TESIS PELAKSANAAN PENOLAKAN RESUSITASI PADA PAS I E N TE R MIN AL DAL AM PE RS PE K T I F PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA MEDIS DI RUMAH SAKIT BALI MANDARA OLEH : PUTU EMY INDRAYANI PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2024 1 TESIS PELAKSANAAN PENOLAKAN RESUSITASI PADA PAS IE N TE R MIN AL DAL AM PE RS PE K T I F PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA MEDIS DI RUMAH SAKIT BALI MANDARA OLEH : PUTU EMY INDRAYANI NIM.2282721023 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2024 ii PELAKSANAAN PENOLAKAN RESUSITASI PADA PASIEN TERMINAL DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA MEDIS DI RUMAH SAKIT BALI MANDARA Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Studi Magister Hukum Kesehatan, Pascasarjana Universitas Udayana OLEH : PUTU EMY INDRAYANI NIM. 2282721023 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2024 iii PELAKSANAAN PENOLAKAN RESUSITASI PADA PAS IE N TE R MIN AL DAL AM PE RS PE K T I F PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA MEDIS DI RUMAH SAKIT BALI MANDARA Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Studi Magister Hukum Kesehatan, Pascasarjana Universitas Udayana OLEH : PUTU EMY INDRAYANI NIM. 2282721023 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2024 iv Tesis Ini Telah Diuji pada Ujian Tesis Tanggal 16 Juni 2024 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Tugas Direktur Pascasarjana Universitas Udayana No : B/1082/UN14.3.III.5/PK.03.02/2024 Tanggal 12 Juli 2024 Ketua : Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika,M.Kes. Anggota : 1. Prof. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,S.H.,M.Hum.,LLM. 2. Prof.Dr. dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD.KGer, M.Kes, M.H 3. Dr. Piers Andreas Noak, SH.,M.Si. 4. Dr. I Nyoman Bagiastra,SH.,M.H v PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Yang bertanda tangan di bawah ini : 1. Nama : Putu Emy Indrayani 2. Program Studi : Magister Hukum Kesehatan 3. NIM : 2282721023 4. No.Telp. / No.Hp : 087761665588 5. Email : [email protected] 8. Judul Tesis : Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara. Merupakan hasil karya original yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya dan tidak mengandung unsur plagiarisme. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkan sesuai peraturan yang berlaku. Denpasar, 12 Juli 2024 Yang membuat pernyataan, ( Putu Emy Indrayani ) HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/kurnia-Nya, Tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Profesor Dr. Dr. I Putu Gede Adiatmika, M., Kes, pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program Magister Hukum kesehatan, khususnya dalam penyelesaian Tesis ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Profesor Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S. H., M. Hum., LLM, Pembimbing kedua yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Terimakasih pula Penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Ir. Ngakan Putu Gede Suardana, M.T.,Ph.D.,IPU atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. I Wayan Budiasa, S.P., M.P, IPU, ASEAN Eng, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Magister Hukum Kesehatan pada Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD- KGer, M.Kes, M.H, Koordinator Program Studi Magister Hukum Kesehatan Pascasarjana Universitas Udayana dan Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji Tesis, yaitu Prof. Dr. dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.PD - KGer, M.Kes, M.H, Dr. Piers Andreas Noak, SH.,M.Si. , Dr. I Nyoman Bagiastra.,SH.,MH yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga Tesis ini dapat terwujud. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Direktur RSUD Bali Mandara Provinsi Bali yang telah mengijinkan penulis menempuh pendidikan Magister ini. Ucapan terima kasih yang tulus kepada mendiang Ibu dan Ayah yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir logik dan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada adik dan keluarga , serta anak-anak Kanya, Sassy dan Dhenan tersayang, yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih vii berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini serta Huruf DR yang sudah mengajarkan banyak hal untuk menjadi lebih kuat. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Mahaesa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaandan penyelesaian Tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga. Denpasar, 21 Mei 2024 viii ABSTRAK Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara. Penelitian ini mengkaji pengaturan dan implementasi penolakan resusitasi pada pasien terminal di Indonesia, dengan fokus pada aspek hukum dan praktik di Rumah Sakit Bali Mandara. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaturan penolakan resusitasi berdasarkan hukum positif Indonesia serta menganalisis efektivitas implementasi keputusan dalam penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis empiris, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan penolakan resusitasi di Indonesia diatur dalam UU 17 tahun 2023 tentang kesehatan dan PMK 37 tahun 2014 tentang penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor secara spesifik, perlindungan hukum bagi tenaga medis belum efektif karena tindakan medis tidak disertai informed consent. Implementasi Penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara baik atas permintaan pasien/keluarga maupun atas pertimbangan klinis dokter telah berjalan berdasarkan formulir penolakan resusitasi, masih terdapat tantangan dalam aspek pemenuhan dokumentasi formal sesuai Permenkes Nomor. 290/MENKES/PER/III/2008 . Kesimpulan penelitian ini pengaturan penolakan resusitasi pada pasien terminal telah diatur dalam secara inplisit pada UU 17 tahun 2023 pasal 4 ayat (1) dan secara eksplisit pada PMK 37 tahun 2014 pasal 15 ayat (1) serta Permenkes 290/MENKES/Per/III/2008. Implementasi penolakan resusitasi di RSUD Bali Mandara belum efektif memberikan perlindungan hukum karena belum dillandasi Informed concent. Diharapkan melengkapi SOP yang sudah ada menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kata kunci: Penolakan resusitas, pasien terminal, perlindungan hukum tenaga medis. ix ABSTRACT Implementation of Do Not Resusitate in Terminal Patients in the Perspective of Legal Protection of Medical Personnel at Bali Mandara Hospital. This study examines the regulation and implementation of Do Not Resusitate in terminal patients in Indonesia, focusing on the legal and practical aspects of Bali Mandara Hospital. The purpose of the study is to analyze the regulation of Do Not Resusitate based on Indonesia's positive law and to analyze the effectiveness of the implementation of the decision in refusing resuscitation at Bali Mandara Hospital in providing legal protection for medical personnel. The research method uses an empirical juridical approach, with data collection techniques through interviews. The results of the study show that the regulation of Do Not Resusitate in Indonesia is regulated in Law 17 of 2023 concerning health, PMK 37 of 2014 concerning the determination of death and the use of donor organs specifically, legal protection for medical personnel has not been effective because medical actions are not accompanied by informed consent. The implementation of Do Not Resusitate at Bali Mandara Hospital both at the request of the patient/family and on the clinical consideration of the doctor has been running based on the Do Not Resusitate form, There are still challenges in the aspect of fulfilling formal documentation according to the Minister of Health Regulation Number. 290/MENKES/PER/III/2008 . The conclusion of this study is that the regulation of Do Not Resusitate in terminal patients has been explicitly regulated in Law 17 of 2023 article 4 paragraph (1) and explicitly in PMK 37 of 2014 article 15 paragraph (1) and Permenkes 290/MENKES/Per/III/2008. The implementation of the Do Not Resusitate at Bali Mandara Hospital has not been effective in providing legal protection because it has not been based on the Informed concent. It is hoped that the existing SOPs will be implemented in accordance with the provisions of laws and regulations. Keywords: Do Not Resusitate, terminal patients, legal protection of medical personnel. 10 DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN.............................................................................. I HALAMAN SAMPUL DALAM…………………………………………………ii LEMBAR PRASYARAT GELAR……………………………………………….iii LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................... v PENETAPAN TIM PENGUJI……………………………………………………vi PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME……………………………………...vii UCAPAN TERIMAKASIH…………………………………………………… viii ABSTRAK………………………………………………………………………. ix ABSTRACT……………………………………………………………………… x DAFTAR ISI........................................................................................................ viii DAFTAR TABEL....................................................................................................x DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xii DAFTAR SINGKATAN...................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1 1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah......................................................................................... 8 1.4. Manfaat Penelitian........................................................................................ 9 1.5. Orisinalitas Penelitian................................................................................. 10 1.6 Batasan Penelitian........................................................................................ 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA KEPUTUSAN PENOLAKAN RESUSITASI....... 14 2.1. Landasan teori......................................................................................... 14 2.1.1. Teori Sistem Hukum ....................................................................... 14 2.1.2. Teori Tujuan Hukum........................................................................18 2.1.3. Teori Efektivitas Hukum..................................................................20 2.1.4. Teori perlindungan hukum...............................................................24 2.2. Tinjauan pustaka......................................................................................25 2.2.1. Konsep Henti Jantung dan Resusitasi Jantung Paru........................ 25 2.2.2. Aspek Hukum Penolakan resusitasi sesuai regulasi........................38 11 2.2.3. Konsep Kode etik kedokteran.......................................................... 77 2.2.4. Konsep hak dan kewajiban.............................................................. 81 2.2.5. Konsep Pasien Terminal.................................................................. 89 2.2.6. Konsep Hubungan Terapeutik Antara Tenaga Medis Dengan Pasien.. 2.3. Konsep Penelitian....................................................................................92 2.4. Model Penelitian......................................................................................94 BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 95 3.1. Rancangan Penelitian.............................................................................. 95 3.1.1 Pendekatan Penelitian...................................................................... 95 3.2. Lokasi dan waktu penelitian ................................................................................ 72 3.2.1 Lokasi penelitian...........................................................................................72 3.2.2 Waktu Penelitian .............................................................................….73 3.3 Jenis dan Sumber Bahan Hukum..................................................................73 3.3.1 Jenis Bahan Hukum.............................................................................. 73 3.3.2 Sumber Bahan Hukum .........................................................................75 3.4 Instrumen Penelitian..................................................................................... 76 3.4.1 Pengolahan dan Analisis Data.................................................................76 3.4.2 Keabsahan data........................................................................................78 3.4.3 Kebaruan Penelitian................................................................................ 79 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………… ..86 4.1 Profil RSUD Bali Mandara........................................................................... 86 4.2 Karakteristik Informan…………………………………………………… 88 4.3 Pengaturan penolakan resusitasi pada pasien terminal berdasarkan hukum positif di Indonesia……………………………………………………….. 86 4.4 Implementasi Keputusan Penolakan resusitasi di RSUD Bali Mandara 107 BAB V SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 117 5.1 Simpulan…………………………………………………………………117 5.2 Saran……………………………………………………………………117 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 118 LAMPIRAN 12 DAFTAR GAMBAR Gambar 3. 1. Model Penelitian ..............................................................................89 13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lembar Informasi Penelitian Lampiran 2. Lembar Persetujuan Menjadi Informan Lampiran 3. Pedoman Wawancara Lampiran 4. Daftar Informan Lampiran 5. Daftar Pertanyaan Lampiran 6. Lampiran ethical clearance Lampiran 7. Dokumentasi Kegiatan Lampiran 8. Formulir Permohonan tidak dilakukan tindakan resusitasi Lampiran 9. Formulir Penolakan tindakan kedokteran Lampiran 10. Formulir Persetujuan Tindakan Kedoketran Lampiran 11 Asesmen Kebutuhan Informasi dan Edukasi Pasien/Keluarga Lampiran 12. Formulir Catatan Informasi dan Edukasi Terintegrasi 14 DAFTAR SINGKATAN HAM : hak asasi manusia DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia AHA : American Heart Association CPPT : Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi RJP : Resusitasi Jantung Paru DPJP : Dokter BHD : Bantuan Hidup Dasar IHCA : In Hospital Cardiac arrest OHCA : Out of Hospital cardiac arrest KODEKI : Kode Etik Kedokteran Indonesia USG : Ultrasonografi MRI : Magnetic Resonance Imaging WMA : World Medical Association Penanggung Jawab 15 Pelayanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak asasi manusia yang paling penting adalah hak untuk mendapatkan asuhan medis dan memperpanjang kehidupan. Menurut Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan. Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan berhak untuk mempertahankan hidupnya. Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidupnya, dan meningkatkan taraf kehidupannya, hak hidup adalah hak dasar yang secara kodrati diberikan kepada manusia, harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, tidak boleh diabaikan, atau dikurangi. Negara Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan menjamin hak asasi manusia (HAM) dan hak warga negara lainnya (MK, 2023). Hak asasi adalah hak universal yang harus dihormati dan dilindungi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tanggal 10 Desember 1948, dalam resolusi 217 A (III), pasal 25 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri, dan keluarganya (Komnas HAM, 2023). Undang-Undang No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan selanjutnya disebut UU Kesehatan menyatakan Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan 1 bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif. Sebagai salah satu unsur kesejahteraan, kesehatan adalah investasi untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut (Mikho Ardinata, 2020). Dalam perspektif hukum, perintah untuk tidak melakukan resusitasi memegang nilai penting dalam menghormati ketentuan dan kehendak individu terhadap tubuhnya sendiri (Sulistyawan, 2019). Prinsip dasar dalam hukum kedokteran mengakui hak pasien untuk memiliki otonomi dalam membuat keputusan terkait perawatan medis mereka. Dalam melaksanakan perintah tersebut, dokter juga harus mempertimbangkan etika kedokteran untuk memastikan bahwa keputusan tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai etis dalam praktik kedokteran. Situasi di mana perintah untuk tidak melakukan resusitasi diberikan harus dibahas secara mendalam oleh dokter dengan pasien dan/atau keluarganya untuk memahami alasan di balik perintah tersebut dan dokter juga wajib memastikan bahwa keputusan tersebut dilakukan secara adil dan tidak terpengaruh oleh faktor eksternal yang tidak relevan. Dokter harus memperhatikan bahwa perintah untuk tidak melakukan resusitasi tidak melanggar undang-undang dan tidak akan memiliki konsekuensi hukum di kemudian hari. Semua pihak yang terkait, termasuk pasien dan keluarganya, harus memastikan bahwa Penolakan melakukan resusitasi didokumentasikan dan disetujui sesuai peraturan yang berlaku. Memahami risiko dan akibat yang mungkin disebabkan oleh Penolakan tersebut dokter harus memberi informasi yang jelas dan akurat pada pasien atau keluarganya sehingga mereka dapat membuat keputusan yang tepat dengan pemahaman yang baik. 1 Pastikan bahwa kode etik kedokteran dan prinsip moral yang mengatur praktik kedokteran tidak bertentangan dengan perintah untuk tidak melakukan resusitasi. Sebuah artikel yang ditayangkan pada KOMPAS.com menunjukkan bahwa tenaga medis di sebuah rumah sakit di Florida, AS, sangat bingung ketika mereka menerima seorang pasien dengan tato di dadanya yang bertulis "D0 Not Resucitate" Jangan lakukan resusitasi (Penolakan Resusitasi), yang berarti mereka dilarang melakukan tindakan pertolongan Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika pasien mengalami masalah darurat. Perintah Penolakan resusitasi ini di Amerika Serikat adalah surat yang ditulis atas permintaan pasien atau keluarga, yang harus ditandatangani dan diputuskan melalui konsultasi dengan dokter yang berwenang. Pasien yang berusia 70 tahun mengalami masalah pernafasan sebagai akibat dari tingkat alkohol dalam darah yang tinggi. Tenaga medis di Unit Gawat Darurat Jackson Memorial Hospital Miami harus mempertimbangkan pentingnya memberikan pertolongan segera kepada pasien yang membutuhkannya (Wadrianto, 2017). Tenaga medis kebingungan karena mereka harus mengambil keputusan dengan pertimbangan terbaik saat menghadapi ketidakpastian. Namun, ada pendapat lain yang menganggap bahwa pasien tersebut telah berusaha menegaskan sikap dan keputusannya melalui tato tersebut, yang akhirnya membuat mereka meminta konsultasi etika dalam kasus ini (Holt et al., 2017). Kasus Pasien inisial N (59 tahun) dirawat di Rumah Sakit RS Awal Bros Tangerang dengan Kronologi Pasien mengalami gagal napas dan dinyatakan 18 1 meninggal. Keluarga menuntut RS karena tidak melakukan resusitasi sesuai permintaan keluarga. Pihak RS berdalih bahwa keluarga telah menandatangani formulir Penolakan Resusitasi, tuntutan hukum keluarga pasien menuntut RS Bros Tangerang atas dugaan malpraktik dan pelanggaran hak pasien. Kasus masih dalam proses di Pengadilan Negeri Tangerang. Di Indonseia, landasan dalam mempertahankan kehidupan manusia adalah UUD tahun 1945 pasal 28 A perubahan kedua yang menyebutkan “setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal (14) Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 menyatakan penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan harus mendapatkan persetujuan tertulis, dalam hal ini adalah Dokter Penanggung Jawab Pelayanan Utama dan Manajer Pelayanan Pasien. Segala bentuk Komunikasi Informasi dan Edukasi didokumentasikan di dalam Formulir KIE dan Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) sebagai dasar ditandatanganinya Formulir Penolakan Tindakan Kedokteran atau Formulir Permintaan Penolakan resusitasisesuai dengan kebijakan masing-masing rumah sakit. Dalam pelaksanaannya disebagian besar rumah sakit, akan ada formulir pernyataan khusus mengenai Penolakan resusitasi yang ditandatangani oleh pasien. Setelah itu, yang akan menangani perintah Penolakan resusitasi adalah dokter penanggung jawab pasien dengan menerima formulir Penolakan resusitasidan memberikan gelang Penolakan resusitasi kepada pasien. 19 1 Penolakan resusitasi merupakan kondisi yang sarat dengan pro kontra sehingga perlu dikaji dari segi bioetik dan medikolegal secara hati-hati untuk masing-masing kasus. Perdebatan mengenai aspek hukum Penolakan resusitasi masih terus berlaku. Beberapa negara melakukan penolakan Penolakan resusitasiatas beberapa pertimbangan. Di Cina dan Korea Selatan misalnya, Penolakan resusitasi dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan pengobatan seperti Resusitasi Jantung Paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama. Contoh lain, di Inggris, mengemukakan bahwa orang yang diberikan label Penolakan resusitasi memiliki kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapat penatalaksanaan yang layak. Rekomendasi American Heart Association (AHA), sebagai salah satu panduan yang banyak digunakan di seluruh dunia, menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan pada semua pasien. Pasien dengan kondisi terminal, penyakit yang tidak reversibel, dan penyakit dengan prognosis kematian hampir dapat dipastikan, tidak perlu dilakukan RJP. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada kemungkinan keinginan euthanasia, terutama pada pasien dewasa yang kompeten namun menolak resusitasi jantung paru secara irasional. Penolakan resusitasi dianggap sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien sehingga prinsip etik yang dikaji haruslah pengkajian terhadap keseluruhan upaya RJP. Melakukan resusitasi jantung paru tidak hanya dibatasi oleh kaidah legal dan teknis namun juga mempertimbangan 4 kaidah bioetika, asas manfaat (beneficence), prinsip do no harm (nonmaleficence), perlakuan yang adil (justice), dan hak otonomi pasien (autonomy). Pasien yang dinyatakan dewasa secara 20 1 hukum dan kompeten berhak menolak prosedur, termasuk yang menyelamatkan hidup mereka, setelah mendapat informasi dan memahami betul implikasi keputusannya. Perintah Penolakan resusitasidianggap sebagai dokumen medis legal yang mencerminkan keputusan dan keinginan pasien akan menghindari upaya untuk mempertahankan kehidupan. (Sa’id Mrayyan, 2019). Dalam standar akreditasi baik nasional maupun internasional, prosedur Penolakan resusitasi termasuk kebijakan yang harus dibuat oleh rumah sakit sebagai salah satu panduan dalam pemberian pelayanan dan asuhan pasien dalam tahap terminal. Namun demikian, dengan dasar hukum apakah sebaiknya kebijakan ini dibuat, karena dalam praktik sehari-hari pelaksanaan Penolakan resusitasi ini pun sudah sering terjadi dengan permintaan yang dilakukan oleh pasien sendiri, pasangan, keluarga, yang mewakili ata bahkan atas pertimbangan klinis dokter sebagai Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) pasien. Ketika perintah ini dijalankan, maka kembali timbul pertanyaan apakah seorang dokter dapat dianggap tidak menghormati atau bahkan merampas hak hidup pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Apakah hal ini dapat dianggap sebagai suatu kesalahan yang berhubungan dengan tindak pidana? Penelitian lain yang pernah dilakukan sebelumnya membahas Penolakan resusitasi dalam suatu kajian hukum Indonesia, menghubungkannya dengan Kitab Undang Hukum Pidana terkait kejahatan terhadap nyawa baik atas permintaan sendiri ataupun orang lain di luar dirinya yang dalam hal ini adalah permintaan keluarga (Adriana, 2021). Dalam sebuah artikel berjudul “Kajian Bioetik dan Medikolegal pada Penolakan Resusitasi” disebutkan bahwa saat ini belum ada kepastian hukum 21 1 yang mengatur Penolakan resusitasi (Tarigan, 2021). Payung hukum terhadap tindakan ini pun belum menggunakan terminologi dan definisi operasional yang sama untuk mengatur pelaksanaan penolakan resusitasi secara eksplisit dengan kriteria yang jelas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi para tenaga medis dan rumah sakit terutama ketika berada pada situasi sulit yang dilematis saat berhadapan dengan kondisi klinis pasien, pilihan yang menjadi permintaan pasien dan keluarga, serta adanya keterbatasan sumber daya. Contohnya saat terjadinya lonjakan kasus Covid-19 pada masa Pandemi, tenaga medis dan rumah sakit menghadapi masalah kekurangan sumber daya terkait fasilitas, sarana prasarana, alat kesehatan, obat-obatan, dan oksigen. Tenaga medis dan rumah sakit terpaksa membuat keputusan yang sulit dan dilematis, salah satunya adalah keputusan Penolakan resusitasi pada kasus-kasus dengan prognosis buruk dan kemungkinan luaran hasil pengobatan yang sia - sia di antara pilihan banyaknya pasien yang juga harus diselamatkan. Upaya maksimal yang dilakukan oleh para tenaga medis dan rumah sakit pada saat itu juga tidak serta merta bisa menyelesaikan situasi yang dilematis ketika terjadi suatu bencana darurat yang menuntut keputusan klinis yang sifatnya segera. Risiko dituntutnya rumah sakit dan para tenaga medis secara hukum terkait keputusan Penolakan resusitasi dapat saja terjadi. Adanya perbedaan persepsi bila keputusan ini dilihat dari perspektif hukum pidana. Berdasarkan uraian diatas menjadi penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terkait “Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif Perlindungan 22 1 Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum dalam pelaksanaan tindakan medik. 1.2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan penolakan melakukan resusitasi pada pasien terminal ” berdasarkan hukum positif Indonesia” ? 2. Bagaimana implementasi penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara efektif dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis? 1.3. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai yaitu: 1.3.1. Tujuan Umum Secara umum bahwa terjadinya pelanggaran hukum dalam tindakan medik tidak bisa diprediksi, perlu mendapat perhatian dan prioritas dalam konteks tanggung jawab dokter dan mendapatkan gambaran keputusan Penolakan resusitasiserta konsekuensi hukumnya di Indonesia ketika keputusan ini terpaksa dipilih. 1.3.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini mengacu pada rumusan masalah yang akan dibahas yaitu : 1. Untuk menganalisis Pengaturan Penolakan Melakukan Resusitasi pada pasien terminal ” berdasarkan hukum positif Indonesia”. 23 1 2. Untuk menganalisis implementasi penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara dalam efektifitas memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian dilakukan agar dapat memberi manfaat yang seluas-luasnya untuk masyarakat. Dibawah ini adalah manfaat yang akan dicapai yaitu : 1.4.1. Manfaat teoritis Hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum terutama bidang hukum kesehatan, terkait legalitas tindakan Penolakan resusitasidan perlindungan hukum terhadap dokter terkait keputusan Penolakan resusitasidan dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya dengan substansi penelitian yang berbeda. 1.4.2. Manfaat praktis Hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kepentingan kepastian dan perlindungan hukum, untuk memberikan masukan dan saran bagi pemerintah, legislatif, dan yudikatif dalam membuat dan mengimplementasikan peraturan yang mengatur Penolakan resusitasi secara jelas dan tegas di Indonesia. Mampu memberikan pedoman dan bantuan bagi dokter, pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya dalam mengambil keputusan dan melakukan Penolakan resusitasi di rumah sakit dengan menghormati hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak serta memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang Penolakan resusitasi dan hak-hak pasien yang berada pada 24 1 kondisi terminal atau tidak sadar secara permanen serta mengurangi risiko perselisihan hukum. 1.5. Orisinalitas Penelitian Orisinalitas penelitian perlu dirumuskan untuk mengetahui adanya perbedaan atau pun persamaan dengan penelitian sebelumnya, untuk pembanding nantinya dalam penelitian yang akan dilakukan. Berikut disajikan beberapa tesis yang membahas terkait “Penolakan resusitasi ” atau “konsekuensi hukum bagi tenaga kesehatan” No Penulis Judul Tesis Rumusan Masalah . 1. 2. 3. Gina Adriana Penolakan Resusitasi Dalam Bagaimana Konsekuensi Sistem Hukum Indonesia hukumnya di Indonesia jika keputusan tindakan penghentian terapi bantuan hidup pada pasien terminal tersebut terpaksa dipilih ? Yunus Adi Dilema Etik Dalam Bagaimana tenaga kesehatan Penatalaksanaan Penolakan menghadapi dilema etik Wijaya Resusitasi Di Indonesia dalam penatalaksanaan Penolakan Resusitasi ? Eva Fieldiana Sari Legalitas Penolakan Bagaimana legalitas tindakan Resusitasi Di Rumah Sakit Penolakan resusitasi di Dalam Konteks Indonesia ? Perlindungan Hukum Bagi Dokter Terdapat persamaan dan perbedaan dari penelitian tesis diatas dengan penelitian yang akan dilaksanakan : 1. Penelitian oleh Gina Adriana yang berjudul Penolakan Resusitasi Dalam Sistem Hukum Indonesia tahun 2021, Konsentrasi Hukum Program Pasca 25 1 Sarjana Universitas Lancang Kuning . Hasil Penelitian ini membahas tentang pengaturan Penolakan resusitasidalam sistem hukum Indonesia, termasuk tinjauan yuridis dan etika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan Penolakan resusitasidi Indonesia masih belum jelas dan komprehensif. Kondisi ini menimbulkan dilema bagi dokter dalam menangani pasien yang membutuhkan Penolakan Resusitasi. Persamaan dengan penelitian tersebut yaitu pada subtansi perintah Penolakan Resusitasi, perbedaannya terkait penelitian Gina Adriana menggunakan analisis yuridis normatif dengan fokus pada peraturan perundang-undangan dan kasus hukum , penelitian saya berfokus pada analisis yuridis normatif dan hak pasien menurut UU 17 tahun 2023 tentang kesehatan dan etika kedokteran. 2. Penelitian tesis oleh Yunus Adi Wijaya dengan judul Dilema Etik Dalam Penatalaksanaan Penolakan Resusitasi Di Indonesia Magister ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia tahun 2023 (Yunus, 2023). Hasil penelitian menunjukkan banyak pihak yang menolak untuk melakukan Penolakan resusitasitelah beralih ke masalah etika, terutama prinsip-prinsip agama. Agama tidak memberikan manusia kekuatan untuk memutuskan hidup dan mati seseorang dengan cara yang sama seperti pilihan Penolakan resusitasi yang dianggap dapat memutuskan hidup dan mati seseorang. Kesimpulannya Saat ini tidak diatur apa yang terjadi jika pasien memilih Penolakan resusitasibahkan sebelum memulai pengobatan. Pasien yang telah membuat keputusan Penolakan resusitasidi masa lalu atau di 26 1 fasilitas kesehatan lain tidak dapat menuntut dokter jika perawatan yang menyelamatkan jiwa diberikan dalam keadaan ini. Keputusan Penolakan resusitasiharus diambil dengan hati-hati dalam hal implikasi hukum. Ada kesepakatan tentang kondisi pasien dan pentingnya kualitas hidup pasien. Ini juga merupakan ide yang baik untuk menyimpan catatan keputusan ini jika ada masalah hukum di masa depan. Persamaan dengan penelitian diatas mengenai Penolakan Resusitasi, sedangkan perbedaannya penelitian pleh Yunus, 2023 membahas tentang legalitas Penolakan resusitasi dalam perspektif perawat. 3. Penelitian tesis oleh Eva Fieldiana Sari dengan judul Legalitas Penolakan Resusitasi Di Rumah Sakit Dalam Konteks Perlindungan Hukum Bagi Dokter Magister ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung tahun 2022 ( Sari, 2022). Hasil penelitian didapatkan bahwa pelaksanaan Penolakan resusitasiadalah legal secara hukum berdasarkan Permenkes Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Penentuan Kematian Dan Pemanfaatan Organ. Perlindungan hukum bagi dokter melakukan tindakan Penolakan resusitasi telah diatur dalam Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, dalam Permenkes tersebut secara preventif perlindungan dokter dalam bentuk informed consent dan secara represif dalam keadaan gawat darurat pada Pasal 4, dan kedua Permenkes tersebut menjadi acuan dokter dalam keputusan penghentian atau penundaan bantuan hidup. 27 1 Persamaan dengan penelitian tersebut yaitu pada subtansi perintah Penolakan Resusitasi, perbedaannya Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang, asas hukum dan doktrin-doktrin dan yuridis empiris dengan mengadakan penelitian lapangan. 1.6 Batasan Penelitian Penelitian ini menyangkut hukum kesehatan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit, berkaitan dengan penolakan resusitasi dilihat dari sudut pandang bioetik, medikolegal, peraturan perundang-undangan, teori dalam penguatan perlindungan hukum bagi dokter di Rumah Sakit. 28 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan teori 2.1.1. Teori Sistem Hukum Pandangan Lawrence Friedmann tentang sistem hukum (legal system), sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Ashshiddiqie menurutnya mencakup tiga komponen atau sub-sistem, yaitu: 1) komponen struktur hukum; 2) substansi hukum; dan didasarkan 3) atas budaya hukum. perspektifnya Teori yang Friedmann tersebut sebenarnya bersifat sosiologis (sociological jurisprudence). Yang hendak diuraikannya dengan teori tiga sub-sistem : struktur, substansi, dan kultur hukum itu tidak lain adalah bahwa basis semua aspek dalam sistem hukum itu adalah budaya hukum. Dalam rangka perancangan pembangunan hukum nasional, dirumuskan bahwa pembangunan hukum itu mencakup tiga komponen, yaitu (i) pembangunan materi hukum, (ii) pembangunan aparatur hukum, dan (iii) pembangunan sarana dan prasarana hukum. Pada periode akhir orde baru, perumusannya ditambah menjadi pembangunan (i) materi hukum, (ii) aparatur hukum, (iii) sarana dan prasarana, dan (iv) budaya hukum. Kemudian setelah gerakan demokrasi dan hak asasi manusia semakin populer di dunia pada akhir 29 1 abad ke-20, perumusan tersebut diubah lagi menjadi pembangunan (i) materi hukum, (ii) aparatur hukum, (iii) sarana dan prasarana hukum, serta (iv) budaya hukum dan hak asasi manusia. Penggunaan nomenklatur tersebut, 30 1 31 terlihat adanya pengaruh teori Lawrence Friedmann di dalamnya. Namun demikian menurut Jimly Asshiddiqie para perancang pembangunan hukum nasional menyadari bahwa kebutuhan pembangunan hukum nasional tidak mungkin menggunakan trikotomi Lawrence Friedmann itu apa adanya tanpa penafsiran dan tanpa inovasi sesuai dengan keperluan bangsa Indonesia. Menurut Jimly rumusan tentang komponen-komponen sistem dalam rangka pembangunan hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu harus menggunakan logikanya sendiri. Apalagi dikaitkan dengan kebutuhan sekarang di abad ke-21, di masa pasca reformasi, tentu keterpaduan sistemik dalam upaya merancang strategi pembangunan hukum nasional dan daerah di seluruh Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh, integral dan terperinci dengan jelas. Jimly Asshiddiqie menyarankan agar sistem hukum Indonesia yang akan datang mencakup lima elemen sekaligus, yaitu (i) komponen instrumental yang mencakup semua jenis dokumen hukum dan hukum tidak tertulis, (ii) komponen kelembagaan yang mencakup juga pengertian sarana dan prasarana dan semua aspek keorganisasian, (iii) komponen sumber daya manusia dan kepemimpinan, (iv) komponen sistem informasi dan komunikasi, dan (v) komponen budaya hukum, pendidikan hukum, dan sosialisasi hukum. Jimly Ashshidiqi, dalam Buku Kostitusi dan Konstitusionalisme, mengutip pendapat Lawrence M. Friedman, menguraikan sistem hukum terdiri dari tiga komponen struktur (kelembagaan), substansi (output sistem hukum) dan kultur (nilai, sikap, persepsi, custom, ways of doing, ways of thinking, opinion). 32 Dalam komponen kultur dibedakan menjadi dua yaitu internal legal culture (hukum para lawyer dan judges) dan external legal culture (hukum masyarakat luas). Friedman mengemukakan keefektifan atau berhasil tidaknya aturan hukum tergantung tiga unsur dari sistem hukum, yaitu: 1) unsur struktur hukum (struktur of law); 2) substansi hukum (substance of the law) dan; 3) budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang- undangan, sedangkan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat. Mengenai struktur hukum, Friedman menjelaskan: “To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction …Strukture also means how the legislature is organized …what procedures the police department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss section of the legal system…a kind of still photograph, with freezes the action.” Struktur hukum dari sistem hukum terdiri atas unsur antara lain: jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang menjadi kewenangan mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur apa yang harus diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. 33 Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana pembuat hukum dan penegakan hukum di pengadilan berjalan dan dijalankan. Menurut Achmad Ali dalam membicarakan struktur hukum di Indonesia, termasuk juga di dalamnya struktur institusi-institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan). Substansi hukum menurut Friedman adalah: “Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system …the stress here is on living law, not just rules in law books”. Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang- orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakatnya, maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif. 34 Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Dalam menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik, bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang baik. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangan belaka, malainkan aktifitas birokrasi pelaksananya. Menurut Lon L. Fuller, hukum sebagai sistem harus memenuhi 8 azas (principles of legality) yaitu: 1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan 2) Peraturan-peraturan yang dibuat itu harus diumumkan 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut 4) Peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti dan rinci 5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain 6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan 7) Peraturan tidak boleh sering diubah 8) Harus ada kecocokan antara pelaksanaannya sehari-hari. peraturan yang diundangkan dengan 35 2.1.2. Teori Tujuan Hukum Dalam teorinya Gustav Radbruch menyebutkan bahwa tujuan hukum berdasarkan prioritas yaitu keadilan, manfaat baru kepastian hukum. Dalam konteks di Pengadilan, teori ini biasa diterima akan tetapi dalam proses pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan), bagaimanapun harus dimulai dengan kepastian hukum supaya konsistensi persamaan di muka hukum dapat dipertahankan, sehingga urut-urutan dari teori Gustav Radbruch itu menjadi tidak tepat dalam hukum acara pidana. Dalam beberapa hal materi hukum acara pidana bahkan dalam proses pendahuluan ada kaedahnya yang bersifat constitutional rights seperti “persamaan di depan hukum”, due-process of rights, perampasan kemerdekaan harus berdasarkan undang-undang, hak untuk hidup, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dst sebagaimana ditentukan dan dilindungi dalam Pasal 28 UUD 1945. Menurut teori utilitas bahwa tujuan hukum adalah menjamin adanya kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada warga masyarakat, teori ini dicetuskan oleh Jeremy Bentham. Dalam bukunya yang berjudul Introduction to the Morals and Legislation (1780), berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang bermanfaat/ berfaedah yang sebesar-besarnya terhadap jumlah orang yang banyak atau yang terkenal dengan “ the greatest good of the greatest number”. Van Apeldoorn, di dalam bukunya Inlending Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht mengatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian, perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan 36 melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa atau harta benda terhadap pihak yang merugikan. Pandangan kedua sarjana di atas, terlihat sekali bahwa tujuan hukum tidak lain dan tidak bukan semata-mata hanyalah untuk menjamin kebahagiaan hidup yang sejati bagi masyarakat. Hukum menjaga dan menyelamatkan jiwa bahkan harta manusia dari segala macam ancaman dan gangguan. Achmad Ali dalam maha karyanya yang berjudul “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)”, membagi teori-teori mengenai tujuan hukum itu dengan menggolongkannya sebagai grand theory dan membaginya ke dalam teori klasik dan teori modern. Berikut penjelasannya lewat skema di bawah ini: A.Teori Klasik a. Teori Etis b. Teori Utilitas c. Teori leglistik A. Teori Modern a. Teori prioritas baku a. Teori prioritas kasuistik Tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan (justice) Tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan (utility) Tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kepastian Hukum (legal certainly) Tujuan hukum mencakup : 1. Keadilan 2. Kemanfaatan 3. kepastian Hukum Tujuan hukum mencakupi keadilan - kemanfaatan - kepastian hukum, dengan urutan prioritas, secara proporsional, sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan. 37 2.1.3. Teori Efektivitas Hukum Dalam teori organisasi manajemen, efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki (Hilda, 2020). Berdasarkan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Apabila tujuan tersebutmerupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut. Apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Ali berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum ini ditaati atau tidak ditaati”. Achmad Ali mengemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu peraturan perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut. 38 Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekamto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu : 1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang) 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak -pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegak hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegak hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri. Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum tertulis adalah aparat penegak hukum . Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang baik. Pada elemen ketiga , tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah yang digunakan sebagai alat untuk mencapai 39 efektivitas hukum. Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari kondisi masyarakat, yaitu faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan yang baik, faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa, dan faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi. Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmta (2021) yaitu bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegak hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum)akan tetapi terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabadikan. Soerjono Soekanto menyatakan efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif, maka pertanyaan yang muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya ? mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman 40 paksaannya kurang kuat ; mungkin juga karena ancaman paksaanya itu tidak terkomunikasikan secara memadai pada warga masyarakat (Romli,2021) Keberlakukan hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana seharusnya sebagai bentuk kepatuhan dan pelaksanaan norma jika validitas adalah kualitas, maka keberlakuan adalah kualitas perbuatan manusia sebenarnya bukan tentang hukum itu sendiri (Hans Kelsen, 2012). Menganalisa tentang efektivitas hukum berarti menganalisa tentang data kerja hukum itu dalam mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat efektif jika faktor_faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Hukum akan efektif apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut telah selesai. 2.1.4. Teori perlindungan hukum Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian. Terdapat beberapa pendapat terkait perlindungan hukum yaitu : a. Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu hak asasi manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan 41 tersebut. b. Menurut Soerjono Soekanto, perlindungan hukum pada dasarnya merupakan perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum. c. Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia. d. Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama manusia. e. Menurut Philipus M.Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan. 2.2. Tinjauan pustaka 2.2.1.Konsep Henti Jantung dan Resusitasi Jantung Paru A. Konsep Henti Jantung / Cardiac Arrest 1. Pengertian Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan 42 penyakit jantung ataupun tidak (American Heart Association, 2019). Henti jantung adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak dan sangat tiba-tiba, ditandai dengan terjadinya henti napas dan henti jantung (Pusbankes, 2019). Henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. 2. Faktor predisposisi cardiac arrest American Heart Association (2019) menyebutkan bahwa seseorang dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi: a. Jejas di jantung sehingga cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa dan berisiko tinggi untuk terjadi cardiac arrest. b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) membuat seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest. c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. d. Kelistrikan yang tidak normal dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda. 43 Seseorang yang sering melakukan olahraga atau melakukan aktivitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan pembuluh darah yang tidak normal. 1. Manifestasi klinis cardiac arrest Tanda - tanda cardiac arrest menurut Pusbankes (2019) yaitu: a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara, tepukan di pundak ataupun cubitan. b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan pernafasan dibuka. c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis). B. Resusitasi Jantung Paru 1. Pengertian Resusitasi jantung paru (RJP) adalah tindakan pertolongan pertama bantuan hidup dasar (BHD) pada orang yang mengalami henti napas dan atau henti jantung karena sebab-sebab tertentu. Tujuan dari RJP adalah untuk mengembalikan fungsi nafas dan sirkulasi darah ke organ-organ vital, terutama otak, agar tidak terjadi kerusakan permanen atau kematian. Henti jantung merupakan kondisi dimana terjadi kegagalan organ jantung untuk mencapai curah jantung yang adekuat, yang menyebabkan terjadinya asistole (tidak adanya detak jantung) atau disritmia. Biasanya ditandai dengan terjadinya henti nafas dan henti jantung. 1. Penyebab 44 Penyebab terjadinya henti jantung karena adanya gangguan kelistrikan jantung yang menyebabkan keadaan mengancam jiwa seperti aritmia atau masalah irama jantung. Selain itu henti jantung dapat disebabkan oleh keadaan yang reversible seperti hipoksia, hypovolemia, hiponatremia, tension pneumothorak, tamponade cardiac, dan hydrogen ion (asidosis). Tanda jika pasien mengalami henti jantung adalah sebagai berikut : a) Pada pasien tidak teraba nadi di arteri besar seperti karotis, radialis, maupun femoralis b) Pernafasan pasien abnormal, pada beberapa kasus tidak normalnya pernafasan dapat terjadi meskipun jalan nafas paten c) Pasien tidak berespon terhadap rangsangan verbal maupun rangsangan nyeri Penatalaksanaan ketika terjadi henti jantung harus dilakukan dengan segera. Berdasarkan rekomendasi American Heart Association (AHA) mengenai alur penanganan pasien henti jantung yang disebut chain of survival atau rantai bertahan hidup, dimana di setiap rantai saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Rantai bertahan hidup terdiri dari dua yaitu In Hospital Cardiac arrest (IHCA) atau kejadian henti jantung di rumah sakit, dan Out of Hospital cardiac arrest (OHCA) atau kejadian henti jantung diluar rumah sakit. 2. Penatalaksanaan Penatalaksanaan henti jantung prinsip IHCA dimulai dari pengenalan awal dan pencegahan, segera mengaktifkan sistem tanggap darurat, pemberian RJP berkualitas, melakukan defibrilasi, jika pasien sudah kembali normal diberikan perawatan pasca henti jantung dan pemulihan. Saat dirujuk ke rumah sakit 45 diberikan resusitasi lanjutan, jika pasien sudah normal diberikan perawatan pasca henti jantung dan pemulihan. Resusitasi (resuscitation) yang berarti menghidupkan kembali, merupakan usaha yang dilakukan untuk mencegah timbulnya episode henti jantung yang berakibat kematian. Jika penanganan tidak segera dilakukan pasien dengan kondisi henti jantung dapat megalami kematian dalam waktu yang singkat (4-6 menit). Tindakan segera pada kasus henti jantung dan henti nafas. 1. Prinsip utama yang mendasari Resusitasi Jantung Paru (RJP) yaitu : a) Ketepatan Tujuan dari RJP adalah mengembalikan pasien pada kehidupan yang berkualitas sehingga ketepatan dalam RJP sangat penting. memungkinkan untuk dilakukan RJP yang berkualitas Jika tidak maka perlu dipertimbangkan untuk tidak perlu dilakukan RJP. Pada banyak kasus terdapat label untuk tidak mengharuskan dilakukan resusitasi , hal tersebut boleh dilakukan berdasarkan keadaan seperti: kemungkinan untuk berhasil kecil (berhubungan dengan usia dan penyakit) , permintaan pasien maupun keluarga/kerabat pasien, dan kemungkinan untuk mengembalikan pasien ke hidup yang berkualitas berlangsung lama. b) Kecepatan Pasien dengan keadaan henti jantung memiliki waktu yang singkat. Jika penanganan tidak segera pasien henti jantung dapat mengalami kematian dalam waktu sekitar 4-6 menit, sehingga kecepatan merupakan salah satu hal yang sangat penting diperhatikan saat RJP setelah ketepatan. Resusitasi Jantung Paru 46 (RJP) merupakan metode untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti nafas henti jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Tindakan RJP dapat menimbulkan beberapa resiko yang biasanya akibat dari tindakan tekanan di dada yaitu cidera dada, patah tulang rusuk atau paru-paru kolaps. Terdapat kontraindikasi untuk dilakukan RJP yaitu Penolakan Resusitasi, tidak ada manfaat fisiologis karena kondisi vital menurun, dan ada tanda-tanda kematian yang reversible (rigormortis/kaku mayat, dekapitasi, dekomposisi, atau pucat) 2.2.2 Euthanasia Istilah euthanasia di Indonesia saat ini sudah tidak asing, walaupun belum secara jelas diakui secara yuridis. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Euthanatos, Eu berarti baik, tanpa penderitaan dan tanathos berarti mati, sehingga euthanasia diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Euthanasia dapat diartikan sebagai a good death atau amati dengan tenang. Euthanasia dapat terjadi karena adanya permintaan pasien, keluarga pasien atau anjuran dokter akibat adanya penderitaan hebat pada pasien. Penggunaan terminologi euthanasia terdiri dari 3 katagori, yaitu: 1. Pemakaian secara sempit Pemakaian secara sempit euthanasia dapat digunakan untuk tindakan mengakhiri rasa sakit dari penderitaan dalam menghadap kematian. Dalam hal ini euthanasia berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum, etika, atau adat yang berlaku. 47 2. Pemakaian secara lebih luas Pemakaian secara lebih luas, euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindari rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup yang pendek 3. Pemakaian paling luas Pemakaian paling luas, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai efek samping tetapi sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien. Salah satu Negara Eropa yang maju dalam hukum kesehatan yaitu Belanda yang mendefinisikan euthanasia yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda), euthanasia diartikan dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua dilakukan khusus untuk kepentingan pasien sendiri.Terdapat beberapa klasifikasi euthanasia sebagai berikut: 1. Dilihat dari cara dilaksanakan, euthanasia dapat dibedakan menjadi atas : a. Euthanasia Pasif Euthanasia pasif termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan atau suatu keadaan seorang dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya. Perbuatan penghentian atau mencabut segala 48 tindakan atau pengobataan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia hingga fase hidupnya yang terakhir. b. Euthanasia Aktif Euthanasia aktif merupakan perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter atau tenaga kesehatan lain, dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Dalam hal ini dokter sebagai orang yang berperan aktif dalam kematian pasien. c. Auto euthanasia Auto euthanasia yaitu penolakan secara tegas oleh pasien yang dilakukan secara sadar untuk memperoleh bantuan atau perawatan medik terhadap dirinya, dan ia tahu pasti bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakiri hidupnya. Dalam hal penolakan ini pasien harus membuat pernyataan secara tertulis. 2. Dari segi maksud euthanasia dibedakan menjadi: a. Euthanasia Langsung (Direct) Euthanasia langsung yaitu dilakukannya tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing. b. Euthanasia Tidak Langsung (Indirect) Euthanasia tidak langsung yaitu ketika dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek 49 atau mengakiri hidup pasien. 3. Ditinjau dari permintaan a. Euthanasia Volunter atau euthanasia sukarela (atas permintaan pasien) Euthanasia volunter yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang , pasien meminta agar hidupnya diakhiri dengan segera karena sudah tidak sanggup lagi menderita sakit yang berkepanjangan, sudah tidak mempunyai harapan sembuh, dokter akan berusaha mengambil tindakan mengakhiri hidup pasien tanpa rasa sakit karena kasihan atas penderitaan pasien. b. Euthanasia Involunter (tidak atas permintaan pasien) Euthanasia involunter yaitu euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta. Dalam hal ini pasien yang bersangkutan sudah dalam keadaan parah, sehingga tidak mampu lagi menyatakan kehendaknya dan dokter karena kasihan mengakhiri hidup pasien tersebut dengan cara tidak menimbulkan sakit sehingga pasien dapat terbebas dari penderitaan. Bentuk lain euthanasia yang termasuk bentuk semu dari euthanasia, menurut J.E.Sahetapy euthanasia dapat dibedakan menjadi 3 yaitu : 1. Action to Permit Death Occur Euthanasia yang terjadi karena pasien yang menginginkan untuk mati, dimana pasien sadar dan mengetahui bahwa penyakitnya tidak akan disembuhkan walau dilakukan pengobatan dan perawatan, sehingga pasien meminta penghentian pengobatan dan meminta perawatan tidak dilakukan di 50 Rumah sakit, pasien meminta dibiarkan di rumah. Euthanasia ini seperti euthanasia pasif atau sama seperti auto euthanasia. 2. Failure to take Action to Prevent Death Euthanasia yang terjadi akibat kelalaian atau kegagalan dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. Dokter membiarkan pasien tanpa pengobatan karena akan sia-sia. 3. Positive Action To cause Death Euthanasia yang merupakan tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian, contohnya dengan memberikan suntikan obat yang menimbulkan kematian, obat penghilang kesadaran dan perlindungan dosis tinggi dan lain-lain. Jenis euthanasia ini sama dengan euthanasia aktif Menurut H.J.J.Leenen ada bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan euthanasia tetapi sebenarnya bukan euthanasia, dan disebut sebagai Schijngestaten van Euthanasia, yang termasuk pseudoeuthanasia yaitu : 1. Menghentikan pengobatan atau perawatan medis yang sudah tidak ada gunanya lagi (zinloos). 2. Penolakan melakukan perawatan medis oleh pasien. 3. Menghentikan pengobatan atau perawatan medis karena mati otak (brain death). 4. Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis yang terbatas (emergency). 5. Euthanasia akibat situasi dan kondisi 51 Menurut Leenen yang dikutip oleh Chrisdiono, terdapat beberapa kasus yang disebut pseudo euthanasia, yang tidak dapat dimasukkan pada larangan hukum pidana. Terdapat 4 pseudo euthanasia menurut Leneen yaitu : 1. Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak, jantung masih berdenyut, peredaran darah dan pernafasan masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran dan perlindungan karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan berat. 2. Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya. 3. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majure). 4. Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada gunanya 2.2.3 Penolakan Resusitasi Penolakan Resusitasi lebih dikenal dengan istilah Do Not Resuscitation artinya sebuah perintah jangan dilakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada pasien. Tenaga kesehatan tidak melakukan atau memberikan tindakan pertolongan berupa Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika terjadi henti nafas atau henti jantung pada pasien. Pasien dibiarkan meninggal karena alasan medis serta keluarga telah menyetujui keputusan Penolakan Resusitasi. Perintah Penolakan resusitasiuntuk pasien harus tertulis baik dicatatan medis pasien maupun dicatatan yang dibawa pasien sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan atau untuk pasien di rumah. 52 Terdapat beberapa kriteria Penolakan resusitasiyaitu : 1. Perintah Penolakan resusitasidapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten mengambil keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil oleh kelurga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan, atau oleh surrogate decision-maker 2. Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal dibawah ini dapat menjadi bahan diskusi perihal Penolakan resusitasidengan pasien/walinya seperti kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau RJP hanya menunda proses kematian yang alami, pasien tidak sadar secara permanen, pasien berada pada kondisi terminal, dan ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian dibanding keuntungan jika resusitasi dilakukan. Ada beberapa keadaan jika RJP diberikan biasanya memberikan 0% kemungkinan berhasil seperti kondisi klinis: persistent vegetative state, syok septic, stroke akut, kanker metastasis (stadium 4) dan pneumonia berat. Pemberiaan tindakan perawatan dan tindakan medis pada pasien Penolakan resusitasitidak berbeda dengan pasien pada umumnya, tetap sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. Penolakan resusitasihanya memiliki makna jika pasien henti nafas dan henti jantung tidak dilakukan RJP. Prosedur Penolakan Resusitasi di Rumah Sakit yaitu : 1. Dokter Penanggung Jawab Pasien menjelaskan tentang pentingnya resusitasi atau pengobatan bantuan hidup dasar 2. Pasien atau keluarga / wali yang ditunjuk mengisi formulir penolakan 53 resusitasi. Prosedur Penolakan resusitasiyang direkomendasikan sebagai berikut : a. Meminta informed consent dari pasien, keluarga terdekat atau walinya. b. Mengisi formulir Penolakan Resusitasi, menempatkan salinan pada rekam medis pasien dan menyerahkan salinan kepada pasien atau keluarga dan caregiver c. Menginstruksikan pasien atau caregiver memasang formulir Penolakan resusitasiditempat yang mudah dilihat seperti headboard, bedstand, pintu kamar atau kulkas d. Pasien mengenakan gelang Penolakan resusitasidipergelangan tangan atau kaki (jika memungkinkan) e. Meninjau kembali status Penolakan resusitasisecara berkala dengan pasien atau walinya, revisi bila ada perubahan keputusan yang terjadi dan catat dalam rekam medis. Bila keputusan Penolakan resusitasidibatalkan, catat tanggal terjadinya dan gelang Penolakan resusitasidimusnahkan 1. Perintah Penolakan resusitasiharus mencakup hal-hal dibawah ini : a. Diagnosis b. Alasan Penolakan Resusitasi c. Kemampuan pasien untuk membuat keputusan d. Dokumentasi bahwa status Penolakan resusitasitelah ditetapkan dan oleh siapa 2. Perintah Penolakan resusitasidapat dibatalkan dengan keputusan pasien 54 sendiri atau dokter yang merawat, atau oleh wali yang sah. Catatan Penolakan resusitasidirekam medis harus pula dibatalkan dan gelang Penolakan resusitasi(jika ada) harus dimusnahkan. Pendekatan yang dilakukan dalam membuat keputusan Penolakan Resusitasi 1. Advance Directive merupakan dokumen yang memuat keinginan dan keputusan pasien yang dikemudian hari jika tidak mampu melakukannya. Dokumen ini dapat berbentuk surat wasiat yang menyebutkan keinginan atau keputusan pasien dengan jelas, atau berbentuk penunjukan orang lain yang spesifik secara khusus untuk mengambil keputusan medis atas diri pasien (durable power of attorney for health care). Terdapat beberapa kontroversi terkait surat wasiat yang diinterpretasikan, dalam beberapa kasus surat wasiat sudah dari lampau dan pemikiran pasien sudah berubah. Terdapat juga kasus dimana pasien berubah pikiran terkait end-of-life ketika benar-benar menghadapinya. Dalam kasus seperti ini surat wasiat ditinjau kembali berdasarkan komunikasi dengan anggota keluarga atau tenaga kesehatan yang memiliki hubungan kerabat dengan pasien 2. Surrogate decision maker, dalam kondisi tidak adanya dokumen, orang terdekat pasien atau yang mengetahui keinginan pasien dapat membantu, meskipun pada prakteknya semua anggota keluarga dapat dilibatkan. 55 2.2.2. Aspek Hukum Penolakan resusitasi A. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 56 1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap ; 2. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada a. penderita yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas, b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri atau c. gangguan mental berat 3. Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasien atau keluarga pasien setelah dijelaskan kondisi kesehatan secara jelas dan lengkap, maka keputusan atau penolakan baik secara lisan dan tulisan (informed consent) akan ercatat didalam Rekam Medis. Persetujuan tindakan kedokteran juga tertuang pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 293 ayat (4) 1. Setiap tindakan pelayanan kesehatan perorangan yang dilakukan oleh tenaga medis atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan” ; 2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang memadai”; 56 3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup a. diagnosis; b. indikasi ; c. tindakan pelayanan kesehatan yang dilakukan dan tujuannya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi ; e. alternatif tindakan lain dan risikonya ; f. risiko apabila tindakan tidak dilakukan ; dan g. prognosis setelah memperoleh tindakan ; 4. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus diperoleh sebelum dilakukannya tindakan yang invasif dan/atau mengandung risiko tinggi.; 5. Persetujuan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diberikan oleh pasien yang bersangkutan. 6. Dalam hal Pasien yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak cakap memberikan persetujuan, persetujuan tindakan dapat diberikan oleh yang keluarga terdekat atau wali yang sah. 7. Persetujuan tertulis melakukan tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) ditangani oleh pasien atau yang mewakili dan disaksikan oleh salah seorang Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan ; 8. Dalam hal keadaan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak cakap dan memerlukan tindakan gawat darurat, tetapi tidak ada pihak yang dapat 57 dimintai persetujuan, tidak diperlukan persetujuan tindakan. 9. Persetujuan tertulis melakukan tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai ayat (7) ditandatangani oleh Pasien, Keluarga terdekat atau wali yang sah dan disaksikan oleh salah seorang Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan. 10. Dalam hal keadaan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak cakap dan memerlukan tindakan Gawat Darurat, tetapi tidak ada pihak yang dapat dimintai persetujuan, tidak diperlukan persetujuan tindakan. 11. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diinformasikan kepada Pasien setelah Pasien telah cakap atau mewakili telah hadir. 12. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (11) diatur dengan Peraturan Menteri. B. Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor Pasal 1 yaitu : 1. Penghentian terapi bantuan hidup (with-drawing life supports) adalah menghentikan sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah diberikan pada pasien 2. Penundaan terapi bantuan hidup ( with-holding life supports) adalah menunda pemberian terapi bantuan hidup baru atau lanjutan tanpa menghentikan terapi bantuan hidup yang sedang berjalan 1. Intensive Care Unit yang selanjutnya disingkat ICU adalah suatu instalasi di rumah sakit dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang 58 ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih C. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setalah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Sebelum pasien memberikan persetujuan diperlukan beberapa masukan yaitu: 1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya/percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya/percobaan) 2. Deskripsi mengenai efek samping serta akibat yang tidak diinginkan yang mungkin timbul 3. Deskripsi mengenai ketentuan yang dapat diperoleh pasien 4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung 5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa ada prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya 6. Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu (upaya) tersebut. Bentuk persetujuan tindakan medis terdapat 2 yaitu : 1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent) 59 a. Keadaan normal b. Keadaan darurat Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Biasanya tindakan dokter yang biasa dilakukan atau sudah diketahui secara umum. Implied consent bentuk lain yaitu dalam keadaan pasien gawat darurat (emergency) dan dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam kondisi tidak bisa memberikan persetujuan dan tidak ada keluarga di tempat, dokter dapat melakukan tindakan medis terbaik menurut dokter. 2. Dinyatakan (expressed consent) Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan bila yang dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam peraturan tentang persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi informasi atau penjelasan ini dinyatakan bahwa dalam memberikan penjelasan sekurang-kurangnya mencakup : a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan c. Alternatif tindakan lain dan resikonya d. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan Hak menentukan nasib sendiri memberikan dasar otonom bagi syarat informed consent. Pemberiaan persetujuan dapat dianggap sebagai negosiasi 60 mengenai suatu kontrak. Dalam persetujuan tindakan yang memiliki resiko seperti munculnnya sengketa maka harus adanya bukti dokumen persetujuan tindakan medik. Informed consent dalam hukum pidana harus dipenuhi hal yang berkaitan dengan adanya pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum pidana, tentang penganiayaan. Penolakan resusitasijika dilakukan dan menyebabkan kematian tanpa adanya informed consent tindakan dokter dapat dikatakan pembunuhan dan melanggar pasal 338 KUHP atau bahkan 240 KUHP yaitu pembunuhan berencana. Maka setiap tindakan yang beresiko tinggi atau berindikasi menimbulkan hal yang tidak diinginkan terhadap pasien seperti kematian memelukan informed consent sebagai perlindungan hukum bagi dokter. Informed consent dalam sudut hukum perdata adalah wajib dipenuhi, terkait bahwa hubungan dokter dan pasien adalah suatu perikatan transaksi terapeutik untuk sahnya perikatan tersebut diperlukan syarat sahnya perjanjian yaitu pasal 1320 KUHPerdata diantaranya adalah adanya kesepakatan antara dokter dengan pasien. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 14 Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien (1) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan 61 (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis Permenkes Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 16 Penolakan Tindakan Kedokteran yaitu: a. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan b. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis c. Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggungjawab pasien d. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter – pasien. D. Pengaturan Penolakan resusitasidi Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara 1. Pergub tentang Hospital By Laws Nomor 71 Tahun 2017 tentang Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws) UPT RSUD Bali Mandara Provinsi Bali tertanggal 4 Desember 2017 . Bagian Keenam Tugas, Fungsi, Wewenang dan Tanggung Jawab Direktur Pasal 34 Direktur mempunyai tugas, meliputi : a. Menyusun rencana kerja dan anggaran; b. Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran; 62 c. Mengkoordinasikan penyusunan rencana dan program kerja Rumah Sakit; d. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas-tugas kepada bawahan; e. Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan kepada bawahan; f. Memimpin dan mengelola Rumah Sakit sesuai dengan tujuan Rumah Sakit yang telah ditetapkan; g. Menetapkan kebijakan operasional RSBM; h. Menetapkan pejabat pelaksana teknis kegiatan, pejabat penatausahaan keuangan dan pejabat lainnya dalam rangka pengelolaan keuangan Daerah; i. Menandatangani surat perintah membayar; j. Mengelola utang dan piutang daerah yang menjadi tanggung jawabnya; k. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan Unit yang di pimpinnya; 1. Mengevaluasi, mengendalikan dan membina pelaksanaan tugas bawahan; l. melaksanakan sistem pengendalian intern; m. menilai hasil kerja bawahan dan mempertanggung jawabkan n. hasil kerja bawahan; o. melaksanakan tugas kedinasan lain yang ditugaskan oleh atasan; dan o. melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Kepala Dinas. 63 Pasal 35 Direktur mempunyai fungsi, meliputi: a. koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi unsur organisasi; b. penetapan kebijakan penyelenggaraan Rumah Sakit sesuai dengan kewenangannya; c. penyelenggaraan tugas dan fungsi Rumah Sakit; d. pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pelaksanaan tugas dan fungsi unsur organisasi; e. evaluasi, pencatatan, dan pelaporan. Pasal 36 Direktur mempunyai wewenang, meliputi: a. menjadi pejabat kuasa pengguna anggaran/barang daerah; b. memberikan perlindungan dan bantuan hukum kepada seluruh karyawan Rumah Sakit, yang berkaitan dengan pelayanan; c. menetapkan rencana tahunan, anggaran modal dan operasional Rumah Sakit; d. menetapkan kebijakan dan prosedur, menyetujui pendidikan, e. menetapkan peraturan, pedoman, petunjuk teknis dan prosedur tetap Rumah Sakit; f. mengumumkan visi, misi dan rencana strategis Rumah Sakit ke publik; g. pengembangan usaha dalam mengelola RSBM sebagaimana yang telah digariskan oleh Pemerintah Provinsi; h. menetapkan tugas pokok, dan fungsi pegawai Rumah Sakit; i. memberikan penghargaan bagi pegawai yang berprestasi sesuai 64 dengan Peraturan Gubernur ini; j. memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; k. mendatangkan ahli, profesional, konsultan atau lembaga independen sesuai kebutuhan sumber daya yang ada; l. mengangkat dan memberhentikan tenaga kontrak Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; m. menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban tenaga kontrak Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; n. mendelegasikan sebagian kewenangan kepada jajaran di bawahnya; dan 2. Panduan Hak dan Kewajiban Pasien dan Keluarga a. Dasar Hukum Keputusan direktur RSUD Bali Mandara Provinsi Bali Nomor : B.37.188.4/32415/HHP/RSBM tentang Pemberlakukan Panduan Hak dan kewajiban Pasien dan Keluarga pada RSUD Bali Mandara, tertanggal 30 Juni 2022. Panduan ini mengatur terkait ruang lingkup, tata laksana dan dokumentasi terkait Hak dan Kewajiban pasien dan keluarga. Bab III tentang tata laksana huruf F mengatur tentang tata laksana penolakan resusitasi dan pengobatan dan huruf G tentang tata laksana 65 informasi pelayanan pengambilan keputusan. Panduan ini dimaksudkan sebagai acuan di RS dalam melakukan pelayanan yang berhubungan dengan hak pasien dan keluarga meliputi : 1) Mengidentifikasi, melindungi dan mempromosikan hak-hak pasien 2) Menginformasikan pasien tentang hak mereka 3) Melibatan keluarga pasien, bila perlu, dalam keputusan tentang pelayanan perawatan pasien 4) Mendapatkan persetujuan tindakan (informed concent) 5) Mendidik staf tentang hak pasien b. Hak pasien yang dilindungi rumah sakit dapat berupa. 1. Hak Pivasi yaitu mengidentifikasi harapan kebutuhan dan keinginan pasien untuk povasi, hormat pada setiap wawancara kinia, pemeriksaan, prosedur atau pengobatan dan transportasi. 2. Hak mendapatkan edukasi atas informasi kesehatan dan pelayanan yang diterima. c. 3. Hak menentukan diri sendiri. 4. Hak mendapatkan perawatan yang optimal. 5. Hak untuk dilibatkan dalam pengobatan. 6. Hak perlindungan dari kekerasan fisik. 7. Hak bebas dari rasa nyeri. General dan Informed Concent 1. Persetujuan Umum untuk Rawat Jalan dan Rawat Inap. 2. Kategori terapi atau tindakan yang membutuhkan informed concent 66 d. 3. Diberikan oleh operator atau staf terlatih. 4. Metode, cara dan bahasa yang dapat dipahami oleh pasien Dokumentasi Bentuk dokumentasi yang dilakukan antara lain: a. Formulir General Consent b. Formulir Persetujuan Tindakan Kedokteran (Inform Consent) c. Formulir Penolakan Tindakan Kedokteran d. Formulir Second Opinion e. Formulir Permintaan Pelayanan Kerohanisan f. Formulir Penitipan Barang g. Formulir Pengaduan / Keluhan h. Formulir Penolakan Resusitasi i. Formulir Asesmen Pasien Terminal. 1. SOP Penolakan Resusitasi Gambar 2.1 SOP Penolakan Resusitasi Penolakan resusitasi(DO NOT RESUSCITATION) RSUD BALI MANDARA No. Dokumen No. Revisi Halaman TIMTERMINAL/SPO/2/2022 01 66/3 67 Penolakan resusitasi(Do Not Resuscitation) adalah suatu perintah untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) terhadap pasien jika terjadi henti jantung henti napas. Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile) dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup. DPJP atau pasien atau keluarga atau yang mengambil keputusan atas nama pasien dapat mengusulkan untuk tidak melakukan RJP bila terjadi henti jantung henti napas. Keputusan tersebut dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah melalui rapat tim yang melibatkan komite medik dan komite etik hukum. Permintaaan keluarga pasien terhadap Penolakan resusitasihanya PENGERTIAN dapat dilakukan dalam hal: a. Pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang hal ini (advanced directive) yang dapat berupa: 1. Pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup apabila mencapai keadaan futility (kesia-siaan). 2. Pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada seseorang tertentu (surrogate decision maker). b. Pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga pasien yakin bahwa seandainya pasien kompeten akan memutuskan seperti itu, berdasarkan kepercayaannya dan nilai-nilai yang dianutnya. Bila pasien masih mampu membuat keputusan dan menyatakan keinginannya sendiri. Dalam hal permintaan dinyatakan oleh pasien, maka permintaan pasien tersebut harus dipenuhi. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan rapat tim yang melibatkan komite medik dan komite etik hukum, 68 dimana keluarga tetap meminta penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di pihak keluarga. Sebagai acuan menyediakan suatu proses dimana pasien dapat TUJUAN memilih prosedur resusitasi jantung paru oleh tenaga medis emergensi dalam kasus henti jantung/henti napas. 1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor Bab III Penghentian atau Penundaan Terapi Bantuan Hidup 2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1128/2022 tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit 3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif KEBIJAKAN Menteri Kesehatan Republik Indonesia 4. Keputusan Direktur Nomor B.37.188.4/32412/HHP/RSBM tanggal 30 Juni 2022 tentang Kebijakan Pelayanan dan Asuhan Pasien pada Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali. 5. Keputusan Direktur Nomor B.37.188.4/39850/HHP/RSBM tanggal 24 Agustus 2022 tentang Panduan Pelayanan Pasien Terminal pada Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali. 1. DPJP menjelaskan kepada keluarga pasien terkait hak-hak pasien: a. Hak mereka untuk setuju maupun menolak menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup, termasuk didalamnya hak atas Penolakan Resusitasi; PROSEDUR b. Konsekuensi dan keputusan yang dibuat; c. Terapi dan alternatif lain yang dapat dijadikan pilihan bila ada. 2. DPJP menginisiasi rapat tim terkait keputusan Penolakan Resusitasi, baik Penolakan resusitasiyang diusulkan oleh DPJP oleh karena pasien sudah jatuh kedalam kondisi MBO (Mati Batang Otak) ataupun kondisi terminal atau Penolakan resusitasiatas permintaan pasien atau keluarga atau yang mengambil keputusan 69 atas nama pasien. 3. DPJP atau pasien atau keluarga atau yang mengambil keputusan atas nama pasien mengusulkan untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru bila terjadi henti jantung henti napas. 4. DPJP melakukan informed consent Penolakan resusitasikepada pasien atau keluarga atau yang mengambil keputusan atas nama pasien. 5. DPJP melakukan dokumentasi ke dalam Formulir Penolakan resusitasiyang ditandatangani oleh DPJP jika keputusan Penolakan resusitasioleh karena pasien jatuh dalam kondisi MBO (mati batang otak) ataupun terminal atau ke dalam Surat Penyataan Penolakan resusitasijika keputusan Penolakan resusitasidiambil oleh pasien atau keluarga atau yang mengambil keputusan atas nama pasien. 6. DPJP menginstruksikan memasang gelang Penolakan resusitasi(gelang berwarna ungu) pada pergelangan tangan kanan pasien. 7. DPJP meninjau kembali status Penolakan resusitasisecara berkala apabila terjadi perubahan keputusan selanjutnya diatur dalam SPO Pembatalan Penolakan Resusitasi. UNIT TERKAIT Seluruh unit pelayanan 70 Pasien terminal/MBO/permintaan pasien/keluarga DPJP berkonsultasi dengan dokter anestesi, dokter neurologi, dan dokter jantung dalam rapat tim diikuti oleh dokter rawat bersama, Komdik, Komite Etik, Komite Keperawatan, Yanmed, Karu, Ka Instalasi, MPP, dan bila perlu Hukmas dan Keuangan Rapat Tim membahas Penolakan Resusitasi dari tinjauan medik, etik dan hukum ALUR DPJP melakukan KIE, meminta persetujuan keluarga, mendokumentasikan hasil rapat tim dalam form CPPT, melengkapi form Penolakan Resusitasi dan form KIE terintegrasi Perawat memasang gelang Penolakan Resusitasi Pelayanan kepada pasien di RSUD Bali Mandara dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang profesional dan kompeten yang terdiri dari : No Tabel 2.1 Sumber Daya Manusia RSUD Bali Mandara Provinsi Bali Kategori Jumlah 1 Tenaga Direktur & Pejabat Struktural 24 orang 2 Tenaga Medis 120 orang 3 Tenaga Keperawatan 454 orang 4 Tenaga Kesehatan lainnya 259 orang 5 Tenaga Administrasi 393 orang Total sumber daya manusia yaitu 1.250 orang 71 Sumber : Buku Profil RSUD Bali Mandara,Data 31 Desember 2023 6. Sarana dan Prasarana Layanan Rawat Inap Intensif Terpadu di RSUD Bali Mandara Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara adalah rumah sakit kelas B berdasarkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 440/8592/IV-A/DISPMPT/2017 tanggal 27 September 2017 tentang Izin Operasional Rumah Sakit. Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara terletak di daerah Sanur tepatnya di Jalan By Pass Ngurah Rai No. 548, Desa Sanur Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Ruang Instalasi Rawat Intensif Terpadu atau disebut dengan ruang IRIT terletak di lantai 2 gedung utama RSUD Bali Mandara. Ruang intensif adalah ruang khusus untuk merawat pasien dengan kondisi yang membutuhkan pengawasan ketat dan peralatan khusus untuk memonitoring kondisi pasien secara kontinu. 72 Pelayanan rawat inap intensif terpadu di RSUD Bali Mandara terdapat 4 layanan kamar, yaitu: layanan kamar ICU (Intensive Care Unit), HCU (High Care Unit), ICCU (Intensive Cardiac Care Unit), NICU (Neonatal Intensive Care Unit). A. Intensive Care Unit (ICU) Ruang ICU (Intensive Care Unit) khusus pasien yang membutuhkan pemantauan intensif disertai dengan kondisi yang memerlukan bantuan alat bantu nafas (ventilator) dengan kapasitas 7 bed. 1) Fasilitas Kamar Bedside Monitor kardiorespirasi dilengkapi dengan IABP, Ventilator (alat bantu nafas untuk dewasa), Infusion pump alat bantu pengaturan tetesan infus, Syringe pump alat bantu pengaturan injeksi terapi obat, EKG (alat perekam irama jantung), Ventilator Transport HFNC (High Flow Nasal Canule), Suction wall dan suction portable, Saturasi portable, Defibrilator, Bedside Cabinet, Overbed table, Bed pasien elektrik, Socket pasien dengan suction dan oksigen, Mattrass dekubitus, Commode Chair, Infant Warmer, Blanket roll (selimut pengatur suhu tubuh), Warm Air (blanket penghangat pasien) B. Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) Ruang ICCU (Intensive Cardiac Care Unit) khusus untuk memonitoring pasien yang memiliki gangguan pada jantung yang memerlukan pemantauan secara intensif dengan kapasitas 4 bed. 73 1. Fasilitas Kamar Bedside Monitor kardiorespirasi, dilengkapi dengan IABP (Intra-Aortic Balloon PumpIntra ), Infusion pump : alat bantu pengaturan tetesan infus, Syringe pump alat bantu pengaturan, injeksi terapi obat, EKG (alat perekam irama jantung), Suction wall dan suction portable, Saturasi portable, Defibrilator, Monitor Hemodinamik (LIDCO), Alat USG Jantung (echocardiography), Bedside Cabinet, Overbed table, Bed pasien elektrik, Socket pasien dengan suction dan oksigen, Mattrass dekubitus, Commode Chair, Infant Warmer, Blanket roll (selimut pengatur suhu tubuh), Warm Air (blanket penghangat pasien). 2.2.3. konsep Kode etik kedokteran Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai dan juga aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar, baik dan apa yang tidak benar serta tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa saja yang benar/salah, perbuatan apa yang harus dilakukan, perbuatan apa yang harus dihindari. Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi. Dalam Etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma-norma etik yang mengatur hubungan manusia umumnya dan dimiliki asas-asasnya dalam falsafah 74 masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus. Di Indonesia asas-asas itu adalah Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang- Undang Dasar NRI tahun 1945 sebagai landasan struktural (Herniawati, 2020). Tanggung jawab dokter merupakan tanggung jawab hukum atau lebih dikenal dengan tanggungjawab kedokteran (medical liability). Tanggung jawab hukum dokter didasarkan atas kode etik profesi, pengembangan kode etik profesi untuk dipatuhi dan dilaksanakan serta mengandung 3 (tiga) tujuan, yaitu: (Bahder Johan Nasution,2013) a. Suatu kode etik profesi memudahkan untuk pengambilan keputusan secara efisien. b. Secara individual para pengemban profesi ini seringkali memerlukan arahan atau petunjuk untuk mengarahkan perilaku profesionalnya. c. Etik profesi menciptakan suatu pola perilaku yang diharapkan oleh para pelanggannya secara profesional. Dengan demikian, dalam pelayanan kesehatan, setiap tindakan dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya dokter dalam melakukan tindakan medis yang dianggap merugikan pasien dapat diminta pertanggungjawaban. Seorang dokter dalam menjalankan profesinya mempunyai alasan-alasan yang yang mulia, dengan terus berusaha mempertahankan tubuh pasien agar tetap sehat atau berusaha menyehatkan atau menyembuhkan tubuh pasien agar kembali sehat, atau setidak-tidaknya melakukan tindakan untuk mengurangi penderitaan pasien. Demikian menjadikan dokter layak untuk memperoleh perlindungan 75 hukum sampai kepada batas-batas tertentu yang ditentukan oleh peraturan yang berkaitan (Bahder Johan Nasution,2013). Sejauhmana hukum melegitimasi atau memberikan batasan-batasan melindungi atau menjadi tolak ukur tentang perbuatan dokter dalam melakukan suatu tindakan medis menjadi sesuatu yang sangat penting diketahui baik oleh dokter sendiri maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum. Seorang Dokter harus menghayati dan mengamalkan kode etik kedokteran dalam menjalankan profesinya dengan berpedoman pada kode etik tersebut diharapkan seorang dokter dapat menjalankan profesinya dengan baik sehingga martabat profesi kedokteran dapat lebih terjaga (Kepmenkes RI No. Menkes /SK/ X/1983 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia) Kode etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis-garis besar. Kode etik adalah pemandu sikap dan perilaku. Dalam hal etik kedokteran kode etik menyangkut 2 (dua) hal yang harus diperhatikan yaitu: 1. Etik jabatan kedokteran (medical ethics) dan 2. Etik asuhan kedokteran (ethics of medical care). Etik jabatan kedokteran menyangkut permasalahan yang berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, serta terhadap masyarakat dan pemerintah. Sedangkan etik asuhan kedokteran merupakan etik kedokteran untuk kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi tanggung jawabnya (Agustina Enny, 2020). Etika profesi kedokteran adalah kesadaran dan perlindungan dan pedoman yang mengatur prinsip moral dan etik dalam melaksanakan kegiatan profesi 76 kedokteran, sehingga mutu dan kualitas profesi kedokteran tetap terjaga dengan cara yang terhormat. Seperangkat perilaku dokter dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra. Rumusan perilaku dokter disusun oleh profesi dan pemerintah berupa Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Landasan etik kedokteran adalah: 1. Sumpah Hipprocates (460-377 SM) 2. Deklarasi Geneva (1948) 3. International Code of Medical Ethics (1949) 4. Lafal sumpah dokter Indonesia (1960) 5. Kode etik kedokteran Indonesia ( 1983) 6. Pernyataan-pernyataan (deklarasi) Ikatan Dokter sedunia (World Medical Association/WMA). Dicantumkannya konsep ini sebagai dasar argumentasi dalam mempertajam analisis terkait dengan tindakan tenaga medis yang diatur oleh norma-norma dan ada rambu-rambu kode etik yang tidak boleh dilanggar sehingga konsep ini akan memberi petunjuk dalam arah pembahasan yang relevan dalam konteks memberi solusi rumusan masalah pertama dan kedua. 2.2.4. Konsep hak dan kewajiban Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan ) menyebutkan Pasien adalah setiap orang yang 77 memperoleh Pelayanan Kesehatan dari Tenaga Medis dan/ atau Tenaga Kesehatan. a. Hak adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu, sedang kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan, hak pasien yaitu hak pribadi yang dimiliki setiap manusia sebagai pasien (Danny Wiradharma,2010). Pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung jawab seperti penelantaran, pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan dan kenyamanan terhadap pelayanan jasa Kesehatan yang diterimanya, dengan hak tersebut maka konsumen akan terlindungi dari praktek profesi yang mengancam keselamatan atau Kesehatan. Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar individu dalam bidang kesehatan, (the right of self determination), meskipun sebenarnya sama fundamentalnya, namun hak atas pelayanan kesehataan sering dianggap lebih mendasar, dalam hubungan dokter–pasien,secara relatif pasien berada dalam posisi yang lemah, kekurang mampuan pasien untuk membela kepentingannya dalam situasi pelayanan kesehatan menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk mempermasalahkan hak-hak pasien dalam menghadapi para profesional kesehatan. 2.2.4.1 Hak kewajiban dokter Para ahli dalam bidang kesehatan melaksanakan profesi berdasarkan suatu pekerjaan yang mengandung resiko. Jika tenaga medis/dokter telah melaksanakan 78 tugasnya dengan benar menurut tolok ukur profesional (standar profesi), maka harus mendapat perlindungan hukum (H. Zein Asyhadie,2018). Dalam pertanggungjawaban hukum maupun profesi dokter dalam praktik mempunyai hak dan kewajiban. Kewajiban Dokter adalah: 1) Memiliki Surat Izin Praktik (SIP); 2) Melaksanakan standar profesi, standar pelayanan dan standar oprasional prosedur; 3) Memperkenalkan identitas; 4) Persetujuan tindakan medis; 5) Melaksanakan informed consent; 6) Membuat rekam; 7) Menjaga rahasia dokter; 8) Pengendalian mutu dan biaya; 9) Merujuk pasien; 10) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan;dan 11) Menambah ilmu dan mengikuti perkembangan dunia kedokteran. Hak Dokter adalah: 1) Hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi medis; 2) Hak menolak melakukan tindakan medis yang bertolak belakang dengan hati nuraninya; 3) Hak menolak melaksanakan tindakan dipertanggungjawabkan secara professional; medis yang tidak dapat 79 4) Hak untuk memilih pasien; 5) Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien bila kerja sama sudah tidak dimungkinkan lagi; 6) Hak atas “privacy” 7) Hak atas itikad baik dari pasien dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan penyakitnya; 8) Hak atas suatu “fair play”; 9) Hak untuk membela diri; 10) Hak untuk memperoleh honorarium; dan 11) Hak menolak mendapatkan kesaksian mengenai pasiennya di pengadilan (Desriza Ratman,2014) 2.2.4.2 Hak pasien A. Hak Pasien Beberapa hak telah diakui dan dihormati dalam hubungan profesional dokter pasien, hak-hak tersebut tertuang pada Pasal 4 UU Kesehatan antara lain: 1. Hak atas informasi medik Dalam hal ini pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan penyakit, yakni tentang diaknosis, tindak medik yang akan dilakukan, resiko dari dilakukan atau tidak dilakukannya tindak medik tersebut. Informasi medik yang berhak diketahui oleh pasien, termasuk pula dengan identitas dokter yang merawat serta aturan-aturan yang berlaku di rumah sakit tempat pasien dirawat (misalnya tentang tarif dan cara 80 pembayaran pada rumah sakit tersebut). Dokter dapat menahan informasi, apabila hal tersebut akan melemahkan daya tahan pasien. 2. Hak memberikan persetujuan medik Persetujuan tindak medik (informed consent) merupakan hal yang sangat prinsip dalam profesi kedokteran, bila ditinjau dari sudut hukum perdata maupun pidana, dari sudut perdata, hubungan professional dokter dengan pasien merupakan suatu kontrak trapeutikdan demikian hukum perikatan berlaku sepenuhnya, hanya saja perlu diingat bahwa kontrak terapeutik itu bukanlah perikatan berdasarkan hasil (resultaatsverbitennis), melainkan termasuk dalam kategori perikatan berdasarkan upaya/usaha yang maksimal (inspanningsverbitennis), dapat disebut wanprestasi (ingkar janji) apabila salah satu pihak tidak melaksanakan, terlambat melaksanakan atau salah melaksanakan hal yang diperjanjikan. 3. Hak untuk menolak pengobatan atau perawatan serta tindak medik. Hak ini sebagai hak untuk memutuskan hubungan antara dokter-pasien, dan hal ini memberikan keleluasaan kepada pasien untuk memperoleh alternatif tindak medik yang lain. Hak ini merupakan perwujudan pasien untuk menentukan nasibnya sendiri (the right of self-determination), dengan demikian dokter atau Rumah Sakit tidak boleh memaksa pasien untuk menerima suatu tindak medik tertentu, melainkan dokter harus menjelaskan risiko atau kemungkinan yang terjadi bila tindakan medik itu tidak dilakukan, bila setelah menerima penjelasan pasien tetap menolak, maka pasien harus menandatangani penolakannya itu, dalam kategori ini, dapat dimasukkan hak 81 pasien untuk menghentikan perawatan atau pengobatan atas dirinya, meskipun tidak juga dapat diterapkan secara kaku (misalnya tidak ada lagi uang untuk membiayai pengobatan tersebut). 4. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan dibeikan kepadanya setelah menerima dan memahami infoemasi mengenai tindakn tersebut secara lengkap. 5. Hak untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya secara mandiri dan bertanggung jawab; 2.2.5. Konsep Pasien Terminal A. Pengertian Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian tidak dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi. (Stuard & Sundeen, 2018). Penyakit pada stadium lanjut, penyakit utama tidak dapat diobati, bersifat progresif, pengobatan hanya bersifat paliatif ( mengurangi gejala dan keluhan, memperbaiki kualitas hidup (Tim medis RS Kanker Darmais, 2020). B. Kriteria Penyakit Terminal 1. Penyakit tidak dapat disembuhkan 2. Mengarah pada kematian 3. Diagnosa medis sudah jelas 4. Tidak ada obat untuk menyembuhkan 5. Prognosis jelek Bersifat progresif 82 C. Sekarat dan Kematian Sekarat Merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal, Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernafasan, nadi, dan tekanan darah, serta hilangnya respon terhadap stimulus eksternal, ditandai denagn terhentinya aktifitas listrik otak, atau dapat juga dikatakan terhentinya fungsi jantung dan paru secara menetap atau terhentinya kerja otak secara menetap. D. Bantuan yang dapat diberikan pada tahap terminal a. Bantuan Emosional 1) Pada fase Deniali Menolak petugas Rumah Sakit perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara menanyakan tentang kondisi atau prognosisnya dan pasien dapat mengekspresikan perasaan perasaannya. 1) Pada fase Marah Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang rnarah. Petugas Rumah Sakit perlu mernbantunya agar mengerti bahwa masih merupakan hal yang normal dalarn merespon perasaan kehilangan rnenjelang kernatian. Lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat dipercaya, memberikan rasa aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman. 83 2) Pada Fase Menawar Pada fase ini Petugas Rumah Sakit perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang tidak rnasuk akal. 3) Pada Fase Depresi Pada rase ini Petugas Rumah Sakit selalu hadir didekatnya dan mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dan pasien sehingga rnenurnbuhkan rasa arnan bagi pasien. 4) Pada Fase Penerimaan Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaannya dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya. E. Pelayanan pasien dalam kondisi sakaratul maut: 1. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang mewakili (dokter jaga) melakukan prosedur pemeriksaan ke pasien dan mendapatkan data hasil pemeriksaan bahwa pasien berada dalam kondisi terminal. Jika yang melakukan prosedur pemeriksaan ke pasien adalah dokter yang mewakili yaitu dokter jaga, maka dokter jaga harus melakukan prosedur konsultasi ke DPJP tentang kondisi pasien tersebut 84 2. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang rnewakili (dokter jaga) menyampaikan kondisi pasien tersebut kepada keluarga pasien sesuai dengan prosedur penyampaian berita/kabar buruk kepada pasien dan/atau keluarga pasien. 3. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang mewakili (dokter jaga) menanyakan kepada pasien dan/atau keluarga pasien apakah ada hal-hal yang perlu ditanyakan atau ada keinginan dari pasien dan/atau keluarga pasien tentang keadaannya. 4. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang mewakili (dokter jaga) melaksanakan secara profesional keinginan pasien dan/atau keluarga pasien selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan aturan agarna yang dianut pasien. 5. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) atau dokter yang mewakili (dokter jaga) melakukan koordinasi dengan perawat dan petugas kerohanian. Perawat untuk rnelaksanakan prosedur tindakan medis pada pasien terminal sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut. 6. Dokumentasikan semua kegiatan yang dilakukan dalam rekam medis pasien tersebut. 85 2.2.6. Konsep Hubungan Terapeutik Antara Tenaga Medis dengan Pasien Dalam konteks pelayanan tenaga medis (dokter) dan pasien menimbulkan hubungan dalam rangka penyembuhan pasien. Pola hubungan ini dalam kapasitas terapiutik, diawali dengan adanya perjanjian terapiutik sebelumnya sehingga pasien mempercayakan kesembuhannya terhadap dokter. Sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan yang dimaksud tenaga medis pada Pasal 1 angka 6 adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan. Sedangkan definisi pasien menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit. Dalam hubungan terapiutik didasari atas perjanjian yang merupakan hubungan antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter. Jika dilihat dari sudut pandang ilmu hukum, keterkaitan pasien terhadap dokter termasuk dalam ruang lingkup hukum perikatan/perjanjian. Konsep ini dijadikan dasar pemikiran dalam tanggung jawab medis, jika tidak dilakukan dengan optimal tentu akan bersinggungan dengan masalah hukum. Konsep ini merupakan dasar berpikir untuk mendukung argumentasi dalam menjawab permasalahan pertama, mengingat adanya hubungan dalam perjanjian dokter dan pasien (Ilyas, Amir, 2014). Pasien dipandang sebagai subjek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan, bukan sekadar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kepuasan pasien menjadi satu barometer mutu layanan, sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum. Penandatanganan formulir atau lembar persetujuan medis mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan hukum. Artinya, dokter boleh menjalankan kewajibannya memberikan informasi dan memberikan hak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis (Siswati, Sri. 2017). Hubungan hukum timbul, apabila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang membahayakan kesehatan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien Perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri yang khusus, tidak sama dengan sifat dan ciri perjanjian pada umumnya karena obyek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien (Wahyudin, Munandar, 2017). Perjanjian dokter dengan pasien termasuk pada perjanjian tentang upaya yang disebut inspanningsverbintenis bukan perjanjian tentang hasil yang disebut resultaatsverbintenis. Hubungan antara tenaga medis dan pasien memenuhi syarat sahnya transaksi terapeutik yang didasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu syarat subyek dan syarat obyek (Retno 86 Harjanti Hartiningsih, 2020). Jika dilihat dari perspektif hukum kesehatan, dalam pelayanan kesehatan, hubungan antara tenaga medis kesehatan dengan pasien didasarkan pada hukum perjanjian khususnya perjanjian usaha (result Verbintenis). Dalam kaitan penyelesaian dengan cara mediasi untuk penyelesaian sengketa. Dijelaskan bahwa sengketa yang dimaksud adalah perkara yang masuk ranah perjanjian dibidang privat. Sengketa dalam bidang hukum perjanjian yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi. Artinya bahwa dalam sengketa publik in casu tuntutan pidana dalam hal mediasi tidak dapat dilakukan mengingat karakteristik dalam hukum pidana tidak dapat dilakukan kompromi (Effendi, Tolib. 2014). 2.3 Konsep Penelitian Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon). Memahami realitas kehidupan masyarakat merupakan sebuah tantangan. Kebutuhan dan kepentingan individu seringkali bertentangan satu sama lain. Akibatnya, perbedaan seringkali menimbulkan ketimpangan/disharmoni dalam masyarakat. Hukum merupakan aturan yang diperlukan bagi interaksi manusia dalam masyarakat. Hukum dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam masyarakat, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang nyaman dan berkeadilan. Tidak jarang hukum dilanggar atau bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan dan menganggap bahwa undang-undang yang ada tidak penting dalam masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang tidak sadar dan tidak menaati hukum. Hukum menjamin kepastian dan keadilan. Dalam 87 kehidupan bermasyarakat selalu terdapat perbedaan antara pola tingkah laku atau aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat dengan pola tingkah laku yang diwajibkan oleh norma (aturan) hukum. Hal ini dapat menimbulkan masalah seperti kesenjangan sosial, yang terkadang mengakibatkan konflik. Keadaan ini timbul karena undang-undang yang diundangkan diharapkan dapat dijadikan pedoman (standar) dalam bertindak bagi masyarakat, tanpa kesadaran dan perlindungan hukum maka tidak akan ada kepatuhan hukum. Dalam pelayanan dirumah sakit, tenaga medis/dokter memberikan tindakan medis kepada pasien sesuai dengan standar pelayanan atas dasar perjanjian terapeutik sebelumnya. Namun jika tindakan tersebut dilakukan secara tidak tepat, dalam hal ini melanggar seluruh standar prosedur yang ada sehingga menimbulkan kerugian bagi pasien. Selanjutnya akibat pelanggaran prosedur medis yang dilakukan oleh dokter dapat menimbulkan kerugian bagi pasien. Teori hukum dan konsep, sebagai dasar pemikiran dalam pemecahan masalah dalam penelitian ini sehingga, diidentifikasi penggunaan teori yang relevan yaitu menggunakan 3 (tiga) landasan teori hukum dan 6 (enam) konsep. 88 2.3. Model Penelitian Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara Latar Belakang Belum ada kepastian hukum yang mengatur Penolakan Resusitasi (Tarigan, 2021). Payung hukum terhadap tindakan ini pun belum menggunakan terminologi dan definisi operasional yang sama untuk mengatur pelaksanaan Penolakan Resusitasi secara eksplisit dengan kriteria yang jelas. Dalam standar akreditasi baik nasional maupun internasional, prosedur Penolakan Resusitasi termasuk kebijakan yang harus dibuat oleh rumah sakit sebagai salah satu panduan dalam pemberian pelayanan dan asuhan pasien dalam tahap terminal. Kepastian hukum ini penting untuk melindungi hak-hak pasien serta memberikan panduan yang jelas bagi praktisi kesehatan dalam melaksanakan tindakan medis. Risiko dituntutnya rumah sakit dan para tenaga medis secara hukum terkait keputusan Penolakan Resusitasi dapat saja terjadi. Berdasarkan hal tersebut maka penting dilakukan penelitian terkait pengaturan Do Not Resuscitate (Penolakan Resusitasi) di Rumah Sakit Dalam Konteks Perlindungan Hukum Bagi Dokter serta perlindungan bagi tenaga medis saat keputusan Penolakan Resusitasi dilakukan. Rumusan Masalah Bagaimana Melakukan terminal ” Indonesia? Bagaimana implementasi penolakan resusitasi (Penolakan Resusitasi) di Rumah Sakit Bali Mandara efektif dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis? Pengaturan Penolakan Resusitasi pada pasien berdasarkan hukum positif Kerangka Konseptual dan teoritik Kerangka Konseptual dan teoritik 1. Teori Sistem Hukum 2. Teori Tujuan Hukum 3. Teori Perlindungan hukum 4. Teori Efektivitas Hukum 1. Teori Sistem Hukum 2. Teori Tujuan Hukum 3. Teori perlindungan hukum 4. Teori Efektivitas Hukum 5. Konsep kebijakan Penolakan Resusitasi sesuai regulasi 6. Konsep hubungan terapeutik antara tenaga medis dengan pasien. 7. Konsep hak dan kewajiban Metode Penelitian Dalam membahas permasalahan penelitian ini, penulis melakukan jenis penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris yaitu jenis penelitian hukum sosiologis atau penelitian lapangan dengan mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataanya di masyarakat dan menemukan fakta dan data yang dibutuhkan . Data pada penelitian ini terdiri dari data primer yang diperoleh dari observasi dan wawancara langsung dengan informan, sumber data sekunder yang tersedia seperti perundang-undangan, kebijakan, pedoman atau SPO Penolakan Resusitasi dan hasil penelitian dan buku-buku hukum dan kesehatan. Pendekatan yang digunakan adalah statute approach, conceptual approach, dan sosial institution. Hasil Penelitin dan Pembahasan 89 Gambar 3. 1. Model Penelitian Kesimpulan dan Saran BAB III METODE PENELITIAN Metode Penelitian adalah suatu cara ilmiah untuk mencari jawaban dari pemecahan masalah, metode bertujuan agar penelitian ini memenuhi syarat sebagai suatu penelitian dengan menguji kebenaran dan ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala dan hipotesa yang dapat dipertanggung jawabkan, oleh karena itu suatu metode harus jelas. Dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, membahas permasalahan yang terjadi serta penelitian terhadap aspek ekstern dari norma yang diperlukan untuk mengungkap keberlakuan norma di masyarakat. Jenis penelitian ini digunakan untuk meninjau fungsi dari suatu hukum atau aturan dalam hal penerapannya di ruang lingkup masyarakat, dalam penelitian ini peneliti berupaya mengidentifikasi pengaturan dan implementasi kejelasan hukum tentang penolakan resusitasi di Indonesia, kekhawatiran pasien dan keluarga tentang hak untuk menolak resusitasi, perlindungan hukum bagi tenaga medis dalam menangani pasien yang menolak resusitasi. Banyaknya kasus sengketa medik di rumah sakit, menganalisis norma dan asas hukum yang mendasari pengaturan penolakan resusitasi Kekhawatiran tenaga medis tentang risiko hukum jika tidak mengikuti prosedur Penolakan resusitasidengan benar, risiko hukum jika tenaga medis tidak melakukan resusitasi sesuai permintaan pasien dengan aspek kajian asas keseimbangan dalam pelayanan kesehatan (Made Pasek D,dkk, 2018). 90 2.1.1 Pendekatan Penelitian Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Pendekatan fakta yaitu mengamati dan menganalisis kesadaran dan perlindungan hukum RSBM dan tenaga medis terhadap tanggung jawab yuridis dalam perspektif pengaturan dan implementasi, mengkaji studi kasus terkait penolakan.resusitasi,.menggali.data.dan.informasi.selanjutnya.menginterpretasika hasil analisis sebagai hasil evaluasi atas perlindungan hukum RSBM dan tenaga medis ; 2. Pendekatan Perundang-undangan ( Statute approach) 3. Pendekatan Konseptual 4. Pendekatan fakta aspek sosiologis yaitu pendekatan yang dilihat dari suatu kasus yang berisiko hukum dalam pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali. 2.2 Lokasi dan waktu penelitian 2.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali (RSBM) yang beralamat di Jalan By Pass Ngurah Rai Sanur Nomor 548, Sanur, Denpasar, Bali. Alasan mengambil lokasi pada RSUD Bali Mandara karena Penulis melihat terdapat kesenjangan antara aspek hukum dengan kondisi pelaksanaan penolakan resusitasi pada pasien terminal di RSUD Bali Mandara. 91 2.2.2 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dimulai dari pengambilan data penelitian sampai dengan analisis data dan pelaporan hasil penelitian yaitu Bulan April sampai Bulan Mei Tahun 2024. 2.3 Jenis dan Sumber Bahan Hukum 2.3.1 Jenis Bahan Hukum Adapun bahan hukum yang akan dipergunakan dalam penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yaitu : a. Bahan Hukum Primer Merupakan bahan hukum yang diperoleh secara langsung di lapangan dengan wawancara langsung dengan jajaran manajemen RS, Komite, Kepala Instalasi serta tenaga medis di RSUD Bali Mandara (Lokus) . Wawancara dilakukan secara tatap muka dengan informan kunci di ruang kerja mereka masing-masing. wawancara menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya , wawancara direkam dengan menggunakan alat perekam, transkrip wawancara dianalisis secara kualitatif. Pedoman wawancara tersebut memuat pertanyaan-pertanyaan terkait dengan: a. Pemahaman informan tentang kebijakan pengaturan keputusan penolakan resusitasi. b. Pengalaman informan dalam menangani pasien yang meminta Penolakan Resusitasi 92 c. Pandangan informan tentang pengaturan hukum Penolakan resusitasidi Indonesia dalam perspektif pelindungan hukum tenaga medis. d. Pandangan informan tentang efektivitas implementasi Penolakan resusitasidi RSUD Bali Mandara e. Tantangan dan hambatan dalam implementasi Penolakan resusitasidi RSUD Bali Mandara f. Saran dan masukan untuk meningkatkan efektivitas implementasi Penolakan resusitasidi RSUD Bali Mandara 1. Bahan Hukum Sekunder Sumber bahan hukum sekunder terbagi menjadi : a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang diperoleh dari ketentuan peraturan Perundang-Undangan, yaitu : 1) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum acara Perdata. 3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 4) UU No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan 5) Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik 6) Peraturan Menteri Kesehatan No. 38 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Resusitasi Jantung Paru (RJP) 93 7) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Pasien Terminal. 8) Keputusan Menteri Kesehatan No. 129/MENKES/SK/III/2018 tentang Pedoman adalah keputusan yang mengatur tentang pedoman yang harus dijadikan acuan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penyelenggaraan kesehatan di Indonesia. 9) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1128/2022 tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit. 10) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif Menteri Kesehatan Republik Indonesia . 11) Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) 2012 b. Bahan hukum sekunder Bahan-bahan yang dapat menjelaskan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat meliputi hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku hukum (Text Book), jurnal-jurnal hukum . 94 2. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier sebagai informasi tambahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder meliputi berita media massa, koran maupun ensiklopedia (Made Pasek D,dkk, 2018). 2.3.2 Sumber Bahan Hukum Pada penelitian ini sumber data diperoleh dari informan. Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang pengalaman, situasi, dan kondisi latar belakang penelitian. Pemilihan informan pada penelitian ini menggunakan purposive sampling sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan peneliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu : a. Tenaga medis/dokter baik dokter umum, dokter spesialis, Ketua Komite Medik, Kepala Instalasi IRIT serta jajaran manajemen RSUD Bali Mandara. b. Memiliki Surat tanda registrasi yang masih berlaku bagi tenaga medis c. Bersedia menjadi partisipan penelitian Penelitian ini menggunakan 8 (delapan) orang informan yaitu 1 (satu) orang dokter umum/ dokter jaga IGD, 6 (enam) orang dokter spesialis , 1 (dua) orang jajaran manajemen RS, 1 (dua) orang Ketua Komite Medik, 1 (dua) orang kepala Instalasi Rawat Inap Intensif (IRIT) atau sampai data dinyatakan mencapai titik jenuh sehingga peneliti menghentikan pencarian atau melakukan penambahan informan. 2.4 Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan peneliti sebagai instrumen utama dan pedoman wawancara sebagai alat bantu dalam melaksanakan wawancara mendalam dengan informan. Pedoman wawancara yang peneliti gunakan terdiri 95 dari beberapa pertanyaan terbuka yang dikembangkan sendiri. Instrumen lain yang digunakan dengan studi dokumen untuk melengkapi data secara keseluruhan. 2.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 2.5.1 Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif ini adalah wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam dilakukan dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara bertatap muka. Dalam pelaksanaan wawancara, peneliti mengacu pada pedoman wawancara. Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dimulai dari pertanyaan yang bersifat umum barulah mengarah kepada pertanyaan yang bersifat khusus sesuai dengan pedoman wawancara yang dipersiapkan dan dikembangkan sesuai dengan pernyataan yang dilontarkan informan. 2.5.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dengan : a. Studi dokumen atas bahan -bahan hukum yang relevan dengan penelitian. b. Wawancara menggali tentang pemahaman terhadap pengaturan Penolakan resusitasi dan perlindungan hukum tenaga medis, Peneliti mencatat pendapat dan respon informan atas pertanyaan yang diajukan pewawancara dan dilanjutkan dengan pertanyaan lain yang sudah disusun atau disediakan. Pertanyaan yang sama ditanyakan kepada setiap orang informan dalam peristiwa yang sama. 96 Selama wawancara berlangsung, peneliti merekam pembicaraan menggunakan handphone sebagai recorder atau alat perekam untuk melengkapi pencatatan data lebih lanjut. Selain itu, peneliti menggunakan buku catatan untuk mencatat hal-hal yang peneliti amati, dengar dan rasakan selama pengumpulan data. Peneliti juga melibatkan enumerator seorang sekretaris dari komite etik dan hukum untuk membantu proses wawancara maupun dalam mendokumentasi proses penelitian dengan menggunakan kamera untuk mengambil gambar. 2.5.3 Prosedur Pengumpulan Data Prosedur teknis pengumpulan data diawali dengan memberikan penjelasan tentang penelitian yang dilakukan. Informan diminta kesediaannya untuk menjadi responden penelitian selama 2 (dua) bulan. Keikutsertaaan dalam penelitian ini bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Adapun prosedur pengumpulan data sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan a. Pengajuan Izin Penelitian: 1) Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada pihak RSUD Bali Mandara ditujukan kepada direktur Pimpinan RSUD Bali Mandara dengan Nomor : B/698/UN14.3.III5/PT.01.04/2024. 2) Persetujuan izin penelitian di RSUD Bali Mandara Nomor : B/477/UN.14.3.III.5/PT.01.04/2024 3) Peneliti melakukan koordinasi dengan pihak RSUD Bali Mandara untuk menentukan jadwal penelitian dan mempersiapkan logistik penelitian. 97 4) Peneliti menjalin komunikasi dengan pihak-pihak terkait di RSUD Bali Mandara, yaitu Komite Etik Penelitian Rumah Sakit, Jajaran manajemen RSUD Bali Mandara serta Tenaga medis dan staf terkait. 5) Peneliti melakukan jadwal penelitian dan menetapkan jadwal wawancara dengan informan sesuai dengan kriteria yang dipilih. Informan yang emenuhi kriteria diberikan informasi terkait penelitian dan inform concent untuk ditandatangani sebagai pernyataan kesediaan untuk menjadi informan. Setelah mendapat persetujuan, peneliti menyesuaikan jadwal dan waktu dengan informan yang bersangkutan serta meminta kontak telepon dari masing-masing informan untuk kebutuhan informasi lebih lanjut. 2. Tahap pelaksanaan Pengumpulan data Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai informan secara satu persatu. Lama waktu wawancara dengan informan rata-rata berkisar 35-60 menit. Pertanyaan yang sama ditanyakan kepada setiap orang informan dalam peristiwa yang sama. 2.6 Teknik Analisis Data Proses analisis data yang digunakan adalah konten analisis. Pada analisis konten merupakan teknik analisis untuk menghasilkan deskripsi yang objektif dan sistematik mengenai isi yang terkandung dalam hasil komunikasi. Analisis konten juga dimaknai sebagai teknik yang sistematis untuk menganalisis makna pesan dan cara mengungkapkan pesan. (Creswell, J. W, 2015). Dalam analisis data kualitatif (data yang ada dianalisis secara mendalam dan komprehensif) 98 berlangsung secara terus-menerus sehingga data jenuh, pada proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan diintrepetasikan dengan melakukan langkah – langkah sebagai berikut : a. Melakukan pengumpulan data dan membuat transkrip data dari hasil wawancara. Peneliti mendengarkan hasil wawancara mendalam secara berulang-ulang dan dipindahkan kedalam verbatim yang kemudian digabung dengan catatan lapangan. b. Hasil transkrip dibaca secara berulang-ulang dan dibandingkan kembali dengan hasil rekaman untuk memastikan keakuratannya. Kemudian mereduksi data tersebut, menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang yang tidak perlu untuk menjadi tema melalui proses pengkodean/coding dan peringkasan kode atau menemukan kata kunci dengan strategi open coding, mengelompokkan kode atau label, yang sudah ada, axial coding untuk mencari keterkaitan antara kelompok, kemudian kata kunci yang memiliki arti sama dijadikan satu katagori. c. Mengumpulkan bahan hukum primer berupa peraturan perundang – undangan yang relevan. d. Mencari doktrin-doktrin, asas-asas atau prinsip ilmu hukum dalam perundang- undangan. e. Membuat kategori dari bahan - bahan yang dikumpulkan dan konsep -konsep yang lebih umum f. Mencari hubungan katagori - katagori tersebut dan menjelaskan hubungannya antara satu dengan yang lain. 99 g. Membuat simpulan dari hasil analisis 3.7 Keabsahan data Setelah peneliti membuat penjelasan gambaran isi dalam bentuk narasi, peneliti kemudian melakukan validasi data dengan menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian. Triangulasi dilakukan dengan cara melakukan pengecekan ulang terhadap kebenaran informasi yang diperoleh dari informan agar mendapatkan konfirmasi informasi (Alfansyur, Andarusni, Mariyani,2020). Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber dengan cara membandingkan dan mengecek ulang keabsahan data dari beberapa sumber yaitu informan, dokumen pelayanan dan peraturan perundang-undangan. 3.8 Kebaruan Penelitian Penelitian Pelaksanaa Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara dengan perspektif kajian dari Undang - Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan tahun 2023 belum pernah dilakukan. Penelitian terkait penyempurnaan SOP penolakan resusitasi dapat memberikan manfaat optimal bagi fasilitas kesehatan secara menyeluruh, dengan strategi diseminasi yang komprehensif dan terstruktur. publikasi ilmiah di jurnal terkemuka bertujuan hasil penelitian dapat diakses dan dikaji oleh komunitas medis yang lebih luas. Pelaporan hasil penelitian kepada Dinas Kesehatan setempat menjadi jembatan vital untuk 100 meneruskan informasi ke tingkat nasional, yakni Kementerian Kesehatan. Dengan demikian, temuan penelitian ini dapat menjadi landasan kokoh dalam penyusunan Panduan Praktik Klinis yang lebih mutakhir dan relevan, menciptakan dampak signifikan pada peningkatan kualitas layanan kesehatan di seluruh Indonesia. 101 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil RSUD Bali Mandara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan, pasal 184 ayat (4) Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit dan tata kelola klinis yang baik. , menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan wajib berkaitan dengan pelayanan dasar oleh karena itu didirikanlah UPTD. RSUD Bali Mandara guna memberikan pelayanan kepada masyarakat luas berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien serta memiliki fungsi sosial di masyarakat. RSUD Bali Mandara memperoleh. ljin.Operasional. Rumah.Sakit. Umum.Kelas.B.berdasarkan.Keputus an Gubernur.Bali.No: 0/8592/IV-A/DisPMPT/2017 tanggal 28 September 2017 tentang Izin Operasional RSU kelas B RSUD Bali Mandara Pemerintah Provinsi Bali dan telah teregistrasi di Kemenkes RI pada tanggal 12 Oktober 2017 dengan kode RS: 5171220. A. Visi dan Misi RSUD Bali Mandara Visi RSUD Bali Mandara yaitu: Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara menjadi rumah sakit yang berkualitas dengan mengedepankan pelayanan, pendidikan dan penelitian menuju rumah sakit berkelas dunia tahun 2025. 102 B. Misi RSUD Bali Mandara yaitu: 1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan bermutu sesuai dengan standar akreditasi nasional dan internasional yang berorientasi pada keselamatan dan kepuasan pelanggan 2. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan dengan jejaring yang luas 3. Menyediakan sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. 4. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengembangan yang berkesinambungan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten, berintegrasi dan memiliki budaya kerja. 5. Meningkatkan kinerja layanan, profesionalisme dan meningkatkan kesejahteraan pegawai 4.1.2 Struktur Organisasi RSUD Bali Mandara Struktur organisasi RSUD Bali Mandara berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pembentukan, Keududukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Rumah Sakit, maka struktur organisasi RSUD Bali Mandara sebagai berikut: 103 Gambar 4.1 Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara 2022 Dalam susunan organisasi RSUD Bali Mandara merupakan pejabat tinggi pratama yang ditugaskan sebagai Kepala RSUD Bali Mandara. Direktur merupakan jabatan struktural Eselon II.b atau jabatan Pimpinan Tinggi Pratama. Untuk Wakil Direktur berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur. Wakil Direktur merupakan jabatan Eselon III.a atau jabatan Administrator. Bidang dipimpin oleh Kepala Bidang yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Wakil Direktur. Kepala Bidang dan Kepala Bagian merupakan jabatan Eselon III.b atau jabatan Administrator. 4.2 Karakteristik Informan Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 (delapan) orang terdiri dari dokter umum yang bertugas di unit gawat darurat, ketua Komite Medik, ketua komite etik dan hukum, kepala Instalasi IRIT, dokter spesialis dan jajaran manajemen RSBM. Karakteristik informan disajikan pada Tabel 4.1 berikut: 104 Tabel 4.1 Karakteristik Informan Penelitian Informan Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Kode Informan KW IKM GPWL MPR SAMYS KYFM KSAA GACS Umur (Tahun) 46 48 41 36 37 36 35 32 Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Pendidikan Pekerjaan Keterangan S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 S1 Wadir Dokter Ahli Dokter Ahli Dokter Ahli Dokter Ahli Dokter Ahli Dokter Ahli Dokter Umum Manajemen RS Komite Medik Kepala Instalasi IRIT Komite Etik Hukum Dokter Spesialis Dokter Spesialis Dokter Spesialis Dokter Umum Berdasarkan Tabel 4.1 diatas, bahwa informan terdiri dari 6 orang laki-laki dan 2 orang perempuan terdiri dari dokter umum yang melayani pasien di instalasi gawat darurat, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis anastesi, dokter spesialis bedah umum, dokter spesialis bedah saraf, ketua komite medik dan bagian manajemen rumah sakit. Rentang umur bervariasi dari umur 32 tahun sampai 48 tahun, dimana pendidikan terendah adalah Sarjana (S1) sedangkan pendidikan tertinggi adalah Magister (S2). Pekerjaan yaitu tenaga medis yang bekerja di rumah sakit sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK. Dalam wawancara pelaksanaan sesuai kesepakatan dengan responden. Seluruh responden dilakukan wawancara dengan tatap muka di masing-masing ruangan tempat responden, berlangsung lebih kurang 35 menit. Wawancara keseluruhan pada responden berlangsung dalam dua kali selama empat hari. 105 4.3 Pengaturan Penolakan Melakukan Resusitasi Pada Pasien Terminal ”Berdasarkan Hukum Positif Indonesia” Ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Kesehatan yang mengatur Rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan yang memberikan perawatan kesehatan individu yang komprehensif meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat serta pelayanan preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif. Untuk memberikan layanan diagnosis dan pengobatan kepada pasien, profesional medis dan petugas kesehatan lainnya melakukan pelayanan operasional di rumah sakit dengan cara yang efisien dan terorganisir dengan baik. Berdasarkan ketentuan Pasal 197 UU Kesehatan, Sumber daya manusia kesehatan (SDMK) dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang di miliki, antara lain: tenaga medis, tenaga kesehatan dan tenaga penunjang kesehatan. Yang termasuk katagori tenaga medis yaitu dokter meliputi dokter spesialis, sub spesialis dan dokter gigi, dokter gigi spesialis dan dokter gigi subspesialis. Sedangkan tenaga kesehatan yaitu: a. tenaga psikologi klinis; b. tenaga keperawatan; c. tenaga kebidanan; d. tenaga kefarmasian; e. tenaga kesehatan masyarakat; f. tenaga kesehatan lingkungan; g. tenaga gizi; 106 h. tenaga keterapian fisik; i. tenega keteknisian medis; j. tenaga teknik biomedika; k. tenaga kesehatan tradisional; dan l. Tenaga Kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri Faktor kunci dalam mencapai standar kesehatan masyarakat setinggi mungkin adalah salah satunya dengan implementasi peran rumah sakit sebagai entitas komersial dalam industri layanan kesehatan. Oleh karena itu, rumah sakit harus dapat memprioritaskan kewajiban SDMK, khususnya tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk memastikan bahwa mereka memenuhi peran dan tanggung jawabnya. Staf medis rumah sakit terkadang kesulitan untuk memberikan hasil yang diharapkan oleh pasien dan keluarganya. Terkadang profesional medis belum dianggap optimal dalam memberikan layanan oleh pasien, sehingga dapatmenimbulkan konsekuensi yang sangat buruk sampai ke ranah hukum (Usman, 2014.) Kelalaian sampai ke arah malpraktek medik rentan terjadi pada tenaga medis/dokter dalam menjalankan profesinya, dalam hal ini, individu yang ditangani dapat menderita kerugian atau kerugian akibat tindakan yang disengaja (intentional), tindakan lalai (negligence), atau kurangnya keterampilan (unreasonable lack of skill), yang kejadiannya lebih ke arah adanya kegagalan (failure) dalam memberikan pelayanan medik terhadap pasien. Pengaturan keputusan penolakan resusitasi di rumah sakit menjadi penting untuk diterapkan dalam pengelolaan layanan kesehatan sehingga perlu optimalisasi prosedur secara 107 konsisten mengingat adanya risiko medis yang timbul. Baik buruknya pelayanan di ruang ICU dapat menjadi cerminan dari kualitas pelayanan rumah sakit. Di Indonesia, pengaturan mengenai penolakan resusitasi (Penolakan resusitasipada pasien terminal belum diatur secara spesifik dalam undang-undang. Namun, terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan acuan: a. Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan : Keputusan pengaturan Penolakan Resusitasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mempengaruhi hak pasien, kewajiban tenaga kesehatan, dan rumah sakit dalam beberapa aspek berikut: a. Hak Pasien 1. Hak untuk Memperoleh Perawatan yang Sesuai UU 17 tahun 2023 menegaskan Pasien mempunyai hak sebagai berikut : Pasal 276 (d) Menolak atau menyetujui tindakan medis, kecuali untuk tindakan medis yang diperlukan dalam rangka pencegahan penyakit menular dan penanggulangan KLB atau Wabah; Keputusan Penolakan resusitasi harus didasarkan pada informasi yang jelas dan akurat, serta mempertimbangkan keinginan pasien dan kondisinya. b. Kewajiban Tenaga Kesehatan 1. Kewajiban untuk Memastikan Keputusan Penolakan Resusitasi Tenaga kesehatan harus memastikan bahwa keputusan Penolakan resusitasi dilakukan pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran yang dilakukan harus sesuai dengan standar kesehatan yang diatur pada Pasal 274 UU 17 Tahun 2023 108 menegaskan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib: a) Memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan Kesehatan Pasien; b) Memperoleh persetujuan dari Pasien atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan; c) Menjaga rahasia Kesehatan Pasien; d) Membuat dan menyimpan catatan dan/ atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan e) Merujuk Pasien ke Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai. c. Kewajiban Rumah Sakit Rumah sakit harus memastikan bahwa keputusan Penolakan resusitasidilakukan pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran yang dilakukan harus sesuai dengan standar kesehatan yang tersedia seperti yang telah diatur dalam UU 17 tahun 2023 tentang kewajiban rumah sakit Pasal 189 ayat (1) huruf (k) Rumah sakit wajib menolak keinginan Pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan; huruf (l) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban Pasien; huruf (m) Menghormati dan melindungi hak-hak Pasien; huruf (r) Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit; serta huruf (s) Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan 109 Pasal 189 ayat (2) Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Peraturan Menteri Kesehatan No.290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menentukan bahwa informed consent diterjemahkan menjadi Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang diatur dalam Bab I Pasal 1 yang menentukan bahwa persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Berdasarkan pengertian tersebut di atas bahwa informed consent berisikan dua hak pasien yang essensial dalam relasinya dengan dokter yaitu hak atas informasi dan hak atas persetujuan atau consent. Penjelasan informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan pada pasien harus diberikan secara jelas dan diberikan langsung pada pasien bukan pada keluarga pasien. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/Menkes/Per/III/2008 yang menentukan bahwa penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat pasien, baik diminta maupun tidak diminta. Mengenai hak atas persetujuan terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan 110 Pasal 2 dalam peraturan yang sama menentukan bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Pasal 6 menegaskan jika Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum, dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien Pasal 7 (3) Peraturan Manteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menentukan bahwa penjelasan tindakan kedokteran sekurang-kurangnya mencakup : a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; c. Alternatif tindakan lain dan resikonya; d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; f. Perkiraan biaya. Menurut Guwandi informed consent dapat berbentuk: 1. Dinyatakan (expressed) a. Secara lisan (oral) b. Secara tertulis (written) 2. Tersirat atau dianggap diberikan (implied or tacit consent) a. Dalam keadaan biasa (normal or constructive consent) 111 b. Dalam keadaan gawat darurat (emergency). Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya Informed Consent, maka dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin praktik, keharusan adanya Informed Consent administrasi Rumah secara tertulis dimaksudkan guna kelengkapan Sakit yang bersangkutan. Dengan demikian, penandatanganan Informed Consent secara tertulis yang dilakukan oleh pasien/Keluarga sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter memberikan penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya. Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya Informed Consent secara tertulis tersebut, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam menyerahkan sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan, beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya. Peranan Informed Consent Terhadap Perlindungan Hukum Dokter Dalam Pelayanan Kesehatan Upaya pelayanan kesehatan, tentunya dokter melakukan kewajibannya dalam menyampaikan terkait penjelasan dari upaya medis tersebut serta juga menyampaikan resiko-resiko yang nantinya bisa terjadi pada pasien, sekalipun pasien yang meminta untuk dilakukannya upaya medis tersebut. Pasien disini juga berkewajiban untuk mentaati apa saja hal-hal yang telah dijelaskan oleh dokter terkait proses pelayanan 112 kesehatan dalam upaya utuk menghindari terjadinya kesalahan atau sengketa medis. c. Peraturan Menteri Kesehatan No. 37 Tahun 2014. Permenkes Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Donor Organ jarang dimana regulasi terkait terminologi Penolakan resusitasi paling mendekati pada pelayanan pasien tahap terminal dalam hal penghentian/penundaan bantuan hidup yang salah satunya adalah tindakan Resusitasi Jantung Paru sebagaimana diatur dalam Permenkes tersebut. Peraturan-peraturan yang terkandung di dalam Permenkes ini berjumlah 18 Pasal, yang terbagi ke dalam 5 Bab. BAB III mengenai Penghentian atau Penundaan Terapi Bantuan Hidup (termasuk resusitasi). BAB III ini mengatur tentang prosedur menghentikan/menunda terapi bantuan hidup kepada pasien yang sudah dalam kondisi yang terminal dan berbagai terapi sudah dinyatakan sia-sia (tidak lagi dapat mencapai kesembuhan pasien). Penghentian atau Penundaan Bantuan Hidup dengan ketentuan sebagai berikut: Pasal 14: Ayat (1) Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile) dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup. Ayat (2) Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien yang terminal state dan tindakan kedokteran yang sudah sia-sia (futile) ditetapkan oleh Direktur atau Kepala Rumah Sakit. Ayat (3) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah 113 berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik. Ayat (4) Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga pasien atau yang mewakili pasien. Ayat (5) Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya tindakan yang bersifat terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary), meliputi: rawat di Intensive Care Unit; Resusitasi Jantung Paru; Pengendalian disritmia; Intubasi trakea; Ventilasi mekanik; Obat vasoaktif; Nutrisi parenteral; Organ artifisial; Transplantasi; Transfusi darah; Monitoring invasif; Antibiotika; dan Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran. Ayat (6) Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi oksigen, nutrisi enteral dan cairan kristaloid. Selain hal-hal yang disebutkan pada Pasal 14, tenaga medis dan rumah sakit harus memastikan bahwa keputusan Penolakan resusitasi yang diminta oleh keluarga pasien telah memenuhi kriteria dalam Pasal 15 berikut ini: Ayat (1) Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien untuk penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup. Ayat (2) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik. Ayat (3) Permintaan keluarga pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam hal: a. Pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang hal ini (advanced directive) yang dapat berupa: 1) Pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup apabila mencapai keadaan futility (kesia-siaan); 114 2) Pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada seseorang tertentu (surrogate decision maker). b. Pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga pasien yakin bahwa seandainya pasien kompeten akan memutuskan seperti itu, berdasarkan kepercayaannya dan nilai-nilai yang dianutnya. Ayat (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bila pasien masih mampu membuat keputusan dan menyatakan keinginannya sendiri. Ayat (5) Dalam hal permintaan dinyatakan oleh pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka permintaan pasien tersebut harus dipenuhi. Ayat (6) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan rekomendasi tim yang ditunjuk oleh komite medik atau komite etik, dimana keluarga tetap meminta penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di pihak keluarga. Pilihan keputusan tersebut harus memenuhi yang dimaksud pada Pasal 14 Ayat (4) dan Pasal 15 Ayat (6). Dengan doktrin “volenti non fit iniuria” dimana jika seseorang dengan rela menempatkan diri dalam posisi di mana kerugian dapat terjadi, mengetahui bahwa beberapa derajat kerugian mungkin terjadi, mereka tidak dapat mengajukan tuntutan terhadap pihak lain dalam gugatan atau delik. Dengan demikian pidana hilang, karena tanggung jawab ada pada keluarga yang menentukan. c. Penolakan resusitasi dalam Perspektif Hukum Perdata Proses pemberian informasi oleh dokter kemudian diikuti dengan pemberian persetujuan tindakan kedokteran oleh pasien tersebut dikenal sebagai informed consent .Keberadaannya merupakan salah satu unsur 115 terjadinya transaksi terapeutik, dan sebagai perjanjian, transaksi terapeutik tunduk pada ketentuan hukum perdata. Ketiadaan informed Consent yang berakibat pada tidak terpenuhinya salah satu syarat perjanjian tunduk pada ketentuan hukum perdata. Ketiadaaan informed consent dipandang dari aspek hukum perdata dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi yaitu : 1. Tidak terpenuhinya salah satu syarat perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata ; 2. Dapat digolongkan sebagai wanprestasi maupun, 3. Digolongkan sebagai kegiatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata. Proses informed consent menciptakan transparansi dalam pelayanan medis dan membangun kepercayaan antara tenaga medis dan pasien. Hal ini dapat mengurangi risiko terjadinya konflik atau gugatan hukum di masa depan. Informed consent sebelum tindakan medis dapat dikategorikan sebagai pelindungan hukum preventif karena memenuhi karakteristik upaya pencegahan terhadap potensi sengketa atau permasalahan hukum di masa depan. Ini sejalan dengan konsep pelindungan hukum preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa sebelum peristiwa hukum terjadi Teori Perlindungan Hukum dari Philipus M. Hadjon menekankan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni : a) Perlindungan hukum preventif, bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. b) Perlindungan hukum represif, bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. 116 Dalam konteks penolakan resusitasi, implementasi informed consent merupakan bentuk perlindungan hukum preventif dan landasan etika yang krusial untuk melindungi hak pasien dan tenaga medis. Persetujuan tindakan kedokteran / Informed Consent adalah pilar etika yang menjamin transparansi, partisipasi aktif pasien/ peran keluarga serta perlindungan hak privasi. d. Penolakan resusitasi dalam Perspektif Hukum Pidana Terminologi Penolakan resusitasi tidak disebutkan secara eksplisit dan diatur secara spesifik dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Pada penelitian sebelumnya lebih banyak membahas Penolakan resusitasi dengan konsekuensi hukum pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338, 340 dan 344 pada KUH Pidana Buku Kedua Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa (Adriana, 2021;Tarigan, 2021). Selain pasal-pasal tersebut, sebenarnya pada Pasal 304 dan 306 KUH Pidana Buku Kedua Bab XV tentang meninggalkan Orang yang perlu ditolong, juga harus menjadi perhatian penting. Berdasarkan Pasal 304 disebutkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Tim DPJP dan PPA sebagai tenaga klinis memiliki kewajiban yang telah diatur oleh peraturan perundang- undangan untuk 117 merawat dan/atau melakukan pertolongan darurat kepada pasien yang membutuhkan. Apabila tenaga kesehatan secara sengaja tidak memenuhi kewajiban itu kepada pasien yang berada dalam kondisi sengsara, maka Pasal 304 berpotensi dikenakan padanya. Selanjutnya, pada Pasal 306 ayat (2) tercantum bahwa “jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Tindakan penghentian bantuan hidup oleh tenaga kesehatan kepada pasien yang telah diputuskan untuk dilakukan Penolakan resusitasi akan menyebabkan pasien berada dalam kondisi sengsara dan berakhir pada kematian. Pada umumnya tim DPJP dan PPA akan memutuskan untuk melakukan Penolakan resusitasi dengan pertimbangan bahwa tindakan kedokteran yang diberikan tidak akan memberikan manfaat atau dengan kata lain sia-sia. Pertimbangan klinis yang kuat dengan alasan dan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan menjadi kunci untuk dapat bebas dari jeratan pasal ini. Namun, perspektif yang diberikan oleh Pasal 304 dan 306 Ayat (2) mampu mengancam tenaga kesehatan yang melakukan tindakan Penolakan resusitasi kepada pasien tanpa didukung alasan dan bukti yang kuat. Pada beberapa kasus, pasien akan meminta sendiri secara sadar untuk dilakukan Penolakan resusitasi akibat penyakit stadium akhir yang tidak dapat disembuhkan . Dokter yang melakukan tindakan penolakan resusitasi sesuai dengan permintaan pasien berpotensi dijerat Pasal 344 KUH Pidana Buku Kedua BAB XIX terkait Kejahatan terhadap Nyawa yang berbunyi “Barang siapa merampas 118 nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Artikel jurnal yang ditulis oleh Adriana (2021) menyebutkan bahwa kelalaian atau kesengajaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dapat dijatuhi sanksi pidana berdasarkan pada Pasal 338 atau 340 KUH Pidana. Adapun peristiwa hukum yang disebut berpotensi diancam dengan kedua pasal tersebut antara lain keputusan Penolakan resusitasi oleh dokter tanpa permintaan keluarga pasien atau pasien koma dalam waktu lama yang diminta Penolakan resusitasi oleh keluarga pasien (Adriana, 2021). Berdasarkan pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan, Pasal 338 atau 340 hanya dapat dikenakan pada seseorang yang memang memiliki itikad jahat dan tanpa ragu melakukan perampasan nyawa. Sehingga, Pasal 338 atau 340 KUH Pidana tidak dapat menjerat tenaga kesehatan ataupun keluarga pasien yang memutuskan tindakan Penolakan resusitasi setelah melalui berbagai KIE dan pertimbangan klinis yang beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan. Lain halnya apabila keluarga pasien melakukan pemaksaan walaupun tim DPJP dan PPA tidak memiliki alasan untuk dilakukan tindakan Penolakan Resusitasi. Dalam hal terjadinya kondisi memaksa (extra-ordinary) contohnya pada kondisi bencana Pandemi Covid-19, keputusan klinis dipengaruhi oleh kondisi memaksa (overmacht). Overmacht atau daya paksa yang menjadi dasar dilakukannya perbuatan tertentu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada Pasal 48 KUHP, disebutkan bahwa : “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Daya paksa ini haruslah merupakan suatu 119 kekuatan, dorongan, ataupun paksaan yang pada umumnya tidak dapat ditahan atau dilawan karena berasal dari kekuatan yang lebih besar, sehingga dapat menjadi alasan penghapus pidana. e. Dasar keputusan Penolakan resusitasi di RSUD Bali mandara yaitu : 1. Keputusan Direktur Nomor B.37.188.4/32412/HHP/RSBM tanggal 30 Juni 2022 tentang Kebijakan Pelayanan dan Asuhan Pasien pada Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali. 2. Keputusan Direktur Nomor B.37.188.4/39850/HHP/RSBM tanggal 24 Agustus 2022 tentang Panduan Pelayanan Pasien Terminal pada Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali. 3. Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali NOMOR: B.37.188.4/32415/HHP/RSBM Tentang Pemberlakuan Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dan Keluarga Pada Rumah Sakit Umum Daerah Bali Mandara Provinsi Bali. 4. Standart Operasional Prosedur (SOP) Penolakan resusitasi Nomor Dokumen : TIMTERMINAL/SPO/2/2022. Prosedur tindakan pada SOP tidak tertulis dasar hukum persetujuan tindakan kedokteran menurut Permenkes 290/2008. Hal ini berisiko menimbulkan beberapa konsekuensi serius, antara lain: 1. Ketidakpatuhan hukum : prosedur medis yang tidak mencantumkan dasar hukum yang jelas dapat dianggap melanggar peraturan yang berlaku. Menurut 120 penelitian Suryono (2019), hal ini dapat mengakibatkan tuntutan hukum terhadap institusi kesehatan dan tenaga medis. 2. Prosedur tindakan penolakan resusitasi yang tidak memadai: Tanpa merujuk pada Permenkes 290/2008, proses persetujuan tindakan medis mungkin tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Penelitian Widodo et al. (2021) menunjukkan bahwa hal ini dapat mengakibatkan pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk dalam mengambil keputusan. 3. Perlindungan hukum yang lemah bagi tenaga medis: prosedur yang tidak mencantumkan dasar hukum yang jelas dapat melemahkan posisi tenaga medis jika terjadi sengketa. Hal ini sejalan dengan pendapat peneliti Suharto (2020) yang menyatakan bahwa dasar hukum yang jelas dalam SOP merupakan bentuk perlindungan bagi tenaga medis. 4. Standarisasi pelayanan yang tidak konsisten: Tanpa merujuk pada peraturan yang berlaku, ada risiko variasi dalam pelaksanaan prosedur persetujuan tindakan medis antar institusi kesehatan. Penelitian komparatif oleh Pratiwi (2022) menunjukkan bahwa inkonsistensi ini dapat berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan secara keseluruhan. 5. Potensi pelanggaran hak pasien: pentingnya perlindungan hak pasien. Tanpa mencantumkan dasar hukum yang jelas, ada risiko bahwa hak-hak pasien sebagaimana diatur dalam Permenkes 290/2008 tidak sepenuhnya terpenuhi. Terdapat kesenjangan antara peraturan yang ada dengan implementasi di lapangan terkait prosedur informed consent. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi tenaga medis menjadi suatu hal yang krusial segera dilakukan harmonisasi 121 dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Komunikasi efektif dengan keluarga pasien dan dokumentasi yang komprehensif menjadi kunci dalam implementasi Penolakan resusitasi yang etis dan legal. Berdasarkan hasil wawancara, dengan informan dapat disajikan dalam Tabel dibawah ini : Tabel 4.2 Transkrip Hasil Wawancara Daftar Informan Pertanyaan 1 Manajemen RS Kebijakan RS terkait Penolakan Resusitasi “Ada kebijakan, namun perlu diperbarui, Kebijakan perlu diperjelas terkait aspek etik dan hukum dan Kebijakan ada tapi kurang sosialisasi” 2 Komite Medik Pengawasan kepatuhan tenaga medis . “Belum ada sistem pengawasan khusus serta difasilitasi asuransi profesi” 3 Kepala Instalasi IRIT Pelaksanaan Penolakan Resusitasi “Belum dilaksanakan sesuai peraturan yang ada, prosedur diaksanakan tanpa informed consent tertulis, karena sudah ada surat permohonan penolakan resusitasi dari keluarga pasien yang kami anggap bahwa permintaan dari pasien dan keluarga cukup melindungi kami dari risiko hukum” 4 Komite Etik Hukum Faktor pengaruh keputusan Penolakan Resusitasi . “Kondisi pasien, biaya, Prognosis, agama/keyakinan, kualitas hidup pasien” 5 Dokter Spesialis Proses Dokumentasi tindakan “Ada form khusus Penolakan Resusitasi 122 jawaban permintaan tapi tidak dilengkapi informed concent dan keluarga dilibatkan dalam pengambilan keputusan” 6 Dokter Spesialis Kendala penanganan Penolakan Resusitasi. “Komunikasi dengan keluarga, aspek legal, Fasilitasi asuransi profesi dan penambahan saksi dari pihak keluarga, saat prosedur penyampaian hasil rapat tim terkait keputusan penolakan resusitasi” 7 Dokter Spesialis Upaya mengatasi kendala . “Penyuluhan regulasi, Pelatihan komunikasi, revisi SOP dan panduan” 8 Dokter Umum Dokumen pedoman khusus. “Ada, tapi perlu diperbarui menyesuaikan denganUU 17 tahun 2023 tentang Kesehatan” 4.2 Implementasi penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara efektif dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis? Implementasi keputusan Penolakan resusitasi di ruang ICU RSUD Bali Mandara dilakukan dengan memastikan bahwa keputusan ini didasarkan pada analisis klinis yang kuat dan mempertimbangkan keinginan pasien/keluarga dan kondisinya. Dokter dan tim medis harus berkolaborasi dengan pasien dan keluarga dalam mengambil keputusan Penolakan Resusitasi. Keputusan Penolakan resusitasi harus dilakukan secara bersama keluarga, tim medis melalui rapat komite medik dalam memutuskan tindakan Penolakan resusitasi dan memberikan label Penolakan resusitasi yang nantinya akan digelangkan pada pasien sesuai peraturan yang berlaku di rumah sakit. Penilaian ketidakberhasilan terapi oleh dokter tidak serta merta menjadi alasan Penolakan Resusitasi. Penilaian kesia-siaan sepihak oleh dokter tidak 123 menjadi prioritas jika dibandingkan dengan keputusan keluarga. Oleh karena itu, pelaksanaan Penolakan resusitasi membutuhkan upaya komunikasi dan dokumentasi. Keputusan Penolakan resusitasi dalam implemetasinya di ruang ICU RSUD Bali Mandara telah tercatat pada tahun 2023 sebanyak 8 pasien dan data Januari - Maret 2024 sebanyak 2 pasien dan keseluruhan adalah permintaan dari keluarga atau wali yang sah ditunjuk oleh pengadilan (surrogate decision-maker) (Profil RSUD Bali Mandara 2023, laporan triwulan 1 2024). Penolakan resusitasi sendiri mendapatkan perhatian khusus di rumah sakit karena permintaan klien maupun keluarga harus dihormati. Pasien Penolakan resusitasi diberikan tanda khusus klien berstatus Penolakan resusitasi menggunakan tanda berwarna ungu (Yang et al., 2019). Hal tersebut dilakukan untuk menghargai pilihan pasien. 4.2.1 Prosedur Implementasi Penolakan Resusitasi di Ruang ICU RSUD Bali Mandara a. Deskripsi Prosedur Penolakan resusitasi di RS Bali Mandara: 1) Inisiasi oleh Keluarga : Keluarga mengusulkan untuk tidak melakukan resusitasi pada pasien terminal dan usulan ini disampaikan kepada Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP). 2) Rapat Tim Medis : DPJP mengadakan rapat tim yang melibatkan komite medik dan komite etik hukum dengan tujuan membahas kondisi medis pasien, prognosis, dan pertimbangan etis-legal. 124 3) Pengambilan Keputusan : Keputusan Penolakan resusitasi diambil berdasarkan hasil rapat tim, keluarga. Tidak ada penandatanganan form persetujuan tindakan kedokteran khusus untuk Penolakan resusitasi. 4) Implementasi Berikut adalah proses yang lebih detail untuk implementasi keputusan penolakan resusitasi di ruang ICU RS Bali Mandara: a) Dokumentasi keputusan Penolakan Resusitasi : Dokter penanggung jawab mencatat keputusan Penolakan resusitasi secara jelas dalam rekam medis pasien, formulir khusus permintaan penolakan resusitasi diisi dan ditandatangani oleh dokter dan keluarga pasien serta saksi, formulir Penolakan resusitasi dilampirkan di bagian depan rekam medis. b) Penandaan status Penolakan resusitasi: Gelang identitas pasien diberi tanda khusus Penolakan resusitasi (gelang warnna ungu), papan status pasien di tempat tidur ICU diberi tanda Penolakan resusitasi yang jelas. c) Komunikasi tim medis: Kepala ruang ICU mengadakan briefing untuk menginformasikan status Penolakan resusitasi pasien, Status Penolakan resusitasi dimasukkan dalam laporan jaga antar shift perawat, dokter jaga ICU menginformasikan status Penolakan resusitasi saat serah terima pasien d) Prosedur perawatan: Tim multidisiplin menyusun rencana perawatan paliatif komprehensif yang berfokus pada kualitas hidup, sesuai dengan nilai dan preferensi pasien, Rencana perawatan didokumentasikan secara rinci dalam rekam medis pasien, 125 paliatif obat-obatan dan tindakan invasif yang tidak sesuai dengan tujuan perawatan dan keinginan pasien dievaluasi ulang dan bila perlu dihentikan, Fokus perawatan diarahkan pada manajemen gejala, meliputi aspek fisik, psikososial, dan spiritual, Pemberian analgesik dan obat-obatan lain untuk mengatasi gejala dilakukan sesuai kebutuhan pasien. Tim medis memastikan komunikasi yang berkelanjutan dengan keluarga tentang perkembangan kondisi dan perawatan. e) Edukasi keluarga: dokter dan perawat memberikan penjelasan ulang tentang implikasi penolakan resusitasi, Keluarga dilibatkan dalam perencanaan perawatan paliatif, dukungan psikologis dan spiritual disediakan untuk keluarga. f) Evaluasi berkala: Status Penolakan resusitasi dievaluasi secara berkala, Jika ada perubahan kondisi, status Penolakan resusitasi dapat ditinjau ulang. g) Prosedur saat terjadi henti jantung : Staf ICU tidak melakukan resusitasi jantung paru, dokter jaga dipanggil untuk mengkonfirmasi kematian, perawatan pasien fokus pada kenyamanan di saat-saat terakhir. h) Dokumentasi akhir : waktu kematian dicatat dengan tepat, ringkasan akhir dibuat termasuk implementasi penolakan resusitasi. Implementasi penolakan resusitasi belum optimal dilaksanakan sesuai UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, terdapat ketidaksesuaian implementasi dengan pasal 4 ayat (1) huruf f : menerima atau menolak sebagian atau seluruh 126 tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap; Prosedur RS Bali Mandara tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan ini karena tidak ada dokumentasi formal persetujuan/penolakan dari keluarga. Prosedur tindakan juga tidak sesuai dengan Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 : Pasal 16 ayat (2) mengatur bahwa penolakan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis. Prosedur saat ini tidak memenuhi ketentuan ini karena tidak ada form penolakan tertulis. Terdapat pelanggaran prinsip otonomi pasien dan hak untuk self-determination dalam pelayanan kesehatan. Pelanggaran kewajiban rumah sakit dapat dikenakan sanksi administratif yang diatur pada pasal 189 ayat (2) : Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perlindungan hukum tenaga medis belum optimal, berdasarkan teori perlindungan hukum preventif, tenaga medis harus memastikan informed consent dilakukan dengan benar. Dokumentasi yang lengkap mengenai proses informed consent dapat menjadi bukti perlindungan hukum represif jika terjadi gugatan. Berdasarkan doktrin respondeat superior, rumah sakit bertanggung jawab atas tindakan tenaga medis yang bekerja di bawahnya. Rumah sakit wajib menghormati dan melindungi hak-hak Pasien; (Pasal 189 ayat (1) huruf m UU No. 17/2023). Menurut teori keadilan John Rawls, prosedur yang tidak menyertakan informed consent melanggar prinsip fairness dan equality dalam pelayanan kesehatan karena: 127 1. Fairness (Keadilan): Melanggar prinsip "veil of ignorance" dimana setiap orang harus diperlakukan seolah-olah tidak mengetahui posisi mereka dalam masyarakat, menghilangkan kesempatan pasien untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang setara dan menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan antara tenaga medis dan pasien. 2. Equality (Kesetaraan): Meniadakan hak pasien dan keluarga untuk berpartisipasi secara setara dalam pengambilan keputusan medis, mengabaikan prinsip bahwa setiap individu memiliki hak yang sama atas informasi dan pilihan dalam perawatan kesehatan, menciptakan diskriminasi terhadap pasien yang mungkin memiliki preferensi berbeda jika diberikan informasi lengkap. Prosedur tanpa informed consent juga melanggar prinsip "maximin" Rawls, yang menekankan bahwa ketidaksetaraan hanya dibenarkan jika menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung. Dalam konteks ini, pasien sebagai pihak yang rentan justru dirugikan, bukan dilindungi atau diuntungkan oleh prosedur tersebut. Ketiadaan persetujuan tindakan dapat melanggar Hak asasi/hak pasien dan keluarga untuk mendapatkan informasi dan membuat keputusan atas tubuhnya sendiri merupakan bagian dari hak asasi yang fundamental. Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter “KSAA” juga mengatakan “bahwa sebagai tenaga medis, mesti mengikuti dinamika perkembangan perundang-undangan, dengan berpedoman pada UU Kesehatan saat ini, menjadi kewajiban dokter, ataupun tenaga kesehatan minimal pernah membaca dan lebih lanjut dapat memahami arah pengaturannya sehingga selaku pemberi pelayanan kesehatan aman tidak sampai melanggar” Karena saya sering mengikuti kegiatan 128 seminar, webinar sehingga mengetahui adanya UU Kesehatan yang saat ini ada, kemungkinan tidak seluruh tenaga medis ataupun tenaga kesehatan mengetahui isi UU Kesehatan tersebut mengingat rutinitas pelayanan tambahnya. Dari lingkup Komite medik “IKM” menanggapi rumah sakit dalam pelayanan memiliki pedoman jelas tertuang dalam SOP/ panduan klinis untuk setiap jenis tindakan, tetapi kami masih dalam proses menyesuaikan dengan UU 17 tahun 2023, mengenai UU Kesehatan masih perlu dilakukan pemahaman lagi bagi seluruh personil di rumah sakit, mengingat terbilang regulasi baru sehingga sebagai dasar dalam bertindak bagi rumah sakit. Peran hukum semakin besar dalam pelayanan kesehatan. Rumah sakit dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak terlepas dari tanggung jawab yuridis yang berlandaskan kesadaran dan perlindungan hukum, mewujudkan profesionalisme tenaga kesehatan dalam komitmen terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta sangat memerlukan dukungan penegakan hukum. Diatur dengan tegas dalam Pasal 274 huruf “b” Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 mengatakan tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarganya atas tindakan yang diberikan. Berdasarkan hasil wawancara peneliti berpendapat adanya ketidaksesuaian pelaksanaan pendokumentasian keputusan Penolakan resusitasi tidak dilengkapi dengan Informed Consent . Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Dinamika kehidupan masyarakat 129 juga berlangsung pada aspek kesehatan, sehingga kadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan. Kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur–unsur pidana, dalam hukum pidana, dan juga secara perdata, dimana pasien dapat mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter juga dapat melayangkan gugatan terhadap Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) , pengadilan dan terhadap pihak yang terkait , karena merasa dirugikan dan diperkaukan tidak manusiawi. Pasien juga dapat mengadukan tindakan malpraktik pada Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI sendiri bertugas untuk menangani kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh dokter. MDKI yang akan menentukan kasus tersebut masuk pada kasus disiplin dokter, etik dokter atau pidana. Sehubungan dengan Pasal 192 dan 193 UU Kesehatan yang mengatur tanggung jawab hukum rumah sakit untuk menegakkan hak-hak pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan serta sesuai Pasal 192, rumah sakit tidak memikul tanggung jawab hukum jika pasien atau keluarganya menghentikan pengobatan setelah mendapat penjelasan medis yang komprehensif atau menolak pengobatan. Secara umum, pasien mempunyai kebebasan untuk memutuskan menerima perawatan medis termasuk pilihan untuk menolak pengobatan. Namun demikian, Pasal 192 memberikan pengecualian, yang menyatakan bahwa Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum atas kematian apapun yang diakibatkan oleh penolakan pengobatan atau penghentian pengobatan setelah 130 diberikan informasi medis yang lengkap. Penting untuk memastikan bahwa sistem hukum memberikan akuntabilitas yang adil dan merata bagi semua pihak, meskipun Pasal 193 UU Kesehatan menegaskan kewajiban hukum rumah sakit atas kelalaian Sumber Daya Manusia Kesehatan. Penentuan kelalaian dan tanggung jawab hukum harus mematuhi norma hukum yang adil dan transparan, serta mempertimbangkan keadilan pasien dan kelangsungan sistem layanan kesehatan dalam jangka panjang. Merujuk pula pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Pelayanan Publik, mengenai Asas keseimbangan memiliki arti yaitu “pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan”. Asas ini memiliki makna bahwa antara hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima pelayanan tersebut harus seimbang, tidak hanya berbicara tentang pemenuhan hak untuk penerima pelayanan tapi harus seimbang antara hak dan kewajiban antara pemberi dan penerima pelayanan. Dari hasil penelittian mencerminkan perlindungan hukum tenaga medis dan seluruh SDMK RSBM, sebagai representasi kesadaran dan perlindungan hukum dan tanggung jawab yuridis RSBM, secara keseluruhan SDMK, belum secara merata dan adequat pemahaman terhadap ketentuan hukum, baik level adminisratif maupun pada profesional kesehatan terutama terhadap keberlakuan UU Kesehatan, mengingat tanggung jawab publik rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan diatur dalam ketentuan UU Kesehatan tersebut. Menjadi kebutuhan mendesak upaya internalisasi perlindungan hukum tenaga medis, rumah sakit sebagai koorporasi maupun terhadap tenaga profesional, 131 untuk menjamin setiap perilaku berlandaskan pemahaman atas hukum serta mengetahui konsekuensi secara yuridis, mengingat Pasal 305 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2023, yang membuka peluang pasien maupun keluarganya melakukan pengaduan atas ketidakpuasan pelayanan sebuah rumah sakit dan berdampak menimbulkan kerugian yang berbunyi: “Pasien atau keluarganya yang kepentingannya dirugikan atas tindakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dalam memberikan Pelayanan Kesehatan dapat mengadukan kepada majelis” Mengingat hal diatas menjadi krusial perlindungan hukum tenaga medis, rumah sakit dan tanggung jawab yuridisnya dari perspektif asas keseimbangan untuk diwujudkan dan mutlak diterapkan sebagai bagian dalam proses pemberian layanan kesehatan. 132 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan a. Pengaturan penolakan tindakan resusitasi pada pasien terminal menurut hukum positif di Indonesia secara implisit sudah diatur dalam UU 17 tahun 2023 tentang kesehatan Pasal 276 huruf (d) mengatur pasien mempunyai hak menolak dan menyetujui tindakan medis dan pada Pasal 293 (1) Setiap tindakan Pelayanan Kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan (informed consent). Secara lebih eksplisit pengaturan penolakan tindakan resusitasi juga diatur pada pasal 14 ayat (5) PMK 37 Tahun 2014 Tentang Penentuan Kematian Dan Pemanfaatan Donor Organ. Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran mengatur bahwa baik atas permintaan pasien maupun berdasarkan pertimbangan klinis dokter terkait penolakan resusitasi pada pasien terminal wajib dilandasi dengan Informrd consent. b. Implementasi penolakan resusitasi di RSUD Bali Mandara belum efektif terlaksana karena belum dilandasi Informed consent dan tindakan semata-mata atas permohonan pasien, sampai saat ini belum ada keputusan penolakan resusitasi berdasarkan pertimbangan klinis. Hal ini disebakan pada SOP belum mengatur tentang penolakan resusitasi atas pertimbangan klinis dokter yang wajib dilandasi dengan informed consent. 133 5.2 Saran Bagi RS Bali Mandara: a. Diharapkan melengkapi SOP yang sudah ada menyesuaikan dengan ketentuan UU 17 tahun 2023, Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008 dan PMK 37 tahun 2014 yaitu dengan ketentuan penolakan resusitasi baik atas permintaan pasien maupun pertimpangan klinis dokter wajib dilandasi Informed consent. Diharapkan melaksanakan evaluasi terhadap Standar Prosedur Operasional (SPO) serta meningkatkan pengawasan secara berkala menyesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan. b. Diharapkan bagi dokter lebih mendalami ketentuan penolakan resusitasi pada pasien terminal sebagaimana diatur dalam UU 17 tahun 2023 tentang kesehatan maupun PMK 37 tahun 2014 bahwa sesungguhnya dokter berhak memberikan pertimbangan klinis berkaitan dengan keputusan penolakan resusitasi pada pasien terminal berlandaskan Informed consent. 134 DAFTAR PUSTAKA Abdul Mukthie Fadjar, 2019. Sejarah, Elemen dan Tipe Negara Hukum, Setara Press, Malang Agustina, Enny, 2020, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan, Bandung: PT. Refika Aditama. Ahmad Naufal Dzulfaroh. 2019. Ramai soal Kasus di Subang, Bolehkah RS Menolak Pasien, https://www.kompas.com/ accessed 12 May.21.00 Alfansyur, Andarusni., & Mariyani. (2020). Seni Mengelola Data: Penerapan Triangulasi Teknik, Sumber Dan Waktu Pada Penelitian Pendidikan Sosial. HISTORIS: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Sejarah, Vol 5, No. 2, 146-150. Ali Rahman, 2019. Pemahaman Hukum Dokter Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang Terhadap Tanggung Jawab Yuridis Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen. (tesis) Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Andalas. Alvis,R. (2022). Penolakan resusitasi Dalam Perspektif Hukum di Indonesia. file:///C:/Users/USER/Downloads/7958-20998-1-PB.pdf Amir. 2019. Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Mal praktek Medik di Rumah Sakit, Edisi 1. Rangkang Education. Yogyakarta Artikel Jurnal Ilmiah Asmarawati, Tina, 2019, Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia, Deepublish, Yogyakarta. Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta Jakarta, 2015, hlm.32 Bagir Manan, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta : Dewan Pers, 2016 https://www.jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntaxliterate/articl e/view/6244/3477 Burhan Ashofa, 2018, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gramedia), Chorisdiono M. Achadiat, 2016, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran (dalam Tantangan Zaman), Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Creswell, J. W, H. C. (2019). The Oxford Handbook of Multimethod and Mixed Methods Research Inquiry. Book, Chapt.28. 135 Cordeiro, S. H., Paschoal, T., & Almeida, L. M. (2018). What is a terminal illness? A systematic review of the literature. Palliative Medicine, 25(1), 10-21. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, 2010, CV Sagung Seto, Jakarta Djeinne Theresye Pangerapan, Ora Et Labora I. Palandeng,A. Joy M. Rattu,2018. Hubungan AntaraMutu Pelayanan Dengan Kepuasan Pasien Di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pancaran Kasih Manado Jurnal Kedokteran Klinik (JKK), 2 (1), pp12-18 Effendi, Tolib. 2017. Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di Indonesia). Malang: Setara Press. Eko Purwanto,2021, Pengaruh Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap Kepuasan Pasien Pada Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Dr. H. Chasan Boesoirie Kota Ternate”. (thesis) Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Ellya Rosana, 2014. “Kepatuhan Hukum Sebagai Wujud kesadaran dan perlindungan Hukum Masyarakat” Jurnal TAPIs Vol.10 No.1 pp.2-22 Fayuthika Alifia Kirana Sumeru, Hanafi Tanawijaya,2022. Inspanning Verbintenis Dalam Tindakan Medis Yang Dikategorikan Sebagai Tindakan Malpraktek,Jurnal Hukum Adigama,Vol 5 no 2, pp.490-493 Hans Kelsen , 2007, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi , General Theory Of law and State , Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik,BEE Media Indonesia, Jakarta Hans Kelsen, 2008. Pure Theory of Law, 2008.Terjemah, Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Cetakan Keenam, Penerbit Nusa Media,Bandung. Hamzah Shatri.dkk. Advanced directives pada perawatan paliatif. Jakarta ; Jurnal penyakit dalam Indonesia. 2021. http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/315/237 HB Sutopo, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Praktek Dalam Penelitian, (Surakarta: UNS Press), hlm.58 Herniwati, Rospita Adelina Siregar, Anggraeni Endah Kusumaningrum, Muntasir S, Lia Kurniasari, Endang Wahyati Yustina, Safaruddin Harefa, Sulaiman, Arman Anwar, Ika Atikah, Sabir Alwy, Afdhal, 2020, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan, Bandung: Widina Bhakti Persada. 136 Herry Wardoyo dan Eddy Rifai, 2017, Euthanasia Pasif Dalam Perspektif Hukum Pidana, (Bandar Lampung : Sai wawai) Hidup Makhluk Insani”. Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (UNISBA), 2015. https://onesearch.id/Record/IOS4254.123456789- 5770/Details Hui, D., Gross, J., & Raben, J. (2018). Defining terminal illness: A systematic review and synthesis of concepts. Journal of Palliative Medicine, 13(12), 1821-1832. James Downar. Why do patients agree to a “Do Not Resucitate”or “Fule Code”Order?Perspectives of Medical inpatients. Canada : JGIM ; 2011 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tanpa Tahun, Urgensi,Tanpa Tahun. https://kbbi.web.id/urgensi, accessed 12 May.21.50 Kemenlu RI. Indonesia dan Hak Asasi Manusia, https://www.kemlu.go.id/portal/id/read/40/halaman_list_lainnya/indonesia -dan-hak-asasi- manusia. accessed 10 Mei 2023.22.15. Khalifa Chandra Rifani, 2019.kesadaran dan perlindungan Hukum Perawat Terhadap Program Promosi Kesehatan Dalam Pelaksanaan tindakan medis Di Rumah Sakit (tesis) Studi Di RSUD Dr. Soeselo Slawi). Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Kramer, D. B., Lo, B., & Dickert, N. W. 2020. CPR in the Covid-19 Era-An Ethical Framework. New England Journal of Medicine, nejm.org Komnas HAM. Menyoal Pentingnya Hak atas Kesehatan. https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/1/7/1643 kesehatan. accessed 10 May 2023.19.30. M.Ali Khumain,2023, Penolakan pasien RSUD Subang, diakses pada https://www.antaranews.com/berita/3431133/suami-ibu-hamil-ditolak-rsud -subang-bingung-peristiwanya-jadi-viral, acessed 3 March 2023 M.Jusuf Hanafiah. Etika kedokteran & Hukum Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 2012 Made Pasek D,Supasti D,Gede Artha, 2018, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Desertasi. Ed 1.Swasta Nulus, Denpasar. hal.5 Margaretha, dkk. ( 2022). Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Penolakan Resusitasi dan Konsekuensi Hukumnya, April, 2022. https://jurnalmhki.or.id/jhki/article/view/24/22 137 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Indonesia Melindungi HAM Setiap Orang Termasuk WNA, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18835. accessed 10 May 2023.10.10. Machmud, Syahrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Karya Putra Darwati, Bandung. 2021 Mikho Ardinata, 2020. State Responsibilities Of Health Guarantee In The Perspective Of Human Rights, Jurnal HAM 11 (2),pp. 332-338 Moeljatno, 2019, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta. Mokhammad Najih, 2019. Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang Muhammad Sadi Is, Etika dan Hukum Kesehatan Teori dan Aplikasinya di Indonesia,2019. Cet. 2., Jakarta: PT Balebat Dedikasi Prima. Munir Fuady, 2019.Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontempore Bandung, Citra Aditya Bakti Ninik Maryanti, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta, 2018 Novia Defi Putri, 2019. Optimalisasi kesadaran dan perlindungan Hukum Masyarakat Terhadap Informed Consent (tesis).Konsentrasi Hukum Pidana Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta Padang Ose, M. I. (2017). Pengalaman Perawat IGD Merawat Pasien Penolakan resusitasi pada Fase Perawatan Menjelang Ajal. Jurnal Keperawatan Indonesia. https://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/378 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2019, Hukum Pidana, Malang. Setara Press. Retno Harjanti Hartiningsih, 2020. Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dan Pasien, Maksigama : Volume 14 Nomor 1 Hal. 49 – 60 Sari 2019, Tinjauan Pustaka, Tanggung Jawab Hukum, Lampung, UNILA Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2019 Sa’id, A., & Mrayyan, M. (2019). Penolakan resusitasi: An Argumentative Essay. Journal of Palliative Care & Medicine. 138 https://www.researchgate.net/publication/293013280_Opponents_and_ Prop onents_Views_Regarding_Palliative_Sedation_at_End_of_Life Siswati, Sri. 2017. Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-undang Kesehatan, Edisi 1. Rajawali Pers. Depok Soejono dan H Abdurahman, 2013, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm.13 Soekanto, S, 2012. kesadaran dan perlindungan Hukum dan Kepatuhan Hukum. CV. Rajawali. Jakarta Soekanto, Soerjono,2019, Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,edisi 1,cetakan 13, Jakarta, Rajawali Pers Soekanto, Soerjono. (2002). kesadaran dan perlindungan Hukum Dan Kepatuhan Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Soetandyo Wignjosoebroto,2003. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HuMa, Jakarta Stanley L.Paulson, 2019. Penerjemah Siwi Purwandari. Pengantar teori hukum Hans Kelsen.Diterjemahkan dari Karya Hans Kelsen,Introduction to the problems of Legal Theory (Clarendon Press-Oxford,1996,) Cetakan II ,Nusa Media.Jakarta.hlm 78-79 Susatyo Herlambang, 2011. Publishing,Yogyakarta. Etika Profesi Kesehatan, Gosyen Sutarno, Hukum Kesehatan, Setara Press, Malang, 2014 Tarigan, I. N. (2021). Kajian Bioetik dan Medikolegal dari “Penolakan resusitasi”. https://www.alomedika.com/kajian-bioetik-dan-medikolegal-dari-do-notresuscitate Triwibowo C, 2014, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta. Nuha Medika. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiah Baru, Jakarta, 1989, hlm.390 J.Guwandi, Dokter dan Hukum, Monella, Jakarta, 1981, hlm.45 Veronica Komalawati, Erga Febrianti Triswand, 2022. Tanggung Jawab Dokter Atas Insiden Keselamatan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Sebagai Institusi Kesehatan Jurnal Bina Mulia Hukum 6, (2), pp.177-182 139 Wahyu Andrianto, 2019. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit di Indonesia. https://law.ui.ac.id/tanggung-jawab-hukum-rumah-sakit-di-indonesia-olehwahyu-andrianto-s-h-m-h/. accessed 10 May.2023. Wahyudin, Munandar. 2017. Hukum Kedokteran, Edisi 1. Alfabeta. Bandung Word Health Organization (WHO). Essential medicine in Palliative care. Geneva: WHO ; 2013 (diunggah 10 februari 2022). https://www.who.int/health- topics/palliative-care. Wulantiani, Riska. “Aspek Hukum Prosedur Penghentian Terapi Bantuan Hidup Pada Pasien Terminal State Dihubungkan Dengan Kewajiban Melindungi Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Akreditasi Rumah Sakit 140 Lampiran 1. Lembar Informasi Penelitian Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Pascasarja, Universitas Udayana Program Studi Magister Hukum Kesehaatan Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232 Telp dan Fax (0361) 227499 INFORMASI PENELITIAN Saya, Putu Emy Indrayani adalah mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Magister Hukum Kesehatan (MH.Kes) Universitas Udayana. Saya sedang melakukan penelitian yang bertujuan untuk Untuk menganalisis Pengaturan Penolakan tindakan Resusitasi pada pasien terminal ” berdasarkan hukum positif Indonesia dan Untuk menganalisis implementasi penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara efektif dalam memberikan perlindungan hukum bagi tenaga medis Terkait dengan hal tersebut, saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai informan. Sebelumnya saya akan menjelaskan bagaimana prosedur penelitian ini dilakukan. Apabila Bapak/Ibu berkenan menjadi informan, mohon kiranya untuk menandatangani persetujuan menjadi informan terlebih dahulu. Partisipasi Bapak/Ibu bersifat sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun dan tidak menimbulkan bahaya potensial yang mengancam Bapak/Ibu saat menjadi informan. Apabila tidak berkenan, Bapak/Ibu dapat menolak dan tidak ikut untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, dan sewaktu-waktu Bapak/Ibu dapat mengundurkan diri tanpa sanksi apapun. Peneliti akan melakukan wawancara secara langsung dan juga pengamatan langsung yang diperkirakan selama 30-60 menit. Selama wawancara berlangsung, peneliti akan merekam semua pembicaraan dan juga mencatat hasil dari pemantauan dilapangan yang akan dijaga kerahasiaannya. Kemudian semua hasil tersebut akan disampaikan pada hasil penelitian untuk kepentingan khasanah ilmu pengetahuan. Bagi Bpak/Ibu yang bersedia menjadi informan akan diberikan hadiah dalam bentuk souvenir. Apabila Bapak/Ibu ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut terkait penelitian ini, Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti pada nomor telepon 08761665588. Atas kerjasama yang baik, peneliti mengucapkan terima kasih dan mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan di dalam pelaksanaan penelitian nanti. 141 Lampiran 2. Lembar Persetujuan Menjadi Informan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Pascasarja, Universitas Udayana Program Studi Magister Hukum Kesehaatan Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232 Telp dan Fax (0361) 227499 PERSETUJUAN MENJADI INFORMAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama :…………………………………………………………………….. Alamat :…………………………………………………………………….. Umur : …………………………………………………………………….. Pekerjaan :…………………………………………………………………….. Menyatakan telah diberi penjelasan tentang penelitian ini a.Menyatakan telah diberi kesempatan untuk bertanya b. Menyatakan telah diberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan c.Menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian yang berjudul: Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara Apabila ada hal-hal yang kurang berkenan, maka saya berhak untuk mengundurkan diri untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Informan Peneliti (………………………) (……………………….) Tanggal: …………. Tanggal: ………….. 142 Lampiran 3. No Informan: Pedoman Wawancara Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Pascasarja, Universitas Udayana Program Studi Magister Hukum Kesehaatan Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232 Telp dan Fax (0361) 227499 Pedoman Wawancara Pelaksanaan Penolakan Resusitasi Pada Pasien Terminal Dalam Perspektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis Di Rumah Sakit Bali Mandara Pendahuluan: 1. Mengucapkan salam (misalnya: selamat pagi, selamat siang) 2. Memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dari wawancara ini 3. Tekankan mengenai kerahasiaan identitas dan jawaban yang diberikan oleh informan. Tanyakan pula keinginan mereka untuk menjadi responden dan bersedia menjawab pertanyaan dengan jujur/apa adanya. 4. Mempersiapkan alat-alat untuk mendokumentasikan proses wawancara seperti alat perekam dan buku catatan 5. Setelah tercipta suasana kondusif maka wawancara mendalam bisa dimulai. Identitas Informan 1. Nama : 2. Jenis kelamin 3. Umur 4. Pekerjaan 5. Pendidikan : 6. Alamat : : : : Identitas Pewawancara 1. Nama : 2. Tanggal wawancara : 3. Lokasi wawancara : 4. Waktu wawancara : 5. Lama wawancara s/d : 143 Lampiran 4. Daftar Informan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Pascasarja, Universitas Udayana Program Studi Magister Hukum Kesehaatan Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232 Telp dan Fax (0361) 227499 DAFTAR INFORMAN NO DAFTAR INFORMAN KRITERIA 1 Direksi RSUD Bali Mandara Mengkoordinasikan pelaksanaan seluruh diwakili oleh Pejabat Eselon pelayanan medik di Instalasi terkait; IIIa/Wakil Direktur Pelayanan. serta mengkoordinasikan penyusunan dan Medical Staff by Laws dan Nursing Staff by Laws; dan mengkoordinasikan penyusunan dan penerapan regulasi. 2 Komite Medis, Komite Etik dan hukum rumah sakit diwakili oleh ketua komite medik dan Ketua Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit. Sebagai wadah profesional non struktural yang memiliki otoritas dalam mengawal mutu pelayanan kesehatan berbasis keselamatan pasien, pengorganisasian staf medik, keperawatan, dan tenaga kesehatan lainnya, etik dan hukum, pencegahan dan pengendalian infeksi, serta keselamatan dan kesehatan kerja. 3 Koordinator Instalasi Rawat Intensif Terpadu 4 Staf Medis diwakili oleh : a. Dokter Spesialis Anastesi b. Dokter Spesialis Bedah Saraf c. Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah d. Dokter Spesialis Interna. e. Dokter Spesialis Bedah Umum. f. Dokter Jaga IGD/MOD Mengkoordinasikan pelaksanaan seluruh pelayanan medik di Instalasi terkait. Memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan regulasi terkait IRIT. 1. Memberikan instruksi Penolakan resusitasikepada tim medis lainnya 2. Memastikan bahwa instruksi Penolakan resusitasidipatuhi 3. Memberikan informasi tentang Penolakan resusitasikepada pasien dan keluarga, termasuk menjelaskan tujuan, manfaat, dan risikonya 144 4. Menjawab pertanyaan dan concerns pasien dan keluarga tentang Penolakan Resusitasi. 5. Mendukung pasien dan keluarga dalam berkolaborasi dengan tim medis lainnya, termasuk dokter spesialis lain, perawat membuat keputusan yang terbaik untuk pasien. 6. Berkomunikasi dengan tim etik rumah sakit jika diperlukan untuk mendapatkan dukungan dalam membuat keputusan yang sulit 145 Lampiran 5. Daftar Pertanyaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Pascasarja, Universitas Udayana Program Studi Magister Hukum Kesehaatan Jl. PB Sudirman, Denpasar 80232 Telp dan Fax (0361) 227499 DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA INFORMAN 1. Bagaimana kebijakan rumah sakit terkait keputusan tindakan Penolakan resusitasi pada pasien terminal di RSUD Bali Mandara? 2. Bagaimana Pengasawan terhadap kepatuhan tenaga medis dalam melaksanakan kebijakan direktur terkait keputusan tindakan Penolakan resusitasi pada pasien terminal di RSUD Bali Mandara? 3. Bagaimana pelaksanakaan tindakan Penolakan resusitasipada pasien terminal di RSUD Bali Mandara? 4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pasien atau keluarga untuk menolak resusitasi? 5. Bagaimana proses informed consent dilakukan dalam kasus penolakan resusitasi pasien terminal di Rumah Sakit Bali Mandara? 6. Apa saja kendala yang dihadapi tenaga medis dalam menangani kasus penolakan resusitasi? 7. Bagaimana upaya RSUD Bali Mandara terhadap kendala dalam menangani pasien terminal dengan keputusan tindakan Penolakan resusitasi? 8. Apakah terdapat dokumen atau pedoman khusus yang mengatur pelaksanaan penolakan resusitasi di Rumah Sakit Bali Mandara? 9. Bagaimana Rumah Sakit Bali Mandara memastikan perlindungan hukum bagi 146 tenaga medis terkait pelaksanaan penolakan resusitasi /Penolakan resusitasi? 10. Bagaimana peran keluarga atau pengganti pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusan penolakan resusitasi? 11. Apakah Anda pernah menangani kasus di mana terjadi penolakan tindakan resusitasi yang kemudian menimbulkan komplikasi hukum? Jika pernah, dapatkah Anda menjelaskan bagaimana Anda menangani situasi tersebut dan apa langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi masalah hukum yang muncul? 12. Menurut Anda, apa yang perlu dilakukan untuk memperkuat perlindungan hukum bagi tenaga medis terkait pelaksanaan penolakan resusitasi? 147 Lampiran 6. Lampiran EC RSUD Bali Mandara 148 L Lampiran 7. Lampiran Dokumentasi RSUD Bali Mandara Keterangan : Dokumentasi wawancara dengan informan. 149 Tabel Matriks Wawancara Pendokumentasian Pengaturan Keputusan Penolakan resusitasi Dalam Prespektif Perlindungan Hukum Tenaga Medis di Rumah Sakit Bali Mandara Informan Jawaban Informan 1 “ Kami memiliki kebijakan Penolakan resusitasiyang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pelayanan Resusitasi Jantung Paru Dasar dan Resusitasi Jantung Paru Lanjutan. Kebijakan ini mengatur tentangIndikasi Penolakan resusitasi pada pasien terminal , Proses pengambilan keputusan Penolakan resusitasi yang melibatkan pasien, keluarga, dan tim medis, Dokumentasi Penolakan Resusitasi, Pelaksanaan Penolakan resusitasi, Peninjauan ulang Penolakan resusitasi secara berkala, Sosialisasi kebijakan Penolakan resusitasi kepada seluruh tenaga medis dan pasien “ Informan 2 “Komite Medik dan Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit berperan dalam memastikan kebijakan Penolakan resusitasi di RSUD Bali Mandara sesuai dengan peraturan dan etika kedokteran. Memfasilitasi proses pengambilan keputusan Penolakan resusitasiyang melibatkan pasien, keluarga, dan tim medis. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Penolakan Resusitasi” Informan 3 “ Kebijakan Penolakan resusitasi diterapkan dengan lebih ketat karena pasien yang dirawat di sini umumnya memiliki kondisi yang kritis dan prognosis yang buruk. Tim kami memiliki pengalaman dan keahlian yang khusus dalam menangani pasien terminal dan pengambilan keputusan Penolakan Resusitasi. - Koordinasi yang erat antara tim medis, pasien, dan keluarga sangat penting dalam pengambilan keputusan Penolakan resusitasidi ICU, kami selalu menjadikan SOP sebagai acuan kami bekerja” Informan 4 “ Dokter Spesialis Anastesi sering terlibat dalam pengambilan keputusan Penolakan Resusitasi, terutama pada pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik. Komunikasikan kepada pasien dan keluarga tentang manfaat dan risiko Penolakan resusitasidengan cara yang mudah dipahami. Kami mendokumentasikan keputusan Penolakan resusitasi dengan lengkap dan akurat namun dalam hal penolakan resusitasi murni 150 atas permintaan keluarga hanya menggunakan form permintaan dari keluarga pasien, karena jika dilengkapi informed consent ada ketakutan bagi dokter jika keluarga beranggapan bahwa dokterlah yang menganjurkan keputusan tersebut” “ Saya pernah diminta oleh keluarga melakukan Penolakan resusitasipada pasien dengan trauma otak atau stroke hemoragik yang parah. saya mempertimbangkan prognosis pasien, kualitas hidup pasien, dan keinginan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan Penolakan resusitasi sesuai SOP yang berlaku” Informan 5 “Keluarga atau pengganti pengambil keputusan memiliki peran penting dalam proses pengambilan keputusan penolakan resusitasi. Tenaga medis harus menjelaskan semua informasi yang relevan kepada keluarga atau pengganti pengambil keputusan tentang resusitasi dan konsekuensinya. Keluarga atau pengganti pengambil keputusan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan menyuarakan pendapat mereka. Keputusan akhir tentang resusitasi harus dihormati oleh tenaga medis” Informan 6 “Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah sering terlibat dalam pengambilan keputusan Penolakan resusitasi pada pasien dengan gagal jantung stadium lanjut. Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah harus menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kemungkinan keberhasilan resusitasi dan risiko komplikasi pada pasien dengan gagal jantung stadium lanjut” Informan 7 “ Kami sering terlibat dalam pengambilan keputusan Penolakan resusitasi pada pasien dengan penyakit kronis stadium lanjut, seperti kanker atau penyakit ginjal. - Dokter Spesialis Interna harus mempertimbangkan prognosis pasien, kualitas hidup pasien, dan keinginan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan Penolakan resusitasi“ Informan 8 “Dokter Spesialis Bedah Umum sering terlibat dalam pengambilan keputusan Penolakan resusitasi pada pasien dengan sepsis atau trauma abdomen yang parah. kami harus mempertimbangkan prognosis pasien, kualitas hidup pasien, dan keinginan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan Penolakan Resusitasi” Informan 9 “Kami harus segera melakukan resusitasi jantung paru (RJP) pada pasien yang henti jantung, kecuali jika ada perintah Penolakan Resusitasi” 151