STRATEGI PROMOSI KESEHATAN DALAM UPAYA PENANGANAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH PESISIR Muhammad Aksen Sultra Akhir – akhir ini kita digemparkan oleh kasus Demam Berdarah Dengue (selanjutnya disebut DBD) yang terus melanda sebagian besar masyarakat Indonesia terutama yang berada di daerah pesisir. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir adalah wilayah yang padat akan penduduk serta terdapat banyak genangan air yang dapat menjadi penyebab terjadinya DBD. Oleh karena itu, sangat diperlukan strategi promosi kesehatan agar masyarakat yang berada di daerah pesisir dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan sehingga dapat terhindar dari penyakit DBD. Penyakit DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albocpictus (Kemenkes, 2016). Secara umum kasus demam berdarah dengue di Indonesia telah mengakibatkan 94 orang meninggal pada Januari hingga awal Maret 2020. Angka tersebut total dari 14.716 kasus secara nasional. Data kematian tersebut di antaranya berada pada zona merah, yaitu Nusa Tenggara Timur sebanyak 29 orang, Jawa Barat 15 orang dan Jawa Timur 11 orang. Kemudian pada zona kuning sebanyak tujuh kasus kematian di Lampung, *-empat di Jawa Tengah, tiga di Bengkulu dan tiga di Sulawesi Tenggara. Sementara itu, masing-masing dua kasus kematian di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah. Disusul masing-masing satu kasus kematian akibat DBD di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data kasus tersebut, kita dapat melihat bahwa diantara 94 orang yang meninggal akibat demam berdarah dengue banyak terjadi di daerah 1 pesisir dan daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya yang tepat yang dapat menangani kasus demam berdarah dengue yang terjadi. Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae). Ae aegypti merupakan vector epidemik yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae. Albociptus, Ae.polynesiensis dan Ae. Niveus juga dianggap sebagai vector sekunder. Kecuali Ae.aegypti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vector epidemi yang kurang efisien dibanding Ae.aegypti. Gambar 1. Siklus Penularan DBD Siklus penularan DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina. Nyamuk ini mendapatkan virus dengue sewaktu menggigit atau menghisap darah orang yang sakit DBD atau di dalam darahnya terdapat virus dengue yaitu empat hari sebelum panas sampai tujuh hari setelah demam timbul. Selanjutnya, nyamuk menjadi infektif selama 8-12 hari sesudah menghisap darah penderita yang sedang viremia (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama hidupnya. Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar ludah nyamuk bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka 2 gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 7-12 hari timbul gejala awal penyakit secara mendadak yang ditandai demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai tanda atau gejala lainnya. Untuk itu perlu adanya upaya untuk penanganan pencegahan penyakit DBD ini. Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya kasus DBD adalah dengan melakukan promosi kesehatan kepada masyarakat pesisir mengenai langkahlangkah sederhana untuk mencegah terjadinya DBD. Namun, dalam melakukan promosi kesehatan diperlukan strategi khusus agar bisa mengadvokasi, memberikan dukungan sosial serta pemberdayaan kepada masyarakat pesisir. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merumuskan pengertian promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan faktor-faktor kesehatan melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. (Keputusan Menteri Kesehatan No. 1114/Menkes/SK/VIII/2005). Menelaah Keputusan Menteri Kesehatan tersebut di atas, dalam realisasinya tampak bahwa tujuan dari penerapan promosi kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong diri sendiri dengan memanfaatkan daya masyarakat itu sendiri sesuai dengan sosial budaya yang berlaku dengan didukung oleh kebijakan publik yang terkait. Dengan kata lain, masyarakat mampu berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam rangka memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya (problem solving), baik masalah-masalah kesehatan yang sudah diderita maupun yang potensial (mengancam), secara mandiri (dalam batas-batas tertentu) termasuk penyakit DBD. 3 Seperti diketahui bahwa masalah-masalah potensial yang mengancam di masyarakat tentunya beragam, tergantung dari banyak faktor. Di daerah pedesaan terutama di wilayah pesisir, kesadaran akan kesehatan masyarakat secara turun temurun sudah diperkenalkan oleh leluhur masyarakat, tetapi kebanyakan tidak disertai dengan peningkatan wawasan maupun pemahaman kesehatan yang diperbaharui. Pada beberapa daerah lebih banyak didasarkan pada tahayul atau kebiasaan masyarakat yang diyakini secara budaya dan bukan pada pengkajian maupun penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan kondisi masyarakat pesisir tersebut di atas, maka penerapan promosi kesehatan perlu menerapkan strategi tertentu yaitu dengan adanya upaya advokasi, dukungan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Upaya inilah yang disebut sebagai misi dalam promosi kesehatan. Word Health Organization (WHO) merumuskan bahwa dalam mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan secara efektif menggunakan tiga strategi pokok dalam upaya penanaganan penyakit demam berdarah dengue, yaitu: 1. Advokasi/ Advocacy Advokasi adalah strategi untuk mempengaruhi para pengambil keputusan khususnya pada saat mereka menetapkan peraturan, mengatur sumber daya dan mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut khalayak masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa advokasi diartikan sebagai upaya pendekatan terhadap orang lain yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan. Oleh karena itu yang menjadi sasaran advokasi adalah para pemimpin atau pengambil kebijakan (policy makers) atau pembuat keputusan (decision makers) baik di institusi pemerintah maupun swasta. Sejalan dengan misi advokasi, promosi kesehatan harus dapat membuat kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan perilaku menjadi menguntungkan bagi kesehatan. Kegiatan advokasi ini dilakukan terhadap para 4 pengambil keputusan dari berbagai tingkat dan sektor terkait dengan kesehatan. Tujuan kegiatan ini adalah meyakinkan para pejabat pembuat keputusan atau penentu kebijakan bahwa program kesehatan yang akan dilaksanakan tersebut penting (urgent). Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam menanggulangi munculnya kasus-kasus DBD. Namun, pemerintah tidak dapat melaksanakan sendiri tanpa peran berbagai pihak untuk melaksanakan tugasnya. Sehingga salah satu cara untuk memperlancar palaksanaannya adalah dengan mempergunakan hukum dan perundang-undangan seperti yang terdapat dalam pasal 5 UU No.36 tahun 2009 disebutkan bahwa “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan”. Dalam pasal 14 juga disebutkan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat” Kementerian kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Dengan diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 sebagai revisi UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom telah terjadi pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah termasuk didalamnya kewenangan dalam bidang kesehatan. Namun kelambanan penanganan merebaknya penyakit demam berdarah itu tidak lepas dari kendala jarak dalam hubungan struktural antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaksana program penanganan penyakit DBD. 5 Selain itu, kemampuan ekonomi masyarakat daerah pesisir pada umumnya rendah sehingga tidak bisa membelanjakan uangnya untuk kepentingan yang sifatnya sekunder. Setelah mendapat rumah untuk berteduh dirasa sudah cukup, tetapi tidak pernah memikirkan lingkungan yang juga merupakan kebutuhan hidup mereka. Akibatnya sosialisasi mengenai bahaya serangan DBD di daerah pesisir sangat kurang. Hal inilah yang menyebabkan mengapa penyakit DBD ini terus berulang-ulang dan cenderung makin besar terutama di daerah pesisir. Di sisi lain, perilaku masyarakat telah menambah suburnya populasi nyamuk Aedes aegypti terutama di daerah pesisir, yaitu karena terdapat banyak genangan air, terbatasnya pasokan air bersih, manajemen pengelolaan yang tidak sempurna dan manajemen lingkungan yang tidak professional. Semua itu menimbulkan bertambahnya tempat-tempat yang dapat dipakai bersarang dan berkembang biaknya nyamuk tersebut. Kurangnya informasi yang benar tentang penanggulangan penyakit DBD kepada masyarakat pesisir juga menyebabkan semakin sulitnya mengetahui cara yang tepat untuk penanganan penyakit DBD. Padahal masyarakat seharusnya memiliki tanggung jawab yang besar dalam penanggulangan penyakit DBD ini. Tanggung jawab seharusnya berjenjang dari pihak terkecil seperti tanggung jawab RT/RW, lalu tanggung jawab pemerintah daerah. Pada kenyataannya semua itu memiliki aturan, akan tetapi tidak pernah dilaksanakan. Ini semua disebabkan karena mentalitas baik masyarakat maupun pemerintah tidak siap dengan perubahan lingkungan Disamping itu, untuk menekan angka kejadian demam DBD, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan juga telah menerapkan beberapa program untuk mencegah penyakit DBD salah satunya ialah dengan menggalakkan program satu rumah satu juru pemantau jentik (jumantik). Dalam program ini, satu anggota keluarga diharapkan bisa menjadi juru pemantau jentik di rumahnya sendiri. 6 Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian kesehatan, Mohamad Subuh pada tahun 2016 yang lalu mengatakan juru pemantau jentik dalam suatu rumah tangga nantinya akan memastikan bahwa tidak ada jentik di tempat tinggalnya sehingga kasus penularan virus DBD dari nyamuk Aedes Aegypti dapat ditekan. Hal ini dapat diterapkan semaksimal mungkin terutama di wilayah pesisir untuk mengurangi jentik nyamuk yang ada di sekitar pesisir. Selain kegiatan juru pemantau jentik, juga dapat dilakukan kegiatan kunjungan masing-masing rumah warga untuk melakukan pemeriksaan bak mandi/WC, tempayan, drum dan tempat penampungan air lainnya. Kemudian memberitahukan kepada masyarakat pesisir cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD dengan melakukan cara yang disebut dengan “3M Plus” yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala dan lain-lain. 2. Dukungan social / Social support Dukungan sosial adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat agar dapat melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan terdorong dapat melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada seperti keluarga di rumah, orang-orang yang menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama dan bahkan masyarakat umum memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Dukungan sosial (social support) adalah strategi dukungan sosial dalam bentuk kegiatan untuk mencari dukungan sosial melalui tokoh -tokoh masyarakat (toma), baik tokoh masyarakat formal maupun informal. Dukungan sosial juga mempunyai misi mediator atau menjembatani antara sektor kesehatan dengan sektor yang lain sebagai mitra (social support) dengan pemerintah dan lembaga 7 non pemerintah, dunia industri dan media sehingga terjadi aksi terkoordinasi untuk kesehatan Strategi dukungan sosial perlu ditetapkan di daerah pesisir untuk menciptakan norma-norma dan kondisi atau situasi kondusif di masyarakat dalam mendukung perilaku hidup bersih dan sehat. Tujuan utama strategi ini adalah agar para tokoh masyarakat pesisir sebagai jembatan, sektor kesehatan sebagai pelaksana program kesehatan dengan masyarakat pesisir sebagai penerima program kesehatan dapat mensosialisasikan program-program kesehatan mengenai penanganan DBD, agar masyarakat mau menerima dan mau berpartisipasi terhadap program penanganan DBD tersebut. Oleh sebab itu, strategi ini juga dapat dikatakan sebagai upaya bina suasana, atau membina suasana yang kondusif terhadap kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan sosial ini antara lain pelatihan dan bimbingan para tokoh masyarakat pesisir untuk mencegah terjadinya DBD. Pada proses penerapannya, dukungan sosial dapat dilakukan dengan berbagai macam pendekatan yaitu : 1) Pendekatan individu Dengan pendekatan ini diharapkan menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang diperkenalkan. Yaitu dengan bersedia mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan tersebut. misalnya seorang pemuka agama yang melaksanakan 3M yaitu Menguras, Menutup dan Mengubur demi mencegah munculnya wabah DBD serta dapat diupayakan agar mereka bersedia menjadi kader dan turut menyebarluaskan informasi mengenai pencegahan penyakit DBD guna menciptakan suasana yang kondusif bagi perubahan perilaku individu. 2) Pendekatan kelompok Bina Suasana Kelompok ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat daerah pesisir, seperti pengurus Rukun Tetangga 8 (RT), pengurus Rukun Warga (RW), Majelis Pengajian, Perkumpulan Seni, Organisasi Profesi, Organisasi Wanita, Organisasi Siswa/Mahasiswa, Organisasi Pemuda dan lain-lain. Dengan pendekatan ini diharapkan kelompok dalam masyarakat menjadi peduli terhadap perilaku yang tepat dalam upaya penanganan DBD. 3) Pendekatan Masyarakat Umum Pendekatan masyarakat umum dilakukan terhadap masyarakat umum dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi seperti radio, televisi, koran, majalah, situs internet dan lain-lain sehingga dapat tercipta pendapat umum yang positif tentang perilaku dalam upaya penanganan penyakit DBD tersebut. Dengan pendekatan ini diharapkan masyarakat Indonesia khususnya di wilayah pesisir dapat selalu menerima informasi mengenai perkembangan kasus penyakit DBD dan dapat mengetahui langkah-langkah penanganan penyakit DBD karena penerimaan informasi tidak harus melalui pendekatan langsung akan tetapi dapat diakses dimana saja dengan memanfaatkan media komunikasi yang ada. 3. Pemberdayaan masyarakat/Empowerment Pemberdayaan masyarakat ialah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2007). Sedangkan batasan pemberdayaan dalam bidang kesehatan meliputi upaya untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu : Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada 9 masyarakat agar individu lebih berdaya. Kedua, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Sesungguhnya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, yang kita tuju adalah kemandirian masyarakat. Yaitu dengan memfasilitasi mereka untuk memahami masalah, mencari dan menjalankan pemecahannya untuk kehidupan mereka sendiri. Hal yang penting dipahami juga adalah salah satu bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam pemberdayaan masyarakat adalah citra diri petugas kesehatan. Citra diri petugas kesehatan tentu akan berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat. Adanya personal branding yang positif tentunya akan menunjang keberhasilan pemberdayaan masyarakat tersebut. Selanjutnya Image dan merek yang di miliki oleh tenaga kesehatan sangat berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap apa saja yang tenaga kesehatan berikan untuk mereka. Jadi, mereka akan sangat tergantung kepada tenaga kesehatan juga. Dalam hal ini, pemberdayaan masyarakat (Enable/Empowerment dalam Promosi kesehatan mempunyai misi utama memampukan masyarakat (enable), membuat masyarakat mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan secara mandiri, dengan menggali seluruh potensi yang ada untuk perbaikan kesehatan, dengan memberikan pelatihan, pemberian informasi dan lingkungan yang mendukung. Dalam realisasi kasus DBD, untuk mencapai sasaran agar masyarakat mengetahui mengenai penyakit DBD, kemudian bersedia dan dapat melaksanakan upaya untuk mengurangi tingkat penyebarannya, tidak cukup hanya dengan informasi yang diterimanya saja. Masyarakat memang perlu mengetahui mengenai masalah DBD dalam lingkungannya maupun mengenai masalah yang umum terjadi dalam lingkungan tempat tinggalnya dalam hal ini wilayah pesisir. Lebih jauh lagi, agar masyarakat pesisir bersedia untuk mengurangi DBD di lingkungan dan juga kehidupannya, mereka perlu mengetahui informasi mengenai bahaya 10 DBD yang terkait dengan kesehatan serta bagaimana cara mengatasi masalah DBD sekaligus mencegah agar tidak terjadi lagi masalah yang sama. Agar masyarakat mampu melakukan pencegahan secara luas dalam lingkungan tempat tinggalnya, mereka perlu mendapatkan informasi lebih jauh dan mendetail mengenai pencegahan masalah DBD tersebut. Berbicara mengenai strategi dalam upaya penanganan penyakit DBD di wilayah pesisir, tidak terlepas dari peran seseorang di dalamnya yaitu peran seorang pemuda. Pemuda ialah seseorang yang memegang peranan penting untuk menyongsong kehidupan selanjutnya. Sebagai agent of change atau agen perubahan pemuda ialah harta yang paling berharga yang dimiliki oleh bangsa ini. Karena kemajuan dan kehancuran bangsa berada tangan mereka. Dalam kasus penanganan penyakit demam berdarah dengue, pemuda menjadi pelopor untuk memberantas penyakit ini, yaitu dimulai dengan melakukan hal-hal kecil seperti ikut berkontribusi dalam melakukan penyuluhan terkait pencegahan penyakit DBD, menjadi duta lingkungan yang selalu menjaga kebersihan agar dapat mengurangi jentik nyamuk. Pada dasarnya, semua hal kecil tersebut harus mulai dilakukan oleh diri sendiri. jangan mengajak orang lain berperilaku hidup sehat kalau kita membuangan sampah sembarangan di tempat umum serta jangan mengajak orang optimis pada suatu hal kalau kita selalu gagal akan hal tersebut. Indonesia bebas dari DBD, ayo mulai dari kita !!!. 11 DAFTAR PUSTAKA 1 Departemen Kesehatan RI. 2007. Demam berdarah. Jakarta: Depkes RI. 2 Departemen Kesehatan RI. 2004. Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti sangat Penting Diketahui dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala. Jakarta: Depkes RI 3 Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rinek Cipta : Jakarta 4 Departemen Kesehatan RI. 1997. Deklarasi Jakarta Tentang Promosi Kesehatan pada Abad 21. Jakarta: PPKM Depkes RI 5 Ewles, L, Simnett, I. 1994. Promoting Health : A Practical Guide. Emilia, O (Alih Bahasa).Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 6 Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta : Jakarta 7 French, J. (1990). Boundaries and horizons, the role of health education within health promotion. Health Education Journal 49: 7-10 8 Bunton, R. (1992). More than a woolly jumper health promotion as social regulation.Critical Public Health 3: 4-11 9 Dignan, M.B., Carr, P.A. (1992). Program Planning for Health Education and Promotion. 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger 10 Departemen Kesehatan RI. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN-DBD) oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Jakarta: Ditjen PPM- PLP 11 Departemen Kesehatan RI. 2007. Ayo Lakukan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan. 12