Suplementasi logam dan Pertanian mineral untuk ternak ... Pengembangan Inovasi 4(3), kesehatan 2011: 205-217 205 SUPLEMENTASI LOGAM DAN MINERAL UNTUK KESEHATAN TERNAK DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING1) Darmono Balai Besar Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16111 Telp. (0251) 8331048, Faks. (0251) 8334456 e-mail: [email protected] Diajukan: 11 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011 ABSTRAK Mineral makro (Ca, Mg, Na, dan K) maupun mikro (Cu, Zn, Fe) sangat dibutuhkan ternak untuk kesehatan dan daya produksinya. Pakan yang cukup mineral menyebabkan ternak menjadi sehat dan menghasilkan produk yang penuh gizi untuk manusia. Pengadaan daging dan produk ternak lain di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan sehingga dilakukan impor daging sapi atau sapi bakalan. Hal tersebut terjadi karena sistem pemeliharaan ternak masih bersifat tradisional. Umumnya petani memelihara ternak secara sederhana dengan memberi pakan berupa rumput dari lapangan. Anjuran untuk memberikan mineral suplemen pada ternak belum dilakukan. Di lain pihak, logam toksik seperti Pb, Cd dan As, sering mencemari rumput pakan, terutama di kawasan industri. Bila rumput tersebut diberikan pada ternak dapat menyebabkan adanya residu logam toksik pada produk ternak. Oleh karena itu, usaha peternakan perlu direlokasi ke tempat yang bebas cemaran. Mengingat pentingnya peran mineral bagi kesehatan ternak maka upaya meningkatkan produksi ternak secara aman dan berkesinambungan perlu mendapat perhatian. Kata kunci: Mineral, logam, produksi ternak, kesehatan ternak ABSTRACT Metal and Mineral Supplementation for Animal Health in Supporting Beef Self-Sufficiency Macrominerals (Ca, Mg, Na, K) and microminerals (Cu, Zn, Fe) are essential for animals for health, production, and reproduction. Feed containing sufficient minerals is needed for animals to produce high quality products for human consumption. Production of meat and other animal products in Indonesia are not sufficient to fulfill the domestic demand, so that some of them are imported. This is because almost animal farm management in the villages depends on the pasture grass for feed. As a consequence mineral supplementation was strongly recommended to increase animal production. On the other hand, pastures grown on the surrounding industrial area were often contaminated by toxic elements such as Pb, Cd, and As, which caused metal residues in animal products. In this case, relocation of animal industries was needed to avoid their negative impacts on animals. Considering 1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 04 Juni 2009 di Bogor. 206 Darmono the important role of minerals for animal health, therefore, increasing animal production safely and continuously is need to be considered. Keywords: Elements, metal, animal production, animal health PENDAHULUAN Pengembangan peternakan di masa mendatang bertujuan untuk mewujudkan peternakan yang modern, efisien, mandiri, mampu bersaing, dan berkelanjutan sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat, terutama di perdesaan. Pembangunan peternakan diarahkan agar produk ternak dalam negeri mampu bersaing dengan produk ternak impor dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional. Salah satu dampak keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat. Perbaikan tingkat pendapatan telah mengubah pola konsumsi masyarakat dari karbohidrat ke protein hewani, khususnya hasil ternak seperti daging, susu, dan telur sebagai sumber protein berkualitas tinggi. Peningkatan konsumsi protein asal ternak secara tidak langsung dapat memperbaiki pertumbuhan, perkembangan otak, kesehatan tubuh, dan kecerdasan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Seiring dengan peningkatan konsumsi protein hewani maka produksi bahan pangan asal ternak perlu terus ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Pertumbuhan dan kesehatan ternak memegang peran penting dalam mewujudkan swasembada daging. Namun, dalam beberapa kasus, aktivitas industri menyebabkan terjadinya kontaminasi limbah berbahaya pada lahan pertanian, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap ternak. Bahan pangan hewani sangat rentan terhadap kontaminasi, baik kontaminasi mikrobiologis maupun bahan kimia beracun, termasuk logam berat. Bahan makanan yang tercemar logam toksik, seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) menjadi tidak aman bagi konsumen karena akan mengganggu proses fisiologis dalam tubuh. Logam esensial seperti besi (Fe), tembaga (Cu), dan seng (Zn) juga dapat berpengaruh buruk bagi tubuh bila kandungannya dalam bahan makanan berlebihan. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi pemanfaatan logam dan mineral serta pencegahan toksisitas pada ternak untuk meningkatkan kesehatan dan produktivitas ternak. Misalnya pemberian mineral blok untuk meningkatkan bobot badan dan logam esensial untuk mencegah toksisitas logam berbahaya. Hasil penelitian tersebut bila diaplikasikan dapat meningkatkan kualitas kesehatan ternak dan produk ternak, seperti daging, susu, dan telur. Berkaitan dengan masalah tersebut perlu upaya suplementasi logam dan mineral pada ternak untuk meningkatkan produktivitas. Upaya ini diharapkan mampu mendorong penyediaan pangan asal ternak, terutama daging yang selama ini sebagian masih diimpor dalam rangka mencapai swasembada daging. PERAN LOGAM DAN MINERAL BAGI KESEHATAN TERNAK Mineral sangat penting bagi proses fisiologis hewan maupun manusia, terutama mineral esensial makro seperti kalsium (Ca), Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ... magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), fosfor (P), dan beberapa mineral lain untuk menyusun struktur tubuh seperti tulang dan gigi. Unsur mikro seperti Fe, Cu, Zn, mangan (Mn), dan iodium (I) berfungsi dalam aktivitas sistem enzim dan hormon dalam tubuh. Mineral makro seperti Ca, Mg, dan P sangat diperlukan untuk membangun tubuh dan pertumbuhan ternak. Mineral mikro esensial seperti Fe, Cu, I, dan Zn sangat berguna dalam pembentukan darah dan sistem hormon serta proses pertumbuhan ternak. Namun, perlu diperhatikan bahwa mineral dapat bersifat toksik bila dikonsumsi berlebihan. Fe sangat berguna untuk pembentukan sel darah dan proses enzimatis dalam tubuh. Dari total kandungan Fe dalam tubuh, sebagian digunakan untuk proses metabolisme dan sebagian disimpan sebagai cadangan. Fe yang digunakan dalam proses metabolisme enzimatis dalam hemoglobin sekitar 55% dan dalam mioglobin 15% (King 2006). Sebagian Fe dalam tubuh ternak terikat erat dengan protein, yang mengangkut Fe ke dalam jaringan dan menyimpannya dalam bentuk ion Fe(III) yang stabil dan tidak terhidroksidasi. Bentuk Fe transferin yang berada dalam protein darah mempunyai dua ikatan kuat dalam bentuk Fe(III), yang terdiri atas dua kelompok tirosinat dan fenolat. Bila tempat ikatan tersebut mengikat Fe(II), ikatannya menjadi lemah. Transferin merupakan kelompok glikoprotein yang termasuk laktoferin (dalam air susu), konalbumin atau ovotransferin (dalam putih telur), dan transferin serum. Semua protein tersebut mengikat Fe (Brown et al. 2004). Cu berperan sangat penting dalam proses metabolisme energi dalam sel serta sistem transmisi impuls saraf, sistem kardiovaskuler, dan sistem kekebalan. Cu juga berperan dalam proses metabolisme es- 207 trogen, kesuburan ternak betina, dan kehamilan. Mineral esensial lain seperti Zn berperan dalam sistem enzim sebagai metaloenzim. Lebih dari 100 jenis metaloenzim mengikat Zn, termasuk enzim nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase (NADH), RNA dan DNA polymerase, begitu pula enzim alkalin fosfatase, superoksida dismutase, dan karbon anhidrase (Hougland et al. 2005). Beberapa mineral nonesensial seperti Cd, Pb, dan Hg termasuk logam toksik yang menimbulkan efek negatif pada ternak, walaupun dikonsumsi dalam jumlah sedikit. Mineral tersebut dapat menghambat pertumbuhan, produktivitas, dan reproduktivitas ternak, bahkan menyebabkan kematian. Sapi dan domba yang mengonsumsi rumput yang mengandung Pb 5 mg/kg berat kering rumput/hari tidak menunjukkan gejala apapun. Namun, domba betina bunting yang mengonsumsi rumput yang mengandung Pb 30 mg/kg berat kering rumput/hari dalam jangka waktu lama akan menunjukkan gejala keracunan, terutama dalam kondisi kelaparan (Adamson 1980). Kasus keracunan Pb pada sapi banyak dilaporkan, terutama sapi yang digembalakan di padang rumput bekas pertambangan. Keracunan Pb juga terjadi pada anak sapi yang sedang menyusu dan sapi dewasa. Selanjutnya, anak sapi dan sapi dewasa tersebut mati mendadak (Wardrope dan Graham 1982) Rumput pakan yang terkontaminasi Pb dari udara sering menyebabkan keracunan kronis. Namun, padang rumput yang terkontaminasi limbah peleburan logam maupun limbah batu baterai (aki) sering menyebabkan toksisitas akut. Pada ternak ruminansia, gejala khas keracunan Pb ada dua bentuk, yaitu: (1) gastroenteritis, iritasi saluran pencernaan karena garam Pb; dan 208 Darmono (2) anemia, akibat Pb berikatan dengan eritrosit sehingga sel darah mudah pecah (Baldwin dan Marshal 1999). Bila diperiksa, sel darah tersebut berbentuk stipel yang berwana kebiruan (sel stipel). Pada pemeriksaan radiologi terlihat adanya pemadatan pada persambungan tulang lutut Logam berbahaya seperti Pb, Cd, dan kromium (Cr) dapat mencemari bahan pangan asal ternak. Kandungan Pb yang tinggi dalam bahan pangan dapat menghambat sistem kekebalan pada konsumen (Darmono 2007). Bahan pangan yang berasal dari krupuk kulit mengandung Pb dan Cr cukup tinggi, melebihi batas maksimum yang direkomendasikan, yaitu 2 mg Pb/kg dan 4 mg Cr/kg bahan (Darmono et al. 2008). STATUS LOGAM DAN MINERAL PADA TERNAK DI BEBERAPA LOKASI DI INDONESIA Penyakit Defisiensi Mineral Kasus penyakit defisiensi mineral esensial telah dilaporkan baik di Jawa (Sutrisno et al. 1983) maupun di luar Jawa (Darmono dan Stoltz 1988; Darmono dan Bahri 1989). Kasus defisiensi mineral juga dilaporkan di beberapa negara Afrika (Damir et al. 1988) dan Eropa (Sas 1989). Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba yang hampir 100% pakannya berasal dari tanaman pakan atau rumput akan mengalami defisiensi mineral, yang dapat menurunkan bobot badan, produksi, dan reproduksi ternak. Dalam beberapa kasus, ternak sapi di beberapa daerah transmigrasi Kalimantan, terutama di daerah pesisir, menunjukkan gejala lambat berkembang, pertumbuhan ternak sangat buruk, ternak menjadi kurus, mandul, dan banyak yang mati. Setelah diperiksa, darah ternak mengandung Cu dan Zn di bawah normal (<0,5 µg Cu/ml dan <0,4 µg Zn/ml) pada 47% populasi ternak tersebut (Darmono dan Bahri 1989). Kandungan mineral Ca di bawah normal (<8 mg/100 ml) ditemukan pada 41,7% ternak dan rasio Na/K <1 pada saliva terdapat pada 59% ternak (Darmono dan Bahri 1990b). Ternak yang berada di daerah pedalaman yang agak jauh dari pantai menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu ternak sapi yang dikirim dari Jawa meningkat perkembangbiakannya. Bila kedua daerah tersebut dibandingkan, yaitu daerah pesisir dan pedalaman, ternyata status mineralnya sangat berbeda sehingga sapi daerah pesisir mengalami defisiensi mineral (Darmono dan Bahri 1990a). Daerah pesisir pantai yang ternak sapinya mengalami defisiensi mineral, tanahnya berpasir sehingga tanaman yang tumbuh di atasnya tidak dapat menyerap unsur mineral karena mineral langsung tercuci ke lapisan tanah yang lebih dalam. Akibatnya, tanaman yang tumbuh di atasnya miskin mineral. Penelitian pada ternak domba di Cirebon menunjukkan bahwa pada musim kemarau, 35% ternak memiliki kandungan Ca dalam darah di bawah normal (<8 mg/ dl), 30% kekurangan P (<4 mg/dl), 4% kekurangan Mg (1,8 mg/dl), dan 39% defisiensi Cu (<0,05 mg/dl). Pada pengambilan serum di pertengahan musim hujan, domba yang mengalami defisiensi mineral P dan Mg menurun sampai 0%. Hal tersebut menunjukkan bahwa defisiensi mineral pada domba di Cirebon banyak terjadi pada musim kemarau (Darmono 1989a). Kandungan mineral iodium dalam tanah di lereng Merapi dan Gunung Kidul, Yogyakarta, dilaporkan memengaruhi 209 Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ... kandungan hormon triiodo tironin pada kambing di daerah tersebut, yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain seperti Kulonprogo (Bahri dan Suwarsono 1986). Akibatnya, pertumbuhan kambing menjadi terhambat. Toksisitas Logam dan Mineral Pb, Cd, dan Hg adalah logam nonesensial. Keberadaan logam tersebut dalam jaringan ternak terutama disebabkan oleh cemaran pada pakan maupun air minum sehingga menimbulkan residu dalam jaringan ternak. Rumput pakan ternak yang terkontaminasi Pb dalam kadar cukup tinggi menyebabkan keracunan akut, dan anak sapi lebih peka daripada sapi dewasa (Fahy 1987). Emisi logam Pb, Cd, dan Hg di udara berasal dari industri yang menggunakan suhu tinggi, seperti pabrik besi, pembakaran sampah, pabrik semen, dan pabrik peleburan logam tersebut. Emisi logam berbahaya ke udara diperkirakan mencapai puluhan ton tiap tahun. Emisi logam berbahaya tersebut terus bertambah setiap tahun, baik kualitas maupun kuantitasnya. Emisi logam Pb dari buangan industri besi dan baja mencapai 14.600 t/tahun, sedangkan pabrik semen mengeluarkan Pb 750 t/tahun. Secara keseluruhan, buangan Pb dari industri peleburan logam, pembakaran sampah, pabrik semen, dan industri lainnya mencapai 18.150 t/tahun. Emisi Cd ke udara dari industri tersebut mencapai 180 t/tahun dan Hg 40 t/tahun (Tabel 1, Pacyna 1987). Tingkat pencemaran akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah industri. Pencemaran logam berbahaya pada rumput pakan ternak telah banyak dilaporkan. Tingkat pencemarannya bergantung pada arah angin dan jarak pengambilan sampel dari sumber bahan pencemar (Adamson 1980; Darmono 1995). Rumput yang tumbuh di sekitar pabrik semen di Kabupaten Bogor dilaporkan mengandung Pb dan Zn cukup tinggi, yaitu masingmasing 10,5 mg dan 184,2 mg/kg berat kering rumput. Kandungan logam yang tinggi terutama ditemukan pada rumput yang tumbuh pada jarak 1 km dari pabrik. Kandungan logam dalam rumput yang tumbuh pada lokasi yang makin jauh dari pabrik makin menurun, yaitu 6,18 mg Pb/ kg dan 79,5 mg Zn/kg (Darmono 1995). Kemungkinan debu yang terbuang ke udara makin sedikit sehingga pencemaran udara juga makin tipis (Tabel 2). Namun, Tabel 1. Perkiraan emisi logam berbahaya di udara. Emisi (t/tahun) Industri Pabrik besi, baja, dan fero aloi Pembakaran sampah Produksi semen Penggunaan logam yang bersangkutan1) Total 1) Di luar pestisida Sumber: Pacyna (1987). Cd Pb Hg 60 85 15 20 14.600 800 750 2.000 20 20 180 18.150 40 210 Darmono Tabel 2. Kandungan rata-rata logam berat dalam rumput menurut jarak pengambilan dari pabrik semen. Jarak (km) 1 2 3 Kandungan logam berat (mg/kg berat kering) Pb Cd Cu Zn 10,50 6,18 8,83 0,43 0,34 0,35 6,16 5,49 6,31 184,2 79,5 144,0 Sumber: Darmono (1995). Adamson (1980) menyatakan, kandungan Pb dalam rumput di daerah industri peleburan logam, selain ditentukan jarak dari pabrik, juga sangat bergantung pada arah angin. Logam Hg banyak digunakan sebagai bahan insektisida dan fungisida, sehingga keracunan logam tersebut pada ternak sering dikaitkan dengan pengobatan penyakit kulit akibat infeksi jamur maupun kutu. Hal ini karena sapi yang menderita penyakit kulit saling menjilat obat yang dioleskan (Irving dan Butler 1975). SUPLEMENTASI LOGAM DAN MINERAL UNTUK MENINGKATKAN KESEHATAN TERNAK Secara alamiah, mineral esensial makro Ca, P, Mg, dan Na serta mineral mikro Cu, Zn, Mn, Co, dan I selalu ada pada tanaman, termasuk rumput pakan ternak. Namun, kecukupan kandungan mineral tersebut bagi kebutuhan fisiologis ternak bergantung pada beberapa faktor, antara lain sistem pemeliharaan, jenis tanah, dan keasaman (pH) tanah. Petani banyak yang memelihara ternak sapi atau kambing dengan dilepas di padang penggembalaan pada pagi hari dan dikandangkan pada sore hari. Sistem pe- meliharaan seperti ini menyebabkan ketersediaan pakan sangat bergantung pada pakan yang ada di padang penggembalaan. Begitu pula kualitas nutrisi pakan sangat bergantung pada rumput dan hijauan yang tumbuh di padang penggembalaan dan jenis tanah di lokasi tersebut. Bila tanah miskin unsur mineral maka kandungan mineral pada hijauan yang tumbuh di atasnya juga rendah. Tanah berpasir dan dieksploitasi secara terus-menerus akan menurun kandungan mineralnya (Soepardi 1982). Keasaman tanah (pH) juga memengaruhi kesuburan dan kandungan mineral dalam hijauan pakan. Tanah alkalis dengan pH 8 menyebabkan tanaman mengalami defisiensi Fe, Mn, dan Zn, sedangkan tanah masam dengan pH 5 mengakibatkan defisiensi Cu (Gartenberg et al. 1990). Ternak yang mengonsumsi pakan hijauan yang kurang kandungan mineralnya akan menderita penyakit defisiensi mineral. Gejalanya adalah tampilan reproduksi 2075% kurang dari normal, retensi plasenta, dan pedet lahir lemah sehingga angka kematian pedet tinggi. Penyakit lain yang timbul adalah pneumonia, diare, stomatitis, anoreksia, dan penurunan produksi susu pada sapi perah. Gejala lain yang lebih parah ialah patah tulang, kulit kering dan bersisik serta kekurusan yang berlebihan (Gartenberg et al. 1990). 211 Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ... Mengatasi Penyakit Defisiensi Mineral Pengobatan penyakit defisiensi mineral dapat dilakukan dengan menambahkan mineral dalam pakan dan mengurangi interaksi unsur nutrisi lain dengan unsur nutrisi mineral. Oleh karena itu, perlu dilakukan diagnosis kandungan mineral dalam darah ternak untuk mencegah secara dini munculnya interaksi mineral tersebut. Pengobatan penyakit defisiensi mineral dilakukan dengan memberikan sejumlah mineral tambahan dalam bentuk konsentrat maupun mineral blok dengan dosis dua kali dari ternak normal (McDowell 1985). Jumlah mineral yang perlu diberikan dihitung dengan mengalikan kandungan mineral dalam blok dengan berat blok, kemudian dibagi keperluan mineral per hari. Hasilnya adalah mineral yang diperlukan ternak yang tersedia dalam blok (Tabel 3). Beberapa jenis mineral blok telah diproduksi secara komersial, namun kesesuaiannya dengan kebutuhan ternak perlu dikaji dan dianalisis terlebih dahulu.. Dengan meneliti mineral blok pakan dari produk yang berbeda dapat diperkirakan kecukupan kebutuhan mineral pada blok tersebut. Hasil analisis dua mineral blok dari pabrik pakan yang berbeda memperlihatkan bahwa kandungan mineralnya berbeda dengan yang tertera pada kemasan. Pada mineral blok A, kandungan Ca hanya tersedia 22,3%, sedangkan pada mineral blok B tersedia 130% (Tabel 4). Sebaliknya kandungan Na yang tersedia dalam mineral blok A mencukupi, yaitu 123,2%, sedangkan pada mineral blok B sangat tidak mencukupi, yaitu hanya 15% (Tabel 5). Begitu pula kandungan mineral P, Mg, dan Zn kedua mineral blok tersebut masih sangat kurang dan tidak mencukupi kebutuhan ternak secara normal. Pemberian mineral yang sesuai pada sapi meningkatkan bobot badan sampai 370 g/hari daripada kelompok kontrol yang meningkat hanya 203 g/hari. Pada domba, bobot badan domba yang diberi blok meningkat 95 g/hari dan yang tanpa blok hanya bertambah 73 g/hari. Ternak yang mendapat mineral blok juga lebih sehat daripada ternak kontrol (Liu et al. 1995). Pencegahan Toksisitas Logam Berat Pencegahan dan pengobatan toksisitas logam pada ternak belum banyak dilakukan Tabel 3. Kebutuhan mineral sapi per hari pada kondisi normal dan kondisi defisiensi. Mineral dalam pakan Ca Mg P Cu Zn (g/kg) (g/kg) (g/kg) (mg/kg) (mg/kg) Kandungan dalam darah normal (mg/100 ml) 8-12 1,8-3,1 0,4-0,6 0,06 0,08 Sumber: McDowell (1985). Pemberian pakan kondisi normal 15,00 0,40 10,00 5,00 25,00 Kandungan dalam darah defisiensi (mg/100 ml) < < < < < 8 1,8 0,4 0,05 0,04 Pemberian pakan kondisi defisiensi 30,00 0,80 20,00 10,00 50,00 212 Darmono Tabel 4. Kandungan beberapa mineral dalam blok A dan hasil analisis yang ditemukan dalam laboratorium. Konsentrasi (mg/kg berat basah) Konsentrasi Mineral Na Ca P Mg Cu Zn pada (label) (mg/kg) 19.660 7.200 5.670 15.000 100 - Analisis lab. Rata-rata (n=15) Keperluan diet per hari % dari diet tersedia dalam blok 246.446 13.733 1.310 10.151 86 51 1.400 4.300 2.400 1.500 5 35 123,20 22,3 3,8 47,4 120,0 10,2 Sumber: Darmono (1989b). Tabel 5. Kandungan beberapa mineral dalam blok B dan hasil analisis yang ditemukan dalam laboratorium. Konsentrasi (mg/kg berat basah) Konsentrasi Mineral Na Ca P Mg Cu Zn pada (label) (mg/kg) Analisis lab. Rata-rata (n=15) Keperluan diet per hari % dari diet tersedia dalam blok 24.000 270.000 189.000 12.000 357 357 300 80.000 18.600 3.200 90 8 1.400 4.300 2.400 1.500 5 35 15,0 130,0 54,2 14,9 126,0 1,6 Sumber: Darmono (1989b). karena kasus toksisitas logam biasanya bersifat akut sehingga lambat terdeteksi. Namun, bila pakan ternak terkontaminasi logam toksik dalam kadar yang relatif kecil, gejalanya terlihat agak lama atau bersifat toksisitas kronis. Dalam upaya mengantisipasi keracunan logam yang lebih luas pada ternak perlu dilakukan pengamatan kondisi lingkungan, baik udara, air maupun rumput pakan. Bila suatu daerah mulai digunakan sebagai kawasan industri maka perlu dipikirkan pemindahan industri peternakan ke daerah yang lebih aman untuk usaha peternakan. Bila pakan terkontaminasi logam toksik, pencegahannya agar tidak mengakibatkan gejala toksisitas pada ternak adalah memberi antidotum atau unsur tertentu yang dapat mengikat logam toksik tersebut sehingga tidak diabsorpsi dinding usus dan segera diekskresikan. Bahan pengikat logam dapat berupa protein, lemak atau bahan lain yang dapat mengikat logam dengan stabil. Pemberian khelat (pengikat Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ... logam) pada ternak tidak lazim dilakukan karena selain aplikasinya sulit, secara ekonomis kurang menguntungkan (Gossel dan Bricker 1984). Daya racun logam/mineral nonesensial dapat menurun atau meningkat karena hadir atau absennya logam esensial. Di samping interaksi antara logam esensial dan nonesensial, di antara logam esensial juga dapat terjadi interaksi. Hal ini terjadi bila salah satu mineral esensial yang defisien dipengaruhi oleh naiknya kandungan beberapa mineral esensial (antagonis). Pada kebanyakan kasus reaksi antagonisme antarmineral, unsur yang saling berinteraksi mempunyai sifat yang hampir sama sehingga terjadi kompetisi dalam menduduki ikatan pada reseptor protein (Chowdhury dan Chandra 1987). Fe dan Cu mempunyai sifat yang sama dalam sistem pembentukan darah, yaitu Fe sebagai pembentuk hemoglobin dan Cu sebagai pembentuk seruloplasmin. Bila hewan mengalami defisiensi Fe maka absorpsi Cu dan Pb meningkat sehingga hewan mengalami gejala toksisitas Cu atau Pb (Chung et al. 2004). Logam toksik seperti Cd, bila kandungannya berlebih dalam tubuh akan berkompetisi dengan Ca di dalam tulang. Ca dalam tulang akan terbongkar dan ikatannya diganti Cd. Akibatnya, tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Ca akan dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal yang mengakibatkan gagal ginjal atau disebut itai-itai disease (Nogawa et al. 1983). Penelitian kandungan Cd dalam pakan ayam menemukan 23% sampel pakan ayam pedaging yang mengandung Cd melebihi batas rekomendasi (> 0,5 mg/kg). Pada ayam petelur, kandungan Pb pada 50% sampel melebihi batas rekomendasi (Rachmawati et al. 1996). Percobaan pemberian pakan yang mengandung Cd pada ayam 213 broiler menunjukkan bahwa Cd menghambat pertumbuhan hingga 50% dibanding kondisi normal pada pemberian Cd 100 mg/kg pakan (0,01%). Hambatan pertumbuhan menurun sampai 25% pada pemberian Cd 50 mg/kg pakan (0,005%) (Darmono et al. 1996). Toksisitas Cd juga menghambat pertumbuhan ayam pedaging. Namun, dengan pemberian Zn yang berinteraksi dengan Cd, daya toksisitas Cd akan berkurang (Darmono et al. 2000). Pemberian logam esensial untuk berinteraksi dengan logam toksik lebih menjanjikan dibanding pemberian khelat, karena selain murah, hasilnya cukup menggembirakan. Pemberian Zn pada pakan yang terkontaminasi Cd dengan perbandingan 1:1 atau 1:2 (Zn:Cd) meningkatkan laju pertumbuhan yang cukup baik, walaupun masih di bawah kelompok ternak kontrol (Darmono et al. 1996). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Zn dapat meningkatkan kandungan Zn-thionein yang semula ikatan tersebut diambil alih oleh Cd sebagai Cd-thionein (Darmono et al. 2000). STRATEGI, KEBIJAKAN, DAN PROGRAM PENGEMBANGAN Kebijakan dan program pengembangan pemanfaatan logam dan mineral untuk kesehatan ternak meliputi delineasi masalah untuk menentukan strategi pengembangan dan prioritas. Untuk itu diperlukan penanganan pencegahan penyakit defisiensi mineral dan toksisitas logam berat. Bila ternak dikandangkan dan diberi pakan hijauan dengan sistem cut and carry maka hijauan tersebut perlu dianalisis kandungan mineralnya. Status mineral dalam tubuh ternak perlu pula dianalisis sehingga pemberian mineral tambahan sesuai dengan kebutuhan ternak. 214 Pemberian pakan seadanya sesuai dengan bahan yang tersedia perlu dikaji ulang. Mineral blok yang tersedia secara komersial di pasaran perlu pula dianalisis kandungan mineralnya sesuai dengan kebutuhan ternak normal atau ternak yang mengalami defisiensi. Untuk itu, mineral blok perlu tersedia untuk ternak normal atau ternak yang mengalami defisiensi. Pemetaan daerah industri dan pertambangan yang digunakan untuk kawasan peternakan harus dilakukan. Perlu diidentifikasi jenis logam yang mencemari pakan ternak dan air minum karena limbah industri dan pertambangan dapat menimbulkan residu dalam jaringan ternak. Untuk implikasi kebijakan ke depan, ternak yang diusahakan dengan sistem digembalakan maupun dikandangkan wajib mendapat suplemen mineral yang sesuai, baik dalam kondisi normal maupun defisiensi. Perlu pula dilakukan penelitian pemberian suplemen mineral yang ideal sesuai kebutuhan ternak, baik pada daerah yang berpotensi menimbulkan penyakit defisiensi maupun daerah normal. Dampak sosial ekonomi pemberian suplemen mineral juga perlu dikaji sehingga tidak merugikan peternak. Hasil penelitian tentang keuntungan pemberian mineral tambahan perlu didiseminasikan kepada peternak kecil maupun peternak yang sedang berkembang sehingga program pemberian suplemen mineral menguntungkan peternak. Perlu dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan keberadaan pabrik atau industri yang berada di kawasan peternakan untuk menentukan daerah yang aman bagi usaha peternakan. Ke depan, pendirian usaha ternak ruminansia besar maupun kecil maupun peternakan ayam broiler dan petelur perlu berkonsultasi dengan pemerintah setempat untuk menge- Darmono tahui peruntukan kawasan tersebut ke depan. Bila kawasan tersebut akan digunakan untuk industri yang berpotensi menimbulkan pencemaran logam berat maka usaha peternakan hendaknya dikembangkan di daerah lain. Bila daerah tersebut bukan untuk kawasan industri maka usaha peternakan dapat didirikan sehingga produknya bebas dari cemaran logam berat. Bila suatu kawasan telah digunakan untuk usaha peternakan maka pemerintah setempat hendaknya tidak memberi izin bagi pendirian industri yang berpotensi mencemari lingkungan sehingga usaha peternakan yang sudah ada tidak tergusur secara paksa. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Logam dan mineral berperan penting dalam tubuh ternak dan bila kekurangan dapat menyebabkan penyakit defisiensi mineral. Oleh karena itu, pemberian suplemen mineral tambahan sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ternak ruminansia kecil maupun ruminansia besar. Penambahan mineral dalam konsentrat maupun blok pakan hendaknya sesuai dengan kondisi ternak, yaitu ternak normal atau yang mengalami penyakit defisiensi mineral. Perlu dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan terhadap industri yang berada dalam kawasan peternakan untuk mencegah pencemaran logam berat pada usaha peternakan. Untuk mencegah toksisitas logam, perlu pula dilakukan pemantauan terhadap kualitas lingkungan dengan mengambil sampel air minum dan Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ... rumput pakan di lokasi tersebut. Pemberian mineral esensial seperti Zn dalam pakan dapat mengurangi efek toksik dari logam Cd. Untuk mengetahui kontaminasi logam toksik pada pakan perlu dilakukan analisis kandungan logam Pb, Cd, dan Hg dalam pakan di laboratorium. Diagnosis kasus toksisitas logam pada ternak dapat dilakukan dengan memeriksa darah maupun melihat gejala yang muncul. Implikasi Kebijakan Pemberian suplemen pakan ternak yang sesuai dan ideal perlu dilakukan sehingga usaha peternakan perlu mengetahui kandungan mineral dalam pakan dan mengevaluasi kandungan logam dan mineral dalam tubuh ternak. Pemilihan lokasi peternakan perlu dipertimbangkan secara matang untuk menghindari terjadinya toksisitas logam berat pada ternak. Untuk meningkatkan kesehatan ternak melalui pemanfaatan logam dan mineral perlu dilakukan diseminasi hasil penelitian, evaluasi status logam dan mineral dalam tubuh ternak, dan pemberian suplemen dari unsur nutrisi tersebut sesuai dengan yang diperlukan. Upaya tersebut diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi ternak dan pencapaian swasembada daging nasional. DAFTAR PUSTAKA Adamson, A.H. 1980. Lead and arsenic pollution of grass around smelter. p. 77-83. In Inorganic Pollution and Agriculture. Proceeding of Conference on Agricultural Fish Food. Her Majesty St. Off., London. 215 Bahri, S. dan Suwarsono. 1986. Kadar hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) kambing di daerah kekurangan iodium. Penyakit Hewan 18(31): 6870. Baldwin, D.R. and W.J. Marshall. 1999. Heavy metal poisoning and its laboratory investigation (review article). Ann. Clin. Biochem. 36: 267-300. Brown, J.X., P.D. Buckett, and M. Wessling-Resnick. 2004. Identification of small molecule inhibitors that distinguish between non-transferrin bound iron uptake and transferrinmediated iron transport. Chem. Biol. 11(3): 407-416. Chowdhury, B.A. and R.K. Chandra. 1987. Biological and health implication of toxic heavy metals and essential trace element interactions. Prog. Food Nutr. Sci. 11(1): 55-113. Chung, J., D.J Haile, and M.WesslingResnick. 2004. Ferroportin-1 is not upregulated in copper-deficient mice. J. Nutr. 134(3): 517-521. Damir, H.A., M.E.S. Barrri, S.M. El Hassan, M.H. Tageldin, A.A. Wahbi, and O.F. Idris. 1988. Clinical zinc and copper deficiencies in cattle of Western Sudan. Trop. Anim. Hlth. Prod. 20(1): 52-56. Darmono and D.R. Stoltz. 1988. Potential mineral deficiency diseases of Indonesian ruminant livestock: Zinc. Penyakit Hewan 20(35): 42-46. Darmono. 1989a. Status mineral pada domba di Cirebon dan hubungannya dengan penyakit defisiensi. Bull. FKH UGM 9(2): 16-18. Darmono. 1989b. Kandungan mineral pada pakan tambahan untuk mencegah penyakit defisiensi pada ternak ruminansia. Bull. FKH UGM 9(2): 13-15. Darmono dan S. Bahri. 1989. Defisiensi tembaga dan seng pada sapi di daerah 216 transmigrasi Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 21(39): 121-126. Darmono dan S. Bahri. 1990a. Defisiensi mineral pada ternak ruminansia di Indonesia: Natrium. Penyakit Hewan 22(40): 128-132. Darmono dan S. Bahri. 1990b. Status beberapa mineral makro (Na, K, Ca, Mg, dan P) dalam saliva dan serum sapi di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 22(40): 138-142. Darmono. 1995. Kandungan logam berat (Pb, Cd, Cu, Zn) pada pakan ternak yang tumbuh di sekitar pabrik semen Kabupaten Bogor. hlm.391-395. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Peningkatan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Darmono, S. Rachmawati, S. Bahri, A. Safuan, dan Z. Arifin. 1996. Toksisitas kadmium terhadap pertumbuhan ayam broiler dan pengaruhnya terhadap pemberian seng. hlm. 269-271. Dalam S. Bahri, S. Partautomo, Darminto, F. Pasaribu, Y. Sani (Ed.). Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, Bogor, 12-13 Maret 1996. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Darmono, Z. Arifin, M.B. Purwadikarta, A. Safuan, dan U. Waznah. 2000. Konsentrasi metalotionein dalam hati ayam yang diberi pakan mengandung Cd. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(4): 250-254. Darmono. 2007. Farmakologi dan Toksikologi Sistem Kekebalan: Pengaruh, penyebab dan akibatnya terhadap kesehatan tubuh. UI Press, Jakarta. 182 hlm. Darmono, R. Mariam, dan Darminto. 2008. Residu beberapa jenis logam berat Darmono dalam bahan pangan asal kulit hewan. hlm. 357-359. Proc. 10th National Veterinary Scientific Conference of Indonesian Veterinary Medical Association, 19-21 August 2008. Fahy, V.A. 1987. Heavy metal toxicity with reference to industrial development. p. 319-338. In Proc. No. 103. Veterinary Clinical Toxicology, 24-28 August 1987. The University of Sydney, New South Wales. Gartenberg, P.K., L.R. McDowell, D. Rodriguez, N. Wilkiinson, J.H. Conrad, and F.G. Martin. 1990. Evaluation of trace mineral status of ruminants in northeast Mexico. Livestock Res. Rural Dev. 3(2): 1-6. Gossel, T.A. and J.D. Bricker. 1984. Principles of Clinical Toxicology. Raven Press, New York. 357 pp. Hougland, J.L., A.V. Kravchuk, D. Herschlag, and J.A. Piccirilli. 2005. Functional identification of catalytic metal ion binding sites within RNA. PLoS Biol. 3(9): e277. Irving, F. and D.C. Butler. 1975. Ammoniated mercury toxicity in cattle. J. Can. Vet. 16(9): 260-264. King, M.W. 2006. Clinical aspect of iron metabolism. J. Med. Biochem. 15(9): 14. Liu, J.X., Y.M. Wu, X.M. Dai, J. Yao, Y.Y. Zhou, and Y.J. Chen. 1995. The effects of urea-mineral blocks on the liveweight gain of local yellow cattle and goats in grazing conditions. Livestock Res. Rural Dev. 7(2): 1-7. McDowell, L.R. 1985. Nutrition of Grazing Ruminants in Warm Climates. Acad. Press, Inc., Orlando, Florida. 443 pp. Nogawa, K., Y. Yamada, R. Honda, M. Ishizaki, I. Tsuritani, S. Kawano, and T. Kato. 1983. The relationship between Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ... itai-itai disease among inhabitans of the Jinzu river basin and cadmium in rice. Toxicol. Lett. 17(3-4): 263-266. Pacyna, J.M. 1987. Atmospheric emissions of arsenic, cadmium, lead and mercury from temperature processes in power generation and industry. p. 119-149. In T.C. Hutchinson and K.M. Meema (Eds.). Lead, Mercury, Cadmium, and Arsenic in the Environment. John Willey and Sons Ltd., Toronto. Rachmawati, S., Indraningsih, dan Darmono. 1996. Derajat kontaminasi kadmium dalam pakan ayam. hlm. 257-261. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 12-13 Maret 1996, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. 217 Sas, B. 1989. Secondary copper deficiency in cattle by molybdenum contamination of fodder: A case history. Vet. Hum. Toxicol. 31(1): 29-33. Soepardi, G. 1982. The zinc status in Indonesian agriculture. Contr. Centr. Res. Inst. Food Crops. Bogor No. 68: 10-31. Sutrisno, C.I., T. Sutardi, dan H.S. Sulistyono. 1983. Status mineral sapi potong di Jawa Tengah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Cisarua, 1982. Wardrope, D.D. and J. Graham. 1982. Lead mine wast: Hazards to livestock. Vet. Rec. 111(20): 457-459.