mengenal musik gregorian

advertisement
MENGENAL MUSIK GREGORIAN
Oleh: Lastiko Runtuwene
(Bahan pelatihan/kursus Musik Liturgi Gereja Katolik
Untuk para Suster di Postulat dan Novisiat JMJ Tomohon)
“Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau
menyanyikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka.”
(Sacrosanctum Concilium 54)
“Gereja memandang nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas bagi Liturgi Romawi. Maka dari itu
- bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih... penting - nyanyian Gregorian hendaknya
diutamakan dalam upacara-upacara Liturgi.” (Sacrosanctum Concilium 116)
1. ASAL-USUL MUSIK GREGORIAN
Musik Klasik dimulai dengan penemuan Notasi Gregorian tahun 590 oleh
Paus Gregorius Agung (Gregory), berupa balok not dengan 4 garis, namun notasi
belum ada hitungannya. Paus Gregory semasa hidupnya telah mencatat lagu-lagu
Gereja dengan Notasi Gregorian tersebut sebelum tahun 590 musik mengalami
kegelapan tidak ada peninggalan tertulis yang dapat dibaca.
Notasi musik Gregorian lahir pada tahun 590 yang disebut Notasi
Gregorian, yang ditemukan oleh Paus Agung Gregori, di mana sebelumnya
musik mengalami kegelapan tidak ada peninggalan tertulis. Pada masa hidupnya
Paus Gregori telah menyalin ratusan lagu-lagu Gereja dalam Notasi Gregorian
tersebut. Notasi ini memekai 4 garis sebagai balok not, tetapi belum ada notasi
iramanya (hitungan berdasarkan perasaan penyanyi. Di sini sifat lagu masih
sebagai lagu tunggal atau monofoni. Notasi gregorian biasanya digunakan sebagai
notasi untuk memainkan lagu gereja
Kidung Gregorian adalah pusat tradisi kidung Barat, semacam kidung
liturgis monofonik dari Kekristenan Barat yang mengiringi perayaan misa dan
ibadat-ibadat ritual lainnya. Kumpulan besar kidung ini adalah musik tertua yang
dikenal karena merupakan kumpulan kidung pertama yang diberi notasi pada
abad ke-10. Secara umum, kidung-kidung Gregorian dipelajari melalui metode
viva voce, yakni dengan mengulangi contoh secara lisan, yang memerlukan
pengalaman bertahun-tahun lamanya di Schola Cantorum. Kidung Gregorian
bersumber dari kehidupan monastik, di mana menyanyikan 'Ibadat Suci'
sembilan kali sehari pada waktu-waktu tertentu dijumjung tinggi seturut Peraturan
Santo Benediktus. Melagukan ayat-ayat mazmur mendominasi sebagian besar
dari rutinitas hidup dalam komunitas monastik, sementara sebuah kelompok
kecil dan para solois menyanyikan kidung-kidung. Dalam sejarahnya yang
panjang, kidung Gregorian telah mengalami banyak perubahan dan perbaikan
sedikit demi sedikit.
1
Kidung Gregorian terutama digubah, dikodifikasi, dan diberi notasi di
wilayah-wilayah Eropa Barat dan Eropa Tengah yang dikuasai Bangsa Frank pada
abad ke-9 dan ke-10, dengan penambahan-penambahan dan penyuntinganpenyuntingan dikemudian hari, tetapi naskah-naskah dan banyak dari melodimelodinya jauh berasal dari beberapa abad sebelumnya. Meskipun banyak orang
meyakini bahwa Paus Gregorius Agung sendiri yang menciptakan kidung
Gregorian, para sarjana kini percaya bahwa kidung tersebut membawa-bawa
nama Paus itu sejak sintesis Karolingian yang terjadi di kemudian hari antara
kidung Romawi dan Kidung Gallika, dan pada masa itu mencatut nama
Gregorius I merupakan 'trik pemasaran' untuk memberi kesan adanya inspirasi
suci sehingga dapat menghasilkan satu protokol liturgis yang akan digunakan di
seluruh kekaisaran. Satu kekaisaran, satu Gereja, satu Kidung - kesan kesatuan
merupakan isu pokok pada era Karolingian.
Selama abad-abad berikutnya kidung Gregorian tetap menempati jantung
musik Gereja, di mana ia menumbuhkan berbagai cabang dalam arti bahwa
praktik-praktik performansi yang baru bermunculan di mana musik baru dalam
naskah yang baru diperkenalkan atau pun kidung-kidung yang sudah ada diberi
tambahan dengan cara menyusunnya menjadi Organum. Bahkan musik polifonik
yang muncul dari kidung-kidung kuna nan luhur dalam Organa oleh Leonin] dan
Perotin di Paris (1160-1240) berakhir dengan kidung monofonik dan dalam
tradisi-tradisi di kemudian hari gaya-gaya komposisi baru dipraktikkan dalam
jukstaposisi (atau ko-habitasi) dengan kidung monofonik. Praktek ini berlanjut
sampai ke masa hidup Francois Couperin, yang misa-misa organnya
dimaksudkan untuk dinyanyikan silih berganti dengan kidung homofonik.
Meskipun hampir tidak digunakan lagi sesudah periode Baroque, kidung
mengalami kebangkitan kembali pada abad ke-19 dalam Gereja Katolik Roma
dan sayap Anglo-Katolik dari Komuni Anglikan.
2. NOTASI MUSIK GREGORIAN
Kidung-kidung Gregorian ditulis dalam notasi grafis yang menggunakan
seperangkat tanda-tanda khusus yang disebut neuma, yang memperlihatkan suatu
gerak musik dasar (lihat notasi musik). Dalam buku-buku kidung yang terdahulu,
pemberian notasi dilakukan dengan cara menyingkat kata-kata dalam kalimat
syair sedapat mungkin lalu diimbuhi neuma-neuma di atasnya. Dalam tahap
selanjutnya ditambahkan satu atau lebih garis paranada, dan pada abad ke-11
kebutuhan untuk memperlihatkan pula interval-interval menciptakan notasi
balok, yang kelak menjadi sumber dari notasi balok modern dalam lima garis
paranada yang dikembangkan pada abad ke-16. Kidung gregorian merupakan
tradisi musik yang dominan dan sentral di seluruh Eropa dan menjadi akar
perkembangan musik yang bersumber darinya, seperti kebangkitan polifoni pada
abad ke-11.
2
Kidung Gregorian secara tradisional dinyanyikan oleh paduan suara pria
dan anak-anak lelaki di dalam gereja-gereja, atau oleh biarawan dan biarawati di
dalam kapela-kapela mereka. Kidung ini adalah musik dari Ritus Romawi,
dinyanyikan dalam Misa dan Ibadat Harian monastik. Meskipun kidung
gregorian menggantikan atau menyingkirkan tradisi-tradisi kidung-kidung asli
Kristiani Barat lainnya dan menjadi musik resmi liturgi Kristiani Barat, kidung
ambrosian masih tetap dipergunakan di Milan, dan ada pula para musikolog yang
mengeksprolasi baik kidung gregorian dan ambrosian maupun kidung Mozarabik
milik umat Kristiani Spanyol. Meskipun kidung gregorian tidak lagi diwajibkan,
Gereja Katolik Roma masih secara resmi menganggapnya sebagai musik yang
paling cocok untuk peribadatan. Pada abad ke-20, kidung gregorian mengalami
resurgensi musikologis dan populer.
Seperti halnya musik kuno Yunani, musik Gregorian juga berdasarkan
pada 4 nada atau tetrachord, yaitu D – E – F dan G. Di atas nada tersebut
disusun tangga nada gregorian otentik, dengan 4 nada tersebut sebagai nada
finalis (nada penutup) atau nada dasar. Dari sini terbentuklah 4 tangga nada atau
sistem modalitas Gregorian yang terdiri masing-masing dari 2 jenis, yaitu Otentik
dan Plagal. Plagal berasal dari kata Yunani, yaitu plagios yang artinya miring atau
dalam hal ini sebagai pembantu atau bersifat sekunder.
Nyanyian Gregorian menggunakan modus. Masing-masing mempunyai
nada pusat. Terdapat 8 modus (tangga nada) nyanyian Gregorian yaitu:
 Doris
re
 Hypodoris
la
 Phrygis
mi
 Hypophrygis
si
 Lydis
fa
 Hipolydis
do
 Mixolydis
sol
 Hypomyxolydis re
mi
si
fa
do
sol
re
la
mi
fa
do
sol
re
la
mi
si
fa
sol
re
la
mi
si
fa
do
sol
la
mi
si
fa
do
sol
re
la
si
fa
do
sol
re
la
mi
si
do
sol
re
la
mi
si
fa
do
re
la
mi
si
fa
do
sol
re
(PS 518)
(PS 34)
(PS 501)
(PS 560)
(PS 76)
(PS 387)
(PS 491)
(PS 53)
Modus-modus tersebut digunakan selama berabad-abad di Eropa. Dari modusmodus tersebut, berkembanglah tangga nada mayor dan minor yang umum
digunakan sejak abad ke-17.
Mayor
do
re
mi
fa
sol la
si
do
(PS 319)
Minor
la
si
do
re
mi
fa
sol la
(PS 595)
Gregorian itu memiliki dua kunci, C dan F. Masing-masing kunci itu bisa
berada di (mengapit) garis pertama, kedua, ketiga, atau keempat dari bawah.
Apapun garis yang diapit oleh kunci C, not yang ada di garis itu bunyinya Do.
Untuk yang kunci F tentunya Fa.
3
Di atas adalah lagu Pater Noster atau Bapa Kami (Puji Syukur 402). Lihat
kuncinya, bandingkan dengan gambar di atas. Ini kunci C. Kunci C di partitur ini
mengapit garis ketiga dari bawah. Jadi, not yang ada di garis itu bunyinya Do, di
atasnya Re, di bawahnya Si, dan seterusnya. Jadi, di partitur ini, not yang pertama
bunyinya Sol, selanjutnya La, Si, Si .. La, Do, Si, La, Sol.
Garis Paranada
Teks gregorian juga memiliki garis paranada seperti halnya not balok. Bedanya
pada not balok memiliki 5 garis, kalau teks gregorian memiliki 4 garis. Garis-garis
ini akan memiliki arti jika memiliki tanda kunci.
Tanda Kunci
Ada 2 macam tanda kunci:
4
Kalau memakai kunci C (C Clef, sebelah kiri), garis paling atas tempat tanda
kunci diletakkan adalah tempat untuk not C. Di bawah garis paling atas berarti
untuk not sebelum C, yakni B. Pada garis kedua dari atas adalah A, dan di bawah
A adalah G (ingat tangga nada C-D-E-F-G-A-B-C), seperti gambar di bawah ini:
Kunci C tidak selalu diletakkan di garis paling atas, tapi juga bisa diletakkan di
garis lain, misalnya garis kedua dari atas. Kalau seperti itu, maka not yang
diletakkan di garis yang sama dengan kunci C diletakkan adalah not C. Contoh:
Begitu pula dengan kunci F (lihat gambar yang atas), tempat dimana kunci F
ditempatkan adalah tempat menaruh not F. Contoh:
Bagi anda yang terbiasa dengan not balok tentu bagian ini sangat mudah.
Sedangkan bagi anda yang tidak menguasai not balok tapi menguasai not angka,
bagian ini bisa dibuat lebih mudah dengan mengganti not-not berupa huruf di
atas ke dalam angka atau solmisasi :
C = 1 (do)
D = 2 (re)
E = 3 (mi)
F = 4 (fa)
G = 5 (sol)
5
A = 6 (la)
B = 7 (si)
Maka keempat gambar di atas bila di-solmisasi-kan menjadi :
Seperti halnya sistem birama pada musik modern, notasi gregorian juga
memiliki sistem yang bisa disejajarkan dengan notasi modern. Umumnya, satu
bunyi tunggal pada notasi gregorian memiliki panjang nada yang sama dengan not
seperdelapan pada notasi balok. Secara umum ada not yang berdiri sendiri dan
himpunan dua atau lebih not normal yang disebut neuma. Berikut ini uraiannya:
Dalam teori lain ada yang menyebut punctum cuadratum dengan sebutan
punctum saja, sedangkan punctum inclinatum disebut stropha. Punctum
cuadratum selalu dapat berdiri sendiri, sedangkan virga selalu diikuti dengan
6
bentuk not lain. Punctum inclinatum selalu mengikuti virga. Punctum bila diberi
titik berarti memiliki dua kali panjang nada. Maka bila punctum sejajar dengan
not seperdelapan (not dengan garis atas pada notasi angka), punctum + titik
berarti sejajar dengan not seperempat (not tanpa garis atas pada notasi angka).
Selain itu ada pula episema berupa punctum yang di bawah atau atasnya
diberi garis horizontal. Punctum dengan episema berarti diperpanjang tanpa
dilipatduakan. Ada pula jenis not yang diperpanjang tanpa dilipatduakan seperti
episema yang disebut dengan quilisma, akan dijelaskan di bagian neuma.
NEUMA
Himpunan lebih dari satu not tunggal disebut dengan neuma. Ada banyak variasi
neuma :
Pes atau disebut juga Podatus adalah himpunan dua not dimana not yang ada di
bawah dibunyikan lebih dulu baru diikuti not yang di atas.
Clivis adalah himpunan dua not dimana not yang ada di atas dibunyikan lebih
dulu baru diikuti not yang lebih rendah.
Baik pes maupun clivis, antara not pertama dan kedua dapat memiliki interval
yang lebih jauh dibandingkan contoh di atas.
Torculus dinyanyikan berurutan dimana not yang di tengah selalu paling tinggi.
Misalnya: sol-la-sol
Porrectus adalah kebalikan torculus, dimana not yang di tengah selalu paling
rendah. Misalnya: la-fa-la.
7
Climacus adalah neuma berurutan dimana not pertama yang paling tinggi
kemudian 2 not berikutnya berurutan lebih rendah. Misalnya: la-sol-fa.
Scandicus kebalikan dari climacus, diawali dari not yang paling rendah kemudian
berurutan meninggi. Ada dua jenis penulisan scandicus seperti yang diperlihatkan
gambar ini.
Ada pula not quilisma, seperti punctum dalam bentuk corat-coret, ini berarti not
di depan quilisma diperpanjang tanpa dilipatduakan, dengan kata lain not di
depan quilisma diberikan episema.
Selain itu ada beberapa neuma khusus:
Liquescente, adalah not kecil pada akhir neuma. Not kecil ini tidak merubah
panjang nada, dan berfungsi untuk memberi penekanan pada pengucapan
kalilmat. Pada contoh di gambar ini ada not kecil pada neuma di kata Al-, ini
berarti pengucapan huruf l mendapat penekanan.
8
Baik distropha maupun tristropha berarti ada dua atau tiga nada yang harus tetap
dibunyikan walaupun notnya sama. Distropha walaupun panjangnya sama dengan
satu not ditambah titik, tetap berbeda cara menyanyikannya.
Penggabungan dari beberapa neuma bisa menjadi lebih banyak variasi lagi. Kalau
sudah menguasai neuma-neuma di atas, saya yakin akan lebih mudah untuk
memahami variasi yang lebih rumit lagi.
TANDA ISTIRAHAT
Ada empat macam tanda istirahat sesuai gambar di atas:
a) Berupa garis vertikal kecil di garis paling atas, tidak selalu berarti jeda,
kadang hanya untuk memisahkan sebuah klausa kalimat.
b) Berupa garis vertikal di tengah garis paranada, walau tidak memperpanjang
jeda, hampir selalu digunakan untuk mengambil nafas.
c) Berupa satu garis vertikal penuh, untuk mengakhiri sebuah frase lagu
dengan sebuah jeda, dan digunakan untuk mengambil nafas.
d) Berupa dua garis vertikal penuh, untuk mengakhiri sebuah kalimat lagu
atau akhir lagu.
9
6.3. MENYANYIKAN LAGU GREGORIAN
Contoh lagu "Salve Mater":
Lagu Salve Mater dapat dibagi menjadi empat bagian:
-Bagian pertama pada kata-kata: Salve mater misericordiae,
-Bagian kedua: Mater Dei, et mater veniae
-Bagian ketiga: Mater spei, et mater gratiae
-Bagian keempat: mater plena sanctae laetitiae. O Maria!
Sistem penulisan notasi angka memakai sistem yang digunakan puji syukur, yakni
not tanpa titik ditulis dengan not angka + garis atas, dan not dengan titik ditulis
not angka tanpa garis atas.
Garis vertikal kecil pada not dinamakan ictus, pada sistem penulisan Puji Syukur,
not dengan ictus ini menjadi not pertama dalam satu garis atas yang sama.
Bagian Pertama
Ingat tanda kunci di artikel pertama. Lagu ini memakai kunci C yang diletakkan
pada garis paling atas, maka not pada garis paling atas bisa disamakan dengan not
C, atau do, atau dengan notasi angka dengan angka 1. Maka bisa dilihat pada teks
ini pada syair "mater" dan "mi-" ada di garis paling atas sehingga pasti not itu
adalah do. Kalau garis paling atas adalah do, maka di bawah garis paling atas
(istilahnya spasi) adalah si, garis kedua dari atas adalah la, dan dibawahnya lagi
adalah sol. Di situlah letak not untuk kata "salve", maka dua not itu pasti adalah
sol.
10
Jika disolmisasikan maka akan menjadi:
Tidak cukup sampai di sini, karena juga mesti diperhatikan juga panjang nada,
dalam teks ini adalah punctum dengan garis atas (episema) yang dipanjangkan
tanpa dilipatduakan, dan punctum dengan titik yang dipanjangkan dua kali lipat.
Jadi, bila di-notasi-angka-kan menjadi :
Bagian Kedua
Bila diperhatikan pada teks yang utuh, bagian kedua ini ada di baris yang berbeda
yakni "Mater Dei, et" di baris pertama, disambung "mater veniae" di baris kedua.
Pada akhir baris terdapat not kecil, setelah kata "et" pada teks bagian kedua ini.
Not kecil ini disebut custos yang berguna untuk menunjukkan tempat not pada
awal baris berikutnya. Pada teks ini bisa dilihat bahwa letak custos dan not
pertama baris selanjutnya berada pada tempat yang sama.
Dengan menggunakan cara yang sama seperti bagian pertama, solmisasinya akan
menjadi :
Dan bila di-not-angka-kan menjadi :
11
Bagian Ketiga
Bagian ketiga langsung saja ditampilkan teks asli, solmisasi, dan not angkanya.
Bagian Keempat
Pada bagian keempat ini sedikit berbeda, yakni tanda istirahat, yang bisa
digunakan untuk mengambil nafas, atau bisa juga jeda tanpa ambil nafas. Juga ada
distropha
(dua
not
sama
berurutan)
pada
kata
"Maria".
Solmisasi:
Not angka:
12
Bila digabungkan semuanya secara utuh akan menjadi:
Untuk latihan anda, bisa sambil corat-coret di kertas atau komputer, silahkan
coba baca notasi Salve Mater pada bagian ayatnya berikut ini:
Beberapa pedoman membawakan/menyanyikan nyanyian/lagu Gregorian
dengan not angka: (Lih. PS Hal. xxiv):
1. Garis di atas not dimaksudkan untuk menunjukkan himpunan nada; kalau
ada tiga not dengan garis satu, itu bukanlah triol; setiap not tetap sama
panjangnya (1/8). Di samping itu juga dimaksudkan supaya lagu
dinyanyikan lebih lancar/cepat.
2. Not tanpa garis di atasnya, harganya dua kali lipat not dengan garis di
atasnya; jadi not itu dinyanyikan dua kali lebih panjang.
3. Not dengan tanda “w“ di atasnya dimaksud untuk mengungkapkan not
kuilisma dalam penulisan gregorian asli ( ). Kalau ada not dengan tanda “w
“, maka not di depannya diperpanjang sedikit (tanpa dilipatduakan).
4. Garis datar di bawah not dimaksudkan sebagai transversum episema. Not
dengan tanda ini diperpanjang sedikit (tanpa dilipatduakan).
5. Nyanyian Gregorian hendaknya dibawakan dengan ringan dan lancar,
jangan diulur-ulur.
13
6. Untuk aba-aba, ictus (arsis-tesis) jatuh pada not pertama dari setiap
himpunan. Himpunan yang lebih dari tiga not selalu dibagi dalam
himpunan dua atau tiga not.
14
Download
Study collections