View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pembangunan ekonomi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan
produktifitas dari pemanfaatan sumberdaya potensial yang dimiliki oleh suatu
wilayah atau suatu negara. Sumberdaya potensial dimaksud adalah
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya financial.
Peningkatan
produktifitas
mengandung
makna
bahwa
pemanfaatan
sumberdaya tersebut secara ekonomis dapat diproduksi dengan hasil yang
optimal dari kapasitas sumberdaya yang digunakan. Upaya seperti ini
merupakan sebuah proses pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk
melakukan perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dari
keadaan sebelumnya.
Pada kenyataannya, proses pembangunan ekonomi tidaklah sederhana,
namun pada pelaksanaannya sangat kompleks, karena bersifat multidimensi.
Antara lain kompleksitas tersebut adalah pembangunan ekonomi tidak hanya
melakukan bagaimana meningkatkan produktifitas melalaui proses produksi
yang secara klasik ditentukan oleh faktor input seperti modal, tenaga kerja,
teknologi, dan bahan baku, tetapi juga menyangkut aspek tempat dimana
aktifitas tersebut berlangsung, aspek sosial yang mempengaruhi perilaku
masyarakat baik pada proses produksi maupun pada perilaku konsumsi.
1
Untuk tujuan tersebut maka diperlukan perencanaan ekonomi yang bersifat
komprehensif dan integratif antara pembangunan ekonomi pada satu sisi dan
pembangunan sosial pada sisi yang lain
Pada pembangunan ekonomi, ada tiga indikator makro yang dijadikan
sebagai ukuran kemajuan pembangunan. Indikator tersebut adalah tingkat
pertumbuhan
(growth
rate),
tingkat
penciptaan
kesempatan
kerja
(employment) dan kestabilan harga (price stability), Mankiw, 2006. Dengan
demikian maka, setiap negara khususnya Negara-negara berkembang,
dengan berbagai kebijakan seperti kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan
kebijakan perdagangan baik perdagangan domestik maupun perdagangan
internasional dilakukan untuk mendorong pertumbuhan yang direncanakan,
menciptakan lapangan kerja, dan menjaga kestabilan harga.
Berbagai studi telah dilakukan mengapa perekonomian suatu negara
mengalami pertumbuhan, baik pertumbuhan positif maupun pertumbuhan
negatif. Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
ditentukan oleh faktor-faktor produksi seperti modal, tenaga kerja, dan
teknologi. Jadi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi maka diperlukan
peningkatan pemanfaatan faktor-faktor tersebut. Atau lebih spesifik lagi,
dapat diuraikan dalam pertanyaan berapa tingkat pertumbuhan modal, tingkat
pertumbuhan kesempatan kerja, serta peningkatan teknologi yang dibutuhkan
untuk mencapai tingkat pertumbuhan produksi tertentu. Dengan demikian
2
maka pertumbuhan ekonomi dapat diukur dengan pertumbuhan produksi
nasional atau pendapatan nasional.
Pada sisi lain, teori Keynesian menyatakan bahwa pertumbuhan
pendapatan nasional ditentukan oleh besarnya
pengeluaran konsumsi,
pengeluaran pemerintah, investasi dan net ekspor. Jadi menurut Keynes
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diukur pada peningkatan
pendapatan nasional maka diperlukan peningkatan permintaan konsumsi,
permintaan pengeluaran pemerintah, permintaan investasi, serta permintaan
ekspor dan impor. Implementasi kedua konsep dan teori tersebut (klasik dan
Keynesian) dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi baik
pada skala nasional maupun pada skala perekonomian makro daerah
(propinsi, kabupaten/kota).
Pada skala perekonomian makro daerah, pertumbuhan ekonomi diukur
melalui pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB). Berdasar pada
pendekatan Keynes tersebut bahwa pertumbuhan pendapatan ditentukan
oleh peningkatan permintaan pengeluaran faktor-faktor penentunya yaitu
konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor dan impor.
Hubungan
antara
pengeluaran
konsumsi,
pengeluaran
pemerintahan
terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi menarik untuk dikaji ketika hasil
kajian Solow mengatakan bahwa investasi bukanlah satu-satunya kunci
penentu pertumbuhan ekonomi, Easterly 2002.
3
Data pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia pada masa krisis 19982000 mengungkapkan bahwa terjadi penurunan tingkat
investasi dalam
negeri, dan tingkat ekspor yang rendah namun disisi lain tercapai
pertumbuhan ekonomi sekalipun dalam tingkat pertumbuhan yang rendah.
Fakta tersebut juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan perekonomian
makro, tidak serta merta berimplikasi langsung pada kondisi ekonomi mikro.
Hal ini dapat dijelaskan melalui perilaku konsumsi masyarakat. Kondisi
perekonomian pada tahun 1997-2000 terjadi krisis, namun terdapat
peningkatan pengeluaran masyarakat. Fakta lain adalah peningkatan
pengeluaran pemerintah untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia
dan pembangunan infrastruktur dasar telah menjadi pemicu peningkatan
pertumbuhan perekonomian daerah dan nasional. Hubungan ini dapat dilihat
juga pada hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ram (1986), dan
Grossman (1988), mengungkapkan bahwa terjadi hubungan positif antara
peningkatan pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi dengan
mengabaikan disagregasi pengeluaran tersebut.
Pada skala perekonomian daerah propinsi Sulawesi Selatan, setelah krisis
mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. pada tahun 2000-2001 mengalami
tingkat pertumbuhan sebesar 5,5 persen, kemudian mengalami penurunan
dengan pertumbuhan sebesar 4,1 persen pada tahun 2001-2002. Pada
perkembangan berikutnya mengalami peningkatan dengan pertumbuhan
sebesar 5,49 persen dan 5,30 persen pada tahun 2002-2003 dan 2003-2004
4
secara berturut-turut. Pada tahun 2004-2005 mengalami pertumbuhan
sebesar
6,1
persen,
sedangkan
pada
tahun
berikutnya
mengalami
peningkatan pertumbuhan sebesar 6,72 persen, sementara itu pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2007-2008 sebesar 6,34 persen.
Selama periode 2000 hingga 2008 perekonomian Sulawesi Selatan relatif
stabil dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,00 persen pertahunnya. Hal
ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi berangsur-angsur telah mengalami
perbaikan setelah
pasca krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997
dengan pertumbuhan sebesar -5,33 persen.
Selain itu, salah satu manfaat dari hasil perhitungan PDRB yaitu dapat
digunakan untuk melihat gambaran struktur perekonomian suatu daerah atau
wilayah. Struktur perekonomian propinsi Sulawesi Selatan yang masingmasing sektor mempunyai peranan yang sangat signifikan. Hal ini dapat
dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan total PDRB
tahun 2005 sebesar 11.337,55 atau 11,4 %, dan urutan yang kedua adalah
sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 54 %, setelah itu disusul
sektor industri pengolahan sebesar 52 %, sektor jasa-jasa sebesar 40 %,
sedangkan sektor pertambangan dan penggalian hanya mencapai 51 % dan
sektor lainnya sebesar 28 %. Dan yang memberikan kontribusi dan kinerja
yang paling besar dalam struktur perekonomian Sulawesi Selatan adalah
sektor pertanian.
5
Sementara itu perkembangan pengeluaran pemerintah juga mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat dua jenis pengeluaran pada format
lama APBD yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
Kemudian pada tahun 2003,
format APBD tersebut berubah dengan format
baru dimana pos pengeluaran pembangunan
menjadi belanja aparatur
daerah yang meliputi belanja administrasi umum, belanja operasi dan
pemeliharaan, dan belanja modal dan pengeluaran rutin menjadi belanja
pelayanan publik yang meliputi belanja administrasi umum, belanja
administrasi dan pemeliharaan serta belanja modal.
Pada format lama APBD, pengeluaran rutin pemerintah pada tahun 1996
sebesar
101847 juta sedangkan pada tahun 1997 sebesar 121013 juta
dengan
perkembangan
pembangunan
pada
sebesar
tahun
18,8
persen.
Sedangkan
1996-1997
sebesar
217985.4
belanja
juta
dan
279275.7juta dengan perkembangan 28,2 persen. Pada tahun 1998 realisasi
pengeluaran rutin sebesar 117307 juta, dan pada tahun berikutnya sebesar
162453 juta. Sampai pada tahun 2002 realisasi pengeluaran rutin sebesar
324435 juta. Untuk realisasi pengeluaran pembangunan, pada tahun 1999
sebesar 250552.5 juta, sedangkan pada tahun 2000 relisasinya sebesar
404935.1 juta rupiah. Pada tahun 2001-2002 realisasi pengeluaran
pembangunan sebesar 507035.1 juta, dan 668448.2 juta rupiah.
Dari tahun ketahun perkembangan pengeluaran pemerintah khususnya
pengeluaran rutin mengalami peningkatan dari tahun 1996 sampai pada
6
tahun
2002. Begitupun
juga
pada
pengeluaran
pembangunan
juga
mengalami peningkatan pada tahun yang sama. Ini menunjukkan bahwa total
realisasi pengeluaran pemerintah dari tahun 1996 hingga tahun 2002 telah
memberikan sumbangsih yang besar untuk peningkatan pertumbuhan
perekonomian Sulawesi Sealatan.
Untuk pengeluaran pemerintah dalam bentuk format baru yaitu belanja
aparatur daerah dan belanja pelayanan publik (modal) dari tahun ketahun
juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 realisasi belanja pelayanan
publik sebesar 849061.5 juta rupiah, sedangkan untuk belanja aparatur
daerah sebesar 938635 juta rupiah. Sedangkan realisasi belanja publik di
sulawesi selatan pada tahun 2005 sebesar
2006 sebesar Rp
2034772.8
2337250.6 juta dan pada tahun
juta rupiah. Dapat dilihat perbedaan
pengeluaran pemerintah pada tahun 2005 dengan 2006 yaitu sebesar
302.477,8 juta dan terjadi penurunan sebesar -12.9%. hal ini disebabkan
oleh kurangnya anggaran untuk belanja modal sehingga terjadi penurunan
terhadap perkembangan pengeluaran pemerintah. Untuk tahun 2007 hingga
2008
perkembangan
pengeluaran
pemerintah
mulai
membaik
dan
menunjukkan perkembangan yang positif. Bisa dilihat realisasi pengeluaran
publik pada tahun 2007 sebesar Rp 3573753.0 juta dengan perkembangan
sebesar 75.6 persen.
Hal ini juga menunjukkan pada tahun 2007-2008 mengalami kenaikan
perkembangan sebesar 4.46 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya.
7
Adanya peningkatan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk
pembangunan dan penyediaan barang publik, karena banyaknya barang
publik yang tersedia dan infrastruktur yang memadai yang dapat menunjang
peningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan pada uraian yang dikemukakan sebelumnya, maka penulis
tertarik untuk mengkaji seberapa besar pengaruh pengeluaran konsumsi
masyarakat dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi
propinsi Sulawesi Selatan dengan judul penelitian sebagai berikut:
“PENGARUH
PEMERINTAH
KONSUMSI
TERHADAP
RUMAH
TANGGA
PERTUMBUHAN
DAN
PENGELUARAN
EKONOMI
PROPINSI
SULAWESI SELATAN PERIODE 1996-2008.”
1.1
Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
“Seberapa besar pengaruh konsumsi rumah tangga dan pengeluaran
pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Sulawesi Selatan
Periode 1996-2008?”
8
1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur dan menganalisis
pengaruh
konsumsi masyarakat, dan pengeluaran pemerintah terhadap
pertumbuhan ekonomi di Propinsi Sulawesi Selatan Periode 1996-2008.
1.3
Manfaat Penelitian
1. Untuk memberikan gambaran mengenai pengaruh konsumsi
masyarakat, dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi di Propinsi Sulawesi Selatan Periode 1999-2008.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan
penelitian tentang kondisi perekonomian khususnya di Sulawesi
Selatan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Konsumsi Rumah Tangga
Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah total nilai pasar dari
barang dan jasa yang dibeli oleh rumah tangga selama satu tahun.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri atas dua komponen utama, yaitu
(a) pengeluaran untuk non konsumsi atau barang tahan lama. Seperti mobil,
alat elektronik, dan sebagainya. Sedangkan (b) pengeluaran untuk konsumsi
barang dan jasa yang tidak tahan lama seperti makanan, sabun, pakaian, dan
jasa lainnya. Berikut ini akan diuraikan terori konsumsi dari berbagai ahli
ekonomi.
2.1.2 Teori Konsumsi
1.
Teori Konsumsi Menurut Keynes
Teori konsumsi yang dikemukakan oleh JM. Keynes mengatakan
bahwa besar kecilnya pengeluaran konsumsi hanya didasarkan atas besar
kecilnya tingkat pendapatan masyarakat. Keynes menyatakan bahwa ada
pengeluaran konsumsi minimum yang harus dilakukan oleh masyarakat
10
(konsumsi outonomous) dan pengeluaran konsumsi akan meningkat dengan
bertambahnya penghasilan.
Beberapa ciri fungsi konsumsi menurut Keynes yaitu,
penentu
utama
dari
konsumsi
adalah
tingkat
pendapatan.
pertama
Kedua
kecenderungan Mengkonsumsi Marginal (Marginal Propensity to Consume) –
pertambahan konsumsi akibat kenaikan pendapatan sebesar satu satuan.
besarnya MPC adalah antara nol dan satu. Dengan kata lain MPC adalah
pertambahan atau perubahan konsumsi (ΔC) yang dilakukan masyarakat
sebagai akibat pertambahan atau perubahan pendapatan disposabel atau
pendapatan yang siap dibelanjakan (ΔY). Ketiga, rasio konsumsi terhadap
pendapatan, yang disebut dengan Kecenderungan Mengkonsumsi Rata-rata
(Average Propensity to Consume), turun ketika pendapatan naik, dengan
demikian APC menurun dalam jangka panjang dan MPC lebih kecil dai pada
APC (MPC<APC).
Selain pendapatan, pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh
factor-faktor lain, seperti kekayaan, tingkat sosial ekonomi, selera, tingkat
bunga dan lain-lain.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi konsumsi
menggambarkan sifat hubungan diantara tingkat konsumsi rumah tangga
dalam perekonomian dan pendapatan nasional atau pandapatan disposibel
perekonomian tersebut. Dalam ciri-ciri fungsi konsumsi dinyatakan bahwa
11
APC mengukur pendapatan disposible yang diinginkan oleh rumah tangga
untuk dibelanjakan sebagai konsumsi. MPC mengukur setiap pertambahan
pendapatan disposible yang diinginkan oleh rumah tangga untuk dibelanjakan
sebagai konsumsi.
2.
Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Siklus Hidup
Teori konsumsi dengan hipotesis ini dikemukakan oleh Ando,
Brumberg, dan Modiglani yaitu tiga ekonom yang hidup di abad 18. Menurut
teori ini faktor sosial ekonomi seseorang sangat mempengaruhi pola
konsumsi orang tersebut. Teori ini membagi pola konsumsi menjadi tiga
bagian berdasarkan umur. Yang pertama yaitu seseorang berumur nol hingga
berusia tertentu dimana orang ini dapat menghasilkan pendapatan sendiri,
maka ia mengalami dissaving (mengonsumsi tapi tidak mendapatkan
penghasilan sendiri yang lebih besar dari pengeluaran konsumsinya). Yang
kedua yaitu mengalami persaingan, dan yang terakhir yaitu seseorang pada
usia tua dimana ia tidak mampu lagi menghasilkan pendapatan sendiri dan
mengalami dissaving lagi.
3.
Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif
Teori ini dikemukakan oleh James Duessenberry, yang menggunakan
dua asumsi yaitu : a). selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi
adalah
interdependen.
Artinya
pengeluaran
konsumsi rumah
tangga
dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan oleh orang disekitarnya
12
(tetangga). Sedangkan b). Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya
pola pengeluaran seseorang pada saat penghasilan naik berbeda dengan
pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan.
Duesenberry
menyatakan
bahwa
teori
konsumsi
atas
dasar
penghasilan absolute sebagaimana yang dikemukakan oleh Keynes yang
tidak mempertimbangkan aspek psikologi seseorang dalam berkonsumsi.
Duesenberry menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga
sangat dipengaruhi oleh posisi atau kedudukan di masyarakat sekitarnya.
4.
Teori konsumsi Dengan Hipotesis pendapatan Permanen
Teori konsumsi dengan hipotesis pendapatan permanen dikemukakan
oleh M. Friedman. Teori ini mengatakan bahwa pendapatan masyarakat
dapat digolongkan menjadi dua yaitu pendapatan permanen dan pendapatan
sementara. Pendapatan permanen merupakan pendapatan yang selalu
diterima pada setiap periode tertentu dan dapat diperkirakan sebelumnya,
misalnya pendapatan dari upah dan gaji. Sedangkan pendapatan sementara
merupakan pendapatan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, nilainya
dapat positif jika nasibnya baik dan dapat negatif jika bernasib buruk.
13
2.1.3 Hubungan antara Konsumsi dengan Pertumbuhan Ekonomi
Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan nilai belanja yang
dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhannya
dalam satu tahun tertentu. Pendapatan yang diterima oleh rumah tangga
akan digunakan untuk membeli makanan, pakaian, biaya jasa pengangkutan,
membayar
pendidikan
anak,
membayar
sewa
rumah
dan
membeli
kendaraan. Barang-barang tersebut dibeli rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhannya. (Sukirno, 1994).
Keputusan konsumsi rumah tangga dipengaruhi keseluruhan prilaku
baik jangka panjang maupun jangka pendek. Keputusan konsumsi rumah
tangga untuk jangka panjang adalah penting karena peranannya dalam
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk analisa jangka pendek peranannya
penting dalam menentukan permintaan agregat. Konsumsi adalah dua per
tiga dari GDP.
Menurut sukirno “Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh rumah
tangga dalam perekonomian tergantung pada pendapatan yang diterima oleh
mereka. Semakin besar pendapatan maka semakin besar pula konsumsinya.
(Sukirno, 1994).
Seperti yang telah dijelaskan bahwa semakin tinggi pendapatan maka
semakin besar pula konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga, namun
pertambahan konsumsi yang terjadi, lebih rendah dari pada pertambahan
14
yang berlaku. Maka makin lama, kelebihan konsumsi rumah tangga yang
wujud bila dibandingkan dengan pendapatan yang diterimanya akan menjadi
bertambah. Kelebihan konsumsi ini merupakan tabungan masyarakat.
Hubungan ini dapat dilukiskan dalam bentuk persamaan :
Yd = C + S…………………………………...…(2.1)
dimana Yd adalah pendapatan disposibel, C adalah Konsumsi dan S adalah
tabungan.
Akan tetapi, pada tingkat pendapatan yang sangat rendah, bisa saja
seluruh pendapatan untuk digunakan untuk konsumsi sehingga tabungan
adalah nol. Bahkan terpaksa konsumsi dibiayai dari kekayaan atau
pendapatan masa lalu. Kondisi ini disebut dissaving atau mengorek
tabungan.
Perkembangan ekonomi yang terjadi mengakibatkan bertambahnya
variabel
yang
dapat
mempengaruhi
pengeluaran
konsumsi
selain
pendapatan, diantaranya yaitu tingkat bunga, kekayaan, dan barang tahan
lama. Tingkat bunga ini penting pengaruhnya terhadap tabungan yang pada
akhirnya akan mempengaruhi konsumsi. Konsumen mempunyai preferensi
terhadap suatu barang sekarang dibandingkan dengan barang itu diperoleh
pada masa yang akan datang. Agar konsumen bersedia menangguhkan
pengeluaran konsumsinya, diperlukan balas jasa yang disebut bunga.
Semakin tinggi tingkat bunga maka semakin besar pula uang yang ditabung
15
(berarti semakin kecil uang yang dibelanjakan untuk konsumsi). Sebaliknya,
semakin rendah tingkat bunga, maka jumlah uang yang ditabung juga
semakin rendah (berarti semakin besar uang yang digunakan untuk
konsumsi).
Kekayaan, perubahan tingkat harga akan menyebabkan seseorang
yang memiliki kekayaan akan mengalami perubahan kekayaan tersebut. Jika
tingkat harga naik, maka nilai kekayaan akan naik dan pada kondisi tersebut
pemilik kekayaan akan merasa lebih kaya dan akibatnya akan meningkatkan
pengeluaran konsumsinya. Sebaliknya, jika harga turun, nilai kekayaan akan
turun dan pemilik kekayaan akan merasa nilai kekaaynnya menurun.
Akibatnya ia akan mengurangi pengeluaran konsumsinya.
barang tahan lama adalah barang yang dapat dinikmati sampai pada
masa yang akan datang (biasanya lebih dari satu tahun) seperti, alat atau
perabotan elektronik, mobil, motor, telepon seluler, dan lainnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapatan mempunyai
peranan penting dalam mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat,
baik itu untuk konsumsi barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan
jasa. Semakin tinggi konsumsi masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi pun
akan ikut meningkat.
16
2.2.1 Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah berperan untuk mempertemukan permintaan
masyarakat dengan penyediaan sarana dan prasarana yang tidak dapat
dipenuhi oleh pihak swasta. Dikatakan pula bahwa pengeluaran pemerintah
yang dinyatakan dalam belanja pembangunan bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas produksi dalam proyek yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi,
pemerataan pendapatan, peningkatan kesejahteraan, dan program yang
menyentuh langsung kawasan yang terbelakang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa campur tangan pemerintah dalam
perekonomian sangat membantu, terutama stelah terjadi krisis ekonomi tahun
1997.
Pemerintah
menetapkan
kebijakan
pokok
mengenai
arah
perekonomian melalui perencanaan, kebijakan pemerintah dan pengaturan.
Pemerintah
harus
melakukan
pengeluaran
untuk
melaksanakan
penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan pembangunan,
(Sicat, G.P dan Arndt, H. W:1991).
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan
jasa. Pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan
oleh pemerintah untuk meleksanakan kebijakan tersebut. Teori mengenai
pengeluaran pemerintah terdiri dari pendekatan teori makro (Basri dan Subri,
2003).
17
Adapun teori mengenai pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebrata dalam
Yuswar Zainul basri dan Mulyadi Subri, 2003) terdiri dari :
1. Hukum Wagner
Hukum Wagner
menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman empiris
dari negara –negara maju (USA, Jerman, Jepang), Wagner mengemukakan
bahwa dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat
secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Meski demikian,
Wagner menyadari bahwa dengan tumbuhnya perekonomian hubungan
antara industri, hubungan industri dengan masyarakat dan sebagainya
menjadi semakin rumit atau kompleks.
Kelemahan hukum Wagner adalah hukum tersebut tidak didasarkan
pada suatu teori mengenai pemilihan barang publik, tetapi Wagner
mendasarkan pandangannya dengan teori organis mengenai pemerintah
(organic theory of state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang
bebas bertindak, terlepes dari anggota masyarakat lainnya.
2. Teori Peacok dan Wiserman
Teori Peacok dan Wiserman yang didasarkan pada suatu pandangan
bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran
sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar
untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut.
Namun masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak yaitu suatu
18
tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak
dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah sehingga
mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar
pajak.
Menurut
teori
Peacok
dan
Wiserman,
perkembangan
ekonomi
menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif
pajak tidak berubah. Meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan
pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh sebab itu dalam
keadaan normal, meningktnya GDP menyebabkan penerimaan pemerintah
yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi
semakin besar.
Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya adanya perang
maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai
perang. Karena itu pemerintah melakukan penerimaanya dengan cara
menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi
menjadi berkurang. Akan tetapi perang tidak hanya bisa dibiayai dengan
pajak sehingga pemerintah juga harus meminjam dari negara lain. Setelah
perang selesai, sebetulnya pemerintah dapat menurunkan kembali tarif pada
tingkat sebelum adanya gangguan, tetapi hal tersebut tidak dilakukan karena
pemerintah harus mengembalikan angsuran utang dan bunga pinjaman untuk
membiayai perang, sehingga pengeluaran pemerintah setelah perang selesai
19
meningkat tidak hanya karena GDP naik, tetapi juga karena pengembalian
utang dan bunganya.
3. Teori Rostow dan Musgrave
Teori perkembangan peranan pemerintah yang dikemukakan oleh Rostow
dan musgrave adalah pandangan yang ditimbulkan dari pengamatan
berdasarkan pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak negara, tetapi
tidak didasarkan oleh suatu teori tertentu. Selain itu, tidak jelas apakah akan
terjadi pertumbuhan ekonomi dalam tahap demi tahap atau akan terjadi
dalam beberapa tahap secara simultan.
2.2.2 Jenis – Jenis Pengeluaran Pemerintah
Berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun
2002 pengeluaran daerah terdiri dari dua jenis yaitu pengeluaran belanja
aparatur daerah dan belanja publik. Belanja aparatur daerah terdiri dari
belanja administrasi umum, belanja opersai dan pemeliharaan dimana dalam
belanja opersasi ini terbagi lagi mennjadi beberapa bagian yaitu
belanja
pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja
pemeliharaan, dan belanja modal. Sedangkan yang kedua yaitu pengeluaran
belanja publik.
Sesuai dengan undang-undang no 17 tahun 2003 tentang keuangan
Negara, dengan format belanja yang baru, anggaran belanja terdiri dari :
20
1. Belanja pegawai merupakan kompensasi, baik dalam bentuk uang
maupun barang yang diberikan kepada aparatur Negara sebagai
imbalan atas kinerja pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali
pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
2. Belanja modal merupakan belanja yang digunakan untuk pembelian
barang dan jasa yang habis digunakan untuk memproduksi barang
yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan. Belanja modal
digunakan untuk kegiatan investasi pemerintah melalui penyediaan
sarana dan prasarana pembangunan dalam bentuk tanah, peralatan,
mesin, gedung, banguanan, serta belanja modal fisik lainnya.
3. Pembayaran bunga utang, terdiri dari peminjaman multirateral,
bilateral, fasilitas kredit ekspor, dan pinjaman lainnya.
4. Subsidi dialokasikan sebagai upaya pemerintah untuk menjaga
stabilitas harga, dan untuk membantu masyarakat yang kurang
mampu dan usaha kecil menengah untuk memenuhi sebagian
kebutuhannya, serta membantu BUMN melakukan tugas pelayanan
umum.
5. Belanja hibah merupakan transfer yang sifatnya tidak wajib kepada
Negara atau organisasi.
6. Bantuan social, berupa bentuk cadangan untuk penanggulangan
bencana alam
21
7. Belanja
lain-lain.
Pemanfaatan
belanja
lain-lain
adalah
untuk
menampung belanja pemerintah yang tidak dapat diklasifikasikan
kedalam jenis-jenis balanja diatas.
2.2.3 Hubungan antara Pengeluaran Pemerintah dengan Pertumbuhan
Ekonomi
Peranan pengeluaran pemerintah baik yang dibiayai melalui APBN
maupun APBD khususnya pengeluaran untuk human capital dan infrastruktur
fisik, dapat mempercepat pertumbuhan, tetapi pada sisi lain pembiayaan dari
pengeluaran pemerintah tersebut dapat memperlambat pertumbuhan. Hal ini
sangat tergantung pada sejauh mana produktifitas pengeluaran pemertintah
tersebut dan distorsi pajak yang ditimbulkannya, yang mana dalam konteks
ini pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengruhi total output (PDRB) yakni melalui penyediaan infrastruktur,
barang–barang publik dan insentif pemerintah terhadap dunia usaha seperti
subsidi ekspor.
Menurut Suparmoko (1996), pengeluaran–pengeluaran pemerintah
untuk jaminan sosial, pembayaran bunga dan bantuan pemerintah lainnya
akan
menambah
pengeluaran
perusahaan
pendapatan
pemerintah
dari
industri
ini
dan
akan
yang
daya
beli.
memperluas
pada
gilirannya
Secara
keseluruhan
pasaran
akan
hasil–hasil
memperbesar
22
pendapatan. Dengan bertambahnya pendapatan yang diperoleh pemerintah,
maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dari segi penerimaan, maka pungutan pajak oleh pemerintah akan
megurangi pendapatan para pengusaha yang sebetulnya dapat digunakan
untuk konsumsi dan pembentukan modal atau akan mengurangi pendapatan
konsumsi dan penerimaan akan hasil produksi.
Selanjutnya Suparmoko (1996) mengatakan pengaruh yang terjadi
dengan adanya pengeluaran dan penerimaan pemerintah, ini tegantung pada
hubungan perimbangan antara pengeluaran dengan pendapatan pemerintah
itu sendiri. Jika anggaran surplus, artinya pendapatan dari pajak–pajak
dengan pungutan–pungutan lain lebih besar dari pengeluarannya, maka
pengaruh yang ditimbulkan terhadap kehidupan ekonomi bersifat kontraktif
atas employment, produksi regional dan output. Sebaliknya bila anggaran itu
ternyata defisit yakni pengeluaran atau pembelanjaan pemerintah melampaui
pendapatannya timbullah efek ekspansif dalam perekonomian.
Berdasrkan teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa baik atau
tidaknya hasil yang dapat dicapai oleh kebijakan pemerintah tergantung dari
kualitas pemerintah itu sendiri. Apabila pemerintah tidak atau kurang efisien,
maka akan terjadi pemborosan dalam penggunaan faktor-faktor produksi.
Jika pemerintah terlalu berkuasa dan menjalankan fungsi-fungsi ekonomi di
dalam perekonomian suatu negara maka peranan swasta akan menjadi
23
semakin kecil, para individu dan juga badan-badan usaha tidak lagi dapat
melatih dirinya dalam menciptakan berbagai inisiatif secara efektif untuk
mencapai keputusan yang rasional yang sangat berguna bagi pencapaian
kepuasan atau keuntungan yang maksimal. Sebaliknya pemerintah terlalu
sedikit tanggung jawabnya terhadap masyarakat, kegiatan swasta akan dapat
merusak kehidupan masyarakat yaitu dapat menimbulkan adanya pembagian
penghasilan yang tidak merata, timbulnya kegiatan-kegiatan monopoli, tidak
ada usaha-usaha yang sangat penting untuk kepentingan umum yang
diusahakan.
2.3.1 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan
ekonomi
menunjukkan
sejauh
mana
aktivitas
perekonomian yang akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat
pada suatu periode tertentu, karena pada dasarnya aktivitas perekonomian
adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan
output maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu balas jasa
terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya
pertumbuhan ekonomi, diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik
faktor produksi juga akan meningkat.
Indikator pertumbuhan ekonomi merupakan pertanda pentingnya di
dalam kehidupan perekonomian. Jhingan (1994) menunjukkan enam ciri
24
pertumbuhan ekonomi modern yang muncul dalam analisis yang didasarkan
pada produk nasional dan komponennya, penduduk, tenaga kerja dan lainlain. Adapun keenam ciri – ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut adalah
sebagai berikut :
Pertama,
laju
pertumbuhan
penduduk
dan
produk
perkapita.
Pertumbuhan ekonomi modern sebagaimana terungkap dari pengalaman
negara maju sejak akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ditandai dengan
kenaikan produk perkapita yang tinggi dibarengi dengan laju pertumbuhan
penduduk yang cepat.
Selanjutnya Peningkatan produktifitas. Pertumbuhan ekonomi terlihat
dari semakin meningkatnya laju produk perkapita terutama adanya perbaikan
kualitas input yang meningkatkan efesiensi dan produktifitas per unit input.
Hal ini dapat dilihat dari semaikn besarnya masukan sumber tenaga kerja dan
modal atau semakin meningkatnya efesiensi, atau kedua-duanya. Kenaikan
efesiensi berarti penggunaan output yang lebih besar untuk setiap unit input.
Yang ketiga, laju perubahan struktur yang tinggi. Perubahan struktural
dalam pertumbuhan ekonomi mencakup peralihan dari kegiatan pertanian ke
non pertanian, dari industri ke jasa, perubahan dari skala unit–unit produksi
dan peralihan dari perusahaan perorangan menjadi perusahaan berbadan
hukum serta perubahan status kerja buruh.
25
Keempat yaitu, Urbanisai. Pertumbuhan ekonomi ditandai pula dengan
semakin banyaknya penduduk di negara maju yang berpindah dari daerah
pedesaan kedaerah perkotan.
Ciri pertumbuhan ekonomi selanjutnya yaitu ekspansi negara maju.
Pertumbuhan negara maju kebanyakan tidak sama pada beberapa bangsa.
Pertumbuhan ekonomi modern terjadi lebih awal dari pada bangsa lain. Hal
ini sebagian besar disebabkan perbedaan latar belakang sejarah masa lalu.
dan yang terakhir adalah arus barang, modal dan orang antar bangsa. Arus
barang, modal dan orang antar bangsa akan mempercepat pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan
ekonomi
berarti
perkembangan
kegiatan
dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi
bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi
juga merupakan tingkat kenaikan PDB atau PNB riil pada suatu tahun
tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada umumnya
pertumbuhan ekonomi dapat diukur dengan perbandingan “Gross Domestic
Product” (GDP) atau “Product Domestic Regional Bruto” (PDRB) untuk
daerah, dan “Gross National Product” (GNP) untuk skala nasional.
(Djoyohadikusumo Dalam Irma, 2000).
26
2.3.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Dalam zaman ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dalam buku
karangannya yang berjudul An Inguiry into the Nature and Causes of the
Wealt Nations, menganalisis sebab berlakunya pertumbuhan ekonomidan
factor yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith,
beberapa ahli ekonomi klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, Stuart Mill,
juga membahas masalah perkembangan ekonomi .
Adapun Teori tentang pertumbuhan ekonomi yaitu sebagai berikut :
1.
Teori Klasik
a. Adam Smith.
Teori
Adam
Smith
beranggapan
bahwa
pertumbuhan
ekonomi
sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya
pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output atau hasil.
Teori Adam Smith ini tertuang dalam bukunya yang berjudul An Inquiry Into
the Nature and Causes of the Wealth of Nations.
b. David Ricardo.
Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang
semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan
menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan
mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan
untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan
27
mengalami kemandegan (statonary state). Teori David Ricardo ini dituangkan
dalam bukunya yang berjudul The Principles of Political and Taxation.
2.
Teori Neoklasik
1. Model Input-Output Leontief.
Model ini merupakan gambaran menyeluruh tentang aliran dan
hubungan
antar
industri.
Perencanaan
pertumbuhan
ekonomi
dapat
dilakukan secara konsisten karena dapat diketahui gambaran hubungan
aliran input-output antar industri. Hubungan tersebut diukur dengan koefisien
input-output dan dalam jangka pendek/menengah dianggap konstan tak
berubah .
2. Model Pertumbuhan Lewis
Model ini merupakan model yang khusus menerangkan kasus Negara
sedang berkembang yang mempunyai banyak penduduk. Tekanannya
adalah pada perpindahan kelebihan penduduk disektor pertanian ke sektor
modern kapitalis industri yang dibiayai dari surplus keuntungan.
3. Robert Solow
Robert Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal,
pemakaian teknologi modern dan hasil atau output. Adapun pertumbuhan
penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh
28
karenanya,
menurut
Robert
Solow
pertambahan
penduduk
harus
dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif.
4. Harrord Domar
Teori ini beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena
pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal
tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan
kesempatan kerja.
Pertumbuhan suatu sektor tergantung pada stok barang modal
pertenaga kerja, tingkat keahlian tenaga kerja dan perubahan teknologi serta
skala ekonomi yang pada gilirannya akan menentukan keunggulan
komparatif suatu sektor.
2. Teori pertumbuhan ekonomi yang lain adalah :
1. Teori Baru Pertumbuhan Ekonomi (Akhir 1980-an dan Awal 1990an)
Teori ini mencoba memodifikasikan dan mengembangkan teori
pertumbuhan tradisional sedemikian rupa sehingga ia dapat menjelaskan
mengapa ada sebagian negara yang mampu berkembang begitu cepat
sedangkan yang lain begitu sulit atau bahkan mengalami stagnasi
(kemacetan). Teori baru ini juga bermaksud menjelaskan mengapa meskipun
konsep-konsep neoklasik seperti pasar bebas dan otonomi sektor swasta
begitu gencar didengungkan, tetapi peranan pemerintah dalam keseluruhan
proses pembangunan masih tetap sangat besar.
29
2. Teori Tahapan Linier
1. Rostow (Stages-of-growth-models of development) Model-model
pembangunan pertumbuhan bertahap.
Menurut Rostow dalam proses pembangunannya suatu negara akan
melalui beberapa tahapan yaitu tahap pertama adalah tahapan tradisional,
dengan pendapatan per kapita yang rendah dan kegiatan ekonomi yang
stagnan; tahapan transisional, di mana tahap prakondisi bagi pertumbuhan
dipersiapkan; tahap selanjutnya yaitu tahapan lepas landas (ini merupakan
permulaan
bagi
adanya
proses
pertumbuhan
ekonomi
secara
berkesinambungan); tahapan awal menuju ke kematangan ekonomi ; serta
tahapan produksi dan konsumsi massal yang bersifat industri (inilah
tahapan pembangunan atau development stage ).
2. Harrod-Domar growth model (Model pertumbuhan Harrod-Domar)
Sebuah persamaan yang menunjukkan hubungan fungsional secara
ekonomis antara berbagai variabel pokok ekonomi. Pada intinya model ini
menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan GDP (g) secara langsung
tergantung pada tingkat tabungan nasional (s) dan sebaliknya akan
menentukan rasio modal-output (k), sehingga persamaannya adalah g =
s/k. Persamaan tersebut mengambil nama dari dua orang ekonom
terkemuka, yakni Sir Roy Harrod dari Inggris dan E. V. Domar dari Amerika
Serikat.
30
Adapun beberapa kritikan terhadap Model Pembangunan Bertahap
yaitu :
a) Gagasan dasar tentang pembangunan yang terkandung dalam teoriteori pertumbuhan bertahap tersebut di atas tidak selalu berlaku.
b) Alasan utama tidak berlakunya teori tersebut bukan karena
tabungan dan investasi tidak lagi merupakan syarat penting (
necessary condition ) bagi pemacuan pertumbuhan ekonomi. Akan
tetapi karena dalam kenyataannya telah terbukti bahwa pengadaan
tabungan dan investasi itu saja belumlah syarat cukup ( sufficient
condition ) untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
3. Necessary Condition (Syarat Perlu)
Syarat yang diperlukan demi terjadinya suatu peristiwa meskipun
mungkin jika syarat itu tidak disertai oleh yang lain, maka peristiwa tersebut
bisa tidak terjadi. Sebagai contoh, pembentukan modal (capital) merupakan
syarat
perlu
guna
menunjang
pertumbuhan
ekonomi
(sebelum
pertumbuhan output terjadi, harus ada alatnya dahulu untuk menghasilkan
output tersebut). Akan tetapi, agar pertumbuhan tersebut bisa berlangsung
secara berkesinambungan, maka harus ada pula perubahan sosial,
kelembagaan dan sikap yang bersifat menunjang.
31
4. Sufficient Condition (Syarat Cukup)
Suatu kondisi atau syarat yang harus dipenuhi guna memungkinkan
sesuatu hal bisa terjadi. Sebagai contoh, menjadi mahasiswa dari sebuah
universitas tertentu merupakan syarat cukup untuk menerima pinjaman dana
dari Program Kredit Mahasiswa. Model pembangunan Rostow dan HarrodDomar secara implisit ternyata mengasumsikan adanya sikap-sikap dan
pengaturan yang sama di negara-negara terbelakang. Akan tetapi, asumsi itu
tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di negara-negara Dunia Ketiga.
Negara-negara
tersebut
masih
sangat
kekurangan
faktor-faktor
komplementer yang paling penting seperti halnya kecakapan manajerial,
tenaga kerja yang terlatih, kemampuan perencanaan dan pengelolaan
berbagai proyek pembangunan, dsb .
Negara-negara Dunia Ketiga sekarang ini merupakan bagian integral
dari suatu sistem internasional yang sedemikian rumit dan integratif, sehingga
strategi-strategi pembangunan yang paling hebat dan terencana secara
matang sekalipun dapat dimentahkan begitu saja oleh kekuatan-kekuatan
asing yang keberadaan dan sepak-terjangnya sama sekali di luar kendali
negara-negara yang bersangkutan.
Maka muncullah pendekatan yang lebih baru dan radikal yang mencoba
mengkombinasikan faktor-faktor ekonomi dan institusional ke dalam suatu
model sistem baru mengenai kemajuan dan keterbelakangan internasional.
32
5. Model Perubahan Struktural
Mekanisme yang memungkinkan negara-negara terbelakang untuk
mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola
perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih
modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, dan lebih bervariasi,
serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor jasa-jasa yang tangguh.
Model perubahan struktural tersebut dalam analisisnya menggunakan
perangkat-perangkat neoklasik berupa konsep-konsep harga dan alokasi
sumber daya, serta metode-metode ekonometri untuk menjelaskan terjadinya
proses transformasi. Aliran pendekatan perubahan struktural ini didukung
oleh ekonom-ekonom yang sangat terkemuka seperti W. Arthur Lewis yang
termasyur dengan model teoretisnya tentang "surplus tenaga kerja dua
sektor" ( two sector surplus labor ) dan Hollis B. Chenery yang sangat
terkenal
dengan
analisis
empirisnya
tentang
"pola-pola
pembangunan" ( patterns of development ).
Model Perubahan Struktural
Teori Pembangunan Lewis :
a) T ransformasi struktural ( structural transformation )
b) Model dua-sektor Lewis ( Lewis two-sector model )
Teori pembangunan yang menyatakan bahwa jika surplus tenaga kerja
(surplus labor) dari sektor pertanian tradisional bisa dialihkan ke sektor
industri modern yang daya serap tenaga kerjanya semakin tinggi, maka hal
33
itu akan mempromosikan industrialisasi dan dengan sendirinya akan memacu
adanya pembangunan secara berkesinambungan.
Salah
satu
cara
untuk melihat
kemajuan
perekonomian
dan
perkembangan sektor adalah mencermati nilai pertumbuhan Produk Domesti
Regional Bruto (PDRB) . PDRB adalah merupakan nilai dari seluruh barang
dan jasa yang diproduksi dalam satu tahun dalam suatu wilayah tertentu
tanpa membedakan faktor- faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi itu ( BPS sulsel, 1995 ).
Dalam hitungan PDRB , seluruh lapisan usaha dibagi menjadi 9 sektor,
yaitu : sektor Pertanian, sektor Pertambangan dan penggalian, sektor Industri
pengolahan, sektor Listrik, gas, dan air bersih, sektor Bangunan, sektor
Perdagangan, hotel dan restoran, sektor Angkutan dan komunikasi, sektor
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa- jasa.
Pembangunan
semua
sektor
ditempuh
berdasarkan
rencana
pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang
tujuan fungsionalnya menyajikan prioritas pembangunan, mengidentifikasi
sasaran pada masing- masing sektor, pengalokasian dana sesuai pada
penekanan pada sektor tertentu, penentuan biaya, serta menentukan tolak
ukur keberhasialan dan pelaksanaan.
34
2.3.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Untuk dapat mengukur sejauh mana pembangunan maupun sasaran
serta target pembangunan yang ingin dicapai, maka diperlukan berbagai alat
analisis salah satu diantaranya adalah Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). Berdasarkan konsep dari BPS dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan PDRB adalah nilai yang ditimbulkan oleh aktifitas faktor-faktor
produksi dalam merubah/memproses bahan-bahan baku/penolong sehingga
lebih dekat pada pengguna atau nilai yang ditimbulkan oleh faktor-faktor
produksi dalam wilayah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Nilai-nilai dari PDRB tersebut dapat dihitung dengan melalui tiga
pendekatan yaitu: Segi produksi, PDRB merupakan jumlah netto atas suatu
barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu wilayah
dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Segi pendapatan,
PDRB merupakan jumlash balas jasa (pendapatan) yang diterima faktorfaktor produksi karena ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah
(satu tahun). Dan Segi pengeluaran, PDRB merupakan jumlah pengeluaran
yang dilakukan oleh rumah tangga, pemrintah dan lembaga swasta non profit
serta ekspor netto (setelah dikurangi impor), dan biasanya dalam jangka
waktu tertentu (satu tahun).
Dari
segi
penyajiannya,
PDRB
selalu
dibedakan
kepada
dua
pendekatan yaitu, PDRB atas harga berlaku dan PDRB atas harga konstan.
35
PDRB atas dasar
harga berlaku merupakan jumlah nilai produksi,
pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga berlaku pada
tahun yang bersangkutan, sedangkan PDRB atas harga konstan merupakan
jumlah niali produksi, pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai
dengan harga pasar yang tetap pada tahun dasar dan dalam publikasi
ditetapkan tahun dasar adalah tahun 1993.
Nilai PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengukur
pertumbuhan ekonomi karena nilai PDRB atas dasar harga konstan ini tidak
dipengaruhi oleh perubahan harga, sedangkan PDRB atas dasar harga
berlaku digunakan untuk melihat besarnya perekonomian suatu daerah.
Selanjutnya dapat dijelaskan pula bahwa dalam penyusunan PDRB akan
diperoleh beberapa manfaat. Yang pertama Untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan setiap sektor, Untuk mengetahui
struktur perekonomian suatu daerah, Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan
harga (inflasi/deflasi), dan Sebagai suatu indikator mengenai tingkat
kemakmuran.
2.4
Hubungan antara Konsumsi, Pengeluaran Pemerintah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi
Ada beberapa alasan yang menyebabkan analisis makro ekonomi
perlu memperhatikan konsumsi rumah tangga secara mendalam. Yang
36
pertama yaitu konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi kepada
pendapatan nasional. Pendapatan nasional diberbagai negara sebagian
besar dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga yaitu sekitar 60 hingga 75
persen pertahun. Alasan yang kedua yaitu konsumsi rumah tangga
mempunyai dampak dalam menentukan fluktuasi kegiatan ekonomi dari satu
waktu ke waktu lainnya.
Keputusan rumah tangga sangat mempengaruhi keseluruhan perilaku
perekonomian baik jangka panjang maupun jangka pendek. dalam jangka
panjang konsumsi mempunyai peranan yang sangat besar terhadap
pertumbuhan
ekonomi
sedangkan
dalam
jangka
pendek
konsumsi
mempunyai peranan dalam menentukan permintaan agregat.
Untuk menjaga agar pengeluaran konsumsi oleh rumah tangga tetap
naik yaitu dengan meningkatkan daya beli masyarakat serta meningkatkan
produktifitas masyarakat. Jika daya beli menurun, maka industri dalam negeri
pun terancam gulung tikar. Seperti yang dikemukakan oleh Keynes yaitu
tingginya partisipasi masyarakat dalam mengkonsumsi akan meningkatkan
output yang akhirnya akan menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan
tingkat pembangunan ekonomi.
37
2.5
Penelitian Sebelumnya
Palupi
(2002)
dalam
penelitiannya
menganalisis
pengeluaran
pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah (studi kasus di
kabupaten Purworejo)menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dan
meyakinkan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi.
Secara umum studi pada hubungan antara pengeluaran pemerintah
dan pertumbuhan ekonomi mengasumsikan secara implisit bahwa semua
pengeluaran investasi pemerintah adalah produktif. Barro (1990), lebih lanjut
dalam penelitiannya pada 98 negara, dia menemukan bahwa GDP riil
perkapita berhubungan positif dengan pengeluaran investasi human capital
dan berhubungan negatif dengan konsumsi pemerintah.
Pada sisi lain Ram (1986), Grossman (1988) menemukan suatu
hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi
dengan mengabaikan disaggregation pengeluaran tersebut.
Verawati (2005). Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Sidrap tahun 1994/1995 - 2004.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa :
Dari hasil analisis regresi menunjukkan pengeluaran pemerintah
khususnya pengeluaran pemerintah (belanja publik) pada alokasi belanja
sektor pertanian dan sektor perdagangan memiliki pengaruh positif dan
38
signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sidrap periode
1994-2004.
Pengeluaran pemerintah (belanja publik) pada alokasi belanja sektor
industri berpengaruh positif namun tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena
kontribusi alokasi belanja sektor industri terhadap pengeluaran pemerintah
(belanja publik) dan rata-rata perkembangannya lebih kecil sehingga
menyebabkan kontribusi sektor industri terhadap tingkat pertumbuhan
ekonomi cenderung kecil. Selain itu penggunaan tenaga kerja di sektor
industri cenderung kecil jika dibandingkan dengan penggunaan modal
sehingga sektor industri belum berkembang khususnya dalam penyerapan
tenaga kerja.
Andi
Konsumsi
Pujiani
Rumah
(2009).
Tangga,
Hasil
penelitiannya
Investasi,
Dan
menunjukkan
Pengeluaran
bahwa
Pemerintah
berpengaruh positif dan signifikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
di
Sulawesi – Selatan 1997 – 2007.
Ema Firawati Soamole menulis pengaruh pertumbuhan konsumsi dan
pertumbuhan pengeluaran pemerintah terhadap peetumbuhan ekonomi di
Indonesia pada tahun 1983-2003. Dengan menggunakan uji t statistik,
pengaruh pertumbuhan konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia selama tahu pengamatan adalah signifikan. Sedangkan untuk
pertumbuhan pengeluaran pemertintah terhadap pertumbuhan ekonomi
mempunyai pengaruh yang tidak signifikan.
39
Herningsih Latief (2000). Dalam penelitian ini, penulis menarik
beberapa kesimpulan yaitu : Bahwa ternyata pengeluaran pemerintah
khususnya pengeluaran pembangunan secara keseluruhan berpengaruh
nyata/signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) Sulawesi Selatan.
Berdasarkan perhitungan dengan metode regresi linier 2SLS yang
telah dilakukan ternyata antara pengeluaran pemerintah melalui pertumbuhan
ekonomi berdampak positif dan berpengaruh signifikan dalam rangka
menciptakan kesempatan kerja di Sulawesi Selatan. Hal ini dapat dilihat dari
pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di masing-masing
sektor yang dapat memicu terciptanya pertumbuhan ekonomi dimana sangat
besar dampaknya terhadap penciptaan kesempatan kerja. Pertumbuhan
ekonomi bukan semata-mata hanya untuk meningkatkan kesejahteraan tetapi
juga diarahkan pada terciptanya kesempatan kerja yang baru, sehubungan
dengan hal tersebut perlu penciptaan lapangan kerja yang bersifat padat
karya dan peningkatan produktivitas kerja.
2.6
Kerangka Pikir Penelitian
Hubungan antara konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah
dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan dapat dilihat
pada skema kerangka pikir sebagai berikut :
40
PDRB
DISPOSIBLE
INCOME
PENGELUARAN
PEMERINTAH
KONSUMSI
PERTUMBUHAN
EKONOMI
2.7
Hipotesis
Berdasarkan permasalahan diatas maka diduga bahwa “pengeluaran
pemerintah, dan konsumsi rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi selatan periode 1996-2008”.
:
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary Least
Square) atau pangkat kuadrat terkecil. Untuk mengetahui pengaruh
hubungan variabel bebas (konsumsi rumah tangga, dan pengeluaran
pemerintah) terhadap variabel terikat (Pertumbuhan Ekonomi).
3.1
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari
instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik, Perpustakaan Fakultas
Ekonomi Dan Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, maupun
Browsing (pencarian) di internet dan beberapa sumber referensi yang
menyangkut masalah teori-teori yang digunakan dan informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian ini.
Data yang digunakan berupa data time series dari tahun 1996 sampai
tahun 2008 yaitu yang terdiri dari data PDRB Sulawesi Selatan berdasarkan
harga konstan tahun 2000, konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan,
pengeluaran pemerintah (dalam hal ini data belanja pembangunan dan
belanja modal).
42
3.2
Metode Analisis
Untuk menguji hipotesis yang diajukan tentang seberapa besar
pengaruh
antar
variabel
atau
faktor-faktor
yang
disajikan
dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, maka penulis menggunakan model
analisis regresi sederhana. Secara sistematika variabel-variabel dimasukkan
dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
Y = f (X1, X2)
.................................................................................. (1)
Secara eksplisit dapat ditulis sebagai berikut :
Y = α + β1 LnX1 + β2Ln X2 + ε ................................................... (2)
Dimana:
Y
= Pertumbuhan Ekonomi (PDRB)
α
= konstanta
X1
= Konsumsi
X2
= Pengeluaran Pemerintah
β1, β2 = koefisien regresi parsial untuk X1, X2
ε
= error term
43
Untuk menganalisis lebih lanjut maka perhitungan regresi dilakukan
untuk mendapatkan nilai-nilai sebagai berikut :
1. Koefisien Korelasi ( nilai r)
Untuk menghitung arah dan kuatnya hubungan antara variabel bebas
dan variabel terikat secara parsial, koefisien korelasi ini mempunyai nilai yang
berkisar antara -1< r < +1
2. Koefisien Determinasi Berganda ( Nilai R2 )
Untuk mengukur besarnya proporsi atau sumbangan variabel bebas
terhadap naik turunnya variabel terikat. Semakin besar nilai R 2 maka semakin
besar variasi variabel terikat ditentukan oleh variabel bebas.
3. Statistik uji t ( t test )
Uji statistik t digunakan untuk menguji tingkat signifikasi antar variabel
secara parsial dikatakan signifikan jika t hitung >t tabel.
4. Statistik uji F ( F test)
Untuk mengetahui signifikasi antar variabel secara menyeluruh
dikatakn signifikan jika F hitung >f tabel.
44
3.3 Batasan Variabel
Variabel-variabel yang akan di estimasi pada penelitian ini adalah
konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, dan produk domestik
regonal bruto dengan batasan sebagai berikut :
1. Konsumsi Rumah tangga didefinisikan sebagai pertumbuhan
konsumsi barang-barang kebutuhan pokok rumah tangga per
tahun Propinsi Sulawesi Selatan dari tahun 1996-2008
2. Pengeluaran
pemerintah
didefinisikan
sebagai
pertumbuhan
pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja pembangunan dan
belanja modal (publik) per tahun Propinsi Sulawesi Selatan dari
tahun 1996-2008
3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai
pertumbuhan PDRB Propinsi Sulawesi Selatan dari tahun 19962008.
45
BAB IV
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
4.1
Pertumbuhan Perekonomian Provinsi Sulawesi Selatan
Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari besarnya nilai Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan. Penggunaan atas dasar
harga konstan ini dimaksudkan untuk menghindari pengaruh perubahan
harga, sehingga perubahan yang diukur merupakan pertumbuhan riil
ekonomi. Angka PDRB suatu daerah dapat memperlihatkan kemampuan
daerah tersebut dalam mengolah sumber daya alam yang dimiliki melalui
suatu proses produksi dengan menggunakan teknologi tertentu. Oleh karena
itu, besar kecilnya PDRB suatu daerah sangat tergantung pada potensi
sumber daya alam dan faktor-faktor yang terdapat didaerah tersebut.
Pada tabel dibawah ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan ekonomi Sulawesi Selatan selama periode 1996-2008.
46
Tabel 4.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Dalam Juta Rupiah
Provinsi Sulawesi Selatan Periode 1996-2007
Tahun
PDRB ADHK 2000
PE
1996
26359978.20
-
1997
27602072.20
4.5
1998
26131239.82
-5.3
1999
26870146.21
2.8
2000
28183851.91
4.8
2001
29583605.51
5.5
2002
30948818.93
4.1
2003
32627380.12
5.4
2004
34345080.50
5.3
2005
36421787.37
6.1
2006
38867679.22
6.7
2007
41332426.29
6.3
2008
44549824.32
7.8
Sumber : BPS Propinsi Sulawesi Selatan
Berdasarkan tabel 4.1. tersebut menunjukkan bahwa rata-rata
pertumbuhan ekonomi propinsi Sulawesi Selatan periode tahun 1999-2008
mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode tahun 1996-1999
tingkat pertumbuhan menunjukan fluktuasi yang tajam yaitu sebesar 8,2%
pada tahun 1996, menurun menjadi 4,5 % pada tahun 1997, dan pada tahun
1998 pertumbuhannya menurun dan negatif sebesar -5,3%, dan 2,8% pada
tahun 1999 secara berturut-turut. Pertumbuhan yang menurun tersebut terjadi
sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada periode yang sama.
47
Pada periode tersebut yang merupakan puncak krisis, hampir semua
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalami kontraksi pertumbuhan yang
selanjutnya berdampak secara regional di daerah ini. Pasca periode krisis,
pereknomian Propinsi Sulawesi Selatan menunjukan perkembangan ke arah
pemulihan
(recovery).
Hal
ini
ditandai
dengan
pencapaian
tingkat
pertumbuhan positif pada tiga tahun terakhir setelah puncak krisis.
Setelah krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Propinsi Sulawesi
Selatan dari tahun ke tahun memperlihatkan hasil yang membaik. Pada tahun
2000 PDRB propinsi Sulawesi Selatan mencapai 28.183.851,91 juta rupiah
dan menjadi 29.583.605,51 juta rupiah pada tahun 2001 dan 30.948.818,93
juta rupiah pada tahun 2002 atas dasar harga konstan 2000 atau menurun
dari 5.5 % menjadi 4.1% . Hal ini menunjukkan rata-rata pekembangan
PDRB selama tiga tahun pasca krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga tahun
1998 sekitar 4,32% dari tahun 2000 hingga tahun 2002.
Pertumbuhan PDRB pada tahun 2004 sebesar 5,3 persen, sedangkan
pada tahun 2003 sebesar 5,4 persen. Pada tahun tahun berikutnya
pertumbuhan ekonomi mulai membaik dan pertumbuhannya positif. Pada
tahun 2008
sebesar
44.549.824,55 juta rupiah, dan mengalami
pertumbuhan sebesar 7,78 persen. Ini menunjukkan rata-rata pertumbuhan
ekonomi yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun 2008 sebesar 6,43
persen pertahun.
48
Total PDRB pada tahun 2007 sebesar 41.332.426,29 juta rupiah.
Sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah
tangga sebesar 23.263.512,46 juta rupiah atau 56,28 persen dari total PDRB.
Besarnya porsi konsumsi rumah tangga tersebut merupakan faktor
pendorong utama besarnya permintaan barang dan jasa untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Selain konsumsi rumah tangga,
komponen PDRB pengguna lain yang dominan adalah konsumsi pemerintah
sebesar 6.075.870,59 juta rupiah atau sekitar 14,70 persen. Sedangkan
komponen PDRB lainnya kurang dari 1 persen.
4.2 Perkembangan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 hingga tahun
1998 menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Namun pada tahun
2000 dan seterusnya keadaan perlahan mulai membaik dan pengeluaran
konsumsi rumah tanggapun mulai meningkat. Pada tahun 1996 pengeluaran
konsumsi rumah tangga sebesar 13720606.29 juta rupiah, berbeda dengan
tahun 1997 konsumsi rumah tangga sebesar 15019820.82 juta rupiah dengan
pertumbuhan sebesar
8.65 persen. Krisis ekonomi pada tahun 1998
membawa dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi
khususnya bagi konsumsi masyarakat.
49
Perkembangan konsumsi rumah tangga jika kita lihat dari tahun ketahun
setelah krisis ekonomi mulai meningkat. Pada tahun 2003 konsumsi rumah
tangga atas dasar harga konstan tahun 2000, sebesar 18.468.556,87 juta
rupiah dengan pertumbuhan sebesar 4,80 persen. Dari tahun ketahun
pengeluaran konsumsi terus meningkat hingga pada tahun 2008 sebesar
24.344.174,8 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi
cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan daya beli masyarakat
pada periode tersebut.
Untuk
mengetahui
lebih
jelasnya
tentang
data
perkembangan
pengeluaran konsumsi rumah tangga, dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
50
Tabel 4.2 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Provinsi Sulawesi
Selatan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Dalam Juta Rupiah
Tahun
Konsumsi Rumah
Tangga ADHK 2000
(Juta Rp)
Perkembangan (%)
1996
13720606.29
-
1997
15019820.82
8.65
1998
14743991.82
-1.84
1999
15020487.35
1.87
2000
15805351.25
5.22
2001
16640848.95
5.23
2002
17794805.71
5.29
2003
18648556.97
4..80
2004
19459450.30
4.35
2005
20707933.54
6.42
2006
22145276.56
6.94
2007
23263512.46
5.05
2008
24344174.82
Sumber : Badan Pusat Statistik
4.64
Peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga diiringi dengan
jumlah penduduk yang semakin bertambah tiap tahunnya, serta peningkatan
konsumsi rumah tangga ini juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi
51
pada hari-hari besar keagamaan atau tradisi yang dilakukan masyarakat tiap
tahun. Selain jumlah penduduk yang tiap tahunnya meningkat dan konsumsi
hari-hari besar yang menjadi faktor pendorong meningkatnya konsumsi,
pendapatan juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi.
4.3
Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu aspek penggunaan
sumber daya ekonomi yang secara langsung dikuasai oleh pemerintah dan
secara tidak langsung dimiliki oleh masyarakat melalui pembayaran pajak.
Dua
aspek
yang
terkait
dengan
pengeluaran
pemerintah
adalah
pendapatan/penerimaan dan pengeluaran/belanja.
Belanja Pemerintah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui
sebagai pengurangan nilai kekayaan daerah. Realisasi Pengeluaran
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada tabel berikut.
52
Tabel 4.3 Perkembangan Realisasi Pengeluaran Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan (belanja Pembangunan dan Belanja Modal) 1996-2008
Dalam Juta rupiah
Tahun
Pengeluaran
Pemerintah (Juta Rp)
Perkembangan (%)
1996
217985.4
-
1997
279275.7
28.2
1998
362317.1
29.7
1999
250552.5
-30.8
2000
404935.1
61.6
2001
507035.1
25.2
2002
668448.2
31.8
2003
849061.5
27.1
2004
1213334.6
42.9
2005
2337250.6
92.6
2006
2034772.8
-12.9
2007
3573753.0
75.6
2008
3733299.0
4.46
Sumber : Badan Pusat Statistik
Berdasarkan undang-undang no 17 tahun 2003 tentang keuangan
negara, dengan format belanja baru Pada Tahun 2004 komponen belanja
pemerintah terdiri atas belanja aparatur, pelayanan publik, bagi hasil, bantuan
keuangan dan belanja tidak terduga. Setiap tahunnya, komponen yang
terbesar dari total belanja daerah adalah belanja aparatur daerah Akan tetapi
53
dilihat dari persentasenya, setiap tahunnya mengalami penurunan dimana
pada Tahun 2004 persentasenya sebesar 53,50%, Tahun 2005 sebesar
19,97%, Tahun 2006 terus menurun menjadi sebesar 20,97%. Sedangkan
anggaran yang diperuntukkan bagi pelayanan publik setiap tahunnya
mengalami kenaikan yaitu 278 miliar Tahun 2004, 413 Miliar Tahun 2005 dan
pada Tahun 2006 digunakan belanja sebesar 464 Miliar. Dengan semakin
bertambahnya anggaran yang digunakan untuk pelayanan publik ini maka
dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan makin
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pengeluaran pemerintah pada tahun 1996 sebesar 217985.4 juta
rupiah, dan mengalami peningkatan pada tahun 1997 sebesar 279275.7 juta
rupiah dengan pertumbuhan sebesar
28.2 persen, sedangkan pada tahun
1998 realisasi pengeluaran pemerintah khususnya belanja modal sebesar
362317.1 juta dengan perkembangan sebesar 29.7 persen. Berbeda pada
tahun berikutnya yaitu tahun 1999 pengeluaran pemerintah mengalami
penurunan sebesar 250552.5 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar 30.8 perasen. Hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi yang terjadi sehingga
pemerintah enggan untuk melakukan pembangunan karena iklim politk
sedang tidak stabil dan perekonomian sedang mengalami goncangan yang
sangat serius, masyarakatpun sangat membatasi konsumsinya begitupun
pemerintah.
54
Dari total pengeluaran pemerintah tiap tahunnya terus mengalami
peningkatan. Dari tahun 2000 hingga tahun 2008. Pengeluaran pemerintah
sempat mengalami penurunan pada tahun 1998-1999 karena krisis ekonomi
yang terjadi pada saat itu yang menybabkan pertumbuhan ekonomi
mengalami penurunan yang berimplikasi pada pengeluaran pemerintah
khususnya belanja pembangunan dan belanja publik di Sulawesi-Selatan.
Dan
secara
bertahap
pengeluaran
pemerintah
mulai
menunjukkan
perkembangan yang positif. Seperti pada tahun 2000 pengeluaran belanja
pembangunan pemerintah sebesar sebesar 404935.1 dengan perkembangan
sebesar 61.6 persen.
4.4 Pengaruh Konsumsi Rumah Tangga dan Pengeluaran Pemerintah
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Untuk mengetahui seberapa besar pengeluaran pemerintah dan
konsumsi rumah tangga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Sulawesi Selatan, maka disajikan hasil perhitungan regresi dengan metode
kuadrat terkecil (Ordinary Least Square). Perhitungan dilakukan dengan
menggunakan SPSS 13 dengan hasil sebagai berikut :
55
Tabel 4.4. variabel-variabel yang diestimasi
variabel
Mean
Max
Min
Prob.
17.28454
Standar
Deviasi
17.07864
Y
17.61212
0.180091
0.568338
X1
X2
16.70328
13.58442
16.43441
12.29218
17.00780
15.13280
0.189080
1.011906
0.613944
0.562967
Hasil estimasi diatas khususnya standar deviasi digunakan sebagai
dasar perhitungan regresi. Selanjutnya untuk melihat hasil regresi pengaruh
konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.5. Ringkasan hasil perhitungan regresi variabel terhadap
pertumbuhan ekonomi (Y)
Parameter
Variabel
bebas
Koefisien
regresi
r
ttabel
thitung
S.E
Sig
X1
0.846
0.99
3.389
2.160
0.250
0.007
X2
0.019
0.98
0.397
1.188
0.047
0.700
R2 = 0.982
F-hitung = 267.129
F-tabel = 3.03
S.E = 267411341
α = 5% (0.05)
Sig. = 0.000
56
Dari
hasil
perhitungan
regresi
dapat
disajikan
dalam
bentuk
persamaan yang menunjukkan hubungan antara pengaruh konsumsi rumah
tangga dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai
berikut :
Y = 2,905 + 0,846X1 + 0,019X2
(0.819)
(3.389)
(0.397)
Persamaan regresi diatas diperoleh konstanta sebesar 2,905 hal ini
berarti bahwa tanpa adanya pengaruh konsumsi rumah tangga, dan
pengeluaran pemerintah akan terjadi perubahan pertumbuhan ekonomi
sebesar 2,815 dengan asumsi citeris paribus.
Pada uji t-statistik dan F-statistik digunakan dalam menguji tingkat
signifikansi model. Dimana uji t, melihat signifikansi model secara parsial atau
menguji pengaruh variabel bebas (pengeluaran konsumsi rumah tangga dan
pengeluaran pemerintah) terhadap variabel terikat (pertumbuhan ekonomi),
sedangkan uji F melihat signifikansi model secara simultan.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2)
adalah sebesar
0,982
ini berarti jika variabel bebas (konsumsi rumah
tangga, dan pengeluaran pemerintah) dapat menjelaskan variabel terikat
(pertumbuhan ekonomi) sebesar 98,2%. Dengan kata lain variasi variabel
lain yang menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang tidak diperhitungkan
kedalam model hanya sebesar 1,8%.
57
Demikian pula jika dilihat nilai koefisien korelasi r
masing-masing
variabel bebas terhadap variabel terikat (Y) adalah 0.99 untuk X1 dan 0.98
untuk X2, artinya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat
sangat erat dan kuat.
Dari hasil perhitungan diperoleh
nilai uji F-hitung adalah sebesar
267,129. Nilai F-tabel sebesar 3,03 pada taraf signifikasi 5% (α = 0,05), Fhitung lebih besar dari F-tabel (267,129>3,03). jadi dengan demikian maka
karakteristik konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah adalah
valid berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi
Sulawesi Selatan.
Selanjutnya untuk
mengetahui pengaruh masing-masing variabel
bebas terhadap pertumbuhan ekonomi maka dilakukan uji signifikasi parsial
(uji-t) sebagai berikut :
1. Konsumsi Rumah Tangga (X1)
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh koefisien regresi konsumsi
rumah tangga adalah positif sebesar 0.846 yang artinya jika terjadi kenaikan
1 persen maka terjadi peningkatan sebesar 0.846 pada pertumbuhan
ekonomi di Sulawesi Selatan, tapi pengaruh tersebut hanya berpengaruh
setelah satu tahun kedepan. Nilai t-hitung sebesar 3,389 dan probabilitas
0,007 dengan tingkat kepercayaan 5%. Artinya, jika konsumsi rumah tangga
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan.
58
Semakin besar pendapatan rumah tangga yang dimiliki seseorang
maka semakin besar pula tingkat pengeluaran konsumsi, dan jika tingkat
pengeluaran konsumsi naik maka akan
berpengaruh positif pula terhadap
pertumbuhan ekonomi. Alasan mengapa dikatakan bahwa konsumsi rumah
tangga positif dengan pertumbuhan ekonomi adalah adanya korelasi positif
antara tingkat pendapatan seseorang akan cenderung meningkatkan pola
konsumsi mereka yang nantinya akan meningkatkan permintaan di sektor
konsumsi yang merupakan bagian dari permintaan agregat yang mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi.
2. Pengeluaran Pemerintah (X2)
Pada variabel X2 (pengeluaran pemerintah) besarnya koefisien regresi
adalah 0,019 yang berarti jika terjadi kenaikan pengeluaran pemerintah
sebesar 1% maka akan mempengaruhi
kenaikan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,019 persen. Asumsi variabel konstan. Dari hasil perhitungan
regresi, nilai koefisien regresi pengeluaran pemerintah memiliki hubungan
yang positif terhadap variabel pertumbuhan ekonomi. Nilai probabilitas
pengeluaran pemerintah sebesar 0.700 dengan standar signifikan 5% (α=
0.05), artinya variabel pengeluaran pemerintah tidak signifikan secara parsial.
Dengan nilai t-hitung sebesar 0.397 lebih besar dari t-tabel 1,812.. Hal ini
berarti pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi
Sulawesi Selatan adalah positif tapi tidak signifikan.
59
Hubungan positif dan tidak signifikan pengeluaran pemerintah
terhadap pertumbuhan ekonomi dimana pengeluaran dalam hal ini adalah
total pengeluaran belanja pembangunan dan blanja modal yang ditujukan
untuk membiayai seluruh anggaran pemerintah selama periode pengamatan
tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan.
Hal ini disebabkan tidak semua total pengeluaran tersebut digunakan
untuk membiayai pengeluaran yang dapat langsung berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi untuk pembanguan yang bersifat jangka panjang.
Sebagaimana yang diketahui penerimaan daerah juga harus membiayai
anggaran-anggaran pengeluaran pemerintah yang ada seperti pembiayaan
utang, bantuan sosial, subsidi, atau bencana alam yang tidak langsung
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, sehingga selama periode pengamatan
pengeluaran pemerintah tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hal ini tidak sama dengan penelitian yang dinyatakan oleh Palupi
(2002) bahwa dalam analisisnya pengeluaran pemerintah daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi
daerah (studi kasus di Kabupaten purworejo)
menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi berpengaruh positif dan signifikan.
60
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
KESIMPULAN
1. Pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan
ekonomiSulawesi Selatan adalah positif dan signifikan.
2. Semakin besar konsumsi rumah tangga maka akan mendorong
pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu satu tahun.
3. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi Sulawesi Selatan adalah positif tapi tidak signifikan.
4. Yang paling dominan dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi adalah variabel konsumsi rumah tangga.
5. Tidak selamanya pengeluaran pemerintah signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
.
5.2 SARAN
1.
Untuk meningkatkan kapasitas pertumbuhan ekonomi Sulawesi
Selatan dalam melalui kebijakan ekspansif, yaitu dengan
meningkatkan
pengeluaran
pemerintah
yang
bersifat
membangun dalam jangka panjang.
2.
Dalam pengeluaran pemerintah, sebaiknya pengeluaran yang
bersifat konsumsi lebih diperkecil dan yang bersifat pengeluaran
61
untuk pembanguan lebih ditingkatkan
konsumtif
tidak
banyak
karena yang bersifat
memberikan
sumbangsih
bagi
pendapatan daerah Sulawesi Selatan.
3.
Alokasi anggaran yang dialokasikan kepada pembanguna harus
lebih ditingkatkan lagi dan diberi perhatian khusus.
62
Download