Aspek Kesehatan Jiwa Dalam Kasus Penyalahgunaan NAPZA1 Eddie Imanuel Doloksaribu2 Pendahuluan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya yang lebih dikenal dengan NAPZA jika apabila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku. Narkotika berdasarkan Undang-undang RI No. 22 tahun 1997 tentang narkotika adalah: zat atau obat yg berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yg dpt menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang-nya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dpt menimbulkan ketergantungan. Psikotropika berdasarkan Undang-undang RI No 5 tahun 1997 tentang psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Sedangkan Zat adiktif lainnya meliputi alkohol, inhalansia dan tembakau Sebagian besar golongan NAPZA memiliki manfaat bagi dunia medis guna menunjang upaya pengobatan, namun ketika disalahgunakan akan menjadi masalah besar yang merugikan individu, masyarakat dan tentunya dalam jangka panjang dapat mengancam stabilitas negara, hal inilah yang menyebabkan negara-negara di dunia menyatakan perang terhadap penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan dengan berbagai cara dan kerjasama antar negara. Saat ini, penyalahgunaan NAPZA terjadi di banyak negara yang dilakukan oleh berbagai kalangan dari berbagai status dan usia. Pada masa lalu kalangan muda dianggap sebagai pelaku dominan penyalahgunaan NAPZA, namun saat ini anggapan tersebut sepertinya tidak lagi beralasan seiring dengan banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA yang melibatkan orang-orang “yang tidak lagi muda”. Terdapat berbagai penyebab penyalahgunaan NAPZA diantaranya : - 1 Pada kaum remaja tingginya keinginan mencoba (coba-coba) sesuatu yang baru; Anggapan yang salah bahwa menggunakan NAPZA adalah gaya hidup modern (gaul); Rendahnya toleransi diri dalam menghadapi beban hidup sehingga ingin mencari jalan keluar (walau sesaat dan sesat), sangat berkaitan dengan status kesehatan jiwa seseorang; Disampaikan dalam”Expert Meeting” ICDPR, Senin 2 Maret 2009 di Jakarta. - Staf Pengajar FH Unika Atma Jaya Jakarta - Anggota Gugus Tugas Nasional Peningkatan Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia, Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI. 2 - Mudahnya mendapatkan (peredaran gelap) dan murahnya NAPZA ( pola pemasaran “paket hemat” terbukti mampu menjaring potential user); Anggapan yang salah bahwa NAPZA dapat digunakan sesaat saja, tidak akan menimbulkan ketergantungan; Semakin rapuhnya penanaman nilai-nilai bagi kaum remaja. Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia telah terjadi sejak abad 17, saat itu Belanda memperkenalkan opium dan bahkan menanamnya dibeberapa wilayah nusantara untuk keperluan ekspor. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai jenis NAPZA masuk dan beredar di wilayah Indonesia seperti morfin, amfetamin dan heroin yang siap memangsa anak-anak bangsa yang tergoda menggunakannya. Menyadari dampak buruk yang ditimbulkan dari penyalahgunaan NAPZA, negara melakukan berbagai tindakan dalam penanggulangannya. Berbagai peraturan perundang-undangan dilahirkan sebagai payung hukum pencegahan dan penindakan kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA, seperti : • • • • • • UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah UU No 39 tahun 1999 tentang HAM Penanggulangan penyalahgunaan NAPZA harus dilaksanakan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan seluruh elemen masyarakat. Kerjasama antar pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat harus dibina dengan dasar pengaturan dan perlindungan hukum yang memadai. Upaya penananggulangan tidak semata menitikberatkan pada upaya penggunaan instrumen hukum guna memberikan sanksi namun juga harus merupakan kombinasi antara pengurangan dampak buruk (harm reduction), pengurangan permintaan (demand reduction) dan pengurangan produksi (supply reduction). Pemahaman yang baik akan kombinasi ini haruslah dimiliki oleh setiap pihak yang terlibat dalam penanggulangan penyalahgunaan NAPZA dengan demikian tidak terjadi adanya penangkapan terhadap aktivis LSM yang bergiat dalam upaya harm reduction dikarenakan aparat hukum menganggapnya telah memberikan “fasilitas” bagi penyalahgunaan NAPZA saat didapati jarum-jarum suntik dalam tas aktivis tersebut, padahal niat yang dimiliki adalah untuk meminimalisir penyebaran virus HIV karena penggunaan berulang jarum suntik. Kesehatan Jiwa dan Penyalahgunaan NAPZA Umumnya masyarakat memaknai sehat hanya sebatas kesehatan fisik semata, jika seluruh organ tubuh seseorang berfungsi dengan baik maka ia dalam keadaan yang sehat. Padahal makna sehat yang sesungguhnya meliputi sehat fisik dan sehat psikis (sering disebut juga sebagai kesehatan mental atau kesehatan jiwa), hal ini menjadi salah satu penyebab termarjinalisasinya aspek kesehatan jiwa di Indonesia. Seperti yang dilaporkan Majalah Time edisi 10 November 2003, Indonesia diklasifikasikan sebagai negara yang memiliki peringkat terendah dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa di Asia. Rendahnya layanan kesehatan mental di Indonesia merupakan indikator kuat belum optimalnya kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Lebih lanjut, Laporan UNDP tahun 2005 menggambarkan bahwa, pada tahun 2005, dari 177 negara, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks) Indonesia adalah 110, dibawah Vietnam. Sumber Daya Manusia, sebagaimana diungkapkan dalam Data WHO Mental Health Atlas 2005, memang merupakan permasalahan besar bagi negara-negara berkembang. Masalah gangguan jiwa merupakan penyakit yang memberikan kontribusi signifikan terhadap bertambahnya beban global penyakit (global burden of disease) sebesar 13 % ( tahun 2002). Angka ini lebih besar bila dibandingkan dengan penyakit jantung (10%), penyakit saluran pernafasan (6%) dan keganasan (5%)3. Tercakupnya kesehatan jiwa dalam pengertian kesehatan yang utuh merupakan pengertian kesehatan yang diadopsi secara internasional sebagaimana tertuang dalam Konstitusi WHO 1948. Pembukaan Konstitusi WHO 1948 mendefinisikan kesehatan sebagai ”… a state of complete physical, mental, and sosial well being…”. Negara Republik Indonesia sebagai Negara yang merupakan anggota Perserikaatan Bangsa-bangsa dan turut aktif dalam pergaulan internasional telah mengadopsi pengertian kesehatan yang utuh tersebut dalam ketentuan peraturan perundang-undangannya. Namun kenyataannya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa masih jauh dari harapan, hal ini berdampak pada rendahnnya kualitas pelayanan kesehatan jiwa dan tingginya angka prevelansi penderita gangguan jiwa dimana sebagian besar dari penderita gangguan jiwa ini tidak mendapat perawatan kesehatan yang semestinya. Keadaan sehat jiwa seseorang tidak hanya berarti ketiadaan suatu penyakit kejiwaan sebagaimana diungkapkan oleh April Rusello ” Good mental health is not merely an absence of illnes or disorder but ’ includes a positive sense of well being; individual resources including self esteem,optimism, a sense of mastery and coherence; the ability to initiatiate, develop and sustain mutually satisfying personal relationship and the ability to cope with adversities’4 Hal ini selaras dengan pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada saat Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Dunia tingkat nasional di Sindang Barang Bogor yang menyatakan bahwa bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan. Kesehatan jiwa bukan sekadar terbebas dari gangguan jiwa, tapi sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang, yakni perasaan sehat, bahagia, serta mampu mengatasi tantangan hidup, orang yang jiwanya sehat dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, bisa mempercayai orang lain, serta senang menjadi bagian dari suatu kelompok. 3 4 WHO Mental Health Atlas 2005. Rusello, April. “Severe Mental Illness in Primary Care”, Radcliffe Publishing Ltd, United Kingdom, 2007. Dalam kasus penyalahgunaan NAPZA, dapat dikatakan bahwa terdapat permasalahan dari kondisi sehat jiwa seseorang yang menyalahgunakannya, orang tersebut tidak mampu untuk menggunakan daya pikirannya untuk menyeleksi adanya sesuatu yang berbahaya bagi tubuhnya, jika seharusnya (dalam kondisi sehat jiwa yang prima) ia menolak dan menjauhi narkotika namun sebaliknya ia justru menggunakannya. Penyalahgunaan berbagai jenis NAPZA mengalami peningkatan setiap tahunnya, setiap hari pemberitaan media masa cetak maupun elektronik tidak pernah sepi dari berita keberhasilan kepolisian dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika, namun ternyata angka penyalahgunaan NAPZA tidak pernah turun. Jika dahulu Indonesia merupakan tempat transit peredaran NAPZA internasional, namun pengungkapan berbagai kasus oleh Kepolisian Republik Indonesia membuktikan bahwa Indonesia telah berubah menjadi sasaran peredaran dan bahkan tempat produksi. Penyalahgunaan NAPZA merupakan masalah komplek yang memerlukan peranan aktif dari semua pihak guna menanggulanginya. Zat psikoaktif yang terkandung dalam NAPZA, bekerja pada susunan saraf pusat (otak) yang berakibat terjadinya gangguan kesehatan fisik (Gangguan kesehatan jasmani, disfungsi organ-organ tubuh seperi : lever , jantung, paru, otak, ginjal), psikis ( ketidakcakapan bertindak) dan fungsi sosial (ketidapedulian pada keluarga dan masyarakat) dari seseorang yang menyalahgunakannya, sehingga terjadi perubahan pada perilaku, perasaan dan pikiran. Dari sisi pendekatan kesehatan jiwa, pemakaian zat psikoaktif dapat dibagi kedalam beberapa golongan : 1. Experimental use yaitu pemakaian zat yang tujuannya ingin mencoba, sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian besar yang coba-coba ini tidak meneruskan menggunakan zat. Tetapi, sebagian kecil meneruskannya menjadi social use. 2. Social use, atau di sebut juga recreational use yaitu pengguna zat-zat tertentu pada waktu resepsi (minum whisky) atau untuk mengisi waktu senggang (merokok) atau pada waktu pesta ulang tahun atau berkemah (mengisap ganja bersama teman-teman). Sebagian besar mereka yang tergolong social user ini akan tetap mempertahankan kebiasaan ini. Tetapi ada pula social user atau experimental user yang kemudian menjadi situational use. 3. Situational use yaitu penggunaan zat pada saat mengalami ketegangan, kekecewaan, kesedihan, dan sebagainya dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut. 4. Abuse atau penyalahgunaan, yaitu pola penggunaan zat sesuai dengan kriteria yang sudah disebutkan dalam awal uraian tentang Napza. 5. Dependent use yaitu bila sudah dijumpai toleransi dan gejala putus zat , pemakaian zat dihentikan atau dikurangi dosisnya5 5 http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=8564&Itemid=698, akses 26 Feb 2009 Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan munculnya ketergantungan (adiksi) yaitu situasi dimana telah terjadi ketergantungan secara fisik dan psikis serta “tuntutan” untuk meningkatkan jumlah konsumsi yang mengakibatkan sulitnya bagi seorang penyalahguna untuk lepas dari jerat NAPZA. Masalah ketergantungan merupakan suatu bentuk gangguan kejiwaan, dalam situasi ini seseorang tidak mampu menggunakan akal sehatnya, pertimbangan rasionalnya dan pikiran normalnya untuk melakukan sesuatu yang baik bagi dirinya dan bahkan tidak mampu menjaga keselamatan tubuhnya. Jika suatu saat seorang penyalahguna NAPZA berhasil menjalani terapi sehingga dapat menghilangkan ketergantungannya secara fisik tidak demikian dengan ketergantungan secara psikis yang lebih mengarah pada situasi mental seseorang untuk kembali (adanya keinginan yang kuat) menggunakan narkotika, keadaan seperti ini memunculkan situasi yang dikenal dengan istilah sugesti, dalam situasi ini kerap muncul “suara-suara” dalam pikiran seseorang untuk kembali mengkonsumsi NAPZA, peranan psikiater sangat dibutuhkan dalam upaya pemulihan seseorang yang mengalami situasi seperti ini. Jika pada penderita gangguan jiwa mengalami stigmatisasi dan diskriminsai, demikian juga pada orang yang menyalahgunakan narkotika, hal yang sama dialami para penyalahguna NAPZA mereka dianggap sebagai pelaku kejahatan (kriminal) yang membawa aib bagi keluarga sehingga sebisa mungkin ditutupi keberadaannya sebab selain akan menghadapi rasa malu jika diketahui bahwa ada anggota keluarganya yang pengguna NAPZA juga berpotensi menghadapi masalah hukum jika melanggar hal-hal yang ditentukan dalam perundangundangan, hal ini mengakibatkan tidak adanya data akurat tentang kesehatan jiwa dikaitkan dengan penyalahgunaan NAPZA. Padahal penyalahguna NAPZA juga memiliki hak-hak yang sama yang seharusnya dijamin oleh perangkat hukum seperti hak untuk memperoleh layanan kesehatan tanpa diskriminasi. Dalam hal inilah upaya promotif kesehatan jiwa sangat diperlukan bukan saja untuk pemulihan dari orang penyalahguna NAPZA namun juga memberikan edukasi bagi masyarakat dan keluarga, sebab peranan keluarga menjadi faktor yang sangat menentukan selain dukungan lingkungan (masyarakat). Menyadari adanya masalah kesehatan jiwa dalam kasus penyalahgunaan NAPZA, pemerintah melalui Departemen Kesehatan mengambil kebijakan untuk menyediakan 10% tempat tidur di 33 (tiga puluh tiga) Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia untuk penderita penyalahgunaan NAPZA (selain membangun Rumah Sakit Ketergantungan Obat.), walaupun efektivitas penggunaannya masih rendah karena adanya keengganan bagi penyalahguna NAPZA mendapatkan perawatan bersama-sama dengan penderita gangguan jiwa. Penanganan penyalahgunaan NAPZA melalui peraturan perundangan menggambarkan kebijakan yang ditempuh pemerintah guna menjamin ketersediaan NAPZA guna kepentingan medis dan ilmu pengetahuan sekaligus mencegah penyalahgunaan . Bentuk kebijakan tesebut meliputi : - Pencegahan , yaitu upaya untuk mencegah berbagai bentuk penyalahgunaan; - Penghukuman, yaitu pemberian sanksi hukum (pidana) bagi penyalahguna; - Rehabilitasi, yaitu upaya kuratif bagi penyalahguna melalui tindakan medis dan pemulihan sosial. Diakomodirnya upaya rehabilitasi dalam undang-undang merupakan sesuatu yang patut diapresiasi, namun dalam pelaksanaannya ternyata belum sesuai dengan harapan, idealnya prinsip-prinsip keperawatan (dalam hal ini keerawatan jiwa) dijamin pelaksanannya oleh undang-undang. Jaminan ini selain guna tercapainya tujuan rehabilitasi juga untuk pemenuhan hak-hak penyalahguna NAPZA untuk mendapatkan pelayanan keperawatan yang memenuhi prinsip penghormatan HAM. Demikian juga pelaksanaan pemidanaan, terpidana penyalahgunaan NAPZA yang masuk ke lapas tidak mendapatkan perawatan untuk menghentikan efek ketergantungannya sehingga upaya pemulihan tidak bisa dilakukan. Selain itu tidak adanya pembedaan perlakuan dalam lapas antara pengedar dan pemakai menjadi permasalahan lain dalam upaya rehabilitasi terpidana. Idealnya undang-undang juga menjamin terlaksananya rehabilitasi yang memenuhi prinsip-prinsip keperawatan, namun hal ini berbenturan dengan prinsip hukum dalam hal ini Hukum Acara Pidana Indonesia yang menyatakan bahwa selesainya hukum acara saat lahirnya putusan (vonis) hakim, hal ini kiranya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerhati penyalahgunaan NAPZA guna terciptanya pembaharuan hukum. Semoga bermanfaat. Jakarta, 1 Maret 2009