Uploaded by desys4452

PNNLS: Manual Pelatihan Neuroemergency & Neurosurgical Life Support

advertisement
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Kematian dan kecacatan akibat kelainan dan penyakit sistim
syaraf masih menjadi tantangan bagi bangsa kita. Kematian akibat
stroke merupakan 5 besar di negara kita. Trauma kepala serta trauma
otak menduduki peringkat pertama kecacatan pada sistim syaraf.
Penyakit-penyakit sistim syaraf memerlukan tatalaksana yang cepat,
tepat dan komprehensif serta biasanya berbiaya mahal. Kecacatan
dan kematian lebih dari lima puluh persen sebenarnya dapat di cegah
bila tatalaksana pada fase kegawatan yang sering ditangani oleh
sejawat dr umum yang bertugas di lini terdepan yaitu di IGD dan
poliklinik dilakukan dengan cepat dan tepat.
Perspebsi sebagai organisasi profesi yang kompeten dalam
menangani kelainan penyakit syaraf, tergugah untuk turut serta
memberikan kontribusi dalam menurunkan kecacatan dan kematian
akibat penyakit sistim syaraf, yaitu dengan menyusun PNNLS.
Mempertimbangkan kompleksitas penyakit syaraf maka Perspebsi
bersama organisasi profesi lain yaitu Ilmu penyakit syaraf, radiologi,
anestesi bekerjasama dan sama sama menyusun program yang
bertujuan untuk meningkatkan tatalaksana kegawat daruratan
penyakit susunan syaraf guna menurunkan kecacatan dan kematian
yang masih merupakan tugas berat kita semua. Pelaksanaan program
berupa paket paket yang secara bergantian akan dilaksanakan di
seluruh Indonesia.
PNNLS adalah program Perspepsi dengan kerjasama dengan
Organisasi Profesi dengan sasaran para dokter umum yang
merupakan lini terdepan dalam penanganan kegawatan bidang
penyakit syaraf. Para intruktur adalah ahli ahli dalam bidangnya.
Pelaksanaan melibatkan Perspebsi pusat, cabang dan wilayah serta
teman sejawat profesi lain. Modul secara konprehensif telah tersusun
praktis berisi proses diagnosa, patofisiologi ringkas dan tatalaksana
i
KATA PENGANTAR
praktis kegawatan penyakit syaraf. Peningkatan ketrampilan tindakan
minor pada kegawatan penyakit syaraf dan soft skill dalam
memberikan pelayanan yang aman, bermutu dan kompetitip juga
merupakan materi modul yang diajarkan. Evaluasi pre dan post course
juga dilakukan guna jaga mutu dan peningkatan program.
Tiada gading yang tidak retak, sebaik apapun program telah kita
susun dan laksanakan selalu memerlukan kritik dan saran dalam
perbaikannya. PNNLS adalah salah satu program perspebsi dalam
kepeduliannya pada pembangunan kesehatan di negara kita. Selamat
Berjuang.
Ketua PERSPEBSI
Joni Wahyuhadi
ii
PRAKATA
PRAKATA
Indonesia, yang terdiri dari 38 provinsi dan dihuni oleh sekitar
267,1 juta jiwa, masih dihadapkan pada berbagai masalah kesehatan
yang kompleks. Salah satu tantangan yang kami hadapi adalah angka
kejadian trauma kepala, tulang belakang, dan stroke yang masih
tinggi. Prevalensi trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas
mencapai 7,5% dari total populasi penduduk Indonesia, sedangkan
angka kejadian stroke mencapai 10,9 per 1000 penduduk atau sekitar
2,91 juta penduduk per tahun.
Dalam menghadapi banyaknya kasus neuroemergency di
Indonesia, dokter umum sebagai garda terdepan dituntut untuk
memberikan pelayanan terbaik. Namun, masih banyak dokter yang
belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang komprehensif
dalam menangani kasus tersebut. Selain itu, belum ada pelatihan yang
standar untuk menangani kasus neuroemergency di Indonesia. Oleh
karena itu, kami merasa penting untuk menyelenggarakan pelatihan
penatalaksanaan neuroemergency yang kami sebut Primary
Neuroemergency dan Neurosurgical Life Support (PNNLS). Pelatihan
ini dirancang secara komprehensif, terstandar, dan melibatkan tenaga
ahli dari berbagai bidang. Terdapat lima spesialis yang terlibat dalam
pelatihan PNNLS, yaitu spesialis bedah saraf, spesialis syaraf, spesialis
radiologi, spesialis anestesi, dan spesialis neurologi anak.
Pelatihan PNNLS akan memberikan pengetahuan dan
keterampilan neuroemergency kepada dokter umum melalui seminar
lanjutan dan workshop intensif selama dua hari. Terdapat 12 modul
dan skill station yang akan disampaikan dalam pelatihan ini. Dengan
fasilitas yang memadai, instruktur yang ahli dalam bidangnya, modul
yang terstandarisasi, serta mendapatkan sertifikasi dari Perhimpunan
dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), PNNLS hadir sebagai solusi untuk
mengatasi permasalahan kesehatan terutama dalam penanganan
iii
kasus neuroemergency. Pelatihan ini akan diadakan di seluruh kota di
Indonesia.
Kami berharap bahwa melalui pelatihan PNNLS, dokter umum
akan memiliki wadah untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan dalam penanganan kasus neuroemergency, yang pada
akhirnya
akan
meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat Indonesia.
Mei 2023
Tim Penyusun
iv
PRIMARY NEURO EMERGENCY & NEURO SURGICAL LIFE
SUPPORT
EDITOR
Prof. dr. Ahmad Faried, Sp.BS(K), PhD., FICS
dr. Agus Chairul Anab, Sp.BS(K)
Dr. dr. Asra Al Fauzi, Sp.BS(K), SE, MM, FICS, FACS, IFAANS
Dr. dr. Farhad Bal’afif. Sp.BS(K), FICS
Prof. dr. Muhamad Thohar Arifin, Ph.D., PA., Sp.BS(K)
Dr. dr. Rahadian Indarto Susilo, Sp.BS(K)
PENULIS DAN KONTRIBUTOR
Prof. dr. Ahmad Faried, Sp.BS(K), PhD., FICS
dr. Agus Chairul Anab, Sp.BS(K)
dr. Ajid Risdianto, Sp.BS(K), FINPS
Dr. dr. Asra Al Fauzi, Sp.BS(K), SE, MM, FICS, FACS, IFAANS
dr. Heri Subianto, Sp.BS(K), FINPS
Dr. dr. Joni Wahyuhadi, Sp.BS(K)., MARS
Prof. dr. Muhamad Thohar Arifin, Ph.D., PA., Sp.BS(K)
Dr. dr. Muhammad Faris, Sp.BS(K), FINSS
Dr. dr. Nur Setiawan Suroto, Sp.BS(K), IFAANS.
Dr. dr. Rahadian Indarto Susilo, Sp.BS(K)
Dr. dr. Tedy Apriawan, Sp.BS(K), FICS
Dr. dr. Abdulloh Machin, Sp.S(K)
dr. Badrul Munir, Sp.S(K)
dr. Bimo Dwi Lukito, Sp.S
v
PENULIS DAN KONTRIBUTOR
Dr. dr. Prastiya Indra Gunawan, Sp.A(K)
dr. Prihatma Kriswidyatomo, Sp.An
dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An., KMN, FIPP
Dr. dr. Sri Andreani Utomo, Sp.Rad(K)N-KL
Prof. Dr. dr. Yuyun Yueniwati, M.Kes, Sp.Rad(K)
TATA LETAK DAN DESAIN SAMPUL
dr. Kahexa Firman Ramadhan
dr. Naufal Najmuddin
dr. Vira Dwi Nisrina
Devi Fabiola S., S.Kom.
ISBN:
Hak Cipta © 2023 pada penulis
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip, menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Cetakan pertama, tahun 2023
Diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Jalan Prof. Eyckman No. 38 Sukajadi, Bandung, Jawa Barat
Surel: [email protected]
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
PENGANTAR ...................................................................................................i
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I ............................................................................................................. 1
CEDERA OTAK TRAUMATIK ......................................................................... 1
1.1
PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.2
CEDERA OTAK TRAUMATIK ....................................................... 1
1.3
PRINSIP TATALAKSANA CEDERA OTAK ..................................... 3
1.4
IMAGING PADA CEDERA OTAK ............................................... 10
1.5
FRAKTUR BASIS CRANII ........................................................... 18
1.6
FRAKTUR CRANII ...................................................................... 20
1.7
KESADARAN ............................................................................. 21
1.8
PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK ............................................... 24
1.9
KOMPLIKASI NEUROTRAUMA ................................................. 26
BAB II .......................................................................................................... 40
CEDERA SPINAL .......................................................................................... 40
2.1
PENDAHULUAN ....................................................................... 40
2.2
ANATOMI DAN FISIOLOGI SPINAL .......................................... 40
2.3
PENEGAKAN DIAGNOSIS CEDERA SPINAL .............................. 41
2.4
SINDROMA KLINIK CEDERA SPINAL ........................................ 44
2.5
NEUROGENIC SHOCK DAN SPINAL SHOCK ............................. 46
2.6
EKSKLUSI CEDERA SPINAL ....................................................... 47
2.7
PENGGOLONGAN CEDERA SPINAL ......................................... 49
2.8
TATALAKSANA CEDERA SPINAL .............................................. 51
2.9
RUJUKAN KASUS CEDERA SPINAL ........................................... 53
vii
DAFTAR ISI
BAB III ......................................................................................................... 56
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL ..................................... 56
3.1
PENDAHULUAN ....................................................................... 56
3.2
ANATOMI DAN FISIOLOGI ....................................................... 56
3.3
PATOLOGI DARI TEKANAN TIK ................................................ 61
3.4
GAMBARAN KLINIS .................................................................. 70
3.5
PENANGANAN ......................................................................... 71
BAB IV ......................................................................................................... 80
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
.................................................................................................................... 80
4.1
PENDAHULUAN ....................................................................... 80
4.2
KLASIFIKASI .............................................................................. 80
4.3
EPIDEMIOLOGI......................................................................... 81
4.4
ATOFISIOLOGI .......................................................................... 81
4.5
PENGOBATAN FARMAKOLOGIS .............................................. 84
4.6
STATUS EPILEPTIKUS REFRAKTER (SER).................................. 88
4.7
PENGOBATAN STATUS EPILEPTIKUS ...................................... 89
4.8
MANAJEMEN KEJANG NEONATAL .......................................... 93
4.9
KESIMPULAN............................................................................ 99
BAB V ........................................................................................................ 103
MANAJEMEN HIDROSEFALUS ................................................................. 103
5.1
PENDAHULUAN ..................................................................... 103
5.2
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM VENTRIKEL DAN ALIRAN
CSS.......................................................................................... 103
5.3
DEFINISI.................................................................................. 105
5.4
TANDA DAN GEJALA HIDROSEFALUS ................................... 106
5.5
PENEGAKAN DIAGNOSIS HIDROSEFALUS ............................. 108
viii
DAFTAR ISI
5.6
EVALUASI PASCA BEDAH ....................................................... 111
5.7
TATALAKSANA ....................................................................... 112
BAB VI ....................................................................................................... 114
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK ............................................................... 114
6.1
PENDAHULUAN ..................................................................... 114
6.2
EPIDEMIOLOGI....................................................................... 115
6.3
ETIOLOGI ................................................................................ 116
6.4
KLASIFIKASI ............................................................................ 117
6.5
PENEGAKAN DIAGNOSIS STROKE ISKEMIK........................... 121
6.6
TATALAKSANA STROKE ISKEMIK ........................................... 128
BAB VII ...................................................................................................... 132
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN ..................................................... 132
7.1
PENDAHULUAN ..................................................................... 132
7.2
STROKE PERDARAHAN .......................................................... 132
7.3
EPIDEMIOLOGI....................................................................... 133
7.4
KLASIFIKASI ............................................................................ 134
7.5
PENEGAKAN DIAGNOSIS STROKE PERDARAHAN ................. 137
7.6
GRADING/STAGING/SCORING .............................................. 139
7.7
TATALAKSANA STROKE PERDARAHAN ................................. 144
BAB VIII ..................................................................................................... 155
MANAJEMEN KOMA ................................................................................ 155
8.1
PENDAHULUAN ..................................................................... 155
8.2
KONDISI BANGUN DAN KONDISI AWAS ............................... 155
8.3
NEUROBIOLOGI KESADARAN ................................................ 156
8.4
ARAS ....................................................................................... 157
8.5
ETIOLOGI ................................................................................ 158
8.6
PEMERIKSAAN KESADARAN .................................................. 158
ix
DAFTAR ISI
8.7
GANGGUAN POLA NAPAS ..................................................... 161
8.8
KONDISI MIRIP KOMA ........................................................... 167
BAB IX ....................................................................................................... 174
SKILL STATION I ........................................................................................ 174
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY ............................ 174
9.1
ANATOMI IMAGING .............................................................. 174
9.2
FOTO POLOS .......................................................................... 177
9.3
CT-SCAN ................................................................................. 179
9.4
MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)............................. 181
9.5
TRAUMA SPINAL .................................................................... 183
9.6
STROKE PERDARAHAN .......................................................... 186
9.7
STROKE ISKEMIK .................................................................... 188
9.8
ASPECTS SCORE ..................................................................... 190
BAB X ........................................................................................................ 194
SKILL STATION II ....................................................................................... 194
HOW TO REFER NEUROTRAUMA PATIENT ............................................ 194
10.1
PENDAHULUAN ..................................................................... 194
10.2
PERSIAPAN TIM DALAM TRANSPORTASI PASIEN ................. 194
10.3
TINDAKAN YANG DILAKUKAN ............................................... 195
10.4
PEMERIKSAAN KESADARAN .................................................. 196
10.5
TINDAKAN SAAT DI FASKES TERDEKAT ................................. 196
10.6
PEMERIKSAAN FISIK LANJUTAN ............................................ 197
BAB XI ....................................................................................................... 200
SKILL STATION III ...................................................................................... 200
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE ......................................................... 200
11.1
PENDAHULUAN ..................................................................... 200
x
DAFTAR ISI
11.2
CARA MENENTUKAN GEJALA PASIEN STROKE DI LAYANAN
PRIMER .................................................................................. 200
11.3
ALGORITMA PENANGANAN STROKE .................................... 207
11.4
KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI PADA STROKE TROMBOLISIS
................................................................................................ 208
11.5
PILIHAN TINDAKAN UNTUK ACUTE ISCHEMIC STROKE ....... 209
11.6
ALGORITMA UNTUK COMPLETE MCAO ............................... 210
11.7
STROKE MIMIC ...................................................................... 210
BAB XII ...................................................................................................... 213
SKILL STATION IV ...................................................................................... 213
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL
EMERGENCY ............................................................................................. 213
12.1
PENDAHULUAN ..................................................................... 213
12.2
ANATOMI SCALP DAN STRUKTUR PENTING DIBAWAHNYA .......
................................................................................................ 213
12.3
JENIS LUKA PADA KEPALA ..................................................... 215
12.4
PRINSIP PENANGANAN LUKA ............................................... 217
12.5
JENIS DAN TEKNIK PENJAHITAN LUKA.................................. 217
BAB XIII ..................................................................................................... 226
SOFT SKILL ................................................................................................ 226
xi
BAB I
BAB I
CEDERA OTAK TRAUMATIK
1.1 PENDAHULUAN
Insiden TBI yang dilaporkan sangatlah bervariasi. Di Eropa
sendiri, diperkirakan terdapat 47 - 694 kasus baru per 100.000 orang
dalam satu tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab paling
sering dari trauma kepala. Polrestabes Surabaya (2011): dari 872
keselakaan lalu lintas, cedera kepala terjadi pada kelompok usia 30
tahun VS POLRI (2011). Usia rata-rata kecelakaan lalu lintas di
Indonesia adalah 15-44 tahun dan didominasi oleh laki-laki yaitu
sebanyak 58%. Traumatic Brain Injury adalah beban penyakit yang
besar di seluruh dunia.
Tatalaksana cedera otak traumatis (TBI) dilakukan tidak hanya
saat pasien sudah mencapai RS namun yang paling penting adalah
penanganan sebelum pasien mencapai RS (pra rumah sakit) dimana
stabilisasi sangat diperlukan saat transportasi. Beberapa hal dapat
menjadi sebab terjadinya secondary brain injury apabila saat
penanganan awal (pra rumah sakit) tidak dilakukan dengan baik.
Penilaian awal saat pre hospital juga sangat penting untuk menjadi
dasar evaluasi terapi yang diberikan setelahnya.
1.2 CEDERA OTAK TRAUMATIK
Cedera Otak didefinisikan sebagai perubahan atau gangguan
fungsi neurologis atau struktur pada otak akibat gaya dari luar
(benturan, tusukan, tembakan). Pembagian derajat cedera otak dapat
dibagi menjadi cedera otak ringan (COR) ketika GCS 14-15, cedera
otak sedang (COS) ketika GCS 9-13 dan cedera otak berat (COB) ketika
GCS kurang dari 8.
1
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Cedera Otak berbeda dengan Trauma Kapitis, dimana pada
Trauma Kapitis tidak menyebabkan gangguan fungsi neurologis dan
kerusakan pada jaringan otak.
Traumatic Brain Injury (TBI) atau cedera otak traumatik
merupakan gangguan fungsi atau adanya kerusakan patologi pada
otak yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Cedera otak di
klasifikasikan menjadi cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak
primer merupakan kejadian traumatis itu sendiri, sedangkan cedera
otak sekunder dapat terjadi beberapa menit, jam, hari atau bahkan
minggu setelah cedera primer.
Klasifikasi cedera otak primer dibagi menjadi ekstra-parenkim
dan intra-parenkim. Cedera otak primer ekstra-parenkim antara lain
suatu epidural hematoma (EDH), subdural hematoma (SDH) dan
subarachnoid hematoma traumatik. Sedangkan cedera otak primer
intra-parenkim dapat berupa contusio, intracerebral hematoma (ICH),
diffuse axonal injury hingga diffuse vascular injury. Sementara itu,
penyebab paling sering pada cedera otak sekunder selanjutnya dapat
dibagi menjadi penyebab sistemik dan intrakranial. Penyebab sistemik
antara lain karena hipoksia, hipotensi, hipo/hiperglikemia,
hipertermia, gangguan elektrolit, gangguan koagulasi dan infeksi.
Penyebab intrakranial dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial
(TIK), edema otak, kejang hingga suatu kejang.
Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya secondary brain
injury pada pasien cedera otak traumatik dapat dilihat pada gambar
berikut (Gambar 1). Beberapa kondisi ekstrakranial ini dapat
menyebabkan kondisi yang lebih buruk dari klinis pasien dan
memerlukan tatalaksana yang optimal.
2
CEDERA OTAK TRAUMATIK
COAGULOPAT
HY
HYPONATRE
MIA
HYPERTENSION
HYPERNATRE
MIA
SECONDARY
BRAIN INJURY
HYPERGLICEMI
A
HYPOGLICEM
IA
HYPOXIA
HYPERCAPNE
A
Gambar 1 Kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya secondary brain injury
pada pasien cedera otak traumatik
1.3 PRINSIP TATALAKSANA CEDERA OTAK
Prinsip tatalaksana pada cedera otak atau trauma otak adalah
sebagai berikut:
1. Penanganan cedera otak primer
2. Mencegah dan menangani cedera otak sekunder
3. Optimalisasi metabolisme otak
4. Rehabilitasi
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Tatalaksana pra rumah sakit memegang peranan penting pada
beberapa jam pertama setelah kejadian. Hal yang paling utama adalah
mempertahankan patensi jalan nafas, memastikan oksigenasi yang
adekuat, kontrol cervical spine dan memastikan kondisi hemodinamik
yang memadai. Kita mengenal dengan A, B, C → D, E.
3
CEDERA OTAK TRAUMATIK
• Airway + C Spine Control
1. Menjamin saturasi oksigen >90%.
2. Pemantauan jalan nafas dengan stabilisasi servikal tetap
dilakukan walaupun pasien sadar.
3. Oksigen dapat diberikan menggunakan masker.
4. Pada pasien tidak sadar atau cidera otak berat, mengingat
risiko lidah jatuh ke belakang dan menyumbat jalan nafas,
pemasangan orofaringeal tube dapat dilakukan.
5. Bila jarak RS tujuan cukup dekat, intubasi di tempat tidak
disarankan. Pada perjalanan yang jauh dan medan yang sulit,
intubasi diperbolehkan dan hanya dilakukan oleh personil yang
ahli.
6. Apabila intubasi tidak dapat dilakukan, penggunaan Laryngeal
Mask Airway (LMA) dapat dilakukan sebelum tindakan definitif
dilakukan.
• Breathing
1. Melihat Gerakan dada (Normal: Simetris)
2. Suara nafas Vesikuler/Vesikuler
3. Pernafasan normal harus dipertahankan dengan target pCO2
35-45 mmHg.
4. Pada kondisi dengan klinis menuju herniasi otak, dapat
dilakukan hiperventilasi dengan pCO2 28-35 mmHg.
• Circulation
1. Pada orang dewasa, tekanan darah dijaga pada sistolik >100
mmHg.
2. Pada anak, tekanan darah sistolik dijaga pada >5th percentile
usianya (70 mmHg + usia x 2).
4
CEDERA OTAK TRAUMATIK
3. Bila tekanan darah turun, infus cepat cairan isotonic (20-40
ml/kg BB normal salin) diberikan.
4. Cairan hipotonik seperti D5 1/2NS atau D5 dihindari karena
dapat memperberat edema cerebri.
• Parameter Tambahan
Kadar glukosa darah harus selalu diperiksa selama transport.
▪ Hipoglikemia pada orang dewasa (GDA <60 mg/dl) → Tx: 25
gram Dextrose baik menggunakan D10% atau D40% i.v bolus.
▪ Pada anak, hipoglikemi diterapi dengan 0,5 gram/kgBB D10).
GCS selalu dimonitor secara berkala. Pupil juga dimonitor
secara berkala untuk melihat apakah terjadi perubahan
patologi intracranial. Pupil dianggap asimetri apabila terdapat
perbedaan diameter >1 mm.
Indikasi Masuk Rumah Sakit Pada Cedera Otak
Beberapa kondisi yang merupakan indikasi seseorang dengan cedera
otak memerlukan perawatan di Rumah Sakit adalah adanya
kebingungan atau riwayat pingsan/penurunan kesadaran, keluhan
dan gejala neurologik (termasuk nyeri kepala menetap dan muntah),
kesulitan dalam penilaian klinis (misalnya pada alkohol dan epilepsi),
kondisi medik lain (gangguan koagulasi, diabetes mellitus), fraktur
tengkorak, CT scan abnormal, tidak ada yang dapat bertanggung
jawab untuk observasi di luar rumah sakit, pasien anak ataupun >50
tahun hingga indikasi sosial.
Indikasi Memulangkan Pasien Pada Cedera Otak
Beberapa kondisi yang harus dicapai saat akan memulangkan pasien
yaitu pasien sadar dengan orientasi baik, tidak pernah pingsan, tidak
ada gejala neurologis, keluhan berkurang (muntah atau nyeri kepala
5
CEDERA OTAK TRAUMATIK
hilang), tidak ada fraktur kepala atau basis kranii, ada yang mengawasi
di rumah dan tempat tinggal dalam kota.
Multi trauma + cedera otak
Pada trauma berat, TBI dan pendarahan adalah penyebab kematian
utama. Laju kematian 3x lipat lebih tinggi pada pasien multi trauma +
TBI. Faktor yang mempengaruhi perburukan pada kondisi ini adalah
hipotensi, hiperkapnia, hipksia, asidosis, koagulopati, dan hipotermia.
Tatalaksana utama pada multi trauma+TBI adalah cerebral perfusion
pressure guided cardiovascular management. Intervensi pembedahan
harus memperhatikan patologi TBI. Perlu dilakukan kerjasama yang
baik antara intensivis, ahli bedah terkait, serta ahli bedah saraf untuk
penanganan pasien yang spesifik.
Transfer antar rumah sakit
Hal yang perlu dilaporkan pada saat komunikasi dalam proses transfer
antar rumah sakit adalah usia pasien dan mekanisme cedera, kondisi
sebelum cedera atau pengobatan sebelumnya, hasil CT scan, GCS
pasca resusitasi dan detail pemeriksaan neurologi, tindakan yang telah
dilakukan, hasil laboratorium (terutama faal koagulasi), cedera lain
yang menyertai, status cervical spine dan tanda vital terakhir pasien.
GOAL penanganan cedera otak
Target Fisiologi pada Cidera Otak antara lain:
1. Pulse oximetry >90%
2. PaCO2 35–40 mmHg
3. Tekanan darah sistolik > 100 mmHg
4. ICP < 20 mmHg
5. CPP 60–70 mmHg (45–60 mmHg pada anak)
6. Brain tissue oxygen pressure (PbtO2) > 15 mmHg
7. Temperatur 36.0–38.3 °C
6
CEDERA OTAK TRAUMATIK
8. Glucose 140–180 mg/dL
9. Physiologic Na + 135–145, if using hypertonic saline (HTS) 145–160
10. Platelets > 100 x 103/mm3
11. Hb > 11 g/dL
Tatalaksana Cedera Otak di IGD
Berikut langkah-langkah tatalaksana pasien cedera otak saat di IGD:
1. General precaution
2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation)
3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari
anamnesa dan
4. pemeriksaan fisik seluruh organ)
5. Pemeriksaan neurologis (Meningeal Sign, GCS, CN II-III, CN III-IV-VI,
CN VII, CN VIII, CN IX, CN X, CN XI, CN XII, Motorik, Sensorik, Refleks
Fisiologis, Refleks Patologis, Autonom)
6. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan
7. Menentukan diagnosis pasti
8. Menentukan tatalaksana
Pemeriksa dapat menentukan derajat cedera otak pasien berdasarkan
GCS, yaitu COR, COS ataupun COB. Di bawah ini adalah algoritma
penangan pasien cedera otak traumatik di IGD berdasarkan nilai GCS
pasien (Gambar 2-4).
7
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Algoritma pasien Cedera Otak Ringan (COR)
Gambar 2 Algoritma tatalaksana pasien cedera otak ringan (COR) (Wahyuhadi,
J., 2019).
8
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Algoritma pasien Cedera Otak Sedang (COS)
Gambar 3 Algoritma tatalaksana pasien cedera otak sedang (COS) (Wahyuhadi, J.,
2019).
9
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Algoritma pasien Cedera Otak Berat (COB)
Gambar 4 Algoritma tatalaksana pasien cedera otak berat (COB) (Wahyuhadi, J.,
2019).
1.4 IMAGING PADA CEDERA OTAK
CT scan kepala adalah modalitas utama yang menjadi pilihan
pada kasus cedera otak traumatik. Selain CT scan, permintaan
diagnostik penunjang yang dapat dilakukan pada pasien cedera otak
adalah thorax AP, cervical lateral maupun CT angiografi (bila ada
penetrasi brain Injury maupun fraktur di pembuluh darah sinus).
10
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Berikut adalah beberapa kondisi pasien yang memerlukan
tindakan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan kepala berdasarkan
Canadian Head CT Rule dan New-Orleans Criteria (Tabel 1).
Tabel 1 Indikasi CT Scan Pada Trauma Kepala (Dewasa)
Canadian Head CT Rule
New Orleans Criteria
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Usia > 65 tahun
Mekanisme trauma yang
berbahaya
Muntah > 1x
Amnesia lebih dari 30 menit
GCS < 15 pada saat 2 jam
Terdapat kecurigaan fraktur
basai cranii, fraktur terbuka,
atau fraktur depresi
Lakukan CT scan pada pasien
dengan 1 kriteria atau lebih
Usia > 65 tahun
Intoksikasi
Nyeri kepala
Muntah
Kejang
Amnesia
Terdapat trauma yang
nyata di atas klavikula
Lakukan CT scan pada pasien
dengan 1 kriteria atau lebih
Pada kasus anak terdapat pula krietria indikasi CT scan pada
trauma kepala anak berdasarkan PECARN Rules dengan menggunakan
pertimbangan usia pasien (Tabel 2).
Tabel 2 Indikasi CT Scan Pada Trauma Kepala (Anak) Berdasarkan
PECARN Rules
Usia < 2 tahun
Usia 2-18 tahun
•
•
•
•
•
GCS ≤ 14 atau perubahan
status mental
Mekanisme trauma yang
berat
Hilang kesadaran > 5 detik
Hematoma temporal, parietal
atau oksipital
•
•
•
11
GCS ≤ 14 atau perubahan
status mental
Mekanisme trauma yang
berat
Hilangnya kesadaran
Adanya riwayat muntah
CEDERA OTAK TRAUMATIK
•
•
•
Fraktur kepala yang dapat
teraba
Nampak berperilaku
abnormal menurut orang tua
•
Adanya tanda fraktur basis
cranii
Nyeri kepala berat
Mass Lesion (hematoma)
Beberapa kondisi yang dapat terjadi pada pasien cedera otak
pada pemeriksaan CT scan kepala dapat dilihat pada Gambar 5.
Hematoma yang terjadi pada pasien memiliki manifestasi klinis yang
khas tergantung pada lokasi terjadinya lesi.
• EDH
Pasien dengan EDH dapat terjadi kehilangan kesadaran setelah
trauma, terdapat kondisi lucid interval dan perburukan neurologis.
Presentasi klasik ini terjadi pada <20% pasien. Gejala lain adalah
nyeri kepala berat, mual, muntah, letargi dan kejang.
• SDH
SDH dapat terjadi pada cedera otak yang ringan maupun berat.
Gejala utama adalah nyeri kepala, mual, muntah, tidak sadar,
kejang atau letargis. Pada SDH kronis dapat muncul nyeri kepala,
mual muntah, kebingungan, penurunan kesadaran, letargis, defisit
motorik dan afasia.
• SAH
Klinis pada SAH adalah nyeri kepala berat yang sangat menyiksa
biasa disebut thunderclap headache. Gejala lain yang dapat
muncul adalah mual muntah, pusing, diplopia, kejang, penurunan
kesadaran dan kaku kuduk. Dapat muncul defisit neurologis dan
gangguan pada nervus kranialis.
12
CEDERA OTAK TRAUMATIK
• ICH
Defisit neurologis dan penurunan kesadaran secara mendadak
menjadi keluhan utama yang penting pada pasien dengan ICH.
Gejala lain yang dapat muncul adalah nyeri kepala, mual muntah,
kejang, dan peningkatan tekanan darah diastolik lebih dari 110
mmHg.
EDH
ICH
IVH
SAH
SDH
Gambar 5 Tampilan Radiologis (CT scan Kepala) Pasien Dengan Hematoma
Cara membaca CT scan kepala
Sebelum menentukan apakah pasien memiliki indikasi operasi
berdasarkan gambaran CT scan, hal-hal yang perlu diperhatikan saat
membaca CT scan adalah sebagai berikut (Gambar 6).
1. Identitas pasien + jenis ct scan) (kontras/non kontras)
2. Potongan axial
3. Potongan coronal
4. Potongan sagittal
5. Garis skala (1 skala = 1 cm)
Menentukan kisi-kisi volume EDH
Mengukur volume perdarahan EDH adalah dengan mencari potongan
gambar CT-Scan dengan ukuran perdarahan yang paling besar pada
semua potongan (1). Hal tersebut berlaku pada saat menentukan
13
CEDERA OTAK TRAUMATIK
midline shift (2). Pada gambar ini midline shift bergeser 0,6 cm (jarak
terjauh pergeseran midline) (Gambar 7).
5
1
2
3
4
Gambar 6 Hal yang perlu dipehatikan dalam membaca CT scan kepal
14
CEDERA OTAK TRAUMATIK
2
1
Gambar 7 Menentukan potongan CT scan dengan gambaran EDH paling
bermakna
Gambar 8 menunjukkan CT scan kepala potongan axial.
Lakukan perhitungan dalam penentuan panjang, lebar dan tinggi
hematoma. Pada gambar 8A, terdapat beberapa marker yang dapat
membantu kita untuk mengetahui midline shift (MLS) pada CT scan.
Batas anterior ditunjukkan dengan crista frontalis (1) dan batas
posterior dengan protuberantia occipitalis interna/POI (2). Penarikan
garis lurus dari kedua titik tersebut akan menunjukkan sumbu midline
pada CT scan kepala potongan axial. MLS ditentukan dengan ada
tidaknya jarak antara garis midline dengan septum pellucidum (3).
Septum pellucidum adalah sekat yang membatasi kedua ventrikel
lateral otak. Pada gambar 8B, didapatkan panjang sebesar 10 skala (10
15
CEDERA OTAK TRAUMATIK
cm) yang ditunjukkan dengan marker nomor 1 dan lebar sebesar 5
skala (5 cm) yang ditunjukkan dengan marker nomor 2.
1
1
3
2
2
Gambar 8 CT Scan Kepala Potongan Axial
Penentuan tinggi hematoma dapat diukur melalui CT scan kepala
potongan coronal (Gambar 9A). Pada gambar tersebut didapatkan
tinggi (pengukuran dari ujung ke ujung EDH) sebesar 4 skala (4 cm).
Ketika instansi tempat kita bekerja tidak memiliki CT scan potongan
coronal, perhitungan tinggi hematoma dapat dilakukan dengan
melihat banyaknya gambaran EDH pada potongan axial (Gambar 9B).
Semisal terdapat 4 potongan dengan gambaran EDH, maka angka
tersebut dikalikan dengan skala per potongan yang ada pada informasi
mesin CT scan. Jika mesin CT scan menggunakan skala per potongan 1
cm, maka jika ada 4 potongan dengan EDH kita dapat menghitung
tinggi EDH tersebut dengan cara 4x1 cm = 4 cm.
16
CEDERA OTAK TRAUMATIK
A
B
1
2
3
4
Gambar 9 Perhitungan tinggi hematoma pada CT scan kepala, menggunakan
potongan coronal (A) dan axial (B)
Rumus Broderick
Rumus Broderick adalah rumus yang dipakai untuk mengukur
jumlah volume perdarahan pada pemeriksaan CT scan (Gambar 6).
Sehingga pada contoh gambar di atas, volume perdarahan adalah 10
cm x 5 cm x 4 cm / 2 = 100 cc.
VOLUME PERDARAHAN = Panjang X Lebar X Tinggi X 0.52
VOLUME PERDARAHAN = Panjang X Lebar X Tinggi
2
Indikasi operasi berdasarkan CT scan kepala
Tabel 3 memuat beberapa indikasi operasi pada pasien cedera
otak berdasarkan gambaran CT scan kepala terutama pada pasien
dengan EDH, SDH dan ICH. Indikator yang digunakan adalah tebal,
midline shift (MLS) dan volume hematoma. Pada ICH, volume 20 cc
dapat menjadi indikasi operasi jika disandingkan dengan adanya MLS
0,5 cm.
17
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Tabel 3 Indikasi Operasi Berdasarkan CT Scan Kepala
EDH
SDH
ICH
Tebal
1.5 cm
1 cm
(-)
MLS
0.5 cm
0.5 cm
0.5 cm
Volume (cc)
>30cc
(-)
20 cc
atau 50 cc
1.5 FRAKTUR BASIS CRANII
Tanda pasien dengan fraktur basis cranii (FBC) secara klasik
meliputi ekimosis periorbital, hemotympanum, CSF rhinnorrhea atau
otorrhea dan Battle’s sign. FBC dapat dibagi menjadi 3 kelompok
berdasarkan lokasinya, yaitu FBC fossa anterior, media dan posterior
(Gambar 10). Gangguan fungsi saraf yang terjadi tergantung dari
lokasi fraktur tersebut.
•
FBC fossa anterior
Fossa anterior adalah porsi basis cranii yang berada anterior
dari sphenoid ridge. FBC pada fossa ini dapat mengganggu
fungsi nervus kranialis I (olfactorius) dan II (opticus). Tampilan
klinis pasien berupa bloody rhinorrhea, brill hematoma,
gangguan pembauan, gangguan penglihatan dan
ophtalmoplegia.
•
FBC fossa media
Fossa media adalah porsi basis cranii yang berada di antara
sphenoid hinggda os temporal pars petrosa. FBC pada fossa
ini dapat mengganggu fungsi nervus kranialis VII (facialis) dan
VIII (vestibulocochlearis). Tampilan klinis pasien berupa
bloody otorrhea, battle’s sign, gangguan pendengaran dan
keseimbangan (vertigo).
18
CEDERA OTAK TRAUMATIK
•
FBC fossa posterior
Fossa posterior adalah porsi basis cranii yang berada
posterior dari os temporal pars petrosa. FBC pada fossa ini
dapat mengganggu fungsi cerebellum. Tampilan klinis pasien
berupa gangguan pada fungsi cerebellum, seperti gerakan
terkoordinasi, keseimbangan, postur tubuh, dll.
Gambar 10 Klasifikasi FBC berdasarkan fossa yang terjadi fraktur, fossa
anterior (area merah), fossa media (area kuning) dan fossa posterior
(area biru).
19
CEDERA OTAK TRAUMATIK
1.6 FRAKTUR CRANII
Fraktur cranii (cranial fracture) adalah terjadinya diskontinuitas
tulang/fraktur pada cranium walaupun memiliki struktur yang kuat,
tangguh dan memberikan proteksi yang baik bagi otak. Fraktur cranii
dapat dibagi menjadi fraktur linier, depressed, comminuted dan
diastase.
•
Fraktur linier
Secara umum, tulang cranium terdiri dari 3 lapisan, yaitu
tabulae interna, diploe dan tabulae externa. Fraktur linier
terjadi ketika diskontinuitas tulang dalam garis lurus tanpa
adanya displacement dari tulang.
•
Fraktur depressed
Fraktur depressed terjadi ketika diskontinuitas tulang
melebihi 1 tebal tulang, yaitu ketika tabulae interna masuk
hingga melewati tabulae externa sisi tulang sebelahnya.
Fraktur tipe ini beresiko mengekspos konten cranium ke
ruang extracranial sehingga mengakibatkan infeksi dan
kontaminasi.
•
Fraktur comminuted
Fraktur comminuted adalah fraktur dengan diskontinuitas
tulang yang terbagi menjadi beberapa fragmen terpisah (>3
segmen tulang).
•
Fraktur diastase
Fraktur diastase adalah fraktur yang terjadi pada sutura
tulang, sehingga diskontinuitas tulang pada area ini
menyebabkan pelebaran dari sutura. Fraktur ini lebih sering
terjadi pada bayi (karena sutura belum mengalami fusi),
sedangkan pada dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid.
20
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Pasien dengan fraktur depressed sebaiknya dilakukan
intervensi operatif untuk mencegah terjadinya infeksi. Fraktur ini
dapat diberikan tatalaksana non operatif jika tidak ada bukti klinis
maupu radiologis yang menunjukkan terjadinya penetrasi dura, ICH
bermakna, depresi tulang >1 cm, keterpautan sinus frontalis,
deformitas/keluhan kosmetik berat, infeksi luka, pneumocephalus
maupun kontaminasi luka.
1.7 KESADARAN
Pertama kali didefinisikan oleh William James pada tahun 1890
sebagai suatu keadaan kepekaan terhadap diri dan lingkungan. Plum
dan Posner kemudian juga memberikan definisi yang mirip terhadap
kesadaran, yaitu the state of awareness of self and the environment.
Kesadaran memiliki 2 komponen: arousal (alert) dan awareness
(content).
• Arousal adalah suatu pola aktivitas atau perilaku yang terjadi saat
seseorang bangun dari tidur atau perilaku saat dalam kesadaran
penuh.
• Awareness, adalah isi dari kesadaran ➔ suatu aktivitas gabungan
dari fungsi kognitif dan afektif otak yang akan mempengaruhi
pengetahuan seseorang secara individu dan bagaimana
memahami kehidupan internal dan eksternal di luar.
21
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Gambar 11 Ascending Reticular Activating System (ARAS) (Alberstone, C.D.
et al., 2009).
Ascending reticular activating system (ARAS) telah dianggap
sebagai struktur saraf utama untuk kesadaran. ARAS adalah jaringan
rumit yang menghubungkan jalur sensorik aferen, formasio
retikularis, thalamus, dan korteks serebri (Gambar 11).
22
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Glasgow Coma Scale (GCS)
EYE
4 Spontaneous
3 To speech
2 To pain
1 None
VERBAL
5 Oriented
4 Confused conversations
3 Inappropriate words
2 Incomprehensible sounds
1 None
MOTORIC
6 Obey commands
5 Localizes pain
4 Flexion withdrawal to pain
Alert
3 Abnormal flexion (decorticate)
2 Extension (decerebate)
1 None (flaccid)
Gambar 12 Glasgow Coma Scale
GCS adalah sistem skor sebagai parameter tingkat kesadaran
yang terdiri dari 3 indikator yaitu eye, verbal dan motoric/movement
(Gambar 12). Penilaian GCS dilakukan setelah ABC pasien stabil. Total
dari skor setiap indikator di atas dapat menjadi penentuan tingkat
cedera otak pasien yang selanjutnya dapat mengubah jalannya
tatalaksana yang diberikan. Jumlah total GCS tertinggi adalah 15
(E4V5M6) dan terendah 3 (E1V1M1). Pada kondisi khusus seperti
edema palpebrae, tracheostomy dan tetraplegi maka penilaian GCS
menjadi sukar dilakukan sehingga kondisi tersebut dapat diberikan
skor ‘X’.
Selain GCS, kita juga mengenal istilah GCS-P yang merupakan
singkatan dari Glasgow Coma Scale + Pupils Score. Sistem skor ini
mempertimbangkan kondisi pupil pasien yang dinilai dengan Pupil
Reactivity Score (PRS).
Penilaian PRS:
• Jika pada kedua pupil ditemukan tidak bereaksi maka diberi
nilai 2.
• Jika hanya salah satu pupil yang bereaksi maka diberi nilai 1.
• Sementara jika keduanya bereaksi diberi nilai 0.
23
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Setelah mengetahui PRS, lakukan perhitungan GCS-P dengan rumus:
GCS-P = GCS score – (dikurangi) nilai PRS
Jika sebelumnya nilai GCS yang diketahui paling rendah 3-15
namun ketika dikombinasi dengan nilai PRS bisa menjadi 1-15.
Contoh:
Pasien dengan GCS 6 dan hanya pupil kiri yang bereaksi (PRS = 1)
GCS-P = GCS (6) – PRS (1)
GCS-P = 5
1.8 PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK
Cedera otak traumatik adalah suatu proses berkelanjutan yang
diawali sejak terjadinya cedera dan beresiko mengalami perburukan
kondisi oleh beragam faktor cedera sekunder. Otak yang mengalami
cedera adalah hasil dari kerusakan progresif yang berkontribusi pada
peningkatan kematian sel, atrofi white matter hingga disfungsi
jaringan otak dalam periode mulai dari hitungan jam, hari maupun
tahun pasca cedera. Kerusakan yang terjadi pada cedera primer
disebabkan oleh deformasi mekanik jaringan otak yang selanjutnya
dapat menyebabkan kematian sel neuron dan glial, kerusakan aksonal
dan pembuluh darah otak dengan gangguan sawar darah otak (BBB)
serta aliran darah otak (CBF). Gambar di bawah adalah skema
patofisiologi biomolekuler pada cedera otak traumatik berat (Gambar
13).
Saat terjadi cedera kepala berat maka akan terjadi respon release
glutamate, sehingga terjadi proses Ca dan Na influx pada sel. Ca pada
sel menyebabkan terjadinya enzyme induction dan mitochondrial
damage/kerusakan mitokondrial. Kerusakan mitokondrial akan
melepaskan ROS (Reactive oxygen Spesies)/RNS (Reactive Nitrogen
Spesies) sehingga terjadilah membrane degradasi dan
24
CEDERA OTAK TRAUMATIK
neuroinflamation yang menyebabkan berbagai hal yang merugikan
seperti infiltrasi leukosit, mikroglia activation, BBB opening.
Gambar 13 Biomolekuler cedera otak traumatik berat (Marklund et al, 2020)
Na yang masuk kedalam sel mengalami 2 hal, yang pertama Na
influx menyebabkan K Efluks sehingga terjadi suatu depolarisasi
neuronal, yang kedua natrium selalu berikatan dengan H2O (Air)
sehingga menyebabkan terjadinya edema/cell swelling. Depolarisasi
neuronal ini akan mengkibatkan terjadinya CBF turun, Produksi ATP
Turun, Kebutuhan ATP Naik dan akhirnya terjadi Energy Failure.
Semua ini akhirnya akan menyebabkan kematian sel.
25
CEDERA OTAK TRAUMATIK
1.9 KOMPLIKASI NEUROTRAUMA
Beberapa komplikasi pada neurotrauma adalah:
• Hydrocephalus
• Post Traumatic Seizure
• Long Term Functional Disability
• Infection
• Aesthetics
• Neurovascular Injuries
• Pseudoaneurysm
• Post Traumatic Aneurysm
• Trephined Syndromes
Hidrosefalus
Hidrosefalus dapat menjadi suatu indikasi tindakan operatif pada
pasien dengan SAH. Pemeriksaan funduskopi akan menunjukkan
tampilan papil edema pada kondisi hydrocephalus.
Pada CT Scan kepala, hidrosefalus ditandai dengan adanya
(Gambar 14):
1. Ukuran temporal horn (TH) ≥ 2 mm dan fisura Sylvii,
interhemisferik serta sulkus sereberal tidak tampak, atau
2. TH ≥ 2 mm dan rasio frontal horn (FH) dan internal diameter (ID)>
0,5.
Tanda lain yang mengesankan gambaran hydrocephalus pada CT
scan kepala adalah:
1. Frontal horns Balloning dari ventrikel lateral atau biasa disebut
“Mickey Mouse” Ventricles, dan/atau ventrikel 3 (Ventrikel 3
secara normal tampak hanya seperti celah kecil.
2. Hipodensitas pada daerah periventricular pada CT Scan atau
hiperintensitas periventricular pada MRI T2W1 menggambarkan
absorbs trans ependymal dari CSF.
26
CEDERA OTAK TRAUMATIK
3. Rasio FH: ID: <40% adalah normal, 40-50% borderline, sedangkan
> 50% mengarah hidrosefalus.
4. Evans ratio >0,3. Evans ratio adalah perbandingan antara FH
dengan Biparietal Diameter (BPD).
5. MRI potongan sagittal terdapat penipisan corpus callosum.
Gambar 14 Tampilan Hydrocephalus Pada CT Scan Kepala
Post Traumatic Seizure (PTS)
Kejang post trauma adalah kejang yang terjadi setelah keadaan
trauma. Terdapat 2 kategori kejang post trauma yaitu early (≤ 7 hari)
dan late (> 7 hari) setelah trauma kepala. Antikejang (AED) dapat
diberikan sebagai profilaksis untuk PTS pada pasien yang risiko tinggi
27
CEDERA OTAK TRAUMATIK
mengalami kejang. AED tidak mengurangi kejadian kejang pada late
PTS. Hentikan AED setelah 1 minggu kecuali terdapat kriteria spesifik.
Terdapat kategori ketiga untuk PTS yaitu immediate yaitu kejang yang
terjadi dalam hitungan menit dan jam setelah terjadi trauma kepala.
Long Term Functional Disability
Gambar 15 Long term functional disability (Brook, J. C. et al., 2013)
Prognosis kelangsungan hidup adalah salah satu hal yang sering
menjadi pertanyaan pasien cedera otak traumatik beserta keluarga,
terutama bagaimana kemungkinan pasien akan menjalani
kehidupannya dengan kecacatan dan defisit neurologis jangka
panjang setelah trauma. Perhitungan derajat disabilitas pasien dapat
dinilai menggunakan Disability Rating Scale (DRS) maupun Functional
Independent Measure (FIM). Gambar 14A membagi prognosis
kelangsungan hidup pasien menjadi 4 kelompok berdasarkan tingkat
kemandirian pasien untuk aktivitas sehari-hari dalam skala DRS.
Kelompok 1 adalah pasien mandiri dengan bantuan minimal,
kelompok 2 adalah pasien yang membutuhkan bantuan mekanik atau
asistensi pada beberapa aktivitas, kelompok 3 adalah pasien yang
28
CEDERA OTAK TRAUMATIK
membutuhkan asistensi dalam segala aktivitas dan kelompok 4 untuk
pasien dependen total setiap saat (24 jam). Gambar 14B menunjukkan
grafik kelangsungan hidup pasien laki-laki berusia 40 tahun setelah
mengalami cedera 1 tahun yang lalu sebagai gambaran populasi
umum. Estimasi grafik kelangsungan hidup pada pasien dengan
disabilitas minimal didapatkan lebih buruk daripada gambaran
populasi umum. Pasien dengan disabilitas yang lebih berat (seperti
kelompok 4) memiliki perkiraan rata-rata kelangsungan hidup berupa
tambahan 13,4 tahun yaitu hingga pasien mencapai usia 53,4 tahun.
Infeksi
Pasien dengan cedera otak traumatik memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk mengalami kejadian infeksi nosokomial jika dibandingkan
dengan pasien bedah saraf lainnya. Angka kejadian mortalitas yang
berkaitan dengan infeksi mencapai 28%. Infeksi saluran pernafasan
adalah lokasi kejadian infeksi dengan kejadian tertinggi serta
Acinetobacter spp. sebagai patogen terbanyak (Gambar 16).
Meningitis terjadi dalam 2% dari keseluruhan pasien dimana surgical
site infection (SSI) selain meningitis terjadi sebanyak 4,25%. Hubungan
langsung antara CSF dengan lingkungan (akibat penggunaan alat)
merupakan faktor resiko tinggi terjadinya SSI secara umum hingga
meningitis. Adanya kebocoran CSF dan infeksi di luar lapang operasi
dapat menjadi perhatian klinisi akan kemungkinan terjadinya SSI pada
populasi pasien cedera otak. Perawatan pasien di ICU merupakan
faktor resiko independen terhadap kejadian meningitis pada pasien
cedera otak, terutama jika pasien berada di ICU lebih dari 7 hari.
29
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Gambar 16 Lokasi terjadinya infeksi dan bakteri patogen yang sering
ditemukan pada pasien cedera otak traumatik (Kourbeti, I.S. et al., 2012)
Aesthetics
Proses penyembuhan pasien dengan cedera otak adalah sesuatu yang
sukar untuk diprediksi dan membutuhkan strategi perawatan yang
fleksibel pada setiap tahapnya. Pengetahuan empiris akan
memberikan kerangka kerja dalam memberikan perawatan
berdasarkan prinsip ilmiah. Pengetahuan estetika seperti intuisi dapat
menjadi suatu kesempatan untuk mengetahui dan memahami pasien
cedera otak sekaligus respon mereka dalam proses perawatan paska
cedera. Menyatukan pengetahuan empiris dan estetika dalam strategi
perawatan pasien tentunya akan memberi kesempatan pada perawat
untuk membantu pasien dan keluarga dalam mendapatkan outcome
perawatan terbaik (Gambar 17).
30
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Gambar 17 Penggunaan Pengetahuan Estetika Dalam Tatalaksana Pasien Cedera
Otak (Alverzo, J., 2004)
Syndrome of the Trephined
Sindrom Trephined adalah komplikasi yang jarang terjadi dari
craniectomy dengan karakteristik disfungsi neurologis yang membaik
dengan rekonstruksi cranial sekunder seperti cranioplasty. Sindrom ini
memiliki gejala yang bervariasi dalam fungsi motorik, kognitif dan
defisit berbahasa (Gambar 18). Berdasarkan temuan mayoritas
laporan kasus yang ada, sindrom ini memiliki 3 gejala utama, yaitu
defisit neurologis jangka panjang yang terjadi pada beberapa minggubulan setelah craniectomy, kejadian independent terjadi pada lokasi
lesi dan terjadinya perbaikan klinis setelah cranioplasty.
Gambar di bawah ini memberikan ilustrasi beberapa teori yang
dapat menjadi mekanisme patofisiologi terjadinya sindrom ini
31
CEDERA OTAK TRAUMATIK
(Gambar 19). Salah satu teori adalah peran tekanan atmosfer dimana
skin flap yang terbenam dapat diartikan bahwa defek tulang
memberikan tekanan eksternal pada jaringan otak dibawahnya.
Tekanan barometrik eksternal pada scalp akan diteruskan ke
vaskularisasi otak dan menyebabkan penurunan aliran darah di areak
defek. Semakin besar area defek tulang maka semakin rendah aliran
di daerah tersebut.
Gambar 18 Gejala Pada Pasien Dengan Sindrom Trephined
32
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Gambar 19 Mekanisme terjadinya sindrom Trephined
Cranioplasty adalah tindakan operatif dalam perbaikan defek
cranium. Material yang digunakan dapat berupa tulang pasien itu
sendiri maupun material lainnya. Penutupan defek tulang dapat
memberi manfaat kosmetik dan perlindungan bagi pasien yang
mengalami gangguan fisiologis paska craniectomy. Cranioplasty turut
memperbaiki abnormalitas dalam elektroencephalografik, CBF dan
status neurologis pasien.
Beberapa material yang ideal digunakan untuk cranioplasty yaitu
bersifat radioluscent, resisten terhadap infeksi, tidak konduktif pada
panas dan dingin, resistan terhadap proses biomekanik, mudah
dibentuk untuk menutupi defek, terjangkau dan siap digunakan.
Gambar 20 menunjukkan perbandingan material yang dapat
digunakan sebagai material cranioplasty.
Gambar 20 Perbandingan material yang umum digunakan pada cranioplasty (Shah,
A. M. et al., 2014)
Material cranioplasty cenderung mahal. Walaupun metal telah
umum digunakan sebagai material cranioplasty, namun autologous
bone graft masih menjadi pilihan untuk cranioplasty karena material
ini mampu mengurangi zat asing masuk ke dalam tubuh serta dapat
segara diterima oleh tubuh pasien dan diintegrasikan ke dalam skull.
33
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Selain autologous bone graft, methyl methacrylate (MMA) dapat
menjadi alternatif material sintetis dengan bahan yang lebih kokoh.
Titanium wire mesh dapat ditambahkan untuk mengurangi
kemungkinan patah pada penggunaan MMA.
Dari sekian banyak pilihan dan inovasi, belum ada material yang
paling ideal untuk cranioplasty. Akan tetapi, material yang kokoh,
resistan terhadap infeksi, radioluscent, terjangkau, mudah digunakan
dan mampu memperbaiki defek tulang pasien akibat craniotomy akan
memberikan manfaat terbaik bagi pasien.
Herniasi
Peningkatan konten intrakranial pada cedera otak traumatik
dapat menyebabkan peningkatan TIK. Pada fase dekompensata,
parenkim otak akan mencari dan memberi efek desak ruang pada
struktur sekitarnya hingga terjadi herniasi. Gambar di bawah
menunjukkan potongan coronal kepala dengan macam herniasi
(Gambar 20). Setiap jenis herniasi otak memiliki tampilan klinis yang
khas pada pasien, sehingga pemahaman mengenai anatomi dan
struktur kompartemen cranium penting untuk dimiliki oleh klinisi
(Tabel 4).
34
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Gambar 21 Jenis herniasi otak dalam potongan coronal. Panah merah
menunjukkan arah perpindahan posisi jaringan otak. Herniasi uncal (1),
central transtentorial (2), subfalcine/cingulate (3), transcalvarial (4), reverse
transtentorial (5) dan tonsillar (6) (Kan PKY, et al., 2016).
Tabel 4 Jenis Herniasi Otak Beserta Tampilan Klinis Pasien
Jenis Herniasi
Subfalcine
Transalar
Uncal
Keterangan
Girus cingulatum ipsilateral bergesar di bawah falx
anterior, menyebabkan infark pada daerah distal
dari arteri serebral anterior
Dapat muncul infark pada teritori arteri serebral
media akibat kompresi dari sphenoid ridge pada
versi posterior dari hernia transalar. Pada veris
anterior, kompresi dari segment supraklinoid dapat
menyebabkan infark pada arteri serebri anterior
dadn media
Menyebabkan kompresi dari CN III menyebabkan
kontriksi dan dilatasi dari pupil ipsilateral
35
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Central
Terdapat progresivitas dari postur fleksor abnormal
menjadi respon ekstensor abnormal karena
terdampaknya traktus rubrospinal dan vestibulo
spinal
Cerebellar tonsil
Penekanan pada fosa posterior menyebabkan
cerebellar tonsil turun pada foramen magnum.
Herniasi akut dapat menekan arteri serebellar
inferior posterior, arteri vertebralis, dan cabangcabangnya menyebabkan iskemia pada batang
otak, tonsils, dan cerebeluum bagian bawah
Edema cerebri
Edema cerebri adalah kondisi patologis berupa akumulasi
abnormal cairan pada parenkim otak sehingga menyebabkan
peningkatan volume dan tekanan intrakranial (TIK).
Secara umum, edema cerebri dapat dibagi menjadi edema
sitotoksik dan edema vasogenik (Tabel 5).
Tabel 5 Patofisiologi Terjadinya Edema Cerebri
EDEMA SITOTOKSIK
EDEMA VASOGENIK
Pada iskemia cerebri terjadi
penurunan brain blood flow →
gangguan glucose supply untuk
sel-sel otak → deplesi ATP
Deplesi ATP menginduksi
kegagalan sistem transport Na+
intra-ekstraseluler → akumulasi
Na+ intraseluler yang
berlebihan.
Endothelial tight junctions
mengalami gangguan oleh reaksi
inflamasi dan stres oksidatif
setelah kejadian cedera otak
Akktivasi sel glial akan
mengeluarkan faktor permeabilitas
vaskular → akselerasi
hiperpermeabilitas blood-brain
barrier (BBB) → Ekstravasasi
cairan dan albumin yang berujung
36
CEDERA OTAK TRAUMATIK
Peningkatan Na+ intraseluler
menyebabkan masuknya cairan
ekstraseluler ke dalam sel
secara abnormal sehingga
mengakibatkan pembengkakan
sel.
pada akumulasi cairan
ekstraseluler ke dalam parenkim
otak.
Cairan ekstravasasi terakumulasi di
luar sel dan menimbulkan
peningkatan volume dan TIK.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Alberstone, C.D. et al. (2009). Anatomic Basis of Neurologic
Diagnosis.New York: Thieme.
Alverzo, J. (2004). The Use of Aesthetic Knowledge in the
Management of Brain Injury Patients. Rehabilitation Nursing,
29(3), 85–89.doi:10.1002/j.2048-7940.2004.tb00316.x
American College of Surgeons (2018) Advanced Trauma Life
Support. Chicago: American College of Surgeons.
Ashayeri, K., M. Jackson, E., Huang, J., Brem, H., & R. Gordon, C.
(2016). Syndrome of the Trephined. Neurosurgery, 79(4), 525–
534.doi:10.1227/neu.0000000000001366
Brennan P.M. et al. (2018). Simplifying the use of prognostic
information in traumatic brain injury. Part 1: The GCS-Pupils
score: an extended index of clinical severity. Journal of
Neurosurgery, 128:1612-1620.
Brooks, J.C., et al. (2013). Long-Term Disability and Survival in
Traumatic Brain Injury: Results From the National Institute on
Disability and Rehabilitation Research Model Systems. Archives of
Physical Medicine and Rehabilitation, 94(11), 2203–
2209.doi:10.1016/j.apmr.2013.07.005
Bullock, M.R., et al (2006). Surgical Management of Depressed
Cranial Fractures. Neurosurgery, 58(Supplement), S2–56–S2–
60.doi:10.1227/01.neu.0000210367.1
37
CEDERA OTAK TRAUMATIK
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Dixon J, Comstock G, Whitfield J, Richards D, Burkholder TW,
Leifer N, Mould-Millman NK, Calvello Hynes EJ. Emergency
department management of traumatic brain injuries: A resource
tiered review. Afr J Emerg Med. 2020 Sep;10(3):159-166. doi:
10.1016/j.afjem.2020.05.006. Epub 2020 Jun 16. PMID:
32923328; PMCID: PMC7474234.
Handbook of Neurosurgery Greenberg 8th Edition and Youmans
Neurological Surgery Textbook 7th Edition.
Intensive care treatment of traumatic brain injury in multiple
trauma patients : Decision making for complex pathophysiology].
Unfallchirurg. 2017 Sep;120(9):739-744. German. doi:
10.1007/s00113-017-0344-z. PMID: 28389734.
Jang, S.H. and Kwon, Y.H. (2020). The relationship between
consciousness and the ascending reticular activating system in
patients with traumatic brain injury. BMC Neurology, 20:375.
Kan PKY, Chu MHM, Koo EGY, Chan MTV. Brain Herniation.
Complicat Neuroanesthesia. Published online 2016:3-13.
doi:10.1016/B978-0-12-804075-1.00001-8
Keep, R. F., Andjelkovic, A. V., & Xi, G. (2017). Cytotoxic and
Vasogenic Brain Edema. Primer on Cerebrovascular Diseases,
145–149. doi:10.1016/b978-0-12-803058-5.00029-1
Kourbeti, I.S., et al. (2012). Infections in traumatic brain injury
patients. Clinical Microbiology and Infection, 18(4), 359–
364.doi:10.1111/j.1469-0691.2011.03625.x
Lindsay, K. W., Bone, I., Fuller, G. and Callander, R. (2011)
Neurology and Neurosurgery Illustrated. Fifth. Edinburgh:
Churchill Livingstone Inc.
Marklund N, Tenovuo O. Pathophysiology of severe traumatic
brain injury. In: Sundstrøm T, Grände P-O, Luoto T, Rosenlund C,
Undén J, Wester KG, editors. Management of Severe Traumatic
Brain Injury [Internet]. Cham: Springer International Publishing;
38
CEDERA OTAK TRAUMATIK
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
2020 [cited 2022 Feb 28]. p. 35–50. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-39383-0_6
Michinaga, S. and Koyama, Y. (2015). Pathogenesis of Brain
Edema and Investigation into Anti-Edema Drugs. International
Journal of Molecular Sciences, 16:9949-9975.
Penelitian Karya Akhir Cedera Kepala di Kotamadya Surabaya
2011. Joni Wahyuhadi, Gde Budi Setiawan, Tedy Apriawan, Budi
Susanto & Muhammad Fadli Said.
Shah, A. M., Jung, H., & Skirboll, S. (2014). Materials used in
cranioplasty: a history and analysis. Neurosurgical Focus, 36(4),
E19.doi:10.3171/2014.2.focus13561
Sergio A. Calero-Martinez et al.. Development and assessment of
competency-based neurotrauma course curriculum for
international neurosurgery residents and neurosurgeons.
NeurosurgFocus, 2020.
Sivanandapanicker J, Nagar M, Kutty R, Sunilkumar BS,
Peethambaran A, Rajmohan BP, et al. Analysis and clinical
importance of skull base fractures in adult patients with
traumatic brain injury. J Neurosci Rural Pract. 2018 Sep;9(3):370–
5.
Tenny S, Thorell W. Intracranial Hemorrhage. [Updated 2022 Aug
1]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing;
2022
Jan-. Available
from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470242/
Tim Neurotrauma RSUD Dr. Soetomo. 2018. Pedoman
Tatalaksana Cedera Otak edisi ketiga. RSUD Dr. Soetomo:
Surabaya
Wahyuhadi, J. (2019). Patofisiologi dan Tatalaksana Cidera Otak
Berbasis Bukti Ilmiah. Third Edition. Surabaya: SMF/Departemen
Ilmu Bedah Saraf Dr. Soetomo General Academic Hospital –
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
39
BAB II
BAB II
CEDERA SPINAL
2.1 PENDAHULUAN
Kejadian cedera spinal berkisar antara 250.000-500.000 di seluruh
dunia setiap tahunnya. Keberadaan cedera spinal perlu
dipertimbangkan pada pasien multi trauma baik dengan adanya defisit
neurologis maupun tidak. Kejadian cedera spinal berkaitan dengan
cedera otak. Sekitar 5% pada pasien dengan cedera otak juga
mengalami cedera spinal, dimana 25% pasien dengan cedera spinal
ternyata juga mengalami cedera otak ringan. Pada pasien yang
berpotensi mengalami cedera spinal, manipulasi berlebihan dan
immobilisasi pergerakan spinal yang inadekuat dapat menyebabkan
kerusakan saraf lebih lanjut dan memperburuk prognosis pasien. Data
menyebutkan bahwa setidaknya 5% pasien dengan cedera spinal
mengalami defisit neurologis maupun perburukan gejala saat tiba di
Instalasi Gawat Darurat (IGD). Diperlukan penanganan yang baik dan
cermat, tidak hanya dalam lingkup tatalaksana kedaruratan, namun
hingga masa rehabilitasi pasien agar gejala residual cedera spinal
didapatkan seminimal mungkin sehingga pasien memiliki kualitas
hidup yang baik dan lebih optimal menjalani sisa hidupnya.
2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI SPINAL
Columna vertebralis manusia tersusun oleh 33 vertebrae, yang
terbagi menjadi 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral yang fusi
menjadi 1 tulang sacrum dan segmen coccygeal. Seluruh vertebrae
tersebut tersusun sedemikian rupa dan membentuk canalis spinalis di
dalamnya sebagai tempat berjalannya medulla spinalis beserta
pembungkusnya.
Vertebrae secara umum terdiri dari corpus di anterior dan arcus
vertebrae di posterior membentuk ruang berupa foramen vertebralis.
40
CEDERA SPINAL
Pedicle adalah struktur berbentuk silindris dan berada di kedua sisi
arcus vertebrae beserta struktur pipih bernama laminae yang
membentuk arcus pada sisi posterior. Arcus vertebrae memberi 7
processus, antara lain 1 spinosus, 2 transversus dan 4 articularis.
Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat berbentuk
silindris yang merupakan kelanjutan dari medulla oblongata dan
berakhir pada batas bawah vertebrae lumbal ke-1 sebagai conus
medullaris. Sebagai sistem saraf pusat, medulla spinalis memiliki
pembungkus selayaknya pada otak, yaitu dura mater, arachnoid
mater dan pia mater.
Medulla spinalis akan memberikan cabang berupa radiks yang
keluar di kedua sisi pada setiap levelnya. Terdapat 8 radiks cervical, 12
radiks thoracal, 5 radiks lumbal dan 5 radiks sacral pada kedua sisi
medulla spinalis. Perlu diperhatikan bahwa radiks spinalis tersebut
merupakan bagian dari sistem saraf tepi, sehingga gangguan pada
struktur tersebut memiliki karakteristik yang berbeda daripada
gangguan langsung pada medulla spinalis.
2.3 PENEGAKAN DIAGNOSIS CEDERA SPINAL
Penegakan diagnosis pada cedera spinal perlu dilakukan dengan
teliti dan cermat. Pemeriksaan harus dilakukan secara runtut dimulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Penggalian informasi mengenai mekanisme trauma penting
untuk mengetahui resiko terjadinya cedera spinal, antara lain:
• Pasien dengan penurunan kesadaran
• Pasien dengan keluhan menggerakkan tangan dan atau kaki pasca
trauma
• Pasien dengan riwayat trauma pada kecepatan tinggi/jatuh dari
ketinggian >3 m
41
CEDERA SPINAL
• Pasien dengan intoksikasi alkohol
• Pasien dengan riwayat cedera yang belum diketahui
Pada pasien yang sadar dapat diminta untuk menggerakan
ekstremitas atas dan bawah, jika ada kesulitan curigai adanya cedera
spinal.
Sekitar 55% cedera spinal terjadi pada level cervical, sehingga
kecurigaan pada cedera di level ini perlu diperhatikan oleh pemeriksa
dengan seksama. Pasien dengan kecurigaan mengalami cedera
cervical, antara lain:
• Terdapat jejas di atas clavicula
• Terdapat quadriplegia/tetraplegia setelah trauma (akut)
• Pasien multi trauma
Namun perlu diperhatikan bahwa tidak adanya temuan-temuan
di atas pada pasien, bukan menjadi eksklusi bahwa pasien bebas dari
kecurigaan cedera cervical. Pasien cedera multipel harus dicurigai
terdapat cedera spinal hingga dibuktikan tidak, dengan konsekuensi
perlu dilakukan proteksi pada spinal sampai terbukti tidak ada
kelainan spinal.
Pemeriksaan Fisik
Setelah anamnesis terlaksana dengan baik maka penegakan
diagnosis dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan fisik. Sebelum
pemeriksaan fisik dimulai, pastikan proteksi jalan nafas dan spinal (Cspine control) adekuat serta tekanan darah dalam kondisi stabil. Pada
pasien dengan penurunan kesadaran maka dianggap memiliki cedera
spinal.
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksa perlu untuk mengetahui
kekuatan motorik keempat ekstremitas, defisit sensorik dan gangguan
otonom pada cedera spinal. Temuan yang didapat selanjutnya
digunakan untuk mengelompokkan cedera spinal pada pasien.
Pemeriksaan fisik pada pasien cedera spinal dapat dibantu dengan
42
CEDERA SPINAL
mengisi worksheet International Standards for Neurological
Classification of Spinal Cord Injury (ISNCSCI) oleh American Spinal
Injury Association (ASIA) di bawah ini (Gambar 21).
Gambar 22 International Standards for Neurological Classification of Spinal
Cord Injury (ISNCSCI) oleh American Spinal Injury Association (ASIA)
43
CEDERA SPINAL
Pada lembar isian ISNCSCI terdapat panduan dalam klasifikasi
cedera spinal secara klinis dalam 5 langkah sebagai berikut:
1. Penentuan sensory level sisi kanan dan kiri pasien
2. Sensory level adalah segmen paling caudal dari spinal cord pasien
dengan fungsi sensorik normal. Pemeriksaan sensorik yang dapat
dilakukan adalah sensasi pin prick dan light touch.
3. Penentuan motor level sisi kanan dan kiri pasien
4. Motor level adalah segmen dengan otot yang memiliki fungsi
motorik setidaknya skala 3 dari 6.
5. Penentuan neurological level of injury (NLI)
6. NLI adalah segmen paling caudal dari spinal cord pasien dengan
fungsi sensorik dan motorik normal pada kedua sisi. Dapat
diartikan juga bahwa NLI adalah segmen paling rostral pada
sensory dan motor level pasien.
7. Penentuan tipe cedera (komplit/inkomplit)
8. Cedera dapat dikatakan komplit apabila voluntary anal contraction
(-), deep anal pressure (-) dan nilai fungsi sensorik S4-5 (0).
9. Apabila tiga kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka cedera dapat
dikatakan inkomplit.
10. Penentuan AIS Grade
11. AIS terdiri dari A (komplit), B (inkomplit sensorik), C (inkomplit
motorik), D (inkomplit motorik) dan E (normal). Klasifikasi ND
digunakan ketika hasil pemeriksaan yang telah dilakukan tidak
dapat menentukan tipe cedera spinal pada pasien.
2.4 SINDROMA KLINIK CEDERA SPINAL
Pasien dengan cedera spinal dapat memiliki karakteristik yang
khas pada tampilan klinis, yaitu seperti pada anterior cord syndrome,
posterior cord syndrome, central cord syndrome dan Brown-Sequard
syndrome. Pemeriksa perlu cermat dalam mengenali karakteristik pola
sindroma klinik tersebut pada pasien.
44
CEDERA SPINAL
Anterior Cord Syndrome
Pasien dengan anterior cord syndrome mengalami cedera pada
jaras motorik dan sensorik yang berjalan di sisi anterior spinal cord.
Tampilan klinis berupa paraplegia dan kehilangan sensasi nyeri dan
suhu pada kedua sisi. Jarak yang berjalan di sisi posterior spinal cord
(columna dorsalis) tetap intak sehingga fungsi proprioseptif dan
getaran dalam batas normal. Sindroma klinis ini memiliki prognosis
paling buruk bagi pasien.
Posterior Cord Syndrome
Pasien dengan posterior cord syndrome mengalami cedera pada
jaras sensorik yang berjalan di sisi posterior spinal cord. Columna
dorsalis yang berisi fasciculus gracilis dan cuneatus memiliki fungsi
proprioseptif, getaran dan sensasi sentuh sehingga cedera pada sisi
posterior akan menyebabkan gangguan pada fungsi-fungsi tersebut.
Fungsi motorik dalam batas normal.
Central Cord Syndrome
Pasien dengan anterior cord syndrome mengalami cedera pada
jaras yang melalui area tengah/sentral spinal cord. Mekanisme cedera
terjadinya sindroma klinik ini adalah gaya hiperekstensi pada pasien
yang telah memiliki cervical canal stenosis sebelumnya (terutama
pada kelompok usia lansia). Tampilan klinis berupa kelemahan
motorik dan fungsi sensorik bilateral terutama lebih buruk pada
anggota tubuh bagian atas. Hal ini terjadi karena posisi anatomi
serabut saraf di spinal cord untuk area tubuh atas hingga bawah
tersusun bersebelahan dari medial hingga lateral, sehingga cedera
dari tengah akan memberi dampak lebih dahulu pada segmen serabut
bagian tubuh atas (cervical – thoracal – lumbal – sacral).
45
CEDERA SPINAL
Brown-Sequard syndrome
Pasien dengan Brown-Sequard syndrome mengalami cedera
pada jaras yang berjalan di salah satu sisi spinal cord (hemisectio).
Mekanisme terjadinya cedera pada sindroma klinik ini adalah luka
tusuk (penetrating injury), luka tembak pada punggung maupun
fraktur dislokasi columna vertebralis. Tampilan klinis berupa
paraplegia dan gangguan proprioseptif, getaran dan sentuh pada sisi
ipsilateral disertai kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada sisi
kontraleral dari cedera.
2.5 NEUROGENIC SHOCK DAN SPINAL SHOCK
Gambar 23 Patofisiologi Neurogenic Dan Spinal Shock Pada Pasien Dengan Cedera
Spinal
Neurogenic shock kerap terjadi pada cedera spinal level tinggi
(diatas T6) dan menyebabkan penurunan fungsi sistem saraf simpatis,
baik gangguan aliran simpatis ke sistem vaskular sistemik sehingga
sistem saraf parasimpatis menjadi dominan pada pasien. Penurunan
sistem saraf simpatis menyebabkan dilatasi pasif sistem vaskular
sistemik sehingga terjadi penurunan preload, stroke volume,
46
CEDERA SPINAL
afterload, heart rate yang mana menjadikan penurunan cardiac
output.
Hal tersebut menyebabkan tampilan klinis berupa penurunan
blood pressure, pulse rate dan body temperature pada pasien.
Sementara itu, spinal shock adalah kondisi hilangnya refleks, fungsi
bladder dan tonus otot di bawah level cedera yang terjadi secara akut
setelah kejadiaan cedera spinal.
2.6 EKSKLUSI CEDERA SPINAL
Pada pasien trauma dengan kecurigaan cedera spinal, pemeriksa
dapat melakukan eksklusi secara pengamatan klinis menggunakan
beberapa pilihan yaitu National Emergency X-Radiography Utilization
Study (NEXUS) Criteria dan Canadian C-spine Rule (CCR).
Gambar 24 NEXUS Criteria
47
CEDERA SPINAL
Gambar 25 Canadian C-spine Rule (CCR)
Pasien dengan kecurigaan cedera spinal kerap kali telah
terpasang cervical collar sebagai upaya c-spine control dan terbaring
di long spine board sejak awal. NEXUS dan CCR dapat menjadi
panduan untuk melakukan eksklusi cedera spinal secara klinis dan
apabila tereksklusi maka pemeriksaan radiologi belum perlu
dilakukan.
Menurut kriteria NEXUS (Gambar 24), terdapat 5 kriteria resiko
rendah yang perlu diperhatikan pada pasien. Apabila seluruh kriteria
tersebut tidak ada pada pasien, maka cedera spinal dapat dieksklusi
48
CEDERA SPINAL
dan pasien belum perlu melakukan pemeriksaan radiologi lanjutan.
Sementara itu pada CCR (Gambar 25), perlu diperhatikan bahwa
skema digunakan pada pasien trauma yang stabil dan sadar penuh
(GCS 15) dimana cedera spinal dicurigai.
Apabila pasien tidak memiliki faktor resiko tinggi yang
memerlukan radiografi, terdapat faktor resiko rendah untuk
dilakukannya pemeriksaan ROM dengan aman yang dilanjutkan
dengan mampu melakukan rotasi leher ke kanan dan kiri secara aktif
maka pasien belum perlu melakukan pemeriksaan radiologi lanjutan.
2.7 PENGGOLONGAN CEDERA SPINAL
Penggolongan cedera spinal dapat dilakukan menggunakan
sistem klasifkasi yang telah tervalidasi dan dikembangkan oleh AO
Spine Knowledge Forum Trauma. Sistem Klasifikasi AO Spine untuk
Subaxial dan Thoracolumbar Injury adalah hasil dari penilaian
sistematis dan revisi dari klasifikasi Magerl dan telah mencapai
konsensus sebagai klasifikasi yang menggabungkan morfologi fraktur
dan faktor klinis yang relevan untuk pengambilan keputusan klinis.
Gambar 26 Sistem Klasifikasi Cedera Subaxial oleh AO Spine
49
CEDERA SPINAL
Fraktur pada subaxial (C3-C7) dapat diklasifikasikan
menggunakan Sistem Klasifikasi Thorakolumbal oleh AO Spine
(Gambar 4). Cedera dapat dibagi menjadi 4 kelompok:
a. Cedera kompresi
b. Tension Band Injuries
c. Cedera bilateral
d. Cedera translasi
e. Cedera pada facet
Penggolongan cedera dimulai dengan mengikuti alur bagan yang
tersedia, pemeriksa dapat mencermati keberadaan dislokasi, tension
band injury, fraktur pada corpus dan processus vertebra.
Gambar 27 Sistem klasifikasi cedera thoracolumbar oleh AO Spine
Sementara itu, fraktur pada thoracolumbar dapat diklasifikasikan
menggunakan Sistem Klasifikasi Thorakolumbal oleh AO Spine
(Gambar 5). Cedera dapat dibagi menjadi 3 kelompok:
a) Cedera kompresi
50
CEDERA SPINAL
b) Cedera distraksi
c) Cedera translasi
Penilaian status neurologis pasien menurut klasifikasi AOSpine
sebagai berikut:
a) N0
Neurologis intak
b) N1
Defisit neurologis sementara, yang sudah tidak ada
lagi
c) N2
Gejala radicular
d) N3
Trauma medspin inkomplit/adanya derajat cedera
cauda equina apapun
e) N4
Cedera medulla spinalis total
f) NX
Status neurologis tidak diketahui karena sedasi atau
cedera kepala
2.8 TATALAKSANA CEDERA SPINAL
Tindakan pencegahan pada kasus curiga fraktur tulang belakang
harus diterapkan pada semua pasien trauma, sampai trauma tulang
belakang dapat dieksklusi. Membatasi fleksi, ekstensi, rotasi, pada
tulang belakang dapat membantu menghindari memperburuk cedera
pada sumsum tulang belakang. Tindakan pencegahan dapat
dihentikan setelah pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan fisik
mengindikasikan tidak adanya fraktur atau ketidakstabilan tulang
belakang.
Mempertahankan perfusi ke sumsum tulang belakang dengan
perawatan suportif, termasuk tatalaksana jalan napas, pernapasan,
dan manajemen sirkulasi dengan menjaga Mean Arterial Pressure
(MAP) di atas 85 mmHg, sangat penting untuk meningkatkan perfusi
sumsum tulang belakang.
Prinsip penatalaksanaan awal cedera spinal di ruang gawat
darurat, mengikuti prinsip Primary Survey pada ATLS:
51
CEDERA SPINAL
• Airway dan C-spine control: Pastikan tidak ada sumbatan jalan
nafas, pasang oropharyngeal airway (OPA)/nasopharyngeal
airway (NPA) bila ada indikasi, pasien GCS < 8 setelah
resusitasi adekuat, pertimbangkan untuk intubasi. Lakukan
fiksasi pada leher dengan pemasangan cervical collar dan
baringkan pasien pada long spine board.
• Breathing: Nilai pergerakan dinding dada, frekuensi nafas,
dan berikan suplementasi oksigen dengan Simple mask 6
LPM, cegah pasien mengalami hipoventilasi.
• Circulation: Nilai tekanan darah, frekuensi nadi dan kekuatan
nadi, dan saturasi oksigen, nilai tanda syok seperti akral
dingan dan CRT< 2 detik, pasang IV-line berikan normal saline
dan ambil sampel darah untuk pemeriksaan penunjang.
• Jika pasien mengalami instabilitas dan masalah neurologis,
tindakan pembedahan darurat mungkin diperlukan. Pasien
dengan cedera multipel, resusitasi dan operasi darurat adalah
prioritas pertama, sedangkan penundaan fiksasi fraktur
umumnya dilakukan untuk memberi jalan pada tindakan
penyelamatan nyawa.
• Disability: Nilai fungsi neurologis awal pada pasien
• Exposure/Environmental control: Pastikan pasien dalam
kondisi hangat dan aman, lakukan pemeriksaan pada sisi
posterior tubuh dengan melakukan manuver log roll.
Setelah melakukan primary survey dan kondisi pasien stabil,
pemeriksa dapat melanjutkan ke secondary survey yang terdiri dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan diagnostik lanjutan.
Tatalaksana cedera spinal memiliki beberapa kontroversi, yaitu
terkait manfaat pemberian steroid (Methylprednisolone) dan
tindakan operatif awal untuk pasien.
• Menurut kajian sistematis pada tahun 2017, pemberian
steroid tidak memberikan dampak yang bermakna pada masa
52
CEDERA SPINAL
•
•
•
•
pemulihan neurologis jangka panjang walaupun pemberian
dosis tinggi dalam 8 jam pertama setelah cedera dikatakan
memberi manfaat minimal untuk pemulihan motorik jangka
panjang.
Panduan pelatihan ATLS edisi ke-10 tahun 2018 oleh komite
trauma dan American College of Surgeons menyebutkan
bahwa penggunaan steroid untuk cedera spinal belum
disokong dengan bukti yang cukup.
Pada Greenberg handbook edisi ke-9 tahun 2019 disebutkan
bahwa pemberian methylprednisolone tidak disetujui oleh
FDA sebagai pengobatan cedera spinal akut.
Dekompresi dalam 24 jam pertama setelah trauma dapat
dilakukan secara aman dan berhubungan dengan
peningkatan prognosis neurologis pasien.
Tindakan operatif awal dapat menjadi pilihan bagi pasien
cedera spinal pada level manapun.
2.9 RUJUKAN KASUS CEDERA SPINAL
Pasien dengan fraktur spinal maupun defisit neurologis perlu
dirujuk ke fasilitas kesehatan yang mampu memberikan tatalaksana
definitif. Hindari penundaan rujuk yang tidak perlu dan segera rujuk
pasien di IGD untuk penanganan lanjutan pasien yang diduga cedera
spinal dengan menggunakan long spine board dan collar neck untuk
menjaga spinal dalam kondisi inline. Pasien dengan cedera cervical
diatas C6 beresiko mengalami gangguan fungsi pernafasan parsial
maupun total. Pada kasus yang sudah terkonfirmasi cedera spinal,
tetap lakukan imobilisasi sampai dilakukan terapi definitif.
53
CEDERA SPINAL
Daftar Pustaka
1. American College of Surgeons (2018) Advanced Trauma Life
Support. Chicago: American College of Surgeons.
2. Anissipour, A.K. et al. (2017). Traumatic Cervical Unilateral and
Bilateral Facet Dislocations Treated With Anterior Cervical
Discectomy and Fusion Has a Low Failure Rate. Global Spine
Journal, 7(2), 110-115
3. Calvo-Invante, RF. et al. (2018). Cardiovascular complications
associated with spinal cord injury. Journal of Acute Disease. 7(4):
139-144
4. Dai, L. (2012) ‘Principles of Management of Thorakolumbal
Fractures’, Orthopaedic Surgery, 4(2), pp. 67–70. Available at:
https://doi.org/10.1111/j.1757-7861.2012.00174.x.
5. Fernández-de Thomas, R.J. and de Jesus, O. (2022) Thorakolumbal
Spine Fracture. Treasure Island: Statpearls Publishing.
6. Joaquim, A.F. et al. (2018) ‘Clinical application and cases examples
of a new treatment algorithm for treating thoracic and lumbar
spine trauma’, Spinal Cord Series and Cases, 4(1), p. 56. Available
at: https://doi.org/10.1038/s41394-018-0093-4.
7. Lee, P., Hunter, T. B., & Taljanovic, M. (2004). Musculoskeletal
Colloquialisms: How Did We Come Up with These Names?
RadioGraphics, 24(4), 1009–1027.doi:10.1148/rg.244045015
8. Nagasawa, H. et al. (2017). A case of real spinal cord injury without
radiologic abnormality in a pediatric patient with spinal cord
concussion. Spinal Cord Series and Cases, 3, 17051.
9. Rumboldt, Z., Cianfoni, A., & Varma, A. (Eds.). (2018). Clinical
Imaging of Spinal Trauma: A Case-Based Approach. Cambridge
University Press. doi:10.1017/9781139871372.
54
CEDERA SPINAL
10. Tattersall, R., & Turner, B. (2000). Brown-Séquard and his
syndrome. The Lancet, 356(9223), 61–63.doi:10.1016/s01406736(00)02441-7
11. Vaccaro, A.R., et al. (2013). AOSpine Thoracolumbar Spine Injury
Classification
System.
Spine,
38(23),
2028–2037.
doi:10.1097/brs.0b013e3182a8a3
12. Vaccaro, A.R., et al. (2016). AOSpine subaxial cervical spine injury
classification system. European Spine Journal, 25(7), 2173–2184.
doi:10.1007/s00586-015-3831-3
13. Verheyden, A.P. et al. (2018) ‘Treatment of Fractures of the
Thorakolumbal Spine: Recommendations of the Spine Section of
the German Society for Orthopaedics and Trauma (DGOU)’, Global
Spine Journal, 8(2_suppl), pp. 34S-45S. Available at:
https://doi.org/10.1177/2192568218771668.
55
BAB III
BAB III
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
3.1 PENDAHULUAN
Hipertensi intrakranial atau yang lebih dikenal dengan
peninggian tekanan intrakranial (TIK), yang tidak dapat diatasi akan
menyebabkan kerusakan dan kematian sel-sel otak karena tekanan
perfusi ke otak tidak mencukupi kebutuhan metabolisme otak.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, misalnya
trauma, perdarahan, tumor, infeksi maupun infark. Semenjak
ditemukannya alat monitoring untuk mengukur TIK, banyak informasi
telah dikumpulkan mengenai proses pathofisiologi yang terjadi. Serta
macam- macam pengobatan untuk menurunkan TIK.
3.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI
Tengkorak pada orang dewasa adalah merupakan rongga yang
tertutup dan berisi komponen saraf, cairan otak dan darah (arteri dan
vena) yang mempunyai volume ± 1400 - 1500 cc. Tiap-tiap komponen
ini tidak dapat di tekan. Tengkorak hanya memiliki satu lubang yaitu
foramen magnum. Otak dipisahkan secara kaku oleh tentorium
menjadi serebelum dan serebrum, melalui incisura tentorium, lewat
mesencephalon. Falx cerebri memisahkan serebrum menjadi
hemisphere kiri dan kanan.
Sirkulasi Cairan Otak (Liquor Cerebro Spinalis Fluid = LCS)
LCS ± diproduksi terutama oleh plexus choroidus yang berada di
ventrikel lateral kiri dan kanan, ventrikel III dan Ventrikel IV. Sedangkan
yang 30% oleh ekstra choroidal (ependym dan parenkim otak). Tiap
menit produksi liquor ± 0,35 cc, 24 jam ± 500 cc. Plexus choroideus
terbentuk dari invaginase vasular pia yang dilapisi permukaan
epithelium dari ependym yang melapisi ventrikel. Luas permukaan
56
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
plexus choroideus dari kedua ventrikel lateral ± 40 cm2. Produksi liquor
melalui proses yang kompleks. Beberapa komponen dari plasma
secara selektif melalui dinding kapiler serta epithelium choroids, yang
lain secara difusi sedang yang lain lagi melalui bantuan aktivitas
metabolisme sel-sel epithel choroids.
Aktif transport ion-ion tertentu (Na) melalui epithelial sel, diikuti
pergerakan pasif dari air untuk mempertahankan keseimbangan
osmotis antara CSF dan plasma darah. Produksi liquor dari choroid
plexus mengalir di dalam sistim ventrikel lateral kiri dan kanan melalui
sepasang foramen Monro ke dalam ventrikel III dan melalui aquaduct
Sylvii menuju ke ventrikel IV, selanjutnya mengalir ke rongga subarachnoid melalui sepasang foramen Luscha dan foramen Magendi ke
sisterna magna.
Sebagian liquor mengalir ke rongga subarachnoid di spinal dan
sebagian besar ke sisterna ambien disekitar mesencephalon dan
sebagian lagi ke rongga subarachnoid di konveksitas hemisphere.
Penyerapan dari liquor ini terjadi melalui villi arachnoid ke sistim vena
(sinus sagitalis seperior). Villi ini bekerja berdasarkan perbedaan
tekanan dan bergerak ke satu arah. Bila tekanan liquor lebih tinggi dari
tekanan vena, katup terbuka, sedangkan bila tekanan liquor menurun
dibawah tekanan vena, katup akan menutup untuk mencegah darah
masuk dari sinus ke rongga subarachnoid. Saat kondisi normal
produksi dan absorbsi liquor seimbang, absorbsi akan bertambah bila
tekanan liquor bertambah. Bila terjadi halangan pada aliran liquor
akan terjadi peninggian tekanan liquor yang akhirnya dikompensasi
dengan peninggian TIK untuk mengalirkan cairan liquor dan absorbsi
lebih baik.
Absorbsi liquor ditempat lain selain villi arachnoid yaitu di lapisan
ependym ventrikel dan di selubung saraf spinal. Sebagian besar liquor
mengelilingi seluruh permukaan otak dan medulla spinalis, di rongga
subarahnoid sebanyak 75-100 cc, diventrikel sebanyak 25-40 cc.
57
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Fungsi liquor sebagai pembersih zat-zat pathologi yang ada dalam
otak (pengukuran jumlah cairan liquor dengan MRI). Jumlah liquor
bertambah dengan bertambahnya umur. Liquor terdiri dari air, sedikit
protein, O2 dan CO2 yang larut di dalamnya, ion Natrium, ion Kalium,
ion Chlorida, glukosa dan beberapa limposit. LCS (cairan otak)
merupakan cairan isotonik terhadap plasma. Di dalam ventrikel kadar
protein 0,256 ± 0,059 gr/lt di cisterna magna 0,316 ± 0,059 gr/lt.
Dalam keadaan normal tekanan intrakranial ditentukan oleh 2 faktor :
1. Hubungan tekanan pembentukan LCS dan resistensi aliran LCS ke
vena cerebri.
2. Tekanan sinus venous dura (efek tekanan yang dapat membuka
sistim drainage)
TIK = CSF pressure = (Banyaknya pembentukan X Resisten Aliran) + Tekanan Sinus Venous
Gambar 28 Rumus Tekanan Intrakranial
Tekanan pembentukan liquor hampir selalu konstan pada
perubahan TIK, mungkin menurun bila TTIK sangat tinggi. Sebaliknya
absorbsi cairan liquor tergantung perbedaan tekanan LCS dengan sinus
venous, sehingga absorbsi akan bertambah, bila TIK makin tinggi.
Cerebral Blood Volume (CBV)
Penyebab yang paling sering menimbulkan peninggian TIK
dan nyata secara klinis adalah bertambahnya volume darah di otak.
Hal ini disebabkan dilatasi pembuluh darah arteri yang berhubungan
dengan bertambahnya cerebral blood flow (CBF; aliran darah ke otak)
atau oleh adanya penyumbatan aliran darah vena dari rongga otak,
yang berhubungan dengan penurunan CBF. Pengukuran CBV, CBF,
dan extraxsi O2 dapat dilakukan secara langsung dengan Position
Emission Tomography (P.E.T) scaning. Jumlah volume darah di otak ±
58
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
100 cc; 70% jumlah darah yang diotak berada di pembuluh vena. Dari
3 komponen yang berada di otak, volume darah yang paling cepat
berespons terhadap perubahan TTIK.
PaCO2, PaO2, CBF, dan CBV
Pembuluh darah arteriole di otak merupakan pembuluh darah di
dalam tubuh yang paling sensitif terhadap perubahan metabolisme
dilingkungannya, yang berarti regional CBF akan berespons terhadap
kebutuhan metabolisme didaerah tersebut. Bahan yang paling sering
menyebabkan vasodilatasi adalah CO2. Tiap perubahan 1 mmHg CO2,
akan menyebabkan perubahan CBF 2-4 %. Jadi CBF akan naik 2x lipat
bila PCO2 naik dari 40 mmHg menjadi 80 mmHg dan turun ½ nya bila
PCO2 20 mmHg. Bila PaCO2 < 20 mmHg, CBF tidak berefek lagi, malah
terjadi vasokontriksi. hebat dan akan mengakibatkan hypoxia. Bila
kadar PaO2 menurun, CBF akan naik. Pada PaO2 30 mmHg, CBF akan
naik 2x lebih banyak. Tujuan dilatasi pembuluh darah adalah agar
penambahan CBF ke otak mencukupi kebutuhan jaringan otak.
Selama penambahan CBF dapat mengkompensasi kadar O2
darah; metabolisme otak akan normal. Bila PaO2 turun sampai 20
mmHg rangsang untuk vasodilatasi akan maksimal, akan terjadi
anaerob glikolisis dan penurunan oksidasi posforilasi. Peninggian
PaO2 mengakibatkan sedikit perubahan CBF. Pemberian oxygen 100%
(1 atmosfir) akan menurunkan CBF 10% dengan 2 atmosfir hanya akan
menurunkan 20%. Perubahan PaCO2 dan PaO2, mem-pengaruhi ICP
melalui perubahan diameter pembuluh darah dan CBF. Mekanisme
yang bertanggung jawab terhadap perubahan pembuluh darah ini
karena pengaruh konsentrasi H+ di cairan ekstraseluler, calcium,
kalium, prostaglandin, dan adenosin. Efek lain dari hypoksia terhadap
dinamika intrakranial saat ini dapat diukur dengan alat transduser
59
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
yang dipasang di dalam ventrikel lateral kanan dengan hasil akurat,
aman mudah dan tidak mahal.
Volume Otak
Otak mempunyai volume 1500 cc; merupakan 2% dari berat
badan. Volume glia 700- 900 cc dan neuron sebanyak 500-700 cc. Glia
dan neuron menempati 70% volume otak sedangkan cairan
extraseluler, darah dan liquor masing-masing 10%. Kadar air di
substansia alba 70%, sedangkan disubstansia grisea 80%. Sebanyak
80% air berada di intraceluller.
Cairan extraceluller mengandung air < 75 cc, dan ini bisa
bertambah sampai 10%. Ronggga extraceluller ini berhubungan
dengan liquor melalui ependym.
Blood Brain Barrier (Sawar Darah Otak)
Komponen anatomi Sawar Darah Otak (SDO) adalah kapiler di
otak yang merupakan sel endothel yang membatasi darah yang ada
didalam kapiler dengan jaringan di sekitarnya. Disekitar permukaan sel
endothel dilapisi oleh lamina basal yang sangat erat berhubungan
tight junction. Disebelah luarnya dilapisi oleh kaki-kaki astrosit dan
mempunyai celah diantara kaki-kakinya. Dinding kapiler ini dapat dilalui
oleh bahan- bahan yang larut dalam lemak dan membatasi lewatnya
molekul hidropolik yang polar karena adanya tight junction tersebut.
Gula dan asam amino melewati dinding kapiler ini dengan proses
pembawa molekul yang spesifik.
Pada transport natrium dan kalium dan juga air ATP berperanan
sangat penting. Gangguan SDO ini dapat terjadi pada beberapa
penyakit misalnya trauma sehingga molekul-molekul yang besar dapat
melewati SDO ini, dan akibatnya terjadi edem. Gangguan SDO dapat
terjadi dengan pemberian cairan hipertonis atau kontras media atau
mannitol, bila di berikan melalui arteri. Hal ini akan menyebabkan
60
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
terbukanya SDO secara temporer, sehingga sering dipakai sebagai
pengobatan. Harus dibedakan pemberian mannitol secara IV untuk
mengobati TTIK. Pada keadaan ini perubahan osmolaritet darah.
3.3 PATOLOGI DARI TEKANAN TIK
Bila sutura sudah sempurna terbentuk, volume intrakranial akan
selalu konstan. Isi dari cranium yaitu jaringan otak, liquor dan darah,
bila mengalami peninggian TIK, salah satu dari komponen tersebut
harus dikurangi/dipindahkan. LCS dialirkan dari sistem ventrikel ke
rongga subarachnoid melalui sepasang foramen Luscha dan Magendi
yang kemudian akan diabsorpsi di sinus spenosus melalui villi choroid
ke sinus sagitalis superior (SSS). Rongga subarachnoid di medulla
spinalis masih dapat berkembang karena adanya lemak dan vena
plexus venous di ruang epidural. Mekanisme pengeluaran liquor ini
terbatas. Bila terjadi sumbatan atau gangguan aliran produksi liquor
yang terus terjadi diatas sumbatan tersebut akan meninggikan TIK.
Darah yang dapat dipindahkan atau dialirkan kedalam sinus venosus
dura adalah darah vena yang berada dipermukaan superficial dan
vena-vena yang dalam, ke vena-vena ekstrakranial.
Seperti halnya pengeluaran liquor dari rongga tengkorak,
mekanisme ini juga terbatas karena volume darah yang dapat
dikeluarkan dari otak hanya sedikit. Otak sendiri merupakan bagian
yang paling sedikit dapat dipindahkan ke bagain yang lain. Pada tumortumor yang tumbuh lambat, misalnya meningioma pergeseran otak
dapat banyak tanpa perubahan TIK yang berarti, mungkin hal ini
disebabkan karena penurunan cairan di ekstraseluler dan kadar lemak
disekitar tumor tersebut. Pada masa yang cepat berkembang otak
akan bergeser ke bagian yang lain (Tentorial Herniasi atau Subfalcin
Herniasi) atau melalui foramen Magnum (Tonsilar Herniasi).
Pertambahan volume di dalam intrakranial mula-mula akan
dapat dikompensasi, dengan cara mengeluarkan darah vena dan
61
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
liquor sampai titik tertentu dimana liquor dan darah tidak dapat
dikeluarkan lagi dan terjadi keadaan dekompensasi, yaitu setiap CC
pertambahan volume akan secara signifikan meninggikan TIK.
Tekanan intrakaranial diatas 20 mmHg berhubungan dengan
peninggian resistensi aliran liquor. Pada CT scan bila cisterna
perimesencephalic mengalamai obiterasi, hal ini menunjukkan
peninggian TIK dan merupakan tanda-tanda adanya bahaya. Pada
keadaan klinis tertentu (head injury) perubahan volume merupakan
suatu proses yang komplek dimana bekuan darah, edem cerebri,
gangguan absorbsi liquor yang disebabkan oleh adanya darah
dirongga subarachnoid atau di dalam ventrikel. Juga ditambah dengan
vasodilatasi karena kerusakan autoregulasi atau adanya hypercapia.
Hubungan antara peninggian TIK dengan gambaran klinis tergantung
dari cepatnya perubahan volume dan adanya pergeseran dari otak.
Peninggian TIK dapat ditolerir bila tidak didapatkan perpindahan
jaringan otak sebagai contoh bila komunikasi aliran liquor lancar, dan
tidak di dapatkan pergeseran jaringan otak walaupun didapatkan pupil
edem yang jelas.
Konsekuensi dari peninggian TIK
Penambahan masa yang cepat misalnya epidural hematoma,
mula-mula TIK bertambah sedikit demi sedikit dimana pasien masih
sadar, tetapi bila masa bertambah dan terjadi dekompensasi, pasien
mengeluh sakit kepala, terjadi penurunan kesadaran dan bila terjadi
penekanan batang otak akan terjadi tekanan darah meninggi
sedangkan nadi menurun. Bila perdarahan terus bertambah, TIK terus
meninggi terjadi dilatasi pupil pada sisi yang sama akhirnya reflek
batang otak menurun. Akhirnya fungsi batang otak hilang, tekanan
darah menurun, nadi berkurang, pernafasan perlahan dan tidak
teratur lalu berhenti.
62
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Tekanan Intrakranial dan CBF
Tekanan intrakranial dapat berpengaruh terhadap CBF melalui
beberapa langkah:
1. Penekanan dari arteri cerebri anterior karena adanya herniasi
subfalcin atau penyumbatan arteria cerebri posterior karena
herniasi tentorium.
2. Karena batang otak terdorong ke bawah perforating arteri tertarik
dan menyebab- kan ishemi batang otak serta putusnya arteri
tersebut dan vena-vena batang otak.
3. Penurunan Cerebral Perfusi.
Meskipun otak hanya 2% dari berat badan otak menerima 15%
dari cardiac output dan menggunakan 20% glukosa. Bila terjadi ischemi
dalam waktu yang singkat akan mengakibatkan gangguan neuron yang
irreversible. CBF selalu dipertahankan normal 50 CC/100 gr jaringan
otak/menit. CBF di substansia grisea 80 CC/100 gr jaringan
otak/menit, sedangkan di substansia alba 20 CC/100 gr jaringan
otak/menit.
CBF yang normal ini diatur oleh autoregulasi yang berada di
arterioles. Bila tekanan darah naik arterioles menyempit yang akan
mengakibatkan peninggian resistensi pembuluh darah dan mencegah
peninggian CBF. Sebaliknya bila tekanan darah menurun terjadi
dilatasi arterioles. Di pembuluh darah aliran tergantung perbedaan
tekanan antara arteri dan vena – tekanan perfusi – dan resistensi
pembuluh darah:
Aliran Darah = Tekanan Arteri – Tekanan Vena
Resistensi Pembuluh Darah Pada tengkorak yang sudah tertutup:
CBF = Tekanan Arteri – Tekanan Sinus Sagittalis Resistensi Pembuluh Darah Otak
63
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Pada kenyataannya tekanan sinus sagittalis adalah 1-2 mmHg
lebih rendah dari TIK, sehingga ICP dapat dianggap sama dengan
tekanan sinus sagittalis superior:
CBF = Tekanan Arteri – TIK Resistensi Pembuluh Darah
Peninggian TIK akan menurunkan tekanan perfusi. Bila pembuluh
darah masih dapat me lakukan autoregulasi, maka terjadi penurunan
resistensi pembuluh darah otak sehingga menyebabkan CBF konstan.
Bila autoregulasi terganggu, CBF akan menurun, bila auto regulasi
hilang resistensi pembuluh darah otak akan berdilatasi secara pasif.
Perubahan CBF disesuaikan dengan kebutuhan metabolisme regional,
CBF ditentukan oleh:
1. Tekanan darah arteri
2. Tekanan intrakranial
3. Autoregulasi
4. Stimulasi merangsang metabolisme
5. Penekanan atau pergeseran pembuluh darah karena herniasi atau
masa
Tekanan Intrakranial dan Pergeseran Otak
Gejala klinik TIK yang meninggi banyak disebabkan karena adanya
pergeseran otak dari pada peninggian TIK-nya. Pergeseran otak
dibagian medial temporal (uncus) melalui hiatus tentorium akan
menyebabkan batang otak terdorong ke ke arah transversal. Nerves III
yang terdorong menyebabkan dilatasi pupil satu sisi. Pendesakan
cerebral peduncle menyebabkan hemiparese sisi yang lain.
Pendesakan yang berlangsung lebih lanjut akan mendorong peducle
cerebri sisi lain sehingga menyebabkan hemiparese sisi yang sama
atau tetraparese. Penekanan pada sisi yang lain itu disebut juga
Kernohan Notch. Arteri cerebri posterior dapat terjepit pada tepi
tentorium akan menyebabkan infark di lobus occipitalis dan
menyebabkan hemianophia.
64
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Herniasi central dapat terjadi bila didapatkan tumor di frontal
sehingga kedua temporal lobe bagian medial mendorong batang otak,
penekanan ini menyebabkan tectum terdorong ke arah bawah
sehingga terjadi parese upware dan bilateral ptosis. Herniasi tonsilar
terjadi bila masa supratentorial mendorong secara progresif menekan
batang otak ke bawah, dapat juga oleh tumor fossa posterior sehingga
tonsil masuk ke dalam foramen Magnum yang menyebabkan fungsi
batang otak terganggu. Gambaran klinis terjadinya tortikolis,
penurunan kesadaran serta gangguan pernafasan secara cepat.
Bila terjadi pergeseran garis tengah dari otak terjadi herniasi
subfalcine yaitu girus cinguli yang berada di bawah falx akan terdesak
ke bagian yang lain sehingga arteri cerebri anterior terjepit dan
menyebabkan parese tungkai pada sisi yang lain hal ini jarang terjadi.
Pada keadaan normal hubungan cairan pada rongga subarachnoid
dengan tekanan sepanjang neuroasis adalah samal. Bila didapatkan
masa di dalam tengkorak yang makin bertambah, mula-mula tekanan
ini dialirkan melalui cairan liquor ke semua arah tetapi bila aliran
melalui tentorium atau foramen Magnum sudah mulai tersumbat
tekanan di bawah sumbatan tersebut tidak lagi menggambarkan
tekanan di atasnya. Pemeriksaan TIK melalui lumbal fungsi pada
keadaan demikian tidak bisa dipercaya dan sangat bahaya. Pada
keadaan dimana masa semakin bertambah akan terjadi pergeseran
jaringan otak ke arah dimana TIK yang rendah agar terjadinya
keseimbangan.
Selama masih bisa terjadi pergeseran, tekanan intrakranial dapat
menurun kembali karena penambahan masa tersebut secara
temporer dapat menyesuaikan. Brain Edema menambah volume otak
karena bertambahnya air didalam jaringan otak, sedangkan Brain
Sweling bertambahnya volume yang bisa terjadi didalam jaringan otak
(Brain edema) atau di dalam intravaskuler. Seperti telah kita ketahui air
yang ada didalam substansia grisea otak adalah 80%; didalam
65
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
substansia alba 68%. Pada otak yang mengalami edematus jumlah
cairan yang berada di dalam substansia grisea menjadi 82% sedang
yang disubstansia alba menjadi 77%. Jadi penambahan air lebih
banyak ter- jadi disubstansia alba yang bila dilihat pada CT atau MRI;
beberapa jenis brain edema:
1. Vasogenic
2. Cytotoxic
3. Hydrostatic
4. Hypoosmoler
5. Intertitial
Yang terpenting pada kasus-kasus bedah saraf adalah vasogenic
edema yang ditandai dengan adanya peninggian permeabilitas kapiler
di otak. Hal ini terlihat disekeliling contusio cerebri, tumor cerebri,
absces dan pinggiran infark. Edem macam ini yang berespon baik
terhadap pemberian steroid.
Pada edem citotoxic semua elemen sel di dalam otak baik
neuron, glia, maupun endothel dapat mengalami pembengkakan yang
diikuti dengan hilangnya rongga ekstraseluler. Hypoxia dan
hypoosmoler yang terjadi secara akut yang terlihat pada intoksikasi air
akan memberikan gambaran seperti ini.
Pada akut hydrocephalus obstruktif akan tampak gambaran
radiolucent periventrikuler bila dilakukan pemeriksaan dengan CT
Scan. Edem ini disebut intertitial edem karena tekanan liquor dalam
ventrikel menyebabkan air menyeberangi ependym ke dalam
substansia alba di periventrikuler, ha ini juga dibuktikan dengan MRI.
Kemampuan isi tengkorak untuk menampung perubahan volume
tergantung dari tekanan intrakranial dan kelenturan otak, seperti pada
gambar dibawah ini setiap penambahan volume akan meninggikan
tekanan intrakranial setelah elastan otak terlampaui.
66
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
3.4
Gambar 29 Tekanan intrakranial (TIK) dan penambahan volume. CSS:
cairan serebrospinal
GEJALA KLINIS TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL (TTIK)
Gambaran klasik dari TTIK adalah sakit kepala, papil edema dan
muntah-muntah. 2/3 penderita dengan masa mempunyai 3 gejala
tersebut atau paling sedikit 2 gejala tersebut. Gejala-gejala TTIK
tergantung dari cepatnya masa itu bertambah dan dimana letak masa
tersebut. Tidak ada hubungan antara tingginya TIK dengan beratnya
gangguan tersebut.
Sakit Kepala
Bagian dari otak yang sensitif terhadap rasa sakit adalah cabangcabang dari arteri meningea media, bagian proximal, pembuluh darah
arteri yang besar di basis, sinus venosus dan bridging vein serta dura
di dasar tengkorak. TIK yang berhubungan dengan pergeseran otak
atau pergeseran pembuluh darah dan sinus venosus menyebabkan
sakit kepala yang terlokalisir.
Makin terlokalisirnya rasa sakit karena pergeseran daerah di
basal dura mater yang dibawa oleh saraf otak sensoris ke V, IX dan X.
Sakit kepala dapat juga disebabkan oleh spasme otot-otot di dasar
67
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
tengkorak yang bisa terjadi karena ototnya sendiri atau sebagai refleks
bila mekanisme sakit berperanan.
Sakit kepala yang ber-hubungan dengan TTIK digambarkan oleh
Wollf; sakit kepala bila penderita dalam posisi duduk karena
pengeluaran liquor dan hal ini dirasakan didaerah depan dan vertex
pada percobaan dengan menyuntikkan NaCl intratekal selama 1-2
menit yang menyebabkan tekanan intrakranial mencapai 60 mmHg,
hal ini tidak menyebabkan sakit kepala. Begitu juga bila seseorang
meniup balon sehingga terjadi penekanan vena atau pada percobaan
falsafah yang menyebabkan TIK mencapai 35-70 mmHg penderita
tidak merasakan sakit kepala.
Jadi TTIK walau sangat tinggi tidak selalu menimbulkan sakit
kepala. Kombinasi dari dilatasi venous, tarikan dari bridging vein dan
tarikan arteri di basal kranii yang sering menyebabkan sakit kepala.
Pada penderita dengan TIK yang meninggi secara difus, tarikan dari
pembuluh darah minimal dan jarang menimbulkan sakit kepala. Bila
diikuti dengan tarikan pembuluh darah atau penekanan dura di basal
yang sensitif akan lebih sering menyebabkan sakit kepala. Jadi rasa
sakit dikepala ini sering terbatas pada Nervus V, IX dan X bersama
sama dengan arteri posterior dari tiga saraf teratas cervical.
Macam-macam sakit kepala
Sakit kepala karena TTIK dirasakan tidak begitu hebat, hanya
dirasa sebagai rasa tidak enak, tapi akan terasa hebat bila penderita
batuk, bersin, atau menundukkan kepala. Sakit kepala ini tidak
terlokalisir secara jelas dan tidak spesifik dapat dirasakan dikedua
frontal atau occipital. Sakit kepala didaerah occipital dapat menyebar
ke leher seperti adanya masa di fossa posterior atau tumor di CPA
yang menyebabkan sakit disekitar telinga. Sakit kepala ini baik dengan
analgetik tetapi bertambah jelek dengan alkohol.
68
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Sakit kepala pagi hari sering terjadi bila penderita bangun yang
hilang dalam 1-2 jam, sakit kepala pagi hari ini karena TIK terjadi pada
malam harinya karena posisi penderita terlentang, adanya peninggian
PCO2 saat tidur, karena depresi pernafasan dan mungkin karena
absorbsi CSF menurun. Pada waktu tidur pada periode non-rem
ventilasi akan berkurang, makin dalam tidur seseorang makin rendah
ventilasinya. Peninggian PCO2 ini akan menyebabkan vasodilatasi dan
meninggikan jumlah darah di otak, TIK dan brain swelling yang akan
memperburuk tarikan atau pergeseran dari pembuluh darah di otak
sehingga menyebakan sakit kepala.
Pada waktu bangun pasien dengan sakit kepala hebat dapat
menyebabkan muntah, merangsang terjadinya hiperventilasi dan
penurunan PaCO2. Bila penderita duduk tegak akan terjadi venous
return bertambah lalu akan menyebabkan penurunan ICP sehingga
penderita merasa lebih enak dan melakukan aktifitas normal, gejala
tadi sering diabaikan dan dianggap sebagai gejala psikologis.
Papil Edema
Saraf otak ke-2 adalah tonjolan dari otak yang dilapisi oleh
meningen dan subarachnoid. TIK juga disebabkan disekeliling saraf
tersebut, hal ini dapat dilihat secara jelas melalui funduskopi pada
nerves optikus. Papil edema akan tampak setelah beberapa waktu
walaupun TIK yang meninggi itu terjadi secara akut misal adanya SAH
ataupun cedera kepala berat. Walaupun TIK yang meninggi yang
sudah terjadi beberapa waktu pada funduskopi tidak tampak adanya
papil edem hal ini disebabkan tidak adanya penekanan langsung pada
N. II atau adanya obiterasi aliran liquor karena adanya tumor.
69
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
3.4 GAMBARAN KLINIS
Papil edema pada anak-anak tidak jelas tampak karena TIK masih
dapat dikompensasi dengan bertambahnya rongga kranium. Pada
orang tua dimana otak sudah mengalami atropi, bertambahnya masa
yang luas seperti halnya pada kronik subdural hematom tidak
menyebabkan TTIK. Visus biasanya terganggu pada tahap akhir,
gambaran kampimeter menunjukkan adanya blind spot yang melebar
dan lapang pandang yang menyempit.
Gangguan pandangan atau hilang sebagian atau seluruhnya
selama beberapa detik kemudian kembali normal yang disebut
amakurosis fugax mempunyai arti yang penting. Selain gambaran
tersebut diatas kadang-kadang mendapatkan serangan pandangan
kabur atau gangguan persepsi warna yang berubah, ini mungkin
disebabkan karena gangguan suplai darah pada papil edem yang
hebat, gejala-gejala tersebut diatas sering disalah interpretasikan
sebagai epilepsi atau vertigo. Gambaran histologis yang mula-mula
tampak adalah pembengkakan disc adalah dilatasi axon diikuti
transport axoplasmic autograf dari neuron di retina. Axoplasmic
transport ini merupakan alur yang kompleks diorganel intrasesuler
dari nucleus ke sinaps yang disebut orthograde atau sebaliknya yang
disebut retrograde. Pelebaran pembuluh darah dan edem menambah
bengkaknya tetapi perubahan yang terjadi sebenarnya berada di
selaput saraf tersebut.
Mula-mula di duga TIK yang meninggi menyebakan cairan liquor
disekitar nervus optikus meng- antarkan tekanan tersebut dan
menekan vena sentralis di retina. Edem dari ujung saraf ke II yang
tampak pada funduskopi dan kelihatan edem karena vena retina
tersebut melebar. Mekanisme papil edem tersebut secara tepat
sampai saat ini sebenarnya belum diketahui mungkin disebabkan
campuran antara hipoxia, mekanik dan faktor vaskuler.
70
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Gejala lain
Gejala akhir secara klinis pada TTIK adalah bradicardi dan
tekanan arteri sistemik yang meninggi. Bradicardi dan hipertensi
disebabkan karena penekanan pada batang otak atau ischemi, ini
tidak berhubungan dengan tingginya TIK. Adanya gejala- gejala
tersebut merupakan merupakan gejala-gejala yang sudah terlambat
dan berbahaya dan biasanya oleh adanya masa yang sudah besar atau
yang menekan langsung batang otak.
Gejala lain yang sering tampak pada pasien dengan TTIK adalah
dilatasi pupil, ptosis bilateral, gangguan melihat keatas, ekstensi
estrimitas pada rangsang sakit, pernafasan yang irreguler.
Gambaran tersebut diatas karena adanya herniasi tentorium dan
herniasi tonsil atau penekanan langsung pada batang otak. Pupil yang
oval merupakan gejala penting karena adanya tahapan transisi antara
pupil normal dan pupil yang tidak bereaksi, hal ini menunjukkan
adanya peninggian tekanan intrakranial yang signifikans yaitu bila
tekanan intrakranial berada diantara 20-30 mmHg.
3.5 PENANGANAN
Penanganan TIK harus dilakukan sedini mungkin. Penderita
kelainan intracerebral secara akut misalnya cedera kepala dan stroke
harus dianggap memiliki potensi peninggian TIK sampai terbukti tidak
ada peninggian intrakranial. Pada setiap langkah penanganan dimulai
pada tempat kejadian dan menghindarkan faktor-faktor yang dapat
meninggikan TIK. Monitoring ICP menunjukkan bahwa standard
anesthesi dan prosedur pemakaian peralatan sering menyebabkan
peninggian TIK, sebagai contoh TTIK dapat meninggi secara cepat
ketika melakukan intubasi, karena cadangan volume intrakranial
sudah berkurang karena adanya masa. Fisiotherapi pada dada dan
suction endotracheal dapat menyebabkan TIK meninggi cepat
walaupun pasiennya lumpuh.
71
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Prosedur Penanganan
Standar prosedur penangan pasien yang diduga mengalami
peninggian TIK atau yang sudah mengalami intrakranial, yaitu:
1. Posisi kepala pasien 30°, meskipun posisi yang lebih tinggi daripada
badandapat menurunkan tekanan sistemik arteri hal ini dapat juga
menimbulkan CPP. Perlu dilakukan monitoring secara hati-hati.
2. Menjaga agar temperatur badan normothermi
3. Pemberian obat-obatan analgetik yang cukup
4. Pemasangan endotracheal bila jalan nafas terganggu
Pada cedera kepala sedang atau berat selalu harus dipikirkan
kemungkinan peninggian TIK karena hal-hal tersebut dibawah ini:
1. Adanya lesi masa (bekuan atau contusi)
2. Penambahan volume darah otak
3. Penambahan air di otak
4. Penambahan cairan liquor
Lesi masa harus dideteksi dengan pemeriksaan CT Scan dan bila
positif harus segera di keluarkan. Penyebab yang paling sering
peninggian intrakranial pada 24 jam pertama setelah suatu cedera
kepala adalah dilatasi pembuluh darah yang menyebabkan volume
darah otak bertambah. Edema otak biasanya terjadi kemudian, kecuali
disekitar jaringan otak yang mengalami contusi. Obstruksi dari aliran
liquor sering terjadi bila didapatkan darah di dalam ventrikel dan bisa
diketahui dengan CT scan.
Ventilasi
Pembuluh darah otak sangat sensitif terhadap kadar CO2 (N 3540 mmHg). Hubungan CBF dan PCO2 arteri yang pada grafik diatas
masih berbentuk linier sampai 20 mmHg dan bila terjadi penurunan
akan sedikit berefek pada CBF. TIK akan menurun dalam waktu
beberapa menit bila dilakukan hiperventilasi dan efek ini dapat
72
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
berlangsung beberapa jam, setelah itu pembuluh darah otak akan
berdilatasi dan akan menyebabkan TTIK. PCO2 tidak boleh diturunkan
< 25 mmHg, pada titik ini efek vasokonstriksi karena hypocardia dapat
menyebabkan hypoxia dan dilanjutkan ischemi dan kerusakan otak.
Cara atau metode untuk melakukan kontrol ventilasi
1)
IPPV (Intracranial Positive Pressure Ventilation)
Cara ini banyak digunakan dengan tekanan yang positif dan
volume yang tetap diikuti ekspirasi yang pasif pada tekanan atmosfir,
ini berarti tekanan intrathoracal lebih tinggi daripada pernafasan
spontan dan keadaan ini dapat menyebabkan tekanan vena
intracerebral meninggi dan mengakibatkan tekanan intrakranial
meninggi
2)
PEEP (Positive and Expiratory Pressure)
Tekanan positif pada expiratory bertujuan untuk menghindarkan
kolaps alveolar dan transudasi cairan ke dalam alveoli (edem paru).
Tekanan intrathoracal rata-rata lebih tinggi dari IPPV saja.
Kecenderungan peninggian tekanan intrakranial dapat dihindarkan
dengan posisi kepala lebih tinggi 30°. Efek dari PEEP pada tekanan
intrakranial harus diawasi secara ketat.
3)
NEEP (Negative and Expiratory Pressure)
Menurunkan tekanan pada akhir expiratory dibawah atmosfir
menyebabkan tekanan rata-rata intrathoracal menurun dan akan
menambah darah ke vena bertambah banyak. Hal ini akan
menyebabkan penurunan tekanan intrakranial, tetapi bila digunakan
terlalu lama NEEP akan menyebabkan atelectasis.
4)
Hyperventilasi secara manual
Hyperventilasi secara manual dapat menurunkan tekanan
intrakranial secara cepat meskipun hyperventilasi mekanik dapat
73
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
secara maksimum dan efektif. Tindakan ini dapat dipergunakan untuk
keperluan yang sangat akut.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah melakukan monitor
secara hati-hati setelah suatu ventilasi dengan pemeriksaan analisa
gas darah dan foto thoraks. Jalan nafas harus bebas dari lendir.
Fisioterapi pada paru-paru dapat meninggikan tekanan intrakranial.
Untuk menghindari hal ini terjadi dapat diberikan thiopenton sebelum
fisioterapi dimulai. Pemakain kontrol ventilasi pada pasien-pasien
dengan cedera kepala berat terutama di Amerika banyak digunakan
kontrol ventilasi, hal ini didasarkan karena pada pasien- pasien dengan
penurunan kesadaran setelah suatu trauma kapitis pada jam-jam
pertama menunjukkan PO2 yang rendah karena respirasi yang
inadequat, inhalasi yang terhalang lendir dan liur, bersamaan dengan
trauma di daerah dada. Ventilasi kontrol dapat menurunkan ICP yang
sudah tinggi maupun mencegah naiknya ICP. Harus diingat bahwa
kontrol ventilasi tidak merupakan penanganan yang mudah pada
pasien-pasien yang mengalami penurunan kesadaran. Indikasi
pemasangan kontrol ventilasi adalah:
1. Tidak baiknya pertukaran gas karena trauma thorax
2. Melakukan kontrol tekanan intrakranial bila tindakan yang lain
gagal
Penggunaan kontrol ventilasi tidak berguna bila dilakukan terus
menerus, karena PCO2 25 mmHg selama 20 jam terjadi reaktif CO2
yang meninggi, sehingga bila PCO2 kembali ke normal pembuluh
darah cerebral akan berdilatasi dan akan meninggikan TIK.
Pengeluaran LCS
Pengeluaran LCS bisa dikerjakan bila catheter untuk mengukur
TIK berada dalam ventrikel; prosedur ini adalah cara yang paling
efektif untuk menurunkan tekanan intrakranial. Pada cedera kepala
yang berat ventrikel biasanya mengecil dan hanya sedikit liquor yang
74
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
bisa dikeluarkan sehingga penurunan TIK terbatas. Untuk praktisnya
ujung catheter dipasang pada ventrikel contra lateral dimana tidak ada
contusi atau perdarahan intracerebral. Bila cairan otak dikeluarkan
untuk mengontrol ICP pada sisi yang tidak contusi atau hematom
walaupun TIK dapat menurun tetapi pergeseran otak akan lebih
banyak terjadi sehingga menyebabkan keadaan lebih memburuk.
Liquor dapat dikeluarkan secara kontinu atau intermiten.
Pengeluaran secara kontinu diatur sampai 20 cmH2O untuk
mencegah agar ventrikel jangan menyempit sehingga ujung catheter
tidak berada lagi didalam ventrikel. Karena keterbatasan ini
pengeluaran liquor secara intermiten dipakai hanya bila terjadi
keadaan darurat. Pengeluaran liqour merupakan pengobatan penting
bila TIK disebabkan oleh tersumbatnya aliran CSF.
Osmotik Diuretik
Osmotik diuretik mulai dipakai pada tahun 1919 oleh Weeg dan
NcKibben untuk digunakan sebagai kontrol TIK. Mekanisme dari
osmotik diuretik ini masih banyak diperdebatkan, tetapi fungsi
utamanya adalah karena adanya perbedaan gradient osmosis pada
dinding kapiler, sehingga menarik cairan dari rongga ekstraseluler
(20% dari volume otak). Dalam keadaan normal osmolaritet didalam
serum dan cairan ekstraceluler adalah 295 mmol/kg, sehingga tidak
terjadi perbedaan gradient osmoler melalui SDO.
Perbedaan gradient 30 mmol/kg dibutuhkan untuk mengurangi
cairan di ekstraseluler sehingga dapat menurunkan ICP. Teori ini
hanya berlaku pada daerah dimana SDO masih utuh, jadi pemberian
cairan osmolaritet dapat menurunkan cairan ekstraseluler pada
daerah otak yang normal. Dengan pemeriksaan MRI mannitol dapat
menarik cairan dari daerah otak yang edematus dan tidak pada otak
yang normal dan juga adanya penarikan air di daerah substansia alba
setelah cedera kepala.
75
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Efek kedua dari diuretik osmotik adalah menurunkan fiskositas
darah, hal ini akan menyebabkan refleks vasokonstriksi dan
mengakibatkan penurunan TIK. Fiskositas autoregulasi ini tergantung
dari utuhnya autoregulasi. Osmotik diuretik dapat menurunkan
jumlah liquor. Mannitol dapat berperanan sebagai scavenger radikal
bebas yang sering diakibatkan karena ischemi akibat bengkaknya otak.
Daerah otak yang mengalami cedera dimana SDO rusak terjadi
perembesan air pada daerah otak disekitarnya sehingga menambah
bengkaknya otak; masalah ini terjadi perlahan-lahan tetapi bila sering
diberi-kan berkali-kali dapat menyebabkan otak makin bertambah
bengkak.
Mannitol
Mannitol adalah golongan alkohol yang mempunyai 6 carbon
gula manosa dengan berat molekul 180 dan mempunyai bentuk
seperti glukosa. Mannitol ini tidak di metabolisme dan tetap
berbentuk kompartemen ekstraseluler; merupakan diuretik yang
sangat baik dan banyak digunakan. Mannitol 20% diberikan untuk efek
dapat diberikan 1 gr (5 cc) per kg berat badan dalam waktu 10-15
menit. TIK akan turun dalam waktu 5- 10 menit setelah pemberian dan
mempunyai efek 3-4 jam. Untuk mempertahankan TIK mannitol dapat
diberikan dengan dosis yang lebih kecil 0,25-0,5 gr/kg berat badan.
Untuk menghindari kerusakan ginjal tekanan osmosis harus <25
mmol. Pada pemakaian mannitol penting mempertahankan sirkulasi
volume darah dengan pengukura n central venous pressure dan
jumlah urine.
Pemakaian hiperventilasi dan pemberian mannitol dapat
digunakan bersama-sama pada pasien dengan TIK yang meninggi
karena adanya hematom, bila segera dilakukan operasi. Bila operasi
ditunda akan terjadi penambahan dari perdarahan dan akan
memperburuk keadaan. Masalah dengan penggunaan Mannitol:
76
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
1. Efek penurunan dengan pemberian dosis berulang. Mannitol
tembus SDO yang utuh secara perlahan-lahan dan lebih mudah
keluar dari pembuluh darah bila SDO rusak. Osmolaritet
intraseluler bertambah sebagai jawaban adanya peninggian
tekanan osmolaritet diplasma dan ekstraseluler, sehingga
osmolaritet plasma harus bertambah untuk mempertahankan
gradient tersebut.
2. Asidosis sistemik dan renal failure dapat disebabkan karena
osmolaritet plasma yang meninggi. Osmolaritet plasma harus
diperiksa secara berulang dipertahankan agar serum osmolaritet
berada < 320 mmol/kg untuk menghindarkan komplikasi diatas.
3. Terjadinya peninggian kembali TIK bila mannitol dihentikan.
Fenomen ini banyak di bicarakan tetapi secara klinis tidak berarti.
Secara teoritis bila mannitol dihentikan secara mendadak terjadi
penurunan osmolaritet plasma sedangkan osmolaritet di intra dan
ekstraseluler yang tinggi dapat menyebabkan cairan masuk ke
dalam otak sehingga menimbulkan TIK yang meninggi kembali.
Renal Diuretik
1) Frusemide (furosemide).
Obat ini berkerja pada tubulus sistal dengan menyerap Na kembali
lebih banyak, hal ini akan menyebabkan osmolaritas plasma meninggi
dengan bertambah urin. Obat ini menurunkan produksi LCS secara
langsung; bersama dengan mannitol mempunyai efek sinergis.
Pemberian frusemide 20-40 mg bersamaan dengan mannitol akan
menurunkan TIK lebih lama.
2) Carbonic anhydrase inhibitors (Diamox)
Obat ini selain menyebabkan diuresis juga menurunkan produksi
liquor di plexus choroideus dan berperanan pada penurunan tekanan
intrakranial yang kronis.
77
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Steroid
Steroid berefek untuk mengurangi edem disekitar tumor otak.
Pemberian steroid berefek secara klinis setelah pemberian 24 jam,
tetapi TIK menurun setelah 40-72 jam. Diduga steroid menstabilkan
aliran darah dan volume otak via pengurangan jaringan edematus
sehingga pada pengukuran ICP menurunkan fluktuasi TIK. Pemberian
steroid tidak berefek (sedikit) pada trauma, bahkan memberikan side
efek lebih berat.
Barbiturat
Pemberian barbiturat dapat menurunkan metabolisme otak
sehingga terjadi penurunan CBF; secara tidak langsung menurunkan
TIK. Dosis Phentobarbital 10mg/kg BB IV dalam 30 menit, dilanjutkan
5 mg/kg BB per jam dalam 3 dosis, maintanance 1mg/kg/jam.
Barbiturat juga mempunyai efek langsung pada otot polos pembuluh
darah di otak yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga jumlah
darah di otak berkurang dan akhirnya menurunkan TIK. Komplikasi
barbiturat adalah terjadinya sistemik hipotensi dan gangguan paruparu sehingga perlu monitoring dengan catheter Swan-Ganz.
Harus diperhatikan bahwa pemberian barbiturat untuk
menurunkan tekanan intrakranial tidak boleh mengakibatkan
penurunan tekanan arteri. Karena pemberian barbiturat tidak
menurunkan mortalitas pada penderita dengan peninggian tekanan
intrakranial.
NaCl Hypertonic
Pemberian mannitol berulang dapat menurunkan Na dalam
darah, hipovolemi dan akut renal failure. Na hypertonic 5 mmol/mm
dapat menurunkan TIK tanpa diuresis; mempertahankan kadar Na dan
volume darah di sirkulasi menjadi normal.
78
MANAJEMEN TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL
Referensi
1. North B, Reilly P: Raised ICP A Clinical Guide. Heinemann Med
Books, Oxford 1990. Chesnut RM, Marshall LF, Piek J, et al. Early and
late systemic hypotension as a frequent and fundamental source of
cerebral ischemia following sever brain injury in the Traumatic
Coma Data Bank. Acta Neurochirurgica 1993a); S59: 121-125.
2. Janny P, Chazal J, Colnet G, et al. Benign intrakranial hypertension
and disorders of CSF absorption. Surg Neurol 1981;15:168-174.
3. Cruz J, Minoja G, Okuchi K. Improving clinical outcome from acute
SDH with the emergency preoperative administration of high
doses of mannitol: A Randomized Trial. Neurosurgery 2001;49(4).
4. Marmarou A, Allen C. The measurement of raised CVP and ICP in
TBI, in Hakuba A(ed): Surgery of the intrakranial Venous System.
NY, Springer Verlag 1966:145-151. Marshall LF, Smith RW, Shapiro
HM. The outcome with aggressive treatment in severe head
injuries: Part I- The significant of ICP monitoring. J Neurosurg
1979;50:20-25.
5. Miller JD, Piper IR, Dearden NM. Management of intrakranial
hypertension in head injury: matching treatment with cause. Acta
Neurochirurgica 1993; S57:152-1159.
6. Rosner MJ, Becker DPP. ICP monitoring: Complication and
associated factors. Clin Neurosurg 1976;23:494-519
79
BAB IV
BAB IV
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN
NEONATUS
4.1 PENDAHULUAN
International League Against Epilepsy (ILAE) mendefinisikan
status epileptikus (SE) sebagai aktivitas kejang yang berlangsung
selama 30 menit terus-menerus, atau dua atau lebih kejang selama
suatu periode waktu tertentu tanpa pemulihan pasien seutuhnya.
Secara patologis, neuron hipokampus mulai mengalami kerusakan
setelah kejang lebih dari 30 menit yang menetap.1 Batasan dari
definisi tersebut mengandung makna bahwa terapi tidak boleh
ditunda sampai terjadi kerusakan patologis. Namun, definisi
operasional terbaru menyatakan bahwa kejang lebih dari 5 menit
sepertinya sulit akan berhenti sendiri sehingga harus segera diterapi.
Dengan kata lain, terapi SE tidak boleh ditunda.2
4.2 KLASIFIKASI
Pada dasarnya, SE dapat diklasifikasikan menjadi compulsive atau
non-compulsive SE. Status epileptikus umum atau generalized
convulsive status epilepticus (GCSE) adalah bentuk yang paling sering
dari SE. Sementara itu, non-convulsive SE (NCSE) dapat mengawali
status konvulsi yang umum atau dapat terjadi pada status konvulsi
sebagian.3,4
Salah satu bentuk paling umum dari NCSE ialah complex partial
status epilepticus (CPSE). Tipe SE ini pada mulanya bersifat fokal,
tetapi akan menyebar dengan cepat ke bagian lain dari otak. Pasien
dapat menunjukkan gejala bingung atau "twilight state" ditandai
dengan perilaku aneh dan otomatisasi. Awalnya CPSE dianggap jinak,
namun bukti penelitian yang lebih baru telah menunjukkan bahwa
80
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
pengobatan yang agresif diperlukan untuk menghindari kerusakan
seluler dan neuropsikologis jangka panjang.5,6
Identifikasi pasien NCSE seperti ini menjadi penting, terutama
setelah adanya laporan bahwa mayoritas pasien trauma kepala
mengalami NCSE selama di ruang rawat intensif.5 Claassen5
menemukan adanya perubahan elektrogram kejang pada sepertiga
pasien dengan perdarahan intraserebral melalui pemantauan EEG
kontinu. Kejadian kejang pada perdarahan kortikal atau luas dapat
berdampak pada prognosis yang lebih buruk.5
4.3 EPIDEMIOLOGI
Insidens SE di Amerika Serikat telah diperkirakan sekitar 60 kasus
per 100.000 penduduk dengan angka kematian dari 9 pasien per
100.000 populasi.4 Angka tersebut relatif tinggi dibandingkan data
lokal di RS dr Soetomo, Surabaya, yang hanya menemukan 71 kasus
SE pada anak selama tahun 2009.7
Pola insidens SE umumnya bersifat bimodal, sebagian besar
terjadi pada pasien umur kurang dari 1 tahun atau lebih dari 60 tahun.
Namun, angka mortalitas bervariasi antara 7% pada kelompok anak
hingga 28% pada orang tua. Angka mortalitas tersebut dipengaruhi
oleh usia, durasi SE, dan penyebab yang mendasari.
Prognosis buruk telah didokumentasikan pada kondisi pascaanoksia global, stroke akut, trauma, infeksi, serta gangguan metabolik.
Sebaliknya, pasien dengan alkohol atau lepas antikonvulsan, tumor,
dan riwayat epilepsi sebelumnya memiliki hasil yang lebih baik.8
4.4 ATOFISIOLOGI
Kejadian SE diawali oleh stimulasi eksitasi neuron secara
ekstentif, namun pada fase pemeliharaan (maintenance), supresi
mediator asam aminobutirat (GABA) lebih dominan. Kegagalan untuk
menekan fokus rangsang tersebut mungkin karena perkembangan
perubahan isoform GABA, terutama pada kejang yang berkelanjutan.
81
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
Secara klinis, fenomena perubahan isoform GABA dapat menjelaskan
resistensi terhadap benzodiazepin selama SE. Di samping itu, SE dapat
dipertahankan melalui rangsang eksitasi N-metil-D-aspartat (NMDA)
yang memediasi stimulasi neuron. Antagonis NMDA telah diusulkan
sebagai strategi farmakologis dalam pengobatan SE.9
Pasien dengan SE berkembang melalui tahap fisiologis. Pada fase
kompensasi awal, kejang-kejang disertai dengan aktivasi simpatik
yang signifikan. Selama tahap ini, hipertensi, peningkatan curah
jantung, dan peningkatan aliran darah otak terlihat, dan penanda
serum hipermetabolisme seperti asam laktat dan glukosa akan
meningkat. Setelah aktivitas kejang yang berkepanjangan (>30 menit),
dekompensasi patofisiologis terjadi. Hal ini ditandai dengan
disautoregulasi serebral, disfungsi kardiovaskular, dan tanda-tanda
krisis metabolisme sistemik: hipoksia, hipoglikemia, dan asidosis.
Kegagalan untuk mencegah gangguan fisiologis yang mendalam dapat
memperburuk cedera otak sekunder yang terkait dengan refrakter
statis epileptikus.9
Prinsip-prinsip umum
Fokus utama pengobatan adalah penghentian kejang sesegera
munkin. Beberapa bukti menunjukkan bahwa mengendalikan kejang
secara dini dapat meningkatkan luaran (outcome) klinis jangka
panjang. Selain itu, kejang dapat resisten terhadap pengobatan
apabila SE masih berlanjut.10
Pengobatan harus secepatnya dimulai setelah obat tersedia
dengan rute apapun yang memungkinkan. Akses intravena sangat
penting, tetapi dalam beberapa keadaan mungkin tidak bisa segera
dilakukan terutama pada bayi. Beberapa obat dapat diberikan
intramuskular, rektal, atau sublingual. Tabel 6 memperlihatkan dosis
obat yang dapat diberikan dengan rute yang umum digunakan ketika
akses intravena tidak segera tersedia. Evaluasi secara bersamaan
82
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
identifikasi penyebab yang mendasari terjadinya kejang dan
pengobatan komplikasi sekunder juga harus dimulai.10
Tabel 6 Dosis dan Rute Pemberian Obat Status Epileptikus
Nama Obat
Rute
Dosis
Lorazepam
Intravena
0,1-0,2 mg/kg awal
Diazepam
Intravena
0,15 mg/kg awal
Diazepam
Rektal gel
0,2-0,5 mg/kg awal
Midazolam
Intramuskular
0,07-0,3 mg/kg awal
Fenitoin
Intravena
20-30 mg/kg awal
Fosfenitoin
Intravena
20-30 EF/kg awal
Fosfenitoin
Intramuskular
500-1500 PE awal
Fenobarbital
Intravena
20-30 mg/kg awal
Valproat
Intravena
20 mg/kg awal
Levetiracetam
Intravena
1000-2500 mg awal
EF, ekuivalen fenitoin
Prinsip manajemen
Manajemen SE anak sesuai prinsip bantuan hidup (life support).
Manajemen jalan napas pertama-tama dilakukan dengan
memposisikan pasien, diikuti ventilasi yang adekuat. Ventilasi dengan
bag-mask dengan tambahan oksigen biasanya adekuat untuk
menghindari hipoksia. Namun perlu diwaspadai, kejang
berkepanjangan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas akut dan
risiko tinggi aspirasi. Akses intravena memang penting untuk
pemberian obat, tetapi relatif sulit pada pasien kejang. Oleh sebab itu,
obat sebaiknya diberikan secara intramuskular atau sublingual apabila
akses intravena belum terpasang.1
Pada prinsipnya, obat-obat yang diberikan untuk SE dapat
mengganggu hemodinamik sehingga obat-obatan SE idealnya
diberikan sesegera mungkin. Studi membuktikan, implementasi
protokol standar dapat mempersingkat waktu pengendalian aktivitas
kejang.2
83
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
EEG darurat diputuskan secara klinis dan sering didasarkan pada
sumber daya yang tersedia di rumah sakit. Apabila semua tanda klinis
SE dapat dihilangkan segera dengan obat line pertama atau kedua,
maka aktivitas kejang berkelanjutan jarang terjadi. Namun,
pengobatan berkepanjangan dan adanya tanda kemungkinan aktivitas
kejang yang tersamar memerlukan evaluasi EEG yang cepat. Ketika
monitoring EEG tidak tersedia dan ada kemungkinan pasien dalam
keadaan NCSE, beberapa pakar menganjurkan pemberian anestesi
kerja pendek hingga fase pemantauan (monitoring). Keputusan untuk
melakukan anestesi tersebut harus mempertimbangkan efek samping
yang mungkin terjadi.1
4.5 PENGOBATAN FARMAKOLOGIS
Pengobatan lini pertama
Benzodiazepin merupakan pengobatan lini pertama dan yang
utama pada SE. Obat tersebut bekerja dengan menstimulasi subunit
reseptor GABA sehingga terjadi inhibisi transmisi neural melalui kanal
klorida dan membran sel menjadi hiperpolar. Pada dosis tinggi, fungsi
benzodiazepin sama dengan fenitoin.11
Terdapat tiga jenis benzodiazepin yang sering digunakan dalam
pengobatan SE: diazepam, lorazepam, dan midazolam. Setiap obat
memiliki sedikit perbedaan dan rute pemberian. Diazepam mencapai
konsentrasi tinggi di otak dengan awitan (onset) 30 detik.
Kendati demikian, karena sifatnya yang larut lemak, obat ini juga
gampang terdistribusi, kadarnya dalam otak relatif cepat menurun,
efektivitas klinis hanya 20 menit, serta angka kekambuhannya juga
tinggi. Bila diazepam digunakan sebagai terapi lini pertama, maka akan
diperlukan tambahan obat lini kedua.11
Midazolam bukan pilihan pertama untuk SE, tetapi biasa
digunakan untuk infus kontinu dalam penanganan SER. Midazolam
juga dapat diberikan pada keadaan akut, telah dipakai secara luas, dan
84
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
memiliki banyak rute untuk masuk ke tubuh pasien, seperti
intramuskular, rektal, sublingual, bukkal, dan nasal. Midazolam bisa
dipakai pada rawat jalan, serta mudah digunakan oleh orang tua. Akan
tetapi, waktu paruh midazolam relatif pendek dan angka
kekambuhannya cukup tinggi.12 Penelitian Gunawan PI, et al11,12 di
RSUD Dr Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa midazolam
intramuskular dan intranasal efektif untuk digunakan pada kejang
akut.
Lorazepam merupakan obat benzodiazepin pilihan pertama
untuk kejang tunggal ataupun status epileptikus. Waktu awitannya
sedikit lebih lambat, kurang lebih dua menit, tetapi lebih tidak larut
lemak dibanding diazepam, namun mampu bertahan hingga 12 jam.
Penelitian yang dilakukan Veteran Affairs Status Epilepticus
Cooperative Study Group menunjukkan, kontrol kejang yang baik
dapat dicapai dengan lorazepam, meski tidak ditemukan hasil yang
berbeda jauh dibandingkan benzodiazepin lainnya. Efek samping
hipotensi pada lorazepam lebih rendah, dan umumnya mampu
ditoleransi pasien dibandingkan diazepam. Namun, preparat
lorazepam injeksi di Indonesia masih belum tersedia.13
Pengobatan lini kedua
Fenitoin atau fosfenitoin, obat dasar ester fosfatnya, dianggap
sebagai pengobatan lini kedua yang paling sering digunakan pada SE.
Fenitoin merupakan zat yang mirip barbiturat yang dapat mengontrol
kejang dengan memperlambat waktu pemulihan kanal natrium yang
diaktivasi oleh gelombang listrik. Fenitoin sangat mudah terikat oleh
protein, dan hanya bentuk bebas yang aktif. Fenitoin dimetabolisme
di hati dan memiliki farmakokinetik khusus. Obat-obatan yang
mempengaruhi ikatan protein juga akan berdampak pada tingkat
85
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
aktivitas fenitoin bebas. Oleh karena itu, kadar fenitoin harus
dimonitor dengan ketat.13
Dosis awal fenitoin ialah 20 mg/kg, dan harus diberikan pada
cairan yang tidak mengandung glukosa. Bila setelah dosis ini masuk
kejang masih belum berhenti, dosis dapat ditambahkan 10 mg/kg.
Secara farmakologis, pemberian fenitoin ditujukan hingga kadar
supraterapeutik (25-30 µg/mL) sebelum mempertimbangkan obat
tambahan lainnya. Kekhawatiran overdosis fenitoin sebenarnya
terlalu berlebihan karena seluruh efek samping akan hilang setelah
kadarnya dalam darah menurun. Pasien yang sudah pernah mendapat
fenitoin sebelumnya sebaiknya diberi dosis awal separuh biasanya,
apabila kadar fenitoin dalam darah tidak dapat diukur.14
Efek samping fenitoin umumnya berhubungan dengan sistem
kardiovaskular, antara lain hipotensi, bradikardia, dan pemanjangan
gelombang QT. Penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg
merupakan temuan umum pada pasien yang memperoleh fosfenitoin.
Hal tersebut seringkali diakibatkan oleh kecepatan infus (kecepatan
maksimum 50 mg/menit) dan akan berkurang bila dilakukan
penyesuaian kecepatan infus. Oleh sebab itu, penggunaan obat ini
harus dilakukan pemantauan EKG berkesinambungan. Efek samping
berbahaya lain dari fenitoin ialah nekrosis jaringan, apabila terjadi
ekstravasasi obat.14
Fosfenitoin merupakan obat ester fosfat dari fenitoin yang dibuat
untuk meringankan efek samping fenitoin. Obat ini larut air sehingga
dapat diberikan intramuskular; umumnya diberikan hingga kecepatan
150 mg/menit.
Dosis awalnya sama dengan fenitoin dan mungkin memiliki efek
samping kardiovaskular yang lebih ringan. Penggunaan fosfenitoin
lebih dianjurkan karena dapat diberikan intramuskular, serta dapat
diberikan dengan kecepatan lebih tinggi dan dengan efek samping
86
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
yang lebih ringan. Fosfenitoin intramuskular belum diteliti pada status
epileptikus.13-15
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada status epileptikus
adalah asam valproat dan levetiracetam. Asam valproat merupakan
asam lemak rantai pendek yang mengurangi kejang dengan
memperlambat pemulihan kanal sodium yang dipengaruhi listrik dan
dengan mempengaruhi metabolisme GABA. Asam valproat dapat
diberikan secara intravena maupun per rektal. Dosis awal ialah 20
mg/kg intravena dengan kecepatan maksimal 6 mg/kg/menit.
Dibandingkan antikejang lain, asam valproat lebih unggul karena tidak
menimbulkan gangguan hemodinamik. Akan tetapi, penelitian yang
menjabarkan efeknya pada status epileptikus masih sedikit. Ada satu
penelitian yang menyebutkan bahwa asam valproat sama efektifnya
dengan fenitoin pada status epileptikus. Karena asam valproat
memiliki efek kardiovaskular penggunaannya pada SE dibatasi sebagai
obat lini kedua, sebelum memberikan fenobarbital atau memulai
pengobatan SER.14
Tabel 7 Pengobatan Intravena untuk Status Epileptikus Refrakter
Pengobatan
Midazolam
Pentobarbital
Tiopental
Propofol
Dosis
Awal 0,2 mg/kg
Rumatan 0,05 – 2
mg/kg/jam
Awal 5 – 15 mg/kg
Rumatan 0,5 – 1
mg/kg/jam
Awal 75 - 125 mg
Rumatan 1 – 5 mg/kg/jam
Awal 3 – 5 mg/kg
Rumatan
1
–
15
mg/kg/jam
87
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
Pengobatan lini ketiga
Fenobarbital dianggap sebagai pegobatan lini ketiga SE.
Fenobarbital merupakan barbiturat dengan kerja mirip dengan
benzodiazepin, namun juga mampu mengaktifkan berbagai isoform
dari reseptor GABAa. Karena waktu paruhnya yang panjang dan efek
samping depresan kardiorespiratorik, maka fenobarbital jarang
digunakan.13
4.6 STATUS EPILEPTIKUS REFRAKTER (SER)
Istilah SER digunakan bila dosis awal standar antikejang tidak
mampu menghentikan kejang. SER terjadi pada sepertiga pasien yang
diobati sebagai SE. Persentase tinggi tersebut mungkin disebabkan
oleh keterlambatan terapi. Beberapa peneliti berpendapat SER dapat
dicegah dengan pengobatan yang lebih dini dan lebih agresif.16
Midazolam merupakan benzodizepin kerja pendek yang
dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk SER. Obat ini
memang cepat menginduksi dan memiliki efek samping
kardiorespiratorik lebih jarang daripada propofol maupun barbiturat
kerja pendek.
Dosis awal 0,2 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,05
hingga 0,2 mg/kg/jam. Suatu penelitian yang membandingkan kerja
midazolam dengan propofol pada SER menunjukkan bahwa
midazolam lebih unggul.17
Propofol merupakan obat anastetik non-barbiturat kerja pendek
yang digunakan untuk induksi. Keunggulannya adalah induksi dan
eliminasi yang cepat. Propofol mudah ditemukan di semua instalasi
gawat darurat maupun ruang rawat intensif. Dosis awalnya 3-5 mg/kg
dengan rumatan 1-15 mg/kg/jam. Penggunaan pada anak merupakan
kontraindikasi black box karena bisa menyebabkan asidosis metabolik
yang berujung pada hipotensi, rabdomiolisis, dan hiperlipidemia.
Sindrom tersebut diduga akibat kekurangan enzim mitokondria.17
88
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
Pentobarbital merupakan barbiturat kerja pendek yang sering
digunakan pada SER. Obat tersebut diberikan dengan dosis awal 5-15
mg/kg selama 1 jam, yang dilanjutkan dengan kecepatan 0,5-15
mg/kg/jam. Pentobarbital sebenarnya memiliki lama kerja pendek,
namun pada penggunaan terdahulu, lama kerjanya akan memanjang
hingga mendekati fenobarbital. Pentobarbital memiliki efek samping
kardiovaskular yang relatif tinggi, dan seringkali membutuhkan
pemberian vasopresor. Semua jenis barbiturat memiliki sifat
imunosupresif dan dapat meningkatkan infeksi nosokomial.10
4.7 PENGOBATAN STATUS EPILEPTIKUS
Tujuan pengobatan ini adalah penghentian kejang sesegera
mungkin. Pengobatan juga harus memperhitungkan pencegahan
kekambuhan, mencari penyebab dan mengobati semua komplikasi
yang terjadi. Sumber daya yang terlibat antara lain tenaga
keperawatan, farmasi, tim kegawatdaruratan, dan/atau staf medis
yang lain.18 Pendekatan terapi dan diagnosis dilakukan secara runut,
seperti yang terlihat pada Gambar 30. Terapi dapat diberikan pada
beberapa jalur yang berbeda untuk terminasi kejang yang paling
cepat.
89
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
Gambar 30 Algoritme Penanganan Status Epileptikus (Sumber: (Sumber:
Manno EM, et al. Neurohospitalist. 2011;1(1):23-31)
Lorazepam adalah obat dari golongan benzodiazepin yang dipilih
sebagai terapi permulaan dalam kasus kejang karena farmakokinetik
dan keamanannya. Dosis permulaan 4-10 mg intravena; namun dapat
diberikan 0,1-0,2 mg/kg jika kejang tidak berhenti dalam 2-3 menit.
Diazepam atau midazolam dapat juga diberikan tetapi jika
menggunakan obat ini akan membutuhkan tambahan obat lini kedua.
Jika tidak ada akses intravena, benzodiazepin per rektal, sublingual,
atau intramuskular dapat diberikan. Kondisi tersebut serupa dengan
fosfenitoin yang dapat diberikan intramuskular sambil menunggu
akses intravena tersedia.19 Penggunaan benzodiazepin perlu
diantisipasi dengan manajemen jalan napas yang baik, jika perlu
lakukan intubasi. Jika kejang masih berlanjut, sangat
direkomendasikan untuk terapi RSE (lihat jalur 1 pada Gambar 28).19
Alternatif kedua adalah dengan memberikan obat lini kedua
untuk terapi RSE (jalur 2, Gambar 28). Pilihan ini banyak dipilih oleh
beberapa peneliti untuk menghindari prosedur intubasi pada kondisi
90
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
depresi napas akibat penggunaan benzodiazepin. Pada prinsipnya,
para pakar menganjurkan agar tidak terjadi keterlambatan
penanganan kejang hanya karena menunggu ketersediaan obat lini
kedua untuk mencegah tindakan intubasi. Kelompok peneliti yang
mendukung hal tersebut berpendapat bahwa penggunaan obat lini
kedua dan ketiga akan menurunkan efektifitas terapi SE.19
Pilihan ketiga adalah segera memberikan dosis awal fenobarbital
jika pemberian obat lini kedua belum juga memberikan tanda
perbaikan (lihat jalur 3, Gambar 28). Mayer, et al16 berpendapat
bahwa inefektivitas obat lini kedua dan ketiga mungkin
mencerminkan keterlambatan terapi yang diberikan untuk
mengontrol kejang dan lebih sulit untuk dilakukan.16
Jika pengobatan lini kedua dan ketiga tidak efektif, maka
algoritme terapi pindah ke jalur untuk RSE. Hal ini membutuhkan
pemantauan EEG dan titrasi obat anestesi. Opini yang menyarankan
terapi berkepanjangan dengan propofol, dibandingkan midazolam,
sudah mulai ditinggalkan. Kendati demikian, perbandingan
penggunaan kedua macam obat tersebut belum pernah diteliti secara
luas.16
Hingga saat ini, terapi optimal RSE masih menyisakan sejumlah
pertanyaan, misalnya tentang kedalaman induksi obat anestesi. Pada
kenyataannya, penggunaan obat biasanya dititrasi untuk menekan
gambaran ‘burst’ pada EEG. Semua jenis kejang harus ditekan dan
semua terapi dianggap belum adekuat apabila belum tampak
gambaran ‘flat line’ pada EEG.20
Time Line
Intervensi untuk Instalasi Gawat Darurat, rawat inap,
atau fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan
tenaga paramedis yang telah terlatih
91
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
Apakah kejang
berlanjut?
Ya
20-40 menit
Fase Terapi
Kedua
Tidak ada bukti ilmiah pilihan terapi kedua yang lebih disukai
(Level U):
Pilih salah satu opsi dari obat lini kedua berikut ini dan berikan
sebagai dosis tunggal:
1. Fosphenytoin intravena (20mg PE/kg, maksimal: 1500mg
PE/dosis, dosis tunggal, Level U) ATAU
2. Valproic acid intravena (40mg/kg, maksimal: 3000mg/dosis,
dosis tunggal, Level B) ATAU
3. Levetiracetam intravena (60mg/kg, maksimal: 4500mg/dosis,
dosis tunggal, Level U)
Jika tidak ada dari opsi di atas yang tersedia, pilih opsi di bawah
Fase Terapi
Ketiga
Jika pasien kembali
seperti keadaan awal,
maka terapi
simtomatik
Apakah kejang
berlanjut?
Ya
40-60 menit
Tidak
Tidak ada bukti ilmiah yang jelas dalam panduan terapi pada fase
ini (Level U)
Pilihannya meliputi: mengulangi terapi lini kedua atau berikan dosis
anestesi yaitu thiopental, midazolam, pentobarbital, atau propofol
(semuanya dengan pemantauan EEG secara terus menerus)
Tidak
Jika pasien kembali
seperti keadaan
awal, maka terapi
simtomatik
Gambar 31 Algoritma pengobatan yang dianjurkan untuk status epileptikus20
Sumber: Glauser T et al, Epilepsy Curr 2016;16(1):48-61
92
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
Gambar 32 Algoritma Status Epileptikus Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia.21
Sumber: UKK Neurologi IDAI, 2016
Beberapa alternatif tatalaksana Status Epileptikus terdapat pada
gambar 2 dan 3. Gambar 3 adalah tatalaksana status yang digunakan
dokter anak di Indonesia. Tidak terdapat banyak perbedaan yang
mendasar, kecuali obat-obat yang digunakan lebih banyak tersedia
dan mudah didapatkan d Indonesia.
4.8 MANAJEMEN KEJANG NEONATAL
Dua aspek harus dipertimbangkan dalam pengobatan kejang
neonatal: pengobatan kejang itu sendiri dan pengobatan sesuai
etiologi yang mendasari. Kejang neonatal membutuhkan terapi
darurat, karena kejang dapat mempengaruhi keluaran jangka panjang
pada bayi. Selain itu, terapi khusus berdasarkan etiologi penting untuk
mencegah cedera otak lebih lanjut. Menstabilkan kondisi umum bayi
diperlukan sebelum memulai pengobatan. Jalan napas dan akses ke
93
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
sistem peredaran darah harus memadai pada awal dimulainya
pengobatan.
Terapi khusus berdasarkan etiologi lebih disukai. Hal ini terutama
untuk kejang yang terkait dengan gangguan metabolik akut termasuk
hipoglikemia dan hipokalsemia, dan yang terkait dengan sistem saraf
pusat atau infeksi sistemik seperti meningitis bakteri, sepsis, dan
infeksi herpes simplex. Kelainan metabolik yang jarang namun dapat
diobati seperti pyridoxine dependency, folinic acid-responsive seizures,
dan gangguan transportasi glukosa juga harus dipertimbangkan
sebelum diberikan pengobatan antiepilepsi. Kecuali apabila etiologi
yang mendasarinya ditangani dengan tepat, kejang neonatal tidak
akan dikontrol oleh pengobatan dengan obat antiepilepsi. Sehingga
prosedur diagnostik, termasuk kimia darah, skrining metabolik, kultur
bakteri, studi virologi seperti polymerase chain reaction, dan
neuroimaging, harus dilakukan untuk menentukan etiologi yang
mendasarinya. EEG konvensional kemungkinan juga bisa membantu.
Pengobatan dengan obat antiepilepsi dapat dipertimbangkan
hanya setelah tersedia bantuan untuk sitem pernapasan dan sirkulasi
dan terapi khusus berdasarkan etiologi telah teridentifikasi. Tipe
kejang (epilepsi versus nonepilepsi), jika memang benar epilepsi,
durasi kejang dan keparahan harus dipertimbangkan sebelum
memutuskan apakah akan memulai pengobatan antiepilepsi. Obat
antiepilepsi harus digunakan untuk mengobati kejang neonatal yang
disebabkan oleh epilepsi dan bukan yang nonepilepsi, sebab
pengobatan ini tidak efektif untuk kejadian paroksismal nonepilepsi.
Hal ini menunjukkan bahwa iktal EEG/perekaman aEEG harus
dilakukan untuk menentukan apakah kejangnya epilepsi atau
nonepilepsi sebelum memulai pengobatan dengan obat antiepilepsi.
Tidak perlu untuk mengobati semua kejang neonatal akibat
epilepsi, karena beberapa ada yang berlangsung singkat, jarang, dan
sembuh dengan sendirinya. Secara teoritis, pengobatan antiepilepsi
94
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
tidak dibenarkan pada bayi dengan kejang yang dapat sembuh dengan
sendirinya. Namun, tidak selalu mudah untuk menentukan apakah ini
kejang yang dapat sembuh dengan sendirinya pada masing-masing
individu selama beberapa jam pertama setelah onset kejang.
Pengobatan yang berlebihan dapat terjadi selama periode akut,
terutama ketika kejang terkait dengan tanda-tanda vital yang
memburuk seperti bradikardia, hipotensi, dan desaturasi. Namun,
bahkan di beberapa kasus ini, pengobatan kronis yang tidak perlu
dengan obat antiepilepsi harus dihindari.22
Efikasi pengobatan harus dievaluasi oleh EEG secara terusmenerus /pemantauan aEEG. Subklinis kejang sangat umum setelah
kejang dengan manifestasi klinis terkontrol oleh pengobatan
antiepilepsi. Ini membuat pengobatan antiepilepsi untuk kejang
neonatal menjadi lebih rumit. Tidak ada yang bisa menentukan khasiat
pengobatan antiepilepsi tanpa EEG secara terus-menerus
/pemantauan aEEG. Untuk alasan ini, bukti efektivitas obat
antiepilepsi terbatas. Glass et al, menyelidiki pada kejang neonatal
yang didiagnosis secara klinis berhubungan dengan keluaran
neurodevelopmental pada bayi dengan hipoksia iskemia setelah
mengontrol kejang dan tingkat keparahan cedera otak yang terlihat
pada MRI. Bayi dengan kejang neonatal memiliki hasil motorik dan
kognitif yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tidak
kejang.
Mereka menyimpulkan bahwa kejang neonatal pada bayi
yang lahir dengan asfiksia berhubungan dengan keluaran
neurodevelopmental yang buruk, tidak tergantung pada keparahan
cedera otak akibat hipoksia-iskemik. 23 Kwon et al melaporkan hasil
yang berlawanan.
Mereka menganalisis hubungan antara kejang neonatal dan
keluaran pada usia 18 bulan. Saat penyesuaian dibuat untuk studi
pengobatan dan tingkat keparahan ensefalopati, kejang tidak
95
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
berhubungan dengan kematian, cacat sedang atau berat, atau nilai
yang lebih rendah pada Bayley Skor Indeks Perkembangan Mental
pada 18 bulan kehidupan.24 Kedua studi ini memiliki kekurangan
substansial, kejang yang didiagnosis berdasarkan pengamatan klinis,
dimana pada beberapa penelitian telah terbukti tidak cukup dan tidak
benar. Untuk memperjelas efektivitas obat-obatan antiepilepsi, studi
berdasarkan EEG secara terus-menerus/ pemantauan aEEG
merupakan hal yang sangat penting.
Tidak jelas sebenarnya apakah kejang subklinis harus diobati.
Van Rooij et al. mempelajari apakah pengobatan segera pada kejang
klinis dan subklinis menghasilkan pengurangan total durasi kejang dan
penurunan cedera otak pada MRI. Durasi rata-rata pola kejang adalah
196 menit dalam kelompok di mana subklinis kejang diobati
berdasarkan pemantauan aEEG, dibandingkan dengan 503 menit
pada kelompok di mana tidak dilakukan pemantauan aEEG. Ada
hubungan yang signifikan antara durasi pola kejang dan skor MRI
dalam regresi linier yang didapatkan hanya pada kelompok kedua.
Mereka menyimpulkan bahwa ada kecenderungan untuk
pengurangan durasi kejang dan keparahan cedera otak ketika kejang
klinis dan subklinis diobati. 25 Di sisi lain, Freeman menyatakan
perhatian yang kuat untuk penerapan pemantauan aEEG untuk
mendeteksi kejang subklinis. 26 Saat ini, efektivitas obat untuk
pengobatan kejang pada bayi baru lahir belum ditetapkan.
Oleh karena itu, konsekuensi dari pengenalan EEG otomatis
untuk mendeteksi subklinis kejang neonatal cenderung mirip dengan
yang terlihat setelah pengenalan pemantauan jantung janin selama
persalinan. Freeman memperingatkan para klinisi untuk berhati-hati
terhadap konsekuensi yang tidak diinginkan. Indikasi untuk
pengobatan antiepilepsi harus tergantung pada etiologi kejang
neonatal. Kejang subklinis dengan gejala akut seperti cedera otak
hipoksik-iskemik cenderung sembuh dengan sendirinya dan mungkin
96
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
tidak memerlukan pemberian obat antiepilepsi tambahan. Di sisi lain,
kejang subklinis seperti malformasi otak harus ditangani dengan
benar, karena kejang ini dapat diklasifikasikan sebagai ensefalopati
epilepsi.
Juga tidak jelas apakah gejala motorik paroksismal nonepilepsi harus diobati. Berbagai jenis fenomena ini telah salah
didiagnosis sebagai kejang karena epilepsi. Neonatologists mungkin
menjadi marah ketika ahli syaraf bersikeras bahwa tidak ada
pengobatan yang diperlukan dalam kasus ini. Secara rasional,
pengobatan antiepilepsi tidak efektif atau berbahaya dan terapi
khusus berdasarkan etiologi harusnya lebih disukai.
Pemilihan obat antiepilepsi juga menjadi masalah. Saat ini,
tidak ada bukti yang menunjukkan obat antiepilepsi mana yang harus
digunakan untuk kejang neonatal. Phenobarbital dan phenytoin sering
digunakan sebagai obat awal di seluruh dunia. Namun, tidak ada agen
yang tampaknya lebih efektif daripada yang lain, dan tidak seefektif
pemikiran sebelumnya. Di Jepang, midazolam juga sering digunakan
sebagai obat awal untuk kejang neonatal, tetapi keampuhannya
belum dievaluasi secara memadai.
97
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
Kejang yang dicurigai pada neonatus beresiko tinggi :
Konfirmasi kejang dengan EEG (apabila tersedia) dan mulai EEG berkelanjutan jika
memungkinkan
Periksa penyebab yang bisa diperbaiki: glukosa, elektrolit
Mulai antibiotik jika demam atau berisiko tinggi terjadi infeksi SSP. LP dilakukan
segera setelah kejang dan stabil
Jika setidaknya satu kejang yang dikonfirmasi EEG dan tidak ada penyebab
yang dapat segera diperbaiki:
PHENOBARBITAL 20mg/kg iv
dan mulai rumatan phenobarbital 5mg/kg/hari terbagi 2 kali sehari atau 4
kali sehari
Jika kejang berlanjut:
tambahkan
PHENOBARBITAL 20mg/kg IV
Jika kejang
berlanjut:
Tiga opsi*:
LEVETIRACETAM
50mg/kg IV
Kemudian rumatan
40mg/kg/hari
(terbagi 2 kali sehari)
KAMI LEBIH MENYUKAI
PHENYTOIN/FOSPHENYTOIN
20mg/kg IV
dan memulai pengobatan
rumatan kedua
(phenytoin 5mg/kg/hari
terbagi tiap 8 jam. Atau
pertimbangkan levetiracetam
40mg/kg/hari untuk
menghindari pemantauan
kadar serum secara terus
menerus dan kemungkinan
terjadinya toksisitas
LIDOCAINE 2mg/kg IV
bolus,
Kemudian
6mg/kg/jam drip, lalu
titrasi diturunkan
2mg/kg/jam tiap 12
jam hingga habis. Juga
Jika kejang berlanjut:
Pertimbangkan penggunaan pyridoxine,
lalu:
MIDAZOLAM 0.15mg/kg IV bolus lalu 1
mikrogram/kg/menit drip, titrasi dinaikkan sesuai
kebutuhan hingga maksimal 18
mikrogram/kg/menit.
Jika kejang berlanjut :
Pertimbangkan PENTOBARBITAL drip, atau jika
belum pernah mencoba dapat menggunakan
LIDOCAINE drip (kecuali phenytoin/fosphenytoin
telah digunakan.
98
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
Gambar 33 Algoritma pengobatan yang disarankan untuk kejang
neonatal berulang.27
Panah menunjukkan langkah berikutnya jika kejang yang dikonfirmasi
dengan EEG sedang berlangsung (klinis atau subklinis).
Singkatan: CSF = cairan serebrospinal, SSP = sistem saraf pusat, EEG =
electroencephalogram, IV = intravena, LP = pungsi lumbal, MRI =
magnetic resonance imaging.
Sumber: Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL. J Child Neurol
2013;28(3):351-64.
4.9 KESIMPULAN
SE adalah kegawatdaruratan neurologis yang sering dihadapi di
rumah sakit. Keberhasilan terapi tergantung dari ketersediaan sumber
daya dan kecepatan pemberian obat antikonvulsan. Dengan pilihan
agen farmakologis saat ini, strategi terapi SE tetap mengutamakan
pemberian obat sesegera mungkin dengan rute apapun yang tersedia
saat ini. Pada beberapa kondisi tertentu, terapi SE refrakter
memerlukan obat-obatan anestesi sebagai obat antikonvulsan.
Diagnosis dan penatalaksanaan kejang neonatal merupakan
tantangan masalah masa depan. Kejang neonatal harus diPdiagnosis
berdasarkan temuan iktal EEG / temuan aEEG dan efikasi pengobatan
harus dievaluasi menggunakan EEG/ aEEG. Untuk membuat
pengobatan yang efektif, pemantauan menggunakan EEG / aEEG dan
tindak lanjut jangka panjang diperlukan.
99
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
Referensi:
1.
Epilepsy Foundation of America’s Working Group on Status
Epilepticus. Treatment of convulsive status epilepticus:
recommendations of the Epilepsy Foundation of America’s
Working Group on Status Epilepticus. JAMA. 1993;270:854-9.
2. Fallahian F, Hashemian SMR. Critical management of status
epilepticus. J Clin Intensive Care Med 2017;2:1-15.
3. Brophy GM, Bell R, Claasen J, Allredge B, Bleck TP, Glauser T et
al. Guidelines for the evaluation and management of status
epilepticus. Neurocrit Care 2012;s12028.
4. Au CC, Branco RG, Tasker RC. Management protocols for status
epilepticus in the pediatric emergency room: systematic review
article. J Pediatr. 2017;93:84-94.
5. Claassen J, Jette N, Chum F, Green R, Schmidt M, Choi H, et al.
Electrographic seizures and periodic discharges after
intracerebral hemorrhage. Neurology. 2007;69:1356-65.
6. Rossetti AO, Oddo M, Liaudet L, Kaplan PW. Predictors of
awakening from postanoxic status epilepticus after therapeutic
hypothermia. Neurology. 2009;72:744-9.
7. Gunawan PI. Etiology and outcome of status epilepticus in Dr
Soetomo Hospital. Pediatrica Indonesiana. 2010;50(2):S282.
8. Waterhouse EJ. Epidemiology of status epilepticus. Dalam:
Drislane FW, penyunting. Status epilepticus: a clinical
perspective. New York: Humana Press; 2005. h.55-75.
9. Poblete R, Sung G. Status epilepticus and beyond: A Clinical
review of status epilepticus and an update on current
management strategies in super-refractory status epilepticus.
Korean J Crit Care Med 2017;32(2):89-105.
10. Manno EM. New management strategies in the treatment of
status epilepticus. Mayo Clin Proc. 2003;78:508-18.
100
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
11. Gunawan PI, Rulian F, Saharso D. Comparison of intranasal
midazolam and rectal diazepam as anticonvulsant in Children. J
Nepal Ped Soc. 2015;35(2):116-21.
12. Gunawan PI, Kurniawan MR, Saharso D. The efficacy of
intramuscular midazolam compared with rectal diazepam for
anticonvulsant in children. Pak Ped J. 2015;39(4):217-21.
13. Treiman DM, Meyers PD, Walton N. Veterans affairs status
epilepticus cooperative study group a comparison of four
treatments for generalized status epilepticus. N Engl J Med.
1998;339:792-79.
14. McNamara JO. Drugs effective in the therapy of the epilepsies.
Dalam: Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, penyunting.
Goodman & Gilman's The pharmacologic basis of therapeutics.
Edisi ke 10. New York: McGraw-Hill; 2001. h.521-47.
15. Kassala MY, Lobeck IN, Majid A, Xie Y, Farooq MV. Blood pressure
changes after intravenous fosphenytoin and levitiracetam in
patients after acute cerebral symptoms. Epilepsy Res.
2009;87:268-71.
16. Mayer SA, Claassen J, Lokin J, Mendelsohn F, Dennis LJ,
Fitzsimmons BF. Refractory status epilepticus: frequency, risk
factors, and impact on outcome. Arch Neurol. 2002;59:205-10.
17. Friedman JA, Manno EM, Fulgham JR. Propofol use in the neuro
ICU. J Neurosurg. 2002;96:1161-2
18. Shih T, Bazil CW. Treatment of generalized convulsive status
epilepticus. Dalam: Drislane FW, penyunting. Status epilepticus:
a clinical perspective. New York: Humana Press; 2005. h.265-88.
19. Manno EM. Status epilepticus current treatment strategies.
Neurohospitalist. 2011;1(1):23-31.
20. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Allredge B, Arya R, Bainbridge J, et
al. Evidence-based guideline: Treatment of convulsive status
epilepticus in children and adults: report of the guideline
101
MANAJEMEN TERKINI STATUS EPILEPTIKUS PADA ANAK DAN NEONATUS
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
committee of American Epilepsy Society. Epilepsy Curr
2016;16(1):48-61.
UKK Neurologi IDAI. Rekomendasi penatalaksaan status
epileptikus. Ed Ismail S, Pusponegoro HD, Widodo DP et al. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016.
Okumura A. The diagnosis and treatment of neonatal seizures.
Chang Gung Med J 2012;35:365-72.
Glass HC, Glidden D, Jeremy RJ, Barkovich AJ, Ferriero DM, Miller
SP. Clinical neonatal seizures are independently associated with
outcome in infants at risk for hypoxic-ischemic brain injury. J
Pediatr 2009;155:318-23.
Kwon JM, Guillet R, Shankaran S, Laptook AR, McDonald SA,
Eherenkranz RA et al. Clinical seizures in neonatal hypoxic ischeic
encephalopathy have no independent impact on
neurodevelopmental outcome: secondary analyses of data from
the neonatal research network hypothermia trial. J Child Neurol
2011;26:322-8.
Van Roooij LG, Toet MC, van Huffelen AC, Groenendaal F, Laan
W, Zecic A et al. Effect of treatment of subclinical neonatal
seizures detected with aEEG; randomized, controlled trial.
Pediatrics 2010;125:e358-66.
Freeman JM. Beware: the misuse of technology and the law of
unintended consequences. Neurotherapeutics 2007;4:549-54.
Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL. Pharmacological treatment
of neonatal seizure: a systematic review. J Child Neurol
2013;28(3):351-64.
102
BAB V
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
5.1 PENDAHULUAN
Hidrosefalus adalah penumpukan cairan di rongga (ventrikel)
jauh di dalam otak. Kelebihan cairan meningkatkan ukuran ventrikel
dan memberi tekanan pada otak. Cairan serebrospinal biasanya
mengalir melalui ventrikel dan menggenangi otak dan tulang
belakang. Tetapi tekanan cairan serebrospinal yang terlalu banyak
terkait dengan hidrosefalus dapat merusak jaringan otak dan
menyebabkan berbagai masalah fungsi otak.
Hidrosefalus dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering
terjadi pada bayi dan orang dewasa berusia 60 tahun ke atas.
Perawatan bedah untuk hidrosefalus dapat memulihkan dan
mempertahankan kadar cairan serebrospinal normal di otak. Terapi
yang berbeda seringkali diperlukan untuk mengelola gejala atau
masalah akibat hidrosefalus.
Modul ini bertujuan untuk membantu peserta dalam mengenali
hidrosefalus dari neuroanatomi, neurofisiologi, insidensi beserta
pathogenesis hingga pemeriksaan dan manajemen yang dapat
dilakukan.
5.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM VENTRIKEL DAN ALIRAN CSS
Ventrikel adalah kavitas berisi cairan yang terletak di dalam otak.
Dinding ventrikel dilapisi dengan sel ependyma dan diisi dengan cairan
serebrospinal (CSS). Ventrikel lateral adalah ventrikel terbesar yang
mana terdiri dari body, atrium dan memiliki proyeksi ke lobus frontal,
temporal dan occipital. Tiga proyeksi ini dikenal dengan anterior,
posterior dan lateral horn di kedua sisi. Ventrikel III adalah kavitas
103
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
tunggal yang berada di medial di antara dua thalamus. Ventrikel IV
terletak di antara pon/medulla dan cerebellum.
Keseluruhan ventrikel ini akan terhubung melalui saluran-saluran
dan akan mengalirkan CSS hingga distal. CSS diproduksi oleh plexus
choroideus pada ventrikel. Ventrikel lateral terhubung dengan
ventrikel III yang terletak di medial melalui foramen interventricular,
sedangkan ventrikel III terhubung dengan ventrikel IV melalui
Aqueduct cerebri. Selanjutnya, CSS akan meninggalkan ventrikel IV
melalui foramen tunggal di medial (foramen Magendie) dan foramen
ganda di lateral (foramen Luschka). Foramen Magendie akan berjalan
ke distal hingga menjadi canal centralis, sedangkan foramen Luschka
berjalan di lateral menuju cisterna-cisterna cerebri. CSS akan mengalir
melalui ruang subarachnoid dan akan diabsorpsi menuju dural venous
snius melalui vili arachnoid. Volume CSS pada manusia adalah 80-160
ml, dimana produksi CSS di pleksus choroideus per harinya sebanyak
14-36 ml/jam.
Gambar 34 Anatomi dan sirkulasi CSS
104
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
5.3 DEFINISI
Hidrosefalus adalah penumpukan progresif liquor (CSF) dalam
sistem ventrikel otak sehingga dapat diartikan sebagai kondisi ‘cairan
berlebih dalam kepala’. Hidrosefalus terjadi dalam 3-25 tiap 10.000
kelahiran hidup. Hal ini berarti dari 400 bayi lahir hidup, 1 bayi
mengidap hidrosefalus. Kondisi ini dapat terjadi akibat gangguan
produksi, sirkulasi ataupun reabsorbsi dari CSF.
Hidrosefalus Kongenital
Bayi mungkin lahir dengan hidrosefalus segera setelah lahir.
Dalam kasus ini, hidrosefalus dapat disebabkan oleh:
• Kelainan genetik bawaan yang menghalangi aliran CSS
• Gangguan perkembangan seperti yang terkait dengan cacat lahir
di otak, tulang belakang, atau sumsum tulang belakang
• Komplikasi kelahiran prematur seperti perdarahan di dalam
ventrikel
• Infeksi selama kehamilan seperti rubella yang dapat menyebabkan
peradangan pada jaringan otak janin.
Hidrosefalus didapat
Hidrosefalus didapat faktor-faktor tertentu dapat meningkatkan
risiko berkembangnya hidrosefalus pada usia berapa pun, termasuk:
• Tumor otak atau sumsum tulang belakang
• Infeksi pada sistem saraf pusat seperti meningitis bakteri
• Cedera atau stroke yang menyebabkan pendarahan di otak →
perdarahan subarachnoid maupun bekuan darah di dalam sistem
ventrikel
Hidrosefalus didapat biasanya merupakan hasil dari cedera
ataupun penyakit.
105
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
5.4 TANDA DAN GEJALA HIDROSEFALUS
Tanda dan gejala hidrosefalus bervariasi menurut onset usia:
Bayi
Tanda dan gejala umum hidrosefalus pada bayi meliputi:
• Perubahan tampilan kepala yang luar biasa besar
• Peningkatan pesat dalam ukuran kepala
• UUB yang menonjol atau tegang (fontanel) di bagian atas kepala
• Tanda dan gejala fisik
• Mual dan muntah Kantuk atau kelesuan (lesu)
• Sifat lekas marah
• Susah makan
• Kejang
• sunset eyes phenomenon
• Masalah dengan tonus dan kekuatan otot
Balita dan anak-anak yang lebih besar
Di antara balita dan anak yang lebih besar, tanda dan gejala yang
dapat terjadi, antara lain:
• Sakit kepala
• Penglihatan kabur atau ganda
• Gerakan mata yang tidak normal
• Pembesaran kepala balita yang tidak normal
• Kantuk atau kelesuan
• Mual atau muntah
• Keseimbangan tidak stabil
• Koordinasi yang buruk
• Nafsu makan yang buruk
106
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
•
•
•
•
•
•
Kehilangan kontrol kandung kemih atau sering buang air kecil
Perubahan perilaku dan kognitif
Sifat lekas marah
Perubahan kepribadian
Menurunnya prestasi sekolah
Keterlambatan atau masalah dengan keterampilan yang diperoleh
sebelumnya, seperti berjalan atau berbicara
Orang dewasa
(Cognitive impairment, gait disturbance, and urinary incontinence)
Tanda dan gejala umum pada kelompok usia ini meliputi:
• Sakit kepala,
• Kelesuan
• Kehilangan koordinasi atau keseimbangan
• Kehilangan kontrol kandung kemih atau sering ingin buang air kecil
• Masalah penglihatan
• Menurunnya daya ingat, konsentrasi dan kemampuan berpikir
lainnya yang dapat mempengaruhi performa kerja
Sementara itu, pada kelompok usia 60 tahun ke atas dapat
mengalami tanda dan gejala hidrosefalus yang lebih umum sebagai
berikut:
• Kehilangan kontrol kandung kemih atau sering ingin buang air kecil
• Hilang ingatan
• Hilangnya keterampilan berpikir atau penalaran lainnya secara
progresif
• Kesulitan berjalan, sering digambarkan sebagai gaya berjalan
terseok-seok atau perasaan kaki tertahan
• Koordinasi atau keseimbangan yang buruk
107
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
5.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS HIDROSEFALUS
Gambar 35 Grafik panduan untuk pemantauan lingkar kepala anak
dari WHO
108
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
Parameter yang paling mudah dalam mengenali hidrosefalus
pada pediatri adalah melalui pengukuran lingkar kepala. Penambahan
lingkar kepala anak dapat dipantau dengan mudah sejak kelahiran
menggunakan grafik dari WHO (Gambar 2). Orang tua dan tenaga
kesehatan dapat melihat tren dari lingkar kepala anak dan dengan
segera mengetahui jika timbul abnormalitas dari tren tersebut.
Lingkar kepala mengalami penambahan yang berbeda
bergantung usia anak, sebagai berikut:
• 0 – 3 bulan: 2 cm / bulan
• – 6 bulan: 1 cm / bulan
• 6 – 12 bulan: 0,5 cm / bulan
• 1 – 3 tahun: 0,25 cm / bulan
• – 6 tahun: 1 cm / tahun
Selain melihat adanya perubahan lingkar kepala yang abnormal,
hidrosefalus akan ditelusuri melalui pemeriksaan fisik dasar sebagai
berikut:
Status Lokalis pada pediatri
Inspeksi: UUB cembung, Sunset Eye phenomenon (+) Venectasi (+)
Palpasi: Sutura Melebar, Uub Tegang, Lingkar Kepala
Perkusi: Cracked Pot Sign (+)
Transilluminasi (+)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa radiologis dan tes lainnya yang dapat
dilakukan pada kecurigaan hidrosefalus antara lain:
• Ultrasonografi seringkali merupakan tes pertama yang digunakan
dokter untuk mendiagnosis bayi karena relatif sederhana dan
berisiko rendah. Ketika digunakan selama pemeriksaan prenatal
rutin, USG juga dapat mendeteksi hidrosefalus pada bayi yang
belum lahir.
109
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
• Computed tomography (CT) dapat menunjukkan dokter jika
ventrikel membesar atau jika ada halangan.
• Karena tulang belakang (pungsi lumbal) memungkinkan dokter
memperkirakan tekanan CSS dan menganalisis cairan dengan
memasukkan jarum di punggung bawah dan mengeluarkan serta
menguji beberapa cairan.
• Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menentukan apakah
ventrikel membesar, menilai aliran CSS, dan memberikan
informasi tentang jaringan otak yang mengelilingi ventrikel. MRI
biasanya merupakan tes awal yang digunakan untuk mendiagnosis
orang dewasa.
• Pemantauan tekanan intracranial (TIK) menggunakan monitor
tekanan kecil yang dimasukkan ke dalam otak atau ventrikel untuk
mengukur tekanan dan mendeteksi jumlah pembengkakan yang
mungkin terjadi di otak. Jika tekanan terlalu tinggi, dokter dapat
menguras CSS untuk menjaga aliran darah beroksigen ke otak.
• Pemeriksaan funduskopi menggunakan alat khusus untuk melihat
saraf optik di bagian belakang mata. Ini dapat menunjukkan bukti
pembengkakan yang menunjukkan peningkatan tekanan
intrakranial, yang dapat disebabkan oleh hidrosefalus.
Diagnosis radiologis
Kesesuaian antara PF dan anamnesis dengan hasil pemeriksaan
radiologis.
Pada CT Scan kepala didapatkan satu diantara tanda berikut:
o Evans ratio >30 %
o Pembesaran ventrikel lateral, III dan atau IV
o Pelebaran temporal horn >2 mm
110
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
Diagnosis klinis
Hidrocephalus Komunikan dan Hidrocephalus Non Komunikan
Differential Diagnosis
Space occupying lesion (SOL) Intracranial
Pseudotumor Cerebri
5.6 EVALUASI PASCA BEDAH
Setelah intervensi bedah (pemasangan shunt), evaluasi sangat
diperlukan untuk menilai fungsi shunt yang telah terpasang pada
pasien. Evaluasi berfungsi untuk mewaspadai terjadinya komplikasi,
antara lain infeksi, obstruksi, dislokasi, diskoneksi maupun exposed
shunt. Selain itu, evaluasi juga berperan dalam penilaian hasil terapi
yang telah diberikan.
Disfungsi shunt
Disfungsi shunt dapat diketahui dengan cara di bawah ini:
Klinis
• Lingkar kepala yang sudah mengecil membesar kembali
• Fontanel yang sudah cekung, lunak → menjadi cembung dan
tegang
• Tampilan klinis lainnya
Test
• Pada percobaan penekanan pompa shunt → terasa keras/tidak
kembali
• Pungsi steril pada reservoir → tidak terdapat CSS
111
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
Slit Ventricle Syndrome
Slit ventricle syndrome adalah salah satu komplikasi yang kerap terjadi
pada pasien hidrosefalus yang telah mendapatkan intervensi shunt,
dimana pasien mengalami gejala selayaknya penurunan TIK. Gejala
yang bisa didapatkan yaitu nyeri kepala yang memburuk dengan
berdiri. Nyeri kepala ini biasanya berkembang seiring berjalannya hari
namun membaik dengan berbaring.
5.7 TATALAKSANA
Tatalaksana yang dapat dilakukan, antara lain:
• Hidrasi, obat-obatan, penyesuaian shunt yang dapat diprogram,
atau penambahan komponen antisiphon ke shunt distal
• Steroid: Steroid dapat membantu sementara sebelum intervensi
bedah.
• Hidrasi: cairan IV dapat mengurangi gejala pada anak dengan
overdrainage atau ICP rendah.
112
MANAJEMEN HIDROSEFALUS
Referensi
1. Snell, Richard S. Clinical Neuroanatomy 7th ed: Lippincot Wiliam &
Wilkins; 2010
2. Waman, Stephen G. Clinical Neuroanatomy 26th ed: McGraw Hill;
2010
3. D.Prockop L, Murtagh R. Hydrocephalus. In: Roland LP, Pedley TA,
editors. Merritt's Neurology. 12th ed: Lippincot Willam & Wilkins;
2010. p. 350-7.
113
BAB VI
BAB VI
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
6.1 PENDAHULUAN
Stroke Iskemik adalah kondisi medis yang ditandai dengan
gangguan pasokan darah ke otak secara tiba-tiba, yang menyebabkan
serangkaian gejala yang melemahkan. Kondisi ini terjadi ketika
pembuluh darah yang memasok oksigen dan nutrisi penting ke bagian
otak tersumbat atau menyempit, biasanya akibat gumpalan darah
atau aterosklerosis, yaitu penumpukan timbunan lemak pada dinding
arteri. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan timbulnya disfungsi
neurologis dengan cepat dan dapat berakibat fatal jika tidak segera
ditangani.
Stroke iskemik menyumbang sekitar 85% dari semua kasus
stroke, menjadikannya jenis yang paling umum. Stroke iskemik dapat
terjadi pada individu dari segala usia, namun lebih sering terjadi pada
orang dewasa yang lebih tua dan mereka yang memiliki faktor risiko
seperti tekanan darah tinggi, diabetes, merokok, obesitas, dan gaya
hidup tidak aktif. Tanda-tanda awal stroke iskemik dapat berupa
kelemahan atau mati rasa mendadak pada wajah, lengan, atau
tungkai, terutama pada satu sisi tubuh, kesulitan berbicara atau
memahami pembicaraan, pusing, sakit kepala parah, dan gangguan
penglihatan.
Penanganan dan pengobatan stroke iskemik melibatkan
pendekatan multidisiplin yang bertujuan untuk memulihkan aliran
darah dengan cepat ke area otak yang terkena dan meminimalkan
kerusakan otak. Waktu sangat penting, karena pemberian obat
penghilang gumpalan secara dini atau teknik penghilangan gumpalan
secara mekanis dapat secara signifikan meningkatkan hasil.
Rehabilitasi dan perawatan pasca stroke memainkan peran penting
dalam membantu pasien yang selamat untuk mendapatkan kembali
114
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
kemampuan yang hilang dan beradaptasi dengan gangguan yang
tersisa.
6.2 EPIDEMIOLOGI
Stroke iskemik adalah masalah kesehatan masyarakat utama
yang mempengaruhi orang-orang di seluruh dunia dan menambah
beban penyakit dan kecacatan secara signifikan. Informasi penting
mengenai prevalensi, insiden, dan distribusi stroke iskemik pada
berbagai populasi diperoleh dari studi epidemiologi. Stroke iskemik
adalah jenis stroke yang paling umum, terhitung sekitar 70% hingga
80% dari semua stroke, menurut perkiraan dari seluruh dunia.
Terdapat perbedaan regional dalam kejadian stroke iskemik,
dengan negara-negara industri yang memiliki angka kejadian yang
lebih besar daripada negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Variasi dalam faktor risiko, sistem perawatan kesehatan,
dan variabel gaya hidup menjadi penyebab perbedaan ini. Usia
merupakan faktor penting karena meningkatkan kemungkinan
terkena stroke iskemik secara dramatis seiring bertambahnya usia.
Risiko stroke iskemik yang lebih tinggi telah berulang kali
dikaitkan dengan beberapa faktor risiko. Ini termasuk fibrilasi atrium,
merokok, kolesterol tinggi, diabetes, obesitas, dan hipertensi (tekanan
darah tinggi). Faktor-faktor risiko ini menjadi lebih umum secara
global, terutama di negara-negara berkembang yang mengalami
urbanisasi dan perubahan gaya hidup yang signifikan.
Selain itu, telah ditemukan bahwa ada beberapa perbedaan
regional dalam stroke iskemik. Sebagai contoh, angka yang lebih besar
telah diamati di beberapa daerah di Asia, seperti Cina dan India, yang
mungkin terkait dengan kombinasi karakteristik genetik, kebiasaan
makanan, dan keputusan gaya hidup yang unik di daerah-daerah ini.
Tingkat stroke iskemik juga dapat dipengaruhi oleh variasi dalam
115
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
sistem perawatan kesehatan dan aksesibilitas terhadap intervensi
pencegahan seperti obat antikoagulan untuk fibrilasi atrium.
6.3 ETIOLOGI
Jenis stroke yang paling sering terjadi, yaitu stroke iskemik,
memiliki interaksi yang rumit dari berbagai penyebab yang berbeda.
Faktor utama yang menyebabkan stroke iskemik adalah gangguan
aliran darah ke otak, yang sering kali disebabkan oleh penyumbatan
arteri darah yang menyuplai daerah tersebut. Dua mode oklusi utama
adalah trombotik dan emboli.
Perkembangan bekuan darah (trombus) di dalam pembuluh
darah yang memasok otak menyebabkan stroke trombotik. Gumpalan
ini sering terbentuk di arteri yang telah tersumbat oleh plak akibat
aterosklerosis, suatu kondisi di mana timbunan lemak (plak)
menumpuk di dinding pembuluh darah. Trombosit berkumpul dan
membentuk gumpalan ketika plak pecah atau menjadi tidak stabil,
sehingga menghalangi aliran darah.
Stroke Emboli terjadi ketika gumpalan darah atau benda asing
lainnya, yang biasanya berasal dari lokasi yang jauh seperti jantung
atau arteri besar, bergerak melalui aliran darah dan bersarang di arteri
darah otak yang lebih sempit daripada pembuluh darah di sekitarnya.
Gumpalan darah yang terbentuk di bilik jantung akibat penyakit
seperti fibrilasi atrium atau gumpalan yang berasal dari plak
aterosklerosis di arteri karotis atau arteri vertebralis adalah dua asal
mula emboli yang umum.
Stroke iskemik dapat terjadi karena sejumlah faktor risiko. Ini
termasuk tekanan darah tinggi, diabetes, merokok, obesitas,
kolesterol tinggi, fibrilasi atrium, penyakit genetik yang berhubungan
dengan pembekuan darah, dan riwayat stroke dalam keluarga.
Kemungkinan mengalami stroke iskemik juga dapat dipengaruhi oleh
116
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
variabel lain, termasuk usia, jenis kelamin (pria agak lebih berisiko),
dan ras atau etnis.
6.4 KLASIFIKASI
Stroke Trombotik
Stroke trombotik adalah jenis stroke iskemik spesifik yang
terjadi ketika bekuan darah (trombus) terbentuk di dalam arteri yang
memasok darah ke otak, yang mengakibatkan terhalangnya aliran
darah. Kondisi ini biasanya timbul akibat kombinasi kondisi yang
mendasari, termasuk aterosklerosis, disfungsi endotel, dan aktivasi
trombosit. Aterosklerosis, penumpukan timbunan lemak (plak) di
dalam arteri, memainkan peran penting dalam perkembangan stroke
trombotik. Plak ini dapat pecah, mengekspos jaringan di bawahnya
dan memicu pembentukan gumpalan darah. Gumpalan darah ini
kemudian menyempitkan atau menyumbat arteri, sehingga aliran
darah dan suplai oksigen ke otak berkurang.
Stroke trombotik sering bermanifestasi secara bertahap,
dengan gejala yang memburuk dalam hitungan menit hingga jam,
sebuah fenomena yang disebut sebagai "stroke dalam evolusi."
Tanda-tanda peringatan yang umum termasuk kelemahan atau mati
rasa di satu sisi tubuh, kesulitan berbicara atau memahami
pembicaraan, perubahan penglihatan yang tiba-tiba, sakit kepala yang
parah, dan masalah keseimbangan atau koordinasi. Tingkat keparahan
gejala dapat bervariasi, tergantung pada lokasi dan luasnya gumpalan.
Faktor risiko stroke trombotik meliputi hipertensi (tekanan
darah tinggi), kadar kolesterol tinggi, merokok, diabetes, obesitas,
gaya hidup tidak aktif, dan riwayat stroke dalam keluarga. Usia juga
berperan, karena insiden stroke trombotik meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Individu dengan kondisi medis tertentu, seperti
fibrilasi atrium (detak jantung yang tidak teratur) atau penyakit
jantung lainnya, memiliki risiko lebih tinggi mengalami pembekuan
117
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
darah, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap stroke
trombotik.
Intervensi dini sangat penting dalam penanganan stroke
trombotik untuk meminimalkan kerusakan otak dan meningkatkan
hasil. Pengobatan biasanya melibatkan pemberian obat penghilang
gumpalan, seperti aktivator plasminogen jaringan (tPA), yang dapat
melarutkan gumpalan dan memulihkan aliran darah. Dalam beberapa
kasus, trombektomi mekanis, prosedur yang melibatkan
pengangkatan gumpalan dengan menggunakan alat khusus, dapat
dilakukan.
Strategi pencegahan stroke trombotik berkisar pada penanganan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Modifikasi gaya hidup, seperti
menerapkan pola makan yang sehat, melakukan aktivitas fisik secara
teratur, berhenti merokok, dan mengelola kondisi kronis seperti
hipertensi dan diabetes, secara signifikan dapat mengurangi risiko
stroke trombotik. Selain itu, penggunaan obat antikoagulan atau obat
antiplatelet dapat direkomendasikan untuk individu yang berisiko
tinggi, terutama mereka yang memiliki kondisi seperti fibrilasi atrium.
Stroke Emboli
Stroke emboli adalah jenis stroke iskemik spesifik yang terjadi
ketika gumpalan darah atau benda asing lainnya, yang dikenal sebagai
embolus, bergerak melalui aliran darah dan tersangkut di pembuluh
darah yang lebih sempit di dalam otak, sehingga menghambat aliran
darah. Emboli biasanya berasal dari lokasi yang jauh, biasanya dari
jantung atau arteri besar. Sumber emboli yang umum termasuk
gumpalan darah yang terbentuk di bilik jantung karena kondisi seperti
fibrilasi atrium, atau gumpalan yang timbul dari plak aterosklerosis di
arteri karotis atau arteri vertebralis.
Tidak seperti stroke trombotik yang terjadi di dalam pembuluh
darah yang memasok otak, stroke emboli cenderung terjadi secara
118
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
tiba-tiba dan dapat ditandai dengan gejala yang cepat dan parah.
Embolus menyumbat arteri, sehingga aliran darah dan suplai oksigen
ke area otak yang terkena stroke terhenti secara tiba-tiba.
Gejala stroke emboli dapat bervariasi, tergantung pada lokasi
penyumbatan. Gejala-gejala ini sering kali muncul sebagai kelemahan
atau mati rasa mendadak pada satu sisi tubuh, kesulitan berbicara
atau memahami pembicaraan, perubahan penglihatan, pusing, dan
masalah koordinasi. Pengenalan yang cepat terhadap gejala-gejala ini
sangat penting, karena intervensi medis dini dapat meminimalkan
kerusakan otak dan meningkatkan hasil.
Beberapa faktor risiko berkontribusi terhadap perkembangan
stroke emboli. Fibrilasi atrium, gangguan irama jantung yang umum
terjadi, secara signifikan meningkatkan risiko pembentukan bekuan
darah di bilik jantung, yang berpotensi menimbulkan emboli ke otak.
Faktor risiko lainnya termasuk riwayat stroke atau serangan iskemik
transien (TIA) sebelumnya, kelainan katup jantung, serangan jantung
baru-baru ini, beberapa jenis penyakit jantung, dan kondisi yang
meningkatkan gangguan pembekuan darah.
Penanganan stroke emboli melibatkan penanganan medis
segera untuk memulihkan aliran darah ke otak dan mencegah
kerusakan lebih lanjut. Perawatan dapat mencakup pemberian obat
pelarutan gumpalan seperti aktivator plasminogen jaringan (tPA) atau
trombektomi mekanis, suatu prosedur yang melibatkan
pengangkatan gumpalan secara fisik. Mengidentifikasi sumber
embolus dan mengatasi kondisi yang mendasari seperti fibrilasi atrium
melalui terapi antikoagulan atau obat lain sangat penting untuk
mencegah kejadian emboli di masa depan.
Strategi pencegahan stroke emboli melibatkan pengelolaan
faktor risiko dan kondisi yang mendasarinya. Ini dapat mencakup
terapi antikoagulan, modifikasi gaya hidup, seperti menerapkan pola
makan yang sehat, berolahraga secara teratur, berhenti merokok, dan
119
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
mengelola kondisi kronis seperti hipertensi dan diabetes. Individu
dengan riwayat stroke emboli mungkin memerlukan pengobatan
jangka panjang dengan obat pengencer darah untuk mencegah
kejadian berulang.
Stroke Iskemik Karena Gangguan Koagulasi
Stroke iskemik dapat dipengaruhi oleh gangguan koagulasi, yaitu
kelainan dalam proses pembekuan darah. Gangguan ini dapat
berkontribusi pada pembentukan bekuan darah di dalam pembuluh
darah atau menyebabkan peningkatan risiko perdarahan, yang
keduanya dapat berimplikasi pada stroke iskemik.
Salah satu gangguan koagulasi yang umum terjadi pada stroke
iskemik adalah peningkatan kecenderungan darah menggumpal
secara berlebihan, suatu kondisi yang dikenal sebagai
hiperkoagulabilitas. Kondisi hiperkoagulabilitas dapat diperoleh atau
diwariskan, dan mendorong pembentukan gumpalan darah di dalam
arteri yang memasok otak. Kelainan genetik tertentu, seperti mutasi
faktor V Leiden atau mutasi gen protrombin, dapat membuat
seseorang mengalami pembekuan darah yang tidak normal dan
meningkatkan risiko stroke iskemik. Selain itu, kondisi medis tertentu,
seperti sindrom antifosfolipid atau keganasan, dapat menyebabkan
keadaan hiperkoagulasi dan berkontribusi terhadap perkembangan
stroke.
Sebaliknya, beberapa orang mungkin mengalami gangguan
koagulasi yang mengganggu proses pembekuan normal, sehingga
meningkatkan risiko perdarahan. Obat antikoagulan, seperti warfarin
atau heparin, umumnya digunakan untuk mencegah pembekuan
darah pada individu dengan kondisi seperti fibrilasi atrium atau katup
jantung mekanis. Namun, jika obat-obatan ini tidak dikelola atau
dipantau dengan baik, maka dapat meningkatkan risiko perdarahan,
120
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
termasuk perdarahan di dalam otak, yang dapat meniru gejala stroke
iskemik.
Mengelola gangguan koagulasi dalam konteks stroke iskemik
membutuhkan keseimbangan yang rumit. Untuk individu dengan
kondisi hiperkoagulasi, terapi antikoagulan yang tepat dapat diberikan
untuk mencegah pembentukan bekuan darah dan mengurangi risiko
stroke iskemik. Namun, hal ini harus diimbangi dengan potensi risiko
perdarahan. Pemantauan parameter koagulasi secara teratur, seperti
rasio normalisasi internasional (INR) untuk individu yang
menggunakan obat antikoagulan, sangat penting untuk memastikan
dosis yang tepat dan meminimalkan risiko komplikasi.
6.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS STROKE ISKEMIK
BEFAST
Singkatan BEFAST sering digunakan dalam identifikasi dan diagnosis
gejala stroke iskemik. Ini bertindak sebagai panduan referensi cepat
untuk mengenali gejala stroke yang dicurigai dan menandakan
permintaan akan intervensi medis yang cepat. Singkatan BEFAST
adalah singkatan dari gejala atau perilaku tertentu yang harus
diwaspadai:
B - Keseimbangan: Kehilangan keseimbangan atau koordinasi
secara tiba-tiba, kesulitan berjalan, atau perasaan pusing dapat
menjadi indikasi stroke iskemik. Perhatikan setiap perubahan
mendadak dalam keseimbangan atau kesulitan koordinasi.
E - Mata: Masalah penglihatan, seperti penglihatan kabur atau
ganda secara tiba-tiba, atau kehilangan penglihatan secara tiba-tiba
pada salah satu atau kedua mata, dapat menjadi tanda peringatan
stroke iskemik. Setiap perubahan akut pada penglihatan tidak boleh
diabaikan dan harus segera dilakukan evaluasi medis.
121
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
F - Wajah: Wajah terkulai atau mati rasa, terutama pada satu sisi
wajah, adalah gejala umum stroke iskemik. Mintalah orang tersebut
untuk tersenyum dan amati apakah ada ketidakrataan atau asimetri
pada wajahnya, karena hal ini dapat mengindikasikan adanya stroke.
A - Lengan: Kelemahan atau mati rasa pada salah satu atau kedua
lengan, terutama jika terjadi pada satu sisi tubuh, dapat menjadi
indikator yang signifikan dari stroke iskemik. Mintalah orang tersebut
untuk mengangkat kedua lengannya dan amati apakah salah satu
lengannya melayang ke bawah atau terlihat lebih lemah daripada
lengan lainnya.
S - Bicara: Bicara cadel, kesulitan menemukan kata-kata yang
tepat, atau kebingungan tiba-tiba dapat menjadi tanda-tanda stroke
iskemik. Mintalah orang tersebut untuk mengulangi kalimat
sederhana dan dengarkan apakah ada kelainan atau kesulitan bicara.
T - Waktu: Waktu adalah hal yang paling penting dalam
menangani stroke iskemik. Jika salah satu gejala di atas terlihat, sangat
penting untuk segera menghubungi layanan darurat dan mencari
pertolongan medis tanpa penundaan.
Mengingat singkatan BEFAST dapat membantu individu dan
orang yang melihat dengan cepat mengenali potensi gejala stroke dan
mengambil tindakan yang tepat. Pengenalan dini dan intervensi medis
yang cepat sangat penting dalam penanganan stroke iskemik untuk
meminimalkan kerusakan otak dan meningkatkan hasil.
Stroke Siriraj Score (SSS)
Sistem penilaian klinis yang disebut Stroke Siriraj Score, juga
disebut sebagai Siriraj Stroke Score (SSS), digunakan untuk
mengevaluasi tingkat keparahan dan meramalkan prognosis stroke
iskemik akut. Skor ini dibuat oleh Pusat Stroke di Rumah Sakit Siriraj di
Thailand dan telah terbukti bermanfaat dalam menentukan tingkat
keparahan stroke dan memperkirakan hasilnya.
122
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
Skor Stroke Siriraj memberikan skor numerik dengan
mempertimbangkan berbagai parameter klinis. Usia pasien, kondisi
kesadaran, kelemahan anggota tubuh, dan afasia atau kesulitan bicara
adalah beberapa faktor ini. Setiap elemen diberi nilai antara 0 dan 3,
dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan stroke yang lebih parah.
Total Skor Stroke Siriraj kemudian ditentukan dengan menambahkan
skor individu.
Stroke Siriraj Score sangat membantu di lingkungan dengan
sumber daya terbatas di mana metode pencitraan yang lebih baik
mungkin tidak mudah diakses. Skor ini membantu para profesional
medis untuk segera menentukan tingkat keparahan stroke dan
membuat pilihan manajemen dan pengobatan dini. Selain itu, telah
ditemukan bahwa Stroke Siriraj Score berkorelasi baik dengan hasil
fungsional dan tingkat kematian, menawarkan data prognostik yang
penting.
Sangat penting untuk diingat bahwa Stroke Siriraj Score hanyalah
salah satu dari sekian banyak alat yang tersedia untuk menilai pasien
stroke, dan harus digunakan bersama dengan evaluasi klinis dan
prosedur diagnostik lainnya. Keadaan setiap pasien berbeda, dan
elemen tambahan, seperti komorbiditas dan hasil pencitraan, juga
harus dipertimbangkan ketika memilih tindakan terbaik.
123
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
Skor Stroke Siriraj (SSS)
(2,5xS) + (2xM) + (2xN) + (0,1xD) – (3xA) – 12
S: Kesadaran (0 = CM, 1 = Somnolen, 2 = sopor/koma)
M: Muntah (0 = tidak muntah, 1 = muntah)
N: Nyeri Kepala (0 = tidak ada, 1 = ada)
D: Tekanan darah diastolik
A: Ateroma (0 = tidak ada, 1 = salah satu/lebih: DM, angina,
penyakit pembuluh darah)
SSS >1 = stroke perdarahan
SSS <-1 = stoke ischemic
SSS -1s/d 1 = meragukan
Gambar 36 Skor Stroke Siriraj (SSS)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan komponen penting dalam
diagnosis stroke iskemik. Berikut ini adalah beberapa poin penting
yang mungkin perlu dinilai oleh penyedia layanan kesehatan selama
pemeriksaan fisik:
• Pemeriksaan neurologis: Menilai kekuatan motorik, sensasi,
refleks, koordinasi, dan kemampuan bicara dapat membantu
mengidentifikasi defisit neurologis yang terkait dengan stroke
iskemik.
• Pemeriksaan kardiovaskular: Mendengarkan jantung dan paruparu serta menilai denyut nadi perifer dapat membantu
mengidentifikasi penyakit atau kondisi kardiovaskular yang
mendasari yang dapat meningkatkan risiko stroke iskemik
terutama iskemik embolik.
124
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
• Pemeriksaan kepala dan leher: Memeriksa kepala dan leher
untuk mencari tanda-tanda trauma, kekakuan, atau kelainan
dapat membantu mengidentifikasi penyebab stroke hemoragik.
• Tes laboratorium: Tes darah seperti hitung darah lengkap (CBC),
elektrolit, glukosa, studi koagulasi, dan tes fungsi ginjal dapat
dilakukan untuk membantu mengidentifikasi kondisi medis yang
mendasari atau faktor yang dapat berkontribusi terhadap stroke
hemoragik.
Pemeriksaan fisik yang komprehensif dapat membantu penyedia
layanan kesehatan untuk membuat diagnosis stroke iskemik yang
akurat dan mengembangkan rencana perawatan yang tepat untuk
pasien.
Pemeriksaan Radiologis
Pencitraan radiologi memainkan peran penting dalam
mendiagnosis stroke iskemik dengan memberikan visualisasi rinci otak
dan pembuluh darahnya. Beberapa teknik pencitraan umumnya
digunakan untuk mendukung diagnosis dan memandu keputusan
pengobatan bagi pasien yang diduga menderita stroke iskemik.
Computed tomography (CT) non-kontras sering kali merupakan
modalitas pencitraan lini pertama dalam evaluasi stroke akut.
Pemeriksaan ini membantu mengidentifikasi stroke hemoragik dan
menyingkirkan kondisi lain yang mungkin meniru gejala stroke. CT
scan dapat dengan cepat mendeteksi tanda-tanda perubahan iskemik,
seperti hilangnya diferensiasi materi abu-abu-putih dan tanda-tanda
awal infark. Informasi ini membantu menentukan kelayakan untuk
intervensi yang sensitif terhadap waktu seperti terapi trombolitik.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah alat lain yang ampuh
untuk mendiagnosis stroke iskemik. Pencitraan berbobot difusi (DWI)
sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan awal yang terkait dengan
iskemia, sehingga memungkinkan visualisasi jaringan otak yang
125
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
terkena dampak dalam beberapa menit setelah timbulnya gejala. DWI
dapat mendeteksi perubahan halus dalam difusi molekul air, sehingga
memberikan informasi yang berharga mengenai lokasi dan luasnya
kerusakan iskemik.
Pencitraan berbobot perfusi (Perfusion-weighted imaging/PWI)
sering dilakukan bersamaan dengan DWI untuk menilai perfusi darah
di dalam otak. PWI dapat mengungkapkan area yang mengalami
penurunan aliran darah atau waktu yang tertunda untuk mencapai
puncak perfusi, yang mengindikasikan area hipoperfusi atau potensi
penumbra. Informasi ini membantu evaluasi jaringan otak yang dapat
diselamatkan dan membantu memandu keputusan pengobatan,
seperti trombektomi atau strategi revaskularisasi lainnya.
Teknik pencitraan canggih lainnya, seperti Magnetic Resonance
Angiography (MRA) dan Computed Tomography Angiography (CTA),
digunakan untuk memvisualisasikan pembuluh darah dan
mengidentifikasi oklusi atau stenosis yang mungkin menyebabkan
stroke iskemik. Modalitas pencitraan ini memberikan informasi rinci
tentang anatomi pembuluh darah dan dapat membantu
mengidentifikasi lokasi oklusi arteri.
Pemilihan modalitas pencitraan radiologi bergantung pada
beberapa faktor, termasuk rentang waktu sejak timbulnya gejala,
ketersediaan sumber daya, dan karakteristik pasien. Kombinasi
berbagai teknik pencitraan, seperti CT non-kontras, DWI, PWI, dan
pencitraan vaskular, memungkinkan evaluasi komprehensif stroke
iskemik, membantu diagnosis yang akurat, menentukan penyebab
yang mendasari, dan memandu keputusan pengobatan yang tepat.
The Alberta Stroke Program Early CT Score (ASPECT)
Alberta Stroke Program Early CT Score (ASPECTS) adalah
sistem penilaian radiologi yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat
perubahan iskemik awal yang terlihat pada pemindaian tomografi
126
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
komputasi non-kontras (CT) pada pasien stroke iskemik akut. Sistem
ini menyediakan metode standar untuk menilai tingkat keparahan
kerusakan iskemik di berbagai wilayah otak.
ASPECTS membagi wilayah arteri serebral tengah (MCA) menjadi
sepuluh wilayah, dengan memberikan skor 0 pada setiap wilayah
berdasarkan ada tidaknya perubahan iskemik. Skor 10 menunjukkan
tidak ada perubahan iskemik, sedangkan skor 0 menunjukkan
keterlibatan yang luas dari semua wilayah. Daerah yang dinilai oleh
ASPECTS meliputi kaudat, nukleus lentiformis, kapsul internal, insula,
dan berbagai daerah kortikal.
Sistem penilaian ASPECTS membantu dokter mengukur tingkat
kerusakan iskemik dan memprediksi hasil akhir pasien. Skor ASPECTS
yang lebih rendah menunjukkan inti iskemik yang lebih besar dan
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk, termasuk
peningkatan kemungkinan kecacatan dan respons yang kurang baik
terhadap terapi reperfusi. ASPECTS dapat membantu dalam
pengambilan keputusan mengenai kelayakan terapi trombolitik dan
intervensi endovaskular, serta memberikan informasi prognostik.
ASPECTS telah menunjukkan keandalan antar-penilai yang baik
dan digunakan secara luas dalam praktik klinis dan penelitian. Hal ini
memungkinkan komunikasi standar di antara para profesional
kesehatan yang terlibat dalam perawatan stroke dan memfasilitasi
pelaporan temuan radiologi yang konsisten.
Namun, penting untuk dicatat bahwa ASPECTS khusus untuk CT
scan non-kontras dan terutama digunakan dalam evaluasi awal stroke
iskemik akut. Modalitas pencitraan lainnya, seperti magnetic
resonance imaging (MRI), dapat memberikan informasi tambahan
mengenai kelangsungan hidup jaringan dan membantu
menyempurnakan keputusan pengobatan. Selain itu, ASPECTS
hanyalah salah satu komponen dari evaluasi komprehensif yang
mencakup penilaian klinis dan temuan pencitraan lainnya.
127
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
Gambar 37 ASPECTS Score
Area :
C – caudate
IC – Internal Capsule
L – Lentiform nucleus
I – Insular ribbon
M1 – Anterior MCA Cortex
M2 – MCA cortex lateral to the insular ribbon
M3 – Posterior MCA cortex
M4 – Anterior cortex immediately rostal to M1 (M4)
M5 – Lateral cortex immediately rostal to M3 (M5)
M6 – Posterior cortex immediately rostal to M3 (M6)
6.6 TATALAKSANA STROKE ISKEMIK
Pengobatan stroke iskemik bertujuan untuk memulihkan aliran
darah ke area otak yang terkena, meminimalkan kerusakan otak, dan
mencegah stroke di masa depan. Waktu adalah hal yang sangat
penting, karena intervensi dini secara signifikan meningkatkan hasil.
Pilihan pengobatan spesifik dapat bervariasi, tergantung pada masing128
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
masing pasien, tingkat keparahan stroke, dan waktu sejak timbulnya
gejala.
Salah satu strategi pengobatan utama untuk stroke iskemik
adalah trombolisis, yang melibatkan pemberian obat pelarutan
gumpalan. Obat yang paling sering digunakan adalah aktivator
plasminogen jaringan (tPA), yang dapat memecah gumpalan darah
yang menyebabkan stroke dan memulihkan aliran darah. Trombolisis
biasanya dipertimbangkan dalam jangka waktu tertentu sejak
timbulnya gejala, biasanya hingga 4,5 jam, meskipun beberapa pasien
mungkin memenuhi syarat untuk pengobatan hingga 24 jam setelah
timbulnya stroke tertentu.
Untuk pasien yang memenuhi syarat dengan oklusi pembuluh
darah besar, trombektomi mekanis dapat direkomendasikan.
Prosedur ini melibatkan penggunaan alat khusus untuk mengeluarkan
bekuan darah dari arteri yang tersumbat secara fisik. Trombektomi
mekanis telah menunjukkan keberhasilan yang luar biasa dalam
meningkatkan hasil bagi pasien dengan oklusi pembuluh darah besar
bila dilakukan dalam jangka waktu tertentu, biasanya dalam waktu 6
hingga 24 jam sejak timbulnya gejala, tergantung pada masing-masing
kasus.
Untuk mencegah stroke di masa depan, berbagai tindakan
pencegahan diterapkan. Obat-obatan seperti agen antiplatelet,
termasuk aspirin atau clopidogrel, umumnya diresepkan untuk
mengurangi risiko pembentukan bekuan darah. Terapi antikoagulan
dapat digunakan pada kasus tertentu, seperti pada pasien dengan
fibrilasi atrium atau kondisi berisiko tinggi lainnya. Mengelola faktor
risiko yang mendasari, seperti hipertensi, kadar kolesterol tinggi, dan
diabetes, juga sangat penting. Modifikasi gaya hidup, termasuk
menerapkan pola makan yang sehat, olahraga teratur, berhenti
merokok, dan membatasi asupan alkohol, merupakan komponen
penting dalam pencegahan stroke.
129
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
Selain intervensi medis, rehabilitasi memainkan peran penting
dalam pengobatan stroke iskemik. Program rehabilitasi, termasuk
terapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara, dan keperawatan
rehabilitasi, membantu pasien mendapatkan kembali fungsi yang
hilang dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Upaya rehabilitasi
berfokus pada mobilitas, kekuatan, koordinasi, kemampuan bicara
dan bahasa, serta aktivitas kehidupan sehari-hari.
Rencana perawatan setiap pasien disesuaikan dengan kebutuhan
spesifik mereka, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti
tingkat keparahan dan lokasi stroke, riwayat medis, dan karakteristik
individu. Perawatan multidisiplin, yang melibatkan ahli saraf, spesialis
stroke, ahli rehabilitasi, dan tenaga kesehatan lainnya, sangat penting
dalam memberikan perawatan yang komprehensif dan terkoordinasi
untuk pasien stroke iskemik.
130
MANAJEMEN STROKE ISKEMIK
Referensi
1. French, B.R., Boddepalli, R.S. and Govindarajan, R. (2016) Acute
ischemic stroke: Current status and Future Directions, Missouri
medicine.
Available
at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6139763/
2. Hurford, R. et al. (2020) Diagnosis and management of acute
ischaemic stroke, Practical Neurology. Available at:
https://pn.bmj.com/content/20/4/304
3. Jacquin, G.J. and van Adel, B.A. (2015) ‘Treatment of acute
ischemic stroke: From fibrinolysis to neurointervention’, Journal of
Thrombosis and Haemostasis, 13. doi:10.1111/jth.12971.
4. Kristin Walter, M. (2022) Patient information: Acute ischemic
stroke,
JAMA.
Available
at:
https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2789540
5. L;, H.C.P. (no date) Ischemic stroke, National Center for
Biotechnology
Information.
Available
at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29763173/
6. Rabinstein, A.A. (2017) ‘Treatment of acute ischemic stroke’,
CONTINUUM: Lifelong Learning in Neurology, 23(1), pp. 62–81.
doi:10.1212/con.0000000000000420.
7. Skagen, K. et al. (2015) ‘Large-vessel occlusion stroke: Effect of
recanalization on outcome depends on the National Institutes of
Health Stroke Scale score’, Journal of Stroke and Cerebrovascular
Diseases,
24(7),
pp.
1532–1539.
doi:10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2015.03.020.
8. Zerna, C., Hegedus, J. and Hill, M.D. (2016) ‘Evolving treatments for
acute ischemic stroke’, Circulation Research, 118(9), pp. 1425–
1442. doi:10.1161/circresaha.116.307005
131
BAB VII
BAB VII
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
7.1 PENDAHULUAN
Stroke hemoragik adalah jenis stroke yang disebabkan oleh
pendarahan di otak. Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa
kejadian stroke hemoragik bervariasi secara signifikan di seluruh
dunia. Di beberapa negara, seperti Jepang, kejadian stroke hemoragik
lebih tinggi daripada stroke iskemik, sementara di negara lain, seperti
Amerika Serikat, yang terjadi adalah sebaliknya. Insiden stroke
hemoragik juga bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, dan etnis,
dengan pria dan orang dewasa yang lebih tua lebih mungkin
mengalami jenis stroke ini. Faktor risiko stroke hemoragik meliputi
tekanan darah tinggi, merokok, dan konsumsi alkohol berat. Strategi
pencegahan untuk stroke hemoragik meliputi modifikasi gaya hidup,
seperti menjaga pola makan yang sehat dan rutin berolahraga, serta
mengendalikan tekanan darah tinggi dan faktor risiko lainnya.
Perawatan untuk stroke hemoragik biasanya melibatkan perawatan
medis darurat untuk menghentikan pendarahan di otak dan
mengurangi risiko komplikasi lebih lanjut.
7.2 STROKE PERDARAHAN
Stroke hemoragik, juga dikenal sebagai pendarahan otak, adalah
jenis stroke yang terjadi ketika pembuluh darah di otak pecah dan
mengeluarkan darah ke jaringan otak di sekitarnya. Pendarahan ini
dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel otak dan dapat
menimbulkan berbagai gejala, termasuk sakit kepala parah,
kelemahan, mati rasa, dan kesulitan berbicara atau memahami
pembicaraan. Ada dua jenis utama stroke hemoragik: perdarahan
intraserebral, yang terjadi ketika pembuluh darah di dalam otak pecah
dan mengeluarkan darah, dan perdarahan subarakhnoid, yang terjadi
132
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
ketika terjadi perdarahan di antara otak dan jaringan tipis yang
menutupinya. Stroke hemoragik lebih jarang terjadi dibandingkan
stroke iskemik, yang terjadi ketika pembuluh darah di otak tersumbat,
tetapi sering kali lebih parah dan memiliki tingkat kematian yang lebih
tinggi. Penanganan medis yang cepat sangat penting dalam
pengobatan stroke hemoragik, karena intervensi dini dapat
membantu meminimalkan kerusakan otak dan meningkatkan hasil
bagi pasien.
7.3 EPIDEMIOLOGI
Stroke hemoragik adalah kondisi kesehatan serius yang
bertanggung jawab atas sebagian besar kematian akibat stroke di
seluruh dunia. Epidemiologi stroke hemoragik sangat bervariasi di
seluruh dunia, dengan perbedaan tingkat kejadian yang diamati di
antara populasi, negara, dan wilayah yang berbeda. Menurut
perkiraan global, stroke hemoragik menyumbang sekitar 15% dari
semua stroke, dengan tingkat kejadian bervariasi antara 10% dan 30%
di berbagai wilayah. Insiden stroke hemoragik cenderung lebih tinggi
di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan
beberapa wilayah, seperti Asia Selatan, menunjukkan angka yang
sangat tinggi.
Beberapa faktor risiko telah dikaitkan dengan peningkatan risiko
stroke hemoragik, termasuk tekanan darah tinggi, merokok, konsumsi
alkohol berat, dan riwayat stroke dalam keluarga. Strategi
pencegahan, seperti pengelolaan tekanan darah tinggi dan faktor
risiko lainnya, dapat membantu mengurangi kejadian stroke
hemoragik, sementara diagnosis dan pengobatan dini sangat penting
untuk meningkatkan hasil bagi pasien.
133
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
7.4 KLASIFIKASI
Perdarahan Intraserebral (ICH)
Pendarahan Intraserebral (ICH) adalah jenis stroke hemoragik
yang terjadi ketika pembuluh darah di dalam otak pecah dan
mengeluarkan darah ke jaringan otak di sekitarnya. Pendarahan ini
dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel otak dan dapat
menimbulkan berbagai gejala, termasuk sakit kepala, mual, muntah,
kelemahan, mati rasa, dan kesulitan berbicara atau memahami
pembicaraan. ICH lebih jarang terjadi dibandingkan dengan stroke
iskemik, yang terjadi ketika pembuluh darah di otak tersumbat, tetapi
sering kali lebih parah dan memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi.
ICH lebih sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua dan
dikaitkan dengan berbagai faktor risiko, termasuk tekanan darah
tinggi, merokok, konsumsi alkohol berat, dan penggunaan obatobatan tertentu, seperti antikoagulan. Perawatan untuk ICH biasanya
melibatkan perawatan medis darurat untuk menghentikan
pendarahan di otak dan mengurangi risiko komplikasi lebih lanjut,
seperti pembengkakan otak atau peningkatan tekanan di dalam
tengkorak. Rehabilitasi dan perawatan jangka panjang mungkin juga
diperlukan untuk membantu pasien pulih dari efek ICH.
Pendarahan intraserebral (ICH) adalah kondisi yang kompleks
dengan berbagai penyebab yang mendasarinya. Penyebab ICH yang
paling umum adalah tekanan darah tinggi, yang dapat melemahkan
pembuluh darah di otak dan meningkatkan risiko pecah. Faktor risiko
lain untuk ICH termasuk merokok, konsumsi alkohol berat,
penggunaan obat-obatan tertentu seperti antikoagulan atau agen
antiplatelet, kelainan darah seperti hemofilia atau penyakit sel sabit,
dan kelainan struktural pada pembuluh darah otak. Dalam beberapa
kasus, ICH dapat disebabkan oleh malformasi arteriovenosa otak
(AVM), suatu kondisi di mana hubungan abnormal antara arteri dan
134
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
vena di otak dapat menyebabkan perdarahan. Jarang, ICH dapat
disebabkan oleh tumor otak atau aneurisma, yaitu tonjolan dalam
pembuluh darah yang dapat pecah. Memahami penyebab yang
mendasari ICH sangat penting untuk memandu pengobatan dan
mencegah episode di masa depan. Manajemen faktor risiko, seperti
kontrol tekanan darah dan modifikasi gaya hidup, merupakan aspek
penting dalam mencegah ICH, sementara perhatian medis yang cepat
dan intervensi yang tepat dapat membantu meningkatkan hasil bagi
pasien yang telah mengalami ICH. Salah satu arteri yang paling umum
yang terkait dengan ICH adalah arteri lentikulostriata, yang memasok
darah ke ganglia basalis dan rentan terhadap kerusakan akibat
tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan
dinding arteri lentikulostriata menebal, sehingga lebih rentan pecah.
Arteri lain yang sering terlibat dalam ICH adalah arteri serebri,
yang memasok darah ke sebagian besar otak dan rentan pecah pada
kasus angiopati amiloid serebri, yaitu suatu kondisi di mana protein
menumpuk di pembuluh darah otak. Arteri serebral posterior, yang
memasok darah ke bagian belakang otak, kadang-kadang juga terlibat
dalam ICH. Memahami arteri mana yang lebih rentan pecah dapat
membantu penyedia layanan kesehatan untuk mengidentifikasi
pasien yang mungkin berisiko lebih tinggi terkena ICH dan
mengembangkan strategi manajemen dan pencegahan yang tepat.
Perdarahan Subarakhnoid (SAH)
Pendarahan subaraknoid (SAH) adalah jenis stroke hemoragik
yang terjadi ketika pendarahan terjadi di ruang antara otak dan
jaringan tipis yang menutupinya. Penyebab paling umum dari SAH
adalah pecahnya aneurisma otak, yang merupakan titik lemah dan
menonjol dalam pembuluh darah di otak. Arteri yang paling sering
dikaitkan dengan aneurisma serebral dan SAH adalah arteri
penghubung anterior, arteri penghubung posterior, dan arteri
135
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
serebral tengah. Dalam banyak kasus, aneurisma serebral dan SAH
terjadi tanpa gejala apa pun dan hanya dapat didiagnosis melalui
pemeriksaan pencitraan, seperti CT scan atau MRI. Namun, ketika
aneurisma pecah, dapat menyebabkan sakit kepala yang tiba-tiba,
sakit kepala yang parah, mual, muntah, kepekaan terhadap cahaya,
kejang, dan kehilangan kesadaran. Penanganan medis darurat
diperlukan untuk mendiagnosis dan mengobati SAH, yang mungkin
melibatkan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat
aneurisma atau intervensi lain untuk menghentikan perdarahan dan
menangani komplikasi. Mengidentifikasi faktor risiko, seperti
merokok, tekanan darah tinggi, dan riwayat keluarga dengan
aneurisma otak, adalah penting untuk mencegah SAH dan
menghindari konsekuensi serius yang dapat ditimbulkan oleh kondisi
ini.
Perdarahan Intraventrikular (IVH)
Perdarahan Intraventrikular (IVH) adalah jenis perdarahan yang
terjadi di dalam sistem ventrikel otak, yang merupakan jaringan ruang
berisi cairan. Pada orang dewasa, IVH sering kali merupakan
komplikasi dari cedera otak traumatik atau sebagai akibat dari kondisi
lain, seperti aneurisma atau malformasi arteriovenosa. Pembuluh
darah yang terkait dengan IVH pada orang dewasa dapat bervariasi,
tergantung pada penyebabnya. Sebagai contoh, IVH yang disebabkan
oleh cedera otak traumatis dapat dikaitkan dengan cedera pada
pembuluh darah kecil yang memasok darah ke otak. Sebaliknya, IVH
yang disebabkan oleh pecahnya aneurisma atau malformasi
arteriovenosa dapat melibatkan pembuluh darah yang lebih besar
yang memasok darah ke daerah yang terkena. Insiden IVH pada orang
dewasa relatif rendah dibandingkan dengan jenis perdarahan
intrakranial lainnya, tetapi dapat menimbulkan konsekuensi yang
serius bagi pasien. Penanganan IVH meliputi identifikasi dan
136
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
penanganan penyebab yang mendasari, penanganan gejala dan
komplikasi, serta memberikan perawatan suportif untuk
mempercepat penyembuhan dan pemulihan.
7.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS STROKE PERDARAHAN
Anamnesis
Anamnesis yang akurat dan komprehensif penting bagi penyedia
layanan kesehatan untuk mendiagnosis dan mengobati stroke
hemoragik. Berikut ini adalah beberapa hal yang mungkin perlu
dimasukkan dalam anamnesis:
• Kelemahan satu sisi yang mendadak
• Keberadaan dan durasi gejala, seperti sakit kepala parah yang
tiba-tiba, muntah, pusing, kehilangan kesadaran, atau defisit
neurologis lainnya
• Riwayat kesehatan, termasuk riwayat hipertensi, diabetes,
merokok, penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, stroke
sebelumnya, atau penyakit kardiovaskular
• Riwayat keluarga dengan stroke atau penyakit kardiovaskular
• Obat-obatan, termasuk antikoagulan atau agen antiplatelet
• Trauma atau cedera kepala baru-baru ini
• Faktor gaya hidup, seperti pola makan, olahraga, dan tingkat
stres
• Usia dan jenis kelamin
• Waktu timbulnya gejala dan berapa lama gejala tersebut
bertahan
• Operasi atau prosedur medis yang baru saja dijalani
• Kondisi atau gejala medis lain yang relevan.
Mengumpulkan informasi ini selama anamnesis dapat
membantu penyedia layanan kesehatan untuk membuat diagnosis
137
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
stroke hemoragik yang akurat dan mengembangkan rencana
perawatan yang tepat untuk pasien.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan komponen penting dalam
diagnosis stroke hemoragik. Berikut ini adalah beberapa poin penting
yang mungkin perlu dinilai oleh penyedia layanan kesehatan selama
pemeriksaan fisik:
• Tekanan darah: Hipertensi merupakan faktor risiko utama stroke
hemoragik, sehingga mengukur tekanan darah merupakan bagian
penting dari pemeriksaan.
• Pemeriksaan neurologis: Menilai kekuatan motorik, sensasi,
refleks, koordinasi, dan kemampuan bicara dapat membantu
mengidentifikasi defisit neurologis yang terkait dengan stroke
hemoragik.
• Pemeriksaan mata: Pemeriksaan pupil, penglihatan, dan gerakan
mata dapat membantu mengidentifikasi tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial.
• Pemeriksaan kardiovaskular: Mendengarkan jantung dan paruparu serta menilai denyut nadi perifer dapat membantu
mengidentifikasi penyakit atau kondisi kardiovaskular yang
mendasari yang dapat meningkatkan risiko stroke hemoragik.
• Pemeriksaan kepala dan leher: Memeriksa kepala dan leher untuk
mencari tanda-tanda trauma, kekakuan, atau kelainan dapat
membantu mengidentifikasi penyebab stroke hemoragik.
• Tes laboratorium: Tes darah seperti hitung darah lengkap (CBC),
elektrolit, glukosa, studi koagulasi, dan tes fungsi ginjal dapat
dilakukan untuk membantu mengidentifikasi kondisi medis yang
mendasari atau faktor yang dapat berkontribusi terhadap stroke
hemoragik.
138
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Pemeriksaan fisik yang komprehensif dapat membantu penyedia
layanan kesehatan untuk membuat diagnosis stroke hemoragik yang
akurat dan mengembangkan rencana perawatan yang tepat untuk
pasien.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi merupakan komponen penting dalam
diagnosis dan penatalaksanaan stroke hemoragik, termasuk
perdarahan subaraknoid (SAH) dan perdarahan intraventrikular (IVH).
Computed tomography (CT) scan adalah modalitas pencitraan yang
paling sering digunakan untuk diagnosis stroke hemoragik karena
dapat dengan cepat mengidentifikasi keberadaan dan lokasi
perdarahan di otak. Pada kasus SAH, CT angiografi atau angiogram
otak juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan, seperti aneurisma atau malformasi arteriovenosa (AVM).
Untuk IVH, pemeriksaan pencitraan seperti CT atau MRI dapat
digunakan untuk menentukan tingkat perdarahan dan menilai
kerusakan otak yang terkait. Pemeriksaan pencitraan serial juga dapat
dilakukan untuk memantau perkembangan perdarahan dan
mengevaluasi efektivitas pengobatan. Secara keseluruhan,
pemeriksaan radiologi memainkan peran penting dalam diagnosis dan
penanganan stroke hemoragik, dan deteksi dini serta intervensi dapat
meningkatkan hasil bagi pasien.
7.6 GRADING/STAGING/SCORING
Perdarahan Intraserebral
Sistem penilaian atau penskalaan yang paling umum digunakan
untuk perdarahan intraserebral (ICH) adalah skor ICH. Skor ICH adalah
sistem penilaian klinis yang membantu memprediksi kemungkinan
hasil yang buruk pada pasien ICH. Skor ini didasarkan pada lima
139
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
variabel: usia, skor Glasgow Coma Scale (GCS), volume ICH,
perdarahan intraventrikular (IVH), dan asal perdarahan. Setiap
variabel diberi sejumlah poin, dan skor total dapat berkisar dari 0
hingga 6. Skor yang lebih tinggi menunjukkan kemungkinan yang lebih
besar untuk hasil yang buruk, seperti kematian atau kecacatan yang
parah. Skor ICH dapat digunakan untuk memandu keputusan
pengobatan dan membantu penyedia layanan kesehatan untuk
memperkirakan prognosis pasien dengan ICH.
Gambar 38 ICH Score oleh Hemphill et al.
Perdarahan Subarakhnoid
Sistem penilaian yang paling banyak digunakan untuk
perdarahan subarakhnoid (SAH) adalah sistem penilaian Hunt and
Hess. Sistem penilaian Hunt and Hess adalah skala klinis yang
digunakan untuk mengevaluasi tingkat keparahan SAH dan
memprediksi kemungkinan hasil yang buruk. Sistem ini didasarkan
pada tingkat kesadaran pasien, defisit motorik, dan adanya gejala
neurologis lainnya.
Sistem penilaian Hunt dan Hess dibagi menjadi lima tingkatan:
• Tingkat 1: Sakit kepala tanpa gejala atau ringan
140
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
•
•
•
•
Tingkat 2: Sakit kepala sedang hingga berat, tidak ada defisit
neurologis selain kelumpuhan saraf kranial
Tingkat 3: Mengantuk, kebingungan, atau defisit neurologis
fokal ringan
Tingkat 4: Pingsan, hemiparesis sedang hingga berat,
kekakuan awal deserebrasi, atau gangguan vegetatif
Tingkat 5: Koma berat, kekakuan deserebrasi, dan
penampilan mati suri
Sistem penilaian Hunt and Hess membantu memandu keputusan
pengobatan dan memprediksi risiko komplikasi seperti perdarahan
ulang, vasospasme, dan infark otak. Sistem ini juga digunakan untuk
mengevaluasi efektivitas pengobatan dan memperkirakan prognosis
pasien SAH.
Skala Fisher adalah sistem penilaian lain yang biasa digunakan
untuk perdarahan subaraknoid (SAH). Sistem penilaian Fisher
didasarkan pada tingkat keparahan perdarahan yang terlihat pada
pencitraan computed tomography (CT). Sistem penilaiannya adalah
sebagai berikut:
• Tingkat 1: Tidak ada SAH yang terlihat pada CT scan
• Tingkat 2: SAH tipis dengan ketebalan kurang dari 1 mm
• Tingkat 3: SAH dengan gumpalan dan/atau gumpalan lokal dengan
atau tanpa perdarahan intraventrikular
• Tingkat 4: SAH difus atau tebal dengan atau tanpa perdarahan
intraventrikular atau perluasan parenkim
Sistem penilaian Fisher membantu memprediksi risiko
vasospasme, perdarahan ulang, dan hasil yang buruk. Pasien dengan
nilai Fisher yang lebih tinggi memiliki risiko komplikasi yang lebih besar
dan mungkin memerlukan penanganan yang lebih agresif. Sistem
penilaian Fisher sering digunakan bersama dengan sistem penilaian
141
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Hunt dan Hess untuk memandu keputusan pengobatan dan
memperkirakan prognosis pasien dengan SAH.
Gambar 39 Grading SAH Hunt and Hess
142
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Gambar 40 Grading SAH Fisher dan Modified Fisher
Perdarahan Intraventrikular
Terdapat sistem penilaian untuk perdarahan intraventrikular
(IVH) yang disebut Skor Graeb. Skor Graeb adalah sistem penilaian
yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat keparahan IVH dan
memprediksi kemungkinan hasil yang buruk.
143
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Skor Graeb didasarkan pada tingkat IVH yang terlihat pada
pencitraan CT dan dibagi menjadi empat tingkatan:
• Tingkat 0: Tidak ada IVH
• Tingkat 1: IVH terbatas pada trigone ventrikel
• Tingkat 2: IVH meluas ke salah satu atau kedua ventrikel lateral
tanpa mengisinya
• Tingkat 3: IVH mengisi salah satu atau kedua ventrikel lateral
Skor Graeb yang lebih tinggi mengindikasikan IVH yang lebih
parah dan kemungkinan hasil yang lebih besar, seperti hidrosefalus,
edema serebral, dan kematian. Skor Graeb dapat digunakan untuk
memandu keputusan pengobatan dan memperkirakan prognosis
pasien dengan IVH. Namun, perlu dicatat bahwa penggunaan Skor
Graeb tidak seluas Skor ICH atau sistem penilaian Hunt dan Hess untuk
ICH dan SAH.
7.7 TATALAKSANA STROKE PERDARAHAN
Perdarahan Intraserebral
Menurunkan Tekanan Darah
Menurunkan tekanan darah merupakan aspek penting dari
pengobatan perdarahan intraserebral (ICH). Tekanan darah yang
tinggi merupakan faktor risiko utama untuk ICH dan dapat
memperburuk perdarahan serta berkontribusi terhadap perluasan
hematoma. Pedoman American Heart Association/American Stroke
Association (AHA/ASA) merekomendasikan untuk menurunkan
tekanan darah secara bertahap pada pasien dengan ICH yang memiliki
tekanan darah sistolik (SBP) lebih besar dari 150 mmHg. Target SBP
140 mmHg direkomendasikan untuk sebagian besar pasien ICH. Pada
pasien dengan hipertensi berat (SBP>220 mmHg atau tekanan darah
diastolik (DBP)>120 mmHg), penurunan tekanan darah yang lebih
agresif mungkin diperlukan.
144
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Menurunkan tekanan darah dapat membantu mengurangi risiko
perluasan hematoma, yang selanjutnya dapat merusak jaringan otak
dan menyebabkan hasil yang buruk. Namun demikian, penting untuk
memantau tekanan darah secara ketat selama perawatan untuk
menghindari hipotensi, yang juga dapat berbahaya. Penurunan
tekanan darah yang terlalu agresif dapat menyebabkan penurunan
perfusi otak dan memperburuk hasil. Oleh karena itu, strategi
manajemen tekanan darah yang optimal untuk pasien dengan ICH
harus bersifat individual berdasarkan status klinis pasien dan faktor
lainnya. Obat antihipertensi seperti Nikardipine (0.5-6
mcg/kgBB/menit) dan Diltiazem (5-20 mcg/kgBB/menit) sering
digunakan untuk mengontrol tekanan darah pada pasien dengan ICH,
tetapi pilihan obat dan dosis yang spesifik harus disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing pasien.
Kontrol Gula Darah dan Temperatur
Selain menurunkan tekanan darah, kontrol suhu dan manajemen
glukosa darah merupakan aspek penting dalam pengobatan
perdarahan intraserebral (ICH). Peningkatan suhu dan kadar glukosa
darah dapat memperburuk cedera otak dan meningkatkan risiko hasil
yang buruk pada pasien ICH.
Pedoman American Heart Association/American Stroke
Association (AHA/ASA) merekomendasikan untuk mempertahankan
normotermia (suhu tubuh antara 36,5°C dan 37,5°C) pada pasien ICH.
Hal ini dapat dicapai dengan obat antipiretik, selimut pendingin, atau
alat pendingin lainnya. Demikian pula, kontrol glikemik yang ketat
direkomendasikan pada pasien dengan ICH untuk menghindari
hiperglikemia, yang telah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas
dan hasil yang buruk. Pedoman AHA/ASA menyarankan untuk
menargetkan kadar glukosa darah <180 mg/dL pada sebagian besar
pasien stroke akut, termasuk ICH.
145
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Kontrol suhu dan manajemen glukosa darah dapat menjadi
tantangan bagi pasien dengan ICH, terutama mereka yang
membutuhkan perawatan intensif. Pemantauan yang ketat dan
penyesuaian obat dan intervensi lain yang sering mungkin diperlukan
untuk mencapai hasil yang diinginkan. Selain itu, target optimal untuk
kontrol suhu dan glukosa darah dapat bervariasi, tergantung pada
status klinis masing-masing pasien dan faktor lainnya. Oleh karena itu,
strategi perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan
perawatan pasien secara spesifik.
Tatalaksana Kejang
Kejang adalah komplikasi umum dari pendarahan intraserebral
(ICH), yang terjadi pada hingga 15% pasien. Kejang dapat
memperburuk cedera otak dan meningkatkan risiko hasil yang buruk
pada pasien ICH. Oleh karena itu, penanganan kejang merupakan
aspek penting dalam pengobatan ICH.
Pedoman American Heart Association/American Stroke
Association (AHA/ASA) merekomendasikan pengobatan obat
antiepilepsi profilaksis (AED) untuk pasien dengan ICH yang memiliki
risiko kejang yang tinggi, seperti pasien dengan hematoma besar atau
perdarahan intraventrikuler. Namun, penggunaan AED profilaksis
rutin tidak disarankan untuk semua pasien dengan ICH, karena
mungkin tidak memberikan manfaat tambahan dan dapat dikaitkan
dengan efek samping.
Pada pasien dengan ICH yang mengalami kejang, disarankan
untuk segera melakukan penanganan dengan AED. AED seperti
fenitoin, levetiracetam, dan asam valproat sering digunakan untuk
penanganan kejang pada pasien ICH. Pilihan AED harus didasarkan
pada status klinis pasien dan faktor lainnya.
Pemantauan ketat terhadap aktivitas kejang sangat penting pada
pasien dengan ICH, karena kejang berulang dapat menjadi tanda
146
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
memburuknya cedera otak dan mungkin memerlukan penyesuaian
dalam rencana perawatan. Selain itu, manajemen kejang harus
diintegrasikan dengan aspek lain dari perawatan ICH, seperti kontrol
tekanan darah, manajemen suhu, dan intervensi bedah, jika
diindikasikan. Penanganan kejang yang optimal pada pasien dengan
ICH harus dilakukan secara individual berdasarkan kebutuhan dan
tujuan perawatan pasien secara spesifik.
Gambar 41 Algoritma pemberian obat kejang pada stroke perdarahan
Kontrol Tekanan Intrakranial
Kontrol tekanan intrakranial (ICP) merupakan aspek penting dari
pengobatan perdarahan intraserebral (ICH). Peningkatan TIK dapat
menyebabkan cedera otak lebih lanjut dan dapat menjadi kontributor
147
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
yang signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas pada pasien ICH.
Oleh karena itu, tindakan untuk mengendalikan TIK merupakan
komponen kunci dari pengobatan ICH.
Langkah pertama dalam pengendalian TIK adalah
mengoptimalkan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi pasien.
Hipoksemia, hiperkapnia, dan hipotensi semuanya dapat
menyebabkan peningkatan TIK dan harus segera ditangani. Selain itu,
memposisikan pasien dengan kepala tempat tidur ditinggikan hingga
30 derajat dapat membantu menurunkan TIK dengan meningkatkan
drainase vena dari otak.
Jika tindakan untuk mengoptimalkan oksigenasi, ventilasi, dan
hemodinamika tidak cukup untuk mengontrol TIK, intervensi
tambahan mungkin diperlukan. Intervensi ini dapat mencakup terapi
osmotik, seperti penggunaan manitol intravena atau garam
hipertonik, untuk mengurangi edema otak dan menurunkan TIK.
Selain itu, sedasi dan analgesia dapat digunakan untuk mengurangi
kebutuhan metabolisme otak dan menurunkan TIK.
Jika TIK tetap tinggi meskipun telah dilakukan intervensi ini,
tindakan yang lebih agresif mungkin diperlukan, seperti dekompresi
bedah. Intervensi bedah, seperti hemikraniektomi atau evakuasi
hematoma, dapat mengurangi tekanan pada otak dan meningkatkan
hasil pada pasien tertentu dengan ICH. Keputusan untuk melakukan
intervensi bedah harus didasarkan pada status klinis masing-masing
pasien, temuan pencitraan, dan faktor lainnya.
Secara keseluruhan, pengendalian TIK yang efektif sangat
penting untuk keberhasilan manajemen pasien dengan perdarahan
intraserebral. Pendekatan multidisiplin yang menggabungkan
keahlian ahli saraf, ahli bedah saraf, dan dokter perawatan kritis
sangat penting untuk mengoptimalkan hasil pada pasien-pasien ini.
148
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Gambar 42 Posisi Low-Fowler’s atau Head Trunk Up 30 Degrees
Perdarahan Subarakhnoid
Penanganan perdarahan subarakhnoid (SAH) bertujuan untuk
mencegah perdarahan ulang, mengurangi komplikasi, dan
meningkatkan hasil. Penanganan awal SAH meliputi menstabilkan
jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi pasien, serta memastikan
tekanan darah dan oksigenasi dioptimalkan. Setelah pasien stabil,
pemeriksaan pencitraan segera dilakukan untuk menentukan lokasi
dan tingkat keparahan perdarahan.
Pengobatan andalan untuk SAH adalah perbaikan aneurisma. Hal
ini dapat dicapai melalui pemotongan bedah atau penggulungan
endovaskular, tergantung pada lokasi dan morfologi aneurisma.
Pilihan modalitas pengobatan didasarkan pada ukuran dan lokasi
aneurisma, serta usia, status klinis, dan komorbiditas pasien.
Selain perbaikan aneurisma, tindakan pendukung lainnya
mungkin diperlukan untuk menangani komplikasi dan
mengoptimalkan hasil pada pasien SAH. Tindakan ini dapat mencakup
terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang, pengendalian nyeri, dan
manajemen gangguan elektrolit dan gangguan metabolisme lainnya.
Selain itu, pasien dengan SAH yang parah mungkin memerlukan
ventilasi mekanis dan pemantauan unit perawatan intensif.
149
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Secara keseluruhan, penanganan perdarahan subaraknoid
memerlukan pendekatan multidisiplin yang menggabungkan keahlian
ahli saraf, ahli bedah saraf, dan dokter perawatan kritis. Identifikasi
dan penanganan yang cepat terhadap aneurisma yang mendasari,
bersama dengan penanganan komplikasi yang terkait, dapat
meningkatkan hasil dan mengurangi angka kematian pada pasien
dengan kondisi ini.
Perdarahan Intraventrikular
Penanganan perdarahan intraventrikular (IVH) ditujukan untuk
mengendalikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan meningkatkan
hasil. Penanganan awal IVH melibatkan stabilisasi jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi pasien, serta pemeriksaan pencitraan
segera untuk menentukan lokasi dan luasnya perdarahan. Setelah
diagnosis dipastikan, pengobatan dapat melibatkan kombinasi
intervensi medis dan bedah.
Tujuan utama penanganan medis adalah untuk mengontrol
tekanan intrakranial (TIK) dan mencegah perdarahan lebih lanjut. Hal
ini dapat dicapai melalui berbagai tindakan, termasuk penggunaan
agen osmotik, seperti manitol atau garam hipertonik, untuk
mengurangi edema otak dan meningkatkan tekanan perfusi otak.
Selain itu, obat antiepilepsi dapat digunakan untuk mencegah kejang,
yang dapat memperburuk TIK.
Dalam beberapa kasus, intervensi bedah mungkin diperlukan
untuk mengendalikan perdarahan dan mengurangi TIK. Hal ini dapat
melibatkan penempatan saluran ventrikel eksternal (EVD) untuk
mengeringkan cairan serebrospinal dan mengurangi tekanan di otak,
atau evakuasi hematoma melalui prosedur kraniotomi atau
endoskopi.
Secara keseluruhan, penanganan IVH memerlukan pendekatan
multidisiplin yang melibatkan keahlian ahli saraf, ahli bedah saraf, dan
150
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
dokter perawatan kritis. Tujuan pengobatan termasuk mengendalikan
perdarahan, menurunkan TIK, mencegah komplikasi, dan
mengoptimalkan hasil bagi pasien dengan kondisi ini.
IVH
Manajemen Bedah
IVH spontan +
Hidrosefalus
Obstruktif
PIS spontan <30 mL
GCS > 3
IVH membutuhkan
EVD
PIS spontan < 30
mL
IVH membutuhkan
EVD
EVD
EVD +
trombolitik
Neuroendoskopi
+ EVD
+/- trombolitik
Menuru
nkan
kematia
n
Memper
baiki
luaran
fungsion
al
Memp
erbaiki
luaran
fungsi
onal
Pengu
rangan
Kemat
ian
Memp
erbaiki
luaran
fungsi
onal
Meng
urangi
kemun
gkinan
pemas
angan
shunt
Gambar 43 Manajemen bedah pada kasus IVH
Indikasi Kraniotomi Pada Perdarahan Intraventrikular
Kraniotomi adalah prosedur pembedahan yang sering digunakan
untuk menangani perdarahan intraserebral (ICH). Berikut ini adalah
indikasi numerik untuk kraniotomi pada kasus ICH:
• Volume Hematoma: Jika volume hematoma lebih besar dari
30-50 mL, evakuasi bedah mungkin diperlukan, terutama jika
151
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
menyebabkan efek massa yang signifikan dan gejala
neurologis.
• Ketebalan Hematoma: Hematoma dengan ketebalan lebih
besar dari 1 cm mungkin memerlukan evakuasi bedah karena
peningkatan risiko herniasi.
• Pergeseran Garis Tengah: Pergeseran garis tengah lebih
besar dari 5 mm dapat mengindikasikan perlunya dilakukan
kraniotomi untuk meringankan tekanan pada otak dan
mencegah kerusakan neurologis lebih lanjut.
Penting untuk dicatat bahwa indikasi numerik ini tidak mutlak
dan dapat bervariasi, tergantung pada kondisi klinis masing-masing
pasien dan faktor lainnya. Keputusan untuk melakukan kraniotomi
harus diambil oleh ahli bedah saraf setelah mempertimbangkan
semua data klinis dan radiologis yang relevan. Kraniotomi dapat
menjadi prosedur penyelamatan nyawa bagi pasien dengan ICH,
tetapi juga memiliki beberapa risiko, seperti infeksi dan perdarahan,
sehingga manfaat dan risiko prosedur harus dipertimbangkan dengan
cermat sebelum dilakukan.
152
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Referensi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
American College of Surgeons (2018) Advanced Trauma Life
Support. Chicago: American College of Surgeons.
Guideline for the Management of Patients With Spontaneous
Intracerebral Hemorrhage: A Guideline From the American Heart
Association/American Stroke Association (2022). American Heart
Association/American Stroke Association.
Feigin, V.L. et al. (2015) “Update on the global burden of ischemic
and hemorrhagic stroke in 1990-2013: The GBD 2013 study,”
Neuroepidemiology, 45(3), pp. 161–176. Available at:
https://doi.org/10.1159/000441085.
Leasure, A.C. et al. (2022) “Abstract 103: Burden of ischemic and
hemorrhagic stroke across the US from 1990-2019: A global
burden of disease study,” Stroke, 53(Suppl_1). Available at:
https://doi.org/10.1161/str.53.suppl_1.103.
Metoki, H., Ohkubo, T. and Imai, Y. (2010) “Diurnal blood
pressure variation and cardiovascular prognosis in a communitybased study of OHASAMA, Japan,” Hypertension Research, 33(7),
pp. 652–656. Available at: https://doi.org/10.1038/hr.2010.70.
Zhukov, Y. et al. (2022) “Time trends of epidemiology of
hemorrhagic stroke among urban population in Kazakhstan,”
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 10(A), pp.
402–408.
Available
at:
https://doi.org/10.3889/oamjms.2022.8688.
Qureshi, A.I. et al. (2016) “Intensive blood-pressure lowering in
patients with acute cerebral hemorrhage,” New England Journal
of Medicine, 375(11), pp. 1033–1043. Available at:
https://doi.org/10.1056/nejmoa1603460.
Anderson, C.S. et al. (2013) “Rapid blood-pressure lowering in
patients with acute intracerebral hemorrhage,” New England
153
MANAJEMEN STROKE PERDARAHAN
Journal of Medicine, 368(25), pp. 2355–2365. Available at:
https://doi.org/10.1056/nejmoa1214609.
9. Hemphill, J.C. et al. (2015) “Guidelines for the management of
spontaneous intracerebral hemorrhage,” Stroke, 46(7), pp.
2032–2060.
Available
at:
https://doi.org/10.1161/str.0000000000000069.
10. Brouwers, H.B. et al. (2014) “Predicting hematoma expansion
after primary intracerebral hemorrhage,” JAMA Neurology,
71(2),
p.
158.
Available
at:
https://doi.org/10.1001/jamaneurol.2013.5433.
11. Hemphill, J.C. et al. (2001) “The ICH score,” Stroke, 32(4), pp.
891–897. Available at: https://doi.org/10.1161/01.str.32.4.891.
154
BAB VIII
MANAJEMEN KOMA
8.1 PENDAHULUAN
Keadaan koma adalah suatu kondisi yang ditandai dengan
hilangnya kesadaran dan responsif terhadap rangsangan eksternal.
Individu dalam keadaan koma biasanya tidak menunjukkan gerakan
sukarela atau kesadaran akan lingkungannya, dan matanya tetap
tertutup. Pasien koma sering kali tidak dapat bernapas sendiri,
sehingga membutuhkan ventilasi buatan untuk mempertahankan
oksigenasi yang memadai. Koma dapat disebabkan oleh berbagai
kondisi medis, termasuk cedera otak traumatis, stroke, dan overdosis
obat. Tingkat keparahan dan durasi koma dapat sangat bervariasi,
tergantung pada penyebab yang mendasari dan tingkat kerusakan
otak. Dalam beberapa kasus, pasien koma dapat pulih kesadarannya
dan secara bertahap mendapatkan kembali fungsi kognitifnya,
sementara dalam kasus lain, kondisinya tidak dapat dipulihkan.
8.2 KONDISI BANGUN DAN KONDISI AWAS
Kondisi terjaga mengacu pada keadaan di mana seseorang sadar
dan sadar akan lingkungannya. Saat terjaga, otak seseorang aktif dan
mampu memproses informasi dari indera mereka, sehingga
memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan dunia di sekitar
mereka. Kondisi waspada, di sisi lain, mengacu pada keadaan di mana
seseorang tidak hanya terjaga tetapi juga sepenuhnya terlibat dan
memperhatikan lingkungannya. Dalam kondisi waspada, otak secara
aktif memproses dan menganalisis informasi sensorik yang masuk,
sehingga memungkinkan seseorang untuk merespons dengan tepat
terhadap perubahan atau rangsangan apa pun. Kondisi terjaga dan
waspada sangat penting untuk fungsi sehari-hari dan dipengaruhi oleh
155
MANAJEMEN KOMA
berbagai faktor seperti tidur, pengobatan, dan gangguan neurologis.
Sebaliknya, kondisi yang mengganggu kondisi terjaga atau waspada,
seperti gangguan tidur, cedera otak traumatis, atau obat-obatan
tertentu, dapat berdampak signifikan pada fungsi kognitif seseorang
dan kemampuannya untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
8.3 NEUROBIOLOGI KESADARAN
Neurobiologi kesadaran adalah bidang penelitian yang kompleks
dan berkelanjutan yang bertujuan untuk memahami mekanisme saraf
yang bertanggung jawab untuk menghasilkan pengalaman sadar.
Meskipun dasar saraf yang tepat dari kesadaran masih belum
sepenuhnya dipahami, penelitian telah mengidentifikasi beberapa
wilayah dan jaringan otak yang diduga terlibat. Thalamus, sebuah
struktur yang berada jauh di dalam otak, diyakini bertindak sebagai
pintu gerbang bagi informasi sensorik untuk mencapai korteks, di
mana informasi tersebut diintegrasikan dan diproses menjadi
pengalaman sadar. Korteks prefrontal, sebuah wilayah di bagian
depan otak, dianggap memainkan peran penting dalam proses
kognitif tingkat tinggi seperti pengambilan keputusan, memori kerja,
dan kesadaran diri.
Wilayah otak lainnya seperti jaringan mode default, yang aktif
ketika otak dalam keadaan istirahat, juga telah terlibat dalam
kesadaran. Selain wilayah otak, neurobiologi kesadaran juga
melibatkan pemahaman tentang interaksi antara berbagai jaringan
otak dan neurotransmiter yang memodulasi kesadaran. Meskipun ada
kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir,
neurobiologi kesadaran tetap menjadi bidang penelitian yang aktif
dan merupakan tantangan ilmiah yang sulit dipahami.
156
MANAJEMEN KOMA
8.4 ARAS
Ascending Reticular Activating System (ARAS) adalah jaringan
saraf yang membentang dari batang otak melalui talamus ke korteks,
dan memainkan peran penting dalam mengatur kesadaran dan
kewaspadaan. ARAS terdiri dari berbagai inti dan jalur, yang secara
kolektif mengintegrasikan informasi sensorik dan memodulasi
aktivitas korteks serebral. ARAS menerima masukan dari berbagai
sistem sensorik dan terlibat dalam menyaring dan memprioritaskan
informasi sensorik yang masuk untuk mempertahankan gairah dan
perhatian. Selain itu, ARAS bertanggung jawab untuk mengaktifkan
korteks selama terjaga dan menghambatnya selama tidur,
menjadikannya komponen penting dari siklus tidur-bangun.
Gangguan pada ARAS dapat menyebabkan berbagai gangguan,
termasuk gangguan tidur, koma, dan gangguan kesadaran. Sebagai
contoh, kerusakan pada ARAS akibat cedera otak traumatis atau
stroke dapat menyebabkan hilangnya kesadaran atau koma.
Sebaliknya, gangguan neurologis tertentu seperti narkolepsi atau
insomnia dianggap melibatkan disregulasi ARAS, yang menyebabkan
gangguan pada siklus tidur-bangun dan gairah. Dengan demikian,
ARAS tetap menjadi area penelitian yang penting dalam memahami
mekanisme saraf yang mendasari kesadaran dan gairah.
Gambar 44 Bagian otak dan beberapa hormon yang dikeluarkan
157
MANAJEMEN KOMA
8.5 ETIOLOGI
Meskipun penyebab koma bisa beragam dan kompleks, satu
mnemonik yang dapat membantu mengingat beberapa etiologi
adalah "VITAMINS". VITAMINS adalah singkatan dari Vaskular, Infeksi,
Trauma, Autoimun, Metabolik, Intoksikasi, Neoplasma, dan Kejang.
Penyebab koma akibat pembuluh darah dapat berupa stroke,
aneurisma, atau pendarahan di otak yang mengakibatkan penurunan
aliran darah atau pengiriman oksigen ke otak. Infeksi seperti
meningitis atau ensefalitis juga dapat menyebabkan koma dengan
cara mempengaruhi otak secara langsung dan menyebabkan
peradangan. Trauma pada kepala atau otak, seperti akibat kecelakaan
mobil atau terjatuh, dapat mengakibatkan cedera langsung pada otak
dan menyebabkan koma.
Gangguan autoimun seperti lupus atau multiple sclerosis dapat
menyebabkan koma dengan memengaruhi otak dan menyebabkan
peradangan. Penyebab metabolik seperti hipoglikemia atau
ketidakseimbangan elektrolit dapat memengaruhi kemampuan otak
untuk berfungsi dengan baik dan menyebabkan koma. Intoksikasi
obat-obatan atau alkohol juga dapat menyebabkan koma dengan
menekan sistem saraf pusat. Neoplasma, seperti tumor otak, dapat
menyebabkan kompresi atau kerusakan pada jaringan otak, yang
menyebabkan koma. Terakhir, kejang, terutama kejang yang
berkepanjangan atau status epileptikus, dapat menyebabkan koma.
Memahami potensi penyebab koma sangat penting dalam
mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mendasari serta
memberikan perawatan yang tepat bagi pasien.
8.6 PEMERIKSAAN KESADARAN
Glasgow Coma Score (GCS) adalah alat penilaian neurologis yang
digunakan untuk mengevaluasi tingkat kesadaran pada pasien dengan
cedera otak akut atau kondisi neurologis lainnya. GCS didasarkan pada
158
MANAJEMEN KOMA
tiga komponen: pembukaan mata, respons verbal, dan respons
motorik. Setiap komponen dinilai dengan skala mulai dari 1 hingga 5,
1 hingga 4, atau 1 hingga 6 tergantung pada respons spesifik, dengan
total skor yang mungkin mulai dari 3 hingga 15. Skor yang lebih tinggi
menunjukkan tingkat kesadaran yang lebih tinggi, sedangkan skor
yang lebih rendah menunjukkan tingkat kesadaran yang menurun.
GCS digunakan secara luas dalam keadaan darurat dan
perawatan kritis untuk membantu dokter menilai dan memantau
status neurologis pasien dengan cedera otak traumatis atau kondisi
neurologis lainnya. GCS juga digunakan untuk melacak perubahan
kesadaran dari waktu ke waktu dan untuk membantu memandu
keputusan terkait manajemen pasien, seperti kebutuhan untuk
intubasi atau pemindahan ke tingkat perawatan yang lebih tinggi.
Meskipun digunakan secara luas, GCS memiliki beberapa
keterbatasan, termasuk variabilitas dalam keandalan interrater dan
potensi untuk meyakinkan palsu pada pasien dengan respons motorik
atau verbal yang tidak normal. Oleh karena itu, GCS harus digunakan
bersama dengan penilaian klinis lainnya dan tidak boleh diandalkan
sebagai satu-satunya indikator status neurologis.
159
MANAJEMEN KOMA
Gambar 45 Glasgow Coma Score
160
MANAJEMEN KOMA
Gambar 46 Beberapa lokasi rangsang nyeri pada pemeriksaan GCS
8.7 GANGGUAN POLA NAPAS
Gambar 47 Beberapa lokasi gangguan otak dan gangguan pernapasan yang terjadi
161
MANAJEMEN KOMA
Cheyne-Stokes
Pernapasan Cheyne-Stokes adalah pola pernapasan yang
ditandai dengan siklus hiperventilasi dan apnea yang bergantian, atau
periode tanpa pernapasan. Pola pernapasan ini paling sering dikaitkan
dengan gagal jantung, tetapi juga dapat terjadi pada kondisi lain
seperti stroke, cedera otak traumatik, dan apnea tidur. Fase
hiperventilasi ditandai dengan pernapasan yang cepat dan dalam,
diikuti dengan penurunan pernapasan secara bertahap hingga
akhirnya berhenti sama sekali selama fase apnea. Siklus ini kemudian
berulang, biasanya dalam jangka waktu beberapa detik hingga
beberapa menit.
Mekanisme yang mendasari pernapasan Cheyne-Stokes diduga
terkait dengan fluktuasi kadar karbon dioksida darah dan
berkurangnya sensitivitas pusat kontrol pernapasan di batang otak.
Pada gagal jantung, penurunan curah jantung menyebabkan
penurunan pengiriman oksigen ke otak, yang dapat mengakibatkan
penurunan dorongan pernapasan dan hiperventilasi. Ketika kadar
karbon dioksida menurun, dorongan pernapasan semakin ditekan,
yang menyebabkan apnea. Akhirnya, kadar karbon dioksida
meningkat ke titik di mana dorongan pernapasan dirangsang lagi, yang
mengarah ke fase hiperventilasi.
Pernapasan Cheyne-Stokes dapat menjadi tanda memburuknya
gagal jantung atau kondisi lain yang mendasarinya, dan mungkin
memerlukan pengobatan dengan obat-obatan atau intervensi seperti
tekanan saluran napas positif. Hal ini juga dapat memengaruhi kualitas
tidur dan menyebabkan kelelahan di siang hari, sehingga penting bagi
pasien untuk mendiskusikan setiap perubahan pola pernapasan
dengan penyedia layanan kesehatan mereka.
162
MANAJEMEN KOMA
Gambar 48 Pola pernapasan Cheyne-Stokes
Hiperventilasi Neurogenik Sentral
Hiperventilasi neurogenik sentral (CNH) adalah suatu kondisi
neurologis langka yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam
yang tidak normal yang digerakkan oleh batang otak, khususnya pusat
pernapasan. Kondisi ini sering terlihat pada pasien dengan cedera
atau penyakit batang otak, seperti tumor atau stroke. Pernapasan
cepat yang terkait dengan CNH dapat menyebabkan penurunan kadar
karbon dioksida dalam darah, yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi dan menurunkan pengiriman oksigen ke otak dan organ
lainnya.
Mekanisme yang mendasari CNH diduga terkait dengan
ketidakseimbangan dalam dorongan pernapasan, yang menyebabkan
aktivasi pusat pernapasan yang berlebihan di batang otak. Diagnosis
CNH biasanya didasarkan pada gejala klinis dan tes laboratorium,
seperti analisis gas darah arteri. Pengobatan dapat melibatkan
penanganan cedera atau penyakit batang otak yang mendasari, serta
tindakan untuk menormalkan pola pernapasan dan kadar karbon
dioksida, seperti ventilasi mekanis atau obat-obatan yang dapat
membantu mengatur pernapasan. Prognosis untuk pasien dengan
CNH bergantung pada penyebab yang mendasari dan tingkat
kerusakan pada batang otak, dan dapat berkisar dari pemulihan
penuh hingga komplikasi pernapasan dan neurologis jangka panjang.
163
MANAJEMEN KOMA
Gambar 49 Pola pernapasan CNH
Apneustik
Pernapasan apnea adalah jenis pola pernapasan abnormal yang
ditandai dengan tarikan napas inspirasi yang berkepanjangan, diikuti
dengan upaya ekspirasi yang singkat. Pola pernapasan ini biasanya
terlihat pada pasien dengan cedera batang otak atau penyakit, seperti
stroke atau tumor. Mekanisme yang mendasari pernapasan apneustik
diduga terkait dengan disfungsi pada pusat pernapasan di batang
otak, yang dapat menyebabkan gangguan pada ritme pernapasan
normal.
Pernapasan apneustik dapat menyebabkan penurunan
pengiriman oksigen ke otak dan organ lainnya, dan dapat
mengakibatkan gejala seperti kebingungan, kelelahan, dan gangguan
pernapasan. Diagnosis pernapasan apneustik biasanya melibatkan
kombinasi gejala klinis dan tes laboratorium, seperti analisis gas darah
arteri dan studi pencitraan untuk mengevaluasi cedera atau penyakit
batang otak.
Perawatan pernapasan apneustik biasanya difokuskan untuk
mengatasi cedera atau penyakit batang otak yang mendasarinya,
serta tindakan untuk meningkatkan oksigenasi dan mendukung fungsi
pernapasan. Hal ini dapat mencakup ventilasi mekanis, terapi oksigen
tambahan, dan obat-obatan untuk membantu mengatur pernapasan.
Prognosis untuk pasien dengan pernapasan apneustik tergantung
pada penyebab yang mendasari dan tingkat kerusakan pada batang
otak, dan dapat berkisar dari pemulihan penuh hingga komplikasi
pernapasan dan neurologis jangka panjang.
164
MANAJEMEN KOMA
Gambar 50 Pola pernapasan Apneustik
Kluster
Cluster breathing adalah jenis pola pernapasan abnormal yang
ditandai dengan serangkaian napas yang cepat dan dangkal, diikuti
dengan periode singkat apnea atau jeda dalam bernapas. Pola
pernapasan ini biasanya terlihat pada pasien dengan kondisi
neurologis, seperti cedera atau penyakit batang otak, dan dapat
dikaitkan dengan gejala lain seperti kelemahan atau mati rasa pada
otot wajah, kesulitan menelan, atau perubahan suara.
Mekanisme yang mendasari di balik pernapasan klaster diduga
terkait dengan gangguan pada ritme pernapasan normal, yang
mengakibatkan semburan napas cepat yang terputus-putus, yang
diikuti oleh periode apnea. Diagnosis pernapasan klaster biasanya
melibatkan kombinasi gejala klinis dan tes laboratorium, seperti
analisis gas darah arteri dan studi pencitraan untuk mengevaluasi
kondisi neurologis yang mendasarinya.
Penanganan pernapasan klaster biasanya difokuskan untuk
mengatasi kondisi neurologis yang mendasarinya, serta tindakan
untuk mendukung fungsi pernapasan dan oksigenasi. Ini dapat
mencakup ventilasi mekanis, terapi oksigen tambahan, dan obatobatan untuk membantu mengatur pernapasan. Prognosis untuk
pasien dengan pernapasan klaster tergantung pada penyebab yang
mendasari dan tingkat kerusakan pada batang otak, dan dapat
berkisar dari pemulihan penuh hingga komplikasi pernapasan dan
neurologis jangka panjang.
165
MANAJEMEN KOMA
Gambar 51 Pola pernapasan Kluster
Ataksik
Pernapasan ataksik, juga dikenal sebagai pernapasan biot atau
pernapasan klaster, adalah pola pernapasan abnormal yang ditandai
dengan pernapasan yang tidak teratur dan tidak dapat diprediksi
dengan kedalaman dan kecepatan yang bervariasi. Jenis pola
pernapasan ini biasanya terlihat pada pasien dengan kondisi
neurologis, seperti cedera batang otak atau penyakit, dan dapat
dikaitkan dengan gejala lain seperti kesadaran yang berubah,
kebingungan, atau kejang.
Mekanisme yang mendasari pernapasan ataksia diduga terkait
dengan kerusakan pada pusat pernapasan di batang otak, yang dapat
menyebabkan gangguan pada ritme pernapasan normal. Diagnosis
pernapasan ataksia biasanya melibatkan kombinasi gejala klinis dan
tes laboratorium, seperti analisis gas darah arteri dan studi pencitraan
untuk mengevaluasi kondisi neurologis yang mendasarinya.
Penanganan pernapasan ataksia biasanya difokuskan untuk
mengatasi kondisi neurologis yang mendasarinya, serta tindakan
untuk mendukung fungsi pernapasan dan oksigenasi. Ini dapat
mencakup ventilasi mekanis, terapi oksigen tambahan, dan obatobatan untuk membantu mengatur pernapasan. Prognosis untuk
pasien dengan pernapasan ataksia bergantung pada penyebab yang
mendasari dan tingkat kerusakan pada batang otak, dan dapat
berkisar dari pemulihan penuh hingga komplikasi pernapasan dan
neurologis jangka panjang.
166
MANAJEMEN KOMA
Gambar 52 Pola pernapasan Ataksik
8.8 KONDISI MIRIP KOMA
Kondisi Vegetatif
Keadaan vegetatif, juga dikenal sebagai sindrom terjaga yang
tidak responsif, adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kurangnya
kesadaran dan kesadaran akan lingkungan, meskipun ada periode
terjaga. Pasien dalam keadaan vegetatif mungkin tampak terjaga,
dengan periode membuka mata dan responsif terhadap rangsangan
eksternal, tetapi tidak memiliki interaksi atau komunikasi yang berarti
dengan lingkungannya.
Penyebab yang mendasari keadaan vegetatif dapat bervariasi,
tetapi sering kali berkaitan dengan cedera atau kerusakan otak yang
parah, seperti akibat cedera otak traumatik atau henti jantung.
Diagnosis keadaan vegetatif biasanya melibatkan pemeriksaan
neurologis menyeluruh dan studi pencitraan, seperti MRI atau CT
scan.
Saat ini tidak ada pengobatan khusus untuk keadaan vegetatif,
dan penanganannya difokuskan pada perawatan suportif dan
penanganan kondisi medis terkait. Beberapa pasien dapat mengalami
pemulihan spontan, tetapi prognosis pemulihan jangka panjang
umumnya buruk, dengan banyak pasien yang tetap berada dalam
kondisi vegetatif selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Kondisi Kesadaran Minimal
Keadaan sadar minimal (MCS) adalah suatu kondisi kesadaran
yang sangat berubah yang berbeda dengan keadaan vegetatif, tetapi
167
MANAJEMEN KOMA
masih ditandai dengan gangguan gairah dan kesadaran yang parah.
Pasien dalam kondisi sadar minimal mungkin menunjukkan beberapa
tingkat kesadaran atau responsif terhadap rangsangan eksternal,
tetapi tidak memiliki interaksi atau komunikasi yang konsisten dan
terarah dengan lingkungannya.
Penyebab utama MCS dapat bervariasi, tetapi sering kali
berkaitan dengan cedera atau kerusakan otak yang parah, seperti
akibat cedera otak traumatis, stroke, atau anoksia. Diagnosis MCS
biasanya melibatkan pemeriksaan neurologis menyeluruh dan studi
pencitraan, seperti MRI atau CT scan.
Perawatan MCS difokuskan pada perawatan suportif dan
pengelolaan kondisi medis terkait, serta terapi yang bertujuan untuk
mendorong pemulihan kognitif dan fungsional. Beberapa pasien
mungkin mengalami pemulihan spontan, tetapi prognosis pemulihan
jangka panjang umumnya buruk, dengan banyak pasien yang tetap
berada dalam kondisi sadar minimal selama berbulan-bulan atau
bahkan bertahun-tahun.
Penanganan MCS dapat menjadi tantangan, karena pasien
mungkin memerlukan intervensi medis dan rehabilitasi yang
kompleks, serta dukungan dan perawatan yang berkelanjutan dari
penyedia layanan kesehatan dan pengasuh.
Abulia
Abulia, juga dikenal sebagai apatis, adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan kurangnya motivasi, dorongan, atau inisiatif. Pasien
dengan abulia mungkin mengalami kesulitan dalam mengambil
keputusan, memulai tindakan, atau menunjukkan minat atau
antusiasme terhadap aktivitas yang sebelumnya menyenangkan atau
penting bagi mereka. Kondisi ini sering dikaitkan dengan kondisi
neurologis, seperti stroke, cedera otak traumatis, atau gangguan
degeneratif yang mempengaruhi lobus frontal otak.
168
MANAJEMEN KOMA
Mekanisme yang mendasari abulia belum dipahami dengan baik,
tetapi diduga terkait dengan disfungsi sirkuit saraf yang terlibat dalam
motivasi, pemrosesan hadiah, dan pengambilan keputusan. Diagnosis
abulia biasanya melibatkan pemeriksaan neurologis menyeluruh,
serta studi pencitraan, seperti MRI atau CT scan.
Pengobatan abulia difokuskan pada manajemen kondisi
neurologis yang mendasari, serta intervensi psikoterapi dan
farmakologis yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan
keterlibatan dalam aktivitas. Beberapa pasien mungkin mendapat
manfaat dari terapi kognitif dan perilaku, seperti penetapan tujuan,
restrukturisasi kognitif, atau pelatihan keterampilan sosial, sementara
pasien lainnya mungkin memerlukan obat untuk mengelola gejala
depresi, kecemasan, atau gangguan suasana hati yang mendasarinya.
Prognosis untuk pasien dengan abulia bergantung pada
penyebab yang mendasari dan tingkat kerusakan neurologis, serta
respons individu terhadap pengobatan dan manajemen yang sedang
berlangsung. Dengan intervensi dan dukungan yang tepat, banyak
pasien dengan abulia dapat mencapai peningkatan yang signifikan
dalam hal motivasi, fungsi, dan kualitas hidup.
Keadaan Bingung Akut
Keadaan bingung akut, yang juga dikenal sebagai delirium,
adalah suatu kondisi yang ditandai dengan timbulnya disfungsi
kognitif yang cepat, termasuk kebingungan, disorientasi, kesadaran
yang berubah, dan perubahan persepsi, pemikiran, dan perilaku.
Keadaan bingung akut dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
termasuk kondisi medis yang mendasari, obat-obatan, infeksi, dan
faktor lingkungan.
Mekanisme yang mendasari keadaan bingung akut tidak
dipahami dengan baik, tetapi diduga terkait dengan gangguan fungsi
otak normal, termasuk perubahan aktivitas neurotransmitter,
169
MANAJEMEN KOMA
peradangan, dan gangguan metabolisme. Diagnosis keadaan bingung
akut biasanya melibatkan riwayat medis dan pemeriksaan
menyeluruh, serta tes laboratorium dan studi pencitraan, jika
diperlukan.
Penanganan keadaan bingung akut difokuskan pada identifikasi
dan penanganan penyebab yang mendasari, serta memberikan
perawatan suportif dan penanganan gejala. Beberapa pasien mungkin
memerlukan obat untuk mengatasi gejala agitasi, kecemasan, atau
delusi, sementara pasien lainnya mungkin mendapat manfaat dari
intervensi seperti modifikasi lingkungan atau terapi stimulasi kognitif.
Prognosis untuk pasien dengan keadaan kebingungan akut
tergantung pada penyebab yang mendasari, tingkat keparahan gejala,
dan respons terhadap pengobatan. Dengan intervensi dan
manajemen yang tepat, banyak pasien dengan kondisi bingung akut
dapat mencapai peningkatan yang signifikan dalam fungsi kognitif dan
kesehatan secara keseluruhan. Namun, dalam beberapa kasus,
keadaan bingung akut dapat dikaitkan dengan hasil yang buruk,
termasuk peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Mati Otak
Mati otak adalah suatu kondisi yang ditandai dengan hilangnya
seluruh fungsi otak, termasuk batang otak, yang tidak dapat
dipulihkan lagi, yang mengakibatkan terhentinya fungsi-fungsi vital,
seperti pernapasan dan kesadaran. Mati otak biasanya disebabkan
oleh cedera otak yang parah dan tidak dapat dipulihkan, seperti akibat
trauma, stroke, atau anoksia. Diagnosis mati otak memerlukan
pemeriksaan neurologis yang menyeluruh, termasuk tes untuk
menilai refleks batang otak, serta studi pencitraan untuk memastikan
tidak adanya aliran darah atau aktivitas listrik di otak.
Setelah mati otak dikonfirmasi, pasien dianggap mati secara
hukum dan klinis, dan tidak lagi dapat mempertahankan hidup tanpa
170
MANAJEMEN KOMA
bantuan buatan, seperti ventilasi mekanis atau bantuan peredaran
darah. Penanganan mati otak difokuskan pada perawatan suportif dan
manajemen kondisi medis terkait, serta memberikan dukungan
emosional dan perawatan bagi keluarga pasien.
Diagnosis mati otak adalah proses yang kompleks yang
memerlukan evaluasi yang cermat oleh tim penyedia layanan
kesehatan yang berpengalaman, termasuk ahli saraf, ahli intensif, dan
spesialis lainnya. Penentuan mati otak juga tunduk pada
pertimbangan hukum dan etika, dan dapat bervariasi menurut
yurisdiksi dan konteks budaya. Meskipun diagnosis mati otak sering
kali sulit dan menantang secara emosional, diagnosis ini merupakan
komponen penting dalam perawatan akhir hayat dan pengambilan
keputusan.
Sindrom Locked-In
Sindrom terkunci adalah kondisi neurologis langka yang ditandai
dengan hilangnya fungsi motorik secara total, kecuali kemampuan
menggerakkan mata secara vertikal dan berkedip. Sindrom terkunci
biasanya disebabkan oleh kerusakan pada batang otak, yang
bertanggung jawab untuk mengendalikan banyak fungsi tubuh yang
tidak disengaja, seperti pernapasan, detak jantung, dan tekanan
darah, serta gerakan sukarela.
Meskipun memiliki keterbatasan fisik yang parah, banyak pasien
dengan sindrom terkunci masih memiliki fungsi kognitif penuh, dan
mampu berkomunikasi menggunakan gerakan mata atau bentuk
komunikasi berbantuan lainnya. Perawatan sindrom terkunci
difokuskan pada perawatan suportif, termasuk pengelolaan kondisi
medis yang mendasari, serta menyediakan alat bantu dan dukungan
untuk komunikasi dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
171
MANAJEMEN KOMA
Diagnosis sindrom terkunci dapat menjadi tantangan, karena
memerlukan pemeriksaan neurologis yang cermat dan studi
pencitraan untuk menyingkirkan kondisi lain yang dapat meniru
gejalanya. Prognosis jangka panjang untuk pasien dengan sindrom
terkunci bergantung pada penyebab yang mendasari dan tingkat
kerusakan neurologis, serta respons individu terhadap pengobatan
dan manajemen yang sedang berlangsung.
Sindrom terkunci adalah kondisi yang menantang yang
membutuhkan perawatan dan dukungan berkelanjutan, serta
advokasi untuk pasien dan keluarganya. Terlepas dari keterbatasan
fisik, banyak pasien dengan sindrom terkunci dapat mempertahankan
kualitas hidup yang tinggi, dengan intervensi dan dukungan yang
tepat.
172
MANAJEMEN KOMA
Referensi
1. Bates, D. (2001) The prognosis of Medical Coma, Journal of
Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. Available at:
https://jnnp.bmj.com/content/71/suppl_1/i20 (Accessed: 19
May 2023).
2. Chandrikasing, R. et al. (2021) ‘Case report: “an unexpected
origin of coma in a young adult”’, International Journal of
Emergency Medicine, 14(1). doi:10.1186/s12245-021-003905.
3. P;, H.J. (no date) Coma, National Center for Biotechnology
Information.
Available
at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28613473/ (Accessed: 19
May 2023).
4. Zakaria, Z. et al. (2020) ‘The neurological exam of a comatose
patient: An essential practical guide’, Malaysian Journal of
Medical
Sciences,
27(5),
pp.
108–123.
doi:10.21315/mjms2020.27.5.11.
173
BAB IX
SKILL STATION I
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
9.1 ANATOMI IMAGING
Anatomi pencitraan melibatkan studi anatomi manusia
melalui penggunaan berbagai modalitas pencitraan. Ketika
memeriksa tubuh manusia, tiga bidang dasar yang biasa digunakan:
bidang aksial, sagital, dan koronal. Bidang aksial, juga dikenal sebagai
bidang transversal, tegak lurus terhadap sumbu panjang tubuh dan
membaginya menjadi bagian superior dan inferior. Dalam pencitraan
aksial, seperti computed tomography (CT) atau magnetic resonance
imaging (MRI), struktur seperti organ, pembuluh darah, dan tulang
divisualisasikan dalam penampang melintang, sehingga memberikan
pandangan rinci tentang hubungan spasial dan fitur anatomis.
Di sisi lain, bidang sagital, sejajar dengan garis tengah tubuh dan
membaginya menjadi bagian kiri dan kanan. Pencitraan pada bidang
sagital, seperti MRI sagital atau ultrasound, memungkinkan evaluasi
yang komprehensif terhadap struktur seperti otak, sumsum tulang
belakang, dan ekstremitas. Bidang ini memberikan informasi penting
tentang organisasi longitudinal struktur anatomi, membantu dalam
penilaian asimetri atau patologi di sepanjang garis tengah tubuh.
Terakhir, bidang koronal, juga disebut bidang frontal, membagi
tubuh menjadi bagian anterior dan posterior. Teknik pencitraan
koronal seperti CT scan koronal atau rontgen gigi panoramik
memberikan pandangan yang tegak lurus terhadap bidang aksial dan
sagital. Perspektif ini sangat berharga untuk mengevaluasi struktur
174
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
seperti dada, perut, panggul, dan tulang wajah. Dengan
memvisualisasikan struktur anatomi pada bidang koronal, para
profesional medis dapat secara akurat menilai hubungan antara
Gambar 53 Tiga potongan axial, sagital, dan coronal
organ, tulang, dan jaringan lunak dari perspektif depan-ke-belakang.
Gambar 54 Potongan axial level basal ganglia
175
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Gambar 55 Potongan Axial level supra basal ganglia
Lingkaran Willis, juga dikenal sebagai circulus arteriosus cerebri,
adalah struktur anatomi penting yang terletak di dasar otak. Struktur
ini merupakan jaringan arteri melingkar yang menyediakan sirkulasi
kolateral ke otak, memastikan suplai darah yang konstan ke organ vital
ini. Lingkaran Willis dibentuk oleh perpaduan beberapa arteri utama,
termasuk arteri karotis interna dan arteri basilaris. Susunan yang unik
ini memungkinkan distribusi darah beroksigen ke belahan otak,
batang otak, dan struktur penting lainnya.
Lingkaran Willis bertindak sebagai mekanisme perlindungan jika
terjadi penyumbatan atau penyumbatan pembuluh darah. Dengan
menghubungkan arteri utama, ia menciptakan jalur alternatif untuk
aliran darah, sehingga memungkinkan adanya kompensasi ketika
salah satu pembuluh darah terganggu. Sirkulasi kolateral ini dapat
membantu mengurangi efek stroke atau kondisi vaskular lainnya
dengan mempertahankan suplai darah ke daerah otak yang penting.
176
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Anatomi Lingkaran Willis menunjukkan variasi alami dalam
strukturnya di antara individu. Meskipun sering digambarkan sebagai
lingkaran yang lengkap, variasi dalam ukuran dan konektivitas arteriarteri adalah hal yang umum. Variasi ini dapat memengaruhi
Gambar 56 Cirulus Willisi
efektivitas sirkulasi kolateral dan mungkin berimplikasi pada kondisi
neurologis tertentu.
9.2 FOTO POLOS
Rontgen kepala polos, juga dikenal sebagai rontgen tengkorak,
adalah teknik pencitraan radiografi yang digunakan untuk
mengevaluasi struktur tulang dan anatomi umum tengkorak.
Pemeriksaan ini melibatkan pengambilan gambar kepala dengan
menggunakan sinar-X, yang merupakan bentuk radiasi
elektromagnetik. Modalitas pencitraan ini sering digunakan sebagai
alat skrining awal untuk berbagai kondisi yang mempengaruhi kepala,
termasuk patah tulang, tumor, dan kelainan pada tulang tengkorak.
177
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Selama pemeriksaan sinar-X polos kepala, pasien diposisikan di
depan mesin sinar-X, dan sinar-X diarahkan ke daerah kepala.
Detektor khusus menangkap foton sinar-X yang melewati tengkorak,
menghasilkan gambar hitam-putih yang menyoroti struktur tulang
tengkorak, termasuk kubah tengkorak, dasar tengkorak, dan tulang
wajah.
Teknik pencitraan ini memberikan informasi yang berharga
mengenai integritas, keselarasan, dan kepadatan tulang tengkorak.
Teknik ini dapat membantu mengidentifikasi patah tulang, seperti
patah tulang tengkorak atau patah tulang wajah, sehingga membantu
dalam diagnosis dan penanganan cedera yang berhubungan dengan
trauma. Selain itu, rontgen polos kepala dapat membantu mendeteksi
kalsifikasi abnormal, penyakit sinus, benda asing, dan tumor tulang
tertentu.
Penting untuk diperhatikan bahwa meskipun rontgen polos
kepala memberikan informasi yang berharga mengenai struktur
tulang, namun memiliki keterbatasan dalam memvisualisasikan
jaringan lunak dan struktur internal otak yang mendetail. Untuk
evaluasi yang lebih komprehensif, teknik pencitraan tambahan seperti
computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI)
mungkin diperlukan.
Gambar 57 Foto polos posisi AP dan Lateral
178
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
9.3 CT-SCAN
CT-scan kepala, juga dikenal sebagai pemindaian tomografi
terkomputerisasi pada kepala, adalah teknik pencitraan diagnostik
yang memberikan gambar penampang melintang yang mendetail
pada otak dan struktur di sekitarnya. CT-scan menggunakan sinar-X
dan pemrosesan komputer untuk membuat serangkaian gambar yang
terperinci, sehingga memungkinkan tenaga kesehatan profesional
untuk menilai anatomi otak, mendeteksi kelainan, dan membantu
diagnosis berbagai kondisi neurologis.
Selama CT-scan kepala, pasien berbaring di atas meja yang
bergerak melalui lubang melingkar pada pemindai CT. Sinar X-ray
diarahkan melalui kepala dari berbagai sudut, dan detektor mengukur
sinar X-ray yang melewati jaringan. Informasi ini kemudian diproses
oleh komputer untuk menghasilkan gambar penampang melintang,
atau irisan, otak yang terperinci. Gambar-gambar ini memberikan
informasi yang berharga tentang struktur otak, pembuluh darah, dan
potensi kelainan.
CT-scan kepala biasanya digunakan dalam situasi darurat, seperti
dugaan trauma kepala atau gejala neurologis akut, karena kecepatan
dan kemampuannya untuk memberikan informasi diagnostik yang
berharga dengan cepat. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
mendiagnosis kondisi seperti perdarahan, stroke, tumor otak, infeksi,
dan patah tulang tengkorak. Selain itu, CT-scan dapat memberikan
panduan untuk perencanaan pembedahan dan memantau
perkembangan atau respons terhadap pengobatan kondisi tertentu.
Meskipun CT-scan kepala merupakan alat diagnostik yang
berharga, namun penting untuk mempertimbangkan paparan radiasi
yang terkait. Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalkan dosis
radiasi, terutama pada populasi yang sensitif seperti anak-anak dan
wanita hamil. Dalam beberapa kasus, modalitas pencitraan alternatif
179
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan,
tergantung pada indikasi klinis dan pertimbangan pasien tertentu.
Gambar 58 Beberapa lokasi perdarahan intrakranial
Gambar 59 Contoh kasus soft tissue swelling dan fraktur impresi pada CT-Scan
180
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Gambar 60 Contoh kasus subgaleal hematoma dan EDH pada CT-Scan disertai
fraktur os occipital kiri
Gambar 61 Contoh kasus SDH menggunakan CT-Scan
9.4 MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
MRI Kepala, juga dikenal sebagai pencitraan resonansi magnetik
kepala, adalah teknik pencitraan khusus yang digunakan untuk
memeriksa struktur di dalam otak dan area sekitarnya. MRI
menggunakan medan magnet yang kuat dan gelombang radio untuk
membuat gambar anatomi otak yang terperinci, sehingga
memberikan informasi diagnostik yang berharga. Selama MRI kepala,
pasien berbaring di atas meja yang secara bertahap dipindahkan ke
dalam pemindai MRI, yang merupakan mesin silinder besar. Pemindai
181
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
menghasilkan medan magnet yang menyelaraskan atom hidrogen di
dalam jaringan tubuh. Gelombang radio kemudian dipancarkan,
menyebabkan atom-atom tersebut memancarkan sinyal yang
terdeteksi oleh pemindai.
Sinyal-sinyal ini diproses oleh komputer untuk membuat gambar
penampang otak yang sangat rinci, termasuk belahan otak, batang
otak, dan otak kecil. MRI Kepala dapat mengungkapkan berbagai
kondisi seperti tumor otak, kelainan pembuluh darah, stroke, sklerosis
multipel, dan infeksi. Ini adalah modalitas pencitraan non-invasif yang
memberikan kontras jaringan lunak yang sangat baik dan sangat
berharga untuk mengevaluasi struktur internal otak tanpa
menggunakan radiasi pengion. MRI Kepala memainkan peran penting
dalam neuroimaging dan sering kali menjadi alat yang penting dalam
mendiagnosis dan memantau gangguan neurologis.
Gambar 62 Contoh gambar T1 dan T2
182
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Gambar 63 Contoh gambar T2 FLAIR (Fluid Attenuation Inversion Recovery)
9.5 TRAUMA SPINAL
Modalitas pencitraan memainkan peran penting dalam evaluasi
trauma tulang belakang, yang memberikan informasi berharga
tentang integritas tulang belakang dan struktur terkait. Beberapa
teknik pencitraan umumnya digunakan untuk menilai cedera tulang
belakang, termasuk sinar-X, computed tomography (CT), dan
magnetic resonance imaging (MRI).
Sinar-X sering kali merupakan modalitas pencitraan awal yang
digunakan untuk mengevaluasi trauma tulang belakang. Sinar-X dapat
dengan cepat menilai patah tulang, dislokasi, dan kelainan
penyelarasan tulang belakang. Sinar-X memberikan informasi yang
berharga tentang struktur tulang, seperti badan vertebra, pedikel, dan
proses spinosus. Namun, pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
dalam menilai jaringan lunak dan mungkin tidak selalu dapat
mendeteksi cedera yang tidak kentara atau kerusakan sumsum tulang
belakang.
CT scan sangat berguna dalam memberikan pencitraan yang rinci
dari struktur tulang dan dapat memvisualisasikan fraktur yang
kompleks, dislokasi tulang belakang, dan kompromi saluran tulang
belakang dengan lebih baik. CT dapat memberikan rekonstruksi tiga
183
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
dimensi dan gambar multiplanar yang membantu dalam perencanaan
pembedahan dan menilai tingkat keparahan cedera. Hal ini sangat
bermanfaat dalam mengevaluasi tulang belakang leher dan
torakolumbal untuk trauma.
MRI adalah modalitas pencitraan yang penting untuk menilai
jaringan lunak, termasuk sumsum tulang belakang, akar saraf, dan
diskus intervertebralis. MRI dapat mendeteksi cedera ligamen,
kompresi sumsum tulang belakang, dan kelainan jaringan lunak
lainnya. MRI memberikan resolusi kontras yang sangat baik dan sangat
berharga dalam mengevaluasi cedera sumsum tulang belakang,
herniasi diskus, dan edema sumsum tulang belakang. Selain itu, MRI
juga dapat membantu mengidentifikasi cedera yang terkait, seperti
memar sumsum tulang belakang atau hematoma epidural.
Gambar 64 Foto polos tulang cervical posisi lateral pasien post KLL, corpus C5, C7
tidak tampak pada foto ini, harus dicurigai adanya fraktur
184
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Gambar 65 Contoh kasus fraktur dan dislokasi pada tulang cervical pada CT Scan
Gambar 66 Contoh kasus fraktur cervical pada MRI, didapatkan ruptur lig.
Longitudinalis posterior, lig. Flavum, lig. Interspinosum, kompresi medulla spinalis
disertai edema
185
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
9.6 STROKE PERDARAHAN
Modalitas pencitraan sangat penting dalam diagnosis dan
penanganan stroke hemoragik, jenis stroke yang disebabkan oleh
perdarahan di dalam otak. Dua teknik pencitraan utama yang
digunakan untuk mengevaluasi stroke hemoragik adalah computed
tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI).
CT scan biasanya merupakan modalitas pencitraan awal pilihan
pada kasus dugaan stroke hemoragik karena kecepatan dan
ketersediaannya dalam keadaan darurat. CT scan non-kontras dapat
dengan cepat mengidentifikasi keberadaan darah di otak dan
memberikan informasi berharga mengenai lokasi, ukuran, dan luasnya
perdarahan. CT scan sangat efektif dalam mendeteksi perdarahan
akut, seperti perdarahan intraserebral (perdarahan di dalam jaringan
otak) dan perdarahan subaraknoid (perdarahan di dalam ruang yang
mengelilingi otak). Informasi ini sangat penting untuk diagnosis cepat
dan menentukan strategi pengobatan yang tepat.
MRI juga digunakan dalam evaluasi stroke hemoragik, yang
memberikan informasi lebih rinci tentang patologi yang mendasari
dan potensi komplikasi. Pemindaian MRI dapat memberikan
visualisasi yang lebih baik untuk perdarahan yang lebih kecil, serta
jaringan otak dan pembuluh darah di sekitarnya. Urutan pencitraan
berbobot difusi (DWI) sangat berguna dalam mendeteksi perubahan
iskemik akut di otak, yang dapat terjadi bersamaan dengan atau
disalahartikan sebagai stroke hemoragik. Selain itu, MRI dapat
membantu mengidentifikasi penyebab yang mendasari perdarahan,
seperti malformasi arteriovenosa (AVM) atau aneurisma.
Baik CT dan MRI memainkan peran yang saling melengkapi dalam
evaluasi stroke hemoragik. CT scan lebih disukai dalam situasi darurat
karena akuisisi yang cepat dan kemampuannya untuk
mengidentifikasi perdarahan akut secara efektif. Pemindaian MRI
menawarkan informasi yang lebih rinci tentang tingkat perdarahan,
186
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
jaringan otak di sekitarnya, dan potensi penyebab yang mendasarinya.
Pilihan modalitas pencitraan tergantung pada presentasi klinis, waktu
sejak timbulnya gejala, dan kebutuhan spesifik setiap pasien.
Gambar 67 Beberapa lokasi perdarahan intrakranial
Gambar 68 Contoh kasus ICH dan IVH
187
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Gambar 69 Contoh CTA dengan intranidal aneurysma pada bagian AVM
Gambar 70 Contoh Kasus SAH
9.7 STROKE ISKEMIK
Modalitas pencitraan memainkan peran penting dalam diagnosis
dan penatalaksanaan stroke iskemik, suatu kondisi yang ditandai
dengan penyumbatan atau berkurangnya aliran darah ke otak. Dua
teknik pencitraan utama yang digunakan untuk mengevaluasi stroke
iskemik adalah computed tomography (CT) dan magnetic resonance
imaging (MRI).
CT scan sering menjadi modalitas pencitraan awal yang
digunakan pada kasus-kasus yang dicurigai sebagai stroke iskemik
188
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
karena ketersediaannya yang luas dan waktu akuisisi yang cepat. CT
scan non-kontras dapat membantu mengidentifikasi tanda-tanda
awal iskemia dengan mengungkapkan perubahan kepadatan otak dan
mendeteksi adanya perdarahan, yang dapat meniru atau
berdampingan dengan stroke iskemik. CT angiografi (CTA) dapat
memberikan informasi mengenai pembuluh darah dan potensi
penyumbatan, sehingga membantu menentukan penyebab stroke.
MRI juga biasa digunakan dalam evaluasi stroke iskemik,
terutama pada kasus-kasus di mana CT scan tidak meyakinkan atau
untuk menilai luas dan lokasi infark. Pencitraan berbobot difusi (DWI)
sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan awal pada jaringan otak
yang terkena iskemia, sehingga memungkinkan identifikasi infark
akut. Selain itu, MRI dapat memberikan pencitraan anatomi otak yang
terperinci, serta urutan tambahan seperti Magnetic Resonance
Angiography (MRA) untuk memvisualisasikan pembuluh darah dan
mengidentifikasi sumber potensial emboli.
Baik CT Scan maupun MRI adalah alat yang berharga dalam
mendiagnosis dan menangani stroke iskemik, dengan masing-masing
modalitas menawarkan keunggulan yang unik. CT scan seringkali lebih
cepat dan lebih mudah didapat, sehingga cocok untuk penilaian cepat
dalam keadaan darurat. Di sisi lain, MRI memberikan visualisasi
jaringan otak yang lebih baik dan dapat memberikan informasi
berharga tentang luasnya infark, serta membantu mengidentifikasi
penyebab yang mendasari.
189
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Gambar 71 Jendela waktu untuk tindakan pada Stroke Iskemik Akut
9.8 ASPECTS SCORE
Skor ASPECTS (Alberta Stroke Program Early CT Score) adalah
sistem penilaian standar yang digunakan untuk mengevaluasi
perubahan awal pada pemindaian CT non-kontras pada pasien stroke
iskemik. Sistem ini secara khusus dirancang untuk menilai tingkat
perubahan iskemik awal di wilayah arteri serebral tengah (MCA). Skor
ASPECTS dibagi menjadi sepuluh wilayah di dalam wilayah MCA,
dengan masing-masing wilayah diberi skor mulai dari 0 hingga 10
berdasarkan ada tidaknya perubahan iskemik. Skor 10 menunjukkan
tidak ada perubahan iskemik, sedangkan skor 0 menunjukkan
keterlibatan yang luas dan kerusakan iskemik yang signifikan.
Tujuan dari skor ASPECTS adalah untuk menyediakan metode
yang sederhana dan dapat direproduksi untuk menilai tingkat
perubahan iskemik pada pasien stroke iskemik, khususnya di wilayah
MCA. Hal ini membantu dalam menentukan kelayakan untuk
intervensi pengobatan tertentu, seperti trombolisis intravena dan
pengambilan gumpalan endovaskular, dan membantu dalam
memprediksi hasil akhir pasien. Skor ASPECTS yang lebih tinggi
190
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
menunjukkan tingkat perubahan iskemik awal yang lebih kecil dan
dikaitkan dengan hasil yang lebih baik dan peningkatan kelayakan
pengobatan.
Skor ASPECTS ditentukan dengan mengevaluasi daerah tertentu
di otak pada pemindaian CT non-kontras, termasuk korteks,
subkorteks, dan ganglia basal. Adanya kelainan seperti hilangnya
diferensiasi materi abu-abu-putih, pembengkakan kortikal, dan efusi
sulcal di wilayah ini dinilai untuk memberikan skor yang sesuai. Skor
untuk setiap wilayah dijumlahkan untuk mendapatkan skor total
ASPECTS.
Skor ASPECTS memberikan informasi berharga untuk memandu
keputusan pengobatan dan prognosis pada pasien stroke iskemik. Hal
ini membantu dokter menilai tingkat keparahan dan luasnya
perubahan iskemik, sehingga memungkinkan strategi manajemen
yang lebih tepat. Namun, penting untuk dicatat bahwa skor ASPECTS
hanyalah salah satu komponen dari evaluasi klinis secara keseluruhan,
dan keputusan pengobatan harus mempertimbangkan faktor-faktor
lain seperti waktu sejak timbulnya gejala, presentasi klinis, dan
karakteristik pasien secara individual.
191
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Gambar 73 Skor ASPECTS sirkulasi posterior
Gambar 72 Skor ASPECTS sirkulasi anterior
192
RAPID ANALYSIS NEUROIMAGING FOR EMERGENCY
Referensi
1. GED 2016 Traumatic Brain Injury and Spinal Cord Injury
Collaborators. Global, rogional, and national burden of
traumatic brain injury and spinal cord injury, 1990-2016: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Stury
2015. Lancet Neuro 2019; 18(1): 56-87.
2. Stephanie Ryan, Michelle McNicholas, Stephen Eustace.
2010. Anatomy for Diagnostic Imaging 3rd Edition
3. Yuyun Yueniwati. 2016. Pencitraan pada Stroke. UB Press
193
BAB X
SKILL STATION II
HOW TO REFER NEUROTRAUMA PATIENT
10.1 PENDAHULUAN
Kasus neurotrauma merupakan salah satu kasus trauma
terbanyak yang membutuhkan tindakan rujukan yang terjadi di
Indonesia. Sebelum melakukan rujukan ke fasilitas yang lebih tinggi,
pertolongan pertama pada kegawatan neurotrauma di fasilitas
kesehatan primer sangatlah penting untuk keselamatan pasien.
Tindakan pertama dan persiapan untuk melakukan transfer rujukan
kasus neurotrauma dari fasilitas kesehatan primer ke fasilitas
kesehatan lanjutan merupakan salah satu poin penting yang dipelajari
di skill station ini, dan bertujuan untuk mencegah dan mengurangi
perburukan kondisi yang terjadi pada trauma primer.
10.2 PERSIAPAN TIM DALAM TRANSPORTASI PASIEN
Pada kasus neurotrauma pada fasilitas kesehatan primer
diperlukan beberapa anggota atau personel kesehatan yang harus
ada. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
• Personel langsung ke TKP:
o Medis
o Paramedis
o Transporter
o Operator kendaraan
• Prehospital:
o Dokter
o Perawat
194
HOW TO REFER NEUROTRAUMA PATIENT
o Relawan Terlatih
o Sopir ambulance
• Antar rumah sakit:
o Dokter
o Perawat/perawat critical care
o Sopir ambulance/air ambulance
• Intrahospital:
o Dokter
o Perawat
o Pekarya
Pemilihan personil tergantung pada level of care dari pasien dan
kondisi di lapangan.
10.3 TINDAKAN YANG DILAKUKAN
Tindakan yang bisa dilakukan terhadap pasien akan terbagi dalam
dua tahap, yaitu pada saat di TKP dan juga faskes terdekat, setelah
melakukan dua tindakan ini maka selanjutnya akan dipersiapkan
untuk rujukan ke faskes lanjutan. Beberapa tindakan yang bisa
dilakukan adalah:
• TKP
o Pelepasan helm
o Pemasangan collar neck
o Pemasangan scope stretcher
o Cara mengangkat pasien
o Manajemen basic airway
o Manajemen oksigenasi
o Penilaian AVPU
• Faskes Terdekat
o Manajemen advance airway
o Manajemen breathing
o Penilaian GCS
195
HOW TO REFER NEUROTRAUMA PATIENT
o
o
o
o
o
Penilaian lateralisasi
Log roll
Penanganan vulnus
Sisrute
Posisi pasien selama transfer
10.4 PEMERIKSAAN KESADARAN
•
•
•
•
A : Awake (sadar penuh)
V : Respond to Verbal command (ada reaksi terhadap
perintah)
P : Respond to Pain (ada reaksi terhadap nyeri)
U : Unresponsive (tak ada reaksi)
10.5 TINDAKAN SAAT DI FASKES TERDEKAT
Ketika pasien sudah tiba di faskes terdekat, lakukan tindakan
triage dan tentukan pasien merupakan pasien gawat atau tidak gawat.
Pada kondisi pasien tidak gawat maka bisa langsung dilakukan
pemeriksaan Anamnesa, Inspeksi, Perkusi, Palpasi, Auskultasi. Tetapi,
pada pasien yang gawat dan seringnya kasus neurotrauma adalah
pasien gawat, maka bisa dilakukan tindakan call for help dan ABCDE
• A: Airway (C-Spine control)
• B: Breathing (Tension pneumothorax)
• C: Circulation (Bleeding control)
• D: Disability (ICP control)
• E: Exposure (Temperature control)
Apabila kondisi pasien terjadi perburukan dan sampai mengalami
kondisi cardiac arrest maka lakukan tindakan call for help, dan lakukan
pijat jantung serta berikan nafas buatan.
196
HOW TO REFER NEUROTRAUMA PATIENT
10.6 PEMERIKSAAN FISIK LANJUTAN
Pada kondisi pasien yang sudah dilakukan beberapa tindakan
diatas dan sudah dikatakan stabil, maka lakukan beberapa
pemeriksaan ini untuk membantu menentukan diagnosis atau
prognosis dari pasien.
Tabel 8. Glasgow Coma Score
Nilai
Eye
Verbal
6
Melakukan perintah
5
4
Buka mata
spontan
3
buka mata
dengan perintah
(pasien terlihat
mengatuk)
Buka mata
dengan rangsang
sakit
2
1
Motorik
Tidak buka mata
Kesadaran penuh
(komunikasi baik)
Dapat menyusun
kalimat tetapi tidak
bermakna.
Keluar kata.
Melokalisir nyeri
Menghindari nyeri
Dekortikasi (Fleksi
abnormal
ekstremitas)
Dapat bersuara
Deserebrasi
(Ekstensi abnormal
ekstremitas)
Tidak ada suara.
Tidak ada gerakan
197
HOW TO REFER NEUROTRAUMA PATIENT
Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Score)
Pemeriksaan Refleks Cahaya
Gambar 74 Pemeriksaan refleks cahaya
Penanganan Luka
Lakukan penanganan luka apabila ada pada pasien, dengan
mempertimbangkan bentuk luka, dasar luka, luas luka, dan lain-lain.
Gambar 75 Contoh luka pada kepala
198
HOW TO REFER NEUROTRAUMA PATIENT
Pemberian Mannitol
Pemberian cairan mannitol dapat diberikan pada pasien dengan
dosis 0.25 – 1 gr/kgBB dengan cara pemberiannya adalah infus cepat
selama 10 menit lalu diulang tiap 6 jam.
Referensi
1. American College of Surgeons (2018) Advanced Trauma Life
Support. Chicago: American College of Surgeons.
2. Brennan P.M. et al. (2018). Simplifying the use of prognostic
information in traumatic brain injury. Part 1: The GCS-Pupils
score: an extended index of clinical severity. Journal of
Neurosurgery, 128:1612-1620.
3. Cottrell, J.E., Patel, P.M. and Warner, D.S. (no date) Cottrell and
Patel’s Neuroanesthesia . Edinburgh ; London ; New York ;
Oxford ; Philadelphia ; St Louis ; Sydney ; Toronto: Elsevier.
199
BAB XI
BAB XI
SKILL STATION III
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
11.1 PENDAHULUAN
Stroke merupakan kasus yang dapat ditemui dalam praktek
terutama pada layanan fasilitas kesehatan tingkat 1. Kasus Stroke
berpotensi mengancam jiwa jika tidak mendapatkan penanganan
dengan baik, tepat, cepat, dan adekuat. Gejala awal dan penanganan
awal pada pasien stroke sangat berperan penting. Modul ini
mengajarkan bagaimana mengenali gejala awal stroke, tindakan yang
menentukan diagnosis, tugas awal sebagai dokter umum, peran
dokter spesialis saraf, pemilihan pemeriksaan penunjang, dan
tatalaksana awal yang dapat dilakukan, baik sebagai terapi definitif
maupun sebagai persiapan rujukan ke fasilitas yang lebih lengkap.
Modul ini dilengkapi dengan ilustrasi gambar dan ilustrasi kasus yang
akan mempermudah pemahaman peserta. Dengan adanya modul ini,
diharapkan peserta dapat mengenali dan memahami code stroke
terutama pada fasilitas kesehatan tingkat 1 sebagai garda terdepan.
11.2 CARA MENENTUKAN GEJALA PASIEN STROKE DI LAYANAN
PRIMER
Stroke adalah keadaan darurat medis yang terjadi ketika aliran
darah ke otak terputus atau berkurang, sehingga sel-sel otak
kekurangan oksigen dan nutrisi. Istilah "BE-FAST" adalah akronim yang
digunakan untuk membantu orang mengenali tanda-tanda stroke dan
bertindak cepat untuk mendapatkan perhatian medis. Inilah arti dari
setiap huruf:
• B: Balance - Kehilangan keseimbangan atau koordinasi secara
tiba-tiba
200
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
•
•
•
•
•
E: Eyes - Kehilangan penglihatan secara tiba-tiba atau
penglihatan ganda
F: Face - Tiba-tiba terkulai atau mati rasa di satu sisi wajah
A: Arms - Kelemahan atau mati rasa secara tiba-tiba pada satu
lengan atau tungkai
S: Speech - Tiba-tiba kesulitan berbicara atau bicara tidak jelas
T: Time - Waktu sangat penting dalam mengobati stroke. Jika
Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami gejala-gejala
ini, segera hubungi layanan darurat.
Perbedaan utama antara BE-FAST dan FAST adalah bahwa BEFAST mencakup gejala tambahan berupa hilangnya keseimbangan
atau koordinasi secara tiba-tiba (B). FAST adalah akronim lain yang
digunakan untuk membantu orang mengenali tanda-tanda stroke dan
bertindak cepat untuk mendapatkan perhatian medis
Kedua akronim ini dirancang untuk membantu orang mengenali
tanda-tanda stroke dan bertindak cepat untuk mendapatkan bantuan
medis. Penting untuk dicatat bahwa tidak semua stroke muncul
dengan gejala-gejala ini, dan beberapa stroke mungkin memiliki gejala
yang berbeda, tergantung pada bagian otak mana yang terpengaruh.
Namun, mengenali tanda-tanda ini dan bertindak cepat dapat
membantu meningkatkan kemungkinan hasil yang baik bagi
seseorang yang mengalami stroke.
Untuk menentukan gejala stroke dengan menggunakan BE-FAST
di layanan primer, tenaga kesehatan profesional dapat mengikuti
langkah-langkah berikut:
• Tanyakan kepada pasien apakah mereka mengalami kehilangan
keseimbangan atau koordinasi secara tiba-tiba (B).
• Periksa apakah pasien mengalami kehilangan penglihatan
mendadak atau penglihatan ganda (E).
201
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
• Perhatikan apakah pasien terkulai atau mati rasa secara tibatiba di satu sisi wajah (F).
• Periksa apakah ada kelemahan atau mati rasa mendadak pada
satu lengan atau tungkai (A).
• Tanyakan kepada pasien apakah mereka mengalami kesulitan
berbicara atau bicara cadel secara tiba-tiba (S).
• Jika ada gejala-gejala tersebut, segera hubungi layanan gawat
darurat (T).
Penting untuk dicatat bahwa tidak semua stroke muncul dengan
gejala-gejala tersebut, dan beberapa stroke mungkin memiliki gejala
yang berbeda, tergantung pada bagian otak mana yang terpengaruh.
Namun, mengenali tanda-tanda ini dan bertindak cepat dapat
membantu meningkatkan kemungkinan hasil yang baik bagi
seseorang yang mengalami stroke.
202
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
Gambar 76 BEFAST Stroke
Gejala stroke yang harus dikenali dengan cepat dengan slogan
SeGeRa Ke RS
1. Senyum tidak simetris (moncong ke satu sisi), tersedak, sulit
menelan air minum secara tiba - tiba
2. Gerak separuh anggota tubuh melemah tiba-tiba
3. BicaRA pelo / tiba-tiba tidak dapat bicara / tidak mengeri katakata / bicara tidak nyambung
4. Kebas atau baal atau kesemutan separuh tubuh
203
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
5.
Rabun pandangan satu mata/satu sisi lapang pandang mata
kabur terjadi tiba-tiba
6. Sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba dan tidak pernah
dirasakan sebelumnya. Gangguan fungsi keseimbangan seperti
teras.
Tindakan yang menentukan diagnosis pada pasien Stroke :
• Tegakkan diagnosis klinis
• Cek GDA, tanda vital
• FAST/BEFAST
• Paseng IV line
• Anamnessa berfokus pada onset stroke
• Cek NIHSS
• CT SCAN
• Harus selesai dalam 20 menit
Tugas sebagai dokter umum saat menerima pasien Stroke :
• Diagnosis klinis stroke (BE FAST)
• Menilai NIHSS (optional)
• Cek kriteria inklusi dan eksklusi trombolisis intravena
• Siapkan pemeriksaan lab (gula darah, lab lain2 sesuai indikasi)
• Siapkan pemeriksaan Radiologi (CT scan / MRI)
• Siapkan obat (alteplase, IV hypertensi, insulin)
Peran dokter Spesialis Saraf/Neurologi:
• Sebagai DPJP utama
• Evaluasi ulang dengan cepat, klinis, lab, radiologis
• Menentukan pemberian trombolisis
• Menentukan tata laksana jika tidak bisa trombolisis IV
• Menentukan tata laksana jika timbul komplikasi
• Menentukan tata laksana secara umum lainnya
204
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
Kegunaan pemeriksaan CT Scan pada kasus Strok:
• CT Scan harus dilakukan pada pasien ini
• Tujuan untuk menyigkirkan adanya ICH
• Kebanyakan CT Scan hasilnya normal
• CT Angiografi dapat untuk melihat tempat penyumbatan
pmbuluh darah
205
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
Gambar 77 Contoh Hasil CT Scan
A. Loss of insular Ribbon
B. Loss of grey-white differentiation
C. MCA dense Sign
D. Sulcal effacement over right hemisphere
206
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
11.3 ALGORITMA PENANGANAN STROKE
Keterangan:
1. Pasien datang dengan dugaan stroke
2. Pasang 2 infus dengan lubang besar (minimal 20 G). Periksa
glukosa dengan fingerstick di samping tempat tidur. Kirim
Laboratorium: CBC, Panel Metabolik Dasar, Panel Koagulasi, type
and hold, dan Troponin
3. Riwayat: waktu onset, waktu terakhir kali terlihat pada
pemeriksaan awal, prosedur pembedahan baru-baru ini, riwayat
kesehatan sebelumnya, obat-obatan, alergi. dapatkan riwayat
paralel
4. Pemeriksaan: tanda-tanda vital, berat badan, NIHSS
5. CT kepala tidak kontras. CT angiografi dan perfusi. kreatinin serum
diperlukan pada pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal yang
diketahui
207
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
6. Perdarahan intraserebral
o Ya: pengobatan stroke hemoragik
o Tidak: Kandidat pengobatan stroke iskemik akut
11.4 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI PADA STROKE TROMBOLISIS
Pasien diabetes millitus dan usia > 80 tahun, time window untuk r-TPA
adalah 3 jam
Inklusi:
• Usia > 18 tahun
• Diagnosis klinis stroke dengan deficit neurologis yang jelas
• Awitan dapat ditentukan secara jelas (< 3 jam, AHA Guideline
2007 atau < 4,5 jam, ESO 2009)
• Tidak ada bukti perdarahan intrakranial dari CT Scan
• Pasien atau keluarga mengerti dan menerina keuntungan serta
risiko yang mungkin timbul dan harus ada persetujuan tertulis
dari penderita atau keluarga untuk dilakukan terapi r-TPA
Eksklusi:
•
Usia > 80 tahun
•
Deficit neurologis yang ringan dan cepat membaik atau
perburukan deficit neurologis yang berat
•
Gambaran perdarahan intrakranial pada CT Scan
•
Riwayat Trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir
•
Infark multilobar (gambaran hipodens > 1/3 hemisfer serebri)
•
Kejang pada saat onset stroke
•
Kejang dengan gejala sisa kelaianan neurologis post ictal
•
Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada pemeriksaan
fisik
•
Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2 minggu
sebelumnya
208
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
•
Riwayat perdarahan p dstinal atau traktur urinarius dalam 3
minggu sebelumnya
11.5 PILIHAN TINDAKAN UNTUK ACUTE ISCHEMIC STROKE
Keterangan:
1. Stroke Iskemik Akut onset kurang dari 3 jam
2. Kandidat IV r-TPA
a) Kriteria Eksklusi Absolut:
i. Operasi besar baru-baru ini
ii. Tusukan arteri di tempat yang tidak dapat dimampatkan
iii. Perdarahan sistemik baru-baru ini
iv. Riwayat ICH sebelumnya
v. Koagulopati
vi. Pertimbangkan pengobatan IA
b) Kriteria Eksklusi Relatif:
i. Rapidly improving
ii. Minor symptoms
iii. Seizure at onset
209
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
iv. Hyper/hypoglycemia
v. Pertimbangkan pengobatan IV r-tPA
c) Kriteria non Eksklusi:
i.
Berikan iv r-tpa
ii.
Oklusi arteri serebral mayor?
iii.
Pertimbangkan pengobatan IA
11.6 ALGORITMA UNTUK COMPLETE MCAO
11.7 STROKE MIMIC
Banyak penyakit yang menyerupai stroke atau disebut dengan
Stroke Mimic, yaitu:
• Migrain dengan aura
• Kejang ictal atau post ictal (Todd’s paralysis)
• Simtom psikogenik
• Presinkop atau sinkop
210
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
•
•
•
•
•
•
•
Delirium akut
Neoplasma serebri primer atau sekunder
Infeksi otak / abses
Ensefalopati metabolic/toksik
Vestibulopati perifer
Penyakit demielianisasi
Amnesia global transien
211
CODE STROKE FOR PRIMARY CARE
Referensi
1. Popkirov, S., Stone, J. and Buchan, A.M. (2020) ‘Functional
neurological disorder’, Stroke, 51(5), pp. 1629–1635.
doi:10.1161/strokeaha.120.029076.
2. Hollist, M. et al. (2021) ‘Acute stroke management: Overview and
recent updates’, Aging and disease, 12(4), p. 1000.
doi:10.14336/ad.2021.0311.
3. Caso, V. et al. (2007) Determinants of outcome in patients eligible
for thrombolysis for ischemic stroke, Vascular health and risk
management.
Available
at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2291319/
212
BAB XII
BAB XII
SKILL STATION IV
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND
NEUROSURGICAL EMERGENCY
12.1 PENDAHULUAN
Luka terbuka di kepala merupakan kasus yang sering ditemui
dalam praktek sehari-hari dan berpotensi mengancam jiwa jika tidak
mendapatkan penanganan dengan baik dan adekuat. Penanganan
luka terbuka di kepala sangat bervariasi, mulai dari kasus laserasi
sederhana hingga luka tembus yang mencederai jaringan otak dan
struktur pembuluh darah yang ada di bawahnya. Modul ini
mengajarkan anatomi SCALP, struktur penting yang harus diwaspadai
dan tatalaksana awal yang dapat dilakukan di ruang gawat darurat,
baik sebagai terapi definitif maupun sebagai persiapan rujukan ke
fasilitas yang lebih lengkap. Modul ini dilengkapi dengan ilustrasi
gambar, video dan ilustrasi kasus yang akan mempermudah
pemahaman peserta. Dengan adanya modul ini, diharapkan peserta
dapat mengenali dan memahami tatalaksana luka terbuka di kepala
terutama pada setting primary care sebagai garda terdepan.
12.2 ANATOMI SCALP DAN STRUKTUR PENTING DIBAWAHNYA
Kulit kepala manusia atau yang biasa disebut dengan SCALP,
secara anatomis dapat dibagi menjadi 5 lapisan sebagai berikut:
• Skin: Lapisan kulit merupakan lapisan terluar dari kulit kepala
sehingga mengandung folikel rambut dan kelenjar minyak
selayaknya kulit di bagian tubuh lain.
• Connective tissue: Lapisan yang kerap disebut sebagai
superficial fascia ini adalah lapisan yang menghubungkan
213
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
kulit dengan aponeurosis dibawahnya serta tempat
berjalannya saraf dan pembuluh darah.
• Epicranial aponeurosis: Lapisan dengan struktur tendinous
tipis sebagai lokasi insertio dari otot occipitofrontalis. Secara
anterior lapisan ini menyatu menjadi otot frontalis dan secara
lateral menyatu menjadi fascia temporalis. Perlekatan dari
lapisan ini akan memanjang dari superior nuchal line hingga
superior temporal line.
• Loose areolar tissue: Lapisan ini menghubungkan aponeurosis
dengan pericranium sekaligus memungkinkan pergerakan
dari ketiga lapisan diatasnya untuk bergerak diatas
pericranium. Flap kulit kepala akan diangkat pada lapisan ini
saat prosdeur pembedahan. Walaupun relatif avaskular
namun terdapat vena emisaria yang melewati lapisan ini dan
menjadi penghubung antara vena kulit kepala dengan vena
diploid dan sistem sinus vena intrakranial.
• Pericranium: Lapisan ini merupakan periosteum dari tulangtulang calvaria dan menyatu dengan endosteum di sepanjang
garis sutura.
Setelah pericranium maka terdapat tulang-tulang calvaria di
bawahnya yang terdiri dari 3 bagian, yaitu tabula eksterna, diploe dan
tabula interna. Meningens atau selaput pembungkus otak akan
dijumpai setelah membuka calvaria. Otak memiliki lapisan
pembungkus yang dikenal sebagai meningens dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu duramater, arachnoid mater dan piamater yang melekat
mengikuti kontur dari jaringan otak.
214
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
12.3 JENIS LUKA PADA KEPALA
Luka pada kepala dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa
hal, antara lain tampilan luka, tingkat kontaminasi maupun kedalaman
dan luas luka tersebut. Luka di kepala dapat memberikan tampilan
berupa luka insisi, laserasi, abrasi, avulsi dan punctum yang
diilustrasikan pada gambar di bawah (Gambar 51).
Gambar 78 Macam-macam jenis luka di kepala
Berdasarkan tingkat kontaminasi:
• Clean wounds (luka bersih)
• Clean-contamined wounds
• Contamined wounds (luka terkontaminasi)
• Dirty or infected wounds (luka kotor atau infeksi)
Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka:
• Stadium I: Luka superfisial (non-blanching erythema)
215
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
•
•
•
Stadium II: Luka ’Partial Thickness’
Stadium III: Luka ’Full Thickness’
Stadium IV: Luka ’Full Thickness’
Pembagian luka lebih lanjut dapat berdasarkan morfologinya,
dimana luka dibagi menjadi skull fracture dan lesi intracranial. Pasien
dengan skull fracture dibagi lebih lanjut menjadi fraktur pada skull
superior (vault) dan inferior (basis). Sementara itu pasien dengan luka
disertai lesi intracranial dibagi kembali menjadi lesi fokal dan diffuse
(Gambar 52).
Gambar 79 Jenis luka berdasarkan morfologi
Pada tubuh manusia dewasa populasi normal, jika cardiac output
(CO) sebanyak 5000 cc/menit dan estimasi cerebral blood flow (CBF)
adalah 15% dari CO maka aliran darah ke otak dari 2 arteri carotis
interna sekiar 750 cc/menit. Jumlah ini sama banyaknya dengan laju
aliran darah ke kulit kepala. Sehingga jika terjadi robekan pada kulit
kepala 1 sisi dapat diperkirakan laju perdarahan yang terjadi sebanyak
375 cc/menit. Salah satu hal sederhana yang dapat dilakukan langsung
216
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
pada pasien adalah dengan bebat tekan dan kompres dingin untuk
mencegah perbesaran hematoma. Selain bermacam-macam jenis
fraktur cranii, terkadang dapat terjadi cedera kepala penetrasi dan
gunshot wound (GSW). Jika menemui pasien dengan luka penetrasi,
jangan mencabut/menarik benda yang menancap di kepala karena
benda tersebut dapat berperan sebagai tampon pada pasien. Tetap
ikuti kaidah primary survey dan persiapan rujuk jika di tempat kerja
tidak ada sumber daya dan fasilitas bedah saraf.
12.4 PRINSIP PENANGANAN LUKA
Pada saat melakukan penanganan luka, pemeriksa perlu
mengawali dengan mencuci tepi luka menggunakan saflon atau air
sabun. Hal ini dilakukan untuk membersihkan lemak dan kotoran yang
ada pada luka tersebut. Setelah memastikan luka bersih, keringkan
luka dan beri anti tetanus pada pasien. Selanjutnya berikan antibiotik
profilaksis dan lakukan disinfeksi secara luas menggunakan betadine
supaya area luka berada dalam kondisi se-aseptik mungkin. Berikan
anestesi lokal dan cuci luka dengan cairan steril seperti NaCl 0.9%.
Cairan fisiologis steril sekaligus berperan sebagai langkah debridement
untuk mengurangi bacterial load pada bed luka. Tutup luka dengan
melakukan penjahitan luka dengan cara yang baik dan benar.
12.5 JENIS DAN TEKNIK PENJAHITAN LUKA
Sebelum memulai penjahitan luka, pemeriksa perlu melihat
seberapa dalam luka yang ada pada pasien. Luka superfisial (tidak
mencapai lapisan aponeurosis) dapat dilakukan penjahitan secara
langsung dengan teknik simple maupun mattress suture secara
langsung. Namun pada luka yang lebih dalam (telah mencapai hingga
melewati lapisan aponeurosis) cenderung lebih menganga sehingga
penjahitan perlu dilakukan dalam 2 langkah. Jahitan pertama setinggi
lapisan aponeurosis dengan teknik continuous menggunakan benang
217
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
absorbable. Setelah itu lakukan penutupan dengan jahitan interrupted
atau continuous interlocking menggunakan benang non-absorbable.
Teknik penjahitan luka
Pemilihan teknik penjahitan yang sesuai dapat meningkatkan
efisiensi dan keterampilan operator dalam proses penjahitan luka.
Berikut beberapa teknik penjahitan dasar yang dapat dilakukan,
antara lain:
Teknik Simple Running
•
•
Interrupted
Pada teknik penjahitan ini, pertemuan kedua tepi luka sebaiknya
membentuk eversi. Hal tersebut dapat dicapai dengan cara
memasukkan jarum ke dalam kulit dengan sudut 90 derajat dan
ujung jarum harus keluar di sisi lainnya dalam sudut yang sama.
Kedalaman jahitan sebaiknya lebih panjang daripada lebarnya.
Dengan mengikuti kaidah ini, jahitan akan membentuk eversi
sehingga dapat terhindar dari resiko infeksi dan penyembuhan
luka lebih optimal.
Continuous
Teknik penjahitan ini dapat menjadi opsi yang baik untuk luka
linear, dengan keuntungan mampu mengurangi edema yang
berlangsung dalam masa penyembuhan, namun apabila terjadi
kerusakan pada salah satu bagian jahitan maka seluruh jahitan
akan rusak dan perlu diperbaiki secara keseluruhan. Teknik
continuous dapat menggunakan pola dengan arah jarum 45 atau
90 derajat ke tepi luka sesuai preferensi operator.
218
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
Teknik Mattress
• Vertical
Teknis matras vertikal dapat digunakan pada area kulit yang
kendur dimana tepi luka cenderung terlipat ke dalam luka. Teknik
ini menggabungkan penjahitan dalam dan luar sekaligus sehingga
dapat menjadi pilihan yang baik untuk penutupan luka dengan
kualitas jaringan yang lemah.
• Horizontal
Teknik matras horizontal dapat dilakukan lebih cepat daripada
teknik matras vertikal dan berguna pada area luka dengan tensi
tinggi seperti sendi, fascia maupun kulit tebal. Teknik ini dapat
menjadi pilihan terutama pada kondisi luka dengan tepi yang
rapuh setelah operasi ulangan.
Ketelitian dan konsistensi dalam melakukan teknik penjahitan
sangat diperlukan untuk mencapai perkiraan jaringan yang ideal.
Penjahitan sederhana yang dilakukan dengan benar akan memberi
tensi yang ideal pada tiap jahitan untuk menghindari jarak antar
jahitan yang tidak sesuai maupun tensi yang berlebihan. Perkiraan
yang salah juga dapat menyebabkan inversi hingga tumpang tindih
pada kulit. Hal tersebut perlu dihindari karena akan memengaruhi
proses penyembuhan luka yang berujung pada infeksi dan komplikasi
lainnya.
Jenis jahitan
Jenis material jahitan secara umum dapat dikelompokkan
menjadi tipe monofilament dan multifilament, maupun
absorbable dan nonabsorbable. Keuntungan benang
monofilament antara lain memberikan trauma pada jaringan
219
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
lebih minimal sehingga kemungkinan kontak dengan
pathogen lebih sedikit dan menurunkan kapilaritas. Akan
tetapi benang monofilament cenderung lebih sulit dalam
melakukan pengikatan simpul. Sebaliknya, benang
multifilament memiliki kekuatan tarikan yang lebih tinggi
sehingga pengikatan simpul dapat dilakukan dengan lebih
mudah dan kuat, namun kapilaritas yang tinggi menyebabkan
resiko infeksi meningkat.
Gambar 80 Jenis jahitan
Berdasarkan tipe serapan, material jahitan dibedakan menjadi
absorbable dan nonabsorbable. Benang absorbable dapat dibagi
menjadi tipe biologis dan sintetis. Tipe biologis antara lain chromic gut
dan plain gut, sedangkan tipe sintetis seperti Vicryl Rapide
(polyglactin), Monocryl (polyglecaprone), coated Vicryl (polyglactin)
dan PDS II (polydioxanone). Benang nonabsorbable juga dapat dibagi
lebih jauh menjadi tipe biologis dan sintetis. Tipe biologis
220
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
nonabsorbable adalah Perma-hand (silk), sedangkan tipe sintetis
seperti Mersilene (polyethylene terephthalate), Ethibond
(polyesther),
Prolene
(polypropylene),
Pronova
(hexafluoropropylene), Ethilon (polyamide), Nurolon (polyamide) dan
stainless steel.
Ukuran jahitan
Gambar 81 Ukuran jahitan
Ukuran jahitan menggunakan pengukuran standar berdasarkan
nomenklatur dari USP, berkisar dari 1 hingga 6 yang didasarkan
dengan ukuran senar alat musik atau raket tenis. Seiring kemajuan
teknologi, ukuran jahitan dapat diproduksi menjadi lebih kecil secara
221
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
signifikan. Angka 0 ditambahkan ke akhir nomenklatur USP untuk
menunjukkan ukuran yang lebih kecil (Gambar 2).
Jarum jahitan
Gambar 82 Bagian jarum jahitan
Jarum jahit memiliki beberapa parameter mekanis untuk
dipertimbangkan oleh ahli bedah (Gambar 1). Titik jarum, badan, dan
swage adalah penanda penting dari jarum. Swage adalah ujung jarum
yang terhubung dengan jahitan. Panjang chord didefinisikan sebagai
jarak langsung dari titik jarum ke swage. Pengukuran ini jangan
dikacaukan dengan panjang, yaitu jarak sepanjang kelengkungan
jarum dari ayunan ke titik.
Tingkat kelengkungan jarum didefinisikan sebagai fraksi
lingkaran yang diukur jarum (misalnya, 1/4 lingkaran atau 5/8
lingkaran). Jari-jari diukur sebagai jari-jari lingkaran yang menentukan
tingkat kelengkungan.
222
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
Needle point types
Needle shapes
Gambar 83 Macam bentuk jarum jahit dan ujung/point
Ahli bedah perlu mengetahui berbagai macam dan ukuran jarum
jahitan yang tersedia agar pemilihan jarum yang digunakan sesuai
untuk penutupan luka sehingga efisiensi kerja dapat meningkat.
Bentuk jarum yang tersedia adalah sebagai berikut:
• Lurus
• 1/4 lingkaran
• 3/8 lingkaran
• 1/2 lingkaran: Subtipe (dari ukuran besar ke lebih kecil): CT,
CT-1, CT-2, CT-3
223
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
•
•
•
•
5/8 lingkaran
Kurva compound
Ski (setengah lengkung)
Kano (setengah lengkung di kedua ujung segmen lurus)
Jarum jahit memiliki berbagai jenis ujung agar dapat
mencengkeram jaringan sekitar dengan baik yang secara umum dapat
dibedakan menjadi tapered, cutting dan blunt. Jarum tapered dibagi
menjadi taper point dan taper cutting. Jarum taper point adalah opsi
yang baik untuk jaringan lunak karena jarum tipe ini tidak memotong
secara langsung, akan tetapi memungkinkan dilatasi jaringan.
Sementara itu jarum taper cutting memungkinkan penetrasi jarum
melalui jaringan padat dengan perlukaan jaringan lunak sekitar
minimal. Jarum cutting dibagi menjadi cutting konvensional dan
cutting reverse. Jarum cutting konvensional kerap digunakan untuk
penutupan kulit, sedangkan jarum cutting reverse lebih ideal untuk
penetrasi jaringan dengan durabilitas tinggi seperti kulit dan tendon.
224
ESSENTIAL SKILL CRANIAL OPEN WOUND AND NEUROSURGICAL EMERGENCY
Referensi
1. American College of Surgeons (2018) Advanced Trauma Life
Support. Chicago: American College of Surgeons.
2. Bozzeto-Ambrosi, P. et al. (2008). Penetrating Screwdriver Wound
to the Head, Arquivos de Neuro-psiquiatria, 66(1):93-95.
3. Cline, D.M. et al. (2012). Tintinalli’s Emergency Medicine: Just the
Facts, Third Edition, McGrawHill Medical.
4. Datta, D., & Agarwala, S. (2013). B1 Layers of the Scalp and
Suturing. Basic Techniques in Pediatric Surgery, 121–
124.doi:10.1007/978-3-642-20641-2_33
5. Diyora, B. et al. (2018). Perforating head injury with iron rod and
its miraculous escape: Case report and review of literature,
Trauma Case Reports, 14:11-19.
6. Hendricks, B.K. and Cohen-Gadol, A. (2022, December 22).
Suturing
and
Closure.
The
Neurosurgical
Atlas.
https://www.neurosurgicalatlas.com/volumes/principles-ofcranial-surgery/suturing-and-closure
7. Inbar, O.C. (2016) Textbook of Focused NeuroSurgery. Jaypee
Brothers, New Delhi.
8. Paulsen, F. et al. (2011) Sobotta Atlas of Human Anatomy, Vol 3,
15th ed, Munich: Elsevier GmbH.
9. Tandean, S. et al. (2017). Pediatric gunshot penetrating head
injury: a case report with 2-year follow-up. Medical Journal of
Indonesia, 26:302-306.
225
SOFT SKILL
BAB XIII
SOFT SKILL
SERVICE EXCELLENCE
Hipokrates (469-377 SM ) Bapak Kedokteran modern, telah
menyampaikan bahwa Ilmu Kedokteran adalah “Ilmu yang mulia” dan
hanya orang-orang yang sanggup “menjunjung kehormatan diri dan
kehormatan profesi”, yang layak menjadi dokter. Semua orang dapat
menjadi dokter, tapi tidak semuanya layak menjadi dokter.
Dalam menjunjung kehormatan diri dan profesi, yang harus kita
lakukan adalah, Satu, Jujur kepada diri sendiri. Kepada pasien serta
keluarganya. Jujur dalam menegakkan diagnose dan memberikan
terapi yang berbasis ilmu pengetahuan medis dengan tujuan
meringankan penderitaan pasien, mengutamakan mutu dan
keselamatan pasien. Ke dua, Kasih sayang. Kita jaga empati pada
pasien dan keluarganya, kita perlakukan pasien dan keluarga seperti
kita ingin diperlakukan. Ke tiga, Adil. Tidak membedakan pelayanan
kita berdasar ras, suku, agama, golongan, tempat tinggal dan status
sosial. Pelayanan kita berpedoman pada kebutuhan medis fisik dan
psikis pasien. Dengarkan keinginan dan pendapat pasien dan
keluarganya. Ke empat, Mulia. Dokter harus berperilaku dengan
mempertimbangkan adad dan etika setempat. Menghargai sesama,
menghargai teman kerja, menghormati aturan yang berlaku pada
tempat dimana kita bekerja. Bila kita dapat melaksanakan keempat
pedoman tersebut maka, kita akan dapat menjaga kehormatan diri
dan kehormatan profesi. Melibatkan pasien dan keluarganya dalam
pengambilan keputusan pelayanan, dengarkan voice dan choice
mereka. Itulah dokter pemberi layanan yang ekselen.
226
SERVICE EXCELLENCE
Dalam tugas sehari-hari kita sebagai dokter, tidak dapat lepas
dari sistim organisasi pelayanan kesehatan dimana kita bekerja.
Pelayanan Ekselen tidak hanya membutuhkan dokter pemberi
pelayanan yang ekselen, namun Institusi pelayanan juga harus
menerapkan regulasi yang telah ditetapkan sebagai pusat pelayanan
kesehatan yang terstandard, membudayakan kerja dalam satu tim.
Semua komponen penting dan saling menghargai. Pelayanan yang
demikian sering disebut sebagai pelayanan yang berfokus pada pasien
atau patient centered care (PCC).
Tugas dokter dalam PCC ada beberapa tahap yang harus
dikerjakan secara berurutan. Yaitu pertama, asesmen pasien. Proses
ini membutuhkan pengetahuan, analisis dan pengalaman yang cukup.
Menegagkan diagnose berdasar data identitas, keluhan dan tanda
penyakit serta hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi
memerlukan keahlian. Fase ini mendapat perhatian dan porsi besar
dalam program PNNLS. Kedua, Plan of Care atau merencanakan
perawatan, juga menuntut keahlian yang meliputi pengetahuan
tentang modalitas terapi dengan kebaikan dan kekurangannya. Bukti
ilmiah atau evidence base medicine harus dikuasai dengan baik.
Ketiga, pemberian tindakan atau terapi juga memerlukan skill dan
pemahaman resiko tindakan dengan baik. Tata cara dalam proses
tindakan dan terapi yang beresiko tinggi harus mengikuti aturan
standard pelayanan yang di tetapkan. Ke empat, monitor proses
diagnostik maupun terapi harus dilakukan. Hal ini sering kita lupakan.
Perbaikan dan efek negatip akibat tindakan medis harus dipantau dan
di catat dengan baik guna perbaikan pelayanan pasien. Kelima,
pencatatan dalam medical record yang baik, tepat waktu, seamless
(berurutan) dan jelas terbaca, menjadi salah satu sarat penting dalam
pelayanan yang ekselen. Semua hal diatas bila dikerjakan dengan baik
dan konsisten maka kita akan mencapai apa yang disebut pelayanan
ekselen dengan Value of Care yang tertinggi.
227
SERVICE EXCELLENCE
Value of Care atau nilai pelayanan yang tertinggi merupakan
dambaan setiap penerima layanan kesehatan. Bagi seorang dokter
memberikan value of care (VC) yang setinggi tinginya pada setiap
pasien yang ditangani adalah suatu keniscayaan. Suatu keharusan.
Modal kita agar dapat memberikan VC setingi tingginya adalah
pertama, memenuhi kebutuhan medis pasien. Modal yang harus
dimiliki dokter adalah kompetensi. Hal ini perlu belajar yang tiada
henti. Program PNNLS memberi perhatian besar dalam proses
pembelajaran khususnya pada kegawatan sistim syaraf. Kedua adalah
memenuhi kebutuhan emosi dari pasien dan keluarganya.
Kemampuan yang harus kita miliki adalah empati, suatu rasa untuk
memperlakukan pasien seperti kita ingin diperlakukan. Hal ini harus
terus dilatih dan diimplementasikan. Yang terkhir adalan membina
hubungan baik dengan pasien dan keluarganya. Rasa persahabatan
dibina tidak hanya saat merawat tapi terus sampai kapanpun pasien
memerlukan kita. Latihan membina persahabatan ini akan mudah bila
kita pandai mendengarkan keluhan dan keinginan mereka. PNNLS
memberikan perhatian besar pada soft skill yang sangat perlu dimiliki
setiap dokter ini. Pelayanan yang mengedepankan VC maka akan
memperoleh apresiasi yang tinggi dari pasien dan keluarganya serta
kepercayaan akan rasa aman berobat ke kita.
Apakah yang diharapkan pasien dan keluarganya dalam
pelayanan kita …? Tentunya kesembuhan dan kepuasan. Hasil ini
bagus, namun akan lebih baik rasanya bila pasien dan keluarganya
dapat menjadi corong pelayanan kita, karena mereka mendapatkan
lebih dari yang diharapkan, pelayanan yang membuat mereka terkejut
…atau Wow service. Pasien dan keluarganya bisa menjadi media
sosialisasi pelayanan kita. Mereka tidak hanya menerima pelayanan
yang minimal. Apalagi pelayanan yang mengecewakan, mereka akan
mengerutu dan menjadi disosialisasi negatip bagi kita. Bagaimana agar
kita bisa memberikan pelayanan yang Wow….? penting bagi semua
228
SERVICE EXCELLENCE
pemberi layanan. Ciri pelayanan yang menghasilkan Wow antara lain,
mengejutkan. Pasien terkejut heran mendapatkan lebih dari yang
diharapkan. Contoh kecil, kita memberikan perhatian pada
penginapan penunggu pasien. Hal kecil ini akan menjadi sesuatu yang
mengejutkan. Kita perhatikan keperluan yang sangat pribadi dan
spesifik. Menjaga rahasia pasien dengan ketat. Perhatian pada hal
yang privat bagi pasien menjadi penting. Service Wow akan
tertularkan secara otomatis karena pasien puas dan terpesona pada
sikap dan profesionalitas kita.
Metode lain agar kita bisa memberikan pelayanan yang terbaik,
pelayanan Wow… adalah terus menerus membudayakan Wow
Sercive…yang muncul dari dalam jiwa pemberi layanan. Motivasi
melayani “Kai san” atau “even If” adalah driver melayani terbaik…kita
melayani tanpa pamrih, melayani satu hati, persepsi yang sama
dengan pasien dan keluarganya demi kebaikan pasien. Melayani
dengan motivasi hanya karena menjalankan tugas profesi “Kai Hao”
tidak akan mendapatkan hasil yang terbaik. Apalagi bila dasarnya
hanya karena reward atau ”Kai mai”….maka kita hanya akan
mendapatkan palayanan yang minimal, kaluapun bukan pelayanan
yang mengecewakan.
Semoga kita semua dapat memberikan layanan yang ekselen,
wow service, value of care yang tertinggi. Karena merawat pasien
adalah kesempatan besar yang diberikan Allah SWT kepada kita untuk
berbuat kebajikan dan membina hubungan kemanusiaan yang mulia.
Selamat Bekerja…selamat mengukir prestasi terbaik.
229
Download