BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan produktifitas dari pemanfaatan sumberdaya potensial yang dimiliki oleh suatu wilayah atau suatu negara. Sumberdaya potensial dimaksud adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya financial. Peningkatan produktifitas mengandung makna bahwa pemanfaatan sumberdaya tersebut secara ekonomis dapat diproduksi dengan hasil yang optimal dari kapasitas sumberdaya yang digunakan. Upaya seperti ini merupakan sebuah proses pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk melakukan perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Pada kenyataannya, proses pembangunan ekonomi tidaklah sederhana, namun pada pelaksanaannya sangat kompleks, karena bersifat multidimensi. Antara lain kompleksitas tersebut adalah pembangunan ekonomi tidak hanya melakukan bagaimana meningkatkan produktifitas melalaui proses produksi yang secara klasik ditentukan oleh faktor input seperti modal, tenaga kerja, teknologi, dan bahan baku, tetapi juga menyangkut aspek tempat dimana aktifitas tersebut berlangsung, aspek sosial yang mempengaruhi perilaku masyarakat baik pada proses produksi maupun pada perilaku konsumsi. 1 Untuk tujuan tersebut maka diperlukan perencanaan ekonomi yang bersifat komprehensif dan integratif antara pembangunan ekonomi pada satu sisi dan pembangunan sosial pada sisi yang lain Pada pembangunan ekonomi, ada tiga indikator makro yang dijadikan sebagai ukuran kemajuan pembangunan. Indikator tersebut adalah tingkat pertumbuhan (growth rate), tingkat penciptaan kesempatan kerja (employment) dan kestabilan harga (price stability), Mankiw, 2006. Dengan demikian maka, setiap negara khususnya Negara-negara berkembang, dengan berbagai kebijakan seperti kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan perdagangan baik perdagangan domestik maupun perdagangan internasional dilakukan untuk mendorong pertumbuhan yang direncanakan, menciptakan lapangan kerja, dan menjaga kestabilan harga. Berbagai studi telah dilakukan mengapa perekonomian suatu negara mengalami pertumbuhan, baik pertumbuhan positif maupun pertumbuhan negatif. Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh faktor-faktor produksi seperti modal, tenaga kerja, dan teknologi. Jadi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi maka diperlukan peningkatan pemanfaatan faktor-faktor tersebut. Atau lebih spesifik lagi, dapat diuraikan dalam pertanyaan berapa tingkat pertumbuhan modal, tingkat pertumbuhan kesempatan kerja, serta peningkatan teknologi yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat pertumbuhan produksi tertentu. Dengan demikian 2 maka pertumbuhan ekonomi dapat diukur dengan pertumbuhan produksi nasional atau pendapatan nasional. Pada sisi lain, teori Keynesian menyatakan bahwa pertumbuhan pendapatan nasional ditentukan oleh besarnya pengeluaran konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan net ekspor. Jadi menurut Keynes untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diukur pada peningkatan pendapatan nasional maka diperlukan peningkatan permintaan konsumsi, permintaan pengeluaran pemerintah, permintaan investasi, serta permintaan ekspor dan impor. Implementasi kedua konsep dan teori tersebut (klasik dan Keynesian) dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi baik pada skala nasional maupun pada skala perekonomian makro daerah (propinsi, kabupaten/kota). Pada skala perekonomian makro daerah, pertumbuhan ekonomi diukur melalui pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB). Berdasar pada pendekatan Keynes tersebut bahwa pertumbuhan pendapatan ditentukan oleh peningkatan permintaan pengeluaran faktor-faktor penentunya yaitu konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor dan impor. Hubungan antara pengeluaran konsumsi, pengeluaran pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi menarik untuk dikaji ketika hasil kajian Solow mengatakan bahwa investasi bukanlah satu-satunya kunci penentu pertumbuhan ekonomi, Easterly 2002. 3 Data pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia pada masa krisis 19982000 mengungkapkan bahwa terjadi penurunan tingkat investasi dalam negeri, dan tingkat ekspor yang rendah namun disisi lain tercapai pertumbuhan ekonomi sekalipun dalam tingkat pertumbuhan yang rendah. Fakta tersebut juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan perekonomian makro, tidak serta merta berimplikasi langsung pada kondisi ekonomi mikro. Hal ini dapat dijelaskan melalui perilaku konsumsi masyarakat. Kondisi perekonomian pada tahun 1997-2000 terjadi krisis, namun terdapat peningkatan pengeluaran masyarakat. Fakta lain adalah peningkatan pengeluaran pemerintah untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan pembangunan infrastruktur dasar telah menjadi pemicu peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah dan nasional. Hubungan ini dapat dilihat juga pada hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ram (1986), dan Grossman (1988), mengungkapkan bahwa terjadi hubungan positif antara peningkatan pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan disagregasi pengeluaran tersebut. Pada skala perekonomian daerah propinsi Sulawesi Selatan, setelah krisis mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. pada tahun 2000-2001 mengalami tingkat pertumbuhan sebesar 5,5 persen, kemudian mengalami penurunan dengan pertumbuhan sebesar 4,1 persen pada tahun 2001-2002. Pada perkembangan berikutnya mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 5,49 persen dan 5,30 persen pada tahun 2002-2003 dan 2003-2004 4 secara berturut-turut. Pada tahun 2004-2005 mengalami pertumbuhan sebesar 6,1 persen, sedangkan pada tahun berikutnya mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 6,72 persen, sementara itu pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007-2008 sebesar 6,34 persen. Selama periode 2000 hingga 2008 perekonomian Sulawesi Selatan relatif stabil dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,00 persen pertahunnya. Hal ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi berangsur-angsur telah mengalami perbaikan setelah pasca krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dengan pertumbuhan sebesar -5,33 persen. Selain itu, salah satu manfaat dari hasil perhitungan PDRB yaitu dapat digunakan untuk melihat gambaran struktur perekonomian suatu daerah atau wilayah. Struktur perekonomian propinsi Sulawesi Selatan yang masingmasing sektor mempunyai peranan yang sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan total PDRB tahun 2005 sebesar 11.337,55 atau 11,4 %, dan urutan yang kedua adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 54 %, setelah itu disusul sektor industri pengolahan sebesar 52 %, sektor jasa-jasa sebesar 40 %, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian hanya mencapai 51 % dan sektor lainnya sebesar 28 %. Dan yang memberikan kontribusi dan kinerja yang paling besar dalam struktur perekonomian Sulawesi Selatan adalah sektor pertanian. 5 Sementara itu perkembangan pengeluaran pemerintah juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat dua jenis pengeluaran pada format lama APBD yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Kemudian pada tahun 2003, format APBD tersebut berubah dengan format baru dimana pos pengeluaran pembangunan menjadi belanja aparatur daerah yang meliputi belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal dan pengeluaran rutin menjadi belanja pelayanan publik yang meliputi belanja administrasi umum, belanja administrasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Pada format lama APBD, pengeluaran rutin pemerintah pada tahun 1996 sebesar 101847 juta sedangkan pada tahun 1997 sebesar 121013 juta dengan perkembangan pembangunan pada sebesar tahun 18,8 persen. Sedangkan 1996-1997 sebesar 217985.4 belanja juta dan 279275.7juta dengan perkembangan 28,2 persen. Pada tahun 1998 realisasi pengeluaran rutin sebesar 117307 juta, dan pada tahun berikutnya sebesar 162453 juta. Sampai pada tahun 2002 realisasi pengeluaran rutin sebesar 324435 juta. Untuk realisasi pengeluaran pembangunan, pada tahun 1999 sebesar 250552.5 juta, sedangkan pada tahun 2000 relisasinya sebesar 404935.1 juta rupiah. Pada tahun 2001-2002 realisasi pengeluaran pembangunan sebesar 507035.1 juta, dan 668448.2 juta rupiah. Dari tahun ketahun perkembangan pengeluaran pemerintah khususnya pengeluaran rutin mengalami peningkatan dari tahun 1996 sampai pada 6 tahun 2002. Begitupun juga pada pengeluaran pembangunan juga mengalami peningkatan pada tahun yang sama. Ini menunjukkan bahwa total realisasi pengeluaran pemerintah dari tahun 1996 hingga tahun 2002 telah memberikan sumbangsih yang besar untuk peningkatan pertumbuhan perekonomian Sulawesi Sealatan. Untuk pengeluaran pemerintah dalam bentuk format baru yaitu belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik (modal) dari tahun ketahun juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 realisasi belanja pelayanan publik sebesar 849061.5 juta rupiah, sedangkan untuk belanja aparatur daerah sebesar 938635 juta rupiah. Sedangkan realisasi belanja publik di sulawesi selatan pada tahun 2005 sebesar 2006 sebesar Rp 2034772.8 2337250.6 juta dan pada tahun juta rupiah. Dapat dilihat perbedaan pengeluaran pemerintah pada tahun 2005 dengan 2006 yaitu sebesar 302.477,8 juta dan terjadi penurunan sebesar -12.9%. hal ini disebabkan oleh kurangnya anggaran untuk belanja modal sehingga terjadi penurunan terhadap perkembangan pengeluaran pemerintah. Untuk tahun 2007 hingga 2008 perkembangan pengeluaran pemerintah mulai membaik dan menunjukkan perkembangan yang positif. Bisa dilihat realisasi pengeluaran publik pada tahun 2007 sebesar Rp 3573753.0 juta dengan perkembangan sebesar 75.6 persen. Hal ini juga menunjukkan pada tahun 2007-2008 mengalami kenaikan perkembangan sebesar 4.46 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya. 7 Adanya peningkatan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk pembangunan dan penyediaan barang publik, karena banyaknya barang publik yang tersedia dan infrastruktur yang memadai yang dapat menunjang peningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan pada uraian yang dikemukakan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk mengkaji seberapa besar pengaruh pengeluaran konsumsi masyarakat dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi propinsi Sulawesi Selatan dengan judul penelitian sebagai berikut: “PENGARUH PEMERINTAH KONSUMSI TERHADAP RUMAH TANGGA PERTUMBUHAN DAN PENGELUARAN EKONOMI PROPINSI SULAWESI SELATAN PERIODE 1996-2008.” 1.1 Rumusan Masalah Bedasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Seberapa besar pengaruh konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Sulawesi Selatan Periode 1996-2008?” 8 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur dan menganalisis pengaruh konsumsi masyarakat, dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Propinsi Sulawesi Selatan Periode 1996-2008. 1.3 Manfaat Penelitian 1. Untuk memberikan gambaran mengenai pengaruh konsumsi masyarakat, dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Propinsi Sulawesi Selatan Periode 1999-2008. 2. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian tentang kondisi perekonomian khususnya di Sulawesi Selatan. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah total nilai pasar dari barang dan jasa yang dibeli oleh rumah tangga selama satu tahun. Pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri atas dua komponen utama, yaitu (a) pengeluaran untuk non konsumsi atau barang tahan lama. Seperti mobil, alat elektronik, dan sebagainya. Sedangkan (b) pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa yang tidak tahan lama seperti makanan, sabun, pakaian, dan jasa lainnya. Berikut ini akan diuraikan terori konsumsi dari berbagai ahli ekonomi. 2.1.2 Teori Konsumsi 1. Teori Konsumsi Menurut Keynes Teori konsumsi yang dikemukakan oleh JM. Keynes mengatakan bahwa besar kecilnya pengeluaran konsumsi hanya didasarkan atas besar kecilnya tingkat pendapatan masyarakat. Keynes menyatakan bahwa ada pengeluaran konsumsi minimum yang harus dilakukan oleh masyarakat 10 (konsumsi outonomous) dan pengeluaran konsumsi akan meningkat dengan bertambahnya penghasilan. Beberapa ciri fungsi konsumsi menurut Keynes yaitu, penentu utama dari konsumsi adalah tingkat pendapatan. pertama Kedua kecenderungan Mengkonsumsi Marginal (Marginal Propensity to Consume) – pertambahan konsumsi akibat kenaikan pendapatan sebesar satu satuan. besarnya MPC adalah antara nol dan satu. Dengan kata lain MPC adalah pertambahan atau perubahan konsumsi (ΔC) yang dilakukan masyarakat sebagai akibat pertambahan atau perubahan pendapatan disposabel atau pendapatan yang siap dibelanjakan (ΔY). Ketiga, rasio konsumsi terhadap pendapatan, yang disebut dengan Kecenderungan Mengkonsumsi Rata-rata (Average Propensity to Consume), turun ketika pendapatan naik, dengan demikian APC menurun dalam jangka panjang dan MPC lebih kecil dai pada APC (MPC<APC). Selain pendapatan, pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh factor-faktor lain, seperti kekayaan, tingkat sosial ekonomi, selera, tingkat bunga dan lain-lain. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi konsumsi menggambarkan sifat hubungan diantara tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dan pendapatan nasional atau pandapatan disposibel perekonomian tersebut. Dalam ciri-ciri fungsi konsumsi dinyatakan bahwa 11 APC mengukur pendapatan disposible yang diinginkan oleh rumah tangga untuk dibelanjakan sebagai konsumsi. MPC mengukur setiap pertambahan pendapatan disposible yang diinginkan oleh rumah tangga untuk dibelanjakan sebagai konsumsi. 2. Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Siklus Hidup Teori konsumsi dengan hipotesis ini dikemukakan oleh Ando, Brumberg, dan Modiglani yaitu tiga ekonom yang hidup di abad 18. Menurut teori ini faktor sosial ekonomi seseorang sangat mempengaruhi pola konsumsi orang tersebut. Teori ini membagi pola konsumsi menjadi tiga bagian berdasarkan umur. Yang pertama yaitu seseorang berumur nol hingga berusia tertentu dimana orang ini dapat menghasilkan pendapatan sendiri, maka ia mengalami dissaving (mengonsumsi tapi tidak mendapatkan penghasilan sendiri yang lebih besar dari pengeluaran konsumsinya). Yang kedua yaitu mengalami persaingan, dan yang terakhir yaitu seseorang pada usia tua dimana ia tidak mampu lagi menghasilkan pendapatan sendiri dan mengalami dissaving lagi. 3. Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif Teori ini dikemukakan oleh James Duessenberry, yang menggunakan dua asumsi yaitu : a). selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan oleh orang disekitarnya 12 (tetangga). Sedangkan b). Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya pola pengeluaran seseorang pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan. Duesenberry menyatakan bahwa teori konsumsi atas dasar penghasilan absolute sebagaimana yang dikemukakan oleh Keynes yang tidak mempertimbangkan aspek psikologi seseorang dalam berkonsumsi. Duesenberry menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh posisi atau kedudukan di masyarakat sekitarnya. 4. Teori konsumsi Dengan Hipotesis pendapatan Permanen Teori konsumsi dengan hipotesis pendapatan permanen dikemukakan oleh M. Friedman. Teori ini mengatakan bahwa pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi dua yaitu pendapatan permanen dan pendapatan sementara. Pendapatan permanen merupakan pendapatan yang selalu diterima pada setiap periode tertentu dan dapat diperkirakan sebelumnya, misalnya pendapatan dari upah dan gaji. Sedangkan pendapatan sementara merupakan pendapatan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, nilainya dapat positif jika nasibnya baik dan dapat negatif jika bernasib buruk. 13 2.1.3 Hubungan antara Konsumsi dengan Pertumbuhan Ekonomi Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan nilai belanja yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun tertentu. Pendapatan yang diterima oleh rumah tangga akan digunakan untuk membeli makanan, pakaian, biaya jasa pengangkutan, membayar pendidikan anak, membayar sewa rumah dan membeli kendaraan. Barang-barang tersebut dibeli rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya. (Sukirno, 1994). Keputusan konsumsi rumah tangga dipengaruhi keseluruhan prilaku baik jangka panjang maupun jangka pendek. Keputusan konsumsi rumah tangga untuk jangka panjang adalah penting karena peranannya dalam pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk analisa jangka pendek peranannya penting dalam menentukan permintaan agregat. Konsumsi adalah dua per tiga dari GDP. Menurut sukirno “Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga dalam perekonomian tergantung pada pendapatan yang diterima oleh mereka. Semakin besar pendapatan maka semakin besar pula konsumsinya. (Sukirno, 1994). Seperti yang telah dijelaskan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin besar pula konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga, namun pertambahan konsumsi yang terjadi, lebih rendah dari pada pertambahan 14 yang berlaku. Maka makin lama, kelebihan konsumsi rumah tangga yang wujud bila dibandingkan dengan pendapatan yang diterimanya akan menjadi bertambah. Kelebihan konsumsi ini merupakan tabungan masyarakat. Hubungan ini dapat dilukiskan dalam bentuk persamaan : Yd = C + S…………………………………...…(2.1) dimana Yd adalah pendapatan disposibel, C adalah Konsumsi dan S adalah tabungan. Akan tetapi, pada tingkat pendapatan yang sangat rendah, bisa saja seluruh pendapatan untuk digunakan untuk konsumsi sehingga tabungan adalah nol. Bahkan terpaksa konsumsi dibiayai dari kekayaan atau pendapatan masa lalu. Kondisi ini disebut dissaving atau mengorek tabungan. Perkembangan ekonomi yang terjadi mengakibatkan bertambahnya variabel yang dapat mempengaruhi pengeluaran konsumsi selain pendapatan, diantaranya yaitu tingkat bunga, kekayaan, dan barang tahan lama. Tingkat bunga ini penting pengaruhnya terhadap tabungan yang pada akhirnya akan mempengaruhi konsumsi. Konsumen mempunyai preferensi terhadap suatu barang sekarang dibandingkan dengan barang itu diperoleh pada masa yang akan datang. Agar konsumen bersedia menangguhkan pengeluaran konsumsinya, diperlukan balas jasa yang disebut bunga. Semakin tinggi tingkat bunga maka semakin besar pula uang yang ditabung 15 (berarti semakin kecil uang yang dibelanjakan untuk konsumsi). Sebaliknya, semakin rendah tingkat bunga, maka jumlah uang yang ditabung juga semakin rendah (berarti semakin besar uang yang digunakan untuk konsumsi). Kekayaan, perubahan tingkat harga akan menyebabkan seseorang yang memiliki kekayaan akan mengalami perubahan kekayaan tersebut. Jika tingkat harga naik, maka nilai kekayaan akan naik dan pada kondisi tersebut pemilik kekayaan akan merasa lebih kaya dan akibatnya akan meningkatkan pengeluaran konsumsinya. Sebaliknya, jika harga turun, nilai kekayaan akan turun dan pemilik kekayaan akan merasa nilai kekaaynnya menurun. Akibatnya ia akan mengurangi pengeluaran konsumsinya. barang tahan lama adalah barang yang dapat dinikmati sampai pada masa yang akan datang (biasanya lebih dari satu tahun) seperti, alat atau perabotan elektronik, mobil, motor, telepon seluler, dan lainnya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapatan mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat, baik itu untuk konsumsi barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa. Semakin tinggi konsumsi masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi pun akan ikut meningkat. 16 2.2.1 Teori Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah berperan untuk mempertemukan permintaan masyarakat dengan penyediaan sarana dan prasarana yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak swasta. Dikatakan pula bahwa pengeluaran pemerintah yang dinyatakan dalam belanja pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam proyek yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, peningkatan kesejahteraan, dan program yang menyentuh langsung kawasan yang terbelakang. Tidak dapat dipungkiri bahwa campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat membantu, terutama stelah terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Pemerintah menetapkan kebijakan pokok mengenai arah perekonomian melalui perencanaan, kebijakan pemerintah dan pengaturan. Pemerintah harus melakukan pengeluaran untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan umum, dan pembangunan, (Sicat, G.P dan Arndt, H. W:1991). Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa. Pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk meleksanakan kebijakan tersebut. Teori mengenai pengeluaran pemerintah terdiri dari pendekatan teori makro (Basri dan Subri, 2003). 17 Adapun teori mengenai pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebrata dalam Yuswar Zainul basri dan Mulyadi Subri, 2003) terdiri dari : 1. Hukum Wagner Hukum Wagner menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman empiris dari negara –negara maju (USA, Jerman, Jepang), Wagner mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Meski demikian, Wagner menyadari bahwa dengan tumbuhnya perekonomian hubungan antara industri, hubungan industri dengan masyarakat dan sebagainya menjadi semakin rumit atau kompleks. Kelemahan hukum Wagner adalah hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang publik, tetapi Wagner mendasarkan pandangannya dengan teori organis mengenai pemerintah (organic theory of state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepes dari anggota masyarakat lainnya. 2. Teori Peacok dan Wiserman Teori Peacok dan Wiserman yang didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Namun masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak yaitu suatu 18 tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Menurut teori Peacok dan Wiserman, perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh sebab itu dalam keadaan normal, meningktnya GDP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya adanya perang maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu pemerintah melakukan penerimaanya dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Akan tetapi perang tidak hanya bisa dibiayai dengan pajak sehingga pemerintah juga harus meminjam dari negara lain. Setelah perang selesai, sebetulnya pemerintah dapat menurunkan kembali tarif pada tingkat sebelum adanya gangguan, tetapi hal tersebut tidak dilakukan karena pemerintah harus mengembalikan angsuran utang dan bunga pinjaman untuk membiayai perang, sehingga pengeluaran pemerintah setelah perang selesai 19 meningkat tidak hanya karena GDP naik, tetapi juga karena pengembalian utang dan bunganya. 3. Teori Rostow dan Musgrave Teori perkembangan peranan pemerintah yang dikemukakan oleh Rostow dan musgrave adalah pandangan yang ditimbulkan dari pengamatan berdasarkan pembangunan ekonomi yang dialami oleh banyak negara, tetapi tidak didasarkan oleh suatu teori tertentu. Selain itu, tidak jelas apakah akan terjadi pertumbuhan ekonomi dalam tahap demi tahap atau akan terjadi dalam beberapa tahap secara simultan. 2.2.2 Jenis – Jenis Pengeluaran Pemerintah Berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 pengeluaran daerah terdiri dari dua jenis yaitu pengeluaran belanja aparatur daerah dan belanja publik. Belanja aparatur daerah terdiri dari belanja administrasi umum, belanja opersai dan pemeliharaan dimana dalam belanja opersasi ini terbagi lagi mennjadi beberapa bagian yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, dan belanja modal. Sedangkan yang kedua yaitu pengeluaran belanja publik. Sesuai dengan undang-undang no 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara, dengan format belanja yang baru, anggaran belanja terdiri dari : 20 1. Belanja pegawai merupakan kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada aparatur Negara sebagai imbalan atas kinerja pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. 2. Belanja modal merupakan belanja yang digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang habis digunakan untuk memproduksi barang yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan. Belanja modal digunakan untuk kegiatan investasi pemerintah melalui penyediaan sarana dan prasarana pembangunan dalam bentuk tanah, peralatan, mesin, gedung, banguanan, serta belanja modal fisik lainnya. 3. Pembayaran bunga utang, terdiri dari peminjaman multirateral, bilateral, fasilitas kredit ekspor, dan pinjaman lainnya. 4. Subsidi dialokasikan sebagai upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga, dan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu dan usaha kecil menengah untuk memenuhi sebagian kebutuhannya, serta membantu BUMN melakukan tugas pelayanan umum. 5. Belanja hibah merupakan transfer yang sifatnya tidak wajib kepada Negara atau organisasi. 6. Bantuan social, berupa bentuk cadangan untuk penanggulangan bencana alam 21 7. Belanja lain-lain. Pemanfaatan belanja lain-lain adalah untuk menampung belanja pemerintah yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam jenis-jenis balanja diatas. 2.2.3 Hubungan antara Pengeluaran Pemerintah dengan Pertumbuhan Ekonomi Peranan pengeluaran pemerintah baik yang dibiayai melalui APBN maupun APBD khususnya pengeluaran untuk human capital dan infrastruktur fisik, dapat mempercepat pertumbuhan, tetapi pada sisi lain pembiayaan dari pengeluaran pemerintah tersebut dapat memperlambat pertumbuhan. Hal ini sangat tergantung pada sejauh mana produktifitas pengeluaran pemertintah tersebut dan distorsi pajak yang ditimbulkannya, yang mana dalam konteks ini pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengruhi total output (PDRB) yakni melalui penyediaan infrastruktur, barang–barang publik dan insentif pemerintah terhadap dunia usaha seperti subsidi ekspor. Menurut Suparmoko (1996), pengeluaran–pengeluaran pemerintah untuk jaminan sosial, pembayaran bunga dan bantuan pemerintah lainnya akan menambah pengeluaran perusahaan pendapatan pemerintah dari industri ini dan akan yang daya beli. memperluas pada gilirannya Secara keseluruhan pasaran akan hasil–hasil memperbesar 22 pendapatan. Dengan bertambahnya pendapatan yang diperoleh pemerintah, maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari segi penerimaan, maka pungutan pajak oleh pemerintah akan megurangi pendapatan para pengusaha yang sebetulnya dapat digunakan untuk konsumsi dan pembentukan modal atau akan mengurangi pendapatan konsumsi dan penerimaan akan hasil produksi. Selanjutnya Suparmoko (1996) mengatakan pengaruh yang terjadi dengan adanya pengeluaran dan penerimaan pemerintah, ini tegantung pada hubungan perimbangan antara pengeluaran dengan pendapatan pemerintah itu sendiri. Jika anggaran surplus, artinya pendapatan dari pajak–pajak dengan pungutan–pungutan lain lebih besar dari pengeluarannya, maka pengaruh yang ditimbulkan terhadap kehidupan ekonomi bersifat kontraktif atas employment, produksi regional dan output. Sebaliknya bila anggaran itu ternyata defisit yakni pengeluaran atau pembelanjaan pemerintah melampaui pendapatannya timbullah efek ekspansif dalam perekonomian. Berdasrkan teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa baik atau tidaknya hasil yang dapat dicapai oleh kebijakan pemerintah tergantung dari kualitas pemerintah itu sendiri. Apabila pemerintah tidak atau kurang efisien, maka akan terjadi pemborosan dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Jika pemerintah terlalu berkuasa dan menjalankan fungsi-fungsi ekonomi di dalam perekonomian suatu negara maka peranan swasta akan menjadi 23 semakin kecil, para individu dan juga badan-badan usaha tidak lagi dapat melatih dirinya dalam menciptakan berbagai inisiatif secara efektif untuk mencapai keputusan yang rasional yang sangat berguna bagi pencapaian kepuasan atau keuntungan yang maksimal. Sebaliknya pemerintah terlalu sedikit tanggung jawabnya terhadap masyarakat, kegiatan swasta akan dapat merusak kehidupan masyarakat yaitu dapat menimbulkan adanya pembagian penghasilan yang tidak merata, timbulnya kegiatan-kegiatan monopoli, tidak ada usaha-usaha yang sangat penting untuk kepentingan umum yang diusahakan. 2.3.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian yang akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga akan meningkat. Indikator pertumbuhan ekonomi merupakan pertanda pentingnya di dalam kehidupan perekonomian. Jhingan (1994) menunjukkan enam ciri 24 pertumbuhan ekonomi modern yang muncul dalam analisis yang didasarkan pada produk nasional dan komponennya, penduduk, tenaga kerja dan lainlain. Adapun keenam ciri – ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, laju pertumbuhan penduduk dan produk perkapita. Pertumbuhan ekonomi modern sebagaimana terungkap dari pengalaman negara maju sejak akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ditandai dengan kenaikan produk perkapita yang tinggi dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat. Selanjutnya Peningkatan produktifitas. Pertumbuhan ekonomi terlihat dari semakin meningkatnya laju produk perkapita terutama adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan efesiensi dan produktifitas per unit input. Hal ini dapat dilihat dari semaikn besarnya masukan sumber tenaga kerja dan modal atau semakin meningkatnya efesiensi, atau kedua-duanya. Kenaikan efesiensi berarti penggunaan output yang lebih besar untuk setiap unit input. Yang ketiga, laju perubahan struktur yang tinggi. Perubahan struktural dalam pertumbuhan ekonomi mencakup peralihan dari kegiatan pertanian ke non pertanian, dari industri ke jasa, perubahan dari skala unit–unit produksi dan peralihan dari perusahaan perorangan menjadi perusahaan berbadan hukum serta perubahan status kerja buruh. 25 Keempat yaitu, Urbanisai. Pertumbuhan ekonomi ditandai pula dengan semakin banyaknya penduduk di negara maju yang berpindah dari daerah pedesaan kedaerah perkotan. Ciri pertumbuhan ekonomi selanjutnya yaitu ekspansi negara maju. Pertumbuhan negara maju kebanyakan tidak sama pada beberapa bangsa. Pertumbuhan ekonomi modern terjadi lebih awal dari pada bangsa lain. Hal ini sebagian besar disebabkan perbedaan latar belakang sejarah masa lalu. dan yang terakhir adalah arus barang, modal dan orang antar bangsa. Arus barang, modal dan orang antar bangsa akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi juga merupakan tingkat kenaikan PDB atau PNB riil pada suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada umumnya pertumbuhan ekonomi dapat diukur dengan perbandingan “Gross Domestic Product” (GDP) atau “Product Domestic Regional Bruto” (PDRB) untuk daerah, dan “Gross National Product” (GNP) untuk skala nasional. (Djoyohadikusumo Dalam Irma, 2000). 26 2.3.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Dalam zaman ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dalam buku karangannya yang berjudul An Inguiry into the Nature and Causes of the Wealt Nations, menganalisis sebab berlakunya pertumbuhan ekonomidan factor yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith, beberapa ahli ekonomi klasik lainnya seperti Ricardo, Malthus, Stuart Mill, juga membahas masalah perkembangan ekonomi . Adapun Teori tentang pertumbuhan ekonomi yaitu sebagai berikut : 1. Teori Klasik a. Adam Smith. Teori Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output atau hasil. Teori Adam Smith ini tertuang dalam bukunya yang berjudul An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. b. David Ricardo. Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan 27 mengalami kemandegan (statonary state). Teori David Ricardo ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul The Principles of Political and Taxation. 2. Teori Neoklasik 1. Model Input-Output Leontief. Model ini merupakan gambaran menyeluruh tentang aliran dan hubungan antar industri. Perencanaan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan secara konsisten karena dapat diketahui gambaran hubungan aliran input-output antar industri. Hubungan tersebut diukur dengan koefisien input-output dan dalam jangka pendek/menengah dianggap konstan tak berubah . 2. Model Pertumbuhan Lewis Model ini merupakan model yang khusus menerangkan kasus Negara sedang berkembang yang mempunyai banyak penduduk. Tekanannya adalah pada perpindahan kelebihan penduduk disektor pertanian ke sektor modern kapitalis industri yang dibiayai dari surplus keuntungan. 3. Robert Solow Robert Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan hasil atau output. Adapun pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh 28 karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. 4. Harrord Domar Teori ini beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Pertumbuhan suatu sektor tergantung pada stok barang modal pertenaga kerja, tingkat keahlian tenaga kerja dan perubahan teknologi serta skala ekonomi yang pada gilirannya akan menentukan keunggulan komparatif suatu sektor. 2. Teori pertumbuhan ekonomi yang lain adalah : 1. Teori Baru Pertumbuhan Ekonomi (Akhir 1980-an dan Awal 1990an) Teori ini mencoba memodifikasikan dan mengembangkan teori pertumbuhan tradisional sedemikian rupa sehingga ia dapat menjelaskan mengapa ada sebagian negara yang mampu berkembang begitu cepat sedangkan yang lain begitu sulit atau bahkan mengalami stagnasi (kemacetan). Teori baru ini juga bermaksud menjelaskan mengapa meskipun konsep-konsep neoklasik seperti pasar bebas dan otonomi sektor swasta begitu gencar didengungkan, tetapi peranan pemerintah dalam keseluruhan proses pembangunan masih tetap sangat besar. 29 2. Teori Tahapan Linier 1. Rostow (Stages-of-growth-models of development) Model-model pembangunan pertumbuhan bertahap. Menurut Rostow dalam proses pembangunannya suatu negara akan melalui beberapa tahapan yaitu tahap pertama adalah tahapan tradisional, dengan pendapatan per kapita yang rendah dan kegiatan ekonomi yang stagnan; tahapan transisional, di mana tahap prakondisi bagi pertumbuhan dipersiapkan; tahap selanjutnya yaitu tahapan lepas landas (ini merupakan permulaan bagi adanya proses pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan); tahapan awal menuju ke kematangan ekonomi ; serta tahapan produksi dan konsumsi massal yang bersifat industri (inilah tahapan pembangunan atau development stage ). 2. Harrod-Domar growth model (Model pertumbuhan Harrod-Domar) Sebuah persamaan yang menunjukkan hubungan fungsional secara ekonomis antara berbagai variabel pokok ekonomi. Pada intinya model ini menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan GDP (g) secara langsung tergantung pada tingkat tabungan nasional (s) dan sebaliknya akan menentukan rasio modal-output (k), sehingga persamaannya adalah g = s/k. Persamaan tersebut mengambil nama dari dua orang ekonom terkemuka, yakni Sir Roy Harrod dari Inggris dan E. V. Domar dari Amerika Serikat. 30 Adapun beberapa kritikan terhadap Model Pembangunan Bertahap yaitu : a) Gagasan dasar tentang pembangunan yang terkandung dalam teoriteori pertumbuhan bertahap tersebut di atas tidak selalu berlaku. b) Alasan utama tidak berlakunya teori tersebut bukan karena tabungan dan investasi tidak lagi merupakan syarat penting ( necessary condition ) bagi pemacuan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi karena dalam kenyataannya telah terbukti bahwa pengadaan tabungan dan investasi itu saja belumlah syarat cukup ( sufficient condition ) untuk memacu pertumbuhan ekonomi. 3. Necessary Condition (Syarat Perlu) Syarat yang diperlukan demi terjadinya suatu peristiwa meskipun mungkin jika syarat itu tidak disertai oleh yang lain, maka peristiwa tersebut bisa tidak terjadi. Sebagai contoh, pembentukan modal (capital) merupakan syarat perlu guna menunjang pertumbuhan ekonomi (sebelum pertumbuhan output terjadi, harus ada alatnya dahulu untuk menghasilkan output tersebut). Akan tetapi, agar pertumbuhan tersebut bisa berlangsung secara berkesinambungan, maka harus ada pula perubahan sosial, kelembagaan dan sikap yang bersifat menunjang. 31 4. Sufficient Condition (Syarat Cukup) Suatu kondisi atau syarat yang harus dipenuhi guna memungkinkan sesuatu hal bisa terjadi. Sebagai contoh, menjadi mahasiswa dari sebuah universitas tertentu merupakan syarat cukup untuk menerima pinjaman dana dari Program Kredit Mahasiswa. Model pembangunan Rostow dan HarrodDomar secara implisit ternyata mengasumsikan adanya sikap-sikap dan pengaturan yang sama di negara-negara terbelakang. Akan tetapi, asumsi itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di negara-negara Dunia Ketiga. Negara-negara tersebut masih sangat kekurangan faktor-faktor komplementer yang paling penting seperti halnya kecakapan manajerial, tenaga kerja yang terlatih, kemampuan perencanaan dan pengelolaan berbagai proyek pembangunan, dsb . Negara-negara Dunia Ketiga sekarang ini merupakan bagian integral dari suatu sistem internasional yang sedemikian rumit dan integratif, sehingga strategi-strategi pembangunan yang paling hebat dan terencana secara matang sekalipun dapat dimentahkan begitu saja oleh kekuatan-kekuatan asing yang keberadaan dan sepak-terjangnya sama sekali di luar kendali negara-negara yang bersangkutan. Maka muncullah pendekatan yang lebih baru dan radikal yang mencoba mengkombinasikan faktor-faktor ekonomi dan institusional ke dalam suatu model sistem baru mengenai kemajuan dan keterbelakangan internasional. 32 5. Model Perubahan Struktural Mekanisme yang memungkinkan negara-negara terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, dan lebih bervariasi, serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Model perubahan struktural tersebut dalam analisisnya menggunakan perangkat-perangkat neoklasik berupa konsep-konsep harga dan alokasi sumber daya, serta metode-metode ekonometri untuk menjelaskan terjadinya proses transformasi. Aliran pendekatan perubahan struktural ini didukung oleh ekonom-ekonom yang sangat terkemuka seperti W. Arthur Lewis yang termasyur dengan model teoretisnya tentang &quot;surplus tenaga kerja dua sektor&quot; ( two sector surplus labor ) dan Hollis B. Chenery yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang &quot;pola-pola pembangunan&quot; ( patterns of development ). Model Perubahan Struktural Teori Pembangunan Lewis : a) T ransformasi struktural ( structural transformation ) b) Model dua-sektor Lewis ( Lewis two-sector model ) Teori pembangunan yang menyatakan bahwa jika surplus tenaga kerja (surplus labor) dari sektor pertanian tradisional bisa dialihkan ke sektor industri modern yang daya serap tenaga kerjanya semakin tinggi, maka hal 33 itu akan mempromosikan industrialisasi dan dengan sendirinya akan memacu adanya pembangunan secara berkesinambungan. Salah satu cara untuk melihat kemajuan perekonomian dan perkembangan sektor adalah mencermati nilai pertumbuhan Produk Domesti Regional Bruto (PDRB) . PDRB adalah merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang diproduksi dalam satu tahun dalam suatu wilayah tertentu tanpa membedakan faktor- faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi itu ( BPS sulsel, 1995 ). Dalam hitungan PDRB , seluruh lapisan usaha dibagi menjadi 9 sektor, yaitu : sektor Pertanian, sektor Pertambangan dan penggalian, sektor Industri pengolahan, sektor Listrik, gas, dan air bersih, sektor Bangunan, sektor Perdagangan, hotel dan restoran, sektor Angkutan dan komunikasi, sektor Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa- jasa. Pembangunan semua sektor ditempuh berdasarkan rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang tujuan fungsionalnya menyajikan prioritas pembangunan, mengidentifikasi sasaran pada masing- masing sektor, pengalokasian dana sesuai pada penekanan pada sektor tertentu, penentuan biaya, serta menentukan tolak ukur keberhasialan dan pelaksanaan. 34 2.3.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Untuk dapat mengukur sejauh mana pembangunan maupun sasaran serta target pembangunan yang ingin dicapai, maka diperlukan berbagai alat analisis salah satu diantaranya adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan konsep dari BPS dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan PDRB adalah nilai yang ditimbulkan oleh aktifitas faktor-faktor produksi dalam merubah/memproses bahan-bahan baku/penolong sehingga lebih dekat pada pengguna atau nilai yang ditimbulkan oleh faktor-faktor produksi dalam wilayah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Nilai-nilai dari PDRB tersebut dapat dihitung dengan melalui tiga pendekatan yaitu: Segi produksi, PDRB merupakan jumlah netto atas suatu barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu wilayah dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Segi pendapatan, PDRB merupakan jumlash balas jasa (pendapatan) yang diterima faktorfaktor produksi karena ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah (satu tahun). Dan Segi pengeluaran, PDRB merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, pemrintah dan lembaga swasta non profit serta ekspor netto (setelah dikurangi impor), dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Dari segi penyajiannya, PDRB selalu dibedakan kepada dua pendekatan yaitu, PDRB atas harga berlaku dan PDRB atas harga konstan. 35 PDRB atas dasar harga berlaku merupakan jumlah nilai produksi, pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga berlaku pada tahun yang bersangkutan, sedangkan PDRB atas harga konstan merupakan jumlah niali produksi, pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga pasar yang tetap pada tahun dasar dan dalam publikasi ditetapkan tahun dasar adalah tahun 1993. Nilai PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi karena nilai PDRB atas dasar harga konstan ini tidak dipengaruhi oleh perubahan harga, sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat besarnya perekonomian suatu daerah. Selanjutnya dapat dijelaskan pula bahwa dalam penyusunan PDRB akan diperoleh beberapa manfaat. Yang pertama Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan setiap sektor, Untuk mengetahui struktur perekonomian suatu daerah, Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan harga (inflasi/deflasi), dan Sebagai suatu indikator mengenai tingkat kemakmuran. 2.4 Hubungan antara Konsumsi, Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Ada beberapa alasan yang menyebabkan analisis makro ekonomi perlu memperhatikan konsumsi rumah tangga secara mendalam. Yang 36 pertama yaitu konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi kepada pendapatan nasional. Pendapatan nasional diberbagai negara sebagian besar dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga yaitu sekitar 60 hingga 75 persen pertahun. Alasan yang kedua yaitu konsumsi rumah tangga mempunyai dampak dalam menentukan fluktuasi kegiatan ekonomi dari satu waktu ke waktu lainnya. Keputusan rumah tangga sangat mempengaruhi keseluruhan perilaku perekonomian baik jangka panjang maupun jangka pendek. dalam jangka panjang konsumsi mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan dalam jangka pendek konsumsi mempunyai peranan dalam menentukan permintaan agregat. Untuk menjaga agar pengeluaran konsumsi oleh rumah tangga tetap naik yaitu dengan meningkatkan daya beli masyarakat serta meningkatkan produktifitas masyarakat. Jika daya beli menurun, maka industri dalam negeri pun terancam gulung tikar. Seperti yang dikemukakan oleh Keynes yaitu tingginya partisipasi masyarakat dalam mengkonsumsi akan meningkatkan output yang akhirnya akan menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan tingkat pembangunan ekonomi. 37 2.5 Penelitian Sebelumnya Palupi (2002) dalam penelitiannya menganalisis pengeluaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah (studi kasus di kabupaten Purworejo)menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dan meyakinkan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi. Secara umum studi pada hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi mengasumsikan secara implisit bahwa semua pengeluaran investasi pemerintah adalah produktif. Barro (1990), lebih lanjut dalam penelitiannya pada 98 negara, dia menemukan bahwa GDP riil perkapita berhubungan positif dengan pengeluaran investasi human capital dan berhubungan negatif dengan konsumsi pemerintah. Pada sisi lain Ram (1986), Grossman (1988) menemukan suatu hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan disaggregation pengeluaran tersebut. Verawati (2005). Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Sidrap tahun 1994/1995 - 2004. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : Dari hasil analisis regresi menunjukkan pengeluaran pemerintah khususnya pengeluaran pemerintah (belanja publik) pada alokasi belanja sektor pertanian dan sektor perdagangan memiliki pengaruh positif dan 38 signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sidrap periode 1994-2004. Pengeluaran pemerintah (belanja publik) pada alokasi belanja sektor industri berpengaruh positif namun tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena kontribusi alokasi belanja sektor industri terhadap pengeluaran pemerintah (belanja publik) dan rata-rata perkembangannya lebih kecil sehingga menyebabkan kontribusi sektor industri terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi cenderung kecil. Selain itu penggunaan tenaga kerja di sektor industri cenderung kecil jika dibandingkan dengan penggunaan modal sehingga sektor industri belum berkembang khususnya dalam penyerapan tenaga kerja. Andi Konsumsi Pujiani Rumah (2009). Tangga, Hasil penelitiannya Investasi, Dan menunjukkan Pengeluaran bahwa Pemerintah berpengaruh positif dan signifikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sulawesi – Selatan 1997 – 2007. Ema Firawati Soamole menulis pengaruh pertumbuhan konsumsi dan pertumbuhan pengeluaran pemerintah terhadap peetumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 1983-2003. Dengan menggunakan uji t statistik, pengaruh pertumbuhan konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama tahu pengamatan adalah signifikan. Sedangkan untuk pertumbuhan pengeluaran pemertintah terhadap pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. 39 Herningsih Latief (2000). Dalam penelitian ini, penulis menarik beberapa kesimpulan yaitu : Bahwa ternyata pengeluaran pemerintah khususnya pengeluaran pembangunan secara keseluruhan berpengaruh nyata/signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) Sulawesi Selatan. Berdasarkan perhitungan dengan metode regresi linier 2SLS yang telah dilakukan ternyata antara pengeluaran pemerintah melalui pertumbuhan ekonomi berdampak positif dan berpengaruh signifikan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja di Sulawesi Selatan. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di masing-masing sektor yang dapat memicu terciptanya pertumbuhan ekonomi dimana sangat besar dampaknya terhadap penciptaan kesempatan kerja. Pertumbuhan ekonomi bukan semata-mata hanya untuk meningkatkan kesejahteraan tetapi juga diarahkan pada terciptanya kesempatan kerja yang baru, sehubungan dengan hal tersebut perlu penciptaan lapangan kerja yang bersifat padat karya dan peningkatan produktivitas kerja. 2.6 Kerangka Pikir Penelitian Hubungan antara konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada skema kerangka pikir sebagai berikut : 40 PDRB DISPOSIBLE INCOME PENGELUARAN PEMERINTAH KONSUMSI PERTUMBUHAN EKONOMI 2.7 Hipotesis Berdasarkan permasalahan diatas maka diduga bahwa “pengeluaran pemerintah, dan konsumsi rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi selatan periode 1996-2008”. : 41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) atau pangkat kuadrat terkecil. Untuk mengetahui pengaruh hubungan variabel bebas (konsumsi rumah tangga, dan pengeluaran pemerintah) terhadap variabel terikat (Pertumbuhan Ekonomi). 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik, Perpustakaan Fakultas Ekonomi Dan Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, maupun Browsing (pencarian) di internet dan beberapa sumber referensi yang menyangkut masalah teori-teori yang digunakan dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data yang digunakan berupa data time series dari tahun 1996 sampai tahun 2008 yaitu yang terdiri dari data PDRB Sulawesi Selatan berdasarkan harga konstan tahun 2000, konsumsi masyarakat Sulawesi Selatan, pengeluaran pemerintah (dalam hal ini data belanja pembangunan dan belanja modal). 42 3.2 Metode Analisis Untuk menguji hipotesis yang diajukan tentang seberapa besar pengaruh antar variabel atau faktor-faktor yang disajikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, maka penulis menggunakan model analisis regresi sederhana. Secara sistematika variabel-variabel dimasukkan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: Y = f (X1, X2) .................................................................................. (1) Secara eksplisit dapat ditulis sebagai berikut : Y = α + β1 LnX1 + β2Ln X2 + ε ................................................... (2) Dimana: Y = Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) α = konstanta X1 = Konsumsi X2 = Pengeluaran Pemerintah β1, β2 = koefisien regresi parsial untuk X1, X2 ε = error term 43 Untuk menganalisis lebih lanjut maka perhitungan regresi dilakukan untuk mendapatkan nilai-nilai sebagai berikut : 1. Koefisien Korelasi ( nilai r) Untuk menghitung arah dan kuatnya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat secara parsial, koefisien korelasi ini mempunyai nilai yang berkisar antara -1< r < +1 2. Koefisien Determinasi Berganda ( Nilai R2 ) Untuk mengukur besarnya proporsi atau sumbangan variabel bebas terhadap naik turunnya variabel terikat. Semakin besar nilai R 2 maka semakin besar variasi variabel terikat ditentukan oleh variabel bebas. 3. Statistik uji t ( t test ) Uji statistik t digunakan untuk menguji tingkat signifikasi antar variabel secara parsial dikatakan signifikan jika t hitung >t tabel. 4. Statistik uji F ( F test) Untuk mengetahui signifikasi antar variabel secara menyeluruh dikatakn signifikan jika F hitung >f tabel. 44 3.3 Batasan Variabel Variabel-variabel yang akan di estimasi pada penelitian ini adalah konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, dan produk domestik regonal bruto dengan batasan sebagai berikut : 1. Konsumsi Rumah tangga didefinisikan sebagai pertumbuhan konsumsi barang-barang kebutuhan pokok rumah tangga per tahun Propinsi Sulawesi Selatan dari tahun 1996-2008 2. Pengeluaran pemerintah didefinisikan sebagai pertumbuhan pengeluaran pemerintah dalam bentuk belanja pembangunan dan belanja modal (publik) per tahun Propinsi Sulawesi Selatan dari tahun 1996-2008 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai pertumbuhan PDRB Propinsi Sulawesi Selatan dari tahun 19962008. 45 BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN 4.1 Pertumbuhan Perekonomian Provinsi Sulawesi Selatan Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari besarnya nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan. Penggunaan atas dasar harga konstan ini dimaksudkan untuk menghindari pengaruh perubahan harga, sehingga perubahan yang diukur merupakan pertumbuhan riil ekonomi. Angka PDRB suatu daerah dapat memperlihatkan kemampuan daerah tersebut dalam mengolah sumber daya alam yang dimiliki melalui suatu proses produksi dengan menggunakan teknologi tertentu. Oleh karena itu, besar kecilnya PDRB suatu daerah sangat tergantung pada potensi sumber daya alam dan faktor-faktor yang terdapat didaerah tersebut. Pada tabel dibawah ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan ekonomi Sulawesi Selatan selama periode 1996-2008. 46 Tabel 4.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Dalam Juta Rupiah Provinsi Sulawesi Selatan Periode 1996-2007 Tahun PDRB ADHK 2000 PE 1996 26359978.20 - 1997 27602072.20 4.5 1998 26131239.82 -5.3 1999 26870146.21 2.8 2000 28183851.91 4.8 2001 29583605.51 5.5 2002 30948818.93 4.1 2003 32627380.12 5.4 2004 34345080.50 5.3 2005 36421787.37 6.1 2006 38867679.22 6.7 2007 41332426.29 6.3 2008 44549824.32 7.8 Sumber : BPS Propinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan tabel 4.1. tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi propinsi Sulawesi Selatan periode tahun 1999-2008 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode tahun 1996-1999 tingkat pertumbuhan menunjukan fluktuasi yang tajam yaitu sebesar 8,2% pada tahun 1996, menurun menjadi 4,5 % pada tahun 1997, dan pada tahun 1998 pertumbuhannya menurun dan negatif sebesar -5,3%, dan 2,8% pada tahun 1999 secara berturut-turut. Pertumbuhan yang menurun tersebut terjadi sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada periode yang sama. 47 Pada periode tersebut yang merupakan puncak krisis, hampir semua kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalami kontraksi pertumbuhan yang selanjutnya berdampak secara regional di daerah ini. Pasca periode krisis, pereknomian Propinsi Sulawesi Selatan menunjukan perkembangan ke arah pemulihan (recovery). Hal ini ditandai dengan pencapaian tingkat pertumbuhan positif pada tiga tahun terakhir setelah puncak krisis. Setelah krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Propinsi Sulawesi Selatan dari tahun ke tahun memperlihatkan hasil yang membaik. Pada tahun 2000 PDRB propinsi Sulawesi Selatan mencapai 28.183.851,91 juta rupiah dan menjadi 29.583.605,51 juta rupiah pada tahun 2001 dan 30.948.818,93 juta rupiah pada tahun 2002 atas dasar harga konstan 2000 atau menurun dari 5.5 % menjadi 4.1% . Hal ini menunjukkan rata-rata pekembangan PDRB selama tiga tahun pasca krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga tahun 1998 sekitar 4,32% dari tahun 2000 hingga tahun 2002. Pertumbuhan PDRB pada tahun 2004 sebesar 5,3 persen, sedangkan pada tahun 2003 sebesar 5,4 persen. Pada tahun tahun berikutnya pertumbuhan ekonomi mulai membaik dan pertumbuhannya positif. Pada tahun 2008 sebesar 44.549.824,55 juta rupiah, dan mengalami pertumbuhan sebesar 7,78 persen. Ini menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang terjadi dari tahun 2005 sampai tahun 2008 sebesar 6,43 persen pertahun. 48 Total PDRB pada tahun 2007 sebesar 41.332.426,29 juta rupiah. Sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga sebesar 23.263.512,46 juta rupiah atau 56,28 persen dari total PDRB. Besarnya porsi konsumsi rumah tangga tersebut merupakan faktor pendorong utama besarnya permintaan barang dan jasa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Selain konsumsi rumah tangga, komponen PDRB pengguna lain yang dominan adalah konsumsi pemerintah sebesar 6.075.870,59 juta rupiah atau sekitar 14,70 persen. Sedangkan komponen PDRB lainnya kurang dari 1 persen. 4.2 Perkembangan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 hingga tahun 1998 menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Namun pada tahun 2000 dan seterusnya keadaan perlahan mulai membaik dan pengeluaran konsumsi rumah tanggapun mulai meningkat. Pada tahun 1996 pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 13720606.29 juta rupiah, berbeda dengan tahun 1997 konsumsi rumah tangga sebesar 15019820.82 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar 8.65 persen. Krisis ekonomi pada tahun 1998 membawa dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya bagi konsumsi masyarakat. 49 Perkembangan konsumsi rumah tangga jika kita lihat dari tahun ketahun setelah krisis ekonomi mulai meningkat. Pada tahun 2003 konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan tahun 2000, sebesar 18.468.556,87 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar 4,80 persen. Dari tahun ketahun pengeluaran konsumsi terus meningkat hingga pada tahun 2008 sebesar 24.344.174,8 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan daya beli masyarakat pada periode tersebut. Untuk mengetahui lebih jelasnya tentang data perkembangan pengeluaran konsumsi rumah tangga, dapat dilihat pada tabel dibawah ini : 50 Tabel 4.2 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Provinsi Sulawesi Selatan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Dalam Juta Rupiah Tahun Konsumsi Rumah Tangga ADHK 2000 (Juta Rp) Perkembangan (%) 1996 13720606.29 - 1997 15019820.82 8.65 1998 14743991.82 -1.84 1999 15020487.35 1.87 2000 15805351.25 5.22 2001 16640848.95 5.23 2002 17794805.71 5.29 2003 18648556.97 4..80 2004 19459450.30 4.35 2005 20707933.54 6.42 2006 22145276.56 6.94 2007 23263512.46 5.05 2008 24344174.82 Sumber : Badan Pusat Statistik 4.64 Peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga diiringi dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah tiap tahunnya, serta peningkatan konsumsi rumah tangga ini juga disebabkan oleh meningkatnya konsumsi 51 pada hari-hari besar keagamaan atau tradisi yang dilakukan masyarakat tiap tahun. Selain jumlah penduduk yang tiap tahunnya meningkat dan konsumsi hari-hari besar yang menjadi faktor pendorong meningkatnya konsumsi, pendapatan juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi. 4.3 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu aspek penggunaan sumber daya ekonomi yang secara langsung dikuasai oleh pemerintah dan secara tidak langsung dimiliki oleh masyarakat melalui pembayaran pajak. Dua aspek yang terkait dengan pengeluaran pemerintah adalah pendapatan/penerimaan dan pengeluaran/belanja. Belanja Pemerintah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan daerah. Realisasi Pengeluaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada tabel berikut. 52 Tabel 4.3 Perkembangan Realisasi Pengeluaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (belanja Pembangunan dan Belanja Modal) 1996-2008 Dalam Juta rupiah Tahun Pengeluaran Pemerintah (Juta Rp) Perkembangan (%) 1996 217985.4 - 1997 279275.7 28.2 1998 362317.1 29.7 1999 250552.5 -30.8 2000 404935.1 61.6 2001 507035.1 25.2 2002 668448.2 31.8 2003 849061.5 27.1 2004 1213334.6 42.9 2005 2337250.6 92.6 2006 2034772.8 -12.9 2007 3573753.0 75.6 2008 3733299.0 4.46 Sumber : Badan Pusat Statistik Berdasarkan undang-undang no 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, dengan format belanja baru Pada Tahun 2004 komponen belanja pemerintah terdiri atas belanja aparatur, pelayanan publik, bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Setiap tahunnya, komponen yang terbesar dari total belanja daerah adalah belanja aparatur daerah Akan tetapi 53 dilihat dari persentasenya, setiap tahunnya mengalami penurunan dimana pada Tahun 2004 persentasenya sebesar 53,50%, Tahun 2005 sebesar 19,97%, Tahun 2006 terus menurun menjadi sebesar 20,97%. Sedangkan anggaran yang diperuntukkan bagi pelayanan publik setiap tahunnya mengalami kenaikan yaitu 278 miliar Tahun 2004, 413 Miliar Tahun 2005 dan pada Tahun 2006 digunakan belanja sebesar 464 Miliar. Dengan semakin bertambahnya anggaran yang digunakan untuk pelayanan publik ini maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan makin memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pengeluaran pemerintah pada tahun 1996 sebesar 217985.4 juta rupiah, dan mengalami peningkatan pada tahun 1997 sebesar 279275.7 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar 28.2 persen, sedangkan pada tahun 1998 realisasi pengeluaran pemerintah khususnya belanja modal sebesar 362317.1 juta dengan perkembangan sebesar 29.7 persen. Berbeda pada tahun berikutnya yaitu tahun 1999 pengeluaran pemerintah mengalami penurunan sebesar 250552.5 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar 30.8 perasen. Hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi yang terjadi sehingga pemerintah enggan untuk melakukan pembangunan karena iklim politk sedang tidak stabil dan perekonomian sedang mengalami goncangan yang sangat serius, masyarakatpun sangat membatasi konsumsinya begitupun pemerintah. 54 Dari total pengeluaran pemerintah tiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Dari tahun 2000 hingga tahun 2008. Pengeluaran pemerintah sempat mengalami penurunan pada tahun 1998-1999 karena krisis ekonomi yang terjadi pada saat itu yang menybabkan pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang berimplikasi pada pengeluaran pemerintah khususnya belanja pembangunan dan belanja publik di Sulawesi-Selatan. Dan secara bertahap pengeluaran pemerintah mulai menunjukkan perkembangan yang positif. Seperti pada tahun 2000 pengeluaran belanja pembangunan pemerintah sebesar sebesar 404935.1 dengan perkembangan sebesar 61.6 persen. 4.4 Pengaruh Konsumsi Rumah Tangga dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Untuk mengetahui seberapa besar pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan, maka disajikan hasil perhitungan regresi dengan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan SPSS 13 dengan hasil sebagai berikut : 55 Tabel 4.4. variabel-variabel yang diestimasi variabel Mean Max Min Prob. 17.28454 Standar Deviasi 17.07864 Y 17.61212 0.180091 0.568338 X1 X2 16.70328 13.58442 16.43441 12.29218 17.00780 15.13280 0.189080 1.011906 0.613944 0.562967 Hasil estimasi diatas khususnya standar deviasi digunakan sebagai dasar perhitungan regresi. Selanjutnya untuk melihat hasil regresi pengaruh konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 4.5. Ringkasan hasil perhitungan regresi variabel terhadap pertumbuhan ekonomi (Y) Parameter Variabel bebas Koefisien regresi r ttabel thitung S.E Sig X1 0.846 0.99 3.389 2.160 0.250 0.007 X2 0.019 0.98 0.397 1.188 0.047 0.700 R2 = 0.982 F-hitung = 267.129 F-tabel = 3.03 S.E = 267411341 α = 5% (0.05) Sig. = 0.000 56 Dari hasil perhitungan regresi dapat disajikan dalam bentuk persamaan yang menunjukkan hubungan antara pengaruh konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai berikut : Y = 2,905 + 0,846X1 + 0,019X2 (0.819) (3.389) (0.397) Persamaan regresi diatas diperoleh konstanta sebesar 2,905 hal ini berarti bahwa tanpa adanya pengaruh konsumsi rumah tangga, dan pengeluaran pemerintah akan terjadi perubahan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,815 dengan asumsi citeris paribus. Pada uji t-statistik dan F-statistik digunakan dalam menguji tingkat signifikansi model. Dimana uji t, melihat signifikansi model secara parsial atau menguji pengaruh variabel bebas (pengeluaran konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah) terhadap variabel terikat (pertumbuhan ekonomi), sedangkan uji F melihat signifikansi model secara simultan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 0,982 ini berarti jika variabel bebas (konsumsi rumah tangga, dan pengeluaran pemerintah) dapat menjelaskan variabel terikat (pertumbuhan ekonomi) sebesar 98,2%. Dengan kata lain variasi variabel lain yang menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang tidak diperhitungkan kedalam model hanya sebesar 1,8%. 57 Demikian pula jika dilihat nilai koefisien korelasi r masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat (Y) adalah 0.99 untuk X1 dan 0.98 untuk X2, artinya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat sangat erat dan kuat. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai uji F-hitung adalah sebesar 267,129. Nilai F-tabel sebesar 3,03 pada taraf signifikasi 5% (α = 0,05), Fhitung lebih besar dari F-tabel (267,129>3,03). jadi dengan demikian maka karakteristik konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah adalah valid berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap pertumbuhan ekonomi maka dilakukan uji signifikasi parsial (uji-t) sebagai berikut : 1. Konsumsi Rumah Tangga (X1) Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh koefisien regresi konsumsi rumah tangga adalah positif sebesar 0.846 yang artinya jika terjadi kenaikan 1 persen maka terjadi peningkatan sebesar 0.846 pada pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan, tapi pengaruh tersebut hanya berpengaruh setelah satu tahun kedepan. Nilai t-hitung sebesar 3,389 dan probabilitas 0,007 dengan tingkat kepercayaan 5%. Artinya, jika konsumsi rumah tangga positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan. 58 Semakin besar pendapatan rumah tangga yang dimiliki seseorang maka semakin besar pula tingkat pengeluaran konsumsi, dan jika tingkat pengeluaran konsumsi naik maka akan berpengaruh positif pula terhadap pertumbuhan ekonomi. Alasan mengapa dikatakan bahwa konsumsi rumah tangga positif dengan pertumbuhan ekonomi adalah adanya korelasi positif antara tingkat pendapatan seseorang akan cenderung meningkatkan pola konsumsi mereka yang nantinya akan meningkatkan permintaan di sektor konsumsi yang merupakan bagian dari permintaan agregat yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. 2. Pengeluaran Pemerintah (X2) Pada variabel X2 (pengeluaran pemerintah) besarnya koefisien regresi adalah 0,019 yang berarti jika terjadi kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar 1% maka akan mempengaruhi kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,019 persen. Asumsi variabel konstan. Dari hasil perhitungan regresi, nilai koefisien regresi pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif terhadap variabel pertumbuhan ekonomi. Nilai probabilitas pengeluaran pemerintah sebesar 0.700 dengan standar signifikan 5% (α= 0.05), artinya variabel pengeluaran pemerintah tidak signifikan secara parsial. Dengan nilai t-hitung sebesar 0.397 lebih besar dari t-tabel 1,812.. Hal ini berarti pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan adalah positif tapi tidak signifikan. 59 Hubungan positif dan tidak signifikan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dimana pengeluaran dalam hal ini adalah total pengeluaran belanja pembangunan dan blanja modal yang ditujukan untuk membiayai seluruh anggaran pemerintah selama periode pengamatan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Hal ini disebabkan tidak semua total pengeluaran tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran yang dapat langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi untuk pembanguan yang bersifat jangka panjang. Sebagaimana yang diketahui penerimaan daerah juga harus membiayai anggaran-anggaran pengeluaran pemerintah yang ada seperti pembiayaan utang, bantuan sosial, subsidi, atau bencana alam yang tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, sehingga selama periode pengamatan pengeluaran pemerintah tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini tidak sama dengan penelitian yang dinyatakan oleh Palupi (2002) bahwa dalam analisisnya pengeluaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah (studi kasus di Kabupaten purworejo) menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan. 60 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN 1. Pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomiSulawesi Selatan adalah positif dan signifikan. 2. Semakin besar konsumsi rumah tangga maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu satu tahun. 3. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan adalah positif tapi tidak signifikan. 4. Yang paling dominan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah variabel konsumsi rumah tangga. 5. Tidak selamanya pengeluaran pemerintah signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. . 5.2 SARAN 1. Untuk meningkatkan kapasitas pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan dalam melalui kebijakan ekspansif, yaitu dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah yang bersifat membangun dalam jangka panjang. 2. Dalam pengeluaran pemerintah, sebaiknya pengeluaran yang bersifat konsumsi lebih diperkecil dan yang bersifat pengeluaran 61 untuk pembanguan lebih ditingkatkan konsumtif tidak banyak karena yang bersifat memberikan sumbangsih bagi pendapatan daerah Sulawesi Selatan. 3. Alokasi anggaran yang dialokasikan kepada pembanguna harus lebih ditingkatkan lagi dan diberi perhatian khusus. 62