ANALISA KOMPONEN KIMIA DAN UJI ANTIBAKTERI ASAP CAIR

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ANALISA KOMPONEN KIMIA DAN UJI
ANTIBAKTERI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PADA BAKTERI
Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa
SKRIPSI
KURNIA ANISAH
1110102000040
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2014
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ANALISA KOMPONEN KIMIA DAN UJI
ANTIBAKTERI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) PADA BAKTERI
Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
KURNIA ANISAH
1110102000040
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2014
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Nama
: Kurnia Anisah
Program Studi : Farmasi
Judul
: Analisa Komponen Kimia dan Uji Antibakteri Asap Cair Tempurung
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Bakteri Staphylococcus
aureus Dan Pseudomonas aeruginosa
Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia. Cangkang
kelapa sawit merupakan limbah yang jumlahnya mencapai 60% dari produksi minyak
inti. Asap cair tempurung kelapa sawit diperoleh dengan cara pirolisis pada rentang
suhu 200-2500C, 280-3500C dan >4000C. Dari hasil uji aktivitas antibakteri
menggunakan difusi cakram, ketiga asap cair diketahui memiliki aktivitas antibakteri.
Dimana asap cair yang memiliki aktivitas tertinggi yaitu asap cair yang dipirolisis
suhu >4000C. Dilakukan fraksinasi suhu terhadap asap cair yang memiliki aktivitas
antibakteri tertinggi. Sehingga didapatkan fraksi <650C dan >650C hasil fraksinasi
asap cair suhu pirolisis >4000C. Dari analisa komponen kimia dengan GC-MS
diketahui komponen utama pada kedua fraksi asap cair yaitu fenol dengan presentase
77,05% pada fraksi <650C dan 84,38% pada fraksi >650C. Untuk mengetahui nilai
KHM kedua fraksi diuji menggunakan metode dilusi cair dan didapatkan hasil nilai
KHM fraksi <650C 2,50% untuk Staphylococcus aureus dan 1,25% untuk bakteri
Pseudomonas aeruginosa. Fraksi >650C memiliki nilai KHM 0,6250% untuk
Staphylococcus aureus dan 0,3125% untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa.
Pengujian menggunakan SEM menunjukkan terjadi perubahan morfologi bakteri,
dimana terbentuk lubang pada dinding Pseudomonas aeruginosa dan dinding sel
bakteri menjadi lebih kasar dan tidak rata serta pemanjangan pada morfologi bakteri
Staphylococcus aureus.
Kata Kunci: Asap cair, tempurung kelapa sawit, antibakteri, KHM
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name
: Kurnia Anisah
Program Study: Pharmacy
Title
: Chemical Components Analysis and Antibacterial Liquid Smoke
Shell Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Test On Staphylococcus
aureus and Pseudomonas aeruginosa Bacteria.
Indonesia is the second largest palm oil producer in the world. Palm shell is compost
heap which is accounted 60% from main oil production. Liquid smoke of palm shell
is obtained by pyrolysis in the range temperature of 200-2500C, 280-3500C and
>4000C. Antibacterial activity test by using disc method produce all of liquid smoke
has antibacterial activity. Which liquid smoke has the high activity is pyrolysis at
>4000C. Fractionations by temperature apply for the liquid smoke which has the high
activity. Thus fraction be obtained <650C and >650C the result fractionation smoke
liquid in pyrolisis temperature >4000C. From chemical components analysis using
GC-MS is known that main component from second smoke liquid fractination is
fenol with the percentage 77,05% at the fraction <650C and 84,38% at the fraction
>650C. Analyzing on the temperature pyrolysis of liquid smoke >4000C obtain 3
main components, those are: phenol, guaiacol and 2-Furancarboxaldehyde. And then
next step is temperature fractionation on the liquid smoke >4000C. Temperature
which is used for this fractionation is <650C and >650C. To know the KHM value
both fraction are experimented by using liquid dilution method and the result
obtained MIC value of the fraction <650C 2.50% and 1.25% of Staphylococcus
aureus and Pseudomonas aeruginosa bacteria. Fraction> 650C has MIC value of
0.6250% to 0.3125% of Staphylococcus aureus and Pseudomonas aeruginosa
bacteria. Examining Using SEM shows morphological bacteria change, where it is
shaped a hole on the Pseudomonas aeruginosa walls and bacterial cell walls become
more rough and uneven, and also the elongation on the bacteria morphology of
Staphylococcus aureus.
Keywords: Liquid smoke, shell oil palm, antibacterial, MIC
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
sebagai manifestasi penghambaan kita kepada-Nya atas segala nikmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Analisa
Komponen Kimia dan Uji Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) pada Bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas
aeruginosa. Sholawat teriring salam senantiasa kita haturkan kepada Sang
Revolusioner sejati, Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kita dengan
variabel-variabel akhlaqul karimah yang selalu berorientasi ke tingkat kematangan
religius yang lebih tinggi yakni taqwallah.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program
pendidikan tingkat sarjana Strata 1 (S1) pada program studi Farmasi, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya menyadari bahwa keberhasilan penelitian dan penyusunan skripsi ini
tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Atiek Soemiati, M. S., Apt. dan Bapak Arief Heru Prianto, M.
Si. selaku pembimbing yang senantiasa dengan kesabaran memberikan
arahan, dorongan, semangat, saran dan solusi kepada penulis selama
melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Kementerian Agama RI selaku pemberi beasiswa, sehingga penulis dapat
menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. (Ris) Dr. Sulaeman Yusuf M. Agr. selaku Kepala Puslit
Biomaterial LIPI Cibinong yang telah memberikan izin untuk melakukan
penelitian di Puslit Biomaterial.
4. Prof. DR. (hc) dr. M.K. Tadjuddin, Sp. And. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Drs. Umar Mansur, M. Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan ilmu,
motivasi, nasehat, bimbingan dan bantuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidaytullah Jakarta.
7. Bapak Deddy Triyono Nugroho Adi, M. Si., Ibu Deni Zulfiana, M. Si., Bapak
Ikhsan Guswenrivo, M. Sc., Apriwi Zulfitri S. Si., dan seluruh staf peneliti
dan teknisi Puslit Biomaterial LIPI Cibinong yang telah membantu
mengarahkan serta menuntun selama penelitian.
8. Ayahanda, H. Moch. Mun’im dan Ibunda, Hj. Irawati yang doanya tidak
pernah putus di setiap tengadah tangan dan dukungan baik moril maupun
materil. Tiada apapun di dunia ini yang dapat membalas kebaikan, cinta dan
kasih sayang yang telah kalian berikan. Serta kakak dan adik-adik serta
keluarga besar yang selalu memberikan motivasi dan semangat selama
menyelesaikan skripsi ini.
9. Mursyad As-Sirbany dengan semua kesabaran, pengertian dan dukungannya
serta Shelly Zallina Sustiawati sebagai sahabat dan saudara yang selalu
menemani disaat senang maupun susah dan selalu membantu disaat yang
tepat.
10. Zakiya Kamila Muhammad dan Annisa Alfira teman seperjuangan yang telah
membantu dan menemani penelitian di Puslit Biomaterial LIPI Cibinong.
11. Sahabat-sahabat terbaik Shulcha Fitriyah, Hilma Azmi, Ariyanti, Reka
Yuligawati, Surotul Ilmiyah dan Nuraina, saudara-saudara tercinta CSSMoRA
2010, teman-teman seperjuangan Andalusia Farmasi 2010, sahabat-sahabat
pergerakan PMII Cabang Ciputat dan keluarga besar Amanatul Ummah.
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak keterbatasan dan
kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi sumbangan
pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, Juli 2014
Penulis
x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Kurnia Anisah
NIM
: 1110102000040
Program Studi : Farmasi
Fakultas
: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah
saya dengan judul
ANALISA KOMPONEN KIMIA DAN UJI ANTIBAKTERI ASAP CAIR
TEMPURUNG KELAPA SAWIT (Elaies guineensis Jacq.) PADA BAKTERI
Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa
untuk dapat diakses melalui Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan
Undang-Undang Hak Cipta.
Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada Tanggal : 14 Juli 2014
Yang menyatakan,
(Kurnia Anisah)
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................
iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ..........................................................
v
ABSTRAK .........................................................................................................
vi
ABSTRACT ........................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................
viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ..................
xi
DAFTAR ISI ......................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xv
DAFTAR TABEL .............................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xvii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................
4
1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................
5
2.1 Deskripsi Kelapa Sawit ...................................................................
5
2.1.1 Taksonomi Kelapa Sawit ......................................................
5
2.1.2 Klasifikasi Kelapa Sawit .......................................................
5
2.1.3 Penyebaran/Habitat Kelapa Sawit ........................................
6
2.2 Pirolisis ...........................................................................................
6
2.3 Asap Cair ........................................................................................
7
2.3.1 Pengertian .............................................................................
7
2.3.2 Kandungan Kimia .................................................................
8
2.3.3 Kegunaan pada Masyarakat ..................................................
9
xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4 Bakteri .............................................................................................
10
2.4.1 Struktur Bakteri.....................................................................
10
2.4.2 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan .......
13
2.5 Bakteri Uji .......................................................................................
14
2.5.1 Staphylococcus aureus ..........................................................
14
2.5.2 Pseudomonas aeruginosa .....................................................
15
2.6 Tinjauan Antibakteri .........................................................................
16
2.6.1 Aktivitas dan Spektrum Antibakteri .....................................
16
2.6.2 Mekanisme Kerja Antibakteri ...............................................
17
2.7 Antibakteri Pembanding ....................................................................
20
2.7.1 Tetrasiklin HCl ......................................................................
20
2.8 Metode Uji Antibakteri .....................................................................
21
2.8.1 Metode Difusi .......................................................................
21
2.8.2 Metode Dilusi (Pengenceran) ...............................................
22
2.9 Scanning Electron Microscope (SEM) .............................................
22
2.10. Gas Chromatography-Spectroscopy Mass (GC-MS) ....................
25
2.10.1 Prinsip Dasar GC-MS .........................................................
25
2.10.2 Proses Pemisahan pada GC-MS ..........................................
26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................
27
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...........................................................
27
3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................
27
3.2.1 Alat
.....................................................................................
27
3.2.2 Bahan .....................................................................................
28
3.3 Prosedur Kerja ...................................................................................
28
3.3.1 Penyiapan Bahan Baku ...........................................................
28
3.3.2 Pembuatan Asap Cair ..............................................................
28
3.3.3 Pemurnian Asap Cair ..............................................................
29
3.3.4 Analisis ....................................................................................
29
3.3.5 Sterilisasi Alat dan Bahan .......................................................
31
3.3.6 Pembuatan Media Pertumbuhan..............................................
31
xiii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.7 Pembuatan Larutan Uji............................................................
32
3.3.8 Pembiakan Bakteri Uji ............................................................
32
3.3.9 Persiapan Suspensi Bakteri .....................................................
32
3.3.10 Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram .......................
33
3.3.11 Pengujian Aktivitas Antibakteri dg Metode Difusi Cakram .
33
3.3.12 Pengujian Daya Hambat Antibakteri.....................................
34
3.3.13 Analisis Kerusakan Sel Menggunakan SEM ........................
35
3.3.14 Preparasi Sample (untuk Analisa GC-MS) ...........................
35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................
36
4.1 Produksi Asap Cair............................................................................
36
4.2 Analisa Sifat Fisik dan Kimia Asap Cair ..........................................
38
4.2.1 pH
....................................................................................
38
4.4.2 Bobot Jenis ..............................................................................
39
4.4.3 Total Fenol ..............................................................................
40
4.4.4 Kadar Asam .............................................................................
41
4.3 Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram ...................................
43
4.4 Pengujian Aktivitas Antibakteri Metode Cakram .............................
43
4.5 Analisa Komponen Kimia Asap Cair Menggunakan GC-MS ..........
47
4.6 Hasil Uji KHM Asap Cair Metode Dilusi .........................................
49
4.8 Analisa Morfologi Bakteri Menggunakan SEM ...............................
53
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
56
5.1 Kesimpulan........................................................................................
56
5.2 Saran ..................................................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
57
LAMPIRAN .......................................................................................................
64
xiv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Skema Alat SEM..............………………………………..
24
Gambar 2.2. Morfologi Bakteri…………………………………….......
25
Gambar 3.1. Alat Pirolisis……………..………………………….........
29
Gambar 4.1. Asap Cair yang Dihasilkan……………………………….
36
Gambar 4.2. Grafik Pengaruh Suhu Pirolisis dengan pH Asap Cair…..
38
Gambar 4.3. Grafik Bobot Jenis Asap Cair…………………………….
39
Gambar 4.4. Grafik Total Fenol Asap Cair…………………………….
40
Gambar 4.5. Reaksi Folin-Ciocalteu dengan Senyawa Fenol………….
40
Gambar 4.6. Grafik Hubungan Konsentrasi Asam Galat & Absorbansi
41
Gambar 4.7. Grafik Pengaruh Suhu Pirolisis terhadap Kadar Asam…... 41
Gambar 4.8. Grafik Perngaruh Asap Cair terhadap Zona Hambat…….. 44
Gambar 4.9. Grafik Perbandingan Nilai KHM yang Dihasilkan………
51
Gambar 4.10. Hasil Analisa Morfologi Bakteri………………………..
54
xv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Komposisi Kimia Asap Cair dan Persentasenya……………
9
Tabel 4.1. Pengaruh Suhu terhadap Rendemen dan Warna Asap Cair...
37
Tabel 4.2. Hasil Sifat-Sifat Asap Cair…………………………............
42
0
Tabel 4.3. Komponen Kimia Asap Cair Fraksi Suhu <65 C…………..
48
Tabel 4.4. Komponen Kimia Asap Cair Fraksi suhu >650C…………...
48
xvi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kerangka Penelitian………………………………………….
64
Lampiran 2. Peremajaan Bakteri Uji………………………………...........
65
Lampiran 3. Persiapan Suspensi Bakteri………………………….............
66
Lampiran 4. Penentuan Daya Hambat dengan Metode Dilusi Cair………..
67
Lampiran 5. Analisa Kerusakan Sel Menggunakan SEM………………..
68
Lampiran 6. Data dan Perhitungan % Rendemen Asap Cair………………
69
Lampiran 7. Data dan Perhitungan % Rendemen Arang Aktif…………….
70
Lampiran 8. Data dan Perhitungan Bobot Jenis Asap Cair………………... 71
Lampiran 9. Data dan Perhitungan Kadar Fenol…………………………..
72
Lampiran 10. Tabel Perhitungan Kadar Fenol……………………….. …..
74
Lampiran 11. Tabel Data dan Perhitungan Kadar Asam…………………..
75
Lampiran 12. Bakteri Uji………………………………………………….
77
Lampiran 13. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dg Difusi Cakram………….
78
Lampiran 14. Tabel Perhitungan Zona Hambat pada Difusi Cakram……..
82
Lampiran 15. Hasil Uji KHM Asap Cair dg Dilusi Cair…………………..
84
Lampiran 16. Tabel Hasil Uji Nilai KHM dg Dilusi Cair……………........
86
Lampiran 17. Perhitungan Larutan Uji KHM……………………………...
87
Lampiran 18. Kromatogram Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu <650C…….
88
Lampiran 19. Komponen Kimia Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu <650C...
89
0
Lampiran 20. Kromatogram Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu >65 C……
90
Lampiran 21. Komponen Kimia Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu >650C...
91
Lampiran 16. Alat-alat yang Digunakan………………………………….
92
xvii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia
setelah Malaysia. Proyeksi beberapa tahun ke depan diperkirakan Indonesia akan
menempati posisi pertama. Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit sangat
menjanjikan, karena permintaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang
cukup besar, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri (Anonim, 2009).
Dalam industri pengolahan minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil)
akan diperoleh limbah industri (Purwanto, 2011). Limbah industri kelapa sawit
adalah sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk dalam produk utama atau
merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan kelapa sawit. Limbah ini digolongkan
menjadi limbah padat, cair dan gas. Salah satu limbah padat pada industri kelapa
sawit adalah cangkang kelapa sawit, yang mana pemanfaatannya belum maksimal
(Elykurniati, 2011).
Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu limbah yang jumlahnya
mencapai 60% dari produksi minyak inti. Limbah cangkang kelapa sawit berwarna
hitam keabuan, bentuk tidak beraturan dan memiliki kekerasan cukup tinggi.
Pengolahan cangkang kelapa sawit sebagai arang aktif adalah salah satu cara mudah
untuk menambah nilai ekonomis (Fauzi et al., 2002)
Industri arang di Indonesia saat ini hanya mengutamakan arang sebagai
produknya, sedangkan sisanya sekitar 70-80% berupa limbah uap atau gas dibuang
bebas ke udara sebagai polutan. Upaya peningkatan nilai tambah produk dari asap
agar lebih ramah lingkungan telah dilakukan, yaitu dengan penelitian pemanfaatan
limbah asap dalam bentuk cairan yang disebut cuka kayu atau asap cair (Nurhayati et
al., 2005).
Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara
pirolisis bahan baku pengasap seperti kayu atau cangkang kelapa, lalu diikuti dengan
peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair mengandung
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1
2
senyawa-senyawa antibakteri dan antioksidan, sehingga penggunaannya sangat luas
mencakup industri makanan sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk tanaman,
bioinsektisida, pestisida, desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya (Luditama,
2006).
Sifat sebagai antibakteri ini berkaitan dengan kandungan senyawa-senyawa
dalam asap cair, yaitu fenolik, senyawa karbonil, dan asam karboksilat. Penelitian uji
daya hambat asap cair hasil pirolisis kayu pelawan (Tristania abavata) dan pengaruh
konsentrasinya terhadap pertumbuhan Eschericia coli telah dilakukan dengan metode
difusi cakram.
Menurut Yatagai (2002) dalam Nurhayati (2009), mengatakan asap cair dapat
berfungsi sebagai inhibitor, pemercepat pertumbuhan tanaman, deodorant, farmasi,
antijamur dan mikroba, pengusir binatang kecil dan minuman. Kandungan cuka kayu
sebagian besar terdiri dari air dan komponen kimia sekitar 200 jenis.
Adanya aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri telah
dibuktikan juga berdasarkan laporan Pujilestari (2007), untuk menjaga agar kualitas
ikan tetap baik, maka perlu dilakukan upaya pengawetan dan salah satu upayanya
yaitu menggunakan asap cair. Laporan lainnya oleh Eko dan Indroyono (2007) pada
Seminar Nasional Hari Pangan, teknologi yang telah dikembangkan untuk
pengawetan hasil perikanan adalah menggunakan asap cair (cuka kayu).
Beberapa penelitian tentang produksi dan penggunaan asap cair telah banyak
dilakukan antara lain isolasi dan pemurnian asap cair berbahan dasar tempurung dan
sabut kelapa secara pirolisis dan destilasi (Luditama, 2006); kemampuan
penghambatan asap cair terhadap pertumbuhan bakteri patogen dan perusak lidah sapi
(Yulistiani, dkk., 1997); kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa terhadap daya
awet
baso
ikan
(Zuraida,
2008).
Penelitian-penelitian
tersebut
semuanya
memanfaatkan asap cair dalam upaya pengawetan terhadap makanan.
Analisa komponen kimia penyusun asap cair telah dilakukan oleh beberapa
peneliti dan diketahui komponen penyusunnya antara lain fenol, 2-metoksi fenol, 1,2benzenediol, 4 metil katekol, 2,6-dimetoksi fenol, dan 3 metil-1,2-benzenediol
(Luditama, 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh Zuraida (2008), diketahui
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
komponen penyusun asap cair di antaranya fenol dan turunannya adalah fenol, 2Metilfenol,
3-metilfenol,
2,6-dimetilfenol,
2,4-dimetilfenol
dan
3-etilfenol.
Sedangkan karbonil dan asam diantaranya 1-Cyclohexene-1-carboxaldehyde, 2,3dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-hydroxy-benzoic
acid methyl ester.
Penyakit infeksi atau penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti
bakteri merupakan penyakit yang banyak ditemukan dalam masyarakat. Sebelumnya
menurut laporan Hermansyah (2009), penyakit infeksi ini menjadi penyebab
kematian terbesar pada anak-anak dan dewasa dengan jumlah kematian lebih dari 13
juta jiwa setiap tahun, menempati urutan kedua (25%) setelah kardiovaskular (31%)
dari 53,9 juta kasus penyebab kematian di dunia dan menjadi penyebab kematian
utama pada anak dibawah umur 4 tahun.
Pengobatan untuk penyakit infeksi adalah dengan pemberian agen
antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba yang
menginfeksi. Agen antimikroba (antibiotik) telah banyak ditemukan sekarang ini,
tetapi beberapa diantaranya menjadi tidak efektif digunakan (Hermansyah, 2009).
Ditemukannya jenis-jenis kuman baru, sifat-sifat yang baru dari kuman dan
jenis infeksi yang “keras kepala” atau yang tidak mau sembuh semuanya ini
merupakan bukti bahwa kuman-kuman tadi mampu mengadaptasikan diri terhadap
lingkungannya yang baru (Anonim, 1993). Oleh karena itu pencarian antimikroba
baru yang lebih efektif dan aman menjadi perlu untuk terus dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas, untuk mempertimbangkan kemungkinan aplikasi
asap cair (cuka kayu) sebagai agen antibakteri alami pada pengobatan infeksi pasien,
maka diperlukan kajian mengenai aktivitas antibakterinya. Dalam hal ini, bakteri uji
yang digunakan adalah Pseudomonas aeruginosa mewakili Gram negatif dan
Staphylococcus aureus mewakili Gram positif. Selain itu, juga perlu dilakukan
identifikasi komponen golongan senyawa kimia dalam asap cair (cuka kayu).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.2.Perumusan Masalah
1) Apakah asap cair tempurung kelapa sawit yang dipirolisis pada suhu 2002500C, 280-3500C dan >4000C memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa?
2) Apa saja komponen kimia penyusun asap cair tempurung kelapa sawit hasil
fraksinasi suhu <650C dan >650C?
3) Berapa nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) masing-masing asap cair
tempurung kelapa sawit hasil fraksinasi suhu <650C dan >650C terhadap
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa?
4) Bagaimana pengaruh pemberian asap cair tempurung kelapa sawit terhadap
morfologi Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa?
1.3.Tujuan Penelitian
1) Mengetahui aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa sawit yang
dipirolisis pada suhu 200-2500C, 280-3500C dan >4000C terhadap
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
2) Mengetahui komponen kimia penyusun asap cair tempurung kelapa sawit
hasil fraksinasi suhu <650C dan >650C.
3) Menentukan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) masing-masing asap
cair tempurung kelapa sawit hasil fraksinasi suhu <650C dan >650C terhadap
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
4) Mengetahui pengaruh pemberian asap cair tempurung kelapa sawit terhadap
morfologi Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
1.4.Manfaat Penelitian
Dapat memberikan informasi ilmiah mengenai aktivitas antibakteri
asap cair tempurung kelapa sawit terhadap Staphylococcus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa. Serta memberikan nilai ekonomi pada limbah
padat tempurung kelapa sawit dan mengurangi polutan udara dengan
pemanfaatan lebih lanjut dari limbah gas/uap hasil pembakaran tempurung
kelapa sawit.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Deskripsi Kelapa Sawit
2.1.1. Taksonomi Kelapa Sawit (Allorerung, 2010)
Kelapa sawit termasuk famili Arecaceae (dulu Palmae), sub famili Cocoideae,
genus elaies yang mempunyai 3 spesies yaitu E. guineensis Jacq, E. oleifera (HBK)
Cortes dan E. odora W. Spesies pertama adalah yang pertama kali dan terluas
dibudidayakan. Dua spesies lainnya terutama digunakan untuk menambah
keanekaragaman sumber daya genetik dalam rangka program pemuliaan. Klasifikasi
tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Divisi
: Embryophyta siphonagama
Kelas
: Angiospermae
Ordo
: Monocotyledonae
Famili
: Aracaceae (Dahulu Palmae)
Sub-famili
: Cocoideae
Genus
: Elaeis
Spesies
: E. guineensis Jacq.
2.1.2. Klasifikasi Kelapa Sawit (Allorerung, 2010)
Berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa sawit dikelompokkan dalam tiga
tipe yaitu:
a) Dura, mempunyai cangkang (tempurung) tebal 6-8 mm porsi mesokarp
terhadap buah sekitar 35-65% (dura Deli), kernel besar, tetapi minyak
terekstrak rendah, 17-19%. Cangkang tebal dura diduga dapat memperpendek
umur mesin pengolah.
b) Pisifera, tanpa cangkang, kernel kecil dengan lapisan fiber tipis, proporsi
mesokarp tinggi dan kadar minyak terekstrak tinggi, tetapi sebagian besar
betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
6
c) Tenera. Merupakan hasil silangan antara dura dan pisifera sehingga
mempunyai karakteristik gabungan antara dura dan pisifera sehingga
meminimalisir kelemahan masing-masing. Kernel berukuran sedang dengan
cangkang menjadi lebih tipis (0,5-4 mm). Proporsi mesokarp tinggi (60-95%)
dan kadar minyak 22-25%, bahkan ada yang mencapai 28%. Dengan
demikian maka hibrida tenera menjadi bahan tanam yang digunakan dalam
budidaya komersial, sedangkan dura dan pisifera terus digunakan untuk
menemukan varietas unggul baru.
2.1.3. Penyebaran/Habitat Kelapa Sawit (Pahan, 2006)
Kelapa sawit (E. guineensis) diusahakan secara komersial di Afrika, Amerika
Selatan, Asia Tenggara, Pasifik Selatan, serta beberapa daerah lain dengan skala yang
lebih kecil. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika dan Amerika Selatan, tepatnya
Brasilia. Di Brasilia, tanaman ini dapat ditemukan tumbuh secara liar atau setengah
liar di sepanjang tepi sungai. Kelapa sawit yang termasuk dalam subfamily
Cococideae merupakan tanaman asli Amerika Selatan, termasuk spesies E. oleifera
dan E. odora. Walaupun demikian, salah satu famili Cocoideae adalah tanaman asli
Afrika.
2.2.Pirolisis
Pirolisis atau pengarangan adalah suatu proses pemanasan pada suhu tertentu
dari bahan-bahan organik dalam jumlah oksigen sangat terbatas. Proses ini
menyebabkan terjadinya proses penguraian senyawa organik yang menyusun struktur
bahan membentuk metanol, uap-uap asetat, tar-tar dan hidrokarbon (Eero, 1995
dalam Indah, dkk., 2009).
Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon,
baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang menghasilkan
arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat. Umumnya, proses
pirolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 3000C dalam waktu 4-7 jam (Paris et al.,
2005 dalam Sutin 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
Pirolisis berasal dari dua kata yaitu pyro yang berarti panas dan lysis berarti
penguraian atau degradasi, sehingga pirolisis berarti penguraian biomassa karena
panas pada suhu lebih dari 1500C (Kamaruddin et al. 1999 dalam Marasabessy 2007).
Proses pirolisa melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi,
polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah:
penghilangan air dari kayu pada suhu 120-1500C, pirolisa hemiselulosa pada suhu
200-2500C, pirolisa selulosa pada suhu 280-3200C dan pirolisa lignin pada suhu
4000C. Pirolisa pada suhu 4000C ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas
organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi
kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti
kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Girrard 1992; Maga,
1988 dalam Luditama 2006).
2.3.Asap Cair
2.3.1. Pengertian
Asap cair merupakan hasil destilasi atau pengembunan dari uap hasil
pembakaran tidak langsung maupun langsung dari bahan yang banyak mengandung
karbon serta senyawa-senyawa lain, bahan baku yang banyak digunakan adalah kayu,
bongkol kelapa sawit, ampas hasil penggergajian kayu, dll (Amritama, 2007).
Menurut Simon et al. (2005) asap cair diperoleh dengan teknis pirolisis, dimana
senyawa-senyawa yang menguap secara simultan akan ditarik dari zona panas dan
akan berkondensasi pada sistem pendingin. Sedangkan menurut Darmadji (1995)
asap cair merupakan hasil kondensasi dari pirolisis kayu yang mengandung sejumlah
besar senyawa yang terbentuk akibat proses pirolisis konstituen kayu seperti
sellulosa, hemisellulosa dan lignin. Hasil pirolisis dari senyawa sellulosa,
hemisellulosa dan lignin diantaranya akan menghasilkan asam organik, fenol,
karbonil (Himawati, 2010; Marasabessy, 2007).
Asap cair merupakan dispersi uap dalam cairan sebagai hasil kondensasi asap
dari pirolisa kayu, batok kelapa dan cangkang kelapa sawit. Asap yang dihasilkan
dari pirolisis kemudian dikondensasi sehingga diperoleh asap cair. Cairan yang
dihasilkan mengandung senyawa fenol, asam, karbonil, senyawa tar, air dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
benzopiren (Indah, dkk., 2009). Cuka kayu (asap cair) sangat asam, cairan bening
dengan warna kekuningan atau kecoklatan (Gunarso, dkk., 2009).
2.3.2. Kandungan Kimia
Menurut Gunarso, dkk., (2009) cuka kayu sangat asam, cairan bening dengan
warna kekuningan atau kecoklatan mengandung asam asetat (asam cuka) sebagai
komponen utamanya dan lebih dari 200 jenis senyawa organik lainnya. Cairan ini
dapat digunakan sebagai pupuk alami, pengganti sempurna untuk bahan kimia sintetis
dan dapat digunakan untuk sayuran, bunga dan pohon. Hasil dari analisa cuka kayu
menunjukkan beberapa zat penting. Kisaran berikut ini tercatat untuk asam asetat
(3,359 hingga 7,112 ppm), o-cresol (2,267 hingga 4,686 ppm), p-cresol (1,742 hingga
4,269 ppm), aseton (2,125 hingga 4,206 ppm), metanol (1,712 hingga 3,378 ppm) dan
fenol (1,539 hingga 3,636 ppm).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Luditama (2006) terhadap
komponen asap cair dari sabut dan tempurung kelapa menggunakan GC-MS, hasil
yang dominan pada masing-masing asap cair adalah senyawa fenol dengan luas area
yang bervariasi antara 31,93-44,30%. Dimana luas area tertinggi di dapat dari pada
hasil pirolisis sabut kelapa pada suhu 5000C. Senyawa dominan lainnya yaitu 2,6dimetoksi fenol dan 1,2,-benzenediol dengan luas area yang juga bervariasi
tergantung dari masing-masing sampel dan suhu yang digunakan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sutin (2008) juga terhadap
komponen asap cair hasil fraksinasi dari tempurung dan serabut kelapa dengan
instrumen GC-MS didapatkan hasil fenol tertinggi fraksinasi yaitu tempurung kelapa
fraksi n-heksan kandungan fenol 19,28%; fraksi tempurung kelapa-etil asetat
kandungan fenol 30,26%; fraksi tempurung kelapa-metanol adalah 2-metilpropil ester
asam butanoit 30,76%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
Tabel 2.1. Komposisi kimia asap cair dan presentasenya
Komposisi Kimia
Kandungan (%)
Air
11-92
Fenol
0,2-2,9
Asam
2,8-4,5
Karbonil
2,6-4,6
Ter
1-17
Sumber: Maga, 1988
Menurut Zaitsev, et al. 1969 (dalam Luditama, 2006) mengemukakan bahwa
asap mengandung beberapa zat antimikroba, antara lain:
a) Asam dan turunannya: format, asetat, butirat, propionat, metal ester.
b) Alkohol: metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol.
c) Aldehid: formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural.
d) Hidrokarbon: silene, kumene, dan simene.
e) Keton: aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil keton.
f) Fenol
g) Piridin dan metil piridin.
Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol
dan asam asetat, dan peranannya semakin meningkat apabila kedua senyawa tersebut
ada bersama-sama (Darmadji, 1995 dalam Luditama, 2006).
2.3.3. Kegunaan pada Masyarakat
Beberapa manfaat dari asap cair, antara lain dapat digunakan sebagai
insektisida dan herbisida organik. Hal ini berarti pemanfaatan asap cair sebagai
insektisida akan lebih aman bagi lingkungan (Iskandar, 2005). Menurut Yatagai
(2002) cuka kayu juga berperan sebagai pemercepat pertumbuhan tanaman yaitu
komponen asam, metanol, furfural dan sebagai inhibitor dari komponen fenol, asam,
guaikol. Pada masyarakat di daerah pesisir pantai, cuka kayu juga dimanfaatkan
untuk menjaga kualitas ikan agar tetap baik yaitu menghambat proses pembusukan,
namun ikan masih tetap aman dikonsumsi (Pujilestari, 2007) selain itu produk ikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
yang dihasilkan memiliki rasa yang tidak berbeda jauh dengan rasa aslinya (Eko,
2007).
2.4.Bakteri
Bakteri merupakan organisme prokariota yang strukturnya lebih sederhana
dari eukariota. Perbedaan primer yang khas dari prokariota adalah ukurannya yang
relatif kecil, biasanya kurang lebih berdiameter 1 m dan tidak ada selaput inti
(Anonim, 1993; Gillespie, 2007).
2.4.1. Struktur Bakteri
a) Inti/Nukleus: Inti bersifat Feulgen positif, suatu tanda adanya DNA. Badan
inti tidak mempunyai dinding inti/membran inti. Di dalamnya terdapat benang
DNA (DNA fibril) yang bila terekstraksi, berupa molekul tunggal dan utuh
dari DNA dengan berat molekul 2-3 x 109. Benang DNA ini disebut
kromosom yang panjangnya kira-kira 1 mm. Jumlah salinan kromosom ini
bergantung pada stadium siklus sel (Jawetz, dkk., 2005; Anonim, 1993)
b) Struktur Sitoplasma: Sel prokariota tidak memiliki plastid otonom, seperti
mitokondria atau kloroplas sehingga enzim-enzim untuk transpor elektron
tidak bekerja di membran sel melainkan bekerja pada lamellae yang berada di
bawah membran sel. Bakteri menyimpan pula makanan cadangannya dalam
bentuk granula sitoplasma. Granula sitoplasma pada beberapa jenis bakteri
menyimpan pula sulfur, fosfat anorganik yang disebut granula volutin dan
granula pada jenis kuman korinebakteria disebut granula metakromatik
(Jawetz, dkk., 2005; Anonim, 1993)
c) Membran Sitoplasma: Disebut juga membran sel yang komposisinya terdiri
dari fosfolipid dan protein. Selaput prokariot berbeda dengan selaput sel
eukariotik karena tidak memiliki sterol, satu-satunya pengecualian adalah
genus mikoplasma. Di tempat-tempat tertentu pada membran sitoplasma
terdapat cekungan/lekukan ke dalam (convulated invagination) yang disebut
mesosom (Jawetz, dkk., 2005; Anonim, 1993).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
Ada 2 jenis mesosom:
i. Septal mesosom yang berfungsi dalam pembelahan sel dan tempat
melekatnya kromosom bakteri (DNA).
ii. Lateral mesosom.
Fungsi utama membran sitoplasma:
i. Menjadi tempat transport bahan makanan secara selektif
ii. Pada spesies kuman aerob, sitoplasma merupakan tempat transport
elektron dan oksidasi-fosforilasi
iii. Tempat ekspresi bagi eksoenzim yang hidrolitik
iv. Mengandung enzim dan molekul-molekul yang berfungsi pada
biosintesis DNA, polimerisasi dinding sel dan lipid membran atau
disebut juga dengan fungsi biosintetik
v. Mengandung reseptor dan protein untuk sistem kemotaktik
d) Dinding Sel: Lapisan pembungkus sel yang terletak antara selaput sitoplasma
dan simpai secara kolektif disebut “dinding sel”. Tekanan osmotik di dalam
bakteri berkisar antara 5-20 atmosfir, hal ini disebabkan karena adanya
transport aktif yang menyebabkan tingginya konsentrasi larutan di dalam sel.
Karena adanya dinding sel kuman yang relatif sangat kuat, maka meskipun
tekanan osmotiknya tinggi, sel kuman tidak pecah. Dinding sel tersebut terdiri
dari lapisan peptidoglikan. Pada bakteri Gram-positif, dinding sel terutama
terdiri atas peptidoglikan yang tebal dan asam teikoat. Pada Gram-negatif,
dinding sel terdiri atas peptidoglikan yang lebih tipis dan selaput lendir
(Jawetz, dkk., 2005; Anonim, 1993)
Fungsi lain dari membran sel selain menjaga osmotik, adalah:
i. Dinding sel memegang peranan penting dalam proses pembelahan sel.
ii. Dinding sel melaksanakan sendiri biosintesa untuk membentuk
dinding sel.
iii. Berbagai lapisan tertentu pada dinding sel merupakan determinan dari
antigen permukaan kuman.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
iv. Pada kuman Gram negatif, salah satu lapisan dinding sel mempunyai
aktivitas endotoksin yang tidak spesifik, yaitu lipopolisakarida (LPS).
e) Flagel: Flagel bakteri merupakan alat tambahan pada sel yang menyerupai
benang dan seluruhnya terdiri atas protein, dengan garis tengah 12-30 nm.
Flagel merupakan organ pergerakan (lokomasi) bakteri, membuat organisme
mampu untuk menemukan sumber nutrisi dan menembus mucus pejamu.
Flagel bakteri terdiri atas suatu jenis subunit protein, yang dinamakan flagelin.
Flagel dapat tunggal atau multipel, dapat berada di salah satu ujung sel atau di
banyak tempat. Berdasarkan susunannya tersebut, flagel dikenal ada 3 jenis:
i. Monotrika (flagel tunggal dan terdapat di bagian ujung kuman)
ii. Lofotrika (lebih dari satu flagel di satu bagian polar kuman)
iii. Peritrika (flagel terdapat di seluruh sisi sel)
f) Pili (Fimbria): Banyak bakteri Gram negatif memiliki tonjolan pada
permukaan sel yang kaku yang dinamakan pili atau fimbria. Pili lebih pendek
dan lebih halus daripada flagel, dan terdiri atas subunit-subunit protein yang
disebut pilin. Terdapat 2 kelas pili:
i. Pili biasa, yang memegang peranan dalam perlekatan bakteri simbiosis
pada sel inang
ii. Pili seks, yang bertanggung jawab atas perlekatan antara sel donor dan
penerima pada konjugasi bakteri
g) Virulensi bakteri patogen tertentu tidak hanya bergantung pada produksi
toksin tetapi juga pada “antigen kolonisasi”, yang sekarang dikenal sebagai
pili biasa yang memberikan sifat-sifat perlekatan pada sel (Jawetz, dkk., 2005;
Anonim, 1993).
h) Endospora: Anggota beberapa genus bakteri dapat membentuk endospora.
Pada beberapa kuman akan mengadakan diferensiasi membentuk spora bila
keadaan lingkungannya menjadi jelek, misalnya bila medium disekitarnya
kekurangan nutrisi. Spora merupakan sel istirahat yang sangat tahan terhadap
kekeringan, panas, dan zat-zat kimiawi. Bila keadaan lingkungan makanan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
menguntungkan kembali bagi kehidupan sel, spora akan berkecambah dan
menghasilkan satu sel vegetatif (Jawetz, dkk. 2005; Anonim, 1993).
2.4.2. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Medium pertumbuhan yang baik harus mengandung seluruh nutrien yang
dibutuhkan oleh organisme untuk perkembangbiakannya, dan sejumlah faktor seperti
pH, temperatur, dan kekuatan osmotik harus benar-benar dikontrol.
a) Nutrien: pada umumnya nutrien yang harus ada hidrogen donor dan penerima:
sekitar 2g/L, sumber karbon: sekitar 1 g/L, sumber nitrogen: sekitar 1 g/L,
mineral: belerang dan fosfor masing-masing sekitar 50 mg/L; elemen trace
masing-masing 0,1-1 mg/L, faktor pertumbuhan: asam amino, purin,
pirimidin, masing-masing sekitar 50 mg/L; vitamin masing-masing 0,1-1
mg/L. Pada banyak organisme, senyawa tunggal (seperti asam amino) dapat
bertindak sebagai sumber energi, sumber karbon, dan sumber nitrogen;
organisme lainnya membutuhkan senyawa berbeda untuk masing-masing
sumber tadi. Jika bahan alami seperti media nonsintetik tidak mencukupi
suatu nutrien tertentu, maka harus ditambahkan (Jawetz, dkk., 2005).
b) Konsentrasi ion hidrogen (pH): kebanyakan organisme memiliki kisaran pH
optimal yang sempit. Secara empirik pH optimal harus ditentukan untuk
masing-masing spesies. Kebanyakan organisme neutrofil tumbuh dengan baik
pada pH 6,0-8,0 meskipun beberapa bentuk (asidofil) memiliki pH optimal
serendah 3,0 dan yang lainnya (alkalofil) memiliki pH optimal setinggi 10,5
(Jawetz, dkk., 2005).
c) Suhu: Spesies mikroba yang berbeda membutuhkan suhu optimal yang amat
seragam untuk pertumbuhannya, misal pada bentuk psikrofilik tumbuh paling
baik pada suhu rendah (15-200C); bentuk mesofilik tumbuh baik pada suhu
30-370C; dan bentuk termofilik tumbuh paling baik pada suhu 50-600C.
Hubungan antara suhu dan laju pertumbuhan untuk setiap mikroorganisme
terlihat sebagai kurva Arrhenius yang khas. Arrhenius memperlihatkan bahwa
logaritma kecepatan suatu reaksi kimia (log k) adalah fungsi linear yang
berbanding terbalik dengan suhu (1/T). Disamping pengaruhnya pada laju
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
pertumbuhan, suhu yang ekstrem akan membunuh mikroorganisme. Panas
ekstrem digunakan untuk mensterilkan preparat; suhu dingin yang ekstrem
juga membunuh sel-sel bakteri (Jawetz, dkk., 2005).
d) Kekuatan Ionik dan Tekanan Osmotik: Kebanyakan bakteri mampu
mentoleransi kisaran tekanan osmotik dan kekuatan ionik ekstrenal yang besar
karena kemampuan mereka untuk mengatur osmolalitas dan konsentrasi ion
internal. Osmolalitas diatur oleh transport aktif ion K+ ke dalam sel; kekuatan
ionik internal dijaga tetap konstan oleh ekskresi kompensasi poliamin organik
yang bermuatan positif (Jawetz, dkk., 2005).
2.5.Bakteri Uji
2.5.1. Staphylococcus aureus
Stafilokokus adalah sel Gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam
rangkaian tak beraturan seperti anggur. Beberapa diantaranya tergolong flora normal
pada kulit dan selaput mukosa manusia. Genus Staphylococcus lebih dari 26 spesies.
Staphylococcus aureus merupakan bentuk koagulase positif. S aureus merupakan
patogen utama bagi manusia. Hampir setiap orang akan mengalami beberapa tipe
infeksi S aureus sepanjang hidupnya, bervariasi dalam beratnya, mulai dari keracunan
makanan atau infeksi kulit ringan sampai berat yang mengancam nyawa.
a) Klasifikasi (Paul, 2008)
Kingdom
: Eubacteriales
Divisi
: Firmicutes
Klas
: Bacili
Ordo
: Bacillales
Famili
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Spesies
: Staphylococcus aureus
b) Morfologi dan Identifikasi: Berbentuk bulat atau lonjong, tidak bergerak,
merupakan Gram positif dengan ukuran  0,8 mikron. Umumnya bergerombol
seperti buah anggur. Bilamana ditanam dalam perbenihan agar, terlihat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
koloni-koloni yang dari atas terlihat bundar dan dari sisi meninggi. Koloni
berwarna kuning tua atau seperti emas.
c) Infeksi: Stafilokokus adalah anggota flora normal pada kulit manusia, saluran
pernafasan dan saluran pencernaan. Infeksi lokal stafilokokus muncul sebagai
suatu “pimple”, infeksi folikel rambut, atau abses. Biasanya reaksi peradangan
berlangsung hebat, terlokalisasi, dan nyeri, yang mengalami pernanahan
sentral dan sembuh dengan cepat bila nanah dikeluarkan. Infeksi S aureus
dapat juga disebabkan oleh kontaminasi langsung pada luka, misalnya pada
infeksi luka paska bedah. Keracunan makanan yang disebabkan enterotoksin
stafilokokus ditandai oleh masa inkubasi yang pendek (1-8 jam); rasa mual,
muntah-muntah, dan diare yang hebat, dan penyembuhan yang cepat. Tidak
ada demam.
2.5.2. Pseudomononas aeruginosa
P. aeruginosa bersifat invasif dan toksigenik, mengakibatkan infeksi pada
pasien dengan penurunan daya tahan tubuh, dan merupakan patogen nosokomial yang
penting. Pseudomonas merupakan bakteri Gram-negatif, motil, dan aerobik.
Pseudomonas aeruginosa sering ada dalam jumlah sedikit pada flora normal usus dan
kulit manusia.
a) Klasifikasi (Kaushik, 2009)
Kingdom
: Procaryotae (Bacteria)
Filum
: Proteobacteria
Klas
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Pseudomonadales
Famili
: Pseudomonadaceae
Genus
: Pseudomonas
Spesies
: Pseudomonas aeruginosa
b) Morfologi: P. aeruginosa dapat bergerak dan berbentuk batang, ukurannya
0,6 x 2 m. Merupakan Gram negatif dan terlihat sebagai bentuk tunggal,
ganda dan kadang-kadang dalam rantai pendek.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
c) Infeksi: Menyebabkan infeksi pada luka dan luka bakar, menghasilkan nanah
warna hijau biru; meningitis jika masuk melalui fungsi lumbal; dan infeksi
saluran kencing jika masuk melalui kateter dan istrumen atau karena larutan
irigasi. Penyerangan pada saluran nafas, khususnya respirator yang tercemar,
mengakibatkan pneumonia nekrotika. Sebagian besar infeksi P. aeruginosa,
gejala dan tandanya tidak spesifik dan berkaitan dengan organ yang terserang.
2.6.Tinjauan Antibakteri
Antibakteri ialah obat pembasmi bakteri, khususnya bakteri yang merugikan
manusia. Antibakteri adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh organisme
hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur analognya yang dibuat secara sintetik,
dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu
spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono, 2000). Obat antibakteri yang ideal
memperlihatkan toksisitas selektif. Istilah ini berarti bahwa obat ini merugikan
bakteri tanpa merugikan inang. Obat antibakteri sering mempunyai aktivitas sebagai
bakteriostatik dan bakterisidal.
2.6.1. Aktivitas dan Spektrum Antibakteri
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibakteri yang bersifat menghambat
pertumbuhan bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik (L. statis =
menghentikan). Lebih jauh, efeknya dapat berubah: Apabila obat dihilangkan,
organisme akan tumbuh kembali, dan infeksi atau penyakit akan kambuh. Obat
bakteriostatik yang khas adalah tetrasiklin dan sulfonamida (Katzung, 1998; Hoan,
2010).
Antibakteri yang bersifat membunuh bakteri, dikenal sebagai aktivitas
bakterisid (L. caedere = mematikan). Obat bakterisidal yang khas adalah beta laktam
(penisilin, sefalosoporin) dan aminoglikosida (Katzung, 1998). Kadar minimal yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masingmasing dikenal sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal
(KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi
bakterisid bila kadar antibakterinya ditingkatkan melebihi KHM (Anonim, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Sifat antibakteri dapat berbeda satu dengan lainnya. Misalnya, penisilin G
bersifat aktif utama terhadap bakteri Gram positif, sedangkan bakteri Gram negatif
pada umumnya tidak peka (resisten) terhadap penisilin G. Berdasarkan perbedaan
sifat ini antibakteri dibagi menjadai dua kelompok, yaitu berspektrum sempit (narrow
spectrum), misalnya benzil penisilin dan streptomisin, dan berspektrum luas (broad
spectrum) umpamanya tetrasiklin dan kloramfenikol.
Walaupun suatu antibakteri berspektrum luas, efektivitas kliniknya belum
tentu seluas spektrumnya sebab efektivitas maksimal diperoleh dengan menggunakan
obat terpilih untuk infeksi yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap
mikroba lain.
2.6.2. Mekanisme Kerja Antibakteri
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi dalam 5 kelompok:
a) Mekanisme kerja antibakteri melalui penghambatan sintetis dinding sel
Bakteri mempunyai lapisan luar yang rigid, yakni dinding sel.
Mempertahankan bentuk mikroorganisme dan pelindung sel bakteri, yang
mempunyai tekanan osmotik internal yang tinggi. Tekanan internal tersebut
tiga hingga lima kali lebih besar pada bakteri Gram positif dibandingkan pada
bakteri Gram negatif. Trauma pada dinding sel (misal, oleh lisozim) atau
penghambatan pembentukannya, menimbulkan lisis pada sel (Jawetz, dkk.,
2005).
Dinding sel berisi polimer mukopeptida kompleks (peptidoglikan)
yang secara kimia berisi polisakarida dan campuran rantai polipeptida yang
tinggi. Polisakarida berisi gula amino N-asetilglukosamin dan asam
asetilmuramat. Asam asetilmuramat hanya ditemui pada bakteri. Pada gula
amino melekat rantai peptida pendek. Kekerasan dinding sel disebabkan oleh
hubungan saling silang rantai peptida sebagai hasil reaksi transpeptidase yang
dilakukan oleh beberapa enzim. Lapisan peptidoglikan kebanyakan lebih tebal
pada Gram positif dibandingkan Gram negatif (Jawetz, dkk., 2005).
Semua penisilin dan sefalosporin (antibiotik β-laktam) adalah
penghambat selektif sintesis dinding sel bakteri dengan cara penghambatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
pada enzim transpeptidase. Penghambatan enzim transpeptidase oleh penisilin
dan sefalosporin dapat pula akibat struktur obat tertentu serupa dengan asil Dalanil D-alanin.
Beberapa obat, termasuk basitrasin, vankomisin, dan ristosetin
menghambat tahap awal dalam biosintetis peptidoglikan. Karena stadium
awal sintetis terjadi di dalam membran sitoplasma, maka obat ini harus
menembus membran agar efektif. Sikloserin, suatu analog D-alanin, juga
mempengaruhi sintesi peptidoglikan. Obat ini menghambat kerja alanin
rasemase, suatu enzim yang penting dalam penggabungan D-alanin dalam
pentapeptida peptidoglikan (Katzung, 1998).
b) Kerja antibakteri melalui penghambatan fungsi membran sel
Sitoplasma semua sel hidup diliputi oleh membran sitoplasma, yang
bertindak sebagai sawar permeabilitas yang selektif, melakukan fungsi
transport aktif, dan mengontrol komposisi dalam sel. Jika integritas fungsional
membran sitoplasma rusak, makromolekul dan ion lolos dari sel, dan sel rusak
atau terjadi kematian. Contoh untuk mekanisme ini adalah kerja polimiksin
sebagai senyawa ammonium-kuatener pada bakteri Gram negatif (polimiksin
secara selektif bekerja pada membran yang kaya fosfatidil etanolamin dan
bekerja sebagai detergen kationik) (Katzung, 1998; Anonim, 2007; Jawetz,
2005).
c) Kerja antibakteri melalui penghambatan sintetis protein
Obat yang termasuk dalam golongan ini ialah golongan aminoglikosid,
makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya, sel
mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di
ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas
dua sub unit, yang berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai
ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi pada sintetis protein, kedua komponen
ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribososm 70S.
penghambatan sintetis protein terjadi dengan berbagai cara (Anonim, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Streptomisin
berikatan
dengan
komponen
ribosom
30S
dan
menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintetis
protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional
bagi sel mikroba. Antibiotik aminoglikosida lainnya yaitu gentamisin,
kanamisin, dan neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama.
Eritromisin berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat
translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida.
Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam
amino tidak dapat menerima kompleks tRNA-asam amino yang baru.
Linkomisin juga berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat sintesis
protein. Tetrasiklin berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi
masuknya
kompleks
tRNA-asam
amino
pada
lokasi
asam
amino.
Kloramfenikol berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat pengikatan
asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil transferase
(Anonim, 2007).
d) Kerja antibakteri melalui penghambatan sintesis asam nukleat
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah aktinomisin,
rifampisin, Mitomisin, Kuinolon dan Flourokuinolon, dll. Aktinomisin
membentuk kompleks dengan DNA oleh pengikat residu deoksiguanosin.
Kompleks DNA-Aktinomisin menghambat RNA polymerase yang bergantung
pada DNA dan menghambat pembentukan mRNA. Aktinomisin juga
menghambat replikasi virus DNA. Mitomisin menyebabkan ikatan silang
yang kuat pada pelengkap DNA dan kemudian menghambat replikasi DNA.
Rifampisin menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengikat secara
kuat pada RNA polymerase yang bergantung pada DNA bakteri. Semua
kuinolon dan flourokuinolon adalah penghambat kuat sintesis asam nukleat.
Obat ini menghambat kerja DNA girase (topoisomerase II), merupakan enzim
yang bertanggungjawab pada terbuka dan tertutupnya lilitan DNA (Katzung,
1998; Anonim, 2007).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
e) Kerja antibakteri yang menghambat metabolisme sel bakteri
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamida,
terimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme
kerja ini diperoleh efek bakteriostatik. Bakteri membutuhkan asam folat untuk
kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan mamalia yang mendapatkan asam
folat dari luar, kuman pathogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam
amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila sulfonamida atau
sulfon menang dalam bersaing dengan PABA untuk diikutsertakan dalam
pembentukan asam folat, maka terbentuk analog asam folat yang
nonfungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu. Berdasarkan
sifat kompetisi, efek sulfonamida dapat diatasi dengan meningkatkan kadar
PABA.
PAS merupakan analog PABA, dan bekerja dengan menghambat
sintesis asam folat pada M tuberculosis. Sulfonamid tidak efektif terhadap M
tuberculosis (Anonim, 2007).
2.7.Antibakteri Pembanding
2.7.1. Tetrasilin HCl (Depkes, 1995)
Karakteristik
tetrasiklin
yang
digunakan
sebagai
antibakteri
pembanding adalah sebagai berikut:
a) Deskripsi: Tetrasiklin HCl mempunyai potensi tidak kurang dari 900 g
C22H24N2O8HCl per mg
b) Rumus Kimia: C22H24N2O8HCl  480,90
c) Pemerian: Serbuk hablur, kuning, tidak berbau, agak higroskopis. Stabil di
udara tetapi pada pemaparan terhadap cahaya matahari yang kuat dalam udara
lembab menjadi gelap. Dalam larutan dengan pH lebih kecil dari 2, potensi
berkurang dan cepat rusak dalam larutan alkali hidroksida.
d) Kelarutan: Larut dalam air, dalam larutan alkali hidroksida dan dalam larutan
karbonat. Sukar larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam kloroform dan
dalam eter.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
e) Spektrum Antibakteri: Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas
yang meliputi kuman Gram-positif dan Gram-negatif, aerobik dan an-aerobik.
Efektivitasnya tinggi terhadap infeksi batang Gram-negatif seperti Brucella,
Pseudomonas pseudomallei, dan Fusobacterium. Tetrasiklin juga merupakan
obat yang sangat efektif untuk infeksi Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
trachomatis dan berbagai riketsia (Anonim, 2007).
f) Farmakodinamik: Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri
pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik
ke dalam ribosom bakteri Gram negatif; pertama secara difusi pasif melalui
kanal hidrofilik, kedua melalui sistem transport aktif. Setelah masuk antibiotik
berikatan secara reversibel dengan ribosom 30S dan mencegah ikatan t-RNAaminoasil
pada
kompleks
mRNA-ribosom.
Hal
tersebut
mencegah
perpanjangan rantai peptida yang sedang tumbuh dan berakibat terhentinya
sintesis protein (Anonim, 2007).
2.8.Metode Uji Antibakteri
Potensi
dari suatu antibakteri
diperkirakan
dengan
membandingkan
penghambatan pertumbuhan terhadap mikroorganisme yang sensitif dari hasil
penghambatan suatu konsentrasi antibiotik uji dibandingkan dengan antibiotik
referensi. Penentuan aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu
metode difusi dan metode dilusi.
2.8.1. Metode Difusi
Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan,
metode difusi dapat dilakukan 3 cara yaitu metode silinder, lubang dan
cakram.
i. Metode silinder yaitu meletakkan beberapa silinder yang terbuat dari
gelas atau besi tahan karat di atas media agar yang telah diinokulasi
dengan bakteri. Tiap silinder ditempatkan sedemikian rupa hingga
berdiri di atas media agar, diisi dengan larutan yang akan di uji dan
diinkubasi. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk
melihat ada tidaknya daerah hambatan di sekeliling silinder.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
ii. Metode sumuran yaitu membuat sumuran pada agar padat yang telah
diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak sumuran disesuaikan
dengan tujuan penelitian, kemudian sumuran diisi dengan larutan yang
akan diuji. Setelah diinkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk
melihat ada tidaknya daerah hambatan disekeliling sumuran.
iii. Difusi cakram yaitu dengan menginokulasi pelat agar dengan biakan
dan membiarkan zat yang memiliki potensi antibakteri berdifusi ke
media agar. Cakram yang telah mengandung zat antibakteri di
letakkan di permukaan pelat agar yang mengandung organisme yang
diuji. Konsentrasi menurun sebanding dengan luas bidang difusi. Pada
jarak tertentu pada cakram, antibakteri berdifusi sampai pada titik zat
antibakteri tersebut tidak lagi menghambat pertumbuhan mikroba.
Efektivitas zat antibakteri ditunjukkan oleh zona hambat. Zona hambat
tampak sebagai area jernih atau bersih yang mengelilingi cakram
tempat zat dengan aktivitas antibakteri terdifusi. Diameter zona dapat
diukur dengan penggaris (Harmita, 2008).
2.8.2. Metode Dilusi (Pengenceran)
Mengencerkan zat antibakteri dan dimasukkan ke dalam tabungtabung reaksi steril. Ke dalam masing-masing tabung itu ditambahkan
sejumlah mikroba uji yang telah diketahui jumlahnya. Pada interval waktu
tertentu, dilakukan pemindahan dari tabung reaksi ke dalam tabung-tabung
berisi media steril yang lalu diinkubasikan dan diamati penghamabatan
pertumbuhan (Kusmiyati, 2007). Metode
ini
berdasarkan
hambatan
pertumbuhan biakan mikroorganisme dalam larutan zat antibakteri dalam
media cair (Harmita, 2008).
2.9. Scanning Electron Microscope (SEM)
SEM (Scanning Electron Microscope) adalah alat yang digunakan untuk
mempelajari morfologi permukaan/ukuran butiran. SEM adalah sebuah instrument
berkekuatan besar dan sangat handal yang dipadukan dengan EDX (Energy X-Ray
Spectroscopy) sehingga dapat digunakan untuk memeriksa, observasi, dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
karakterisasi struktur terkecil benda-benda padat dari material organik maupun
anorganik yang heterogen serta permukaan bahan dengan skala mikrometer bahkan
sampai sub-mikrometer yang menggunakan sumber medan emisi dan mempunyai
resolusi gambar 1,5 nm (Abdullah, 2012; Fitriana, 2010).
Salah satu penggunaan instrumen SEM adalah untuk mendapatkan gambar
topografi dalam rentang pembesaran 10-10.000X. Selain itu juga dapat menentukan
sifat dari bahan yang diuji baik sifat fisik, kimia maupun mekanis sehingga
didapatkan informasi mengenai ukuran partikel dari mikrostruktur yang terbentuk dan
komposisi unsurnya (Fitriana, 2010; Liani, 2012).
Penampakan tiga dimensi dari bayangan yang diperoleh berasal dari kedalaman
yang besar yang ditembus oleh medan SEM. Jenis-jenis sinyal hasil dari interaksi
antara berkas elektron dengan sampel diantaranya adalah electron secunder, electron
backscattered, karakteristik x-ray dan foton lain. Untuk SEM, signal yang sangat
penting adalah electron sekunder dan electron backscattered karena kedua signal ini
bervariasi sebagai akibat dari perbedaan topografi permukaan manakala berkas
elektron tersebut mengenai permukaan sampel (Goldstein et al., 2003; Febriana,
2012).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
Gambar 2.1. Skema Alat SEM
Berikut perbandingan morfologi bakteri yang diamati dengan SEM
membandingkan bakteri kontrol dengan bakteri yang telah diberi perlakuan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 2.2. Morfologi Bakteri (a) Staphylococcus aureus kontrol (b) Staphyloccus aureus dengan
perlakuan 5% ekstrak etanol biji melinjo (c) Pseudomonas aeruginosa kontrol (d) Pseudomonas
aeruginosa dengan perlakuan 5% ekstrak etanol kulit melinjo (Sumber gambar Jan, 2011;
http://www.sciencephoto.com)
2.10. Gas Chromatography – Spectroscopy Mass (GC-MS)
2.10.1. Prinsip Dasar GC-MS
Gas Chromatography-Spectroscopy Mass adalah teknik analisis yang
menggabungkan dua metode analisis yaitu Gas Chromatography dan Mass
Spectroscopy. Gas Chromatography merupakan suatu teknik pemisahan fisik karena
memanfaatkan perbedaan kecil sifat-sifat fisik dari komponen-komponen yang akan
dipisahkan. Suatu pemisahan fisik dari campuran zat-zat kimia berdasarkan pada
perbedaan migrasi dari masing-masing komponen campuran yang terpisah pada fase
diam dibawah pengaruh fase gerak. Sedangkan Mass Spectroscopy adalah metode
analisis, dimana sampel yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan
massa dari ion-ion tersebut di ukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa.
Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen yang diinginkan,
sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai detektor) akan dapat
mengidentifikasi komponen tersebut, karena bisa membaca spektrum bobot molekul
pada suatu komponen, juga terdapat reference pada software (Lingga, 2004 dalam
Ningtyas, 2010; Khamsatul, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
Gas Chromatography adalah teknik kromatografi yang bisa digunakan untuk
memisahkan senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa yang dapat dipisahkan
dengan Gas Chromatography sangat banyak, namun ada batasan-batasannya.
Senyawa tersebut harus mudah menguap dan stabil pada temperatur pengujian,
utamanya dari 500-3000C. Jika senyawa tidak mudah menguap atau tidak stabil pada
temperatur pengujian, maka senyawa tersebut bisa diderivatisasi agar dapat dianalisis
dengan Gas Chromatography (Hasanah, dkk., 2012).
2.10.2. Proses Pemisahan pada GC-MS
Pemisahan komponen senyawa dalam GC-MS terjadi di dalam kolom
(kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam
adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase gerak adalah gas pembawa
(Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian tinggi, yaitu  99,995%). Proses
pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul di
dalam kolom. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan afinitas antar
molekul dengan fase diam yang ada di dalam kolom. Selanjutnya komponenkomponen yang telah dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi
sebagai detektor secara instrumentasi, MS adalah detektor bagi GC (Hermanto,
2008).
Gas Chromatography dengan teknik pemisahan dimana solut-solut yang
mudah menguap dan stabil terhadap pemanasan akan bermigrasi melalui kolom yang
merupakan fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada ratio
distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik
didihnya. Pemisahan pada Gas Chromatography didasarkan pada titik didih suatu
senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan
fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom yang
akan dihantarkan ke detektor. Penggunan suhu yang meningkat bertujuan untuk
menjamin bahwa solut akan menguap dan akan cepat terelusi, suhu yang biasa
digunakan berkisar 500-3500C (Sudjadi, 2007 dalam Fitriana, 2010).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian mulai dilakukan bulan Maret-Juni 2014 di Laboratorium
Mikrobiologi Puslit Biomaterial LIPI Cibinong dan Pusat Laboratorium Terpadu
(PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2.Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Peralatan gelas, pH meter (Eutech Instrumen Cyberscan pH 110), alat
produksi asap cair (tanpa merk), refrigerator, vaccum destilasi, cawan
penguap, jarum ose, kapas, kain kasa, spatula, mikropipet, bunsen, pinset,
alumunium foil, tangas air, timbangan analitik (Boeco Germany), kertas
saring (Whatman paper), shaker incubator (WiseCube Wisd), Laminar Air
Flow (LAF), sentrifugasi, jangka sorong, spektrofotometer, Scanning Electron
Microscopy (SEM), vortex shaker (Vortex Mixer), buret titrasi, piknometer,
oven, labu ukur, tabung reaksi, autoklaf, kertas cakram (Advantec), Gas
Chromatography-Mass Spectrofotometer, Mikroskop (Olympus CX21).
3.2.2. Bahan
Bahan uji: 2 kg Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis gueensis Jacq.) yang sudah
dikecilkan ukurannya diperoleh dari salah satu perkebunan kelapa sawit di
Garut sudah dipisahkan dari serabutnya yang akan dipirolisis menjadi asap
cair.
Bakteri uji: Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri Staphylococcus aureus
ATCC 25923 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 yang diperoleh dari
koleksi
Laboratorium
Mikrobiologi
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia (FK-UI).
Antibakteri Pembanding: Tetrasiklin HCl
Bahan Kimia: Nutrien Agar (Difco), Natrium Broth (Difco), Aquades,
Alkohol, reagen Folin Ciocalteu, tannin 2%, Na2S2O3 5%, indikator
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
28
fenolphtalein, NaOH 0,1 N (Merck), Na2CO3 5%, buffer caccodhilate, larutan
osmium tetraoksida 1%, glutaraldehid 2%, t-butanol.
3.3.Prosedur Kerja
3.3.1. Penyiapan Bahan Baku
Sebelum dibakar, bahan baku sebanyak 2 kg dibersihkan terlebih dahulu.
Tempurung kelapa yang diperoleh dari salah satu perkebunan kelapa sawit di Garut
sudah dipisahkan dari serabutnya. Selain itu juga, tempurung kelapa sawit yang
diperoleh karena merupakan limbah sudah berada dalam keadaan terpotong-potong
kecil berdiamater rata-rata 1-2 cm.
3.3.2. Pembuatan Asap Cair
Pembuatan asap cair dilakukan dengan menggunakan alat produksi asap cair
terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan alat pemanas listrik yang dapat
diatur suhunya. Pada tahap ini diproduksi asap cair dengan suhu pirolisis yang
berbeda-beda, yaitu 200-2500C (T1), 280-3500C (T2), > 4000C (T3). Produksi asap
cair dilakukan dengan cara kondensasi asap hasil pirolisis tempurung kelapa. Proses
pembuatan asap cair diawali dengan memasukkan bahan berupa tempurung kelapa
yang telah dikecilkan ukurannya sebanyak 2 kg, kemudian alat produksi di tutup serta
rangkaian listrik dan air pendingin disambungkan. Suhu pemanasan dinaikkan secara
bertahap dengan mengatur tombol pengatur suhu perlakuan. Asap yang keluar dari
tungku akan mengalir melalui pendingin sehingga mencair. Pirolisis dilakukan
selama 5 jam, asap cair yang keluar ditampung.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
Gambar 3.1. Alat Pirolisis (sumber pribadi)
3.3.3. Pemurnian Asap Cair
Pemurnian asap cair dilakukan dengan cara destilasi. Asap cair dimasukkan ke
dalam labu destilasi, dipanaskan menggunakan pemanas listrik. Proses destilasi ini
dilakukan untuk mengambil seluruh fraksi dan diatur pada rentang suhu sesuai. Suhu
yang digunakan pada proses fraksinasi asap cair adalah fraksi suhu <650C dan fraksi
suhu >650C. Uap yang terbentuk lalu masuk ke dalam pipa pendingin balik
(kondensor) dan destilat ditampung dalam sebuah wadah atau labu.
3.3.4. Analisis
Analisis-analisis yang dilakukan antara lain:
a) Rendemen: Rendemen diukur berdasarkan volume kondensat yang dihasilkan
(mL) dari setiap satuan berat bahan yang dibakar.
b) pH: Sampel sebanyak 10 mL diukur dengan menggunakan pH meter, dengan
terlebih dahulu dilakukan standardisasi buffer pH 4,0 dan 7,0. Pengukuran
sampel dilakukan dengan mencelupkan elektroda pH meter ke dalam sampel
dan skala dibaca setelah jarum penunjuk konstan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
c) Total Asam Tertitrasi: Sampel sebanyak 10 mL ditambah 100 mL aquades
selanjutnya dihomogenkan. Ditambahkan indikator PP sebanyak 2-3 tetes dan
dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai titik akhir titrasi, yaitu
berubahnya warna sampel menjadi merah keunguan dan stabil (tidak berubah
bila dihomogenkan). Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam
asetat.
V = Volume titar NaOH
N = Normalitas NaOH
BM = Berat Molekul Asam Asetat
BC = Bobot sampel (gram)
d) Kadar Fenol: Sampel sebanyak 50 L diencerkan menggunakan aquades
hingga volume 20 mL. Dari 20 mL sampel yang telah diencerkan, dipipet
sebanyak 0,5 mL dan diletakkan pada tabung reaksi. Didiamkan selama 5
menit, lalu dikocok dalam vortex shaker. Kemudian ditambahkan 2 mL
Na2S2O3 15% ke tiap-tiap sampel, ditambahkan juga 2,2 mL H2O dan
diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Selanjutnya sampel diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 350 nm.
Pembuatan kurva standar: Ditimbang asam galat sebanyak 0,01 gram dan
dilarutkan menggunakan aquades hingga volume 100 mL. Didapatkan larutan
asam galat dengan konsentrasi 100 ppm. Dari larutan 100 ppm kemudian
dipipet sebanyak 0,1 mL, 0,2 mL, 0,3 mL, 0,4 mL dan 0,5 mL dan diletakkan
pada tabung reaksi. Untuk larutan yang belum mencapai volume 0,5 mL
kemudian ditambahkan dengan aquades masing-masing secara berurutan 0,4
mL, 0,3 mL, 0,2 mL, 0,1 mL dan 0 mL. Didiamkan selama 5 menit, lalu
dikocok dalam Vortex Shaker. Kemudian ditambahkan 2 mL Na2S2O3 15% ke
tiap-tiap larutan, ditambahkan juga 2,2 mL H2O dan diinkubasi pada suhu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
kamar selama 2 jam. Semua konsentrasi larutan asam galat selanjutnya diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 350 nm.
e) Bobot Jenis: Piknometer dibersihkan dengan alkohol 96%, kemudian
dikeringkan dan ditimbang dengan teliti. Sampel diisi ke dalam piknometer
sampai melebihi tanda tera, kemudian di tutup dan dihindari dari adanya
gelembung-gelembung udara. Bagian luar piknometer dikeringkan dari bahan
yang menempel. Piknometer yang telah diisi oleh akuades didiamkan
beberapa saat, kemudian ditimbang.
W0 = Berat piknometer kosong (gram)
W1 = Berat air + piknometer (gram)
W2 = Berat sampel + piknometer (gram)
3.3.5. Sterilisasi Alat dan Bahan
Sterilisasi dilakukan dengan cara yang sesuai terhadap masing-masing alat.
Alat-alat yang akan disterilkan sebelumnya dicuci dan dikeringkan terlebih dahulu.
Tabung reaksi, gelas ukur, erlenmeyer ditutup mulutnya dengan kapas. Selanjutnya
disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C, selama 15 menit. Pinset, jarum ose,
disterilkan dengan flamber pada nyala bunsen.
Pekerjaan uji mikrobiologi dilakukan secara aseptis di dalam Laminar Air
Flow (LAF) yang sebelumnya disterilkan dengan lampu UV dan disemprotkan
dengan alkohol 70%. Sterilisasi pada LAF dilakukan baik 2 jam sebelum bekerja
maupun sesudah bekerja di dalamnya.
3.3.6. Pembuatan Media Pertumbuhan
a) Nutrient Agar
Ditimbang 23 gram NA (Nutrient Agar) dan dilarutkan dengan 1 L
aquades dan dipanaskan hingga semuanya larut kemudian disterilkan
dalam autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1 atm selama 15 menit.
(Nurfadilah, 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
Komposisi Nutrient Agar (g/L): Ekstrak daging 1%, pepton 1%, dan agar
1,5% (Kusmiyati, 2007).
b) Nutrient Broth (NB)
Ditimbang 8 gram NB dan dilarutkan dengan 1 L aquades dan dipanaskan
hingga semuanya larut kemudian dimasukkan dalam Erlenmeyer,
selanjutnya disterilkan dalam autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1 atm
selama 15 menit (Kusuma, 2010).
Komposisi Nutrient Broth (g/L): Lab-lemco powder 1%, yeast extract 2%,
pepton 5% dan NaCl 5%.
3.3.7. Pembuatan Larutan Uji
Pada penentuan aktivitas tertinggi asap cair tempurung kelapa sawit dan
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) larutan uji dibuat dengan melarutkan asap cair
menggunakan aquades steril dengan pengenceran 0 kali (100%), 10 kali (10%), dan
50 kali (2%) (Yulistiani, dkk. 1997).
3.3.8. Pembiakan Bakteri Uji
Bakteri uji diinokulasikan ke dalam 5 mL media Nutrient Agar miring
menggunakan jarum ose steril dengan cara menggoreskan masing-masing bakteri
pada ujung jarum ose ke media Nutrient Agar miring, kemudian diinkubasi pada suhu
370C selama 18-24 jam.
3.3.9. Persiapan Suspensi Bakteri
Bakteri hasil pembiakan murni pada Nutrient Agar (NA) miring yang setelah
diinkubasi berumur 18-24 jam pada suhu 370C diinokulasi sebanyak satu ose dalam
10 mL Nutrient Broth (NB) dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24
jam. Setelah itu disetarakan kekeruhannya dengan larutan 0,5 Mc. Farland atau
sebanding dengan jumlah bakteri 1 x 108 CFU/mL (CFU: Colony Forming Unit) atau
250-300 koloni dalam media padat. Selanjutnya, untuk mendapatkan suspensi bakteri
yang mengandung 106 CFU/mL adalah dengan cara mengambil 1 mL (dari tabung
yang mengandung 108 CFU/mL) dicampur dengan 9 mL NaCl 0,9% steril. Maka
akan didapatkan suspensi bakteri dengan kepadatan 107 CFU/mL. Dilanjutkan lagi
dengan mengambil 1 mL lagi (dari tabung yang mengandung 107 CFU/mL) untuk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
dicampur dengan 9 mL Nutrient Broth sehingga didapatkan suspensi dengan
kepadatan 106 CFU/mL (Lanawati,dkk., 2003; Dewanti,dkk., 2011; Wahyu, dkk.,
2013).
3.3.10. Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram
Sebanyak satu ose bakteri pada Nutrient Agar miring, difiksasi di atas kaca
objek yang bersih. Olesan bakteri ditambahkan dengan Gentian violet dalam keadaan
berlebih, lalu dibiarkan satu menit. Zat warna yang berlebih dibuang, lalu kaca obyek
dibilas dengan air mengalir. Preparat dikeringkan di atas api spiritus. Setelah kering,
larutan lugol berlebih ditambahkan ke permukaan preparat tersebut dan didiamkan
selama 1 menit. Setelah 1 menit, preparat dibilas dengan air mengalir. Preparat dibilas
dengan alkohol 96% sampai semua zat warna luntur kemudian dicuci dengan air
mengalir. Preparat dikeringkan di atas nyala api spiritus. Setelah kering, safranin
berlebih ditambahkan ke permukaan preparat dan didiamkan selama 45 detik.
Preparat dicuci dengan air dan dikeringkan. Preparat ditambahkan satu tetes minyak
imersi dan diamati menggunakan mikroskop Olympus CX21 dengan perbesaran
100X (Yuli,dkk., 2012; Sulistiyaningsih, 2008).
3.3.11. Pengujian Aktivitas Antibakteri dengan Metode Difusi Cakram
Uji aktivitas antibakteri menggunakan metode agar dengan cakram. Cakram
silinder steril yang digunakan berdiameter 6 mm. Media cair agar NA steril
dituangkan secara aseptis sebanyak 20,0 mL pada cawan petri berdiameter 9 cm steril
hingga merata, kemudian dibiarkan hingga membeku. Selanjutnya, suspensi bakteri
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa yang sudah distandardisasi
kekeruhannya, dicelupkan kapas lidi steril, ditunggu sebentar agar cairan meresap ke
dalam kapas. Kemudian lidi diangkat dan diperas dengan cara menekankan lidi pada
dinding tabung bagian dalam sambil diputar-putar. Digores-goreskan kapas lidi pada
permukaan media NA hingga seluruh permukaan tertutup rapat dengan goresangoresan. Media NA dibiarkan selama 5-15 menit agar suspensi bakteri meresap ke
dalam agar. Lalu 100 L larutan asap cair dengan pengenceran 0 kali, 10 kali dan 50
kali diteteskan pada cakram silinder. Diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam.
Setelah inkubasi daya antibakteri yang terjadi ditentukan dengan mengukur diameter
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
daerah hambat pertumbuhan dengan menggunakan jangka sorong. Untuk selanjutnya
dipilih satu suhu pirolisa asap cair yang mempunyai aktivitas antibakterial paling
besar terhadap kedua kultur bakteri untuk digunakan pada penilitian tahap selanjutnya
(Marliana, dkk., 2011; Lanawati, dkk., 2003; Wayan, dkk., 2012).
3.3.12. Pengujian Daya Hambat Antibakteri
Untuk mencari KHM dilakukan dengan metode dilusi tabung yang mana
ketentuannya sebagai berikut: Terdapat 9 tabung, dimana tabung 1-7 merupakan
tabung untuk pengujian, sedangkan tabung 8 sebagai kontrol positif , tabung 9 kontrol
sterilitas berisi aquadest steril, tabung 10 kontrol medium NB, tabung 11 kontrol
bakteri tanpa asap cair/perlakuan. Serta terdapat 1 larutan stok asap cair dengan nilai
pengenceran yaitu 10 kali (10%).
a) Tabung 1-7 berisi 0,5 mL media NB steril
b) Kemudian tabung 1 ditambahkan dengan 0,5 mL larutan stok asap cair dan
campuran dalam tabung dikocok perlahan untuk menghomogenkan.
c) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 1 dipipet dan ditambahkan pada tabung
2, dikocok perlahan untuk menghomogenkan.
d) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 2 dipipet dan ditambakan pada tabung
3, dikocok perlahan untuk menghomogenkan.
e) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 3 dipipet dan ditambahkan pada tabung
4, dikocok perlahan untuk menghomogenkan.
f) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 4 dipipet dan ditambahkan pada tabung
5, dikocok perlahan untuk menghomogenkan.
g) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 5 dipipet dan ditambahkan pada tabung
6, dikocok perlahan untuk menghomogenkan.
h) 0,5 mL campuran larutan pada tabung 6 dipipet dan ditambahkan pada tabung
7, dikocok perlahan untuk menghomogenkan.
i) 0,5
mL
campuran
larutan
larutan
pada
tabung
7
dipipet
dan
dibuang/dipisahkan.
j) Masing-masing tabung dengan nomor 1-7, selanjutnya ditambahkan dengan
0,1 mL suspensi bakteri 106 CFU/mL dan ditambahkan dengan 0,4 mL media
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
Nutrient Broth sehingga volume total masing-masing tabung adalah 1 mL.
Tabung 1-7 kemudian selanjutnya, diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24
jam. Kemudian diamati ada tidaknya kekeruhan larutan uji (dengan mata
telanjang) dibandingkan dengan kontrol. Untuk sampel yang akan diuji yaitu
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Konsentrasi terkecil
pertama yang menunjukkan kejernihan (tidak adanya pertumbuhan bakteri)
merupakan KHM dari asap cair tempurung kelapa sawit.
3.3.13. Analisis Kerusakan Sel Menggunakan SEM (Scanning Electron
Microscopy)
Cairan KHM disentrifus, dibuang supernatannya, ditambahkan glutaraldehid
2%, direndam selama 1-2 jam. Cairan disentrifus kembali, dibuang supernatannya,
ditambahkan larutan asam tannin 2%, rendam selama 1-2 jam. Disentrifus kembali,
dibuang larutan fiksatifnya, ditambahkan caccodylate buffer, direndam selama 20
menit. Disentrifus kembali, dibuang larutan buffernya, ditambahkan osmium
tetraoksida 1%, direndam selama 1 jam. Larutan disentrifus kembali, dibuang
larutannya, ditambahkan alkohol 50%, direndam selama 20 menit. Selanjutnya secara
berturut-turut ditambahkan alkohol 70%, 80%, dan 95%, masing-masing direndam
selama 10 menit dan ditambahkan alkohol absolut direndam selama 20 menit.
Disentrifus kembali, dibuang larutannya, ditambahkan t-butanol, direndam selama 20
menit, dibuang butanolnya, ditambakan butanol kembali, dibuat suspensi dalam
butanol. Selanjutnya, dibekukan potongan cover slip, dibuat ulasan suspensi pada
cover slip dan dikering anginkan.
3.3.14. Preparasi Sampel (untuk Analisa GC-MS)
50 L asap cair dalam tabung reaksi ditambahkan 1 mL etanol lalu kocok
sebentar. Diamkan selama 1 jam. Hasil siap diinjek. GC-MS dioptimasikan pada suhu
500C dipertahankan selama 3 menit, suhu kemudian ditingkatkan menjadi 2800C
dengan kenaikan 100C/menit dan dipertahankan selama 5 menit. Suhu pada sumber
ion disetel pada 2500C sedangkan suhu injektor disetel pada 2300C.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Produksi Asap Cair
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan asap cair pada penelitian ini
adalah tempurung kelapa sawit. Asap cair diperoleh dari hasil pirolisis tempurung
kelapa sawit yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Bogor. Selanjutnya didapatkan 3 asap cair dengan suhu pirolisis yang berbeda. Proses
pirolisis tempurung kelapa sawit terjadi pada berbagai rentang suhu yang berbeda.
Pertimbangan pemilihan berbagai rentang suhu tersebut yaitu (Girrard, 1992):
1. Pirolisis hemiselulosa pada temperatur 200-2500C.
2. Pirolisis selulosa pada temperatur 280-3500C.
3. Pirolisis lignin berakhir pada 400-4500C.
Warna asap cair yang diperoleh dari tempurung kelapa sawit ini berbeda-beda
tergantung pada suhu pirolisis yang digunakan pada proses produksinya. Secara
keseluruhan, asap cair yang diperoleh sesuai dengan standar warna wood vinegar
jepang yaitu kuning kecoklatan dan sesuai dengan standar transparansi dimana tidak
terdapat kekeruhan (Nurhayati et al., 2009).
a
b
c
Gambar 4.1. Asap Cair yang dihasilkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
37
Keterangan:
a
= Asap cair pirolisis suhu 200-2500C
b
= Asap cair pirolisis suhu 280-3500C
c
= Asap cair pirolisis suhu >4000C
Pirolisis tempurung kelapa sawit pada suhu >4000C lebih banyak
menghasilkan endapan tar yang dapat dilihat dari endapan pada dasar wadah (Tabel
4.1.). Proses pemisahan tar dilakukan dengan proses pengendapan. Untuk tahap
selanjutnya juga akan dilakukan proses pemurnian dari masing-masing senyawa
dominan serta pemisahan tar dengan cara redestilasi asap cair yang dihasilkan pada
berbagai rentang suhu.
Tabel 4.1. Pengaruh suhu terhadap % rendemen dan warna asap cair
Suhu Pirolisis (oC)
% Rendemen
Endapan Tar
Warna
200-250
3,1%
2 mL
Coklat terang
280-350
11,3%
15 mL
Kuning kecoklatan
>400
9,8%
42 mL
Kuning kecoklatan
TOTAL
24,2%
Rendemen yang dihasilkan dan digunakan pada analisa sifat kimia fisika, pada
uji antibakteri dan pada analisa komponen kimia sudah dipisahkan dari endapan
tarnya. Menurut Tranggono et al. (1997), persen rendemen yang berbeda-beda
disebabkan oleh kadar lignin dan selulosa masing-masing bahan yang bervariasi,
antara lain 38,98-63,09% untuk selulosa dan 19,35-50,44% untuk lignin. Tinggi
rendahnya rendemen asap cair pada proses pirolisis dipengaruhi beberapa faktor
antara lain iklim, musim, umur tanaman, jenis tanaman, bahan baku dan cara
pembakaran.
Arang aktif yang diperoleh yaitu sebesar 28,66%. Dihitung secara
keseluruhan, total rendemen produk adalah 52,86%. Dengan demikian massa yang
hilang dari konversi tempurung kelapa sawit adalah 47,14%. Menurut Tranggono et
al. (1997), komponen tersebut juga terdiri dari senyawa yang mudah menguap dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
tidak dapat dikondensasikan dengan air sebagai medium pendingin. Komponen
tersebut terdiri dari gas CO2, CO, H2, CH4 dan beberapa hidrokarbon.
4.2.Analisa Sifat Fisik dan Kimia Asap Cair
4.2.1. pH
pH
pH Asap Cair
4
3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
3,35
2,8
200-250
280-350
2,62
>400
Suhu Pirolisa
Gambar 4.2. Grafik pengaruh suhu pirolisis dengan pH asap cair
Dari hasil uji didapatkan nilai pH yang rendah yaitu berkisar antara 2,62-3,35.
Hal ini berarti asap cair yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik terutama sebagai
antibakteri. Hal ini dikarenakan pada suhu rendah mikroba atau bakteri cenderung
tidak dapat hidup dan berkembang biak dengan baik (Nurhayati, 2005; Sutin, 2008).
Penurunan harga pH yang dihasilkan dikarenakan semakin banyaknya unsurunsur dalam tempurung kelapa sawit yang terurai dan membentuk senyawa-senyawa
kimia yang bersifat asam. Sifat asam ini memenuhi persyaratan mutu asap cair
Asosiasi Jepang, dimana menurut Asosiasi Jepang pH yang dipersyaratkan untuk
produk asap cair yaitu antara 1,5-3,7 (Yatagai, 2002).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
4.2.2. Bobot Jenis
Bobot Jenis Asap Cair
1,035
1,0313
Bobot Jenos
1,03
1,025
1,02
1,015
1,0185
1,0144
1,01
1,005
200-250
280-350
>400
Suhu Pirolisa
Gambar 4.3. Grafik bobot jenis asap cair tempurung kelapa sawit terhadap variasi suhu pirolisis
Nilai bobot jenis asap cair meningkat dengan semakin tingginya suhu pirolisis
yang digunakan pada produksi asap cair. Bobot jenis tertinggi diperoleh pada suhu
pirolisis >4000C dengan nilai 1,0313 (Lampiran 8). Hal ini dikarenakan dengan
adanya peningkatan suhu pirolisis maka penguraian komponen penyusun tempurung
kelapa sawit lebih sempurna dan endapan yang tar yang dihasilkan juga semakin
banyak. Hasil ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya, dimana endapan tar tertinggi
diperoleh pada asap cair hasil pirolisis suhu >4000C yaitu sebanyak 42 mL.
Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Luditama
(2006) yang menggunakan bahan sabut dan tempurung kelapa dengan bobot jenis
asap cair antara 1,084-1,119. Hasil pengamatan bobot jenis asap cair pada penelitian
ini sesuai dengan standar wood vinegar Jepang dengan persyaratan bobot jenis
>1,005 (Yatagai, 2002).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
4.2.3. Total Fenol
Total Fenol (ppm) Asap Cair
40000
37228,85
Total Fenol (ppm)
35000
30000
25000
24854,56
20000
15000
10000
9975,65
5000
0
200-250
280-350
>400
Suhu Pirolisa
Gambar 4.4. Grafik total fenol asap cair pada berbagai variasi suhu pirolisis
Fenol merupakan salah satu zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri
dan antimikroba pada asap cair. Semakin tinggi kadar total fenol suatu bahan maka
aktivitas antibakterinya juga semakin meningkat. Fenol selain memiliki aktivitas
antibakteri dan antimikroba juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Semakin
tinggi temperatur pirolisis maka kandungan fenol pun semakin meningkat. Reaksi
yang terjadi antara fenol dan reagen Folin Ciocalteu (Tursiman, dkk., 2012):
*
H3PO4(Mo3)12 +
Reagen Folin Ciocalteu
+ OH2
Senyawa Fenol
+ H6(PMo12O40)
Kuinon
Kompleks Molybdenum
Gambar 4.5. Reaksi Folin-Ciocalteu dengan senyawa fenol dalam asap cair
Untuk pembanding kandungan total fenol pada asap cair, digunakan asam
galat. Dari pengukuran berbagai rentang konsentrasi asam galat didapatkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
persamaan y = 0,015708x – 0,015878, dengan y merupakan nilai absorbansi dan x
merupakan konsentrasi asam galat (Lampiran 9).
Regresi Linier Asam Galat
2
y = 0,015708x - 0,015878
R = 0.998917
Absorbansi
1,5
1
0,5
0
0
20
-0,5
40
60
80
100
120
Konsentrasi
Gambar 4.6. Grafik hubungan antara konsentrasi asam galat terhadap absorbansi
Prinsip reaksi ini adalah berdasarkan reduksi reagen campuran fosfotungstikfosfomolibdat dengan gugus hidroksil fenolik yang menghasilkan produk berwarna
biru. Intensitas warna yang terbentuk kemudian dikuantifikasi berdasarkan absorbansi
dengan spektrofotometer (Putri, 2009; Vermerris et al., 2006)
4.2.4. Kadar Asam
Kadar Asam (%) Asap Cair
Kadar Asam (%)
10
8,896
8
6
4,8173
4
2
2,4588
0
200-250
280-350
>400
Suhu Pirolisa
Gambar 4.7. Grafik pengaruh suhu pirolisis terhadap kadar asam asap cair
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Senyawa asam pada asap cair inilah yang memiliki daya antibakteri, sifat
antibakteri tersebut akan semakin meningkat apabila keberadaan asam asetat tersebut
bersama-sama dengan senyawa fenol.
Hasil pengamatan kadar asam asap cair diketahui bahwa semakin tinggi suhu
pirolisis maka kandungan asam asetat semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin
besar panas yang diterima untuk menguraikan hemiselulosa dan selulosa menjadi
komponen-komponen senyawa kimia yang bersifat asam, terutama dalam hal ini
adalah asam asetat.
Pada penelitian ini, kadar asam yang diperoleh berkisar antara 2,4588%
sampai 8,896%. Produk asap cair yang memiliki kadar asam tertinggi yaitu pirolisis
>4000C dengan persentase asam asetat sebesar 8,896% (Lampiran 11). Hal ini sesuai
dengan data sebelumnya, dimana pada asap cair hasil pirolisis suhu >4000C
menunjukkan harga pH yang paling rendah yaitu 2,62.
Dari hasil analisis kimia dan fisika yang dilakukan pada sampel asap cair hasil
pirolisis tempurung kelapa sawit (Elaies guineensis Jacq.), maka dapat disimpulkan
sesuai dengan tabel 4.2.
Tabel 4.2. Hasil sifat-sifat asap cair
Parameter
200-2500C
280-3500C
>4000C
% Rendemen
3,1%
11,3%
9,8%
pH
3,35
2,80
2,62
1,5-3,7
1,0144
1,0185
1,0313
>1,005
Coklat terang
Kuning kecokletan
Kuning kecokletan
Kuning coklat
Transparan
Transparan
Transparan
Transparans
Bobot jenis
Warna
Transparansi
Standart Jepang*
(Impureless)
Asam asetat
Fenol
2,4588%
4,8173%
8,896%
9.975,65 ppm
24.854,56 ppm
37.228,85 ppm
Keterangan: * Dikutip dari Yatagai, 2002
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
4.3.Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram
Sebelum melakukan pengujian aktivitas antibakteri, dilakukan identifikasi
bakteri uji yang akan digunakan. Hasil dari identifikasi bakteri uji menunjukkan
bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 merupakan golongan bakteri Gram
positif. Dibuktikan dengan kemampuan mempertahankan warna ungu dari Gentian
violet sehingga ketika diamati dengan mikroskop menunjukkan warna ungu. Bakteri
Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 tidak dapat mempertahankan warna ungu
dari Gentian violet namun zat warna safranin dapat terserap pada dinding sel. Saat
dilakukan pengamatan dengan mikroskop terlihat berwarna merah (Lampiran 12).
Prinsip pewarnaan Gram adalah kemampuan dinding sel mengikat zat warna
dasar (Gentian violet) setelah pencucian dengan alkohol 96%. Keadaan ini
berhubungan dengan komposisi senyawa penyusun dinding sel. Pada bakteri Gram
positif mengandung peptidoglikan lebih banyak dan lemak lebih sedikit dibandingkan
bakteri Gram negatif (Liana et al., 2013).
4.4.Pengujian Aktivitas Antibakteri Metode Cakram
Pada uji aktivitas antibakteri digunakan bakteri Staphylococcus aureus ATCC
25923 mewakili golongan bakteri Gram positif dan Pseudomonas aeruginosa ATCC
27853 mewakili bakteri Gram negatif. Pertimbangan penggunaan kedua bakteri
bertujuan untuk mengetahui spektrum dari senyawa antibakteri yang terdapat pada
asap cair, dimana suatu zat dikatakan berspektrum luas apabila dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Gram negatif dan Gram positif, berspektrum sempit apabila
hanya menghambat pertumbuhan dari salah satu bakteri tersebut, misalkan Gram
negatif atau Gram positif saja (Pelezer, 1997).
Pengujian antibakteri asap cair menggunakan metode difusi cakram.
Efektivitas zat antibakteri ditunjukkan oleh zona hambat. Zona hambat tampak
sebagai area jernih atau bersih yang mengelilingi cakram tempat zat antibakteri pada
asap cair berdifusi. Diameter zona hambat selanjutnya diukur dengan menggunakan
jangka sorong (Harmita, 2008).
Diameter zona bening disekitar cakram yang mengandung asap cair kemudian
dibandingkan dengan diameter zona bening yang terbentuk di sekitar cakram yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
mengandung kontrol positif yaitu Tetrasiklin HCl dengan konsentrasi 1000 ppm dan
kontrol negatif yaitu pelarut aquades steril.
Pengujian dengan metode difusi cakram ini bertujuan mengetahui efektifitas
antibakteri tertinggi dengan membandingkan tiga asap cair yang dihasilkan, yaitu
pada suhu 200-2500C, 280-3500C dan >4000C. Pada pengujian ini pengenceran yang
digunakan adalah 0 kali, 10 kali dan 50 kali. Penggunaan tiga konsentrasi yang
digunakan dilakukan untuk mengetahui besarnya potensi aktivitas larutan uji dalam
menghambat pertumbuhan bakteri (Wayan, 2012).
Hasil yang diperoleh, menunjukkan ketiga asap cair memiliki kemampuan
penghambatan terhadap pertumbuhan kedua bakteri uji. Ditunjukkan dengan
terbentuknya zona hambat di sekeliling cakram pada semua konsentrasi asap cair.
Kemampuan penghambatan asap cair tergantung pada konsentrasi yang digunakan.
Kemampuan penghambatan berbanding lurus dengan ukuran diameter zona hambat
yaitu semakin tinggi konsentrasi asap cair maka diameter zona hambat akan semakin
besar, dan begitu juga sebaliknya (Lampiran 14).
Gambar 4.8. Grafik pengaruh asap cair terhadap zona hambat yang terbentuk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
Asap cair suhu 200-2500C, 280-3500C dan >4000C dengan pengenceran 0 kali
atau konsentrasi 100% mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus ATCC 25923 yang ditunjukkan oleh diameter zona hambat masing-masing
secara berurutan sebesar 33,7 mm; 40,55 mm; dan 49,55 mm. Sedangkan zona
hambat yang terbentuk pada bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 masingmasing adalah 28,2 mm untuk asap cair 200-2500C; 38,7 mm untuk asap cair 2803500C dan 43,55 mm untuk asap cair >4000C. Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%)
merupakan konsentrasi asap cair murni sehingga diameter zona hambat yang
dihasilkan merupakan diameter penghambatan maksimum yang dapat dilakukan oleh
asap cair.
Dengan pengenceran asap cair sebanyak 10 kali atau setara dengan 100
mg/mL diameter zona hambat yang dihasilkan asap cair suhu pirolisis 200-2500C,
280-3500C dan >4000C pada bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 masingmasing secara berurutan sebesar 11,05 mm; 19,5 mm; dan 22,4 mm. Sedangkan zona
hambat yang terbentuk pada bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 masingmasing adalah 12,6 mm untuk asap cair 200-2500C; 15,5 mm untuk asap cair 2803500C dan 21,9 mm untuk asap cair >4000C.
Pada kontrol negatif pelarut berupa aquades steril yang digunakan sebagai
pembanding pada uji efektifitas antibakteri ini tidak menunjukkan adanya
penghambatan. Diameter zona hambat yang terbentuk pada kontrol positif yaitu
tetrasiklin HCl dengan konsentrasi 1000 ppm untuk bakteri Staphylococcus aureus
ATCC 25923 sebesar 19,25 dan untuk Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 adalah
19,75 mm. Tetrasiklin merupakan salah satu antibiotik yang memperlihatkan
spektrum antibiotik luas yang meliputi Gram positif dan Gram negatif (Anonim,
2007).
Berdasarkan hasil perhitungan zona hambat menggunakan jangka sorong
menunjukkan bahwa tingkat penggunaan asap cair berpengaruh sangat nyata terhadap
diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923
dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853, artinya penggunaan asap cair pada
konsentrasi yang berbeda-beda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap luas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
diameter daerah hambatan. Dimana semakin tinggi konsentrasi asap cair yang
digunakan, maka pembentukan zona hambat pada uji aktivitas terhadap kedua bakteri
juga semakin besar (Samsundari, 2006).
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dwijoseputro (1987) bahwa besar
kecilnya diameter daerah hambatan disekitar cakram (disk) tergantung pada
konsentrasi obat atau bahan obat yang digunakan. Apabila cakram (disk) yang
digunakan mengandung bahan obat maka pertumbuhan bakteri akan terhenti dan
sekitar cakram (disk) akan terlihat bening karena tidak ditumbuhi bakteri setelah
diinkubasi 18 sampai 24 jam pada suhu 370C.
Diameter zona hambatan yang terbentuk pada tetrasiklin HCl 1000 ppm
sebagai antibiotik pembanding terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923
dan larutan uji asap cair suhu pirolisis 200-2500C dengan pengenceran 10X
membentuk zona hambat parsial (Lampiran 13), hal ini dapat disebabkan karena
konsentrasi zat antibakteri yang berdifusi sampai ke daerah itu semakin berkurang,
sehingga tidak cukup untuk menghambat semua pertumbuhan bakteri (Elya, 2009).
Zona hambat yang terbentuk pada uji antibakteri terbagi menjadi dua, yaitu
yang bersifat total apabila daerah sekeliling silinder cakram berwarna jernih yang
berarti bakteri uji benar-benar sensitif terhadap konsentrasi asap cair yang
ditambahkan dan bersifat parsial apabila zona hambat yang terbentuk di sekeliling
silinder cakram masih terdapat beberapa koloni bakteri uji (Elya, 2009).
Hasil pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan
Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 disimpulkan kuat. Davis dan Stout (1971)
menyatakan bahwa apabila zona hambat yang terbentuk pada uji difusi agar
berukuran kurang dari 5 mm, maka aktivitas penghambatannya dikategorikan lemah.
Apabila zona hambat berukuran 5-10 mm dikategorikan sedang, 10-19 mm
dikategorikan kuat dan 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat.
Dari ketiga asap cair pada berbagai rentang suhu pirolisis maka dapat
disimpulkan asap cair yang memiliki potensi antibakteri tertinggi adalah asap cair
pada suhu pirolisis >4000C. Seperti pada penjelasan sebelumnya, hasil pengamatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
pH ketiga asap cair menunjukkan bahwa suhu pirolisis >4000C mempunyai pH paling
rendah dibandingkan asap cair lainnya yaitu 2,62 dan memiliki kandungan asam
organik terbesar dengan persentasenya sebesar 8,896%.
Menurut Zuraida (2008), pH minimal pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus adalah 4,0 dan pH minimal pertumbuhan untuk Pseudomonas aeruginosa
adalah 7,2 sedangkan pH asap cair yang ditambahkan sangat rendah yaitu 2,62
sehingga kematian bakteri selain disebabkan oleh adanya aktivitas senyawa
antibakteri dalam asap cair tempurung kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) juga
disebabkan oleh pH lingkungan yang lebih rendah dibandingkan pH minimal
pertumbuhan untuk kedua bakteri uji.
4.5.Analisa Komponen Kimia Asap Cair Menggunakan GC-MS
Berdasarkan hasil uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi cakram
didapatkan asap cair yang memiliki aktivitas penghambatan bakteri tertinggi yaitu
pada asap cair suhu pirolisis >4000C.
Analisa GC-MS dilakukan untuk mengetahui komponen kimia yang terdapat
pada asap cair. Campuran senyawa yang dilewatkan pada kromatografi gas akan
terpisah menjadi komponen-komponen individual. Komponen kimia diidentifikasi
berdasarkan waktu retensi dan mass spectra dibandingkan dengan pustaka (Willey
dan NIST27).
Sebelum analisa komponen kimia, asap cair suhu pirolisis >4000C dilakukan
pemurnian dengan metode destilasi menggunakan Vaccum Rotary Evaporator. Suhu
yang digunakan pada proses destilasi ini adalah 650C dengan tekanan 72 mBar.
Menurut Maga (1988), komposisi penyusun asap cair yang terbesar adalah air dengan
presentase 11-92%. Untuk mendapatkan asap cair yang lebih murni, maka perlu
dilakukan pemisahan komponen air dari asap cair. Dasar pemilihan suhu destilasi
dipilih untuk menghilangkan kandungan air pada asap cair (Luditama, 2006). Hasil
proses pemurnian didapatkan 2 fraksi yaitu fraksi <650C dan fraksi >650C.
Kedua fraksi asap cair dianalisa kandungan komponen kimianya dengan GCMS. Fraksi pertama yang dianalisa yaitu fraksi suhu <650C. Hasil analisa fraksi
<650C didapatkan komponen-komponen yang teridentifkasi pada tabel 4.3.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Tabel 4.3. Komponen kimia asap cair fraksi suhu <650C
No.
Komponen
% Area
1.
Phenol
77,05
2.
2-Methylphenol
5,01
3.
4-Methylphenol
2,56
4.
2-Methoxyphenol (Guaiacol)
12,83
5.
2-Methoxy-4-methylphenol (p-Methylguaiacol)
1,92
6.
2-Methoxy-4-ethylphenol
0,63
Tabel 4.3. menunjukkan komponen dominan yang terdapat pada asap cair
fraksi suhu <650C adalah kelompok yang berasal dari pirolisis lignin yaitu fenol dan
guaiakol masing-masing dengan persentase berurutan sebesar 77,05% dan 12,83%.
Fraksi kedua yang dianalisa dengan GC-MS adalah fraksi suhu >650C. Hasil
analisa fraksi >650C didapatkan komponen-komponen yang teridentifikasi pada tabel
4.4.
Tabel 4.4. Komponen kimia asap cair fraksi suhu >650C
No.
Komponen
% Area
1.
Phenol
84,38
2.
2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl-
1,52
3.
2-Methylphenol
2,40
4.
4-Methylphenol
1,81
5.
2-Methoxyphenol (Guaiacol)
5,92
6.
2-Methoxy-4-methylphenol (p-Methylguaiacol)
1,75
7.
3,4,-Dimethoxyphenol
2,23
Tabel 4.4. menunjukkan komponen dominan yang terdapat pada asap cair
fraksi suhu >650C adalah kelompok yang berasal dari pirolisis lignin juga yaitu fenol
dan guaiakol masing-masing dengan persentase berurutan sebesar 84,38% dan 5,92%.
Kedua fraksi menunjukkan komponen dominan yang sama yaitu fenol dan guaiakol.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Fenol dan guaiakol menjadi senyawa yang paling dominan dari sampel asap
cair. Hal ini dikarenakan komponen yang paling banyak terdapat pada bahan
pengasap kayu terutama kayu keras adalah lignin. Lignin mengalami pirolisis
sempurna pada suhu 400-4500C dan menghasilkan komponen adalah fenol, dan
guaiakol (Luditama, 2006).
Hasil pemisahan kromatografi gas, komponen dengan presentase terbanyak
asap cair tempurung kelapa sawit yang didapatkan adalah fenol (C6H6O, BM=94)
dengan luas area yang berbeda-beda tergantung pada fraksi suhu pemurniannya.
Komponen-komponen kimia yang teridentifikasi pada asap cair tempurung kelapa
sawit ini juga terdapat pada asap cair yang dihasilkan pada penelitian Ita Zuraida
(2008) dan Candra Luditama (2006) dengan luas area yang bervariasi pada masingmasing komponen.
4.6.Hasil Uji KHM Asap Cair Metode Dilusi Cair
Uji lanjut terhadap asap cair tempurung kelapa sawit dilakukan untuk
menentukan nilai Kadar Hambat Minimum (KHM) terhadap bakteri uji
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853.
Berdasarkan pemurnian yang dilakukan, hasil kedua fraksi yaitu fraksi suhu
<650C dan fraksi suhu >650C dilakukan pengujian dengan dilusi cair untuk
mengetahui nilai KHM dari masing-masing fraksi. Konsentrasi yang digunakan pada
uji ini, diantaranya 5%, 2,5%, 1,25%, 0,625%, 0,3125%, 0,156% dan 0,078%.
Konsentrasi ini dipilih dikarenakan pada pengujian aktivitas antibakteri dengan
metode cakram menggunakan konsentrasi pengenceran 10X atau setara dengan 10%
masih terdapat hambatan yang berarti. Sehingga untuk mengetahui konsentrasi
hambat minimum asap cair fraksi suhu <650C dan fraksi suhu >650C, maka rentang
konsentrasi yang digunakan harus diperkecil.
Pada pemeriksaan KHM secara dilusi cair digunakan beberapa kontrol sebagai
pembanding yaitu kontrol media yang berisi media NB steril, kontrol sterilitas yang
berisi aquades steril dalam media NB, kontrol bakteri berisi suspensi bakteri uji 106
CFU/mL dalam media NB, dan kontrol positif yang berisi tetrasiklin HCl 500 ppm
ditambah suspensi bakteri 106 CFU/mL.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Seri konsentrasi pada pengujian KHM ini menggunakan pengenceran
kelipatan dua sesuai metode Kirby-Bauer. Pada metode ini dapat dilakukan
pengamatan terhadap tingkat kekeruhan larutan asap cair tempurung kelapa sawit
(Elaies guineensis Jacq.) untuk menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM). Nilai
KHM ditentukan dengan mengamati kadar terendah dari konsentrasi asap cair
tempurung
kelapa
sawit
yang
dapat
menghambat
pertumbuhan
bakteri
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853,
yang ditandai dengan tidak adanya kekeruhan pada tabung setelah di inkubasi selama
18-24 jam (Wahyu, 2013).
Didapatkan hasil (Lampiran 16) bahwa pada bakteri Staphylococcus aureus
ATCC 25923 menggunakan larutan uji asap cair fraksi suhu <650C, konsentrasi yang
menunjukkan kejernihan yaitu 5%, dan 2,5%. Sedangkan pada bakteri Pseudomonas
aeruginosa ATCC 27853 menggunakan larutan uji asap cair fraksi suhu <650C
konsentrasi yang menunjukkan kejernihan yaitu 5%, 2,5% dan 1,25%. Maka
didapatkan nilai KHM untuk fraksi <650C bakteri Staphylococcus aureus ATCC
25923 adalah 2,5%, dimana hasil tabung menunjukkan kejernihan pertama
dibandingkan dengan konsentrasi diatasnya. Dan untuk bakteri Pseudomonas
aeruginosa ATCC 27853 nilai KHM fraksi <650C adalah 1,25%.
Hasil pada fraksi suhu >650C pada bakteri Staphylococcus aureus ATCC
25923 yang menunjukkan kejernihan ditunjukkan pada konsentrasi asap cair 5%,
2,5%, 1,25% dan 0,625%. Sedangkan untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC
27853 larutan uji yang menunjukkan kejernihan yaitu 5%, 2,5%, 1,25%, 0,625% dan
0,3125%. Nilai KHM pada asap cair tempurung kelapa sawit (Elaies guineensis
Jacq.) fraksi suhu >650C untuk bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 adalah
0,625% dan untuk bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 adalah 0,3125%.
Sebelum diinkubasi, didapatkan pola bahwa semakin tinggi konsentrasi,
tabung reaksi berwarna lebih gelap namun tetap transparan, hal ini disebabkan karena
tingginya konsentrasi asap cair yang ditambahkan. Setelah dilakukan inkubasi 18-24
jam, pola yang tercipta yaitu pada konsentrasi yang tinggi, dimana terjadi
penghambatan, tabung reaksi tetap jernih dan transparan. Sedangkan pada konsentrasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
rendah, yang tidak menunjukkan penghambatan, tabung reaksi menjadi keruh dan
tidak transparan. Hal ini disebabkan, selama inkubasi, terjadi perkembang biakan
pada bakteri uji. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chan (1986), dimana semakin
tingginya konsentrasi suatu zat antimikroba yang digunakan maka semakin cepat
bakteri terbunuh.
Gambar 4.9. Grafik perbandingan nilai KHM yang dihasilkan
Pada fraksi suhu >650C nilai KHM yang dihasilkan lebih rendah, hal ini
disebabkan fraksi suhu >650C memiliki kandungan fenol yang lebih murni,
dibuktikan dengan hasil analisa komponen kimia menggunakan GC-MS dimana
persentase area fenolnya lebih besar dibandingkan dengan fraksi suhu <650C yaitu
sebesar 84,38%.
Sedangkan untuk fraksi suhu <650C juga masih memiliki aktivitas antibakteri.
Hal ini disebabkan karena masih adanya kandungan fenol pada asap cair fraksi suhu
<650C dengan presentasenya 77,05%. Masih adanya kandungan fenol pada asap cair
fraksi suhu <650C, kemungkinan disebabkan karena tekanan yang digunakan pada
proses pemurnian yang rendah yaitu 72 mBar. Sehingga ada senyawa fenol yang ikut
menguap dan akhirnya tertampung pada labu hasil destilasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
Hasil uji metode dilusi cair didapatkan harga KHM yang berbeda pada
masing-masing bakteri uji. Staphylococcus aureus ATCC 25923 lebih resisten
dibandingkan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853. Hal ini ditunjukkan pada nilai
KHM bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang membutuhkan konsentrasi
asap cair satu tingkat lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai KHM untuk bakteri
Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853.
Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan komponen penyusun dinding sel
antara bakteri Gram positif dengan bakteri Gram negatif. Dinding sel merupakan
bagian yang terpenting dari sel bakteri karena berfungsi menyediakan komponen
struktural yang kaku dan kuat sehingga member bentuk sel. Pada bakteri Gram
positif, dinding sel terutama terdiri dari peptidoglikan dan asam teikoat.
Peptidoglikan merupakan polimer kompleks yang terdiri dari rangkaian asam N-asetil
glukosamin dan asam N-asetil muramat yang disusun secara berganti-ganti. Pada
bakteri Gram negatif, dinding sel nya terdiri dari lapisan peptidoglikan, lipoprotein
selaput luar, dan lipopolisakarida. Lipopolisakarida dinding sel Gram negatif terdiri
dari suatu lipid yang kompleks, yang dinamakan Lipid A (Jawetz, dkk., 2005;
Dianita, 2010).
Selain itu bakteri Staphylococcus aureus yang merupakan kelompok bakteri
Gram positif dengan dinding sel disusun oleh rantai tetrapeptida yang terdiri dari (Lalanil-D-isoglutaminil-L-lisil-D-alanin) dan jembatan intrapeptida yang terdiri dari
lima unit glisin. Unit asam muramat disubstitusi oleh tetrapeptida yang dihubungkan
oleh jembatan interpeptida dengan ikatan kovalen yang akan menghasilkan struktur
yang kuat, sehingga struktur ini sangat tahan terhadap kerusakan (Thorpe, 1955).
Pseudomonas aeruginosa lebih sensitif diduga karena bakteri ini mempunyai
protein porin PAO1 dengan diameter 2 mm, lebih besar di banding protein porin
OmpF dan OmpC pada bakteri Eschericia coli dengan diameter 1,2 mm. Asap cair
dapat masuk ke dalam membran plasma bakteri Gram negatif melalui protein porin
tersebut (Helander, et al. 1998).
Hal ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan oleh Zuraida (2008), dimana
larutan uji yang digunakan adalah asap cair tempurung kelapa. Nilai KHM untuk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
bakteri Staphylococcus aureus yaitu 0,40% sedangkan bakteri Pseudomonas
aeruginosa memiliki nilai KHM yang lebih rendah yaitu 0,22%. Dimana pada bakteri
Pseudomonas aeruginosa lebih sensitif bila dibandingkan bakteri Staphylococaus
aureus.
Fenol sebagai komponen kimia dominan dalam asap cair tempurung kelapa
sawit dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal (Karseno et al., 2002). Secara
umum mekanisme aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa sawit adalah
dengan masuk melewati dinding sel dan merusak bagian membran sitoplasma.
Kerusakan pada membran sitoplasma mengakibatkan permeabilitas membran
terganggu, sehingga terjadi kebocoran isi sel dan mengganggu pembentukan asam
nukleat. Bakteri yang sensitif terhadap asap cair tempurung kelapa sawit dapat terjadi
kerusakan pada dinding sel dan membran sitoplasma.
Fenol merupakan komponen yang berperan sebagai antibakteri dari asap cair
yang dihasilkan. Kemampuan antibakteri fenol akan semakin meningkat apabila
bersama-sama dengan senyawa asam. Fenol dan turunannya bersifat bakteriostatik
karena mampu menginaktifkan enzim-enzim esensial, mengakoagulasi SH grup dan
NH grup protein. Zuraida (2008) menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas antibakteri
fenol dan turunannya meliputi reaksi dengan membran sel yang menyebabkan
meningkatnya permeabilitas membran sel dan mengakibatkan keluarnya materi
intraseluler sel, inaktivasi enzim-enzim esensial dan perusakan atau inaktivasi
fungsional materi genetik.
4.7.Analisa Morfologi Bakteri Menggunakan SEM
Pemberian
asap
cair
terhadap
bakteri
Staphylococcus
aureus
dan
Pseudomonas aeruginosa menyebabkan terjadinya perubahan morfologi sel yang
dapat diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM), seperti yang terlihat
pada Gambar 4.9., terdapat adanya perbedaan bentuk morfologi dibandingkan dengan
morfologi normal bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
a
*
b
c
*
d
Gambar 4.10. Hasil analisa morfologi bakteri yang mengalami perubahan setelah pemberian asap cair
tempurung kelapa sawit (a) Staphylococcus aureus kontrol (b) Staphylococcus aureus perlakuan
0,625% asap cair (c) Pseudomonas aeruginosa kontrol (d) Pseudomonas aeruginosa perlakuan
0,625% asap cair
*Bakteri kontrol dikutip dari Jan, et al., 2011 (ISSN 1987-3477)
Pengaruh pemberian asap cair terhadap bakteri Staphylococcus aureus terlihat
bahwa permukaan dinding sel bakteri menjadi lebih kasar dan tidak rata serta terlihat
memanjang. Menurut Aziz (2010) terbentuknya tonjolan-tonjolan kecil pada sel
bakteri disebabkan ketidakmampuan peptidoglikan sel yang rusak oleh senyawa
antibakteri menahan tekanan intraseluler yang tinggi, sehingga sitoplasma keluar dan
tonjolan ini biasanya muncul pada daerah yang dilemahkan oleh senyawa antibakteri.
Sedangkan perlakuan yang diberikan terhadap bakteri Pseudomonas
aeruginosa menyebabkan dinding sel bakteri berlubang bila dibandingkan dengan sel
normal. Terbentuknya lubang ini dikarenakan terjadi gangguan terhadap membran sel
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
dan berubahnya permeabilitas sel yang pada akhirnya menyebabkan terlepasnya
material sel keluar.
Karakteristik penting dari zat yang aktif sebagai antibakteri pada asap cair
yaitu fenol dan golongan asam adalah kemampuannya dalam mempengaruhi struktur
membran dan meningkatkan permeabilitas membran sel. Setelah peningkatan
permeabilitas maka kebocoran sel dan kandungan sel lainnya dapat terjadi (Fitriana,
2010).
Penghambatan aktivitas bakteri oleh komponen bioaktif dapat disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain: 1) Gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, 2)
Peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen
penyusun sel, 3) Menginaktifkan enzim metabolik, dan 4) Destruksi atau kerusakan
fungsi material genetik. Menurut Fitriana (2010), terjadinya proses tersebut di atas
karena interaksi senyawa bakteri pada permukaan sel bakteri atau senyawa tersebut
berdifusi ke dalam sel.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Asap cair tempurung kelapa sawit yang di pirolisis pada suhu 200-2500C,
280-3500C
dan
>4000C
memiliki
aktivitas
antibakteri
terhadap
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Komponen kimia penyusun asap cair tempurung kelapa sawit hasil fraksinasi
suhu <650C adalah Phenol, 2-Methylphenol, 4-Methylphenol, Guaiacol, pMethylguaiacol dan 2-Methoxy-4-ethylphenol. Sedangkan komponen kimia
penyusun hasil fraksinasi suhu >650C adalah Phenol, 2-Cyclopenten-1-one 2hydroxy-3-methyl,
2-Methylphenol,
4-Methylphenol,
Guaiacol,
p-
Methylguaiacol dan 3,4-Dimethoxyphenol.
3. Nilai KHM masing-masing asap cair tempurung kelapa sawit didapatkan
untuk fraksi <650C nilai KHM yaitu 2,50% pada bakteri Staphylococcus
aureus dan 1,25% pada bakteri Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan fraksi
>650C adalah 0,6250% pada bakteri Staphylococcus aureus dan 0,3125%
pada bakteri Pseudomonas aeruginosa.
4. Pemberian asap cair terhadap bakteri Staphylococcus aureus menyebabkan
permukaan dinding sel bakteri menjadi lebih kasar dan tidak rata sedangkan
pada bakteri Pseudomonas aeruginosa menyebabkan terbentuknya lubang
pada permukaan dinding bakteri.
5.2.Saran
Mengingat masih banyaknya aktivitas yang dimiliki asap cair tempurung
kelapa sawit, maka disarankan perlu dilakukan penentuan nilai KBM asap cair,
penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas antioksidan dan uji toksisitas akut asap cair
untuk menentukan dosis letal median (LD50), serta perlu penelitian lebih lanjut
terhadap bakteri patogen lain.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hairus. 2012. Pembuatan dan Karakterisasi serta Aplikasi Katalik
Konverter untuk Filter Gas Buang Kendaraan Bermotor Berbahan Bakar Premium
(Tesis Magister Sains). Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara
_________, Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia
Allorerung, David, dkk. 2010. Budidaya Kelapa Sawit. Bogor: Aska Media
Amritama, D. 2007. Asap Cair. http://tech.groups.yahoo.comessage/7945 diakses
tanggal 11 April 2014 12:25
Anonim. 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa
Aksara
Anonim. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Univ. Indonesia
Anonim. 2009. Kelapa Sawit. Wiki Media Bahasa Indonesia. Ensiklopedia Bebas.
Website http://id.wikimedia.org/wiki/kelapa
Aziz, Syaikul, dkk. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanolik Daun dan Umbi
Crinum asiaticum L. terhadap Bakteri Penyebab Jerawat. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah dan Puslit Biologi LIPI, Cibinong (Majalah Farmasi Indonesia 21
(4), 249-254, 2010)
Darmadji, P. 1995. Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Yogyakarta:
Fakultas Teknologi Pangan Univ. Gadjah Mada
Davis, W.W. dan T.R. Stout. 1971. Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic
Assay. Microbiology 22: 659-665.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta
Dewanti, Sisilia M. dan Wahyudi, T. 2011. Antibacterial Activity of Bay Leaf Infuse
(Folia Syzygium polyanthum WIGHT) to Escherichia coli in-Vitro. Surabaya:
Univ. Airlangga (Jurnal Medika Planta-Vol. 1 No.4, Oktober 2011)
Dianita, Yeni Sari. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Infusa Daun Sirsak (Annona
muricata L.) secara in Vitro terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan
Aschericia coli ATCC 35218 serta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya.
Yogyakarta: Univ. Ahmad Dahlan (Kes Mas ISSN 1978-0575)
Dwijoseputro, D. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
58
Eero, Sjostrom. 1995. Kimia Kayu: Dasar-Dasar dan Penggunaan. Cetakan kedua.
Sastrohamidjojo, H. (Penerjemah). Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada
Eko, Hari Irianto dan Indroyono Soesilo. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan
Produk Perikanan. Bogor: Badan Riset Kelautan dan Perikanan Dept. Kelautan
dan Perikanan (Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Kampus Penelitian
Pertania Cimanggu, Bogor)
Elya, Berna, dkk. 2009. Antibakteri Ekstrak Kulit Batang Manggis Hutan (Garcinia
rigida Miq.). Depok: Univ. Indonesia (Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. VI, No.
1, April 2009, 09-17 ISSN: 1693-9883)
Elykurniati. 2011. Pemanfaatan Limbah Padat Cangkang Kelapa Sawit dalam
Pembuatan Pupuk Cair Kalium Sulfat. Surabaya: Univ. Pembangunan Nasional
“Veteran”
Fauzi, Y. Widyastuti, Y.E. dan Satyawibawa, I. 2002. Pemanfaatan Hasil dan
Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran Kelapa Sawit Seri Agribisnis. Jakarta:
Penebar Swadaya
Febriana, Dedek. 2012. Karakteristik Struktur Kristal dan Morfologi Lapisan TiCl4
pada Logam dengan Metode Sol-Gel Dip Coating (Skripsi Sarjana Sains).
Medan: Universitas Negeri Medan
Fitriana, Erny. 2010. Analisis Komponen Kimia Fraksi Minyak Atsiri Daun Sirih
(Piper bettle Linn.) dan Uji Aktivitas Antibakteri terhadap Beberapa Jenis
Bakteri Gram Negatif (Skripsi Sarjana Farmasi). Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah
Gillespie, Stephen dan Kathleen Bamford. 2007. At a Glance Mikrobiologi Medis dan
Infeksi, Edisi ketiga, Translation Medical Microbiology and Infection at a
Glance, Thirt Edition. Alih bahasa oleh dr. Stella Tinia H. Jakarta: Erlangga
(Halaman 8-9 dan 32-33)
Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. New York: Ellis
Horwood
Goldstein, J., Newbury, D., Joy, D., Lyman, C., Echlin, P., Lifshin, .E., Sawyer., L.,
and Michael., J. 2003. Scanning Electron Microscopy and X-Ray Microanalysis
Vol. 1. Springer. New York.
Gunarso, P., Setyawati, T., Sunderland, T.C.H. dan Shackleton, C. 2009. Pengelolaan
Sumberdaya Hutan di Era Desentralisasi: Pelajaran yang Diperoleh dari
Hutan Penelitian Malinau, Kalimantan Timur, Indonesia. Indonesia: CIFOR
Bogor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
Harmita dan Maksum Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati, Edisi 3. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran
Hasanah, Hafidatul, dkk. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Alkohol
Tape Singkong (Manihot utilissima Pohl). Malang: UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang (Alchemy, Vol. 2 No. 1 Oktober 2012, hal. 68-79)
Helander IM, Hanna, Alakomi L, Latvak, Kala, Mattila T, Sandholm, Pol I, Smid EJ,
Gorris LGM, Wright AV. 1998. Characterization of the action of selected
essential oil components on Gram negative bacteria. J Agric Food Chem 46:
3590-3595
Hermansyah, Oky. 2009. Uji Aktivitas dan Mekanisme Kerja Antibakteri Ekstrak
Etanol Rimpang Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terhadap Escherichia
coli dan Staphylococcus aureus (Skripsi Sarjana Farmasi). Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah
Hermanto, S. 2008. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan
Spektrofotometri. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah
Himawati, Endah. 2010. Pengaruh Penambahan Asap Cair Tempurung Kelapa
Destilasi dan Redestilasi terhadap Sifat Kimia, Mikrobiologi dan Sensoris Ikan
Pindang Layang (Decapterus spp) Selama Penyimpanan (Skripsi Sarjana
Teknologi Pertanian). Surakarta: Univ. Sebelas Maret
Hoan, Tan Tjay dan Kirana Rahardja. 2010. Obat-Obat Penting. Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: Elex Media Komputindo
Indah, Tuti Sari, dkk. 2009. Pembuatan Asap Cair dari Limbah Serbuk Gergajian
Kayu Meranti sebagai Penghilang Bau Lateks. Palembang: Univ. Sriwijaya
(Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 16, Januari 2009)
Iskandar, R. dan Kresno Dwi Santosa. 2005. Cara Pembuatan Arang Kayu. Alternatif
Pemanfaatan Limbah Kayu oleh Masyarakat. Bogor: Center for International
Forestry Research
Jan, Adolf N. P. dan Azis B. S. 2011. Antimicrobial Actibity of Melinjo Seed and Peel
Extract (gnetum gnemon) Against Selected Pathogenic Bacteria. Indonesia
(Microbiologi Indonesia ISSN 1978-3477, eISSN 2087-8575 Vol 5, No 3,
September 2011, p 103-112)
Jawetz, et al. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg, Ed. 23,
Translation of Jawetz, Melnick, and Adelberg’s Medical Microbiology, 23thEd.
Alih bahasa oleh Hartanto, H., et al. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
Kamaruddin A, dkk. 1999. Energi dan Listrik Pertanian. Ropiudin dan Aep SU
Editor (edisi revisi). Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB
Karseno, Darmadji P., Rahayu K., 2002. Daya Hambat Asap Cair Kayu Karet
terhadap Bakteri Pengkontaminan Lateks dan Ribbed Smoke Sheet. Agritech 21
(1): 10-15
Katzung, B. G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi VI. Alih Bahasa: Staf
Dosen Farmakologi Fakultas kedokteran UNSRI. Jakarta: EGC
Kaushik, P. dan Chauhan, A. 2009. Cyanobacteria Antibacterial Activity. India: New
India Publishing Agency
Khamsatul, Laila M. 2011. Penentuan Kadar Kolesterol dengan Metode
Kromatografi Gas. Madura: Univ. Trunojoyo (AGROINTEK Volume 5, No. 1
Maret 2011)
Kusmiyati dan Ni Wayan S. A. 2007. Uji Aktivitas Antibakteri dari Mikroalga
Prphyridium cruentum. Bogor: Puslit Bioteknologi LIPI Cibinong
(Biodiversitas Volume 8 Nomor 1 ISSN: 1412-033X Januari 2007)
Kusuma, Fajar Dewi. 2010. Aktivitas Antibakteri Ektrak Etanol Buah Mengkudu
(Morinda Citrifolia, Linnaeus) terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar
(Skripsi Sarjana Sains). Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Lanawati, F. D. dan Stephanie D. A. 2003. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun
Jambu Biji dari Beberapa Kultivar terhadap Staphylococcus aureus ATCC
25923 dengan “Hole-Plate Diffusion Method”. Surabaya: Univ. Katolik Widya
Mandala (Berk. Penel. Hayati (49-S1, 2003)
Liana, Meisji S., dkk. 2013. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat pada
Usus Ayam Broiler. Universitas Sriwijaya (Agripet Vol 13, No. 1, April 2013)
Liani. 2012. Pengaruh Temperatur terhadap Struktur Kristal dan Morfologi Lapisan
TiCl4 pada Pelapisan Logam dengan Menggunakan Metode Sol-Gel (Skripsi
Sarjana Sains). Medan: Universitas Negeri Medan
Lingga, N. 2004. Laporan Kegiatan Training Instrumen GC-MS Shimadzu QP 2010
Luditama, Candra. 2006. Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar
Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi (Skripsi Sarjana
Teknologi Pertanian). Bogor: Institut Pertanian Bogor
Maga, J. A. 1988. Smoke in Food Processing. Florida: CRC Press
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Marasabessy, Ismael. 2007. Produksi Asap Cair dari Limbah Pertanian dan
Penggunaannya dalam Pembuatan Ikan Tongkol (Euthymnus affinis) Asap
(Tesis Magister Sains). Bogor: Institut Pertanian Bogor
Marliana, Eva dan Chairul Saleh. 2011. Uji Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Kasar Etanol, Fraksi n-Heksana, Etil Asetat dan Metanol dari Buah
Labu Air (Lagenari siceraria (Molina) Standl). Samarinda: Univ. Mulawarman
(Jurnal Kimia Mulawarman Vol. 8 No. 2, Mei 2011 ISSN: 693-5616)
Ningtyas, Rina. 2010. Uji Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Air Daun
Kecombrang (Etlingera elaticor (Jack) R.M. Smith) sebagai Pengawet Alami
terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus aureus (Skripsi Sarjana Sains).
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Nurhayati, T., Han Roliadi and Nurliani Bermawie. 2005. Production of Mangium
Wood Vinegar and Its Utilization. Jurnal of Foresty Research 2:1 (13-26).
Foresty Research and Development Agency. Jakarta.
Nurhayati, Tjutju dan Yelin Adalina. 2009. Analisis Teknik dan Finansial Produksi
Arang dan Cuka Kayu dari Limbah Industri Penggergajian dan
Pemanfaatannya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Nurfadilah. 2013. Uji Bioaktifitas Antibakteri Ekstrak dan Fraksi Lamun dari
Kepulauan Spermonde, Kota Makassar (Skripsi Sarjana Sains). Makassar:
Universitas Hasanuddin
Pahan, Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari
Hulu hingga Hilir. Jakarta: Niaga Swadaya
Paris O. C. Zollfrank dan G. A. Zickler. 2005. Decompotiton and Carbonization of
Wood Biopolymer Microstructural Study of Softwood Pyrolisis. Carbon 43: 5366
Paul G. Engelkirk and Janet Duben-Engelkirk. 2008. Laboratory Diagnosis of
Infectious Diseases. Lippineott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer
business. Philadelphia.
Pelezer M.J. 1997. Buku Penentuan Ilmu Gizi Umum. Jakarta
Pujilestari, Titiek. 2007. Pengaruh Cuka Kayu Galam (Melaleuca cajuput), Akasia
(Acacia mangium), dan Karet (Hevea brasiliensis) terhadap Daya Tahan
Simpan Ikan Segar (The Effect of The Wood Vinegar on The Fish Shelf Life).
Banjarbaru: Barisland Industri Banjarbaru (Jurnal Riset Industri, Vol. 1, No.3,
Desember 2007: 147-154)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Purwanto, Djoko. 2011. Arang dari Limbah Tempurung Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq) (Charcoal From Palm Shell Waste). Banjarbaru: Balai Riset
dan Standardisasi Industri (Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 1, Maret
2011; 57-66)
Putri, Varinda Mariska. 2009. Pengujian Kandungan Fenol Total Tomat
(Lycopersicum esculentum) Secara In Vitro (Skripsi Sarjana Kedokteran).
Jakarta: Universitas Indonesia
Samsundari, Sri. 2006. Pengujian Ekstrak Temulawak dan Kunyit terhadap Resistensi
Bakteri Aeromonas hydrophilla yang Menyerang Ikan Mas (Cyprinus Carpio).
Malang: Univ. Muhammadiyah Malang (GAMMA, Volume II Nomor 1.
September 2006: 71-83)
Simon R, dkk. 2005. Composition and Analysis of Liquid Smoke Flavouring Primary
Products. Journal Food Science 24 (1): 143-148
Siswandono, Soekardjo Bambang. 2000. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga
University Press
Sudjadi. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sulistiyaningsih. 2008. Identifikasi Isolat Bakteri Penghasil Zat Antibakteri dari
Cairan Kantung Tanaman Kantong Semar (Nepenthes ampullaria, Jack.)
(Laporan Penelitian Mandiri). Bandung. Univ. Padjadjaran
Sutin. 2008. Pembuatan Asap Cair dari Tempurung dan Sabut Kelapa secara
Pirolisis serta Fraksinasinya dengan Ektraksi (Skripsi Sarjana Teknologi
Pertanian). Bogor: Institut Pertanian Bogor
Thorpe NO. 1995. Cell Biology. New York: John Wiley and Sons
Tranggono, Suhardi dan A.H. Setiaji. 1997. Produksi Asap Cair Beberapa Jenis Kayu
dan Penggunaannya pada Pengolahan Beberapa Bahan Makanan Indonesia
(Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu) Jakartra: Menteri Riset dan Teknologi
Tursiman, dkk. 2012. Total Fenol Fraksi Etil Asetat dari Buah Asam Kandis
(Garcinia dioica Blume). (Jurnal JKK, tahun 2012, Volume 1 (1), halaman 4558 ISSN: 2303-1077)
Vermerris W., Nicholson R. 2006. Phenolic Compound Biochemistry. Netherlands:
Springer.
Wahyu, Boby Widiastomo, dkk. 2013. Efek Antimikroba Ekstrak Etanol Daun
Pepaya (Carica papaya L.) terhadap Bakteri Shigella dysenteriae Kode Isolat
2312-F secara In Vitro. Malang: Univ. Brawijaya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
Wayan, Ni Sri A. dan Kusmiati. 2012. Identifikasi dan Uji Aktivitas Antibakteri
Senyawa Aktif secara Maserasi dan Digesti dalam Berbagai Pelarut dari
Mikroalga Dunaliella salina (Seminar Nasiol IX Pendidikan Biologi FKIP
UNS). Bogor: Puslit Bioteknologi-LIPI Cibinong
Yatagai Mitsuyoshi. 2002. Utilizatio of Charcoal and Wood Vinegar in Japan.
Graduate School of Agricultural and Life Science. Japan: The University of
Tokyo
Yuli, Maria dan Rosa, S.P. 2012. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Termofilik dari
Mata Air Panas di Songgoriti Setelah Dua Hari Inkubasi. Surabaya: ITS (Jurnal
Teknik Pomits Vol. 1, No. 1 (2012) 1-5)
Yulistiani, Ratna, dkk. 1997. Kemampuan Penghambatan Asap Cair terhadap
Pertumbuhan Bakteri Patogen dan Perusak pada Lidah Sapi. Yogyakarta:
Univ. Gajah Mada (Prosiding Seminar Tek. Pangan)
Zaitsev, I., I. Kizeveter, L. lacunov, T. Makavora, L. Mineer, and V. Podsevalor.
1969. Fish Curing and Processing. Mir Publisher. Moskow.
Zuraida, Ita. 2008. Kajian Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap Daya
Awet Bakso Ikan (Tesis Magister Sains). Bogor: Institut Pertanian Bogor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Lampiran 1. Kerangka Penelitian
Tempurung Kelapa Sawit
Asap cair suhu
200-2500C
Asap cair suhu
280-3500C
Asap cair suhu
>4000C
Arang
Aktif
Analisa sifat fisik dan kimia:
1. pH
2. Bobot Jenis
3. Total Fenol
4. Kadar Asam
Uji aktivitas antibakteri dengan difusi cakram
Aktivitas maksimal
Fraksi suhu <650C
Fraksi suhu >650C
Analisa komponen kimia dg GC-MS
Penentuan KHM dengan metode dilusi
Analisis kerusakan sel menggunakan SEM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
Lampiran 2. Peremajaan Bakteri Uji
Stok bakteri uji
Diinokulasikan pada Nutrient Agar miring
Inkubasi 370C selama 24 jam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
Lampiran 3. Persiapan Suspensi Bakteri
Stok biakan bakteri pada agar
Nutrient Agar umur 24 jam
Larutan H2SO4 0,36 N
sebanyak 99,5 mL
Suspensikan 1 jarum ose ke
dalam 10 mL Nutrient Broth
Dicampurkan dengan larutan
BaCl2.2H2O 1,175%
sebanyak 0,5 mL
Diinkubasi pada suhu
370C selama 24 jam
Dikocok sampai terbentuk
larutan yang keruh
Kekeruhan suspensi bakteri dan
Mc. Farland dibandingkan
Didapatkan suspensi bakteri dengan
konsentrasi 1 x 108 CFU/mL
Didapatkan suspensi bakteri
dengan konsentrasi 1 x 108
CFU/mL
1 mL suspensi bakteri 108 CFU/mL dicampur
dengan 9 mL NaCl 0,9% steril, didapatkan
kepadatan 107 CFU/mL
1 mL suspensi bakteri 107 CFU/mL dicampur
dengan 9 mL Nutrient Broth, didapatkan kepadatan
106 CFU/mL
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Lampiran 4. Penentuan Daya Hambat dengan Metode Dilusi Cair
0,5 mL & 0,5 mL &
dikocok
dikocok
Larutan
stok asap
cair 10X
(10%)
0,5 mL &
dikocok
0,5 mL &
dikocok
0,5 mL &
dikocok
0,5
mL &
buang
1
2
3
4
5
6
7
0,5 mL NB
Masing-masing ditambahkan
suspensi bakteri 106 CFU/mL
sebanyak 0,1 mL
Ditambahkan Nutrient
Broth 0,4 mL
Volume total masingmasing tabung 1 mL
Diinkubasi 370C selama
18-24 jam
Diamati kekeruhan dan
dibandingkan dengan kontrol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Lampiran 5. Analisa Kerusakan Sel Menggunakan SEM
Cairan disentrifus
Dibuang supernatannya
Cairan disentrifus
Rendam 1-2 jam
Dibuang supernatannya
Cairan disentrifus
Dibuang larutan fiksatifnya
Ditambahkan glutaraldehid 2%
Ditambahkan asam tannin 2%
Ditambahkan
caccodylate buffer
Direndam 20 menit
Disentrifus kembali
Direndam 1 jam
Ditambahkan osmium
tetraoksida 1%
Dibuang buffernya
Disentrifus kembali
Dibuang larutannya
Ditambahkan alkohol 50%
Direndam 10 menit
Ditambahkan alkohol 70%
Direndam 20 menit
Ditambahkan alkohol 80%
Direndam 10 menit
Ditambahkan alkohol 95%
Ditambahkan alkohol absolut
Direndam 10 menit
Direndam 20 menit
Disentrifus kembali
Dibuang butanolnya
Ditambahkan butanol kembali
Dibuang larutannya
Disentrifus kembali
Ditambahkan t-butanol
Direndam 20 menit
Dibuat suspensi
Dibekukan potongan
cover slip
Dikering-anginkan
Dibuat ulasan suspensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
Lampiran 6. Data dan Perhitungan % Rendemen Asap Cair
Suhu Pirolisis 0C
Rendemen
% Rendemen
200-250
62 mL
3,1 %
280-350
226 mL
11,3%
>400
196 mL
9,8%
TOTAL
484 mL
24,2%
Berat Bahan yang di pirolisis =2 kg (2000 gram)

Asap cair suhu pirolisis 200-2500C

Asap cair suhu pirolisis 280-3500C

Asap cair suhu pirolisis >4000C
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
Lampiran 7. Data dan Perhitungan % Rendemen Arang Aktif

Rendemen arang aktif
Berat arang aktif
= 573,27 gram
Berat bahan yang dipirolisis =2 kg (2000 gram)

Total rendemen
Total rendemen = Rendemen asap cair + Rendemen arang aktif
Total rendemen = 24,2% + 28,6635%
Total rendemen = 52,86%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
Lampiran 8. Data dan Perhitungan Bobot Jenis Asap Cair
No
Suhu
Berat piknomoter
Berat pikonometer +
Berat piknometer +
Bobot
sampel
awal (gram) = W0
aquades (gram) = W1
sampel (gram) = W2
jenis
1
200-2500C
26,0891
50,4905
50,8428
1,0144
2
280-3500C
28,2441
53,0334
53,4929
1,0185
3
>4000C
29,0496
53,6010
54,3687
1,0313
Perhitungan bobot jenis 200-2500C:
Perhitungan bobot jenis 280-3500C:
Perhitungan bobot jenis >4000C:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
Lampiran 9. Data dan Perhitungan Kadar Fenol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
(Lanjutan)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
Lampiran 10. Tabel Perhitungan Kadar Fenol
No.
Suhu Pirolisis
1.
200-2500C
Pengulangan Absorbansi
I
0,3768
24,9974
II
0,3836
25,4314
III
0,3672
24,3886
Rata-rata
2.
280-3500C
24,93913
I
0.9708
62,8134
II
0.9214
59,6685
III
0.9883
63,9273
Rata-rata
3.
>4000C
Konsentrasi (ppm)
62,1364
I
1.4432
92.8862
II
1.4260
91.7894
III
1.4692
94.5408
Rata-rata
93,07213
Konsentrasi (ppm) asap cair suhu 200-2500C:
Konsentrasi (ppm) asap cair suhu 200-2500C:
Konsentrasi (ppm) asap cair suhu 200-2500C:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
Lampiran 11. Tabel Data dan Perhitungan Kadar Asam
Baku Standart
Vol. NaOH
Vol. NaOH
Vol. NaOH
awal (mL)
akhir (mL)
untuk Titrasi
Asam Oksalat (1)
0
22,6
22,6
Asam Oksalat (2)
22,6
45,2
22,6
Perhitungan normalitas NaOH:
V(NaOH) x N(NaOH) = V(As. Oksalat) X N(As. Oksalat)
22,6 x N1 = 20 mL x 0,11 N
N(NaOH) = 0,098 N
Suhu
Vol. NaOH
Vol. NaOH
Vol. NaOH
Normalitas
Kadar
Sampel
awal (mL)
akhir (mL)
untuk titrasi
NaOH
asam (%)
2,4588
0
1
200-250 C1
10,4
11,5
1,1
0,098
2
200-2500C2
12,6
13,6
1
0,098
3
280-3500C1
3,4
11,8
8,4
0,098
4
280-3500C2
11,8
19,9
8,1
0,098
5
>4000C1
22,4
37,5
15,1
0,098
6
>4000C2
34,4
50
15,6
0,098
7
>4000C3
3,1
18,3
15,2
0,098
4,8173
8,896
Perhitungan kadar asam suhu 200-2500C:
(
)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
(Lanjutan)
Perhitungan kadar asam suhu 280-3500C:
(
)
Perhitungan kadar asam suhu >4000C:
(
)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
Lampiran 12. Bakteri Uji
Staphylococcus aureus ATCC 25923
Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853
Pewarnaan bakteri
Pewarnaan bakteri
Staphylococcus aureus
Pseudomonas aeruginosa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
Lampiran 13. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dengan Difusi Cakram

Bakteri Pseudomonas aeruginosa
Bakteri uji
Pseudomonas
aeruginosa
Suhu pirolisis
Hasil uji asap cair tempurung kelapa sawit
200-2500C
a
a
0 kali
Keterangan:
a = Asap cair suhu pirolisis 200-2500C
Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%)
Pseudomonas
aeruginosa
280-3500C
b
b
0 kali
a
Keterangan:
b = Asap cair suhu pirolisis 280-3500C
Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%)
Pseudomonas
aeruginosa
>4000C
c
c
0 kali
Keterangan:
c = Asap cair suhu pirolisis >4000C
Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%)
Pseudomonas
aeruginosa
200-2500C dan
280-3500C
d
e
e
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d
79
Keterangan:
d = Asap cair suhu pirolisis 200-2500C
Pengenceran 10X (konsentrasi 10%)
e = Asap cair suhu pirolisis 280-3500C
Pengenceran 10X (konsentrasi 10%)
Pseudomonas
aeruginosa
>4000C dan
Kontrol Positif
f
g
g
Keterangan:
f = Asap cair suhu pirolisis >4000C
Pengenceran 10X (konsentrasi 10%)
g = Kontrol positif
Tetrasiklin HCl konsentrasi 1000 ppm
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
f
80
(Lanjutan)

Bakteri Staphylococcus aureus
Staphylococcus
aureus
200-2500C
0 kali
h
h
Keterangan:
h = Asap cair suhu pirolisis 200-2500C
Pengenceran 0 kali (100%)
Staphylococcus
aureus
280-3500C
i
i
0 kali
Keterangan:
i = Asap cair suhu pirolisis 280-3500C
Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%)
Staphylococcus
aureus
>4000C
j
j
0 kali
Keterangan:
j = Asap cair suhu pirolisis >4000C
Pengenceran 0 kali (konsentrasi 100%)
Staphylococcus
aureus
200-2500C dan
0
280-350 C
l
k
l
k
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
Keterangan:
k = Asap cair suhu pirolisis 200-2500C
Pengenceran 10X (konsentrasi 10%)
l = Asap cair pirolisis 280-3500C
Pengenceran 10X (konsentrasi 10%)
Staphylococcus
aureus
>4000C dan
Kontrol Positif
m
n
n
m
Keterangan:
m = Asap cair suhu pirolisis >4000C
Pengenceran 10X (konsentrasi 10%)
n = Kontrol positif
Tetrasiklin HCl konsentrasi 1000 ppm
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
Lampiran 14. Tabel Perhitungan Zona Hambat pada Difusi Cakram
Pirolisis
Faktor
Percobaan
Pengenceran
200-2500C
0 kali (100%)
10 kali (10%)
50 kali (2%)
280-3500C
0 kali (100%)
10 kali (10%)
50 kali (2%)
>4000C
0 kali (100%)
10 kali (10%)
50 kali (2%)
Kontrol
Tetrasiklin HCl
Zona Hambat (mm)
S. aureus
P.aeruginosa
I
32,5
27,9
II
34,9
28,5
Rata-rata
33,7
28,2
I
12,4
10,2
II
9,7
15,0
Rata-rata
11,05
12,6
I
-
8,9
II
-
-
Rata-rata
-
4,45
I
40,1
38,6
II
41,0
38,8
Rata-rata
40,55
38,7
I
19,2
15,2
II
19,8
15,8
Rata-rata
19,5
15,5
I
-
-
II
-
-
Rata-rata
-
-
I
45,6
45,0
II
53,5
42,1
Rata-rata
49,55
43,55
I
22,2
21,2
II
25,6
22,6
Rata-rata
22,4
21,9
I
13,6
8,9
II
9,9
10,2
Rata-rata
11,75
9,55
I
16,8
18,3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
Positif
Kontrol
1000 ppm
Aquadest Steril
II
21,7
21,2
Rata-Rata
19,25
19,75
I
-
-
II
-
-
Rata-rata
-
-
Negatif
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
Lampiran 15. Hasil Uji KHM Asap Cair dengan Dilusi Cair
Bakteri Uji
Fraksi
Hasil Uji KHM Difusi Cair Asap Cair
Suhu
Staphylococcus <650C
a
aureus (1)
Staphylococcus
k
aureus (2)
Pseudomonas
b
h
c
d
e
f
j
i
g
f
g
f
g
h
i
j
j
k
e
d
c
b
a
f
e
d
c
b
g
e
d
c
<650C
aeruginosa (1)
k
h
j
i
a
Pseudomonas
aeruginosa (2)
k
h
j
i
b
a
b
a
Staphylococcus >650C
aureus (1)
k
h
j
i
g
f
e
d
c
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
Staphylococcus
Pseudomonas
h
k
aureus (2)
j
i
g
f
e
d
c
b
a
>650C
aeruginosa (1)
k
j
i
h
g
f
e
d
c
b
h
j
i
g
f
e
d
c
b
a
Pseudomonas
aeruginosa (2)
k
Keterangan:
a : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 5%
b : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 2,5%
c : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 1,25%
d : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 0,625%
e : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 0,3125%
f : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 0,156%
g : Asap cair suhu >4000C fraksi suhu <650C konsentrasi 0,078%
h : Kontrol bakteri
i : Kontrol media natrium broth steril
j : Kontrol natrium broth + pelarut (Kontrol sterilitas)
k : Kontrol positif (Tetrasiklin HCl 500 ppm)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a
86
Lampiran 16. Tabel Hasil Uji Nilai KHM dengan Dilusi Cair
Konsentrasi
S. aureus (1)
S. aureus (2)
P. aeruginosa
P. aeruginosa (2)
(1)
Fraksi <650C:
5%
-
-
-
-
2,5%
-
-
-
-
1,25%
+
+
-
-
0,625%
+
+
+
+
0,3125%
+
+
+
+
0,156%
+
+
+
+
0,078%
+
+
+
+
5%
-
-
-
-
2,5%
-
-
-
-
1,25%
-
-
-
-
0,625%
-
-
-
-
0,3125%
+
+
-
-
0,156%
+
+
+
+
0,078%
+
+
+
+
-
-
-
-
Kontrol medium
-
-
-
-
Kontrol bakteri
+
+
+
+
Kontrol positif
-
-
-
-
Fraksi >650C
Kontrol
Sterilitas
Keterangan:
(+) menunjukkan pertumbuhan bakteri
(-) menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
Lampiran 17. Perhitungan Larutan Uji KHM
1. Larutan uji:
Larutan stok 10% asap cair fraksi <650C  Dilarutkan 1 mL asap cair fraksi
<650C menggunakan aquades steril sampai 10 mL dalam labu ukur.
5%
 500 L larutan stok 10% ; 100 L suspensi bakteri ; 400 L NB steril
2,5%
 500 L larutan stok 5% ; 100 L suspensi bakteri ; 400 L NB steril
1,25%  500 L larutan stok 2,5% ; 100 L suspensi bakteri ; 400 L NB steril
0,625%  500 L larutan stok 1,25%; 100 L suspensi bakteri ; 400 L NB steril
0,3125% 500 L larutan stok 0,625%;100 L suspensi bakteri;400 L NB steril
0,156% 500 L larutan stok 0,3125%;100 L suspensi bakteri;400 L NB steril
0,078%  500 L larutan stok 0,156%;100 L suspensi bakteri;400 L NB steril
2. Larutan Kontrol Positif Tetrasiklin HCl 500 ppm
Larutan stok 1000 ppm tetrasiklin HCl  Dilarutkan 1 mg tetrasiklin HCl
menggunakan aquades steril sampai 10 mL dalam labu ukur.
500 ppm  500 L larutan stok 1000 ppm;100 L suspensi bakteri;400 L NB
steril
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Lampiran 18. Kromatogram GC-MS Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu <650C
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
Lampiran 19. Komponen Kimia Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu <650C
No.
Waktu Retensi
Area
% Area Komponen
1.
6,327 19.985.014
2.
8,478
1.299.611
5,01 2-Methylphenol
3.
9,164
664.848
2,56 4-Methylphenol
4.
9,350
3.326.846
5.
12,404
497.694
1,92 2-Methoxy-4-Methylphenol (p-Methylguaiacol)
6.
14,810
162.185
0,63 4-Ethyl-2-Methoxy-Phenol
Total
25.936.198
77,05 Phenol
12,83 2-Methoxyphenol (Guaiacol)
100,00
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
Lampiran 20. Kromatogram GC-MS Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu >650C
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
Lampiran 21. Komponen Kimia Asap Cair Hasil Fraksinasi Suhu >650C
No.
Waktu Retensi
Area
% Area Komponen
1.
6,344
4.392.602
2.
7,586
78.982
3.
8,497
124.848
2,40 2-Methylphenol
4.
9,191
93.976
1,81 4-Methylphenol
5.
9,374
308.090
6.
12,425
91.338
7.
16,841
115.827
Total
5.205.663
84,38 Phenol
1,52 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl-
5,92 2-Methoxyphenol (Guaiacol)
1,75 2-Methoxy-4-Methylphenol (p-Methylguaiacol)
2,23 3,4,-Dimethylphenol
100,00
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
Lampiran 22. Alat-alat yang digunakan
Shaker incubator
Oven suhu 1050C
pH meter
Vaccum rotary evaporator
Autoklaf
Timbangan analitik
UV-Vis Spektrofotometer
Gas Chromatography-Mass
Nutrient Agar dan Nutrient
Spectroscopy
Broth
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download