Uploaded by User149902

EMY,PASCASARJANA MAGISTER HUKUM KESEHATAN

advertisement
TESIS
PELAKSANAAN PENOLAKAN RESUSITASI PADA
PAS I E N TE R MIN AL DAL AM PE RS PE K T I F
PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA MEDIS
DI RUMAH SAKIT BALI MANDARA
OLEH :
PUTU EMY INDRAYANI
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2024
1
TESIS
PELAKSANAAN PENOLAKAN RESUSITASI PADA
PAS IE N TE R MIN AL DAL AM PE RS PE K T I F
PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA MEDIS
DI RUMAH SAKIT BALI MANDARA
OLEH :
PUTU EMY INDRAYANI
NIM.2282721023
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2024
ii
PELAKSANAAN PENOLAKAN RESUSITASI PADA
PASIEN TERMINAL DALAM PERSPEKTIF
PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA MEDIS
DI RUMAH SAKIT BALI MANDARA
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Studi Magister Hukum Kesehatan,
Pascasarjana Universitas Udayana
OLEH :
PUTU EMY INDRAYANI
NIM. 2282721023
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2024
iii
PELAKSANAAN PENOLAKAN RESUSITASI PADA
PAS IE N TE R MIN AL DAL AM PE RS PE K T I F
PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA MEDIS
DI RUMAH SAKIT BALI MANDARA
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Studi Magister Hukum Kesehatan,
Pascasarjana Universitas Udayana
OLEH :
PUTU EMY INDRAYANI
NIM. 2282721023
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2024
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada Ujian Tesis
Tanggal 16 Juni 2024
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Tugas Direktur Pascasarjana
Universitas Udayana
No : B/1082/UN14.3.III.5/PK.03.02/2024 Tanggal 12 Juli 2024
Ketua : Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika,M.Kes.
Anggota
:
1. Prof. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,S.H.,M.Hum.,LLM.
2. Prof.Dr. dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD.KGer, M.Kes, M.H
3. Dr. Piers Andreas Noak, SH.,M.Si.
4. Dr. I Nyoman Bagiastra,SH.,M.H
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Yang bertanda tangan di bawah ini
:
1.
Nama
:
Putu Emy Indrayani
2.
Program Studi
:
Magister Hukum Kesehatan
3.
NIM
:
2282721023
4.
No.Telp. / No.Hp
:
087761665588
5.
Email
:
[email protected]
8.
Judul Tesis
:
Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada
Pasien Terminal
Dalam
Perspektif
Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di
Rumah Sakit Bali Mandara.
Merupakan hasil karya original yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya dan
tidak
mengandung
unsur
plagiarisme.
Pernyataan
ini
saya
buat
dengan
sebenar-benarnya, apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran, maka saya
bersedia untuk mempertanggungjawabkan sesuai peraturan yang berlaku.
Denpasar, 12 Juli 2024
Yang membuat pernyataan,
( Putu Emy Indrayani )
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang
Hyang
Widhi
Wasa/
Tuhan
Yang
Maha
esa,
karena
hanya
atas
asung
wara
nugraha-Nya/kurnia-Nya, Tesis ini dapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Profesor Dr. Dr. I Putu Gede
Adiatmika, M., Kes, pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan
dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program Magister Hukum
kesehatan, khususnya dalam penyelesaian Tesis ini. Terima kasih pula penulis sampaikan
kepada Profesor Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S. H., M. Hum., LLM, Pembimbing kedua
yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada
penulis.
Terimakasih pula Penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Ir.
Ngakan Putu Gede Suardana, M.T.,Ph.D.,IPU atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di
Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Pascasarjana
Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. I Wayan Budiasa, S.P., M.P, IPU, ASEAN
Eng, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi
Magister Hukum Kesehatan pada Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini,
penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. dr. R.A. Tuty Kuswardhani,
Sp.PD- KGer, M.Kes, M.H, Koordinator Program Studi Magister Hukum Kesehatan
Pascasarjana Universitas Udayana dan Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada
para penguji Tesis, yaitu Prof. Dr. dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD - KGer, M.Kes, M.H, Dr.
Piers Andreas Noak, SH.,M.Si. , Dr. I Nyoman Bagiastra.,SH.,MH yang telah memberikan
masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga Tesis ini dapat terwujud. Penulis juga
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Direktur RSUD Bali Mandara Provinsi
Bali yang telah mengijinkan penulis menempuh pendidikan Magister ini.
Ucapan terima kasih yang tulus kepada mendiang Ibu dan Ayah yang telah mengasuh dan
membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik dan suasana demokratis sehingga
tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Akhirnya penulis sampaikan terima
kasih kepada adik dan keluarga , serta anak-anak Kanya, Sassy dan Dhenan tersayang, yang
dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih
vii
berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini serta Huruf DR yang sudah mengajarkan banyak hal
untuk menjadi lebih kuat.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Mahaesa selalu melimpahkan
rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaandan penyelesaian Tesis ini,
serta kepada penulis sekeluarga.
Denpasar, 21 Mei 2024
viii
ABSTRAK
Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif
Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara.
Penelitian ini mengkaji pengaturan dan implementasi penolakan resusitasi pada
pasien terminal di Indonesia, dengan fokus pada aspek hukum dan praktik di
Rumah Sakit Bali Mandara. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaturan
penolakan resusitasi berdasarkan hukum positif Indonesia serta menganalisis
efektivitas implementasi keputusan dalam penolakan resusitasi di Rumah Sakit
Bali Mandara dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis.
Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, dengan teknik
pengumpulan data melalui wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengaturan penolakan resusitasi di Indonesia diatur dalam UU 17 tahun 2023
tentang kesehatan dan PMK 37 tahun 2014 tentang penentuan kematian dan
pemanfaatan organ donor secara spesifik, perlindungan hukum bagi tenaga medis
belum efektif karena tindakan medis tidak disertai informed consent.
Implementasi Penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara baik atas
permintaan pasien/keluarga maupun atas pertimbangan klinis dokter telah berjalan
berdasarkan formulir penolakan resusitasi, masih terdapat tantangan dalam aspek
pemenuhan
dokumentasi
formal
sesuai
Permenkes
Nomor.
290/MENKES/PER/III/2008 .
Kesimpulan penelitian ini pengaturan penolakan resusitasi pada pasien terminal
telah diatur dalam secara inplisit pada UU 17 tahun 2023 pasal 4 ayat (1) dan
secara eksplisit pada PMK 37 tahun 2014 pasal 15 ayat (1) serta Permenkes
290/MENKES/Per/III/2008. Implementasi penolakan resusitasi di RSUD Bali
Mandara belum efektif memberikan perlindungan hukum karena belum dillandasi
Informed concent. Diharapkan melengkapi SOP yang sudah ada menyesuaikan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kata kunci: Penolakan resusitas, pasien terminal, perlindungan hukum tenaga
medis.
ix
ABSTRACT
Implementation of Do Not Resusitate in Terminal Patients in the Perspective of
Legal Protection of Medical Personnel at Bali Mandara Hospital.
This study examines the regulation and implementation of Do Not Resusitate in
terminal patients in Indonesia, focusing on the legal and practical aspects of Bali
Mandara Hospital. The purpose of the study is to analyze the regulation of Do Not
Resusitate based on Indonesia's positive law and to analyze the effectiveness of the
implementation of the decision in refusing resuscitation at Bali Mandara Hospital
in providing legal protection for medical personnel.
The research method uses an empirical juridical approach, with data collection
techniques through interviews. The results of the study show that the regulation of
Do Not Resusitate in Indonesia is regulated in Law 17 of 2023 concerning health,
PMK 37 of 2014 concerning the determination of death and the use of donor
organs specifically, legal protection for medical personnel has not been effective
because medical actions are not accompanied by informed consent. The
implementation of Do Not Resusitate at Bali Mandara Hospital both at the request
of the patient/family and on the clinical consideration of the doctor has been
running based on the Do Not Resusitate form, There are still challenges in the
aspect of fulfilling formal documentation according to the Minister of Health
Regulation Number. 290/MENKES/PER/III/2008 .
The conclusion of this study is that the regulation of Do Not Resusitate in terminal
patients has been explicitly regulated in Law 17 of 2023 article 4 paragraph (1)
and explicitly in PMK 37 of 2014 article 15 paragraph (1) and Permenkes
290/MENKES/Per/III/2008. The implementation of the Do Not Resusitate at Bali
Mandara Hospital has not been effective in providing legal protection because it
has not been based on the Informed concent. It is hoped that the existing SOPs will
be implemented in accordance with the provisions of laws and regulations.
Keywords: Do Not Resusitate, terminal patients, legal protection of medical
personnel.
10
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN.............................................................................. I
HALAMAN SAMPUL DALAM…………………………………………………ii
LEMBAR PRASYARAT GELAR……………………………………………….iii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................... v
PENETAPAN TIM PENGUJI……………………………………………………vi
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME……………………………………...vii
UCAPAN TERIMAKASIH…………………………………………………… viii
ABSTRAK………………………………………………………………………. ix
ABSTRACT……………………………………………………………………… x
DAFTAR ISI........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL....................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xii
DAFTAR SINGKATAN...................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian........................................................................................ 9
1.5. Orisinalitas Penelitian................................................................................. 10
1.6 Batasan Penelitian........................................................................................ 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA KEPUTUSAN PENOLAKAN RESUSITASI....... 14
2.1.
Landasan teori......................................................................................... 14
2.1.1.
Teori Sistem Hukum ....................................................................... 14
2.1.2.
Teori Tujuan Hukum........................................................................18
2.1.3.
Teori Efektivitas Hukum..................................................................20
2.1.4.
Teori perlindungan hukum...............................................................24
2.2.
Tinjauan pustaka......................................................................................25
2.2.1.
Konsep Henti Jantung dan Resusitasi Jantung Paru........................ 25
2.2.2.
Aspek Hukum Penolakan resusitasi sesuai regulasi........................38
11
2.2.3.
Konsep Kode etik kedokteran.......................................................... 77
2.2.4.
Konsep hak dan kewajiban.............................................................. 81
2.2.5.
Konsep Pasien Terminal.................................................................. 89
2.2.6.
Konsep Hubungan Terapeutik Antara Tenaga Medis Dengan Pasien..
2.3.
Konsep Penelitian....................................................................................92
2.4.
Model Penelitian......................................................................................94
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 95
3.1.
Rancangan Penelitian.............................................................................. 95
3.1.1
Pendekatan Penelitian...................................................................... 95
3.2. Lokasi dan waktu penelitian ................................................................................ 72
3.2.1 Lokasi penelitian...........................................................................................72
3.2.2 Waktu Penelitian .............................................................................….73
3.3
Jenis dan Sumber Bahan Hukum..................................................................73
3.3.1 Jenis Bahan Hukum.............................................................................. 73
3.3.2 Sumber Bahan Hukum .........................................................................75
3.4
Instrumen Penelitian..................................................................................... 76
3.4.1 Pengolahan dan Analisis Data.................................................................76
3.4.2 Keabsahan data........................................................................................78
3.4.3 Kebaruan Penelitian................................................................................ 79
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………… ..86
4.1
Profil RSUD Bali Mandara........................................................................... 86
4.2
Karakteristik Informan…………………………………………………… 88
4.3
Pengaturan penolakan resusitasi pada pasien terminal berdasarkan hukum
positif di Indonesia……………………………………………………….. 86
4.4
Implementasi Keputusan Penolakan resusitasi di RSUD Bali Mandara
107
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 117
5.1
Simpulan…………………………………………………………………117
5.2
Saran……………………………………………………………………117
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 118
LAMPIRAN
12
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3. 1. Model Penelitian ..............................................................................89
13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Informasi Penelitian
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Menjadi Informan
Lampiran 3. Pedoman Wawancara
Lampiran 4. Daftar Informan
Lampiran 5. Daftar Pertanyaan
Lampiran 6. Lampiran ethical clearance
Lampiran 7. Dokumentasi Kegiatan
Lampiran 8. Formulir Permohonan tidak dilakukan tindakan resusitasi
Lampiran 9. Formulir Penolakan tindakan kedokteran
Lampiran 10. Formulir Persetujuan Tindakan Kedoketran
Lampiran 11 Asesmen Kebutuhan Informasi dan Edukasi Pasien/Keluarga
Lampiran 12. Formulir Catatan Informasi dan Edukasi Terintegrasi
14
DAFTAR SINGKATAN
HAM
: hak asasi manusia
DUHAM
: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
AHA
: American Heart Association
CPPT
: Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi
RJP
: Resusitasi Jantung Paru
DPJP
: Dokter
BHD
: Bantuan Hidup Dasar
IHCA
: In Hospital Cardiac arrest
OHCA
: Out of Hospital cardiac arrest
KODEKI
: Kode Etik Kedokteran Indonesia
USG
: Ultrasonografi
MRI
: Magnetic Resonance Imaging
WMA
: World Medical Association
Penanggung
Jawab
15
Pelayanan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hak asasi manusia yang paling penting adalah hak untuk mendapatkan
asuhan medis dan memperpanjang kehidupan. Menurut Pasal 3 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan,
dan keselamatan.
Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa
setiap orang berhak untuk hidup dan berhak untuk mempertahankan hidupnya.
Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidupnya, dan meningkatkan taraf kehidupannya, hak hidup
adalah hak dasar yang secara kodrati diberikan kepada manusia, harus dilindungi,
dihormati, dan dipertahankan,
tidak boleh diabaikan, atau dikurangi.
Negara Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan
menjamin hak asasi manusia (HAM) dan hak warga negara lainnya (MK, 2023).
Hak asasi adalah hak universal yang harus dihormati dan dilindungi. Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tanggal 10 Desember 1948, dalam
resolusi 217 A (III), pasal 25 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf
kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri, dan
keluarganya (Komnas HAM, 2023).
Undang-Undang No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan selanjutnya disebut
UU Kesehatan menyatakan Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik
secara fisik, jiwa,
maupun
sosial
dan
1
bukan
sekadar
terbebas
dari
penyakit
untuk
memungkinkannya hidup produktif. Sebagai
salah satu unsur kesejahteraan, kesehatan adalah investasi untuk mewujudkan
kesejahteraan tersebut (Mikho Ardinata, 2020).
Dalam perspektif hukum, perintah untuk tidak melakukan resusitasi
memegang nilai penting dalam menghormati ketentuan dan kehendak individu
terhadap tubuhnya sendiri (Sulistyawan, 2019). Prinsip dasar dalam hukum
kedokteran mengakui hak pasien untuk memiliki otonomi dalam membuat
keputusan terkait perawatan medis mereka. Dalam melaksanakan perintah
tersebut, dokter juga harus mempertimbangkan etika kedokteran untuk
memastikan bahwa keputusan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip moral dan
nilai-nilai etis dalam praktik kedokteran. Situasi di mana perintah untuk tidak
melakukan resusitasi diberikan harus dibahas secara mendalam oleh dokter
dengan pasien dan/atau keluarganya untuk memahami alasan di balik perintah
tersebut dan dokter juga wajib memastikan bahwa keputusan tersebut dilakukan
secara adil dan tidak terpengaruh oleh faktor eksternal yang tidak relevan.
Dokter harus memperhatikan bahwa perintah untuk tidak melakukan
resusitasi tidak melanggar undang-undang dan tidak akan memiliki konsekuensi
hukum di kemudian hari. Semua pihak yang terkait, termasuk pasien dan
keluarganya,
harus
memastikan
bahwa
Penolakan
melakukan
resusitasi
didokumentasikan dan disetujui sesuai peraturan yang berlaku. Memahami risiko
dan akibat yang mungkin disebabkan oleh Penolakan tersebut dokter harus
memberi informasi yang jelas dan akurat pada pasien atau keluarganya sehingga
mereka dapat membuat keputusan yang tepat dengan pemahaman yang baik.
1
Pastikan bahwa kode etik kedokteran dan prinsip moral yang mengatur
praktik kedokteran tidak bertentangan dengan perintah untuk tidak melakukan
resusitasi.
Sebuah artikel yang ditayangkan pada KOMPAS.com menunjukkan
bahwa tenaga medis di sebuah rumah sakit di Florida, AS, sangat bingung ketika
mereka menerima seorang pasien dengan tato di dadanya yang bertulis "D0 Not
Resucitate" Jangan lakukan resusitasi (Penolakan Resusitasi), yang berarti mereka
dilarang melakukan tindakan pertolongan Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika
pasien mengalami masalah darurat. Perintah Penolakan resusitasi ini di Amerika
Serikat adalah surat yang ditulis atas permintaan pasien atau keluarga, yang harus
ditandatangani dan diputuskan melalui konsultasi dengan dokter yang berwenang.
Pasien yang berusia 70 tahun mengalami masalah pernafasan sebagai akibat dari
tingkat alkohol dalam darah yang tinggi.
Tenaga medis di Unit Gawat Darurat Jackson Memorial Hospital Miami
harus mempertimbangkan pentingnya memberikan pertolongan segera kepada
pasien yang membutuhkannya (Wadrianto, 2017). Tenaga medis kebingungan
karena mereka harus mengambil keputusan dengan pertimbangan terbaik saat
menghadapi ketidakpastian. Namun, ada pendapat lain yang menganggap bahwa
pasien tersebut telah berusaha menegaskan sikap dan keputusannya melalui tato
tersebut, yang akhirnya membuat mereka meminta konsultasi etika dalam kasus
ini (Holt et al., 2017).
Kasus Pasien inisial N (59 tahun) dirawat di Rumah Sakit RS Awal Bros
Tangerang dengan Kronologi Pasien mengalami gagal napas dan dinyatakan
18
1
meninggal. Keluarga menuntut RS karena tidak melakukan resusitasi sesuai
permintaan keluarga. Pihak RS berdalih bahwa keluarga telah menandatangani
formulir Penolakan Resusitasi, tuntutan hukum keluarga pasien menuntut RS
Bros Tangerang atas dugaan malpraktik dan pelanggaran hak pasien. Kasus masih
dalam proses di Pengadilan Negeri Tangerang.
Di Indonseia, landasan dalam mempertahankan kehidupan manusia adalah
UUD tahun 1945 pasal 28 A perubahan kedua yang menyebutkan “setiap orang
berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal (14)
Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 menyatakan penolakan tindakan
kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah
menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan harus
mendapatkan persetujuan tertulis, dalam hal ini adalah Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan Utama dan Manajer Pelayanan Pasien. Segala bentuk Komunikasi
Informasi dan Edukasi didokumentasikan di dalam Formulir KIE dan Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) sebagai dasar ditandatanganinya
Formulir Penolakan Tindakan Kedokteran atau Formulir Permintaan Penolakan
resusitasisesuai
dengan
kebijakan
masing-masing
rumah
sakit.
Dalam
pelaksanaannya disebagian besar rumah sakit, akan ada formulir pernyataan
khusus mengenai Penolakan resusitasi yang ditandatangani oleh pasien. Setelah
itu, yang akan menangani perintah Penolakan resusitasi adalah dokter penanggung
jawab pasien dengan menerima formulir Penolakan resusitasidan memberikan
gelang Penolakan resusitasi kepada pasien.
19
1
Penolakan resusitasi merupakan kondisi yang sarat dengan pro kontra
sehingga perlu dikaji dari segi bioetik dan medikolegal secara hati-hati untuk
masing-masing kasus. Perdebatan mengenai aspek hukum Penolakan resusitasi
masih terus berlaku. Beberapa negara melakukan penolakan Penolakan
resusitasiatas beberapa pertimbangan. Di Cina dan Korea Selatan misalnya,
Penolakan resusitasi dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan pengobatan
seperti Resusitasi Jantung Paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang
dalam kondisi dan tempat yang sama. Contoh lain, di Inggris, mengemukakan
bahwa orang yang diberikan label Penolakan resusitasi memiliki kemungkinan
untuk
ditelantarkan
dan
tidak
mendapat
penatalaksanaan
yang
layak.
Rekomendasi American Heart Association (AHA), sebagai salah satu panduan
yang banyak digunakan di seluruh dunia, menyatakan bahwa RJP tidak
diindikasikan pada semua pasien. Pasien dengan kondisi terminal, penyakit yang
tidak reversibel, dan penyakit dengan prognosis kematian hampir dapat dipastikan,
tidak perlu dilakukan RJP. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada
kemungkinan keinginan euthanasia, terutama pada pasien dewasa yang kompeten
namun menolak resusitasi jantung paru secara irasional.
Penolakan resusitasi dianggap sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien
sehingga prinsip etik yang dikaji haruslah pengkajian terhadap keseluruhan upaya
RJP. Melakukan resusitasi jantung paru tidak hanya dibatasi oleh kaidah legal dan
teknis namun juga mempertimbangan 4 kaidah bioetika, asas manfaat
(beneficence), prinsip do no harm (nonmaleficence), perlakuan yang adil (justice),
dan hak otonomi pasien (autonomy). Pasien yang dinyatakan dewasa secara
20
1
hukum dan kompeten berhak menolak prosedur, termasuk yang menyelamatkan
hidup mereka, setelah mendapat informasi dan memahami betul implikasi
keputusannya. Perintah Penolakan resusitasidianggap sebagai dokumen medis
legal yang mencerminkan keputusan dan keinginan pasien akan menghindari
upaya untuk mempertahankan kehidupan. (Sa’id Mrayyan, 2019).
Dalam standar akreditasi baik nasional maupun internasional, prosedur
Penolakan resusitasi termasuk kebijakan yang harus dibuat oleh rumah sakit
sebagai salah satu panduan dalam pemberian pelayanan dan asuhan pasien
dalam tahap terminal. Namun demikian, dengan dasar hukum apakah sebaiknya
kebijakan ini dibuat, karena dalam praktik sehari-hari pelaksanaan Penolakan
resusitasi ini pun sudah sering terjadi dengan permintaan yang dilakukan oleh
pasien sendiri, pasangan, keluarga, yang mewakili ata bahkan atas pertimbangan
klinis dokter sebagai Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) pasien. Ketika
perintah ini dijalankan, maka kembali timbul pertanyaan apakah seorang dokter
dapat dianggap tidak menghormati atau bahkan merampas hak hidup pasien yang
menjadi tanggung jawabnya. Apakah hal ini dapat dianggap sebagai suatu
kesalahan yang berhubungan dengan tindak pidana? Penelitian lain yang pernah
dilakukan sebelumnya membahas Penolakan resusitasi dalam suatu kajian hukum
Indonesia, menghubungkannya dengan Kitab Undang Hukum Pidana terkait
kejahatan terhadap nyawa baik atas permintaan sendiri ataupun orang lain di
luar dirinya yang dalam hal ini adalah permintaan keluarga (Adriana, 2021).
Dalam sebuah artikel berjudul “Kajian Bioetik dan Medikolegal pada
Penolakan Resusitasi” disebutkan bahwa saat ini belum ada kepastian hukum
21
1
yang mengatur Penolakan resusitasi (Tarigan, 2021). Payung hukum terhadap
tindakan ini pun belum menggunakan terminologi dan definisi operasional yang
sama untuk mengatur pelaksanaan penolakan resusitasi secara eksplisit dengan
kriteria yang jelas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi para tenaga medis dan
rumah sakit terutama ketika berada pada situasi sulit yang dilematis saat
berhadapan dengan kondisi klinis pasien, pilihan yang menjadi permintaan
pasien dan
keluarga, serta adanya
keterbatasan sumber daya. Contohnya
saat
terjadinya lonjakan kasus Covid-19 pada masa Pandemi, tenaga medis dan rumah
sakit menghadapi masalah kekurangan sumber daya terkait fasilitas, sarana
prasarana, alat kesehatan, obat-obatan, dan oksigen. Tenaga medis dan rumah
sakit terpaksa membuat keputusan
yang
sulit
dan
dilematis, salah satunya
adalah keputusan Penolakan resusitasi pada kasus-kasus dengan prognosis buruk
dan kemungkinan luaran hasil pengobatan yang sia - sia di antara pilihan
banyaknya pasien yang juga harus diselamatkan. Upaya maksimal yang
dilakukan oleh para tenaga medis dan rumah sakit pada saat itu juga tidak serta
merta bisa menyelesaikan situasi yang dilematis ketika terjadi suatu bencana
darurat yang menuntut keputusan klinis yang sifatnya segera.
Risiko dituntutnya rumah sakit dan para tenaga medis secara hukum terkait
keputusan Penolakan resusitasi dapat saja terjadi. Adanya perbedaan persepsi bila
keputusan ini dilihat dari perspektif hukum pidana. Berdasarkan uraian diatas
menjadi penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terkait “Pelaksanaan
Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif Perlindungan
22
1
Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hukum dalam pelaksanaan tindakan medik.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan penolakan melakukan resusitasi pada pasien
terminal ” berdasarkan hukum positif Indonesia” ?
2. Bagaimana implementasi penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali
Mandara efektif dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga
medis?
1.3. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai yaitu:
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum bahwa terjadinya pelanggaran hukum dalam tindakan medik
tidak bisa diprediksi, perlu mendapat perhatian dan prioritas dalam konteks
tanggung jawab dokter dan mendapatkan gambaran keputusan Penolakan
resusitasiserta konsekuensi hukumnya di Indonesia ketika keputusan ini terpaksa
dipilih.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini mengacu pada rumusan masalah yang akan
dibahas yaitu :
1. Untuk menganalisis Pengaturan Penolakan Melakukan Resusitasi pada
pasien terminal ” berdasarkan hukum positif Indonesia”.
23
1
2. Untuk menganalisis implementasi penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali
Mandara dalam efektifitas memberikan perlindungan hukum bagi tenaga
medis.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian dilakukan agar
dapat memberi manfaat yang seluas-luasnya
untuk masyarakat. Dibawah ini adalah manfaat yang akan dicapai yaitu :
1.4.1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi
pengembangan ilmu hukum terutama bidang hukum kesehatan, terkait legalitas
tindakan Penolakan resusitasidan perlindungan hukum terhadap dokter terkait
keputusan Penolakan resusitasidan dapat digunakan sebagai referensi dalam
penelitian selanjutnya dengan substansi penelitian yang berbeda.
1.4.2. Manfaat praktis
Hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepentingan
kepastian dan perlindungan hukum, untuk memberikan masukan dan saran bagi
pemerintah, legislatif, dan yudikatif dalam membuat dan mengimplementasikan
peraturan yang mengatur Penolakan resusitasi secara jelas dan tegas di Indonesia.
Mampu memberikan pedoman dan bantuan bagi dokter, pasien, keluarga, dan
tenaga kesehatan lainnya dalam mengambil keputusan dan melakukan Penolakan
resusitasi di rumah sakit dengan menghormati hak-hak dan kewajiban
masing-masing pihak serta memberikan edukasi dan sosialisasi kepada
masyarakat tentang Penolakan resusitasi dan hak-hak pasien yang berada pada
24
1
kondisi terminal atau tidak sadar secara permanen serta mengurangi risiko
perselisihan hukum.
1.5. Orisinalitas Penelitian
Orisinalitas penelitian perlu dirumuskan untuk mengetahui adanya
perbedaan atau pun persamaan dengan penelitian sebelumnya, untuk pembanding
nantinya dalam penelitian yang akan dilakukan.
Berikut disajikan beberapa tesis yang membahas terkait “Penolakan resusitasi ”
atau “konsekuensi hukum bagi tenaga kesehatan”
No
Penulis
Judul Tesis
Rumusan Masalah
.
1.
2.
3.
Gina Adriana
Penolakan Resusitasi Dalam Bagaimana
Konsekuensi
Sistem Hukum Indonesia
hukumnya di Indonesia jika
keputusan
tindakan
penghentian terapi bantuan
hidup pada pasien terminal
tersebut terpaksa dipilih ?
Yunus
Adi Dilema
Etik
Dalam Bagaimana tenaga kesehatan
Penatalaksanaan Penolakan menghadapi
dilema
etik
Wijaya
Resusitasi Di Indonesia
dalam
penatalaksanaan
Penolakan Resusitasi ?
Eva Fieldiana Sari Legalitas
Penolakan Bagaimana legalitas tindakan
Resusitasi Di Rumah Sakit Penolakan
resusitasi
di
Dalam
Konteks Indonesia ?
Perlindungan Hukum Bagi
Dokter
Terdapat persamaan dan perbedaan dari penelitian tesis diatas dengan penelitian
yang akan dilaksanakan :
1. Penelitian oleh Gina Adriana yang berjudul Penolakan Resusitasi Dalam
Sistem Hukum Indonesia tahun 2021, Konsentrasi Hukum Program Pasca
25
1
Sarjana Universitas Lancang Kuning . Hasil Penelitian ini membahas tentang
pengaturan Penolakan resusitasidalam sistem hukum Indonesia, termasuk
tinjauan yuridis dan etika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan
Penolakan resusitasidi Indonesia masih belum jelas dan komprehensif.
Kondisi ini menimbulkan dilema bagi dokter dalam menangani pasien yang
membutuhkan Penolakan Resusitasi.
Persamaan dengan penelitian tersebut yaitu pada subtansi perintah
Penolakan Resusitasi, perbedaannya
terkait penelitian Gina Adriana
menggunakan analisis yuridis normatif dengan fokus pada peraturan
perundang-undangan dan kasus hukum , penelitian saya berfokus pada analisis
yuridis normatif dan hak pasien menurut UU 17 tahun 2023 tentang kesehatan
dan etika kedokteran.
2. Penelitian tesis oleh Yunus Adi Wijaya dengan judul Dilema Etik Dalam
Penatalaksanaan Penolakan Resusitasi Di Indonesia Magister ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia tahun 2023 (Yunus, 2023).
Hasil penelitian menunjukkan banyak pihak yang menolak untuk
melakukan Penolakan resusitasitelah beralih ke masalah etika, terutama
prinsip-prinsip agama. Agama tidak memberikan manusia kekuatan untuk
memutuskan hidup dan mati seseorang dengan cara yang sama seperti pilihan
Penolakan resusitasi yang dianggap dapat memutuskan hidup dan mati
seseorang. Kesimpulannya Saat ini tidak diatur apa yang terjadi jika pasien
memilih Penolakan resusitasibahkan sebelum memulai pengobatan. Pasien
yang telah membuat keputusan Penolakan resusitasidi masa lalu atau di
26
1
fasilitas kesehatan lain tidak dapat menuntut dokter jika perawatan yang
menyelamatkan jiwa diberikan dalam keadaan ini. Keputusan Penolakan
resusitasiharus diambil dengan hati-hati dalam hal implikasi hukum. Ada
kesepakatan tentang kondisi pasien dan pentingnya kualitas hidup pasien. Ini
juga merupakan ide yang baik untuk menyimpan catatan keputusan ini jika
ada masalah hukum di masa depan.
Persamaan dengan penelitian diatas mengenai Penolakan Resusitasi,
sedangkan perbedaannya penelitian pleh Yunus, 2023 membahas tentang
legalitas Penolakan resusitasi dalam perspektif perawat.
3. Penelitian tesis oleh Eva Fieldiana Sari dengan judul Legalitas Penolakan
Resusitasi Di Rumah Sakit Dalam Konteks Perlindungan Hukum Bagi Dokter
Magister ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung tahun 2022
( Sari, 2022).
Hasil
penelitian
didapatkan
bahwa
pelaksanaan
Penolakan
resusitasiadalah legal secara hukum berdasarkan Permenkes Nomor 37 Tahun
2014 Tentang Penentuan Kematian Dan Pemanfaatan Organ. Perlindungan
hukum
bagi
dokter melakukan
tindakan Penolakan resusitasi telah diatur
dalam Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Medik, dalam Permenkes tersebut secara preventif perlindungan
dokter dalam bentuk informed consent dan secara represif dalam keadaan
gawat darurat pada Pasal 4, dan kedua Permenkes tersebut menjadi acuan
dokter dalam keputusan penghentian atau penundaan bantuan hidup.
27
1
Persamaan dengan penelitian tersebut yaitu pada subtansi perintah
Penolakan Resusitasi, perbedaannya Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang,
asas hukum dan doktrin-doktrin dan yuridis empiris dengan mengadakan
penelitian lapangan.
1.6 Batasan Penelitian
Penelitian ini menyangkut hukum kesehatan dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di rumah sakit, berkaitan dengan
penolakan resusitasi
dilihat dari sudut pandang bioetik, medikolegal, peraturan perundang-undangan,
teori
dalam penguatan perlindungan hukum bagi dokter di Rumah Sakit.
28
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan teori
2.1.1. Teori Sistem Hukum
Pandangan Lawrence Friedmann tentang sistem hukum (legal system),
sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Ashshiddiqie menurutnya mencakup tiga
komponen atau sub-sistem, yaitu: 1) komponen struktur hukum; 2) substansi
hukum;
dan
didasarkan
3)
atas
budaya
hukum.
perspektifnya
Teori
yang
Friedmann tersebut sebenarnya
bersifat
sosiologis
(sociological
jurisprudence). Yang hendak diuraikannya dengan teori tiga sub-sistem : struktur,
substansi, dan kultur hukum itu tidak lain adalah bahwa basis semua aspek dalam
sistem hukum itu adalah budaya hukum.
Dalam rangka perancangan pembangunan hukum nasional, dirumuskan
bahwa pembangunan hukum itu mencakup tiga komponen,
yaitu (i)
pembangunan materi hukum, (ii) pembangunan aparatur hukum,
dan (iii)
pembangunan sarana dan prasarana hukum. Pada periode akhir orde baru,
perumusannya ditambah menjadi pembangunan (i) materi hukum, (ii) aparatur
hukum, (iii) sarana dan prasarana, dan (iv) budaya hukum. Kemudian setelah
gerakan demokrasi dan hak asasi manusia semakin populer di dunia pada akhir
29
1
abad ke-20, perumusan tersebut diubah lagi menjadi pembangunan (i) materi
hukum, (ii) aparatur hukum, (iii) sarana dan prasarana hukum, serta (iv)
budaya hukum dan hak asasi manusia. Penggunaan nomenklatur tersebut,
30
1
31
terlihat adanya pengaruh teori Lawrence Friedmann di dalamnya. Namun
demikian menurut Jimly Asshiddiqie para perancang pembangunan hukum
nasional menyadari bahwa kebutuhan pembangunan hukum nasional tidak
mungkin menggunakan
trikotomi
Lawrence
Friedmann
itu
apa
adanya tanpa penafsiran dan tanpa inovasi sesuai dengan keperluan bangsa
Indonesia. Menurut Jimly rumusan tentang komponen-komponen sistem dalam
rangka pembangunan hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu harus
menggunakan logikanya sendiri. Apalagi dikaitkan dengan kebutuhan sekarang
di abad ke-21, di masa pasca reformasi, tentu keterpaduan sistemik dalam
upaya merancang strategi pembangunan hukum nasional dan daerah di seluruh
Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh, integral dan
terperinci dengan jelas.
Jimly Asshiddiqie menyarankan agar sistem hukum Indonesia yang akan
datang mencakup lima elemen sekaligus, yaitu (i) komponen instrumental yang
mencakup semua jenis dokumen hukum dan hukum tidak tertulis, (ii)
komponen kelembagaan yang mencakup juga pengertian sarana dan prasarana dan
semua aspek keorganisasian, (iii) komponen sumber daya manusia dan
kepemimpinan, (iv) komponen sistem informasi dan komunikasi, dan (v)
komponen budaya hukum, pendidikan hukum, dan sosialisasi hukum.
Jimly Ashshidiqi, dalam Buku Kostitusi dan Konstitusionalisme,
mengutip pendapat Lawrence M. Friedman, menguraikan sistem hukum terdiri
dari tiga komponen struktur (kelembagaan), substansi (output sistem hukum) dan
kultur (nilai, sikap, persepsi, custom, ways of doing, ways of thinking, opinion).
32
Dalam komponen kultur dibedakan menjadi dua yaitu internal legal culture
(hukum para lawyer dan judges) dan external legal culture (hukum masyarakat
luas).
Friedman mengemukakan keefektifan atau berhasil tidaknya aturan
hukum tergantung tiga unsur dari sistem hukum, yaitu: 1) unsur struktur hukum
(struktur of law); 2) substansi hukum (substance of the law) dan; 3) budaya
hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum,
substansi hukum meliputi perangkat perundang- undangan, sedangkan budaya
hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu
masyarakat.
Mengenai struktur hukum, Friedman menjelaskan:
“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of
elements of this kind: the number and size of courts; their
jurisdiction …Strukture also means how the legislature is organized …what
procedures the police department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind
of crosss section of the legal system…a kind of still photograph, with freezes the
action.”
Struktur hukum dari sistem hukum terdiri atas unsur antara lain: jumlah
dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang menjadi
kewenangan mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke
pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur apa yang harus
diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari
lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum
yang ada.
33
Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum
dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan
bagaimana pembuat hukum dan penegakan hukum di pengadilan berjalan dan
dijalankan. Menurut Achmad Ali dalam membicarakan struktur hukum di
Indonesia, termasuk juga di dalamnya struktur institusi-institusi penegak hukum
seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan).
Substansi hukum menurut Friedman adalah:
“Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the
actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system …the
stress here is on living law, not just rules in law books”.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud
dengan substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan
menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap
manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum
dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan
aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang
dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang- orang yang terlibat dalam
sistem dan masyarakatnya, maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara
efektif.
34
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial
tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu.
Dalam menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah
yang lebih baik, bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah
atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum
tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya
penegakan hukum (law enforcement) yang baik. Jadi bekerjanya hukum bukan
hanya
merupakan
fungsi perundang-undangan belaka, malainkan aktifitas
birokrasi pelaksananya.
Menurut Lon L. Fuller, hukum sebagai sistem harus memenuhi 8 azas
(principles of legality) yaitu:
1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan
2) Peraturan-peraturan yang dibuat itu harus diumumkan
3) Peraturan tidak boleh berlaku surut
4) Peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti dan rinci
5) Suatu
sistem
tidak
boleh
mengandung
peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain
6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa
yang dapat dilakukan
7) Peraturan tidak boleh sering diubah
8) Harus
ada
kecocokan
antara
pelaksanaannya sehari-hari.
peraturan
yang
diundangkan dengan
35
2.1.2. Teori Tujuan Hukum
Dalam teorinya Gustav Radbruch menyebutkan bahwa tujuan hukum
berdasarkan prioritas yaitu keadilan, manfaat baru kepastian hukum. Dalam
konteks di Pengadilan, teori ini biasa diterima akan tetapi dalam proses
pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan), bagaimanapun harus dimulai dengan
kepastian hukum supaya konsistensi persamaan di muka hukum dapat
dipertahankan, sehingga urut-urutan dari teori Gustav Radbruch itu menjadi tidak
tepat dalam hukum acara pidana. Dalam beberapa hal materi hukum acara pidana
bahkan dalam proses pendahuluan ada kaedahnya yang bersifat constitutional
rights seperti “persamaan di depan hukum”, due-process of rights, perampasan
kemerdekaan harus berdasarkan undang-undang, hak untuk hidup, hak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi, dst sebagaimana ditentukan dan
dilindungi dalam Pasal 28 UUD 1945.
Menurut teori utilitas bahwa tujuan hukum adalah menjamin adanya
kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada warga masyarakat, teori
ini dicetuskan oleh Jeremy Bentham. Dalam bukunya yang berjudul Introduction
to the Morals and Legislation (1780), berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk
mewujudkan semata-mata apa yang bermanfaat/ berfaedah yang sebesar-besarnya
terhadap jumlah orang yang banyak atau yang terkenal dengan “ the greatest good
of the greatest number”. Van Apeldoorn, di dalam bukunya Inlending Tot De
Studie Van Het Nederlandse Recht mengatakan bahwa tujuan hukum adalah
mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki
perdamaian, perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan
36
melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,
kemerdekaan, jiwa atau harta benda terhadap pihak yang merugikan. Pandangan
kedua sarjana di atas, terlihat sekali bahwa tujuan hukum tidak lain dan tidak
bukan semata-mata hanyalah untuk menjamin kebahagiaan hidup yang sejati bagi
masyarakat. Hukum menjaga dan menyelamatkan jiwa bahkan harta manusia dari
segala macam ancaman dan gangguan. Achmad Ali dalam maha karyanya yang
berjudul “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)”, membagi
teori-teori mengenai tujuan hukum itu dengan menggolongkannya sebagai grand
theory dan membaginya ke dalam teori klasik dan teori modern.
Berikut penjelasannya lewat skema di bawah ini:
A.Teori Klasik
a. Teori Etis
b. Teori Utilitas
c. Teori leglistik
A. Teori Modern
a. Teori prioritas baku
a. Teori prioritas
kasuistik
Tujuan hukum semata-mata untuk
mewujudkan keadilan (justice)
Tujuan hukum semata-mata untuk
mewujudkan kemanfaatan (utility)
Tujuan hukum semata-mata untuk
mewujudkan kepastian Hukum
(legal certainly)
Tujuan hukum mencakup :
1. Keadilan
2. Kemanfaatan
3. kepastian Hukum
Tujuan hukum mencakupi keadilan
- kemanfaatan - kepastian hukum,
dengan urutan prioritas, secara
proporsional, sesuai dengan kasus
yang
dihadapi
dan
ingin
dipecahkan.
37
2.1.3. Teori Efektivitas Hukum
Dalam teori organisasi manajemen, efektivitas adalah suatu keadaan yang
mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang
dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu
yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan
atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki (Hilda, 2020).
Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat
dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. Artinya,
pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya
tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai
suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha
atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah
mencapai tujuannya. Apabila tujuan tersebutmerupakan keberhasilan dalam
melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi
tersebut.
Apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Ali
berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum,
maka kita pertama-tama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum ini
ditaati atau tidak ditaati”. Achmad Ali mengemukakan bahwa pada umumnya faktor
yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu peraturan perundang-undangan adalah
profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari penegak
hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka
maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.
38
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekamto adalah bahwa efektif
atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak -pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegak hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektifitas penegak hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat
berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung
dari aturan hukum itu sendiri.
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum
tertulis adalah aparat penegak hukum . Dalam hubungan ini dikehendaki adanya
aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan
baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan profesional
dan mempunyai mental yang baik.
Pada elemen ketiga , tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan
prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan
prasarana yang dimaksud adalah yang digunakan sebagai alat untuk mencapai
39
efektivitas hukum. Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang
tergantung dari kondisi masyarakat, yaitu faktor penyebab masyarakat tidak
mematuhi aturan walaupun peraturan yang baik, faktor penyebab masyarakat
tidak
mematuhi peraturan walaupun peraturan sangat baik dan aparat sudah
sangat berwibawa, dan faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan
baik, petugas atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut
relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmta (2021) yaitu
bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegak hukum tidak hanya
terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan
penasihat hukum)akan tetapi terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering
diabadikan.
Soerjono Soekanto menyatakan efektif adalah taraf sejauh mana suatu
kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat
dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam
merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan
dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan
unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan
pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan
sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan
efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum
tidak efektif, maka pertanyaan yang muncul adalah apa yang terjadi dengan
ancaman paksaannya ? mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman
40
paksaannya kurang kuat ; mungkin juga karena ancaman paksaanya itu tidak
terkomunikasikan secara memadai pada warga masyarakat (Romli,2021)
Keberlakukan hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana
seharusnya sebagai bentuk kepatuhan dan pelaksanaan norma jika validitas adalah
kualitas, maka keberlakuan adalah kualitas perbuatan manusia sebenarnya bukan
tentang hukum itu sendiri (Hans Kelsen, 2012).
Menganalisa tentang efektivitas hukum berarti menganalisa tentang data
kerja hukum itu dalam mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap
hukum. Hukum dapat efektif jika faktor_faktor yang mempengaruhi hukum
tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya
suatu suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari
perilaku masyarakat. Hukum akan efektif apabila warga masyarakat berperilaku
sesuai
dengan
yang
diharapkan
atau
dikehendaki
oleh
peraturan
perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki, maka
efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut telah selesai.
2.1.4. Teori perlindungan hukum
Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu
konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,
kemanfaatan, dan kedamaian. Terdapat beberapa pendapat terkait perlindungan
hukum yaitu :
a. Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu hak
asasi manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan
41
tersebut.
b. Menurut Soerjono Soekanto, perlindungan hukum pada dasarnya merupakan
perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat
hukum.
c. Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya
sebagai manusia.
d. Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi
individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang
menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban
dalam pergaulan hidup antara sesama manusia.
e. Menurut Philipus M.Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan harkat
dan martabat serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh
subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.
2.2. Tinjauan pustaka
2.2.1.Konsep Henti Jantung dan Resusitasi Jantung Paru
A. Konsep Henti Jantung / Cardiac Arrest
1. Pengertian
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan
42
penyakit jantung ataupun tidak (American Heart Association, 2019). Henti
jantung adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak dan sangat
tiba-tiba, ditandai dengan terjadinya henti napas dan henti jantung
(Pusbankes, 2019). Henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya
fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal
darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
2. Faktor predisposisi cardiac arrest
American Heart Association (2019) menyebutkan bahwa seseorang
dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest
dengan kondisi:
a. Jejas di jantung sehingga cenderung untuk mengalami aritmia
ventrikel yang mengancam jiwa dan berisiko tinggi untuk terjadi
cardiac arrest.
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) membuat seseorang
cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung,
beberapa
obat-obatan
untuk
jantung
(anti
aritmia)
justru
merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac
arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect.
d. Kelistrikan yang tidak normal dan sindroma gelombang QT yang
memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa
muda.
43
Seseorang yang sering melakukan olahraga atau melakukan aktivitas fisik
yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila
dijumpai kelainan pembuluh darah yang tidak normal.
1. Manifestasi klinis cardiac arrest Tanda - tanda cardiac arrest
menurut Pusbankes (2019) yaitu:
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika
jalan pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).
B. Resusitasi Jantung Paru
1. Pengertian
Resusitasi jantung paru (RJP)
adalah tindakan pertolongan pertama
bantuan hidup dasar (BHD) pada orang yang mengalami henti napas dan atau
henti jantung karena sebab-sebab tertentu. Tujuan dari RJP adalah untuk
mengembalikan fungsi nafas dan sirkulasi darah ke organ-organ vital, terutama
otak, agar tidak terjadi kerusakan permanen atau kematian. Henti jantung
merupakan kondisi dimana terjadi kegagalan organ jantung untuk mencapai curah
jantung yang adekuat, yang menyebabkan terjadinya asistole (tidak adanya detak
jantung) atau disritmia. Biasanya ditandai dengan terjadinya henti nafas dan henti
jantung.
1. Penyebab
44
Penyebab terjadinya henti jantung karena adanya gangguan kelistrikan
jantung yang menyebabkan keadaan mengancam jiwa seperti aritmia atau masalah
irama jantung. Selain itu henti jantung dapat disebabkan oleh keadaan yang
reversible seperti hipoksia, hypovolemia, hiponatremia, tension pneumothorak,
tamponade cardiac, dan hydrogen ion (asidosis).
Tanda jika pasien mengalami henti jantung adalah sebagai berikut :
a) Pada pasien tidak teraba nadi di arteri besar seperti karotis, radialis, maupun
femoralis
b) Pernafasan pasien abnormal, pada beberapa kasus tidak normalnya pernafasan
dapat terjadi meskipun jalan nafas paten
c) Pasien tidak berespon terhadap rangsangan verbal maupun rangsangan nyeri
Penatalaksanaan ketika terjadi henti jantung harus dilakukan dengan segera.
Berdasarkan rekomendasi American Heart Association (AHA) mengenai alur
penanganan pasien henti jantung yang disebut chain of survival atau rantai
bertahan hidup, dimana di setiap rantai saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan. Rantai bertahan hidup terdiri dari dua yaitu In Hospital Cardiac arrest
(IHCA) atau kejadian henti jantung di rumah sakit, dan Out of Hospital cardiac
arrest (OHCA) atau kejadian henti jantung diluar rumah sakit.
2. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan henti jantung prinsip IHCA dimulai dari pengenalan awal
dan pencegahan, segera mengaktifkan sistem tanggap darurat, pemberian RJP
berkualitas, melakukan defibrilasi, jika pasien sudah kembali normal diberikan
perawatan pasca henti jantung dan pemulihan. Saat dirujuk ke rumah sakit
45
diberikan resusitasi lanjutan, jika pasien sudah normal diberikan perawatan pasca
henti jantung dan pemulihan.
Resusitasi (resuscitation) yang berarti menghidupkan kembali, merupakan
usaha yang dilakukan untuk mencegah timbulnya episode henti jantung yang
berakibat kematian. Jika penanganan tidak segera dilakukan pasien dengan
kondisi henti jantung dapat megalami kematian dalam waktu yang singkat (4-6
menit). Tindakan segera pada kasus henti jantung dan henti nafas.
1. Prinsip utama yang mendasari Resusitasi Jantung Paru (RJP) yaitu :
a) Ketepatan
Tujuan dari RJP adalah mengembalikan pasien pada kehidupan yang
berkualitas sehingga ketepatan dalam RJP sangat penting.
memungkinkan
untuk
dilakukan
RJP
yang
berkualitas
Jika tidak
maka
perlu
dipertimbangkan untuk tidak perlu dilakukan RJP. Pada banyak kasus terdapat
label untuk tidak mengharuskan dilakukan resusitasi , hal tersebut boleh dilakukan
berdasarkan keadaan seperti: kemungkinan untuk berhasil kecil (berhubungan
dengan usia dan penyakit) , permintaan pasien maupun keluarga/kerabat pasien,
dan kemungkinan untuk mengembalikan pasien ke hidup yang berkualitas
berlangsung lama.
b) Kecepatan
Pasien dengan keadaan henti jantung memiliki waktu yang singkat. Jika
penanganan tidak segera pasien henti jantung dapat mengalami kematian dalam
waktu sekitar 4-6 menit, sehingga kecepatan merupakan salah satu hal yang
sangat penting diperhatikan saat RJP setelah ketepatan. Resusitasi Jantung Paru
46
(RJP) merupakan metode untuk mengembalikan fungsi
pernafasan dan sirkulasi
pada pasien yang mengalami henti nafas henti jantung yang tidak diharapkan mati
pada saat itu. Tindakan RJP dapat menimbulkan beberapa resiko yang biasanya
akibat dari tindakan tekanan di dada yaitu cidera dada, patah tulang rusuk atau
paru-paru kolaps. Terdapat kontraindikasi untuk dilakukan RJP yaitu Penolakan
Resusitasi, tidak ada manfaat fisiologis karena kondisi vital menurun, dan ada
tanda-tanda kematian yang reversible (rigormortis/kaku mayat, dekapitasi,
dekomposisi, atau pucat)
2.2.2 Euthanasia
Istilah euthanasia di Indonesia saat ini sudah tidak asing, walaupun belum
secara jelas diakui secara yuridis. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu
Euthanatos, Eu berarti baik, tanpa penderitaan dan tanathos berarti mati, sehingga
euthanasia diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan.
Euthanasia dapat diartikan sebagai a good death atau amati dengan tenang.
Euthanasia dapat terjadi karena adanya permintaan pasien, keluarga pasien atau
anjuran dokter akibat adanya penderitaan hebat pada pasien. Penggunaan
terminologi euthanasia terdiri dari 3 katagori, yaitu:
1.
Pemakaian secara sempit
Pemakaian secara sempit euthanasia dapat digunakan untuk tindakan
mengakhiri rasa sakit dari penderitaan dalam menghadap kematian. Dalam hal
ini euthanasia berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk menghilangkan
penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah hukum, etika, atau adat yang berlaku.
47
2.
Pemakaian secara lebih luas
Pemakaian secara lebih luas, euthanasia dipakai untuk perawatan yang
menghindari rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup yang
pendek
3.
Pemakaian paling luas
Pemakaian paling luas, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak
lagi dianggap sebagai efek samping tetapi sebagai tindakan untuk
menghilangkan penderitaan pasien.
Salah satu Negara Eropa yang maju dalam hukum kesehatan yaitu Belanda
yang mendefinisikan euthanasia yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari
KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda), euthanasia diartikan dengan sengaja
tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien
atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri
hidup seorang pasien, dan semua dilakukan khusus untuk kepentingan pasien
sendiri.Terdapat beberapa klasifikasi euthanasia sebagai berikut:
1.
Dilihat dari cara dilaksanakan, euthanasia dapat dibedakan menjadi atas :
a. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan atau
suatu keadaan seorang dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja
tidak lagi memberikan bantuan medis kepada pasien yang dapat
memperpanjang hidupnya. Perbuatan penghentian atau mencabut segala
48
tindakan atau pengobataan yang perlu untuk mempertahankan hidup
manusia hingga fase hidupnya yang terakhir.
b. Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif merupakan perbuatan yang dilakukan secara medik
melalui intervensi aktif oleh seorang dokter atau tenaga kesehatan lain,
dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Dalam hal ini dokter
sebagai orang yang berperan aktif dalam kematian pasien.
c. Auto euthanasia
Auto euthanasia yaitu penolakan secara tegas oleh pasien yang dilakukan
secara sadar untuk memperoleh bantuan atau perawatan medik terhadap
dirinya, dan ia tahu pasti bahwa hal itu akan memperpendek atau
mengakiri hidupnya. Dalam hal penolakan ini pasien harus membuat
pernyataan secara tertulis.
2.
Dari segi maksud euthanasia dibedakan menjadi:
a. Euthanasia Langsung (Direct)
Euthanasia langsung yaitu dilakukannya tindakan medik secara
terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau
memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai
mercy killing.
b. Euthanasia Tidak Langsung (Indirect)
Euthanasia tidak langsung yaitu ketika dokter atau tenaga
kesehatan melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan
pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek
49
atau mengakiri hidup pasien.
3.
Ditinjau dari permintaan
a. Euthanasia Volunter atau euthanasia sukarela (atas permintaan pasien)
Euthanasia volunter yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang , pasien meminta agar
hidupnya diakhiri dengan segera karena sudah tidak sanggup lagi
menderita sakit yang berkepanjangan, sudah tidak mempunyai harapan
sembuh, dokter akan berusaha mengambil tindakan mengakhiri hidup
pasien tanpa rasa sakit karena kasihan atas penderitaan pasien.
b. Euthanasia Involunter (tidak atas permintaan pasien)
Euthanasia involunter yaitu euthanasia yang dilakukan pada
pasien yang sudah tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang
meminta. Dalam hal ini pasien yang bersangkutan sudah dalam keadaan
parah, sehingga tidak mampu lagi menyatakan kehendaknya dan dokter
karena kasihan mengakhiri hidup pasien tersebut dengan cara tidak
menimbulkan sakit sehingga pasien dapat terbebas dari penderitaan.
Bentuk lain euthanasia yang termasuk bentuk semu dari euthanasia,
menurut J.E.Sahetapy euthanasia dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :
1. Action to Permit Death Occur
Euthanasia yang terjadi karena pasien yang menginginkan untuk mati,
dimana pasien sadar dan mengetahui bahwa penyakitnya tidak akan
disembuhkan walau dilakukan pengobatan dan perawatan, sehingga pasien
meminta penghentian pengobatan dan meminta perawatan tidak dilakukan di
50
Rumah sakit, pasien meminta dibiarkan di rumah. Euthanasia ini seperti
euthanasia pasif atau sama seperti auto euthanasia.
2. Failure to take Action to Prevent Death
Euthanasia yang terjadi akibat kelalaian atau kegagalan dokter dalam
mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. Dokter
membiarkan pasien tanpa pengobatan karena akan sia-sia.
3. Positive Action To cause Death
Euthanasia yang merupakan tindakan yang positif dari dokter untuk
mempercepat terjadinya kematian, contohnya dengan memberikan suntikan
obat yang menimbulkan kematian, obat penghilang kesadaran dan
perlindungan dosis tinggi dan lain-lain. Jenis euthanasia ini sama dengan
euthanasia aktif
Menurut H.J.J.Leenen ada bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan
euthanasia
tetapi
sebenarnya
bukan
euthanasia,
dan
disebut
sebagai
Schijngestaten van Euthanasia, yang termasuk pseudoeuthanasia yaitu :
1.
Menghentikan pengobatan atau perawatan medis yang sudah tidak ada
gunanya lagi (zinloos).
2.
Penolakan melakukan perawatan medis oleh pasien.
3.
Menghentikan pengobatan atau perawatan medis karena mati otak
(brain death).
4.
Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis yang
terbatas (emergency).
5.
Euthanasia akibat situasi dan kondisi
51
Menurut Leenen yang dikutip oleh Chrisdiono, terdapat beberapa kasus
yang disebut pseudo euthanasia, yang tidak dapat dimasukkan pada larangan
hukum pidana. Terdapat 4 pseudo euthanasia menurut Leneen yaitu :
1.
Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak, jantung masih
berdenyut, peredaran darah dan pernafasan masih berjalan, tetapi tidak ada
kesadaran dan perlindungan karena otak seratus persen tidak berfungsi,
misalnya akibat kecelakaan berat.
2.
Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.
3.
Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan
(force majure).
4.
Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada
gunanya
2.2.3 Penolakan Resusitasi
Penolakan Resusitasi lebih dikenal dengan istilah Do Not Resuscitation
artinya sebuah perintah jangan dilakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada
pasien. Tenaga kesehatan tidak melakukan atau memberikan tindakan pertolongan
berupa Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika terjadi henti nafas atau henti jantung
pada pasien. Pasien dibiarkan meninggal karena alasan medis serta keluarga telah
menyetujui keputusan Penolakan Resusitasi. Perintah Penolakan resusitasiuntuk
pasien harus tertulis baik dicatatan medis pasien maupun dicatatan yang dibawa
pasien sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan atau untuk pasien di rumah.
52
Terdapat beberapa kriteria Penolakan resusitasiyaitu :
1.
Perintah Penolakan resusitasidapat diminta oleh pasien dewasa yang
kompeten mengambil keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya,
atau bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil
oleh kelurga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan, atau
oleh surrogate decision-maker
2. Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal dibawah ini dapat menjadi bahan
diskusi perihal Penolakan resusitasidengan pasien/walinya seperti kasus-kasus
dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau RJP hanya
menunda proses kematian yang alami, pasien tidak sadar secara permanen,
pasien berada pada kondisi terminal, dan ada kelainan atau disfungsi kronik
dimana lebih banyak kerugian dibanding keuntungan jika resusitasi dilakukan.
Ada beberapa keadaan jika RJP diberikan biasanya memberikan 0%
kemungkinan berhasil seperti kondisi klinis: persistent vegetative state, syok
septic, stroke akut, kanker metastasis (stadium 4) dan pneumonia berat.
Pemberiaan tindakan perawatan dan tindakan medis pada pasien Penolakan
resusitasitidak berbeda dengan pasien pada umumnya, tetap sesuai dengan advice
dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. Penolakan resusitasihanya
memiliki makna jika pasien henti nafas dan henti jantung tidak dilakukan RJP.
Prosedur Penolakan Resusitasi di Rumah Sakit yaitu :
1. Dokter Penanggung Jawab Pasien menjelaskan tentang pentingnya resusitasi
atau pengobatan bantuan hidup dasar
2. Pasien atau keluarga / wali yang ditunjuk mengisi formulir penolakan
53
resusitasi.
Prosedur Penolakan resusitasiyang direkomendasikan sebagai berikut :
a. Meminta informed consent dari pasien, keluarga terdekat atau walinya.
b. Mengisi formulir Penolakan Resusitasi, menempatkan salinan pada
rekam medis pasien dan menyerahkan salinan kepada pasien atau
keluarga dan caregiver
c. Menginstruksikan pasien atau caregiver memasang formulir Penolakan
resusitasiditempat yang mudah dilihat seperti headboard, bedstand, pintu
kamar atau kulkas
d. Pasien mengenakan gelang Penolakan resusitasidipergelangan tangan
atau kaki (jika
memungkinkan)
e. Meninjau kembali status Penolakan resusitasisecara berkala dengan
pasien atau walinya, revisi bila ada perubahan keputusan yang terjadi
dan
catat
dalam
rekam
medis.
Bila
keputusan
Penolakan
resusitasidibatalkan, catat tanggal terjadinya dan gelang Penolakan
resusitasidimusnahkan
1. Perintah Penolakan resusitasiharus mencakup hal-hal dibawah ini :
a. Diagnosis
b. Alasan Penolakan Resusitasi
c. Kemampuan pasien untuk membuat keputusan
d. Dokumentasi bahwa status Penolakan resusitasitelah ditetapkan dan
oleh siapa
2. Perintah Penolakan resusitasidapat dibatalkan dengan keputusan pasien
54
sendiri atau dokter yang merawat, atau oleh wali yang sah. Catatan
Penolakan resusitasidirekam medis harus pula dibatalkan dan gelang
Penolakan resusitasi(jika ada) harus dimusnahkan.
Pendekatan yang dilakukan dalam membuat keputusan Penolakan Resusitasi
1. Advance Directive merupakan dokumen yang memuat keinginan dan
keputusan
pasien
yang
dikemudian
hari
jika
tidak
mampu
melakukannya. Dokumen ini dapat berbentuk surat wasiat yang
menyebutkan keinginan atau keputusan pasien dengan jelas, atau
berbentuk penunjukan orang lain yang spesifik secara khusus untuk
mengambil keputusan medis atas diri pasien (durable power of attorney
for health care). Terdapat beberapa kontroversi terkait surat wasiat
yang diinterpretasikan, dalam beberapa kasus surat wasiat sudah dari
lampau dan pemikiran pasien sudah berubah. Terdapat juga kasus
dimana pasien berubah pikiran terkait end-of-life ketika benar-benar
menghadapinya. Dalam kasus seperti ini surat wasiat ditinjau kembali
berdasarkan komunikasi dengan anggota keluarga atau tenaga kesehatan
yang memiliki hubungan kerabat dengan pasien
2. Surrogate decision maker, dalam kondisi tidak adanya dokumen, orang
terdekat pasien atau yang mengetahui keinginan pasien dapat membantu,
meskipun pada prakteknya semua anggota keluarga dapat dilibatkan.
55
2.2.2. Aspek Hukum Penolakan resusitasi
A. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 56
1.
Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap ;
2.
Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku pada
a. penderita yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas,
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri atau
c. gangguan mental berat
3.
Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagimana dimaksud
pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasien atau keluarga pasien setelah dijelaskan kondisi kesehatan secara jelas
dan lengkap, maka keputusan atau penolakan baik secara lisan dan tulisan
(informed consent) akan ercatat didalam Rekam Medis.
Persetujuan tindakan kedokteran juga tertuang pada Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2023 Pasal 293 ayat (4)
1.
Setiap tindakan pelayanan kesehatan perorangan yang dilakukan oleh tenaga
medis atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan” ;
2.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan yang memadai”;
56
3.
Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup
a. diagnosis;
b. indikasi ;
c. tindakan pelayanan kesehatan yang dilakukan dan tujuannya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi ;
e. alternatif tindakan lain dan risikonya ;
f. risiko apabila tindakan tidak dilakukan ; dan
g. prognosis setelah memperoleh tindakan ;
4. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus diperoleh
sebelum dilakukannya tindakan yang invasif dan/atau mengandung risiko
tinggi.;
5. Persetujuan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
diberikan oleh pasien yang bersangkutan.
6. Dalam hal Pasien yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
tidak cakap memberikan persetujuan, persetujuan tindakan dapat diberikan
oleh yang keluarga terdekat atau wali yang sah.
7. Persetujuan tertulis melakukan tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) ditangani oleh pasien atau
yang mewakili dan disaksikan oleh salah seorang Tenaga Medis atau Tenaga
Kesehatan ;
8. Dalam hal keadaan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak cakap
dan memerlukan tindakan gawat darurat, tetapi tidak ada pihak yang dapat
57
dimintai persetujuan, tidak diperlukan persetujuan tindakan.
9.
Persetujuan tertulis melakukan tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai ayat (7) ditandatangani oleh Pasien, Keluarga
terdekat atau wali yang sah dan disaksikan oleh salah seorang Tenaga Medis
atau Tenaga Kesehatan.
10.
Dalam hal keadaan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak cakap
dan memerlukan tindakan Gawat Darurat, tetapi tidak ada pihak yang dapat
dimintai persetujuan, tidak diperlukan persetujuan tindakan.
11. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diinformasikan kepada
Pasien setelah Pasien telah cakap atau mewakili telah hadir.
12. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan Tenaga Medis dan Tenaga
Kesehatan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(11) diatur dengan Peraturan Menteri.
B. Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor Pasal 1 yaitu :
1. Penghentian terapi bantuan hidup (with-drawing life supports) adalah
menghentikan sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah diberikan
pada pasien
2. Penundaan terapi bantuan hidup ( with-holding life supports) adalah menunda
pemberian terapi bantuan hidup baru atau lanjutan tanpa menghentikan terapi
bantuan hidup yang sedang berjalan
1. Intensive Care Unit yang selanjutnya disingkat ICU adalah suatu instalasi di
rumah sakit dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang
58
ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita
penyakit akut, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih
C. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan
Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekat setalah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
Sebelum pasien memberikan persetujuan diperlukan beberapa masukan yaitu:
1.
Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (yang masih berupa upaya/percobaan) yang diusulkan oleh
dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya/percobaan)
2. Deskripsi mengenai efek samping serta akibat yang tidak diinginkan yang
mungkin timbul
3. Deskripsi mengenai ketentuan yang dapat diperoleh pasien
4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung
5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa ada
prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya
6. Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis
tertentu (upaya) tersebut.
Bentuk persetujuan tindakan medis terdapat 2 yaitu :
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent)
59
a.
Keadaan normal
b.
Keadaan darurat
Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat tanpa
pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ditangkap dokter dari sikap dan tindakan
pasien. Biasanya tindakan dokter yang biasa dilakukan atau sudah diketahui
secara umum. Implied consent bentuk lain yaitu dalam keadaan pasien gawat
darurat (emergency) dan dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien
dalam kondisi tidak bisa memberikan persetujuan dan tidak ada keluarga di
tempat, dokter dapat melakukan tindakan medis terbaik menurut dokter.
2. Dinyatakan (expressed consent)
Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau
tulisan bila yang dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang
biasa. Dalam peraturan tentang persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi informasi atau penjelasan ini dinyatakan bahwa dalam memberikan
penjelasan sekurang-kurangnya mencakup :
a.
Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b.
Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c.
Alternatif tindakan lain dan resikonya
d.
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Hak menentukan nasib sendiri memberikan dasar otonom bagi syarat
informed consent. Pemberiaan persetujuan dapat dianggap sebagai negosiasi
60
mengenai suatu kontrak. Dalam persetujuan tindakan yang memiliki resiko
seperti munculnnya sengketa maka harus adanya bukti dokumen persetujuan
tindakan medik.
Informed consent dalam hukum pidana harus dipenuhi hal yang berkaitan
dengan adanya pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum pidana, tentang
penganiayaan. Penolakan resusitasijika dilakukan dan menyebabkan kematian
tanpa adanya informed consent tindakan dokter dapat dikatakan pembunuhan dan
melanggar pasal 338 KUHP atau bahkan 240 KUHP yaitu pembunuhan
berencana. Maka setiap tindakan yang beresiko tinggi atau berindikasi
menimbulkan hal yang tidak diinginkan terhadap pasien seperti kematian
memelukan informed consent sebagai perlindungan hukum bagi dokter.
Informed consent dalam sudut hukum perdata adalah wajib dipenuhi,
terkait bahwa hubungan dokter dan pasien adalah suatu perikatan transaksi
terapeutik untuk sahnya perikatan tersebut diperlukan syarat sahnya perjanjian
yaitu pasal 1320 KUHPerdata diantaranya adalah adanya kesepakatan antara
dokter dengan pasien.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 14 Tindakan penghentian/penundaan
bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus
mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien
(1) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat
pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga
mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan
61
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara
tertulis
Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 16 Penolakan Tindakan
Kedokteran yaitu:
a.
Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau
keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan
b.
Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis
c.
Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi tanggungjawab pasien
d.
Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
memutuskan hubungan dokter – pasien.
D. Pengaturan Penolakan resusitasidi Rumah Sakit Umum Daerah Bali
Mandara
1. Pergub tentang Hospital By Laws
Nomor 71 Tahun 2017 tentang Peraturan Internal Rumah Sakit
(Hospital By Laws) UPT RSUD Bali Mandara Provinsi Bali tertanggal
4 Desember 2017 . Bagian Keenam Tugas, Fungsi, Wewenang dan
Tanggung Jawab Direktur Pasal 34 Direktur mempunyai tugas,
meliputi :
a.
Menyusun rencana kerja dan anggaran;
b.
Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
62
c.
Mengkoordinasikan penyusunan rencana dan program kerja Rumah
Sakit;
d.
Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas-tugas
kepada bawahan;
e.
Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan
kepada bawahan;
f.
Memimpin dan mengelola Rumah Sakit sesuai dengan tujuan Rumah
Sakit yang telah ditetapkan;
g.
Menetapkan kebijakan operasional RSBM;
h.
Menetapkan pejabat pelaksana teknis kegiatan, pejabat penatausahaan
keuangan dan pejabat lainnya dalam rangka pengelolaan keuangan
Daerah;
i.
Menandatangani surat perintah membayar;
j.
Mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung
jawabnya;
k.
Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan Unit yang di
pimpinnya;
1. Mengevaluasi, mengendalikan dan membina pelaksanaan tugas bawahan;
l.
melaksanakan sistem pengendalian intern;
m. menilai hasil kerja bawahan dan mempertanggung jawabkan
n.
hasil kerja bawahan; o. melaksanakan tugas kedinasan lain yang
ditugaskan oleh atasan; dan
o.
melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Kepala Dinas.
63
Pasal 35 Direktur mempunyai fungsi, meliputi:
a.
koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi unsur organisasi;
b.
penetapan kebijakan penyelenggaraan Rumah Sakit sesuai dengan
kewenangannya;
c.
penyelenggaraan tugas dan fungsi Rumah Sakit;
d.
pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pelaksanaan tugas dan
fungsi unsur organisasi;
e.
evaluasi, pencatatan, dan pelaporan.
Pasal 36 Direktur mempunyai wewenang, meliputi:
a.
menjadi pejabat kuasa pengguna anggaran/barang daerah;
b.
memberikan perlindungan dan bantuan hukum kepada seluruh
karyawan Rumah Sakit, yang berkaitan dengan pelayanan;
c.
menetapkan rencana tahunan, anggaran modal dan operasional
Rumah Sakit;
d.
menetapkan kebijakan dan prosedur, menyetujui pendidikan,
e.
menetapkan peraturan, pedoman, petunjuk teknis dan prosedur tetap
Rumah Sakit;
f.
mengumumkan visi, misi dan rencana strategis Rumah Sakit ke
publik;
g.
pengembangan usaha dalam mengelola RSBM sebagaimana yang
telah digariskan oleh Pemerintah Provinsi;
h.
menetapkan tugas pokok, dan fungsi pegawai Rumah Sakit;
i.
memberikan penghargaan bagi pegawai yang berprestasi sesuai
64
dengan Peraturan Gubernur ini;
j.
memberikan
sanksi
sesuai
dengan
ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan;
k.
mendatangkan ahli, profesional, konsultan atau lembaga independen
sesuai kebutuhan sumber daya yang ada;
l.
mengangkat dan memberhentikan tenaga kontrak Rumah Sakit sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
m. menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban tenaga
kontrak
Rumah
Sakit
sesuai
dengan
ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan;
n.
mendelegasikan sebagian kewenangan kepada jajaran di bawahnya;
dan
2. Panduan Hak dan Kewajiban Pasien dan Keluarga
a.
Dasar Hukum
Keputusan direktur RSUD Bali Mandara Provinsi Bali Nomor :
B.37.188.4/32415/HHP/RSBM tentang Pemberlakukan Panduan Hak
dan kewajiban Pasien dan Keluarga pada RSUD Bali Mandara,
tertanggal 30 Juni 2022. Panduan ini mengatur terkait ruang lingkup,
tata laksana dan dokumentasi terkait Hak dan Kewajiban pasien dan
keluarga.
Bab III tentang tata laksana huruf F mengatur tentang tata laksana
penolakan resusitasi dan pengobatan dan huruf G tentang tata laksana
65
informasi pelayanan pengambilan keputusan. Panduan ini dimaksudkan
sebagai acuan di RS dalam melakukan pelayanan yang berhubungan
dengan hak pasien dan keluarga meliputi :
1) Mengidentifikasi, melindungi dan mempromosikan hak-hak pasien
2) Menginformasikan pasien tentang hak mereka
3) Melibatan keluarga pasien, bila perlu, dalam keputusan tentang
pelayanan perawatan pasien
4) Mendapatkan persetujuan tindakan (informed concent)
5) Mendidik staf tentang hak pasien
b.
Hak pasien yang dilindungi rumah sakit dapat berupa.
1.
Hak Pivasi yaitu mengidentifikasi harapan kebutuhan dan keinginan
pasien untuk povasi, hormat pada setiap wawancara kinia, pemeriksaan,
prosedur atau pengobatan dan transportasi.
2.
Hak mendapatkan edukasi atas informasi kesehatan dan pelayanan yang
diterima.
c.
3.
Hak menentukan diri sendiri.
4.
Hak mendapatkan perawatan yang optimal.
5.
Hak untuk dilibatkan dalam pengobatan.
6.
Hak perlindungan dari kekerasan fisik.
7.
Hak bebas dari rasa nyeri.
General dan Informed Concent
1.
Persetujuan Umum untuk Rawat Jalan dan Rawat Inap.
2.
Kategori terapi atau tindakan yang membutuhkan informed concent
66
d.
3.
Diberikan oleh operator atau staf terlatih.
4.
Metode, cara dan bahasa yang dapat dipahami oleh pasien
Dokumentasi
Bentuk dokumentasi yang dilakukan antara lain:
a. Formulir General Consent
b. Formulir Persetujuan Tindakan Kedokteran (Inform Consent)
c. Formulir Penolakan Tindakan Kedokteran
d. Formulir Second Opinion
e. Formulir Permintaan Pelayanan Kerohanisan
f. Formulir Penitipan Barang
g. Formulir Pengaduan / Keluhan
h. Formulir Penolakan Resusitasi
i. Formulir Asesmen Pasien Terminal.
1. SOP Penolakan Resusitasi
Gambar 2.1
SOP Penolakan Resusitasi
Penolakan resusitasi(DO NOT
RESUSCITATION)
RSUD
BALI MANDARA
No. Dokumen
No. Revisi
Halaman
TIMTERMINAL/SPO/2/2022
01
66/3
67
Penolakan resusitasi(Do Not Resuscitation) adalah suatu perintah
untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) terhadap pasien
jika terjadi henti jantung henti napas.
Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat
disembuhkan akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan
tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile) dapat dilakukan penghentian
atau penundaan terapi bantuan hidup.
DPJP atau pasien atau keluarga atau yang mengambil keputusan atas
nama pasien dapat mengusulkan untuk tidak melakukan RJP bila
terjadi henti jantung henti napas. Keputusan tersebut dilakukan oleh tim
dokter yang menangani pasien setelah melalui rapat tim yang
melibatkan komite medik dan komite etik hukum.
Permintaaan keluarga pasien terhadap Penolakan resusitasihanya
PENGERTIAN
dapat dilakukan dalam hal:
a. Pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang
hal ini (advanced directive) yang dapat berupa:
1. Pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian
atau penundaan terapi bantuan hidup apabila mencapai
keadaan futility (kesia-siaan).
2. Pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada
seseorang tertentu (surrogate decision maker).
b. Pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga
pasien
yakin
bahwa
seandainya
pasien
kompeten
akan
memutuskan seperti itu, berdasarkan kepercayaannya dan nilai-nilai
yang dianutnya.
Bila pasien masih mampu membuat keputusan dan menyatakan
keinginannya sendiri. Dalam hal permintaan dinyatakan oleh pasien,
maka permintaan pasien tersebut harus dipenuhi.
Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan
rapat tim yang melibatkan komite medik dan komite etik hukum,
68
dimana keluarga tetap meminta penghentian atau penundaan terapi
bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di pihak keluarga.
Sebagai acuan menyediakan suatu proses dimana pasien dapat
TUJUAN
memilih prosedur resusitasi jantung paru oleh tenaga medis emergensi
dalam kasus henti jantung/henti napas.
1.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor
Bab III Penghentian atau Penundaan Terapi Bantuan Hidup
2.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.01.07/Menkes/1128/2022 tentang Standar Akreditasi Rumah
Sakit
3.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif
KEBIJAKAN
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
4.
Keputusan Direktur Nomor B.37.188.4/32412/HHP/RSBM tanggal
30 Juni 2022 tentang Kebijakan Pelayanan dan Asuhan Pasien
pada Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali.
5.
Keputusan Direktur Nomor B.37.188.4/39850/HHP/RSBM tanggal
24 Agustus 2022 tentang Panduan Pelayanan Pasien Terminal
pada Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali.
1. DPJP menjelaskan kepada keluarga pasien terkait hak-hak pasien:
a. Hak mereka untuk setuju maupun menolak menghentikan atau
menunda terapi bantuan hidup, termasuk didalamnya hak atas
Penolakan Resusitasi;
PROSEDUR
b.
Konsekuensi dan keputusan yang dibuat;
c.
Terapi dan alternatif lain yang dapat dijadikan pilihan bila ada.
2. DPJP
menginisiasi
rapat
tim
terkait
keputusan
Penolakan
Resusitasi, baik Penolakan resusitasiyang diusulkan oleh DPJP
oleh karena pasien sudah jatuh kedalam kondisi MBO (Mati Batang
Otak) ataupun kondisi terminal atau Penolakan resusitasiatas
permintaan pasien atau keluarga atau yang mengambil keputusan
69
atas nama pasien.
3. DPJP atau pasien atau keluarga atau yang mengambil keputusan
atas nama pasien mengusulkan untuk tidak melakukan resusitasi
jantung paru bila terjadi henti jantung henti napas.
4. DPJP melakukan informed consent Penolakan resusitasikepada
pasien atau keluarga atau yang mengambil keputusan atas nama
pasien.
5. DPJP melakukan dokumentasi ke dalam Formulir Penolakan
resusitasiyang ditandatangani oleh DPJP jika keputusan Penolakan
resusitasioleh karena pasien jatuh dalam kondisi MBO (mati batang
otak) ataupun terminal atau ke dalam Surat Penyataan Penolakan
resusitasijika keputusan Penolakan resusitasidiambil oleh pasien
atau keluarga atau yang mengambil keputusan atas nama pasien.
6. DPJP
menginstruksikan
memasang
gelang
Penolakan
resusitasi(gelang berwarna ungu) pada pergelangan tangan kanan
pasien.
7. DPJP meninjau kembali status Penolakan resusitasisecara berkala
apabila terjadi perubahan keputusan selanjutnya diatur dalam SPO
Pembatalan Penolakan Resusitasi.
UNIT TERKAIT
Seluruh unit pelayanan
70
Pasien terminal/MBO/permintaan pasien/keluarga
DPJP berkonsultasi dengan dokter anestesi, dokter
neurologi, dan dokter jantung dalam rapat tim diikuti oleh
dokter rawat bersama, Komdik, Komite Etik, Komite
Keperawatan, Yanmed, Karu, Ka Instalasi, MPP, dan bila
perlu Hukmas dan Keuangan
Rapat Tim membahas Penolakan Resusitasi dari tinjauan
medik, etik dan hukum
ALUR
DPJP melakukan KIE, meminta persetujuan keluarga,
mendokumentasikan hasil rapat tim dalam form CPPT,
melengkapi form Penolakan Resusitasi dan form KIE
terintegrasi
Perawat memasang gelang Penolakan Resusitasi
Pelayanan kepada pasien di RSUD Bali Mandara dilaksanakan oleh sumber daya
manusia yang profesional dan kompeten yang terdiri dari :
No
Tabel 2.1
Sumber Daya Manusia RSUD Bali Mandara Provinsi Bali
Kategori
Jumlah
1
Tenaga Direktur & Pejabat Struktural
24 orang
2
Tenaga Medis
120 orang
3
Tenaga Keperawatan
454 orang
4
Tenaga Kesehatan lainnya
259 orang
5
Tenaga Administrasi
393 orang
Total sumber daya manusia yaitu
1.250 orang
71
Sumber : Buku Profil RSUD Bali Mandara,Data 31 Desember 2023
6.
Sarana dan Prasarana Layanan Rawat Inap Intensif Terpadu di RSUD Bali
Mandara
Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara adalah rumah sakit kelas B
berdasarkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 440/8592/IV-A/DISPMPT/2017
tanggal 27 September 2017 tentang Izin Operasional Rumah Sakit. Rumah Sakit
Umum Daerah Bali Mandara terletak di daerah Sanur tepatnya di Jalan By Pass
Ngurah Rai No. 548, Desa Sanur Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Denpasar.
Ruang Instalasi Rawat Intensif Terpadu atau disebut dengan ruang IRIT
terletak di lantai 2 gedung utama RSUD Bali Mandara. Ruang intensif adalah
ruang khusus untuk merawat pasien dengan kondisi yang membutuhkan
pengawasan ketat dan peralatan khusus untuk memonitoring kondisi pasien
secara kontinu.
72
Pelayanan rawat inap intensif terpadu di RSUD Bali Mandara terdapat 4
layanan kamar, yaitu: layanan kamar ICU (Intensive Care Unit), HCU (High
Care Unit), ICCU (Intensive Cardiac Care Unit), NICU (Neonatal Intensive
Care Unit).
A. Intensive Care Unit (ICU)
Ruang ICU (Intensive Care Unit) khusus pasien yang membutuhkan
pemantauan intensif disertai dengan kondisi yang memerlukan bantuan alat
bantu nafas (ventilator) dengan kapasitas 7 bed.
1) Fasilitas Kamar
Bedside Monitor kardiorespirasi dilengkapi dengan IABP, Ventilator (alat
bantu nafas untuk dewasa), Infusion pump alat bantu pengaturan tetesan
infus, Syringe pump alat bantu pengaturan injeksi terapi obat, EKG (alat
perekam irama jantung), Ventilator Transport HFNC (High Flow Nasal
Canule), Suction wall dan suction portable, Saturasi portable, Defibrilator,
Bedside Cabinet, Overbed table, Bed pasien elektrik, Socket pasien dengan
suction dan oksigen, Mattrass dekubitus, Commode Chair, Infant Warmer,
Blanket roll (selimut pengatur suhu tubuh), Warm Air (blanket penghangat
pasien)
B. Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)
Ruang ICCU (Intensive Cardiac Care Unit) khusus untuk
memonitoring pasien yang memiliki gangguan pada jantung yang
memerlukan pemantauan secara intensif dengan kapasitas 4 bed.
73
1.
Fasilitas Kamar
Bedside Monitor kardiorespirasi, dilengkapi dengan IABP (Intra-Aortic
Balloon PumpIntra ), Infusion pump : alat bantu pengaturan tetesan infus,
Syringe pump alat bantu pengaturan, injeksi terapi obat, EKG (alat perekam
irama jantung), Suction wall dan suction portable, Saturasi portable,
Defibrilator, Monitor Hemodinamik (LIDCO), Alat USG Jantung
(echocardiography), Bedside Cabinet, Overbed table, Bed pasien elektrik,
Socket pasien dengan suction dan oksigen, Mattrass dekubitus, Commode
Chair, Infant Warmer, Blanket roll (selimut pengatur suhu tubuh), Warm
Air (blanket penghangat pasien).
2.2.3.
konsep Kode etik kedokteran
Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai dan juga aturan profesional
tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar, baik dan apa yang tidak
benar serta
tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa
saja yang benar/salah, perbuatan apa yang harus dilakukan, perbuatan apa yang
harus dihindari. Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dan atau janji dokter. Seorang dokter wajib selalu
melakukan
pengambilan
keputusan
profesional
secara
independen,
dan
mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi. Dalam Etik
kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma-norma etik yang mengatur
hubungan manusia umumnya dan dimiliki asas-asasnya dalam falsafah
74
masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus. Di Indonesia asas-asas itu
adalah Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang- Undang Dasar NRI tahun
1945 sebagai landasan struktural (Herniawati, 2020).
Tanggung jawab dokter merupakan tanggung jawab hukum atau lebih
dikenal dengan tanggungjawab kedokteran (medical liability). Tanggung jawab
hukum dokter didasarkan atas kode etik profesi, pengembangan kode etik profesi
untuk dipatuhi dan dilaksanakan serta mengandung 3 (tiga) tujuan, yaitu: (Bahder
Johan Nasution,2013)
a. Suatu kode etik profesi memudahkan untuk pengambilan keputusan secara
efisien.
b. Secara individual para pengemban profesi ini seringkali memerlukan arahan
atau petunjuk untuk mengarahkan perilaku profesionalnya.
c. Etik profesi menciptakan suatu pola perilaku yang diharapkan oleh para
pelanggannya secara profesional. Dengan demikian, dalam pelayanan
kesehatan, setiap tindakan dokter yang menimbulkan kerugian terhadap
pasien yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya dokter
dalam melakukan tindakan medis yang dianggap merugikan pasien dapat
diminta pertanggungjawaban.
Seorang dokter dalam menjalankan profesinya mempunyai alasan-alasan
yang yang mulia, dengan terus berusaha mempertahankan tubuh pasien agar tetap
sehat atau berusaha menyehatkan atau menyembuhkan tubuh pasien agar kembali
sehat, atau setidak-tidaknya melakukan tindakan untuk mengurangi penderitaan
pasien. Demikian menjadikan dokter layak untuk memperoleh perlindungan
75
hukum sampai kepada batas-batas tertentu yang ditentukan oleh peraturan yang
berkaitan (Bahder Johan Nasution,2013).
Sejauhmana hukum melegitimasi atau memberikan batasan-batasan
melindungi atau menjadi tolak ukur tentang perbuatan dokter dalam melakukan
suatu tindakan medis menjadi sesuatu yang sangat penting diketahui baik oleh
dokter sendiri maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum.
Seorang Dokter harus menghayati dan mengamalkan kode etik kedokteran
dalam menjalankan profesinya dengan berpedoman pada kode etik tersebut
diharapkan seorang dokter dapat menjalankan profesinya dengan baik sehingga
martabat profesi kedokteran dapat lebih terjaga (Kepmenkes RI No. Menkes /SK/
X/1983 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia)
Kode etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis-garis besar. Kode etik
adalah pemandu sikap dan perilaku. Dalam hal etik kedokteran kode etik
menyangkut 2 (dua) hal yang harus diperhatikan yaitu:
1.
Etik jabatan kedokteran (medical ethics) dan
2.
Etik asuhan kedokteran (ethics of medical care).
Etik jabatan kedokteran menyangkut permasalahan yang berkaitan dengan sikap
dokter terhadap teman sejawat, serta terhadap masyarakat dan pemerintah.
Sedangkan etik asuhan kedokteran merupakan etik kedokteran untuk kehidupan
sehari-hari, yaitu mengenai sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita
yang menjadi tanggung jawabnya (Agustina Enny, 2020).
Etika profesi kedokteran adalah kesadaran dan perlindungan dan pedoman
yang mengatur prinsip moral dan etik dalam melaksanakan kegiatan profesi
76
kedokteran, sehingga mutu dan kualitas profesi kedokteran tetap terjaga dengan
cara yang terhormat. Seperangkat perilaku dokter dalam hubungannya dengan
pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra. Rumusan perilaku dokter
disusun oleh profesi dan pemerintah berupa Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI)
Landasan etik kedokteran adalah:
1. Sumpah Hipprocates (460-377 SM)
2. Deklarasi Geneva (1948)
3. International Code of Medical Ethics (1949)
4. Lafal sumpah dokter Indonesia (1960)
5. Kode etik kedokteran Indonesia ( 1983)
6. Pernyataan-pernyataan (deklarasi) Ikatan Dokter sedunia (World Medical
Association/WMA). Dicantumkannya konsep ini sebagai dasar argumentasi
dalam mempertajam analisis terkait dengan tindakan tenaga medis yang diatur
oleh norma-norma dan ada rambu-rambu kode etik yang tidak boleh dilanggar
sehingga konsep ini akan memberi petunjuk dalam arah pembahasan yang
relevan dalam konteks memberi solusi rumusan masalah
pertama
dan
kedua.
2.2.4.
Konsep hak dan kewajiban
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2023 tentang
Kesehatan (UU Kesehatan ) menyebutkan Pasien adalah setiap orang yang
77
memperoleh Pelayanan Kesehatan dari Tenaga Medis dan/ atau Tenaga
Kesehatan.
a. Hak adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki seseorang atau badan
hukum untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu, sedang
kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan, hak pasien yaitu hak pribadi
yang dimiliki setiap manusia sebagai pasien (Danny Wiradharma,2010).
Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari
kemungkinan upaya pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung jawab seperti
penelantaran, pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan dan kenyamanan
terhadap pelayanan jasa Kesehatan yang diterimanya, dengan hak tersebut
maka konsumen akan terlindungi dari praktek profesi yang mengancam
keselamatan atau Kesehatan. Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi
yang bersumber dari hak dasar individu dalam bidang kesehatan, (the right of
self determination), meskipun sebenarnya sama fundamentalnya, namun hak
atas pelayanan kesehataan sering dianggap lebih mendasar, dalam hubungan
dokter–pasien,secara relatif pasien berada dalam posisi yang lemah, kekurang
mampuan pasien untuk membela kepentingannya dalam situasi pelayanan
kesehatan menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk mempermasalahkan
hak-hak pasien dalam menghadapi para profesional kesehatan.
2.2.4.1 Hak kewajiban dokter
Para ahli dalam bidang kesehatan melaksanakan profesi berdasarkan suatu
pekerjaan yang mengandung resiko. Jika tenaga medis/dokter telah melaksanakan
78
tugasnya dengan benar menurut tolok ukur profesional (standar profesi), maka
harus mendapat perlindungan hukum (H. Zein Asyhadie,2018).
Dalam pertanggungjawaban hukum maupun profesi dokter dalam praktik
mempunyai hak dan kewajiban.
Kewajiban Dokter adalah:
1) Memiliki Surat Izin Praktik (SIP);
2) Melaksanakan standar profesi, standar pelayanan dan standar oprasional
prosedur;
3) Memperkenalkan identitas;
4) Persetujuan tindakan medis;
5) Melaksanakan informed consent;
6) Membuat rekam;
7) Menjaga rahasia dokter;
8) Pengendalian mutu dan biaya;
9) Merujuk pasien;
10) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan;dan
11) Menambah ilmu dan mengikuti perkembangan dunia kedokteran.
Hak Dokter adalah:
1) Hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi medis;
2) Hak menolak melakukan tindakan medis yang bertolak belakang dengan
hati nuraninya;
3) Hak
menolak
melaksanakan
tindakan
dipertanggungjawabkan secara professional;
medis
yang
tidak
dapat
79
4) Hak untuk memilih pasien;
5) Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien bila kerja sama sudah
tidak dimungkinkan lagi;
6) Hak atas “privacy”
7) Hak atas itikad baik dari pasien dalam memberikan informasi yang
berkaitan dengan penyakitnya;
8) Hak atas suatu “fair play”;
9) Hak untuk membela diri;
10) Hak untuk memperoleh honorarium; dan
11) Hak menolak mendapatkan kesaksian mengenai pasiennya di pengadilan
(Desriza Ratman,2014)
2.2.4.2 Hak pasien
A. Hak Pasien
Beberapa hak telah diakui dan dihormati dalam hubungan profesional dokter
pasien, hak-hak tersebut tertuang pada Pasal 4 UU Kesehatan antara lain:
1.
Hak atas informasi medik
Dalam hal ini pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan
dengan keadaan penyakit, yakni tentang diaknosis, tindak medik yang akan
dilakukan, resiko dari dilakukan atau tidak dilakukannya tindak medik
tersebut. Informasi medik yang berhak diketahui oleh pasien, termasuk pula
dengan identitas dokter yang merawat serta aturan-aturan yang berlaku di
rumah sakit tempat pasien dirawat (misalnya tentang tarif dan cara
80
pembayaran pada rumah sakit tersebut). Dokter dapat menahan informasi,
apabila hal tersebut akan melemahkan daya tahan pasien.
2. Hak memberikan persetujuan medik
Persetujuan tindak medik (informed consent) merupakan hal yang sangat
prinsip dalam profesi kedokteran, bila ditinjau dari sudut hukum perdata
maupun pidana, dari sudut perdata, hubungan professional dokter dengan
pasien merupakan suatu kontrak trapeutikdan demikian hukum perikatan
berlaku sepenuhnya, hanya saja perlu diingat bahwa kontrak terapeutik itu
bukanlah perikatan berdasarkan hasil (resultaatsverbitennis), melainkan
termasuk dalam kategori perikatan berdasarkan upaya/usaha yang maksimal
(inspanningsverbitennis), dapat disebut wanprestasi (ingkar janji) apabila
salah satu pihak tidak melaksanakan, terlambat melaksanakan atau salah
melaksanakan hal yang diperjanjikan.
3.
Hak untuk menolak pengobatan atau perawatan serta tindak medik.
Hak ini sebagai hak untuk memutuskan hubungan antara dokter-pasien, dan
hal ini memberikan keleluasaan kepada pasien untuk memperoleh alternatif
tindak medik yang lain. Hak ini merupakan perwujudan pasien untuk
menentukan nasibnya sendiri (the right of self-determination), dengan
demikian dokter atau Rumah Sakit tidak boleh memaksa pasien untuk
menerima suatu tindak medik tertentu, melainkan dokter harus menjelaskan
risiko atau kemungkinan yang terjadi bila tindakan medik itu tidak dilakukan,
bila setelah menerima penjelasan pasien tetap menolak, maka pasien harus
menandatangani penolakannya itu, dalam kategori ini, dapat dimasukkan hak
81
pasien untuk menghentikan perawatan atau pengobatan atas dirinya,
meskipun tidak juga dapat diterapkan secara kaku (misalnya tidak ada lagi
uang untuk membiayai pengobatan tersebut).
4.
Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan dibeikan kepadanya setelah menerima dan memahami infoemasi
mengenai tindakn tersebut secara lengkap.
5.
Hak untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya secara mandiri dan bertanggung jawab;
2.2.5.
Konsep Pasien Terminal
A. Pengertian
Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian tidak
dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi. (Stuard & Sundeen, 2018).
Penyakit pada stadium lanjut, penyakit utama tidak dapat diobati, bersifat
progresif, pengobatan hanya bersifat paliatif ( mengurangi gejala dan keluhan,
memperbaiki kualitas hidup (Tim medis RS Kanker Darmais, 2020).
B. Kriteria Penyakit Terminal
1. Penyakit tidak dapat disembuhkan
2. Mengarah pada kematian
3. Diagnosa medis sudah jelas
4. Tidak ada obat untuk menyembuhkan
5. Prognosis jelek Bersifat progresif
82
C. Sekarat dan Kematian Sekarat
Merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi kematian, yang memiliki
berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal, Kematian (death)
merupakan kondisi terhentinya pernafasan, nadi, dan tekanan darah, serta
hilangnya respon terhadap stimulus eksternal, ditandai denagn terhentinya
aktifitas listrik otak, atau dapat juga dikatakan terhentinya fungsi jantung dan
paru secara menetap atau terhentinya kerja otak secara menetap.
D. Bantuan yang dapat diberikan pada tahap terminal
a. Bantuan Emosional
1) Pada fase Deniali
Menolak petugas Rumah Sakit perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan
denial dengan cara menanyakan tentang kondisi atau prognosisnya dan
pasien dapat mengekspresikan perasaan perasaannya.
1) Pada fase Marah
Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya
yang rnarah. Petugas Rumah Sakit perlu mernbantunya agar mengerti bahwa
masih merupakan hal yang normal dalarn merespon perasaan kehilangan
rnenjelang kernatian. Lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat
sebagai orang yang dapat dipercaya, memberikan rasa aman dan akan
menerima kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu
pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
83
2) Pada Fase Menawar
Pada fase ini Petugas Rumah Sakit perlu mendengarkan segala keluhannya
dan mendorong pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa
bersalah dan takut yang tidak rnasuk akal.
3) Pada Fase Depresi
Pada rase ini Petugas Rumah Sakit selalu hadir didekatnya dan
mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika
berkomunikasi secara non verbal yaitu duduk dengan tenang disampingnya
dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dan pasien sehingga rnenurnbuhkan
rasa arnan bagi pasien.
4) Pada Fase Penerimaan Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang,
damai. Kepada keluarga dan teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa
pasien telah menerima keadaannya dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin
dalam program pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya sendiri
sebatas kemampuannya.
E. Pelayanan pasien dalam kondisi sakaratul maut:
1. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang mewakili
(dokter jaga) melakukan prosedur pemeriksaan ke pasien dan mendapatkan
data hasil pemeriksaan bahwa pasien berada dalam kondisi terminal. Jika
yang melakukan prosedur pemeriksaan ke pasien adalah dokter yang
mewakili yaitu dokter jaga, maka dokter jaga harus melakukan prosedur
konsultasi ke DPJP tentang kondisi pasien tersebut
84
2. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang rnewakili
(dokter jaga) menyampaikan kondisi pasien tersebut kepada keluarga pasien
sesuai dengan prosedur penyampaian berita/kabar buruk kepada pasien
dan/atau keluarga pasien.
3. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang mewakili
(dokter jaga) menanyakan kepada pasien dan/atau keluarga pasien apakah
ada hal-hal yang perlu ditanyakan atau ada keinginan dari pasien dan/atau
keluarga pasien tentang keadaannya.
4. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang mewakili
(dokter jaga) melaksanakan secara profesional keinginan pasien dan/atau
keluarga
pasien
selama
tidak
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan dan aturan agarna yang dianut pasien.
5. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang mewakili
(dokter jaga) melakukan koordinasi dengan perawat dan petugas kerohanian.
Perawat untuk rnelaksanakan prosedur tindakan medis pada pasien terminal
sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
6. Dokumentasikan semua kegiatan yang dilakukan dalam rekam medis pasien
tersebut.
85
2.2.6.
Konsep Hubungan Terapeutik Antara Tenaga Medis dengan Pasien
Dalam konteks pelayanan tenaga medis (dokter) dan pasien menimbulkan
hubungan dalam rangka penyembuhan pasien. Pola hubungan ini dalam kapasitas
terapiutik, diawali dengan adanya perjanjian terapiutik sebelumnya sehingga
pasien mempercayakan kesembuhannya terhadap dokter.
Sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan yang dimaksud tenaga medis
pada Pasal 1 angka 6 adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan
melalui pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang memerlukan
kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan.
Sedangkan definisi pasien menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia
Nomor
47
Tahun
2021
Tentang
Penyelenggaraan
Bidang
Perumahsakitan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.
Dalam hubungan terapiutik didasari atas perjanjian yang merupakan
hubungan antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada
dokter berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter. Jika
dilihat dari sudut pandang ilmu hukum, keterkaitan pasien terhadap dokter
termasuk dalam ruang lingkup hukum perikatan/perjanjian. Konsep ini dijadikan
dasar pemikiran dalam tanggung jawab medis, jika tidak dilakukan dengan
optimal tentu akan bersinggungan dengan masalah hukum. Konsep ini merupakan
dasar berpikir untuk mendukung argumentasi dalam menjawab permasalahan
pertama, mengingat adanya hubungan dalam perjanjian dokter dan pasien (Ilyas,
Amir, 2014).
Pasien dipandang sebagai subjek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir
layanan, bukan sekadar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat
kepuasan pasien menjadi satu barometer mutu layanan, sedangkan ketidakpuasan
pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum. Penandatanganan formulir atau
lembar persetujuan medis mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan hukum.
Artinya, dokter boleh menjalankan kewajibannya memberikan informasi dan
memberikan hak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis (Siswati, Sri.
2017).
Hubungan hukum timbul, apabila pasien menghubungi dokter karena ia merasa
ada sesuatu yang membahayakan kesehatan. Jadi, kedudukan dokter dianggap
lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien Perjanjian
terapeutik memiliki sifat dan ciri yang khusus, tidak sama dengan sifat dan ciri
perjanjian pada umumnya karena obyek perjanjian dalam transaksi terapeutik
bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk
kesembuhan pasien (Wahyudin, Munandar, 2017). Perjanjian dokter dengan pasien
termasuk pada perjanjian tentang upaya yang disebut inspanningsverbintenis
bukan perjanjian tentang hasil yang disebut resultaatsverbintenis. Hubungan
antara tenaga medis dan pasien memenuhi syarat sahnya transaksi terapeutik yang
didasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu syarat subyek dan syarat obyek (Retno
86
Harjanti Hartiningsih, 2020).
Jika dilihat dari perspektif hukum kesehatan, dalam pelayanan kesehatan,
hubungan antara tenaga medis kesehatan dengan pasien didasarkan pada hukum
perjanjian khususnya perjanjian usaha (result Verbintenis). Dalam kaitan
penyelesaian dengan cara mediasi untuk penyelesaian sengketa. Dijelaskan bahwa
sengketa yang dimaksud adalah perkara yang masuk ranah perjanjian dibidang
privat. Sengketa dalam bidang hukum perjanjian yang berkaitan dengan tuntutan
ganti rugi. Artinya bahwa dalam sengketa publik in casu tuntutan pidana dalam
hal mediasi tidak dapat dilakukan mengingat karakteristik dalam hukum pidana
tidak dapat dilakukan kompromi (Effendi, Tolib. 2014).
2.3
Konsep Penelitian
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon).
Memahami realitas kehidupan masyarakat merupakan sebuah tantangan.
Kebutuhan dan kepentingan individu seringkali bertentangan satu sama lain.
Akibatnya, perbedaan seringkali menimbulkan ketimpangan/disharmoni dalam
masyarakat. Hukum merupakan aturan yang diperlukan bagi interaksi manusia
dalam masyarakat.
Hukum dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam masyarakat,
dengan tujuan menciptakan masyarakat yang nyaman dan berkeadilan. Tidak
jarang hukum dilanggar atau bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang-orang
yang mempunyai kepentingan dan
menganggap bahwa undang-undang yang ada
tidak penting dalam masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang tidak sadar dan
tidak menaati hukum. Hukum menjamin kepastian dan keadilan. Dalam
87
kehidupan bermasyarakat selalu terdapat perbedaan antara pola tingkah laku atau
aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat dengan pola tingkah laku
yang diwajibkan oleh norma (aturan) hukum. Hal ini dapat menimbulkan masalah
seperti kesenjangan sosial, yang terkadang mengakibatkan konflik. Keadaan ini
timbul karena undang-undang yang diundangkan diharapkan dapat dijadikan
pedoman (standar) dalam bertindak bagi masyarakat, tanpa kesadaran dan
perlindungan hukum maka tidak akan ada kepatuhan hukum.
Dalam pelayanan dirumah sakit, tenaga medis/dokter memberikan tindakan
medis kepada pasien sesuai dengan standar pelayanan atas dasar perjanjian
terapeutik sebelumnya. Namun jika tindakan tersebut dilakukan secara tidak tepat,
dalam hal ini melanggar seluruh standar prosedur yang ada sehingga
menimbulkan kerugian bagi pasien. Selanjutnya akibat pelanggaran prosedur
medis yang dilakukan oleh dokter dapat menimbulkan kerugian bagi pasien. Teori
hukum dan konsep, sebagai dasar pemikiran dalam pemecahan masalah dalam
penelitian ini sehingga, diidentifikasi penggunaan teori yang relevan yaitu
menggunakan 3 (tiga) landasan teori hukum dan 6 (enam) konsep.
88
2.3. Model Penelitian
Pelaksanaan
Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif Perlindungan Hukum
Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara
Latar Belakang
Belum ada kepastian hukum yang mengatur Penolakan Resusitasi
(Tarigan,
2021). Payung
hukum
terhadap
tindakan
ini
pun
belum menggunakan terminologi dan definisi operasional
yang sama untuk mengatur pelaksanaan
Penolakan Resusitasi
secara
eksplisit
dengan
kriteria
yang
jelas. Dalam standar akreditasi baik nasional maupun internasional, prosedur Penolakan Resusitasi
termasuk kebijakan yang harus dibuat oleh rumah sakit sebagai salah satu panduan
dalam
pemberian
pelayanan
dan asuhan
pasien
dalam
tahap terminal. Kepastian hukum ini penting untuk
melindungi hak-hak pasien serta memberikan panduan yang jelas bagi praktisi kesehatan dalam melaksanakan
tindakan medis. Risiko dituntutnya rumah sakit dan para tenaga medis secara hukum terkait
keputusan Penolakan Resusitasi dapat saja terjadi. Berdasarkan hal tersebut maka penting dilakukan
penelitian terkait pengaturan Do Not Resuscitate (Penolakan Resusitasi) di Rumah Sakit Dalam Konteks
Perlindungan Hukum Bagi Dokter serta perlindungan bagi tenaga medis saat keputusan Penolakan Resusitasi
dilakukan.
Rumusan Masalah
Bagaimana
Melakukan
terminal ”
Indonesia?
Bagaimana implementasi penolakan resusitasi
(Penolakan Resusitasi) di Rumah Sakit Bali Mandara
efektif dalam memberikan perlindungan hukum bagi
tenaga medis?
Pengaturan Penolakan
Resusitasi
pada
pasien
berdasarkan hukum positif
Kerangka Konseptual dan teoritik
Kerangka Konseptual dan teoritik
1. Teori Sistem Hukum
2. Teori Tujuan Hukum
3. Teori Perlindungan hukum
4. Teori Efektivitas Hukum
1. Teori Sistem Hukum
2. Teori Tujuan Hukum
3. Teori perlindungan hukum
4. Teori Efektivitas Hukum
5. Konsep kebijakan Penolakan Resusitasi
sesuai regulasi
6. Konsep hubungan terapeutik antara tenaga
medis dengan pasien.
7. Konsep hak dan kewajiban
Metode Penelitian
Dalam membahas permasalahan penelitian ini, penulis melakukan jenis penelitian yuridis empiris.
Penelitian yuridis empiris yaitu jenis penelitian hukum sosiologis atau penelitian lapangan dengan
mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataanya di masyarakat
dan menemukan fakta dan data yang dibutuhkan . Data pada penelitian ini terdiri dari data primer
yang diperoleh dari observasi dan wawancara langsung dengan informan, sumber data sekunder
yang tersedia seperti perundang-undangan, kebijakan, pedoman atau SPO Penolakan Resusitasi
dan hasil penelitian dan buku-buku hukum dan kesehatan. Pendekatan yang digunakan adalah
statute approach, conceptual approach, dan sosial institution.
Hasil Penelitin dan
Pembahasan
89
Gambar 3. 1. Model Penelitian
Kesimpulan dan Saran
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mencari jawaban dari
pemecahan masalah, metode bertujuan agar penelitian ini memenuhi syarat
sebagai suatu penelitian dengan menguji kebenaran dan ketidakbenaran dari suatu
pengetahuan, gejala dan hipotesa yang dapat dipertanggung jawabkan, oleh karena
itu suatu metode harus jelas. Dalam melakukan penelitian ini menggunakan
metode penelitian sebagai berikut:
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, membahas permasalahan
yang terjadi serta penelitian terhadap aspek ekstern dari norma yang diperlukan
untuk mengungkap keberlakuan norma di masyarakat. Jenis penelitian ini
digunakan untuk meninjau fungsi dari suatu hukum atau aturan dalam hal
penerapannya di ruang lingkup masyarakat, dalam penelitian ini peneliti berupaya
mengidentifikasi pengaturan dan implementasi kejelasan hukum tentang
penolakan resusitasi di Indonesia, kekhawatiran pasien dan keluarga tentang hak
untuk menolak resusitasi, perlindungan hukum bagi tenaga medis dalam
menangani pasien yang menolak resusitasi. Banyaknya kasus sengketa medik di
rumah sakit, menganalisis norma dan asas hukum yang mendasari pengaturan
penolakan resusitasi Kekhawatiran tenaga medis tentang risiko hukum jika tidak
mengikuti prosedur Penolakan resusitasidengan benar, risiko hukum jika tenaga
medis tidak melakukan resusitasi sesuai permintaan pasien dengan aspek kajian
asas keseimbangan dalam pelayanan kesehatan (Made Pasek D,dkk, 2018).
90
2.1.1 Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Pendekatan fakta yaitu mengamati dan menganalisis kesadaran dan
perlindungan hukum RSBM dan tenaga medis terhadap tanggung jawab yuridis
dalam perspektif pengaturan dan implementasi, mengkaji studi kasus terkait
penolakan.resusitasi,.menggali.data.dan.informasi.selanjutnya.menginterpretasika
hasil analisis sebagai hasil evaluasi atas perlindungan hukum RSBM dan tenaga
medis ;
2. Pendekatan Perundang-undangan ( Statute approach)
3. Pendekatan Konseptual
4. Pendekatan fakta aspek sosiologis yaitu pendekatan yang dilihat dari suatu
kasus yang berisiko hukum dalam pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah
Bali Mandara Provinsi Bali.
2.2 Lokasi dan waktu penelitian
2.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah
Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali
(RSBM) yang beralamat di
Jalan By Pass Ngurah Rai Sanur Nomor 548, Sanur, Denpasar, Bali. Alasan
mengambil lokasi pada RSUD Bali Mandara karena Penulis melihat terdapat
kesenjangan antara aspek hukum dengan kondisi pelaksanaan penolakan resusitasi
pada pasien terminal di RSUD Bali Mandara.
91
2.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan dimulai dari pengambilan data penelitian sampai
dengan analisis data dan pelaporan hasil penelitian yaitu Bulan April sampai
Bulan Mei Tahun 2024.
2.3
Jenis dan Sumber Bahan Hukum
2.3.1 Jenis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang akan dipergunakan dalam penelitian ini yaitu
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yaitu :
a.
Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang diperoleh secara langsung di lapangan
dengan wawancara langsung dengan jajaran manajemen RS, Komite, Kepala
Instalasi serta tenaga medis di RSUD Bali Mandara (Lokus) . Wawancara
dilakukan
secara tatap muka dengan informan kunci di ruang kerja mereka
masing-masing. wawancara menggunakan pedoman wawancara yang telah
disusun sebelumnya , wawancara direkam dengan menggunakan alat
perekam, transkrip wawancara dianalisis secara kualitatif. Pedoman
wawancara tersebut memuat pertanyaan-pertanyaan terkait dengan:
a. Pemahaman informan tentang kebijakan pengaturan keputusan penolakan
resusitasi.
b. Pengalaman informan dalam menangani pasien yang meminta Penolakan
Resusitasi
92
c. Pandangan informan tentang pengaturan hukum Penolakan resusitasidi
Indonesia dalam perspektif pelindungan hukum tenaga medis.
d. Pandangan
informan
tentang
efektivitas
implementasi
Penolakan
resusitasidi RSUD Bali Mandara
e. Tantangan dan hambatan dalam implementasi Penolakan resusitasidi
RSUD Bali Mandara
f. Saran dan masukan untuk meningkatkan efektivitas implementasi
Penolakan resusitasidi RSUD Bali Mandara
1.
Bahan Hukum Sekunder
Sumber bahan hukum sekunder terbagi menjadi :
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang diperoleh dari
ketentuan peraturan Perundang-Undangan, yaitu :
1) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Kitab
Undang-Undang
Hukum
acara
pidana
dan
Kitab
Undang-Undang Hukum acara Perdata.
3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948
4) UU No 17 tahun 2023
tentang Kesehatan
5) Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Medik
6) Peraturan Menteri Kesehatan No. 38 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pelaksanaan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
93
7) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Kesehatan Pada Pasien Terminal.
8) Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/MENKES/SK/III/2018
tentang Pedoman adalah keputusan yang mengatur tentang
pedoman yang harus dijadikan acuan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penyelenggaraan
kesehatan di Indonesia.
9) Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.01.07/Menkes/1128/2022 tentang Standar Akreditasi Rumah
Sakit.
10) Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif
Menteri Kesehatan Republik Indonesia .
11) Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) 2012
b. Bahan hukum sekunder
Bahan-bahan yang dapat menjelaskan bahan hukum primer dan
dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer.
Bahan hukum sekunder dapat meliputi hasil-hasil penelitian, pendapat
pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa,
buku-buku hukum (Text Book), jurnal-jurnal hukum .
94
2.
Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier sebagai informasi tambahan yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder meliputi
berita media massa, koran maupun ensiklopedia (Made Pasek D,dkk, 2018).
2.3.2 Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian ini sumber data diperoleh dari informan. Informan
penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang
pengalaman, situasi, dan kondisi latar belakang penelitian. Pemilihan informan
pada penelitian ini menggunakan purposive sampling sesuai dengan kriteria
inklusi yang telah ditetapkan peneliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu :
a. Tenaga medis/dokter baik dokter umum, dokter spesialis, Ketua Komite Medik,
Kepala Instalasi IRIT serta jajaran manajemen RSUD Bali Mandara.
b. Memiliki Surat tanda registrasi yang masih berlaku bagi tenaga medis
c. Bersedia menjadi partisipan penelitian Penelitian ini menggunakan 8 (delapan)
orang informan yaitu 1 (satu) orang dokter umum/ dokter jaga IGD, 6 (enam)
orang dokter spesialis , 1 (dua) orang jajaran manajemen RS, 1 (dua) orang
Ketua Komite Medik, 1 (dua) orang kepala Instalasi Rawat Inap Intensif (IRIT)
atau sampai data dinyatakan mencapai titik jenuh sehingga peneliti
menghentikan pencarian atau melakukan penambahan informan.
2.4 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan peneliti sebagai instrumen utama dan
pedoman wawancara sebagai alat bantu dalam melaksanakan wawancara
mendalam dengan informan. Pedoman wawancara yang peneliti gunakan terdiri
95
dari beberapa pertanyaan terbuka yang dikembangkan sendiri. Instrumen lain
yang digunakan dengan studi dokumen untuk melengkapi data secara
keseluruhan.
2.5
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
2.5.1 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian
kualitatif ini adalah wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara
mendalam dilakukan dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan
secara bertatap muka. Dalam pelaksanaan wawancara, peneliti mengacu pada
pedoman wawancara. Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dimulai dari
pertanyaan yang bersifat umum barulah mengarah kepada pertanyaan yang
bersifat khusus sesuai dengan pedoman wawancara yang dipersiapkan dan
dikembangkan sesuai dengan pernyataan yang dilontarkan informan.
2.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dengan :
a. Studi dokumen atas bahan -bahan hukum yang relevan dengan penelitian.
b. Wawancara menggali tentang pemahaman terhadap pengaturan Penolakan
resusitasi dan perlindungan hukum tenaga medis, Peneliti mencatat pendapat dan
respon informan atas pertanyaan yang diajukan pewawancara dan dilanjutkan
dengan pertanyaan lain yang sudah disusun atau disediakan. Pertanyaan yang
sama ditanyakan kepada setiap orang informan dalam peristiwa yang sama.
96
Selama wawancara berlangsung, peneliti merekam pembicaraan menggunakan
handphone sebagai recorder atau alat perekam untuk melengkapi pencatatan data
lebih lanjut. Selain itu, peneliti menggunakan buku catatan untuk mencatat hal-hal
yang peneliti amati, dengar dan rasakan selama pengumpulan data. Peneliti juga
melibatkan enumerator seorang sekretaris dari komite etik dan hukum untuk
membantu proses wawancara maupun dalam mendokumentasi proses penelitian
dengan menggunakan kamera untuk mengambil gambar.
2.5.3 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur teknis pengumpulan data diawali dengan memberikan penjelasan
tentang penelitian yang dilakukan. Informan diminta kesediaannya untuk menjadi
responden penelitian selama 2 (dua) bulan. Keikutsertaaan dalam penelitian ini
bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Adapun prosedur pengumpulan data sebagai
berikut:
1. Tahap Persiapan
a. Pengajuan Izin Penelitian:
1) Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada pihak RSUD
Bali Mandara ditujukan kepada direktur Pimpinan RSUD Bali Mandara
dengan Nomor : B/698/UN14.3.III5/PT.01.04/2024.
2) Persetujuan
izin
penelitian
di
RSUD
Bali
Mandara
Nomor
:
B/477/UN.14.3.III.5/PT.01.04/2024
3) Peneliti melakukan koordinasi dengan pihak RSUD Bali Mandara untuk
menentukan jadwal penelitian dan mempersiapkan logistik penelitian.
97
4) Peneliti menjalin komunikasi dengan pihak-pihak terkait di RSUD Bali
Mandara, yaitu Komite Etik Penelitian Rumah Sakit, Jajaran manajemen
RSUD Bali Mandara serta Tenaga medis dan staf terkait.
5) Peneliti melakukan jadwal penelitian dan menetapkan jadwal wawancara
dengan informan sesuai dengan kriteria yang dipilih. Informan yang emenuhi
kriteria diberikan informasi terkait penelitian dan inform concent untuk
ditandatangani sebagai pernyataan kesediaan untuk menjadi informan.
Setelah mendapat persetujuan, peneliti menyesuaikan jadwal dan waktu
dengan informan yang bersangkutan serta meminta kontak telepon dari
masing-masing informan untuk kebutuhan informasi lebih lanjut.
2. Tahap pelaksanaan
Pengumpulan data Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dengan
mewawancarai informan secara satu persatu. Lama waktu wawancara dengan
informan rata-rata berkisar 35-60 menit. Pertanyaan yang sama ditanyakan
kepada setiap orang informan dalam peristiwa yang sama.
2.6 Teknik Analisis Data
Proses analisis data yang digunakan adalah konten analisis. Pada analisis
konten merupakan teknik analisis untuk menghasilkan deskripsi yang objektif dan
sistematik mengenai isi yang terkandung dalam hasil komunikasi. Analisis konten
juga dimaknai sebagai teknik yang sistematis untuk menganalisis makna pesan
dan cara mengungkapkan pesan. (Creswell, J. W, 2015). Dalam analisis data
kualitatif (data yang ada dianalisis secara mendalam dan komprehensif)
98
berlangsung
secara
terus-menerus
sehingga
data
jenuh,
pada
proses
penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan
diintrepetasikan dengan melakukan langkah – langkah sebagai berikut :
a.
Melakukan pengumpulan data dan membuat transkrip data dari hasil
wawancara. Peneliti mendengarkan hasil wawancara mendalam secara
berulang-ulang dan dipindahkan kedalam verbatim yang kemudian digabung
dengan catatan lapangan.
b.
Hasil transkrip dibaca secara berulang-ulang dan dibandingkan kembali
dengan hasil rekaman untuk memastikan keakuratannya. Kemudian
mereduksi data tersebut, menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, dan
membuang yang tidak perlu untuk menjadi tema melalui proses
pengkodean/coding dan peringkasan kode atau menemukan kata kunci
dengan strategi open coding, mengelompokkan kode atau label, yang sudah
ada, axial coding untuk mencari keterkaitan antara kelompok, kemudian kata
kunci yang memiliki arti sama dijadikan satu katagori.
c.
Mengumpulkan bahan hukum primer berupa peraturan perundang – undangan
yang relevan.
d.
Mencari doktrin-doktrin, asas-asas atau prinsip ilmu hukum dalam
perundang- undangan.
e.
Membuat kategori dari bahan - bahan yang dikumpulkan dan konsep -konsep
yang lebih umum
f.
Mencari hubungan katagori - katagori tersebut dan menjelaskan hubungannya
antara satu dengan yang lain.
99
g.
Membuat simpulan dari hasil analisis
3.7
Keabsahan data
Setelah peneliti membuat penjelasan gambaran isi dalam bentuk narasi,
peneliti kemudian melakukan validasi data dengan menggunakan teknik
triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara
terhadap objek penelitian. Triangulasi dilakukan dengan cara melakukan
pengecekan ulang terhadap kebenaran informasi yang diperoleh dari informan
agar mendapatkan konfirmasi informasi (Alfansyur, Andarusni, Mariyani,2020).
Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber dengan cara membandingkan dan
mengecek ulang keabsahan data dari beberapa sumber yaitu informan, dokumen
pelayanan dan peraturan perundang-undangan.
3.8 Kebaruan Penelitian
Penelitian Pelaksanaa Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam
Perspektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara
dengan perspektif kajian dari Undang - Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang
Kesehatan tahun 2023 belum pernah dilakukan. Penelitian terkait penyempurnaan
SOP penolakan resusitasi dapat memberikan manfaat optimal bagi fasilitas
kesehatan secara menyeluruh, dengan strategi diseminasi yang komprehensif dan
terstruktur. publikasi ilmiah di jurnal terkemuka bertujuan hasil penelitian dapat
diakses dan dikaji oleh komunitas medis yang lebih luas. Pelaporan hasil
penelitian kepada Dinas Kesehatan setempat menjadi jembatan vital untuk
100
meneruskan informasi ke tingkat nasional, yakni Kementerian Kesehatan. Dengan
demikian, temuan penelitian ini dapat menjadi landasan kokoh dalam penyusunan
Panduan Praktik Klinis yang lebih mutakhir dan relevan, menciptakan dampak
signifikan pada peningkatan kualitas layanan kesehatan di seluruh Indonesia.
101
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil RSUD Bali Mandara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan,
pasal 184 ayat (4) Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola
Rumah Sakit dan tata kelola klinis yang baik. , menurut Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan wajib berkaitan
dengan pelayanan dasar oleh karena itu didirikanlah UPTD. RSUD Bali Mandara
guna memberikan pelayanan kepada masyarakat luas berasaskan Pancasila dan
didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan,
persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan
pasien serta memiliki fungsi sosial di masyarakat. RSUD Bali Mandara
memperoleh. ljin.Operasional. Rumah.Sakit. Umum.Kelas.B.berdasarkan.Keputus
an Gubernur.Bali.No: 0/8592/IV-A/DisPMPT/2017 tanggal 28 September 2017
tentang Izin Operasional RSU kelas B RSUD Bali Mandara Pemerintah Provinsi
Bali dan telah teregistrasi di Kemenkes RI pada tanggal 12 Oktober 2017 dengan
kode RS: 5171220.
A. Visi dan Misi RSUD Bali Mandara
Visi RSUD Bali Mandara yaitu: Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara
menjadi rumah sakit yang berkualitas dengan mengedepankan pelayanan,
pendidikan dan penelitian menuju rumah sakit berkelas dunia tahun 2025.
102
B. Misi RSUD Bali Mandara yaitu:
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan bermutu sesuai dengan standar
akreditasi nasional dan internasional yang berorientasi pada keselamatan
dan kepuasan pelanggan
2. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan dengan jejaring yang
luas
3. Menyediakan sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
4. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengembangan yang
berkesinambungan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
kompeten, berintegrasi dan memiliki budaya kerja.
5. Meningkatkan kinerja layanan, profesionalisme dan meningkatkan
kesejahteraan pegawai
4.1.2 Struktur Organisasi RSUD Bali Mandara
Struktur organisasi RSUD Bali Mandara berdasarkan Peraturan Gubernur
Bali Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pembentukan, Keududukan, Susunan
Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Rumah Sakit, maka struktur
organisasi RSUD Bali Mandara sebagai berikut:
103
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara 2022
Dalam susunan organisasi RSUD Bali Mandara merupakan pejabat tinggi
pratama yang ditugaskan sebagai Kepala RSUD Bali Mandara. Direktur
merupakan jabatan struktural Eselon II.b atau jabatan Pimpinan Tinggi Pratama.
Untuk Wakil Direktur berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur.
Wakil Direktur merupakan jabatan Eselon III.a atau jabatan Administrator.
Bidang dipimpin oleh Kepala Bidang yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Wakil Direktur. Kepala Bidang dan Kepala Bagian merupakan
jabatan Eselon III.b atau jabatan Administrator.
4.2
Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 (delapan) orang terdiri dari dokter
umum yang bertugas di unit gawat darurat, ketua Komite Medik, ketua komite
etik dan hukum, kepala Instalasi IRIT, dokter spesialis dan jajaran manajemen
RSBM. Karakteristik informan disajikan pada Tabel 4.1 berikut:
104
Tabel 4.1
Karakteristik Informan Penelitian
Informan
Informan 1
Informan 2
Informan 3
Informan 4
Informan 5
Informan 6
Informan 7
Informan 8
Kode
Informan
KW
IKM
GPWL
MPR
SAMYS
KYFM
KSAA
GACS
Umur
(Tahun)
46
48
41
36
37
36
35
32
Jenis
Kelamin
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Pekerjaan
Keterangan
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S2
S1
Wadir
Dokter Ahli
Dokter Ahli
Dokter Ahli
Dokter Ahli
Dokter Ahli
Dokter Ahli
Dokter
Umum
Manajemen RS
Komite Medik
Kepala Instalasi IRIT
Komite Etik Hukum
Dokter Spesialis
Dokter Spesialis
Dokter Spesialis
Dokter Umum
Berdasarkan Tabel 4.1 diatas, bahwa informan terdiri dari 6 orang laki-laki
dan 2 orang perempuan terdiri dari dokter umum yang melayani pasien di instalasi
gawat darurat, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis anastesi, dokter
spesialis bedah umum, dokter spesialis bedah saraf, ketua komite medik dan
bagian manajemen rumah sakit. Rentang umur bervariasi dari umur 32 tahun
sampai 48 tahun, dimana pendidikan terendah adalah Sarjana (S1) sedangkan
pendidikan tertinggi adalah Magister (S2). Pekerjaan yaitu tenaga medis yang
bekerja di rumah sakit sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK. Dalam
wawancara pelaksanaan sesuai kesepakatan dengan responden. Seluruh responden
dilakukan wawancara dengan tatap muka di masing-masing ruangan tempat
responden, berlangsung lebih kurang 35 menit. Wawancara keseluruhan pada
responden berlangsung dalam dua kali selama empat hari.
105
4.3
Pengaturan
Penolakan
Melakukan
Resusitasi
Pada
Pasien
Terminal ”Berdasarkan Hukum Positif Indonesia”
Ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Kesehatan yang mengatur Rumah
sakit sebagai fasilitas kesehatan yang memberikan perawatan kesehatan
individu yang komprehensif meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat serta pelayanan preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau
paliatif. Untuk memberikan layanan diagnosis dan pengobatan kepada
pasien, profesional medis dan petugas kesehatan lainnya melakukan
pelayanan operasional di rumah sakit dengan cara yang efisien dan
terorganisir dengan baik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 197 UU Kesehatan, Sumber daya
manusia kesehatan (SDMK) dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan
kualifikasi yang di miliki, antara lain: tenaga medis, tenaga kesehatan dan
tenaga penunjang kesehatan. Yang termasuk katagori tenaga medis yaitu
dokter meliputi dokter spesialis, sub spesialis dan dokter gigi, dokter gigi
spesialis dan dokter gigi subspesialis. Sedangkan tenaga kesehatan yaitu:
a. tenaga psikologi klinis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kebidanan;
d. tenaga kefarmasian;
e. tenaga kesehatan masyarakat;
f. tenaga kesehatan lingkungan;
g. tenaga gizi;
106
h. tenaga keterapian fisik;
i. tenega keteknisian medis;
j. tenaga teknik biomedika;
k. tenaga kesehatan tradisional; dan
l. Tenaga Kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri
Faktor kunci dalam mencapai standar kesehatan masyarakat setinggi
mungkin adalah salah satunya dengan implementasi peran rumah sakit sebagai
entitas komersial dalam industri layanan kesehatan. Oleh karena itu, rumah sakit
harus dapat memprioritaskan kewajiban SDMK, khususnya tenaga medis dan
tenaga kesehatan untuk memastikan bahwa mereka memenuhi peran dan
tanggung jawabnya. Staf medis rumah sakit terkadang kesulitan untuk
memberikan hasil yang diharapkan oleh pasien dan keluarganya. Terkadang
profesional medis belum dianggap optimal dalam memberikan layanan oleh
pasien, sehingga dapatmenimbulkan konsekuensi yang sangat buruk sampai ke
ranah hukum (Usman, 2014.)
Kelalaian sampai ke arah malpraktek medik rentan terjadi pada tenaga
medis/dokter dalam menjalankan profesinya, dalam hal ini, individu yang
ditangani dapat menderita kerugian atau kerugian akibat tindakan yang disengaja
(intentional), tindakan lalai (negligence), atau kurangnya keterampilan (unreasonable lack of skill), yang kejadiannya lebih ke arah adanya kegagalan (failure)
dalam memberikan pelayanan medik terhadap pasien. Pengaturan keputusan
penolakan resusitasi di rumah sakit menjadi penting untuk diterapkan dalam
pengelolaan layanan kesehatan sehingga perlu optimalisasi prosedur secara
107
konsisten mengingat adanya risiko medis yang timbul. Baik buruknya pelayanan
di ruang ICU dapat menjadi cerminan dari kualitas pelayanan rumah sakit.
Di Indonesia, pengaturan mengenai penolakan resusitasi (Penolakan
resusitasipada pasien terminal belum diatur secara spesifik dalam undang-undang.
Namun, terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan acuan:
a. Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan :
Keputusan pengaturan Penolakan Resusitasi dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2023 tentang Kesehatan mempengaruhi hak pasien, kewajiban tenaga kesehatan,
dan rumah sakit dalam beberapa aspek berikut:
a.
Hak Pasien
1.
Hak untuk Memperoleh Perawatan yang Sesuai UU 17 tahun 2023 menegaskan
Pasien mempunyai hak sebagai berikut :
Pasal 276
(d)
Menolak atau menyetujui tindakan medis, kecuali untuk tindakan medis
yang diperlukan dalam rangka pencegahan penyakit menular dan
penanggulangan KLB atau Wabah;
Keputusan Penolakan resusitasi harus didasarkan pada informasi yang jelas dan
akurat, serta mempertimbangkan keinginan pasien dan kondisinya.
b. Kewajiban Tenaga Kesehatan
1. Kewajiban untuk Memastikan Keputusan Penolakan Resusitasi
Tenaga kesehatan harus memastikan bahwa keputusan Penolakan resusitasi
dilakukan pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat
penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran yang dilakukan harus
sesuai dengan standar kesehatan yang diatur pada Pasal 274 UU 17 Tahun 2023
108
menegaskan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik
wajib:
a)
Memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan Kesehatan Pasien;
b)
Memperoleh persetujuan dari Pasien atau keluarganya atas tindakan yang
akan diberikan;
c)
Menjaga rahasia Kesehatan Pasien;
d)
Membuat dan menyimpan catatan dan/ atau dokumen tentang pemeriksaan,
asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
e)
Merujuk Pasien ke Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
c. Kewajiban Rumah Sakit
Rumah sakit harus memastikan bahwa keputusan Penolakan resusitasidilakukan
pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat
penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran yang dilakukan
harus sesuai dengan standar kesehatan yang tersedia seperti yang telah diatur dalam
UU 17 tahun 2023 tentang kewajiban rumah sakit Pasal 189 ayat (1)
huruf (k) Rumah sakit wajib menolak keinginan Pasien yang bertentangan
dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan
perundang-undangan;
huruf (l) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak
dan kewajiban Pasien;
huruf (m) Menghormati dan melindungi hak-hak Pasien;
huruf (r) Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit; serta
huruf (s) Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas
Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
109
Pasal 189 ayat (2) Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.290/MENKES/PER/III/2008
tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
290/Menkes/Per/III/2008
tentang
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran
menentukan bahwa informed consent diterjemahkan menjadi Persetujuan
Tindakan Kedokteran, yang diatur dalam Bab I Pasal 1 yang menentukan
bahwa persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas bahwa informed consent
berisikan dua hak pasien yang essensial dalam relasinya dengan dokter yaitu
hak atas informasi dan hak atas persetujuan atau consent. Penjelasan
informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan pada pasien harus
diberikan secara jelas dan diberikan langsung pada pasien bukan pada
keluarga pasien. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri
Kesehatan No. 290/Menkes/Per/III/2008 yang menentukan bahwa penjelasan
tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien
dan/atau keluarga terdekat pasien, baik diminta maupun tidak diminta.
Mengenai hak atas persetujuan terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan
110
Pasal 2 dalam peraturan yang sama menentukan bahwa semua tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
Pasal 6 menegaskan jika Pemberian persetujuan tindakan kedokteran
tidak menghapuskan tanggung gugat hukum, dalam hal terbukti adanya
kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan
kerugian pada pasien
Pasal 7 (3) Peraturan Manteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/Menkes/Per/III/2008
tentang
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran
menentukan bahwa penjelasan tindakan kedokteran sekurang-kurangnya
mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya;
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;
f. Perkiraan biaya.
Menurut Guwandi informed consent dapat berbentuk:
1. Dinyatakan (expressed)
a. Secara lisan (oral)
b. Secara tertulis (written)
2. Tersirat atau dianggap diberikan (implied or tacit consent)
a. Dalam keadaan biasa (normal or constructive consent)
111
b. Dalam keadaan gawat darurat (emergency).
Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya Informed
Consent, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan surat izin praktik, keharusan adanya
Informed
Consent
administrasi
Rumah
secara
tertulis
dimaksudkan
guna
kelengkapan
Sakit
yang
bersangkutan.
Dengan
demikian,
penandatanganan Informed Consent secara tertulis yang dilakukan oleh
pasien/Keluarga
sebenarnya
dimaksudkan
sebagai
penegasan
atau
pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter
memberikan penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya.
Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya Informed Consent secara tertulis
tersebut, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan bertanggung
jawab dalam menyerahkan sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya
sendiri kepada dokter yang bersangkutan, beserta resiko yang mungkin akan
dihadapinya.
Peranan Informed Consent Terhadap Perlindungan Hukum Dokter
Dalam Pelayanan Kesehatan Upaya pelayanan kesehatan, tentunya dokter
melakukan kewajibannya dalam menyampaikan terkait penjelasan dari upaya
medis tersebut serta juga menyampaikan resiko-resiko yang nantinya bisa
terjadi pada pasien, sekalipun pasien yang meminta untuk dilakukannya
upaya medis tersebut. Pasien disini juga berkewajiban untuk mentaati apa
saja hal-hal yang telah dijelaskan oleh dokter terkait proses pelayanan
112
kesehatan dalam upaya utuk menghindari terjadinya kesalahan atau sengketa
medis.
c.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 37 Tahun 2014.
Permenkes Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan
Pemanfaatan Donor Organ jarang dimana regulasi terkait terminologi Penolakan
resusitasi paling mendekati pada pelayanan pasien tahap terminal dalam hal
penghentian/penundaan bantuan hidup yang salah satunya adalah tindakan
Resusitasi Jantung Paru sebagaimana diatur dalam Permenkes tersebut.
Peraturan-peraturan yang terkandung di dalam Permenkes ini berjumlah 18 Pasal,
yang terbagi ke dalam 5 Bab. BAB III mengenai Penghentian atau Penundaan
Terapi Bantuan Hidup (termasuk resusitasi). BAB III ini mengatur tentang
prosedur menghentikan/menunda terapi bantuan hidup kepada pasien yang sudah
dalam kondisi yang terminal dan berbagai terapi sudah dinyatakan sia-sia (tidak
lagi dapat mencapai kesembuhan pasien). Penghentian atau Penundaan Bantuan
Hidup dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 14:
Ayat (1) Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat
disembuhkan akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan
tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile) dapat dilakukan penghentian
atau penundaan terapi bantuan hidup.
Ayat (2) Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien yang terminal state
dan tindakan kedokteran yang sudah sia-sia (futile) ditetapkan oleh
Direktur atau Kepala Rumah Sakit.
Ayat (3) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan
hidup tindakan kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah
113
berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau
Komite Etik.
Ayat (4) Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan
hidup harus diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga
pasien atau yang mewakili pasien.
Ayat (5) Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya
tindakan yang bersifat terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar
biasa (extra-ordinary), meliputi: rawat di Intensive Care Unit; Resusitasi
Jantung Paru; Pengendalian disritmia; Intubasi trakea; Ventilasi mekanik;
Obat vasoaktif; Nutrisi parenteral; Organ artifisial; Transplantasi;
Transfusi darah; Monitoring invasif; Antibiotika; dan Tindakan lain yang
ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran.
Ayat (6) Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda
meliputi oksigen, nutrisi enteral dan cairan kristaloid.
Selain hal-hal yang disebutkan pada Pasal 14, tenaga medis dan rumah
sakit harus memastikan bahwa keputusan Penolakan resusitasi yang diminta oleh
keluarga pasien telah memenuhi kriteria dalam Pasal 15 berikut ini:
Ayat (1)
Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian
atau penundaan terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan
pasien untuk penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
Ayat (2)
Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup
tindakan kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah
berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau
Komite Etik.
Ayat (3)
Permintaan keluarga pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam hal:
a. Pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang hal
ini (advanced directive) yang dapat berupa:
1) Pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup apabila mencapai keadaan futility
(kesia-siaan);
114
2) Pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada
seseorang tertentu (surrogate decision maker).
b. Pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga
pasien yakin bahwa seandainya pasien kompeten akan memutuskan
seperti itu, berdasarkan kepercayaannya dan nilai-nilai yang dianutnya.
Ayat (4)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) bila pasien masih mampu membuat keputusan dan
menyatakan keinginannya sendiri.
Ayat (5)
Dalam hal permintaan dinyatakan oleh pasien sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), maka permintaan pasien tersebut harus dipenuhi.
Ayat (6)
Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan
rekomendasi tim yang ditunjuk oleh komite medik atau komite etik,
dimana keluarga tetap meminta penghentian atau penundaan terapi
bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di pihak keluarga.
Pilihan keputusan tersebut harus memenuhi yang dimaksud pada Pasal 14
Ayat (4) dan Pasal 15 Ayat (6). Dengan doktrin “volenti non fit iniuria” dimana
jika seseorang dengan rela menempatkan diri dalam posisi di mana kerugian dapat
terjadi, mengetahui bahwa beberapa derajat kerugian mungkin terjadi, mereka
tidak dapat mengajukan tuntutan terhadap pihak lain dalam gugatan atau delik.
Dengan demikian pidana hilang, karena tanggung jawab ada pada keluarga yang
menentukan.
c. Penolakan resusitasi dalam Perspektif Hukum Perdata
Proses pemberian informasi oleh dokter kemudian diikuti dengan
pemberian persetujuan tindakan kedokteran oleh pasien tersebut dikenal
sebagai informed consent .Keberadaannya merupakan salah satu unsur
115
terjadinya transaksi terapeutik, dan sebagai perjanjian, transaksi terapeutik
tunduk pada ketentuan hukum perdata.
Ketiadaan informed Consent yang berakibat pada tidak terpenuhinya
salah satu syarat perjanjian tunduk pada ketentuan hukum perdata. Ketiadaaan
informed consent dipandang dari aspek hukum perdata dapat dilihat dari 3 (tiga)
sisi yaitu :
1. Tidak terpenuhinya salah satu syarat perjanjian menurut pasal 1320
KUHPerdata ;
2. Dapat digolongkan sebagai wanprestasi maupun,
3. Digolongkan sebagai kegiatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365
KUHPerdata.
Proses informed consent menciptakan transparansi dalam pelayanan medis
dan membangun kepercayaan antara tenaga medis dan pasien. Hal ini dapat
mengurangi risiko terjadinya konflik atau gugatan hukum di masa depan.
Informed consent sebelum tindakan medis dapat dikategorikan sebagai
pelindungan hukum preventif karena memenuhi karakteristik upaya pencegahan
terhadap potensi sengketa atau permasalahan hukum di masa depan. Ini sejalan
dengan konsep pelindungan hukum preventif yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa sebelum peristiwa hukum terjadi Teori Perlindungan Hukum
dari Philipus M. Hadjon menekankan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
meliputi dua hal, yakni :
a) Perlindungan hukum preventif, bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
b) Perlindungan hukum represif, bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
116
Dalam konteks penolakan resusitasi, implementasi informed consent
merupakan bentuk perlindungan hukum preventif dan landasan etika yang krusial
untuk melindungi hak pasien dan tenaga medis. Persetujuan tindakan kedokteran
/ Informed Consent adalah pilar etika yang menjamin transparansi, partisipasi
aktif pasien/ peran keluarga serta perlindungan hak privasi.
d. Penolakan resusitasi dalam Perspektif Hukum Pidana
Terminologi Penolakan resusitasi tidak disebutkan secara eksplisit dan
diatur secara spesifik dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUH
Pidana). Pada penelitian sebelumnya lebih banyak membahas Penolakan resusitasi
dengan konsekuensi hukum pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338, 340
dan 344 pada KUH Pidana Buku Kedua Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap
Nyawa (Adriana, 2021;Tarigan, 2021). Selain pasal-pasal tersebut, sebenarnya
pada Pasal 304 dan 306 KUH Pidana Buku Kedua Bab XV tentang meninggalkan
Orang yang perlu ditolong, juga harus menjadi perhatian penting.
Berdasarkan Pasal 304 disebutkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja
menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Tim DPJP dan PPA sebagai tenaga klinis
memiliki kewajiban yang telah diatur oleh peraturan perundang- undangan untuk
117
merawat dan/atau melakukan
pertolongan darurat kepada pasien yang
membutuhkan.
Apabila tenaga kesehatan secara sengaja tidak memenuhi kewajiban itu
kepada pasien yang berada dalam kondisi sengsara, maka Pasal 304 berpotensi
dikenakan padanya. Selanjutnya, pada Pasal 306 ayat (2) tercantum bahwa “jika
salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan kematian,
yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Tindakan penghentian bantuan hidup oleh tenaga kesehatan kepada pasien yang
telah diputuskan untuk dilakukan Penolakan resusitasi akan menyebabkan pasien
berada dalam kondisi sengsara dan berakhir pada kematian. Pada umumnya tim
DPJP dan PPA akan memutuskan untuk melakukan Penolakan resusitasi dengan
pertimbangan bahwa tindakan kedokteran yang diberikan tidak akan memberikan
manfaat atau dengan kata lain sia-sia.
Pertimbangan klinis yang kuat dengan alasan dan bukti-bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan menjadi kunci untuk dapat bebas dari jeratan pasal ini.
Namun, perspektif yang diberikan oleh Pasal 304 dan 306 Ayat (2) mampu
mengancam tenaga kesehatan yang melakukan tindakan Penolakan resusitasi
kepada pasien tanpa didukung alasan dan bukti yang kuat. Pada beberapa kasus,
pasien akan meminta sendiri secara sadar untuk dilakukan Penolakan resusitasi
akibat penyakit stadium akhir yang tidak dapat disembuhkan .
Dokter yang melakukan tindakan penolakan resusitasi sesuai dengan
permintaan pasien berpotensi dijerat Pasal 344 KUH Pidana Buku Kedua BAB
XIX terkait Kejahatan terhadap Nyawa yang berbunyi “Barang siapa merampas
118
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Artikel jurnal yang ditulis oleh Adriana (2021) menyebutkan bahwa
kelalaian atau kesengajaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dapat
dijatuhi sanksi pidana berdasarkan pada Pasal 338 atau 340 KUH Pidana. Adapun
peristiwa hukum yang disebut berpotensi diancam dengan kedua pasal tersebut
antara lain keputusan Penolakan resusitasi oleh dokter tanpa permintaan keluarga
pasien atau pasien koma dalam waktu lama yang diminta Penolakan resusitasi
oleh keluarga pasien (Adriana, 2021).
Berdasarkan pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan,
Pasal 338 atau 340 hanya dapat dikenakan pada seseorang yang memang memiliki
itikad jahat dan tanpa ragu melakukan perampasan nyawa. Sehingga, Pasal 338
atau 340 KUH Pidana tidak dapat menjerat tenaga kesehatan ataupun keluarga
pasien yang memutuskan tindakan Penolakan resusitasi setelah melalui berbagai
KIE dan pertimbangan klinis yang beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Lain halnya apabila keluarga pasien melakukan pemaksaan walaupun tim DPJP
dan PPA tidak memiliki alasan untuk dilakukan tindakan Penolakan Resusitasi.
Dalam hal terjadinya kondisi memaksa (extra-ordinary) contohnya pada kondisi
bencana Pandemi Covid-19, keputusan klinis dipengaruhi oleh kondisi memaksa
(overmacht). Overmacht atau daya paksa yang menjadi dasar dilakukannya
perbuatan tertentu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada Pasal
48 KUHP, disebutkan bahwa : “Barang siapa melakukan perbuatan karena
pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Daya paksa ini haruslah merupakan suatu
119
kekuatan, dorongan, ataupun paksaan yang pada umumnya tidak dapat ditahan
atau dilawan karena berasal dari kekuatan yang lebih besar, sehingga dapat
menjadi alasan penghapus pidana.
e. Dasar keputusan Penolakan resusitasi di RSUD Bali mandara yaitu :
1.
Keputusan Direktur Nomor B.37.188.4/32412/HHP/RSBM tanggal 30 Juni
2022 tentang Kebijakan Pelayanan dan Asuhan Pasien pada Rumah Sakit
Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali.
2.
Keputusan Direktur Nomor B.37.188.4/39850/HHP/RSBM tanggal 24
Agustus 2022 tentang Panduan Pelayanan Pasien Terminal pada Rumah
Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali.
3.
Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi
Bali NOMOR: B.37.188.4/32415/HHP/RSBM Tentang Pemberlakuan
Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dan Keluarga Pada Rumah Sakit
Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali.
4.
Standart Operasional Prosedur (SOP) Penolakan resusitasi Nomor
Dokumen : TIMTERMINAL/SPO/2/2022.
Prosedur tindakan pada SOP tidak tertulis dasar hukum persetujuan
tindakan
kedokteran
menurut
Permenkes
290/2008.
Hal
ini
berisiko
menimbulkan beberapa konsekuensi serius, antara lain:
1. Ketidakpatuhan hukum : prosedur medis yang tidak mencantumkan dasar
hukum yang jelas dapat dianggap melanggar peraturan yang berlaku. Menurut
120
penelitian Suryono (2019), hal ini dapat mengakibatkan tuntutan hukum
terhadap institusi kesehatan dan tenaga medis.
2. Prosedur tindakan penolakan resusitasi yang tidak memadai: Tanpa merujuk
pada Permenkes 290/2008, proses persetujuan tindakan medis mungkin tidak
memenuhi standar yang ditetapkan. Penelitian Widodo et al. (2021)
menunjukkan bahwa hal ini dapat mengakibatkan pasien tidak mendapatkan
informasi yang cukup untuk dalam mengambil keputusan.
3. Perlindungan hukum yang lemah bagi tenaga medis: prosedur yang tidak
mencantumkan dasar hukum yang jelas dapat melemahkan posisi tenaga medis
jika terjadi sengketa. Hal ini sejalan dengan pendapat peneliti Suharto (2020)
yang menyatakan bahwa dasar hukum yang jelas dalam SOP merupakan bentuk
perlindungan bagi tenaga medis.
4. Standarisasi pelayanan yang tidak konsisten: Tanpa merujuk pada peraturan
yang berlaku, ada risiko variasi dalam pelaksanaan prosedur persetujuan
tindakan medis antar institusi kesehatan. Penelitian komparatif oleh Pratiwi
(2022) menunjukkan bahwa inkonsistensi ini dapat berdampak pada kualitas
pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
5. Potensi pelanggaran hak pasien: pentingnya perlindungan hak pasien. Tanpa
mencantumkan dasar hukum yang jelas, ada risiko bahwa hak-hak pasien
sebagaimana diatur dalam Permenkes 290/2008 tidak sepenuhnya terpenuhi.
Terdapat kesenjangan antara peraturan yang ada dengan implementasi di
lapangan terkait prosedur informed consent. Kebutuhan akan perlindungan hukum
bagi tenaga medis menjadi suatu hal yang krusial segera dilakukan harmonisasi
121
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Komunikasi efektif dengan
keluarga pasien dan dokumentasi yang komprehensif menjadi kunci dalam
implementasi Penolakan resusitasi yang etis dan legal.
Berdasarkan hasil wawancara, dengan informan dapat disajikan dalam Tabel
dibawah ini :
Tabel 4.2
Transkrip Hasil Wawancara
Daftar Informan
Pertanyaan
1
Manajemen RS
Kebijakan RS terkait
Penolakan Resusitasi
“Ada kebijakan, namun perlu
diperbarui,
Kebijakan
perlu
diperjelas terkait aspek etik dan
hukum dan Kebijakan ada tapi
kurang sosialisasi”
2
Komite Medik
Pengawasan kepatuhan tenaga
medis .
“Belum ada sistem pengawasan
khusus serta difasilitasi asuransi
profesi”
3
Kepala Instalasi
IRIT
Pelaksanaan Penolakan
Resusitasi
“Belum
dilaksanakan
sesuai
peraturan yang ada, prosedur
diaksanakan tanpa informed consent
tertulis, karena sudah ada surat
permohonan penolakan resusitasi
dari keluarga pasien yang kami
anggap bahwa permintaan dari
pasien
dan
keluarga
cukup
melindungi kami dari risiko hukum”
4
Komite Etik
Hukum
Faktor pengaruh keputusan
Penolakan Resusitasi .
“Kondisi pasien, biaya, Prognosis,
agama/keyakinan, kualitas hidup
pasien”
5
Dokter Spesialis
Proses Dokumentasi tindakan
“Ada form khusus
Penolakan Resusitasi
122
jawaban
permintaan
tapi tidak
dilengkapi informed concent dan
keluarga
dilibatkan
dalam
pengambilan keputusan”
6
Dokter Spesialis
Kendala penanganan
Penolakan Resusitasi.
“Komunikasi dengan
keluarga,
aspek legal, Fasilitasi asuransi
profesi dan penambahan saksi dari
pihak keluarga, saat prosedur
penyampaian hasil rapat tim terkait
keputusan penolakan resusitasi”
7
Dokter Spesialis
Upaya mengatasi kendala .
“Penyuluhan regulasi, Pelatihan
komunikasi, revisi SOP dan
panduan”
8
Dokter Umum
Dokumen pedoman khusus.
“Ada, tapi perlu diperbarui
menyesuaikan denganUU 17 tahun
2023 tentang Kesehatan”
4.2
Implementasi penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara
efektif dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis?
Implementasi keputusan Penolakan resusitasi di ruang ICU RSUD Bali
Mandara dilakukan dengan memastikan bahwa keputusan ini didasarkan pada
analisis klinis yang kuat dan mempertimbangkan keinginan pasien/keluarga dan
kondisinya. Dokter dan tim medis harus berkolaborasi dengan pasien dan keluarga
dalam mengambil keputusan Penolakan Resusitasi. Keputusan Penolakan
resusitasi harus dilakukan secara bersama keluarga, tim medis melalui rapat
komite medik dalam memutuskan tindakan Penolakan resusitasi dan memberikan
label Penolakan resusitasi yang nantinya akan digelangkan pada pasien sesuai
peraturan yang berlaku di rumah sakit.
Penilaian ketidakberhasilan terapi oleh dokter tidak serta merta menjadi
alasan Penolakan Resusitasi. Penilaian kesia-siaan sepihak oleh dokter tidak
123
menjadi prioritas jika dibandingkan dengan keputusan keluarga. Oleh karena itu,
pelaksanaan
Penolakan
resusitasi
membutuhkan
upaya
komunikasi
dan
dokumentasi.
Keputusan Penolakan resusitasi dalam implemetasinya di ruang ICU
RSUD Bali Mandara telah tercatat pada tahun 2023 sebanyak 8 pasien dan data
Januari - Maret 2024 sebanyak 2 pasien dan keseluruhan adalah permintaan dari
keluarga atau wali yang sah ditunjuk oleh pengadilan (surrogate decision-maker)
(Profil RSUD Bali Mandara 2023, laporan triwulan 1 2024).
Penolakan resusitasi sendiri mendapatkan perhatian khusus di rumah
sakit karena permintaan klien maupun keluarga harus dihormati. Pasien
Penolakan resusitasi diberikan tanda khusus klien berstatus Penolakan resusitasi
menggunakan tanda berwarna ungu (Yang et al., 2019). Hal tersebut dilakukan
untuk menghargai pilihan pasien.
4.2.1 Prosedur Implementasi Penolakan Resusitasi di Ruang ICU RSUD Bali
Mandara
a.
Deskripsi Prosedur Penolakan resusitasi di RS Bali Mandara:
1) Inisiasi oleh Keluarga : Keluarga mengusulkan untuk tidak melakukan
resusitasi pada pasien terminal dan usulan ini disampaikan kepada Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).
2) Rapat Tim Medis : DPJP mengadakan rapat tim yang melibatkan komite
medik dan komite etik hukum dengan tujuan membahas kondisi medis pasien,
prognosis, dan pertimbangan etis-legal.
124
3) Pengambilan
Keputusan
:
Keputusan
Penolakan
resusitasi
diambil
berdasarkan hasil rapat tim, keluarga. Tidak ada penandatanganan form
persetujuan tindakan kedokteran khusus untuk Penolakan resusitasi.
4) Implementasi
Berikut adalah proses yang lebih detail untuk implementasi keputusan
penolakan resusitasi di ruang ICU RS Bali Mandara:
a)
Dokumentasi keputusan Penolakan Resusitasi : Dokter penanggung
jawab mencatat keputusan Penolakan resusitasi secara jelas dalam
rekam medis pasien, formulir khusus permintaan penolakan resusitasi
diisi dan ditandatangani oleh dokter dan keluarga pasien serta saksi,
formulir Penolakan resusitasi dilampirkan di bagian depan rekam medis.
b)
Penandaan status Penolakan resusitasi: Gelang identitas pasien diberi
tanda khusus Penolakan resusitasi (gelang warnna ungu), papan status
pasien di tempat tidur ICU diberi tanda Penolakan resusitasi yang jelas.
c)
Komunikasi tim medis: Kepala ruang ICU mengadakan briefing untuk
menginformasikan status Penolakan resusitasi pasien, Status Penolakan
resusitasi dimasukkan dalam laporan jaga antar shift perawat, dokter
jaga ICU menginformasikan status Penolakan resusitasi saat serah
terima pasien
d)
Prosedur perawatan: Tim multidisiplin menyusun rencana perawatan
paliatif komprehensif yang berfokus pada kualitas hidup, sesuai dengan
nilai
dan
preferensi
pasien,
Rencana
perawatan
didokumentasikan secara rinci dalam rekam medis pasien,
125
paliatif
obat-obatan
dan tindakan invasif yang tidak sesuai dengan tujuan perawatan dan
keinginan pasien dievaluasi ulang dan bila perlu dihentikan, Fokus
perawatan diarahkan pada manajemen gejala, meliputi aspek fisik,
psikososial, dan spiritual, Pemberian analgesik dan obat-obatan lain
untuk mengatasi gejala dilakukan sesuai kebutuhan pasien. Tim medis
memastikan komunikasi yang berkelanjutan dengan keluarga tentang
perkembangan kondisi dan perawatan.
e)
Edukasi keluarga: dokter dan perawat memberikan penjelasan ulang
tentang implikasi penolakan resusitasi, Keluarga dilibatkan dalam
perencanaan perawatan paliatif, dukungan psikologis dan spiritual
disediakan untuk keluarga.
f)
Evaluasi berkala: Status Penolakan resusitasi dievaluasi secara berkala,
Jika ada perubahan kondisi, status Penolakan resusitasi dapat ditinjau
ulang.
g)
Prosedur saat terjadi henti jantung : Staf ICU tidak melakukan resusitasi
jantung paru, dokter jaga dipanggil untuk mengkonfirmasi kematian,
perawatan pasien fokus pada kenyamanan di saat-saat terakhir.
h)
Dokumentasi akhir : waktu kematian dicatat dengan tepat, ringkasan
akhir dibuat termasuk implementasi penolakan resusitasi.
Implementasi penolakan resusitasi belum optimal dilaksanakan sesuai UU
No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, terdapat ketidaksesuaian implementasi
dengan pasal 4 ayat (1) huruf f : menerima atau menolak sebagian atau seluruh
126
tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap;
Prosedur RS Bali Mandara tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan ini karena
tidak ada dokumentasi formal persetujuan/penolakan dari keluarga. Prosedur
tindakan juga tidak sesuai dengan Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 :
Pasal 16 ayat (2) mengatur bahwa penolakan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis. Prosedur saat ini tidak memenuhi ketentuan ini karena tidak ada
form penolakan tertulis. Terdapat pelanggaran prinsip otonomi pasien dan hak
untuk self-determination dalam pelayanan kesehatan. Pelanggaran kewajiban
rumah sakit dapat dikenakan sanksi administratif
yang diatur pada pasal 189
ayat (2) : Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai
sanksi
administratif
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Perlindungan hukum tenaga medis belum optimal, berdasarkan teori
perlindungan hukum preventif, tenaga medis harus memastikan informed consent
dilakukan dengan benar. Dokumentasi yang lengkap mengenai proses informed
consent dapat menjadi bukti perlindungan hukum represif jika terjadi gugatan.
Berdasarkan doktrin respondeat superior, rumah sakit bertanggung jawab atas
tindakan tenaga medis yang bekerja di bawahnya. Rumah sakit wajib
menghormati dan melindungi hak-hak Pasien; (Pasal 189 ayat (1) huruf m UU No.
17/2023). Menurut teori keadilan John Rawls, prosedur yang tidak menyertakan
informed consent melanggar prinsip fairness dan equality dalam pelayanan
kesehatan karena:
127
1. Fairness (Keadilan): Melanggar prinsip "veil of ignorance" dimana setiap orang
harus diperlakukan seolah-olah tidak mengetahui posisi mereka dalam masyarakat,
menghilangkan kesempatan pasien untuk membuat keputusan berdasarkan
informasi yang setara dan menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan antara
tenaga medis dan pasien.
2. Equality (Kesetaraan): Meniadakan hak pasien dan keluarga untuk
berpartisipasi secara setara dalam pengambilan keputusan medis, mengabaikan
prinsip bahwa setiap individu memiliki hak yang sama atas informasi dan pilihan
dalam perawatan kesehatan, menciptakan diskriminasi terhadap pasien yang
mungkin memiliki preferensi berbeda jika diberikan informasi lengkap. Prosedur
tanpa informed consent juga melanggar prinsip "maximin" Rawls, yang
menekankan bahwa ketidaksetaraan hanya dibenarkan jika menguntungkan pihak
yang paling tidak beruntung. Dalam konteks ini, pasien sebagai pihak yang rentan
justru dirugikan, bukan dilindungi atau diuntungkan oleh prosedur tersebut.
Ketiadaan persetujuan tindakan dapat melanggar Hak asasi/hak pasien dan
keluarga untuk mendapatkan informasi dan membuat keputusan atas tubuhnya
sendiri merupakan bagian dari hak asasi yang fundamental.
Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter “KSAA” juga mengatakan
“bahwa sebagai tenaga medis, mesti mengikuti dinamika perkembangan
perundang-undangan, dengan berpedoman pada UU Kesehatan saat ini, menjadi
kewajiban dokter, ataupun tenaga kesehatan minimal pernah membaca dan lebih
lanjut dapat memahami arah pengaturannya sehingga selaku pemberi pelayanan
kesehatan aman tidak sampai melanggar” Karena saya sering mengikuti kegiatan
128
seminar, webinar sehingga mengetahui adanya UU Kesehatan yang saat ini ada,
kemungkinan tidak seluruh tenaga medis ataupun tenaga kesehatan mengetahui isi
UU Kesehatan tersebut mengingat rutinitas pelayanan tambahnya.
Dari lingkup Komite medik “IKM” menanggapi rumah sakit dalam pelayanan
memiliki pedoman jelas tertuang dalam SOP/ panduan klinis untuk setiap jenis
tindakan, tetapi kami masih dalam proses menyesuaikan dengan UU 17 tahun
2023, mengenai UU Kesehatan masih perlu dilakukan pemahaman lagi bagi
seluruh personil di rumah sakit, mengingat terbilang regulasi baru sehingga
sebagai dasar dalam bertindak bagi rumah sakit.
Peran hukum semakin besar dalam pelayanan kesehatan. Rumah sakit dalam
menjalankan tugas dan fungsinya tidak terlepas dari tanggung jawab yuridis yang
berlandaskan kesadaran dan perlindungan hukum, mewujudkan profesionalisme
tenaga kesehatan dalam komitmen terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta sangat memerlukan dukungan penegakan hukum. Diatur dengan
tegas dalam Pasal 274 huruf “b” Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023
mengatakan tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik wajib
memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarganya atas tindakan yang
diberikan.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti berpendapat adanya ketidaksesuaian
pelaksanaan pendokumentasian keputusan Penolakan resusitasi tidak dilengkapi
dengan Informed Consent . Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan
pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Dinamika kehidupan masyarakat
129
juga berlangsung pada aspek kesehatan, sehingga kadang muncul kelalaian dan
terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan.
Kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan,
dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur–unsur pidana, dalam hukum
pidana, dan juga secara perdata, dimana pasien dapat mengajukan tuntutan atau
klaim ganti rugi terhadap dokter juga dapat melayangkan gugatan terhadap
Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) , pengadilan dan terhadap pihak yang
terkait , karena merasa dirugikan dan diperkaukan tidak manusiawi. Pasien juga
dapat mengadukan tindakan malpraktik pada Majelis Kehormatan Displin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI sendiri bertugas untuk menangani
kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh dokter. MDKI yang akan
menentukan kasus tersebut masuk pada kasus disiplin dokter, etik dokter atau
pidana.
Sehubungan dengan Pasal 192 dan 193 UU Kesehatan yang mengatur
tanggung jawab hukum rumah sakit untuk menegakkan hak-hak pasien dalam
memberikan pelayanan kesehatan serta sesuai Pasal 192, rumah sakit tidak
memikul tanggung jawab hukum jika pasien atau keluarganya menghentikan
pengobatan setelah mendapat penjelasan medis yang komprehensif atau menolak
pengobatan. Secara umum, pasien mempunyai kebebasan untuk memutuskan
menerima perawatan medis termasuk pilihan untuk menolak pengobatan. Namun
demikian, Pasal 192 memberikan pengecualian, yang menyatakan bahwa Rumah
Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum atas kematian apapun yang
diakibatkan oleh penolakan pengobatan atau penghentian pengobatan setelah
130
diberikan informasi medis yang lengkap. Penting untuk memastikan bahwa sistem
hukum memberikan akuntabilitas yang adil dan merata bagi semua pihak,
meskipun Pasal 193 UU Kesehatan menegaskan kewajiban hukum rumah sakit
atas kelalaian Sumber Daya Manusia Kesehatan. Penentuan kelalaian dan
tanggung jawab hukum harus mematuhi norma hukum yang adil dan transparan,
serta mempertimbangkan keadilan pasien dan kelangsungan sistem layanan
kesehatan dalam jangka panjang. Merujuk pula pada Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Pelayanan Publik, mengenai Asas keseimbangan memiliki
arti yaitu “pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus
dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan”. Asas ini memiliki
makna bahwa antara hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima pelayanan
tersebut harus seimbang, tidak hanya berbicara tentang pemenuhan hak untuk
penerima pelayanan tapi harus seimbang antara hak dan kewajiban antara pemberi
dan penerima pelayanan. Dari hasil penelittian mencerminkan perlindungan
hukum tenaga medis dan seluruh SDMK RSBM, sebagai representasi kesadaran
dan perlindungan hukum dan tanggung jawab yuridis RSBM, secara keseluruhan
SDMK, belum secara merata dan adequat pemahaman terhadap ketentuan hukum,
baik level adminisratif maupun pada profesional kesehatan terutama terhadap
keberlakuan UU Kesehatan, mengingat tanggung jawab publik rumah sakit
sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan diatur dalam ketentuan UU
Kesehatan tersebut.
Menjadi kebutuhan mendesak upaya internalisasi perlindungan hukum
tenaga medis, rumah sakit sebagai koorporasi maupun terhadap tenaga profesional,
131
untuk menjamin setiap perilaku berlandaskan pemahaman atas hukum serta
mengetahui konsekuensi secara yuridis, mengingat Pasal 305 ayat (1) UU Nomor
17 Tahun 2023, yang membuka peluang pasien maupun keluarganya melakukan
pengaduan atas ketidakpuasan pelayanan sebuah rumah sakit dan berdampak
menimbulkan kerugian yang berbunyi: “Pasien atau keluarganya yang
kepentingannya dirugikan atas tindakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan
dalam memberikan Pelayanan Kesehatan dapat mengadukan kepada majelis”
Mengingat hal diatas menjadi krusial perlindungan hukum tenaga medis, rumah
sakit dan tanggung jawab yuridisnya dari perspektif asas keseimbangan untuk
diwujudkan dan mutlak diterapkan sebagai bagian dalam proses pemberian
layanan kesehatan.
132
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
a.
Pengaturan penolakan tindakan resusitasi pada pasien terminal menurut
hukum positif di Indonesia secara implisit sudah diatur dalam UU 17 tahun
2023 tentang kesehatan Pasal 276 huruf (d) mengatur pasien mempunyai hak
menolak dan menyetujui tindakan medis dan pada Pasal 293 (1) Setiap
tindakan Pelayanan Kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga
Medis dan Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan (informed consent).
Secara lebih eksplisit pengaturan penolakan tindakan resusitasi juga diatur
pada pasal 14 ayat (5) PMK 37 Tahun 2014 Tentang Penentuan Kematian
Dan Pemanfaatan Donor Organ. Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008 tentang
persetujuan tindakan kedokteran mengatur bahwa baik atas permintaan pasien
maupun berdasarkan pertimbangan klinis dokter terkait penolakan resusitasi
pada pasien terminal wajib dilandasi dengan Informrd consent.
b.
Implementasi penolakan resusitasi di RSUD Bali Mandara belum efektif
terlaksana karena belum dilandasi Informed consent dan tindakan
semata-mata atas permohonan pasien, sampai saat ini belum ada keputusan
penolakan resusitasi berdasarkan pertimbangan klinis. Hal ini disebakan pada
SOP belum mengatur tentang penolakan resusitasi atas pertimbangan klinis
dokter yang wajib dilandasi dengan informed consent.
133
5.2 Saran
Bagi RS Bali Mandara:
a.
Diharapkan melengkapi SOP yang sudah ada menyesuaikan dengan
ketentuan UU 17 tahun 2023, Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008 dan PMK
37 tahun 2014 yaitu dengan ketentuan penolakan resusitasi baik atas
permintaan pasien maupun pertimpangan klinis dokter wajib dilandasi
Informed consent. Diharapkan melaksanakan evaluasi terhadap Standar
Prosedur Operasional (SPO) serta meningkatkan pengawasan secara berkala
menyesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan.
b.
Diharapkan bagi dokter lebih mendalami ketentuan penolakan resusitasi pada
pasien terminal sebagaimana diatur dalam UU 17 tahun 2023 tentang
kesehatan maupun PMK 37 tahun 2014 bahwa sesungguhnya dokter berhak
memberikan pertimbangan klinis berkaitan dengan keputusan penolakan
resusitasi pada pasien terminal berlandaskan Informed consent.
134
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukthie Fadjar, 2019. Sejarah, Elemen dan Tipe Negara Hukum, Setara
Press, Malang
Agustina, Enny, 2020, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan, Bandung: PT. Refika
Aditama.
Ahmad Naufal Dzulfaroh. 2019. Ramai soal Kasus di Subang, Bolehkah RS
Menolak Pasien, https://www.kompas.com/ accessed 12 May.21.00
Alfansyur, Andarusni., & Mariyani. (2020). Seni Mengelola Data: Penerapan
Triangulasi Teknik, Sumber Dan Waktu Pada Penelitian Pendidikan Sosial.
HISTORIS: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
Sejarah, Vol 5, No. 2, 146-150.
Ali Rahman, 2019. Pemahaman Hukum Dokter Rumah Sakit Dr. M. Djamil
Padang Terhadap Tanggung Jawab Yuridis Dalam Kaitannya Dengan
Perlindungan Konsumen. (tesis) Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Andalas.
Alvis,R. (2022). Penolakan resusitasi Dalam Perspektif Hukum di Indonesia.
file:///C:/Users/USER/Downloads/7958-20998-1-PB.pdf
Amir. 2019. Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Mal praktek Medik di
Rumah Sakit, Edisi 1. Rangkang Education. Yogyakarta
Artikel Jurnal Ilmiah
Asmarawati, Tina, 2019, Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di
Indonesia, Deepublish, Yogyakarta.
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka
Cipta Jakarta, 2015, hlm.32
Bagir Manan, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta : Dewan Pers, 2016
https://www.jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntaxliterate/articl
e/view/6244/3477
Burhan Ashofa, 2018, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gramedia),
Chorisdiono M. Achadiat, 2016, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran (dalam
Tantangan Zaman), Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Creswell, J. W, H. C. (2019). The Oxford Handbook of Multimethod and Mixed
Methods Research Inquiry. Book, Chapt.28.
135
Cordeiro, S. H., Paschoal, T., & Almeida, L. M. (2018). What is a terminal illness?
A systematic review of the literature. Palliative Medicine, 25(1), 10-21.
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, 2010, CV Sagung Seto,
Jakarta
Djeinne Theresye Pangerapan, Ora Et Labora I. Palandeng,A. Joy M. Rattu,2018.
Hubungan AntaraMutu Pelayanan Dengan Kepuasan Pasien Di Poliklinik
Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pancaran Kasih Manado Jurnal
Kedokteran Klinik (JKK), 2 (1), pp12-18
Effendi, Tolib. 2017. Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan
Pembaharuan di Indonesia). Malang: Setara Press.
Eko Purwanto,2021, Pengaruh Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap
Kepuasan Pasien Pada Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Dr. H. Chasan
Boesoirie Kota Ternate”. (thesis) Program Magister Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar.
Ellya Rosana, 2014. “Kepatuhan Hukum Sebagai Wujud kesadaran dan
perlindungan Hukum Masyarakat” Jurnal TAPIs Vol.10 No.1 pp.2-22
Fayuthika Alifia Kirana Sumeru, Hanafi Tanawijaya,2022. Inspanning
Verbintenis Dalam Tindakan Medis Yang Dikategorikan Sebagai
Tindakan Malpraktek,Jurnal Hukum Adigama,Vol 5 no 2, pp.490-493
Hans Kelsen , 2007, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi , General Theory
Of law and State , Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu
Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik,BEE Media
Indonesia, Jakarta
Hans Kelsen, 2008. Pure Theory of Law, 2008.Terjemah, Raisul Muttaqien, Teori
Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Cetakan Keenam,
Penerbit Nusa Media,Bandung.
Hamzah Shatri.dkk. Advanced directives pada perawatan paliatif. Jakarta ; Jurnal
penyakit
dalam
Indonesia.
2021.
http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/315/237
HB Sutopo, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Praktek
Dalam Penelitian, (Surakarta: UNS Press), hlm.58
Herniwati, Rospita Adelina Siregar, Anggraeni Endah Kusumaningrum, Muntasir
S, Lia Kurniasari, Endang Wahyati Yustina, Safaruddin Harefa, Sulaiman,
Arman Anwar, Ika Atikah, Sabir Alwy, Afdhal, 2020, Etika Profesi dan
Hukum Kesehatan, Bandung: Widina Bhakti Persada.
136
Herry Wardoyo dan Eddy Rifai, 2017, Euthanasia Pasif Dalam Perspektif
Hukum Pidana, (Bandar Lampung : Sai wawai)
Hidup Makhluk Insani”. Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (UNISBA),
2015. https://onesearch.id/Record/IOS4254.123456789- 5770/Details
Hui, D., Gross, J., & Raben, J. (2018). Defining terminal illness: A systematic
review and synthesis of concepts. Journal of Palliative Medicine, 13(12),
1821-1832.
James Downar. Why do patients agree to a “Do Not Resucitate”or “Fule
Code”Order?Perspectives of Medical inpatients. Canada : JGIM ; 2011
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tanpa Tahun, Urgensi,Tanpa Tahun.
https://kbbi.web.id/urgensi, accessed 12 May.21.50
Kemenlu
RI.
Indonesia
dan
Hak
Asasi
Manusia,
https://www.kemlu.go.id/portal/id/read/40/halaman_list_lainnya/indonesia
-dan-hak-asasi- manusia. accessed 10 Mei 2023.22.15.
Khalifa Chandra Rifani, 2019.kesadaran dan perlindungan Hukum Perawat
Terhadap Program Promosi Kesehatan Dalam Pelaksanaan tindakan medis
Di Rumah Sakit (tesis) Studi Di RSUD Dr. Soeselo Slawi). Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Kramer, D. B., Lo, B., & Dickert, N. W. 2020. CPR in the Covid-19 Era-An
Ethical Framework. New England Journal of Medicine, nejm.org
Komnas
HAM.
Menyoal
Pentingnya
Hak
atas
Kesehatan.
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/1/7/1643 kesehatan.
accessed 10 May 2023.19.30.
M.Ali Khumain,2023, Penolakan pasien RSUD Subang, diakses pada
https://www.antaranews.com/berita/3431133/suami-ibu-hamil-ditolak-rsud
-subang-bingung-peristiwanya-jadi-viral, acessed 3 March 2023
M.Jusuf Hanafiah. Etika kedokteran & Hukum Kesehatan. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta. 2012
Made Pasek D,Supasti D,Gede Artha, 2018, Metode Penelitian Hukum dan
Penulisan Desertasi. Ed 1.Swasta Nulus, Denpasar. hal.5
Margaretha, dkk. ( 2022). Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Penolakan
Resusitasi dan Konsekuensi Hukumnya, April, 2022. https://jurnalmhki.or.id/jhki/article/view/24/22
137
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Indonesia Melindungi
HAM
Setiap
Orang
Termasuk
WNA,
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18835.
accessed
10 May 2023.10.10.
Machmud, Syahrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter
yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Karya Putra Darwati,
Bandung. 2021
Mikho Ardinata, 2020. State Responsibilities Of Health Guarantee In The
Perspective Of Human
Rights, Jurnal HAM 11 (2),pp. 332-338
Moeljatno, 2019, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Mokhammad Najih, 2019. Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembaharuan Hukum
Pidana Dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang
Muhammad Sadi Is, Etika dan Hukum Kesehatan Teori dan Aplikasinya di
Indonesia,2019. Cet. 2., Jakarta: PT Balebat Dedikasi Prima.
Munir Fuady, 2019.Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontempore
Bandung, Citra Aditya Bakti
Ninik Maryanti, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata,
Cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta, 2018
Novia Defi Putri, 2019. Optimalisasi kesadaran dan perlindungan Hukum
Masyarakat Terhadap Informed Consent (tesis).Konsentrasi Hukum
Pidana Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta Padang
Ose, M. I. (2017). Pengalaman Perawat IGD Merawat Pasien Penolakan
resusitasi pada Fase Perawatan Menjelang Ajal. Jurnal Keperawatan
Indonesia. https://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/378
Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2019, Hukum Pidana, Malang. Setara Press.
Retno Harjanti Hartiningsih, 2020. Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dan
Pasien, Maksigama : Volume 14 Nomor 1 Hal. 49 – 60
Sari 2019, Tinjauan Pustaka, Tanggung Jawab Hukum, Lampung, UNILA
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2019
Sa’id, A., & Mrayyan, M. (2019). Penolakan resusitasi: An Argumentative
Essay. Journal of
Palliative
Care
& Medicine.
138
https://www.researchgate.net/publication/293013280_Opponents_and_
Prop onents_Views_Regarding_Palliative_Sedation_at_End_of_Life
Siswati, Sri. 2017. Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-undang
Kesehatan, Edisi 1. Rajawali Pers. Depok
Soejono dan H Abdurahman, 2013, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka
Cipta), hlm.13
Soekanto, S, 2012. kesadaran dan perlindungan Hukum dan Kepatuhan Hukum.
CV. Rajawali. Jakarta
Soekanto, Soerjono,2019, Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum,edisi 1,cetakan 13, Jakarta, Rajawali Pers
Soekanto, Soerjono. (2002). kesadaran dan perlindungan Hukum Dan Kepatuhan
Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Soetandyo Wignjosoebroto,2003. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, ELSAM dan HuMa, Jakarta
Stanley L.Paulson, 2019. Penerjemah Siwi Purwandari. Pengantar teori hukum
Hans Kelsen.Diterjemahkan dari Karya Hans Kelsen,Introduction to the
problems of Legal Theory (Clarendon Press-Oxford,1996,) Cetakan
II ,Nusa Media.Jakarta.hlm 78-79
Susatyo
Herlambang,
2011.
Publishing,Yogyakarta.
Etika
Profesi
Kesehatan,
Gosyen
Sutarno, Hukum Kesehatan, Setara Press, Malang, 2014
Tarigan, I. N. (2021). Kajian Bioetik dan Medikolegal dari “Penolakan resusitasi”.
https://www.alomedika.com/kajian-bioetik-dan-medikolegal-dari-do-notresuscitate
Triwibowo C, 2014, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta. Nuha Medika.
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiah Baru, Jakarta, 1989, hlm.390
J.Guwandi, Dokter dan Hukum, Monella, Jakarta, 1981, hlm.45
Veronica Komalawati, Erga Febrianti Triswand, 2022. Tanggung Jawab Dokter
Atas Insiden Keselamatan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Rumah
Sakit Sebagai Institusi Kesehatan Jurnal Bina Mulia Hukum
6, (2),
pp.177-182
139
Wahyu Andrianto, 2019. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit di Indonesia.
https://law.ui.ac.id/tanggung-jawab-hukum-rumah-sakit-di-indonesia-olehwahyu-andrianto-s-h-m-h/. accessed 10 May.2023.
Wahyudin, Munandar. 2017. Hukum Kedokteran, Edisi 1. Alfabeta. Bandung
Word Health Organization (WHO). Essential medicine in Palliative care.
Geneva:
WHO
;
2013
(diunggah
10
februari
2022).
https://www.who.int/health- topics/palliative-care.
Wulantiani, Riska. “Aspek Hukum Prosedur Penghentian Terapi Bantuan Hidup
Pada Pasien Terminal State Dihubungkan Dengan Kewajiban
Melindungi
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan
Kematian dan Pemanfaatan Organ
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Akreditasi Rumah
Sakit
140
Lampiran 1. Lembar Informasi Penelitian
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Pascasarja, Universitas Udayana
Program Studi Magister Hukum Kesehaatan
Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232
Telp dan Fax (0361) 227499
INFORMASI PENELITIAN
Saya, Putu Emy Indrayani adalah mahasiswa Pascasarjana, Program Studi
Magister Hukum Kesehatan (MH.Kes) Universitas Udayana. Saya sedang
melakukan penelitian yang bertujuan untuk Untuk menganalisis
Pengaturan
Penolakan tindakan Resusitasi pada pasien terminal ” berdasarkan hukum positif
Indonesia dan Untuk menganalisis implementasi penolakan resusitasi di Rumah
Sakit Bali Mandara efektif dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga
medis
Terkait dengan hal tersebut, saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai informan. Sebelumnya saya akan
menjelaskan bagaimana prosedur penelitian ini dilakukan. Apabila Bapak/Ibu
berkenan menjadi informan, mohon kiranya untuk menandatangani persetujuan
menjadi informan terlebih dahulu. Partisipasi Bapak/Ibu bersifat sukarela tanpa
paksaan dari pihak manapun dan tidak menimbulkan bahaya potensial yang
mengancam Bapak/Ibu saat menjadi informan. Apabila tidak berkenan, Bapak/Ibu
dapat menolak dan tidak ikut untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, dan
sewaktu-waktu Bapak/Ibu dapat mengundurkan diri tanpa sanksi apapun.
Peneliti akan melakukan wawancara secara langsung dan juga
pengamatan langsung yang diperkirakan selama 30-60 menit. Selama wawancara
berlangsung, peneliti akan merekam semua pembicaraan dan juga mencatat hasil
dari pemantauan dilapangan yang akan dijaga kerahasiaannya. Kemudian semua
hasil tersebut akan disampaikan pada hasil penelitian untuk kepentingan khasanah
ilmu pengetahuan. Bagi Bpak/Ibu yang bersedia menjadi informan akan diberikan
hadiah dalam bentuk souvenir.
Apabila Bapak/Ibu ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut terkait
penelitian ini, Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti pada nomor telepon
08761665588. Atas kerjasama yang baik, peneliti mengucapkan terima kasih dan
mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan di dalam pelaksanaan penelitian
nanti.
141
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Menjadi Informan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Pascasarja, Universitas Udayana
Program Studi Magister Hukum Kesehaatan
Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232
Telp dan Fax (0361) 227499
PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
:……………………………………………………………………..
Alamat
:……………………………………………………………………..
Umur
: ……………………………………………………………………..
Pekerjaan
:……………………………………………………………………..
Menyatakan telah diberi penjelasan tentang penelitian ini
a.Menyatakan telah diberi kesempatan untuk bertanya
b. Menyatakan telah diberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan
c.Menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian yang berjudul:
Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam
Perspektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali
Mandara
Apabila ada hal-hal yang kurang berkenan, maka saya berhak untuk
mengundurkan diri untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Informan
Peneliti
(………………………)
(……………………….)
Tanggal: ………….
Tanggal: …………..
142
Lampiran 3.
No Informan:
Pedoman Wawancara
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Pascasarja, Universitas Udayana
Program Studi Magister Hukum Kesehaatan
Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232
Telp dan Fax (0361) 227499
Pedoman Wawancara Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada Pasien
Terminal Dalam Perspektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah
Sakit Bali Mandara
Pendahuluan:
1. Mengucapkan salam (misalnya: selamat pagi, selamat siang)
2. Memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dari wawancara ini
3. Tekankan mengenai kerahasiaan identitas dan jawaban yang diberikan oleh
informan. Tanyakan pula keinginan mereka untuk menjadi responden dan
bersedia menjawab pertanyaan dengan jujur/apa adanya.
4. Mempersiapkan alat-alat untuk mendokumentasikan proses wawancara seperti
alat perekam dan buku catatan
5. Setelah tercipta suasana kondusif maka wawancara mendalam bisa dimulai.
Identitas Informan
1.
Nama
:
2.
Jenis kelamin
3.
Umur
4.
Pekerjaan
5.
Pendidikan
:
6.
Alamat
:
:
:
:
Identitas Pewawancara
1.
Nama
:
2.
Tanggal wawancara :
3.
Lokasi wawancara
:
4.
Waktu wawancara
:
5.
Lama wawancara
s/d
:
143
Lampiran 4. Daftar Informan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Pascasarja, Universitas Udayana
Program Studi Magister Hukum Kesehaatan
Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232
Telp dan Fax (0361) 227499
DAFTAR INFORMAN
NO
DAFTAR INFORMAN
KRITERIA
1 Direksi RSUD Bali Mandara Mengkoordinasikan pelaksanaan seluruh
diwakili oleh Pejabat Eselon pelayanan
medik di Instalasi terkait;
IIIa/Wakil Direktur Pelayanan. serta mengkoordinasikan penyusunan dan
Medical Staff by Laws dan Nursing Staff
by
Laws;
dan
mengkoordinasikan
penyusunan dan penerapan regulasi.
2
Komite Medis, Komite Etik
dan hukum rumah sakit
diwakili oleh ketua komite
medik dan Ketua Komite Etik
dan Hukum Rumah Sakit.
Sebagai wadah profesional non struktural
yang memiliki otoritas dalam mengawal
mutu pelayanan kesehatan berbasis
keselamatan pasien, pengorganisasian staf
medik, keperawatan, dan tenaga kesehatan
lainnya, etik dan hukum, pencegahan dan
pengendalian infeksi, serta keselamatan
dan kesehatan kerja.
3
Koordinator Instalasi Rawat
Intensif Terpadu
4
Staf Medis diwakili oleh :
a. Dokter Spesialis Anastesi
b. Dokter Spesialis Bedah
Saraf
c. Dokter Spesialis Jantung
dan Pembuluh Darah
d. Dokter Spesialis Interna.
e. Dokter Spesialis Bedah
Umum.
f. Dokter Jaga IGD/MOD
Mengkoordinasikan pelaksanaan seluruh
pelayanan medik di Instalasi terkait.
Memastikan kepatuhan terhadap peraturan
dan regulasi terkait IRIT.
1. Memberikan instruksi Penolakan
resusitasikepada tim medis lainnya
2.
Memastikan
bahwa
instruksi
Penolakan resusitasidipatuhi
3.
Memberikan
informasi
tentang
Penolakan resusitasikepada pasien
dan keluarga, termasuk menjelaskan
tujuan, manfaat, dan risikonya
144
4.
Menjawab pertanyaan dan concerns
pasien
dan
keluarga
tentang
Penolakan Resusitasi.
5.
Mendukung pasien dan keluarga
dalam berkolaborasi dengan tim
medis lainnya, termasuk dokter
spesialis lain, perawat membuat
keputusan yang terbaik untuk pasien.
6.
Berkomunikasi dengan tim etik rumah
sakit
jika
diperlukan
untuk
mendapatkan
dukungan
dalam
membuat keputusan yang sulit
145
Lampiran 5. Daftar Pertanyaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Pascasarja, Universitas Udayana
Program Studi Magister Hukum Kesehaatan
Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232
Telp dan Fax (0361) 227499
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA INFORMAN
1. Bagaimana kebijakan rumah sakit terkait keputusan tindakan Penolakan
resusitasi pada pasien terminal di RSUD Bali Mandara?
2. Bagaimana
Pengasawan
terhadap
kepatuhan
tenaga
medis
dalam
melaksanakan kebijakan direktur terkait keputusan tindakan Penolakan
resusitasi pada pasien terminal di RSUD Bali Mandara?
3. Bagaimana pelaksanakaan tindakan Penolakan resusitasipada pasien terminal
di RSUD Bali Mandara?
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pasien atau keluarga
untuk menolak resusitasi?
5. Bagaimana proses informed consent dilakukan dalam kasus penolakan
resusitasi pasien terminal di Rumah Sakit Bali Mandara?
6. Apa saja kendala yang dihadapi tenaga medis dalam menangani kasus
penolakan resusitasi?
7. Bagaimana upaya RSUD Bali Mandara terhadap kendala dalam menangani
pasien terminal dengan keputusan tindakan Penolakan resusitasi?
8. Apakah terdapat dokumen atau pedoman khusus yang mengatur pelaksanaan
penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara?
9.
Bagaimana Rumah Sakit Bali Mandara memastikan perlindungan hukum bagi
146
tenaga medis terkait pelaksanaan penolakan resusitasi /Penolakan resusitasi?
10. Bagaimana peran keluarga atau pengganti pengambil keputusan dalam proses
pengambilan keputusan penolakan resusitasi?
11. Apakah Anda pernah menangani kasus di mana terjadi penolakan tindakan
resusitasi yang kemudian menimbulkan komplikasi hukum? Jika pernah,
dapatkah Anda menjelaskan bagaimana Anda menangani situasi tersebut dan
apa langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi masalah hukum yang
muncul?
12.
Menurut Anda, apa yang perlu dilakukan untuk memperkuat perlindungan
hukum bagi tenaga medis terkait pelaksanaan penolakan resusitasi?
147
Lampiran 6. Lampiran EC RSUD Bali Mandara
148
L
Lampiran 7. Lampiran Dokumentasi RSUD Bali Mandara
Keterangan :
Dokumentasi wawancara dengan informan.
149
Tabel Matriks Wawancara
Pendokumentasian Pengaturan Keputusan Penolakan resusitasi Dalam
Prespektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis di
Rumah Sakit Bali Mandara
Informan
Jawaban
Informan 1
“ Kami memiliki kebijakan Penolakan resusitasiyang mengacu
pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2014 tentang Pelayanan Resusitasi Jantung Paru Dasar dan
Resusitasi Jantung Paru Lanjutan. Kebijakan ini mengatur
tentangIndikasi Penolakan resusitasi pada pasien terminal , Proses
pengambilan keputusan Penolakan resusitasi yang melibatkan
pasien, keluarga, dan tim medis, Dokumentasi Penolakan
Resusitasi, Pelaksanaan Penolakan resusitasi, Peninjauan ulang
Penolakan resusitasi secara berkala, Sosialisasi kebijakan
Penolakan resusitasi kepada seluruh tenaga medis dan pasien “
Informan 2
“Komite Medik dan Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit berperan
dalam memastikan kebijakan Penolakan resusitasi di RSUD Bali
Mandara sesuai dengan peraturan dan etika kedokteran.
Memfasilitasi proses pengambilan keputusan Penolakan
resusitasiyang melibatkan pasien, keluarga, dan tim medis.
Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan
Penolakan Resusitasi”
Informan 3
“ Kebijakan Penolakan resusitasi diterapkan dengan lebih ketat
karena pasien yang dirawat di sini umumnya memiliki kondisi yang
kritis dan prognosis yang buruk. Tim kami memiliki pengalaman
dan keahlian yang khusus dalam menangani pasien terminal dan
pengambilan keputusan Penolakan Resusitasi. - Koordinasi yang
erat antara tim medis, pasien, dan keluarga sangat penting dalam
pengambilan keputusan Penolakan resusitasidi ICU, kami selalu
menjadikan SOP sebagai acuan kami bekerja”
Informan 4
“ Dokter Spesialis Anastesi sering terlibat dalam pengambilan
keputusan Penolakan Resusitasi, terutama pada pasien yang
membutuhkan ventilasi mekanik. Komunikasikan kepada pasien
dan keluarga tentang manfaat dan risiko Penolakan
resusitasidengan
cara
yang
mudah
dipahami.
Kami
mendokumentasikan keputusan Penolakan resusitasi dengan
lengkap dan akurat namun dalam hal penolakan resusitasi murni
150
atas permintaan keluarga hanya menggunakan form permintaan
dari keluarga pasien, karena jika dilengkapi informed consent ada
ketakutan bagi dokter jika keluarga beranggapan bahwa dokterlah
yang menganjurkan keputusan tersebut”
“ Saya pernah diminta oleh keluarga melakukan Penolakan
resusitasipada pasien dengan trauma otak atau stroke hemoragik
yang parah. saya mempertimbangkan prognosis pasien, kualitas
hidup pasien, dan keinginan pasien dan keluarga dalam
pengambilan keputusan Penolakan resusitasi sesuai SOP yang
berlaku”
Informan 5
“Keluarga atau pengganti pengambil keputusan memiliki peran
penting dalam proses pengambilan keputusan penolakan resusitasi.
Tenaga medis harus menjelaskan semua informasi yang relevan
kepada keluarga atau pengganti pengambil keputusan tentang
resusitasi dan konsekuensinya. Keluarga atau pengganti pengambil
keputusan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan dan menyuarakan pendapat mereka. Keputusan akhir
tentang resusitasi harus dihormati oleh tenaga medis”
Informan 6
“Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah sering terlibat
dalam pengambilan keputusan Penolakan resusitasi pada pasien
dengan gagal jantung stadium lanjut. Dokter Spesialis Jantung dan
Pembuluh Darah harus menjelaskan kepada pasien dan keluarga
tentang kemungkinan keberhasilan resusitasi dan risiko komplikasi
pada pasien dengan gagal jantung stadium lanjut”
Informan 7
“ Kami sering terlibat dalam pengambilan keputusan Penolakan
resusitasi pada pasien dengan penyakit kronis stadium lanjut,
seperti kanker atau penyakit ginjal. - Dokter Spesialis Interna
harus mempertimbangkan prognosis pasien, kualitas hidup pasien,
dan keinginan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan
Penolakan resusitasi“
Informan 8
“Dokter Spesialis Bedah Umum sering terlibat dalam pengambilan
keputusan Penolakan resusitasi pada pasien dengan sepsis atau
trauma abdomen yang parah. kami harus mempertimbangkan
prognosis pasien, kualitas hidup pasien, dan keinginan pasien dan
keluarga dalam pengambilan keputusan Penolakan Resusitasi”
Informan 9
“Kami harus segera melakukan resusitasi jantung paru (RJP) pada
pasien yang henti jantung, kecuali jika ada perintah Penolakan
Resusitasi”
151
Download