12 P OP RISET RABU, 13 APRIL 2011 RUANG TANAM TANPA MATAHARI Sudah saatnya sistem pertanian konvensional beralih ke sistem yang lebih efisien dengan tidak bergantung pada matahari, air, dan energi. AP/PETER DEJONG PLANTLAB: Sayur paprika dan bunga stroberi disinari cahaya light emitting diode (LED) di PlantLab Den Bosch, Belanda, Senin (28/3). SISKA NURIFAH S AAT ini, kondisi iklim dunia semakin tidak menentu. Matahari tidak bersinar, curah hu jan tidak relevan, dan iklim tidak beres. Hal itu jelas mengakibatkan kondisi lahan pertanian kian kritis dan akan mengancam ketahanan pangan dunia. Lahan pertanian yang ideal seharusnya berada di dalam sebuah bangunan berjendela dengan cahaya, suhu, kelembaban, kualitas udara dan nutrisi yang terkontrol. Itulah yang seharusnya menjadi jawaban atas permasalahan pangan yang melanda dunia. “Dalam rangka menjaga agar sebuah planet layak untuk ditinggali, kita harus mengubah cara kita,” ungkap Gertjan Meeuws, peneliti di Plantlab, sebuah perusahaan riset swasta. Lebih lanjut Meeuws mengungkapkan saat ini, dunia sudah mencapai titik kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan para penghuninya. Separuh dari total penduduk bumi tinggal di kota-kota besar. Kenyataannya, hampir setengah dari mereka, yakni sekitar 3 miliar jiwa, menderita kelaparan dan kurang gizi. Kondisi itu dipicu harga kebutuhan pokok yang kian melonjak, beberapa daerah pertanian yang diterjang kekeringan, musibah banjir, dan tingginya biaya energi yang dibutuhkan untuk tanaman, pupuk, panen dan biaya transportasi. Alhasil, kondisi semakin tidak stabil. Perubahan iklim membuat perencanaan jangka panjang pertanian mengalami ketidakpastian. Para petani di berbagai belahan dunia sudah mencapai titik akhir usaha mereka menguras sumber daya air yang tersisa di bumi. Belum lagi populasi dunia yang semakin ramai. PBB memprediksikan pada pertengahan abad nanti, populasi dunia tumbuh dari 6,8 miliar menjadi 9 miliar penduduk. Untuk memberi makan begitu banyak orang, perluasan lahan pertanian diperlukan dengan mengorbankan hutan dan padang gurun. Atau kita harus menemukan beberapa cara untuk meningkatkan hasil panen secara radikal, seperti yang dilakukan Meeuws dan tiga insinyur biologi asal Belanda lainnya. Keempat peneliti itu telah mengambil konsep rumah kaca selangkah lebih maju dalam menumbuhkan beberapa varietas sayuran, rempahrempah, dan tanaman rumah di lingkungan yang tertutup dan bisa diatur. Bahkan dalam proyek mereka cahaya alami sama sekali tidak diperhitungkan. Itu berbeda dengan rumah kaca yang selama ini masih memperhitungkan cahaya matahari. Dalam stasiun penelitian mereka, beberapa tanaman seperti stroberi, paprika kuning, kemangi, dan pisang hanya memperoleh cahaya dari light-emitting diode, atau LED (suatu semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik). Dalam hal pengairan, air yang menetes masuk panci penyiraman saat dibutuhkan, membuat penggunaan air efesien. Sementara itu, berbagai kelebihan akan didaur ulang. Suhu dijaga supaya konstan. Demikian pula lampu akan otomatis hidup dan mati, menyimulasikan siang dan malam. Adaptasi Sinar matahari bukan hanya tidak diperlukan, melainkan juga bisa membahayakan. Tanaman hanya memerlukan panjang gelombang cahaya tertentu untuk tumbuh, tapi di alam mereka harus beradaptasi dengan berbagai cahaya sebagai masalah bertahan hidup. Ketika unsur cahaya alami dan lainnya dapat dimanipulasi, tanaman akan menjadi lebih efisien dan dapat menggunakan energi lebih sedikit untuk tumbuh. Dalam ‘ruang iklim’” yang lebih besar, yang hanya berjarak beberapa mil dari stasiun penelitian tersebut, pembibitan dilakukan dengan memelihara stek Fittonia (sejenis tanaman rumahan yang berwarnawarni), dalam dua lapisan seluas Laju pertumbuhan tanaman tersebut terbukti tiga kali lebih cepat daripada yang ditanam di rumah kaca biasa. Tanaman itu pun tidak menggunakan pestisida.” 70 meter persegi (masing-masing berjarak 750 kaki persegi). Ledakan kabut menjaga ruangan lembap dan suhu itu mirip dengan tanaman asli di Amerika Selatan. Setelah stek berakar, pembibitan berlanjut ke tahap yang paling sensitif dalam proses pertumbuhan. Mereka didorong ke rumah kaca untuk pengakaran. Proses untuk menjadi tanaman dewasa memakan waktu enam hingga 12 minggu lebih. Para peneliti Belanda tersebut berencana pada akhir 2011, mereka akan membangun sebuah bangunan komersial di Belanda seluas 1.300 meter persegi (14 ribu kaki persegi), dengan empat tingkat vegetasi ter- pisah. Seusai sukses dengan langkah tersebut, mereka membayangkan dapat menanam sayuran di samping pusat perbelanjaan, supermarket, atau pengecer makanan lainnya. Meeuws memaparkan sebuah bangunan rumah kaca seluas 100 meter persegi dengan 14 lapisan tanaman dapat menyediakan makanan sehari-hari dari 200 gram (7 ons) buah segar dan sayuran untuk seluruh penduduk Den Bosch yang saat ini mencapai sekitar 140 ribu orang. Gagasan mereka bukan mengenai menanam makanan yang memerlukan ruang luas, seperti jagung atau kentang. “Kami justru mencari di bagian atas piramida, yang memiliki nilai tinggi dan volume rendah,” katanya. Selama lebih dari satu dekade, empat peneliti itu telah ‘bermain-main’ dengan kombinasi cahaya, tanah, dan suhu pada berbagai tanaman. Laju pertumbuhan tanaman tersebut terbukti tiga kali lebih cepat daripada yang ditanam di rumah kaca biasa. Tanaman itu pun tidak menggunakan pestisida. Penggunaan air juga 90% lebih sedikit daripada pertanian di luar ruangan. Profesor holtikultura Universitas Wageningen, Olaf van Kooten, yang telah mengamati proyek itu mengatakan setiap 1 kg bibit tomat yang ditanam di lahan negara Israel membutuhkan 60 liter (16 galon) air. Bibit tomat dalam jumlah yang sama bisa tumbuh di rumah kaca proyek Meeuws di Belanda dengan hanya memerlukan seperempat jumlah air tersebut. “Dengan sistem seperti ini, kita dapat menghasilkan 1 kg tomat dengan kurang dari 1 liter air,” katanya. Sistem itu, jelasnya, merupakan langkah pertama yang harus ditumbuhkembangkan dengan serius. Na- mun, diperlukan lebih banyak penelitian dan orang-orang yang perlu membiasakan diri dengan gagasan tanpa cahaya matahari (sunless) dan lahan pertanian yang sempit. “Namun jelas, bagi saya, sistem seperti ini sangat diperlukan,” ujarnya. Sementara itu, profesor emeritus kesehatan lingkungan dari Universitas Columbia sekaligus penulis buku The Vertical Farm (2010) Dickson Despommier mulai mendalami pertanian dalam ruangan (indoor farming) sebagai proyek di kelasnya pada 1999. Gagasan itu pun telah menyebar ke proyek di seluruh Amerika Serikat. “Selama lima tahun terakhir pertanian perkotaan telah benar-benar mencapai transaksi yang serius,” ungkap Despommier. Ia berpendapat bahwa pertanian kota berarti memproduksi makanan di dekat konsumen. Itu menghilangkan keharusan untuk mengangkutnya dari jarak jauh dengan biaya bahan bakar besar dan pembusukan, serta dengan sedikit ketergantungan terhadap iklim langsung. Ilmu di balik lampu LED di bidang pertanian, lanjutnya, cukup ketat dan terkenal. Biaya yang ditinggalkannya pun dramatis. Pengembangan selanjutnya dioda pemancar cahaya organik, yakni dioda atau OLED yang dapat dikemas ke film tipis dan melilit tanaman. Itu akan menjadi jauh lebih efisien sesuai untuk kebutuhannya. Salah satu aplikasi ruang tumbuh tanaman di bawah lampu LED adalah yang seperti dilakukan NASA. Tanaman-tanaman dipasang di sebuah ruang antarjemput dan stasiun ruang angkasa Mir pada 1990an sebagai bagian dari percobaan mikrogravitasi.(AP/M-1) [email protected]