Uploaded by User112582

BAB 1 UP DEKOS

advertisement
AKIBAT HUKUM TERHADAP KASUS SERTIFIKAT HAK ATAS
TANAH GANDA DITINJAU DARI TUJUAN
PENDAFTARAN TANAH
LEGAL CONSEQUENCES OF MULTIPLE LAND RIGHTS CERTIFICATE
CASES IN VIEW FROM THE PURPOSE OF LAND REGISTRATION
Oleh
DEDI KOSWARA
NPM : L210200030
USULAN PENELITIAN
Untuk memenuhi salah satu syarat penyusunan tesis
guna memperoleh gelar Magister Hukum (MH)
Pada program studi Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Perdata
Pembimbing :
1. Prof. Dr. Hj. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
2. Dr. H. Deny Haspada, S.H., SP.1
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LANGLANG BUANA
2023
AKIBAT HUKUM TERHADAP KASUS SERTIFIKAT HAK ATAS
TANAH GANDA DITINJAU DARI TUJUAN
PENDAFTARAN TANAH
A.Latar Belakang
Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai
banyak kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan merupakan suatu
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia dan oleh
karena itu, sudah semestinya pemanfaatan kekayaan alam tersebut ditujukan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Ketentuan
dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) mengatur bahwa kemakmuran rakyat menjadi
tujuan utama dalam pemanfaatan fungsi bumi, air, dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Seiring dengan berjalannya waktu,
kebutuhan manusia akan tanah semakin meningkat mengikuti arus laku
pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang tidak diimbangi dengan persediaan
tanah yang terbatas1. Ketidakseimbangan tersebut telah menimbulkan persoalan
dari banyak segi bukan masalah tanah saja tetapi masalah yuridis, ekonomi, sosial
dan politik yang disebabkan karena tanah merupakan kebutuhan yang sangat
mendasar dan menempati kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam
kehidupan.
Tanah sebagai salah satu sumber daya alam merupakan salah karunia
Tuhan Yang Maha Esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi, dan Pelaksanaannya, Cetakan ke-4, Jakarta: Universitas Trisakti, 2018, hal.1.
mendasar sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian, bahkan tanah dan
manusia tidak dapat dipisahkan dari semenjak manusia lahir hingga manusia
meninggal dunia. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitas
di atas tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah. Olehnya itu
tanah persoalan tanah ini perlu ditata dan dibuatkan perencanaan dengan hati-hati
dan penuh kearifan2. Tanah yang merupakan bagian dari bumi menurut konsep
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dimaksudkan di
sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur
salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak
penguasaan atas tanah. Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga
dalam arti yuridis. Demikian juga beraspek privat dan beraspek publik. Secara
formal, kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan
mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang dasar 1945 yang menegaskan
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan
secara subtansial, kewenangan pemerintah dalam mengatur bidang pertanahan
terutama dalam hal lalu lintas tanah, didasarkan pada ketentuan pasal 2 ayat (2)
UUPA yakni dalam hal kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan
dan
pemeliharaan
tanah
termasuk
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
dengan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai hukum. Pengaturan dalam hal
hubungan-hubungan hukum dalam pemberian dan penetapan hak-hak atas tanah
2
Ibid. Hlm. 4
jelas telah merupakan wewenang Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah
(untuk saat ini pengemban wewenang tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional)
dengan prosedur yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya UndangUndang Pokok Agraria, disebut UUPA disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia Soekarno dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 104 Tahun 1960. Dengan mulai berlakunya UUPA sehingga
terjadi perubahan yang fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama
hukum di bidang pertanahan. Salah satu tujuan diundangkannya UUPA adalah
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Pemberian jaminan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi keseluruhan rakyat Indonesia dapat terwujud melalui dua
upaya yakni sebagai berikut:
1. Tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang
dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan ketentuan-ketentuannya;
dan
2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi pemegang hak
atas tanah untuk dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya,
dan bagi pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor,
untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah menjadi objek
perbuatan hukum yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan
kebijaksanaan pertanahan.3
Ketentuan
mengenai
pendaftaran
tanah
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (selanjutnya disebut “PP 24/1997”) yang
menggantikan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (selanjutnya disebut “PP
10/1961”) sehingga PP 10/1961 tersebut dinyatakan tidak berlaku. PP 10/1961
dan PP/1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam
rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat
bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa Buku
Tanah dan sertipikat tanah yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur. 4
PP 24/1997 secara tegas menyebutkan bahwa instansi Pemerintah yang
menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
menurut Pasal 5 adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), selanjutnya dalam
Pasal 6 Ayat (1) nya ditegaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan
pendaftaran tanah tersebut, tugas pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/ Kota 4) yang sekarang menjadi Kementerian Agraria dan
Tata Ruang (ATR) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015
tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang selanjutnya disebut Perpres
Nomor 17 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata
Ruang mempunyai tugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
3
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Cetakan ke-1. (Jakarta: Kencana, 2010), hal.2
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga pemberdayaan Hukum
Indonesia, (Jakarta: 2005), hal.81.
4
bidang agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan Negara.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat
tanda bukti hak, berupa sertipikat sebagai alat pembuktian hak atas tanah.
Pengertian sertipikat diatur dalam Pasal 32 Ayat (1) PP 24/1997 tentang
Pendaftaran Tanah, yakni bahwa Sertipikat merupakan surat tanda bukti atas hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dalam sertipikat sendiri terdapat
data fisik dan yuridis yang termuat didalamnya. Sertipikat sebagai alat
pembuktian yang kuat sepanjang data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan data
yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sertipikat
tanah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota. Penerbitan sertipikat
dimaksudkan supaya pemegang hak atas tanah dapat dengan mudah untuk
membuktikan haknya dan oleh karena itu sertipikat merupakan alat pembuktian
yang kuat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 UUPA. Sertifikat sebagai
surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak dengan memenuhi unsur-unsur secara
kumulatif, yaitu:
1. Sertifikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum;
2. Tanah diperoleh dengan itikad baik;
3. Tanah dikuasai secara nyata menguasainya;
4. Dalam jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat, tidak ada pihak
yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat ataupun tidak mengajukan gugatan
ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat5.
Ketentuan di atas dapat kita ketahui bahwa sertifikat tanah mempunyai arti
dan peranan penting bagi pemegang yang bersangkutan, juga berfungsi sebagai
alat bukti hak atas tanah. Pemilik tanah mempunyai alat bukti kuat sehingga akan
lebih mudah untuk membuktikan bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Demikian
pula pihak lain yang akan berkepentingan terhadap tanah bersangkutan akan lebih
mudah memperoleh keterangan yang dapat dipercaya. Pada kenyataannya masih
sering terjadinya sengketa tanah yang memberikan kebingungan dalam
masyarakat. Banyaknya sengketa tanah yang terjadi saat ini disebabkan karena
berbagai macam persoalan masyarakat yang salah satunya yaitu sengketa
mengenai sertipikat hak atas tanah. Berdasarkan fakta-fakta yang ada di
masyarakat, Sertifikat Hak Atas Tanah masih belum sepenuhnya memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemilik Hak Atas
Tanah. Sertifikat Hak Atas Tanah masih menghadapi kemungkinan adanya
gugatan dari pihak lain yang juga merasa memiliki Hak Atas Tanah tersebut,
sehingga apabila dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia adalah pemilik
sebenarnya maka Sertifikat Hak Atas Tanah dapat dibatalkan6.
Berlakunya UUPA
secara bersamaan pemberlakuan perangkat hukum
agraria, ada yang bersumber pada hukum adat, yang berkonsepsi komunalistik
religius. Ada yang bersumber pada hukum barat yang induvidualistik liberal dan
5
Ibid. Hlm. 45-46
6
Op.Cit. Hlm. 398
ada pula yang bersal dari berbagai bekas pemerintahan swapraja yang semuanya
berkonsepsi feudal. Selain itu adanya dualism hukum perdata memerlukan
perangkat hukum yang terdiri atas peraturan-peraturan dan asas-asas yang
memberikan jawaban hukum apa atau hukum mana yang berlaku dalam
penyelesaian kasus-kasus hukum antar golongan hukum agrarian. Sehingga
lahirnya dengan lahirnya UUPA mengakhiri adanya dualisme dalam bidang
pertanahan. didalam penjelasan Umum I UUPA yang menyatakan bahwa terdapat
3 (tiga) tujuan pokok UUPA sebagai berikut :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Pasal 19 UUPA dijelaskan bahwa adanya kewajiban yang harus dijalankan
oleh pemerintah sebagai instansi tertinggi untuk menyelenggarakan pendaftaran
tahan dalam rangka menjamin kepastian hukum kepada pemilik tanah dalam hal
letak, batas-batas, serta luas tanah, status tanah, objek yang berhak atas tanah serta
pemberian surat tanda bukti hak berupa sertifikat. Berdasarkan ketentuan Pasal 19
UUPA tersebut, maka hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan termasuk
peralihan dan hapusnya hak serta pembebanannya dengan hak-hak lain haruslah
didaftarkan, sebagai suatu kewaiban yang harus dilaksanakan bagi pemegang hakhak tersebut untuk mendaftarkan tanah yang dimilikinya agar dapat memperoleh
kepastian hukum sebagai pemilik hak, sebingga pemilik hak tersebut mengetahui
secara jelas tentang keadaan, letak, batas-batas serta luas tanah yang dimilikinya.
Untuk itu jelas pemberian atau penetapan hak atas tanah hanya dapat dilakukan
oleh Negara melalui pemerintah (dalam hal ini dilakukan oleh instansi Badan
Pertanahan Nasional RI), untuk itu pemerian jaminan kepastian hukum terhadap
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya merupakan salah satu tujuan pokok
UUPA yang sudah tidak bisa di tawar lagi, sehingga Undang-Undang
mengintruksikan kepada pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Indonesia yang bersifat rechtskadaster yang bertujuan menjamin
kepastiaan hukum dan kepastian haknya. Dengan demikian diberikan kewenangan
kepada pemegang hak atas tanah untuk memanfaatkan tanah tersebut sesuai
dengan peruntukannya. Namun pada kenyataannya, sehingga saat ini pelaksanaan
pendaftaran tanah belum dapat diwujudkan sepenuhnya, bahkan disebutkan
jumlah bidang tanah yang sudah didaftarkan buru sekitar 31 % dar 85 juta bidang
tanah di Indonesia.7
Kasus pertama, secara aturan Pak Banuara sudah memenuhi kelayakan
untuk memiliki sebuah lahan tanah tanah seluas 3.275 meter persegi dengan SHM
No.252 Desa Sundawenang, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
Karena, kata Nico, Pak Banuara memiliki dokumen surat yang dibeli beberapa
tahun lalu dan bukti pembayaran pajak selama ini, meskipun tanah tersebut belum
7
Yamin Lubis, & Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi, Cet II; Bandung:
CV. Mandar maju, hal. 5.
disetifikatkan atas nama beliau. langkah Kepolisian Polda Jawa Barat yang
bekerja sigap dan telah menetapkan tersangka nama Yoerizal Tawi yang memang
sebagai penjual tanah ke Pak Banuara. Dikatakan Nico, perihat penggugat itu
merupakan hak setiap warga negara, tak ada yang bisa melarang mereka untuk
menggugat. Ketika melakukan gugatan tanpa ada barang bukti yang kuat,
pihaknya menginatkan kepada Pengadilan Sukabumi untuk bisa memberikan
putusan dengan seadil adilnya. Banuara Viktor Sihombing (48) tahun, dia seorang
tunanetra asal Warga Cimindi Raya, Kelurahan Pasirkaliki, Kecamatan Cimahi
Utara, Kota Cimahi, Jawa Barat datang ke Jakarta untuk mencari keadilan. Dia
datang ke Jakarta untuk meminta Kementerian ATR BPN agar melakukan
pembatalan SHM no 252 Desa Sundawenang, Kecamatan Parungkuda. Alasanya,
karena sertifikat tersebut sudah ada dan terbit pada tahun 1992. Sekarang kasus ini
sedang ditangani Polda Jawa Barat.
Penelitian sebelumnya :
1.Yana Rismayadi, peneltian tesis Program Studi Magister Hukum Universitas
Pasundan (2018) yang berjudul : Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah
Dalam Program Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Berdasarkan
Sistem Publikasi Negatif Bertedensi Positif.
2.M. Zakka Arafah, penelitian tesis Program Studi Magister Hukum Universitas
Islam Bandung (2020) yang berjudul : Kedudukan Peradilan Adat Dalam
Menyelesaikan Sengketa Tanah Adat Di Minangkabau Dihubungkan Dengan
Keputusan MA.746pk/Pdt/2017.
3.Fransisko Rohanda Rebong , penelitian tesis Program Studi Magister Hukum
Universitas Langlangbuana (2020) yang berjudul : Efektifitas Sanksi Pidana dan
Kendala Penegakan Hukum Tindak Pidana Penyerobotan Tanah Berdasarkan
Pasal 385 KUHP dan Undang-Undang (Perpu) Nomor 51 Tahun 1960 Tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapatlah penulis mengambil
kesimpulan untuk membuat suatu identifikasi masalah sebagai bahan penelitian
dalam penulisan skripsi ini yaitu :
1. Bagaimanakah ketentuan hukum terhadap surat-surat hak atas tanah ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan peraturan hukum atas pelanggaran surat-surat tanah
(sertifikat ganda) di PTUN Bandung ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, penelitian ini memiliki
tujuan sebagai berikut :
1.Untuk mengkaji ketentuan hukum terhadap surat-surat hak atas tanah.
2.Untuk menemukan pelaksanaan peraturan hukum atas pelanggaran surat-surat
tanah (sertifikat ganda) di PTUN Bandung ?
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara akademismaupun
secara praktis, sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu manfaat
bagi perkembangan pengetahuan ilmu hukum pada umumnya danperkembangan
suatu bidang ilmu hukum tertentu, khususnya padailmu hukum di bidang
Pertanahan atau yang dikenal di bidangAgraria tentang Badan Pertanahan
Nasional di daerah Pemalangyang akan menegakan hukum dengan menyelesaikan
kasussertipikat ganda yang menyebabkan kerugian oleh salah satu pihak.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan kepadaBadan Pertanahan Nasional dalam upaya
Penyelesaian tentang sengketa adanya sertifikat ganda yang menyebabkan
kerugian atas salah satu pihak.
b.
Bagi
Masyarakat
Untuk
memberikan
informasi
kepada
masyarakat
umumdengan
cakupan yang luas mengenai penyelesaian kasus jikaterjadi sengketa sertipikat
ganda atas sebuah tanah, sehinggamasyarakat umum tidak buta terhadap hal
yang dilakukan oleh salah satu pihak yang merugikan salah satu pihaknya juga.
E.Kerangka Pemikiran
Dasar hukum politik pertanahan nasional dengan satu tujuan yaitu untuk
sebesar - besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan mekanisme penguasaan oleh
negara yang kemudian dijabarkan lebih lanjut antara lain dalam pasal 1, 2, 3
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA). Jadi penguasaan, pengaturan dalam penggunaan dan penguasaan tanah
seyogyanya tidak boleh lari jauh dari tujuan yang diamanahkan konstitusi negara
kita. Undang-undang Pokok Agraria berpedoman pada suatu prinsip bahwa untuk
menuju cita-cita yang diamanahkan oleh pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
Tahun 1945 itu tidak perlu dan tidak pada tempatnya apabila negara (sebagai
organisasi kekuasaan dari seluruh bangsa Indonesia) menjadi pemilik dalam arti
keperdataan atas bumi, air dan kekayaan alam lainnya, tetapi yang tepat adalah
negara sebagai badan penguasa, demikian pengertian yang harus dipahami oleh
pelaksana kekuasaan negara dan aparat-aparatnya serta seluruh masyarakat
mengenai arti kata Negara dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Pokok Agraria, yang mengatakan bahwa8: bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi
dikuasai oleh Negara.9
Hukum Tanah Nasional yang ketentuan pokoknya ada di dalam Undangundang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 merupakan dasar dan landasan
hukum untuk memiliki dan menguasai tanah oleh orang lain dan badan hukum
dalam rangka memenuhi keperluannya, untuk bisnis ataupun pembangunan. Oleh
karena itu keberadaan hak-hak perorangan atas tanah tersebut selalu bersumber
pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah pasal 1 ayat (1) Undang-undang Pokok
Agraria, dan masing-masing hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah
Nasional tersebut meliputi, hak bangsa Indonesia atas tanah pasal 1 ayat (1), dan
hak menguasai Negara Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Pokok Agraria,
8
Arie S. Hutagalung, Perlindungan Pemilikan Tanah dari Sengketa Menurut Hukum Tanah
Nasional, Tebaran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia,
2005, hlm. 295. 2
9
Ibid. Hlm. 395
serta hak-hak perorangan atas tanah yang terdiri dari hak-hak atas tanah (primer
dan sekunder) dan hak jaminan atas tanah.10
Tata cara yang dapat digunakan untuk memperoleh hak atas tanah
tergantung pada status tanah yang tersedia yaitu, Tanah Negara atau Tanah Hak.
Jika tanah yang tersedia berstatus Tanah Negara, tata cara yang harus digunakan
untuk memperoleh tanah tersebut adalah melalui permohonan hak. Dan jika yang
tersedia berstatus Tanah Hak (hak-hak primer), maka tata cara yang dapat
digunakan untuk memperoleh tanah tersebut di antaranya adalah melalui,
pemindahan hak (jual-beli, hibah tukar, menukar11. Setiap hak atas tanah yang
diperoleh melalui acara permohonan hak wajib didaftarkan di Kantor Badan
Pertanahan (BPN) di setiap Kabupaten/Kotamadya.
Pembangunan jangka panjang peranan tanah bagi pemenuhan berbagai
keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan
usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan
berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan, yang pertama diperlukan adalah
tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan
secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya. Selain itu
dalam menghadapi kasus-kasus konkret diperlukan juga terselenggaranya
pendaftaran tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang
dikuasainya, dan bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan
10
Sunario Basuki, Ketentuan Hukum Tanah Nasional ( HTN ) yang Menjadi Dasar dan Landasan
Hukum Pemilikan dan Penguasaan Tanah, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2020. Hlm. 1
11
Ibid . Hlm. 29
calon penjual, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah
yang menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah
untuk melaksanakan kebijaksanaan pertanahan.
Sehubungan dengan itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam Pasal 19 memerintahkan
diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum
atas pemilikan tanah. Pendaftaran tanah tersebut kemudian diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
yang sampai saat ini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di seluruh
Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang
menyempurnakan
Peraturan
Pemerintah
Nomor
10
Tahun
1961
tetap
dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan, yang pada hakikatnya sudah
ditetapkan dalam Undang-undang Pokok Agraria, yaitu bahwa pendaftaran tanah
diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan dan bahwa sistem publikasi yang mengandung unsur positif , karena
akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam pasal 19 ayat (2) huruf c,
pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2) dan pasal 38 ayat (2) Undang-undang Pokok
Agraria.
Aktivitas yang dilakukan di atas tanah yang merupakan kebutuhan dasar
sehingga mengakibatkan kebutuhan akan hal tesebut meningkat. Disisi lain tanah
memiliki nilai ekonomis, dimana nilai tanah di pengaruhi oleh beberapa faktor
penggunaan dan penguasaan tanah yang menyangkut segi ekonomi, social budaya,
politik, serta pertahanan keamanan. Munculnya sengketa tanah merupakan sebuah
konsekwensi dimana laju pertumbuhan penduduk dengan pembangunan
infrastruktur di berbagai sektor yang mempengaruhi kebutuhan akan tenah
tesebut, serta memicu nilai jual tanah yang tidak sesuai dengan peningkatan
ekonomi masyarakat. Ada beberapa jenis sengketa yang sering ditemui dalam
masyarakat yaitu sengketa waris, sengketa hak, sengketa batas, sengketa peralihan
hak, sengketa pembebasan tanah, dan sengketa sertifikat ganda. Penyebab
sengkata tanah sangat beragam, yaitu tidak tertibnya administrasi yang dilakukan
oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), ketidak seimbangan antara kebutuhan
dan kesediaan tanah, penerapan peraturan 69 pemerintah yang kurang maksimal,
dan adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh beberapa oknum mafiah tanah.
Terkait sertifikat ganda, dimana muncul dua sertifikat dengan objek yang sama
kemudian diantara kedua sertifikat tersebut ada yang asli, ada pula yang asli tapi
palsu. Dan untuk membuktikan kebenaran kedua sertifikat tersebut dilakukan
pembuktian di pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara.
Terkait
sertifikat ganda ada 2 teori yang dapat digunakan untuk
menganalisis permasalahan tersebut, yaitu :
1.Teori Kepastian Hukum
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum merupakan jaminan
bahwa hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik. Sudah tentu kepastian
hukum sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan hal ini lebih diutamakan
untuk norma hukum tertulis.12 Karena kepastian sendiri hakikatnya merupakan
12
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum Yogjakarta. Liberty. 2009. Hlm. 21
tujuan utama dan ukuran. kepastian hukum ini menjadi keteraturan masyarakat
berkaitan erat dengan kepastian itu scndiri karena esensi dan keteraturan akan
menyebabkan seseorag hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang
diperlukan dalam melakukan aktivitas kehidupan masyarakat itu sendiri. Dalam
hal kepastian hukum ini menurut Teubner hukurn yang dapat memuaskan semua
pihak adalah hukum yang responsif dan hukum yang responsif hanya lahir jika
ada demokratisasi legislasi. Tanpa demokrasi (partisipasi masyarakat) dalam
proses legislasi hasilnya tidak akan pernah melahirkan hukum yang mandiri.
Hukum hanya sebagai legitimasi keinginan pemerintah, dalam kondisi seperti itu
ada tindakan pemenintah dianggap bertentangan dengan hukum. Kepentingankepentingan masyarakat menjadi terabaikan karena hukum bersifat mandiri karena
makna-rnaknanya
mengacu
pada
dirinya
sendiri
(keadilan,
kepastian,kemanfaatan)13.
Menurut Gustav Radbruch terdapat dua macam pengertian kepastian
hukum yaltu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dan
hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukurn dalam
masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum
memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap
berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum
tersebut sebanyak-banyaknya dalarn undang-undang. Dalam undang-undang
tersebut terdapat
ketentuan-ketentuan
yang bertentangan (undang-undang
berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang undang dibuat
13
Gunther Teubner, Subtantive and Reflesive Elements in Modern Law, Law and Social Review,
Vol 17 No 2, 2021. Dikutip Oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
berdasarkan rechtwekelijikheid (keadaan hukum yang sungguh) dan dalam
undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara
berlain-lainan.
Kepastian hukum merupakan suatu jaminan bahwa suatu hukum harus
dijalankan dengan cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya salah satu
tujuan dan hukum. Kepastian hukum kerap sekali mengarah kepada aliran
positivime karena jika hukum tidak memiliki jati diri maka tidak lagi digunakan
sebagai pedoman atau panutan perilaku setiap orang. Namun hukum sangat erat
kaitanya dengan politik kekuasaan berhembus maka disitulah hukum berlabuh.14
Menurut Utrecht, hukum menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan
manusia. Anggapan utrecht ini didasarkan atas anggapan vanikan bahwa hukum
untuk menjaga kepentingan tiap manusia supaya kepentingan itu tidak dapat
diganggu (mengandung pertimbangan mana yang lebih besar daripada yang lain
).15
2. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo awal mula dari
munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau
aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan Zeno.
Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan
yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh
dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang hukum dan moral adalah
14
Awaludin Marwan, Teori Hukum Kontemporer Suatu Pengantar Posmoderenisme Hukum.
Yogjakarta. Rangka Education. 2010. Hlm. 24
15
Said Sampara dkk. Pengantar Ilmu Hukum. Yogjakarta. Total Media. 2011. Hlm. 45
cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang
diwujudkan melalui hukum dan moral.16
Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum salmond bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan
kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk
menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan
hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat
yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur
hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perorangan
dengan pemerintah yang dianggap mewakili masyarakat17. Dengan hadirnya
hukum
dalam
bermasyarakat,
berguna
untuk
mengintegrasikan
dan
mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa bertentangan antara satu
sama lain. Maka dari itu, hukum harus bisa mengintegrasikannya sehingga
benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan seminimal mungkin.
Pendapat mengenai pengertian untuk memahami arti hukum yang
dinyatakan oleh Dr. O. Notohamidjojo, S.H hukum ialah keseluruhan peraturan
tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia
dalam masyarakat negara serta antara negara yang berorientasi pada dua asas yaitu
16
17
Satjipto Rahardjo , Ilmu Hukum. Bandung, PT Citra Aditya Bakti. 2014. Hlm. 53
Ibid . Hlm. 54
keadilan dan daya guna, demi tata dan damai dalam masyarakat.16 Sedangkan
menurut Prof Mahadi, S.H pengertian hukum seperangkat norma mengatur laku
manusia dala masyarakat. Berbagai definisi yang telah dikemukakan dan ditulis
oleh para ahli hukum, yang pada dasarnya memberikan suatu batasan yang hampir
sama yaitu bahwa hukum itu memuat peraturan tingkah laku manusia.18
Perlindungan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan
membentengi.
Sedangkan perlindungan berarti
konservasi, pemeliharaan,
penjagaan, asilun dan bunker. Secara umum perlindungan berari mengayomi
sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan
maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makan
pengayoman yang diberikan seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Dengan
demikian, perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan oleh hukum atau
perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Namun dalam
hukum pengertian perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan
secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang
bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan
hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentnag Hak Asasi Manusia. Dengan kata lain
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum yaitu konsep
dimana hukum dapat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan
18
Syamsul Arifin, Pengantar Hukum Indonesia. Medan. Medan Area University Press. 2012. Hlm.
5-6
dan kedamian. Adapun pendapat yang dikutip dari beberapa ahli mengenai
perlindungan hukum sebagai berikut:
a. Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan kentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.
b. Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi
individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang
menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam
pergaulan hidup antara sesama manusia.19
Pada dasarnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria
maupun wanita. Indonesia sebagai negara hukum terhadap warga masyarakatnya
karena perlindungan hukum tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan
demi mencapai kesejahteraan bersama.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah jenis penelitian hukum
empiris yang merupakan penelitian yang dilakukan dengan berfokus pada fakta
sosial. Penelitian ini dilakukan secara langsung kepada responden untuk
19
Ibid. Hlm. 22
memperoleh data primer yang didukung dengan data skunder yang terdiri atas
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
2. Sumber Data
Penelitian hukum empiris, data yang digunakan berupa data yang terdiri
dari:
a. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden dan
narasumber mengenai objek yang sedang diteliti yaitu mengenai Penyelesaian
Sengketa Mengenai Adanya Sertipikat Ganda Terhadap Hak Milik Atas Tanah
Pada Kasus Yang Terjadi Di Kabupaten Pemalang.
b. Data Sekunder merupakan data lengkap yang terdiri dari bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, yaitu:
1) Bahan Hukum Primer
Meliputi peraturan perundang-undangan, yaitu:
a) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
c) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
d) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
e) Peraturan Menteri dan Tata Ruang Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Penanganan
dan Penyelesaian Kasus Pertanahan
2) Bahan Baku Sekunder
Bahan baku sekunder berupa buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian,
internet (website), media massa, dan serta pendapat hukum yang bertujuan untuk
mencari data yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa mengenai adanya
sertipikat ganda terhadap hak milik atas tanah pada kasus yang terjadi di
pemalang.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara untuk memperoleh data
penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Wawancara
Wawancara merupakan sebuah bentuk dari komunikasi yang dilakukan
secara verbal. Wawancara dilakukannya secara langsung kepada pihak-pihak yang
bersangkutan dalam memecahkan permasalahan yang ada di penelitian dengan
berpedoman wawancara secara terbuka. Untuk memperoleh data primer dilakukan
dengan cara mengadakan wawancara kepada pihak/Instansi yang dianggap
sebagai Narasumber untuk penelitian ini, atau lebih tepatnya melakukan
wawancara kepada pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kota Pemalang.
Karena Badan Pertanahan Nasional inilah yang berhak, tau serta faham atas
permasalahan yang ada di penelitian ini sehingga dijadikan Narasumber atas
penelitian diatas.
b. Kuisioner
Kuisioner adalah kumpulan daftar pertanyaan yang sudah disusun secara
urut dari yang umum yang mengarah ke yang khusus yang diberikan kepada
responden.
c. Studi Kepustakaan
Tahap pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan guna
memperoleh bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dengan cara
mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, artikel maupun jurnal
hasil penelitian, internet, media massa, media elektronik, serta dokumen-dokumen
yang terkait dengan pokok permasalahan.
4. Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah metode analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif yaitu
metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yang artinya hal-hal
yang diperoleh dari apa yang telah dikatakan responden secara tertulis maupun
lisan, apa yang dikatakan oleh narasumber secara tertulis maupun lisan serta
perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari dengan utuh. Dalam menarik
kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode berpikir induktif yaitu
menarik kesimpulan dari hal yang sifatnya khusus ke hal-hal yang bersifat umum.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan ini terdiri dari 5 (lima) bab sebagai berikut :
Bab I
Bab ini menguraikan dasar-dasar pemikiran dari penelitian ini,
yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, tujuan
penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II
Bab ini akan menulis tinjauan pustaka yang di dalam sub bab
membahas akibat hukum kasus sesrtifikat ganda hak atas tanah
ditinjau dari pendaftaran tanah.
Bab III
Bab ini menguraikan fakta hukum kasus sertifikat ganda hak atas
tanah ditinjau dari tujuan pendaftaran tanah
Bab IV
Bab ini membahas mengenai tinjauan hasil penelitian yang
relevan
dengan
permasalahan
dan
pembahasannya
serta
bagaimana ketentuan hukum terhadap surat hak atas tanah dan
pelaksanaan peraturan hukum atas pelanggaran surat tanah
sertifikat ganda di PTUN Bandung.
Bab V
Bab ini penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga
pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta: 2005
Awaludin Marwan, Teori Hukum Kontemporer Suatu Pengantar Posmoderenisme
Hukum. Yogjakarta. Rangka Education. 2010
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Cetakan ke-4, Jakarta: Universitas
Trisakti, 2018.
Harjono. 2008. Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta.
Hartanto, Andy. 2015. Panduan Lengkap Hukum Praktis: Kepemilikan Tanah,
Laksbang Justitia. Surabaya
Hestu Cipto Handoyo, B. 2009. Hukum Tata Negara Indonesia “Menuju
Konsolidasi Sistem Demokrasi”. Universitas Atma Jaya. Jakarta.
HR, Ridwan. 2014. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pers. Jakarta.
Lubis, Yamin dan Rahim Lubis. 2010. Hukum Pendaftaran Tanah. Mandar Maju.
Bandung
Soetomo. 2001. Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak dan Sertifikat. Lembaga
Penerbitan Universitas Brawijaya.
Soimin, Sudaryo. 1994. Status Tanah Dan Pembebasan Tanah. Sinar Grafika.
Jakarta.
Sudaryatmi, Sri dan Sukirno, TH. Sri Kartini. 2000. Beberapa Aspek Hukum Adat.
Badan Penerbit Undip. Semarang.
Supriadi. 2008. Hukum Agraria. Sinar Grafika. Jakarta.
Sunario Basuki, Ketentuan Hukum Tanah Nasional ( HTN ) yang Menjadi Dasar
dan Landasan Hukum Pemilikan dan Penguasaan Tanah, Program
Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Tjandra, W. Riawan. 2014. Hukum Sarana Pemerintahan. Cahaya Atma Pustaka.
Jakarta
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Cetakan ke-1. (Jakarta:
Kencana, 2010)
Yamin Lubis, & Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah Edisi Revisi, Cet
II; Bandung: CV. Mandar maju
Peraturan Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Reglemen Acara Perdata (Rv)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3696)
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Download