View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Uang merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan, karena uang
merupakan salah satu sendi dalam kehidupan manusia. Mulai dari anak-anak
sampai orang tua mereka membutuhkan uang dalam kegiatan mereka baik itu
bersifat konsumtif mislanya membeli keperluan sehari-hari maupun untuk
kebutuhan spekulasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dengan
membeli surat-surat berharga atau obligasi dengan harapan harga jual dari surat
berharga dan obligasi yang dimiliki lebih tinggi dari harga beli.
Dalam perekonomian suatu negara atau wilayah uang sangat mempunyai
peranan yang sangat penting khususnya dalam bidang perekonomian. Bagi
perekonomian uang seperti darah yang mengalir dalam tubuh manusia ketika
terhambat maka fungsi organ tubuh tidak akan berjalan sebagai mana mestinya
dan manusia akan menjadi sakit karenanya. Sama halnya dengan uang, posisinya
harus selalu berputar dalam suatu roda perekonomian apabila terhambat maka
perekonomian akan menjadi sakit. Oleh karena itu untuk menjalankan fungsi uang
sebagaimana mestinya diperlukan suatu kebijakan oleh Bank Indonesia dengan
otoritas moneternya.
Dalam perputaran uang di suatu wilayah selain variabel makro, lembaga
juga mempunyai peranan yang kuat untuk masyarakat dalam melakukan kegiatan
ekonomi. Lembaga yang dimaksud dalam hal ini seperti Bank Indonesia (BI) yang
mempunyai otoritas moneter untuk menentukan kebijakan dalam kondisi ekonomi
1
suatu wilayah, ada juga bank umum yang menjalankan perannya dalam tingkat
suku bunga untuk ditawarkan kepada masyarakat dimana masyarkat yang
tergolong dalam lembaga masyarakat nantinya yang juga akan ikut menentukan
kondisi perputaran uang dengan ekspektasi dan konsumsi yang mereka lakukan.
Salah seorang pemikir besar yang menyumbangkan pemikirannya dalam
teori moneter adalah Keynes yang berpandangan tentang uang sebagai alat
penyimpan nilai. Pandangan ini menyebabkan perlunya analisis tentang pasar
uang dengan penawaran uang. Pasar uang, memberikan gambaran tentang
perkembangan kelangkaan uang. Perkembangan tingkat kelangkaan uang
ditunjukkan dari perkembangan tingkat harga yang terbentuk melalui mekanisme
pasar, sedangkan harga dari uang adalah tingkat bunga. Jika tingkat bunga
semakin tinggi, maka uang semakin mahal, berarti uang semakin langka, begitu
juga sebaliknya.
Dari teori ini dapat dilihat suatu hubungan antara sektor moneter dengan
sektor riil. Tingkat bunga yang terbentuk disektor moneter (pasar uang) akan
mempengaruhi perilaku disektor riil, khususnya investasi. Sebagai contoh, bila
tingkat bunga makin tinggi, permintaan investasi akan menurun, yang juga akan
menurunkan tingkat output keseimbangan. Jadi keseimbangan di pasar uang
berkaitan dengan pasar barang dan jasa.
Pada saat output nasional bertambah banyak, maka permintaan akan uang
untuk kebutuhan transaksi juga akan meningkat. Masyarakat cenderung untuk
menjaga nilai beli dari uang yang dipegangnya, agar uang yang dipegang cukup
memadai untuk menyelesaikan transaksi-transaksi yang dilakukannya.
2
Jumlah
uang
beredar
di
Sulawesi
Selatan
selama
2001-2010
memperlihatkan fenomena yang terus berkembang baik itu uang beredar dalam
arti sempit (M1) yang terdiri dari uang kartal dan uang giral, maupun uang beredar
dalam arti luas (M2) yang merupakan penjumlahan M1 dengan uang kuasi. Hal ini
dapat dilihat pada Grafik 1.1.
Grafik 1.1
Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Sulawesi Selatan Tahun 2001-2020
(Dalam Milyar Rupiah)
Sumber : Data diolah
Terlihat jelas dari grafik 1.1. bahwa permintaan uang di Sulawesi Selatan
terus meningkat terutama di tahun 2006, untuk uang kuasi sendiri peningkatannya
cukup pesat sekitar 20,83% yaitu dari Rp. 16,63 trilyun menjadi Rp. 19,65 trilyun.
Kenaikan angka tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat likuiditas cukup untuk
memenuhi kebutuhan perekonomian di wilayah Sulawesi Selatan. Berdasarkan
data yang di tampilkan oleh Bank Indonesia kenaikan permintaan uang tersebut
diakibatkan oleh meningkatnya jumlah jaringan kantor bank yang melayani
kebutuhan masyarakat yaitu dari 579 kantor bank menjadi 590 kantor bank.
3
Di tahun berikutnya hanya terjadi sedikit saja perbedaan, dimana
permintaan uang cenderung meningkat yang disebabkan oleh ekspektasi dari
masyarakat terhadap inflasi yang tinggi terutama untuk bahan-bahan pokok baru.
Demikian pula di tahun-tahun berikutnya yang terus mengalami peningkatan.
Berdasarkan teori yang ada, JUB sangat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi.
Dimana
pertumbuhan
peningkatan
ekonomi
dan
jumlah
sebaliknya
uang
beredar
pertumbuhan
akan
mendorong
ekonomi
dapat
mempengaruhi JUB sebab peningkatan pendapatan akan mendorong peningkatan
permintaan uang.
Grafik 1.2
Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Tahun 2001-2010
Sumber : Data diolah
Pada Grafik 1.2 dapat dilihat pertumbuhan ekonomi Sulawesi-Selatan
pada Tahun 2001-2010 mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun hal ini
4
disebabkan karena tingkat konsumsi masyarakat juga tiap tahunnya mengalami
peningkatan. Bukan hanya itu penggunaan akan uang yang dimiliki masyarakat
juga sudah mulai bervariasi bukan hanya untuk bertransaksi, tapi juga untuk
investasi, tabungan dan belanja modal lainnya. Perilaku ini secara langsung
berpengaruh pada tingkat pendapatan Provinsi Selawesi Selatan. Sehingga,
berdasarkan sumber data yang didapat Jumlah Uang Beredar dan Pendapatan
dapat di katakan signifikan karena pertumbuhannya saling beriringan ke atas.
Selain tingkat pendapatan, tingkat suku bunga juga sangat berpengaruh
terhadap permintaan uang. Suku bunga merupakan salah satu faktor yang paling
penting dalam perekonomian suatu wilayah karena sangat berpengaruh terhadap
kesehatan perekonomian. Hal ini tidak hanya mempengaruhi keinginan konsumen
untuk membelanjakan ataupun menabungkan uangnya tetapi juga mempengaruhi
dunia usaha dalam mengambil keputusan. Oleh kerena itu tingkat suku bunga
mempunyai pengaruh yang sangat luas, baik pada sektor moneter maupun juga
pada sektor riil.
Suku bunga sangat erat kaitannya dengan tingkat laju inflasi, karena
tingkat inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran terhadap
barang dan jasa yang mencerminkan para pelaku pasar dan masyarakat. Salah satu
faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi
terhadap laju inflasi dimasa yang akan datang. Ekspektasi laju infasi yang tinggi
akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan aset finansial yang dimilikinya
menjadi aset riil seperti, tanah, rumah, dan barang-barang konsumsi lainnya.
Begitu juga sebaliknya ekspektasi laju inflasi yang rendah akan memberikan
5
insentif terhadap masyarakat untuk menabung serta melakukan investasi pada
sektor-sektor produktif.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diketahui bahwa pendapatan regional (PDRB), tingkat suku bunga, dan laju
inflasi memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perilaku permintaan uang
masyarakat. Dengan demikian, penulis mencoba melihat besarnya pengaruh
keempat variabel tersebut terhadap permintaan uang, dengan mengemukakan
judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Uang
(Deman For Money) di Sulawesi Selatan Periode 2001-2010”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat mengemukakan
pokok permasalahan yaitu:
1. Apakah pendapatan regional (PDRB) berpengaruh signifikan terhadap
permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010 ?.
2. Apakah tingkat suku bunga berpengaruh signifikan terhadap permintaan
uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010 ?.
3. Apakah inflasi berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di
Sulawesi Selatan periode 2001-2010 ?.
6
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengukur dan menganalisis pengaruh pendapatan regional (PDRB)
terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010
2. Untuk mengukur dan menganalisis pengaruh tingkat suku bunga deposito
terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010
3. Untuk mengukur dan menganalisis pengaruh tingkat laju infasi terhadap
permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010.
7
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Pengertian
Bank Indonesia membedakan jumlah uang beredar kedalam dua bagaian
yaitu JUB dalam arti sempit dan JUB dalam arti luas. JUB dalam arti sempit (M1),
yaitu kewajiban sistem moneter yang terdiri dari uang kartal dan uang giral. Uang
kartal adalah uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan dan diedarkan oleh
Bank Indonesia dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah
Republik Indonesia sedangkan Munurut UU No. 7 tentang Perbankan tahun 1992,
defenisi uang giral adalah tagihan yang ada di bank umum, yang dapat digunakan
sewaktu-waktu sebagai alat pembayaran. Bentuk uang giral dapat berupa cek,
giro, atau telegrafic transfer.
JUB dalam arti luas (M2), yaitu kewajiaban sistem moneter yang terdiri
dari M1 dan uang kuasi. Uang kuasi adalah aset yang dapat digunakan secara
cepat. Uang kuasi terdiri dari deposito, tabungan dan simpanan valas milik swasta
domestik.
Dari kedua defenisi JUB yang dikemukakan oleh Bank Indonesia
tersebut diatas, terlihat bahwa komponen M1 merupakan komponen yang paling
likuid, karena proses penciptaannya menjadi uang kas begitu cepat dan tidak
mengalami perubahan atau kerugian nilai. Sedangkan M2 mempunyai tingkat
8
likuiditas yang paling rendah, karena proses pencariannya memerlukan jangka
waktu tertentu .
Dalam bidang ekonomi mengartikan jumlah uang beredar (JUB) adalah
uang yang beredar ditangan masyarakat. Defenisi ini terus berkembang dari waktu
ke waktu seiring dengan perkembangan perekonomian disuatu negara. Konteks
perekonomian negara maju cara perhitungannya dapat berbeda dengan negara
sedang berkembang. Umumnya cakupan defenisi JUB di negara maju lebih luas
dan kompleks dibanding di negara sedang berkembang.
Secara umum dua defenisi JUB yang banyak digunakan yaitu :
pendekatan transaksi yang memandang JUB adalah jumlah uang yang dibutuhkan
untuk keperluan transakasi. Pendekatan ini banyak digunakan untuk menghitung
JUB dalam arti sempit yang dikenal sebagai M1. Definisi lain didasarkan pada
pendekatan likuiditas yang memandang JUB adalah jumlah uang untuk kebutuhan
transaksi di tambah uang kuasi. Pendekatan ini digunakan untuk menghitung
jumlah uang beredar dalam arti luas yang dikenal sebagai M2.
Jumlah uang beredar juga didefenisikan oleh beberapa orang yang
mengatakan bahwa JUB merupakan tagihan masyarakat terhadapa sektor
perbankan dan terbatas pada jumlah antara uang kartal dan uang giral ( Anton :
1991). Pengertian JUB lainnya adalah semua uang giral (demand deposit), tagihan
pada bank umum, seluruh uang kertas dan uang logam (currency) yang dipegang
oleh masyarakat yang ada diluar bank umum dan bank sentral ( Manullang :
1983).
9
Selain M1 dan M2 juga ada yang disebut dengan M0 atau yang biasa
disebut dengan uang inti, uang primer, reserve money, high power money, atau
monetary base yang merupakan kewajiban dari otoritas moneter yang terdiri dari
uang kertas dan uang logam yang berada diluar Bank Indonesia, serta simpanan
Giro Bank Umum dan sektor swasta domestik (penduduk) pada Bank Indonesia.
2.2 Teori Permintaan Uang.
Pada umunya pandangan teori permintaan uang dibagi menjadi 3 (tiga),
yaitu teori-teori yang didasarkan pada ; (1) pandangan klasik, (2) teori permintaan
uang Keynes, dan (3) teori kuantitas modern.
Pendekatan teori klasik oleh para ekonom beraliran klasik yang
beranggapan bahwa permintaan uang murni didasarkan pada kebutuhan untuk
melakukan transaksi (transaction view of money demand). Dari teori ini
melahirkan kesimpulan bahwa permintaan uang untuk kebutuhan transaksi sangat
tergantung pada tingkat pendapatan.
Dan kemudian oleh John Maynard Keynes domodifikasi dengan
mengatakan bahwa terdapat biaya yang ditanggung oleh masyarakat dalam
memegang uang. Biaya yang dimaksud dapat berupa biaya langsung (direct cost)
dan biaya tidak langsung (undirect cost).
Dijelaskan didalamnya bahwa biaya langsung dari memegang uang
adalah pembayaran dengan nominal atau persentase tertentu dari nilai durable
deposits yang dimiliki oleh seseorang sedangkan biaya tidak langsung merupakan
opportunity cost dari memegang uang. Opportunity cost itu sendiri adalah biaya
10
yang timbul dari berbagai alternatif pengalokasian aset, atau dengan kata lain
terdapat potensi kehilangan pendapatan bunga jika seseorang menetapkan salah
satu bentuk kekeyaan (Asset). Fakta diatas yang kemudian mendasari pandangan
Keynes bahwa semakin tinggi tingkat bunga maka semakin rendah permintaan
uang.
Pendekatan yang ketiga adalah modern quantity theory of money yang
dipopulerkan oleh Milton Friedmen. Teori kuantitas modern menggabungkan
antara pandangan klasik (Calssical view) dengan pandangan Keynes (Keynes’s
view) dari permintaan uang.
Ketiga pendekatan di atas akan dijelaskan secara lebih rinci sebagai
berikut :
2.2.1 Teori Kuantitas Sederhana (The Simple Quantity Theory)
Teori
kuantitas
sederhana
beranggapan
bahwa
motivasi
utama
masyarakat dalam memegang uang yaitu untuk keperluan transaksi. Teori ini
didasarkan pada equation of exchange, identitas yang menghubungkan antara
pengeluaran agregat dengan persediaan uang (Jansen : 2002).
Fisher berpendapat bahwa permintaan uang akan timbul dari penggunaan
uang dalam proses transaksi, dimana setiap perekonomian ketika sesuai tahap
pertumbuhannya akan memiliki sistem kelembagaan tersendiri yang menentukan
sifat proses transaksi tersebut. Sistem ini mencakup beberapa faktor misalnya
tingkat dari sektor-sektor ekonomi, keredit perdagangan, perbaikan dalam
komunikasi, dan sistem jaringan perbankan.
11
Seperti yang dijelaskan di atas besar kecilnya perputaran uang transaksi
ditentukan dari proses transaksi yang berlaku di masyarakat. Faktor kelembagaan,
utamanya mekanisme pembayaran yang digunakan (tunai atau cek) akan
mengalami perubahan secraa gradual dalam jangka panjang, sedangakan dalam
jangka pendek kebutuhan akan uang relatif terhadap volume transaksi bisa
dianggap konstan. Demikian pula volume transaksi relatif terhadap output
masyarakat bisa dianggap mempunyai proporsi yang konstan dalam jangka
pendek.
2.2.2 Teori Cambridge (Marshall-Pigou)
Teori Cambridge befokus pada fungsi uang sebagai alat tukar umum.
Oleh karena itu, teori-teori klasik ini melihat permintaan uang dari masyarakat
sebagai kebutuhan akan alat likuid untuk tujuan transaksi.
Ketika Fisher mengatakan permintaan uang semata-mata merupakan
proporsi konstan dari volume transaksi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
kelembagaan yang konstan. Cambridge justru berpendepat faktor-faktor perilaku
(pertimbangan untung rugi) yang menghubungkan antara permintaan uang
seseorang dengan volume transaksi yang direncanakannya. Atau dengan kata lain,
Fisher memandang velocity uang konstan sedangakan Cambridge tidak.
Menurut teori Cambridge, permintaan uang selain dipengaruhi oleh
volume transaksi dan faktor-faktor kelembagaan, juga dipengaruhi oleh bunga,
dan ekspektasi masyarakat terhadap kondisi yang akan datang. Faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan uang seseorang dengan demikian juga akan
12
mempengaruhi permintaan uang masyarakat secara keseluruhan. Kemudian Pigou
melakukan
berbagai
penyederhanaan
dimana
variabel-variabel
yang
mempengaruhi permintaan uang dalam jangaka pendek dianggap konstan.
Teori
Cambridge
menganggap
bahwa
permintaan
uang
adalah
proporsional dengan tingkat pendapatan nasional (ceteris paribus). Dalam hal ini
dia tidak menutup kemungkinan bahwa faktor-faktor seperti tingkat suku bunga
dan ekspektasi berubah walaupun dalam jangka pendek.
2.2.3 Teori Uang dari Keynes
Ketika ekonomi klasik cenderung menekankan penggunaan uang dalam
melakukan transaksi, Keynes mengidentifikasikan tiga motif memegang uang
yaitu : motif bertransaksi, motif berjaga-jaga, dan motif berspekulasi. Seperti
ekonom klasik, Keynes memandang memegang uang untuk transaksi proporsional
dengan pendapatan.
Keynes juga sependapat dengan pemikiran Cambridge, dimana orang
memegang uang untuk melancarkan proses transaksi yang dilakukan, dan
permintaan uang masyarakat untuk tujuan ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
nasional, semakin besar tingkat transaksi, maka semain besar pula jumlah uang
yang diminta masyarakat untuk transaksi.
Selain itu, Keynes juga berpendapat bahwa permintaan uang untuk
transaksi ini pun bukan merupakan suatu proporsi yang konstan, tapi juga
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Hanya saja faktor bunga dalam
permintaan uang untuk transaksi ini tidak terlalu ditekankan, salah satu sebabnya
adalah karena dia ingin menekankan permintaan uang untuk tujuan lain, yaitu
13
tujuan spekulasi. Motif memegang uang untuk tujuan spekulasi terutama
ditujukan untuk mendapatkan keuntungan.
Keynes membatasi keadaan dimana pemilik kekayaan bisa memilih
memegang kekayaanya dalam bentuk tunai atau obligasi. Uang tunai dianggap
tidak
memberikan
penghasilan,
sedang
obligasi
dianggap
memberikan
penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periodenya.
2.2.4 Teori Transaksi dari Permintaan Uang
Teori permintaan uang yang menekankan peran uang sebagai media
pertukaran disebut teori transaksi (transaction theories). Teori ini menyatakan
bahwa uang adalah aset yang didominasi dan menekankan bahwa orang
memegang uang tidak seperti aset-aset lainnya, tapi untuk melakukan pembelian.
Teori ini menjelaskan mengapa orang memegang uang dalam arti sempit (M1),
seperti mata uang dan rekening cek, sebagai lawan dari memegang aset yang
mendominasinya, seperti rekening tabungan dan Treasury bills.
Teori dari transaksi permintaan uang bermacam-macam, bergantung
bagaimana orang memodelkan proses menghasilkan uang untuk melakukan
transaksi. Seluruh teori ini mengasumsikan bahwa uang mempunyai biaya dari
menerima tingkat pengambilan yang rendah dan manfaat yang membuat transaksi
lebih aman. Orang-orang memutuskan berapa banyak uang yang akan dipegang
dalam men-trade-off-kan biaya dan manfaat ini.
Pengembangan lebih lanjut dari teori transaksi dari permintaan uang
adalah model menejemen kas Baumol-Tobin (the inventory approach to money
14
demand), teori portofolio dari permintaan uang dari James Tobin (the portfolio
approach to money demand) dan teori kuantitas modern dari Friedman.
2.2.5 Model Manajemen Kas Baumol-Tobin
Seperti teori kuantitas dan teori Cambridge, model ini juga menekankan
pentingnya penggunaan uang untuk keperluan transaksi. Teori model ini juga
memandang adanya direct dan inderect cost (biaya langsung dan biaya tidak
langsung) memegang uang untuk tujuan transaksi dan bagaimana perubahan
kedua biaya ini akan mempengaruhi permintaan uang (Jansen : 2002). Biaya
langsung yaitu biaya perjalanan atau biaya mentransfer aset non moneter menjadi
aset moneter sedangkan biaya tidak langsung yaitu jumlah bunga yang hilang.
Baumol dan Tobin mencapai kesimpulan yang serupa mengenai
permintaan uang untuk transaksi. Baumol melihat bahwa kebutuhan akan uang
untuk transaksi pada hakekatnya adalah sama dengan kebutuhan stok uang yang
akan dipegang dengan pertimbangan biaya dengan memilih jumlah dan pola
waktu untuk stok yang tepat agar biaya yang membebaninya minimal.
Model Baumol-Tobin menganalisa biaya dan manfaat dari memegang
uang. Manfaatnya adalah kenyamanan; orang memegang uang agar mereka tidak
perlu lagi ke bank setiap kali ingin membeli sesuatu. Biaya kenyamanan ini adalah
hilangnya bunga yang akan mereka terima jika uang tersebut mereka simpan di
bank.
Model ini bertitik tolak dari anggapan bahwa seseorang menerima
pendapatan tertentu secara reguler setiap waktu, dan untuk penyederhanaan orang
15
tersebut selalu membelanjakan sejumlah tertentu (tetap) setiap harinya. Dengan
kata lain kebutuhuan uang tunai setiap per satuan waktu adalah konstan. Pemilik
pendapatan tersebut juga dapat memilih memegang hasil pendapatannya dalam
bentuk uang tunai atau obligasi.
Uang tunai dianggap tidak menghasilkan apapun, tapi dipegang karena
bisa digunakan untuk transaksi. Sedangkan obligasi menghasilkan tingkat bunga,
tapi bila ingin digunakan untuk transaksi harus terlebih dahulu ditukarkan
kedalam bentuk uang tunai. Selanjutnya dianggap bahwa setiap kali menjual
obligasi, ada biaya (tetap) yang dibebankan. Karena uang tunai tidak
menghasilkan apapun, maka orang akan cenderung memegang pendapatan
totalnya sebanyak mungkin dalam bentuk obligasi. Keputusan ini dilakukan
dengan mempertimbangkan biaya yang paling menguntungkan. Biaya yang paling
menguntungkan ini adalah dengan memilih nilai/jumlah obligasi yang akan dijual
dengan tujuan memenuhi kebutuhan uang tunai untuk transaksi dalam jangka
waktu tertentu yang akan menimbulkan biaya total dari pemegangan stok.
2.2.6 Teori Portofolio dari Permintaan Uang
Teori portofolio menekankan peran uang sebagai penyimpan nilai.
Menurut teori ini, orang-orang memegang uang sebagai aset portofolio mereka.
Teori portofolio memperdiksi bahwa permintaan uang seharusnya tergantung pada
resiko dan hasil yang diberikan oleh uang dan oleh berbagai aset selain uang.
Selain itu, permintaan uang seharusnya bergantung pada kekayaan total, karena
kekayaan mengukur besarnya portofolio yang dialokasikan diantara uang dan aset
16
alternatif. Fungsi permintaan uang dalam teori portofolio mengasumsikan
permintaan uang bergantung pada pengembalian saham riil, pengembalian
obligasi riil yang diharapkan, tingkat inflasi yang diharapkan, dan kekayaan riil.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, kenaikan dalam pengembalian
saham riil dan pengembalian obligasi riil yang diharapakan menurunkan
permintaan uang, kerena uang menjadi kurang menarik. Kenaikan dalam
kekayaan riil meningkatkan permintaan uang, karena kekayaan yang lebih tinggi
berarti portofolio yang lebih besar.
Teori portofolio bermanfaat untuk mempelajari permintaan uang
bergantung pada ukuran uang manakah yang kita gunakan. Ukuran uang yang
paling sempit (M1) adalah aset yang didominasi (dominated assets); sebagai
penyimpan nilai, uang eksis sepanjang aset-aset lain dalam kondisi lebih baik.
Jadi, tidak optimal bagi orang-orang untuk memegang uang sebagai bagian dari
portofolio mereka, dan teori portofolio tidak dapat menjelaskan permintaan
terhadap bentuk uang yang didominasi ini. Ukuran uang yang lebih luas
mencakup banyak aset yang mendominasi mata uang dan rekening cek, sehingga
pendekatan portofolio terhadap permintaan uang merupakan teori yang baik untuk
menjelaskan permintaan terhadap M2 atau M3 (Mankiw : 2000).
2.2.7 Teori Kuantitas Modern dari Friedman
Teori kuantitas modern dari permintaan uang di bangun berdasarkan teori
kuantitas uang dengan menekankan kekhasan kepemilikan uang sebagai media
pertukaran. Kekhasan ini karena memandang permintaan uang mirip permintaan
17
akan suatu barang yang dipengaruhi oleh tiga hal yaitu; total kekayaan yang
merupakan kendala anggaran (budget constraint) dalam perilaku konsumen, harga
dari masing-masing bentuk kekayaan, serta selera dan preferensi (taste and
preference) pemilik kekayaan (Jansen : 2002).
Teori kuantitas modern menekankan permintaan uang dari keuntungan
dari proses subtitusi antar bentuk kekayaan seperti uang, obigasi, saham, surat
berharga, dan bentuk kekayaan yang lain baik manusiawi maupun nonmanusiawi.
Permintaan uang terhadap bentuk kekayaan di atas sangat dipengaruhi oleh hasil
(return) yang akan diterima oleh pemilik kekayaan di masa yang akan datang.
Dalam teori permintaan uangnya, Friedman menganggap bahwa pemilik
kekayaan memutuskan aktiva-aktiva apa yang akan dipegang atas dasar
perbandingan manfaat, selera dan jumlah kekayaanya. Pengertian kekayaan dari
Friedman tidak hanya berbentuk uang atau bisa diubah atau dijual menjadi uang,
tetapi juga termasuk nilai dari aliran penghasilan ditahun-tahun mendatang dari
tenaga kerjanya. Kekayaan tidak lain adalah nalai sekarang dari aliran penghasilan
yang diharapakan dari aktiva-aktiva yang dipegang. Pengertian kedua yang
penting adalah “manfaat”. Manfaat (returns) dari setiap bentuk aktiva merupakan
faktor pertimbangan untuk memutuskan berapa jumlah dari masing-masing
bantuk aktiva yang akan dipegang tersebut.
Dalam melakukan perumusan fungsi permintaan uang (permintaan total
uang, Friedman tidak menganal pembagian motif memegang uang seperti
Keynes), Friedman melakukan beberapa penyederhanaan. Ia menganggap pemilik
kekayaan bisa memilih lima bentuk kekayaan untuk dipegang, yaitu: uang tunai,
18
obligasi, saham atau equities, barang-barang fisik bukan manusia, dan kekayaan
manusiawi / human capital.
2.3 Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regiona Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
pertumbuhan ekonomi satu wilayah. Pertumbuhan tersebut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya infrastruktur ekonomi. PDRB adalah jumlah nilai
tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau
merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit
ekonomi.
PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan
jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung menggunakan harga pada suatu tahun tertentu sebagai tahun dasar
hitungannya. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat
pergeseran struktur ekonomi, sedangkan harga konstan dapat digunkana untuk
mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Produk Domistik
Regional Bruto (PDRB) dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) oleh masingmasing wilayah. BPS menghitung PDRB berdasarkan 3 (tiga) pendekatan yaitu :
 Pendekatan Produksi (Pruduction Approach) yaitu PDRB merupakan
jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai
unit produksi dalam suatu wilayah / region pada suatu jangka waktu
tertentu, biasanya setahun.
19
 Pendekatan Pendapatan (Income Approach) yaitu PDRB merupakan
jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut di
dalam proses produksi di suatu wilayah pada jangka waktu tertentu
(setahun). Balas jasa faktor produksi tersebut adalah upah dan gaji, sewa
tanah, bunga modal dan keuntungan.
 Pendapatan Pengeluaran (Expenditure Approach) yaitu PDRB merupakan
jumlah semua pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga
swasta yang tidak mencari untung, perubahan stok dan ekspor neto di
suatu wilayah pada suatu periode (biasanya setahun). Ekspor neto disini
adalah ekspor dikurangi impor.
Kuantitas uang dalam perekonomian sangat erat kaitannya dengan
jumlah mata uang yang diperlukan dalam transakasi. Dalam penulisan skripsi ini,
karena jumlah transaksi sulit diukur, maka jumlah transaksi diganti dengan output
total dari perekonomian suatu wilayah atau daerah (PDRB). Transaksi dan output
sangat berkaitan, karena semakin banyak perekonomian berproduksi, semakin
banyak barang yang dibeli dan dijual. Namun demikian menurut Mankiw (2000)
keduanya tidak sama. Ketika seseorang menjual mobil bekas untuk orang lain,
misalnya, mereka melakukan transaksi dengan menggunakan uang, meskipun
mobil bekas bukan bagian dari output sekarang.
20
2.4 Suku Bunga
Menurut Keynes (1936) suku bunga merupakan harga dari penggunaan
uang. Sedangkan menurut Hubbard (1997), bunga adalah biaya yang harus
dibayar atas pinjaman yang diterima dan imbalan atas investasinya. Suku bunga
mempengaruhi keputusan individu terhadap pilahan membelanjakan uang lebih
banyak atau menabung (Laksomono : 2001).
Para ekonom membagi tingkat suku bunga atas dua yaitu, tingkat bunga
nominal (nominal interest rate) dan tingkat bunga riil (real interest rate). Para
ekonom menyebutkan tingkat bunga yang dibayar bank sebagai tingkat bunga
nominal dan kenaikan dalam daya beli Anda dengan tingkat bunga riil. Tingkat
bunga nominal biasa juga disebut biaya peluang (opportunity cost) dari
memegang uang: biaya yang timbul karena Anda lebih memilih suka memegang
uang ketimbang obligasi.
Dapat juga di katakan bahwa tingkat bunga riil adalah perbedaan di
antara tingkat bunga nominal dan tingkat inflasi. Kalau diatur kembali persamaan
ini, dapat dilihat bahwa tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil
dan tingkat inflasi.
Menurut Fisher (Fisher Equation). Hal ini menunjukkan tingkat bunga
bisa berubah karena dua alasan : karena tingkat bunga riil berubah atau karena
tingkat inflasi berubah. Menurut persamaan Fisher di atas, kenaikan 1 persen
dalam tingkat inflasi sebaliknya menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat
bunga nominal. Hubungan satu-untuk-satu antara tingkat inflasi dan tingkat bunga
nominal disebut efek Fisher (Fisher Effect) (Mankiw : 2003).
21
2.5 Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya hargaharga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme
pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi
masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu
konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak
lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses
menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu
peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang
dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk
melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga
berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah
inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang
kadang kala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk
mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah IHK (Indeks
Harga Konsumen) dan PDB/PDRB.
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan,
sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada
di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat
antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi
apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau
tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu,
22
bank sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang
domestik. Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal
(dicerminkan oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation
targeting banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk oleh
Bank Indonesia.
2.6 Hubungan antara Pendapatan, Suku Bunga Deposito dan Inflasi
Terhadap Permintaan Uang
2.6.1 Pengaruh Pendapatan Regional (PDRB) Terhadap Permintaan
Uang
Pada dasarnya pendapatan mencerminkan seberapa besar tingkat
konsumsi seseorang. Biasanya semakin tinggi pendapatan seseorang, maka
keinginannya untuk mengkonsumsi satu atau beberapa jenis barang juga akan
semakin ikut meningkat.
Faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan uang dalam suatu
wilayah antara lain pendapatan, nilai tukar, dan tingkat suku bunga
(Boediono:1985). Pendapatan dan permintaan uang sangat berhubungan erat serta
mempunyai sifat yang positif dan signifikan. Yang artinya ketika pendapatan
mengalami kenaikan, maka permintaan akan uang juga akan mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya permintaan untuk konsumsi
di kalangan masyarakat.
Sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh para ekonom klasik
dalam teori permintaan uang yang beranggapan bahwa permintaan uang murni
23
didasarkan untuk memenuhi kebutuhan dalam transaksi. Anggapan ini
memberikan kesimpulan bahwa permintaan uang untuk kebutuhan transaksi
sangat tergantung pada tingkat pendapatan.
2.6.2 Pengaruh Tingkat Suku Bunga Deposito Terhadap Permintaan Uang
Pada umunya orang-orang yang mempunyai pendapatan yang berlebih
akan menyimpan uangnya pada pihak perbankan dalam bentuk deposito. Alasan
tersebut dikarenakan adanya pendapatan yang akan diterima dari uang tersebut
yaitu berupa bunga.
Bunga merupakan salah satu varibel makro dalam moneter yang selalu
diamati oleh para pelaku ekonomi. Tinggi rendahnya suku bunga yang ditawarkan
suatu pihak perbankan, maka akan mempengaruhi sifat para pelaku ekonomi.
Sebagai salah satu contohnya ketika suku bunga mengalami kenaikan, orangorang akan lebih memilih menyimpan uangnya di bank dibandingkan untuk
menggunakannya sebagai konsumsi dan begitu pula sebaliknya. Akan ada yang
dikorbankan seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang mereka
miliki.
Menurut Keynes faktor yang mempengaruhi besarnya permintaan uang
dengan motif spekulasi adalah besarnya suku bunga, dividen surat-surat berharga,
ataupun capital gain. Karena ketika seseorang memilih memegang uang, maka
mereka akan mendapatkan oppurtunity cost dari memegang uang atau dengan kata
lain terdapat potensi kehilangan pendapatan bunga jika seseorang menetapkan
salah satu bentuk kekayaan (asset).
24
Dalam hubungannya dengan permintaan uang, suku bunga berpengaruh
negatif. Hal ini dikarenakan ketika suku bunga meningkat, jumlah dari uang tunai
yang dipegang untuk transaksi juga akan mengalami penurunan, karena orang
akan lebih memilih melakukan saving untuk mendapatkan pendapatan lebih yaitu
bunga.
2.6.3 Pengaruh Tingkat Inflasi Terhadap Permintaan Uang
Dalam perekonomian inflasi merupakan sesuatu yang harus selalu
dipantau dan diwaspadai oleh semua pelaku ekonomi terutama Bank Indonesia.
Besarnya kontribusi Inflasi dalam perekonomian menjadikannnya salah satu pilar
dari pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Kenaikan dari angka inflasi akan
manjadikan perekonomian berada dalam posisi yang genting apabila tidak
ditopang dengan output atau pendatan dari wilayah tersebut.
Kaitan antara inflasi dan permintaan uang mempunyai hubungan yang
sangat erat. Seseorang akan menjadikan inflasi sebagai motif spekulasi dari
permintaan uang, yang artinya ketika seseorang memprediksikan angka inflasi
akan mengalami kenaikan maka permintaan uangnya pun juga akan ikut naik. Hal
ini di sebabkan kerena akan meningkatnya jumlah harga kebutuhan sehari-hari di
pasaran.
Seperti yang dikatakan oleh Friedman dalam teori permintaan uangnya
yaitu kecepatan permintaan dan peredaran uang di masyarakat tergantung dari
faktor ekonomi yaitu suku bunga dan inflasi. Dimana hal tersebut dapat diartikan
bahwa inflasi merupakan salah satu komponen moneter yang sangat erat
25
hubungannya dengan permintaan uang, saat terjadi inflasi permintaan uang akan
semakin meningkat, ini disebabkan karena kurangnya output produksi dari
produsen yang mengakibatkan harga barang/jasa juga ikut naik. Oleh karena itu
Bank Sentral selalu berusaha mempertahankan tingkat inflasi dalam tingkat yang
normal agar tidak berdampak buruk juga pada veribel ekonomi makro lainnya.
2.6 Tinjauan Empiris
Spencer (1985) melakukan penelitian tentang stabilitas parameter
permintaan uang di Indonesia menggunakan data kuartalan tahun 1967-1981.
Kajian tersebut menggunakan data uang dalam arti sempit (M1) dan luas (M2),
pendapatan (PDB), tingkat bunga dan jumlah kantor bank. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa koefisien parameter permintaan uang M1 tidak stabil
karena penambahan jumlah kantor telah menyebabkan kanaikan elastisitas
permintaan uang sedangkan elastisitas tingkat bunga mengalami penurunan.
Effendi dan Aliasuddin (1998) juga telah melakukan penelitian empiris
tentang stabilitas permintaan uang di Indonesia dengan menggunakan data
tahunan dari 1971 hingga 1996. Hasilnya, parameter permintaan uang pada
periode tersebut stabil. Namun kajian tersebut kurang konsisten dengan nilai
elastisitas yang saling berbeda-beda untuk masing-masing periode penelitian. Hal
tersebut disebabkan oleh pelanggaran asumsi klasik dalam model estimasi yang
digunakan. Ada dua pelanggaran yang dijumpai dalam model tersebut yaitu
multikolinearitas dan heteroskedastisitas.
26
Astiyah (2002) mengkaji perilaku permintaan uang dan implikasinya
bagi kebijakan moneter di Indonesia. Dari berbgai definisi uang beredar, Astiyah
menemukan bahwa hubungan antara uang beredar (M1 dan M2) dengan sasaran
akhir inflasi semakin tidak stabil. Bahkan untuk uang primer telah menjadi
variabel yang endogen, dalam arti dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan
infalsi, dan karenaya sulit dikendalikan. Hanya permintaan uang kartal (kertas
dan logam) secara riil yang relatif stabil.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya penulis mencoba menulis dalam
ruang lingkup yang lebih kecil yaitu Sulawesi Selatan tapi tetap dengan variabel
yang sama. Dalam skripsi ini penulis mengasumsikan penawaran uang sama
dengan permintaan uang, kemudian karena jumlah transaksi sulit diukur, maka
jumlah transaksi diganti dengan output total dari perekonomian di Sulawesi
Selatan (GDRP) mengingat transaksi sangat berkaitan dengan output meskipun
tak serupa.
2.7 Karangka Pikir
Secara teoritis permintaan akan uang dapat dilihat melalui seberapa besar
Jumlah Uang Beredar di tangan masyarakat dan Bank Sentral mempunyai
wewenang dalam mengatur peredaran uang dengan otoritas moneter yang
dimilikinya. Keputusan besar kecilnya jumlah uang yang dikeluarkan oleh Bank
Sentral tergantung pada seberapa besar permintaan masyarakat terhadap uang.
Hal ini juga akan sangat berpengaruh besar terhadap fariabel-fariabel makro
27
lainnya seperti pendapatan (PDRB), suku bunga, inflasi, dan pertumbuhan
ekonomi itu sendiri.
Dari bahasan teoritik yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat
diperoleh kerangka berfikir dari penelitian ini sebagai berikut :
Permintaan Uang
Jumlah Uang Beredar
PDRB
Suku Bunga
Inflasi
2.8 Hipotesis
Berdasarkan masalah pokok yang telah dikemukakan pada rumusan
masalah sebelumnya, maka diperlukan hipotesa kerja sebagai pedoman. Hipotesis
ini merupakan dugaan sementara yang nantinya akan diuji kebenarannya.
Adapun rumusan hipotesis dalam penulisan ini adalah sebagai beriku :
a. Diduga bahwa peningkatan pendapatan berpenagruh positif dan
signifikan terhadap permintaan uang.
28
b. Diduga bahwa peningkatan tingkat suku bunga berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap permintaan uang.
c. Diduga bahwa peningkatan laju inflasi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap prmintaan uang.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan ketersediaan data sekunder yang berkaitan
dengan penelitian yang dilakukan penulis. Data tersebut diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia yaitu melalui Kajian Ekonomi Regional
Sulawesi Selatan berbagai tahun. Penulis juga melakukan studi kepustakaan
melalui beberapa jurnal, artikel, dan literatur lainnya yang relevan dengan pokok
penelitian ini.
3.2 Model Emperis Permintaan Uang
3.2.1 Teknik Estimasi
Denngan mengasumsikan bahwa permintaan uang (Md) dipengaruhi oleh
pendapatan (Y), suku bunga (i), dan inflasi (π), maka hubungan fungsionalnya
dapat dituliskan sebagai berikut :
Md = f (Y,i,π )……………………………………………..(1)
Berdasarkan hubungan fungsional di atas, model analisis yang
dipergunakan untuk menguji hipotesa dalam penulisan ini adalah analisis
kualitatif dan kuantitatif. Metode analisis kuantitatif yang digunakan dalam
penelitan yang dilkukan adalah Ordinary Least Square (OLS) yang dilakukan
untuk menghitung koefisien regresi berganda (Multiple Regression). Untuk
30
mempermudah perhitungan dan untuk mengukur nilai elastisitas variabel tersebut
secara langsung maka persamaan tersebut dilinierkan dengan cara melogaritmanaturalkan persamaan tersebut yang dapat ditulis sebagai berikut:
Md = b0 Ytb1eb2it + b3πt + µ…………………………………………….(2)
Untuk mempermudah perhitungan dan untuk mengukur nilai elastisitas
variable tersebut secara langsung, maka persamaan tersebut dilinearkan dengan
cara melogaritma naturalkan persamaan tersebut yang dapat ditulis sebagai
berikut:
ln Md = ln b0 + b1 ln Yt + b2 it + b3 πt + µ………………………….(3)
Di mana :
µ
= error term
ln b0
= konstanta
ln Md
= logaritma natural permintaan uang
ln Yt
= logaritma natural pendapatan
it
= tingkat suku bunga pada periode tertentu
πt
= tingkat inflasi pada periode tertentu
b1,b2,b3
= koefisien
31
Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka dilakukan pengubahan
frekuensi data dari rendah ke tinggi yaitu dengan menggunakan metode Cubic
Spline Interpolation yaitu dengan mengubah data tahunan menjadi data kuartal.
3.2.2 Pengujian Hasil Estimasi
Untuk mengetahui apakah hipotesis
yang dikemukakan sebelumnya
diterima atau ditolak maka dilakukan pengujian hipotesis uji statistik sebagai
berikut :
a. F-stat
Pengujian ini bertujuan mengetahui apakah model penduga yang
diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam
fungsi. Jika F hitung sama dengan atau lebih besar daripada F tabel
dikatakan variabel tersebut perpengaruh nyata.
b.
t-stat
pengujian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikansi
variabel bebas. Jika t hitung sama dengan atau lebih besar daripada t
tabel dikatakan signifikan.
c. Uji R dan R2
Statistik uji R digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat. Sedangkan R2 untuk melihat
32
hubungan antara variabel bebas secara simultan terhadap variabel
terikat.
3.3 Batasan Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi dalam
pengertian sebagai berikut :
a. Permintaan Uang (Md)
Jumlah uang yang ingin dipegang oleh masyarakat yang tercermin
dari aggregat moneter M1 dan M2.
b. Pendapatan (Y) (dalam Rp)
Pendapatan nasional berdasarkan Pendapatan Domestik Regional
Bruto harga konstan 2000.
c. Tingkat Suku Bunga (i) (dalam persentase)
Tingkat suku bunga deposito riil atau biaya peluang (opportunity
cost) dari memgang uang.
d. Laju inflasi (π) (dalam persentase)
Tingkat inflasi atau meningkatnya persediaan uang akibat naiknya
harga barang pada umumnya yang terjadi pada periode tertentu.
33
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Jumlah Uang Beredar
4.1.1 Perkembangan Jumlah Uang Beredar dalam Arti Sempit (M1)
Perkembangan jumlah uang beredar (M1) di Sulawesi Selatan selama
2001-2010 memperlihatkan fenomena yang terus berkembang baik uang giral
maupun uang kartal. Terutama untuk uang giral sendiri mengalami peningkatan
yang cukup pesat karena didukung oleh investasi di daerah Sulawesi Selatan yang
terus mengalami kenaikan sehingga intensitas transaksi ekonomipun berkembang
cukup pesat.
Tabel 4.1
Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Sulawesi Selatan
Dalam Arti Sempit (M1), Tahun 2001-2010
(Dalam Milyar Rupiah)
Tahun
Uang Kartal (Rp)
Uang Giral (Rp)
M1 (Rp)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BI SulSel
1.815
1.670
1.605
1.875
2.157
2.600
1.810
2.220
2.730
2.180
2.000
2.037
2.129
2.103
2.593
5.410
5.060
5.410
6.117
5.840
3.815
3.707
3.734
3978
4.750
8.010
6.870
7.630
8.847
8.020
34
Tahun 2001 merupakan awal meningkatnya permintaan uang terutama
untuk uang kartal di masyarakat. Permintaan tersebut disebabkan oleh terjadinya
pergeseran yang cukup signifikan dari struktur perekonomian Sulawesi Selatan,
seperti tercermin pada meningkatnya peranan usaha kecil menengah (UKM) dan
sektor informal dalam perekonomian. Hal tersebut karena sektor ini lebih banyak
menggunakan pembiayaan sendiri dibandingkan dengan pembiayaan dari sektor
perbankan. Di samping itu, masih tingginya ketidakpastian kondisi sosial politik
pada tahun 2001 telah mendorong permintaan uang kartal oleh masyarakat untuk
berjaga-jaga.
Tingginya
permintaan
uang
kartal
ditambah
dengan
beberapa
permasalahan yang masih dihadapi dalam operasional kebijakan moneter, seperti
kurang efektifnya transmisi kebijakan moneter akibat masih belum pulihnya
intermediasi perbankan, menyebabkan penyerapan uang primer menjadi sulit
dilakukan secara optimal. Meskipun berbagai langkah penyerapan likuiditas telah
dilakukan, baik melalui OPT (Operasi Pasar Terbuka) maupun kenaikan suku
bunga intervensi rupiah, perkembangan uang primer seringkali berada diluar
sasaran yang telah ditetapkan.
Membaiknya perkembangan inflasi di Sulawesi Selatan pada tahun 2002
dari 12,55% menjadi 10,03% dan nilai tukar mendorong ekpektasi positif
masyarakat terhadap penurunan inflasi dan kestabilan moneter yang kemudian
mendorong mereka menurunkan permintaan uang kartal untuk berjaga-jaga.
Disamping itu, menurunnya permintaan uang kartal untuk motif ini didorong oleh
membaiknya kondisi sosial politik pada tahun 2002. Menurunnya pertumbuhan
35
uang kartal ini menjadi penyebab utama menurunnya pertumbuhan uang primer
selama tahun 2002.
Kondisi moneter Sulawesi Selatan pada tahun 2003 yang cenderung stabil
juga tercermin dari tingkat inflasi yang mengalami penurunan dan kemudian
diikuti oleh tingkat suku bunga yang juga menunjukkan hal yang sama.
Permintaan uang (M1) yang juga mengalami peningkatan terutama pada uang giral
yang mengalami kenaikan 9% dari tahun sebelumnya dimana keadaan investasi
Sulawesi Selatan terutama dalam sektor perhotelan dan pertanian merupakan
faktor utama yang mendorong kenaikan tersebut.
Di tahun 2004 uang primer meningkat karena tingginya permintaan uang
kartal dan kelebihan giro positif perbankan dari perkiraan semula. Tingginya
permintaan uang kartal pada tahun 2004 terkait erat dengan kegiatan
perekonomian dan beberapa kegiatan temporer seperti serangkaian kegiatan
pemilu, puasa, hari raya, dan tutup tahun.
Untuk memulihkan stabilitas moneter dan nilai tukar pada tahun 2005,
Bank Indonesia menempuh langkah-langkah pengetatan moneter, terutama
melalui penerapan kerangka kerja moneter ITF sejak juli 2005, dimana Bank
Indonesia menggunakan BI Rate sebagai sinyal kebijakan moneter, pengetatan
moneter tercermin dari kenaikan BI Rate dan Giro Wajib Minimum (GWM).
Pengetatan tersebut mendorong peningkatan suku bunga simpanan
sehingga pada tahun 2005, uang beredar dalam arti sempit (M1) mengalami
36
perkembangan positif. Rata-rata laju pertumbuhan tahunan M1 secara nominal
tercatat mencapai 11,1 %.
Pada tahun 2006 M1 tumbuh mencapai 23,54% jauh lebih tinggi
dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan M1 dipengaruhi oleh peningkatan
permintaan uang kartal. Selain didorong oleh ekonomi yang masih tumbuh positif,
peningkatan kebutuhan uang kartal juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal berupa
percepatan realisasi anggaran, penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), dan
kenaikan gaji PNS. Selain itu, uang giral juga mengalami peningkatan menjadi
Rp. 5,41 triliun pada kahir 2006 sejalan dengan peningkatan lokasi dana
perimbangan.
Di tahun 2007 kondisi moneter Sulawesi Selatan cenderung stabil yang
ditunjukkan dengan menurunnya laju inflasi sehingga menurunkan permintaan
uang kartal yang kemudian diikuti dengan turunnya tingkat suku bunga dari pihak
perbankan.
Kondisi di tahun 2008 berbanding terbalik dari tahun sebelumnya dimana
permintaan uang kartal masyarakat Sulawesi Selatan melonjak naik dari Rp. 1, 81
triliun menjadi Rp. 2,22 triliun. Kondisi ini juga diikuti oleh kenaikan inflasi dan
tingkat suku bunga hal ini disebabkan karena adanya peningkatan belanja
pemerintah daerah dan kenaikan harga beberapa komoditas secara umum tentunya
akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah uang beredar yang secara tidak
langsung akan mendorong terjadinya peningkatan penghimpunan dana pihak
37
ketiga dan penyaluran kredit/pembiayaan perbankan juga faktor sosial politik
(pilkada) Sulsel yang menjadi perhatian perbankan dalam beroperasi.
Di tahun 2009 krisis global melanda beberapa negara, walaupun
pengaruhnya terhadap Indonesia terutama Sulawesi Selatan tidak terlalu besar
namun, menimbulkan efek terhadap permintaan uang kartal masyarakat Sulawesi
Selatan yang ikut meningkat. Hal ini disebabkan oleh ekspekatasi masyarakat
terhadap laju inflasi yang akan meningkat selain itu permintaan uang kartal juga
disebabkan karena kondisi politik yang akan kembali dimulai di tahun berikutnya.
Berbeda pada tahun-tahun sebelumnya ketika kondisi politik Selawesi
Selatan sedang mengalami pergantian di tahun 2010 jumlah permintaan uang
cenderung menurun begitu pula dengan tingkat suku bunga, hal ini disebabkan
meningkatnya jumlah sektor informal perekonomian di Sulawesi Selatan, yang
kemudian diikuti penurunan inflasi yang turun menjadi 7,3%.
Gejala bertambahnya jumlah uang beredar M1 di atas berkaitan dengan
fungsi uang sebagai alat tukar, yang semakin dibutuhkan pada saat perekonomian
berkembang. Ekonomi yang bertumbuh dan berkembang mempunyai konsekuensi
meningkatkan transaksi, yang membutuhkan uang guna mempermudah proses
pembayaran. Lebih tingginya pertambahan uang giral dibanding uang kartal telah
mengubah komposisi M1. Gejala makin besarnya porsi uang giral dalam M1
merupakan hal yang lumrah dalam perekonomian yang terus bertumbuh dan
berkembang.
38
Pada saat perekonomian makin besar dan modern, maka transaksi
ekonomi nilainya makin besar dan intensitasnya makin tinggi serta semakin
melibatkan banyak pihak. Dengan demikian, penggunaan uang giral akan
mempermudah dan mempercepat berlangsungnya transaksi karena pemanfaatan
mekanisme pemindahbukuan. Selain itu, jauh lebih aman menggunakan uang
giral apalagi untuk transaksi besar.
4.1.2 Perkembangan Jumlah Uang Beredar dalam Arti Luas (M2)
Jumlah uang beredar dalam arti luas atau M2 adalah M1 ditambah uang
kuasi, yang di Indonesia adalah deposito berjangka. Table 4.2 menunjukkan
kecenderungan atau arah pergerakan jumlah uang beredar selama periode 20012010.
Tabel 4.2
Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Sulawesi Selatan
Dalam Arti Luas (M2), Tahun 2001-2010
(Dalam Milyar Rupiah)
Tahun
M1 (Rp)
Uang Kuasi (Rp)
M2 (Rp)
2001
3.815
10.500
14.315
2002
3.707
10.669
14.376
2003
3.734
12.599
16.333
2004
3.978
14.198
18.176
2005
4.750
16.039
20.789
2006
8.010
16.630
24.640
2007
6.870
19.650
26.520
2008
7.630
22.365
29.995
2009
8.847
23.523
32.523
2010
8.020
22.750
30.750
Sumber : BI Sulsel
39
Dari table 4.2 dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan M2 jauh lebih cepat
dibandingkan dengan pertumbuhan M1. Gejala pertambahan M2 yang lebih cepat
dari M1 sangat dipengaruhi oleh cepatnya pertambahan uang kuasi. Dalam kurun
waktu 10 tahun sejak tahun 2001 uang kuasi bertumbuh sekitar 115% dimana
angka paling besar ditunjukkan pada tahun 2009 yaitu sebesar Rp. 22,750 triliun.
Penyebab tingginya pertambahan M2 adalah tingginya pertambahan uang
kuasi. Perkembangan M2 juga tidak terlepas dengan tingkat kemajuan
perekonomian. Meningkatnya M2 secara langsung dan tidak langsung
menunjukkan bahwa perekonomian telah semakin makmur. Sebab, masyarakat
hanya dapat menyimpan uang dalam bentuk deposito berjangka jika tingkat
penghasilannya sudah lebih besar dari tingkat konsumsi.
Tujuan masyarakat menabung terutama adalah memperoleh pendapatan
non gaji. Jika terus rajin menabung, maka dihari tua nanti mungkin saja
pendapatan dari tabungan bisa menggantikan pendapatan gaji, yang justru sudah
jauh berkurang karena sudah pensiun. Dengan kata lain, keputusan seseorang
menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito umumnya merupakan keputusan
yang rasional, karena berdasarkan pertimbangan untung rugi.
Salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk menabung adalah
apakah tingkat bunga tabungan lebih menarik ? Dengan kata lain, apakah tingkat
bunga nominal masih lebih tinggi dari tingkat inflasi. Jika tingkat inflasi lebih
tinggi dari tingkat bunga nominal, maka sebenarnya tingkat bunga riil akan
40
negatif. Artinya, uang yang disimpan di bank nilai atau daya belinya makin lama
makin turun karena tingkat inflasi labih tinggi dari tingkat bunga tabungan.
Pada akhir tahun 2007, M2 tercatat mencapai Rp. 26,520 triliun atau
meningkat Rp. 1,880 triliun dibandingkan akhir tahun sebelumnya. Peningkatan
tersebut terutama disumbang oleh perkembangan kuasi Rupiah berupa deposito
dan simpanan valas, serta komponen M1 terutama dalam bentuk uang giral.
Selama 2008 uang beredar mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
Pada akhir Desember 2008, M2 tercatat mencapai Rp. 29,995 triliun atau
meningkat Rp. 3,475 triliun dari kahir tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut
terutama berasal dari meningkatnya uang kuasi (tabungan dan deposito). Dimana
deposito merupakan komponen terbesar dari M2.
Akhir Desember 2009, likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2.)
mengalami pertumbuhan yang cukup besar yaitu sebesar Rp. 2,528 triliun. Pada
tahun 2010 komponen utama M2., yaitu uang kuasi mengalami penurunan sebesar
Rp. 1,773 triliun yang di sebabkan karena adanya gejolak politik yang terjadi di
Sulawesi Selatan.
4.2 Perkembangan Uang Beredar dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi
Selatan
Pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) adalah salah satu
indikator utama ekonomia makro yang sering digunakan dalam menganalisis
kinerja ekonomi suatu wilayah. Indikator tersebut mencerminkan potensi pasar
didalam suatu wilayah dan proses pembangunan ekonomi dari wilayah yang
41
bersangkutan, yang terutama sangat penting bagi investor-investor asing dan
lembaga-lembaga keuangan.
Secara makro, yang paling berpengaruh terhadap semakin besarnya
permintaan uang adalah disebabkan telah berlangsungnya proses perubahan
struktural yang sangat bearti dalam system perekonomian yaitu, semakin besarnya
peranan sektor modern (termasuk pertambangan, industry berskala besar,
perdagangan, transportasi dan keuangan). Perkembangan JUB dan pertumbuhan
output perekonomian Sulawesi Selatan dapat dilihat pada table berikut :
Tabel 4.3
Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan Output Perekonomian Sul-Sel
Tahun 2001-2010
Tahun
Jumlah Uang Beredar
M1 (Rp)
2001
3.815
2002
3.707
2003
3.734
2004
3.978
2005
4.750
2006
8.010
2007
6.870
2008
7.630
2009
8.847
2010
8.020
Sumber : BI dan BPS
Output (milyar rupiah)
M2 (Rp)
PDRB (Harga 2000) (Rp)
14.315
14.376
16.333
18.176
20.789
24.640
26.520
29.995
32.523
30.750
29,735,720
30,948,819
32,627,380
34,345,080
36,424,018
38,867,679
41,332,426
44,549,820
47,314,020
51,197,000
Ada kesamaan pola hubungan antara sektor riil dengan sektor moneter.
Dalam arti ada hubungan searah antara penambahan jumlah uang beredar dengan
pertumbuhan ekonomi. Di mana jika jumlah uang beredar bertambah,
42
perekonomian cenderung tumbuh. Tetapi tidak ada jaminan bahwa perekonomian
yang pertumbuhan uang beredarnya makin tinggi akan menikmati pertumbuhan
ekonomi yang tinggi pula.
Dari
pandangan
Klasik,
pertumbuhan
ekonomi
searah
dengan
penambahan jumlah uang beredar. Hal ini dapat dipandang sebagai peningkatan
uang sebagai alat transaksi (M1) memang semakin meningkat saat perekonomian
tumbuh. Dari sudut pandang Keynesian, peningkatan jumlah uang beredar ini
memungkinkan suntikan kredit yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selama tahun 2001-2003, Bank Indonesia sebagai pelaksana kebijakan
moneter di Indonesia menempuh kebijakan uang ketat (tight money policy). Hal
ini menyebabkan pertumbuhan jumlah uang berdar sangat terkendali, menjadi
sekitar 10% pertahun. Ternyata pengetatan jumlah uang beredar tersebut tidak
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Terbukti pertumbuhan ekonomi selama
periode 2001-2003 tetap stabil pada angka 4% per tahun.
Pada tahun 2004 PDRB riil meningkat sebesar Rp. 1.672.700 milyar dari
Rp. 32.627.380 milyar pada tahun 2003 menjadi Rp. 36.424.018 milyar atau
tercatat sebesar 5, 25%. Hal ini sejalan dengan perbaikan pola ekspansi Konsumsi
mengalami pertumbuhan yang relatif stabil, sementara kegiatan investasi
meningkat tajam, setelah tiga tahun sebelumnya mengalami pertumbuhan yang
rendah.
Di tahun 2005 pertumbuhan ekonomia Sulawesi Selatan meningkat dari
Rp. 34,345,080 milyar ke Rp. 36,424,018 milyar atau mengalami kenaikan sekitar
43
5,81%. Kenaikan tersebut diakibatkan oleh konsumsi yang masih tetap merupakan
kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomia daerah Sulawesi Selatan yang
kemudian diikuti oleh investasi dan ekspor yang juga turut ikut andil dalam
penambahan pendapatan Sulawesi Selatan. Walaupun pada tahun 2005 BBM
mengalami kenaikan namun, tidak mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat
Sulawesi Selatan yang tergolong konsumtif karena sektor ekonomi yang lebih
berbasis pada pertanian dibandingkan daerah lain yang berbasis industri.
Kondisi ekonomi Sulawesi Selatan 2006 cenderung tumbuh melambat hal
ini dituding karena ekspor yang mengalami kontraksi dimana penurunannya
cukup signifikan yaitu sebesar 1,98% di bandingkan pada tahun 2005 yang
sebesar 9,51%. Penyebab utama turunnya kinerja ekspor ini adalah menurunnya
kinerja ekspor antar daerah hingga mengalami kontraksi. Kondisi penurunan ini
tercermin dari kinerja bongkar muat barang di pelabuhan laut Soekarno Hatta
yang pada triwulan laporan tercatat mengalami penurunan khususnya pada
kegiatan antar daerah. Sementara itu kinerja konsumsi, investasi dan impor
mengalami pertumbuhan yang meningkat sihingga dapat menolong pertambahan
pendapatan Sulawesi Selatan.
Di tahun 2007 PDRB Sulawesi Selatan tumbuh sebesar 7,41% yang
diikuti oleh pertumbuhan ekspor yang tumbuh secara cukup signifikan yang
disebabkan oleh kenaikan kinerja ekspor antar propinsi. Selain itu pertumbuhan
tersebut terutama didorong oleh tingginya pertumbuhan konsumsi masyarakat dan
investasi seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat dan prospek ekonomi.
44
Meskipun sedikit melambat, ekspor tetap tumbuh tinggi ditengah ancaman
perlambatan ekonomi dunia.
Pada tahun 2008 di tengah hempasan gelombang krisis ekonomi global
sekitar bulan September-Oktober perekonomian masih sanggup tumbuh sebesar
7,71%. Hal itu tidak terlepas dari tingginya pertumbuhan ekspor yang melonjak
seiring dengan kenaikan harga komoditas pertanian dan perhotelan pada tahun
2008 yang pada akhir tahun mencapai Rp. 44,549,820 milyar.
Perekonomian daerah Sulawesi Selatan
pada triwulan IV-2009
diperkirakan mengalami peningkatan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding
pada tahun sebelumnya 7,22%. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan konsumsi
dan kinerja ekspor yang semakin membaik. Selain itu membaiknya tingkat harga
beberapa komoditi di pasar Internasional juga ikut membantu laju pertumbuhan
ekonomi Sulawesi Selatan kearah yang lebih baik.
Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan di tahun 2010 menunjukkan
angka yang relatif stabil dan diperkirakan tumbuh sebesar 6,68% . Laju
pertumbuhan tersebut masih didukung oleh pertumbuhan konsumsi dan kinerja
ekspor yang makin membaik. Selain itu pertumbuhan ekonomi ini juga didukung
oleh sektor-sektor yang mempunyai peranan yang cukup besar seperti sektor
angkutan-komunikasi, sektor pertambangan penggali, dan sektor perdagangan
hotel-restoran sehingga PDRB Sulawesi Selatan meningkat dari Rp. 47,314,020
milyar menjadi Rp. 51,197,000 milyar di akhir tahun 2010.
45
4.3 Perkembangan Tingkat Suku Bunga Deposito dan Inflasi di Sulawesi
Selatan
Perilaku permintaan uang ditentukan oleh tingkat suku bunga. Dengan
kata lain, tingkat bunga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keputusan masyarakat terhadap penyesuaian portofolio keuangannya. Jika return
tabungan relatif lebih menarik daripada return bentuk asset lainnya, maka
kecenderungan menabung masyarakat semakin besar. Perkembangan tingkat
inflasi dan suku bunga deposito perbankan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4
Perkembangan Suku Bunga Deposito dan Tingkat Inflasi
Tahun 2001-2010 (Dalam %)
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : BI dan BPS
Tingkat Inflasi
12,55
10,03
5,16
6,40
6,35
6,6
6,59
11,06
10,39
7,3
Suku Bunga Deposito
Nominal
Riil
16,07
3,52
12,81
2,78
6,62
1,46
6,43
0,03
11,98
5,63
8,96
2,36
7,19
0,6
10,75
-0,31
9,54
-0,85
7,65
0,35
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga deposito
menarik bagi masyarakat jika tingkat bunga nominal lebih besar dari tingkat
inflasi atau tingkat bunga riil positif hal inilah salah satu faktor yang mendorong
masyarakat menyimpan uangnya pada pihak perbankan.
46
Pada tahun 2001 tingkat suku bunga nominal jauh lebih tinggi dari pada
tingkat inflasi sehingga, suku bunga riil deposito berada pada posisi yang tinggi
yaitu 3,52%. Peningkatan suku bunga deposito ini menunjukkan perubahan minat
masyarakat dari penanaman jangka pendek ke dalam penanaman jangka panjang.
Tingginya minat masyarakat untuk menanamkan dananya pada deposito dipicu
oleh tingginya suku bunga deposito yang ditawarkan oleh beberapa bank
(mendekati suku bunga pinjaman). Sedangkan dari sisi inflasi berada pada posisi
yang cukup tinggi, penyebabnya diperkirakan karena kondisi politik Sulawesi
Selatan pada tahun 2001 berada dalam gejolak yang cukup besar.
Pertumbuhan deposito rupiah di tahun 2002 lebih rendah 5,7%
dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 16,2%. Hal ini
diperkirakan berkaitan dengan cenderung menurunnya suku bunga deposito
selama 2002 dan semakin berkembangnya obligasi dan produk reksa dana yang
menjanjikan tingkat return yang lebih tinggi dari deposito. Inflasi pada tahun
2002 mengalami penurunan yaitu dari 12,55% menjadi 10,03%. Penurunan ini
disinyalir karena membaiknya kondisi sosial politik serta membaiknya kodisi
moneter Sulawesi Selatan.
Menurunnya deposito dalam rupiah di tahun 2003 mengakibatkan
tingkat suku bunga mengalami penurunan yang kemudian berdampak pada
kecenderungan masyarakat untuk menempatkan dananya pada simpanan
berjangka waktu pendek. Selain itu, perkembangan positif di pasar modal juga
mendorong masyarakat untuk memindahkan sebagian dananya kepada produk
rekasadana dan obligasi. Dengan rendahnya tingkat suku bunga perbankan,
47
sebagian dana masyarakat beralih dari alternatif investasi konvensional seperti
tabungan dan deposito ke pasar saham.
Membaiknya kondisi perekonomian Sulawesi Selatan di tahun 2003 juga
ditunjukkan oleh penurunan laju inflasi yaitu dari 10,03% di tahun 2002 ke angka
5,16% di tahun 2003. Keadaan yang seperti ini ditunjang oleh kondisi menter
yang juga cukup membaik dimana BI mengeluarkan beberapa kebijakan serta
peranan pemerintah daerah dalam hal peningkatan PDRB.
Penurunan suku bunga deposito di tahun 2003 juga ditunjukkan di tahun
2004, dimana pada tahun tersebut suku bunga deposito berada pada posisi 0,03%
yang penurunannya sangat jauh dibanding di tahun 2003 yang berada pada posisi
1,46%. Diduga penyebab penurunan ini karena bergesernya deposito kebentuk
tabungan, giro, ataupun kartal sehingga tabungan rupiah mengalami peningkatan
sedangkan deposito rupiah relatif konstan. Sedangkan untuk inflasi tercatat 6,40%
di akhir tahun 2004, peningkatan laju inflasi ini dikarenakan adanya beberapa
kegiatan temporer seperti serangkaian kegiatan pemilu, puasa, hari raya, dan tutup
tahun.
Pada tahun 2005 suku bunga deposito mengalami peningkatan yang
cukup drasitis yaitu dari 0,03%
menjadi 5,63%. Kenaiakan suku bunga ini
merupakan respon dari naiknya suku bunga pinjaman dan kenaikan GWM.
Dengan semakin kompetitifnya bunga deposito yang ditawarkan oleh perbankan
terjadi pergeseran dari tabungan ke deposito. Dari pihak inflasi sendiri yang
diperkirakan akan mengalami kenaikan akibat kebijakan pemerintah dalam hal
48
kenaikan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) justru mengalami penurunan
dari 6,40% menjadi 6,35%. Diduga dari penurunan inflasi ini disebabkan karena
membaiknya kondisi perekonomian yang diakibatkan karena membaiknya kinerja
ekspor daerah Sulawesi Selatan.
Tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 kondisi suku bunga deposito
semakin menurun , dilihat dari tahun 2006 yang berada pada posisi 2,36% hingga
di akhir tahun 2009 yang berada posisi -0,85%. Diduga penyebab dari kondisi ini
karena tingkat inflasi yang juga terus mengalami kenaikan dan berada dalam
posisi yang tidak menentu. Selain itu menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap pihak perbankan akibat terjadi krisis di tahun 2008 menjadikan
masyarakat lebih memilih menginvestasikan uang mereka dalam pasar saham
pada periode itu mengalami kemajuan yang sangat baik.
Pada tahun 2010 tingkat suku bunga mengelami perkembangan yang
cukup baik, hal ini disebabkan karena kembalinya kepercayaan masyarakat
kepada pihak perbankan pasca krisis. Sama halnya dengan tingkat suku bunga,
laju inflasi juga mengalami kemajuan yang cukup baik diamana tahun sebelumnya
berada pada posisi 10,39% di tahun 2009 tapi kemudian turun menjadi 7,3% di
tahun 2010. Diduga penyebabnya karena menurunnya beberapa harga barang
pokok yang dipengaruhi oleh kondisi iklim Sulawesi Selatan yang tidak menentu.
49
4.4 Pengaruh Pendapatan Regional, Tingkat Suku Bunga Deposito dan Laju
Inflasi Terhadap Permintaan Uang Di Sulawesi Selatan 2001-2010
Untuk dapat membuktikan Hipotesis yang diajukan sebelumnya, bahwa
pendapatan regional, tingkat suku bunga deposito dan laju inflasi mempengaruhi
perilaku permintaan uang masyarakat di Sulawesi Selatan, maka hal tersebut
dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) yang
dilakukan untuk menghitung koefisien regresi berganda (Multiple Regression).
Metode ini akan memperlihatkan hubungan antara variabel bebas (Independent
Veriabel) yaitu pendapatan regional, tingkat suku bunga deposito, dan laju inflasi
terhadap variable terikat (Dependent Variabel) yaitu permintaan uang (Md) di
Sulawesi Selatan.
Setelah dilakukan pengujian dengan paket komputer statistik Eviews 6,
maka diperoleh hasil perhitungan regresi sebagai berikut :
50
Tabel 4.5
Hasil Estimasi Permintaan Uang
Dependent Variable: Md
Method: Least Squares
Date: 03/21/12 Time: 08:55
Sample: 2001 2010
Included observations: 10
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
SUKU BUNGA
INFLASI
PENDAPATAN
C
-0.011546
0.001168
0.476012
15.98373
0.005415
0.004174
0.051334
0.169688
-2.132206
0.279810
9.272765
94.19479
0.0770
0.7890
0.0001
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.977194
0.965790
0.034170
0.007006
22.12878
2.140450
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
17.45675
0.184745
-3.625756
-3.504722
85.69432
0.000026
4.4.1 Pengujian Hipotesis
4.4.2 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi adalah nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variablevariabel independen dalam menjelaskan variable dependen amat terbatas. Nilai
yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir
semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen.
Dari hasil regresi yang telah dilakukan dengan menggunakan EViews 6
didapat pengaruh variabel pendapatan regional (PDRB), suku bunga deposito, dan
inflasi terhadap jumlah permintaan uang di Sulawesi Selatan dengan perolehan
nilai R2 sebesar 0.977194.
51
Hal ini berarti nilai koefisien determinasi (R-squared) dengan angka
0.977194 menunjukkan 97,7% permintaan uang dalam arti luas dipengaruhi oleh
ketiga variable bebas (PDRB, tingkat suku bunga deposito, dan inflasi) dan
sisanya 2.3% dipengaruhi oleh variable lain.
Nilai koefisien determinasi setelah adanya penyesuaian (Adjusted Rsquared) sebesar 0.965790. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel PDRB,
tingkat suku bunga deposito dan inflasi menjelaskan pengaruhnya terhadap
variabel permintaan uang setelah adanya penyesuaian dengan derajat kebebasan,
sebesar 96.57%.
4.4.3 Deteksi Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Pengujian terhadap pengaruh semua variabel independen di dalam model
dapat dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji statistik F pada dasarnya
menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model
mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Dari
regresi, pengaruh PDRB, tingkat suku bunga deposito dan inflasi terhadap
permintaan uang di Sulawesi Selatan maka diperoleh F-tabel sebesar 2,364624
(α:5% / 0.05 dan df :10-3=7) sedangkan F-statistik / F-hitung sebesar 85.69432.
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersama-sama
berpengaruh terhadap variabel dependen (F-hitung > F-tabel).
52
4.4.4 Deteksi Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)
Uji statistik t pada dasarnya dilakukan untuk menunjukkan seberapa
besar pengaruh variabel independen secara individual dalam menjelaskan variasi
variabel dependen. Dalam regresi pengaruh PDRB, tingkat suku bunga deposito
dan inflasi terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan, dengan α:0.05 dan df =
7 (n-k =10-3), sehingga dapat diperoleh nilai t-tabel sebesar 4,737414.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel inflasi tidak
berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di Provinsi Sulawesi Selatan.
Sedangkan pendapatan regional atau PDRB dan tingkat suku bunga deposito
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi
Selatan periode 2001-2010. Dimana probabilitas dari inflasi sebesar 0.7890.
sedangkan suku bunga dan tingkat pendapatan regional (PDRB) di mana
probabilitasnya menunjukkan angka yang signifkan yaitu 0.0770 dan 0.0001.
Berdasarkan tabel 4.5 juga dapat dilihat nilai coefisien untuk pendapatan
regional (PDRB) yaitu menunjukkan angka
0.476012 yang artinya apa bila
pendapatan regional (PDRB) Sulawesi Selatan mengalami peningkatan sebesar
1% maka permintaan akan uang juga akan mengalami kenaikan sebesar
0.476012%. Sama halnya dengan tingkat infasi yang mempunyai nilai koefisien
sebesar
0.001168, artinya setiap inflasi mengalami kenaikan sebesar 1% maka
permintaan uang juga akan mengalami kenaikan sebesar 0.001168%. Berbeda
dengan laju inflasi dan pendapatan regional (PDRB), tingkat suku bunga deposito
mempunyai sifat yang berbanding terbalik dimana nilai koefisiennya berada pada
53
angka -0.011546 yang mempunyai arti ketika suku bunga mengalami kenaikan
sebesar 1% maka permintaan uang akan menurun sebesar 0.011546%.
Kondisi ini didukung oleh pendapat Keynes yang mengatakan bahwa
permintaan uang oleh masyarakat sangat didukung oleh pendapatan nasional dan
tingkat bunga. Dimana ketika pendapatan perkapita akan mempengaruhi tingkat
pendapatan nasional dan tingakat konsumsi yang menjadikan permintaan uang
juga akan semakin meningkat. Berbeda halnya dengan tingkat suku bunga yang
ditekankan pada permintaan uang untuk tujuan spekulasi. Ketika masyarakat
melakukan spekulasi terhadap suku bunga yang akan naik, maka permintaan uang
akan turun, karena masyarakat akan lebih memilih untuk menyimpan uangnya di
pihak perbankan untuk mendapatkan pendapatan tambahan. Sedangkan untuk
inflasi sendiri di tegaskan dalam Teori Kuantitas Uang yang berbunyi “jumlah
uang yang diminta ditentukan oleh beberapa faktor antara lain tingkat harga ratarata dalam perekonomian, jumlah uang yang diminta masyarakat untuk
melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia,
semakin tinggi tingkat harga semakin besar jumalah uang yang akan diminta”.
4.5 Interpretasi Hasil
Dalam regresi pengaruh pendapatan regional, tingkat suku bunga deposito
dan laju inflasi terhadap perimintaan uang di Sulawesi Selatan Periode 2001-2010
dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), diperoleh nilai
seperti pada Tabel 4.5.
54
1.
Pendapatan Regional (PDRB)
Dari hasil regresi di dapat hasil bahwa pendapatan regional (PDRB)
berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan
periode 2001-2010 yang artinya variabel pendapatan regional (PDRB)
mempunyai pengaruh terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan teori yang ada, Jumlah Uang Beredar (JUB) sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan begitu pula sebaliknya hal ini
disebabkan karena peningkatan pendapatan dapat mendorong peningkatan
terhadap permintaan uang. Selain itu, Pendekatan teori klasik oleh para ekonom
beraliran klasik juga beranggapan bahwa permintaan uang murni didasarkan pada
kebutuhan untuk melakukan transaksi. Dari teori ini melahirkan kesimpulan
bahwa permintaan uang untuk kebutuhan transaksi sangat tergantung pada tingkat
pendapatan.
2.
Tingkat Suku Bunga Deposito
Pada hakikatnya tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif dan
signifikan terhadap permintaan uang. Hal ini seperti yang di katakan J.M. Keynes
yang berpendapat bahwa permintaan uang untuk tujuan spekulasi ditentukan oleh
suku bunga. Apabila suku bunga tinggi, permintaan uang untuk spekulasi rendah
karena uang telah digunakan untuk membeli surat-surat barharga. Sebaliknya, jika
tingkat bunga rendah, permintaan uang untuk spekulasi tinggi karena masyarakat
tidak bersedia melakukan pembelian surat-surat berharga dan akan memegang
uang.
55
Seperti yang di tunjukkan tabel 4.5 hasil regresi untuk suku bunga
menunjukkan hasil yang negatif dan signifikan terhadap permintaan uang, yang
artinya selama periode 2001-2010 suku bunga mempunyai pengaruh terhadap
permintaan uang di Sulawesi Selatan. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa
masyarakat Sulawesi Selatan tergolong masyarakat yang spekulan. Mereka
melakukakan spekulasi
terhadap kenaikan
suku
bunga deposito
untuk
mendapatkan keuntungan atau menambah pendapatan. Sehingga dapat juga
dikatakan bahwa, ketika tingkat suku bunga naik, masyarakat Sulawesi Selatan
mengurangi jumlah permintaan uangnya dan lebih memilih melakukan saving
untuk mendapatkan bunga. Sedangakan ketika suku bunga mengalami penurunan
masyarakat meningkatkan permintaan uangnya untuk digunakan membeli
investasi dan surat-surat berharga.
3.
Laju Inflasi
Berdasarkan hasil regresi yang di tunjukkan pada tabel 4.5 laju inflasi
mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi
Selatan periode 2001-2010. Berbeda dengan teori yang telah dipaparkan oleh
Milton Friedmen tentang inflasi, dia berpendapat bahwa kecepatan dari
permintaan uang sangat tergantung oleh suku bunga dan ekspektasi tingkat inflasi
yang merupakan fenomena moneter yang cukup menonjol (Kinantiarin : Okteber
2010
Perbedaan kondisi dan teori ini disebabkan karena pola kunsumsi
masyarakat Sulawesi Selatan pada periode tersebut tidak termasuk pola yang
56
konsumtif. Mereka mampu melakukan kontrol terhadap tingkat konsumsi mereka
ketika inflasi mengalami kenaikan. Seperti halnya pada tahun 2008 ketikan inlasi
mengalami kenaikan yaitu dari 6,59% di 2007 menjadi 11,06 di 2008, tingkat
konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan justru menujukkan hasil yang sebaliknya
yaitu 3,94% ditahun 2007 turun menjadi 2,23% ditahun 2008, yang artinya
masyarakat Sulawesi Selatan tergolang masyarakat yang rasional diamana
pendapatan yang mereka terima tidak hanya digunakan untuk konsumsi tapi juga
untuk pembalian investasi, surat-surat berharga dan untuk berjaga-jaga.
57
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pendapatan Regional mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010. Sesuai
dengan yang dikatakan oleh para kaum klasik bahwa orang melakukan
permintaan uang murni hanya untuk melakukan transaksi, sedangan untuk
melakukan transaksi sangat tergantung pada pendapatan.
2. Tingkat suku bunga deposito berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
permintaan uang di Sulawesi Selatan 2001-2010. Yang artinya ketika
tingkat suku bunga deposito mengalami kenaikan, masyarakat akan
mengurangi permintaan uangnya dan memilih untuk melakukan saving
demi memperoleh pendapatan tambahan sedangkan ketika suku bunga
mengalami penurunan masyarakat akan meningkatkan permintaan
uangnya untuk melakukan investasi dan pembelian surat berharga.
3. Laju inflasi mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap
permintaan uang di Sulawesi Selatan 2001-2010. Penyebab ke-tidaksignifikan-an tersebut disebabkan karena masyarakat Sulawesi Selatan
tidak tergolong masyarakat yang rasional, dimana mereka mampu
58
mengontrol tingkat konsumsi mereka walaupun terjadi inflasi. Selain itu,
pendapatan yang diterima oleh masyarakat Sulawesi Selatan tidak hanya
digunakan untuk konsumsi, melainkan untuk investasi dan berjaga-jaga.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan sebelumnya, maka saran
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengingat pentingnya keberadaan uang kartal dalam perekonomian, maka
penyediaan jumlah uang kartal dimasyarakat harus sesuai dengan jumlah
yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu melakukan
proyeksi uang kartal secara tepat di masyarakat yang akan memudahkan
BI dalam melakukan perencanaan pencetakan dan distribusi uang kartal
rupiah di Indonesia khususnya Sulawesi Selatan
2. Perlunya otoritis moneter menjaga stabilitas uang guna meningkatkan daya
beli masyarakat sehingga dapat mengurangi permintaan terhadap uang
kartal dan meningkatkan permintaan terhadap uang kuasi.
3. Bagi yang juga ingin melakukan penelitian mengenai perilaku permintaan
uang di Sulawesi Selatan sebaiknya menambahkan beberapa variabel
misalnya tingkat konsumsi dan nilai tukar (kurs).
59
DAFTAR PUSTAKA
Boediono. 1980. Ekonomi Moneter. Yogyakarta. BPFE-UGM.
Boediono. 1988. Ekonomi Makro. Yogyakarta. BPFE-UGM.
Erwin Ferdian Adyatma . 2011. Permintaan Akan uang. Jakarta. Paper.
Fattah, Sanusi. 2008. Pengenalan Eviews ( Seri Pendalaman Ekonometrika Dasar
dan Lanjutan ). Makassar. Laboratorium Jurusan Ilmu Ekonomi FEUH.
Indrawati. Sri Mulyani. 1988. Teori Moneter. Jakarta. Lembaga Penerbitan
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesi.
Kinantiarin. 2010. Teori Permintaan Uang. Malang. Blogspot.
Mankiw, Gregori. 2000. Teori Makro Ekonomi. Jakarta. Penertbit Erlangga.
Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja. 2004. Uang, Perbankan, Dan
Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia).
Jakarta.
Penerbitan.
Nopirin. 1987. Ekonomi Moneter. Yogyakarta. BPFE-UGM.
Oktavia, Putu. 2008. Hubungan Antara Inflasi dan Jumlah Uang Beredar. Paper.
Quantitative Micro Softwere, LLC. 2007. Eviews 6 User’s Guide I. United States
of Amerika.
60
Risma Flora Iriani Sirait. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Permintaan Uang di Sumatra Utara. Skripsi.
Setyawan, Aris Budi. 2005. Kausalitas Jumlah Uang Beredar dan Inflasi (Suatu
Kajian Ulang). Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005.
Soediyono, Reksoprayitno. 2000. Ekonomi Makro: Analisis IS-LM dan
Permintaan-Penawaran Aggregatif. Yogyakarta. BPFE.
---------------------------------. 2000. Pengantar Ekonomi Makro. Yogyakarta.
BPFE.
Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada.
Sulistio, Heri. 2003. Permintaan Uang Jangka Menengah dan Jangka Pendek Di
Indonesia Studi Kasus (1990-2002). Yogyakarta. Pangsa.
Wikipedia. 2011. Inflasi. Situs.
-------------. 2011. Pertumbuhan Ekonomi. Situs.
61
LAMPIRAN
Data Jumlah Uang Beredar di Sulawesi Selatan 2001-2010 (dalam milyar rupiah)
M1
Uang
Kuasi
M2
2.000
3.815
10.500
14.315
Logaritma
Natural
(ln)
2.661308
1.670
2.037
3.707
10.669
14.376
2.665595
2003
1.605
2.129
3.734
12.599
16.333
2.793188
2004
1.875
2.103
3978
14.198
18.176
2.900102
2005
2.157
2.593
4.750
16.039
20.789
3.034424
2006
2.600
5.410
8.010
16.630
24.640
3.204371
2007
1.810
5.060
6.870
19.650
26.520
3.277899
2008
2.220
5.410
7.630
22.365
29.995
3.401031
2009
2.730
6.117
8.847
23.523
32.523
3.481948
2010
2.180
5.840
8.020
22.750
30.750
3.42589
Tahun
Uang
Kartal
Uang
Giral
2001
1.815
2002
(Sumber : Bank Indonesia)
Data PDRB Sulawesi Selatan (dalam milyar rupiah)
Tahun
PDRB (Harga 2000) (Rp)
Logaritma Natural
(ln)
2001
29,735,720
17.20786
2002
30,948,819
17.24785
2003
32,627,380
17.30066
2004
34,345,080
17.35197
2005
36,424,018
17.41074
2006
38,867,679
17.47567
2007
41,332,426
17.53716
2008
44,549,820
17.61212
2009
47,314,020
17.67232
2010
51,197,000
17.75119
Sumber : Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan
62
Data Suku Bunga Deposito dan Inflasi (dalam bentuk persentase %)
Tahun
Tingkat Inflasi
2001
12,55
2002
10,03
2003
5,16
2004
6,40
2005
6,35
2006
6,6
2007
6,59
2008
11,06
2009
10,39
2010
7,3
Sumber : BPS dan BI
Suku Bunga Deposito
Nominal
Riil
16,07
3,52
12,81
2,78
6,62
1,46
6,43
0,03
11,98
5,63
8,96
2,36
7,19
0,6
10,75
-0,31
9,54
-0,85
7,65
0,35
63
Hasil estimasi Permintaan Uang di Sul-Sel melalui Eviews 6
Dependent Variable: Md
Method: Least Squares
Date: 03/21/12 Time: 08:55
Sample: 2001 2010
Included observations: 10
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
SUKU BUNGA
INFLASI
PENDAPATAN
C
-0.011546
0.001168
0.476012
15.98373
0.005415
0.004174
0.051334
0.169688
-2.132206
0.279810
9.272765
94.19479
0.0770
0.7890
0.0001
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.977194
0.965790
0.034170
0.007006
22.12878
2.140450
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
17.45675
0.184745
-3.625756
-3.504722
85.69432
0.000026
64
Download