BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Uang merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan, karena uang merupakan salah satu sendi dalam kehidupan manusia. Mulai dari anak-anak sampai orang tua mereka membutuhkan uang dalam kegiatan mereka baik itu bersifat konsumtif mislanya membeli keperluan sehari-hari maupun untuk kebutuhan spekulasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dengan membeli surat-surat berharga atau obligasi dengan harapan harga jual dari surat berharga dan obligasi yang dimiliki lebih tinggi dari harga beli. Dalam perekonomian suatu negara atau wilayah uang sangat mempunyai peranan yang sangat penting khususnya dalam bidang perekonomian. Bagi perekonomian uang seperti darah yang mengalir dalam tubuh manusia ketika terhambat maka fungsi organ tubuh tidak akan berjalan sebagai mana mestinya dan manusia akan menjadi sakit karenanya. Sama halnya dengan uang, posisinya harus selalu berputar dalam suatu roda perekonomian apabila terhambat maka perekonomian akan menjadi sakit. Oleh karena itu untuk menjalankan fungsi uang sebagaimana mestinya diperlukan suatu kebijakan oleh Bank Indonesia dengan otoritas moneternya. Dalam perputaran uang di suatu wilayah selain variabel makro, lembaga juga mempunyai peranan yang kuat untuk masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi. Lembaga yang dimaksud dalam hal ini seperti Bank Indonesia (BI) yang mempunyai otoritas moneter untuk menentukan kebijakan dalam kondisi ekonomi 1 suatu wilayah, ada juga bank umum yang menjalankan perannya dalam tingkat suku bunga untuk ditawarkan kepada masyarakat dimana masyarkat yang tergolong dalam lembaga masyarakat nantinya yang juga akan ikut menentukan kondisi perputaran uang dengan ekspektasi dan konsumsi yang mereka lakukan. Salah seorang pemikir besar yang menyumbangkan pemikirannya dalam teori moneter adalah Keynes yang berpandangan tentang uang sebagai alat penyimpan nilai. Pandangan ini menyebabkan perlunya analisis tentang pasar uang dengan penawaran uang. Pasar uang, memberikan gambaran tentang perkembangan kelangkaan uang. Perkembangan tingkat kelangkaan uang ditunjukkan dari perkembangan tingkat harga yang terbentuk melalui mekanisme pasar, sedangkan harga dari uang adalah tingkat bunga. Jika tingkat bunga semakin tinggi, maka uang semakin mahal, berarti uang semakin langka, begitu juga sebaliknya. Dari teori ini dapat dilihat suatu hubungan antara sektor moneter dengan sektor riil. Tingkat bunga yang terbentuk disektor moneter (pasar uang) akan mempengaruhi perilaku disektor riil, khususnya investasi. Sebagai contoh, bila tingkat bunga makin tinggi, permintaan investasi akan menurun, yang juga akan menurunkan tingkat output keseimbangan. Jadi keseimbangan di pasar uang berkaitan dengan pasar barang dan jasa. Pada saat output nasional bertambah banyak, maka permintaan akan uang untuk kebutuhan transaksi juga akan meningkat. Masyarakat cenderung untuk menjaga nilai beli dari uang yang dipegangnya, agar uang yang dipegang cukup memadai untuk menyelesaikan transaksi-transaksi yang dilakukannya. 2 Jumlah uang beredar di Sulawesi Selatan selama 2001-2010 memperlihatkan fenomena yang terus berkembang baik itu uang beredar dalam arti sempit (M1) yang terdiri dari uang kartal dan uang giral, maupun uang beredar dalam arti luas (M2) yang merupakan penjumlahan M1 dengan uang kuasi. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 1.1. Grafik 1.1 Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Sulawesi Selatan Tahun 2001-2020 (Dalam Milyar Rupiah) Sumber : Data diolah Terlihat jelas dari grafik 1.1. bahwa permintaan uang di Sulawesi Selatan terus meningkat terutama di tahun 2006, untuk uang kuasi sendiri peningkatannya cukup pesat sekitar 20,83% yaitu dari Rp. 16,63 trilyun menjadi Rp. 19,65 trilyun. Kenaikan angka tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat likuiditas cukup untuk memenuhi kebutuhan perekonomian di wilayah Sulawesi Selatan. Berdasarkan data yang di tampilkan oleh Bank Indonesia kenaikan permintaan uang tersebut diakibatkan oleh meningkatnya jumlah jaringan kantor bank yang melayani kebutuhan masyarakat yaitu dari 579 kantor bank menjadi 590 kantor bank. 3 Di tahun berikutnya hanya terjadi sedikit saja perbedaan, dimana permintaan uang cenderung meningkat yang disebabkan oleh ekspektasi dari masyarakat terhadap inflasi yang tinggi terutama untuk bahan-bahan pokok baru. Demikian pula di tahun-tahun berikutnya yang terus mengalami peningkatan. Berdasarkan teori yang ada, JUB sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dimana pertumbuhan peningkatan ekonomi dan jumlah sebaliknya uang beredar pertumbuhan akan mendorong ekonomi dapat mempengaruhi JUB sebab peningkatan pendapatan akan mendorong peningkatan permintaan uang. Grafik 1.2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Tahun 2001-2010 Sumber : Data diolah Pada Grafik 1.2 dapat dilihat pertumbuhan ekonomi Sulawesi-Selatan pada Tahun 2001-2010 mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun hal ini 4 disebabkan karena tingkat konsumsi masyarakat juga tiap tahunnya mengalami peningkatan. Bukan hanya itu penggunaan akan uang yang dimiliki masyarakat juga sudah mulai bervariasi bukan hanya untuk bertransaksi, tapi juga untuk investasi, tabungan dan belanja modal lainnya. Perilaku ini secara langsung berpengaruh pada tingkat pendapatan Provinsi Selawesi Selatan. Sehingga, berdasarkan sumber data yang didapat Jumlah Uang Beredar dan Pendapatan dapat di katakan signifikan karena pertumbuhannya saling beriringan ke atas. Selain tingkat pendapatan, tingkat suku bunga juga sangat berpengaruh terhadap permintaan uang. Suku bunga merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam perekonomian suatu wilayah karena sangat berpengaruh terhadap kesehatan perekonomian. Hal ini tidak hanya mempengaruhi keinginan konsumen untuk membelanjakan ataupun menabungkan uangnya tetapi juga mempengaruhi dunia usaha dalam mengambil keputusan. Oleh kerena itu tingkat suku bunga mempunyai pengaruh yang sangat luas, baik pada sektor moneter maupun juga pada sektor riil. Suku bunga sangat erat kaitannya dengan tingkat laju inflasi, karena tingkat inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa yang mencerminkan para pelaku pasar dan masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi terhadap laju inflasi dimasa yang akan datang. Ekspektasi laju infasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan aset finansial yang dimilikinya menjadi aset riil seperti, tanah, rumah, dan barang-barang konsumsi lainnya. Begitu juga sebaliknya ekspektasi laju inflasi yang rendah akan memberikan 5 insentif terhadap masyarakat untuk menabung serta melakukan investasi pada sektor-sektor produktif. Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa pendapatan regional (PDRB), tingkat suku bunga, dan laju inflasi memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perilaku permintaan uang masyarakat. Dengan demikian, penulis mencoba melihat besarnya pengaruh keempat variabel tersebut terhadap permintaan uang, dengan mengemukakan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Uang (Deman For Money) di Sulawesi Selatan Periode 2001-2010”. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat mengemukakan pokok permasalahan yaitu: 1. Apakah pendapatan regional (PDRB) berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010 ?. 2. Apakah tingkat suku bunga berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010 ?. 3. Apakah inflasi berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010 ?. 6 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengukur dan menganalisis pengaruh pendapatan regional (PDRB) terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010 2. Untuk mengukur dan menganalisis pengaruh tingkat suku bunga deposito terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010 3. Untuk mengukur dan menganalisis pengaruh tingkat laju infasi terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010. 7 BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Pengertian Bank Indonesia membedakan jumlah uang beredar kedalam dua bagaian yaitu JUB dalam arti sempit dan JUB dalam arti luas. JUB dalam arti sempit (M1), yaitu kewajiban sistem moneter yang terdiri dari uang kartal dan uang giral. Uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia sedangkan Munurut UU No. 7 tentang Perbankan tahun 1992, defenisi uang giral adalah tagihan yang ada di bank umum, yang dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat pembayaran. Bentuk uang giral dapat berupa cek, giro, atau telegrafic transfer. JUB dalam arti luas (M2), yaitu kewajiaban sistem moneter yang terdiri dari M1 dan uang kuasi. Uang kuasi adalah aset yang dapat digunakan secara cepat. Uang kuasi terdiri dari deposito, tabungan dan simpanan valas milik swasta domestik. Dari kedua defenisi JUB yang dikemukakan oleh Bank Indonesia tersebut diatas, terlihat bahwa komponen M1 merupakan komponen yang paling likuid, karena proses penciptaannya menjadi uang kas begitu cepat dan tidak mengalami perubahan atau kerugian nilai. Sedangkan M2 mempunyai tingkat 8 likuiditas yang paling rendah, karena proses pencariannya memerlukan jangka waktu tertentu . Dalam bidang ekonomi mengartikan jumlah uang beredar (JUB) adalah uang yang beredar ditangan masyarakat. Defenisi ini terus berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan perekonomian disuatu negara. Konteks perekonomian negara maju cara perhitungannya dapat berbeda dengan negara sedang berkembang. Umumnya cakupan defenisi JUB di negara maju lebih luas dan kompleks dibanding di negara sedang berkembang. Secara umum dua defenisi JUB yang banyak digunakan yaitu : pendekatan transaksi yang memandang JUB adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk keperluan transakasi. Pendekatan ini banyak digunakan untuk menghitung JUB dalam arti sempit yang dikenal sebagai M1. Definisi lain didasarkan pada pendekatan likuiditas yang memandang JUB adalah jumlah uang untuk kebutuhan transaksi di tambah uang kuasi. Pendekatan ini digunakan untuk menghitung jumlah uang beredar dalam arti luas yang dikenal sebagai M2. Jumlah uang beredar juga didefenisikan oleh beberapa orang yang mengatakan bahwa JUB merupakan tagihan masyarakat terhadapa sektor perbankan dan terbatas pada jumlah antara uang kartal dan uang giral ( Anton : 1991). Pengertian JUB lainnya adalah semua uang giral (demand deposit), tagihan pada bank umum, seluruh uang kertas dan uang logam (currency) yang dipegang oleh masyarakat yang ada diluar bank umum dan bank sentral ( Manullang : 1983). 9 Selain M1 dan M2 juga ada yang disebut dengan M0 atau yang biasa disebut dengan uang inti, uang primer, reserve money, high power money, atau monetary base yang merupakan kewajiban dari otoritas moneter yang terdiri dari uang kertas dan uang logam yang berada diluar Bank Indonesia, serta simpanan Giro Bank Umum dan sektor swasta domestik (penduduk) pada Bank Indonesia. 2.2 Teori Permintaan Uang. Pada umunya pandangan teori permintaan uang dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu teori-teori yang didasarkan pada ; (1) pandangan klasik, (2) teori permintaan uang Keynes, dan (3) teori kuantitas modern. Pendekatan teori klasik oleh para ekonom beraliran klasik yang beranggapan bahwa permintaan uang murni didasarkan pada kebutuhan untuk melakukan transaksi (transaction view of money demand). Dari teori ini melahirkan kesimpulan bahwa permintaan uang untuk kebutuhan transaksi sangat tergantung pada tingkat pendapatan. Dan kemudian oleh John Maynard Keynes domodifikasi dengan mengatakan bahwa terdapat biaya yang ditanggung oleh masyarakat dalam memegang uang. Biaya yang dimaksud dapat berupa biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (undirect cost). Dijelaskan didalamnya bahwa biaya langsung dari memegang uang adalah pembayaran dengan nominal atau persentase tertentu dari nilai durable deposits yang dimiliki oleh seseorang sedangkan biaya tidak langsung merupakan opportunity cost dari memegang uang. Opportunity cost itu sendiri adalah biaya 10 yang timbul dari berbagai alternatif pengalokasian aset, atau dengan kata lain terdapat potensi kehilangan pendapatan bunga jika seseorang menetapkan salah satu bentuk kekeyaan (Asset). Fakta diatas yang kemudian mendasari pandangan Keynes bahwa semakin tinggi tingkat bunga maka semakin rendah permintaan uang. Pendekatan yang ketiga adalah modern quantity theory of money yang dipopulerkan oleh Milton Friedmen. Teori kuantitas modern menggabungkan antara pandangan klasik (Calssical view) dengan pandangan Keynes (Keynes’s view) dari permintaan uang. Ketiga pendekatan di atas akan dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut : 2.2.1 Teori Kuantitas Sederhana (The Simple Quantity Theory) Teori kuantitas sederhana beranggapan bahwa motivasi utama masyarakat dalam memegang uang yaitu untuk keperluan transaksi. Teori ini didasarkan pada equation of exchange, identitas yang menghubungkan antara pengeluaran agregat dengan persediaan uang (Jansen : 2002). Fisher berpendapat bahwa permintaan uang akan timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi, dimana setiap perekonomian ketika sesuai tahap pertumbuhannya akan memiliki sistem kelembagaan tersendiri yang menentukan sifat proses transaksi tersebut. Sistem ini mencakup beberapa faktor misalnya tingkat dari sektor-sektor ekonomi, keredit perdagangan, perbaikan dalam komunikasi, dan sistem jaringan perbankan. 11 Seperti yang dijelaskan di atas besar kecilnya perputaran uang transaksi ditentukan dari proses transaksi yang berlaku di masyarakat. Faktor kelembagaan, utamanya mekanisme pembayaran yang digunakan (tunai atau cek) akan mengalami perubahan secraa gradual dalam jangka panjang, sedangakan dalam jangka pendek kebutuhan akan uang relatif terhadap volume transaksi bisa dianggap konstan. Demikian pula volume transaksi relatif terhadap output masyarakat bisa dianggap mempunyai proporsi yang konstan dalam jangka pendek. 2.2.2 Teori Cambridge (Marshall-Pigou) Teori Cambridge befokus pada fungsi uang sebagai alat tukar umum. Oleh karena itu, teori-teori klasik ini melihat permintaan uang dari masyarakat sebagai kebutuhan akan alat likuid untuk tujuan transaksi. Ketika Fisher mengatakan permintaan uang semata-mata merupakan proporsi konstan dari volume transaksi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor kelembagaan yang konstan. Cambridge justru berpendepat faktor-faktor perilaku (pertimbangan untung rugi) yang menghubungkan antara permintaan uang seseorang dengan volume transaksi yang direncanakannya. Atau dengan kata lain, Fisher memandang velocity uang konstan sedangakan Cambridge tidak. Menurut teori Cambridge, permintaan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi dan faktor-faktor kelembagaan, juga dipengaruhi oleh bunga, dan ekspektasi masyarakat terhadap kondisi yang akan datang. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan uang seseorang dengan demikian juga akan 12 mempengaruhi permintaan uang masyarakat secara keseluruhan. Kemudian Pigou melakukan berbagai penyederhanaan dimana variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan uang dalam jangaka pendek dianggap konstan. Teori Cambridge menganggap bahwa permintaan uang adalah proporsional dengan tingkat pendapatan nasional (ceteris paribus). Dalam hal ini dia tidak menutup kemungkinan bahwa faktor-faktor seperti tingkat suku bunga dan ekspektasi berubah walaupun dalam jangka pendek. 2.2.3 Teori Uang dari Keynes Ketika ekonomi klasik cenderung menekankan penggunaan uang dalam melakukan transaksi, Keynes mengidentifikasikan tiga motif memegang uang yaitu : motif bertransaksi, motif berjaga-jaga, dan motif berspekulasi. Seperti ekonom klasik, Keynes memandang memegang uang untuk transaksi proporsional dengan pendapatan. Keynes juga sependapat dengan pemikiran Cambridge, dimana orang memegang uang untuk melancarkan proses transaksi yang dilakukan, dan permintaan uang masyarakat untuk tujuan ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional, semakin besar tingkat transaksi, maka semain besar pula jumlah uang yang diminta masyarakat untuk transaksi. Selain itu, Keynes juga berpendapat bahwa permintaan uang untuk transaksi ini pun bukan merupakan suatu proporsi yang konstan, tapi juga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Hanya saja faktor bunga dalam permintaan uang untuk transaksi ini tidak terlalu ditekankan, salah satu sebabnya adalah karena dia ingin menekankan permintaan uang untuk tujuan lain, yaitu 13 tujuan spekulasi. Motif memegang uang untuk tujuan spekulasi terutama ditujukan untuk mendapatkan keuntungan. Keynes membatasi keadaan dimana pemilik kekayaan bisa memilih memegang kekayaanya dalam bentuk tunai atau obligasi. Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan, sedang obligasi dianggap memberikan penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periodenya. 2.2.4 Teori Transaksi dari Permintaan Uang Teori permintaan uang yang menekankan peran uang sebagai media pertukaran disebut teori transaksi (transaction theories). Teori ini menyatakan bahwa uang adalah aset yang didominasi dan menekankan bahwa orang memegang uang tidak seperti aset-aset lainnya, tapi untuk melakukan pembelian. Teori ini menjelaskan mengapa orang memegang uang dalam arti sempit (M1), seperti mata uang dan rekening cek, sebagai lawan dari memegang aset yang mendominasinya, seperti rekening tabungan dan Treasury bills. Teori dari transaksi permintaan uang bermacam-macam, bergantung bagaimana orang memodelkan proses menghasilkan uang untuk melakukan transaksi. Seluruh teori ini mengasumsikan bahwa uang mempunyai biaya dari menerima tingkat pengambilan yang rendah dan manfaat yang membuat transaksi lebih aman. Orang-orang memutuskan berapa banyak uang yang akan dipegang dalam men-trade-off-kan biaya dan manfaat ini. Pengembangan lebih lanjut dari teori transaksi dari permintaan uang adalah model menejemen kas Baumol-Tobin (the inventory approach to money 14 demand), teori portofolio dari permintaan uang dari James Tobin (the portfolio approach to money demand) dan teori kuantitas modern dari Friedman. 2.2.5 Model Manajemen Kas Baumol-Tobin Seperti teori kuantitas dan teori Cambridge, model ini juga menekankan pentingnya penggunaan uang untuk keperluan transaksi. Teori model ini juga memandang adanya direct dan inderect cost (biaya langsung dan biaya tidak langsung) memegang uang untuk tujuan transaksi dan bagaimana perubahan kedua biaya ini akan mempengaruhi permintaan uang (Jansen : 2002). Biaya langsung yaitu biaya perjalanan atau biaya mentransfer aset non moneter menjadi aset moneter sedangkan biaya tidak langsung yaitu jumlah bunga yang hilang. Baumol dan Tobin mencapai kesimpulan yang serupa mengenai permintaan uang untuk transaksi. Baumol melihat bahwa kebutuhan akan uang untuk transaksi pada hakekatnya adalah sama dengan kebutuhan stok uang yang akan dipegang dengan pertimbangan biaya dengan memilih jumlah dan pola waktu untuk stok yang tepat agar biaya yang membebaninya minimal. Model Baumol-Tobin menganalisa biaya dan manfaat dari memegang uang. Manfaatnya adalah kenyamanan; orang memegang uang agar mereka tidak perlu lagi ke bank setiap kali ingin membeli sesuatu. Biaya kenyamanan ini adalah hilangnya bunga yang akan mereka terima jika uang tersebut mereka simpan di bank. Model ini bertitik tolak dari anggapan bahwa seseorang menerima pendapatan tertentu secara reguler setiap waktu, dan untuk penyederhanaan orang 15 tersebut selalu membelanjakan sejumlah tertentu (tetap) setiap harinya. Dengan kata lain kebutuhuan uang tunai setiap per satuan waktu adalah konstan. Pemilik pendapatan tersebut juga dapat memilih memegang hasil pendapatannya dalam bentuk uang tunai atau obligasi. Uang tunai dianggap tidak menghasilkan apapun, tapi dipegang karena bisa digunakan untuk transaksi. Sedangkan obligasi menghasilkan tingkat bunga, tapi bila ingin digunakan untuk transaksi harus terlebih dahulu ditukarkan kedalam bentuk uang tunai. Selanjutnya dianggap bahwa setiap kali menjual obligasi, ada biaya (tetap) yang dibebankan. Karena uang tunai tidak menghasilkan apapun, maka orang akan cenderung memegang pendapatan totalnya sebanyak mungkin dalam bentuk obligasi. Keputusan ini dilakukan dengan mempertimbangkan biaya yang paling menguntungkan. Biaya yang paling menguntungkan ini adalah dengan memilih nilai/jumlah obligasi yang akan dijual dengan tujuan memenuhi kebutuhan uang tunai untuk transaksi dalam jangka waktu tertentu yang akan menimbulkan biaya total dari pemegangan stok. 2.2.6 Teori Portofolio dari Permintaan Uang Teori portofolio menekankan peran uang sebagai penyimpan nilai. Menurut teori ini, orang-orang memegang uang sebagai aset portofolio mereka. Teori portofolio memperdiksi bahwa permintaan uang seharusnya tergantung pada resiko dan hasil yang diberikan oleh uang dan oleh berbagai aset selain uang. Selain itu, permintaan uang seharusnya bergantung pada kekayaan total, karena kekayaan mengukur besarnya portofolio yang dialokasikan diantara uang dan aset 16 alternatif. Fungsi permintaan uang dalam teori portofolio mengasumsikan permintaan uang bergantung pada pengembalian saham riil, pengembalian obligasi riil yang diharapkan, tingkat inflasi yang diharapkan, dan kekayaan riil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, kenaikan dalam pengembalian saham riil dan pengembalian obligasi riil yang diharapakan menurunkan permintaan uang, kerena uang menjadi kurang menarik. Kenaikan dalam kekayaan riil meningkatkan permintaan uang, karena kekayaan yang lebih tinggi berarti portofolio yang lebih besar. Teori portofolio bermanfaat untuk mempelajari permintaan uang bergantung pada ukuran uang manakah yang kita gunakan. Ukuran uang yang paling sempit (M1) adalah aset yang didominasi (dominated assets); sebagai penyimpan nilai, uang eksis sepanjang aset-aset lain dalam kondisi lebih baik. Jadi, tidak optimal bagi orang-orang untuk memegang uang sebagai bagian dari portofolio mereka, dan teori portofolio tidak dapat menjelaskan permintaan terhadap bentuk uang yang didominasi ini. Ukuran uang yang lebih luas mencakup banyak aset yang mendominasi mata uang dan rekening cek, sehingga pendekatan portofolio terhadap permintaan uang merupakan teori yang baik untuk menjelaskan permintaan terhadap M2 atau M3 (Mankiw : 2000). 2.2.7 Teori Kuantitas Modern dari Friedman Teori kuantitas modern dari permintaan uang di bangun berdasarkan teori kuantitas uang dengan menekankan kekhasan kepemilikan uang sebagai media pertukaran. Kekhasan ini karena memandang permintaan uang mirip permintaan 17 akan suatu barang yang dipengaruhi oleh tiga hal yaitu; total kekayaan yang merupakan kendala anggaran (budget constraint) dalam perilaku konsumen, harga dari masing-masing bentuk kekayaan, serta selera dan preferensi (taste and preference) pemilik kekayaan (Jansen : 2002). Teori kuantitas modern menekankan permintaan uang dari keuntungan dari proses subtitusi antar bentuk kekayaan seperti uang, obigasi, saham, surat berharga, dan bentuk kekayaan yang lain baik manusiawi maupun nonmanusiawi. Permintaan uang terhadap bentuk kekayaan di atas sangat dipengaruhi oleh hasil (return) yang akan diterima oleh pemilik kekayaan di masa yang akan datang. Dalam teori permintaan uangnya, Friedman menganggap bahwa pemilik kekayaan memutuskan aktiva-aktiva apa yang akan dipegang atas dasar perbandingan manfaat, selera dan jumlah kekayaanya. Pengertian kekayaan dari Friedman tidak hanya berbentuk uang atau bisa diubah atau dijual menjadi uang, tetapi juga termasuk nilai dari aliran penghasilan ditahun-tahun mendatang dari tenaga kerjanya. Kekayaan tidak lain adalah nalai sekarang dari aliran penghasilan yang diharapakan dari aktiva-aktiva yang dipegang. Pengertian kedua yang penting adalah “manfaat”. Manfaat (returns) dari setiap bentuk aktiva merupakan faktor pertimbangan untuk memutuskan berapa jumlah dari masing-masing bantuk aktiva yang akan dipegang tersebut. Dalam melakukan perumusan fungsi permintaan uang (permintaan total uang, Friedman tidak menganal pembagian motif memegang uang seperti Keynes), Friedman melakukan beberapa penyederhanaan. Ia menganggap pemilik kekayaan bisa memilih lima bentuk kekayaan untuk dipegang, yaitu: uang tunai, 18 obligasi, saham atau equities, barang-barang fisik bukan manusia, dan kekayaan manusiawi / human capital. 2.3 Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regiona Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi satu wilayah. Pertumbuhan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya infrastruktur ekonomi. PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada suatu tahun tertentu sebagai tahun dasar hitungannya. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan harga konstan dapat digunkana untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Produk Domistik Regional Bruto (PDRB) dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) oleh masingmasing wilayah. BPS menghitung PDRB berdasarkan 3 (tiga) pendekatan yaitu : Pendekatan Produksi (Pruduction Approach) yaitu PDRB merupakan jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah / region pada suatu jangka waktu tertentu, biasanya setahun. 19 Pendekatan Pendapatan (Income Approach) yaitu PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut di dalam proses produksi di suatu wilayah pada jangka waktu tertentu (setahun). Balas jasa faktor produksi tersebut adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Pendapatan Pengeluaran (Expenditure Approach) yaitu PDRB merupakan jumlah semua pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, perubahan stok dan ekspor neto di suatu wilayah pada suatu periode (biasanya setahun). Ekspor neto disini adalah ekspor dikurangi impor. Kuantitas uang dalam perekonomian sangat erat kaitannya dengan jumlah mata uang yang diperlukan dalam transakasi. Dalam penulisan skripsi ini, karena jumlah transaksi sulit diukur, maka jumlah transaksi diganti dengan output total dari perekonomian suatu wilayah atau daerah (PDRB). Transaksi dan output sangat berkaitan, karena semakin banyak perekonomian berproduksi, semakin banyak barang yang dibeli dan dijual. Namun demikian menurut Mankiw (2000) keduanya tidak sama. Ketika seseorang menjual mobil bekas untuk orang lain, misalnya, mereka melakukan transaksi dengan menggunakan uang, meskipun mobil bekas bukan bagian dari output sekarang. 20 2.4 Suku Bunga Menurut Keynes (1936) suku bunga merupakan harga dari penggunaan uang. Sedangkan menurut Hubbard (1997), bunga adalah biaya yang harus dibayar atas pinjaman yang diterima dan imbalan atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilahan membelanjakan uang lebih banyak atau menabung (Laksomono : 2001). Para ekonom membagi tingkat suku bunga atas dua yaitu, tingkat bunga nominal (nominal interest rate) dan tingkat bunga riil (real interest rate). Para ekonom menyebutkan tingkat bunga yang dibayar bank sebagai tingkat bunga nominal dan kenaikan dalam daya beli Anda dengan tingkat bunga riil. Tingkat bunga nominal biasa juga disebut biaya peluang (opportunity cost) dari memegang uang: biaya yang timbul karena Anda lebih memilih suka memegang uang ketimbang obligasi. Dapat juga di katakan bahwa tingkat bunga riil adalah perbedaan di antara tingkat bunga nominal dan tingkat inflasi. Kalau diatur kembali persamaan ini, dapat dilihat bahwa tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil dan tingkat inflasi. Menurut Fisher (Fisher Equation). Hal ini menunjukkan tingkat bunga bisa berubah karena dua alasan : karena tingkat bunga riil berubah atau karena tingkat inflasi berubah. Menurut persamaan Fisher di atas, kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi sebaliknya menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat bunga nominal. Hubungan satu-untuk-satu antara tingkat inflasi dan tingkat bunga nominal disebut efek Fisher (Fisher Effect) (Mankiw : 2003). 21 2.5 Inflasi Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya hargaharga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadang kala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah IHK (Indeks Harga Konsumen) dan PDB/PDRB. Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun. Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, 22 bank sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation targeting banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk oleh Bank Indonesia. 2.6 Hubungan antara Pendapatan, Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Permintaan Uang 2.6.1 Pengaruh Pendapatan Regional (PDRB) Terhadap Permintaan Uang Pada dasarnya pendapatan mencerminkan seberapa besar tingkat konsumsi seseorang. Biasanya semakin tinggi pendapatan seseorang, maka keinginannya untuk mengkonsumsi satu atau beberapa jenis barang juga akan semakin ikut meningkat. Faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan uang dalam suatu wilayah antara lain pendapatan, nilai tukar, dan tingkat suku bunga (Boediono:1985). Pendapatan dan permintaan uang sangat berhubungan erat serta mempunyai sifat yang positif dan signifikan. Yang artinya ketika pendapatan mengalami kenaikan, maka permintaan akan uang juga akan mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya permintaan untuk konsumsi di kalangan masyarakat. Sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh para ekonom klasik dalam teori permintaan uang yang beranggapan bahwa permintaan uang murni 23 didasarkan untuk memenuhi kebutuhan dalam transaksi. Anggapan ini memberikan kesimpulan bahwa permintaan uang untuk kebutuhan transaksi sangat tergantung pada tingkat pendapatan. 2.6.2 Pengaruh Tingkat Suku Bunga Deposito Terhadap Permintaan Uang Pada umunya orang-orang yang mempunyai pendapatan yang berlebih akan menyimpan uangnya pada pihak perbankan dalam bentuk deposito. Alasan tersebut dikarenakan adanya pendapatan yang akan diterima dari uang tersebut yaitu berupa bunga. Bunga merupakan salah satu varibel makro dalam moneter yang selalu diamati oleh para pelaku ekonomi. Tinggi rendahnya suku bunga yang ditawarkan suatu pihak perbankan, maka akan mempengaruhi sifat para pelaku ekonomi. Sebagai salah satu contohnya ketika suku bunga mengalami kenaikan, orangorang akan lebih memilih menyimpan uangnya di bank dibandingkan untuk menggunakannya sebagai konsumsi dan begitu pula sebaliknya. Akan ada yang dikorbankan seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang mereka miliki. Menurut Keynes faktor yang mempengaruhi besarnya permintaan uang dengan motif spekulasi adalah besarnya suku bunga, dividen surat-surat berharga, ataupun capital gain. Karena ketika seseorang memilih memegang uang, maka mereka akan mendapatkan oppurtunity cost dari memegang uang atau dengan kata lain terdapat potensi kehilangan pendapatan bunga jika seseorang menetapkan salah satu bentuk kekayaan (asset). 24 Dalam hubungannya dengan permintaan uang, suku bunga berpengaruh negatif. Hal ini dikarenakan ketika suku bunga meningkat, jumlah dari uang tunai yang dipegang untuk transaksi juga akan mengalami penurunan, karena orang akan lebih memilih melakukan saving untuk mendapatkan pendapatan lebih yaitu bunga. 2.6.3 Pengaruh Tingkat Inflasi Terhadap Permintaan Uang Dalam perekonomian inflasi merupakan sesuatu yang harus selalu dipantau dan diwaspadai oleh semua pelaku ekonomi terutama Bank Indonesia. Besarnya kontribusi Inflasi dalam perekonomian menjadikannnya salah satu pilar dari pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Kenaikan dari angka inflasi akan manjadikan perekonomian berada dalam posisi yang genting apabila tidak ditopang dengan output atau pendatan dari wilayah tersebut. Kaitan antara inflasi dan permintaan uang mempunyai hubungan yang sangat erat. Seseorang akan menjadikan inflasi sebagai motif spekulasi dari permintaan uang, yang artinya ketika seseorang memprediksikan angka inflasi akan mengalami kenaikan maka permintaan uangnya pun juga akan ikut naik. Hal ini di sebabkan kerena akan meningkatnya jumlah harga kebutuhan sehari-hari di pasaran. Seperti yang dikatakan oleh Friedman dalam teori permintaan uangnya yaitu kecepatan permintaan dan peredaran uang di masyarakat tergantung dari faktor ekonomi yaitu suku bunga dan inflasi. Dimana hal tersebut dapat diartikan bahwa inflasi merupakan salah satu komponen moneter yang sangat erat 25 hubungannya dengan permintaan uang, saat terjadi inflasi permintaan uang akan semakin meningkat, ini disebabkan karena kurangnya output produksi dari produsen yang mengakibatkan harga barang/jasa juga ikut naik. Oleh karena itu Bank Sentral selalu berusaha mempertahankan tingkat inflasi dalam tingkat yang normal agar tidak berdampak buruk juga pada veribel ekonomi makro lainnya. 2.6 Tinjauan Empiris Spencer (1985) melakukan penelitian tentang stabilitas parameter permintaan uang di Indonesia menggunakan data kuartalan tahun 1967-1981. Kajian tersebut menggunakan data uang dalam arti sempit (M1) dan luas (M2), pendapatan (PDB), tingkat bunga dan jumlah kantor bank. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa koefisien parameter permintaan uang M1 tidak stabil karena penambahan jumlah kantor telah menyebabkan kanaikan elastisitas permintaan uang sedangkan elastisitas tingkat bunga mengalami penurunan. Effendi dan Aliasuddin (1998) juga telah melakukan penelitian empiris tentang stabilitas permintaan uang di Indonesia dengan menggunakan data tahunan dari 1971 hingga 1996. Hasilnya, parameter permintaan uang pada periode tersebut stabil. Namun kajian tersebut kurang konsisten dengan nilai elastisitas yang saling berbeda-beda untuk masing-masing periode penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh pelanggaran asumsi klasik dalam model estimasi yang digunakan. Ada dua pelanggaran yang dijumpai dalam model tersebut yaitu multikolinearitas dan heteroskedastisitas. 26 Astiyah (2002) mengkaji perilaku permintaan uang dan implikasinya bagi kebijakan moneter di Indonesia. Dari berbgai definisi uang beredar, Astiyah menemukan bahwa hubungan antara uang beredar (M1 dan M2) dengan sasaran akhir inflasi semakin tidak stabil. Bahkan untuk uang primer telah menjadi variabel yang endogen, dalam arti dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan infalsi, dan karenaya sulit dikendalikan. Hanya permintaan uang kartal (kertas dan logam) secara riil yang relatif stabil. Berbeda dengan penelitian sebelumnya penulis mencoba menulis dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu Sulawesi Selatan tapi tetap dengan variabel yang sama. Dalam skripsi ini penulis mengasumsikan penawaran uang sama dengan permintaan uang, kemudian karena jumlah transaksi sulit diukur, maka jumlah transaksi diganti dengan output total dari perekonomian di Sulawesi Selatan (GDRP) mengingat transaksi sangat berkaitan dengan output meskipun tak serupa. 2.7 Karangka Pikir Secara teoritis permintaan akan uang dapat dilihat melalui seberapa besar Jumlah Uang Beredar di tangan masyarakat dan Bank Sentral mempunyai wewenang dalam mengatur peredaran uang dengan otoritas moneter yang dimilikinya. Keputusan besar kecilnya jumlah uang yang dikeluarkan oleh Bank Sentral tergantung pada seberapa besar permintaan masyarakat terhadap uang. Hal ini juga akan sangat berpengaruh besar terhadap fariabel-fariabel makro 27 lainnya seperti pendapatan (PDRB), suku bunga, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dari bahasan teoritik yang telah dipaparkan sebelumnya maka dapat diperoleh kerangka berfikir dari penelitian ini sebagai berikut : Permintaan Uang Jumlah Uang Beredar PDRB Suku Bunga Inflasi 2.8 Hipotesis Berdasarkan masalah pokok yang telah dikemukakan pada rumusan masalah sebelumnya, maka diperlukan hipotesa kerja sebagai pedoman. Hipotesis ini merupakan dugaan sementara yang nantinya akan diuji kebenarannya. Adapun rumusan hipotesis dalam penulisan ini adalah sebagai beriku : a. Diduga bahwa peningkatan pendapatan berpenagruh positif dan signifikan terhadap permintaan uang. 28 b. Diduga bahwa peningkatan tingkat suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan uang. c. Diduga bahwa peningkatan laju inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap prmintaan uang. 29 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan ketersediaan data sekunder yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan penulis. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia yaitu melalui Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan berbagai tahun. Penulis juga melakukan studi kepustakaan melalui beberapa jurnal, artikel, dan literatur lainnya yang relevan dengan pokok penelitian ini. 3.2 Model Emperis Permintaan Uang 3.2.1 Teknik Estimasi Denngan mengasumsikan bahwa permintaan uang (Md) dipengaruhi oleh pendapatan (Y), suku bunga (i), dan inflasi (π), maka hubungan fungsionalnya dapat dituliskan sebagai berikut : Md = f (Y,i,π )……………………………………………..(1) Berdasarkan hubungan fungsional di atas, model analisis yang dipergunakan untuk menguji hipotesa dalam penulisan ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Metode analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitan yang dilkukan adalah Ordinary Least Square (OLS) yang dilakukan untuk menghitung koefisien regresi berganda (Multiple Regression). Untuk 30 mempermudah perhitungan dan untuk mengukur nilai elastisitas variabel tersebut secara langsung maka persamaan tersebut dilinierkan dengan cara melogaritmanaturalkan persamaan tersebut yang dapat ditulis sebagai berikut: Md = b0 Ytb1eb2it + b3πt + µ…………………………………………….(2) Untuk mempermudah perhitungan dan untuk mengukur nilai elastisitas variable tersebut secara langsung, maka persamaan tersebut dilinearkan dengan cara melogaritma naturalkan persamaan tersebut yang dapat ditulis sebagai berikut: ln Md = ln b0 + b1 ln Yt + b2 it + b3 πt + µ………………………….(3) Di mana : µ = error term ln b0 = konstanta ln Md = logaritma natural permintaan uang ln Yt = logaritma natural pendapatan it = tingkat suku bunga pada periode tertentu πt = tingkat inflasi pada periode tertentu b1,b2,b3 = koefisien 31 Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka dilakukan pengubahan frekuensi data dari rendah ke tinggi yaitu dengan menggunakan metode Cubic Spline Interpolation yaitu dengan mengubah data tahunan menjadi data kuartal. 3.2.2 Pengujian Hasil Estimasi Untuk mengetahui apakah hipotesis yang dikemukakan sebelumnya diterima atau ditolak maka dilakukan pengujian hipotesis uji statistik sebagai berikut : a. F-stat Pengujian ini bertujuan mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Jika F hitung sama dengan atau lebih besar daripada F tabel dikatakan variabel tersebut perpengaruh nyata. b. t-stat pengujian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel bebas. Jika t hitung sama dengan atau lebih besar daripada t tabel dikatakan signifikan. c. Uji R dan R2 Statistik uji R digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Sedangkan R2 untuk melihat 32 hubungan antara variabel bebas secara simultan terhadap variabel terikat. 3.3 Batasan Variabel Variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi dalam pengertian sebagai berikut : a. Permintaan Uang (Md) Jumlah uang yang ingin dipegang oleh masyarakat yang tercermin dari aggregat moneter M1 dan M2. b. Pendapatan (Y) (dalam Rp) Pendapatan nasional berdasarkan Pendapatan Domestik Regional Bruto harga konstan 2000. c. Tingkat Suku Bunga (i) (dalam persentase) Tingkat suku bunga deposito riil atau biaya peluang (opportunity cost) dari memgang uang. d. Laju inflasi (π) (dalam persentase) Tingkat inflasi atau meningkatnya persediaan uang akibat naiknya harga barang pada umumnya yang terjadi pada periode tertentu. 33 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Jumlah Uang Beredar 4.1.1 Perkembangan Jumlah Uang Beredar dalam Arti Sempit (M1) Perkembangan jumlah uang beredar (M1) di Sulawesi Selatan selama 2001-2010 memperlihatkan fenomena yang terus berkembang baik uang giral maupun uang kartal. Terutama untuk uang giral sendiri mengalami peningkatan yang cukup pesat karena didukung oleh investasi di daerah Sulawesi Selatan yang terus mengalami kenaikan sehingga intensitas transaksi ekonomipun berkembang cukup pesat. Tabel 4.1 Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Sulawesi Selatan Dalam Arti Sempit (M1), Tahun 2001-2010 (Dalam Milyar Rupiah) Tahun Uang Kartal (Rp) Uang Giral (Rp) M1 (Rp) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : BI SulSel 1.815 1.670 1.605 1.875 2.157 2.600 1.810 2.220 2.730 2.180 2.000 2.037 2.129 2.103 2.593 5.410 5.060 5.410 6.117 5.840 3.815 3.707 3.734 3978 4.750 8.010 6.870 7.630 8.847 8.020 34 Tahun 2001 merupakan awal meningkatnya permintaan uang terutama untuk uang kartal di masyarakat. Permintaan tersebut disebabkan oleh terjadinya pergeseran yang cukup signifikan dari struktur perekonomian Sulawesi Selatan, seperti tercermin pada meningkatnya peranan usaha kecil menengah (UKM) dan sektor informal dalam perekonomian. Hal tersebut karena sektor ini lebih banyak menggunakan pembiayaan sendiri dibandingkan dengan pembiayaan dari sektor perbankan. Di samping itu, masih tingginya ketidakpastian kondisi sosial politik pada tahun 2001 telah mendorong permintaan uang kartal oleh masyarakat untuk berjaga-jaga. Tingginya permintaan uang kartal ditambah dengan beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam operasional kebijakan moneter, seperti kurang efektifnya transmisi kebijakan moneter akibat masih belum pulihnya intermediasi perbankan, menyebabkan penyerapan uang primer menjadi sulit dilakukan secara optimal. Meskipun berbagai langkah penyerapan likuiditas telah dilakukan, baik melalui OPT (Operasi Pasar Terbuka) maupun kenaikan suku bunga intervensi rupiah, perkembangan uang primer seringkali berada diluar sasaran yang telah ditetapkan. Membaiknya perkembangan inflasi di Sulawesi Selatan pada tahun 2002 dari 12,55% menjadi 10,03% dan nilai tukar mendorong ekpektasi positif masyarakat terhadap penurunan inflasi dan kestabilan moneter yang kemudian mendorong mereka menurunkan permintaan uang kartal untuk berjaga-jaga. Disamping itu, menurunnya permintaan uang kartal untuk motif ini didorong oleh membaiknya kondisi sosial politik pada tahun 2002. Menurunnya pertumbuhan 35 uang kartal ini menjadi penyebab utama menurunnya pertumbuhan uang primer selama tahun 2002. Kondisi moneter Sulawesi Selatan pada tahun 2003 yang cenderung stabil juga tercermin dari tingkat inflasi yang mengalami penurunan dan kemudian diikuti oleh tingkat suku bunga yang juga menunjukkan hal yang sama. Permintaan uang (M1) yang juga mengalami peningkatan terutama pada uang giral yang mengalami kenaikan 9% dari tahun sebelumnya dimana keadaan investasi Sulawesi Selatan terutama dalam sektor perhotelan dan pertanian merupakan faktor utama yang mendorong kenaikan tersebut. Di tahun 2004 uang primer meningkat karena tingginya permintaan uang kartal dan kelebihan giro positif perbankan dari perkiraan semula. Tingginya permintaan uang kartal pada tahun 2004 terkait erat dengan kegiatan perekonomian dan beberapa kegiatan temporer seperti serangkaian kegiatan pemilu, puasa, hari raya, dan tutup tahun. Untuk memulihkan stabilitas moneter dan nilai tukar pada tahun 2005, Bank Indonesia menempuh langkah-langkah pengetatan moneter, terutama melalui penerapan kerangka kerja moneter ITF sejak juli 2005, dimana Bank Indonesia menggunakan BI Rate sebagai sinyal kebijakan moneter, pengetatan moneter tercermin dari kenaikan BI Rate dan Giro Wajib Minimum (GWM). Pengetatan tersebut mendorong peningkatan suku bunga simpanan sehingga pada tahun 2005, uang beredar dalam arti sempit (M1) mengalami 36 perkembangan positif. Rata-rata laju pertumbuhan tahunan M1 secara nominal tercatat mencapai 11,1 %. Pada tahun 2006 M1 tumbuh mencapai 23,54% jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan M1 dipengaruhi oleh peningkatan permintaan uang kartal. Selain didorong oleh ekonomi yang masih tumbuh positif, peningkatan kebutuhan uang kartal juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal berupa percepatan realisasi anggaran, penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), dan kenaikan gaji PNS. Selain itu, uang giral juga mengalami peningkatan menjadi Rp. 5,41 triliun pada kahir 2006 sejalan dengan peningkatan lokasi dana perimbangan. Di tahun 2007 kondisi moneter Sulawesi Selatan cenderung stabil yang ditunjukkan dengan menurunnya laju inflasi sehingga menurunkan permintaan uang kartal yang kemudian diikuti dengan turunnya tingkat suku bunga dari pihak perbankan. Kondisi di tahun 2008 berbanding terbalik dari tahun sebelumnya dimana permintaan uang kartal masyarakat Sulawesi Selatan melonjak naik dari Rp. 1, 81 triliun menjadi Rp. 2,22 triliun. Kondisi ini juga diikuti oleh kenaikan inflasi dan tingkat suku bunga hal ini disebabkan karena adanya peningkatan belanja pemerintah daerah dan kenaikan harga beberapa komoditas secara umum tentunya akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah uang beredar yang secara tidak langsung akan mendorong terjadinya peningkatan penghimpunan dana pihak 37 ketiga dan penyaluran kredit/pembiayaan perbankan juga faktor sosial politik (pilkada) Sulsel yang menjadi perhatian perbankan dalam beroperasi. Di tahun 2009 krisis global melanda beberapa negara, walaupun pengaruhnya terhadap Indonesia terutama Sulawesi Selatan tidak terlalu besar namun, menimbulkan efek terhadap permintaan uang kartal masyarakat Sulawesi Selatan yang ikut meningkat. Hal ini disebabkan oleh ekspekatasi masyarakat terhadap laju inflasi yang akan meningkat selain itu permintaan uang kartal juga disebabkan karena kondisi politik yang akan kembali dimulai di tahun berikutnya. Berbeda pada tahun-tahun sebelumnya ketika kondisi politik Selawesi Selatan sedang mengalami pergantian di tahun 2010 jumlah permintaan uang cenderung menurun begitu pula dengan tingkat suku bunga, hal ini disebabkan meningkatnya jumlah sektor informal perekonomian di Sulawesi Selatan, yang kemudian diikuti penurunan inflasi yang turun menjadi 7,3%. Gejala bertambahnya jumlah uang beredar M1 di atas berkaitan dengan fungsi uang sebagai alat tukar, yang semakin dibutuhkan pada saat perekonomian berkembang. Ekonomi yang bertumbuh dan berkembang mempunyai konsekuensi meningkatkan transaksi, yang membutuhkan uang guna mempermudah proses pembayaran. Lebih tingginya pertambahan uang giral dibanding uang kartal telah mengubah komposisi M1. Gejala makin besarnya porsi uang giral dalam M1 merupakan hal yang lumrah dalam perekonomian yang terus bertumbuh dan berkembang. 38 Pada saat perekonomian makin besar dan modern, maka transaksi ekonomi nilainya makin besar dan intensitasnya makin tinggi serta semakin melibatkan banyak pihak. Dengan demikian, penggunaan uang giral akan mempermudah dan mempercepat berlangsungnya transaksi karena pemanfaatan mekanisme pemindahbukuan. Selain itu, jauh lebih aman menggunakan uang giral apalagi untuk transaksi besar. 4.1.2 Perkembangan Jumlah Uang Beredar dalam Arti Luas (M2) Jumlah uang beredar dalam arti luas atau M2 adalah M1 ditambah uang kuasi, yang di Indonesia adalah deposito berjangka. Table 4.2 menunjukkan kecenderungan atau arah pergerakan jumlah uang beredar selama periode 20012010. Tabel 4.2 Perkembangan Jumlah Uang Beredar di Sulawesi Selatan Dalam Arti Luas (M2), Tahun 2001-2010 (Dalam Milyar Rupiah) Tahun M1 (Rp) Uang Kuasi (Rp) M2 (Rp) 2001 3.815 10.500 14.315 2002 3.707 10.669 14.376 2003 3.734 12.599 16.333 2004 3.978 14.198 18.176 2005 4.750 16.039 20.789 2006 8.010 16.630 24.640 2007 6.870 19.650 26.520 2008 7.630 22.365 29.995 2009 8.847 23.523 32.523 2010 8.020 22.750 30.750 Sumber : BI Sulsel 39 Dari table 4.2 dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan M2 jauh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan M1. Gejala pertambahan M2 yang lebih cepat dari M1 sangat dipengaruhi oleh cepatnya pertambahan uang kuasi. Dalam kurun waktu 10 tahun sejak tahun 2001 uang kuasi bertumbuh sekitar 115% dimana angka paling besar ditunjukkan pada tahun 2009 yaitu sebesar Rp. 22,750 triliun. Penyebab tingginya pertambahan M2 adalah tingginya pertambahan uang kuasi. Perkembangan M2 juga tidak terlepas dengan tingkat kemajuan perekonomian. Meningkatnya M2 secara langsung dan tidak langsung menunjukkan bahwa perekonomian telah semakin makmur. Sebab, masyarakat hanya dapat menyimpan uang dalam bentuk deposito berjangka jika tingkat penghasilannya sudah lebih besar dari tingkat konsumsi. Tujuan masyarakat menabung terutama adalah memperoleh pendapatan non gaji. Jika terus rajin menabung, maka dihari tua nanti mungkin saja pendapatan dari tabungan bisa menggantikan pendapatan gaji, yang justru sudah jauh berkurang karena sudah pensiun. Dengan kata lain, keputusan seseorang menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito umumnya merupakan keputusan yang rasional, karena berdasarkan pertimbangan untung rugi. Salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk menabung adalah apakah tingkat bunga tabungan lebih menarik ? Dengan kata lain, apakah tingkat bunga nominal masih lebih tinggi dari tingkat inflasi. Jika tingkat inflasi lebih tinggi dari tingkat bunga nominal, maka sebenarnya tingkat bunga riil akan 40 negatif. Artinya, uang yang disimpan di bank nilai atau daya belinya makin lama makin turun karena tingkat inflasi labih tinggi dari tingkat bunga tabungan. Pada akhir tahun 2007, M2 tercatat mencapai Rp. 26,520 triliun atau meningkat Rp. 1,880 triliun dibandingkan akhir tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama disumbang oleh perkembangan kuasi Rupiah berupa deposito dan simpanan valas, serta komponen M1 terutama dalam bentuk uang giral. Selama 2008 uang beredar mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Pada akhir Desember 2008, M2 tercatat mencapai Rp. 29,995 triliun atau meningkat Rp. 3,475 triliun dari kahir tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut terutama berasal dari meningkatnya uang kuasi (tabungan dan deposito). Dimana deposito merupakan komponen terbesar dari M2. Akhir Desember 2009, likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2.) mengalami pertumbuhan yang cukup besar yaitu sebesar Rp. 2,528 triliun. Pada tahun 2010 komponen utama M2., yaitu uang kuasi mengalami penurunan sebesar Rp. 1,773 triliun yang di sebabkan karena adanya gejolak politik yang terjadi di Sulawesi Selatan. 4.2 Perkembangan Uang Beredar dan Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) adalah salah satu indikator utama ekonomia makro yang sering digunakan dalam menganalisis kinerja ekonomi suatu wilayah. Indikator tersebut mencerminkan potensi pasar didalam suatu wilayah dan proses pembangunan ekonomi dari wilayah yang 41 bersangkutan, yang terutama sangat penting bagi investor-investor asing dan lembaga-lembaga keuangan. Secara makro, yang paling berpengaruh terhadap semakin besarnya permintaan uang adalah disebabkan telah berlangsungnya proses perubahan struktural yang sangat bearti dalam system perekonomian yaitu, semakin besarnya peranan sektor modern (termasuk pertambangan, industry berskala besar, perdagangan, transportasi dan keuangan). Perkembangan JUB dan pertumbuhan output perekonomian Sulawesi Selatan dapat dilihat pada table berikut : Tabel 4.3 Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan Output Perekonomian Sul-Sel Tahun 2001-2010 Tahun Jumlah Uang Beredar M1 (Rp) 2001 3.815 2002 3.707 2003 3.734 2004 3.978 2005 4.750 2006 8.010 2007 6.870 2008 7.630 2009 8.847 2010 8.020 Sumber : BI dan BPS Output (milyar rupiah) M2 (Rp) PDRB (Harga 2000) (Rp) 14.315 14.376 16.333 18.176 20.789 24.640 26.520 29.995 32.523 30.750 29,735,720 30,948,819 32,627,380 34,345,080 36,424,018 38,867,679 41,332,426 44,549,820 47,314,020 51,197,000 Ada kesamaan pola hubungan antara sektor riil dengan sektor moneter. Dalam arti ada hubungan searah antara penambahan jumlah uang beredar dengan pertumbuhan ekonomi. Di mana jika jumlah uang beredar bertambah, 42 perekonomian cenderung tumbuh. Tetapi tidak ada jaminan bahwa perekonomian yang pertumbuhan uang beredarnya makin tinggi akan menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula. Dari pandangan Klasik, pertumbuhan ekonomi searah dengan penambahan jumlah uang beredar. Hal ini dapat dipandang sebagai peningkatan uang sebagai alat transaksi (M1) memang semakin meningkat saat perekonomian tumbuh. Dari sudut pandang Keynesian, peningkatan jumlah uang beredar ini memungkinkan suntikan kredit yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selama tahun 2001-2003, Bank Indonesia sebagai pelaksana kebijakan moneter di Indonesia menempuh kebijakan uang ketat (tight money policy). Hal ini menyebabkan pertumbuhan jumlah uang berdar sangat terkendali, menjadi sekitar 10% pertahun. Ternyata pengetatan jumlah uang beredar tersebut tidak menurunkan pertumbuhan ekonomi. Terbukti pertumbuhan ekonomi selama periode 2001-2003 tetap stabil pada angka 4% per tahun. Pada tahun 2004 PDRB riil meningkat sebesar Rp. 1.672.700 milyar dari Rp. 32.627.380 milyar pada tahun 2003 menjadi Rp. 36.424.018 milyar atau tercatat sebesar 5, 25%. Hal ini sejalan dengan perbaikan pola ekspansi Konsumsi mengalami pertumbuhan yang relatif stabil, sementara kegiatan investasi meningkat tajam, setelah tiga tahun sebelumnya mengalami pertumbuhan yang rendah. Di tahun 2005 pertumbuhan ekonomia Sulawesi Selatan meningkat dari Rp. 34,345,080 milyar ke Rp. 36,424,018 milyar atau mengalami kenaikan sekitar 43 5,81%. Kenaikan tersebut diakibatkan oleh konsumsi yang masih tetap merupakan kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomia daerah Sulawesi Selatan yang kemudian diikuti oleh investasi dan ekspor yang juga turut ikut andil dalam penambahan pendapatan Sulawesi Selatan. Walaupun pada tahun 2005 BBM mengalami kenaikan namun, tidak mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan yang tergolong konsumtif karena sektor ekonomi yang lebih berbasis pada pertanian dibandingkan daerah lain yang berbasis industri. Kondisi ekonomi Sulawesi Selatan 2006 cenderung tumbuh melambat hal ini dituding karena ekspor yang mengalami kontraksi dimana penurunannya cukup signifikan yaitu sebesar 1,98% di bandingkan pada tahun 2005 yang sebesar 9,51%. Penyebab utama turunnya kinerja ekspor ini adalah menurunnya kinerja ekspor antar daerah hingga mengalami kontraksi. Kondisi penurunan ini tercermin dari kinerja bongkar muat barang di pelabuhan laut Soekarno Hatta yang pada triwulan laporan tercatat mengalami penurunan khususnya pada kegiatan antar daerah. Sementara itu kinerja konsumsi, investasi dan impor mengalami pertumbuhan yang meningkat sihingga dapat menolong pertambahan pendapatan Sulawesi Selatan. Di tahun 2007 PDRB Sulawesi Selatan tumbuh sebesar 7,41% yang diikuti oleh pertumbuhan ekspor yang tumbuh secara cukup signifikan yang disebabkan oleh kenaikan kinerja ekspor antar propinsi. Selain itu pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh tingginya pertumbuhan konsumsi masyarakat dan investasi seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat dan prospek ekonomi. 44 Meskipun sedikit melambat, ekspor tetap tumbuh tinggi ditengah ancaman perlambatan ekonomi dunia. Pada tahun 2008 di tengah hempasan gelombang krisis ekonomi global sekitar bulan September-Oktober perekonomian masih sanggup tumbuh sebesar 7,71%. Hal itu tidak terlepas dari tingginya pertumbuhan ekspor yang melonjak seiring dengan kenaikan harga komoditas pertanian dan perhotelan pada tahun 2008 yang pada akhir tahun mencapai Rp. 44,549,820 milyar. Perekonomian daerah Sulawesi Selatan pada triwulan IV-2009 diperkirakan mengalami peningkatan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding pada tahun sebelumnya 7,22%. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan konsumsi dan kinerja ekspor yang semakin membaik. Selain itu membaiknya tingkat harga beberapa komoditi di pasar Internasional juga ikut membantu laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan kearah yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan di tahun 2010 menunjukkan angka yang relatif stabil dan diperkirakan tumbuh sebesar 6,68% . Laju pertumbuhan tersebut masih didukung oleh pertumbuhan konsumsi dan kinerja ekspor yang makin membaik. Selain itu pertumbuhan ekonomi ini juga didukung oleh sektor-sektor yang mempunyai peranan yang cukup besar seperti sektor angkutan-komunikasi, sektor pertambangan penggali, dan sektor perdagangan hotel-restoran sehingga PDRB Sulawesi Selatan meningkat dari Rp. 47,314,020 milyar menjadi Rp. 51,197,000 milyar di akhir tahun 2010. 45 4.3 Perkembangan Tingkat Suku Bunga Deposito dan Inflasi di Sulawesi Selatan Perilaku permintaan uang ditentukan oleh tingkat suku bunga. Dengan kata lain, tingkat bunga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat terhadap penyesuaian portofolio keuangannya. Jika return tabungan relatif lebih menarik daripada return bentuk asset lainnya, maka kecenderungan menabung masyarakat semakin besar. Perkembangan tingkat inflasi dan suku bunga deposito perbankan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.4 Perkembangan Suku Bunga Deposito dan Tingkat Inflasi Tahun 2001-2010 (Dalam %) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : BI dan BPS Tingkat Inflasi 12,55 10,03 5,16 6,40 6,35 6,6 6,59 11,06 10,39 7,3 Suku Bunga Deposito Nominal Riil 16,07 3,52 12,81 2,78 6,62 1,46 6,43 0,03 11,98 5,63 8,96 2,36 7,19 0,6 10,75 -0,31 9,54 -0,85 7,65 0,35 Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga deposito menarik bagi masyarakat jika tingkat bunga nominal lebih besar dari tingkat inflasi atau tingkat bunga riil positif hal inilah salah satu faktor yang mendorong masyarakat menyimpan uangnya pada pihak perbankan. 46 Pada tahun 2001 tingkat suku bunga nominal jauh lebih tinggi dari pada tingkat inflasi sehingga, suku bunga riil deposito berada pada posisi yang tinggi yaitu 3,52%. Peningkatan suku bunga deposito ini menunjukkan perubahan minat masyarakat dari penanaman jangka pendek ke dalam penanaman jangka panjang. Tingginya minat masyarakat untuk menanamkan dananya pada deposito dipicu oleh tingginya suku bunga deposito yang ditawarkan oleh beberapa bank (mendekati suku bunga pinjaman). Sedangkan dari sisi inflasi berada pada posisi yang cukup tinggi, penyebabnya diperkirakan karena kondisi politik Sulawesi Selatan pada tahun 2001 berada dalam gejolak yang cukup besar. Pertumbuhan deposito rupiah di tahun 2002 lebih rendah 5,7% dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 16,2%. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan cenderung menurunnya suku bunga deposito selama 2002 dan semakin berkembangnya obligasi dan produk reksa dana yang menjanjikan tingkat return yang lebih tinggi dari deposito. Inflasi pada tahun 2002 mengalami penurunan yaitu dari 12,55% menjadi 10,03%. Penurunan ini disinyalir karena membaiknya kondisi sosial politik serta membaiknya kodisi moneter Sulawesi Selatan. Menurunnya deposito dalam rupiah di tahun 2003 mengakibatkan tingkat suku bunga mengalami penurunan yang kemudian berdampak pada kecenderungan masyarakat untuk menempatkan dananya pada simpanan berjangka waktu pendek. Selain itu, perkembangan positif di pasar modal juga mendorong masyarakat untuk memindahkan sebagian dananya kepada produk rekasadana dan obligasi. Dengan rendahnya tingkat suku bunga perbankan, 47 sebagian dana masyarakat beralih dari alternatif investasi konvensional seperti tabungan dan deposito ke pasar saham. Membaiknya kondisi perekonomian Sulawesi Selatan di tahun 2003 juga ditunjukkan oleh penurunan laju inflasi yaitu dari 10,03% di tahun 2002 ke angka 5,16% di tahun 2003. Keadaan yang seperti ini ditunjang oleh kondisi menter yang juga cukup membaik dimana BI mengeluarkan beberapa kebijakan serta peranan pemerintah daerah dalam hal peningkatan PDRB. Penurunan suku bunga deposito di tahun 2003 juga ditunjukkan di tahun 2004, dimana pada tahun tersebut suku bunga deposito berada pada posisi 0,03% yang penurunannya sangat jauh dibanding di tahun 2003 yang berada pada posisi 1,46%. Diduga penyebab penurunan ini karena bergesernya deposito kebentuk tabungan, giro, ataupun kartal sehingga tabungan rupiah mengalami peningkatan sedangkan deposito rupiah relatif konstan. Sedangkan untuk inflasi tercatat 6,40% di akhir tahun 2004, peningkatan laju inflasi ini dikarenakan adanya beberapa kegiatan temporer seperti serangkaian kegiatan pemilu, puasa, hari raya, dan tutup tahun. Pada tahun 2005 suku bunga deposito mengalami peningkatan yang cukup drasitis yaitu dari 0,03% menjadi 5,63%. Kenaiakan suku bunga ini merupakan respon dari naiknya suku bunga pinjaman dan kenaikan GWM. Dengan semakin kompetitifnya bunga deposito yang ditawarkan oleh perbankan terjadi pergeseran dari tabungan ke deposito. Dari pihak inflasi sendiri yang diperkirakan akan mengalami kenaikan akibat kebijakan pemerintah dalam hal 48 kenaikan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) justru mengalami penurunan dari 6,40% menjadi 6,35%. Diduga dari penurunan inflasi ini disebabkan karena membaiknya kondisi perekonomian yang diakibatkan karena membaiknya kinerja ekspor daerah Sulawesi Selatan. Tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 kondisi suku bunga deposito semakin menurun , dilihat dari tahun 2006 yang berada pada posisi 2,36% hingga di akhir tahun 2009 yang berada posisi -0,85%. Diduga penyebab dari kondisi ini karena tingkat inflasi yang juga terus mengalami kenaikan dan berada dalam posisi yang tidak menentu. Selain itu menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pihak perbankan akibat terjadi krisis di tahun 2008 menjadikan masyarakat lebih memilih menginvestasikan uang mereka dalam pasar saham pada periode itu mengalami kemajuan yang sangat baik. Pada tahun 2010 tingkat suku bunga mengelami perkembangan yang cukup baik, hal ini disebabkan karena kembalinya kepercayaan masyarakat kepada pihak perbankan pasca krisis. Sama halnya dengan tingkat suku bunga, laju inflasi juga mengalami kemajuan yang cukup baik diamana tahun sebelumnya berada pada posisi 10,39% di tahun 2009 tapi kemudian turun menjadi 7,3% di tahun 2010. Diduga penyebabnya karena menurunnya beberapa harga barang pokok yang dipengaruhi oleh kondisi iklim Sulawesi Selatan yang tidak menentu. 49 4.4 Pengaruh Pendapatan Regional, Tingkat Suku Bunga Deposito dan Laju Inflasi Terhadap Permintaan Uang Di Sulawesi Selatan 2001-2010 Untuk dapat membuktikan Hipotesis yang diajukan sebelumnya, bahwa pendapatan regional, tingkat suku bunga deposito dan laju inflasi mempengaruhi perilaku permintaan uang masyarakat di Sulawesi Selatan, maka hal tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) yang dilakukan untuk menghitung koefisien regresi berganda (Multiple Regression). Metode ini akan memperlihatkan hubungan antara variabel bebas (Independent Veriabel) yaitu pendapatan regional, tingkat suku bunga deposito, dan laju inflasi terhadap variable terikat (Dependent Variabel) yaitu permintaan uang (Md) di Sulawesi Selatan. Setelah dilakukan pengujian dengan paket komputer statistik Eviews 6, maka diperoleh hasil perhitungan regresi sebagai berikut : 50 Tabel 4.5 Hasil Estimasi Permintaan Uang Dependent Variable: Md Method: Least Squares Date: 03/21/12 Time: 08:55 Sample: 2001 2010 Included observations: 10 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. SUKU BUNGA INFLASI PENDAPATAN C -0.011546 0.001168 0.476012 15.98373 0.005415 0.004174 0.051334 0.169688 -2.132206 0.279810 9.272765 94.19479 0.0770 0.7890 0.0001 0.0000 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.977194 0.965790 0.034170 0.007006 22.12878 2.140450 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 17.45675 0.184745 -3.625756 -3.504722 85.69432 0.000026 4.4.1 Pengujian Hipotesis 4.4.2 Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variablevariabel independen dalam menjelaskan variable dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Dari hasil regresi yang telah dilakukan dengan menggunakan EViews 6 didapat pengaruh variabel pendapatan regional (PDRB), suku bunga deposito, dan inflasi terhadap jumlah permintaan uang di Sulawesi Selatan dengan perolehan nilai R2 sebesar 0.977194. 51 Hal ini berarti nilai koefisien determinasi (R-squared) dengan angka 0.977194 menunjukkan 97,7% permintaan uang dalam arti luas dipengaruhi oleh ketiga variable bebas (PDRB, tingkat suku bunga deposito, dan inflasi) dan sisanya 2.3% dipengaruhi oleh variable lain. Nilai koefisien determinasi setelah adanya penyesuaian (Adjusted Rsquared) sebesar 0.965790. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel PDRB, tingkat suku bunga deposito dan inflasi menjelaskan pengaruhnya terhadap variabel permintaan uang setelah adanya penyesuaian dengan derajat kebebasan, sebesar 96.57%. 4.4.3 Deteksi Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) Pengujian terhadap pengaruh semua variabel independen di dalam model dapat dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Dari regresi, pengaruh PDRB, tingkat suku bunga deposito dan inflasi terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan maka diperoleh F-tabel sebesar 2,364624 (α:5% / 0.05 dan df :10-3=7) sedangkan F-statistik / F-hitung sebesar 85.69432. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (F-hitung > F-tabel). 52 4.4.4 Deteksi Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t) Uji statistik t pada dasarnya dilakukan untuk menunjukkan seberapa besar pengaruh variabel independen secara individual dalam menjelaskan variasi variabel dependen. Dalam regresi pengaruh PDRB, tingkat suku bunga deposito dan inflasi terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan, dengan α:0.05 dan df = 7 (n-k =10-3), sehingga dapat diperoleh nilai t-tabel sebesar 4,737414. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang di Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan pendapatan regional atau PDRB dan tingkat suku bunga deposito mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010. Dimana probabilitas dari inflasi sebesar 0.7890. sedangkan suku bunga dan tingkat pendapatan regional (PDRB) di mana probabilitasnya menunjukkan angka yang signifkan yaitu 0.0770 dan 0.0001. Berdasarkan tabel 4.5 juga dapat dilihat nilai coefisien untuk pendapatan regional (PDRB) yaitu menunjukkan angka 0.476012 yang artinya apa bila pendapatan regional (PDRB) Sulawesi Selatan mengalami peningkatan sebesar 1% maka permintaan akan uang juga akan mengalami kenaikan sebesar 0.476012%. Sama halnya dengan tingkat infasi yang mempunyai nilai koefisien sebesar 0.001168, artinya setiap inflasi mengalami kenaikan sebesar 1% maka permintaan uang juga akan mengalami kenaikan sebesar 0.001168%. Berbeda dengan laju inflasi dan pendapatan regional (PDRB), tingkat suku bunga deposito mempunyai sifat yang berbanding terbalik dimana nilai koefisiennya berada pada 53 angka -0.011546 yang mempunyai arti ketika suku bunga mengalami kenaikan sebesar 1% maka permintaan uang akan menurun sebesar 0.011546%. Kondisi ini didukung oleh pendapat Keynes yang mengatakan bahwa permintaan uang oleh masyarakat sangat didukung oleh pendapatan nasional dan tingkat bunga. Dimana ketika pendapatan perkapita akan mempengaruhi tingkat pendapatan nasional dan tingakat konsumsi yang menjadikan permintaan uang juga akan semakin meningkat. Berbeda halnya dengan tingkat suku bunga yang ditekankan pada permintaan uang untuk tujuan spekulasi. Ketika masyarakat melakukan spekulasi terhadap suku bunga yang akan naik, maka permintaan uang akan turun, karena masyarakat akan lebih memilih untuk menyimpan uangnya di pihak perbankan untuk mendapatkan pendapatan tambahan. Sedangkan untuk inflasi sendiri di tegaskan dalam Teori Kuantitas Uang yang berbunyi “jumlah uang yang diminta ditentukan oleh beberapa faktor antara lain tingkat harga ratarata dalam perekonomian, jumlah uang yang diminta masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia, semakin tinggi tingkat harga semakin besar jumalah uang yang akan diminta”. 4.5 Interpretasi Hasil Dalam regresi pengaruh pendapatan regional, tingkat suku bunga deposito dan laju inflasi terhadap perimintaan uang di Sulawesi Selatan Periode 2001-2010 dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), diperoleh nilai seperti pada Tabel 4.5. 54 1. Pendapatan Regional (PDRB) Dari hasil regresi di dapat hasil bahwa pendapatan regional (PDRB) berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010 yang artinya variabel pendapatan regional (PDRB) mempunyai pengaruh terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan. Berdasarkan teori yang ada, Jumlah Uang Beredar (JUB) sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan begitu pula sebaliknya hal ini disebabkan karena peningkatan pendapatan dapat mendorong peningkatan terhadap permintaan uang. Selain itu, Pendekatan teori klasik oleh para ekonom beraliran klasik juga beranggapan bahwa permintaan uang murni didasarkan pada kebutuhan untuk melakukan transaksi. Dari teori ini melahirkan kesimpulan bahwa permintaan uang untuk kebutuhan transaksi sangat tergantung pada tingkat pendapatan. 2. Tingkat Suku Bunga Deposito Pada hakikatnya tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan uang. Hal ini seperti yang di katakan J.M. Keynes yang berpendapat bahwa permintaan uang untuk tujuan spekulasi ditentukan oleh suku bunga. Apabila suku bunga tinggi, permintaan uang untuk spekulasi rendah karena uang telah digunakan untuk membeli surat-surat barharga. Sebaliknya, jika tingkat bunga rendah, permintaan uang untuk spekulasi tinggi karena masyarakat tidak bersedia melakukan pembelian surat-surat berharga dan akan memegang uang. 55 Seperti yang di tunjukkan tabel 4.5 hasil regresi untuk suku bunga menunjukkan hasil yang negatif dan signifikan terhadap permintaan uang, yang artinya selama periode 2001-2010 suku bunga mempunyai pengaruh terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan tergolong masyarakat yang spekulan. Mereka melakukakan spekulasi terhadap kenaikan suku bunga deposito untuk mendapatkan keuntungan atau menambah pendapatan. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa, ketika tingkat suku bunga naik, masyarakat Sulawesi Selatan mengurangi jumlah permintaan uangnya dan lebih memilih melakukan saving untuk mendapatkan bunga. Sedangakan ketika suku bunga mengalami penurunan masyarakat meningkatkan permintaan uangnya untuk digunakan membeli investasi dan surat-surat berharga. 3. Laju Inflasi Berdasarkan hasil regresi yang di tunjukkan pada tabel 4.5 laju inflasi mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010. Berbeda dengan teori yang telah dipaparkan oleh Milton Friedmen tentang inflasi, dia berpendapat bahwa kecepatan dari permintaan uang sangat tergantung oleh suku bunga dan ekspektasi tingkat inflasi yang merupakan fenomena moneter yang cukup menonjol (Kinantiarin : Okteber 2010 Perbedaan kondisi dan teori ini disebabkan karena pola kunsumsi masyarakat Sulawesi Selatan pada periode tersebut tidak termasuk pola yang 56 konsumtif. Mereka mampu melakukan kontrol terhadap tingkat konsumsi mereka ketika inflasi mengalami kenaikan. Seperti halnya pada tahun 2008 ketikan inlasi mengalami kenaikan yaitu dari 6,59% di 2007 menjadi 11,06 di 2008, tingkat konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan justru menujukkan hasil yang sebaliknya yaitu 3,94% ditahun 2007 turun menjadi 2,23% ditahun 2008, yang artinya masyarakat Sulawesi Selatan tergolang masyarakat yang rasional diamana pendapatan yang mereka terima tidak hanya digunakan untuk konsumsi tapi juga untuk pembalian investasi, surat-surat berharga dan untuk berjaga-jaga. 57 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pendapatan Regional mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan periode 2001-2010. Sesuai dengan yang dikatakan oleh para kaum klasik bahwa orang melakukan permintaan uang murni hanya untuk melakukan transaksi, sedangan untuk melakukan transaksi sangat tergantung pada pendapatan. 2. Tingkat suku bunga deposito berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan 2001-2010. Yang artinya ketika tingkat suku bunga deposito mengalami kenaikan, masyarakat akan mengurangi permintaan uangnya dan memilih untuk melakukan saving demi memperoleh pendapatan tambahan sedangkan ketika suku bunga mengalami penurunan masyarakat akan meningkatkan permintaan uangnya untuk melakukan investasi dan pembelian surat berharga. 3. Laju inflasi mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap permintaan uang di Sulawesi Selatan 2001-2010. Penyebab ke-tidaksignifikan-an tersebut disebabkan karena masyarakat Sulawesi Selatan tidak tergolong masyarakat yang rasional, dimana mereka mampu 58 mengontrol tingkat konsumsi mereka walaupun terjadi inflasi. Selain itu, pendapatan yang diterima oleh masyarakat Sulawesi Selatan tidak hanya digunakan untuk konsumsi, melainkan untuk investasi dan berjaga-jaga. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan sebelumnya, maka saran penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengingat pentingnya keberadaan uang kartal dalam perekonomian, maka penyediaan jumlah uang kartal dimasyarakat harus sesuai dengan jumlah yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, Bank Indonesia perlu melakukan proyeksi uang kartal secara tepat di masyarakat yang akan memudahkan BI dalam melakukan perencanaan pencetakan dan distribusi uang kartal rupiah di Indonesia khususnya Sulawesi Selatan 2. Perlunya otoritis moneter menjaga stabilitas uang guna meningkatkan daya beli masyarakat sehingga dapat mengurangi permintaan terhadap uang kartal dan meningkatkan permintaan terhadap uang kuasi. 3. Bagi yang juga ingin melakukan penelitian mengenai perilaku permintaan uang di Sulawesi Selatan sebaiknya menambahkan beberapa variabel misalnya tingkat konsumsi dan nilai tukar (kurs). 59 DAFTAR PUSTAKA Boediono. 1980. Ekonomi Moneter. Yogyakarta. BPFE-UGM. Boediono. 1988. Ekonomi Makro. Yogyakarta. BPFE-UGM. Erwin Ferdian Adyatma . 2011. Permintaan Akan uang. Jakarta. Paper. Fattah, Sanusi. 2008. Pengenalan Eviews ( Seri Pendalaman Ekonometrika Dasar dan Lanjutan ). Makassar. Laboratorium Jurusan Ilmu Ekonomi FEUH. Indrawati. Sri Mulyani. 1988. Teori Moneter. Jakarta. Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesi. Kinantiarin. 2010. Teori Permintaan Uang. Malang. Blogspot. Mankiw, Gregori. 2000. Teori Makro Ekonomi. Jakarta. Penertbit Erlangga. Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja. 2004. Uang, Perbankan, Dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Jakarta. Penerbitan. Nopirin. 1987. Ekonomi Moneter. Yogyakarta. BPFE-UGM. Oktavia, Putu. 2008. Hubungan Antara Inflasi dan Jumlah Uang Beredar. Paper. Quantitative Micro Softwere, LLC. 2007. Eviews 6 User’s Guide I. United States of Amerika. 60 Risma Flora Iriani Sirait. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Uang di Sumatra Utara. Skripsi. Setyawan, Aris Budi. 2005. Kausalitas Jumlah Uang Beredar dan Inflasi (Suatu Kajian Ulang). Proceeding, Seminar Nasional PESAT 2005. Soediyono, Reksoprayitno. 2000. Ekonomi Makro: Analisis IS-LM dan Permintaan-Penawaran Aggregatif. Yogyakarta. BPFE. ---------------------------------. 2000. Pengantar Ekonomi Makro. Yogyakarta. BPFE. Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Sulistio, Heri. 2003. Permintaan Uang Jangka Menengah dan Jangka Pendek Di Indonesia Studi Kasus (1990-2002). Yogyakarta. Pangsa. Wikipedia. 2011. Inflasi. Situs. -------------. 2011. Pertumbuhan Ekonomi. Situs. 61 LAMPIRAN Data Jumlah Uang Beredar di Sulawesi Selatan 2001-2010 (dalam milyar rupiah) M1 Uang Kuasi M2 2.000 3.815 10.500 14.315 Logaritma Natural (ln) 2.661308 1.670 2.037 3.707 10.669 14.376 2.665595 2003 1.605 2.129 3.734 12.599 16.333 2.793188 2004 1.875 2.103 3978 14.198 18.176 2.900102 2005 2.157 2.593 4.750 16.039 20.789 3.034424 2006 2.600 5.410 8.010 16.630 24.640 3.204371 2007 1.810 5.060 6.870 19.650 26.520 3.277899 2008 2.220 5.410 7.630 22.365 29.995 3.401031 2009 2.730 6.117 8.847 23.523 32.523 3.481948 2010 2.180 5.840 8.020 22.750 30.750 3.42589 Tahun Uang Kartal Uang Giral 2001 1.815 2002 (Sumber : Bank Indonesia) Data PDRB Sulawesi Selatan (dalam milyar rupiah) Tahun PDRB (Harga 2000) (Rp) Logaritma Natural (ln) 2001 29,735,720 17.20786 2002 30,948,819 17.24785 2003 32,627,380 17.30066 2004 34,345,080 17.35197 2005 36,424,018 17.41074 2006 38,867,679 17.47567 2007 41,332,426 17.53716 2008 44,549,820 17.61212 2009 47,314,020 17.67232 2010 51,197,000 17.75119 Sumber : Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan 62 Data Suku Bunga Deposito dan Inflasi (dalam bentuk persentase %) Tahun Tingkat Inflasi 2001 12,55 2002 10,03 2003 5,16 2004 6,40 2005 6,35 2006 6,6 2007 6,59 2008 11,06 2009 10,39 2010 7,3 Sumber : BPS dan BI Suku Bunga Deposito Nominal Riil 16,07 3,52 12,81 2,78 6,62 1,46 6,43 0,03 11,98 5,63 8,96 2,36 7,19 0,6 10,75 -0,31 9,54 -0,85 7,65 0,35 63 Hasil estimasi Permintaan Uang di Sul-Sel melalui Eviews 6 Dependent Variable: Md Method: Least Squares Date: 03/21/12 Time: 08:55 Sample: 2001 2010 Included observations: 10 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. SUKU BUNGA INFLASI PENDAPATAN C -0.011546 0.001168 0.476012 15.98373 0.005415 0.004174 0.051334 0.169688 -2.132206 0.279810 9.272765 94.19479 0.0770 0.7890 0.0001 0.0000 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.977194 0.965790 0.034170 0.007006 22.12878 2.140450 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 17.45675 0.184745 -3.625756 -3.504722 85.69432 0.000026 64