BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kolestasis 2.1.1 Definisi Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan kolesterol di dalam darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (NASPGHAN), kolestasis apabila kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total (Benchimol dkk., 2009; Bhatita, 2014). 2.1.2 Epidemiologi Kasus kolestasis yang dijumpai pada masyarakat jika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan, perbandingannya relatif sama. Beberapa penelitian menunjukan perempuan memiliki peluang yang lebih tinggi dibandingkan lakilaki, rasio atresia bilier pada bayi perempuan dan bayi laki-laki adalah 2:1 (Benchimol dkk., 2009; Nazer, 2010). Kolestasis dapat terjadi pada semua orang tanpa dibatasi usia, tetapi bayi-bayi yang baru lahir masih merupakan golongan usia yang paling sering mengalami kolestasis. Kejadian kolestasis meningkat pada bayi-bayi dengan usia kehamilan kurang bulan dan bayi berat lahir rendah, karena berhubungan dengan gangguan dari fungsi hati. Faktor risiko lain yang berhubungan dengan kolestasis adalah: bayi-bayi yang mengalami sepsis berulang dan pemberian nutrisi secara parenteral (Nazer, 2010). Berdasarkan penelitian yang ada, diperoleh data insiden kolestasis sebagai berikut: kolestasis + 1:2.500 kelahiran hidup, atresia billier 1:19.065 kelahiran hidup. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Penelitian yang dilaksanakan di King College Hospital England antara tahun 1970-1990, melaporkan penyebab kolestasis dapat dirinci sebagai berikut: atresia bilier sebanyak 35%, hepatitis neonatal 30%, defisiensi α-1 antitripsin 17%, sindroma Alagille 6%, kista duktus koledokus 3% (Benchimol dkk., 2009; Tufano dkk., 2009) Penelitian di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo (Surabaya) antara tahun 1999-2004, dari 19270 penderita rawat inap didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%) (Arief, 2012). 2.1.3 Klasifikasi Berdasarkan lokasi anatominya kolestasis dapat dibagi menjadi 2 yaitu: kolestasis intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik. a. Kolestasis intrahepatik Kolestasis intrahepatik bisa juga disebut dengan kolestasis hepatoseluler. Kolestasis intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis. Kolestasis intrahepatik terjadi karena kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris intrahepatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi, retensi serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma, dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati (Bisanto, 2011; Ermaya, 2014). b. Kolestasis ekstrahepatik Kolestasis ekstrahepatik merupakan 32% dari kasus kolestasis dan sebagian besar adalah atresia bilier. Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran empedu ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses imunologis, infeksi virus terutama Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik. Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk kelainan berupa nekroinflamasi, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik (Arief, 2012; Ermaya, 2014). Atresia bilier merupakan salah satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Deteksi dini kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier merupakan langkah yang sangat penting, karena metode pengobatan untuk atresia biler adalah dengan pembedahan hepatik-portoenterostomi yang biasa dikenal dengan nama operasi Kasai, operasi ini kurang efektif apabila umur pasien sudah lebih dari 2 bulan (Lee dkk., 2010). 2.1.4 Etiologi Etiologi kolestasis dapat dilihat pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Etiologi kolestasis Kolestasis Ekstrahepatik Atresia bilier ekstrahepatik Kista duktus koledokus Perforasi spontan duktus biliaris komunis Inspissated bile syndrome Caroli syndrome Hepatoseluler Infeksi Hepatitis virus Sifilis Infeksi TORCH Varicela Leptospirosis Infeksi HIV Sepsis Tuberkulosis Infeksi saluran kemih Cytomegalo virus (CMV) Kelainan metabolik Kelainan metabolisme asam amino (tirosinemia) Kelainan metabolisme lemak (penyakit Gaucher, penyakit Niemann-Pick, Sindrom Wolman) Kelainan metabolisme karbohidrat (galaktosemia, intoleransi fruktosa herediter, glycogen storage disease) Kelainan metabolisme asam empedu Kelainan metabolik bilirubin (Dubin-Johnson syndrome, Rotor syndrome) Kelainan mitokondria Defisiensi alfa-1 antitripsin Trisomi 18,21 Kelainan endokrin Hipotiroid Hipopituitarisme Sumber: Walsh dkk., 2009 2.1.5 Patogenesis Kolestasis intrahepatik diakibat oleh gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di dalam hati. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: (Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011) a. Gangguan transporter (Na+ K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein NCTP) b. Berkurangnya transport intraseluler yang diakibatkan oleh perubahan keseimbangan kalsium atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau pengguanaan obat. c. Sekresi asam empedu primer yang berkurang atau terbentuknya asam empedu atipik di kanalikulus yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel hati. d. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi bahan empedu akibat lesi pada tight junction. e. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik. 2.1.6 Manifestasi klinis Bayi ikterus sampai usia dua minggu pada umumnya disebabkan oleh peningkatan bilirubin indirek dan mencapai kadar puncak pada usia 5-7 hari. Bayi yang mengalami peningkatan kadar biliribin direk akan mengalami ikterus setelah usia dua minggu. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit dan mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin berwarna lebih gelap, tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul (akholik) (Arief, 2012; Oswari, 2014). Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat dijumpai hepatomegali, splenomegali, gagal tumbuh, dan wajah dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan kolestasis adalah hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik, hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat, perdarahan oleh karena defisiensi vitamin K, hiperkolesterolemia, xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan (Bisanto, 2011; Ermaya, 2014). 2.1.7 Diagnosis Kolestasis dicurigai apabila terdapat warna ikterus pada kulit atau mukosa yang tidak menghilang setelah minggu ke-3 kehidupan, pada bayi kurang bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi cukup bulan (Girard dan Lacaille, 2008). Untuk mendiagnosis kolestasis dapat dilakukan beberapa langkah seperti: 2.1.7.1 Anamnesis Riwayat ikterus lebih dari 14 hari, keluarga pasien yang menderita kolestasis, lahir prematur atau berat lahir rendah, riwayat kehamilan dengan infeksi TORCH, hepatitis B, infeksi intrapartum, pemberian nutrisi parenteral, sepsis dan ISK. Bayi dengan atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal, sedangkan pada bayi dengan kolestasis intrahepatik lahir dengan berat badan lahir rendah (Arief, 2012). 2.1.7.2 Pemeriksaan fisik Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan kolestasis, dan merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada umumnya gejala ikterik akan muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl (Girard dan Lacaille, 2008; Benchimol dkk., 2009). Pemeriksaan abdomen bisa ditemukan adanya hepatomegali, apabila didapatkan kosistensi hepar keras, tepi tajam, dan permukaan noduler, hal tersebut dapat diperkirakan hepar sudah mengalami fibrosis atau sirosis. Hepar yang teraba pada daerah epigastrium maka dapat dicerminkan sebagai sirosis. Rasa nyeri tekan pada palpasi merupakan mekanisme peregangan dari kapsula Glissoni yang disebabkan karena edema. Pasien dengan kolestasis dapat dijumpai juga adanya splenomegali, perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi vitamin K, urin berwarna gelap seperti teh, tinja warnanya pucat (akholik), sampai bisa didapatkan pasien dengan gagal tumbuh (Kader dan Balistreri, 2011; Arief, 2012). 2.1.7.3 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe kolestasis. Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa metode pemeriksaan yang mencakup: pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan kolangiografi intraoperatif (Benchimol dkk., 2009; Bisanto, 2011; Ermaya, 2014). A. Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil dari komponen bilirubin kita dapat membedakan antara kolestasis dengan hiperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila didapatkan kadar billirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau kadar billirubun direk lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5 mg/dl. b. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT <5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler, sedangkan apabila dari hasil laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/SGPT <5 kali dengan peningkatan gamma GT >5 kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik. c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini menunjukkan adanya proses infeksi. d. Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang mengalami kolestasis. e. Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan oleh obstruksi. f. Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi dengan vitamin K. g. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk mendeteksi kelainan yang berhubungan dengan metabolik. h. Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya infeksi Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes. i. Pemeriksaan FT4 dan TSH. j. Pemeriksaan biakan bakteri (biakan urin dan darah). k. Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar α-1 antitripsin. Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3 porsi (dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik (Girard dan Lacaille, 2008; Tufano dkk., 2009; Oswari, 2014). Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah : a. Porsi I diambil pada pukul 06.00 – 14.00 b. Porsi II diambil pada pukul 14.00 – 22.00 c. Porsi III diambil pada pukul 22.00 – 06.00 Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap kemudian setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel. Apabila dalam beberapa hari pemeriksaan didapatkan hasil tinja yang berwarna dempul, maka kemungkinan besar pasien tersebut mengalami kolestasis ekstrahepatik. Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik biasanya hasil pemeriksaan tinja yang diperiksa hasilnya normal. B. Ultrasonografi Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik pemeriksaan untuk mendeteksi kolestasis pada pasien. Dengan pemeriksaan USG dapat diketahui ukuran, keadaan hati, dan kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif murah harganya dengan teknik yang sangat sederhana, serta efektifitasnya mencapai 80%. Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya tanda triangular cord dibagian atas percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%, spesifisitas 100%, dan akurasi 95% untuk mendiagnosis atresia bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007; Bisanto, 2011). Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam. Kemudian, setelah pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan diperiksa USG kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak ≥1,5 cm, sedangkan pada 60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampak (Bisanto, 2011). Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien dipuasakan akan terlihat kandung empedu yang normal dan pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga mudah terlihat dengan pemeriksaan USG. Setelah pasien diberikan minum, kandung empedu akan mengalami kontraksi sehingga ukurannya akan lebih kecil dan tidak terlihat dengan pemeriksaan USG. Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier terjadi karena adanya proses obstruksi di hati, sehingga pada saat pasien dipuasakan kandung empedu tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan USG. Keadaan lain yang mengarah kemungkinan atresia bilier, apabila saat puasa kandung empedu terlihat ukurannya kecil dan setelah diberikan minum ukurannya tidak terjadi perubahan (Benchimol, 2009; Oswari, 2014). C. Biopsi hati Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis bayi dengan kolestasis. Berdasarkan data-data yang didapatkan dari penelitian sebelumnya, pasien kolestasis yang disebabkan oleh atresia bilier dapat dideteksi sekitar 90%-95% dengan biopsi hati. Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug, portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan hepatitis neonatal idiopatik dengan metode ini akan didapatkan gambaran pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal (Oswari, 2007). D. Kolangiografi intraoperatif Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu dikerjakan pada kolestasis, karena merupakan prosedur yang sulit dan berbahaya, tetapi tingkat akurasinya sangat tinggi sekitar 98% untuk mendiagnosis atresia bilier. Pemeriksaan dengan metode kolangiografi intraoperatif sangat tergantung terhadap hasil histopatologi hati. Apabila dari hasil histopatologi hati mengarah pada atresia bilier atau hasil yang diperoleh masih belum bisa untuk menyingkirkan atresia bilier, maka diperlukan tindakan laparatomi eksplorasi. Pada saat dilakukan laparatomi, pemeriksaan langsung terhadap keadaan kandung empedu dan sistem bilier sangat diperlukan untuk melihat adanya obstruksi pada sistem bilier (Oswari, 2007; Bisanto, 2011). Kolestasis yang disebabkan oleh atresis bilier, kandung empedunya terlihat kecil dan fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Kolangiografi dilakukan untuk menentukan patensi sistem bilier, sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke kandung empedu, kemudian disuntikan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk menentukan luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang umum dipakai adalah menurut Japanese Society Of Pediatric Surgeon, yang membagi keadaan ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris komunis, tipe 2 atresia bilier naik sampai keduktus hepatikus komunis dan tipe 3 atresia bilier mengenai seluruh sistem bilier ekstrahepatik (Oswari, 2007). 2.1.8 Penatalaksanaan Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 2.1.8.1 Penatalaksanaan kausal Terapi spesifik kolestasis sangat tergantung dari penyebabnya. Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan operasi Kasai dan transpalantasi hati merupakan cara yang efektif untuk tata laksananya. Tindakan operasi Kasai efektif bila dikerjakan pada umur <6 minggu dengan angka keberhasilan mencapai 80-90%, apabila dilakukan pada umur 10-12 minggu angka keberhasilannya hanya sepertiga saja. Tata laksana kolestasis intrahepatik dengan medikamentosa sesuai dengan penyebab merupakan tata laksana yang tepat (Benchimol, 2009; Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011). 2.1.8.2 Penatalaksanaan suportif Tata laksana suportif kolestasis bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan seoptimal mungkin. Tata laksana suportif meliputi: (Oswari, 2007; Putra dan Karyana, 2010, Bisanto, 2011). A. Medikamentosa Pemberian medikamentosa pada kolestasis bertujuan untuk meningkatkan aliran empedu. Medikamentosa yang biasanya diberikan antara lain: a. Asam ursodeoksikolat Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang disebabkan kolestasis. Disamping itupula obat ini berfungsi sebagai hepatoprotektor. Dosis yang diberikan adalah: 10–20 mg/kgBB/Hari. b. Kolestramin Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi sirkulasi enterohepatik. Dosis: 0,25-0,5 g/kgbb/hari. B. Nutrisi Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis. Penurunan eksresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Bayi dengan kolestasis membutuhkan asupan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Untuk menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi, digunakan formula khusus dengan jumlah kalori 120-150% dari kebutuhan normal serta vitamin, mineral dan trace element: a. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein 2-3 gr/kgbb/hari. b. Vitamin yang larut dalam lemak: vitamin A 5000-25000 IU/hari, vitamin D Calcitriol 0,05-0,2 ug/kgbb/hari, vitamin E 25-50 IU/kgbb/hari, dan vitamin K 2-5 mg (IM) selama 3 hari berturut-turut apabila pasien dengan pemanjangan faal hemostasis, pasien tanpa pemanjangan faal hemostasis berikan vitamin K 2-5 mg (IM) setiap 2-3 minggu. C. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama penderita dengan kelainan hati yang progresif yang memerlukan transplantasi hati (Oswari, 2007; Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011). 2.1.9 Prognosis Prognosis pasien kolestasis sangat tergantung dari jenis kolestasis. Prediktor untuk prognosis buruk adalah: ikterus hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul, riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten, dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil biopsi hati. Pada pasien atresia bilier ada beberapa faktor yang berpengaruh untuk hasil yang baik, diantaranya: pengalaman operator, sentral rujukan, luasnya kerusakan hati pada saat operasi dan frekuensi kolangitis. Pada sindrom hepatitis neonatal akibat infeksi mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan atresia bilier atau sindrom hepatitis neonatal akibat metabolik maupun genetik. Hal ini dihubungkan dengan tersedianya antimikroba spesifik. Angka kesembuhan kolestatik intrahepatik akibat infeksi berkisar 60-80% (Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011). 2.2 Infeksi Saluran Kemih 2.2.1 Definisi dan klasifikasi Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyebab infeksi yang sering terjadi pada anak-anak dengan demam. Infeksi saluran kemih didefinisikan dengan adanya pertumbuhan bakteri lebih dari 105 koloni/ml urin (Larcombe, 2010). Infeksi saluran kemih juga didefinisikan sebagai kolonisasi patogen di sepanjang saluran kemih: ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Berdasarkan sumber infeksinya ISK diklasifikasikan sebagai pielonefritis (ginjal), sistitis (kandung kemih), dan uretritis (uretra) (Chang dan Shortliffe, 2006). Infeksi saluran kemih bagian bawah pada anak-anak dapat menyebabkan morbiditas. Apabila penanganan ISK bawah terlambat, akan terjadi penyebaran menjadi ISK atas yang dapat menimbulkan kerusakan ginjal dan terjadi penyakit kronis seperti hipertensi dan insufisiensi ginjal setelah dewasa (Chishti dkk., 2009; Bay dan Anacleto, 2010; Saadeh dan Matoo, 2011). Pada anak-anak dapat terjadi infeksi pertama dan infeksi rekuren. Infeksi rekuren dibedakan menjadi bakteriuria yang belum teratasi, persistensi bakteri, dan reinfeksi. Bakteriuria yang tidak teratasi dapat disebabkan oleh terapi antimikroba yang tidak adekuat sehingga terjadi resistensi uropatogen yang tidak responsif lagi terhadap terapi. Pada kasus dengan persistensi bakteri, nidus infeksi di saluran kemih tidak tereradikasi karena uropatogen berada di lokasi yang terlindung dari terapi antimikroba, biasanya pada pasien dengan kelainan anatomi (infeksi kalkuli urinarius, nekrosis papillus), terdapat korpus alienum (stent uretra), atau kateterisasi uretra yang tidak steril. Sedangkan reinfeksi ditandai dengan patogen yang berbeda antara infeksi terdahulu dengan infeksi baru (Chang dan Shortliffe, 2006). 2.2.2 Epidemiologi Infeksi saluran kemih yang simtomatis biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan. Dalam 16 tahun usia kehidupan, lebih dari 11,3% anak perempuan dan 3,6% anak laki-laki akan mengalami ISK, dan sering terjadi rekurensi infeksi tersebut (Epp dkk., 2010; Larcombe, 2010). Insiden ISK berdasarkan jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Insiden ISK berdasarkan umur dan jenis kelamin Umur ( tahun ) <1 1-5 6-16 18-24 Sumber: Chang dan Shortliffe, 2006. Perempuan (%) 0,7 0,9 – 1,4 0,7 – 2,3 10,8 Laki-laki (%) 2,7 0,1 – 0,2 0,04 – 0,2 0,83 2.2.3 Etiologi dan Patogenesis Infeksi saluran kemih dapat disebabkan oleh koloni di saluran kemih, disamping itupula ISK juga bisa disebabkan oleh bakteri dari saluran cerna. Pada neonatus, ISK sekunder oleh grup Streptococcus B lebih sering terjadi dibandingkan pada kelompok dewasa. Penyebab ISK non-bakteri tersering adalah Adenovirus (sistitis hemoragika) dan Candida sp (Chang dan Shortliffe, 2006; Chishti dkk, 2009.). Uropatogen penyebab ISK tercantum pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Agen penyebab infeksi saluran kemih Organisme Gram Negatif Escherichia coli Organisme paling sering, penyebab > 80% UTI pertama. Organisme kedua tersering, ditemukan pada bayi muda. 16% bakteremia pada anak memiliki anomali saluran kemih yang melandasi. Lebih sering pada laki-laki. Penyebab ISK nosokomial ketiga. Penyebab < 2% ISK. Kebanyakan merupakan nosokomial Penyebab < 2% ISK. Patogen Gram negative non enteric paling sering Spesies Klebsiela Spesies Proteus Spesies Enterobacter Spesies Pseudomonas Organisme Gram Positif Spesies Enterococcus Staphylococcus koagulase negative Golongan Staphylococcus saprophyticus Staphylococcus aureus Grup Streptococcus B Jarang pada usia >30 hari. Patogen Gram positif tersering, > 5% ISK Jarang pada anak-anak. Bila sangat dicurigai ke arah ISK, ganti terapi antibiotika atau ulangi biakan urin. Jarang pada usia pubertas. >15% penyebab ISK pada wanita Jarang pada usia > 30 hari Jarang pada anak-anak Sumber: Chishti dkk, 2009. Beberapa faktor risiko non-anatomi turut berperan dalam patogenesis terjadinya ISK seperti: konstipasi, sindroma gangguan fungsi berkemih, dan paparan terhadap iritan kandung kemih. Faktor risiko lain yang dapat menyebabkan terjadinya ISK adalah (Chang dan Shortliffe, 2006; Chishti dkk., 2009): a. Neonatus dan bayi, disebabkan karena pada bulan-bulan awal kehidupannya neonatus berisiko tinggi terhadap ISK dan belum sempurnanya pembentukan sistem imun. Beberapa hasil penelitian menunjukkan pemberian ASI melindungi dari terjadinya ISK pada tujuh bulan awal kehidupan. b. Bayi laki-laki yang tidak disirkumsisi, pada bagian kulup biasanya didapatkan uropatogen dalam jumlah banyak yang berpotensi untuk naik ke saluran kemih dan menimbulkan ISK. c. Kolonisasi dari feses dan perineum, uropatogen tersebut akan naik ke saluran kemih. d. Abnormalitas anatomi, biasanya terjadi pada anak <5 tahun, bila tidak segera dikoreksi akan menjadi sumber rekurensi ISK. Pada kelainan kongenital akan terjadi pembersihan yang tidak adekuat pada saluran kemih. Pada anak dengan malformasi saluran kemih, ISK bawah akan dapat menyebar hingga menjadi ISK atas, biasanya diberikan pengobatan antimikroba profilaksis jangka panjang, dan berisiko untuk terjadi resistensi multi obat. e. Abnormalitas fungsional, ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih menyebabkan retensi urin, stasis urin, dan pembersihan bakteri yang tidak optimal sehingga terjadi ISK. Kateterisasi rutin untuk mengosongkan kandung kemih dapat membantu mengatasi, tetapi berisiko terhadap masuknya bakteri ke saluran kemih. Anak perempuan berisiko lebih tinggi mengalami ISK dibandingkan anak laki-laki pada usia kurang dari satu tahun, dikarenakan anatominya. Pada anak perempuan, periuretra dan area vagina yang lembab memudahkan pertumbuhan uropatogen. Panjang uretra yang lebih pendek memudahkan terjadinya infeksi asenden ke saluran kemih. Pada saat uropatogen mencapai kandung kemih, uropatogen menyebar naik ke ureter kemudian ginjal. Mekanisme yang lain yaitu; infeksi nosokomial karena instrumentasi, penyebaran secara hematogen pada infeksi sistemik, imunokompromais, dan penyebaran langsung karena fistula dari saluran cerna atau vagina (Chang dan Shortliffe, 2006). 2.2.4 Diagnosis 2.2.4.1 Gejala dan Tanda Demam merupakan gejala yang sering muncul pada anak dengan ISK (Bay dan Anacleto, 2010). Pada bayi gejala dan tanda cenderung tidak spesifik, sedangkan pada anak yang lebih besar akan didapat gejala nyeri pada perut atau pinggang, sering BAK, nyeri BAK, enuresis, dan hematuria. Infeksi yang disebabkan oleh virus, jamur, dan inflamasi pada genitalia eksterna (vulvitis dan vaginitis) juga dapat disertai dengan sering BAK dan nyeri BAK. (WHO, 2005). Pada anak yang dicurigai ISK perlu ditanyakan apakah memiliki riwayat BAK sedikit-sedikit, pernah ISK sebelumnya, demam yang tidak diketahui penyebabnya, terdiagnosis ada kelainan ginjal sejak dalam kandungan, terdiagnosis memiliki kelainan ginjal setelah lahir, adanya riwayat refluks vesikoureter atau penyakit ginjal di keluarga, konstipasi, gangguan fungsi berkemih, kandung kemih membesar, ada massa di abdomen, adanya tanda lesi spinal, adanya gangguan pertumbuhan dan hipertensi (NICE, 2007). Pada ISK atipik akan didapatkan gejala penyakit berat, BAK sedikit-sedikit, massa pada perut atau kandung kemih, peningkatan kreatinin, septikemia, kegagalan terapi dalam 48 jam setelah pemberian antibiotika yang sesuai, dan adanya infeksi oleh patogen non E. coli. Sedangkan pada ISK rekuren didapatkan dua kali atau lebih serangan ISK atas; atau satu kali serangan ISK atas ditambah satu atau lebih serangan ISK bawah; atau tiga kali atau lebih serangan ISK bawah. Gejala dan tanda ISK pada pasien anak sesuai umur, dapat dilihat pada Tabel 2.4 (NICE, 2007). Tabel 2.4 Gejala dan tanda pada bayi dan anak dengan ISK Kelompok Umur Bayi ≤ 3 bulan Bayi dan anak ≥ 3 bulan Bayi dan anak ≥ 3 bulan Gejala dan Tanda Paling sering Demam, muntah-muntah, lemas, dan rewel Sulit makan, gagal tumbuh Belum dapat berbicara Demam Nyeri perut, nyeri pinggang, muntahmuntah, sulit makan Dapat berbicara Sering BAK, nyeri saat BAK Gangguan berkemih, nyeri perut, nyeri pinggang. Jarang Nyeri perut, ikterik, hematuria, BAK tidak tertahan Lemas, rewel, hematuria, BAK tak tertahan, gagal tumbuh Demam, lemas, muntah-muntah, hematuria, urin keruh Sumber: NICE, 2007 2.2.4.2 Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan adanya piuria dan minimal 50.000 koloni/ml uropatogen tunggal dalam sampel urin (AAP, 2011). Pada bakteriuria asimtomatis akan didapatkan pertumbuhan organisme tunggal, biasanya >100.000 koloni/ml dari sampel urin anak yang tidak memiliki gejala piuria (Saadeh dan Matoo, 2011). Anak dengan bakteriuria asimtomatis tidak perlu diberikan antibiotika. Pada bayi dan anak dengan gejala khas ISK dilakukan pemeriksaan urin mikroskopis dan biakan, kemudian diberikan antibiotika. Bila gejalanya tidak khas ISK, namun anak menunjukkan gejala penyakit berat, urin mikroskopis dan biakan diambil, dan keadaan penyakitnya segera diatasi. Bila gejalanya tidak khas ISK, namun menunjukkan gejala penyakit sedang maupun ringan, pemeriksaan urin mikroskopis dan biakan urin tetap dilakukan, sedangkan pemberian antibiotika hanya dilakukan bila pemeriksaan mikroskopis positif (Chang dan Shortliffe, 2006; NICE, 2007). Pemeriksaan urin menggunakan sampel urin yang tidak terkontaminasi. Pada anak yang lebih besar diambil urin porsi tengah setelah meatus uretra dibersihkan. Apaila tidak memungkinkan untuk pengambilan urin dengan cara non-invasif, pemasangan kateter atau dilakukan aspirasi suprapubik dapat dikerjakan. Aspirasi suprapubik merupakan metode paling baik, yang dapat dilakukan dengan panduan USG agar diketahui adanya urin di kandung kemih (Epp dkk., 2010). Diagnosis ISK berdasarkan cara pengumpulan sampel urin, dapat dilihat pada Tabel 2.5 Tabel 2.5 Diagnosis ISK dengan biakan urin Metode Aspirasi suprapubik Kateterisasi Urin porsi tengah Jumlah koloni (CFU/ml) Ada pertumbuhan >105 104 - 105 > 104 anak laki-laki ≥ 105 anak perempuan (3 spesimen) ≥ 105 anak perempuan (2 spesimen) ≥ 105 anak perempuan (1 spesimen) Kemungkinan infeksi (%) >99% 95% Mungkin infeksi Mungkin infeksi 95% 90% 80% Sumber: Hellerstein, 1982 Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis ISK adalah ditemukannya uropatogen pada biakan urin. Pada biakan urin yang digunakan adalah urin sebelum diberikan antimikroba. Pemeriksaan biakan urin dilakukan pada bayi dan anak dengan diagnosis pielonefritis akut/ ISK atas, memiliki gejala penyakit sedang hingga berat, berusia kurang dari tiga tahun, pada pemeriksaan mikroskopis urinnya didapatkan nitrit dan leukosit esterase positif, memiliki riwayat ISK sebelumnya, memiliki infeksi yang tidak membaik setelah diobati, atau bila gejala klinis dan tes dipstik tidak sesuai. Apabila urin harus dibiakan, tetapi belum dapat dibiakan dalam 4 jam dari waktu pengumpulan, urin harus diawetkan dengan asam boraks segera (NICE, 2007). Biakan urin membutuhkan minimal 24 jam untuk inkubasi, sehingga untuk memulai terapi empiris lebih sering digunakan pemeriksaan mikroskopis urin. Pada pemeriksaan mikroskopis akan tampak bakteri hingga 3 x 104, namun tidak dapat dibedakan antara uropatogen dan bakteri kontaminan (Chang dan Shortliffe, 2006). Spesimen urin harus baru maksimal satu jam setelah BAK, atau disimpan di lemari pendingin selama 4 jam. Pemeriksaan analisis biokimia yang digunakan adalah leukosit esterase dan nitrit dengan menggunakan dipstik, dan pada urin mikroskop diperiksa bakteri dan sel leukosit pada urin. Beberapa bakteri gram negatif mereduksi nitrat menjadi nitrit, dan leukosit esterase diproduksi oleh leukosit yang teraktivasi (Epp dkk., 2010). Pengecatan Gram pada sampel urin untuk melihat adanya bakteri memiliki sensitivitas 91% dan spesifisitas 96%, namun tetap tidak dapat menggantikan biakan urin. (Saadeh dan Matoo, 2011). Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan urinalisis tunggal atau kombinasi dapat dilihat pada Tabel 2.6 Tabel 2.6 Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan urinalisis tunggal atau kombinasi Pemeriksaan Tes leukosit esterase Tes Nitrit Leukosit esterase dan nitrit + Mikroskopis WBC + Mikroskopis bakteri + Leukosit esterase, nitrit, mikroskopis + Sumber: AAP, 2011. Sensitivitas (rentang)% 83 ( 67 – 94 ) 53 (15 – 82) 93 (90 – 100) 73 (32 – 100) 81 (16 – 99 ) 99,8 (99 – 100) Spesifisitas (rentang),% 78 (64 – 92) 98 (90 – 100) 72 (58 – 91) 81 (45 – 98) 83 (11 – 100) 70 (60 – 92) b. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan struktur saluran kemih seperti adanya obstruksi, sebaiknya dikerjakan bila bayi atau anak terkena ISK akut. Pada bayi <6 bulan untuk mengetahui hasil pengobatan, ultrasonografi dilakukan dalam enam minggu setelah pengobatan dimulai. Sedangkan untuk bayi dan anak >6 bulan dengan ISK pertama kali, tidak perlu dilakukan USG rutin. Infeksi saluran kemih bawah pada anak <6 bulan atau anak yang memiliki riwayat ISK berulang, disarankan untuk dilakukan USG. Ultrasonografi ginjal dapat digunakan untuk mendeteksi adanya abses ginjal, hidronefrosis, keainan kongenital, dan terdeteksi adanya batu (NICE, 2007). Modalitas utama yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi refluks vesikoureter adalah voiding cystourethrogram (VCUG), dapat dikerjakan segera setelah selesai pengobatan selesai ataupun pada pasien asimtomatis. Dimercaptosuccinic acid (DMSA) sebaiknya dilakukan 4-6 bulan setelah terjadinya ISK untuk mendeteksi adanya kerusakan parenkim ginjal. Saat ini sudah ada pemeriksaan Radionuclear cystograph (RNC) untuk mengurangi paparan radiasi selama anak diikuti keadaan refluks vesikoureternya, atau setelah keadaan tersebut. Untuk mendiagnosis adanya pielonefritis akut, pemeriksaan baku emas yang dapat dikerjakan adalah scan ginjal dengan Dimercaptosuccinic Acid (DMSA) (Saadeh dan Matoo, 2011). 2.2.5 Penatalaksanaan Bayi berusia <3 bulan dengan kemungkinan ISK diberikan terapi antibiotika parenteral. Untuk bayi dan anak usia >3 bulan dengan ISK atas, diberikan antibiotika dengan pola resistensi rendah oral selama 7–10 hari, seperti sefalosporin atau ko-amoksiklav. Bila tidak dapat menggunakan antibiotika oral, diberikan antibiotika intravena seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2–4 hari diikuti antibiotika oral hingga total 10 hari. Untuk keadaan ISK asimtomatik pada bayi dan anak tidak perlu diberikan antibiotika. Pemberian aminoglikosida pada bayi dan anak disarankan dengan dosis satu kali sehari (NICE, 2006; Saadeh dan Matoo, 2011). Obat-obat antibiotika parenteral dan oral pada pasien ISK dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan 2.8. Tabel 2.7 Obat antimikroba parenteral dalam pengobatan ISK Obat Ceftriaxone Cefotaxime Ceftazidime Gentamicin Tobramycin Piperacillin Sumber: AAP, 2011. Dosis 75 mg/kg/24 jam 150 mg/kg/hari, diberikan tiap 6–8 jam 100–150 mg/kg, diberikan tiap 8 jam 7.5 mg/kg /hari, diberikan tiap 8 jam 5 mg/kg /hari, diberikan tiap 8 jam 300 mg/kg /hari, diberikan tiap 8 jam Tabel 2.8 Obat antimikroba oral dalam pengobatan ISK Obat Amoxicillin-clavulanate Trimethoprim-sulfamethoxazole Sulfisoxazole Cefixime Cefpodoxime Cefprozil Cefuroxime axetil Cephalexin Sumber: AAP, 2011 Dosis 20–40 mg/kg/hari dalam 3 dosis 6–12 mg/kg trimethoprim and 30-60 mg/kg sulfamethoxazole /hari dalam 2 dosis 120–150 mg/kg /hari dalam 4 dosis 8 mg/kg dosis tunggal 10 mg/kg /hari dalam 2 dosis 30 mg/kg /hari dalam 2 dosis 20–30 mg/kg/hari dalam 2 dosis 50–100 mg/kg /hari dalam 4dosis Anak dengan ISK disarankan rawat inap bila didapat gejala klinis seperti: urosepsis, bakteremia pada hasil laboratorium, pasien dengan imunokompromais, sulit makan, kurang pengawasan bila rawat jalan atau pasien rawat jalan yang gagal terapi. Pada anak >1 tahun dengan refluks vesikoureter yang disertai ISK rekuren, kelainan korteks ginjal disarankan untuk diberikan antibiotika profilaksis jangka panjang. Untuk anak <1 tahun dengan keadaan refluks vesikoureter setelah ISK atau sedang dalam pemeriksaan refluks vesikoureter kelas III-IV disarankan untuk diberikan antibiotika profilaksis. Antibiotika profilaksis yang dapat diberikan adalah trimetoprim-sulfametoxazol, nitrofurantoin, dan sefalosporin generasi pertama. Amoksisilin dapat diberikan sebagai profilaksis pada bayi <2 bulan (Saadeh dan Matoo, 2011). 2.3 Hubungan Kolestasis Dengan Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih merupakan penyakit infeksi yang berhubungan erat dengan kolestasis intrahepatik. Data yang didapatkan dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UI/RS Cipto Mangunkusumo, infeksi saluran kemih sering ditemukan pada bayi dengan kolestasis intrahepatik. Pada periode Januari sampai Desember 2003 tercatat 99 pasien penderita kolestasis, 68 diantaranya dengan kolestasis intrahepatik. Biakan urin dilakukan pada 34 bayi, dan didapatkan bakteriuria bermakna pada 24 bayi. (Oswari, 2007) Pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis kolestasis intrahepatik dengan ISK adalah urinalisis dan biakan urin. Pemeriksaan urinalisis meliputi: leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein dan darah. Urinalisis tidak sensitif untuk mendiagnosis kolestasis intrahepatik dengan ISK dibandingkan dengan biakan urin. Leukosituria dapat digunakan sebagai petanda untuk membedakan ISK dengan bakteriuria asimptomatik, tetapi leukosituria bukanlah petanda yang sensitif pada bayi. (Oswari, 2007; UKK Nefrologi, 2011) Kolestasis pada ISK terjadi karena bakteri penyebab ISK dapat mengeluarkan endotoksin, endotoksin tersebut akan masuk ke dalam sistem sirkulasi darah, meskipun bakteri yang menginfeksi tidak masuk dalam peredaran darah. Endotoksin yang dihasilkan tersebut akan merangsang makrofag (sel kupffer) untuk mensintesis sitokin. Sel kupffer dan sel imunokompeten lainnya dalam hati mensintesis sitokin intrahepatik seperti: TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-8, sitokinsitokin ini akan mengganggu fungsi hepatosit dan menyebabkan kolestasis (Oswari, 2007). Sitokin-sitokin proinflamasi, terutama TNF-α dan IL-1 adalah inhibitor yang dapat menghambat ekspresi gen transporter hepatobilier. Asam empedu dan bilirubin untuk masuk dari sinusoid ke intrahepatik memerlukan bantuan protein transporter tertentu, demikian juga untuk ekresi asam empedu dan bilirubin dari intrahepatik ke kanalikulus biliaris memerlukan protein transporter. Gangguan pada protein transporter akan mengakibatkan terjadinya gangguan aliran empedu dan secara klinis dikenal sebagai kolestasis (Oswari, 2007). Tata laksana kolestasis intrahepatik yang disebabkan oleh ISK, sangat berhubungan dengan sensitivitas antibiotika pada hasil biakan urin pasien. Antibiotika empiris yang diberikan untuk penanganan ISK pada pasien, akan menyebabkan perbaikan kolestasis yang terjadi. (Oswari, 2007; Putra dan Karyana, 2010).