MAKALAH Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia dari Era Pra Kemerdekaan sampai Era Orde Reformasi Dosen Pengampu Mata Kuliah Ketut Diara Astawa Oleh Kelompok 1: 1. 2. 3. 4. Devia Fitri Pratiwi Janis Khafidzul Luthfi Maria Aprilia Maja Wara Mohamad Syafi’I (160332605888) (160332605849) (160332605xxx) (160332605891) Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang 2017 Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia 1. Pendahuluan Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sudah terwujud dalam kehidupan bermasyarakat sejak sebelum Pancasila sebagai dasar negara dirumuskan dalam satu sistem nilai. Sejak zaman dahulu, wilayah-wilayah nusantara ini mempunyai beberapa nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat sebagai contoh: (1) Percaya kepada Tuhan dan toleran, (2) Gotong Royong, (3) Musyawarah, (4) Solidaritas atau kesetiakawanan sosial, dan sebagainya. Akan tetapi saat ini nilai-nilai tersebut sudah jarang ditemukan dalam kehidupan masyarakat, dan semakin pudar. Bahkan banyak dari aparatur pemerintah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Perilaku seperti ini dapat dikategorikan perilaku yang tidak mensyukuri kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Ibarat sebuah kontruksi bangunan, Pancasila merupakan fondasi yang membuat kokoh Negara Republik Indonesia. Telah nyata diketahui bahwa Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Akan tetapi saat ini, masih banyak rakyat Indonesia yang belum mengerti makna dari Pancasila, belum memahami tentang sejarah Pancasila, bahkan sebagian rakyat Indonesia belum hafal Pancasila. Hal ini dapat mengakibatkan salah pemahaman mengenai Pancasila. Berdasarkan latarbelakang diatas maka perlu adanya pemahaman mengenai Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, diangkatlah pemahaman tersebut dalam bentuk makalah yang berjudul “Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia dari Era Pra Kemerdekaan sampai Era Reformasi”. Masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah bagaimana Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia dari Era Pra Kemerdekaan sampai Era Reformasi? Tujuan yang akan dicapai adalah mengerti dan mehamami bagaimana Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia dari Era Pra Kemerdekaan sampai Era Reformasi. 2. Konsep dan Urgensi Pancasila Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang masa. Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and deepen” identitas Bangsa Indonesia. Ia lebih dari itu. Ia adalah identitas Bangsa Indonesia sendiri sepanjang masa. Sejak Pancasila digali kembali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan identitas yang dormant, yang “tertidur” dan yang “terbius” selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22). 2.1 Esensi Pancasila Pancasila pada hakikatnya merupakan Philosofische Grondslag dan Weltanschauung. Pancasila dikatakan sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Grondslag) karena mengandung unsur-unsur sebagai berikut: alasan filosofis berdirinya suatu negara; setiap produk hukum di Indonesia harus berdasarkan nilai Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanschauung) mengandung unsur-unsur sebagai berikut: nilai-nilai agama, budaya, dan adat istiadat. 2.2 Urgensi Pancasila Hasil Survei yang dilakukan KOMPAS yang dirilis pada 1 Juni 2008 menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang Pancasila merosot secara tajam, yaitu 48,4% responden berusia 17 sampai 29 tahun tidak mampu menyebutkan silai-sila Pancasila secara benar dan lengkap. 42,7% salah menyebut sila-sila Pancasila, lebih parah lagi, 60% responden berusia 46 tahun ke atas salah menyebutkan sila-sila Pancasila. Fenomena tersebut sangat memprihatinkan karena menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Pancasila yang ada dalam masyarakat tidak sebanding dengan semangat penerimaan masyarakat terhadap Pancasila (Ali, 2009: 2). Selain data tersebut, pentingnya Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia dikarenakan hal-hal berikut: pengidentikan Pancasila dengan ideologi lain, penyalahgunaan Pancasila sebagai alat justifikasi kekuasaan rezim tertentu, melemahnya pemahaman dan pelaksanaan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 3. Perlunya Pancasila 3.1 Sebagai Identitas Bangsa Indonesia Sebagaimana diketahui bahwa setiap bangsa mana pun di dunia ini pasti memiliki identitas yang sesuai dengan latar belakang budaya masing-masing. Budaya merupakan proses cipta, rasa, dan karsa yang perlu dikelola dan dikembangkan secara terus-menerus. Budaya dapat membentuk identitas suatu bangsa melalui proses inkulturasi dan akulturasi. Pancasila sebagai identitas bangsa Indonesia merupakan konsekuensi dari proses inkulturasi dan akulturasi tersebut. Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan hasil inkulturasi, yaitu proses perpaduan berbagai elemen budaya dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadikan masyarakat berkembang secara dinamis. (J.W.M. Bakker, 1984:22) menyebutkan adanya beberapa saluran inkulturasi, yang meliputi: jaringan pendidikan, kontrol, dan bimbingan keluarga, struktur kepribadian dasar, dan self expression. Kebudayaan bangsa Indonesia juga merupakan hasil akulturasi sebagaimana yang ditengarai Eka Dharmaputera dalam bukunya Pancasila: Identitas dan Modernitas. Haviland menegaskan bahwa akulturasi adalah perubahan besar yang terjadi sebagai akibat dari kontak antarkebudayaan yang berlangsung lama. Hal-hal yang terjadi dalam akulturasi meliputi: 1) Substitusi; penggantian unsur atau kompleks yang ada oleh yang lain yang mengambil alih fungsinya dengan perubahan structural yang minimal; 2) Sinkretisme; percampuran unsur-unsur lama untuk membentuk sistem baru; 3) Adisi; tambahan unsur atau kompleks-kompleks baru; 4) Orijinasi; tumbuhnya unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan situasi yang berubah; 5) Rejeksi; perubahan yang berlangsung cepat dapat membuat sejumlah besar orang tidak dapat menerimanya sehingga menyebabkan penolakan total atau timbulnya pemberontakan atau gerakan kebangkitan (Haviland, 1985: 263). 3.2 Sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia Pancasila disebut juga sebagai kepribadian bangsa Indonesia, artinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diwujudkan dalam sikap mental dan tingkah laku serta amal perbuatan. Sikap mental, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia mempunyai ciri khas, artinya dapat dibedakan dengan bangsa lain. Kepribadian itu mengacu pada sesuatu yang unik dan khas karena tidak ada pribadi yang benar-benar sama. Setiap pribadi mencerminkan keadaan atau halnya sendiri, demikian pula halnya dengan ideologi bangsa (Bakry, 1994: 157). Meskipun nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan juga terdapat dalam ideologi bangsa-bangsa lain, tetapi bagi bangsa Indonesia kelima sila tersebut mencerminkan kepribadian bangsa karena diangkat dari nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia sendiri dan dilaksanakan secara simultan. Di samping itu, proses akulturasi dan inkulturasi ikut memengaruhi kepribadian bangsa Indonesia dengan berbagai variasi yang sangat beragam. Kendatipun demikian, kepribadian bangsa Indonesia sendiri sudah terbentuk sejak lama sehingga sejarah mencatat kejayaan di zaman Majapahit, Sriwijaya, Mataram, dan lain-lain yang memperlihatkan keunggulan peradaban di masa itu. Nilainilai spiritual, sistem perekonomian, politik, budaya merupakan contoh keunggulan yang berakar dari kepribadian masyarakat Indonesia sendiri. 3.3 Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Pancasila dikatakan sebagai pandangan hidup bangsa, artinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diyakini kebenarannya, kebaikannya, keindahannya, dan kegunaannya oleh bangsa Indonesia yang dijadikan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan menimbulkan tekad yang kuat untuk mengamalkannya dalam kehidupan nyata (Bakry, 1994: 158). Pancasila sebagai pandangan hidup berarti nilai-nilai Pancasila melekat dalam kehidupan masyarakat dan dijadikan norma dalam bersikap dan bertindak. Ketika Pancasila berfungsi sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, maka seluruh nilai Pancasila dimanifestasi ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 3.4 Sebagai Jiwa bangsa Sebagaimana dikatakan von Savigny bahwa setiap bangsa mempunyai jiwanya masing-masing, yang dinamakan volkgeist (jiwa rakyat atau jiwa bangsa). Pancasila sebagai jiwa bangsa lahir bersamaan dengan lahirnya bangsa Indonesia. Pancasila telah ada sejak dahulu kala bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia (Bakry, 1994: 157). 3.5 Sebagai Perjanjian Luhur Perjanjian luhur, artinya nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa bangsa dan kepribadian bangsa disepakati oleh para pendiri negara (political consensus) sebagai dasar negara Indonesia (Bakry, 1994: 161). Kesepakatan para pendiri negara tentang Pancasila sebagai dasar negara merupakan bukti bahwa pilihan yang diambil pada waktu itu merupakan sesuatu yang tepat. 4. Sejarah Pancasila 4.1 Era Pra-Kemerdekaan Jauh sebelum periode pengusulan Pancasila, cikal bakal munculnya ideologi bangsa itu diawali dengan lahirnya rasa nasionalisme yang menjadi pembuka ke pintu gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia. Ahli sejarah, Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikutip oleh Mochtar Pabottinggi dalam artikelnya yang berjudul Pancasila sebagai Modal Rasionalitas Politik, menengarai bahwa benih nasionalisme sudah mulai tertanam kuat dalam gerakan Perhimpoenan Indonesia yang sangat menekankan solidaritas dan kesatuan bangsa. Perhimpoenan Indonesia menghimbau agar segenap suku bangsa bersatu teguh menghadapi penjajahan dan keterjajahan. Kemudian, disusul lahirnya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 merupakan momen-momen perumusan diri bagi bangsa Indonesia. 4.1.1 Pengusulan Pancasila Ketika Dr. Radjiman Wediodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), pada tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan rangsangan anamnesis yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang; hal ini medorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011: 4). Pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan dari tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, tampil berturut-turut untuk berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar negara. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan negara Indonesia sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan, 5) Kesejahteraan Rakyat. Selanjutnya Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teoriteori Negara, yaitu: 1) Teori negara perseorangan (individualis), 2) Paham negara kelas, dan 3) Paham negara integralistik. Kemudian disusul oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari: 1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia), 2) Internasionalisme (peri kemanusiaan), 3) Mufakat (demokrasi), 4) Kesejahteraan social, dan 5) Ketuhanan Yang Maha Esa (Berkebudayaan) (Kaelan, 2000: 37-40) Berdasarkan catatan sejarah, kelima butir gagasan itu oleh Soekarno diberi nama Pancasila. Selanjutnya, Soekarno juga mengusulkan jika seandainya peserta sidang tidak menyukai angka 5, maka ia menawarkan angka 3, yaitu Trisila yang terdiri atas (1) Sosio-Nasionalisme, (2) Sosio-Demokrasi, dan (3) Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno akhirnya juga menawarkan angka 1, yaitu Ekasila yang berisi asas Gotong-Royong. Tetapi yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila (di samping nama Trisila dan Ekasila yang tidak terpilih) (Notosusanto, 1981: 21). Setelah pidato Soekarno, sidang menerima usulan nama Pancasila bagi dasar filsafat negara (Philosofische grondslag) yang diusulkan oleh Soekarno, dan kemudian dibentuk panitia kecil 8 orang (Ki Bagus Hadi Kusumo, K.H. Wahid Hasyim, Muh. Yamin, Sutarjo, A.A. Maramis, Otto Iskandar Dinata, dan Moh. Hatta) yang bertugas menampung usul-usul seputar calon dasar negara. Kemudian, sidang pertama BPUPKI (29 Mei - 1 Juni 1945) ini berhenti untuk sementara. Sejarah mencatat bahwa pidato lisan Soekarno inilah yang di kemudian hari diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia dalam bentuk buku yang berjudul Lahirnya Pancasila (1947). 4.1.2 Perumusan Pancasila Hal terpenting yang mengemuka dalam sidang BPUPKI kedua pada 10 - 16 Juli 1945 adalah disetujuinya naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta itu merupakan naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pada alinea keempat Piagam Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila sebagai berikut: 1.) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya, 2.) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3.) Persatuan Indonesia, 4.) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5.) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta” ini di kemudian hari dijadikan “Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah perubahan di sana-sini. Ketika para pemimpin Indonesia sedang sibuk mempersiapkan kemerdekaan menurut skenario Jepang, secara tiba-tiba terjadi perubahan peta politik dunia. Salah satu penyebab terjadinya perubahan peta politik dunia itu ialah takluknya Jepang terhadap Sekutu. Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Sehari setelah peristiwa itu, 7 Agustus 1945, Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta mengeluarkan maklumat yang berisi: (1) pertengahan Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia (PPKI), (2) panitia itu rencananya akan dilantik 18 Agustus 1945 dan mulai bersidang 19 Agustus 1945, dan (3) direncanakan 24 Agustus 1945 Indonesia dimerdekakan. Esok paginya, 8 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil Jenderal Terauchi (Penguasa Militer Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang berkedudukan di Saigon, Vietnam (sekarang kota itu bernama Ho Chi Minh). Ketiga tokoh tersebut diberi kewenangan oleh Terauchi untuk segera membentuk suatu Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia sesuai dengan maklumat Pemerintah Jepang 7 Agustus 1945 tadi. Sepulang dari Saigon, ketiga tokoh tadi membentuk PPKI dengan total anggota 21 orang, yaitu: Soekarno, Moh. Hatta, Radjiman, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar Dinata, Purboyo, Suryohamijoyo, Sutarjo, Supomo, Abdul Kadir, Yap Cwan Bing, Muh. Amir, Abdul Abbas, Ratulangi, Andi Pangerang, Latuharhary, I Gde Puja, Hamidan, Panji Suroso, Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan (Sartono Kartodirdjo, dkk., 1975: 16--17). 4.1.3 Pengesahan Pancasila Peristiwa penting lainnya terjadi pada 12 Agustus 1945, ketika itu Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat dipanggil oleh penguasa militer Jepang di Asia Selatan ke Saigon untuk membahas tentang hari kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang pernah dijanjikan. Namun, di luar dugaan ternyata pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pada 15 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Rajiman kembali ke Indonesia. Kedatangan mereka disambut oleh para pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan secepatnya karena mereka tanggap terhadap perubahan situasi politik dunia pada masa itu. Para pemuda sudah mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada sekutu sehingga Jepang tidak memiliki kekuasaan secara politis di wilayah pendudukan, termasuk Indonesia. Perubahan situasi yang cepat itu menimbulkan kesalahpahaman antara kelompok pemuda dengan Soekarno dan kawan-kawan sehingga terjadilah penculikan atas diri Soekarno dan M. Hatta ke Rengas Dengklok (dalam istilah pemuda pada waktu itu “mengamankan”), tindakan pemuda itu berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada pukul 24.00 WIB menjelang 16 Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta (Kartodirdjo, dkk., 1975: 26). Melalui jalan berliku, akhirnya dicetuskanlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks kemerdekaan itu didiktekan oleh Moh. Hatta dan ditulis oleh Soekarno pada dini hari. Dengan demikian, naskah bersejarah teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini digagas dan ditulis oleh dua tokoh proklamator tersebut sehingga wajar jika mereka dinamakan Dwitunggal. Selanjutnya, naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Rancangan pernyataan kemerdekaan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI yang diberi nama Piagam Jakarta, akhirnya tidak dibacakan pada 17 Agustus 1945 karena situasi politik yang berubah (Lihat Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, William Frederick dan Soeri Soeroto, 2002: hal. 308 - 311). Sampai detik ini, teks Proklamasi yang dikenal luas adalah sebagai berikut: Proklamasi Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll. diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 2605 Atas Nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta 4.2 Era Kemerdekaan Isi Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Perlu diketahui bahwa sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yakni 18 Agustus 1945, PPKI bersidang untuk menentukan dan menegaskan posisi bangsa Indonesia dari semula bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka. PPKI yang semula merupakan badan buatan pemerintah Jepang, sejak saat itu dianggap mandiri sebagai badan nasional. Atas prakarsa Soekarno, anggota PPKI ditambah 6 orang lagi, dengan maksud agar lebih mewakili seluruh komponen bangsa Indonesia. Mereka adalah Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Subarjo. Indonesia sebagai bangsa yang merdeka memerlukan perangkat dan kelengkapan kehidupan bernegara, seperti: Dasar Negara, Undang-Undang Dasar, Pemimpin negara, dan perangkat pendukung lainnya. Putusan-putusan penting yang dihasilkan mencakup hal-hal berikut: 1.) Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara (UUD ‘45) yang terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh. Naskah Pembukaan berasal dari Piagam Jakarta dengan sejumlah perubahan. Batang Tubuh juga berasal dari rancangan BPUPKI dengan sejumlah perubahan pula, 2.) Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Soekarno dan Hatta), dan 3.) Membentuk KNIP yang anggota intinya adalah mantan anggota PPKI ditambah tokoh-tokoh masyarakat dari banyak golongan. Komite ini dilantik 29 Agustus 1945 dengan ketua Mr. Kasman Singodimejo. Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut: 1.) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2.) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3.) Persatuan Indonesia, 4.) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, dan 5.) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa rumusan Pancasila yang disahkan PPKI ternyata berbeda dengan rumusan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang kata “Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan ini ditanggapi secara arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan di kemudian hari dan diganti dengan istilah “Yang Maha Esa”. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan yang kemudian diikuti dengan pengesahaan Undang-Undang Dasar 1945, maka roda pemerintahan yang seharusnya dapat berjalan dengan baik dan tertib, ternyata menghadapi sejumlah tantangan yang mengancam kemerdekaan negara dan eksistensi Pancasila. Salah satu bentuk ancaman itu muncul dari pihak Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Awal dekade 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara. 4.3 Orde Lama Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran” Presiden/ Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui ‘kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang konstituante (Anshari, 1981: 99). Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi: 1.) Pembubaran konstituante, 2.) Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku, dan 3.) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Sesudah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, terjadi beberapa penyelewengan terhadap UUD 1945. Antara lain, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup melalui TAP No. III/MPRS/1960. Selain itu, kekuasaan Presiden Soekarno berada di puncak piramida, artinya berada pada posisi tertinggi yang membawahi ketua MPRS, ketua DPR, dan ketua DPA yang pada waktu itu diangkat Soekarno sebagai menteri dalam kabinetnya sehingga mengakibatkan sejumlah intrik politik dan perebutan pengaruh berbagai pihak dengan berbagai cara, baik dengan mendekati maupun menjauhi presiden. Pertentangan antarpihak begitu keras, seperti yang terjadi antara tokoh PKI dengan perwira Angkatan Darat (AD) sehingga terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira AD yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S PKI). Peristiwa G30S PKI menimbulkan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Peralihan kekuasan itu diawali dengan terbitnya Surat Perintah dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto, yang di kemudian hari terkenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Surat itu intinya berisi perintah presiden kepada Soeharto agar “mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan keadaan”. Supersemar ini dibuat di Istana Bogor dan dijemput oleh Basuki Rahmat, Amir Mahmud, dan M. Yusuf. Supersemar ini pun juga menjadi kontroversial di belakang hari. Supersemar yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto itu kemudian dikuatkan dengan TAP No. IX/MPRS/1966 pada 21 Juni 1966. Dengan demikian, status supersemar menjadi berubah: Mula-mula hanya sebuah surat perintah presiden kemudian menjadi ketetapan MPRS. Jadi, yang memerintah Soeharto bukan lagi Presiden Soekarno, melainkan MPRS. Hal ini merupakan fakta sejarah terjadinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Bulan berikutnya, tepatnya 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan TAP No. XVIII/ MPRS/1966 yang isinya mencabut TAP No. III/MPRS/1960 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup. Konsekuensinya, sejak saat itu Soekarno bukan lagi berstatus sebagai presiden seumur hidup. 4.4 Orde Baru Setelah lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5). Jadi, Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu: Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab Tiga : Persatuan Indonesia Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya tepatnya Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”. Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44). Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 45). 4.5 Reformasi Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana Negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang politik, ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245). Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50). Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsadan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik seolaholah hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu, aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012). Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang- Undang Dasar 1945”. 5. Sumber-Sumber Pancasila 5.1 Sumber Historis Pesiden Soekarno pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana di masa depan. Nilai-nilai Pancasila sudah ada dalam adat istiadat, kebudayaan, dan agama yang berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan dahulu. Misalnya, sila Ketuhanan sudah ada pada zaman dahulu, meskipun dalam praktik pemujaan yang beraneka ragam, tetapi pegakuan tentang adanya Tuhan sudah diakui. Selain sila Ketuhanan, sila -sila yang lain di dalam Pancasila sudah ada sejak zaman kerajaan dahulu. 5.2 Sumber Sosiologis Nilai-nilai Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan) secara sosiologis telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Salah satu nilai yang dapat ditemukan dalam masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang adalah nilai gotong royong. Misalnya dapat dilihat, bahwa kebiasaan bergotongroyong, baik berupa saling membantu antar tetangga maupun bekerjasama untuk keperluan umum di desa-desa. Kegiatan gotong royong itu dilakukan dengan semangat kekeluargaan sebagai cerminan dari sila Keadilan Sosial. Gotong royong juga tercermin pada sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat secara bersama-sama mengumpulkan iuran melalui pembayaran pajak yang dimaksudkan untuk pelaksanaan pembangunan. 5.3 Sumber Politis Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila bersumber dan digali dari local wisdom, budaya, dan pengalaman bangsa Indonesia, termasuk pengalaman dalam berhubungan dengan bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai Pancasila, misalnya nilai kerakyatan dapat ditemukan dalam suasana kehidupan pedesaan yang pola kehidupan bersama yang bersatu dan demokratis yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan sebagaimana tercermin dalam sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Semangat seperti ini diperlukan dalam mengambil keputusan yang mencerminkan musyawarah. 6. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1. Pancasila merupakan produk otentik pendiri negara Indonesia (The Founding fathers). 2. Nilai-nilai Pancasila bersumber dan digali dari nilai agama, kebudayaan, dan adat istiadat. 3. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan dasar filsafat kenegaraan. Pentingnya Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia menunjukkan halhal berikut: 1. Betapapun lemahnya pemerintahan suatu rezim, tetapi Pancasila tetap bertahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Betapapun ada upaya untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa, tetapi terbukti Pancasila merupakan pilihan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. 3. Pancasila merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia karena bersumber dan digali dari nilai-nilai agama, kebudayaan, dan adat istiadat yang hidup dan berkembang di bumi Indonesia. 4. Kemukakan argumen Anda tentang Pancasila sebagai pilihan terbaik bangsa Indonesia. Meskipun banyak sekali halangan dan rintangan yang terjadi namun sampai saat ini Pancasila akan tetap menjadi dasar negara Indonesia dan sebagai pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia. Daftar Rujukan Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2013. Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2016. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.