BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Identitas sosial seseorang terbentuk melalui proses sosial sehingga membedakannya
dengan orang lain dilihat dari ciri-ciri sosial seperti kebiasaan berpakaian, kebiasaan mengisi
waktu luang, kebiasaan berbelanja dan sebagainya. Ciri-ciri sosial ini sering tidak disadari
oleh pemiliki identitas tersebut meskipun sudah menjadi bagian dari kebiasaan dalam
kehidupannya.Kebiasaan merupakan produk budaya yang pada awalnya diusahakan atau
diciptakan dengan sadar guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Proses menjadi biasa tersebut
bukan proses tunggal dan individu, tetapi dilakukan secara kolektif dan massal sehingga
orang merasa bahwa sesuatu yang dikerjakan tersebut sebagai bagian dari kebutuhan hidup
agar sama atau sesuai dengan masyarakat pada umumnya.
Proses membudayakan sesuatu biasanya diawali dengan teknologi atau benda-benda
baru yang dipersepsikan dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Mode pakaian,
telepon, internet, smartphone, blackberry, motor metic adalah beberapa teknologi baru yang
dipersepsikan dibutuhkan oleh setiap orang. Publikasi yang terus menerus dilakukan secara
kolektif melalui media massa telah membangun wawasan baru tentang pentingnya bendabenda tersebut sehingga mendorong orang untuk memiliki dan menggunakannya dalam
kehidupan sehari-hari. Persoalan bagaimana memilih benda dan menggunakannya dalam
kehidupan sehari-hari sebenarnya merupakan pilihan gaya hidup.
Kebiasaan-kebiasaan baru pada akhirnya melahirkan identitas sosial tertentu yang
melekat pada orang bersangkutan, baik disadari oleh orang itu sendiri ataupun tidak.Identitas
sosial tidak dapat dinyatakan secara sepihak oleh orang itu sendiri, tetapi merupakan hasil
1
dari persepsi masyarakat di sekitar dirinya. Dengan demikian, identitas sosial pada dasarnya
merupakan proses produksi budaya yang terus berlangsung sehingga proses terbentuknya
identitas sosial tidak bersifat final seperti halnya identitas biologis manusia yaitu laki-laki
atau perempuan. Meskipun ada pula pengecualian bagi manusia untuk menegaskan identitas
fisiknya dari tidak jelas (waria atau banci) menjadi laki-laki atau perempuan.
Pengakuan terhadap identitas sosial seseorang sangat penting bagi orang bersangkutan
karena identitas sosial membutkikan adanya pengakuan terhadap eksistensinya di masyarakat.
Kebutuhan untuk eksis di masyarakat adalah kebutuhan setiap orang yang dapat diupayakan
sendiri atau diupayakan bersama-sama. Artinya, secara sadar setiap orang dapat bersamasama membangun identitas tertentu dengan cara berorganisasi atau membentuk suatu
komunitas dengan suatu dasar ikatan tertentu, seperti persamaan hoby, persamaan fans,
persamaan cita-cita, persamaan olah raga, persamaan sebagai satu alumni, dan sebagainya.
Dengan demikian, komunitas terbentuk tidak hanya karena untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi, tetapi juga kebutuhan sosialnya.
Pada saat suatu komunitas terbentuk, maka proses pembentukan identitas sosial
komunitas tersebut sedang dimulai oleh para anggota komunitas tersebut, baik sendiri atau
dilakukan secara kolektif. Untuk mendapat pengakuan dari masyarakat sekitarnya, komunitas
melakukan kegiatan-kegiatan, menggunakan atribut budaya seperti pakaian dan sebagainya
yang memudahkan komunitas berinteraksi dengan masyarakat.Setiap orang melakukan
interaksi sosial guna memenuhi kebutuhan hidupnya.Interaksi berlangsung dalam berbagai
bentuk yaitu oposisi (persaingan, pertentangan atau pertikaian); kerjasama (cooperation);
diferensiasi (differentiation).Oposisi merupakan bentuk dissosiatif yang ditunjukkan dengan
adanya persaingan, pertentangan atau pertikaian.Persaingan dapat berupa persaingan
ekonomi, persaingan mendapatkan suatu kedudukan atau peranan tertentu atau persaingan
pengaruh. Diferensiasi merupakan upaya pemenuhan hak atas dasar pembedaan usia, seks
2
dan pekerjaan (Soekanto, 2002: 71). Setiap interaksi sosial, baik dalam kegiatan ekonomi
ataupun sosial selalu menyertakan identitas sosial yang menjadi ciri dari orang bersangkutan.
Komunitas menggunakan referensi etika dan estetika yang berlaku atau berkembang di
masyarakat guna memudahkan interaksinya dengan masyarakat luas.Aktivitas, atribut
budaya, nilai-nilai etika dan estetika merupakan produk budaya masyarakat. Komunitas juga
memelihara terpeliharanya kerukunan dan gotong royong serta tolong menolong di antara
sesama anggota arisan. Dapat dikatakan bahwa komunitas juga menjadi upaya memenuhi
kebutuhan ekonomi atau sosial dengan tetap memelihara ikatan tradisional yaitu kerukunan,
gotong royong dan tolong menolong. Dalam masyarakat tradisional, meminjam istilah
Kuntowijoyo (2006: 7), norma solidaritas dan partisipasi menjadi ideologi terbentuknya
organisasi sosial.
Proses menggunakan berbagai produk budaya tersebut merupakan proses konsumsi
budaya. Dalam hal ini, maka komunitas juga menggunakan atribut sosial dan budaya dalam
setiap kegiatannya. Masyarakat sekitar yang melihat aktivitas dan atribut sosial dan budaya
yang digunakan oleh komunitas akan mempersepsikan komunitas tersebut dan mulai
melekatkan sejumlah identitas sosial kepada komunitas.
Setiap komunitas, di samping mengkonsumsi produk budaya juga membuat regulasiregulasi berupa kesepakatan-kesepakatan baik tertulis atau tidak tertulis yang menjadi
pegangan bagaimana interaksi sesama anggota komunitas dan aktivitas komunitas
dijalankan.Misalnya, frekuensi pertemuan, siapa yang menjadi pengurus, iuran anggota, dan
sebagainya.Dengan demikian, komunitas juga melakukan regulasi terhadap produk budaya
yang digunakannya. Pada saat yang sama, komunitas juga menghasilkan kebiasaan-kebiasaan
baru para anggota sehingga secara bersamaan komunitas juga memproduksi budaya.
Proses produksi budaya, konsumsi budaya, dan regulasi budaya secara sendiri atau
bersama-sama menghasilkan identitas sosial tertentu
3
yang dilekatkan oleh masyarkat
sekitarnya.
Identitas sosial seseorang ataupun komunitas berasal dari peran orang atau
komunitas bersangkutan ataupun dari budayanya.Setiap orang memiliki peran yang
bermacam-macam dan identitas yang bermacam-macam pula.Ada identitas yang diinginkan
dan ada pula identitas yang tidak diinginkan.Identitas sosial yang dipersepsikan oleh
masyarakat dapat bersifat positif ataupun negatif. Pada akhirnya, masyarakat juga dapat
melihat
representasi yang diperlihatkan komunitas. Artinya, aktivitas komunitas
merepresentasikan atau mewakili suatu budaya.
Penjelasan lain menyebutkan, identitas sosial terbentuk dari adanya hubungan yang
mengidentifikasikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Proses terbentuknya identitas
sosial berlangsung lama, melalui simbol-simbol yang melekat pada gaya hidup, penampilan
dan sikap yang ditampilkan oleh lingkungan sosial atau komunitas yang dimasukinya. Orang
pada umumnya memperlihatkan identitas sosial yang diinginkan yaitu yang lebih
memberikan pengakuan sosial kepada individu bersangkutan (LeBoeuf, et al, 2010:
46).Bergabung dengan organisasi, paguyuban, club hobies, ataupun club sosialita dapat
memberikan individu bersangkutan sebagai individu yang lebih bermakna. Misalnya,
Sosialita mengidentifikasikan dirinya sebagai sosok yang mempunyai kelebihan harta dan
waktu luang untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial dan diakui perannya di masyarakat.
Apakah benar-benar melakukan kegiatan sosial atau tidak, mungkin bukan hal yang sangat
penting.
Terdapat banyak komunitas di Yogyakarta seperti komunitas sepeda, komunitas seni,
paguyuban alumni, termasuk komunitas wanita sosialita.Beberapa komunitas sosialita di
Yogyakarta yaitu CnC, Srikandi dan Ten Ladies.Beberapa komunitas wanita seosialita
tersebut memiliki karakteristik kegiatan seperti arisan, fashion dan bakti sosial.CnC dan
Srikandi bahkan mengadakan fashion show sendiri di hotel.
4
Komunitas CnC mewajibkan para anggotanya untuk mengedakan dress code dengan
jilbab setiap kali pertemuan.Meskipun dalam aktivitas sehari-harinya banyak dari anggota
CnC yang tidak berjilbab.Dilihat dari status sosial dan ekonominya, anggota CnC sebagian
adalah wanita pejabat dan pengusaha.Ikatan keanggotaan komunitas hanya didasarkan oleh
kegiatan arisan semata, meskipun ada kemudian ada pula kegiatan bakti sosial.
Komunitas Srikandi juga beranggotakan wanita-wanita yang berlatar belakang sosial
dan ekonomi menengah ke atas dan juga mengadakan kegiatan arisan.Komitas ini memiliki
karakteristik syarat keanggotannya yaitu tidak boleh pelit karena komunitas ini memiliki
kegiatan rutin bakti sosial setiap dua bulan sekali.Setiap anggota Srikandi diwajibkan untuk
mengeluarkan minimal Rp 500.000 setiap kali bakti sosial. Ikatan sosial di dua komunitas
CnC dan Srikandi bukan semata-mata arisan, tetapi juga ikatan pertemanan karena di antara
para anggota CnC dan Srikandi sebelumnya sudah memiliki hubungan pertemanan
Kebutuhan untuk mengasosiasikan dirinya dengan almamter bersifat subjektif antara
satu alumni dengan alumni yang lainnya.Kebutuhan untuk mengasosiasikan diri dengan
almamater biasanya sejalan dengan besarnya kebanggaan mereka terhadap almamaternya di
masa lalu, baik karena ikatan emosi, solidaritas atau kebersamaan yang terbangun selama
mereka berada dalam satu lembaga pendidikan atau sekolah.
Berbeda dengan CnC dan Srikandi, ada komunitas wanita sosialita yang berasal dari
satu almamater adalah Ten Ladies.Para alumni satu almamater merasa penting untuk
mengikatkan kembali identitas dirinya dengan sekolah di mana dirinya pernah menjalani
sekolah bersama teman-teman yang lainnya.Ikatan di antara para anggota Ten Ladies tampak
erat karena jumlahnya terbatas hanya 10 orang dan berangkat dari satu sekolah yaitu SMA
Muhammadiyah I Yogyakarta.Karena itu ikatan kekeluargaan Ten Ladies tampak lebih kuat
dibandingkan di komunitas lainnya, seperti CnC ataupun Srikandi. Kuatnya hubungan
5
kekeluargaan dibuktikan dengan setiap anggota Ten Ladies mengenal keluarga (suami dan
anak-anaknya) anggota Ten Ladies yang lain
Orang-orang dalam satu alamater merupakan salah satu kelompok masyarakat yang
memberikan para anggotanya dengan suatu identitas.Identitas sosial juga merupakan konsep
diri seseorang sebagai anggota kelompok.Identitas sosial sebagai pengetahuan individu
dimana dia merasa sebagai bagian anggota kelompok yang memiliki kesamaan emosi serta
nilai.Dalam hal ini, individu mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok
dengan karakternya yang khas sehingga membedakannya dengan kelompok lainnya.Peran
mereka ketika masih di SMA dan kondisi saat mereka bertemu kembali memberikan
indentitas sosial seperti yang diharapkan sehingga mereka tetap berusaha memelihara
identitas tersebut.
Ketertarikan untuk tetap menjalin komunikasi dengan teman-teman sekolah di masa
lalu menjadikan mereka membentuk ikatan alumni, bahkan dalam lingkup yang lebih sempit
yaitu paguyuban alumni Muhi dalam satu angkatan, yaitu angkatan 1990. Paguyuban ini
beranggotakan alumni sekolah tersebut, meskipun tidak semua alumni ikut dalam pertemuan
tersebut, tetapi paguyuban telah berjalan rutin dengan kegiatan utama arisan dan
pengajian.Namun, yang ingin saya teliti disini adalah perkumpulan arisan alumni Muhi
angkatan 1990 yang terdiri dari cewek-cewek yang berjumlah 10 orang.Dan mereka
menamakan kelompok arisan mereka dengan sebutan “ten ladies”. Arisan ten ladies ini
sungguh menarik karena berbeda dengan arisan-arisan yang lain. Karena arisan ini tidak
berfungsi sebagai fungsi ekonomi dan sosial saja, seperti arisan pada umumnya. Fungsi
identitas cukup menonjol disini, dimana terlihat dari tempat dimana mereka berkumpul dan
cara mereka mendefinisikan identitas kelompok sosial mereka. Tentunya arisan ini berbeda
dengan arisan-arisan dikampung atau pasar-pasar pada umumnya.
6
Mereka yang tergabung dalam kelompok arisan “ten ladies” tersebut tentu memiliki
identitas dan kepentingan tersendiri. Identitas yang dimaksud bukan hanya kesamaan sekolah
tetapi ada identitas lain yang membuat mereka menjadi akrab dan ingin memelihara
hubungan pertemanan tersebut.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan paparan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana proses terbentuknya identitas sosial komunitas Ten Ladies melalui proses
produksi, konsumsi, regulasi dan representasi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembentukan identitas sosial
komunitas Ten Ladies Yogyakarta melalui proses produksi, konsumsi, regulasi dan
representasi.
D. Kajian Pustaka
Penelitian hijabers di Makasar oleh Hardiyanti, (2012) menyebutkan bahwa identitas
sosial dapat bersumber dari diri sendiri yang dengan sengaja menciptakan identitas tertentu,
tetapi yang paling utama identitas dilekatkan menurut pandangan masyarakat. Pandangan
masyarakat terhadap komunitas hijaber di Makasar sebagai berikut: 1)identitas komunitas
yang bersifat ekslusif. Maksud ekslusif dari kelima informan menunjuk pada image yang
ditampakkan Hijaber Muslim Makassar sebagai komunitas jilbab kontemporer yang menjadi
patron gaya berjilbab di Makassar. 2) identitas konsumtif. Konsumtif karena kebiasaan
pilihan-pilihan tempat berkumpul dengan seluruh ataupun sebagian member dan committee
7
adalah tempat untuk kalangan menengah keatas yang arti tempat dimana segala barang atau
makanan yang dijajakan tidaklah murah. 3) komersial, yaitu kegiatan-kegiatan yang diadakan
oleh Hijaber Muslim Makassar dikomersialkan termasuk dengan menarik biaya tinggi
sebagai kontribusi dari para anggotanya.
Yuniardi, (2010) meneliti dengan judulIdentitas Diri Para Slanker Penelitian
Institusional , Lembaga Penelitian
Universitas Muhammadiyah Malang. Penelitian ini
memperlihatkanikatan sosial karena kesamaan identitas sosial sebagai penggemar
ditunjukkan oleh para slanker. Para Slangker suka dengan Slank sejak SMP atau SMA karena
lirik lagu-lagu Slank, cara main musik dan pilihan musiknya, penampilan, gaya hidup, dan
sikap Slank terhadap penggemar. Mereka mengakui sangat ingin menjadi seperti Slank dan
menyerap seluruh nilai-nilai yang dianut dan diajarkan oleh Slank. Lebih dalam dari itu,
mereka berjanji untuk tetap hingga tua. Penampilan yang membawa simbol-simbol Slank
adalah sangat penting karena menunjukkan bahwa mereka adalah Slanker sejati. Selain itu,
para subyek mengaku senang dan bangga menjadi anggota Slanker karena merasa
menemukan kehangatan dan semangat kekeluargaan dalam komunitas Slanker Para Slanker
mulai tertarik pada Slank sejak SMP/SMA karena pada masa remaja mulai berkembang
identitas sosial, yaitu status dan peran yang diberikan orang lain kepada indiividu di tengah
masyarakat.
Penelitian Permana (2011), mengungkapkan bahwa penggemar motor gede
dipersepsikan secara negatif oleh masyarakat Surabaya. hal ini merupakan imbas dari stigma
negatif geng motor–sehingga komunitas motor lainnya terhukum oleh hal-hal yang juga
negatif. Pandangan yang disampaikan oleh para narasumber mengenai komunitas moge
bermacam-macam, ada yang berpendapat bahwa komunitas motor gede adalah kumpulan
orang-orang kaya. Persepsi masyarakat ini dapat mempengaruhi proses pembentukan
identitas tentang penggemar motor gede di Surabaya.
8
Ketiga penelitian tersebut di atas berbeda dengan penelitian ini yaitu informasi
tentang identitas sosial
digali dari persepsi masyarakat terhadap subjek yang diteliti,
terutama pada penelitian tentang hijaber di Makasar dan penggemar motor gede di Surabaya.
Penelitian Yuniardi tentang Slanker melihat proses terbentuknya identitas sosial dari
kesamaan sebagai penggemar musik rock yang dimainkan oleh grup Slank. Pada penelitian
ini, objek kajian tentang identitas sosial bukan melihat dari bagaimana persepsi masyarakat
terhadap komunitas Ten Ladies, tetapi melihat pada aspek proses pembentukan identitas
sosial dilihat dari kegiatan yang dijalankan, dan representasi yang ditunjukkan dari kegiatan
Ten Ladies.
E. Landasan teori
Konsep dan teori yang digunakan untuk mengkaji komunitas ini adalah konsep tentang
masyarakat dan teori tentang identitas sosial. Konsep identitas sosial adalah bagaimana
seseorang itu secara sosial dapat didefinisikan. Giddens (2005) menyatakan bahwa dengan
sosialisasi individu dapat mengembangkan identitas dan kemampuan berpikir yang
independen dan tindakannya. Giden menjelaskan
bahwa identitas sosial itu melibatkan
dimensi kolektif. Identitas bersama - didasarkan pada seperangkat tujuan bersama, nilai-nilai
atau pengalaman - dapat membentuk dasar –dasar kolektivitas tertentu dan membentuk peran
(Barker, 2011).
Identitas
sosial
menggambarkan
pengalaman
interaksi
sosial,
membantu
mengidentifikasi mereka sendiri dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini identitas sosial suatu
komunitas dapat dilihat dari identas khas dari orang-orang di dalam komunitas bersangkutan.
Identitas komunitas
memiliki ikatan yang saling bersesuaian dengan
semua anggota
komunitas yang membedakan mereka dengan orang-orang di luar komunitasnya (Zhang et al,
9
2010). Dengan demikian, selalu ada kesesuaian antara identitas sosial komunitas dengan
identitas sosial anggota-anggota komunitasnya.
Identitas sosial menandai cara di mana individu adalah sama seperti identitas orang
lain. Setiap individu memilki identitas diri (atau identitas pribadi) yang membedakan
seseorang sebagai individu berbeda. Proses interaksi antara individu dan masyarakat
membantu untuk menghubungkan dunia individu pribadi dan dunia sosialnya. Setiap individu
dapat dengan sadar membentuk sendiri identitas diri ataupun identitas sosialnya. Dalam
menciptakan identitas diri maupun identitas sosial, seseorang ataupun komunitas bisa saja
menitikberatkan pada pilihan busana dan gaya hidup yang secara simbolik mengirimkan
pesan tentang identitas atau karakteristik yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang
lainnya.
Suatu komunitas dapat diidentifikasi berdasarkan identitas sosialnya yang tampak yang
membedakannya dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Mengikuti pendapat Zhang (et
al, 2010), identitas sosial komunitas dapat diketahui dari identitas sosial anggota-anggotanya.
Teori identitas sosial menjelaskan bahwa proses terbentuknya identitas sosial melalui self
categorization yaitu diri individu adalah refleksi dari sesuatu yang menjadi objek dan dapat
dikategorikan, diklasifikasikan sehingga dirinya menjadi bagian dari atau berhubungan
dengan kategori sosial yang dimaksud (Turner, Hogg, Oakes, Reicher dan Wetherell, dalam
Stetes dan Burke, 2000). Dua proses yang terlibat dalam pembentukan identitas sosial yaitu
self categorization dan social comparison. Setiap proses menghasilkan konsekuensi berbeda.
Self categorization menekankan pada perasaan yang sama antara diri dengan orang lain di
dalam kelompok serta perasaan berbeda antara diri dengan orang lain di luar kelompoknya.
Hal ini tampak dari perilaku, sikap, keyakinan dan nilai, emosi, dan gaya yang diyakini
berkaitan dengan ketegori kelompoknya.
10
Proses social comparison menekankan pada proses pemilihan perasaan terpengaruh
oleh kelompok terutama terkait dengan hasil yang diinginkan oleh dirinya, khususnya
keinginan untuk meningkatkan harga diri melalui evaluasi bahwa di dalam kelompok akan
mendapatkan penilaian positif sedangkan di luar kelompok akan mendapatkan penilaian
negatif (Stetes dan Burke, 2000: 225). Teori identitas sosial sejalan dengan hubunganhubungan di dalam kelompok yaitu bagaimana orang masuk untuk memperlihatkan dirinya
sebagai anggota dari suatu kelompok dalam berhadapan dengan kelompok lain.
Penjelasan tentang identitas social dapat pula menggunakan teori artikulasi yang
dikemukakan oleh Stuart Hall dalam bukunya berjudul The circuit of culture. Teori ini
merupakan salah satu teori yang dapat digunakan untuk memahami formasi-formasi sosial
dan sangat efektif untuk menghindari reduksi pemahaman dalam melihat formasi-formasi
tersebut. Teori artikulasi menjelaskan bahwa pemaknaan terhadap sebuah fenomena budaya
bukanlah sebuah proses independen yang terjadi „akibat‟ satu penyebab saja (konsumsi
terjadi karena produksi atau sebaliknya) melainkan merupakan relasi dialogis di dalam
sebuah struktur yang dibangun oleh framework tertentu. Selain produksi dan konsumsi, du
Gay et al. (1997: 3) merumuskan elemen lain dari relasi dialogis ke dalam sebuah lingkaran
budaya, antara lain adalah regulasi, representasi, dan identitas. Du Gay mengemukakan
bahwa “…taken together (these 5 points) complete a sort of circuit… through which any
analysis of a cultural text… must pass if it is to be adequately studied.” Rumusan elemenelemen tersebut dikenal dengan konsep circuit of culture (du Gay et al., 1997: 3).
Identitas merupakan satu elemen budaya. Budaya merupakan lingkaran dari sejumlah
elemen yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu identitas, produksi, konsumsi,
regulasi dan representasi sebagaimana dijelaskan berikut ini.
1. Representasi
11
Representasi merupakan praktik memberi tanda dan merepresentasikan melalui tanda.
Representasi dilakukan melalui sistem bahasa dan konsep (Philip Grey, 2004). Dalam hal
ini, Stuart Hall membedakanantara duapendekatankonstruksionis, pertama, semioticyang ia
gambarkan sebagaistrukturalis. Keduadiskursif, yang dia sebutpasca-strukturalis.Pendekatan
semioticberkaitandenganbagaimanarepresentasi,
bahasamenghasilkanmakna,
sedangkan
pendekatandiskursif
denganbagaimana
lebih
pedulidenganefek
dankonsekuensi politik dari tanda tersebut (1997: 6).Representasi merupakan ekspresi yang
mengartikulasikan diri sebagai bagian dari masyarakat sebagai satu kesatuan (Barker, 2011:
56).Kelompok atau komunitas yang mengartikulasikan diri sebagai bagian dari masyarakat
ini secara otomatis juga merepresentasikan masyarakat tertentu.
2. Identitas
Identitas merupakan hasil dari proses pemaknaan yang melibatkan banyak pihak di
masyarakat. artinya, identitas dapat saja diklaim oleh salah satu pihak, tetapi tidak akan
menghentikan proses banyak pihak memberikan pemaknaan atas serangkaian tanda yang
direpresentasikan (Philip Grey, 2004).
Setiap kelompok ataupun komunitas memaknai
artikulasi dirinya dan diklaim sebagai bagian dari identitas komunitas bersangkutan. Interaksi
sosial di antara anggota komunitas disadari atau tidak akan memunculkan identitas yang
diakui sebagai bagian dari komunitas bersangkutan.
12
3. Produksi
Dijelaskan
dalamProduksiBudaya/BudayaPro-produksi
tidakhanya
mengacu
padaproduksiproduk-produktradisionalyang terkait dengan industribudaya, seperti sastra,
musik danfilm,tetapi jugauntuk setiapbarang yang"sengaja ditulis denganmaknatertentu
danasosiasiseperti yangdiproduksi dandiedarkan” (Philip Grey, 2004). Interaksi sosial di
dalam komunitas bukan hanya merepresentasikan masyarakat tertentu, bukan hanya
menampilkan identitas komunitasnya, tetapi juga menghasilkan makna-makna baru.
4. Konsumsi
Budaya
yang
digunakan.Budaya
telah
yang
diproduksi
telah
dan
diedarkan
diproduksi
pasti
kemudian
dikonsumsi
memiliki
nilai
atau
dan
identitas.MengutipstudiThorsteinVeblententangkelasborjuisrekreasiAmericanmantanpression
daristatusnyamelalui konsumsimencolok, pertama kali diterbitkanpada tahun 1899,
sebagaitonggak
pentingdalam
sertamenggunakan nilai.
realisasibahwa
barangmemiliki
Dengan demikian, proses pembentukan
identitas
nilaiidentitas
merupakan
proses mengkonsumsi budaya yang diproduksi dan telah beredar, baik berupa barang, tulisan,
terbitan, atau publikasi (Philip Grey, 2004). Dalam hal ini, kelompok atau komunitas yang
13
mengartikulasikan diri sebagai bagian dari masyarakat tertentu, dalam interaksi sosialnya
akan menggunakan atribut budaya yang telah ada di masyarakat.
5. Regulasi
Setiap unsur budaya pasti terikat pada
suatu sistem budaya.
Penggunaan tanda
termasuk kata dan bahasa pasti mengikuti atau berada dalam kontrol sistem bahasa (Philip
Grey, 2004). Proses konsumsi, produksi, representasi dan identitas tidak dapat lepas dari
kontrol budaya. Artinya, proses pembentukan identitas sosial tetap berada dalam kontrol
budaya masyarakatnya.
Dilihat dari teori circuit of culturetersebut, identitas sosial komunitas Ten Ladies
merupakan proses yang tiada henti sebagai suatu lingkaran sirkuit. , identitas sosial
komunitas Ten Ladies merupakan hasil interaksi para anggotanya dengan orang-orang di luar
Ten Ladies. Interaksi tersebut pada saat bersamaan juga terjadi proses mengambil, meniru
atau mengkonsumsi budaya yang kemudian diolah atau diproduksi kembali menjadi suatu
budaya yang baru yang mengikat atau menjadi regulasi bagi mereka sehingga para anggota
Ten Ladies terikat pada interaksi-interaksi dengan sesama anggota Ten Ladies. Kebiasaankebiasaan yang timbul dari proses interaksi sosial dalam komunitas Ten Ladies memunculkan
suatu identitas yang khas Ten Ladies yang membedakannya komunitas ini dengan komunitas
yang lainnya. Pada saat bersamaan, interaksi sosial di antara mereka pun merepresentasikan
suatu karakteristik yang juga khas.
F. Metode penelitian
1. Jenis dan Desain penelitian
Jenis penelitian yag digunakan dalam penulisan ini adalah jenis kualitatif (Nawawi,
1998; 63) dengan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah ilmu tentang esensiesensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi dengan
14
kesadaranuntuk menyelidiki pengalaman manusia. Fenomenologi bermakna metode
pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan
yang
ada
dengan
langkah-langkah
logis,
sistematis
kritis,
tidak
berdasarkan
apriori/prasangka, dan tidak dogmatis (Donny, 2005: 150).
Penelitian fenomenologis fokus pada sesuatu yang dialami dalam kesadaran
individu,
yang
disebut
sebagai
intensionalitas.
Intensionalitas
(intentionality),
menggambarkan hubungan antara proses yang terjadi dalam kesadaran dengan obyek yang
menjadi perhatian pada proses itu. Dalam term fenomenologi, pengalaman atau kesadaran
selalu kesadaran pada sesuatu, melihat adalah melihat sesuatu, mengingat adalah
mengingat sesuatu, menilai adalah menilai sesuatu (Smith, et al, 2009: 12).
2. Unit Analisis
Unit analisis adalah anggota komunitas Ten Ladies yang beranggotakan 10 wanita
alumni SMA Muhammadiyah I Yogyakarta angkatan 1990 beserta kegiatan-kegiatannya.
Ke-10 orang tersebut sering menjadi motor penggerak kegiatan alumni seperti bakti
sosial, temu alumni dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif umumnya
terdiri dari wawancara, observasi dan dokumentasi seperti dijelaskan di bawah ini.
a. Observasi.
Jenisobservasi yang dilakukanyaituobservasi non partisipasi, yiatu peneliti melakukan
pengamatan langsung dengan sasaran pokok aktivitas anggota dan kegiatan Ten
Ladies di lokasi penelitiantanpapenelititerlibat di dalamkegiatantersebut.
Peneliti
dengan kegiatan ini berharap akan memperoleh informasi yang berkualitas guna
melengkapi atau menguatkan data yang didapat dari wawancara.
15
b. Wawancara
Kegiatan wawancara dapat dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (in
depth interview).Wawancara mendalam (depth interview) : wawancara mendalam
atautidak terstruktur hampir sama dengan percakapan informan (Mulyana,2008 :
181).Wawancara mendalam dimaksudkan untuk memperoleh data yang sesungguhnya
terjadi di tempat penelitian tanpa ada tabir penutup dari informan sehingga akan lebih
menjamin validitas data dari jawaban informan yang diberikan. Agar wawancara
terarah dan fokus, kegiatan wawancara perpedoman pada panduan wawancara yang
telah disiapkan.
Wawancara ditujukan kepada: 1) dua orang pengurus Ten Ladies, 2) dua orang
anggota Ten Ladies, dan 3) lima orang yang mengetahui kegiatan Ten Ladies tetapi
bukan anggota Ten Ladies. Peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti yang
telah disiapkan dalam bentuk pedoman wawancara.Namun demikian, peneliti juga
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang muncul secara spontan berdasarkan temuan
di lapangan.Wawancara ini dilakukan dengan suasana santai diselingi obrolan-obrolan
untuk mengakrabkan informan sebagai terwawancara (interviewee) dan peneliti
sebagai pihak pewawancara (interviewer).
c. Dokumentasi, berupa data skunder yang didapat melalui berbagai referensi yang ada
yang bersifat mendukung bersumber dari dokumen Ten Ladies.
4. Teknik Analisis Data
Tenik analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisis fenomenologi
yang berprinsip apriori, sehingga tidak diawalli dan didasari oleh teori tertentu. Analisis
fenomenologi tidak hanya digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan
pendidikan. Dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama
pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna.
16
Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk
mengidentifikasi kualitas yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan
mendalam dan teliti (Smith, et al., 2009: 11).
Penelitian fenomenologi justru berangkat dari perspektif filsafat, mengenai “apa”
yang diamati, dan bagaimana cara mengamatinya. Adapun premis-premis dasar yang
digunakan dalam penelitian fenomenologi adalah sebagai berikut: 1) Sebuah peristiwa
akan berarti bagi mereka yang mengalaminya secara langsung, 2) pemahaman objektif
dimediasi oleh pengalaman subjektif, 3) pengalaman manusia terdapat dalam struktur
pengalaman itu sendiri. Tidak dikonstruksi oleh peneliti. Langkah-langkah analisis data
dilakukan mengikuti tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
17
Download