan seluruhnya terdiri atas protein, dengan garis tengah 12-30 nm. Flagel merupakan organ pergerakan (lokomasi) bakteri, membuat organisme mampu untuk menemukan sumber nutrisi dan menembus mucus pejamu. Flagel bakteri terdiri atas suatu jenis subunit protein, yang dinamakan flagelin. Flagel dapat tunggal atau multipel, dapat berada di salah satu ujung sel atau di banyak tempat. Berdasarkan susunannya tersebut, flagel dikenal ada 3 jenis: i. Monotrika (flagel tunggal dan terdapat di bagian ujung kuman) ii. Lofotrika (lebih dari satu flagel di satu bagian polar kuman) iii. Peritrika (flagel terdapat di seluruh sisi sel) f) Pili (Fimbria): Banyak bakteri Gram negatif memiliki tonjolan pada permukaan sel yang kaku yang dinamakan pili atau fimbria. Pili lebih pendek dan lebih halus daripada flagel, dan terdiri atas subunit-subunit protein yang disebut pilin. Terdapat 2 kelas pili: i. Pili biasa, yang memegang peranan dalam perlekatan bakteri simbiosis pada sel inang ii. Pili seks, yang bertanggung jawab atas perlekatan antara sel donor dan penerima pada konjugasi bakteri g) Virulensi bakteri patogen tertentu tidak hanya bergantung pada produksi toksin tetapi juga pada “antigen kolonisasi”, yang sekarang dikenal sebagai pili biasa yang memberikan sifat-sifat perlekatan pada sel (Jawetz, dkk., 2005; Anonim, 1993). h) Endospora: Anggota beberapa genus bakteri dapat membentuk endospora. Pada beberapa kuman akan mengadakan diferensiasi membentuk spora bila keadaan lingkungannya menjadi jelek, misalnya bila medium disekitarnya kekurangan nutrisi. Spora merupakan sel istirahat yang sangat tahan terhadap kekeringan, panas, dan zat-zat kimiawi. Bila keadaan lingkungan makanan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 menguntungkan kembali bagi kehidupan sel, spora akan berkecambah dan menghasilkan satu sel vegetatif (Jawetz, dkk. 2005; Anonim, 1993). 2.4.2. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Medium pertumbuhan yang baik harus mengandung seluruh nutrien yang dibutuhkan oleh organisme untuk perkembangbiakannya, dan sejumlah faktor seperti pH, temperatur, dan kekuatan osmotik harus benar-benar dikontrol. a) Nutrien: pada umumnya nutrien yang harus ada hidrogen donor dan penerima: sekitar 2g/L, sumber karbon: sekitar 1 g/L, sumber nitrogen: sekitar 1 g/L, mineral: belerang dan fosfor masing-masing sekitar 50 mg/L; elemen trace masing-masing 0,1-1 mg/L, faktor pertumbuhan: asam amino, purin, pirimidin, masing-masing sekitar 50 mg/L; vitamin masing-masing 0,1-1 mg/L. Pada banyak organisme, senyawa tunggal (seperti asam amino) dapat bertindak sebagai sumber energi, sumber karbon, dan sumber nitrogen; organisme lainnya membutuhkan senyawa berbeda untuk masing-masing sumber tadi. Jika bahan alami seperti media nonsintetik tidak mencukupi suatu nutrien tertentu, maka harus ditambahkan (Jawetz, dkk., 2005). b) Konsentrasi ion hidrogen (pH): kebanyakan organisme memiliki kisaran pH optimal yang sempit. Secara empirik pH optimal harus ditentukan untuk masing-masing spesies. Kebanyakan organisme neutrofil tumbuh dengan baik pada pH 6,0-8,0 meskipun beberapa bentuk (asidofil) memiliki pH optimal serendah 3,0 dan yang lainnya (alkalofil) memiliki pH optimal setinggi 10,5 (Jawetz, dkk., 2005). c) Suhu: Spesies mikroba yang berbeda membutuhkan suhu optimal yang amat seragam untuk pertumbuhannya, misal pada bentuk psikrofilik tumbuh paling baik pada suhu rendah (15-200C); bentuk mesofilik tumbuh baik pada suhu 30-370C; dan bentuk termofilik tumbuh paling baik pada suhu 50-600C. Hubungan antara suhu dan laju pertumbuhan untuk setiap mikroorganisme terlihat sebagai kurva Arrhenius yang khas. Arrhenius memperlihatkan bahwa logaritma kecepatan suatu reaksi kimia (log k) adalah fungsi linear yang berbanding terbalik dengan suhu (1/T). Disamping pengaruhnya pada laju UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 pertumbuhan, suhu yang ekstrem akan membunuh mikroorganisme. Panas ekstrem digunakan untuk mensterilkan preparat; suhu dingin yang ekstrem juga membunuh sel-sel bakteri (Jawetz, dkk., 2005). d) Kekuatan Ionik dan Tekanan Osmotik: Kebanyakan bakteri mampu mentoleransi kisaran tekanan osmotik dan kekuatan ionik ekstrenal yang besar karena kemampuan mereka untuk mengatur osmolalitas dan konsentrasi ion internal. Osmolalitas diatur oleh transport aktif ion K+ ke dalam sel; kekuatan ionik internal dijaga tetap konstan oleh ekskresi kompensasi poliamin organik yang bermuatan positif (Jawetz, dkk., 2005). 2.5.Bakteri Uji 2.5.1. Staphylococcus aureus Stafilokokus adalah sel Gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam rangkaian tak beraturan seperti anggur. Beberapa diantaranya tergolong flora normal pada kulit dan selaput mukosa manusia. Genus Staphylococcus lebih dari 26 spesies. Staphylococcus aureus merupakan bentuk koagulase positif. S aureus merupakan patogen utama bagi manusia. Hampir setiap orang akan mengalami beberapa tipe infeksi S aureus sepanjang hidupnya, bervariasi dalam beratnya, mulai dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan sampai berat yang mengancam nyawa. a) Klasifikasi (Paul, 2008) Kingdom : Eubacteriales Divisi : Firmicutes Klas : Bacili Ordo : Bacillales Famili : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus Spesies : Staphylococcus aureus b) Morfologi dan Identifikasi: Berbentuk bulat atau lonjong, tidak bergerak, merupakan Gram positif dengan ukuran 0,8 mikron. Umumnya bergerombol seperti buah anggur. Bilamana ditanam dalam perbenihan agar, terlihat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 koloni-koloni yang dari atas terlihat bundar dan dari sisi meninggi. Koloni berwarna kuning tua atau seperti emas. c) Infeksi: Stafilokokus adalah anggota flora normal pada kulit manusia, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Infeksi lokal stafilokokus muncul sebagai suatu “pimple”, infeksi folikel rambut, atau abses. Biasanya reaksi peradangan berlangsung hebat, terlokalisasi, dan nyeri, yang mengalami pernanahan sentral dan sembuh dengan cepat bila nanah dikeluarkan. Infeksi S aureus dapat juga disebabkan oleh kontaminasi langsung pada luka, misalnya pada infeksi luka paska bedah. Keracunan makanan yang disebabkan enterotoksin stafilokokus ditandai oleh masa inkubasi yang pendek (1-8 jam); rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat, dan penyembuhan yang cepat. Tidak ada demam. 2.5.2. Pseudomononas aeruginosa P. aeruginosa bersifat invasif dan toksigenik, mengakibatkan infeksi pada pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, dan merupakan patogen nosokomial yang penting. Pseudomonas merupakan bakteri Gram-negatif, motil, dan aerobik. Pseudomonas aeruginosa sering ada dalam jumlah sedikit pada flora normal usus dan kulit manusia. a) Klasifikasi (Kaushik, 2009) Kingdom : Procaryotae (Bacteria) Filum : Proteobacteria Klas : Gamma Proteobacteria Ordo : Pseudomonadales Famili : Pseudomonadaceae Genus : Pseudomonas Spesies : Pseudomonas aeruginosa b) Morfologi: P. aeruginosa dapat bergerak dan berbentuk batang, ukurannya 0,6 x 2 m. Merupakan Gram negatif dan terlihat sebagai bentuk tunggal, ganda dan kadang-kadang dalam rantai pendek. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16 c) Infeksi: Menyebabkan infeksi pada luka dan luka bakar, menghasilkan nanah warna hijau biru; meningitis jika masuk melalui fungsi lumbal; dan infeksi saluran kencing jika masuk melalui kateter dan istrumen atau karena larutan irigasi. Penyerangan pada saluran nafas, khususnya respirator yang tercemar, mengakibatkan pneumonia nekrotika. Sebagian besar infeksi P. aeruginosa, gejala dan tandanya tidak spesifik dan berkaitan dengan organ yang terserang. 2.6.Tinjauan Antibakteri Antibakteri ialah obat pembasmi bakteri, khususnya bakteri yang merugikan manusia. Antibakteri adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh organisme hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur analognya yang dibuat secara sintetik, dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono, 2000). Obat antibakteri yang ideal memperlihatkan toksisitas selektif. Istilah ini berarti bahwa obat ini merugikan bakteri tanpa merugikan inang. Obat antibakteri sering mempunyai aktivitas sebagai bakteriostatik dan bakterisidal. 2.6.1. Aktivitas dan Spektrum Antibakteri Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik (L. statis = menghentikan). Lebih jauh, efeknya dapat berubah: Apabila obat dihilangkan, organisme akan tumbuh kembali, dan infeksi atau penyakit akan kambuh. Obat bakteriostatik yang khas adalah tetrasiklin dan sulfonamida (Katzung, 1998; Hoan, 2010). Antibakteri yang bersifat membunuh bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakterisid (L. caedere = mematikan). Obat bakterisidal yang khas adalah beta laktam (penisilin, sefalosoporin) dan aminoglikosida (Katzung, 1998). Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masingmasing dikenal sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antibakterinya ditingkatkan melebihi KHM (Anonim, 2007). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 Sifat antibakteri dapat berbeda satu dengan lainnya. Misalnya, penisilin G bersifat aktif utama terhadap bakteri Gram positif, sedangkan bakteri Gram negatif pada umumnya tidak peka (resisten) terhadap penisilin G. Berdasarkan perbedaan sifat ini antibakteri dibagi menjadai dua kelompok, yaitu berspektrum sempit (narrow spectrum), misalnya benzil penisilin dan streptomisin, dan berspektrum luas (broad spectrum) umpamanya tetrasiklin dan kloramfenikol. Walaupun suatu antibakteri berspektrum luas, efektivitas kliniknya belum tentu seluas spektrumnya sebab efektivitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat terpilih untuk infeksi yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap mikroba lain. 2.6.2. Mekanisme Kerja Antibakteri Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi dalam 5 kelompok: a) Mekanisme kerja antibakteri melalui penghambatan sintetis dinding sel Bakteri mempunyai lapisan luar yang rigid, yakni dinding sel. Mempertahankan bentuk mikroorganisme dan pelindung sel bakteri, yang mempunyai tekanan osmotik internal yang tinggi. Tekanan internal tersebut tiga hingga lima kali lebih besar pada bakteri Gram positif dibandingkan pada bakteri Gram negatif. Trauma pada dinding sel (misal, oleh lisozim) atau penghambatan pembentukannya, menimbulkan lisis pada sel (Jawetz, dkk., 2005). Dinding sel berisi polimer mukopeptida kompleks (peptidoglikan) yang secara kimia berisi polisakarida dan campuran rantai polipeptida yang tinggi. Polisakarida berisi gula amino N-asetilglukosamin dan asam asetilmuramat. Asam asetilmuramat hanya ditemui pada bakteri. Pada gula amino melekat rantai peptida pendek. Kekerasan dinding sel disebabkan oleh hubungan saling silang rantai peptida sebagai hasil reaksi transpeptidase yang dilakukan oleh beberapa enzim. Lapisan peptidoglikan kebanyakan lebih tebal pada Gram positif dibandingkan Gram negatif (Jawetz, dkk., 2005). Semua penisilin dan sefalosporin (antibiotik β-laktam) adalah penghambat selektif sintesis dinding sel bakteri dengan cara penghambatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 pada enzim transpeptidase. Penghambatan enzim transpeptidase oleh penisilin dan sefalosporin dapat pula akibat struktur obat tertentu serupa dengan asil Dalanil D-alanin. Beberapa obat, termasuk basitrasin, vankomisin, dan ristosetin menghambat tahap awal dalam biosintetis peptidoglikan. Karena stadium awal sintetis terjadi di dalam membran sitoplasma, maka obat ini harus menembus membran agar efektif. Sikloserin, suatu analog D-alanin, juga mempengaruhi sintesi peptidoglikan. Obat ini menghambat kerja alanin rasemase, suatu enzim yang penting dalam penggabungan D-alanin dalam pentapeptida peptidoglikan (Katzung, 1998). b) Kerja antibakteri melalui penghambatan fungsi membran sel Sitoplasma semua sel hidup diliputi oleh membran sitoplasma, yang bertindak sebagai sawar permeabilitas yang selektif, melakukan fungsi transport aktif, dan mengontrol komposisi dalam sel. Jika integritas fungsional membran sitoplasma rusak, makromolekul dan ion lolos dari sel, dan sel rusak atau terjadi kematian. Contoh untuk mekanisme ini adalah kerja polimiksin sebagai senyawa ammonium-kuatener pada bakteri Gram negatif (polimiksin secara selektif bekerja pada membran yang kaya fosfatidil etanolamin dan bekerja sebagai detergen kationik) (Katzung, 1998; Anonim, 2007; Jawetz, 2005). c) Kerja antibakteri melalui penghambatan sintetis protein Obat yang termasuk dalam golongan ini ialah golongan aminoglikosid, makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas dua sub unit, yang berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi pada sintetis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribososm 70S. penghambatan sintetis protein terjadi dengan berbagai cara (Anonim, 2007). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 Streptomisin berikatan dengan komponen ribosom 30S dan menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintetis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba. Antibiotik aminoglikosida lainnya yaitu gentamisin, kanamisin, dan neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama. Eritromisin berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam amino tidak dapat menerima kompleks tRNA-asam amino yang baru. Linkomisin juga berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat sintesis protein. Tetrasiklin berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya kompleks tRNA-asam amino pada lokasi asam amino. Kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat pengikatan asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase (Anonim, 2007). d) Kerja antibakteri melalui penghambatan sintesis asam nukleat Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah aktinomisin, rifampisin, Mitomisin, Kuinolon dan Flourokuinolon, dll. Aktinomisin membentuk kompleks dengan DNA oleh pengikat residu deoksiguanosin. Kompleks DNA-Aktinomisin menghambat RNA polymerase yang bergantung pada DNA dan menghambat pembentukan mRNA. Aktinomisin juga menghambat replikasi virus DNA. Mitomisin menyebabkan ikatan silang yang kuat pada pelengkap DNA dan kemudian menghambat replikasi DNA. Rifampisin menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengikat secara kuat pada RNA polymerase yang bergantung pada DNA bakteri. Semua kuinolon dan flourokuinolon adalah penghambat kuat sintesis asam nukleat. Obat ini menghambat kerja DNA girase (topoisomerase II), merupakan enzim yang bertanggungjawab pada terbuka dan tertutupnya lilitan DNA (Katzung, 1998; Anonim, 2007). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 e) Kerja antibakteri yang menghambat metabolisme sel bakteri Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamida, terimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik. Bakteri membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan mamalia yang mendapatkan asam folat dari luar, kuman pathogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila sulfonamida atau sulfon menang dalam bersaing dengan PABA untuk diikutsertakan dalam pembentukan asam folat, maka terbentuk analog asam folat yang nonfungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu. Berdasarkan sifat kompetisi, efek sulfonamida dapat diatasi dengan meningkatkan kadar PABA. PAS merupakan analog PABA, dan bekerja dengan menghambat sintesis asam folat pada M tuberculosis. Sulfonamid tidak efektif terhadap M tuberculosis (Anonim, 2007). 2.7.Antibakteri Pembanding 2.7.1. Tetrasilin HCl (Depkes, 1995) Karakteristik tetrasiklin yang digunakan sebagai antibakteri pembanding adalah sebagai berikut: a) Deskripsi: Tetrasiklin HCl mempunyai potensi tidak kurang dari 900 g C22H24N2O8HCl per mg b) Rumus Kimia: C22H24N2O8HCl 480,90 c) Pemerian: Serbuk hablur, kuning, tidak berbau, agak higroskopis. Stabil di udara tetapi pada pemaparan terhadap cahaya matahari yang kuat dalam udara lembab menjadi gelap. Dalam larutan dengan pH lebih kecil dari 2, potensi berkurang dan cepat rusak dalam larutan alkali hidroksida. d) Kelarutan: Larut dalam air, dalam larutan alkali hidroksida dan dalam larutan karbonat. Sukar larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam kloroform dan dalam eter. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 e) Spektrum Antibakteri: Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman Gram-positif dan Gram-negatif, aerobik dan an-aerobik. Efektivitasnya tinggi terhadap infeksi batang Gram-negatif seperti Brucella, Pseudomonas pseudomallei, dan Fusobacterium. Tetrasiklin juga merupakan obat yang sangat efektif untuk infeksi Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia trachomatis dan berbagai riketsia (Anonim, 2007). f) Farmakodinamik: Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke dalam ribosom bakteri Gram negatif; pertama secara difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua melalui sistem transport aktif. Setelah masuk antibiotik berikatan secara reversibel dengan ribosom 30S dan mencegah ikatan t-RNAaminoasil pada kompleks mRNA-ribosom. Hal tersebut mencegah perpanjangan rantai peptida yang sedang tumbuh dan berakibat terhentinya sintesis protein (Anonim, 2007). 2.8.Metode Uji Antibakteri Potensi dari suatu antibakteri diperkirakan dengan membandingkan penghambatan pertumbuhan terhadap mikroorganisme yang sensitif dari hasil penghambatan suatu konsentrasi antibiotik uji dibandingkan dengan antibiotik referensi. Penentuan aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode difusi dan metode dilusi. 2.8.1. Metode Difusi Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan, metode difusi dapat dilakukan 3 cara yaitu metode silinder, lubang dan cakram. i. Metode silinder yaitu meletakkan beberapa silinder yang terbuat dari gelas atau besi tahan karat di atas media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri. Tiap silinder ditempatkan sedemikian rupa hingga berdiri di atas media agar, diisi dengan larutan yang akan di uji dan diinkubasi. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di sekeliling silinder. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 ii. Metode sumuran yaitu membuat sumuran pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak sumuran disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian sumuran diisi dengan larutan yang akan diuji. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan disekeliling sumuran. iii. Difusi cakram yaitu dengan menginokulasi pelat agar dengan biakan dan membiarkan zat yang memiliki potensi antibakteri berdifusi ke media agar. Cakram yang telah mengandung zat antibakteri di letakkan di permukaan pelat agar yang mengandung organisme yang diuji. Konsentrasi menurun sebanding dengan luas bidang difusi. Pada jarak tertentu pada cakram, antibakteri berdifusi sampai pada titik zat antibakteri tersebut tidak lagi menghambat pertumbuhan mikroba. Efektivitas zat antibakteri ditunjukkan oleh zona hambat. Zona hambat tampak sebagai area jernih atau bersih yang mengelilingi cakram tempat zat dengan aktivitas antibakteri terdifusi. Diameter zona dapat diukur dengan penggaris (Harmita, 2008). 2.8.2. Metode Dilusi (Pengenceran) Mengencerkan zat antibakteri dan dimasukkan ke dalam tabungtabung reaksi steril. Ke dalam masing-masing tabung itu ditambahkan sejumlah mikroba uji yang telah diketahui jumlahnya. Pada interval waktu tertentu, dilakukan pemindahan dari tabung reaksi ke dalam tabung-tabung berisi media steril yang lalu diinkubasikan dan diamati penghamabatan pertumbuhan (Kusmiyati, 2007). Metode ini berdasarkan hambatan pertumbuhan biakan mikroorganisme dalam larutan zat antibakteri dalam media cair (Harmita, 2008). 2.9. Scanning Electron Microscope (SEM) SEM (Scanning Electron Microscope) adalah alat yang digunakan untuk mempelajari morfologi permukaan/ukuran butiran. SEM adalah sebuah instrument berkekuatan besar dan sangat handal yang dipadukan dengan EDX (Energy X-Ray Spectroscopy) sehingga dapat digunakan untuk memeriksa, observasi, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 karakterisasi struktur terkecil benda-benda padat dari material organik maupun anorganik yang heterogen serta permukaan bahan dengan skala mikrometer bahkan sampai sub-mikrometer yang menggunakan sumber medan emisi dan mempunyai resolusi gambar 1,5 nm (Abdullah, 2012; Fitriana, 2010). Salah satu penggunaan instrumen SEM adalah untuk mendapatkan gambar topografi dalam rentang pembesaran 10-10.000X. Selain itu juga dapat menentukan sifat dari bahan yang diuji baik sifat fisik, kimia maupun mekanis sehingga didapatkan informasi mengenai ukuran partikel dari mikrostruktur yang terbentuk dan komposisi unsurnya (Fitriana, 2010; Liani, 2012). Penampakan tiga dimensi dari bayangan yang diperoleh berasal dari kedalaman yang besar yang ditembus oleh medan SEM. Jenis-jenis sinyal hasil dari interaksi antara berkas elektron dengan sampel diantaranya adalah electron secunder, electron backscattered, karakteristik x-ray dan foton lain. Untuk SEM, signal yang sangat penting adalah electron sekunder dan electron backscattered karena kedua signal ini bervariasi sebagai akibat dari perbedaan topografi permukaan manakala berkas elektron tersebut mengenai permukaan sampel (Goldstein et al., 2003; Febriana, 2012). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 Gambar 2.1. Skema Alat SEM Berikut perbandingan morfologi bakteri yang diamati dengan SEM membandingkan bakteri kontrol dengan bakteri yang telah diberi perlakuan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 (a) (c) (b) (d) Gambar 2.2. Morfologi Bakteri (a) Staphylococcus aureus kontrol (b) Staphyloccus aureus dengan perlakuan 5% ekstrak etanol biji melinjo (c) Pseudomonas aeruginosa kontrol (d) Pseudomonas aeruginosa dengan perlakuan 5% ekstrak etanol kulit melinjo (Sumber gambar Jan, 2011; http://www.sciencephoto.com) 2.10. Gas Chromatography – Spectroscopy Mass (GC-MS) 2.10.1. Prinsip Dasar GC-MS Gas Chromatography-Spectroscopy Mass adalah teknik analisis yang menggabungkan dua metode analisis yaitu Gas Chromatography dan Mass Spectroscopy. Gas Chromatography merupakan suatu teknik pemisahan fisik karena memanfaatkan perbedaan kecil sifat-sifat fisik dari komponen-komponen yang akan dipisahkan. Suatu pemisahan fisik dari campuran zat-zat kimia berdasarkan pada perbedaan migrasi dari masing-masing komponen campuran yang terpisah pada fase diam dibawah pengaruh fase gerak. Sedangkan Mass Spectroscopy adalah metode analisis, dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa dari ion-ion tersebut di ukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa. Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor) akan dapat mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum bobot molekul pada suatu komponen, juga terdapat reference pada software (Lingga, 2004 dalam Ningtyas, 2010; Khamsatul, 2011). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 Gas Chromatography adalah teknik kromatografi yang bisa digunakan untuk memisahkan senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa yang dapat dipisahkan dengan Gas Chromatography sangat banyak, namun ada batasan-batasannya. Senyawa tersebut harus mudah menguap dan stabil pada temperatur pengujian, utamanya dari 500-3000C. Jika senyawa tidak mudah menguap atau tidak stabil pada temperatur pengujian, maka senyawa tersebut bisa diderivatisasi agar dapat dianalisis dengan Gas Chromatography (Hasanah, dkk., 2012). 2.10.2. Proses Pemisahan pada GC-MS Pemisahan komponen senyawa dalam GC-MS terjadi di dalam kolom (kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase gerak adalah gas pembawa (Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian tinggi, yaitu 99,995%). Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul di dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan fase diam yang ada di dalam kolom. Selanjutnya komponenkomponen yang telah dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi sebagai detektor secara instrumentasi, MS adalah detektor bagi GC (Hermanto, 2008). Gas Chromatography dengan teknik pemisahan dimana solut-solut yang mudah menguap dan stabil terhadap pemanasan akan bermigrasi melalui kolom yang merupakan fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada ratio distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya. Pemisahan pada Gas Chromatography didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom yang akan dihantarkan ke detektor. Penggunan suhu yang meningkat bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan akan cepat terelusi, suhu yang biasa digunakan berkisar 500-3500C (Sudjadi, 2007 dalam Fitriana, 2010). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian mulai dilakukan bulan Maret-Juni 2014 di Laboratorium Mikrobiologi Puslit Biomaterial LIPI Cibinong dan Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.2.Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Peralatan gelas, pH meter (Eutech Instrumen Cyberscan pH 110), alat produksi asap cair (tanpa merk), refrigerator, vaccum destilasi, cawan penguap, jarum ose, kapas, kain kasa, spatula, mikropipet, bunsen, pinset, alumunium foil, tangas air, timbangan analitik (Boeco Germany), kertas saring (Whatman paper), shaker incubator (WiseCube Wisd), Laminar Air Flow (LAF), sentrifugasi, jangka sorong, spektrofotometer, Scanning Electron Microscopy (SEM), vortex shaker (Vortex Mixer), buret titrasi, piknometer, oven, labu ukur, tabung reaksi, autoklaf, kertas cakram (Advantec), Gas Chromatography-Mass Spectrofotometer, Mikroskop (Olympus CX21). 3.2.2. Bahan Bahan uji: 2 kg Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis gueensis Jacq.) yang sudah dikecilkan ukurannya diperoleh dari salah satu perkebunan kelapa sawit di Garut sudah dipisahkan dari serabutnya yang akan dipirolisis menjadi asap cair. Bakteri uji: Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI). Antibakteri Pembanding: Tetrasiklin HCl Bahan Kimia: Nutrien Agar (Difco), Natrium Broth (Difco), Aquades, Alkohol, reagen Folin Ciocalteu, tannin 2%, Na2S2O3 5%, indikator UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 28 fenolphtalein, NaOH 0,1 N (Merck), Na2CO3 5%, buffer caccodhilate, larutan osmium tetraoksida 1%, glutaraldehid 2%, t-butanol. 3.3.Prosedur Kerja 3.3.1. Penyiapan Bahan Baku Sebelum dibakar, bahan baku sebanyak 2 kg dibersihkan terlebih dahulu. Tempurung kelapa yang diperoleh dari salah satu perkebunan kelapa sawit di Garut sudah dipisahkan dari serabutnya. Selain itu juga, tempurung kelapa sawit yang diperoleh karena merupakan limbah sudah berada dalam keadaan terpotong-potong kecil berdiamater rata-rata 1-2 cm. 3.3.2. Pembuatan Asap Cair Pembuatan asap cair dilakukan dengan menggunakan alat produksi asap cair terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan alat pemanas listrik yang dapat diatur suhunya. Pada tahap ini diproduksi asap cair dengan suhu pirolisis yang berbeda-beda, yaitu 200-2500C (T1), 280-3500C (T2), > 4000C (T3). Produksi asap cair dilakukan dengan cara kondensasi asap hasil pirolisis tempurung kelapa. Proses pembuatan asap cair diawali dengan memasukkan bahan berupa tempurung kelapa yang telah dikecilkan ukurannya sebanyak 2 kg, kemudian alat produksi di tutup serta rangkaian listrik dan air pendingin disambungkan. Suhu pemanasan dinaikkan secara bertahap dengan mengatur tombol pengatur suhu perlakuan. Asap yang keluar dari tungku akan mengalir melalui pendingin sehingga mencair. Pirolisis dilakukan selama 5 jam, asap cair yang keluar ditampung. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 29 Gambar 3.1. Alat Pirolisis (sumber pribadi) 3.3.3. Pemurnian Asap Cair Pemurnian asap cair dilakukan dengan cara destilasi. Asap cair dimasukkan ke dalam labu destilasi, dipanaskan menggunakan pemanas listrik. Proses destilasi ini dilakukan untuk mengambil seluruh fraksi dan diatur pada rentang suhu sesuai. Suhu yang digunakan pada proses fraksinasi asap cair adalah fraksi suhu <650C dan fraksi suhu >650C. Uap yang terbentuk lalu masuk ke dalam pipa pendingin balik (kondensor) dan destilat ditampung dalam sebuah wadah atau labu. 3.3.4. Analisis Analisis-analisis yang dilakukan antara lain: a) Rendemen: Rendemen diukur berdasarkan volume kondensat yang dihasilkan (mL) dari setiap satuan berat bahan yang dibakar. b) pH: Sampel sebanyak 10 mL diukur dengan menggunakan pH meter, dengan terlebih dahulu dilakukan standardisasi buffer pH 4,0 dan 7,0. Pengukuran sampel dilakukan dengan mencelupkan elektroda pH meter ke dalam sampel dan skala dibaca setelah jarum penunjuk konstan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 c) Total Asam Tertitrasi: Sampel sebanyak 10 mL ditambah 100 mL aquades selanjutnya dihomogenkan. Ditambahkan indikator PP sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai titik akhir titrasi, yaitu berubahnya warna sampel menjadi merah keunguan dan stabil (tidak berubah bila dihomogenkan). Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam asetat. V = Volume titar NaOH N = Normalitas NaOH BM = Berat Molekul Asam Asetat BC = Bobot sampel (gram) d) Kadar Fenol: Sampel sebanyak 50 L diencerkan menggunakan aquades hingga volume 20 mL. Dari 20 mL sampel yang telah diencerkan, dipipet sebanyak 0,5 mL dan diletakkan pada tabung reaksi. Didiamkan selama 5 menit, lalu dikocok dalam vortex shaker. Kemudian ditambahkan 2 mL Na2S2O3 15% ke tiap-tiap sampel, ditambahkan juga 2,2 mL H2O dan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Selanjutnya sampel diukur absorbansinya pada panjang gelombang 350 nm. Pembuatan kurva standar: Ditimbang asam galat sebanyak 0,01 gram dan dilarutkan menggunakan aquades hingga volume 100 mL. Didapatkan larutan asam galat dengan konsentrasi 100 ppm. Dari larutan 100 ppm kemudian dipipet sebanyak 0,1 mL, 0,2 mL, 0,3 mL, 0,4 mL dan 0,5 mL dan diletakkan pada tabung reaksi. Untuk larutan yang belum mencapai volume 0,5 mL kemudian ditambahkan dengan aquades masing-masing secara berurutan 0,4 mL, 0,3 mL, 0,2 mL, 0,1 mL dan 0 mL. Didiamkan selama 5 menit, lalu dikocok dalam Vortex Shaker. Kemudian ditambahkan 2 mL Na2S2O3 15% ke tiap-tiap larutan, ditambahkan juga 2,2 mL H2O dan diinkubasi pada suhu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 kamar selama 2 jam. Semua konsentrasi larutan asam galat selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 350 nm. e) Bobot Jenis: Piknometer dibersihkan dengan alkohol 96%, kemudian dikeringkan dan ditimbang dengan teliti. Sampel diisi ke dalam piknometer sampai melebihi tanda tera, kemudian di tutup dan dihindari dari adanya gelembung-gelembung udara. Bagian luar piknometer dikeringkan dari bahan yang menempel. Piknometer yang telah diisi oleh akuades didiamkan beberapa saat, kemudian ditimbang. W0 = Berat piknometer kosong (gram) W1 = Berat air + piknometer (gram) W2 = Berat sampel + piknometer (gram) 3.3.5. Sterilisasi Alat dan Bahan Sterilisasi dilakukan dengan cara yang sesuai terhadap masing-masing alat. Alat-alat yang akan disterilkan sebelumnya dicuci dan dikeringkan terlebih dahulu. Tabung reaksi, gelas ukur, erlenmeyer ditutup mulutnya dengan kapas. Selanjutnya disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C, selama 15 menit. Pinset, jarum ose, disterilkan dengan flamber pada nyala bunsen. Pekerjaan uji mikrobiologi dilakukan secara aseptis di dalam Laminar Air Flow (LAF) yang sebelumnya disterilkan dengan lampu UV dan disemprotkan dengan alkohol 70%. Sterilisasi pada LAF dilakukan baik 2 jam sebelum bekerja maupun sesudah bekerja di dalamnya. 3.3.6. Pembuatan Media Pertumbuhan a) Nutrient Agar Ditimbang 23 gram NA (Nutrient Agar) dan dilarutkan dengan 1 L aquades dan dipanaskan hingga semuanya larut kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1 atm selama 15 menit. (Nurfadilah, 2013). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 Komposisi Nutrient Agar (g/L): Ekstrak daging 1%, pepton 1%, dan agar 1,5% (Kusmiyati, 2007). b) Nutrient Broth (NB) Ditimbang 8 gram NB dan dilarutkan dengan 1 L aquades dan dipanaskan hingga semuanya larut kemudian dimasukkan dalam Erlenmeyer, selanjutnya disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1 atm selama 15 menit (Kusuma, 2010). Komposisi Nutrient Broth (g/L): Lab-lemco powder 1%, yeast extract 2%, pepton 5% dan NaCl 5%. 3.3.7. Pembuatan Larutan Uji Pada penentuan aktivitas tertinggi asap cair tempurung kelapa sawit dan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) larutan uji dibuat dengan melarutkan asap cair menggunakan aquades steril dengan pengenceran 0 kali (100%), 10 kali (10%), dan 50 kali (2%) (Yulistiani, dkk. 1997). 3.3.8. Pembiakan Bakteri Uji Bakteri uji diinokulasikan ke dalam 5 mL media Nutrient Agar miring menggunakan jarum ose steril dengan cara menggoreskan masing-masing bakteri pada ujung jarum ose ke media Nutrient Agar miring, kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam. 3.3.9. Persiapan Suspensi Bakteri Bakteri hasil pembiakan murni pada Nutrient Agar (NA) miring yang setelah diinkubasi berumur 18-24 jam pada suhu 370C diinokulasi sebanyak satu ose dalam 10 mL Nutrient Broth (NB) dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam. Setelah itu disetarakan kekeruhannya dengan larutan 0,5 Mc. Farland atau sebanding dengan jumlah bakteri 1 x 108 CFU/mL (CFU: Colony Forming Unit) atau 250-300 koloni dalam media padat. Selanjutnya, untuk mendapatkan suspensi bakteri yang mengandung 106 CFU/mL adalah dengan cara mengambil 1 mL (dari tabung yang mengandung 108 CFU/mL) dicampur dengan 9 mL NaCl 0,9% steril. Maka akan didapatkan suspensi bakteri dengan kepadatan 107 CFU/mL. Dilanjutkan lagi dengan mengambil 1 mL lagi (dari tabung yang mengandung 107 CFU/mL) untuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 33 dicampur dengan 9 mL Nutrient Broth sehingga didapatkan suspensi dengan kepadatan 106 CFU/mL (Lanawati,dkk., 2003; Dewanti,dkk., 2011; Wahyu, dkk., 2013). 3.3.10. Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram Sebanyak satu ose bakteri pada Nutrient Agar miring, difiksasi di atas kaca objek yang bersih. Olesan bakteri ditambahkan dengan Gentian violet dalam keadaan berlebih, lalu dibiarkan satu menit. Zat warna yang berlebih dibuang, lalu kaca obyek dibilas dengan air mengalir. Preparat dikeringkan di atas api spiritus. Setelah kering, larutan lugol berlebih ditambahkan ke permukaan preparat tersebut dan didiamkan selama 1 menit. Setelah 1 menit, preparat dibilas dengan air mengalir. Preparat dibilas dengan alkohol 96% sampai semua zat warna luntur kemudian dicuci dengan air mengalir. Preparat dikeringkan di atas nyala api spiritus. Setelah kering, safranin berlebih ditambahkan ke permukaan preparat dan didiamkan selama 45 detik. Preparat dicuci dengan air dan dikeringkan. Preparat ditambahkan satu tetes minyak imersi dan diamati menggunakan mikroskop Olympus CX21 dengan perbesaran 100X (Yuli,dkk., 2012; Sulistiyaningsih, 2008). 3.3.11. Pengujian Aktivitas Antibakteri dengan Metode Difusi Cakram Uji aktivitas antibakteri menggunakan metode agar dengan cakram. Cakram silinder steril yang digunakan berdiameter 6 mm. Media cair agar NA steril dituangkan secara aseptis sebanyak 20,0 mL pada cawan petri berdiameter 9 cm steril hingga merata, kemudian dibiarkan hingga membeku. Selanjutnya, suspensi bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa yang sudah distandardisasi kekeruhannya, dicelupkan kapas lidi steril, ditunggu sebentar agar cairan meresap ke dalam kapas. Kemudian lidi diangkat dan diperas dengan cara menekankan lidi pada dinding tabung bagian dalam sambil diputar-putar. Digores-goreskan kapas lidi pada permukaan media NA hingga seluruh permukaan tertutup rapat dengan goresangoresan. Media NA dibiarkan selama 5-15 menit agar suspensi bakteri meresap ke dalam agar. Lalu 100 L larutan asap cair dengan pengenceran 0 kali, 10 kali dan 50 kali diteteskan pada cakram silinder. Diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam. Setelah inkubasi daya antibakteri yang terjadi ditentukan dengan mengukur diameter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 daerah hambat pertumbuhan dengan menggunakan jangka sorong. Untuk selanjutnya dipilih satu suhu pirolisa asap cair yang mempunyai aktivitas antibakterial paling besar terhadap kedua kultur bakteri untuk digunakan pada penilitian tahap selanjutnya (Marliana, dkk., 2011; Lanawati, dkk., 2003; Wayan, dkk., 2012). 3.3.12. Pengujian Daya Hambat Antibakteri Untuk mencari KHM dilakukan dengan metode dilusi tabung yang mana ketentuannya sebagai berikut: Terdapat 9 tabung, dimana tabung 1-7 merupakan tabung untuk pengujian, sedangkan tabung 8 sebagai kontrol positif , tabung 9 kontrol sterilitas berisi aquadest steril, tabung 10 kontrol medium NB, tabung 11 kontrol bakteri tanpa asap cair/perlakuan. Serta terdapat 1 larutan stok asap cair dengan nilai pengenceran yaitu 10 kali (10%). a) Tabung 1-7 berisi 0,5 mL media NB steril b) Kemudian tabung 1 ditambahkan dengan 0,5 mL larutan stok asap cair dan campuran dalam tabung dikocok perlahan untuk menghomogenkan. c) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 1 dipipet dan ditambahkan pada tabung 2, dikocok perlahan untuk menghomogenkan. d) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 2 dipipet dan ditambakan pada tabung 3, dikocok perlahan untuk menghomogenkan. e) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 3 dipipet dan ditambahkan pada tabung 4, dikocok perlahan untuk menghomogenkan. f) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 4 dipipet dan ditambahkan pada tabung 5, dikocok perlahan untuk menghomogenkan. g) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 5 dipipet dan ditambahkan pada tabung 6, dikocok perlahan untuk menghomogenkan. h) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 6 dipipet dan ditambahkan pada tabung 7, dikocok perlahan untuk menghomogenkan. i) 0,5 mL campuran larutan larutan pada tabung 7 dipipet dan dibuang/dipisahkan. j) Masing-masing tabung dengan nomor 1-7, selanjutnya ditambahkan dengan 0,1 mL suspensi bakteri 106 CFU/mL dan ditambahkan dengan 0,4 mL media UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 Nutrient Broth sehingga volume total masing-masing tabung adalah 1 mL. Tabung 1-7 kemudian selanjutnya, diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam. Kemudian diamati ada tidaknya kekeruhan larutan uji (dengan mata telanjang) dibandingkan dengan kontrol. Untuk sampel yang akan diuji yaitu Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Konsentrasi terkecil pertama yang menunjukkan kejernihan (tidak adanya pertumbuhan bakteri) merupakan KHM dari asap cair tempurung kelapa sawit. 3.3.13. Analisis Kerusakan Sel Menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) Cairan KHM disentrifus, dibuang supernatannya, ditambahkan glutaraldehid 2%, direndam selama 1-2 jam. Cairan disentrifus kembali, dibuang supernatannya, ditambahkan larutan asam tannin 2%, rendam selama 1-2 jam. Disentrifus kembali, dibuang larutan fiksatifnya, ditambahkan caccodylate buffer, direndam selama 20 menit. Disentrifus kembali, dibuang larutan buffernya, ditambahkan osmium tetraoksida 1%, direndam selama 1 jam. Larutan disentrifus kembali, dibuang larutannya, ditambahkan alkohol 50%, direndam selama 20 menit. Selanjutnya secara berturut-turut ditambahkan alkohol 70%, 80%, dan 95%, masing-masing direndam selama 10 menit dan ditambahkan alkohol absolut direndam selama 20 menit. Disentrifus kembali, dibuang larutannya, ditambahkan t-butanol, direndam selama 20 menit, dibuang butanolnya, ditambakan butanol kembali, dibuat suspensi dalam butanol. Selanjutnya, dibekukan potongan cover slip, dibuat ulasan suspensi pada cover slip dan dikering anginkan. 3.3.14. Preparasi Sampel (untuk Analisa GC-MS) 50 L asap cair dalam tabung reaksi ditambahkan 1 mL etanol lalu kocok sebentar. Diamkan selama 1 jam. Hasil siap diinjek. GC-MS dioptimasikan pada suhu 500C dipertahankan selama 3 menit, suhu kemudian ditingkatkan menjadi 2800C dengan kenaikan 100C/menit dan dipertahankan selama 5 menit. Suhu pada sumber ion disetel pada 2500C sedangkan suhu injektor disetel pada 2300C. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Produksi Asap Cair Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan asap cair pada penelitian ini adalah tempurung kelapa sawit. Asap cair diperoleh dari hasil pirolisis tempurung kelapa sawit yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Selanjutnya didapatkan 3 asap cair dengan suhu pirolisis yang berbeda. Proses pirolisis tempurung kelapa sawit terjadi pada berbagai rentang suhu yang berbeda. Pertimbangan pemilihan berbagai rentang suhu tersebut yaitu (Girrard, 1992): 1. Pirolisis hemiselulosa pada temperatur 200-2500C. 2. Pirolisis selulosa pada temperatur 280-3500C. 3. Pirolisis lignin berakhir pada 400-4500C. Warna asap cair yang diperoleh dari tempurung kelapa sawit ini berbeda-beda tergantung pada suhu pirolisis yang digunakan pada proses produksinya. Secara keseluruhan, asap cair yang diperoleh sesuai dengan standar warna wood vinegar jepang yaitu kuning kecoklatan dan sesuai dengan standar transparansi dimana tidak terdapat kekeruhan (Nurhayati et al., 2009). a b c Gambar 4.1. Asap Cair yang dihasilkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 37 Keterangan: a = Asap cair pirolisis suhu 200-2500C b = Asap cair pirolisis suhu 280-3500C c = Asap cair pirolisis suhu >4000C Pirolisis tempurung kelapa sawit pada suhu >4000C lebih banyak menghasilkan endapan tar yang dapat dilihat dari endapan pada dasar wadah (Tabel 4.1.). Proses pemisahan tar dilakukan dengan proses pengendapan. Untuk tahap selanjutnya juga akan dilakukan proses pemurnian dari masing-masing senyawa dominan serta pemisahan tar dengan cara redestilasi asap cair yang dihasilkan pada berbagai rentang suhu. Tabel 4.1. Pengaruh suhu terhadap % rendemen dan warna asap cair Suhu Pirolisis (oC) % Rendemen Endapan Tar Warna 200-250 3,1% 2 mL Coklat terang 280-350 11,3% 15 mL Kuning kecoklatan >400 9,8% 42 mL Kuning kecoklatan TOTAL 24,2% Rendemen yang dihasilkan dan digunakan pada analisa sifat kimia fisika, pada uji antibakteri dan pada analisa komponen kimia sudah dipisahkan dari endapan tarnya. Menurut Tranggono et al. (1997), persen rendemen yang berbeda-beda disebabkan oleh kadar lignin dan selulosa masing-masing bahan yang bervariasi, antara lain 38,98-63,09% untuk selulosa dan 19,35-50,44% untuk lignin. Tinggi rendahnya rendemen asap cair pada proses pirolisis dipengaruhi beberapa faktor antara lain iklim, musim, umur tanaman, jenis tanaman, bahan baku dan cara pembakaran. Arang aktif yang diperoleh yaitu sebesar 28,66%. Dihitung secara keseluruhan, total rendemen produk adalah 52,86%. Dengan demikian massa yang hilang dari konversi tempurung kelapa sawit adalah 47,14%. Menurut Tranggono et al. (1997), komponen tersebut juga terdiri dari senyawa yang mudah menguap dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 tidak dapat dikondensasikan dengan air sebagai medium pendingin. Komponen tersebut terdiri dari gas CO2, CO, H2, CH4 dan beberapa hidrokarbon. 4.2.Analisa Sifat Fisik dan Kimia Asap Cair 4.2.1. pH pH pH Asap Cair 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 3,35 2,8 200-250 280-350 2,62 >400 Suhu Pirolisa Gambar 4.2. Grafik pengaruh suhu pirolisis dengan pH asap cair Dari hasil uji didapatkan nilai pH yang rendah yaitu berkisar antara 2,62-3,35. Hal ini berarti asap cair yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik terutama sebagai antibakteri. Hal ini dikarenakan pada suhu rendah mikroba atau bakteri cenderung tidak dapat hidup dan berkembang biak dengan baik (Nurhayati, 2005; Sutin, 2008). Penurunan harga pH yang dihasilkan dikarenakan semakin banyaknya unsurunsur dalam tempurung kelapa sawit yang terurai dan membentuk senyawa-senyawa kimia yang bersifat asam. Sifat asam ini memenuhi persyaratan mutu asap cair Asosiasi Jepang, dimana menurut Asosiasi Jepang pH yang dipersyaratkan untuk produk asap cair yaitu antara 1,5-3,7 (Yatagai, 2002). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 39 4.2.2. Bobot Jenis Bobot Jenis Asap Cair 1,035 1,0313 Bobot Jenos 1,03 1,025 1,02 1,015 1,0185 1,0144 1,01 1,005 200-250 280-350 >400 Suhu Pirolisa Gambar 4.3. Grafik bobot jenis asap cair tempurung kelapa sawit terhadap variasi suhu pirolisis Nilai bobot jenis asap cair meningkat dengan semakin tingginya suhu pirolisis yang digunakan pada produksi asap cair. Bobot jenis tertinggi diperoleh pada suhu pirolisis >4000C dengan nilai 1,0313 (Lampiran 8). Hal ini dikarenakan dengan adanya peningkatan suhu pirolisis maka penguraian komponen penyusun tempurung kelapa sawit lebih sempurna dan endapan yang tar yang dihasilkan juga semakin banyak. Hasil ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya, dimana endapan tar tertinggi diperoleh pada asap cair hasil pirolisis suhu >4000C yaitu sebanyak 42 mL. Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Luditama (2006) yang menggunakan bahan sabut dan tempurung kelapa dengan bobot jenis asap cair antara 1,084-1,119. Hasil pengamatan bobot jenis asap cair pada penelitian ini sesuai dengan standar wood vinegar Jepang dengan persyaratan bobot jenis >1,005 (Yatagai, 2002). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 4.2.3. Total Fenol Total Fenol (ppm) Asap Cair 40000 37228,85 Total Fenol (ppm) 35000 30000 25000 24854,56 20000 15000 10000 9975,65 5000 0 200-250 280-350 >400 Suhu Pirolisa Gambar 4.4. Grafik total fenol asap cair pada berbagai variasi suhu pirolisis Fenol merupakan salah satu zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan antimikroba pada asap cair. Semakin tinggi kadar total fenol suatu bahan maka aktivitas antibakterinya juga semakin meningkat. Fenol selain memiliki aktivitas antibakteri dan antimikroba juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Semakin tinggi temperatur pirolisis maka kandungan fenol pun semakin meningkat. Reaksi yang terjadi antara fenol dan reagen Folin Ciocalteu (Tursiman, dkk., 2012): * H3PO4(Mo3)12 + Reagen Folin Ciocalteu + OH2 Senyawa Fenol + H6(PMo12O40) Kuinon Kompleks Molybdenum Gambar 4.5. Reaksi Folin-Ciocalteu dengan senyawa fenol dalam asap cair Untuk pembanding kandungan total fenol pada asap cair, digunakan asam galat. Dari pengukuran berbagai rentang konsentrasi asam galat didapatkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 persamaan y = 0,015708x – 0,015878, dengan y merupakan nilai absorbansi dan x merupakan konsentrasi asam galat (Lampiran 9). Regresi Linier Asam Galat 2 y = 0,015708x - 0,015878 R = 0.998917 Absorbansi 1,5 1 0,5 0 0 20 -0,5 40 60 80 100 120 Konsentrasi Gambar 4.6. Grafik hubungan antara konsentrasi asam galat terhadap absorbansi Prinsip reaksi ini adalah berdasarkan reduksi reagen campuran fosfotungstikfosfomolibdat dengan gugus hidroksil fenolik yang menghasilkan produk berwarna biru. Intensitas warna yang terbentuk kemudian dikuantifikasi berdasarkan absorbansi dengan spektrofotometer (Putri, 2009; Vermerris et al., 2006) 4.2.4. Kadar Asam Kadar Asam (%) Asap Cair Kadar Asam (%) 10 8,896 8 6 4,8173 4 2 2,4588 0 200-250 280-350 >400 Suhu Pirolisa Gambar 4.7. Grafik pengaruh suhu pirolisis terhadap kadar asam asap cair UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 Senyawa asam pada asap cair inilah yang memiliki daya antibakteri, sifat antibakteri tersebut akan semakin meningkat apabila keberadaan asam asetat tersebut bersama-sama dengan senyawa fenol. Hasil pengamatan kadar asam asap cair diketahui bahwa semakin tinggi suhu pirolisis maka kandungan asam asetat semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin besar panas yang diterima untuk menguraikan hemiselulosa dan selulosa menjadi komponen-komponen senyawa kimia yang bersifat asam, terutama dalam hal ini adalah asam asetat. Pada penelitian ini, kadar asam yang diperoleh berkisar antara 2,4588% sampai 8,896%. Produk asap cair yang memiliki kadar asam tertinggi yaitu pirolisis >4000C dengan persentase asam asetat sebesar 8,896% (Lampiran 11). Hal ini sesuai dengan data sebelumnya, dimana pada asap cair hasil pirolisis suhu >4000C menunjukkan harga pH yang paling rendah yaitu 2,62. Dari hasil analisis kimia dan fisika yang dilakukan pada sampel asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa sawit (Elaies guineensis Jacq.), maka dapat disimpulkan sesuai dengan tabel 4.2. Tabel 4.2. Hasil sifat-sifat asap cair Parameter 200-2500C 280-3500C >4000C % Rendemen 3,1% 11,3% 9,8% pH 3,35 2,80 2,62 1,5-3,7 1,0144 1,0185 1,0313 >1,005 Coklat terang Kuning kecokletan Kuning kecokletan Kuning coklat Transparan Transparan Transparan Transparans Bobot jenis Warna Transparansi Standart Jepang* (Impureless) Asam asetat Fenol 2,4588% 4,8173% 8,896% 9.975,65 ppm 24.854,56 ppm 37.228,85 ppm Keterangan: * Dikutip dari Yatagai, 2002 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 4.3.Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram Sebelum melakukan pengujian aktivitas antibakteri, dilakukan identifikasi bakteri uji yang akan digunakan. Hasil dari identifikasi bakteri uji menunjukkan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 merupakan golongan bakteri Gram positif. Dibuktikan dengan kemampuan mempertahankan warna ungu dari Gentian violet sehingga ketika diamati dengan mikroskop menunjukkan warna ungu. Bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 tidak dapat mempertahankan warna ungu dari Gentian violet namun zat warna safranin dapat terserap pada dinding sel. Saat dilakukan pengamatan dengan mikroskop terlihat berwarna merah (Lampiran 12). Prinsip pewarnaan Gram adalah kemampuan dinding sel mengikat zat warna dasar (Gentian violet) setelah pencucian dengan alkohol 96%. Keadaan ini berhubungan dengan komposisi senyawa penyusun dinding sel. Pada bakteri Gram positif mengandung peptidoglikan lebih banyak dan lemak lebih sedikit dibandingkan bakteri Gram negatif (Liana et al., 2013). 4.4.Pengujian Aktivitas Antibakteri Metode Cakram Pada uji aktivitas antibakteri digunakan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 mewakili golongan bakteri Gram positif dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 mewakili bakteri Gram negatif. Pertimbangan penggunaan kedua bakteri bertujuan untuk mengetahui spektrum dari senyawa antibakteri yang terdapat pada asap cair, dimana suatu zat dikatakan berspektrum luas apabila dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif dan Gram positif, berspektrum sempit apabila hanya menghambat pertumbuhan dari salah satu bakteri tersebut, misalkan Gram negatif atau Gram positif saja (Pelezer, 1997). Pengujian antibakteri asap cair menggunakan metode difusi cakram. Efektivitas zat antibakteri ditunjukkan oleh zona hambat. Zona hambat tampak sebagai area jernih atau bersih yang mengelilingi cakram tempat zat antibakteri pada asap cair berdifusi. Diameter zona hambat selanjutnya diukur dengan menggunakan jangka sorong (Harmita, 2008). Diameter zona bening disekitar cakram yang mengandung asap cair kemudian dibandingkan dengan diameter zona bening yang terbentuk di sekitar cakram yang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 mengandung kontrol positif yaitu Tetrasiklin HCl dengan konsentrasi 1000 ppm dan kontrol negatif yaitu pelarut aquades steril. Pengujian dengan metode difusi cakram ini bertujuan mengetahui efektifitas antibakteri tertinggi dengan membandingkan tiga asap cair yang dihasilkan, yaitu pada suhu 200-2500C, 280-3500C dan >4000C. Pada pengujian ini pengenceran yang digunakan adalah 0 kali, 10 kali dan 50 kali. Penggunaan tiga konsentrasi yang digunakan dilakukan untuk mengetahui besarnya potensi aktivitas larutan uji dalam menghambat pertumbuhan bakteri (Wayan, 2012). Hasil yang diperoleh, menunjukkan ketiga asap cair memiliki kemampuan penghambatan terhadap pertumbuhan kedua bakteri uji. Ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambat di sekeliling cakram pada semua konsentrasi asap cair. Kemampuan penghambatan asap cair tergantung pada konsentrasi yang digunakan. Kemampuan penghambatan berbanding lurus dengan ukuran diameter zona hambat yaitu semakin tinggi konsentrasi asap cair maka diameter zona hambat akan semakin besar, dan begitu juga sebaliknya (Lampiran 14). Gambar 4.8. Grafik pengaruh asap cair terhadap zona hambat yang terbentuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 Asap cair suhu 200-2500C, 280-3500C dan >4000C dengan pengenceran 0 kali atau konsentrasi 100% mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang ditunjukkan oleh diameter zona hambat masing-masing secara berurutan sebesar 33,7 mm; 40,55 mm; dan 49,55 mm. Sedangkan zona hambat yang terbentuk pada bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 masingmasing adalah 28,2 mm untuk asap cair 200-2500C; 38,7 mm untuk asap cair 2803500C dan 43,55 mm untuk asap cair >4000C. Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%) merupakan konsentrasi asap cair murni sehingga diameter zona hambat yang dihasilkan merupakan diameter penghambatan maksimum yang dapat dilakukan oleh asap cair. Dengan pengenceran asap cair sebanyak 10 kali atau setara dengan 100 mg/mL diameter zona hambat yang dihasilkan asap cair suhu pirolisis 200-2500C, 280-3500C dan >4000C pada bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 masingmasing secara berurutan sebesar 11,05 mm; 19,5 mm; dan 22,4 mm. Sedangkan zona hambat yang terbentuk pada bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 masingmasing adalah 12,6 mm untuk asap cair 200-2500C; 15,5 mm untuk asap cair 2803500C dan 21,9 mm untuk asap cair >4000C. Pada kontrol negatif pelarut berupa aquades steril yang digunakan sebagai pembanding pada uji efektifitas antibakteri ini tidak menunjukkan adanya penghambatan. Diameter zona hambat yang terbentuk pada kontrol positif yaitu tetrasiklin HCl dengan konsentrasi 1000 ppm untuk bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 sebesar 19,25 dan untuk Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 adalah 19,75 mm. Tetrasiklin merupakan salah satu antibiotik yang memperlihatkan spektrum antibiotik luas yang meliputi Gram positif dan Gram negatif (Anonim, 2007). Berdasarkan hasil perhitungan zona hambat menggunakan jangka sorong menunjukkan bahwa tingkat penggunaan asap cair berpengaruh sangat nyata terhadap diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853, artinya penggunaan asap cair pada konsentrasi yang berbeda-beda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap luas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 diameter daerah hambatan. Dimana semakin tinggi konsentrasi asap cair yang digunakan, maka pembentukan zona hambat pada uji aktivitas terhadap kedua bakteri juga semakin besar (Samsundari, 2006). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dwijoseputro (1987) bahwa besar kecilnya diameter daerah hambatan disekitar cakram (disk) tergantung pada konsentrasi obat atau bahan obat yang digunakan. Apabila cakram (disk) yang digunakan mengandung bahan obat maka pertumbuhan bakteri akan terhenti dan sekitar cakram (disk) akan terlihat bening karena tidak ditumbuhi bakteri setelah diinkubasi 18 sampai 24 jam pada suhu 370C. Diameter zona hambatan yang terbentuk pada tetrasiklin HCl 1000 ppm sebagai antibiotik pembanding terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan larutan uji asap cair suhu pirolisis 200-2500C dengan pengenceran 10X membentuk zona hambat parsial (Lampiran 13), hal ini dapat disebabkan karena konsentrasi zat antibakteri yang berdifusi sampai ke daerah itu semakin berkurang, sehingga tidak cukup untuk menghambat semua pertumbuhan bakteri (Elya, 2009). Zona hambat yang terbentuk pada uji antibakteri terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat total apabila daerah sekeliling silinder cakram berwarna jernih yang berarti bakteri uji benar-benar sensitif terhadap konsentrasi asap cair yang ditambahkan dan bersifat parsial apabila zona hambat yang terbentuk di sekeliling silinder cakram masih terdapat beberapa koloni bakteri uji (Elya, 2009). Hasil pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 disimpulkan kuat. Davis dan Stout (1971) menyatakan bahwa apabila zona hambat yang terbentuk pada uji difusi agar berukuran kurang dari 5 mm, maka aktivitas penghambatannya dikategorikan lemah. Apabila zona hambat berukuran 5-10 mm dikategorikan sedang, 10-19 mm dikategorikan kuat dan 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat. Dari ketiga asap cair pada berbagai rentang suhu pirolisis maka dapat disimpulkan asap cair yang memiliki potensi antibakteri tertinggi adalah asap cair pada suhu pirolisis >4000C. Seperti pada penjelasan sebelumnya, hasil pengamatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 47 pH ketiga asap cair menunjukkan bahwa suhu pirolisis >4000C mempunyai pH paling rendah dibandingkan asap cair lainnya yaitu 2,62 dan memiliki kandungan asam organik terbesar dengan persentasenya sebesar 8,896%. Menurut Zuraida (2008), pH minimal pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus adalah 4,0 dan pH minimal pertumbuhan untuk Pseudomonas aeruginosa adalah 7,2 sedangkan pH asap cair yang ditambahkan sangat rendah yaitu 2,62 sehingga kematian bakteri selain disebabkan oleh adanya aktivitas senyawa antibakteri dalam asap cair tempurung kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) juga disebabkan oleh pH lingkungan yang lebih rendah dibandingkan pH minimal pertumbuhan untuk kedua bakteri uji. 4.5.Analisa Komponen Kimia Asap Cair Menggunakan GC-MS Berdasarkan hasil uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi cakram didapatkan asap cair yang memiliki aktivitas penghambatan bakteri tertinggi yaitu pada asap cair suhu pirolisis >4000C. Analisa GC-MS dilakukan untuk mengetahui komponen kimia yang terdapat pada asap cair. Campuran senyawa yang dilewatkan pada kromatografi gas akan terpisah menjadi komponen-komponen individual. Komponen kimia diidentifikasi berdasarkan waktu retensi dan mass spectra dibandingkan dengan pustaka (Willey dan NIST27). Sebelum analisa komponen kimia, asap cair suhu pirolisis >4000C dilakukan pemurnian dengan metode destilasi menggunakan Vaccum Rotary Evaporator. Suhu yang digunakan pada proses destilasi ini adalah 650C dengan tekanan 72 mBar. Menurut Maga (1988), komposisi penyusun asap cair yang terbesar adalah air dengan presentase 11-92%. Untuk mendapatkan asap cair yang lebih murni, maka perlu dilakukan pemisahan komponen air dari asap cair. Dasar pemilihan suhu destilasi dipilih untuk menghilangkan kandungan air pada asap cair (Luditama, 2006). Hasil proses pemurnian didapatkan 2 fraksi yaitu fraksi <650C dan fraksi >650C. Kedua fraksi asap cair dianalisa kandungan komponen kimianya dengan GCMS. Fraksi pertama yang dianalisa yaitu fraksi suhu <650C. Hasil analisa fraksi <650C didapatkan komponen-komponen yang teridentifkasi pada tabel 4.3. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 Tabel 4.3. Komponen kimia asap cair fraksi suhu <650C No. Komponen % Area 1. Phenol 77,05 2. 2-Methylphenol 5,01 3. 4-Methylphenol 2,56 4. 2-Methoxyphenol (Guaiacol) 12,83 5. 2-Methoxy-4-methylphenol (p-Methylguaiacol) 1,92 6. 2-Methoxy-4-ethylphenol 0,63 Tabel 4.3. menunjukkan komponen dominan yang terdapat pada asap cair fraksi suhu <650C adalah kelompok yang berasal dari pirolisis lignin yaitu fenol dan guaiakol masing-masing dengan persentase berurutan sebesar 77,05% dan 12,83%. Fraksi kedua yang dianalisa dengan GC-MS adalah fraksi suhu >650C. Hasil analisa fraksi >650C didapatkan komponen-komponen yang teridentifikasi pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Komponen kimia asap cair fraksi suhu >650C No. Komponen % Area 1. Phenol 84,38 2. 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl- 1,52 3. 2-Methylphenol 2,40 4. 4-Methylphenol 1,81 5. 2-Methoxyphenol (Guaiacol) 5,92 6. 2-Methoxy-4-methylphenol (p-Methylguaiacol) 1,75 7. 3,4,-Dimethoxyphenol 2,23 Tabel 4.4. menunjukkan komponen dominan yang terdapat pada asap cair fraksi suhu >650C adalah kelompok yang berasal dari pirolisis lignin juga yaitu fenol dan guaiakol masing-masing dengan persentase berurutan sebesar 84,38% dan 5,92%. Kedua fraksi menunjukkan komponen dominan yang sama yaitu fenol dan guaiakol. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 Fenol dan guaiakol menjadi senyawa yang paling dominan dari sampel asap cair. Hal ini dikarenakan komponen yang paling banyak terdapat pada bahan pengasap kayu terutama kayu keras adalah lignin. Lignin mengalami pirolisis sempurna pada suhu 400-4500C dan menghasilkan komponen adalah fenol, dan guaiakol (Luditama, 2006). Hasil pemisahan kromatografi gas, komponen dengan presentase terbanyak asap cair tempurung kelapa sawit yang didapatkan adalah fenol (C6H6O, BM=94) dengan luas area yang berbeda-beda tergantung pada fraksi suhu pemurniannya. Komponen-komponen kimia yang teridentifikasi pada asap cair tempurung kelapa sawit ini juga terdapat pada asap cair yang dihasilkan pada penelitian Ita Zuraida (2008) dan Candra Luditama (2006) dengan luas area yang bervariasi pada masingmasing komponen. 4.6.Hasil Uji KHM Asap Cair Metode Dilusi Cair Uji lanjut terhadap asap cair tempurung kelapa sawit dilakukan untuk menentukan nilai Kadar Hambat Minimum (KHM) terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853. Berdasarkan pemurnian yang dilakukan, hasil kedua fraksi yaitu fraksi suhu <650C dan fraksi suhu >650C dilakukan pengujian dengan dilusi cair untuk mengetahui nilai KHM dari masing-masing fraksi. Konsentrasi yang digunakan pada uji ini, diantaranya 5%, 2,5%, 1,25%, 0,625%, 0,3125%, 0,156% dan 0,078%. Konsentrasi ini dipilih dikarenakan pada pengujian aktivitas antibakteri dengan metode cakram menggunakan konsentrasi pengenceran 10X atau setara dengan 10% masih terdapat hambatan yang berarti. Sehingga untuk mengetahui konsentrasi hambat minimum asap cair fraksi suhu <650C dan fraksi suhu >650C, maka rentang konsentrasi yang digunakan harus diperkecil. Pada pemeriksaan KHM secara dilusi cair digunakan beberapa kontrol sebagai pembanding yaitu kontrol media yang berisi media NB steril, kontrol sterilitas yang berisi aquades steril dalam media NB, kontrol bakteri berisi suspensi bakteri uji 106 CFU/mL dalam media NB, dan kontrol positif yang berisi tetrasiklin HCl 500 ppm ditambah suspensi bakteri 106 CFU/mL. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 Seri konsentrasi pada pengujian KHM ini menggunakan pengenceran kelipatan dua sesuai metode Kirby-Bauer. Pada metode ini dapat dilakukan pengamatan terhadap tingkat kekeruhan larutan asap cair tempurung kelapa sawit (Elaies guineensis Jacq.) untuk menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM). Nilai KHM ditentukan dengan mengamati kadar terendah dari konsentrasi asap cair tempurung kelapa sawit yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853, yang ditandai dengan tidak adanya kekeruhan pada tabung setelah di inkubasi selama 18-24 jam (Wahyu, 2013). Didapatkan hasil (Lampiran 16) bahwa pada bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 menggunakan larutan uji asap cair fraksi suhu <650C, konsentrasi yang menunjukkan kejernihan yaitu 5%, dan 2,5%. Sedangkan pada bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 menggunakan larutan uji asap cair fraksi suhu <650C konsentrasi yang menunjukkan kejernihan yaitu 5%, 2,5% dan 1,25%. Maka didapatkan nilai KHM untuk fraksi <650C bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 adalah 2,5%, dimana hasil tabung menunjukkan kejernihan pertama dibandingkan dengan konsentrasi diatasnya. Dan untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 nilai KHM fraksi <650C adalah 1,25%. Hasil pada fraksi suhu >650C pada bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang menunjukkan kejernihan ditunjukkan pada konsentrasi asap cair 5%, 2,5%, 1,25% dan 0,625%. Sedangkan untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 larutan uji yang menunjukkan kejernihan yaitu 5%, 2,5%, 1,25%, 0,625% dan 0,3125%. Nilai KHM pada asap cair tempurung kelapa sawit (Elaies guineensis Jacq.) fraksi suhu >650C untuk bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 adalah 0,625% dan untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 adalah 0,3125%. Sebelum diinkubasi, didapatkan pola bahwa semakin tinggi konsentrasi, tabung reaksi berwarna lebih gelap namun tetap transparan, hal ini disebabkan karena tingginya konsentrasi asap cair yang ditambahkan. Setelah dilakukan inkubasi 18-24 jam, pola yang tercipta yaitu pada konsentrasi yang tinggi, dimana terjadi penghambatan, tabung reaksi tetap jernih dan transparan. Sedangkan pada konsentrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 rendah, yang tidak menunjukkan penghambatan, tabung reaksi menjadi keruh dan tidak transparan. Hal ini disebabkan, selama inkubasi, terjadi perkembang biakan pada bakteri uji. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chan (1986), dimana semakin tingginya konsentrasi suatu zat antimikroba yang digunakan maka semakin cepat bakteri terbunuh. Gambar 4.9. Grafik perbandingan nilai KHM yang dihasilkan Pada fraksi suhu >650C nilai KHM yang dihasilkan lebih rendah, hal ini disebabkan fraksi suhu >650C memiliki kandungan fenol yang lebih murni, dibuktikan dengan hasil analisa komponen kimia menggunakan GC-MS dimana persentase area fenolnya lebih besar dibandingkan dengan fraksi suhu <650C yaitu sebesar 84,38%. Sedangkan untuk fraksi suhu <650C juga masih memiliki aktivitas antibakteri. Hal ini disebabkan karena masih adanya kandungan fenol pada asap cair fraksi suhu <650C dengan presentasenya 77,05%. Masih adanya kandungan fenol pada asap cair fraksi suhu <650C, kemungkinan disebabkan karena tekanan yang digunakan pada proses pemurnian yang rendah yaitu 72 mBar. Sehingga ada senyawa fenol yang ikut menguap dan akhirnya tertampung pada labu hasil destilasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 Hasil uji metode dilusi cair didapatkan harga KHM yang berbeda pada masing-masing bakteri uji. Staphylococcus aureus ATCC 25923 lebih resisten dibandingkan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853. Hal ini ditunjukkan pada nilai KHM bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang membutuhkan konsentrasi asap cair satu tingkat lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai KHM untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan komponen penyusun dinding sel antara bakteri Gram positif dengan bakteri Gram negatif. Dinding sel merupakan bagian yang terpenting dari sel bakteri karena berfungsi menyediakan komponen struktural yang kaku dan kuat sehingga member bentuk sel. Pada bakteri Gram positif, dinding sel terutama terdiri dari peptidoglikan dan asam teikoat. Peptidoglikan merupakan polimer kompleks yang terdiri dari rangkaian asam N-asetil glukosamin dan asam N-asetil muramat yang disusun secara berganti-ganti. Pada bakteri Gram negatif, dinding sel nya terdiri dari lapisan peptidoglikan, lipoprotein selaput luar, dan lipopolisakarida. Lipopolisakarida dinding sel Gram negatif terdiri dari suatu lipid yang kompleks, yang dinamakan Lipid A (Jawetz, dkk., 2005; Dianita, 2010). Selain itu bakteri Staphylococcus aureus yang merupakan kelompok bakteri Gram positif dengan dinding sel disusun oleh rantai tetrapeptida yang terdiri dari (Lalanil-D-isoglutaminil-L-lisil-D-alanin) dan jembatan intrapeptida yang terdiri dari lima unit glisin. Unit asam muramat disubstitusi oleh tetrapeptida yang dihubungkan oleh jembatan interpeptida dengan ikatan kovalen yang akan menghasilkan struktur yang kuat, sehingga struktur ini sangat tahan terhadap kerusakan (Thorpe, 1955). Pseudomonas aeruginosa lebih sensitif diduga karena bakteri ini mempunyai protein porin PAO1 dengan diameter 2 mm, lebih besar di banding protein porin OmpF dan OmpC pada bakteri Eschericia coli dengan diameter 1,2 mm. Asap cair dapat masuk ke dalam membran plasma bakteri Gram negatif melalui protein porin tersebut (Helander, et al. 1998). Hal ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Zuraida (2008), dimana larutan uji yang digunakan adalah asap cair tempurung kelapa. Nilai KHM untuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 bakteri Staphylococcus aureus yaitu 0,40% sedangkan bakteri Pseudomonas aeruginosa memiliki nilai KHM yang lebih rendah yaitu 0,22%. Dimana pada bakteri Pseudomonas aeruginosa lebih sensitif bila dibandingkan bakteri Staphylococaus aureus. Fenol sebagai komponen kimia dominan dalam asap cair tempurung kelapa sawit dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal (Karseno et al., 2002). Secara umum mekanisme aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa sawit adalah dengan masuk melewati dinding sel dan merusak bagian membran sitoplasma. Kerusakan pada membran sitoplasma mengakibatkan permeabilitas membran terganggu, sehingga terjadi kebocoran isi sel dan mengganggu pembentukan asam nukleat. Bakteri yang sensitif terhadap asap cair tempurung kelapa sawit dapat terjadi kerusakan pada dinding sel dan membran sitoplasma. Fenol merupakan komponen yang berperan sebagai antibakteri dari asap cair yang dihasilkan. Kemampuan antibakteri fenol akan semakin meningkat apabila bersama-sama dengan senyawa asam. Fenol dan turunannya bersifat bakteriostatik karena mampu menginaktifkan enzim-enzim esensial, mengakoagulasi SH grup dan NH grup protein. Zuraida (2008) menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas antibakteri fenol dan turunannya meliputi reaksi dengan membran sel yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran sel dan mengakibatkan keluarnya materi intraseluler sel, inaktivasi enzim-enzim esensial dan perusakan atau inaktivasi fungsional materi genetik. 4.7.Analisa Morfologi Bakteri Menggunakan SEM Pemberian asap cair terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa menyebabkan terjadinya perubahan morfologi sel yang dapat diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM), seperti yang terlihat pada Gambar 4.9., terdapat adanya perbedaan bentuk morfologi dibandingkan dengan morfologi normal bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 54 a * b c * d Gambar 4.10. Hasil analisa morfologi bakteri yang mengalami perubahan setelah pemberian asap cair tempurung kelapa sawit (a) Staphylococcus aureus kontrol (b) Staphylococcus aureus perlakuan 0,625% asap cair (c) Pseudomonas aeruginosa kontrol (d) Pseudomonas aeruginosa perlakuan 0,625% asap cair *Bakteri kontrol dikutip dari Jan, et al., 2011 (ISSN 1987-3477) Pengaruh pemberian asap cair terhadap bakteri Staphylococcus aureus terlihat bahwa permukaan dinding sel bakteri menjadi lebih kasar dan tidak rata serta terlihat memanjang. Menurut Aziz (2010) terbentuknya tonjolan-tonjolan kecil pada sel bakteri disebabkan ketidakmampuan peptidoglikan sel yang rusak oleh senyawa antibakteri menahan tekanan intraseluler yang tinggi, sehingga sitoplasma keluar dan tonjolan ini biasanya muncul pada daerah yang dilemahkan oleh senyawa antibakteri. Sedangkan perlakuan yang diberikan terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa menyebabkan dinding sel bakteri berlubang bila dibandingkan dengan sel normal. Terbentuknya lubang ini dikarenakan terjadi gangguan terhadap membran sel UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 55 dan berubahnya permeabilitas sel yang pada akhirnya menyebabkan terlepasnya material sel keluar. Karakteristik penting dari zat yang aktif sebagai antibakteri pada asap cair yaitu fenol dan golongan asam adalah kemampuannya dalam mempengaruhi struktur membran dan meningkatkan permeabilitas membran sel. Setelah peningkatan permeabilitas maka kebocoran sel dan kandungan sel lainnya dapat terjadi (Fitriana, 2010). Penghambatan aktivitas bakteri oleh komponen bioaktif dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1) Gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, 2) Peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, 3) Menginaktifkan enzim metabolik, dan 4) Destruksi atau kerusakan fungsi material genetik. Menurut Fitriana (2010), terjadinya proses tersebut di atas karena interaksi senyawa bakteri pada permukaan sel bakteri atau senyawa tersebut berdifusi ke dalam sel. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Asap cair tempurung kelapa sawit yang di pirolisis pada suhu 200-2500C, 280-3500C dan >4000C memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. 2. Komponen kimia penyusun asap cair tempurung kelapa sawit hasil fraksinasi suhu <650C adalah Phenol, 2-Methylphenol, 4-Methylphenol, Guaiacol, pMethylguaiacol dan 2-Methoxy-4-ethylphenol. Sedangkan komponen kimia penyusun hasil fraksinasi suhu >650C adalah Phenol, 2-Cyclopenten-1-one 2hydroxy-3-methyl, 2-Methylphenol, 4-Methylphenol, Guaiacol, p- Methylguaiacol dan 3,4-Dimethoxyphenol. 3. Nilai KHM masing-masing asap cair tempurung kelapa sawit didapatkan untuk fraksi <650C nilai KHM yaitu 2,50% pada bakteri Staphylococcus aureus dan 1,25% pada bakteri Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan fraksi >650C adalah 0,6250% pada bakteri Staphylococcus aureus dan 0,3125% pada bakteri Pseudomonas aeruginosa. 4. Pemberian asap cair terhadap bakteri Staphylococcus aureus menyebabkan permukaan dinding sel bakteri menjadi lebih kasar dan tidak rata sedangkan pada bakteri Pseudomonas aeruginosa menyebabkan terbentuknya lubang pada permukaan dinding bakteri. 5.2.Saran Mengingat masih banyaknya aktivitas yang dimiliki asap cair tempurung kelapa sawit, maka disarankan perlu dilakukan penentuan nilai KBM asap cair, penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas antioksidan dan uji toksisitas akut asap cair untuk menentukan dosis letal median (LD50), serta perlu penelitian lebih lanjut terhadap bakteri patogen lain. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 56 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Hairus. 2012. Pembuatan dan Karakterisasi serta Aplikasi Katalik Konverter untuk Filter Gas Buang Kendaraan Bermotor Berbahan Bakar Premium (Tesis Magister Sains). Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara _________, Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia Allorerung, David, dkk. 2010. Budidaya Kelapa Sawit. Bogor: Aska Media Amritama, D. 2007. Asap Cair. http://tech.groups.yahoo.comessage/7945 diakses tanggal 11 April 2014 12:25 Anonim. 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara Anonim. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Univ. Indonesia Anonim. 2009. Kelapa Sawit. Wiki Media Bahasa Indonesia. Ensiklopedia Bebas. Website http://id.wikimedia.org/wiki/kelapa Aziz, Syaikul, dkk. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanolik Daun dan Umbi Crinum asiaticum L. terhadap Bakteri Penyebab Jerawat. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah dan Puslit Biologi LIPI, Cibinong (Majalah Farmasi Indonesia 21 (4), 249-254, 2010) Darmadji, P. 1995. Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Yogyakarta: Fakultas Teknologi Pangan Univ. Gadjah Mada Davis, W.W. dan T.R. Stout. 1971. Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic Assay. Microbiology 22: 659-665. Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta Dewanti, Sisilia M. dan Wahyudi, T. 2011. Antibacterial Activity of Bay Leaf Infuse (Folia Syzygium polyanthum WIGHT) to Escherichia coli in-Vitro. Surabaya: Univ. Airlangga (Jurnal Medika Planta-Vol. 1 No.4, Oktober 2011) Dianita, Yeni Sari. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Infusa Daun Sirsak (Annona muricata L.) secara in Vitro terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Aschericia coli ATCC 35218 serta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya. Yogyakarta: Univ. Ahmad Dahlan (Kes Mas ISSN 1978-0575) Dwijoseputro, D. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 57 58 Eero, Sjostrom. 1995. Kimia Kayu: Dasar-Dasar dan Penggunaan. Cetakan kedua. Sastrohamidjojo, H. (Penerjemah). Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada Eko, Hari Irianto dan Indroyono Soesilo. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Bogor: Badan Riset Kelautan dan Perikanan Dept. Kelautan dan Perikanan (Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Kampus Penelitian Pertania Cimanggu, Bogor) Elya, Berna, dkk. 2009. Antibakteri Ekstrak Kulit Batang Manggis Hutan (Garcinia rigida Miq.). Depok: Univ. Indonesia (Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. VI, No. 1, April 2009, 09-17 ISSN: 1693-9883) Elykurniati. 2011. Pemanfaatan Limbah Padat Cangkang Kelapa Sawit dalam Pembuatan Pupuk Cair Kalium Sulfat. Surabaya: Univ. Pembangunan Nasional “Veteran” Fauzi, Y. Widyastuti, Y.E. dan Satyawibawa, I. 2002. Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran Kelapa Sawit Seri Agribisnis. Jakarta: Penebar Swadaya Febriana, Dedek. 2012. Karakteristik Struktur Kristal dan Morfologi Lapisan TiCl4 pada Logam dengan Metode Sol-Gel Dip Coating (Skripsi Sarjana Sains). Medan: Universitas Negeri Medan Fitriana, Erny. 2010. Analisis Komponen Kimia Fraksi Minyak Atsiri Daun Sirih (Piper bettle Linn.) dan Uji Aktivitas Antibakteri terhadap Beberapa Jenis Bakteri Gram Negatif (Skripsi Sarjana Farmasi). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Gillespie, Stephen dan Kathleen Bamford. 2007. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi, Edisi ketiga, Translation Medical Microbiology and Infection at a Glance, Thirt Edition. Alih bahasa oleh dr. Stella Tinia H. Jakarta: Erlangga (Halaman 8-9 dan 32-33) Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. New York: Ellis Horwood Goldstein, J., Newbury, D., Joy, D., Lyman, C., Echlin, P., Lifshin, .E., Sawyer., L., and Michael., J. 2003. Scanning Electron Microscopy and X-Ray Microanalysis Vol. 1. Springer. New York. Gunarso, P., Setyawati, T., Sunderland, T.C.H. dan Shackleton, C. 2009. Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era Desentralisasi: Pelajaran yang Diperoleh dari Hutan Penelitian Malinau, Kalimantan Timur, Indonesia. Indonesia: CIFOR Bogor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 Harmita dan Maksum Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati, Edisi 3. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran Hasanah, Hafidatul, dkk. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol Tape Singkong (Manihot utilissima Pohl). Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (Alchemy, Vol. 2 No. 1 Oktober 2012, hal. 68-79) Helander IM, Hanna, Alakomi L, Latvak, Kala, Mattila T, Sandholm, Pol I, Smid EJ, Gorris LGM, Wright AV. 1998. Characterization of the action of selected essential oil components on Gram negative bacteria. J Agric Food Chem 46: 3590-3595 Hermansyah, Oky. 2009. Uji Aktivitas dan Mekanisme Kerja Antibakteri Ekstrak Etanol Rimpang Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Skripsi Sarjana Farmasi). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Hermanto, S. 2008. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan Spektrofotometri. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Himawati, Endah. 2010. Pengaruh Penambahan Asap Cair Tempurung Kelapa Destilasi dan Redestilasi terhadap Sifat Kimia, Mikrobiologi dan Sensoris Ikan Pindang Layang (Decapterus spp) Selama Penyimpanan (Skripsi Sarjana Teknologi Pertanian). Surakarta: Univ. Sebelas Maret Hoan, Tan Tjay dan Kirana Rahardja. 2010. Obat-Obat Penting. Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: Elex Media Komputindo Indah, Tuti Sari, dkk. 2009. Pembuatan Asap Cair dari Limbah Serbuk Gergajian Kayu Meranti sebagai Penghilang Bau Lateks. Palembang: Univ. Sriwijaya (Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 16, Januari 2009) Iskandar, R. dan Kresno Dwi Santosa. 2005. Cara Pembuatan Arang Kayu. Alternatif Pemanfaatan Limbah Kayu oleh Masyarakat. Bogor: Center for International Forestry Research Jan, Adolf N. P. dan Azis B. S. 2011. Antimicrobial Actibity of Melinjo Seed and Peel Extract (gnetum gnemon) Against Selected Pathogenic Bacteria. Indonesia (Microbiologi Indonesia ISSN 1978-3477, eISSN 2087-8575 Vol 5, No 3, September 2011, p 103-112) Jawetz, et al. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg, Ed. 23, Translation of Jawetz, Melnick, and Adelberg’s Medical Microbiology, 23thEd. Alih bahasa oleh Hartanto, H., et al. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 Kamaruddin A, dkk. 1999. Energi dan Listrik Pertanian. Ropiudin dan Aep SU Editor (edisi revisi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB Karseno, Darmadji P., Rahayu K., 2002. Daya Hambat Asap Cair Kayu Karet terhadap Bakteri Pengkontaminan Lateks dan Ribbed Smoke Sheet. Agritech 21 (1): 10-15 Katzung, B. G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi VI. Alih Bahasa: Staf Dosen Farmakologi Fakultas kedokteran UNSRI. Jakarta: EGC Kaushik, P. dan Chauhan, A. 2009. Cyanobacteria Antibacterial Activity. India: New India Publishing Agency Khamsatul, Laila M. 2011. Penentuan Kadar Kolesterol dengan Metode Kromatografi Gas. Madura: Univ. Trunojoyo (AGROINTEK Volume 5, No. 1 Maret 2011) Kusmiyati dan Ni Wayan S. A. 2007. Uji Aktivitas Antibakteri dari Mikroalga Prphyridium cruentum. Bogor: Puslit Bioteknologi LIPI Cibinong (Biodiversitas Volume 8 Nomor 1 ISSN: 1412-033X Januari 2007) Kusuma, Fajar Dewi. 2010. Aktivitas Antibakteri Ektrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia, Linnaeus) terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar (Skripsi Sarjana Sains). Surakarta: Universitas Sebelas Maret Lanawati, F. D. dan Stephanie D. A. 2003. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Jambu Biji dari Beberapa Kultivar terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dengan “Hole-Plate Diffusion Method”. Surabaya: Univ. Katolik Widya Mandala (Berk. Penel. Hayati (49-S1, 2003) Liana, Meisji S., dkk. 2013. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat pada Usus Ayam Broiler. Universitas Sriwijaya (Agripet Vol 13, No. 1, April 2013) Liani. 2012. Pengaruh Temperatur terhadap Struktur Kristal dan Morfologi Lapisan TiCl4 pada Pelapisan Logam dengan Menggunakan Metode Sol-Gel (Skripsi Sarjana Sains). Medan: Universitas Negeri Medan Lingga, N. 2004. Laporan Kegiatan Training Instrumen GC-MS Shimadzu QP 2010 Luditama, Candra. 2006. Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi (Skripsi Sarjana Teknologi Pertanian). Bogor: Institut Pertanian Bogor Maga, J. A. 1988. Smoke in Food Processing. Florida: CRC Press UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 Marasabessy, Ismael. 2007. Produksi Asap Cair dari Limbah Pertanian dan Penggunaannya dalam Pembuatan Ikan Tongkol (Euthymnus affinis) Asap (Tesis Magister Sains). Bogor: Institut Pertanian Bogor Marliana, Eva dan Chairul Saleh. 2011. Uji Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Etanol, Fraksi n-Heksana, Etil Asetat dan Metanol dari Buah Labu Air (Lagenari siceraria (Molina) Standl). Samarinda: Univ. Mulawarman (Jurnal Kimia Mulawarman Vol. 8 No. 2, Mei 2011 ISSN: 693-5616) Ningtyas, Rina. 2010. Uji Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Air Daun Kecombrang (Etlingera elaticor (Jack) R.M. Smith) sebagai Pengawet Alami terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus aureus (Skripsi Sarjana Sains). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Nurhayati, T., Han Roliadi and Nurliani Bermawie. 2005. Production of Mangium Wood Vinegar and Its Utilization. Jurnal of Foresty Research 2:1 (13-26). Foresty Research and Development Agency. Jakarta. Nurhayati, Tjutju dan Yelin Adalina. 2009. Analisis Teknik dan Finansial Produksi Arang dan Cuka Kayu dari Limbah Industri Penggergajian dan Pemanfaatannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Nurfadilah. 2013. Uji Bioaktifitas Antibakteri Ekstrak dan Fraksi Lamun dari Kepulauan Spermonde, Kota Makassar (Skripsi Sarjana Sains). Makassar: Universitas Hasanuddin Pahan, Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta: Niaga Swadaya Paris O. C. Zollfrank dan G. A. Zickler. 2005. Decompotiton and Carbonization of Wood Biopolymer Microstructural Study of Softwood Pyrolisis. Carbon 43: 5366 Paul G. Engelkirk and Janet Duben-Engelkirk. 2008. Laboratory Diagnosis of Infectious Diseases. Lippineott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business. Philadelphia. Pelezer M.J. 1997. Buku Penentuan Ilmu Gizi Umum. Jakarta Pujilestari, Titiek. 2007. Pengaruh Cuka Kayu Galam (Melaleuca cajuput), Akasia (Acacia mangium), dan Karet (Hevea brasiliensis) terhadap Daya Tahan Simpan Ikan Segar (The Effect of The Wood Vinegar on The Fish Shelf Life). Banjarbaru: Barisland Industri Banjarbaru (Jurnal Riset Industri, Vol. 1, No.3, Desember 2007: 147-154) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 62 Purwanto, Djoko. 2011. Arang dari Limbah Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) (Charcoal From Palm Shell Waste). Banjarbaru: Balai Riset dan Standardisasi Industri (Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 1, Maret 2011; 57-66) Putri, Varinda Mariska. 2009. Pengujian Kandungan Fenol Total Tomat (Lycopersicum esculentum) Secara In Vitro (Skripsi Sarjana Kedokteran). Jakarta: Universitas Indonesia Samsundari, Sri. 2006. Pengujian Ekstrak Temulawak dan Kunyit terhadap Resistensi Bakteri Aeromonas hydrophilla yang Menyerang Ikan Mas (Cyprinus Carpio). Malang: Univ. Muhammadiyah Malang (GAMMA, Volume II Nomor 1. September 2006: 71-83) Simon R, dkk. 2005. Composition and Analysis of Liquid Smoke Flavouring Primary Products. Journal Food Science 24 (1): 143-148 Siswandono, Soekardjo Bambang. 2000. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press Sudjadi. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sulistiyaningsih. 2008. Identifikasi Isolat Bakteri Penghasil Zat Antibakteri dari Cairan Kantung Tanaman Kantong Semar (Nepenthes ampullaria, Jack.) (Laporan Penelitian Mandiri). Bandung. Univ. Padjadjaran Sutin. 2008. Pembuatan Asap Cair dari Tempurung dan Sabut Kelapa secara Pirolisis serta Fraksinasinya dengan Ektraksi (Skripsi Sarjana Teknologi Pertanian). Bogor: Institut Pertanian Bogor Thorpe NO. 1995. Cell Biology. New York: John Wiley and Sons Tranggono, Suhardi dan A.H. Setiaji. 1997. Produksi Asap Cair Beberapa Jenis Kayu dan Penggunaannya pada Pengolahan Beberapa Bahan Makanan Indonesia (Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu) Jakartra: Menteri Riset dan Teknologi Tursiman, dkk. 2012. Total Fenol Fraksi Etil Asetat dari Buah Asam Kandis (Garcinia dioica Blume). (Jurnal JKK, tahun 2012, Volume 1 (1), halaman 4558 ISSN: 2303-1077) Vermerris W., Nicholson R. 2006. Phenolic Compound Biochemistry. Netherlands: Springer. Wahyu, Boby Widiastomo, dkk. 2013. Efek Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica papaya L.) terhadap Bakteri Shigella dysenteriae Kode Isolat 2312-F secara In Vitro. Malang: Univ. Brawijaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 63 Wayan, Ni Sri A. dan Kusmiati. 2012. Identifikasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Senyawa Aktif secara Maserasi dan Digesti dalam Berbagai Pelarut dari Mikroalga Dunaliella salina (Seminar Nasiol IX Pendidikan Biologi FKIP UNS). Bogor: Puslit Bioteknologi-LIPI Cibinong Yatagai Mitsuyoshi. 2002. Utilizatio of Charcoal and Wood Vinegar in Japan. Graduate School of Agricultural and Life Science. Japan: The University of Tokyo Yuli, Maria dan Rosa, S.P. 2012. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Termofilik dari Mata Air Panas di Songgoriti Setelah Dua Hari Inkubasi. Surabaya: ITS (Jurnal Teknik Pomits Vol. 1, No. 1 (2012) 1-5) Yulistiani, Ratna, dkk. 1997. Kemampuan Penghambatan Asap Cair terhadap Pertumbuhan Bakteri Patogen dan Perusak pada Lidah Sapi. Yogyakarta: Univ. Gajah Mada (Prosiding Seminar Tek. Pangan) Zaitsev, I., I. Kizeveter, L. lacunov, T. Makavora, L. Mineer, and V. Podsevalor. 1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher. Moskow. Zuraida, Ita. 2008. Kajian Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap Daya Awet Bakso Ikan (Tesis Magister Sains). Bogor: Institut Pertanian Bogor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 64 Lampiran 1. Kerangka Penelitian Tempurung Kelapa Sawit Asap cair suhu 200-2500C Asap cair suhu 280-3500C Asap cair suhu >4000C Arang Aktif Analisa sifat fisik dan kimia: 1. pH 2. Bobot Jenis 3. Total Fenol 4. Kadar Asam Uji aktivitas antibakteri dengan difusi cakram Aktivitas maksimal Fraksi suhu <650C Fraksi suhu >650C Analisa komponen kimia dg GC-MS Penentuan KHM dengan metode dilusi Analisis kerusakan sel menggunakan SEM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 65 Lampiran 2. Peremajaan Bakteri Uji Stok bakteri uji Diinokulasikan pada Nutrient Agar miring Inkubasi 370C selama 24 jam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 66 Lampiran 3. Persiapan Suspensi Bakteri Stok biakan bakteri pada agar Nutrient Agar umur 24 jam Larutan H2SO4 0,36 N sebanyak 99,5 mL Suspensikan 1 jarum ose ke dalam 10 mL Nutrient Broth Dicampurkan dengan larutan BaCl2.2H2O 1,175% sebanyak 0,5 mL Diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam Dikocok sampai terbentuk larutan yang keruh Kekeruhan suspensi bakteri dan Mc. Farland dibandingkan Didapatkan suspensi bakteri dengan konsentrasi 1 x 108 CFU/mL Didapatkan suspensi bakteri dengan konsentrasi 1 x 108 CFU/mL 1 mL suspensi bakteri 108 CFU/mL dicampur dengan 9 mL NaCl 0,9% steril, didapatkan kepadatan 107 CFU/mL 1 mL suspensi bakteri 107 CFU/mL dicampur dengan 9 mL Nutrient Broth, didapatkan kepadatan 106 CFU/mL UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 67 Lampiran 4. Penentuan Daya Hambat dengan Metode Dilusi Cair 0,5 mL & 0,5 mL & dikocok dikocok Larutan stok asap cair 10X (10%) 0,5 mL & dikocok 0,5 mL & dikocok 0,5 mL & dikocok 0,5 mL & buang 1 2 3 4 5 6 7 0,5 mL NB Masing-masing ditambahkan suspensi bakteri 106 CFU/mL sebanyak 0,1 mL Ditambahkan Nutrient Broth 0,4 mL Volume total masingmasing tabung 1 mL Diinkubasi 370C selama 18-24 jam Diamati kekeruhan dan dibandingkan dengan kontrol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 68 Lampiran 5. Analisa Kerusakan Sel Menggunakan SEM Cairan disentrifus Dibuang supernatannya Cairan disentrifus Rendam 1-2 jam Dibuang supernatannya Cairan disentrifus Dibuang larutan fiksatifnya Ditambahkan glutaraldehid 2% Ditambahkan asam tannin 2% Ditambahkan caccodylate buffer Direndam 20 menit Disentrifus kembali Direndam 1 jam Ditambahkan osmium tetraoksida 1% Dibuang buffernya Disentrifus kembali Dibuang larutannya Ditambahkan alkohol 50% Direndam 10 menit Ditambahkan alkohol 70% Direndam 20 menit Ditambahkan alkohol 80% Direndam 10 menit Ditambahkan alkohol 95% Ditambahkan alkohol absolut Direndam 10 menit Direndam 20 menit Disentrifus kembali Dibuang butanolnya Ditambahkan butanol kembali Dibuang larutannya Disentrifus kembali Ditambahkan t-butanol Direndam 20 menit Dibuat suspensi Dibekukan potongan cover slip Dikering-anginkan Dibuat ulasan suspensi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 69 Lampiran 6. Data dan Perhitungan % Rendemen Asap Cair Suhu Pirolisis 0C Rendemen % Rendemen 200-250 62 mL 3,1 % 280-350 226 mL 11,3% >400 196 mL 9,8% TOTAL 484 mL 24,2% Berat Bahan yang di pirolisis =2 kg (2000 gram) Asap cair suhu pirolisis 200-2500C Asap cair suhu pirolisis 280-3500C Asap cair suhu pirolisis >4000C UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 70 Lampiran 7. Data dan Perhitungan % Rendemen Arang Aktif Rendemen arang aktif Berat arang aktif = 573,27 gram Berat bahan yang dipirolisis =2 kg (2000 gram) Total rendemen Total rendemen = Rendemen asap cair + Rendemen arang aktif Total rendemen = 24,2% + 28,6635% Total rendemen = 52,86% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 71 Lampiran 8. Data dan Perhitungan Bobot Jenis Asap Cair No Suhu Berat piknomoter Berat pikonometer + Berat piknometer + Bobot sampel awal (gram) = W0 aquades (gram) = W1 sampel (gram) = W2 jenis 1 200-2500C 26,0891 50,4905 50,8428 1,0144 2 280-3500C 28,2441 53,0334 53,4929 1,0185 3 >4000C 29,0496 53,6010 54,3687 1,0313 Perhitungan bobot jenis 200-2500C: Perhitungan bobot jenis 280-3500C: Perhitungan bobot jenis >4000C: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 72 Lampiran 9. Data dan Perhitungan Kadar Fenol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 73 (Lanjutan) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 74 Lampiran 10. Tabel Perhitungan Kadar Fenol No. Suhu Pirolisis 1. 200-2500C Pengulangan Absorbansi I 0,3768 24,9974 II 0,3836 25,4314 III 0,3672 24,3886 Rata-rata 2. 280-3500C 24,93913 I 0.9708 62,8134 II 0.9214 59,6685 III 0.9883 63,9273 Rata-rata 3. >4000C Konsentrasi (ppm) 62,1364 I 1.4432 92.8862 II 1.4260 91.7894 III 1.4692 94.5408 Rata-rata 93,07213 Konsentrasi (ppm) asap cair suhu 200-2500C: Konsentrasi (ppm) asap cair suhu 200-2500C: Konsentrasi (ppm) asap cair suhu 200-2500C: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 75 Lampiran 11. Tabel Data dan Perhitungan Kadar Asam Baku Standart Vol. NaOH Vol. NaOH Vol. NaOH awal (mL) akhir (mL) untuk Titrasi Asam Oksalat (1) 0 22,6 22,6 Asam Oksalat (2) 22,6 45,2 22,6 Perhitungan normalitas NaOH: V(NaOH) x N(NaOH) = V(As. Oksalat) X N(As. Oksalat) 22,6 x N1 = 20 mL x 0,11 N N(NaOH) = 0,098 N Suhu Vol. NaOH Vol. NaOH Vol. NaOH Normalitas Kadar Sampel awal (mL) akhir (mL) untuk titrasi NaOH asam (%) 2,4588 0 1 200-250 C1 10,4 11,5 1,1 0,098 2 200-2500C2 12,6 13,6 1 0,098 3 280-3500C1 3,4 11,8 8,4 0,098 4 280-3500C2 11,8 19,9 8,1 0,098 5 >4000C1 22,4 37,5 15,1 0,098 6 >4000C2 34,4 50 15,6 0,098 7 >4000C3 3,1 18,3 15,2 0,098 4,8173 8,896 Perhitungan kadar asam suhu 200-2500C: ( ) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 76 (Lanjutan) Perhitungan kadar asam suhu 280-3500C: ( ) Perhitungan kadar asam suhu >4000C: ( ) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 77 Lampiran 12. Bakteri Uji Staphylococcus aureus ATCC 25923 Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 Pewarnaan bakteri Pewarnaan bakteri Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 78 Lampiran 13. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dengan Difusi Cakram Bakteri Pseudomonas aeruginosa Bakteri uji Pseudomonas aeruginosa Suhu pirolisis Hasil uji asap cair tempurung kelapa sawit 200-2500C a a 0 kali Keterangan: a = Asap cair suhu pirolisis 200-2500C Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%) Pseudomonas aeruginosa 280-3500C b b 0 kali a Keterangan: b = Asap cair suhu pirolisis 280-3500C Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%) Pseudomonas aeruginosa >4000C c c 0 kali Keterangan: c = Asap cair suhu pirolisis >4000C Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%) Pseudomonas aeruginosa 200-2500C dan 280-3500C d e e UIN Syarif Hidayatullah Jakarta d 79 Keterangan: d = Asap cair suhu pirolisis 200-2500C Pengenceran 10X (konsentrasi 10%) e = Asap cair suhu pirolisis 280-3500C Pengenceran 10X (konsentrasi 10%) Pseudomonas aeruginosa >4000C dan Kontrol Positif f g g Keterangan: f = Asap cair suhu pirolisis >4000C Pengenceran 10X (konsentrasi 10%) g = Kontrol positif Tetrasiklin HCl konsentrasi 1000 ppm UIN Syarif Hidayatullah Jakarta f 80 (Lanjutan) Bakteri Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus 200-2500C 0 kali h h Keterangan: h = Asap cair suhu pirolisis 200-2500C Pengenceran 0 kali (100%) Staphylococcus aureus 280-3500C i i 0 kali Keterangan: i = Asap cair suhu pirolisis 280-3500C Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%) Staphylococcus aureus >4000C j j 0 kali Keterangan: j = Asap cair suhu pirolisis >4000C Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%) Staphylococcus aureus 200-2500C dan 0 280-350 C l k l k UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 81 Keterangan: k = Asap cair suhu pirolisis 200-2500C Pengenceran 10X (konsentrasi 10%) l = Asap cair pirolisis 280-3500C Pengenceran 10X (konsentrasi 10%) Staphylococcus aureus >4000C dan Kontrol Positif m n n m Keterangan: m = Asap cair suhu pirolisis >4000C Pengenceran 10X (konsentrasi 10%) n = Kontrol positif Tetrasiklin HCl konsentrasi 1000 ppm UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 82 Lampiran 14. Tabel Perhitungan Zona Hambat pada Difusi Cakram Pirolisis Faktor Percobaan Pengenceran 200-2500C 0 kali (100%) 10 kali (10%) 50 kali (2%) 280-3500C 0 kali (100%) 10 kali (10%) 50 kali (2%) >4000C 0 kali (100%) 10 kali (10%) 50 kali (2%) Kontrol Tetrasiklin HCl Zona Hambat (mm) S. aureus P.aeruginosa I 32,5 27,9 II 34,9 28,5 Rata-rata 33,7 28,2 I 12,4 10,2 II 9,7 15,0 Rata-rata 11,05 12,6 I - 8,9 II - - Rata-rata - 4,45 I 40,1 38,6 II 41,0 38,8 Rata-rata 40,55 38,7 I 19,2 15,2 II 19,8 15,8 Rata-rata 19,5 15,5 I - - II - - Rata-rata - - I 45,6 45,0 II 53,5 42,1 Rata-rata 49,55 43,55 I 22,2 21,2 II 25,6 22,6 Rata-rata 22,4 21,9 I 13,6 8,9 II 9,9 10,2 Rata-rata 11,75 9,55 I 16,8 18,3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 83 Positif Kontrol 1000 ppm Aquadest Steril II 21,7 21,2 Rata-Rata 19,25 19,75 I - - II - - Rata-rata - - Negatif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 84 Lampiran 15. Hasil Uji KHM Asap Cair dengan Dilusi Cair Bakteri Uji Fraksi Hasil Uji KHM Difusi Cair Asap Cair Suhu Staphylococcus <650C a aureus (1) Staphylococcus k aureus (2) Pseudomonas b h c d e f j i g f g f g h i j j k e d c b a f e d c b g e d c <650C aeruginosa (1) k h j i a Pseudomonas aeruginosa (2) k h j i b a b a Staphylococcus >650C aureus (1) k h j i g f e d c UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 85 Staphylococcus Pseudomonas h k aureus (2) j i g f e d c b a >650C aeruginosa (1) k j i h g f e d c b h j i g f e d c b a Pseudomonas aeruginosa (2) k Keterangan: a : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 5% b : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 2,5% c : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 1,25% d : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 0,625% e : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 0,3125% f : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 0,156% g : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 0,078% h : Kontrol bakteri i : Kontrol media natrium broth steril j : Kontrol natrium broth + pelarut (Kontrol sterilitas) k : Kontrol positif (Tetrasiklin HCl 500 ppm) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta a 86 Lampiran 16. Tabel Hasil Uji Nilai KHM dengan Dilusi Cair Konsentrasi S. aureus (1) S. aureus (2) P. aeruginosa P. aeruginosa (2) (1) Fraksi <650C: 5% - - - - 2,5% - - - - 1,25% + + - - 0,625% + + + + 0,3125% + + + + 0,156% + + + + 0,078% + + + + 5% - - - - 2,5% - - - - 1,25% - - - - 0,625% - - - - 0,3125% + + - - 0,156% + + + + 0,078% + + + + - - - - Kontrol medium - - - - Kontrol bakteri + + + + Kontrol positif - - - - Fraksi >650C Kontrol Sterilitas Keterangan: (+) menunjukkan pertumbuhan bakteri (-) menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 87 Lampiran 17. Perhitungan Larutan Uji KHM 1. Larutan uji: Larutan stok 10% asap cair fraksi <650C Dilarutkan 1 mL asap cair fraksi <650C menggunakan aquades steril sampai 10 mL dalam labu ukur. 5% 500 L larutan stok 10% ; 100 L suspensi bakteri ; 400 L NB steril 2,5% 500 L larutan stok 5% ; 100 L suspensi bakteri ; 400 L NB steril 1,25% 500 L larutan stok 2,5% ; 100 L suspensi bakteri ; 400 L NB steril 0,625% 500 L larutan stok 1,25%; 100 L suspensi bakteri ; 400 L NB steril 0,3125% 500 L larutan stok 0,625%;100 L suspensi bakteri;400 L NB steril 0,156% 500 L larutan stok 0,3125%;100 L suspensi bakteri;400 L NB steril 0,078% 500 L larutan stok 0,156%;100 L suspensi bakteri;400 L NB steril 2. Larutan Kontrol Positif Tetrasiklin HCl 500 ppm Larutan stok 1000 ppm tetrasiklin HCl Dilarutkan 1 mg tetrasiklin HCl menggunakan aquades steril sampai 10 mL dalam labu ukur. 500 ppm 500 L larutan stok 1000 ppm;100 L suspensi bakteri;400 L NB steril UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 88 Lampiran 18. Kromatogram GC-MS Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu <650C UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 89 Lampiran 19. Komponen Kimia Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu <650C No. Waktu Retensi Area % Area Komponen 1. 6,327 19.985.014 2. 8,478 1.299.611 5,01 2-Methylphenol 3. 9,164 664.848 2,56 4-Methylphenol 4. 9,350 3.326.846 5. 12,404 497.694 1,92 2-Methoxy-4-Methylphenol (p-Methylguaiacol) 6. 14,810 162.185 0,63 4-Ethyl-2-Methoxy-Phenol Total 25.936.198 77,05 Phenol 12,83 2-Methoxyphenol (Guaiacol) 100,00 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 90 Lampiran 20. Kromatogram GC-MS Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu >650C UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 91 Lampiran 21. Komponen Kimia Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu >650C No. Waktu Retensi Area % Area Komponen 1. 6,344 4.392.602 2. 7,586 78.982 3. 8,497 124.848 2,40 2-Methylphenol 4. 9,191 93.976 1,81 4-Methylphenol 5. 9,374 308.090 6. 12,425 91.338 7. 16,841 115.827 Total 5.205.663 84,38 Phenol 1,52 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl- 5,92 2-Methoxyphenol (Guaiacol) 1,75 2-Methoxy-4-Methylphenol (p-Methylguaiacol) 2,23 3,4,-Dimethylphenol 100,00 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 92 Lampiran 22. Alat-alat yang digunakan Shaker incubator Oven suhu 1050C pH meter Vaccum rotary evaporator Autoklaf Timbangan analitik UV-Vis Spektrofotometer Gas Chromatography-Mass Nutrient Agar dan Nutrient Spectroscopy Broth UIN Syarif Hidayatullah Jakarta