suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak dalam

advertisement
Suplementasi logam
dan Pertanian
mineral untuk
ternak ...
Pengembangan
Inovasi
4(3), kesehatan
2011: 205-217
205
SUPLEMENTASI LOGAM DAN MINERAL UNTUK
KESEHATAN TERNAK DALAM MENDUKUNG
PROGRAM SWASEMBADA DAGING1)
Darmono
Balai Besar Penelitian Veteriner
Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16111
Telp. (0251) 8331048, Faks. (0251) 8334456
e-mail: [email protected]
Diajukan: 11 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011
ABSTRAK
Mineral makro (Ca, Mg, Na, dan K) maupun mikro (Cu, Zn, Fe) sangat dibutuhkan ternak untuk
kesehatan dan daya produksinya. Pakan yang cukup mineral menyebabkan ternak menjadi sehat dan
menghasilkan produk yang penuh gizi untuk manusia. Pengadaan daging dan produk ternak lain di
dalam negeri belum mencukupi kebutuhan sehingga dilakukan impor daging sapi atau sapi bakalan. Hal
tersebut terjadi karena sistem pemeliharaan ternak masih bersifat tradisional. Umumnya petani
memelihara ternak secara sederhana dengan memberi pakan berupa rumput dari lapangan. Anjuran
untuk memberikan mineral suplemen pada ternak belum dilakukan. Di lain pihak, logam toksik seperti
Pb, Cd dan As, sering mencemari rumput pakan, terutama di kawasan industri. Bila rumput tersebut
diberikan pada ternak dapat menyebabkan adanya residu logam toksik pada produk ternak. Oleh karena
itu, usaha peternakan perlu direlokasi ke tempat yang bebas cemaran. Mengingat pentingnya peran
mineral bagi kesehatan ternak maka upaya meningkatkan produksi ternak secara aman dan
berkesinambungan perlu mendapat perhatian.
Kata kunci: Mineral, logam, produksi ternak, kesehatan ternak
ABSTRACT
Metal and Mineral Supplementation for Animal Health in Supporting Beef Self-Sufficiency
Macrominerals (Ca, Mg, Na, K) and microminerals (Cu, Zn, Fe) are essential for animals for health,
production, and reproduction. Feed containing sufficient minerals is needed for animals to produce
high quality products for human consumption. Production of meat and other animal products in
Indonesia are not sufficient to fulfill the domestic demand, so that some of them are imported. This is
because almost animal farm management in the villages depends on the pasture grass for feed. As a
consequence mineral supplementation was strongly recommended to increase animal production. On
the other hand, pastures grown on the surrounding industrial area were often contaminated by toxic
elements such as Pb, Cd, and As, which caused metal residues in animal products. In this case,
relocation of animal industries was needed to avoid their negative impacts on animals. Considering
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 04 Juni 2009 di
Bogor.
206
Darmono
the important role of minerals for animal health, therefore, increasing animal production safely and
continuously is need to be considered.
Keywords: Elements, metal, animal production, animal health
PENDAHULUAN
Pengembangan peternakan di masa mendatang bertujuan untuk mewujudkan peternakan yang modern, efisien, mandiri,
mampu bersaing, dan berkelanjutan sekaligus dapat memberdayakan ekonomi
rakyat, terutama di perdesaan. Pembangunan peternakan diarahkan agar produk
ternak dalam negeri mampu bersaing dengan produk ternak impor dalam rangka
memantapkan ketahanan pangan nasional.
Salah satu dampak keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat. Perbaikan tingkat pendapatan telah mengubah pola konsumsi
masyarakat dari karbohidrat ke protein
hewani, khususnya hasil ternak seperti
daging, susu, dan telur sebagai sumber
protein berkualitas tinggi. Peningkatan
konsumsi protein asal ternak secara tidak
langsung dapat memperbaiki pertumbuhan, perkembangan otak, kesehatan
tubuh, dan kecerdasan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Seiring dengan peningkatan
konsumsi protein hewani maka produksi
bahan pangan asal ternak perlu terus ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan
masyarakat.
Pertumbuhan dan kesehatan ternak
memegang peran penting dalam mewujudkan swasembada daging. Namun, dalam
beberapa kasus, aktivitas industri menyebabkan terjadinya kontaminasi limbah
berbahaya pada lahan pertanian, yang
secara tidak langsung berpengaruh terhadap ternak. Bahan pangan hewani
sangat rentan terhadap kontaminasi, baik
kontaminasi mikrobiologis maupun bahan
kimia beracun, termasuk logam berat. Bahan makanan yang tercemar logam toksik,
seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), dan
kadmium (Cd) menjadi tidak aman bagi
konsumen karena akan mengganggu proses fisiologis dalam tubuh. Logam esensial
seperti besi (Fe), tembaga (Cu), dan seng
(Zn) juga dapat berpengaruh buruk bagi
tubuh bila kandungannya dalam bahan
makanan berlebihan.
Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi pemanfaatan
logam dan mineral serta pencegahan toksisitas pada ternak untuk meningkatkan
kesehatan dan produktivitas ternak. Misalnya pemberian mineral blok untuk meningkatkan bobot badan dan logam esensial
untuk mencegah toksisitas logam berbahaya. Hasil penelitian tersebut bila diaplikasikan dapat meningkatkan kualitas kesehatan ternak dan produk ternak, seperti
daging, susu, dan telur.
Berkaitan dengan masalah tersebut
perlu upaya suplementasi logam dan
mineral pada ternak untuk meningkatkan
produktivitas. Upaya ini diharapkan mampu mendorong penyediaan pangan asal
ternak, terutama daging yang selama ini
sebagian masih diimpor dalam rangka
mencapai swasembada daging.
PERAN LOGAM DAN MINERAL
BAGI KESEHATAN TERNAK
Mineral sangat penting bagi proses fisiologis hewan maupun manusia, terutama
mineral esensial makro seperti kalsium (Ca),
Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...
magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K),
fosfor (P), dan beberapa mineral lain untuk
menyusun struktur tubuh seperti tulang
dan gigi. Unsur mikro seperti Fe, Cu, Zn,
mangan (Mn), dan iodium (I) berfungsi
dalam aktivitas sistem enzim dan hormon
dalam tubuh. Mineral makro seperti Ca,
Mg, dan P sangat diperlukan untuk membangun tubuh dan pertumbuhan ternak.
Mineral mikro esensial seperti Fe, Cu, I,
dan Zn sangat berguna dalam pembentukan darah dan sistem hormon serta
proses pertumbuhan ternak. Namun, perlu
diperhatikan bahwa mineral dapat bersifat
toksik bila dikonsumsi berlebihan.
Fe sangat berguna untuk pembentukan
sel darah dan proses enzimatis dalam tubuh. Dari total kandungan Fe dalam tubuh,
sebagian digunakan untuk proses metabolisme dan sebagian disimpan sebagai
cadangan. Fe yang digunakan dalam proses metabolisme enzimatis dalam hemoglobin sekitar 55% dan dalam mioglobin
15% (King 2006). Sebagian Fe dalam tubuh
ternak terikat erat dengan protein, yang
mengangkut Fe ke dalam jaringan dan
menyimpannya dalam bentuk ion Fe(III)
yang stabil dan tidak terhidroksidasi.
Bentuk Fe transferin yang berada dalam
protein darah mempunyai dua ikatan kuat
dalam bentuk Fe(III), yang terdiri atas dua
kelompok tirosinat dan fenolat. Bila tempat
ikatan tersebut mengikat Fe(II), ikatannya
menjadi lemah. Transferin merupakan
kelompok glikoprotein yang termasuk
laktoferin (dalam air susu), konalbumin
atau ovotransferin (dalam putih telur), dan
transferin serum. Semua protein tersebut
mengikat Fe (Brown et al. 2004).
Cu berperan sangat penting dalam
proses metabolisme energi dalam sel serta
sistem transmisi impuls saraf, sistem kardiovaskuler, dan sistem kekebalan. Cu juga
berperan dalam proses metabolisme es-
207
trogen, kesuburan ternak betina, dan kehamilan.
Mineral esensial lain seperti Zn berperan dalam sistem enzim sebagai metaloenzim. Lebih dari 100 jenis metaloenzim
mengikat Zn, termasuk enzim nicotinamide
adenine dinucleotide dehydrogenase
(NADH), RNA dan DNA polymerase,
begitu pula enzim alkalin fosfatase, superoksida dismutase, dan karbon anhidrase
(Hougland et al. 2005).
Beberapa mineral nonesensial seperti
Cd, Pb, dan Hg termasuk logam toksik
yang menimbulkan efek negatif pada ternak, walaupun dikonsumsi dalam jumlah
sedikit. Mineral tersebut dapat menghambat pertumbuhan, produktivitas, dan reproduktivitas ternak, bahkan menyebabkan kematian. Sapi dan domba yang
mengonsumsi rumput yang mengandung
Pb 5 mg/kg berat kering rumput/hari tidak
menunjukkan gejala apapun. Namun,
domba betina bunting yang mengonsumsi
rumput yang mengandung Pb 30 mg/kg
berat kering rumput/hari dalam jangka
waktu lama akan menunjukkan gejala
keracunan, terutama dalam kondisi kelaparan (Adamson 1980). Kasus keracunan
Pb pada sapi banyak dilaporkan, terutama
sapi yang digembalakan di padang rumput
bekas pertambangan. Keracunan Pb juga
terjadi pada anak sapi yang sedang menyusu dan sapi dewasa. Selanjutnya, anak
sapi dan sapi dewasa tersebut mati mendadak (Wardrope dan Graham 1982)
Rumput pakan yang terkontaminasi Pb
dari udara sering menyebabkan keracunan
kronis. Namun, padang rumput yang terkontaminasi limbah peleburan logam maupun limbah batu baterai (aki) sering menyebabkan toksisitas akut. Pada ternak
ruminansia, gejala khas keracunan Pb ada
dua bentuk, yaitu: (1) gastroenteritis, iritasi
saluran pencernaan karena garam Pb; dan
208
Darmono
(2) anemia, akibat Pb berikatan dengan
eritrosit sehingga sel darah mudah pecah
(Baldwin dan Marshal 1999). Bila diperiksa,
sel darah tersebut berbentuk stipel yang
berwana kebiruan (sel stipel). Pada pemeriksaan radiologi terlihat adanya pemadatan pada persambungan tulang lutut
Logam berbahaya seperti Pb, Cd, dan
kromium (Cr) dapat mencemari bahan
pangan asal ternak. Kandungan Pb yang
tinggi dalam bahan pangan dapat menghambat sistem kekebalan pada konsumen
(Darmono 2007). Bahan pangan yang
berasal dari krupuk kulit mengandung
Pb dan Cr cukup tinggi, melebihi batas
maksimum yang direkomendasikan, yaitu 2 mg Pb/kg dan 4 mg Cr/kg bahan
(Darmono et al. 2008).
STATUS LOGAM DAN MINERAL
PADA TERNAK DI BEBERAPA
LOKASI DI INDONESIA
Penyakit Defisiensi Mineral
Kasus penyakit defisiensi mineral esensial
telah dilaporkan baik di Jawa (Sutrisno et
al. 1983) maupun di luar Jawa (Darmono
dan Stoltz 1988; Darmono dan Bahri 1989).
Kasus defisiensi mineral juga dilaporkan
di beberapa negara Afrika (Damir et al.
1988) dan Eropa (Sas 1989). Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing,
dan domba yang hampir 100% pakannya
berasal dari tanaman pakan atau rumput
akan mengalami defisiensi mineral, yang
dapat menurunkan bobot badan, produksi,
dan reproduksi ternak.
Dalam beberapa kasus, ternak sapi di
beberapa daerah transmigrasi Kalimantan,
terutama di daerah pesisir, menunjukkan
gejala lambat berkembang, pertumbuhan
ternak sangat buruk, ternak menjadi kurus,
mandul, dan banyak yang mati. Setelah
diperiksa, darah ternak mengandung Cu
dan Zn di bawah normal (<0,5 µg Cu/ml
dan <0,4 µg Zn/ml) pada 47% populasi
ternak tersebut (Darmono dan Bahri 1989).
Kandungan mineral Ca di bawah normal
(<8 mg/100 ml) ditemukan pada 41,7%
ternak dan rasio Na/K <1 pada saliva
terdapat pada 59% ternak (Darmono dan
Bahri 1990b).
Ternak yang berada di daerah pedalaman yang agak jauh dari pantai menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu ternak
sapi yang dikirim dari Jawa meningkat
perkembangbiakannya. Bila kedua daerah
tersebut dibandingkan, yaitu daerah
pesisir dan pedalaman, ternyata status
mineralnya sangat berbeda sehingga sapi
daerah pesisir mengalami defisiensi mineral (Darmono dan Bahri 1990a). Daerah
pesisir pantai yang ternak sapinya
mengalami defisiensi mineral, tanahnya
berpasir sehingga tanaman yang tumbuh
di atasnya tidak dapat menyerap unsur
mineral karena mineral langsung tercuci ke
lapisan tanah yang lebih dalam. Akibatnya,
tanaman yang tumbuh di atasnya miskin
mineral.
Penelitian pada ternak domba di Cirebon menunjukkan bahwa pada musim
kemarau, 35% ternak memiliki kandungan
Ca dalam darah di bawah normal (<8 mg/
dl), 30% kekurangan P (<4 mg/dl), 4%
kekurangan Mg (1,8 mg/dl), dan 39%
defisiensi Cu (<0,05 mg/dl). Pada pengambilan serum di pertengahan musim hujan,
domba yang mengalami defisiensi mineral
P dan Mg menurun sampai 0%. Hal tersebut menunjukkan bahwa defisiensi mineral pada domba di Cirebon banyak terjadi pada musim kemarau (Darmono 1989a).
Kandungan mineral iodium dalam
tanah di lereng Merapi dan Gunung Kidul,
Yogyakarta, dilaporkan memengaruhi
209
Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...
kandungan hormon triiodo tironin pada
kambing di daerah tersebut, yang lebih
rendah dibandingkan dengan daerah lain
seperti Kulonprogo (Bahri dan Suwarsono
1986). Akibatnya, pertumbuhan kambing
menjadi terhambat.
Toksisitas Logam dan Mineral
Pb, Cd, dan Hg adalah logam nonesensial.
Keberadaan logam tersebut dalam jaringan
ternak terutama disebabkan oleh cemaran
pada pakan maupun air minum sehingga
menimbulkan residu dalam jaringan ternak.
Rumput pakan ternak yang terkontaminasi
Pb dalam kadar cukup tinggi menyebabkan
keracunan akut, dan anak sapi lebih peka
daripada sapi dewasa (Fahy 1987).
Emisi logam Pb, Cd, dan Hg di udara
berasal dari industri yang menggunakan
suhu tinggi, seperti pabrik besi, pembakaran sampah, pabrik semen, dan pabrik
peleburan logam tersebut. Emisi logam berbahaya ke udara diperkirakan mencapai
puluhan ton tiap tahun. Emisi logam berbahaya tersebut terus bertambah setiap
tahun, baik kualitas maupun kuantitasnya. Emisi logam Pb dari buangan industri
besi dan baja mencapai 14.600 t/tahun,
sedangkan pabrik semen mengeluarkan
Pb 750 t/tahun. Secara keseluruhan, buangan Pb dari industri peleburan logam,
pembakaran sampah, pabrik semen, dan
industri lainnya mencapai 18.150 t/tahun.
Emisi Cd ke udara dari industri tersebut
mencapai 180 t/tahun dan Hg 40 t/tahun
(Tabel 1, Pacyna 1987). Tingkat pencemaran akan terus meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah industri.
Pencemaran logam berbahaya pada
rumput pakan ternak telah banyak dilaporkan. Tingkat pencemarannya bergantung pada arah angin dan jarak pengambilan sampel dari sumber bahan pencemar
(Adamson 1980; Darmono 1995). Rumput
yang tumbuh di sekitar pabrik semen di
Kabupaten Bogor dilaporkan mengandung
Pb dan Zn cukup tinggi, yaitu masingmasing 10,5 mg dan 184,2 mg/kg berat
kering rumput. Kandungan logam yang
tinggi terutama ditemukan pada rumput
yang tumbuh pada jarak 1 km dari pabrik.
Kandungan logam dalam rumput yang
tumbuh pada lokasi yang makin jauh dari
pabrik makin menurun, yaitu 6,18 mg Pb/
kg dan 79,5 mg Zn/kg (Darmono 1995).
Kemungkinan debu yang terbuang ke
udara makin sedikit sehingga pencemaran
udara juga makin tipis (Tabel 2). Namun,
Tabel 1. Perkiraan emisi logam berbahaya di udara.
Emisi (t/tahun)
Industri
Pabrik besi, baja, dan fero aloi
Pembakaran sampah
Produksi semen
Penggunaan logam yang bersangkutan1)
Total
1)
Di luar pestisida
Sumber: Pacyna (1987).
Cd
Pb
Hg
60
85
15
20
14.600
800
750
2.000
20
20
180
18.150
40
210
Darmono
Tabel 2. Kandungan rata-rata logam berat dalam rumput menurut jarak
pengambilan dari pabrik semen.
Jarak
(km)
1
2
3
Kandungan logam berat (mg/kg berat kering)
Pb
Cd
Cu
Zn
10,50
6,18
8,83
0,43
0,34
0,35
6,16
5,49
6,31
184,2
79,5
144,0
Sumber: Darmono (1995).
Adamson (1980) menyatakan, kandungan
Pb dalam rumput di daerah industri
peleburan logam, selain ditentukan jarak
dari pabrik, juga sangat bergantung pada
arah angin.
Logam Hg banyak digunakan sebagai
bahan insektisida dan fungisida, sehingga
keracunan logam tersebut pada ternak
sering dikaitkan dengan pengobatan penyakit kulit akibat infeksi jamur maupun
kutu. Hal ini karena sapi yang menderita
penyakit kulit saling menjilat obat yang
dioleskan (Irving dan Butler 1975).
SUPLEMENTASI LOGAM DAN
MINERAL UNTUK MENINGKATKAN
KESEHATAN TERNAK
Secara alamiah, mineral esensial makro Ca,
P, Mg, dan Na serta mineral mikro Cu, Zn,
Mn, Co, dan I selalu ada pada tanaman,
termasuk rumput pakan ternak. Namun,
kecukupan kandungan mineral tersebut
bagi kebutuhan fisiologis ternak bergantung pada beberapa faktor, antara lain
sistem pemeliharaan, jenis tanah, dan
keasaman (pH) tanah.
Petani banyak yang memelihara ternak
sapi atau kambing dengan dilepas di
padang penggembalaan pada pagi hari dan
dikandangkan pada sore hari. Sistem pe-
meliharaan seperti ini menyebabkan ketersediaan pakan sangat bergantung pada
pakan yang ada di padang penggembalaan.
Begitu pula kualitas nutrisi pakan sangat
bergantung pada rumput dan hijauan yang
tumbuh di padang penggembalaan dan
jenis tanah di lokasi tersebut. Bila tanah
miskin unsur mineral maka kandungan
mineral pada hijauan yang tumbuh di
atasnya juga rendah. Tanah berpasir dan
dieksploitasi secara terus-menerus akan
menurun kandungan mineralnya (Soepardi
1982). Keasaman tanah (pH) juga memengaruhi kesuburan dan kandungan mineral
dalam hijauan pakan. Tanah alkalis dengan
pH 8 menyebabkan tanaman mengalami
defisiensi Fe, Mn, dan Zn, sedangkan
tanah masam dengan pH 5 mengakibatkan
defisiensi Cu (Gartenberg et al. 1990).
Ternak yang mengonsumsi pakan hijauan yang kurang kandungan mineralnya
akan menderita penyakit defisiensi mineral.
Gejalanya adalah tampilan reproduksi 2075% kurang dari normal, retensi plasenta,
dan pedet lahir lemah sehingga angka
kematian pedet tinggi. Penyakit lain yang
timbul adalah pneumonia, diare, stomatitis,
anoreksia, dan penurunan produksi susu
pada sapi perah. Gejala lain yang lebih
parah ialah patah tulang, kulit kering dan
bersisik serta kekurusan yang berlebihan
(Gartenberg et al. 1990).
211
Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...
Mengatasi Penyakit
Defisiensi Mineral
Pengobatan penyakit defisiensi mineral
dapat dilakukan dengan menambahkan
mineral dalam pakan dan mengurangi
interaksi unsur nutrisi lain dengan unsur
nutrisi mineral. Oleh karena itu, perlu
dilakukan diagnosis kandungan mineral
dalam darah ternak untuk mencegah secara
dini munculnya interaksi mineral tersebut.
Pengobatan penyakit defisiensi mineral dilakukan dengan memberikan sejumlah mineral tambahan dalam bentuk
konsentrat maupun mineral blok dengan
dosis dua kali dari ternak normal (McDowell 1985). Jumlah mineral yang perlu
diberikan dihitung dengan mengalikan
kandungan mineral dalam blok dengan
berat blok, kemudian dibagi keperluan
mineral per hari. Hasilnya adalah mineral
yang diperlukan ternak yang tersedia dalam blok (Tabel 3). Beberapa jenis mineral
blok telah diproduksi secara komersial,
namun kesesuaiannya dengan kebutuhan
ternak perlu dikaji dan dianalisis terlebih
dahulu..
Dengan meneliti mineral blok pakan
dari produk yang berbeda dapat diperkirakan kecukupan kebutuhan mineral pada
blok tersebut. Hasil analisis dua mineral
blok dari pabrik pakan yang berbeda
memperlihatkan bahwa kandungan mineralnya berbeda dengan yang tertera
pada kemasan. Pada mineral blok A,
kandungan Ca hanya tersedia 22,3%,
sedangkan pada mineral blok B tersedia
130% (Tabel 4). Sebaliknya kandungan
Na yang tersedia dalam mineral blok A
mencukupi, yaitu 123,2%, sedangkan pada
mineral blok B sangat tidak mencukupi,
yaitu hanya 15% (Tabel 5). Begitu pula
kandungan mineral P, Mg, dan Zn kedua
mineral blok tersebut masih sangat kurang
dan tidak mencukupi kebutuhan ternak
secara normal.
Pemberian mineral yang sesuai pada
sapi meningkatkan bobot badan sampai
370 g/hari daripada kelompok kontrol yang
meningkat hanya 203 g/hari. Pada domba,
bobot badan domba yang diberi blok
meningkat 95 g/hari dan yang tanpa blok
hanya bertambah 73 g/hari. Ternak yang
mendapat mineral blok juga lebih sehat
daripada ternak kontrol (Liu et al. 1995).
Pencegahan Toksisitas
Logam Berat
Pencegahan dan pengobatan toksisitas
logam pada ternak belum banyak dilakukan
Tabel 3. Kebutuhan mineral sapi per hari pada kondisi normal dan kondisi defisiensi.
Mineral dalam
pakan
Ca
Mg
P
Cu
Zn
(g/kg)
(g/kg)
(g/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
Kandungan
dalam darah
normal
(mg/100 ml)
8-12
1,8-3,1
0,4-0,6
0,06
0,08
Sumber: McDowell (1985).
Pemberian
pakan kondisi
normal
15,00
0,40
10,00
5,00
25,00
Kandungan
dalam darah
defisiensi
(mg/100 ml)
<
<
<
<
<
8
1,8
0,4
0,05
0,04
Pemberian
pakan kondisi
defisiensi
30,00
0,80
20,00
10,00
50,00
212
Darmono
Tabel 4. Kandungan beberapa mineral dalam blok A dan hasil analisis yang ditemukan dalam
laboratorium.
Konsentrasi (mg/kg berat basah)
Konsentrasi
Mineral
Na
Ca
P
Mg
Cu
Zn
pada (label)
(mg/kg)
19.660
7.200
5.670
15.000
100
-
Analisis lab.
Rata-rata
(n=15)
Keperluan
diet per hari
% dari diet
tersedia
dalam blok
246.446
13.733
1.310
10.151
86
51
1.400
4.300
2.400
1.500
5
35
123,20
22,3
3,8
47,4
120,0
10,2
Sumber: Darmono (1989b).
Tabel 5. Kandungan beberapa mineral dalam blok B dan hasil analisis yang ditemukan dalam
laboratorium.
Konsentrasi (mg/kg berat basah)
Konsentrasi
Mineral
Na
Ca
P
Mg
Cu
Zn
pada (label)
(mg/kg)
Analisis lab.
Rata-rata
(n=15)
Keperluan
diet per hari
% dari diet
tersedia
dalam blok
24.000
270.000
189.000
12.000
357
357
300
80.000
18.600
3.200
90
8
1.400
4.300
2.400
1.500
5
35
15,0
130,0
54,2
14,9
126,0
1,6
Sumber: Darmono (1989b).
karena kasus toksisitas logam biasanya
bersifat akut sehingga lambat terdeteksi.
Namun, bila pakan ternak terkontaminasi
logam toksik dalam kadar yang relatif kecil,
gejalanya terlihat agak lama atau bersifat
toksisitas kronis. Dalam upaya mengantisipasi keracunan logam yang lebih luas
pada ternak perlu dilakukan pengamatan
kondisi lingkungan, baik udara, air maupun
rumput pakan. Bila suatu daerah mulai
digunakan sebagai kawasan industri maka
perlu dipikirkan pemindahan industri
peternakan ke daerah yang lebih aman
untuk usaha peternakan.
Bila pakan terkontaminasi logam toksik,
pencegahannya agar tidak mengakibatkan
gejala toksisitas pada ternak adalah memberi antidotum atau unsur tertentu yang
dapat mengikat logam toksik tersebut
sehingga tidak diabsorpsi dinding usus
dan segera diekskresikan. Bahan pengikat
logam dapat berupa protein, lemak atau
bahan lain yang dapat mengikat logam
dengan stabil. Pemberian khelat (pengikat
Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...
logam) pada ternak tidak lazim dilakukan
karena selain aplikasinya sulit, secara ekonomis kurang menguntungkan (Gossel dan
Bricker 1984).
Daya racun logam/mineral nonesensial
dapat menurun atau meningkat karena
hadir atau absennya logam esensial. Di
samping interaksi antara logam esensial
dan nonesensial, di antara logam esensial
juga dapat terjadi interaksi. Hal ini terjadi
bila salah satu mineral esensial yang defisien dipengaruhi oleh naiknya kandungan
beberapa mineral esensial (antagonis). Pada kebanyakan kasus reaksi antagonisme
antarmineral, unsur yang saling berinteraksi mempunyai sifat yang hampir sama
sehingga terjadi kompetisi dalam menduduki ikatan pada reseptor protein
(Chowdhury dan Chandra 1987).
Fe dan Cu mempunyai sifat yang sama
dalam sistem pembentukan darah, yaitu Fe
sebagai pembentuk hemoglobin dan Cu
sebagai pembentuk seruloplasmin. Bila
hewan mengalami defisiensi Fe maka absorpsi Cu dan Pb meningkat sehingga
hewan mengalami gejala toksisitas Cu
atau Pb (Chung et al. 2004).
Logam toksik seperti Cd, bila kandungannya berlebih dalam tubuh akan berkompetisi dengan Ca di dalam tulang. Ca
dalam tulang akan terbongkar dan ikatannya diganti Cd. Akibatnya, tulang menjadi
rapuh sehingga mudah patah. Ca akan
dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal yang
mengakibatkan gagal ginjal atau disebut
itai-itai disease (Nogawa et al. 1983).
Penelitian kandungan Cd dalam pakan
ayam menemukan 23% sampel pakan ayam
pedaging yang mengandung Cd melebihi
batas rekomendasi (> 0,5 mg/kg). Pada
ayam petelur, kandungan Pb pada 50%
sampel melebihi batas rekomendasi (Rachmawati et al. 1996). Percobaan pemberian
pakan yang mengandung Cd pada ayam
213
broiler menunjukkan bahwa Cd menghambat pertumbuhan hingga 50% dibanding kondisi normal pada pemberian Cd
100 mg/kg pakan (0,01%). Hambatan
pertumbuhan menurun sampai 25% pada
pemberian Cd 50 mg/kg pakan (0,005%)
(Darmono et al. 1996). Toksisitas Cd juga
menghambat pertumbuhan ayam pedaging. Namun, dengan pemberian Zn yang
berinteraksi dengan Cd, daya toksisitas Cd
akan berkurang (Darmono et al. 2000).
Pemberian logam esensial untuk berinteraksi dengan logam toksik lebih menjanjikan dibanding pemberian khelat, karena
selain murah, hasilnya cukup menggembirakan. Pemberian Zn pada pakan yang
terkontaminasi Cd dengan perbandingan
1:1 atau 1:2 (Zn:Cd) meningkatkan laju
pertumbuhan yang cukup baik, walaupun
masih di bawah kelompok ternak kontrol
(Darmono et al. 1996). Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, Zn dapat meningkatkan kandungan Zn-thionein yang semula
ikatan tersebut diambil alih oleh Cd sebagai Cd-thionein (Darmono et al. 2000).
STRATEGI, KEBIJAKAN, DAN
PROGRAM PENGEMBANGAN
Kebijakan dan program pengembangan
pemanfaatan logam dan mineral untuk
kesehatan ternak meliputi delineasi masalah untuk menentukan strategi pengembangan dan prioritas. Untuk itu diperlukan
penanganan pencegahan penyakit defisiensi mineral dan toksisitas logam berat.
Bila ternak dikandangkan dan diberi
pakan hijauan dengan sistem cut and
carry maka hijauan tersebut perlu dianalisis
kandungan mineralnya. Status mineral
dalam tubuh ternak perlu pula dianalisis
sehingga pemberian mineral tambahan
sesuai dengan kebutuhan ternak.
214
Pemberian pakan seadanya sesuai
dengan bahan yang tersedia perlu dikaji
ulang. Mineral blok yang tersedia secara
komersial di pasaran perlu pula dianalisis
kandungan mineralnya sesuai dengan
kebutuhan ternak normal atau ternak yang
mengalami defisiensi. Untuk itu, mineral
blok perlu tersedia untuk ternak normal atau
ternak yang mengalami defisiensi.
Pemetaan daerah industri dan pertambangan yang digunakan untuk kawasan
peternakan harus dilakukan. Perlu diidentifikasi jenis logam yang mencemari pakan
ternak dan air minum karena limbah industri
dan pertambangan dapat menimbulkan
residu dalam jaringan ternak. Untuk implikasi kebijakan ke depan, ternak yang diusahakan dengan sistem digembalakan
maupun dikandangkan wajib mendapat
suplemen mineral yang sesuai, baik dalam
kondisi normal maupun defisiensi.
Perlu pula dilakukan penelitian pemberian suplemen mineral yang ideal sesuai
kebutuhan ternak, baik pada daerah yang
berpotensi menimbulkan penyakit defisiensi maupun daerah normal. Dampak
sosial ekonomi pemberian suplemen mineral juga perlu dikaji sehingga tidak merugikan peternak. Hasil penelitian tentang
keuntungan pemberian mineral tambahan
perlu didiseminasikan kepada peternak
kecil maupun peternak yang sedang berkembang sehingga program pemberian
suplemen mineral menguntungkan peternak.
Perlu dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan keberadaan pabrik atau
industri yang berada di kawasan peternakan untuk menentukan daerah yang
aman bagi usaha peternakan. Ke depan,
pendirian usaha ternak ruminansia besar
maupun kecil maupun peternakan ayam
broiler dan petelur perlu berkonsultasi
dengan pemerintah setempat untuk menge-
Darmono
tahui peruntukan kawasan tersebut ke
depan. Bila kawasan tersebut akan digunakan untuk industri yang berpotensi
menimbulkan pencemaran logam berat
maka usaha peternakan hendaknya dikembangkan di daerah lain. Bila daerah tersebut
bukan untuk kawasan industri maka usaha
peternakan dapat didirikan sehingga produknya bebas dari cemaran logam berat.
Bila suatu kawasan telah digunakan untuk
usaha peternakan maka pemerintah setempat hendaknya tidak memberi izin bagi
pendirian industri yang berpotensi
mencemari lingkungan sehingga usaha
peternakan yang sudah ada tidak tergusur
secara paksa.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
KEBIJAKAN
Kesimpulan
Logam dan mineral berperan penting dalam
tubuh ternak dan bila kekurangan dapat
menyebabkan penyakit defisiensi mineral.
Oleh karena itu, pemberian suplemen mineral tambahan sangat diperlukan untuk
meningkatkan pertumbuhan ternak ruminansia kecil maupun ruminansia besar.
Penambahan mineral dalam konsentrat
maupun blok pakan hendaknya sesuai
dengan kondisi ternak, yaitu ternak normal
atau yang mengalami penyakit defisiensi
mineral.
Perlu dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan terhadap industri yang
berada dalam kawasan peternakan untuk
mencegah pencemaran logam berat pada
usaha peternakan. Untuk mencegah toksisitas logam, perlu pula dilakukan pemantauan terhadap kualitas lingkungan dengan mengambil sampel air minum dan
Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...
rumput pakan di lokasi tersebut. Pemberian
mineral esensial seperti Zn dalam pakan
dapat mengurangi efek toksik dari logam
Cd.
Untuk mengetahui kontaminasi logam
toksik pada pakan perlu dilakukan analisis
kandungan logam Pb, Cd, dan Hg dalam
pakan di laboratorium. Diagnosis kasus
toksisitas logam pada ternak dapat dilakukan dengan memeriksa darah maupun
melihat gejala yang muncul.
Implikasi Kebijakan
Pemberian suplemen pakan ternak yang
sesuai dan ideal perlu dilakukan sehingga
usaha peternakan perlu mengetahui
kandungan mineral dalam pakan dan
mengevaluasi kandungan logam dan
mineral dalam tubuh ternak. Pemilihan
lokasi peternakan perlu dipertimbangkan
secara matang untuk menghindari terjadinya toksisitas logam berat pada ternak.
Untuk meningkatkan kesehatan ternak
melalui pemanfaatan logam dan mineral
perlu dilakukan diseminasi hasil penelitian,
evaluasi status logam dan mineral dalam
tubuh ternak, dan pemberian suplemen
dari unsur nutrisi tersebut sesuai dengan
yang diperlukan. Upaya tersebut diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi ternak dan pencapaian swasembada
daging nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Adamson, A.H. 1980. Lead and arsenic
pollution of grass around smelter. p.
77-83. In Inorganic Pollution and
Agriculture. Proceeding of Conference
on Agricultural Fish Food. Her Majesty
St. Off., London.
215
Bahri, S. dan Suwarsono. 1986. Kadar hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin
(T3) kambing di daerah kekurangan
iodium. Penyakit Hewan 18(31): 6870.
Baldwin, D.R. and W.J. Marshall. 1999.
Heavy metal poisoning and its laboratory investigation (review article).
Ann. Clin. Biochem. 36: 267-300.
Brown, J.X., P.D. Buckett, and M.
Wessling-Resnick. 2004. Identification
of small molecule inhibitors that distinguish between non-transferrin
bound iron uptake and transferrinmediated iron transport. Chem. Biol.
11(3): 407-416.
Chowdhury, B.A. and R.K. Chandra. 1987.
Biological and health implication of
toxic heavy metals and essential trace
element interactions. Prog. Food Nutr.
Sci. 11(1): 55-113.
Chung, J., D.J Haile, and M.WesslingResnick. 2004. Ferroportin-1 is not
upregulated in copper-deficient mice.
J. Nutr. 134(3): 517-521.
Damir, H.A., M.E.S. Barrri, S.M. El Hassan,
M.H. Tageldin, A.A. Wahbi, and O.F.
Idris. 1988. Clinical zinc and copper
deficiencies in cattle of Western Sudan.
Trop. Anim. Hlth. Prod. 20(1): 52-56.
Darmono and D.R. Stoltz. 1988. Potential
mineral deficiency diseases of Indonesian ruminant livestock: Zinc. Penyakit Hewan 20(35): 42-46.
Darmono. 1989a. Status mineral pada
domba di Cirebon dan hubungannya
dengan penyakit defisiensi. Bull. FKH
UGM 9(2): 16-18.
Darmono. 1989b. Kandungan mineral pada
pakan tambahan untuk mencegah
penyakit defisiensi pada ternak ruminansia. Bull. FKH UGM 9(2): 13-15.
Darmono dan S. Bahri. 1989. Defisiensi
tembaga dan seng pada sapi di daerah
216
transmigrasi Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 21(39): 121-126.
Darmono dan S. Bahri. 1990a. Defisiensi
mineral pada ternak ruminansia di
Indonesia: Natrium. Penyakit Hewan
22(40): 128-132.
Darmono dan S. Bahri. 1990b. Status
beberapa mineral makro (Na, K, Ca, Mg,
dan P) dalam saliva dan serum sapi di
Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan
22(40): 138-142.
Darmono. 1995. Kandungan logam berat
(Pb, Cd, Cu, Zn) pada pakan ternak
yang tumbuh di sekitar pabrik semen
Kabupaten Bogor. hlm.391-395. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Veteriner untuk Peningkatan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan
Pangan Asal Ternak. Balai Penelitian
Veteriner, Bogor.
Darmono, S. Rachmawati, S. Bahri, A.
Safuan, dan Z. Arifin. 1996. Toksisitas
kadmium terhadap pertumbuhan ayam
broiler dan pengaruhnya terhadap
pemberian seng. hlm. 269-271. Dalam
S. Bahri, S. Partautomo, Darminto, F.
Pasaribu, Y. Sani (Ed.). Prosiding Temu
Ilmiah Nasional Bidang Veteriner,
Bogor, 12-13 Maret 1996. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
Darmono, Z. Arifin, M.B. Purwadikarta, A.
Safuan, dan U. Waznah. 2000. Konsentrasi metalotionein dalam hati ayam
yang diberi pakan mengandung Cd.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(4):
250-254.
Darmono. 2007. Farmakologi dan Toksikologi Sistem Kekebalan: Pengaruh,
penyebab dan akibatnya terhadap
kesehatan tubuh. UI Press, Jakarta. 182
hlm.
Darmono, R. Mariam, dan Darminto. 2008.
Residu beberapa jenis logam berat
Darmono
dalam bahan pangan asal kulit hewan.
hlm. 357-359. Proc. 10th National Veterinary Scientific Conference of Indonesian Veterinary Medical Association,
19-21 August 2008.
Fahy, V.A. 1987. Heavy metal toxicity
with reference to industrial development. p. 319-338. In Proc. No. 103.
Veterinary Clinical Toxicology, 24-28
August 1987. The University of
Sydney, New South Wales.
Gartenberg, P.K., L.R. McDowell, D.
Rodriguez, N. Wilkiinson, J.H. Conrad,
and F.G. Martin. 1990. Evaluation of
trace mineral status of ruminants in
northeast Mexico. Livestock Res. Rural
Dev. 3(2): 1-6.
Gossel, T.A. and J.D. Bricker. 1984.
Principles of Clinical Toxicology. Raven
Press, New York. 357 pp.
Hougland, J.L., A.V. Kravchuk, D. Herschlag, and J.A. Piccirilli. 2005. Functional identification of catalytic metal
ion binding sites within RNA. PLoS
Biol. 3(9): e277.
Irving, F. and D.C. Butler. 1975. Ammoniated mercury toxicity in cattle. J. Can.
Vet. 16(9): 260-264.
King, M.W. 2006. Clinical aspect of iron
metabolism. J. Med. Biochem. 15(9): 14.
Liu, J.X., Y.M. Wu, X.M. Dai, J. Yao, Y.Y.
Zhou, and Y.J. Chen. 1995. The effects
of urea-mineral blocks on the liveweight gain of local yellow cattle and
goats in grazing conditions. Livestock
Res. Rural Dev. 7(2): 1-7.
McDowell, L.R. 1985. Nutrition of Grazing
Ruminants in Warm Climates. Acad.
Press, Inc., Orlando, Florida. 443 pp.
Nogawa, K., Y. Yamada, R. Honda, M.
Ishizaki, I. Tsuritani, S. Kawano, and T.
Kato. 1983. The relationship between
Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...
itai-itai disease among inhabitans of
the Jinzu river basin and cadmium in
rice. Toxicol. Lett. 17(3-4): 263-266.
Pacyna, J.M. 1987. Atmospheric emissions
of arsenic, cadmium, lead and mercury
from temperature processes in power
generation and industry. p. 119-149. In
T.C. Hutchinson and K.M. Meema
(Eds.). Lead, Mercury, Cadmium, and
Arsenic in the Environment. John
Willey and Sons Ltd., Toronto.
Rachmawati, S., Indraningsih, dan Darmono. 1996. Derajat kontaminasi kadmium dalam pakan ayam. hlm. 257-261.
Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 12-13 Maret 1996, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
217
Sas, B. 1989. Secondary copper deficiency
in cattle by molybdenum contamination of fodder: A case history. Vet.
Hum. Toxicol. 31(1): 29-33.
Soepardi, G. 1982. The zinc status in
Indonesian agriculture. Contr. Centr.
Res. Inst. Food Crops. Bogor No. 68:
10-31.
Sutrisno, C.I., T. Sutardi, dan H.S. Sulistyono. 1983. Status mineral sapi potong
di Jawa Tengah. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Ruminansia Besar, Cisarua,
1982.
Wardrope, D.D. and J. Graham. 1982. Lead
mine wast: Hazards to livestock. Vet.
Rec. 111(20): 457-459.
Download