Uploaded by tricahyono503

Dasar Dasar Ekonomi Wilayah: Makalah Ekonomi Regional

advertisement
MAKALAH
DASAR DASAR EKONOMI WILAYAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Wilayah
Dosen Pengampu:
Alfian Ishak, ST.,M.Si
Oleh:
Fahril Akbar
(223202004)
Risdayanti
(223202003)
Agung Dwi Anugrah (223202009)
Erni Yulianti
(223202002)
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAKIDENDE
2025
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun tulisan yang berjudul Dasar Dasar Ekonomi
Wilayah. Tulisan ini dibuat dengan tujuan memberikan pemahaman tentang dasar dasar
ekonomi wilayah yang diperuntukan bagi para mahasiswa, peneliti, perencana dan
pengambilan keputusan dalam pembangunan wilayah, yang dimaksudkan untuk menambah
wawasan dan pemahaman tentang pentingnya pembangunan dan pengembangan wilayah pada
dewasa ini dan masa depan.
Ekonomi wilayah adalah salah satu disiplin ilmu ekonomi yang belum terlalu lama dipelajarkan
diperguruan tinngi diindonesia. Obyek pembahasanya adalah mempelajari perilaku ekonomi
manusia pada tata ruang, dimensi wilayah dan tata ruang sangat penting dan menarik perhatian
serta telah dimasukkan sebagai variabel tambahan dalam analisis dan perencanaan
pembangunan.
UNAAHA, 2025
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 EKONOMI WILAYAH SEBAGAI CABANG ILMU EKONOMI
Ilmu ekonomi sebagai suatu disiplin ilmu telah berusia sekitar dua seperempat abad
yang lalu. Adam Smith telah menulis bukunya yang berjudul "The Wealth of Nation" pada
tahun 1776. Tahun itu dianggap sebagai tahun munculnya ilmu ekonomi yang kebetulan
bertepatan dengan proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat, proklamasi merupakan
kemerdekaan politis menjadi erat hubungannya dengan aspirasi harga dan upah dari campur
tangan pemerintah. Adam Smith dianggap sebagai bapak Ilmu Ekonomi.
Obyek bahasan dalam Ilmu Ekonomi sangat luas, yaitu menge-nai produksi,
perkembangan harga, hasil produksi dan penganggur-an, penggunaan sumber daya produksi
yang langka atau terbatas, perilaku mansusia dalam mengatur kegiatan, suku bunga, modal
dan kekayaan, meskipun lingkup studinya adalah cukup luas dan berkembang semakin cepat,
sehingga dibutuhkan pembentukan cabang-cabang Ilmu Ekonomi secara luas, seperti
Ekonomi Inter-nasional, Ekonomi Moneter, Ekonomi Industri, Ekonomi Transpor-tasi,
Ekonomi Pembangunan, Ekonomi Ketenagakerjaan, Ekonomi Sumber Daya Alam, Ekonomi
Sumber Daya Manusia, Ekonomi Lingkungan Hidup, dan lainnya.
Setelah depresi dunia pada tahun 1930, standar emas dan per-dagangan bebas yang
menjadi unggulan Mashab Klasik (liberal) dilepaskan, maka muncul pandangan-pandangan
dan konsep-konsep yang lebih relevan. Pendekatan ekonomi yang menekankan pada segi
penawaran (mashab klasik-Hukum Say: "supply creates its own demand" dianggap tidak
sesuai lagi dan muncullah analisis permintaan efektif (effective demand) dari John Maynard
Keynes (bukunya berjudul The General Theory of Employment, Interest and Money).
Say's Law of Markets (Hukum Say tentang pasar) menyatakan bahwa penawaran akan
menciptakan sendiri permintaannya. J.B. Say tahun 1883 mengemukakan argumentasinya
bahwa karena jumlah daya beli adalah sama dengan jumlah pendapatan dan hasil pro-duksi,
maka kelebihan penawaran atas permintaan tidak mungkin terjadi. Keynes menyerang hukum
Say dan menyatakan bahwa pendapatan tidak selalu harus dibelanjakan seluruhnya, dengan
kata lain terdapat kecenderungan mengkonsumsi marjinal (marginal propersity to consume).
Pandangan laissez faire (biarkan kami melakukan sendiri) me-nyatakan bahwa
pemerintah sebaiknya tidak mencampuri kegiatan ekonomi. Seperti dikemukakan oleh ahliahli ekonomi klasik yaitu Adam Smith, bahwa peranan pemerintah seharusnya dibatasi pada:
(1) pemeliharaan hukum dan ketertiban, (2) pertahanan nasional, dan (3) penyediaan barangbarang kepentingan umum yang tidak dapat diadakan oleh usaha swasta. Pandangan
perdagangan bebas ditinggalkan dan muncul pandangan yang menganjurkan campur tangan
pemerintah dalam kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) oleh aliran Keynes.
Pertanyaan klasik mengenai: what to produce, why to produce dan how to produce
dianggap tidak lengkap, masih harus dilengkapi dengan pertanyaan where to produce (dimana
pembangunan suatu industri atau pabrik diletakkan pada lokasi yang tepat). Pendekatan
sektor telah dilengkapi dengan pendekatan wilayah dan tata ruang, yang berarti "pemanfaatan
ruang wilayah adalah pemanfaatan wilayah dengan memperlihatkan aspek ruang". Dimensi
wilayah (regional) dan tata ruang (spasial) telah menjadi penting dan diper-hitungkan sebagai
variabel tambahan dalam perencanaan pem-bangunan. Studi-studi wilayah telah berkembang
setelah tahun 1930-an, seperti Ekonomi Wilayah, Perencanaan Wilayah, dan Kebijakan
Pembangunan Ekonomi Wilayah. Ekonomi Wilayah adalah disiplin ilmu yang obyeknya
mempelajari perilaku ekonomi manusia pada tata ruang.
1.2 PENTINGNYA DIMENSI REGIONAL DAN SPASIAL DALAM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN
Sebagaimana diketahui bahwa Ekonomi Wilayah merupakan suatu studi atau kajian
yang belum lama dikembangkan dan di-pelajarkan pada perguruan-perguruan tinggi di
berbagai negara. Dimensi wilayah (regional) dan spasial (tata ruang), telah menarik perhatian
dan menjadi lebih penting sebagai variabel tambahan da-lam analisis ekonomi, khususnya
bagi para perencana pembangunan. Walaupun studi lokasi telah lama diintroduksikan sejak
abad yang lalu di Eropa Tengah, akan tetapi perhatian para ahli mengenai pemilihan lokasi
ditinjau dari segi ekonomi dan pentingnya peranan wilayah baru dikembangkan secara lebih
luas sejak kira-kira tujuh dasa warsa yang lalu. Dalam hubungan ini dapat dikatakan pula
bahwa pemikiran Teori Lokasi dan Ekonomi Wilayah sebenarnya sangat dekat dengan Ilmu
Ekonomi yang diibaratkan sebagai saudara dalam keluarga besar Ilmu Ekonomi.
Teori ekonomi tradisional mengabaikan aspek tata ruang. Analisis ekonomi klasik
bersifat statis dan tanpa tata ruang serta berlaku secara universal. Kemudian timbullah reaksi
atau tantangan dari Mashab Historis (Mashab Sejarah) yang dipelopori oleh Friedrich List.
Menurut Mashab Historis, hukum ekonomi tidak berlaku sama untuk seluruh waktu dan tidak
berlaku mutlak bagi seluruh manusia atau bangsa, melainkan berlaku secara relatif artinya
berbeda menurut waktu dan tidak sama untuk seluruh manusia dan bangsa. Mashab Historis
juga menentang sifat kosmopolitan dari Mashab Klasik yang dipelopori oleh Adam Smith.
Mashab Historis menem-patkan kepentingan nasional sebagai yang terpenting dan tertinggi
dalam tiap-tiap negara dan untuk itu harus disusun kebijakan eko-nomi nasional.
Salah satu isu yang sering diperdebatkan dalam kebijaksanaan ekonomi wilayah yaitu
apakah ada usaha untuk mempercepat per-tumbuhan pembangunan wilayah dengan suatu
kebijaksanaan pembangunan secara nasional dengan tujuan secara menyeluruh. Proses
kemajuan ekonomi dilihat dari pandangan teori pembangun-an akan menempatkan unsurunsur wilayah yang merupakan unsur sub nasional menjadi penting dan menarik dalam
perencanaan pem-bangunan, sehingga wilayah-wilayah mempunyai peranan yang semakin
jelas dan menentukan.
Isu pengembangan wilayah baik di negara-negara yang eko-nominya telah maju
maupun yang sedang berkembang pada umum-nya bersumber pada dua hal, yaitu keinginan
untuk mencapai se-deretan sasaran-sasaran nasional dan kehendak untuk mengurangi
ketimpangan antara pertumbuhan dan kemunduran ekonomi sub-sub nasional secara efektif.
Materi utama kepustakaan dalam pembangunan ekonomi belum banyak membahas
masalah wilayah secara mendasar yang menitik beratkan pada dimensi spasial atau tata
ruang. Faktor per-bedaan spasial sangat menyulitkan dalam analisis yang sifatnya gen-eral.
Penggerak utama untuk mengenal lebih jauh tentang masalah wilayah berasal terutama dari
para politisi, para administrator, ahli-ahli ekonomi dan perencana-perencana kota yang
berkecimpung de-ngan kebutuhan-kebutuhan praktis dalam kebijaksanaan pem-bangunan.
Mereka dihadapkan pada pertanyaan "dimana" kegiatan pembangunan akan dilaksanakan.
Untuk itu para ilmuwan berusaha mencari dasar secara nasional untuk menentukan pilihan
tersebut.
Dalam banyak hal pendekatan terhadap masalah-masalah wilayah dilakukan secara
antar disiplin. Misalnya arus perpindahan penduduk dari daerah-daerah ke kota-kota besar
atau urbanisasi di-pelajari oleh ahli-ahli Ilmu bumi untuk menemukan alasan-alasan untuk
penentuan pemilihan lokasi kota; ahli-ahli pengembangan wilayah berusaha membuktikan
pengaturan secara sistematis kota-kota dalam suatu negara; para ahli sosiologi meneliti polapola struk-tur sosial perkotaan dan pengaruhnya pada integrasi dan pola-pola kutub
pertumbuhan yang berkembang; dan para perencana kota mengkaitkan dengan keperluan
investasi dalam prasarana kota dan optimalisasi pola tata guna tanah perkotaan. Pendekatanpendekatan di atas tidak dapat diabaikan terutama apabila kita menyadari se-penuhnya betapa
pentingnya peranan kota-kota dalam pengembang-an wilayah.
Secara teoretis terdapat dua pertanyaan penting, yaitu (1) mengapa pertumbuhan
ekonomi berada secara spasial, dan (2) bagaimana penentuan pola-pola spasial dalam
perencanaan pem-bangunan. Pertanyaan pertama menyangkut masalah struktur spasial
pembangunan ekonomi baik secara fisik maupun pola kegiatannya. Aspek-aspek struktur
spasial pembangunan ekonomi, fasilitas-fasilitas produktif, trayek atau rute transportasi, tata
guna tanah dan sebagainya mempunyai arti langsung untuk menghitung investasi. Sedangkan
pola kegiatan spasial meliputi arus modal, arus tenaga kerja, arus komoditas, dan komunikasi
dalam tata ruang. Aspek-aspek tersebut berpengaruh terhadap usaha-usaha untuk menunjang
proses pembangunan itu sendiri. Misalnya konsentrasi kegiatan di daerah kota besar seperti
daerah metropolis akan ber-kembang terus sepanjang masih memberikan manfaat-manfaat
terhadap biaya yang cukup menarik. Kemudian manfaat-manfaat tersebut berkurang karena
kegiatan-kegiatan di daerah perkotaan berkembang semakin luas. Selanjutnya pola kegiatan
ekonomi cen-derung menyebar dan meluas ke luar daerah metropolis. Jadi jelaslah bahwa
struktur spasial dari kegiatan ekonomi terjadi karena interaksi pola fisik dan pola kegiatan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan yaitu dipelajarinya gejala-gejala seperti kutub-kutub
pertumbuhan, poros-poros pembangunan, herarki kota secara fungsional, dan daerah-daerah
pusat perdagangan. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kemajuan teknologi dan tingkat
produktivitas suatu perekonomian. Bila keadaan-keadaan tersebut berubah maka struktur
spasial kegiatan pembangunan akan berubah.
Pertanyaan kedua membicarakan alasan-alasan mengapa pola spasial berbeda-beda.
Dalam hal ini terdapat dua pendekatan. Pendekatan pertama menekankan pada kepentingan
historis dan titik beratnya adalah suatu wilayah tertentu. Masalahnya adalah men-jelaskan
pembangunan di suatu wilayah pada waktu yang lalu dan membuat proyeksi untuk masa
depan. Wilayah-wilayah sisanya dianggap sebagai variabel yang tidak dapat di kontrol atau
wilayah eksogin. Pendekatan kedua menitik beratkan pada suatu bangsa atau negara, dimana
wilayah teritorialnya dianggap sebagai suatu kesatuan. Masalahnya adalah menjelaskan
mengapa pola-pola ekonomi dan organisasi spasial telah mengikuti evolusi ekonomi nasional.
Batas-batas wilayah perencanaan berlaku untuk jangka waktu terbatas, artinya terdapat
kemungkinan terjadinya pergeseran temporal dalam hal keterhubungan dan ketergantungan
antar wilayah.
1.3 LINGKUP BAHASAN
Dalam buku ini (yang terdiri dari 21 Bab) dibahas berbagai dimensi dalam bidang
ekonomi wilayah, yaitu meliputi teori lokasi dan aglomerasi; teori kutub pertumbuhan;
wilayah sebagai elemen (unsur) struktur spasial; klasifikasi wilayah; keterhubungan dan
ketergantungan antar wilayah; memilih wilayah untuk pembangun-an; pembangunan wilayah
yang komprehensif; implementasi dan perencanaan pembangunan wilayah; penduduk,
kegiatan ekonomi, dan transportasi merupakan komponen pengembangan wilayah; migrasi
spasial; peranan pusat-pusat pelayanan kecil; teori pem-bangunan polarisasi; pembangunan
polarisasi sebagai suatu konsep sosiologis, beberapa isu sosial dalam pengembagan wilayah;
pem-bangunan wilayah membutuhkan wiraswasta inovatif; pengentasan kemiskinan, serta
model dan strategi pembangunan ekonomi wilayah.
Setelah mempelajari dan memahami seluruh materi dalam buku ini diharapkan para
pembaca memperoleh wawasan dan pengetahuan yang luas mengenai dasar-dasar ekonomi
wilayah, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan masukan dan peralatan untuk
menganalisis berbagai masalah kewilayahan dan untuk penyusunan rencana kebijakan
pembangunan wilayah baik secara parsial maupun secara komprehensif.
BAB 2
PENDEKATAN PEMBANGUNAN WILAYAH (REGIONAL)
1.1 PERKEMBANGAN PENDEKATAN PEMBANGUNAN
Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
pada tingkat yang lebih tinggi dan serba sejahtera. Suatu kinerja pembangunan yang sangat
baik pun, mungkin saja menciptakan berbagai masalah sosial ekonomi baru yang tidak di
harapkan. Kompleksitas permasalahannya bertambah besar karena ruang lingkup
permasalahannya telah bertambah luas. Pendekatan terhadap permasalahan pembangunan dan
cara peme-cahannya telah mengalami perkembangan pula Pembangunan yang terlalu
berorientasi pada petumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB pada tingkat nasional) yang tinggi
(GDP Oriented) seperti yang telah ditempuh dalam beberapa dasa warsa yang lalu, telah
memperlihatkan keberhasilan secara memuas kan di berbagai bidang dan sektor pembangunan,
yang diukur dalam tingkat pertumbuhan ekonomi riil yang memperlihatkan peningkat-an
secara terus menerus.
Demikian pula pendapatan perkapita, kesempatan kerja, ekspor (baik volume maupun
penerimaan devisa), struktur perekonomian menjadi lebih kokoh yang ditunjuk dengan
menurunnya peranan sektor pertanian dan meningkatnya peranan sektor perindustrian dalam
PDB). Ternyata pertumbuhan yang tinggi itu telah mengakibatkan bertambah lebarnya
kesenjangan atau ketimpangan antar golongan masyarakat (yang kaya dan yang miskin) dan
kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang tertinggal). Kesenjangan atau
ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin telah menimbulkan konsep "garis kemiskinan"
(poverty line) yang menunjukkan batas terendah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia.
Mereka dikatakan berada di garis kemiskinan (absolute poverty) apabila pendapatannya tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti sandang, pangan,
perumahan, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Kesenjangan atau ketimpangan antar daerah
dapat menimbulkan kecemburuan sosial, kerawanan disintegrasi wilayah, dan disparitas
ekonomi yang semakin lebar dan tajam. Ketimpangan pembangunan yang semakin tinggi itu
dapat diatasi dengan konsep pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan ke
seluruh lapisan masyarakat dan ke seluruh wilayah.
Pembangunan tidak terbatas hanya pada pemenuhan kebutuh-an pokok saja, tetapi
manusia mempunyai kebutuhan lainnya yang sangat banyak jumlahnya dan sangat luas
jenisnya. Terdapat per-kembangan pemikiran dan pendekatan dari pertumbuhan dengan
stabilitas (growth with stability), yang pada hakikatnya menghendaki masyarakat yang lebih
berkeadilan, dan selanjutnya menempatkan peranan sumber daya manusia (SDM) pada posisi
yang utama dan terutama dalam pembangunan, baik sebagai konsumen maupun sebagai faktor
produksi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (human resource approach) diharapkan
dapat memberikan kontri-busi yang besar bagi peningkatan laju pertumbuhan pembangunan.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dipandang sebagai faktor kunci bagi keberhasilan
pembangunan yang dapat menjamin ke-majuan ekonomi dan kestabilan masyarakat.
Dalam hubungan ini investasi harus diarahkan bukan saja un-tuk meningkatkan
physical capital stock, tetapi ditujukan pula untuk human capital stock. Capital stock adalah
untuk menunjang pen-ciptaan lapangan kerja, dan human resources untuk menyediakan tenaga
kerja yang terampil. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan melalui
peningkatan mutu pendidikan, derajat kesehatan, dan perbaikan gisi, diharapkan akan
menumbuh-kan inisiatif atau prakarsa untuk menciptakan lapangan kerja baru. Dengan
demikian produktivitas nasional dan regional dapat ditingkatkan. Pembangunan harus
merupakan suatu kemauan dan kemampuan internal dalam masyarakat yang bersangkutan,
merupakan suatu proses penciptaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, kontribusi dan
partisipasi aktif dan kreatif masyarakat lokal dalam pembangunan. Peningkatan pastisipasi
masyarakat lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdaya-an
masyarakat mencerminkan perkembangan paradigma pem-bangunan yang berorientasi pada
manusia (people - oriented), partisipatif (participatory), pemberdayaan (empowerment) dan
berkelanjutan (sustainable). Konsep ini lebih luas dari pada hanya semata-mata memenuhi
kebutuhan pokok (basic needs approach).
Secara historis, pendekatan people oriented, partisipatif dan pemberdayaan masyarakat
bukan merupakan hal baru. Hal ini sudah sejak lama dilaksanakan dalam masyarakat secara
luas dan masih relevan sampai sekarang. Kalau pada waktu yang lalu masih merupakan
semboyan, ajakan atau arahan, tetapi pada waktu sekarang pendekatan-pendekatan tersebut
telah dijabarkan ke dalam suatu interpretasi akademik yang rasional, sehingga menjadi konsep
yang dapat dioperasionalkan dan dapat diimplementasikan (operationable and implementable
concept).
Daerah-daerah yang terbelakan atau tertinggal mempunyai ketergantungan yang kuat
dengan daerah luar. Mereka melakukan kegiatan pembangunan ekonomi untuk menghilangkan
keterbe-lakangan (backwardness) yang berarti pula untuk mengurangi keter-gantungan
(dependency). Namun dalam upaya pembangunan eko-nomi dihadapi hambatan di bidang
sosial (sikap, perilaku dan pan-dangan hidup, kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi).
Daerah-daerah yang terbelakang harus melakukan perubahan yang mendasar atau fundamental
(fundamental change) untuk mampu hidup berdiri sendiri (self reliance dan self propelling
growth). Untuk tidak tergantung dan mampu melakukan perubahan fundamental diperlukan
ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan terampil.
Teori sumber daya manusia dan paradigma ketidaktergan-tungan dengan daerah lain
merupakan pendekatan dasar yang prospektif untuk melakukan perubahan dan pembangunan
ekonomi sosial dalam upaya mencapai sasaran jangka panjang, yaitu pe-nguatan kemandirian
lokal. Jadi, dimensi lokal atau lokalitas itu sangat penting dan harus dipertimbangkan dalam
pendekatan pembangunan.
1.2 DARI PEMBANGUNAN SEKOTORAL KE PEMBANGUNAN REGIONAL DAN
SELANJUTNYA KE PEMBANGUNAN LOKAL
Pendekatan sektoral menganggap perlu untuk mendekati pembangunan nasional
melalui kegiatan usaha demi kegitan usaha yang dikelompokkan menurut jenisnya ke dalam
sektor-sektor dan sub-sub sektor. Adapun dasar berpijaknya adalah "mekanisme pe ngelolaan"
satuan maupun kelompok kegiatan usaha sehingga dapat membawa dampak pemengmbangan
yang langsung dirasakan oleh satuan-satuan kegiatan usaha. Tujuan ataupun sasaran
pembangun-an yang hendak dicapai dan hasilnya juga terungkapkan secara sektoral, yaitu baik
yang menyangkut hasil produksi, pendapatan, lapangan kerja, maupun investasi dan kredit
yang digunakan. Kesemuanya diungkapkan menurut sektor-sektor, yaitu sektor-sektor
pertanian, pertambangan, kontruksi (bangunan), perindus-trian, perdagangan, perhubungan,
keuangan dan perbankan, dan jasa. Dimensi wilayah (regional), seperti daerah tingkat I
(provinsi) dan daerah tingkat II (kabupaten/kota), hanya tampil sebagai indeks, yakni untuk
melokalisasi sektor-sektor ke dalam daerah-daerah.
Pembangunan nasional yang diuraikan ke dalam pembangun-an daerah-daerah,
meskipun hanya menampilkan program sektoral umumnya telah diklasifikasikan ke dalam
pendekatan regional. Disini ditekankan pada perencanaan dengan sebanyak mungkin
partisipasi dari bawah (daerah). Selangkah lebih maju dari pengertian tersebut ialah pemberian
aksentuasi keterpaduan antar sektor.
Diharapkan agar masing-masing sektor dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya.
Dengan berfungsinya sektor-sektor secara baik, maka daerah yang bersangkutan akan
berkembang dengan baik. Namun betapapun baiknya hasil yang dicapai, kesemuanya itu masih
ter-golong pada pendekatan sektoral. Pendekatan regional seharusnya bertolak pada kenyataan
bahwa setiap usaha selalu terkait pada wilayah, setiap kegiatan usaha selalu memanfaatkan
ruang wilayah, setiap kegiatan usaha selalu menempati atau bergerak dalam ruang wilayah
tertentu. Kesemuanya terjadi, mungkin karena kesesuaian flora dan faunanya, mungkin karena
kesesuaian tanahnya ataupun mineral yang terkandung didalamnya.
Aspek ruang dalam pemanfaatan wilayah mencakup aspek lokasi dan dimensi wilayah.
Aspek lokasi dan wilayah adalah saling berkaitan, disatu pihak dengan fungsi lindung, dan di
lain pihak dengan masalah pilihan atas lokasi bagi (a) tempat pemukiman ataupun kegiatan
usaha, yakni dalam rangka memperoleh tingkat "kemudahan" yang diinginkan, atau
sebaliknya, (b) kegiatan usaha, dalam rangka mempertinggi tingkat "kemudahan" bagi
masyarakat di wilayah tertentu, baik dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun
untuk mengembangkan kegiatan usahanya. Pendekat-an regional yang didasarkan pada
perhitungan ruang dalam peman-faatan wilayah jelas mengandung maksud untuk
mengendalikan terciptanya "kemudahan", baik dalam hal tingkat maupun penye barannya
(lokasinya) di daerah-daerah (wilayah-wilayah). Pengerti-an yang melibatkan aspek ruang
dalam pemanfaatan wilayah jelas menampilkan sumber dorongan bagi pengembangan kegiatan
usaha masyarakat. Sumber dorongan itu berada pada lokasi yang pasti dan memberikan
pengaruh sentral, yakni yang dapat dirasakan sebagai "kemudahan", kemudahan dalam
memenuhi berbagai kebutuhan hidup meliputi ke tempat kerja, perbelanjaan, pendidikan,
kesehatan, rekreasi, peribadatan dan lainnya (Poernomosidi Hadjisarosa).
Pembangunan wilayah dilancarkan melalui pusat-pusat per-tumbuhan masing-masing.
Pusat-pusat pertumbuhan umumnya merupakan kota-kota besar. Para investor tertarik untuk
menanam-kan investasinya di sektor industri, perbankan dan keuangan, pro-perti, dan lainnya,
karena daerah perkotaan besar tersebut telah memiliki infrastruktur dan utilitas perkotaan yang
telah tersedia secara cukup, seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi, pelabuhan, dan lainnya.
Investasi tersebut umumnya merupakan kekuatan dari luar (external forces), baik investor asing
maupun investor nasional. Penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri
(PMDN) dilakukan dalam skala yang besar dan digerakkan dari pusat/ibukota pemerintahan
(Jakarta). Orientasi pembangunan yang sentralistik ini mengabaikan peranan dan potensi
pelaku bisnis dan pembangunan yang berada di daerah. Hal ini menimbulkan keke cewaan dan
kecemburuan masyarakat, mereka merasa tidak diperhatikan dan diperhitungkan, dengan
demikian tidak men-dorong penguatan dan berkembangnya perekonomian masyarakat
setempat. Yang lebih mengecewakan lagi adalah bahwa hasil ke-untungan dalam jumlah besar
yang diperoleh perusahaan-per-usahaan penanaman modal asing dan dalam negeri dikirim ke
luar daerah yaitu ke kantor pusatnya di Jakarta atau ke negara asalnya, sehingga daerah dan
masyarakat setempat tidak menikmati manfaat investasi yang berasal dari luar tersebut.
Pengalaman yang lalu tidak mendorong berkembangnya kegiatan perekonomian daerah
setempat, merupakan pengalaman dan pelajaran yang harus tidak boleh terulang lagi pada masa
yang akan datang, orientasi pembangunan jangan lagi bersifat sentralistik, sebaliknya harus
bersifat desentralistik, artinya lebih mengutamakan pada kepentingan dan pengembangan
daerah-daerah. Dalam upaya meningkatkan pembangunan di daerah-daerah tidak semata-mata
menekankan pada peranan kekuatan luar (external forces), tetapi sudah pada saatnya untuk
mengutamakan pada peranan kekuatan dari dalam (internal forces), yang dilakukan melalui
upaya-upaya mendorong pengembangan inisiatif dan partisipasi masyarakat yang kreatif dan
produktif, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pemanfaatan sumberdaya ekonomi,
sosial, teknologi, dan kelem-bagaan, untuk menunjang penciptaan lapangan kerja bagi
penduduk dan masyarakat setempat. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk meningkatkan
pembangunan ekonomi masyarakat setempat atau disebut pula pembangunan ekonomi lokal.
Konsep pembangunan ekonomi lokal perlu dirumuskan secara jelas, sehingga mampu
menangani perubahan-perubahan fundamental yang lebih bersifat transformatif,
memberdayakan sumberdaya lokal untuk mengurangi ketergantungan dan meningkatkan
kegiatan perekonomian lokal.
Lingkup regional dapat meliputi provinsi atau kabupaten/kotamadya. Provinsi terdiri
dari kabupaten-kabupaten; kabupaten mencakup sejumlah kecamatan. Sedangkan lokal atau
lokalisasi dikonotasikan dengan suatu area yang relatif terbatas, dimana pe-manfaatan berbagai
sumberdaya alam, manusia, sosial, fisik, tekno-logi, dan kelembagaan dapat ditingkatkan lebih
intensif dan interaktif untuk meningkatkan kegiatan perekonomian lokal dan tingkat kehidupan
masyarakat lokal yang lebih sejahtera. Secara empirik, penentuan unit perencanaan
pembangunan wilayah yang luas (meliputi beberapa provinsi, satu provinsi, atau beberapa
kabupaten) berdasar pengalaman yang lalu ternyata kurang memberikan hasil yang
memuaskan. Oleh karena itu muncul suatu keinginan untuk menentukan unit perencanaan yang
lebih sempit (kecil) yang dikenal dengan sebutan wilayah pengembangan ekonomi lokal atau
lokal-isasi. Secara konseptual, gejala ini memberikan pembenaran bahwa pada tahap pertama,
jumlah wilayah perencanaan jumlahnya banyak dan besarannya kecil-kecil. Pada tahap kedua
jumlah wilayah peren-canaan berkurang tetapi besaran masing-masing wilayah perencana-an
menjadi lebih besar. Dan pada tahap ketiga jumlah wilayah perencanaan menjadi lebih banyak
dan besaran masing-masing wilayah perencanaan adalah kecil, mirip seperti pada tahap
pertama.
1.3 PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL
Terdapat pemahaman dan perhatian yang makin besar di antara para penentu
kebijaksanaan pembangunan nasional dan pembangunan daerah, yaitu berusaha untuk
melanjutkan strategi ekonomi nasional untuk membangkitkan perekonomian lokal.
Peningkatan pembangunan diupayakan agar dapat dirasakan oleh masyarakat luas (nasional)
ataupun oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil atau terbatas (lokal). Kepentingan
ekonomi nasional dan motivasi perusahaan besar seringkali tidak bersesuaian bahkan berbeda
secara nyata dengan kebutuhan dan kepentingan masya-rakat lokal, para pekerja lokal yang
tidak memiliki keterampilan atau golongan masyarakat yang termasuk dalam
kelompok yang ber-pendapatan rendah, dan perusahaan kecil yang tersebar di seluruh daerah
yang modalnya, keterampilannya, kemampuan manajemen-nya dan pemasarannya masih
lemah. Dalam sistem ekonomi pasar, pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya pembangunan
diarahkan untuk mencapai keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan
kompetitif (competitive advantage) sebagai upaya untuk mendorong berkembangnya
perusahaan yang ada sekarang dan perusahaan baru, serta mempertahankan basis ekonominya
yang dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan. Dalam pembangunan eko-nomi lokal,
masyarakat harus memanfaatkan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal,
sumberdaya sosial, sum-berdaya institusional (kelembagaan) dan sumberdaya fisik yang dimiliki untuk menciptakan suatu sistem perekonomian yang mandiri (dalam arti berkecukupan
dan berkelanjutan).
Seringkali dipertanyakan mengenai perlunya dikembangkan konsep pembangunan
ekonomi daerah (lokal). Apakah konsep ini mencerminkan suatu pendekatan baru ataukah
merupakan refor-mulasi dari kegagalan kebijaksanaan "trickling down" (tetesan ke bawah)
yang diformulasikan oleh Albert Hirscman yaitu dampak penyebaran pembangunan dari pusat
pertumbuhan ke daerah-daerah sekitarnya, yang telah dilancarkan dalam beberapa dekade yang
lalu. Isu kunci yang dihadapi adalah apakah versi baru ini, yaitu mengenai pembangunan
ekonomi berbasis masyarakat lokal adalah lebih baik atau lebih efisien dibandingkan dengan
upaya-upaya pembangunan yang dilakukan pada masa lalu? Dapatkah pemerintah daerah
dan/atau daerah tetangga bersedia bekerja sama, ataukah masing-masing ingin melakukan
upaya pembangunan secara sendiri-sendiri (terpisah). Hal ini harus dilihat dampaknya terhadap
penciptaan lapangan kerja baru. Yang lebih penting dan mungkin lebih fundamental yaitu
apakah pendekatan baru itu dapat menciptakan lebih banyak pekerjaan dan pekerjaan yang
lebih baik dalam suatu sistem perekonomian yang berbasis teknologi. Jika usaha lokal mampu
menciptakan lapangan kerja, apakah usaha-usaha lokal tersebut akan efektif? Atau institusi
lokal hanya berusaha pada proses penciptaan lapangan kerja, tanpa memberikan dampak
substansial dalam memenuhi kebutuhan nyata, yaitu penciptaan lapangan kerja dalam jumlah
yang cukup banyak bagi penduduk atau masyarakat dalam suatu sistem ekonomi tradisional.
Dapatkah proses informasi pasar kerja sampai kepada dan diketahui oleh pen-duduk yang
benar-benar membutuhkan pekerjaan? Apakah golong-an bawah, golongan minoritas, wanita,
penduduk yang tidak me miliki keterampilan dan keahlian akan mendapat manfaat dari setiap
bentuk pembangunan ekonomi lokal? Yang terakhir, berapa besar biaya perencanaan regional,
relokasi kegiatan-kegiatan ke lokasi yang optimum, dan pertimbangan lingkungan yang harus
dilaksanakan untuk mendorong perluasan lapangan kerja lokal?
Meskipun pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mudah di-jawab, tetapi dapat dijelaskan
dengan baik setelah memahami ke-rangka dasar pemikiran konseptual, batasan dan
kebijaksanaan yang dilaksanakan untuk mendorong dan memperkuat pembangunan ekonomi
lokal.
Pembangunan ekonomi lokal tidak hanya merupakan retorika baru tetapi
mencerminkan suatu pergeseran fundamental peranan pelaku-pelaku pembangunan, demikian
pula sebagai aktivitas yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi masyarakat. Secara esensial, peranan pemerintah lokal dan/atau kelompok-kelompok ber-basis masyarakat (community
based groups) dalam mengelola sumberdaya berupaya untuk mengembangkan usaha kemitraan
baru dengan pihak swasta, atau dengan pihak lain, untuk menciptakan pekerjaan baru dan
mendorong berkembangnya berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu daerah (wilayah) ekonomi
Ciri atau sifat utama suatu pembangunan yang berorientasi atau berbasis ekonomi lokal adalah
menekankan pada kebijaksanaan pembangunan pribumi ("endogenous development" policies)
yang memanfaatkan potensi sumberdaya manusia lokal, sumberdaya institusional lokal dan
sumberdaya fisik lokal. Orientasi ini menekankan pada pemberian prakarsa lokal (lokal
initiatives) dalam proses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi secara luas. Alasan untuk hal itu adalah sebagai berikut.
Teori dan program pembangunan ekonomi sebelumnya sangat menekankan pada
anggaran bahwa manfaat pertumbuhan dan perluasan ekonomi pada pusat-pusat pembangunan
(perkotaan) akan menetes atau menyebar ke bawah (trickling-down effect) untuk memperbaiki
kondisi penduduk miskin yang berada di daerah pedesaan.
Tetesan ke bawah tersebut dimaksudkan untuk (1) memper-baiki kelemahan penduduk
miskin yang memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang masih rendah, dukungan
masyarakat dan motivasi yang masih lemah pula, dan (2) untuk mengurangi ham-batan dalam
struktur dan peluang penduduk miskin menghadapi sisi permintaan pasar tenaga kerja.
Pembangunan ekonomi lokal berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan
pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan dalam kapasitas
perusahaan untuk menghasilkan produk yang lebih baik, identifikasi pasar baru, dan
transformasi pengetahuan.
Secara esensial, pemerintah lokal - dengan partisipasi masya-rakat dan menggunakan
sumberdaya kelembagaan yang berbasis masyarakat yang ada sekarang (yang berpotensi
ekonomi) - diperlu-kan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki
untuk merancang dan melaksanakan pembangunan eko-nomi lokal. Pemerintah lokal dan
organisasi kemasyarakatan me-nyadari bahwa semua kegiatan sektor publik mempunyai suatu
pengaruh terhadap keputusan-keputusan sektor swasta. Keputusan swasta dan kegiatan
ekonomi publik adalah erat terkait satu sama lain dan mempengaruhi peluang untuk
menciptakan lapangan kerja. Dan organisasi-organisasi yang berbasis masyarakat perlu
menyusun perspektif baru yang bermanfaat untuk mendorong prakarsa pem-bangunan yang
terencana dan terkoordinasi. Dalam masyarakat baik yang besar maupun yang kecil perlu
dipahami bahwa pemerintah lokal, lembaga kemasyarakatan, dan sektor swasta adalah merupakan mitra yang esensial dalam proses pembangunan ekonomi.
BAB 3
TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH
1.1 TEORI PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN WILAYAH
Dalam melaksanakan pembangunan diperlukan landasan teori yang mampu
menjelaskan hubungan korelasi antara fakta-fakta yang diamati, sehingga dapat merupakan
kerangka orientasi untuk analisis dan membuat ramalan terhadap gejala-gejala baru yang
diperkirakan akan terjadi. Dengan semakin majunya studi-studi pem-bangunan ekonomi,
banyak teori telah diperkenalkan. Dalam pembangunan wilayah, banyak teori dapat
digunakan sebagai landasan untuk menjelaskan pentingnya pembangunan wilayah.
Pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari po-tensi sumberdaya alam,
tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan,
transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan
antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiaya-an pembangunan daerah,
kewirausahaan (kewiraswastaan), kelem-bagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara
luas. Semua faktor di atas adalah penting, tetapi masih dianggap terpisah-pisah satu sama
lain, dan belum menyatu sebagai komponen yang mem-bentuk basis untuk penyusunan teori
pembangunan wilayah (re-gional) secara komprehensif.Dalam pembangunan ekonomi
wilayah (regional) terdapat beberapa teori yang penting, yakni (i) pemikiran-pemikiran
menurut beberapa aliran dalam Ilmu Ekonomi (misalnya Klasik, Neo Klasik, Harrod-Domer,
Keynes dan Pasca Keynes), teori basis ekspor, teori sektor, struktur industri dan pertumbuhan
wilayah, dan teori kausasi kumulatif. Selanjutnya akan dibahas pula teori lokasi dan
aglomerasi (dijelaskan dalam Bab 4), teori tempat sentral (diuraikan dalam Bab 5), teori
kutub pertumbuhan (dalam Bab 6), dan teori pembangunan polarisasi (Bab 7).
1.2 ALIRAN KLASIK
Aliran Klasik muncul pada akhir abad ke-18 dipelopori oleh Adam Smith yang
(dianggap sebagai bapak ekonomi) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi disebabkan
karena faktor kemajuan teknologi dan perkembangan jumlah penduduk. Kemajuan teknologi
tergantung pada pembentukan modal. Dengan adanya akumulasi modal akan memungkinkan
dilaksanakannya spesialisasi atau pembagian kerja sehingga produktivitas tenaga kerja dapat
diting-katkan. Dampaknya akan mendorong penambahan investasi (pem-bentukan modal)
dan persediaan modal (capital stock), yang se-lanjutnya diharapkan akan meningkatkan
kemajuan teknologi dan menambah pendapatan. Bertambahnya pendapatan berarti meningkatnya kemakmuran (kesejahteraan) penduduk. Peningkatan ke makmuran mendorong
bertambahnya jumlah penduduk. Ber-tambahnya jumlah penduduk menyebabkan berlakunya
hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang (law of diminishing re-turns), yang
selanjutnya akan menurunkan akumulasi modal.
Doktrin atau semboyan aliran Klasik adalah "laisser faire laisser passer" atau
persaingan bebas. Artinya pemerintah tidak campur tangan dalam perdagangan dan
perekonomian. Pemikiran dan pan-dangan beberapa tokoh atau pengikut aliran Klasik dapat
dikemuka-kan yaitu: menurut Adam Smith adalah (dianggap sebagai bapak ilmu ekonomi)
untuk berlangsungnya perkembangan ekonomi diperlukan adanya spesialisasi atau
pembagian kerja agar produk-tivitas tenaga kerja meningkat. Spesialisasi dalam proses
produksi akan meningkatkan keterampilan tenaga kerja, untuk selanjutnya akan mendorong
diketemukannya alat-alat atau mesin-mesin baru, dan pada akhirnya dapat mempercepat dan
meningkatkan produksi, yang berarti meningkatkan kemakmuran (kesejahteraan) penduduk.
Pembangunan dan pertumbuhan itu bersifat kumulatif, artinya akan berlangsung terus dan
semakin meningkat. Bila ada pasar yang cukup besar dan ada akumulasi modal akan
mendorong pembagian kerja dan meningkatkan pendapatan nasional dan memperbesar
jumlah penduduk. Penduduk selain merupakan pasar karena pen-dapatannya meningkat,
merupakan pula sumber tabungan yang digunakan untuk akumulasi modal, dan selanjutnya
akan men-dorong pertumbuhan semakin meningkat.
David Ricardo berpendapat, bila jumlah penduduk dan aku-mulasi modal bertambah
terus menerus, maka ketersediaan tanah (lahan) yang subur menjadi kurang jumlahnya atau
semakin langka. Maka akibatnya sewa tanah yang subur akan lebih tinggi dari pada tanah
yang kurang subur. Perbedaan tingkat sewa tanah adalah karena perbedaan tingkat kesuburan
tanah. Pengolahan tanah yang subur akan memperoleh penghasilan dan keuntungan yang
tinggi, sehingga mampu untuk membayar sewa tanah yang tinggi.
Menurut Robert Malthus, kenaikan jumlah penduduk yang terus menerus
konsekuensinya adalah permintaan akan bahan pangan semakin meningkat. Tingkat
pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan tingkat pertumbuhan bahan
pa-ngan mengikuti deret hitung, artinya akan terjadi gap atau ketim-pangan yang semakin
besar antara jumlah penduduk dan jumlah bahan pangan yang dibutuhkan. Hal ini berdampak
terhadap se-makin menurunnya tingkat kemakmuran (kesejahteraan) penduduk.
Hukum pasar yang dikemukakan oleh J.B. Say adalah "sup-ply creates its own
demand". Artinya setiap barang yang dihasilkan oleh produsen selalu ada pembelinya,
sehingga tidak mungkin terjadi kelebihan produksi (over produksi) dan pengangguran.
Hukum Say hanya akan berlaku bila kenaikan pendapatan seluruhnya digunakan untuk
membeli barang dan jasa, artinya semua tabungan digunakan untuk kegiatan investasi. Jadi
tambahan pendapatan adalah sama dengan tambahan konsumsi. Tabungan itu sangat
diperlukan untuk pembentukan modal atau investasi. Investasi dilakukan setelah ada
kenaikan jumlah permintaan secara agregat (aggregate demand). Jadi tersedia tabungan yang
cukup yang digunakan untuk keperluan investasi.
Pemikiran J.B. Say dengan hukum pasarnya yang terkenal se-cara luas yaitu "supply
creates its own demand" adalah bersifat optimistik, sedangkan Robert Malthus dengan
perkiraannya jumlah penduduk bertambah mengikuti deret ukur dan bahan pangan mengikuti
deret hitung dikatakan sebagai pandangan yang bersifat pesimistik.
1.3 ALIRAN NEO KLASIK
Aliran Neo Klasik menggantikan aliran Klasik. Ahli-ahli Neo Klasik banyak
menyumbangkan pemikiran mengenai teori pertumbuhan ekonomi, yaitu sebagai berikut.

Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam pertum-buhan ekonomi,

Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang gradual

Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang harmonis dan kumulatif,

Aliran Neo Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan (per-kembangan).
Meskipun model pertumbuhan Neo Klasik telah digunakan secara luas dalam analisis
regional, namun beberapa asumsi mereka adalah tidak tepat, yakni: (i) full employment yang
terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi-regional dimana persoalan-persoalan
regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal tingkat
penggunaan sumberdaya, dan (ii) persaingan sempurna tidak dapat diberlakukan pada
perekonomian regional dan spasial.
Tingkat pertumbuhan terdiri dari tiga sumber, yaitu akumulasi modal, penawaran
tenaga kerja dan kemajuan teknik. Model Neo Klasik menarik perhatian ahli-ahli teori
ekonomi regional karena mengandung teori tentang mobilitas faktor. Implikasi dari
persaingan sempurna adalah modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas jasa faktorfaktor tersebut berbeda-beda. Modal akan berarus dari daerah yang mempunyai tingkat biaya
tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah, karena keadaan yang terakhir itu
memberikan suatu penghasilan (returns) yang lebih tinggi. Tenaga kerja yang kehilangan
pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru yang merupakan
pendorong untuk pembangunan di daerah tersebut.
Model Neo Klasik kurang menjelaskan tentang alasan-alasan riil mengapa beberapa
daerah mempunyai daya saing yang kuat dan beberapa daerah lain mengalami kegagalan.
Neo Klasik berpendapat bahwa dalam perkembangan ekonomi jangka panjang, senantiasa
akan muncul kekuatan tandingan (counter forces) yang dapat me-nanggulangi
ketidakseimbangan dan mengembalikan penyimpangan kepada keadaan keseimbangan yang
stabil, sehingga tidak diperlukan intervensi kebijakan pemerintah secara aktif.
Seperti penulis-penulis lain, Harrod-Domar menekankan pentingnya peranan
akumulasi modal dalam proses pertumbuhan. Akumulasi modal mempunyai peranan ganda,
yaitu menimbulkan pendapatan dan menaikkan kapasitas produksi melalui penambahan
persediaan modal. Secara sederhana teori Harrod-Domar adalah jika keseimbangan pada
tingkat full employment hendak dipertahankan maka dibutuhkan investasi dalam jumlah yang
cukup besar (ber-tambah), yang berarti pendapatan nasional makin besar untuk me-ngurangi
jumlah penduduk yang bertambah. Perbedaan pokok antara cara pendekatan Harrod-Domar
dan cara pendekatan Neo Klasik adalah bahwa Neo Klasik mengemukakan teori mobilitas
faktor dan analisisnya statika komparatif.
1.4 ALIRAN KEYNES DAN PASCA KEYNES
Setelah Perang Dunia I Ilmu Ekonomi mencapai kemajuan be-sar di bidang
pembahasan dan analisis perekonomian negara-negara maju dan berkembang. Bersamaan
dengan masa depresi yang melanda dunia tahun 1930-an muncullah pemikiran John Maynard
Keynes yang mengemukakan perubahan besar. Mula-mula Keynes menekankan pada
persoalan permintaan efektif (effective demand). Analisisnya adalah jangka pendek.
Kumpulan pemikiran Keynes dibukukan dalam bukunya yang berjudul General Theory of
Em-ployment, Interest and Money (1936). Tema sentralnya adalah bahwa karena upah
bergerak lamban, maka sistem kapitalisme tidak akan secara otomatis menuju kepada
keseimbangan penggunaan tenaga kerja secara penuh (full-employment equilibrium).
Menurut Keynes, akibat yang ditimbulkan adalah justru sebaliknya (equilibrium underemployment) yang dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal atau moneter untuk
meningkatkan permintaan agregat.
Aliran Pasca Keynes memperluas teori Keynes menjadi teori output dan kesempatan
kerja dalam jangka panjang, yang meng-analisis fluktuasi jangka pendek untuk mengetahui
adanya per-kembangan jangka panjang. Beberapa persoalan penting dalam analisis Pasca
Keynes adalah:
a. Syarat-syarat apakah yang diperlukan untuk mempertahankan perkembangan
pendapatan yang mantap (steady growth) pada tingkat pendapatan dalam
kesempatan kerja penuh (full employ-ment income) tanpa mengalami deflasi
ataupun inflasi.
b. Apakah pendapatan itu benar-benar bertambah pada tingkat sedemikian rupa
sehingga dapat mencegah terjadinya kemacetan yang lama atau tingkat inflasi
terus menerus.
Apabila jumlah penduduk bertambah, maka pendapatan per kapita akan berkurang,
kecuali bila pendapatan riil juga bertambah. Selanjutnya bila angkatan kerja berkembang,
maka output harus bertambah juga untuk mempertahankan kesempatan kerj a penuh. Bila
terjadi investasi, maka pendapatan riil harus bertambah pula untuk mencegah terjadinya
kapasitas yang menganggur (idle capac-ity).
1.5 TEORI BASIS EKSPOR (EXPORT BASE THEORY)
Teori basis ekspor adalah bentuk model pendapatan yang pa-ling sederhana. Teori ini
sebenarnya tidak dapat digolongkan sebagai bagian dari ekonomi makro interregional karena
teori ini menyeder-hanakan suatu sistem regional menjadi dua bagian, yaitu daerah yang
bersangkutan dan daerah-daerah lainnya.
Masyarakat itu dapat dinyatakan sebagai suatu sistem sosial ekonomi. Sebagai suatu
sistem, keseluruhan masyarakat melakukan perdagangan dengan masyarakat lain di luar batas
wilayahnya. Faktor penentu (determinan) pertumbuhan ekonomi dikaitkan secara langsung
kepada permintaan akan barang dari daerah lain di luar batas masyarakat ekonomi regional.
Pertumbuhan industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan material (bahan) untuk komoditas ekspor akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan
masyarakat.
Aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor kegiatan yakni
aktivitas basis dan non basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan yang melakukan aktivitas
yang berorien-tasi ekspor (barang dan jasa) ke luar batas wilayah perekonomian yang
bersangkutan. Kegiatan non-basis adalah kegiatan yang me-nyediakan barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang
bersangkutan. Luas lingkup produksi dan pemasarannya adalah bersifat local.
Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover) dalam
pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan
semakin maju pertumbuh-an wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan
yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (mul-tiplier effect) dalam
perekonomian regional.
Analisis basis ekonomi adalah berkenaan dengan identifikasi pendapatan basis
(Richardson, 1977, 14). Bertambah banyaknya ke-giatan basis dalam suatu wilayah akan
menambah arus pendapatan ke dalam wilayah yang bersangkutan, yang selanjutnya
menambah permintaan terhadap barang atau jasa di dalam wilayah tersebut, sehingga pada
akhirnya akan menimbulkan kenaikan volume ke-giatan non basis. Sebaliknya, berkurangnya
aktivitas basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke dalam suatu
wilayah, sehingga akan menyebabkan turunnya permintaan produk dari aktivitas non basis.
Walaupun teori basis ekspor mengandung kelemahan yang membagi perekonomian
rewgional menjadi dua sektor kegiatan yakni basis dan non basis, namun upaya tersebut dapat
bermanfaat sebagai sarana untuk memperjelas pengertian mengenai struktur daerah atau
wilayah yang bersangkutan dan bukan sebagai alat untuk membuat proyeksi jangka pendek
atau jangka panjang.
Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim
digunakan adalah kuosien lokasi (location quo-tient, LQ). LQ, digunakan untuk mengetahui
seberapa besar tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sectors). Dalam
teknik LQ berbagai peubah (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah,
misalnya kesempatan kerja (tenaga kerja) dan produk domestik regional bruto (PDRB) suatu
wilayah.
Analisis location quotient merupakan suatu alat yang dapat digunakan dengan mudah,
cepat dan tepat. Karena kesederhanaan-nya, teknik location quotient dapat dihitung berulang
kali dengan menggunakan berbagai perubah acuan dan periode waktu. Loca-tion quotient
merupakan rasio antara jumlah tenaga kerja pada sektor tertentu (misalnya industri) atau
PDRB terhadap total jumlah tenaga kerja sektor tertentu (industri) atau total nilai PDRB di
suatu daerah (kabupaten) dibandingkan dengan rasio tenaga kerja dan sektor yang sama di
provinsi dimana kabupaten tersebut berada dalam lingkup-nya. Perhitungan LQ dapat
dilakukan pula untuk membandingkan indikator di tingkat provinsi dengan di tingkat
nasional.
Analisis location quotient dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan merumuskan
komposisi dan pergeseran sektor-sektor basis suatu wilayah dengan menggunakan produk
domestik regional bruto (PDRB) sebagai indikator pertumbuhan wilayah.
Asumsi yang mendasari metoda LQ sangat melemahkan daya andalnya karena
beranggapan bahwa permintaan di setiap daerah adalah identik dengan pola permintaan
nasional, bahwa produk-tivitas tiap tenaga kerja di setiap daerah sektor regional adalah sama
dengan produktivitas tiap tenaga kerja dalam industri nasional, dan bahwa perekonomian
nasional merupakan suatu perekonomian tertutup. Kelemahan dari metoda LQ tersebut
hendaknya tidak ter-lalu ditonjolkan karena metoda LQ memiliki pula kelebihan penting,
yaitu memperhitungkan ekspor tidak langsung dan ekspor langsung. Misalnya, suatu pabrik
baja menjual sebagian besar dari outputnya kepada suatu pabrik mobil lokal yang
mengekspor kendaraan mobil, output baja memang dijual secara lokal, tetapi secara tidak
langsung telah dikaitkan dengan ekspor.
1.6 TEORI SEKTOR (SECTOR THEORY OF GROWTH)
Setiap wilayah mengalami perkembangan meliputi siklus jang-ka pendek dan jangka
panjang. Faktor-faktor dalam analisis perkem-bangan jangka pendek yang umumnya
digunakan adalah penduduk, tenaga kerja, upah, harga, teknologi dan distribusi penduduk,
tetapi laju pertumbuhan jangka panjang biasanya diukur menurut keluaran (output) dan
pendapatan. Pada umumnya kita sependapat bahwa pertumbuhan dapat terjadi sebagai akibat
dari faktor-faktor penentu endogen maupun eksogen, yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam wilayah yang bersangkutan atau faktor-faktor di luar wilayah atau kombinasi dari
keduanya.
Salah satu teori pertumbuhan wilayah yang paling sederhana adalah teori sektor. Teori
ini dikembangkan berdasar hipotesis Clark-Fisher yang mengemukakan bahwa kenaikan
pendapatan per kapita akan dibarengi oleh penurunan dalam proporsi sumberdaya yang
digunakan dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan da-lam sektor industri
manufaktur (sektor sekunder) dan kemudian dalam industri jasa (sektor tersier). Laju
pertumbuhan dalam sektor yang mengalami perubahan (sector shift). Dianggap sebagai determinan utama dari perkembangan suatu wilayah.
Alasan dari perubahan atau pergeseran sektor tersebut dapat dilihat dari sisi
permintaan dan sisi penawaran. Pada sisi permintaan, yaitu elastisitas pendapatan dari
permintaan untuk barang dan jasa yang disuplai oleh industri manufaktur dan industri jasa
adalah lebih tinggi dibandingkan untuk produk-produk primer. Maka pendapat an yang
meningkat akan diikuti oleh perpindahan (realokasi) susa berdaya dari sektor primer ke sektor
manufaktur dan sektor jasa Sisi penawaran, yaitu realokasi sumberdaya tenaga kerja dan
modal duktivitas dalam sektor-sektor tersebut. Kelompok sektor-sektor se-dilakukan sebagai
italokasi saad tingkat pertumbuhan se kunder dan besar dalam tingkat produktivitas nikmati
kemajuandorong peningkatan.
BAB 4
TEORI LOKASI DAN AGLOMERASI
1.1 PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EΚΟΝΟΜΙ MENGENAI LOKASI
Masalah lokasi dari setiap kegiatan pembangunan baik secara nasional maupun secara
wilayah harus dipertimbangkan masak-masak dan dipilih dengan tepat agar kegiatan tersebut
dapat berlangsung secara produktif dan efisien. Sebenarnya teori-teori lokasi telah lama
diintroduksikan oleh ahli-ahli ekonomi, dimana pada waktu itu implikasi secara teoretis
menunjukkan bahwa faktor tata ruang (space) dan faktor jarak (distance)
nampak sekunder atau secara implisit dibandingkan dengan unsur waktu (time) dalam analisis ekonomi. Perhatian terhadap teori lokasi telah menjadi semakin besar terutama sekitar
tujuh dasa warsa yang lalu bertepatan waktu pada perencanaan tata ruang, dimana dimensi
geografis dan lan-sekap ekonomi (economic landscape) dimasukkan sebagai variabel
tambahan yang penting dalam kerangka teori pembangunan.
Banyak ekonomi telah menyusun berbagai teori lokasi. Akan tetapi analisis mereka
ditunjukan pada perusanahaan-perusahaan individual yang memilih lokasinya dalam keadaan
yang terisolasi. Artinya pendekatan yang digunakan tidak memperhitungkan ada-nya
persaingan dan kemungkinan terjadinya reaksi, yaitu perubahan dalam lokasi, harga, atau
output (keluaran) terhadap perusahaan-perusahaan baru yang baru memasuki pasar. Di bawah
ini akan diuraikan perkembangan pemikiran mengenai lokasi.
Beberapa ahli ekonomi sebelum Adam Smith (1977) masih se-dikit sekali membahas
masalah lokasi. Sir William Petty (1662) telah menyadari adanya perbedaan sewa tanah yang
disebabkan oleh karena perbedaan lokasi, sedangkan Richard Cantillon (1730) tidak hanya
membicarakan masalah lokasi, akan tetapi telah mengemuka-kan pula teori pasar untuk kotakota yang telah berkembang sebagai akibat dari kemajuan ekonomi, yang semula pasarnya
tidak teratur kemudian menjadi pasar yang permanen. Dapat dikatakan bahwa ahli-ahli
ekonomi klasik tidak menulis secara terarah dan membuat analisis yang panjang lebar
mengenai masalah lokasi. Mereka hanya memberikan komentar singkat saja.
Adam Smith (1776) telah membahas perbedaan antara kota (town) dan desa (country).
Pengaruh lokasi dikemukakan yang per-tama kalinya secara nyata yaitu dalam teori Ricardo
(1817) mengenai sewa lahan, yang kemudian dikembangkan oleh Von Thunen. Dalam suatu
analisis singkat, J.S Mill (1839) melanjutkan teori klasik di atas, dimana dikemukakan bahwa
lahan non pertanian dapat menghasil-kan sewa lahan yang diukur dari perbedaan
penghasilan dari suatu lokasi yang sudah dianggap tepat dan di tempat lain yang kurang tepat,
misalnya lokasi di desa kecil atau di tempat lain yang kurang tepat. Von Thunen juga
menyebut-nyebut biaya transportasi, meski-pun tidak memandangnya sebagai faktor yang
mempengaruhi pemilihan Lokasi.
Dalam perdagangan internasional, analisis klasik telah me-nyinggung
implikasi lokasi yaitu dengan adanya penekanan pada pembagian kerja secara
teritorial. Misalnya Robert Torrens (1808) menyatakan bahwa jarak (distance) itu
dapat membatasi faktor mobilitas, dimana digunakan asumsi bahwa faktor produksi
tidak mobil (immobile faktors) dalam perdagangan internasional sedangkan dalam
pedagangan dalam negeri faktor produksi dapat bergerak bebas (mobil). Perbedaan
antara perdagangan tanpa mobilitas dan perdagangan dengan mobilitas telah
ditekankan secara khsusus oleh J.E Cairness (1874) yang menggunakan istilah commercial competition dan industrial competition. Commercial com-petition
menunjukkan pada perdagangan tanpa mobilitas, sedangkan industrial competition
pada perdagangan dengan mobilitas. Dilihat dari perkembangan pemikiran teoritis
dapat dikatakan bahwa dari masa Adam Smith sampai Pigou tidak ada analisis
deduktif yang mengemukakan pemikiran mengenai sebab-sebab yang menentukan
lokasi ekonomi.
Pemikiran lain dalam abad ke-19 dan sebelumnya yang ber-anggapan bahwa terdapat
perkembangan masalah tata ruang yaitu dalam bidang social physics, dimana diaplikasikan
analogi-analogi dan teknik-teknik yang berasal dari ilmu-ilmu alam pada perilaku manusia
dan sosial. G.W. Von Leibnis pada akhir abad ke-17 serta A. Comte dan A. Quetelet dalam
abad ke-19 membahas gejala sosial yang dianalisis dalam pengertian waktu dan tata ruang,
khususnya Quetelet memperlihatkan relevansi teori probabilitas terhadap interpretasi
perilaku manusia.
Generalisasi konsep gravitasi telah ditinggalkan sampai de-ngan permulaan abad ke20. Kemudian pada tahun 1929 W.J. Reilly berusaha mengukur kekuatan daya tarik suatu
pusat perdagangan. Hukum gravitasinya tentang perdagangan menyatakan bahwa arus
perdagangan antara dua buah kota adalah proporsional terhadap jumlah penduduknya.
Dari sekian banyak teori lokasi dan teori perwilayahan yang telah diintrodusir oleh
para pencetusnya dapat diketengahkan beberapa di antaranya yang dianggap penting, yaitu
Von Thunen (1826), A. Weber (1909), W. Christaller (1933), A. Losch (1944), F. Perroux
(1955), W. Isard (1956), dan J. Friedmann (1964).
Von Thunen telah mengembangkan hubungan antara perbeda-an lokasi pada tata
ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan. Menurut von Thunen, jenis pemanfaatan
lahan dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pula pada aksesibilitas relatif.
Lokasi berbagai jenis produksi pertanian (seperti menghasilkan ta-naman pangan,
perkebunan, dan sebagainya) ditentukan oleh kaitan antara harga barang-barang hasil dalam
pasar dan jarak antara daerah produksi dengan pasar penjualan. Kegiatan yang mampu
menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar akan ditempatkan pada kawasan konsentris
yang pertama di sekitar kota, karena keuntungan yang tinggi per hektar memungkinkan untuk
membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya kurang intensif dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya.
Analisis penentuan lokasi optimum seperti dikemukakan oleh von Thunen telah
mendapat perhatian utama dalam pemikiran Alfred Weber. Ia menekankan pentingnya biaya
transportasi sebagai faktor pertimbangan lokasi. Teori Weber sebenarnya menekankan dua
kekuatan lokasional primer, yaitu selain orientasi transportasi juga orientasi tenaga kerja.
Weber telah mengembangkan pula dasar-dasar analisis wilayah pasar dan merupakan seorang
ahli teori Lokasi yang pertama membahas mengenai aglomerasi. Pemikiran Weber telah
memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek, di antaranya yaitu penentuan lokasi
yang optimal dan kontribusinya yang esensial dalam pengembangan wilayah yaitu mengenai
munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri).
Christaller mengembangkan pemikirannya tentang penyusun-an suatu model wilayah
perdagangan yang berbentuk segi enam atau heksagonal. Teorinya adalah teori tempat sentral
(central place theory). Heksagonal yang terbesar memiliki pusat paling besar, se-dangkan
heksagonal yang terkecil memiliki pusat paling kecil. Secara horisontal, model Christaller
menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang tersusun dalam tata ruang geografis, dan
tempat-tem-pat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai wi-layah
perdagangan atau wilayah pelayanan yang lebih luas diban-dingkan pusat-pusat yang kecil;
sedangkan secara vertikal, model tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih
tinggi orde-nya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan bahanbahan mentah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya disuplai oleh pusat-pusat yang lebih
rendah ordenya. Prinsip pe-masaran dengan susunan piramidal pada model tempat sentral
dapat menjamin minimisasi biaya-biaya transportasi. Menurut Christaller, seluruh wilayah
perdagangan dapat dilayani, sedangkan dalam kenyataannya sebagian dari wilayah-wilayah
tersebut tidak sepenuh-nya dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan
hambatan-hambatan geografis.
Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusat-pusat kota
(wilayah-wilayah nodal) tetapi tidak men-jelaskan bagaimana pola tersebut mengalami
perubahan-perubahan pada masa depan, atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan gejalagejala (fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat statis; agar teori tempat sentral dapat
menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan
wilayah yang menjelas-kan mengenai proses perubahan-perubahan struktural. Salah satu dari
teori pertumbuhan wilayah adalah teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) yang
diformulasikan oleh Perroux.
Sumbangan positif teori tempat sentral dapat dicatat bahwa teori tersebut relevan bagi
perencanaan kota dan wilayah karena sistem herarki pusat merupakan sarana yang efisien
untuk peren-canaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota merupakan
unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal dan melahirkan konsep-konsep
dominasi dan polarisasi.
Losch mengintroduksikan pengertian-pengertian wilayah pasar sederhana, jaringan
wilayah pasar, dan sistem jaringan wilayah pasar. Prasarana transportasi merupakan unsur
pengikat wilayah-wilayah pasar. Unit-unit produksi pada umumnya ditetapkan pada pusatpusat pasar yang juga merupakan pusat-pusat urban. Per-usahaan-perusahaan akan memilih
lokasinya pada suatu tempat dimana terdapat permintaan maksimum. (Loschian demand cone
theory).
Berdasar struktur herarkis tempat sentral yang telah ditunjuk-kan oleh Christaller di
atas, Isard telah menekankan pentingnya kedudukan pusat-pusat urban tingkat nasional
(metropolis) dalam kaitannya dengan aglomerasi industri. Selanjutnya Isard mengembangkan gejala locational economies (penghematan lokasi), dan ur-banization economies
(penghematan urbanisasi) sebagai akibat dari pengaruh lokasi. Menurut C.K Zipf, urutan
besarnya peranan kota-kota dapat ditentukan dengan cara meranking pusat-pusat yang
bersangkutan (rank size rule) menurut jumlah penduduknya.
Konsepsi Perroux merupakan langkah utama untuk memberi bentuk konkrit pada
aglomerasi. Dinyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di segala
tempat, akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu. Ia lebih memberikan
tekanan pada aspek konsentrasi proses pembangunan dan menganggap in-dustri pendorong
(propulsive industries) sebagai titik awal perubahan unsur yang esensial untuk menunjang
pembangunan selanjutnya. Meskipun teori kutub pertumbuhan ini berguna untuk menguji
atau membandingkan konsekuensi yang berbeda-beda dari pemilihan alternatif lokasi, akan
tetapi teori tersebut tidak dikate-gorisasikan sebagai teori lokasi (spaceless).
Dimensi geografis telah dimasukkan ke dalam pengaruh kutub pengembangan. Antara
kota dan pedesaan terdapat kaitan yang sangat erat, satu sama lainnya saling melengkapi
seperti dikemuka-kan oleh Mosher. Friedmann meninjaunya dari ruang lingkup yang luas
dengan menampilkan teori core region (wilayah inti). Wilayah inti dikaitkan dengan
fungsinya yang dominan terhadap perkem-bangan wilayah-wilayah di sekitarnya, misalnya
sebagai pusat per-dagangan atau pusat industri. Wilayah-wilayah di sekitar wilayah inti
disebut wilayah-wilayah pinggiran (periphery regions).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi suatu industri atau unit
produksi pada umumnya dikaitkan dengan lokasi sumber bahan mentah dan wilayah
pasarnya. Kriteria penen-tuan yang digunakan bermacam-macam, yaitu biaya transportasi
yang terendah, sumber tenaga kerja yang relatif murah, ketersediaan sumberdaya air, energi
ataupun daya tarik lainnya berupa peng-hematan-penghematan lokasional dan penghematanpenghematan aglomerasi. Dimensi wilayah dan aspek tata ruang telah dimasukkan sebagai
variabel tambahan yang penting dalam kerangka teori pembangunan.
1.2 KEKUATAN-KEKUATAN AGLOMERASI DAN DEGLOMERASI
Untuk menganalisis pembangunan kota dan wilayah, kita harus memahami
sepenuhnya mengenai kekuatan-kekuatan aglo-merasi dan deglomerasi. Kekuatan-kekuatan
tersebut dapat men-jelaskan terjadinya konsentrasi dan dekonsentrasi atau dispersi ke-giatan
industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Konsentrasi berbagai kegiatan nampak lebih jelas
pada kota-kota besar, misalnya Tokyo, New York, London, Paris, Rio de Janeiro, dan lainlainnya. Manfaat-manfaat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan di atas dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu (1) penghematan skala (scale economies), (2)
penghematan lokasi (lokalization economies), dan (3) penghematan urbanisasi (urbanization
economies).
Penghematan skala. Terdapat penghematan dalam produksi secara internal bila skala
peoduksinya ditingkatkan. Biaya tetap yang besar sebagai akibat investasi dalam bentuk
pabrik dan peralatan, yang memungkinkan dilaksanakan pemanfaatan pabrik dan per-alatan
tersebut dalam skala besar dapat membagi-bagi beban biaya-biaya tetap pada berbagai unit
yang terdapat dalam sistem produksi. Sebagai konsekuensinya, unit biaya produksi menjadi
lebih rendah sehingga dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain. Pro-duksi pada
skala besar dimaksudkan untuk menghindari unit biaya operasi yang eksesif. Hal ini dapat
dipertanggungjawabkan hanya pada lokasi-lokasi yang melayani penduduk dalam jumlah
besar, atau dengan perkataan lain mempunyai suatu pasar yang luas. Jadi dapat disimpulkan
bahwa terjadinya penghematan skala internal memberikan manfaat pada konsenstrasi
penduduk dalam jumlah besar dari pada jumlah penduduk yang sedikit, industri dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Penghematan lokalisasi. Jenis kedua, kekuatan yang terpenting konsentrasi industri
diasosiasikan dengan penghematan yang di-nikmati oleh semua perusahaan dalam suatu
industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu. Hal ini disebabkan karena bertambahnya
jumlah keluaran (total output) industri tersebut. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan
mengenai pabrik tekstil. Kasus di suatu wilayah yang belum berkembang, dimana terdapat
kelayakan untuk men-dirikan pabrik-pebrik modern ukuran kecil yang tidak membutuhkan
investrasi modal yang eksesif dan dapat beroperasi tanpa dilayani oleh tenaga kerja yang
memiliki keterampilan yang tinggi dan spesialistis. Setiap pabrik tekstil boleh jadi melakukan
sendiri reparasi fasilitasnya, misalnya 4 atau 5 kali dalam setiap tahun. Akan tetapi bila
pabrik tersebut memerlukan pelayanan reparasi atau perbaikan secara cepat, maka fasilitas
reparasi harus berada tidak jauh dari padanya. Unit biaya reparasi akan sangat tinggi bila
fasilitas reparasi digunakan hanya oleh sebuah pabrik untuk 4 atau 5 kali dalam satu tahun
dan tidak dapat digunakan pada waktu sisanya. Sebaliknya bila terdapat sekelompok 10 buah
pabrik, dimana masing-masing pabrik dapat dilayani dengan cepat dan gampang, maka
fasilitas reparasi tersebut dapat dimanfaatkan secara lebih penuh, katakanlah 40 atau 50 kali
dalam satu tahum. Biaya-biaya tetapnya dapat disebarkan di antara pemakaian yang lebih
banyak, sehingga biaya reparasi menjadi rendah dan disamping itu masih dapat diperoleh
sejumlah keuntungan yang cukup. Jadi dengan pengelompokan pabrik-pabrik tekstil tersebut,
maka fasilitas dapat dimanfaatkan secara lebih efektif dan diharapkan dapat menurunkan
biaya reparasi. Hal ini menciptakan suatu penghematan lokalisasi.
Contoh lain yaitu pembangkit tenaga listrik. Pada umumnya perusahaan listrik
berskala besar, biaya per kilowat-jam menurun dengan adanya peningkatan keluaran. Sepuluh
buah pabrik tekstil akan memperoleh manfaat berupa biaya listrik yang lebih rendah apabila
mereka bersama-sama mengusahakan suatu pabrik pem-bangkit tenaga liastrik dari pada
masing-masing mendirikan instalasi tenaga listrik yang kecil secara sendiri-sendiri.
Berkelompok dan terkonsentrasinya pabrik-pabrik sejenis pada suatu daerah geografis
tertentu, misalnya di daerah-daerah perkota-an, akan menciptakan penghematan lokasisasi
dan akan meningkattransportasi dan biaya produksi untuk ketiga pabrik tersebut secara
bersama-sama, maka lokasi yang terbaik ditetapkan adalah pada titik A, karena dapat
mencapai sasaran tersebut. Dalam sistim kapitalis dan bahkan dalam banyak sistem non
kapitalis masing-masing pro-dusen secara primer tertarik pada keuntungan sendiri, bukan
pada keuntungan bersama-sama dengan perusahaan-perusahaan yang lain. Tiap-tiap produsen
tertarik pada daerah aglomerasi potensial yaitu di sektor A dan batas yang paling jauh
isodapan kritisnya masing-masing.
Penghematan urbanisasi. Penghematan urbanisasi adalah jenis penghematan yang
ketiga. Penghematan urbanisasi diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk,
hasil industri, pen-dapatan, dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan yang
dilakukan bersama-sama. Penghematan ini memperkaitkan pada kegiatan industri-industri
dan sektor-sektor secara agregatif. Misalnya suatu kegiatan yang sangat tergantung pada
manajemen yang kreatif dan tenaga kerja yang terampil. Dalam hal ini terdapat risiko untuk
menempatkan kegiatan tersebut di suatu daerah per-kotaan yang relatif kecil. Suatu daerah
metropolitan yang besar se-perti kota New York dan Tokyo dapat menyediakan tenaga ahli
yang lebih spesialistis yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan da-gang raksasa.
Ditunjang dengan perpustakaan teknik yang memiliki koleksi lengkap buku-buku dan jurnaljurnal ilmu teknik yang sa-ngat relevan. Demikian pula dalam hal fasilitas hukum,
administrasi perusahaan, berbagai fakultas dalam struktur perguruan tinggi, fasilitas reparasi
yang spesialistis, pelayanan jasa dan alat-alat rumah tangga yang tidak terdapat di semua
tempat atau kota, dan me-nawarkan berbagai barang berkualitas tinggi.
Jika penghematan aglomerasi mempunyai pengaruh terhadap pengembangan dan
pertumbuhan kota, maka sebaliknya pemboros-an urbanisasi dan penghematan deglomerasi
bersifat membatasi pertumbuhan, misalnya kongesti lalu lintas. Kongesti lalu lintas
mengakibatkan waktu perjalanan bertambah lama, demikian pula ketidaknyamanan fisik,
ketegangan, dan ketidakpastian umum. Banyak ilmu sosial menyusun hipotesis bahwa
masyarakat menjadi kurang manusiawi, tingkat kriminalitas dan kecemasan sosial meningkat
bersamaan dengan pertumbuhan kota. Akhir-akhir ini telah dikemukakan mengenai betapa
bahayanya ancaman-ancaman di daerah perkotaan, yakni pencemaran udara, pencemaran air,
buangan-buangan sampah solid, dan kebisingan suara, yang harus ditanggulangi
secara menyeluruh.
BAB 5
TEORI TEMPAT SENTRAL (CENTRAL PLACE THEORY)
1.1 SUSUNAN HERARKI PUSAT SECARA SPASIAL
Teori tempat sentral (central place theory) diintroduksikan oleh 7 Christaller (ahli
ilmu bumi, 1933) yang kemudian diperluas oleh August Losch (ahli ekonomi, 1944). Teoriteori tersebut di atas telah merintis analisis tata ruang yang menekankan pada identifikasi sistem wilayah baik secara fisik ataupun ekonomi yang memiliki pola distribusi kegiatankegiatan produksi dan daerah-daerah perkotaan secara herarkis.
Menggunakan asumsi-asumsi yang hampir sama di antaranya wilayah model
merupakan dataran yang homogen, penduduk dan enaga belinya tersebar merata di seluruh
wilayah. Christaller dan Losch menjelaskan susunan pusat-pusat secara spasial. Obyek pembahasan mereka dapat dikatakan sama yaitu menyoroti persoalan-persoalan lokasi dan
distribusi pengelompokan kegiatan-kegiatan ekonomi secara geografis. Meskipun keduanya
tidak memperhatikan adanya penghematan eksternal. Tetapi keduanya mempunyai perbedaan, baik dalam lingkup dan cara pandang yang dikembangkan.
Pertama, Christaller mengembangkan modelnya dari atas atau skala besar (nasional).
Menurut Christaller, setiap wilayah per-dagangan heksagonal berbentuk segi enam, lihat
Gambar 5.1.A memiliki pusat; besar-kecilnya pusat-pusat tersebut adalah seban-ding dengan
besar-kecilnya masing-masing wilayah heksagonal. Wilayah heksagonal yang terbesar
memiliki pusat yang paling besar, sedangkan wilayah heksagonal yang terkecil memiliki
pusat yang paling kecil. Dalam keseimbangan jangka panjang, seluruh wilayah heksagonal
yang besarnya berbeda-beda sudah mencakup dan saling bertindih satu sama lain. Susunan
herarki ini membentuk model pola pemukiman sistem K=3.
Secara horisontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang
tersusun dalam tata ruang geografis. Tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi
ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang lebih luas. Tempattempat sentral kecil dan wilayah-wilayah komplementernya tercakup dalam wilayah-wilayah
perdagangan dari pusat-pusat yang lebih besar. Secara vertikal, model tersebut
memperlihatkan keterkaitan dalam pelayanan antara tempat sentral yang lebih tinggi ordenya
dan tempat-tempat sentral yang lebih rendah ordenya. Sedangkan Losch mengembangkan
modelnya mulai dari bawah yaitu wilayah spasial yang tersempit ruang lingkupnya. Mulamula wilayah per-dagangan berbentuk wilayah pasar sederhana, kemudian ber-kembang
menjadi suatu jaringan wilayah pasar, dan akhirnya mem-bentuk sistem wilayah pasar (lihat
Gambar 5.2.A sampai dengan gambar 5.2.C).
Kedua, barang yang diperdagangkan dalam kedua model tersebut berbeda tipenya.
Barang-barang yang digunakan dalam model Losch termasuk dalam golongan barang-barang
yang dapat diangkut (transportable commodities). Sedangkan model Christaller menekankan
pada jasa-jasa yang tidak mobil (immobile service). Jasa-jasa tersebut untuk melayani
distribusi barang-barang (nasional) yang diproduksi hanya pada pusat-pusat sistem. Model
susunan spesial yang dikembangkan oleh Losch berdasarkan pada industri-industri sekunder
dan terjadinya pola spsialisasi merupakan kasus normal. Bila demikian halnya, maka model
Losch dan Christaller dapat dipandang sebagai saling melengkapi satu sama lainnya. Yang
pertama menjelaskan susunan spasial pada kegiatan-kegiatan sekunder dan yang kedua
berorientasi pada kegiatan-kegiatan jasa.
Ketiga, model Christaller menganalisis susunan spasial baik dari segi mikro maupun
dari segi makro. Analisis dari segi mikro adalah mengenai distribusi produksi barang-barang
secara indi-vidual, dan analisis segi makro menyangkut disribusi aglomerasi, sedangkan
model Losch tidak menganalisis susunan spasial secara makro atau agregatif. Karya Losch
bukan merupakan susunan spasial yang overall, tetapi lebih merupakan model-model lokasi
spesialisasi spasial dan perdagangan barang-barang individual dari pada sebagai model
susunan spasial secara kebulatan. Spesialisasi spasial dapat dijelaskan bahwa tidak perlu
semua barang diproduksikan pada pusat yang lebih unggul (superior).
Menurut model Christaller, pusat-pusat yang lebih tinggi orde-nya melayani pusatpusat yang lebih rendah ordenya, sedangkan menurut Losch pusat-pusat yang lebih kecil
melayani pusat yang lebih besar. Meskipun model-model di atas tidak sepenuhnya sesuai
dengan kenyataan, tetapi pembahasan masalah wilayah nodal ter-utama mengenai proses
respons nodal yang dikemukakan dalam kerangka dasar tempat sentral memberikan manfaat
yaitu menggam-barkan terjadinya hubungan antar pusat dan antar tingkat. Respons nodal
menunjukkan ciri bahwa pertumbuhan kegiatan di suatu pusat adalah untuk melayani
penduduk di daerah belakang (hinterland). Jika pertumbuhan terjadi di daerah belakang,
misalnya dalam bidang pertanian, maka melalui pola suplai hasil-hasil produksinya akan
mendorong pertumbuhan di pusat perkotaan. Proses ini berlangsung melalui multiplier intra
regional dan mungkin akan menimbulkan perubahan-perubahan struktural di pusat. Gejala ini
memperkuat keuntungan-keuntungan aglomerasi. Pendirian industri-industri baru meningkat,
demikian pula dalam kegiatan-kegiatan industri substitusi barang impor, produksi perantara,
dan lapangan kerja. Dalam keadaan ini dorongan pertumbuhan daerah perkotaan tidak berasal
dari daerah belakang. Menurut teori tempat sentral, fungsi-fungsi pokok pusat perkotaan
berorientasi pada permintaan penuduk daerah belakang. Tetapı kasus di atas ternyata
berorientasi pula pada suplai dari daerah belakang. (H.W. Richardson, 1971, 93).
1.2 GEJALA DINAMIS DAN PERTUMBUHAN WLAYAH
Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusat-pusat kota
atau wilayah-wilayah nodal, tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola geografis tersebut
terjadi secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada
masa depan, atau dapat dikatakan tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan.
Dengan demikian teori tersebut dapat dikatakan bersifat statis. Agar teori tempat sentral
mampu menjelas-kan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori
pertumbuhan wilayah. Salah satu di ataranya adalah teori Perroux (kutub pertumbuhan) yang
membahas perubahan-perubahan struk-tural pada tata ruang geografis. Atau dapat dikatakan
teori tempat sentral merupakan dasar dari teori kutub pertumbuhan.
Teori tempat sentral sebagian bersifat positif karena berusaha menjelaskan pola aktual
arus pelayanan jasa, dan sebagian lagi ber-sifat normatif karena berusaha menentukan pola
optimal distribusi tempat-tempat sentral. Teori tempat sentral mempunyai kontribusi pada
pemahaman interrelasi spasial dan kota-kota sebagai sistem di dalam sistem perkotaan.
Teori tempat sentral tidak memberikan penjelasan secara leng-kap mengenai
pertumbuhan kota karena teori tersebut diformulasi-kan berdasarkan pembangunan daerah
pertanian yang tersusun secara herarkis dan berpenduduk merata. Dengan tumbuhnya kotakota maka muncullah jasa-jasa yang tidak berkenaan dengan pasar wilayah belakang. Sebagai
contoh kehidupan kota metropolitan da-pat menciptakan kebutuhan-kebutuhan sendiri
(internal), misalnya peningkatan penyediaan fasilitas penyediaan air minum, listrik, angkutan
umum, demikian pula kebutuhan fasilitas parkir.
Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pertumbuhan kota ter-nyata tidak
sesederhana seperti persoalan pemasaran barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan oleh
tempat sentral. Analisis tempat sentral menekankan pada peranan sektor perdagangan dan
kegiatan-kegiatan jasa daripada kegiatan-kegiatan manufaktur. Kegiatan manufaktur
dianggap sebagai kegiatan produktif non tempat sentral. Hal ini tidak sesuai dengan
kenyataan. Banyak kota-kota besar dan kota-kota lainnya seringkali mengalami perluasan
dalam hal lokasi manufaktur karena kota-kota yang bersangkutan merupakan pasar tenaga
kerja yang luas dan pada umumnya memberikan keuntungan-keuntungan aglomerasi, dimana
perusahaan-perusahaan manufak-tur lebih banyak melayani pasar nasional dari pada pasarpasar re-gional. Model tempat sentral ternyata tidak berhasil menjelaskan timbulnya
kecenderungan yang kuat dalam masyarakat mengenai pengelompokan perusahaanperusahaan karena pertimbangan keuntungan-keuntungan aglomerasi dan ketergantungan.
1.3 TIGA KONSEP FUNDAMENTAL
Meskipun model tempat sentral mempunyai keterbatasan-keterbatasan, namun
sesungguhnya teori tempat sentral mengan-dung paling sedikit tiga konsep fundamental
(H.W. Richardson, 1969. 72), yaitu konsep ambang (threshold), lingkup (range), dan herarki
(hierarchy). Proses penyebaran pertumbuhan mengikuti pola ambang (jumlah penduduk) dan
pola lingkup (sistem lokasi). Kedua faktor tersebut menentukan herarki tempat sentral.
Konsep-konsep ini merupakan unsur-unsur susunan spasial yang penting dan dapat
digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan formal permin-taan dan wilayah-wilayah
perdagangan atau wilayah-wilayah pelayanan.
1.4 SUMBANGAN POSITIF TEORI TEMPAT SENTRAL
Sumbangan positif teori tempat sentral adalah bahwa teori tersebut relevan bagi
perencanaan kota dan wilayah, karena sistem herarki merupakan sarana yang efisien untuk
perencanaan wilayah. Tempat sentral besar seringkali merupakan titik pertumbuhan inti di
wilayahnya dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi ke seluruh wilayah. Dengan
demikian jelaslah bahwa distribusı tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota merupakan unsur
yang sangat penting dalam struktur wilayah-wilayah nodal dan kemudian me-lahirkan
konsep-konsep dominasi dan polarisasi. Teori tempat sentral mengemukakan model yang
mudah dimengerti untuk menjelaskan pertumbuhan herarki kota dan ketergantungan antara
pusat-pusat kota dan wilayah-wilayah di sekitarnya.
BAB 6
TEORI KUTUB PERTUMBUHAN
1.1 PEMBANGUNAN TIDAK TERJADI DI SEMUA TEMPAT
Sebagaimana diketahui bahwa potensi i dan kemampuan masing-masing wilayah
berbeda-beda satu sama lainnya, demikian pula masalah pokok yang dihadapinya tidak sama.
Sehingga usaha-usaha pembangunan sektoral yang akan dilaksanakan harus disinkronisasikan dengan usaha-usaha pembangunan regional.
Analisis ekonomi pada umumnya hanya cenderung menekan-kan pada masalah
"berapa besar" sumberdaya tertentu yang akan dialokasikan untuk mencapai suatu tujuan,
tanpa mempertimbangkan masalah yang menyangkut "dimana" usaha tersebut akan ditempatkan. Beberapa ahli ekonomi seperti Friedmann dan Alonso telah mengemukakan
pendapatnya mengenai betapa pentingnya masalah penentuan lokasi proyek baru akan
ditempatkan. Masalah keadilan sosial (social justice) di samping manfaat pembangunan
ekonomi. Hal ini sangat penting akan tetapi sulit diukur.
Teori lokasi klasik ternyata tidak berlaku secara sempurna, ka-rena beranggapan
bahwa semua kegiatan berlangsung diatas per-mukaan (surface) yang sama, perbedaan
geografis dianggap tidak ada, fasilitas transportasi terdapat ke segala jurusan, bahan mentah
(baku) industri, pengetahuan teknis dan kesempatan produksi adalah seragam (uniform) di
seluruh wilayah. Sebagai akibat dari ketidak-sempurnaan pendekatan klasik tersebut, maka
kemudian timbullah pemikiran baru yaitu teori kutub pertumbuhan (growth pole atau pole de
croisance). Teori ini pertama kali dilontarkan oleh pencetus-nya yaitu Francois Perroux,
seorang ahli ekonomi Perancis. Ia menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak
terjadi di semua wilayah, akan tetapi terbatas hanya pada beberapa tempat tertentu dengan
variabel yang berbeda-beda intensitasnya.
Mengikuti pendapat Perroux tersebut, Hirschman mengatakan bahwa untuk mencapai
tingkat pendapatan yang lebih tinggi, ter-dapat keharusan untuk membangun sebuah atau
beberapa buah pu-sat kekuatan ekonomi dalam wilayah suatu negara, atau yang disebut
sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth point atau growth pole). Konsep kutub
pembangunan atau pusat pertumbuhan sudah dipakai banyak negara. Di Perancis konsep ini
mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan di negara-negara lain.
1.2 KUTUB PEMBANGUNAN DAN INDUSTRI PENDORONG
Menurut Perroux terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep kutub
pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap
unit-unit ekonomi lain-nya. Pengaruh tersebut semata adalah dominasi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang geografis dan dimensi ekonomi yang terlepas dari pengaruh
tata ruang geografis dan dimensi tata ruang (geografic space and space dimension).
Perusahaan-perusahaan yang menguasai dominasi ekonomi tersebut pada umumnya adalah
in-dustri besar yang mempunyai kedudukan oligopolistis dan mem-punyai pengaruh yang
sangat kuat terhadap kegiatan para langgan-annya.
Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah konsisten dengan teori tata
ruang ekonomi (economic space theory), dimana industri pendorong (propulsive industries
atau industries motrice) dianggap sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk
pembangunan selanjutnya. Nampaknya Perroux lebih me-nekankan pada aspek pemusatan
pertumbuhan.
Meskipun ada beberapa perbedaan penekanan arti industri pendorong, akan tetapi ada
tiga ciri dasarnya yang dapat disebutkan, yaitu sebagai berikut.
1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mem-punyai
pengaruh yang kuat, baik langsung maupun tidak lang-sung terhadap
pertumbuhan ekonomi.
2. Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang dengan cepat.
3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lain-nya harus
penting sehingga besarnya pengaruh yang ditimbul-kan dapat diterapkan
kepada unit-unit ekonomi lainnya.
Dilihat secara tata ruang geografis, industri-industri pendorong dan industri-industri
yang dominan mendorong terjadinya aglo-merasi-aglomerasi pada kutub-kutub pertumbuhan
dimana mereka berada. Jelaslah bahwa industri pendorong mempunyai peranan penting
dalam proses pertumbuhan ekonomi. Hal ini pertama kali ditekankan oleh Perroux, kemudian
diikuti oleh teman sekolahnya Bauchet, yang menulis bahwa pertumbuhan daerah-daerah
yang kurang maju tergantung pada kegiatan dari unit-unit ekonomi yang besar. Industriindusitri besar akan mampu meletakkan dasar per-tumbuhan pendapatan ekonomi bagi
daerahnya. Demikian pula Davin mempertahankan pendapatnya bahwa pusat utama pertumbuhan ekonomi terdapat pada tempat-tempat yang memiliki industri berat dan berkapasitas
tinggi, dan industri kimia.
Setelah menjelaskan beberapa pendapat ahli seperti dikemuka-kan diatas, maka dapat
pula dikemukakan bahwa pada umumnya industri pendorong adalah produsen external
economies (penghematan eksternal ekonomi), industri pendorong yang memberikan
penghematan-penghematan ekonomi bagi perkembangan industri-industri lainnya, Aydalot
menyebutkan industri mobil, Regie Renault (nama pemilik pabrik mobil terkenal di Perancis)
sebagai pengusaha pendorong. Bila dihubungkan dengan segi masukan-keluaran (inputoutput), maka dapat dikatakan bahwa Renault merupakan suatu kutub yang berpusat di Paris
dan daerah pemasarannya tersebar di seluruh dunia.
1.3 BEBERAPA KRITIK
Salah satu dasar teori kutub pertumbuhan ekonomi adalah ide yang menjelaskan
bahwa proses pertumbuhan ekonomi mempunyai sumber dan mendapat rangsangan yang
terus menerus dari kegiatan industri besar. Pada dasarnya pemikiran semacam ini berasal dari
teori dominasi. Beberapa kritik terhadap teori kutub pertumbuhan dapat dikemukakan sebagai
berikut.
Pertama, kenyataan menunjukkan bahwa besarnya suatu indsutri itu sendiri tidak
cukup menjamin pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh dapat disebutkan suatu industri besi
di Lorraine (Perancis), dimana pembangunan industri tersebut tidak diikuti oleh
pembangunan industri-industri lainnya yang membutuhkan besi ersebut sebagai masukannya.
Akhirnya Lorraine menjadi sangat tergantung pada daerah lain, suplai mesin-mesin dan
peralatan terpaksa didatangkan dari luar. Contoh lain di daerah Lyon yang berbeda dengan
pengalaman Lorraine. Lyon secara ekonomis cocok untuk industri tekstil. Pada saat yang
sama dibangun pula industri kimia yang ternyata lebih berkembang dan menjadi lebih penting
sebagai kutub pertumbuhan.
Kedua, dalam konsep pertumbuhan tidak seimbang (unba-lanced growth) Hirschman
telah memperkenalkan kegiatan-kegiatan pendorong (propulsive). Investasi dalam industri
yang strategis akan menimbulkan kesempatan investasi baru dan memperkuat pem-bangunan
ekonomi selanjutnya. Suatu investasi yang besar dalam social overhead capital akan
menimbulkan dorongan investasi swasta dalam kegiatan produktif secara langsung (direct
productice activi-ties). Aydolt menunjukkan walaupun telah dicoba untuk meng-gabungkan
konsep unbalanced growth dengan teori growth pole, akan tetapi hasilnya tidak sukses.
Misalnya di negara-negara Afrika, industri-industri pendorong tidak mampu memenuhi
peranannya karena negara-negara yang baru saja mebangun itu menghadapi persoalan yang
sama dengan negara-negara yang telah maju, selain dari pada itu jumlah wiraswasta
(enterpreneur) masih belum cukup tersedia.
Ketiga, kedudukan industri pendorong seringkali diartikan terlalu berlebihan
(overestimated). Boudeville mengemukakan contoh keadaan di Denmark. Negara tersebut
telah memenuhi persyaratan sebagai suatu wilayah yang independen dimana proses
pertumbuhan ekonominya dapat berkembang cepat. Kenyataan menunjukkan bahwa
kemakmuran negara tersebut tidak dimulai oleh industri-industri pendorong, akan tetapi
didukung oleh usaha-usaha kooperatif dari unit-unit usaha pertanian kecil yang tersebar
di seluruh negeri.
Keempat, teori kutub pertumbuhan tidak memberikan pen-jelasan yang memuaskan
mengenai proses aglomerasi, yaitu terkon-senstrasinya industri-industri pada suatu daerah.
Vernon memper-lihatkan bahwa industri-industri tertarik berkonsentrasi di suatu tempat oleh
karena penghematan eksternal yang diberikan oleh kota-kota besar, bukan karena sifat-sifat
oligopolistis industri pendorong. Banyak industri kecil dan menengah berkonsentrasi di suatu
tempat disebabkan karena ketergantungan pada jasa bisnis perantara dan adanya keperluan
untuk mengadakan kontak yang harus dilakukan dengan langganannya, antara para pembeli
dan penjual.
Walaupun kutub-kutub pertumbuhan mempunyai pengaruh yang dominan terhadap
perkembangan daerah-daerah di sekitarnya, akan tetapi teori kutub pertumbuhan dapat
dikategorisasikan sebagai teori tanpa tata ruang (spaceless), karena teori tersebut tidak menjelaskan tentang pemilihan lokasi optimum suatu industri atau per-usahaan.
Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendefinisikan ku-tub pembangunan
wilayah sebagai seperangkat industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah
perkotaan dan men-dorong lebih lanjut perkembangan ekonomi melalui wilayah pengaruhnya (localized development pole). Teori Boudeville dapat di-anggap sebagai
pelengkap terhadap teori tempat sentral yang di-formulasikan oleh Christaller dan kemudian
diperluas oleh Losch. Boudeville mengemukakan aspek "kutub fungsional" dan memberi-kan
pula perhatian pada aspek geografis. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori Boudeville
telah menjembatani terhadap teori-teori spasial yang terdahulu, yang menekuni persoalan
susunan kegiatan-kegiatan pada tata ruang.
1.4 KEGAGALAN DAMPAK PERTUMBUHAN KE WILAYAH PENGARUH
Pada dasa warsa pertama pertengahan abad ke-20 (dekade 50-an) muncul teori-teori
yang menyatakan pentingnya peranan pusat-pusat pertumbuhan/pembangunan, di antaranya
adalah (1) teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) yang diintodusirkan oleh Francois
Perroux, (2) teori kutub pembangunan yang terlokalisası (localized development pole theory)
yang dilontarkan oleh Boude ville, (3) teori titik pertumbuhan (growth point theory) yang
dikemukakan oleh Albert Hirschman. Masih banyak istilah lain mengenai peranan pusat
pertumbuhan (pembangunan), mulai dari growth centre, development centre, growing centre,
developing cen-tre, growth point development nuclei, sampai pada service centre dan simpul
jasa distribusi (Poernomosidi Hadjisaroso).
Peranan kutub pertumbuhan dalam pengembangan wilayah adalah sebagai penggerak
utama atau lokomotif pertumbuhan, yang selanjutnya menyebarkan hasil-hasil pembangunan
dan dampak pertumbuhan ke wilayah pengaruhnya. Dalam hubungan dengan penyebaran
dampak pertumbuhan ke wilayah pengarun di sekitarnya, Albert Hirscman telah
memperkenalkan istilah trickling down effect (atau dampak tetesan ke bawah).
Pengalaman selama ini, teori kutub pertumbuhan dianggap gagal karena tidak berhasil
membuktikan terjadinya dampak tetesan ke bawah secara lugas. Gejala ini disebabkan karena
pusat pertum-buhan yang umumnya adalah kota-kota besar ternyata sebagai pusat konsentrasi
penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial adalah cukup kuat, sehingga terjadi
tarikan urbanisasi dari desa-desa dalam wilayah pengaruh ke pusat pertumbuhan (kota besar),
atau terjadi dampak polarisasi. Yang dinamakan dampak polarisasi itu lebih besar
pengaruhnya dibandingkan dampak tetesan ke bawah. Dampak polarisasi dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap wilayah pengaruh yang oleh Gunnar Myrdal disebut backwash effect. Jadi pandangan Hirschman yang optimistik namun dampak tetesan ke bawah ternyata
menunjukkan kegagalan, sedangkan dam-pak pengurasan yang dikemukakan oleh Myrdal
yang pesimistik itu banyak terjadi di berbagai wilayah.
Kegagalan teori kutub pertumbuhan dapat ditunjukkan pula oleh strategi
kebijaksanaan pembangunan daerah yang dilaksanakan pemerintah (pusat dan daerah) lebih
banyak diarahkan pada wilayah perkotaan. Maka akibatnya kota yang relatif sudah besar itu
di-tumpuki dengan investasi prasarana perkotaan, utilitas perkotaan, dan fasilitas pelayanan
ekonomi dan sosial. Pembangunan berbagai infrastruktur, utilitas, dan fasilitas pelayanan
perkotaan yang terus meningkat akan menimbulkan kepadatan, kemacetan, dan polusi, maka
perlu dibangun berbagai fasilitas untuk mengatasi dan me-nanggulangi dampak negatif yang
ditimbulkan. Wilayah pengaruh atau wilayah belakang menjadi terabaikan dan tetap
tertinggal, akibatnya terjadi kesenjangan atau ketimpangan yang semakin tajam antara pusat
pertumbuhan dengan wilayah pengaruhnya.
1.5 SUNTIKAN DANA DAN INVESTASI UNTUK PEMBANGUNAN WILAYAH
PENGARUH
Salah satu sasaran utama dari pengembangan wilayah adalah mengurangi kesenjangan
atau ketimpangan regional dan spasial (tata ruang). Kesenjangan terjadi antara perkotaan dan
pedesaan, antar desa dalam lingkup suatu wilayah. Kesenjangan antara pusat pertumbuhan
dengan wlayah pengaruhnya cenderung bertambah lebar. Hal ini berarti implementasi dari
strategi kebijaksanaan kutub pertumbuhan dianggap gagal.
Teori kutub pertumbuhan sebagai suatu teori tetap diperlukan karena fungsinya suatu
kutub pertumbuhan itu sangat diperlukan sebagai penggerak utama pertumbuhan terhadap
wilayah di sekitar-nya. Yang keliru sebenarnya adalah pelaksanaan dari strategi
kebijaksanaan pembangunan yang memberikan porsi terlalu ber-lebihan pada pembangunan
perkotaan. Bagaimana upaya memperbaiki atau mengkoreksi terhadap kegagalan tersebut.
Rahardjo Adisasmita dalam disertasinya yang berjudul "Pengkajian Teori Simpul Jasa
Distribusi melalui Jasa Perdagangan" (1987) dibawah bimbingan mantan Mentri Pekerjaan
Umum RI, Bapak Prof. DR. Ing. Poernomosidi Hadjisaroso (sekarang sudah almarhum),
penulis mengintrodusksi suatu konsep tandingan terhadap dampak tetesan ke bawah, yaitu
dampak "Suntikan Dana Investasi kepada Wilayah Pengaruh" atau Capital Injection to
Influence Region.
Dasar-dasar pemikirannya adalah sebagai berikut.




Keterkaitan ekonomi dan pembangunan antara kota sebagai pusat petumbuhan dan
wilayah pengaruh di sekitarnya harus ditingkatkan. Pembangunan wilayah pengaruh
yang dilakukan harus berorientasi pada penawaran (supply side), yaitu tersedia-nya
sumberdaya yang cukup potensial dan harus pula berorien-tasi pada permintaan
(demand side) agar menjadi lebih seimbang antara sisi produksi dan sisi pasar. Di
wilayah pengaruh yang memiliki sumberdaya yang potensial dan prospek pasar yang
kuat, agar dibangun proyek-proyek (investasi fisik) yang mampu menciptakan (a)
comparative adventage, (b) marketability, dan (3) sustainability. Untuk mengetahui
jenis program dan proyek pembangunan yang akan dikembangkan secara tepat dan
layak, maka pelibatan partisipasi masyarakat lokal harus diberdayakan, karena
anggota masyarakat lokal itu dianggap sebagai pihak yang paling mengetahui potensi
dan kondisi masyarakatnya (pendekatan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat).
Suntikan kepada wilayah pengaruh, selain dalam bentuk inves-tasi fisik, misalnya sub
sektor tanaman pangan yang didukung oleh prasarana irigasi, jalan desa dan
perkebunan, perlu di-dukung oleh pengembangan, penguatan dan tumbuhnya "motivasi masyarakat lokal" sebagai kekuatan pendukungnya.
Dengan pengembangan partisipasi dan penguatan motivasi masyarakat lokal tersebut,
diharapkan akan dapat menjamin terimplementasikannya program pembangunan
dengan baik, mulai dari pemilihan jenis program pembangunan yang benar-benar
dibutuhkan masyarakat lokal, implementasinya, dan pengawasannya akan terjamin
keberhasilannya.
Dengan memperhatikan pembangunan program tersebut, di-harapkan produksi dan
produktivitasnya dapat mencapai ting-kat keunggulan komparatif, pemasaran menjadi
lebih terjamin dan cukup besar. Hal ini berarti pendapatan masyarakat lokal
meningkat, memiliki daya beli yang lebih tinggi untuk membeli barang-barang yang
dihasilkan daerah perkotaan, sehingga ke-terkaitan kegiatan ekonomi antar wilayah
pengaruh dan pusat-nya berlangsung secara timbal balik dan akan menjadi lebih
interaktif, intensif, responsif, dan menjadi relatif berimbang, serta bersifat saling
menguntungkan dan berkelanjutan
BAB 7
TEORI PEMBANGUNAN POLARISASI
1.1 KERANGKA DASAR TEORI
Perencanaan pembangunan wilayah mempunyai berbagai aspek perubahan yang
dilaksanakan secara berencana dan terkoor-dinasi dilihat dalam kerangka perencanaan
pembangunan nasional. Fokus dari perencanaan wilayah adalah pencapaian sasaran - sasaran
sub sistem kemasyarakatan nasional yang terorganisasi secara teritorial atau spasial.
Meskipun dalam praktek perencanaan wilayah telah banyak dimaklumi, akan tetapi dalam hal
ini perlu diberikan penjelasan mengenai dasar-dasar teorinya, terutama mengenai
keterhubungannya secara sistematis antara pembangunan dan tata ruang, atau dengan
perkataan lain mengenai proses pembangunan dalam dimensi spasialnya. Beberapa teori telah
menjelaskan kono-tasinya secara umum, akan tetapi teori-teori tersebut kurang me muaskan
sebagai suatu kerangka dasar analisis untuk perencanaan pembangunan wilayah.
Teori lokasi klasik (classical location theory) menjelaskan tentang lokasi optimum
suatu perusahaan atau industri. Dewasa ini telah dikembangkan meliputi analisis industrial
complex (kompleks industri), yang kemudian melahirkan teori kutub pertumbuhan (growth
pole theory) seperti yang diformulasikan oleh Francois Perroux, seorang ahli ekonomi
berkebangsaan Perancis, dan ahli-ahli ekonomi lainnya. Ditinjau dari perspektif perencanaan
wilayah teori lokasi klasik dianggap tidak sempurna oleh karena teori tersebut lebih
memfokuskan pada lokasi titik kegiatan-kegiatan ekonomi dari pada sistem wilayah atau tata
ruang (spasial). Kaitan antara lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi (teori mikro) dan
pembangunan suatu sistem wilayah (teori makro) belum dikemukakan secara jelas.
Teori organisasi spasial (spatial organization theory) telah diintroduksikan sebagai
dasar untuk perencanaan wilayah. Teori ini menekankan pada karakteristik struktural suatu
sistem lokasi titik-titik kegiatan ekonomi. Teori spasial ini menggunakan pendekatan sistem
(system approach) dan bila dibandingkan dengan teori lokasi klasik telah memperlihatkan
suatu kemajuan. Walaupun demikian masih kurang memuaskan oleh karena teori ini
menggunakan model keseimbangan umum (general equilibrium). Teori ini dapat menjelaskan pola-pola lokasi kegiatan ekonomi pada dua titik periode yang berbeda. Namun demikian
teori ini tidak memberikan kontribusi yang besar terhadap pengertian proses dimana
transformasi historis sistem spasial terjadi.
Dalam teori pertumbuhan wilayah (regional growth theory), suatu usaha telah
dilakukan untuk mengatasi keterbatasan teori lokasi klasik dan menjelaskan dinamika sistem
spasial. Dalam ke-lompok ini terdapat dua macam teori yang berbeda fokus analisisnya.
Pertama adalah teori yang menekankan pertumbuhan wilayah pada wilayah-wilayah
individual. Analisisnya secara tegas mengkonsen-trasikan pada kasus wilayah tunggal. Kedua
yaitu teori yang lebih mengelaborasikan dinamika pada suatu sistem wilayah. Teori ini
cenderung kembali pada formulasi keseimbangan umum, dimana arus antar wilayah tenaga
kerja dan modal dipandang sebagai me-kanisme utama untuk membentuk kembali suatu
keseimbangan yang telah mengalami gangguan. Mekanisme teori ini dapat dikata-kan lebih
unggul atau superior dibandingkan dengan teori-teori ter-dahulu sebagai dasar untuk
perencanaan pembangunan wilayah, akan tetapi masih mengalami pula keterbatasan, oleh
karena kurang menjelaskan pertumbuhan secara nasional.
Di antara buku-buku teks (teks books) mengenai pertumbuhan wilayah, John
Friedmann berpendapat bahwa Horst Siebert termasuk salah seorang pakar yang mempunyai
pandangan komprehensif karena telah memformulasikan model-model yang menyangkut
wilayah individual dan sistem wilayah. Meskipun ia seorang ahli ekonomi, Siebert telah
mengembangkan topik-topik yang penting seperti pengetahuan teknik, difusi inovasi dan
komunikasi seperti yang banyak dibahas sekarang.
Masyarakat terorganisir secara spasial dalam arti kata bahwa aktivitas manusia dan
interaksi sosial membentuk tata ruang dan bagian-bagian tata ruang. Masyarakat yang
melaksanakan pem-bangunan, struktur sosialnya mengalami proses transformasi dan proses
pembangunan akan dipengaruhi juga oleh pola-pola hubung-an spasial dan keteganganketegangan dinamis. Dalam hubungan ini tata ruang dilihat dalam arti non fisik, yaitu
merupakan arena kekuatan (misalnya tingkat energi, kekuasaan mengambil keputusan, dan
komunikasi) yang mengikuti hukum transformasinya tersendiri. Dalam kaitannya dengan
teori perubahan sosial dapat di-kemukakan terdapat dua kelompok utama, yaitu teori Everet
Hagen dan teori Ralph Dahrendorf. Teori Hagen berlandaskan pada psiko-logi individual dan
sukar diintegrasikan dengan teori organisasi spasial. Dahrendorf menggunakan model konflik
perubahan sosial, dimana variabel utamanya adalah authority - dependency relation-ship yang
memperlihatkan ciri sistem sosial yang terorganisir. Berdasarkan hubungan tersebut dapat
dijelaskan bahwa pusat utama yang sering disebut core region (wilayah inti) merupakan suatu
sub sistem masyarakat yang tersusun secara teritorial yang memiliki kapasitas tinggi untuk
perubahan inovatif. Sedangkan wilayah di sekelilingnya (periphery regions) merupakan pula
sub sistem dimana perkembangan pembangunannya ditentukan utamanya oleh lembagalembaga di core region. Daerah core dan periphery bersama-sama membentuk suatu sistem
spasial yang lengkap. Karena sistem spasial adalah sistem hubungan masyarakat yang
tersusun secara teritorial, maka model Dahrendorf dapat dianggap sebagai harapan awal
untuk memformulasikan teori umum pembangunan polarisasi.
Polarisasi berarti suatu konsentrasi kelompok-kelompok, ke-kuatan-kekuatan, atau
kepentingan-kepentingan mengenai beberapa keadaan yang berlainan dan bertentangan.
1.2 PEMBANGUNAN DAN INOVASI
Kemajuan historis dapat dipandang sebagai sukses temporal dari sebuah paradigma
sosio-kultural dan seterusnya disusul oleh sukses-sukses lainnya. Sesuai dengan interpretasi
di atas, pem-bangunan merupakan suatu proses yang diskontinyu dan kumulatif yang terdiri
dari serangkaian inovasi-inovasi dasar yang tersusun dalam kelompok-kelompok inovasi dan
akhirnya membentuk sistem inovasi skala besar. Inovasi dapat berbentuk secara teknis atau
instiusional, dan bila termasuk yang terakhir (institusional) dapat dikategorikan secara sosial,
politis dan kultural. Dilihat dari sistem kemasyarakatan, pertumbuhan seyogyanya dibedakan
dengan pembangunan. Pertumbuhan menunjukkan suatu pengembangan sistem dalam satu
dimensi atau lebih tanpa suatu perubahan dalam strukturnya. Sedangkan pembangunan berhubungan dengan bentangan kemungkinan kreatif yang inherent dalam masyarakat. Hal ini
dapat terjadi hanya bila pertumbuhan tersebut diikuti oleh serangkaian transformasi struktural
yang sukses dari sistem tersebut.
Masyarakat yang gagal melaksanakan transformasi menjadi terhambat dalam
pertumbuhannya atau mengalami kemunduran dimana terjadi ketidakstabilan semakin
bertambah besar. Pem-bangunan selalu terjadi melalui proses yang tidak sinkron dalam mana
kekuatan inovatif tumbuh dari atau diinjeksikan ke dalam suatu sistem masyarakat yang ada.
Pengaruh kumulatif dari inovasi yang sukses dapat dilihat dengan munculnya personalitas
yang kreatif dan inovatif yang mampu melaksanakan perubahan yang akseleratif dengan
beberapa cara, misalnya keberanian menciptakan nilai-nilai baru, sikap dan perilaku yang
konsisten dengan inovasi, serta kemampuan menciptakan lingkungan sosial yang favorable
terhadap kegiatan inovatif.
Inovasi mungkin didasarkan pada ide-ide atau prototipe-prototipe yang telah
ditemukan, atau dipinjam, ataupun ditiru. Apa yang telah dilaksanakan di suatu negara dapat
dilaksanakan di wilayah lain dengan cara meminjam atau imitasi menjadi suatu inovasi.
Setiap inovasi memerlukan suatu organisasi dan adaptasi terhadap keadaan dan persyaratan
fungsional dari sarana-sarana yang diintroduksikan. Jadi inovasi dan sarana harus dapat
digabungkan secara struktural.
Inovasi memerlukan individu-individu atau institusi-institusi yang akan
memanfaatkan sumberdaya yang penting dan berani menanggung risiko atau kegagalan dari
setiap inovasi, atau dengan perkataan lain yaitu diperlukan pelaksana atau
pelaku yang inovatif.
Keberhasilan kegiatan inovatif akan tergantung pada beberapa kondisi utama, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1) Anggapan atau sikap yang sifatnya menentang atau tidak puas terhadap
pengunaan sarana-sarana tradisional
2) Kapasitas sistem sosial yang ada untuk menyerap inovasi yang diusulkan
tanpa melakukan perubahan strutktural yang utama.
3) Tersedianya personalitas yang inovatif dalam suatu masyarakat tertentu.
4) Kemampuan mengatur sumber daya manusia dan sumber daya material untuk
menunjang inovasi yang efektif.
5) Balas jasa masyarakat yang diberikan untuk mengembangkan kegiatan
inovatif.
1.3 PEMBANGUNAN POLARISASI DALAM HERARKI SISTEM SPASIAL
Wilayah-wilayah inti atau core regions terletak dalam herarki sistem spasial. Sistem
spasial dapat merupakan dunia, wilayah multi-nasional, bangsa, wilayah sub nasional, dan
propinsi. Suatu wilayah membentuk suatu sistem spasial. Hal ini tergantung pada pola
hubungan internalnya. Suatu core atau pusat mendominasi dalam beberapa keputusan penting
dari penduduk di wilayah-wilayah di luar wilayah inti. Dalam suatu sistem spasial tertentu
mungkin terdapat lebih dari satu wilayah inti yang berbentuk kota, kota besar, metropolis
atau megalopolis. Pada umumnya wilayah inti melak-sanakan fungsi pelayanan terhadap
daerah-daerah di sekitarnya. Ada kemungkinan beberapa wilayah inti memperlihatkan
fungsinya yang khusus, misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat industri, ibukota
pemerintahan dan sebagainya.
Ada beberapa gejala utama sehubungan dengan peranan wilayah inti dalam
pembangunan sistem spasial, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. 1.Wilayah inti mengatur keterkaitan dan ketergantungan wilayah-wilayah
di sekitarnya melalui sistem suplai, pasar dan daerah administratif.
2. Wilayah inti meneruskan dengan sistematis dorongan inovası ke wilayahwilayah di sekitarnya yang berada dalam jangkauan-nya.
3. Sampai pada suatu titik waktu tertentu ciri self reinforcing per-tumbuhan
wilayah inti akan cenderung mempunyai pengaruh positif dalam proses
pembangunan sistem spasial. Akan tetapi mungkin pula mempunyai
pengaruh negatif jika penyebaran pengaruh pembangunan wilayah inti
kepada wilayah-wilayah di sekitarnya tidak berhasil ditingkatkan, sehingga
keterkaitan dan ketergantungan wilayah-wilayah di sekitarnya terhadap
wilayah inti menjadi berkurang.
4. Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan ke seluruh wilayah sistem spasial
dengan cara mengembangkan pertukaran infor-masi.
Jelaslah kiranya bahwa wilayah inti, pusat-pusat pelayanan (service poles) atau tata
ruang-tata ruang ekonomi (economic space) mempunyai peranan dan fungsi yang dominan
dan menentukan terhadap perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya. Di wilayah inti
terjadi pemusatan kegiatan-kegiatan ekonomi, pemukiman penduduk, dan tersedianya
fasilitas-fasilitas dan kemudahan lainnya yang mempunyai pengaruh pancaran pengembangan
terhadap wilayah-wilayah di sekitarnya.
Pada dasarnya teori pertumbuhan ekonomi wilayah adalah variant dari teori lokasi
klasik. Pertumbuhan ekonomi dari suatu wilayah tunggal biasanya dikaitkan dengan beberapa
sumberdaya alamiah yang tidak mobil yang memperoleh banyak permintaan dari wilayahwilayah lain. Investasi tertarik ke wilayah tersebut untuk memanfaatkan sumberdaya yang
dimaksud, yang lama kelamaan wilayah tersebut menjadi wilayah pusat produksi
yang menciptakan penghematan eksternal yang berpengaruh. Pertumbuhan ekonomi wilayah
pada tingkat sub nasional dalam jangka panjang tergantung pada partisipasi sektor-sektor
yang berkembang dari seluruh total perekonomian. Akhirnya secara umum perlu diperhatikan
yaitu bila terjadi ketidakserasian pada beberapa wilayah atau lokasi. Maka hal ini akan
diseimbangkan melalui aliran atau arus tenaga kerja dan modal dari wilayah surplus ke
wilayah - wilayah defisit.
BAB 8
WILAYAH SEBAGAI SUATU ELEMEN STRUKTURAL SPASIAL
1.1 PROBLEMA UTAMA EKONOMI WILAYAH
Ekonomi wilayah adalah suatu studi yang mempelajari perilaku ekonomi dari manusia
di atas tata ruang. Studi ini manganalisis proses ekonomi dalam lingkungan spasial
(mengenai tata ruang) dan menempatkan ke dalam struktur lansekap ekonomi (economic
land-scape). Sebagaimana diketahui bahwa teori ekonomi tradisional telah ama tidak mau
mengenal aspek spasial dari perilaku ekonomi. Model-model klasik dibuat berdasar pada
asumsi bahwa kegiatan ekonomi terjadi pada satu titik waktu (one point) tanpa memperhitungkan dimensi spasial. Pertanyaan utama dari ekonomi klasik adalah berkisar pada what
to produce, how to produce danfor whom to produce, yang artinya komoditas apa yang
diproduksi, bagaimana memproduksi, dan untuk siapa komoditas tersebut diproduksi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dianalisis tanpa memasukkan unsur jarak dan menganggap
tidak ada biaya pengangkutan.
Tantangan bagi ekonomi regional yakni dapat dinyatakan bahwa pengetahuan
mengenai gejala-gejala ekonomi akan menjadi lebih penting dan nyata apabila faktor tata
ruang diintroduksikan sebagai suatu variabel tambahan dalam kerangka teori ekonomi.
Secara eksplisit pertimbangan mengenai pentingnya dimensi tata ruang tersebut meliputi lima
persoalan utama ekonomi wilayah.
Pertama adalah yang berhubungan dengan penentuan lan-sekap ekonomi, yaitu
mengenai penyebaran kegiatan ekonomi atas tata ruang. Dalam hubungan ini beberapa
pertanyaan dapat di-kemukakan, misalnya faktor apa yang mempengaruhi lokasi kegiat-an
individual? Bagaimana dapat dijelaskan penyebaran kegiatan produksi pertanian di atas suatu
permukaan tanah yang luas? Hipotesis apa yang relevan untuk menentukan lokasi usaha
tertentu sektor pertanian, sektor industri, dan sektor tersier? Model apa yang dapat digunakan
untuk menentukan perilaku spasial dari lokasi pemukiman? Bagaimana teori lokasi spasial
dapat diintegrasikan dalam suatu sistem general? Bagaimana suatu daerah dapat dicirikan
sebagai daerah pertanian atau daerah industri dan aglomerasi penduduk? Apakah ada
ketergantungan antara pengambilan ke-putusan mengenai lokasi secara individual? Semua
pertanyaan di atas berhubungan erat dan termasuk dalam bidang persoalan utama ekonomi
wilayah yang pertama, yaitu persoalan penentuan lansekap ekonomi.
Yang kedua berhubungan dengan diintroduksikannya konsep wilayah dalam analisis
teoretis. Wilayah di sini diartikan sebagai sub sistem spasial dari ekonomi nasional. Konsep
baru tersebut telah mendorong pembuatan rencana pembangunan sub sistem spasial dan
pengukuran aktivitas ekonominya. Beberapa kriteria telah di-kembangkan untuk menentukan
batas suatu wilayah, walaupun diakui bahwa hal ini bukan merupakan hal yang gampang.
Persoalan yang ketiga adalah menganalisis interaksi antara daerah-daerah. Dapat
dibedakan dua bentuk interaksi antar wilayah, yaitu (1) arus pergerakan faktor produksi dan
(2) arus pertukaran komoditas. Penjelasan mengenai mengapa terjadi arus pergerakan faktor
produksi dan komoditas, dan bagaimana pengaruhnya ter-hadap kegiatan ekonomi pada suatu
wilayah itu merupakan titik sentral dalam studi permasalahan ekonomi. Dalam hubungan ini
dapat diajukan beberapa pertanyaan, di antaranya: Mengapa faktor produksi berarus
berpindah dari suatu wilayah ke wilayah lain? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
mobilitas faktor produksi antar wilayah?
Keempat adalah persoalan analisis optimum atau equilibrium antar daerah. Model tipe
ini mencoba menentukan beberapa sumber optimum untuk suatu sistem ekonomi dalam suatu
lingkungan spasial. Keadaan optimum selalu dikaitkan dengan sasaran dan tujuan yang
hendak dicapai seperti alokasi sumberdaya yang opti-mal menurut Pareto (Pareto optimum
allocation of resources) atau minimisasi faktor masukan (input) tertentu. Beberapa pertanyaan
dalam hubungan ini dapat dikemukakan, di antaranya mengenai arus transportasi yang
optimal untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang berbeda. Spesialisasi produksi wilayah yang
optimal dan pertukaran komoditas yang optimal antara wilayah-wilayah. Analisis equilibrium
atau keseimbangan tidak membahas persoalan yang riil, akan tetapi memperinci pola optimal
mengenai produksi, lokasi dan pertukaran antar wilayah. Akhirnya dapat
dikatakan bahwa analisis optimum itu dapat dipandang sebagai pembahasan dan implikasi
tujuan-tujuan tertentu.
Kelima, yaitu persoalan kebijaksanaan wilayah. Kebijaksanaan ekonomi wilayah
dimaksudkan sebagai kegiatan-kegiatan yang ber-usaha memperhitungkan perilaku ekonomi
dalam suatu lingkungan spasial. Kebijakan ekonomi wilayah berusaha mengontrol struktur
dan proses ekonomi dalam sub sistem ekonomi nasional. Di sini ada beberapa pertanyaan
yang dapat dikemukakan, di antaranya yaitu sasaran apakah dari kebijaksanaan wilayah itu?
Bagaimana sasaran-sasaran tersebut ditetapkan? Bagaimana sasaran kebijaksanaan wilayah
tersebut diinterelasikan pada tujuan kebijaksanaan nasional, dan sebagainya.
1.2 PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah peningkatan volume variabel ekonomi dari
suatu sub sistem spasial suatu bangsa atau negara. Seringkali dipakai istilah lain yang
mempunyai arti yang sama untuk pertumbuhan ekonomi yaitu pembangunan ekonomi atau
pengembangan ekonomi. Ada beberapa variabel yang dapat dipilih sebagai indikator atau
pengukuran pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu peningkatan
dalam kemakmuran suatu wilayah. Disini pertumbuhan dimaksudkan sebagai peningkatan
suatu keluaran wilayah. Peningkatan ini meliputi baik kapasitas produksi ataupun volume riil
produksi.
Pertumbuhan ekonomi juga dapat dinyatakan sebagai pening-katan dalam sejumlah
komoditas yang dapat digunakan atau diper-oleh di suatu wilayah. Konsep ini menyangkut
pengaruh perdagang-an yaitu dapat diperolehnya komoditas sebagai suplai hasil akhir yang
meningkat melalui pertukaran antar wilayah.
Kelima bidang persoalan utama ekonomi wilayah seperti telah dijelaskan di atas
berkaitan erat dengan studi pertumbuhan ekonomi wilayah. Teori pertumbuhan wilayah
menganalisis bagaimana pertumbuhan terjadi dalam suatu lingkungan spasial yang meng
gunakan wilayah sebagai kategori dasar.
Perencanaan sub sistem dari ekonomi nasional adalah merupa kan prasyarat untuk
teori pembangunan wilayah. Juga persoalan bagaimana mengukur peningkatan dalam
kegiatan ekonomi suatu wilayah harus dipercahkan. Lebih penting lagi bahwa teori pertum
buhan wilayah harus menganalisis suatu wlayah sebagai suatu sistem ekonomi terbuka yang
berhubungan dengan wilayah-wilayah lain melalui arus perpindahan faktor produksi dan
pertukaran komo-ditas. Dalam hubungan ini beberapa pertanyaan berikut harus dijawab.
Dalam cara bagaimana pembangunan ekonomi atau wi-layah mempengaruhi pertumbuhan di
wilayah lain? Apakah pem-bangunan dalam suatu wilayah akan meningkatkan permintaan
sektor untuk wilayah lain dan selanjutnya mendorong pembangunan di wilayah tersebut, atau
suatu pembangunan ekonomi dari wilayah lain akan mengurangi tingkat kegiatan ekonomi di
suatu wilayah? Bagaimana interrelasi antara pertumbuhan wilayah dengan per-tumbuhan
nasional?
Persoalan-persoalan di atas menunjukkan bahwa teori pertum-buhan wilayah harus
juga merupakan studi interaksi antar wilayah.
Pengembangan wilayah harus juga dihubungkan dengan perubahan-perubahan dalam
lansekap ekonomi. Dalam proses pertumbuhan ekonomi terjadi pergeseran dalam permintaan
dan terjadi pula per-baikan sistem transportasi, penurunan biaya produksi, dan dinamika
masyarakat.
Peristiwa ini akan mendorong para wiraswasta dan pengusaha industri untuk
mempertimbangkan kembali lokasi industrinya dan mungkin mendorongnya untuk
mengadakan relokasi. Jadi dapat dikatakan bahwa lansekap ekonomi merupakan akibat dari
per-tumbuhan ekonomi. Di lain pihak tingkat pertumbuhan suatu wilayah tergantung pada
alokasi sumberdaya dalam tata ruang pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu hal ini sangat
dipengaruhi oleh pengambilan keputusan dalam hal penentuan lokasi individual. Maka
jelaslah bahwa teori pertumbuhan harus memperhatikan analisis lansekap ekonomi.
Akhirnya studi pertumbuhan wilayah sebaiknya dikaitkan pula dengan analisis
optimum wilayah dan kebijaksanaan wilayah. Kondisi optimum dalam tata ruang dapat
ditafsirkan sebagai suatu tujuan dalam sistem kebijaksanaan wilayah dan analisis optimum
dapat dipakai untuk menetapkan arah secara optimal sepanjang waktu. Aspek-aspek
kebijaksanaan pertumbuhan wilayah ber-hubungan dengan persoalan-persoalan seperti alat
apa atau kom-binasi dari langkah-langkah kebijaksanaan yang dipergunakan untuk
meningkatkan pertumbuhan di suatu wilayah atau beberapa wi-layah? Alternatif strategi apa
yang sebaiknya ditempuh dalam me-laksanakan kebijaksanaan pertumbuhan wilayah?
Tindakan-tindak-an apakah yang dapat dijalankan untuk mencegah aglomerasi yang
berlebihan? Pertanyaan-pertanyaan di atas harus diusahakan dijawab agar pengembangan
wilayah dapat dilaksanakan secara lebih mantap dan terarah.
1.3 PENGEMBANGAN KONSEP TATA RUANG ΕΚΟΝΟΜΙ
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 analisis ekonomi dititik beratkan pada
pembahasan masalah lokasi dan tata ruang. Masalah lokasi dari setiap kegiatan produktif
terutama dalam pembangunan harus dipertimbangkan dan dipilih secara tepat agar kegiatankegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penentuan dimana kegiatakegiatan pembangunan tersebut akan dilakukan menyangkut masalah tata ruang.
Konsep tata ruang ekonomi sangat penting dalam studi pengembangan wilayah.
Menurut perkembangan historis, tata ruang ekonomi mengalami perubahan dan pertumbuhan.
Beberapa kasus spasial dapat dikemukakan seperti terjadinya pemusatan kegiatan-kegiatan
industri dan urbanisasi ke kota-kota besar, terbentuknya pasar-pasar dan pusat-pusat baru
yang menimbulkan perubahan dalam wilayah-wilayah pelayanan dan mungkin pula perlu
dilaku-kan penyempurnaan dalam pembagian wilayah pembangunan secara menyeluruh.
Kasus-kasus di atas merupakan topik-topik yang bersifat kontroversial karena mempunyai
pengaruh yang mendasar terhadap pengembangan tata ruang nasional.
Ahli-ahli ilmu bumi, ekonomi, sosiologi, matematika dan para pengusaha mempunyai
pendapat atau gagasan yang berbeda-beda mengenai konsep tata ruang. Jadi tata ruang
mempunyai bermacam-macam pengertian. Tata ruang mempunyai pula konotasi yang bersifat emotif (perasaan hati). Tata ruang dapat pula diartikan sebagai lingkungan tradisional
dari kehidupan manusia, mempunyai ke-tentuan-ketentuan dan kemampuannya sendiri untuk
mengatur kegiatan-kegiatan penduduknya, dan bahkan tata ruang dianggap sebagai salah satu
sasaran pembangunan. Secara logis dan historis, menurut Boudeville tata ruang dapat dibagi
menjadi tiga pengertian, yaitu tata ruang ekonomi, tata ruang geografis, dan tata ruang
matematik.
Konsep tata ruang ekonomi mempunyai pengertian yang lebih bersifat operasional
dan kurang emotif. Misalnya, investasi modal, jaringan transportasi, industri, dan teknologi
pertanian menciptakan perkembangan baru yang meliputi bahan-bahan material baru dan
aturan-aturan baru. Konsepsi tata ruang ekonomi dapat dibedakan dengan tata ruang
geografis. Ahli-ahli ilmu bumi menempatkan ma-nusia dalam lingkungan alam. Sebaliknya
ahli-ahli ekonomi meng-anggap lingkungan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
kegiatan-kegiatan manusia. Tata ruang geografis merupakan tata ruang tiga dimensi,
sedangkan tata ruang ekonomi lebih kompleks dan bersifat multi dimensi.
Tata ruang ekonomi berbeda pula dengan tata ruang mate-matik. Tata ruang
matematik benar-benar bersifat abstrak dan tidak ada hubungannya dengan lokasi geografis,
misalnya indifference sur-faces. Jika suatu tata ruang terbentuk semata-semata oleh variabelvariabel ekonomi, maka tata ruang tersebut merupakan tata ruang matematik, artinya secara
matematik dapat terjadi dimana-mana. Akan tetapi sebaliknya tata ruang ekonomi merupakan
suatu aplikasi varian-varian ekonomi di atas kebutuhan manusia, diatas atau didalam suatu
tata ruang geografis, dan melalui suatu transformasi matematik dapat dijelaskan proses
ekonomi.
Selanjutnya mengenai tata ruang ekonomi, Francois Perroux mendefinisikan berturutturut sebagai a homogeneous aggregate, a field of forces dan a plan. Dilihat dari segi
hubungan formal pem-bangunan, tata ruang ekonomi merupakan a field of forces, merupakan
tata ruang polarisasi, yaitu sebagai suatu tempat dimana konsentrasi atau pemusatan kegiatankegiatan ekonomi yang relatif besar (pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan) dan nyata
berbeda dibandingkan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Di bidang kegiatan industri, dapat
ditunjukkan terjadinya gap atau kesenjangan yang semakin besar dalam hal tingkat
produktivitas di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan, sehingga timbul masalah
ketimpangan spasial.
Menurut teori Perroux (growth pole theory), pembangunan atau pertumbuhan tidak
terjadi di seluruh daerah, akan tetapi ter-batas hanya pada beberapa tempat tertentu dengan
variabel yang berbeda-beda intensitasnya. Ia lebih menekankan pada aspek pe-musatan
proses pertumbuhan pada titik-titik spasial. Dimensi geo-grafis telah dimasukkan ke dalam
pengaruh pusat pengembangan. Friedmann meninjaunya dari ruang lingkup yang luas dengan
me-nempatkan teori inti wilayah (core region), yaitu di sekitar wilayah inti terdapat wilayahwilayah pinggiran (periphery region). Wilayah pinggiran seringkali disebut pula wilayah di
sekitarnya. Pembangun-an dipandangnya sebagai proses inovasi yang diskontinyu tetapi
kumulatif yang berasal pada sejumlah kecil pusat-pusat perubahan yang terletak pada titiktitik interaksi yang mempunyai potensi tertinggi. Pembangunan inovatif cenderung menyebar
ke bawah dan ke luar dari pusat-pusat tersebut menuju ke daerah-daerah yang mempunyai
potensi interaksi yang lebih rendah.
Seperti halnya dengan teori Perroux, Friedmann memberikan pertalian penting pada
daerah inti sebagai pusat pelayanan atau pusat pengembangan. Teori Friedmann tidak
membahas masalah pemilihan lokasi optimum industri dan tidak pula menentukan jenis
investasi apa yang sebaiknya ditempatkan di pusat-pusat urban. Oleh karena itu teori
Friedmann diklasifikasikan pula sebagai tanpa tata ruang. Walaupun demikian disadari
bahwa pusat-pusat urban mempunyai peranan yang dominan yaitu memberikan pancaran
pengembangan ke daerah-daerah di sekitarnnya.
Beberapa Pengertian Ruang dan Azas Pemanfaatannya






Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, lautan dan udara, termasuk
di dalamnya lahan/tanah, air, udara dan benda serta sumberdaya lainnya,
sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk lainnya hidup
dan melakukan kegiatannya dan memelihara kelangsungan hidup.
Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan adanya herarki dan
keterkaitan pemanfaatan ruang.
Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, peman-faatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang berupa rencanarencana kebijakan pemanfaatan ruang secara terpadu untuk berbagai kegiatan.
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau fungsional.
Kawasan adalah suatu wilayah yang mempunyai fungsi dan atau aspek
fungsional tertentu.
Interpretasi mengenai ruang atau tata ruang dapat berbeda-beda. Ahli matematik
mendeskripsikan tata ruang sebagai tata ruang matematik yang dalam penganalisaannya
dilakukan dengan memberikan simbol-simbol. Tata ruang matematik bersifat statis, tata
ruang matematik perlu dijabarkan ke dalam tata ruang geografisnya untuk melihat potensi
distribusi sumberdaya alam, pemanfaatan ruang dan batas wilayah administrasinya yang
kesemuanya diplot-kan pada peta-peta geografis. Peta geografis ini merupakan ins-trumen
bagi ahli ilmu bumi dan ahli teknik untuk menganalisis lokasi dan alokasi berbagai kegiatan
sektoral pada tata ruang yang tersedia dimana satu sama lainnya mempunyai ciri dan
variasinya sendiri-sendiri. Meskipun konsep tata ruang geografis dapat dikatakan lebih maju
dibandingkan tata ruang matematik, tetapi masih perlu dikembangkan, dan diaplikasikan
untuk memenuhi kebutuhan manusia secara efektif dan efisien. Tata ruang yang diaplikasikan
untuk memenuhi kebutuhan manusia secara efektif dan efisien itu disebut sebagai tata ruang
ekonomi.
Tata ruang geografis menampilkan lokasi dan alokasi peman faatan tata ruang dimana
terdapat potensi sumberdaya alam, dimana terjadi berbagai kegiatan interaksi
sumberdaya manusia dan umberdaya alam (pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, pertambangan, perindustrian, perdagangan dan pengangkutan,
pariwisata, pemukiman) pada berbagai ruang permukaan (wilayah perkotaan dan pedesaan;
kawasan lindung dan kawasan budidaya).
Gambaran wajah tata ruang geografis untuk memenuhi ke-butuhan manusia secara
efektif dan efisien perlu dilakukan penataan dan perencanaan dan pengendalian pemanfaatan
tata ruang. Pemanfaatan dan pengelolaan tata ruang yang tidak serasi akan menimbulkan
dampak negatif (merugikan masyarakat) seperti: pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan,
penebangan hutan, telah menimbulkan dan mengakibatkan banjir (luapan atau genangan air)
pada daerah sekitarnya, yang terjadi setiap tahun, yang mengakibat-kan kerugian harta dan
benda yang besar jumlahnya yang harus dipikul oleh masyarakat. Dampak negatif tersebut
tidak memenuhi kesejahteraan masyarakat, bahkan sebaliknya mengsengsarakan masyarakat.
Tata ruang geografis yang tidak serasi harus direncana-kan, ditata dan dikendalikan secara
serasi sehingga dapat memberi-kan kesejahteraan masyarakat secara optimal dan
berkelanjutan dengan menerapkan azas manfaat, azas keseimbangan dan keserasi-an, azas
kelestariaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, dan azas berkelanjutan.
Azas manfaat adalah pemanfaatan ruang secara optimal yang harus dicerminkan di
dalam penentuan jenjang dan fungsi pelayanan kegiatan serta sistem jaringan prasarana
wilayah. Azaz keseimbang-an dan keserasian dalam (1) struktur dan pola pemanfaatan ruang
bagi pernyebaran penduduk antar daerah/kawasan dan sektor, dan (2) dalam fungsi dan
intensitas pemanfaatan ruang dalam wilayah kabupaten. Azas kelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan hidup menciptakan hubungan yang serasi antara manusia dan lingkungan
yang tercermin dari pola intensitas pemanfaatan ruang. Azas ber-kelanjutan adalah
pemantauan ruang yang menjamin kelestarian, kemampuan daya dukung sumberdaya alam
dengan memper-hatikan kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang.
BAB 9
KLASIFIKASI WILAYAH
1.1 WILAYAH SEBAGAI SUATU KONSEP
Menurut logika Aristoteles, segala sesuatu dapat diberi definisi atai batasan
pengertian dari tiga sudut pandangan, yaitu dari uraian materiil (material description),
menurut hubungan formal (for-mal relation), dan kaitan dengan sasaran atau tujuan akhir
(final ob-jective). Sesuai dengan logika tersebut, maka konsep wilayah atau region
mempunyai tiga macam pengertian, yaitu wilayah homogen (homogeneous region), wilayah
polarisasi (polarization region) atau wilayah nodal (nodal region), dan wilayah perencanaan
(planning region) atau wilayah program (programming region).
Wilayah homogen diartikan sebagai suatu konsep yang menganggap bahwa wilayahwilayah geografis dapat dikaitkan bersama-sama menjadi sebuah wilayah tunggal apabila
wilayah-wilayah tersebut mempunyai karakteristik yang serupa. Ciri-ciri atau karakteristik
tersebut dapat bersifat ekonomi, misalnya struktur produksinya hampir sama, atau pola
konsumsinya homogen, dapat pula bersifat geografis, misalnya keadaan topografi atau
iklimnya serupa, dan bahkan dapat pula bersifat sosial atau politis, misalnya suatu
kepribadian masyarakat yang khas, sehingga mudah dibeda-kan dengan karaktersitik
wilayah-wilayah lainnya.
Secara teori ekonomi, keserupaan dalam tingkat pendapatan per kapita merupakan
kriteria yang lazim dipakai untuk menentukan kehomogenan suatu wilayah (interregional
macro-economies). Cara pendekatan ini merupakan penerapan model pendapatan nasional
dan model pertumbuhan nasional pada tingkat wilayah. Dalam hal ini masing-masing wilayah
diperlakukan sebagai suatu perekonomi-an terbuka. dengan demikian model-model analisis di
atas menjelas-kan arus perdagangan, arus faktor produksi antar wilayah, dan pen-dapatan
wilayah. Persoalan-persoalan pokok seperti perubahan pen-dapatan wilayah, fluktuasifluktuasi wilayah, kebijakan stabilitas dan determinan-determinan pertumbuhan wilayah
dapat dibahas berdasarkan kerangka analisis nasional.
Pada pertengahan abad ke-20, di Perancis terdapat tiga wilayah homogen yang besar,
yaitu (1) wilayah-wilayah yang sangat maju (the most higlhly developed regions) yang terdiri
dari kota Paris dan daerah di sekitarnya, wilayah-wilayah bagian Utara dan Timur, (2)
kawasan yang baru berkembang (the newly developing zones) seperti wilayah Lyon serta
Provence, dan (3) wilayah-wilayah yang kurang berkembang dan lambat
pertumbuhannya (less developed and slowly growing regions) yang meliputi wilayah-wilayah
Perancis bagian barat, barat daya, dan bagian tengah.
Pada tahap awal perencanaan pembangunan (tahun 1950-an), Perancis terdiri dari 87
buah departement (semacam provinsi) yang dapat dikelompokkan menjadi 9 buah wilayah
homogen.
Wilayah-wilayah nodal (pusat) atau wilayah-wilayah polarisasi (berkutub) terdiri dari
satuan-satuan wilayah yang heterogen. Misal-nya distribusi penduduk yang terkonsentrasi
pada tempat-tempat tertentu akan mengakibatkan lahirnya kota-kota besar, kotamadyakotamadya dan kota-kota kecil lainnya, sedangkan penduduk di daerah-daerah pedesaan
relatif jarang, atau dengan perkataan lain lalu lintas jalan raya nasional memperlihatkan
tingkat polarisasi yang lebih rapi dibandingkan dengan kota-kota lain yang tidak terletak pada
jaringan lalu lintas jalan raya. Contoh lain adalah proses urbanisasi yang paling pesat yang
terjadi di Amerika Latin yaitu Rio Grande do Sul (Brasilia) yang memiliki jaringan lalu lintas
yang cukup baik ke berbagai daerah di sekitarnya.
Kategori wilayah perencanaan atau wilayah program sangat penting artinya apabila
dikaitkan dengan masalah-masalah kebijak-sanaan wilayah. Pada tingkat nasional atau
wilayah, tata ruang pe-rencanaan oleh penguasa nasional, wilayah difungsikan sebagai alat
untuk mencapai sasaran pembangunan yang telah ditetapkan.
Pembagian wilayah perencanaan disusun berdasarkan pada analisis kegiatan
pembangunan sektoral yang terlokasisasi pada satuan lingkungan geografis. Wilayah
perencanaan merupakan suatu wilayah pengembangan, dimana program-program
pembangunan dilaksanakan. Dalam hal ini yang penting diperhatikan adalah persoalan
koordinasi dan desentralisasi pembangunan wilayah dapat ditingkatkan dan dikembangkan.
Misalnya dalam pembangunan wilayah di Perancis, pengambilan keputusan dilakukan di
Paris, akan tetapi dapat saja dilaksanakan di Lyon atau di pusat-pusat pem-bangunan
wilayah lainnya.
Wilayah perei canaan tidak jauh berbeda dengan wilayah polarisasi, karena efisiensi
maksimum dalam perencanaan wilayah dipengaruhi oleh saling keterhubungan arus regional
secara mak-simum. Perancis dibagi menjadi 21 buah wilayah perencanaan.
Terdapat korelasi antara jangka waktu rencana pembangunan dan jumlah wilayah
perencanaan. Untuk rencana pembangunan jangka menengah (sekitar 4-5 tahu) jumlah
wilayah perencanaan sebanyak 21 buah seperti di Perancis dianggap sudah cukup, akan tetapi
untuk rencana pembangunan berjangka waktu lebih panjang (pembangunan prospek if 15-20
tahun yang akan datang) penyeder-hanaan jumlah wilayah perencanaan menjadi 3 buah
sampai 8 buah wilayah dianggap lebih bermanfaat.
Contoh wilayah perencanaan yang lain dapat dikemukakan yaitu pembagian wilayah
pembangunan yang didasarkan pada aliran sungai. Daerah aliran sungai (DAS) atau river
basin development region seperti yang seringkali kita dengar adalah the Colorado River
Basin di Amerika Serikat.
1.2 BEBERAPA KLASIFIKASI WILAYAH LAINNYA
Pusat-pusat yang pada umumnya merupakan kota-kota besar tidak hanya berkembang
sangat pesat, akan tetapi mereka bertindak sebagai pompa-pompa pengisap dan memiliki
daya penarik yang kuat bagi wilayah-wilayah belakangnya yang relatif statis. Wilayahwilayah pinggiran di sekitar pusat secara berangsur-angsur ber-kembang menjadi masyarakat
yang dinamis. Terdapat arus pen-duduk, modal, dan sumberdaya ke luar dari wilayah-wilayah
be-lakang yang dimanfaatkan untuk menunjang perkembangan pusat-pusat, dimana
pertumbuhan ekonominya sangat cepat dan bersifat kumulatif. Sebagai akibatnya, perbedaan
pendapatan antara pusat dan wilayah pinggiran cenderung bertambah besar.
Pembagian wilayah menurut Freidmann dibagi menjadi dua, yaitu wilayah inti (pusat)
dan wilayah pinggiran (center periphery). Meskipun merupakan klasifikasi dasar, akan tetapi
dapat dianggap sangat kasar sebagai suatu kerangka kebijaksanaan yang bermanfaat untuk
pengembangan wilayah. Empat klasifikasi wilayah pem-bangunan telah dikemukakan oleh J.
Friedmann dan W. Alonso, yaitu (1) metropolitan regions, (2) development axes, (3) frontier
rgions, dan (4) depressed regions. Klasifikasi wilayah di atas dapat dianggap lebih memadai.
Metropolitan regions atau wilayah-wilayah metropolitan seringkali disebut pula
sebagai core regions (wilayah-wilayah inti) atau growth poles (kutub-kutub pertumbuhan).
Pusat-pusat pengembangan ini biasanya merupakan kota-kota besar dengan segala kegiatan
dan fasilitas industri, perdagangan, transportasi dan komunikasi, keuangan dan perbankan,
serta administrasi pemerintahan, yang keseluruhannya mempunyai pengaruh besar terhadap
perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya (hinterland) dan kota-kota kecil lainnya (small
centres).
Development axes atau poros pembangunan yaitu meliputi wilayah-wilayah yang
terletak pada jaringan transportasi yang menghubungkan dua wilayah metropolitan atau lebih.
Secara kasar dapat dikatakan bahwa prospek pembangunan wilayah-wilayah tersebut kurang
lebih akan proprsional dengan tingkat dan luas pembangunan wilayah-wilayah yang
dihubungkan yaitu poros pembangunan. Sebagai contoh wilayah poros pembangunan di
Jepang terpusat pada tiga wilayah besar yakni Tokyo - Yokohama, Nagoya - Kyoto, dan
Osaka - Kobe.
Frontier regions atau wilayah-wilayah perbatasan. Dengan adanya kemajuan
teknologi baru, tekanan penduduk, demikian pula tujuan-tujuan nasional baru seringkali
mendorong pembangunan diarahkan menuju ke wilayah-wilayah yang belum diolah (virgin
areas) atau wilayah-wilayah yang terletak di wilayah-wilayah perbatasan (frontfier regions).
D.C. North telah menyarankan agar penentuan batas suatu wilayah seyogyanya
dilakukan berdasar pada kegiatan-kegiatan pembangunan di sekitar suatu basis ekspor (export
base). Basis eks-por dimaksudkan sebagai suatu pusat organisasi ekspor yang meng-anggap
bahwa pertumbuhan satu pusat adalah sebagai akibat dari spesialisasi dalam kegiatan ekspor.
Jadi ekspor merupakan satu-satu-nya penentu yang besifat eksogin. Dasar pembagian wilayah
se-macam ini mempunyai manfaat yang penting terutama bila dikaitkan dengan orientasi
pengembangan luar negeri. Akan tetapi hal ini bukan berarti sebagai satu-satunya
kemungkinan. Terdapat berbagai dasar pertimbangan yang dapat digunakan untuk
menentukan klasifikasi wilayah, misalnya kelancaran administrasi pemerintah,
pengembangan industri, produksi pertanian, pengelolaan sumber-daya alam, kepentingan
militer dan pertahanan, dan lain sebagainya.
Bernard Okun dan Richard W. Richardson membuat klasifikasi berdasar pada tingkat
kemakmuran dan kemampuan berkembang masing-masing wilayah. Tingkat kemakmuran
dinyatakan dengan pendapatan per kapita, dan kemampuan berkembang dikaitkan dengan
laju pertumbuhan pembangunan. Selanjutnya berdasar pada kriteria tersebut, maka
pembagian wilayah dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut.
A. Low per capita income and stagnant regions (LS) atau wilayah-wilayah yang
berpendapat per kapita rendah dan kurang ber-kembang.
B. High per capita income and stagnant regions (HS) atau wilayah-wilayah yang
berpendapatan per kapita tinggi tetapi kurang ber-kembang.
C. Low per capita income and growing regions (LG) atau wilayah wilayah yang
berpendapatan per kapita rendah tetapi ber-kembang.
D. High per capita income and growing regions (HC) atau wilayah-wilayah yang
berpendapatan per kapita tinggi dan berkembang.
Klasifikasi wilayah di atas dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat
ketidakserasian antar wilayah dan bagaimana pengaruh mobilitas internal sumberdaya
penduduk, modal, dan faktor produksi lainnya. Demikian pula arus perdagangan antar
wilayah, apakah akan memberikan manfaat atau sebaliknya akan menimbulkan hambatan
dalam pertumbuhan wilayah, baik dı wilayah asal maupun di wilayah tujuan. Sebagai contoh
dapat dikemukakan, yakni dalam jangka pendek migrasi penduduk keluar dari wilayah yang
berpendapatan per kapita rendah dan kurang berkembang ke wilayah yang berpendapatan
rendah tetapi ber-kembang, cenderung akan mengurangi tingkat keserasian antar kedua
wilayah tersebut, dan pengaruhnya dalam jangka panjang akan memberikan manfaat terhadap
pertumbuhan baik di wilayah asal maupun wilayah tujuan. Contoh yang lain yaitu arus
migrasi masuk ke wilayah yang berpendapatan per kapita tinggi dan ber-kembang dari
wilayah yang berpendapatan perkapita rendah dan kurang berkembang. Pada umumnya
terdiri tenaga kerja yang ber-kualitas rendah. Hal ini akan mengurangi tingkat pendapatan per
kapita di wilayah tujuan, di lain pihak mengurangi suplai tenaga kerja di wilayah asal, yang
selanjutnya cenderung akan meningkat-kan pendapatan per kapita di wilayah asal tersebut.
BAB 10
KETERHUBUNGAN DAN KETERGANTUNGAN ANTAR WILAYAH
1.1 REGIONALISASI DAN PENGERTIAN KEUNTUNGAN KOMPARATIF
Banyak negara-negara menetapkan balanced growth (pertum-an seimbang) sebagai
strategi pembangunannya. Ditinjau dari analisis wilayah, strategi pertumbuhan seimbang
diinterpresitasikan bahwa wilayah-wilayah miskin berkembang lebih cepat dari pada
wilayah-wilayah kaya, sehingga tingkat pendapatannya cenderung menjadi sama pada masa
depan. Dalam konteks pertumbuhan seimbang diupayakan keserasian dalam laju
pertumbuhan antar wilayah. Pembangunan wilayah dilancarkan untuk meratakan
pembangunan ke seluruh wilayah. Hal ini berarti merangsang parti-sipasi dan keterlibatan
masyarakat di seluruh wilayah dalam proses pembangunan.
Pembangunan wilayah antar propinsi yang bertetangga akan dapat mengembangkan
daya pertumbuhan yang kuat yang terdapat dalam lingkungan sesuatu provinsi dan dapat
mendorong pula per-kembangan provinsi-provinsi lainnya yang relatif terbelakang. Dalam
hubungan ini perlu digairahkan kerja sama antar wilayah (provinsi) secara saling
menguntungkan (mutual regional coopera-tion). Hal ini berarti bahwa produksi dan usahausaha pembangunan dikaitkan dengan keuntungan komparatif dan regionalisasi wilayah
pembangunan.
Keterkaitan atau keterhubungan (interrelationship) dan keter-gantungan
(interdependecy) antar wilayah dapat diperlihatkan dari jaringan arus antar wilayah (termasuk
di dalamnya arus perdagang-an). Dalam suatu negara, arus perdagangan antar wilayah tidak
dapat berlangsung berdasarkan keuntungan mutlak (absolute advantage), melainkan
didasarkan pada keuntungan komparatif (comparative advantage) saja sudah cukup beralasan
untuk melangsungkan per-dagangan antar wilayah. Suatu wilayah akan mengekspor barangbarang yang mempunyai keuntungan produksi yang relatif lebih kecil atau mengimpor
barang-barang yang mempunyai kerugian produksi yang lebih besar (comparative
disadvantage). Masing-masing wilayah akan menspesialisasikan produksi pada satu atau
beberapa barang tertentu. Wilayah-wilayah yang tidak memproduksi sendiri barang-barang
yang dibutuhkan akan membeli barang-barang yang dimaksud dari wilayah-wilayah lain yang
menjadi produsennya. Jelaslah bahwa di antara wilayah-wilayah yang ada mempunyai
pengaruh timbal balik dan saling berkepentingan satu sama lainnya.
Regionalisme termasuk dalam kerangka kebijaksanaan pem-bangunan ekonomi yang
mengelompokkan lingkungan teritorial menjadi wilayah-wilayah sub nasional. Dalam
pengelompokan tersebut dipertimbangkan dua aspek utama yaitu pola fisik dan pola kegiatan.
Pola fisik meliputi pemanfaatan tata ruang untuk pemukiman penduduk, fasilitas-fasilitas
produktif, trayek-trayek transportasi, tata guna tanah, dan lain-lainnya. Pola kegiatan terdiri
dari arus modal, tenaga kerja, komoditias dan komunikasi yang menghubungkan elemenelemen fisik dalam tata ruang.
Dilihat dari pertimbangan integrasi nasional, salah satu fungsi pengembangan wilayah
adalah membina dan mengefektifkan keterhubungan dan ketergantungan antar wilayah yang
berspesial-isasi secara fungsional dan berorientasi pada pasar secara nasional. Jadi
regionalisasi wilayah pembangunan dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan baik
sektoral maupun regional secara lebih efektif dan efesien.
1.2 KRITERIA PERWILAYAHAN DAN INTERAKSI ANTAR TITIK-TITIK
SPASIAL
Kegiatan-kegiatan ekonomi dapat dibagi ke dalam kegiatan-kegiatan produksi dan
kegiatan-kegiatan konsumsi. Kegiatan-ke-giatan konsumsi menyangkut penggunaan tata
ruang untuk ke-giatan-kegiatan kehidupan rumah tangga. Kegiatan-kegiatan pro duksi
meliputi kegiatan-kegiatan sektor pertaruan, sektor industri, dan sektor tersier. Secara lebih
luas kegiatan-kegiatan pembangunan dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan besar,
yaitu kegiatan-kegiatan pertanian, industri produksi tersier, dan kegiatan-kegiatan kehidupan
rumah tangga. Selanjutnya terdapat permasalahan yakni bagaimana mengintegrasikan teoriteori lokasi parsial ke dalam kerangka dasar umum untuk menjelaskan lansekap ekonomi.
Model Von Thunen dapat dipakai untuk menentukan distribusi kegiatan-kegiatan
pertanian. Suatu sistem cincin-cincin Von Thunen yang diperluas di sekitar pusat-pusat
pemukiman penduduk. Komo-ditas-komoditas pertanian yang mempunyai panen hasil per
hektar (ukuran luas tanah) yang lebih rendah dan harga pasar yang lebih rendah akan ditanam
diatas tanah yang terletak lebih jauh dari pusat. Pendekatan keuntungan maksimum dapat
digunakan untuk menen-tukan lokasi sektor industri. Distribusi spasial ini sektor industri
dipengaruhi oleh aspek-aspek penghasilan dan biaya, jadi ditentukan oleh distribusi
permintaan faktor produksi atas tata ruang, serta besarnya biaya transportasi untuk
menghargai titik spasial.
Sektor tersier melayani sektor primer dan sektor sekonder. Konsekuensinya lokasi
kegiatan-kegiatan tersier tergantung pada distribusi spasial kegiatan-kegiatan primer dan
sekunder. Dan distri-busi kegiatan-kegiatan kehidupan rumah tangga ditentukan oleh faktorfaktor kemudahan pada tempat-tempat sentral.
Distribusi kegiatan-kegiatan rumah tangga dapat mempe-ngaruhi lokasi sektor-sektor
lainnya melalui segi permintaan. Lokasi industri akan mempunyai umpan balik pada lokasi
pertanian. Pada kesempatan berikutnya pengaruh umpan balik tersebut akan men-dorong
untuk dilakukan perbaikan (revisi) terhadap lokasi-lokasi parsial yang orisinil.
Selanjutnya dalam pembahasan masalah perencanaan wilayah, perlu kiranya
dijelaskan pula mengenai konsep dan kriteria per-wilayahan. Wilayah-wilayah harus
ditentukan batas-batasnya se-demikian rupa sehingga setiap titik spasial termasuk hanya
dalam satu wilayah. Tidak benar kalau satu titik spasial termasuk dalam dua wilayah yang
berdekatan. Wilayah I dan wilayah II seperti dilukiskan oleh gambar 10.2 di bawah ini
seharusnya tidak boleh terjadi karena sebagian dari kedua wilayah tersebut saling berhimpitan, atau dengan perkataan lain tidak boleh terjadi overlapping (tumpang tindih)
antar titik spasial.
Kriteria yang digunakan adalah homogenitas kondisi wilayah. Kriteria homogenitas
dapat dinyatakan sebagai karakteristik-karak-teristik geografis, sosial, dan ekonomi. Suatu
perencanaan wilayah yang semata-mata hanya didasarkan pada kriteria geografis dapat
dikatakan kurang bermanfaat ditinjau dari kepentingan analisis ekonomi. Untuk menentukan
homogenitas ekonomi dapat diguna-kan ciri-ciri keserupaan dalam kegiatan-kegiatan
produksi, tingkat keterampilan angkatan kerja, dan pendapatan perkapita. Selanjutnya suatu
wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu gabungan dari sejumlah titik-titik spasial yang
mempunyai kegiatan-kegiatan produksi yang serupa atau tingkat pendapatan perkapita yang
sama. Dengan demikian dapat dibedakan dengan mudah antara wilayah-wilayah agraria dan
wilayah-wilayah industri serta wilayah-wilayah yang berorientasi pada sektor tersier. Dapat
dibedakan pula antara wilayah-wilayah dengan tingkat pendapatan rendah (miskin) dan
wilayah-wilayah berpendapatan tinggi (kaya).
Wilayah dapat pula ditentukan batas-batasnya berdasar pada kriteria interdependensi
atau ketergantungan antar wilayah. Dalam interpretasi ini suatu wilayah dapat dinyatakan
sebagai suatu sistem yang terpadu secara spasial. Suatu sistem diartikan sebagai suatu
kumpulan varibel-variabel yang saling berkaitan satu sama lain. Berdasar kriteria ini tidak
boleh mengkonsentrasikan semata-mata pada keterga..tungan yang berat sebelah pada segi
suplai (wilayal suplai dari suatu pusat permintaan) atau hanya pada segi permintaan (wilayah
permintaan dari suatu pusat suplai). Jadi ketergantungan antar wilayah tersebut harus
didasarkan pula pada kedua segi yaitu segi permintaan dan suplai (penawaran). Selanjutan
ketergantungan antar wilayah dapat dilihat dari arus pertukaran dan lalu lintas
perdangangannya.
Disamping kriteria homogenitas dan fungsionalitas, terdapat variabel lain yang dapat
digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah yakni uniformitas intensitas, dimana
penentuan suatu pe-rangkat titik-titik spatial diperngaruhi oleh rencana pemerintah,
penentuan wilayah-wilayah oleh rencana pemerintah, penentuan wilayah-wilayah
perencanaan mungkin berubah dalam proses per-tumbuhan karena terjadinya pertumbuhan
dalam rencana pem-bangunan nasional. Konsepsi wilayah tersebut meliputi wilayah nodal
yang mempunyai ciri yaitu terdapat suatu tempat sentral atau suatu kutub dan daerah
komplementer di sekitarnya lengkap dengan jaringan-jaringan pasar. Konsepsi ini berarti pula
suatu wilayah polarisasi, dimana pada setiap titik spasial intensitas arus internal komoditas
dan jasa lebih besar dari pada intensitas arus eksternal.
1.3 STRUKTUR HERARKI DAN HUBUNGAN FUNGSIONAL ANTAR PUSAT
ATAU KOTA
Konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi terletak pada tata-ruang-tataruang yang pada
umumnya adalah kota-kota. Proses industrialisasi dan urbanisasi ke kota-kota berlangsung
terus dan bahkan menunjukkan gejala yang semakin meningkat. Konsep tata ruang dan
wilayah polarisasi muncul sebagai hasil dari observasi struktur kota-kota. Dalam hubungan
ini perlu ditunjukkan secara visual sistem dan herarki masyarakat daerah metropolis sampai
daerah-daerah pedesaan. Tiap kota besar mempunyai suatu radius kota satelit, dan
selanjutnya kota-kota satelit tersebut mempunyai desa-desa satelit. Gejala ini sangat penting
dalam perkembangan peradaban manusia, perkembangan industri dan perdangangan, dimana
pertumbuhan kota telah meningkat sangat pesat.
Struktur herarki pusat-pusat atau kota-kota dapat ditentukan dengan menggunakan
ukuran jumlah penduduk, tingkat kegiatan ekonomi, tersedianya kelengkapan fasilitasfasilitas pelayanan, ting-kat kemakmuran dan kemampuan berkembangnya. Pada umumnya
kota-kota besar mempunyai jumlah penduduk yang lebih banyak dibanding dengan kota-kota
kecil. Fasilitas-fasilitas pelayanan (ter-utama fasilitas distribusi) tersedia relatif lebih lengkap,
demikian pula dalam hal jumlah dan jenis lapangan kerja serta tingkat ke
makmuran penduduknya yang mempunyai orde yang sama di suatu negara. Justifikasi dari
pengertian wilayah polarisasi adalah bersifat empirik. Daerah-daerah di sekitar pusat
mempunyai keterhubungan dan ketergan-tungan yang erat dengan pusatnya. Jadi wilayah
polarisasi berarti tidak autarkis. Artinya bersifat terintegrasi antara pusat dengan daerah
komplementernya.
Jaringan transportasi berfungsi menjembatani antara konsep wilayah polarisasi dan
pengertian kutub-kutub pertumbuhan. Kon-sep-konsep tersebut merupakan salah satu kunci
permasalahan pengembangan wilayah. Suatu kutub pertumbuhan regional me-rupakan suatu
perangkat industri-industri yang berkembang dan terletak di daerah perkotaan dan mendorong
lebih lanjut kegiatan-kegiatan ekonomi dan pembangunan pada umumnya ke seluruh wilayah
pelayanannya.
Jaringan tranportasi dapat disusun secara sederahana yaitu menghubungkan pusat
besar dengan pusat-puat sedang, dan selan-jutnya antara pusat sedang dengan pusat-pusat
kecil. Pola transpor-tasi semacam ini disebut conventional tree pattern yang mendasarkan
pada susunan pohon, yaitu terdiri dari batang, dahan, cabang dan ranting. Dalam susunan
trayek atau rute pelayaran dan penerbangan dikenal trunk route dan feeder route. Jaringan
jalan raya meliputi jalan arteri (urat nadi), jalan kolektor dan jalan lokal.
Untuk melayani kegiatan pembangunan dan mobilitas yang semakin meningkat dan
meluas, maka jaringan transportasi nasional harus dikembangkan sesuai dengan tingkat
pertumbuhan arus muatan di seluruh wilayah. Jaringan transportasi yang menghubung-kan
masing-masing pusat ke seluruh pusat lainnya dikenal sebagai "polygrid pattern" atau pola
segala jurusan seperti yang terjadi dalam penerapan di negara-negara yang maju.
1.4 KONFIGURASI (SUSUNAN) PUSAT-PUSAT SPASIAL
Berdasarkan kriteria peran kota sebagai pusat pertumbuhan, statusnya sebagai pusat
kegiatan pemerintahan, jumlah fasilitas pelayanan, besarnya jumlah penduduk perkotaan, dan
kemudahan-kemudahan lainnya, maka dapat ditentukan herarki masing-masing kota. Antara
kota-kota atau pusat-pusat di suatu wilayah terdapat hubungan fungsional.
Pusat tingkat (orde) kesatu merupakan pusat yang tidak berada dalam sub ordinasi
pusat-pusat lainnya dalam suatu wilayah. Pusat orde kesatu melayani seluruh wilayah
pengaruhnya melalui pusat-pusat yang berada dalam sub ordinasinya. Dalam hubungan ke
luar, pusat orde kesatu memiliki fasilitas pelayanan distribusi yang ter-lengkap dan
kemampuan pelayanan yang tertinggi. Pusat orde kedua ialah pusat yang berada dalam sub
ordinasi pusat orde kesatu. Pusat orúe kedua melayani wilayah pengaruhnya melalui pusatpusat yang berada dalam sub ordinasinya. Pusat orde kedua memiliki fasilitas pelayanan yang
setingkat di bawah dan kemampuan pelayanan yang setingkat lebih rendah dari pusat orde
kesatu. Pusat orde ketiga dan seterusnya pada prinsipnya mempunyai ciri-ciri yang sejalan
dengan uraian di atas. Di tinjau dari segi pendekatan pembangunan wilayah, fungsi primer
dari suatu pusat yaitu keterkaitan antara pusat Nampak lebih menonjol dari pada fungsi
sekondernya adalah pelayanan kepada penduduk perkotaan. Fungsi primer suatu pusat
ditunjang oleh jasa distribusi meliputi pelayanan jasa perdagangan dan jasa transportasi yang
dilakukan lebih luas lingkupnya yaitu dari pusat tersebut ke wilayah-wilayah belakang dan
kota-kota lainnya.
Interaksi antara masing-masing pusat ke wilayah-wilayah be-lakang yang merupakan
wilayah pengaruhnya merupakan unsur yang penting dalam sistem wilayah yang
bersangkutan. Antara pusat (wilayah perkotaan) dan wilayah yang mengintarinya (wilayah
pedesaan) terdapat keterhubungan dan ketergantungan yang saling membutuhkan.
Di wilayah perkotaan terjadi interaksi penduduk yang lebih tinggi intensitasnya
dibandingkan dengan wilayah-wilayah pedesa-an. Interaksi tersebut menunjukkan korelasi
yang positif dengan jumlah penduduk dan sebaliknya berkorelasi negatif terhadap jarak.
Semakin jauh jarak antara dua massa penduduk berarti semakin ren-dah intensitas
interaksinya. Berdasarkan pada korelasi di atas dapat dinyatakan pula bahwa semakin besar
suatu kota berarti semakin jauh (luas) wilayah pelayanannya atau wilayah pengaruhnya.
Dalam kenyataan terdapat di ibukota daerah tingkat II yang memiliki fa-silitas yang cukup
ternyata tidak berfungsi sebagai pusat, tetapi sebaliknya ada tempat-tempat yang memiliki
fasilitas yang kurang lengkap ternyata berfungsi sebagai pusat. Dalam hal ini terdapat
diskrepansi atau ketidakserasian antara sasaran kebijaksanaan spa-sial yang mendasar pada
sistem administratif dan proses berkem-bangnya wilayah seperti apa adanya. Terdapat pula
ketidakserasian mengenai ruang lingkup wilayah administrasi secara otomatis tercakup dalam
wilayah pengembangan. Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa bagian wilayah
administrasi tidak terjangkau oleh jasa pelayanan perdagangan dan angkutan disebabkan
hambatan-hambatan geografis atau karena belum tersedianya prasarana trans-portasi.
Wilayah yang terlayani oleh jasa distribusi (jasa perdagangan dan jasa transportasi)
yang memperlihatkan adanya interaksi antara sumberdaya manusia dan sumber-sumber daya
pembangunan lain-nya disebut sebagai wilayah pengembangan. Wilayah administrasi tidak
selalu identik dengan wilayah pengembangan, dapat lebih besar atau sama atau lebih kecil.
Ditinjau dari segi pembangunan wilayah, bentuk wilayah yang kedua (wilayah
pengembangan) memberikan manfaat yang lebih besar dari pada wilayah ditentukan
berdasarkan jaringan adminis-tratif.
Konfigurasi (susunan) kota-kota (pusat-pusat) dalam sistem spasial dapat
didentifikasikan dari kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, dan kebuayaan, yang dalam wujud
fisiknya dicerminkan oleh arus distribusi barang. Arus distribusi barang terlaksana secara
efisien dalam arti jarak perjalanan yang di tempuh oleh barang-barang dari tempat asal ke
tempat-tempat tujuan adalah minimum, konfigurasi pusat-pusat dapat dilihat dari orientasi
penduduk di berbagai tempat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan esiensial, misalnya ke
tem-pat-tempat pekerjaan, sekolah, rumah sakit, rekreasi, dan peribadah-an. Tingkah laku
spasial penduduk berorientasi pula pada jarak per-jalanan terdekat. Gejala ini dapat
dimaklumi karena pada dasarnya manusia dalam mencapai tujuannya berusaha dengan
pengorbanan yang sekecil-kecilnya (prinsip ekonomi).
Masalah alokasi-lokasi atas penempatan fasilitas-fasilitas pe-layanan sangat penting
karena menyangkut kepentingan sebagian besar penduduk sebagai pengguna jasa pelayanan
dan kepentingan pemerintah sebagai penyedia fasilitas. Masalah yang dihadapi para
perencana pembangunan adalah menentukan penempatan fasilitas-fasilitas pelayanan tersebut
pada lokasi secara paling efisien, dimana investasi pemerintah harus didistribusikan dengan
sebaik-baiknya pada pusat-pusat yang tersebar agar diperoleh manfaat yang ter-tinggi bagi
seluruh lapisan penduduk.
Download