BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Postpartum Blues 1. Definisi Postpartum Blues Postpartum blues adalah keadaan depresi ringan dan sepintas yang umumnya terjadi dalam minggu pertama atau lebih sesudah melahirkan (Marshal, 2004). Menurut Jan Riordan dan Kathleen (2001), mendefinisikan bahwa post partum blues adalah “Kesedihan” postpartum: tangisan, perubahan suasana hati yang mana lebih sering terjadi pada anak pertama dan bersifat sementara pada minggu pertama dan kedua. Dapat juga diartikan keadaan depresi secara fisik maupun psikis pada ibu yang dapat terjadi setelah beberapa hari kelahiran sampai kira-kira sebulan kemudian (Sjahruddin, 2006, Hari-Hari Yang Melelahkan, ¶ 3, http://www.google.com, diperoleh tanggal 9 Oktober 2006). Sedangkan Linda (2004), mendefinisikan postpartum blues adalah periode pendek kelabilan emosi sementara yang ditandai dengan mudah menangis, iritabilitas, rasa letih, mudah marah, cemas dan sedih biasanya terjadi menjelang akhir minggu pascapartum pertama. 2. Penyebab post partum blues Hingga saat ini, belum diketahui benar penyebab “Postpartum blues”. Namun para ahli menduga bahwa salah satu pemicunya adalah ketidakseimbangan hormonal dalam tubuh wanita post partum. Pada 24 jam pertama post partum, tingkat estrogen dan progresteron turun menjadi 90% hingga 95%. Estrogen adalah hormon yang mempengaruhi pengaturan memori, kognisi, mood dan fungsi-fungsi otak lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Marshall (2004), kebutuhan estrogen yang meningkat pada calon ibu namun tiba-tiba saja menurun saat melahirkan, akan memberi pengaruh pada depresi biokomia. Disisi lain kehamilan meningkatkan hormon endorfin yaitu hormon yang bisa meningkatkan rasa bahagia. Tapi saat melahirkan tingkat endorfin merosot, kondisi ini tentu menambah resiko depresi. Kondisi hormon yang tidak stabil dapat membuat seorang ibu yang semestinya berbahagia setelah kelahiran bayinya, namun justru kehilangan perasaan tersebut secara tiba-tiba. Karena ibu merasakan murung dan sedih. Hal ini yang menyebabkan ibu merasa mempunyai beban yang berat untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Menurut Marshall (2004), faktor lain yang diperkirakan berpengaruh atau merupakan faktor resiko terjadinya gangguan afek atau mood pada pasca persalinan, yaitu : a. Dukungan sosial dari suami atau keluarga. Seperti hubungan emosional, keintiman, dan komunikasi yang kurang. Selain itu dukungan suami juga berkaitan dengan kekhawatiran akan pembiayaan masa depan anak. ibu-ibu yang tidak mendapat dukungan sosial dari suami dan keluarga, mempunyai resiko lima kali lipat kemungkinan mengalami gangguan afek atau mood. b. Karakteristik yaitu : umur, pendidikan dan pekerjaan. Umur ibu saat menjalani kehamilan ataupun persalinan sangat berpengaruh dengan kejadian post partum blues dimana kesiapan dan kedewasaan seorang ibu dalam menghadapi peran barunya dengan perubahan fisik dan mental yang terjadi selama kehamilan dan sebagainya, pendidikan dan pekerjaan misalnya, wanita berkarir tinggi yang baru melahirkan bayi dan dapat kembali bekerja dalam waktu sepuluh hari adalah mitos yang mencengkeram imajinasi masyarakat kita dan meskipun ini cocok untuk beberapa individu, tidaklah realistis untuk sebagian besar perempuan. Bagaimanapun juga, wanita karir yang sudah matang khususnya, sangat sulit melepaskan sikapnya yang teratur sewaktu merawat bayi. Mereka berfikir dapat menangani, tetapi sewaktu bayi membuatnya kerepotan dengan tangisan yang terus menerus, rasa lapar yang tidak teratur, jadwal yang tidak jelas dan membuatnya kurang tidur, perempuan-perempuan ini umumnya lebih rentan terhadap postpartum blues. c. Fisik, kelelahan setelah melahirkan, berubahnya pola tidur, migraine dan kurangnya istirahat seringkali menyebabkan ibu yang melahirkan belum kembali ke kondisi normal meskipun setelah berminggu-minggu setelah melahirkan. d. Harapan tentang persalinan. Harapan persalinan yang terlalu tinggi atau dengan kata lain, ada banyak harapan tentang persalinan misalnya, seluruh proses antenatal, dengan fokus pada persalinan akan menimbulkan pengharapan tentang persalinan yang akan dialami, suatu harapan yang akan menjadi benih dari postpartum blues bila terbukti menyakitkan atau sulit. Kegalauan dan kebingungan dengan kelahiran bayi yang baru, perasaan tidak percaya diri dengan kemampuan diri untuk merawat bayi yang baru sementara bertanggung jawab dengan semua pekerjaan yang ada. e. Status obstetric. Pengalaman selama persalinan, rasa sakit yang luar biasa saat proses kelahiran bisa menjadi faktor pencetus, misalnya pada ibu yang harus di induksi beberapa kali, ketuban pecah sebelum mengalami proses pembukaan, episiotomy yang menimbulkan rasa sakit dan nyeri atau juga persalinan dengan operasi. f. Keadaan, perilaku dan kualitas bayi, frustasi karena bayi tidak mau tidur, nangis dan muntah, sakit, termasuk problem kehamilan dan kelahiran (kecacatan dan komplikasi) sehingga mempengaruhi terjadinya postpartum blues. g. Mitos. Mitos yang berkembang di masyarakat, misalnya tidak boleh makan sewaktu proses melahirkan sehingga ibu merasa sangat terkuras tenaganya setelah itu. Tidak boleh mengejutkan perempuan lain yang sedang hamil karena akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa waktu persalinan. h. Antenatal care. Merupakan keluhan umum bahwa kelas antenatal lebih menitikberatkan persalinan, dengan hanya sedikit atau bahkan tidak ada pembicaraan tentang bagaimana menghadapi secara emosional. Tidak dipersiapkan untuk menghadapi persalinan itu sendiri mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi ritme yang tidak terduga, kekerasan keadaan, atau kejadian diluar prosedur yang ada di dalam buku, yang terjadi lebih sering yang diperkirakan. Akibatnya adalah timbul perasaan kemarahan dan keterasingan yang dapat berkembang menjadi postpartum blues. i. Budaya, keyakinan dan norma. Adanya budaya yang berkembang di keluarga dengan jenis kelamin bayi, mertua atau orang tua sendiri mengharapkan kehadiran bayi laki-laki karena dianggap lebih mudah perawatannya atau lebih banyak mendatangkan berkah tetapi kenyataannya ibu melahirkan bayi perempuan sehingga menimbulkan kekecewaan. Hal ini akan memicu terjadinya postpartum blues karena kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan. Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis mengenai penyebab terjadinya postpartum blues antara lain, perubahan hormon, stress, mitos, antenatal care, harapan tentang persalinan, ASI tidak keluar, frustasi karena bayi tidak mau tidur, bayi menangis dan muntah, kelelahan fisik pasca melahirkan, suami tidak mau membantu, tidak mau mengerti perasaan istri maupun persoalan lainnya dengan suami, problem dengan mertua dan orang tua, takut kehilangan bayi, sendirian mengurus bayi, tidak ada yang membantu, takut untuk memulai hubungan suami istri, anak akan terganggu, bayi sakit, rasa bosan ibu, juga bisa menjadi penyebab dari postpartum blues. 3. Tanda dan gejala postpartum blues Menurut Dunne (2001), tanda dan gejala post partum blues antara lain: kesedihan sementara, sering menangis karena tidak bisa memberikan ASI, nangis karena frustasi anak tidak mau tidur, kelelahan atau migrain, sering khawatir, insomnia, tidur tidak nyenyak, mudah tersinggung, kehilangan minat terhadap bayi, hilangnya nafsu makan. Menurut Takasihaeng (2000), manifestasi klinik dari post partum selain yang ungkapkan diatas adalah ibu menjadi malas bersolek atau kurang memperhatikan dirinya karena takut tidak memerankan seorang ibu yang baik, membuatnya membiarkan diri tidak menarik. Selain itu gangguan tidur, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri, tak ada energi dan motivasi hidup, sulit untuk fokus, mengingat atau mengambil keputusan, makan terlalu banyak atau terlalu sedikit, juga menjadi tanda dan gejala postpartum blues, dan hal ini berlangsung hanya sementara (Suhandi, 2006, Istri hamil, Suami Ikut Andil Dong, ¶ 2, http://www.google.com, di peroleh tanggal 9 Oktober 2006). 4. Penatalaksanaan Penatalaksanaan untuk “postpartum blues” menurut Marshall (2004), antara lain : a. Membicarakan rasa tertekan dengan orang yang yang memiliki ketrampilan mendengar (sahabat). b. Meluangkan waktu berbicara dengan pasangan. Diskusikan perubahan-perubahan yang terjadi, dukungan suami memang paling penting. c. Membiarkan teman dan keluarga membantu merawat anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah d. Mencari waktu melakukan hobi, misalnya, membaca, membuat kerajinan tangan, berendam dalam air hangat, meditasi, atau hal lain yang membuat rileks dan nikmat. e. Untuk mengatasi kelelahan dan depresi, perlu cukup istirahat, sebaiknya bisa tidur 8 jam sehari, usahakan tidur saat bayi terlelap. f. Menggerakkan badan, jalan kaki keliling sekitar rumah pun sudah cukup. Peningkatan metabolisme dan pergantian suasana dapat membuat perasaan lebih nyaman. g. Mengkonsumsi makanan seimbang yang bergizi dan berserat seperti gandum, beras merah atau jagung, buah, sayuran sertakan daging atau ikan. Jauhi kopi, alkohol dan gula h. Mengungkapkan perasaan di buku harian. Menulis adalah salah satu cara mengungkapkan emosi i. Memiliki bayi adalah perubahan besar dalam hidup, menghadapi dengan waktu, penyesuaian terhadap perubahan akan dapat di lalui. Penatalaksanaan dapat dibagi untuk ibunya, hubungan Ibu-anak dan anaknya. Misalnya: relaksasi, berupa latihan relaksasi sederhana atau berbagai ragam bentuk relaksasi, seperti rekreasi, olahraga, renang, senam dan sebagainya. Menghilangkan pikiran-pikiran negative yang mempengaruhi, pemecahan masalah atau problem solving yaitu mengarahkan atau memberi alternatif pemecahan terhadap masalah yang tengah dialami, komunikasi dengan suami dan anggota keluarga yang lain. Humor, bila cocok akan membuat ibu lebih nyaman. Untuk memperbaiki hubungan ibu-anak dapat dilakukan berbagai upaya, misal menganjurkan ibu untuk sesering mungkin merawat bayinya (selama 2 atau 3 jam hanya berdua dengan bayi ditempat yang nyaman dan sunyi di sertai iringan alunan musik atau bagi yang muslim bisa menggunakan murottal Al Qur’an. Di usahakan sesering mungkin terjadi kkontak mata antara ibu dengan bayinya sambil menyusui ataupun memberi susu dari botol. Menyediakan tempat istirahat yang nyaman bagi bayi dan dirinya sendiri, karena bayi istirahat. Ibu bisa memeluk bayi dan berbicara dengannya dengan lembut, kontak antara kulit bayi dan ibu dapat menunkan tingkat ketegangan atau kecemasan pada ibu maupun pada bayi. Demikian elusan dan pemijatan ringan oleh ibu akan membantu memperbaiki emosional ibu, agar gangguan ini tidak terjadi. Melibatkan anggota keluarga yang lain dalam merawat bayi, misal nenek atau mertua bila ada. Ajak bayi keluar rumah untuk menghirup udara bersih dan segar. Udara yang bersih dan segar untuk memperbaiki moodnya. Bila timbul perasaan negatif seperti kesepian, marah, frustasi atau lelah, ibu bisa meninggalkan bayi untuk sementara waktu, minta orang lain yang dipercaya untuk menjaga sementara waktu. Bergabung dengan ibu-ibu baru untuk bertukar pengalaman dan menambah pengetahuan bisa juga menjadi cara untuk Ibu yang mengalami post partum blues. B. Definisi Dukungan Suami. Sebagai makhluk sosial seseorang selalu membutuhkan keberadaan orang lain dimanapun berada, keberadan orang lain tersebut akan sangat dirasakan ketika seseorang mengalami kesulitan atau suatu masalah, kehadiran orang lain bagi seseorang yang mengalami kesulitan diharapkan dapat memberikan dukungan sehingga dapat mengurangi beban yang di rasakan. Dukungan sosial (suami) sebagaimana yang diungkapkan oleh Ingela (1999), merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta, perhatian maupun sense of attachment baik pada keluarga sosial maupun pasangan. Setiap manusia ditakdirkan untuk berpasangan, dalam hal ini dapat menjalani kehidupan seorang istri sangat membutuhkan keberadaan maupun peran serta seorang suami, dukungan dari keluarga atau orang terdekat (suami) akan memberikan cinta dan perasaan berbagai beban, kemampuan berbicara kepada seseorang dan mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat membantu dalam menguasai keadaan. Dukungan suami dapat melemahkan dampak stress atau tekanan disebut efek penyangga dan secara langsung memperkokoh kesehatan mental individu dan keluarga disebut efek langsung. Dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi stress dan konsekuensi negatifnya, maka dukungan suami sangat dibutuhkan oleh perempuan setelah mengalami persalinan. Friedman (1998) mengemukakan keluarga dan perkawinan merupakan wujud yang paling penting dari dukungan sosial. Dukungan suami dapat diwujudkan antara lain : 1. Dukungan informasi Dukungan informasi suami yang diberikan adalah informasi-informasi yang dibutuhkan tentang persalinan baik secara langsung yang dijelaskan oleh suami maupun melalui buku, majalah yang diberikan bagi suami. 2. Dukungan emosi Dukungan ini dapat berupa perhatian, mendampingi atau menemani istri saat dan setelah persalinan sehingga dapat mencegah terjadinya postpartum blues. 3. Dukungan penilaian Dukungan penilaian berupa penilaian yang positif dari suami, bahwa perubahanperubahan yang terjadi pada istri setelah melahirkan baik secara fisik atau psikologis adalah hal yang wajar dan membutuhkan pengertian. 4. Dukungan finansial Dukungan finansial adalah berupa keuangan atau dana untuk membiayai ibu dan anak setelah proses kelahiran, suami menyiapkan keperluan bu dan bayi. Calon ibu yang persalinannya didampingi suaminya lebih jarang mengalami gangguan pasca persalinan ketimbang mereka yang tidak didampingi. Penelitian lain menyebutkan, kehadiran suami saat persalinan ternyata membuat waktu persalinan jadi lebih singkat, nyeri juga jadi berkurang, robekan jalan lahir ternyata juga lebih jarang, jadi jalan lahir lebih elastis. Ternyata perasaan nyaman dan bahagia ternyata punya efek demikian, (Suhandi, 2006, Istri hamil, Suami Ikut Andil Dong, ¶ 3, http://www.google.com, diperoleh tanggal 9 Oktober 2006) Saat hamil dan melahirkan merupakan saat yang sangat sensitif bagi seorang perempuan, dukungan suami sangat penting dan tidak bisa diremehkan dan yang tak kalah penting membangun suasana positif, dimana istri merasakan hari-hari pertama yang melelahkan. Tak bisa dipungkiri, persalinan memang merupakan “kerja” yang melelahkan baik secara fisik maupun psikis (Marshall, 2004). Kemudian dilanjutkan dengan menyusui bayi karena ibu dituntut usaha keras dan kesedian belajar. Apalagi bila bayi tersebut merupakan anak pertama, sementara itu ibu dituntut untuk memberikan ASI secara benar. Menurut Kathleen (2000), dalam masalah pemberian ASI dibutuhkan kalori yang tidak sedikit, selain harus bersedia memberikan on demand. Artinya ia harus siap menyusui kapan saja si bayi minta di susui. Tengah malam sekalipun atau waktu lain saat ibu butuh istirahat. Oleh karena itu kelelahan ibu yang sedemikian rupa sebetulnya bisa diminimalkan dengan kehadiran atau bantuan orang lain, terutama suami dan keluarga. Kecuali mengandung, melahirkan dan menyusui, pekerjaanpekerjaan lain seputar bayi bisa ditangani orang lain di luar ibu, misalnya menggendong, mengganti popok, ikut atau bergantian tengah malam, dan sebagainya. Oleh sebab itu dukungan atau sikap positif dari pasangan dan keluarga akan memberi kekuatan tersendiri bagi ibu. Disamping ikut membantu menyuburkan terciptanya kedekatan atau attachment ibu terhadap bayinya, dalam arti ibu bisa lebih tulus merawat bayinya karena tidak menganggap kehadirannya sebagai beban. Terdapat beberapa aspek biologis yang dapat dirubah dari menjadi orang tua dengan mengecualikan suami. Suami tidak hamil, ia tidak dapat bersalin dan melahirkan, dan ia tidak dapat menyusui. Tetapi seperti jutaan ayah baru setiap tahunnya menemukan bahwa keterbatasan fisik tidak harus menjadi penonton. Suami dapat ikut merasakan, mendukung dan berpartisipasi dalam hampir semua kegembiraan, harapan, cobaan dan ketidakpastian dari kehamilan dan persalinan seorang istri, mulai dari tendangan bayi yang pertama saat istri masih hamil sampai setelah persalinan. Dan meskipun suami tidak bisa menyusui, tetapi dapat berpartipasi dalam proses pemberian susu. Suami sebaiknya jangan kelihatan acuh tak acuh atau sebaliknya, sangat cemas. Kalau memang tidak tahu tentang masalah ibu setelah melahirkan atau perawatan bayi, sebaiknya bertanya pada dokter atau membaca buku. Suami sebaiknya tidak membuat masalah dalam komunikasi. Jangan membuat emosi istri terganggu, misalnya marah atau bertengkar. Membuat emosi istri selalu positif, bisa memaklumi keadaan isti dan tidak memancing hal-hal yang bisa membuat istri marah. Sedih atau tertekan, menghindari sesuatu yang bersifat abuse, baik fisik maupun mental, termasuk dalam hal berbicara, suami harus berempati. Dukungan suami terhadap istrinya bisa di lakukan dengan membantu istri dalam perawatan bayi misalnya ketika ibu menyusui bayinya, sang ayah tidak hanya tidur sepanjang malam. Ayah bisa menemani ibu, mengangkat bayi dari tempat tidurnya, mengganti popoknya bila perlu, memberikan bayi pada ibunya, dan mengembalikan ia ke tempat tidurnya ketika ia telah tertidur kembali. Selain itu kepuasan yang besar hanya dengan memperhatikan keajaiban menyusui, seperti juga menyaksikan keajaiban kelahiran bayi beri penghargaan pada istri dengan memberinya support serta serta kasih sayang, benar-benar mengerti kondisi istri, sehingga istri merasakan bahwa ia tidak merawat bayinya seorang diri. Selanjutnya berperan serta dalam semua pekerjaan harian, juga akan mengurangi beban istri. Seorang perempuan hamil yang mendapat dukungan yang luar biasa yakni berupa informasi, emosi, penilaian dan instrument dari suami maka ini adalah sebuah energi tersendiri bagi calon ibu, membuka pembicaraan dengan suami dan keluarga dapat saling membantu, menjaga, merawat dan saling meringankan beban di dalam keluarga, dan perlu diperhatikan bahwa postpartum blues bukanlah sebuah aib yang memalukan. C. Kerangka Teori Ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya post partum blues yaitu faktor predisposisi dan faktor resiko. Faktor predisposisi terjadinya postpartum blues adalah ketidakseimbangan hormonal. Adanya penurunan hormon estrogen, progresteron dan endorphin yang menyebabkan sehingga menyebabkan gangguan pasca persalinan. Faktor resiko dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial yaitu keluarga dan suami, karakteristik yaitu umur, pekerjaan dan pendidikan, kelelahan fisik setelah melahirkan, harapan tentang persalinan, status obstetric pengalaman selama persalinan, antenatal care, mitos, budaya, penilaian dan norma., kurang persiapan mental, tidak percaya diri dalam kemampuan merawat bayi, prilaku dan kualitas bayi dan stress pada ibu Dukungan suami merupakan strategi koping penting pada saat mengalami stress dan berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi stress dan konsekuensi negatifnya, maka dukungan suami sangat dibutuhkan oleh perempuan setelah mengalami persalinan. Kerangka Teori Fisik - Kelelahan setelah persalinan - Migraine Status obstetric - Pengalaman selama persalinan - Induksi,KPD, episiotomy Ketidakseimbangan hormonal Estrogen, progresteron, endorfin menurun. Harapan tentang persalinan Keadaan, perilaku, kualitas bayi Postpartum blues Karakteristik Umur,Pendidikan pekerjaan Mitos Budaya Keyakinan, nilai norma Antenatal Care Dukungan suami yang meliputi : 1. Dukungan informasi 2. Emosi 3. Penilaian 4. Finansial (Sumber : Marshall, 2004) D. Kerangka Konsep V. Independen ` Dukungan suami V. Dependen Kejadian postpartum blues E. Variabel penelitian Variabel penelitian terbagi menjadi 2 yaitu : 1. Variabel dependen (terikat) Adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel respon akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel-variabel lain (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini, variabel dependennya adalah kejadian postpartum blues yang merupakan suatu faktor efek yang ditentukan oleh dukungan suami. 2. Variabel Independen (bebas) Adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain. Suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabel independen (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini, variabel independennya adalah dukungan suami yang merupakan faktor yang mempengaruhi postpartum blues. F. Hipotesa Ada hubungan dukungan suami dengan kejadian postpartum blues pada Ibu primipara.